03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja Bagian 27
"Apakah kau benar-benar gila?"
"Mungkin. Siapakah diantara kalian yang gila seperti aku ikutlah aku"
Tidak seorangpun dari para prajurit itu yang menjawab.
Namun ketika Sumekar melangkah dua tiga langkah, pemimpin peronda itu memanggilnya, "He, juru taman. Tunggu. Aku akan pergi bersamamu. Mungkin kau memang pantas dicurigai. Mungkin kau tidak hanya akan mencari sebangsa burung atau kucing"
Sumekar mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Marilah kita pergi bersama-sama"
Pemimpin peronda itupun kemudian menunjuk seorang prajurit yang lain untuk mengawaninya.
Meskipun agak takut-takut juga, namun prajurit itupun terpaksa berangkat pula bersama dengan pemimpinnya dan Sumekar.
Demikianlah mereka meninggalkan gardu peronda dengan hati yang berdebar-debar. Pemimpin peronda itu telah memerintahkan dua orang dari mereka untuk berdiri di muka gardu dengan senjata telanjang. Sedang yang lain harus siap menghadapi setiap kemungkinan.
Namun demikian ada juga yang bergumam diantara mereka, "Apakah kami harus berperang melawan hantu?"
Dalam pada itu, Sumekar yang sudah pernah melihat, apa yang sabenarnya terjadi, mengangkat wajahnya sambil berkata, "Aku mencoba menemukan sumber dari bau ini"
"Kau memang gila?"
"Aku dapat menemukan bau bunga soka diantara sepuluh macam bau bunga yang lain. Dan sekarang akupun akan dapat menemukan sumber bau ini. Jika ia seekor burung, maka kita harus mencari sebuah anak panah dengan busurnya. Tetapi anak panah yang ujungnya tumpul agar burung itu tidak terbunuh. Tetapi jika kita menemukan sebangsa kucing, kita harus mengejarnya bersama-sama"
"Persetan. Apakah kau sudah mengigau he" Apakah kau sudah kepanjingan demit yang berbau wangi ini?"
Sumekar tersenyum. Jawabnya, "Aku masih sadar. Dan aku masih tetap mengharapkan kuda yang tegar"
"He, kemana kau akan pergi?" bertanya pemimpin peronda itu ketika Sumekar pergi kebagian belakang bangsal Putera Mahkota.
"Aku mencium bau dari tempat itu. Dibelakang bangsal"
"Gila. Kau benar-benar sudah gila"
Sumekar tidak menyahut. Tetapi ia berjalan terus.
"Cukup" perintah pemimpin peronda itu, "kita kembali kegardu. Aku tidak mau mengikuti seorang yang gila dan kesurupan demit"
"Beberapa langkah lagi. Bau ini sudah menjadi semakin tajam. Aku yakin akan menemukan sumber bau ini"
"Cukup" "Beberapa langkah lagi, kita sampai kebelakang bangsal ini tanpa menemukan sesuatu, kita akan kembali kegardu"
"Kita kembali sekarang. Jangan-angan kami akan kepanjingan pula seperti kau"
"Aku berani bertaruh" jawab Sumekar, "jika aku tidak menemukan sumber bau ini, entah burung, entah kucing, entah sebangsa bunga yang mekar dimalam hari, atau apapun, aku akan membayar seekor kuda yang tegar buat kalian"
"Gila, darimana kau akan mendapat kuda itu?"
Sumekar mengerutkan keningnya. Dari mana ia akan mendapat seekor kuda. Namun ia menjawab juga, "Jika aku kalah aku akan berusaha. Aku sudah menabung sejak aku bekerja di istana ini"
Para prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang daripadanya berkata, "Orang ini memang sedang mengigau. Marilah kita tinggal saja disini"
"Sst" desis Sumekar, "kita memang sudah dekat. Aku mohon kita maju sedikit lagi. Akulah yang akan berdiri dipaling depan"
"Sumekar bau ini ada didepan kita. Tetapi aku tidak yakin bahwa yang kita hadapi sekarang ini sebangsa binatang, karena sumber bau ini tidak bergerak"
"Aku justru jadi ngeri" desis prajurit itu, "marilah kita kembali"
"Jangan" berkata Sumekar, "aku yakin. Beberapa langkah lagi"
Akhirnya pemimpin prajurit itu berkata. "Baiklah. Kita maju beberapa langkah lagi"
Sumekarlah yang kemudian berdiri dipaling depan. Dari jarak beberapa langkah ia sebenarnya sudah melihat seonggok kecil abu yang melontarkan bau yang sangat harum seperti yang pernah dilihatnya. Karena itu, maka iapun dapat langsung menuju ketempat itu, meskipun ia harus berpura-pura mengangkat wajahnya dan menggerak-gerakkan hidungnya, seolah-olah sedang mencari arah dari sumber bau itu.
"Disini" tiba-tiba Sumekar berhenti.
"Kenapa disini?" bertanya kedua prajurit itu hampir bersamaan. Sedang bau yang menusuk hidung itu membuat mereka menjadi pening.
Sumekar berhenti sejenak. Diangkatnya wajahnya sambil menghirup udara sedalam-dalamnya. Perlahan-lahan ia mengarahkan hidungnya pada sumber bau itu yang sebenarnya.
"Ini, ini" tiba-tiba Sumekar berdesis.
"Apa?" kedua prajurit itu mengerutkan keningnya.
"Kemarilah. Inilah sumber bau itu"
"Apakah itu?" "Kemarilah" Dengan ragu-ragu kedua orang prajurit itu mendekat.
"Inilah sumber bau itu. Ternyata bukan burung, bukan kucing atau sejenis binatang lain. Inilah sumber itu"
Kedua prajurit itu memandang seonggok abu yang berada dibawah bebatur bangsal itu. Hanya samar-samar saja cahaya lampu minyak yang kemerah-merahan.
"Jika kalian tidak percaya, cobalah mencium bau abu itu" berkata Sumekar.
Pemimpin prajurit itupun mendekati. Dengan ragu-ragu ia membungkukkan badannya.
"Ya" katanya menyentak, "kau benar juru taman. Disinilah sumber bau itu. Tetapi kenapa seonggok abu?"
Sumekar menggelengkan kepalanya.
Prajurit yang lainpun kemudian mendekat pula. Dengan saksama diperhatikannya abu yang kehitam-hitaman itu. Namun baunya benar-benar membuat mereka menjadi pening.
Sumekar tidak memberikan tanggapan apapun. Dibiarkannya kedua prajurit itu mencoba mencari, apakah yang sedang mereka hadapi.
Dengan seksama keduanya memeriksa keadaan disekitarnya. Beberapa langkah daripadanya mereka menemukan sebuah galah yang ujungnya juga terbakar sedikit. Galah itulah yang dipergunakan untuk menjepit benda yang telah dibakar dan menimbulkan bau yang sangat wangi itu.
"Sebangsa getah" berkata pemimpin prajurit itu.
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apakah ada sebangsa demit yang membakar getah atau apapun ditempat itu?" bertanya Sumekar, "atau bulu burung atau kulit sebangsa kucing itu?"
"Bukan, tentu sebangsa getah yang mudah terbakar. Baunya ini memang dapat membuat kepala pening. Apalagi ketika getah ini baru saja terbakar" jawab pemimpin prajurit itu.
"Jadi kenapa ada getah terbakar disitu?" bertanya Sumekar, "aku sudah tertipu karenanya. Aku kira bau ini berasal dari seekor binatang yang mahal sekali harganya"
"Macam kau. Mungkin kau tertipu oleh bau ini. Tetapi bagi kami penemuan ini cukup penting. Tentu ada orang orang yang membakarnya disini. Tentu tidak dengan begitu saja terbakar dan berada ditempat ini"
Sumekar mengangguk-angguk. Tetapi ia tersenyum didalam hati. Ia sudah berhasil menunjukkan kepada para prajurit itu, bahwa yang mereka hadapi sama sekali bukannya hantu-hantu yang mengerikan. Tetapi adalah suatu usaha pengkhianatan terhadap Putera Mahkota dari siapapun datangnya.
"Carilah sehelai daun" berkata pemimpin peronda itu kepada Sumekar.
"Untuk apa?" "Aku akan mengambil dan membawa abu itu"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dicarinya sehelai daun yang cukup lebar untuk membawa abu yang berbau sangat wangi itu.
Kedatangan mereka digardu peronda disambut dengan gurau yang meriah. Salah seorang prajurit berkata, "Nah, bukankah juru taman itu menemukannya dan besok akan menukarkannya dengan sepuluh ekor kuda yang paling tegar?"
Tetapi prajurit-prajurit yang bergurau itu mengerutkan keningnya ketika mereka melihat wajah pemimpin yang bersungguh-sungguh.
"Kami memang menemukannya" berkata pemimpin itu.
Para prajurit yang berada digardu itu terkejut. Hampir berbareng mereka bergeser mendekat. Dan mata merekapun segera melihat pada tangan pemimpin mereka yang memegang sesuatu.
"Inilah" berkata pemimpin kelompok peronda itu, "ciumlah"
Beberapa prajurit yang berdiri dihadapannya mendekatkan hidungnya. Salah seorang berdesis, "Ya. Memang inilah sumber bau itu"
"Ini tinggal abunya" berkata pemimpin peronda itu.
"Abu?" "Ya. Tentu seseorang sengaja membakarnya untuk menimbulkan bau yang menusuk hidung ini. Aku kira benda yang dibakar ini sebangsa getah tumbuh-tumbuhan"
"Getah?" "Ya. Sama sekali bukan binatang. Bukan sebangsa burung apalagi kucing"
"Tetapi ada sebangsa burung atau kucing yang mempunyai bau sangat wangi" sela Sumekar.
"Tetapi tentu bukan ini"
Beberapa orang prajurit mengerumui benda yang kehitaman itu sambil mengerutkan keningnya. Mereka sepakat bahwa sesuatu telah dibakar. Asapnya telah menyebarkan bau wangi sampai jarak cukup jauh.
"Kita sekarang yakin, memang bukan hantu" pemimpin peronda itu berkata selanjutnya, "ternyata selama ini kita telah dihantui oleh perasaan sendiri. Kekerdilan dan lebih dari itu, kita adalah pengecut"
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka merasa malu juga bahwa yang selama ini telah membuat mereka ketakutan, ternyata hanyalah seonggok kecil abu yang menyebarkan bau wangi.
"Kita akan melaporkan penemuan ini" berkata pemimpin peronda itu, "untuk seterusnya kita akan mencoba mengetahui, siapakah yang telah membakar getah ini"
Sumekar mengerutkan keningnya melihat prajurit-prajurit mengangguk-angguk. Ia mengharap ada satu dua orang yang berpendirian lain. Yang menganggap bahwa lebih baik mengintip orang yang membakar getah itu daripada langsung melaporkannya.
Tetapi ternyata tidak ada yang berpendirian demikian.
Karena itu maka Sumekarpun bertanya, "Apakah para prajurit tidak dapat menangkap orang yang dengan bau getah itu, sadar atau tidak sadar, sudah menyebarkan perasaan takut dikalangan prajurit?"
"Tentu dengan sadar" jawab pemimpin peronda itu, "tetapi kau jangan menyombongkan diri justru karena kau tidak menjadi ketakutan. Itu bukan karena kau pemberani, tetapi secara kebetulan kau menganggap bahwa bau itu berasal dari seekor binatang"
Sumekar hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
"Kami tentu akan berusaha menangkapnya" berkata prajurit itu, "karena perbuatan ini telah menimbulkan persoalan bagi kami meskipun maksud orang itu hanya sekedar bergurau"
"Apakah kalian akan menangkap malam ini?"
"Bodoh kau. Siapakah yang akan kita tangkap?"
"O" "Kita harus menyelediki dahulu, siapakah yang telah melakukannya"
Sumekar mengerutkan keningnya. Lalu ia bertanya, "Siapakah yang akan diselidiki?"
"Ah, kau memang bodoh. Kembali saja kebilikmu. Besok pagi kau harus menyiangi taman itu. Kamilah yang bertugas untuk mencari siapakah yang telah membakar getah itu disana"
"Orang itu tentu tidak akan kembali" berkata Sumekar.
"Jika ia tahu bahwa kami menyelidikinya" pemimpin peronda itu berhenti sejenak, lalu "Juru taman. Kau adalah satu-satunya orang yang mengetahui bahwa kami sedang berusaha menangkap orang yang membakar getah itu. Jika ia tidak datang lagi besok atau lusa, maka pasti kaulah yang sudah berkhianat"
"He, kenapa aku?"
"Tidak ada orang lain yang mengetahuinya selain kau"
"Tentu ada" "Siapa?" "Orang yang akan menerima laporan kalian"
"Gila. Mereka adalah atasan kami"
"Siapa tahu, bahwa ada diantara mereka yang berkhianat. Maksudku, pelayannya atau embannya atau siapapun yang berhasil mendengar pembicaraan kalian. Kecuali jika kalian tidak mengatakan kepada siapapun juga, sebelum kalian berusaha menyelidikinya"
Pemimpin peronda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Kau mampu juga berpikir. Barangkali secara kebetulan pula kau mengatakannya seperti ketika kau menyebut bahwa bau ini berasal dari seekor binatang"
Sumekar tidak menyahut. "Baiklah. Datanglah besok kemari. Kau harus ada digardu ini. Jika kami gagal, kaulah yang berkhianat. Tidak ada orang lain yang mengetahui"
"Bagaimana jika orang itu sendiri melihat kalian datang menyelidiki tempat itu?"
"Memang mungkin. Tetapi kaulah taruhan kami yang pertama"
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkeberatan. Ia benar-benar akan datang besok malam. Dan untuk itu ia akan minta kepada Putera Mahkota, agar besok malam meninggalkannya pula.
Demikianlah atas usaha Sumekar, para prajurit telah meyakini bahwa bau yang tajam itu sama sekali bukan berasal dari sebangsa hantu dan atas hal tersebut, para prajurit sengaja tidak melaporkannya lebih dahulu. Baik kepada atasannya maupun kepada Putera Mahkota. Mereka ingin meyakinkan laporan mereka dengan bukti yang lebih jelas apabila mereka berhasil menangkap orang yang telah membakar sebangsa getah dan menyebarkan bau yang harum itu.
Namun tidak setahu para Prajurit itu, Sumekar telah menceriterakan apa yang mereka temukan. Karena itu ia memohon kepada Putera Mahkota agar meninggalkan bangsal itu pula untuk kepentingan penyeledikan.
"Apakah kau berkeberatan jika aku sendiri yang menangkapnya?" bertanya Anusapati.
"Tuanku, hamba berharap bahwa para prajuritlah yang akan menangkapnya dan kemudian melaporkan semuanya kepada atasan mereka. Jika tuanku sendiri yang menangkapnya, maka dapat terjadi bahwa yang terjadi itu dianggap sebagai sesuatu salah paham saja. Dan bahkan seandainya hal itu tidak dihiraukan oleh ayahanda tuanku, tidak ada seorangpun yang ikut merasa heran, bahwa hal itu tidak mendapat perhatian dengan tanggapan mereka masing-masing. Tetapi jika yang menangkap orang itu para prajurit, maka akan ada saluran yang membawa orang itu sampai kepemimpin pemerintahan. Seluruh saluran itu akan menunggu dan mengharap, hasil pemeriksaan atas orang itu. Selain dari pada itu, maka pertanggungan jawab atas kejadian itu harus diberikan juga kepada para prajurit yang menangkapnya, meskipun seandainya ada perlindungan kepada orang yang melakukan itu"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti rencana Sumekar. Persoalan itu akan menjadi persoalan yang meluas sehingga tidak akan dengan mudah dapat ditiadakan atau dibekukan.
Demikianlah maka rencana yang telah disusun dengan para prajurit itu akan dapat dijalankan, meskipun Anusapati mengalami sedikit kesulitan ketika ia akan meninggalkan istana. Ternyata bahwa isterinya benar-benar menjadi ketakutan dan minta agar Anusapati malam itu tidak pergi meninggalkannya.
"Sayang sekali adinda, bahwa tugas ini tidak dapat aku tunda lagi. Aku akan pergi malam ini saja. Besok aku akan tinggal di bangsal ini"
"Hamba takut kakanda. Semalam hamba hampir menjadi pingsan oleh bau yang sangat wangi. Tetapi bau itu datang dan pergi begitu saja. Tentu bukan bau bunga atau wangi-wangian yang datang dari taman"
"Mungkin semacam bunga sedap malam. Baunya juga menusuk sekali"
"Bukan kakanda. Hamba mengenal bau bunga apapun juga"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Baiklah, aku akan berpesan kepada para prajurit agar menjaga bangsal ini baik-baik. Bukankah sampai saat ini bau itu sama sekali tidak mengganggu selain menimbulkan perasaan pening?"
Isteri Anusapati itu menganggukkan kepalanya.
"Nah, tinggal sajalah didalam bangsal. Tunggui dan jaga anak kita baik-baik. Ia sudah mulai nakal dan kadang-kadang berkeliaran sendiri. Ia sudah mulai bekelahi dan melempar-lempar batu"
Isterinya menganggukkan kepalanya. Anak laki-lakinya memang nakal. Apalagi kini ia sudah tumbuh semakin besar dan kuat. Kadang-kadang ibunya tidak lagi dapat menguasainya. Bahkan embannya tidak berhasil mengejarnya jika ia berlari-larian di halaman. Untunglah para prajurit yang bertugas didepan bangsal itu sangat senang kepada anak laki-laki yang nakal ini. Merekalah kadang-kadang yang membawanya bermain, jika kebetulan sedang beristirahat.
Karena Anusapati tidak lagi dapat dicegah, maka dengan hati yang berat, dilepaskannya juga ia pergi diatas kuda putihnya. Anak laki-lakinya masih sempat melihat kepergiannya sambil melambaikan tangannya.
"Aku minta kuda putih" katanya kepada ibunya.
"Ya. Kelak kau akan mendapatkan seekor kuda putih"
"Sekarang" "Kenapa sekarang" Kau masih terlampau kecil"
"Aku sudah besar. Aku sudah dapat memanjat pohon sawo itu sampai keatas atap"
"He, kau memanjat sampai keatas atap?" ibunya terkejut.
Anaknya menganggukkan kepalanya. "Kenapa?"
Dengan tergesa-gesa embannya menyela, "Ampun tuan Puteri, hamba tidak sempat mencegahnya. Karena itu hamba minta tolong kepada prajurit yang bertugas diregol untuk mengambilnya"
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau tidak boleh memanjat. Besok kalau sudah sebesar ayahanda kau boleh memanjat sampai keatas atap, dan kau akan mendapatkan kuda putih pula seperti ayahanda"
Putera yang nakal itu tidak menjawab, tetapi tampaknya ia sedang berpikir.
"Marilah, masuklah" ajak ibunya ketika Anusapati sudah tidak tampak lagi.
Sejenak anak laki-laki itu berdiri saja mematung, namun ketika ibundanya menarik tangannya, iapun kemudian berjalan diiringi oleh embannya.
"Bawalah kepembaringan" berkata ibundanya kepada emban pengasuhnya.
"Hamba tuan puteri"
Putera Anusapati yang bernama Ranggawuni itupun kemudian dibawa oleh pengasuhnya kepembaringannya. Tetapi anak yang nakal itupun tidak juga segera memejamkan matanya. Ada saja yang ditanyakannya kepada embannya. Tentang ibunya dan tentang istana ini seluruhnya.
"Tidurlah tuan" embannya mencoba menidurkannya.
Tetapi anak itu masih saja tidak memejamkan matanya.
"Hamba mempunyai sebuah dongeng tuan" berkata embannya.
"Apa?" "Tentang burung kepodang yang setiap hari bersiul dipelepah pisang"
"Kenapa?" "Dan tentang kancil yang cerdik"
Emban itupun kemudian berceritera tentang binatang-binatang yang cerdik dan lucu, sehingga Ranggawuni itupun jatuh tertidur.
Namun agaknya embannya yang menjadi kantuk pula telah tertidur pula diatas sehelai tikar disisi pembaringan Ranggawuni.
Ketika ibu Ranggawuni menengoknya, maka iapun tersenyum. Dibiarkannya saja embannya itu tertidur pula. Di malam hari Ranggawuni memang sering mencarinya. Kadang-kadang ia memerlukan minum atau apapun.
Namun ketika malam menjadi sepi, isteri Anusapati itu menjadi semakin berdebar-debar. Seperti malam kemarin, rumah itu dipenuhi oleh bau wangi yang menusuk hidung. Dan bau wangi itu agaknya bukan bau wangi sewajarnya.
"Mudah-mudahan malam ini bau wangi itu tidak mengganggu lagi"
Namun tiba-tiba terasa tengkuknya meremang. Karena itu, maka iapun tidak segera pergi kebiliknya, tetapi ia menyusul Ranggawuni dan berbaring disebelahnya.
Dan sejenak kemudian yang dicemaskan itupun terjadilah. Perlahan-lahan bau wangi itu mulai mengambar didalam bangsal itu. Semakin lama menjadi semakin tajam menusuk hidung.
Tanpa sesadarnya, tubuh isteri Anusapati itu menjadi gemetar. Bau semakin lama menjadi semakin menyolok hidung.
"Kakanda Anusapati tidak dapat dicegah" desisnya, "mudah-mudahan tidak lebih dari bau ini saja. Jika terjadi sesuatu, maka aku tidak akan dapat berbuat apa-apa"
Namun tiba-tiba teringatlah kata-kata Anusapati, "Prajurit-prajurit yang meronda digardu depan akan menjaga bangsal ini"
"Mudah-mudahan prajurit-prajurit itu tidak tertidur" berkata isteri Anusapati itu didalam hatinya.
Karena itu, dicobanya untuk tetap bersikap tenang. Namun tanpa disadarinya, maka dipeluknya puteranya yang mulai tumbuh dan menjadi anak laki-laki yang nakal itu.
Dalam pada itu, para prajurit yang bertugas diregol depanpun telah mulai menjalankan tugasnya. Sumekar yang sejak malam turun berada digardu depan, telah ditahan oleh para prajurit.
"Kau tidak boleh pergi" berkata pemimpin peronda.
"Kau sangka aku yang membakar getah itu"
"Tidak. Tetapi jika kau berkhianat, kau akan kami gantung"
"Uh, apakah kau berhak menggantung seseorang?"
"Kenapa tidak?"
Sumekar tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian duduk saja digardu bersama beberapa orang prajurit yang lain, sedang pemimpin peronda itu bersama dua orang yang lain telah mengendap-endap dibawah rimbunnya dedaunan untuk melihat apakah yang akan terjadi.
Disaat itulah para prajurit yang sedang mengintai itu menjadi berdebar-debar. Dilihatnya seseorang yang berkerudung hitam membawa sebatang galah yang panjang. Ujung galah itupun kemudian dibakarnya pada nyala lampu minyak di serambi belakang.
Sejenak kemudian bau wangi itupun mulai tersebar. Perlahan-lahan, semakin lama semakin tajam menusuk hidung.
Pemimpin peronda tu menggamit kedua kawannya. Merekapun kemudian bersiap untuk menyergapnya. Orang itu harus ditangkap, dan dipaksa untuk mengatakan, apakah maksudnya menimbulkan bau yang wangi itu.
Perlahan-lahan prajurit-prajurit itu merangkak maju. Semakin lama semakin dekat. Merekapun kemudian menunggu orang berkerudung hitam itu berjongkok dan meletakkan abu getahnya dibawah bebatur.
Pada saat itulah pemimpin peronda itu memberi isyarat. Dengan serta-merta ketiga prajurit itu meloncat menerkam orang yang sedang berjongkok itu.
Namun ternyata bahwa orang itupun lincah bukan buatan. Ternyata mereka sama sekali tidak berhasil menyentuhnya, karena orang itupun segera melenting.
Tetapi para prajurit itu tidak melepaskannya. Merekapun segera mengepung orang itu.
"Menyerahlah" desis pemimpin peronda itu.
"Persetan" terdengar suara parau.
"Apakah maksudmu dengan permainanmu yang memuakkan itu"
Orang itu tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja ia berusaha untuk menembus kepungan itu.
Dengan demikian maka segera terjadi perkelahian diantara mereka. Semakin lama semakin sengit. Ternyata orang yang berkerudung hitam itu memiliki ilmu yang jauh melampaui lawan-lawannya, sehingga karena itu, maka ketiga prajurit itu sama sekali tidak berhasil menguasainya.
"Panggil kawan-kawan kita, berilah isyarat" perintah pemimpin peronda itu.
Sejenak kemudian terdengar salah seorang dari para prajurit itu bersiul. Suaranya nyaring membelah sepinya malam, sehingga terdengar dari gardu peronda didepan bangsal.
"He, kau dengar isyarat itu?"
"Ya. Tentu sesuatu telah terjadi"
"Cepat, kita pergi kesana"
Para prajurit yang ada didalam bangsal itupun segera berlari-lari kecuali dua orang harus mengawasi bangsal itu dari depan. Tidak seorangpun lagi yang menghiraukan Sumekar, sehingga Sumekar dapat pergi menurut keinginannya sendiri. Tetapi iapun harus menyesuaikan dirinya, agar ia tidak diketahui oleh para prajurit itu bahwa ia mempunyai kelebihan, dari mereka.
Ketika para prajurit itu sampai dibelakang bangsal mereka masih melihat kawan-kawannya berkelahi melawan seseorang yang berkerudung hitam. Namun ketika mereka sampai ke arena, dua orang dari kawannya itu telah terlempar jatuh.
Tetapi agaknya orang berkerudung hitam itu tidak ingin bertempur terus. Demikian para prajurit yang lain terjun ke gelanggang, iapun segera meloncat dan berlari meninggalkan mereka.
Beberapa orang prajurit masih mencoba memburunya. Tetapi mereka sama sekali tidak berhasil, karena bayangan itu seakan-akan begitu saja lenyap dari pandangan mata mereka.
Pemimpin peronda itupun segera menolong kedua orang kawannya yang pingsan. Keduanyapun segera digotong ke gardu dan pada bibirnya dititikkan air yang dingin.
"Dadanya telah dihantam dengan tumit oleh bayangan hitam itu" berkata pemimpin peronda itu kepada kawan-kawannya.
"Yang seorang?"
"Sebuah pukulan tepat mengenai tengkuknya. Akupun agaknya hampir juga dijatuhkannya, bahkan mungkin dibunuhnya. Untunglah kalian segera datang"
Para prajurit itu masih berdebar-debar. Orang itu memiliki kemampuan yang tidak terkirakan.
"Apakah orang itu pula yang dahulu pernah memasuki halaman istana ini?" bertanya seseorang.
"Aku tidak tahu" jawab pemimpin peronda itu.
Sejenak kemudian maka kedua kawan-kawan mereka yang pingsan itupun mulai bergerak-gerak. Mereka merintih oleh rasa sakit yang hampir tidak tertahankan. Apalagi prajurit yang dadanya telah terkena tumit orang berkerudung hitam itu. Setitik darah telah melekat dibibirnya.
"Dadanya terluka" berkata pemimpin peronda itu, "ia harus segera mendapat pengobatan"
"Ya, kita akan menghubungi dukun yang baik bagi para prajurit, agar orang ini cepat tertolong"
"Cepat" berkata pemimpin peronda itu, "aku akan pergi kegardu induk untuk melaporkan peristiwa ini"
"Baiklah. Aku akan memanggil dukun itu"
Pemimpin peronda itupun berdiri pula bersama prajurit yang akan memanggil dukun itu. Namun merasa ada sesuatu yang kurang. Diamatinya keadaan disekelilingnya. Lalu tiba-tiba ia berkata, "Dimana juru taman itu?"
"He" prajurit-prajurit yang lain mulai sadar, bahwa juru taman itu tidak ada diantara mereka.
"Siapa yang melihatnya terakhir"
"Ketika kami mendengar isyarat dari kalian yang berkelahi melawan orang berkerudung itu, ia masih ada digardu ini. Tetapi kami telah melupakannya karena kami tergesa-gesa pergi membantu kalian yang sedang berkelahi itu"
"Bukankah ada yang tinggal disini?"
"Ya" jawab prajurit yang tinggal, "tetapi kami telah lupa pula mengurusnya. Ia menggigil ketakutan. Dan aku tidak tahu lagi kemana larinya"
"Cari. Mungkin ia mati membeku" perintah pemimpin peronda itu, tetapi "kecuali yang akan memanggil dukun. Pergilah. Orang itu segera memerlukan pertolongan"
Ketika seorang prajurit pergi memanggil dukun, maka prajurit yang lainpun menyebar untuk mencari Sumekar.
Tiba-tiba saja seorang prajurit melonjak karena terkejut ketika ia hampir saja menginjak seseorang yang melingkar dibawah segerumbul pohon bunga.
"He, juru taman. Kenapa kau disitu?"
Sumekar mengangkat wajahnya yang pucat. Sambil tergagap ia berkata, "Apakah sudah tidak ada perang lagi?"
"Gila kau. Tidak ada perang. Kami sedang berusaha menangkap orang yang membakar getah itu. Marilah, kembali kegardu. Ternyata kau penakut yang paling licik"
Sumekar tidak menjawab ketika tangannya dibimbing oleh prajurit itu. Sambil tertawa prajurit itu mengatakan di mana ia menemukan Sumekar.
"Aku sangka kau seorang pemberani ketika kau mengajak kami mencari sumber bau itu. Ternyata ketika kau sudah mengetahuinya, justru kau menjadi ketakutan setengah mati"
"Tetapi, tetapi apakah yang telah terjadi?"
"Tidak apa-apa"
Sumekar menjadi ketakutan ketika ia melihat dua orang yang terbaring digardu. Sambil menunjuk keduanya ia bertanya, "Kena apakah mereka?"
"Tidak apa-apa. Duduklah. Minumlah. Mereka agak sakit. Tetapi tidak apa-apa"
Sumekarpun duduk diantara para prajurit. Meskipun ia masih menggigil namun ia meneguk beberapa teguk air.
Baru setelah Sumekar agak tenang, pemimpin prajurit itu meninggalkannya untuk memberikan laporan kegardu induk, bahwa mereka telah menemukan suatu persoalan yang menarik.
Dalam pada itu Sumekar masih duduk membeku disudut gardu. Namun demikian, sebenarnyalah ia sempat memperhatikan perkelahian yang tidak begitu lama terjadi itu. Dan dalam waktu yang sempit itu ia dapat mengenal, dari tata geraknya yang tidak sempat disembunyikan, karena serangan prajurit itu begitu tiba-tiba.
"Guru tuanku Tohjaya" desis Sumekar didalam hatinya.
Sementara itu, didalam bangsal, isteri Anusapati menjadi sangat cemas. Tetapi ia sadar, bahwa agaknya para prajurit sudah bertindak.
"Tetapi apakah yang dapat dilakukan oleh para prajurit terhadap sesuatu yang halus?" bertanya isteri Anusapati itu kepada diri sendiri.
Tetapi ternyata bahwa sejenak kemudian ia mendengar seakan-akan orang-orang yang sedang berkelahi. Kemudian beberapa orang lagi berlari-lari dari gardu didepan melingkar menuju ke belakang.
"Mudah-mudahan para prajurit itu dapat mengatasi persoalannya" berkata isteri Anusapati itu.
Debar jantungnya menjadi mereka juga ketika suara-suara hiruk pikuk itupun mereda. Ia masih mendengar prajurit-prajurit itu berbicara dan berjalan hilir mudik.
"Agaknya para prajurit dapat mengusirnya" berkata isteri Anusapati itu pula didalam hatinya.
Demikianlah maka dipeluknya puteranya semakin erat, seakan-akan tidak akan dilepaskannya lagi.
Sejenak kemudian gardu induk di halaman istana Singasari itupun menjadi gempar. Seorang perwira yang sudah ubanan memilin kumisnya sambil berkata, "Ada juga demit yang mau mengganggu halaman istana ini?"
"Kami tidak berhasil menangkapnya"
"Berapa orang yang kau lihat?"
"Satu orang berkerudung hitam"
"Satu orang, dan kalian tidak dapat menangkapnya?"
"Ia lari kedalam gelap, dan seakan-akan ia dapat menghilang begitu saja"
"Apakah kau percaya kepada hantu itu?"
"Tidak. Ketika kami berkelahi, aku berhasil menyentuhnya. Ia sama sekali bukan hantu. Tetapi kemampuannya jauh melampaui prajurit kebanyakan"
"Gila. Kalian memang gila. Kenapa kalian tidak dapat menangkap hanya satu orang?"
Pemimpin peronda itu tidak menjawab. Tetapi perwira itu tidak bertanya lagi. Terkenang olehnya peristiwa yang serupa beberapa waktu yang lalu. Orang berkerudung hitam. Dan tidak seorangpun yang dapat menangkapnya. Tetapi ketika kemudian ada kesatria Putih, mereka menyangka bahwa orang berkerudung hitam itu adalah Kesatria Putih juga yang sedang berbuat sesuatu untuk tujuan tertentu.
"Tetapi tentu tidak. Tentu bukan Kesatria Putih. Sejak pertama kali orang-orang berkerudung hitam itu mempunyai ciri-ciri berbeda" berkata perwira itu, namun kemudian, "tetapi ceritera tentang Kiai Kisi yang kemudian dapat diketahui, bahwa yang berkerudung hitam adalah Putera Makota"
Perwira itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menjadi pening memikirkan persoalan-persoalan itu. Namun kesimpulannya adalah, "Tidak hanya ada seorang berkerudung hitam di istana ini. Apalagi ketika Putera Mahkota tidak ada di istana"
Kemudian bersama beberapa orang prajurit perwira yang sudah ubanan itupun segera pergi kebangsal Putera Mahkota. Sejenak ia mengamati gardu peronda. Kemudian dilihatnya dua orang prajurit yang terbujur.
"Kenapa?" "Terluka" jawab pemimpin peronda.
"Kau diamkan saja?"
"Kami sudah memanggil seorang dukun bagi para prajurit"
"Bawa kegardu induk. Disana suasananya jauh lebih baik dari tempat ini"
Demikianlah kedua orang yang terluka itupun segera dibawa kegardu induk. Gardu induk memang lebih luas dan terang daripada gardu di muka bangsal Putera Mahkota itu.
Sejenak kemudian perwira itupun telah mengelilingi bangsal itu. Dilihatnya bekas abu getah yang berbau harum itu.
"Jadi kalian berhasil melihat orang itu datang dan membakar getah ini"
"Ya" jawab pemimpin peronda.
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Laporan itu akan menjadi bahan pembicaraan dengan para perwira dan sudah tentu dicari sebab dan tujuannya.
"Jika bau ini sekedar untuk menakut-nakuti, apakah keuntungan yang diperolehnya?" bertanya perwira itu kepada diri sendiri.
Tetapi perwira itu tidak dapat ingkar, bahwa sebenarnya iapun telah mengetahui persaingan antara Anusapati dan Tohjaya yang semakin lama agaknya menjadi semakin tajam. Meskipun nampaknya Anusapati lebih banyak diam. tetapi ternyata bahwa ia telah berhasil membetengi diri dengan kemampuan yang luar biasa dan kesetiaan rakyat Singasari kepadanya, justru karena ia adalah Kesatria Putih.
03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meskipun demikian perwira yang sudah berambut rangkap itu tidak mengambil sikap sendiri. Sebagai seorang prajurit, maka iapun akan membawa persoalan itu kepada atasannya. Kepada para perwira yang lebih tinggi, dan karena persoalannya menyangkut ketenteraman hidup keluarga Putera Mahkota, maka persoalannya pasti akan dibicarakan oleh para Panglima Pasukan Pengawal dan Panglima Pelayan Dalam.
Setelah barang-barang yang dapat dijadikan bukti atas peristiwa itu dikumpulkan, maka perwira itupun kemudian meninggalkan bangsal itu dengan pesan, "Hati-hatilah. Mungkin ada persoalan-persoalan baru yang menyusul. Jika kalian tidak mampu mengatasi persoalan berikutnya itu sendiri, berilah tanda"
"Baiklah. Kami akan selalu bersiap menghadapi apapun yang akan terjadi"
Tetapi salah seorang prajurit yang berdiri dibelakang gardu berdesis, "bersiap untuk membunyikan tanda"
"Sst" desis kawannya.
"Kawan kita sudah berkurang dua orang. Apa yang dapat kita lakukan" Sedang menghadapi satu orang saja, kita semuanya tidak dapat berbuat banyak. Bagaimana jika orang itu nanti kembali bersama dua atau tiga orang kawannya?"
"Ternyata kau pengecut seperti juru taman itu"
Kawannya tidak menjawab lagi. Tetapi ia mendengar perwira itu bertanya, "Siapa yang ada digardu itu?"
Pemimpin peronda itu berpaling. Dilihatnya seseorang duduk meringkuk disudut gardu.
"O, seorang juru taman" jawab pemimpin prajurit peronda itu. "Kenapa ia ada disini. Didalam gardu peronda hanya boleh ada prajurit-prajurit dari pasukan Pengawal yang sedang bertugas. Bukankah kalian mengetahui?"
"Ia baru saja ada didalam gardu ketika kami ketemukan ia hampir mati ketakutan"
"Kenapa?" "Karena orang berkerudung hitam itu"
"Apakah ia juga melihat?"
"Tidak. Ia hanya mendengar kami bertempur"
"Sebelum itu" "Ia sekedar bercakap-cakap dengan para peronda yang sedang beristirahat digardu"
Perwira yang berambut ubanan itu memandang Sumekar dengan tatapan mata yang tajam. Lalu katanya, "Apakah bukan orang itu yang membakar getah"
"O, tidak. Ia berada digardu ketika aku menemukan orang berkerudung hitam itu"
"Atau ia sengaja memancing perhatian karena orang berkerudung itu adalah kawannya?"
Pemimpin peronda itu mengerutkan keningnya.
Dan perwira itu berkata selanjutnya, "Ia sengaja membawa kalian berbicara, berkelakar dan barangkali dengan cara-cara yang lain agar kedatangan kawannya itu tidak kalian ketahui. Sehingga dengan demikian ia akan dapat berbuat leluasa"
Tiba-tiba saja beberapa orang prajurit telah mengerumuni mulut gardu itu, sehingga juru taman yang ada didalamnya menjadi semakin berkeriput.
Hampir saja beberapa orang prajurit mengikuti jalan pikiran itu. Namun tiba-tiba pemimpin peronda itu berkata, "Tidak. Bukan orang ini, jika ada yang berusaha berbuat demikian. Justru orang inilah yang tanpa disengaja telah memberikan jalan kepada kami, sehingga kami sempat mengetahui bahwa sebenarnya bau yang telah beberapa kali tercium ini adalah bau semacam getah yang terbakar"
"He?" perwira itu menjadi heran, "bagaimana mungkin hal itu terjadi?"
Pemimpin peronda itu memandang Sumekar yang ketakutan. Kemudian katanya, "Ia adalah seorang yang merasa dirinya mengerti tentang berbagai macam bunga dan baunya. Juga tentang binatang"
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pemimpin prajurit peronda itupun kemudian menceriterakan serba sedikit tentang Sumekar, dan tentang taruhan seekor kuda yang tegar. Tetapi yang mereka jumpai bukan sebangsa burung dan bukan sebangsa kucing, tetapi getah yang terbakar itulah.
Perwira itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, "Maaf, bahwa aku telah membuatmu ketakutan. Bukan maksudku. Aku wajib mencurigai setiap orang dalam keadaan serupa ini. Sekarang pergilah. Tidak boleh ada orang lain didalam gardu peronda selain prajurit-prajurit dari pasukan Pengawal. Untunglah bahwa tidak timbul salah paham karena kebetulan kau dapat menunjukkan kebodohanmu. Jika tidak, maka kau dapat menjadi korban"
"Tetapi, tetapi " " Sumekar tergagap.
"Tetapi kenapa?" bertanya perwira itu.
Sumekar tidak segera menjawab, sehingga pemimpin peronda itulah yang berkata, "Kau takut kembali kegubugmu?"
Sumekar mengangguk. "Kau benar-benar pengecut yang dungu" berkata pemimpin peronda itu, lalu katanya kepada seorang prajurit. "antarkan orang ini"
Prajurit itu menganggukkan kepalanya. Tetapi terbayang juga keragu-raguan dimatanya, sehingga pemimpinnya berkata pula, "Bawalah, seorang kawan"
Prajurit itu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa ia ingin mendapat seorang kawan. Bagaimanapun juga ada sesuatu yang masih menggetarkan hatinya. Jika ia bertemu dengan orang berkerudung hitam itu, ada juga seorang saksi yang akan dapat melihat dan membantunyarmeskipun dengan seorang kawannya mereka tidak akan dapat berbuat banyak. Namun pasti masih ada kesempatan untuk memberikan isyarat.
Didalam perjalanan mengantarkan Sumekar, salah seorang prajurit itu berdesis, "Apakah orang berkerudung itu bukan Putera Mahkota sendiri?"
"Kenapa Putera Mahkota sendiri?" bertanya kawannya.
"Bukan maksudku berniat jelek. Tetapi seandainya ada persoalan diantara keluarga mereka dan mungkin dengan sengaja Putera Mahkota membuat isterinya tidak tenang dan tidak kerasan di istana ini"
"Hus" desis yang seorang, "aku tahu betul bahwa keduanya sangat mengasihi yang satu dengan yang lain meskipun seakan-akan mereka baru saling mengenal setelah mereka duduk bersama di hari perkawinan itu. Ternyata bahwa orang tua mereka yang berusaha menjodohkan putera dan puterinya tidak salah pilih" ia berhenti sejenak, lalu "karena itu menurut penilaianku, tentu bukan Putera Mahkota"
"Tetapi siapa tahu keadaan isi hati Putera Mahkota jawab yang lain, mungkin didalam petualangannya sebagai Kesatria Putih ia menjumpai seorang gadis lain yang cantik dan mempunyai gairah yang lebih panas"
"Ah" yang lain berdesah, "meskipun hal itu berlaku pula bagi Sri Rajasa, tetapi agaknya lain bagi Putera Mahkota. Ternyata bahwa pengenalanmu atas Putera Mahkota terlampau sempit"
Kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sementara Sumekar menyambung, "Yang aku ketahui keduanya mempunyai kesukaan pada jenis bunga yang sama"
"Apa?" "Soka ungu" "O, itu sudah pertanda bahwa cinta mereka akan abadi"
"Bagaimana kau tahu"
"Bunga soka yang ungu memang mempunyai pengaruh yang sangat baik bagi sepasang suami iseteri. Dan apalagi keduanya sama-sama menyukainya"
Sumekar mengangguk-anggukkan. Lalu, "Selain itu juga sebatang kantil yang kerdil, yang tidak dapat tumbuh terlalu tinggi meskipun bunganya lebat sekali. Akulah yang dahulu mendapatkan benihnya justru dari padepokan jauh dari istana. Aku membawanya masuk kedalam istana ini dan akulah yang menanamnya dipetamanan. Ternyata aku berhasil menyenangkan hati Putera Mahkota, dan . . . "
Sebelum Sumekar melanjutkan, salah seorang prajurit telah memotongnya, "Kaulah yang membuat Putera Mahkota dan isterinya menyukainya, dan kau pulalah yang telah memperkembangkan bunga kerdil itu, dan kau pulalah yang ini dan itu, dan kau dan kau . . . " Suaranya menjadi serak parau, lalu "macam kau. Kami sedang mempercakapkan Putera Mahkota dan isterinya, bukan berbicara tentang kau. Kenapa kau berceritera tentang dirimu sendiri jauh lebih banyak dari tentang Putera Mahkota itu sendiri"
"O, begitulah?"
"He" sahut prajurit yang lain, "kau masih bertanya?"
Sumekar hanya tersenyum saja. Tetapi ditundukkannya kepalanya.
Sejenak kemudian langkah merekapun berhenti. Agaknya mereka sudah sampai pada deretan rumah-rumah kecil bagi para hamba istana Singasari.
"Terima kasih" berkata Sumekar, "aku mengucap diperbanyak terima kasih"
"Kau tinggal masuk dan berguling-guling dipembaringan. Kami masih harus kembali kegardu dan bertugas sampai pagi dan siang hari besok sebelum pengganti kami datang. Mudah-mudahan kau nanti malam diterkam oleh orang berkerudung itu"
"Ah tentu tidak. Kenapa aku?"
"Kaulah yang menyebabkan para prajurit menemukannya"
"Tidak, tidak" Kedua prajurit itu tersenyum. Ditinggalkannya Sumekar yang dengan tergesa-gesa masuk kedalam biliknya dan menutup pintunya rapat-rapat.
Namun ketika langkah kedua prajurit itu menjauh Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia duduk dipembaringannya sambil berdesah. Agaknya Anusapati hampir terdesak oleh Tohjaya untuk tidak dapat ingkar lagi dari perselisihan yang terbuka.
"Mahisa Agnipun sudah menyadarinya" berkata Sumekar didalam hati. "Tetapi bahwa orang itu telah mengganggu isteri dan putera Anusapati itu sama sekali kurang dapat dimengerti. Dan itu adalah tindakan yang sangat licik"
Sekali lagi Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Memang ia tidak dapat berpendapat lain, bahwa guru Tohjaya itu adalah orang yang licik sekali. Kegagalannya membunuh Mahisa Agni tanpa diketahui sebab-sebabnya itu telah membuatnya semakin bingung. Sampai saat ini guru Tohjaya itu tidak tahu, kenapa Mahisa Agni masih hidup dan kenapa saudara-saudara seperguruannya yang diandalkan itu tidak berbuat sesuatu atau akibat-akibat lain yang telah timbul.
Sehingga baik bagi guru Tohjaya maupun bagi Sri Rajasa, akhir dari ceritera orang-orang yang mereka perintahkan untuk membunuh Mahisa Agni itu masih merupakan teka-teki yang belum terjawab, karena mereka tidak dapat bertanya kepada siapapun apa yang sebenarnya telah terjadi di istana wakil Mahkota di Kediri.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Kini satu peristiwa telah terjadi lagi. Tentu bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Hal ini pasti hanya merupakan suatu rangkaian dari rencana yang lebih besar dan panjang.
Ternyata peristiwa malam itu telah menggemparkan isi istana Singasari. Laporan berjalan bersimpang siur menuju kesaluran masing-masing. Namun pada hari itu juga hampir semua Senapati dan Panglima sudah mendengar, apa yang telah terjadi di bangsal Putera Mahkota.
Anusapati sendiri tidak dapat menentukan apakah yang sebenarnya sedang berlangsung di bangsalnya karena ia malam itu sedang tidak berada di istana.
"Tetapi hal ini telah menjadi pembicaraan para Senapati tuanku" berkata Sumekar ketika ia sempat menemui Anusapati disudut halaman bangsalnya.
"Ya. Tetapi sampai dimana akibat dari laporan-laporan mereka itulah yang masih harus ditunggu"
"Namun yang penting adalah persoalan ini menjadi persoalan yang terbuka. Hampir semua orang mendengar peristiwanya, sehingga merekapun akan menunggu hasil penyelidikan para prajurit"
"Jawabnya akan sangat mudah" berkata Putera Mahkota, "seperti yang sudah. Para prajurit dari pasukan pengawal belum menemukan jejaknya. Apakah orang-orang di istana, bahwa para prajurit dan Senapati pernah mempersoalkan, kenapa orang berkerudung hitam yang pernah langsung berhadapan dengan Sri Rajasa sendiri, dan orang berkerudung yang lain-lain" Semuanya itu berlaku dengan diam-diam"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia menjawab, "Tetapi yang penting bagi tuanku, rakyat mengetahui bahwa tuanku sedang mengalami gangguan. Bukan saja secara pribadi tetapi juga keluarga tuanku"
Anusapati menganggukkan kepalanya.
"Apabila pada suatu saat dapat diketemukan, maka kebencian orang terhadap mereka yang berusaha mengganggu tuanku akan memuncak dan mematangkan sikap yang dapat tuanku ambil terhadap mereka itu"
Sekali lagi Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Kau benar paman. Tetapi kapan aku dapat mengambil sikap itu?"
Sumekar menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tuanku masih harus menunggu isyarat dari pamanda Mahisa Agni. Tetapi sebaiknya tuanku segera mempersiapkan suatu sikap terakhir yang dapat tuanku ambil segera. Kegagalan orang-orang yang tidak menyukai tuanku tentu tidak hanya akan terhenti pada membakar semacam getah untuk menakut-nakuti tuan puteri dan putera tuanku itu"
Putera Mahkota mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya justru menjadi semakin murung. Apakah pada suatu saat ia akan benar-benar dihadapkan pada ayahanda Sri Rajasa" Apakah pantas bahwa seorang anak harus bermusuhan dengan ayah sendiri"
Anusapati masih dapat mengerti, jika ia harus bertengkar dan bahkan sampai pada puncak perselisihan dengan adiknya Tohjaya, karena tidak seibu. Dan seandainya setiap orang menilai bahwa perselisihan itu timbul karena Singgasana Singasari, itupun masih cukup berharga, karena ia sudah diangkat menjadi Putera Mahkota, sehingga setiap perselisihan ia berada pada keadaan mempertahankan diri.
Tetapi alangkah tidak pantasnya apabila ia pada suatu saat harus membela diri sekalipun atas ayahnya sendiri. Tidak banyak orang yang dapat mengerti persoalan yang sebenarnya. Tidak banyak orang yang akan mengatakan bahwa Sri Rajasa telah berpihak kepada Tohjaya didalam perselisihan antara putera-puteranya. Sebagian rakyat Singasari pasti akan menuduhnya berusaha mempercepat penyerahan Mahkota kepadanya atas keinginannya. Dan itu sangat tidak pantas.
Meskipun demikian, apakah ia tidak berhak membela dirinya sendiri meskipun terhadap ayahandanya" Dan apakah benar-benar akan terjadi, bahwa ayahandanya akan tenggelam dalam perselisihan ini dan langsung berpihak kepada Tohjaya"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Seperti yang dikatakan oleh Sumekar, ia harus mematangkan sikap. Apa yang harus dilakukannya, jika keadaan memang memaksa.
Sekilas terbayang wajah ibunya yang selalu muram. Kecantikan ibunya tinggal merupakan bayangan yang kabur di wajahnya yang terlampau cepat menjadi tua. Sedang ibunya yang lain, Ken Umang masih tetap tampak muda dan segar, meskipun puteranya, Tohjaya telah menjadi dewasa pula.
Semakin tua ibunda permaisuri, semakin besar dorongan ibunda Ken Umang atas ayahanda Sri Rajasa untuk menyingkirkan aku dan menempatkan Tohjaya pada kedudukan ini.
Namun tiba-tiba saja Anusapati menggeram. "Hanya keturunan Ken Dedes sajalah yang dapat menduduki Singasari. Apapun yang harus aku lakukan untuk mempertahankannya"
Dalam pada itu, sekali lagi guru Tohjaya itu mengumpat-umpat. Ia gagal lagi untuk membuat suatu kesan tersendiri pada keluarga Anusapati dengan menakut-nakutinya.
"Prajurit-prajurit itu bodoh sekali. Kenapa mereka ribut dengan bau wangi itu juga, sehingga usahaku untuk menakut-nakuti isteri Anusapati itu gagal" Jika ada bau wangi lagi disekitar bangsal itu, tidak akan ada lagi orang yang berpikir tentang hantu. Semua orang sekarang tahu, bahwa usaha itu adalah usaha seseorang" guru Tohjaya itu mengumpat-umpat tidak ada habis-habisnya.
"Setiap orang kini mempersoalkannya" katanya kepada diri sendiri, "untunglah bahwa aku sempat melarikan diri malam itu. Jika tidak, maka aku akan menyeret diriku sendiri ketiang gantungan tanpa perlindungan. Sri Rajasa tidak akan mengaku dan memberikan ampunan untuk membersihkan namanya sendiri"
Dan kegagalan ini agaknya membuat penasehat Sri Rajasa itu benar-benar kebingungan. Apalagi yang dapat dilakukan untuk mengecilkan Anusapati dari segala segi. Ia berharap bahwa dengan demikian isteri Anusapati akan menuntut suaminya untuk tetap tinggal dirumah seperti anggapan rakyat Singasari dahulu terhadapnya, sebelum ia menemukan jalan lain yang lebih baik.
Namun akhirnya Tohjaya berkata kepada gurunya, "Guru, tidak ada jalan yang lebih baik daripada membunuh kakanda Anusapati itu sendiri"
Gurunya mengerutkan keningnya. Katanya, "Tetapi pekerjaan itu bukan pekerjaan yang mudah tuanku. Seperti tuanku ketahui, ternyata tuanku Putera Mahkota memiliki kemampuan yang tiada taranya"
"Guru harus dapat membujuk ayahanda. Kakanda Anusapati tidak akan tersingkir dari kedudukannya selain mati"
"Kita sudah menjebaknya dengan bermacam-macam cara. Tetapi usaha itu selalu gagal. Ia adalah Putera Mahkota yang berhak mendapatkan pengawalan setiap saat ia kehendaki. Selebihnya ia sendiri mampu mengimbangi kekuatan seseorang yang paling kuat sekalipun di Singasari, selain Sri Rajasa sendiri dan Mahisa Agni"
"Aku belum meyakini" berkata Tohjaya, "namanya terlalu dibesar-besarkan. Tidak ada kekuatan sebesar itu padanya"
Gurunya menarik nafas dalam-dalam.
"Tetapi mungkin kita lebih baik berhati-hati. Karena itu alangkah baiknya jika ayahanda sendiri melakukannya dengan cara dan alasan apapun juga"
Penasehat Sri Rajasa itu menelan ludahnya. Wajahnya menjadi tegang dan untuk sejenak ia tidak berkata sepatah katapun.
Tohjayapun mengerti betapa beratnya seorang yang harus memusuhi anaknya sendiri, apalagi membunuhnya. Tetapi ayahnya memang harus memilih. Anusapati atau Tohjaya. Jika ayahnya memang ingin menyingkirkan Anusapati dan memberi kesempatan kepada Tohjaya, maka jalan satu-satunya adalah membunuh Anusapati.
"Baiklah tuanku" berkata gurunya, "hamba akan mencoba membujuk ayahanda Sri Rajasa jika memang tidak ada jalan lain. Tetapi setiap kali kita masih harus memperhitungkan peranan Mahisa Agni. Jika terjadi perselisihan terbuka antara ayahanda Sri Rajasa dengan Mahisa Agni yang kini berada di Kediri, maka kemungkinan yang luas dapat terjadi. Mahisa Agni bukan tidak mempunyai pengikut. Apalagi jika ia berusaha menyusun kekuatan, maka itu akan sangat membahayakan Singasari sendiri"
"Terserah kepada kebijaksanaanmu" berkata Tohjaya, "kau harus memperhitungkan segala kemungkinan dari segala segi. Tetapi tujuan terakhir adalah membinasakan kakanda Anusapati. Akan lebih baik lagi jika paman Mahisa Agnipun telah terbunuh pula"
"Ya, ya. Tetapi kita harus sadar, bahwa pekerjaan itu adalah pekerjaan yang berat sekali"
Namun ternyata bahwa penasehat Sri Rajasa itu menyampaikannya pula kepada Sri Rajasa meskipun tidak langsung. Dengan hati-hati dan penuh dengan perumpamaan dan sindiran. Apalagi penasehat Sri Rajasa itu sudah mengetahui pula, bahwa sebenarnyalah bahwa Anusapati bukan putera Sri Rajasa.
"Apakah Tohjaya mengetahuinya?" bertanya Sri Rajasa.
"Aku kira belum tuanku"
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah merasa prihatin karena sikap Tohjaya itu. Tanpa mengetahui bahwa Anusapati itu bukan saudaranya, ia sampai hati mengajukan tuntutan sejauh itu seperti yang pernah didengarnya, meskipun samar-samar. Dan kini sekali lagi ia disentuh oleh perasaan itu.
"Apakah jika sampai saatnya, Tohjaya yang sampai hati melepaskan kakaknya itu akan sampai hati pula melepaskan ayahnya?" pertanyaan itu timbul juga dihati Sri Rajasa.
Tetapi Sri Rajasa sudah menuntun anak laki-lakinya itu sampai ketengah sungai yang banjir. Bagaimanapun juga ia sudah menjadi basah. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain kecuali melanjutkan perjalanan sampai keseberang. Dan didalam hati Sri Rajasa itupun berkata, "Baiklah. Anusapati memang harus mati"
Demikianlah meskipun belum terucapkan, janji itu sudah terpateri didalam hati Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa. Ia mulai menginjakkan kakinya di istana Tumapel dengan, mencuci tangannya dengan darah. Kini ia akan melangsungkannya dengan tetesan darah pula.
Memang bagi Ken Arok tugas yang paling akhir harus dilakukan didalam kedudukannya, adalah berusaha menyingkirkan semua bekas-bekas kekuasaan Tunggul Ametung. Anusapati apabila sempat duduk diatas tahta, akan berarti kembalinya kekuasaan Tunggul Ametung itu. Dan habislah darah keturunan Sri Rajasa yang hanya berkuasa satu keturunan saja. Dirinya sendiri.
Kadang-kadang terbersit pula suatu pertanyaan, kenapa ia tidak berusaha untuk mengangkat keturunannya yang lahir dari Ken Dedes, karena mau tidak mau ia harus mengakui, kekuasaan yang ada padanya, bersumber kepada kekuasaan yang diwarisi oleh Ken Dedes dari Tunggul Ametung, yang sadar atau tidak sadar, telah menyerahkan semua yang ada padanya, kepada permaisurinya itu.
"Jika aku mengangkat Mahisa Wonga Teleng, maka keadaannya akan berbeda. Mungkin Anusapati tidak akan banyak menentang keputusan itu, karena ia amat cinta kepada ibunya. Apalagi jika berterus terang kepadanya, bahwa ia adalah keturunan Tunggul Ametung" berkata Ken Arok didalam hati, "kenapa aku tergesa-gesa mengangkatnya menjadi Putera Mahkota sekedar untuk mendapat kesempatan memanjakan Tohjaya dan ibunya?"
Tetapi Ken Arokpun tidak dapat ingkar, bahwa maksudnya bukan saja sekedar menyenangkan hati Ken Dedes karena ia lebih banyak berhubungan dengan Ken Umang, tetapi juga karena waktu itu masih ada kekuatan yang tidak dapat melupakan kekuasaan Tunggul Ametung. Pengangkatan Anusapati membuat mereka diam dan tidak berbuat banyak, sehingga akhirnya kedudukan Sri Rajasa menjadi kuat. Namun dalam pada itu diluar perhitungannya, Anusapati telah berhasil mengangkat namanya sendiri atas dukungan Mahisa Agni, sehingga bagi rakyat Singasari Kesatria Putih adalah lambang perlindungan mereka.
"Tetapi Kesatria Putih tidak berhasil melindungi bangsalnya sendiri" tiba-tiba saja pada suatu saat Ken Arok justru memanggil Anusapati dan menuduhkannya berbuat lengah, sehingga menimbulkan sedikit gangguan keamanan di halaman istana.
"Kau terlalu banyak meninggalkan keluarga dan bangsalmu dimalam hari sehingga menjadi sasaran gangguan orang jahat. Akibatnya seluruh istana mengalami kejutan"
"Hamba akan menegur para prajurit yang bertugas waktu itu ayahanda" berkata Anusapati, "mereka seharusnya tidak membiarkan hal itu terjadi"
"Apakah yang dapat dilakukan oleh Kesatria Putih dirumahnya sendiri?"
Pertanyaan ini sangat mengherankan bagi Anusapati. Ia tidak menyangka bahwa ayahandanya dapat melemparkan kesalahan itu kepadanya.
"Anusapati" berkata Sri Rajasa, "kau harus ikut bertanggung jawab atas keamanan istana ini. Kau jangan sekedar mendapat pujian saja dengan usahamu itu, dengan nama yang besar, Kesatria Putih, tetapi justru karena itu kau sudah melepaskan tanggung jawabmu sendiri didalam istana ini"
Benar-benar suatu keadaan yang tidak diduganya.
"Sejak sekarang, kau tidak boleh lagi memberikan peluang kepada siapapun untuk mengguncangkan keamanan istana. Aku tidak menghalangi usahamu untuk memupuk nama baikmu, tetapi kau tidak boleh melupakan tanggung jawabmu sebagai seorang Putera Mahkota"
Anusapati benar-benar tidak tahu, apakah tugas itu tugas seorang Putera Mahkota. Seharusnya ayahandanya marah dan meletakkan tanggung jawab kepada Senapati yang bertugas waktu itu. Bukan kepadanya.
Tetapi Anusapati tidak menghiraukannya lagi. Ia justru sudah menemukan dirinya sendiri, sehingga tiba-tiba saja ia merasa bahwa ia harus tetap berdiri pada garis perjuangannya.
Tetapi ketika ia keluar dari bangsal, ia masih harus menelan kata-kata Tohjaya yang seolah-olah memang sengaja menunggunya, "Kakanda Anusapati, siapakah sebenarnya orang yang membuat seisi istana ini merasa terhina?"
"Kenapa kau bertanya kepadaku?"
"Orang itu hadir setiap saat kakanda Anusapati sedang pergi"
"Aku tidak tahu. Aku akan bertanya kepada para penjaga"
Tetapi Tohjaya tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kakanda masih saja suka bermain-main dengan kerudung hitam"
"He" Anusapati terkejut.
"Bukankah kadang-kadang kakanda mengenakan kerudung putih tetapi kadang-kadang mengenakan kerudung hitam" Apakah kakanda sebenarnya sudah jemu terhadap isteri dan anak kakanda yang mungil itu?"
"Adinda Tohjaya. Kenapa kau berpikir sampai kesitu" Aku sama sekali bukan pengecut seperti yang kau bayangkan. Jika aku akan mengusir mereka, aku tidak perlu menakut-nakuti seperti permainan anak-anak cengeng. Apakah pada saat aku harus datang kepadamu dan membawa orang yang kau cari itu?"
Wajah Tohjaya menjadi merah. Apalagi gurunya yang ada didekatnya pula. Meskipun Anusapati hanya berkata asal saja melepaskan kejengkelannya, namun tumbuh pertanyaan dihati mereka, apakah sebenarnya Anusapati sudah mengetahui siapakah yang melakukannya"
Anusapati tidak menunggu Tohjaya menjawab lagi. Dengan tanpa berpaling ditinggalkannya adiknya berdiri termangu-mangu.
Namun pertemuan yang sepintas itu telah membuat jarak antara kedua kakak beradik itu menjadi semakin jauh. Anusapati menjadi semakin yakin, bahwa adiknya sama sekali tidak lagi dapat mendekatkan diri kepadanya, bahkan tampaknya semakin lama menjadi semakin jauh.
"Suasana di istana ini bagaikan gunung Kelut yang dengan perlahan-lahan menjadi semakin panas. Pada saatnya pasti akan terdengar ledakan yang dahsyat, yang akan mengguncangkan sendiri kehidupan diseluruh Singasari" berkata Anusapati didalam hatinya.
Dan Anusapatipun tidak dapat tinggal diam menunggu apa yang akan terjadi. Ia harus siap menyongsong keadaan jika benar-benar istana Singasari akan meledak.
"Aku harus menghubungi paman Mahisa Agni" berkata Anusapati kepada Sumekar, "semuanya sekarang rasa-rasanya menjadi lain. Aku tidak mengerti, kenapa ayahanda semakin menjauhi aku, dan adinda Tohjaya tampaknya semakin membenciku. Aku sudah berusaha sejauh mungkin tidak menimbulkan persoalan apapun dengan adinda Tohjaya. Tetapi ada saja persoalan-persoalan yang dipakainya sebagai alasan"
"Tuanku memang harus berhati-hati" berkata Sumekar. "baiklah hamba akan menghubungi orang-orang yang akan dapat menyampaikannya kepada pamanda tuanku di Kediri. Mungkin Witantra, mungkin kakang Kuda Sempana"
"Terima kasih paman. Baik dalam hubungan sehari-hari, maupun firasat didalam hati, rasa-rasanya sesuatu akan segera terjadi"
Sumekar tidak menyahut. Tetapi iapun sependapat. Namun yang lebih memberati perasaan Anusapati adalah justru keadaan diri sendiri. Bahkan ledakan itu seakan-akan akan terlontar dari dirinya.
Dan sikap Sri Rajasa di hari-hari berikutnya memang tidak menyenangkan sama sekali. Bahkan hampir tidak masuk akal, bahwa pada suatu saat Anusapati dipanggil oleh Sri Rajasa, bukan pada saatnya ia harus menghadap. Adalah diluar nalarnya, bahwa ia sebagai Putera Mahkota telah dimarahi oleh ayahanda Sri Rajasa dihadapan beberapa orang Panglima, hanya karena ia dianggap menghina Tohjaya.
"Kau harus menjadi contoh yang sebaik-baiknya bagi rakyat Singasari" berkata Sri Rajasa, "jika kau masih bersikap cengeng, kau akan mengalami perlakuan yang cengeng pula"
Anusapati hanya dapat menundukkan kepalanya. Ia mengharap Sri Rajasa mengambil suatu sikap atas peristiwa yang pernah terjadi di bangsalnya, namun yang dihadapinya justru adalah persoalan lain, persoalan yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan itu.
"Jika kau masih menganggap Tohjaya sebagai sainganmu" berkata Sri Rajasa pula, "hanya karena ia berbeda ibu, maka kau adalah orang yang berpikiran sangat sempit. Kau jangan menganggap dirimu mempunyai kelebihan daripadanya. Hanya karena kau lahir lebih dahulu sajalah maka kau diangkat menjadi Putera Mahkota. Tetapi itu bukan hak mutlak bagimu. Jika aku menganggap kau tidak mampu menunaikan tugas itu, apalagi kelak menjadi Maharaja Singasari, aku dapat mengambil keputusan lain"
Rasa-rasanya Anusapati hampir tidak tahan lagi duduk bersimpuh dihadapan ayahanda dan para Panglima. Ingin agaknya ia meloncat berlari kembali kebangsalnya. Tetapi ia masih tetap sadar, bahwa ia sedang menghadap ayahanda Sri Rajasa.
"Nah, kembalilah ke rumahmu. Renungkan kata-kataku. Ternyata kau sangat mengecewakan aku"
Serasa dada Anusapati akan pecah. Namun ia masih tetap berhasil menguasai dirinya dan meninggalkan bangsal itu. Tetapi tanpa disadarinya terasa matanya menjadi basah.
Dengan langkah yang berat ia berjalan di lorong-lorong di halaman istana Singasari. Kepalanya tertunduk dalam-dalam memandang batu-batu kerikil dibawah kakinya. Dan kaki itu seakan-akan bergerak sendiri diluar kemauannya.
Anusapati berhenti termangu-mangu ketika ia sadar, bahwa ia berada didepan bangsal Permaisuri. Dengan hati yang berdebar-debar ia melangkah naik. Ibunda Permaisuri sudah lama tidak lagi nampak pada paseban agung. Agaknya ia justru telah mengasingkan dirinya sendiri.
Ketika Ken Dedes melihat kehadiran anaknya, hatinya menjadi berdebar-debar. Dilihatnya wajah Anusapati yang pucat dan dadanya yang bergetar.
"Kemarilah anakku" suara Ken Dedes parau.
Memang rasa-rasanya ada getaran yang telah lebih dahulu menyentuh dinding jantung ibunda Ken Dedes.
Dengan wajah yang tunduk Anusapati duduk dihadapan ibunya.
"Kau datang dengan wajah yang terlampau muram Anusapati?" bertanya ibunya.
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Kebimbangan yang dalam telah membayangi perasaannya.
"Apakah ada sesuatu yang merisaukan hatimu?"
Anusapati menjadi semakin tunduk. Dan tiba-tiba seperti kanak-anak Anusapati menitikkan air matanya.
"He, Anusapati" berkata ibunya, "kau adalah seorang laki-laki. Kau adalah seorang Kesatria, dan apalagi kau telah dinamai Kesatria Putih. Kenapa kau menitikkan air mata seperti seorang perempuan" Jangan anakku. Jangan menjadi cengeng. Kau adalah seorang laki-laki jantan yang mengagumkan"
Kata-kata ibunya itu telah menyentuh hati Anusapati. Dengan tergesa-gesa ia mengusap air mata yang membasahi pelupuknya dan menahan gejolak perasaan didalam dadanya.
"Anusapati" suara ibunya menjadi serak, "kenapa kau tidak lagi dapat menahan perasaanmu. Aku sudah terlampau sering melihat wajahmu yang muram. Tetapi kali ini kau telah menitikkan air mata. Tentu ada sesuatu yang telah menyayat hatimu"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
"Apakah kau datang untuk mengatakan kepadaku, bahwa hatimu telah tersentuh oleh sikap atau kata-kata seseorang?"
Perlahan-lahan Anusapati menganggukkan kepalanya.
"Ayahandamu Sri Rajasa?"
Sekali lagi Anusapati mengangguk.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan Ken Dedes bergeser mendekati puteranya. Diusapnya kepala Putera Mahkota itu sambil berkata, "Anusapati. Kau harus tetap sadar, bahwa kau adalah seorang laki-laki. Seorang Kesatria. Apapun yang terjadi atasmu, sentuhan lahiriah atau sentuhan batiniah harus kau tanggapi dengan sikap kesatria. Kau tidak boleh lekas tersinggung karenanya. Kau harus memandang jauh kedepan, tetapi juga kebelakang. Kau harus mencoba mencari pada dirimu sendiri, apakah kau memang bersalah"
"Ibunda" berkata Anusapati, "hamba selalu mencoba mencari, apakah hamba bersalah. Setiap, kali ayahanda Sri Rajasa marah kepada hamba, hamba selalu mencoba mencari kesalahan hamba seperti yang dituduhkan ayahanda Sri Rajasa kepada hamba. Dan persoalannya selalu serupa, yaitu bahwa adinda Tohjaya telah mengadu kepada ayahanda" Anusapati berhenti sejenak. Terasa tenggorokannya menjadi panas. Tetapi ia mencoba bertahan sebagai seorang laki-laki seperti yang dikatakan oleh ibunya.
"Ibunda" berkata Anusapati kemudian, "hamba sekarang sudah bukan kanak-anak lagi. Tetapi persoalan itu masih saja berulang. Ayahanda telah marah kepada hamba dihadapan beberapa orang pemimpin tertinggi di Singasari, dan menuduh hamba bahkan diancam oleh ayahanda, bahwa kedudukan hamba itu akan dapat diambilnya. Apabila ayahanda menghendaki, maka ayahanda dapat menunjuk adinda Tohjaya untuk menggantikan hamba"
"Tidak. Tidak mungkin" ibunya menyahut dengan serta merta. Namun kemudian suaranya menurun, "Tidak Anusapati. Seharusnya ayahandamu tidak mengatakan demikian"
"Kenapa tidak ibunda. Ayahanda adalah seorang Maharaja yang paling berkuasa didaerah Singasari. Ayahanda telah berhasil menjadikan Singasari ini suatu negara yang besar. Ayahanda mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas. Kenapa ayahanda tidak dapat berbuat demikian?"
"Kau adalah putera tertua yang lahir dari Permaisuri. Kaulah paling berhak atas tahta Singasari. Bukan orang lain. Bahkan seandainya kau tidak dapat melakukan tugasmu karena suatu sebab yang sah, maka adindamu Mahisa Wonga Telenglah yang berhak menggantikan kedudukanmu. Bukan Tohjaya"
Anusapati menundukkan kepalanya semakin dalam, lalu katanya, "Ibunda. Ayahanda lebih berkuasa dari ketetapan-ketetapan yang berlaku. Ayahanda dapat membuat ketetapan-ketetapan baru. Jangankan atas tahta Singasari. Bahkan tahta Kediripun telah diputusnya sama sekali dan direnggutnya dari hak yang sewajarnya. Apakah arti hak atas tahta Singasari itu bagiku, ibunda?"
Ken Dedes tidak segera menjawab. Ia mengerti kata-kata anaknya, bahwa Sri Rajasa dapat saja memindahkan hak kepada siapapun yang dikehendakinya, karena kekuasaannya.
Namun demikian ia berkata, "Jangan risau anakku. Aku adalah Permaisuri di Singasari. Aku tidak pernah mempersoalkan hak atas diriku sendiri. Aku tidak pernah mempersoalkan hadirnya seorang perempuan lain didalam istana ini. Tetapi aku akan mempersoalkan hakmu, hak atas tahta di Singasari, sebagai kelanjutan hak tahta Tumapel"
"Apa hubungannya dengan hak atas tahta Tumapel ibunda. Tumapel adalah suatu daerah Akuwu yang kecil, yang kemudian menurut sejarahnya, oleh ayahanda telah dijadikan suatu negara Singasari yang sekarang. Apakah artinya Tumapel itu bagi ayahanda Sri Rajasa?"
Ken Dedes terdiam sejenak. Terasa sesuatu menghentak-hentak didadanya. Sekilas terkenang olehnya kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung yang kecil yang berada dibawah kekuasaan Kediri. Yang kemudian oleh Sri Rajasa berhasil dikembangkan, dan berhasil mengikat Kediri dalam suatu daerah kekuasaan yang disebutnya Singasari.
"Tetapi aku tidak dapat mengatakan, apa yang telah terjadi sebenarnya" berkata Ken Dedes didalam hatinya.
Namun serasa hatinya tergores duri ketika ia mendengar Anusapati bertanya, "Ibunda, apakah sebenarnya latar belakang dari tindakan-akan ayahanda yang hamba rasa kurang adil, karena selama ini hamba tidak pernah menemukan kesalahan pada diri hamba, sehingga kadang-kadang terpikir oleh hamba, bahwa sebenarnya kesalahan yang dituduhkannya itu adalah kesalahan yang sekedar dicari-cari"
"Anusapati" potong Ken Dedes, "jangan berpikir begitu. Jangan menyiksa diri dengan dugaan-dugaan dan khayalan-khayalan yang menakutkan itu"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Lalu, "Apakah ibu masih menganggap aku berkhayal?"
Ken Dedes terkejut mendengar pertanyaan itu, sehingga karena itu maka sejenak ia menjadi bingung dan tidak mengerti bagaimana harus menjawab.
Anusapati memandang wajah ibunya yang tiba-tiba menjadi pucat. Karena itu, maka Iapun segera menundukkan kepalanya, menghindari tatapan mata ibunya yang suram.
Jilid 74 " Rahasia Besar Anusapati
"ANUSAPATI" Berkata ibunya kemudian dengan suara serak, "jangan bertanya begitu. Aku tidak dapat memberikan penjelasan yang dapat kau terima dengan akal. Tetapi sebenarnyalah bahwa kadang-kadang kau sudah dipengaruhi oleh angan-anganmu sendiri, sehingga yang terjadi itu seakan-akan menjadi kian tajam didalam angan-anganmu. Mungkin memang ada perbuatan yang dapat melukai hatimu. Tetapi kau sendiri mengorek luka itu sehingga menjadi semakin parah"
"Ibunda" berkata Anusapati kemudian, "hamba adalah seorang yang sudah harus mengekang perasaan sejak hamba menyadari keadaan hamba. Hamba sudah terbiasa dengan bentakan-akan dan sindirian-sindirian tajam dari ayahanda Sri Rajasa dan dari adinda Tohjaya, bahkan dari ibunda Ken Umang. Tetapi hamba tidak pernah memperdalam luka di hati. Hamba selalu berusaha melupakannya, dan kadang-kadang hamba berhasil apabila hamba bermain-main bersama paman Mahisa Agni. Dan bahkan permainan itu berkembang menjadi permainan yang bermanfaat bagi diri hamba, sampai hamba menjadi dewasa. Dengan demikian ibunda, hamba menganggap bahwa diri hamba tidak berkhayal lagi, atau sengaja mengorek luka dihati. Hamba sudah cukup mengalami tekanan lahir dan batin tanpa menambah dan memperdalamnya"
"Anusapati" suara Ken Dedes menjadi sangat dalam.
"Ibunda" berkata Anusapati, "bukan maksud hamba melukai hati ibunda. Tetapi hamba sekarang sudah dewasa. Barangkali ada hal-hal yang tidak boleh didengar oleh anak-anak tentang diri hamba. Tetapi sekarang, barangkali hamba sudah bukan kanak-anak lagi, sehingga hamba pasti akan boleh mendengarnya"
"Tidak ada apa-apa Anusapati. Tidak ada apa-apa. Kau adalah seperti kau yang kau mengerti dan kau hayati sekarang. Tidak ada sesuatu yang tersembunyi dan tidak ada sesuatu yang rahasia"
"Ibunda" berkata Anusapati, "jika demikian, kenapa sikap ayahanda jauh berbeda dari sikap ayahanda terhadap adik-adik hamba. Mungkin ada juga kelebihan pada Tohjaya dari adik-adik hamba yang lain, tetapi sikap ayahanda Sri Rajasa adalah sangat berbeda atas diri hamba dari adik-adik hamba yang lain, baik yang lahir dari ibunda Permaisuri, apalagi dari ibunda Ken Umang, sehingga kadang-kadang timbul pertanyaan dihati hamba, apakah bedanya hamba ini dengan adik-adik hamba yang lain?"
Ken Dedes menjadi semakin pucat. Pertanyaan-pertanyaan itu bagaikan bayangan yang sangat menakutkan, siap untuk menerkamnya.
Sejak Anusapati masih kanak-anak, Ken Dedes sudah mencemaskan pertanyaan serupa itu. Bahkan ia pernah mendengarnya selagi Anusapati masih terlalu muda. Namun pada saat itu ia masih berhasil membujuknya dan mencoba menenangkan hatinya. Namun kini Anusapati yang sudah dewasa itu pasti mempunyai tanggapan yang lain dari tanggapannya dimasa ia masih terlalu muda.
Karena itu Ken Dedes terdiam sejenak. Dipandanginya saja wajah anaknya yang semakin lama menjadi semakin tunduk.
"Ibu" suara Anusapati menjadi bergetar, "kenapa ibunda tidak mau memberi jawaban atas pertanyaan hamba?"
"Aku tidak mengerti, bagaimana aku harus menjawab Anusapati" berkata ibunya kemudian, "aku sudah mencoba memberikan penjelasan kepadamu. Tetapi kau merasa bahwa ada sesuatu yang aku sembunyikan. Namun aku sendiri tidak mengerti, apa yang kau anggap aku sembunyikan itu"
"Ibunda" desis Anusapati kemudian, "apakah yang dapat hamba katakan tentang diri hamba sendiri. Tetapi hamba tidak dapat menyembunyikan kenyataan yang berlaku atas diri hamba. Mungkin hamba tidak lagi dapat membedakan, manakah yang sebenarnya terjadi, dan manakah yang sebenarnya sekedar khayalan hamba sendiri"
"Anusapati" suara Ken Dedes menjadi parau. Terasa kerongkongannya menjadi terlampau kering.
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerutkan keningnya ketika ia sadar, bahwa ibunya mulai menangis.
"Maafkan ibunda" berkata Anusapati kemudian, "bukan maksud hamba menyakiti hati ibunda. Hamba merasa bahwa setiap kali hamba mohon penjelasan atas diri hamba, ibunda selalu menitikkan air mata, sehingga bahkan pertanyaan dihati hamba itu rasa-rasanya menjadi semakin lama semakin dalam. Tetapi jika ibunda tidak berkenan, maka biarlah hamba tidak bertanya lagi untuk sementara, selagi hamba masih dapat bertahan"
"Anusapati" suara Ken Dedes hampir hilang ditelan oleh sedu sedannya.
Anusapati tidak menjawab.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Yang terdengar hanyalah sedu sedan Permaisuri dari Maharaja yang Agung di Singasari, karena pertanyaan puteranya tentang dirinya sendiri.
Tetapi Anusapati tidak mendesaknya lagi. Ia sadar, bahwa hati ibunya menjadi pedih karenanya. Dan ia tidak sampai hati untuk semakin menyakiti hati yang memang sedang luka itu.
Karena itu untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Anusapati duduk dengan kepala tunduk, sedang ibunya sibuk mengusap air matanya. Ia sadar, bahwa baru saja ia menegur anaknya yang menangis, tetapi ia sendiri kini tidak dapat lagi mempertahankan air matanya.
"Ibu" berkata Anusapati sejenak kemudian, "hamba ingin mohon diri. Hamba minta maaf bahwa hamba telah mengganggu ketenangan ibunda. Mungkin hamba memang terlaiu banyak berkhayal, sehingga hamba seakan-akan hidup dalam dua dunia yang bercampur baur"
Ken Dedes tidak menyahut. Bahkan diraihnya lengan anaknya dan ditariknya mendekat. Seperti Anusapati masih kanak-anak dipeluknya kepala anak itu didadanya. Setitik-titik air matanya menetes membasahi rambut anak muda itu.
Baru sejenak kemudian Permaisuri itu melepaskannya dan berkata, "Hati-hatilah Anusapati. Mungkin kau benar-benar berada dalam kesulitan lahir dan batin. Tetapi sampai saat ini aku tidak dapat menolongmu, karena aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepadamu dan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu"
"Sudahlah ibu. Hamba akan menyimpan pertanyaan-pertanyaan itu kembali. Hamba akan mencoba mencari, apakah hamba memang seorang pemimpi yang murung"
Demikianlah Anusapatipun kemudian meninggalkan ibunya. Langkah serasa ringan dan bahkan seakan-akan tidak berjejak diatas tanah, sehingga tubuhnya menjadi goyah.
Dalam keadaan yang demikian, terasa hatinya yang pahit menjadi semakin pahit. Karena itu maka ia tidak langsung kembali kebangsalnya. Ia tidak mau memberikan kesan yang suram kepada isterinya, yang masih saja merasa orang asing di istana Singasari.
Hampir tidak disadarinya, maka Anusapatipun menjumpai Sumekar yang duduk diregol taman seorang diri. Tanpa menarik perhatian orang lain, maka keduanyapun berbicara tentang luka yang rasa-rasanya semakin parah didalam dada Anusapati.
"Tuanku" berkata Sumekar, "apakah yang dapat hamba lakukan saat ini" Apakah hamba harus pergi ke Kediri dan mengatakannya kepada kakang Mahisa Agni"
"Apakah kau sudah dapat menemui paman Witantra atau paman Kuda Sempana?"
"Hamba sudah berpesan" sahut Sumekar, "tetapi jika perlu, untuk meyakinkan diri, hamba bersedia pergi ke Kediri"
Tetapi Anusapati menggelengkan kepalanya. Katanya, "Jika paman Witantra, Kuda Sempana atau Mahendra sudah mendengar, maka paman Mahisa Agni tentu akan memikirkan. Mungkin ia baru sibuk sehingga paman Mahisa Agni belum dapat datang ke Singasari"
"Tetapi persoalan tuanku tidak boleh tertunda-tunda lagi. Pamanda tuanku harus segera mengetahui dengan pasti. Agaknya ayahanda Sri Rajasa telah terpengaruh untuk melakukan tindakan yang segera pula terhadap tuanku. Hamba tentu tidak tahu, tindakan apakah yang akan dilakukannya. Mudah-mudahan tidak akan melepaskan tuanku dari kedudukan tuanku yang sekarang hanya karena tuanku Sri Rajasa ingin menyerahkannya kepada tuanku Tohjaya"
"Jadi apakah yang sebaiknya aku lakukan paman" Menemui pamanda Mahisa Agni?"
"Secepatnya. Tetapi dalam keadaan seperti ini, kedatangan pamanda Mahisa Agni dapat menimbulkan tafsiran yang berbahaya"
"Jadi bagaimana menurut paman?"
"Pertemuan itu dapat diatur. Tidak perlu di istana ini, agar Sri Rajasa tidak mengambil langkah-langkah untuk mengatasi rencana yang tentu disangkanya tuanku susun bersama pamanda tuanku itu"
"Baiklah paman, aku serahkan paman Sumekar untuk mengaturnya. Mungkin paman dapat menjumpai salah seorang kawan-kawan paman Mahisa Agni itu"
Demikian Sumekar berusaha untuk menghubungi Mahisa Agni lewat kawan-kawan Mahisa Agni, sehingga akhirnya, merekapun telah menentukan hari-hari yang dapat mempertemukan Mahisa Agni dan Anusapati diluar istana, agar tidak menimbulkan kecurigaan Sri Rajasa.
Seperti Ken Dedes, Mahisa Agnipun menjadi bingung. Tetapi sudah tentu ia tidak berani mendahului ibu Anusapati itu sendiri sebelum ia mendapat ijinnya. Bahkan, yang sebaik-baiknya hal itu diucapkan oleh Ken Dedes sendiri, dengan permintaan, agar Anusapati dapat mengekang dirinya.
Tetapi keadaan itu agaknya sudah menjadi terlalu parah. Jika Anusapati mengetahui, bahwa Sri Rajasa itu bukan ayahnya sendiri, maka sikapnyapun pasti akan segera berbeda dan bahkan mungkin akan dapat menimbulkan tindakan-akan yang lebih langsung.
Sekilas Mahisa Agni terkenang akan trisulanya yang telah diberikannya kepada Anusapati. Jika perlu trisula itu akan dapat dipergunakannya.
"Jika perlu" desis Mahisa Agni didalam hatinya, namun sebenarnyalah ia tidak ingin suatu tindakan kekerasan dilakukan. Kecuali untuk mempertahankan diri, Mahisa Agni tidak sependapat bahwa trisula itu dipergunakan. Tetapi mempertahankan diri bagi Anusapati adalah suatu tindakan yang memang mungkin sekali harus dilakukan.
"Jadi apakah yang dapat aku lakukan paman?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Aku ingin mendapat kesempatan berjumpa dengan ibundamu"
Anusapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Pamanda memang sebaiknya bertemu dengan ibunda. Jika aku menghadap ibunda, maka ibunda selalu menangis dan akhirnya aku tidak pernah mendapat keterangan apapun tentang diriku, karena aku tidak akan dapat memaksanya untuk berbicara. Aku tidak sampai hati melihat ibunda bersedih, meskipun aku sendiri selalu bersedih"
"Baiklah Anusapati. Aku akan segera mencari kesempatan. Sebaiknya ibundamulah yang memanggil aku, karena sesuatu alasan. Jika badannya kurang enak, maka ia dapat mengatakan kepada Sri Rajasa, bahwa ia sedang sakit. Tetapi jika ibundamu berkeberatan, maka biarlah ia memakai alasan yang lain"
"Aku akan menyampaikannya kepada ibunda" jawab Anusapati, "tetapi dalam keadaan serupa saat ini, kehadiran pamanda Mahisa Agni tentu akan menimbulkan kecurigaan pada ayahanda Sri Rajasa"
"Karena itu, sebaiknya ada alasan yang kuat dari ibundamu untuk memanggil aku"
"Baiklah paman. Hamba akan berusaha"
"Nah, kembalilah segera ke istana. Jika usaha membakar getah itu gagal, mungkin ada usaha yang lain. Karena itu, kau harus sering tinggal didalam bangsal untuk menenteramkan hati isterimu"
"Baiklah paman. Aku menunggu pembicaraan paman dengan ibunda. Mudah-mudahan ada sesuatu yang dapat paman katakan kepadaku, atau dari ibunda sendiri. Aku seakan-akan melihat sesuatu yang tersembunyi didalam hati pamanda dan ibunda, yang sampai saat ini masih belum dapat aku dengar. Aku tahu, tentu suatu rahasia yang besar. Tetapi adalah suatu sifat manusiawi, bahwa semakin disembunyikan, maka semakin besar dorongan untuk mengetahuinya"
Mahisa Agni menepuk pundak Anusapati. Sesuatu terasa bergejolak didalam hati. Tetapi ia tidak dapat mengatakan sesuatu sebelum ia bertemu dengan Ken Dedes sendiri.
Demikianlah, maka sekali lagi Anusapati menghadap ibunda yang dengan termangu-mangu menerimanya.
"Ampun ibunda. Kali ini hamba tidak akan membuat ibu berduka. Hamba hanya sekedar ingin menyampaikan sebuah pesan dari paman Mahisa Agni"
"Pesan dari pamanmu?"
"Hamba ibunda" "Apa katanya?" Anusapati menjadi ragu-ragu. Sejenak ditebarkan pandangan matanya kesekelilingnya. Dikejauhan dilihatnya seorang emban duduk tepekur.
"Apakah pesan itu bersifat rahasia?" bisik Ken Dedes.
"Hamba ibu. Pesan itu memang bersifat rahasia"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipanggilnya emban itu mendekat, lalu disuruhnya membersihkan bilik pembaringan Permaisuri.
"Ada sesuatu yang terjatuh dilantai" berkata Permaisuri, "aku mendengar suaranya, tetapi ketika aku mencarinya, aku tidak dapat menemukan. Cobalah lihat, barangkali sesuatu yang kecil telah terjatuh"
"Hamba tuanku" sembah emban itu, yang kemudian bergeser surut.
"Katakan" desis Ken Dedes.
"Ampun ibunda. Pamanda Mahisa Agni berpesan, bahwa pamanda ingin bertemu dengan ibunda barang sejenak"
"Kenapa ia tidak datang saja kemari?"
"Paman menjadi ragu-ragu. Jika ia datang tanpa alasan, maka ayahanda Sri Rajasa akan menjadi curiga"
"Kenapa curiga?"
"Ayahanda Sri Rajasa baru marah kepada hamba. Selalu. Hampir setiap perjumpaan" jawab Anusapati, "jika dalam keadaan demikian pamanda tiba-tiba saja datang, maka ayahanda akan menganggap bahwa kedatangan pamanda itu karena hamba"
03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
"Jadi apakah ia akan datang secara rahasia?"
"Tentu tidak mungkin ibunda. Setiap orang sudah mengenal pamanda Mahisa Agni. Memang mungkin pamanda Mahisa Agni meloncat dinding tanpa diketahui oleh para prajurit. Tetapi jika ia masuk kebangsal ini dan berbicara dengan ibunda, maka suaranya mungkin sekali akan didengar orang. Atau mungkin satu dua orang emban akan melihatnya"
"Jadi bagaimana?"
"Ibundalah harus memanggilnya"
"Apakah alasanku memanggil kakang Mahisa Agni?"
"Memang sulit. Tetapi jika ibunda memang kurang enak badan"
"Maksudmu, katakanlah aku sedang sakit dan aku memanggil kakang Mahisa Agni?"
"Jika ibunda tidak berkeberatan"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Ia memang memerlukan seseorang untuk dibawanya berbincang. Selama ini semua beban seakan-akan telah dipikulnya sendiri. Keragu-raguan, kebingungan dan kadang ketakutan dan kecemasan harus dirasakannya sendiri.
"Ada baiknya pula pamanmu datang kemari" tiba-tiba ia berdesis.
"Ibunda dapat mempergunakan alasan apapun yang baik menurut ibunda"
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya wajah anaknya yang muram. Tampak pada sorot matanya, bahwa ia sedang menahan gejolak yang dahsyat didadanya.
"Kasihan anak ini" berkata Ken Dedes didalam hatinya. Ia harus segera menemukan jalan untuk menyelamatkan anaknya. Bukan saja dari kedudukannya, tetapi lebih daripada itu, tekanan jiwa yang semakin hari menjadi kian menghimpit hati itu, akan dapat membuatnya kehilangan keseimbangan. Anusapati dapat menjadi liar dan tidak terkendali. Namun ia akan dapat juga menjadi patah dan kehilangan segenap gairah hidupnya.
Karena itu, maka kedatangan Mahisa Agni memang sangat penting baginya. Ia adalah satu-satunya orang yang masih dapat dipercaya sepenuhnya.
"Anusapati" berkata Ken Dedes kemudian, "baiklah. Aku akan berusaha. Mungkin aku harus berpura-pura atau berbohong. Aku tidak pernah dengan sengaja melakukan hal semacam itu. Tetapi kali ini aku menganggap perlu. Bukan saja karena kau menghendaki demikian, tetapi akulah yang ingin berbuat"
"Baiklah ibunda" sahut Anusapati, "aku harus segera menemukan jalan untuk melepaskan diri dari keadaan ini. Mungkin ayahanda sengaja membuat aku kehilangan pegangan dan menjadi gila. Gila adalah alasan yang paling baik untuk menyingkirkan aku dari kedudukanku. Tetapi gila adalah suatu keadaan yang paling tidak menyenangkan dalam kemungkinan apapun juga"
Terasa sesuatu tergores dihati Ken Dedes. Luka dihati Anusapati memang sudah menjadi semakin parah.
Sepeninggal Anusapati, maka Ken Dedespun duduk termenung. Berbagai persoalan lewat dihatinya. Namun akhirnya ia berdesah, "Aku terpaksa melakukannya"
Maka Ken Dedespun memutuskan untuk memohon kepada Sri Rajasa agar Mahisa Agni diperkenankan menengoknya, karena ia sedang sakit. Pura-pura sakit.
"Apa katamu?" bertanya Sri Rajasa kepada seorang emban yang menghadap atas perintah Permaisuri.
"Ampun tuanku" jawab emban itu, "hamba mendapat perintah dari tuanku Permaisuri untuk menyampaikan pesan Tuan Puteri, bahwa Tuan Puteri sekarang sedang sakit"
"Sakit?" bertanya Sri Rajasa dengan heran.
"Hamba tuanku. Sudah dua hari Tuan Puteri tidak bangkit dari pembaringan"
Sri Rajasa termenung sejenak. Sudah beberapa hari ia tidak datang kebangsal Permaisuri. Memang itu adalah kekhilafannya. Ternyata sudah dua hari Ken Dedes menderita sakit.
"Biarlah ia mati" terdengar suara dihatinya yang paling dalam. Tanpa disadarinya maka bagi Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu, Ken Dedes memang sudah tidak ada lagi. Jika masih juga ia kadang-kadang datang ke bangsal Permaisuri itu, maka bagi Sri Rajasa, hal itu merupakan kewajiban yang paling menjemukan.
Namun tiba-tiba saja terbayang kembali saat-saat ia melihat Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung itu di taman yang sedang dibuatnya di padang Karautan. Dengan indera halusnya, ia melihat cahaya pada tubuh Permaisuri itu.
"Ia akan melahirkan raja-raja besar ditanah ini" terngiang suara seorang brahmana.
Seakan-akan terbayang dengan jelas penglihatannya pada waktu itu. Seorang perempuan yang cantik tiada taranya dan cahaya memancar dari tubuhnya.
Perempuan itu telah membuat gila pada waktu itu, sehingga ia telah membunuh mPu Gandring dan Akuwu Tunggul Ametung. Mengumpankan Kebo Ijo dan bahkan karena perbuatannya pula, maka Mahisa Agni telah naik ke arena melawan Panglima Pasukan Pengawal pada waktu itu, Witantra.
"Banyak peristiwa telah terjadi" berkala Ken Arok didalam hatinya, "apakah sekarang aku tidak menghiraukannya lagi karena sudah ada Ken Umang yang seolah-olah masih tetap muda?"
Tetapi tiba-tiba Ken Arok menggeram didalam dirinya, "Bukan. Bukan Ken Dedes yang akan melahirkan raja-raja besar di tanah ini. Akulah yang berhak menentukan, siapakah yang akan mewarisi tahta Singasari kelak"
Sesaat Ken Arok masih digulat oleh pergolakan didalam dirinya, sehingga emban yang menghadapnya sama sekali tidak berani berbuat apapun juga, selain duduk tepekur sehingga kepalanya menjadi pening karenanya.
Namun akhirnya ia berkata kepada emban itu, "Kembalilah. Aku akan datang menengoknya nanti"
"Hamba tuanku. Hamba akan menyampaikannya kepada tuanku Permaisuri"
Sepeninggal emban itu, Ken Arok masih saja merenung. Kadang-kadang timbullah niatnya untuk mengusahakan penyembuhan bagi Permaisuri jika sakitnya memang agak berat. Tetapi kadang-kadang ia justru melihat bahwa hal ini akan semakin menekan perasaan Anusapati dan membuatnya semakin bingung.
"Anusapati benar-benar sudah tidak aku perlukan" desis Sri Rajasa, "sebenarnya aku masih mengharapkan agar Ken Dedes tetap baik. Hidupnya yang prihatin selama ini membuat dirinya menjadi lebih tua dari umurnya yang sebenarnya. Tetapi aku sama sekali tidak senang kepada anak Tunggul Ametung itu" tiba-tiba Sri Rajasa menggeram, "kenapa aku tidak berterus terang kepada rakyat Singasari sejak semula, meskipun aku yakin, sebagian dari mereka sudah mengetahuinya"
Tetapi Sri Rajasa tidak dapat mengulangi apa yang sudah lalu. Yang sekarang ada, adalah Anusapati, putera Tunggul Ametung yang lahir dari permaisurinya, sebagai seorang Putera Mahkota yang telah diangkatnya sendiri, dan diakui oleh rakyat Singasari, bahkan bukan saja sebagai Putera Mahkota tetapi juga sebagai pelindung dalam pakaian Kesatria Putih.
Sejenak Sri Rajasa masih merenung. Namun kemudian iapun segera berdiri dan berkata kepada diri sendiri, "Aku akan menengoknya. Jika keadaannya memungkinkan, aku justru akan mendapat kesempatan untuk menyampaikan niatku. Dalam keadaan sakit ia akan dapat menahan gelora hati Anusapati, karena agaknya Anusapati sangat mengasihi ibunya. Aku akan minta Ken Dedeslah yang menyatakan keadaan anaknya itu yang sebenarnya. Dengan demikian, maka akan ada suatu kemungkinan, bahwa Anusapati yang merasa dirinya tidak berhak atas tahta itu mengundurkan dirinya atas permintaan sendiri. Sesudah itu, untuk melenyapkan pengaruhnya, maka jalan yang manapun akan lebih mudah ditempuh, karena apabila ia bukan lagi seorang Putera Mahkota, maka hidupnya tidak akan lagi menjadi pusat perhatian rakyat Singasari. Meskipun tidak dengan serta-merta, dan dalam waktu yang pendek, namun akhirnya Anusapati pasti akan tersingkir dari hati rakyat Singasari, dan bahkan tersingkir untuk selama-lamanya"
Sri Rajasa kemudian mengangguk-anggukkan kepalanva. Rencananya ini dapat dijadikannya salah satu jalan dari jalan yang lain yang masih direncanakannya.
"Baru sesudah Anusapati menyadari dirinya, aku akan berusaha menyembuhkan Ken Dedes" berkata Sri Rajasa didalam hatinya.
Demikianlah maka Sri Rajasapun menyampaikan maksudnya itu kepada penasehatnya untuk mendapat penimbangan. Ternyata bahwa hal itu benar-benar telah menarik perhatiannya dan dengan serta-merta ia berkata, "Bagus sekali tuanku. Hamba kira kali ini tuanku akan berhasil. Selagi tuanku Permaisuri sakit, tuanku Anusapati tentu tidak akan berbuat apapun juga. Ia akan menekan perasaannya dan bahkan akan melihat kedalam dirinya sendiri, bahwa sebenarnyalah ia tidak berhak atas kedudukannya"
"Tetapi apakah menurut pertimbanganmu Ken Dedes akan bersedia mengatakannya?"
"Hamba berharap bahwa tuanku dapat membujuknya selagi ia sakit"
"Tetapi apakah ia tidak akan sampai kepada rahasia yang paling dalam pernah terjadi di Singasari?"
"Rahasia yang mana tuanku" Maksud tuanku bukankah tuanku Permaisuri harus mengatakan rahasia itu kepada puteranya itu" Bahwa tuanku Anusapati memang bukan putera tuanku Sri Rajasa?"
Sri Raiasa menarik nafas dalam-dalam. Selain rahasia itu masih ada rahasia lain yang tidak kalah besarnya. Meskipun tidak pasti, tetapi Permaisurinya tentu pernah menangkap suatu siratan kata-katanya, bahwa ia telah menyingkirkan Akuwu Tunggul Ametung dengan sengaja.
"Perempuan itu kadang-kadang masih memuji suaminya yang telah mati itu" berkata Ken Arok didalam hatinya, sehingga karena itu, kadang-kadang ia terdorong untuk mengatakan sesuatu yang dapat memberikan kesan tentang pembunuhan yang pernah dilakukan.
"Tetapi ia tidak akan mengatakannya" berkata Sri Rajasa didalam hatinya pula, "ia akan kehilangan aku, dan ia akan kehilangan pegangan hidupnya. Jika Anusapati tahu bahwa aku yang telah membunuh ayahnya, maka hal ini akan menghadapkan Ken Dedes pada persoalan yang paling sulit didalam hidupnya, ia harus memilih, anaknya atau suaminya. Dan Ken Dedes tentu tidak akan berani kehilangan suaminya yang kini berkuasa di Singasari"
Demikianlah maka akhirnya Sri Rajasa mengambil keputusan, bahwa ia benar-benar akan minta kepada Ken Dedes yang sedang dalam keadaan sakit itu untuk mengatakan saja kepada anak laki-lakinya, bahwa sebenarnya ia memang bukan putera Sri Rajasa. Sri Rajasapun yakin pula, bahwa Ken Dedes tidak akan berani membuka rahasia yang lebih besar lagi, karena ia justru tidak mau kehilangan salah seorang dari dua orang laki-laki yang sama-sama penting baginya. Suaminya dan anaknya. Jika ia diam dalam hubungan dengan terbunuhnya Tunggal Ametung, maka ia tidak akan melihat alasan apapun yang dapat membahayakan jiwa anaknya selain kehilangan gelarnya sebagai Putera Mahkota.
"Persoalan selanjutnya akan menjadi lebih mudah" berkata Ken Arok kepada diri sendiri.
Maka ketika ia benar-benar pergi kebangsal Permaisurinya, ia sudah menyiapkan kalimat-kalimat yang paling baik dikatakan untuk mendesak agar Ken Dedes yang dianggapnya sakit itu tidak berkeberatan untuk mengatakannya.
Ketika ia memasuki bilik Permaisuri, dilihatnya Permaisuri yang pucat berbaring dipembaringannya berselimut kain panjang berwarna kelam. Dengan demikian seakan-akan Permaisuri itu benar-benar dalam keadaan sakit yang agak berat.
"Ampun tuanku, hamba tidak dapat menyambut kedatangan tuanku sebagaimana seharusnya"
"Berbaringlah" berkata Sri Rajasa, "jika kau masih merasa sakit, kau dapat mengesampingkan tata cara yang seharusnya berlaku"
"Terima kasih tuanku" jawab Ken Dedes.
Ken Aroklah yang kemudian berdiri disisi pembaringan Permaisurinya. Dengan dada yang berdebar-debar dipandanginya wajah yang suram dan pucat itu.
Bagaimanapun juga, ketika ia sudah berdiri disamping Ken Dedes yang terbaring itu, terasa sesuatu telah menyentuh hatinya. Sekilas terbayang kembali bagaimana ia menjadi tergila-gila disaat-saat ia melihatnya untuk pertama kali. Kecantikan perempuan padepokan Panawijen itu benar-benar telah mencengkamnya, sehingga ia telah berbuat gila karenanya. Namun kegilaannya saat itu telah mendorongnya sehingga ia kini berada diatas tahta Singasari.
Ken Arok itupun menarik nafas dalam-dalam. Kecantikan Ken Dedes masih tampak pada wajahnya yang berkerut-merut. Bahkan semakin tajam Sri Rajasa memandanginya, tampaklah olehnya bahwa perempuan ini lebih cantik dari Ken Umang. Namun Ken Umang adalah perempuan yang segar dan kadang-kadang tubuhnya panas membara, sehingga Sri Rajasa telah dicengkamnya lahir dan batinnya.
Tetapi dihadapan Ken Dedes yang sedang sakit, hati Sri Rajasa seakan-akan menjadi luluh. Ia tidak dapat melupakan apa yang pernah terjadi disaat-saat mereka masih cukup muda untuk memadu hati. Tetapi kini anak-anak mereka seorang demi seorang telah lahir dan menjadi dewasa. Bahkan cucu-cucunyapun telah lahir pula, sehingga masa-masa yang indah itu hanyalah tinggal merupakan suatu kenangan. Namun kenangan masa lampau itu kadang-kadang memang menumbuhkan kerinduan.
"Apakah yang kau rasakan?" Sri Rajasapun kemudian bertanya dengan suara yang dalam.
"Ampun tuanku, hamba tidak tahu apakah sebenarnya sakit hamba. Tetapi rasa-rasanya badan hamba menjadi terlalu lemah dan kepala hamba menjadi pening"
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "biarlah aku mengundang dukun yang paling pandai dinegeri ini. Kau akan segera disembuhkan"
"Tidak perlu tuanku. Biarlah hamba minum obat yang setiap hari disediakan oleh seorang emban. Hamba merasa, bahwa keadaan hamba menjadi bertambah baik"
Sri Rajasa terdiam sejenak. Ada semacam benturan perasaan didalam dirinya. Kadang-kadang ia masih juga teringat, rencana yang sudah dipikirannya masak-masak. Namun jika ditatapnya wajah Ken Dedes yang membayangkan masa-masa mudanya, ia menjadi ragu-ragu.
Namun sejenak kemudian ia berkata, "Apakah kau yakin bahwa kau akan sembuh karena obat itu?"
"Ya tuanku" "Obat apakah itu?"
"Pipisan tela grandel selengkapnya. Akar, kulit, pelepah, daun dan buahnya yang masih sangat muda, serta beberapa lembar bunga dan daunnya"
"Hanya itu?" "Hamba tuanku" Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun kemudian berjalan mondar mandir didalam bilik itu. Sejenak ia berdiri di muka geledeg kayu berukir melihat-lihat beberapa buah benda yang terletak didalamnya.
Dalam pada itu, dari beberapa benda itu Sri Rajasa melihat bayangan masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Diantara beberapa macam benda-benda itu adalah peninggalan Akuwu Tumapel yang sudah terbunuh. Diantaranya adalah sebuah gading gajah yang panjang berukir dibungai dengan ukiran emas pada pangkal dan ujungnya. Sebuah tempurung tempat minum berukir emas pula dan sebuah selongsong tombak disamping beberapa macam benda-benda yang lain.
Ada sesuatu yang aneh melonjak didalam hatinya. Tiba-tiba saja kebenciannya pada masa lampau itu tumbuh dengan serta merta, merenggut kerinduannya yang mulai kabur. Ia sama sekali tidak lagi melihat masa lampau yang indah selagi ia masih muda.
Perlahan-lahan Sri Rajasa berpaling. Dilihatnya wajah Ken Dedes yang sudah mulai berkerut dilukisi garis-garis umur.
"Ia memang cantik. Tetapi aku tidak mengambilnya selagi ia masih gadis. Aku mengambilnya setelah ia mengandung. Akuwu Tunggal Ametunglah yang memiliki kagadisannya. Bukan aku. Dan sekarang dari padanya lahir seorang anak laki-laki yang selalu menimbulkan persoalan bagiku"
Tiba-tiba saja Sri Rajasa mengatupkan giginya. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Ken Dedes yang masih berbaring diam. Kini ia mendapat dorongan untuk mengatakan niatnya, agar Ken Dedes mengatakan saja kepada anaknya, siapakah ia sebenarnya, agar Anusapati tidak merasa dirinya terlampau besar dan menganggap bahwa ia menduduki jabatannya dengan sah.
Sejenak Sri Rajasa termangu-mangu ditepi pembaringan. Namun hatinya telah pasti bahwa ia harus mengatakannya.
"Tetapi aku tidak boleh hanyut oleh arus perasaanku" katanya didalam hati.
Karena itulah, maka wajahnyapun menjadi cerah kembali. Bahkan perlahan-lahan ia duduk dipembaringan itu sambil meraba dahi Permaisurinya.
"Kau panas sekali" berkata Sri Rajasa.
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Tetapi ia menyahut, "Ya tuanku. Hamba memang merasa panas sekali"
Sri Rajasa menarik nafat dalam-dalam. Kemudian katanya, "Kau harus beristirahat sebaik-baiknya. Jangan kau hiraukan lagi apapun yang terjadi. Kau harus pula mengosongkan rahasia yang ada didalam dirimu, agar kau tidak selalu dikejar-kejarnya siang dan malam"
Dada Ken Dedes menjadi berdebar-debar. Ia tidak tahu maksud Ken Arok. Justru ketika ia tampaknya dalam keadaan sakit Sri Rajasa minta ia mengosongkan dirinya.
"Apakah itu berarti bahwa Sri Rajasa menganggap bahwa aku sudah akan mati, atau justru Sri Rajasa mengharap aku mati?" bertanya Ken Dedes kepada diri sendiri, "seseorang yang akan mati memang sebaiknya mengosongkan dirinya sendiri dari segala rahasia dan endapan perasaan, agar terbukalah jalan yang licin dihadapannya apabila ia memang sudah iklas"
Dalam pada itu sebelum Ken Dedes bertanya, Ken Arok sudah mendahuluinya, "Maksudku, kau tidak lagi dibebani oleh berbagai macam perasaan yang dapat mempengaruhi dirimu, mempengaruhi kesehatanmu. Tampaknya kau memang sudah mulai dijamah oleh berbagai macam penyakit. Karena itu, supaya kau tidak terlalu dibebani oleh berbagai macam persoalan, maka kau dapat mengurangi tekanan-tekanan yang menghimpit jantung. Dengan demikian hatimu menjadi agak terbuka, dan badanmu akan menjadi sedikit terlepas dari tekanan itu. Mudahnan kau berangsur-angsur menjadi baik"
Permaisuri itu menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia salah sangka. Ternyata bahwa Sri Rajasa tidak mengharap ia segera mati, meskipun ia tidak tahu pasti apa yang terpikir didalam hatinya.
"Tuanku" berkata Ken Dedes dengan suara gemetar, "apakah yang dapat hamba lakukan untuk mengurangi beban perasaan hamba?"
"Ken Dedes" berkata Sri Rajasa, "aku tahu, bahwa hampir sepanjang hidupmu sebagai permaisuri di Singasari, kau terpaksa menyimpan suatu rahasia untuk melindungi namaku. Aku sangat berterima kasih. Jika rahasia itu adalah rahasia kecil yang harus kau sembunyikan dari tangkapan rakyat Singasari, mungkin kau tidak akan menjadi begitu perasa dan bahkan menjadi sakit-sakitan. Tetapi aku tahu, bahwa rahasia ini adalah rahasia anak laki-lakimu. Dan aku tahu, bahwa pada suatu saat ia pasti akan bertanya tentang dirinya. Ada lebih dari separo penghuni istana, terutama yang tua-tua yang sebenarnya mengetahui siapakah Anusapati itu. Aku menjadi kasihan kepadanya, bahwa pada suatu ketika ia mendengarnya justru dari orang lain, sehingga mudah sekali akan timbul salah paham. Dan aku juga kasihan kepadamu, bahwa kau harus menahan hatimu untuk tetap menyimpan rahasia itu" Sri Rajasa berhenti berhenti sejenak. Lalu, "Sekarang Anusapati sudah dewasa. Ia sudah dapat menimbang baik dan buruk. Ia sudah dapat mengetahui mana yang boleh dan yang tidak boleh dikerjakan"
Kini dada Ken Dedes yang mulai tenang itu menjadi berdebar-debar kembali. Sejenak ditatapnya wajah Sri Rajasa, namun ia tidak mengucapkan kata-kata.
Sri Rajasa yang kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir diruangan itu berkata, "Apakah kau mengerti maksudku Ken Dedes?"
Dada Ken Dedes menjadi semakin berdebaran. Namun ia mengangguk kecil sambil menjawab, "Hamba mengerti tuanku"
"Kau jangan salah paham. Aku tidak akan berbuat sesuatu atas dasar pengakuanmu terhadap anakmu. Ia akan tetap aku anggap sebagai anakku sendiri"
Dada Ken Dedes terasa menjadi semakin sesak. Dan tiba-tiba ia merasa bahwa tubuhnya benar-benar menjadi panas.
"Ken Dedes" berkata Sri Rajasa, "sudah lama kau menjaga namaku baik-baik. Sudah cukup lama, selagi Anusapati masih belum cukup masak untuk mengetahui dirinya sendiri, sehingga dicemaskan ia akan berbuat sesuatu. Tetapi sekarang aku kira ia akan dapat melihat bahwa yang terjadi itu sudah terjadi. Dan aku berharap bahwa hal itu tidak akan membuatnya berkecil hati, asal kau dapat memberinya hati dan mengatakan bahwa Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang besar pada masanya ia masih berkuasa"
Dada Ken Dedes bagaikan tidak lagi dapat memuat gejolak perasaannya yang melonjak-lonjak. Namun ia masih tetap bertahan dan mencoba untuk tidak menangis karena kata-kata Sri Rajasa itu.
Ternyata bahwa Ken Dedes, bukannya seorang perempuan yang bernalar tumpul, ia adalah seorang yang cukup cerdas karena ayahnyapun adalah seorang yang memiliki kelebihan dari sesamanya. Karena itu, meskipun tidak begitu jelas, tetapi ia dapat meraba, apakah sebabnya maka Sri Rajasa menganjurkannya untuk membuka rahasia itu.
Karena itu, karena luapan perasaan, tiba-tiba hampir diluar sadarnya Ken Dedes bertanya, "Sampai dimanakah hamba dapat mengatakan rahasia tentang diri anakku itu tuanku" Apakah pengetahuanku tentang rahasia itu harus aku katakan tanpa batas?"
Pertanyaan itu tiba-tiba telah mengguncang hati Sri Rajasa. Ia sadar, bahwa Ken Dedes pasti sudah mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Mungkin dengan tidak langsung lidahnya sendiri pernah mengatakan, bahwa ia telah berbuat sesuatu untuk mencapai kedudukannya sekarang. Mungkin karena ia menganggap bahwa Ken Dedes sepenuhnya telah menggantungkan dirinya, hidup dan matinya, kepadanya, maka ia dapat berbuat dan berkata apa saja tanpa mencemaskan bahwa Ken Dedes akan berbuat sesuatu.
Namun kini ternyata Ken Dedes bertanya kepadanya apakah rahasia itu seluruhnya dapat dikatakan kepada anaknya.
Sri Rajasa yang kemudian berdiri tegak dengan tatapan mata yang tegang itu mencoba menahan gejolak hatinya yang meronta-ronta.
Sri Rajasa tidak menyangka, bahwa pada suatu saat ia dihadapan pada pertanyaan serupa itu, yang tumbuh karena kehendaknya sendiri agar Ken Dedes tidak lagi menyimpan rahasia tentang anaknya.
"Tetapi sampai dimana batas dari rahasia yang dapat dikatakan kepada Anusapati itu?" pertanyaan itu justru kini melengking-lengking dihatinya.
Ketika tampak wajah Ken Dedes yang pucat dan berkerut merut itu, tiba-tiba saja segala macam perasaan dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami seolah-olah telah lenyap. Ken Dedes kini sudah bukan Ken Dedes yang muda dan cantik itu lagi. Ken Dedes janda Tunggul Ametung itu adalah seorang perempuan yang menjadi semakin tua.
"Apalagi gunanya aku menyelamatkan orang ini" berkata Sri Rajasa didalam hatinya.
Dengan demikian maka segala hasrat yang mulai merayapi hatinya untuk mengusahakan penyembuhan bagi Ken Dedes itu seakan-akan telah lenyap sama sekali.
Namun demikian Ken Arok sadar, bahwa ia harus menjawab pertanyaan Ken Dedes itu. Karena itu, maka terdengar suaranya yang dalam tertahan-tahan, "Kau sudah cukup tua Ken Dedes. Seharusnya kau tidak bertanya kepadaku. Terserahlah kepadamu apa yang kau anggap baik kau katakan kepada anakmu itu. Kalau kau ingin mengajarinya menjadi manusia yang baik, kau tahu, batas-batas yang sebaiknya kau katakan. Tetapi jika kau ingin melihat anakmu menjadi seorang yang dapat dianggap oleh rakyat Singasari sebagai seorang yang biadab, kau dapat mengatakan apa saja yang kau ketahui tentang anak itu, tentang Tunggul Ametung yang sudah mati itu dan tentang aku sendiri"
"Tuanku" "Ya, itulah jawabanku. Ingat, bahwa setiap usaha untuk mengacaukan Singasari dapat berakibat kematian. Meskipun ia putera Mahkota sekalipun"
"Tuanku, apakah maksud tuanku hendak mengancam agar aku mengatakan kepada Anusapati bahwa ia bukan putera Tuanku dan agar aku membuatnya hatinya susut sekecil butiran pasir yang paling lembut" Kemudian dengan demikian kita semuanya berharap agar ia merasa terlampau besar untuk menjadi seorang Putera Mahkota sehingga Anusapati kemudiai lari dari kedudukannya atas kehendak sendiri" Dengan demikian maka terbukalah kesempatan bagi tuan untuk menunjuk seorang penggantinya"
"Cukup, cukup" Sri Rajasa hampir berteriak.
Namun Ken Dedes sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan tiba-tiba ia bangkit dari pembaringannya dan berkata lantang, "Tuanku, aku tidak rela jika kedudukan ini jatuh ketangan orang lain yang bukan keturunan Ken Dedes. Jika tuan tidak senang kepada Anusapati, karena Anusapati bukan putera tuanku, aku akan mengatakannya kepadanya. Tetapi tahta Singasari tidak boleh lepas dari keturunan Ken Dedes. Apalagi hamba juga mempunyai anak laki-laki yang lahir dari tuanku"
Tubuh Sri Rajasa tiba-tiba menjadi gemetar. Ia belum pernah melihat Ken Dedes berani menentang kehendaknya. Apalagi membantah kehendaknya. Namun tiba-tiba ia melihat wajah Ken Dedes yang pucat itu menjadi merah padam.
Tetapi Sri Rajasa tidak mau surut selangkah. Iapun kemudian berkata, "Apa hakmu mengatur tahta Singasari" Kau sangka warisan yang kau dapat dari Tunggul Ametung itu cukup berharga dibandingkan dengan kebesaran Singasari sekarang" Aku tahu, bahwa Tunggul Ametung pernah menyerahkan semua haknya kepadamu. Tetapi Tunggul Ametung adalah Akuwu dari Tumapel yang kecil. Sedang kini aku adalah Maharaja dari Singasari yang besar dan perkasa. Tidak seorangpun yang dapat memerintah aku. Tidak seorangpun yang dapat menahan kehendakku"
Kelabang Hitam 2 Playboy Dari Nanking Karya Batara Setan Madat 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama