Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 16
cucu-cucunya berkuasa, setelah melampaui masa yang penuh
dengan duri-duri tajam. Hari itu adalah hari berkabung bagi seluruh daerah Singasari.
Seorang puteri telah pergi. Bagi rakyat Singasari, mereka
menganggap bahwa Ken Dedes adalah pepunden, tetapi sekaligus
ibu mereka. Tetapi hanya sedikit orang yang mengerti, bahwa semasa
gadisnya, Ken Dedes pernah menggetarkan hati seorang yang
disebut putera Brahma, karena tubuh gadis itu memancarkan
cahaya yang aneh, yang menurut ramalan seorang ahli, bahwa
gadis yang demikian itulah yang kelak akan menurunkan orangorang
yang berkuasa di seluruh tlatah kepulauan yang berhamburan
di katulistiwa. Sampai saat terakhir, ramalan itu ternyata benar. Cucu-cucu Ken
Dedes yang akhirnya berkuasa memegang tampuk pemerintahan di
Singasari. 928 Dan orang yang meramalkan tentang gadis yang bercahaya itu
adalah seorang pendeta bernama Lohgawe jauh sebelum Ken Dedes
menjadi isteri Sri Rajasa.
Dan ramalan itulah yang telah mendorong Ken Arok yang
kemudian bergelar Sri Rajasa itu untuk melakukan beberapa
pembunuhan dan perbuatan licik lainnya, meskipun kemudian
sebagai seorang raja ia adalah raja yang besar.
Disaat terakhir itu, Ken Dedes mendapat kehormatan tertinggi
dari seluruh rakyat Singasari.
Namun dalam pada itu, selagi rakyat Singasari sibuk dengan
upacara yang khitmat, tiga orang berjalan di antara rakyat Singasari
yang sedang berkabung itu. Wajahnya sama sekali tidak
menunjukkan kesan serupa dengan orang-orang lain yang sedang
merasa kehilangan. Yang nampak pada wajah itu justru dendam
dan kebencian yang menyala di dalam dadanya.
Tetapi, tidak banyak orang yang menghiraukannya. Orang-mang
yang berpapasan dengan ketiga orang itu hanya menganggap
bahwa orang-orang itu memang berwajah keras. Tanpa prasangka
apapun juga. "Rakyat Singasari sudah dibius oleh Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka." berkata salah seorang daripadanya.
"Juga orang-orang Kediri menjadi banci. Mereka tidak melihatlihat
saat-saat yang sebenarnya menguntungkan." sahut yang lain.
"Apa peduli kita terhadap Kediri. Di Kediri tidak ada lagi orangorang
yang dapat dipercaya. Apalagi jika mereka mendengar nama
Mahisa Agni. Rasa-rasanya mereka sudah mati berdiri."
"Mahisa Agni memang seorang yang tidak ada duanya." desis
yang tertua di antara ketiganya, "Tetapi bukan berarti bahwa
Mahisa Agni tidak akan terlawan. Ia kini sudah menjadi semakin tua.
Sebentar lagi kemampuannya, betapapun tingginya akan retak
ditelan umurnya. Ia akan mati tanpa dibunuh oleh siapapun."
929 "Tetapi sementara itu ia sempat membentuk sepasang ular itu
menjadi orang seperti dirinya." bantah yang lain.
Ketiganya terdiam sejenak. Mereka sempat memperhatikan
betapa orang-orang Singasari menjadi sibuk karena wafatnya Ken
Dedes. "Kita akan sampai pada saat yang tepat. Selagi orang-orang
Singasari memusatkan perhatian mereka kepada saat-saat
penguburan Ken Dedes, kita akan dapat mulai dengan goncangangoncangan
yang dapat membangunkan rakyat dari tidurnya."
"Apa yang dapat kita kerjakan sekarang?"
"Bahwa sepeninggal tuanku Tohjaya, Singasari menjadi kisruh."
"Hanya kisruh?"
"Untuk sementara. Selebihnya harus kita atur kemudian."
"Tetapi jangan diberi kesempatan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka memerintah dengan tenang. Kekisruhan ini akan
mempengaruhi hubungan Singasari dengan Kediri pula."
"Sekali lagi aku katakan, aku tidak dapat mengharapkan Kediri.
Tetapi aku lebih mengharapkan bantuan satu atau dua orang
Akuwu. Dengan demikian kita akan mempunyai pacatan kekuasaan
bagi diri kita sendiri. Tidak bagi orang-orang Kediri, karena orangorang
Kediri pun akan berjuang bagi diri mereka sendiri."
"Tetapi untuk sementara Kediri dapat dipergunakan untuk
menarik perhatian atau setidak-tidaknya mengurangi kekuatan
Singasari. Selebihnya, kita akan menarik keuntungan dari benturan
itu." "Harapannya kecil sekali. Sekarang Kediri justru masih dapat
dihisap oleh Mahisa Agni."
"Jadi?" "Kita akan menunggu. Kita melihat, apa yang dilakukan oleh
rakyat Singasari pada saat-saat kematian Ken Dedes sekarang ini."
930 "Harus ada kesan, bahwa tidak seluruh rakyat Singasari
berkabung. Dengan demikian, maka kesan itu akan tersebar luas,
karena justru pada saat ini banyak sekali orang-orang dari luar kota
Singasari berada di sini. Jika kita dapat menimbulkan atas Ken
Dedes sekarang ini, maka usaha kita yang pertama sudah berhasil."
"Apakah keuntungannya?"
"Sudah aku katakan. Bahkan kesan yang didapat, tidak semua
orang setia kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Sehingga
orang-orang Singasari tidak menganggap bahwa mereka adalah
manusia yang memiliki wewenang langsung dati yang Maha Agung
untuk memerintah Singasari seperti anggap beberapa orang."
"Apakah begitu?"
"Sebagian rakyat Singasari menganggap bahwa kedua orang itu
memang sudah ditakdirkan untuk menjadi pemimpin bagi mereka,
sehingga mereka menjadi silau dan tidak dapat menilai dengan
sewajarnya." "Jika mereka dapat menilai dengan sewajarnya?" bertanya
kawannya. "Ah. kau gila. Aku berharap bahwa rakyat Singasari ini menjadi
terbuka matanya, bahwa ada kekuatan lain yang perlu
dipertimbangkan." "Kau benar." sahut yang lain. Lalu, "Aku setuju bahwa kita harus
menumbuhkan kesan, bahwa kematian Ken Dedes, bukan sesuatu
yang harus disesalkan. Dan bahwa Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka adalah manusia lumrah yang pada suatu saat akan dapat
ditumbuhkan." Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Lalu
tiba-tiba salah seorang dari mereka bergumam, "Bagaimana dengan
kekuasaan Linggapati di Mahibit?"
Yang lain mengerutkan keningnya. Kemudian salah seorang dari
mereka di Mahibit mempunyai kekuatan yang memadai untuk
melaksanakan rencana ini.
931 "Tetapi seperti Kediri, ia akan berbuat bagi dirinya sendiri. Aku
lebih condong untuk berhubungan dengan Akuwu di Babatu."
"Kita pikirkan kemudian." potong yang lain, lalu, "Apa yang
pantas kita lakukan sekarang."
"Kita sebut-sebut nama tuanku Tohjaya."
"Itu terlampau berbahaya."
"Jadi?" "Sebaiknya kesan yang timbul bukan karena kita mendendam
karena tuanku Tohjaya telah disingkirkan. Dengan, demikan maka
pengaruhnya akan kecil sekali bagi rakyat Singasari, karena mereka
menganggap lumrah jika kita, pengikut-pengikut tuanku Tohjaya
menjadi sakit hati sepeninggalnya."
"Jadi?" "Kita membuat rajapati. Kita mengambil seseorang dan
membunuhnya di gerbang kota. Kita lemparkan kepada para prajurit
penjaga pintu gerbang. Jika mereka mengejar kita. Kita selesaikan
sama sekali di luar kota."
"Kita sisakan salah seorang dari mereka. Kita perkenalkan diri
kita dan perguruan kita. Kita tunjukkan ciri-ciri kita yang bukan lagi
prajurit-prajurit seperti saat-saat kita belum berguru."
"Apakah itu tidak berbahaya" Mahisa Agni akan bertindak atas
perguruan kita." "Tidak seorang pun akan dapat menemukan padepokan kita itu."
Ketiga orang itu terdiam sejenak. Lalu salah seorang dari mereka
tiba-tiba berkata, "He, kau lihat anak muda itu?"
"Ya. Anak muda yang tampan. Ia berjalan seorang diri." jawab
kawannya, "Apa maksudmu?"
Kawannya tidak segera menjawab. Di pandanginya saja anak
muda yang disebutnya. Namun tiba-tiba ia berkata, "He, ia tidak
932 sendiri. Ia berjalan bersama kawannya. Atau barangkali adiknya.
Rupanya mirip sekali."
Kedua kawannya yang lain mengangguk-angguk. Anak muda
yang dimaksud memang berjalan bersama seorang anak muda yang
lain, yang mula-mula sedikit terpisah, namun yang kemudian
bergabung kembali. "Kau mengenal anak muda itu?" bertanya orang yang mula-mula
menunjuknya. Kawan-kawannya menggelengkan kepalanya.
"Tidak." jawab salah seorang dari padanya.
"Aku senang kepada anak-anak muda itu."
"Maksudmu" Apakah anak-anak itu akan kau ajak makan
bersama kita atau kau ajak pulang atau akan kau beri uang?"
Orang itu tertawa. Katanya, "Kita buat anak itu menjadi bahan."
"Bahan?" "Bukankah kita sepakat untuk membuat keributan" Kita bawa
anak itu ke dekat perbatasan kota. Kemudian anak ini kita bunuh
dan kita lemparkan kepada para prajurit yang bertugas. Jika
prajurit-prajurit ku mengejar kita, kita akan membunuh mereka
pula. Bukankah begitu" Bukankah kita akan membiarkan seorang
dari mereka hidup dan mengenal ciri-ciri perguruan kita. Sehingga
dengan demikian, Singasari akan menyadari, bahwa sebuah
perguruan yang besar telah memusuhinya untuk jangka waktu yang
panjang, maka perguruan itu akan menghimpun rakyat yang
menyadari keadaannya dan menumbangkan kekuasaan Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka."
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka melihat kedua anak
muda itu berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan kota yang sedang
diliputi oleh suasana berkabung.
"Marilah kita ikuti anak yang malang itu, karena tiba-tiba saja ia
telah diterkam oleh bahaya maut. Tidak seorang pun yang dapat
933 menolak nasib, yang telah menggerakkan hati kita untuk
memilihnya menjadi korban yang pertama, karena korban-korban
berikutnya akan berjatuhan."
Ketiganya pun kemudian berjalan mengikuti kedua anak muda
yang mereka sebut sebagai anak-anak muda yang malang, yang
tiba-tiba saja telah diterkam oleh nasib buruk.
Semakin lama ketiga orang itu menjadi semakin dekat, sehingga
mereka mendengar pembicaraan kedua orang anak-anak muda itu.
"Marilah kita kembali." ajak yang muda.
"Kita belum mengelilingi kota ini seluruhnya." jawab yang lebih
tua. "Bukankah ayah berpesan, agar kita segera kembali" Upacara
penyelenggaraan jenazah itu sudah akan dilakukan dan sebaiknya
kita sudah berada di halaman istana."
Yang tua termenung sejenak. Namun kemudian katanya,
"Baiklah. Tetapi kita akan menempuh jalan yang lain. Bukan jalan
yang kita lalui pada saat kita pergi dari istana sampai ke tempat ini."
Yang muda pun mengangguk-angguk.
Ketiga orang yang dengan sengaja ingin menimbulkan kekacauan
itu mengikutinya saja. Mereka mencari kesempatan untuk
membujuk anak-anak itu pergi keperbatasan kota.
Ketika kedua anak muda itu tiba-tiba berhenti dan termangumangu
maka tahulah ketiga orang yang mengikutinya bahwa anak
itu menjadi bingung. Mereka tidak mengetahui, jalan yang manakah
yang menuju keistana Singasari.
Salah seorang dari ketiga orang yang mengikutinya itu pun
kemudian mendekatinya sambil bertanya, "He anak muda, Apakah
ada yang sedang kau cari?"
Anaka muda itu memandang orang yang bertanya kepadanya
dengan heran, karena ia merasa sama sekali belum pernah
mengenalnya. 934 "Kau tentu belum mengenal aku." berkata orang itu, "Karena aku
pun belum pernah mengenal kalian. Tetapi aku dapat melihat bahwa
kalian agaknya sedang kebingungan. Apakah kau orang baru di kota
ini?" "Kami bukan orang baru di kota ini." jawab yang lebih tua, "Kami
adalah anak padesan, yang saat ini mengikuti ayah ke istana,
karena di istana ada seorang puteri yang wafat."
Orang yang mengikutinya itu mengangguk-angguk. Lalu,
"Bukankah sedang mencari jalan ke istana?"
"Darimana kau tahu?"
"Menilik sikapmu. Kau bingung?"
"Ya. Kami agak bingung. Jika kami tidak menemukan jalan ke
istana, kami akan menempuh jalan pada saat kami meninggalkan
istana pergi menyusuri jalan sampai ke tempat ini."
"Apakah kau masih ingat jalan yang baru saja kau lalui sampai ke
tempat ini?" "Tentu masih ingat."
"Berjalan sajalah terus. Bukankah kau ingin melihat lebih banyak
dari kota Singasari?"
"Ya." "Berjalanlah mengikuti jalan ini. Jika kau sampai ke simpang tiga,
kau berbelok saja kekiri, kemudian sekali lagi kau belok ke kiri."
Kedua anak-anak muda itu termangu-mangu. Kemudian yang
lebih tua bertanya, "Apakah kau tidak keliru. Menilik arah dari letak
istana itu, jalan yang tunjukkan menjadi semakin jauh dari tujuan."
Orang itu tertawa, "Kami adalah penghuni kota ini. Sudah tentu
kami mengenal setiap lorong dengan baik."
Anak yang lebih tua itu menengadahkan wajahnya memandang
kelangit. Gumamnya, "Bukan jalan itu."
935 Ketiga orang yang mencoba menunjukkan jalan itu saling
berpandangan sejenak. Mereka merasa heran bahwa anak-anak
muda itu tidak mau mempercayainya.
"Kenapa kau tidak percaya kepada kami." bertanya salah seorang
dari ketiganya. "Bukan maksudku tidak percaya Ki Sanak. Tetapi kami merasa
yakin bahwa jalan yang kau tunjukkan adalah salah. Mungkin kalian
bertiga adalah penduduk kota ini. Tetapi suatu ketika kalian telah
menjadi bingung." Seorang di antara ketiga orang itu tiba-tiba membentak, "Jangan
gila anak-anak muda. Kau membuat kami marah. Kami ingin
berbuat baik terhadap kalian, tetapi kalian justru menghina kami.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kau sangka bahwa kami orang-orang pikun yang sudah tidak tahu
kiblat?" "Bukan. Sama sekali tidak. Tetapi apa boleh buat. Kami akan
mengambil jalan lain. Menurut perhitunganku, kami berada di
sebelah Timur istana. Jadi kami harus berjalan terus ke Selatan. Itu
benar. T etapi kami harus berbelok justru ke kanan, dan sekali lagi
ke kanan. Itu arahnya."
He, kau sekarang menghadap kemana?"
"Ah, mudah sekali. Lihatlah matahari."
Ketiga orang itu termenung sejenak. Namun salah seorang di
antara mereka tidak sabar lagi. Katanya, "Baiklah. Kau anak-anak
muda yang cukup cerdas. Tetapi aku tidak peduli kemana kalian
akan pergi. Kalian harus berjalan menurut arah yang kami tunjuk."
"Kenapa" Sebaiknya kita tidak usah ribut. Aku berterima kasih
bahwa Ki Sanak berusaha menunjukkan jalan bagi kami. Tetapi
anggaplah bahwa kami tidak pernah bertemu. Biarlah kami memilih
jalan kami sendiri meskipun kami harus tersesat. Sejauh-jauhnya
kami akan tersesat sampai ke gerbang kota. Di gerbang kota kami
akan dapat bertemu dengan dua atau tiga orang prajurit yang dapat
membetulkan arah perjalanan kimi."
936 "Persetan." geram salah seorang dari ketiganya. "Ikuti kami."
"Kenapa?" "Aku tidak mempersoalkan jalan ke istana lagi. Tetapi kami
memerlukan kalian berdua. He, siapa nama kalian?"
"Apakah keperluan kalian dengan kami?" bertanya anak muda
yang lebih tua. "Kau tidak usah bertanya. Sebut lebih dahulu namamu."
Kedua anak muda itu justru menjadi semakin curiga. Karena itu
maka yang tua menjawab, "Kalian tidak perlu mengetahui namaku.
Aku tidak tahu hubungan apakah yang sudah terjadi di antara kita
sekarang. Karena itu, maka nama kami tidak ada gunanya bagi
kalian. Kecuali jika persoalan yang ada di antara kita menjadi jelas."
"Gila." geram salah seorang dari ketiga orang yang sengaja ingin
menumbuhkan keributan itu. "Aku tidak peduli lagi nama kalian.
Sekarang ikutlah kami."
"Maaf Ki Sanak, kami harus segera kembali ke istana."
Tiba-tiba saja kedua orang yang telah berdiri di arah yang
berlainan. Salah seorang berkata, "Kalian tidak dapat menolak
perintah kami." Kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian yang muda berkata, "Kalian tidak akan dapat memaksa
kami. Jika kami berteriak, maka orang-orang di sekitar tempat ini
tentu akan tertarik perhatiannya."
Salah seorang dari ketiga orang itu tertawa. Katanya, "Sebelum
kau sempat berteriak, dadamu sudah sobek jika kau ingin membuat
keributan." "Tetapi orang-orang akan beramai-ramai menangkap kalian
bertiga." "Mereka akan menyesal, karena mereka akan mati seperti kau."
"Prajurit-prajurit yang meronda akan berdatangan."
937 "Kami sudah hilang dari daerah ini. Cepat sekali membunuh
kalian berdua. Dan cepat sekali untuk menghilangkan jejak. Nah,
sekarang jangan membantah. Ikutlah kami."
Yang tua menggelengkan kepalanya. Katanya, "Jangan memaksa
kami berteriak. Sebenarnya kami akan berteriak."
"Gila." yang paling tua di antara tiga orang itu berkata, "Kita
bunuh saja mereka di sini. Kemudian kita berlari dan bersembunyi di
tempat yang sudah kita siapkan itu. Kawan kita tentu akan
memberikan tempat perlindungan yang sangat baik jika kita tidak
sempat keluar kota."
"Ki Sanak." berkata anak muda yang lebih tua, "Apa salah kami,
maka kalian akan membunuh kami."
"Kalian tidak mau mengikuti perintahku, jika kalian tidak
membantah, nasib kalian tidak akan terlampau jelek."
"Mungkin jauh lebih buruk. Di sini kami akan segera mendapat
pertolongan." anak muda itu berhenti sejenak, lalu, "Tetapi
sebaiknya kita tidak saling mengganggu. Kota ini akan menjadi
kacau, justru pada saat yang penting sekarang. Kita wajib bersamasama
berkabung atas wafatnya tuan puteri Ken Dedes."
"Persetan dengan Ken Dedes. Aku tidak berkepentingan atas
kematiannya. Apabila kemudian timbul kekacauan karena
kematianmu, itulah tujuan kami yang utama."
Tiba-tiba saja wajah anak-anak muda itu menjadi merah. Yang
muda tidak dapat menahan hati lagi dan berkata, "Sekarang kami
menjadi jelas. Jika demikian, kami akan segera minta bantuan untuk
menangkap kalian bertiga, karena kalian dengan sengaja akan
menimbulkan kekacauan."
Orang-orang itu justru tertawa. Katanya, "Setiap usahamu akan
mempercepat saja kematianmu. Pasrahlah agar kalian mati dengan
baik." Sejenak suasana menjadi tegang. Beberapa orang lain yang
lewat beberapa langkah dari mereka yang sedang bertengkar itu
938 sama sekali tidak mengetahui bahwa bahaya maut sedang
mengancam kedua anak-anak muda itu.
Namun, sejenak kemudian jawaban anak-anak muda itu justru
mengejutkan ketiga orang yang akan membunuhnya. Yang tua di
antara kedua anak muda itu menjawab, "Ki Sanak. Kami tidak
mempunyai sangkut paut dengan Ki Sanak. Kebetulan saja kita
berjumpa. Dan aku pun tahu, kebetulan saja kalian memilih kami
berdua untuk menjadi korban usaha kalian mengacaukan suasana
berkabung sekarang ini. Tetapi dalam keadaan yang kebetulan itu
aku tetap pada pendirian yang pernah diberikan oleh ayahku
kepadaku. Aku tidak mencari musuh dimana pun juga. Tetapi aku
pun tidak mau mati sambil menyilangkan tangan di dada."
"He." wajah ketiga orang yang akan membunuhnya itu menjadi
merah, "Jadi apa maumu?"
"Sebagai seorang laki-laki, aku memilih mati dengan jantan.
Apakah dengan demikian kematian itu akan semakin cepat atau
lambat. Aku akan berusaha menyelamatkan diri, bagaimanapun juga
caranya. Melawan, berteriak atau apa saja."
Ketiga orang itu tertawa. Yang seorang berkata di antara derai
tertawanya meskipun mengandung nada kemarahan, "Aku cincang
kau menjadi kepingan tulang yang akan berserakan di sepanjang
jalan kota ini." Sekali lagi jawab yang didengarnya adalah mengejutkan sekali,
"Itu lebih baik. Setiap orang akan mempercakapkan kami berdua."
"Persetan." tiba-tiba yang paling tua di antara ketiga orang itu
membentak, "Kita bunuh saja anak itu sekaligus. Kita pukul
dadanya, dan kita remukkan iganya."
Dua orang yang lain tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja
keduanya mendekati anak-anak muda itu.
"Kita bunuh dengan cepat, dan kita akan segera hilang di loronglorong
sempit. Mereka tidak akan menemukan tempat
939 persembunyian kita meskipun prajurit di seluruh Singasari akan
dikerahkan." Kedua orang yang lain tetap berdiam diri. Namun tiba-tiba
mereka mempersiapkan diri untuk meremukkan tulang-tulang iga ke
dua anak-anak muda itu. Tetapi, sekali lagi ketiga orang itu terkejut. Kedua anak muda itu
benar-benar tidak menjadi takut karenanya. Bahkan tiba-tiba saja
mereka berloncatan dan herdiri beradu punggung. Menilik sikapnya,
maka kedua anak muda itu benar-benar akan melawan. Bukan saja
karena mereka ingin bersikap jantan, tetapi menilik sikap tangan
dan kakinya, keduanya mempunyai bekal untuk berbuat demikian.
"Gila." yang tertua dari orang-orang yang akan membunuh kedua
anak muda itu pun menggeram. "Bunuh mereka. Cepat."
Tidak ada waktu terbuang lagi. Kedua orang yang lain pun
segera meloncat, langsung memukul ke arah dada kedua anak-anak
muda itu. Tetapi ternyata anak-anak muda itu tidak membiarkan diri
mereka diremukkan oleh serangan lawannya. Mereka pun dengan
lincahnya meloncat ke arah yang berbeda, sehingga dengan
demikian serangan itu sama sekali tidak dapat menyentuh
tubuhnya. Bahkan yang lebih muda dari kedua anak-anak muda itu,
tidak dapat menahan perasaannya lagi. Ia tidak sekedar
menghindarkan diri saja dari serangan itu. Tetapi hampir di luar
nalar lawan-lawannya bahwa anak muda itu pun segera meloncat
menyerang pula. Ketika kakinya yang sebelah menyentuh tanah
saat ia menghindar, maka kaki itu berputar di atas tumitnya dan
sebuah loncatan kecil telah mendorong tubuhnya maju mendekati
lawannya. Sebuah putaran yang deras mengayunkan kakinya yang
lain menghantam ke arah lambung lawannya.
Gerakan itu sangat mengejutkan dan hampir tidak terduga.
Dengan demikian, maka lawannya sudah tidak sempat lagi
memperhitungkan kemana ia harus mengelak. Karena itu, maka
940 lawannya segera merendahkan diri sambil menangkis serangan itu
dengan sikunya. Ternyata anak muda itu benar-benar cekatan. Ia masih sempat
mengurungkan serangan kakinya. Tetapi tiba-tiba saja ia berdiri
tegak menghadap lawannya yang sedang berusaha menyesuaikan
diri dengan perubahan gerak lawannya yang demikian cepatnya.
Dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti oleh lawannya, ia maju
selangkah. Tubuhnya menjadi condong kedepan bersama dengan
kedua tangannya yang terjulur lurus kedepan. Yang kanan langsung
mengarah ke jantung, yang kiri ke ulu hati.
Gerakan itu terlampau cepat bagi lawannya. Ia hanya berhasil
menangkis sebuah serangan. Sedang serangan yang lain berhasil
menyusup masuk mengenai dada di arah jantung.
Serangan itu benar-benar terasa betapa sakitnya. Rasa-rasanya
jantungnya telah berhenti berdentang, dan darahnya terhenti
mengalir. Untunglah, bahwa ia adalah orang yang memiliki daya tahan
yang luar biasa. Pengalamannya yang tertimbun di dalam
perbendaharaan ilmunya, dan latihan-latihan yang mantap, telah
menyelamatkannya. Dadanya tidak pecah oleb serangan itu, dan
jantungnya tidak runtuh. Namun ia harus terdorong beberapa
langkah surut, dan bahkan dengan sekali berguling ia baru dapat
memperbaiki keadaannya. Sambil menyeringai, ia mulai menyadari keadaannya. Ternyata
lawannya bukan sekedar seekor tikus yang mati dengan sekali injak.
Kesalahannya yang besar adalah, menganggap anak-anak muda itu
korban yang sangat lunak.
Dengan demikian maka orang yang sudah menyadari
kesalahannya itu pun segera mencoba memperbaikinya sebelum
terlambat sama sekali. Dalam pada itu, ia pun sempat sekilas melihat kawannya yang
berkelahi dengan anak muda yang nampaknya lebih tua dari yang
seorang lagi. Ternyata ia pun mengalami nasib yang sama. Bahkan
941 agak lebih parah sedikit, karena kawannya itu sudah terbanting di
tanah oleh sebuah dorongan kaki yang keras. Hanya karena
pengalamannya yang luas dan ketahanan tubuhnya seperti dirinya
sajalah, ia kemudian berhasil meloncat dan berdiri tegak. Tetapi ia
masih belum dapat menemukan keseimbangannya yang utuh.
Agaknya anak yang lebih tua itu tidak mau kehilangan ke
sempatan. Selagi lawannya belum berhasil menguasai dirinya
sebaik-baiknya, ia pun telah meluncur menyerang dengan kakinya
yang terjulur lurus, seolah-olah merupakan sebuah lontaran tonggak
yang lurus dengan seluruh tubuhnya, mendatar mengarah ke
lehernya. Lawannya itu terkejut bukan buatan. Wajahnya menjadi pucat. Ia
hanya dapat melihat serangan itu meluncur dengan derasnya tanpa
dapat berbuat sesuatu. Demikian juga kawannya yang masih berdiri di luar arena. Ia pun
terkejut bukan buatan. Ia sadar, bahwa kawannya yang masih
belum berhasil menguasai dirinya sepenuhnya itu dikenai serangan
yang demikian, maka ia akan mengalami kesulitan yang barangkali
tidak akan dapat ditolong lagi.
Karena itu, maka ia pun tidak berpikir lebih panjang lagi. Dengan
serta merta ia pun segera meloncat membentur serangan anak
muda yang meluncur dengan derasnya itu.
Akibatnya ternyata dahsyat sekali. Benturan itu telah
melemparkan kedua belah pihak beberapa langkah surut. Namun
karena anak muda itu telah dengan sepenuh tenaga sengaja
membenturkan diri, maka ia berada dalam keadaan yang lebih baik.
Apalagi ternyata bahwa tenaganya agak lebih kuat dari lawannya
yang menganggapnya sasaran yang tidak berarti.
Lawannya, salah seorang dari ketiga orang yang berusaha untuk
membunuhnya itu pun terlempar surut. Tetapi keadaannya agaknya
tidak terlampau jelek pula. Sambil menyeringai menahan sakit, ia
jatuh terguling. Namun dengan sigapnya ia pun berhasil meloncat
942 berdiri dan segera bersiaga menghadapi setiap kemungkinan yang
bakal datang. Apalagi sementara itu, kawannya pun telah berhasil pula
memperbaiki keadaannya untuk menghadapi keadaan berikutnya.
Menghadapi anak-anak muda yang sama sekali tidak diduga
memiliki kemampuan yang luar biasa.
Ternyata anak yang lebih muda itu pun masih juga berdiri tegak
ditempatnya. Di luar sadarnya ia tersenyum melihat orang orang
yang tidak dikenalnya, dan yang tiba-tiba saja ingin membunuhnya
itu terdesak dan bahkan untuk beberapa saat ada dalam
kebingungan. Dalam pada itu, selagi kedua anak-anak muda itu termangumangu,
maka orang yang paling tua di antara ketiga lawannya itu
pun menggeram sambil bertanya, "He, siapakah kalian
sebenarnya?" Yang lebih tua di antara anak-anak muda itu menyahut, "Apakah
kau perlu mengetahui s iapakah kami?"
"Persetan. Aku harus mengetahui s iapakah kalian sebelum kalian
mati. Kalian menunjukkan ilmu yang pernah aku kenal sebelumnya."
"Kalian masih tetap akan membunuh kami?"
"Ya." "Itu tidak mungkin. Perkelaian ini telah menarik perhatian.
Sebentar lagi tentu ada prajurit yang datang kemari. Lihat di
kejauhan orang-orang berlari-larian mendekat. Mungkin mereka
ingin melerai. Tetapi agaknya perkelahian yang kita lakukan, yang
nampaknya seolah-olah perkelahian antara orang-orang yang
berilmu, sekali lagi, hanya nampaknya saja, justru karena kekasaran
kita masing-masing telah menjadi ragu-ragu. Tetapi tentu ada di
antara mereka yang melaporkannya kepada prajurit Singasari."
"Aku akan membunuh prajurit-prajurit yang mendekat."
943 "Jumlahnya tentu banyak sekali. Di tambah dengan kami
berdua."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Persetan, siapa kau berdua."
Sesaat kedua anak muda itu ragu-ragu. Namun kemudian yang
tua menjawab, "Kami adalah dua orang bersaudara. Jika kalian
memang ingin mengetahui, kami berasal dari padesan. Kami baru
saja datang untuk ikut bersama ayah kami menyatakan bela
sungkawa atas kematian tuan puteri Ken Dedes."
"Siapa ayahmu itu, siapa?"
"Namanya Mahendra."
"Gila. Jadi kau anak Mahendra saudara seperguruan Witantra
yang juga disebut Panji Pati-Pati."
"Ya. Apakah kau sudah mengenal ayahku."
"Gila. Kalian memang harus dibunuh. Ayahmu ikut bersama
Mahesa Agni merobohkan kekuasaan tuanku Tohjaya."
"Ayahku yang ikut. Bukan aku dan bukan adikku. Jika kau
mendendam kepada ayahku, aku akan memanggilnya. Ia berada di
istana sekarang bersama pamanda Witantra dan Mahisa Agni.
Mungkin pamanda Lembu Ampal ada juga di sana. Jika kau ingin
aku dapat memanggil mereka."
Wajah orang-orang itu menjadi merah padam. Tiba-tiba saja
mereka menyadari, bahwa mereka telah terbentur batu yang keras
tiada taranya. Anak-anak Mahendra yang mau tidak mau tentu
memiliki ilmu ayahnya. Dan ternyata keduanya tidak mengecewakan
meskipun belum masak. Tetapi karena kelengahan ketiga orang itu,
maka mereka tidak segera dapat berhasil membunuh anak-anak itu.
Namun mereka telah terlanjur melakukannya. Karena itu, mereka
tidak dapat lagi menarik diri. Kedua anak-anak muda itu harus mati.
Tetapi pekerjaan itu harus dilakukan dengan cepat, sebelum ada
orang lain yang ikut campur di dalam perkelahian vang harus
mereka lakukan dan tidak mereka duga sebelumnya akan terjadi.
944 Demikianlah ketiga orang itu pun segera bersiap. Yang tertua di
antara mereka berkata kepada seorang kawannya, "Ikatlah yang tua
itu dalam perkelahian. Kami berdua akan membunuh yang muda ini
lebih dahulu. Kemudian yang tua itu kita bunuh beramai-ramai.
Dengan demikian pekerjaan ini akan segera selesai."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka pun segera
mempersiapkan diri. Dan sejenak kemudian perkelahian pun segera
telah mulai lagi. Yang tua dari kedua bersaudara itu memang menjadi cemas.
Adiknya harus bertempur melawan dua orang yang mungkin akan
sulit dilawannya. Karena itu, maka katanya kepada adiknya sambil
bertempur, "Kita bertempur berpasangan."
Adiknya tidak bertanya lagi. Ia pun segera menyesuaikan diri,
sehingga jarak perkelahian mereka menjadi semakin dekat.
"Tahan yang tua itu." berteriak salah seorang dari kedua orang
yang sedang berkelahi melawan yang muda di antara kedua
bersaudara itu. Tetapi jawabnya, "Aku sudah berusaha."
Namun usaha itu tidak berhasil. Bahkan dua orang yang
bertempur melawan seorang, yang muda di antara kedua
bersaudara itu pun tidak berhasil menahan jarak dari keduanya.
Ternyata kedua anak-anak muda itu memang memiliki ilmu yang
dapat mereka banggakan. Apalagi ketika mereka kemudian menjadi
semakin dekat. Rasa-rasanya ada hubungan yang tidak terpisahkan
di antara keduanya. Seakan-akan keduanya telah digerakkan oleh
satu otak yang mempergunakan dua tubuh yang berloncatan
dengan lincahnya. Yang tua dari kedua bersaudara itu mendesak semakin dekat.
Lawannya tidak banyak dapat menahannya, sehingga akhirnya
batas yang mereka usahakan itu pun dapat dipecahkannya.
Keduanya pun kemudian bertempur dalam satu lingkaran arena.
Keduanya mampu membentuk dinding perlawanan yang seakanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
945 akan tidak akan tertembus meskipun usaha mereka untuk
menyerang pun menjadi terbatas. Namun demikian, ternyata kedua
anak-anak muda itu adalah anak-anak muda yang sangat
berbahaya. Untuk beberapa saat lamanya mereka bertempur dengan
sengitnya. Namun ternyata bahwa tiga orang yang sedang
bertempur melawan dua orang anak-anak muda itu, sama sekali
tidak mendapat kesempatan. Jangankan membunuhnya, sedang
untuk menyentuh kulitnya pun mereka masih belum berhasil.
Dalam kegelapan hati, maka ketiga orang itu telah mengerahkan
segenap kemampuan mereka, dengan senjata di tangan. Tetapi
mereka masih tetap dalam kesulitan, apalagi ketika kedua anakanak
muda itu telah mencabut kerisnya.
"Senjata ini terlampau pendek." desis yang muda.
"Apa yang akan kau pergunakan?" bertanya yang tua.
Yang muda tidak menyahut. Namun tiba-tiba saja ia telah
mengurai sebuah rantai berwarna putih berkilat-kilat dari bawah ikat
pinggangnya sambil berlindung di belakang kakaknya yang herusaha
menghalau setiap serangan.
"Baiklah." berkata yang tua, "Pergunakan senjatamu, lalu setelah
rantai itu terurai berikan kerismu kepadaku."
Yang tua pun kemudian membawa dua bilah keris. Keris yang
seolah-olah menjadi merah membara. Sedang yang muda telah
mempergunakan sebuah rantai.
Dengan demikian, maka kedua anak-anak muda itu pun seakanakan
menjauhi yang satu dengan yang lain Namun dalam pada itu,
keduanya masih tetap terikat dalam satu pasangan yang tidak
terpisahkan. Dengan rantai di tangannya, yang muda dari kedua bersaudara
itu menjadi semakin lincah. Ujung rantainya berputaran dan kadangkadang
mematuk seperti kepala seekor ular.
946 "Gila." teriak salah seorang dari ketiga lawannya.
Sementara perkelahian itu menjadi semakin seru, seperti yag
dikatakan oleh kedua bersaudara itu, bahwa mereka telah menarik
perhatian orang-orang yang melihatnya. Bahkan kemudian telah
timbul keributan di antara mereka. Meskipun mereka tidak berani
melerainya, namun beberapa orang yang memiliki sedikit
keberanian, berusaha untuk mendekat dan di luar sadar, mereka
telah membuat semacam lingkaran mengelilingi perkelahian itu,
meskipun lingkaran itu terlampau luas.
"Apa yang terjadi." desis salah seorang dari mereka.
"Kami tidak tahu." jawab yang lain.
Dan tiba-tiba saja salah seorang berteriak, "He Ki Sanak Kenapa
kalian berkelahi?" Tiba-tiba saja yang muda di antara kedua anak Mahendra itu
menyahut, "Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja mereka menyerang."
"Persetan." desis lawannya.
"Panggil prajurit." teriak anak yang muda itu.
"Gila." teriak lawannya pula. Bahkan kemudian, "Siapa yang
berani memanggil prajurit, aku patahkan lehernya."
"Jangan takut." teriak yang muda pula, "Jika prajurit itu datang,
ketiga orang ini akan ditangkap dan dihukum."
Tetapi orang-orang itu masih juga termangu-mangu. Mereka
bagaikan terpukau melihat perkelahian yang luar biasa, yang hampir
tidak dapat mereka ketahui ujung dan pangkalnya.
Meskipun demikian, tetapi ada juga beberapa orang yang berpikir
dengan baik. Agaknya memang lebih baik menyampaikan persoalan
itu kepada mereka yang bertanggung jawab. Apalagi pada saat
Singasari sedang berkabung.
Karena itulah, maka satu dua orang di antara mereka itu pun
segera berlari-lari meninggalkan arena itu.
947 "Gila." teriak salah seorang dari ketiga orang itu, "Siapa yang
melaporkan kepada prajurit Singasari, akan aku cekik dan aku
cincang di tengah jalan."
Tetapi lawannya yang muda menyahut, "Bagaimana kau akan
mencekik dan mencincang" Mereka sudah lari dan kau masih berada
di s ini bersamaku."
"Gila." kemarahan ketiga orang itu telah memuncak. Tetapi
mereka tidak dapat memaksakan keadaan. Kedua anak-anak muda
itu benar-benar memiliki kemampuan yang tidak dapat ditembusnya
betapapun mereka berusaha. Bahkan kemudian ketiga orang itu
sudah bertempur dengan kasar dan liar.
Akhirnya ketiga orang itu harus mengakui, bahwa mereka
memang tidak akan dapat membunuh kedua anak-anak muda itu.
Mereka agaknya telah salah pilih. Kedua pemuda itu disangkanya
tidak akan dapat berbuat apapun juga sehingga dengan mudahnya
keduanya akan mereka bunuh dan mereka lemparkan kedepan para
prajurit pengawal di pintu gerbang. Jika prajurit-prajurit itu ingin
menangkap mereka bertiga, maka prajurit-prajurit itu pun akan
mereka bunuh pula, karena ketiga orang itu menganggap dirinya
mampu melawan lima bahkan sepuluh orang prajurit-prajurit kecil
yang bertugas di pintu gerbang dalam keadaan damai dan tenang.
Tetapi ternyata bahwa terhadap kedua anak-anak muda itu pun
mereka tidak sanggup berbuat lebih banyak daripada bertempur
tanpa akhir. Kenyataan yang tidak mereka ingkari itu gagaknya telah
mendorong orang tertua di antara mereka untuk mengambil sikap.
Jika benar-benar beberapa orang prajurit datang membantu kedua
anak-anak muda itu, keadaannya tentu akan berbeda daripada
mereka harus melawan sepuluh orang prajurit-prajurit dungu.
Karena itu, maka sejenak kemudian terdengar isyarat dari
mulutnya. Isyarat yang hanya dapat dimengerti oleh mereka
bertiga. Tetapi yang maksudnya dapat diduga, bahwa mereka akan
segera menarik diri dari arena.
948 Ternyata dugaan itu benar. Ketiganya pun tiba-tiba segera
meloncat urut dan dengan serta merta meninggalkan arena
perkelahian menerobos lingkaran orang-orang yang melihat
perkelahian itu dari jarak yang agak jauh.
Yang muda dari kedua bersaudara itu akan mengejarnya. Tetapi
kakaknya menahannya. Katanya, "Sudahlah. Kita tidak tahu
siapakah yang berdiri di belakang mereka. Kita akan menyerahkan
kepada yang berkuajiban, agar persoalan ini dapat diselesaikan.
Setidak-tidaknya peristiwa ini dapat menjadi isyarat bahwa ada
sesuatu yang perlu diperhatikan oleh kekuasaan yang ada di
Singasari sekarang ini."
Dalam pada itu, orang yang semula berdiri melingkari arena
meskipun pada jarak yang agak jauh, tiba-tiba telah berpencaran.
Mereka berlari-lari menyibak, memberikan jalan kepada tiga orang
yang berlari-larian sambil membawa senjata yang teracu.
"Tidak seorang pun yang berani menahan mereka." desis yang
muda dari kedua orang bersaudara itu.
"Sudah barang tentu. Mereka sudah melihat kemampuan ketiga
orang itu." jawab yang tua.
Sejenak keduanya termangu-mangu melihat beberapa orang
yang menyibak dan kemudian berdiri mematung memandang tiga
orang yang berlari semakin jauh itu.
"Kakang." bertanya yang muda, "Benarkah tiga orang itu mampu
melawan prajurit-prajurit Singasari?"
"Mungkin." "Apakah prajurit-prajurit Singasari itu terlampau lemah bagi
mereka" Jika mereka gentar kepada prajurit-prajurit yang bertugas,
mereka tidak akan berani berbuat demikian di dalam kota ini Dan
bukankah mula-mula mereka sudah berkata bahwa mereka akan
membunuh prajurit-prajurit yang mendekat ketika kita mengatakan
bahwa akan ada prajurit-prajurit yang tertarik kepada perkelahian
ini?" 949 Yang tua menarik nafas dalam-dalam. Ia masih berdiri
ditempanya sambil membawa dua bilah keris.
"Ini kerismu." katanya sambil menyerahkan keris itu. Yang muda
itu pun segera menerima kerisnya dan menyarungkannya setelah ia
melingkarkan rantainya kembali di bawah ikat pinggangnya.
"Apakah kita akan kembali ke istana sekarang?" bertanya yang
muda. Kakaknya tidak menjawab. Ia berdiri seolah-olah membeku
memandangi orang-orang yang masih berada di tempatnya masingmasing.
Orang-orang yang memandang kedua anak muda itu
dengan ragua pula. Namun sejenak kemudian, terdengar derap beberapa ekor kuda
mendekat. Sejenak kemudian mereka pun melihat sekelompok
prajurit berkuda, mendatangi arena perkelahian yang sudah menjadi
beku itu. Orang-orang yang sudah menyibak pada saat ketiga orang yang
berkelahi itu berlari, semakin menyibak pula memberikan jalan
kepada sekelompok prajurit berkuda yang lewat.
Beberapa langkah dari kedua anak-anak muda itu pun prajuritprajurit
itu berhenti. Sejenak mereka memandang kedua anak-anak
muda itu. Baru kemudian pemimpin dari sekelompok prajurit itu
bertanya, "Kaukah yang berkelahi?"
"Ya." jawab yang tua, "Kami tiba-tiba saja diserang oleh orangorang
yang tidak kami kenal."
Prajurit-prajurit itu mengerutkan keningnya. Pemimpin mereka pun
meloncat turun sambil berkata, "Aneh. Apakah kau benar-benar
tidak kenal mereka itu?"
"Ya. Baru kali ini aku bertemu dengan mereka bertiga."
"Jadi mereka bertiga?"
"Ya." 950 "Berkatalah sebenarnya, barangkali kau dan mereka bertiga
sudah saling mendendam, atau saling bermusuhan sejak lama.
Kemudian kalian bertemu dalam suasana yang seharusnya tenang
karena kita bersama-sama sedang berkabung."
"Kami berdua sama sekali tidak mengenal mereka."
Prajurit-prajurit yang lain pun kemudian berloncatan turun pula.
Mereka tetap berada di tempatnya. Namun nampak pada wajah
mereka, bahwa mereka pun tidak dapat mempercayai kata-kata
kedua anak-anak muda itu.
"Anak-anak muda." berkata pemimpin prajurit itu, "Kami tidak
akan menghukum orang yang tidak bersalah. Seandainya kalian
sudah saling mendendam dan bermusuhan sejak lama, tetapi kalian
memang tidak bersalah, kami tidak akan berbuat apa-apa. Namun
dengan demikian keteranganmu akan mempermudah kami, sikap
apakah yang harus kami ambil."
Kedua anak-anak muda itu menjadi bingung. Yang muda dari
keduanya, yang agaknya memang lebih banyak berbicara itu pun
kemudian berkata, "Sebenarnya memang aneh. Kami pun merasa
aneh bahwa tiba-tiba saja kami diserang oleh orang-orang yang
tidak kami kenal. Jika sekiranya kami mengenalnya, tentu kami akan
dengan senang hati menyebutnya agar mereka ditangkap. Apakah
keberatan kami mengatakan yang sebenarnya?"
"Banyak sekali kemungkinan yang dapat memaksa kalian untuk
berbohong. Mungkin kalian termasuk orang-orang yang memang
bernasib buruk karena kalian terlibat dalam tindakan yang
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melanggar ketentuan pemerintah Singasari. Tetapi ketiga orang itu
berhasil meloloskan diri."
"Jadi, maksud tuan, kami telah merampok mereka di tengah kota
ini?" "Bukan sejauh itu. Tetapi mungkin serupa itu." jawab pemimpin
prajurit itu, "Atau tindakan lain yang melibatkan kalian dalam
pelanggaran sehingga kalian tidak dapat berterus terang, karena
jika orang-orang itu tertangkap, kalian akan tersangkut juga."
951 "Gila." geram yang muda, "Kamilah yang telah diserang. Mungkin
mereka memang akan merampok kami meskipun kami tidak
membawa apapun juga."
"Anak-anak muda. Banyak keterangan yang dapat kau berikan.
Tetapi untuk pengusutan selanjutnya, kalian berdua terpaksa kami
tahan. Tidak ada jalan lain yang dapat kami tempuh. Jika ternyata
kalian tidak bersalah, maka kalian akan segera kami bebaskan."
Kedua anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian
yang tua berkata lebih sareh, "Tuan. Kami adalah orang-orang yang
memang kurang beruntung. Kami telah mengalami sesuatu yang
tidak pernah kami duga sebelumnya, bahwa di tengah-tengah kota
seperti ini kami harus berkelahi. Apalagi kemudian justru kamilah
yang akan ditangkap setelah penyerang-penyerang kami lari
meninggalkan kami. Tuan, jika orang-orang itu tidak merasa
bersalah, mereka tidak akan lari tunggang langgang ketika tuan
datang kemari." "Bukan aku tidak mempercayai keteranganmu. Tetapi baiklah
kalian ikut bersama kami. Kalian akan didengar segala keterangan
tentang diri kalian dan tentang orang-orang yang kau katakan lari
itu." "Aku sama sekali tidak dapat mengatakan apapun tentang
mereka, kecuali bahwa kami telah mereka serang tanpa sebab."
"Anak-anak muda." berkata pemimpin prajurit itu, "Jangan
menolak. Kami mempunyai wewenang untuk melakukannya."
"Tetapi itu melanggar keadilan. Kami merasa diperlakukan tidak
semestinya di sini." bantah yang muda. Namun sebelum ia
melanjutkan kata-katanya, yang tua telah menggamitnya dan
berkata, "Tuan. Sebaiknya tuan percaya saja kepada keterangan
kami. Kami tidak akan ingkar untuk memberikan keterangan.
Kemana kami harus pergi, kami akan pergi. Kepada siapa kami
harus menghadap, kami akan menghadap. Tetapi jangan
menangkap kami seperti menangkap dua orang penjahat yang
tersesat ke dalam kota. Barangkali tuan dapat bertanya kepada
952 orang-orang yang masih ada di sekitar tempat ini, dan memandang
kami dengan penuh pertanyaan itu. Apakah yang telah mereka lihat
sebenarnya." "Jangan membantah." pemimpin prajurit itu tiba-tiba saja
bersikap lebih keras, "Kami menjalankan tugas kami."
"Kami adalah orang-orang yang dilindungi oleh ketentuan
hukum." sahut yang muda, "Tuan tidak dapat memperlakukan kami
seperti itu. Lebih baik tuan memerintahkan kepada kami, kemana
kami harus pergi. Dan seperti yang dikatakan oleh kakakku, kepada
siapa kami harus menghadap."
Pemimpin prajurit itu mengerutkan keningnya. Lalu, "Apakah
kalian dapat kami percaya?"
"Jika pada saatnya kami tidak menghadap, tuan dapat datang
menangkap kami dan memenggal kepala kami."
"Jangan main-main seperti kanaka. Kemana kami harus
menangkap kalian?" ia berhenti sejenak, lalu, "Sebaiknya, marilah,
jangan membantah. Kau dapat menyebut seribu macam nama
tempat. Tetapi kami belum pernah mengenal kalian di sini. Apakah
kalian orang-orang Singasari?"
"Kami memang orang-orang Singasari, tetapi kami bukan orang
dari kota raja ini."
Para prajurit itu tiba-tiba melangkah maju. Sedang pemimpin nya
berkata, "Jika kalian masih saja banyak bicara, kami akan
menangkap kalian dengan kekerasan. Barangkali kau dapat
berkelahi melawan tiga orang dan memaksa mereka lari. Tetapi
kalian tidak akan dapat berbuat demikian."
Darah kedua anak-anak muda itu rasa-rasanya akan mendidih.
Tetapi yang tua masih dapat mengendalikan dirinya, sedang yang
muda berdesis, "Tiga orang itu mengatakan, bahwa mereka tidak
takut terhadap prajurit-prajurit Singasari, apakah kita akan takut
kepada mereka." 953 "Tetapi mereka mempunyai wewenang untuk melakukan sesuatu
tindakan." "Tidak tanpa sebab." sahut yang muda, "Kami tidak bersalah."
Sejenak keduanya termangu-mangu. Sedang pemimpin prajurit
yang akan menangkapnya telah berkata pula, "Menyerahlah. Kalian
harus memberikan senjata kalian."
"Kami tidak membawa senjata."
"Keris itu." "Ah." yang tua menjawab, "Ini keris pusaka, pemberian ayah.
Aku tidak dapat memberikan kepada orang lain."
"Kalian berkeras."
Yang muda menjadi tidak sabar lagi. Dengan matanya ia
menghitung jumlah prajurit berkuda itu.
"Hanya enam orang." desis yang muda.
Yang tua menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya keenam pra
jurit itu bukan prajurit pilihan. Mereka petugas yang setiap hari
mengawasi keadaan dan ketenangan kota raja. Mereka agaknya
bukan prajurit-prajurit pengawal, atau prajurit yang biasa berada di
medan-medan pertempuran. Sejenak anak-anak muda itu termangu-mangu. Sementara
pemimpin prajurit itu mendesaknya lagi, "Serahkan kerismu. Atau
kami akan melakukan kekerasan."
"Tuan harus berpikir sebaik-baiknya. Tuan adalah petugaspetugas
yang dapat menimbang baik dan buruk, bukan sekedar
pelaksana tanpa pertimbangan apapun juga."
"Persetan." prajurit-prajurit itu menjadi marah. Mereka benai
benar telah kehilangan kesabaran.
Orang-orang yang menyaksikan dalam lingkaran yang
mengelilingi perbantahan itu menjadi termangu-mangu. Ada di
antara mereka yang menyesalkan sikap anak-anak muda yang
954 berani itu. Tetapi ada pula yang kecewa melihat anak-anak yang
tidak bersalah itu harus ditangkap.
Seorang yang sudah berambut putih, tidak dapat membiarkan
peristiwa yang tidak dikehendaki terjadi. Karena itu maka ia pun
melangkah maju mendekati kedua anak-anak muda itu sambil
berkata, "Angger, sebaiknya angger tidak membantah. Meskipun
angger tidak bersalah, tetapi sebaiknya angger mengikutinya saja."
Kedua anak-anak muda itu termangu-mangu, namun, "Apakah
itu adil kakek. Aku bukan orang kota raja ini. Tetapi aku tidak mau
diperlakukan tidak adil seperti ini."
"Soalnya bukan adil atau tidak adil. Tetapi kalian wajib
mentaatinya agar persoalan ini segera dapat dijernihkan. Bukan
sebaliknya bahkan menjadi semakin rumit."
"Sudah aku katakan." jawab yang muda, "Aku akan pergi kemana
aku harus pergi. Aku akan menghadap kepada siapa aku harus
menghadap. Tetapi tidak ditangkap seperti penjahat."
"Kalian tidak akan ditangkap seperti penjahat. Tetapi kalian akan
diajak bersama-sama pergi ketempat mereka bertugas."
Ketika yang tua sedang berpikir-pikir, yang muda berkata, "Tidak.
Kami tidak akan pergi bersama-sama. Kami akan pergi kepada ayah
kami lebih dahulu, baru kami akan menghadap kemana kami harus
menghadap." "Jangan begitu anak muda." berkata orang itu itu, "Biarlah nanti
ayahmu diberitahu. Di manakah ayahmu sekarang" Di rumah atau
di kota ini." "Ayah juga berada di kota ini."
"Nah, sebaiknya kalian pergi saja mengikutinya. Bukankah saat
ini kota dan seluruh Singasari sedang berkabung?"
"Jangan korbankan kami." yang muda tidak sabar lagi, "Kami
tetap pada pendirian kami."
955 "Persetan." pemimpin prajurit itu marah pula, "Kami akan
menangkap kalian dengan kekerasan. Jika semula kami akan
membawa kalian dengan baik, tetapi karena kalian melawan, maka
kalian akan kami bawa dengan tangan terikat."
"Tidak." Yang muda menggeram, "Kami mempunyai harga diri.
Dan kami tidak mau rasa keadilan kami tersinggung."
"O, anak-anak nakal." desis orang tua, "Mungkin peraturan di s ini
agak lebih tertib dari peraturan yang berlaku di padukuhanmu.
Anak-anak, jangan membantah lagi ngger."
"Aku tetap tidak mau diperlakukan seperti itu."
"Itu tidak apa-apa. Orang yang melihat pun tidak akan segera
mempunyai prasangka buruk terhadap kalian."
"Kami tidak akan pergi."
"Pergilah." berkata pemimpin prajurit itu kepada orang tua yang
mencoba meredakan kekerasan hati kedua anak-anak muda itu,
"Biarlah aku mengurusnya."
Tanpa diperintahkan lagi, maka prajurit-prajurit itu menyerahkan
kendali kudanya kepada kawan-kawannya, sehingga empat orang di
antara mereka melangkah maju di sebelah pemimpinnya.
"Tangkap mereka." berkata pemimpin prajurit itu. Keempat
prajurit itu pun segera melangkah mendekati kedua anak yang
merasa dirinya tidak bersalah.
"Bukan maksud kami melawan prajurit-prajurit Singasari."
berkata yang tua, "Tetapi kami menuntut diperlakukan dengan adil."
Keempat prajurit Singasari itu pun segera mengambil tempat.
Berlima dengan pimpinan kelompok kecil itu, mereka telah
mengepung kedua anak-anak muda yang berdiri termangu-mangu.
Tetapi karena para prajurit itu agaknya benar-benar akan bersikap
kasar, maka seperti pada saat mereka menghadapi ketiga orang
yang tibaa saja akan membunuhnya, mereka pun segera berdiri
beradu punggung. 956 "Anak dungu." berkata pemimpin prajurit itu, "Jika kalian benarbenar
menghendaki sikap kasar, kami akan bersikap kasar. Tetapi
jika terjadi sesuatu dengan kalian, itu adalah salah kalian sendiri.
Cobalah sebut namamu, agar jika terjadi sesuatu, kalian sudah
dikenal nama dan barangkali tempat tinggalmu."
Kedua anak-anak muda itu tidak menyahut.
"Cepat, sebut namamu."
Keduanya masih ragu-ragu. Tetapi tiba-tiba yang tua berkata,
"Memang ada baiknya. Jika aku mati di sini karena aku ingin
diperlakukan adil, sebut namaku Mahisa Murti. Dan ini adalah
adikku, Mahisa Pukat."
"Hem, nama yang sangat baik. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi tingkah laku kalian benar-benar tingkah laku yang tercela.
Dari sikap kalian aku dapat mengambil kesimpulan, bahwa kalianlah
yang telah membuat keributan."
"Jika kami membuat keributan, kami tidak akan tinggal di tempat
kami, ketika tuan-tuan datang." yang muda menjawab, "Tetapi
ketiga orang itulah yang lari tunggang langgang ketika sekelompok
prajurit berkuda datang ketempat ini."
"Mereka tidak tahu siapakah yang datang. Tetapi agaknya
mereka sekedar merasa mendapat kesempatan untuk lari dan
agaknya kalian tidak sempat untuk melenyapkan diri karena kami
tiba-tiba saja sudah ada di hadapan kalian."
Yang muda menggeram. Kemarahannya sudah tidak dapat
ditahankannya lagi, sehingga ia pun berteriak, "Tangkaplah kami
jika kalian memang ingin bertindak kasar dan tergesa-gesa."
Tidak ada jawaban keempat prajurit dan pemimpinnya itu pun
melangkah semakin mendekati kedua orang itu dari arah yang
berbeda-beda. Tetapi mereka sama sekali tidak menarik senjata
mereka dari sarungnya. Kedua anak-anak muda itu pun menjadi ragu-ragu. Jika prajuritprajurit
itu menarik pedang mereka, maka anak-anak muda itu pun
957 akan menarik senjata mereka pula. Tetapi prajurit-prajurit itu
agaknya akan menangkap mereka dengan tangan.
Dalam keadaan yang semakin tegang itu, tiba-tiba terdengar
seekor kuda berderap dengan lajunya. Namun ketegangan dan
kerumunan orang-orang yang melingkari kedua orang yang akan
ditangkap itu telah menarik perhatiannya.
Namun sebelum terjadi sesuatu dengan kedua anak-anak muda
itu, terdengar orang yang berada di punggung kuda itu memanggil,
"Mahisa Murti, he Mahisa Pukat. Apakah yang terjadi?"
Semua orang berpaling kepada penunggang kuda itu yang
dengan tergesa-gesa meloncat turun.
"Paman Witantra." teriak Mahisa Pukat, "Nah, cobalah paman
mengadili s ikap prajurit-prajurit ini."
Prajurit-prajurit itu pun termangu-mangu sejenak. Mereka
mengenal Witantra sebagai salah seorang yang sangat disegani,
bukan saja oleh setiap prajurit Singasari, tetapi juga oleh Maharaja
dan Ratu Angabhaya, karena kedudukannya, dan karena beberapa
kelebihan yang dimilikinya dan jarang ada duanya. Witantra memiliki
nama yang hampir sejajar dengan Mahisa Agni, Hanya karena
Mahisa Agni adalah saudara laki-laki tuan puteri Ken Dedes, maka
kedudukan Mahisa Agni nampaknya agak lebih tinggi dari Witantra.
Karena itu prajurit itu pun tercenung beberapa saat di
tempatnya. Witantra berjalan mendekati kedua anak-anak muda itu sambil
menuntun kudanya. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya sekali lagi,
"Apakah yang terjadi?"
Mahisa Pukat tidak menunggu lebih lama lagi. la pun segera
mengatakan apa yang dialaminya bersama kakaknya Mahisa Murti.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Di pandanginya pemimpin
prajurit yang akan menangkap kedua anak-anak muda itu.
Kemudian ia pun bertanya, "Kaukah yang memimpin prajurit-prajurit
ini." 958 Pemimpin prajurit itu mengangguk sambil menjawab, "Ya, Ki
Panji Pati-Pati." "Benarkah yang dikatakan oleh anak itu?"
"Kami masih belum bertanya selengkapnya." jawabnya.
Dan pemimpin prajurit itu pun menceriterakan pula apa yang
akan dilakukannya. Witantra terdiam sejenak, la memandang kedua anak-anak muda
itu berganti-ganti dengan pemimpin prajurit yang akan
menangkapnya. Prajurit-prajurit itu pun menjadi berdebar-debar. Witantra dapat
berbuat apa saja atas mereka. Namun demikian, prajurit-prajurit itu
bertanya di dalam hati, ada hubungan apakah antara Witantra dan
kedua anak-anak muda itu"
Agaknya pertanyaan itu dapat dirasakan oleh Witantra meskipun
tidak diucapkan oleh salah seorang dari mereka. Karena itu, maka
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Witantra pun berkata, "Kedua anak-anak itu adalah kemenakanku.
Mereka adalah anak Mahendra, saudara mudaku. Kalian pun tentu
sudah mengetahui, siapakah Mahendra itu."
"O." pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. Sepercik
keterangan telah menyentuh dadanya.
Namun ia menjadi bingung ketika Witantra pun kemudian
berkata, "Tetapi jika menurut kebijaksanaanmu, kau akan
menangkap kedua anak-anak itu, aku tidak akan merintanginya."
Semua orang yang mendengar kata-kata Witantra itu tidak
segera mengerti maksudnya. Bahkan beberapa orang menganggap
bahwa Witantra benar-benar menjadi marah kepada prajurit-prajurit
yang akan menangkap kemanakannya itu.
"Jika Ki Panji Pati-Pati itu marah, maka kami akan di sapunya
sampai bersih." berkata prajurit-prajurit itu di dalam hatinya, "Dan
tidak seorang pun akan dapat menghalanginya. Apalagi hanya
959 sekelompok kecil prajurit. Segelar sepapan pun akan gentar melihat
kemarahannya." Agaknya Witantra melihat keragu-raguan itu. Maka ia pun segera
mengulangi, "Aku hanya secara kebetulan saja lewat Aku tidak akan
mencampuri persoalan ini. Jika kalian sudah mengambil sikap
terhadap kedua anak-anak muda itu, lakukanlah."
"Paman." berkata Mahisa Murti, "Aku tidak mengerti, apakah
yang akan paman lakukan sekarang ini."
"Tidak apa-apa. Aku hanya lewat. Dan karena itu, aku akan
meneruskan perjalanan."
"Tetapi prajurit-prajurit itu?"
"Mereka akan menangkap kalian."
"Aku tidak mau." teriak Mahisa Pukat, "Itu tidak adil. Paman
harus meyakinkan mereka."
"Kau tidak boleh melawan. Kau dapat memberikan keterangan
nanti." "Tetapi kami tidak bersalah."
"Ya. Karena itu jangan cemas."
"Tidak paman." berkata Mahisa Murti, "Bagaimana pun juga aku
tidak senang diperlakukan sebagai tawanan. Apalagi mereka akan
merampas pusaka-pusaka yang diberikan ayah kepada kami. Kami
akan mempertahankan kebebasan kami dan pusaka-pusaka kami."
"Aku senang mendengarnya Murti." sahut Witantra, "Tetapi jika
kau berbuat demikian terhadap prajurit-prajurit yang sedang
bertugas adalah kurang tepat. Kau harus bersedia melakukan
perintahnya. Kemudian kau akan didengar keteranganmu. Tidak
akan berganti hari kau sudah bebas kembali dan pusaka-pusakamu
akan kembali kepadamu." Witantra berhenti sejenak, lalu berpaling
kepada pemimpin prajurit itu, "Bukan kah begitu" Bukankah
persoalannya akan selesai dalam waktu yang singkat?"
960 "Ya, ya Ki Panji." pemimpin prajurit itu menjawab terbata-bata.
"Kalian akan diperlakukan dengan baik." berkata Witantra
seterusnya. "Tetapi ayah tentu akan marah."
"Ya. Ayahmu akan marah. Tetapi marah kepadamu berdua.
Karena itu, tunduklah kepada perintahnya. Meskipun barangkali aku
atau ayahmu atau pamanmu Mahisa Agni dapat minta kekhususan
atas kalian berdua, tetapi itu tidak baik Meskipun kau anak
Mahendra yang disegani oleh semua orang di Singasari, tetapi kau
tidak dapat minta diperlakukan khusus."
Kedua anak-anak muda itu tidak mengerti maksud Witantra,
sehingga Mahisa Pukat masih berkata, "Mereka bertindak tergesagesa
paman." "Patuhilah. Baru kemudian kalian memberikan penjelasan."
"Bagaimana jika penjelasanku tidak didengar?"
Witantra berpaling kepada prajurit-prajurit itu. Katanya, "Tentu
kalian akan mendengarkan penjelasan yang sebenarnya. Bukankah
begitu?" "Ya, ya Ki Panji Pati-Pati."
"Nah kau dengar" Mereka tidak akan berbuat lain kecuali
bersikap benar dan adil."
Kedua anak-anak muda itu masih akan menjawab. Tetapi
Witantra kemudian melangkah pergi sambil berkata, "Aku akan
meneruskan perjalanan. Aku ada sedikit keperluan. Jika kalian tidak
kembali siang ini, ayahmu sudah mengetahui bahwa kau terlibat
dalam persoalan yang tidak dikehendaki. Tetapi jangan cemas.
Tidak akan ada apa-apa yang terjadi atas kalian jika sebenarnya
memang demikian." Sekali lagi Witantra berpaling kepada pemimpin
prajurit itu dan berkata, "Lakukanlah tugasmu dengan baik, sesuai
dengan garis ketentuan yang ada. Bukankah begitu?"
"Ya, ya Ki Panji."
961 "Paman." Mahisa Pukat masih akan berbicara. Tetapi Witantra
memotongnya, "Aku tergesa-gesa."
Sejenak kemudian kuda Witantra itu sudah berderap
meninggalkan tempat itu, diikuti oleh tatapan berpuluh-puluh
pandang mata yang kebingungan. Bukan saja Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Tetapi para prajurit dan orang-orang yang
menyaksikan peristiwa itu pun menjadi termangu-mangu pula.
Namun kemudian perlahan-perlahan tumbuh pengakuan dihati
mereka, bahwa sikap Witantra itu adalah sikap yang paling
bijaksana. Ia tidak mengajari kedua anak-anak, muda itu untuk
berbuat salah di hari-hari mendatang. Kali ini mereka tidak bersalah.
Tetapi jika melihat perlindungan yang mudah dari Witantra atas diri
mereka, mungkin justru akan timbul akibat yang lain. Jika keduanya
yang masih bersih, itu akan diracuni perlahan-lahan dengan sikap
tinggi hati dan perasaan bebas dari setiap tuntutan meskipun
bersalah, karena ayahnya, pamannya dan apalagi Mahisa Agni yang
sangat berpengaruh di Singasari akan dapat dengan mudah
melepaskannya dari tanggung jawab.
Tetapi para prajurit yang akan menangkapnya itu pun menjadi
sangat canggung karenanya setelah mereka mengetahui kedudukan
kedua anak-anak muda itu. Apalagi kemudian mereka pun mulai
percaya, bahwa sebenarnya kedua anak-anak muda itu tidak
bersalah sama sekali. Mereka telah berkata dengan jujur apa yang
sebenarnya telah terjadi.
Karena itu untuk beberapa saat pemimpin prajurit itu termangumangu.
Ia tidak segera dapat mengambil sikap apa pun terhadap
kedua anak-anak muda itu.
Adapun kedua anak-anak muda itu pun termangu-mangu pula.
Mereka pun tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Menurut
pamannya, kakak seperguruan ayahnya, mereka harus menurut
semua perintah prajurit-prajurit itu.
962 Baru sejenak kemudian pemimpin prajurit itu dapat
mengendalikan perasaannya. Ia telah menemukan kembali sikap
keprajuritannya meskipun dengan cara yang agak berbeda.
Sambil menarik nafas, untuk mengatur susunan kata-katanya
pemimpin prajurit itu mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sambit bertanya, "Bagaimana sikap kalian sekarang?"
Mahisa Murti menggigit bibirnya. Namun kemudian katanya, "Aku
tidak dapat melanggar pesan paman Witantra."
"Jadi kalian tidak akan melawan?"
"Tidak. Bukan karena aku takut. Tetapi agaknya memang harus
demikian." "Ya. Kami pun tidak ingin menakuti-nakuti. Kami sekedar
menjalankan tugas kami."
"Tetapi hati-hatilah menyimpan pusaka-pusaka kami." berkata
Mahisa Pukat, "Pusaka-pusaka itu adalah pusaka pemberian ayah."
"Anak-anak muda." berkata pemimpin prajurit itu, "Yang kami
perlukan adalah keterangan yang benar dan dapat kami percaya.
Menilik sikap dan kata-kata kalian, apalagi kalian juga
mengatakannya kepada paman kalian seperti yang kalian katakan
kepada kami, maka kami sudah mempercayainya bahwa kalian tidak
bersalah. Keyakinan itulah yang ingin kami dapat dari kalian. Jika
kami membawa kalian berdua, adalah untuk memberikan kesaksian
sehingga kami yakin bahwa yang kalian katakan itu benar. Karena
itu, setelah kami kini meyakini kebenaran kata-katamu, bahwa
kalian memang tidak bersalah, aku kira aku tidak memerlukan kalian
berdua lagi saat ini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak.
Meteka menjadi bingung. Bingung karena sikap Witantra dan
bingung oleh sikap pemimpin prajurit itu.
"Jelasnya, kalian tidak perlu lagi kami bawa. Tetapi setiap saat
kalian kami perlukan, kami harap kalian tidak berkeberatan untuk
datang." 963 "Jadi kami boleh pergi?"
"Ya." prajurit itu kemudian berkata bersugguh-sugguh, "Tetapi
sadari. Bahwa yang terjadi tentu bukan hanya sekedar peristiwa
yang kebetulan. Mungkin ada persoalan-persoalan yang akan
menjadi berkepanjangan. Karena itu kalian harus berhati-hati. Dan
bahkan Singasari harus berhati-hati. Agaknya masih ada orangorang
yang dengan sengaja menimbulkan kerusuhan."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima
kasih. Jika demikian kami akan kembali ke istana. Ayah berada di
istana dalam rangka upacara penyelenggaraan jenazah tuan puteri
Ken Dedes." "Sampaikan salam kami kepada ayah kalian. Kami tidak
bermaksud mengganggu ketenangan kalian di s ini."
"Apakah dengan demikian berarti aku dapat kembali ke istana."
"Silahkan. Tetapi hati-hatilah. Ketiga orang itu tidak akan
menghentikan usahanya, justru setelah mereka mengetahui bahwa
kalian adalah anak Mahendra."
"Kenapa?" "Kami tidak tahu pasti. Tetapi jika orang-orang itu adalah sisasisa
pendukung Tohjaya, maka Mahendra termasuk salah seorang
yang sangat dibencinya seperti juga Witantra dan Mahisa Agni."
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Kami minta diri. Kami berdua akan kembali keistana."
" Silahkanlah."
Tetapi kedua anak-anak muda itu tidak segera beranjak dari
tempatnya. Bahkan nampak keduanya menjadi bingung sehingga
pemimpin prajurit itu bertanya, "Apakah masih ada sesuatu yang
mengganggu?" "Tidak. Tetapi kami menjadi bingung. Jalan manakah yang harus
aku lalui menuju keistana?"
964 "O." pemimpin itu tidak dapat menahan senyumnya, "Apakah
kalian kehilangan arah?"
"Aku tentu akan dapat menemukannya karena kami tetap
mengenal kiblat. Tetapi jalan yang paling dekat?"
"Berjalanlah melalui jalan ini. Tidak ada jalan lain. Ikuti sajalah.
Jika jalan ini berbelok, ikut sajalah berbelok. Jangan menempuh
jalan-jalan simpangnya. Jalan induk ini akan sampai ke alun-alun
pungkuran." "Maksudmu halaman belakang istana?"
"Ya." "Terima kasih. Kami akan segera kembali. Ayah tentu sudah
menunggunya. Jika paman Witantra tid
ak segera kembali, ayah akan menjadi sangat gelisah."
Demikianlah kedua anak-anak muda itu pun kemudian berjalan
tergesa-gesa mengikuti arah yang ditunjukkan oleh pemimpin
prajurit itu. Mereka melalui deretan orang-orang yang menyibak
dengan kepala tunduk. Namun penyelesaian itu nampaknya memberi kepuasan kepada
orang-orang yang menyaksikan persoalan itu sejak permulaan.
Mereka menganggap bahwa kedua anak-anak muda itu adalah
anak-anak muda yang jujur. Bukan maksudnya untuk menentang
para prajurit. Tetapi bukan pula seharusnya mereka merasa
terlindung oleh kedudukan ayah dan paman-pamannya.
Sejenak kemudian, maka kaki-kaki kuda prajurit-prajurit itu pun
telah berderap di atas jalan-jalan kota. Namun satu hal yang
menjadi perhatian mereka, tiga orang yang sengaja menumbuhkan
kekacauan. Hal itulah yang kemudian mereka sampaikan kepada pimpinan
prajurit yang lebih tinggi. Yang terjadi itu tentu bukan sekedar
usaha untuk membunuh anak Mahendra. Tetapi tentu jauh lebih
besar lagi. 965 "Kita akan mempelajari persoalan ini." berkata pemimpinnya,
"Tetapi kita akan melaporkannya segera. Apalagi selama saat
berkabung ini, penjagaan di seluruh kota harus ditingkatkan."
Dengan demikian maka pasukan Singasari harus mengambil
suatu sikap menghadapi peristiwa itu. Sikap yang harus
diperhitungkan sebaik-baiknya. Dan pemimpin sekelompok prajurit
yang melihat peristiwa yang terjadi antara tiga orang tidak dikenal
dengan kedua anaka Mahendra itu telah menyusun laporan
selengkapnya. Dalam pada itu, kedua anak-anak muda anak Mahendra itu pun
telah berada di istana pula. Ketika ia menghadap ayahnya sudah
duduk bersama Witantra. "Kemarilah." panggil Mahendra.
Sambil menundukkan kepalanya kedua anak-anak muda itu
mendekat. "Kalian cepat pulang" Apakah persoalan kalian sudah selesai?"
"Sudah, ayah." jawab Mahisa Murti.
"Menurut pamanmu Wirantra, kalian akan ditahan oleh
sekelompok prajurit."
"Ya, ayah." "Dan kalian akan melawan?"
Kedua anak-anak muda itu tidak menjawab.
"Tetapi kenapa kalian begitu cepat pulang" Apakah kalian
melarikan diri?" "Tidak ayah. Kami memang diperkenankan pulang. Agaknya
pemimpin prajurit itu telah mempercayai keterangan kami bahwa
kami memang tidak bersalah."
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, "Barangkali itulah
keterangan yang benar. Jadi kalian dilepaskan bukan karena
966 pamanmu Witnatra atau pamanmu Mahisa Agni atau karena aku
sendiri. Mengertilah."
"Ya, ayah." "Dan kalian harus mendengarkan nasehat yang sudah diberikan
oleh pamanmu Witantra. Kalian tidak boleh melawan di dalam
keadaan semacam itu."
"Ya, ayah." "Sekarang berceriteralah apa yang sebenarnya telah terjadi
sejelas-jelasnya." Kedua anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak.
Kemudian Mahisa Murti pun berkata, "Ceritera itu sudah aku ka
takan kepada pamanda Witantra."
"Katakan sekali lagi, selengkapnya. Tetapi jangan
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkepanjangan karena kami masih akan sibuk dengan tugas-tugas
lain. " Sekali lagi Mahisa Murti menceriterakan persoalannya kepada
ayahnya, pamannya Witantra dan Mahisa Agni.
Orang-orang tua itu mengangguk-angguk. Ceritera itu memang
sangari menarik. "Sekarang beristirahatlah." berkata Mahendra kepada kedua
anak-anaknya setelah mereka selesai berceritera, "Kalian tentu lelah
setelah kalian mempertunjukkan setitik ilmu yang sebenarnya tidak
berarti apa-apa bagi prajurit-prajurit Singasari. Untunglah belum
cidera dan diseret kebarak setelah kalian bersikap melawan."
Kedua anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun tibatiba
saja Mahisa Pukat berkata, "Ayah, tetapi ketiga orang yang
menyerang kami itu berkata, bahwa mereka akan membunuh
prajurit-prajurit yang berani mendekat. Apakah dengan demikian
berarti bahwa ketiga orang itu memiliki ilmu yang tidak ternilai
karena mereka dapat mengalahkan para prajurit Singasari yang pilih
tanding." 967 "Mungkin ketiga orang itu memiliki sesuatu yang dapat
dibanggakan." "Jadi bagaimana penilaian ayah tentang kami?"
"Maksudmu?" "Ternyata ketiga orang itu tidak dapat membunuh kami yang
hanya berdua." "He." Mahendra membelalakkan matanya. Katanya, "Jangan
salah menilai diri Pukat. Kau sangka bahwa karena mereka bertiga
tidak dapat mengalahkan kalian berdua berarti bahwa kalian berdua
lebih tangguh dari ketiga orang itu" Dan dengan demikian kau
memiliki kemampuan yang berlipat ganda dari prajurit-prajurit
Singasari?" Witantra tidak dapat menahan senyumnya seperti juga Mahisa
Agni. Tetapi mereka sama sekali tidak memperlihatkannya kepada
kedua anak-anak itu. Mahisa Pukat menundukkan kepalanya. Meskipun demiki an ia
berkata, "Itu adalah urut-urutan jalan pikiranku ayah."
Mahisa Murti menggamitnya, sehingga Mahisa Pukat pun
kemudian terdiam. "Pergilah kebelakang." perintah Mahendra kemudian, "Kalian
harus membersihkan diri dan beristirahat."
"Baiklah ayah." kedua anak-anak muda itu menjawab hampir
berbareng. Sepeninggal kedua anak-anak itu, Witantra dan Mahisa Agni
tertawa pendek sambil bergeser mendekat. Mahisa Agni pun
kemudian berkata, "Nah, kau dengar sendiri jalan pikiran anak muda
itu" Jangan marah. Jalan pikiran anakmu ternyata masuk akal."
Mahendra pun tersenyum pula. Sebenarnya ia juga dapat
mengerti jalan pikiran anaknya itu.
968 Namun dalam pada itu, ketiga orang itu pun kemudian terlibat
dalam pembicaraan mengenai ketiga orang yang tidak dikenal itu.
Yang menurut kedua anak-anaknya, dengan serta merta telah
menyarangnya dan bahkan akan membunuhnya.
"Sebenarnya Singasari sudah mulai diliputi oleh suasana yang
damai." berkata Mahisa Agni, "Kepergian Ken Dedes untuk
selamanya, umur kami yang menjadi semakin tua, yang pada suatu
saat akan sampai pada titik terakhir, seharusnya tidak lagi diganggu
oleh riak-riak kecil di wajah Singasari yang tenang."
"Apakah sekedar riak-riak kecil?" bertanya Witantra.
"Itulah yang belum kita ketahui." jawab Mahendra, "Tetapi aku
kira bukan sekedar riak-riak kecil yang tidak berarti."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Baiklah. Setelah semuanya selesai, kita akan berbicara dengan para
pemimpin Singasari yang sebenarnya."
"Ya sebenarnya?"
"Ya bukankah kita bukan pemimpin-pemimpin yang sebenarnya
dari Singasari?" "Maksudmu tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka?"
"Ya, dan sudah barang tentu pemimpin-pemimpin pemerintahan
yang lain." Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Tetapi
menurut pendapatku, yang terjadi bukannya riak-riak kecil. Mungkin
untuk beberapa saat, tidak akan nampak sesuatu yang dapat
membahayakan ketenangan Singasari. Tetapi jika pada suatu saat
terjadi ledakan-ledakan di mana-mana, maka tentu ledakan-ledakan
itu memiliki hubungan dengan peristiwa yang nampaknya kecil ini."
"Apakah kau tidak terlampau berprasangka?"
"Aku dipengaruhi oleh firasatku." berkata Mahendra kemudian.
969 Mahisa Agni mengangguk-angguk pula. Beberapa saat ia
merenung saja. Namun ia pun sebenarnya memiliki pertimbangan
yang serupa. "Tetapi siapakah yang berada di belakang peristiwa ini
sebenarnya." tiba-tiba Witantra berkata perlahan-lahan, "Apakah
tujuan mereka yang sebenarnya. Mungkin orang-orang itu dengan
sengaja membuat Singasari kacau. Tetapi mungkin mereka sekedar
ingin melepaskan dendamnya kepada Mahendra."
"Tetapi menilik keterangan anak-anak itu, mula-mula orangorang
itu tidak tahu, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah
anak-anakku." "Jika demikian, maka mereka bertiga ingin membuat suasana
menjadi keruh, justru pada saat Singasari berkabung."
"Ya. Banyak yang dapat terjadi. Tetapi kita harus
meyakinkannya, selain berusaha agar persoalan ini tidak
mengeruhkan suasana di kota raja ini."
"Biarlah kedua anak-anak itu tetap di halaman istana sampai
saatnya kami kembali."
"Tentu tidak menyenangkan bagi anak-anak itu. Mereka tentu
ingin banyak melihat. Karena itu, biarlah mereka pergi bersama kita
setelah semua tugas kita dalam penyelenggaraan jenazah ini
selesai." "Tetapi selama kita sendiri s ibuk?"
"Biarlah ia di bangsal ini."
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat oleh ayahnya
tidak diperkenankan pergi kemana-mana lagi jika hanya berdua
saja. Mungkin ketiga orang yang bertempur melawan kedua anakanak
itu mendendam dan mereka akan datang dengan jumlah yang
lebih besar atau orang-orang yang lebih kuat.
Sementara itu, pimpinan prajurit Singasari telah menerima
laporan mengenai peristiwa itu dengan terperinci.
970 Pada umumnya mereka pun mempunyai kesimpulan, bahwa jika
yang mengalami sergapan itu adalah anak-anak Mahendra, maka itu
adalah kebetulan saja. Tujuan orang-orang itu tentu dengan
sengaja ingin menimbulkan kekacauan di dalam kota yang sedang
berkabung. Karena itu, pemimpin tertinggi prajurit Singasari telah mengambil
kebijaksanaan untuk meningkatkan pengawasan di pintu-pintu
gerbang kota. Setelah kedua putera Mahendra itu, mungkin ada sasaran lain.
Mereka tentu kecewa karena mereka tidak berhasil membunuh
kedua anak-anak itu. Mungkin karena akan melepaskan kekecewaan
itu terhadap orang lain. Perintah itu pun segera tersebar di seluruh kota. Tetapi para
prajurit telah berusaha agar kesiagaan mereka itu tidak
mempengaruhi ketenangan rakyat Singasari, sehingga karena itu,
maka mereka menambah jumlah prajurit-prajurit yang bertugas
dengan sangat berhati-hati.
(bersambung ke jilid 14) Koleksi: Ismoyo Scanning: Arema Retype/Proofing: Mahesa Editing: Arema -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
971 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo dan Arema di
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 14 PRAJURIT-PRAJURIT yang bertugas di pintu-pintu gerbang
kota menjadi bukan saja berlipat jumlahnya, tetapi juga
kekuatannya. Di setiap pintu gerbang ditugaskan satu atau dua orang
Senapati yang mampu mengatasi kesulitan apabila
timbul setiap saat. Senapati
yang memiliki kemampuan tempur yang tinggi dan dapat
dipercaya. "Setiap orang yang lewat di
pintu gerbang harus mendapat
mengawasan yang seksama meskipun tidak perlu seorang
demi seorang dihentikan dan diberi bermacam-macam pertanyaan."
perintah para pemimpin di Singasari.
Dengan demikian, meskipun nampaknya Singasari tetap tenang,
namun bagi para prajurit, rasa-rasanya Singasari telah menjadi
semakin hangat oleh peristiwa yang menimpa kedua anak-anak
Manendra. 972 Dalam pada itu, ketiga orang yang melarikan diri pada saat
beberapa orang prajurit sedang mendekati arena perkelahian itu,
sempat menghindarkan diri dari penglihatan mereka.
Dengan tangkas mereka berlari melintasi pagar dan dinding batu.
Menyeberangi halaman dan jalan-jalan sempit di dalam pedukuhan.
Akhirnya ketiganya seolah-olah telah hilang dari antara orang-orang
yang kebingungan melihat tingkah laku mereka.
"Kita bersembunyi lebih dahulu." berkata yang tertua.
Kedua orang yang lain menggeram. Dengan tergesa-gesa mereka
memasuki sebuah halaman sempit yang rimbun dan kotor.
"Kita menunggu sampai kita mendapat kesempatan untuk lolos
ke luar kota." berkata yang tertua pula.
Dengan nafas terengah-engah mereka mengetuk pintu rumah
bambu di tengah-tengah halaman yang kotor itu.
"Siapa?" terdengar suara dari dalam.
Ketiga orang yang di luar tidak usah menjawab. Mereka
mengetuk pintu rumah itu sekali lagi dengan hitungan yang sudah
mereka setujui sebelumnya. Dua-dua tiga kali ganda.
Pintu itu pun kemudian terbuka. Seorang tua yang bertubuh
kurus menjengukkan kepalanya.
"Marilah. Kalian cepat datang."
Ketiganya tidak menjawab. Mereka pun kemudian menyusup
masuk ke dalam rumah itu.
Salah seorang dari ketiga orang itu menghentakkan kakinya
sambil berkata, "Gila. Kami menemukan dua orang anak muda yang
ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa."
"Apa yang kalian lakukan?" bertanya orang yang bertubuh kurus
itu. 973 "Kami ingin menimbulkan kekacauan, ketakutan dan kesan
bahwa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka bukan orang-orang yang
pantas ditakuti." "Apa yang kalian lakukan?"
"Maksud kami, kami akan membunuh siapa pun dan
melemparkannya ke jalan kota."
Orang bertubuh kurus itu mengangguk-angguk.
"Tetapi kami telah gagal."
"Kenapa?" Orang tertua dari ketiga orang yang gagal itu pun
menceriterakan pengalaman pahit yang baru saja dialaminya
bersama kedua kawan-kawannya.
"Ternyata kedua anak itu adalah anak Mahendra."
"Anak Mahendra?"
"Ya." Orang bertubuh kurus itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kalian memang sial. Meskipun aku belum melihat, tetapi anak
Mahendra itu tentu memiliki sesuatu yang dapat dipergunakannya
untuk melindungi dirinya. Apalagi ternyata kalian adalah orangorang
yang mudah dibayangi oleh kecemasan yang tumbuh dari diri
kalian sendiri." "Maksudmu?" "Tentu nama Mahendra telah membuat kalian ketakutan dan
kehilangan keberanian untuk bertempur seterusnya."
"Sama sekali tidak. Nama Mahendra telah membakar niat kami
untuk membunuh anaknya, karena kami tahu, bahwa Mahendra
adalah salah seorang dari mereka yang ikut memimpin perlawanan
terhadap tuanku Tohjaya."
974 Tetapi orang bertubuh kuius itu tersenyum. Katanya, "Baiklah.
Kalian dapat bersembunyi di sini untuk satu atau dua hari. Tetapi
kemudian kalian tidak harus menunjukkan kepadaku, yang manakah
anak-anak muda yang kalian maksud itu."
"Mereka bukan anak kota ini. Mereka anak-anak padesan yang
pergi kekota karena ayahnya ikut menyelenggarakan jenazah Ken
Dedes." "Tetapi anak itu tentu akan berjalan-jalan di dalam kota
meskipun pada saat yang lain ia akan diiringi oleh beberapa orang
pengwal. Atau dibawa oleh ayahnya sendiri."
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Aku belum tahu."
"Kau tidak perlu bersusah payah mencari anak-anak itu di dalam
kota ini. Jika kau memang berkepentingan, kau dapat mencari ke
rumahnya. Bukankah kau dapat menemukan padukuhan Mahendra"
Kau tentu dapat menemukan anak-anak itu di sana beberapa hari
lagi, satelah mereka kembali."
Orang bertubuh kurus itu mengerutkan keningnya. Namun
katanya, "Kalian akan aku bawa berjalan-jalan berganti-ganti. Jika
kita bertemu dengan anak-anak itu, kalian harus memberitahukan
kepadaku. Mungkin aku tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi mungkin
akan tumbuh rencanaku yang lain."
"Apakah kau merasa bahwa dirimu mampu mengimbangi
kemampuan Mahendra?"
"Aku tidak mengatakan begitu. Aku hanya mengatakan, bahwa
aku ingin melihat kedua anak-anak itu."
"Baiklah." jawab orang tertua dari ketiga orang itu, "Kami akan
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membawamu berjalan-jalan. Mudah-mudahan kita dapat bertemu
dengan anak itu di sepanjang jalan kota. Tetapi jika tidak, maka kau
dapat mencarinya di padukuhan tempat tinggalnya. Itu bukan
pekerjaan yang sulit."
975 Orang bertubuh kurus itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu katanya, "Kota ini memang sudah terlampau lama terasa
tenang dan damai, seolah-olah setelah tata pemerintahan berpindah
dari tangan tuanku Tohjaya ketangan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka, keadaan menjadi semakin baik. Aku sependapat bahwa
kesan ini harus berubah. Singasari harus tetap kisruh dan
kehilangan pengaruh bagi rakyat dan daerah-daerahnya yang
terpencar." Ketiga orang yang bersembunyi di rumah orang bertubuh kurus
itu tidak menjawab lagi. Mereka tidak dapat mengingkari, bahwa
dalam beberapa hal, orang itu memiliki kelebihan dari pada mereka.
"Sekarang, kalian tidur sajalah." berkata orang itu.
"Kau mau kemana?"
Orang bertubuh kurus itu menggeleng. Katanya, "Aku tidak akan
pergi kemana-mana. Aku adalah penghuni rumah ini. Karena itu aku
akan turun ke halaman dan membersihkannya."
Orang yang kurus itu pun segera turun ke halaman dengan
sebuah sapu lidi di tangannya.
Ia berjalan terbungkuk-bungkuk ke regol ketika ia melihat
beberapa orang lewat. "Kalian mencari apa anak-anak?" bertanya orang kurus itu.
"Apakah ada tiga orang yang lewat jalan ini?" bertanya salah
seorang dari mereka. "Tiga orang" Orang-orang muda atau sudah tua?"
"Kami tidak melihatnya. Tetapi ada orang yang mengatakan
kepada kami, bahwa ada tiga orang yang mencurigakan memasuki
daerah ini." "Siapakah mereka menurut kata orang tadi?"
"Orang itu juga tidak mengetahuinya. Tetapi beberapa orang
lewat mengatakan, bahwa baru saja ada keributan. Dua orang anakTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
976 anak muda telah berkelahi melawan tiga orang yang dengan tibatiba
saja menyerang mereka tanpa sebab."
"O." orang kurus yang tiba-tiba menjadi terbungkuk-bungkuk itu
mengangguk-angguk, "Jadi tiga orang itu dicurigai karena ada
kemungkinan bahwa mereka adalah orang-orang yang berkelahi itu"
Bukankah begitu?" "Ya. Barangkali begitu."
"Sayang. Sejak tadi aku membersihkan halaman. Tetapi aku tidak
melihat seorang pun lewat." ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi
apakah mereka melalui jalan ini?"
"Kami tidak melihatnya. Hanya suatu kemungkinan. Tiga orang
itu lari dari arena dan hilang begitu saja."
Orang yang bertubuh kurus itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Jika nanti aku melihatnya, biarlah aku hentikan mereka
dan aku akan membawa kepada kalian."
Beberapa, orang di antara orang-orang yang lewat itu tertawa.
Salah seorang dari mereka berkata, "Jangan Kek,nanti kau akan
dicekiknya sampai mati."
"Uh, kenapa aku akan dicekiknya" Apa salahku?"
Orang-orang itu. tidak menanggapinya lagi. Mereka berjalan
terus menyusuri jalan sempit itu dengan berbagai macam senjata di
tangan masing-masing. Namun dalam pada itu, orang bertubuh kurus itu mengerti bahwa
berita tentang perkelahian itu sudah tersebar ke seluruh kota.
Sehingga dengan demikian ketiga orang itu memang harus menjadi
sangat berhati-hati. Karena itu, maka ia pun segera masuk kembali ke dalam
rumahnya dan menemui ketiga orang yang sedang berbaring di
ruang belakang. "Kalian sedang dicari." berkata orang berubuh kurus itu.
977 "Siapa yang mencari kami?" bertanya yang tertua di antara
ketiga orang itu. "Anak-anak muda padukuhan ini."
Ketiga orang itu tertawa. Salah seorang berkata, "Apakah aku
harus membantai mereka semuanya."
"Bukan itu soalnya. Tentu yang mencarimu bukan saja anak-anak
muda. Tetapi prajurit-prajurit pun akan berusaha untuk menemukan
kalian. Prajurit-prajurit disetiap gerbang kota tentu sudah mendapat
perintah untuk mengawasi orang-orang yang lewat. Apalagi mereka
yang lewat bersama-sama, bertiga."
"Bodoh sekali." desis yang tertua dari ketiga orang itu.
"Kenapa?" "Apakah kami bertiga itu tidak akan dapat saling berpisah. Aku
dapat lewat melalui gerbang sebelah Utara. Yang lain lewat Selatan
dan yang lain lagi lewat gerbang sebelah Timur atau Barat."
"Tetapi bagaimana jika kebetulan kedua anak-anak muda itu ada
di pintu gerbang dan melihat salah seorang dari kalian?"
"Kami dapat membuat sedikit perubahan pada wajah kami."
jawab salah seorang dari ketiganya, "Atau kami dapat menunggu
pada hari ketiga, keempat atau kelima." tiba-tiba ia berhenti
sejenak, lalu, "he, bagaimana dengan rencanamu untuk mencari
atau sesuatu ketika bertemu dengan anak-anak muda itu dengan
membawa salah seorang dari kami berganti-ganti?"
"Seperti yang kau katakan. Kau dapat merubah wajahmu sedikit,
sehingga dengan pakaian yang berbeda, anak itu tidak akan dapat
mengenalmu lagi." Ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dan salah seorang
dari mereka berkata, "Biarlah mereka mencari kita. He, bukankah
kita akan tidur sejenak?"
"Ya. Aku lelah sekali."
978 Orang bertubuh kurus itu tidak menyahut lagi. Ia pun kemudian
kembali ke halaman dengan membawa sapunya. Jalan kecil di muka
rumahnya itu sudah menjadi sepi. Dan tidak ada lagi anak-anak
muda yang lewat bergerombol dengan senjata di tangan mencari
tiga orang yang mereka anggap dapat membuat kekacauan di kota
raja yang sedang berkabung itu.
Dengan demikian maka ketiga orang itu pun dapat tidur dengan
nyenyaknya tanpa ada yang mungusiknya lagi.
Dalam pada itu, beberapa orang prajurit penghubung masih hilir
mudik menyampaikan perintah untuk berhati-hati dan mengawasi
setiap orang yang keluar masuk pintu gerbang kota. Mereka pun
ternyata sadar, bahwa yang menjadi pegangan dari setiap
pengamatan bukannya harus berjumlah tiga orang, karena jumlah
itu dapat bertambah dan berkurang setiap saat.
Di istana, kesibukan para petugas pun rasa-rasanya menjadi
semakin meningkat. Jenazah Ken Dedes memang tidak akan segera
diperabukan, karena masih harus dipersiapkan banyak sekali
kelengkapannya yang mungkin baru dapat siap dalam waktu
setengah atau satu tahun. Namun tingkat pertama dari
penyelenggaraan jenazah itu adalah mempersiapkan
penyimpanannya sebaik-baiknya.
Selagi orang-orang tua s ibuk dengan tugas masing-masing, maka
kedua anak Mahendra menjadi semakin jemu untuk tinggal di dalam
bangsal saja. Tetapi mereka tidak berani melanggar perintah
ayahnya untuk tetap tinggal di bangsal itu.
"Sampai kapan kita berada di sini." bertanya Mahisa Murti.
"Aku menyesal, bahwa kita tidak menyerah saja kepada prajuritprajurit
itu sejak mula-mula. Jika demikian, kita masih berada di luar
istana. Ternyata kita di sini seakan-akan berada di dalam tahanan
juga." sahut Mahisa Pukat.
Kakaknya tidak menjawab. Tetapi seperti kata adiknya, mereka
merasa sangat jemu untuk tinggal saja di bangsa itu tanpa berbuat
apa-apa. 979 "Apakah kita tidak boleh berjalan-jalan ke luar?" bertanya Mahisa
Pukat yang menjadi semakin jemu.
Mahisa Murti pun meresa tidak tahan lagi untuk tetap berada di
bangsal itu. Maka karena itu ia pun berkata, "Apa salahnya kita
berada di muka bangsal ini. Asal kita tidak mengganggu orang lain,
aku kira, tidak akan terjadi sesuatu."
"Bagaimana jika ada orang yang tiba-tiba saja menyerang kami
seperti yang telah terjadi itu di dalam halaman istana ini"
Persoalannya tentu akan menjadi semakin berat. Semua orang di
dalam istana ini akan ikut campur, dan prajurit-prajurit yang
bertugas di dalam istana ini tentu prajurit-prajurit terpilih."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian,
biarlah kita tidur saja. Kita tidak akan dapat berbuat apapun juga."
Ternyata bahwa kedua anak-anak itu benar-benar tidak berani
melanggar pesan ayahnya, sehingga dengan demikian, maka
keduanya pun tetap berada di dalam bangsal. Dengan jemunya
keduanya berbaring beberapa lama. Kemudian bangkit dan berjalan
hilir mudik. Namun kemudian keduanya pun mencoba untuk dapat
tidur. Dalam pada itu, ketika keadaan menjadi tenang, maka orang
bertubuh kurus, yang rumahnya menjadi tempat persembunyian
tiga orang yang telah menyerang anak-anak Mahendra itu pun mulai
merencanakan usaha untuk dapat bertemu dengan anak-anak
Mahendra. Kepada ketiga orang yang berada di rumahnya ia
berkata, "Aku harus dapat berbuat sesuatu atas anak-anak itu.
Kegagalan kalian memberikan kesan, bahwa yang terjadi benarbenar
hanya sebuah kekacauan kecil yang ditimbulkan dari
penjahat-penjahat kecil saja. Ternyata usaha yang kalian laku kan
dapat digagalkan hanya oleh anak-anak."
"Maksudmu?" "Kalian sudah mulai dengan usaha pengacauan itu. Kesan
kekacauan yang sebenarnya harus timbul pada saat ini."
980 "Apa yang akan kau lakukan?"
"Marilah, salah seorang dari kalian akan berjalan-jalan
bersamaku. Mudah-mudahan kita dapat bertemu dengan anak-anak
itu dimanapun juga. Mereka tentu akan berjalan-jalan lagi melihatmelihat
kota meskipun harus dengan pengawal."
"Apa yang dapat kau lakukan?"
"Aku mempunyai senjata yang dapat membunuh mereka dari
jarak jauh. Tongkatku adalah sebuah sumpit. Aku dapat
menyumpitnya dengan duri beracun. Jika keduanya atau salah
seorang dari mereka benar-benar mati, maka orang Singasari benarbenar
akan terbangun. Bahwa ada kekuatan yang perlu
diperhitungkan di luar kekuasaan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka." "Rencanamu tidak mudah dilakukan."
"Jika aku menemui kesulitan, aku dapat mengurungkan atau
menundanya tanpa menimbulkan kesan apapun, karena aku tidak
berbuat apa-apa." "Kenapa kita tidak mencari sasaran yang lain saja" Bukankah hal
itu dapat kita lakukan terhadap siapa saja" Tidak harus anak
Mahendra?" "Tetapi kau sudah terlanjur mulai dengan anak Mahendra. Jika
kita tidak dapat menyelesaikan yang sudah kau mulai, maka kau,
kita semuanya adalah penjahat-penjahat kecil yang tidak berarti
apa-apa." Salah seorang dari ketiga orang yang gagal membunuh anakanak
Mahendra itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku
akan mengikutimu." "Kita pergi ke daerah di sekitar istana. Mungkin kita akan duduk
di depan gerbang. Atau barangkali kita akan masuk ke dalam."
"Masuk" Apakah hak kita untuk masuk" Pintu gerbang itu tentu
dijaga sebaik-baiknya."
981 "Bodoh. Kita tidak akan melalui gerbang."
"Memanjat?" "Usaha kita akan mendatangkan hasil yang sebesar-besarnya jika
kita dapat membunuh anak-anak itu di dalam halaman istana."
Ketiga orang yang berada di rumah orang bertubuh kurus itu
mengerutakan keningnya. Memasuki halaman istana bukan
pekerjaan yang mudah. Tentu setiap jengkal dinding istana
mendapat pengawasan yang saksama. Apalagi setelah terjadi
percobaan pembunuhan itu.
"Jangan ragu-ragu." berkata orang bertubuh kurus itu, "Supaya
kita tidak disangka, pencopet kecil atau pencuri ayam yang
mencoba-coba merampas permainan dua orang anak-anak." ia
berhenti sejenak, lalu, "Setiap orang Singasari harus mendapat
kesan, sekelompok kekuatan sedang mengancam kedudukkan
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka."
Untuk beberapa saat lamanya tidak ada yang menyahut. Namun
kemudian salah seorang dari ketiga orang yang telah mencoba
membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu berkata, "Kenapa kita
tidak mencoba saja melakukan atas orang lain?"
"Itulah yang aku cemaskan. Apabila kalian telah dihinggapi
pikiran yang demikian, maka benarlah dugaanku, bahwa kalian
adalah sekelompok pencuri ayam kemalaman."
Tidak ada yang menyahut. Mereka tidak mau disebut sekelompok
pencuri ayam. Karena itu, maka mereka menyerahkan semua
rencana kepada orang bertubuh kurus itu.
Dengan demikian, maka ketika orang bertubuh kurus itu
mengajak salah seorang dari mereka pergi ke istana, maka orang itu
pun tidak dapat membantah lagi.
"Kau harus memakai pakaian yang lain dari yang kau pakai saat
kau mencoba membunuh kedua anak-anak itu." berkata orang
bertubuh kurus itu, "Aku sudah menyediakan apa saja yang
982 sekiranya akan kita butuhkan. Pakaian, senjata dan bahkan senjatasenjata
rahasia seperti tongkatku ini."
Demikianlah, maka kedua orang yang sudah mempersiapkan diri
itu pun meninggalkan tempat persembunyian mereka menuju
kepusat kota. Orang bertubuh kurus itu berjalan terbungkukbungkuk
bertelekan pada sebatang tongkat. Sedang kawannya
berjalan disisinya dengan pakaian seorang pedagang yang cukup
rapi. Wajah yang bersih dan sebilah keris di punggung tanpa
pedang di lambung. "Kita pergi ke istana. Kita akan mengamati pintu gerbang untuk
beberapa saat lamanya. Jika gelap malam mulai turun, kita akan
mengawasi keadaan, apakah kita kira-kira akan dapat masuk."
Kawannya tidak menjawab. Tetapi hatinya menjadi berdebardebar.
Keduanya pun kemudian tidak banyak lagi berbicara. Tidak banyak
yang mereka perbincangkan, dan seolah-olah mereka berdua sama
sekali tidak mengacuhkan apapun yang mereka jumpai di
perjalanan. Sebagaimana keduanya tidak memperhatikan apapun juga di
sepanjang perjalanan, maka tidak ada orang yang menaruh
perhatian khusus kepada keduanya. Jika ada orang berpaling maka
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang itu sekedar memandang langkah orang yang bertubuh kurus
agak terbungkuk-bungkuk dengan tongkat di tangan. Selebihnya
tidak ada yang diperhatikannya lagi. Tongkat di tangan orang
bertubuh kurus itu tidak menarik sama sekali.
Setelah berjalan beberapa lamanya, maka akhirnya mereka pun
sampai ke alun-alun Singasari. Untuk beberapa lamanya orang
bertubuh kurus itu ragu-ragu. Namun kemudian katanya kepada
kawannya, "Kita berteduh di bawah pohon rindang itu."
"Beberapa langkah di sebelah pohon itu adalah regol yang dijaga
kuat." "Justru karena kita berada dekat dengan para prajurit, kita tidak
akan dicurigai." 983 Keduanya pun kemudian duduk seenaknya di bawah sebarang
pohon rindang di depan pintu gerbang. Dengan seksama gerbang
itu. Karena tidak banyak orang yang lewat melalui mereka
memperhatikan setiap orang yang keluar masuk pintu pintu itu,
maka setiap orang dapat diperhatikannya dengan saksama.
"Mereka tidak akan keluar." berkata kawan orang bertubuh kurus
itu. "Kita akan berjalan mengelilingi dinding istana nanti menjelang
malam jika keduanya atau salah seorang dari mereka tidak nampak
keluar. Kita melihat kemungkinan, apakah kita dapat meloncat
masuk." "Bagaimana kita tahu, bahwa di dalam dinding itu ada satu atau
dua orang prajurit yang berjaga-jaga" Sedang mereka tidak dapat
kita lihat dari luar?"
"Kita memang tidak tahu. Tetapi kita akan dapat menduga
tempat-tempat yang berada di luar pengawasan. Jika dugaan kita
salah, kita akan ditangkap dan dibantai di tengah-tengah alun-alun
itu. Apakah kau takut?"
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Ia bukan seorang
penakut. Bahkan ia bertekad untuk membunuh prajurit-prajurit yang
mencoba mengejarnya jika dengan sengaja mereka membunuh di
tengah-tengah kota. Tetapi kemudian timbul pertanyaan, "Apakah hal itu dapat
dilakukannya atas prajurit pilihan yang bertugas mengawal istana?"
"Kau nampak ragu-ragu." berkata orang bertubuh kurus itu.
Kawannya tidak dapat ingkar. Maka sambil mengangguk ia
menjawab, "Ya. Aku memang ragu-ragu. Apakah kita tidak sedang
membunuh diri jika kita melakukan cara yang kau katakan itu."
Orang bertubuh kurus itu pun memandangi kawannya dengan
tegang. Namun kemudian ia tertawa sambil berkata, "Jika benar kita
sedang membunuh diri, maka cara yang kita tempuh ada cara yang
984 paling mengagumkan. Tentu akan banyak orang yang akan
menirunya kelak." Kawannya tidak menjawab.
Dengan demikian maka untuk beberapa saat lamanya keduanya
saling berdiam diri. Mereka memandangi regol istana dengan
perasaan yang berbeda. Sementara itu, dengan gelisah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berbaring di dalam bangsal Mahisa Agni. Sekali-sekali mereka
bangkit. Berjalan mondar mandir. Namun kemudian mereka kembali
mencoba untuk dapat tidur.
"Panas sekali. Aku tidak biasa tidur di siang hari," geram Mahisa
Pukat. "Marilah kita bermain macanan," desis Mahisa Murti. Keduanya
pun kemudian pergi ke halaman belakang bangsal itu. Mereka
membuat goresan di tanah. Kemudiam memetik beberapa lembar
daun untuk bermain macanan.
Tetapi beberapa kali saja mereka bermain, mereka pun segera
menjadi jemu. "Kapan ayah kembali ke bangsal ini." tiba-tiba Mahisa Pukat
bergumam. "Aku tidak tahu." desis kakaknya.
"Menjemukan sekali. Aku akan pergi."
"Kemana?" "Berjalan-jalan."
"Jangan. Nanti terjadi sesuatu lagi atas kita."
"Di dalam istana saja. Tentu tidak akan terjadi sesuatu. Kita
berjalan-jalan di halaman bangsal ini. Paling jauh kita akan berada
di taman. He, kau pernah mendengar nama seorang juru taman
yang baik. Ia adalah sahabat ayah."
"Ya, aku pernah mendengar ceritera tentang paman Sumekar,
juru taman di istana ini."
985 "Marilah. Kau ikut aku atau tidak?"
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian,
"Lebih baik kita berada di bangsal ini saja. Kita dapat tidur."
"Menjemukan sekali."
"Kau sudah makan?"
"Sudah. Dan udara terasa bertambah panas karenanya."
"Kau terlampau banyak makan daging kambing."
"Karena itu, aku akan pergi berjalan-jalan di bawah pohon-pohon
rindang di taman." Mahisa Murti tidak dapat menahan adiknya lagi, sehingga
akhirnya ia pun berkata, "Baiklah. Tetapi jangan keluar dari halaman
istana." Kedua anak-anak muda itu pun segera membenahi pakaiannya.
Dengan ragu-ragu mereka turun ke halaman bangsal. Dilihatnya
beberapa orang prajurit yang bertugas berjalan melintas. Sedang
dua orang yang lain berdiri di depan bangsal itu.
Keduanya melangkah mendekati kedua prajurit yang bertugas
itu. Mahisa Pukat lah yang kemudian berkata, "Aku akan pergi
berjalan-jalan sebentar."
"Kemana?" bertanya salah seorang prajurit itu.
"Hanya berjalan-jalan."
"Sebaiknya kalian tidak keluar lebih dahulu. Apakah kalian tidak
jera" Yang menyerang kalian untuk yang pertama kali itu dapat
kalian atasi. Tetapi bagaimanakah kiranya jika mereka
mempersiapkan orang-orang yang lebih kuat dari ketiga orang itu"
Kau menyangka bahwa kau tidak mempunyai persoalan apapun
dengan mereka. Tetapi dapat terjadi, bahwa mereka merasa ada
persoalan yang gawat dengan kau atau ayahmu."
986 Kedua anak-anak itu mengangguk-angguk. Namun Mahisa Pukat
pun kemudian menjawab, "Aku hanya akan berjalan-jalan di dalam
halaman istana saja."
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Lalu, "Terserahlah kepada
kalian. Tetapi sebaiknya kalian tidak keluar dari halaman."
"Ya. Aku tahu, bahwa halaman ini terlindung dari mereka yang
berniat buruk." Kedua kakak beradik itu pun kemudian berjalan melintasi
halaman menuju ketaman. Ketika mereka melihat dua orang prajurit
berjalan dengan senjata di tangan, maka keduanya pun mendekati
sambil bertanya, "Dimana ayah dan paman Mahisa Agni
menyelenggarakan jenazah tuan puteri?"
"Dibangsal induk. Tetapi tidak semua orang dapat masuk. Kau
tentu tidak akan boleh memasukinya. Untuk tiga hari bangsal itu
ditutup." Kedua anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka
berjalan lagi dari satu tempat ketempat yang lain.
"Jika datang saat jenazah itu diperabukan, maka tempat ini akan
menjadi semakin ramai" berkata Mahisa Murti.
"Ya. Mudah-mudahan kita diperbolehkan ikut pula." Kakaknya
mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Marilah kita
kembali ke bangsal. Tidak ada yang menarik di sini, Semuanya
sudah pernah kita lihat."
"Kita lewat pintu gerbang halaman depan." jawab adiknya.
"Untuk apa?" "Hanya lewat saja. Dari gerbang itu kita dapat melihat keluar."
"Semuanva sudah pernah kita lihat."
"Kita dapat melihat yang agak lain daripada dinding batu yang
tinggi di sekitar halaman istana ini."
987 Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Sejenak ia ragu-ragu.
Namun kemudian ia pun berkata, "Baiklah. Tetapi ingat. Jangan
meninggalkan halaman istana."
"Sudah aku katakan." sahut Mahisa Pukat, "Aku hanya akan
melihat dari dalam pintu gerbang."
Keduanya pun kemudian melangkah ke pintu gerbang, Mereka
sama sekali tidak menyangka bahwa di luar pintu gerbang itu ada
dua orang yang menunggunya dengan penuh kesabaran.
Dengan gembira Mahisa Pukat mendekati sekelompok prajurit
yang berada di gardu tugasnya. Sambil duduk di antara mereka ia
berkata, "Aku akan ikut berjaga-jaga di s ini."
Pimpinan prajurit yang sedang bertugas itu telah mengenal
kedua anak-anak muda itu. Karena itu dibiarkannya keduanya
berada di gardunya. "He, apakah kedua orang prajurit yang berdiri di pintu gerbang
itu bertugas dari pagi sampai sore?" Mahisa Pukat bertanya.
"Tidak." jawab pemimpin prajurit itu, "Sehari dibagi menjadi
empat kali pertukaran."
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Menjemukan sekali. Berdiri
dengan senjata di tangan seperempat hari penuh."
"Jika kau menjadi seorang prajurit, mungkin kau akan mendapat
tugas serupa itu." berkata Mahisa Murti.
Pemimpin prajurit itu tersenyum sambil bertanya, "Kau akan
menjadi apa?" "Aku akan menjadi seorang pedagang. Tidak seperti ayah. Tetapi
seorang pedagang besar."
"Apa ayahmu seorang pedagang?"
"Ternyata ayah bekerja tanggung-tanggung. Pedagang bukan,
petani juga bukan." jawab Mahisa Pukat, "Tetapi aku akan
melepaskan sama sekali pekerjaan petani."
988 "Aku tidak mau menjadi pedagang." potong seorang prajurit,
"Lebih baik berdiri dimuka gerbang seperempat hari daripada harus
mengalami kerugian berpuluh-puluh duwit."
"Ah, tentu pedagang yang tidak rugi." potong Mahisa Pukat,
"Seorang pedagang dapat menjadi kaya raya."
"Tetapi juga dapat kehilangan semua miliknya." Mahisa Murtilah
yang menyahut, "Karena itu sebaiknya kita menggarap sawah kita
sebaik-baiknya." "Petani akan tetap miskin." bantah adiknya.
"Tentu tidak." sahut pemimpin prajurit, "Petani yang cakap dan
menanam jenis tanaman yang tepat, dapat menjadi kaya."
"Yang akan tetap miskin adalah prajurit?" sambung seorang
prajurit, "Dan kami akan tetap saja bertugas di muka gerbang
seperti sekarang." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi
ketika mereka memandang prajurit itu, nampaklah ia tertawa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Bahkan
kemudian Mahisa Pukat pun berdiri dan berjalan mendekati dua
orang prajurit yang bertugas di muka pintu gerbang.
"Jangan ganggu mereka." berkata pemimpin prajurit di dalam
gardu, "Mereka sedang melakukan tugasnya."
"Tidak." sahut Mahisa Pukat, "Aku hanya akan melihat ke luar
sejenak." Prajurit-prajurit itu tidak melarang kedua anak-anak muda itu
pergi ke pintu gerbang karena mereka sudah mengenal putera
Mahendra itu dengan baik, yang meski pun baru beberapa hari di
istana, namun seakan-akan semua orang sudah dikenalnya.
Pada saat itu, selagi keduanya berdiri di tengah-tengah pintu
gerbang, dua orang yang berada di alun-alun memperhatikannya
dengan saksama. Orang yang sudah mengenal kedua anak muda
itu, dan yang bahkan telah bertempur melawannya itu pun segera
989 menggamit kawannya sambil berkata, "Itulah mereka. Akhirnya
keinginanmu untuk melihat mereka terpenuhi."
Orang bertubuh kurus itu pun menganggukkan kepalanya.
Katanya, "Jadi anak-anak ingusan itulah yang telah mengalahkan
kalian bertiga?" "Agaknya ia memiliki ilmu ayahnya."
"Kaulah yang gila. Ilmu ayahnya memang luar biasa. Tetapi
betapa tinggi ilmu anak-anak itu, namun kalian pasti akan dapat
mengalahkannya jika kalian tidak dibebani oleh perasaan takut
kepada ayahnya." "Sungguh bukan perasaan itu." jawab orang yang gagal
membunuh kedua anak-anak Mahendra itu, "Tetapi keduanya
memang memiliki kelebihan."
Orang bertubuh kurus itu pun mengusap tongkatnya. Sejenak ia
termangu-mangu. Karena ternyata tidak ada orang di sekitarnya,
maka ia pun berkata, "Agaknya mereka tidak memperhatikan arah
ini. Kebetulan sekali. Mudahkan sumpitku dapat menjangkaunya
dengan duri-duri beracun itu. Jika duri-duri itu dapat menyentuh
kulitnya, maka kedua anak-anak itu akan mengalami bencana yang
sesungguhnya, karena mereka akan segera mati."
Perlahan-lahan orang bertubuh kurus itu mengangkat
tongkatnya. Ia bergeser mendekati sebatang pohon yang dapat
melindunginya Terutama dari perhatian para prajurit.
Tetapi ia tidak segera dapat melontarkan duri-duri beracun dari
sumpitnya. Setiap kali anak muda itu bergerak, dan kadang-kadang
mereka terlindung oleh prajurit yang sedang bertugas di depan
pintu. Dalam pada itu, selagi orang bertubuh kurus itu mencari
kesempatan, kawannya dengan gelisah bertanya, "Jika kau
mengenainya, apakah para prajurit itu akan diam saja tanpa
berbuat sesuatu?" 990 "Duri-duri yang terlontar dari sumpitku tidak akan menimbulkan
perasaan sakit. Mungkin kedua anak-anak itu akan terkejut seperti
disengat lebih kecil saja. Tetapi mereka tidak akan mengerti, apa
yang sebenarnya telah terjadi. Sesaat mereka tidak merasakan
pengaruh racun itu. Kesempatan itu dapat kita pergunakan untuk
meninggalkan tempat ini. Baru kemudian keduanya akan merasakan
kelainan pada tubuh mereka, sementara kami sudah jauh. Baru
beberapa lama sesudah itu mereka akan mati."
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi nampak kegelisahan
membayang di wajahnya. "Ternyata kau seorang pengecut." berkata orang bertubuh kurus
itu. Lalu, "Nampaknya kau sangat ketakutan."
Kawannya tidak menjawab. Dengan nafas yang tidak teratur ia
memandangi kedua anak-anak muda yang nampaknya sedangg
bergurau di pintu gerbang dengan seorang prajurit. Bahkan, kedua
prajurit yang sedang bertugas pun kadang-kadang terpengaruh pula
oleh mereka itu. "Gila." desis orang bertubuh kurus itu, "Aku tidak segera
mendapat kesempatan. Jika keduanya masuk ke dalam, maka
kesemptan seperti ini belum pasti akan datang dalam sepekan ini."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia bertambah tegang. Namun
dalam pada itu, selagi keduanya menunggu dengan nafas yang
berdesakan oleh ketegangan yang semakin memuncak, tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh suara tertawa di belakang mereka.
Serentak mereka berpaling. Darah mereka tersirap ketika mereka
melihat seseorang duduk memeluk lutut di belakang mereka tanpa
mereka ketahui, kapan orang itu datang.
"Siapa kau." desis orang yang bertubuh kurus.
"Kau belum mengenal aku?"
"Belum." 991 Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Pantas. Kau memang
terlampau picik untuk mengenal aku."
Wajah orang bertubuh kurus itu menjadi merah. Katanya,
"Jangan menghina. Mungkin kau memiliki kelebihan, karena kau
dapat mendekati aku tanpa setahuku. Tetapi itu bukan berarti
bahwa aku menjadi ketakutan dan berlutut dihadapan mu."
Orang itu tertawa. Tidak terlalu keras, tetapi sangat menyakitkan
hati. "He, apakah kau juga mengenal aku?" bertanya orang bertubuh
kurus itu. "Kau belum pantas untuk dikenal. Terlebih-lebih karena kau akan
melakukan perbuatan yang sangat bodoh."
"Gila." geram orang bertubuh kurus, "Jika tidak di hadapan
prajurit-prajurit yang sedang bertugas itu, aku remas mulutmu."
Orang itu tertawa lagi. Katanya, "Jangan cepat marah. Sebaiknya
kau pertimbangkan semua perbuatanmu. Apakah kau kira, dengan
membunuh kedua anak-anak itu kau akan mendapatkan
keuntungan?" "Persetan." "Dengarlah. Jika kau berhasil menyumpit kedua anak-anak itu
dan kemudian membuat mati, maka seluruh Singasari akan bangkit
dalam kesiagaan. Kau tahu apa artinya kedua anak-anak itu?"
"Persetan dengan kesiagan Singasari. Kami ingin menunjukkan
bahwa kami memiliki sesuatu yang dapat kami banggakan."
"O, kalian berbangga dengan membunuh anak-anak Mahendra
itu" Alangkah piciknya. Kalian baru dapat berbangga, jika kalian
dapat membunuh Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni. Bukan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat."
"Siapakah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat?"
"Kedua anak-anak itu."
992 Orang bertubuh kurus itu mengerutkan keningnya. Lalu,
"Dendam kami akan memusnakan semuanya. Anak-anak itu dan
kemudian Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni. Bukan saja mereka,
Kilau Bintang Menerangi Bumi 6 Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari Wanita Iblis 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama