Ceritasilat Novel Online

Panasnya Bunga Mekar 8

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 8


terungkap oleh kemampuan ilmu Mahisa Bungalan terasa
menjadi semakin mapan. Kecepatan bergerak dan kekuatan
tenaganya justru semakin lama menjadi semakin
bertambah-tambah. Sementara lawannya menjadi semakin
telah karena mereka telah mengerahkan segenap
kemampuan. Betapa tinggi daya tahan ketiga orang lawannya, namun
melawan Mahisa Bungalan dengan mengerahkan segenap
kemampuannya tenaganya seakan-akan semakin terhisap
habis. Yang tergores lengannya, merasa lukanya semakin
pedih. Apalagi karena luka itu telah tersentuh keringatnya
yang bagaikan diperas dari tubuhnya. Namun demikian
luka itu sama sekali tidak mengganggunya. Ia masih
mampu bertempur seperti kedua orang kawannya yeng lain.
Sementara ketiga orang kawannya bertempur, orang
yang seakan-akan menjadi bisu di pinggir arena itu
mencoba berpikir. Tiba-tiba saja ia berniat memberikan
isyarat kepada kawan-kawannya. Meskipun ia tidak
bertenaga, tetapi orang lain tentu tidak mengetahuinya
selain Mahisa Bungalan sendiri, dan ketiga orang
kawannya. Karena itu, maka timbullah niatnya untuk kembali ke
gubugnya di tengah-tengah hutan. Ia akan membawa
perempuan yang disembunyikan di dalam gubug itu kepada
ketiga orang kawannya. Dengan isyarat ia akan memaksa
Mahisa Bungalan menyerah. Jika tidak, maka ia akan
membunuh perempuan itu, atau salah seorang dari kedua
orang kawannya itu tentu akan dapat melakukannya.
Oleh pikiran itu, maka iapun kemudian beringsut
selangkah demi selangkah. Ia masih mampu berjalan
menuju ke gubugnya. Kemudian memaksa perempuan itu
berjalan dengan ancaman pedang pada punggungnya
"Tidak ada pedang lagi digubug itu" desisnya di dalam hati
"pandai besi itu lamban benar menyiapkan pedang kami"
Namun orang itu mengharap bahwa mereka akan dapat
menemukan senjata. Mungkin parang, mungkin cundrik
atau jenis senjata apapun juga.
Namun ternyata Mahisa Bungalan melihatnya berkisar.
Bahkan Mahisa Bungalan melihat orang itu meninggalkan
arena. "Gila" desis Mahisa Bungalan "kenapa aku tidak
melumpuhkannya saja?"
"Tetapi ia masih harus berhadapan dengan ketiga orang
lawannya. Kegelisahannya kemudian telah menumbuhkan
hentakan kekuatan sehingga ilmu yang dipelajarinya dari
orang tua itu, yang seolah-olah menjadi alas
kemampuannya, ternyata semakin kuat berpengaruh atas
dirinya. Karena itulah, maka Mahisa Bungalanpun seolah-olah
mampu bergerak seperti loncatan kilat di langit.
Menyambar dengan dahsyatnya. Pedangnya, meskipun
sudah patah, namun merupakan isyarat maut yang setiap
saat berputar menghampiri ketiga orang lawannya bergantiganti.
Ketiga orang yang berjalan tertatih-tatih itu sudah tidak
nampak lagi, maka kegelisahan Mahisa Bungalanpun
meningkat. Namun dengan demikian, yang tidak begitu
dikenalnya pada dirinya sendiri, telah muncul dari dalam
dirinya. Justru ilmu yang mengalasi ilmu yang pernah
dimilikinya lebih dahulu.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan kadang-kadang
masih keheranan terhadap kemampuannya sendiri. Namun
yang semakin lama semakin mapan dan dikenalnya dengan
baik. Bahkan kemudian Mahisa Bungalan dengan sengaja
telah menghentakkan kecepatan dan segenap kekuatannya.
Ia ingin menjajagi. sampai dimanakah puncak kemampuan
yang sebenarnya dimiliki atas alas dari ilmunya.
Namun demikian, maka Mahisa Bungalan benar-benar
merupakan seekor burung sikatan yang bergerak secepat
kilat, namun juga seekor gajah yang kekuatannya tidak
terkira. Ternyata kemudian, ketiga orang lawannya tidak mampu
lagi mengimbangi ilmu Mahisa Bungalan yang dahsyat itu.
Mereka sama sekali tidak berhasil terus menerus
menghindari kecepatan bergerak Mahisa Bungalan yang
selalu mengejarnya. Karena itu, maka dalam keadaan yang
tidak dapat dihindari lagi, senjata Mahisa Bungalan telah
menggores pada tubuh lawannya pula. Bukan sekedar
segores kecil, tetapi ternyata pundak lawannya telah
disobeknya. Belum lagi gema teriakannya lenyap, maka yang lain
telah mengaduh pula. Mahisa Bungalan yang marah itupun
telah berhasil melukai dada lawannya yang lain.
Dalam pertempuran berikutnya, maka Mahisa Bungalan
tidak lagi membuat pertimbangan-pertimbangan khusus
bagi lawangnya. Apalagi karena orang yang sudah
dibuatnya tidak berdaya itu, bagaikan hilang dibalik
rimbunnya dedaunan hutan. Dengan demikian, maka yang
ingin dilakukannya, adalah menyelesaikan pertempuran itu
secepatnya. Kemudian menyusul orang yang telah
melarikan diri itu. "Ia tidak akan dapat pergi jauh" berkata Mahisa
Bungalan di dalam hatinya.
Demikianlah, dalam puncak kemarahan dan kegelisah
annya. Mahisa Bungalan telah bertempur dengan segenap
kemampuan dan kekuatannya. Seorang demi seorang,
ketiga lawannya telah dilukainya. Bahkan sejenak
kemudian, seorang lawannya yang tidak dapat lagi bertahan
karena darahnya yang mengalir bercururan dari lukanya
telah kehilangan segenap kekuatannya dan jatuh terkulai
bersandar sebatang pohon yang besar.
Dua orang lawannya tidak banyak berarti lagi bagi
Mahisa Bungalan yang kemampuannya seakan-akan sama
sekali tidak susut. Bahkan pedangnya mampu bergetar lebih
cepat dan lebih kuat, menebas lawannya seorang demi
seorang, sehingga akhirnya ketiga-tiganya telah roboh di
tanah. Demikian ketiga lawannya telah dilumpuhkan, maka
Mahisa Bungalanpun dengan tergesa-gesa berlari mencari
orang yang telah hilang itu. Namun Mahisa Bungalan
ternyata masih sempat berpikir. Ia sadar, bahwa orang itu
tidak akan berbahaya lagi bagi siapapun juga. Seandainya ia
menemukan sebuah pisau belati sekalipun, ia tidak akan
mempunyai kekuatan cukup untuk menusuk seseorang
sehingga membahayakan jiwanya.
Karena itu, Mahisa Bungalan justru tidak ingin segera
menangkapnya. Bahkan ketika ia sudah berhasil
menemukan jejaknya pada rerumputan dan ranting-ranting
yang patah terseret kakinya, maka iapun hanya
mengikutinya saja. Seperti yang diduga oleh Mahisa Bungalan, maka gubug
orang itu sudah tidak terlalu jauh. Dari antara semak-semak
Mahisa Bungalan kemudian melihat orang itu tertatih-tatih
menuju ke pintu sebuah gubug kecil.
Namun Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya ketika
ia melihat seorang yang bertubuh tinggi besar dengan
sebilah bindi di tangan. Dengan dada tengadah ia
memandang orang yang datang tertatih-tatih.
"He, kenapa kau?"
Orang itu tidak dapat mejawab. Ia mencoba memberikan
isyarat. Tetapi orang bertubuh tinggi besar itu tidak segera
menangkapnya. "Di mana kawan-kawanmu he?" Orang itu bertanya
lebih keras. Tetapi yang ditanya tidak dapat menjawab.
"Apa kau menjadi tuli" Atau bisu?"
Orang bertubuh tinggi besar itu terkejut karena
kawannya itu mengangguk sambil menunjuk mulutnya.
"Kau bisu" Kenapa?"
Orang itu ternyata dapat memberikan isyarat yang lain.
Ia mencoba menunjuk bagian di bawah telinganya yang
ditetak dengan jari oleh Mahisa Bungalan.
Orang itu mengerutkan keningnya. Selangkah ia maju
dan kemudian mengamat-amati bagian yang ditunjuk oleh
orang yang menjadi bisu itu.
Dengan jari-jarinya ia mencoba meraba. Kemudian
memijit dan menekan. Namun ia tidak berhasil
membebaskannya dari gangguan syaraf yang telah
dilakukan oleh Mahisa Bungalan.
Karena itu, maka orang itupun menggeram. Sejenak ia
memandang ke sekelilingnya. Sementara orang yang
menjadi bisu itu mencoba menunjuk ke arah arena
pertempuran yang telah ditinggalkan oleh Mahisa Bungalan
itu. Agaknya orang itu mengerti, bahwa orang yang telah
menjadi bisu itu menunjuk ke tempat yang gawat. Karena
itu, maka iapun segera meloncat sambil berkata "Jaga
perempuan itu" Orang yang bisu itu tidak dapat menjawab. Ia hanya
melihat kawannya yang bertubuh raksasa itu
meninggalkannya menuju ke tempat yang ditujunya.
Mahisa Bungalan membenamkan diri di tempat
persembunyiannya. Ia tidak ingin dilihat oleh orang
bertubuh raksasa itu, karena, ia belum yakin, bahwa di
gubug itu tidak ada orang lain lagi yang akan dapat
mencelakai perempuan yang disebutnya.
Demikian orang bertubuh raksasa itu hilang, maka
Mahisa Bungalanpun segera meloncat dari balik gerumbul
dan langsung berlari ke pintu gubug itu.
Betapa terkejutnya orang yang telah terganggu syarafnya
itu. Namun ia benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Ia
hanya dapat menyaksikan Mahisa Bungalan berlari
memasuki gubug kecil di dalam hutan itu.
Sejenak kemudian terdengar jerit tertahan. Ketika
Mahisa Bungalan mendorong pintu yang diselarak dari
luar, maka seorang perempuan telah berdiri ketakutan di
sudut sambil berteriak "Pergi, pergi"
Mahisa Bungalan tertegun. Ia sadar, bahwa perempuan
itu telah mengalami tekanan jiwa yang luar biasa. Adalah
masuk akal bahwa perempuan itu tidak dibunuh karena
anak laki-lakinya masih belum dapat diketemukan.
Mungkin perempuan itu masih akan dapat dipergunakan
untuk umpan agar anak laki-lakinya dapat ditangkapnya.
Tetapi apabila anak laki-lakinya itu sudah berada di tangan
orang-orang yang liar dan buas itu, maka nasib mereka
berdua tentu akan menjadi sangat buruk. Apalagi nasib
perempuan yang ada di dalam bilik itu. Perempuan yang
tidak terlalu buruk. Bahkan wajah itu pernah memikat
seorang Pangeran yang sedang pergi berburu.
Karena Mahisa Bungalan masih tetap di tempatnya,
maka sekali lagi perempuan itu berteriak "Pergi, pergi. Atau
bunuh aku sama sekali"
Mahisa Bungalan yang masih memegang sebilah pedang
itupun maju selangkah. Namun agaknya perempuan itu
salah paham. Karena itu sekali lagi ia menengadahkan
dadanya sambil berkata "Bunuh aku. Bunuh saja"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
04_SHM_Panasnya_Bunga_Mekar
Baru sejenak kemudian ia berkata "Aku tidak bermaksud buruk"
"Omong kosong. Kembalikan anakku atau bunuh aku"
"Cobalah dengar kata-kataku" berkata Mahisa Bungalan
"aku bukan dari antara orang-orang yang telah
menangkapmu. Aku adalah orang yang datang dengan
maksud yang lain" "Omong kosong" "Aku akan membuktikan. Kau lihat pedangku yang
merah karena darah. Aku sudah bertempur melawan
beberapa orang yang barangkali mendapat tugas
menjagamu dan sekaligus mencari anakmu yang
diselamatkan oleh kakeknya itu. Jangan takut. Mungkin
kau perlu berhubungan dengan Pangeran Kuda
Padmadata" Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Lalu "Siapa
kau?" Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Lalu "Aku
utusan Pangeran Kuda Padmadata. Keadaanmu sudah
didengarnya. Karena itu, maka Pangeran sudah mengutus
aku untuk melihat keadaanmu"
Wajah orang itu nampak berubah. Tetapi kemudian
ketakutan itu telah menjalar lagi di hatinya. Dengan suara
nyaring ia berteriak "Jangan menipu aku. Aku belum
pernah melihatmu" "Aku memang seorang anak padesan. Aku mendapat
perintah dari kakek tua yang menyembunyikan cucunya
setelah mengalami keadaan yang pahit, mereka berhasil
berhubungan dengan Pangeran Kuda Padmadata. Karena
itu, saluran perintah yang sampai kepadaku, sebenarnyalah
perintah Pangeran Kuda Padmadata"
Perempuan itu masih ragu-ragu.
"Kakek tua itu tentu ayahmu. Dan cucu laki-lakinya itu
tentu anakmu. Mereka masih selamat. Mereka
menunggumu sebelum mereka dan kau akan bersama-sama
menghadap Pangeran Kuda Padmadata"
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun tibatiba
ia berteriak "Kau akan menjebakku. Pangeran Kuda
Padmadata sudah bersiteri di Kediri. Seorang puteri
bangsawan. Jika kau membawaku kesana maka aku akan
dibunuhnya" "Mungkin Pangeran Kuda Padmadata dapat
mengingkarimu. Tetapi aku tidak yakin bahwa ia akan
dapat mengingkari anaknya sendiri"
"Justru anak itu adalah sasaran yang utama. Anak itulah
yang akan dibunuhnya. Aku bukan apa-apa bagi mereka.
Tetapi anak itu" Mahisa Bungalan menjadi gelisah. Nampaknya
perempuan yang dicengkam oleh ketakutan itu tidak lagi
dapat mudah mempercayai seseorang.
Sementara itu, ketika Mahisa Bungalan berlari memasuki


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gubug kecil itu, orang yang sudah tidak mampu berbuat
apa-apa lagi dan menjadi bisu itu, telah berusaha dengan
secepat dapat dilakukan, menyusul orang yang bertubuh
tinggi kekar. Tertatih-tatih ia berjalan diantara semaksemak.
Betapa letih dan penat tulang-tulangnya tidak
dihiraukannya. Sementara itu, orang yang bertubuh tinggi dan kekar itu
telah sampai kearena pertempuran yang telah ditinggalkan
oleh Mahisa Bungalan. Yang ditemuinya adalah tiga orang
kawannya yang telah terbaring diam. Karena darah yang
mengalir tidak tertahankan, maka mereka tidak dapat
bertahan lebih lama lagi, sehingga maut ternyata telah
menjemputnya. "Gila" teriak orang bertubuh tinggi kekar itu. Namun ia
tidak melihat seorangpun di sekitarnya. la sadar bahwa
orang yang telah berhasil membunuh ketiga orang
kawannya itu telah meninggalkan mereka.
Betapa hatinya menjadi panas bagaikan disentuh bara.
Meskipun orang yang telah membunuh kawannya itu tentu
orang yang luar biasa, namun orang bertubuh raksasa itu
merasa, bahwa apabila ia sempat bertemu, maka ia akan
mencoba apakah orang itu dapat mengalahkannya.
Selagi ia termangu-mangu diantara beberapa sosok
mayat itu, maka orang yang bisu itu datang berlari kecil
sambil terhuyung-huyung. Hanya itulah yang mampu
dilakukannya. "He, apa yang kau lihat?" bertanya orang bertubuh
raksasa itu. Dengan nafas terengah-engah kawannya yang telah
menjudi bisu itu memberikan isyarat sambil menunjuk ke
arah gubug yang ditingalkannya.
"la pergi kesana?" orang bertubuh tinggi itu bertanya.
Orang yang bisu itu mengangguk. Tidak perlu
keterangan lebih banyak lagi. Orang bertubuh raksasa
itupun berlari kembali ke gubug yang ditinggalkannya.
Sementara orang yang telah kehilangan sebagian besar dari
kemampuannya itu tiba-tiba saja telah terjatuh karena
kelelahan. Nafasnya menjadi tersengal-sengal dan badannya
seakan-akan menjadi lumpuh sama sekali. Dalam
keadaannya, ia telah melakukan sesuatu yang melampaui
kekuatan yang ada padanya.
Dalam pada itu, maka orang bertubuh raksasa itupun
dengan tangkasnya meloncati gerumbul-gerumbul perdu
menuju ke gubug yang ditinggalkannya.
Mahisa Bungalan yang masih berada di dalam gubug
itupun segera mendengar langkah orang berlari. Dengan
gelisah ia berkata "Nah, dengar. Salah seorang dari mereka
telah datang. Itu berarti bahwa aku harus bertempur lagi.
Aku harus membunuh atau dibunuh"
Peremnuan itu masih tetap dicengkam dalam
kebingungan. Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat menunggu lebih
lama lagi. Sejenak kemudian, ia mendengar derak pintu
patah. Meskipun pintu depan gubug itu terbuka, tetapi
orang bertubuh raksasa itu telah menerjang uger-uger pintu
itu, sehingga pecah berserakan.
Sejenak kemudian, Mahisa Bungalan melihat seorang
bertubuh raksasa itu telah berdiri di muka pintu. Dengan
suara yang gemuruh ia berteriak "Menelungkuplah. Aku
akan memecahkan kepalamu dengan bindiku ini"
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Sementara
perempuan itu benar-benar menjadi ketakutan, sehingga di
luar sadarnya ia telah jatuh terduduk.
"Cepat, sebelum aku marah. Jika aku marah, maka aku
tidak akan segera memecahkan kepalamu. Tetapi aku akan
memecahkan kakimu, tanganmu dan tulang-tulang igamu.
Kau akan bertahan hidup dalam keadaan yang demikian
barang tiga empat hari"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Aku sudah dengan sengaja memasuki sarang serigala.
Karena itu, maka aku akan bertahan atas segala akibat yang
dapat terjadi. Aku sudah melumpuhkan lima orang
kawanmu. Sekarang kau tinggal seorang diri"
"Persetan, tetapi aku seorang diri tidak kalah dengan
lima orang kawanku yang telah kau bunuh itu"
Mahisa Bungalanpun melihat, bahwa orang itu adalah
seorang yang tentu memiliki kemampuan yang luar biasa.
Tubuh raksasanya telah memberitahukan kepadanya,
bahwa orang itu tentu memiliki kekuatan yang sangat besar.
Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun harus berhatihati
Ia tidak boleh gagal, jika ia gagal, maka bukan ia
sendirilah yang akan menjadi korban, tetapi juga
perempuan yang ke takutan itu tentu akan mengalami
akibat yang sangat buruk.
"Aku sudah berjanji kepada kakek tua itu untuk tidak
mencari perkara. Tetapi aku tidak akan dapat melewatkan
kesempatan untuk menolong perempuan itu"
Dalam pada itu, maka orang yang bertubuh tinggi besar
itupun tidak sabar lagi. Selangkah ia maju dengan bindi
yang besar mulai terayun di tangannya.
"Kau akan bertempur di tempat yang sempit ini?"
bertanya Mahisa Bungalan.
Tetapi orang itu tidak menjawab. Tiba-tiba saja bindinya
terayun deras sekali mengarah ke pundak Mahisa Bungalan.
Agaknya orang itu benar-benar belum ingin memecahkan
kepalanya. Tetapi sekedar ingin melumpuhkannya,
meskipun Mahisa Bungalan percaya bahwa orang itu pasti
akan membunuhnya pula pada akhirnya. Tetapi dengan
cara perlahan-lahan. Ayunan bindi yang besar itu sama sekali tidak
mengecilkan hati Mahisa Bungalan. Meskipun Mahisa
Bungalanpun menyadari, bahwa yang dilakukan oleh orang
itu bukannya batas kemampuannya.
Dengan mudah Mahisa Bungalan dapat
menghindarinya, tetapi yang kemudian ternyata
mengejutkannya adalah akibat ayunan bindi yang tidak
mengenainya itu. Bindi itu ternyata telah menyentuh tiang
gubug kecil itu. Demikian keras ayunannya, sehingga tiang
gubug itu telah terangkat dengan derasnya dan terlempar ke
samping. Dengan demikian maka dinding gubug itupun
telah berderak dan terbuka. Bahkan ternyata kemudian
karena tiangnya terangkat dan terlempar, maka atapnyapun
telah runtuh karenanya meskipun tidak dengan serta merta.
Terdengar perempuan itu memekik. Mahisa Bungalan
yang ada di dalam gubug itu pula bergeser selangkah.
Ternyata bahwa tidak seluruh atapnya runtuh, karena
masih ada beberapa tiang yang lain yang tetap berdiri.
Namun dengan demikian, gubug itu telah menjadi
berserakan. Dengan tangkasnya Mahisa Bungalan meloncat
menyusup diantara reruntuhan atap itu menuju ke pintu.
"Jangan lari" teriak raksasa itu.
Mahisa Bungalan tidak menghiraukannya. Iapun
meloncat dengan cepat keluar gubug yang runtuh itu,
sementara lawannya telah mengejarnya.
Demikianlah yang dikehendaki oleh Mahisa Bungalan Di
tempat tarbuka ia berhenti sambil mengacukan pedangnya
yang sudah patah sambil berkata "Kemarilah. Kita
mendapat tempat yang lebih baik disini untuk bermainmain"
Orang bertubuh raksasa itu melangkah mendekat.
Wajahnya menjadi tegang oleh kemarahan. Ternyata
Mahisa Bungalan sama sekali tidak gentar melihat
sikapny4a. "Jangan menyesal bahwa kau akan mengalami nasib
yang sangat buruk disini " orang itu menggeram.
"Kau atau aku" Jika kau mampu melakukan apa saja
untuk menyakiti korbanmu, kau kira aku tidak"
Beruntunglah kawan-kawanmu yang aku bunuh dengan
cepat, tetapi, terhadapmu mungkin aku mempunyai
pertimbangan lain seperti orang yang aku buat setengah
lumpuh dan bisu itu"
"Persetan" orang itu berteriak "akulah yang akan
membunuhmu" Tetapi ternyata Mahisa Bungalanpun berteriak lebih
keras "Aku yang akan membunuhmu. Aku akan membawa
perempuan itu karena aku memerlukannya"
"Gila" orang itu mamekik tinggi.
-oo0dw0ooJilid 07 MAHISA Bungalan menyahut lebih keras "Kau gila.
Berjongkoklah dan menyembah. Aku adalah utusan
Pangaran Kuda Padmadata"
Kata-kata itu ternyata mengejutkan orang bertubuh
raksasa itu. Namun kemudian wajahnya menjadi semakin
membara. Katanya "Jika kau benar utusan Pangeran Kuda
Padmadata. maka kau benar-benar harus dihukum picis"
"Aku membawa perintah, membunuh siapa saja yang
mencoba merintangi usahaku membebaskan perempuan itu,
dan membawanya kembali kepada suaminya. Pangeran
Kuda Padmadata dan kemudian mencari anaknya yang
hilang. Jika aku dapat menangkap kau hidup, atau orang
yang setengah lumpuh dan bisu itu, akan dapat kami peras
untuk menunjukkan, dimana anak Pangeran Kuda
Padmadata itu kalian sembunyikan"
Orang bertubuh raksasa itu sama sekali tidak menunggu.
Ia langsung meloncat menyerang dengan garangnya.
Bindinya terayun deras sekali. Bukan sekedar untuk
menakut-nakuti benar-benar serangan maut.
Namun Mahisa Bungalan masih sempat mengelak.
Bahkan kemudian meloncat maju dangan pedang terjulur
lurus mangarah ke dada lawannya.
Tetapi orang bertubuh raksasa itupun mampu bergerak
dengan tangkas. Ia mengelak ke samping, sementara
dengan bindinya ia berusaha memukul pedang Mahisa
Bungalan. Mahisa Bungalan yang belum berhasil menjajagi
kekuatannya, tidak membiarkan pedangnya terlepas dari
tangannya. Karena itu. muka lapun segera menariknya,
namun dengan putaran yang cepat pedang itu
langsungmematuk orang bertubuh raksasa itu.
Sekali lagi lawannya harus menghindar bahkan bindinya
kemudian terayun langsung munyambar kepala Mahisa
Bungalan. Tetapi Mahisa Bungalunpun dengan cepat menunduk,
sehingga bindi itu terayun dekat di atas kepalanya. Desir
angin yang menyentuh tubuh Mahesa Bungalan
memberikan isyarat kepadanya, bahwa orang itu adalah
orang yang memiliki kekuatan yang luar biasa.
Dengan demikian maka pertempuran itupun segera
meningkat semakin dahsyat. Mahisa Bungalan bergerak
semakin cepat, sementara lawannya memiliki kekuatan
raksasa yang sulit dicari duanya.
Mahisa Bungalan telah bertempur beberapa rambahan. la
sudah bertempur melawan dua orang cli sebelah pasar.
Kemudian melawan tiga orang yang telah terbunuh di
hutan. Kini ia harus bertempur dengan seorang yang
agaknya adalah pimpinan mereka. Namun yang seorang ini
ternyata memiliki kemampuan jauh lebih tinggi dari kawankawannya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan menjadi heran
pada dirinya sendiri. Meskipun ia sudah bertempur tiga
rambahan. Namun ia sama sekali tidak merasa letih.
Kekuatannya masih belum susut. Bahkan semakin deras
keringatnya mengalir, kekuatannya jusru seolah-olah
semakin bertambah-tambah. Ayunan pedangnya menjadi
semakin deras dan gerakannya semakin cepat. Pedang yang
telah patah itu bagaikan berputaran mengelilingi lawannya.
Sekali-sekali sentuhannya seolah-olah menyusup disetiap
lubang putaran bindi lawannya.
Betapapunbesar tenaga dan kemampuan orang yang
bertubuh raksasa itu, namun dengan memeras segenap
kemampuannya melawan kecepatan gerak Mahisa
Bungalan, maka tenaganya mulai menjadi surut. Bindinya
tidak lagi berputar seperti baling-baling, sementara kakinya
menjadi semakin berat. Namun demikian, bindinya masih tetap berbahaya bagi
Mahisa Bungalan. Jika bindi itu berhasil menyentuh
tubuhnya, maka kulitnya akan terkelupas dan tulangtulanghya
akan diremukkannya. Karena itu, maka Mahisa Bungalan masih tetap berhatihati.
Namun kecepatannya bergerak telah membingungkan
lawannya. Justru semakin lama semakin cepat.
Pada saat kekuatan dan kemampuan lawannya susut,
kekuatan dan kemampuan Mahisa Bungalan justru seolaholah
menjadi berlipat. Karena itulah, maka orang bertubuh
raksasa itu mulai merasa terdesak.
"Menyerahlah" berkata Mahisa Bungalan "katakan
dimana anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata. Katakan
siapa yang menyuruhmu melakukan pengkhianatan itu.
Katakan untuk apa semuanya itu kau lakukan, dan berapa
kau mendapat upah" Pertanyaan itu benar-benar menyakitkan hati. Hampir
berteriak orang itu menjawab "Persetan. Kaulah yang harus
menyerah agar aku tidak akan membunuhmu dengan
perlahan-lahan" "Jangan sebui lagi. Kata-kata itu merangsang aku untuk
melakukannya. Jika kau berulang kali mengatakannya,
rnaka aku benar-benar akan menangkapmu hidup dan
menghukum picis sampai mati. Mungkin kau akan mati
dalam tiga hari, tetapi mungkin lebih"
"Persetan" orang itu menggeram. Namun terasa bulu
tangkuknya meremang, la sudah menyadari, bahwa ia
mulai terdesak. Karena itu, jika benar-benar seperti yang
dikatakan oleh orang itu, maka alangkah tersiksanya mati
perlahan-lahan. Karena itu, maka orang bertubuh raksasa yang tidak
mengenal siapa sebenarnya lawannya itupun mulai
membuat perhitungan. Lebih baik baginya untuk mati
bertempur daripada mati perlahan-lahan.
Perhitungan itulah yang tidak disadari Mahisa Bungalan.
la tidak sengaja mendesak orang itu untuk memilih mati. la
hanya ingin memaksa lawannya untuk menyerah.


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun agaknya yang terjadi adalah berbeda dengan yang
diharapkannya. Orang bertubuh raksasa itu benar-benar
telah bertempur dengan mengerahkan segenap tenagna dan
kemampuannya. Mahisa Bungalan merasakan betapa orang itu
menghentak-hentak dengan sepenuh tenaganya. Namun
dengan demikian, Mahisa Bungalan merasa, bahwa
kekuatannya sudah menjadi semakin susut.
"Jangan kau paksa dirimu" berkata Mahisa Bungalan.
"Persetan" orang itu berteriak "jangan banyak bicara.
Aku akan membunuhmu dan mencincangmu sampai
lumat" "Jangan kau bohongi dirimu sendiri. Tenagamu mulai
susut. Menyerahlah. Aku hanya memerlukan keteranganketerangan
itu" Orang bertubuh raksasa itu tidak menghiraukannya.
Namun dengan demikian, untuk mengimbangi
kemampuannya yang mulai susut, maka iapun bertempur
semakin liar dan buas. Perhitungannya menjudi semakin
kabur Bahkan kadang-kadang orang bertubuh raksasa itu
telah kehilangan pengendalian dan perhitungan nalar.
Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan justru
menjadi semakin berhati-hati. Orang yang menjadi liar itu
dapat berbuat apa saja diluar perhitungan.
Namun, Mahisa Bungalan membiarkannya menjadi
semakin letih. Bahkan kemudian orang itu mulai terseret
oleh ayunan bindinya yang berat itu, ia terhuyung-huyung
beberapa langkah. Dalam keadaan yang demikian, maka
Mahisa Bungalan, akan dengan mudah menghunjamkan
pedangnya yang patah. Namun ia tidak melakukannya, la
memang ingin menangkap orang itu hidup-hidup.
Kemudian menanyakan beberapa hal kepadanya tentang
Pangeran kuda Padmadata. Perlahan-lahan namun pasti orang bertubuh raksasa itu
akan kehilangan kekuatannya. Sekali-sekali ia kehilangan
keseimbangan. Bindinya tidak lagi dapat dikuasainya.
Bahkan matanya mulai memancarkan keputus-asaan yang
mencengkam jantungnya. Tetapi Mahisa Bungalan tidak menusuk dadanya dengan
pedang. Dibiarkannya saja lawannya kehabisan tenaga dan
jatuh terbaring di tanah dengan nafas tersengal.
Ternyata bahwa orang bertubuh raksasa itu benar-benar
tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Ketika ia
mengayunkan bindinya memukul kepala Mahisa Bungalan,
maka justru orang itu sendiri terbanting jatuh di tanah.
Sejenak Mahisa Bungalan menunggu. Dengan susah
payah orang itu berusaha berdiri. Namun ketika ia berhasil
tegak, maka pedang Mahisa Bungalan telah melekat di
punggungnya. "Apakah kau benar-benar tidak ingin hidup lagi?"
bertanya Mahisa Bungalan.
Betapapun beraninya orang bertubuh raksasa itu, dan
betapapun kuat pertimbangannya untuk memilih mati dari
pada hidup untuk mengalami siksaan, namun ketika terasa
pedang lawan melekat di punggung, ternyata bahwa iapun
tidak berani bergerak dan berbuat sesuatu.
"Lepaskan senjatamu yang hanya memberati tanganmu
saja" berkata Mahisa Bungalan.
Karena orang itu tidak segera melakukannya, maka
Mehisa Bungalan telah menekan punggungnya sambil
menggeram "Cepat. Lakukan"
Orang itu tidak dapat melawan. Bindinyapun kemudian
dilepaskannya jatuh di tanah.
Demikian bindinya terlepas, maka Mahisa Bungalanpun
kemudian mendorongnya sehingga orang itu jatuh
tertelungkup. Dengan suara tertahan ia berdesah.
"Duduklah" perintah Mahisa Bungalan.
Orang itupun kemudian duduk di tanah dengan nafas
terengah-engah. "Jawablah pertanyaanku" berkata Mahisa Bungalan.
Orang itu termangu-mangu sejenak.
"Apakah hubunganmu dengan Pangeran Kuda
Padmadata?" bertanya Mahisa Bungalan.
Orang itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia termangumangu.
Namun ia tidak menjawab. "Jawablah. Meskipun aku tidak tergesa-gesa. Tetapi
semakin cepat agaknya semakin baik"
Orang itu membetulkan letak duduknya. Namun
sebenarnyalah ia justru mencoba beristirahat untuk
memperbaiki pernafasannya. Niatnya untuk tidak
membiarkan dirinya terperas masih tetap menyala di
hatinya. Bahkan ketika nafasnya mulai teratur maka
keberaniannya telah tumbuh lagi di dalam jantungnya.
"Apakah kau tidak dapat menjawab?" desak Mahisa
Bungalan. "Aku akan menjawab" berkata orang itu "tetapi apakah
aku diperkenankan mengatur pernafasan sejenak, agar aku
dapat berbicara dengan lancar"
Mahesa Bungalan mengerutkan keningnya. Kemudian
sambil mengangguk ia berkakta "Aku memberimu waktu
sekadarnya" "Terima kasih" berkata orang itu sambil terengah-engah.
Dalam pada itu, ketika Mahisa Bungalan bertempur
melawan raksasa itu, perempuan yang masih berada di
dalam gubug itu telah mengintip apa yang telah terjadi.
Tetapi karena sebagian gubug itu telah roboh, maka ia tidak
berhasil keluar dari dalamnya.
Karena itu, ketika ia menganggap bahwa pertempuran
itu sudah selesai, maka iapun telah memanggil "Ki sanak.
Tolonglah aku keluar dari tempat ini"
Mahisa Bungalan berpaling. Adalah diluar sadarnya,
bahwa iapun kemudian melangkah mendekat mengangkat
atap yang roboh menutup jalan keluar dari gubug itu.
Pada saat itu, maka orang bertubuh raksasa itu telah
merasa dirinya menjadi segar kembali, la merasa mendapat
kesempatan untuk berbuat seminim sesuatu. Pada saat
Mahisa Bungalan mengangkat atap untuk membuka jalan
dengan sebelah tangannya, maka dengan serta merta orang
yang bertubuh raksasa itu telah meloncat meraih bindinya
dengan sigapnya ia meloncat dengan bindi terayun tepat
keatas kepala Mahisa Bungalan.
Perempuan yang melihat orang meloncat, menjerit
sekuat-kuatnya. Sementara Mahisa Bungalanpun telah
mendengar langkah kaki di belakangnya.
Karena itu, dengan serta merta, diluar kemampuannya
untuk mengendalikan dirinya, maka ia berpaling. Sekilas ia
melihat bindi yang terayun ke kepalanya. Dengan cepatnya
ia merendah dan bergeser ke samping.
Namun ternyata ia tidak dapat membebaskan diri
seluruhnya. Ternyata bahwa bindi itu masih menyentuh
pundak kirinya sehingga kulitnya terkelupas.
Pada saat itulah, maka pertimbangannya bagaikan
menjadi pepat. Yang dikerjakan kemudian adalah sebelah
tangannya yang masih menggenggam pedang itupun
terjulur lurus ke depan. Yang terdengar adalah teriakan tertahan. Pedang Mahisa
Bungalan yang patah ujungnya itu tiba-tiba saja telah
menghunjam ke perut orang bertubuh raksasa itu.
Mahisa Bungalan terhentak sesaat. Namun iapun
kemudian menarik pedangnya dan membiarkan raksasa itu
roboh di tanah. Mati. Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu.
Kematiannya itu terlalu cepat terjadi. Sebenarnya ia tidak
ingin membunuh orang itu. Jika memungkinkan, orang itu
akan di bawanya kepada kakek tua yeng sedang melindungi
cucunya itu. Jika ia sependapat, maka orang itu akan
dihadapkannya kepada Pangeran Kuda Padmadata. Biarlah
ia memberikan keterangan kepada Pangeran itu tentang
isteri dan anaknya yang hilang dan memberitahukan
kepadanya, siapakah yang telah berkhianat. Tetapi orang
itu telah mati. Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Ia masih
mempunyai dua orang yang hidup diantara mereka.
Seorang yang dibuatnya hampir lumpuh dan bisu. Ia dapat
menyembuhkannya dan kemudian memaksa orang itu
untuk berbicara. "Tetapi yang diketahuinya tentu sangat terbatas" berkata
Mahisa Bungalan di dalam hati, yang paling banyak
mengetahui tentu orang bertubuh raksasa yang terbunuh
itu. Namun Mahisa Bungalan tidak dapat terlalu lama
merenung. Iapun segera berusaha menolong perampuan
yang terkurung itu. Ketika perempuan itu berhasil keluar dari gubug yang
sebagian telah runtuh itu, maka kecurigaannya terhadap
Mahisa Bungalanpun menjadi semakin berkurang, la sudah
melihat, bagaimana Mahisa Bungalan telah bertempur
mempertaruhkannyawanya melawan raksasa yang telah
menyekapnya di dalam gubug itu.
"Marilah" berkata Mahisa Bungalan "sebelum hal ini
mempunyai akibat yang tidak kita kehendaki. Ikutlah uku"
"Apakah benar Ki Sanak utusan Pangeran Kuda
Padmadata?" bertanya perempuan itu.
Dengan tidak langsung memang demikian, tetapi
marilah kita meninggalkan tempat ini. Mungkin ada satu
dua orang yang tidak senang melihat peristiwa ini dan
melaporkan kepada orang yang tidak kita kehendaki"
"Aku tidak melihat orang lain kecuali raksasa itu dengan
kelompoknya" jawab perempuan itu.
"Siapa tahu di bagian hutan yang lain. Penjaga hutan
yaug ditumbuhi oleh pohon-pohon yang khusus, yang
meskipun tidak bersangkut paut secara langsung, tetapi
ingin mendapat keuntungan dari peristiwa ini"
Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk
kecil. Sementara itu, maka Mahisa Bungalanpun membawa
perempuan itu sambil mencari orang yang telah dibuatnya
setengah lumpuh dan bisu. Bagaimanapun juga, orang itu
akan dapat dipergunakannya, la akan dapat
menyembuhkannya dengan membuka simpul-simpul
syarafnya yang telah membeku karena sentuhan jari-jarinya.
Namun Mahisa Bungalan terkejut ketika menemukan
orang itu terbaring di atas rerumputan. Matanya terpejam,
dan nafasnya sudah tidak mengalir lagi.
"Ia mati" Mahisa Bungalan berdesis "apakah ada orang
lain yang membunuhnya?"
Sejenak Mahisa Bungalan berjongkok di samping orang
itu. Namun kemudian diketahuinya bahwa orang itu telah
memaksa diri untuk bergerak terlalu banyak, melampaui
kemampuannya. Apalagi ketika kemudian ternyata bahwa
orang itu telah mencoba membuka simpul-simpul syarafnya
dengan cara yang salah. "Urat darahnya benar-benar telah membeku dan
menutup saluran karena kesalahannya sendiri" berkata
Mahisa Bungalan "dalam keadaan yang lemah, seharusnya
ia tidak berbuat demikian"
Perempuan itu tidak tahu, apa yang telah terjadi. Karena
itu ia sama sakali tidak mengatakan sesuatu.
"Masih ada satu orang lagi" berkata Mahisa Bungalan
kemudian. Mungkin orang itu dapat diajak berbicara"
Dengan tergesa-gesa Mahisa Bungalan membawa
perempuan itu menuju ke pasar, ia masih mempunyai
harapan untuk dapat bertanya serba sedikit terhadap orang
yang telah dilukainya, tetapi ia tidak dibunuhnya.
Namun sakali lagi Mahisa Bungalan harus kecewa.
Orang itupun ternyata meninggal. Darahnya terlalu banyak
mengalir dari luka-lukanya, sehingga jiwanya tidak dapat
tertolong lagi. Dengan demikian, Mahisa Bungalan telah melakukan
pembunuhan berturut-turut atas beberapa orang pengawal.
Namun ia tidak dapat menghindarinya bahwa hal itu harus
terjadi. Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun menyerahkan
mayat-mayat itu kepada orang-orang yang masih ada di
pasar, untuk menyelenggarakan sebagaimana mestinya.
"Lakukanlah. Keluarga mereka tentu akan mengucapkan
terima kasih" berkata Mahisa Bungalan.
"Tetapi bagaimana jika mereka justru marah kepada
kami" bertanya salah seorang dari mereka.
"Katakanlah, seorang perwira dari Singasari telah
membebaskan seorang isteri Pangeran dari Kediri yang
berada di bawah kekuasaan beberapa orang pengawal hutan
tertutup itu dengan maksud yang tidak diketahui. Yang
mati terbunuh itulah orang yang telah menahan seorang
perempuan, isteri seorang Pangeran meskipun perempuan
itu sendiri berasal dari padesan. Katakanlah, bahwa perwira
Singasari itu akan membawa perempuan itu kepada
suaminya di Kediri" Orang-orang di pasar itu termangu-mangu. Sejenak
mereka memandang Mahisa Bungalan yang pernah mereka
lihat sebelumnya. Pandai besi yang masih ada di pasar
itupun berkata "Aku minta maaf tuan. Ternyata tuan
adalah seorang perwira dari Singasari"
"Lakukanlah yang aku katakan. Jangan takut. Ajaklah
kawan-kawanmu yang justru bersembunyi karena peristiwa
ini. Semua pengawal telah terbunuh diluar kehendakku.
Lima atau enam orang, dengan seorang yang bertubuh
raksasa itu" Pandai besi itu mengangguk-angguk.
"Lain kali aku akan datang. Aku akan melihat, apakah
ada yang berusaha membalas dendam, justru kepada orang
yang tidak bersalah. Jika ada, maka prajurit-prajuritku akan
menghancurkan mereka sampai lumat"
"Ya, ya tuan. Kami akan melakukannya"
Mahisa Bungalan yang sudah melangkah meninggalkan
pandai besi itu tertegun. Dilihatnya perempuan penjual
semelak itu memandanginya dengan perasaan takut dan
cemas. Apalagi ketika Mahisa Bungalan mendekatinya.
"Ampun tuan. Aku tidak mengetahui siapa tuan
sebenarnya"

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Bungalan tersenyum. Diambilnya beberapa
keping uang dan diberikannya kepada perempuan itu.
"Aku sudah berhasil menjual ujung pedang patah itu.
Karena itu, aku ingin membayar semelak yang sudah aku
minum" "Tetapi ini terlalu banyak tuan" berkata perempuan itu.
Mahisa Bungalan hanya tertawa saja. Kemudian
diajaknya isteri Pangeran Kuda Padmadata itu
meninggalkan pasar itu dengan langkah yang semakin lama
semakin cepat. "Kita ke mana?" bertanya perempuan itu.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Untuk
sejanak ia ragu-ragu. Namun kemudian ia berkata "Aku
akan pargi ke rumah seseorang kakek tua yang dengan
penuh tanggung jawab melindungi cucunya yang dalam
ancaman maut" "Maksudmu ayahku?" bertanya perempuan itu.
"Ya" "Ki Wastu?" perampuan itu berusaha meyakinkan
dirinya. "Agaknya namanya memang demikian. Tetapi aku
memanggilnya kakek saja"
"Ayah. Tentu ayah. Apakah anak laki-lakiku masih
hidup?" "la berada di bawah perlindungan kakeknya"
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Desisnya
"Tuhan Yang Maha Kuasalah yang melindungi anakku"
"Kau akan menemuinya di padukuhan yang agak jauh.
Kita akan berjalan panjang"
Mahisa Bungalan yang berjalan bersama perempuan itu,
harus bermalam di perjalanan. Namun dimalam berikutnya
Mahisa Bungalan tidak ingin berhenti lagi di perjalanan.
Meskipun perlahan-lahan tetapi keduanya berjalan terus.
Betapa lelahnya perempuan itu. Sekali-sekali ia berhenti
untuk beristirahat. Tetapi bayangan wajah anaknya seakanakan
telah memberikan kekuatan baru kepadanya, sehingga
ia masih mau berjalan terus.
"Betapapun lambatnya" berkata perempuan itu "aku
akan meneruskan perjalanan. Anakku seolah-olah tidak
sabar lagi menunggu aku"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Sebenarnya ada perasaan iba juga terhadap perempuan itu.
Namun rasa-rasanya iapun ingin segera sampai ke
padukuhannya untuk memberikan kenyataan yang akan
dapat menjadi pancadan tugasnya berikutnya.
Ternyata bahwa perempuan itupun memiliki keluhanan
tubuh yang luar biasa. Dorongan perasaannya telah
membuatnya menjadi seorang perempuan yang luar biasa.
Hampir tengah malam, mereka memasuki jalan panjang
menuju ke padukuhan tempat tinggal kakek tua yang
disebutnya bernama Ki Wastu. Pedukuhan yang panjang
dan sepi. Agaknya ada juga perasaan ngeri pada perempuan itu
melihat gelap yang terbentang di hadapannya. Namun
apabila ia mengingat bahwa kawannya berjalan adalah
seorang laki-laki yang memiliki kemampuan seakan-akan
tidak ada batasnya, yang telah berhasil membunuh sekitar
enam orang pengawal hutan itu, maka iapun menjadi
tenang. Bagi perempuan itu rasa-rasanya bulak itu menjadi
sangat panjang. Perjalanan mereka menjadi sangat lambat.
Namun untuk mempercepat langkahnya, ia merasa terlalu
berat. Meskipun demikian, akhirnya merekar memasuki
padukuhan yang tidak begitu ramai. Mahesa Bungalan yang
berjalan dengan seorang perempuan itu berusaha untuk
menghindari gardu-gardu parondan. la membawa
perempuan itu memasuki padukuhan lewat regol butulan
yang sudah dikenalnya dengan baik.
Ketika mereka memasuki halaman, maka hati Mahisa
Bungalanpun menjadi berdebar-debar pula seperti
perempuan itu. Betapa kakinya seolah-olah tidak dapat
diangkatnya lagi, namun dengan penuh harapan ia
membayangkan anaknya sedang tidur nyenyak di dalam
rumah itu. Perlahan-lahan Mahisa Bungalanpun kemudian
mengetuk pintu. Ia tidak perlu mengulanginya, karena ia
tahu pendengaran kakek tua itu masih sangat tajam.
Perlahan-lahan kakek tua itu melangkah ke pintu. Dengan
suara ragu ia bertanya "Siapa di luar?"
"Aku kek" "Mahisa Bungalan" O, kau kembali ngger" berkata orang
tua itu. Namun demikian, ketika tangannya mulai membuka
selarak, ia menjadi ragu-ragu. Apakah Mahisa Bungalan
benar-benar dapat dipercaya, jika ia pergi dengan sikap
pura-pura, kemudian kembali dengan membawa beberapa
orang kawan, maka nasib cucunya ada dalam bahaya.
Karena itu, maka ketika ia kemudian menarik selarak
pintu, selarak itu tidak dilepaskannya. Dengan
kemampuannya yang luar biasa, ia akan dapat
mempergunakan selarak itu untuk manghadapi segala
kemungkinan. Perlahan-lahan pintupun berderit Ketika kemudian pintu
itu didorong ke samping, maka orang tua itu terkejut
Lamat-lamat dalam keremangan malam ia melihat
bayangan seseorang. Ketika sekilas sinar lampu minyak
jatuh ke wajah orang itu, maka tiba-tiba saja orang tua
berdesis "Kau kau?"
Perempuan itu tidak dapat menahan diri. Iapun meloncat
memeluk laki-laki tua itu sambil memanggil "Ayah, ayah"
Orang tua itupun kemudian menuntun perempuan itu ke
ruang dalam, kepada Mahisa Bungalan ia berdesis "Tolong
ngger. Tutup pinlu itu"
Mahisa Bungalanpun kemudian menutup pintu dan
menyelaraknya" "Dimana anakku ayah?" bertanya perempuan itu.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Bersyukurlah" Lalu kepada Mahisa Bungalan ia berkata
"Kau berusaha membebaskannya ngger?"
"Yang Maha Kuasalah yang melakukannya. Adalah
kebetulan bahwa aku adalah alat untuk melakukan hal itu"
jawab Mahisa Bungalan. "Aku mengerti" desis orang tua itu.
"Dimana anakku?" sekali lagi perempuan itu bertanya.
"Ia sedang tidur ngger. Jangan kau kejutkan anak itu. Ia
berada di dalam bilik itu"
Perempuan itu termangu-mangu, terasa matanya
menjadi panas, sementara air matanya mengalir semakin
deras. Sejenak perempuan itu masih mematung. Namun iapun
kemudian melangkah ke pintu bilik. Ia mencoba menahan
hati sekuat-kuatnya. Namun ketika ia melihat ke dalam
bilik itu lewat pintu yang terbuka, maka ia tidak berhasil
menahan perasaannya lagi.
Sambil berlari meledaklah tangisnya. Dengan serta merta
ia telah memeluk anaknya yang sedang tidur nyenyak.
Anak itu terkejut. Ketika ia menyadari dirinya, ia merasa
berada di dalam pelukan seseorang. Ia merasa titik-titik air
yang hangat meleleh di wajahnya.
Baru kemudian ia mengerti, hahwa ia telah berada di dalam
pelukan ibunya. "Ibu" hanya kata-kata itu yang dapat meloncat dari
mulutnya, karena iapun telah menangis seperti ibunya.
Kakek tua itupun berdiri tegak diluar pintu.
Bagaimanapun juga ia merasa tenggorokannya bagaikan
tersumbat Mahisa Bungalan duduk di amben bambu. Ia tidak
melihat apa yang terjadi di dalam bilik itu. Tetapi ia dapat
membayangkan, betapa rindunya seorang ibu yang terpisah
dengan anaknya karena keadaan yang gawat, dan bahkan
telah mengancam jiwa mereka masing-masing.
Kakek tua itupun kemudian meninggalkan anak dan
cucunya di dalam biliknya. Dengan kepala tunduk ia
melangkah mendekati Mahisa Bungalan dan duduk di
sebelahnya. "Tidak ada kata-kata yang dapat mencakup perasaan
terima kasihku" berkata kakek tua itu.
Mahisa Bungalan menarik nafas. Katanya "Sudah aku
katakan, bahwa Yang Maha Kuasalah yang menghendaki
semuanya ini terjadi. Aku hanya sekedar alat"
Kakek tua itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Aku tidak menyangka, bahwa kau berhasil membawa anak
perempuanku itu kembali kepadaku dan kepada anaknya.
Aku merasa hidup ini demikian cerahnya"
"Tetapi yang terjadi ini bukan akhir dari segala-galanya"
"Aku mengerti. Tetapi bagiku, yang terjadi kemudian
tidak penting lagi. Seandainya besok aku mati, aku tidak
akan menyesal" "Kau mementingkan dirimu sendiri" berkata Mahisa
Bungalan. Kakek tua itu mengerutkan keningnya. Lalu iapun
bertanya "Aku tidak mengerti anak muda. Kenapa aku
mementingkan diriku sendiri"
"Jika kau sudah menemukan kelapangan hati karena
anakmu telah kembali kepadamu. Tetapi bagaimana
dengan anak dan cucumu. Kau mati dengan dada lapang,
karena kau tidak melihat anak dan cucumu itu akan diseret
lagi oleh orang-orang yang ingin menyingkirkannya dari
urutan keluarga Pangeran Kuda Padmadata"
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk ia berkata "Ya. Aku mementingkan diriku
sendiri" Mehisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Lalu
iapun bertanya "Jika demikian, apa yang akan kau
lakukan" "Menjaga anak dan cucuku"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya "Itulah
yang penting bagimu kek. Bukankah kau sudah berniat
untuk membawa anakmu sampai kepada suaminya dengan
membawa anaknya serta?"
Orang tua itu mengangguk-angguk. Jawabnya "Ya. Aku
akan membawa mereka kepada Pangeran Kuda
Padmadata" Mahisa Bungalan memandang tekad yang menyala di
dalam hatinya. "Kau telah menemukan niatmu kembali. Aku sudah
menduga, jika anakmu telah kembali kepadamu, muka kau
akan merasa bahwa semuanya teluh selusin"
"Anakmas" berkata orang tua itu "aku adalah orang tua
yang sebenarnya tidak ingin terlibat dalam kesulitankesulitan
yang menjemukan. Aku lebih senang hidup dalam
ketenangan yang damai. Jika di masa yang lalu, darahku
masih mendidih, karena aku menjadi iba melihat cucuku
yang kehilangan ayah bundanya, maka rasa-rasanya
kehadirannya telah membuat jantungku membeku. Aku
mulai membayangkan kembali ketenangan hidup tanpa
sentuhan sikap kasar dan apalagi kegarangan ilmu
kanuragan" Mahisa Bungalan termenung sejenak, la melihat
kebenaran pada kata-kata orang tua itu. Jika ia merasa
damai dengan sikap diamnya, maka hal itu tentu lebih baik
baginya" Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Bungalan berkata
"Kakek. Seperti yang kakek katakan, bahwa salah seorang
diantara kita akan berada di dekat anak itu, karena setiap
saat tentu akan datang orang yang mencarinya dengan
maksud jahat. Karena itu. maka sebaiknya aku atau kau
yang pergi untuk mencari hubungan dengan Pangeran
Kuda Padmadata" "Aku akan pergi ke Kediri" berkata orang tua itu. Lalu
"Aku akan menghadap Pangeran Kuda Padmadata, apapun
yang akan terjadi atasku"
Mahisa Bungalan menggeleng lemah. Katanya "Tidak
kakek. Biarlah aku saja yang pergi. Sebaiknya kakek berada
di dekat anak dan cucumu"
"Akulah yang berkewajiban untuk melakukannya"
berkata kakek tua itu. "Mungkin benar. Tetapi akan tidak salah pula jika orang
lain yang melakukannya jika itu dikehendakinya dengan
suka rala. aku kira itu lebih baik daripada akulah yang harus
tinggal di rumah ini bersama anak dan cucumu"
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti,
bahwa dalam keadaan yang mendebarkan itu, Mahisa
Bungalan masih ingat kepada unggah-ungguh. Memang
tidak sepantasnya di rumah itu tinggal Mahisa Bungalan
dan anaknya yang masih terhitung muda pula, sementara
keduanya bukan sanak kadang.
Karena itu untuk beberapa saat ia merenung, la mencoba
menimbang, yang manakah yang akan lebih baik dilakukan.
Pergi ke Kediri atau tinggal bersama anak dan cucunya.
"Kau jangan mencoba mencari pilihan " berkata Mahisa
Bungalan yang seolah-olah mengetahui apa yang dipikirkan
oleh orang tua itu "aku tidak minta kau
mempertimbangkan. Tetapi aku memberitahukan
kepadamu, bahwa aku akan pergi ke Kediri untuk
melakukan kewajiban perikemanusiaan ini"
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian "Baiklah ngger. Tetapi biarlah kau memberi
kesempatan kita membuat pertimbangan-pertimbangan dan
perhitungan selanjutnya. Karena itu, kau tidak usah tergesagesa
pergi. Mungkin kita memerlukan waktu dua tiga hari
untuk memecahkan beberapa masalah tentang diri anakku
dan cucuku" "Sepanjang waktu itu, makanyala api di dalam dadamu
yang sudah mulai buram itu akan padam" berkata Mahisa
Bungalan. "Tidak ngger. Meskipun aku cenderung untuk
melupakan segala-galanya dengan membangunkan
ketenangan hidup bagiku dan anak cucuku. Namun


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masalah ini memang harus diselesaikan dengan Pangeran
Kuda Padmadata. Namun untuk melakukannya kita tidak
akan dapat tergesa-gesa. Mungkin ada persoalan yang dapat
kita perhitungkan dan pertimbangkan sebelum kau
berangkat ke Kediri untuk mencari Pangeran Kuda
Padmadata itu" Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya "Baiklah kek. Sudah tentu kita tidak
dapat melakukannya dengan tergesa-gesa"
"Sukurlah ngger. Kita akan membuat beberapa
pembicaraan. Aku juga ingin mendengar keterangan dan
pendapat anak perempuanku tentang suaminya itu"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sudah barang
tentu pendapat anak perempuan orang tua itu tidak akan
dapat diabaikan. Karena itu, maka orang tua itupun
mempersilahkan Mahisa Bungalan untuk beristirahat.
Tetapi agaknya Mahisa Bungalan lebih senang berada di
luar ruangan dalam rumah itu. Karena itu atas ijin orang
tua itu. Mahisa Bungalanpun beristirahat pada sisa malam
yang pendek itu di sanggarnya yang tertutup.
Beberapa saat Mahisa Bungalan masih tenggelam dalam
angan-angannya. Namun kemudian matanyapun mulai
terpejam oleh kantuk yang jarang dipergunakan itu.
Ketika ia terbangun, rumah itu masih sepi. Tetapi ia
sudah mendengar desir langkah kaki di belakang. Dengan
demikian maka Mahisa Bungalanpun mengetahui, bahwa
orang tua itupun telah bangun dan berada di halaman
belakang. Mahisa Bungalan yang kemudian membuka pintu dan
melangkah keluar melihat orang tua itu menuju ke pakiwan.
Mengambil timba yang terbuat dari upih, mengetrapkan
pada senggot dan sejenak kemudian terdengar senggot itu
berderit. Mahisa Bungalanpun kemudian pergi ke sudut rumah
mengambil sapu lidi. Seperti biasanya, iapun kemudian
membersihkan halaman rumah itu. Pekerjaan itu
dilakukannya dengan telaten sejak ia tinggal pada kakek tua
itu. Bahkan kadang-kadang iapun menimba air, mengisi
pakiwan dan jambangan di dapur apabila kakek tua itu
sedang melakukan pekerjaan yang lain. Namun kadangkadang
Mahisa Bungalanpun membelah kayu bakar dengan
kapak atau kerja lain yang tidak pernah di sisihkannya.
Tetapi sejak hari itu. rumah kakek tua itu mempunyai
seorang penghuni baru. Seorang perempuan yang kurus dan
pucat. Namun ketika Mahisa Bungalan melihat wajahnya
di siang hari dalam keadaan yang jauh berbeda dengan
keadaan di dalam gubug di pinggir hutan itu, maka Mahisa
Bungalanpun berkata kepada diri sendiri "Perempuan itu
memang cantik. Itulah agaknya Pangeran Kuda Padmadata
jatuh cinta kepadanya meskipun ia hanya seorang
perempuan padesan" Namun dalam pada itu, kematian yang ditinggalkan oleh
Mahisa Bungalan di hutan itu, telah menumbuhkan
kesulitan bagi beberapa orang penghuni padukuhan di
sekitarnya. Juga orang-orang yang biasa berada di dalam
pasar termasuk pandai besi itu.
Tetapi mereka tidak mengalami bencana yang parah.
karena menilik sikap dan kata-kata mereka, orang-orang itu
memangtidak mengetahui apakah yang telah terjadi.
Ternyata seorang penghubung telah datang ke gubug itu
dan menemukan keadaan yang mendebarkan. Penghubung
itu sudah tidak menemukan mayat sesorangpun. Yang
didengarnya adalah keterangan beberapa orang yang ikut
mengubur beberapa sosok mayat yang ditinggalkan oleh
Mahisa Bungalan. Tetapi orang-orang itu tidak dapat menceriterakan
dengan terang, siapakah Mahisa Bungalan itu, dan dibawa
kemanakah perempuan yang disembunyikan di hutan itu.
"Kami harus mencarinya sampai ketemu" geram
penghubung itu. Laporan itupun kemudian dibawanya kepada
pemimpinnya. Seorang yang mendapat kepercayaan untuk
melakukan segala cara untuk melenyapkan ibu dan anak
laki-laki itu. "Gila" ia menggeram "apa kerja kelinci-kelinci di hutan
itu?" "Semuannya terbunuh" jawab penghubung itu.
"Berapa orang yang datang ke hutan itu?"
"Menurut penglihatan orang-orang di sekitarnya, hanya
satu orang saja yang datang"
"Satu orang. Itu sudah perbuatan gila" geram orang itu
"semula aku sudah ingin membunuh perempuan itu. Tetapi
pendapat bahwa perempuan itu akan dapat dijadikan
umpan untuk menemukan anaknya, ternyata justru
sebaliknya. Jika perempuan itu sudah mati, maka kita tidak
usah menjaganya. Sekarang kita kehilangan orang itu. Jika
kita tidak menemukannya, maka segala usaha dan korban
ternyata sia-sia" Orang yang mendapat kepercayaan untuk melaksanakan
rencana yang besar itupun benar-benar telah merasa
dihinakan oleh seorang yang telah berhasil membunuh
beberapa orang pengikutnya. Karana itu, maka dengan
jantung yang membara ia berteriak "Aku akan melihat
orang itu dan mengelupas kulitnya"
Penghubung itu hanya dapat menundukkan kepalanya.
Ia tidak dapat mengatakan apapun juga, karena bahan yang
didapatkannya di sekitar tempat kejadian itupun hanya
sedikit pula. Dalam pada itu, Ki Wangut, orang yang mendapat
kepercayaan itu, segera melakukan tindakan-tindakan yang
dianggapnya penting. Ia memanggil beberapa orang
pengikutnya yang lain yang rasa-rasanya memiliki
kemampuan yang lebih dapat dipercaya.
"Orang-orang itu mati" berkata Ki Wangut.
"Apakah hal itu mungkin dilakukan oleh seorang.
Betapa tinggi ilmunya, namun melawan lima atau enam
orang sekaligus dalam tataran para penjaga itu agaknya
sukar unluk dapat dipercaya.
"Orang itu tidak melakukannya sekaligus" berkata Ki
Wangut "nampaknya orang itu telah bertempur melawan
sebagian demi sebagian. Sekelompok yang terpecah-pecah,
itu memungkinkannya untuk menebas habis tanpa tersisa
seorangpun. Ia tentu memiliki ilmu setan" geram salah
seorang dari para pengikut itu.
"Dan kau mulai gentar?" bertanya Ki Wangut.
Suara tertawa meledak. Orang yang dianggapnya takut
itupun tertawa berkepanjangan.
"Diam" bentak Ki Wangut "jangan menyelimuti
kekerdilanmu dengan suara tertawamu yang memuakkan
itu. "Kau jangan menganggap aku takut Ki Wangut" jawab
orang itu. Kau harus mengerti, kapan aku pernah mengenal
takul?" "Sekarang, setelah kau tahu bahwa seorang anak iblis
telah berhasil membunuh enam orang sekaligus"
"Itu dugaan yang keliru. Aku tidak ingin menyelubungi
perasaanku dengan kepura-puraan. tetapi aku benar-benar
menganggap alangkah dungunya yang enam orang itu.
Bukan alangkah tinggi ilmu yang seorang itu"
Ki Wangut mengerutkan keningnya. Lalu dengan raguragu
ia bertanya "Apakah kau berani menghadapinya?"
"Jika aku dapat menemukan, maka aku bersedia untuk
berperang tanding" "Kau sombong" berkata Ki Wangut "cobalah menilai
dirimu sendiri" "Katakan kepadaku Ki Wangut, apukah kira-kira aku
tidak dapat melakukan seperti yang dilakukan olah orang
itu. Dua demi dua akan dapat aku bunuh pula seperti yang
pernah terjadi" berkata orang itu dengan dada tengadah
"kau kenal aku dengan baik Ki Wangut. Kau kenal orangorang
mu yang mati itu dengan baik pula. Karena itu,
jangan kau rendahkan aku di hadapan orang lain"
Ki Wangut mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya "Kau jangan berlagak di hadapanku. Seandainya
aku membenarkan kata-katamu, itu bukan berarti bahwa
aku mengharapkan keajaiban pada dirimu. Kau tidak lebih
dari orang-orang terbunuh itu. Kelebihanmu hanyalah
karena kau dapat berteriak sangat keras, sehingga suaramu
dapat mengganggu orang lain yang mendengarnya. Tetapi
bagi orang-orang mumpuni, maka perbuatan semacam itu
hanya akan ditertawakan saja"
"Kau benar tidak percaya akan kemampuanku Ki
Wangut. Apakah aku harus menunjukkan untuk
mempertuhankan harga diriku" Aku akan dapat
mempergunakan segala jenis senjata dengan baik. Ilmu
pedangku mumpuni. Ilmu tombakku tidak ada duanya di
daerah ini. Sementara aku dapat mempergunakan senjata
apapun juga. Kapak, linggis, bahkan cambuk dan tampar.
Apakah aku harus menunjukkan bahwa dengan tanganku
aku dapat menghantam batu karang?"
"Aku percaya bahwa kau dapat menghantam batu
karang. Semua orang yang tangannya tidak cacat akan
dapat melakukannya, tetapi apakah yang akan terjadi atas
karang itu?" "Aku dapat memecahkannya" teriak erang itu.
"Itulah yang masih harus diuji"
Wajah orang itu menjadi merah. Namun kemudian
katanya "Aku akan pergi. Aku akan mencari perempuan itu
sampai dapat" "Kau menjadi gila. Kau tidak dapat melakukannya tanpa
perhitungan yang mapan"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun sorot
matanya yang menyala, seolah-olah tidak lagi dapat
dikendalikan. Harga dirinya benar-benar telah tersinggung.
Tetapi ia tidak berani berbuat apa-apa terhadap Ki Wangut
itu sendiri, karena ia tahu, betapa tingginya ilmu orang yang
bernama Ki Wangut itu. "Kita akan menentukan langkah yang paling baik yang
dapat kita lakukan" berkata Ki Wangut.
"Yang mana?" bertanya salah seorang dari pengikutnya.
"Aku mempunyai perhitungan bahwa perempuan itu
telah dibawa kepada anak laki-lakinya. Karena itu, jika kita
berhasil menemukannya, kita akan menemukan ke duaduanya"
ia berhenti sejenak, lalu "sementara itu, tentu ada
orang yang akan menghubungi Pangeran Kuda Padmadata
karena peristiwa ini"
"Ya" desis salah seorang yang lain.
"Kita harus memperhitungkan sebaik-baiknya Kita harus
membagi orang-orang yang ada pada kita. yang jumlahnya
telah susut dengan enam orang" suara Ki Wangut
merendah, seakan-akan ia menyesali apa yang telah terjadi
dengan ke enam orang pengikutnya itu.
Para pengikutnya hanya mengangguk-angguk saja.
Mereka adalah orang-orang yang terbiasa menjalankan
perintah tanpa mampu memikirnya.
"Salah seorang dari kita harus mengawasi istana
Pangeran Kuda Padmadata" berkata Ki Wangut "jika ada
orang yang belum dikenal bermaksud menemui Pangeran
itu, maka orang itu pantas dicurigai"
"Apakah salah seorang dari kita harus berada di depan
istana itu terus menerus untuk waktu yang tidak terbatas?"
bertanya salah seorang pengikutnya.
"Kau memang tidak mempunyai otak" sahut Ki Wangut
"kita dapat berhubungan dengan satu dua orang pengawal
di istana itu. Kita mengenal beberapa orang diantara
mereka. Kita dapat memberi mereka sekedar uang.
Sementara salah seorang dari kita minta untuk berada di
dalam pondoknya di halaman belakang istana itu. Salah
seorang dari kita akan mengaku anak keluarganya dan
tinggal di rumahnya untuk waktu yang tidak ditentukan,
karena orang yang akan tinggal itu mengaku berasal dari
jauh" Pengikutnya mengangguk-angguk. Mereka memang
mengetahui bahwa beberapa orang di istana Pangeran
Padmadata akan dapat diajaknya bekerja bersama.
"Sementara itu, beberapa orang yang lain mencari
perempuan itu ke segala sudut tanah ini. Jika perempuan itu
dapat diketemukan, maka tidak ada ampun lagi baginya
Bunuh saja bersama anak laki-lakinya dan orang-orang
yang berusaha melindunginya"
Para pengikutnya mengangguk-angguk.
"Kematiannya akan mendatangkan hadiah yang besar,
karena pekerjaan ini juga merupakan taruhan yang sangat
besar" desis Ki Wangut, kemudian "jangan terlalu banyak
pertimbangan seperti yang sudah. Akhirnya kita kehilangan
sebagian dari hasil yang pernah kita peroleh"
"Siapakah yang akan pergi ke istana Pangeran Kuda
Padmadata" bertanya salah seorang dari mereka.
"Aku sendiri" berkata Ki Wangut "aku akan menunggu
orang asing yang akan datang ke istana itu. Aku tidak boleh
memberi kesempatan kepadanya untuk berbicara. Karena
itu aku harus sanggup membungkamnya. Mungkin orang
itu benar-benar seorang pesuruh yang tidak memiliki
kemampuan apapun selain karena ia mengetahui letak
istana itu. Tetapi mungkin pula yang datang itu adalah
orang yang telah membunuh enam orang sekaligus di hutan
peliharaan itu" Para pengikutnya hanya mengangguk-angguk saja.
"Nah, kita akan berangkat ke tugas kita masing-masing.
Empat orang akan mencari perempuan itu. Sementara
kalian akan dapat mencari bekal bagi hidup kalian di
perjalanan di sepanjang jalan pula"
Para pengikutnya mengangguk-angguk. Mereka mengerti
maksud Ki Wangut Selain mencari perempuan dan
anaknya, maka mereka akan mencari makan dengan cara
apapun juga. Ki Wangutpun kemudian menunjuk empat orang yang
dianggapnya memiliki kemampuan yang cukup untuk
mencari perempuan dan anaknya, yang harus dibunuh di
manapun mereka diketemukan. Namun demikian ia


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpesan kepada pengikutnya yang lain "Kalian kali ini
dapat beristirahat. Tetapi pada suatu saat, kalian akan
mendapat tugas pula. Meskipun demikian dalam setiap
kesempatan kalian harus membantu kawan-kawanmu yang
lain. Bahkan jika sengaja atau tidak sengaja kalian
menemukan perempuan itu, maka kalianpun mempunyai
kewajiban yang sama. Membunuh mereka tanpa ampun"
Ke empat orang yang memang pernah melihat
perempuan yang pernah disekap itupun kemudian minta
diri. Mereka akan mulai dengan tugas mereka. Tugas yang
waktunya tidak dapat ditentukan. Mungkin dalam waktu
pendek. Tetapi mungkin mereka memerlukan waktu yang
sangat lama. Sementara itu, maka Ki Wangutpun segera
mempersiapkan dirinya pula. Ia harus segera pergi ke istana
Pangeran Kuda Padmadata dan berada di istana itu untuk
beberapa saat lamanya. Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang berada di rumah
Ki Wastu sudah bersiap-siap untuk pergi ke Kediri. Tetapi
ia masih menunggu sikap yang tegas dari anak perempuan
Ki Wastu itu sendiri. "Aku sudah melupakannya" berkata perempuan itu
"lebih baik kita tidak membuat hubungan apapun lagi
dengan Pangeran Kuda Padmadata. Hal itu hanya akan
menyakitkan hatiku saja"
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya iapun
sependapat dengan anak perempuannya.
Namun dalam pada itu Mahisa Bungalan berkata "Kek.
Mungkin kakek dan anak perempuan kakek itu dapat
menerima keadaan ini. Mungkin kalian tidak lagi
memerlukan pertimbangan-pertimbangan lain dalam hidup
kalian kemudian. Tetapi kalian harus ingat, bahwa ada
orang-orang yang masih akan mencari kalian dengan
maksud yang sangat jahat Apakah dengan demikian kalian
akan dapat merasa tenang. Mungkin dalam waktu satu dua
pekan, mereka belum menemukan kalian. Tetapi usaha
mereka tidak akan berhenti dalam satu dua pekan. Mereka
usaha terus mencari. Mungkin dalam satu dua bulan.
Bahkan mungkin terbilang tahun. Mereka harus
menyakinkan diri, bahwa tidak ada orang lain yang akan
ikut serta memperhitungkan warisan Pangeran yang kaya
itu, meskipun hal ini barang kali tidak pernah terpikir oleh
kalian" Ki Wastu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia
mengerti, bahwa yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan itu
benar. Mungkin dalam waktu satu dua bulan, atau katakan
untuk dua tahun, Ki Wastu dan anaknya dapat melepaskan
diri dari pengamatan orang-orang yang menghendaki
kematiannya. Namun jika pada suatu waktu orang itu dapat
menemukannya, maka persoalannya tentu akan segera
membakar ketenangan yang mereka dambakan.
"Aku kira, kau benar ngger. Orang-orang itu tentu tidak
akan melupakannya, selama mereka masih dicemaskan
oleh kemungkinan halnya seorang putera laki-laki Pangeran
Kuda Padmadata yang akan berhak atas warisan yang akan
ditinggalkan, maka sekelompok orang akan merasa tidak
tenang" berkata Ki Wastu kemudian.
"Jadi, bagaimana menurut pertimbangan kakek?"
bertanya Mahisa Bungalan.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya "Baiklah anakmas. Kita akan
mempertimbangkan sebaik-baiknya. Tetapi kita tidak perlu
tergesa-gesa. Kita akan melihat perkembangan keadaan.
Jika angger tergesa-gesa pergi ke Kediri, mungkin di Kediri
kini justru telah dipasang jebakan"
"Apa yang dapat mereka lakukan?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Kemudian beberapa orang pengawal itu tentu akan
membawa akibat Mungkin kawan-kawan mereka mulai
berpencaran mencari anak dan cucuku. Sebagian mungkin
akan pergi ke Kediri, jika ada orang yang tidak dikenal pergi
menghadap Pangeran Kuda Padmadata membawa seorang
anak laki-laki atau seorang perempuan yang pernah mereka
sembunyikan di hutan itu. Bahkan mungkin mereka telah
mendapat perintah yang lebih garang lagi dari pemimpin
mereka. Bunuh setiap orang yang mencurigakan. Seperti
yang kau cemaskan, dapat saja tiba-tiba muncul
sekelompok orang di padukuhan ini untuk berusaha
merebut cucuku" "Karena itu, kita tidak boleh merasa bahwa persoalannya
telah selesai" "Tetapi juga tidak tergesa-gesa bertindak. Kita masih
nempunyai waktu" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Ia sependapat dengan
orang tua itu, bahwa segalanya harus dipertimbangkan
sebaik-baiknya agar mereka tidak terjebak dalam suatu
perangkap maut yang tidak dapat dihindari lagi.
Karena itu, maka meskipun Mahisa Bungalan telah
bersiap-siap, namun ia tidak segera berangkat. Ia masih
tetap berada di padukuhan itu untuk beberapa hari. Bahkan
ternyata Mahisa Bungalan dengan cermat mengawasi
orang-orang yang datang atau lewat di padukuhan itu.
Tidak mustahil bahwa yang lewat itu adalah kawan-kawan
orang yang telah dibunuhnya. Bukan saja untuk mencari
orang yang telah membunuh mereka, tetapi juga mencari
perempuan yang telah dibebaskannya beserta anak lakilakinya.
Semua orang yang pernah melihat aku telah mati "
berkata Mahisa Bungalan jika ada orang yang mencari aku, mereka tentui sekedar
mendapat gambaran dari orang lain"
Meskipun demikian Mahisa Bungalan tidak
meninggalkan kewaspadaan. Demikian pula kakek tua yang
menjaga cucunya itu, sehingga dengan demikian, maka
Mahisa Bungalan dan kakek tua itu telah mengatur waktu
agar mereka dapat bergantian berada di rumah. Jika kakek
tua itu pergi ke tanah garapan yang dibukanya di
padukuhan itu, maka Mahisa Bungalan berada di rumah
dengan mengerjakan segala macam pekerjaan. Kadangkadang
ia membelah kayu dengan kapak. Namun kadangkadang
ia hanya menganyam perkakas mencari ikan yang
dibuatnya dari bambu. Dengan telaten Mahisa Bungalan
membuat icir dan bengkeng. Membuat kepis dan bahkan
pernah ia mencoba membuat jala dari lawe. Namun
ternyata untuk waktu yang cukup lama jalanya masih
belum siap untuk dipakai di sungai yang tidak terlalu jauh.
Namun kadang-kadang kegelisahannya hampir tidak
dapat dikendalikannya lagi. Ia ingin lebih cepat bertemu
dengan Pangeran Kuda Padmadata dan menyampaikan
peristiwa yang pernah terjadi atas isteri dan puteranya.
Namun ternyata bahwa Mahisa Bungalan benar-benar
telah ingin menunda kepergiannya, ketika ia melihat dua
orang berkuda lewat di padukuhan itu, kebetulan saat ia
berada di sawah. Kedua orang itu, meskipun tidak terlalu banyak
menghiraukan keadaan di sekitarnya di padukuhan itu,
namun ada semacam getaran di dalam jiwa Mahisa
Bungalan yang memberitahukan kepadanya, bahwa
sepantasnya ia mencurigai kedua orang itu.
"Mungkin keduanya adalah orang yang bernasib kurang
baik, karena tiba-tiba saja aku telah mencurigainya. Tetapi
tidak ada salahnya untuk berhati-hati" berkata Mahisa
Bungalan di dalam hatinya.
Ternyata kedua orang yang kebetulan saja lewat di bulak
yang pendek, di sebelah tanah garapan Mahisa Bungalan
dan kakek tua itu, tidak menghiraukannya. Mereka sekedar
lewat saja memasuki padukuhan tempat kakek tua dan
Mahisa Bungalan tinggal. "Apa yang akan mereka kerjakan di padukuhan itu"
berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Namun karena
kegelisahannya itu, maka iapun kemudian memanggul
cangkulnya dan segera kembali ke rumahnya, melalui regol,
ia sudah tidak melihat kedua orang berkuda itu. Namun ia
masih melihat tapak kaki kuda itu menyelusuri jalan
padukuhan. Sejenak Mahisa Bungalan menjadi ragu-ragu. Namun
iapun kemudian mencoba menelusuri tapak kaki kuda itu.
Tetapi langkahnya tertegun kelika seorang tetangga
berkata kepadanya "He, kamu akan pergi kemana?"
Mahisa Bungalan ragu-ragu sejenak. Ia masih membawa
cangkul. Tetapi ia telah berjalan di jalan yang menuju ke
rumah kakek tua yang telah memeliharanya, sejak ia terluku
parah. Dengan ragu-ragu Mahisa Bungalan menjawab " Lihat,
ada tapak kaki kuda"
Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya kenapa
dengan lapak kaki kuda?"
"Bukankah dengan demikian ternyata ada dua orang
asing memasuki padukuhan ini?"
"Kenapa dengan orang asing" Jalan ini adalah jalan yang
panjang, yang kebetulan saja membelah padukuhan kita.
Bukankah wajar jika ada dua atau seorang yang lewat.
Berkuda alau tidak berkuda?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. la
mengerti bahwa orang itu menjadi heran terhadap sikapnya.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Bungalan berkata "Aku
masih dibayangi oleh kecemasan, bahwa masih ada orang
jahal yang lewat daerah ini, seperti pada saat perlama kali
aku datang. Aku mengalami perlakuan yang sama sekali
tidak menyenangkan" Orang itu mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa
pada saat itu Mahisa Bungalan telah diserang oleh orangorang
yang tidak dikenal sebelumnya. Untunglah bahwa ia
sempat melawan dan dapat mengalahkan kedua orang itu
meskipun ia terluka, sehingga ia harus dirawat oleh kakek
tua itu. Agaknya Ki Wastu berhasil menyembuhkannya dan
menahan perantau muda itu untuk tinggal bersamanya.
"Tetapi bukankah orang-orang berkuda itu tidak berbuat
sesuatu?" tiba-tiva saja orang itu bertanya.
Mahisa Bungalan menggeleng, jawabnya "Tidak. Telapi
entahlah nanti kalau pada kesempatan lain"
Orang itu menarik nafas. Ia mengerti bahwa karena
pengalamannya, maka Mahisa Bungalan menjadi mudah
mencurigai orang lain. Sehingga karena itu, maka iapun
kemudian tidak berkata lagi. Katanya "Sudahlah, aku akan
pergi ke kali" "Silahkan" jawab Mahisa Bungalan yang termangumangu.
Sepeninggal orang itu, maka Mahisa Bungalan
meneruskan langkahnya mengikuti tapak kaki kuda itu.
Namun ternyata bahwa kedua orang penunggang kuda itu
hanya melalui jalan di tengah-tengah padukuhan itu tanpa
berhenti dan singgah. Meskipun demikian, Mahisa Bungalan menyampaikan
hal itu kepada Ki Wastu. Agaknya orang tua itupun
menjadi gelisah. Meskipun belum ada tanda-tanda apapun
juga, namun karena kecemasan yang memang sudah ada di
dalam hatinya, maka peristiwa-peristiwa yang belum pasti
akan dengan mudah dapat menggetarkan jantungnya.
"Anakmas, aku sudah melarang anak dan cucuku keluar
halaman. Jika mereka akan mencuci pakaian, biarlah
mereka mencucinya dengan air sumur berkata orang tua itu.
"Mudah-mudahan mereka benar-benar orang lewat saja"
berkata Mahisa Bungalan kemudian "namun ada semacam
kecurigaan yang tidak mendasar di hatiku"
"Seseorang kadang-kadang dipengaruhi oleh
perasaannya. Kadang-kadang seseorang mendapat firasat
tentang sesuatu yang akan terjadi. Meskipun sekedar
isyarat, namun jika kita dapat mengurainya, maka isyarat
itu akan dapat memberikan petunjuk" berkata Ki Wastu.
Lalu "Tetapi kadang-kadang kita juga dipengaruhi oleh
kecemasan di dalam diri kita sendiri, sehingga yang
sebenarnya tidak ada apa-apa, membuat kita menjadi
gelisah" "Apa salahnya kita berhati-hati kakek" jawab Mahisa
Bungalan. "Ya. Kita memang harus berhati-hati"
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan menjadi lebih
cemas lagi, ketika selang dua tiga hari, ia melihat lagi dua
orang berkuda yang lewat. Mereka seolah-olah dua orang
yang sedang menempuh perjalanan yang menyenangkan.
Tidak tergesa-gesa dan sangat terlarik oleh keadaan di
sekitarnya, jalan yang mereka lalui.
Seperti beberapa saat lampau, kelika Mahisa Bungalan
sedang berada di sawah, ia melihat dua orang berkuda
menuju ke padukuhannya. Seperti yang pernah terjadi,
iapun kemudian segera pulang dan mengikuti telapak kaki
kuda itu. Ia tidak berhenti sampai ke regol sebelah, tetapi ia
menyelusuri beberapa puluh tonggak lagi. Ternyata ke dua
orang penunggang kuda itu telah berbelok menuju ke
padukuhan sebelah. Padukuhan yang tidak lebih besar.
Tetapi padukuhan itu mempunyai sebuah pasar.
Dengan pakaian yang dipakainya turun ke sawah,
Mahisa Bungalan tidak dapat pergi ke pasar. Karena itu,
maka iapun dengan tergesa-gesa pulang ke rumahnya untuk
berganti pakaian yang lebih bersih. Meskipun pakaian
petani seperti yang sering dipakai oleh penghuni padukuhan
itu. Ketika ia sampai ke pasar, maka Mahisa Bungalan masih
melihat dua ekor kuda tertambat. Dengan hati yang
berdebar-debar ia mendekati sebuah kedai. Ternyata kedua
orang penunggang kuda itu berada di dalam kedai.
Mahisa Bungalan menjadi ragu-ragu Ia tidak biasa
masuk ke dalam kedai, karena pasar itu letaknya dekat
dengan padukuhannya Orang-orang di pasar itupun telah
mengenalnya pula, sebagai salah seorang anggauta keluarga
kakek tua itu, sehingga jika ia masuk ke dalam kedai itu,
banyak orang yang akan menjadi heran.
Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Untuk
mengisi kegelisahannya, maka iapun kemudian berjongkok
menghadapi alat-alat pertanian yang dijajakan dekat kedai
itu.

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa saat Mahisa Bungalan melihat-lihat alat-alat
besi yang sederhana. Ia melihat-lihat sebuah kapak
pembelah kayu yang besar. Namun agaknya Mahisa
Bungalan tidak menyukainya. Kemudian dilihatnya sebilah
parang. Tetapi parang itupun kemudian diletakkannya
sambil menggelengkan kepalanya.
"Buatan pandai besi dari Sanggurda" berkata penjual
alat-alat pertanian itu "manakah yang lebih baik dari buatan
Sanggurda ini?" Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Jawabnya "Ya.
Buatannya memang baik. Tetapi aku kira bahannya, yang
kurang baik. Apakah benar barang-barang ini buatan
Sanggurda?" Penjualnya menjadi ragu-ragu. Namun iapun tersenyum
sambil menjawab "Aku kira buatan Sanggurda. Entahlah
jika aku keliru" Mahisa Bungalan tertawa pula. Namun tiba-tiba saja
tertawanya tertahan ketika ia mendengar salah seorang dari
antara mereka yang duduk di kedai itu bertanya "He,
nenek. Padukuhan ini termasuk padukuhan yang besar.
Bukankah begitu?" "Ya. ya Ki Sanak. Tetapi sebenarnya padukuhan ini
bukannya padukuhan yang cukup besar. Tetapi karena
letaknya di antara beberapa padukuhan yang jaraknya
hampir sama, maka padukuhan ini seolah-olah menjadi
pusat hubungan antara beberapa padukuhan di sekitar
padukuhan ini. Karena itulah agaknya padukuhan ini
mempunyai pasar" Orang di kedai itu terdiam. Ketika Mahisa Bungalan
berpaling ke dalam, dilihatnya orang yang berbicara itu
mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya
"Bukankah daerah ini semakin lama menjadi semakin
ramai?" "Agaknya memang demikian Ki Sanak" jawab nenek tua
penjual di warung itu. "Apakah banyak orang-orang baru yang tinggal di
padukuhan ini nenek?" tiba-tiba orang itu bertanya.
Pertanyaan itu membual Mahisa Bungalan menjadi
berdebar-debar. Sejenak ia menunggu dengan tegang.
Namun ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia
mendengar penjual di kedai itu menjawab "Tidak ada orang
baru di padukuhan ini. Yang aku lihat sehari-hari adalah
orang-orang yang sama. Mungkin ada satu orang yang tidak
aku kenal masuk ke dalam warung ini, tetapi mereka bukan
penghuni padukuhan ini. Sebenarnyalah orang-orang di
padukuhan ini justru tidak banyak yang memasuki
warungku. Justru orang-orang dari padukuhan yang jauh
yang singgah sebentar minum minuman panas dan
makanan hangat" Kedua orang itu mengangguk-angguk. Katanya
kemudian "Padukuhan ini menyenangkan sekali. He,
nenek. Apakah padukuhan sebelah menyebelah tidak
banyak dikunjungi orang-orang pendatang baru yang
membuka sawah dan pelegalan di daerah ini?"
Terdengar nenek itu menjawab "Aku tidak tahu Ki
Sanak. Nampaknya tidak ada"
Mahisa Bungalan terkejut ketika penjual alat-alat
pertanian itu bertanya "Apakah tidak ada yang sesuai
dengan kebutuhan Ki Sanak?"
"Aku baru mengingat-ingat" jawab Mahisa Bungalan.
Namun dadanya menjadi berdebar-debar karena ia
mendengar seorang yang juga berada di warung itu
menjawab "Di padukuhan sebelah ada orang baru"
"Di mana?" ternyata kata-kata itu telah menarik
perhatian orang-orang berkuda itu.
"Padukuhan sebelah" jawab orang yang menyebut orang
baru itu. "Laki-laki atau perempuan" bertanya salah seorang
penunggang kuda itu. "Laki-laki" "Siapa" Tua, muda?"
"Masih muda. la kawin dengan gadis padukuhan
sebelah. Kemudian ia tinggal bersama mertuanya
membantu bekerja di sawah karena mertuanya sudah sangat
tua" Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan
yang seorang dari mereka telah menghentakkan tangannya
di pahanya sendiri. Namun tiba-tiba nenek penjual di warung itu bertanya
"Apakah Ki Sanak berkepentingan dengan orang-orang
baru yang tinggal di padukuhan ini?"
"Tidak. Aku hanya sedang mencari saudaraku
perempuan dan anak laki-lakinya. Ia telah menghilang dari
rumah ketika diketahuinya suaminya kawin lagi. Aku tidak
tahu ke mana ia pergi. Karena itu, aku sedang mencarinya.
Mungkin ia tinggal bersama orang tuanya yang sudah tua"
"O" desis perempuan itu "kasihan. Kenapa suaminya
meninggalkannya?" "Aku tidak tahu. Aku ingin bertemu dengan saudara
perempuanku itu, aku akan bertanya kepadanya lebih teliti
lagi, agar aku tidak dikendalikan oleh anggapan yang keliru
yang dapat membawaku ke jalan yang sesat"
"Bagus. Bagus Ki Sanak. Segala sesuatunya memang
harus diperhitungkan baik-baik" sahut nenek tua itu.
Sementara itu, penjual alat-alat pertanian itu mengangkat
sebuah parang sambil bertanya "Apakah parang ini juga
kau anggap kurang baik Ki Sanak?"
"Sudah aku katakan" sahut Mahisa Bungalan
"bahannyalah yang agak mengecewakan"
Penjual barang-barang besi itu mengangguk-angguk.
Sementara Mahisa Bungalan berusaha mendengar
pembicaraan di dalam warung itu.
Tetapi ternyata yang mereka bicarakan sudah lain sama
sekali. Mereka tidak menyebut-nyebut lagi lentang
perempuan dan anaknya laki-laki.
Mahisa Bungalan menjadi kecewa. Ia tidak mendengar
percakapan terakhir antara kedua orang berkuda itu dengan
nenek pemilik warung. Namun demikian, ia sudah
menduga, bahwa kedua orang itu tentu ada hubungannya
dengan hilangnya isteri Pangeran Kuda Padmadata dari
tempat pengasingannya. Ternyata bahwa kedua orang itu
bertanya tentang seorang perempuan dan anak laki-lakinya.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan masih mencoba untuk
menunggu. Tetapi ia tidak mau terlibat lagi dengan
pertanyaan-pertanyaan penjual alat-alat pertanian itu.
Karena itulah maka iapun kemudian berkata "Mudahmudahan
lain kali kau membawa sesuatu yang sesuai
dengan kebutuhanku" berkata Mahisa Bungalan.
"Pilihanmu terlalu sulit" desis penjual itu.
Mahisa Bungalan tersenyum. Namun iapun kemudian
bergeser dan bersandar dinding warung itu. Katanya "Aku
ingin beristirahat. Aku lelah sekali"
Penjual barang-barang besi itu tidak menggapainya.
Bahkan ia bergumam di dalam hatinya "Orang itu tentu
tidak mempunyai uang"
Sementara itu, orang di dalam warung itu benar-benar
sudah tidak membicarakan lagi tentang perempuan dan
anak laki-lakinya. Bahkan agaknya keduanya sudah
membayar harga makanan dan minuman yang mereka beli.
Kemudian keduanya berdiri dan minta diri.
Namun pada saat itu, seorang lain yang juga berada di
warung itupun keluar bersama dengan keduanya. Adalah
diluar dugaan Mahisa Bungalan, bahwa orang itu adalah
tetangganya yang nampaknya baru saja menjual hasil
kebunnya dan singgah di warung itu pula.
"He, kau" orang itu menyapa Mahisa Bungalan yang
duduk bersandar dinding. Mahisa Bungalan hanya mengangguk saja sambil
tersenyum. Ia tidak ingin menjawab, agar pembicaraannya
tidak berkepanjangan. Tetapi orang itu justru berkata kepada kedua orang
penunggang kuda "Orang itu juga orang baru disini"
Kedua orang penunggang kuda itu mengerutkan
keningnya. Yang seorang kemudian bertanya sambil
memandang Mahisa Bungalan "Apakah benar ia orang
baru?" "Ya. Ia tinggal di rumah kakek tua di padukuhan
sebelah. Bukan padukuhan ini. Sepadukuhan dengan aku"
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Tetapi agaknya ia
tidak tertarik kepada Mahisa Bungalan yang duduk
bersandar dinding. Tetapi keterangan orang itu kemudian bagaikan
menyengat jantung Mahisa Bungalan. Kelika ia berkata
"Bahkan kemudian ia telah disusul oleh saudara
perempuannya yang kini tinggel bersamanya"
Kedua orang penunggang kuda itu menegang sejenak.
Namun yang seorang dari mereka berkata "Yang aku cari
adalah saudara perempuanku, bukan saudara perempuan
orang lain" Kawannya nampak ragu-ragu sejenak. Namun ketika
yang berbicara itu kemudian melangkah kekudanya, yang
lainpun mengikutinya pula.
"Kita harus meyakinkan bahwa, apakah perempuan itu
benar-benar perempuan yang kita cari"
"Kau bodoh" desis yang lain "kita tidak boleh tergesagesa.
Kita harus yakin lebih dahulu sebelum kita bertindak.
Sebab, jika kita sudah bertindak, ternyata orang itu
bukannya yang kita cari, maka orang yang sebenarnya akan
mendengar dan bersembunyi lebih jauh lagi dari
kemungkinan pengamatan kita"
"Jadi maksudmu?" bertanya yang lain.
"Kita berusaha mengetahui dimana rumahnya. Itu tidak
sulit. Lain kali kita datang lagi ke warung itu dan bertanya
dimanakah rumah mereka. Kita akan berusaha melihat,
apakah perempuan itu benar-benar yang kita cari"
"jika benar, kita akan langsung mengambilnya atau
membunuhnya bersama anaknya"
"Jika rumah itu tidak ada orang lain. Ingat, bahwa enam
orang telah terbunuh oleh seorang saja yang telah
membebaskan perempuan itu. Tidak mustahil bahwa yang
seorang itu adalah orang yang bersandar dinding itu"
"Apakah orang itu sedang mengamati kita?"
"Aku tidak tahu. Tetapi kita harus bertindak cepat,
sebelum mereka melarikan diri"
Kedua orang berkuda itupun segera memacu kudanya
kembali ke tempat mereka tinggal untuk sementara bersama
kawan-kawannya yang lain. Mereka akan segera melakukan
pengamatan atas seorang perempuan yang telah di sebut
diluar warung itu. "Hari ini kita harus mematangkan rencana. Besok kita
akan pergi ke warung itu untuk mengetahui dimana rumah
orang yang dimaksud. kita akan langsung mengirimkan
orang yang belum dikenal untuk pergi ke rumah itu dengan
alasan apapun juga. Jika kita sudah yakin, kita akan datang,
tidak satu dua orang, tetapi bersama-sama karena yang
akan kita hadapi adalah orang gila yang telah membunuh
enam orang sekaligus"
Kawannya mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa jika
mereka datang seorang saja, maka mungkin sekali mereka,
akan mengalami nasib seperti kawan-kawannya di hutan
peliharaan itu. "Kita harus cepat bertindak" desis yang seorang "jika
kita terlambat, kita akan kehilangan mereka lagi"
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera
menjawab. Demikianlah keduanya telah berangan-angan
bahwa mereka akan dapat menyelesaikan tugas mereka
dengan baik. Mereka akan dapat menangkap dan
membunuh perempuan yang telah dilepaskan oleh seorang
yang tidak mereka kenal. Tidak seorangpun diantara
mereka yang dapat mengatakan, siapakah orangnya, karena
semuanya telah terbunuh. Sedangkan keterangan yang
mereka dapatkan dari orang-orang di sekitar pasar itu,
hanya memberikan gambaran samar-samar.
Sejenak kemudian, salah seorang dari kedua orang
berkuda itu berdesis "Jika benar orang itu adalah orang
yang kita cari, mudah-mudahan orang di warung yang
bersandar dinding itu tidak menjadi curiga terhadap kita
berdua dan membawa perempuan itu menyingkir"
"Malam ini kita akan mengawasi pedukuhan itu" sahut
yang lain. Kita berempat. Jika kita melihat mereka
meninggalkan padukuhan itu, kita akan bertindak"
"Apakah kita akan dapat menunggu mereka di jalan
yang pasti akan dilaluinya?"
"Bukankah kita berempat" Kita berada di tempat yang
terpisah. Jika ternyata perempuan itu pergi bersama seorang
laki-laki yang tentu pembunuh dari kawan-kawan kita itu,
kita melepaskan isyarat. Kita akan segera berkumpul dan
membunuh mereka" "Baiklah. Itu akan kita kerjakan sebelum kita sempat
berbicara dangan nenek di warung itu besok"
Demikianlah, maka merekapun memutuskan unluk
mengawasi seisi padukuhan di sebelah, seperti yang
dikatakan orang di warung itu. Jika malam itu mereka tidak
melihat sesuatu, maka besok salah seorang dari mereka
akan datang ke rumah itu untuk melihat apakah benar
perempuan itu adalah perempuan yang mereka cari, agar
mereka tidak terlibat dalam pekerjaan yang sia-sia yang
justru akan dapat menyembunyikan orang yang sebenarnya.
Dalam pada itu, selagi orang-orang itu sibuk dengan
rencananya Mahisa Bungalan telah berada di rumah kakek
tua yang sedang menyembunyikan anak dan cucunya.
Dengan hati-hati, agar tidak didengar oleh isteri Pangeran
Kuda Padmadata, Mahisa Bungalan menceriterakan, apa
yang dilihat dan didengarnya di pasar dipadukuhan sebelah.
"Jadi" bertanya kakek tua itu "bagaimana pendapatmu
ngger. Apakah orang-orang itu benar-benar mencari
saudara perempuannya, atau sekedar sebagai selubung
usahanya untuk menemukan anak dan cucuku"
"Itulah yang meragukan kek. Tetapi nampaknya mereka
sama sekali tidak tertarik ketika orang yang bersamanya di


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

warung itu mengatakan bahwa aku tinggal bersama seorang
perempuan yang baru saja tinggal di rumah ini"
Kakek tua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya "Meskipun demikian ngger, tetapi kita jangan
meninggalkan kewaspadaan. Sebaiknya kita berdua untuk
dua tiga hari tidak meninggalkan rumah meskipun hanya
sekedar pergi ke sawah. Kita tidak tahu, apa yang bakal
terjadi" Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya "Aku
sependapat kek. Besok kita berdua tinggal di rumah"
Keduanya berhenti berbicara ketika cucu kakek itu
mendekat. Ia duduk diantara Ki Wastu dan Mahisa
Bungalan. Karena kehadiran cucunya, maka Ki Wastu teh
membelokkan pembicaraan mereka kepada keadaa mereka
sehari-hari. Ketika malam turun, maka ke empat orang yang sedang
mencari isteri Pangeran Kuda Padmadata yang hilang itu
telah berada di tempat yang tersembunyi untuk mengawasi,
apakah ada orang yang meninggalkan padukuhan. Namun
ternyata sampai larut malam mereka tidak melihat
seorangpun pergi. Karena mereka yakin bahwa tidak akan ada lagi yang
mereka tunggu, maka merekapun sempat berbaring dan
tertidur beberapa saat. Menjelang dini hari, mereka
meninggalkan tempat persembunyian mereka untuk
berkumpul kembali. "Kita akan melakukan rencana kita" berkata salah
seorang dari mereka "kita akan dapat menyelesaikan
masalah ini, karena kita bukan orang-orang dungu seperti
penunggu hutan itu" Kawannya tertawa. Katanya "Aku kira, akupun dapat
melakukan seperti yang dilakukan oleh orang yang tidak
dikenal itu" "Kita yakin akan diri kita" berkata yang lain lagi "jika
kita berempat, karena kita terlalu berhati-hati. Sebenarnya
kita masing-masing dapat melakukannya"
Yang lain mengangguk-angguk, sementara mereka
menyiapkan diri untuk melaksanakan rencana mereka. Dua
orang akan datang lagi ke warung dipasar itu untuk
menanyakan rumah orang yang telah disebut-sebut itu, agar
mereka dapat melakukan tugas mereka sebaik-baiknya.
Tanpa menimbulkan kecurigaan, maka dua orang itupun
bertanya sambil mengunyah makanan seakan-akan sekedar
berbicara tanpa maksud apa-apa"
Tanpa curiga, nenek penjual di warung itupun kemudian
menunjukkan rumah Mahisa Bungalan meskipun hanya
sekedar arahnya. "Aku belum pernah melihatnya. Tetapi aku kenal semua
orang di padukuhan itu, termasuk tetangga-tetangganya
terdekat" berkata nenek itu.
Tetapi keterangan yang pendek itu sudah cukup
meyakinkan, bahwa mereka akan dapat menemukan rumah
yang mereka cari. Dengan demikian, maka seorang diantara ke empat
orang itupun segera berusaha untuk melakukan tugasnya
sebaik-baiknya. Seorang dari antara mereka, bukan yang termasuk
pernah dilihat oleh Mahisa Bungalan diwarung itu, telah
berusaha menemukan rumahnya. Ia harus melihat dan
meyakinkan, bahwa perempuan di rumah itu adalah
perempuan yang mereka cari, karena orang itupun pernah
melihat isteri Pangeran Kuda Padmadata ketika ia
disingkirkan dari rumahnya ke hutan terpencil itu.
Mula-mula ia hanya sekedar mengawasi di longkangan.
Dengan hati-hati iapun kemudian mendekat. Ketika anak
itu lewat di halaman, orang yang sedang mengintainya itu
melangkah memasuki regol halaman dengan sikap ketuatuaan.
"Ngger" ia memanggil "apakah aku dapat bertanya
sedikit?" Anak laki-laki itu termangu-mangu. Ketika ia hampir
mendekat, maka kakeknya telah muncul di halaman sambil
berkata "Masuklah. Biar kakek yang datang"
Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak
berani melanggar perintah kakeknya.
Tetapi pada saal itulah, seorang perempuan muncul di
pintu. Hanya sekejap untuk memanggil anaknya dari pintu.
Betapa ia berhati-hati namun ternyata bahwa yang
sekejap itu telah menumbuhkan persoalan yang gawat
baginya. Laki-laki di regol yang melihat sekilas itu telah
menjadi berdebar-debar. Nampaknya perempuan itu adalah
perempuan yang sedang dicarinya.
Kekita Ki Wastu sudah mendekati regol, maka laki-laki
dengan sikap ketua-tuaan itupun bertanya sebuah nama
seorang laki-laki. Apakah benar rumah itu adalah rumah
orang yang dicarinya"
Ki Wastu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
menggeleng sambil menjawab "Bukan Ki Sanak. Aku tidak
mengenal orang itu" Orang dengan sikap ketua-tuaan itupun kemudian
melangkah pergi. Tetapi kemudian ia telah menghubungi
seorang kawannya yang lain untuk meyakinkan, apakah
penglihatannya itu benar.
Kawannyapun kemudian mendekati rumah itu dari arah
belakang. Tetapi tidak terlalu dekat. Ia menunggu beberapa
saat untuk dapat melihat seorang perempuan lewat. Apakah
di longkangan, di halaman samping atau di kebun belakang.
Tetapi akhirnya ia melihat juga. Perempuan yang
ditunggunya itu pada suatu saat melintasi halaman
belakang menuju ke pakiwan.
Dada orang itu menjadi berdebar-debar. Iapun yakin,
bahwa perempuan itu adalah perempuan yang dicarinya.
Ketika kemudian perempuan itu keluar dari pakiwan dan
dengan tergesa-gesa masuk lewat pintu butulan, maka iapun
yakin akan penglihatannya.
Dengan hati-hati iapun kemudian meninggalkan
tempatnya. Ia tidak sempat melihat Mahisa Bungalan yang
kemudian keluar dari pintu belakang.
Ternyata Mahisa Bungalan dan Ki Wastu yang berada di
dalam rumah ternyata juga tidak melihat, bahwa ada orang
yang melihat-lihat rumahnya dari jarak yang tidak terlalu
dekat. Bahwa orang itu telah berhasil melihat isteri
Pangeran Kuda Padmadata yang mendapat pesan dari
ayahnya, untuk tidak terlalu sering keluar rumah. Bahkan
ayahnya berpesan, bahwa perempuan itu sama sekali tidak
boleh keluar halaman. Dalam pada itu, Mahisa Bungalan menjadi berdebardebar
ketika ia mendengar seorang tetangganya yang lewat
bertanya "He, anakmas, apakah kau baru saja menerima
tamu?" "Tidak paman" jawab Mahisa Bungalan.
"Tadi aku lihat seseorang berdiri termangu-mangu di
sebelah halaman belakang rumahmu. Aku kira ia kemudian
masuk ke halaman rumahmu lewat regol depan"
Mahisa Bungalan termenung sejenak. Sekilas ketegangan
membayang di wajahnya. Namun sekejap kemudian ia
sudah tersenyum sambil menjawab "Mungkin seseorang
yang sedang mencari rumah sanak kadangnya"
Sepeninggal tetangganya itu, maka Mahisa Bungalanpun
menemui Ki Wastu. Ia mengatakan apa yang didengarnya
dari tetangganya dan dihubungkan dengan apa yang telah
diketahui oleh Ki Wastu di halaman, tentang orang yang
mencari rumah seseorang. "Apakah sebenarnya yang mereka lakukan?" bertanya
Mahisa Bungalan kemudian.
"Mencurigakan" sahut Ki Wastu "agaknya kita sudah
mulai diawasi. Bahkan mungkin bukan sekedar diawasi.
Tetapi dalam waktu yang singkat, kita akan menima tamu
yang tidak kita kehendaki"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam,
sementara Ki Wastu berkata dengan nada dalam "Angger.
Sebenarnya aku tidak berhak menahan angger disini.
Apalagi dalam keadaan yang gawat seperti sekarang ini.
Angger, mempunyai ayah bunda yang merindukan angger
kembali dengan selamat. Bahkan mereka tentu
berpengharapan, bahwa kelak mereka akan melihat anak
laki-lakinya menjadi seorang yang hidup tenang. Apakah
kata mereka tentang orang tua yang tidak tahu diri, yang
melibatkan anaknya ke dalam suatu peristiwa yang gawat,
yang dapat mengancam jiwanya?"
Mahisa Bungalan beringsut setapak. Katanya "Sudahlah
kek. Jangan merajuk seperti kanak-kanak. Kita sudah
berada dalam keadaan yang tanpa kita rencanakan dan kita
kehendaki. Sementara itu, aku yang meninggalkan rumah
untuk merantau, tentu sudah memperhitungkan segala
sesuatu akibat yang dapat terjadi atas diriku. Termasuk
kemungkinan seperti yang akan kita hadapi"
Orang tua itu mengangguk-angguk. Tatapan matanya
yang menjadi suram, kadang-kadang nampak memancar.
Tetapi kadang-kadang redup.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Ternyata orang
tua itu tidak dapat menahan perasaannya. Dengan suara
parau ia berkata "Alangkah bahagianya ayah dan bundamu
anakmas. Kau adalah seorang anak laki-laki yang baik,
yang memberikan kebanggaan kepada orang tuanya"
"Jangan memuji kek" berkata Mahisa Bungalan "yang
harus kita perhitungkan sekarang, apakah yang dapat kita
lakukan untuk menyelamatkan anak dan cucu kakek itu"
"Sulit untuk melakukannya ngger. Bahkan hampir tidak
mungkin. Jika yang datang ke rumah ini orang-orang sakti
dalam jumlah yang banyak, maka apa yang telah aku
lakukan selama ini adalah sia-sia" orang tua itu
menundukkan sepalanya. Katanya selanjutnya "anakku
hanyalah seorang. Cucuku baru seorang. sementara mereka
akan mengalami bencana ini. Dengan demikian maka jalur
namaku akan berakhir sampai di sini. Tidak ada
seorangpun yang akan meneruskan aliran darah di dalam
jantungku ini" "Kenapa tiba-tiba kakek menjadi putus asa" Semula aku
tidak mengira bahwa orang seperti kakek ini begitu
mudahnya berputus asa" potong Mahisa Bungalan.
"Ada seribu macam gejolak perasaan di dalam hatiku.
Sebenarnya aku lebih condong untuk mempersilahkan
angger meninggalkan rumahku ini"
"Jangan menjadi cengeng" desis Mahisa Bungalan "kita
harus menentukan sikap. Kau boleh berputus asa dan
bahkan membunuh diri. Tetapi tidak dengan anak dan
cucumu yang masih sangat muda itu"
Kakek itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya
wajah Mahisa Bungalan yang justru nampak bagaikan
menyala. Karena itu, maka darahnya yang serasa mulai membeku
itupun telah mengalir perlahan-lahan semakin lama menjadi
semakin deras. Bahkan kemudian darah orang tua itu
bagaikan mendidih di dalam jantungnya.
Katanya kemudian dengan wajah tengadah "Kita
sembunyikan mereka di dalam sanggar. Tempat itu sulit
untuk diketemukan orang yang tidak mengenal rumah ini
sebaik-baiknya. Pintunya tidak jelas dan letaknyapun di
antara ruang-ruang yang tertutup.
Mahisa Bungalan menarik nafas. Ketika ia mula-mula
berada di rumah itu, iapun tidak segera mangenal letak
sanggar itu. Karena itu maka katanya "Bagus kek. Tetapi
kakek harus berpesan, jangan menimbulkan bunyi yang
dapat menarik perhatian"
Orang tua itupun kemudian termangu-mangu sejenak.
Namun iapun kemudian berdiri sambil memanggil anak
dan cucunya untuk mendekat.
Dengan singkat kakek tua itu memberitahukan bahwa
keadaan menjadi gawat bagi mereka. Karena itu, sebaikrlya
anak dan cucunya itu menempatkan diri sebaik-baiknya
untuk menghindarkan diri dari kemungkinan yang paling
buruk. "Apa yang akan terjadi kek?" bertanya cucunya. "Orang
tua itu memandang cucunya sejenak. Kemudian katanya
"Tidak apa-apa. Tetapi kau jangan nakal ya. Kau dan ibu
harus bersembunyi di dalam sanggar kakek yang meskipun
agak gelap tetapi tempat itu adalah tempat yang paling
aman bagi kalian" Sejenak anak itu termangu-mangu. Ketika ia berpaling
kepada ibunya, dilihataya wajah ibunya menjadi muram.
Bahkan kemudian setitik air mata telah mengambang di
pelupuknya. "Seharusnya aku tidak menemui anakku" berkata
perempuan itu "tanpa aku, ia akan lebih aman. Meskipun
aku harus mati, tetapi dengan demikian anakku akan
terbebas dari kejaran orang-orang yang menginginkan
kematiannya" Anak laki-laki itu mengerutkan keningnya.
Namun kakeknya berkata "Jangan menyesali keadaan.
Lihat, anakmu menjadi heran, kenapa kau mengeluh.
Sebaiknya kau pasrahkan saja segalanya kepada Tuhan
Yang Maha Pelindung, sementara kita berusaha
sebagaimana dapat kita lakukan karena Tuhan
mengaruniakan akal budi dan wadag ini"
Perempuan itu mengusap matanya.
"Marilah" berkata kakek tua itu "bukankah kau sudah
menanak nasi dan membuat lauknya. Bawa sajalah.
Mungkin kau akan menunggu sampai waktu yang cukup
lama. Biarlah anakmu tidak menjadi lapar. Jika saatnya
datang aku akan memanggilmu keluar. Ingat, sebelum aku
memanggil, kau berdua harus tetap berada di dalam.
Kecuali jika sudah lewat semalam"
"Apa artinya lewat semalam itu ayah?" bertanya
perempuan itu. Ayahnya termangu-mangu. Namun ia menggelengkan
kepalanya sambil berkata "Marilah. Lihatlah tempat itu dan
biasakan di dalam gelap"
Perempuan dan anak laki-lakinya itupun kemudian
mengikuti kakek tua itu masuk ke dalam sanggar yang agak


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gelap. Kemudian dengan hati-hati kakek itu mengaburkan
pintunya yang sempit dengan menyandarkan beberapa
potong kayu bakar dan sepapah belarak kering.
Ketika ia masuk ke dalam rumah, ia melihat Mahisa
Bungalan berdiri di muka pintu yang dibukanya sedikit
Dengan berdebar-debar, orang tua itu bertanya "Apa yang
kau lihat?" Mahisa Bungalan menggelengkan kepalanya. Jawabnya
singkat "Belum ada yang aku lihat kek"
Kakek itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian "Aku mempunyai senjata yang sering aku
pergunakan di saat mudaku. Tetapi demi anak dan cucuku,
maka senjata itu akan aku pergunakan lagi sekarang jika
perlu" Mahisa Bungalan berpaling. Dipandanginya wajah kakek
tua itu. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata
"Anak dan cucumu adalah milikmu yang paling berharga
kek. Karena itu, kau harus mempertahankannya dengan
taruhan apa saja yang ada padamu"
"Ya. Aku mengerti" desis orang tua itu "aku akan
mengambil senjataku. Tetapi barangkah kau memerlukan
senjata ngger" Senjata pendek atau senjata panjang?"
"Berapa pucuk senjatamu kakek?" bertanya Mahisa
Bungalan. Orang tua itu tersenyum. Katanya "Yang aku banggakan
hanyalah satu. Tetapi aku mempunyai jenis senjata yang
lain. Meskipun bukan pusaka yang mempunyai nilai gaib"
Mahisa Bungalanpun tersenyum pula. Katanya "Berikan
padaku senjata yang tidak kau pakai kek. Aku dapat
mempergunakan senjata apa saja. Yang pendek, yang
panjang, yang lentur atau yang lemas sekalipun. Senjata
apapun akan lebih baik untuk menghadapi senjata lawan
dari jenis apapun pula"
Kakek tua itupun kemudian melangkah memasuki
biliknya. Ketika ia keluar, ia membawa sebilah pedang dan
perisai. Selain sejata itu, iapun membawa sebatang tombak
pendek" "Pakailah tombakku. Aku akan memakai pedang dan
perisaiku" berkata orang tua itu.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Pedang
yang dipegang oleh orang tua itu benar-benar pedang
mendebarkan. Pedang yang sudah berusia sangat tua, tetapi
yang masih tetap terpelihara. Meskipun ujudnya benarbenar
seperti pedang, namun buatannya mirip dengan keris.
Pedang kakek tua itu berwarna kehitaman dengan pamor
dan guratan-guratan yang memberikan kesan yang
keagungan. Sedangkan perisai di tangan kirinya,
mempunyai bentuk khusus. Perisai itu tidak terlalu besar,
melengkung sampai kebatas siku.
"Senjatamu bagus kek" berkata Mahisa Bungalan
kemudian. Orang tua itu mengangguk-angguk. Sejenak ia
memandangi pedangnya, kemudian perisainya, yang tidak
terlalu besar. "Aku mempelajari watak senjataku ini dengan sungguhsungguh"
berkata orang tua itu "karena itu, maka senjata
ini adalah senjata yang paling baik bagiku"
Sambil menerima tombak dari tangan orang tua itu,
Mahisa Bungalan berkata "Tombak pendek inipun tombak
yang bagus sekali. Tombak yang memiliki keseimbangan
panjang dan berat yang seolah-olah telah diperhitungkan
semasak-masaknya" "Mudah-mudahan kau dapat mempergunakannya"
gumam kakek tua itu. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sambil
meminang tombak pendek itu, ia melangkah kembali ke
pintu dan memandang keluar dari celah-celah yang sempit.
Dengan suara datar Mahisa Bungalan berkata "Aku
tidak melihat sesuatu"
Orang tua itu tiba-tiba saja tertawa pendek. Katanya
"Agaknya kita sajalah yang dibayangi oleh kegelisahan dan
kecemasan. Karena itu, maka kita seolah-olah berada dalam
keadaan yang gawat, sementara tidak ada apapun juga yang
bakal terjadi" Mahisa Bungalanpun tertawa pula. Namun ia tidak
beringsut dari tempatnya.
Dalam pada itu, kakek tua itupun melangkah ke pintu
belakang. Mungkin bahaya itu akan datang dari arah
belakang. Menurut seorang tetangga, maka ada orang yang
melihat-lihat halaman belakang rumahnya dengan
termangu-mangu, yang justru disangkanya telah datang
bertamu kepadanya lewat regol halaman depan.
Tetapi kakek tua itupun tidak melihat seseorang di
halaman belakang. Meskipun demikian kedua orang yang sedang berjagajaga
itu tidak kehilangan kewaspadaan. Mereka masih tetap
mengawasi keadaan, meskipun kadang-kadang mereka
duduk menghilangkan ketegangan sambil minum seteguk
air jahe. "Ketegangan ini sangat melelahkan" berkata orang tua
itu kemudian. Mahisa Bungalan hanya dapat menarik nafas dalamdalam.
Tetapi iapun merasakan ketegangan yang semakin
memuncak. Sementara itu, empat orang yang sedang memburu isteri
Pangeran Kuda Padmadata itupun telah yakin, bahwa
perempuan yang mereka cari berada di dalam rumah itu.
Karena itu, maka merekapun segera bersiap. Mereka tidak
mau kehilangan lagi. Jika mereka berhasil, maka mereka
akan mendapat upah yang tidak ada taranya. Mungkin
mereka akan menerima upah yang dapat mereka
pergunakan untuk seumur hidup mereka.
"Kita akan datang ke rumah itu" berkata salah seorang
yang menjadi pemimpin dari ke empat orang itu "kita harus
bersiap menghadapi orang yang telah membunuh enam
orang penjaga di hutan itu"
Salah seorang dari ke empat orang itu tertawa. Katanya
"jangan membuat perbandingan antara kita dengan
mereka" Yang lain menyahut "Ya. Kita memang tidak
dapat diperbandingkan dengan tikus-tikus kelaparan itu"
"Jangan sombong" sahut pemimpinnya "kita harus tetap
berhati-hati. Bahkan mungkin selain orang itu, masih ada
orang lain yang harus kita perhitungkan"
"Kau tahu tentang kami" sahut seorang yang bertubuh
kekurus-kurusan, tetapi berjambang panjang. Katanya
selanjutnya "Kita adalah orang-orang yang terpilih dari
antara sepuluh ribu orang"
Pemimpinnya mengangguk-angguk. Namun katanya
"Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati. Jika kalian
sudah siap lahir dan batin, kita akan berangkat. Kita tidak
perlu menunggu malam. Biarlah pertempuran ini menjadi
tontonan" Ke empat orang itupun segera bersiap. Mereka
menyandang senjata masing-masing. Sementara orang yang
bersikap ketua-tuaan itupun berkata "Aku akan datang dari
regol depan. Siapa yang akan memasuki alaman rumah itu
dari belakang" "Tidak ada" jawab orang yang agak pendek "kita semua
akan masuk dari depan. Memanggil orang yang telah
membunuh ke enam tikus kecil itu dan menantangnya
bertempur sampai mati di halaman"
"Perang tanding?"
"Jika memang aku harus berperang tanding, aku akan
melakukannya" berkata orang bertubuh agak pendek itu.
"Jangan mengigau" bentak pemimpinnya "kita harus
membunuh mereka, bukan sekedar bersombong diri dengan
memamerkan ilmu kita masing-masing"
"Mudah-mudahan mataku tidak rabun" berkata orang
yang bersikap ketua-tuaan "tetapi aku yakin, bahwa aku
benar" Dengan demikian, maka ke empat orang itupun segera
bersiap untuk berangkat. Mereka segera berloncatan ke atas
punggung kuda masing-masing. Mereka tidak menunggu
gelap, karena mereka tidak perlu mencemaskan campur
tangan orang lain. Menurut penilaian mereka, orang-orang
di pedukuhan itu tidak akan sanggup membantu apapun
juga. Pada saat orang-orang itu berangkat, maka di rumah Ki
Wastu, kegelisahan menjadi semakin mencengkam. Kakek
tua itu dan Mahisa Bungalan berjalan mondar-mandir di
dalam rumah. Sekali-kali kakek tua itu melekati pintu
sanggarnya yang sudah disamarkan. Dengan suara lirih ia
memanggil anak dan cucunya.
"Apakah kami sudah boleh keluar?" bertanya cucunya.
"Tunggu. Sebentar lagi kau boleh keluar. Tetapi berhatihatilah.
Jangan berbuat sesuatu yang dapat membahayakan
dirimu sendiri" Anak laki-laki itu mengeluh. Tetapi ia mengerti, bahwa
ia memang harus bersembunyi.
Ketika Mahisa Bungalan sekali lagi berdiri di muka pintu
yang terbuka sedikit, maka iapun terkejut Ia melihat
beberapa orang berkuda berada di depan regol halaman.
"Kek" desis Mahisa Bungalan "lihat. Ternyata mereka
datang" Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Itu
lebih daripada aku harus menunggu sampai menjadi gila
oleh ketegangan yang tidak ada ujung pangkalnya.
Sekarang persoalannya menjadi jelas. Ternyata mereka
menemukan persembunyian anak dan cucuku"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya "Tidak
ada jalan lain. Kita memang harus mempertahankannya
dengan segenap yang kita miliki"
Kakek tua itu termangu-mangu sejenak. Namun ia masih
bergumam "Aku seharusnya tidak menyeretmu ke dalam
kesulitan ini anak muda"
"Kau masih juga merajuk dalam keadaan seperti ini
kek?" sahut Mahisa Bungalan.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak berkata apapun juga.
"Lihat kek, apakah ada orang lain yang lewat halaman
belakang" berkata Mahisa Bungalan kemudian.
Kakek tua itupun kemudian pergi ke pintu butulan.
Dengan hati-hati ia mengintip lewat lubang pintu yang
tidak tertutup rapat. Tetapi ia tidak melihat sesuatu.
Gelombang Naga 1 Goosebumps - 2000 15 Sekolah Jerit Bendera Darah 1

Cari Blog Ini