Ceritasilat Novel Online

Panasnya Bunga Mekar 31

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 31


menghimpun anak-anak muda yang tersisa untuk memasuki
satu lingkungan pasukan pengawal yang baru dengan janji
yang dapat mempengaruhi hati mereka.
"Kita adalah anak-anak muda yang bercita-cita" berkata
Pangeran Indrasunu "meskipun kakangmas Suwelatama
masih juga terhitung muda, tetapi ia telah melupakan alas
tempat ia berpijak. Ia sudah tenggelam dalam
kedudukannya yang dapat memberikan apa saja yang
diingininya" Sementara itu, Pangeran Suwelatama yang terdesak dari
Pakuwon Kabanaran telah menyusun kekuatan agak jauh
dari kota. Akuwu Suwelatama telah memilih tempat untuk
sementara di sebuah hutan kecil yang dipagari oleh
pebukitan. Sambil menyusun kekuatan yang ada, Akuwu
Suwelatama juga menunggu pasukannya vang tersebar,
yang telah diperintahkan untuk berkumpul di tempat yang
sudah ditentukannya. Tetapi ketika dua orang penghubung kembali
menghadap Akuwu Suwelatama, justru telah timbul satu
masalah baru yang menambah rumit persoalan yang
dihadapinya. Dengan jantung yang berdeba-debar Akuwu
mendengarkan penghubung itu memberikan laporan
Akuwu, Panglima pasukan pengawal yang berada di hutan
perbatasan menunggu perintah. Sebenarnyalah Panglima
telah melihat satu gerakan yang kuat dari sekelompok
penjahat yang dipimpin oleh Ki Jalatang. Rakyat di
belakang hutan sudah menjadi sangat cemas. JiKa Ki
Jalatang itu memasuki tiatah Pakuwon Kabanaran, maka
rakyat di sekitar hutan perbatasan itu akan menjadi sasaran
kejahatan yang tidak akan terlawan. Sementara Panglima
menyiapkan jebakan dan mudah-mudahan akan berhasil,
maka datang perintah Akuwu untuK menarik pasukan itu
karena keadaan yang gawat di Pakuwon ini"
"Bagaimana dengan pasukan di padang Padiangan?"
bertanya Akuwu. "Pasukan di padang Padiangan akan segera menghadap
Akuwu. Tidak ada persoalan yang gawat di daerah itu"
jawab penghubung itu. Lalu "Tetapi pasukan di daerah
rawa-rawa Kedung Sertu nampaknya terikat juga oleh satu
keadaan yang mirip dengan para pengawal di hutan
perbatasan. Agaknya gerombolan yang bergerak di luar
perbatasan menghadap ke hutan dan rawa-rawa Kedung
Seratu itu mempunyai aias kekuatan yang sama"
Akuwu Suwelaitama menjadi ragu-ragu untuk
mengambil keputusan. Namun ia merasa sangat berat untuk
menjatuhkan perintah menarik pasukan yang sedang
menghadapi kekuatan dari sekelompok penjahat yang akan
merusak ketenangan hidup rakyat kecil di perbatasan.
Karena itu, maka perintah Akuwu kemudian kepada
para penghubung "Perintahkan Kepada pasukan yang
berada di Padiangan untuk secepatnya datang. Kemudian
pasukan di hutan perbatasan dan daerah rawa-rawa di
Kedung Sertu untuk tetap tinggal, tetapi sebaiknya mereka
tidak menunggu Mereka harus mengambil sikap lebih cepat.
Baru setelah mereka mengatasi keadaan, mereka aku
perintankan untuk mencari hubungaij, dengan aku. Aku
tidak dapat mengorbankan rakyat di perbatasan itu apapun
alasannya" Penghubung itupun kemudian meninggalkan Akuwu
dengan pasukan yang ada padanya. Namun dengan
demikian, maka Akuwu masih harus membuat
perhitungan-perhitungan yang cermat untuk mengatasi
keadaan. Tetapi menurut perhitungan Akuwu Suwelatama,
pasukan yang ada di padang Pandiangan itu tidak akan
cukup kuat mengatasi kekuatan keempat Pangeran yang
datang dibantu oleh guru-guru mereka dengan seluruh
kekuatan di padepokan-padepokan. Apalagi Akuwu itupun
menyadari, bahwa pasukan yang datang itu memang sudah
dipersiapkan cukup lama dengan beaya yang disediakan
oleh para Pangeran yang kaya itu.
Karena itulah, maka Akuwu Suwelatama harus
membuat perhitungan yang cermat menghadapi keadaan.
Sehingga dengan demikian maka ia tidak dapat segera
mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu.
Dalam keadaan yang sulit itu, maka Akuwu Suwelatama
teringat kepada Wasi Sambuja. Barangkali ia dapat minta
pertolongannya untuk memperingatkan sekali lagi, agar
Pangeran Indrasunu tidak menjadi semakin jauh tersesat.
Karena itu, maka Akuwu Suwelatamapun telah
memerintahkan penghubungnya untuk pergi ke padepokan
Wasi Sambuja. "Katakan, bahwa aku sudah terdesak.
Karena keadaan yang gawat, aku tidak dapat meninggalkan
pasukanku" pesan Akuwu Suwelatama "jika Wasi Sambuja
bersedia, aku mohon ia datang ke tempat ini"
Demikianlah penghubung itupun segera melakukan
perintah Akuwu. Dengan tergesa-gesa ia telah menempuh
sebuah perjalanan menuju ke padepokan Wasi Sambuja.
Berita tentang tingkah laku Pangeran Indrasunu telah
membuat Wasi Sambuja berprihatin. Ia menyesali tingkah
lakunya sendiri pada saat-saat ia masih mengasuh Pangeran
yang muda itu. Ia terlalu memanjakannya dan memenuhi
segala keinginannya, yang baik maupun yang kurang baik.
Ternyata bahwa kemanjaannya itu telah menumbuhkan
persoalan yang gawat bagi satu lingkungan yang besar.
Bukan sekedar pada beberapa pribadi tertentu saja.
Gambaran yang diberikan oleh penghubung itu tentang
keadaan Akuwu Suwelatama membuatnya menjadi
semakin gelisah. Wasi Sambuja memuji kebijaksanaan
Akuwu yang tidak mau memanggil pasukannya yang
sedang berusaha melindungi rakyat kecil diperbatasan
meskipun ia sendiri sangat membutuhkannya.
"Tetapi dengan demikian keadaan Akuwu itu sendiri
menjadi gawat" berkata Wasi Sambuja.
"Ya" jawab penghubung itu "pada suatu saat, keempat
Pangeran itu dapat saja mendesaknya semakin jauh ke
dalam hutan, atau mengepungnya dan menghancurkannya"
"Tetapi bukankah perintah Akuwu kepada pasukannya,
apabila tugas mereka telah selesai, mereka harus datang
menghadap?" bertanya Wasi Sambuja.
"Tugas itu masih panjang. Para penjahat itu berpangkal
di luar daerah Pakuwon Kabanaran sehingga sulit bagi
pasukan kami untuk langsung menusuk ke dalam sarang
mereka" jawab penghubung itu. Lalu "Sementara itu,
kedudukan keempat Pangeran itu akan menjadi semakin
kuat. Dengan janji palsu dan hadiah-hadiah yang berharga,
mereka akan dapat menghimpun kekuatan di Pakuwon
Kabanaran sendiri, sementara mereka dapat mulai dengan
hubungan-hubungan baru dengan tetangga di sekitar
Pakuwon kami" "Tentu hubungan itu tidak akan dapat berlangsung"
sahut Wasi Sambuja "kedudukan keempat Pangeran itu
masih belum diakui" "Tetapi jika itu merupakan satu kenyataan, bahwa yang
berkuasa adalah mereka, mungkin ada pertimbanganpertimbangan
lain dari Kediri dan Singasari" sahut
penghubung itu. Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud
penghubung itu. Namun baginya sulit dapat
membayangkan cara yang paling yang dapat ditempuh oleh
Akuwu Suwelatama. Ia sendiri tidak yakin, apakah
pengaruhnya masih cukup kuat untuk mempersilahkan
Pangeran Indrasunu mengurungkan niatnya yang sudah
dimulainya itu. Karena itu, maka katanya kepada
penghubung itu "Baiklah. Aku akan menghadap Akuwu
Suwelatama. Mungkin aku dapat mengatakan serba sedikit
pertimbangan-pertimbangan yang akan dapat ditempuh"
Demikianlah, maka bersama penghubung itu, Wasi
Sambuja telah pergi menghadap Akuwu Suwelatama.
Sebenarnyalah bahwa Resi Sambuja melihat seperti apa
yang dikatakan oleh penghubung yang datang Kepadanya.
Dengan pasukan yang ada, Akuwu menyusun
pertahanannya di sebuah hutan kecil. Namun menurut
Akuwu Suwelatama, ia tidak akan mampu bertahan apabila
pasukan keempat Pangeran itu mengejarnya lebih jauh.
"Tetapi agaknya mereka sedang menyusun landasan"
berkata Akuwu Suwelatama.
"Tetapi apakah sementara itu pasukan Akuwu yang
tersebar sudah dapat ditarik semuanya?" bertanya Wasi
Sambuja. "Aku khawatir bahwa mereka masih belum dapat
menyelesaikan tugas mereka. Jika mereka harus aku tarik
karena persoalan ini, maka rakyat kecil akan menjadi
korban keganasan para penjahat yang sama sekali tidak
mau membuat pertimbangan-pertimbangan apapun juga
yang menyangkut persoalan yang lebih luas. Mereka tidak
peduli apakah Pakuwon ini sedang mengalami kekalutan
atau sama sekali tidak ada persoalan. Mereka justru merasa
mendapat kesempatan sebaik-baiknya untuk melepaskan
ketamakan dan kedengkian mereka. Mereka akan dapat
berbuat sewenang-wenang" jawab Akuwu Suwelatama
kemudian "Meskipun aku mengerti, bahwa
mempertahankan Pakuwon ini merupakan satu kewajiban
penting, namun apakah aku akan dapat mengorbankan
rakyat di perbatasan itu"
Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu
iapun kemudian bertanya "Apakah kita dapat
mempergunakan pasukan dari Kediri atau Singasari untuk
mengusir mereka?" Akuwu Suwelatama menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Aku belum memikirkannya. Aku berharap bahwa
aku akan dapat mengatasi persoalan ini sendiri. Jika aku
menyampaikan persoalan ini kepada Kediri atau Singasari,
maka keempat Pangeran itu akan menjadi buruan yang
akan berakibat sangat buruk bagi mereka"
"Tetapi dengan perbuatan mereka itu, maka mereka
suriah menumbuhkan satu persoalan yang gawat. Pakuwon
ini bukan barang mainan. Dan mereka sudah merebutnya
dari tangan yang berhak. Apakah dengan demikian, masih
akan ada pertimbangan-pertimbangan yang justru akan
menyulitkan penyelesaiannya?"
Akuwu Suwelatama rasa-rasanya memang sedang berdiri
disimpang jalan. Jika ia membiarkan tingkah laku keempat
Pangeran itu, maka mereka tentu akan menjadi semakin
jauh tersesat. Tetapi justru karena mereka telah bertindak,
maka apabila ia melaporkannya kepada para pemimpin di
Kediri dan Singasari, maka akibatnya akan sangat gawat
bagi keempat Pangeran yang sebenarnya adalah saudarasaudaranya
pula. "Ki Wasi Sambuja" berkata Akuwu Suwelatama
"Apakah kau tidak ingin mencoba sekali lagi dengan cara
yang baik. Kau dapat menemui adimas Indrasunu dan
memberinya sedikit peringatan, bahwa permainan ini akan
dapat membakar dirinya sendiri"
"Aku sudah mencoba Pangeran" jawab Wasi Sambuja
"tetapi ia sama sekali tidak mau mendengarkannya"
Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Sulit
baginya untuk mengambil satu sikap. Jika ia menunggu,
maka kekuasaan keempat Pangeran itu didaerah
Pakuwonnya akan menjadi semakin mantap. Agaknya
mereka dapat membujuk anak-anak muda yang kurang kuat
sikap dan pribadinya dengan janji-janji dan harapan,
sehingga anak-anak muda itu terpikat kepada sikap mereka.
Tetapi untuk melawan mereka dengan kekerasan, rasarasanya
Akuwu Suwelatama masih belum cukup
mempunyai kekuatan, sehingga benturan yang akan terjadi,
akan sangat merugikannya dan merugikan Pakuwonnya.
Dalam keragu-raguan itu Pangeran Suwelatama men
dengar Wasi Sambuja berkata "Pangeran. Namun
demikian, baiklah sekali lagi aku akan mencoba menemui
Pangeran Indrasunu. Aku akan menyampaikan segala
masalah yang Pangeran hadapi kepadanya, meskipun aku
tidak akan justru mendorongnya untuk menyerang
Pangeran dalam kedudukan Pangeran sekarang, karena aku
mengatakan kelemahan Pangeran"
"Terima kasih" jawab Pangeran itu "mudah-mudahan
kau berhasil" Wasi Sambuja itupun kemudian mohon diri untuk pergi
ke pusat pemerintahan Pakuwon Kabanaran.
Tetapi perjalanan itu tidak terlalu mudah seperti yang
diduganya. Di sepanjang jalan ia menemui berbagai macam
kesulitan. Para pengawal dari keempat Pangeran itu
ternyata sangat berhati-hati. Mereka dengan keras
memeriksa setiap orang yang mendekati kedudukan
keempat Pangeran yang didukung oleh guru-guru mereka,
kecuali guru Pangeran Indrasunu.
Namun akhirnya Wasi Sambuja itu berhadil juga
menemui Pangeran Indrasunu. Ia diterima dengan penuh
kecurigaan, sehingga Wasi Sambuja merasa bahwa ia selalu
berada di dalam pengawasan yang sangat ketat.
"Orang itu dapat berbuat jahat terhadapku" berkata
Pangeran Indrasunu kepada pengawalnya.
"Jika demikian, apakah sebaiknya orang itu ditangkap
saja?" bertanya pengawalnya.
Pangeran Indrasunu merenung sejenak. Namun akhirnya
ia menggeleng lemah "Aku masih mempunyai sedikit
hormat kepadanya. Biarlah ia mengatakan maksudnya.
Tetapi jika ia bermaksud buruk, aku akan memberikan
isyarat kepadamu" Pengawal itu tidak menjawab lagi. Tetapi ia mengawasi
tamu Pangeran Ihdrasunu itu dengan sungguh-sungguh.
Dalam pada itu, maka Pangeran Indrasunu telati
menerima gurunya di serambi istana Akuwu Suwelatama
yang sudah dikuasainya" Di tempat yang terbuka itu,
memungkinkan beberapa orang pengawal mengawasinya
dari kejauhan. Setelah duduk sejenak, maka Wasi Sambuja itupun
kemudian mengatakan maksud kedatangannya. Ia berusaha


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperingatkan Pangeran Indrasunu, bahwa
permainannya itu akan dapat membahayakan dirinya.
"Jika Kediri dan Singasari mengambil sikap yang keras,
maka Pangeran tidak akan mampu berbuat apapun juga"
berkata Wasi Sambuja. "Guru" berkata Indrasunu "jika guru tidak mau ikut
bersamaku, silahkan. Tetapi guru jangan menganggukku.
Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan melangkah surut.
Tingkat pemikiran dan perencanaan sudah lewat. Kami
tinggal melaksanakannya. Kami sudah menyusun kekuatan
yang akan mampu mengimbangi kekuatan Kediri, dan
kemudian kekuatan Singasari"
"Pangeran bermimpi" desis Wasi Sambuja "kekuatan
yang dapat Pangeran himpun sekarang ini sama sekali
belum berarti apa-apa bagi Singasari"
"Guru keliru. Guru belum melihat kekuatan kami yang
sebenarnya. Selain itu, kami telah berhasil menyusun
pasukan yang baru, yang terdiri dari mereka yang telan
menyadari kebenaran perjuangan kami"
"Pangeran" berkata Wasi Sambuja kemudian "jika aku
masih boleh memperingatkan, sebaiknya Pangeran menarik
diri. Sebentar lagi kekuatan Pangeran Suwelatama akan
pulih, setelah ia selesai dengan tugas kemanusiaannya.
Justru pada saat pasukannya sedang melakukan tugas
kemanusiaan, Pangeran telah menyerang. Namun sampai
hari ini Pangeran Suwelatama masih belum ingin
melibatkan pasukan Kediri dan apalagi Singasari"
"Omong kosong" geram Pangeran Indrasunu
"seandainya kakangmas Suwelatama mengadukan hal ini
kepada Kediri dan Singasari, maka tidak akan ada
seorangpun yang akan menanggapinya. Kediri akan melihat
kenyataan bahwa rakyat Kabanaran lebih senang memilih
pemerintahan yang kami pimpin daripada kakangmas
Suwelatama, sehingga Kediri dan Singasari justru akan
mengesahkan kedudukan kami"
"Satu kesalahan yang besar" desis Wasi Sambuja.
"Sudahlah. Guru jangan ikut campur" geram Pangeran
Indrasunu. Namun sebagai seorang murid aku masih ingin
bertanya sesuatu kepada guru. Dimana Pangeran
Suwelatama sekarang ini bersembunyi"
Wajah Wasi Sambuja menjadi tegang. Ternyata bahwa
Pangeran Indrasunu sudah tidak mau mendengar
nasihatnya sama sekali. Pengaruhnya terhadap muridnya
yang seorang itu telah pudar dan bahkan padam.
Namun sudah barang tentu bahwa Wasi Sambuja tidak
akan bersedia menjawab pertanyaan Pangeran Indrasunu,
dimana Akuwu Suwelatama bersembunyi.
Karena itu, maka jawabnya "Pangeran. Aku tidak tahu,
dimana Pangeran Suwelatama untuk sementara menarik
pasukanya. Tetapi yang aku ketahui dengan pasti, ia akan
kembali bersama pasukannya untuk mengusir Pangeran.
"Cukup guru" potong Pangeran Indrasunu "waktu aku
berikan bagi guru sudah terlalu panjang"
"Terima kasih Pangeran" jawab Wasi Sambuja "Aku
mohon diri. Aku akan kembali kepadepokan untuk
menenangkan hati dan berdoa agar Pangeran mendapat
terang dihati, sehingga sempat menilai kembali apa yang
sedang Paneran lakukan sekarang"
"Jangan membuang waktu dan tenaga yang tidak akan
berarti apa apa" jawab Pangeran Indrasunu "Doa guru
tidak akan terkabul sama sekali"
Wasi Sambujo menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak ingin memberikan penjelasan lagi. lapun minta diri
dan meninggalkan istana Akuwu.
Demikian Wasi Sambuja itu hilang di balik regol, maka
Pangeran Indrasunupun segera memanggil dua orang peng
awal terpilihnya. Katanya "Kau melihat orang tua itu
"Ya Pangeran" jawab salah seorang dari kedua pengawal
itu. "Aku tahu, kalian berdua adalah orang pilih tanding.
Apakah kalian berani mengimbangi kemampuan guruku
itu?" bertanya Pangeran itu.
"Apakah Pangeran bermaksud agar aku mengejarnya
dan menangkapnya?" bertanya pengawal itu pula.
"Tidak. Bukan menangkapnya. Bagaimanapun juga, ia
adalah guruku" desis Pangeran Indrasunu.
"Jadi?" "Ikuti orang itu. Aku yakin ia akan pergi ketempat
persembunyian Akuwu Suwelatama "desis Pangeran
Indrasunu "jika kalian telah menemukan persembunyian
itu, laporkan kepadaku. Kita akan datang beramai-ramai.
Nah kau tahu apa yang aku maksud?"
"Mengerti Pangeran" jawab pengawal itu "mengikuti
orang tua itu sampai ketempat persembunyian Pangeran
Suwelatama" "Tepat. Lakukan sekarang, mumpung orang itu belum
terlalu jauh" "Kami dapat mengikuti jejak kaki kudanya Pangeran.
Kawanku ini adalah seorang ahli menilik jejak. Apalagi
jejak seekor kuda yang baru saja lewat, sedangkan jejak
seseorangpun dapat diikutinya"
"Bagus tetapi segeralah berangkat" perintah Pangeran
Indrasunu. Kedua pengawal itu segera mengambil kudanya. Sejenak
kemudian keduanya telah berderap mengikuti jejak kuda
Wasi Sambuja. Sebenarnyalah pengawal itu memiiiki ketajaman
penglihatan atas jejak yang diikutinya. Ia dengan mudah
dapat mengenal jejak yang baru. Sehingga dengan demikian
maka kedua pengawal itupun tahu dengan pasti, kemana
Wasi Sambuja pergi. Dalam pada itu, Wasi Sambuja memang ingin kembali
ketempat persembunyian Akuwu Suwelatama. Namun
nalurinya memberinya peringatan bahwa memang mungkin
sekali Pangeran Indrasunu memerintahkan orang-orangnya
untuk mengikutinya, karena itu maka Wasi Sambuja telah
memilih jalan lain yang tidak langsung menuju ke tempat
yang dituju. Seolah-olah ia mengikuti jalur jalan yang
arahnya berbeda" meskipun pada suatu saat ia akan
berbelok menuju ke tempat yang sebenarnya.
Karena itu maka kedua pengawai yang mengikuti
jejaknyapun telah menuju ketempat yang tidak semakin
dekat dengan tempat persembunyian Akuwu Suwelatama.
Namun dalam pada itu, ada juga keragu-raguan dihati
kedua pengawal itu. Ketika mereka berbelok memasuki
sebuah jalan sempit, salah searang dari kedua orang itu
berkata "Aku tidak dapat membayangkan, kemana orang
tua itu akan pergi" "Mungkin Akuwu Suwelatama telah menyeberang
perbatasan dan memasuki Pakuwon tetangga. Jalan ini
menuju keperbatasan" sahut yang lain.
Meskipun demikian, keduanya memasuki jalan itu pula.
tetapi yang seorang berkata "Aku tidak akan salah, jejak ini
masih sangat jelas. "Akupun dapat melihatnya" jawab yang lain "sebaiknya
kita percepat sedikit. Mungkin kita akan dapat mengetahui
dengan pasti, kemana orang itu pergi"
"Jika ia menyeberang perbatasan?" bertanya kawannya.
"Kita akan melihat suasana?" jawab yang lain "jika perlu
kitapun akan menyeberang. Bukankah menjadi rencana
Pangeran Indrasunu, bahwa Pakuwon disekitarnyapun
harus tunduk kepadanya sebelum pada suatu saat, Kediri
akan dikuasai?" Keduanyapun kemudian mempercepat kuda mereka.
Dengan demikian mereka berharap untuk dapat mengetahui
lebih jelas, apa yang akan dilakukan oleh orang tua itu.
Agaknya keduanyapun menjadi curiga, bahwa orang tua itu
menyadari bahwa ia telah diikuti dan sedang berusaha
melepaskan diri dari orang-orang yang mengikutinya itu.
"Jika ia mencapai sebuah sungai dan menelusurinya, kita
harus berhati-hati" desis yang seorang.
Kawannya mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia
bertanya "Kenapa kita harus berhati-hati?"
"Kita akan mengalami kesulitan untuk menemukan arah.
Di dalam air yang keruh, kita sulit untuk melihat jejaknya.
Mungkin orang itu berbelok ke kiri. Tetapi mungkin
menelusuri sungai itu kearah kanan" jawab Kawannya.
Sebenarnyalah bahwa akhirnya Wasi Sambuja itupun
mengetahui bahwa dua orang telah mengikutinya. Ketika ia
berada di bulak panjang, maka ia sempat melihat dua orang
yang muncul dari mulut lorong. Namun agaknya kedua
orang itu tidak melihatnya karena ia sudah berada di
padukuhan diseberang bulak. Justru karena getar
perasaannya, ia menduga bahwa Pangeran Indrasunu tidak
akan bertindak jujur. "Ternyata dugaanku benar" berkata Wasi Sambuja
kepada diri sendiri. Ketika ia meyakinkan untuk kedua
kalinya, ia menjadi yakin bahwa ia benar-benar telah
diikuti. Dalam pada itu, kedua orang yang mengikutinya itupun
berusaha untuk memperpendek jarak. Dengan
mempertinggi kecepatannya mereka berharap dapat
mengikuti orang itu secara langsung, agar mereka tidak
kehilangan. Ketika pada suatu saat kedua orang itu muncul dari
sebuah padukuhan, keduanya menjadi bimbang. Mereka
tidak melihat jejak kuda itu lagi. Yang nampak adalah
bekas pedati yang lewat menyeret bambu yang ujungujungnya
menyentuh tanah. Bahkan dedaunan yang
agaknya berada di pedati itu pula.
"Kita lihat beberapa puluh langkah ke depan" berkata
yang saorang. Tetapi bekas pedati itu masih tetap menghapus jejak.
"Gila" geram orang itu "Apakah orang itu memang
sengaja berbuat demikian?"
"Jika benar demikian, maka pedati itu tentu tidak jauh di
depan kita" berkata kawannya.
Kedua orang itupun berpacu semakin cepat. Mereka
ingin menyusul pedati yang telah menghapus jejak itu. Jika
pedati itu berada di belakang orang yang mereka ikuti,
sementara jalan sebuah pedati tidak lebih cepat dari seekor
siput yang merayap, maka pedati itu tentu tidak akan jauh
lagi di hadapan mereka. Demikianlah keduanya berpacu semakin cepat. Ketika
keduanya muncul dari sebuah padukuhan kecil,
sebenarnyalah mereka melihat sebuah pedati yang ditarik
oleh sepasang lembu, berjalan lambat sekali di jalan yang
berbatu-batu. "Tidak ada seekor kuda di belakang pedati itu" desis
yang seorang. "Aneh" sahut yang lain "jika demikian, dimana orang
tua itu berhenti" "Tentu tidak terlalu jauh. Di jarak antara kita kehilangan
jejak itu sampai pada pedati itu. Mungkin ia berbelok"
jawab kawannya. Kedua orang itupun kemudian memutar kuda mereka
dan menelusuri jalan kembali untuk menemukan jejak yang
hilang itu. Mereka mengamati setiap lorong simpangan.
Dalam pada itu, tiba-tiba yang seorang hampir berteriak
berkata "Aku menemukannya. Ia berbelok lewat jalan kecil
ini" "Kau mengenal jejaknya?" bertanya kawannya.
"Kau lihat jejak ini?"
Kawannya tersenyum. Katanya "Kau memang seorang
ahli meneliti jejak. Marilah, jangan biarkan orang itu lepas.
Kita harus menemukan tempat persembunyian Akuwu
Suwelatama" Keduanyapun segera berbelok pula mengikuti jalan
setapak. Tetapi mereka tidak dapat berkuda bersama-sama.
Yang seorang berada di depan, yang seorang berada di
belakang. "Agaknya kita tidak akan terlalu jauh lagi mengikutinya"
berkata yang di depan "nampaknya kita akan sampai ke
sebuah hutan perdu. Mungkin ada pedukuhan terpencil di
sebelah hutan perdu itu, yang akan dapat menjadi tempat
yang baik untuk berlindung"
"Kamu sudah mengenal daerah ini?" bertanya
kawannya. "Tentu. Meskipun belum begitu akrab. Tetapi naluriku
mengatakan, bahwa kita akan sampai ke hutan perdu"
jawab yang lain. "Kau belum mengenalnya dengan baik" desis kawannya.
"Memang benar. Tetapi kita akan segera mengenalnya
sebaik-baiknya" Keduanyapun kemudian berusaha mempercepat kuda
mereka. Jalan menjadi semakin sulit. Namun jejak kuda
orang yang diikutinya menjadi semakin jelas.
"Nah" berkata yang didepan "bukankah di depan kita itu
sebuah hutan perdu" "Kau benar. Menurut dugaanmu, dibelakang hutan
perdu itu terdapat padukuhan terpencil, dan Pangeran
Suwelatama serta sisa pasukannya berada di padukuhan
itu?" bertanya yang di belakang.
"Ya" jawabnya "karena itu kita harus berhati-hati. Jika
perlu, kita harus meninggalkan kuda kita di hutan perdu itu.
Jika kita sudah yakin, maka kita akan segera melapor. Kita
tidak perlu mendekat benar, agar kita tidak diketahui oleh
para pengawal Akuwu Suwelatama yang tentu meronda
berkeliling di sekitar tempat persembunyiannya.'"
Kawannya mengangguk-angguk. Setelah menempuh
bulak pendek, maka tanahpun menjadi semakin gersang.
Mereka tidak lagi melihat sawah yang terbentang.
Agaknya tanah menjadi sukar digarap karena ketiadaan air.
Sehingga yang terbentang dihadapan mereka adalah sebuah
hutan perdu. Dengan hati-hati mereka kemudian memasuki hutan
perdu yang disana-sini ditumbuhi gerumbul-gerumbul liar.
Ada yang berduri tetapi ada yang sama sekali tidak
berdaun, selain batang dan ranting-rantingnya yang
mengering.

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keduanya masih tetap mengikuti jejak kuda orang tua
yang menemui Pangeran Indrasunu di Istana Akuwu
Suwelatama yang telah terdesak.
Namun tiba-tiba keduanya terkejut. Mereka melihat
seekor kuda yang tertambat pada sebatang pohon perdu.
"Gila" desis yang berada didepan "itu kuda yangi kita
ikuti. Dimana penunggangnya?"
Namun sebelum kawannya menjawab, terdengar suara
justru di belakang mereka "Aku disini"
Keduanya dengan serta merta telah berpaling. Mereka
melihat orang yang mereka ikuti berada disebelah semak
semak yang berdaun rimbun.
"Gila" geram kedua pengawal itu " kenapa kau
berhenti?" "Aku memang ingin menemui kalian berdua. He, apakah
kepentinganmu, sehingga kau mengikuti aku sampai
sedemikian jauh dari istana Akuwu?"
"Kami harus meyakinkan, bahwa kau tidak akan berbuat
sesuatu yang dapat merusak tata kehidupan di Pakuwon
ini" jawab salah seorang dari kedua pengawal yang
mengikutinya. Wasi Sambuja yang dengan sengaja menjebak keduaorang
yang mengikutinya itu menarik nafas dalam-dalam.
Pengawal itu memang cerdik, mereka dapat mencari dalih,
kenapa mereka mengikutinya. Namun demikian Wasi
Sambuja itu berkata selanjutnya "Aku kira bukan itulah
yang penting, yang harus kalian iakukan"
"Apa maksudmu?" bertanya salah seorang pengawal itu.
"Bukankah kalian mendapat tugas mengikuti aku,
sehingga dengan demikian kalian akan dapat mengetahui
tempat persembunyian Akuwu Suwelatama?" bertanya
Wasi Sambuja. Pertanyaali ini membuat kedua pengawal itu menjadi
bingung. Mereka tidak dapat segera menjawab. Bahkan
untuk sesaat mereka saling berpandangan.
Dalam pada itu, maka Wasi Sambujapun berkata "Ki
Sanak. Sebaiknya Ki Sanak mengurangkan saja niat Ki
Sanak. Katakan saja kepada Pangeran Indrasunu, bahwa
kalian kehilangan jejak, sehingga kalian tidak dapat
mengikuti aku sampai ke tempat yang kalian maksud"
"Persetan" geram salah seorang pengawal itu "kau harus
mengatakan, dimana Akuwu Suwelatama itu bersembunyi.
Maksud kami memang tidak ingin melakukan kekerasan.
Tetapi karena kau telah membuat satu kesalahan yang
besar, maka kau harus menebus kesalahanmu dengan
perlakuan yang peras dan memaksa"
"Jika aku tidak bersedia?" bertanya Wasi Sambuja.
"Kau akan menyesal. Kau akan mengalami satu
perlakuan yang barang kali tidak akan pernah kau
bayangkan" jawab pengawal itu.
"Ki Sanak" berkata Wasi Sambuja kemudian "Aku
memang sudah menduga, bahwa Pangeran Indrsunu akan
memerintahkan orang-orangnya untuk mengikuti aku.
Pangeran itu sudah menanyakan kepadaku, dimana tempat
persembunyian Akuwu Suwelatama. Karena itu, aku
sengaja mengambil jalan yang lain, yang dapat
menyesatkan arah yang seharusnya kalian tempuh"
"Gila" geram pengawal itu "kau sudah tua. Seharusnya
kau sudah tidak perlu lagi melakukan tindakan yang dapat
mencelakaimu. Karena itu, sebelum terlambat, tunjukkan,
dimana Akuwu itu bersembunyi"
"Sebaiknya kalian kembali saja Ki Sanak" jawab Wasi
Sambuja "barangkali itu lebih baik daripada aku membawa
kalian ke tempat persembunyian Akuwu Suwelatama. Jika
para pengawal Akuwu itu mengetahui bahwa kalian adalah
orang-orang Pangeran Indrasunu yang akan mencari tempat
persembunyian itu, maka nasib kalian akan mereka
tentukan" "Omong kosong" geram pengawal itu "kau harus
menyebut dimana tempat persembunyian itu. Kemudian
aku akan mengikatmu disini. Jika kau berbohong, maka aku
akan datang kembali untuk mengikatmu dibelakang kaki
kudaku dan menyeretmu disepanjang hutan perdu ini,
sampai kau mengatakan yang sebenarnya. Jika sekali lagi
kau berbohong, maka kau akan kami hukum picis di depan
istana Akuwu itu" "Jangan mengatakan yang mengerikan itu Ki Sanak"
sahut Wasi Sambuja "sebaiknya kalian pulang saja.
Katakan bahwa kau kehilangan jejak"
Para pengawal itu menjadi marah. Setelah mereka
mengikat kuda mereka di pepohonan perdu, maka merekapun
melangkah mendekati orang tua itu. Seorang dari
kedua pengawal itu berkata "Jangan memaksa kami
bertindak kasar Ki Sanak. Kau sudah tua. Sebaiknya kau
pelihara hari-hari tuamu sebaik-baiknya. Jika kau berterus
terang, mungkin Akuwu akan memberimu hadiah yang
akan dapat membuatmu gembira"
"Aku sudah merasa gembira bahwa aku tidak
menunjukkan tempat persembunyian Akuwu. Karena itu,
jangan memaksa aku melakukan yang tidak aku sukai"
jawab Wasi Sambuja. Lalu "Sekali lagi aku
memperingatkanmu. Kembalilah, dan katakan kepada
Pangeran Indrasunu, bahwa kalian telah kehilangan jejak"
"Persetan" kedua pengawal itu menjadi semakin marah.
Yang seorang melangkah semakin dekat sambil berkata
"Jangan banyak bicara. Cepat, katakan di mana Akuwu itu
bersembunyi. Baru kemudian kau akan kami ikat. Jika kau
berkata sebenarnya kami akan kami lepaskan kemudian.
Tetapi jika kau berbohong, maka kau akan kami cincang
hidup-hidup " Wasi Sambuja nenarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Aku sudah menjawab beberapa kali. Aku mohon kalian
dapat mengerti" "Jadi kau memaksa kami bertindak kasar?" bertanya
salah seor jng pengawal itu.
"Bukan maksudku. Aku hanya ingin tetap merahasiakan
tempat kedudukan Akuwu itu sekarang. Karena memberi
tahukannya berarti mengkhianatinya. Dan aku tidak mau
berbuat demikian" jawab Wasi Sambuja.
Para pengawal itu menjadi sangat marah. Agaknya orang
tua itu benar-benar tidak dapat diajak berbicara. Ia berkeras
untuk tidak mau menunjukkan, dimana Akuwu
Suwelatama bersembunyi. Karena itu, maka seorang dari para pengawal itu berkata
"Nampaknya kau memang keras kepala. Aku akan
memaksamu berbicara"
Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun
menganggap bahwa orang-orang itu adalah orang-orang
dungu yang tidak tahu diri. Namun sebenarnyalah orangorang
itu tidak sadar dengan siapa mereka berhadapan.
Karena itu, maka salah seorang pengawal itupun
kemudian bergeser selangkah, sementara yang lain berkata
"Cepat katakan. Apakah kau memang ingin mengalami
nasib yang sangat buruk?"
"Aku tidak ingin berkhianat. Itu sudah menjadi tekadku"
jawab Wasi Sambuja. Seorang dari kedua pengawal itu tidak sabar lagi.
Demikian Wasi Sambuja selesai berbicara, maka orang
itupun segera meloncat dengan tangan terayun
menghantam kening. Namun Wasi Sambuja tidak membiarkan keningnya
disentuh oleh orang itu. Iapun segera surut selangkah,
sehingga dengan demikian maka tangan pengawal itu tidak
menyentuhnya. Kemarahan telah mendidih di dadanya. Dengan
sigapnya ia meloncat memburu. Tangannyapun terjulur
lurus mengarah ke dada. Namun sekali lagi pengawal itu
tidak berhasil menyentuh tubuh orang tua itu. Tangannya
terayun sejengkal dengan dada orang tua yang memiringkan
tubuhnya. "Gila" kawannya mengumpat. Tiba-tiba saja ia tidak lagi
menahan diri. Dengan kakinya ia meluncur dengan
cepatnya menghantam lambung.
Tetapi seperti serangan-serangan kawannya, maka
kakinya sama sekali tidak mengenai sasarannya.
"Anak Setan" geram pengawal itu " jadi kau benar-benar
keras kepala" Kau sangka bahwa apa yang kau lakukan itu
dapat mendebarkan jantungku. Kami berdua belum berbuat
sebenarnya, karena kami masih berharap kau tidak akan
menyerahkan lehermu. Jika kau berkata dimana Akuwu,
maka kau akan mendapat kebebasan untuk pergi. Tetapi
sudah tentu setelah kami meyakinkan kebenaran katakatamu
itu" "Jangan kau ulang. Tidak ada gunanya" jawab Wasi
Sambuja. Kemarahan kedua pengawal itu sudah sampai ke puncak
ubun-ubunnya. Karena itu, maka keduanyapun segera
bersiap. Mereka benar-benar akan membinasakan orang tua
yang tidak tahu diri itu, karena mereka sudah tidak dapat
mengharap orang itu berbicara.
Atau mungkin dengan kekerasan, orang itu akan dapat
dipaksa untuk membuka mulutnya menyebut tempat yang
mereka cari. Dengan demikian maka kedua orang itupun segera
menyerang dengan serangan beruntun. Mereka masih
dipengaruhi oleh anggapan bahwa Orang tua itu akan
segera dapat mereka kuasai.
Namun sebenarnyalah bahwa anggapan mereka itu
salah. Betapapun juga mereka berusaha menyentuhnya,
tetapi ternyata bahwa keduanya tidak segera dapat berhasil.
"Anak iblis. Kau kira, kami telah bersungguh-sungguh"
pengawal yang seorang berteriak.
Wasi Sambuja sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia
masih saja meloncat menghindari serangan-serangan yang
semakin lama menjadi semakin cepat.
Namun akhirnya Wasi Sambuja itu menjadi jemu. Ia
tidak mau sekedar menjadi sasaran terus menerus. Karena
itu, maka iapun kemudian mulai membalas seranganserangan
itu dengan serangan pula.
Kedua pengawal itu terkejut, ketika justru serangan
orang tua itulah yang telah mengenai dirinya.
Pengawaipengawal itu tidak sempat mengelak ketika tibatiba
saja serangan orang tua itu menghantam dada mereka
"Gila" pengawal itu hampir berteriak. Serangan itu tidak
begitu keras. Tetapi bahwa serangan itu telah mengenai
dadanya, adalah sangat mengejutkannya.
"Jangan berteriak terlalu keras" berkata Wasi Sambuja
"jika orang-orang di luar hutan perdu ini mendengar,
mereka akan berdatangan. Kalian akan ditangkap sebagai
penyamun" "Kaulah yang akan ditangkap. Orang-orang padukuh-an
tidak akan. berani menangkap para pengawal Pangeran
Indrasunu yang sekarang menguasai Pakuwon ini" jawab
pengawal itu. "Mereka tidak mengenalmu. Mereka tidak akan tahu apa
yang kalian katakan tentang Pakuwon ini" berkata Wasi
Sambuja. "Persetan. Apapun juga, kau memang harus mati" geram
pengawal itu. Dengan demikian, maka kedua pengawal itu menjadi
semakin berhati-hati menghadapi lawannya. Mereka
merasa bahwa mereka harus mempergunakan ilmunya
menghadapi orang tua itu. Agaknya orang tua itu bukannya
orang kebanyakan. Karena itulah, maka keduanya mulai berpencar.
Keduanya menghadapi Wasi Sambuj dari arah yang
berlawanan. Namun nampaknya Wasi Sambuja masih nampak
tenang. Ia tidak menjadi gelisah. Karena sebenarnyalah
kedua orang pengawal itu tidak akan dapat berbuat banyak
atasnya. Sejenak kemudian kedua orang pengawal itu mulai
menyerangnya. Beruntun dari arah yang berlawanan.
Keduanya telah mengerahkan segenap ilmu mereka masingmasing.
Tetapi sebenarnyalah yang mereka hadapi adalah orang
tua yang berilmu tinggi. Dalam pertempuran yang semakin
cepat, maka tangan orang tua itu semakin sering menyentuh
mereka. Nampaknya. hanya sentuhan sentuhan yang tidak
bermaksud menyakiti. Namun yang justru paling sakit
adalah hati kedua pengawal itu. Seolah-olah orang tuaTui
telah dengan sengaja mempermainkan mereka berdua.
Karena itu, maka tidak ada pertimbangan lain lagi bagi
kedua orang pengawal itu. Karena Wasi Sambuja tidak
dapat mereka paksa untuk berbicara, maka satu-satunya
kemungkinan yang paling baik dapat mereka lakukan
adalah membinasakannya dan melaporkan kepada
Pangeran lndrasunu, bahwa orang tua itu telah melawan
mereka. Hampir berbareng kedua orang pengawal itu telah
menggenggam pedang. Dengan senjata masing-masing
maka keduanya siap untuk benar-benar membunuh orang
tua itu. Sejenak kemudian, maka keduanya telah menyerang
dengan ujung senjata. Keduanya sudah tidak mempunyai
pertimbangan lain, sehingga karena itu, maka merekapun
lelah menyerang dengan dahsyatnya.
Tetapi mereka tidak banyak mempunyai kesempatan.
Meskipun mereka berdua, melawan seorang yang sudah
kelihatan terlalu tua untuk berkelahi, namun keduanya
masih tetap tidak berdaya. Orang tua yang kemudian
mengurai seutas tali pada ikat pinggangnya, benar-benar
.telah membingungkan. Dengan tali yang digantungi
dengan bandul kecil di ujungnya, orang tua itu melawan
dua buah pedang di tangan dua orang pengawal yang
garang. "Namun kedua pengawal itu sama sekali tidak berdaya.
Ketika ujung tali itu menyentuh tubuh mereka, terasa
betapa perasaan sakit sudah menghentak kulit dan tulang
mereka. "Anak iblis" geram salah seorang pengawal itu.


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah" desis Wasi Sambuja "kembalilah, jangan
ikuti aku lagi. Karena betapapun seseorang berusaha
menahan diri, namun pada suatu saat, ia akan dapat
kehilangan kesabaran. Demikian pula dengan aku. Jika aku
sudah kehilangan kesabaran, maka kalian tidak akan dapat
kembali kepada anak isteri kalian. Bukan seja kalian tidak
dapat melaksanakan tugas kalian dengan baik, tetapi kalian
akan mengorbankan nyawa kalian tanpa arti"
Kedua pengawal itu mengeram. Tetapi, dalam
pertempuran selanjutnya, semakin nyata, bahwa kedua
pengawal itu tidak dapat berbuat banyak.
Meskipun demikian kemarahan mereka telah menutup
kenyataan yang mereka hadapi itu. Rasa-rasanya keduanya
masih saja belum melihat kenyataan, bahwa keduanya tidak
akan dapat menghadapi orang tua itu, betapapun mereka
mengerahkan segenap kemampuan dan ilmunya.
Bahkan semakin lama mereka menjadi semakin terdesak.
Tali lunak yang berada di tangan orang tua itu semakin
sering menyentuh tubuh mereka. Sebuah bandul baja yang
tidak terlalu besar yang terdapat di ujung tali itu setiap kali
terasa menyengat bagaikan memecahkan tulang.
Namun kedua orang pengawal itu masih saja selalu
mengumpat-umpat. Pedang mereka menyambar-nyambar
dengan dahsyatnya. Namun satu kenyataan tidak akan
dapat mereka ingkari, meskipun kemarahan mereka
membakar jantung, namun pedang mereka sama sekali
tidak dapat menyentuh orang tua itu. Justru bandul kecil di
ujung tali orang tua itulah yang telah menyakiti mereka.
Sentuhan bandul kecil itu semakin lama terasa semakin
sakit di tubuh mereka. Dengan demikian kedua orang pengawal itu telah
menghantakkan sisa kekuatan mereka yang terakhir.
Kelelahan mulai mencengkam tubuh mereka, sementara
nafas mereka telah memburu di lubang hidung.
Tetapi tidak segorespun ujung pedang mereka dapat
melukai orang yang akan mereka bunuh itu. Bahkan ketika
bandul kecil itu semakin sering mengenai tubuh mereka,
bahkan pundak dan lengan mereka, terasa tangan mereka
menjadi seolah-olah semakin lemah. Perasaan sakit yang
menyengat tidak lagi dapat mereka abaikan, sehingga
akhirnya, kedua orang pengawal itu telah kehilangan
sebagian besar dari tenaganya.
"Aku masih memberi kesempatan kepada kalian"
berkata Wasi Sambuja. Kedua pengawal itu menggeram. Salah seorang dari
merekapun berteriak "Aku bunuh kau iblis"
Namun kata-katanya bagaikan patah dikerongkongan.
Bandul baja yang tidak begitu besar itu telah menyambar
dadanya, sehingga terdengar orang itu mengeluh tertahan.
"Jangan terlalu sombong anak-anak" desis orang tua itu
"Aku sudah menahan perasaan sejak aku mengetahui
bahwa kalian mengikuti aku. Jika kalian keras kepala, aku
pecahkan kepala kalian yang keras itu dengan bandul kecil
ini" Bagaimanapun juga, peringatan orang tua itu tidak lagi
dapat mereka abaikan. Ketika kelelahan telah semakin
mencengkam, dan perasaan sakit yang menjalar keseluruh
tubuh. Karena itu, maka semakin lama perlawanan mereka
pun menjadi semakin lemah, sehingga akhirnya, bandul
kecil yang tidak terelakkan telah sekali lagi menghantam
dada salah seorang dari kedua pengawal itu. Demikian
kerasnya, sehingga rasa-rasanya nafasnya telah menjadi
sesak. Dengan serta merta, orang itu meloncat surut. Sehingga
dengan demikian kawannyapun telah meloncat pula
menjauh. "Apakah kalian merasa belum cukup yakin, bahwa .aku
akan dapat membunuh kalian jika aku menghendaki?"
bertanya Wasi Sambuja. Kedua pengawal itu menggeram. Tetapi mereka tidak
segera menyerang. Bahkan keragu-raguan mulai nampak di
wajah mereka. "Aku memberi kesempatan terakhir" berkata Wasi
Sambuja "kalian tinggalkan tempat ini, atau aku akan
benar-benar membunuh kalian sebagaimana benar-benar
akan kalian lakukan atasku. Jika kalian tetap berkeras untuk
bertempur, maka aku akan kehilangan pertimbangan untuk
memaafkan kalian" Kedua orang itu harus benar-benar mempergunakan
nalar mereka. Mereka tidak dapat sekedar menuruti
perasaan dan barangkali sekedar harga diri. Agaknya nyawa
mereka lebih berharga dari sekedar harga diri saja.
Karena itu, maka keduanya tidak segera dapat
menjawab. "Cepat. Ambil keputusan. Pergi dari tempat ini dan
selanjutnya tidak mengikuti aku lagi, atau kalian akan mati
di padang perdu ini" geram orang itu.
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Perasa an
sakit di tubuh mereka telah mempertegas sikap mereka.
Dengan isyarat salah seorang dari keduanya itupun
mengangguk kecil sehingga dengan demikian, maka kedua
orang itupun telah melangkah surut.
"Jika kalian mengambil keputusan untuk menarik diri,
lakukanlah. Salamku kepada Pangeran Indrasunu. Katakan
kepadanya, bahwa langkah yang diambilnya adalah
langkah yang salah sama sekali" berkata orang tua itu.
Kedua orang itupun melangkah semakin jauh. Mereka
tidak lagi menghiraukan harga diri mereka. Agaknya ke
duanya masih belum ingin mati.
Beberapa langkah kemudian, keduanya telah dengan
tergesa-gesa meninggalkan tempat itu langsung menuju ke
kuda mereka. Dengan tergesa-gesa pula merekapun melepas
kuda mereka dan segera keduanya berloncatan naik ke
punggung kuda masing-masing.
"Barangkali satu penyelesaian yang paling baik" berkata
orang tua itu "kembalilah ke Pangeranmu itu"
Kedua orang pengawal itupun segera menarik kekang
kudanya. Ketika kaki mereka menyentuh perut kuda
masing-masing, maka kuda itupun segera berlari
meninggalkan hutan perdu itu.
Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Ia memang
tidak ingin membunuh kedua orang yang tidak banyak
mengerti tentang tingkah laku Pangeran Indrasunu itu.
Karena itu, maka keduanyapun telah diberinya kesempatan
untuk kembali menghadap Pangeran Indrasunu.
"Jika keduanya dihukum karenanya, maka itu bukan
salahku" berkata Wasi Sambuja "adalah hakku untuk
mempertahankan agar aku tidak mati terlalu cepat"
Demikianlah, ketika kedua pengawal itu sudah tidak
nampak lagi, Wasi Sambujapun segera mengambil
kudanya. Iapun segera melanjutkan perjalanannya, kembali
ke tempat persembunyian Akuwu Suwelatama untuk
melaporkan, hasil perjalanannya.
"Pangeran Indrasunu sudah tidak dapat diajak berbicara
lagi, Pangeran" berkata Wasi Sambuja "Aku sudah
berusaha dengan cara apapun juga. Tetapi hatinya sudah
mengeras seperti batu. Ia merasa sangat kecewa atas
kegagalannya mengambil seorang gadis cantik dari rumah
seorang yang bernama Mahendra, kemudian gagal dalam
sayembara tanding melawan anak muda yang bernama
Mahisa Bungalan. Sementara aku sendiri gagal
memperbaiki kekalahan itu, karena aku harus berhadapan
dengan seorang yang bernama Witantra, seorang yang
pernah berada di Kediri sebagai seorang Senopati Agung
yang mewakili kekuasaan Singasari di Kediri"
Akuwu Suwelatama itupun mengangguk-angguk.
Ternyata bahwa yang dihadapinya bukannya masalah yang
dapat dengan mudah dipecahkannya. Ia harus berpikir
dengan sungguh-sungguh. Apakah yang harus
dilakukannya menghadapi kekuatan Pangeran Indrasunu.
Pangeran yang dicengkam oleh kekecewaan pribadi itu
telah berhasil mengobarkan api di hati beberapa orang
saudara dan para guru mereka, sehingga api benar-benar
telah menyala, seolah-olah api itu akan dapat menjadi api
pencuci kepincangan yang terdapat di Kediri dan Singasari.
"Wasi Sambuja" berkata Pangeran Suwelatama
"nampaknya masalah yang aku hadapi memang tidak
terlalu mudah. Aku tidak akan dapat menarik dengan
segera pasukanku yang menghadapi kekuatan para
perampok di perbatasan. Meskipun sudah aku perintahkan
agar mereka mempercepat tugas mereka, dengan tidak
menunggu lagi, tetapi mereka harus langsung memasuki
sarang para penjahat itu, namun sewaktu-waktu aku akan
dapat menghadapi kesulitan yang sungguh-sungguh jika
Pangeran-pangeran muda itu menemukan tempat
persembunyianku" "Memang tidak ada jalan lain Pangeran" berkata Wasi
Sambuja "agaknya pasukan Kediri, atau Singasari memang
diperlukan" Pangeran Suwelatama menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian ia berkata "Bagaimana jika kau hubungi
saja lawan Pangeran Indrasunu itu. Mungkin
menghadapkan Pangeran Indrasunu dengan orang itu, akan
mempunyai pengaruh yang dapat menyentuh hatinya"
"Tetapi apa arti ia seorang diri" berkata Wasi Sambuja.
Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya
"Ya, apa artinya ia seorang diri"
Kecuali jika ia dapat datang dengan sepasukan prajurit
Singasari. Meskipun tidak dengan dalih resmi sebagaimana
yang terjadi. Dengan demikian, maka pasukan kecil itu
belum berarti memerangi sebuah pemberontakan. Mungkin
Pangeran dapat minta bantuannya untuk meme rangi
kejahatan" berkata Wasi Sambuja.
"Antarkan aku menjumpai salah seorang dari mereka"
berkata Pangeran Suwelatama "Aku ingin menyelesaikan
persoalan ini, tetapi tidak dengan semata-mata
menjerumuskan adik-adikku itu ke dalam satu hukuman
sebagai pengkhianat. Aku masih berusaha untuk
menyelamatkan mereka, lahir dan batinnya. Namun aku
juga tidak ingin menjadi korban dari kebodohan mereka
itu" Wasi Sambuja sama sekati tidak berkeberatan untuk
mengantarkan Akuwu Suwelatama ke Singasari. Namun
yang akan ditemuinya pertama-tama adalah Pangeran
Wirapaksi. "Aku sependapat" berkata Pangeran Suwelatama
"Aku akan berbicara dengan kakangmas Wirapaksi"
Demikianlah, maka Akuwu Suwelatama telah pergi ke
Singasari diantar oleh Wasi Sambuja untuk menemui
Pangeran Wirapaksi. Sebagaimana telah terjadi, Pangeran
Wirapaksi termasuk salah seorang yang memiliki
kebijaksanaan, meskipun persoalannya menyangkut adik
iparnya. Kedatangan Pangeran Suwelatama di Singasari sangat
mengejutkan Pangeran Wirapaksi. Karena itu, maka iapun
segera ingin mengetahui, apakah keperluan Akuwu
Suwelatama yang datang bersama Wasi Sambuja.
"Kedatanganku ada hubungannya dengan adimas
Pangeran Indrasunu" berkata Pangeran Suwelatama.
Pangeran Wirapaksi mengerutkan keningnya. Dengan
ragu-ragu ia bertanya "Apakah adimas Pangeran Indrasunu
mengatakan apa yang pernah terjadi di Singasari?"
Pangeran Suwelatama menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Ia telah melakukan satu kesalahan yang besar"
Pangeran Wirapaksi termangu-mangu sejenak. Ia
menyangka bahwa Pangeran Suwelatama datang bersama
Wasi Sambuja untuk menyatakan keberatannya atas
sikapnya terhadap Pangeran Indrasunu. Namun ternyata
Pangeran Suwelatama itu telah menceriterakan apa yang
telah terjadi, justru bertentangan dengan dugaan Pangeran
Wirapaksi. Pangeran Wirapaksi itupun menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada datar ia berkata "Agaknya Pangeran
Indrasunu telah terlalu jauh tersesat. Apakah adimas
Suwelatama sudah melaporkan hal ini kepada para
pemimpin di Kediri?"
Pangeran Suwelatama menggeleng. Jawabnya "Aku
masih berusaha melindungi nama baik keempat Pangeran
muda itu. Jika aku melaporkan hal ini kepada para
pemimpin di Kediri dan apa lagi Singasari, maka keempat
Pangeran itu akan dapat ditindak sebagai pemberontak.
Bukankah dengan demikian hari depan keempat orang
anak-anak muda itu akan tertutup"
"Tetapi apa yang telah mereka lakukan benar-benar telah
merupakan satu pemberontakan" desis Pangeran
Wirapaksi. "Kakangmas benar. Tetapi aku masih berusaha dengan
cara lain" jawab Pangeran Suwelatama yang juga
menceriterakan kesulitannya karena pasukannya sedang
menghadapi para penjahat di daerah perbatasan.
"Aku mengerti" jawab Pangeran Wirapaksi "Jika
pasukan itu tergesa-gesa ditarik, maka rakyat di daerah itu
akan mengalami bencana. Penjahat-penjahat itu akan
melepaskan dendamnya kepada mereka dan lebih dari nada
itu, semua kekayaan yang ada tentu akan dirampasnya
sampai kering" Pangeran Wirapaksi berhenti sejenak, lalu
"memang sebaiknya mereka harus tetap di tempatnya"
"Benar kakangmas" jawab Pangeran Suwelatama
"namun dengan demikian aku tidak dapat mengatasi
kesulitanku menghadapi keempat anak-anak muda yang
tersesat jalan itu, tanpa menyeret mereka ke dalam tuduhan
sebagai seorang pengkhianat"
Pangeran Wirapaksi mengangguk-angguk. Kemudian
katanya "Jadi apakah maksud adimas datang ke Singasari
jika adimas tidak mau melaporkan hal ini kepada para
pemimpin pemerintahan yang akan menunjuk beberapa
orang Senapati untuk bertindak?"
"Aku memang tidak ingin melaporkan" berkata Akuwu
Suwelatama "Tetapi aku ingin berbicara dengan orang yang
telah memenangkan sayembara tanding melawan Pangeran


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Indrasunu. Jika ia mendengar nama itu, mungkin jiwanya
akan terpengaruh. Namun sudah barang tentu, di samping
orang itu, akupun memerlukan kekuatan untuk merebut
kembali kota Pakuwon Kabanaran yang telah diduduki
adimas Pangeran Indrasunu. Tetapi sekali lagi, yang tidak
akan menyeretnya sebagai seorang pengkhianat"
"Permintaanmu sangat sulit" jawab Pangeran Wirapaksi
"tetapi baiklah. Aku akan berusaha. Aku akan mengirimkan
sebagian dari pengawal-pengawalku yang tidak banyak
jumlahnya. Kemudian paman Mahisa Agni akan dapat
mempergunakan pengaruhnya untuk mengirimkan
sepasukan kecil prajurit dengan dalih yang mapan.
14_SHM_Panasnya_Bunga_Mekar
Mungkin untuk menumpas kejahatan yang tersebar di
Pakuwon Kabanaran" "Tetapi mungkin ada sebuah pertanyaan, kenapa aku
tidak pergi ke Kediri?" berkata Pangeran Suwelatama
"Apakah aku dapat berbohong, bahwa pasukan pengawal di
Kediri sedang mengalami kesulitan yang sama menghadapi
para penjahat yang pada masa terakhir berkembang dengan
pesat" Pangeran Wirapaksi tersenyum. Katanya "Baiklah.
Tetapi aku kira paman Mahisa Agni tidak akan bertanya
terlalu banyak. Bahkan mungkin kepadanya aku dapat
berterus terang apa yang telah terjadi"
"Apakah ia dapat mengerti?" bertanya Pangeran
Suwelatama. "Ia akan dapat mengerti" jawab Pangeran Wirapaksi.
Dengan demikian maka Pangeran Suwelatama itupun
telah dibawa menghadap Mahisa Agni bersama Wasi
Sambuja. Namun Pangeran Wirapaksi sudah berpesan agar
mereka tidak mengatakan hal itu kepada isterinya, kakak
perempuan Pangeran Indrasunu.
Ternyata tanggap Mahisa Agni seperti yang diharapkan.
Ia dapat mengerti sepenuhnya. Karena itu, maka tidak ada
kesulitan bagi Pangeran Suwelatama untuk mendapatkan
sepasukan prajurit Singasari yang justru dipimpin seorang
Magang yang akan dicalonkan sebagai seorang Senopati
muda. "Satu pendadaran bagi Mahisa Bungalan" berkata
Mahisa Agni. Demikianlah, maka sepasukan kecil prajurit Singasari,
dipimpin oleh Mahisa Bungalan telah berbenah diri untuk
pergi ke pakuwon Kabanaran. Bersama mereka adalah
Mahisa Agni sendiri, Witantra dan Pangeran Wirapaksi
yang membawa sebagian pengawal pribadinya.
Dalam kegelisahan maka Pangeran Suwelatama meng
harap agar ia dapat secepatnya kembali, agar ia dapat
berada diantara pasukannya yang tersisih itu.
"Kamipun dapat segera berangkat" berkata Mahisa Agni
"Tetapi sudah tentu bahwa pasukan kami dalam
keseluruhan tidak akan dapat secepat mereka yang berkuda.
Pasukan yang akan berangkat tidak dapat seluruhnya
berkuda" "Aku akan menunggu kedatangan pasukan dari
Singasari" jawab Pangeran Suwelatama "mudah-mudahan
adimas Pangeran Indrasunu tidak segera mengetahui
tempat persembunyian kami, sehingga pada saatnya
pasukan Singasari datang, kami masih tetap berada di
tempat kami" "Jika terjadi satu perubahan, aku mohon kalian dapat
memberitahukan kepada kami" berkata Mahisa Bungalan
"bersama Pangeran akan ikut serta sekelompok pasukan
berkuda. Mereka akan dapat Pangeran pergunakan sebagai
penghubung. Kami akan menempuh jalan yang akan
Pangeran lalui. Jika terjadi perubahan keadaan, maka
penghubung itu akan dapat menyongsong perjalanan kami"
Demikianlah, maka Pangeran Suwelatama telah
mendahului pasukan Singasari bersama beberapa orang
prajurit berkuda dari Singasari. Sementara itu Wasi
Sambuja akan berada diantara pasukan kecil itu. Ia akan
dapat menunjukkan jalan dan tempat, dimana Pangeran
Suwalatama bersembunyi dengan sisa pasukannya yang
tidak terlalu kuat. -oo0dw0oo- Jilid 26 KETlKA pangeran Suwelatama sampai di tempat
persembunyiannya, maka keadaannya masih belum
berubah. Namun para pengawalnya mulai
memperingatkan, bahwa persediaan makanan akan menjadi
semakin tipis di hari-hari mendatang.
"Jika keadaan tidak Segera dapat diatasi, maka
kemungkinan kita akan kehabisan persediaan makanan"
lapor seorang petugas. Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya
"Mudah-mudahan dalam waktu dekat, kita akan dapat
kembali ke kota Pakuwon kita"
"Berapa hari lagi kita akan menunggu?" bertanya
seorang Senopati. "Dua hari lagi pasukan Singasari itu akan datang" jawab
Pangeran Suwelatama "dua hari satu malam. Mereka
datang tidak untuk menumpas pemberontakan. Tetapi
mereka akari berusaha mengusir para penjahat yang telah
berani mengganggu ketenangan Pakuwon Kabasaran"
Para Senopati itupun mengerti, bahwa Pangeran
Suwelatama masih belum sanggup menyebut adik-adiknya
itu sebagai pemberontak yang harus dibinasakan sebagai
pengkhianat. Dua hari adalah waktu yang terasa terlalu panjang.
Namun pada hari pertama menjelang kedatangan pasukan
Singasari, pasukan dari parang Pendiangan telah datang
lebih dahulu. Senopati yang memimpin pasukan itu dengan serta merta
menghadap Akuwu Suwelatama dan mohon diperintahkan
untuk merebut kembali kota Pakuwon Kabanaran.
"Kami sanggup melakukannya Sang Akuwu" Senopati
itu menjelaskan. Tetapi Akuwu Suwelatama menggeleng. Katanya "Kau
belum melihat kekuatan mereka. Memang sangat
mengejutkan. Menurut perhitungan kami, kalian tidak akan
sanggup merebut kembali meskipun kalian akan membawa
pasukan yang tersisa di sini. Pasukan di daerah perbatasan
masih belum dapat meninggalkan tugas mereka, demikian
pula pasukan yang berada di sekitar Kedung Sertu"
Senopati itu menjadi kecewa. Namun ia masih bertanya
"Apakah kekuatan mereka demikian besarnya?"
"Ya. Kekuatan mereka cukup besar. Apalagi mereka kini
sempat membujuk anak-anak muda dengan janji yang
manis dan dengan pemberian yang dapat menyenangkan
hati mereka, sehingga mereka bersedia untuk memperkuat
pasukan Pangeran Indrasunu dan Resi Damar Pamali"
"Resi Damar Pamali?" ulang Senopati itu.
"Ya. Kau dapat membayangkan kemampuan Resi
Damar Pamali dan dua orang pemimpin padepokan
lainnya. Sementara itu, ampat orang Pangeran telah
menyediakan beaya untuk tingkah laku mereka yang
membosankan itu" "Jadi, apakah kita hanya akan menunggu?" bertanya
Senopati itu. "Tidak. Aku sudah mendapat persetujuan dari Senopati
di Singasari. Tetapi mereka akan datang bukan untuk
membinasakan sebuah pemberontakan. Aku masih
berusaha menjaga nama baik keempat Pangeran yang masih
muda itu. Pasukan Singasari datang untuk membersihkan
Pakuwon ini dari tindak kejahatan"
"Tetapi bukankah dengan demikian, seolah-olah
Pakuwon ini tidak dapat mengatasi kesulitannya sendiri?"
bertanya Senopati itu. "Sebenarnyalah aku dalam kesulitan. Aku tidak sampai
hati menarik pasukanku yang berada di daerah yang
rakyatnya terancam langsung oleh kejahatan itu" jawab
Akuwu "karena itu, aku mohon sepasukan kecil prajurit
Singasari dan sekelompok kecil pula pasukan pengawal
kakangmas Wirapaksi. Selanjutnya bersama dengan kalian,
mereka akan merebut kembali kota Pakuwon yang kini
diduduki oleh Pangeran Indrasunu dan saudarasaudaranya"
Senopati itu mengangguk-angguk. Tetapi menunggu
sampai keesokan harinya adalah pekerjaan yang sangat
membosankan. Namun kehadiran mereka membuat Akuwu
menjadi semakin tenang. Jika Pangeran Indrasunu
mengetahui persembunyian mereka, maka dengan kekuatan
yang ada, pasukan Akuwu tidak akan dengan mudah
dibinasakan. Meskipun dengan pasukan yang ada itu,
mereka masih belum mungkin untuk merebut kota kembali.
Betapapun mereka menahan diri, namun akhirnya
pasukan yang mereka tunggu itupun datang. Pasukan itu
memang tidak begitu besar, dipimpin oleh Mahisa
Bungalan, ang di dalamnya terdapat Mahisa Agni dan
Witantra. Sementara itu pasukan lain yang lebih kecil lagi,
dipimpin eleh Pangeran Wirapaksi sendiri berada pula
bersama dengan pasukan Singasari itu.
"Pasukan kami memang tidak terlalu besar" berkata
Mahisa Bungalan ketika ia menghadap Pangeran
Suwelatama "Tetapi kami berharap bahwa kami aka dapat
membantu" "Terima kasih" jawab Pangeran Suwelatama "meskipun
pasukan itu tidak terlalu besar, tetapi kami mengerti, nilai
kemampuan pasukan itu"
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya "Tidak terlalu
baik. Tetapi aku akan mencoba untuk berbuat sebaikbaiknya
sehingga segalanya akan cepat berakhir"
Demikianlah maka Mahisa Bungalanpun kemudian
mengadakan pembicaraan-pembicaraan khusus dengan
Akuwu Suwelatama dan para pemimpin dari Pakuwon
Kabanaran, diantaranya Senopati yang memimpin pasukan
Pakuwon itu ke padang Padiangan.
"Apakah kita akan memasiud kota itu besok?" bertanya
Senopati yang tidak sabar lagi itu.
"Segalanya terserah kepada Akuwu" jawab Mahisa
Bungalan "aku kurang menguasai medan, sehingga aku
memerlukan banyak keterangan dan petunjuk sehingga
pasukanku akan dapat menempatkan diri sebaik-baiknya.
Kamipun memerlukan waktu untuk menganal siapakah
kawan-kawan kami di dalam pertempuran yang bakal
terjadi, agar pada saat-saat yang gawat tidak akan terjadi
salah paham" "Baiklah" berkata Akuwu "kita akan menentukan
segalanya. Kita akan menunjukkan siapakah yang akan
berada di pasukan ini dengan ciri-ciri yang dapat segera
dikenal" "Dengan demikian, maka kita akan dengan rancak
merebut kembali daerah yang sudah diduduki oleh
Pangeran Indrasunu" berkata Mahisa Bungalan.
Karena itulah, maka mereka tidak segera dapat menuju
ke medan pada hari berikutnya. Pangeran Suwelatama
masih harus mempersiapkan pasukannya sebaik-baiknya
untuk saling mengenal dengan pasukan yang datang dari
Singasari dengan ciri-ciri yang tidak akan dapat
menimbulkan salah paham. Merekapun telah
memperkenalkan cara yang akan mereka pergunakan bagi
masing-masing bagian dari pasukan itu dan gelar yang akan
mereka pilih. Akhirnya Pangeran Suwelatama telah menentukan,
bahwa mereka akan mempergunakan gelar yang melebar
apabila mereka mendekati kota. Mereka akan berusaha
memancing pertempuran di luar kota, agar tidak terlalu
banyak menimbulkan kerusakan.
"Gelar Cakra Byuha" berkata Pangeran Suwelatama
"Aku sendiri akan berada di pusat gelar. Dan aku berharap
bahwa para Senopati dari pasukan Singasaripun akan
berada bersamaku. Terutama Mahisa Bungalan dan Wasi
Sambuja" Mahisa Bungalan mengangguk sambil menjawab
"Baiklah Pangeran. Aku akan berada bersama Pangeran.
Aku berharap dapat bertemu dengan Pangeran Indrasunu"
"Baik. Sementara itu, aku berharap bahwa Wasi
Sambuja akan dapat menahan pemimpin padepokan yang
nampaknya telah dibekali dengan ketidak-puasan sejak ia
sebelum mengasingkan diri. Resi Damar Panali"
Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Baiklah Pangeran. Aku akan menemui orang tua yang
hatinya patah itu. Aku akan berusaha untuk mencegahnya
berbuat terlalu banyak. Mudah-mudahan aku dapat
menemuinya di medan"
Sementara itu, Pangeran Suwelatama telah menunjuk
Mahisa Agni dan Witantra untuk berada di sayap
pasukannya. Sementara itu ia berharap agar pasukan
Pangeran Wirapaksi dapat berada di induk pasukan
bersama sebagian dari pasukan pengawal Akuwu sendiri.
Pasukan terpilih yang tidak terpisah daripadanya.
Sedangkan pasukannya yang lain telah dibagi di kedua
sayap, sebagaimana pasukan Singasari yang terbagi pula.
Dua orang Senopati telah mendapat perintah dari Akuwu
untuk berada bersama Mahisa Agni dan Witantra masingmasing
di sayap kiri dan kanan. Demikianlah ketika gambaran gelar itu sudah siap dan
mantap, maka bersiaplah pasukan Akuwu Suwelatama
untuk merebut kembali kota Pakuwon yang telah berada di
tangan Pangeran Indrasunu bersama tiga orang Pangeran
yang lain dibantu oleh Resi Damar Pamali.
Namun sekali lagi Pangeran Suwelatama mengharap,
agar pasukan Singasari tidak menganggap Pangeranpangeran
muda itu sebagai pemberontak. Mereka masih
dapat diarahkan sesuai dengan umur mereka yang masih
muda. Baru pada hari berikutnya, maka pasukan Akuwu
Suwelatama itu mulai bergerak. Dengan sengaja Akuwu
telah memerintahkan sepasukan kecil mendahului pasukan
induknya, agar dengan demikian, petugas sandi yang
melihat kedatangan pasukan itu, akan memberikan laporan


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan memancing pasukan lawan untuk menyongsong
pasukannya diluar kota. Ternyata bahwa usaha Akuwu itu berhasil. Beberapa
orang pengawas melihat sepasukan kecil menelusuri jalan
setapak menuju ke gerbang kota. Karena itu, maka dengan
tergesa-gesa laporanpun segera sampai kepada para petugas
di pintu gerbang. Sejenak kemudian, maka telah terdengar isyarat yang
mengumandang di seluruh kota.
Isyarat itu memang telah mengejutkan Pangeran
Indrasunu dan ketiga saudaranya. Bahkan Resi Damar
Pamali menjadi ragu-ragu, apakah isyarat itu benar
sebagaimana didengarnya. Namun akhirnya telah datang menghadap seorang
petugas sandi yang melaporkan bahwa pasukan Akuwu
Suwelatama telah mendekati gerbang kota.
Pangeran Indrasunu yang kurang mempercayainya
itupun segera bertanya "Apakah pasukan itu cukup kuat
untuk melawan pasukan kita?"
Petugas itu menggeleng. Katanya "Menurut laporan,
pasukan itu tidak terlalu kuat. Bahkan terlalu kecil. Tetapi
apakah pasukan itu sudah merupakan pasukan dalam ke
seluruhan, atau sekedar sebagian dari pasukan yang lebih
besar, masih belum diketahui"
Resi Damar Pamalipun kemudian berkata "Kita jangan
terjebak. Mungkin pasukan itu nampaknya adalah pasukan
yang tidak terlalu kuat. Namun apabila kita menyongsong
dengan kekuatan seimbang mereka akan menjebak kita"
"Jadi apakah yang sebaiknya kita lakukan?" bertanya
Pangeran Indrasunu. "Kita siapkan pasukan untuk menahan mereka, namun
pasukan yang kuatpun harus dipersiapkan pula" jawab Resi
Damar Pamali. Dengan demikian maka para pemimpin laskar yang telah
menduduki Kabanaran itupun segera mempersiapkan
pasukan masing-masing. Sebagian dari mereka harus lebih
dahulu keluar pintu gerbang kota antuk menahan pasukan
yang telah menyerang. Ternyata bahwa pasukan Pangeran Suwelatama itu tidak
langsung mendekati pintu gerbang. Mereka menunggu
beberapa ratus tonggak dari batas kota.
Sebagaimana diharapkan, maka pasukan Pangeran
Indrasunupun telah keluar dari kota. Ternyata bahwa yang
menyongsong pasukan kecil itu hanya pasukan yang
seimbang dengan kekuatan yang datang.
"Mereka memang sombong" berkata Senopati yang
memimpin pasukan kecil itu.
"Tetapi kita harus berhati-hati" jawab Senopati
pembantunya "mungkin di belakang pasukan itu telah
disiapkan pasukan yang lebih besar, namun untuk itu
diperlukan waktu, sehingga untuk sementara mereka mengi
rimkan pasukan yang dapat mereka siapkan dalam sekejap
dengan imbangan kekuatan yang tidak terpaut banyak. Baru
kemudian yang lain akan datang dan menumpas kita"
Senopati yang memimpin pasukan kecil itu menganggukangguk.
Namun tugas mereka adalah memancing
pertempuran diluar kota. Karena itu, maka setelah
pertempuran terjadi, maka kekuatan induk pasukan Akuwu
Suwelatama itupun akan segera datang.
Demikianlah, maka pasukan kecil itupun segera terlibat
dalam pertempuran. Pasukan Pangeran Suwelatama adalah
pasukan pengawal yang terlatih, sehingga dalam banyak hal
nampak mereka memiliki kelebihan dari lawan-lawannya.
Meskipun demikian bukan berarti bahwa pasukan yang
keluar dari gerbang kota itu tidak memilikj, orang-orang
yang berilmu tinggi. Beberapa orang ternyata mampu
membuat para pengawal menjadi kebingungan, sehingga
mereka harus berpasangan menghadapinya.
Seorang putut ternyata telah mengacaukan beberapa
orang pengawal di dalam pasukan Pangeran Suwelatama.
Sehingga dengan demikian, maka Senopati pasukan kecil
itu harus mengambil langkah khusus untuk
menghadapinya. Dalam pada itu, pasukan Pangeran Suwelatama dalam
gelar Cakra Byuha telah mendekati arena. Seorang
penghubung telah melaporkan, bahwa pasukan kecil yang
memancing pasukan lawan keluar dari gerbang kota telah
terlibat dalam pertempuran. Tetapi lawan merekapun tidak
terlalu banyak, sehingga kedua pasukan itupun nampaknya
seimbang. Karena itu, maka Pangeran Suwelatama merasa perlu
untuk mengejutkan lawannya. Beberapa orang pengawal
telah diminta untuk membunyikan sangkakala. Dengan
demikian, maka kedatangan induk pasukan Pangeran
Suwelatama itu akan mempunyai pengaruh yang besar pada
ketahanan perasaan lawan.
Suara sangkakala itu benar-benar telah mempengaruhi
perasaan pasukan Pangeran Indrasunu. Rasa-rasanya bulubulu
mereka telah meremang. Seakan-akan sudah terbayang
kedatangan satu pasukan yang sangat besar.
Karena itu, maka dua orang penghubung dengan tergesagesa
telah memasuki gerbang kota dan melaporkan, bahwa
pasukan yang lebih besar telah datang.
Ternyata Resi Damar Pamalipun sudah siap. Dengan
kekuatan yang besar, ia memimpin pasukannya keluar dari
gerbang kota. "Apakah lawan yang datang telah memasang gelar?"
bertanya Resi Damar Pamali.
"Nampaknya mereda menebar?" jawab peng-hubung itu.
"Kita akan membuat gelar yang serupa untuk
mengimbangi mereka. Kita akan membuat gelar yang
menebar. Garuda Nglayang" berkata Resi Damar Pamali.
Resi Damar Pamali sendiri akan berada di paruh
pasukannya. Kemudian dua Pangeran akan bersamanya
sebagai Senopati Pengapit. Sementara dua orang Pangeran
yang lain bersama guru mereka akan berada di sayap.
Mereka akan memimpin sayap kiri dan sayap kanan.
"Kita akan melihat, gelar apakah yang mereka
pergunakan" berkata Resi Damar Pamali "Jika perlu kita
akan merubah gelar ini untuk menyesuaikan diri"
Demikianlah pasukan itupun berjalan mendekati arena.
Mereka tidak menghiraukan lagi sawah yang sedang
ditumbuhi oleh batang padi yang hijau. Mereka maju dalam
gelar yang sudah siap untuk bertempur.
"Kita akan menarik pasukan kecil itu untuk memasuki
gelar" berkata Resi Damar Pamali "sayap kiri akan terbuka,
dan pasukan itu akan memasuki gelar ini, langsung berada
di induk pasukan. Jika ada lawan yang berusaha mengejar,
biarlah mereka memasuki pintu sayap itu pula. Kita akan
membaurkan gelar ini dengan gelar jurang grawah. Lawan
yang memasuki gelar ini, akan terhisap dan hancur
berserakkan. Pasukan yang ada di dalam gelar harus
membinasakan mereka"
Para Senopatipun mengerti apa yang harus mereka
lakukan. Karena itu, maka merekapun telah siap dengan
tugas masing-masing. Sejenak kemudian telah terdengar tanda dari induk
pasukan yang dipimpin oleh Resi Damar Pamali. Seperti
yang telah direncanakan, maka tanda itu telah menarik
pasukan kecil yang telah bertempur itu mulai menarik diri.
Meskipun mereka terpaksa mengorbankan beberapa orang
yang tidak mampu mempertahankan hidup mereka, namun
mereka akan melakukan satu gerakan dalam hubungan
dengan gelar dalam keseluruhan.
Sayap kiri dari gelar yang dipimpin oleh Resi Damar
Pamali itu telah terbuka, sehingga pasukan kecil yang
menarik diri itu langsung menuju ke pintu di sayap yang
terbuka itu. "Bukan main" desis Senopati yang memimpin pasukan
kecil yang mendahului pasukan Akuwu Suwelatama
ternyata mereka memiliki kemampuan yang tinggi. Gelar
itu dapat dilakukan dengan hampir sempurna. Mereka
dapat menarik padukan kecil yang telah dilontarkan lebih
dahulu, dan kemudian menyatu dalam gelar yang besar"
Tetapi Senopati itupun tidak terlalu bodoh untuk
mengejarnya dan membenturkan diri dengan kekuatan yang
tidak imbang. Bahkan pasukan kecil itupun segera
menghindarkan diri pula dan membenamkan diri ke dalam
satu gelar yang meluas, yang dipimpin langsung oleh
Akuwu Suwelatama. Dengan demikian maka dua gelar yang kuat itupun telah
saling mendekati Resi Damar Pamali dan para Pangeran
itupun terkejut ketika mereka melihat kekuatan Pangeran
Suwelatama. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa.
Pangeran Suwelatama sempat menghimpun kekuatan yang
demikian besarnya. Dengan tanda kebesaran Pakuwon
Kabanaran, panji-panji, rontek, serta tunggul-tunggul, dan
diiringi oleh sangkakala, pasukan itupun maju semakin
mendekat. "Gila" geram Pangeran Indrasunu "ternyata masih juga
banyak orang-orang dungu yang berpihak kepadanya"
"Jangan cemas" sahut Resi Damar Pamali "Akuwu
Suwelatama tentu telah mengumpulkan orang-orang yang
tidak berarti dan dipaksanya untuk.memasuki tugas
keprajuritan. Jika pertempuran ini nanti mulai menyala,
akan segera kelihatan, bahwa yang ada di hadapan kita
hanyalah jumlah. Tetapi mereka sama sekali tidak
berkemampuan" Berbeda dengan tanggapan Pangeran Indrasunu dan para
Senapatinya, maka Pangeran Suwelatama telah mengagumi
gelar pasukan lawannya. "Mereka terlatih dengan baik" berkata Akuwu
Suwelatama "ternyata mereka benar-benar telaft
mempersiapkan diri pada saat mereka melakukan rencana
mereka" Justru dengan demikian, maka setiap orang di dalam
pasukan Akuwu Suwelatama menjadi berhati-hati
menghadapi lawan mereka, karena menilik gelar yang
mereka hadapi, maka lawan mereka memiliki kemampuan
sebagaimana kemampuan para prajurit.
Demikianlah, beberapa saat kemudian kedua gelar itu
saling mendekati. Ternyata bahwa ujung pasukan Pangeran
Suwelatama dalam gelar Cakra Byuha tidak selebar
pasukan Resi Damar Pamali yang mempergunakan gelar
Garuda Nglayang. Karena gelar yang dipergunakan Akuwu
Suwelatama memusatkan kekuatannya pafla pusat dari
induk pasukannya. Kemudian pada tebaran yang
merupakan sayap pasukannya akan segera berkisar bila
benturan telah terjadi. Gelar Cakra Byuha akan menjadi
semacam sebuah lingkaran yang bergigi, yang akan
langsung menghantam pusat pertahanan lawan.
Karena itu, maka Resi Damar Pamalipun menganggap
bahwa gelarnya tidak sesuai dengan gelar lawan yang tidak
seperti yang diduganya. Karena itu, maka Resi Damar
Pamali segera memberikan isyarat kepada petugas
penghubungnya untuk memberikan tanda agar gelar itu di
rubah menjadi gelar Sapit Urang.
"Kita akan meriyerang gelar lawan dari tiga jurusan"
berkata Resi Damar Pamali "Induk pasukan akan
menghadapi gelar Cakra Byuha itu. Kemudian sapit kiri
akan menyerang dari arah kiridan sapit kanan akan
menyerang dari arah kanan"
Sementara itu Akuwu Suwelatama telah
menyempurnakan gelarnya. Masih gelar Cakra Byuha.
Kedua Senopati pengapitnya berada pada ujung-ujung
gerigi dekat dengan pusat pimpinan gelar, sementara pada
gerigi yang lain Mahisa Agni dan Witantra yang akan
menghadapi sayap pasukan lawan yang telah berubah
menjadi sapit kanan dan sapit kiri. Sementara gerigi di
paling belakang dipimpin oleh kedua orang Senopati dari
pasukan pengawal Pangeran Suwelatama.
Dengan demikian maka tebaran gelar Cakra Byuha itu
menjadi semakin menyempit, namun semakin padat,
dengan tujuh ujung gerigi yang siap menghadapi lawan.
Namun dalam pada itu, ternyata Pangeran Indrasunu
menjadi berdebar-debar. Semakin dekat kedua gelar itu,
maka Pangeran Indrasunupun mulai melihat orang-orang
yang berada di pusat gelar lawan. Diantara mereka terdapat
dua orang yang mendebarkan jantungnya selain Pangeran
Suwelatama sendiri. Ternyata di pusat gelar lawan itu
terdapat Mahisa Bungalan dan Wasi Sambuja.
"Gila" Pangeran Indrasunu itu hampir berteriak.
Resi Damar Pamali yang mendengar pengapitnya
berkata lantang itupun berpaling. Ia melihat kecemasan
membayang di wajah Pangeran Indrasunu.
"Kenapa?" bertanya Resi Damar Pamali.
Pangeran Indrasunu telah meninggalkan tempatnya
sejenak mendekati Resi Damar Pamali dan mengatakan
siapakah kedua orang itu.
"Ya. Aku mengenal Wasi Sarobuja" berkata Damar
Pamali "kenapa kau menjadi cemas" Aku akan
menghadapinya" Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Ia adalah guruku"
"Aku sudah tahu. Pangeran pernah mengatakan bahwa
Wasi Sambuja tidak dapat ikut bersama Pangeran karena
keadaannya. Ia terluka di dalam perang tanding melawan
Witantra. Namun ternyata bahwa ia berada di pihak lawan"
jawab Resi Damar Pamali. Lalu "Tetapi itu tidak apa-apa
Bukankah dengan demikian sudah menjadi jelas, bahwa ia
telah melawan angger Pangeran. Karena itu, ia harus
dibinasakan. Aku mengerti, ia memiliki ilmu yang tinggi.
Tetapi justru aku mengenalnya maka aku tahu bahwa
ilmunya tidak terlalu tinggi seperti yang angger duga.
Bukankah di Singasari ia dikalahkan oleh Witantra?"
"Ya" jawab Pangeran Indrasunu" Apakah Resi
mengenal Witantra?" "Tentu aku mengenalnya. Tetapi aku belum melihat
bukti kelebihannya" jawab Resi Damar Pamali.
Pangeran Indrasunu mengerutkan keningnya. Namun


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian ia berdesis "Anak muda itu bernama Mahisa
Bungalan. Orarg itulah yang telah mengalahkan aku"
Resi Damar Pamali tersenyum. Kalanya "Dua orang
Putut dari padepokan ada di samping Pangeran. Mereka
akan menyelesaikan semua persoalan. Sementara dua orang
Pututku yang lain ada di sisi Pangeran itu. Ia akan
menghadapi Pangeran Suwelatama, sementara aku akan
berhadapan dengan orang yang kau sebut guru itu"
Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Ia mengerti,
bahwa dua orang murid terpercaya Resi Damar Pamali ada
disampingnya. Karena itu, maka iapun menjadi lebih
mantap menghadapi medan, meskipun ia melihat Mahisa
Bungalan ada diantara pasukan lawan.
Sebenarnyalah bahwa jumlah prajurit Singasari dan para
pengawal Kabanaran lebih kecil dibanding dengan pasukan
Pangeran Indrasunu. Namun kemauan yang menyala di
hati Pangeran Suwelatama dan para pengawalnya, talah
mendorong pasukan yang lebih kecil jumlahnya itu
menghadapi lawan dengan dada tengadah.
"Jika aku tidak berhasil" berkata Pangeran Suwelatama
kepada diri sendiri "maka akan segera terlibat pasukan
Singasari yang sebenarnya. Adimas Pangeran yang ampat
itu tidak akan dapat mengelakkan diri lagi dari satu tuduhan
pemberontakan sehingga nasibnyapun akan menjadi sangat
buruk" Demikianlah gelar Cakra Byuha yang tidak melebar
sebagaimana yang diduga sebelumnya, telah dihadanj
dengan gelar yang mapan dengan jumlah jumlah orang
yang tidak banyak. Sapit urang. Ujung-ujung gerigi disisi
akan dihadapi oleh pasukan yang akan datang dari arah
samping sebelah menyebelah. Sementara dihadapan gelar
Cakra Byuha itu telah menunggu pasukan induk dengan
jumlah pasukan yang besar dan kuat.
Meskipun para Senopati yang akan memimpin induk
pasukan dan sapit di sebelah menyebelah tidak imbang
dengan para Senapati dari gelar Cakra Byuha yang bergerigi
itu, namun pasukan yang besarpun akan ikut menentukan.
Demikianlah Pangeran Suwelatarna yang menyadari
jumlah pasukannya yang lebih kecil telah mempersempit
gelarnya. Kekuatannya harus terpusat, dan dengan
demikian akan mempunyai arti menghadapi lawannya.
Pangeran itupun percaya, bahwa gerigir gelar di sisi
terdapat Witantra dan Mahisa Agni disamping para
Senopatinya. Kedua orang itu memiliki kemampuan dan
pengetahuan melampaui setiap orang yang ada di kedua
gelar itu. Melampaui dirinya sendiri.
Beberapa saat, menjelang kedua pasukan itu bertemu,
maka Pangeran Suwelatama telah menghentikan gerak
gelarnya. Dengan lantang ia berkata "Adimas Pangeran
Indrasunu. kita masih mempunyai kesempatan untuk
berbicara. Apakah adimas benar-benar sudah kehilangan
nalar yang bening" Tetapi jawaban Pangeran Indrasunu "Apakah kau cemas
melihat kekuatan kami" Jika demikian, sebaiknya
kakangmas menyerah saja. Kami tidak akan berbuat apaapa.
Tetapi dengan demikian kakangmas tidak akan berarti
apa-apa lagi di Pakuwon ini, yang kemudian akan menjadi
pacatan langkah-langkah kami selanjutnya"
"Jangan berkata begitu adimas. Di sini ada sekelompok
kecil pasukan Singasari yang sebenarnya bertugas untuk
mengamankan satu daerah dari para penjahat, para
perampok dan brandal. Mereka berada di sini dengan satu
tugas mengatasi kekalutan yang terjadi di sini. Kalian masih
dianggap sebagai orang-orang yang sekedar membuat
kekacauan. Belum dianggap sebagai sekelompok orang
yang memberontak. Jika kalian tidak menyerah saat ini,
sikap Singasari akan berubah menghadapi kalian. Jika pada
suatu saat Singasari menganggap kalian sebagai
pemberontak, maka kalian akan menyesal"
Pangeran Indrasunu menjadi termangu-mangu. Jika
perkembangan keadaan berlangsung begitu cepat, maka
apakah ia akan sempat menyusun kekuatan untuk melawan
Singasari. Namun dalam pada itu, Resi Damar Pamalilah yang
menjawab "Kita sudah berhadapan di medan perang.
Mulailah. Jika besok pasukan Singasari datang dan
menganggap kami sebagai pemberontak, maka
sebenarnyalah kekuatan kami telah tersusun rapi, dan
dengan mudah kami akan dapat mengimbangi kekuatan
Singasari. Tidak tedeng aling-aling, kami memang akan
menumbangkan kekuasaan Singasari yang serakah dan
tamak. He, pengikut Singasari, bersiaplah untuk berlutut di
bawah telapak kaki para Pangaran yang masih sempal
berpikir bening. Wasi Sambuja yang mengkhianati
muridnya sendiri, kau masih mempunyai kesempatan untuk
menikmati kejayaan Kediri setelah Singasari runtuh apabila
kau menyadari kesalahanmu sekarang"
Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Sebuah
pertanyaan telah terlontar dari mulutnya "Siapakah yang
sebenarnya telah berkhianat?"
Pertanyaan Wasi Sambuja itu memang menggetarkan
jantung Pangeran Indrasunu. Tetapi agaknya sikapnya
memang sudah benar-benar dikaburkan oleh gejolak di
dalam jiwanya, yang dimulainya dari perasaan kecewa
semata, namun yang kemudian berkembang menjadi
gejolak yang menggetarkan Kediri.
Namun dalam pada itu, Resi Damar Pamali sudah tidak
sabar lagi. Karena itu, maka katanya kemudian "Kita tidak
datang ke tempat ini untuk banyak berbicara. Kami tidak
akan mempunyai belas kasihan lagi jika per-tempuran
sudah dimulai. Pasukan kami yang lebih banyak serta
kemampuan kami yang lebih tinggi akan segera
menghancurkan kalian. Kami mengerti, bahwa kalian telah
memilih gelar yang memungkinkan kalian memusatkan
kekuatan kalian yang kecil. Tetapi dengan gelar kami, maka
kami akan menghancurkan kaliandari tiga arah dengan
kekuatan yang tidak akan dapat kalian lawan"
Wasi Sambuja tidak menjawab lagi. Ketika ia berpaling
kearah Pangeran Suwelatama, maka Pangeran itupun
sedang memandanginya. Wasi Sambuja itupun mengangguk kecil sebagai satu
isyarat, bahwa memang tidak ada jalan lain kecuali jalan
kekerasan. Pangeran Suwelatama menarik nafas dalam-dalam.
Namun iapun menyadari, bahwa satu-satunya jalan adalah
kekerasan. Karena itu maka iapun kemudian memberikan
isyarat kepada Mahisa Bungalan untuk bersiap. Dan
sejenak kemudian, maka terdengarlah Pangeran
Suwelatama itu memberikan perintah kepada para Sanapati
di dalam pasukannya untuk mulai bergerak.
Perintah itupun segera menjalar sampai kepada orang
yang berada di paling jauh dari pasukan lawan. Di gerigi
yang paling belakang, para pengawal dan prajurit Singasari
merupakan tenaga yang akan memukul di saat terakhir.
Pada keadaan tertentu, mungkin sekali Panglima pasukan
akan memutar gelar, sehingga terjadi bergeseran Senopati.
Terutama jika kekuatan lawan tidak seimbang dengan
kemampuan gelar Cakra Byuha itu pada sisi-sisi tertentu.
Demikianlah, maka gelar itupun mulai bergerak maju.
Sementara itu, Resi Damar Pamalipun telah
memerintahkan gelarnya bergerak pula. Bagaikan seekor
udang raksasa dengan sapitnya yang kuat bergerak dari arah
yang berlawanan seolah-olah akan menjepit gelar
lawannya, sementara induk pasukannyapun telah bergerak
maju di bawah pimpinan langsung Panglimanya dan dua
orang Senopati Pengapit. Sementara itu, masih ada pasukan
cadangan di bagian ekor gelar yang pada setiap saat akan
dapat bertindak untuk kepentingan yang khusus.
Gelar Cakra Byuha yang dipimpin oleh Pangeran
Suwelatama itu memang menyempitkan diri untuk
memusatkan segenap kekuatan. Namun dengan demikian,
maka yang bertemu di medan itu seolah-olah seekor udang
raksasa iangah berusaha menerkam sebuah lingkaran untuk
diremas dan dihancurkan. Kedua supit di kiri dan di kanan itupun bergerak semakin
dekat, sementara induk pasukan Resi Damar Pamalipun
maju pula menyongsong gelar Cakra Byuha yang mendekat
pula. Ternyata yang menyentuh gelar pasukan Pangeran
Suwelatama bukannya induk pasukannya. Tetapi sapit kiri
dari gelar Sapit Urang itu telah mulai dengan sergapannya
langsung menusuk ke lambung gelar Cakra Byuha.
Namun dalam pala itu, pasukan Singasari yang tidak
terlalu banyak, ditambah dengan para pengawai Pangeran
Wirapaksi dan pengawal Pakuwon Kanaran sendiri, telah
menyongsong pasukan lawan.
Ternyata dalam benturan pertama itu telah terasa, bahwa
kekuatan Resi Damar Pamali memang cukup besar. Tetapi
hanya dalam jumlah. Ternyata bahwa secara pribadi, maka
prajurit Singasari dan para pengawal masih mempunyai
beberapa kelebinan. Ketika satu dua orang putut
menunjukkan kelebihannya, maka merekapun segera
tertahan oleb para prajurit Singasari yang terlatih baik. Di
dalam perang gelar, maupun ditilik dari kemampuan
mereka orang seorang. Selebihnya di bagian kiri dari gelar Cakra Byuha itu
terdapat Mahisa Agni. Karena itu, maka dengan cermat
Mahisa Agnipun mengikuti perkembangan pertempuran itu
selanjutnya. Dalam pada itu, induk pasukan dalam gelar Sapit Urang
itupun telah mulai membentur pasukan Pangeran
Suwelatama. Dalam jumlah yang lebih besar, maka untuk
sesaat pasukan induk gelar Sapit Urang itu berhasil
mendorong beberapa langkah gelar Cakra Byuha itu surut.
Tetapi di saat kemudian keadaanpun segera berubah.
Para Senopatipun kemudian ielah terekat dalam
pertempuran diantara mereka. Wasi Simbuja memang
sudah bersedia bertemu dengan Resi Damar Pamali,
sementara Mahisa Bungalan ingin mengulangi perang
tanding yang pernah terjadi. Sedangkan Pangeran
Wirapaksi telah berhadapan dengan seorang Pangeran
muda yang lain yang berada di dalam gelar lawan, sebagai
Senopati pengapit. Sementara itu Pangeran Suwelatama
sendiri langsung memimpin seluruh pasukannya. Bahkan
iapun telah bertempat diantara para prajurit di induk
pasukan. Tetapi justru karena Pangeran Suwelatama tidak terikat
di dalam pertempuran Senopati, maka ia mampu
memberikan penilaian selengkapnya atas benturan yang
telah terjadi itu. Sentuhan yang terakhir terjadi di sayap kanan. Sapit
dalam gelar Cakra Byuha itu agaknya lebih lamban di
banding dengan sapit kirinya. Namun ternyata bahwa
Senopatinya mempunyai perhitungan yang cermat.
Senopati di sapit kanan yang terdiri dari salah seorang
Pangeran saudara Pangeran Indrasunu itu teiah membuka
gelar sapitnya melebar. Karena itu maka khususnya di sapit
kanan itu, telah terjadi pertempuran yang memancung
lawan untuk membuka ajang parang lebih luas.
Tetapi yang berada di hadapan sapit kanan gelar Sapit
Urang itu adalah Witantra. Ia memiliki pengalaman yang
luas dan mapan menghadapi segala jenis medan. Karena
itu, maka ia tidak menjadi bingung menghadapi sapit yang
tiba-tiba telah menganga dan siap menjepit gelar lawannya.
Witantra tidak membuka gerigi gelarnya. Dengan
demikian maka akan terjadi kekosongan dan merupakan
lubang yang dapat diselusupi oleh lawannya, tetapi
Witantra justru memerintahkan lewat Senopati yang berada
di gerigi sebelahnya untuk merapat Meskipun gelar itu
sendiri tidak berputar, tetapi dua ujung gerigi yang
menghadapi sapit kanan gelar Sapit Urang itu merupakan
dua ujung yang siap melawan bagaikan sepasang tanduk
yang tajam runcing. Benturan yang terjadi memang sangat
mengejutkan. Sapit yang meluas itu ternyata justru menipis.
Karena itu, maka ujung gerigi Cakra Byuha itu seolah-olah
telah menusuk menembus gelar lawan sehingga tembus.
Namun tangkai sapit pada gelar lawan itupun segera
mengambil bagian. Mereka langsung menyerang ujung
gerigi yang berhasil menembus gelar Sapit Urang itu.
Meskipun demikian usaha itu tidak berhasil. Gerigi gelar
Cakra Byuha yang menyempit itu justru menjadi sangat
kuat dan berhaya. Mahisa Agni di sisi yang lainpun segera mengusai
keadaan. Ujung-ujung gerigi yang terisi oleh para Senopati
dari tataran masing-masing, telah membingungkan lawan,
apalagi bagian yang berhadapan dengan sapit kiri itu.
Mahisa Agni pun segara telah membingungkan
lawannya. Seorang Pangeran yang bingung menghadapinya
telah bergeser oleh kehadiran seorang tua yang nampaknya
memiliki ilmu yang tinggi.
"Sebaiknya kau jangan menakuti anak-anak" berkata
orang tua itu "marilah. Barangkali yang tua-tua inipun
masih ingin juga bermain-main"
"Siapa kau?" bertanya Mahisa Agni.
"Aku adalah gurunya" jawab orang tua itu "Pangeran itu
memang masih terlalu muda untuk melawanmu. He,
siapakah kau sebenarnya?"
"Namaku Mahisa Agni" jawab Mahisa Agni. Wajah
orang itu tiba-tiba menegang. Dengan suara sarat ia
bertanya "Aku pernah mendengar namamu. Apakah kau
pernah berada di Kediri?"
"Ya. Aku pernah berada di Kediri meskipun tidak terlalu
lama" jawab Mahisa Agni.
Orang tua itupun termangu-mangu sejenak, sementara
pertempuranpun berlangsung dengan sengitnya.
"Jadi kaulah yang bernama Mahisa Agni, yang atas
nama kekuasaan Singasari berada di Kediri. Dan kau
jugalah yang agaknya telah mengalahkan Wasi Sambuja"
geram orang tua itu. Mahisa Agni mengangguk. Kataknya "Aku memang


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah berada di Kediri. Tetapi bukan aku yang
mengalahkan Wasi Sambuja, tetapi orang lain yang juga
pernah berada di Kediri sebagaimana aku lakukan.
Namanya Witantra. Orang itu menggeram. Katanya "Jika kau belum dapat
mengalahkan Wasi Sambuja, maka kau tidak akan berarti
apaapa bagiku. Seandainya kau mampu mengalahkannya,
kau masih harus melihat kenyataan, bahwa kemampuan
Wasi Sambuja berada jauh dibawah lapisan ilmuku"
Mahisa Agni menganggukangguk. Katanya "mungkin
memang begitu, tetapi sebaiknya kita akan mencoba,
siapakah yang akan dapat keluar dari pertempuran ini"
"Persetan" geram orang ini. Lalu "Kau jangan terlalu
sombong. Apakah kau tidak berpikir untuk memilih jalan
yang paling baik" Berpihak kepada Pangeran Indrasunu dan
Resi Damar Pamali?" Mahisa Agni tertawa pendek. Katanya "Perang telah
berkobar. Lihat, pasukanku yang lebih kecil telah mendesak
pasukanmu yang jumlahnya jauh lebih banyak tetapi tanpa
kemampuan pribadi untuk mengatasi kekalutan yang
timbul" Orang itu menjadi semakin marah. Maka tiba-tiba saja ia
menggeram sambil berkata "Kau akan menyesal. Pakailah
senjata apa saja yang kau miliki. Tumpahkan segala jenis
ilmu dan pasukanmu. Maka kau bagiku hanyalah debu
yang tidak berarti apa-apa"
Mahisa Agni masih sempat tertawa, maskipun ia
berusaha untuk menahannya. Namun bukan berarti bahwa
ia mengabaikan lawannya. lapun yakin, bahwa lawannya
bukannya bohong sepenuhnya. Ia tentu memiliki ilmu yang
dapat diandalkannya disamping usahanya untuk
menggertak dan menguncupkan hati lawan.
Sejenak kemudian, diantara pertempuran yang riuh,
Mahisa Agni telah bertempur dengan guru salah seorang
dari keempat Pangeran yang telah sepakat untuk
mengadakan perubahan dalam tatanan pemerintahan di
Kediri dan kemudian di Singasari.
Ternyata bahwa ia memang memiliki ilmu yang tinggi.
Namun betapapun juga orang itu tidak dapat mengimbangi
kemampuan Mahisa Agni. Sehingga beberapa saat
kemudian, maka orang tu telah terdesak pula.
Ternyata meskipun jumlahnya cukup banyak, tetapi
sebagian dari mereka terdapat orang-orang yang baru yang
masih belum mempunyai pengalaman sama sekali,
sehingga ketika mereka benar-benar berada di medan
perang, maka merekapun telah menggigil ketakutan.
Apalagi ketika mereka melihat darah yang mengalir dari
tubuh seseorang. Bagi mereka, pertempuran ternyata bukan suatu yang
menarik seperti yang mereka duga semula, tetapi ternyata
adalah sesuatu yang sangat mengerikan dan mendebarkan
jantung, sehingga rasa-rasanya mereka akan membeku
karenanya. Pada saat mereka datang ke Pakuwon Kabanaran,
mereka dengan tidak banyak kesulitan berhasil mendesak
para pengawal Pakuwon. Mereka seolah-olah tidak
mengalami perlawanan yang berarti karena Akuwu
Suwelatama telah menarik diri dan bersembunyi di tempat
yang tidak diketahui. Dengan demikian, mereka menyangka, bahwa perang
yang demikian adalah menyenangkan sekali dan membuat
kebanggaan bagi mereka, tanpa berbuat apa-apa mereka
berderap memasuki kota dengan senjata di tangan. Dengan
garang mereka menakuti penduduk yang bersembunyi di
rumah masing-masing. Seperti menghalau binatang liar
mereka mengejar orang-orang yang mengungsi.
Tetapi yang dijumpainya kemudian adalah berbeda
sekali dengan apa yang terjadi terdahulu. Yang kemudian
dihadapinya adalah prajurit yang tidak meninggalkan
medan sebelum bertempur seperti yang dilakukan oleh
pengawal Pakuwon itu sebenarnya.
Karena itu ketika mereka melihat, bagaimana para
prajurit Singasari bertempur, serta para pengawal yang tidak
lagi mendapat perintah untuk mundur dan bahkan para
pengawal yang datang dari padang Pandiangan dengan
kemarahan yang membakar jantung, maka mereka yang
mencoba untuk ikut pula dalam peperangan itupun menjadi
ngeri. Tetapi diantara pasukan Pangeran Indrasunu terdapat
juga orang-orang yang memiliki kemammpuan pribadi yang
mengagumkan. Beberapa orang cantrik, jejanggan dan
putut yang ada diantara mereka, mampu mengimbangi para
prajurit Singasari dar para pengawal pangeran Wirapaksi
dan para pengawal Pakuwon Kabanaran. Namun jumlah
mereka tidak terlalu banyak.
Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi
semakin lama semakin sengit. Ternyata bahwa jumlah yang
lebih banyak itupun berpengaruh pula. Teravata bahwa
pasukan Pameran Indrasunu masih tetap bertahan.
Serangan serangan mereka masih juga terasa di kedua sapit
kanan dan kiri, sementara induk pasukan merekapun
menekan pusat gelar Cakra Byuha semakin kuat.
Tetapi perlawanan dan gelar yang lebih memusat itupun
telah mendebarkan Resi Damar Pamali yang kemudian
bertempur melawan Wasi Sambuja. Dua orang pemimpin
padepokan yang memiliki bekal ilmu yang cukup tinggi,
namun yang ternyata berbeda sikap dan pendirian.
Sementara itu, Pangeran Indrasunu tidak bertempur
seorang diri. Ia merasa bahwa ia tidak akan dapat
menandingi Mahisa Bungalan yang memimpin sepasukan
kecil prajurit Singasari. Karena itu. maka iapun telah
bertempur bersama seorang putut, murid Resi Damar
Pamali yang sudah mendapat kepercayaan untuk
membantunya menuntun para cantrik yang baru datang.
Karena jumlah mereka memang terlalu banyak, maka
Mahisa Bungalanpun harus menerima kehadiran kedua
lawannya yang bertempur berpasangan. Tetapi karena
keduanya berasal dari sumber yang berbeda, maka mereka
masih harus berusaha untuk menyesuaikan diri.
Mahisa Bungalan menyadari, bahwa ia harus memeras
tenaganya untuk melawan keduanya jika keduanya berhasil
saling mengisi. Karena itu, maka justru sebelum mereka
sempat menempatkan diri masing-masing dalam pasangan
yang serasi, maka Mahisa Bungalan telah mengerahkan
segenap ilmunya untuk menyerang mereka.
Pangeran Indrasunu memang pernah membenturkan
ilmunya melawan Mahisa Bungalan. Dan ia merasa bahwa
ia tidak mampu mengimbanginya. Namun dalam
pertempuran itu, bersama seorang putut ia telah melawan
Mahisa Bungalan dengan ilmu pedangnya yang mapan.
Tetapi ternyata Mahisa Bungalenpun memiliki ilmu
pedang yang tinggi. Selagi kedua orang lawannya berusaha
saling mengisi, maka serangan Mahisa Bungalan datang
bagaikan banjir bandang. Karena itulah, maka kedua orang itu justru mengalami
kesulitan pada benturan pertama. Mahisa Bungalan benarbenar
memanfaatkan keadaan itu. Senjatanya berputaran
seperti baling-baling, sementara kakinya berloncatan seperti
kaki kijang di pedang rumput luas.
Dalam pada itu, justru sebelum Pangeran Indrasunu dan
pulut dari padepokan Resi Damar Pamali itu sempat
menyesuaikan diri, maka ternyata bahwa ujung pedang
Mahisa Bungalan telah berhasil menyentuh lengan putut
itu, justru lengannya sebelah kanan.
Dengan demikian, maka sentuhan itu langsung
mempengaruhi ilmu pedang putut itu.
Namun ternyata bahwa kedua tangan putut itu dapat
dipergunakannya dengan tataran yang hampir sama.
Karena tangan kanannya terluka, maka pedang di tangan
kirinya, hampir tidak berbeda sebagaimana ketrampilan
tangan kanannya. Meskipun demikian, luka itu telah memberikan satu
kesan kelebihan ilmu Mahisa Bungalan.
Sementara itu. Pangeran Indrasunu perlahan-lahan telah
berhasil menyesuaikan dirinya Meskipun kawannya
bertempur dengan tangan kirinya, namun kedua orang yang
berhasil saling mengisi itu menjadi berbahaya bagi Mahisa
Bungalan. Semakin lama keduanya menjadi samakin mapan.
Pangeran Indrasunu mempergunakan kekuatannya untuk
menekan Mahisa Bungalan, sementara lawannya yang
memegang pedang di tangan kiri, berusaha mengimbangi
kecepatan gerak Mahisa Bungalan. Sehingga demikian,
maka Mahisa Bungalan harus mengimbangi keduanya.
Dalam pada itu, pertempuran antara dua gelar itupun
menjadi semakin sengit. Tanaga cadangan pada gelar Sapit
Urang itupun telah mulai bergerak maju.
Di sisi lain pada pasukan pengapit, Pangeran Wirapaksi
memimpin langsung beberapa orang pengawalnya. Seorang
Pangeran yang kemudian menghadapinya telah mencacinya
sebagai penjilat yang tahu diri.
"Kakangmas Wirapaksi tidak pantas disebut dalam
deretan para bangsawan di Kediri. Agaknya bagi
kakangmas Singasari telah memberikan kesenangan yang
melimpah" berkata Pangeran itu.
Tetapi Pangeran wirapaksi tidak cepat kehilangan
kesabarannya meskipun ia sudah betempur. Katanya
"Sebaiknya kalian melihat ke dalam diri kalian sendiri.
Apakah yang kalian lakukan ini menguntungkan bagi
Kediri atau justru sebaliknya"
Lawannya tidak menjawab. Tetapi ia bertempur semakin
sengit. Namun ternyata bahwa Pangeran wirapaksi
memang mempunyai kelebihan, sehingga Pangeran itu
tidak dapat segera mendesaknya. Apalagi seorang putut
yang berada di sayap pengapit itu tidak dapat membantunya
dan bertempur berpasangan sebagaimana dilakukan oleh
Pangeran Indrasunu, karena demikian putut itu berusaha
menempatkan dirinya disamping Pangeran itu, seorang
pengawal pilihan Pangeran Wirapaksi telah dengan
langsung melawannya. Dalam pada itu, meskipun jumlah lawan lebih banyak,
tetapi seperti dibagian lain dari medan pertempuran itu,
maka para pengawal Pangeran Wirapaksi mempunyai
beberapa kelebihan, sehingga karena itu, maka jumlah yang
banyak itu sulit untuk dapat mendesak. Secara keseluruhan
pertempuran itu menjadi semakin seru. Namun ketika para
prajurit Singasari itu sudah mulai basah oleh keringat, maka
seolah-olah tandang mereka mulai berubah. Wajah mereka
menjadi berkerut, dan tatapan mereka menjadi semakin
tajam. Karena itulah, maka senjata di tangan mereka itupun
menjadi berbahaya. "Goresan demi goresan telah melukai pasukanmu Resi
Damar Pamali" berkata Wasi Sambuja, pada suatu saat
maka pasukanmu akan pecah tidak karuan"
"Jangan meramal sesuatu yang tidak akan terjadi"
berkata Resi Damar Pamali "Kita akan melihat dari
pertempuran ini. Seandainya aku sampai hati
membunuhmu, maka aku ingin membiarkan kau tetep
hidup sampai suatu saat kau melihat keseluruhan dari hasil
pertempuran ini. Aku ingin membiarkan kau melihat orang
terakhir mati di medan, sebelum kau sendiri akan mati"
Tetapi Wasi Sambuja justru tertawa. Katanya "Baiklah
Mudah-mudahan kita masing-masing sempat menyaksikan
apa yang bakal terjadi. Tetapi jika Akuwu Suwelatama ini
menjadi jemu, maka iapun akan segera memasuki arena.
Jika ia mulai dengan satu sikap yang tidak menguntungkan
bagmu, maka kau akan menyesal, meskipun sesaat
kemudian kau akan mati"
Resi Damar Pamali itu mengeram. Kemarahannya
benar-benar telah membakar kepalanya, tetapi ia tidak
dapat berbuat banyak atas lawannya, Wasi Sambujo.
Dibagian lain dari pertempuran itu, Witantra telah
banyak berbuat dengan pasukannya. Bahkan ia telah
berhasil mendesak lawan meskipun jumlahnya lebih
banyak. Tetapi Witantra tidak dapat melepaskan diri dari
gelar, sehingga karena itu maka ia tidak mendesaknya lebih
jauh. Namun dalam pada itu, lawannya kurang
berpengalaman, menganggap bahwa witantra tidak
mempunyai kesempatan. Karena itu ia tetap dalam
lingkungan pasukannya. Dalam pada itu, seorang yang kira-kira sebaya dengan
Witantra berada pula diantara pasukan lawan. Ternyata ia
adalah seorang pemimpin padepokan, guru dari salah
seorang Pangeran yang bersama dengan Pangeran
Indrasunu telah mengusai Pakuwon Kabanaran.
Dengan nada dalam yang menghadapi Witantra itu
berkata "Kaulah orang yang telah mencerai beraikan anakanak
di sayap ini" "O" witantra mengangguk-angguk "nampaknya memang
demikian, tetapi sebenarnya aku tidak ingin sekedar
menakuti mereka" "Baiklah kita selesaikan persoalan ini diantara orangorang
tua" berkata orang itu.
Witantra tidak menjawab. Orang itupun kemudian
menyerang dengan garangnya, sehingga pertempuran
menjadi semakin seru. Namun demikian, para prajurit
Singasari telah berhasil membingungkan lawan- lawannya
yang sebagian besar kurang berpengalaman dalam perang
gelar, meskipun mereka mengusai gelar gelar itu sendiri.
Seorang Pangeran yang berada di sapit itu, dalam elar Sapit
Urang yang hampir sempurna, sama sekali tidak berdaya.
Setiap kali psukannya melanda gerigi-gerigi dalam gelar
Cakra Byuha, mata mereka bagaikan tertusuk olah ujungujung
gerigi, sehingga didalam gelar mereka menjadi
semakin parah. Meskipun demikian, pasukan Singasari itu tidak
melepaskan keterikatan mereka di dalam gelar sehingga
gelar Cakra Byuha itu masih nampak utuh dan mapan.
Meskipun damikian bukan berarti bahwa tidak ada


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

korban yang jatuh diantara para prajurit Singasari, para
pengawal Pangeran Wirapaksi dan para Pengawal
Pakuwon Kabanaran. Namun dibanding dengan lawan
mereka, maka seakan-akan Cakra Byuha itu benar-benar
masih utuh. Dalam pada itu, yang paling garang diantara pasukan
dalam gelar Cakra Byuha itu adalah para pengawal
Pakuwon Kabanaran sendiri. Para pengawal yang datang
dari Padang Pandiangan merasa ditikam dari belakang,
sehingga Akuwu Suwelatama harus menyingkir.
Kemarahan mereka nampaknya semakin membakar
jantung ketika mareka melihat lawan yang jumlahnya lebih
banyak menghadapi meraka di luar kota Pakuwon mereka.
Demikianlah, maka dua gelar itu mengalami akibat yang
semakin jauh berbeda. Gelar Sapit Urang yang besar itu
benar-benar telah menjadi jauh susut, sementara gelar
Cakra Byuha yang meskipun lebih kecil, namun masih
nampak utuh dan segar. Dengan demikian, maka keseimbanganpun kemudian
menjadi semakin cepat berubah. Jika keduanya dalam
keadaan yang sama-sama segar, dapat menumbuhkan
geseran keseimbangan, maka selagi gelar Sapit Urang itu
sudah hampir pecah, maka akhir dari pertempuran itu
sudah dapat membayang. Perlahan-lahan gelar Cakra Byuha itu dalam kebulatan
telah mendesak gelar Sapit Urang yang sudah susut
kekuatannya itu. Semakin lama semakin jauh mendekati
gerbang kota Pakuwon Kabanaran. Bahkan beberapa orang
penghubung telah masuk ke dalam kota untuk memanggil
pasukan cadangan yang ditinggalkan oleh Resi Damar
Pamali. Meskipun Pasukan cadangan yang keluar dari kota itu
sudah menggabungkan diri dengan pasukan induk gelar
Sapit Urang itu, namun mereka sama sekali tidak berhasil
mempengaruhi pertempuran. Gelar Cakra Byuha itu benarbenar
berhasil mendesak maju. Sementara itu, Wasi Sambuja dan Resi Damar Pamali
terlibat dalam pertempuran yang semakin lama semakin
sengit. Keduanya adalah orang yang memuliki ilmu yang
tinggi, memiliki pengalaman yang luas dan keyakinannya
masing-masing. Latar belakang kehidupan dan pandangan
hidup Resi Damar Pamali memang dapat mendorongnya
untuk memaksa diri bertempur melawan pasukan Pakuwon
Kabanaran, pasukan Kediri dan apalagi dari Singasari.
Namun yang kemudian dihadapinya adalah Wasi
Sambuja. betapapun ia merasa kecewa bahwa pasukannya
justru telah terdesak. Namun betapa dendam dan
kemarahan menyala dihatinya, sehingga ia bertekad untuk
bertempur melawan Wasi Sambuja sampai kesempatan
yang terakhir. Karena itu, maka Resi Damar Pamali itu seolah-olah
tidak menghiraukan lagi pertempuran itu dalam
keseluruhan. Yang ada dihadapannya itu seakan-akan
seseorang yang berdiri dalam perang tanding. Ia tidak mau
tahu apa yang terjadi diseluruh medan, karena perhatiannya
seluruhnya telah tertumpah kepada Wasi Sambuja.
Dengan demikian maka gelar Sapit Urang itu semakin
lama menjadi semakin berserakkan. Setiap orang yang
menjadi Senopati dari segala tataran telah berusaha
menyelamatkan diri mereka sendiri.
Dalam pada itu, maka pertempurran antara Resi Damar
Pamali dan Wasi Sambuja itu telah sampai ke puncaknya.
Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan
yang mereka miliki. Tidak ada pikiran lain kecuali
menghancurkan lawan secepat-cepatnya dengan cara
apapun juga. Karena itulah, maka akhirnya Resi Damar Pamalipun
sampai pada ilmu pamungkasnya. Tanpa menghiraukan
apapun lagi, maka iapun segera mengambil ancang-ancang
untuk melepaskan puncak ilmunya.
Namun Wasi Sambuja menyadari arti dari sikap
lawannya. Karena itu, iapun justru telah bersikap pula.
Dengan segenap kekuatan lahir batinnya, maka Wasi
Sambujo telah siap membentur kekuatan puncak dan Resi
Damar Pamali. Demikianlah, maka sejenak kemudian Resi Damar
Pamali itu telah meloncat mengayunkan ilmunya lewat
telapak tangannya, sementara Wasi Sambujapun telah siap
menerimanya dengan kedua tangannya yang bersilang.
Yang terjadi kemudian adalah benturan yang dahsyat
sekali. Keduanya telah terlempar dan jatuh di tanah. Wasi
Sambujo dengan cepat telah disambar oleh Akuwu
Suwelatama, sementara Resi Damar Pamali yang sempat
jatuh terbanting di tanah, segera dikerumuni oleh beberapa
orang muridnya. Namun agaknya keadaan Resi Damar Pamali tidak
kalah parahnya dari Wasi Sambujo. Namun justru karena
Wasi Sambujo menjadi pingsan, maka ia tidak terlalu
banyak berbuat sesuatu. Resi Damar Pamali ternyata tidak menjadi pingsan.
Namun luka di dalam dadanya agaknya menjadi sangat
parah. Apalagi ia tidak mau melihat kenyataan tentang dirinya
itu, serangga iapun telah meronta-ronta untuk bangkit dan
berteriak-teriak meskipun dari mulutnya mengalir darah
"Lepaskan, lepaskan Aku. Akan Aku bunuh kelinci gila
itu" Bagaimanapun murid-muridnya berusaha untuk
menahannya, tetapi nampaknya Resi Damar Pamali sudah
tidak menghiraukannya lagi.
Dalam pada itu, Pangeran yang bertubuh kecil, murid
Resi Damar Pamali itu, tiba-tiba saja telah meninggalkan
lawannya dan menyerahkannya kepada seorang Putut yang
kemudian bertempur bersama beberapa orang melawan
Pangeran Wirapaksi. Tetapi agaknya Pangeran Wirapaksi memang tidak
bersungguh-sungguh untuk berusaha membinasakan
lawanya. Karena itu, maka ia dengan sengaja membiarkan
Pangeran bertubuh kecil itu meninggalkannya untuk
melihat keadaan gurunya. Justru karena Resi Damar Pamali selalu meronta-ronta
dan tidak dapat mengendalikan diri itulah, maka
keadaannya menjadi semakin parah. Bahkan akhirnya
tenaganya seolah-olah telah lenyap sama sekali. Matanya
yang menjadi redup memandang muridnya yang bersimpuh
di hadapannya. "Pangeran" suaranya menjadi parau "Aku tidak berhasil
kali ini. Tetapi ini bukan akhir dari segalanya. Aku harap
Pangeran akan melanjutkan dendam yang menyala di
dalam hati ini. Pangeran dapat bekerja bersama Pangeran
Indrasunu, murid si iblis itu sendiri. Bawalah pesanku, agar
kau lepaskan dendamku kepadanya"
Pangaan bertubuh kecil itu tidak sempat memjawab.
Sekali lagi Damar Pamali mengumpat. Namun kemudian
matanyapun telah selama-lamanya.
Murid-muridnya yang melihat gurunya telah meninggal
itu, hatinya menjadi kecut. Meraka seolah-olah sudah tidak
mempunyai sandaran lagi. Itulah sebabnya, maka nafsu
mereka untuk bertempur telah larut sama sekali.
Dengan bati yang patah, maka murid-muridnya ber
usaha untuk membawa tubuh Resi Damar Pamali ke
belakang garis perang. Bahkan terlalu banyak murid-murid
dan pengikutnya yang mengikutinya sehingga medanpun
telah berubah sama sekali.
Kekuatan di induk pasukan itupun telah susut dengan
cepat. Akuwu Suwelatama, Pangeran Wirapaksi dan
Mahisa Bungalan melihat keadaan itu. Namun
sebenarnyalah mereka bukan orang-orang yang bertempur
dengan nafsu membunuh yang tidak terkendali. Itulah
sebabnya, maka meraka tidak banyak berbuat ketika lawan
mereka menjadi semakin terpecah-pecah. Hanya pasukan
yang marah yang ditarik dari padang Padiangan sajalah
yang agaknya bertindak lebih keras dari kesatuan-kesatuan
yang lain. Mahisa Agni dan Wiiantrapun nampaknya sekedar
berusaha untuk mendesak lawan. Mereka memiliki cara
yang mapan untuk membuat lawan mereka menjadi
Geger Dunia Persilatan 6 Kelompok 2 Dan 1 Pencuri Intelek Karya Dwianto Setyawan Istana Sekar Jagat 3

Cari Blog Ini