Ceritasilat Novel Online

Pelangi Di Langit Singosari 26

03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja Bagian 26


Witantra yang memiliki kemampuan yang hampir sempurna, sempat menyaksikan perkelahian antara Mahisa Agni dan lawannya. Dan iapun sempat menilai, apa yang sedang terjadi.
"Lawan Mahisa Agni memang lawan yang berat" berkata Witantra didalam hati, "untunglah orang itu datang kemari. Jika tidak, maka ia akan menjadi racun didalam peradaban manusia. Itulah agaknya didaerah sebelah Timur dan Utara, kadang-kadang terjadi sesuatu yang menggemparkan, yang masih belum terjangkau oleh tangan Kesatria Putih. Agaknya orang itulah pelakunya bersama kawan-kawannya ini"
Namun dalam pada itu, Mahisa Agni yang bertempur melawan pemimpin perampok itu segera mengenal, bahwa ilmu orang itu adalah ilmu yang pada dasarnya sudah dikenal di istana Singasari, sehingga dengan demikian ilmu itu didalam perkembangannya pasti bersumber dari guru yang memiliki cabang ilmu yang sama. Dan arus ilmu itu telah mengalir kedalam diri Tohjaya lewat gurunya, penasehat Sri Rajasa. Dengan demikian Mahisa Agnipun segera tahu pula, siapakah yang membawa orang itu keistana beserta rencana-rencana dan pamrihnya sama sekali. Dengan demikian Mahisa Agnipun yakin, bahwa penasehat Sri Rajasa itu ikut serta menentukan jalannya peperangan diam-diam antara Sri Rajasa untuk kepentingan Tohjaya dan Mahisa Agni untuk kepentingan Anusapati.
"Jadi guru Tohjaya itu tidak sekedar menjemput dan membawanya masuk keistana atas perintah Sri Rajasa" berkata Mahisa Agni yang memang sudah mendengar dari Witantra yang mendapat keterangan dari Sumekar bahwa telah datang orang asing di istana dan bahkan mengadakan penjajagan ilmu dengan Sri Rajasa. "Agaknya guru Tohjaya itulah yang mengusulkan orang ini untuk mengemban tugas didalam peperangan yang diam-diam ini"
Sambil bertempur Mahisa Agni sempat membayangkan bagaimana keadaan yang bakal terjadi tanpa dirinya dan orang-orang yang sekarang sedang membantunya. Yang dicemaskan oleh Mahisa Agni adalah sikap yang kasar dari Sri Rajasa. Dalam keadaan tertentu, Sri Rajasa kehilangan sifat-sifatnya sebagai seorang Maharaja. Ia dapat bertindak kasar seperti ketika ia masih seorang yang berkeliaran di padang Karautan. Ketika ia masih disebut Hantu Karautan.
"Apakah hal ini akan semakin berlarut-larut atau akan dapat memberikan kesadaran baru bagi Sri Rajasa?" pertanyaan itu selalu mengganggunya. Namun dalam pada itu, Mahisa Agni justru menjadi semakin kehilangan kepercayaannya kepada Sri Rajasa.
"Orang itu adalah orang besar" berkata Mahisa Agni didalam hati, "tetapi ia terperosok kedalam suatu kubangan yang dapat mencelakakannya. Ia kehilangan kebesarannya dan justru berjuang untuk kepentingan yang terlalu kecil bila dibandingkan dengan usahanya mempersatukan Singasari"
Mahisa Agni terkejut ketika senjata lawannya hampir saja menyentuh pelipisnya.
Kini Mahisa Agni mencoba memusatkan perhatiannya kepada senjata lawannya yang bergerak semakin cepat. Namun semakin lama semakin jelas, bahwa Mahisa Agni akan berhasil menguasainya.
Meskipun demikian bila Mahisa Agni lengah dan membuat sedikit kesalahan, mungkin keadaan akan menjadi jauh berbeda. Karena itu, Mahisa Agni berusaha untuk tidak hanyut lagi dalam arus angan-angannya.
"Orang ini terlalu berbahaya" katanya didalam hati, "berbahaya bagiku dan berbahaya bagi rakyat Singasari. Ia dapat memeras siapapun yang dikehendaki tanpa perlindungan, karena ia sudah berhubungan dengan Sri Rajasa. Jika ia bebas sekarang, apalagi memenangkan perkelahian ini, maka Sri Rajasa tidak akan dapat bertindak apapun kepadanya, karena orang ini menggenggam rahasia terbesar dari Sri Rajasa atas kematian seorang wakil Mahkota. Dengan demikian maka orang ini akan dapat memeras Sri Rajasa sampai kering, sebelum Sri Rajasa berhasil membunuhnya. Dan orang ini adalah orang yang licik, sehingga ia akan dapat bersembunyi rapat sekali, sementara orang-orangnya yang akan memainkan peranan yang akan membuat Sri Rajasa kehilangan akal.
"Orang ini harus disingkirkan" tiba-tiba saja Mahisa Agni menggeram, "jika tidak, maka persoalannya pasti akan berkepanjangan. Apalagi aku tidak memerlukan apapun daripadanya. Keterangan yang dapat dikatakannya tidak akan berarti apa-apa bagiku"
Ternyata Mahisa Agni benar-benar akan melakukan keputusannya. Dengan demikian mata tandangnya menjadi semakin mantap. Kakinya seolah-olah tidak lagi berjejak diatas tanah, sedang tangannya menyambar-nyambar seperti sayap burung garuda yang terbang diudara.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin lama semakin sengit. Masing-masing tidak lagi mengekang dirinya. Bahkan masing-masing telah melepaskan semua kemampuan yang dimilikinya.
Lawan Mahisa Agni itu terkejut mengalami sikap yang tiba-tiba saja menjadi semakin garang. Tekanan Mahisa Agni menjadi semakin tajam, sehingga pemimpin gerombolan perampok itu menjadi cemas karenanya.
Tetapi ia tidak dapat mengharap bantuan dari siapapun. Ketika sempat melihat perkelahian yang terjadi disekitarnya, ia mengumpat habis-habisan. Ternyata Witantra hampir tidak berbuat apa-apa selain berputar-putar. Kedua orang lawannya sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa, meskipun seakan-akan Witantra hanya sekedar bermain-main saja.
"Setan alas" pemimpinnya berteriak, "bunuh orang itu"
Kedua orang yang berkelahi melawan Witantra itu berusaha memusatkan segenap kemampuannya. Namun Witantra masih saja bersikap acuh tidak acuh.
Pemimpinnya tidak lagi sempat menghiraukannya. Mahisa Agni semakin lama semakin mendesaknya. Tidak ada cara yang dapat dipergunakan untuk mengatasi serangan-serangan Mahisa Agni yang semakin ganas.
Apalagi tiba-tiba saja Mahisa Agni itu berkata, "Orang-orang ini harus dibinasakan, karena mereka telah mengetahui rahasia yang paling besar bagi Singasari. Pertentangan diilingkungan pemerintahan yang tidak boleh didengar dan apalagi dihayati oleh orang lain. Karena itu, adalah nasibnya yang kurang baik, apabila dengan demikian mereka harus bercanda dengan maut"
Kata-kata Mahisa Agni itu benar-benar telah menggetarkan dada mereka. Bahkan pemimpin perampok itupun menjadi berdebar-debar. Namun demikian ia masih sempat berteriak, "Mahisa Agni, sebutkan siapakah yang telah berkhianat" Siapakah yang telah menjebak aku kedalam sarang serigala lapar ini?"
Mahisa Agni mendesak lawannya sambil menjawab, "Tidak ada yang berkhianat. Tetapi kejahatan memang harus dimusnakan. Jangan menyesal jika nasibmu sama seperti Kiai Kisi yang dibinasakan langsung oleh Putera Mahkota, tidak dalam kerudung putih, tetapi dalam bentuknya dibawah kerudung hitam"
Kata-kata Mahisa Agni itu rasa-rasanya telah membakar telinga lawannya. Namun kemampuannya ternyata terbatas, sehingga betapapun juga ia berusaha, namun ia tidak mampu mengatasi ilmu Mahisa Agni. Senapati Agung kerajaan Singasari, yang pernah mengalahkan Senapati Agung pada masa Kediri.
Demikianlah, maka akhir dari perkelahian itu menjadi semakin dekat. Witantra, Mahendra dan Kuda Sempana hanya menunggu saat yang sebaik-baiknya. Mereka menyesuaikan diri dengan perkelahian yang berat sebelah, setelah lawan Mahisa Agni kehabisan tenaga yang diperasnya untuk mempertahankan diri.
"Jika saat itu tiba" berkata kawan-kawan Mahisa Agni didalam hatinya, "maka yang lainpun akan terbunuh"
Demikianlah, akhirnya Mahisa Agni mendapatkan kesempatan itu. Dengan belati panjang ditangan kirinya ia menangkis serangan lawannya yang menjadi terhuyung-huyung karena keseimbangannya yang hampir hilang. Namun saat yang paling pahit dari perjuangan untuk mendapat harta benda yang tertimbun didalam istana wakil Mahkota itu segera tiba. Sebelum ia sempat memperbaiki keseimbangannya, maka pisau belati di tangan kanan Mahisa Agni telah menghunjam didadanya, langsung menyobek jantung.
Pemimpin perampok itu tidak sempat menggeliat. Demikian ujung pisau Mahisa Agni ditarik dari dadanya, maka iapun segera rebah menelungkup ditanah.
Dan sesaat kemudian, nasib yang sama telah hinggap pula pada kawannya. Hampir bersamaan senjata kawan-kawan Mahisa Agni telah menyambar lawan-lawannya yang seakan-akan tinggal sekedar menunggu. Senjata Mahisa Agni yang menembus jantung itu bagaikan perintah bagi kawan-kawannya untuk berbuat serupa. Sehingga hampir bersamaan pula lawan-lawan Mahendra dan Kuda Sempana mengeluh pendek. Kemudian disusul dengan dua orang yang sedang bertempur melawan Witantra.
Mahisa Agni yang berdiri tegak disebelah mayat lawannya mengusap keringat didahinya dengan lengannya. Ternyata lawannya adalah lawan yang cukup berat baginya.
Witantra, Mahendra dan Kuda Sempanapun kemudian mendekatinya. Mereka tidak menemukan lawan seberat pemimpin perampok itu. Namun meskipun demikian, nafas merekapun menjadi terengah-engah dan keringat merekapun mengalir juga di seluruh tubuhnya.
"Bagaimana dengan mayat-mayat ini?" bertanya Witantra kepada Mahisa Agni.
"Kita harus menghilangkan jejaknya. Kita harus menyimpan rahasia ini sebaik-baiknya, supaya tidak ada ccritera yang bersimpang siur dari peristiwa ini"
"Jadi, apakah kita akan mengubur mereka?"
"Ya, sebelum diketahui orang lain"
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Jika demikian, kita akan membawanya ketempat yang tersembunyi"
"Ya, sebelum ada orang yang melihat. Untunglah bahwa para prajurit itu benar-benar tidak meronda. Aku sudah mencegahnya sore tadi"
Demikianlah maka merekapun segera membawa mayat-mayat itu menyingkir. Dibawah rimbunnya perdu disudut kebun belakang, mereka telah menggali sebuah lubang yang besar dan dalam. Bagi Witantra menggali lubang itu ternyata jauh lebih melelahkan dari saat-saat ia harus berkelahi melawan dua orang lawannya.
Namun akhirnya mereka telah berhasil membuat lubang yang cukup dalam, untuk mengubur mayat-mayat itu sekaligus dan kemudian berusaha menghilangkan segala macam bekas perkelahian.
"Sekarang kita tinggal membersihkan diri kita masing-masing" berkata Mahendra, "lalu aku kembali tidur digubug Kuda Sempana"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
Demikianlah setelah semuanya selesai, maka merekapun segera kembali ketempat masing-masing. Kuda Sempana masih sempat menggulung tali isyarat yang direntangkannya di halaman belakang.
Ketika tidak lama kemudian fajar membayang dilangit, mereka yang baru saja bertempur di halaman belakang itu telah berbaring dipembaringan masing-masing. Namun bagaimanapun juga mereka berusaha, mereka sama sekali tidak dapat melepaskan ingatan tentang usaha pembunuhan yang dilakukan oleh Sri Rajasa itu.
Dalam pada itu, di Singasari, ternyata Sri Rajasapun sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Iapun memperhitungkan bahwa semuanya akan terjadi malam ini. Bahkan dengan gelisahnya ia berjalan hilir mudik didalam biliknya. Sekali-sekali ia duduk ditepi pembaringannya, namun kemudian berdiri dan berjalan beberapa langkah.
Demikian juga agaknya penasehat Sri Rajasa itu. Iapun menduga bahwa semuanya sudah terjadi. Bahkan sudah terbayang di angan-angannya, besok pagi akan berpacu utusan dari Kediri mengabarkan bahwa telah terjadi bencana di istana wakil Mahkota. Para abdi di istana itu menemukan wakil Mahkota mati berlumuran darah, sedang isi istana itu habis dibawa oleh sekelompok perampok.
Singasari pasti akan gempar. Senapati Agung yang telah mengalahkan Senapati dari Kediri, diketemukan mati didalam biliknya.
"Betapa tinggi ilmu Mahisa Agni, ia tidak akan dapat melawan lima orang sekaligus. Ia pasti akan binasa, karena selisih kemampuannya dengan saudara tertua mereka itu tidak terpaut banyak. Apalagi Sri Rajasa sendiri telah menjajagi kemampuannya dan menganggapnya bahwa ia akan mampu melakukan tugasnya bersama dua orang saudara seperguruannya" berkata penasehat Sri Rajasa itu didalam hatinya.
Karena itu, semakin dekat dengan datangnya pagi, rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu. Ia mulai membayangkan, seorang pelayan yang akan memasuki bilik Mahisa Agni terkejut dan menjerit. Kemudian beberapa orang prajurit datang berlari-larian. Tetapi yang mereka ketemukan hanyalah mayat Mahisa Agni dan barang-barang yang ada didalam istana itu hilang.
"Benar-benar suatu perampokan yang gila, yang baru terjadi untuk pertama kalinya disepanjang sejarah" desisnya.
Ketika kemudian matahari terbit, Penasehat Sri Rajasa itupun segera menyiapkan diri untuk menghadap. Rasa-rasanya ia tidak betah lagi menahan gejolah perasaannya. Ia ingin mendapat penyaluran dan lawan berbicara mengenai peristiwa yang pasti telah terjadi di Kediri.
Sumekar yang membersihkan halaman istana diluar petamanan menjadi heran melihat Sri Rajasa itu pergi ke paseban jauh lebih pagi dari kebiasaannya. Dan karena paseban masih sepi, maka iapun langsung pergi kebangsal Sri Rajasa.
Ternyata Sri Rajasa yang gelisahpun telah berada di serambi belakang bangsalnya. Seperti kebiasaannya, di saat-saat senggang ia duduk di serambi belakang memandang tanaman yang sedang berbunga. Sebuah longkangan dengan batang-batang perdu yang hijau.
"O" desis Sri Rajasa ketika ia melihat penasehatnya datang pagi-pagi.
"Ampun tuanku, hamba menghadap terlampau pagi karena hamba tidak dapat menahan diri untuk membicarakan apakah yang kira-kira terjadi semalam di Kediri" berkata penasehat itu.
Sri Rajasa menganggukkan kepalanya. Katanya, "Akupun menjadi gelisah. Tetapi perjalanan dari Kediri memerlukan waktu. Jika pagi ini utusan itu berangkat, maka ia akan datang malam nanti"
Penasehatnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan waktu yang sehari itu pasti akan menyiksanya.
"Tetapi, aku kira mereka tidak akan mengecewakan" desis Penasehat itu.
"Aku percaya akan kemampuannya. Meskipun barangkali orang itu tidak dapat mengimbangi kemampuan Mahisa Agni, tetapi berlima Mahisa Agni tidak akan dapat berbuat banyak. Aku menganggap bahwa kemampuan orang itu cukup tinggi"
Penasehat Sri Rajasa itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya kepada kata-kata itu, karena Sri Rajasa sendiri sudah langsung menjajaginya.
Demikianlah sehari itu penasehat Sri Rajasa menjadi gelisah. Rasa-rasanya ia tidak sabar menunggu, bahwa akan ada utuskan datang dari Kediri mengabarkan peristiwa yang sudah terjadi.
Sumekar diam-diam memperhatikan Penasehat Sri Rajasa yang gelisah itu. Karena Sri Rajasa hari itu tidak hadir dipaseban, karena badannya yang kurang sehat, maka di siang hari sekali lagi Penasehatnya datang menghadap di bangsalnya.
"Bukankah Anusapati tetap berada di istana?" bertanya Sri Rajasa.
"Ya tuan. Putera Mahkota tetap berada di istana. Ia mematuhi perintah yang tuanku berikan"
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Jika Anusapati meninggalkan istana, maka ada kemungkinan sebagai Kesatria Putih ia mengikuti para perampok itu ke Kediri dan jika kekuatannya bergabung dengan kekuatan Mahisa Agni, maka rencana itu memang dapat gagal.
Demikianlah Penasehat Sri Rajasa yang kemudian meninggalkan bangsal itupun pergi keregol depan. Dipandanginya jalan yang membelah kota Singasari membujur kearah yang jauh sekali. Tetapi ia masih belum melihat seseorang yang datang dari Kediri.
"Memang tidak mungkin. Nanti malam ia akan datang"
Ketika ia berjalan memasuki halaman dalam istana, Sumekar yang berjongkok di pinggir lorong diantara tetanaman memberanikan diri bertanya, "Tuan, tampaknya tuan menjadi gelisah sekali. Aku yang tidak mengetahui persoalan apapun menjadi ikut gelisah. Apakah ada musuh yang mengancam Singasari"
"Bodoh kau. Tidak ada satu negeripun yang akan memusuhi Singasari. Sri Rajasa sudah berhasil menyatukan bagian-bagian yang semula terpecah belah" jawab Penasehat Sri Rajasa itu.
Sumekar yang masih berjongkok mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia bertanya pula, "Jika demikian, apakah tuan melihat sesuatu yang tidak wajar terjadi di istana ini, atau barangkali keluarga tuan akan datang"
Penasehat itu memandang Sumekar dengan tajamnya, lalu bertanya, "Kenapa kau bertanya begitu?"
"Tuan nampaknya gelisah sekali. Tuan berjalan hilir mudik antara bangsal dan paseban serta regol depan istana"
"O" Penasehat Sri Rajasa itu mengangguk-anggukkan kepalanya, "aku sedang menunggu isteriku. Aku sudah menyampaikannya kepada tuanku Sri Rajasa. Sedang isteriku itu agak sakit-sakitan"
"O" Sumekar mengangguk-angguk, "kenapa tuan tidak memerintahkan beberapa orang menjemput dengan sebuah tandu"
"Isteriku akan datang diatas tandu"
"O" Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Penasehat itu tidak menghiraukan Sumekar lagi. Juru taman itu ditinggalkannya pada kerjanya di pinggir lorong didalam halaman istana. Namun pertanyaan-pertanyaan Sumekar itu memberikan pertimbangan kepada Penasehat Sri Rajasa, bahwa kegelisahannya itu dapat dibaca oleh orang lain.
Betapa lama mereka menunggu, namun akhirnya malam datang juga menyelimuti Singasari. Lampu minyak mulai menyala dan jalan-jalan menjadi sepi. Pintu-pintu telah tertutup rapat, karena udara yang dingin bertiup bersama angin dari Selatan.
Kegelisahan dihati Penasehat Sri Rajasa menjadi semakin memuncak. Demikian juga Sri Rajasa sendiri, sehingga ketika Penasehatnya datang kebangsalnya ia berkata, "Kau tetap disini. Jika ada laporan yang datang, maka orang itu akan dibawa langsung menghadap"
"Hamba tuanku" jawab Penasehat itu.
Namun meskipun mereka mencoba mengisi waktu yang menegangkan itu dengan berbagai macam persoalan, mereka ternyata menjadi tidak sabar menunggu.
"Malam menjadi semakin larut. Jika pagi-pagi benar utusan itu berangkat dari Kediri, maka sekarang ia pasti sudah datang, atau memasuki kota. Kita akan menunggu sejenak lagi" berkata Sri Rajasa.
Tetapi yang mereka tunggu tidak juga segera datang. Betapa kegelisahan telah memuncak dihati keduanya, namun tidak seorangpun yang menghadap dan memberitahukan bahwa ada utusan datang dari Kediri.
"Mungkin mereka belum mendapat kesempatan malam kemarin tuanku" berkata Penasehat Sri Rajasa, "jika demikian, maka mereka baru dapat melakukannya malam ini. Karena itu, maka kita masih harus bersabar sehari besok. Besok malam pasti akan datang berita yang menggembirakan itu"
Sri Rajasa hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Namun matanya tetap terpancang dikejauhan. Bahkan sejenak kemudian ia berkata, "Tinggalkan aku sendiri"
Penasehat Sri Rajasa itu membungkukkan badannya dalam-dalam. Kemudian dengan hati yang berdebar-debar ia meninggalkan Sri Rajasa yang duduk dengan murung.
Namun dalam pada itu, bukan saja Sri Rajasa dan Penasehatnya sajalah yang menjadi gelisah. Sumekarpun menjadi gelisah seperti juga Sri Rajasa.
Oleh kegelisahan yang memuncak, maka Sumekarpun tidak dapat duduk diam didalam biliknya. Dengan hati-hati iapun merayap keluar dan ditempat yang terlindung oleh bayangan dedaunan ia melocati dinding keluar istana.
"Mungkin aku dapat menemui salah seorang dari mereka" berkata Sumekar didalam hatinya.
Meskipun Sumekar tidak pasti, tetapi ia pergi juga ketempat yang ditentukan untuk menemui salah seorang dari kawan-kawan Mahisa Agni.
Sumekar menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Mahendra seorang diri menunggunya dengan gelisah pula.
"Hampir saja aku pergi" berkata Mahendra.
"Apakah yang terjadi?"
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. "Perang memang sudah mulai" katanya. Lalu, "Ternyata bahwa Ken Arok itu mulai dengan cara-cara Hantu di Padang Karautan"
"Apa yang dilakukan?"
"Ia menjadi kasar" Dan Mahendrapun kemudian menceriterakan apa yang sudah terjadi"
"Jadi benar dugaanku. Untunglah bahwa Mahisa Agni sempat menyelamatkan diri karena kalian ada disana"
"Kaulah yang paling berjasa. Tanpa keteranganmu, kami tidak cukup bersiaga"
"Itupun suatu kebetulan"
"Baiklah, katakanlah itu suatu kebetulan. Tetapi Mahisa Agni sangat berterima kasih kepadamu"
Sumekar tersenyum. Iapun merasa bersyukur, bahwa Mahisa Agni telah terlepas dari bahaya maut. Betapa besar kemampuannya, namun menghadapi orang-orang yang mempunyai ilmu yang cukup tinggi itu bersama-sama, Mahisa Agni pasti akan mengalami kesulitan.
"Tetapi kemudian, Mahisa Agni sangat mencemaskan nasib Putera Mahkota" berkata Mahendra kemudian, "karena itu aku membawa pesan dari kakang Mahisa Agni, kau harus mengawasinya baik-baik. Meskipun kemampuan Putera Mahkota semakin meningkat di saat-saat terakhir dan bahkan hampir menjadi matang pula, namun apabila ia dihadapkan pada keadaan yang kasar, seperti yang dihadapi oleh kakang Mahisa Agni, maka ia akan benar-benar mengalami kesulitan. Adalah sulit sekali untuk memberikan bantuan kepadanya meskipun kami mengetahui bahaya yang mengancamnya. Kau adalah satu-satunya orang yang ada didalam"
Sumekar menarik nafas dalam-dalam.
"Bagaimana dengan tuanku Mahisa Wonga Teleng?"
"Kemampuannya meningkat juga"
Mahendra merenung sejenak. Lalu, "Memang sulit bagimu untuk mengikuti serta membinanya. Mungkin tanpa disadarinya ia menyebut namamu. Dengan demikian semuanya akan menjadi rusak"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, "Memang semakin banyak orang yang mengetahui persoalannya akan menjadi semakin gawat"
"Tetapi kau dapat mendesak kepada Putera Mahkota, agar usahanya menuntun adiknya agak dipercepat. Didalam keadaan yang paling sulit, ia akan dapat membantunya betapapun kecil artinya"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, hati-hatilah. Besok aku akan kembali ke Kediri"
"Sampaikanlah kepada kakang Mahisa Agni. Penasehat Sri Rajasa menjadi sangat gelisah. Mungkin ia menunggu berita yang datang dari Kediri. Agaknya ia tidak sabar lagi menunggu berita kematian Mahisa Agni"
Mahendra tersenyum. Jawabnya, "Itu adalah suatu berita yang menyenangkan. Ia akan tetap gelisah sehingga pada suatu batas tertentu ia akan mengambil sikap. Aku akan minta agar untuk beberapa hari Mahisa Agni tidak menampakkan diri"
Keduanyapun kemudian berpisah. Sumekar kembali masuk kehalaman istana dengan meloncati dinding. Dengan hati-hati ia menuju kebiliknya dan duduk beberapa saat didepan pintu.
Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya yang tegang. Terbayang peristiwa yang terjadi di Kediri. Untunglah bahwa Mahisa Agni masih tetap mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung, sehingga ia berhasil menyelamatkan diri.
Sumekar tetap duduk ditempatnya ketika ia melihat dua orang prajurit peronda yang lewat. Ketika keduanya melihat Sumekar duduk didepan pintu, salah seorang dari mereka bertanya, "He, kenapa kau duduk disitu?"
"Aku tidak dapat tidur. Panasnya bukan main didalam gubugku"
Kedua prajurit itu tidak menyahut. Ditinggalkannya Sumekar yang masih tetap duduk ditempatnya memandang jauh menembus gelapnya malam.
Pada saat itu, ternyata Sri Rajasa sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Ternyata tidak ada seorang utusanpun yang datang dari Kediri, yang dengan nafas terengah-engah melaporkan bahwa wakil Mahkota itu telah terbunuh didalam suatu perampokan yang paling besar yang pernah terjadi.
"Mungkin malam ini" demikianlah setiap kali Sri Rajasa menenterampan dirinya sendiri. Tetapi setiap kali timbul pertanyaan, "Bagaimana jika gagal dan bahkan Mahisa Agni berhasil menangkap mereka dan memaksa mereka berbicara?"
Kegelisahan yang sangat telah mencengkam hati Sri Rajasa. Namun sambil menggeram ia berkata, "Tidak ada yang dapat membuktikan bahwa aku pernah memerintahkannya. Aku dapat menganggapnya sebagai suatu fitnah yang keji" Meskipun demikian Sri Rajasa masih tetap tidak dapat memejamkan matanya. Kegelisahan yang sangat selalu mengganggunya.
Demikian jugalah Penasehat yang berjalan hilir mudik didalam biliknya. Sama sekali tidak dapat dibayangkan apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi seperti Sri Rajasa ia berkata kepada diri sendiri, "Malam ini. Semuanya akan terjadi malam ini"
Namun ketika hari berikutnya menjadi semakin pudar, dan kegelisahan yang sangat telah mencekam hati Sri Rajasa dan Penasehatnya, namun tidak ada juga seorangpun yang datang dari Kediri untuk melaporkan sesuatu yang telah terjadi.
"Gila" Sri Rajasa bergumam kepada diri sendiri, "apakah mereka tidak berani melakukannya?"
Penasehatnya yang menghadap, sama sekali tidak dapat memberikan jawaban.
"Atau barangkali Mahisa Agni sempat memanggil pada prajurit dan menangkap mereka?"
"Jika demikian tuanku, agaknya pasti akan datang juga laporan tentang perampokan yang gagal itu" berkata Penasehatnya.
Penasehatnya menundukkan kepalanya.
"Jika sekali ini gagal, aku harus mempergunakan kekerasan. Aku akan menjatuhkan perintah menangkap Mahisa Agni tanpa bersembunyi"
"Jangan tuanku. Alasan apakah yang akan tuanku pergunakan untuk melakukannya"Tuanku hanya diburu oleh perasaan, tetapi tuanku harus tetap mempertahankan keseimbangan. Tuanku telah memberikan petunjuk kepada hamba, bagaimana gagal mempergunakan Kiai Kisi. Dan tuanku telah berusaha melakukannya dengan cara yang jauh lebih halus. Jika sekarang tuanku berbuat sebaliknya, maka yang terjadipun akan sebaliknya"
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Ya. Aku tidak boleh kehilangan akal. Aku harus menyusun rencana sebaik-baiknya"
Sekilas terbayang hasil yang pernah dicapai dengan permainannya yang tidak dapat diketahui oleh orang lain. Jika ia kini berbuat kasar, maka seakan-akan sia-sialah apa yang pernah dicapainya itu. Bahkan mungkin akan dapat timbul pertentangan diantara para prajurit di Singasari, sehingga kebesaran Singasari yang sudah dapat dicapainya selama ini akan menjadi pudar karenanya.
Meskipun demikian ia harus mencari jawab, bagaimanakah jika Mahisa Agni dapat mengetahui apa yang sudah dilakukannya. Bukan saja kini, tetapi dengan demikian Mahisa Agni pasti menelusur masa lampaunya. Kematian pamannya, seorang mPu yang mumpuni, mPu Gandring.
Demikianlah pada hari berikutnya dan hari berikutnya tidak juga ada seorangpun yang datang menghadap, sehingga kegelisahan Sri Rajasa telah sampai ke puncaknya.
"Akulah yang akan memerintahkan seseorang pergi ke Kediri untuk melihat apa yang sudah terjadi disana" berkata Sri Rajasa.
"Benar tuanku. Tetapi hamba mohon agar kepergiannya bukan merupakan seorang, utusan resmi tuanku" berkata penasehatnya.
"Maksudmu?" "Hamba akan mengirimkan seorang petugas sandi yang dapat hamba percaya untuk mengetahui keadaan sebenarnya"
Sri Rajasa mengangguk-angguk. Jawabnya, "Lakukanlah"
Penasehat itu mengerutkan keningnya. Ia merasakan sesuatu yang aneh pada Sri Rajasa. Seakan-akan gairah perjuangan yang selama ini menyala didadanya menjadi semakin pudar. Nafsu yang membakar hasratnya untuk menjadikan Singasari sebuah negara yang besar, rasa-rasanya kini sedang mengalami masa surut yang dapat membahayakan Sri Rajasa sendiri, sehubungan dengan keinginannya mewariskan tahta kepada Tohjaya, bukan kepada Putera Mahkota.
Tetapi penasehat itu tidak bertanya lagi. Ia masih harus mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah terjadi di Kediri. Jika masih ada tanda-tanda yang dapat membangkitkan gairah perjuangan Sri Rajasa, maka agaknya kesempatan masih belum lewat seluruhnya.
Namun Penasehat Sri Rajasa itu masih berusaha, agar Tohjaya tidak melihat kekecewaan yang hampir-hampir telah mematahkan semua usaha ayahandanya. Penasehat Sri Rajasa itu masih berusaha, agar bayangan-angan yang suram mulai menghantui ayahandanya, tidak berpengaruh atas Tohjaya.
Tetapi dalam pada itu, Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu sendiri, seakan-akan selalu saja dibayangi oleh masa lampaunya. Jalan yang dilalui sampai ke Singgasana sekarang ini bukannya jalan yang bersih dan rata. Tetapi jalan yang berlumuran dengan darah dan noda-noda kejahatan. Meskipun Singasari sekarang diakui sebagai suatu hasil perjuangan yang gemilang, namun noda-noda darah itu rasa-rasanya masih tetap melekat ditangan Sri Rajasa.
Dalam pada itu, Penasehat Sri Rajasa itu benar-benar telah mengirimkan seorang kepercayaannya dalam tugas sandi. Ia harus melihat apa yang terjadi di istana wakil Mahkota di Kediri.
Tetapi yang dilihat oleh petugas sandi itu benar-benar mendebarkan jantung. Ia tetap melihat Mahisa Agni pada tugasnya tanpa cidera seujung rambutpun. Ia sama sekali tidak mendengar berita dari orang-orang yang dekat dengan keluarga istana ataupun tentang perampokan yang pernah terjadi. Sebagai seorang petugas sandi ia mempunyai kemahiran mengorek keterangan dari orang-orang yang dianggapnya berkepentingan. Namun para prajurit yang bertugas di istana itupun tidak pernah mendengar bahwa pernah terjadi keributan di istana itu.
"Aku harus dapat berhubungan dengan pelayan-pelayan di istana ini. Bukan sekedar dengan para prajurit yang setiap kali berganti tugas" katanya.
Tetapi untuk menghubungi pada abdi di istana itu memang agak sulit. Tidak banyak jalan yang dapat ditempuh. Jarang sekali para abdi pergi keluar regol istana.
Setelah melakukan pengamatan beberapa lamanya, petugas sandi itu melihat, bahwa seorang daripada para abdi itu agaknya mempunyai keleluasan yang lebih besar dari abdi yang lain. Setiap kali ia melihat abdi yang seorang itu di regol. Abdi itu pulalah yang kadang-kadang menyongsong kedatangan Mahisa Agni apabila ia datang dari istana Kediri yang sampai saat terakhir masih dipergunakan oleh keluarga terdekat dari Maharaja Kediri yang terkalahkan.
"Orang itu agaknya mempunyai kedudukan yang agak baik didalam istana itu" berkata petugas itu didalam hatinya.
Akhirnya petugas itu berhasil menemui abdi yang dianggapnya mempunyai kedudukan baik itu. Ternyata orang itu adalah juru taman, tetapi juga seorang pekatik dan juru pemelihara kuda khususnya kuda kesayangan Mahisa Agni.
Dan orang itu adalah Kuda Sempana meskipun ketika petugas sandi itu berhasil memperkenalkan dirinya. Kuda Sempana menyebut dirinya bernama Ki Jalu.
"Apakah kau sudah lama mengabdikan diri kepada tuanku wakil Mahkota" bertanya petugas sandi itu.
"Sudah. Aku berada di istana ini sejak tuanku Mahisa Agni memasuki istana ini. Pamanku adalah abdi istana ini sejak muda. Pamanku itulah yang membawa aku masuk keistana itu"
"Ki Sanak" berkata petugas sandi itu, "apakah kau dapat menolong aku mengusahakan pekerjaan di istana itu?"
Kuda Sempana memandanginya dengan saksama. Lalu, "Aku kira tidak ada yang menarik bekerja di istana itu. Mahisa Agni adalah orang yang paling kikir dari setiap pemimpin yang pernah aku jumpai"
"Benar begitu?"
Kuda Sempana menganggukkan kepalanya. Namun sejak semula Kuda Sempana sudah menaruh curiga, bahwa orang itu pasti mempunyai kepentingan yang khusus dengan abdi yang mungkin dapat dikenalnya.
"Terlalu kikir. Kadang-kadang timbul suatu keinginan yang jahat dihati ini"
"Kenapa?" "Kadang-kadang aku ingin mencuri atau kalau aku memiliki kemampuan, ingin juga rasa-rasanya merampok isi istana ini"
Petugas sandi itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Apakah memang pernah terjadi perampokan"
"Hanya orang gila yang membunuh diri yang berani melakukannya. Setiap orang tahu, bahwa tuanku Mahisa Agni tidak ada duanya di Kediri"
"Bagaimana jika empat atau lima orang bersama-sama"
"Bodoh sekali. Ada sepuluh orang prajurit yang setiap malam berjaga-jaga di halaman ini. Jika dihitung dengan semua laki-laki yang tinggal dibagian belakang, ada lebih dari dua-puluh orang"
"Tetapi mereka adalah prajurit-prajurit biasa. Bagaimana jika yang datang itu lima orang pilihan seperti tuanku Wakil Mahkota"
Kuda Sempana tertawa. Katanya, "Itu suatu mimpi buruk. Sudahlah, jangan mencoba menjadi hamba di istana itu. Aku yang sudah terlanjur bekerja pada Wakil Mahkota, rasa-rasanya ingin mendapatkan pekerjaan lain yang lebih bebas"
Petugas sandi itu mengerutkan keningnya. Ia harus mendapat keterangan, apakah pernah terjadi sesuatu di istana itu. Apakah orang-orang yang ditugaskan oleh Sri Rajasa untuk membunuh Mahisa Agni sudah melakukan usahanya.
Tetapi ternyata menurut juru taman, di istana ini tidak pernah terjadi sesuatu. Tidak pernah terjadi perampokan, apalagi usaha pembunuhan. Jika hal itu terjadi, maka juru taman ini pasti akan menceriterakan kepadanya.
"Jadi" berkata petugas sandi itu, "tidak ada seorang perampokpun yang pernah mencoba melakukan perampokan di istana ini?"
Kuda Sempana menggeleng. Tetapi kecurigaannya kepada orang inipun menjadi kian bertambah.
"Atau barangkali kau sedang tidak ada di istana?"
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Aku tidak pernah pergi untuk waktu yang lama. Memang aku kadang-kadang menengok keluargaku jauh dari kota. Tetapi tidak lebih dari semalam, aku sudah kembali lagi"
"Jika yang semalam itu"
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Katanya, "Tentu ada juga orang lain yang mengatakannya. Mereka pasti akan berceritera tentang perampokan itu. Tetapi aku tidak pernah mendengarnya. Dan aku juga tidak pernah melihat perampok-perampok yang tertawan atau terbunuh. Jika mereka tertangkap, mereka pasti ada ditangan para prajurit, sedang jika mereka terbunuh, mereka pasti akan dikuburkan"
Petugas sandi itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata para perampok yang mendapat tugas untuk membunuh Mahisa Agni itu tidak pernah melakukan tugasnya sebagaimana yang pernah disanggupinya.
Tetapi petugas sandi itu tidak langsung mempercayai keterangan Kuda Sempana. Ia masih mengharap keterangan dari orang-orang lain, karena mungkin juru taman itu tidak mengetahui persoalan itu atau mungkin ia sengaja menyembunyikannya.
Namun hampir setiap orang yang dihubunginya, mengatakan bahwa mereka tidak pernah mendengar tentang sebuah perampokan yang terjadi di istana, sehingga akhirnya petugas itu yakin bahwa memang perampok itu tidak pernah terjadi.
Dengan hati yang berdebar-debar petugas itupun kembali ke Singasari. Jika penasehat Sri Rajasa itu tidak mempercayainya, maka ia akan dapat dituduh melakukan tugasnya sebaiknya. Namun menurut penilaiannya, sesuai dengan keterangan-angan yang didengarnya, maka laporan yang dibawanya itu adalah suatu kebenaran. Penasehat Sri Rjasa dapat mengirimkan petugas yang lain yang pasti akan mendapat keterangan yang sama pula.
Sebenarnya, bahwa keterangan itu tidak langsung dapat dipercaya. Meskipun penasehat Sri Rajasa itu tidak mempersoalkannya, namun diam-diam ia mengirimkan orang lain untuk tidak mempersoalkan tugas yang sama. Tetapi keterangan yang diterimanya tidak berbeda. Di istana wakil Mahkota di Kediri, tidak pernah terjadi sesuatu. Apalagi pembunuhan. Mahisa Agni masih tetap berada di istana itu dan melakukan tugasnya seperti biasa.
"Gila" Sri Rajasa menggeram, "apakah sebenarnya yang mereka lakukan" Apakah keuntungan mereka dengan melakukan penipuan serupa itu. Ia tidak akan dapat memeras aku dengan rahasia yang didengarnya atas usaha pembunuhan terhadap Mahisa Agni. Tidak akan ada seorangpun yang mempercayainya dan ia akan segera aku binasakan atas dukungan para panglima"
"Tentu bukan itu maksudnya tuanku"
"Jadi apa?" "Itulah yang hamba tidak tahu"
Sri Rajasa menjadi termangu-mangu sejenak. Namun tampak pada sorot matanya, bahwa seakan-akan ia telah dicengkam oleh kelelahan yang amat sangat. Wajahnya seakan-akan sudah tidak memancarkan kebesaran pribadinya sebagai seorang Maharaja yang telah berhasil mempersatukan seluruh Singasari.
"Tuanku" berkata Penasehat Sri Rajasa, "perkenankanlah hamba pergi kepadepokan mereka. Perkenankanlah hamba melihat, apakah mereka ada disarangnya. Dengan demikian, tuanku akan mendapat gambaran yang sebenarnya dari orang-orang itu"
Sri Rajasa mengangguk-angguk kosong. Hampir diluar sadarnya ia berkata, "Pergilah"
Dihari berikutnya Penasehat Sri Rajasa itupun benar-benar pergi menyelusuri jejak para perampok yang mendapat tugas untuk membinasakan Mahisa Agni.
Namun yang dijumpainya dipadepokan itu benar-benar telah menggoncangkan perasaannya. Dari para murid yang masih tinggal, penasehat Sri Rajasa itu mendengar, bahwa guru mereka bersama saudara-saudara seperguruan mereka, telah pergi beberapa lama, dan sampai sekarang masih belum kembali.
Ternyata kedatangannya adalah sia-sia. Ia sama sekali tidak mendapat gambaran dari apa yang sudah terjadi. Ia sama sekali tidak dapat menduga, kemanakah mereka pergi dari apakah yang sudah terjadi atas mereka.
Karena itu, sambil menundukkan kepada dalam-dalam, penasehat Sri Rajasa kembali ke Singasari dan menyampaikan hasil perjalanannya.
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam. Sambil menatap ke kejauhan ia berkata, "Mendung yang tebal sedang memayungi Singasari"
"Tetapi matahari akan segera bersinar kembali tuanku. Hamba akan tetap berusaha, apapun yang akan mungkin terjadi atas hamba. Tetapi putera tuanku dan tuan puteri Ken Umang itu memang sepantasnya menggantikan kedudukan tuanku"
Sri Rajasa tidak menyahut. Tetapi ia masih tetap memandang ke kejauhan.
"Tuanku, bagaimanakah jika hamba mengatakan rahasia yang sebenarnya kepada tuanku Anusapati, agar ia menyadari dirinya sendiri?"
"Maksudmu?" "Putera Mahkota itu harus menyadari, bahwa sebenarnya ia tidak berhak menggantikan kedudukan tuanku menjadi Maharaja di Singasari, karena tuanku Anusapati sama sekali bukan putera tuanku"
"Gila" Sri Rajasa menggeram, "kau sudah gila. Itu tidak akan bermanfaat. Ia akan bertanya siapakah ayahnya, dan ia akan bertanya, siapakah yang membunuh ayahnya"
"Tidak seorangpun yang tahu, dan tidak seorangpun, yang akan dapat memberitahukan kepadanya. Apalagi ayahnya hanyalah seorang Akuwu Tumapel, sama sekali tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan Singasari sekarang"
"Tetapi Tumapel adalah sumber kekuasaan Singasari sekarang. Dan ia akan tetap merasa berhak atas tahta Tumapel yang mendapatkan bentuknya yang sekarang"
"Tuanku Anusapati tidak akan berani berbuat demikian tuanku. Ia tidak melihat apa yang sudah terjadi. Meskipun seandainya ibunda tuanku Anusapati berceritera tentang masa lampau, namun ia dapat tidak akan terlalu banyak menyinggung tentang Akuwu Tumapel"
Tetapi Sri Rajasa menggelengkan kepalanya. Katanya, "Kau melupakan seseorang yang mengetahui terlampau banyak apa yang telah terjadi"
Penasehatnya mengerutkan keningnya.
"Mahisa Agni. Ia memang sumber dari awan gelap yang membayangi tahta Singasari sekarang, sehingga rasa-rasanya aku telah duduk diatas bara yang menyala"
Penasehat Sri Rajasa itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Mahisa Agni adalah seorang manusia yang seakan-akan memiliki keajaiban. Sri Rajasa adalah seorang yang ajaib, tetapi ia tidak mampu melenyapkan Mahisa Agni dengan berbagai macam cara.
Bahkan orang-orang yang paling dipercaya yang dikirim ke Kediri itu bagaikan telah hilang tanpa bekas. Tidak seorangpun di Kediri yang pernah menceriterakan tentang kehadiran mereka, tetapi ternyata mereka telah hilang begitu saja.
"Sesuatu peristiwa yang hampir tidak dapat aku mengerti" berkata Sri Rajasa kemudian. "kemanakah sebenarnya orang-orang itu pergi. Apakah mereka mengurungkan niatnya, atau mereka telah disergap oleh petugas-tugas sandi Mahisa Agni sebelum mereka sampai keistana"
"Dimana Mahisa Agni dapat mengetahuinya tuanku. Hanya kita sajalah yang mengetahui bahwa orang-orang itu akan membunuh Mahisa Agni di istananya dan merampoknya sekali"
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu menarik nafas dalam-dalam. Bayangan-angan yang semakin suram tampak di angan-angannya. Bahkan kadang-kadang ia merasa bahwa Dewa-dewa yang selama ini melindunginya, sejak ia masih berkeliaran di padang Karautan, telah meninggalkannya sama sekali.
Setiap kali terbayang usahanya menyeberangi sebuah sungai dengan daun tal karena petunjuk sebuah suara dari langit. Terbayang kembali ceritera tentang kelelawar yang seakan-akan keluar dari kepalanya dimalam hari ketika ia menginginkan buah jambu yang bergantungan dibatangnya.
Banyak ceritera-ceritera ajaib tentang dirinya yang sama sekali tidak diketahuinya sendiri bagaimana hal itu dapat terjadi. Yang kemudian dianggapnya bahwa semua itu adalah tuntunan dewa-dewa yang mengasihinya seperti yang dikatakan oleh mPu Purwa. Pertama kali ia bersentuhan dan mengenal Yang Maha Agung adalah karena ia bertemu dengan seorang pendeta dan muridnya yang bernama Mahisa Agni itu.
Tiba-tiba saja Sri Rajasa menutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya, seakan-akan cahaya yang silau telah memancar dan menyorot wajahnya. Cahaya sebuah trisula kecil yang dimiliki oleh mPu Purwa.
Semuanya seakan-akan telah terjadi sekali lagi didalam angan-angannya. Dan semuanya itu rasa-rasanya telah membuatnya semakin berkecil hati.
"Memang Mahisa Agni bukan manusia kebanyakan" tiba-tiba ia berdesis.
"Apakah maksud tuanku?"
Sri Rajasa mengangkat wajahnya.
"Tuanku tidak boleh berputus-asa. Ingatlah, bahwa tuanku Tohjaya sudah mulai. Jika kerja ini terhenti ditengah jalan, alangkah pedihnya hati putera tuanku itu. Ia pasti tidak akan memiliki hari depan yang terang"
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Ternyata kata-kata penasehatnya itu dapat menyentuh hatinya. Meskipun ia berputus asa dan kehilangan gairah perjuangannya, namun ia tidak dapat membiarkan Tohjaya korban keputus-asaannya itu, sehingga apabila ia masih tetap berbuat sesuatu, maka segalanya itu hanyalah untuk Tohjaya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Agnipun menyadari pula, bahwa banyak hal dapat terjadi. Bukan saja atas dirinya, tetapi juga atas Putera Mahkota.
Itulah sebabnya hampir setiap saat ia memikirkan apakah yang sebaiknya dilakukan untuk keselamatan Anusapati.
Waktu masih tetap beredar terus. Demikian juga Singasari yang tampak megah itu masih juga memerintah daerah-daerah yang telah dipersatukan oleh Sri Rajasa menjadi suatu daerah lingkup yang luas. Sedang Mahisa Agni masih juga tetap berada di Kediri. Namun waktu yang berkisar terus itupun ternyata telah melibatkan bumi seisinya. Yang tua menjadi semakin tua, dan yang telah tidak dapat bertahan lagi, kemudian dipanggil kembali keasalnya.
Tidak seorangpun lagi yang tahu, kemanakah perginya orang-orang seperti mPu Purwa, mPu Sada, Panji Bojong Santi dan yang lain lagi yang sebaya dengan mereka. Setiap orang menganggap bahwa mereka telah menemukan jalannya kembali. Juga ibu Mahisa Agni yang ada di istana Singasari, sebagai seorang emban, telah berlalu diiringi oleh tangis Ken Dedes yang merasa menjadi momongannya sampai saat terakhir. Namun yang sampai saat terakhir masih juga tidak mengenal siapakah sebenarnya perempuan itu, dan apa hubungannya dengan Mahisa Agni.
Tetapi ternyata bahwa beban itu tidak dapat disimpannya sampai akhir hayatnya. Di saat maut menyentuhnya, ada orang yang menjadi ajang untuk menumpahkan perasaannya yang selama ini menjadi rahasia baginya.
"Tidak seorangpun yang boleh mengetahuinya" berkata emban tua itu. "Apalagi tuanku Permaisuri sendiri"
Dan perempuan yang mendapat kepercayaan itu adalah emban Anusapati, yang semula adalah perempuan yang dipasang oleh Ken Umang justru untuk menyesatkan Putera Mahkota, namun yang akhirnya justru mengenal dirinya sebagai manusia yang beradab dan tanpa menghiraukan yang dapat terjadi telah benar-benar mengasuh Anusapati sebagai anaknya sendiri. Dengan demikian, maka hubungan ibu dan anak telah mendekatkan hubungan kedua emban pemomong itu.
Dikala saat-saat terakhir sudah mulai menyentuhnya, semua rahasia tentang dirinya dikatakannya kepada emban itu, sekedar untuk mengosongkan dirinya, agar maut tidak dibebani oleh rahasia yang belum terungkapkan.
Karena itulah maka emban itu tidak menjadi heran, melihat Mahisa Agni, seorang Senapati Agung yang pernah mengalami peperangan yang paling dahsyat menitikkan air matanya di saat-saat terakhir dari hidup emban itu.
Demikianlah yang berlalu telah berlalu. Dan emban itupun semakin lama menjadi semakin tua. Namun seperti emban pemomong Ken Dedes yang kemudian menjadi permaisuri, rahasia itu tetap merupakan rahasia baginya.
Namun setiap kali timbul pula pertanyaan dihati emban Putera Mahkota yang menjadi semakin tua pula, apakah di saat-saat akhir hayatnya ia juga akan tetap membawa rahasia itu"
"Ibunda tuanku Mahisa Agni yang menjadi wakil Mahkota di Kediri itu tidak dapat menahan rahasia itu di dalam dirinya sendiri pada saat-saat terakhir. Jika tiba saatnya, aku nanti akan mengalaminya, apakah aku harus mencari tempat yang paling baik untuk meninggalkan pesan itu, seperti juga ibunda tuanku Mahisa Agni itu?" pertanyaan serupa itu selalu membayangi hati emban pemomong Anusapati yang semakin hari menjadi semakin tua pula.
Dalam pada itu, untuk beberapa lamanya istana Singasari seolah-olah menjadi tenang. Sri Rajasa yang selalu kecewa itu seakan-akan telah kehilangan gairah perjuangannya untuk menempatkan Tohjaya diatas tahta Singasari. Hanya karena dorongan penasehatnya sajalah ia masih tetap memikirkan cara yang sebaik-baiknya untuk melakukannya. Tetapi setiap kali, jalan yang disusunnya selalu sampai pada kesulitan yang tidak teratasi. Apalagi semakin lama kedudukan Anusapati rasa-rasanya semakin mapan.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Tohjayapun tidak tinggal diam. Atas sepengetahuan ayahandanya, ia mendekati para panglima prajurit Singasari dan segala kesatuan. Dengan berbabagai cara, ia berusaha untuk dengan perlahan-lahan menguasainya seorang demi seorang. Dengan berbagai macam pemberian dan janji yang mengawang mengharap dukungan dari para Panglima apabila terjadi sesuatu kelak.
"Kekuatan Singasari terletak ditangan kalian" berkata Tohjaya setiap kali.
Bukan saja Tohjaya, tetapi juga Sri Rajasa mengharap mereka pada suatu saat menentukan sikap apabila mereka berdiri dipersimpangan jalan.
"Apakah yang sebenarnya akan terjadi tuanku?" bertanya salah seorang Panglima.
"Tidak ada apa-apa" sahut Sri Rajasa, "Singasari akan tetap menjadi Singasari yang besar. Keturunan Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi harus tetap diatas tahta"
Para Panglima itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka masih belum tahu apakah sebenarnya yang telah melibat Singasari sehingga Sri Rajasa tampaknya membayangkan kecemasan menghadapi masa depannya.
Dalam pada itu, Anusapati mencoba untuk menempatkan diri pada tempat yang sewajarnya. Kadang-kadang tanpa ijin ayahanda Sri Rajasa ia telah melakukan tindakan-akan yang memang sewajarnya dilakukan oleh seorang Putera Mahkota.
Selain tugasnya didalam pemerintahan, maka didalam lingkungan keluarganyapun Anusapati nampaknya tidak terlalu kecewa. Anaknya, seorang laki-laki semakin lama nampak menjadi semakin besar. Wajahnya yang tampan serta badannya yang kokoh membayangkan harapan dimasa mendatang baginya.
Emban pemomong Anusapati itulah yang selalu merawatnya dengan penuh kasih sayang seperti merawat cucunya sendiri. Hampir setiap saat anak itu tidak terpisah daripadanya, kecuali apabila anak itu sedang tidur didalam pelukan ibundanya.
Hampir sebaya dengan putera Anusapati itu, putera Mahisa Wonga Telengpun tumbuh dengan suburnya pula. Sehingga setiap kali kedua anak-anak yang segar itu menghadap Permaisuri, maka keduanya adalah penawar duka dan keprihatinan yang hampir dialami sepanjang umurnya. Kedua cucu laki-laki itu bagaikan permainan yang tidak akan pernah menjemukannya.
Namun dalam pada itu, kecemasan Mahisa Agni atas keselamatan Anusapati semakin lama justru menjadi semakin dalam menghunjam dihatinya. Ada semacam firasat didalam dirinya, bahwa usaha Tohjaya untuk menyingkirkan Anusapati pasti akan selalu dilakukannya. Kapan dan bagaimanapun cara yang akan ditempuhnya.
Karena itu, ketika kecemasannya memuncak, maka diambilnya suatu kesempatan untuk menemui Putera Mahkota itu tanpa diketahui oleh siapapun juga.
"Anusapati" berkata Mahisa Agni, "kau harus mengetahui bahwa bahaya yang ada disekelilingmu bukannya sekedar bahaya yang mengancam kedudukanmu. Tetapi juga keselamatan jiwamu"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Memang hampir tidak masuk akal, bahwa kaupun harus mempersiapkan diri menghadapi siapapun juga didalam istana ini. Bahkan ayahandamu Sri Rajasa"
Anusapati mengerutkan keningnya. Dengan suara yang dalam ia bertanya, "Bagaimana mungkin hal itu terjadi paman?"
"Memang hampir tidak masuk akal. Tetapi kau harus menyadari bahwa pengaruh Ken Umang sangat mencengkam hampir segenap segi kehidupan Sri Rajasa" jawab Mahisa Agni. Namun untuk sesaat suaranya terputus. Hampir saja ia mengatakan bahwa sebenarnyalah bahwa Anusapati bukan putera Sri Rajasa. Namun kata-kata yang seakan-akan sudah berada ditenggorokannya itu ditelannya kembali.
"Sudah barang tentu bahwa kau tidak boleh berprasangka terlalu buruk terhadap ayah sendiri, tetapi kau harus bertolak dari sikap Ken Umang. Ialah yang sebenarnya sangat bernafsu untuk menyingkirkan kau dan menempatkan Tohjaya pada tempatmu yang sekarang. Masalah sama sekali bukan mempertahankan kedudukan, tetapi bagiku, kau harus membela kehormatan ibumu sebagai seorang Permaisuri. Kedudukan Putera Mahkota harus berada ditangan putera laki-laki seorang Permaisuri. Bukan pada putera laki-laki yang lain. Dan kau adalah orang yang paling berwenang untuk menjadi Putera Mahkota, juga atas kehormatan ibundamu, Pemaisuri. Jika kau tersisih, maka alangkah malunya ibundamu sebagai seorang Permaisuri"
Anusapati mendengarkan keterangan Mahisa Agni itu kata demi kata. Namun demikian ia tidak dapat mengerti, bahwa begitu besar pengaruh Ken Umang, seorang isteri muda sehingga seorang ayah akan sampai hati menyingkirkan, meskipun tidak dalam arti yang sangat jauh, namun hal itu pasti akan menghancurkan hari depan anaknya sendiri yang lahir dari isterinya yang lain.
Namun Anusapati menyimpan pertanyaan itu didalam hatinya.
Meskipun demikian Anusapati tidak dapat mengabaikan peringatan Mahisa Agni. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka ia pasti harus berbuat sesuatu. Sedang didalam istana itu hanya ada seorang saja yang dapat dipercaya untuk membantunya jika ia berada dalam kesulitan. Mahisa Wonga Teleng, meskipun dengan kesungguhan hati berlatih hampir siang dan malam, namun ia tidak dapat segera melonjak ketempat yang lebih tinggi dari yang dapat dicapainya setingkat demi setingkat.
Tetapi menurut tanggapan Anusapati, tentu ada tangan lain yang akan dipinjam seandainya ada niat yang buruk terhadapnya dari siapapun juga. Mungkin dari Tohjaya sendiri atau mungkin dari Ken Umang dengan atau tidak dengan ijin ayahanda Sri Rajasa.


03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu tidak akan ada tindakan yang dapat langsung dikenakan atas diriku sebagai seorang Putera Mahkota" berkata Anusapati didalam hatinya, "apalagi sebagai orang yang dikenal dengan gelar Kesatria Putih. Meskipun kini Kesatria Putih sudah tidak begitu banyak bertindak di daerah-daerah yang jauh dari istana, namun orang-orang Singasari masih tetap menghargainya. Jika ada tindakan terhadapku, pasti dengan cara-cara yang seperti pernah dilakukan. Langsung ditujukan kepada Kesatria Putih seperti yang pernah terjadi atas paman Kuda Sempana"
Namun ternyata Mahisa Agni berpendapat lain. Meskipun tidak secara langsung, namun ia berkata kepada Anusapati, "Anusapati, tanpa mengurangi hormat dan bakti seorang anak kepada orang tuanya, maka setiap orang berhak membela diri dan hidupnya"
"Paman" wajah Anusapati menjadi tegang.
"Aku berbicara dengan jujur Anusapati. Aku sama sekali tidak bermaksud memisahkan kau dari ayahandamu, atau kau dengan saudara-saudaramu. Tetapi aku hanya menuruti kata hati yang barangkali dapat keliru, dan aku memang mengharap agar aku salah raba"
Anusapati menjadi semakin tegang.
"Anusapati" berkata Mahisa Agni, "aku ingin memberikan suatu ceritera kepadamu. Ceritera tentang seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain. Bahkan hampir suatu keajaiban. Orang yang memiliki ilmu tanpa berguru, dan bahkan ilmunya telah menyamai orang yang paling mumpuni sekalipun. Orang itu ternyata adalah kekasih dewa-dewa. Ada banyak ceritera tentang orang itu, namun ciri yang dapat ditangkap oleh indera yang mendekati sempurna adalah pertanda diatas ubun-ubunnya apabila orang itu sedang memusatkan kehendak dan perasaannya untuk sesuatu sasaran. Apabila ia sedang marah, berpikir tentang sesuatu hal dengan segenap perhatiannya, atau mengerahkan tenaga jasmaniah sampai kedasar kekuatannya. Dan segala macam pemusatan pikiran dan kehendak didalam segala macam bentuknya"
Anusapati mendengarkan ceritera itu dengan penuh minat, meskipun ia masih belum tahu kemanakah arah pembicaraan itu.
"Apakah ujud dari tanda itu paman?" Anusapati bertanya.
"Cahaya yang kemerah-merahan diatas ubun-ubun itu"
"Cahaya kemerah-merahan. Maksud paman, ubun-ubunnya bercahaya?"
"Bukan Anusapati. Tetapi diatas ubun-ubun itu seakan-akan ada lingkaran cahaya yang kemerah-merahan. Tetapi cahaya itu tidak jelas dan tidak dapat disentuh dengan indera biasa. Mata wadag kita tidak akan dapat melihatnya begitu saja tanpa dilambari oleh ketajaman mata hati"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dan tanda itu adalah tanda yang diberikan oleh dewa yang melindungi orang itu. Dan tanda yang kemerah-merahan itu adalah tanda dari kelebihan yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya, "Apakah orang yang demikian itu masih ada paman?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi dalam kesatuan kehendak dewa-dewa menurunkan kelebihan lain pada orang lain, agar tidak ada kelebihan yang mutlak di dunia ini. Atas kesatuan dari yang berujud dan yang tidak, satu itulah seakan-akan telah diatur, bahwa yang satu selalu diimbangi oleh yang lain. Karena itu, maka didunia inipun ada sebuah benda yang memiliki kelebihan dan katakanlah keajaiban"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
"Benda itu berbentuk sebuah trisula. Tetapi terlalu kecil untuk dijadikan senjata wadag didalam perkelahian"
"Jadi?" "Anusapati. Kelebihan yang satu dapat diimbangi dan bahkan seakan-akan dapat dihapuskan dari kelebihan yang lain. Trisula itu mempunyai cahaya yang dapat menyilaukan. Orang yang menjadi kekasih-kekasih dewa-dewa dengan cahaya yang kemerahan di ubun-ubun itu, tidak dapat menghindarkan diri dari silaunya trisula yang juga diberikan oleh dewa-dewa. Dan imbangan yang demikian hendaknya memang selalu ada di muka bumi"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mulai sadar, bahwa ceritera itu pasti ada hubungannya dengan dirinya sendiri.
"Anusapati" berkata Mahisa Agni kemudian. "adalah berbahagia sekali bagi mereka yang mendapat kepercayaan dari Yang Maha Agung"
"Ya. Berbahagialah yang mendapat kepercayaan dari Yang Maha Agung dalam Ke-Esaan itu"
"Tetapi itu menjadi suatu tanggung jawab yang maha berat pula, yang tidak dapat dipikul oleh setiap orang"
"Ya paman" gumam Anusapati seolah-olah kepada diri sendiri.
Mahisa Agnipun menarik nafas dalam-dalam. Dengan perlahan-lahan ia mencoba mempersiapkan hati Anusapati untuk menerima kenyataan keadilan dari Yang Maha Agung.
Karena itu, maka katanya kemudian, "Anusapati, di masa Singasari mengalami pergolakan yang dahsyat di dalam, meskipun dari luar tidak nampak sama sekali, orang-orang yang menjadi kekasih dewa-dewa itu masih berperan. Kau masih akan dapat mengenal seseorang yang memiliki tanda ajaib diatas ubun-ubunnya, dan kau masih juga dapat mengenal trisula kecil yang menyilaukan itu. Tetapi selagi ia masih bernama manusia dengan segala macam sifat-sifatnya, maka ia tidak akan dapat mengemban kepercyaan yang melimpah kepadanya dengan sempurna. Ia masih dapat menyalahgunakan kelebihan yang ada padanya itu. Dan ia masih dapat dipengaruhi oleh nafsu-nafsu manusia yang lain"
Anusapati masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia ingin sekali mendengar, ujung dari ceritera pamannya itu. Tetapi Anusapati tidak berani memotong. Ia mendengarkan dengan penuh minat dan dengan dada yang berdebaran, seperti ia harus menunggu saat-saat yang menegangkan di saat-saat kelahiran anaknya.
Mahisa Agni memandang wajah Anusapati yang menegang. Sejenak kemudian iapun berkata pula, "Anusapati, apakah kau ingin mengetahui orang-orang itu?"
"Ya paman. Hampir aku tidak dapat menahan hati untuk tidak bertanya. Tetapi aku berusaha menunggu agar aku tidak bersikap keliru"
Jilid 73 " Hati Yang Semakin Gundah
"BAIKLAH" berkata mahisa agni, "orang yang memiliki tanda ajaib diatas ubun-ubunnya itu adalah ayahandamu. Sri Rajasa yang pada masa mudanya bernama Ken Arok, dan yang setelah menempatkan dirinya sebagai raja Singasari. Ia bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi"
"O" Anusapati mengerutkan keningnya.
"Tidak ada seorangpun yang mengetahui darimana Sri Rajasa menemukan kelebihan yang bersumber dari kekuasaan Yang Maha Agung itu. Namun dapat dipercaya bahwa ia menerima suatu anugerah yang jarang diterima oleh orang lain sejak kanak-anaknya. Karena itulah maka Ken Arok memiliki kemampuan melampaui kemampuan manusia biasa tanpa berguru kepada siapapun juga, karena kemampuan itu langsung berasal dari sumbernya"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi seperti yang aku katakan, bahwa ayahandamu adalah manusia biasa. Manusia dengan segala macam nafsu kemanusiaannya. Yang dapat kau lihat dengan jelas, bagaimana ia jatuh dibawah pengaruh Ken Umang, karena Ken Umang adalah seorang perempuan yang cantik menurut ukuran manusia. Dan ayahandamu Sri Rajasa tidak mampu memisahkan kelebihannya sebagai manusia biasa dan kehadirannya dengan sifat-sifat manusiawi yang wajar"
Anusapati menjadi tegang sejenak.
"Anusapati" berkata Mahisa Agni kemudian, "kau sekarang sudah dewasa sepenuhnya. Kau sudah menjadi seorang ayah, sehingga kau harus juga berpikir dewasa. Karena itu, kau harus menanggapi setiap persoalan dengan dewasa pula"
Anusapati menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak menyahut.
"Berbanggalah bahwa kau adalah seorang patera dari Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa"
Anusapati menganggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia bertanya, "Siapakah yang harus berbangga paman. Aku atau adinda Tohjaya?"
"Kau dan adindamu Tohjaya. Juga Mahisa Wbnga Teleng dan adik-adikmu yang lain yang lahir dari ibunda Ken Dedes dan yang lahir dari ibunda Ken Umang"
"Ya paman. Kami memang harus berbangga. Tetapi apakah arti dari kebanggaan kami bahwa kami hidup dalam keadaan yang tidak sejalan. Aku sendiri selalu berada di dalam keadaan yang pahit dan hampir setiap tarikan nafas, aku harus berhati-hati, waspada dan menjaga diri karena setiap tarikan nafas, aku selalu dibayangi oleh bahaya seperti yang paman katakan"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Itu adalah segi-segi kehidupan yang penuh dengan rahasia, yang hampir tidak dapat dimengerti oleh seseorang. Tetapi bukankah kau sampai saat ini berhasil menghadapinya dengan tabah"
Anusapati mengangguk. Namun katanya kemudian, "Tetapi aku hampir tidak dapat mempercayainya bahwa aku akan dapat bertahan terus dalam keadaan seperti ini. Seperti pesan paman, aku bukan sekedar mempertahankan kedudukan. Tetapi juga nama ibunda Permaisuri. Tetapi aku tidak yakin bahwa aku akan mampu melakukannya. Aku berada di istana Singasari, sedang istana ini bagaikan perapian yang setiap saat dapat membakar aku. Aku tidak mengerti paman. Hampir-hampir aku tidak percaya bahwa aku adalah putera ayahanda Sri Rajasa seperti adinda Tohjaya"
"Anusapati" desis Mahisa Agni.
"Tetapi tidak seorangpun yang dapat mendengar pertanyaan yang selalu bergejolak didalam hati ini. Semakin aku mendalami kehidupan ini dalam segala segi dan bentuknya, semakin aku menjadi ragu-ragu"
"Jangan berpikir demikian Anusapati"
"Pamanda Mahisa Agni" berkata Anusapati kemudian, "jika aku tidak takut menyinggung perasaan ibunda Permaisuri, aku ingin bertanya, apatah ada sesuatu yang mendahului peristiwa kelahiranku sehingga ayahanda Sri Rajasa menganggap aku sebagai seorang asing saja disini, bahkan kadang-kadang tampak sekali sikapnya yang memusuhi aku"
"Jangan Anusapati. Jangan kau tanyakan hal itu kepada ibunda Permaisuri. Hal itu tentu akan menyinggung perasaannya, seolah-olah kau tidak percaya kepada ibunda bahwa ibunda telah tersentuh oleh persoalan yang membuat ayahandamu bersikap lain kepadamu"
Anusapati menundukkan kepalanya. Tetapi sebenarnyalah bahwa hatinya sedang diusik oleh pertanyaan tentang masa kelahirannya atau bahkan sebelumnya. Sebagai seorang yang telah dewasa sepenuhnya. Anusapati mengetahui, bahwa hubungan seorang suami dengan isterinya dipengaruhi oleh banyak sekali persoalan-persoalan yang kadang-kadang diluar sadar, tumbuh semakin mekar. Demikian juga agaknya persoalan dirinya sendiri yang telah membuat jurang yang semakin dalam didalam hubungan ayah dan ibunya.
Namun Anusapatipun mengerti, pertanyaan itu pasti akan sangat menyinggung perasaan ibunya, sebagai seorang Permaisuri dan sebagai seorang isteri.
"Anusapati" berkata Mahisa Agni, "persoalan yang kau hadapi harus kau tumpukan kepada dirimu sendiri. Kau harus bertahan. Kau harus tetap pada kedudukanmu. Jika sesuatu keadaan masih juga ingin memaksamu, maka kau wajib membela diri. Disini ada seorang pengalaman yang dapat membantumu"
"Paman Sumekar?"
"Ya. Orang dari Batil itu akan merupakan seorang pembantu yang baik. Ia akan selalu mendampingi kau dalam segala keadaan. Ketahuilah, bahwa kematangan ilmunya dapat kau yakini meskipun ia masih belum berhasil menyamai kakak seperguruannya Kuda Sempana. Namun didalam saat-saat yang gawat, ia akan dapat berbuat banyak untukmu"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Juru taman itu adalah orang yang sangat baik baginya.
"Namun demikian Anusapati" berkata Mahisa Agni, "jika pada suatu saat semuanya tidak dapat kau atasi dengan kemampuanmu, maka kau mempunyai sarana yang barangkali dapat melindungimu"
Anusapati mengerutkan keningnya.
"Bukankah aku sudah berbicara tentang sebuah Trisula yang sampai saat ini turun temurun dari tangan ke tangan. Dari seorang guru kepada muridnya yang paling dipercaya?"
"Maksud paman?"
"Anusapati. Aku adalah murid satu-satunya dari guruku. Dan guruku adalah kakekmu, ayah dari ibunda Permaisuri. Kau tahu, bahwa ibundamu adalah adik angkatku?"
"Ya paman" "Ia sudah seperti adikku sendiri karena selain anak angkat aku juga sebagai murid satu-satunya. Itulah sebabnya aku menerima warisan yang turun temurun itu"
"Trisula yang paman katakan?"
"Ya. Aku sudah menerima sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh kemampuan manusia. Tidak ada mPu yang bagaimanapun saktinya dapat membuat senjata serupa itu. mPu Gandring yang terbunuh, pamanku itupun tidak akan dapat membuatnya"
"Karena trisula itu berasal bukan dari kemampuan manusia wantah" desis Anusapati.
"Ya. Dan trisula itu ada padaku sekarang"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Dan ia masih mendengar pamannya berkata, "Ada dua keajaiban dipadepokan Panawijen saat itu"
"Dua keajaiban?"
"Ya. Selain kelebihan pandangan mPu Purwa, kakekmu, di Panawijen ada dua keajaiban yang tidak terdapat di manapun. Yang pertama, saat itu, adalah seorang gadis yang cantik yang memiliki cahaya yang aneh dari dalam dirinya. Cahaya yang memberikan pertanda bahwa gadis itu adalah gadis yang lain dari gadis-gadis sebayanya"
"Maksud paman memiliki cahaya kemerah-merahan seperti yang pamanda katakan" Seperti yang terdapat pada ayahanda Sri Rajasa?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak Anusapati. Cahaya ini agak berlainan. Cahaya ini adalah cahaya yang bening yang memancar dari tubuh gadis itu. Bahkan kadang-kadang oleh mata hati yang waspada, cahaya itu tampak bagaikan api yang menyala"
Anusapati menganggukkan kepalanya.
"Dan yang kedua adalah trisula yang sekarang ada padaku"
"Tetapi siapakah gadis itu paman?"
"Gadis itu sekarang sudah mempunyai cucu. Ia adalah ibundamu, Ken Dedes"
Terasa tengkuk Anusapati meremang.
"Disinilah pertanda itu seakan-akan bertemu. Pertanda yang ada diatas ubun-ubun Sri Rajasa, dan pertanda yang aneh pada ibundamu. Namun yang aku dengar, seorang perempuan yang memiliki tanda-tanda ajaib semacam itu adalah perempuan yang akan menurunkan raja-raja besar dikemudian hari"
"O" Anusapati semakin terikat kepada ceritera pamannya.
"Anusapati" berkata Mahisa Agni kemudian, "keturunan dari perempuan itu adalah kau. Kau adalah anak laki-lakinya yang tertua. Sedang Tohjaya tidak dilahirkan oleh seorang perempuan yang memiliki ciri-ciri keajaiban seperti ibumu. Karena itu, apabila Singasari ingin meneruskan ikatan persatuan diseluruh tanah ini, keturunan Ken Dedeslah yang harus memegang pemerintahan"
Anusapati tidak menyahut.
"Itulah sebabnya aku ingin kau bertahan. Bukan karena nafsu kekuasaan yang menyala didalam hatimu, tetapi justru untuk kepentingan Singasari ini"
Anusapati masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat membayangkan maksud pamannya yang sebenarnya. Dan iapun sadar, apa yang sebaiknya dilakukan.
Untuk beberapa saat lamanya keduanya berdiam diri. Meskipun nampak keragu-raguan di wajah Anusapati, namun ia mempercayai ceritera pamannya. Ia ragu-ragu bahwa apakah ia mampu melakukan tanggung jawab yang akan dibebankan dipundaknya.
"Yang ada adalah pertanda itu lebih dahulu. Barulah tanggung jawab itu ada padaku" berkata Anusapati kepada diri sendiri, "ibundalah yang akan menurunkan raja-raja yang akan memerintah dinegeri ini. Bukan akulah yang tampil untuk mengangkat ibunda Permaisuri sebagai seorang perempuan yang akan menurunkan raja-raja ditanah ini"
Namun demikian Anusapati sadar, bahwa segalanya tidak akan berlangsung dengan sendirinya. Meskipun pertanda itu memancar seterang matahari, namun tanpa usaha apapun juga, semua itu tidak akan berlaku.
"Dan aku adalah seorang yang dibebani tanggung jawab bahwa pertanda itu akan berlaku" berkata Anusapati pula didalam hatinya.
Mahisa Agni yang duduk sambil menundukkan kepalanya itu tiba-tiba mengangguk-angguk. Apapun yang terjadi, maka tidak akan ada jalan lain baginya untuk menyerahkan keselamatan Anusapati terutama pada diri sendiri.
Karena itu, meskipun ia dicengkam oleh keragu-raguan maka akhirnya iapun berkata kepada Anusapati, "Anusapati. Aku akan menyerahkan trisula itu kepadamu. Kau adalah satu-satunya muridku. Dan aku percaya kepadamu, bahwa kau mengerti arti dari penyerahan ini, kau harus melanjutkan pengabdian perguruan yang temurun kepadaku dari mPu Purwa itu. Pengabdian bagi sesama manusia. Kau harus mencoba berbuat sejauh-jauh dapat kau lakukan untuk menyerahkan pengabdianmu tanpa pamrih. Tentu saja tidak ada pengabdian yang mutlak. Tetapi keseimbangan antara pamrih dan pengabdian itu jangan sampai berat sebelah. Kau harus mampu menimbang baik dan buruk berlandaskan pada kehadiran diri dengan kepercayaan sepenuhnya kepada Penciptanya"
Dada Anusapati menjadi berdebar-debar. Dengan suara gemetar ia bertanya, "Apakah arti dari penyerahan itu sebenarnya paman. Paman sudah mengatakan, bahwa trisula itu merupakan ujung keseimbangan yang lain dari kelebihan ayahanda Sri Rajasa. Ayahanda Sri Rajasa yang tidak terkalahkan itu akan menjadi silau memandang trisula itu. Dan apakah artinya, jika trisula itu akan jatuh ketanganku?"
Pertanyaan itu tidak terduga-duga sebelumnya. Namun sangat wajar diucapkan oleh Anusapati yang mempunyai perasaan cukup peka. Ia sadar, bahwa dengan demikian, ia telah dihadapkan sebagai ujung keseimbangan antara cahaya yang kemerah-merahan di ubun-ubun ken Arok itu dengan cahaya trisula yang menyilaukannya.
Sejenak Mahisa Agni memandang wajah Anusapati yang suram. Kemudian dengan sangat hati-hati ia berkata, "Anusapati. Memang banyak arti dapat diambil dari keadaan itu. Namun sama sekali tidak mustahil bahwa apa yang terjadi itupun sekedar arus yang memang sudah dipersiapkan oleh keharusan yang akan berlaku. Aku tidak tahu apa yang . akan terjadi Anusapati. Tetapi gejala-gejala yang tampak adalah kemungkinan dari tanda-tanda yang diberikan kepada seorang gadis yang bernama Ken Dedes. Pertanda bahwa ia akan menurunkan seorang Maharaja yang paling besar dalam sejarah negeri ini semakin lama menjadi semakin kabur. Aku juga tidak tahu, apakah pertanda yang pernah ada itu kini telah pudar pula, dan tidak berlaku abadi. Namun pertanda kembar yang ada dipadepokan Panawijen yang satu lagi adalah trisula ini. Apakah kedua Pertanda keajaiban kembar itu harus berkumpul agar yang akan terjadi itu terjadi"
Anusapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, "Paman Mahisa Agni. Apakah aku akan sanggup menerimanya justru aku adalah putera Sri Rajasa" Jika aku orang lain sama sekali, maka persoalannyapun akan berbeda. Jika aku putera ibunda Ken Dedes yang memiliki tanda keagungan itu dan sekaligus memiliki sebuah trisula yang memiliki ujung keseimbangan bagi cahaya yang kemerah-merahan di atas ubun-ubun Ken Arok, tetapi aku bukan putera Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabumi itu, maka tidak akan ada persoalan bagiku. Aku tahu pasti, apa yang harus aku kerjakan, jika Sri Rajasa itu berusaha memotong keharusan yang berlaku sesuai dengan pertanda yang ada pada ibunda. Aku tahu pasti, bahwa aku harus melenyapkan orang itu, meskipun jika dengan demikian akan lenyap pula ujung-ujung keseimbangan yang lain itu. Tetapi keturunan Ken Dedes yang lain akan bangkit dan berlakulah yang seharusnya berlaku. Ken Dedes menurunkan seorang Maharaja yang besar. Tetapi yang ada sekarang adalah, Ken Dedes itu adalah Permaisuri Sri Rajasa, sedang aku adalah putera yang lahir dari perkawinan itu, yang seharusnya padaku ada kesempatan rangkap untuk kedudukan yang tidak ada bandingnya itu. Tetapi kini akupun sadar, bahwa putera ibunda Ken Dedes bukan hanya Anusapati pula"
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Sekilas terbayang wajah Tunggul Ametung. Ayah Anusapati yang sebenarnya. Tetapi jika ia mengatakannya, maka mungkin anak muda itu akan mengalami kejutan yang luar biasa, sehingga menimbulkan goncangan-angan yang dapat mengganggu keseimbangannya.
Karena untuk beberapa lamanya Mahisa Agni hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia tidak lagi berbicara dengan anak-anak, tetapi dengan seorang yang telah dewasa sepenuhnya, dan yang menghadapi hidupnya dengan sikap dewasa pula.
Namun dengan demikian terbersit pikiran pada Mahisa Agni, justru karena ia menganggap Anusapati sudah dewasa. "Apakah aku dapat mengatakan yang sebenarnya" Jika untuk seterusnya ada sesuatu yang masih harus disembunyikan, maka apakah hal itu tidak justru merupakan bayangan hitam yang selalu menghantuinya?"
Tetapi setelah mempertimbangkan untung ruginya, maka Mahisa Agni mengambil kesimpulan, bahwa ia masih akan tetap berdiam diri.
"Mungkin pada suatu saat aku harus mengatakannya" katanya didalam hati, "tetapi aku masih belum sanggup untuk melakukannya sekarang"
Dengan demikian, maka Mahisa Agnipun berkata kepada Anusapati, "Anusapati. Sebaiknya kau tidak berpikir terlampau jauh. Jika kau memiliki trisula sebagai ujung keseimbangan dari kelebihan kodrati yang ada pada ayahandamu, itu bukan berarti bahwa keduanya harus saling berbenturan. Jika keseimbangan yang sudah ada ini tidak terguncang, maka tidak diperlukan keseimbangan lain yang akan berakibat sebaliknya dari keseimbangan yang ada sekarang; Satu hal yang harus kau ingat, bahwa sebagai pemegang ujung keseimbangan, yang lain kau tidak boleh mulai lebih dahulu menggoncang keseimbangan yang sudah ada. Kau tahu maksudku" Hanya dalam keadaan yang memang memaksa saja kau boleh berusaha mempergunakan benda itu. Hanya dalam keadaan yang memaksa"
Anusapati masih menundukkan kepalanya sambil merenung. Bahkan ia berkata, "Aku mengerti paman. Menurut perhitungan paman akan sampai saatnya bahwa ayahanda Sri Rajasa benar-benar kehilangan kendali. Karena itu, pada suatu saat dapat terjadi ayahanda akan melakukan kekerasan untuk memaksakan keinginannya menyingkirkan aku dan menempatkan Tohjaya dialas kedudukanku"
Mahisa Agni ragu-ragu sebentar. Tetapi ia tidak dapat ingkar, sehingga karena itu ia menganggukkan kepalanya.
"Paman" berkata Anusapati kemudian, "kenapa paman tidak berkata kepadaku, bahwa apapun yang terjadi atasku aku harus tunduk kepada ayahanda" Kenapa paman tidak mengajari aku sekali ini untuk pasrah" Paman, manakah yang lebih baik. Aku pergi dari kedudukanku sekarang atau aku harus berani melawan orang tua" Apakah kira-kira ibunda Ken Dedes akan memilih, agar aku bertahan sebagai Putera Mahkota untuk kebesaran nama ibunda Permaisuri atau aku harus tunduk dan tidak melawan ayahanda sendiri" Bukankah paman dan ibunda dan orang-orang tua mengajarkan agar aku takut dan bakti kepada orang tua. Dan apakah arti dari perlawanan dan memantapkan keseimbangan yang goyah?"
Pertanyaan yang mengalir beruntun itu benar-benar telah membuat Mahisa Agni menjadi bingung. Sehingga kembali ia tersudut pada suatu hasrat untuk mengatakan keadaannya yang sebenarnya.
Namun sekali lagi berusaha mengurungkannya. Bahkan kemudian katanya, "Anusapati. Memang sulit untuk mengatakannya. Tetapi baiklah. Simpan sajalah trisula itu. Jika kau merasa perlu mempergunakan, pergunakanlah. Jika tidak, maka aku pesan kepadamu, jangan sampai trisula itu jatuh ketangan orang lain"
"Tetapi pesan itu sangat membingungkan aku paman" bertanya Anusapati, "aku masih memerlukan bantuan paman untuk mendapatkan ketegasan. Dengan secara kasar dapat aku tanyakan kepada paman, mana yang sebaiknya aku lakukan, jika pada suatu saat benar-benar ayahanda Sri Rajasa mengusir aku" Apakah aku akan bertahan dengan kekerasan, atau aku harus menunjukkan baktiku kepada ayahanda Sri Rajasa" Bahkan lebih jauh lagi aku menangkap arti, bagaimanakah jika ayahanda ingin membunuh aku" Jika ayahanda tidak mempergunakan tangan sendiri, maka aku akan dapat membela diri dan membunuh orang yang diperintahkan oleh ayahanda itu, misalnya Kiai Kisi atau orang-orang lain nanti. Tetapi jika pada suatu saat, ayahanda sendiri datang kepadaku, dan minta hidup matiku, apakah yang sebaiknya aku lakukan?"
"Anusapati, aku telah menyerahkan trisula itu kepadamu. Aku kira kau tahu artinya"
"Jadi, menurut paman aku harus berani melawan orang tua dan bahkan membunuhnya?"
"Aku tidak mengatakan begitu Anusapati. Yang aku persoalkan adalah Anusapati dengan Sri Rajasa. Bukan anak terhadap orang tuanya"
"Paman membuat aku bertambah bingung. Apakah bedanya Anusapati dengan Sri Rajasa dan seorang anak dengan ayahnya?"
"Seorang ayah tidak akan berbuat demikian terhadap anaknya"
"Maksud paman Sri Rajasa bukan ayahku?"
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu. Namun ia masih menjawab, "Anusapati. Memang mungkin ada hubungan jasmaniah antara seorang anak dengan ayahandanya. Memang mungkin seseorang lahir karena adanya orang lain yang menitikkan keturunannya. Tetapi anak dan ayah bukan sekedar tetesan darah yang mengalir dari seseorang keorang lain. Itu adalah sekedar lahir karena nafsu semata-mata. bukan karena kasih yang pasti akan temurun"
"O, aku menjadi pening paman. Aku tahu kelahiranku bukan karena kasih antara ayahanda Sri Rajasa dan ibunda Permaisuri seperti tercermin sekarang ini. Ayahanda lebih banyak berada disisi ibunda Ken Umang. Mungkin ibunda waktu itu masih muda"
Dada Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Hampir ia kehilangan jalan untuk menghindari pengakuan bahwa memang Anusapati bukan putera Sri Rajasa. Tetapi untuk sementara, biarlah Anusapati menganggap hal itulah yang terjadi. Bagaimanapun juga hal itu masih merupakan pengendalian sikap dari Anusapati, sehingga keseganan dan baktinya kepada orang tuanya masih mempengaruhi nuraninya.
Jika Anusapati terlepas sama sekali dari pengaruh itu dan ia mengerti dengan pasti bahwa Sri Rajasa bukan ayahandanya, maka ia akan dapat bersikap lain. Ia akan dapat berbuat jauh lebih kasar dari apa yang akan dilakukannya.
"Anusaplati" berkata Mahisa Agni kemudian, "yang terjadi biarlah terjadi. Tetapi yang akan datang adalah hari-hari yang penuh dengan harapan bagi anak-anak muda seperti kau. Bukalah hatimu untuk menerima pusaka peninggalan kakekmu itu. Namun seperti pesan yang aku terima, pusaka itu bukan senjata. Jangan dipergunakan apabila tidak terpaksa sekali"
"Baiklah paman" berkata Anusapati, "aku akan mencoba menerima pusaka itu dan aku akan mencoba mengetrapkan semua pesan paman, sekaligus aku ingin mencoba menjadi seorang anak yang baik"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun ia menaruh harapan, bahwa Anusapati tidak akan menyalah artikan pesan-pesannya itu.
Demikianlah maka pusaka kecil itu kemudian berada di tangan Anusapati. Seperti pada saat Mahisa Agni menerimanya, maka terasa sesuatu telah membebani perasaannya. Namun lambat laun perasaan itu menjadi pudar, dan hampir tidak ada persoalan lagi yang bergejolak didalam hatinya.
"Pusaka itu dapat dianggap tidak ada padaku" berkata Anusapati, "aku hanya sekedar menyimpannya"
Namun kadang-kadang timbul juga perasaan yang lain, "dengan pusaka itu aku dapat mengimbangi kelebihan ayahanda Sri Rajasa. Kenapa paman Mahisa Agni menyerahkan pusaka itu padaku dalam keadaan seperti ini" Apakah ini suatu pertanda bahwa aku diperintahkannya untuk membunuh-ayahanda?"
Tetapi setiap kali Anusapati berkesempatan bertemu dengan Mahisa Agni, maka pesan Mahisa Agni sama sekali-tidak sejalan dengan dugaannya itu. Bahkan lambat laun terasa betapa lunaknya sikap Mahisa Agni terhadap ayahanda Sri Rajasa itu.
"Memang kadang-kadang Mahisa Agni masih selalu diganggu oleh pusaka itu. Kadang-kadang timbul juga penyesalan dihatinya. Apakah pusaka itu tidak berarti suatu dorongan pada Anusapati untuk melakukan suatu tindakan yang tidak diharapkannya. Mahisa Agni memberikan pusaka itu semata-mata agar Anusapati dapat melindungi dirinya. Bukan untuk menghancurkan"
Meskipiun Anusapati tidak menampakkan perubahan pada sikapnya sehari-hari, namun sebenarnya ia masih juga selalu dibebani oleh perasaannya yang gelisah.
Bahkan pada suatu saat, Anusapati tidak lagi dapat menahan diri. Ia tidak akan mendapat penyelesaian jika ia masih harus selalu bertanya-tanya pada diri sendiri.
Karena itu, maka betapapun beratnya, ia telah memaksa dirinya menghadap ibunda permaisuri yang tampaknya menjadi semakin tua.
"Kenapa wajahmu tampak begitu suram Anusapati?" bertanya Ken Dedes.
Anusapati menundukkan kepalanya. Sekali-sekali ia mencoba memandang ibunya, ia tidak pernah melihat cahaya yang dikatakan oleh Mahisa Agni. Ia sama sekali tidak melihat nyala pada tubuh ibunya, sebagai pertanda bahwa Ken Dedes akan menurunkan Maharaja yang akan berkuasa ditanah ini.
Melihat kerut merut dikening ibunya, Anusapati menjadi ragu-ragu. Ia tidak sampai hati menambah kerut-merut itu, karena pertanyaan-pertanyaannya. Karena itu, maka untuk beberapa lamanya ia hanya berdiam diri saja.
Ternyata bahwa ibunya, Ken Dedes, adalah seorang ibu yang memiliki ketajaman pandangan atas puteranya. Meskipun Anusapati tidak mengatakan apapun juga, namun ibunyalah yang bertanya, "Anusapati, apakah kau masih juga selalu dibelit oleh kegelisahan tentang dirimu sendiri?"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
"Aku melihat pada sorot matamu yang buram"
Akhirnya Anusapati menganggukkan kepalanya. Katanya, "Memang kadang-kadang hati ini menjadi kalut ibunda. Hamba tidak tahu apakah sebenarnya yang telah terjadi atas diri hamba ini"
"Kau masih dipengaruhi oleh perasaan anak-anak. Kau bukan anak-anak lagi Anusapati. Kau sudah menjadi seorang ayah. Anakmu sudah menjadi semakin besar, dan karena itu. Kaupun harus semakin masak menghadapi kenyataan ini"
"Hamba berusaha ibu. Tetapi hamba adalah seorang manusia yang lemah, yang tidak memiliki kelebihan apapun dari manusia yang lain kecuali sedikit olah kanuragan. Itulah agaknya hamba kadang-kadang selalu diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan tentang diri hamba sendiri dan tentang adinda Tohjaya. Bahkan kemudian tentang diri ibunda Permaisuri dengan ibunda Ken Umang"
"Ah" Ken Dedes berdesis, "itu adalah perasaan yang harus kau sisihkan. Aku juga mendengar bahwa Tohjaya mengeluh, bahwa kaulah yang mendapat perhatian terlampau besar dari ayahandamu Sri Rajasa. Kenapa bukan Tohjaya"
Anusapati menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia pernah mendengar jawaban ibunya serupa itu pula dahulu ketika ia masih belum dewasa sepenuhnya. Dan kini ia sudah bukan anak muda lagi yang tentu dapat menimbang lebih cermat jawaban ibunya.
Meskipun Anusapati tahu, bahwa jawaban ibunya itu sekedar untuk menenteramkan hatinya, namun Anusapati tidak membantah. Bahkan iapun kemudian mengangguk-anggukan kepalanya.
Namun ia terkejut ketika ia mendengar ibunya terisak. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya ibunda Permaisuri itu mengusap matanya yang basah.
"Maaf ibu" berkata Anusapati dengan suara bergetar, "bukan maksud hamba membuat ibu bersedih"
"Tidak Anusapati. Kau tidak bersalah. Dan akupun tidak menjadi bersedih karenanya. Memang kadang-kadang sebuah kenangan masa lampau membuat hati ini sedikit bergetar. Tetapi aku akan segera dapat melupakan"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu.
Meskipun demikian air mata yg membasahi pelupuk Ken Dedes itu menumbuhkan persoalan pula didalam hatinya, seperti yang memang telah membelit hatinya. Apakah, yang pernah terjadi atas ibunya menjelang kehadirannya di muka bumi ini" Apakah ada persoalan yang sampai saat ini masih menjadi rahasia baginya"
Tetapi untuk tidak menambah beban perasaan ibunya Anusapati tidak bertanya lebih lanjut. Bahkan ketika air mata ibunya telah kering, ia mohon diri meninggalkan bangsal Permaisuri itu.
"Anusapati" berkata ibundanya, "bawalah anakmu sering kemari. Biarlah ia bermain dengan paman-pamannya disini"
"Hamba ibunda. Biarlah anak itu sering menghadap ibunda kemari"
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Namun matanya yang kemudian menjadi basah lagi telah memaksa Anusapati bergegas-gegas meninggalkannya agar tidak tumbuh berbagai persoalan yang lain.
Sepeninggal Anusapati, Ken Dedes masuk kedalam biliknya. Sambil menelungkup dipembaringan, Permaisuri itu menangis. Kini ia merasa sendiri didalam biliknya itu. Emban tua yang mengawaninya dari Panawijen telah tidak ada lagi. Sri Rajasa hampir tidak pernah lagi menjenguknya sehingga istana Singasari yang megah itu kini menjadi sangat sepi baginya.
Hidup Permaisuri itu kini semata-mata diperuntukkan bagi putera-puteranya. Ken Dedes sudah tidak pernah memikirkan dirinya sendiri. Yang menjadi persoalan baginya adalah keturunannya. Terutama Anusapati.
"Apakah Anusapati benar-benar akan dapat menggantikan kedudukan Sri Rajasa?" masalah itulah yang setiap kait menggetarkan hatinya.
Namun agaknya Sri Rajasa tidak bersungguh-sungguh dengan kehormatan yang diberikan kepada Anusapati untuk menduduki jabatannya yang sekarang. Ternyata setiap kali kedudukan itu telah diguncang-guncang. Meskipun kadang-kadang Anusapati sendiri berusaha menutupi apa yang pernah terjadi atasnya, namun Ken Dedes dapat juga mendengar, bahwa Anusapati telah terancam, bukan saja kedudukannya, tetapi juga jiwanya.
Sekilas terbayang ayah Anusapati yang sudah terbunuh. Yang akhirnya diketahuinya, bahwa Ken Arok yang sekarang bergelar Sri Rajasa itulah yang telah membunuhnya, karena kadang-kadang diluar sadarnya, kata-kata Ken Arok sendiri memberikan kesan yang demikian.
"Aku telah kena kutuk dari Yang Maha Agung" berkata Ken Dedes kemudian. Ia merasa bersalah, bahwa sejak Akuwu Tunggul Ametung masih hidup, betapapun ia menyembunyikan didalam hatinya, tetapi ia sendiri mengetahuinya, bahwa ia sudah tertarik pada seorang anak muda yang bernama Ken Arok, yang telah berhasil membuat sebuah telaga buatan di padang Karautan. Telaga yang sekarang hampir tidak pernah dilihatnya lagi.
Dan kutuk itu agaknya telah membuatnya berprihatin sampai hari tuanya. Bahkan anak-anaknya.
Tiba-tiba terbersit sesuatu didalam hatinya, "Apakah pada suatu saat aku tidak akan mengatakannya kepada Anusapati?"
Tiba-tiba Ken Dedes menggelengkan kepalanya. "Itu tidak baik. Anak itu akan mengalami kejutan perasaan. Dan anak itu akan kehilangan kepercayaan kepada siapapun juga"
Namun setiap kali Ken Dedes tidak dapat menghalau kenyataan yang berlaku, bahwa Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa itu sama sekali tidak menghiraukan lagi kepada Anusapati. Bahkan dengan segala daya upaya berusaha untuk menyingkirkannya. Tetapi tidak semata-mata agar namanya tetap terpelihara sebagai seorang raja yang adil dan bijaksana.
"Dahulu ia berhasil menyingkirkan Akuwu Tunggul Ametung, menjerumuskan Kebo Ijo dan bahkan sudah pasti, membunuh mPu Gandring pula" berkata Ken Dedes didalam hatinya, "tentu pada suatu saat ia akan dapat menyingkirkan Anusapati dengan cara itu pula"
Ken Dedes hampir menjerit untuk melepaskan himpitan perasaannya ketika ia sampai disimpang jalan. Seakan-akan ia harus memilih salah satu dari jalan yang bercabang itu. Yang satu adalah anaknya, Anusapati, sedang yang lain adalah suaminya, Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, Maharaja yang berkuasa di Singasari.
Tetapi pilihan itu adalah pilihan yang paling rumit didalam hidupnya, justru setelah Ken Dedes menemukan nilai-nilai dari hubungan yang dalam antara dirinya dengan keduanya. Dan karena itulah maka Ken Dedes tidak akan dapat segera menemukan pilihan yang sebaik-baiknya.
Dan untuk beberapa lama Anusapatipun masih berhasil menahan perasaannya. Betapa berat himpitan yang seakan-akan menekan isi dadanya, namun sekali-sekali dapat juga dilepaskannya dalam pakaian putihnya diatas kuda putih. Kadang-kadang ia berpacu ditengah malam menembus gelap menyusur dari desa yang satu kedesa yang lain, dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain. Bukan saja untuk menemukan kejahatan yang harus dibasminya, namun kadang-kadang ia ingin mendapatkan tempat yang paling mapan untuk mesu diri dan mematangkan ilmunya. Kadang-kadang ia dikawani oleh Witantra, Kuda Sempana atau Mahendra. Tetapi kadang-kadang Mahisa Agni sendirilah yang pergi bersamanya. Diam-diam ia keluar dari istananya di Kediri pada hari-hari tertentu dan berusaha menjumpai Anusapati. Mahisa Agni dapat saja berpesan kepada hambanya, bahwa dihari berikutnya ia akan samadi di sanggarnya. Tidak boleh seorangpun yang mengganggunya sebelum ia keluar atas kehendaknya sendiri, sedang diluar istana Witantra atau Mahendra telah menyediakan seekor kuda baginya.
Namun hal itu semakin lama semakin jarang dilakukannya. Kejahatanpun semakin lama menjadi semakin menurun, sehingga akhirnya Singasari benar-benar menjadi sesuatu negeri yang aman dan tenteram. Semuanya berkembang seperti yang diharapkan. Pertanian yang semakin luas, perguruan dalam olah kejiwan dan kanuragan. Bidang kerpajuritan yang semakin sempurna dan pemerintahan yang berjalan lancar.
Meskipun demikian, didalam kedamaian itulah, bahaya justru semakin mengancam Anusapati. Tohjaya yang mewarisi cara-cara ayahandanya, berusaha mempengaruhi setiap Panglima pasukan yang ada. Dengan segala cara yang semakin lama menjadi semakin kencang.
"Tuanku tidak akan dapat menunggu lebih lama lagi" berkata penasehat Sri Rajasa kepada Tohjaya, "semakin lama pengaruh tuanku Anusapati rasanya menjadi semakin kuat sehingga pengaruh itu harus segera dihentikan"
"Ya" Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya, "tetapi ayahanda tidak dapat secepat rencana kita. Bagiku tidak ada keberatannya, jika tiba-tiba saja kakanda Anusapati dibunuh. Apakah salahnya" Agaknya ayahanda, masih sayang juga kepadanya. Meskipun seakan-akan ayahanda tidak berkeberatan pula untuk menyingkirkannya, namun jika hal itu benar-benar akan kita lakukan, ada-ada saja keberatan ayahanda"
"Tetapi ternyata bukan karena ayahanda masih sayang kepada tuanku Putera Mahkota, tetapi ayahanda belum melihat kesempatan yang sebaik-baiknya. Rakyat Singasari ternyata menganggap bahwa Anusapati adalah seorang kesatria yang paling berjasa bagi mereka"
"Omong kosong. Jika ia sudah mati, tidak akan ada lagi yang mengharap perlindungannya. Mereka pasti akan mengharap perlindungan kita yang masih hidup"
"Tetapi, jika cara yang kita tempuh terlampau kasar, sehingga diketahui oleh rakyat Singasari, maka kita akan mengalami kesulitan. Itulah yang menjadi perhitungan terutama bagi ayahanda Sri Rajasa"
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebenarnya ia tidak sabar menunggu dan menunggu. Jika akhirnya gagal, maka kekecewaan yang mencengkam hatinya pasti akan berlipat ganda.
Dalam pada itu, Anusapati sendiri telah menenggelamkan waktunya untuk menempa diri. Setiap saat yang terluang dipergunakannya untuk mematangkan ilmunya. Kadang-kadang dibawanya adiknya Mahisa Wonga Teleng. Dan kadang-kadang merekapun pergi dengan anak-anak mereka, yang semakin lama tumbuh menjadi semakin besar. Mereka tumbuh menjadi anak laki-laki yang tampaknya memiliki kelebihan dari anak-anak kebanyakan.
Bagaimanapun juga, darah Ken Dedes, yang memiliki tanda-tanda keajaiban sebagai seorang perempuan yang akan menurunkan raja-raja besar, nampak pada kedua anak laki-laki itu.
Demikianlah kehidupan keluarga Sri Rajasa, meskipun di saat-saat tertentu tampak utuh, namun sebenarnya sama sekali tidak lagi bertaut yang satu dengan yang lain. Didalam kebesaran Singasari yang tampak bulat itu, terdapat sebuah rongga yang semakin lama menjadi semakin besar. Sehingga pada suatu saat akan memecahkan kulitnya.
Dalam pada itu, Sumekar yang sudah terlanjur terlibat didalam persoalan itu, terlebih-lebih lagi tidak pernah dapat melepaskan diri lagi. Semakin lama iapun sebenarnya menjadi semakin cemas. Seakan-akan ia melihat lingkaran yang semakin lama menjadi semakin sempit, sehingga pada suatu saat, lingkaran itu akan membelit dileher Putera Mahkota itu.
Dan Sumekarpun tidak pula tinggal diam. Setiap kali ia selalu memperingatkan kepada Putera Mahkota agar ia berhati-hati.
Namun akhirnya, Sumekar semakin terpukau lagi oleh persoalan itu ketika tanpa disengaja, dimalam hari ia melihat sebuah bayangan hitam yang bergerak-gerak didekat bangsal Putera Mahkota, justru selagi Putera Mahkota keluar dari istana diatas kuda putihnya.
"Licik" desis Sumekar, "mereka akan mulai dari orang-orang yang sama sekali tidak tahu menahu. Bukankah isteri tuanku Anusapati dan puteranya itu tidak dapat dilibatkan dalam persoalan ini?"
Karena itu, maka Sumekarpun dengan diam-diam pula telah mencoba membayangi orang yang mencurigakan itu. Namun ia berusaha untuk menghilangkan kemungkinan dirinya dapat dikenal. Karena itu maka iapun telah mengenakan pakaian dan kerudung hitam seperti yang pernah dipakainya.
Tetapi ternyata tidak terlalu mudah untuk membayangi orang itu. Ia sudah kehilangan jejak disaat pertama kali ia mencoba mengikutinya. Karena selagi ia mengenakan pakaian hitamnya, dan kembali kebangsal itu, bayangan yang dicarinya sudah lenyap seakan-akan begitu saja menguap seperti asap.
Namun Sumekar tidak segera berputus asa. Bahkan hampir setiap malam ia mengawasi rumah itu, terutama jika Putera Mahkota tidak ada dirumah.
"Aku harus meyakinkan penglihatanku lebih dahulu sebelum aku mengatakannya kepada tuanku Putera Mahkota" berkata Sumekar didalam hatinya.
Akhirnya usahanya itupun berhasil. Ketika Putera Mahkota sedang tidak ada dirumah, maka Sumekar yang mengawasi bangsal itu dari kejauhan melihat sebuah bayangan yang mendekati bangsal itu dengan hati-hati.
"Apakah yang akan dilakukannya?" pertanyaan itulah yang mencengkamnya.
Dengan hati-hati sekali Sumekar mencoba mendekat. Namun ia tidak berani terlalu dekat dengan bayangan itu. Sumekar masih belum mengetahui kemampuan dan ketajaman indera orang itu. Sehingga karena itulah maka Sumekar hanya dapat mengawasinya dari kejauhan.
Sumekar menjadi terpukau ketika ia melihat orang itu mendekati lampu minyak yang tergantung di serambi belakang.
Setelah orang itu menunggu sejenak, dan menganggap bahwa tidak ada orang yang melihatnya, maka orang itupun segera menghampiri lampu itu dengan membakar sesuatu.
Sejenak Sumekar dicengkam oleh ketegangan. Apalagi ketika sejenak kemudian ia mencium bau yang sangat wangi menusuk hidungnya.
"Tentu bau yang ditaburkan oleh benda yang baru saja dibakar itu" berkata Sumekar kepada diri sendiri.
Ternyata benda yang sudah terbakar itupun kemudian dibawa melingkari bangsal dan diletakkannya disudut sebelah kanan, tepat pada bilik isteri Putera Mahkota.
"Apakah maksudnya?" Sumekar bertanya-tanya didalam hati.
Tetapi ia masih belum berbuat sesuatu. Dibiarkannya orang yang membakar benda itu pergi meninggalkan bangsal.
Untuk beberapa saat lamanya, Sumekar masih bersembunyi sambil mengawasi benda yang sudah menjadi abu. Namun baunya masih tetap menusuk hidung untuk waktu yang agak lama.
"Apakah ada akibat yang dapat timbul dari bau yang tajam ini?" bertanya Sumekar kepada diri sendiri.
Namun ia tidak beranjak dari tempatnya. Ia justru ingin mengetahui perubahan yang dapat terjadi atas dirinya sendiri meskipun dengan sadar ia selalu mengikuti segenap perasaan yang tumbuh pada dirinya.
Tetapi ternyata Sumekar tidak merasakan akibat apapun, selain kepalanya menjadi agak pening justru karena bau wangi yang sangat tajam. Selebihnya ia tetap sadar, dan dapat mengikuti setiap perkembangan persoalan yang dihadapinya.
"Besok pagi aku harus mengetahui, mungkin ada sesuatu yang terjadi didalam bangsal itu" berkata Sumekar didalam hatinya.
Dihari berikutnya, maka Sumekarpun menghadap kepada Putera Mahkota. Dengan tidak langsung ia memancing ceritera tentang bangsalnya semalam ketika Putera Mahkota sedang tidak ada.
"Paman" berkata Putera Mahkota kemudian, "ada sesuatu yang aneh diluar nalar"
"Apa tuanku?" bertanya Sumekar.
"Sudah beberapa kali jika aku pergi keluar, bangsal itu dipenuhi oleh bau wangi yang menusuk hidung sehingga isteriku menjadi pening dan hampir muntah-muntah karenanya"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu iapun mencoba bertanya, "Apakah ada akibat lain yang terjadi tuanku?"
Anusapati menggeleng. Jawabnya, "Tidak paman. Tetapi akibat yang tidak langsung, isteriku menjadi takut. Semakin lama semakin takut. Bahkan bau yang harum sekali itu kadang-kadang disertai bunyi-bunyi yang aneh diatas atap, didinding atau bahkan kadang-kadang dibawah pembaringan"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mengerti, bahwa maksud orang itu semata-mata mencoba mempengaruhi jiwa isteri Anusapati agar ia menjadi ketakutan. Dengan demikian maka Anusapati tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk pergi diatas kuda putihnya.
"Para penjaga di bangsal itu harus diperingatkan, agar mereka lebih cermat sedikit. Selama ini mereka hanya duduk saja digardu didepan bangsal, karena menurut mereka Singasari adalah negeri yang aman dan damai. Apalagi didalam halaman istana"
Ketika pada suatu saat, Sumekar mendapat kesempatan berbicara dengan seorang prajurit yang pernah bertugas di bangsal Putera Mahkota, ia berhasil memancing kata-katanya, "Bulu-bulu kudukku meremang jika aku mencium bau itu"
"Macam kau" gerutu Sumekar didalam hati, "jika kau mau berdiri dan mengelilingi bangsal itu, kau akan tahu apakah yang telah menimbulkan bau semacam itu"
Tetapi Sumekar tidak dapat mengatakannya. Ia hanya mendengarkan saja. Bahkan sekali-sekali ia mengerutkan lehernya dan berkata, "Menakutkan sekali. Tetapi apakah bau itu bukan sekedar bau bunga arum dalu"
"Huh, mentang-mentang kau menjadi juru taman. Yang kau kenal hanyalah bau bunga saja. Meskipun aku seorang prajurit, tetapi aku mengenal bau bunga arum dalu" jawab prajurit itu.
"Jadi bukan bau bunga arum dalu?"
"Bukan" "Kantil barangkali" Bunga kantil baunya tajam sekali"
"Tetapi tidak setajam bunga arum dalu" jawab prajurit itu, lalu "Bodoh kau. Pokoknya sama sekali bukan bau bunga. Bau itu belum pernah aku kenal sebelumnya"
"Darimanakah sumber bau itu?"
"O, aku ingin memukul kepalamu barang dua kali. Jika aku tahu, aku tidak akan ribut begini"
"Maksudku, apakah para prajurit yang saat itu meronda telah mencoba mencari?"
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Katanya dengan jujur, "Belum. Kami belum pernah berusaha mencari. Tetapi jika tiba-tiba saja kami berhadapan dengan bentuk yang lain dari bentuk manusia wajar ini, apakah kira-kira aku tidak akan pingsan?"
"Bukankah kalain prajurit" Prajurit tidak mengenal takut"
"Omong kosong" sahut prajurit itu, "barangkali prajurit tidak mengenal takut dimedan perang. Tetapi terhadap hal-hal yang aneh dan tidak masuk akal, kadang-kadang bulu-kudukku meremang juga"
"Jika kau bertugas, aku akan datang kegardu. Aku ingin ikut meiihat apakah yang menimbulkan bau itu"
"Kau memang sombong. Barangkali kau mati beku kalau barangkali kau hanya ingin ikut makan rangsum?"
Sumekar tersenyum. Jawabnya, "Rangsum malam bagi para prajurit selalu dihitung sesuai dengan jumlah orangnya. Bagaimana mungkin aku akan mendapat bagian?"
"Tentu kau akan pergi kedapur dan makan pula disana"
Sumekar hanya tertawa saja. Tetapi kemudian ia berkata, "Aku ingin ikut berjaga-jaga. Setidak-tidaknya aku ingin ikut tidur digardu itu"
Dalam pada itu, untuk beberapa saat lamanya, Anusapati tidak keluar dari bangsalnya dimalam hari. Tetapi selama Anusapati ada didalam bangsal itu, maka tidak pernah timbul sesuatu yang mencurigakan. Tidak juga tercium bau wangi yang membuat kepala menjadi pening.
"Tuanku" berkata Sumekar pada suatu saat, "apakah tuanku masih tidak dapat meninggalkan tuan puteri?"
Anusapati termangu-mangu sejenak.
"Maksudku, biarlah terjadi seperti pada saat tuanku pergi. Bila bau wangi itu timbul, hambalah yang akan menuntun para prajurit untuk berusaha mencari sumbernya. Karena menurut dugaan hamba, sumber bau itu akan dapat diketemukan"
"Kau yakin paman?"
"Sekedar suatu usaha tuanku"
"Tetapi bau itu menimbulkan ketegangan dan ketakutan pada isteri dan anakku"
"Tuanku harus meyakinkan mereka, bahwa para prajurit akan menjaga mereka sebaik-baiknya"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jika tuanku bertemu dengan pamanda tuanku Mahisa Agni atau salah seorang dari mereka, harus tuanku mengatakan apa yang sudah terjadi di bangsal tuanku dan bahwa hamba sedang berusaha untuk menemukan sesuatu disini"
Anusapati menganggukkan kepalanya.
Demikianlah, pada suatu malam Anusapati meninggalkan bangsalnya diatas kuda putihnya. Sementara itu ia sudah berpesan, perlindungan dari para prajurit yang bertugas didepan bangsal.
Seperti yang dikatakannya, maka pada malam itu, Sumekar pergi kegardu penjagaan. Prajurit yang pernah dijumpainya itulah yang malam itu sedang bertugas kembali seperti yang dikatakannya.
"He, juru taman. Kau benar-benar datang?"
Sumekar tertawa. Jawabnya, "Aku sudah berjanji. Dan aku tidak pernah ingkar janji"
"Kau memang sombong" berkata prajurit itu, lalu diceriterakannya kepada kawan-kawannya bahwa Sumekar ingin mengajak para prajurit mencari sumber bau itu"
"Uh" desis salah seorang prajurit, "macam kau ini memang macamnya seorang yang sombong. Apa yang dapat kau lakukan jika kau menemukannya?"
Sumekar tertawa. Katanya, "Tidak apa-apa. Tetapi setidak-tidaknya kita dapat menduga, apakah yang menimbulkan bau yang sangat sedap. Aku pernah mendengar ceritera, bahwa ada sebangsa burung malam yang bulu-bulunya berbau sedap sekali. Atau sebangsa kucing yang matanya bercahaya. Jika kita berhasil menangkapnya, maka kita akan dapat menjualnya dengan harga lima kali lipat harga kuda yang paling baik sekalipun"
"Omong kosong" sahut prajurit yang lain, "ceritera itu adalah ceritera bagi anak-anak menjelang tidur"
"Siapa tahu" sahut Sumekar, "aku akan ikut bersama satu dua orang dari antara para prajurit ini. Jika aku mendapatkannya, aku hanya minta seekor dari lima ekor kuda itu"
Prajurit yang ada digardu itu tertawa serentak. Salah seorang berkata, "Kau memang seorang pemimpin yang baik"
Ternyata kehadiran Sumekar telah menimbulkan kelakar dan gurau yang tidak berkeputusan. Dengan sengaja Sumekar membuat mereka terpukau oleh berbagai macam persoalan. Namun selagi mereka tertawa-tawa tiba-tiba salah seorang dari mereka mengerutkan keningnya. Katanya, "Kau sudah mulai mencium bau itu"
Yang lainpun serentak terdiam. Dengan saksama mereka memperhatikan suasana. Dan tiba-tiba saja malam terasa menjadi sangat sepi.
"Ya. Aku sudah mencium bau itu" desis yang lain.
Yang lainpun menjadi tegang. Dan hampir bersamaan beberapa orang berkata, "Ya. Aku sudah mencium bau ini pula"
Tetapi tiba-tiba wajah Sumekar menjadi cerah. Seperti kanak-anak yang mendapat permainan yang mengasikkan ia tertawa sambil berkata, "Aku akan menangkap burung itu"
"Gila kau" Bentak seorang prajurit, "jangan main-main. Kau akan dicekiknya"
"Kenapa?" "Apakah burung dan sebangsa kucing dapat mengerti, kapan Putera Mahkota tidak ada dirumahnya" Bau semacam ini hanya kita dapati selagi Putera Mahkota sedang pergi di malam hari"


03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin. Mungkin saja secara kebetulan"
"O, kau benar-benar akan dicekik hantu"
"Nah, siapakah yang mau pergi bersamaku mencari burung atau kucing itu. Jika kelak mendapatkannya, aku tidak akan minta lebih dari seekor kuda yang tegar"
"Gila, kau memang sudah gila"
"Tidak, aku tidak gila. Aku percaya kepada ceritera itu. Dan aku akan membuktikannya, bahwa aku akan dapat menangkap burung atau kucing itu"
"Kalalu kau mau mendengarkah nasehat kami, tinggallah digardu ini bersama kami"
Tetapi Sumekar menggeleng. Katanya, "Aku akan mencarinya. Dengan atau tidak dengan kalian"
Para prajurit itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka melihat Sumekar benar-benar turun dari gardu dan bersikap untuk pergi.
Kidung Senja Di Mataram 7 Pendekar Slebor 57 Patung Kepala Singa Kisah Sepasang Rajawali 11

Cari Blog Ini