03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja Bagian 25
"Tuanku harus berhati-hati. Selama tuanku menjalankan tugas tuanku sebagai Kesatria Putih. Mungkin pada suatu saat orang itu sengaja menjebak tuanku"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Teringat pula olehnya bagaimana ia telah dijebak oleh seorang yang menyebut dirinya bernama Kiai Kisi, sehingga kemungkinan yang serupa memang akan dapat terjadi. Teringat pula olehnya, sekelompok prajurit yang menyamar menjadi perampok untuk menjebak Kesatria Putih. Tetapi mereka dapat dihancurkan dan bahkan pedang-pedangnya telah dilemparkan kedepan regol istana.
Dengan demikian Anusapati semakin menyadari, bahwa bahaya menjadi semakin besar mengancamnya dari segala arah. Baik sebagai Putera Mahkota, apalagi sebagai Kesatria yang berkeliaran disegala tempat dan disegala waktu.
"Jadi bagaimana menurut pertimbangan paman Sumekar?"
"Tuanku harus menyampaikan hal ini kepada orang-orang lain yang menyatakan dirinya dalam pakaian Kesatria Putih itu"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Mereka memang harus lebih berhati-hati"
"Bukan sekedar berhati-hati tuanku. Mereka harus memperhitungkan segala kemungkinan. Jika salah seorang Kesatria Putih itu dapat dijebak oleh sekelompok orang-orang itu, dan Kesatria Putih itu ternyata bukan tuanku, maka persoalannya akan menggemparkan seluruh Singasari. Nama tuanku akan terguncang pula karenanya"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku mengerti paman. Aku akan menghubungi mereka. Biasanya salah seorang dari mereka menunggu aku dibatas kota. Tentu saja tidak sebagai Kesatria Putih"
"Sebaiknya tuanku cepat menyampaikan kabar ini sebelum terlambat"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari kesulitan yang dapat timbul apabila sekelompok orang yang berilmu tinggi sengaja menjebak salah seorang dari Kesatria Putih itu.
Demikianlah, dimalam harinya, Anusapatipun seperti biasanya keluar dari regol istana dalam pakaian Kesatria Putih. Para prajurit yang sedang bertugas menganggukkan kepalanya dengan hormatnya. Mereka sadar betapa beratnya tugas yang telah dibebankan dipundaknya sendiri oleh Putera Mahkota itu. Tugas yang dilakukan seorang diri sebagai Kesatria Putih itu ternyata melampaui kemampuan sepasukan prajurit pilihan.
Namun malam itu Anusapati telah membawa pesan yang mendebarkan bagi Kesatria Putih yang lain. Orang yang malam itu menghubungi Anusapati dibatas kota adalah Witantra sendiri.
"Paman, menurut paman Sumekar, kemungkinan yang buruk itu dapat terjadi"
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Memang tuanku. Jika terjadi demikian, maka semuanya akan rusak"
"Jadi bagaimana menurut pertimbangan paman?"
"Aku akan menarik mereka malam ini"
"Tetapi dimanakah mereka itu?"
"Hanya seorang yang berpakaian Kesatria Putih malam ini. Kuda Sempana. Aku tahu kemana ia pergi"
"Jadi maksud paman, Kesatria Putih harus menghentikan kegiatannya untuk sementara?"
"Sampai aku menghubungi tuanku lewat Sumekar"
Anusapati mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu kainnya, "Jadi bagaimana aku malam ini?"
"Marilah tuanku pergi bersama aku. Sebaiknya tuanku melepaskan pakaian Kesatria Putih itu supaya jika bertamu dengan Kuda Sempana dalam pakaian Kesatria Putih, tidak akan ada dua Kesatria Putih dalam waktu bersamaan, jika kebetulan ada seseorang yang melihatnya, maka akibatnya dapat mengganggu pula.
"Tetapi bagaimana dengan kudaku?" bertanya Anusapati, "kuda putih adalah salah satu ciri Kesatria Putih"
"Banyak kuda putih di Singasari. Tetapi asal tuanku tidak mempergunakan pakaian dan kerudung putih, maka orang tidak segera mengambil kesimpulan, bahwa yang lewat adalah Kesatria Putih"
Anusapati ragu-ragu sejenak. Tetapi iapun segera melepaskan tirai putih yang tersangkut dilehernya. Bahkan kemudian ia melepas kain pancingnya dan dikerudungkannya dipunggungnya, agar orang tidak mudah mengenalnya sebagai Putera Mahkota.
"Tuanku seperti seekor burung yang besar sekali di atas seekor kuda" berkata Witantra.
Anusapati tersenyum. Tetapi katanya, "Kita menempuh jalan paling aman, kita menghindari seseorang sejauh mungkin agar tidak timbul pertanyaan tentang kuda putih ini"
"Yang penting tuanku, asal tidak ada dua orang Kesatria Putih bersama-sama. Yang berbahaya adalah saat kita bertemu dengan Kuda Sempana. Dan kita akan berusaha menemuinya tanpa dilihat oleh orang lain, meskipun tuanku tidak dalam pakaian Kesatria Putih. Sampai saat ini Kesatria Putih masih dianggap sebagai seseorang yang ajaib. Yang ada disembarang tempat dan waktu meskipun sudah mengalami pengekangan yang agak jauh"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari bahwa pamannya sudah berusaha mengatur serapi mungkin agar tidak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengurangi nilai dari perbuatan Kesatria Putih.
Demikianlah maka Witantra telah membawa Anusapati berpacu didalam kegelapan. Untunglah bahwa keduanya telah terbiasa berkuda didalam gelap menyusuri jalan-jalan di daerah yang paling sulit sekalipun. Malam itu mereka harus menemukan Kuda Sempana dan menariknya sebelum ia bertemu dengan jebakan yang belum dimengerti.
Untunglah bahwa disetiap malam mereka yang menamakan diri Kesatria Putih itu selalu saling berbicara tentang daerah yang akan mereka datangi, sehingga dalam keadaan yang gawat, mereka akan segera dapat dihubungi. Demikianlah menjelang tengah malam, mereka telah sampai ditempat yang disebutkan oleh Kuda Sempana. Sesuai dengan ciri-ciri yang diberikannya, maka Witantrapun berhasil mengikuti jejak perjalanan Kesatria Putih sehingga pada suatu tempat, mereka menemukan Kesatria Putih yang sedang menunggu dibawah sebatang pohon cangkring.
"He, ternyata tuanku Putera Mahkota" berkata Kuda Sempana.
"Ya, aku dibawa oleh paman Witantra kemari"
"Apakah ada sesuatu yang penting tuanku" Bukankah malam ini hamba diperbolehkan bergerak setelah tengah malam, karena diseparo malam pertama, tuanku sendiri akan mengelilingi kota Singasari"
"Ya. Tetapi ada sesuatu yang penting aku sampaikan" sahut Anusapati, "sehingga paman Witantra memandang perlu untuk membawa aku kemari"
"Apakah yang penting itu tuanku" Apakah ada kejahatan dilewat tengah malam yang akan tuanku tangani sendiri, sehingga hamba harus membatalkan tugas hamba malam ini"
"Tidak, tetapi ada sesuatu yang berbahaya bagi kita" jawab Anusapati.
Kuda Sempana menganggukan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi, dan Anusapatilah yang kemudian berceritera tentang Penasehat Sri Rajasa dan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi.
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti bahwa dengan demikian tugas Kesatria Putih ada dalam bahaya. Seperti yang dikatakan oleh Anusapati, apabila seseorang atdn segerombolan orang berhasil menangkap Kesatria Putih, dan Kesatria Putih itu bukan Putera Mahkota, maka nama Putera Mahkota memang dapat terancam. Tohjaya akan memanfaatkan hal itu untuk kepentingannya.
Karena itu, maka Kuda Sempanapun sependapat, bahwa untuk sementara semua rencana akan dibatalkan sehingga mendapatkan suatu penyelesaian yang dapat dipertanggung jawabkan.
"Tetapi kita tidak boleh berhenti" berkata Witantra, "Kesatria Putih masih harus tetap berjuang melawan kejahatan sebelum kejahatan itu berakhir"
"Hampir tidak mungkin" sahut Kuda Sempana, "umur kejahatan sama dengan umur manusia, karena pada dasarnya manusia dikuasai oleh sifat-sifat yang jahat. Hanya mereka yang berhasil menguasai diri sendiri dan berjuang merebut dirinya dari tangan setan sajalah yang mampu menghindari kejahatan"
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Jika demikian kita masih akan berbuat banyak sekali. Dengan pakkaian Kesatria kita langsung menghadapi kejahatan dimedan. Tetapi lewat cara lain kita harus berusaha membawa setiap orang berusaha merebut dirinya sendiri dari kekuasaan setan itu. Jika kita berhasil, maka tugas kita dimedan akan jauh berkurang"
Kuda Sempana mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya, "Jadi apa yang akan kita lakukan?"
Kita akan berhubungan dengan Mahisa Agni. Tetapi aku kira kita akan menentukan, bahwa biarlah Putera Mahkota sajalah yang berpakaian Kesatria Putih. Kita akan selalu membayangi. Jika Putera Mahkota masuk kedalam suatu jebakan, kita akan membantunya. Bukan sebagai Kesatria Putih"
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Malam ini semua rencana kita batalkan" berkata Witantra, "Siapa tahu, bahwa guru Tohjaya itu sudah mulai bergerak dengan kekuatan yang besar"
Demikianlah maka malam itu. Kuda Sempana membatalkan niatnya untuk membelah daerah itu yang didengarnya sedang diambah oleh kejahatan. Untunglah bahwa malam itu tidak terjadi apapun sehingga seandainya Kuda Sempana tetap berada didaerah itupun tidak akan dijumpainya seseorang.
Malam itu sebelum Anusapati masuk kembali keregol istana, dikenakannya kembali ciri pakaian Kesatria Putih, supaya kehadirannya tidak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan.
Dalam pada itu, guru Tohjaya sudah menempuh jarak yang jauh untuk menemui orang yang dikatakannya. Ia memutuskan untuk menemui kakak seperguruannya yang tertua. Juga segaris perguruan dengan Kiai Kisi.
Kedatangannya telah menimbulkan berbagai pertanyaan didalam sebuah padepokan yang terpencil. Padepokan yang dihiasi dengan berbagai macam kemuraman karena mereka yang tinggal dipadepokan itu bukanlah sekelompok orang-orang yang berhati putih.
"Kau masih ingat kepadaku?" berkata saudara tua seperguruan itu. "Sudah lama sekali kau tidak datang kepadepokan ini"
"Aku tidak pernah melupakan kau kakang. Kesempatankulah yang masih belum ada. Tetapi sekarang aku memerlukan datang menemui kakang"
"Tentu ada suatu kepentingan yang mendesak. Aku sudah mendengar kematian Kiai Kisi yang malang itu. Kedatanganmu tentu ada hubungan kelanjutan dari kematiannya"
"Sebenarnya aku tidak akan segera mengatakannya, tetapi kakang sudah menebak tepat sehingga aku tidak akan ingkar"
Kakak seperguruan yang tertua dari guru Tohjaya itu tertawa, katanya, "Aku tidak memaksa kau mengatakannya jika kau berkeberatan"
"Bukan begitu. Maksudku, setelah aku berada disini sehari dua hari, barulah aku akan menyampaikannya"
"Buat apa aku harus menebak-nebak selama sehari dua hari. Meskipun kau akan tinggal disini beberapa hari, tetapi masalahnya sudah aku ketahui"
Guru Tohjaya itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku kira kau tidak lagi memerlukan aku setelah kau menjadi orang istana. Menjadi penasehat Hantu Karautan dan menjadi guru dari anaknya yang lahir dari Ken Umang itu"
"Tidak kakang. Aku tidak lupa kepada siapapun"
"Dalam kesulitan kau ingat kepada kami. Dan justru karena itu Kiai Kisi sudah menjadi korban perhitunganmu yang tidak cermat. Apakah kau sudah tahu siapakah yang telah membunuh Kiai Kisi itu?"
"Ya kakang. Aku sudah mengetahuinya kini, meskipun tidak dapat aku buktikan"
"Hanya dugaan?"
"Dugaan yang didasarkan atas perhitungan"
"Siapa yang telah membunuhnya?"
"Putera Mahkota sendiri"
"Anusapati?" kakak seperguruannya terkejut.
"Apakah kakang belum mendengar hasil permainan sodoran di alun-alun Singasari?"
"Singasari sangat jauh dari tempat ini. Tetapi aku sudah mendengarnya, bahwa orang yang menyebut dirinya Kesatria Putih ternyata adalah Putera Mahkota"
"Nah, ternyata Kiai Kisi tidak berhasil membunuh Putera Mahkota saat itu. Justru ia sendiri telah terbunuh"
"Kiai Kisi memang belum cukup masak untuk menghadapi lawan yang kuat. Tetapi bagaimana dengan kau sendiri?"
"Tentu tidak mungkin. Aku orang istana"
"Kau juga takut?"
Tentu tidak kakang. Aku merasa bahwa aku tidak lebih jelek dari Kiai Kisi. Tentu aku dapat membinasakan Kesatria Putih. Tetapi sudah aku katakan, jika ada yang berhasil mengetahui persoalannya akan menjadi sangat buruk, karena aku adalah guru tuanku Tohjaya dan kadang-kadang juga diajaknya berbicara tentang keprajuritan disamping para Panglima"
Kakak seperguruannya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, "Jadi kau bermaksud agar aku membunuh Kesatria Putih, begitu?"
Kakak seperguruannya mengerutkan keningnya ketika guru Tohjaya itu menggeleng, "Bukan Kesatria Putih"
"He. Bukan Kesatria Putih" Jadi siapa?"
"Orang yang sebenarnya berdiri sebagai lawan Sri Rajasa"
"Siapa?" "Mahisa Agni yang justru menjadi wakil Mahkota di Kediri, mengawasi pemerintahan yang diserahkan kepada keluarga dan keturunan Maharaja di Kediri itu sendiri"
"Mahisa Agni" kakak seperguruannya itu menganggukkan kepalanya, "dari perguruan manakah orang itu?"
"Aku tidak tahu. Tetapi orang menyebutnya berasal dari Panawijen"
Kakak seperguruannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku pernah mendengar perguruan dipadepokan Panawijen bertahun-tahun yang lalu. Tetapi aku tidak peduli, ia berhenti sejenak. Lalu, "Apa yang harus kita kerjakan?"
"Membunuhnya" "Dimanakah ia tinggal?"
"Di Kediri. Kakang harus pergi ke Kediri. Kakang harus memasuki istananya dan membunuhnya didalam istana itu"
"Aku belum mengenal orangnya. Apakah aku harus pergi sendiri?"
"Tidak kakang. Menurut Sri Rajasa, kakang harus pergi bersama tiga atau empat orang yang akan didadar oleh Sri Rajasa sendiri"
"He, jadi Sri Rajasa tidak percaya akan kemampuanku"
"Bukan tidak percaya. Tetapi Sri Rajasa ingin berhati-hati menghadapi persoalan ini. Sudah beberapa kali rencananya gagal, sehingga karena itu, ia tidak mau gagal untuk kesekian kalinya"
"Jadi maksudmu, kami harus menghadap ke istana dan berkelahi dengan Sri Rajasa?"
"Bukan begitu. Sri Rajasa hanya ingin mengetahui, betapa kekuatanmu bersama tiga atau empat orang yang lain agar Sri Rajasa mempunyai kepastian, rencananya kali ini tidak gagal"
"Terserah saja. Aku tidak berkeberatan. Tetapi apa yang akan aku terima setelah aku berhasil membunuhnya?"
Penasehat Sri Rajasa itu menggelengkan kepalanya. Katanya, "Kau dapat berbicara sendiri dengan Sri Rajasa"
Kakak seperguruannya itu mengerutkan keningnya. Ia pernah mendengar kemenangan Sri Rajasa atas Kediri. Dan ia juga mendengar seorang Senapatinya yang berhasil membunuh Senapati tertinggi dari Kediri yang hampir tidak terkalahkan. Orang itu agaknya yang bernama Mahisa Agni.
Ketika ia bertanya kepada guru Tohjaya, maka orang itupun mengiakannya.
"Memang tugas yang berat. Aku memang memerlukan kawan. Tetapi Sri Rajasa tidak usah kuwatir. Betapa tinggi kemampuannya, selagi kakinya masih berjejak diatas tanah, aku akan dapat membinasakannya meskipun tidak sendiri" ia berhenti sejenak, lalu sekali lagi, "Apa yang akan aku terima dari Sri Rajasa?"
"Kelak kau akan mendengarnya sendiri"
Kakak seperguruan penasehat Sri Rajasa itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Baiklah. Aku percaya kepadamu meskipun sebenarnya aku tidak percaya kepada Sri Rajasa"
"Kenapa kau tidak percaya kepada Sri Rajasa?"
"Aku bukan seorang yang bersih. Aku adalah seorang yang licik dan barangkali pengecut. Karena itu aku mangerti. Sri Rajasa sudah sampai hati berusaha membinasakan seorang Senapatinya yang telah berjasa besar kepadanya. Bahkan juga Putera Mahkota. Apakah masih ada orang yang dapat percaya kepadanya" Jika orang yang bernama Mahisa Agni itu dibunuhnya, apakah hal yang serupa tidak dapat terjadi atasku, atasmu dan siapapun"Karena itu, aku harus berhati-hati. Kau juga harus berhati-hati"
Penasehat Sri Rajasa itu mengangguk-anggukkan. Katanya, "Kau benar. Tetapi sampai saat ini aku masih dipercayanya meskipun kadang-kadang dibentak-bentaknya"
"Baiklah. Aku akan menghadap keistana. Berhadapan dengan orang selicik dan sejahat Sri Rajasa, akupun harus hati-hati"
"Apakah Sri Rajasa termasuk seorang yang jahat?"
"Tentu. Tetapi ia mempunyai kelebihan dari aku. Ia berhasil membuat Singasari besar. Itu adalah jasa yang telah diberikan kepada tanah ini dan tidak akan dilupakan orang. Tetapi aku tidak berbuat apa-apa. Meskipun demikian, dihadapan kebenaran Sri Rajasa adalah orang yang pernah ingkar daripadanya"
Penasehat Sri Rajasa itu menganggukakan kepalanya. Katanya, "Baiklah kakang datang ke istana. Terserah, apa yang akan kakang bicarakan"
"Aku akan membawa dua orang saudara seperguruan kita yang tersisa dan dua orang muridku tertua dan yang sudah memiliki kemampuan penuh"
Penasehat itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Terserahlah. Tetapi Mahisa Agni pernah membinasakan Senapati tertinggi dari Kediri"
Demikianlah, maka pada hari yang ditetapkan setelah beberapa lama penasehat Sri Rajasa tinggal dipadepokan saudara seperguruannya itu, mereka berangkat ke istana Singasari. Untuk menyesuaikan diri dengan keadaannya, maka saudara tua panasehat Sri Rajasa itu mengenakan pakaian yang pantas bagi seorang tamu istana, sedang yang lain, untuk menghindarkan kecurigaan akan ditempatkan diluar istana, pada seorang kepercayaan penasehat Sri Rajasa itu.
Ternyata kehadiran tamu yang tidak dikenal bersama penasehat Sri Rajasa itu telah menarik perhatian Sumekar yang mengetahui, apa yang pernah dilakukan oleh penasehat itu atas Putera Mahkota. Karena itu, maka kehadiran orang yang tidak dikenal bersamanya, telah menumbuhkan kecurigaannya.
"Menilik bentuk wajahnya dan sorot yang tersirat dari tatapan matanya, ia bukan orang yang baik" berkata Sumekar didalam hatinya.
Karena itulah, maka timbullah niatnya untuk selalu mengawasinya. Mungkin ada sesuatu yang pantas dilakukan untuk keselamatan Putera Mahkota. Karena bagaimanapun juga, seolah-olah Sumekar merasa dirinya telah terlibat didalam pertentangan tertutup antara Putera Mahkota dan Tohjaya.
Sumekar tidak dapat mengetahui, apa yang telah dibicarakan antara tamu yang aneh itu dengan Sri Rajasa. Tetapi ia tidak dapat mencegah keinginannya untuk mengetahui lebih dekat atas tamu itu.
Ketika istana Singasari kemudian disaput oleh gelapnya malam, maka Sumekar segera mengenakan pakaian hitamnya dan dengan hati-hati mendekati bangsal Sri Rajasa. Mungkin ia dapat melihat sesuatu yang dijadikannya bahan pertimbangan.
Dengan hati-hati pula ia memanjat sebatang pohon sawo sehingga ia dapat langsung melihat longkangan dibelakang bangsal itu. Longkangan yang tertutup.
Namun dada Sumekar menjadi berdebar-debar. Ia melihat Sri Rajasa, penasehatnya dan tamunya berada dilongkangan itu, bahkan seakan-akan mereka akan bertempur.
"Apakah yang akan mereka lakukan?" bertanya Sumekar didalam hati.
Dari kejauhan ia melihat, Sri Rajasa telah bersiap berhadapan dengan tamunya.
"Apakah mataku tidak beres lagi malam ini" Sumekar menggosok-gosok matanya.
Namun ia benar-benar melihat sejenak kemudian keduanya terlibat dalam suatu perkelahian. Semakin lama semakin seru disaksikan oleh penasehat Sri Rajasa yang juga menjadi guru Tohjaya, Sumekar menahan nafasnya. Meskipun ia berada agak jauh, tetapi ia mampu juga menilai keduanya.
"Sri Rajasa memang orang yang pilih tanding" berkata Sumekar didalam hatinya, meskipun ia tidak dapat mengatakan cara yang telah dipergunakan oleh Maharaja Si ngasari itu. Tandangnya kasar dan keras, namun kemampuannya benar-benar tidak ada duanya.
Lawannya adalah seorang yang bertempur dengan kasar dan keras pula. Tetapi lambat laun tampak, bahwa Sri Rajasa memiliki kelebihan yang tidak teratasi oleh lawannya.
Meskipun demikian, menurut penilaian Sumekar, orang yang berkelahi melawan Sri Rajasa itupun adalah seorang yang mempunyai ilmu yang cukup tinggi.
"Apakah akan terjadi sesuatu dengan Putera Mahkota?" pertanyaan itulah yang pertama-tama membelit dada Sumekar, sehingga ia mulai menilai kemampuan orang itu dengan kemampuan yang dimiliki oleh Anusapati.
"Tuanku Putera Mahkota masih terlalu muda menghadapinya apabila dipaksakan suatu tindakan kekerasan berhadapan oleh orang itu" katanya didalam hali.
Sejenak kemudian maka perkelahian itupun berakhir. Meskipun Sri Rajasa belum mengalahkan lawannya dengan mutlak, tetapi pastilah demikian jika mereka berkelahi terus.
Sumekar tidak tahu apa yang mereka bicarakan kemudian. Yang terlintas dikepalanya adalah cara-cara yang akan dipergunakan oleh Sri Rajasa untuk menjebak Kesatria Putih seperti yang pernah dilakukan oleh Kiai Kisi terhadap Putera Mahkota.
Karena itu, maka iapun segera menyingkir dan mencoba mencari Putera Mahkota. Tetapi malam itu Sumekar tidak sempat menemukannya dan sudah tentu ia tidak akan dapat pergi kebangsal Anusapati yang selalu mendapat pengawasan oleh para prajurit.
Meskipun prajurit yang bertugas disekitar rumah Putera Mahkota adalah prajurit-prajurit yang baik terhadap Putera Mahkota, namun kehadirannya pasti akan menjadi buah bibir yang akan sampai ketelinga mereka yang tidak menyukainya.
Dalam pada itu, setelah Sri Rajasa selesai dengan perkelahiannya melawan kakak seperguruan penasehatnya itu, iapun kemudian berkata, "Kau cukup baik untuk melawan Mahisa Agni meskipun kalau kau bertempur sendiri, kau pasti akan dikalahkannya"
"Apakah Mahisa Agni memiliki kemampuan setingkat dengan tuanku?"
"Aku tidak tahu pasti. Tetapi demikianlah kira-kira. Karena itu kau harus menyiapkan dirimu baik-baik. Jangan hanya berdua meskipun kawanmu setingkat dengan kemampuanmu"
"Kami akan datang berlima" jawab orang itu.
"Siapakah mereka?"
"Hamba sendiri dan dua orang saudara seperguruan hamba yang memiliki kemampuan tidak terpaut banyak dari hamba. Kemudian dua orang murid hamba yang tertua, yang memiliki kemampuan sepenuhnya dari ilmu hamba, meskipun masih belum masak benar. Tetapi keduanya sudah dapat dilepaskan berbuat sendiri didalam saat-saat tertentu"
"Baiklah. Hati-hatilah. Kau harus memasuki istana itu tanpa diketahui orang. Kau langsung masuk kedalam dan mencari biliknya. Jangan memberi kesempatan kepadanya untuk melawan meskipun kalian berlima. Meskipun barangkali Mahisa Agni tidak dapat mengimbangi kekuatan kalian berlima bersama-sama, tetapi ia mempunyai kemampuan memperhitungkan keadaan hampir sempurna. Dan itu sangat berbahaya, ia tidak saja berkelahi dengan tenaganya, tetapi terutama dengan otaknya.
"Hamba tuanku. Hamba akan melakukannya sebaik-baiknya. Tetapi tuanku tidak usah cemas. Mahisa Agni pasti akan binasa. Ia tidak akan mengira bahwa hamba akan memasuki istananya"
"Jaga, agar para petugas yang menjaga istana itu tidak melihat kalian. Mereka pasti akan sangat berbahaya apabila mereka sempat membunyikan tanda bahaya. Bersama-sama dengan Mahisa Agni, mereka tidak akan dapat kalian kalahkan, karena para prajurit pengawal itu berjumlah cukup banyak"
"Hamba tuanku. Hamba akan berhati-hati. Dan hamba akan menjaga diri hamba sebaik-baiknya karena hamba masih ingin menikmati hadiah yang akan hamba terima dari tuanku"
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Aku akan memberi hadiah sebanyak-banyaknya jika kau berhasil"
"Jika hamba berhasil, apakah yang akan hamba terima tuanku"
"Aku akan memberikan beberapa potong emas kepadamu"
"Apakah hamba dapat menerima hadiah itu lebih dahulu" Hamba berniat untuk tidak kembali lagi ke istana ini setelah hamba menyelesaikan tugas hamba untuk menghindarkan kecurigaan orang. Hamba akan terus kembali kepadepokan hamba"
Kerut merut yang dalam membayang di wajah Sri Rajasa. Namun kakak seperguruan penasehatnya itu segera menyambung, "Ampun tuanku, bukan maksud hamba, bahwa hamba akan mendahului titah tuanku. Tetapi hamba hanya sekedar ingin menjauhkan diri dari kecurigaan orang sepeninggal Mahisa Agni itu"
Wajah Sri Rajasa perlahan-lahan menjadi tegang. Penasehatnya melihat perubahan itu sehingga dadanya menjadi berdebar-debar. Ternyata hal itu tidak berkenan dihati Sri Rajasa. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia menengahi, "Tuanku. Sebenarnya tuanku tidak usah memberikan hadiah apapun juga kepada kakak seperguruanku. Jika tuanku berkenan dihati, biarlah ia mencari hadiahnya sendiri di istana Kediri itu. Berapa banyak yang dapat dibawa oleh lima orang itu, disana disediakan barang-barang perak dan emas"
Sri Rajasa mengerutkan keningnya sejenak. Ia tahu, bahwa di istana wakil Mahkota itu memang terdapat beberapa potong perhiasan dari emas yang melekat ditiang pusat ruangan tengah. Sebuah tongkat kerajaan yang tergantung didinding dan berkepala emas pula. Sebuah patung kecil diatas bancik kayu yang tinggi terbuat dari tembaga berlapis emas.
Sejenak Sri Rajasa termenung. Namun kemudian ia berkata, "Baiklah. Kau dapat mengambil semua perhiasan emas dan perak didalam istana itu sebagai hadiahmu, kacuali tongkat kerajaan peninggalan Ratu Angabaya dari jaman kerajaan Kediri, dan sebuah patung yang berlapis emas, diatas bancik di bangsal dalam apabila belum dipindahkan oleh Mahisa Agni dan para pembantu rumah tangga di istana itu. Tetapi kau akan mengenal patung itu dengan segera, dan kau tidak boleh mambawanya"
Kakak seperguruan Penasehat Sri Rajasa itu termenung sejenak. Ia tidak dapat membayangkan, apakah barang-barang yang ada itu memadai. Namun adik seperguruannya berkata, "Aku yakin, bahwa kalian merasa hadiah itu cukup banyak. Dan pembunuhan itu sendiri tidak akan terlalu lama dipersoalkan, karena masalahnya adalah masalah parampokan biasa. Perampok yang paling gila yang pernah ada sepanjang umur Kerajaan Kediri dan Singasari. Hal itu akan merupakan tantangan bagi Kesatria Putih. Kau mengerti kakang?"
Kakak seperguruan penasehat Sri Rajasa itu menganggukkan kepalanya. Namun ia masih ragu-ragu. Apa saja yang dapat dibawanya dari istana yang kini dihuni oleh Mahisa Agni, anak Panawijen itu. Apakah jika ada benda-benda itu masih ada ditempatnya.
Selagi ia ragu-ragu itu, penasehat Sri Rajasa berkata, "Kakang, sebagian barang-barang dari istana Kediri telah dipindahkan ke istana wakil Mahkota itu. Tetapi ingat, jangan kau bawa serta tongkat kerajaan serta patung emas itu, seperti yang dipesankan oleh Sri Rajasa, peninggalan dari Ratu Angabaya dari jaman kerajaan Kediri itu"
Akhirnya kakak seperguruannya menganggukkan. Tetapi ia masih berkata, "Hamba terima perjanjian ini untuk sementara. Tetapi jika yang ada hanya barang-barang perak semata-mata, maka hamba akan mohon kebijaksanaan tuanku Sri Rajasa"
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Jangan takut. Aku bukan seorang yang sangat kikir. Semuanya yang aku janjikan akan aku penuhi jika kau sudah berhasil"
"Baiklah tuanku. Hamba mohon diri. Hamba akan menyiapkan segala sesuatu yang perlu bagi hamba itu"
"Kapan kau berangkat?"
"Besok pagi tuanku. Besok hamba akan berkumpul dengan kawan-kawan hamba, dan hamba akan segera pergi ke Kediri"
Demikianlah, di pagi-pagi benar Sumekar sudah berada di halaman bangsal Putera Mahkota. Ketika seorang prajurit bertanya kepadanya maka jawabnya, "Aku harus memindah kembang kantil bajang di halaman ini. Untuk itu hanya dapat aku lakukan sebelum matahari terbit. Jika matahari sudah terbit, maka pohon kantil bajang yang sulit dicari ini akan mati"
"Apakah Putera Mahkota sudah memerintahkan"
"Kemarin Putera Mahkota sudah menyebut-nyebutnya. Tetapi aku sebenarnya ingin ketegasan. Apakah Putera Mahkota sudah bangun"
"Sst, jangan berteriak-teriak" potong prajurit itu, "kau berbicara terlalu keras"
Namun usaha Sumekar memanggil Anusapati dengan caranya itu berhasil. Ternyata Putera Mahkota sudah duduk di serambi ketika Sumekar masuk kehalaman bangsalnya. Karena itu, maka iapun segera turun kehalaman sambil bertanya, "Ada apa juru taman?"
"Ha" bisik prajurit yang bertugas, "kau sudah membangunkannya"
"Memang itulah yang kuharapkan"
"He, ada apa juru taman" Anusapati mengulanginya.
"Ampun tuanku, hamba ingin bertanya tentang kantil bajang ini"
"Bagaimana dengan kantil bajang itu"
"Apakah yang tuanku perintahkan kemarin, harus kami lalakukan sekarang, mumpung matahari belum terbit"
Anusapati mengerutkan keningnya. Tetapi ia sadar, bahwa sesuatu yang penting telah terjadi. Karena itu, maka iapun segera mendekat lagi sambil berkata, "Marilah kita lihat"
Prajurit yang merasa tidak berkepentingan dengan pemindahan batang kantil bajang itupun tidak mengikutinya lagi. Ketika juru taman dan Putera Mahkota itu kemudian berjongkok disebelah sebatang kantil bajang, maka prajurit itupun justru menjauh.
Dalam kesempatan itu, Sumekarpun segera menceriterakan apa yang dilihatnya, bahwa Sri Rajasa semalam telah mencoba kemampuan seseorang dibelakang bangsal.
Anusapati mengerutkan keningnya. Katanya, "Aku tidak tahu apa yang hendak dilakukan oleh ayahanda Sri Rajasa. Apakah orang itu calon hamba istana yang akan menjadi pengawal adinda Tohjaya atau petugas yang lain?"
"Hamba tidak tahu tuanku. Tetapi bagaimanapun juga, tuanku wajib berhati-hati. Bukan maksud hamba berprasangka terhadap ayahanda tuanku. Tetapi penasehat ayahanda tuanku dan guru tuanku Tohjaya itu mempunyai banyak akal. Mungkin ia menghadapkan seorang hamba yang dapat menjadi pelindung atau guru atau apapun bagi tuanku Tohjaya, tetapi disamping itu ia dapat berbahaya bagi tuanku diluar pengetahuan ayahanda Sri Rajasa atau . . " Sumekar tidak meneruskan kata-katanya.
"Atau?" desak Anusapati.
"Atau setahu ayahanda"
"Maksudmu?" "Tidak apa-apa tuanku, tatapi ayahanda hanya sekedar mengangkat tuanku Tohjaya yang telah tuanku kalahkan di arena. Hanya itu. Tetapi yang hanya sekedar usaha menebus kekalahan itu dapat disalah gunakan oleh orang lain"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jika orang itu berada di istana ini, tuanku harus berhati-hati terhadapnya"
"Terima kasih paman Sumekar. Aku akan memperhatikan"
"Hamba mohon diri tuanku. Biarlah kantil bajang itu ditempatnya"
Sumekarpun kemudian meninggalkan Putera Mahkota Prajurit yang mengamatinya dari jauh itupun bertanya, "Bagaimana dengan pohon kantil bajang itu?"
"Tidak jadi. Putera Mahkota masih ragu-ragu. Biarlah pohon kantil itu disana"
Prajurit itu tidak menghiraukan lagi. Dibiarkannya Sumekar meninggalkan bangsal Putera Mahkota, langsung menuju ketaman meskipun hari masih pagi. Tetapi langit sudah mulai cerah dan bayangan sinar matahari mulai membayang dilangit.
Sumekar terkejut ketika ia melihat halaman depan. Ia melihat orang yang semalam berkelahi dengan Sri Rajasa itu meninggalkan istana, diantar oleh penasehat Sri Rajasa sampai keregol.
Sumekar memperhatikan orang itu sampai hilang dibalik dinding. Namun ia tidak dapat mendapat penjelasan lebih banyak lagi. Ketika Penasehat Sri Rajasa kembali masuk istana, Sumekar berjalan menyilangnya sambil menjinjing lodong bambu berisi air.
Dihadapan penasehat Sri Rajasa Sumekar membungkuk hormat. Namun tiba-tiba saja lodongnya terlepas dari tangannya, sehingga isinya tumpah dan terpercik kepakaian penasehat itu.
"O, ampun tuan" berkata Sumekar, "aku tidak sengaja"
Sorot mata penasehat itu menjadi merah. Katanya, "Untung bukan tamuku yang kau kotori dengan air itu"
"Aku tidak sengaja. Apalagi mengotori"
"Sekali lagi kau lakukan, aku putuskan lehermu"
"Ampun tuan. Aku tidak tahu bahwa tuan akan lewat atau aku sangka bukan tuanlah yang sedang lewat sepagi ini, sehingga aku terkejut dan tergopoh-gopoh memberikan hormat, sehingga lodong bambuku terlepas"
"Pergi. Jangan ganggu lagi"
Sumekarpun kemudian memungut lodong bambunya. Namun ia masih juga mencoba bertanya, "Ampun tuan, siapakah tamu tuan sepagi ini"
"Apa pedulimu he?" tiba-tiba matanya menjadi tajam menembus dada Sumekar.
"Tidak apa-apa tuan" jawab Sumekar dengan serta merta sambil berjongkok, "aku hanya kagum melihat wajahnya yang keras dan berwibawa. Apakah tamu itu masih keluarga tuanku Sri Rajasa atau keluarga tuanku puteri Ken Umang?"
"Bukan keluarga Sri Rajasa dan bukan pula keluarga tuan Puteri Ken Umang, orang itu adalah saudaraku" jawab penasehat itu.
"O, maksud tuan, kakak atau adik tuan?"
"Kakakku" "Pantas sekali. Memang tuan mirip sekali dengan tamu yang baru saja pulang. Tetapi kenapa pagi-pagi benar tamu itu sudah meninggalkan istana" Sejak kapan ia berada disini?"
"Hanya satu malam"
"O, kenapa hanya satu malam" Bukankah disini ia berada dirumah saudara mudanya sendiri?"
"Ada keperluan yang mendesak"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak dapat bertanya lebih lanjut. Penasehat Sri Rajasa itu segera meninggalkannya sambil mengibas-ngibaskan pakaiannya yang basah. Sumekarpun kemudian meninggalkan tempat itu. Ia mencoba untuk mencari alasan, kenapa orang itu datang, menjajagi kemampuannya melawan Sri Rajasa, kemudian pergi dengan tergesa-gesa.
"Tentu untuk membinasakan Kesatria Putih" kesimpulan itulah yang untuk sementara dapat diambilnya.
Ketika matahari naik, Sumekar berusaha untuk menjumpai Putera Mahkota lagi. Sambil membawa beberapa bibit pohon bunga ia datang kehalaman bangsal Putera Mahkota di istana. Sejenak ia berjongkok disudut sambil menanam pohon-pohon bunga itu. Tetapi ia tidak melihat Putera Mahkota didalam bangsalnya. Yang dilihatnya hanyalah isteri Putera Mahkota beserta puteranya.
Namun sejenak kemudian Sumekar justru melihat Anusapati baru datang memasuki halaman bangsalnya.
"O" berkata Anusapati, "kau sudah ada disitu?"
"Inilah batang-batang pohon bunga yang tuanku pesan dari hamba"
"Terima kasih" Anusapatipun segera mendekatinya. Namun yang mereka bicarakan kemudian bukanlah tentang pohon-pohon bunga itu.
"Orang yang hamba katakan kemarin telah meninggalkan istana tuanku. Agaknya ia akan melakukan tugasnya di luar istana, menghadapi tuanku selaku Kesatria Putih"
"Tentu tidak paman" jawab Anusapati, "baru saja aku dipanggil menghadap oleh ayahanda. Untuk beberapa hari aku diperlukannya setiap saat, sehingga aku tidak dibenarkannya keluar. Ada persoalan yang penting yang harus ditangani setiap saat dalam kedudukanku sebagai Putera Mahkota, justru karena ada tamu yang baru saja menghadap"
Sumekar mengerutkan keningnya. Sri Rajasa menyebut tamu itu langsung kepada Anusapati. Apakah Sri Rajasa juga mencurigai tamunya, bahwa ia akan mengancam Putera Mahkota"
"Barangkali ayahanda juga mencemaskan nasib tuanku"
Anusapati mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Mungkin. Mungkin juga ayahanda mencurigainya bahwa orang itu akan mencelakai Kesatria Putih, sehingga ayahanda menahan aku agar aku tidak keluar dari istana" Putera Mahkota berhenti sejenak. Lalu, "tetapi apakah orang itu mampu menandingi paman Witantra, Mahendra atau paman Kuda Sempana?"
"Kita dihadapkan pada suatu teka-teki tuanku. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita hadapi. Sebaiknya tuanku memang tetap tinggal di istana"
"Tetapi bagaimana dengan paman-yang lain"
"Apakah mereka tetap menjalankan tugas Kesatria Putih"
"Tidak. Untuk beberapa hari. Tetapi mereka tetap menunggu hubungan. Jika aku tidak dapat keluar, paman aku harap pergi menemui salah seorang dari mereka"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari Anusapati ia mendapat petunjuk dimana mereka dapat menjumpai salah seorang dari ketiganya.
"Baiklah tuanku. Hamba akan mencoba menghubungi salah seorang yang kebetulan sedang bertugas menunggu tuanku"
"Hati-hatilah. Kita memang dihadapkan pada teka-teki yang membingungkan. Kita hanya dapat menduga-duga. Tetapi kita akan berusaha memecahkan teka-teki ini bersama paman-paman yang berada diluar istana dan tentu saja paman Mahisa Agni di Kediri"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia berkata, "Tuanku, setelah tuanku tidak lagi menyembunyikan kenyataan pada diri tuanku, maka yang mendapat sorotan para pemimpin Singasari tentu bukan saja tuanku. Orang yang tidak senang melihat kemenangan tuanku atas tuanku Tohjaya didalam arena permainan sodoran itu, akan membuat penilaian yang cermat. Permainan sodoran itu sendiri barangkali tidak begitu berarti, baik bagi tuanku maupun bagi tuanku Tohjaya. Tetapi akibat daripadanyalah yang seakan-akan menentukan. Ternyata bahwa tuanku Putera Mahkota bukan orang yang lemah, yang selalu berada di bangsalnya menunggui isterinya. Dan itulah yang tidak menyenangkan bagi lawan-lawan tuanku"
Anusapati mengerutkan keningnya. Hampir saja ia bertanya pendapat Sumekar tentang ayahanda Sri Rajasa. Namun pertanyaan yang sudah ada ditenggorokannya itu ditelannya kembali. Rasa-rasanya tidak pantas baginya untuk mencurigai ayah sendiri meskipun demikianlah yang sebenarnya bergejolak didalam nuraninya.
"Tuanku" berkata Sumekar kemudian, "aku yakin bahwa pamanda tuanku, Mahisa Agni, pasti sudah memperhitungkan pula, bahwa yang seakan-akan berada diujung runcingnya duri itu bukannya tuanku saja, tetapi juga pamanda tuanku"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Ya. Adinda Tohjaya dan gurunya pasti meyakini bahwa aku mendapatkan ilmuku dari pamanda Mahisa Agni"
"Nah, karena itu, maka yang harus selalu berhati-hati saat-saat terakhir adalah tuanku dan pamanda tuanku itu. Meskipun aku yakin bahwa pamanda tuanku selalu berhati-hati, tetapi pamanda tuanku tidak mengetahui apa yang telah terjadi di istana ini. Karena itu, tuanku Putera Mahkota, hamba harus memberitahukan, bahwa arah pembalasan dendam selain pada tuanku juga ditujukan pada pamanda Mahisa Agni"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah" berkata Putera Mahkota, "katakan kepada siapapun yang datang, bahwa pamanda harus meningkatkan kesiagaannya. Aku tidak dapat pergi untuk beberapa hari. Tetapi mungkin juga Tohjaya ingin tahu, jika terjadi keributan dan perampokan sementara aku berada di istana, apakah ada seorang Kesatria Putih yang lain yang bertindak"
"Hamba akan membicarakan semuanya tuanku, sehingga pamanda tuanku Mahisa Agni akan mendapat gambaran yang jelas"
Demikianlah ketika hari telah berlalu, dan malam turun perlahan-lahan, Sumekar sudah siap pergi keluar istana dengan diam-diam. Kali ini ia tidak keluar lewat regol sambil berlenggang menikmati waktu istirahatnya, tetapi ia meloncat lewat dinding yang dibayangi oleh kegelapan supaya tidak menumbuhkan bermacam-macam pertanyaan pada para penjaga jika ia kembali nanti jauh malam.
Seperti yang ditunjukkan oleh Anusapati, maka Sumekarpun segera menuju kepingir kota. Seperti yang sudah diduganya, bahwa seseorang telah menunggu. Bahkan kali itu bukan hanya seorang, tetapi dua orang.
"Kalian berdua?" bertanya Sumekar kepada keduanya.
"Ya" yang menjawab Witantra, "Mahendra ingin ikut saja malam ini. Kami mencemaskan nasib Putera Mahkota jika benar-benar ada sebuah jebakan, sehingga kami pergi berdua untuk membayanginya jika ia benar-benar akan pergi malam ini"
"Tidak, barangkali sudah dikatakan, bahwa Putera Mahkota mempertimbangkan suatu teka-teki"
"Yang dikatakannya tentang guru Tohjaya"
"Ia datang membawa seorang tamu. Dan tamu itulah yang membuat teka-teki ini menjadi semakin kalut"
"Mahisa Agni sudah sependapat, bahwa Anusapati dapat terus menjalankan tugasnya dibawah perlindungan kami"
"Aku sependapat" berkata Sumekar, "tetapi soalnya sekarang telah berkembang"
Witantra dan Mahendra mengerutkan keningnya.
Dalam pada itu Sumekarpun segera menceriterakan apa yang diketahuinya di istana. Bahkan, ia berpendapat bahwa Sri Rajasa agaknya telah memutuskan untuk menyingkirkan Anusapati. Tetapi dugaan ini sama sekali tidak dikatakannya kepada Anusapati sendiri.
"Kau bijaksana" berkata Witantra, "jika Anusapati mengerti bahwa ayahanda sendiri berusaha untuk menyingkirkan dalam arti yang sebenarnya, ia akan kehilangan pegangan"
"Dan sekarang, Putera Mahkota menunggu, apakah yang harus dilakukan dalam perkembangan keadaan terakhir. Putera Mahkota justru tidak diperkenankan keluar istana untuk sementara"
Witantra adalah seorang yang memiliki pengalaman yang cukup disepanjang hidupnya yang penuh dengan persoalan. Baik yang menyangkut dirinya sendiri, maupun persoalan di luar dirinya. Karena itu, maka setelah merenung sejenak, ia berkata, "Kita memang harus berhati-hati. Kau harus mengawasi Putera Mahkota. Mungkin jebakan itu justru berada di istana. Sedang kami akan pergi ke Kediri. Kami harus bertemu dengan Mahisa Agni secepatnya. Kita akan menempuh perjalanan disepanjang malam, agar kita dapat mencapai Kediri pada waktunya"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Bahaya itu mungkin berada di istana Singasari, tetapi juga mungkin di istana wakil Mahkota di Kediri"
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sebelum ia menjawab, maka ketiganya mengangkat wajahnya hampir bersamaan. Ternyata Mereka telah dikejutkan oleh derap beberapa ekor kuda yang berlari laju dijalan yang melaju meninggalkan kota.
Karena itu, maka mereka bertigapun segera menyelinap bersama kuda-kuda mereka masuk kedalam semak-semak. Dengna hati yang berdebar-debar mereka menunggu, siapakah yang berpacu dimalam hari.
Sejenak kemudian mereka melihat beberapa orang berkuda dengan cepatnya lewat dijalan yang menjelujur meninggalkan kota itu.
Namun demikian mereka kuda-kuda itu lewat, Sumekar berdesis, "Apakah aku tidak salah lihat?"
Witantra dan Mahendra hampir berbareng bertanya, "Siapa?"
03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Orang yang aku katakan itu" jawab Sumekar, "orang yang berada di istana bersama penasehat Sri Rajasa dan yang bahkan telah mencoba kemampuannya dengan Sri Rajasa sendiri?"
"Apakah kau tidak keliru?"
"Aku memang agak ragu-ragu. Selain malam yang gelap, kuda itu berjalan cepat. Namun rasa-rasanya orang itulah yang aku lihat itu"
Witantra mengerutkan keningnya, sejenak ia merenung, lalu katanya, "Baiklah aku mencoba mengikutinya kemana mereka pergi, meskipun hanya sekedar arahnya. Kami akan langsung pergi ke Kediri untuk menyampaikan semua persoalan kepada Mahisa Agni"
"Baiklah. Meskipun hubungan kami agak jauh, tetapi aku berharap bahwa kami akan mendapat kabar dari kalian dua tiga hari mendatang"
"Ya, kami akan kembali memberikan keputusan-keputusan yang akan kami ambil bersama Mahisa Agni. Hati-hatilah di istana Singasari, kau berdua dengan Anusapati kami harap dapat menjaga diri kalian sebaik-baiknya"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, "Kami minta diri sebelum mereka menjadi terlalu jauh"
"Silahkanlah" jawab Sumekar.
Witantra dan Mahendrapun kemudian menggerakkan kekang kudanya. Sejenak kemudian kuda itupun telah berpacu pula menyusul beberapa ekor kuda yang telah mendahuluinya.
Demikianlah maka kuda-kuda itupun segera berderap diatas jalan berbatu-batu. Witantra dan Mahendra tidak berani mengikuti mereka terlalu dekat. Dengan demikian orang-orang berkuda itu akan dapat mencurigai mereka. Karena itu, keduanya mengikuti dari jarak yang agak jauh. Jika mereka menjadi ragu-ragu dikelokan jalan, maka merekapun segera membuat api dengan dimik-dimik belerang untuk mengetahui jejak kuda-kuda yang mendahuluinya itu.
Namun semakin lama kecurigaan dihati Witantra menjadi semakin tajam. Ternyata kuda-kuda itu berpacu kearah kota Kediri. Karena itu, maka Witantra dan Mahendrapun berpacu semakin cepat. Jarak ke Kediri masih sangat jauh. Tetapi arah yang ditempuh telah menunjukkan kepada mereka, bahwa kuda yang mereka ikuti itu benar-benar menuju ke Kediri, "Apa yang akan mereka lakukan?" bertanya Mahendra.
Witantra mengerutkan keningnya. Meskipun ia tidak tahu pasti namun seperti suatu firasat yang tiba-tiba saja melonjak dikepalanya adalah, "Selain Anusapati, maka Mahisa Agnilah orang yang harus dilenyapkan dari Singasari"
Ketika ia mengatakannya kepada Mahendra, maka Mahendrapun menyahut, "Sumekar juga mengatakannya. Bukankah begitu?"
Jilid 72 " Awan Gelap
"YA, SUMEKAR JUGA melihat kemungkinan itu. Bahaya yang sebenarnya mungkin berada di istana Singasari, tetapi mungkin juga berada di istana Kediri. Dan itu bagiku cukup jelas. Tentu Mahisa Agni dianggap sebagai orang yang berdiri dibelakang tabir semua kejadian yang telah melemparkan Tohjaya dari kedudukannya"
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun sependapat dengan kemungkinan-kemungkinan yang dikatakan oleh Witantra dan Sumekar, bahwa Mahisa Agnipun sedang terancam pula. Tanpa Mahisa Agni, Anusapati sama sekali bukan lawan yang berarti bagi Sri Rajasa.
Karena itu, maka merekapun menjadi semakin gelisah. Kuda mereka dipacunya semakin cepat. Namun Witantra kemudian berkata, "Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa malam ini. Mereka baru akan mencapai Kediri lewat pagi hari"
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan iapun sadar, bahwa perjalanan ke Kediri bukan jarak yang pendek, meskipun hampir setiap pekan ia hilir mudik berganti-ganti dengan Witantra dan Kuda Sempana.
Oleh kesadaran itu, maka hati merekapun menjadi agak tenteram. Mereka dapat mengikuti jejak kuda-kuda yang mendahuluinya dengan agak tenang. Bahkan kemudian merekapun beristirahat karena kuda-kuda merekapun agaknya menjadi lelah.
Mereka memasuki Kediri dihari berikutnya. Tidak lagti berpacu secepat-cepatnya. Bahkan mereka berhasil menyelusur jejak kuda-kuda yang mereka ikuti sampai masuk kedalam pintu gerbang kota, justru karena mereka menunggu matahari mulai terbit. Derap kaki kuda yang masih tampak jelas diatas tanah berembun menunjukkan kepada mereka, kemana kuda-kuda itu pergi.
Witantra tidak memerlukan lagi kelanjutan jejak itu. Kaki para pejalan dan pedati yang hilir mudik setelah matahari semakin tinggi telah menghapus jejak kaki kuda itu. Tetapi Witantra sudah mendapat kepastian, mereka berada didalam kota Kediri.
Dengan demikian maka Witantra menganggap bahwa bahaya yang sebenarnya, ternyata berada di istana wakil Mahkota di Kediri.
"Apakah yang akan mereka lakukan?" bertanya Mahendra.
"Kita belum dapat menebak. Tetapi Mahisa Agni harus segera mengetahuinya. Aku kira mereka tidak akan menyiapkan waktu sehingga apabila malam tiba, Mahisa Agni harus siap menghadapi segala kemungkinan"
Demikianlah, merekapun segera pergi keistana Mahisa Agni dengan cara yang khusus, agar tidak menimbulkan kecurigaan pada para pengawal istana itu.
Seperti biasanya mereka menitipkan kuda-kuda mereka pada orang yang dapat mereka percaya. Kemudian mereka pergi ke istana wakil Mahkota untuk mencari seorang juru taman yang sebenarnya adalah Kuda Sempana.
"Kalian siapa?" bertanya para prajurit yang bertugas, diregol.
"Kami adalah saudara-saudaranya yang datang dari desa, dari pedukuhan" Witantra menjawab. Lalu, "bukankah kami berdua pernah berkunjung juga kemari?"
Prajurit-prajurit itu ragu-ragu sejenak, namun kemudian keduanyapun dibiarkannya masuk menemui juru taman dipetamanan belakang"
"Lebih baik masuk dimalam hari" desis Mahendra.
Witantra tidak menjawab, tetapi ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Dimalam hari mereka memang tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan para penjaga, karena mereka selalu meloncati pagar batu yang tinggi.
Mahisa Agni yang kebetulan ada dipendapa melihat kehadiran keduanya. Tetapi ia sama sekali tidak menegurnya, bahkan acuh tak acuh. Namun sejenak kemudian maka Mahisa Agnipun segera pergi ke petamanan di kebun belakang untuk meneliti tanam-tanaman yang dipesannya kepada juru tamannya. Karena Mahisa Agni adalah orang yang senang sekali pada tanaman-tanaman, sehingga juru tamannya tidak pernah sempat beringsut dari petamanan, kecuali jika ia mohon untuk beristirahat dua tiga hari, kembali kekampung halaman.
"O, kau mempunyai tamu?" bertanya Mahisa Agni kepada juru tamannya yang sedang duduk-duduk dibawah sebatang pohon kantil bersama Witantra dan Mahendra.
"Ya tuan. Keduanya adalah saudaraaku" jawab Kuda Sempana.
Beberapa orang pelayan yang melihat mereka sama sekali tidak menghiraukannya. Mahisa Agni memang sering berada dipetamanan itu.
Sejenak kemudian, sambil berdiri Mahisa Agni mendengarkan keterangan yang diberikan oleh Witantra dan Mahendra berganti-ganti.
Dengan sungguh-sungguh Mahisa Agni mendengarkan keterangan itu, serta beberapa pendapat Sumekar tentang orang-orang yang dicurigainya itu.
"Aku sependapat Mahisa Agni, bahwa bahaya itu dapat berada di istana Singasari, tetapi juga dapat disini. Semalam suntuk aku sudah menempuh jarak yang jauh. Baru tengah hari aku berhasil menemuimu. Tetapi aku kira, seandainya benar dugaan kami, maka semuanya akan berlangsung dimalam hari"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku sudah minta Sumekar untuk selalu dekat dengan Putera Mahkota dalam keadaan serupa ini. Untunglah bahwa adinda Putera Mahkota, Mahisa Wonga Ateleng sangat dekat dengan kakandanya, dan sedikit banyak sudah mampu untuk membantunya jika keadaan memaksa"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sejenak ia merenung. Maka katanya kemudian, "Aku dapat mengerti. Memang bahaya itu dapat berada disini, karena Sri Rajasa pasti yakin bahwa akulah sumber dari kegagalannya. Jika orang itu harus membinasakan Kesatria Putih, maka Kesatria Putih pasti tidak diikat oleh Sri Rajasa di istana dengan segala macam alasan"
"Tetapi apakah gunanya" Kenapa Kesatria Putih tidak dibiarkannya saja?"
"Mungkin Kesatria Putih menjumpai orang-orang itu dan mengikutinya. Jika ia sampai keistana ini, maka usaha untuk membinasakan aku akan terganggu karena disini ada kekuatan lain yang dapat membantu aku"
Mahendra mengangguk-angguk sambil berdesis, "Mungkin kau benar. Jika demikian maka Sri Rajasa akan bertindak selangkah demi selangkah. Kau dahulu, baru Putera Mahkota"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Katanya kemudian, "Jika demikian aku memerlukan kalian. Aku tidak akan dapat mengatasi mereka seorang diri, karena Sri Rajasa yang sudah menjajagi kemampuannya mempercayai orang itu untuk melakukan tugasnya"
Witantra dan Mahendra menjawab hampir berbareng, "Aku akan bermalam disini. Tidak hanya satu malam tetapi beberapa malam. Bukankah Kesatria Putih tidak dapat berbuat apa-apa untuk beberapa saat" Pada saatnya aku akan pergi ke Singasari untuk menghubungi Sumekar, apakah ikatan yang dikenakan kepada Putera Mahkota masih ada atau sudah dihapuskan, sehingga Kesatria Putih dapat bertindak kembali"
"Terima kasih. Mudah-mudahan kita dapat mengatasi setiap kesulitan. Dan mudah-mudahan Putera Mahkota juga tidak terkena bencana apapun selama kita berkumpul disini"
"Aku percaya kepada Sumekar"
Mahisa Agnipun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sejenak kemudian maka ditinggalkannya juru taman dengan kedua tamunya itu duduk dibawah pohon kantil.
Sejenak Mahisa Agni berpaling. Sesuatu bergejolak didalam dadanya. Tiga diantara mereka berempat adalah orang-orang yang pernah tersentuh hatinya oleh seorang gadis Panawijen yang bernama Ken Dedes. Mahendra pernah melakukan perkelahian untuk memperebutkan Ken Dedes melawan Mahisa Agni yang menyebut dirinya Wiraprana. Kemudian Kuda Sempana bahkan menjadi hampir gila karenanya. Dan Mahisa Agni sendiri yang menanam perasaannya dalam-dalam dilubuk hatinya. Kini mereka yang gagal itu telah berbuat sejauh-jauh dapat mereka lakukan untuk anak Ken Dedes itu. Untuk Anusapati.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia harus menemui mereka sekali lagi untuk mengatur diri menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi ia tidak tergesa-gesa. Ia mempunyai waktu menjelang senja nanti.
Demikianlah Mahisa Agni masih sempat merenungi keterangan yang didapatnya dari Witantra dan Mahendra. Namun ia tidak menemukan kesimpulan lain bahwa bahaya memang sedang mengancamnya. Ternyata Sri Rajasa sudah tidak mempunyai jalan lain untuk mengatasi kesulitan, bahwa Mahisa Agni telah dengan hampir berterus-terang menentukan rencana yang telah disusunnya.
Mahisa Asni menarik nafas dalam-dalam. Kini di Singasari seakan-akan sedang dibakar oleh sebuah peperangan yang aneh. Parang yang tidak diumumkan dan tidak dilihat oleh orang banyak. Perang yang terjadi diantara dua istana tanpa menyeret prajurit-prajurit dan bahkan para perwira dan panglimanya.
Namun perang yang demikian memerlukan kecermatan perhitungan. Dan Mahisa Agnipun kini telah bertekad untuk melanjutkan perang yang demikian itu sampai ia berhasil memenangkannya. Ia tidak bermaksud membunuh Sri Rajasa. Tujuannya semata-mata agar Mahkota tidak jatuh ketangan keturunan Ken Umang. Jika ia berhasil, maka perjuangan itu telah dimenangkannya. Tetapi ternyata bahwa Sri Rajasa menjadi semakin lama semakin kasar. Dan sampailah kini usahanya untuk melakukan tindakan kekerasan atasnya.
"Tetapi semuanya baru sekedar dugaan" berkata Mahisa Agni didalam hatinya, "namun demikian aku harus berhati-hati"
Menjelang malam Mahisa Agni sempat menemui Witantra dan kedua orang kawannya yang lain. Mereka telah menyusun rencana untuk menghadapi setiap kemungkinan jika benar-benar ada bahaya yang memasuki istana ini.
"Aku akan mengawasi dinding-dinding dibelakang" berkata Kuda Sempana, "karena hanya akulah yang dapat melakukannya diluar kecurigaan para prajurit yang bertugas"
"Ya, dan orang-orang itupun pasti tidak akan memasuki halaman ini dari depan. Meskipun mereka mendapat tugas dari Sri Rajasa, tetapi tugas yang mereka lakukan adalah tugas rahasia. Tugas yang tidak diketahui oleh pimpinan pemerintahan Singasari yang lain. Karena itu, mereka pasti akan memasuki halaman ini tidak melalui pintu yang sewajarnya"
"Witantra dan Mahendra akan berada didalam bilikku" berkata Kuda Sampana, "jika mereka benar-benar datang, aku akan memberikan isyarat"
Witantra tersenyum. Katanya, "Ada juga gunanya kau bekerja menjadi juru taman. Aku juga ingin menempatkan diriku semakin dekat dengan istana ini, dan bahkan kelak istana Singasari"
Demikianlah, maka ketika malam datang, Mahisa Agni sudah bersiaga didalam biliknya. Ia sadar, bahwa yang dihadapinya kini adalah orang-orang pilihan, yang telah dijajagi sendiri langsung oleh Sri Rajasa.
Di kebun belakang Kuda Sempana masih sibuk dengan beberapa macam tanaman. Ketika seorang prajurit lewat, dilihatnya juru taman itu masih sibuk, maka iapun bertanya, "Apa yang kau kerjakan disitu?"
Kuda Sempana mengangkat wajahnya. Kemudian jawabnya, "Aku harus menanam bibit baru ini"
"Kenapa tidak besok?"
"O, bibit ini hanya dapat ditanam dimalam hari" jawab Kuda Sempana, "jika ditanam dipagi apalagi siang hari, bibit ini tidak akan tumbuh"
Prajurit itu tidak menghiraukannya lagi. Iapun segera kembali kegardunya.
Demikianlah malam semakin lama menjadi semakin dalam. Karena didaerah Kediri pada umumnya jarang sekali tenjadi keributan, maka para prajurit menganggapnya bahwa daerah ini adalah daerah yang aman. Dengan demikian maka merekapun tidak terlalu tegang menjalankan tugas mereka. Apalagi di halaman istana ini. Selama mereka bertugas, tidak pernah terjadi sesuatu. Bukan saja sepekan ini, tetapi setiap kali mereka mendapat giliran bertugas di istana ini, tidak pernah terjadi apapun juga.
Malam haripun para prajurit sama sekali tidak menjadi curiga, Mahisa Agni dengan sengaja ingin menyelesaikan persoalannya sendiri tanpa menyeret prajurit Singasari dalam pertempuran. Itulah sebabnya ia sama sekali tidak memberitahukan kemungkinan yang dapat terjadi. Ia percaya kepada diri sendiri dan kawan-kawannya yang kebetulan ada didalam halaman istana itu pula.
Kuda Sempana yang berada dikebun belakang ternyata tidak meninggalkan tempatnya. Ia bahkan mencari tempat yang terlindung dan duduk didalam kegelapan. Namun dari tempatnya ia dapat mengawasi sebagian besar dari pagar batu dibagian belakang. Menurut perhitungannya, jalan itulah yang akan dilalui oleh para penjahat itu, karena bagian belakanglah yang agaknya paling sepi dari penjagaan. Disisi halaman, kemungkinan pengamatan masih cukup banyak dari para peronda. Tetapi dibagian belakang, hampir tidak pernah disentuhnya.
Sampai tengah malam Kuda Sempana tidak melihat sesuatu. Karena itu, hampir saja ia menjadi jemu. Hampir saja ia berdiri dan meninggalkan tempatnya.
"Mereka tidak datang malam ini" ia bergumam, "lebih baik tidur dibilik daripada dikeroyok nyamuk disini" Namun baru saja ia bergeser, terasa dadanya berdesir. Ia mendengar sesuatu yang meskipun sangat lembut, namun telah menumbuhkan kecurigaan padanya.
"Mereka pasti sudah berada diluar dinding ini" berkata Kuda Sempana kepada diri sendiri.
Karena itu, maka Kuda Sempanapun segera mempersiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Jika mereka benar-benar datang, maka iapun harus segera memberikan isyarat kepada Witantra dan Mahendra yang berada didalam biliknya.
Sejenak Kuda Sempana masih harus menunggu untuk menyaksikan dirinya, bahwa yang datang itu adalah yang ditunggunya.
Sesaat kemudian, dada Kuda Sempana menjadi berdebar-debar. Ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak diatas dinding batu yang tinggi. Dan ketajaman matanya segera mengetahui, bahwa yang bergerak-gerak itu adalah sesosok tubuh manusia yang berbaring menelungkup pada permukaan pagar batu.
"Tentu orang yang berpengalaman" berkata Kuda Sempana.
Tetapi Kuda Sempana tidak segera beranjak dari tempatnya. Ia masih menunggu apa yang akan dilakukan oleh orang diatas dinding batu itu.
Ternyata orang itu untuk beberapa lamanya tidak bergerak sama sekali. Hanya orang yang memperhatikan dengan saksama sajalah yang dapat melihat, bahwa diatas dinding batu itu ada seseorang yang berbaring menelungkup, hampir serata dinding batu itu sendiri.
"Orang itu tentu sedang mengamati keadaan" berkata Kuda Sempana pula didalam hatinya. Namun iapun kini sudah yakin bahwa orang itu adalah salah seorang dari yang dikatakan oleh Witantra.
"Mereka benar-benar tidak membuang waktu" berkata Kuda Sempana didalam hatinya, "baru siang tadi ia memasuki kota, dan malam ini mereka sudah bertindak"
Karena itu, maka Kuda Sempanapun segera menarik seutas tali yang dihubungkannya dengan biliknya. Agar tidak mengejutkan orang-orang lain yang tinggal disekitar gubuknya, maka Kuda Sempana mengikatkan tali itu pada daun pintu biliknya, sehingga suara derit yang timbul adalah derit pintu itu, seperti derit yang sudah biasa mereka dengar.
Witantra dan Mahendrapun ternyata hampir menjadi jemu menunggu. Namun mereka masih juga belum tertidur. Meskipun Mahendra sudah berbaring diamben bambu satu-satunya milik Kuda Sempana namun ia masih juga mendengar pintu berderit.
"Ha, isyarat itu" desisnya.
Witantrapun segera mendekati pintu dan menarik tali itu pula, untuk memberikan isyarat kepada Kuda Sempana, bahwa Witantra telah menerima pemberitahuan tentang kedatangan orang itu.
Ketika tali yang digenggamnya bergerak, Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam. Witantra pasti akan segera datang, dan pasti dengan sangat berhati-hati.
"Mudah-mudahan tali ini benar-benar digerakkan oleh Witantra" berkata Kuda Sempana didalam hati, "bukan sekedar dilanggar kucing atau kaki tetangga yang kebetulan pergi kepakiwan tanpa mengetahui bahwa ada tali yang terentang ini"
Dalam pada itu, Witantra dan Mahendrapun segera mengemasi dirinya. Mereka tidak akan sekedar mengintip seorang pencuri ayam dikebun belakang. Tetapi yang akan mereka intai malam itu adalah orang-orang yang pernah dijajagi kemampuannya oleh Sri Rajasa sendiri.
Karena itu, maka merekapun telah mengenakan pakaiannya sebaik-baiknya, dengan senjata dilambung dan kesiapan yang mantap.
Setelah menutup pintu biliknya kembali, maka mereka berduapun segera merayap meninggalkan bilik itu, pergi ketempat yang sudah dijanjikan. Hati-hati sekali, karena mereka yakin, bahwa Kuda Sempana sudah melihat orang yang mereka tunggu.
Tanpa menimbulkan suara, Witantra berhasil mencapai Kuda Sempana. Dan mereka bertigapun kemudian menyaksikan orang yang berbaring menelungkup itu mulai bergerak-gerak.
Kuda Sempana memperhatikan orang itu semakin tajam. Kini orang itu memberikan isyarat kepada kawan-kawannya yang masih ada diluar.
Sejenak kemudian orang itu sendiri telah melayang turun. Tubuhnya seakan-akan terlalu ringan sehingga ketika kakinya menyentuh tanah, sama sekali tidak menimbulkan suara apapun. Hanya karena Kuda Sempana sempat melihat mereka dahulu sajalah, maka ia dapat mengikuti gerak-geriknya.
Demikian orang itu berjejak ditanah, iapun segera beringsut kedalam gelap yang pekat, dibawah bayangan rimbunnya petamanan dan pohon-pohon perdu.
Namun sejenak kemudian, orang keduapun telah meloncat masuk pula. Dengan sebuah isyarat desis yang lembut, orang kedua itupun segera bersembunyi pula.
Demikianlah yang mereka lakukan berturut-turut. Seperti yang dikatakan oleh Witantra semula, orang itu sejumlah lima atau enam orang. Dan yang malam itu benar-benar memasuki halaman adalah sejumlah lima orang.
Kuda Sempana, Witantra dan Mahendra sama sekali tidak sempat berbicara agar suaranya tidak didengar oleh salah seorang dari mereka, karena Witantra, Mahendra dan Kuda Sempana menyadari bahwa mereka pasti orang-orang yang berilmu tinggi. Pasti juga pendengaran dan pengamatannya tajam pula.
Karena itu ketiganya sama sekali tidak berbicara apapun. Mereka hanya mengikuti saja dengan tatapan matanya kemana kelima orang itu pergi.
Ketiga orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya melihat arah yang tepat yang dilalui oleh orang-orang itu. Mereka langsung melintasi kebun belakang yang gelap menuju keserambi istana.
"Tentu ada yang memberikan beberapa petunjuk tentang halaman istana ini" baru kemudian Kuda Sempana berani berdesis perlahan sekali.
Witantra menganggukkan kepalanya, "Mungkin penasehat Sri Rajasa itu sendiri. Mereka tentu sudah mempunyai gambaran yang lengkap dari istana ini. Juga tentang bilik-bilik didalam istana, dan dimana Mahisa Agni tidur"
"Marilah kita ikuti" desis Mahendra, "mereka sudah agak jauh"
Ketiganyapun kemudian merayap pula mengikuti orang-orang yang mencurigakan itu. Dari jarak yang agak jauh, mereki sempat menghitung, berapa orang jumlah mereka yang memasuki istana itu.
"Lima orang" desis Mahendra.
"Sst" sahut Witantra, "mereka mempunyai ketajaman panca indera"
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ketika kelima orang yang diikuti itu merayap maju, mereka bertigapun maju pula.
Ternyata bahwa kelima orang itu masih harus berunding sejenak sebelum mereka mendekati serambi belakang. Agaknya mereka sedang membagi pekerjaan. Diantara mereka harus ada yang menunggu diluar istana, sedang yang lain akan memasukinya dan mencari bilik Mahisa Agni.
"Ternyata Sri Rajasa benar-benar sudah mulai" desis Mahendra yang agaknya paling banyak berbicara.
"Sst" sekali lagi Witantra berdesis.
Mahendra mengerutkan keningnya. Tetapi rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu. Ia ingin segera meloncat menerkam orang-orang yang tidak dikenalnya itu. Namun ia masih harus menahan diri.
"Jadi kita harus berkelahi tanpa dilihat orang" Mahendra bertanya.
"Sst" Witantra harus berdesis pula, "kau terlalu banyak bicara. Tunggu sajalah"
Mahendra terdiam. Kepalanya terangguk-angguk meskipun ia masih bertanya, "Bagaimana dengan kedua orang yang mengawasi diluar itu?"
Witantra mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
Sejenak kemudian mereka melihat orang-orang yang memasuki halaman istana itu telah melekat dinding serambi. Dengan sangat hati-hati mereka memperhatikan keadaan disekelilingnya. Namun bagi mereka, halaman itu terlampau sepi. Tidak ada prajurit yang kebetulan meronda di halaman belakang.
Dengan isyarat merekapun kemudian saling mendekat dan dengan penuh kewaspadaan mereka mulai berusaha membuka pintu.
Witantra dan kawan-kawannya menjadi tegang. Tiga orang dari mereka sibuk dengan pintu serambi belakang, sedang dua orang lainnya mengawasi keadaan disekitarnya.
Ternyata orang-orang itu adalah orang-orang yang berpengalaman. Hampir tanpa menimbulkan suara, mereka berhasil membuka pintu kayu serambi belakang.
"Mereka memutuskan tali-tali papan disebelah menyebelah pintu" desis Mahendra pula.
Witantra tidak menyahut. Namun dengan tajamnya ia mengawasi, apa yang dilakukan oleh orang-orang itu.
Sejenak kemudian, maka pintupun sudah terbuka. Ternyata ruangan di serambi itu hanya samar-samar saja diterangi oleh lampu minyak yang seakan-akan hampir padam.
Dengan hati-hati tiga diantara kelima orang itu memasuki ruangan itu. Langkah mereka benar-benar tidak menimbulkan desir sama sekali, seakan-akan mereka tidak berpijak diatas tanah.
Demikianlah keadaan menjadi hening sejenak. Ketiga orang yang ada didalam itu sedang mencari jalan untuk menuju kebilik Mahisa Agni.
"Mereka menutup pintu itu kembali" bisik Mahendra. Witantra tidak menyahut. Iapun melihat pintu itu tertutup kembali dan dua orang yang ada diluar berjongkok dibelakang tanaman perdu disebelah menyebelah pintu itu.
"Apa yang kita lakukan?" bertanya Mahendra, "menyerbu masuk saja?"
"Tunggu" desis Witantra, "Mahisa Agni akan memberikan Isyarat"
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan iapun yakin, bahwa Mahisa Agni yang sudah bersiaga itu pasti sudah mengetahui kehadiran orang-orang itu. Namun demikian Mahendra masih juga berbisik, "Mudah-mudahan Mahisa Agni tidak tertidur"
"Sst" Witantra berdesis pula.
Kuda Sempanalah yang sama sekali tidak berbicara. Tetapi dengan tajamnya ia mengamati setiap gerak dari orang-orang yang tidak mereka kenal, tetapi sudah mereka ketahui maksudnya itu.
Untuk beberapa saat mereka tidak mendengar apa-apa. Agaknya orang-orang yang mencari bilik Mahisa Agni itu masih belum dapat menemukannya.
Tetapi orang yang sedang mengintai itu terkejut ketika ia melihat seseorang melangkah perlahan-lahan dari sudut istana, seakan-akan tidak menghiraukan apapun juga. Sambil menyilangkan tangannya didada, ia berjalan dengan kepala tunduk.
"He, bukankah itu Mahisa Agni" bisik Mahendra.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Mahisa Agni tidak berada didalam istana itu.
"Apakah ia tidak tahu bahwa ada dua orang yang bersembunyi dibalik batang perdu itu"
Witantra tidak menyahut. Namun mereka bertiga menahan nafas ketika mereka melihat Mahisa Agni berhenti beberapa langkah didepan pintu.
Adalah mengejutkan sekali bahwa tiba-tiba saja Mahisa Agni membungkukkan badannya sambil berkata, "Aku persilahkan kalian masuk. Bukankah udara sangat dingin diluar?"
Witantra dan kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Sambil tersenyum Mahendra berbisik, "Gila, juga Mahisa Agni itu"
Ternyata sapa Mahisa Agni itu telah menghentakkan jantung kedua orang yang bersembunyi dibalik perdu itu. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa ada orang yang telah melihatnya.
Karena itu, maka untuk beberapa saat keduanya justru bagaikan membeku. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Karena keduanya sama sekali tidak menyahut, maka Mahisa Agnipun mengulanginya, "Ki Sanak, marilah, jangan duduk disitu. Apakah yang sedang kalian tunggu?"
Kedua orang yang bersembunyi itupun segera menyadari keadaan mereka. Mereka harus mengawasi keadaan diluar selama ketiga kawan-kawannya berada didalam. Hanya atas isyarat mereka sajalah keduanya akan masuk.
Dengan demikian maka kedatangan orang yang tidak mereka sangka-sangka telah melihat mereka berdua itu, menimbulkan persoalan yang tiba-tiba. Karena itulah, mereka menjadi kebingungan sejenak.
Namun adalah tugas mereka untuk mengamankan keadaan ketiga kawannya yang ada didalam. Siapapun orang itu, namun orang itu tidak boleh mengetahui atau mencurigai bahwa telah hadir orang-orang yang tidak dikenal di halaman istana itu.
Setelah merenungi Mahisa Agni sejenak, maka barulah salah seorang dari mereka bertanya, "Siapa kau?"
"Aku hamba istana ini. Siapakah yang kalian tunggu?" sahut Mahisa Agni yang kemudian bertanya kembali kepada, kedua orang itu.
"Tidak ada yang aku tunggu"
"O" Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, "tetapi siapakah kalian berdua" Agaknya aku belum pernah melihat meskipun aku sudah lama bekerja di istana ini"
"Kami adalah prajurit peronda"
"O" Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya, "tetapi kenapa berada disitu" Biasanya para peronda berada digardunya. Karena istana ini selamanya tidak pernah diganggu oleh kejahatan macam apapun, maka biasanya mereka tetap berada digardunya. Kecuali jika ada isyarat dari para hamba yang tinggal dibagian belakang halaman ini. Kentongan misalnya. Atau teriakan yang mencurigakan"
Keduanya terdiam sejenak. Namun kemudian salah seorang menjawab, "Kami harus tetap berwaspada. Kami harus berhati-hati setiap saat"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, "Tetapi aku belum pernah melihat kalian"
"Baru saja aku ditugaskan di istana ini. Baru hari ini aku tiba dari Singasari"
"Jadi kalian prajurit-prajurit Singasari?"
"Ya" "Tetapi pakaian kalian bukan pakaian prajurit Singasari yang bertugas di Kediri. Aku mengenal pakaian mereka dengan baik, karena aku setiap hari bergaul dengan mereka"
Jawaban itu membuat keduanya menjadi semakin bingung. Namu mereka tetap menyadari, bahwa mereka harus bertindak jika orang itu membahayakan kawan-kawannya yang ada didalam istana. Karena itu, maka salah seorang dari keduanya berkata, "Marilah. Aku tunjukkan kepadamu bahwa aku benar-benar seorang prajurit Singasari. Marilah, kita masuk kedalam, supaya terang bagimu siapa sebenarnya kami berdua"
Mahisa Agni memandang keduanya berganti-ganti lalu, "Aku sudah mengenal dengan baik. Tidak didalam, disinipun aku melihat"
"Didalam lebih jelas bagimu ciri-ciri keprajuritan"
"Aku tidak berani. Tanpa ijin tuanku Mahisa Agni, aku tidak berani masuk, karena istana ini adalah istana wakil Mahkota di Kediri"
"Aku yang membawamu masuk. Jika ada orang yang marah kepadamu meskipun itu Mahisa Agni, akulah yang bertanggung jawab. Bahkan aku ingin kau menunjukkan dimana tuanku Mahisa Agni itu tidur"
"Ah, aku tidak tahu dan aku tidak berani"
"Jangan membantah. Cepat, masuk"
Tetapi Mahisa Agni surut selangkah sambil berkata, "Aku tidak mau"
"Cepat, sebelum aku bertindak"
"Aku akan berteriak"
"Jika kau berani berteriak, kau akan mati"
"Kenapa" Aku tidak bersalah. Baiklah aku pergi saja jika kalian tidak senang melihat kehadiranku disini"
"Tidak, tidak" Mahisa Agni masih melangkah beberapa langkah surut, sementara itu Mahendra berkali-kali berdesis, "Mahisa Agni memang gila. Ia mempunyai kebiasaan aneh. Ia sangat pandai berpura-pura. Bukankah aku pernah ditipunya ketika ia mengaku bernama Wiraprana. Kenangan itu pahit, tetapi menggelikan. Kadang-kadang aku tertawa sendiri. Bahkan orang seganas Kebo Sindetpun dapat ditipunya"
"Sst" desis Witantra.
Mahendra mengerutkan keningnya. Tetapi iapun terdiam.
Dalam pada itu, ketiga orang yang berada didalam istana Mahisa Agni, mendengar juga ribut-ribut diluar. Dengan marahnya salah seorang dari mereka menjengukkan kepalanya sambil bertanya, "He, kenapa ribut?"
"Orang itu" "Siapa?" "Abdi istana ini. Ia melihat kami berdua. Aku Ingin membawanya masuk agar ia tidak mengganggu"
"Bunuh sajalah. Cepat, agar tidak menimbulkan keributan lagi"
"Jangan, jangan bunuh aku" desis Mahisa Agni.
Tetapi kedua orang itu tidak menghiraukannya lagi. Mereka harus membunuh orang itu sebelum sempat berteriak.
Karena itu, maka salah seorang dari mereka segera menerkam Mahisa Agni. Ia ingin mencekiknya sampai mati tanpa mempergunakan senjata apapun juga.
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang sudah mendengar dari Witantra bahwa Sri Rajasa sendiri telah memerlukan melakukan penjajagan atas salah satu dari orang-orang itu, tidak dapat menanggapi serangan itu dengan seenaknya. Karena itu, ketika tangan orang-orang itu terjulur kelehernya, tiba-tiba saja Mahisa Agni mencoba menangkapnya.
Ternyata tangkapan tangan Mahisa Agni pada pergelangan tangan orang itu sangat mengejutkannya. Dengan serta merta ia menghentakkan diri dan merenggut tangannya yang digenggam oleh Mahisa Agni itu.
Sejenak Mahisa Agni mencoba menahan tangan itu, namun sejenak kemudian tangan itu dilepaskannya. Ia tidak ingin mematahkan tangan orang itu, karena ia masih harus memancing ketiga orang yang sudah ada didalam istana itu keluar. Namun dengan demikian ia telah berhasil menjajagi kekuatan dan kemampuan orang itu, meskipun ia sadar, bahwa orang itu sama sekali tidak bersikap menghadapi kemungkinan seperti yang bakal terjadi.
Yang terjadi itu memang tidak terduga sama sekali. Orang itu tidak menyangka bahwa yang menyebut dirinya abdi dari istana wakil Mahkota di Kediri itu dapat berbuat secepat yang dilakukannya itu, bahkan berhasil menangkap tangannya meskipun tangan itu dapat direnggutnya.
Karena itu, maka orang yang tidak berhasil mencekik leher Mahisa Agni itu segera menyadari, bahwa ia tidak berhadapan dengan orang yang terlalu lemah, seperti juga Mahisa Agni yang menduga, bahwa orang itu pasti bukan orang yang telah dijajagi kemampuannya oleh Sri Rajasa.
"He, kenapa kau berbuat gila" " orang yang menjengukkan kepalanya berdesis, "bunuh saja. Kenapa kau masih sempat berbuat gila dalam keadaan seperti ini"
Kawannya yang gagal mencekik Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Tetapi ia masih yakin bahwa ia akan dapat membunuh abdi istana itu. Beberapa langkah ia maju mendekati Mahisi Agni, dan sejenak kemudian dengan tiba-tiba saja ia menyerang langsung kearah dada Mahisa Agni.
Sekali lagi Mahisa Agni menghindar. Kali ini ia menangkap lengan orang itu dan memilinnya. Kemudian dengan cepatnya Mahisa Agni menangkap pula kakinya dan mengangkat orang itu diatas kepalanya. Hampir tidak masuk akal, bahwa Mahisa Agni telah melemparkan orang itu kearah kawannya yang masih menjengukkan kepalanya.
Namun ternyata orang itu cukup cekatan, sehingga sambil menggeliat ia dapat mengatur dirinya dan jatuh diatas kedua kakinya tepat sejengkal didepan pintu.
Tetapi apa yang terjadi itu benar-benar telah membangunkan orang-orang yang memasuki istana dari halaman belakang itu. Kini mereka benar-benar menyadari dengan siapa ia berhadapan. Karena itu, maka ketiga orang yang melihat Mahisa Agni berdiri tegak didalam kegelapan itupun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Orang itu pasti bukan sekedar seorang abdi dari istana ini.
Orang yang semula hanya menjengukkan kepalanya saja itulah yang kemudian berdiri dihadapan Mahisa Agni sambil menggeram, "Siapa sebenarnya kau he?"
"Aku abdi dari istana ini. Akulah yang harus bertanya kepadamu, siapakah kau dan kawan-kawanmu itu. Dan kenapa kau memasuki halaman istana dibagian belakang ini dimalam hari" Kau pasti bukan salah seorang dari prajurit Singasari yang sedang bertugas disini"
"Persetan. Aku tidak peduli siapa kau dan akupun tidak akan menyebutkan siapa aku dan kepentinganku. Tetapi kau harus mati"
"Tidak seorangpun yang akan dengan suka rela menyerahkan dirinya untuk mati. Aku juga. Karena itu, kalau kau tidak mau mengurungkan niatmu, kita pasti akan berkelahi. Kau tentu tahu akibatnya jika aku memberikan isyarat kepada para prajurit yang sedang bertugas diregol depan"
"Persetan" orang itu tidak menyahut lagi. Dengan serta merta ia menarik pedangnya langsung menebas leher Mahisa Agni.
Tetapi Mahisa Agni benar-benar sudah bersiaga. Karena itu, maka dengan tangkasnya menghindarkan dirinya dari sambaran pedang itu.
Sekali lagi lawannya terkejut. Gerakan itu terlampau cepat. Namun ternyata bahwa ia sama sekali tidak berhasil mengenai lawannya. Tetapi ia tidak membiarkan lawarnya itu lolos. Dengan tangkasnya ia memburu dan sekali lagi mengayunkan pedangnya kearah lambung. Namun, sekali lagi lawannya itu berhasil menghindar dan meloncat beberapa langkah, sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenai sasarannya.
Orang itu menjadi gelisah. Jika ia tidak berhasil dengan cepat membinasakan orang yang menyebut dirinya abdi istana wakil Mahkota, dan orang itu sempat memberikan isyarat, maka pekerjaannya akan bertambah sulit, meskipun mereka berlima tidak akan gentar menghadapi sepuluh orang penjaga sekalipun. Tetapi jika diantara yang sepuluh itu terdapat seorang Mahisa Agni, maka mereka harus memperhitungkan keadaan itu sebaiknya.
Dengan demikian, maka yang harus dikerjakannya adalah membunuh orang itu bagaimanapun juga caranya. Maka sejenak kemudian terdengar aba-abanya, "Kepung orang ini"
Demikianlah maka ketiga orang itupun segera berloncatan mengepung Mahisa Agni. Kini mereka bertiga telah bersenjata telanjang dan siap menyergap orang yang menyebut dirinya abdi istana wakil Mahkota itu.
Namun keributan itu agaknya telah mengganggu orang yang ada didalam istana. Sejenak kemudian keduanya telah berloncatan keluar. Salah seorang dari mereka berkata, "Apa yang kalian kerjakan"
"Membunuh orang ini" sahut orang yang pertama-tama keluar.
"Siapakah orang itu"
"Aku tidak tahu. Tetapi agaknya ia orang gila"
"Biarkan kedua anak-anak itu membunuhnya. Cepat dan jangan ribut"
"Mereka tidak akan berhasil. Akupun tidak"
"He" keduanya terkejut. "Apakah kau mengigau"
"Orang ini seperti setan"
"Kau gagal membunuhnya?"
"Ya" Tiba-tiba orang yang keluar paling akhir itu menggeram. Dengan marahnya ia berkata, "Minggir. Aku ingin melihat, siapakah orang itu sebenarnya"
Beberapa langkah orang itu maju mendekati Mahisa Agni. Diamat-amatinya Mahisa Agni dari ujung kaki sampai keujung rambutnya. Dan sejenak kemudian terdengar suara tertawanya lirih, "Tentu. Tentu tikus-tikus ini tidak akan dapat membunuhmu. Tenyata kami bagimu adalah orang-orang yang paling bodoh yang pernah kau temui. Kami mencarimu didalam istanamu yang megah. Ternyata kau berada diluar. Nah, bagiku adalah kebetulan sekali. Kita mendapat kesempatan untuk mengenal satu sama lain"
Mahisa Agni tidak menjawab, tetapi diamatinya orang itu dengan tajamnya. Agaknya orang itu sudah mendapat pesan tentang ciri-ciri orang yang bernama Mahisa Agni.
"Kenapa kau diam saja" Bukankah kau yang bernama Mahisa Agni?"
"Mahisa Agni" ketiga orang yang telah mengepungnya itu terkejut. "Jadi orang ini Mahisa Agni?"
"Apakah ia tidak mengaku bahwa dirinyalah Mahisa Agni?"
"Ia menyebut dirinya abdi istana wakil Mahkota ini"
"Nah, aku menjadi semakin yakin. Menurut ceritera Sri Rajasa, orang yang bernama Kebo Sindetpun pernah ditipunya, dan kemudian dibunuhnya. Tetapi ia tidak dapat menipu aku dan tidak dapat membunuh aku, karena aku bukan Kebo Sindet dan aku tidak sedungu Kebo itu. Aku memiliki beberapa kelebihan dari padanya, sehingga seandainya Kebo Sindet itu masih hidup, ia tidak akan dapat mengalahkan aku pula"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia bertanya, "Kenapa kau menyebut nama Sri Rajasa"
"Jangan terkejut. Aku adalah utusannya. Aku datang kemari atas namanya untuk membunuhmu"
"Kakang" desis kawan orang itu.
"Aku tidak usah ragu-ragu mengatakannya, karena sebentar lagi ia akan mati. Aku tidak gentar meskipun ia mampu membinasakan Gubar Baleman"
Mahisa Agni merenung sejenak. Agaknya orang inilah pemimpin kelompok orang-orang yang ingin membinasakannya itu. Dan agaknya orang ini pulalah yang telah berkelahi melawan Sri Rajasa untuk dijajagi kemampuannya.
"Aku harus berhati-hati" desis Mahisa Agni didalam hatinya. Namun ia percaya bahwa disekitarnya pasti telah bersembunyi Witantra dan kawan-kawannya untuk membantunya jika ia harus menghadapi beberapa orang lawan yang terlalu berat baginya.
"Jadi kau mendapat perintah Sri Rajasa untuk membunuhku?" bertanya Mahisa Agni.
"Ya" "Bohong. Sri Rajasa tidak akan melakukannya. Aku adalah pembantunya yang paling dipercaya, dan itu ternyata atas tugas yang diberikannya kepadaku sekarang ini. Aku adalah wakil Mahkota di Kediri"
"Tetapi kau adalah orang yang paling malang di muka bumi. Ternyata bahwa orang yang memberikan kepercayaan kepadamu itulah yang memerintahkan membunuhmu. Terimalah nasibmu dengan tabah"
"Tetapi kau tidak akan berhasil. Aku memang Mahisa Agni. Tetapi akulah yang membunuh Gubar Baleman itu dengan tanganku. Aku pulalah yang membunuh Kebo Sindet seperti ceritera Sri Rajasa. Dan sekarang datang giliranmu"
Orang itu tertawa. Namun Mahisa Agni melanjutkan, "Kita akan berperang tanding. Siapakah yang ternyata lebih kuat diantara kita"
"He, kau memang licik. Tidak, kita tidak akan berperang tanding. Kami akan menyelesaikan kau secepat mungkin. Kami berlima akan bersama-sama membunuhmu. Jangan mencoba menggugah harga diriku. Aku memang bukan laki-laki jantan. Aku sekedar melakukan pekerjaan ini meskipun dengan licik, agar aku mendapat upah yang banyak sekali"
"Apakah kau tidak menyadari bahwa ada prajurit yang bertugas di istana ini"
"Satu orang diantara kami akan dapat menahan mereka, sementara kami yang lain membunuhmu. Setelah itu, kami akan bersama-sama membunuh semua orang di halaman istana ini. Kau mengerti. Dan rahasia perintah Sri Rajasa tidak akan terdengar oleh siapapun"
Namun tiba-tiba jantung mereka terasa seperti dihentikan ketika tiba-tiba mereka mendengar suara, "Aku mendengarnya. Aku mendengar rahasia perintah Sri Rajasa. Akulah yang akan mengumumkannya kepada setiap orang di Kediri dan Singasari"
Pemimpin penjahat itu menggeram. Sejenak kemudian dilihatnya seseorang berdiri sambil menggeliat. Orang itu adalah Mahendra. Ia adalah orang yang paling gelisah dan tidak sabar. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berdesis menjawab kata-kata pemimpin perampok itu.
Sejenak perampok-perampok itu memandanginya. Kemudian salah seorang bertanya dengan nada yang berat, "Siapa kau?"
Mahendra yang sudah berdiri tegak itu tidak segera menjawab. Beberapa langkah ia maju mendekati orang-orang yang sedang kebingungan itu.
"Siapa kau" " pemimpin garombolan penjahat itu bertanya lagi dengan suara bergetar.
Mahendra kini berdiri tegak beberapa langkah dari mereka. Sejenak ia masih berdiam diri, namun kemudian ia berkata, "Aku adalah pekatik dari istana ini. Aku sedang menyabit rumput di halaman belakang ketika aku mendengar kalian masuk meloncati dinding belakang sehingga aku dan kedua kawanku yang seorang juru taman dan seorang lagi juru masak, mengikuti kalian sampai ketempat ini. Aku melihat bagaimana kalian kebingungan. Tiga orang masuk dan yang dua orang berada diluar, sehingga akhirnya yang dua orang terlihat oleh abdi istana yang kau sangka tuanku Mahaisa Agni"
Pemimpin perampok itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian sadar, bahwa orang itu pasti bukan seorang pekatik dan orang itu tentu kawan-kawan Mahisa Agni. Namun menilik sikap dan kata-katanya, maka orang itu agaknya yakin akan dirinya dan memiliki kemampuan yang setidak-tidaknya dapat membantu kesulitan Mahisa Agni menghadapi mereka berlima.
Karena Mahendra sudah menyebut dua orang kawannya yang lain, maka Witantra dan Kuda Sempanapun tidak bersembunyi lebih lama lagi. Hampir berbareng merekapun muncul sambil berkata, "Baiklah. Kami tidak akan bersembunyi lagi"
Terasa dada para perampok itu berdesir. Ternyata kedatangan mereka telah diketahui lebih dahulu oleh Mahisa Agni dan kawan-kawannya yang pasti dipercayanya untuk membantu menghadapi mereka.
"Gila" pemimpin perampok itu menggeram, "siapakah yang sudah berkhianat" Sri Rajasa atau penasehatnya atau salah seorang kepercayaan Sri Rajasa tanpa diketahuinya?"
"Tidak ada seorangpun yang berkhianat" sahut Mahisa Agni, "kebetulan saja kami mengetahui kedatanganmu"
"Bohong" pemimpin perampok itu memotong, "jangan mengganggu lebih lama lagi. Tentu di halaman ini telah dipersiapkan prajurit segelar sepapan. Suruh mereka segera keluar. Kami akan menghancurkan mereka dan membunuh mereka bersama kalian termasuk Mahisa Agni"
"Sayang" jawab Mahisa Agni, "kami tidak menyiapkan penyambutan serupa itu. Justru aku sudah mengatakan kepada para prajurit, bahwa malam ini mereka tidak usah meronda. Istana ini tidak pernah diganggu oleh kejahatan. Tetapi sudah tentu bahwa kami harus menyiapkan penyambutan bagi kalian yang apalagi salah seorang dari kalian telah langsung melakukan penjajagan kemampuan melawan Sri Rajasa sendiri"
"Gila" pemimpin perampok itu hampir berteriak, "siapa pengkhianat itu he" Katakan, katakan! Darimana kau ketahui semuanya itu?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak ada gunanya. Tetapi nasibmu tidak akan lebih baik dari Kiai Kisi yang diumpankan langsung kepada Putera Mahkota, sehingga Putera Mahkota sendirilah yang telah membunuhnya"
"Persetan" kemarahan yang memuncak telah mendidihkan darah pemimpin perampok itu, "ternyata istana Singasari telah dipenuhi oleh pengkhianat-pengkhianat. Dan sekarang kalian mencoba menjebak aku dan kawan-kawanku" ia berhenti sejenak. Lalu, "tetapi kalian kali ini akan gagal. Meskipun Mahisa Agni memiliki kemampuan setinggi langit, tetapi tidak semua kalian memiliki kemampuan seperti Mahisa Agni. Karena itu, seorang demi seorang kalian akan mati, bahkan seandainya kalian memanggil prajurit segelar sepapan"
"Kami tidak akan memanggil seorang prajuritpun. Kami akan bertempur langsung" jawab Mahendra, "kami berempat, dan kalian berlima. Setuju?"
Pemimpin perampok itu tidak menyahut. Namun ketika ia menggeram seperti seekor harimau kelaparan kawan-kawannya agaknya menerima suatu isyarat untuk segera mempersiapkan dirinya.
03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Agni dan ketiga kawannyapun kemudian menebar. Mereka segera mempersiapkan diri untuk melawan setiap orang yang akan menyerang mereka. Keempatnya menyerahkan kepada lawan-lawannya untuk memilih salah seorang dari mereka.
Melihat sikap keempat orang itu para perampok itupun menjadi semakin berdebar-debar. Keempatnya seolah-olah begitu yakin akan dirinya dan kemampuannya. Umur-umur mereka agaknya sebaya kecuali Witantra yang tampak agak lebih tua dari yang lain-lain, meskipun tidak begitu banyak.
Para perampok itu tidak dapat memilih siapakah yang lebih kuat dan siapakah yang paling lemah. Namun menurut perhitungan mereka, pasti Mahisa Agnilah yang paling kuat diantara mereka, sehingga pemimpin perampok itu berkeputusan untuk melawan Mahisa Agni. Karena itu maka katanya, "Pilihlah lawanmu sendiri. Aku akan membuktikan, bagaimana mungkin orang yang bernama Mahisa Agni ini mampu membunuh Kebo Sindet dan kemudian Senapati Agung dari Kediri. Dan bagaimana mungkin ia dapat membuat Putera Mahkota menjadi seorang yang dikagumi oleh seluruh rakyat Singasari dan menamakan dirinya Kesatria Putih"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun ia beringsut selangkah. Kini ia benar-benar telah mempersiapkan diri untuk melawan orang yang pernah langsung mencoba kekuatannya dengan Sri Rajasa itu. Karena menurut perhitungannya, orang itulah yang merasa dirinya mempunyai kemampuan melampaui kawannya.
Mahendra, Kuda Sempana dan Witantrapun telah bersiap pula. Namun mereka masih tetap menunggu, siapakah yang akan datang kepada mereka masing-masing sebagai lawannya. Menurut jumlahnya, maka salah seorang dari mereka harus melawan dua orang bersama-sama. Dan yang dua itu pastilah dua orang yang tidak ikut masuk kedalam istana itu.
Untuk sesaat lamanya tidak seorangpun yang segera mulai. Baik para perampok maupun kawan-kawan Mahisa Agni agaknya saling menunggu, siapakah yang harus dilawannya, selain Mahisa Agni sendiri yang sudah pasti menemukan lawannya.
Ternyata Mahendralah yang tidak sabar menunggu. Karena itu iapun maju selangkah sambil berkata, "He, apakah kita harus mengundi, siapakah yang akan bertemu sebagai lawan?"
"Persetan" pemimpin perampok itu menggeram, "cepat, bunuh mereka"
"O, jadi kalian tidak setuju" Baik. Aku akan tetap berdiri disini sampai ada seseorang yang menyerangku" sahut Mahendra kemudian, "jika tidak, maka sampai besok pagi aku tidak akan beranjak"
"Bunuh anak itu lebih dahulu" pemimpin perampok yang sudah siap melawan Mahisa Agni itu menggeram.
"Ah, jangan panggil aku anak. Aku sudah hampir mempunyai cucu" berkata Mahendra.
Namun demikian mulutnya terkatup, maka salah seorang perampok itu telah meloncat menyerangnya, sehingga Mahendra harus meloncat menghindar. Serangan itu ternyata cukup berbahaya baginya, karena lontaran kekuatan yang sepenuhnya itu benar-benar ingin menghancurkannya.
Mahendra yang meloncat menghindar itu ternyata menjadi berdebar-debar juga. Ternyata serangan itu datang begitu cepat dan tiba-tiba. Dengan demikian Mahendra dapat menilai, bahwa lawannya itu memang bukan orang kebanyakan.
Karena serangannya yang pertama gagal, maka lawan Mahendrapun segera memburunya dan mengulangi serangannya beruntun. Ia benar-benar ingin segera membinasakannya, seperti yang dipermtahkan oleh pemimpinnya.
Tetapi ternyata pekerjaan itu tidak begitu mudah. Mahendra yang masih berloncatan menghindar itu, masih mencoba untuk mengetahui lebih banyak tentang kemampuan lawannya, sehingga apabila datang saatnya ia tidak akan terjebak karena kesalahannya sendiri.
Dalam pada itu, ternyata pemimpin perampok yang memasuki halaman istana wakil Mahkota di Kediri itu masih belum mulai menyerang Mahisa Agni. Ia masih ingin mengetahui, apakah kawannya mampu mengimbangi orang-orang yang telah mengganggu tugas mereka itu.
Namun untuk beberapa lamanya, Mahendra sengaja masih belum melakukan perlawanan sepenuhnya. Ia masih saja berloncatan meskipun kadang-kadang ia menahan serangan lawannya pula apabila ia sudah sangat terdesak.
Witantra dan Kuda Sempanapun berdiri termangu-mangu melihat Mahendra bertempur. Namun Witantrapun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang memiliki ketajaman tanggapan tentang olah kanuragan, maka iapun segera mendapat kepastian, bahwa keadaan Mahendra tidak akan begitu jelek melawan orang yang menyerangnya.
Dan yang harus dilakukannya kemudian adalah menunggu, siapakah dari antara para penjahat itu yang akan menyerangnya.
Tetapi ternyata bahwa Kuda Sempanalah yang mendapat serangan lebih dahulu. Seperti orang yang pertama maka serangannya datang dengan cepat dan tiba-tiba. Tetapi juga seperti Mahendra maka Kuda Sempanapun mampu menghindari serangan-serangan yang datang beruntun seperti banjir. Orang itu sudah mencoba memperbaiki kesalahan kawannya yang tidak berhasil langsung mengalahkan Mahendra, tetapi meskipun demikian, iapun tidak segera berhasil menjatuhkan Kuda Sempana.
Yang kemudian masih berdiri bebas adalah Witantra. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia harus berkelahi melawan dua orang yang masih belum menemukan lawannya. Namun iapun sadar, bahwa yang dua orang itu pasti orang-orang yang paling lemah dari kelompok penyerang itu.
"Nah, kitalah yang belum mendapatkan lawan" berkata Witantra, "dengan demikian maka kita tidak akan dapat memilih lagi. Kita harus berhadapan. Terserah kepada kalian, apakah kalian akan bertempur bersama-sama atau seorang demi seorang"
Kedua orang perampok yang masih belum mendapat lawannya itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian terdengar pemimpinnya berkata, "Cepat, bunuh orang itu"
Keduanyapun segera berloncatan menyerang Witantra langsung dengan senjata-senjata mereka yang sudah berada ditangan. Tetapi Witantrapun berhasil menghindar dan bahkan melayani keduanya dengan tangkasnya.
Di halaman belakang istana wakil Mahkota itu telah terjadi tiga lingkaran perkelahian. Namun dalam pada itu sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni telah memberikan kesan, seakan-akan para prajurit yang berjaga-jaga di istana itu tidak perlu lagi meronda kehalaman belakang. Dengan tidak langsung Mahisa Agni mengatakan kepada mereka, bahwa kadang-kadang hanya mengejutkannya saja, dan bahkan karena badan Mahisa Agni yang agak kurang segar, maka biarlah mereka tidak usah meronda kehalaman dalam dan belakang.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni dapat menghadapi lawan-lawannya tanpa para prajurit. Menurut perhitungannya para prajurit itu hanya akan membuatnya bingung dan bahkan mungkin akan dapat menimbulkan korban. Selain korban yang mungkm jatuh, maka persoalan itu akan menjadi berkepanjangan sampai kesetiap telinga dengan tafsiran mereka masing-masing.
Mahisa Agni masih sempat menyaksikan perkelahian itu. Ternyata bahwa para perampok itu benar-benar orang pilihan. Karena itulah maka Mahisa Agnipun harus berhati-hati, karena pemimpinnya pastilah orang yang lebih baik dari mereka yang sudah terlibat didalam perkelahian itu, dan apalagi Sri Rajasa sendiri sudah menjajaginya dan menganggapnya cukup mampu untuk melakukan tugas ini.
Ternyata orang itupun masih memerlukan waktu sedikit untuk melihat anak buahnya yang bertempur. Sambil mengerutkan keningnya ia mengangguk-angguk. Menurut pengamatannya, orang-orangnya tidak mengecewakannya, meskipun ia tidak yakin bahwa mereka akan segera menang.
"Aku harus bertindak cepat. Mahisa Agni harus segera terbunuh, lalu yang lain-lain akan dengan mudah selesai" berkata orang itu didalam hatinya.
Sejenak kemudian maka iapun melangkah maju mendekati Mahisa Agni. Namun setelah keduanya berdiri berhadapan, sepercik kesangsian membayang di wajah pemimpin perampok itu. Mata Mahisa Agni yang seakan-akan menyala didalam gelapnya malam itu membuatnya sedikit berdebar-debar.
"Persetan" ia menggeram. Dicobanya untuk mengusir kesangsian dihatinya itu. Ia tidak pernah ragu-ragu menghadapi siapapun juga, karena ia terlalu percaya kepada kemampuan diri sendiri.
"Belum pernah aku gagal. Meskipun aku mengakui bahwa ada juga orang yang melampaui kemampuanku. Tetapi satu-satunya orang adalah Sri Rajasa" katanya didalam hati.
Karena itu, maka sejenak kemudian iapun melangkah semakin mendekati Mahisa Agni sambil berkata. "Mahisa Agni. Aku hanya sekedar menjalankan perintah. Kau sudah tidak akan dipakai lagi oleh Sri Rajasa. Karena itu kau harus dibunuh. Setelah kau pasti akan datang giliran Anusapati anak Tunggul Ametung itu"
"Rencana yang bagus sekali. Jika aku dan Anusapati tidak ada, maka Singasari akan menjadi murni. Begitu?"
"Ya. Darah Tunggul Ametung akan lenyap sama sekali dari muka bumi, terutama dari kekuasaan Singasari"
"Sayang sekali. Rencana itu tidak terlampau mudah dilakukan. Baik aku sendiri maupun Anusapati yang ternyata adalah Kesatria Putih, bukan orang-orang yang mudah menyerahkan lehernya. Seperti seharusnya kodrat manusia, ia pasti akan mempertahankan hidupnya sejauh dapat dilakukan"
"Tetapi kau tidak akan dapat melakukannya, karena disini akulah yang mendapat tugas untuk membunuhmu"
"Sayang. Aku akan bertahan. Dan aku memang ingin melihat Anusapati menjadi raja di Singasari. Yang penting bagiku bukannya siapakah yang menjadi ayah raja Singasari itu. Tetapi ia harus keturunan Ken Dedes. Itulah sebabnya aku berjuang dengan caraku untuk mempertahankan Anusapati diatas kedudukannya sekarang, sebagai Putera Mahkota. Jika Sri Rajasa ingin menurunkan raja di Singasari, dan memadu Mahisa Wonga Teleng untuk menjadi Putera Mahkota, aku tidak akan berkeberatan, dan Anusapatipun pasti akan dengan sukarela minggir dari kedudukannya. Tetapi sudah tentu, bukan Tohjaya, anak Ken Umang itu"
"Persetan, itu adalah hak Sri Rajasa untuk menentukan, siapakah yang akan ditunjuk untuk menggantikannya"
"Tidak. Sri Rajasa tidak berhak atas tahta. Tetapi Ken Dedeslah yang mewarisi kekuasaan Tunggul Ametung karena Tunggul Ametung telah melimpahkan kekuasaannya atas kehendaknya sendiri kepada Ken Dedes, ketika Ken Dedes mula-mula memasuki istana dan kehidupan Tunggul Ametung"
"Bohong" "Jangan kau sangka aku tidak tahu apa yang sudah terjadi. Karena kau atau aku yang akan mati, baiklah aku berterus terang, bahwa aku sudah mengetahui bahwa Sri Rajasalah yang membunuh Tunggul Ametung dan pamanku mPu Gandring. Barangkali kau belum mendengarnya. Karena itu, ketahuilah, bahwa Sri Rajasa tidak berhak memindahkan aliran keturunan Ken Dedes dan memberikannya kepada Ken Umang, meskipun sebagian besar adalah karena jasa Ken Arok, bahwa Singasari menjadi besar seperti sekarang"
"Omong kosong" geram pemimpin perampok itu, "aku tidak memerlukan ceritera mimpi itu. Sekarang aku akan membunuhmu"
Mahisa Agni tidak menyahut. Tetapi ia mempersiapkan dirinya baik-baik untuk menghadapi lawanya itu.
"Bersiaplah untuk mati, atau kau ingin mati dengan tenang tanpa kelelahan?"
Mahisa Agni sudah segan untuk berbicara berkepanjangan. Karena itu ia tidak menjawab.
"Baik. Kau memang ingin mati setelah menitikkan keringat dan darah. Dan aku akan membantumu"
Tiba-tiba saja orang itu telah menarik sebuah pedang panjang. Oleh cahaya obor dikejauhan, mata pedang itu tampak berkilat-kilat memantulkan sinarnya yang kemerah-merahan.
Mahisa Agni memandang pedang itu sejenak. Ia tidak dapat melawan pedang itu tanpa senjata apapun, karena ia menganggap bahwa lawannya adalah lawan yang cukup berat. Karena itu, maka iapun segera mencabut belati panjangnya yang terselip dibawah kain panjang. Sepasang pisau belati panjang dikedua tangannya.
Sejenak mereka masih berdiri berhadapan. Namun sejenak kemudian pedang ditangan pemimpin perampok itu sudah berputar. Dengan sigapnya ia mulai menyerang Mahisa Agni yang dengan tangkas berhasil menghindarkan diri.
Ternyata dugaan Mahisa Agni tidak meleset. Orang itu benar-benar mampu bergerak cepat dan kuat. Pedangnya menyambar-nyambar seperti seekor burung sriti yang berterbangan di udara.
Namun Mahisa Agni bukan sekedar seekor capung yang tidak mampu menghindarkan diri dari ujung paruh burung sriti yang menyambarnya. Tetapi Mahisa Agnipun mampu bergerak secepat lawannya, sehingga karena itu, maka serangan-serangan itu sama sekali tidak berhasil menyentuh sasarannya.
Apalagi ketika Mahisa Agnipun mulai menyerang lawannya itu pula, maka barulah lawannya menyadari, sebenarnyalah Mahisa Agni seorang yang disegani oleh Sri Rajasa.
Demikianlah maka perkelahian antara Mahisa Agni dengan lawannya itu segera menjadi pertempuran yang sangat sengit karena keduanya adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan.
Didalam perkelahian itu Mahisa Agni masih juga sempat berkata didalam hati, "Ada juga orang yang memiliki kemampuan tinggi diantara mereka yang tersesat. Orang ini ternyata adalah orang yang berbahaya sekali. Untunglah bahwa ia tidak memancing Kesatria Putih dan membinasakan. Jika kebetulan ia bertemu sendiri dengan Anusapati, maka Anusapati akan sulit sekali untuk mengatasinya dalam keadaan yang sekarang. Masih untunglah bahwa orang itu telah dikirimkan kepadanya oleh Sri Rajasa. Namun demikian Mahisa Agni berterima kasih tidak terhingga didalam hatinya kepada Sumekar. Kehadiran Sumekar di istana Singasari ternyata mempunyai arti yang besar sekali. Baik bagi Putera Mahkota maupun bagi Mahisa Agni sendiri, karena tanpa Sumekar, maka Mahisa Agni dan kawan-kawannya itu tidak akan dapat mempersiapkan diri menghadapi kelima orang itu.
"Tanpa orang lain aku tidak akan dapat mengatasi kesulitan. Jika tidak ada persiapan yang baik menghadapi mereka, dan ketiga orang yang memasuki istana itu berhasil menyergap aku didalam bilikku, maka aku kira aku benar-benar terbunuh" berkata Mahisa Agni didalam hatinya.
Namun gambaran-gambaran itu ternyata membuat Mahisa Agni menjadi semakin marah. Bayangan yang tampak dirongga matanya, seakan-akan dirinya sendiri terkapar didalam pembaringannya sebelum sempat bangkit, membuatnya menjadi semakin marah.
"Sri Rajasa benar-benar ingin merenggut nyawaku. Dan orang-orang ini pasti orang-orang yang tamak, yang menyewakan diri mereka untuk membunuh sesama. Dan itu berarti kejahatan yang tidak dapat diampuni" Mahisa Agni berkata pula didalam hatinya.
Dengan demikian, maka Mahisa Agnipun telah mengambil sikap seperti orang itu pula. Membunuh atau dibunuh. Mahisa Agni sama sekali tidak memerlukan orang itu hidup karena ia tidak memerlukan keterangan apapun daripadanya. Ia sudah tahu pasti bahwa orang itu harus membunuhnya atas perintah Sri Rajasa. Hanya itu. Alasan-alasan yang lain tidak akan dapat dikoreknya dari orang itu, tetapi harus dicarinya di istana Singasari.
Demikianlah perkelahian itu adalah lambang dari perang yang sebenarnya memang sudah mulai. Perang tanpa menyeret prajurit-prajurit Singasari. Karena baik Sri Rajasa maupun Mahisa Agni menyadari, bahwa Singasari yang sudah mencapai kebesarannya itu tidak boleh dikorbankan. Apapun yang akan terjadi atas mereka, dan apapun yang akan mengakhiri perang diantara dua raksasa yang berdiri dibalik takbir asap yang samar-samar.
Tidak seorangpun di Singasari, selain yang langsung berkepentingan, mengerti bahwa perang sudah dimulai. Jika kedua raksasa itu bertemu satu dengan yang lain, maka keduanya masih juga tersenyum-senyum dan tertawa-tawa. Keduanya masih dapat berkelakar dan berbicara tentang perkembangan pemerintahan Singasari. Bahkan mereka masih dapat dengan jujur membicarakan tugas-tugas yang harus mereka lakukan masing-masing. Sri Rajasa sebagai Maharaja yang memerintah seluruh Singasari, dan Mahisa Agni yang mendapat tugas untuk mewakili Mahkota Singasari di daerah Kediri.
Tetapi dibalik sikap yang ramah, dibalik pembicaraan-pembicaraan dan rencana-rencana mereka bagi Singasari, tersembunyi pertentangan yang tidak terelakkan, yang akan menentukan Mahkota Singasari dihari depan.
Dalam pada itu perkelahian yang terjadi itupun menjadi semakin lama semakin dahsyat. Namun dilingkaran perkelahian yang lain, Kuda Sempana segera dapat mengatasi kemampuan lawannya, meskipun ia tidak akan dapat menyelesaikannya dengan segera. Dan bahkan Kuda Sempanapun tidak bernafsu untuk dengan cepat memenangkan perkelahian itu, karena ia mempunyai perhitungan tersendiri. Menurut pengamatannya, Mahisa Agni berada dalam keadaan yang gawat. Lawannya bukan orang yang dapat diabaikan, sehingga Mahisa Agni benar-benar harus bertempur. Supaya Mahisa Agni mendapat kesempatan sebaik-baiknya menyelesaikan rencananya, maka Kuda Sempana ingin menunggu apakah yang harus dilakukan atas lawannya itu. Jika Mahisa Agni nanti berhasil menyelesaikan tugasnya, apakah ia akan mempunyai sikap tertentu terhadap orang-orang yang memasuki halaman istana itu, karena setiap kali didalam melakukan tugas-tugas Kesatria Putih, Mahisa Agni sering kali menegurnya, bahwa ia terlampau cepat mengambil keputusan untuk membunuh lawannya.
Demikian juga agaknya Mahendra dan Witantra. Keduanyapun segera dapat merasa bahwa mereka dapat menentukan akhir dari perkelahian itu menurut keinginan mereka, jika mereka tidak berbuat kesalahan yang berpengaruh.
Mockingjay 6 Pendekar Rajawali Sakti 29 Mutiara Dari Selatan Legenda Kelelawar 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama