Ceritasilat Novel Online

Tragedi Sinemata 2

Lupus Tragedi Sinemata Bagian 2


Gusur kemudian memang ikutan. Dan di perahu di nggak ma
u jauh-jauh dari Fifi. Pokoknya nempel terus, sambil pura-pura menulis puisi. Tapi kerlingannya sesekali mampir ke betis Fifi yang lincah berayun ke sana-kemari.
Perahu terus melaju. Anak-anak asyik dengan canda-candanya. Lupus dengan Aji juga asyik duduk di haluan perahu. Menikmati deburan ombak yang menghantam haluan, dan riak-riak permukaan laut yang bagai cincau raksasa. Motor tempel berkekuatan 200 PK, yang dikemudikan pemilik perahu, menderu-deru bagai lagu-lagu Leo Kristi.
Pagi yang indah. Ombak berkejar-kejaran di laut lepas. Burung-burung beterbangan ke udara. Sebentar-sebentar menyelam ke air untuk mematuk ikan. Awan-awan laksana kapas menggelantung di cakrawala.
*** Akhirnya, setelah perahu itu menurunkan sejumlah anak-anak dari aplikasi teknologi dan sosial di Pulau Untung Jawa yang ada penduduknya, Lupus cs yang dari sie biologi, tiga di cagar alam Pulau Rambut. Di sana ceritanya mereka akan menetap sekitar tiga hari untuk penelitian, dibimbing oleh Mas Pras, seorang mahasiswa biologi yang kerjaannya bolak-bolak ke Pulau Rambut. Tampang Mas Pras memang lumayan keren. Itulah sebabnya, kenapa Fifi Alone maksa ikut di kelompok biologi. Kata Fifi, cowok itu mengingatkan dia pada bekas cowoknya yang kini di Amerika. Sedang Lupus malah heran melihat kepalanya yang Cuma leher melulu (abis kurus sih!).
Begitu perahu merapat ke tepi pulau, seorang bapak bertubuh hitam menyambut.
"Ini Pak Laksa, yang menjaga Pulau Rambut. Dan nanti kalian akan menginap di pondoknya. Bapak ini pula yang akan membimbing kalian dalam penelitian!" ujar Mas Pras. Anak-anak satu per satu memperkenalkan diri.
"Dan kalian juga jangan segan-segan bertanya apa saja yang ingin kalian ketahui tentang tingkah laku hewan, karena Bapak ini sangat berpengalaman sekali di sini," sambung Mas Pras. Pak Laksa jadi senyum-senyum meyakinkan. Busyest, mending manis, lagi"
Ditantang begitu, Boim tiba-tiba melompat ke depan dan berkata, "Oke, bapak kan cukup punya pengalaman dalam bidang perpulauan dan tingkah laku hewan. Saya punya satu pertanyaan. Kalau bapak bisa jawab, engkau pasti jenius." Boim diam sejenak sambil memicingkan matanya. "Ceritanya nih, ada seekor monyet yang terdampar di suatu pulau kecil, gersang, terpencil dan dikelilingi oleh buaya-buaya ganas. Nah, bagaimana cara monyet itu keluar dari pulau tersebut untuk mencari makan, tanpa diserang buaya""
Pak Laksa jelas kaget ditanya teka-teki macam begitu. Anak-anak juga mulai memandang keki pada Boim. Terutama Mas Pras.
"Lu kira-kira dong, Im. Masa tanya yang begituan sama Pak Laksa"" sergah Rizal. Ya, soalnya Pak Laksa kan memang tinggal terpencil di pulau itu sendirian. Mana pernah main teka-teki" Udah gitu, dia Cuma bermodalkan pengalaman, es-de juga belum tentu tamat.
"Kalau dia nggak bisa jawab, kalian dong yang jawab!" tantang Boim kepada anak-anak. Anak-anak mulai panas ditantang seperti itu. Mencoba berpikir keras. Tapi nggak ketemu-ketemu.
"Barangkali monyetnya lagi mimpi buruk, jadi ya bangun aja!" sahut Fifi manja sambil menjentikkan debu yang menempel di gaunnya. Sementara Gusur, seniman sableng itu, setia di belakangnya membawa barang-barang milik Fifi yang berjubel.
"Salah!" "Abis apaan dong"" Aji mulai penasaran.
"Kamu kenal sama monyet itu"" tanya Boim lagi.
"Enggak!" "Terus, kamu merasa bersaudara dengan monyet itu""
"Tentu saja tidak! Sialan kamu, Im!"
"Saudara bukan, teman bukan, kenal juga enggak, terus ngapain dipikiri" Monyet orang lain ini!" sahut Boim seenaknya sambil berlalu dari kerumunan anak-anak yang pensaran.
"Wuuuuuu!" anak-anak pun pada ngamuk-ngamuk.
*** Acara pertama hari itu adalah acara pengenalan lingkungan. Anak-anak dibawa keluar-masuk hutan yang medannya lumayan. Keluar masuk rawa-rawa, berjalan-jalan di atas ranting, terbungkuk-bungkuk di bawah rerimbunan pohon yang rendah, atau naik ke atas menara untuk melihat kelelawar tidur dan pemandangan sekeliling. Wah, kamu pasti bisa ngebayangin, si Fifi Alone-lah yang paling repot. Dengan hak sepatu yang tinggi, dan pakaian bak peragawati, dia cukup keki berat dibawa keluar masuk hutan. Ta
pi hatinya girang juga, karena Mas Pras sering menolong menuntunnya. Tinggal Gusur yang cemberut terus-terusan.
Popi, yang dulu pernah jadi ceweknya Lupus dan kini intim dengan Rizal, tampak jalan berduaan paling belakang dengan Rizal. Tapi Lupus sering denger si Rizal. Tapi Lupus sering denger si Rizal membentak-bentak Poppi kalau lagi kepeleset, "Jalannya yang bener dong! Dasar anak manja!"
Poppi Cuma diam sambil berusaha bangkit sendiri.
Sementara Pak Laksa jalan paling depan sambil sesekali menjawab pertanyaan anak-anak yang pada ceweret.
"Jangan pernah takut sama ular atau binatang lain yang buas. Karena tetaplah percaya bahwa sesungguhnya semua binatang itu takut pada manusia. Mereka akan menyerang kalau merasa terdesak atau terganggu. Jadi kalau kalian tidak mengganggunya, kalian tak bakal diserang. Maka berjalanlah dengan hati-hati, jangan sampai mengganggu mereka!"
Di saat istirahat, Fifi sempat-sempatnya bersolek sejenak.
"Duilee si Fifi, sempet-sempetnya bersolek di tengah hutan begini! Sok kece amat sih!" gerutu Boim kesal kepada Lupus yang duduk kecapekan di sebelahnya.
"Lu kalau enggak kece ya nggak usah sewot, Im. Terima aja apa adanya!" jawab Lupus cuek.
Boim cemberut. Sementara Pak Laksa masih menerangkan tentang makhluk-makhluk yang jadi penghuni pulau tersebut. Ada ribuan jenis burung, ada biawak, ular dan binatang laut lainnya.
"Sebetulnya kalau dibilang surga burung, kurang tepat juga. Karena di Cagar Alam Pulau Dua lebih banyak burungnya. Tapi kalau jenisnya, memang banyak di sini!" jelas Pak Laksa. Anak-anak Cuma manggut-manggut aja.
"Nah, ada yang mau tanya lagi"" Mas Pras bicara. "Sebelum kita melanjutkan perjalanan."
"Ada!" seru Fifi Alone mendadak sambil meletakkan bedak ke dalam beauty case-nya, "Ngg... Pak Laksa udah nonton film Menanti Langganan di Pintu Gerbang apa belum" Wah, asyik lho film-nya. Dan kalau mau tau, saya kan yang main sebagai bintangnya!" ujar Fifi sambil mengedipkan matanya.
Sekali lagi Pak Laksa bengong.
*** Hari-hari selanjutnya anak-anak memulai penelitian. Lupus, Boim, Fifi, Meta dan Ita bikin kelompok khusus meneliti burung, sementara sisanya membentuk dua kelompok lagi yang meneliti ular dan biawak. Mereka cukup menderita meneliti tiga hari di pulau terpencil itu. Masalahnya harus bener-bener hemat air, dan makanan. Gusur yang ikutan ngegabung ternyata malah ngabis-ngabisin makanan aja. Soalnya dia itu kalau lagi frustrasi kompensasinya jadi makan melulu. Dan selama di pulau, dia sempet jealous berat geliat Fifi intim dengan Mas Pras.
Sedang Lupus sempat sedih geliat Poppi yang kurang mendapat perhatian dari Rizal. Poppi kebetulan ikut kelompok Rizal bikin tesis tentang ular. Dan Poppi yang kurang biasa berkubang dalam lumpur, sering memerlukan pertolongan. Tetapi Rizal cuek aja. Malah asyik ngocol sama Utari.
"Pus, Pus, tolongin saya dong. Saya kurang ngerti nih sama disertasi yang dijelaskan Bu Sutartinah ini. Kamu tau, nggak"" suatu ketika Poppi datang padanya. Lupus yang dengan kurang kerjaannya lagi meneliti kotoran burung, sempat kaget.
"Lho, emangnya belum didiskusiin dulu sama kelompok kamu""
"Udah, tapi saya kurang jelas. Dan Rizal nggak mau ngulangin lagi. Katanya, yang lain bisa ngerti kok saya enggak. Saya pikir, ngapain ngemis-ngemis ke dia minta penjelasan. Saya kepingin pindah ke kelompok kamu aja, Pus!"
"Wah, kelompok saya udah kebanyakan. Lagian waktu pembagian kelompok di kelas, kenapa kamu milih kelompok si Rizal""
Poppi diam. Lupus jadi kasihan. Dan dia mencoba juga menerangkan apa yang dia tau.
Sore harinya, sekali lagi Lupus cs mengadakan eksplorasi, menerobos hutan sambil ngebela-belain berenang di rawa-rawa. Lupus nggak sempat merhatiin Poppi lagi.
*** Akhirnya semua itu pun berlalu. Mereka kembali berkumpul di pulau Untung Jawa untuk mengadakan presentasi. Lalu acara perpisahan sama penduduk setempat. Wah, biar capek, tetapi acaranya berlangsung cukup meriah. Boim yang bawa gitar, mulai asyik bernyanyi-nyanyi dengan lagu-lagu nostalgianya, nggak peduli sama teks lagunya yang ngaco-ngaco :
"...Selamat tinggal Teluk Bayu
r permai Doakanlah daku di negeri seb raaaaang
Lambaian tanganmu kurasakan pilu di dada
Nantikanlah daku di Teluk Bayur..."
Gusur yang dari tadi diam, tiba-tiba menghampiri Lupus dengan senyum ceria," Pus, Pus, ternyata keikutsertaanku ini ada manfaatnya juga buatku. Aku berhasil menciptakan puisi yang bakal jadi masterpiece. Kamu mau baca" Wah, ini puisi yang paling berkesan buatku, karena aku membuatnya dalam keadaan benar-benar in the mood!"
Lupus mau aja membaca puisi yang disodorkan Gusur :
Hitam burung belibis, oh Tak sehitam alismu Rambutmu panjang bergelombang, oh
Seperti lautan Fifi Alone Jadilah dikau mami dari anak-anakku
Aku termenung siang malam
Wajahmu tak pernah absen dari bayangku
Adakah kaudengar hati ini menjerit
Fifi Alone Jadikan daku papi dari anak-anakmu!
"Bagaimana, Pus" Bagus, kan""
Lupus cuma nyengir, "Yeah, cukup revolusioner!"
"Jadi, boleh kan saya baca keras-keras puisi ini untuk pengisi acara"" mata Gusur bersinar-sinar penuh semangat. Seperti nyala api unggun yang ada di tengah itu.
"Oh, jangan! Jangan, Sur! Puisi kamu memang bagus, tapi alangkah lebih bagus lagi kalau kamu tidak membacakannya di depan umum!" cegah Lupus panik. Soalnya kalau sampai dia nekat ngebaca puisinya, penduduk pulau itu pasti pada panik berat. Dikira ada orang kesurupan.
Tapi Gusur tak peduli. Dia asyik latihan di tempat gelap.
Sementara acara tetap berlangsung meriah. Anak-anak asyik becanda dengan remaja pulau tersebut. Begitu menyatu. Tapi Lupus melihat telaga sepi pada sinar mata Poppi, sementara Rizalnya asyik bercengkerama dengan Svida, Siska dan Sari. Lupus pun menghampiri sambil memberikan permen karet kesukaannya.
"Kamu suka, kan" Saya juga selalu mengunyahnya kalau lagi merasa sepi. Tapi kamu simpen aja dulu, soalnya malam ini anak-anak begitu ramai. Kenapa nggak gabung, bikin tebak-tebakan sableng macam dulu"" kata Lupus.
Poppi tersenyum. Tangannya mengusap air mata yang hendak jatuh. Lupus tak pernah mengerti, kenapa ada orang yang tak menghargai apa yang dimilikinya, sedang orang lain begitu ingin memilikinya.
7. Kantin Mahal dan Jahat
Poppi agak kaget ketika menerima surat ketikan pendek dari Lupus di siang bolong yang panas itu :
"Popi manis, saya ingin bicara empat mata sama kamu. Penting sekali, lebih penting dari perundingan pembatasan senjata nuklir. Kamu mau datang, kan" Oke, saya tunggu di Kantin Mahal dan Jahat, tempat anak-anak biasa ngegosip. Tau, kan" Itu lho, deket-deketnya Swensen cuwek alias es kelapa muda pinggir jalan. Oya, saya ada di sana sekitar jam empatan, Rabu sore tanggal satu April. Jangan sampe enggak datang, ya" Iya.
Lupus" Poppi tercenung. Pelan-pelan dia meletakkan surat yang baru dikirim itu. Pikirannya mulai menerawang ke mana-mana. Tanggal satu April berarti nanti sore. Wah, jadi deg-degan juga. Apa yang mau dibicarakan makhluk aneh itu"
Yah, seperti kamu tau, Poppi dulunya memang pernah intim sama Lupus. Tapi itu dulu, sebelum Lupus kena PHK dan deket sama Rina. Sekarang posisinya kan berbeda.
Dateng nggak, ya" Sekali lagi dibacanya surat itu. Isinya memang cukup singkat. Paling tidak lebih pendek kalau dibanding isi surat cinta Boim yang kadang berlembar-lembar nyaingin cerita bersambung. Wah, Poppi jadi gelisah sendiri. Sibuk menimbang-nimbang. Ada juga rasa keki di hatinya melihat ketidakjantanan Lupus. Kenapa dia selalu bikin rendez-vous di tempat umum" Kenapa dia tidak datang saja ke rumah, dan membicarakan masalah pentingnya di rumah Poppi"
Poppi mengambil boneka Pionkionya yang segede guling, dipandangi berkali-kali. Eh, kok wajahnya jadi mirip Lupus, ya" Tanpa sadar Poppi jadi kegelian sendiri. Sekali lagi dipandanginya lekat-lekat wajah jenaka Pinokio ajaib itu. Eh, masih tetap mirip. Tiba-tiba saja Poppi merasa kangen berat sama Lupus. Pengena ngeledekin rambutnya yang kayak sarang burung, atau gigi-nya yang bolong-bolong. Dan itulah yang menguatkan keinginannya untuk menjumpai Lupus sore harinya...
*** Poppi memandang ke luar jendela kaca. Hujan nampak rintik-rintik. Sementara mangkuk sotonya sudah bersih licin. Tinggal jeruk
panasnya yang masih merana diaduk-aduk. Sesekali dia melirik ke jam tangan. Sudah jam empat lebih, Lupus belum juga datang. Saat itu Poppi memang asyik mojok sendirian di KMJ (singkatan udah pada tau, kan" Kantin Mahal dan Jahat. Ya, dinamai begitu bukan untuk ngeledekin KMB. Tapi di samping makanan di sana harganya memang mahal-mahal, pelayan-pelayannya juga jahat-jahat. Mereka-mereka itu suka pada ngamuk-ngamuk kalau ada anak-anak cewek yang numpang nggosipnya nggak lama. Paling-paling Cuma lima jam. Itu pun karena mereka sudah punya cukup pengertian sama yang punya kantin. Lagian para pelayannya aneh juga. Numpang gosip kok nggak boleh. Mengganggu kesenangan orang aja. Padahal ngegosip itu lebih baik daripada kena gosip. Percaya deh!).
Hujan sudah mereda, dan langit mulai terang. Tapi Poppi nampak semakin gelisah. Rasanya nggak enak berbengong-ria sendirian, sementara yang lain asyik pada nggosip bergerombol-gerombol. Secara iseng, Poppi sibuk menghitungi cowok imut-imut yang lalu lalang di depan kantin. Ada kali barang dua belas biji. Tapi tak seorang pun dari mereka yang berbentuk Lupus. Ke mana anak sableng itu" Poppi mulai kesal. Benar-benar nggak bertanggung jawab! Makinya dalam hati. Perasaan benci yang mulai pupus, kini menggelora lagi. Apa maksud dia menelantarkan aku seperti ini" Dan Poppi pun mulai mengutuki dirinya sendiri, kenapa mau aja disuruh datang ke sini" Atau..., ya ampun! Tiba-tiba dia sadar. Ini kan tanggal satu April, tanggal di mana kita direstui untuk ngerjain orang, alias April Mop" Goblok, kenapa saya bisa-bisanya dikerjai dengan sukses oleh Lupus sialan itu" Poppi mengumpat habis-habisan.
Dengan perasaan dongkol yang membludak, Poppi berjalan keluar dari KMJ. Hatinya kesal bukan alang kepalang. Sampai-sampai semua benda yang berani deket-deket dia, ditendangnya jauh-jauh. Poppi merasa dirinya benar-benar goblok. Tapi dia nggak habis pikir, kok ya Lupus tega bikin April mop-april-mop-an dalam hal-hal yang paling sensitif kayak gini. Apa anak itu sudah kehabisan perasaan untuk bisa merasakan akibat dari perbuatannya ini" Oh, April Mop, betapa kejamnya kamu! Harusnya remaja nggak punya hari perayaan macam gitu. Ngerjain orang, bagaimanapun dalihnya adalah kejam. Paling tidak, lebih kejam dari pada nggak punya duit.
Tanpa setahu Poppi, ada sepasang mata bola eh, mata penuh kecewa menatap kepergiannya. Siapa dia" (Lho kok malah tanya")
"Poppi, tunggu!"
Poppi terkejut dan menoleh. Rina" Benarkah itu Rina yang memanggilnya"
Gadis kecil itu berlari-lari kecil menghampiri Poppi yang terbengong-bengong.
"Pop, saya harus menjelaskan ini sama kamu...," ujar Rina tergagap.
Poppi belum hilang rasa kagetnya. Ngapain Rina tiba-tiba nongol di sini" Perasaan nggak enak dan curiga mulai timbul. Apa ini juga kerjaan si Lupus" Sialan bener tu anak!
"Poppi, saya harus ngomong sesuatu sama kamu. Mau nggak kita balik ke kantin situ dan ngomong-ngomong sebentar"" pinta Rina setengah maksa. Poppi nurut aja sambil masih bingung. Mereka kembali masuk ke KMJ. Seorang pelayannya sempat gahar juga geliat Poppi yang balik lagi. Rina nampak gelisah. Itu bisa terlihat jelas dari kepangnya yang piknik ke mana-mana.
"Sebelumnya, saya moho, kamu jangan marah, ya"" Rina mulai cerita ketika sudah duduk di pojokan dekat jendela besar. Degup jantung Rina belum lagi tenang. Masih dag-dig-dug-dag-dig-dug. Sementara pelayan yang judes datang menghampiri. Mereka memesan es alpukat dua (eh, di KMJ ini memang nggak pake sistem self-service kok!). "Saya benar-benar nyesel dengan kejadian ini. Saya telah membuat kamu kecewa..."
"Apa maksudmu""
Rina nggak langsung menjawab. Matanya juga nggak berani menatap mata Poppi. Hanya tanganya yang masih nekat memain-mainkan tisyu yang tersedia di meja.
"Sebetulnya... ini semua adalah kesalahan saya. Saya minta maaf. Saya bener-bener menyesal. Sayalah sebetulnya yang mengirim surat untuk mengundang kamu ke sini..."
"Apa"" Poppi terbelalak.
"Tuuh, kan kamunya marah."
"Iya, tapi apa maksudmu berbuat begitu" Mau bikin April Mop, ya" Saya kasih tau aja, ya, April Mop kamu berhasil dengan
gemilang. Tepatnya, saya merasa kena tipu!"
"Sabar, Pop, nggak ada April Mop-april mopan dalam hal ini. Sungguh, saya tadinya bermaksud baik. Kamu harus tau, Pop, Lupus sebenarnya masih sayang sama kamu. Jangan protes dulu, saya punya bukti-bukti. Saya tau sekali. Selama ini dia sering ngomongi kamu ke saya. Memang, Lupus nggak bikin saya sebagai pelampiasan. Dia anak baik kok. Tapi dia nggak bisa bohong kalau dia masih sayang sama kamu. Udah aja saya langsung niat mau nyatuin lagi kamu sama Lupus. Biar kamu-kamu bisa bahagia. Saya puter-puter cari akal, akhirnya saya dapat ide. Mau mempertemukan kamu sama Lupus di sini. Makanya saya nulis surat ke kamu dan Lupus dengan harapan nantinya bisa saling ketemu. Tapi ternyata..." Rina tak meneruskan ceritanya.
Beberapa saat Poppi terdiam. Kemudian berkata dingin,"Seharusnya kamu nggak usah melakukan ini."
"Tapi saya bermaksud baik. Saya nggak nangka kalau ternyata Lupus nggak mau datang. Saya udah siap-siap mengintai dari kejauhan. Tapi ternyata dia nggak datang. Saya nyesel banget..," kata Rina lirih. Tampangnya sedih. Dia bener-bener nggak ngerti, kenapa Lupus nggak mau ketemu Poppi" Apa dia memang nggak suka lagi" Atau, suratnya memang nggak nyampe" Atau begitu cerdiknyakah dia sampe nggak bisa dibohongi dengan surat tipuan Rina" Wah, kenapa akhirnya jadi berantakan kaya gini"
Poppi berdiri, "Sudahlah, lupakan saja niat kamu yang baik itu. Nggak ada gunanya. Lupus sudah bahagia sama kamu."
"Poppi"" Rina jadi nggak enak. Tapi dia toh tak bisa menahan Poppi lebih lama lagi. Sebelum pergi, Poppi sempet senyum dikit yang dibalas kaku oleh Rina. Oh, God, kenapa jadi begini"
Rina begitu nggak enak ketika Poppi buru-buru meninggalkan meja dan mencari taksi pulang. Rina merasa amat bersalah.
*** Beberapa hari kemudian, Poppi dapet surat lagi. Kali ini bukan ketikan, tapi tulis tangan. Dari siapa" Siapa lagi yang punya tulisan sejelek anak TK baru belajar nulis kalau bukan Lupus" Mau apa lagi anak itu" Batin Poppi. Sakit hatinya masih kuat membekas karena peristiwa beberapa hari yang lalu itu. Langsung aja surat itu dilemparkan ke lantai. Dan dengan malas direbahkannya tubuhnya di tempat tidur. Ya, sudah tiga hari ini Poppi nggak masuk sekolah. Alasannya sakit. Mami-papinya sih percaya aja. Soalnya Poppi pasang muka pucat waktu merajuk nggak mau masuk. Sang dokter pribadi aja habis dikerjain, karena bolak-balik memeriksa, tapi tak menemukan penyakit apa yang ngendon di tubuh Poppi. Akhirnya doi nyerah dan Cuma ngomong gini, "Nona hanya perlu istirahat total. Mungkin nona terlalu letih." Hehehe..., itu yang diharapkan Poppi. Dia memang pengena tidur-tiduran aja untuk ngilangin rasa sebel ngeliat tampak si jelek Lupus.
Dan sekarang ada surat dari Lupus. Itu jelas bukan kerjaannya si Rina lagi, karena Poppi apal betul tulisan tangan Lupus. Apalagi yang mau diomongi anak itu" Eh, kok jadi penasaran" Maka setelah nengok ke kanan-kiri (takut ada yang ngintip), dengan semangat 45 ditomproknya surat itu. Sret, brek, bruk, langsung dibuka :
"Halo Poppi, saya ini si gembala sapi..., eh salah. Saya ini Lupus. Ceritanya saya protes berat buat kamu yang telah ngerjain saya dengan sukses di April Mop kemarin. Ide kamu memang konyol, bikin saya keki setengah mati. Bayangin aja, setengah tiga saya udah nongkrongin, tu kantin (yang deket sekolahan, kan"), sambil nyamar jadi tukang ngamen, pake topi, kaca mata ceng-dem (seceng tapi adem) trus bawa gitar. Tadinya mau bikin suprise ke kamu. Tapi kamunya nggak dateng-dateng. Padahal sudah satu album Kwin (baca: Queen!) saya nyanyiin. Sampe ada cewek-cewek manis yang bisik-bisik sama temennya, Eh, pengamennya kece, ya" Hehehe..., asyik nggak tuh! Hari itu saya jadi dapet duit banyak sekali.
Tapi nggak apa-apa deh. Itung-itung amal buat nyeneng-nyenengin hati kamu. Salam kompak aja deh buat kamu.
Oiya, sekarang giliran ngasih kabar tentang saya, ya" Si Lupus masih tetap manis kok (eit, dilarang protes! Buktinya di kamar saya suka banyak semut. Itu kan tandanya ada anak manis di dalemnya, he he he). Dan poninya masih bikin mata kelilipan ter
us, sementara ni bibir masih suka kiwir-kiwir kalau kebanyakan ngoceh. Melambai-lambai kayak bendera. Oya, saya ada tebakan. Apa bedanya anak yang punya unyeng-unyeng satu dengan yang punya unyeng-unyeng dua" (eh, tau unyeng-unyeng kan" Itu lho pusaran rambut yang ada di kepala!)
Udah ya, tulisannya udah makin jelek. Abis ngantuk berat nih, udah malam. Dag!
Salam sebel, Lupus" Ada perasaan sejuk yang menyelinap di hati Poppi, ketika dia menutup surat itu. Ada rasa rindu. Pelampiasannya, boneka Pinokio jadi korban. Dipelototin abis-abisan. Tidak, Lupus tidak bersalah dalam hal ini. Tapi Rina-nya aja yang kurang selidik. Istilah KMJ hanya ada pada kamus anak-anak cewek. Sebagian besar nongkrong di KMJ memang cewek. Soalnya, anak-anak cowok macam Lupus, mana suka nongkrong di kantin yang mahal dan jahat itu" Mereka lebih suka nongkrong di kantin-kantin biasa, atau warteg yang murah.
Jadi, mana Lupus tau kalau KMJ yang dimaksud itu adalah kantinnya Bu Miranda yang Jalan Kemuning itu" Makanya Lupus salah dateng. Anak itu suka sok yakin sih!
Dan sorenya, Poppi menelepon Lupus.
"Halo, Lupus""
"Iya, Poppi, ya""
"Tul. Saya mau ngebilangin soal April Mop itu..."
"Saya udah tau dari Rina. Sori juga deh."
"Ya, udah. Soal tebakan kamu itu, jawabnya saya bisa. Yang punya unyeng-unyeng dua itu tandanya anak nakal. Sedang yang unyeng-unyeng satu, nggak nakal."
"Belum tentu. Buktinya saya meski unyeng-unyengnya dua, tapi nggak nakal. Baik hati, malah!"
"Maunya! Abis jawabannya apa""
"Sederhana kok. Anak yang unyeng-unyengnya dua tandanya punya unyeng-unyeng lebih banyak daripada anak yang punya unyeng-unyeng satu. Iya, kan"
Poppi keki. Lupus cuma ngikik.
Kemudian Poppi berkata pelan. Agak malu-malu, "Pus, saya pingin ketemu kamu. Boleh nggak" Tapi jangan di sekolahan."
"Boleh, boleh. Saya juga pingin."
"Kapan ni" Kamu suka sok sibuk terus sih!" ujar Poppi lagi.
"Ya..., kapan-kapan kamu ke rumah aja. Kalau kebetulan nggak ada, susul aja ke kantor redaksi. Siapa tau juga nggak ada..."
Poppi membanting telepon dengan keki, sementara Lupus berteriak-teriak dengan ributnya di ujung sana.
8. Cokelat yang Hilang KADANG mimpi memang bisa jadi kenyataan. Nggak percaya" Buktinya baru semalam Lulu mimpi berantem sama Lupus, paginya ternyata Lulu terbangun dengan satu tendangan tak berperikemanusiaan dari Lupus. Wah, tega sekali tu anak! Langsung aja Lulu ngamuk-ngamuk, "Apa-apaan nih" Pagi-pagi udah ngajakin perang!"
"Kamu nyolong cokelat saya, ya" Ayo..., ngaku aja!"
"Enak aja nuduh sembarangan!"
"Abis siapa lagi kalau bukan kamu" Bukti-bukti cukup kuat. Tadi malam kan saya masukin ke kulkas sekitar jam sebelas. Terus saya tidur, tapi sekarang cokelat tersebut sudah lenyap tanpa bekas. Pasti kamu yang nyolong!"
"Sembarangan aja. Kamu tau kan, jam sepuluh saya udah tidur duluan. Sampai sekarang ini. Jadi mana sempet saya nyolong cokelat kamu!"
"Abis siapa lagi""
Lupus benar-benar bingung. Padahal Minggu pagi ini Lupus udah janjian mau joging bareng Poppi di senayan. Dan Lupus semalem udah bela-belain beli cokelat mahal untuk dikasihi ke Poppi. Tapi, sekarang cokelat itu lenyap. Kecurigaan memang langsung jatuh pada adiknya, Lulu. Abis tu anak termasuk makhluk nakal yang doyan cokelat. Sama seperti Lupus. Tentu saja tuduhan tadi beralasan. Apalagi di rumah lagi nggak ada siapa-siapa. Tapi karena nggak punya bukti-bukti, Lupus Cuma bisa kesel aja. Apalagi ketika dia dengan cueknya kembali menarik selimut, dan asyik meringkuk lagi.
Lupus keki berat. Lalu dengan perasaan gundah, dia mengambil sepatu kets dan sepeda balapnya. Di luar udara dingin menggigit. Embun membeku di pucuk-pucuk daun. Sangat sejuk. Kodok-kodok yang semalam asyik ber-zoolook-ria, kini tertidur dengan manisnya. Hanya burung-burung yang ribut berkicau-kicau.
Senayan pun turut ramai dengan kicauan anak-anak yang sibuk berolah raga. Lupus mengayuh sepedanya lebih lambat, sambil mencari-cari Poppi. Mereka janjian di dekat anak-anak yang biasa senam. Tiba-tiba Lupus merasakan sepedanya agak berat. Secara refleks dia menoleh, dan mendapatkan Poppi lagi asyik
berpegangan di belakang sepeda Lupus dengan sepatu rodanya.
"Hayo, ngaret lagi ya" Katanya jam setengah enam udah sampe sini."
"Bukan gitu, Pop, saya udah bangun dari jam lima kok.."
"Tapi kok telat""
"Abis ketiduran lagi!"
"Hu... mendingan nggak usah ngomong!" Poppi merajuk manja.
"Abis saya pulangnya kemaleman. Dari rumah kamu, saya keabisan bis. Nunggu omprengan lama banget, sampe mitnait. Kasihan deh nyokap saya sampe jam satu malam belum bisa tidur." Lupus kumat gilanya.
"Kenapa memangnya, nungguin kamu yang nggak pulang-pulang, ya"" Poppi penasaran.
"Bukan! Kebetulan doi dapat tugas ronda malam dari Pak Erte. Yah, namanya aja mau Pemilu. Keamanan kan mesti terjaga!"
Poppi cemberut. Lupus lalu menaruh sepeda deket mobil Poppi, dan selanjutnya asyik lari-lari keliling lapangan. Poppi mengejar dengan sepatu rodanya. Mereka jadi asyik balapan. Sejenak Lupus teringat pada cokelatnya yang hilang, yang seharusnya sekarang bisa dikasih ke Poppi. Kalau sekarang cokelatnya ada, pasti Poppi udah kegirangan. Uh, Lulu memang kebangetan. Awas aja nanti!
*** Jam delapan, Poppi sempat mampir sebentar ke rumah Lupus. Minum-minum dikit, (tapi nggak sampe mabok lho - yang diminum kan Cuma air kulkas), dan langsung say good bye, karena siannya Poppi harus nganterin nyokapnya ke supermarket.
"Daaaag!" teriak Lupus dari kejauhan. "Nanti kalau udah sampe sering-sering kirim wesel ya!"
Poppi kontan menjulurkan lidahnya
Dan ketika Lupus masuk, dendamnya pada Lulu yang saat itu lagi asyik senam pagi sendirian kumat lagi. Belakangan ini Lulu memang lagi giat-giatnya senam pagi. Biasa, anak baru gede. Lagi semangat-semangatnya ngebentuk badan, bair nggak keliatan gembrot. Makannya aja sekarang mulai dibatasi. Nggak kayak dulu yang nafsu makannya rada gila-gilaan, sampe-sampe jatah Lupus pun suka kena sikat. Baru belakangan ini Lulu sadar, kalau punya nafsu makan gila-gilaan macam seniman sableng Gusur bisa membahayakan. Doi jadi cemas, takut nantinya ketularan gembrot kayak Gusur dan disirikan kucing-kucing. Iya, Gusur ini kalau belum puas makan dua piring - jatah kucing suka diambil juga. Cuma aja Lulu rada salah, sebab cara satu-satunya mengurangi nafsu makan bukan dengan senamp - tapi kesadaran.
Toh Lulu tetap rajin senam. Katanya sendiri, wajahnya kini udah lebih kece dibanding hari-hari sebelumnya. Dia memang lagi memendam cita-cita muluk. Mau main film lanjutan Return to Eden episode kesekian sebagai Stephanie kena kutuk. Hehehe, ya kita sih cuma bisa mendoakan aja semoga berhasil. Namanya aja orang usaha, kan boleh.
Dan si Lulu manis kini sudah selesai senam. Sebentar kemudian dia mulai sibuk melap keringat yang mengucur segede-gede jagung di sekitar leher. Lalu dengan cueknya dia melempar handuk bekas lap keringatnya, dan mendarat dengan manisnya di wajah Lupus. Busyek banget! Lupus kontan ngamuk-ngamuk.
Dasarnya memang lagi sebel, sore hari sepulang dari bersepeda-ria keliling kompleks, dia punya niat mau ngerjain Lulu. Kebetulan Lulu lagi nggak ada di rumah, maka Lupus cepat-cepat membungkus sebatang broklak (itu lho, obat cuci perut yang bentuk maupun rasanya rada-rada mirip cokelat. Udah pernah nyoba" Coba aja kalau mau!). Dan bungkus broklal itu lalu ditaruh di dalam lemari es, siapa tau nanti diembat Lulu. Jahat memang niatnya, tapi lantaran hatinya udah kesel berat-terpaksa Lupus menghalalkan segala cara. Anak nakal macam Lulu sekali-sekali memang perlu dikerjai. Biar tau rasa!
Maka setelah cokelat gadungan tersebut terbungkus rapi. Lupus langsung pura-pura main ke rumah tetangga. Ngomong-ngomong sebentar, lalu asyik tertidur. Mungkin kecapekan abis muter-muterin kompleks. Mungkin juga memang dasarnya tu anak keluk banget, maunya tidur melulu nyaingin kus-kus.
Dan di dalam pulesnya Lupus sempat mimpi juga tentang Lulu. Dalam mimpinya geliat Lulu yang bolak-balik terus ke kamar mandi. Sebenta-sebentar meremas perutnya yang mules. Dan ke kamar mandi lagi. Lupus tau, semua itu akibat ulah broklak yang dimakan Lulu. Berarti cokelat gadungannya yang ditaruh di lemari es, udah disikat Lulu. Syukurin, akhirnya ken
a batunya juga tu anak! Kini Lupus merasa dendamnya benar-benar terpenuhi. Dan dia pun bisa tidur dengan asyiknya sambil meringkuk ria.
Tapi ketika jauh malam, dalam mimpinya Lulu masih menderita dengan rongrongan keluar masuk kamar mandi, sebagai kakak yang manis, di hati Lupus mulai terbit rasa kasihan. Yah namanya aja sodara, sejahat-jahatnya, Lulu dia kan masih adik Lupus juga. Satu engkong satu pembantu. Apalagi ketika dari balik lobang pintu, dia melihat betapa memelasnya wajah Lulu. Tampangnya yang biasanya bersinar-sinar sumringah, kini berubah kelabu. Seakan menyimpan sejuta derita. Yang kalau menurut versi seniman sableng Gusur, tersecam dalam selaksa petaka.
Belakangan Lupus mulai kasihan. Rasa penyesalan pelan-pelan merambati hatinya. Lebih-lebih saat menatap Lulu yang terbaring lemah dengan wajah pucat bagai mayat di tempat tidurnya. Bibirnya yang tadi merah, kini juga membiru.
"Lu..., kamu nggak apa-apa kan, Lu""
Lulu tak menjawab, hanya matanya yang menatap kosong.
"Lu.. nyebut, Lu... nyebut! But... but.. but.. gitu!"
Lulu tetap diam. Lupus mulai panik. Lalu berteriak-teriak memanggil maminya.
"Pus..., bangun Pus. Kamu kenapa kok jadi senewen gitu"
Tubuh Lupus terguncang-guncang, dan ketika tersadr, Candra berdiri di sampingnya dengan wajah keheranan. Eh, tadi mimpi, ya"
"Mandi dulu, Pus. Udah lewat Isya."
"Ha, jam berapa sih""
"Delapan." "Gile, gue cabut dulu, ya" Trims atas mimpinya..."
"Mimpi apaan>"
Lupus tak menjawab. Dia langsung ngibrit ke rumah. Untung tadi Cuma mimpi. Coba kalau beneran, betapa kasihannya Lulu. Masak cuma karena gagal ngasih cokelat ke Poppi, jadi tega bikin menderita adik sendiri yang Cuma satu-satunya.
Begitu sampe rumah, Lupus langsung menuju ke lemari es. Menyelamatkan broklak jebakannya. Tapi alangkah kagetnya, begitu dibuka ternya cokelat gadungan itu sudah lenyap tanpa bekas. Lupus langsung lemas. Berarti mimpi tadi sudah jadi kenyataan, Lulu benar-benar menyikat broklak itu. Ah, Lulu malang, betapa kasihannya kamu!
"Bu..., Bu..., Lulu ke mana"" Lupus bertanya panik.
"Barusan pergi sama Suli. Katanya mau belajar bersama!"
Wah sukses berat deh penderitaannya! Lupus langsung ngebayangin, betapa tersiksanya Lulu yang terus-terusan mondar-mandir ke kamar mandi. Gawatnya tu anak pake acara pergi-pergian segala lagi. Bagaimana kalau mendadak perutnya ngadat di jalanan" Wah, alangkah repotnya. Lupus juga khawatir, jangan-jangan penderitaan Lulu ternyata sama seperti kisah dalam mimpinya. Pake acara pingsan segala!
"Lulu belajarnya di mana sih, Bu"" Lupus makin cemas.
"Di rumah Suli kali. Memangnya kenapa sih" Kok tumben kamu nanya-nanyain Lulu terus""
"Ah, enggak ada apa-apa. Oya, Lupus mau ke depan dulu ya, bu. Ada yang mau dibeli. Ntar pulangnya sekalian ngejemput Lulu."
"Lho, mau apa" Lulu enggak minta dijemput kok. Katanya mau diantar Suli."
"Biar deh, Lupus aja yang jemput."
"Hm.., Ibu jadi curiga. Jangan-jangan kamu memang pengena kenal sama Suli, ya" Anak itu memang manis kok!"
Lupus cuma mesem. *** "Ngapain sih kamu ngejemput saya"" Lulu sewot ketika Lupus tiba-tiba muncul dengan sepeda balapnya di rumah Suli. Duile, tu anak galaknya enggak ilang-ilang. Belum tau apa sebentar lagi broklak yang dilahapnya bakal bereaksi.
"Belajarnya aja belon juga dimulai, kamu pulang aja deh!" Lulu ngotot lagi.
"Lho, dari tadi kamu pada ngapain aja""
"Tadi kan baru tahap pemanasan. Biasa, nggosip dulu."
"Setelah itu baru belajar"" tanya Lupus antusias.
"Belon tentu, jangan nuduh dong!"
"Dasar! Jadi pulangnya kapan""
"Masih lama, pokoknya kalau bibir kita-kita ini belon pada item ngegosip - belon mau pulang deh. nanti juga dianterin supirnya Suli. Udah kamu minggat aja dulu!"
"Sialan! Tapi beneran ya, kamu pulangnya diantar pake mobil""
"Iya, kenapa sih, kok tau-tau kamu jadi aneh begitu""
"Ah, nggak apa-apa. Saya Cuma khawatir, siapa tau aja nanti pas perjalanan pulang tiba-tiba aja kamu sakit perut. Tapi kalau memang dianterin sh, nggak apa-apa. Oya, ogut pulang dulu ya. Salam aja sama keluarga Suli termasuk pembantunya. Dan ini tadi waktu ogut isengiseng lewat toko, sempet beli cokelat dua batang. Mau""
Lulu menatap heran ke arah Lupus. Lho, kok tumben Lupus baik banget.
"Jangan curiga, ini cokelat beneran kok. Yuk, slamet belajar deh. Mudah-mudahan aja kamu pada terlanjut pinter. Kan lumayan tuh buat nyuci-nyuci piring!" tukas Lupus.
"Lho, apa hubungannya!" Lulu keki.
"Cari aja sendiri!"
Lupus lalu meninggalkan Lulu yang masih terbengong-bengong melihat tingkah anehnya. Ya, Lupus berbuat begitu karena dia ingin menebus dosa. Bener-bener dia nyesel, tadi sore sempet ngerjain Lulu dengan broklaknya. Mudah-mudahan aja broklak yang dimakan Lulu reaksinya nggak begitu hebat.
*** Pagi hari, Lupus terbangun ketika Lulu menarik-narik kakinya. Jendela kamar sudah terbuka, sehingga udara sejuk menerobos masuk.
"Bangun, Pus, itu ogut bikinin roti."
Lupus masih setengah sadar, setengah mimpi.
"Ng..., saya mau ngaku dosa nih, Pus."
"Kok pagi-pagi amat""
"Biarin. Soalnya cokelat kamu yang malam minggu itu ternyata memang bener saya yang makan. Sori, waktu itu saya bener-bener nggak sadar. Saya lagi ngigo. Saya terbangun tengah malam, dan secara nggak sadar berjalan ke kulkas dan makan cokelat kamu sampe abis..."
"Ha" Bo ong! Ngigo kok sempet-sempetnya makan cokelat sampe abis satu batang""
"Itulah, saya kalau ngigo memang suka rada aneh. Maklum aja, ngigo saya tuh lagi lapar berat. Tapi saya harus ngaku ke kamu tentang dosa yang satu ini. Soalnya ternyata kamu baik. Malah bela-belain jemput ke rumah Suli cuma mau ngasihin cokelat. Kamu lagi banyak duit, ya""
"Sebetulnya sih enggak..., eh, apa tadi malem kamu nggak sakit perut""
"Enggak, memang kenapa""
"Apa kamu nggak nyolong cokelat saya lagi, waktu minggu sorenya""
"Enggak! Sembarangan aja nuduh!"
Lupus kaget. Lho, jadi siapa yang makan cokelat palsu itu" Jangan-jangan sang mami tersayang" Langsung aja Lupus lari ke kamarnya.
Tapi ternyata ibunya juga enggak makan. Jadi siapa""Oya, Ibu sampai lupa. Kemarin sore, ada temen kamu yang main ke sini ke sini lho, Pus. Siapa tuh, yang perutnya gendut dan enggak begitu kece. Katanya sih ada urusan penting!"
Lupus langsung bisa menebak, enggak kece, gendut... pasti Gusur.
"Ya, dia nungguin kamu lama juga. Sampe minta-minta minum segala. Ibu suruh ambil sendiri aja di kulkas. Sudah gitu, kayaknya dia sibuk ngaduk-aduk isi kulkas. Tampangnya sih lagi laper berat. Nggak lama, terus dia pamit pulang sambil mulutnya sibuk komat-kamit. Ibu khawatir jangan-jangan bawang buat catering dia makan!"
Mendengar cerita maminya, Lupus kontan terbahak-bahak. Di benaknya terbayang Gusur yang sibuk bolak-balik ke kamar mandi. Sebab siapa lagi yang nyikat broklaknya, kalau bukan dia. Rakusnya kan enggak ketulungan, sampe-sampe odol aja dimakan.
Pagi harinya, sambil berngingsot-ria Lupus sigap berkemas-kemas berangkat sekolah. Dia jadi pengena banget ketemu si Gusur. Pasti anak itu udah sedikit langsing. Paling enggak beratnya bakal turun dua kilo lah.
Dan ketika sampai di sekolah, Lupus memang menjumpai Gusur yang lagi tercenung sendirian. Wajahnya pucat pasi, kondisinya kelihatan lemes banget. Dan yang paling gawat, Gusur kelihatan begitu enteng.
Lupus kontan terbahak-bahak, tidak bisa lagi menahan ketawanya yang meledak!
9. Tragedi Sinemata BERITA bahwa Lupus bakal diajak main film, memang cukup menggemparkan teman-teman sekolahnya. Apalagi teman-teman dekatnya macam Fifi Alone, Boim, Aji, Gito, Gusur, Meta, Ita, dam Utari. Soalnya, rencananya, Lupus juga mau mengajak teman-teman dekatnya itu untuk ikutan terlibat. Gimana nggak surprise"
"Kamu serius, Pus"" tanya Fifi antusias
"Serius kok. Kebetulan sang produser PT Cuwek Bebek Film kenalan bos saya di Hai. Dan ketika dia butuh pemeran pembantu untuk film dia yang bertemakan remaja, si Bos langsung nawarin saya main. Dan karena butuh orang banyak, saya pun disuruh nyari temen-temen lain yang mau ikutan main."
Suasana sekolah pun jadi ramai. Ini karena ulah Fifi Alone yang nggak bisa ngebendung emosi dan langsung cerita ke semua orang. "Ike khawatir, jangan-jangan bintang utamanya jadi kesaing gara-gara ike ikutan jadi pe
meran pembantu...," celotehnya.
Anak-anak kelas lain pun jadi pada sirik.
"Produsernya kesantet apa sih, kok ya tega-teganya mereka diajak main film. Apa nggak takut rugi"" ejek seseorang.
"Tapi bener lho mereka bakal main film," bela yang lain.
"Ah, mustahil. Main topeng monyet sih mungkin!"
"Saya lihat sendiri, mereka sudah mulai latihan di aula sekolah saban pulang sekolah."
"Atraksi topeng monyet kan juga perlu latihan!"
Tapi berita itu hampir mendekati kebenaran ketika besoknya Lupus dipanggil sang produser untuk diajak ngomong-ngomong. Tadinya Lupus mau berangkat sendiri, biar di sananya nggak kacau. Tapi Gusur maksa ikut. Akhirnya mereka pergi berdua.
"Gimana, Pus" Mau serius ain"" tanya sang produser ketika mereka bertemu. Sementara si Gusur masih menunggu di luar, nunggu dipanggil.


Lupus Tragedi Sinemata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lupus pun tersenyum malu-malu. Sang sutradara, yang ikutan hadir, ikut tersenyum.
"Temen-temen yang lainnya mana" Kok nggak diajak""
"Eh, saya kira saya disuruh menghadap sendiri. Sori deh. tapi saya bawa contohnya satu biji. Sekarang lagi nunggu di luar. Mau liat"" sahut Lupus.
"Lho, kok nggak disuruh masuk" Siapa namanya""
"Gusur. Saya panggil, ya"" Lupus langsung berdiri, dan berteriak-teriak ribut, "Suuur, Gusuuuur, kamu boleh masuk. Udah aman!"
Wajah Gusur yang nggak kece muncul dari balik pintu, "Daku datang, Pus."
Lalu berjalan menghampiri mereka.
"Ini salah satu contoh, Mas. Meski agak lecek, ya lumayan lah buat peran jadi penjaga pintu kereta...," ujar Lupus memperkenalkan.
Sang produser pun sibuk senggol-senggolan dengan sang sutradara. Sambil berbisik, "Nggak salah nih" Kok yang beginian yang dibawa""
"Eh, gini-gini juga dia pernah mau ikutan lomba coverboy majalah Mode, Mas, " sahut Lupus seperti mendengar bisikan produser. "Tapi nggak boleh sama saya. Soalnya takut, nanti kalau menang dan wajahnya sampai terpampang di cover, oplag majalahnya bisa anjlok. Nggak laku."
Gusur ngamuk-ngamuk. "Oke deh, besok kamu dan temen-temen kamu ke sini aja lagi. Tapi agak pagian, biar bisa sekalian latihan, dan dicatat nama-namanya. Soalnya sekarang pegawai kantor sudah pada pulang," ujar si produser.
Lupus mengangguk. Gusur ikut-ikutan.
*** Besoknya rame-rame mereka menumpang mobil Gito menuju kantor PT. Cuwek Bebek Film. Meta, Ita dan Utari nggak mau ikutan sebab satu dan lain hal (mereka ini memang tipe idealis yang lebih suka belajar daripada gila-gilaan macam gitu!). Jadi yang ikutan cuma Lupus, Boim, Gusur, Aji, Gito, Fifi Alone dan Ruri. Nggak ketinggalan Mas Wedha, sang tukang gambar, minta dijemput di kantornya. "Sali-kali aja ada peran buat saya, meski udah setengah uzur," kilahnya.
Lupus sih oke aja. Kasihan.
Di jalan mereka sibuk bercanda, bersuka-ria, sambil main tebak-tebakan. Nggak sadar, sampe mobil Gito mulai memasuki pelataran parkir PT. Cuwek Bebek Film yang butut dan sempit.
"Kok kantornya butut amat"" cetus Fifi Alone sambil merapikan roknya, ketika turun dari mobil.
"Di mana-mana kantor film emang butut kok," jawab Wedha.
Anak-anak pun berduyun-duyun menaiki tangga ke lantai empat. Sempet juga kena bentak penjaga yang nungguin di dekat pintu masuk, "Eh, eh, pada mau ngapain nih""
"Belum tau, ya, kita ini calon bintang film yang dipanggil produser. Mau minta tanda tangan" Sekarang-sekarang aja deh, nanti kalau ike udah ngetop susah lho dihubungi," jawab Fifi Alone cuek.
Sang penjaga Cuma bengong.
Satu-satu, mereka pun memasuki ruang kantor. Sekretarisnya iseng-iseng meneliti wajah mereka yang masuk satu per satu. Dia emang udah terbiasa kedatangan bintang film tenar. Tapi yang ini" Pertama Lupus masuk. Biasa-biasa aja. Lalu menyusul Aji, samaan. Wedha, es te we. Boim, enggak kece. Ruri sama. Fifi, enggak kece. Enggak kece. Enggak kece.
Wah, mungkin yang paling belakang kece, harap si sekretaris sambil matanya jelalatan. Dan ia nyaris pingsan begitu yang nongol paling belakang adalah seniman sableng Gusur.
"Yak, kita langsung aja ke gedung latihan," sambut sang sutradara ketika anak-anak belum lagi sempat menarik napas lega setelah ngos-ngosan menaiki anak tangga yang tinggi.
"Bilang kek dari tadi, kita kan bisa menunggu aja di bawah," gerutu Lupus cs sambil turun lagi ke bawah.
Sutradaranya cuma cengar-cengir aja.
Mereka pun menuju ke gedung latihan yang terletak di seberang jalan. Sempet juga menaiki tangga ke lantai dua.
"Ntar kalau sampe atas disuruh turun lagi, wah - salam kompak aja deh!" ancam Lupus sambil berbisik ke Wedha yang ketawa ngikik.
Setelah sang sutradara memberikan briefing sejenak, maka mereka pun mulai latihan. Dan jangan kaget kalau Boim yang melatih mereka saat ini. Soalnya jelek-jelek ternyata Boim punya segudang pengalaman berteater di kampungnya. Biasanya dia suka main lenong untuk acara tujuh belas agustusan.
Tapi yang namanya Lupus cs, biar sang sutradara ada di situ, mereka tetap nggak bisa berlatih serius. Bercanda melulu. Datangnya dari penyair gagal Gusur yang sejak semula udah bawa celana training tambalan khusus buat latihan. Bujubune deh, udah pada bolong-bolong dimakan tikus. Anak-anak jadi pada ketawa. Tapi Gusur dengan cueknya malah asyik menggerak-gerakkan badan. Memamerkan ketiak ke segala penjuru. Tinggal anak-anak yang balap-balapan bersin.
"Tarik napas pelan-pelan, dan tereak sekeras-kerasnya, HEAA!" Boim memberi perintah. Anak-anak pun asyik berteriak-teriak, membuat shock sang sutradara.
Hari-hari selanjutnya mereka pun terus berlatih.
Boim paling serius. Soalnya diam-diam dia menyimpan sejuta harapan. Mengharukan sekali. Kalau honor main film nanti sudah di tangan, Boim mau ganti motor bututnya dengan yang baru. Ia juga janji ingin bikin kambing guling, kalau rencana menggaet Svida - cewek kece yang iincernya dari dulu - berhasil.
"Yah, setidaknya kalau film sudah beredar, dai pasti akan tau siapa saya. Dan hanya orang gila yang menolak cinta seorang bintang film, " Boim berkata pelan. Penuh harapan.
Kisah mengharukan juga terdengar dari mulut Gusur. Katanya engkongnya udah bikin sedekahan di er-tenya dalam rangka memperingati Gusur yang bakal main film. Sang engkong bilang, doi ternyata nggak sia-sia ngebesarin si Gusur yang nafsu makannya bikin defisit anggaran belanja negara, soalnya toh nanti bakal jadi bintang film.
"Dan daku punya target tiada terlalu berlebihan. Paling tidak menyabet piala Citra sebagai pemeran pembantu terbaik di FFI mendatang," ucap Gusur enteng.
Fifi juga termasuk makhluk yang paling berbahagia dengan kejadian ini. Tau sendiri, dari kecil dia emang ngidam pengena jadi bintang film. Dan kejadian ini seperti a dream comes true aja baginya. Terbukti dengan dilaporinya semua instansi tentang rencananya main film. Termasuk tetangga kanan kiri yang semula cuek-cuek aja. Papi dan mami Fifi pun langsung meneleks berita bahagia itu ke udik, tempat opa dan oma Fifi bermukim. Khabar terakhir yang diterima mami Fifi, sang opa langsung potong bebek angsa... eh, potong bebek enam biji tanda syukuran.
Sementara Gito juga punya rencana ngebetulin mobilnya yang hobi mogok, kalau udah terima honor. Aji paling nggak macem-macem. Pengena traktir ceweknya ke taman mini. Sedang ruri rencananya mau operasi plastik biar bisa kayak Stephanie.
Lupus sendiri diam-diam juga mau bikin kejutan sama maminya. Mau ngebeliin kaca mata baru, supaya nggak salah-salah lagi kalau masukin benang ke jarum
*** Beberapa minggu kemudian, sang sutradara mengadakan latihan gabungan. Lupus cs digabung artis-artis yang bakal jadi pemeran utama. Wah, suasana jadi kacau hampir tak terkendali ketika Boim dan Gusur asyik ngeceng ke sana-sini. Minta tanda tangan segala.
Sementara sang artis pada cuek bebek semua. Gayanya juga wah banget. Belum lagi kostumnya yang kalau dibandingi sama kostum Gusur bagai langit dan bumi. Nggak cewek, nggak cowok, kerjaanya ketawa ngikik, sun-sunan, ngaca sambil nyisir dan merokok bebas. Kontras banget deh dengan Lupus cs yang Cuma duduk di pojokan, menunggu jatah teh botol. Terus terang, ketika pengetesan, mereka semua jadi pada grogi, ngadepin pemain-pemain yang udah nge-prof. Yang enteng aja ketika menggandeng tangan lawan jenisnya, memeluk, dengan dandanan ala Madonna.
Apalagi ketika mulai pengetesan pengambilan gambar lewat v
ideo, Lupus cs nampak gugup sekali. Nggak bisa lepas seperti biasanya. Apalagi yang nonton banyak banget.
Latihan pun terpaksa ditunda. Tunggu panggilan lagi.
Satu minggu, dua minggu, panggilan belum datang juga.
Sampai sebulan, "Kapan nih kita latihan shooting" Kita udah pada keriting nih nungguinnya," seru Ruri. Yang lain juga punya pertanyaan senada.
Lupus cuma mengangkat bahu.
Besoknya secara nggak sengaja Lupus ketemu sang produser di kantor Hai. Dengan wajah menyesal, beliau menyampaikan kabar duka bahwa mereka nggak jadi pakai Lupus cs untuk peran pembantu, sebab kata sutradara, "Kalian masih hijau sekali. Susah diarahkan. Latihannya suka bercanda terus. Belum lagi kita harus mendaftar kalian ke Parfi sebagai pemain baru. Bayarnya mahal sekali. Kita toh tak mau mengambil resiko itu. Jadi..."
Lupus tak menyimak lagi, apa yang dikatakan sang produser. Dia cuma bengong. Bagaimana cara nyampein kawat duka itu ke teman-temannya"
*** Keesokan harinya merupakan hari penuh derita buat Lupus. Dia bener-bener bingung, bagaimana menyampaikan berita duka ini kepada kawan-kawannya" Apalagi Fifi. Anak itu sejak pertama dengar mau diajak main film, semangat hidupnya jadi bertambah dua kali lipat. Malah sudah mulai royal-royalan traktir temen-temennya sambil ngocol ke sana kemari. Melihat wajah Boim pun Lupus nggak tega. Dari wajahnya Lupus melihat bahwa anak itu menyimpan sejuta harap. Belum lagi Gusur, Aji, atau Gito yang punya cita-cita sederhana, "Biar jadi pemeran pembantu, asal di klos ap!"
Tegakah Lupus mengecewakan mereka semua"
Lupus gelisah duduk dipojokkan. Mencoret-coret bukunya dengan pikiran kalut. Nyesel juga telah menaruh harapan besar kepada teman-temannya. Betapa berat tugas seorang pemberi harapan, kalau ia tidak bisa mewujudkan harapan itu kepada orang yang diberi harapan.
"Ada apa, Pus" Kamu sakit"" Meta datang menghampiri.
Meta..., ah, betapa bahagianya jadi seorang yang seperti Meta. Yang punya sikap. Yang tak mudah tergiur mimpi-mimpi indah. Yang lebih memilih hidup di alam nyata. Kalau saja dulu semua teman-temannya bersikap seperti Meta!
"Lupus - ada apa""
"Eh - ah, enggak. Saya cuma agak pusing."
"Mau obat""
"Enggak usah. Terima kasih. Sebentar juga sembuh kok!"
Meta mengangkat bahu. Saat keluar main, ketika anak-anak lagi cerita di kantin, Lupus nggak ikutan. Sebetulnya dia ingin menyampaikan kabar duka kepada mereka saat itu. Tapi Lupus mengurungkan niatnya. Dia nggak tega merusak kebahagiaan teman-temannya.
Saat keluar main kedua pun nggak tega.
Tapi, semakin dia tunda, semakin terasa berat menanggung beban ini sendiri. Lupus harus segera ngomong dengan mereka. Jangan tunggu sampai besok. Harus hari ini juga. Sepulang sekolah. Dan anak-anak bukaannya tak menangkap sesuatu yang lain dari sikap Lupus.
Maka pas bel pulang, teman-temannya kompak datang pada Lupus.
"Ada apa, Pus" Kamu kelihatan lain hari ini. Jangan mengelak, kami semua tau. Biasanya kamu selalu ikut gila-gilaan di kantin, ikut becanda di kelas, tapi hari ini" Wah - ada apa, Kawan" Kami siap membantu. Kamu diancam sama anak-anak es de sebelah itu" Iya"" ujar Aji.
Lupus tersenyum pahit. "Ya - ngomonglah! Keluarkan isi kantongmu! Speak itu laut! Shout it laut loud!" ujar Boim sok tau, "Jangan kuatir, kita di sini siap sedia membantu sebagai sahabatmu sejati. Kemon, speak your maid! But if it hurts, don t do it !"
Lupus menghela napas panjang.
Siapkah mereka mendengarnya"
"Kamu betul, Im. Hal ini sangat menyakitkan. Tapi saya harus ngomong sama kamu semua. Meski rasanya berat, tapi harus!"
Fifi, Gito, Aji, Gusur, dan Boim jadi tegang.
"Ada apa, Pus""
Lupus pun mulai cerita semuanya. Tentang pertemuannya sama produser. Tentang dibatalkannya peran buat mereka...
"Jadi"" hampir nangis Gusur bertanya.
"Ya, terpaksa dibatalkan."
"Kita batal jadi bintang film"" celetuk Gito.
"Kasarnya begitu."
Anak-anak terdiam. Apalagi Fifi, dia langsung shock berat.
"Katanya, ketika latihan gabungan, ketauan sekali akting kita yang masih kaku. Perjalanan kita masih jauh kalau mau jadi bintang film," lanjut Lupus.
Semua masih diam. Angan-angan mereka semua remuk berkeping-keping.
"Kalian kecewa"" tanya Lupus pelan.
"Tentu saja!" tukas Ruri kasar.
"Kita malu, Pus!" suara Boim bergetar.
"Kalian tak perlu kecewa," ujar Lupus.
"Kita dibohongi," Aji ikutan ngomong.
"Kamu juga kecewa, Pus. Jangan pura-pura," ungkap Boim.
"Kita semua kecewa. Tapi kita tak boleh larut dalam kesedihan. Perjalanan kita masih jauh. Tragedi ini menyadarkan kita, bahwa kodrat kita bukanlah bintang film. Setiap orang sudah ada tempatnya sendiri-sendiri. Sudah dikotak-kotakkan oleh Tuhan. Misalnya Boim jadi playboy, Fifi jadi artis bohongan, saya jadi cowok kece... yah, semua sudah dibagi-bagi. Nah mungkin kita tempatnya memang bukan di sana. Kita ditempatkan di sini. Sebagai pelajar. Sebagai anak yang harus duduk manis di bangku kelas, sambil menyimak pelajaran. Sambil sesekali lempar-lemparan kapur kalau guru lagi meleng. Meta, Ita dan Utari kebetulan sadar lebih dulu dari kita-kita. Makanya mereka menolak ketika kita tawarkan."
"Kamu tidak lagi berkhotbah, kan, Pus"" Boim tiba-tiba nyeletuk.
"Khotbah atau tidak, itu bukan soal. Yang penting kita nggak boleh sedih. Semua persoalan kan datangnya seperti mimpi, kalau perginya seperti mimpi juga, kenapa harus sewot""
"Tapi kita malu diejek anak kelas lain," ujar Aji.
"Balas ejekannya. Paling tidak, mereka kan enggak pernah merasakan nikmatnya jadi calon bintang film seperti kita. Iya, nggak""
Anak-anak berteriak akur. Sebagai ganti, Lupus mentraktir mereka semua ngebakso dari honor tulisannya yang baru dimuat. Mereka pun berteriak-teriak senang. Gusur yang paling bisa melupakan kedukaannya, setelah melihat semangkuk bakso mengepul-ngepul di hadapannya.
"Hidup Lupus! Esok, mana kala fajar menyingsing, kita mulai lagi hidup kita yang sebenarnya. Sebagai pelajar SMA Merah Putih yang manis!" teriak Gusur.
Lupus tersenyum. Jauh di lubuk hatinya, dia pun masih menyimpan duka. Apakah ia bisa setulus teman-temannya menerima kenyataan ini" Atau masih seperti Fifi yang nampak sangat terpukul"
Kalaupun ada duka, itu karena kamu tak jadi membelikan kaca mata baru buat ibumu, Pus! Percayalah!
Dan Lupus pun menunduk sedih. Ingat pada ibunya yang tetap akan kesulitan memasukan benang ke lubang jarum, saat menisik kemeja Lupus yang sering sobek...
10. Bis Sekolah Coba tebak siapa yang paling keki dengan adanya kenaikan tarif bis kota" Kalo jawaban kamu: Gusur, jelas salah berat. Soalnya dia itu penganut aliran kaki besar alias hobi berjalan - kaki - ria kalo berangkat sekolah. Jadi nggak perlu sering - sering naik bis.
Kalo jawaban kamu: Boim, ada betulnya dikit. Soalnya meski dia memang sering naik bis kota kalo berangkat sekolah, tapi dia itu hobi banget jadi penumpang gelap. Pas giliran kondektur nagih ongkos, dia langsung pasang muka sedih sambil berkata memelas, "Numpang, ya, Bang. Deket kok. Kan abang baek..." Dan seperti kamu duga, Boim pasti kena bentak dan diturunkan secara tak hormat di pinggir jalan. Tapi dia nggak frustasi. Malah dengan riangnya menunggu bis yang lewat berikutnya, untuk kemudian numpang lagi. Begitu terus, sampai akhirnya tiba di sekolah. Untuk itu, dia memang harus ngebela - belain berangkat subuh - subuh sekali, supaya nggak telat sampai di sekolah. Dan kadang, dia kan juga sering naik motor bututnya ke sekolah. Tapi jarang. Soalnya motornya doyan mogok. Nanti malah lebih terlamgat lagi ke sekolah.
Nah, kalau jawaban kamu: Lupus, berarti kamu jenius. Seratus untuk kamu. Beneran. Memeang dia bersama sebagian teman - temannya ini yang paling merana dengan kenaikan tarif bis kota. Abis gimana enggak, dia kan hobi banget ngejar - ngejar bis kalau mau nerangkat sekolah. Dan biasanya cukup dengan membayar gocap, dia bisa duduk dengan manis di bangku kosong, atau bergelayutan kalo bis-nya penuh sesak. Tapi sekarang" Wah - bisa - bisa Lupus dikuliti kalo tetap nekat bayar gocap. Seperti kamu tau, tarif bis sekarang kan sudah naik. Buat pelajar macam Lupus harus cukup rela menyumbangkan ratusan leceknya untuk bisa ikut - ikutan ngebis.
Gimana nggak keki" Padahal jatah dari orang tua sama sekali
nggak berubah. Mau minta lebih juga nggak tega (wong gaji nggak naik kok). Walhasil, Lupus harus menghemat uang jajannya, dan ikut - ikutan mengencangkan ikat pinggang. Memang sih, dia suka dapet uang ekstra kalo abis ngebantuin majalahnya bikin reportase. Tapi itu kan nggak banyak. Paling - paling abis untuk piknik ke mana - mana, atau nraktir anak - anak bangsa si Gusur atau Boim yang nafsu makannya pada gila - gilaan.
Pokoknya sedih deh. Mana si Lulu, adiknya yang baru gede tiu, hobi banget minta duit kalo ketemu di jalan. Dengan gayanya yang cuwek, anak sableng itu memang suka merngek - rengek ke Lupus untuk menyerahkan harta bendanya dengan paksa. Ya, Lupus jadi bingung. Mau dikasih gimana, nggak dikasih juga gimana. Soalnya si Lulu itu kalo lagi jalan - jalan suka barengan sama tmen - temen ceweknya yang kece - kece. Jadi kan Lupusnya suka serba salah. Malu dong kalo nggak ngasih duit ke Lulu di depan mata temen - temennya yang manis - manis itu.
Itu baru contoh. Belum lagi kalo Lupus asyik jalan - jalan ke pusat pertokoan sama temen - temennya. Suka nggak bisa nahan diri kalo ngeliat ada barang bagus. Kepingin ngebeli aja.
Dan keresahan di zaman resesi ini nggak cuma hinggap pada Lupus. Temen - temennya yang lain juga. Buktinya pas saat keluar main ini, banyak anak - anak yang asyik ngobrol di dalam kelas, nggak ikutan hura - hura di kantin. Ya, kantin sekolah memang nampak rada sepi dari biasanya. Rupanya semua anak mempunyai nasib sama. Jatah uang jajan tetap, sementara apa - apa sekarang serba naik. Padahal gema devaluasi belum lagi hilang gaungnya, kini ada setori baru lagi.
"Jalan satu - satunya, kita harus mengurangi jiwa hura - hura kita yang tak terkendali, Pus. Paling tidak, sekarang sih jarangin deh ngecceng - ngeceng ke Blok M. Nantinya suka kepengen beli yang macem - macem. Sekarang ini, kita harus cukup puas ngecengin adik - adik kelas kita kalo pulang sekolah," kata Meta suatu ketika. Lupus mengiyakan saja.
Dan di saat keluar main ini, Boim yang biasa ngutang ke kantin, kini malh asyik bercanda manis dengan Nyit - nyit. (Wah, bisa insyap juga tu anak. Sedang Aji asyik mojok berduaan sama Winda di sudut kelas.
"Mojok aje, kayak perangko!" ledek Joko sirik.
Sementara Ruri asyik baca buku cerita. Tumben banget tu anak. Biasanya suka banget nggosipin anak - anak lain di kantin. Cuma Fifi aja yang kelihatan nggak berubah. Tetap menor. Sekarang ini kepalanya lagi asyik mengangguk - angguk mengikuti irama lagu Made in Thailand, Made in USA nya Memory of Bangkok dari walkman di kupingnya. Sambil sesekali mulutnya komat - kamit mengikuti teks lagu. Buset tu suara, merepet kayak tikus kejepit pintu. Si Ruri yang duduk di sebelahnya sampe gondok setengah mati, nggak bisa konsentrasi dengan bacaannya. Tapi Fifi cuwek. Tetap asyik mengangguk - anggukan kepala dengan segutnya kayak burung kakatua.
"Lupuuuuus..., kemarilah barang sejenak dua jenak!" teriakan nyaring si Gusur di luar mengagetkan Lupus yang lagi ngeliatin si Fifi. Kepala Gusur nongol di jendela. Dengan malas Lupus menghampiri seniman sableng itu.
"Ada apa, Sur" Gusur pasang tampang serius, dan berkicau, "Kudengar dikau membutuhkan sebuah kamera canggih untuk dijadikan teman kala kau diberi tugas oleh majalahmu. Benarkah itu""
"Ya, memangnya kenapa""
"Saya ada mempunyai satu kamera dengan kondisi yang masih sangat prima. Adakah niatan di hatimu untuk memilikinya""
Lupus jadi heran. Duile, makhluk yang satu ini. Apa enggak tau Lupus lagi dilanda resesi"
"Murah harganya, Sobat. Sama tele-nya cuma dua ratus ribu perak. Ini kesempatan emas, Kawan. Jangan sia - siakan," rayu Gusur sambil mengeluarkan kamera lengkap dengan tele - nya dari dalam tas yang dibawa. Gayanya emang udah kayak salesman tulen.
"Coba tengok, betapa elok kamera ini!"
Lupus mengamati. Buset, bodinya udah bulukan begitu, ngaku masih canggih!
"Wah, Sur, apa masih bisa dipakai nih" Kok kondisinya udah kayak pemiliknya gitu""
"Sudah bangkotam, maksudmu""
"Nah, tuh sadar!"
"Sialan. Dengarlah, wahai kawanku, jangan pernah kau memandang sesuatu dari luarnya saja. Belum
tentu luar yang baik menjanjikan isi yang baik pula."
Lupus masih tak tertarik.
"Sebetulnya saya amat sangat sayang menjual kamera yang luar biasa ini. Bayangkan, sudah hampir lima tahun mendampingiku, tapi tak pernah sekali pun dia melakukan tingkah yang aneh - aneh. Namun sekarang..." Belum selesai Gusur ngomong, Lupus udah ngakak.
"Wah, itu sih taktik salesman kuno, Sur!"
"Saya sungguh - sungguh, Kawan," Gusur tetap pasang muka serius.
"Oke, oke, saya percaya kamu serius. Tapi dengarlah, Sobat, saya memang butuh kamera. Tapi tidak untuk saat ini. Saat resesi ini. Saya bener - bener nggak punya banyak uang. Makanya saya harus selektif, mana yang benar - benar saya butuhkan, mana yang enggak. Seperti kamera, selama saya masih bisa pinjam punya kamu, kenapa nggak pinjam aja""
Gusur cemberut. "Saya aja sekarang lagi bingung dengan situasi ekonomi saya yang lagi nggak stabil ini. Jadi saya harus belajar hemat. Nggak mau beli hal - hal yang nggak begitu perku dulu. Sori ya, Sur."
Gusur nampak kecewa, "Saya pun sedang dirundung malang, Pus. Bayangkan, belakangan ini saya terus dikejar - kejar fans. Itu lho, tukang bakso dan tukang siomai. Sudah sebulan ini saya belum melunasi utang - utang saya."
"Habis salah kamu sendiri sih. Nggak bisa nahanin gejolak nafsu makan kamu yang gila - gilaan. Belajar pake ikat pinggang dong. Ini sih, kancing celana aja nggak pernah dikaitkan."
"Soalnya, saya lagi frustasi..." Gusur menyahut sedih.
"Itulah. Itulah kesablenganmu. Orang sih kalo lagi frustasi bawaannya nggak nafsu makan, tapi kalo kamu kompensasinya jadi makan melulu..."
Gusur diem. Nah, itu. Itu satu lagi. Satu lagi manusia yang dirundung resesi. Makin lama, hidup makin terasa sulit. Hari - hari lalu, Lupus sering mendengar keluhan serupa dari teman - temannya. Ya uang jajannya yang makintipislah, ya nunggak bayaranlah, pokoknya macem - macem deh. Contohnya si Boim itu. Sudah tiga hari ini dia absen nggak ke kantin. Ita juga. Anto yang biasanya suka sombong baru punya duit gocap aja, kini makin suntuk. Makin jarang jajan.
Tapi toh kita tak harus dirundung malang seperti makhluk - makhluk itu. Ya, tentu saja tidak. Bahkan bisa saja kita melewati hari - hari ceria kita seolah tak ada sesuatu pun yang terjadi. Beneran lho. Keceriaanmu jangan mau dipengaruhi oleh segala macam resesi. Dan, pikiran inilah yang sekarang lagi ngendon di benak Lupus. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.
..... Satu hari lewat. Lupus masih mendengar keluhan - keluhan yang keluar dari mulut teman - temannya.
"Wah, kalo begini terus saya males sekolah aja. Masa jatah dari orang tua nggak nambah" Kita harus protes nih. Atau, kita mengadakan aksi unjuk perasaan aja supaya tarif bisa nggak naik." Seru Boim ketika keluar main.
"Nggak bijaksana donk kalo kita harus protes ke orang tua. Penghasilan mereka kan nggak nambah. Kitanya yang harus tau diri!" Komentar Ita.
"Iya, kamunya jangan ngeceng melulu, Im," tambah Utari.
"Tau diri bagaimana" Kita nih sudah cukup tau diri. Harusnya para orang tua yang ngertiin dong. Masa mereka nggak baca koran kalo tarif bis naik"
Belum lagi tarif bensin yang juga kompakan pengen naik juga. Apa - apa akan segera mahal. Saya udah coba ngebilangin ke mami saya, tapi mami saya cuwek," Boim ngotot.
"Sudahlah,Im. Dicuwekin kan belum tentu diperhatikan..." Lupus menengahi.
Boim melotot. "Kita semua bernasip sama agaknya," lanjut Lupus kalem. "Makanya kita pikirkan sama - sama jalan keluarnya. Seperti kita tau, masa remaja seperti kita adalah masa di mana kita harus menikmati kebebasam kita..."
"Ya, tapi gimana mau bebas kalo jatah jajan cekak!" potong Boim.
"Itulah. Yang ngendon di otak kamu emang jajan melulu. Saya kan bilang, kita harus menikmati kebebasan kita. Misalnya gini, Im, jatah jajan kamu beserta ongkos - ongkosnya sehati tiga ratus perak. Ini misalnya lho, jangan protes dulu. Sedang kamu untuk naik bis aja bolak - balik sudah habis dua ratus. Jadi sisanya untuk jajan cuma seratus. Cuma cukup untuk beli bakwan dan aer aus aja. Jadi kan merana banget tuh! Tapi sebetulnya nggak selalu harus begitu.
Mami kamu kan memberikan uang itu pada kamu dengan catatan kamu bebas mempergunakannya, asal bisa nyampe ke sekolah. Nah, nikmatilah kebebasan, itu!" cerocos Lupus.
"Caranaya"" Boim masih nggak kopi.
"Ya, misalnya - sekali lagi misalnya lho - kamu pengen beli bakso yang dua ratus lima puluh perak, kamu bangun aja pagi - pagi sekali dan jalan kaki ke sekolah. Kan hemat tuh. Duitnya bisa kamu beliin bakso. Malah masih sisa lima puluh perak buat jajan es..."
"Huh, ide terjelek yang pernah kudengar!" maki Boim sengit.
"Belum tentu. Jangan nuduh dong!" tangkis Lupus. "Sebetulnya kalo kamu mau mikir, dari situ bisa muncul ide cemerlang. Dengerin dech..."
Anak - anak jadi pada tertarik.
"Kita kerja sama aja. Pertama kita kumpulin uang ongkos bis kita jadi satu. Lalu kita gunakan kendaraan mini-bus Gito untuk jadi kendaraan antar jemput..."
Mendengar namanya disebut - sebut, Gito yang tadinya nggak nyimak (asyik nyalin pe-er), jadi mendekat, "Ada apa nih nama saya disebut - sebut""
"Gini lho, Git. Sebentar lagi bensin kan maeu naik. Dan kita - kita mau sumbangan untuk ngebeliin kamu bensin," jelas Lupus.
"Oya" Padahal mini-bis itu baru saya PHK karena bensin naik!"
"Nggak perlu. Kita punya rencana mau patungan beli bensin tiap hari, sal kamu harus nganterin kita - kita. Jangan kaget dulu, ini demi kekompakan kita. Rumah saya, Boim, Anto, dan Aji kan searah, sedang kamu, Meta, Ita, Fifi, Yuanita, dan Utari juga searah. Jadi nggak terlalu repot. Kamu cuma ke Grogol dulu, baru ke Blok M. Bensinnya kita - kita yang tanggung. Paling cuma ngabisin lima liter kurang. Sedangkan bangsa Meta, Ita, Utari, Aji, dan yang lainnya meski rumahnya deket biasanya harus naik bis dua kali. Belum ongkos becaknya. Tapi dengan patungan ini, kita bisa menghemat banyak. Nah, sisanya - bisa buat kita jajan, seperti biasa, iya, nggak""
Anak - anak memandang Lupus dengan mata bersinar - sinar.
Gito manggut - manggut setuju.
Cuma Boim yang mengeluh, "Nanti nggak bisa godain cewek manis di bis lagi dong!"
"Kalo kamu nggak mau ikutan ya terserah! Nggak rugi kok!" maki Meta. Boim nginyem.
Setelah dihitung - hitung, memang mereka bisa menghemat banyak. Gito malah setuju jika harus menjemput mereka pagi harinya, "Yah, saya suka juga bisa memberikan sesuatu kepada teman - teman saya!" kata Gito.
Anak - anak bersorak -sorak, dan rame - rame jajan di kantin.
Pulang sekolah, rencana itu langsung mereka jalankan. Sepuluh orang duduk berdesak - desakan dalam mini-bis Gito yang tak terlalu besar. Tapi mereka tak merasa merana. Malah tertawa -tawa riang.
Dan sang mini-bis belum lagi berlalu jauh ketika terdengar teriakan pilu, "Hoooooooi..., Kawan - kawan, jangan tinggalkan daku. Hoooooi..."
Anak - anak menoleh serentak. Di situ nampak Gusur sedang berlari - lari sambil menenteng tas bulukan. Rambutnya melambai - lambai tertiup angin. Napasnya nampak terengal -sengal.
"Wah, gimana nih" Udah nggak muat lagi. Kita ajak, nggak" Tanya Ita.
"Nggak usah! Tinggalin aja!" cetus Fifi Alone.
"Hus, kasihan ah!" ujar Meta. Mini-bis pun berhenti di pinggir jalan.
"Wah, Sur, udah penuh sesak nih" Gimana" Rumah kamu kan deket. Jalan kaki aja. Lagian kamu kan gendut. Jadi ngabis - ngabisin tempat!" ujar Lupus ketika Gusur sampai.
"Yaaa..., bawalah daku pergi. Biarlah daku duduk berdesakan asal dekat -dekat dengan Fifi Alone," rengek Gisur sambil menyembah - byembah.
Lupus hanya mengangkat bahu. Gusur pun ikutan masuk, diiringi oleh pandangan keki dari anak - anak. Buset deh keringatnya, bau banget!
"Kamu belum mandi, ya, Sur"" tuduh Fifi keki.
"Udah, kemarin sore."
Fifi mendengus. Mini-bus pun melaju lagi.
Tapi di tengah jalan, anak - anak kembali bercanda riang. Gusur yang meski udah kelewatan rumahnya, nggak mau turun juga. "Ntar aja, saya turun di rumah Fifi. Pulangnya kan bisa minta ongkos sama maminya dia," sahut Gusur.
Dan pas lampu merah, orang -orang di mobil lain pada ngeliatin mereka yang berdesakan dan ribut banget. Tapi mereka pada cuwek. Apalagi sang artis kita, Fifi Alone. Dia malah ge-er. "Mereka tuh sebetulnya pada ngeliatin saya. Maklum,
artis," celoteh Fifi.
Anak - anak serentak mencemooh.
Selama seminggu, rencana itu tetap jalan. Sampai akhirnya diketahui oleh sang Kep-Sek. Sang Kep-Sek tertarik pada kekreatifan anak - anak didiknya itu. Sebuah perbuatan yang patutu di contoh, katanya. Dan bertolak dari itu, sang Kep-Sek merencanakan mengadakan bis antar-jemput bagi semua anak - anak SMA Merah Putih dengan biaya ringan. "Kebetulan, Bapak kenal dengan salah satu perusahaan bis swasta di kota ini. Semoga ini meringankan beban anak - anak didik Bapak tercinta...," begitu pidato sang Kep-Sek saat upacara bendera.
Siswa - siswi SMA Merah Putih pun bersorak - sorak gembira.
Lupus mengedipkan matanya pada teman - temannya. Ya, semua masalah pasti ada jalan keluarnya....
tamat Pendekar Lembah Naga 12 Jaka Sembung 15 Raja Sihir Dari Kolepom Pendekar Patung Emas 9

Cari Blog Ini