Ceritasilat Novel Online

Panasnya Bunga Mekar 33

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 33


ular" "Mengerikan" desis seorang pengawal "dan kalian masih
juga berkeliaran didaerah itu?"
"Binatang itu tidak mengganggu" jawab perampok muda
itu. "Dan yang seekor lagi?" bertanya pengawal yang lain.
"Itulah yang nampaknya mengerikan, meskipun jang
seekor itupun tidak pernah mengganggu pula" jawab
perampok muda itu "Yang seekor itu kepalanya warna
kemerah-merahan. Tubuhnya bergelang-gelang merah dan
kuning. Besarnya hampir sama dengan ular melintas itu.
Tetapi matanya seakan-akan memancarkan api. Di
telinganya seolah-olah terdapat gambar sumping, sehingga
menurut dugaan kami, ular yang berwarna kemerahmerahan
itu adalah raja dari segala jenis ular di daerah ini,
meskipun bukan ular itulah yang terbesar, karena ular
bertanduk yang berwarna hitam itu agaknya lebih besar"
Para pengawal itu memang merasa ngeri mendengarkan
keterangan perampok muda itu. Perampok itu tentu tidak
berbohong atau sengaja menakut-nakutinya, karena mereka
telah melihat salah seekor dari ular yang disebutkannya.
Ular yang berwarna hijau kecoklatan, yang belum pernah
mereka lihat sebelumnya. Namun demikian, iring-iringan itu berjalan terus. Rawarawa
itu nampaknya menjadi semakin liar. Tetapi
perampok muda itu mengatakan, bahwa mereka sudah
dekat dengan sarang yang mereka tuju.
Beberapa puluh tonggak kemudian, mereka memasuki
sebuah hutan yang semakin lama semakin kering. Agaknya
mereka telah menjauhi daerah rawa-rawa.
"Jika kami mempergunakan rakit, maka kami berhenti
didaerah yang berair dibawah pohon raksasa itu" berkata
perampok muda itu "disekitar pohon itu terdapat sarang
buaya yang ganas. Tetapi kami sudah mengusai medan,
sehingga kami dapat menempuh jalur yang paling aman"
Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Sementara itu
mereka telah berada diatas tanah yang kering. Bahkan
kemudian mereka sampai kedarah yang berbatu padas.
Perampok muda itu tiba-tiba memberikan isyarat agar
mereka berhenti. Kemudian katanya kepada Pangeran
Suwelatama "Kami tinggal di belakang batu karang itu.
Disana masih ada beberapa orang kawan yang menjaga
harta benda yang kami simpan"
"Hasil rampokan?" bertanya Akuwu.
"Ya" jawab perampok muda itu.
"Kalian menyimpan harta benda yang tidak terkira
banyaknya. Tetapi kalian hidup di dalam lingkungan yang
buas dan penuh dengan ancaman maut" desis Akuwu
Suwelatama. Perampok muda itu sama sekali tidak menjawab.
Sementara itu para pengawalpun telah berkumpul dan
bersiap-siap menghadapi tugas mereka yang sebenarnya.
Memasuki sarang para perampok yang selalu mengganggu
rakyat disekitar daerah rawa-rawa Kedung Sertu yang buas
itu. "Kita beristirahat sejenak" berkata Akuwu "kita siapkan
diri kita untuk memasuki sarang itu. Meskipun menurut
keterangan yang kita dapatkan, orang-orang yang tinggal
bukan orang yang berbahaya, tetapi kita harus berhati-hati"
Demikianlah maka Akuwu Suwelatama itupun
menyusun pasukannya sebaik-baiknya. Setelah mereka
beristirahat, maka atas petunjuk perampok yang masih
muda itu, mereka telah bergerak.
Dengan hati-hati Akuwu Suwelatama membawa
pasukannya melintasi daerah berbatu-batu padas. Mereka
melingkari sebuah onggokan batu karang berwarna keputihputihan
dan mengandung kapur. Menurut perampok yang
muda itu, maka dibelakang batu karang berkapur itulah,
kawan-kawannya yang tersisa tinggal.
Demikianlah mereka sampai kesebelah batu karang itu,
mereka telah melihat satu daerah yang tidak terlalu liar.
Semacam sebuah halaman yang tidak terlalu luas
membentang dihadapan mereka.
"Itukah?" desis Akuwu Suwelatama.
"Ya" jawab perampok muda itu.
Akuwu Suwelatama memberi isyarat kepada para
pengawalnya. Sementara itu Mahisa Bungalan berada di
belakangnya dan Mahisa Agni serta Witantra justru berada
di belakang. Dengan isyarat, maka pasukan itu telah menebar.
Mereka akan mendekati sarang perampok itu yang dibuat
diantara dua bongkah batu karang berkapur. Di dalam batu
berkapur itu terdapat sebuah goa, sementara di hadapan goa
itu, mereka telah membuat sebuah barak memanjang, yang
mereka pergunakan sebagai tempat tinggal.
"Kita akan menyergap dari depan" berkata Akuwu
Suwelatama. Mahisa Agni dan Witantrapun kemudian berada di
kedua ujung pasukan itu, sementara Akuwu Suwelatama
dan Mahisa Bungalan berada di tengah-tengah.
"Jika isyarat aku berikan, kalian harus segera menempati
tempat masing-masing" berkata Akuwu "sekali lagi, kita
akan menyergap dari depan"
Sejenak kemudian mereka menunggu. Demikian Akuwu
itu memberikan isyarat, maka para pengawal itupun segera
berlari-lari menebar dan menyusun sebuah gelar kecil
menghadap kearah batu karang. Sementara itu, dua orang
pengawal mendapat tugas khusus untuk mengamati
perampok muda yang mereka bawa dalam pasukan itu.
Kehadiran para pengawal itu telah mengejutkan para
perampok yang tinggal di celah-celah dua bongkah batu
karang berkapur itu. Dengan serta merta, seorang diantara
mereka yang kebetulan berada di depan baraknya telah
memberikan isyarat. isyarat itu telah mengejutkan kawan-kawannya. Dengan
tergesa-gesa para perampok yang berada di dalam barak itu
telah berlari-larian keluar dengan senjata di tangan.
Pada saat yang bersamaan, pasukan Akuwu Suwelatama
telah maju mendekati barak itu. Yang berdiri di paling
depan adalah Akuwu Suwelatama sendiri.Kemudian di
belakangnya adalah Mahisa Bungalan.
"Gila" geram orang yang tertua diantara para perampok
itu "Siapakah kalian he?"
Akuwu Suwelatama yang berdiri dipaling depan itu
menjawab "Kami adalah para pengawal dari Pakuwon
Kabanaran. Kau kenal Pakuwon Kabanaran"
"Persetan dengan Pakuwon Kabanaran" jawab orang
tertua diantara para perampok itu "Aku tidak terikat pada
Pakuwon manapun juga"
"Kau berada di dalam daerah kekuasaan Pakuwon
Kabanaran meskipun daerah ini belum pernah kami datangi
karena alam yang masih terlalu buas" jawab Akuwu
Suwelatama. "Aku tidak perduli" jawab orang itu.
"Akupun tidak peduli" berkata Akuwu "mengakui atau
tidak mengakui, kami datang untuk menangkap kalian,
karena kalian selalu mengganggu padukuhan-padukuhan
disekitar Kedung Sertu ini"
"Kau kira kalian mempunyai kekuasaan untuk
melakukan hal itu?" bertanya perampok itu.
"Aku adalah Akuwu Kabanaran" jawab Akuwu
Suwelatama. Tetapi jawab perampok itu mendebarkan "Sudah aku
katakan. Aku tidak peduli dengan Pakuwon Kabanaran.
Pergilah, atau kalian akan menjadi mangsa buaya-buaya di
rawa-rawa itu?" "Kami akan menangkap kalian. Kawan-kawan kalian
yang mendatangi padukuhan-padukuhan di sebelah rawarawa
itu telah kami tangkap semuanya" jawab akuwu.
"Omong kosong" teriak perampok itu.
"Jangan menyangkal. Tanpa menangkap kawankawanmu
itu, kami tidak akan dapat sampai ke tempat ini"
berkata Akuwu Suwelatama. Lalu "Karena itu menyerah
sajalah. Kami akan menangkap kalian dan mengambil
semua harta benda yang ada disini. Adalah tugas kami
untuk menghapuskan segala macam kejahatan"
Orang tertua diantara para perampok itu melihat, bahwa
orang-orang yang datang dan menyebut pengawal Pakuwon
Kabanaran dan dipimpin oleh Akuwu Kabanaran itu,
berjumlah lebih banyak dari sisa kawan-kawannya yang
tinggal. Tetapi orang itu terlalu percaya akan kemampuan
mereka, serta tanggung jawab yang dibebankan kepada
mereka oleh pemimpin mereka. Karena itu, maka jawabnya
"Kalian telah datang melalui jalan vang sangat berbahaya
sekedar untuk mengantar nyawa kalian. Baiklah. Kita
bertempur disini" "Tidak ada gunanya" berkata Akuwu Suwelatama
"menyerah sajalah. Jumlah kami lebih banyak. Sementara
kemampuan kami secara pribadi adalah jauh lebih besar
dari kalian" "Pembual yang bodoh" teriak orang tertua itu "kami
hidup dari ujung senjata kami. Kami akan membunuh
kalian dalam sekejap. Kemudian melemparkan mayat
kalian ke daerah rawa-rawa yang penuh dengan buaya itu.
Mereka akan bersantap dengan mengucap terima kasih
kepada kami" "Bagaimana. jika terjadi sebaliknya?" bertanya Akuwu
"mayat kalianlah yang kami lempar ke rawa-rawa itu?"
Orang tertua diantara para perampok itu menggeram.
Kemarahan yang menghentak di dadanya, membuat
matanya bagaikan menyalakan api.
Namun dalam pada itu, Akuwu Suwelatama itupun
berkata "Semua kawan-kawanmu yang menyerang
padukuhan, dan akan merampok saudagar kulit itu telah
kami kalahkan dan kami tawan semuanya. Seorang
diantara merekalah yang membawa kami kemari"
"Persetan" geram orang tertua itu "Jangan membual"
"Jadi kalian tidak ingin menyerah?" bertanya Akuwu
Suwelatama. "Jangan gila. Aku sudah mengatakan, jangan gila
membayangkan bahwa kami akan menyerah. Kami akan
membunuh kalian dan seperti yang sudah kami katakan,
kami melempar mayat kalian ke rawa-rawa" berkata
pemimpin perampok itu. Sementara itu, Mahisa Bungalan telah berbisik " biarlah
perampok muda itu membujuk kawan-kawannya"
"Apakah kita akan melepaskannya?" bertanya Akuwu
"jika ia lari, maka kami akan mendapat kesulitan untuk
keluar dari daerah ini"
"Kita tidak akan melepaskannya" jawab Mahisa Mahisa
Bungalan "biarlah ia berbicara pada jarak ini"
Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Kemudian
iapun berkata kepada dua orang pengawalnya yang
menjaga perampok muda itu di belakang jajaran para
pengawalnya "Bawa anak itu kemari"
Kedua pengawal itupun membawa anak muda itu
kepada Akuwu Suwelatama. Kemudian Akuwu itupun
berkata "Beritahukan kepada kawan-kawanmu dari tempat
ini, apa yang sudah terjadi sebenarnya pada gerombolan-mu
yang terperangkap di padukuhan itu"
Perampok muda itu ragu-ragu. Namun ketika kedua
pengawal itu membawanya ke dekat Akuwu Suwelatama,
maka iapun tidak dapat berbuat lain.
"Kawan-kawan" teriak perampok muda itu
"sebenarnyalah bahwa pemimpin kami telah tertangkap.
Kawan-kawan kami sebagian telah tertawan pula,
sementara ada beberapa diantara mereka yang terluka parah
dan bahkan terbunuh"
"Suruh mereka menyerah" desis Akuwu.
"Karena itu" anak muda itu melanjutkan "menyerah
sajalah. Mereka akan memperlakukan kita dengan baik"
Para perampok itu terdiam sejenak. Agaknya mereka
masih mencoba memperhatikan, siapakah yang sedang
berbicara itu. Namun akhirnya, setelah mereka
mengenalinya, orang tertua diantara mereka itupun berkata
"Pengkhianat. Apa keuntunganmu membawa mereka
kemari" Mereka akan mati, dan kau akan aku lempar
hidup-hidup ke mulut buaya"
"Aku tidak berkhianat" jawab anak muda itu "Tetapi
karena pemimpin kami menyerah, maka kami semuanya
telah menyerah. Karena itu, menyerah sajalah. Mereka
terlalu kuat buat kita. Apa lagi jumlah kalian sedikit. Kami
yang berjumlah lebih banyak pada waktu itu tidak dapat
melawan mereka" "Jangan banyak berbicara. Kau akan mengalami nasib
yang paling buruk dari para pengkhianat yang lain dan
orang-orang yang datang untuk membunuh diri itu" jawab
seorang perampok yang datang berjambang panjang "Kau
kira bahwa kau begitu mudah menipu kami he"
Perampok muda itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian sambil berpaling ia berkata "Mereka tidak mau
mendengarkan lagi. Terserah kepada kalian"
Akuwu Suwelatama maju selangkah dan berkata kepada
para perampok "Baiklah. Jika kalian tidak mau menyerah,
kami terpaksa mempergunakan kekerasan. Aku kira
kekuatan kalian sama sekali tidak memadai. Karena itu,
tugas kamipun akan segera dapat kami selesaikan. Yang
menjadi persoalan adalah, jika ada diantara kalian atau
kami yang terluka parah. Sementara kami berjalan
membawa tubuh kami masing-masing, kami sudah
mengalami kesulitan. Apalagi jika kami harus membawa
orang-orang yang terluka"
"Tidak ada yang terluka" teriak orang tertua diantara
para perampok itu "kalianlah yang akan kami tumpas
habis" Akuwu Suwelatama tidak sabar lagi. Karena itu, maka
iapun telah meneriakkan perintah "Bersiaplah"
Para pengawalpun segera bersiap. Dua orang pengawal
yang bertugas telah menarik perampok muda itu dan


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawanya ke belakang garis pasukan para pengawal.
"Aku terpaksa mengikatmu" berkata pengawal itu.
"Jangan " minta pemuda itu "Jika kalian mengikatku,
maka yang akan membunuhku bukan dari antara kalian.
Tetapi salah seorang kawan dari kawan-kawanku itu tentu
akan menyelinap dan kemudian membunuh aku. Tetapi
jika aku tidak terikat, mungkin aku sempal menyelamatkan
diri" "Jangan membohongi kami" bentak pengawal itu.
"Aku berkata sebenarnya. Tetapi jika kalian terkeras,
maka sebaiknya aku tetap kalian lindungi meskipun terikat"
berkata perampok muda itu.
Kedua pengawal itu termangu-mangu. Namun akhirnya
mereka berkeputusan untuk mengikat perampok muda itu
agar pada saat-saat tertentu, jika keduanya lengah, ia tidak
melarikan diri. Namun demikian, seperti yang diminta oleh perampok
muda itu bahwa keduanya akan melindungi perampok
muda itu dari kemungkinan pembalasan dendam kawankawannya,
yang menganggap bahwa ia telah berkhianat.
Dalam pada itu, maka Akuwu Suwelatama tidak
mempunyai pilihan lain. Maka iapun segera menjatuhkan
perintah, sehingga para pengawal itupun telah bergerak
dengan senjata ditangan mendekati celah-celah batu padas
berkapur itu. Sementara itu, para perampokpun telah bersiap pula
menyambut kedatangan para pengawal itu dengan
kemarah-an yang meluap. Demikianlah sejenak kemudian, kedua belah pihak
itupun telah berbenturan. Pasukan pengawal dari Pakuwon
Kabanaran berjumlah lebih banyak. Apalagi mereka
memiliki kemampuan tempur lebih tinggi dari para
perampok yang hanya berbekal keberanian dan sedikit
kemampuan bermain senjata.
Karena itu, maka dalam waktu yang pendek, merekapun
telah kehilangan kesempatan untuk mendesak lawannya
yang berusaha untuk mengurung mereka pada celah-celah
batu padas. "Mereka tentu menyembunyikan harta benda yang
pernah mereka rampas di dalam barak di celah-celah batu
padas itu" berkata Akuwu Suwelatama di dalam hatinya.
Sebenarnyalah, para perampok itu tidak banyak dapat
bergerak. Mereka segera terdesak ke barak mereka. Bahkan
seolah-olah mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk
dapat mempertahankan diri.
Sebenarnyalah Akuwu Suwelatama benar-benar ingin
menyelesaikan masalah itu dengan tuntas. Karena itu, maka
iapun mendesak terus. Ia memaksa para perampok itu
untuk menyerah dan menunjukkan sarangnya yang
sebenarnya. Dalam pada itu, maka perampok itupun akhirnya merasa
bahwa mereka memang tidak akan dapat melawan.
Jika para pengawal itu berniat, maka mereka akan dapat
membunuh mereka seorang demi seorang dan
melemparkan mayat mereka ke dalam rawa-rawa seperti
yang dikatakan oleh pemimpin para pengawal itu.
Karena itu, maka tidak ada pilihan lain, bahwa mereka
harus menyerah jika mereka tidak mati dan menjadi
makanan buaya-buaya yang buas di dalam rawa-rawa.
Demikianlah ketika mereka telah terdesak dan tidak
mungkin untuk mengelakkan kematian jika pertempuran itu
berlangsung terus, maka orang tertua itupun telah berteriak
nyaring "Kami menyerah"
"Akuwu Suwelatama mendengar teriakan itu. Karena
itu, maka iapun segera memberikan isyarat kepada para
pengawal untuk menghentikan pertempuran.
Sebenarnyalah para pengawal itupun berusaha untuk
menahan diri. Satu dua diantara mereka telah terluka.
Tetapi diantara para perampokpun telah beberapa orang
yang mengalirkan darah. Bahkan ada diantara mereka yang
terluka parah. "Kalian menyerah?"akuwu Suwelatama menegaskan.
"Ya. Kami menyerah" jawab orang tertua sambil
melemparkan senjatanya diikuti oleh kawan-kawannya.
Para pengawalpun kemudian mendesak para perampok
itu untuk berdiri berjajar menghadap ke batu karang
berkapur itu. Beberapa orang pengawal menjaga mereka
dengan senjata terhunus. Dalam pada itu, Akuwu Suwelatamapun memanggil
orang tertua diantara mereka dan bertanya "Nah, jika
kalian telah menyerah, maka kalian akan mengatakan apa
saja yang ingin aku ketahui"
Orang tertua itu menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia
bertanya "Apa yang ingin kau ketahui?"
Akuwu Suwelatama termangu-mangu sejenak.
Kemudian bersama Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan
Witantra, ia membawa orang tertua itu ke dalam barak
mereka di celah-celah batu kapur itu.
"Apakah tidak ada orang lain lagi?" bertanya Akuwu
Suwelatama. "Tidak ada" jawab orang tertua itu.
"Baik" berkata Akuwu itu "kami akan membawa kalian
ke Pakuwon. Kalian adalah tawanan kami"
"Ya. Kami mengerti" jawab orang tertua itu.
"Kalian telah mempersulit perjalanan kami. Ada
beberapa orang-orangmu yang terluka. Sengaja atau tidak
sengaja, senjata di dalam pertempuran kadang-kadang tidak
dapat memilih arah" "Ya" jawab orang tertua itu.
"Tetapi, baiklah kalian tunjukkan, dimanakah kaian
menyimpan barang-barang yang telah kalian kumpulkan
selama kalian menjadi perampok" bertanya Akuwu
Suwelatama. "Barang-barang apa?" bertanya orang tertua itu.
"Jangan mulai berpura-pura. Kau sudah menjawab
segala pertanyaanku dengan baik. Tetapi kini kau mulai
akan ingkar" desak Akuwu Suwelatama.
"Aku tidak ingkar. Tetapi aku memang tidak tahu. Aku
kira selama aku berada di sini, kami tidak pernah
menyimpan sesuatu" berkata orang tertua itu.
"Kau mulai ingkar" berkata Akuwu "bawa perampok
muda itu kemari" Perampok muda yang telah menunjukkan jalan ke sarang
mereka itupun telah dibawa masuk pula. Demikian orang
tertua itu melihat kawannya yang muda itu, maka wajahnya
telah menjadi tegang. "Katakan" desak Akuwu tanpa bertanya kepada anak
muda itu. Orang tertua itu menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya
iapun menggeleng. Katanya "Aku tidak tahu. Yang aku
ketahui adalah isi barak ini. Tidak lebih dan tidak kurang"
Akuwu memperhatikan anak muda itu. Kemudian iapun
bertanya "Kau dapat mengatakan yang sebenarnya"
"Ya. Memang ada harta benda yang disimpan. Tetapi
tidak semua orang boleh tahu" jawab anak muda itu. Ia
nampak bersungguh-sungguh dan jujur.
"Kau tidak mengetahuinya?" bertanya Akuwu.
"Tidak. Tetapi orang tua itu mengetahuinya" jawab anak
muda itu. "Tutup mulutmu" bentak orang tua itu "Aku juga tidak
tahu dimana barang-barang itu disimpan, jika memang ada
barang-barang berharga itu"
Akuwu Suwelatama mengerutkan keningnya.
Dipandanginya orang tua itu sambil berkata "Kau sudah
kehilangan akalmu. Jika demikian kenapa kau menyerah.
Kenapa kau tidak bertempur saja sampai orang terakhir
mati?" Orang tua itu tidak menjawab.
Sementara itu Akuwu Suwelatama telah kehilangan
kesabaran. Maka katanya "Dengar. Kami datang dari jarak
yang jauh melalui jalan yang sangat sulit Karena itu. jangan
mencoba mempermainkan kami. Kami mempunyai cara
yuiu khusus untuk memaksamu berbicara" Wajah orang tua
itu menjadi tegang. Namun Akuwu tidak menghiraukannya
lagi. Dengan lantang ia berkata "jawab setiap pertanyaanku,
atau aku akan memerasmu"
Orang itu menjadi semakin tegang. Namun mulutnya
bagaikan membeku. Sebenarnyalah ia merasa sangat
bingung. Para perampok itu mempunyai paugeran
tersendiri di dalam hidup mereka.
Ketika Akuwu kemudian berdiri, dan memandang orang
tua itu dengan mata yang menyala, maka orang itupun
berkata dengan suara gemetar "Ki Sanak. Kami bersumpah,
bahwa kami tidak akan membuka rahasia kami kepada
siapapun juga dalam keadaan apapun juga. Karena itu,
kasihani aku" Kau dapat membatalkan sumpahnya untuk tujuan yang
lebih baik Sumpahmu tidak akan mengutukmu" bentak
akuwu. "Tetapi aku takut" desis orang itu.
"Terserahlah kepadamu" jawab Akuwu.
"Mohon jangan paksa aku " mohon orang itu.
Akuwu menjadi semakin marah. Dengan lantang ia
membentak "Aku akan memaksamu berbicara. Seorang
demi seorang" Orang itu gemetar, tetapi mulutnya masih tetap
terbungkam. Sementara itu, selagi Akuwu kehilangan kesabaran dan
sudah siap memaksa orang itu berbicara, tiba-tiba terdengar
suara gemuruh di sebelah bukit karang berkapur itu. Semua
orang terkejut karenanya. Rasa-rasanya tanahpun mulai
berguncang. "Apa?" bertanya Akuwu dengan serta merta.
Tetapi orang tertua itupun merasa ngeri mendengar suara
itu. Katanya "Aku belum pernah mendengarnya
sebelumnya" "Prahara" terdengar seseorang berteriak di luar barak
yang terdapat dicelah-celah batu-batu padas berkapur itu.
Akuwupun segera meloncat keluar. Sebenarnyalah ia
melihat pepohonan hutan bagaikan diguncang oleh prahara.
Tetapi tentu bukan prahara. Bukan pula badai dan angin
pusaran, karena tidak seluruh hutan itu diguncang.
Baru kemudian seorang diantara mereka berteriak "Ular
raksasa itu" Sebenarnyalah, seekor ular raksasa lelah mengamuk.
Ular raksasa yang mereka jumpai melintas jalan, berwarna
hijau kecoklatan. "Ular itu" yang lainpun berteriak.
Para pengawal itupun menjadi ribut. Mereka menarik
senjata masing-masing. Namun apakah arti pedang-pedang
ditangan mereka. Ular raksasa itu akan mampu menyapu
mereka dengan ekor dan membunuh mereka dengan racun
yang disemburkan dari mulutnva.
Suara itu semakin lama menjadi semakin jelas.
Sementara itu, perampok yang tertua dengan pucat berdiri
di belakang Akuwu Suwelatama "Ki Sanak" desis
perampok tertua itu "ular itu telah mencium darah.
Menurut pendengaranku, bau darah membuatnya menjadi
buas. Bukan hanya yang berwarna hijau itu saja, tetapi yang
bertanduk itupun akan berbuat serupa. Mereka selama ini
tidak pernah mengganggu kami meskipun kami sering
berjumpa. Tetapi agaknya benar kata orang, bau darah dari
antara kita yang terluka dipeperangan ini"
Wajah Akuwu menjadi tegang. Setelah ia berhasil
melakukan tugasnya yang hampir diselesaikan seluruhnya
itu, tiba-tiba telah muncul sesuatu yang tidak masuk dalam
perhitungannya. Dan yang tidak termasuk dalam
hitungannya itu, tidak akan mungkin dilawannya.
Dalam pada itu, suara yang seperti badai itu menjadi
semakin keras. Ketika mereka memperhatikan ular
berwarna hijau yang semakin dekat itu, tiba-tiba yang
bagaikan badai itu menjadi semakin keras. Pepohonan
raksasa di hutan itupun terguncang semakin dahsyat.
Tiba-tiba saja mereka melihat warna yang lain dalam
Satu pergulatan. Baru kemudian mereka menyadari, dua
ekor ular raksasa itu ternyata sedang bergulat. Ular raksasa
yang berwarna nijau kecoklatan dengan ular raksasa yang
bertanduk dan berwarna hitam kelam.
Pergulatan antara dua ekor ular itu benar-benar
merupakan peristiwa yang sangat dahsyat. Agaknya
keduanya benar-benar menjadi liar dan buas ketika mereka
mencium bau darah. Ketika ujung ekor ular yang hitam itu menyapu
pepohonan di depan barak itu, terasa betapa sangat
mengerikan. Beberapa batang pohon telah tumbang.
Sementara itu, kepala kedua ekor ular itu bagaikan saling
berbenturan, bergelut dan tubuh-tubuh mereka saling
melilit. Suara yang terlontar dari mulut-mulut ular yang
menganga itu melampaui suara badai di samudra yang
paling garang. Dalam kecemasan itu, maka Akuwu berteriak "Kita
mencari jalan keluar dari daerah maut ini"
"Tidak ada jalan" desis Mahisa Agni "sebentar lagi
semuanya akan digilas sampai lumat "
Mahisa Agni termangu-mangu. Dipandanginya batubatu
karang yang kokoh itu. Namun ia tidak segera
menemukan tempat untuk bersembunyi. Namun demikian,
mungkin mereka akan dapat berada di celah-celah batu
karang itu. Memang tidak ada jalan keluar dari tempat itu.
Akuwupun melihat betapa kedua ekor ular itu bertempur
dengan dahsyatnya. Semakin lama semakin mendekat batubatu
karam berkapur itu. "Jika kita mencoba untuk menyingkir, maka kita justru
akan menjadi korban, Tetapi bukan berarti bahwa kita akan
pasrah untuk disapu oleh tubuh kedua ekor ular raksasa
yang sedang berkelahi itu. Mungkin batu-batu karang itu
akan dapat memberikan perlindungan" berkata Mahisa
Agni. Untuk sesaat, para pengawal dan para perampok itu


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri termangu-mangu. Senjata mereka tidak berarti apaapa
di hadapan dua ekor ular raksasa itu. Apalagi keduanya
telah menjadi buas dan Uar karena telah mencium bau
darah. Dalam pada itu, tiba-tiba orang tertua diantara para
perampok itu berkata "Aku tahu sebuah lubang yang
menghubungkan celah-celah batu karang itu dengan sebuah
goa dibawah tanah" "Kau berkata sebenarnya?" bertanya Akuwu.
"Ya, Aku berkata sebenarnya. Tetapi dengan demikian
aku sudah berkhianat terhadap pemimpinku" jawab orang
itu. "Pemimpinmu sudah aku tangkap" bentak Akuwu
"Cepat, tunjukkan lubang goa itu"
Orang tertua itupun ragu-ragu sejenak. Namun
pertempuran yang dahsyat itu menjadi semakin dekat.
Tiba-tiba saja Akuwu menyambar lengan orang itu
sambil berkata "Tunjukkan. Atau kaulah yang pertamatama
aku lemparkan ke tempat pertempuran itu"
Iapun sebenarnya menjadi sangat ngeri melihat
perkelahian itu. Karena itu, maka iapun telah membawa
para pengawal yang diikuti oleh para perampok itu
kebelakang barak yang terdapat dicelah-celah batu karang
itu. Mereka mendapatkan sebuah batu karang yang besar
tergolek diantara batu-batu karang yang lebih kecil.
"Kita harus menyingkirkan batu itu" berkata orang tertua
itu. "Apakah batu itu merupakan pintu masuk ke dalam
goa?" bertanya Akuwu.
"Ya" jawab orang tua itu.
"Cepat. Kita akan memindahkan batu itu.
Para pengawalpun kemudian mencoba memindahkan
batu yang besar itu. Tetapi batu itu hanya beringsut sedikit
sekali. "Bagaimana pemimpinmu membuka pintu ini" Dengan
tenaga gaib?"- bertanya Akuwu.
"Tidak. Kita bersama-sama. Khususnya orang-orang
vang sudah mendapat kepercayaan" jawab orang tertua itu.
"Demikian beratnya?" desak Akuwu.
"Ya. memang hanya sedikit demi sedikit. Kadangkadang
kita memerlukan waktu yang lama untuk
membukanya. Orang-orang yang belum waktunya
mengetahui rahasia itu, mendapat perintah untuk
melakukan pekerjaan diluar lingkungan barak ini,
sementara kami berusaha untuk membuka dan menyimpan
barang-barang di dalamnya. Baru setelah pintu itu tertutup,
maka orang-orang yang belum mendapat hak untuk
mengetahui rahasia itu, boleh memasuki barak"
Akuwu tidak menjawab lagi. Tetapi bersama-sama
dengan para pengawal dan beberapa orang perampok
mereka berusaha untuk membuka pintu itu. Namun seperti
semula, pintu itu beringsut sedikit demi sedikit.
Sementara itu, debu dan batu akikbat perkelahian dua
ular raksasa itu telah memenuhi udara. Tanah dan batubatu
padas yang terlempar telah mengenai mereka. Bahkan
kadang-kadang ekor salah satu dari kedua ekor ular raksasa
yang bertempur itu bagaikan terayun diatas kepala mereka.
"Cepat" orang tertua itu mendesak.
Tetapi tenaga mereka sangat terbatas. Mereka tidak
dapat berebutan bersama-sama mendorong batu itu, karena
tempat yang sempit. justru karena batu karang itu berada di
celah-celah. Akhirnya Mahisa Agni tidak telaten, karena bahaya
menjadi semakin dekat. Karena itu, maka katanya
minggirlah. Biarlah aku dan Witantra membukanya.
Witantra mengerutkan keningnya. Namun iapun
mengerti bahwa ia harus mempergunakan kekuatan
puncaknya. Akuwu tidak segera mengetahui maksud Mahisa Agni.
Meskipun demikian, maka iapun kemudian memerintahkan
orang-orang itu menepi. Demikianlah, Mahisa Agni dan Witantra berdiri tegak
dihadapan sebongkah batu padas yang menyumbat goa itu.
Sejenak mereka memusatkan segula kemampuan
mereka. Dengan isyarat, maka Mahisa Agnipun kemudian
memberikan aba-aba. Berbareng keduanya meloncat, dan
berbareng keduanya menghantam batu padas itu.
Batu padas itu bagaikan meledak. Ternyata kekuatan
kedua orang itu mampu memecahkan sebongkah batu
padas, meskipun batu padas itu menjadi debu. Tetapi
hampir separo dari pintu goa itu telah terbuka.
"Masuklah" berkata Mahisa Agni kemudian "meskipun
dengan merangkak, kalian dapat bersembunyi di dalam goa,
jika goa itu cukup besar memuat kalian"
"Cukup" berkata perampok yang tertua. Setelah masuk
ke dalam beberapa puluh langkah, maka ada lubang yang
turun ke dalam tanah. Dalam pada itu, bumi rasanya telah
berguncang. Rasa-rasanya mereka yang berjejal-jejal berdiri
dicelah-celah batu padas.
"Cepat" teriak Akuwu.
Demikianlah seorang demi seorang, mereka merangkak
memasuki lubang yang tidak terlalu besar itu.
Lubang goa itu memang sempit. Para pengawal dan
perampok itu telah berebut dahulu memasuki lubang itu.
Mereka telah melupakan permusuhan yang baru saja
mereka lakukan. Ternyata mereka yang memasuki goa itu memang masih
harus merangkak untuk beberapa puluh langkah. Tetapi
lubang itu semakin lama menjadi semakin besar, sehingga
kemudian mereka dapat berdiri tegak.
Dengan demikian maka mereka maju semakin cepat.
Namun demikian rasa-rasanya orang-orang yang berada
dibelakang masih melalu mendesak mereka untuk maju
lebih cepat Yang berada dipaling depan adalah orang tertua diantara
para perampok itu. la ternyata mengenal jalur goa itu
dengan baiknya. Beberapa saat kemudian, mereka telah
mencapai tangga dan dalam kegelapan mereka mulai
merayap turun, keruang di bawah tanah yang luas.
Di mulut goa masih saja para pengawal dan perampok
yang tersisa berjejalan. Namun satu persatu mereka berhasil
memasuki lubang itu. Yang terakhir dari mereka adalah
Akuwu Suwelatama, Mahisa Bungalan, Witantra dan
Mahisa Agni. Hampir saja Mahisa Agni terlambat. Demikian ia hilang
di lubang gua itu, maka ekor dari ular raksasa yang
berwarna hitam lekam itu menyapu barak di celah-celah
batu karang itu. Bahkan segumpal batu karang telah runtuh
dan menutup lubang goa yang sempit itu. Namun lubang
itu tidak tersumbat seluruhnya, sehingga dari dalam goa
masih nampak cahaya udara diluar goa.
"Hampir saja" desis Witantra.
"Hampir saja" sahut Mahisa Agni "melawan ular
raksasa itu, aku tidak akan sempat mempergunakan Aji
Gundala Sasra. Ular itu bergerak terlalu cepat.
Dalam pada itu, maka para perampok dan para
pengawal itupun telah berada disebuah ruang yang besar di
dalam tanah. Ada beberapa ruang yang tersekat oleh batu
batu karang. Nampaknya goa itu tidak dibuat oleh tangan.
Tetapi airlah yang telah memahat goa itu dalam waktu
beratus-ratus tahun. Sementara itu, orang tertua dari para perampok itu telah
membuat api dari batu thithikan dengan emput serabut
aren. Kemudian dengan dibauri oleh sebangsa belereng,
maka emput itu dapat menyala.
"Ambil obor itu" desis orang tertua itu.
Seorang perampok telah mengambil obor yang tersedia.
Kemudian obor itupun dinyalakannya, sehingga ruangan
itu menjadi sedikit terang.
Namun demikian obor itu, menyala, hampir semua
orang yang berada di tempat itu terkejut. Ternyata di
sebuah lubang tersendiri di dalam ruangan dibawah tanah
itu nampak beberapa buah peti yang tertimbun rapi.
Baik para pengawal, maupun para perampok yang belum
pernah mendapat kesan apaiaiiuntuk memasuki ruangan itu
segera mengetahui, banwa yang berada didalam peti-peti itu
adalah harta benda yang sangat mahal nilainya.
Namun dalam pada itu, orang-orang itu tidak sempat
menyatakan keheranannya. Ruang itupun bagaikan telah
diguncang oleh gempa beberapa kali. Sementara itu, desis
yang keras telah mendebarkan jantung.
Kedua ekor ular raksasa itupun masih saja bertempur
dengan dahsyatnya. Pepohonanpun menjadi beserakkan.
Batu-batu karang telah pecah sebongkah demi sebongkah
dan terlempar kian kemari.
"Jika bukit ini pecah, kita akan tertimbun disini" berkata
Mahisa Bungalan. Mahisa Agni mengangguk. Katanya "Tetapi untuk
memecahkan batu karang berkapur inipun tidak mudah.
Betapa tinggi kekuatan kedua ekor ular raksasa itu, tetapi
agaknya bukit karang ini tidak akan dengan mudah.
Untuk beberapa saat orang-orang itu tidak sempat
memikirkan peti-peti yang terdapat di sebuah lubang didalam
goa itu. Merekapun tidak sempat memperbincangkan
sikap mereka yang telah menyerah. Perhatian mereka
sepenuhnya adalah pada gemuruh perkelahian yang
mengerikan itu. Guncangan demi guncangan telah
membuat mereka semakin tegang. Rasa-rasanya dindingdinding
goa dibawah tanah itu akan runtuh.
Sementara itu, pertarungan antara dua ekor ular raksasa
itu menjadi semakin sengit. Keduanya memiliki
kelebihannya masing-masing. Meskipun ular berwarna
hitam legam itu lebih besar dari ular yang berwarna hijau
kecoklat-coklatan, tetapi ternyata kekuatan mereka tidak
berselisih. Dalam pada itu, tiba-tiba saja orang tertua diantara para
perampok itu berdesis "Tiga orang kawan kita terluka. Kita
tidak sempat membawa mereka"
Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Mereka
membayangkan peristiwa yang sangat mengerikan telah
terjadi. Mungkin mereka tergilas menjadi lumat. Tetapi
mungkin pada kesempatan salah seekor ular raksasa itu
telah mematuk mereka dan menelannya.
"Tidak sempat" desis seseorang kepada dirinya sendiri.
Gemuruh itu masih juga belum mereda. Sementara itu,
Mahisa Agni mulai memperhatikan keadaan di dalam goa
itu. Ruang demi ruang diperhatikannya dengan seksama.
Ketika ia mendapatkan lagi sebuah obor, maka obor itupun
dinyatakannya pula. "Ruangan ini tidak menjadi penuh asap obor" berkata
Mahisa Agni di dalam hatinya. Lalu "Tentu ada lubanglubang
lain dari lubang yang satu itu. Mungkin lubanglubang
itu kecil, tetapi tidak hanya satu"
Tetapi Mahisa Agni masih tetap diam. Namun demikian,
agaknya Witantrapun sedang memperhatikannya pula.
Dalam pada itu, untuk beberapa saat mereka masih
mereda. Bahkan dinding goa dibawah tanah itu kadangkadacg
bergetar dan debupun berhamburan.
"Apakah bukit karang kecil ini akan runtuh?" desis
seorang diantara para perampok itu.
Orang tertua diantara mereka itupun menjadi tegang.
Bagaimanapun ia bertahan untuk tidak membuka rahasia,
namun akhirnya ia tidak dapat ingkar lagi, justru karena
kedua ekor ular raksasa yang sedang bergulat itu.
Ketegangar masih tetap mencengkam. Sementara
Mahisa Agni dengan teliti memperhatikan keadaan goa itu.
Selain pintu sempit tempat mereka masuk, tentu terdapat
lubang-lubang lain yang menghubungkan ruang itu dengan
udara diluar. Meskipun lemikian setiap kali Mahisa Agnipun telah
menjadi berdebar-debar karena getar dinding goa. Jika goa
itu runtuh, maka ruang dibawah tanah itu akan menjadi
sebuah kuburan yang besar yang tidak akan pernah
diketemukan orang. Dalam pada itu, selagi orang-orang di dalam goa itu
dicengkam oleh kecemasan, maka telah terdengar suara lain
dari gemuruhnya ular-ular raksasa yang sedang bertempur
itu. Terdengar seolah-olah kuak seekor binatang yang
sangat dahsyat. Kemudian terdengar deru yang sangat
dahsyat. Sekali lagi goa itu bergetar. Namun yang
mengguncangkan jantung mereka yang ada di dalamnya
adalah perubahan suhu udara yang tiba-tiba. Dari beberapa
arah. seakan-akan telah bertiup udara yang panas dan
menyesakkan. Setiap orang di dalam gua itu menjadi semakin tegang.
Mereka berdiri mematung. Ujung jari merekapun seakanakan
tidak dapat lagi mereka gerakkan.
Sekali lagi terdengar kuak yang mengerikan. Keras sekali
dan gemanya terdengar susul menyusul dari dalam goa itu.
"Apalagi yang telah terjadi" desis Akuwu.
Yang terdengar kemudian adalah suara menguak yang
berulang-ulang. Kemudian terdengar suara menderu di atas
bukit karang itu. Beberapa bongkah batu padaspun berjatuhan. Tetapi
ternyata bukit karang itu tidak runtuh.
"Ular itu melintas dia tas bukit karang berkapur ini"
desis orang tertua diantara para perampok itu.
"Hanya seekor" berkata yang lain.
"Pertempuran itu sudah selesai" jawab orang tertua itu.
"Apakah yang lain sudah mati?" bertanya Akuwu.
"Tidak" jawab orang tertua itu "suara menguak yang
dahsyat itu adalah suara ular yang berwarna merah dengan
jamang ditelinganya, yang menurut dugaan kami adalah
raja dari segala ular meskipun ular itu bukan ular yang
terbesar. Kedua ekor ular yang sedang bertempur itu tentu
sudah diusirnya" "Kedua ekor ular yang lain itu takut terhadap ular
berkepala merah itu?" bertanya Akuwu Suwelatama.
"Ya. Dan kini agaknya telah terbukti" jawab orang tertua


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu "semula kami hanya mendengar dari beberapa ceritera,
dan menduga-duga menilik sifat ular-ular itu. Udara panas
itu tentu disebabkan oleh api yang memancar dari mulut
ular berkepala merah itu"
"Kalian pernah melihat api itu?" bertanya Witantra.
"Melihat belum. Tetapi kami pernah melihat bekasbekasnya.
Kami melihat bagian hutan yang menjadi kering
akibat api yang tersembur dari mulut ular itu. Binatangbinatang
hutan yang kebetulan berada di daerah itu menjadi
kering" berkata orang tertua itu.
Mahisa Agni termangu-mangu. Orang-orang di dalam
goa itu masih mendengar beberapa kali ular itu menguak.
Namun kemudian sepi, setelah terdengar deru yang
semakin lama menjadi semakin jauh.
"Mereka telah pergi" berkata Mahisa Agni.
"Ya. Mereka telah pergi" berkata orang tertua itu
Dengan demikian, maka merekapun mulai menyadari
tentang keadaan mereka. Diantara mereka terdapat para
perampok dan para pengawal yang akan menangkap
mereka. Namun dalam pada itu, Akuwu Suwelatamapun
kemudian berkata lantang "Kita sudah terlepas dari amuk
ular-ular raksasa itu. Tetapi kita masih tetap dalam keadaan
kita. Para perampok lelah menyerah. Siapa yang berusaha
untuk berbuat yang dapat mengganggu keadaan itu, akan
kami tindak dengan tegas"
Orang tertua diantara para perampok itu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi para perampok itu memang tidak akan
dapat berbuat apa-apa. "Berkumpullah" perintah Akuwu Suwelatama.
Para perampok itupun kemudian berkumpul. Dua
pengawallah yang kemudian memegangi obor, sementara
Mahisa Agni berkata "Kita akan melihat, apakah pintu itu
masih tetap terbuka"
Akuwupun kemudian memerintahkan dua orang
pengawal untuk melihat, apakah mereka masih mungkin
keluar dari mulut goa, yang mereka lalui ketika mereka
merangkak masuk. Seperti ketika mereka masuk, maka kedua pengawal itu
memang harus merangkak untuk mendekati mulut goa.
Namun demikian mereka sampai ke mulut goa, ternyata
mulut goa itu sudah tertutup rapat. Nampaknya mulut goa
itu telah pecah dan justru karena itu, reruntuhan batu
karang itupun telah menyumbat mulut goa.
"Sulit untuk keluar" berkata salah seorang dari kedua
pengawal itu. "Kita akan melapor. Mungkin kita memang harus mati
di dalam goa ini" sahut yang lain.
Kedua orang pengawal itupun kemudian kembali ke
tempat kawan-kawannya berkumpul. Mereka telah
melaporkan bahwa mulut goa itu telah tersumbat oleh
Akuwu Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya "Apakah reruntuhan itu tidak dapat
disingkirkan?" "Kami tidak tahu, apakah cukup waktu untuk me
iakukannya" jawab pengawal itu.
Akuwu itupun termangu-mangu sejenak. Namun dalam
pada itu maka Mahisa Agnipun berkata "Kita akan mencari
jalan lain" "Aku tidak tahu, apakah ada jalan lain untuk keluar dari
goa ini" berkata orang tertua diantara para perampok itu.
Beberapa orang menjadi tegang. Jika mereka tidak dapat
keluar dari dalam goa itu, maka akan berarti satu bencana
yang sangat dahsyat. Mereka akan mati perlahan-lahan di
dalam goa itu. Mungkin karena mereka tidak akan dapat
bernafas lagi. Mungkin kelaparan dan kehausan.
Tetapi sementara orang-orang itu kecemasan, Mahisa
Agni berkata "Aku kira ada lubang-lubang lain yang
menghubungkan ruang ini dengan udara di luar. Api-api
obor itu tetap menyala. Ruang ini tidak menjadi sesak dan
penuh dengan asap obor itu"
"Ya" tiba-tiba saja Akuwu Suwelatama menyahut "kita
tidak akan berputus asa"
"Aku melihat cahaya betapapun lemahnya "berkata
Witantra sambil menunjuk pada sebuah lubang di dinding
goa itu. Bersama Mahisa Agni keduanya mendekati lubang di
langit-langit goa di bawah tanah itu. Ternyata mereka
memang melihat cahaya yang meskipun sangat lemah,
tetapi lebih terang dari kegelapan di dalam goa di bawah
tanah itu. "Marilah kita lihat" berkata Mahisa Agni.
Witantrapun kemudian bersiap-siap. Mahisa Bungalan
yang mendekat pula berkata "Aku akan memasuki lubang
itu" Mahisa Bungalanpun kemudian naik ke pundak Mahisa
Agni, sedangkan tangannya berpegangan pada bibir goa itu,
maka iapun telah mengangkat kedua kakinya dan berusaha
untuk memasuki lubang itu.
"Tunggu di situ" berkata Mahisa Agni.
Witantra kemudian naik pula menyusul Mahisa
Bungalan. Sementara itu, Mahisa Agni yang memanggil
seorang pengawal untuk atas loncatannya, telah memasuki
lubang itu pula. Bertiga mereka kemudian merangkak menyelusuri
lubang itu yang semakin lama menjadi semakin sempit.
Namun ternyata mereka menjadi semakin berpengharapan
karena cahaya yang mereka lihat itu semakin lama menjadi
semakin jelas. Namun akhirnya lubang itu menjadi sangat sempit.
Meskipun demikian, Mahisa Bungalan berhasil menerobos
lubang yang nampaknya memang tidak pernah dilalui oleh
seseorang. Batu-batu karang yang runcing telah menghambat gerak
mereka. Meskipun demikian, akhirnya mereka benar-benar
melihat cahaya. Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun bergerak lebih
cepat, meskipun ia bukan saja harus merangkak, tetapi
bergeser maju sambil menelungkup di atas batu karang yang
kadang-kadang terasa tajam.
Akhirnya, Mahisa Bungalan itupun berhasil keluar dari
sebuah lubang di wajah batu karang yang berseberang-an
dengan celah-celah batu karang saat mereka masuk.
Demikian ia keluar dari lubang itu, maka ternyata bahwa
beberapa bagian tubuhnya telah berdarah oleh tajamnya
batu-batu karang. "Kita masih berkesempatan untuk menghirup udara"
berkata Mahisa Bungalan, ketika kedua pamannya, itupun
telah berada diluar pula.
Namun dalam pada itu, maka merekapun sempat
menyaksikan jejak ular raksasa yang melintas di atas batu
karang berkapur itu. "Bukan main" desis Mahisa Bungalan.
"Apa yang terjadi di sebelah" desis Witantra.
Ketiga orang itupun kemudian memanjat naik ke puncak
bukit karang kecil yang agak memanjang itu. Demikian
mereka melihat bekas perkelahian antara kedua ular raksasa
dan kehadiran ular ketiga itu, maka bulu-bulu tengkuk
mereka telah meremang. Sebagian hutan telah menjadi berserakan. Namun yang
lebih mengerikan adalah bekas api yang telah menjilat
pepohonan yang agaknya memang sudah tumbang karena
pertempuran yang sengit. Daun-daun telah menjadi abu dan pepohonanpun
menjadi arang. Masih nampak asap mengepul dan bara
yang menyala. "Bukan main" desis Mahisa Agni "untunglah lubang itu
terdapat di sisi yang lain dari baru karang ini. Jika lubanglubang
semacam itu terdapat disini sebelah menghadap
arena pertempuran itu, maka semburan api itu akan dapat
membakar udara di dalam goa itu"
"Kami merasakan udara panas itu" berkata Mahisa
Bungalan. "Tetapi tidak langsung" jawab Witantra "dan beruntung
pulalah bahwa lubang tempat kami masuk justru telah
tersumbat" "Tetapi kita akan mendapat kesulitan jika kita ingin
membawa harta benda hasil rampokan itu dan
menyerahkannya sebagai kekayaan Pakuwon ini yang akan
dipergunakan untuk kepentingan orang banyak" berkata
Mahisa Agni. "Ya. Maksud itu tentu baik" desis Witantra "Tetapi aku
kira, selagi kita belum menemukan jalan yang lebih baik,
setidak-tidaknya lubang tempat kita masuk, kita tidak akan
dapat membawa peti-peti itu keluar"
"Kita akan mencari jalan kemudian" sahut Mahisa Agni
pula "marilah, kita kembali kepada orang-orang yang
mungkin menjadi bingung di ruang itu"
Dengan hati-hati ketiga orang itupun kemudian turun
pula di lereng sebelah. Ternyata yang mereka lihat, tidak
hanya ada satu lubang yang menghubungkan udara di luar
dengan ruang dibawah tanah. Mereka melihat lebih dari
tiga buah lubang, termasuk lubang-lubang yang lebih kecil
yang menyalurkan asap obor keluar dari ruang di bawah
tanah itu. Dengan demikian, maka Mahisa Agni dan Witantra
tidak cemas lagi, bahwa orang-orang yang berada dibawah
tanah itu akan menjadi lemas kehabisan udara yang bersih.
Dari lubang yang banyak jumlahnya itu, akan dapat
mengalir udara yang segar. Meskipun di dalam goa itu
gelap gulita. Namun kegelapan itupun dapat membuat
udara rasa-rasanya menjadi sangat pengab.
Dengan hati-hati, maka mereka yang berada di atas bukit
karang itupun memasuki kembali lubang yang telah mereka
lalui untuk merangkak keluar. Dalam pada itu, merekapun
sadar, bahwa goresan-goresan karang yang runcing akan
menjadi semakin banyak mengoyak kulit mereka sehingga
darahpun akan mengembun pula dari luka-luka yang
dangkal itu. Namun oleh keringat yang mengalir, luka-luka
itupun terasa menjadi pedih.
Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah
memasuki lubang dibawah tanah tempat para pengawal dan
para perampok berkumpul. Ternyata obor yang masih
menyala tinggal sebuah, karena yang lain sudah kehabisan
minyak. "Tidak ada obor lain?" bertanya Mahisa Agni.
Namun tiba-tiba orang tertua diantara para perampok itu
berkata "Aku menyimpan biji jarak kering"
"Dimana?" bertanya Mahisa Agni.
Orang tertua itupun kemudian mengambil biji jarakkering
dari sebuah bakul yang diletakkannya disudut goa
itu. Beberapa diantara biji jarak itu sudah dirangkai dengan
lidi. Sebelum obor kedua itu padam, maka orang tertua itu
sudah menyalakan biji jarak yang dirangkai cukup panjang
sebagai pengganti obor. Bahkan sekaligus tiga orang telah
menyalakannya pula. Dalam pada itu, maka Mahisa Agnipun memberi
tahukan kepada Akuwu Suwelatama bahwa mereka masih
mungkin untuk keluar meskipun mereka tidak akan dapat
membawa barang-barang hasil rampokan itu.
"Baiklah" berkata Akuwu Suwelatama "tetapi biarlah
aku melihat, apa saja yang telan disimpan dibawah tanah
ini" Diantar oleh orang tertua diantara para perampok itu,
maka Akuwu Suwelatamapun melihat isi peti-peti yang
tersusun rapi itu. Ternyata di dalamnya terdapat beberapa
jenis perhiasan dari emas, perak dan permata. Balikan di
sebuah peti yang terpisah terdapat beberapa buah pendok
emas bertretes berlian. "Dimana kalian mendapatkan semua ini?" bertanya
Akuwu Suwelatama. "Kami tidak dapat mengingat lagi satu persatu" berkata
orang itu. Akuwu itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya "Baiklah. Biarlah barang-barang ini tetap
berada disini" Tetapi dalam pada itu, selagi Akuwu akan meninggalkan
barang-barang ini langkahnya tertegun. Ia melihat sebuah
peti yang ditempatkan di tempat yang terpisah, di bayangi
oleh sebongkah batu padas. Karena itu, maka Akuwu
itupun segera mendekatinya.
Ketika diluar sadarnya Akuwu berpaling kepada orang
tertua diantara para perampok itu, ia melihat wajah orang
itu menjadi tegang. Namun orang tua itu tidak akan dapat
mencegah apa yang akan dilakukan oleh Akuwu
Suwelatama. Dengan ragu-ragu Akuwu itupun kemudian mendekati
peti itu. Perlahan-lahan ia menggapai tutup peti itu dan
perlahan-lahan pula ia membukanya.
Ketika peti itu terbuka, maka jantung Akuwu itupun
menjadi berdebar-debar. Dalam cahaya obor yang lemah,
Akuwu melihat dua buah patung yang berwarna ke kuningkuningan
tergolek di dalam peti itu. Palung yang meskipun
tidak terlalu besar, tetapi terbuat dari emas.
"Dua buah patung" desisnya.
Mahisa Agni dan Witantrapun mendekatinya. Mereka
pun kemudian mengambil patung itu dan mengamatinya.
"Dari mana kau dapal barang ini?" bertanya Akuwu
"Jangan kau jawab bahwa kau sudah lupa. Untuk barangbarang
yang khusus seperti ini, kau tentu tidak akan pernah
lupa" "Bukan aku yang mendapatkannya" jawab orang itu.
"Kau memang pandai mengelak. Tetapi siapapun yang
mendapatkannya, kau tentu tahu, darimana asalnya?" desak
Akuwu. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun agaknya
memang tidak ada gunanya lagi untuk mengelakkan
pertanyaan semacam itu. Karena itu, maka iapun
menjawab "Aku tidak ikut pada waktu kami mendapatkan


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barang itu. Tetapi menurut pendengaranku, barang itu
didapat pada sebuah iring-iringan kecil dari sebuah
padepokan yang jauh menuju ke Kediri. Mereka akan
mempersembahkan kedua patung itu kepada Raja di Kediri.
Tetapi sepasang patung itu telah kami ambil. Dalam
pertempuran yang terjadi, maka kami telah membunuh
semua orang yang mengawal patung itu, karena mereka
telah mempertahankannya sampai orang terakhir"
Wajah Akuwu itu menegang. Namun kemudian katanya
"Baik. Aku akan membawa patung ini. Tetapi karena kita
mengalami kesulitan untuk keluar, maka kita akan keluar
dahulu. Baru kemudian mencari jalan untuk dapat
membawa barang-barang ini keluar"
Demikianlah, maka orang-orang yang berada di dalam
goa itupun bersiap-siap untuk keluar. Tidak ada sepotong
barangpun yang akan mereka bawa. Mereka akan sampai
diluar lebih dahulu, baru kemudian mereka akan mencari
jalan yang lebih baik untuk mengambil barang-barang yang
ada di dalam lubang itu. Mungkin justru akan
didapatkannya jalan yang lebih baik lagi.
Karena itulah, maka akhirnya seorang demi seorang
mereka telah meloncat ke lubang dilangit-langit itu untuk
kemudian menyelusurinya. Akuwu dan beberapa orang
pengawal berada dipaling depan. Kemudian beberapa orang
perampok yang sudah menyerah itu. Diikuti oleh para
pengawai lagi. Yang terakhir dari mereka adalah Mahisa
Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan.
Beberapa saat lamanya mereka berdiri termangu-mangu
di atas batu-batu karang berkapur itu. Akuwu Suwelatama
masih saja tergetar hatinya melihat sisa-sisa dari
pertempuran yang mengerikan itu. Seandainya mereka
tidak segera berhasil bersembunyi di dalam lubang di bawah
tanah di batu karang itu, maka merekapun tentu akan lumat
disapu oleh tubuh ketiga ekor yang menjadi buas dan liar.
Mungkin ular-ular itu tidak sengaja melakukannya. Tetapi
mungkin pula ular-ular itu memang sedang berebut tubuh
berdarah yang baunya telah membuat mereka gila.
Dalam pada itu, maka merekapun kemudian dengan
hati-hati menuruni tebing. Beberapa orang yang terluka
berat yang tidak sempat dibawa masuk ke dalam goa telah
lenyap. Mungkin mereka telah dipatuk oleh ular-ular yang
menjadi buas, atau dengan tidak sengaja telah tersapu
dalam pertempuran yang mengerikan itu.
"Ada diantara kita yang masih berbau darah" berkata
Akuwu Suwelatama memperingatkan "meskipun tidak
banyak, tetapi mungkin masih akan mengundang ular-ular
itu lagi" Orang-orang yang mendengar keterangan itu menjadi
termangu-mangu. Namun orang tertua diantara para
perampok itu berkata "Ular yang berkepala mereka itu
sudah turut campur. Mungkin mereka tidak akan kembali
lagi. Kecuali ular berkepala merah itu sendiri. Tetapi
nampaknya ular itu justru tidak begitu tertarik kepada bau
darah jika ia datang, adalah karena kedua ekor ular yang
lain itu telah berkelahi"
Akuwu mengangguk-angguk. Orang tertua diantara para
perampok itu telah lama berada di tempat yang sering
dilalui oleh ular-ular raksasa itu, sehingga orang itupun
tentu lebih mengenalinya daripada dirinya.
"Kita akan melihat-lihat, apakah kita akan dapat
menemukan jalan yang lebih baik untuk mengambil barangbarang
yang ada di dalam bukit karang itu " berkata Akuwu
Suwelatama. Mahisa Agni termangu-mangu. Lubang di celah-celah
batu karang yang mereka pergunakan untuk merangkak
masuk itu sudah tertimbun reruntuhan batu-batu karang.
Lubang itu agaknya cukup besar untuk membawa beberapa
buah peti yang terisi oleh barang-barang berharga hasil
rampokan itu. Meskipun mereka harus merangkak, tetapi
mereka akan dapat membawanya sebagaimana para
perampok itu telah membawanya masuk.
Tetapi rasa-rasanya tidak mungkin lagi untuk membuka
lubang itu. Betapa dahsyat kekuatan Mahisa Agni dan
Witantra, namun kekuatan itu tidak akan dapat
dipergunakannya untuk menyingkirkan reruntuhan oatubatu
padas yang tertimbun di mulut goa itu.
"Apakah ular itu akan kembali?" bertanya Akuwu.
"Agaknya tidak" jawab orang tertua "suara itu jauh
sekali. Agaknya ular itu masih marah karena kedua ekor
yang lain telah berkelahi.
Akuwu mengangguk-angguk. Iapun sependapat, bahwa
suara itu terdengar cukup jauh. Meskipun demikian, suara
itu telah membuat setiap jantung berdebar-debar.
Untuk beberapa saat lamanya Akuwu Suwelatama dan
Mahisa Agni masih sibuk mencari kemungkinan untuk
memasuki goa itu. Tetapi mereka tidak melihat kesempatan
untuk berbuat demikian, satu-satunya jalan adalah jalan
yang mereka lalui untuk keluar. Lewat jalan itu, mereka
tidak akari dapat membawa apapun juga, karena untuk
badan mereka sendiri dan selembar senjata, terasa sulit
sekali. Di tempat terpisah Akuwu Suwelatama telah berbicara
dengan Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan.
Ternyata mereka tidak mungkin untuk membawa barangbarang
itu pada saat itu juga. Tetapi, apakah pada saat yang lain kita akan dapat
melakukannya?" bertanya Akuwu.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya
"Tidak mudah untuk melakukannya. Di saat lain kita harus
mengadakan kesempatan khusus untuk datang lagi ke
tempat itu. Mungkin kita akan bertemu lagi dengan ketiga
ekor ular itu. Atau bertemu dengan kesulitan-kesulitan lain
yang tidak kita duga"
"Tetapi untuk membawa sekarang, juga tidak mungkin"
sahut Witantra "Kita tidak akan dapat mengambilnya dari
goa itu" Akuwu termangu-mangu. Namun akhirnya Mahisa
Bungalan berkata "kita tinggalkan barang-barang itu. Kita
sudah tahu, bahwa barang-barang itu tersimpan di bukit
kapur. Jika pada suatu saat ada kesempatan untuk
mengambilnya, biarlah Akuwu mengambilnya bagi
kesejahteraan Pakuwonnya. Uang yang dirampas dari
tangan rakyat Pakuwon Kabanaran itu biarlah
dipergunakan bagi rakyat Kabanaran. Tetapi apabila hal itu
tidak mungkin, maka perampok di tempat ini telah dapat
ditundukan sampai tuntas. Itu su dah merupakan hasil yang
sangat besar. Sementara harta benda itu akan tinggal
menjadi harta karun di dalam tanah di bawah bukit itu"
Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Namun ia
tidak dapat menunda-nunda lagi. Tiba-tiba saja me reka
mendengar sekali lagi ular raksasa itu menguak Lebih keras
dari semula. "Kedengarannya menjadi semakin dekat" desis Akuwu
"Kita tinggalkan tempat ini" berkata Mahisa Bungalan.
Akuwu segera kembali kepada pengawal-pengawalnya
yang menjaga para perampok yang tertawan. Katanya
kemudian "Kita akan segera meninggalkan tempat ini.
Biarlah harta benda itu tertimbun di dalam tanah. Itu
lebih baik daripada kita akan hangus dibakar oleh
hembusan api dari mulut ular raksasa itu"
"Ular agaknya menjadi semakin dekat" berkata orang
tertua diantara para perampok "mungkin perhitunganku
keliru" Akuwupun segera mempersiapkan orang-orangnya.
Sejenak kemudian merekapun telah siap untuk
meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
Ketika mereka mendengar ular itu sekali lagi menguak,
maka Akuwupun segera memerintahkan para pengawalnya
membawa para perampok meninggalkan tempat itu.
Mereka menelusuri jalan setapak yang semakin lama
menjadi semakin basah. "Apakah jalan lewat air lebih mudah dari jalan lewat
darat ini?" bertanya Akuwu.
"Ya" jawab orang tertua diantara para perampok.
"Apakah kita akan menempuh jalan air?" bertanya
Mahisa Bungalan. Akuwu masih nampak berpikir. Agaknya ia masih belum
dapat mempercayai orang itu sepenuhnya. Orang itu telah
mencoba merahasiakan lubang di bawah bukit karang
berkapur itu. Seandainya saat itu tidak ada dua ekor ular
naga yang bertempur itu, mungkin orang tertua itu masih
tetap ingkar. Meskipun demikian, Akuwu itupun bertanya Jika kita
akan melalui jalan air di rawa-rawa itu, dimana kita akan
turun?" "Sebentar lagi kita akan sampai" jawab orang tertua itu
"di sela-sela pepohonan air itu terdapat beberapa buah rakit.
Sebagian besar dari rakit kita sedang dipergunakan oleh
sekelompok yang besar yang pergi ke padukuhan"
"Sudah aku katakan" jawab Akuwu "Mereka sudah
kami tangkap" Orang tertua itu tidak menjawab lagi. Tetapi nampaknya
ia memang membawa iring-iringan itu ke tempat yang
dikatakannya. Dalam pada itu, sekali lagi terdengar kuak ular yang
menjadi semakin keras. Agaknya ular yang berkepala merah
itu benar-benar akan kembali ke bukit karang Mungkin
masih tercium bau darah, atau ada sesuatu yang menarik
perhatiannya dan membuatnya marah.
Namun orang tertua itu terkejut ketika ia melihat sesuatu
di dalam air di rawa-rawa itu. Air yang biasanya tenang
itupun nampak bergejolak. Seakan-akan telah terdapat
pusaran air yang memutar isi rawa itu.
Ketika sekali nampak gelombang yang besar beriak di
wajah rawa itu, maka orang-orang yang berada di tepi rawarawa
itupun melihat seekor ular raksasa berwarna hitam
sedang menggeliat. Kemudian nampak warna merah
mengambang di wajah rawa-rawa itu.
"Ular itu" geram orang tertua diantara para perampok.
Orang-orang itupun segera melangkah surut. Namun
sejenak kemudian muncullah kepala ular bertanduk itu ke
atas permukaan. "Matilah kita sekarang" desis orang tertua.
"Cepat, menyingkir" desis Mahisa Agni. Ternyata ular
itu sedang sibuk dengan dirinya sendiri.
Di kepalanya yang bertanduk atu sedang meleleh darah
bercampur air lumpur. Agaknya ular itu masih sedang
mengatasi perasaan sakit setelah bertempur melawan ular
berwarna kehijau-hijauan itu.
Karena itu, maka ular berwarna hitam kelam dan
bertanduk di kepalanya itu sama sekali tidak menghiraukan
orang-orang yang berada di pinggir rawa-rawa itu.
"Kita tidak dapat mengikuti jalan melalui air" berkata
orang tertua sambil dengan tergesa-gesa meninggalkan
tempat itu. Iring-iringan itupun kemudian menelusuri jalan setapak,
yang mereka lalui pada saat mereka pergi ke bukit karang
itu. Mereka telah memutuskan untuk tidak mencoba
melalui jalan air. Ular hitam yang kesakitan itu agaknya
akan menjadi sangat berbahaya bagi mereka. Pada saat-saat
lain, ular itu memang tidak pernah mengganggu mereka.
Sekali kepala ular itu muncul di sebelah pohon raksasa itu,
memandangi iring-iringan rakit yang kebetulan lewat.
Kemudian hilang lagi ke dalam air. Namun meskipun ular
itu tidak dengan sengaja mengganggu mereka, tetapi dalam
keadaan kesakitan itu, sentuhan tubuhnya akan dapat
menghancurkan rakit-rakit yang lewat.
Dengan tergesa-gesa iring-iringan itupun kemudian
meninggalkan tempat itu semakin jauh. Mereka melalui
hutan yang basah oleh air yang meluap dari rawa-rawa
disebelah. Meskipun mereka tidak akan bertemu dengan
ular bertanduk itu, namun merekapun harus berhati-hati
terhadap ular-ular kecil yang berkeliaran di tempat yang
basah. Ular air yang sebesar jaripun akan dapat membunuh
mereka karena bisanya yang tajam.
Beberapa saat kemudian, ternyata mereka tertegun
sejenak ketika mereka melihat hutan yang rusak.
Pepohonan yang tumbang malang melintang, menjulur
panjang menuju ke ujung lain dari rawa-rawa itu.
"Nampaknya ular hijau yang kesakitan itu" desis orang
tertua diantara para perampok itu.
Sebenarnyalah ular yang berwarna hijau ke coklatcoklatan
itupun telah berusaha untuk menyingkir. Namun
oleh perasaan sakitnya, nampaknya ular itu telah merusak
hutan yang dilaluinya. Dalam pada itu, terdengar sekali lagi ular berkepala
merah itu menguak. Tidak terlalu dekat. Nampaknya ular
itu berhenti disuatu tempat.
Semakin lama iring-iringan itupun menjadi semakin
jauh. Namun demikian, mereka terkejut ketika mereka
melihat api yang menjilat ke udara. Meskipun agak jauh,
namun darah mereka rasa-rasanya memang membeku di
dalam jantung. "Kenapa ular itu marah lagi?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Entahlah" jawab orang tertua itu "agaknya ia masih
mencium bau darah, atau mungkin karena sebab yang lain"
Tetapi orang-orang itu tidak menghiraukannya lagi.
Mereka justru berjalan lebih cepat menyusup pepohonan.
Orang tertua diantara para perampok itu, seperti juga anak
muda yang bersama para pengawal sebagai penunjuk jalan
ketika mereka datang, nampaknya telah mengenal jalan itu
sebaik-baiknya. Dengan demikian, maka merekapun semakin lama
menjadi semakin jauh dari bukit karang berkapur itu,
sehingga merekapun menjadi semakin jauh pula dari ularular
raksasa yang membuat mereka menjadi sangat ngeri.
Ketika mereka kemudian berpapasan dengan seekor ular
yang besarnya melampaui betis kaki, maka mereka sama
sekali tidak terkejut. Ketika ular itu berhenti dan


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangkat kepalanya memandangi, orang-orang yang
lewat itu, maka mereka tidak menghiraukannya. Karena
ular sebesar betis sudah terlalu sering mereka jumpai.
Meskipun demikian, justru ular-ular yang jauh lebih
kecillah yang mendapat perhatian. Ular yang tidak segera
dapat mereka lihat, bahkan mungkin akan dapat terinjak
kaki di atas tanah basah berlumpur diantara semak-semak
dan ilalang yang liar. Ternyata bahwa mereka tidak dapat berjalan terlalu jauh,
karena malam segera mulai turun menyelimuti hutan
berawa-rawa itu. Seperti ketika mereka berangkat, maka
merekapun berusaha mencari tempat untuk beristirahat
pada dahan pepohonan. Beberapa orang diantara para perampok yang sudah
menyerah itu kadang-kadang telah diusik pula oleh satu
keinginan untuk melarikan diri. Namun ternyata mereka
tidak akan mendapat kesempatan. Mereka menyadari,
bahwa para pengawal yang datang ke sarang mereka adalah
para pengawal terpilih yang tidak dapat mereka anggap
telah lengah pada saat-saat mereka beristirahat.
Karena itu, ketika fajar menyingsing, dan pasakan itu
siap untuk melanjutkan perjalanan, tidak seorangpun
diantara mereka yang kurang.
Akhirnya, merekapun telah sampai ke padukuhan di
sebelah rawa-rawa yang disebut Kedung Sertu. Mereka
segera dikumpulkan dengan kawan-kawan mereka. De
ngan demikian mereka tidak dapat lagi menganggap bahwa
para pengawal, termasuk Akuwu Suwelatama itu hanya
sekedar menipu mereka, dengan mengatakan bahwa
pemimpin mereka telah tertangkap.
"Temuilah mereka" berkata Akuwu Suwelatama kepada
para perampok yang dibawanya dari bukit karang berkapur
itu. Orang tertua diantara para perampok itupun segera
menemui pemimpinnya. Mereka sempat baling
menceriterakan, bagaimana mereka dapat tertangkap oleh
Akuwu Suwelatama. "Akuwu itu memang cerdik" desis perampok itu.
"Tetapi kami hampir saja dibinasakan oleh ular-ular
raksasa itu" berkata orang tertua diantara jpara perampok
yang tinggal "karena itu, aku tidak dapat merahasiakan lagi
lubang yang memasuki goa dibawah tanah itu.
Wajah pemimpin perampok itu menjadi merah. Katanya
"Kau sudah berkhianat"
"Tidak" jawab orang tertua itu "Aku tidak mempunyai
pilihan lain. Jika pada waktu itu kami tidak memasuki
lubang itu, maka kami akan dilumatkan oleh pertarungan
antara ular-ular raksasa itu.
"Dan kau sempat membuka penutup lubang itu"
Bukankah untuk membuka bongkahan batu sumbat itu
diperlukan waktu?" bertanya pemimpin perampok itu.
"Itulah yang mendebarkan jantung" berkata orang tertua
diantara para perampok yang menunggui sarangnya "dua
orang diantara para pengawal Itu ternyata memiliki ilmu
iblis. Mereka dapat memecah batu penyumbat itu dengan
tangannya" "jangan mengigau" Apakah kau sudah menjadi gila
karena kau melihat ular itu bertempur?" geram
pemimpinnya. "Sebaiknya kau melihat sendiri. Ia akan dapat
memecahkan kepala seseorang dengan sentuhan tangannya.
Tidak usah dengan mengerahkan segenap kemampuannya"
berkata orang tertua itu.
"Tetapi ia tidak melakukannya. Ketika kami bertempur,
tidak seorangpun yang kepalanya pecah. Yang terbunuh,
adalah karena dadanya koyak oleh pedang, atau.
lambungnya robek oleh ujung tombak" berkata pemimpin
perampok itu. "Nampaknya orang itu tidak ingin berbuat demikian.
Ketika kami bertempur, orang itupun tidak menunjukkan
kelebihannya itu. Tetapi dalam keadaan memaksa,, maka
dua diantara mereka telah memecahkan batu padas yang
menyumbat lubang goa itu" sahut orang tertua itu "dengan
demikian kami dapat menyelamatkan diri dari kepunahan.
Tetapi dengan demikian orang-orang itu melihat isi goa
dibawah tanah itu" "Apakah mereka membawanya?" bertanya pemimpin
perampok itu. Orang tertua itu dapat menceriterakan segala sesuatunya
yang terjadi, sehingga semua barang-barang masih tetap
berada di dalam goa. "Entahlah, jika ular berkepala merah itu akan
menghancurkan batu karang itu. Ketika kami pergi, ular itu
telah marah lagi tanpa sebab" berkata orang tertua itu.
Pemimpin perampok itu mengangguk-angguk. Memang
tidak dapat diingkari, bahwa orang tertua itu, tidak
mempunyai pilihan lain. Namun dalam pada itu, pemimpin perampok itu merasa
agak lega dan masih berpengharapan, bahwa pada suatu
saat ia akan dapat kembali ke bukit karang berkapur itu
untuk mengambil barang-barang yang disimpannya.
Meskipun ia tidak mempunyai gambaran, hagaimana ia
akan mengambil barang-barang itu dari bawah bukit karang
itu. Apalagi jika ketiga ekor ular raksasa itu masih saja
berkeliaran disekitar bukit itu atau di rawa-rawa disebelah
bukit. Bagaimana juga, ular-ular raksasa itu memang harus
diperhitungkan, karena ular-ular itu akan dapat berbuat
banyak terhadap siapapun juga yang mendekati bukit
karang itu. Tetapi selain ular-ular raksasa itu, maka pemimpin
perampok itupun harus berfikir, sampai kapan ia akan
berada di tangan Akuwu Suwelatama. Bahkan mungkin ia
tidak akan pernah dilepaskan lagi, atau bahkan demikian
mereka berada di Pakuwon Kabanaran, para perampok itu
akan digantung di alun-alun.
Namun menilik sifat beberapa orang pemimpin dalam
pasukan para pengawal itu, pemimpin perampok itu masih
mempunyai harapan untuk hidup dan menikmati kekayaan
yang berlimpah-limpah yang disembunyikannya dibawah
bukit. Tetapi kecemasan lain mulai membayang. Jika ada satu
dua orang yang telah mendapat kepercayaannya memasuki
goa itu ternyata kemudian mendapatkan kebebasannya
lebih dahulu, maka orang itulah yang akan mengambil
harta benda yang tidak ternilai harganya itu.
Dengan demikian, maka dalam keadaannya itu,
pemimpin perampok itu dibayangi oleh berbagai macam
bayangan yang muram. Bahkan ia mulai membayangkan,
bagaimana ia akan saling memburu dengan kawankawannya
beberapa tahun mendatang Mungkin sekali,
kawanan perampok itu akan justru saling menyingkirkan
kawan-kawannya. Saling memburu dan saling membunuh"
"Persetan" pemimpin perampok itu menggeram "itu
akan terjadi beberapa tahun mendatang. Sekarang aku
menghadapi hukuman yang berat karena perbuatanku itu.
Bahkan mungkin hukuman mati"
Dalam pada itu, untuk beberapa hari mereka masih tetap
berada di Padukuhan disekitar Kedung Sertu. Namun
sementara itu Akuwu telah menyiapkan para pengawalnya
untuk membawa tawanan mereka kembali ke Pakuwon.
Tidak mudah untuk menggiring para perampok yang
jumlahnya cukup banyak itu. Meskipun mereka sudah
menyerah dan tidak bersenjata, tetapi dalam keadaan yang
khusus, mungkin sekali mereka akan melarikan diri.
Tetapi Akuwu tidak mau mengalami kesulitan seperti itu
diperjalanan yang panjang. Jumlah yang terlalu banyak dan
dendam yang mungkin masih bergejolak di dalam dada
para perampok yang tertangkap itu.
Karena itu, maka Akuwu telah mengambil keputusan,
untuk memanggil sepasiikan pengawal lagi dari Pakuwon
Kabanaran, sehingga akan terdapat cukup banyak pengawal
yang akan membawa para perampok yang jumlahnya lebih
besar dari pengawal yang ada itu.
Demikianlah, Akuwu telah menugaskan tiga orang
pengawal untuk pergi ke Pakuwon. Dengan kuda-kuda
yang cukup tegar mereka berpacu menuju ke Pakuwon
Kabanaran. Para Senopati yang memimpin pemerintahan selama
Akuwu tidak ada, telah mendapat laporan dari ketiga orang
pengawal itu. Karena itu, maka merekapun segera
menyiapkan sepasukan pengawal untuk menjemput Akuwu
Suwelatama. Meskipun demikian, para Senopati itu tidak
mengabaikan peristiwa yang belum lama telah menimpa
Pakuwon Kabanaran. Ketika pasukan beberapa orang
Pangeran telah melanda Pakuwon itu seperti banjir,
sehingga Akuwu Suwelatama terpaksa menyingkir untuk
beberapa saat. Jika saat itu pasukan pengawal dari Kedung
Sertu masih belum dapat meninggalkan tugasnya, maka
para pengawal itu tidak dapat ikut mempertahankan
Pakuwonnya. "Para Pangeran itu untuk beberapa saat tidak akan
berbuat apa-apa" berkata salah seorang Senopati yang ikut
mempertahankan kota Pakuwon pada waktu itu.
"Tetapi mungkin sekali mereka mempunyai perhitungan
lain" jawab kawannya "justru merekapun, sadar, bahwa
kita menganggap mereka tidak akan kembali dalam waktu
singkat" "Memang perhitungan itu mungkin sekali" jawab
Senopati yang pertama "Tetapi mereka tidak sempat untuk
mengumpulkan pasukan yang cukup. Beberapa orang
terpenting diantara mereka telah terbunuh. Bahkan salah
seorang yang paling diharapkan untuk ikut serta dalam
gerakan mereka, ternyata telah berpihak kepada Akuwu
Suwelatama" Namun dalam pada itu, seorang Senopati yang h tua
berkata "Memang kemungkinan bagi para Pangei. itu untuk
melakukan gerakan yang besar seperti yang pernah
dilakukan adalah kecil sekali. Meskipun demikian, apa
salahnya kita berhati-hati. Kadang-kadang kita memang
dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak terduga-duga.
Memang mungkin para Pangeran itu dapat menghimpun
orang-orang yang kurang mengetahui persoalannya dari
padepokan-padepokan. Sementara mereka mendapat
pengetahuan dan ilmu olah kanuragan dari para pemimpin,
padepokan itu. Namun kemungkinan yang demikian
memang kecil sekali"
Para Senopati itupun mengangguk-angguk. Mereka
mengerti, bahwa mereka harus bersiap menghadapi segala
kemungkinan dari pihak manapun juga.
Demikianlah, setelah diperhitungkan dengan saksama,
maka dibawah pimpinan seorang Senopati, sepasukan
pengawal telah meninggalkan kota Pakuwon menuju ke
daerah berawa-rawa di Kedung Sertu.
Perjalanan itu sendiri bukannya perjalanan yang sulit.
Tidak ada hambatan apapun diperjalanan. Memang agak
berbeda dengan perjalanan dari padukuhan disekitar rawarawa
di Kedung Sertu itu menuju ke bukit karang berkapur
sarang para perampok itu. Dibanding dengan perjalanan
menuju ke bukit karang, maka perjalanan para pengawal
dari Pakuwon Kabanaran itu tidak imbang sama sekali.
Perjalanan dari kota Pakuwon itu bagaikan perjalanan
tamasya yang mengasyikkan.
Meskipun demikian, ketika para pengawal yang
menjemput mereka menceriterakan pengalamannya ke
sarang para perampok itu, maka kawan-kawannya sulit
dapat membayangkannya. Bahkan mereka menganggap
kawannya itu sedang bergurau atau membual.
Tetapi ketika para pengawal di bawah Seorang Senopati
itu sampai ke padukuhan di daerah Kedung Sertu, maka
setiap orang pengawal yang pernah mengikuti sergapan
yang mengerikan ke sarang perampok di bukit karang
berkapur itu telah menceriterakan hal yang serupa.
"Jadi hal itu benar-benar telah terjadi?" bertanya seorang
pengawal. "Kau kira aku berbohong?" desis kawannya yang ikut
memasuki sarang perampok itu.
"Jadi ular-ular raksasa itu benar-benar ada?" bertanya
pengawal itu. "Ya. Dan mereka benar-benar bertempur diantara
mereka" jawab kawannya "Jadi selama ini kau anggap
kami sekedar membual"
"Aku kira demikian" jawab pengawal itu "Tetapi aku
dengar Akuwupun mengatakannya pula. Bahkan Mahisa
Bungalan juga berceritera tentang ular-ular raksasa itu"
"Anak setan" geram pengawal yang ikut memasuki
sarang perampok itu "selama ini kau anggap kami
berbohong atau sekedar mengungkapkan sebuah dongeng
menjelang tidur" Pengawal itu tertawa "Aku minta maaf. Tetapi dengan
demikian maka kalian telah melakukan satu tugas yang
mengerikan" "Ya. Pada saatnya akan datang giliranmu" berkata
kawannya pula. "Tidak. Lebih baik aku tidak mendapat tugas memasuki
daerah neraka berawa-rawa itu" jawabnya.
"Pada suatu saat, Akuwu tentu akan kembali ke tempat
itu. Di dalam goa, dibawah bukit karang berkapur itu
terdapat harta benda yang tidak ternilai harganya.
Harta benda yang telah dikumpulkan oleh para
perampok itu bertahun-tahun lamanya. Barang-barang yang
terbuat dari emas dengan permata intan berlian. Pendok,
timang dan bahkan terdapat sepasang patung emas murni"
"Dari mana kau tahu bahwa patung itu terbuat dari emas
murni?" bertanya kawannya.
"Nampaknya memang demikian" jawab pengawal yang
ikut serta memasuki sarang perampok itu "Tetapi aku tidak
tahu, apakah benar patung itu terbuat dari emas murni"
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun ia mulai


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membayangkan, bahwa memang mungkin pada suatu saat,
ia akan ditunjuk untuk ikut serta memasuki neraka yang
mengerikan itu. Ia tidak akan gentar menghadapi sepasukan
prajurit pilihan. Namun menghadapi ular-ular naga raksasa
itu, tentu tengkuknya akan meremang. Ular hitam legam
bertanduk seperti seekor kerbau. Ular berwarna hijau
kecokiat-sokiatan dan seekor lagi berwarna merah membara
dengan jamang dan sumping di telinganya dan api yang
menyembur dari mulutnya. Tetapi jika perintah itu benar-benar datang kepadanya,
maka ia tidak akan mengelak. Apalagi Akuwu sendiri ikut
pula dalam pasukan yang bakal disusun untuk kepentingan
tersebut. Dalam pada itu, maka ketika pasukan pengawal itu telah
berada di padukuhan tempat para perampok itu ditahan,
maka Akuwu segera menyusun pasukannya. Dengan teliti
ia memperhitungkan keadaan. Mereka harus kembali
sampai ke kota Pakuwon dengan utuh. Juga para tawanan
itu harus mereka bawa seluruhnya tanpa seorangpun yang
dapat melepaskan diri. Jika seorang saja diantara mereka terlepas, maka orang
itu tentu akan berusaha untuk kembali ke arangnya dan
menemukan kembali harta benda yang tersimpan" berkata
Akuwu "sedangkan harta benda itu akan sangat penting
artinya bagi rakyat Pakuwon Kabanaran. Dengan harta
benda yang tidak ternilai jumlahnya itu akan dapat
dibangun kepentingan rakyat Pakuwon Kabanaran. Tetapi
jika harta benda itu jatuh kembali ketangan para perampok,
mala harta benda itu tidak akan mempunyai nilai dan tidak
mempunyai arti sama sekali bagi rakyat Pakuwon ini"
Dengan demikian, maka segala sesuatunya memang
harus diperhitungkan dengan cermat. Sementara itu,
Akuwu dan para pengawalpun mengetahui, bahwa para
perampok itu sudah terbiasa hidup dalam tantangan
keadaan yang sangat berat, sehingga mereka akan dapat
berbuat sesuatu yang tidak diduga sama sekali.
Setelah segelanya dipersiapkan sebaik-baiknya, maka
Akuwu Suwelatama itupun telah minta diri kepada rakyat
di padukuhan disekitar Kedung Sertu. Sementara rakyat di
daerah itupun mengucapkan terima kasih atas hasil yang
lelah dicapai oleh Akuwu serta para pengawalnya di daerah
itu. Dengan demikian maka mereka akan dapat hidup
dengan tenang, tanpa gangguan dari para perampok yang
untuk waktu yang cukup lama telah membayangi
ketenangan hidup rakyat di daerah disekitar Kedung Sertu.
Bahkan sampai ke padukuhan-padukuhan yang agak jauh.
Seperti yang pernah dilakukan oleh rakyat di daerah
Kedung Sertu, mereka mengadakan keramaian yang
meriah, jika beberapa saat yang lalu hal itu dilakukan untuk
memancing para perampok agar menganggap bahwa para
pengawal telah meninggalkan padukuhan-padukuhan itu,
maka yang diselenggarakan kemudian itu benar-benar
tumbuh dari satu ungkapan terima kasih terhadap Akuwu
Suwelatama dengan para pengawal yang telah
membebaskan mereka dari ketakutan dan kegelisahan.
Pemimpin perampok itu mengumpat di dalam hati.
Dengan wajah membara ia mengumpat-umpat di dalam
bilik tahanannya ketika ia mendengar keramaian di
padukuhan itu. "Aku terjebak oleh suasana seperti ini" geram pemimpin
perampok itu "Jika saat itu aku menyadari , aku tidak akan
dikurung di dalam bilik pengab seperti ini"
Tetapi segalanya telah terjadi. Dan pemimpin perampok
itu tidak dapat mengingkari kenyataan itu.
Dengan demikian, maka para perampok itu, termasuk
pemimpinnya tidak dapat mengelak, ketika di hari
berikutnya, mereka di giring oleh para pengawal menuju ke
kota Pakuwon Kabanaran. Karena mereka tidak berkuda,
maka perjalanan mereka itupun menjadi bertambah
panjang. Namun demikian mereka memasuki kota Pakuwon,
maka rakyat telah menyambut kedatangan para pengawal
dengan meriah. Mereka berdiri memagari jalan menuju ke
istana Akuwu Suwelatama. Sambil bersorak-sorak mereka
mengangkat tangan mereka melihat hasil yang gemilang
dari tugas yang berat yang dipimpin oleh Akuwu
suwelatama sendiri. Sementara itu, para perampok yang merasa dirinya
menjadi tontonan itu telah mengumpat-umpat. Bukan saja
di dalam hati, tetapi ada diantara mereka yang tidak dapat,
menahan hati sehingga kemarahannya telah meledak.
"Jika saja tanganku tidak terikat" geramnya.
Kawannya yang berjalan disampingnya
memandanginya. Tetapi ia tidak berkata apapun juga,
meskipun di dalam hati ia bertanya "ketika kita menyerah,
bukankah tangan kami juga belum terikat?"
Demikianlah, maka satu tugas yang berat telah
terselesaikan. Akuwu tidak dapat menutup kenyataan,
bahwa yang telah banyak memberikan bantuan, pikiran dan
kemampuannya adalah Mahisa Bungalan, Mahisa Agni
dan Witantra, Karena itu, maka secara khusus Akuwu pun
telah menyampaikan ucapan terima kasih kepada mereka.
Namun dalam pada itu, Akuwu itupun berkata "Masih
afda satu tugas yang sama beratnya. Menyelesaikan
persoalan yang serupa di hutan perbatasan"
"Ya. Tetapi aku kira kekuatan Pakuwon ini telah
terkumpul. Semua kekuatan akan dapat dipusatkan di hutan
perbatasan" jawab Mahisa Bungalan "sementara itu,
agaknya Pangeran Indrasunu masih belum mungkin untuk
bergerak" "Aku kira memang demikian" sahut Akuwu "tentu kami
tidak akan dapat menahan kalian terlalu lama disini. Tetapi
apa yang pernah kita lakukan di Kedung Sertu akan
merupakan pelajaran yang sangat berharga. Meskipun
mungkin para perampok di hutan perbatasan itu sudah
mendengar pula tentang apa yang terjadi, sehingga mereka
akan lebih berhati-hati"
"Mungkin demikian" berkata Mahisa Agni "mungkin
mereka tidak akan dapat terpancing lagi dengan cara yang
kita lakukan di Kedung Sertu"
"Harus dicari cara yang lain" sambung Witantra "Tetapi
aku yakin, Akuwu tidak akan kekurangan akal. Meskipun
di hutan perbatasan itu Akuwu akan bersentuhan dengan
Pakuwon tetangga" "Ya. Aku memang harus memperhitungkan
kemungkinan itu" berkata Akuwu Suwelatama.
Karena itulah, maka Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan
Witantra telah menganggap bantuan yang mereka berikan
telah cukup. Mereka akan menyerahkan penyelesaian
masalah para perampok di hutan perbatasan kepada Akuwu
Suwelatama yang kekuatan para pengawalnya telah dapat
dikumpulkan. Pengawalnya yang berada di daerah-daerah
yang tersebar telah dapat ditarik, selain pasukan yang
berada di hutan perbatasan itu sendiri, sehingga apabila
diperlukan, maka seluruh kekuatan pasukan pengawal
Pakuwon Kabanaran akan dapat berada di hutan
perbatasan. Tetapi ada kesulitan tersendiri di hutan perbatasan itu.
Sarang para perampok tidak berada di tlatah Pakuwon
Kabanaran itu sendiri, sehingga apabila mereka ingin
langsung memasuki sarang para perampok, maka mereka
harus memasuki daerah tetangga. Hal itulah yang akan
dapat menumbuhkan kesulitan tersendiri.
"Sebenarnya kami masih sangat memerlukan bantuan
kalian" berkata Akuwu "Tetapi apa boleh buat. Kami sudah
cukup membuat kalian mengalami banyak kesulitan. Dan
selebihnya, kami harus mengakui, tanpa kalian, segala
usaha kami telah gagal"
"Tentu tidak" jawab Mahisa Agni "sebenarnya kami
juga ingin ikut serta menyelesaikan segala masalah yang
timbul. Tetapi kami sudah terlalu lama meninggalkan
Singasari" "Baiklah" berkata Akuwu "menurut perhitunganku,
penyelesaian masalah para perampok di hutan perbatasan
perlahan-lahan akan dapat kami selesaikan. Kami akan
menjajagi kemungkinan dengan mempergunakan cara yang
sama seperti yang kita rencanakan sejak semula. Bahkan
kita sudah pernah mempertimbangkan kemungkinan untuk
melakukannya atas hutan perbatasan itu lebih dahulu,
sebelum Kedung Sertu. Tetapi akhirnya kita memutuskan
untuk memasuki daerah rawa-rawa itu lebih dahulu"
"Mungkin Akuwu dapat menempuh jalan lain" berkata
Mahisa Agni kemudian "mungkin Akuwu dapat
mempersoalkannya dengan Akuwu di Pakuwon seberang
hutan perbatasan. 15_SHM_Panasnya_Bunga_Mekar
Bukan sekedar pemimpin pasukan pengawal yang ada di
daerah itu. Jika perlu Akuwu dapat memohon bantuan dari
para pemimpin di Kediri untuk menyelesaikan masalah ini.
Akuwu. Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya
"segala jalan akan aku tempuh. Mudah-mudahan aku
berhasil. Bahkan aku akan mencoba membujuk Akuwu
diseberang hutan perbatasan, bahwa mereka akan berhak
memiliki harta benda yang tersimpan di daerah mereka
yang akan dapat di pergunakan bagi kepentingan rakyat
banyak" "Mungkin hal itu akan menarik pula, Akuwu" sahut
Witantra "Akuwu akan dapat memberikan contoh apa yang
terdapat di dalam goa itu. Sayang harta benda yang tidak
ternilai harganya itu belum dapat kita angkat keluar"
Namun dalam pada itu, selagi Mahisa Bungalan,
Witantra dan Mahisa Agni telah bersiap-siap untuk kembali
ke Singasari, seorang utusan dari daerah hutan perbatasan
telah datang menghadap Akuwu Suwelatama.
"Apakah ada yang penting yang akan kau laporkan?"
bertanya Akuwu Suwelatama.
"Ampun Akuwu" jawab penghubung itu "ternyata
bahwa para perampok yang memang mendapat
perlindungan dari para pengawal di Pakuwon Watu Mas"
"Kenapa kau berkata demikian?" bertanya Akuwu.
"Ketika para pengawal dari Kabanaran mengejar
beberapa orang perampok sampai keperbatasan, maka tibatiba
saja kami sudah berhadapan dengan para pengawal
dari Pakuwon Watu Mas" jawab penghubung itu.
"Mungkin para pengawal dari Pakuwon sebelah belum
mengerti, apa yang sedang kalian lakukan?" bertanya
Akuwu Suwelatama. "Kami sudah mengatakan Sang Akuwu, bahwa kami
sedang mengejar sekelompok perampok" jawab
penghubung itu "Tetapi pimimpin pengawal dari Watu Mas
justru menuduh kami menyebarkan ketakutan dan
kekalutan di daerah Pakuwon Watu Mas"
"Mungkin terjadi salah paham" berkata Akuwu
Suwelatama "karena itu, sampaikan perintahku. Agar untuk
sementara semua kegiatan dilakukan di Pakuwon kita
sendiri. Kita tidak akan memasuki Pakuwon sebelah
sebelum aku dapat menemui Akuwu di Watu Mas"
"Tetapi setiap kali kesempatan yang sudah ada
dihadapan hidung kita terpaksa terlepas lagi, Sang Akuwu.
Mereka selalu melarikan diri ke daerah seberang
perbatasan" jawab penghubung itu "seandainya Akuwu
dari Pakuwon Watu Mas tidak dengan sengaja melindungi
mereka, maka kami tentu akan dapat menangkap mereka.
Setidak-tidaknya sebagian dari mereka. Atau justru pasukan
pengawal dari Watu Mas menahan agar para perampok itu
tidak memasuki wilayahnya untuk memberi kesempatan
kami dapat menangkap mereka"
"Sudahlah" berkata Akuwu "sampaikan saja perintahku"
Penghubung itu termangu-mangu. Namun ia tidak akan
dapat membantah lagi. Meskipun demikian, tiba-tiba saja ia berkata "Sang
Akuwu. Kami minta ampun, bahwa kami telah melakukan
sesuatu mendahului perintah tuanku"
"Apa yang sudah kalian lakukan?" bertanya Akuwu.
"Karena sebagian dari kami tidak dapat mengendahkan
perasaan lagi, maka kami telah menugaskan dua orang
petugas sandi untuk memasuki wilayah Pakuwon Watu
Mas. Menurut pengamatan para petugas sandi,
sebenarnyalah bahwa para perampok itu mendapat
perlindungan, dari para pengawal di Watu Mas. Para
pengawal di Watu Mas itu ternyata mendapat sebagian dari
hasil kejahatan para perampok itu"
"Apakah Akuwu di Watu Mas mengetahuinya?"
bertanya Akuwu Suwelatama.
"Semula Akuwu di Watu Mas itu memang tidak
mengetahui. Kami masih berpengharapan bahwa pada
suatu saat, apabila Akuwu di Watu Mas mengetahui
perbuatan sebagian dari para pengawanya itu, ia akan
mengambil satu tindakan" jawab penghubung itu "Namun
ternyata sesuatu perkembangan baru telah terjadi. Seorang
Pangeran dari Kediri telah datang ke Pakuwon Watu Mas.
Nampaknya sebelum terjadi hubungan antara Pangeran itu
dengan Akuwu di Watu Mas, Pangeran itu telah lebih
dahulu berhubungan dengan para pemimpin pengawal
diperbatasan" "Siapakah nama Pangeran itu?" bertanya Akuwu
Suwelatama. "Pangeran Indrasunu" jawab penghubung itu.
"Adimas Indrasunu" desis Akuwu Suwelatama.
Sementara itu Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan
Witantra yang kemudian mendengar berita itu pula dari
Akuwu lelah menggeleng-gelengkan kepalanya.
Laporan itu memang sangat menarik perhatian. Ternyata
api yang menyala di dalam dada Pangeran Indrasunu itu
masih belum padam. "Darimana ia mendengar pertentangan yang terjadi
diperbatasan itu" desis Mahisa Agni.
"Ia mencari segala cara untuk mencari kepuasan dengan
melepaskan dendamnya" berkata Akuwu Suwelatama.
Karena peristiwa yang berkembang itulah, maka Akuwu


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak dapat menganggap bahwa penyelesaian lengan para
perampok itu akan dapat diselesaikan sebagaimana mereka
menyelesaikan para perampok di Kedung Sertu. Meskipun
di Kedung Sertu mereka mengalami satu peristiwa yang
sangat mengerikan, namun yang mereka hadapi waktu itu
bukanlah hubungan dengan seseorang. Ular-ular raksasa itu
tidak akan menganggap perkembangan persoalan yang
terjadi akan menjadi semakin meluas Yang sudah terjadi itu
bukan merupakan persoalan lagi bagi ular-ular raksasa itu
dengan Pakuwon Kabanaran. Tetapi tentu tidak demikian
dengan Pakuwon Watu Mas yang telah berhubungan
dengan Pangeran Indrasunu.
"Akuwu harus segera memberikan penjelasan" berkata
Mahisa Bungalan. "Ya. Ternyata aku terlambat. Aku berusaha
menyelesaikan persoalan yang berkembang di Kedung
Sertu, karena aku tidak menduga sama sekali, bahwa
adimas Indrasunu masih meneruskan pemanjaan
dendamnya" berkata Akuwu Suwelatama.
"Apakah Akuwu akan pergi ke Pakuwon Watu Mas?"
bertanya Mahisa Bungalan.
"Ya. Secepatnya. Sementara aku memerintahkan agar
para pengawal tetap menjaga diri dan menahan perasaan
mereka" berkata Akuwu Suwelatama.
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah
ia mulai memikirkan perkembangan baru yang terjadi.
Sementara itu tiba-tiba saja Mahisa Bungalan berkata
"Paman, jika paman berdua berkenan, biarlah aku tinggal
disini, sementara paman berdua dapat kembali ke
Singasari" Mahisa Agni memandangi Witantra sekilas. Dalam pada
itu, Witantra itupun berkata "Bukankah kita tidak
berkeberatan?" Mahisa Agni mengangguk. Katanya "Baiklah. Kita akan
dapat melaporkannya, bahwa terjadi satu perkembangan
baru sehingga Mahisa Bungalan masih akan tinggal barang
satu dua pekan di Pakuwon ini"
"Aku akan sangat berterima kasih" berkata Akuwu
Suwelatama "dengan demikian, aku akan mendapat kawan
untuk berbincang tentang Pangeran Indrasunu. Bukankah
pangkal dari persoalan yang terjadi dengan Pangeran
Indrasunu menyangkut juga Mahisa Bungalan"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Karena itu aku akan tinggal"
Demikianlah, maka Mahisa Bungalan telah
menggagalkan niatnya untuk kembali ke Singasari. Ia masih
ingin untuk melibatkan diri dalam kegiatan Akuwu
Suwelatama dalam hubungannya dengan Pakuwon
tetangganya, yang ternyata telah disentuh pula oleh
Pangeran Indrasunu. Ketika dihari berikutnya Mahisa Agni dan Witantra siap
untuk meninggalkan Pakuwon, maka Mahisa Bungalan dan
Akuwu Suwelatama telah melepaskannya diregol istana
Akuwu. Berkali-kali Akuwu mengucapkan terima kasih.
Sementara Mahisa Agni dan Witantrapun berpesan, agar
Mahisa Bungalan tidak terlalu lama berada di Pakuwon itu.
"Jika persoalannya menjadi terang, kau harus segera
kembali" pesan Mahisa Agni.
"Ya. Paman" jawab Mahisa Bungalan "Aku akan, segera
kembali" "Ada masalah yang menunggumu" berkata Witantra
"bukan saja dalam hubungannya dengan kedudukanmu
sebagai calon Senopati. Tetapi juga dalam hubungan
dengan hidupmu sendiri"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sekilas
terbayang Ken Padmi di rongga matanya. Namun yang
akan dihadapinya itupun semula bersumber pada persoalan
Ken Padmi itu pula. Sementara itu, Mahisa Agni dan Witantrapun kemudian
meninggalkan Pakuwon Kabanaran. Dua orang yang sudah
menjadi semakin tua. Namun sebagai orang yang terbiasa
menenpa hidupnya dengan berbagai macam
persoalan.maka keduanya masih nampak segar.
Sementara itu, Mahisa Bungalan dan Akuwu
Suwelatamapun telah mempersiapkan dirinya untuk
bertemu dengan Akuwu di Watu Mas. Mereka ingin
menjelaskan persoalan yang sebernarnya. Jika mungkin,
maka persoalan itu akan diselesaikan sebaik-baiknya tanpa
kekerasan. Persoalan akan dikembalikan kepada masalah
yang sebenarnya. Persoalan para perampok di perbatasan.
Dalam pada itu, sebelum Akuwu Suwelatama
mengunjungi Akuwu di Watu Mas, maka ia telah
memerintahkan dua orang penghubungnya untuk
menghadap dan menyampaikan pesannya, bahwa Akuwu
Suwelatama ingin bertemu dan berbincang tentang masalah
yang berkembang antara kedua Pakuwon yang bertetangga
itu. Namun ternyata bahwa jawaban Akuwu di Watu Mas
telah menggetarkan jantung Akuwu Suwelatama.
"Menurut Akuwu di Watu Mas" berkata
penghubungannya "kedatangan Akuwu Suwelatama ke
Watu Mas tidak akan ada gunanya. Tidak ada masalah
yang perlu diperbincangkan,karena antara Kabanaran dan
Watu Mas tidak ada persoalan apa-apa. Tetapi jika Akuwu
di Kabanaran akan berkunjung ke Watu Mas, maka akan
diterima dengan senang hati"
Akuwu Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. la
sadar, bahwa Akuwu di Watu Mas tidak bersedia untuk
berbicara. Tetapi, bagaimanapun juga ia ingin bertemu
langsung. Bagaimanapun juga, maka kesempatan untuk
bertemu itu harus dipergunakan sebaik-baiknya.
"Bagaimana mungkin Akuwu di Watu Mas itu
menganggap tidak ada persoalan antara Kabanaran dan
Watu Mas" berkata Mahisa Bungalan.
"Akuwu di Watu Mas akan mempertahankan keadaan
seperti sekarang ini. Dan itu berarti kesulitan bagi kita
untuk menghapus kejahatan itu sampai ke akarnya" berkata
Akuwu Suwelatama. Lalu "Tetapi kesediaannya untuk
menerima kedatangan kita, sudah pantas untuk hargai"
Pada hari yang ditentukan, maka Akuwu telah berangkat
ke Watu Mas bersama Mahisa Bungalan dan ampat orang
pengawal. Mereka telah mempersiapkan beberapa masalah
yang akan mereka bicarakan dengan Akuwu di Watu Mas
dengan tidak langsung, karena Akuwu di Watu Mas sudah
mengatakan bahwa ia tidak merasa perlu untuk berbicara
tentang apapun juga dengan Akuwu Suwelatama.
Dalam pada itu, sebenarnyalah penerimaan Akuwu di
Watu Mas terhadap kehadiran Akuwu Suwelatama terasa
sangat sepi. Seoalah-olah yang datang itu bukanlah seorang
Akuwu dari Pakuwon tetangga. Akuwu di Watu Mas
menerima kehadiran Akuwu Suwelatama tidak dalam satu
upacara menerlmaan sebagaimana biasanya. Tetapi,
Akuwu menerimanya sebagai salah seorang tamu biasa,
bahkan mirip dengan keluarganya.
"Kakangmas Akuwu Suwelatama sudah aku anggap
sebagai keluarga sendiri" berkata Akuwu di Watu Mas.
Nampaknya sikap itu memang sangat akrab. Tetapi
Akuwu Suwelatama mengerti, bahwa Akuwu di Watu Mas
benar-benar tidak ingin berbicara tentang persoalanpersoalan
yang menyangkut hubungan antara kedua
Pakuwon itu. Tetapi Akuwu Suwelatama mampu menempatkan
dirinya sebagai seorang pemimpin. Bukan saja di medan
peperangan, tetapi dalam hubungan antara pemimpinpemimpin
pemerintahan. Karena itu, maka ia tetap tersenyum, betapapun hatinya
merasa tersinggung. Bahkan katanya kemudian "Aku tidak
mengira, bahwa aku akan disambut demikian akrabnya.
Karena itu sewajarnya aku mengucapkan beribu terima
kasih" Dalam pada itu, Akuwu di Watu Mas menyambut tamutamunya
tidak dengan para pemimpin pemerintahan
Pakuwon Watu Mas. Tetapi yang menyambut Akuwu
Suwelatama adalah anggauta keluarganya. Isterinya, anakanaknya.
"Pamanmu Pangeran Suwelatama yang memegang
kekuasaan di Pakuwon Kabanaran" berkata Akuwu di
Watu Mas kepada anak-anaknya. Lalu "yang lain adalah
para pengawalnya. Bagaimanapun juga, seorang Akuwu
memang memerlukan pengawalan yang sebaik-baiknya"
Jantung Mahisa Bungalan berdegup semakin cepat.
Namun demikian Akuwu Suwelatama masih juga
tersenyum sambil menyahut "Pamanmu memang seorang
yang kurang lumrah. Baru kali ini pamanmu sempat datang
kemari. Aku bertemu dengan ayahandamu justru pada saatsaat
kami menghadap ke Kediri. Hampir setengah tahun
sekali. Dalam pasowanan Agung. Karena pada saat-saat
pasowanan yang lain, mungkin waktu kami tidak
bersamaan. Dan disamping itu setahun sekali kami bertemu
di Singasari" Anak-anak Akuwu di Watu Mas itu menganggukangguk.
Namun dalam pada itu, Akuwu Suwelatama tidak segera
kehilangan akal. Meskipun satu dua patah kata, ia masih
ingin berbicara tentang para perampok di hutan perbatasan.
Dalam pembicaraan yang seolah-olah benar-benar akrab,
maka Akuwu Suwelatama sempat bertanya tentang musim
di Watu Mas. "Musim kering kali ini, agaknya memang semakin
panjang" jawab Akuwu di Watu Mas.
"Apakah hal itu tidak mempengaruhi kehidupan para
petani?" bertanya Akuwu Suwelatama.
"Tentu kakangmas" jawab Akuwu di Watu Mas "hasil
sawah tahun ini memang agak turun"
"O" Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk "Apakah
adimas tidak berusaha untuk berbuat sesuatu bagi
kepentingan para petani?"
"Yang dapat kami usahakan adalah menghemat air,
memperbaiki bendungan dan mengatur penggunaan air itu"
jawab Akuwu di Watu Mas. Akuwu Suwelatama mengangguk. Lalu katanya
"Memang menjadi kewajiban kita. Setiap kesulitan yang
diderita oleh rakyat kita, adalah kesulitan kita. Setiap
keluhan rasa-rasanya jantung kitalah yang telah berdesir.
Hal yang serupa telah aku rasakan pula Musim kering ini
memang terlalu panjang. Apalagi di daerah Kabanaran,
arus sungai-sungaipun menjadi semakin kecil.
-oo0dw0oo- Jilid 28 SEHINGGA karena itu, kami di Kabanaran benar-benar
mengalami kesulitan"
"O. Apakah tidak ada jalan lain untuk mengatasinya?"
bertanya Akuwu di Watu Mas.
"Sulit sekali. Apalagi sekarang" jawab Akuwu
Suwelatama. "Bagaiamana dengan sekarang?" bertanya Akuwu di
Watu Mas itu pula. "Di daerah hutan perbatasan terdapat segerombolan
perampok yang telah menambah kesulitan kehidupan
penduduk di daerah Kabanaran" jawab Akuwu
Suwelatama. Akuwu di Watu Mas mengerutkan keningnya. Lalu
katanya "Itu adalah beban yang wajar. Kita yang sudah
sanggup menjadi pemimpin atas satu kesatuan tempat,
maka kita harus berani mempertanggung jawabkan"
Akuwu di Watu Mas itu berhenti sejenak, lalu "tetapi
sudahlah. Marilah kita berbicara tentang keluarga. Mungkin
kita dapat mengenang silsilah kita. Mungkin kakangmas
mempunyai keperluan keluarga yang lain yang akan
kakangmas bicarakan di sini?"
Akuwu Suwelatama tersenyum. Katanya "anak-anakmu
sudah memanjat masa remaja"
"Ya kakangmas" jawab Akuwu di Watu Mas.
"Sayang. Di Kabanaran banyak anak-anak remaja
menjadi korban keganasan para perampok. Bukan karena
mereka dirampok. Tetapi entah karena pengaruh apa,
sebagian dari mereka berada di dalam lingkungan para
perampok" "Ah" potong Akuwu di Watu Mas "kenapa kakang mas
selalu berbicara tentang perampok saja?"
"Maaf. Tetapi persoalan itu sangat menarik bagiku.
Justru karena para perampok itu telah mempersatukan
persoalan diantara kita" berkata Akuwu Suwelatama.
"Sudahlah" jawab Akuwu di Watu Mas jangan berbicara
tentang hal-hal yang dapat mendirikan bulu-bulu tengkuk.
Sekali lagi aku mohon, kakangmas berbicara tentang
masalah lain saja" "Mungkin kita akan dapat melakukannya adimas. Kita
dapat berbicara tentang sesuatu yang menyenangkan.
Tetapi tentu tidak bagi anak-anak yang sedang menjelang
remaja. Kekisruhan-kekisruhan yang dapat timbul karena
tingkah laku para perampok tentu akan sangat berpengaruh
terhadap anak-anak remaja seperti putera-putera adimas
ini" jawab Akuwu Suwelatama.
"Ah, kakangmas berbicara tentang sesuatu yang
menggetarkan jantung. Aku mohon kakangmas jangan
berbicara tentang perampok" berkata Akuwu di Watu Mas.
"O" desis Akuwu Suwelatama "Aku mohon maaf.
Tetapi justru karena aku melihat sorot mata putera-putera
adimas yang bening dan tidak mengenal dosa" jawab
Akuwu Suwelatama "sementara itu dosa telah terjadi
dimana-mana. Dosa dalam segala bentuknya. Apakah hal
itu tidak terasa pada adimas?"
Akuwu di Watu Mas menarik nafas dalam-dalam. Ia
sudah dengan sengaja menerima Akuwu Suwelatama
diantara keluarganya. Meskipun terasa agak janggal juga,
karena Akuwu Suwelatama datang dengan pengawalnya
yang ternyata ikut bersama Akuwu diterima diantara
keluarga Akuwu di Watu Mas.
Tetapi agaknya Akuwu Suwelatama yang menyadari
cara penerimaan itu tidak mengurungkan niatnya untuk
berbicara tentang daerah perbatasan. Bahkan katanya


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian "Adimas. Adalah kebetulan sekali bahwa adimas
telah menerima kami dengan sangat akrab karena kami
telah adimas anggap sebagai keluarga sendiri. Dengan
demikian aku dapat berbicara dengan adimas sebagai
seorarig saudara tua. Aku ingin memperingatkan, bahwa
putera-putera adimas ada dalam bahaya"
Wajah Akuwu di Watu Mas menjadi merah. Apalagi
ketika ia melihat kecemasan membayang di wajah isterinya.
Diwajah permaisuri Akuwu di Watu Mas.
"Kakangmas" tiba-tiba suara Akuwu di Watu Mas itu
bergetar "Aku tidak bermaksud berbicara tentang hal-hal
yang terjadi di Kabanaran. Karena hal seperti itu tidak
terdapat dan tidak akan terjadi di Watu Mas. Marilah kita
berbicara tentang persoalan-persoalan lain"
"Adimas" berkata Akuwu Suwelatama "Aku datang
justru akan merasa, bahwa kita adalah keluarga yang masih
dekat bukan saja sesuai dengan jalur keturunan, tetapi letak
Pakuwon kita yang berbatasan. Karena itu aku ikut merasa
bertanggung jawab terhadap kemanakan-kemanakanku
disini. Meskipun umurku mungkin lebih muda dari adimas,
tetapi darah yang mengalir di dalam tubuhku ternyata lebih
tua dari adimas. Karena itulah maka aku khusus datang
untuk memberitahukan bahwa perampok di hutan
perbatasan itu menjadi semakin garang. Pada masa terakhir,
sasaran mereka lebih banyak terarah kepada Pakuwon
Watu Mas dari pada Pakuwon Kabanaran"
"Tidak" potong Akuwu di Watu Mas "kakangmas
jangan menakuti keluargaku. Apalagi anak-anakku"
"Bukan menakut-nakuti adimas" jawab Akuwu
Suwelatama "Tetapi untuk waktu yang tidak lama lagi,
mereka akan ikut bertanggung jawab atas pemerintahan di
Pakuwon Watu Mas ini. "Sudahlah kakangmas "Akuwu di Watu Mas menjadi
marah. Namun dihadapan isteri dan anak-anaknya ia masih
berusaha untuk menahan diri. Namun kemudian katanya
kepada permaisurinya "Nampaknya kakangmas Akuwu
Suwelatama kurang dapat mengendalikan diri. Karena itu,
biarlah aku menerimanya sendiri, agar kau semuanya tidak
terpengaruh oleh sikapnya yang sangat berhati-hati.
Kecemasannya tentang keadaan yang tidak sesuai sama
sekali dengan kenyataan yang telah terjadi, membuat
Pakuwon Kabanaran diliputi oleh ketakutan"
Akuwu Suwelatama mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya kepada permaisuri Akuwu di Watu Mas
"Aku mohon maaf. Orang tua selalu sangat berhati-hati
menghadapi keadaan" "Tetapi kakangmas lebih muda dari kami" desis
permaisuri itu. "Kecemasan tidak mengenal kemudaan" sahut Akuwu
di Watu Mas. Akuwu Suwelatama tidak menjawab lagi. Sejenak
kemudian maka permaisuri dan anak-anak Akuwu di Watu
Mas itu pun telah meninggalkan pertemuan itu.
"Maaf adimas" berkata Akuwu Suwelatama "Aku
memang ingin berhadapan dengan adimas"
Tetapi Akuwu di Watu Mas menjawab "Tidak ada yang
dapat kita bicarakan. Aku sebenarnya ingin
mempergunakan cara yang lebih halus untuk
menghindarkan pembicaraan ini. Tetapi kakangmas justru
bersikap kasar terhadap isteri dan anak-anakku"
"Aku hanya mengingat kepentingan rakyatku di sekitar
hutan perbatasan" sahut Akuwu Suwelatama. "Semua
pembicaraan aku tujukan untuk kepentingan mereka. Tentu
adimas mengetahuinya"
"Aku sudah menerima laporan dari perbatasan" jawab
Akuwu di Watu Mas "tidak ada apa-apa disana. Karena itu,
jangan memaksa aku untuk berbicara tentang perbatasan.
Segala sesuatu yang menyangkut perbatasan telah diatur
dalam paugeran-paugeran. Jika kakangmas tidak melanggar
paugeran itu, maka tidak akan timbul persoalan"
"Tetapi dalam hubungan dengan para perampok itu
timbul masalah lain adimas" sahut Akuwu Suwelatama
"para perampok itu berada di daerah Watu Mas"
"Jangan membuat persoalan" berkata Akuwu di Watu
Mas itu "sudahlah. Aku akan menjamu kakangmas dan
para pengawal kakangmas itu"
"Aku memerlukan ketegasan sikapmu adimas. Aku telah
melakukan satu tugas yang sangat berat di Kedung Sertu.
Ternyata bahwa di dalam sarang para perampok itu
terdapat harta benda yang tidak ternilai harganya. Karena
itu, jika adimas bersedia bersikap tegas terhadap para
perampok itu, mungkin harta benda yang telah banyak dari
yang aku ketemukan di Kedung Sertu itu akan dapat
memberikan manfaat bagi Pakuwon ini"
"Kakangmas memang sering aneh-aneh saja" jawab
Akuwu di Watu Mas. Lalu " Sudahlah. Aku tidak ingin
berbicara. Aku akan dengan senang hati menerima
kakangmas sebagai keluarga. Lebih dari itu tidak"
"Jangan bersikap demikian adimas" berkata Akuwu
Suwelatama "seharusnya kita mencari jalan, apa yang dapat
kita lakukan untuk kepentingan kita bersama. Jika adimas
menutup pintu bagi pembicaraan, maka persoalan kita akan
semakin meningkat, bukannya mendapat jalan pemecahan"
"Tidak ada persoalan yang pantas dibicarakan.
Bukankah sudah aku katakan?" jawab Akuwu di Watu
Mas. Akuwu Suwelatama menjadi semakin gelisah
menghadapi Akuwu Watu Mas yang keras hati itu. Bahkan
seolah-olah telah menutup sama sekali pintu pembicaraan.
Karena itu, maka Akuwu Suwelatama itupun berkata
"Jika demikian adimas, aku kita tidak ada jalur yang lebih
baik untuk memecahkan persoalan ini selain lewat
kekuasaan di Kediri, selebihnya Singasari" Akuwu
Suwelatama berhenti sejenak, lalu "Aku memang tidak
mempunyai jalan lain. Jika aku langsung memasuki tlatah
Watu Mas untuk menangkap para perampok, maka aku
telah melakukan kesalahan. Tetapi jika tidak, maka Watu
Mas menjadi pancatan untuk melakukan kejahatan di tlatah
Kabanaran" "Jangan membuat fitnah seperti itu" potong Akuwu Di
Watu Mas "Tetapi adalah licik sekali jika kakangmas pergi
ke Kediri dan apalagi ke Singasari. Seperti anak-anak yang
tumbak cucukan. Seolah-olah kita tidak dapat
menyelesaikan persoalan kita sendiri"
"Tetapi cara itu adalah cara yang paling aman bagi
rakyat kita" jawab Akuwu Suwelatama.
"Tidak ada gunanya kakangmas. Kakangmas tidak akan
dapat menunjukkan kepada orang-orang Kediri bahwa aku
sudah melanggar paugeran. Mungkin orang-orang Singasari
yang sekarang berada di Pakuwon Kabanaran itukah vang
akan menjadi saksi pelanggaran yang sudah aku lakukan?"
Akuwu Suwelatama memandang Mahisa Bungalan yang
be ada bersama para pengawalnya. Tetapi ia tidak bertanya
sesuatu kepadanya. "Kakangmas" berkata Akuwu di Watu Mas "Aku
berpegang teguh kepada sumpah jabatanku sebagai Akuwu
di dalam kekuasaan Kediri dan kemudian Singasari. Aku
tidak akan melanggar kekuasaan wilayah Pakuwonku dan
apalagi menginjak Pakuwon tetanggaku. Termasuk
Pakuwon Kabanaran" "Kau berpegang pada paugeran resmi" jawab Akuwu
SUwelatama "Tetapi apakah bukan satu pelanggaran jika
kau membiarkan tanahmu menjadi landasan para
perampok yang berbuat jahat di Pakuwonku"
"Semuanya itu omong kosong" berkata Akuwu di Watu
Mas "kakangmas akan mencari alasan untuk memiliki
seluruh hutan di perbatasan itu, karena hutan itu ternyata
menyimpan kayu cendana, kayu beledok dan kayu-kayu
yang menghasilkan getah yang mahal lainnya"
"Adimas" potong Akuwu Suwelatama "Aku justru tidak
mengerti, bahwa di hutan itu terdapat jenis-jenis kayu yang
berharga" "Sudahlah" berkata Akuwu di Watu Mas "tidak ada
waktu bagiku untuk berbincang tentang sesuatu yang tidak
ada artinya. Karena itu, jika kakangmas masih ingin berada
di rumahku, silahkan mengatakan apa saja tetapi tidak
menyangkut jabatan kita masing-masing"
Akuwu Suwelatama menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "kedatanganku menyangkut persoalan yang lebih
penting dari berbincang tentang makanan dan minuman.
Ketahuilah adimas, diantara orang-orang yang aku sebut
sebagai pengawalku, memang terdapat seorang yang kau
anggap sebagai orang Singasari itu"
Akuwu di Watu Mas mengerutkan keningnya, sementara
Akuwu Suwelatama berkata "Yang masih muda diantara
mereka itu adalah Mahisa Bungalan"
"O" Akuwu di Watu Mas mengangguk-angguk "Aku
tidak berkeberatan ia berada di sini. Justru ia menyaksikan
sendiri, apa yang kakangmas lakukan ini"
"Kedatanganku memang agak terlambat adimas" berkata
Akuwu Suwelatama kemudian "semula aku memilih untuk
menyelesaikan persoalan yang timbul di Kedung Sertu.
Karena aku menganggap bahwa persoalan di hutan
perbatasan itu akan lebih mudah diselesaikan dengan
pertolongan adimas. Namun ternyata aku salah. Apalagi
satelah hadir di Pakuwon ini Pangeran lndrasunu"
"Pangeran lndrasunu" ulang Akuwu di Watu Mas "apa
salahnya ia berada di sini. Bukankah ia masih keluarga kita"
Aku menerimanya seperti aku menerima kakangmas. Tidak
lebih dan tidak kurang"
"Kau tahu persoalan yang timbul antara aku dan
Pangeran lndrasunu?" bertanya Akuwu Suwelatama.
"Aku pernah mendengarnya. Tetapi itu bukan
persoalanku. Aku tidak akan mencampurinya" jawab
House Of Hades 3 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Mimpi Buruk 1

Cari Blog Ini