03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja Bagian 32
Namun pada umumnya mereka merasa cemas, bahwa perkembangan keadaan di Singasari tidak begitu menggembirakan hati. Apalagi kehadiran Witantra seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, tentu bukan sekedar persoalan kecil karena sejak semula Witantra menyimpan persoalan yang tentu dianggapnya belum selesai.
"Kehadirannya tentu akan menentukan suatu peristiwa yang penting di Singasari," beberapa orang pemimpin Singasari saling berbisik. Seorang perwira yang sudah lanjut usia berkata,"Ia adalah seorang Senapati yang mapan."
Namun dalam pada itu Panglima Pasukan Pengawal Singasari ternyata mempunyai perhatian khusus terhadap kehadiran Witantra. Meskipun Singasari sekarang jauh lebih besar dari Tumapel, namun nama Witantra sebagai seorang Senapati pasukan Pengawal adalah cukup besar dibandingkan dengan namanya sendiri.
Dengan demikian, maka berbagai kesan telah melibat hati para pemimpin Singasari yang baru saja meninggalkan sidang di paseban itu.
Ketika itu Sri Rajasapun telah kembali pula kebangsalnya diiringi oleh para pengawal. Dengan wajah muram ia masuk kedalam biliknya. Dibantingnya dirinya di atas sebuah tempat duduk kayu yang dialasi dengan kulit menjangan berwarna coklat.
Sambil menarik nafas dalam2 ia berkata didalam hatinya."Peristiwa apa saja yang akan terjadi di Singasari. Justru pada saat2 terakhir timbul berbagai persoalan yang tidak aku kehendaki. Gila juga Mahisa Agni itu."
Ketika diluar pintu seseorang berdiri termangu2, maka Sri Rajasapun berteriak,"Siapa itu?"
"Hamba tuanku," jawab seorang pelayan,"hamba menyiapkan pakaian tuanku."
"Pergi, pergi." bentak Sri Rajasa.
Pelayan itu menjadi ketakutan. Dengan ragu2 ditinggalkannya pintu bilik Sri Rajasa dengan berbagai pertanyaan didalam hati. Tidak pernah terjadi bahwa Sri Rajasa tidak memerintahkannya menyediakan pakaian setelah ia selesai melakukan kuwajiban resminya sebagai seorang Maharaja di Singasari.
Didalam bilik, pikiran Sri Rajasa masih tetap kusut. Sebenarnyalah seperti yang diduga oleh Mahisa Agni, dalam keadaan yang kisruh hati Sri Rajasa tidak dapat tetap. Pikirannya selalu berubah setiap saat didorong oleh kegelisahan yang semakin dalam. Kehadiran Witantra sebenarnya sama sekali tidak dapat diabaikannya.
Dalam kekeruhan hati itulah tiba2 ia berteriak memanggil seorang Pelayan Dalam yang bertugas didalam bangsal itu.
Sambil berlari2 kecil. Pelayan Dalam itu menghampiri pintu bilik Sri Rajasa. Kemudian dengan ragu2 ia bergumam,"Hamba menghadap tuanku."
"Panggil Tohjaya," teriak Sri Rajasa masih didalam biliknya.
"Hamba tuanku," perintah Sri Rajasa itu tidak perlu diulangi. Dengan tergesa2 Pelayan Dalam itupun berlari2 ke bangsal dibagian yang lain dari istana Singasari itu.
"Tuanku," berkata Pelayan Dalam itu dengan nafas yang terengah2,"tuanku Sri Rajasa memanggil tuanku."
"Ayahanda memanggil aku?" bertanya Tohjaya.
"Hamba tuanku."
Tohjaya menjadi berdebar2. Tentu ada persoalan yang penting yang akan dikatakan oleh ayahandanya setelah sidang dipaseban. Karena itu, maka dengan tergesa2 Tohjaya menghadap ibundanya yang mengatakan perintah ayahandanya itu.
"Memang sudah sampai waktunya Tohjaya.Semakin lama Anusapati menjadi semakin sombong. Jika semula ia sudah hampir kehilangan semua kesempatan dan kemungkinan untuk merebut hati rakyat Singasari, lambat laun ia sudah memperolehnya. Karena itu, jika ayahandamu memang memerintahkan lakukanlah dengan segera. Gurumu dan beberapa orang Senapati yang sudah kau hubungi akan dapat disiapkan segera, apalagi langsung dibawah perintah ayahandamu sendiri. Anusapati memang harus segera disingkirkan. Agar tidak timbul persoalan dikemudian hari, maka Mahisa Agni yang mumpung berada diistana inipun harus dibinasakan pula."
"Hamba akan mengatakannya kepada ayahanda. Jika ayahanda mengucapkan perintah itu kepada para Panglima, maka semuanya akan terjadi."
"Kau harus berhati2. Mahisa Agni mempunyai cukup pengaruh, terutama diluar istana. Karena itu, maka yang dilakukan haruslah didalam istana dan dalam waktu yang singkat. Jika kau ingin menangkap seekor ular berbisa, tangkaplah kepalanya. Jika kau gagal, maka kau sendirilah yang akan binasa karena racunnya."
"Baik ibunda. Hamba akan segera menghadap ayahanda, sudah tentu bahwa dalam waktu yang singkat, kita akan melakukannya."
"Dan beberapa hari kemudian, kau adalah putera Mahkota."
"Ya. Aku akan menjadi Putera Mahkota di Singasari yang besar. Aku akan berbuat sebaik2nya sebagai Putera Mahkota. Tidak seperti kakanda Anusapati."
"Sekarang menghadaplah. Usahakan agar ayahandamu merintahkan aku menghadap pula."
"Baiklah ibunda, hamba akan berusaha."
Dengan tergesa2 Tohjayapun kemudian pergi menghadap ayahandanya di bangsalnya. Dengan hati yang berjebar2 ia menaiki tangga bangsal itu, sedang kedua pengawalnya tinggal dibawah tangga, bersama pengawal bangsal itu sendiri.
Perlahan2 Tohjaya membuka pintu bangsal itu. Kemudian dengan degup jantung yang keras ia melangkah masuk.
Tetapi Tohjaya tidak segera melihat ayahandanya.
Ketika ia melihat seorang Pelayan Dalam dipintu samping bangsal itu, maka iapun kemudian bertanya,"Dimana Ayahanda Sri Rajasa."
"Ampun tuanku," Pelayan Dalam itu mengangguk."Ayahanda tuanku ada didalam biliknya."
Tohjaya menarik nafas dalam2. Tetapi iapun kemudian melangkah kepintu bilik.
"Hanya untuk persoalan yang sangat penting dan sangat rahasia ayahanda memanggil kedalam biliknya," berkata Tohjaya didalam hatinya.
Dengan ragu2 akhirnya Tohjaya berdiri didepan pintu bilik Sri Rajasa. Sejenak ia termangu2, namun kemudia ia berkata lirih,"Ampun ayahanda. Hamba sudah menghadap."
Sejenak Sri Rajasa menunggu. Kemudian didengarnya jawab,"Masuklah Tohjaya."
Dada Tohjaya menjadi semakin berdebar2. Perlahan2 didorongnya daun pintu itu kesamping. Dengan langkah yang terasa berat iapun kemudian melangkah masuk.
Dilihatnya ayahandanya, Sri Rajasa duduk diatas tempat duduk kayu yang beralaskan kulit menjangan.
"Duduklah," berkata Sri Rajasa kemudian.
Tohjaya termangu2 sejenak. Dan iapun kemudian duduk diatas tempat duduk kayu disudut bilik itu.
"Apakah seorang prajurit telah memanggilmu?"
"Hamba ayahanda. Bukankah ayahanda memanggil hamba menghadap?"
"Ya." "Hamba siap menerima perintah apapun, ayahanda. Agaknya memang sudah waktunya ayahanda memerintahkan kepada hamba untuk berbuat sesuatu."
Sri Rajasa menarik nafas dalam2.
Dan Tohjayapun kemudian bertanya,"Dan apakah perintah itu ayahanda?"
Sri Rajasa memandang puteranya itu sejenak. Namun kemudian terdengar ia berdesah. Katanya,"Tidak ada perintah apapun saat ini Tohjaya."
Bukan main terperanjatnya Tohjaya. Bahkan kemudian ia tidak percaya kepada pendengarannya sehingga ia bertanya,"Apakah yang ayahanda maksudkan?"
"Dengarlah sekali lagi Tohjaya," jawab ayahandanya,"aku tidak akan memberikan perintah apapun juga."
Dada Tohjaya terguncang karenanya. Dengan terbata2 ia bertanya,"Tetapi, bukankah ayahanda memanggil hamba setelah sidang di paseban" Menurut dugaan hamba, ayahanda mendapat bahan2 yang cukup lengkap selama sidang sehingga Ayahanda memutuskan untuk menjatuhkan perintah terakhir. Bukankah ayahanda perlu mengambil tindakan tertentu untuk mengakhiri keadaan yang tidak ada ujung pangkalnya?"
Tetapi Sri Rajasa itu menggelengkan kepalanya.Katanya,"Aku tidak dapat menentukan sekarang. Aku masih harus memikirkannya."
Tohjaya benar2 menjadi bingung. Ia tidak mengerti, kenapa ayahandanya memanggilnya dengan tergesa2.Namun kemudian ia sama sekali tidak memberikan perintah apapun juga. Sebenarnyalah bahwa Sri Rajasa sendiri sedang dilibat oleh kebingungan yang hampir tidak dapat dipecahkannya. Setiap kali sikapnya selalu dibayangi oleh keragu2an sehingga terombang-ambing tidak menentu.
Dengan demikian maka bilik itupun sejenak dicengkam oleh kesepian. Sri Rajasa duduk sambil menundukkan kepalanya, sedang Tohjaya menjadi sangat gelisah menghadapi keadaan itu. Namun ia tidak berani lagi bertanya sesuatu kepada ayahandanya, karena Tohjayapun kemudian menyadari bahwa agaknya ada sesuatu yang sedang bergejolak dihati ayahandanya.
"Tohjaya," berkata Sri Rajasa kemudian memecahkan kebekuan suasana,"tinggalkan bilik ini."
Tohjaya menjadi semakin bingung. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain.Perlahan2 ia berdiri dan berkata,"Hamba ayahanda. Hamba mohon diri."
Sri Rajasa hanya mengangguk kecil. Kemudian wajahnya itupun tertunduk lagi. Bahkan kemudian disandarkannya dagunya pada kedua belah tangannya yang sikunya bertelekan pada lututnya.
Tohjayapun kemudian melangkah keluar perlahan2. Hatinya diamuk oleh kebingungan yang dahsyat, karena dengan demikian iapun menyadari bahwa ayahandanya sendiripun masih juga dikuasai oleh keragu2an.
"Kenapa ayahanda masih selalu ragu2. Mungkin ayahanda masih saja terpengaruh oleh ibunda Permaisuri, justru karena ibunda Permaisurilah maka ayahanda tidak dapat berbuat tegas atas kakanda Anusapati. Seharusnya ayahanda tidak lagi menghiraukan ibunda Permaisuri itu. Jika ayahanda masih saja terlampau banyak pertimbangan, maka ahkirnya ayahanda akan terlambat."
Namun dengan demikian langkahnya pun menjadi tergesa2. Kedua pengawalnya berlari2 kecil mengikutinya dibelakang.
Sementara itu, Ken Umang sudah dicengkam oleh angan2 tentang tahta kerajaan Singasari sepeninggal Sri Rajasa. Jika Anusapati sudah disingkirkan, maka tentu Tohjaya akan segera diangkat menjadi Pangeran Pati menggantikan kedudukannya."Tentu tidak akan ada persoalan apapun juga jika Sri Rajasa sudah memutuskan. Pengaruhnya terlampau besar, dan kekuasaannya adalah mutlak." namun kemudian,"tetapi Mahisa Agni itupun harus disingkirkan. Dan tentu Sri Rajasa tidak akan mengalami kesulitan. Betapapun saktinya Mahisa Agni, namun sudah barang tentu tidak akan dapat mengimbangi kesaktian Sri Rajasa sendiri."
Ken Umang itupun terloncat berdiri ketika ia melihat Tohjaya datang kedalam biliknya dengan wajah yang tegang. Dengan tergesa2 ia menyongsongnya dan bertanya,"Perintah apakah yang telah kau terima Tohjaya?"
Tohjayapun kemudian duduk dengan lesunya. Sejenak ia termangu2 sehingga ibunyapun menjadi heran.
"Tohjaya, apakah kau terima perintah itu?"
Tohjaya menggelengkan kepalanya. Dengan nada yang aneh ia menjawab,"Hamba tidak menerima perintah apapun juga ibu."
"He," Ken Umang terperanjat. Sejenak ia memandangi anaknya dengan wajah yang tegang. Kemudian perlahan2 didekatinya anaknya yang duduk sambil menundukkan kepalanya. Diguncang2nya pundak anaknya sambil berkata,"Apakah aku sudah pikun" Coba katakan sekali lagi Tohjaya."
"Hamba tidak menerima perintah apapun ibunda.Ketika hamba menghadap, ayahanda berkata,"Kembalilah, tinggalkan aku."
"Tohjaya, apakah kau sedang mengigau?"
"Sebenarnya ibunda, ayahanda memerintahkan hamba untuk meninggalkan bilik itu. Itulah perintah satunya yang hamba terima."
Ken Umang memandang anaknya dengan wajah yang tegang, sehingga pelupuk matanya hampir tidak berkedip. Ia tidak dapat mengerti apakah yang sebenarnya dikatakan oleh anaknya itu.
"Ibunda," berkata Tohjaya kemudian,"hambapun tidak mengerti, kenapa ayahanda tidak memberikan perintah apapun kecuali memerintahkan hamba meninggalkan ayahanda itu seorang diri."
"O," Ken Umangpun kemudian terduduk pula,"aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti."
Tohjaya memandang wajah ibunya sejenak. Namun kepalanyapun segera tertunduk pula. Memang yang baru saja terjadi sama sekali tidak dapat dimengertinya, dan ibunyapun menjadi bingung karenanya.
Sejenak keduanya terdiam. Seakan2 kabut yang kelam telah menyelubungi angan2 dan pikiran mereka, sehingga mereka sama sekali tidak mengerti, apa yang harus mereka lakukan.
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang masih juga dibayangi oleh pembicaraan2 didalam sidang, mencoba untuk menemukan suatu gambaran, apakah yang sebenarnya bergolak didalam hati Sri Rajasa. Namun setiap kali yang diketemukannya, adalah sekedar menganggap bahwa Sri Rajasa memang sedang kebingungan.
"Tetapi kebingungan itu dapat membahayakan keadaan," berkata Mahisa Agni didalam hati,"setiap saat pikirannya dapat berubah dan setiap saat Singasari dapat bergejolak. Satu langkah yang salah dari Sri Rajasa, dan membuat Singasari menjadi berantakan. Sedangkan persoalan yang sebenarnya adalah persoalan ketamakan Ken Umang semata2. Namun apabila hati Sri Rajasa tidak goyah, maka hal yang seperti sekarang ini tidak perlu terjadi."
Demikianlah ketika Mahisa Agni kemudian bertemu dengan Anusapati dan Sumekar, maka diceriterakannya apa yang terjadi di paseban.
"Sebenarnyalah bahwa ancaman itu sudah langsung ditujukan kepadamu," berkata Sumekar kepada Mahisa Agni,"tetapi karena sikap para pemimpin Singasari yang tidak jelas, maka Sri Rajasa masih harus berpikir sekali lagi. Jika didalam paseban itu tanggapan atas tuduhan Sri Rajasa terhadapmu, terhadap yang disebutkan kesombonganmu itu cukup baik baginya, maka ia tidak akan menunggu lebih lama lagi. Tetapi karena ia melihat keragu2an pada pemimpin Singasari, maka iapun tidak segera memerintahkan saat itu juga untuk menangkapmu."
Mahisa Agni mengangguk2kan kepalanya. Memang dapat juga terjadi seperti yang dikatakan oleh Sumekar itu. Tetapi Mahisa Agnipun tahu, bahwa sebenarnya Sumekar telah dipenuhi oleh prasangka dan bahkan sikap yang pasti, yaitu Sri Rajasalah yang harus disingkirkan, justru untuk menyelamatkan hasil yang pernah dicapai oleh Sri Rajasa sendiri. Singasari yang besar dan kuat. Namun bagi Mahisa Agni sendiri, masih harus ditempuh pertimbangan2 yang semasak2nya meskipun kadang2 orang lain menganggapnya tidak berbuat apa-apa.
Dalam pada itu, Anusapatipun sebenarnya mempunyai tanggapan persoalan yang dikatakan oleh Mahisa Agni itu sejalan dengan pendapat Sumekar. Namun Anusapati menyerahkan persoalannya kepada Mahisa Agni, karena ia percaya, bahwa pertimbangan pamannya didasari oleh pengalaman dan pengetahuannya yang luas.
Namun mendung yang semula membayang diatas istana Singasari itu kini bagaikan mekar meliputi seluruh kota dan bahkan menjalar keseluruh negeri. Terasa bahwa ada sesuatu yang kurang pada tempatnya telah terjadi didalam lingkungan keluarga Sri Rajasa. Jika semula persoalan itu hampir tidak mendapat perhatian karena yang berkepentingan masih mampu membatasi diri masing2, maka semakin lama persoalannya menjadi semakin jelas dapat dilihat oleh para pemimpin Singasari.
Dalam keadaan yang demikian itulah, Singasari mulai menyebut2 nama Witantra.
Namun sebenarnyalah bahwa nama Witantra itu telah mengganggu hati Sri Rajasa pula. Ia tidak mengerti dengan pasti apakah sebenarnya yang dikehendakinya. Sehingga karena itulah maka dengan diam2 Sri Rajasapun berusaha untuk mencari hubungan dengan Witantra, meskipun ia berpesan dengan sungguh2, agar Witantra tidak mengetahuinya, bahwa Sri Rajasa yang memberikan perintah itu kepada beberapa orang petugas sandi yang dipercayainya.
Ternyata sangat sulitlah untuk mencari hubungan dengan Witantra itu, karena Witantra tidak pernah lagi kelihatan di kota Singasari. Hanya namanya dan beberapa ceritera sajalah yang dapat ditangkap oleh para petugas sandi itu.
"Ya, ia datang kepadaku," berkata seorang perwira yang menghubungi orang2 yang diduga dapat bertemu langsung dengan Witantra.
"Apa saja yang dilakukannya?"
"Tidak apa2. Ia hanya bertanya tentang keselamatanku sekeluarga, dan sedikit tentang padepokannya dipuncak gunung."
"Gunung yang mana?" bertanya petugas sandi itu.
"Witantra tidak mau menyebutkannya."
"Apakah ia sering datang kemari?"
"Hanya satu kali. Hanya satu kali. Tetapi ia berkata kepadaku, bahwa pada suatu saat ia akan datang kembali mengunjungi sahabat2 lamanya."
"Apakah benar ia tidak mempersoalkan apapun juga yang dapat menjadi petunjuk arah perhatiannya selama ini?"
"Tidak. Ia tidak mengatakan apapun juga.Tetapi ia menyatakan kegembiraannya melihat perkembangan Singasari sekarang ini. Singasari yang jauh lebih besar dari Tumapel dijaman Akuwu Tunggui Ametung."
Petugas sandi itu hanya dapat mengangguk2kan kepalanya. Bahan yang didapatkannya untuk mengetahui keadaan Witantra ternyata terlampau sedikit. Para petugas itu sama sekali tidak dapat menyimpulkan, apakah sebenarnya maksud Witantra datang ke Singasari. Bahkan setelah mereka menghubungi beberapa orang yang pernah dikunjungi oleh Witantra itu.
"Baiklah," berkata seorang petugas sandi kepada seorang perwira yang pernah mendapat kunjungan Witantra,"jika ia datang sekali lagi, tolong, beritahukan aku."
Perwira itu mengangguk2kan kepalanya. Perwira itupun mengetahui bahwa orang yang datang itu adalah seorang prajurit sandi. Dan perwira itupun tahu pasti, kepada siapa ia harus melaporkan jika Witantra datang sekali lagi.
"Ternyata pihak istana menaruh perhatian besar sekali," berkata perwira itu. Namun demikian, merekapun menjadi gelisah, karena jika timbul sesuatu karena perbuatan Witantra, maka mereka yang diketahui telah mendapat kunjungan Witantra itu pasti akan menjadi sumber keterangan.
Tetapi bukan saja para perwira itu yang mengetahui bahwa pihak istana menaruh perhatian yang besar sekali. Dari pembicaraan beberapa orang prajurit, Sumekarpun mengetahui, bahwa ada beberapa petugas sandi yang mendapat tugas mencari jejak tentang Witantra itu.
Dalam pada itu, semua laporan tentang Witantra itu sudah sampai ditelinga Sri Rajasa. Seperti apa yang dapat ditangkap oleh para petugas sandi, maka tidak ada keterangan yang pasti yang dapat dijadikan bahan untuk menentukan apakah yang sebenarnya akan dilakukan oleh Witantra.
Namun demikian ada seorang petugas sandi yang mempunyai keterangan yang agak lain dari kawan2nya.
"Witantra menyebut2 nama Mahisa Agni tuanku," berkata petugas sandi itu ketika ia dipanggil menghadap.
"Apa katanya?" "Ia hanya bertanya, dimanakah sekarang Mahisa Agni itu. Apakah ia masih tetap berada di Kediri, karena menurut pendengarannya Mahisa Agni menjadi seorang Senapati Agung yang bertugas di Kediri sebagai wakil Mahkota. Atau sudah mendapatkan jabatan lain."
"Apa lagi?" "Hanya itu tuanku.Hamba tidak mendapatkan bahan yang lain. Sedang yang dibicarakan Witantra itu pada umumnya adalah persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintahan. Kadang2 ia berbicara tentang jalan2 yang ramai, sawah yang hijau dan rumah kawan2nya yang menjadi perwira di Singasari."
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Namun dari keterangan itu Sri Rajasa mendapatkan suatu arah betapapun samarnya, bahwa Witantra masih menaruh perhatian terhadap Mahisa Agni.
"Mudah2an Witantra masih mendendamnya."
Naman ternyata setelah itu, Sri Rajasa tidak pernah mendapat keterangan apapun lagi tentang Witantra. Meskipun ada juga seorang dua orang yang melaporkan bahwa Witantra tampak berada didalam kota, namun sama sekali tidak menarik perhatian orang, karena ia tidak berbuat apa2.
"Aku dapat menjadi gila," berkata Ken Arok kemudian ketika ia berada didalam bilik Ken Umang.
Ken Umang yang masih nampak jauh lebih muda dari Permaisuri yang sakit2an itu, mendekatinya sambil berkata,"Tuanku, persoalannya sudah jelas bagi tuanku. Sebenarnya hamba ingin mengajukan suatu sikap yang akan dapat menolong keadaan. Tetapi justru karena hamba adalah ibu Tohjaya, maka hamba berada didalam kesulitan."
"Kenapa?" "Orang dapat menuduh hamba, semata2 sikap hamba itu didorong oleh ketamakan dan kebencian."
Sri Rajasa tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Ken Umang sejenak.
Sambil tersenyum Ken Umang beringsut mendekat, ia duduk diatas sebuah kulit harimau hasil buruan Sri Rajasa di samping tempat duduk Sri Rajasa sendiri yang beralaskan kulit seekor ular raksasa.
"Tuanku," Ken Umang bergesar mendekatinya. Kemudian sambil bersandar pada kaki Sri Rajasa Ken Umang berkata,"Memang tuanku harus segera mengakhiri keadaan yang tidak menentu sekarang ini. Hamba tahu bahwa tuanku menjadi ragu2. Tetapi hambapun tahu, siapakah sebenarnya puteranda Anusapati itu, karena hamba tahu saat2 perkawinan tuanku."
"Banyak orang yang mengetahui siapakah sebenarnya Anusapati, karena setiap orang yang umumnya berkisar diantara kita dapat menghitung saat perkawinanku dan saat kelahiran Anusapati."
"Nah," berkata Ken Umang,"sebenarnya tidak ada persoalan lagi. Kasar atau halus, tuanku dapat melakukannya. Sedang tuanku sendiri mempunyai putera laki2 yang akan dapat menggantikan kedudukan tuanku. Jika tuanku membiarkan keadaan ini berlangsung terus, maka sebenarnyalah tuanku dapat terganggu. Lahir dan batin."
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu tidak menyahut.
"Tuanku, jika hamba bukan ibu Tohjaya, hamba akan dapat dengan leluasa menyampaikan pendapat hamba. Tetapi justru karena itulah, maka hamba menjadi ragu2. Tuankulah yang akan dapat menentukan, apakah yang sebaiknya tuanku lakukan. Tetapi segera. Tidak dengan ragu2 dan condong kepada kebingungan. Ternyata seperti sikap tuanku. Tuanku memanggil Tohjaya, namun kemudian tuanku tidak menjatuhkan perintah. Hamba tahu bahwa perintah itu sudah siap. Tetapi tuanku ragu2, sehingga tuanku mengurungkannya."
Sri Rajasa tidak segera menyahut. Tetapi setiap kali ia bertemu dengan Ken Umang, rasa2nya sudah jatuhlah keputusannya untuk menyingkirkan Anusapati dan Mahisa Agni. apapun akibatnya. Baginya Permaisurinya Ken Dedes sudah tidak begitu banyak diperlukan lagi. Ken Dedes itu menjadi semakin cepat tua dan sakit2an.
Namun setiap saat ia teringat, bahwa ada sesuatu yang lain pada Ken Dedes, hatinya menjadi berdebar2. Ken Dedes nemiliki sesuatu kurnia dari Yang Maha Agung yang tidak dimiliki oleh Ken Umang. Cahaya yang tidak dapat dimengertinya itu setiap kali dapat dilihatnya.
"Tuanku," berkata Ken Umang kemudian,"apakah sebenarnya yang membuat tuanku ragu2" Mungkin kemampuan Mahisa Agni dan pengaruhnya" Tentu tuanku akan dapat mengatasinya karena Mahisa Agni tidak akan sekuat Sri Baginda di Kediri yang dapat tuanku kalahkan itu. Sedang pengaruhnyapun tidak akan sebesar para Panglima dan Senapati yang lain, karena sudah lama ia berada di Kediri. Jika tuanku memperhitungkan pengaruhnya di Kediri, maka dapat diperhitungkan bahwa Kediri sekarang tentu tidak akan mampu berbuat apa2." Ken Umang berhenti sejenak. Lalu,"Tuanku, hambapun mendengar apa saja yang dikatakan oleh Mahisa Agni dipaseban itu. Bukankah itu sudah suatu sikap yang pasti untuk menantang tuanku, merendahkan kekuasaan tuanku dan seakan2 suatu pameran kekuatan bahwa Mahisa Agni sama sekali tidak takut terhadap kuasa tuanku, selain dengan sengaja menghinakan para pemimpin yang lain."
Ken Arok masih tetap berdiam diri.
"Nah, hamba persilahkan tuanku mempertimbangkan semuanya itu, karena hamba tidak berhak berbuat apapun selain memberikan sedikit pertimbangan yang barangkali tidak berarti apa2 bagi tuanku."
Sri Rajasa masih tetap tidak menyahut sepatah katapun. Dipandanginya bintik2 dikejauhan seolah2 dicarinya sesuatu diantara kekosongan dikejauhan.
Ken Umang tidak mendesaknya lagi.Dibiarkannya Sri Rajasa merenungi kata2nya. Ken Umang itu masih tetap yakin bahwa Sri Rajasa akan lebih percaya kepadanya daripada kepada Ken Dedes, apalagi kelemahan yang ada pada keturunan Ken Dedes itu ialah bahwa Anusapati adalah anak Tunggul Ametung.
Sejenak kemudian, setelah bergolak dengan dahsyatnya, dada Ken Arok seakan2 mulai terbuka. Seakan2 Ken Arok melihat sebuah jalan lurus yang harus ditempuhnya. Satu2nya jalan, karena tidak ada pintu lain yang terbuka baginya.
Betapapun jalan itu lewat celah2 lorong yang mengerikan, namun setapak demi setapak rasa2nya Ken Arok sudah memasuki pintu itu, didorong oleh tangan2 halus Ken Umang dan puteranya yang penuh dengan nafsu.
"Aku harus mengadakan persiapan sebaik2nya," berkata Ken Arok didalam hatinya,"aku harus bertemu dengan orang2 yang dapat aku percaya."
Namun Ken Arok itupun menarik nafas dalam2 sambil berdesah didalam dirinya,"Apakah aku akan berhasil tanpa mengganggu keutuhan Singasari. Sekian lama aku bekerja untuk mempersatukan Singasari. Dan kini aku sendiri akan menimbulkan perpecahan didalamnya."
Tetapi Ken Arok memang tidak melihat jalan lain. Yang harus dilakukan adalah menyingkirkan Anusapati dan Mahisa Agni dengan akibat yang sekecil2nya.
Itulah sebenarnya yang diharapkan oleh Ken Umang. Dan ia yakin bahwa yang diharapkan itu akan terjadi.
Demikianlah, dihari berikutnya, Ken Arok memanggil beberapa orang Senapati. Untuk tidak memberikan kesan yang mencurigakan, maka beberapa orang itu menghadap tidak berdasarkan waktunya. Bahkan juga Panglima pasukan pengawal yang menurut pendapatnya, akan dapat dipergunakannya sebagai perisai jika terjadi sesuatu.
"Kita tidak dapat menunda lagi," berkata Sri Rajasa kepada penasehatnya, yang sekaligus guru Tohjaya didalam olah kanuragan,"Anusapati harus disingkirkan. Beberapa orang Senapati sudah siap untuk melakukannya. Dan cara yang akan aku tempuh adalah cara yang paling kecil akibatnya."
Para Senapati harus dengan diam2 mengambil Anusapati dan membawanya keluar istana untuk diselesaikan. Tentu dimalam hari. Pasukan Pengawal akan diatur oleh Panglimanya, sehingga ketika terjadi hal itu, para pengawal tidak akan berada di tempatnya kecuali yang memang dapat dipercaya dan dapat dibawa bekerja bersama."
"Tetapi pekerjaan itu akan sangat sulit tuanku. Tuanku Anusapati memiliki kemampuan secara pribadi."
"Tentu, jika kalian harus bertempur seorang lawan seorang. Tetapi kalian akan menghadapinya dengan beberapa orang Senapati."
"Disaat yang ditentukan aku akan memanggilnya. Jika ia mengetahuinya dan tentu akan berbuat sesuatu, diseluruh Singasari tidak ada orang lain yang dapat dihadapkan kepadanya selain aku sendiri. Untuk sementara kita dapat, melupakan Witantra. Aku kira ia tidak akan berbuat sesuatu. Sokurlah jika ia justru sedang mencari Mahisa Agni untuk membuat perhitungan atas kekalahannya diarena disaat kematian Akuwu Tunggul Ametung waktu itu."
"Baiklah tuanku. Hamba akan melaksanakannya. Memang tidak ada jalan lain dari jalan kekerasan. Tentu kami akan memperhitungkan semua pihak yang dapat mengganggu usaha ini. Tetapi jika tuanku menghendaki kami bertindak langsung didalam istana ini, maka soalnya akan menjadi lebih mudah."
"Kami akan memaksakan keadaan ini kepada para Panglima dan rakyat Singasari sebagai suatu keharusan. Anusapati adalah orang lain bagiku."
Penasehat Sri Rajasa itupun merasa, bahwa telah datang waktunya ia menunjukkan jasa yang paling besar bagi Sri Rajasa dan Tohjaya. Ia harus dapat menyingkirkan Anusapati kasar atau halus. Bahkan jika terpaksa dengan pertempuran terbuka.
"Tentu tidak akan banyak yang berpihak kepadanya. Panglima Pasukan Pengawal akan mengatur, bahwa disaat yang ditentukan itu, para petugas dilstana ini adalah orang2 yang dapat dipercaya."
Demikianlah penasehat Sri Rajasa itu telah melakukan tugasnya dengan cermat. Dihubunginya Panglima Pasukan Pengawal. Ia tahu benar, bahwa Panglima itu terlalu setia kepada Sri Rajasa.Demikian pula beberapa orang Senapati dan prajurit yang akan dapat diajaknya bekerja bersama.
"Baiklah," berkata seorang Senapati,"tentukan, kapan kita akan melakukannya."
"Secepatnya. Kita akan segera bertindak sebelum Anusapati dan Mahisa Agni mengetahuinya."
"Mereka tidak akan tahu rencana ini."
"Diistana ini ada sejumlah pengkhianat."
Sebenarnyalah bahwa Sumekar telah tertarik kepada perubahan2 yang terjadi diistana. Beberapa orang prajurit yang dikenalnya mulai membicarakan kebijaksanaan yang baru. Perubahan yang tidak pada tempatnya telah terjadi didalam tugas2 para prajurit, didalam dan diluar istana. Prajurit2 yang bertugas sehari2, tiba2 saja telah ditarik dari istana dan orang2 barulah yang menggantikannya di tempat2 terpenting.
Sumekar yang mempunyai penglihatan yang tajam tidak dapat membiarkan semuanya terjadi diluar pengetahuan Mahisa Agni. Karena itu, maka iapun segera menemuinya dan mengatakan apa yang dilihatnya sejak hari ini.
Mahisa Agni mengangguk2kan kepalanya. Katanya,"Sebenarnya perubahan2 semacam itu adalah perubahan yang wajar didalam tugas keprajuritan."
"Mungkin. Tetapi aku mempunyai firasat yang lain kali ini.Tentu dalam waktu yang singkat akan terjadi sesuatu. Jika tidak hari ini, tentu malam nanti."
Mahisa Agni menarik nafas dalam2. Katanya kepada Sumekar,"Mungkin kau benar Sumekar. Karena itu bersiaplah. Adalah lebih baik jika kau dapat mengambil Witantra dan kau bawa masuk kedalam istana ini."
"Sekarang?" "Jika malam gelap. Tetapi jika terjadi sesuatu sebelum gelap, tentu kita tidak sempat memberitahukan kepadanya."
"Baiklah. Aku akan berada ditaman sehari penuh. Jika terjadi sesuatu, aku berada didalam taman itu."
"Baiklah. Aku akan menemui Anusapati."
Dengan dada yang berdebar2 Mahisa Agnipun kemudian menemui Anusapati dibangsalnya. Ketika ia melihat para penjaga bangsal itu, hatinya menjadi berdebar2. Prajurit2 itu sama sekali bukan prajurit yang biasanya bertugas dibangsal itu.
"Semuanya cepat berubah," berkata Mahisa Agni didalam hatinya,"dibeberapa hari terakhir, agaknya Sri Rajasa dan orang2nya sudah siap untuk melakukan rencana terakhirnya. Sudah tentu, bahwa Sri Rajasa terpaksa melakukannya dengan kekerasan untuk menempatkan Tohjaya menjadi searang Putera Mahkota."
Tetapi ternyata dihari itu, tidak terjadi sesuatu. Anusapati yang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan, masih saja tinggal didalam bangsalnya. Mahisa Agni masih belum memberikan isyarat apapun juga. Sedang Sumekar yang berada didalam taman dan kadang2 hilir mudik dihalaman membawa lodong bambu masih juga belum melihat perkembangan keadaan yang memuncak.
Karena itulah, maka ketika senja turun, ia berusaha untuk pergi kerumah persembunyian Witantra didalam kota Singasari.
Sumekar ternyata hanya memerlukan waktu yang pendek. Keduanya kemudian dengan hati2 meloncat masuk kedalam halaman istana.
"Bersembunyilah didalam taman," berkata Sumekar kepada Witantra,"aku akan berusaha menemui Mahisa Agni."
"Apa kau tidak akan dicurigai?"
"Aku akan membawa bibit pohon soka, yang dapat aku pakai sebagai alasan. Menanam pohon soka memang sebaiknya dimalam hari."
"Baiklah, tetapi hati2lah."
Sumekarpun kemudian pergi untuk menemui Mahisa Agni. Dengan berdebar2 ia melihat beberapa orang prajurit yang tampaknya mulai bersiap2. Bahkan dilihatnya penasehat Sri Rajasa berjalan tergesa2 didepan bangsal Mahisa Agni. Hati Sumekar menjadi berdebar juga ketika dilihatnya Panglima Pasukan pengawal ada pula diantara beberapa orang prajurit yang sedang bertugas.
"Apakah sesuatu bakal terjadi malam ini?" bertanya Sumekar kepada diri sendiri,"jika demikian, apakah kekuatan yang dapat dipergunakan oleh Anusapati untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya. Sejauh2 yang dapat dilakukan adalah melontarkan, isyarat itu kepada Kuda Sempana dan Mahendra. Tetapi dihalaman ini adalah berpuluh2 prajurit pilihan, termasuk Sri Rajasa sendiri."
Sumekar menarik nafas dalam2. Katanya,"Akhirnya kelembutan hati Mahisa Agni telah menempatkan Anusapati dalam kesulitan. Akhirnya bahwa Sri Rajasalah yang telah, bersiap lebih dahulu menghadapi Putera Mahkota itu, yang sebenarnya adalah bukan puteranya sendiri."
Dalam kecemasan itu, akhirnya Sumekar menemukan jalan lain yang justru akan dilakukan. Jalan yang sama sekali tidak diketahui oleh Mahisa Agni dan bahkan oleh Anusapati sendiri.
"Aku akan bertindak atas tanggung jawabku sendiri. Sebelum terjadi pembunuhan atas tuanku Anusapati, aku harus segera bertindak."
Meskipun demikian, ia melanjutkan langkahnya membawa sebatang bibit pohon soka mendekati bangsal Mahisa Agni.
Dihalaman bangsal itu Sumekar telah dicegat oleh dua orang prajurit. Dengan kasar salah seorang dari mereka menyapa,"Siapa kau?"
"Apakah kau tidak dapat mengenal aku?" bertanya Sumekar.
Prajurit itu termangu2. Lalu,"Sebut siapa namamu."
"Aku Pangalasan dari Batil."
"O. juru taman.Tetapi apa kerjamu malam2 begini?"
"Aku akan menanam pohoa soka seperti yang dipesan oleh tuanku Mahisa Agni."
"Kenapa tidak besok siang?"
"Menanam pohon noka hanya dapat dilakukan malam hari."
"Bohong, kau sangka aku tidak mengerti tentang tanaman" Aku adalah bekas seorang juru taman pada jaman pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi kemudian aku mendapatkan warisan ilmu sehingga aku berhasil mengikuti pendadaran untuk menjadi seorang prajurit."
"O, jika demikian seharusnya kau tahu, bahwa menanam pohon soka sebaiknya pada malam hari. Mungkin dapat dilakukan disiang hari, tetapi hasilnya tidak akan memberi kepuasan."
Prajurit itu termenung. Tanpa disadarinya dicobanya untuk mengingat kembali, apa yang pernah dilakukan pada saat ia menjadi juru taman. Namua ia sudah tidak dapat mengingat apapun lagi.
Karena itu, maka katanya,"Cepat, lakukan."
Sumekarpun dengan tergesa2 memasuki halaman bangsal itu. Namun ia masih berpura2 bertanya,"Dimana aku harus menanam pohon ini?"
"Aku tidak tahu."
"Jika demikian, apakah kau dapat bertanya kepada tuanku Mahisa Agni."
"Kenapa aku?" "Aku tidak berani. Tolong katakan kepadanya."
"Aku tidak peduli. Itu bukan urusanku."
Sumekar berdiri termangu2 sejenak. Namun ia tersenyum didalam hati. Kesempatan itulah yang memang ditunggunya.
Demikianlah akhirnya ia berhasil bertemu dengan Mahisa Agni, dan mengatakan apa yang telah dilihatnya.
"Kaupun sudah diawasi," berkata Sumekar.
Mahisa Agni mengangguk2kan kepalanya.
"Nah, kita agaknya sudah terlambat."
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya,"Tidak. Aku masih mempunyai jalan. Apakah kau bertemu dengan Witantra?"
"Ya." "Bagaimana dengan Kuda Sempana dan Mahendra?"
"Aku hanya memanggil Witantra. Ia sudah berada di dalam taman."
"Baiklah. Tetapi usahakan agar mereka semuanya berada didalam istana ini. Mereka harus berada dibangsalku. Aku akan membicarakan sesuatu yang penting dengan mereka dan kau."
"Sekarang?" "Ya. Panggil mereka."
Sumekar menjadi termangu2 sejenak. Lalu katanya."Tetapi bagaimana jika semuanya, ini akan segera terjadi?"
"Jika begitu, minta Witantra memanggil keduanya. Kau mengawasi keadaan sebaik2nya."
"Tetapi, apakah yang dapat kita kerjakan hanya bersama dengan mereka bertiga."
"Kita sudah bertiga dengan Anusapati."
"Tetapi dihalaman ini ada berpuluh2 prajurit yang agaknya sudah mendapat petunjuk2 yang pasti."
"Karena itu, panggil mereka. Aku masih mempunyai jalan."
Sumekar mengangguk2kan kepalanya. Lalu katanya,"Baiklah, aku akan menghubungi Witantra. Biarlah ia datang kebangsal ini, akulah yang akan menjemput Kuda Sempana dan Mahendra yang ada dirumah itu juga."
"Cepat. Sebelum semuanya terjadi. Sementara itu aku akan mempersiapkan semua rencana. Jangan beri tahu Anusapati lebih dahulu. Aku akan berada di halaman, supaya aku dapat melihat kesiagaan mereka yang semakin meningkat. Suruhlah Witantra langsung memasuki lewat pintu belakang. Hati2lah. Para prajurit agaknya benar2 bersiap."
Sumekar melangkah meninggalkan Mahisa Agni. Namun tiba2 ia teringat,"Tetapi, aku mengatakan kepada para penjaga, bahwa aku akan menanam pohon soka."
"Tinggalkan. Jika kau kembali bersama Kuda Sempana dan Mahendra, kau tidak usah melalui halaman bangsal ini."
Sumekarpun mengetahui apa yang harus dikerjakan.Karena itulah maka iapun segera pergi meninggalkan Mahisa Agni. Di halaman depan para prajurit menegurnya, katanya,"Sudah selesai?"
"Tuanku Mahisa Agni marah bukan main."
"Kenapa?" "Kau memang gila. Aku sudah memperingatkan bahwa sebaiknya besok pagi saja."
"Ya, aku menyesal. Tetapi menanam pohon soka hanya dapat dilakukan dimalam hari, maksudku, yang paling baik dilakukan dimalam hari."
"Dimana pohon sokamu itu?"
"Diinjak2 sampai lumat.Tetapi anehnya, aku harus mencari lagi. Justru Kembang Soka Kuning, jenis yang paling sulit dicari."
Para prajurit itu tertawa. Dipandanginya juru taman itu dengan ibanya. Namun mereka tidak dapat menolongnya, karena mereka sendiri belum pernah melihat jenis Kembang Soka yang berwarna kuning.
Sepeninggal Sumekar, maka Mahisa Agnipun kemudian membenahi dirinya. Tetapi betapapun ia mencemaskan keadaan, tetapi Mahisa Agni tidak menganggap perlu membawa senjata. Tangannya yang dapat dialiri dengan aji Gundala Sasra dan sekaligus Kala Bama dalam bentuknya yang sesuai, adalah semata yang tidak kalah dahsyatnya dari segala macam jenis semata tajam maupun senjata2 yang lain.
Ketika ia keluar dari bangsalnya dilihatnya beberapa orang prajurit berada dihalaman. Seperti biasanya Mahisa Agnipun menyapa mereka dengan ramahnya. Namun kali ini para prajurit itu menjawabnya dengan ragu2.
"He, apakah kalian tidak pernah bertugas di bangsal ini?" bertanya Mahisa Agni kepada prajurit2 itu.
Pemimpin peronda itupun menjawab dengan termangu-mangu,"Belum. Eh, maksud kami, kami memang belum pernah bertugas diregol ini, tetapi sudah sering bertugas dibagian lain."
"Dimana?" Pemimpin peronda itu menjadi semakin bingung, sehingga ia menjawab penuh kebimbangan,"Di Istana bagian dalam."
"He, bagian dalam yang mana" Apakah ada bagian luar dan bagian dalam."
Prajurit itu menjadi semakin bingung. Katanya,"Maksudku, istana yang baru."
"O, maksudmu kau sering bertugas dibagian yang baru dari istana ini. Jelasnya di bangsal yang didiami oleh tuan puteri Ken Umang dan yang lain yang didiami oleh tuanku Tohjaya."
"Ya. ya." Mahisa Agni mengangguk2kan kepalanya. Katanya,"Dan kau sekarang mendapat tugas baru disini."
"Ya. menurut panglima, sudah saatnya kita saling bertukar tempat didalam tugas kami, agar kami tidak selalu berada ditempat yang sama sepanjang kami menjadi prajurit."
"Bagus. Itu adalah usaha yang bagus sekali," berkata Mahisa Agni,"nah, bertugaslah dengan baik. Aku akan berjalan2 sebentar."
"Berjalan2?" prajurit itu menjadi heran,"sudah terlampau malam tuan masih akan berjalan2."
"Malam?" bertanya Mahisa Agni,"kau ini seperti seekor ayam saja," berkata Mahisa Agni sambil tertawa,"baru saja senja tenggelam. Biasanya aku keluar hampir sampai tengah malam. Bahkan kadang2 lebih."
Prajurit itu mengangguk2kan kepalanya. Sudah barang tentu bahwa mereka tidak akan dapat mencegahnya.
Demikianlah para prajurit itu hanya dapat memandangi langkah Mahisa Agni yang menyusup kedalam gelap. Namun demikian rasa2nya mereka telah mengabaikan tugas mereka jika mereka tidak tahu, kemana Mahisa Agni itu pergi.
Karena itu, maka pemimpin peronda itupun memerintahkan seseorang untuk mengawasi kemana Mahisa Agni itu pergi.
Namun ternyata bahwa orang itu kurang dapat menguasai keadaan. Ia tidak memperhitungkan kemampuan Mahisa Agni sehingga dengan mudah Mahisa Agni dapat, mengetahui bahwa seseorang telah mengikutinya.
Prajurit yang mengikuti itu menjadi bingung ketika tiba-tiba saja orang yang harus diawasinya itu hilang. Mahisa Agni yang berjalan perlahan2 didalam kegelapan itu tiba2 saja seperti dapat lenyap menembus bumi.
"Gila," desis prajurit itu,"dimanakah orang itu bersembunyi?"
Dengan hati2 ia melangkah mendekati gerumbul yang ada didekat tempat Mahisa Agni menghilang. Namun ketika ia sampai ditempat itu, ternyata ia tidak menjumpai seorang-pun.
"Aneh," desisnya,"apakah aku sedang mengikuti sesosok hantu?"
Namun dengan demikian hatinya menjadi berdebar-debar. Seakan2 ia benar2 berhadapan dengan hantu yang dapat menghilang dan kemudian menampakkan diri.
Ketika ia sudah yakin bahwa ia tidak akan dapat menemukan Mahisa Agni, maka dengan kesal iapun meninggalkan tempat itu. Dengan tergesa2 ia berjalan kembali ketempat tugasnya dengan berbagai macam perasaan yang kisruh.
Tetapi hampir terlonjak prajurit itu ketika ia melihat seseorang berjalan sambil menyilangkan tangannya dipunggung. Selangkah demi selangkah, seakan2 tidak menghiraukan apa pun lagi.
"Tuan," prajurit itu menyapanya.
"O, siapa kau?"
"Bukankah tuan Mahisa Agni?"
"Ya, kenapa" Aku ingin berjalan2. He, apakah kau prajurit yang bertugas di regol bangsalku?"
"Ya tuan."
03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa kau disini"Bukankah kau masih ada diregol ketika aku berangkat berjalan2" Dan kenapa tiba2 saja kau sudah berada disini?"
Orang itu menjadi bingung. Seharusnya ialah yang bertanya kepada Mahisa Agni. Namun justru kini Mahisa Agnilah yang bertanya kepadanya.
"He, kenapa kau diam saja?" desak Mahisa Agni.
"Tidak, maksudku aku memang berjalan2."
"Akulah yang berjalan2 bukan kau."
"O," orang itu menjadi semakin bingung,"maksudku tuan, aku juga berjalan2 untuk mengendorkan ketegangan."
Mahisa Agni memandangi prajurit itu sejenak. Namun iapun kemudian tertawa sambil berkata,"Aku memang sudah ketinggalan. Agaknya memang sudah menjadi peraturan, bahwa setiap prajurit yang sedang bertugas diperkenankan berjalan2 untuk mengendorkan ketegangan, sekaligus dengan membawa senjatanya sekali."
Terasa dada prajurit itu berdesir. Ia merasa sindiran yang halus tetapi tepat mengenai sasarannya. Meskipun begitu prajurit itu tidak dapat berbuat apapun juga. Sehingga karena itu, maka jawabnya,"Hanya suatu kesempatan tuan. Bukan peraturan."
Mahisa Agni menepuk bahu prajurit itu sambil berkata,"Cepat, kembali kepada tugasmu. Itu jika kau sudah selesai mengendorkan ketegangan?"
"Ah." "Tetapi ketegangan apakah sebenarnya yang mencengkammu."
Prajurit itu tidak menjawab. Karena itu, maka Mahisa Agnipun berkata,"Baiklah, cepat kembali. Mungkin kawan2mu memerlukan kau."
Prajurit itupun kemudian dengan tergesa2 kembali kedalam biliknya. Namun disepanjang langkahnya, ia tidak henti2nya bertanya2 kepada diri sendiri, bagaimana dapat terjadi, bahwa Mabisa Agni yang diikutinya itu begitu saja telah hilang dan yang tanpa diduga2nya ditemuinya dijalan kembali kegardunya.
"Benar2 anak iblis," katanya didalam hati,"tentu bukan manusia biasa yang dapat melakukannya."
Ketika prajurit itu sampai diregol halaman bangsal Mahisa Agni, maka iapun segera menceriterakan pengalamanya itu kepada kawan2nya. Sebagian dari mereka menjadi terheran2 dan berkata,"Itulah sebabnya, ia diangkat menjadi Senapati Agung di Kediri."
Namun pemimpin peronda itu berkata,"Kau tentu dibayangi oleh ketakutan saja."
"Omong kosong. Selagi ia masih berdiri diatas tanah ia tidak akan dapat melenyapkan dirinya. Percayalah bahwa iu tidak lebih dari seorang prajurit biasa. Hanya kesempatan sajalah yang membuatnya menjadi orang terkemuka di Singasari. Jangan kau sangka bahwa tidak ada orang lain yang memiliki kelebihan tetapi belum mendapat kesempatan. Sebenarnya aku ingin melihat dan bahkan mengalami, betapa tingginya ilmu orang yang bernama Mahisa Agni dan juga orang yang bergelar Kesatria Putih itu."
"Putera Mahkota?" bertanya seorang kawannya.
"Ya, Putera Mahkota. Ceritera tentang mereka sama dahsyatnya. Tetapi aku belum pernah melihat kebenaran dari ceritera itu."
"Semua orang pernah mendengar bahwa Mahisa Agni pernah membunuh Senapati Agung dari Kediri."
"Dan siapakah yang mengetahui sebenarnya, betapa tinggi ilmu Senapati Agung Kediri itu" Mungkin yang disebut Senapati Agung Kediri itu tidak lebih tangguh dari kau atau salah seorang prajurit yang memiliki sedikit kelebihan. Nah, bukankah dengan demikian kemenangannya itu bukan ukuran dari keperwiraannya."
"Ah," berkata prajurit yang lain,"kau jangan mencoba ingkar. Kau tentu mengetahui bahwa Kesatria Putih pernah membunuh beberapa orang yang ternyata adalah prajurit2 Singasari dan melemparkan senjata mereka dimuka pintu gerbang?"
"Aku berkata tentang Mahisa Agni," sahut pemimpin peronda itu.
"Tetapi bukankah kau juga menyebut Kesatria Putih."
Pemimpin prajurit yang sedang berjaga2 itu tidak menyahut.
"Dan kau tentu juga mengetahui, bahwa Putera Mahkota itu adalah anak kemenakan Mahisa Agni. Ilmu yang dimilikinyapun tentu keturunan ilmu Mahisa Agni."
Pemimpin peronda itu masih tetap berdiam diri.
Kawannyapun tidak berkata lebih lanjut. Mereka untuk beberapa lamanya saling berdiam diri dan duduk berserakan, selain yang bertugas didepan tangga bangsal.
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang berjalan2 dihalaman melintasi gerumbul2 bunga mendekati bangsal Anusapati. Namun ia tidak ingin menimbulkan kecurigaan pada para prajurit yang bertugas. Karena itu, ia berusaha untuk berlindung dibalik dedaunan.
Seperti yang dikatakan oleh Sumekar, memang dihalaman istana malam itu ada beberapa kesibukan. Tetapi menurut perhitungan Mahisa Agni tentu belum akan dilakukan malam ini. Ia melihat prajurit yang terpencar2, dan sama sekali tidak ada pemusatan yang lebih besar didalam maupun diluar istana.
Meskipun demikian, Mahisa Agni memang tidak boleh lengah. Itulah sebabnya, maka ia ingin dapat bertemu dengan Witantra, Kuda Sempana dan Mahendra. Karena mereka tidak mempunyai pasukan yang cukup apabila diperlukan, dan memang hal itu sama sekali bukan menjadi tujuan Mahisa Agni, maka ia masih berusaha untuk menemukan jalan lain yang lebih baik.
Setelah beberapa lama ia mengamat2i bangsal Anusapati, maka Mahisa Agni itupun segera meninggalkan tempatnya dan kembali kebangsalnya sebelum para penjaganya menjadi curiga pula.
"Siapa lagi yang sedang berjalan2?" bertanya Mahisa Agni ketika ia sampai dimuka regol bangsalnya.
Beberapa orang prajurit menjadi termangu2.Tetapi prajurit yang mengetahui sindirian itupun menjadi tersipu2. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali.
Karena tidak ada seorangpun dari mereka yang menjawab, maka Mahisa Agni itupun kemudian berkata,"Baik2lah didalam tugas kalian. Aku selalu berterima kasih kepada kalian, karena keselamatanku tergantung kepada kalian malam ini. Selamat malam."
Pemimpin peronda itu mengerutkan keningnya. Ternyata bahwa Mahisa Agni adalah seorang pemimpin yang ramah.
Hampar diluar sadarnya ia menjawab seperti kepada seorang sahabatnya yang karip, tidak seperti terhadap seorang Senapati Agung,"Baiklah, selamat malam."
Pemimpin peronda itu terkejut sendiri atas jawabannya itu. Tetapi ia tidak sempat mengulanginya karena Mahisa Agnipun telah melangkah meninggalkannya.
Pemimpin peronda itu mengangguk2kan kepalanya.Katanya,"jarang sekali terdapat Senapati besar seramah Mahisa Agni." Namun tiba-tiba ia menyambung dengan serta-merta,"Tetapi itu bukan karena kebaikan hati. Itu adalah karena ia merasa bahwa ia tidak lebih dari seorang anak Padepokan di Panawijen."
Para prajurit itu mengangguk2kan kepalanya.Seperti terbangun dari mimpi mereka. Mereka menyadari sesungguhnya, sehingga setiap anggapan bahwa Mahisa Agni adalah seorang yang baik akan dapat mengurangi kesungguhan mereka menjalankan tugas itu.
Ternyata belum lagi Mahisa Agni menutup pintu bangsalnya rapat, ternyata seorang Senapati yang lain telah mendatangi regol itu. Kepada pemimpm prajurit yang bertugas ia berkata,"Aku mengemban tugas Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi."
Pemimpin peronda itu mengangguk dalam2 sambil berkata,"Silahkan. Baru saja tuan Mahisa Agni masuk kedalam bangsal."
"Baru saja?" bertanya perwira itu.
"Ya." "Darimana?" "Sekedar berjalan2 didalam halaman ini."
Perwira itu mengangguk2kan kepalanya. Lalu,"Apakah tidak ada seorangpun yang mengikutinya?"
"Hanya dihalaman ini."
"Ya, tetapi setidak2nya kalian tahu apa yang dilakukan dihalaman ini."
"Seorang dari kami mengikutinya dari kejauhan. Tetapi ia tidak berbuat apa2," jawab pemimpin peronda itu sambit memandang kepada prajurit yang mengikuti Mahisa Agni tetapi gagal.
Prajurit itu tidak membantah, meskipun dadanya terasa bergetaran.
"Baiklah," berkata perwira itu,"aku akan bertemu dengan Mahisa Agni atas perintah Sri Rajasa."
"Silahkan. Tentu tuan Mahisa Agni masih belum masuk kedalam biliknya."
Perwira itupun kemudian naik tangga bangsal Mahisa Agni. Perlahan-lahan ia mengetuk pintu bangsal itu.
"Siapa?" bertanya Mahisa Agni yang ternyata masih duduk diruang dalam.
"Aku, utusan Sri Rajasa."
Mahisa Agni terkejut. Jarang sekali terjadi, utusan Sri Rajasa datang dimalam hari. Hanya apabila ada persoalan yang sangat penting sajalah, maka ia dipanggil menghadap dimalam hari."
Namun demikian, Mahisa Agni harus melakukan apapun bunyi perintah itu. Meskipun demikian ia menjadi berdebar2, karena ia sudah terlanjur menyuruh Sumekar membawa Witantra dan kawan2nya masuk kedalam bangsalnya lewat pintu butulan dibelakang.
Dengan ragu2 Mahisa Agni melangkah mendekati pintu. Ada juga kecurigaan yang bergejolak didalam hatinya. Karena itu, maka iapun harus berhati2. Ia tidak tahu pasti, berapa orangkah yang datang pada saat itu. Dan apakah hal itu ada hubungannya dengan sikap para prajurit2 di regol yang mencoba mengkutinya"
Perlahan2 Mahisa Agni meraba pintu bangsalnya. Kemudian dengan hati2 dan penuh kewaspadaan ia membuka pintu itu.
Mahisa Agni menarik nafas ketika ia melihat seorang perwira berdiri dimuka pintu, dan yang kemudian menganggukkan kepalanya.
"O, kau," sapa Mahisa Agni,"silahkan masuk."
Perwira itu melangkah masuk kedalam. Kemudian merekapun duduk diatas dingklik kayu yang dialasi dengan kulit domba berwarna hitam.
"Kakang Mahisa Agni," berkata perwira itu,"kedatanganku kemari sekedar menjalankan perintah Sri Rajasa."
"Ya. Apakah perintah itu."
"Kakang Mahisa Agni," berkata perwira itu,"besok dibangsal paseban dalam akan diadakan sidang terbatas. Kakang diharap hadir didalam sidang itu."
"O, sidang terbatas?"
"Ya, ada sesuatu yang harus segera diselesaikan.Karena itu kakang diharap hadir didalam sidang itu."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Firasatnya tiba2 saja telah menyentuh perasaannya. Karena itu, maka ia mengambil kesimpulan didalam hatinya,"Tentu ada sesuatu yang benar2 penting. Bukan saja bagi Singasari, tetapi juga bagi Anusapati."
Tetapi Mahisa Agni tidak dapat memperhitungkan sikap apakah yang akan diambil oleh Sri Rajasa. Karena itu, maka ia tidak segera melihat kemungkinan yang dapat dilakukan. Agar perwira itu segera pergi meninggalkan bangsalnya maka iapun kemudian menjawab,"Perintah Sri Rajasa aku junjung-tinggi. Besok aku akan menghadap dipaseban dalam."
"Baiklah kakang. Aku hanya menyampaikan perintah."
"Dan perintah itu sudah aku terima."
Perwira itu mengangguk2kan kepalanya. Memang ia hanya mendapat tugas untuk menyampaikan perintah, dan perintah itu memang sudah diterima.
Karena itu maka perwira itupun segera minta diri. Dan itulah memang yang dikehendaki oleh Mahisa Agni. Semakin cepat menjadi semakin baik.
Sepeninggal perwira itu, maka Mahisa Agnipun menarik nafas dalam2. Sebentar lagi beberapa orang akan memasuki bangsalnya.Karena itu, maka tidak boleh ada orang lain lagi yang akan memasuki bangsalnya.
Mahisa Agnipun kemudian pergi keruang depan. Meskipun pintu bangsal itu sudah tertutup, tetapi dari luar masih tampak di sela2 dinding, bahwa lampunya masih menyala dengan terangnya. Karena itu, maka Mahisa Agnipun kemudian memadamkan lampu itu sama sekali.
Beberapa orang prajurit yang bertugas didepan bangsal itupun segera melihat, bahwa ruang depan bangsal Mahisa Agni itu sudah menjadi gelap.
"Mahisa Agni itu sudah akan pergi tidur," berkata salah seorang prajurit.
"Ya, ternyata ia sendirilah yang seperti ayam," jawab prajurit yang lain.
"Kenapa seperti ayam?"
"Bukankah ketika kita bertanya, apakah ia akan berjalan malam2 begini ia menjawab, bahwa kita ini seperti ayam saja, yang sudah pergi tidur sejak senja turun."
Kawan2nyapun tertawa. Katanya,"Memang sudah cukup malam untuk pergi tidur."
Yang lainpun terdiam. Mereka memang menyangka bahwa Mahisa Agni akan segera pergi tidur.
Namun tidak scorangpun dari mereka yang mengetahui, apa yang akan dilakukan oleh Mahisa Agni itu. Mereka tidak menyangka bahwa akan ada beberapa orang yang dengan diam2 memasuki halaman bangsal itu dan kemudian memasuki bangsal Mahisa Agni dari belakang.
Sejenak Mahisa Agni masih menunggu. Tetapi ia yakin bahwa orang2 itu pasti akan datang menemuinya.
Ternyata Mahisa Agni tidak perlu menunggu terlampau lama. Sejenak kemudian ia mendengar pintu butulan dibelakang berderit, dan muncullah beberapa orang memasuki bangsalnya.
"O," bisik Mahisa Agni,"aku sudah menduga bahwa kalian pasti akan datang."
Witantra tertawa. Katanya,"Kami merasa wajib datang malam ini seperti yang kau kehendaki. Jika tidak perlu sekali maka kau tentu tidak akan memanggil kami bersama2."
"Sebenarnya tidak perlu sekali. Tetapi memang aku memerlukan kalian didalam keadaan seperti ini. Aku kira kita memang sudah mulai memanjat kepuncak persoalannya sehingga semuanya akan segera berakhir. Karena itu, maka kita inipun harus segera mengambil sikap."
Witantra mengangguk2kan kepalanya. Jawabnya,"Kami sadar akan hal itu."
"Tetapi dimana Sumekar?" bertanya Mahisa Agni.
"Ia mengantar sampai kebelakang bangsal ini. Tetapi ia berkata bahwa ia ingin pergi untuk suatu keperluan sebentar."
"He?" Mahisa Agni menjadi heran,"kemana?"
"Kami tidak tahu. Tetapi katanya hanya sebentar saja."
Mahisa Agni mengangguk2kan kepalanya. Katanya,"Baiklah sambil menunggu Sumekar, aku ingin berbicara sedikit. Ternyata bahwa Sri Rajasa sudah menyiapkan sebuah kekuatan untuk melaksanakan niatnya yang barangkali dengan kekerasan. Ia tidak dapat menghindar lagi dari tuntutan Ken Umang dan Tohjaya."
"Memang Sri Rajasa didorong oleh keadaan yang sulit yang hampir tidak dapat dihindari. Namun bagaimana mungkin ia dengan tergesa2 mengangkat Anusapati menjadi Pangeran Pati, dan kemudian ingin melemparkannya?"
"Ada beberapa kemungkinan. Ia ingin menghilangkan golongan yang bagaimanapun juga masih mengagumi Tunggul Ametung. Karena sebagian dari mereka mengetahui bahwa Anusapati adalah putera Tunggal Ametung, maka dengan diangkatnya Anusapati maka pengikutnya tidak akan berbuat terlampau banyak. Termasuk kau Witantra."
Witantra tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Dan Mahisa Agnipun meneruskan,"Agaknya kini Sri Rajasa yakin bahwa pengikut Tunggul Ametung sudah lenyap sama sekali. Kehadiranmu dikota ini memang banyak menimbulkan persoalan. Tetapi diantaranya mereka menganggap bahwa dendammu tertuju kepadaku. Apalagi karena kau hanya sekali dua kali muncul dan tidak menimbulkan kesan yang lain, maka untuk sementara Sri Rajasa mengabaikanmu."
Witantra mengangguk2kan kepalanya. Lalu katanya,"Jika demikian aku dapat mengambil sikap yang lain. Aku akan menumbuhkan kesan, bahwa aku adalah pengikut Tunggul Ametung yang setia. Nah, bukankah dengan demikian sikap Sri Rajasa terhadap Anusapati akan berubah?"
"Ya. Tetapi kesempatan kita agaknya terlampau sempit. Malam ini kalian harus tetap berada disini."
"Untuk apa?" "Jika kekerasan itu benar2 terjadi."
"Dan kami akan melawan segenap prajurit yang ada dihalaman?"
"Tidak. Aku mempunyai cara lain. Bukan melawan segenap prajurit yang ada dihalaman ini, tetapi kita berusaha berbuat sebaik2nya tanpa menimbulkan pertempuran yang hanya akan menmbulkan korban jiwa saja."
Witantra mengerutkan keningnya. Dipandanginya Mahisa Agni dengan pertanyaan yang memenuhi dadanya.
Mahisa Agni seakan2 menyadari, apa yang dipikirkan oleh Witantra. Karena itu maka katanya kemudian,"Tentu kita tidak akan mungkin bertempur melawan segenap prajurit dan Senapati yang ada dihalaman ini dan yang telah diatur pula oleh Sri Rajasa dan orang2nya. Tetapi kita dapat menemukan cara lain. Kita langsung berhubungan dengan Sri Rajasa."
Witantra memandang Mahisa Agni dengan tajamnya, lalu bertanya,"Kita akan memotong langsung kepalanya?"
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Katanya,"Tidak ada jalan lain. Kita tidak akan berbuat apa2. Kita akan menemuinya dan menjelaskan persoalannya. Mungkin kita dapat dianggap memaksanya. Tetapi itu adalah jalan yang terbaik."
"Sri Rajasa bukan seorang yang mudah menyerah kepada keadaan Agni," berkata Kuda Sempana,"mungkin ia akan mengtakan pendapat kita, tetapi kita tidak tahu apa yang akan dilakukan besok."
"Sabda seorang Maharaja tidak akan berubah. Jika ia menolak, tentu ia akan menolak seketika itu apapun akibatnya, tetapi jika ia mengiakannya, maka ia akan melakukannya."
Kuda Sempana mengangguk2kan kepalanya. Katanya,"Jika kau yang menjadi Maharaja, maka mungkin sekali kau akan berbuat demikian. Dan mungkin juga raja2 yang lain. Tetapi apakah demikian pula yang akan dilakukan oleh Ken Arok yang sekarang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi itu?"
"Aku tidak tahu Kuda Sempana. Mudah2an ia seorang Kesatria sepenuhnya meskipun masa lampaunya adalah masa lampau yang kelam."
"Kita dapat mencoba," berkata Mahendra,"sementara kita menyiapkan diri. Setidak2nya kita mendapat kesempatan untuk menyelamatkan Putera Mahkota, dan membawa kesuatu tempat yang terpencil dan aman. Tentu Sri Rajasa tidak dapat menutup mata, bahwa Putera Mahkota Sebagai Kesatria Putih akan dengan mudah mendapat pengikut apabila Sri Rajasa benar2 ingkar akan janjinya."
Mahisa Agni mengangguk2kan kepalanya. Katanya,"Itu adalah pendapat yang baik. Demikian Sri Rajasa menyanggupi untuk mengambil sikap yang pasti bagi Putera Mahkota, maka kita akan menyingkirkan Putera Mahkota itu sejauh2nya sementara kita menunggu perkembangan. Putera Mahkota akan kembali keistana tanpa melanggar haknya dan hak orang lain, sementara Sri Rajasa tidak akan dapat berbuat apapun lagi, karena persiapan Putera Mahkotapun telah matang."
"Ya. Kita akan mencobanya. Mudah2an kita hanya sekedar berprasangka."
"Kau terlampau lembut. Tetapi mudah2an kau benar.Namun seandainya harus terjadi, kita sudah siap.Kita akan langsung mendapatkan Sri Rajasa, dan jika perlu menembus barisan pengawalnya."
"Apaboleh buat," sahut Mahisa Agni. Lalu,"Sekarang, kalian dapat beristirahat disini. Aku menjamin bahwa tidak akan ada orang lain yang mengetahuinya. Biarlah kita menunggu Sumekar. Mungkin ia sedang mengamat2i perkembangan baru dihalaman istana ini."
"Aku ingin juga keluar sebentar. Aku akan berhati2," berkata Witantra.
"Kita menunggu Sumekar sejenak."
Witantra mengangguk2kan kepalanya, dan Mahisa Agni berkata seterusnya,"Aku besok dipanggil dibangsal paseban."
Witantra memandang Mahisa Agni sejenak. Lalu,"Tidak ada penjelasan lagi?"
"Tidak." "Dan dihalaman ini terjadi kesibukan malam ini?"
"Sedikit.Aku tidak melihat bahaya yang menentukan. Namun aku tidak tahu, bahwa timbul firasatku bahwa justra paseban besok akan menentukan sesuatu sehubungan dengan kegiatan malam ini."
"Kita memang harus mengamati keadaan. Mungkin sekali terjadi.Justru ketika kau berada dipaseban, para prajurit mengambil tindakan terhadap Putera Mahkota. Tentu tidak mengetahuinya."
"Akupuu menduga demikian. Jika tidak, tentu tidak akan ada kegiatan yang melampaui kebiasaan dan sehubungan dengan sikap dan penglihatan Sumekar, bahwa yang terjadi halaman ini tidak pernah dilihatnya sebelumnya."
"Tentu ada hubungannya."
"Dan akupun ternyata diikuti oleh seorang prajurit ketika aku berjalan2 dihalaman."
Witantra dan kedua kawan2nya saling berpandangan. Seakan2 mereka telah menjadi yakin, bahwa sesuatu memang akan terjadi. Karena itulah maka Witantrapun berkata,"Baiklah aku mengamati keadaan. Mungkin kita haras bertindak cepat. Aku akan memberikan isyarat dari kejauhan dan kalian harus segera pergi kebangsal Sri Rajasa."
"Tetapi hati2lah. Akupun akan menengok bangsal Anusapati," jawab Mahisa Agni.
"Jika demikian," berkata Kuda Sempana kemudian,"kita berada diluar bangsal ini saja, karena agaknya memang lebih aman. Kita mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat sesuatu."
"Baiklah," berkata Mahisa Agni,"tetapi kita menunggu Sumekar sejenak. Kita mendengar pendapatnya."
Witantra mengangguk2kan kepalanya. Katanya,"Baiklah. Tetapi jangan terlalu lama. Hari menjadi semakin malam."
"Tentu tidak lama," Kuda Sempanalah yang menyahut,"ia hanya akan singgah sejenak. Dan iapun akan segera menyusul kemari."
Sejenak mereka saling berdiam diri.Mereka menunggu kedatangan Sumekar yang memisahkan dirinya ketika mereka memasuki halaman istana.
"Lama sekali," desis Mahendra.
"Mungkin ia singgah kegubugnya."
Mahendra menarik nafas dalam2.
Namun tiba2 saja mereka dikejutkan oleh guruh yang seakan2 meledak diatas istana. Begitu kerasnya dan mengejutkan segenap bangunan yang ada dilingkungan halaman istana serasa bergetar karenanya.
"Mengejutkan," desis Kuda Sempana.
Witantra mengerutkan keningnya.Lalu katanya,"Bukankah ketika kita memasuki halaman ini, langit nampaknya bersih?"
Kuda Sempana menganggukkan kepalanya. Namun merekapun kemudian mendengar angin yang menderu, seakan2 semakin lama menjadi semakin keras.
"Angin," desis Mahendra,"agaknya hujan memang akan turun."
Mahisa Agni hanya mengangguk2kan kepalanya saja. Tetapi tiba2 saja terasa dadanya berdesir ketika ia melihat kain2 selintru bergetar oleh angin yang menyusup dinding.Bahkan terasa pada kulit tubuh mereka, angin yang basah berhembus melintasi ruangan.
Sekali lagi mereka mendengar guruh dilangit. Suaranya menggelegar berkepanjangan, seperti sebuah pedati raksasa yang lewat dijalan langit yang berbatu2. Panjang sekali.
Orang2 yang ada didalam bangsal itu menaiik nafas dalam2. Terasa udara malam menjadi asing. Angin yang berhembus rasa2nya semakin lama menjadi semakin kencang.
"Musim hujan memang sudah tiba," berkata Mahendra.
"Tetapi belum waktunya angin dan guntur bersahut2an dilangit," sahut Witantra.
"Memang kadang2 terjadi kelainan seperti ini," berkata Mahisa Agni,"ketika Akuwu Tunggul Ametung masih memerintah pernah juga terjadi hujan dikelainan musim.Tiga hari tiga malam. Kemudan pada masa pemerintahan Sri Rajasapun pernah juga terjadi."
"Ingatanmu baik sekali Mahisa Agni."
"Kebetulan saja bersamaan waktunya dengan kejadian besar yang tidak dapat aku lupakan. Mungkin masih banyak terjadi kelainan musim. Tetapi aku sudah tidak ingat lagi."
"Kejadian besar yang manakah yang kau maksudkan?" bertanya Witantra.
"Yang pertama menurut ingatanku, yaitu pada saat pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung adalah saat2 menjelang akhir pemerintahannya. Hujan turun beberapa hari. Tetapi waktu itu kita tidak menghiraukannya, karena musim hujan memang sudah diambang pintu."
"Seperti saat ini."
"Ya, seperti saat ini."
"Dan pada masa pemerintahan Sri Rajasa?"
"Tiba2 saja hujan turun seperti dicurahkan dari langit."
"Ya. Bersamaan waktunya dengan peristiwa yang mana?"
"Menjelang gugurnya Sri Kertajaya Maharaja di Kediri."
Witantra menarik nafas dalam2. Katanya,"Pantas kau dapat mengingatnya. Sebenarnya yang kau ingat bukan hujan dan angin, tetapi peristiwa2 besar itulah agaknya."
"Sudah aku katakan. Mungkin musim yang salah itu sering terjadi. Tetapi tentu aku tidak dapat mengingatnya lagi."
Merekapun terdiam ketika mereka mendengar guruh sekali lagi mengumandang dilangit. Seleret cahaya yang terang benderang telah membelah kegelapan malam, disambut oleh suara angin yang gemerasak didedaunan.
"Anginpun ikut berbicara bersama kita.Kau dengar?" bertanya Mahendra.
Yang lain mengangguk2kan kepalanya. Namun tampaklah wajah Witantra menjadi bersungguh2. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata,"Kadang2 kejadian2 besar memang ditandai oleh peristiwa alam yang agak lain dari urutan musimnya."
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah Witantra sejenak. Lalu,"Apakah ada sesuatu terasa dihatinya."
"Semacam firasat buruk," Kuda Sempanalah yang menyahut.
"Ya," berkata Mahendra pula."Ada sesuatu yang lain dihati ini."
Mahisa Agni menarik nafas dalam2. Katanya,"Inikah pertanda itu?" ia terdiam sejenak, lalu,"jika demikian tinggallah kalian disini. Aku akan pergi kebangsal Anusapati."
Witantra termenung sejenak. Lalu,"Kenapa kau"Kenapa bukan aku?"
"Aku lebih leluasa bergerak dihalaman istana ini."
Witantra tidak segera menyahut. Tetapi sepercik cahaya telah memancar lagi. Terang sekali, diiringi suara guruh yang menggelegar dilangit.
Belum lagi suara guruh itu lenyap, terdengar sesuatu yang mendebarkan jantung. Perlahan2 pintu butulan telah diketuk orang.
"Sumekar," desis Mahisa Agni.
Mahendrapun kemudian berdiri.Dengan hati2 ia menarik selarak. Ketika pintu terbuka sedikit, mereka yang ada didalam ruangan itupun terkejut bukan kepalang. Ternyata yang datang sama sekali bukan Sumekar, tetapi Anusapati.
"Kau Anusapati?" bertanya Mahisa Agni perlahan2.
Anusapati tidak menjawab, Iapun kemudian melangkah masuk dengan ragu2. Dilihatnya beberapa orang yang sudah ada diruangan itu.
"Duduklah." Anusapati menganggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya,"Dimanakah paman Sumekar?"
Pertanyaan itu mengejutkan Mahisa Agni dan orang2 yang ada didalam bilik bangsal itu.
"Pamanmu Sumekar tidak ada disini," jawab Mahisa Agni,"kami memang sedang menunggunya."
"Baru saja paman Sumekar datang kepadaku."
"O," kata2 itu sangat menarik perhatian.Lalu,"dimana ia sekarang?" bertanya Mahisa Agni.
"Aku sedang mencarinya kemari. Menurut paman Sumekar, ia akan pergi kebangsal ini."
"Ia belum datang. Mungkin ia singgah ditempat tinggalnya atau keperluan lain. Sebentar lagi ia akan datang. Karena iapun menyatakan kepada kami, bahwa ia akan segera datang."
Anusapati memandang Mahisa Agni dengan heran. Katanya,"Paman Sumekar mengatakan kepadaku, bahwa paman menyuruhnya pergi kepadaku."
"Aku?" "Ya paman." "Kenapa aku" Dan apa katanya?"
"Paman menyuruh paman Sumekar kebangsalku dan dengan diam2 menemui aku, karena paman ingin melihat keris mPu Gandring itu."
"Keris mPu Gandring?"
"Ya. Paman Sumekar telah membawa keris itu, yang menurut paman Sumekar akan diserahkannya kepada paman Mahisa Agni."
Jawaban itu telah mengguncangkan dada Mahisa Agni dan orang2 yang ada diruangan itu, sehingga Witantra bergeser setapak."Jadi, keris itu sekarang dibawa oleh Sumekar."
"Ya." Terasa sesuatu bergejolak disetiap dada.
"Bagaimana paman," bertanya Anusapati,"apakah tidak demikian?"
"Katakan Anusapati, bagaimana hal itu terjadi."
Anusapati menjadi gelisah. Katanya,"Paman Sumekar datang kepadaku dengan diam2. Paman Sumekar membawa pesan paman Mahisa Agni untuk membawa keris itu.Karena paman Mahisa Agni ingin melihatnya."
"Bukankah aku pernah melihat keris itu?"
"Ya, tetapi menurut paman Sumekar, paman Mahisa Agni ingin melihat lebih cermat lagi, apakah keris itu benar2 keris mPu Gandring."
"Ah," Mahisa Agni berdesah.
"Jadi, apakah tidak demikian?" bertanya Anusapati.
Mahisa Agni tidak segera menjawab."Ia sama sekali menduga bahwa tiba2 terjadi suatu hal yang tidak dapat dimengertinya. Sumekar selama ini tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali. Namun tiba-tiba ia telah berbuat sesuatu yang tentu mendebarkan jantung."
"Tetapi tentu bukan maksudnya untuk mencelakakan Anusapati, Justru selama ini ia menunjukkan betapa ia ingin berbuat sesuatu untuk Anusapati."
Ternyata pikiran itu justru telah mengejutkan Mahisa Agni sendiri. Sekali lagi diulanginya didalam hatinya,"Sumekar ingin berbuat sesuatu untuk Anusapati."
Mahisa Agni menarik nafas dalam2.
"Jadi, bagaimanakah sebenarnya paman?" desak Anusapati.
"Anusapati," berkata Mahisa Agni kemudian. Dengan hati2 ia ingin menjelaskan masalahnya,"Aku tidak memberikan pesan itu kepada pamanmu Sumekar."
"Jadi apakah maksud paman Sumekar?"
Mahisa Agni memandang wajah Witantra, Kuda Sempana dan Mahendra berganti2. Sebelum ia berkata sesuatu, Kuda Sempana telah berdesis,"Memang mengherankan. Tetapi juga mencemaskan."
"Anusapati," berkata Mahisa Agni,"selama ini Sumekar telah berbuat sebaik2nya bagimu. Selama ini ia berusaha untuk membantumu jika kau berada didalam kesulitan. Karena itu, jika ia membawa keris itu, tentu maksudnya sama sekali tidak diarahkan kepadamu.Namun demikian, kita masih juga tetap meraba2. Karena itu, marilah kita mencarinya. Mungkin kau dapat mencarinya kesekitar bangsal ayahandamu. Tetapi ingat, dengan diam2. Aku akan mencarinya ditempai lain yang lebih berbahaya, didaerah seberang dinding. Siapa tahu, Sumekar pergi kebangsal Ken Umang dan Tohjaya dengan keris itu ditangan. Jika kita bertemu dengan Sumekar, maka cobalah membujuknya. Bawalah ia kebangsal ini. Katakan bahwa pamanmu Kuda Sempana menunggunya, karena pamanmu Kuda Sempana adalah saudara tua seperguruan dari pamanmu Sumekar."
"Baiklah paman. Aku akan mencoba mencarinya."
"Hati2lah. Jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki, meskipun agaknya persiapan didalam istana ini menjadi semakin meningkat."
"Itulah yang akan aku katakan kepada paman Sumekar, agar ia menjadi berhati2, karena menurut pengamatanku, ada beberapa kelainan dihalaman istana ini."
"jika demikian, apakah aku juga dapat ikut mencarinya?" bertanya Witantra.
"Ada juga baiknya. Tetapi aku harap Kuda Sempan dan Mahendra tetap berada dibangsal ini. Aku kira tidak akan ada orang yang akan memasukinya. Jika ada, tentu orang itu membawa tugas rahasia."
"Baiklah paman. Aku akan mencarinya."
"Marilah kita pergi. Berhati2lah. Aku juga harus berhati2, karena di bangsal Tohjaya itu kini mendapat penjagaan yang sangat kuat."
"Aku akan mencarinya ditempat lain dari kedua tempat itu."
Demikian, seorang demi seorang, Mahisa Agni, Witantra dan Anusapati meninggalkan bangsal itu.Sebelum Anusapati mengikuti pamannya keluar dari pintu butulan, Kuda Sempana masih sempat berpesan."Tuanku Putera Mahkota, Sumekar sebenarnya adalah seorang yang keras hati. Karena itu, jika tuanku bertemu, katakan bahwa tuanku mendapat pesan daripadaku, bahwa aku akan menemuinya sejenak tanpa merubah rencananya."
"Baiklah paman. Mudah2an aku dapat menemuinya."
"Silahkan. Tetapi seperti pesan paman tuanku, berhati2lah. Agaknya persiapan yang meningkat ini diarahkan kepada tuanku."
"Sebenarnya aku memang sudah menduga paman. Tetapi agaknya pamanda Mahisa Agni terlampau mempercayai kelembutan hati manusia yang lain seperti dirinya sendiri. Seakan2 didunia ini memang tidak ada kedengkian dan kepalsuan."
"Sukurlah jika tuanku sudah menyadarinya."
"Tetapi jika mereka benar2 bertindak malam ini, agaknya aku sudah terlambat. Kecuali meninggalkan istana ini, hanya seorang diri, tanpa anak dan isteriku."
"Sekarang, silahkan angger mencari Sumekar. Memang agaknya lebih aman disekitar bangsal Sri Rajasa, justru karena Sri Rajasa memiliki kelebihan dari orang lain, sehingga tidak memerlukan penjagaan sekuat bangsal ibunda Ken Umang dan adinda tuanku Tohjaya."
"Terima kasih paman. Aku minta diri."
Anusapatipun kemudian dengan hati2 meninggalkan bangsal itu lewat halaman belakang yang sepi. Dengan lincahnya ia meloncat keatas dinding batu yang tinggi dan kemudian hilang dibalik dinding itu.
Dalam pada itu, maka tiga orang yang tanpa diketahui oleh para penjaga, telah menyusup diantara gerumbul2 pohon bunga dihalaman. Yang seorang menuju kebangsal Sri Rajasa, yang memang tidak begitu banyak mendapat penjagaan, justru karena setiap orang yakin, bahwa Sri Rajasa memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain, serta atas perhitungan bahwa tentu tidak akan ada seorangpun yang berani mengganggunya, sedang yang seorang lagi pergi kebangsal di bagian lain dari istana Singasari, yaitu bangsal Ken Umang dan Tohjaya serta adik2nya. Kemudian Witantra mencoba mencari dibagian lain dihalaman istana itu. Mungkin justru Sumekar menjumpai bahaya diperjalanannya menuju kebangsal Mahisa Agni.
Sementara itu guntur dilangit masih juga terdengar sekali2 meledak memekakkan telinga. Angin yang kencing bertiup diantara dedaunan, sehingga lampu yang sudah dinyalakan dihalaman dan di gardu2 bagaikan diguncang2, sehingga kadang2 sinarnya menjadi amat redup dan bahkan hampir padam.
"Suasananya terasa aneh sekali," gumam seorang prajurit,"guntur dan guruh tiba2 saja berkejar2an dilangit yang sehari ini tampak cerah."
"Tiba2 saja. Aku menjadi bertanya2 didalam hati, apakah ini suatu pertanda."
"Pertanda apa?"
"Aku tidak mengerti, kenapa kita harus bertugas malam ini. Inipun suatu perintah tiba2 seperti guruh yang tiba2 saja meledak dilangit."
"Apakah kau sama sekali tidak mengerti persoalan yang sedang berkecamuk dihalaman istana ini?"
"Aku memang mendengarnya, tetapi aku ragu2 untuk mempercayainya."
"Apa?" "Besok pagi dipaseban akan ada sidang para pemimpin yang akan membicarakan kenaikan upah bagi para prajurit."
"Ah," prajurit yang lain berdesah.
"Apakah bukan itu yang kau maksud?"
"Tentu bukan." "Jadi?" "Pertentangan yang semakin lama menjadi semakin tajam antara kedua putera Sri Rajasa."
"Lalu, apakah hubungannya dengan kita sekarang ini?"
"Kita harus berjaga2, agar tidak terjadi bentrokan terbuka antara keduanya dan para pengikutnya."
Kawannya mengangguk2kan kepalanya. Tetapi ia tidak berbicara lagi.
Namun dalam pada itu, kedua prajurit itu tidak mengerti bahwa seorang perwira sedang memperhatikan mereka. Perwira itu kadang2 mengerutkan keningnya, kadang2 wajahnya menjadi tegang. Tetapi kemudian sebuah senyum menghiasi bibirnya. Katanya didalam hati,"Tentu kalian tidak mengerti apa yang harus kalian lakukan. Besok kalian harus menguasai keadaan jika beberapa orang Senapati menangkap Anusapati dan Mahisa Agni di paseban. Perintah itu baru akan datang besok pagi jika paseban sudah penuh dengan mereka yang akan mengikuti Sidang.Dan bahkan ketika Sri Rajasa sudah duduk di paseban itu pula."
Tetapi Senapati yang tersenyum itupun tidak mengetahui bahwa dihalaman itu merayap beberapa orang yang sedang melakukan tugas masing2. Dan merekapun tidak tahu, bahwa seseorang yang lebih dahulu dari ketiga orang yang lainpun sedang merayap pula diantara rimbunnya pepohonan. Bukan saja sedang mengendap2 mencari seseorang, tetapi ternyata bahwa ia telah menggenggam keris telanjang ditangannya.
Keris bukan sembarang keris, tetapi keris itu pusaka yang dibuat oleh mPu Gandring. Keris yang sudah dibasahi dengan darah mPu Gandring sendiri dan darah Akuwu Tunggul Ametung. Sehingga dengan demikian keris yang sudah bernoda darah itu agaknya justru telah menjadi haus. Seperti yang dipesankan oleh mPu Gandring menjelang tarikan nafasnya yang terakhir, agar keris itu dihancurkan saja, karena keris itu tentu akan menuntut darah orang berikutnya.
Demikianlah dengan berdebar2 Anusapati, Mahisa Agni dan Witantra berusaha menemukan Sumekar sebelum terjadi apapun juga, karena dugaan mereka semakin lama menjadi semakin kuat bahwa Sumekar akan mengambil tindakan tersendiri. Sudah sejak beberapa lamanya, Sumekar merasa bahwa keadaan yang terkatung2 itu harus diakhiri dengan caranya.Dan cara itulah yang mendebarkan hati Anusapati, Mahisa Agni dan kawan2nya.
03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu Anusapatipun menjadi semakin dekat dengan bangsal Sri Rajasa. Tetapi ia harus sangat berhati2. Jika seseorang melihatnya, persoalannya tentu akan menjadi berbeda. Dan ia tidak akan dapat ingkar lagi, seandainya para prajurit dan kemudian Sri Rajasa sendiri menuduhnya untuk melakukan perlawanan terhadap ayahanda Sri Rajasa bahwa tuduhan yang lebih berat lagi, usaha membunuh Sri Rajasa.
Atas kesadaran itu, maka Anusapatipun menjadi semakin hati2.Ia sama sekali tidak berani mendekati bangsal itu dari depan. Tetapi ia menyusur dinding batu dibelakang bangsal itu dan mendekat lewat longkangan belakang.
"Ayahanda sering menghirup udara di longkangan itu," berkata Anusapati.
Namun ia menjadi ragu2. Sri Rajasa adalah seorang yang memiliki kemampuan tiada taranya. Jika ia berani mendekat, maka Sri Rajasa itu tentu dapat mengetahuinya.
Karena itulah, maka untuk beberapa saat Anusapati menjadi termangu2. Namun ada semacam dorongan yang memaksanya untuk bergerak lebih dekat lagi.
"Aku akan melihat dari kejauhan lebih dahulu," berkata Anusapati didalam hatinya,"agar seandainya ayahanda benar2 ada didalam aku tidak terjebak oleh incerannya yang sangat tajam."
Demikianlah, maka Anusapatipun telah memanjat sebatang pohon preh yang rimbun. Didalam gelapnya malam dan angin yang rasa2nya bertiup semakin kencang, tidak seorangpun yang memperhatikan pohon preh yang bagaikan diguncang2 itu.
Hanya setiap kali tatit memancar dilangit, Anusapati harus melekat pada batang pohon preh itu agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Ketika Anusapati sudah berada ditempat yang cukup tinggi, maka iapun segera menyelusur sebatang cabang yang besar, agar ia dapat melihat kedalam longkangan dalam.
Terasa jantung Anusapati bagaikan berhenti berdenyut. Dari tempatnya, ia melihat seseorang telah berada didalam longkangan belakang bangsal Sri Rajasa. Didalam keremangan cahaya lampu dilongkangan itu. Anusapati melihat, orang itu membawa sebilah keris telanjang.
"Paman Sumekar," ia berdesis.
Sejenak Anusapati justru terpukau oleh pemandangan itu.Ia merasa sesuatu menyentuh hatinya. Sumekar berbuat hal itu justru untuk kepertingannya, karena Sumekar sudah jemu melihat perkembangan yang tidak menentu diistana Singasari ini.
Tetapi apakah ia akan berdiam diri saja melihat tindakan Sumekar itu"
Tiba2 sesuatu terbersit di dalam hatinya. Sebagai manusia biasa Anusapati tidak terlepas dari gangguan kepentingan diri. Itulah sebabnya telah terjadi semacam benturan didalam dirinya. Seperti yang dipesankan oleh pamannya, bahwa sebaiknya ia berusaha membujuk Sumekar untuk kembali ke bangsal Mahisa Agni, namun didalam hatinya yang paling dalam ia berkata kepada diri sendiri."Apakah aku sudah melanggar pesan paman Mahisa Agni jika aku membiarkan paman Sumekar melakukan usahanya untuk menyingkirkan ayahanda Sri Rajasa" Bukankah aku bukan sanak dan bukan kadangnya."
Anusapati justru menjadi ragu2.
Namun sesuatu yang mendesak didalam hatinya justru pengaruh pertentangannya dengan ayahanda Sri Rajasa. Persiapan-persiapan yang menjadi semakin ketat didalam istana Singasari. Dan apalagi ketika terbersit tanggapannya,"Ayahanda mempersiapkan semuanya ini untuk menyingkirkan aku. Tentu bukan sekedar menyingkirkan saja dari istana Singasari ini, tetapi tentu juga mengancam jiwanku." lalu tiba2 ia bergumam,"selagi ayahanda Sri Rajasa masih ada, maka ancaman maut itu tidak akan dapat aku hindarkan. Tetapi apakah aku tidak berhak membela diriku" Dan jika perbuatan paman Sumekar itu merupakan perlindungan bagi jiwaku tanpa berbuat langsung, itu aku dapat dipersalahkan?"
Dalam keragu2an itu, terasa darah Anusapati seakan2 terhenti. Ternyata dari dalam bangsal itu, Sri Rajasa mengetahui bahwa seseorang ada dilongkangan dalam.
"sangat berbahaya bagi paman Sumekar." berkata Anusapati kepada diri sendiri. Tanpa disadarinya ia mencoba memperhatikan para prajurit yang ada didepan bangsal itu.
"Apakah mereka tidak akan mendengar jika terjadi perkelahian."
Dalam pada itu, angin seakan2 menjadi semakin kencang, dan guruh meledak2 dilangit. Memang suatu kelainan musim yang aneh.
"Angin yang keras ini akan melindungi paman Sumekar," berkata Anusapati didalam hatinya."Namun jika ayahanda Sri Rajasa memberikan isyarat kepada para prajurit, maka paman Sumekar akan menjadi sayatan daging di longkangan itu."
Hati Anusapati menjadi semakin berdebar2. Ia sadar, betapa marahnya Sri Rajasa. Tetapi agaknya Sumekarpun sudah bertekad bulat.
"Aku harus mendekat. Aku harus melihat akhir dari peristiwa ini."
Dengan tergesa2 Anusapatipun segera turun dari pohon preh itu. Namun ia masih tetap sadar, bahwan ia memang harus berhati2."
Demikianlah, selagi Anusapati meluncur turun dari pohon preh yang besar itu. Sri Rajasa telah berada dilongkangan belakang. Sebagai seorang yang memiliki kelebihan, maka iapun segera mengetahui bahwan ada seseorang yang mencurigakan dilongkangan. Apalagi Sumekar, yang memang dengan hati yang bulat dan sikap yang pasti, ingin berbuat sesuatu bagi Singasari menurut caranya.
Itulah sebabnya ia dengan sengaja telah memancing Sri Rajasa untuk keluar dari bangsalnya kelongkangan belakang.
Didalam gemuruhnya angin kencang dan guntur yang sekali2 meledak dilangit, maka terdengarlah suara Sumekar lamat2 dan yang hanya didengar oleh Sri Rajasa sendiri,"Tuanku, ternyata perbuatan tuanku sudah tidak dapat dihentikan dengan cara yang ditempuh oleh Mahisa Agni. Justru pada saat Mahisa Agni berusaha dengan segala kelemahan yang ada padanya, tuanku mempergunakan kesempatan ini sebaik2nya. Persiapan yang tuanku lakukan bukannya sekedar sebuah permainan yang dapat dianggap sebagai angin lalu. Tentu ada maksud tuanku yang tidak akan dapat tuanku ingkari lagi, memusnahkan Putera Mahkota dan Mahisa Agni sekaligus."
Sri Rajasa menjadi marah bukan buatan mendengar kata2 Sumekar. Namun ia masih sempat bertanya,"Siapa kau?"
"Apakah tuanku belum pernah melihat hamba" Hamba adalah seorang Pengatasan dari Batil."
"Apa perlumu datang kemari?"
"Hamba ingin memberikan sedikit darma bakti bagi Singasari. Hamba adalah orang yang kagum kepada tuanku yang telah berhasil menyatukan Singasari yang besar dengan segala macam kelebihan tuanku dibidang pemerintahan dan keprajuritan. Namun menyesal sekali bahwa hamba tidak sampai hati melihat apa yang akan tuanku lakukan disaat2 menjelang hari tua tuanku. Hamba tidak rela melihat usaha tuanku menyerahkan Singasari kepada seseorang yang tidak akan dapat meneruskan keagungan pemerintahan tuanku."
"Aku tidak tahu maksudmu."
"Tuanku, sebenarnyalah hamba berharap agar tuanku tidak menarik keputusan tuanku untuk menyerahkan kekuasaan Singasari dari tangan Anusapati, karena menurut pengamatan hamba, Putera Mahkota Anusapati akan dapat mengendalikan kekuasaan Singasari dan memperkembangkannya seperti yang tuanku kehendaki. Tetapi tentu tidak demikian dengan tuanku Tohjaya. Tuanku Tohjaya seperti ibundanya, adalah seorang yang paling tamak diseluruh Singasari."
"Cukup," bentak Sri Rajasa.
Meskipun suaranya cukup keras namun para prajurit didepan bangsal itu tidak dapat mendengarnya karena angin yang keras diseling dengan suara guntur yang menggelegar.
"Apakah kau ada hubungan keluarga dengan Anusapati?" bertanya Sri Rajasa.
"Tidak. Aku tidak mempunyai hubungan keluarga dengan tuanku Anusapati, juga tidak dengan tuanku Tohjaya."
"Kau adalah pengikut Tunggul Ametung yang setia."
"Pada jaman Akuwu Tunggul Ametung, aku tidak tahu apa2 sama sekali."
"Jadi, apa sebenarnya yang kau kehendaki?"
"Kelangsungan hasil kerja tuanku Sri Rajasa yang besar."
"Gila, kau ingin kelangsungan hidup Singasari yang besar atas usahaku sekarang kau datang dengan cara yang gila ini."
"Tuanku, hamba mohon agar tuanku mengurungkan niat tuanku untuk menggeser tuanku Anusapati. Tuanku tidak usah ingkar. Dan hamba mengharap agar tuanku Tohjaya dibatasi kekuasaannya sehingga bukan tuanku Tohjayalah yang seakan2 menjabat sebagai seorang Pangeran Pati. Tetapi tuanku Anusapati."
"Jangan gila pengalasan dari Batil. Aku berhak menentukan apa saja. Bukan kau. Aku mempunyai kekuasaan tidak terbatas di Singasari."
JILID 79 "ITULAH kesalahan tuanku, Justru karena tuanku merasa memiliki kekuasaan yang tidak terbatas."
"Lalu apa maumu sebenarnya."
"Sudah hamba katakan."
"Gila, aku tidak mau mendengar kata2mu itu.Aku berhak mengatakan apa saja yang ingin aku katakan. Dan aku berhak memutuskan apa yang ingin aku putuskan."
"Tuanku" berkata Sumekar yang bagaikan orang kehilangan, nalar" hamba tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Hamba mohon tuanku berjanji."
"Tidak." "Kenapa tidak?"
"Kau gila." "Tidak tuanku, hamba tidak gila. Hamba ingin hal itu terjadi. Tuanku harus berjanji."
"Aku tidak mau."
"Jika tidak, hamba terpaksa melakukan kekerasan. Untuk kepentingan kabesaran hasil usaha tuanku atas Singasari, maka hamba terpaksa menyingkirkan tuanku."
"Kau gila. Kau benar2 sudah menjadi gila."
"Tinggal ada dua pilihan. Memenuhi permohonan hamba, atau hamba terpaksa membunuh tuanku. Lihat, hamba sudah membawa pusaka yang pasti tuanku kenal."
Sri Rajasa memandang keris ditangan Sumekar itu dengan dada yang ber-debar2. Ia tahu bahwa keris itu tentu jatuh ketangan Anusapati lewat ibundanya.Maka katanya
"Kau tentu mendapat perintah dari Anusapati, atau Mahisa"Agni atau bahkan dari Ken Dedes sendiri."
"Tidak. Tidak seorangpun memerintahkan kepada-hamba. Hamba justru telah menipu tuanku Anusapati, sehingga hamba mendapatkan keris buatan mPu Gandring ini.. Keris yang sudah pernah menjilat darah. "
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu menjadi ber-debar2.Dipandanginya keris buatan mPu Gandring itu. Keris yang pernah dipergunakannya untuk membunuh beberapa orang. Diantaranya adalah mPu Gandring sendiri.
Sri Rajasa menarik nafas dalam2. Katanya "Apakah kau sudah gila" Kau tentu tahu bahwa aku adalah Sri Rajasa. Seseorang yang pernah mengalahkan dan membinasakan Maharaja di Kediri. Sekarang, kau seorang pengalasan yang bodoh mencoba untuk membunuh aku. Apapun yang kau genggam, namun tentu nyawamu sendirilah yang akan direnggut oleh ujung senjata itu. Karena itu, urungkan niatmu. Aku tidak akan menuntut hukuman apapun karena aku tahu, bahwa kau sedang terganggu syarafmu. Aku akan melupakannya. Dan kau dapat bekerja seperti biasa ditaman istana Singasari ini. Tetapi, serahkan keris itu kepadaku."
"Maaf tuanku. Hamba mohon jawaban tuanku. Apakah tuanku mengurungkan niat tuanku untuk menyingkirkan tuanku Anusapati apa tidak. Jawaban tuanku adalah jawaban seorang Maharaja yang tentu tidak akan dijilat kembali meskipun musim berubah sehari tujuh kali."
Sri Rajasa menjadi tegang. Kemarahan yang menyala di-dadanya bagaikan membakar jantung. Namun ia masih tetap berusaha menjaga diri sebagai seorang Maharaja. Tentu tidak pantas bahwa seorang Maharaja yang besar harus berkelahi melawan seorang juru taman meskipun didalam beberapa saat saja juru taman itu akan terbunuh. Dan apakah kata para prajurit yang bertugas diregol, bahwa dilongkangan ini terdapat mayat seorang pengalasan"
Namun tiba2 Sri Rajasa menggeretakkan giginya.Katanya
"Para prajurit memang terlampau malas. Kenapa mereka tidak melihat seorang pengalasan yang tiba2 saja sudah berada di longkangan ini?"
"Tuanku" berkata Sumekar kemudian " tuanku belum memberikan jawab."
"Pangalasan yang dungu" berkata Sri Rajasa kemudian
"seharusnya kau dapat mengerti, bahwa usahamu ini akan sia2. Mungkin kau memang memiliki beberapa kelebihan karena ternyata kau dapat sampai dilongkangan ini tanpa diketahui oleh seorangpun. Tetapi kau seharusnya mengerti, siapakah yang sedang kau hadapi sekarang. Karena itu, serahkan keris itu dan tinggalkan longkangan ini. Aku akan mengampunimu, karena seperti yang aku katakan, bahwa aku menganggap kau sekarang sedang dihinggapi setan, atau katakanlah bahwa kau memang mempunyai penyakit gila."
Sumekar memang tidak melihat bahwa Sri Rajasa akan mengerti maksudnya. Karena itu maka katanya," Ampun tuanku. Untuk kepentingan Singasari yang besar, dan sebagai timbangan yang tidak berarti bagi kesatuan Singasari yang telah tuanku bina hamba terpaksa membunuh tuanku, agar tuanku Tohjaya tidak akan mendapat kesempatan untuk menduduki tahta Singasari. Sebenarnya bukan niat hamba untuk membunuh. Tetapi apa boleh buat, karena ternyata tuanku tidak bersedia berjanji untuk tidak memberi kesempatan kepada tuanku Tohjaya yang manja dan tamak itu."
"Pangalasan dari Batil" berkata Sri Rajasa" jangan membunuh diri disini. Jika kau memang terganggu oleh pikiran gila sehingga kau ingin membunuh diri, lakukanlah. Tetapi jangan disini."
Sumekar memandang Sri Rajasa dari ujung rambut sampai keujung kakinya. Dan tiba2 saja matanya menjadi liar, sehingga sambil menggeram ia melangkah maju" Kesempatan terakhir bagi tuanku."
Ketika kilat menyambar dilangit, Sri Rajasa melihat wajah Sumekar semakin jelas. Matanya menjadi merah dan wajah itu menegang. Tangan yang menggenggam keris itu menjadi gemetar.
Sri Rajasa ter-mangu2 sejenak. Se-akan2 ia melihat dirinya sendiri ketika ia mengambil keputusan untuk membunuh mPu Gandring untuk menghilangkan jejak pembunuhan yang akan dilakukannya. Juga se-akan2 dilihatnya bayangan dirinya sendiri pada saat ia membunuh Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel
"Apakah memang sudah waktunya aku menebus kesalahan itu setelah aku berhasil dengan cita2ku mempersatukan Smgasari?" ia bertanya kepada diri sendiri.
"Tetapi tidak lantaran seorang pangalasan. Tidak lantaran seorang budak yang rendah. Seandainya aku akan mati juga, maka biarlah orang yang pantas telah membunuhku."
Tetapi sekali lagi terbayang, bahwa Akuwu Tunggul Ametungpun mati dibunuh oleh seorang prajurit rendahan, Ken Arok yang pernah menjadi penghuni padang Karautan, berkawan Malang, berselimut awan dan beralaskan bumi jika malam telah datang.
"Tuanku" berkata Sumekar" tuanku jangan mengulur waktu untuk mendapat kesempatan memanggil para prajurit yang bertugas didepan bangsal ini. Langit yang berawan gelap dan angin yang kencang serta guruh yang ber-sahut2an adalah pertanda bahwa niatku telah mendapat restu dari Yang Maha Agung. Tuanku tidak akan dapat memanggil siapapun. juga, karena mereka tidak akan mendengar suara tuanku."
"Pangalasan dari Batil. Aku tidak perlu memanggil siapapun juga. Aku dapat membunuhmu seperti aku membunuh seekor lalat.Yang aku pikirkan justru bagaimana aku menyelamatkanmu dari kegilaan ini."
"Tuanku jangan berpikir tentang hamba. Lihatlah langit yang gelap untuk yang terakhir kalinya. Hamba sudah kehabisan kesabaran dan waktu."
Sebenarnyalah Sri Rajasapun sudah jemu pula dengan permainan yang memuakkan itu. Karena itu, maka iapun ingin segera mengakhirinya. Apapun yang dikatakan oleh para prajurit, bahwa didalam longkangan itu terdapat seorang pengalasan yang mati, ia tidak peduli. Biarlah mereka membuang mayat itu seperti membuang mayat pengenrs yang paling rendah derajadnya karena pengkhianatan yang gila itu.
Karena itu, maka Sri Rajasa tidak menjawab lagi. Tak menunggu Sumekar menyerangnya. Kemudian dengan sebuah pukulan ia ingin membunuhnya.
Namun melihat sikap Sumekar, Sri Rajasa menjadi heran. Sikap itu bukan sekedar sikap seorang juru taman yang bodoh, bahkan yang telah terganggu urat syarafnya. Ia melihat sikap yang lain pada juru taman itu, sehingga karena itu, maka Sri Rajasapun menjadi curiga.
Ternyata dugaan itu benar. Untunglah bahwa ia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan, karena ternyata serangan Sumekar kemudian adalah bagaikan tatit yang sedang berloncatan dilangit.
Sri Rajasa masih sempat mengelak. Dan dengan kemarahan yang rasa2nya membakar jantungnya, maka iapun menyerang kembali dengan dahsyatnya pula.
Demikianlah maka keduanyapun segera terlihat dalam perkelahian yang sengit. Ternyata bahwa kemampuan Sumekar diluar dugaan Sri Rajasa. Ia mampu me-loncat2 dengan lincahnya seperti anak kijang dipadang yang luas.
Tetapi lawannya adalah Sri Rajasa. Seorang yang memiliki kemampuan yang ajaib. Yang tidak dapat dimengerti oleh siapapun juga, bahkan oleh Sri Rajasa sendiri.
Dengan demikian maka perkelahian itopun semak'n lama menjadi semakin dahsyat. Di-sela2 deru guruh dilangit dan desah angin yang keras, keduanya telah mempertaruhkan jiwa masing2 dalam perkelahian yang tiada taranya. Bahkan Sumekar tidak ragu lagi mempergunakan ilmunya yang paling menakjubkan.
Meskipun demikian, ternyata bahwa ia tidak segera dapat menguasai lawannya. Bahkan kemudian, ketika semakin lama kemampuan aji puncaknya berhasil mendesak Sri Rajasa, tampaklah, betapa kemarahan yang menyala didalam dada Sri Rajasa itu telah mempengaruhi tata geraknya, yang semakin lama menjadi semakin kasar. Tangannya yang terayun kesegala arah, beserta kakinya yang berloncatan, membuat Sumekar kadang2 menjadi bingung. Namun karena Sumekar cukup memiliki bekal, maka iapun tetap berhasil menguasai dirinya.
Namun tiba2 dada Sumekar menjadi ber-debar2 semakin dahsyat. Tiba2 ia melihat sesuatu yang aneh. Sesuatu yang hanya pernah didengarnya. Kini ia benar2 melihat.
Dalam perkelahian yang semakin sengit itu, tampaklah sesuatu diatas ubun2 Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa itu. Cahaya yang samar2, yang semakin lama menjadi semakin jelas. Warna merah bara yang tampak antara ada dan tidak ada.
" Inilah pertanda kebesarannya" bertanya Sumekar kepada diri sendiri.
Namun ia sudah bertekad untuk membunuh Ken Arok itu dengan keris mPu Gandring. Keris yang pernah dibasahi dengan darah orang yang menciptakannya, mPu Gandring oleh Ken Arok itu sendiri. Sekarang keris itu menuntut imbalan yang seimbang. Darah Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Tetapi tidak mudah untuk membunuh Sri Rajasa. Betapapun juga Sumekar mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, namun ia tidak segera berhasil menyentuh kulit
Sri Rajasa dengan ujung kerisnya, Segorespun tidak. Betapa ia menghentakkan aji pamungkasnya, yang mendorong setiap tata geraknya menjadi senakin cepat dan semakin kuat, berlipat ganda, namun ternyata Sri Rajasa dapat mengimbanginya Bahkan tandangnya semakin lama menjadi semakin kasar, dan adalah diluar dugaan Sumekar, bahwa cara Ken Arok bertempur benar2 mencerminkan tata perkelahian sesosok Hantu di padang Karautan.
Agaknya cahaya yang ke-merah2an itulah yang menuntun segala gerak Ken Arok yang tidak dimengertinya sendiri itu. Kempnararn uiuna keris Sumekar hereerak dan menyambar, tubuh Ken Arok itu se-akan2 memiliki mata disetiap jengkal, sehingga ia masih juga mampu menghindarinya.
Bahkan kadang2 kecepatan gerak Ken Arok benar2 diluar dugaan, sehingga justru Sumekarlah yang sering menjadi bingung dan kehilangan lawannya.
" Gila" Sumekar berdesis" inilah agaknya yang telah dapat menolongnya membunuh Maharaja Kediri itu. Kemampuan yang luar biasa tetapi juga betapa kasar dan liarnya. Kecepatan bergerak dan menyerang. Kadang2 diluar jangkauan nalar,"
Meskipun demikian Sumekar tidak gentar sama sekali. Selain aji yang pernah diterimanya dari gurunya, ia juga menggenggam sipat kandel yang jarang ada duanya dimuka bumi.Keris yang memiliki kemampuan tiada taranya. Setiap sentuhan, pasti akan berarti maut.
Maka Sumekar mencoba mempergunakan keris itu sebaiknya. Diputarnya keris itu bagaikan baling2. Kemudian mematuk seperti mulut ular yang paling berbisa.
Tetapi ia masih belum berhasil menyentuh lawannya.
Sri Rajasapun menjadi semakin heran melihat kemampuan Sumekar. Karena itu, maka lapun kemudian bertanya" Siapakah sebenarnya kau, dan siapakah yang menyuruhmu datang kemari?"
Sumekar tidak segera menjawab, tetapi ia menyerang semakin dahsyat, sehingga perkelahian itupun menjadi semakin seru karenanya.
Sri Rajasa yang sudah kehilangan kesabaran itupun kemudian menggeram" Persetan. Aku tidak peduli, siapakah yang menyuruh kau kemari. Tetapi kau memang harus segera dibinasakan."
Demikianlah Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa, dan yang pernah merajai Padang Karautan sejak ia masih sangat muda itu, mengerahkan segenap kemampuannya oleh kemarahan yang mendesak. Karena itu, maka cahaya yang ke-merah2an-di-ubun2nya itu menjadi semakin terang. Namun dalam pada itu kemampuannyapun se-akan2 telah berlipat2.Dengan kecepatan yang liar Sri Rajasa telah menyerang Sumekar se-jadi2-nya,
Sumekar akhirnya benar2 telah terdesak. Ia tidak mempunyai ruang gerak isama sekali. Namun ia masih percaya kepada kerisnya. Jika ia masih sempat menggoreskannya pada .tubuh Sri Rajasa, maka ia tentu akan mati. Cepat atau lambat..
Tetapi yang menjadi benar2 diluar dugaan. Tusukan Sumekar, yang se-akan2 merupakan kesempatan yang terbuka, ternyata telah masuk kedalam perangkap tangan Ken Arok. Sesuatu yang tidak di-sangka2 sama sekali telah menghentikan setiap harapan yang pernah tumbuh didada Sumekar.
Ketika Sri Rajasa tampaknya lengah, maka Sumekarpun segera menusuk lambung kanannya. Namun ternyata Ken Arok masih sempat mengelak. Dan adalah diluar kemampuan Sumekar, bahwa tangan Ken Arok begitu cepatnya menangkap pergelangan Sumekar. Yang terjadi kemudian hanyalah sekejap saja ketika justru keris ditangannya, yang dipertahankan mati2-an meskipun pergelangan tangannya ditangkap oleh Ken Arok, telah dihentakkan oleh Ken Arok itu, sehingga justru telah menyentuh lengan kirinya sendiri.
" Gila, kau gila" Sumekar mengumpat se-jadi2nya. Ia sadar apa yang akan terjadi atas dirinya. Karena itu, dengan membabi buta ia kemudian mengayunkan kerisnya bagaikan orang gila melanda Ken Arok, meskipun Ken Arok masih tetap tidak melepaskan genggamannya.
Ken Arok terkejut melihat sikap itu. Ternyata sentuhan keris mPu Gandring pada lengan Sumekar membuatnya berputus asa dan kehilangan segala macam harapan untuk tetap hidup.
Adalah diluar dugaan Ken Arok, maka keputus-asaan itu membuat Sumekar memiliki kemampuan terakhir yang tidak dapat dibayangkan. Dengan hentakan yg menyentak Sumekar berhasil melepaskan tangannya yang memegang keris dari genggaman Ken Arok. Kemudian seperti serigala lapar ia meloncat menerkam mangsanya.
Namun sekali lagi Ken Arok berhasil menghindar, sehingga Sumekar sama sekali tidak berhasil menyentuhnya.
Ternyata bahwa Sumekar telah menghentakkan segenap kekuatannya yang terakhir. Dengan demikian, ketika ia tidak berhasil menyentuh Ken Arok dan kemudian jatuh tertehingkup, maka Sumekar sudah tidak mampu bergerak sama sekali. Ia hanya dapat menggeliat sambil mengacungkan kerisnya dan berkata" Ken Arok, kau sekarang dapat melepaskan diri dari keris ini, tetapi pada suatu saat, kau akan disentuhnya juga."
Dalam pada itu, Ken Arok berdiri dengan tegang. Sekali terdengar guruh meledak dilangit, dan angin bagaikan semakin keras bertiup. Awan yang hitam ber-gulung2 hanyut dilangit didorong oleh angin yang kencang.
Tiba2 Ken Arok terkejut ketika ia mendengar desir diatas dinding longkangan. Dengan gerak naluriah ia meloncat surut dan segera mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan.
Ternyata bahwa pada saat Sumekar kehilangan semua kekuatannya, Anusapati yang telah cukup lama mengintai perkelahian itu, tidak sampai hati membiarkannya terbaring diam. Sebagai seorang yang merasa dirinya dilindungi, dibantu dan bahkan yang terakhir, Sumekar telah berjuang untuk dirinya, Anusapati tidak dapat membiarkan Sumekar mati tanpa, seorangpun yang memperhatikannya, selain pandangan yang penuh amarah dari Sri Rajasa.
Karena itulah maka ketika Sumekar telah sampai pada saat2 menjelang akhir hidupnya, maka Anusapati telah mengabaikan segala macam akibat yang dapat terjadi atas dirinya.
" Anusapati. kau" terdengar Ken Arok berdesis.
Anusapati telah berjongkok disamping Sumekar. Dengan tatapan mata yang sayu ia berkata
" Paman Sumekar, apakah yang telah terjadi ?"
Sumekar membuka matanya. Dilihatnya Anusapati berjongkok disampingnya.
" O, tuanku. Kenapa tuanku kemari ?"
" Aku sedang mencari paman. Tetapi aku tidak menemukan paman dibangsal pamanda Mahisa Agni."
" Maafkan tuanku. Aku telah menipu tuanku. Aku memang tidak akan membawa keris itu kepada Mahisa Agni, tetapi aku ingin segera menyelesaikan persoalan ini dengan Ken Arok. Tetapi aku ternyata gagal tuanku. Ternyata Ken Arok adalah jelmaan iblis yang paling laknat dipadang Karaii-tan."
Anusapati berpaling sejenak. Dipandanginya Ken Arok yang masih berdiri diam. Namun ketika ia melihat sorot mata Anusapati, maka iapun berkata penuh kemarahan" Jadi kau yang menyuruhnya Anusapati ?"
" Tidak ayahanda. Seperti yang dikatakan, ia telah menipu aku."
Ken Arok memandang Anusapati sejenak.Lalu dengan nada yang datar ia bertanya" Jadi kau mendengar apa yang dikatakannya ?"
Anusapati menjadi ragu2 sejenak. Lalu jawabnya" Ya ayahanda. Hamba mendengar beberapa bagian dari pembicaraan ayahanda dengan pengalasan dari Batil."
" Jika orang ini bukan atas namamu, kau tentu tidak hanya akan tinggal diam. Jika benar ia telah menipumu, maka kau tentu akan dengan ter-gesa2 mencegahnya." Ken Arok berhenti sejenak, lalu" dan kau tidak, akan datang dengan diam2 lewat tongkangan belakang. Kau tentu akan menemui prajurit yang mengawal bangsal ini didepan."
" Ampun ayahanda" desis Anusapati" hamba sebenarnya memang sedang mencarinya."
" Kenapa kau tidak mencegahnya ketika kau sudah mengetahui bahwa ia sudah berada disini?"
Pertanyaan itu benar2 telah membingungkan Anusapati. Karena itu, maka ia tidak segera dapat menjawabnya.
" Anusapati" berkata Ken Arok" ternyata bahwa kau benar2 telah feeiMiianat. Jika tidak, tentu tidak akan terjadi persoalan seperti ini. Karena itu, maka seperti kau juga rela atas kematianku, maka akupun rela jika kau mati dilong kangan ini."
Ken Arok" Sumekar masih mencoba berbicara" sebenarnyalah tuanku Anusapati tidak bersalah. Aku telah menipunya dan menguasai keris itu."
" Omong kosong." potong Sri Rajasa" tentu kalian sudah membicarakannya lebih dahulu untuk menghadapi kemungkinan seperti ini."
Sumekar yang semakin lemah itu akhirnya tidak dapat lagi berbicara terlampau keras, sehingga hampir tidak terdengar ia berkata" Ken Arok. Aku bukan seorang yang licik seperti kau. Aku tidak membunuh orang dengan curang, atau meminjam tangan orang lain. Aku berusaha melakukannya sendiri atas kemauanku sendiri."
" Gila" bentak Sri Rajasa" bukan kau yang meminjam tangan orang lain. Tetapi ternyata Anusapatilah yang berusaha meminjam tanganmu. Tetapi sayang, bahwa kaulah yang mati, bukan aku."
Sumekar masih akan menjawab. Tetapi warangan keris mPu Gandring telah bekerja diseluruh tubuhnya, sehingga Sumekar tidak dapat lagi mengucapkan sepatah katapun. Namun dengan matanya yang redup ia masih ingin mohon diri kepada Anusapati.Ketika kilat memancar dilangit, maka Anusapati melihat Sumekar itu tersenyum.
" Paman, paman" panggil Anusapati.
Tetapi Sumekar tidak dapat menjawab lagi. Wajahnya menjadi pucat, dan akhirnya Sumekar menghembuskan nafasnya yang terakhir.
" Ayahanda telah membunuhnya" desis Anusapati.
" Ya, aku telah membunuhnya. Bukan saja Pangalasan dari Batil. Tetapi juga kau harus mati."
" Apakah ayahanda akan membunuh aku?"
" Ya," " Hamba memang sudah merasa bahwa ayahanda akan Melakukannya. Seandainya hamba tidak datang kemari malam mi, maka ayahanda pasti akan melakukannya besok. Hamba sudah tahu rencana itu. Pergantian prajurit yang agak mencurigakan, kegiatan yang diluar kebiasaan, bahwa ayahanda telah memanggil paman Mahisa Apii bersidang dipaseban besok dan semuanya yang tidak hamba mengerti, telah menimbulkan kecurigaan hamba."
Beauty Honey 2 Pembunuh Cahaya Karya Santhy Agatha Si Bungkuk Pendekar Aneh 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama