Ceritasilat Novel Online

Sepasang Ular Naga 23

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 23


padukuhan Pengasih bersama keluarga mereka.
1365 Diantara mereka terdapat beberapa orang perwira dan Senapati
yang selalu dibayangi oleh kecemasan. Namun agaknya mereka
telah menemukan tempat sebagai tempat tinggal mereka yang baru
meskipun mereka masih belum dapat melepaskan diri dari sikap
hati-hati. Karena itulah maka ditempatnya yang baru mereka tidak
mempergunakan nama mereka masing-masing.
"Aku masih mengharap Tapak Lamba akan datang pula kemari."
berkata Ki Buyut, "Tetapi sudah barang tentu tidak dengan orang
yang bernama Linggadadi itu, agar kedamaian kami tidak terusik."
"Ya." sahut salah seorang dari mereka, "Sudah waktunya bagiku
untuk memilih hidup dalam ketenangan. Tetapi seperti yang sudah
kita janjikan, aku pun tidak berkeberatan mempergunakan senjata
untuk mempertahankan ketenangan yang sudah kita tumbuhkan."
Demikianlah maka mereka dengan tekun mulai dengan suatu
kehidupan baru, Mereka dengan penuh gairah telah menebang
hutan dan memperluas tanah persawahan. Sebelum tanah itu
menghasilkan apa-apa, maka makan mereka sekeluarga telah di
bebankan kepada seluruh padukuhan.
Ternyata di samping membuka hutan, para bekas prajurit iru
sempat juga membantu anak-anak muda untuk berlatih olah
kanuragan. Selama ini mereka seolah-olah dengan membabi buta
berlatih memegang senjata. Hanya kadang-kadang saja Ki Buyut
sempat memberikan tuntunan. Namun sebagian yang lain adalah
karena kemauan mereka sendiri, dengan petunjuk-petunjuk singkat
dari Ki Buyut, berlatih menggerakkan berbagai macam senjata.
Dalam pada itu, ternyata dikaki Gunung Lawu, orang-orang yang
hidup dalam bayangan ilmu hitam telah mengetahui pula apa yang
terjadi di Kota Raja, meskipun mereka masih harus
memperbincangkannya. Tetapi nama Mahisa Bungalan telah mereka
dengar lagi di antara ceritera-ceritera tentang kematian dua orang
di antara mereka itu. "Mahisa Bungalan lagi." desis Empu Baladatu.
1366 "Ada beberapa desas desus mengenai kematian kawan-kawan
kami guru." berkata salah seorang muridnya, "Yang lain
mengatakan bahwa kawan-kawan kami mati oleh seseorang
bernama Linggadadi. Tetapi bahwa pada saat itu Mahisa Bungalan
hadir, agaknya memang benar, meskipun ia tidak berada dipihak
Linggadadi." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia pun telah banyak
mendengar tentang kematian dua orang yang dipercayainya untuk
memasuki Kota Raja, dan bahkan apabila mungkin membawa orang
orang yang mereka kehendaki hidup-hidup kekaki Gunung Lawu,
yang akan dipergunakannya sebagai korban untuk menyegarkan
ilmu mereka yang hitam. Tetapi yang terjadi adalah berbeda dengan maksud mereka.
Kedua orang itu justru telah terbunuh di Kota Raja.
"Bagaimanapun juga, Mahisa Bungalan telah melukai hati kita
semuanya." geram Empu Baladatu. Lalu, "Aku masih belum
berbicara tentang orang yang mengaku bernama Linggadadi, karena
seribu nama tidak akan ada artinya tanpa pengenalan lebih jauh."
"Jadi bagaimana maksud guru?" bertanya salah seorang
muridnya. "Kedua saudara seperguruanmu yang terbunuh itu adalah
orang-orang penting dan terpercaya. Tetapi mereka telah terbunuh.
Dengan demikian kalian harus lebih berhati-hati menghadapi orang
yang bernama Mahisa Bungalan itu. Bahkan ada beberapa orang
yang menyebutnya pembunuh orang berilmu hitam."
Tetapi beberapa orang muridnya tertawa pendek. Salah seorang
berkumis lebat menyahut, "Tidak banyak orang yang
berkesempatan untuk mendapatkan ilmu yang dahsyat ini. Di
padepokan ini tinggal tidak lebih dari dua belas orang dalam
tingkatan yang berbeda. Kemudian beberapa orang calon murid
yang masih dibawah asuhan murid-murid yang terpercaya. Karena
itu, kita tidak mau menjadi semakin berkurang lagi. Dua orang
1367 saudara kami itu sudah cukup mahal dipertaruhkan untuk
menangkap Mahisa Bungalan."
"Jadi?" bertanya Empu Baladatu.
"Sebaiknya kita pergi bersama-sama."
"Kita" Kalian dan aku?"
Orang itu menggeleng. "Tentu saja guru tidak harus selalu ada di
antara kami, karena di padepokan ini masih ada beberapa orang
calon murid. Namun jika guru berkenan bersama kami, maka
beberapa orang calon murid itu dapat diserahkan kepada muridmurid
yang sudah dapat dipercaya untuk membimbing mereka."
Empu Baladatu tiba-tiba saja tertawa keras-keras sehingga
tubuhnya berguncang-guncang. Beberapa orang muridnya menjadi
heran. Namun yang lain menarik nafas dalam-dalam sambil
berdesis, "Ternyata orang itu bodoh sekali. Guru melihat, betapa
penakutnya orang itu."
"Kau tentu sudah tahu sifat dan wataknya," desis yang lain,
"Paguh adalah orang yang ujudnya dapat menakut-nakuti anak yang
betapapun beraninya. Tetapi hatinya adalah hati yang sangat
lentur." "Katakan saja, ia seorang pengecut." sahut yang lain, "Adalah
gila untuk mengajak guru bersama mencari Mahisa Bungalan.
Bagaimana mungkin Paguh itu dahulu sempat berada diperguruan
yang tidak ada duanya ini?"
Sementara itu, Paguh sendiri masih saja menjadi bingung melihat
sikap gurunya. Namun barulah kemudian ia menyadari
kesalahannya ketika gurunya bertanya, "Paguh, apakah kau sudah
memikirkan kata-katamu?"
"Maksud guru ?"
"Kau sebenarnya tidak pantas berada di antara murid-muridku
yang perkasa." tiba-tiba saja suara gurunya meninggi, "He, kau tahu
apakah artinya kata-katamu itu he tikus yang dungu?"
1368 Paguh menjadi gemetar. Wajah Empu Baladatu menjadi merah
oleh kemarahan yang tiba-tiba saja menjalari kepalanya, "Kita sudah
kehilangan dua orang dari antara kita. Sebelumnya tiga orang yang
dibunuh Mahisa Bungalan karena kebodohannya. Sekarang salah
seorang dari kita telah berbuat lebih bodoh dan pengecut. Ketiga
saudara-saudaramu yang lari itu memang bodoh, tetapi mereka
adalah orang-orang yang berani sehingga saat matinya. Tetapi kau
Paguh?" Paguh semakin gemetar. "Sebentar lagi, lima hari lagi, adalah saatnya kita menyegarkan
ilmu kita dengan darah. Saat purnama naik dan musim yang
kering." "Guru ?" "Kebodohanmu dapat mencelakakan dirimu."
"Maksud guru." suara Paguh menjadi parau.
"Kau berkewajiban mendapatkan korban yang bakal kita
persembahkan bagi pelindung ilmu kita. Korban darah itu harus
berlangsung dengan sebaik-baiknya. Jika kau gagal maka darahmu
lah yang akan tertumpah di atas jambangan terpuji itu. Meskipun
darah pengecut, tetapi ilmu yang ada di dalam dirimu akan mengalir
kedalam diri kami dan menjadikan kekuatan kami akan bertambah."
"Jadi ?" "Pergilah. Kau tidak usah membawa Mahisa Bungalan. Tetapi
namamu akan dicuci oleh hasil kerjamu kemudian. Jika kau berhasil
dengan baik, maka kau akan mendapat kepercayaan tertinggi
diperguruan ini, tetapi kepercayaan sekedar menangkap kelinci."
suara tertawa Empu Baladatu meledak sehingga rasa-rasanya
Gunung Lawu ikut terguncang.
Paguh menjadi bingung. Tetapi ia sadar, bahwa perintah itu
harus dijalankan. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu atas Mahisa
Bungalan. maka ia sudah mendapatkan tugas yang harus
dilaksanakan sebaik-baiknya.
1369 "Tetapi tugas ini tugas yang tidak berat." katanya di dalam hati,
"Tetapi untuk menyenangkannya, aku harus mendapatkan korban
yang berkenan di hati guru. Muda, tampan dan barangkali sedikit
mempunyai ilmu. Dan untuk mendapatkannya tidak akan makan
waktu satu hari." Meskipun demikian, ia masih tetap gelisah, karena agaknya sikap
gurunya masih ada yang kabur baginya.
Namun demikian yang pasti adalah, ia harus menebus
kesalahannya, yang memberikan kesan kepada gurunya, bahwa ia
adalah seorang pengecut. "Guru keliru." berkata Paguh di dalam hatinya, "Aku bermaksud
untuk menyelesaikan persoalannya sampai selesai Dan itu tidak
akan dapat dilakukan tanpa guru. Tetapi guru menganggap bahwa
aku menjadi ketakutan."
Demikianlah maka Paguh itu pun kemudian pergi meninggalkan
padepokannya yang tersembunyi. Dengan menyandang tugas yang
diduganya tidak terlalu berat, ia berjalan menjauhi padepokannya.
Seperti yang dipesankan oleh gurunya, bahwa setiap murid harus
mendapatkan korban bagi ilmunya ditempat. yang jauh, agar
dengan demikian dapat menghilangkan jejak dari perguruan
mereka. "Aku akan berjalan tanpa tujuan. Kemana aku akan pergi, aku
tidak peduli, karena dimanapun tentu akan aku jumpai seorang lakilaki
muda yang tampan." Tetapi sepeninggal Paguh dari padepokannya, ternyata gurunya
tidak membiarkan melepaskannya sendiri. Bukan karena ia sayang
bahwa muridnya akan mengalami kesulitan. Tetapi ia justru cemas,
bahwa muridnya yang dianggapnya pengecut itu lidak akan berhasil
pada waktunya dan karena itu, ia pun tidak lagi berani kembali ke
Padepokan. Jika demikian maka ia harus mengorbankan siapa pun
yang diketemukannya tanpa memilih.
"Itu tidak boleh terjadi lagi." berkata Empu Baladatu, "Pelindung
ilmu kita yang dahsyat ini akan kecewa. Jika itu terjadi berulang kali,
1370 maka pelindung kita akan marah. Dengan demikian, kita akan
dilepaskannya dari perlindungannya dan mengalami kesulitan untuk
seterusnya." Murid-muridnya mengangguk-angguk.
"Karena itu pergilah. Susullah Paguh dan kalian harus bertindak
cepat untuk membantunya mendapatkan korban. Jika kalian gagal
sama sekali, bawa Paguh kembali kepadepokan ini. Aku memang
sudah muak melihatnya. Kecuali jika ia dapat merubah sifat
pengecutnya itu. Tetapi aku sama sekali tidak menyesal bahwa ia
harus dikorbankan karena sifatnya itu."
Beberapa orang yang ditunjuk itu pun sebera meninggalkan
padepokan menyusul Paguh. Karena waktunya tidak terpaut banyak,
maka mereka pun tidak kehilangan jejaknya dan di tempat yang
terbuka di sebelah hutan yang rindang, mereka telah melihat Paguh
berjalan seenaknya menyusuri jalan yang sempit yang berdebu.
Tetapi seperti ada yang memberi tahukan ditelinganya, maka
diluar sadarnya Paguh berpaling. Dadanya bergejolak ketika ia
melihat empat orang kawannya berjalan mengikutinya.
"Apakah guru sudah mengambil keputusan." ia berkata kepada
diri sendiri, "Jika guru mengirimkan keempat saudara
seperguruanku itu untuk membunuhku, dan mengorbankan darahku
lima hari lagi, maka apa boleh buat. Aku tidak mau menjadi
pangewan-ewan. Diikat dihadapan saudara-saudara seperguruan
dan kemudian menjadi korban yang mengerikan itu. Lebih baik aku
mati di s ini." Tetapi Paguh sama sekali tidak menunjukkan sikap yang
mencurigakan meskipun ia selalu bersiaga. Bahkan kemudian ia
berhenti menunggu keempat kawannya yang berjalan semakin
dekat. "Agaknya sikap mereka pun tidak mencurigakan." berkata Paguh
di dalam hatinya. 1371 Namun demikian, banyak kemungkinan yang dapat terjadi
sehingga ia tidak boleh menjadi lengah karenanya.
Semakin dekat dengan Paguh, maka keempat orang itu pun rasarasanya
menjadi semakin lambat. Sambil mengusap peluh di kening
salah seorang berkata, "Lebih baik membantunya mendapatkan
seorang korban daripada harus membawanya kembali."
"Ya. Paguh cukup baik kepadaku. Ia sering memberikan
rangsumnya jika ia sudah mendapatkan makan di luar padepokan."
"Dan itu sering dilakukannya."
Yang lain hanyalah mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka pun
sependapat karena mereka sudah lama tinggal bersama. Betapapun
kelam hati mereka, namun nampaknya mereka merasa satu pula
dengan kawan-kawan mereka yang berhati kelam pula.
Paguh yang melihat saudara seperguruannya mendekatinya itu
pun bertanya dengan nada yang datar, "Kenapa kalian menyusul
aku?" "Guru memerintahkannya." sahut salah seorang dari mereka.
"Apakah kalian membawa pesan baru bagiku?"
"Tidak." sahut yang lain, "Tetapi kami harus pergi bersamamu.
Menurut guru, tidak mudah untuk mendapatkan korban seperti yang
dikehendaki. Selebihnya, guru tidak sampai hati membiarkan kau
pergi sendiri." "Guru tidak percaya bahwa aku akan kembali membawa korban
itu?" "Bukan tidak percaya. Tetapi meragukannya karena dunia di luar
padepokan kita adalah luas."
"Atau barangkali guru cemas bahwa aku tidak akan kembali
sama sekali." "Jangan mengada-ada." sahut kawannya yang lain, "Marilah.
Kita pergi bersama-sama. Jika kau menimbulkan persoalan di dalam
1372 hatimu sendiri, maka semuanya akan menjadi kabur. Juga
persaudaraan kita." Paguh mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengangguk kecil.
"Baiklah." katanya, "Kita akan pergi bersama kalian untuk
melaksanakan tugas itu."
Mereka pun kemudian meneruskan perjalanan. Keempat orang
saudara seperguruan Paguh sama sekali tidak menunjukkan sikap
yang meragukan, karena mereka memang tidak bermaksud apa-apa
terhadap saudara seperguruannya yang sedang menjalani hukuman
itu. "Dengan sikap ini, kami tidak melanggar perintah guru." berkata
saudara-saudara seperguruannya kepada diri mereka masingmasing,
karena gurunya tidak mengharuskan mereka untuk tidak
membantu Paguh. Mereka hanya bertugas untuk membawanya
kembali, jika perlu dengan paksa apabila Paguh tidak berhasil
membawa seorang korban yang baik untuk ilmu perguruan mereka,
dan yang kemudian berusaha untuk melarikan diri.
"Guru sama sekali tidak melarang kami untuk membantunya."
mereka mencoba menegaskan kepada diri sendiri.


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itulah maka mereka berempat pun berjalan beriringan
dengan Paguh tanpa menumbuhkan kesan yang mencurigakan.
"Dimana kita mengambil korban itu?" tiba-tiba saja Paguh
bertanya, "Diujung padukuhan itu kita dapat menunggu satu dua
orang lewat." "He, bukankah kita baru berjalan setengah hari?" bertanya
seorang kawannya. "Apakah kita belum cukup jauh?"
"Sama sekali; belum. Kita akan berjalan sehari semalan. Baru
keesokan harinya kita menangkap satu dua orang yang pantas kita
jadikan persembahan kepada pelindung ilmu kita yang agung."
1373 Paguh mengangguk-angguk. Tetapi ia sudah tidak menaruh
kecurigaan sama sekali. Dengan demikian mereka meneruskan perjalanan meskipun tidak
terlampau cepat. Tetapi jasmaniah mereka adalah orang yang kuat
oleh latihan-latihan yang berat. Karena itulah maka mereka sama
sekali tidak nampak letih setelah menempuh perjalanan yang jauh.
Mereka pun kemudian tidak lagi melintasi hutan-hutan yang
rindang maupun yang lebat, karena mereka memilih menyusuri
jalan yang cukup banyak dilalui orang.
"Meskipun kita masih belum berjalan satu hari satu malam, jika
kita menjumpai satu dua orang yang pantas, maka kita akan
menangkapnya." desis salah seorang dari kelima orang itu.
"Kita hanya memerlukan satu orang." desis Paguh.
"Tidak. Semakin banyak semakin baik. Jika kita mendapatkan
beberapa orang sekaligus, maka purnama naik di bulan depan kita
tidak usah mencarinya lagi."
"Jika kita dapat memeliharanya sampai bulan depan." Yang lain
tidak menjawab. Tetapi mereka berjalan terus menuju kota yang
lebih ramai. "Kita menuju ke kota." desis Paguh kemudian, "Apakah kita akan
mencari korban kita di dalam kota?"
"Bukankah kita dapat memilih lebih baik." sahut kawannya, "Kali
ini kita memasuki sebuah kota kecil. Lain kali kita akan memilih
korban kami ke Kota Raja."
"Kita mencari kesulitan saja." desis Paguh.
Kawannya mengerutkan keningnya. Mereka bertanya kepada diri
sendiri. "Apakah Paguh memang seorang pengecut."
Tetapi mereka tidak mengucapkan pertanyaan itu.
Demikianlah mereka pun berjalan terus. Sekali-sekali mereka
berhenti untuk beristirahat. Bahkan ketika malam menjadi gelap
1374 maka mereka pun tidak segan-segan memasuki rumah-rumah yang
mereka duga dapat memberikan makan kepada mereka. Dengan
paksa mereka mengambil apa saja yang dapat mereka jadikan bekal
mereka di perjalanan. Adalah menyenangkan sekali jika pada suatu
saat mereka menemukan sebuah warung makanan yang masih
terbuka pintunya sesudah senja.
Tidak seorang pun berani melawan mereka berlima. Meskipun
orang-orang yang menjadi korban itu tidak mengetahui siapakah
mereka itu, namun menilik sikap dan tatapan mata mereka maka
orang-orang itu pun mengerti, bahwa mereka dihadapkan pada
kekerasan jika mereka melawan.
Di malam hari mereka hanya beristirahat sebentar. Masingmasing
mencoba memejamkan matanya hanya untuk sesaat.
Kemudian mereka pun segera terbangun dan meneruskan
perjalanan. Menurut perhitungan mereka, maka perjalanan kembali
tentu akan memerlukan waktu lebih panjang, karena mereka akan
membawa satu atau dua orang dengan paksa. Sedangkan waktu
tinggal sedikit. Lima hari sejak mereka berangkat.
"Kita akan tiba kembali di padepokan paling lambat sehari
sebelum saat itu tiba." berkata salah seorang dari mereka, "Orangorang
yang akan kita bawa tentu tidak akan dapat berjalan secepat
dan sekuat kita." "Ya. Besok kita harus mendapatkan orang itu. Dan kita akan
segera menempuh perjalanan kembali." sahut yang lain.
Ternyata bahwa perjalanan mereka cukup cepat. Sebelum langit
menjadi merah, mereka sudah berada di kota kecil yang pertama
mereka lalui. "Kita masih sempat beristirahat." desis salah seorang.dari kelima
orang itu. "Bagaimana kita akan menangkap korban kita?" desis yang lain.
"Kita tangkap saja mereka. Jika perlu kita pergunakan
kekerasan." 1375 "Dihadapan orang banyak."
"Apa salahnya" Kita akan membunuh mereka yang melawan.
Dan kita tentu akan mendapatkan yang masih hidup diantara sekian
banyak orang." "Apakah kota itu tidak mempunyai pengawal?"
"Tetapi mereka tidak berarti. Prajurit Singasari tidak akan sampai
ke tempat terpencil ini."
Kawannya tidak menyahut. Tetapi mereka mengangguk-angguk.
Meskipun agak ragu, namun mereka percaya, bahwa prajurit
Singasari tidak akan ditugaskan di dalam kota kecil yang masih agak
jauh dari Kota Raja itu. Demikianlah kelima orang itu pun kemudian beristirahat dip
inggir kota kecil yang masih samar-samar. Di beberapa rumah yang
berdiri di pinggir jalan, masih nampak cahaya lampu minyak yang
menyala di regol halaman.
Tetapi jalan-jalan yang menyilang kota kecil itu ternyata sudah
mulai dijalari oleh beberapa orang yang membawa barangbarangnya
menuju ke pusat keramaian kota.
"Mereka pergi ke pasar." desis Paguh kepada kawahnya.
"Ya. Agaknya pasar kota kecil ini cukup ramai. Mereka
membawa hasil kebun yang akan mereka tukarkan dengan barangbarang
buatan kota kecil ini. Mungkin alat-alat pertanian dari besi
atau barangkali barang-barang tenun."
Yang lain mengangguk-angguk saja. Mereka masih dipengaruhi
oleh perasaan lelah dan kantuk. Bahkan salah seorang dari mereka,
menyandarkan dirinya pada dinding batu dan di luar kehendaknya,
matanya telah terpejam. "Kita juga pergi ke pasar." berkata salah seorang dari mereka.
"Tetapi pasar masih sepi. Nanti, jika matahari naik sepenggalah,
maka pasar itu akan penuh dengan orang-orang yang datang dari
berbagai penjuru." 1376 "Kita akan mengambil satu atau dua orang dari pasar itu. Kita
akan menggiringnya kembali kepadepokan tanpa ada yang dapat
merintanginya. Jika pengawal-pengawal kota ini akan menghambat
perjalanan kita, kita akan membunuhnya atau menggiringnya sama
sekali. Jika kita mendapat empat atau lima orang sekaligus, maka
untuk beberapa bulan kita tidak perlu mencarinya lagi."
"Tetapi lebih sulit memelihara orang dari pada memelihara
ternak, karena orang mempunyai pikiran dan usaha untuk melarikan
diri." "Kita ikat tangan dan kakinya kecuali saat-saat mereka makan."
"Mereka dapat membunuh diri sebelum saatnya."
"Bagaimana mungkin jika mereka terikat."
"Mereka tidak makan dan tidak minum. Tujuh hari tujuh malam,
maka mereka akan mati dengan sendirinya."
"Kita akan memasukkan makanan dan minuman dengan paksa
ke dalam mulut mereka."
Yang lain tertawa. Rasa-rasanya memang aneh untuk
memelihara seseorang karena akan dapat menumbuhkan persoalan
yang bermacam-macam. Jauh lebih rumit dari memelihara seekor
kerbau. Namun sementara itu, seorang kawan mereka masih tetap
tertidur sambil bersandar. Bahkan nampaknya tidurnya semakin
menjadi nyenyak. Tetapi ia segera terbangun ketika kawan-kawannya kemudian
memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu, menuju ke
pasar yang tentu sudah menjadi semakin ramai.
"Sebelum kita mengambil korban, kita akan makan dahulu dan
melihat-lihat. Barangkali kita akan mendapatkan korban dari jenis
yang lain." desis seorang diantara kelima orang itu yang bertubuh
kekar. "Maksudmu?" bertanya Paguh.
1377 "Tentu dipasar itu ada gadis-gadis cantik pula."
"Kau masih saja selalu dihinggapi penyakit gila itu. Kau dapat
tertimpa malapetaka karena sifatmu yang satu itu."
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, " Kalian akan menggiring
korban itu. Dan aku akan membawa korbanku sendiri."
"Kepadepokan?" "Tidak. Aku akan meninggalkannya di luar kota."
Yang lain tidak menghiraukannya lagi. Mereka membenahi
pakaian mereka sejenak. Kemudian mereka pun berjalan menuju ke
pasar yang memang sudah menjadi semakin ramai, karena matahari
pun mulai terbit di punggung pegunungan.
Dengan sikap yang sangat menarik perhatian kelima orang itu
masuk ke dalam pasar. Mereka sama sekali tidak menghiraukan
berpasang-pasang mata memandang mereka dengan hati yang
berdebar-debar. "Kita makan saja lebih dahulu." desis Paguh. Yang lain
mengangguk-angguk. Tanpa menghiraukan s iapa pun juga, maka kelima orang itu pun
kemudian menuju ke sebuah warung di pinggir pasar itu. Dengan
kasar mereka pun segera duduk dan memesan beberapa mangkuk
minuman dan makanan. Sejenak mereka masih sempat bergurau sambil menyumbat
mulut masing-masing dengan beberapa potong makanan sebelum
mereka menghabiskan beberapa mangkuk nasi dan lauk pauknya.
Penjualnya merasa cemas sejak kelima, orang itu memasuki
warungnya. Ia sudah menduga, bahwa kelima orang itu bukannya
langganannya yang selalu datang, setelah mereka menjual
dagangannya dan menukarkannya dengan kebutuhan mereka di
padukuhan. Ternyata dugaannya tidak salah. Setelah kelima orang itu
kenyang maka mereka pun segera berdiri. Dengan mengangguk
1378 dalam-dalam, orang yang bertubuh kekar itu pun berkata, "Terima
kasih paman dan bibi. Kami sudah kenyang. Kebaikan hati paman
dan bibi tidak akan dapat kami lupakan."
Penjual makanan itu hanya dapat menahan hati. Suami isteri itu
sadar, bahwa mereka berhadapan dengan orang-orang yang tidak
dapat diajak berbicara dengan kata-kata. Jika mereka berani
menanyakan harga makanan dan minuman yang telah dimakan
mereka itu, maka akibatnya akan menjadi buruk sekali.
Karena itulah, maka kehadiran kelima orang itu, telah
menimbulkan kecemasan yang meluas di antara mereka yang
berada di dalam pasar itu.
Tetapi tidak seorang pun yang berani menegur kelima orang ituBahkan orang-orang yang ada di dalam pasar itu justru
melemparkan pandangan mereka jauh-jauh, jika kelima orang itu
lewat di dekat mereka. "Menyenangkan sekali." desis salah seorang dari kelima orang
itu. "Banyak perempuan cantik di dalam pasar ini."
"Aku belum melihat satupun." desis yang bertubuh kekar,
"Agaknya matamu memang mata yang sangat buruk untuk melihat
perempuan." Paguh tertawa. Ia pun kemudian menyahut, "Penilaian kalian
yang berbeda. Tetapi nampaknya kalian sama sekali tidak tertarik
kepada anak-anak muda itu."
Mata kawan-kawannya pun tiba-tiba telah terbelalak. Mereka
melihat dua orang anak muda yang sedang duduk di dalam sebuah
warung kecil di sudut pasar yang telah menjadi ramai itu.
"Tampan sekali." desis Paguh, "Aku kira mereka tentu anak
orang yang memiliki tata cara hidup yang baik dan teratur. Menilik
pakaian yang mereka kenakan, dan menilik cara mereka
mengangkat mangkuk minuman dan menyuapi mulut mereka
dengan makanan." 1379 "Dan agaknya mereka benar-benar hanya berdua Tidak ada
orang lain di dalam warung itu."
"Mungkin mereka sedang menunggu seseorang yang
meninggalkan keduanya di dalam warung itu."
Yang lain mengangguk-angguk. Namun salah seorang lari
mereka berkata, "Masih terlalu muda. Apakah kita tidak dapat
menemukan orang yang lebih tua. Lebih baik kita membawa orang
yang sudah melampaui masa dewasanya. Mereka sudah cukup
masak untuk dijadikan korban."
Paguh mengangguk-angguk. Katanya, "Anak-anak itu memang
masih terlampau muda. Tetapi jika tidak ada yang lain, keduanya
akan dapat menyenangkan hati guru. Bahkan mungkin darahnya
jauh lebih bersih dari seorang yang sudah melampaui usia
mudanya." Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian Paguh
berkata, "Marilah kita duduk saja di sini sambil mengawasi anakanak
itu. Jika kita menemukan yang lain, kita biarkan anak-anak itu
pergi dan bertemu lagi di-tahun-tahun mendatang."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Karena itulah maka
mereka pun kemudian duduk di pinggir pasar sambil mengamatamati
dua orang anak-anak muda yang berada di dalam warung itu.
Namun tiba-tiba saja Paguh menggamit kawannya sambil
menunjuk tiga orang yang sedang memasuki pasar itu. Nampaknya
mereka adalah orang-orang yang datang dari daerah yang agak
jauh. "Mereka bukan orang-orang di sekitar daerah ini." desis Paguh.
"Ya. Dan minilik sikap mereka, maka mereka pun bukan orang
kebanyakan." "Menyenangkan sekali kami dapat bertemu dengan ketiga orang
itu. Kita akan membawa mereka semuanya kembali ke padepokan.
Guru tentu akan senang sekali."
1380 "Yang tua itu?"
"Ya, sudah terlalu tua. Tetapi yang dua masih belum. Mereka
masih cukup muda meskipun sudah bukan anak-anak muda lagi.
Tubuhnya meyakinkan dan mungkin mereka juga mempunyai ilmu
yang memang diperlukan bagi korban-korban."
"Kita tidak usah banyak pertimbangan. Lihat, mereka sudah
berada di antara orang di dalam pasar ini. Sebelum kita kehilangan
mereka, marilah kita menemuinya dan berkata berterus terang. Jika
mereka bersedia, dengan baik-baik kita mempersilahkan mereka
singgah di padepokan, meskipun dengan menyesal, kita tidak akan
pernah memberikan kesempatan mereka untuk keluar dari
padepokan kita." Paguh yang merasa dirinya mendapat tugas langsung, merasa
wajib untuk mengambil sikap. Karena itulah maka ia pun segera


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkah mendekati ketiga orang yang sedang melihat-melihat
beberapa macam barang yang dijajakan di dalam pasar itu.
Orang yang paling tua diantara ketiga orarg itu terkejut ketika ia
merasa seseorang telah menggamitnya. Ketika ia berpaling
dilihatnya lima pasang mata sedang menatapnya dengan tajamnya,
diantara orang-orang yang berada di dalam pasar itu.
"Ki Sanak." berkata Paguh, "Aku mempunyai keperluan sedikit
dengan Ki Sanak." "O." desis orang tua itu, "Siapakah kalian?"
"Marilah kita menepi. Mungkin kita dapat berbicara beberapa
saat." Orang yang paling tua diantara ketiga orang itu menjadi raguragu.
Namun kemudian ia menggamit kedua kawannya dan
mengatakannya, bahwa kelima orang itu ingin bertemu dengan
mereka." Kedua orang yang lebih muda itu pun sama sekali tidak
berkeberatan, sehingga mereka pun kemudian pergi beriringan
menepi. Namun demikian, agaknya beberapa orang masih saja
1381 mengawasi mereka dengan cemas. Bahkan seseorang berbisik, "Aku
merasa seolah-olah udara di dalam pasar ini menjadi panas dengan
kehadiran orang-orang itu."
"Ya. Aku akan pulang saja."
Orang itu pun kemudian dengan tergesa-gesa mengemasi
barang-barangnya tanpa mempedulikan kawamnya.
Beberapa orang yang lain pun ternyata menjadi gelisah pula.
Dengan diam-diam mereka pun membenahi barang-barangnya pula
dan memasukkannya ke dalam keranjang. Jika sesuatu terjadi,
maka dengan mudah ia menyingkirkan dagangannya yang sudah
berada di dalam keranjang itu.
Ketiga orang itu ternyata tanpa keberatan apapun menurut saja
permintaan Paguh untuk menepi. Bahkan nampaknya mereka sama
sekali tidak bercuriga. Sejenak kemudian, maka kelima orang berilmu hitam itu pun
telah berdiri mengelilingi ketiga orang yang sama sekali tidak
menduga, apakah yang akan terjadi atas diri mereka.
"Ki Sanak." berkata orang yang paling tua diantara ketiga orang
itu, "Kami belum mengenal Ki Sanak berlima. Karena itu,
sebenarnya kami agak terkejut ketika Ki Sanak mengajak kami
menepi untuk sedikit membicarakan sesuatu."
Paguh tertawa. Katanya, "Memang kau benar kakek tua. Kami
belum mengenal kalian seperti kalian belum mengenal kami. Tetapi
kami terpaksa mengajak kalian menepi, karena ada persoalan yang
sangat penting." "Persoalan apa Ki Sanak."
"Kami ingin mempersilahkan kalian singgah di rumah kami
sejenak." "Apakah keperluannya?"
"Nanti kalian akan mengetahuinya."
1382 Orang yang paling tua diantara ketiganya itu pun memandang
kedua kawannya yang masih lebih muda daripadanya, seolah-olah ia
minta pertimbangan dari keduanya.
"Maaf Ki Sanak." berkata salah seorang dari yang masih muda
itu, "Kami tidak mempunyai banyak waktu. Jika kalian mempunyai
kepentingan apapun juga, sebaiknya kalian memberitahukan kepada
kami sekarang saja."
Paguh mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa,
"Kalian jangan membantah. Ada sesuatu yang sangat penting dan
tidak dapat aku katakan disini."
"Ah, itu aneh sekali." jawab yang paling muda diantara ketiga
orang itu, "Tentu dapat kalian katakan dimana pun juga jika
memang kalian tidak mempunyai maksud tertentu."
"Kau mudah menjadi curiga. Tetapi itu dapat dimengerti. Tetapi
bagaimana pun juga, kami tetap minta kalian untuk singgah."
"Maaf Ki Sanak." jawab yang lebih tua, "Kami tidak mempunyai
waktu." "Kami tidak bertanya apakah kalian mempunyai waktu atau
tidak. Baiklah, aku akan berkata menurut caraku. Marilah, ikuti kami
sebelum kami memaksa."
"Apakah sebenarnya maksud kalian." yang paling tua
mengerutkan keningnya, "Maaf. Kami tidak mau dipaksa meskipun
dengan kekerasan." Yang paling muda diantara ketiga orang itu agaknya tidak dapat
menahan diri lagi. Tetapi yang lebih tua menggamitnya sambil
memberikan isyarat. Yang paling muda menarik nafas dalam sekali, seakan-akan ia
berusaha untuk mengendapkan kembali gejolak hatinya yang
hampir meluap. "Kalian jangan keras kepala." berkata Paguh, "Dengan demikian
kalian akan menyesal."
1383 "Sayang sekali."
Paguh mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia melangkah
beberapa langkah. Ketiga orang yang diajaknya menepi itu termangu-mangu.
Mereka tidak tahu apa maksud orang itu. Namun kemudian mereka
menjadi berdebar-debar ketika Paguh dengan serta merta menarik
lengan seorang anak muda yang sedang berdiri dimuka barangbarang
besi yang sedang ditawarnya.
Anak muda itu terkejut. Dengan serta merta ia meronta. Tetapi
pegangan tangan Paguh bagaikan besi yang menjepit lengannya itu.
"Jangan ribut anak muda." berkata Paguh.
"Lepaskan, apakah kau gila." geram anak muda itu.
"Tidak. Aku tidak gila."
Ternyata anak muda itu tidak sendiri. Dua orang kawannya yang
sebaya dengan anak muda itu pun segera mendekatinya sambil
bertanya, "Apakah salahnya kawanku."
"Ia tidak bersalah sama sekali. Tetapi aku memerlukannya. Aku
ingin membunuhnya." "Gila." anak muda itu berteriak. Sedang kedua kawannya pun
membelalakkan matanya. "Apa maksudmu dengan leluconmu itu?" bertanya salah seorang
dari kedua kawannya. "Bukan sekedar lelucon. Tetapi aku akan melakukannya."
"Jangan gila." sekali lagi anak muda itu meronta. Namun ia tidak
berhasil melepaskan dirinya.
Karena itu, maka ia tidak tahan lagi. Dengan serta merta ia
menyerang Paguh dengan kakinya. Sementara kedua orang
kawannya segera membantunya.
1384 Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan sama sekali. Dengan
tangan kirinya Paguh memukul kedua kawannya itu sehingga
mereka terpelanting jatuh dan langsung menjadi pingsan.
Sementara itu, pasar itu pun menjadi ribut. Beberapa orang
berIari-Iarian menyingkir, karena ternyata perkelahian tidak dapat
dihindarkan meskipun mereka tidak tahu sebab musababnya.
Anak muda yang seorang masih di dalam genggaman Paguh.
Dengan suara yang menggeletar Paguh berkata, "Nasibmu memang
buruk anak muda. Aku akan membunuhmu dan mengelupas kulitmu
seperti kulit pisang."
Kata-kata itu telah mengejutkan ketiga orang yang berdiri
kebingungan. Bahkan dengan serta merta yang paling muda di
antara mereka bertanya, "Jadi kau benar-benar akan membunuhnya
dan mengelupas kulitnya seperti kulit pisang?"
"Ya. Aku akan memberikan sekedar contoh kepadamu, bahwa
aku pun dapat berbuat demikian atas kalian bertiga."
"Tetapi orang itu tidak bersalah."
"Terserah kepadamu. Jika kau bersedia mengikuti aku, maka
anak muda ini akan tetap hidup. Jika kau menolak, maka aku tidak
sekedar menakut-nakutinya saja."
Ketiga orang itu berpikir sejenak. Tawaran itu sama seka li tidak
dimengerti makmudnya. "Aku tidak mempunyai hubungan apapun dengan orang yang
kau tangkap itu. Aku tidak perduli apakah ia akan kau bunuh sekali,
kau kelupas kulitnya, atau kau cincang sampai lumat. Tetapi sudah
tentu kau tidak akan dapat berbuat demikian atas kami bertiga."
Paguh membelalakkan matanya. Dengan gigi yang gemeretak ia
menggeram, "Kau kira aku tidak sanggup melakukannya atasmu?"
"Tentu tidak. Nah, lakukanlah apa yang akan kau lakukan atas
orang yang tidak aku kenal itu. Meskipun seandainya kau bunuh
seisi pasar ini, apa peduliku?"
1385 Mata Paguh menjadi merah. Ternyata orang itu pun orang yang
berhati batu. Ia tidak menghiraukan sama sekali apapun yang akan
dilakukannya. Tetapi Paguh adalah orang yang bukan saja berhati batu. Tetapi
bahkan ia sama sekali tidak mempunyai pertimbangan perasaan.
Karena itu, maka ia pun perlahan-perlahan mengambil pisau
belatinya yang tajam mengkilap.
"Jangan, jangan." teriak orang yang masih saja dipegang
lengannya itu. "Bukan salahku. Salah ketiga orang yang tidak mau singgah ke
rumahku itu." "Jangan bunuh aku." orang itu meronta-ronta.
" Diam. Mintalah kepada ketiga orang itu."
Orang yang paling tua dari ketiga orang itu menarik nafas dalamdalam.
Namun yang muda segera berkata, "Bunuhlah. Aku akan
senang sekali melihat caramu mengelupas kulit manusia."
Benar-benar perbuatan gila yang tidak disangka-sangka oleh
Paguh. Dua orang yang lebih muda itu pun kemudian berjongkok
dengan tenangnya. Salah seorang berkata, "Tontonan yang jarang
sekali dapat dilihat dimanapun juga selain di daerah ini."
"Gila, gila." teriak Paguh, "Kalian bertigalah yang akan segera
mengalami nasib serupa."
Ketiganya sama sekali tidak menjawab.
Kemarahan Paguh benar-benar tidak dapat ditahankannya lagi.
Tiba-tiba saja tangannya terayun kearah perut orang yang di dalam
genggamannya itu. Namun tiba-tiba saja ia terkejut ketika terdengar suara di
kejauhan, "Jangan. Jangan kau lakukan."
1386 Paguh berpaling. Kawan-kawannya pun berpaling. Demikian juga
ketiga orang yang tidak menghiraukan apapun juga atas kematian
yang hampir menerkam orang yang tidak tahu apa-apa itu.
Yang mereka lihat adalah dua orang anak muda yang berada di
dalam warung. Dengan tergesa-gesa mereka melangkah mendekati
orang-orang yang justru menjadi heran melihat kehadiran mereka.
Sementara itu, pasar itu pun benar-benar telah bubar. Hanya
beberapa orang saja yang masih berkerumun di kejauhan untuk
melihat apa yang bakal terjadi.
Dua orang anak muda yang mendekati Paguh itu pun kemudian
berhenti beberapa langkah daripadanya. Dengan cemas, salah
seorang dari keduanya bertanya, "Apakah salahnya orang itu"
Apakah ia, telah mencuri milikmu?"
Paguh memandang kedua anak-anak yang masih terlalu muda itu
dengan heran. Justru keduanyalah yang mula-mula ingin dijadikan
korban untuk ilmu hitamnya.
"Menurut penglihatanku." berkata anak muda itu selanjutnya,
"Orang itu sama sekali tidak bersalah. Ia hanya sekedar menjadi
korban perselisihanmu dengan orang lain. Kenapa kau telah
mengambilnya dan menjadikannya semacam contoh untuk
menakut-nakuti orang lain, sedangkan yang kau takut- takuti sama
sekali tidak menjadi takut karenanya?"
Paguh membelalakkan matanya, sementara anak muda itu masih
berbicara terus, "Apakah sebenarnya kaulah yang takut kepada tiga
orang itu, sehingga kau terpaksa berbuat aneh-aneh agar kau
nampak menjadi seorang yang gagah berani."
"Tutup mulutmu." bentak Paguh.
"Maaf Ki Sanak." sahut anak muda itu, "Aku mohon. Janganlah
mengorbankan orang lain yang sama sekali tidak bersalah.
Berbuatlah langsung kepada tiga orang yang barang kali sudah
mempunyai persoalan lama dengan kalian. Bukankah kau sekarang
berlima?" 1387 "Anak muda." tiba-tiba saja yang tertua dari ketiga orang itu
menjawab, "Kami tidak mempunyai persoalan sebelumnya. Kami
baru saja mengenal mereka sekarang ini. Namun nampaknya
mereka sudah akan menunjukkan kuasanya atas kami." Ia berhenti
sejenak, lalu, "Tetapi sebaiknya kalian tidak usah turut campur.
Orang-orang ini adalah orang-orang yang tidak mengerti arti
hubungan antara manusia sewajarnya. Ketahuilah anak-anak muda,
bahwa kelima orang ini adalah orang-orang yang disebut berilmu
hitam. Mereka sering mengorbankan darah bagi kesegaran ilmunya.
Itulah sebabnya mereka mempersilahkan kami untuk singgah di
rumah mereka. Tetapi dengan demikian maka akan berarti bahwa
kami telah memasuki sarang semut. Betapapun juga, kami tidak
akan dapat keluar lagi jika kami dikerumuni oleh puluhan bahkan
mungkin ratusan semut-semut seperti kelima orang ini."
"Gila, anak setan bekasakan." Paguh mengumpat sejadi-jadinya.
"He, darimana kau dapat menyebut kami orang-orang berilmu
hitam?" Orang yang paling tua diantara ketiga orang itu menjawab sareh,
"Kalian memang bodoh. Juga gurumu, ternyata bodoh karena telah
mengirimkan kalian untuk mencari korban. Dengan kalimat-kalimat
yang khusus diucapkan oleh orang-orang berilmu hitam, setiap
orang akan segera mengenal kalian."
Paguh dan kawan-kawannya serentak menggeram. Bahkan
mereka pun segera mempersiapkan diri, karena mereka sadar
bahwa tidak ada lagi jalan kembali. Ketiga orang itu ternyata
mengetahui dengan pasti, apa yang sedang mereka lakukan.
Karena itulah, maka Paguh pun kemudian menggeretakkan
giginya sambil berkata, "Sekarang tidak ada pilihan lain bagi kami
dan bagi kalian. Kalian memang harus mengikuti aku. Kalian adalah
korban yang paling mengasyikkan."
"Tetapi Ki Sanak." berkata salah seorang dari yang muda,
"Bukankah korban darah itu harus menitik dari orang yang masih
hidup" Jika kalian berlima membunuh kami, maka itu tidak akan ada
artinya sama sekali bagi korban yang akan kau berikan."
1388 "Kami akan menangkap kalian hidup-hidup."
"Itu tidak mungkin, karena kami akan melawan sampai mati
atau kalian berlima yang akan mati."
"Gila. Kami mempunyai kemampuan untuk membuat kalian
membeku. Kalian memang seperti mati, tetapi kalian masih tetap
hidup, dan darah kalian masih tetap, cair."
Tetapi yang paling muda dari ketiga orang itu tertawa. "Ilmu
kalian memang bermacam-macam. Tetapi kalian tidak akan dapat
menangkap kami, karena kalian akan mati."
"Persetan." Paguh berteriak, "Lihat, apa yang dapat aku


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerjakan. Jika terpaksa kami membunuh kalian, maka kami tidak
akan menyesal, karena masih banyak orang yang dapat
dikorbankan. Tetapi jika kalian ingin melihat cara kami membunuh,
maka kami akan mempertunjukkannya kepada kalian."
Anak muda yang di dalam genggaman Paguh itu meronta sekali
lagi. Ia merasa bahwa ia akan tetap dijadikan tontonan yang paling
mengerikan. Tetapi sekali lagi Paguh menggeram ketika ia melihat ketiga
orang itu sama sekali tidak mengacuhkan kata-katanya. Bahkan
yang paling muda dari mereka itu pun berkata, "Sudah aku katakan.
Lakukan yang akan kalian lakukan. Aku tidak peduli. Aku tidak
mempunyai hubungan apapun dengan orang itu."
"Tolong. Tolonglah aku." teriak anak muda yang akan dijadikan
contoh cara-cara pembunuhan yang paling mengerikan.
Paguh ternyata sudah tidak dapat menahan diri lagi. Ia ingin
menunjukkan kepada ketiga orang yang sangat memuakkan itu,
cara-cara yang paling baik untuk membunuh perlahan-lahan.
"Uh, aku akan mengelupas kulitnya. Ia tidak akan segera mati.
Ia akan mati perlahan-lahan. Demikianlah yang akan berlaku
atasmu." geram Paguh.
"Tolong, tolong." teriak orang itu.
1389 Tetapi ketiga orang itu justru tersenyum-senyum saja
melihatnya. Yang muda berkata pula, "Aku memang ingin belajar
serba sedikit, bagaimana caranya menguliti seseorang, tetapi orang
itu tidak mati." Paguh benar-benar bagaikan dibakar isi dadanya. Dengan serta
merta ia pun mengayunkan pisau belatinya mengarah ke dada
orang yang masih di dalam pegangannya itu.
"Aku akan menyobek kulit dadanya sampai kepunggungnya."
geramnya. Namun tiba-tiba saja terasa tangannya bagaikan tersentuh api.
Pisau ditangannya itu pun terlepas dan bahkan terlempar beberapa
langkah dari padanya. Paguh terkejut bukan buatan. Lemparan itu tidak berasal dari
ketiga orang yang sedang menonton itu. Bahkan ternyata ketiga
orang itu pun terkejut pula melihat pisau Paguh, terpelanting dari
tangannya. "E, maaf Ki Sanak." berkata salah seorang dari kedua anak-anak
muda itu. "Aku terpaksa mengganggu, karena aku tidak senang
melihat kematian yang sia-sia. Kalau kau akan membunuh,
seharusnya kau tidak membunuh anak muda yang sama sekali tidak
tahu menahu itu. Sebaiknya kau langsung berurusan dengan ketiga
orang yang nampaknya telah bersiap melawanmu dan kawankawanmu.
Itu baru disebut jantan. Bukan membunuh orang yang
sama sekali tidak berarti apa-apa."
Wajah Paguh menjadi merah. Dengan suara yang tertahan-tahan
karena gejolak di dadanya ia berkata, "Jadi agaknya lebih baik kau
berdua sajalah yg. aku pergunakan untuk contoh kematian yang
mengasyikkan." "Itu pun sikap pengecut. Ambil salah seorang dari ketiga orang
itu. Mereka pun agaknya orang-orang yang keras seperti kau dan
kawan-kawanmu meskipun mereka tidak berilmu hitam. Ternyata
bahwa mereka sama sekali tidak menaruh iba melihat orang yang
kau pegangi itu meronta-ronta ketakutan."
1390 Paguh menggeram dengan nada yang berat. Matanya menjadi
semakin merah. Sementara itu, salah seorang dari ketiga orang itu pun berkata,
"Kau jangan membuat persoalan-persoalan baru disini anak muda.
Baiklah, katakan kami tidak menaruh belas kasihan. Tetapi sikapmu
seharusnya agak lebih baik dari yang kau tunjukkan itu."
"Kami minta maaf." jawab salah seorang dari kedua anak muda
itu, "Seharusnya kami memang berbuat demikian. Tetapi kami harap
bahwa kalian tidak membiarkan sikap yang gila itu terjadi lagi."
Orang yang paling tua dari ketiga orang itu mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia berkala, "Baiklah anak muda. Kau
benar. Seharusnya kami tidak membiarkan orang-orang itu berbuat
sewenang-wenang. Nah baiklah. Aku akan mencegahnya."
Kedua kawannya memandanginya dengan heran. Namun
kemudian salah seorang dari mereka berkata, "Baiklah. Baiklah.
Kami memang harus berkelahi. Tidak ada pilihan lain. Sekarang atau
nanti." Kemarahan Paguh pun kemudian telah memuncak sampai
keujung ubun-ubunnya. Apalagi ketika ia melihat ketiga orang yang
semula dengan acuh tak acuh melihat orang yang meronta-ronta di
tangannya itu sudah mempersiapkan diri untuk berkelahi.
Paguh tidak dapat tetap memegangi orang yang sudah hampir
pingsan ketakutan itu. Tetapi ia adalah orang yang benar-benar
tidak mempunyai perasaan. Karena itu, maka ia tidak hanya sekedar
melepaskan orang itu dari genggamannya, tetapi orang itu telah
dikibaskannya, sehingga ia terpelanting.
Jika kepalanya membentur dinding batu, maka, kepala itu tentu
akan pecah, dan orang itu tidak akan mampu untuk bangkit
kembali. Tetapi untunglah, bahwa ia terlempar beberapa langkah dari
salah seorang anak muda yang sudah menjadi semakin dekat itu.
Dengan lincahnya, salah seorang dari kedua anak muda itu
1391 meloncat menyambarnya. Meskipun ia pun kemudian terdorong
beberapa langkah, dan bahkan menjadi terhuyung-huyung, namun
ia berhasil untuk menahan orang itu, sehingga kepalanya tidak
terbentur apa pun juga. Pada saat itu. kawan Paguh yang bertubuh kekar, menjadi sangat
marah pula. Selagi anak muda itu menolong orang yang
terpelanting, maka orang bertubuh kekar itu meloncat
mendekatinya, dan siap untuk menyerang anak muda yang sedang
sibuk menolong orang yang terpelanting itu.
Tetapi pada saat yang bersamaan, anak muda yang seorang lagi
telah siap pula meloncat menghadapi orang bertubuh kekar itu.
Pada, saat itu, ketiga orang yang semula diharapkan untuk
dijadikan korban itu pun telah siap pula. Dua orang yang lebih muda
berdiri berjajar dekat sekali.
Yang seorang sempat berbisik, "Jangan lupa kau sebut namamu."
desisnya. Yang muda mengerutkan keningnya, "Kenapa" Orang-orang
berilmu hitam tentu sudah mengenal namaku. Aku menyebut
namaku pada saat aku bertempur melawan salah seorang dari
mereka di Kota Raja."
"Kita akan menempuh perjalanan yang panjang. Jika orangorang
berilmu hitam itu mengenal bahwa kaulah yang bernama
Linggadadi, maka kemana pun kau pergi, maka kau akan menjadi
buruan mereka, dan itu akan sangat mengganggu, karena akan
menjauhkan kita dari sarang mereka."
"Kitalah yang akan datang ke sarang mereka."
"Mereka akan menjebak kita. Justru karena mereka tahu bahwa
kau bernama Linggadadi. Karena itu, jangan sebut namamu. Kita
harus melawan kelimanya dan membunuhnya sampai orang yang
terakhir agar tidak ada laporan yang terperinci mengenai diri kita
masing-masing." "Banyak saksi yang melihat peristiwa ini."
1392 "Dari kejauhan. Dan mereka tidak akan dapat menyebut kita
dengan ciri-ciri yang cermat."
Yang paling muda. yang ternyata darahnya paling panas
mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bergeser menjauhi kakaknya
Linggapati yang sudah bersiap pula menghadapi segala
kemungkinan yang bakal terjadi.
Pasar itu pun telah benar-benar menjadi bubar. Orang yang
berada di kejauhan pun menjadi semakin menebar. Sementara itu,
ketiga orang itu pun telah berdiri menghadap ketiga arah,
sementara kelima orang lawannya telah mengepungnya.
Namun Paguh masih sempat bertanya, "He, anak-anak muda
yang gila, anak bekasakan. Apakah kau ingin ikut kami bantai
disini?" "Nanti sajalah." jawab yang muda dari kedua orang anak muda
itu, "Berilah kesempatan kami menonton perkelahian yang tentu
akan sangat menarik. Tiga melawan lima."
"Anak setan." Paguh menggeram. Tetapi ia tidak
memperhatiannya lagi. Agaknya ia pun mengerti, bahwa kedua anak
muda itu sama sekali bukan kawan dari ketiga orang yang akan
ditangkapnya untuk dijadikan korban itu.
"Kami akan membunuh ketiga orang ini lebih dahulu." geram
Paguh di dalam hatinya, "Jika mungkin kami akan menyisakan
seorang untuk dijadikan korban. Jika tidak, maka kedua anak-anak
muda itu pun memadai. Meskipun nampaknya mereka masih terlalu
muda, tetapi mereka agaknya telah memiliki ilmu yang dapat
mereka banggakan." Demikianlah maka kelima, orang yang mengepung ketiga orang
itu pun mulai bergerak dan merapat. Mula-mula mereka hanya maju
selangkah demi selangkah. Namun agaknya mereka tidak mau
berlama-lama. "Kita langsung membantai mereka." terdengar suara orang
bertubuh kekar itu. 1393 "Ya." desis Paguh, "Tetapi jika mungkin salah seorang dari
mereka pantas juga untuk dijadikan korban. Semakin tinggi ilmu
mereka, maka mereka akan merupakan korban yang lebih baik."
Yang terdengar adalah Linggadadi mengumpat, "Aku akan
membunuh kalian berlima. Meskipun aku tidak biasa mengorbankan
darah, maka aku akan memotong kepala kalian dan
menggantungkannya di pintu gerbang empat penjuru kota kecil ini.
Yang satu akan aku gantung di tengah-tengah kota atau di pintu
gerbang pasar ini." Kelima orang itu tidak menjawab. Tetapi kemarahan mereka
terungkap pada sebuah teriakan nyaring.
Tetapi ketiga orang itu telah siap menghadapi setiap
kemungkinan. Bahkan Linggadadi rasa-rasanya menjadi tidak sabar
lagi. Di Kota Raja ia merasa kehilangan lawan berilmu hitam karena
hadirnya Mahisa Bungalan. Dan kini ia bertemu lagi dengan orang
berilmu hitam. "Meskipun mereka berjumlah lima orang, tetapi dengan kakang
Linggapati dan paman Daranambang, maka kelima orang itu tentu
akan dapat kami kalahkan." berkata Linggadadi di dalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka perkelahian pun tidak dapat di
hindarkan lagi. Kelima orang itu mulai menyerang Linggapati dan
kedua kawannya yang telah bersiaga pula menghadapinya.
Beberapa orang yang masih berkerumun di kejauhan, melihat
perkelahian itu dengan hati yang berdebar-debar. Beberapa orang
pun segera berlarian memanggil beberapa orang pengawal kota di
gardu mereka. "Mereka tentu orang-orang gila yang berkelahi dalam kelompokkelompok."
desis salah seorang pengawal.
"Mungkin anak-anak muda yang tidak mempunyai kesibukan
mudah sekali terlibat dalam perselisihan berkelompok. Persoalanpersoalan
kecil akan mekar menjadi sebab perkelahian yang hampir
tidak terkendali." berkata seorang pengawal yang lain.
1394 "Marilah kita lihat." desis seorang pengawal.
"Kita akan pergi bertiga. Anak-anak itu pada suatu saat harus
dibikin jera." "Tetapi mereka bukan anak-anak." berkata orang yang
melaporkan perkelahian itu, "Memang ada diantara mereka yang
terlibat dalam perselisihan itu masih muda. Tetapi ada pula yang
sudah tua." "Siapapun mereka." berkata salah seorang pengawal.
Demikianlah ketiga orang pengawal itu dengan tergesa-gesa
pergi ke pasar. Dengan kemarahan yang menyesak dadanya,
mereka berniat untuk menangkap mereka yang menjadi sebab
perkelahian itu, karena perkelahian di antara anak-anak muda
nampaknya akan menjadi kegemaran. Perkelahian antara anak-anak
muda dari satu padukuhan dengan padukuhan yang lain. Bahkan
kadang-kadang tanpa sebab. Mereka berpapasan di jalan, saling
memandang dan kemudian mereka pun berkelahi. Ekor dari
perkelahian itu adalah anak-anak muda sepadukuhan ikut serta
berramai-ramai. Ketika mereka mendekati gerbang pasar, maka beberapa orang
yang berkerumun di kejauhan itu pun segera menyibak untuk
memberi jalan kepada ketiga orang pengawal itu.
Namun demikian ketiga pengawal itu memasuki gerbang pasar
yang sepi, langkahnya tiba-tiba terhenti. Dari pintu gerbang ia
melihat sekelompok orang yang sedang berkelahi.
Ketiga pengawal itu pun menjadi termangu-mangu. Seperti
bermimpi ia melihat perkelahian yang sedang berlangsung dipinggir
pasar itu. Demikian dahsyatnya, sehingga ketiga orang pengawal
kota kecil itu tidak dapat menilai, apakah yang sedang dihadapi.
"Mereka memang berkelahi berkelompok." desis salah seorang
pengawal itu. "Tetapi yang mana melawan yang mana?" desis yang lain.
1395 Ketiganya menjadi bingung. Mereka belum pernah melihat
perkelahian yang demikian dahsyatnya.
"Apakah kita akan mendekat dan menangkap mereka?" bertanya
salah seorang dari ketiganya itu dengan tiba-tiba.
Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah kita
akan mampu berbuat sesuatu atas mereka" Mereka memang bukan
anak-anak muda yang sedang berkelahi karena mereka berpapasan
di jalan dan saling memandang."
Yang lain menarik nafas dalam-dalam.
Seorang yang menonton perkelahian itu dari luar pasar,
memberanikan diri mendekati ketiga pengawal itu sambil berbisik,
"Apakah mereka akan ditangkap?"
"Kau gila." geram pengawal itu, "Hanya para Senapati dari
Singasari sajalah yang mampu melerai mereka dan menangkapnya."
"Jadi?" "Kita tidak dapat berbuat apa-apa."
Dengan demikian, maka tidak ada seorang pun yang berani
mengganggu perkelahian itu. Semakin lama justru menjadi semakin
dahsyat. Dalam pada itu kedua anak-anak muda yang mendekati mereka
yang sedang berselisih itu pun masih melihat perkelahian itu dari
dekat. Bahkan nampaknya perkelahian itu sangat menarik
perhatiannya. Sehingga karena itu, maka keduanya seolah-olah
telah terpesona oleh tata gerak dan ilmu yang dilihatnya pada setiap
orang yang sedang bertempur mati-matian itu.
Paguh dan kawan-kawannya yang berjumlah lima orang itu
segera, berusaha untuk berkelahi dalam sebuah lingkaran
mengurung ketiga orang lawannya.
Tetapi ketiga orang lawannya itu sudah mengerti sepenuhnya
cara orang berilmu hitam itu bertempur di saat-saat mereka sampai


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke puncak ilmunya. Mereka akan segera berlari-lari mengelilingi
1396 lawannya dan menyerang dengan cepatnya sambil bergeser dalam
putaran. Linggadadi pernah menceriterakan, apa yang dilihat dan
dialaminya. Meskipun saat itu ia berhadapan dengan seorang saja,
namun cara yang akan dipergunakan oleh kelompok itu tentu tidak
akan jauh berbeda. Apalagi setelah Linggadadi melihat kelima orang
itu berada di dalam lingkaran yang mulai bergerak pelahan-lahan.
Agaknya Linggapati harus menghadapi lawan-lawannya dengan
hati-hati. Itulah sebabnya, ia pun segera memegang pimpinan
dalam kelompok kecil yang terdiri hanya oleh tiga orang itu.
Dengan isyarat-isyarat ia mulai mengatur perlawanan. Linggadadi
yang pernah melihat cara orang berilmu hitam itu bertempur dapat
memberikan pertimbangan-pertimbangan seperlunya, sehingga
kadang-kadang mereka bertiga dapat mendahului tata gerak dari
lawannya. "Gila." desis Paguh, "Mereka tentu pernah melihat salah seorang
dari keluarga kami dalam pertempuran yang sesungguhnya."
Dalam pada itu tiba-tiba saja salah seorang berkata, "Apakah
salah seorang dari ketiga orang ini bernama Mahisa Bungalan yang
mendapat sebutan pembunuh orang berilmu hitam?"
"Atau Linggadadi yang disebut pula telah membunuh orang
berilmu hitam di Kota Raja?"
"Salah satu dari keduanya, Mahisa Bungalan atau Linggadadi.
Dan keduanya bukannya kawan sekelompok." desis kawannya yang
lain. Namun akhirnya Paguh menggeram, "Siapapun mereka itu,
namun kita akan memusnakannya atau menangkapnya untuk
dijadikan korban." Sementara itu kedua anak-anak muda yang melihat perkelahian
itu pun berbisik, "Kita tahu pasti. Tidak seorang pun dari ketiga
orang itu yang bernama Mahisa Bungalan, anak Mahendra yang
mendapat sebutan pembunuh orang berilmu hitam. Karena itu, jika
1397 benar salah seorang dari mereka pernah bertempur melawan orang
berilmu hitam, maka salah seorang dari ketiga orang itu tentulah
Linggadadi, karena salah seorang yang masih hidup telah menyebut
namanya sendiri, Linggadadi saat terjadi perkelahian di rumah
saudagar itu." "Ya. Salah seorang dari mereka tentulah Linggadadi itu. Atau
orang yang berhubungan erat dengan Linggadadi." sahut yang lain.
Meskipun pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit,
namun kedua anak muda itu sama sekali tidak beranjak dari
tempatnya. Bahkan mereka seolah-olah mendapat tontonan yang
mengasyikkan. Sekali-sekali mereka saling menebak gerak dari
kedua belah pihak. Namun kemudian mereka mulai menilai,
siapakah yang akan segera dapat menguasai lawannya.
Seperti yang diduganya, maka kelima orang berilmu hitam itu
mulai bergerak dalam putaran. Semakin lama semakin cepat.
Bahkan kemudian, gerakan mereka mulai membingungkan.
"Mereka mulai dengan ilmu mereka yang sebenarnya." desis
salah seorang dari kedua anak muda itu.
"Nah, apakah yang akan dilakukan oleh lawannya."
Kedua anak muda itu menjadi tegang. Namun sekilas mereka
masih sempat melihat orang-orang yang dengan cemas
menyaksikan perkelahian itu. Bahkan ia masih melihat para
pengawal melambai kepada mereka, dan memberikan isyarat agar
mereka meninggalkan perkelahian itu.
Kedua anak muda itu tersenyum. Bahkan salah seorang dari
keduanya sempat menggelengkan kepalanya.
Demikianlah mereka kembali menyaksikan perkelahian yang
semakin lama menjadi semakin dahsyat. Orang-orang berilmu hitam
itu mulai berputaran semakin cepat.
Namun tiba-tiba putaran itu menjadi terputus oleh gerakan
orang-orang yang ada di dalam kepungan itu. Tiba-tiba saja salah
seorang dari mereka dengan tangkasnya justru menyerang Paguh
1398 menurut arah putarannya. Selagi Paguh merasa terganggu tiba-tiba
saja yang lain meloncat pula cepat dimuka Paguh. Dengan demikian
maka putaran itu terputus karenanya. Orang yang berada di
belakang Paguh hampir saja kehilangan keseimbangan arah. Tetapi
ternyata bahwa orang itu memiliki kecepatan gerak yang
mengagumkan. Demikian Paguh terhenti, maka ia pun segera
meloncat memasuki lingkaran dengan serangan beruntun kepada
orang yang telah mengganggu Paguh dengan serangan menurut
arah geraknya. Tetapi agaknya semuanya sudah diperhitungkan. Orang yang
mengganggu Paguh itu adalah Linggadadi sendiri. Sedangkan orang
yang telah meloncat memutuskan gerak lingkaran di depan Paguh
adalah Linggapati. Sementara itu, orang yang paling tua diantara
ketiga orang itu, telah siap mengamati segala sesuatu yang dapat
berkembang dalam perkelahian itu.
Dengan demikian, maka Linggadadi yang mendapat serangan
langsung dari orang yang berputar di belakang Paguh itu pun
segera melayaninya. Sementara itu Linggapati dengan lincahnya
langsung melawan Paguh yang menggeram menahan kemarahan
yang memuncak. "Kalian dapat memecahkan lingkaran kami." geram Paguh,
"Tetapi itu belum berarti kalian dapat memecahkan ilmu kami yang
selengkapnya. Seorang-seorang kami adalah penakluk dari segala
ilmu. Meskipun seandainya kau adalah Mahisa Bungalan yang
disebut pembunuh orang berilmu hitam namun kau tentu tidak akan
dapat membunuh aku dan memecahkan perlawanan kami bertiga."
Linggapati tidak menjawab. Ia menyerang Paguh dengan
lincahnya, sehingga Paguh pun terpaksa meloncat surut.
Ternyata perkelahian itu benar-benar telah berubah wajahnya.
Orang-orang berilmu hitam itu tidak lagi dapat membuat sebuah
lingkaran, karena Linggadadi dan Linggapati telah berhasil bergeser
saling menjauhi. 1399 Namun dalam pada itu, yang segera berada di dalam kesulitan
adalah Daranambang. Karena kedua kawannya masing masing
bertempur melawan seorang, maka yang tersisa dari lima orang itu
telah bersama-sama mengurungnya.
"Gila." desis Daranambang, "Nafasku adalah nafas tua. Dan aku
harus bertempur melawan tiga orang sekaligus. Tetapi asal saja
mereka tidak berbuat curang, maka aku kira aku akan dapat
bertahan sampai salah seorang dari kedua bersaudara itu sempat
membunuh lawannya." Karena itu, maka Daranambang pun telah mempersiapkan diri
sebaik-baiknya menghadapi setiap kemungkinan. Dengan cermat ia
menghadapi ketiga lawannya yang mulai berusaha untuk berputar di
sekelilingnya. Linggadadi dan Linggapati melihat kesulitan yang akan
menerkam Daranambang. Agaknya orang berilmu hitam itu telah
dengan sengaja membagi kekuatannya dengan cara yang tidak
seimbang. Dengan demikian, mereka akan dapat dengan mudah
membunuh lawannya. Mereka yang bertempur bersama sama
bertiga, dengan cepat akan dapat menyelesaikan orang tua itu.
Selebihnya, mereka akan membunuh seorang lawannya lagi,
sementara yang lain harus bertahan untuk beberapa saat. Namun
agaknya cara itu akan berlangsung lebih cepat daripada cara yang
lain, karena mereka masing-masing yakin bahwa lawannya tidak
akan mampu mengalahkan mereka.
Namun saat itu, ternyata bahwa lawan kelima orang berilmu
hitam itu adalah Linggadadi dan Linggapati serta seorang
kepercayaannya meskipun sudah menjadi semakin tua,
Daranambang. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang
memiliki kelebihan dari ilmu kebanyakan orang.
Meskipun demikian, baik Linggadadi maupun Linggapati harus
bertempur dengan sekuat tenaga agar mereka dapat dengan cepat
mengalahkan lawannya. Harus lebih cepat dari ketiga orang yang
bertempur bersama-sama melawan Daranambang.
1400 Tetapi mengalahkan orang berilmu hitam itu pun tidak mudah.
Mereka memiliki kelincahan dan kekasaran yang dengan tanpa raguragu
berusaha memeras darah lawannya.
Betapapun juga kematangan ilmu Daranambang, namun ia tidak
dapat mencegah ketiga lawannya yang mulai bergerak
melingkarinya. Ia tidak dapat meloncat seperti Linggadadi dan
Linggapati memotong gerak lawannya, karena dengan demikian
akan sangat berbahaya baginya justru lawannya adalah tiga orang.
"Aku harus memecah lingkaran itu, dan meloncat keluar."
katanya, "Kemudian dengan cara yang khusus aku harus mencegah
mereka untuk membentuk lingkaran semacam ini lagi."
Tetapi Daranambang cukup masak, justru karena umurnya yang
telah menjadi semakin tua. Ia tidak menjadi gelisah dan bertindak
dengan tergesa-gesa. Untuk sejenak, ia masih membiarkan ketiga
orang itu mulai berputaran. Bahkan kemudian ia masih tetap tenang
ketika salah seorang dari ketiganya mencoba menyerangnya.
Daranambang merendahkan dirinya pada lututnya.
Kemudian tanpa diduga sama sekali oleh lawannya,
Daranambang berteriak nyaring. Sebuah kejutan telah
menghentakkan kepungan itu. Dengan tangkasnya Daranambang
memusatkan serangannya kepada salah seorang dari ketiga orang
yang mengepungnya, mengikuti arah putarannya.
Namun dalam saat-saat yang gawat itu, Darnambang tidak
meloncat memotong putaran itu, tetapi ia meloncat lebih jauh lagi,
memecahkan kepungan itu dan sejenak kemudian ia sudah berada
di luar. Sesaat keriga orang berilmu hitam itu termangu-mangu. Namun
ternyata mereka pun mampu bergerak cepat. Sebelum
Daranambang mampu memperbaiki keadaanya, dan berusaha untuk
mencegah kepungan berikutnya, ternyata ketiga orang itu telah
berada ditiga penjuru. Mereka melangkah perlahan-lahan
mendekatinya dari tiga arah. Salah seorang dari mereka berkata,
"Kau memang luar biasa orang tua. Kau mampu memecahkan
1401 putaran kami. Tetapi kau tidak akan dapat melawan kami bertiga,
betapapun tinggi ilmumu."
"Mungkin." jawab Daranambang dengan tenang. "Tetapi
sebentar lagi, aku pun akan bertempur bertiga. Kedua kawanmu
yang bertempur masing-masing melawan seorang kawanku itu tidak
akan mampu bertahan lagi. Agaknya aku akan berhasil berkelahi
lebih lama dari kedua kawanmu. Nah, akibatnya kalian dapat
membayangkan." Sekilas ketiga orang itu mencoba melihat perkelahian antara
kedua kawannya melawan Linggadadi dan Linggapati. Ternyata
ucapan orang tua itu bukan sekedar untuk menakutinya saja. Tetapi
kedua kawannya memang telah terdesak.
Namun salah seorang dari ketiga orang itu masih berkata, "Tentu
kematianmu akan datang lebih cepat. Betapa tinggi ilmumu, kau
tidak akan dapat melawan kami bertiga. Apalagi kami telah bertekad
membunuh kau lebih dahulu dan kekalahan yang mungkin
menerkam kawan-kawanku."
Daranambang tidak menjawab. Tetapi ia mempersiapkan dirinya
sebaik-baiknya untuk melawan ketiga lawannya. Ternyata sulit
sekali baginya untuk mencegah kepungan yang sudah mulai
merapat. "Aku harus memecah kepungan itu setiap kali untuk
memperpanjang perlawananku." katanya di dalam hati, "Mudahmudahan
Linggapati dan Linggadadi segera berhasil."
Daranambang kembali merendahkan dirinya pada lututnya ketika
ia melihat ketiga orang itu mulai bergerak mengelilinginya. Tetapi
mereka pun telah bersiap pula menghadapi kemungkinan yang akan
dilakukan oleh orang tua itu.
Daranambang mengerutkan keningnya. Ia melihat ketiga orang
itu menjadi lebih berhati-hati, sehingga kemungkinan baginya untuk
memecah putaran itu tentu akan menjadi semakin sulit.
1402 Bahkan kemudian Daranambang itu sampai pada kemungkinan
yang dapat terjadi padanya dengan pasrah. Katanya kepada diri
sendiri, "Aku sudah berpuluh tahun bertualang. Pada hari tuaku, aku
masih harus mengulanginya, sehingga agaknya aku telah melihat
hampir semua segi kehidupan. Dengan demikian, jika kematian
datang, aku tidak akan menyesal lagi."
Karena itu, justru ia menjadi semakin tenang. Dengan saksama ia
melihat semua gerak dari ketiga lawannya.
"Sebutlah nama anak cucumu." desis salah seorang lawannya.
Daranambang tidak menyahut. Tetapi ketika ia sempat melihat
perkelahian Linggadadi dan Linggapati melawan masing-masing
seorang berilmu hitam, ia pun dapat mengharap babwa mereka
akan dapat segera memenangkan perkelahian.
"Tetapi jika aku mati lebih dahulu, maka keseimbangan itu pun
tentu akan berubah, karena masing-masing harus melawan dua dan
tiga orang. Atau barangkali salah seorang dari kedua kakak beradik
itu harus melawan empat orang sekaligus agar cepat dapat
diselesaikan." berkata Daranambang di dalam hati.
Namun dalam pada itu, selagi ia dengan berdebar-debar
menunggu saat yang paling menegangkan itu, tiba-tiba saja ia
mendengar seseorang berkata, "He, itu tidak adil. Seorang yang
sudah lanjut usianya justru harus melawan tiga orang meskipun
orang tua itu berilmu tinggi, dan bahkan ilmunya menjadi semakin
matang." Semua orang yang mendengar suara itu pun segera berpaling,
bahkan juga Linggadadi, Linggapati dan lawan-lawannya.
Daranambang menjadi heran. Salah seorang dari kedua anak
muda yang tidak mau menyingkir dari arena itulah agaknya yang
telah berbicara. "Pergilah." teriak Daranambang dari dalam lingkaran lawangnya.
"Tidak. Aku tidak akan pergi. Meskipun aku kecewa melihat
sikapmu bertiga pada saat kalian tidak berbuat apa-apa ketika orang
1403 berilmu hitam itu akan membunuh orang yang tidak bersalah,
namun aku pun sekarang tidak dapat melihat kelicikan ini."
"Jangan membuat kami bertambah marah." geram salah
seorang dari mereka yang berilmu hitam itu.
"Kalian membuat aku marah sejak semula." jawab anak muda
yang lain, "Karena itu berhentilah berkelahi. Atau berkelahilah
seorang lawan seorang. Setidak-tidaknya dua orang saja dalam satu
lingkaran. Bukan dengan licik bertiga melawan satu orang agar
dapat dengan cepat membunuh lawan, untuk berbuat licik pula
terhadap lawan yang lain."
"Tutup mulutmu anak gila. Nanti aku akan membuat
perhitungan dengan kau berdua jika kau berdua tidak pergi dari
tempatmu." Tetapi kedua anak-anak muda itu tertawa. Yang lebih kecil
berteriak, "Aku akan menunggu disini. Ah. Tidak. Aku tidak hanya
akan sekedar menunggu. Tetapi aku akan melawan ketidak adilan


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Aku akan bertempur bersama ketiga orang yang meskipun
belum aku kenal, tetapi agaknya masih agak lebih baik dari kelima
orang berilmu hitam itu."
"Persetan." teriak Paguh.
Tetapi Linggapati pun menggeram, "Kau tidak usah ikut campur
tikus sombong." "Itu urusanku." jawab anak muda itu, "Atau barang kali
urusanku adalah mencampuri urusanmu karena aku tidak dapat
melihat ketidak adilan. Jika orang tua itu mati terbunuh
dihadapanku dalam keadaan seperti itu, maka aku akan menyesal
untuk waktu yang sangat lama."
"Gila." teriak orang berilmu hitam yang bertempur melawan
Daranambang, "Aku akan membunuhmu."
Tiba-tiba saja orang itu meloncat sambil menyerang salah
seorang dari kedua anak muda itu sambil berteriak, "Aku akan
1404 membungkammu lebih dahulu sebelum aku mengelupas kulit orang
tua ini." Tetapi ternyata kedua anak muda itu sudah bersiap. Serangan itu
tidak berhasil menyentuh pakaiannya. Bahkan sambil meloncat anak
muda itu masih berkata, "Kita akan bertempur seorang lawan
seorang. Setelah kelima orang berilmu hitam itu habis, terserahlah
kepada kalian bertiga yang masih tetap hidup Apakah kalian tetap
akan membuat perhitungan justru karena kami telah mencampuri
urusan kalian atau tidak."
Linggapati menyahut, "Jika kalian mau mendengar kata-kataku,
pergilah. Orang-orang berilmu hitam bukan sekedar kawan bermainmain."
"Aku tidak sedang bermain-main." jawab anak muda yang lain,
"Tetapi aku ingin berlatih."
Jawaban itu pun telah membuat orang-orang berilmu hitam itu
menjadi semakin marah. Seorang lagi dari mereka telah
meninggalkan Daranambang. Dengan demikian maka lingkaran
perkelahian itu pun kemudian berubah menjadi semakin luas,
karena yang terjadi kemudian adalah perkelahian di lima lingkaran.
"Bagus." teriak anak muda yang seorang, "Jika kalian tidak
menyerang kami, maka kamilah yang akan menyerang kalian dan
memecahkan kepungan kalian."
Orang-orang berilmu hitam itu menjadi semakin marah. Apalagi
yang langsung bertempur melawan kedua anak-anak muda itu.
Salah seorang dari mereka pun kemudian menggeram, "Aku benarbenar
akan mengelupas kulitmu seperti pisang."
Tetapi anak muda itu masih sempat tertawa. Katanya, "Kau tidak
mengelupas kulit lawanmu di dalam perkelahian. Jika lawanmu
sudah tidak berdaya lagi, barulah kau melakukannya."
"Persetan. Kau akan melihat." geram Paguh, "Lawanku akan
segera terlempar dari putaran ilmu dengan kulit terkelupas."
1405 "Bukan terkelupas. Aku tahu yang sebenarnya. Lukanyalah yang
arang kranjang, sehingga seolah-olah seperti terkelupas kulit
lawanmu, maka tentu kau akan melemparkan kulit lawanmu seperti
selembar baju yang merah oleh darah. Bukankah tidak begitu?"
"Tidak ada bedanya luka-luka arang kranjang. Tidak ada
sejemput kulit pun yang tidak terluka oleh senjataku."
Tetapi anak muda itu menggeleng. Katanya, "Kau tidak akan
melakukannya atas lawanmu. Aku yakin, sebentar lagi kau akan
terdesak. Dan agaknya lawanmu itu pun dapat melakukan seperti
yang kau lakukan. Melukai kulitmu arang kranjang sehingga
tubuhmu kemudian bagaikan tidak berkulit lagi."
Paguh menggeram. Tetapi ia masih tetap bertempur melawan
lawannya yang memang tangguh. Apalagi Linggapati memang
sudah berniat untuk menyelesaikan perkelahian itu dengan
menumpas lawannya sampai orang yang terakhir.
Hadirnya dua orang anak-anak muda yang tidak mereka kenal,
merupakan persoalan tersendiri bagi Linggapati dan kedua
kawannya. Tetapi mereka sama sekali tidak mencegah, ketika kedua
lawan mereka sedang marah telah melawan kedua anak muda itu.
Bahkan kemudian Linggapati menjadi heran. Anak yang masih
muda itu sama sekali tidak sekedar bergurau dengan kata-katanya.
Mereka bukannya sekedar anak-anak yang sombong dan tidak
mengerti bahaya yang sedang mengancam.
Ketika kedua anak-anak muda itu sudah bertempur ternyata
bahwa keduanya memang memiliki bekal yang cukup untuk
melawan orang-orang berilmu hitam itu, sehingga keduanya akan
mampu mempertahankan diri masing-masing.
Sementara itu, Linggapati dan Linggadadi pun segera dapat
mendesak lawannya. Bagi Linggadadi yang pernah bertempur
melawan orang berilmu hitam di Kota Raja, menganggap bahwa
lawannya kali ini masih belum setingkat ilmunya dengan orang yang
terbunuh di Kota Raja. meskipun orang yang dilawannya saat itu
pun cukup berbahaya. 1406 Sementara itu, Linggapati pun telah mendesak lawannya pula.
Paguh segera mengalami beberapa kesulitan. Ia tidak dapat
mempergunakan ilmunya yang dapat membingungkan lawannya,
karena loncatan-loncatan Linggapati yang memotong geraknya
justru membuatnya bingung sendiri.
Meskipun demikian, baik Linggadadi, Linggapati maupun
Daranambang mengakui, meskipun hanya di dalam hati, jika kedua
orang anak muda itu tidak datang mengganggu, mungkin
keadaannya akan berbeda. Daranambang tidak akan dapat bertahan
cukup lama, sepanjang yang dapat diberikan oleh Paguh dan
seorang kawannya. Jika Daranambang tidak lagi mampu melawan,
maka akan segera datang giliran Linggapati dan Ling gadadi yang
harus bertempur melawan dua dan tiga orang.
Sementara itu, kedua anak-anak muda itu pun bertempur dengan
lincahnya. Seperti Linggadadi dan kedua kawannya, maka kedua
anak-anak muda itu pun mampu mengimbangi ilmu lawannya.
Agaknya ilmu lawan mereka memang masih belum setingkat pula
dengan orang berilmu hitam yang terbunuh di Kota Raja oleh
Mahisa Bungalan. Semakin lama perkelahian itu berlangsung, Linggadadi menjadi
semakin heran melihat kedua anak-anak muda itu. Mereka seolaholah
sempat membuat latihan-latihan di dalam tata gerak mereka
justru dalam keadaan yang sangat berbahaya.
"Aneh." desis Linggadadi, "Kedua anak-anak muda itu
mempunyai sikap dan tingkah laku mirip dengan Mahisa Bungalan."
Namun kemudian ia berkata pula di dalam hatinya, "Mungkin
memang demikianlah kebiasaan anak-anak muda. Ia ingin banyak
mengetahui. Juga tentang lawannya, sehingga kadang-kadang
mereka menjadi kurang berhati-hati. Mereka ingin mencoba sejauh
mungkin setiap tata gerak yang pernah dipelajarinya."
Demikianlah pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya,
meskipun kemudian nampak bahwa setiap orang berilmu hitam itu
telah terdesak oleh lawan-lawan mereka masing-masing.
1407 "Gila." geram Paguh yang sama sekali tidak mengira bahwa di
kota kecil itu akan dijumpai orang-orang yang ternyata memiliki
kemampuan jauh lebih tinggi dari yang diduganya. Mereka bukan
sekedar pengawal-pengawal kota kecil yang pingsan melihat tata
gerak mereka yang pertama. "Siapakah sebenarnya orang orang gila
yang berilmu iblis ini?" pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Namun Paguh pun tahu, bahwa kedua anak-anak muda itu
datang kekota kecil itu tanpa ada hubungannya dengan ketiga
orang yang menjadi sasaran pilihan mereka untuk dijadikan korban
di hari-hari yang sudah ditentukan, disaat purnama naik beberaapa
hari lagi. Tetapi pada saat yang tentu tidak terduga-duga itu, mereka telah
menggabungkan kekuatan mereka, untuk bersama-sama melawan
kekuatan dari orang-orang yang disebut berilmu hitam.
Sekali lagi Paguh menggeram. Namun dalam pada itu, tumbuhlah
suatu kesadaran pada dirinya, bahwa kelompok orang-orang yang
disebut berilmu hitam itu telah dimusuhi oleh setiap orang. Pihakpihak
yang saling bermusuhan dan bersaing, akan bergabung
menjadi satu, dengan memadukan kekuatan mereka untuk melawan
orang-orang yang disebut berilmu hitam itu.
"Kami adalah orang yang paling dibenci oleh siapapun juga."
berkata Paguh di dalam hatinya. Dan ia pun tahu, apa sebabnya.
"Kami telah mengorbankan darah manusia untuk kesegaran ilmu
kami. Itu adalah alasan yang paling kuat dari setiap orang untuk
membenci kami." Tetapi Paguh adalah orang yang berhati batu. Kesadaran itu
justru membuatnya bagaikan gila. Kebencian orang lain kepada
dirinya dan kawan-kawannya telah membakar jantungnya dan
membuatnya semakin kehilangan pertimbangan.
"Orang-orang ini harus mati. Aku dan setiap orang dalam
lingkungan tidak boleh ragu-ragu untuk membunuh. Dan aku
bersama-sama dengan kawan-kawanku akan membunuh semua
orang di kota kecil ini."
1408 Dengan demikian maka Paguh pun kemudian bertempur
bagaikan orang yang kehilangan akal. Kasar dan bahkan buas. Ia
berteriak-teriak nyaring sambil meloncat-loncat menyerang. Namun
melawan Linggapati ia tidak dapat mempergunakan tata geraknya
yang dapat membuat lawannya menjadi bingung dan kemudian
pening. Setiap ia. berusaha melingkari lawannya, dengan tangkasnya
Linggapati telah mendahuluinya dan memotong tata geraknya,
sehingga akhirnya Paguh sendirilah yang menjadi bingung.
Dengan tenang Linggapati mendesak lawannya terus. Demikian
pula Linggadadi dan Daranambang. Sedangkan kedua anak muda
yang ikut bertempur pula itu, benar-benar sedang mencoba
menjajagi ilmu lawannya dengan caranya, meskipun kadang-kadang
membahayakan jiwanya. "Anak-anak itu memang gila." desis Linggadadi di dalam hatinya,
"Seperti Mahisa Bungalan anak-anak itu mempertaruhkan nyawa
dalam suatu kemanjaan sikap dan kurang berhati-hati."
Namun ternyata bahwa kedua anak-anak muda itu masih tetap
bertahan terus, meskipun kadang-kadang mereka harus meloncat
jauh surut untuk memperbaiki kedudukannya yang menjadi kacau.
Tetapi terhadap anak-anak muda itupun, lawannya yang berilmu
hitam tidak berhasil berlarian untuk mengitarinya. Anak-anak muda
itu pun mampu meloncat dengan cepat dan tangkas, sehingga
setiap kali tata gerak orang-orang berilmu hitam itu pun terpotong.
Dengan demikian, maka semakin lama menjadi semakin jelas,
bahwa kelima orang berilmu hitam itu sama sekali tidak dapat
mengimbangi lawan masing-masing. Apalagi Paguh yang harus
melawan Linggapati. Dengan cemas ia harus mengerahkan semua
kemampuannya, sampai batas yang paling kasar sekalipun.
Namun ia tetap tidak berhasil. Linggapati tetap mendesaknya
terus. Bahkan kemudian nyawa Paguh pun telah mulai terancam.
1409 Dengan mengimbangi lawannya yang bersenjata pisau-pisau
panjang, Linggapati mempergunakan sebilah keris. Dengan keris
itulah ia siap untuk menikam lawannya sampai mati.
Dan ternyata bahwa Linggapati tidak berkhayal. Sejenak
kemudian ia benar-benar telah mendesak Paguh yang tidak mampu
lagi melawan dengan cara apapun. Betapa ia berteriak-teriak dan
melonjak-lonjak dengan kasarnya, namun dengan pasti Linggapati
telah mendesaknya sampai kebatas kemampuannya yang terakhir.
Ketika Paguh kemudian terdorong sampai ke dinding batu rendah
yang melingkari pasar itu, maka ia tidak dapat melangkah surut lagi.
Karena itu, maka ia pun berusaha untuk meloncati pasar itu dan
bertahan di luar dinding.
Namun tepat pada saat ia meloncat naik, maka tikaman keris
Linggapati tidak dapat dihindarinya lagi. Ujung keris itu telah
menembus lambungnya yang tersobek karenanya.
Paguh mengeluh panjang. Ia terduduk di atas dinding batu
rendah itu. Dengan tangannya ia bertahan, agar ia tidak terjatuh.
Namun pada saat yang bersamaan ia sempat mendengar
teriakan lain. Dengan menahan sakit Paguh masih sempat berpaling
dan melihat kearah suara itu. Ternyata bahwa seorang kawannya
telah terlempar dari arena perkelahian dengan ujud tubuh yang
sangat mengerikan. Tubuhnya seolah-olah telah terkelupas. Darahnya melumuri
setiap lubang-lubang bulunya, sehingga tubuh itu bagaikan sudah
tidak berbentuk lagi. "Gila." teriak Paguh. Namun kemudian ia pun telah terjatuh ke
tanah. Sesaat ia menggeliat sambil bergumam, "Kau mati dengan
cara itu?" Kata-katanya pun telah terputus. Sedangkan dibagian lain,
seorang kawannya pun mati dengan luka-luka yang menganga di
seluruh tubuhnya. 1410 Linggapati memandang adiknya dengan tatapan mata yang
bagaikan menusuk sampai kepusat jantung. Tatapan mata yang
seolah-olah menuntut pertanggungan jawab atas tingkah laku
adiknya itu. "Kau bunuh ia dengan biadab." geramnya.
Linggadadi memandang kakaknya dengan heran. Justru karena
kakaknya nampak tidak senang melihat kemenangannya.
"Kenapa kakang?" ia bertanya.
"Apakah kau tidak mempunyai cara lain untuk membunuh
lawanmu?" Linggadadi mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Cara ini adalah
cara yang paling baik bagi orang-orang berilmu hitam." Ia berhenti
sejenak untuk menebarkan tatapan matanya. Ia melihat
Daranambang dan kedua anak muda itu masih bertempur meskipun
pertempuran itu agaknya terganggu juga oleh kematian Paguh dan
seorang kawannya dengan cara yang sangat mengerikan. Lalu,
"Kakang agaknya terlampau sopan menghadapi orang-orang seperti
kelima orang itu. Bahkan aku ingin menganjurkan, agar yang tiga itu
pun dibunuh dengan cara yang sama."
"Kau gila Linggadadi. Aku juga seorang pembunuh seperti kau
dan orang-orang berilmu hitam. Tetapi tidak dengan cara itu."
Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak menjawab.
Kakaknya akan dapat menjadi semakin marah kepadanya. Meskipun
kakaknya pasti tidak akan berbuat apa-apa, tetapi mungkin sekali ia
akan mengirimkannya kembali, dan meneruskan perjalanannya
hanya dengan Daranambang.
Daranambang yang melihat pembunuhan itu pun merasa ngeri.
Tetapi ia masih terikat dalam perkelahian sehingga perhatiannya
pun seluruhnya terpusat kepada lawannya.
Sementara itu kedua anak-anak muda itu pun masih juga
bertempur. Agaknya kematian salah seorang berilmu hitam itu
sangat mempengaruhi perasaan mereka, sehingga justru karena itu,
1411 mereka tidak lagi mempunyai kegembiraan. Semula mereka
berkelahi sambil mencoba ilmunya dalam berbagai cara dan bentuk
untuk mencari penyesuaian dalam perlawanannya terhadap ilmu
hitam itu. Namun kematian yang mengerikan itu membuat mereka


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertempur dengan bersungguh- sungguh.
Ketiga orang berilmu hitam yang masih tinggal hidup itu pun
menjadi ngeri melihat seorang kawannya yang mati dengan cara
yang biasa mereka lakukan. Mereka sama sekali tidak tersentuh
perasaannya, apabila mereka melihat orang lain yang mati dengan
cara yang kadang-kadang masih lebih mengerikan lagi. Jika mereka
berhasil menangkap korbannya hidup-hidup, namun mereka tidak
memerlukan korban bagi ilmu mereka, maka mereka beramai-ramai
mengupas kulit lawannya. Benar-benar mengupas kulitnya. Seperti
mengelupas kulit pisang, bukan seperti mengelupas kulit waluh.
Tetapi ketika kematian yang serupa, meskipun bukan terkelupas
kulitnya seperti kulit pisang, telah terjadi atas seorang kawannya,
maka perasaan ngeri itu pun telah menyengat jantung mereka.
Tetapi mereka sudah terlanjur berada dimedan yang parah.
Itulah sebabnya maka mereka tidak lagi dapat mundur. Mereka
harus bertempur sampai batas kemampuan mereka.
Namun dalam pada itu, Linggapati yang merasa dirinya dan
kedua orang yang bersamanya itulah yang menjadi sasaran pilihan
dari orang-orang berilmu hitam itu, maka ia pun mendekati kedua
anak-anak muda yang masih bertempur itu sambil berkata, "Kami
berterima kasih kepadamu anak-anak muda. Kalian telah
mengurangi beban kami, disaat-saat kami dalam kesulitan.
Sekarang, dua, orang lawan kami telah mati. Karena itu, berikanlah
lawanmu kepadaku. Aku yakin bahwa jika kalian bersungguhsungguh,
maka lawan-lawanmu akan segera dapat kau binasakan.
Tetapi ternyata kalian benar-benar sedang bermain-main. Karena
itu, biarlah kami menyelesaikan tugas kami atas dua orang berilmu
hitam itu." 1412 Kedua anak-anak muda itu masih bertempur terus. Namun
Linggapati mendesaknya lagi, "Tinggalkan mereka. Aku dan adikku
akan menyelesaikannya."
"Katakan dahulu, siapakah kalian." tiba-tiba saja salah seorang
dari kedua anak-anak muda itu bertanya.
"Itu tidak penting. Sekarang, biarlah kami bertempur melawan
kedua orang itu." "Hanya ada dua orang yang berpengalaman melawan orang
berilmu hitam di Kota Raja. Menurut pendengaran kami, mereka
adalah Linggadadi dan dari sumber lain mengatakan Mahisa
Bungalan yang bergelar pembunuh orang berilmu hitam. Nah,
siapakah diantara kalian salah seorang dari kedua orang itu?"
"Aku." teriak Linggadadi, "Aku adalah Mahisa Bungalan."
"O." salah seorang dari kedua anak muda itu menjawab sambil
bertempur, "Jika demikian, biarlah kami menyelesaikan pertempuran
ini." "Jangan membuat kami marah anak sombong."
"Apa yang akan kalian lakukan jika kalian marah?"
"Bergabung dengan orang-orang berilmu hitam itu dan
membunuh kau berdua. Baru kemudian aku akan membunuh orang
orang berilmu hitam itu."
"Bagus sekali. Seperti yang pernah dilakukan oleh Linggadadi. Ia
melepaskan lawannya yang berilmu hitam dan membiarkan orang
berilmu hitam itu bertempur mewalan Mahisa Bungalan."
"He, darimana kau tahu." teriak Linggadadi.
"Bukankah demikian menurut ceritera orang" Katakan Mahisa
Bungalan, apakah ceritera itu benar?"
Linggadadi termangu-mangu. Ia memperhatikan kedua anakanak
muda itu bertempur dengan lincahnya meskipun mereka sudah
1413 tidak mempertaruhkan perkelahian itu untuk menjajagi kemampuan
ilmu mereka. Dalam pada itu Linggapati pun masih saja termangu-mangu. Ia
mencoba menebak siapakah kedua anak muda itu. Namun ternyata
ia tidak mendapat gambaran sama sekali tentang keduanya.
Namun karena itu, maka ia pun mencoba mengambil cara lain
untuk melepaskan kedua anak muda itu dari arena. Karena itu,
maka ia pun kemudian berkata dengan nada yang lunak, "Anak
muda. Seperti yang sudah aku katakan, aku mengucapkan
diperbanyak terima kasih atas bantuanmu. Tanpa kalian berdua,
mungkin akhir perkelahian ini akan menjadi berbeda."
"Tidak." potong Linggadadi, "Kami akan tetap berhasil
membunuh mereka berlima."
Linggapati mengerutkan keningnya. Namun ia berkata
selanjutnya, "Karena itu anak muda, biarlah kami menyelesaikan
persoalan kami dengan orang-orang berilmu hitam itu. Bantuan
kalian sudah cukup bagi kami."
"Dan kalian akan membunuh orang-orang berilmu hitam ini
dengan cara yang biadab itu?"
"Tidak. Aku akan mengingatkannya, agar tidak lagi melakukan
pembunuhan seperti itu. Tetapi kami akan tetap membunuhnya.
Dengan cara wajar." "Persetan." teriak orang berilmu hitam, "Kalian menyangka
bahwa kami ini sekedar barang yang dapat kalian serah terimakan
begitu saja tanpa berbuat apa-apa?"
"Jangan hiraukan." desis Linggapati.
"Kami ragu-ragu." jawab salah seorang dari kedua anak muda
itu sambil bertempur, "Aku akan dapat membunuhnya. Sama sekali
tidak dengan cara biadab itu."
"Kami juga." "Dan orang yang mengaku bernama Mahisa Bungalan itu?"
1414 "Ia juga tidak."
Tetapi Linggadadi sendiri tidak menyahut. Bahkan mulutnya yang
terkatup rapat-rapat itu seolah-olah menyimpan kemarahan yang
melonjak-lonjak di dadanya.
"Anak-anak itu memang harus dibunuh pula." katanya di dalam
hati. Sejenak kedua anak-anak muda itu masih bertempur. Namun
kemudian mereka berkata, "Aku akan menyerahkan keduanya.
Tetapi kalian tidak akan berbuat dengan biadab seperti yang sudah
terjadi." Gigi Linggadadi terdengar gemeretak, tetapi ia tidak menjawab.
Linggapat ilah yang menjawab, "Kami berjanji."
Demikianlah maka kedua anak-anak muda itu pun kemudian
menyerahkan kedua lawannya kepada Linggapati dan Linggadadi.
sementara Linggapati berpesan, "Jangan melanggar perintahku."
Linggadadi tidak menjawab. Tetapi wajahnya memancarkan
kemarahan yang tidak tertahankan.
Kedua orang berilmu hitam itu pun menggeram. Mereka benarbenar
merasa terhina oleh sikap lawan-lawannya. Kedua anak-anak
itu pun menganggap mereka tanpa arti, yang kemudian dengan
seenaknya menyerahkannya kepada orang lain.
Meskipun demikian, orang yang kebetulan harus bertempur
melawan Linggadadi menjadi agak ngeri juga. Kawannya telah
terbunuh dengan cara yang justru sering dilakukan oleh kawankawannya
yang disebut oleh orang lain berilmu hitam.
Tetapi, kematian yang memang sudah membayang itu, tidak
akan dapat mereka terima sambil menundukkan kepala.
" Melawan atau tidak melawan, aku akan mati." geram lawan
Linggadadi di dalam hatinya.
Apalagi ketika Linggadadi telah menyebut dirinya bernama
Mahisa Bungalan meskipun dengan cara yang tidak meyakinkan.
1415 Maka orang-orang berilmu hitam itu pun rasa-rasanya memang
sudah berada diambang pintu maut.
Ketika kedua orang itu baru saja mulai bertempur melawan
Linggadadi dan Linggapati, maka telah terdengar sebuah keluhan
tertahan. Ternyata lawan Daranambang pun telah terlempar dari
arena pertempuran. Dadanya memancarkan darah yang tumpah
dari lukanya. Tetapi Daranambang tidak membunuh lawannya
dengan cara yang mengerikan seperti yang dilakukan oleh
Linggadadi. Daranambang berdiri termangu-mangu di samping mayat
lawannya. Ia memalingkan wajahnya ketika diluar sadarnya
terpandang olehnya mayat yang kulitnya bagaikan terkelupas oleh
luka yang tidak terhitung jumlahnya. Bukan saja luka tusukan, tetapi
juga goresan yang menyilang dada, punggung dan lambung silang
menyilang. Daranambang menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian
perlahan-lahan mendekati kedua anak muda yang menonton di
pinggir arena. "Kalian adalah anak-anak muda yang luar biasa." berkata
Daranambang. "Ah." desis yang tua.
"Semuda kalian, kalian telah menunjukkan ilmu yang jauh lebih
tinggi dari orang-orang berilmu hitam itu. Bahkan lebih tinggi dari
padaku. Kalian dapat bertempur sambil bergurau dan seolah-olah
sekedar menjajagi kemampuan lawanmu. Tetapi aku harus
mengerahkan semua kemampuan yang ada padaku."
"Kau memuji." "Aku berkata sebenarnya. Dan aku kagum atas kalian. Apakah
kalian dapat mengatakan, siapakah kalian itu?"
Kedua anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian
salah seorang dari mereka bertanya, "Apakah benar orang itu
bernama Mahisa Bungalan?"
1416 Daranambang termangu-mangu sejenak. Sekilas diamatinya
Linggadadi yang sedang bertempur dengan keras dan penuh
dendam. Akhirnya dengan ragu-ragu Daranambang berkata, "Ya. Orang itu
adalah Mahisa Bungalan."
"Yang disebut pembunuh orang berilmu hitam?" bertanya anak
muda yang lain. "Ya." Daranambang masih ragu-ragu.
Namun kemudian Daranambang terkejut ketika ia mendengar
kedua anak-anak muda itu tertawa. Salah seorang dari kedua anak
itu berkata, "Salah kakek. Atau kakek sengaja membohongi kami.
Karena itu, kami pun tidak akan mengatakan siapakah kami
sebenarnya." "Anak setan." Daranambang mengumpat. Namun ia pun
kemudian tersenyum. Katanya, "Kalian sangat menarik perhatianku.
Menyenangkan sekali Baiklah aku berkata terus terang. Aku
memang berbohong. Tetapi sayang, bahwa aku tidak dapat
mengatakan tentang orang itu."
"Seperti kami juga tidak dapat mengatakan tentang diri kami."
"Baiklah. Kita sama-sama tidak mau menyebut diri kita masingmasing.
Tetapi tidak apalah." Daranambang berhenti sejenak, lalu,
"Tetapi siapa pun kalian, aku tetap mengucapkan terima kasih atas
bantuan kalian. Seperti yang dikatakan anakku yang tua, tanpa
kalian mungkin pertempuran ini akan berakhir lain sekali. Aku
sependapat, meskipun orang yang bernama Mahisa Bungalan itu
berpendapat lain." "Jangan sebut Mahisa Bungalan. Bukankah kakek berbohong?"
Kedua anak-anak itu tertawa. Namun suara tertawanya pun
segera terputus ketika mereka mendengar pekik kecil. Sejenak
kemudian maka mereka pun melihal lawan Linggapati terdorong
surut. Perlahan-lahan ia terjatuh pada lututnya.
1417 "Ia akan mati." desis Daranambang.
"Ya. Ia akan mati. Yang seorang itu pun akan mati."
Daranambang tidak menyahut. Tetapi seperti yang dikatakannya,
maka lawan Linggapati itu pun kemudian jatuh terbujur di tanah.
Mati. Sementara itu Linggapati pun segera mendekati arena
perkelahian adiknya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Biarlah ia hidup."
"Aku akan membunuhnya." desis Linggadadi.
"Kita memerlukan beberapa keterangan tentang orang-orang
berilmu hitam. Jika ia tetap hidup, maka kita akan mendapat bahanbahan
yang kita perlukan."
"Kenapa bukan lawanmu yang kau biarkan hidup?"
Linggapati mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, "Lawanku
sudah terlanjur mati. Aku tadi tidak ingat, bahwa jika kita dapat
membiarkan salah seorang dari mereka hidup, maka kita akan
mendapatkan banyak keterangan tentang keadaan mereka."
Linggadadi tidak segera menjawab. Tetapi ia masih tetap
bertempur dengan garangnya.
"Dengarlah perintahku." berkata Linggapati kemudian.
Jika Linggapati sudah berkata demikian, maka Linggadadi tidak
akan dapat membantah lagi. Karena itu, maka ia pun segera
mengekang dirinya dan untuk beberapa saat ia melangkah surut
mendekati kakaknya. "Marilah, kita menangkapnya bersama-sama." berkata
Linggapati kepada Daranambang.
Orang tua itu pun kemudian bergerak pula. Bersama Linggapati
dan Linggadadi, maka mereka bertiga pun segera mengepung
lawannya. 1418 "Gila." teriak orang berilmu hitam itu, "Kalian akan mencoba
menangkap aku hidup-hidup dan memeras keteranganku?"
Linggapati lah yang menjawab, "Ya Ki Sanak. Kami ingin kau
tetap hidup. Jika kau tidak melawan kehendak kami, maka kau akan
menjadi orang yang sangat penting di dalam lingkungan kami,
karena setiap kata-kata dan keteranganmu akan merupakan
petunjuk yang sangat berharga bagi kami."
"Kau sangka aku tidak tahu, bahwa aku akan kalian ikat pada
sebuah tiang. Aku harus menjawab setiap pertanyaan kalian, tahu
atau tidak tahu" Jika aku tidak menjawab, maka kalian akan
memaksa dengan cambuk, rotan atau bahkan pisau dan air
belimbing wuluh bercampur garam?"
"Kau salah. Kami mempunyai kebiasaan yang lain dari kalian.
Kami bukan orang-orang berilmu hitam yang harus melihat darah."
"Bohong. Lihat, apa yang telah dilakukan oleh orang yang
mengaku bernama Mahisa Bungalan itu" Ia adalah pembunuh orang
yang disebutnya berilmu hitam. Dan aku tahu sekarang, bahwa ia
relah menirukan cara kami untuk melakukan pembunuhanpembunuhan
itu." "Tutup mulutmu." teriak Linggadadi, "Kau akan kami tangkap
dan kami perlakukan menurut kebutuhan kami. Jika kau tidak
mempersulit tugas kami, maka kami akan bersikap baik
terhadapmu. Tetapi jika sebaliknya, maka nasibmu memang buruk
sekali. Mungkin benar seperti yang kau katakan. Segores luka dan
setitik air belimbing wuluh arau jeruk pecel dan garam."
Tiba-tiba saja kengerian yang sangar telah mencengkam orang
berilmu hitam itu. Karena itu, maka ia pun menggeram, "Aku akan
melawan kalian bertiga sampai mari. Mati adalah pelepasan yang
paling baik bagiku dari pada segores demi segores luka di tubuhku
dan air belimbing wuluh."
Linggadadi mendesak maju. Ia menyerang bagaikan badai yang
menghantam tebing pegunungan, sehingga oleh serangan itu maka


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang berilmu hitam itu pun terdorong surut.
1419 Sementara itu, Linggapati pun telah siap pula Ia ingin menyerang
orang berilmu hitam itu sehingga ia menjadi pingsan Kemudian
mengikatnya dan jika ia sadar, maka ia akan menjadi sumber
keterangan. Orang berilmu hitam itu benar-benar telah kehilangan setiap
harapan untuk dapat meloloskan diri. Orang yang sudah tua
diantara ketiga lawannya itu pun masih juga mampu bertempur
seperti seekor harimau. "Aku tidak mau jatuh ketangan mereka." berkata orang berilmu
hitam itu di dalam hatinya.
Dalam keadaan yang demikian itu, maka semua sifat dan
kegarangannya seolah-olah telah larut sama sekali. Ia tidak lagi
dapat membayangkan, betapa ia bersama dengan kawan-kawannya
menghadapi korban yang harus menitikkan darah bagi kesegaran
ilmunya. Ia tidak lagi dapat menengadahkan wajahnya sambil
menginjakkan kakinya ke atas dada korbannya yang bagaikan
terkelupas kulitnya di arena pertempuran.
Tetapi orang berilmu hitam itu bagaikan berubah menja di seekor
tikus yang malang dikelilingi oleh tiga ekor tikus yang garang.
Ketiga orang berilmu hitam itu benar-benar sudah merasa
kehilangan setiap kemungkinan untuk melepaskan diri, maka ia pun
tiba-tiba saja telah menjadi putus asa. Dalam keputus-asaan itu pun
ia mengambil keputusan yang mengejutkan.
Tiba-tiba saja, diluar dugaan Linggapati, Linggadadi dan
Daranambang, maka orang berilmu hitam itu mengayunkan senjata
pendeknya langsung menghunjam ke dalam dadanya sendiri.
"Gila." teriak Linggapati.
Tetapi suara Linggapari itu bagaikan kejutan yang justru
mendorong tangan orang berilmu hitam itu semakin kuat
menghunjamkan senjatanya.
1420 Sejenak kemudian, maka tubuh itu pun jatuh terguling di tanah.
Masih terngiang suaranya yang terputus, "Pilihan yang barangkali
lebih baik dari jatuh ketangan kalian."
Linggadadi benar-benar telah dicengkam oleh kemarahan yang
memuncak. Tetapi ketika ia meloncat mendekati mayat itu,
Linggapati telah membentaknya, "Biarkan ia dalam keadaannya."
Linggadadi menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat
melanggar perintah itu. Namun demikian ia berkata, "Ia menyakiti
hatiku. Lebih baik ia aku lumatkan."
"Jangan berbuat sesuatu lagi."
Linggadadi menghentakkan tangannya. Tetapi ia pun kemudian
berpaling memandang dua orang anak muda yang masih berdiri
termangu-mangu. Sejenak sorot matanya yang bagaikan membara itu menatap
keduanya berganti-ganti. Kemudian terdengar suaranya yang
geram, "Kalian berdua adalah sasaran berikutnya."
Kedua anak muda itu menjadi tegang. Keduanya saling
berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang dari
keduanya bertanya, "Apa maksudmu Mahisa Bungalan?"
Linggadadi tercenung sejenak mendengar nama itu. Tetapi
kemudian ia pun berkata lantang, "Kalian berdua pun harus dibunuh
seperti orang-orang berilmu hitam itu."
"Kenapa?" bertanya salah seorang dari kedua anak muda itu.
"Kalian telah menghina kami. Kalian menyangka, bahwa kami
tidak akan dapat menyelesaikan tugas kami sebaik-baiknya tanpa
bantuan kalian." Tetapi sebelum kedua anak muda itu menjawab, terdengar suara
Linggapati, "Kau benar-benar telah menjadi gila."
Tetapi Linggapati melangkah mendekati kedua anak muda itu
sambil berkata, "Menyingkirlah. Bau darah telah membuat
seseorang kehilangan pengamatan diri."
1421 "Kenapa aku harus menyingkir?" bertanya salah seorang dari
kedua anak muda itu. "Agar tidak timbul persoalan-persoalan baru disini. Aku tidak
ingin melihat persoalan yang sebenarnya tidak perlu terjadi, tetapi
justru dapat menumbuhkan korban yang tidak berarti."
"Kau mengancam kami?"
Linggapati mengerutkan keningnya. Katanya, "Aku ingin
mengucapkan terima kasih kepadamu."
"Begitulah caranya?"
Daranambanglah yang kemudian mendekati keduanya sambil
berkata, "Sudahlah ngger. Kami benar-benar berterima kasih
kepadamu. Aku mencoba berbuat jujur kali ini, meskipun biasanya
aku tidak berbuat demikian."
Koleksi: ismoyo Scanning: Arema Convert/Proofing: Mahesa Editing/Rechecking: Arema
-oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
1422 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo gagakseta web
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 20 "GILA" teriak Linggadadi,
"kenapa paman tiba-tiba
menjadi cengeng?" Daranambang berpaling. Tetapi iapun tersenyum sambil menjawab, "Seperti
yang dikatakan oleh kakakmu.
Bau darah membuat kau kehilangan pengamatan diri
Kedua anak muda ini telah
menolong kita. Senang atau
tidak senang, kita harus mengakui." "Persetan" potong
Linggadadi. "Sudahlah" ulang Linggapati, "pergilah. Jangan menunggu
persoalan berkembang semakin buruk."
"Kalian akan membunuh kami?"
"Ya" jawab Linggadadi tegas.
Salah seorang dari kedua anak muda itu menjawab acuh tidak
acuh , "Jika kalian memang ingin membunuh kami, maka keinginan
yang serupa rasa-rasanya tumbuh pula di hati kami."
Linggadadi menjadi sangat marah, sehingga diluar sadar nya ia
telah meloncat maju mendekati kedua anak-anak muda itu. Namun
1423 bersamaan dengan itu pula Daranambang pun telah melangkah
mendekatinya sambil berkata, "Anak-anak muda kadang-kadang
memang tidak dapat mengekang diri. Tetapi itu bukan berarti
bahwa setiap kemauan harus dilakukan tanpa pertimbangan."
Linggadadi menggeram. Wajahnya menjadi merah membara.
Dengan lantang ia berkata, "Dan paman membiarkan kedua anakanak
ingusan itu menghina kami?"
"Sama sekali bukan anak ingusan" jawab Daranambang., "Ingat,
mereka sudah dapat mempertahankan dirinya melawan orang-orang
berilmu hitam itu." "Tetapi tidak untuk menghina kami."
"Tentu maksudnya sama sekali bukan untuk menghina. Mereka
hanya ingin mendapat kesempatan untuk menjajagi ilmunya. Tetapi
tidak dengan kita, karena persoalannya akan menjadi jauh
berbeda." Linggadadi memandang kedua anak-anak muda itu bagaikan
akan diterkamnya. Sementara itu Linggapati berkata, "Sudahlah.
Tidak ada gunanya kau berkeras kepala. Aku sependapat dengan
paman. Marilah, kita tinggalkan tempat ini. Kita akan melanjutkan
perjalanan." "Kita akan mengorbankan harga diri kita" berkata Linggadadi,
"mula-mula kita biarkan lawan-lawan kita direbutnya. Keduanya
merasa dirinya sanggup menolong kami. Kemudian dalam sikap
yang sulit dimengerti, kita justru meninggalkan kedua anak yang
sombong itu." Kedua anak-anak muda itu sama sekali tidak menyahut.
Keduanya justru menjadi heran, melihat perbedaan sikap di antara
mereka bertiga. Linggapati lah yang kemudian berkata, "Kita tidak perlu
menghiraukan apapun lagi. Kita akan pergi. Kita sudah kehilangan
kesempatan karena kelima orang berilmu hitam itu terbunuh. Itu
adalah kebodohan kita, karena kita masih di cengkam oleh nafsu
1424 dan ketamakan. Perhitungan kita menjadi kabur dan tidak
menentu." Linggapati tidak menunggu tanggapan dari s iapapun juga. Ia pun
segera melangkah meninggalkan kedua anak-anak muda itu dan
kelima sosok mayat yang berserakan. Satu di antaranya terbaring
dengan ujud yang sangat mengerikan.
Daranambang pun segera mengikutinya pula. Baru yang terakhir
sambil menggeram Linggadadi pun melangkah pergi.
Kedua anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun
mereka sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Dipandanginya
saja ketiga orang yang berjalan semakin jauh, melewati regol pasar
yang sepi dan hilang dibalik dinding regol itu.
Ketika ketiga orang itu sudah tidak nampak lagi, barulah kedua
anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka
masih berdiri tegak. Namun kemudian mereka mulai memalingkan
kepala mereka. Dengan dada yang berdebaran mereka melihat pasar yang sepi.
Barang-barang yang berserakan, dan makanan yang tumpah ruah.
Baru kemudian mereka melihat beberapa orang di kejauhan
berkerumun dengan wajah yang tegang dan pucat.
Kedua anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun
kemudian mereka pun tersenyum.
Salah seorang dari mereka berkata, "Marilah kita dekati mereka."
Yang lain menganggukkan kepalanya.
Keduanya pun kemudian melangkah mendekati orang-orang
yang berkerumun di kejauhan. Nampaknya keduanya sama sekali
tidak menjadi cemas dan takut bahwa ketiga orang yang telah
membunuh orang-orang berilmu hitam itu benar-benar akan
berbuat jahat kepada mereka.
Orang-orang yang berkerumun di kejauhan itu pun seolah-olah
telah terbangun pula dari mimpi yang buruk. Ternyata orang-orang
1425 yang sedang berkelahi itu sama sekali tidak menghiraukan mereka.
Orang-orang yang berkelahi itu pergi begitu saja tanpa berbuat
sesuatu atas mereka dan barang-barang mereka.
Satu dua orang telah memberanikan diri mendesak tiga orang
pengawal yang seakan-akan membeku itu untuk melangkah maju.
"Marilah, sebelum penjahat kecil memanfaatkan keadaan ini."
berkata salah seorang pedagang.
Pengawal itu ragu-ragu. Dipandanginya saja kedua anak-anak
muda yang berjalan semakin dekat.
"Berbicaralah dengan keduanya." berkata pedagang yang lain,
"agaknya keduanya tidak menakutkan, dan agaknya mereka
mempunyai watak yang berbeda dengan yang tiga orang itu,
apalagi yang telah terbunuh itu."
Ketiga pengawal itupun maju selangkah meskipun dengan raguragu.
"Marilah" desis yang lain.
Akhirnya, ketiga pengawal itu memberanikan diri untuk
mendekati kedua anak-anak muda itu. Salah seorang dari ketiga
pengawal itupun kemudian bertanya dengan ragu-ragu, "Apakah
yang sebenarnya telah terjadi anak muda"."
Kedua anak muda itu ter-mangu-mangu sejenak. Dipandanginya
ketiga orang bersenjata itu dengan saksama. Lalu salah seorang
dari keduanya bertanya, "Apakah kau termasuk salah satu pihak dari
orang-orang yang berkelahi itu"."
"Tidak. Tidak. Aku adalah pengawal kota kecil ini."
Anak-anak muda itu meng-angguk-angguk. Namun salah seorang
di antaranya bertanya, "Kenapa kalian tidak berbuat apa-apa ketika
perkelahian itu sedang berlangsung."
Para pengawal itu saling berpandangan sejenak. Baru kemudian
salah seorang dari mereka menjawab, "Apa yang dapat kami
1426 lakukan", Pertempuran itu bagaikan perkelahian antara guntur dan
guruh di langit. O. mengerikan sekali."
"Apakah kalian mengenal salah seorang dari mereka", Yang
terbunuh maupun yang membunuh?" bertanya salah seorang dari
anak-anak muda itu. Berbareng ketiga orang itu menggelengkan kepalanya sambil
menjawab, "Tidak."
Kedua anak-anak muda itu menarik nafas dalam-calam. Lalu
katanya, "Uruslah mayat-mayat itu. Selenggarakan sebaik-baiknya
menurut adat yang berlaku meskipun mereka adalah orang-orang
yang berilmu hitam."
"Berilmu hitam". Apakah artinya"."
"Mereka yang mencari ilmu pada kekuatan yang gelap, yang
melawan dengan segala kemampuan yang ada pada kekuatan yang
terpancar dari Yang Maha Agung lewat hambanya yang dipilihnya."
"Apakah yang lain, yang telah membunuh kelima orang itu juga
berilmu hitam"."
"Mereka tidak mencari ilmu, pada guru yang sama. Tetapi aku
tidak tahu, apakah mereka juga mendambakan kekuatan pada
unsur-unsur yang hitam seperti itu. Namun, meskipun seseorang
mendapatkan ilmunya dengan wajar, dengan latihan-latihan yang
tekun, dan mencari petunjuk pada Yang Maha Agung untuk
menemukan kemampuan melepaskan tenaga yang tersamar di
dalam dirinya sendiri, bukan pada kekuatan-kekuatan gelap dan
kelam, namun setelah mereka berhasil, kemudian mempergunakan
ilmunya untuk merusak tata peradaban yang apalagi
perikemanusiaan, maka iapun termasuk orang-orang yang berhati
hitam." "Bagaimana dengan ketiga orang itu?" bertanya salah seorang
pengawal. Kedua anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Salah
seorang dari mereka menggelengkan kepalanya sambil berkata,
1427 "Aku tidak tahu pasti. Tetapi menilik sikapnya, maka salah seorang
dari mereka, bukannya orang yang pantas dikagumi, ia membunuh
lawannya dengan cara yang terkutuk. Dengan cara yang dilakukan
oleh orang-orang berilmu hitam itu, sehingga iapun sebenarnya
dapat disebut orang berhati hitam." ia berhenti sejenak, lalu, "tetapi
aku tidak tahu dengan pasti, bagaimanakah warna hati dua orang
yang lain, yang nampaknya memang agak berbeda sifat dan watak


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari yang seorang itu."
Para pengawal itupun termangu-mangu. Namun kemudian salah
seorang dari anak muda itu berkata, "Sudahlah. Uruslah mayatmayat
Api Di Bukit Menoreh 4 Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi Geger Kitab Inti Jagad 2

Cari Blog Ini