Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 22
"O" Mahisa Agnilah yang kemudian menganggukangguk
"agaknya kamilah yang tidak terbiasa pergi ke Kota
Raja" Demikianlah setelah mereka membayar, maka bertiga
mereka meninggalkan kedai itu. Namun mereka mendapat
kesan bahwa daerah itu termasuk daerah yang tenang dan
tidak banyak mendapat gangguan apupun juga. Sehingga
karena itu, maka ditempat itu, mereka tidak akan dapat
mendengar apapun juga tentang orang-orang yang
melakukan kejahatan. Apalagi orang yang bernama Ki
Dukut Pakering. Dalam keremangan senja, ketiga orang itu masih
berkuda terus disepanjang jalan yang menjadi semakin
gelap. Tetapi rasa-rasanya mereka sama sekali tidak
menjadi cemas. Agaknya mereka sama sekali tidak
menghiraukan seandainya mereka akan kemalaman
diperjalanan. "Kita akan berhenti ditempat yang dekat dengan air"
berkata Witantra. "Ya. Kita akan berhenti di dekat mata air, atau di dekat
sebuah sungai" sahut Mahisa Agni.
Seperti yang mereka kehendaki, maka merekapun
kemudian berhenti dipinggir sebuah sungai yang tidak
begitu besar. Namun agar mereka tidak menarik perhatian
orang lain, maka mereka telah menyimpang beberapa puluh
langkah dari jalan, sehingga orang-orang yang lewat di jalan
itu, tidak akan segera melihat ketiga orang yang bermalam
diperjalanan itu. Dan malam itupun lewat tanpa terjadi sesuatu. Ketiga
orang yang tidur bergantian itu, telah terbangun di dini hari,
ketika mereka mendengar bunyi roda pedati yang berjalan
dijalan beberapa puluh langkah dari tempat mereka
beristirahat. "Jalan itu ternyata merupakan jalan besar" desis Mahisa
Agni. "Ya" jawab Witantra "karena itu, kitapun harus segera
bersiap-siap" "Mereka tidak akan melihat kita disini" desis Mahisa
Bungalan yang masih segan untuk bangkit.
Witantra dan Mahisa Agni tersenyum. Sementara itu
Witantrapun berkata "Kau benar Mahisa Bungalan. Kita
memang tidak perlu tergesa-gesa. Perjalanan ini bukan
perjalanan yang dibatasi oleh waktu, satu atau dua pekan"
Mahisa Bungalanpun menggeliat. Namun iapun kemu
dian bangkit sambil berdesis "Aku akan mandi"
Setelah bergantian mereka mandi disungai dalam
dinginnya dini hari, maka rasa-rasanya tubuh mereka
menjadi sangat segar. Kuda-kuda merekapun telah cukup
lama beristirahat dan cukup pula mendapatkan rumput
yang segar ditepian. Tetapi mereka tidak segera melanjutkan perjalanan. Jika
mereka turun kejalan, sebelum matahari terbit, justru akan
menarik perhatian orang-orang yang dengan pedati
membawa hasil bumi mereka ke pasar.
Dengan demikian mereka telah menunggu matahari
naik. Baru kemudian mereka melanjutkan perjalanan
mereka yang panjang. Seperti dihari sebelumnya, perjalanan itu berlangsung
tanpa terjadi peristiwa apapun juga. Nampaknya tanah
yang mereka jelajahi memang termasuk daerah yang
tenang. Namun ketika menjelang senja, mereka singgah di
sebuah kedai, ternyata nampak kesan yang berbeda pada
pemilik kedai itu. Sebelum matahari merendah, rasarasanya
pemilik kedai itupun sudah menjadi gelisah.
Sementara sudah tidak ada seorang pembelipun yang
berada dikedai itu selain Mahisa Bungalan. Witantra dan
Mahisa Agni. 10_SHM_Panasnya_Bunga_Mekar
Dalam pada itu, maka Mahisa Agni yang merasakan
kegelisahan itupun bertanya "Apakah kedai ini sudah akan
ditutup?" "Ya Ki Sanak" jawab pemilik kedai itu.
"Masih terlalu siang begini?" bertanya Witantra.
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun akhirnya
iapun mengangguk sambil menjawab "Adalah kebiasaan
kami untuk menutup kedai ini sebelum senja"
Mahisa Agni yang juga mengangguk kemudian bertanya
"Apakah sudah tidak akan ada pembeli lagi setelah
matahari turun seperti ini?"
"Tidak. Sudah jarang sekali ada orang yang keluar dari
halaman rumahnya disaat terakhir ini" jawab pemilik kedai
itu. Jawaban itu memang menarik perhatian. Sehingga
karena itu maka Mahisa Bungalanpun mendesaknya
"Kenapa?" Tetapi orang itu justru menjadi semakin gelisah. Tanpa
menjawab pertanyaan Mahisa Bungalan ia berkata "Kami
sudah bekerja sepanjang hari. Kami sudah menjadi letih
sekali" Ketiga orang yang berada dikedai itu tidak dapat
mendesaknya. Namun terasa, bahwa keadaan dipadukuhan
itu agak berbeda dengan padukuhan-padukuhan yang
pernah mereka lalui. Dalam pada itu, ketiga orang itu tidak ingin membuat
pemilik kedai itu menjadi gelisah atau bahkan ketakutan.
Karena itu, maka merekapun segera meninggalkan kedai
itu. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan sangat tertarik
dengan sikap pemilik kedai itu. Maka katanya kemudi an
kepada Mahisa Agni dan Witantra pada saat mereka
meloncat kepunggung kuda " Menarik sekali. Apakah
paman sependapat, bahwa kita meluangkan waktu untuk
melihat semalam saja daerah yang nampaknya agak lain
ini" Mahisa Agni dan Witantra yang lebih banyak mengikuti
saja kehendak Mahisa Bungalan itupun sama sekali tidak
berkeberatan. Sambil mengangguk-angguk Witantra berkata
"Nampaknya memang menarik. Kita akan melihat
keseluruhannya" Demikianlah, maka ketiga orang itupun kemudian
mencari tempat untuk menyembunyikan kuda mereka.
Sementara ketika hari sudah gelap, mereka merayap
mendakati padukuhan yang agaknya sedang dipengaruhi
oleh satu keadaan yang kurang baik itu.
Ternyata yang dilihat oleh ketiga orang itu cukup
mengejutkan. Beberapa orang laki-laki nampak berada
digerbang padukuhan, sementara yang lain berada di gardu
perondan. "Ada apa?" desis Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni menarik nafas dalam. Nampaknya orang
orang itu benar-benar dalam kesiagaan sepenuhnya,
ternyata mereka membawa beberapa macam senjata yang
mereka miliki. "Agaknya mereka menjadi curiga" berkata Mahisa Agni
"mungkin pemilik kedai itu berceritera kepada tetanggatetangganya,
bahwa tiga orang berkuda berada disekitar
padukuhan ini" "Apakah yang mereka maksudkan kita?" bertanya
Mahisa Bungalan. "Aku hanya menduga Tetapi agaknya memang
demikian. Pemilik kedai itu telah melaporkan kehadiran
kita dan seisi padukuhan itupun segera bersiap-siap" jawab
Witantra. "Kita akan melihat, apa yang akan terjadi" desis Mahisa
Bungalan. Dengan demikian, maka ketiga orang itupun justru
bersembunyi di balik sebatang perdu sambil menunggu
perkembangan keadaan. Mereka sempat melihat, beberapa
orang di antara mereka yang berada di regol itu meronda
mengelilingi padukuhan mereka.
"Nampaknya setiap pintu gerbang di segala penjuru
padukuhan ini telah dijaga" berkata Mahisa Bungalan "dan
setiap gardu telah penuh dengan para penjaga"
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk.
Agaknya memang demikian. Karena itulah, maka
merekapun kemudian justru dengan sabar menunggu.
Meskipun demikian, mereka masih juga sempat berbaring
di atas rerumputan kering di balik gerumbul di dalam
gelapnya malam, sehingga tidak ada orang yang melihat
mereka. Untuk beberapa saat ketiga orang itu menunggu. Malam
yang gelappun menjadi semakin dalam. Meskipun bintang
bergayutan di langit, namun mereka tidak dapat melihat
pedukuhan yang tidak terlalu jauh itu dengan jelas, kecuali
obor di regol dan gardu-gardu.
Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan yang tidak puas dengan
penglihatan itu berkata "Aku akan mendekati regol itu.
Mungkin aku dapat mendengar pembicaraan mereka,
kenapa mereka bersiap-siap seperti ini. Apakah hal ini
dilakukannya setiap hari atau benar-benar karena kehadiran
kita bertiga" "Kita dapat menunggu di sini" berkata Mahisa Agni.
"Aku tidak sabar" desis Mahisa Bungalan.
"Tetapi berhati-hatilah" pesan Witantra "janganlah kita
yang mulai dengan persoalan yang tidak menentu ini"
Mahisa Bungalan mengangguk. Kemudian iapun mulai
merayap mendekati regol padukuhan.
Sebenarnyalah Mahisa Bungalan memang memiliki
kelebihan. Tidak seorangpun yang melihat dan mendengar
kehadirannya. Dengan diam-diam ia berhasil berada tidak
terlalu jauh dari regol yang dijaga oleh beberapa orang itu.
Beberapa saat lamanya Mahisa Bungalan mendengarkan
percakapan orang-orang di regol itu. Meskipun tidak begitu
jelas, namun Mahisa Bungalan berhasil menangkap
beberapa persoalan, sehingga dari satu pembicaraan ke
pembicaraan yang lain, iapun akhirnya dapat mengambil
kesimpulan. Dengan hati-hati iapun kemudian meninggalkan regol itu
kembali kepada Mahisa Agni dan Witantra yang
menunggunya. Kepada mereka iapun berceritera "Paman.
nampaknya bukan kita saja yang telah mereka curigai.
Beberapa hari yeng lalu, seseorang telah dirampok di tengah
bulak. Sesudah itu, empat orang perampok telah memasuki
rumah seseorang yang dianggap cukup kaya di padukuhan
itu. Kemudian siang tadi mereka melihat dua orang berjalan
kaki yang mencurigakan, sementara itu, merekapun
mengatakan bahwa tiga orang berkuda dan yang telah
berhenti di kedai itupun sangat menarik perhatian mereka.
"Bukankah benar dugaanku" berkata Witantra "mereka
memang mencurigai kita"
"Tetapi ada yang lain. Dua orang pejalan kaki yang
mereka sangka adalah kawan-kawan kita juga" sahut
Mahisa Bungalan. "Jika demikian, kita memang harus menunggu. Mungkin
menjelang tengah malam kita akan melihat sesuatu" berkata
Mahisa Agni. Mereka bertigapun kemudian kembali di tempatnya.
Mahisa Bungalan telah berbaring di atas rerumputan kering,
sementara Mahisa Agni dan Witantra duduk sambil
memeluk lutut. Nyamuk yang jarang terdengar berdesing di
telinga mereka tanpa henti-hentinya, sementara lamat-lamat
dikejauhan terdengar suara kentongan dengan nada dara
muluk. "Tengah malam" desis Mahisa Bungalan "begitu
cepatnya" "Kita sudah cukup lama berada di tempat ini" sahut
Mahisa Agni "namun aku masih juga ingin menunggu
sampai cahaya fajar nampak di langit"
Witantra dan Mahisa Bungalanpun sependapat. Mereka
akan menunggu sampai menjelang dini hari. Bahkan
Mahisa Bungalanpun berkata "Agaknya jika malam ini
tidak terjadi apa-apa, malam besokpun kita akan dapat
melihat barang semalam lagi"
Kedua pamannya tidak menjawab. Tetapi agaknya
merekapun sependapat. Demikianlah mereka bertiga menunggu. Rasa-rasanya
memang sangat menjemukan. Apalagi nyamuk menjadi
semakin buas disekitar mereka.
Dalam pada itu, selagi Mahisa Bungalan mulai merasa
kantuk, tiba-tiba saja mereka telah mendengar desis
beberapa orang yang lewat tidak terlalu jauh dari tempat
mereka bersembunyi. Karena itu, maka Mahisa Bungalan
yang berbaring itupun segera bangkit dan membenahi
dirinya dibalik gerumbul perdu bersama kedua orang
pamannya. "Sekelompok" desis Mahisa Agni "tidak hanya dua atau
tiga orang" Witantra mengangguk-angguk. Dalam keremangan
malam mereka melihat sekelompok orang lewat menelusuri
jalan kecil menuju kepadukuhan disebelah.
Namun tiba-tiba langkah mereka tertegun. Salah seorang
diantara mereka berkata "He. kau lihat obor itu?"
"Ya. Obor yang dipasang di regol. Mungkin digardu"
jawab yang lain. "Dan kau lihat orang yang hilir mudik di regol itu?"
bertanya orang yang pertama itu pula.
"Mereka adalah peronda-peronda" jawab yang lain
"Aku kira bukan sekedar peronda-peronda" desis yang
lain pula. Akhirnya merekapun melihat beberapa orang yang
berada di regol. Namun seorang diantara mereka berkata
"Biar sajalah semua orang di padukuhan itu berjaga-jaga.
Aku memang sudah menduga. Setelah terjadi satu dua kali
peristiwa, maka mereka akan menjadi sangat berhati-hati.
Karena itu, maka aku membawa kalian semuanya beserta
aku sekarang" Tidak ada lagi yang menjawab. Tetapi sekelompok orang
itu masih tetap berdiri diam sambil memandangi
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padukuhan yang telalj dijaga oleh setiap orang laki-laki
disegala penjuru dan disemua jalan-jalan masuk.
"Lihat" berkata pemimpinnya "tetapi hati-hati. Apa yang
telah mereka persiapkan. Kita harus membuat perhitungan
secukupnya" Dua orang diantara merekapun kemudian berjalan
mendekati regol. Seperti Mahisa Bungalan, merekapun
merayap dengan diam-diam untuk "melihat, apa yang telah
dilakukan oleh orang-orang di padukuhan itu.
Sementara itu Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa
Bungalan masih harus mengatur diri, agar orang-orang itu
tidak mengetahui kehadiran mereka dibalik gerumbul perdu
itu. Sejenak kemudian, maka kedua orang yang melihat-lihat
regol itupun telah kembali kedalam kelompok mereka.
Seperti yang diceriterakan oleh Mahisa Bungalan, ternyata
merekapun melihat kesiagaan penghuni padukuhan itu.
"Aku tidak peduli" berkata pemimpinnya. Dan katanya
kemudian "Kita akan memasuki pedukuhan itu dengan
meloncati dinding. Kita tidak akan memasuki regol yang
manapun juga. Bahkan kita akan dengan mudah memasuki
rumah yang tentu sudah ditinggalkan oleh setiap penghuni
laki-lakinya. Kita akan dapat mengambil apa saja yang kita
inginkan di rumah itu"
"Bagus" desis yang lain "kita akan meloncati dinding
padukuhan disebelah Timur yang banyak terlindung oleh
rumpun-rumpun bambu yang lebat"
"Kau tahu betul?" bertanya pemimpinnya.
"Siang tadi aku mengelilingi seluruh padukuhan itu"
jawab kawannya. "Nampaknya mereka telah mencurigaimu. Ternyata
malam ini seisi padepokan itu telah bersiap-siap" gumam
pemimpinnya. "Tetapi bukankah hal itu tidak penting" Seandainya
mereka melihat kita, maka kita akan menghancurkan
mereka. Dan kita akan dapat merampok bukan saja seisi
rumah, tetapi seisi padukuhan itu"
Gila. Agaknya hal itu memang mungkin kita lakukan.
Tetapi tidak ada gunanya melawan seisi padukuhan itu.
Dengan demikian diantara kitapun tentu akan jatuh korban
Kecuali jika terpaksa. Itupun akan kita. lakukan sambil
menarik diri" jawab pemimpinnya, yang katanya pula
"Agaknya kita masih harus berpikir untuk memberikan
korban terlalu banyak. Jika kita masih cukup mempunyai
bekal, tiba-tiba saja Rajawali Penakluk itu datang lagi, maka
kita akan kehilangan segala-galanya"
Mahisa Agni yang mendengar kata-kata itu telah meng
gamit Witantra dan Mahisa Bungalan. Keduanyapun
mengangguk kecil. Ternyata mereka sependapat, bahwa
orang-orang ilu tentu bekas pengikut Rajawali penakluk
yang telah kehilangan ikatan, justru karena Rajawali
Penakluk itu telah meninggalkan mereka.
"Mereka semua telah berjanji untuk tidak melakukan
kejahatan lagi" berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya
"Namun ternyata mereka telah kembali kepada pekerjaan
gila itu" Namun ketiga orang itu masih tetap menunggu.
Merekapun kemudian melihat sekelompok perampok itu
bersiap-siap untuk memasuki padukuhan itu dengan
meloncati dinding padukuhan"disebelah Timur, yang
menurut salah seorang dari mereka, dilindungi oleh
rimbunnya rumpun bambu yang lebat.
"Kita akan mengikuti mereka" bisik Mahisa Agni
Witantra dan Mahisa Bungalan mengangguk. Mereka
pun segera bersiap-siap pula. Ketika kelompok itu mulai
bergerak, maka ketiga orang itupun bergerak pula.
Tetapi Mahisa Agni. Witantra dan Mahisa Bungalan
harus bertindak dengan sangat berhati-hati. Mereka tidak
boleh terjebak dan diketahui oleh orang-orang itu. Dengan
demikian, maka persoalannya akan berkisar, dan merekalah
yang harus bertempur melawan sekelompok orang yang
belum mereka ketahui tingkat kemampuannya Seperti yang
mereka rencanakan, maka sekelompok orang itupun telah
menu]u ke bagian Timur padukuhan penghunipenghuninya
yang sibuk menjaga regol-regol padukuhan
mereka. Tetapi mereka sama sekali tidak menyangka,
bahwa sekelompok orang telah berusaha me masuki
padukuhan itu dengan meloncati dinding.
Ternyata bahwa orang-orang itu berhasil mendekati
dinding disebelah Timur padukuhan itu tanpa diketahui
oleh orang-orang yang sedang mengawal padukuhan itu.
Laki-laki yang hilir mudik dirnuka pintu gerbang disegala
penjuru dan mereka yang berada di gardu-gardu tidak
mengetahui, sekelompok orang yang dengan hati-hati telah
memanjat dinding dan meloncat masuk diantara rumpunrumpun
bambu yang cukup lebat. "Kitapun akan meloncat masuk" desis Mahisa Agni
"Tetapi tidak tepat pada tempat mereka meloncat" sahut
Witantra. "Ya" jawab Mahisa Agni "kita meloncat beberapa
langkah disebelahnya"
Ketiga orang itupun dengan hati-hati telah mendekati
dinding itu pula. Ketika orang terakhir telah meloncat,
maka ketiga orang itupun telah berusaha untuk meloncat
masuk pula. Agaknya ketiga oreng itu berhail memasuki padukuh an
itu tanpa diketahui oleh sekelompok perampok yang siap
melakukan pekerjaan mereka di padukuhan yang justru
sudah bersiap-siap melakukan pekerjaan mereka di
padukuhan yang justru sudah bersiap-siap menyambut
kedatangan mereka. Tetapi penghuni padukuhan itu
ternyata tidak cukup berpengalaman untuk melawan orangorang
yang sudah terbiasa melakukan pekerjaan itu.
Ternyata Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan
yang memasuki padukuhan itu, tidak kehilangan jejak.
Mereka masih tetap dapat mengamati orang-orang yang
kemudian berada disebuah halaman luas yang ditumbuhi
rumpun-rumpun bambu yang lebat dan tidak terpelihara.
"Kita akan pergi kemana?" bertanya pemimpin
sekelompok perampok itu. "Kita akan langsung menuju ke rumah orang itu"
berkata yang lain "aku sudah memahami keadaan
lingkungannya. Orang yang malam ini akan kita jadikan
korban, bukannya orang yang paling kaya di padukuhan ini.
Tetapi memadahilah, sehingga kita akan mendapat barangbarang
yang cukup, sebelum pada suatu saat kita akan
datang ke rumah yang paling baik di padukuhan ini"
"Kenapa tidak sekarang?" bertanya yang lain.
"Kesiagaan orang-orang padukuhan ini tentu berpusar
pada rumah dari orang yang paling kaya itu. Kita akan
melihat keadaan. Jika keadaan memungkinkan, memang
tidak ada salahnya. Tetapi menilik kesiagaan orang-orang di
padukuhan ini, agaknya lebih baik kita akan kembali pada
kesempatan lain" jawab kawannya yang telah menyelidiki
keadaan padukuhan itu. "Kau takut?" bertanya kawannya.
Yang terdengar adalah jawaban yang kasar "Kau pernah
melihat aku ketakutan" Yang aku perhitungkan adalah
kemungkinan-kemungkinan. Bukan ketakutan"
"Aku yang akan menentukan" potong pemimpin
sekelompok perampok itu. Lalu "Aku setuju, bahwa kita
mula-mula akan pergi kesasaran pertama. Baru kemudian
kita akan melihat keadaan"
Tidak ada lagi yang mempersoalkan rencana itu. Mereka
hanya tinggal melakukannya, karena pimpinan mereka
telah mengambil keputusan.
Demikianlah, maka merekapiai mulai bergerak dengan
hati-hati. Bagaimanapun juga, agaknya mereka masih
menghindarkan diri dari kemungkinan yang akan dapat
menyulitkan mereka. Mereka lebih senang melakukan
pekerjaan itu dengan tanpa meninggalkan korban apapun
juga. Sementara itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa
Bungalan berusaha untuk tidak melepaskan pengamatan
mereka atas para perampok yang kemudian menuju ke
sasaran. Ternyata para perampok itu berhasil menyusup diantara
para peronda. Apalagi para peronda yang selalu lewat di
jalan-jalan padukuhan dalam jumlah yang terhitung besar.
Lima atau enam orang sambil berbicara dengan kerasnya.
Dengan demikian maka para perampok itu selalu dapat
mencari kesempatan sebaik-baiknya untuk melintasi jalanjalan
padukuhan, meloncat dari satu halaman ke halaman
yang lain. Meskipun padukuhan itu benar-benar telah disibukkan
oleh setiap laki-laki yang keluar dari rumah dan berada di
regol dan di gardu-gardu, namun para perampok itu seakanakan
tidak menemui kesulitan sama sekali. Perlahan-lahan
tetapi pasti, merekapun mendekati rumah yang akan
mereka jadikan korban perampokan pada malam itu.
Sebenarnyalah seperti yang mereka perhitungkan, karena
setiap laki-laki telah keluar dari rumah mereka, maka yang
berada di rumah tinggallah perempuan dan anak-anak.
tetapi agaknya perempuan dan anak-anak itu pun sudah
merasa terlalu aman, karena laki-laki di padukuhan mereka
tersebar disetiap sudut dan jalan-jalan padukuhan, sehingga
menurut dugaan mereka, tidak seorang penjahatpun yang
akan dapat mengganggu mereka.
Karena itulah, maka justru mereka telah tidur dengan
nyenyaknya. Hanya satu dua rumah para bebahu
padukuhan sajalah yang masih disibukkan oleh beberapa
orang perempuan yang merebus air dan menyiapkan
makanan bagi para peronda yang akan berjaga-jaga
semalam suntuk dan yang agaknya tidak hanya semalam itu
saja. Tetapi beberapa orang perampok itu tidak akan menuju
ke rumah yang masih sibuk itu. Mereka sudah menentukan,
rumah yang mana yang akan menjadi sasaran mereka
malam itu. Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalanpun
kemudian tertegun ketika mereka melihat para perampok
itu mendekati sebuah rumah joglo yang besar. Rumah yang
berhalaman luas dan mempunyai sebuah regol yang
menarik. "Itulah sasarannya" desis Mahisa Bungalan.
Sambil mengangguk Witantrapun berbisik "Agaknya
memang demikian" Untuk beberapa saat lamanya mereka menunggu. Para
perampok itupun agaknya sedang menunggu kesempatan
sebaik-baiknya. Mereka bersembunyi rapat-rapat dihalaman
di depan rumah itu ketika empat orang peronda berjalan
lewat lorong dimuka rumah itu pula. Seorang diantara
mereka itu berkata "Agaknya penghuninya sudah tidur
nyenyak" "Ya" jawab yang lain "tiga orang penghuni laki-laki di
rumah itu berada di gardu-gardu"
"Merekapun selalu mengelilingi padukuhan ini. Setiap
kali mereka tentu lewat jalan ini pula sambil mengamati
rumahnya" berkata orang yang pertama.
"Seperti kita juga" jawab yang lain "setiap kali kita
meronda lewat lorong di depan rumah kita masing-masing.
Empat orang peronda itu berjalan terus. Namun agaknya
setiap kali ada saja yang lewat melalui lorong-lorong di
dalam padukuhan itu, seperti yang dikatakan oleh salah
seorang peronda yang lewat, bahwa setiap orang berusaha
untuk melihat-lihat halaman rumah masing-masing.
Demikian keempat orang itu lewat, maka para perampok
itupun segera bertindak. Pemimpinnya berkata "Kita harus
memasuki rumah itu dan menutup pintunya, jika peronda
berikutnya lewat, mereka tidak akan tahu, apa yang terjadi
di dalamnya" "Jika penghuninya berteriak?" bertanya kawannya
"Tidak seorangpun yang akan berbuat demikian" berkata
pemimpinnya "kecuali jika orang-orang itu sudah jemu
hidup" Tidak seorangpun lagi yang mengatakan sesuatu. Yang
kemudian mereka lakukan adalah mendekati pintu samping
rumah itu. "Ketuk, perlahan-lahan" desis pemimpinnya.
Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalanpun telah
berusaha mendekat lagi. Mereka harus mengetahui, apa
yang sedang dilakukan oleh para perampok itu, sehingga
mereka akan dapat mengambil satu sikap jika keadaan
memaksa. Salah seorang perampok itupun kemudian mengetuk
pintu samping perlahan-lahan. Seolah-olah mereka sama
sekali tidak tergesa-gesa dan tidak mempunyai kepentingan
yang mendesak. Sejenak kemudian terdengar desah di dalam rumah itu.
Lalu terdengar pula suara seorang perempuan "Siapa?"
"Aku. Ada pesan dari suamimu" jawab orang yang
berada di luar. Jawaban itu ternyata telah mengejutkan perempuan di
dalam rumah itu. Dengan tergesa-gesa terdengar langkah
mendekati pintu sambil bertanya "Pesan apa?"
"Tidak penting" jawab yang diluar "tetapi karena
keadaan nampaknya menjadi semakin gawat, ia tetap
berada digerbang padukuhan sebelah Barat"
"Pesan apa?" bertanya perempuan itu.
"Aku membawa kerisnya. Keris itu tidak penting.
Malahan pendoknya akan dapat dirampas oleh orang jahat.
Ia sudah membawa tombak panjang" jawab suara diluar.
Perempuan itu tidak berpikir panjang. Suaminya
kebetulan memang membawa keris seperti kebanyakan lakilaki
di padukuhan itu. Meskipun mereka membawa pedang
dan tombak, namun pada umumnya mereka telah
membawa keris pula. Apalagi keris yang mempunyai nilai
dan tuah. Namun betapa terkejutnya perempuan itu. Demikian ia
membuka selarak pintu, dengan tidak diduga-duga itu telah
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terdorong keras sehingga perempuan itu hampir saja jatuh
terlentang. Belum lagi ia sempat membenahi diri, beberapa orang
laki-laki garang telah berloncatan memasuki rumahnya
sambil mendorongnya kesudut. Seorang ditantara mereka
mengacukan goloknya sambil berkata "Jangan berteriak"
Yang terjadi itu sama sekali tidak terduga-duga.
Perempuan itu menganggap bahwa padukuhan itu tentu
tidak akan diganggu selama setiap laki-laki berada di gardugardu
dan dijalan-jalan. Tidak mungkin ada seorang
penjahatpun yang akan dapat lolos dari penjagaan mereka,
sehingga tanpa curiga, ia telah membuka pintu. Namun
ternyata ia sudah berhadapan dengan beberapa orang yang
nampaknya adalah para penjahat.
Salah seorang dari mereka yang memasuki rumah itu
pun kemudian menutup pintu. Dengan demikian, maka jika
sekelompok peronda lewat, maka tidak akan timbul kesan
apapun juga dari dalam rumah itu.
"Jangan berbuat sesuatu yang dapat memperpendek
nyawamu ancam salah seorang laki-laki yang berjambang
lebat. Perempuan itu menjadi gemetar. Seandainya ia ingin
berteriakan, suaranya tidak lagi dapat meloncat dari
kerongkongannya. "Siapa saja yang berada di rumah ini" bertanya
pamimpin sekelompok perampok itu.
Perempuan itu tergagap. Tetapi pemimpin perampok itu
bertanya lebih garang lagi, meskipun tidak terlalu keras "
Siapa lagi yang berada di rumah"
"Anakku" desis perempuan itu ketakutan.
"Dimana?" bertanya pemimpin perampok itu.
"Tidur" jawab perempuan itu.
"Berapa orang?" bertanya perampok itu pula.
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Anakku lakilaki
tidak ada di rumah sekarang"
Pemimpin perampok itu mengangguk-angguk. Katanya
"Aku tahu, bahwa samua laki-laki di rumah ini sudan
Keluar. Perempuan itu menjadi semakin pucat. ubuhnya yang
gemetar menjadi basah oleh keringat.
"Dimana mereka tidur?" bentak salah seorang dari
perampok-perampok itu. "Di dalam bilik sebelah" jawab perempuan itu gemetar.
Seorang perampok berusaha untuk menjenguknya.
Ternyata di dalam bilik itu memang terdapat dua orang
gadis yang sedang tidur nyenyak.
Sejenak perampok itu memandanginya dengan mata
tanpa berkedip. Namun kemudian iapun meninggalkan
pintu bilik itu kembali kepada pemimpinnya "Ya. Dua
orang gadis. Aku tidak tahu pasti, apakah keduanya cantik
atau tidak. Tetapi keduanya nampak tidur dengan
nyenyaknya. Agaknya keduanya sudah cukup besar untuk
kawin" Beberapa orang perampok tertawa tertahan. Namun
dengan demikian, hati perempuan itu menjadi semakin
bergetar. "Nah" berkata pemimpin perampok itu "sekarang
serahkan semua harta milikmu. Aku tahu, kau cukup kaya.
Kau mempunyai perhiasan intan berlian. Kau mempunyai
perhiasan emas dan perak"
"Aku tidak mempunyai apa-apa" desis perempuan itu
hampir menangis. "Jangan menghambat tugas-tugasku" berkata pemimpin
perampok itu "aku tidak mempunyai banyak waktu. Setiap
saat, jalan di depan rumah ini dilewati para peronda.
Meskipun aku akan dapat mambunuh siapa saja yang
berusaha menangkap aku, tetapi agaknya itu tidak perlu aku
lakukan, jika kau tidak membuat onar disini"
Perempuan itu masih ragu-ragu.
"Cepat, jika kami tidak menemukan apa-apa disini,
maka yang paling berharga akan kami ambil dari rumah
ini" geram pemimpin perampok itu.
"Apa?" bertanya perempuan itu.
"Kedua anak gadismu. Harganya akan sama dengan
emas, perak dan berlian" jawab pemimpin perampok itu.
Beberapa orang kasar itu tertawa meskipun tidak terlalu
keras. Bahkan salah seorang dari mereka bergumam "Aku
memilih perempuan itu saja. Aku dapat membawanya
pulang dan menjadikannya seorang perempuan yang
bahagia" Karena itulah, maka perempuan itupun menjadi semakin
gemetar. Tentu saja ia tidak akan membiarkan anaknya
mengalami perlakuan yang dapat membuat anaknya
menderita sepanjang umurnya.
"Cepat" tiba-tiba saja pemimpin perampok itu
membentak "jangan menunggu kami kehilangan
kesabaran" Perempuan itu tidak dapat berbuat lain. Katanya
"Tunggulah Aku akan mengambil apa yang aku punya"
"Jangan tipu kami" berkata pemimpin perampok itu
"aku ikut bersamamu. Dimanapun kau simpan barangbarang
itu" Perempuan itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan
lagi. Iapun kemudian pergi kedalam biliknya, disebelah
bilik anak-anaknya untuk mengambil perhiasannya yang
disimpan di dalam geledeg kayu. Lebih baik baginya
kehilangan perhiasan itu daripada anak gadis mengalami
perlakuan yang gila dari orang-orang kasar itu.
Pemimpin perampok itu menerima perhiasan perempuan
itu dengan hati yang berdebar-debar. Namun demikian,
nampaknya masih ada yang kurang. Sekali lagi ia
membentak "Dimana kamus dan timang suaminya?"
"Dipakai" jawab perempuan itu.
"Bohong" jawab pemimpin perampok itu "tentu tidak.
Jika ia pergi kedalam satu perjamuan mungkin ia
memakainya. Tetapi tentu tidak jika ia sekedar pergi
meronda" "Tetapi ia memakainya. Ia memakai kamus dan
timangnya yang terbuat dari emas. Kerisnyapun dibawanya,
sehingga jika kau kehendaki, aku tidak akan dapat
memberikannya" "Jangan bohong" pemimpin perampok itu menggeram
"aku dapat memerintahkan orang-orangku untuk dalam
sekejap membuat kedua anak perempuanmu itu menjadi
manusia yang tidak berharga lagi dalam pergaulan
hidupnya sehari-hari"
"Jangan, jangan berbuat demikian. Aku sudah
memberikan apa saja" jawab perempuan itu "yang lain
tidak ada di rumah. Lihatlah seluruh rumahku. Aku
memang masih mempunyai beberapa keping uang
simpanan jika kau kehendaki. Tetapi nilainya tentu tidak
seberapa dibanding dengan perhiasan-perhiasanku itu"
"Ambil uang itu" bentak pemimpin perampok itu.
Perempuan itupun kemudian mengambil simpanan
uangnya dan menyerahkannya kepada pemimpin perampok
itu. "Yang lain, aku minta yang lain" geram pemimpin
perampok itu pula. "Aku tidak punya apa-apa lagi " tangis perempuan yang
menjadi putus asa itu. Pemimpin perampok itupun kemudian memanggil
beberapa orang-orangnya dan diperintahkannya untuk
mencari apa saja yang dapat dibawanya diseluruh rumah
itu. Ternyata dua orang laki-laki yang kasar itu telah me
masuki bilik kedua anak gadis perempuan yang menjadi
kehilangan akal itu. Nampaknya keduanya justru berusaha
untuk membangunkan kedua gadis yang sedang tidur
nyenyak itu. Demikian kedua gadis itu terbangun, maka merekapun
telah terkejut karena dua ujung golok berada didada
masing-masing. "Dengan ribut anak-anak manis" desis laki-laki itu "aku
tidak akan berbuat apa-apa. Aku akan berbuat baik atas
kalian berdua" Kedua gadis itu menjadi gemetar. Namun keduanya
tidak dapat berbuat apa-apa.
"Dimana perhiasan kalian simpan" desis salah seorang
dari dua orang laki-laki yang menggenggam golok itu.
Kedua orang gadis itu menjadi gemetar. Mereka tidak
segera mengerti, apakah yang sedang mereka hadapi Tetapi
dua ujung golok itu telah membuat mereka menjadi
gemetar. "Bangunlah" desis laki-laki kasar itu "bangkitlah dan
tunjukkan kepadaku- dimanakah perhiasan kalian, kalian
simpan" Dengan tubuh gemetar keduanya bangkit dan
turun dari pembaringan. Samentara kedua orang laki-laki
itu tersenyum memandangi mereka.
"Cepat anak-anak manis" berkata salah seorang dari lakilaki
kasar itu "semakin lama aku menatap kalian berdua,
maka semakin berdebar jantungku didadaku. Cepat,
sebelum aku berubah sikap sehingga yang aku minta
bukannya perhiasan. "Aku tidak punya perhiasan" desis yang seorang dengan
suara patah-patah. "Apa?" geram laki-laki kasar itu "jangan mem buat kami
kehilangan kesabaran. Jika kalian tidak segera
menunjukkan, maka kalian akan menyesal, sebab kalian
akan kehilangan milik kaliah yang jauh lebih berharga"
Kedua gadis itu menjadi semakin ketakutan. Sementa ra
merekapun mendengar suara lain yang membentak-bentak
diluar bilik. "Ibumu telah menyerahkan perhiasannya" berkata salah
seorang dari laki-laki kasar itu "sekarang giliran kalian"
"Semua perhiasan kami, sudah kami serahkan untuk
disimpan kepada ibu" berkata salah seorang dari gadis gadis
itu. Wajah kedua orang laki-laki kasar itu menegang. Na
mun kemudian wajah itu telah berubah lagi. Sambil
tersenyum laki-laki itu berkata "Jangan bohong anak-anak
manis. Marilah, berikan perhiasan-perhiasan itu"
Belum lagi gadis-gadis itu menjawab, tiba-tiba ibunya
telah berlarian masuk kedalam bilik itu. Dengan serta merta
kedua anak gadisnya itupun telah dipeluknya. Betapa
gemetar tangan ibunya, namun ia masih berusaha untuk
melindungi anak-anaknya. Kedua laki-laki itu tertawa. Seorang laki-laki lain telah
memasuki bilik itu pula, sementara di depan pintu
pemimpin perampok itu menggeram "Aku masih menuntut
yang lain. Apapun juga. Waktuku tidak terlalu banyak"
"Tidak ada lagi yang dapat aku berikan" desis
perempuan yang ketakutan itu.
Perampok-perampok itu menjadi tegang. Nampaknya
mereka sudah kehabisan kesabaran, sementara diantara
mereka yang mencari sesuatu yang lain di rumah itu tidak
berhasil. "Aku benar-benar tidak mempunyai apapun lagi yang
dapat aku serahkan kepada kalian" berkata perempuan itu
dengan suara tersendat-sendat "semua sudah ada pada
kalian. Karena itu, pergilah. Tinggalkan kami bertiga"
Pemimpin perampok yang berdiri dipintu itu berdiri
termangu-mangu. Namun kemudian katanya "Jika kalian
tidak dapat memberi apapun lagi, maka rumah ini akan aku
bakar. Aku tidak tahu apakah kalian akan dapat
melepaskan diri atau tidak, karena kami akan menyalarak
pintu dari luar" "Jangan" teriak perempuan yang sedang memeluk kedua
anak perempuannya itu. "Diam" bentak pemimpin perampok itu, karena ia
mendengar suara orang tertawa dilorong di depan rumah
itu. Agaknya dua atau tiga orang peronda sedang berjalan
menyusuri lorong-lorong di dalam padukuhannya.
Perempuan itu menjadi tegang. Namun pemimpin
perampok itu berdesis "Jangan ganggu mereka yang sedang
bergurau disepanjang jalan itu. Biarlah mereka lewat. Kita
mempunyai urusan dan kepentingan sendiri"
Perempuan itu kian menegang. Namun pemimpin pe
rampok itupun berdesis "Kami dapat berbuat apa saja jika
kau berusaha untuk menarik perhatian mereka. Bukan
karena kami takut, tetapi sebenarnyalah kami masih segan
untuk membunuh. Tetapi jika kau berbuat sesuatu yang
dapat mencelakaimu sendiri, maka bukan hanya kau sajalah
yang akan menjadi korban. Tetapi setiap laki-laki yang
ingin menangkap kami, akan mati diujung senjata kami.
Mungkin laki-laki itu adalah suamimu, atau anakmu lakilaki"
Perempuan itu terbungkam oleh kecemasan yang
menghimpit dadanya. Karena itu, maka dengan gemetar ia
memeluk anak-anaknya semakin erat.
Dalam pada itu, Ampat orang peronda telah berjalan
lewat lorong di depan rumah itu. Untuk mengusir kantuk
dan barangkali juga sedikit kecemasan, mereka telah ber
gurau dengan riuhnya, sehingga suara mereka terdengar
dari jarak yang cukup panjang.
Pemimpin perampok yang berada di rumah itupun
segera memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk "tidak
menarik perhatian. Mungkin dengan suara atau bahkan
dengan perbuatan. "Biarlah mereka lewat" desis pemimpin perampok itu.
Orang-orang yang bergurau disepanjang lorong itupun
akhirnya sampai di depan rumah yang sedang dicengkam
oleh kecemasan itu. Tetapi karena tidak ada kesan apapun
yang mereka lihat, maka mereka sama sekali tidak mem
perhatikan apa yang telah terjadi di rumah itu.
Namun orang-orang yang lewai di lorong itu terkejui
ketika mereka mendengar seolah-olah sebuah batu yang
jatuh di dekat mereka. Tidak hanya satu, tetapi dua, tiga
bahkan empat. "He, siapakah yang talah melempar batu" yang seorang
bertanya dengan jantung yang berdebaran.
Orang-orang itu tiba-tiba saja telah merapat dan berdiri
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saling berdesakan. "Hantu" bisik salah seorang dari mereka.
Yang terjadi benar-benar tidak seperti yang dikehendaki
oleh Mahisa Agni. Witantra dan Mahendra. Merekalah
yang melempari orang-orang itu dengan batu, agar mereka
tertarik untuk melihat-lihat halaman rumah itu. Tetapi yang
dilakukan oleh orang-orang itu justru berlawanan, karena
mereka kemudian dengan tergesa-gesa lari sipat kuping.
Mahisa Agni dan Witantra berdesah. Mahisa Bungalan
bahkan hampir saja kehilangan pengamatan diri karena
kejengkelan yang tidak tertahankan. Untunglah bahwa
Witantra sempat menggamitnya dan memberi isyarat agar
ia tidak berbuat sesuatu.
Namun dalam pada itu, para perampok di dalam rumah
itupun terkejut karenanya. Jika orang-orang yang meronda
di lorong-lorong itu tiba-tiba saja berlari-larian, tentu ada
sebabnya. "Aku mendengar beberapa butir batu berjatuhan.
Agaknya itulah yang membuat mereka ketakutan" desis
salah seorang perampok. "Apa yang sebenarnya terjadi?" bertanya yang lain.
Pemimpin perampok itu termangu-mangu sejenak.
Namun iapun kemudian bertanya "Bukankah semua orang
ada di dalam?" "Ya. Semua orang ada di dalam" jawab seorang anak
buahnya. Namun iapun kemudian berkata pula "Ada sesuatu yang
kurang wajar. Karena itu, kita jangan terlalu lama"
"Bagaimana dengan barang-barang yang lain?" bertanya
salah seorang pengikutnya.
Pemimpin perampok itu memandang perempuan yang
sedang memeluk anaknya itu dengan wajah yang
menakutkan. Apalagi ketika ia menggeram "Kau membuat
kami marah. Kau tidak menyerahkan semua kekayaanmu"
"Aku sudah menyerahkannya semua yang aku miliki.
Perhiasan itu bernilai sangat tinggi. Kami sekeluarga
mengumpulkannya selama duapuluh tahun. Dan kini
semuanya kau bawa seperti kau mengambil milikmu
sendiri" "Persetan" geramnya. Lalu katanya kepada orangorangnya
"bersiap-siaplah. Kita akan meninggalkan tempat
ini" Para perampok itupun kemudian bersiap-siap untuk
pergi. Meskipun mereka masih belum puas, tetapi yang
terjadi di lorong di hadapan rumah itu memang perlu
mendapat perhatian. Orang yang berlari-lari itu tentu akan
pergi ke gardu dan melaporkannya, jika kawan-kawannya
tidak percaya, maka mereka tentu akan berdatgenuangan.
Karena itu, maka pemimpin perampok itupun segera
memerintahkan orang-orangnya untuk dengan hati-hati
meninggalkan rumah itu. "Gadis itu" tiba-tiba seorang laki-laki kasar berdesis.
"Kenapa dengan gadis itu?" bertanya pemimpin
perampok. "Aku akan membawanya" jawab laki-laki kasar itu.
"Gila. Apakah kau akan mempertaruhkan gadis itu
dengan seluruh nyawa kawan-kawanmu. Cepat, tinggalkan
rumah ini. Atau kau ingin tinggal di sini?" bertanya
pemimpin perampok itu. Laki-laki kasar itu tidak menjawab. Ketika ia berpaling
terhadap gadis-gadis itu, maka terasa tubuh gadis-gadis itu
meremang. Namun laki-laki itu tidak dapat berbuat apaapa,
karena kawan-kawannya segera bersiap-siap untuk
meninggalkan rumah itu. Namun mereka masih sempat mengancam "Kami akan
kembali lagi pada satu kesempatan"
Ketiga perempuan itu masih gemetar, mereka berharap
bahwa orang-orang itu akan segera pergi meninggalkan
mereka. Meskipun semua perhiasan yang ada pada mereka
telah dibawa, tetapi mereka tetap selamat dan tidak
mengalami perlakuan yang lebih buruk lagi.
Dalam pada itu, orang-orang yang berlari-larian karena
ketakutan itu telah sampai ke gardu yang terdekat. Seperti
yang diperhitungkan oleh para perampok, maka mereka
pun segera berceritera-tentang beberapa buah batu yang
berjatuhan tanpa diketahui asalnya.
"Hantu" desis salah seorang dari keempat orang itu.
"Omong kosong" jawab kawannya "kalian memang
penakut" "Lihatlah sendiri, jika kau tidak percaya" jawab seorang
yang lain. "Aku akan melihat" geram orang yang merasa dirinya
mempunyai keberanian lebih dari kawan-kawannya.
Namun dalam pada itu, lima orang telah meninggalkan
gardu itu. Tiga dari empat orang yang merasa dirinya
dilempari batu itupun mengikut pula untuk menunjukkan
tempat di mana mereka mendapat lemparan-lemparan itu,
sehingga jumlah mereka menjadi delapan orang.
Demikian delapan orang itu dengan tergesa-gesa
mandekati regol rumah yang sedang mengalami
perampokan itu, para perampok telah turun ke halaman.
"Mereka benar-benar datang" desis salah seorang
perampok. "Jangan bodoh" geram pemimpinnya "mereka datang
dari depan. Kita akan meninggalkan tempat ini dari
belakang" "Tetapi mereka akan segera mengetahui bahws kita baru
saja memasuki halaman rumah ini. Perempuan-Perempuan
itu tentu akan berceritera, sehingga sejenak kemudian akan
terdengar suara titir" sahut yang lain.
"Aku bawa seorang dari Perempuan-Perempuan itu"
berkata laki-laki kasar yang sejak semula ingin membawa
salah seorang gadis itu "jika mereka berteriak, kita akan
mengancam nyawa perempuan yang kita bawa"
Pemimpin perampok itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian iapun mengangguk. Katanya "bawa
perempuan itu. Tetapi hati-hati"
Laki-laki kasar itu kembali memasuki rumah dari pintu
butulan. Dengan senjata teracu ia memaksa salan seorang
gadis itupun mengikutinya. Ketika gadis itu akan berteriak,
maka ujung pedangnya telah menyentuh dadanya sambil
berdesis "Dadamu terlalu muda untuk ujung pedangku ini.
Tetapi apa boleh buat. Jika kau berteriak, maka kau akan
mati Ibumu akan mati dan saudaramu itupun akan mati.
Ayah dan kedua saudaramupun akan mati pula apabila
mereka mendengar suaramu dan berusaha untuk
menolongmu" Suasana menjadi tegang. Tetapi tidak seorangpun dapat
mencegahnya ketika laki-laki kasar itu menarik gadis itu
keluar dengan ancaman "Jangan bunuh diri. Gadis ini akan
selamat iika kalian berbuat baik"
Ibu dan saudara perempuan gadis itu menahan gejolak
hatinya didada yang hampir retak. Tetapi mereka benarbenar
tidak berani berbuat apa-apa, karena senjata laki-laki
kasar itu selaku melekat di tubuh gadis itu.
"Jika peronda itu datang, katakan, tidak terjadi sesuatu,
Nanti, jika keadaan sudah tenang, aku akan
mengembalikan anak perempuanmu. Jika nanti keadaan
masih berbahaya bagiku, besok pagi aku akan
mengembalikannya" pesan laki-laki kasar itu.
"Jangan besok pagi" minta perempuan itu.
"Apaboleh buat" jawab laki-laki kasar itu. Demikianlah,
laki-laki kasar itu telah menarik gadis itu lewat pintu
butulan menyusul kawan-kawannya. Mereka tidak melalui
regol depan dari halaman rumah itu. Tetapi mereka keluar
lewat regol belakang. Ternyata para perampok itu tidak meninggalkan kebun
belakang yang rimbun dari rumah yang besar itu. Kebun
yang berada diluar dinding halaman, sehingga kebun itu
seolah-olah sama sekali tidak terpelihara.
"Kita tidak perlu lari" berkata pemimpin perampok itu.
"Ya" jawab laki-laki kasar itu "aku sudah berpesan agar
ia tidak mengatakan sesuatu tentang anak gadis ini"
Tetapi salah seorang dari mereka itupun bertanya
"Tetapi jika yang datang itu adalah ayahnya atau saudarasaudaranya,
maka mereka tentu mengerti, bahwa penghuni
rumah itu sudah berkurang seorang"
Pemimpin perampok itu ragu-ragu sejenak. Namun
kemudian katanya "Baiklah. Kita meninggalkan tempat ini"
Lalu katanya kepada laki-laki kasar itu "Urus perempuan
itu agar tidak mengganggu diperjalanan"
Para perampok itu sudah siap untuk meninggalkan
kebun yang tidak terpelihara itu. Mereka mulai beringsut
dengan hati-hati, agar mereka tidak terperosok kedalam
lingkungan para peronda. Karena itu, maka dua orang yang disiang harinya sudah
menjelajahi tempat itu oleh pemimpinnya diperintahkan
untuk berada dipaling depan.
Dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa
Bungalan menjadi berdebar-debar. Mereka tidak
menyangka, bahwa orang-orang pedukuhan itu sebagian
ternyata sangat penakut, sehingga usahanya untuk menarik
perhatian mereka justru berakibat sebaliknya, sehingga ada
kesempatan bagi para perampok itu untuk meninggalkan
tempatnya. Dan yang juga tidak mereka duga-duga, adalah
bahwa perampok-perampok itu telah membawa seorang,
gadis untuk memastikan keselamatan mereka. Namun
menilik pembicaraan dan sikap laki-laki kasar itu. maka
gadis itu akan dapat mengalami perlakuan yang sangat
pahit. "Apa yang harus kita lakukan?" bisik Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni masih ragu-ragu.
Namun akhirnya ia berkata "Kita harus menarik
perhatian para peronda yang datang itu. Sementara dua
orang di antara kita mengawasi nasib gadis itu"
Mahisa Bungalan mengangguk. Lalu katanya "Aku akan
mengawasi gadis itu"
"Bersama dengan pamanmu Witantra" berkata Mahisa
Agni "aku akan berada disini untuk memancing para
peronda itu" Mahisa Bungalan mengangguk, sementara Witantrapun
kemudian berdesis "Marilah, jangan kehilangan jejak"
Keduanyapun segera menyusul para perampok itu
dengan sangat berhati-hati. Jika para peronda tidak
menemukan mereka, maka mereka tentu akan lepas dengan
bebas. Adalah tidak mungkin bagi laki-laki kasar itu untuk
datang kembali menyerahkan gadis yang dibawanya.
Demikianlah, ketika para peronda yang datang
kemudian itu sibuk membicarakan batu-batu yang
dilemparkan oleh hantu dari halaman rumah itu maka
seorang dari mereka yang agaknya memiliki keberanian
telah memasuki halaman sambil berkata "Aku akan
melihat, dimana hantu itu bersembunyi"
Mahisa Agni melihat kemungkinan untuk menarik
perhatian mereka lebih lanjut. Karena itu, maka iapun telah
melemparkan sebutir batu keatas atap yang kemudian
bergilir jatuh dihalaman.
"Batu. Batu" desis peronda yang sudah ketakutan.
Yang memiliki keberanian itupun kemudian mendekat
lagi. Ketika sekali lagi sebutir batu jatuh, maka ia
melangkah surut. "Penakut" geram Mahisa Agni di dalam hatinya. Ia
mulai gelisah, bahwa ia tidak berhasil menarik perhatian
orang-orang itu memasuki rumah atau menemukan tandatanda
perampokan yang lain. Apalagi perempuan di rumah
itu tentu tidak akan berani berterus terang bahwa anak
gadisnya telah dibawa. Sementara itu, maka orang-orang yang berada dihalaman
itu sudah berkumpul merapat. Namun orang yang paling
berani itu masih mencoba berteriak "He, siapa yang
melempari batu" Suara itu terdengar jelas dari dalam rumah. Tetapi
seperti yang dipesankan, perempuan penghuni rumah itu
sama sekali tidak berani berbuat sesuatu.
Namun dalam pada itu, anak gadisnya yang seoranglah
yang menangis terisak sambil berkata "Biyung, bagaimana
dengan Genuk. Apakah biyung rela, Genuk dibawa oleh
perampok" "Demi keselamatannya ngger" jawab ibunya.
"Tetapi biyung dapat minta tolong kepada para peronda.
Mereka tentu akan bersedia membantu kita mengejar para
perampok itu" tangis anaknya.
"Tetapi bagaimana nasib Genuk kemudian" ibunya
menjadi semakin gemetar. Anaknya menangis semakin keras, sehingga orang-orang
yang berada diluar itupun akhirnya mendengarnya pula.
"Siapa menangis?" bertanya salah seorang dari para
peronda itu. "Kuntilanak" yang lain berdesis.
Mahisa Agni yang mendengar pembicaraan itu mengeluh
di dalam hatinya. Namun dalam pada itu, maka ia tidak
mempunyai cara lain untuk menarik perhatian para
peronda itu. Karena itu, maka setelah berpikir sejenak,
Mahisa Agni itupun kemudian berlari melintasi halaman
samping. Kakinya yang menghentak-hentak diatas tanah
terdengar oleh para peronda itu. Sementara Mahisa Agni
dengan sengaja berlari ditempat terbuka.
"He, orang lari. Kau melihat orang berlari?" tiba-tiba saja
seorang diantara para peronda itu berteriak.
"Ya. Seorang yang lari kedalam gelap" sahut yang lain
"Jika demikian, nampaknya orang itulah yang telah
melempari kita dengan batu" geram yang lain.
"Ya, ya. Orang itu. Marilah kita lihat" geram orang yang
paling berani. Orang-orang itupun kemudian berlari-larian menuju ke
halaman samping. Sementara itu, orang-orang itupun
mendengar suara tangis di dalam rumah.
"Lihat kedalam. Dua diantara kalian" berkata orang
yang paling berani. Dua diantara para peronda itupun kemudian mengetuk
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pintu samping yang diselarak dari luar. Dalam pada itu,
maka perempuan yang kehilangan anak perempuannya itu
termangu-mangu. "Bukalah biyung" desis anak gadisnya yang masih dalam
pelukannya. "Bagaimana dengan Genuk" isak ibunya yang tidak
dapat menahan gejolak perasaannya lagi.
"Biyung harus minta tolong sebelum Genuk menjadi
semakin jauh" jawab anaknya "itu akan lebih baik dan pada
Genuk berada diantara para penjahat yang kasar itu
Selagi ibunya ragu-ragu, anak gadis itulah yang men jawab
"Tolong buka dari luar"
Para peronda itu melihat, bahwa pintu telah diselarak
dari luar. Karena itu, maka merekapun segera membukanya
dan dengan tergesa-gesa masuk.
"Apa yang terjadi?" bertanya salah seorang dari kedua
peronda itu. Ketika perempuan yang kehilangan anaknya itu masih
ragu-ragu, anak perempuanyalah yang menyahut dengan
nafas terengah-engah perampok"
"Perampok?" keduanya terkejut.
Gadis itupun segera menceriterakan apa yang telah
terjadi di dalam rumah itu. Dan apa yang telah dialami sau
daranya yang disebut Genuk itu.
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian yeng seorang berkata "Aku akan membunyikan
tanda bahaya sebelum mereka sempat keluar dari
padukuhan ini" "Tetapi bagaimana dengan Genuk " tangis perempu an
itu. "Kita akan mencari jalan untuk membebaskannya.
Tetapi kita memang harus berhati-hati"
"Tetapi cepat, lakukanlah" Minta gadis yang menjadi
sangat cemas atas nasib saudaranya.
"Aku akan mengatakan kepada ayah dan saudarasaudaramu.
Kita akan membicarakannya" berkata salah
seorang dari kedua peronda itu.
"Ya. Tetapi capat lakukan" gadis itu tidak sabar lagi.
"Baiklah. Baiklah" jawab keduanya hampir bersamaan
beberapa orang kawanku sedang mengejar seseorang yang
berlari dihalaman samping. Kami berdua akan kembali ke
gardu dan mencari ayahmu"
"Cepat, cepat" gadis itu hampir berteriak.
"Kedua orang peronda itupun kemudian berlari me
ninggalkan rumah itu. Mereka tidak menunggu kawankawannya
yang menurut anggapannya sedang mengejar
seorang dari para perampok itu. Bahkan salah seorang dari
keduanya berkata "Tidak ada kesempatan lagi untuk
membuat pertimbangan-pertimbangan. Mungkin mereka
sudah mendekati dinding padukuhan yang lepas dari peng
amatan" "Tetapi yang seorang itu masih ada di dalam. Bahkan
masih di halaman ini" berkata yang lain.
"Mungkin ia justru orang terbaik yang membikin
perhatian, sementara kawan-kawannya sudah berlari
semakin jauh. Karena itu, kau sajalah yang
memberitahukan kepada kawan-kawan dan mencari ayah
serta saudara saudara Genuk yang dibawa lari itu. Aku
akan memukul tanda bahaya"
"Juga digardu bukan?" bertanya kawannya.
"Ya. Sementara kau berceritera, aku sudah kentongan"
Keduanyapun telah sepakat melakukannya. Karena itu,
maka demikian mereka sampai ke gardu, maka seorang
diantara mereka langsung memukul kentongan,
memberikan isyarat bahaya kepada semua orang di
padukuhan itu, sementara yang lain menceriterakan apa
yang telah mereka ketahui.
Suara kentongan itu benar-benar telah mengejutkan seisi
padukuhan itu. justru pada saal setiap laki-laki keluar dari
rumahnya dan berada digardu-gardu, di regol dan di loronglorong.
Karena itulah, maka dengan cepatnya suara
kentongan itu telah menjalar kesegenap sudut padukuhan.
Dalam pada itu, selagi dua orang dari gardu itu mencari
ayah dan saudara-saudara Genuk yang berada diregol,
maka ibu Genuk lelah menangis terisak semakin keras, la
benar-benar mencemaskan nasib anak perempuannya.
Jika para perampok itu menjadi putus asa dan
kehilangan kesempatan, maka mereka akan dapat berbuat
diluar peri kemanusiaan dengan membunuh Genuk.
Tetapi suara kentongan itu sudah memenuhui
padukuhan. Bahkan dari pedukuhan tetangga yang terdekat
pun telah terdengar pula suara kentongan menyahut,
sehingga dengan demikian peronda di padukuhan tetangga
itupun telah mendengarnya pula.
Karena itu, maka setiap laki-laki yang memang sudah
berada diluar rumah itupun segera bersiaga. Mereka segera
memancar kesegenap penjuru padukuhan. Regol-regol
dijaga seketatnya, sementara yang lain dengan senjata
ditangan, mengamati setiap jengkal tanah di padukuhan itu.
"Gila" geram pemimpin perampok "mereka telah
memukul kentongan. Nampaknya usaha kita membawa
gadis itu tidak ada gunanya"
"Anak setan" geram laki-laki kasar yang membawa gadis
yang hampir mati beku itu "biyungmu tidak menempati
janjinya. Nampaknya ia sudah tidak lagi memerlukan kau.
Karena itu, malanglah nasibmu anak manis"
Gadis itu sama sekali tidak dapat mengucapkan kata-kata
lagi. Wajahnya yang tegang dan jantungnya yang bagaikan
telah kejang itu, membuatnya bagaikan patung yang mati.
"He, apa katamu" bentak laki-laki kasar itu. Tetapi gadis
itu seolah-olah telah menjadi gagu. Ia tidak dapat berbicara
apapun juga betapapun hatinya bergejolak. Bahkan rasarasanya,
kulitnya sudah tidak merasakan sesuatu meskipun
tangan laki-laki kasar itu mengenggam lengannya erat-erat.
"Bukan hanya nasibnya yang malang" berkata pemimpin
perampok itu kemudian "tetapi setiap orang yang berusaha
membebaskanmu, akan mengalami nasib malang. Baiklah.
Kita akan menunggu Kita tidak akan lari. Jika mereka
datang, kita akan membunuh setiap orang.
"Apakah kita tidak berusaha keluar?" bertanya salah
seorang diantara mereka. "Tidak ada gunanya" jawab pemimpin perampok itu
"semuanya tentu sudah diawasi. Tetapi kita akan melihat
keadaan. Jika ada rasa belas kasihan dihati kita, maka kita
akan meninggalkan tempat ini tanpa menumpas setiap lakilaki.
Aku akan menentukan kemudian. Tetapi suara
kentongan itu membuat hatiku menjadi sakit"
"Bagaimana dengan gadis ini" bertanya laki-laki kasar
itu. "Terserah kepadamu. Tetapi ia akan dapat kita
pergunakan sebagai perisai jika diperlukan. Namun
agaknya pedang kita akan lebih berharga dari gadis itu"
jawab pemimpin perampok itu.
"Aku akan memberinya sedikit pelajaran. Juga kepada
orang tuanya sebelum kita mengambil keputusan lain. Jika
ayah dan saudara-saudara laki-lakinya akan mati, biarlah
ibunya menyesali kesalahannya sedalam-dalamnya" geram
laki-laki kasar itu. "Apa yang akan kau lakukan?" bertanya kawannya.
"Masih ada waktu untuk berbuat apa saja. Tetapi
agaknya aku akan dapat menahan setiap orang yang akan
menangkap kita dengan mempergunakannya sebagai perisai
jika kita berniat untuk lari" berkata laki-laki kasar itu.
"Sudah aku katakan, kita tidak akan lari. Kecuali setelah
aku melihat kemungkinan yang dapat menumbuhkan belas
kasihan kita kepada mereka"
Para perampok itu tidak membantah lagi. Apalagi ketika
pemimpin perampok itu berkata "Kita akan dapat
membunuh siapapun yang ingin kita bunuh"
Nampaknya pemimpin perampok itu benar-benar
tersinggung mendengar suara kentongan yang memenuhi
padukuhan itu. Karena itu, maka ia tidak lagi bersikap lebih
lunak. Ia tidak lagi ingin melawan sambil menarik diri.
Tetapi nampaknya kemarahannya akan ditumpahkan
kepada setiap orang yang berusaha menangkapnya.
Dalam pada itu, Witantra dan Mahisa Bungalan yang
mengawasi mereka menjadi ragu-ragu. Bagaimana mereka
dapat menyelamatkan gadis itu. Dalam keadaan yang
demikian, nasib gadis itu tentu akan menjadi buruk sekali.
Jika para perampok itu banar-banar berhasil membunuh
setiap orang yang berani mendekat, sehingga kemudian
tidak ada lagi orang yang berani melawan mereka, maka
gadis itu tentu akan dibawanya. Bahkan mungkin
kemarahan orang-orang itu masih akan meluap kepada
keluarga gadis itu. Kepada saudara perempuannya dan
kepada ibunya. Karena itu, untuk beberapa saat, keduanya masih harus
menunggu perkembangan keadaan., Mungkin pada salu
saat mereka akan mendapat kesempatan.
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang berhasil menarik
perhatian beberapa orang peronda, tidak segera menarik
mereka kepada para perampok yang telah meninggalkan
halaman itu. Mahisa Agnipun memperhitungkan kecuali
keselamatan gadis yang telah dibawa oleh para perampok
itu, iapun harus memperhitungkan orang-orang yang
mengejarnya itu. Mereka hanya beberapa orang saja yang
tentu tidak akan dapat melawan para perampok yang
jumlahnya cukup banyak. Karena itu, maka dengan kemampuan yang ada
padanya. Mahisa Agni telah berhasil melepaskan diri dari
pengamatan orang-orang itu, sehingga kemudian iapun
telah berusaha untuk menelusuri jejak para perampok.
Ternyata para perampok itupun tidak bersembunyi
terlalu jauh Mereka berada dihalaman kosong yang sudah
menjadi belukar. Banyak rumpun bambu yang liar tumbuh
disela-sela gerumbul-gerumbul perdu. Sehingga dengan
demikian tempat itu dapat dipergunakan sebagai tempat
persembunyian yang baik. Tetapi Mahisa Agni tidak segera dapat menemukan
Witantra dan Mahisa Bungalan. Meskipun demikian, ia
tidak tergesa-gesa. Pada suatu saat, ia tentu akan dapat
mene mukan mereka. Sementara itu, orang-orang di padukuhan itupun telah
bergerak. Dengan hati-hati mereka mengelilingi setiap sudut
dan persimpangan jalan. Sementara itu, ayah dan saudara
laki-laki gadis yang hilang itu telah diberitahukan pula,
sehingga berlari-lari mereka pulang ke rumahnya.
Yang mereka ketemukan adalah ibu dan gadisnya yang
seorang yang sedang menangis.
"Bagaimana dengan Genuk?" bertanya ayahnya.
Ibunya hanya dapat terisak-isak. Sementara anak
gadisnyalah yang berceritera tentang orang-orang kasar
yang telah memasuki rumahnya dan membawa saudara
perempuannya "Gila" geram ayah dan kedua saudara laki-lakinya "aku
harus menemukannya. Mereka tentu belum dapat keluar
dari padukuhan ini. Dengan suara kentongan ini, maka
semua jalan keluar sudah ditutup"
Namun ternyata gadis yang kehilangan saudaranya itu
bertanya "Tetapi bagaimana mereka dapat masuk"
Bukankah padukuhan ini sudah dijaga baik-baik"
Ayahnya termangu-mangu sejenak. Namun iapun ke
mudian berdesis "Ya. Kenapa dapat memasuki padukuhan
ini tanpa kami ketahui"
"Tentu mereka bukan perampok seperti kebanyakan
perampok" berkata salah seorang anaknya.
"Tetapi kita tidak dapat berbicara saja tentang Genuk.
Aku akan mencarinya" berkata ayahnya.
"Kita semua akan mencarinya" geram saudara lakilakinya.
"Tinggallah di rumah" berkata ayah Genuk kepada
isterinya "berhati-hatilah. Aku akan minta dua orang untuk
menunggui kalian. Mungkin masih ada satu dua orang
perampok yang berada disekitar rumah ini"
Demikianlah, ketiga orang laki-laki yang kehilangan
Genuk itu dengan tergesa-gesa turun dari pintu butulan. Di
luar beberapa orang telah menunggunya. Bahkan orangorang
yang mengejar bayangan yang telah menarik
perhatian mereka, tetapi tidak dapat mereka ketemukan
telah berada dihalaman itu pula.
"Orang itu seperti hilang dalam kabut" berkata salah
seorang diantara mereka. Orang-orang yang berada dihalaman rumah itupun
termangu. Nampaknya mereka memang berhadapan
dengan sekelompok perampok yang tangguh dan
berbahaya. "Mereka memang gila" berkata laki-laki yang lain
"mereka sengaja melempari kami dengan batu. Mereka
sengaja menyatakan dirinya"
"Kalau begitu kita semuanya harus berhati-hati" berkata
ayah Genuk. Lalu "Anak perempuanku ada ditangan
mereka. Aku ingin mendapatkannya kembali. Tanpa cidera
Laki-laki yang berkumpul dihalaman itupun segera
mempersiapkan diri. Dua orang diantara mereka, akan
menjaga rumah itu. Mereka tidak akan berada diluar, tetapi
mereka akan berada di dalam dengan menyiapkan sebuah
kentongan. Jika keadaan menjadi gawat mereka akan
memukul kentongan itu. Sementara suara kentongan di
padukuhan itu masih bergema. Tetapi kentongan di rumah
itu akan berbunyi dengan nada yang berbeda, yang telah
sama-sama disepakati. "Orang-orang digardu itu akan diberitahu" berkata salah
seorang dari mereka "isyaratmu yang khusus tentu akan
segera diketahui" Demikianlah, maka orang-orang yang berkerumun
itupun segera meninggalkan halaman itu. Dua diantara
mereka tinggal menunggui kedua perempuan yang
ketakutan itu dengan kentongan kecil ditangan. Pada saatsaat
yang gawat, kentongan itu akan berbunyi dengan irama
yang khusus. Gardu yang tidak terlalu jauh dari rumah itu
tentu akan mendengar, dan orang-orang digardu itu tentu
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan dapat mengambil satu tindakan khusus. Apalagi
dalam keadaan yang gawat, banyak orang yang berjalan
hilir mudik di lorong-lorong diseluruh padukuhan itu sambil
mencari dimana para perampok itu bersembunyi.
Dalam pada itu, para perampok itupun masih berkumpul
di kebun yang kosong, yang penuh dengan belukar perdu
dan rumpun-rumpun bambu yang liar., Mereka menunggu
sambil bersiaga. Bagaimanapun juga, orang-orang
padukuhan itu tentu akan menemukan mereka. Namun
kemarahan yang memuncak dari pemimpin gerombolan
perampok itu nampaknya telah membakar jantungnya,
sehingga ia bertekad untuk menghukum orang-orang
padukuhan yang telah meneriaki mereka dengan suara
kantongan. Beberapa orang peronda memang telah berkeliaran di
lorong disebelah halaman kosong itu. Namun mereka
masih belum berusaha menerobos kebun yang menjadi liar
itu. Beberapa orang laki-laki telah berjalan dengan obor
ditangan, sementara yang lain membawa berbagai macam
senjata. "Kelinci-kelinci yang malang" desis para perampok
"mereka akan mati"
Sementara itu, laki-laki kasar yang menguasai gadis yang
lagaikan membeku itupun masih iuga memegangi lengan
gadis itu. Sekali-kali tangan itu dihentakkannya. Sementara
gadis itu sama sekali sudah tidak berdaya.
"Aku akan mengikatnya" tiba-tiba saja laki-laki kasar itu
berdesis "Kenapa?" bertanya pemimpinnya.
"Aku akan berkelahi. Baru setelah orang-orang bodoh itu
lari meninggalkan kita, maka kita akan pergi dengan
jenang. Aku akan membawa gadis ini" berkata laki-laki
kasar itu. Lalu " Tanpa mengikatnya, ia akan selalu
mengganggu saja. Apalagi jika aku harus berkelahi"
Gadis itu akan dilepas oleh orang-orang padukuhan"
desis kawannya. "Bodoh. Aku akan mempertahankannya sekaligus
membunuh siapapun juga yang telah berani menganggu
pekerjaan kita. Sementara itu, aku dapat juga mengikatnya
ditempat yang kecil sekali kemungkinannya untuk didatangi
oleh orang-orang padukuhan ini"
"Gadis itu dapat berteriak" berkata kawannya yang lain.
"Aku dapat menyumbat mulutnya" jawab laki-laki itu.
Gadis itu mendengar semua pembicaraan. Tetapi
perasaannya seolah-olah sudah mati. Ia tidak mengerti, apa
yang harus dilakukannya. Karena itu, iapun memang tidak
akan berbuat apa-apa. Ketika laki-laki kasar itu kemudian menarik lengannya
dan membawanya kedalam gerumbul yang rimbun, ia sama
sekali tidak berusaha melawan. Ia menurut saja seperti
seekor kerbau yang dilarik dengan sehelai tali.
Gadis itupun tidak berbuat apa-apa ketika tangan yang
kasar itu mendorongnya sehingga iapun melekat pada
sebatang pohon. Dan gadis itupun sama sekali tidak
meronta ketika laki-laki kasar itu kemudian mengikatnya.
Kedua tangan gadis itu ditariknya ke belakang
melingkari sebatang pohon yang tidak begitu besar.
Kemudian dengan ikat kepalanya, laki-laki kasar itu
mengikat kedua tangan gadis itu dipergelangannya. Ia yakin
bahwa gadis yang ketakutan itu tidak akan berbuat apa-apa.
Bahkan menggerakkan jari-jarinyapun ia tidak akan berani.
Meskipun demikian, laki-laki kasar itu masih juga
menyumbat mulutnya. Dengan menyayat ujung baju gadis
itu sendiri, maka ia telah membungkam gadis yang
ketakutan itu. "Kau jangan mencoba untuk berbuat sesuatu" laki laki
kasar itu masih berpesan "jika kau berteriak atau berbuat
sesuatu, apalagi mencoba melarikan diri, maka nasibmu
akan menjadi sangat buruk. Kau tidak akan aku bunuh.
Tetapi kau akan menyesal sepanjang umurmu yang akan
datang" Gadis itu tidak menjawab. Tetapi tubuhnya benar-benar
lelah menjadi gemetar oleh ketakutan.
Sejenak kemudian, laki-laki kasar itupun beringsut.
Sekali lagi ia berpesan "Tinggallah dengan tenang disitu
sampai pekerjaanku selesai. Nasibmu akan ditentukan
kemudian, tergantung atas sikapmu"
Laki-laki itupun kemudian melangkah pergi. Laki-laki itu
kembali kedalam lingkungan para perampok. Sementara
orang-orang padukuhan yang mencarinya terasa menjadi
semakin dekat. Obor-oborpun nampak berkeliaran dilorong
sebelah. "Mereka akan segera menemukan kita" berkata
pemimpin perampok itu. "Nasib mereka memang sangat buruk" desis orang
berjambang lebat. Lalu tiba-tiba ia bertanya "Bukankah kita
boleh membunuh?" "Aku tidak ingin lari karena aku ingin membunuh"
berkata pemimpin perampok itu.
"Jika demikian" berkata laki-laki kasar yang mengikat
gadis itu "kenapa kita harus bersembunyi" Kawan-kawan
kita cukup banyak. Kita akan dapat dengan leluasa berbuat
apa saja sesuai dengan keinginan kita. Jika dua tiga orang
yang pertama terbunuh, maka akan lari ketakutan. Dan
menurut pendapatku, kita tidak akan dengan tergesa-gesa
lari. Kita akan mengambil apa saja yang terdapat di dalam
padukuhan ini" "Jangan kehilangan nalar. Disekitar padukuhan ini tentu
ada orang-orang yang dapat berbuat sesuatu yang akan
dapat mengganggu kita., Jika orang-orang padukuhan ini
merasa dirinya tidak mampu lagu melawan kita, maka akan
berlari berpencaran. Mungkin mereka akan sampai
kepadukuhan disebelah menyebelah. Dengan demikian,
maka kita akan menghadapi lawan yang semakin banyak"
"Merekapun tidak lebih dari orang-orang padukuhan ini"
geram laki-laki kasar itu.
"Mungkin. Tetapi jika jumlah mereka tidak terhitung,
maka kita akan menghadapi kesulitan. Selebihnya, kita
jangan terlalu berani mempertaruhkan nyawa. Seperti yang
sudah aku katakan, jika membawa hasil yang cukup
banyak, maka tidak mustahil bahwa tiba-tiba saja Rajawali
Penakluk itu muncul kembali dengan tiba-tiba untuk
merampas harta yang kita kumpulkan dengan mampertaruh
kan nyawa itu. Padahal kita harus mengakui, bahwa kita
tidak akan dapat melawannya. Apalagi jika ia datang
berdua, bertiga atau beberapa orang pengawalnya yang
terpilih" jawab pemimpin perampok itu.
Kawan-kawannya tidak memaksanya lagi. Mereka hanya
ingin melepaskan sakit hati karena irama kentongan dan
usaha orang-orang di padukuhan itu menutup semua jalan
keluar, seolah-olah usaha mereka itu akan berhasil.
Sebenarnyalah dalam pada itu, orang-orang padukuhan
yang mancari Genuk semakin lama menjadi semakin
mendekati tempat persembunyian itu. Bahkan satu dua
orang yang membawa obor telah berteriak "Dimana-mana
kami tidak menemukannya. Mungkin di kebun kosong ini"
"Kawan-kawan kita sedang mencari di kebun kosong diujung
Barat padukuhan ini" jawab yang lain.
"Tetapi disana tidak ada apa-apa. Kebun kosong di dekat
gardu itupun tidak terdapat seekor kelincipun" jawab yang
lain. "Tetapi apakah hanya di kebun kosong saja yang dapat
mereka pergunakan untuk bersembunyi. Justru di halaman
yang bersih, merekapun dapat bersembunyi. Mereka dapat
berada diantara pepohonan di kebun dan dibalik pohon
bunga yang sengaja ditanam di kebun dan halaman
samping. Mungkin pohon soka, mungkin ceplok piring atau
pohon kemuning" sahut yang lain.
"Memang mungkin. Tetapi kita akan mencarinya lebih
dahulu di kebun kosong ini" jawab satu suara yang
bergetar, Suara itu adalah suara ayah Genuk.
"Aku harus menemukannya" geramnya. Tetapi justru
suaranya tidak banyak didengar oleh orang lain. Namun
akhirnya ia berkata lantang "Anakku harus aku ketemukan
dengan selamat" "O, itu tentu ayahnya" desis pemimpin gerombolan itu.
"Aku akan membunuhnya dan merampas anaknya"
geram laki-laki kasar. "Kita akan menunggu mereka datang kemari" geram
pemimpin perampok itu. Witantra dan Mahisa Bungalan melihat semuanya yang
terjadi atas gadis yang malang itu. Sementara di tempat
lain, Mahisa Agnipun sempat mengintip dan melihat
dengan ketajaman penglihatannya, bahwa gadis yang
ditangkap itu telah dibawa pergi untuk disembunyikan.
"Satu kesempatan" desis Mahisa Agni yang kemudian
menyelinap menyusul laki-laki yang telah membawa
Genuk. Namun ternyata kemudian, ketika Mahisa Agni
mendekati tempat gadis itu diikat, ia melihat bayangan lain
yang mendekatinya pula. Namun Mahisa Agnipun segera
mengenalinya, bahwa yang sedang merayap mendekat itu
adalah Mahisa Bungalan. Karena itu, maka Mahisa Agni yang lebih dahulu
mengetahui memanggilnya perlahan "Mahisa Bungalan"
Mahisa Bungalan tertegun. Namun iapun kemudian
melihat Mahisa Agni mendekatinya sambil bertanya
"Dimana pamanmu Witantra sekarang?"
"Ia menunggu dibalik gerumbul itu" desis Mahisa
Bungalan "aku diperintahkannya melepaskan gadis itu"
"Bagus" Sahut Mahisa Agni "cepatlah sedikit. Sebentar
lagi akan terjadi perekelahian yang sengit. Dan Sudah tentu
kita tidak akan dapat tinggal diam melihat para perampok
itu membantai orang-orang padukuhan yang lidak terbiasa
berkelahi ini" Mahisa Bungalanpun kemudian beringsut maju dengan
hati-hati. Ketika ia yakin, bahwa tidak ada seorangpun yang
melihatnya, maka iapun mendekati gadis yang terikat itu
sambil berdesis "Jangan takut Aku akan menolongmu"
Gadis itu terkejut. Ketika dilihatnya bayangan seseorang
berdiri disampingnya, jantungnya justru merasa bagaikan
terhenti. Ia tidak tahu, apakah yang akan terjadi lagi atas
dirinya. "Jangan takut" Mahisa Bungalan mengulang "aku
kembalikan kepada orang tuamu"
Kata-kata itu didengar oleh Genuk. Tetapi rasa-rasanya
ia tidak mengerti maknanya. Karena itu, ia hanya
memandangi saja wajah Mahisa Bungalan yang tidak jelas
didalam keremangan malam. Namun Genuk itu masih
sempat membedakan antara orang yang akan menolongnya
itu dengan orang yang telah mengikatnya.
Tetapi bagi Genuk hampir tidak ada bedanya. Siapapun
yang akan menguasainya. Ia tidak lagi mempunyai sikap
karena putus asa. Sementara itu, Mahisa Bungalan telah berusaha
melepaskan tali yang mengikat tangannya. Nampaknya
sebuah ikat kepala. Namun agaknya tidak terlalu mudah
untuk mengurai ikatan itu, sehingga Mahisa Bungalan telah
mempergunakan pisau belatinya untuk memotong ikatan
itu. "Marilah, ikut aku" berkata Mahisa Bungalan kepada
gadis itu. Dan agaknya gadis itu seolah-olah memang
Sudah tidak berjiwa lagi. Dengan langkah kosong ia berjalar
mengikuti Mahisa Bungalan menyusup ke balik gerumbul
menemui Witantra, Di belakangnya Mahisa Agni
mengikutinya sambil mengamati keadaan sebaik-baiknya.
Mahisa Agni yang telah bertemu dengan Witantra itupun
segera menentukan sikap. Keduanya sepakat untuk
menyerahkan kembali, gadis itu kepada ayahnya yang
sudah berada disekitar tempat itu. Dengan demikian, maka
mereka bertiga akan mendapat kepercayaan untuk ikut serta
bersama para penghuni padukuhan itu untuk menangkap
para perampok. "Kita akan menemui mereka" berkata Mahisa Agni.
Demikianlah, maka merekapun segera berusaha keluar
dari kebun yang kosong itu. Dengan hati-hati mereka
merayap mendekati orang-orang padukuhan yang sudah
bersiap-siap untuk memasuki kebun yang kosong itu dengan
obor-obor dan senjata ditangan.
"Kita harus menyerahkan gadis ini lebih dahulu sebelum
mereka melihat kita dan menganggap kita adalah
perampok-perampok yang melarikan gadis itu" berkata
Mahisa Agni. "Aku akan menghubungi mereka" berkata Witantra.
"Cobalah" sahut Mahisa Agni.
Dalam pada itu, Witantrapun kemudian turun kejalan
dan dengan hati mendekati orang-orang yang sudah
bersiap-siap itu. Namun bagaimanapun juga, kehadirannya
cukup mengejutkan, karena Witantra adalah orang yang
tidak dikenal di padukuhan itu.
"Aku membawa seorang gadis yang terikat di kebun
kosong itu" berkata Witantra.
Kata-katanya itu sangat menarik perhatian. Dengan serta
merta ayah Genuk itu meloncat mendekat. Sambil
mengacukan senjatanya ia berkata "Kau yang telah
melarikan anak perempuanku"
"Bukan aku" jawab Witantra "justru akulah yang
menemukannya terikat di sebatang pohon di kebun kosong
itu" "Bohong" laki-laki itu hampir berteriak "dimana anakku
sekarang" "Aku akan menyerahkannya kepadamu. Tetapi jangan
salah paham. Bukan aku dan bukan kawan-kawankulah
yang telah mengambilnya. Aku justru ingin membantu
kalian dalam kesulitan ini" berkata Witantra.
"Omong kosong" teriak beberapa orang lainnya "dimana
gadis itu sekarang" "Aku akan mengambilnya. Tetapi sekali lagi aku minta,
jangan salah paham. Aku bukan orang yang telah
mengambilnya. Aku justru dapat menunjukkan kepada
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalian, siapakah yang telah melakukannya" ulang Witantra.
"Jangan bicara saja" ayah Genuk itu tidak sabar lagi
"bawa anak itu kemari"
Witantrapun kemudian beringsut untuk mengambil
Genuk yang berada dibalik gerumbui bersama Mahisa Agni
dan Mahisa Bungalan. Demikian gadis itu muncul, maka ayahnyapun lelah
berlari memeluknya sambil berkata "Kau selamat ngger"
Terasa tubuh gadis itu masih gemetar. Ketakutan yang
mencengkam jiwanya rasa-rasanya membuatnya bagaikan
membeku. Genuk mendengar pertanyaan ayahnya, tetapi
mulutnya tidak dapat dibukanya untuk menjawabnya.
"Kau tidak apa-apa?" bertanya ayahnya sekali lagi
sambil melepaskan pelukannya dan berjongkok di hadapan
anak itu. Namun Genuk masih juga membisu.
"Kau tenung anak gadisku" orang itu berteriak.
"Ia masih dalam ketakutan" berkata Witantra "kawankawanku
telah menemukannya terikat dan mulutnya
tersumbat" "Bohong" kemarahan ayah Genuk itu telah memuncak.
Genuk melihat kemarahan ayahnya yang menggelegak.
Iapun mengerti, bahwa orang-orang yang melepaskannya
itu bukan orang-orang yang mengambilnya. Tetapi
mulutnya masih tetap membeku.
"Jangan biarkan orang-orang ini melarikan diri" berkata
ayah Genuk "mereka mengembalikan anakku karena
mereka tidak melihat lagi jalan keluar"
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
berpaling kepada Mahisa Agni, dilihatnya Mahisa Agni
sedang menepuk pundak Mahisa Bungalan. Agaknya
Mahisa Bungalan yang muda itu tidak mau diperlakukan
demikian. Namun dalam pada itu, selagi mereka ribut dengan
tuduhan ayah Genuk atas Witantra dan kedua orang
kawannya, para perampok itupun mendengar bahwa gadis
itu telah diserahkan kembali kepada ayahnya. Karena itu,
laki-laki kasar yang mengikatnya itupun menggeram" Gila.
Apa benar yang dikatakannya bahwa seseorang telah
menyerahkan gadis itu kepada ayahnya"
"Jangan bicara saja. Lihat, apakah gadis itu masih ada
ditempatnya atau tidak" geram pemimpinnya.
Laki-laki kasar itupun kemudian dengan hati-hati
merayap menuju ke balik gerumbul tempat ia
menyembunyikan Genuk. Namun betapa ia menjadi
terkejut, bahwa gadis itu benar-benar sudah tidak ada di
tempatnya. "Setan alas, gendruwo, anak iblis" ia mengumpat sejadijadinya.
Dengan tergesa-gesa ia kembali kepada pemimpinnya.
Dengan nafas memburu dikerongkonggan ia
memberitahukan bahwa gadis itu memang sudah hilang.
"Aku akan mengambilnya kembali" geram laki-laki kasar
itu. "Jangan bodoh" jawab pemimpinnya "mereka menuduh
orang yang telah melepaskan gadis itu dengan
mengembalikannya kepada orang tuanya"
"Tetapi itu tidak akan berlangsung lama. Orang itu tentu
akan menunjukkan tempat gadis itu terikat. Dalam pada itu,
maka peronda itu akan memasuki kebun kosong ini"
"Baru jika mereka datang, kita akan melawannya" jawab
pemimpinnya. "Tetapi gadis itu" geramnya. Lalu "Bukankah kita sudah
berniat untuk membunuh" Kenapa kita tidak mulai saja
membunuh mereka?" Pemimpinnya termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya "Biarlah orang-orang yang telah
mangambil gadis itu dibunuh lebih dahulu. Baru kemudian
kita akan bertindak"
"Apakah gadis itu tidak dapat mengatakan tentang
orang-orang yang telah mengambilnya dari rumahnya dan
kemudian tentang orang-orang yang membebaskannya"
geram laki-laki kasar itu.
"Tetapi dengarlah. Jangan bicara saja" bentak pemimpin
perampok itu. Laki-laki itu diam. Iapun kemudian mendengar
meskipun tidak begitu jelas, ayah Genuk itu membentak
"Jangan mancoba membohongi kami. Kau tenung anakku
sehingga ia menjadi bisu, kemudian kau mengaku telah
membebaskannya" "Jangan salah paham" jawab Witantra "Jika kami yang
mengambilnya, lebih baik melarikan diri tanpa
menyerahkan gadis itu. Atau barangkali kami dapat
menjadikannya perisai demi kebebasan kami"
"Omong kosong" ayah Genuk telah benar-benar menjadi
marah, lalu "tangkap ketiganya"
Orang-orang padukuhan itupun segera mengepung ketiga
orang itu. Sementara Mahisa Bungalan rasa-rasanya sudah
kehabisan kesabaran. Ia berusaha menolong gadis itu, tetapi
ternyata orang-orang padukuhan itu justru menuduhnya
melakukan kejahatan. Karena setiap kali Mahisa Agni selalu menghalanginya,
maka tiba-tiba saja Mahisa Bungalan berteriak "He, orangorang
yang bodoh tetapi keras kepala. Lihat, apa yang ada
di dalam kebun kosong itu. Ujung senjata telah mengintip
kalian. Sebentar lagi mereka akan tampil dengan senjata
telanjang. Sebentar lagi kalian tidak akan dapat melihat
bintang-bintang di langit"
Ayah Genuk menjadi termangu-mangu sejenak, semen
tara Mahisa Bungalan melanjutkan "jika kalian tidak
percaya, cobalah. Siapa yang berani lebih dahulu
menginjakkan kakinya di dalam belukar itu. Di belakang
rimbunnya dedaunan itu adalah daun pedang dan batangbatang
bindi yang bergigi tajam"
"Kau mengingau" geram ayah Genuk. Namun terasa
nadanya di warnai oleh keragu-raguan. Namun ke mudian
ia membentak "Jika benar, maka orang-orang itu tentu
kawan-kawanmu. Kau memang ingin menjebak kami"
"Kalau mereka kawan kami, apa gunanya kami
mambawa gadis ini dan menyerahkannya kepada kalian"
Mahisa Bungalanpun membentak.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja seorang laki maju
setapak sambil berkata "Laki-laki inilah yang siang tadi
berada di kedaiku. Mereka adalah orang-orang berkuda
yang aku katakan kepada kalian"
"He?" wajah ayah Genuk menjadi tegang "jadi orangorang
inilah yang telah kita curigai sejak siang tadi" Pantas.
Dan sekarang mereka tidak akan dapat lari lagi"
Wajah Mahisa Bungalan menjadi semakin tegang. Ia
tidak mau berlama-lama lagi. Jika pertolongannya itu
dianggap sebagai satu usaha untuk mengelabui orang-orang
bodoh itu, maka Mahisa Bungalan akan lebih senang
mempergunakan cara lain. Namun Witantra masih tetap bersabar. Katanya "Jangan
tergesa-gesa mengambil keputusan Ki Sanak. Anak gadis itu
telah dicengkeram oleh ketakutan, sehingga ia masih belum
dapat berbicara. Jika kalian mau menunggu sebentar, aku
yakin, gadis itu akan sempat mengatakan apa yang telah
terjadi atas dirinya Sementara itu, malam akan segera
berakhir, dan orang-orang yang bersembunyi itu akan
keluar dengan sendirinya. Kalian tidak perlu memasuki
daerah belukar yang berbahaya, karena setiap saat kalian
akan dapat terantuk ujung tombak di balik setiap lembar
daun di kebun yang kosong itu"
"Jangan banyak bicara lagi" bentak ayah Genuk "telah
banyak petunjuk tentang kalian. Karena itu, menyerah
sajalah. Jika tidak maka kalian akan kami cincang di sini"
"Persetan" Mahisa Bungalan benar-benar tidak dapat
manahan diri "orang-orang bodoh yang tidak tahu diri. Jika
aku biarkan saja gadis itu di dalam ikatannya, maka kalian
akan menyesal tujuh keturunan. Tetapi sekarang kalian
dengan bodoh telah menyia-nyiakan pertolongan kami"
"Cukup" ayah Genuk itu berteriak. Lalu tiba-tiba saja
seorang yang bertubuh tinggipun berteriak "Orang-orang
inilah orang-orang yang telah kita curigai sejak siang tadi.
Tangkap dan jika mereka melawan, apa boleh buat. Bukan
salah kita jika senjata kita akan menyayat kulit dagingnya"
Ketika orang-orang. itu mulai bergerak, Mahisa
Bungalanpun segera bersiaga. Namun Witantra dan Mahisa
Agni nampaknya tidak akan memberikan perlawanan sama
sekali. Bahkan Mahisa Agni masih sempat menggamit
Mahisa Bungalan sambil berdesis "Kau cepat sekali
mengambil sikap" Mahisa Bungalan menggeram. Namun ia tidak akan
menyerahkan dirinya diperlakukan sangat tidak adil.
Namun dalam pada itu, ketika orang-orang yang marah
itu mulai bergerak, tiba-tiba saja Genuk yang membeku itu
berhasil mengucapkan satu patah kata "Jangan"
Ayahnya tersentak. Tiba-tiba saja ia menjatuhkan diri
dan berjongkok lagi dihadapan anaknya sambil bertanya
"Kau sudah dapat berbicara. Berbicaralah. Katakanlah apa
yang kau ketahui. Jika orang-orang inilah yang telah
mengambilmu, maka tidak akan ada ampun lagi bagi
mereka" Ternyata Genuk sudah berbasil mengatur perasaannya
serba sedikit. Karena itu, maka iapun menggelengkan
kepalanya sainbil berkata dengan gemetar "Tidak. Jangan"
"Berkatalah" desak ayahnya yang menjadi semakin
gembira "berkatalah"
Genuk berusaha untuk menguasai perasaannya.
Akhirnya terloncat dari mulutnya "Ayah. Bukan mereka"
"He" ayahnya mengguncang lengan anaknya sambil
bertanya "Apa maksudmu?"
"Bukan mereka" Genuk mengulang "maksudku, yang
mengambil aku dari biyung, bukan orang-orang itu"
"O, jadi siapa?" bertanya ayahnya mendesak.
"Di kebun kosong itu" jawab Genuk yang menjadi
semakin lancar. "Jadi siapakah orang-orang ini?" bertanya ayahnya pula.
"Mereka melepaskan aku" jawab Genuk.
Ayah Genuk mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja
ia berdesis "Apakah ini hanya satu siasat saja" Mereka
membuat satu permainan yang tidak kami mengerti
maksudnya. Mungkin mereka akan menjebak kita
semuanya" Tetapi Genuk menggeleng "Tidak ayah. Mereka
nampaknya bermaksud baik"
Ayah Ganuk itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya "Orang-orang yang kita cari ada di
dalam kebun kosong ini. Kita akan mengepungnya dan
menangkap mereka. Jika mereka melawan, maka apa boleh
buat. Kita akan bertindak tegas"
"Kita akan memanggil semua orang untuk berkumpul di
sini" berkata yang lain.
"Ya. Tetapi tiga orang inipun harus selalu diawasi. Siapa
tahu, mereka adalah orang-orang yang termasuk ke dalam
satu permainan yang tidak kita mangerti" berkata ayah
Genuk. Lalu "Perintahkan mereka ke gardu di sudut jalan
itu. Tiga orang akan menjaga mereka. Jika mereka berbuat
sesuatu yang tidak sewajarnya, tiga orang itu kami beri
wewenang untuk mengambil tindakan yang paling baik"
Mahisa Bungalan menggeletakkan giginya. Namun
Witantra berbisik "Biarlah. Kita akan melihat, apa yang
akan terjadi" Demikianlah, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa
Bungalanpun kemudian dibawa oleh tiga orang laki-laki ke
gardu yang tidak terlalu jauh dari tempat itu, sementara
beberapa .orang telah memanggil sebagian besar laki-laki di
padukuhan itu untuk berkumpul.
Hanya boberapa orang sajalah yang tinggal di regol-regol
padukuhan dan di gardu-gardu yang memencar. Namun
sebagian besar dari mereka telah dipanggil untuk
menangkap para perampok yang bersembunyi di kebun
kosong itu. Sejenak kemudian, sebagian besar laki-laki di padukuhan
itu sudah berkumpul. Orang yang dianggap paling
berpengaruh dan yang dianggap mewakili ke Buyut yang
tinggal di padukuhan lain dalam Kebuyutan itu, segera
mengatur orang-orangnya. Kebun kosong itu benar-benar
telah di kepung. Beberapa orang diantara mereka telah
menyalakan obor sementara yang lain telah merundukkan
senjata mereka. "Apakah kita akan memasuki kebun kosong itu?"
bertanya salah seorang dari mereka.
Namun orang-orang yang mendengar keterangan Mahisa
Bungalan tentang para perampok yang berada di balik
dedaunan di kebun kosong itu menjadi ragu-ragu. Mereka
membayangkan, bahwa di balik setiap lembar daun terdapat
sepucuk senjata yang siap mematuk siapa saja yang
mendekat Karena itu, maka salah seorang dari mereka berkata
"Mereka mendapat kesempatan lebih banyak untuk
menyerang dengan diam-diam dan tiba-tiba daripada kita"
"Lalu, apakah kita akan membiarkan mereka tanpa
berbuat sesuatu" bertanya yang lain.
Seorang yang lain lagi berkata "Kita akan
mengepungnya sampai mereka menyerah. Mereka harus
melepaskan senjata mereka dan keluar dari gerumbulgerumbul
itu dengan tangan terangkat"
"Jika mereka tidak keluar?" bertanya kawannya.
"Kita tunggu sampai besok, sampai lusa, sampai tiga
atau empat hari. Mereka memerlukan makan dan minum.
Tanpa makan dan minum mereka akan mati kelaparan"
jawab yang mengusulkan untuk mengepung sampai orangorang
di kebun kosong itu menyerah.
Ternyata pendapat itu sangat menarik. Seorang laki-laki
yang sudah separo baya berkata "Pendapat yang bagus.
Kita berada di rumah kita sendiri. Kita dapat mengambil
makan dan minum kapanpun kita kehendaki. Tetapi
mereka akan kelaparan. Sementara kita tidak melakukan
satu pekerjaan yang sangat berbahaya. Memasuki kebun
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kosong dalum gelapnya malam, meskipun dengan obor di
tangan, adalah sangat tidak menguntungkan. Mereka dapat
setiap saat berloncatan sambil menusuk lambung dan dada
kita dengan senjata-senjata mereka"
"Jika demikian, baiklah" berkata orang yang mewakili
Ki Buyut di padukuhan itu "kita akan mengepung mereka
sampai mereka menyerah dan melepaskan senjata mereka"
Dalam pada itu, ternyata pembicaraan itu telah didengar
oleh para perampok yang bersembunyi. Dengan nada
marah salah seorang dari mereka berkata kepada pemimpin
perampok itu "Apakah kita mau diperlakukan seperti itu?"
Pemimpin perampok itu menggeram. Katanya "Mereka
memang gila. Jika demikian, kita akan menyerang mereka.
Kita akan membunuh dan meninggalkan mayat yang
terbujur lintang. Yang masih tersisa akan tahu, bahwa
mereka telah melakukan satu kesalahan yang paling berat
justru karena tingkah ibu gadis yang malang itu"
"Ya, gadis itu akan jatuh lagi ke tanganku dan aku akan
membawanya menurut kehendakku" geram laki-laki kasar
yang semula membawanya. "Persetan" kawannya mengumpat "kau ribut saja dengan
gadis itu. Aku tidak peduli. Aku akan membunuh siapa saja
yang mendekati aku. Tua muda besar atau kecil"
Laki-laki kasar yang telah kehilangan gadis itu
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab lagi,
karena pemimpinnya berkata "Bersiaplah. Kita akan segera
keluar dari liang yang pengab ini dan segera akan
membunuh orang-orang bodoh yang tamak itu"
Para perampok itupun segera mempersiapkan diri.
Mereka hanya tinggal menunggu perintah dari pemimpin
mereka. Demikian perintah itu jatuh, mereka akan segera
menghabur keluar dan bertempur seperti harimau lapar.
Dalam pada itu, orang-orang yang mengepung para
perampok itu justru tidak lagi bersiap-siap menghadapi
kemungkinan yang paling berbahaya. Hanya beberapa
orang sajalah yang tetap bersiaga dengan senjata di tangan,
sementara yang lain telah memasuki kebun dan halaman di
seberang lorong. Beberapa diantara mereka justru telah
duduk di tlundak regol dan di atas batu-batu padas,
sementara yang lain berdiri bersandar dinding halaman.
Bagi mereka, beberapa orang yang tetap bersiaga itu
telah cukup. Beberapa orang itu berjalan hilir mudik di
seputar kebun yang kosong itu. Sementara yang lain
tersebar di lorong dan halaman di seputar kebun kosong itu.
"Suruh membawa minuman kemari" justru salah
seorang berteriak "kita menunggu semut yang kita tuang air
itu keluar dari sarang, sementara kami akan minum air
sereh yang hangat dengan gula gelapa"
Yang lainpun berteriak "Tidak hanya air sereh hangat,
tetapi ketela pohon rebus itu pula"
Nampaknya orang-orang itu sengaja menyebut beberapa
jenis makanan dan minuman untuk sekedar mengganggu
orang-orang yang sedang bersembunyi di kebun kosong itu.
Dangan demikian mereka berharap bahwa orang-orang
bersembunyi itu akan terpengaruh, sehingga mereka merasa
dirinya haus dan lapar. Tetapi mereka tidak menyadari, bahwa orang-orang di
dalam kebun itu justru sedang merayap mendekati lorong.
Mereka merayap dari balik gerumbul yang satu ke gerumbul
yang lain, sehingga pada satu saat mereka berada di depan
hidung orang-orang padukuhan yang bodoh itu tanpa
disadari. "Dengan satu loncatan, kita bunuh semua orang yang
berada di lorong itu "geram pemimpin perampok itu "baru
kemudian yang lain, yang masih ingin menyerahkan
nyawanya" Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi mereka
merayap semakin dekat dengan lorong kecil yang
dihamburi oleh orang-orang padukuhan yang sedang
berjaga-jaga itu. Namun dalam pada itu, meskipun tidak terlalu dekat,
terasa sesuatu menggelitik hati Mahisa Agni, Witantra dan
Mahisa Bungalan. Karena itu, maka Mahisa Agni dan
Witantra, tanpa berjanji berusaha untuk memperhatikan
kebun yang kosong itu. "Jangan lari" geram orang-orang yang menjaganya itu.
"Ki Sanak" berkata Witantra "beri aku kesempatan
untuk memperhatikan kebun kosong itu. Beri kesempatan
aku mendekat sedikit. Kalian dapat mengawal kami dengan
ujung pedang di punggung. Kami memang tidak akan lari"
Tetapi ketiga orang yang mengawasinya itu berkeras
untuk memaksanya mereka tetap berada di tempatnya. Dua
orang yang sudah berada digardu itu, justru telah pergi dan
berkumpul bersama orang-orang yang mengepung kebun
kosong itu. Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun
kemudian ia berdesis "Apakah kita akan memaksa?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya
ia tidak akan dapat membiarkan melihat sikap orang-orang
pedukuhan itu. Mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa
nyawa mereka sedang terancam Sementara Mahisa Agni,
Witantra dan Mahisa Bungalan tahu. bahwa para perampok
itu tentu tidak akan tinggal diam dan membiarkan diri
mereka terkurung. Sehingga menurut perhitungan mereka,
orang-orang itu pada saatnya tentu akan berloncatan
dengan pedang ditangan seperti yang memang akan
dilakukan oleh, para perampok itu.
Namun dalam pada itu, Mahisa Agni masih mencoba
berkata dengan sabar "Ki Sanak, jika aku diperkenankan
mendekat sedikit saja, rasa-rasanya aku sudah puas. Aku
ingin melihat apa yang terjadi di kebun kosong itu"
"Kau mau apa?" bertanya salah seorang yang
mengawasinya itu" "Tidak apa-apa, hanya ingin mendekat dan melihat
sedikit saja" jawab Mahisa Agni.
"Kau akan menipuku ya" Kau akan bergabung dengan
kawan-kawanmu yang berada digerumbul itu" bentak yang
lain. Mahisa Bungalan menggeretakkan giginya. Tetapi
Witantra mendahuluinya "Sudah kami katakan Ki Sanak.
Kami tidak ada hubungan apa-apa dangan mereka.
Bukankah kau juga mendengar apa yang dikatakan gadis
yang telah kami bebaskan?"
"Tentu ada satu permainan yang tidak aku ketahui
tentang hubungan kalian dengan orang-orang itu" bentak
salah seorang dari keempat orang itu, justru sambil
mengacukan pedangnya. Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia merasa
gelisah terhadap orang-orang yang menurut perhitungannya
agak lengah, sehingga kesempatan para perampok itu akan
cukup besar untuk membinasakan mereka dalam sekejap.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Witantra melangkah
mendekati orang yang mengacukan senjatanya itu. Tanpa
berkata sepatah katapun lagi, ia mendorong senjata itu
kesamping. Kemudian memijit pundak orang itu dengan
tiba-tiba sehingga orang itu tidak dapat mencegahnya sama
sekali. Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan melihat hal itu.
Karena itu, merekapun telah berbuat serupa terhadap
orang-orang yang mengawasi mereka masing-masing.
Tanpa berdesah sama sekali, mereka seolah-olah telah
tertidur nyenyak, sehingga karena itulah, maka Mahisa
Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan telah mengangkat
mereka dan meletakkan mereka di dalam gardu.
Namun karena itulah, maka mereka tidak dapat berbuat
sekehendak hati. Jika mereka bertiga mendekati orangorang
yang sedang berjaga-jaga itu, akan dapat
menimbulkan pertanyaan, bahwa mereka tidak lagi bersama
para pengawalnya. Karena itu, maka ketiganya telah mengambil satu cara
yang lain. Seperti orang-orang yang berada di kebun kosong
itu, maka ketiga orang itupun mendekat dengan diam-diam.
Mereka memasuki kebun disebelah kebun kosong itu dan
merayap diantara tanaman-tanaman di kebun itu.
Meskipun ketiga orang itu berada tidak jauh dari orangorang
padukuhan yang berada di lorong-lorong, namun
tidak seorangpun yang mengetahuinya.
Ternyata kegelisahan mereka bertiga, benar-benar terjadi
Mereka melihat diantara pepohonan yang sudah
membelukar itu bergerak-gerak, sementara angin sama
sekali tidak bertiup. "Mereka memang sudah bergerak" bisik Mahisa
Bungalan. "Ya" sahut Mahisa Agni "nampaknya orang-orang yang
mengepung mereka itu tidak menyadari"
"Kita harus memperingatkan mereka" sahut Mahisa
Bungalan. "Caranya?" bertanya Witantra.
Mahisa Bungalan terdiam. Memang sulit bagi mereka
untuk memberitahukan bahwa orang-orang di dalam
gerumbul-gerumbul perdu di kebun kosong itu telah
bergerak. Namun tiba-tiba Witantra berdesis "Kita lempari mereka
dengan batu. Mereka tentu akan segera menampakkan diri
sebelum mereka sampai di ke bibir kebun kosong itu"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya "Bagus.
Kita lempari saja mereka dengan batu agar mereka
menampakkan diri dari balik dedaunan"
Ketiga orang itupun kemudian dengan hati-hati mencari
batu diantara tanaman di kebun itu. Setelah mereka
mendapatkan beberapa butir, maka merekapun mencari
arah yang baik, sehingga batu yang mereka lemparkan tidak
akan menyentuh dedaunan dan apalagi ranting dan dahan,
sehingga akan menimbulkan suara.
Sejenak kemudian, maka batu-batu itupun telah
dilemparkan. Demikian batu-batu itu mamasuki kebun
kosong dan menyentuh batang-batang dan dedaunan
belukar yang tumbuh dikebun itu, terdengar suaranya
gemerasak. Namun lebih dari itu, ternyata satu dua dari
batu-batu yang terlempar itu telah itu lelah mengenai orangorang
yang sedang merayap mendekati lorong yang
ditunggui oleh orang-orang padukuhan itu,
"Gila" geram salah seorang dari perampok-perampok itu
"siapakah yang telah melempari batu?"
"Anak iblis" yang lain mengumpat "aku juga kena"
Namun dalam pada itu, beberapa buah batu masih saja
dilontarkan oleh Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa
Bungalan. Bahkan ada diantara batu-batu itu yang cukup
besar, sehingga mereka yang telah dikenainya menyeringai
menahan sakit. "Keparat" yang lain hampir saja berteriak "apakah kami
masih harus menunggu dengan merayap-merayap dibawah
hujan batu ini?" Kemarahan yang membara telah membakar jantung
pemimpin gerombolan itu. Dengan demikian, maka ia telah
melupakan satu perhitungan. Sebenarnya mereka akan
merayap sampai kepagar halaman kosong itu. Dengan satu
loncatan, mereka akan merenggut beberapa korban
sekaligus. Korban-korban itu akan dapat menakut-nakuti
kawan-kawannya sehingga orang-orang padukuhan itu akan
menjadi gentar. Tetapi karena batu yang dilontarkan itu telah
mengenainya pula, maka tiba-tiba saja iapun berteriak
"Bunuh semuanya"
Teriakan itu benar-benar telah menggetarkan malam
yang kelam di padukuhan itu. Demikian aba-aba itu
diteriakkan, maka para perampok itupun segera berloncatan
dengan senjata di tangan. Sambil berteriak seolah-olah
menggetarkan langit, merekapun Kemudian berlari-lari
menyerang orang-orang padukuhan yang mengepungnya.
Namun arah serangan mereka justru kepada kelompok yang
paling banyak di lorong sebelah.
Orang-orang yang mengepung kebun kosong itupun
terkejut bukan buatan. Apalagi ketika mereka mendengar
orang-orang yang bersembunyi di kebun kosong itu
berloncat sambil berteriak. Rasa-rasanya jantung
merekapun telah berhenti berdenyut.
Namun sejenak kemudian, mereka menyadari, bahwa
para perampok itulah yang akan datang menyerang karena
mereka tidak lagi melihat kemungkinan untuk lari. Karena
itu. maka orang yang dianggap mewakili Ki Buyut itupun
berteriak pula "Jangan biarkan mereka melarikan diri"
Orang-orang yang mengepung itupun segera bersiap.
Yang duduk di atas batu-batu padas, atau yang berbaring di
tangga pendapa rumah sebelah, segera berloncatan bangun,
dengan senjata di tangan merekapun segera berlari-larian ke
lorong tempat kawan-kawan mereka bersiap.
Ternyata bahwa rencana pemimpin perampok untuk
mengejutkan orang-orang padukuhan itu pada serangan
pertama telah gagal. Demikian para perampok itu berlarilari
menyerang, maka orang padukuhan itupun telah siap
dengan senjata di tangan.
Namun dalam pada itu, tidak semua orang laki-laki di
padukuhan itu mempunyai keberanian yang sama. Orangorang
yang berdiri di lorong itupun seakan-akan telah
disaring menurut keberanian mereka. Yang paling berani
berdiri di depan dengan senjata teracung siap menerima
para perampok yang akan meloncati dinding halaman. Di
lapisan berikutnya adalah orang-orang yang kurang berani
menghadapi keadaan yang mengejutkan itu. Sementara itu,
ada beberapa orang yang justru berada di tempat-tempat
yang gelap dengan jantung yang berdebaran.
Orang-orang padukuhan yang mengepung di kebun dan
halaman dan sekitarnyapun kemudian menyadari, bahwa
para perampok itu telah menyerang ke satu sasaran. Karena
itu, maka merekapun segera menyesuaikan diri. Laki-laki
yang berani dan sedikit mempunyai pengalaman dengan
segera berlari-lari menggabungkan diri dengan sisi yang
langsung mendapat serangan para perampok itu.
Daiam pada itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bungalan memperhatikan segala peristiwa itu dengan
jantung yang berdebar-debar. Ternyata bahwa perarnpokperampok
itu cukup banyak untuk benar-benar melakukan
pembunuhan atas orang-orang padukuhan yang sebagian
sama sekali belum berpengalaman menggenggam senjata.
Meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak. Namun hal itu
bukan satu kepastian bahwa mereka akan berhasil
menangkap para perampok itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian para perampok
itupun telah meloncati dinding kebun kosong tempat
mereka bersembunyi. Namun demikian mereka meloncat,
maka ujung-ujung senjata sudah siap menerima mereka.
Tetapi perampok-perampok itu ternyata memiliki
kemampuan yang cukup untuk menghadapi keadaan yang
demikian. Mereka masih sempat menangkis dan memukul
ujung-ujung senjata itu ke samping sebelum mereka
meloncat turun ke lorong.
Sejenak kemudian, pertempuranpun telah terjadi. Ada
juga beberapa orang padukuhan itu yang mampu
mempermainkan senjata, sehingga untuk sesaat mereka
berhasil menahan serangan para perampok ilu. Namun
sejenak kemudian, kekasaran dan keliaran para perampok
itu telah membuat mereka menjadi bingung. Apalgi seienak
kemudian, para perampok itu telah berusaha untuk
menebar, sehingga pertempuran itupun telah terjadi di
halaman-halaman rumah disekitarnya.
"Kita tidak dapat tinggal diam" berkata Mahisa
Bungalan. "Baiklah" berkata Mahisa Agni "kita akan ikut serta.
Sebaiknya kita juga membawa senjata seperti yang mereka
pergunakan agar tidak terlalu menarik perhatian"
"Tetapi kita tidak mempunyainya" desis Mahisa
Bungalan. "Tiga orang tertidur nyenyak di gardu" jawab Mahisa
Agni. Ketiganya pun kemudian mengambil pedang dari ketiga
orang yang masih tidur di gardu. Kemudian dengan tergesagesa
ketiganya berlari-lari menuju ke daerah pertempuran.
"Kitapun berpencar" berkata Witantra.
Ketiga orang itupun kemudian berpencar. Mahisa Agni
memasuki halaman di seberang lorong yang menjadi ajang
perkelahian yang sengit. Di halaman itu pula, Genuk
disingkirkan. Namun agaknya laki-laki kasar yang pernah
menyembunyikannya, berusaha untuk merampasnya lagi.
Sementara itu, Mahisa Bungalan dan Witantra berada di
lorong yang menjadi arena yang riuh. Keduanya berada di
ujung sebelah menyebelah.
Dalam keadaan yang kacau itu, kehadiran mereka tidak
banyak diketahui. Baik oleh para perampok, maupun oleh
orang-orang padukuhan itu sendiri.
Para perampok itu memang sudah mempunyai pendirian
yang tegas. Mereka ingin melepaskan sakit hati mereka
dengan membunuh orang-orang yang ingin menghalangi
mereka. Bahkan mereka tidak akan lagi memilih, siapapun
yang akan menjadi korban mereka.
Namun dalam pada itu, dalam hiruk pikuknya
pertempuran, para perampok telah dikejutkan oleh putaran
senjata yang terasa lain dari kewajaran putaran senjata
orang-orang padukuhan itu. Rasa-rasanya dengan tiba-tiba
saja senjata mereka telah membentur kekuatan yang tidak
ada taranya. Dalam beberapa saat saja, dua tiga senjata
telah terlepas dari tangan.
"Gila" geram para perampok yang kehilangan
senjatanya. Tetapi mereka tidak dapat sekedar mengumpati
saja. Dalam pada itu, orang-orang padukuhan itupun telah
menyerang mereka, sehingga mereka harus melawan
dengan tanpa senjata. Namun karena mereka memiliki
pengalaman bertempur lebih baik, maka meskipun-mereka
tidak bersenjata, tetapi mereka mampu memberikan
perlawanan yang gigih. Orang padukuhan itu sendiri, akhirnya melihat juga
sesuatu yang bagi mereka terasa aneh. Seseorang dalam
keremangan malam dan dalam jangkauan cahaya obor yang
lemah, yang ditancapkan di pinggir jalan dan di sudut
halaman, telah bertempur dengan tangkas dan cepat.
"Apakah ada hantu penunggu padukuhan ini yang telah
membantu kami" timbul pertanyaan pada beberapa orang
yang melihat keanehan yang terjadi itu.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni, Witantra dan
Mahisa Bungalan telah bertempur dengan kecepatan yang
mengagumken. Mereka berusaha untuk menarik perhatian
lawan, dan bahkan Mahisa Bungalan telah berusaha untuk
menjatuhkan setiap senjata dari tangan para perampok itu.
-ooo0dw0oooJilid 19 TERNYATA kehadiran ketiga orang di medan
pertempuran itu telah mempengaruhi keadaan dengan
cepat. Sementara itu, para perampok yang mengalami
sentuhan senjata orang-orang yang tidak dikenal itu
manjadi bingung. Mereka sama sekali tidak menduga,
bahwa di dalam lingkungan padukuhan itu, ada satu dua
orang yang memiliki kemampuan tidak ada taranya.
Dalam pada itu, pertempuran itupun semakin lama
menjadi semakin sengit. Para perampok menjadi semakin
garang. Mereka bertempur sambil berteriak dengan kasar.
Beberapa orang padukuhan itu hatinya menjadi kecut.
Mereka yang melihat kegarangan para perampok itupun
berusaha untuk menyingkir. Mereka menarik diri menjauh
dan bahkan ada yang dengan sengaja berlindung
dikelamnya malam. Perlahan-lahan mereka beringsut dan
hilang di balik pagar, regol atau bahkan longkangan rumah
terdekat. Namun ada juga beberapa orang yang ternyata cukup
berani menghadapi para perampok itu. Apalagi ketika
mereka melihat sesuatu yang sangat menarik perhatian.
Rasa rdsanya mereka telah mendapat bantuan secara ajaib
untuk melawan para perampok itu.
Akhirnya orang-orang padukuhan yang sedang
bertempur melawan para perampok itupun menyadari,
bahwa memang ada orang yang memiliki ilmu yang tinggi
yang telah membantu mereka. Tanpa bantuan itu, maka
orang-orang padukuhan itu tentu akan mangalami
kesulitan. Bahkan seperti yang diinginkan oleh para
perampok itu, korban akan berjatuhan.
Meskipun dalam pertempuran itu, jatuh juga korban
diantara para penghuni padukuhan itu, namun dengan
hadirnya orang-orang yang tidak mereka kenal itu, benarbenar
telah menyalakan tekad mereka untuk bertempur
terus. Namun sementara itu, masih ada juga diantara
mereka yang beringsut surut dengan diam-diam dan
bersembunyi dibalik kandang atau di belakang pakiwan.
Pemimpin perampok yang melihat keadaan yang
timpang itupun kemudian berteriak nyaring "Jangan raguragu.
Aku sudah memerintahkan kepada kalian untuk
membunuh saja orang-orang dungu itu"
Namun dengan demikian, Mahisa Bungalanpun
mengetahui, bahwa orang itu adalah pemimpin dari para
perampok. Karena itulah, maka Mahisa Bungalanpun
kemudian telah menyusup diantara pertempuran itu
langsung mendekati pemimpin perampok yang sedang
mengamuk melawan sekelompok orang-orang padukuhan
itu yang memiliki keberanian untuk bertempur.
"Lepaskan orang itu" geram Mahisa Bungalan.
Orang-orang yang sedang bertempur melawan pemimpin
perampok itu heran sesaat. Namun seorang laki-laki yang
berkumis lebat menggeram "Siapa Kau"
"Siapapun aku" jawab Mahisa Bungalan "biarlah aku
menyelesaikan orang ini sebelum satu dua orang diantara
kalian akan dibantai oleh orang ini"
Orang-orang padukuhan itu seolah-olah telah terpesona
oleh kata-kata Mahisa Bungalan. Bahkan sebelum mereka
menarik diri, Mahisa Bungalan telah mengacukan
senjatanya dan dengan satu putaran, mendesak pemimpin
perampok itu beberapa langkah surut.
"Siapa kau" geram pemimpin perampok itu.
"Siapapun aku tidak ada bedanya bagimu" Jawab
Mahisa Bungalan "aku adalah orang yang sedang mencari
seseorang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk"
"Gila, siapa kau he" suara perampok itu menjadi
semakin tinggi. "Kita akan bertempur" berkata Mahisa Bungalan "tetapi
kau masih mempunyai kesempatan untuk menyerah"
"Aku bunuh kau" geram pemimpin perampok itu.
Mahisa Bungalan tidak menjawab lagi. Keduanyapun
kemudian bertempur dengan sengitnya. Masing-masing
memiliki ilmu yang dapat diandalkan.
Orang-orang padukuhan itu melihat pertempuran itu
dengan heran. Sebagian dari mereka harus bertempur
melawan perampok-perampok yang lain, namun sebagian
masih sempat mengagumi, bagaimana Mahisa Bungalan
berhasil mendesak lawannya.
Dibagian lain dari pertempuran itu, Mahisa Agni dan
Witantra telah melakukan sesuatu yang tidak masuk dalam
pertimbangan nalar orang-orang padukuhan itu. Dengan
tangkas mereka bertempur sambil berloncatan. Mereka
tidak bertempur melawan seorang lawan saja. Tetapi
mereka berloncatan dari satu lawan kepada lawan yang
lain. Namun demikian, orang-orang yang aneh itu dapat
membuat lawan-lawan mereka menjadi bingung.
Para perampok itupun tidak lagi dapat berbuat banyak.
Jika mereka lengah, maka merekalah yang tentu akan
terkapar di tanah. Orang yang tidak dikenal itu bertempur
bagaikan burung elang. Melayang-layang dan kemudian
menukik fmenyambar korbannya.
Sementara itu, Mahisa Bungalan telah menguasai
pemimpin perampok itu. Seolah pemimpin perampok itu
tidak lagi dapat bergerak. Kemana ia meloncat, senjata
Siluman Teluk Gonggo 2 Pendekar Kelana Sakti 12 Dua Pendekar Buntung Lambang Naga Panji Naga Sakti 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama