Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 30
kita." Orang tertua itu kemudian berbicara dengan beberapa orang
yang dianggapnya mengenal daerah di sekitar padepokan itu
dengan baik. "Biarlah mereka memasuki hutan Dandarau. Mereka harus tinggal
disana satu hari satu malam. Jika tidak ada orang yang datang
menjemput mereka, berarti bahwa mereka harus berusaha mencari
hidup masing-masing dan anak-anak yang mereka jaga. " berkata
salah seorang dari mereka.
Yang lain mengangguk-angguk, sehingga akhirnya orang tertua
itu mengumumkan, "Suruhlah mereka bersembunyi di hutan
Dandarau untuk satu hari satu malam."
Demikianlah, maka Perempuan-Perempuan itupun kemudian
dikumpulkan. Mereka mendapat penjelasan apa yang harus mereka
lakukan. Tidak ada seorang pun yang memberikan tanggapan. Bagi
perempuan, apapun yang dikatakan oleh laki-laki, harus dijalani
meskipun tanpa dapat mereka mengerti.
Karena itulah, maka perempuan-perempuan itupun segera
berkemas. Dengan dikawal oleh beberapa orang laki-laki tua mereka
meninggalkan padepokan sambil membawa barang-barang berharga
yang berhasil dikumpulkan oleh gerombolan Serigala Putih dengan
1800 cara apapun juga. Kadang-kadang memang dengan cara yang liar,
seliar serigala kelaparan.
Sepeninggal perempuan dan kanak-anak yang dikawal oleh lakilaki
tua, maka orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itupun
segera bersiap untuk menghadapi kemungkinan. Mereka menyadari
bahwa satu di antara kemungkinan-kemungkinan itu adalah mati.
Semuanya, sampai orang terakhir.
Namun karena demikian, hati mereka seolah-olah justru menjadi
tenang. Seolah-olah mereka telah pasrah diri dalam kesetiaan untuk
membela perguruan mereka. Harga diri yang mereka junjung justru
karena mereka berhadapan dengan orang-orang yang memiliki
sumber ilmu yang sama. "Kenapa kita memilih menyerah dan mengorbankan harga diri
kita kepada pemburu-pemburu dan prajurit. Singasari?" Tiba-tiba
saja salah seorang dari mereka yang ikut bertempur melawan Empu
Sanggadaru dan kawan-kawannya bertanya.
Orang tertua diantara mereka menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian dengan hati-hati ia menjawab, "Yang kita hadapi memang
tidak sama. Jika kita menyerah kepada prajurit Singasari atau
kepada mereka yang bersikap seperti prajurit, maka kita masih
mempunyai harga diri karena mereka tidak semata-mata ingin
membunuh seperti orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang.
Terasa pada diri kita, sesuatu yang lain pada sikap mereka, apalagi
jika kita dapat memandang dari segi yang lurus, bahwa mereka
sedang melakukan kewajiban. Ternyata bahwa nafsu membunuh itu
sama sekali tidak ada ketika kita sudah melepaskan senjata kita.
Bahkan kita diperbolehkan mengambil kembali senjata-senjata itu
meskipun dengan bermacam-macam janji."
Orang yang bertanya itupun mengangguk-angguk. Tetapi justru
timbul pertanyaan pada orang yang lain, yang tidak melihat
pertempuran yang telah terjadi itu., "Tetapi, apakah itu bukan
berarti penghinaan yang paling dalam?"
1801 Orang tertua itu memandang dengan tajamnya. Kemudian
jawabnya, "Jika yang melakukan itu orang-orang dari gerombolan
Macan Kumbang, maka itu adalah penghinaan yang paling keji yang
pernah kita alami. Tetapi kita harus dapat membedakan, niat
apakah yang sebenarnya tersembunyi didalam hati mereka yang
telah memberikan belas kasihan kepada kita."
Orang itupun terdiam. "Baiklah. Kita sekarang sudah mendapat ketetapan hati. Kita
akan melakukan semuanya dengan mantap. Apapun yang akan
terjadi, itu adalah pilihan kita. Dan kita tidak akan dapat ingkar lagi
meskipun tebusannya adalah nyawa kita."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk.
"Kita harus berlatih terus. Tidak ada henti-hentinya. Tetapi kita
harus menjaga, agar tenaga kita tidak terperas habis, sehingga
pada saatnya kita perlukan, kita sudah tidak mampu berbuat apaapa
lagi." Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itupun kemudian
melanjutkan usaha mereka dengan tekun. Mereka melatih diri
mempergunakan senjata sebaik-baiknya. Bagaimana mereka harus
menangkis, bagaimana mereka harus menghindar, dan bagaimana
mereka harus menyerang. Dasar-dasar ilmu kanuragan yang sudah
mereka miliki, mereka kembangkan sejauh-jauh dapat mereka
lakukan meskipun sebagian dari mereka menganggap bahwa hal itu
sudah tidak ada gunanya lagi, karena, semuanya sudah terlambat.
Dalam pada itu, maka orang-orang dari gerombolan Macan
Kumbang memang sudah mendengar, bahwa gerombolan Serigala
Putih telah kehilangan pimpinan. Mereka tidak lagi mempunyai
kekuatan pokok yang dapat mereka percaya lagi. Karena itulah,
dengan sengaja orang-orang gerombolan Macan Kumbang telah
menakut-nakutinya. Mereka telah membuat perhitungan tertentu
untuk menghadapi orang-orang dari gerombolan Serigala Putih yang
selama itu dianggap menjadi saingan yang memang harus
disingkirkan. 1802 "Kita akan datang segera ke padepokan mereka" berkata
pemimpin gerombolan Macan Kumbang setelah mendapat laporan
dari orang-orang yang dengan sengaja menjumpai salah seorang
dari gerombolan Serigala Putih.
"Aku tidak membunuhnya" berkata salah seorang dari mereka,
"kematian memang menakutkan. Tetapi jika orang itu tetap hidup,
ia akan dapat mengatakan apa saja yang kita katakan dan sengaja
membuat mereka ketakutan."
Pemimpinnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Seorang yang aku tugaskan untuk mengamat-amati mereka
sudah melihat, perempuan dan anak-anak telah menyingkir."
"Uh, sejak kapan orang-orang gerombolan Serigala Putih
memikirkan perempuan?"
"Tentu mereka ingin menyelamatkan anak-anak mereka." desis
yang lain. Pemimpinnya tertawa. Katanya, "Mungkin. Tetapi akan datang
saatnya kita menghancurkan mereka semuanya. Setelah kita
binasakan orang-orang yang sombong itu, maka akan kita
binasakan pula semua perempuan dan anak-anak."
"Anak-anak saja."
Suara tertawa pun kemudian meledak. Namun dalam pada itu,
salah seorang berkata, "Tetapi kita masih harus bekerja keras.
Dengan menyingkirkan anak-anak, itu berarti bahwa orang-orang
dari gerombolan Serigala Putih siap untuk melakukan perlawanan.
Meskipun barangkali mereka sudah mengira bahwa mereka akan
mati." Sambil mengangguk-angguk pemimpinnya menyahut, "Ya. Tetapi
akhir dari pertempuran yang mungkin akan terjadi itu sudah dapat
dibayangkan. Mereka sudah kehilangan pemimpinnya. Meskipun
sebenarnya mereka masih mempunyai kemampuan untuk melawan,
tetapi benturan yang pertama sudah akan merontokan isi dada
1803 mereka, sehingga mereka tidak akan berani bertempur lebih lama
lagi." "Apakah itu artinya mereka menyerahkan leher mereka?"
Pemimpinnya tidak menyahut. Namun katanya kemudian, "Kita
akan melihat. Dan kita akan melakukan apa saja yang kita
kehendaki kemudian atas mereka yang selama ini merasa lebih kuat
dari kita." Orang-orang gerombolan Macan Kumbang itupun menganggukangguk
dengan kebanggaan didalam diri mereka karena anganangan
mereka itu. Karena itulah, maka rencana mereka untuk membinasakan
orang-orang yang selama ini menjadi saingan mereka itu,
merupakan orang-orang yang menyenangkan. Sebelum mereka
melihat hasil dari pekerjaan mereka, maka mereka sudah lebih
dahulu menikmatinya. Dihari berikutnya seorang petugas yang lain telah melaporkan
pula. bahwa perempuan dan anak-anak telah menghilang di sekitar
hutan yang lebat di sebelah padepokan gerombolan Serigala Putih
itu. "Biarlah orang-orang yang tamak itu merasakan lebih lama lagi
kegelisahan dan ketakutan" berkata pemimpin gerombolan Macan
Kumbang. "Tetapi jika kita tidak segera menyerang mereka, maka mereka
akan lepas dari tangan kita."
"Kenapa?" "Jika mereka tidak tahan lagi menahan kegelisahan dan
ketakutan, maka mereka tentu akan menyingkir."
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang berpikir sejenak, lalu,
"Kau benar. Kifa harus segera melenyapkan mereka. Pekerjaan yang
meskipun berat tetapi menyenangkan ini, harus segera kita
lakukan." 1804 Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu pun segera
mengumpulkan anak buahnya. Orang-orang yang memiliki ilmu
yang bersumber pada ilmu hitam meskipun mempunyai beberapa
segi kelainan, namun ilmu mereka adalah ilmu yang serupa dengan
ilmu orang-orang dari gerombolan Serigala Putih.
"Besok kita akan menyerang dan membinasakan orang-orang
dari gerombolan Serigala Putih" berkata pemimpin gerombolan
Macan Kumbang itu. Orang-orangnya pun dengan serta merta menyambut dengan
sorak yang gemuruh. "Nah, tanggapan kalian telah membesarkan hatiku. Mungkin
jumlah kita hampir sama dengan jumlah orang-orang dari
gerombolan Serigala Putih. Tetapi kita masih lengkap. Kalian
mempunyai seorang pemimpin yang memiliki banyak kelebihan dari
kalian dan setiap orang dari orang-orang gerombolan Serigala Putih.
Karena itu, kita, akan membinasakan mereka. Membunuh setiap
orang dan mencincangnya sampai lumat. Baru kemudian kita akan
mencari dan membunuh anak-anak mereka di hutan sebelah
padepokan mereka itu."
"Bagaimana dengan Perempuan-Perempuan?"
"Terserah kepada kalian. Perempuan tidak sepantasnya
dibicarakan." Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang menganggukangguk.
"Sejak sekarang, berkemaslah" pemimpinnya melanjutkan,
"kalian dapat melihat senjata kalian, apakah sudah cukup memadai
untuk memenggal leher orang-orang dari gerombolan Serigala Putih
yang sombong dan keras kepala itu."
Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itupun kemudian
menyiapkan senjata masing-masing. Betapapun juga, namun
mereka tetap sadar, bahwa orang-orang dari gerombolan Serigala
Putih benar-benar memiliki kemampuan seperti seekor serigala
1805 lapar. Karena itu, maka merekapun telah menyiapkan senjata yang
paling baik yang ada pada mereka.
"Disarang gerombolan Serigala Putih itu tentu terdapat timbunan
harta benda rampasan" berkata salah seorang gerombolan Macan
Kumbang itu. "Tentu. Persediaan mereka tentu jauh lebih banyak dari
persediaan yang ada pada kita" jawab kawannya.
"Tidak sia-sia kita menyerang mereka. Kita akan meratakan
padepokan mereka dengan tanah. Jika harta benda itu tidak kita
ketemukan dipadepokan itu, tentu sudah dibawa oleh laki-laki yang
terhitung sudah tua dan mengantarkan anak cucunya bersama
Perempuan-Perempuan yang harus melayani anak-anak itu."
"Mereka tidak akan jauh dari padepokan itu. Tentu mereka akan
tetap bersembunyi di dalam hutan. Jika keadaan sudah reda,
mereka akan mempergunakannya bagi anak-anak yang mereka
bawa. Tetapi mereka tidak akan pernah dapat melakukannya."
Kawannya mengangguk-angguk. Tidak ada pilihan lain bagi
orang-orang gerombolan Serigala Putih itu daripada mati. Mati
dengan perlawanan, tetapi dengan demikian mereka akan
mengalami saat-saat kematian yang pahit, atau menyerahkan
kepala mereka untuk dipenggal, sehingga mereka tidak akan
menderita terlalu lama. Dalam pada itu, perempuan dan anak-anak yang mengungsi dari
padepokan gerombolan Serigala Putih telah berada di tengah hutan.
Untuk beberapa saat mereka dicengkam oleh ketakutan oleh suara
binatang buas dikejauhan. Beberapa orang anak menangis dan
meronta-ronta. Namun kemudian mereka menjadi tenang ketika
beberapa orang laki-laki yang meskipun sudah terhitung tua,
bersiaga dengan senjata ditangan.
Salah seorang dari mereka berkata, "Kitalah yang akan memburu
binatang-binatang buas untuk makan kita. Bukan binatang-binatang
buas itulah yang akan memburu kita."
1806 Perempuan-Perempuan mengangguk-angguk. Mereka mencoba
menenangkan anak-anak mereka, karena mereka sadar, bahwa
hidup mereka tergantung pada anak-anak mereka. Jika seorang
perempuan dianggap tidak berarti lagi bagi anaknya, maka iapun
akan disingkirkan tanpa ampun.
Ternyata bahwa laki-laki tua yang ada di antara mereka,
bukannya laki-laki yang sama sekali tidak berdaya. Mereka adalah
laki-laki dari gerombolan Serigala Putih meskipun sudah menjadi
semakin tua. Sehingga karena itu, maka jari-jari mereka,
kemampuan bidik mereka dengan anak panah dan busur, masih
mampu menangkap beberapa ekor binatang buruan yang dapat
mereka pergunakan untuk makan anak-anak dan sisanya untuk
Perempuan-Perempuan. Tetapi mereka tidak mengetahui dengan
pasti, berapa lama mereka harus bersembunyi dan kemudian
menghilang diantara kehidupan yang sewajarnya untuk
menyelamatkan anak-anak mereka dengan bekal yang ada. Pada
suatu saat mereka akan mengumpulkan anak-anak laki-laki mereka
dan mendorong mereka untuk menyatukan diri dan merebut
kembali padepokan mereka.
Namun apabila laki-laki yang tetap dipadepokan gerombolan
Serigala Putih berhasil bertahan, maka merekapun akan segera
kembali menyatukan diri lagi dengan ayah-ayah mereka.
Sementara itu, orang-orang gerombolan Serigala Putih benarbenar
telah berada dalam kesiagaan. Rasa-rasanya mereka tidak
sabar lagi menunggu kedatangan orang-orang Macan Kumbang
yang akan datang menerkam mereka.
"Mereka sengaja membiarkan kita dicengkam kegelisahan. Itu
adalah sebagian dari kemenangan yang sudah mereka capai tanpa
berbuat apa-apa." "Kita jangan menjadi gelisah." sahut yang lain.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dapatkah kita berbuat demikian?"
1807 Kawannya menarik nafas. Tetapi nampak diwajahnya, bahwa
sebenarnyalah setiap orang telah dicengkam oleh kegelisahan yang
tidak terhindarkan. Sementara itu, orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang
telah bersiap. Ketika pagi hari yang cerah menjadi semakin panas
karena matahari yang merayap naik dikaki langit, sekelompok
orang-orang berkuda berpacu dijalan berdebu di bulak-bulak
panjang menuju kepadepokan orang-orang dari gerombolan
Serigala Putih, dan siap untuk mencincang mereka.
Rasa-rasanya tidak ada seorang pun yang dapat mencegah
mereka. Kuda-kuda itu berpacu seperti iring-iringan hantu maut
yang siap menumpas korban-korbannya tanpa ampun.
Namun dalam pada itu, yang tidak terduga-duga adalah
perjalanan sekelompok orang yang sama sekali tidak tahu menahu
tentang bertentangan yang bakal meledak antara Orang-Orang dari
gerombolan Serigala Patih dan orang-orang dari gerombolan Macan
Kumbang. Sekelompok orang itu dengan tenangnya berkuda
menuju kepadepokan orang-orang Serigala Putih yang sedang
dicengkam oleh kecemasan. Nampaknya sekelompok orang-orang
itu masih belum tahu dimanakah letak padepokan itu. Namun
dengan beberapa petunjuk dan ancar-ancar, mereka berhasil
mendekati. "Batang pohon jambe itu" desis salah seorang dari mereka. '
"Ya. Hutan yang dikatakan itu tentu hutan.yang nampak
dikejauhan itu. Kita akan melalui pohon jambe itu dan langsung
menuju kepadepokan. Agaknya sudah tidak begitu jauh lagi."
Kuda itupun kemudian berpacu. Semakin lama mereka menjadi
semakin dekat dengan padepokan gerombolan Serigala Putih yang
sedang diliputi oleh ketegangan.
Kita berada dijalur jalan yang mereka lalui itu akan menuju
kesebuah pategalan. Mereka harus menempuh lorong sempit
beberapa puluh langkah. Barulah kemudian mereka akan sampai
1808 pada jalan yang seolah-olah diapit oleh lereng yang rendah sebagai
pintu gerbang. Sejenak kemudian, maka iring-iringan, orang berkuda itupun
telah mendekati gerbang padepokan itu. Namun mereka sama sekali
tidak melihat tanda-tanda kesibukan apapun juga.
"Apalah padepokan itu kosong" desis salah seorang dari mereka.
"Entahlah" sahut yang lain., "Kita akan menyaksikannya."
Dengan ragu-ragu iring-iringan itupun mendekat. Ketika mereka
memperlambat derap kaki Kuda-kuda mereka.
"Sepi" desis yang berkuda dipaling depan.
"Lihat" berkata kawannya, "kita sudah sampai di pintu gerbang.
Seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang pernah melihat
padepokan ini, di belakang gerbang alam, ada gerbang yang
sebenarnya." Mereka pun kemudian mendekati gerbang yang tertutup rapat
itu, Beberapa langkah dimuka pintu gerbang itu mereka berhenti.
"He, apakah ada orang yang menjaga gerbang ini di dalam?"
salah seorang dari mereka berteriak.
Tidak terdengar jawaban. "He, apakah padepokan ini telah kosong?" yang lain berteriak.
Teriakan-teriakan itu ternyata terdengar aneh ditelinga orangorang
dari gerombolan Serigala Putih. Jika yang datang itu adalah
orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang, mereka tentu tidak
akan bertanya seperti itu.
"He, jika ada seorangpun didalam, bukalah pintu. Aku ingin
datang mengunjungi kalian. Bertanyalah kepada kawan-kawan
kalian bahwa mereka telah mengenal kami."
Tidak ada jawaban. Tetapi Teriakan-teriakan itu memang sangat
menarik. 1809 "Cobalah, lihatlah dari lubang gerbang itu" perintah orang tertua
dari gerombolan Serigala Putih yang sebenarnya sedang menanti
kedatangan lawannya. Mereka sudah hampir menjadi jemu oleh
ketegangan yang menyiksa.
Seorang penjaga pintu gerbang itupun mendekati lubang dipintu
itu dengan ragu-ragu. Sekilas dilihatnya beberapa orang kawankawannya
yang mendekat dengan hati-hati karena mereka
mendengar teriakan diluar pintu. Namun orang-orang yang ada
didalam gerbang itu telah menyiapkan senjata-senjata mereka
apabila yang datang itu adalah orang-orang dari gerombolan Macan
Kumbang. Orang tertua yang untuk sementara memimpin kawan-kawan-nya
dari gerombolan Serigala Putih itupun telah memberikan isyarat
kepada orang-orangnya, agar mereka mengambil tempat seperti
yang telah diaturnya, apabila orang-orang dari gerombolan Macan
Kumbang datang dan memaksa memasuki gerbang itu.
Orang-orang gerombolan Serigala Putih itu telah bersiap
menghadapi setiap kemungkinan. Jika yang datang itu orang dari
gerombolan Macan Kumbang yang akan memaksa dengan merusak
pintu gerbang, maka demikian mereka menyerbu masuk, mereka
akan terjebak dalam serangan ujung senjata lawannya yang sudah
menunggu. Bahkan beberapa orang telah memegang senjata
rangkap. Tombak pendek yang siap dilemparkan, dan pedang yang
masih tergantung dilambung masing-masing.
Tetapi orang yang kemudian melihat dari lubang pintu gerbang
itu menjadi heran. Mereka tidak melihat sepasukan orang-orang
berkuda dari gerombolan Macan Kumbang. Tetapi mereka melihat
sekelompok kecil orang-orang yang belum mereka ketahui.
Dengan isyarat orang itu memanggil pemimpinnya, agar iapun
ikut melihat, siapakah yang berada diluar pintu.
Orang tertua itupun ternyata terkejut pula. Yang dilihatnya
adalah salah seorang dari mereka yang dijumpainya di hutan
perburuan. 1810 "Bukankah orang itu adik Empu Sanggadaru?" desisnya, "he,
siapakah yang ikut bersama aku pada saat guru terbunuh?"
Tiga orang maju bersama-sama. Berganti-ganti mereka melihat
dari lubang itu. Dan mereka pun sepakat, bahwa orang itu adalah
Empu Baladaru yang mereka jumpai ditengah hutan perburuan.
"Apakah maksudnya?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Tetapi nampaknya mereka tidak bermaksud buruk?"
"Ya. Dan mereka datang dalam jumlah yang kecil. Tidak lebih
dari enam atau tujuh orang. "
Sejenak mereka berbincang tentang Empu Baladatu. Dan sejenak
kemudian merekapun mendengar suara dari luar pintu gerbang,
"Apakah kalian tidak percaya kepadaku?"
Orang tertua itupun kemudian menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Kita akan membuka pintu gerbang itu, karena nampaknya
mereka tidak bermaksud jahat."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Dalam perselisihan
dihutan perburuan itu, nampaknya Empu Baladatu bersikap terlalu
lunak, sehingga kecurigaan merekapun lambat laun menjadi susut.
"Bukalah" desisnya kemudian.
Meskipun ragu-ragu,. namun orang itupun kemudian telah
mengangkat selarak gerbang yang besar itu dibantu oleh seorang
kawannya, sedangkan yang lain sama sekali tidak meninggalkan
kewaspadaan. Mereka telah bersiap jika tiba-tiba saja mereka harus
bertempur siapapun lawannya.
Tetapi ternyata ketika gerbang itu terbuka, sekelompok orang
berkuda iru sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda untuk
melakukan kekerasan. Bahkan orang yang berkuda dipaling depan
menjadi heran, bahwa mereka telah disambut dengan senjata
terhunus. "Apakah kedatanganku tidak kalian kehendaki?" bertanya orang
itu. 1811 "O, tidak Empu" jawab orang tertua, "tetapi, kami sedang dalam
kesiagaan.?" "Kenapa" Apakah kalian mendendam" Apakah kalian menduga,
bahwa aku atau kakang Sanggadaru pada suatu saat akan datang
menyerang kalian" Atau barangkali kalian bercuriga terhadap para
prajurit Singasari?"
"Tidak. Tidak Empu. Sama sekali tidak. Tetapi kami sedang
menunggu orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang yang
telah mengancam akan datang menyerang kami. Mereka sudah
mengetahui bahwa kami telah kehilangan pemimpin kami. Dengan
demikian mereka mengharap, bahwa mereka akan dapat
menghancurkan kami dan memiliki padepokan seisinya. Mungkin
barang-barang rampasan yang kami punyai disini. Seterusnya maka
mereka akan merasa tidak kami saingi lagi didalam segala
kegiatan." Empu Baladatu mengangguk-angguk.
"Karena itu Empu, bukannya kami tidak mau menerima
kedatangan Empu, atau lebih-lebih lagi mencurigai. Kami mengenal
kelunakan sikap Empu pada saat kami bertemu di hutan perburuan
itu. Tetapi sebaiknya Empu menghindarkan diri dari keterlibatan
lebih jauh lagi dalam pertentangan kami, dengan orang-orang dari
gerombolan Macan Kumbang."
"Apakah kalian sudah berjanji akan bertempur."
"Sudah kami katakan. Mereka mengancam akan menyerang."
"Sekarang?" "Mungkin. Kami sudah menunggu dua tiga hari"
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu, "Aku akan berada di
sini. Mudah-mudahan aku tidak akan menggangggu kalian saat
kalian mempertahankan padepokan kalian."
"Tetapi mereka tidak dapat membedakan, siapapun yg berada di
sini, tentu akan dibinasakannya."
1812 "Kenapa baru sekarang mereka melakukannya?"
"Setelah pemimpin kami tidak ada. Mereki merasa kekuatan
kami susut, dan bahkan kami menjadi tidak berdaya sama sekali."
"Sebelumnya, apakah mereka menganggap kalian cakup kuat.?"
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu termangumangu.
Setelah saling berpandangan sejenak, maka orang tertua
diantara mereka itupun menjawab, "Mungkin demikian. Tetapi saatsaat
pemimpin kami masih hidup, kami merasa bahwa kekuatan
kami seimbang dengan kekuatan gerombolan Macan Kumbang,
sehingga saat pemimpin kami terbunuh, maka keseimbangan itupun
segera berubah." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya
dengan ragu-ragu, "Apakah kedatanganku dapat mengembilikan
keseimbangan itu?" "Maksud Empu?" "Aku berada dipihak kalian."
Orang tertua itu termangu-mangu sejenak. Namun kamudian
katanya, "Sebaiknya Empu meninggalkan padepokan ini. Aku tindak
ingin Empu terlibat dalam kesulitan."
Empu Baladatu memandang orang-orang dalam gerombolan
Serigala Putih itu dengan tatapan mata yang aneh. Namun
kemudian iapun tersenyum sambil berkata, "Aku sudah berada di
sini sekarang. Aku akan tetap berada di sini."
Sejenak suasana bagaikan membeku. Orang-orang dari
gerombolan Serigala Putih itu melihat Empu Baladatu tersenyum.
"Tutuplah pintu gerbangmu. Atau barangkali lebih baik jika
kalian menempatkan satu dua orang pengawas di antara batu padas
yang seolah-olah disediakan oleh alam bagi pintu gerbang
padepokanmu ini." 1813 "Untuk apa mereka berada disana" Pengawasan itu tidak banyak
artinya. Mereka tetap akan datang sampai kemulut regol ini dan
dengan paksa memecahkan pintunya."
"Tetapi kalian sudah mengetahuinya saat yang tepat dari
kedatangan orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itu.
Ketika mereka masih berada di kejauhan, kalian sudah dapat
mempersiapkan diri sebaik-baiknya."
"Dihadapan kedua batu padas itu banyak terdapat pepohonan
sehingga pengawas itu tidak akan dapat melihat ke jarak yang
jauh." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu, "Jika demikian,
selaraklah pintu gerbangmu. Aku disini. Barangkali aku dengan
beberapa orang-orangku akan dapat mengganti kekuatanmu yang
hilang itu." "Tetapi ketika kami jumpai Empu dihutan itu, Empu tidak
membawa pengawal." "Ada dua orang. Aku sempat kembali kepadepokanku. Dan aku
tidak dapat mencegah keinginanku untuk datang ke mari. Tetapi
aku membawa pengawal lebih dari dua orang. Dan seperti yang
kalian lihat, aku datang bersama lima orang pengawalku yang
terpercaya. Apakah menurut perhitunganmu, aku dan kelima orang
pengawalku ini tidak dapat mengganti kekuatan dua orang
kawanmu yang terbunuh dihutan perburuan itu?"
Orang tertua itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Tentu dapat
Empu. Tetapi apakah Empu tidak sekedar membuang waktu dan
tenaga saja membela kami yang sudah kehilangan pegangan?"
"Aku akan mencoba memberikan sandaran baru dalam
padepokan ini." Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu menjadi heran.
Tetapi sebelum seorangpun yang menyahut, sekali lagi Empu
Baladatu berkata, "Selaraklah pintu gerbang itu"
1814 Beberapa orangpun kemudian mendorong pintu gerbang dan
mengangkat selarak. "Nah, sekarang, semuanya menjadi semakin jelas. Aku akan ikut
bertempur jika orang-orang gerombolan Macan Kumbang itu benarbenar
menyerangmu hari ini. Tetapi jika saatnya aku pergi dan
mereka belum juga datang, maka aku akan pergi juga."
Orang tertua dari gerombolan Serigala Putih itu seolah-olah telah
tersadar. Karena itu, maka iapun segera mempersilahkan tamunya
untuk memasuki padepokannya yang sebenarnya tidak begitu besar.
Empu Baladatu pun kemudian mengikuti orang tertua itu menuju
kesebuah rumah yang cukup besar dibelakang sebuah halaman
yang agak luas. Di sebelah menyebelah nampak beberapa rumah
yang lain. Agaknya dibagian belakang dari rumah yang agak besar
itu terdapat pula beberapa rumah. Sedangkan, halaman padepokan
itu ternyata telah dilingkari oleh dinding batu yang tinggi diantara
batang-batang pering ori.
"Padepokan ini ternyata merupakan yang rapat sekali" desis
Empu Baladatu. "Rumpun-rumpun bambu itu memang sudah ada sejak sebelum
tempat ini menjadi padepokan. Kami tinggal mengatur dan
memanfaatkannya dengan menambah beberapa langkah dinding
batu, sehingga seakan-akan padepokan kami telah dilingkari oleh
benteng yang kuat." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Memang sulit untuk
memasuki halaman padepokan itu tanpa melalui gerbang yang di
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beri pintu dan selarak yang kuat. Tetapi bukan berarti bahwa
gerbang itu tidak dapat dirusak dari luar.
Sejenak kemudian Empu Baladatu sudah duduk di pendapa
rumah yang terletak di tengah-tengah padepokan itu bersama
kelima pengiringnya. Namun ketika seorang pengawal padepokan
itu sedang menghidangkan minuman yang dingin, karena tidak ada
seorang perempuan pun yang sempat merebus air seperti biasanya,
1815 maka pengawal yang lain datang dengan tergesa-gesa sambil
berkata, "Ada tiga orang berkuda di luar regol."
Berita itu sangat mengherankan bagi orang tertua dipadepokan
itu. Sama sekali tidak diketahui, siapa lagi agaknya yang datang
hanya bertiga. Karena itulah maka iapun kemudian bertanya, "Apakah mereka
tamu yang pernah kalian kenal?"
Orang itu menggeleng. Jawabnya, "Belum. Mereka ingin
berbicara dengan pemimpin dari gerombolan Serigala Putih
dipadepokan ini." Orang tertua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun bangkit sambil berkata, "Aku akan datang."
"Aku ikut bersamamu." berkata Empu Baladatu. Orang itu
termangu-mangu sejenak. Lalu, "Baiklah Empu. Tetapi apakah tidak
sebaiknya Empu duduk saja disini?"
Empu Baladatu tertawa. Iapun kemudian ikut bersama orang
tertua dipadepokan Serigala Putih itu. Dengan ragu-ragu orang
tertua itu mendekati regol yang masih tertutup. Kemudian dari
lubang dipintu regol ia menjenguk ketiga orang berkuda itu.
"Siapakah kalian?" bertanya pemimpin Serigala Putih itu.
"Kami akan bertemu dengan pemimpin kalian."
"Pemimpin kami sedang pergi. Sebentar lagi ia kembali. Apakah
keperluan kalian." "Jika demikian aku ingin bertemu dengan orang yang dianggap
pemimpin di s ini sekarang ini."
"Aku orang tertua disini."
"Tertua" He, berapa umurmu?"
"Bukan tertua umurnya, tetapi tertua didalam olah kanuragan.
Ilmu tertua disini."
1816 Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang
dari mereka berkata, "Sebaiknya kalian berkata terus terang. Kami
sudah mengetahui bahwa pemimpinmu telah terbunuh."
"Apa maksudmu sebenarnya. Jika kalian sudah mengetahui,
apakah gunanya kalian bertanya?"
"Kami adalah tiga orang utusan dari kelompok Macan Kumbang."
Orang tertua itu menjadi berdebar-debar. Tapi nampaknya ia
berusaha untuk tetap tenang dan menjawab, "Aku sudah menduga
bahwa tampang-tampang yang datang ini adalah orang-orang dari
gerombolan Macan Kumbang. Akupun sudah tahu bahwa
kedatanganmu sekedar ingin mengancam dan menakuti, kemudian
memaksa kami menyerahkan kepala kami untuk dipancung.
Bukankah begitu?" Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari
merekapun tertawa sambil menjawab, "Ya. Kau memang cerdik. Aku
memang akan melakukan hal itu. Karena itu, sebaik nyakalian
membuka pintu gerbangmu, karena pemimpinku akan segera
datang. Aturlah orang-orangmu agar datang berurutan seorang
demi seorang, membungkuk dihadapannya untuk dipancung dengan
pedang. Tetapi jangan takut merasa kesakitan karena pedangnya
sangat tajam, sehingga sekali ayun kepala kalian akan terpenggal."
Jawaban itu membuat darah orang tertua dipadepokan Serigala
Putih itu mendidih. Dengan tubuh gemetar ia masih mencoba
menyabarkan diri. Jawabnya, "Mungkin pedang pemimpinmu itu
dapat memenggal leher gajah sekali tebas. Tetapi maaf, bahwa
pedang itu tidak akan dapat mengelupas kulit kami, karena
sebenarnyalah bahwa kami adalah orang-orang yang tidak ada,
taranya dimuka bumi ini. Tetapi jika pemimpinmu itu benar-benar
akan datang dan melihat kemampuan kami, maka dengan senang
hati kami akan menerimanya. Kami akan membuka regol ini dan
dengan senang hati mempersilahkannya masuk. Kami akan
menyerahkan seorang anak bayi kepadanya, untuk membuktikan
bahwa pedangnya tidak akan berarti apa-apa bagi kami."
1817 Ketiga orang itupun menjadi marah pula. Salah seorang dari
mereka berteriak, "He, sudah gila. Kau harus berterima kasih bahwa
pemimpinku bersedia melakukannya. Membunuh dengan cara yang
paling baik bagi kalian. Tetapi kalian adalah orang-orang yang tidak
tahu diri. Tanpa pemimpinmu yang sombong itu, maka kalian tidak
akan berarti apa-apa bagi kami."
"Ah" jawab orang tertua dipadepokan Serigala Putih itu, "kau
masih juga mengigau disitu. Kembalilah. Katakan kepada
pemimpinmu yang aku tahu, tentu sudah berada dibalik batu padas
itu. Bahkan kami akan menyambut kedatangannya seperti
penyambut sepasang pengantin baru. Nah, kau dengar."
"Gila. Kau sudah menjerumuskan dirimu sendiri dan orangorangmu
kedalam neraka yang paling dalam."
Betapapun kemarahan meledak dihati orang tertua dipadepokan
itu, namun ia memaksa diri untuk tertawa. Katanya, "Jangan marah.
Tidak ada kesempatan yang paling baik untuk melihat pemimpin
datang merengek-rengek dipadepokan ini kecuali sekarang ini. Aku
sama sekali tidak menduga, bahwa pada suatu saat datang
kesempatan bagiku untuk melihat hal yang sangat menarik hati ini."
"Kau akan menyesal. Pemimpinku memang sudah berada di
ambang pintu. Tetapi jika ia datang dan pintu regolmu masih
tertutup, maka kau akan melihat akibatnya. Padepokanmu akan
menjadi karang abang, dan kalian akan mati dengan siksaan yang
paling keji yang pernah dialami oleh seseorang yang jatuh
ditangannya." "Akupun mampu melakukan siksaan melampaui hukuman picis.
Pergilah, dan katakanlah kepada pemimpinmu bahwa kami sudah
siap menyambutnya." Ketiga orang yang berada di luar regol itu menggeram. Ternyata
orang-orang dari gerombolan Serigala Putih masih mempunyai
harga diri dan ingin bertahan meskipun kematian tidak akan dapat
mereka elakkan lagi. 1818 Karena itu, maka salah seorang dari merekapun berkata,
"Baiklah. Mungkin kali ini adalah untuk yang terakhir kalinya
permintaanmu dipenuhi." orang itu berhenti sejenak lalu,
"tunggulah. Setelah kami membinasakan kalian, maka kami akan
membinasakan anak-anak kalian yang sedang mengungsi itu, agar
mereka tidak akan menjadi sebab kesulitan pada anak keturunan
kami." Orang tertua itu menggeram, "Pengecut. Cepatlah jika kau ingin
membawa pemimpinmu kemari dan berlutut dihadapan regol ini."
"Gila. Anak setan. Kau akan dicincang hidup-hidup. Kau akan
mengalami akibat sikapmu yang liar itu, maka kau akan mengalami
kematian yang lambat sekali. Anggauta badanmu akan berkurang
setiap hari satu sehingga sepekan kemudian baru akan mati."
"Cepat, pergilah. Aku masih menghormati kalian, karena belas
kasihan. Sebenarnya kami dapat membunuh kalian sekarang ini
juga." Ketiga orang itu tidak dapat menahan kemarahan yang menyesak
didalam dada. Karena itu, maka merekapun segera kembali keinduk
pasukannya yang sebenarnya memang sudah bersedia untuk
menyerang. Pemimpin yang diangkat dari mereka diantara gerombolan
Serigala Putih itupun segera mengatur anak buahnya. Beberapa
orang telah siap melontarkan tombak mereka, jika beberapa orang
memecahkan pintu gerbang. Sementara yang lain telah mengambil
tempat yang sebaik-baiknya untuk menyergap,
"Jangan menunggu" berkata orang tertua itu, "kita akan
memanfaatkan benturan yang pertama itu sebaik-baiknya, agar
kekuatan lawan langsung dapat kita kurangi."
Orang-orangnya mengangguk-angguk. Mereka benar-benar
sudah siap, karena mati di pertempuran seperti itu, akan jauh lebih
baik daripada mati dicincang atau diikat di sarang semut yang liar
dan buas. Atau dimasukkan ke dalam rawa-rawa yang penuh
dengan buaya-buaya kerdil dilembah pegunungan.
1819 Dalam pada itu, Empu Baladatu pun telah siap pula diantara
mereka meskipun nampaknya ia acuh tidak acuh saja melihat
kesibukan orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu.
"Bagaimana dengan Empu" bertanya ornag tertua itu.
"Sudah aku katakan. Aku tetap disini." Jawab Empu Baladatu,
"aku ingin melihat, apakah yang dapat dilakukan oleh orang-orang
dari gerombolan Macan Kumbang itu."
"Tetapi jika terjadi sesuatu dengan Empu" Empu adalah tamu
kami disini. Tetapi bagaimana jika kami tidak dapat berbuat sesuatu
untuk keselamatan Empu?"
"O, aku akan mencoba menjaga keselamatanku sendiri"
Orang tertua itu mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya
orang-orang dari gerombolan Serigala Putih yang sudah siap
menerima lawan mereka, jika mereka memecahkan pintu gerbang.
Namun beberapa orang terkejut karenanya ketika mereka
mendengar derap kaki-kaki kuda yang memencar. Salah seorang
dari orang-orang gerombolan Serigala Putih itu mencoba untuk
mengintip dari lubang regol yang dibukanya sedikit.
Dengan tegang ia pun kemudian berlari memberitahukan kepada
orang tertua dipadepokan itu, "Mereka ternyata memencar di
sekeliling padepokan ini"
Orang tertua itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia menebarkan
matanya di sekitar halaman itu, dilihatnya dinding batu yang tinggi
diantara Rumpun-rumpun pring ori yang penuh dengan duri.
"Mereka tentu akan meloncati dinding itu" berkata Empu
Baladatu. "Terlalu sulit."
"Mungkin mereka membawa tangga atau alat serupa." Belum
lagi orang tertua itu menjawab, mereka sudah melihat sebuah
kepala yang tersembul. 1820 "Lihat" teriaknya. Kemudian, "Memencarlah. Mereka tidak akan
melalui gerbang yang tertutup itu. Mereka akan memanjat dinding.
Cepat, cepat." Teriakan itu terdengar di seluruh halaman. Tetapi beberapa
orang justru menjadi bingung ia terpaksa mengulangi ."Lihat,
mereka telah memanjat dinding batu di sela-sela rumpun pering ori.
Cegah mereka." Orang-orang yang sudah bersiaga, dan bahkan mencoba
memasang perangkap berlapis dihadapan pintu gerbang itupun
segera memencar. Tetapi karena mereka sama sekali tidak bersiap
menghadapi hal itu, maka beberapa orang menjadi bingung dan
mengikut saja teman-teman di sekitarnya.
Karena itulah, maka arah mereka tidak menentu. Tetapi
merekapun segera memilih lawan.
Sejenak kemudian orang-orang gerombolan Serigala Putih yg
mengerumuni regol itupun telah berlari-larian tercerai berai untuk
melawan orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang yang mulai
memanjat dinding dan satu-satu telah mulai berada diatas dinding
yang agak tinggi itu. Tetapi pada saat mereka mulai meloncat turun, maka orangorang
Serigala Putih telah berpencar. Meskipun mereka belum siap
benar, namun mereka sudah dapat mulai menghambat. Tetapi
dengan demikian, maka rencana mereka untuk mengurangi jumlah
lawan pada benturan pertama dengan melontarkan tombak-tombak
pendek ternyata, telah gagal, karena orang-orang yang mereka
tunggu, ternyata tidak memecah regol dan berdesakan memasuki
padepokan itu. Ketika orang-orang dari gerombolan Serigala Putih mencapai
dinding batu, maka orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang
telah mulai maju beberapa langkah, sehingga sejenak kemudian
pertempuran pun segera terjadi, hampir di segala sudut padepokan.
Empu Baladatu masih berdiri termangu-mangu bersama
beberapa orang pengawalnya. Orang tertua dipadepokan itupun
1821 kemudian berkata, "Empu. Aku harus ikut serta dalam pertempuran
itu, agar orang-orangku tidak merasa berkecil hati."
"Apakah pemimpin gerombolan Macan Kumbang telah ada di
antara mereka?" Orang itu menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku belum
melihatnya. Tetapi mereka tentu akan datang."
"Seharusnya kau menunggunya."
"Aku akan menunggu sambil bertempur. Aku akan melawannya
meskipun aku tahu, bahwa kemampuanku belum dapat
mengimbanginya." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, "Silahkan agar
kehadiranku disini tidak mengganggu."
"Sebaiknya Empu menyingkir agar tidak terlibat dalam kesulitan
karena kami." Empu Baladatu masih sempat tersenyum. Katanya, "Jangan
pikirkan aku lagi." Orang tertua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun segera meloncat mengikuti kawan-kawannya. Setelah menilai
pertempuran yang terjadi dihalaman itu, maka iapun segera memilih
tempat yang paling ribut, agar ia dapat membantu kawan-kawannya
yang agaknya mengalami kesulitan.
Ternyata bahwa orang-orang dari Serigala Putih itupun dapat
segera menyesuaikan diri dengan lawan yang datang. Yang merasa
terlampau banyak, telah berkisar ke tempat yang nampak terlampau
lemah karena lawan yang lebih banyak.
Meskipun rencana yang disusun oleh gerombolan Serigala Putih
itu telah rusak karena kedatangan lawan yang ttidak seperti yang
diperhitungkan, namun mereka berusaha sejauh mungkin untuk
mengimbangi. Karena keduanya bersumber dari ilmu yang sama, tetapi dalam
perkembangannya kemudian justru telah terjadi persaingan diantara
1822 mereka, maka pertempuran yang berkobar itupun segera menjadi
sangat seru. Masing-masing bertempur dengan cara dan
kemampuan yang seimbang. Kasar, buas dan liar. Di segala sudut
terdengar Teriakan-teriakan nyaring, dan sumpah serapah yang
tidak henti-hentinya disamping jerit ngeri karena luka yang
membelah tubuh. Sementara itu, orang tertua didalam kematangan ilmu dari
gerombolan Serigala Putih telah ikut serta di dalam pertempuran itu,
sehingga dengan demikian, maka ia berhasil memperingan tekanan
kawan-kawannya didalam kelompoknya.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa kekuatan keduanya
seimbang, sehingga pertempuran yang seru dan kasar itu menjadi
semakin sengit. Tidak ada seorang pun dari kedua belah pihak yang
mencoba untuk mencari penyelesaian lain daripada membunuh atau
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dibunuh. Dengan demikian maka mayat pun telah mulai berjatuhan
ditanah dari kedua belah pihak. Korban-korban pertama itu telah
membakar hati kawan-kawan mereka sehingga dendampun semakin
menyala di dalam dada masing-masing.
Empu Baladatu masih tetap berdiri diam bersama pengawalnya.
Sejenak ia memperhatikan perkelahian yang sengit itu. Namun
sejenak kemudian ia berkata kepada para pengawalnya, "Sebentar
lagi beberapa orang dari mereka tentu akan menyerang kita.
Bersiaplah. Kita tidak akan dapat berdiam diri dalam kekisruhan
semacam ini." "Pengawal-pengawalnya pun mengangguk-angguk."
"Melihat pertempuran itu, kalian tidak usah berkecil hati. Mereka
tidak lebih dari kebanyakan orang-orang kita. Menurut penilaianku,
kau berada selapis lebih tinggi dari kebanyakan mereka."
Pengawalnya itu meng-angguk-angguk pula.
Ternyata dugaan Empu Baladatu itu segera terjadi. Beberapa
orang dari gerombolan Macan Kumbang yang melihat Empu
1823 Baladatu dan pengawalnya masih berdiri termangu-mangu dibawah
tangga pendapa, segera mendekatinya.
Tetapi sementara itu, tiba-tiba halaman padepokan itu telah
digetarkan oleh suara tertawa yang meledak diatas regol. Ternyata
bahwa pemimpin gerombolan Macan Kumbang tidak berusaha
memecahkan regol, tetapi bersama beberapa orang pengawalnya
telah meloncat keatas regol itu.
"Bagus" teriaknya kemudian, "bunuh saja semua orang
gerombolan Serigala Putih. Tetapi sisakanlah yang mungkin kalian
tangkap hidup-hidup. Mereka akan merupakan hiburan yang
mengasyikan setelah bertempur mempertaruhkan nyawa. Aku ingin
mendapat beberapa orang mainan di antara orang-orang yang
menyebut dirinya gerombolan Serigala Putih."
Suara itu benar-benar telah menggetarkan setiap orang yang
berada dipadepokan itu. Apalagi ketika mereka melihat seorang
yang bertubuh tinggi tegap berdada bidang sambil menggenggam
sebuah kapak bertangkai pendek.
"Agaknya orang itulah yang disebut pemimpin gerombolan
Macan Kumbang" desis Empu Baladatu.
"Ya" sahut salah seorang pengawalnya, "meskipun ia tidak
mengenakan kulit harimau seperti Empu Sanggadaru."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Orang yang berdiri diatas
regol itu nampaknya memang meyakinkan. Tetapi jika
kemampuannya tidak lebih dari pemimpin gerombolan Serigala Putih
yang terbunuh itu, maka agaknya Empu Baladatu masih dapat
membuat pertimbangan untuk melawannya seorang diri. Namun
dalam pada itu, sambil mengerutkan keningnya, Empu Baladatu
berkata, "Tetapi kau lihat ikat pinggangnya?"
"Ya" sahut salah seorang pengawalnya, "ikat pinggang yang
besar itu dibuat dari kulit harimau kumbang."
1824 Empu Baladatu mengangguk-angguk. Agaknya orang itu tetap
ingin menunjukkan sesuatu yang dapat dia kaitkan dengan nama
gerombolannya. Macan Kumbang.
"Bersiaplah" berkata Empu Baladatu kemudian, "kita akan ikut
dalam pertempuran ini seperti yang aku katakan. Mudah-mudahan
dengan demikian rencanaku akan bertambah lancar."
Kelima orang pengawalnya pun kemudian melangkah mendekat
sambil mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, orang yang berdiri diatas regol itu berkata,
dengan suara yang lantang, "Bekerjalah lebih cepat. Aku tidak
mempunyai banyak waktu untuk melayani tikus yang telah
kehilangan induknya. Kita akan merampas apa saja yang ada
dipadepokan ini. Jika kita tidak menemukan apa-apa, maka akan
kita ketemukan pada perempuan dan anak-anak yang telah
mengungsi lebih dahulu."
"Persetan" tiba-tiba orang tertua dari gerombolan Serigala Putih
itupun menjawab, "Kau jangan menyombongkan diri. Jangan kau
sangka bahwa kami tidak akan berani melawanmu?"
Orang yang berdiri diatas regol bersama beberapa orang
pengawalnya itu tertawa. Katanya, "Kau masih juga berani
menyombongkan diri" Nah, aku akan minta kepada orang-orangku
untuk menyelamatkanmu. Aku sendiri ingin berurusan dengan kau.
Seorang yang sombong biasanya mengalami saat-saat kematian
yang tidak menyenangkan. Dan kaupun akan mengalaminya."
"Persetan" teriak orang tertua itu, "turunlah. Kita akan melihat
apakah sebenarnya pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu
benar-benar memiliki kemampuan bertempur atau sekedar hanya
berani berteriak-teriak diantara para pengawalnya."
"Gila" teriak pemimpin gerombolan Macan Kumbang, "aku akan
sanggup membunuh beberapa orang sekaligus."
"Dan kau tidak berbuat apa-apa."
"Gila." 1825 Orang tertua itu terdiam sejenak. Namun kemudian timbullah
pertimbangannya yang lain. Lebih baik ia membiarkan orang itu
berdiri saja di atas regol sementara ia dapat melayani orang-orang
lain dari pasukan lawannya. Sehingga karena itulah, maka iapun
tidak menyahut lagi. Bahkan iapun melanjutkan pertempuran yang
seru melawan orang-orang Macan Kumbang yang ada di sekitarnya.
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu termangu-mangu
sejenak. Ia melihat orang tertua dari gerombolan Serigala Putih itu
agak lebih tinggi ilmunya daripada kebanyakan anak buahnya.
Namun baginya orang itu masih belum dianggap membahayakan.
Dalam pada itu, pertempuran itupun menjadi bertambah seru.
Masing-masing bertempur semakin kasar dan liar. Sementara orang
yang berdiri diatas regol itu masih saja bediri termangu-mangu.
Sementara pertempuran berlangsung dengan sengitnya, maka
beberapa orang yang terhenti karena suara pemimpinnya yang
berdiri diatas regol, segera menyadari bahwa masih ada orang yang
belum mendapat lawan. Mereka adalah orang-orang yang sedang
mempersiapkan diri untuk menyerang orang yang berdiri termangumangu
itu. Karena itulah maka merekapun segera meloncat,
melanjutkan langkahnya, berlari menuju ketempat Empu Baladatu
dan kelima pengawalnya. "Mereka adalah orang-orang yang sedang membunuh diri"
berkata Empu Baladatu. "Apakah kita akan membunuhnya?"
"Ya. Kita harus mengejutkan orang yang sombong, yang berdiri
di atas regol itu." "Membunuh begitu saja?"
"Hanya tiga orang" desis Empu Baladatu, "orang-orang yang
malang. Mereka belum mengenal kita. Kita akan langsung menerima
mereka, membunuh dengan cara kita."
"Melukainya arang kranjang?"
1826 "Di sini kita adalah tidak dipadepokan. Disini tidak ada kakang
Empu Sanggadaru atau orang-orang dari istana Singasari."
Kelima orang pengawalnya termangu-mangu. Tetapi mereka
tidak sempat berpikir lebih lama lagi. Tiga orang lawan telah
menjadi semakin dekat. "Mereka belum mengenal kita." geram Empu Baladatu, "itulah
agaknya mereka berani menghina Empu Baladatu. Kita berenam,
dan mereka hanya bertiga. Mereka sangka masing-masing dapat
membunuh kita berdua."
Tiba-tiba saja salah seorang pengawal Empu Baladatu tertawa
tidak tertahankan lagi, sehingga ketiga orang lawan yang menjadi
semakin dekat itu tertegun.
"He, kalian mau apa?" terdengar suara pengawal yang tertawa
itu. "Kami akan membunuhmu" geram salah seorang dari ketiga
orang itu. "Kami berenam, dan kalian hanya bertiga." Tiga orang itu raguragu.
Tetapi orang yang berdiri diatas regol, yang agaknya
memperhatikan tingkah ketiga orang anak buahnya itu berteriak,
"Bunuh mereka berenam."
Ketiga orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Perintah itu
telah menggerakkan mereka serentak menyerang Empu Baladatu
dan kelima pengawalnya. Empu Baladatu benar-benar merasa terhina. Karena itu, iapun
segera memberi aba, "Bunuh secepat dapat kita lakukan."
Perintah Empu Baladatu itu merupakan imbangan dari perintah
orang yang berdiri diatas regol itu. Jika pemimpin gerombolan
Macan Kumbang itu terlalu yakin akan kemampuan orang-orangnya,
maka Empu Baladatu yang marah pun berusaha untuk meyakinkan
lawannya, bahwa yang dihadapinya kali ini bukannya orang-orang
yang ketakutan dari gerombolan Serigala Putih.
1827 Demikian ketiga orang itu mendekat, maka Empu Baladatupun
berteriak, "Sekarang. Kelupas mereka sampai ketulangnya."
Perintah yang sangat mengerikan. Tetapi kelima pengawalnya
sama sekali tidak ragu-ragu. Mereka sudah terbiasa melakukan
sesuatu yang sangat mengerikan itu.
Sejenak kemudian keenam orang itupun segera meloncat dalam
lingkaran. Demikian ketiga orang itu mendekat, maka tiba-tiba saja
mereka sudah berada di dalam kepungan. Belum lagi mereka
menyadari keadaannya, maka lingkaran itu telah berputar dengan
cepatnya. Masih terdengar teriakan tertahan. Namun tidak seorang yang
mengetahui, apa yang sudah dilakukan oleh keenam orang yang
berputaran dalam lingkaran itu. Orang yang berdiri diatas regol
itupun tidak. Tetapi setiap mata pun kemudian terbelalak ketika mereka
mendengar Empu Baladatu berteriak , "He, siapa lagi yang akan
menyusul" Inilah Empu Baladatu. Penguasa dari segala ilmu yang
disebut ilmu hitam."
Rasa-rasanya pertempuran itu pun terhenti sejenak. Orang yang
berdiri diatas regol itu bagaikan membeku ditempatnya ketika
mereka melihat ketiga orangnya itu terbaring ditanah. Tidak lagi
dapat dilihat bentuk tubuhnya selain warna darah yang merah.
Sejenak orang diatas regol itu terbungkam. Meskipun ia adalah
orang yang paling ganas didaerah yang dikuasainya, namun ketika
ia melihat korban yang jatuh ditanah itu, rasa-rasanya tubuhnya
telah menggigil. "Sekarang kalian mengenal aku, siapakah Empu Baladatu yang
sebenarnya." Orang-orang dari kedua pihak menjadi semakin tegang. Namun
bagaimanapun juga, kematian yang mengerikan itu telah membakar
hati pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang berdiri diatas
regol. 1828 Sambil berteriak nyaring orang itupun kemudian meloncat turun,
diikuti oleh para pengawalnya. Dengan suara yang gemetar ia
berkata, "Empu Baladatu, ternyata bahwa ilmumu masih lebih dekat
dengan sumber ilmu yang disebut ilmu hitam. Aku dapat
mengenalinya dengan cara yang kau lakukan. Cara yang sudah lama
ditinggalkan oleh cabang perguruan Macan Kumbang. Namun itu
bukan berarti bahwa kami tidak akan mampu mengimbangi ilmumu
yang gila itu. Meskipun belum dalam keseluruhan orang-orangku,
tetapi setidak-tidaknya aku sendiri menguasai cara yang paling baik
untuk melawan keliaran dan kebuasanmu itu."
Empu Baladatu tertawa. Jawabnya, "Soalnya bukan sekedar
kesombongan dan bual yang memuakkan. Kita akan bertempur. Dan
diantara kita akan menjadi korban dari keganasan kita masingmasing.
Akupun sadar, bahwa bagaimanapun juga ujud dari
perkembangan ilmumu, namun ciri yang tidak dapat kita tinggalkan,
adalah kekasaran yang buas dan liar. Aku sudah menunjukkannya,
dan kau sudah melihat akibatnya. Sekarang, cobalah. Apa yang
dapat kau lakukan dengan kapakmu. Kau tentu akan menyayat kulit
korbanmu seperti sayatan kuku Macan Kumbang. Tetapi jika
demikian, maka senjata yang paling tepat adalah senjata berujung
runcing. Bukan sebuah kapak."
"Kau salah. Aku tidak pernah meninggalkan korban seperti bekas
sayatan kuku harimau. Tetapi aku selalu meninggalkan korbanku
yang terpisah-pisah anggauta tubuhnya. Mungkin kepalanya,
mungkin kedua kaki dan lengannya, atau mungkin isi perutnya. Nah,
kau mengerti?" Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun suara tertawanya
telah meledak lagi. Suara tertawa iblis yang mengerikan.
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih yang melihatnya di
hutan, sebagai seorang yang baik dan pengampun, menjadi heran
melihatnya sekarang sebagai iblis yang buas. Rasa-rasanya Empu
Baladatu yang berada di hutan perburuan itu sama sekali lain
dengan Empu Baladatu yang telah mengotori tangannya dengan
darah. 1829 Namun mereka tidak dapat ingkar, bahwa dua kekuatan dari ilmu
hitam sedang berhadapan. Keduanya adalah orang-orang yang liar
dan buas. Cara mereka membunuh lawannya benar-benar tidak
masuk akal. Mereka sudah melihat akibat tangan Empu Baladatu.
Sedangkan mereka sudah mendengar pula, bagaimana pemimpin
gerombolan Macan Kumbang itu membunuh seseorang. Seperti
yang dikatakan, maka dengan kapaknya, ia dapat berbuat apa saja
atas korbannya yang sudah dibunuhnya.
Sejenak kemudian, kedua orang yang memiliki ilmu hitam itu
telah bersiap. Para pengawalnya telah menghadapi lawannya
masing-masing pula, sehingga mereka tidak akan bertempur dalam
kelompok betapapun kecilnya.
Sejenak kemudian, tiba-tiba saja telah terdengar teriakan nyaring
yang terlontar dari mulut pemimpin gerombolan Macan Kumbang
itu. Dan itupun merupakan aba-aba yang telah menggerakkan
seluruh anak buahnya yang termangu-mangu melihat kebiadaban
Empu Baladatu yang semula sama sekali tidak disangka-sangkanya
Pertempuran segera berkobar lagi diseluruh halaman. Orangorang
dari kedua gerombolan itu pun segera mengerahkan
kemampuan masing-masing dengan segala macam kekasaran,
kebuasan dan kebiadaban. Mereka menyadari bahwa tidak ada cara
yang lebih baik untuk membinasakan lawan. Apalagi mereka
masing-masing memang dibesarkan dalam ilmunya, dengan cara
yang demikian. Itulah sebabnya, pertempuran yang terjadi kemudian adalah
pertempuran yang paling gila. Empu Baiadatu pun sama sekali tidak
mengekang dirinya lagi. Ia berbuat apa saja yang dapat
dilakukannya tanpa mempertimbangkan apapun juga. Demikian
juga lawannya, pemimpin gerombolan Macan Kumbang. Ia telah
melihat akibat tangan Empu Baladatu dengan pisau-pisau belati
panjangnya. Ketiga orangnya itu bagaikan di sayat kulitnya di
seluruh tubuh. Dalam pada itu, Empu Baladatu bertempur dengan sepasang
pisau belati panjang, yang merupakan senjata utamanya dalam
1830
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
puncak kemampuannya sebagai ciri gerombolannya yang buas dan
liar. Sedangkan lawannya mempergunakan sebuah kapak yang
tajamnya berkilat-kilat disentuh s inar matahari.
Kedua orang itu ternyata telah terlibat dalam perkelahian yang
dahsyat dan paling kasar. Bahkan orang-orang dari kedua
gerombolan itupun seolah-olah belum pernah melihat pertempuran
yang membingungkan. Keduanya bergerak dengan cepat dan
membingungkan. Namun setiap kali terdengar teriakan dan
umpatan. Bahkan Kadang-kadang salah seorang dari mereka telah
mempergunakan ludah mereka sebagai senjata untuk mematuk
mata. Tetapi seakan-akan masing-masing telah memiliki
kemampuan untuk mengatasi setiap serangan yang betapapun
ganasnya. "Kau tidak akan dapat menyombongkan ilmu putaran itu disini"
geram pemimpin Macan Kumbang.
"Dan kapakmu tidak akan mengejutkan aku" jawab Empu
Baladatu, "hentakan yang mengejut itu sama sekali tidak dapat
mempengaruhi keseimbangan perlawananku."
"Persetan" geram pemimpin gerombolan Macan Kumbang.
"Tidak ada gunanya kau mengumpat. Sebentar lagi kau akan
mati dengan kulit terkelupas."
"Kau yang akan mati dengan tubuh yang terpotong-potong."
Tetapi suara pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu terputus
karena tiba-tiba saja Empu Baladatu sempat mencungkil segumpal
tanah yang dilontarkan pada mata lawannya. Untunglah bahwa
pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu sempat mengelak.
Bahkan iapun kemudian dengan sengaja melemparkan segenggam
pasir kewajah lawannya. Namun tidak juga mengenai sasarannya.
Perkelahian yang kasar itu telah terjadi pula diantara setiap orang
didalam gerombolan yang jumlahnya memang tidak terpaut banyak
itu. 1831 Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Empu Baladatu memang
memiliki kelebihan dari lawannya. Meskipun menurut penilaian
orang-orang gerombolan Serigala Putih sendiri, bahwa, pemimpin
gerombolan Macan Kumbang itu memang mempunyai kelebihan
betapapun kecilnya dari pemimpinnya yang terbunuh, namun
didalam bertaruh nyawa, belum pasti bahwa pemimpinnyalah yang
akan kalah. Apalagi jika sempat satu atau dua orang membantunya,
maka kemungkinan yang lain masih dapat terjadi.
Tetapi setelah pertempuran yang kasar itu terjadi beberapa saat
lamanya, maka pemimpin germbolan Macan Kumbang itu mulai
terdesak surut. Beberapa kali ia menghindar dengan loncatan
panjang, jika Empu Baladatu sudah mulai bergerak dalam garis
lingkaran. Namun dengan demikian maka usaha Empu Baladatu
untuk mengitarinya pun telah gagal pula.
Meskipun demikian, namun Empu Baladatu masih mampu
membuat lawannya terdesak surut dengan serangan-serangannya
yang kasar. Meskipun pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu
tidak kalah kasarnya, tetapi nampaknya Empu Baladatu memang
mempunyai kecepatan yang lebih tinggi dari lawannya.
Dengan demikian, maka meskipun Empu Baladatu sendiri tidak
dapat mengitari lawannya, namun sepasang senjatanya bagaikan
mematuk-matuk dari segenap penjuru. Bayangan yang bulat
membujur bagaikan angin yang bergulung-gulung melanda
pemimpin gerombolan Macan Kumbang.
Tetapi kapak bertangkai pendek itu ternyata merupakan senjata
yang dahsyat pula. Sekali-kali kapak itu melayang bagaikan hendak
membelah langit. Namun kemudian terayun mendatar setinggi
lambung. Ketika kapak itu terayun dengan cepatnya, EmpuBaladatu yang
berdiri didekat sebatang pohon kemuning, sempat mengelakkan diri.
Tetapi demikian derasnya ayunan kapak itu sehingga batang
kemuning sebesar paha itupun putus sekali sentuh.
1832 Tetapi pada saat yang bersamaan Empu Baladatu meloncat
dengan cepatnya dan berlari berputaran.
Namun lawannya tidak menyerah. Ia masih sempat meloncati
batang yang roboh dan menginjakkan kakinya dibelakang garis
lingkaran yang mulai terbentuk.
"Setan alas" teriak Empu Baladatu. Lawannya tidak menyahut.
Ia masih berdiri ditentang batang yang roboh oleh satu sentuhan
kapaknya itu. Sejenak kemudian mereka mencari kesempatan. Namun sekejap
berikutnya, pertempuran telah membakar keduanya bagaikan api
yang menjilat-jilat sampai ketepi mega.
Dengan demikian maka halaman padepokan Serigala Putih itupun
kemudian telah dipenuhi dengan kekerasan senjata antara dua
kelompok yang dibekali dengan ilmu hitam. Di tambah dengan
kehadiran Empu Baladatu yang juga menyadap ilmu dari sumber
yang sama, yang bahkan masih memiliki tanda-tanda yang jauh
lebih mengerikan dari ilmu hitam itu.
Di setiap sudut halaman telah mulai dibasahi oleh darah dari
kedua belah pihak. Mayat mulai bergelimpangan dengan luka yang
mengerikan disetiap tubuh.
Empu Baladatu yang bertempur bagaikan iblis itu mendapat
perlawanan yang gigih dari pemimpin gerombolan Macan Kumbang.
Masing-masing mampu melakukan sesuatu yang sama sekali tidak
di-sangka-sangka oleh masing-masing pihak.
Tetapi dalam pada itu, pemimpin gerombolan Macan Kumbang
merasa menghadapi keadaan yang tidak diduga-duganya. Ia sama
sekali tidak memperhitungkan kehadiran seseorang yang ternyata
memiliki kemampuan bukan saja menyamai pemimpin gerombolan
Serigala Putih yang sudah terbunuh, tetapi ternyata memiliki ilmu
yang lebih tinggi dan lebih mengerikan.
Dengan demikian maka kemarahan yang menyala didadanya
bagaikan telah membakar jantung. Dengan kapaknya ia kemudian
1833 mengerahkan segenap ilmu. dan kemampuan yang ada padanya,
ilmu yang disebut ilmu hitam meskipun sudah mengalami
perkembangan tersendiri dari ilmu yang dimiliki oleh Empu Baladatu.
Namun bagaimanapun juga, pemimpin gerombolan Macan
Kumbang itu tidak mampu menyamai keganasan Empu Baladatu,
sehingga dengan demikian maka semakin lama iapun menjadi
semakin terdesak surut, sehingga pada suatu sudut yang tidak lagi
dapat memberi kesempatan kepadanya untuk melangkah surut lagi.
Kemarahan yang membara bagaikan terpancar dari matanya
yang merah. Darahnya bagaikan mendidih di dalam jantungnya.
Dengan tangan bergetar, ia pun kemudian mengayunkan kapaknya
bagaikan tabir baja yang melindungi dirinya.
Tetapi Empu Baladatu tidak melepaskannya. Kedua ujung pisau
belati panjangnya, setiap kali berhasil menyusup disela-sela putaran
kapaknya. Rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin dekat
dengan dadanya. Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di seluruh halaman ilu
seolah-olah tidak akan selesai sebelum kedua belah pihak binasa
seluruhnya. Hanya tinggal seorang saja yang akan tinggal hidup.
Teriakan dan umpatan menggemuruh di sela-sela jerit dan pekik
kesakitan yang tidak tertahankan. Sehingga campur baur bunyi yang
memekakkan telinga telah menggetarkan udara padepokan itu.
Sementara itu, pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang
telah tersudut tidak mau menyerah tanpa usaha apapun juga untuk
menyelamatkan dirinya. Karena itu, maka sejenak kemudian
terdengar isyarat yang meloncat dari mulutnya. Sebuah suitan yang
nyaring, yang seolah-olah melengking dari dasar bumi. Ternyata
isyarat itu adalah isyarat untuk memanggil beberapa orang
pengawalnya, yang dengan serta merta telah meninggalkan
beberapa orang lawannya untuk menyerang Empu Baladatu.
Tetapi Empu Baladatu pun tidak sendiri. Kelima orang
pengawalnya yang telah curiga dengan isyarat yang terlontar dari
1834 mulut pemimpin gerombolan Matan Kumbang itu, telah menjadi
isyarat pula bagi mereka.
Demikian mereka melihat beberapa orang menyerang Empu
Baladatu dari segala penjuru, maka merekapun segera
meninggalkan Lawan-lawannya sambil berteriak kepada orangorang
Serigala Putih yang ditinggalkan lawannya pula, "He,
kemarilah kalian yang kehilangan lawan."
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itupun dapat
menangkap maksudnya. Karena itu, maka merekapun segera
berlari-larian mendapatkan lawan para pengawal Empu Baladatu.
Dengan demikian maka para pengawal dari pemimpin
gerombolan Macan Kumbang itu tidak berhasil membantu
pemimpinnya melawan Empu Baladatu, karena para pengawal Empu
Baladatu pun segera mengambil alih perlawanan terhadap mereka.
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu menggeram. Ia
benar-benar telah terperosok kedalam suatu keadaan yang tidak
diduganya. Namun demikian ia tidak menjadi putus asa. Ia sadar, bahwa
ilmu orang yang tidak diperhitungkan itu ternyata lebih tinggi dari
ilmunya. Namun ia masih mengharap dapat menemukan
kelemahannya. Tetapi akhirnya ternyata bahwa kesempatan itu
tidak kunjung datang. Empu Baladatu bertempur dengan sebaikbaiknya
karena ia tidak ingin membuat kesalahan betapapun
kecilnya. Meskipun serangan dari gerombolan Macan Kumbang itu
tidak diketahuinya lebih dahulu, namun ia justru dapat
memanfaatkannya dengan baik.
Itulah sebabnya ia bertekad untuk memenangkan perkelahian
yang dahsyat itu. Iapun sudah siap menunjukkan betapa kasar dan
biadabnya ilmu hitam yang dimilikinya, melampaui ilmu hitam dari
gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang.
Dengan demikian, maka Empu Baladatu pun mendesak lawannya
semakin ke sudut sehingga benar-benar tidak mendapat
kesempatan sama sekali untuk mengelakkan diri.
1835 Kegelisahan telah memuncak pada setiap dada orang-orang dari
gerombolan Maran Kumbang. Pada saat-saat tertentu mereka
sempat melihat, bahwa pemimpinnya sudah terdesak sehingga tidak
dapat bergerak sama sekali.
Namun demikian pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu
sama sekali tidak berputus asa. Ia tetap bertempur dengan segenap
sisa kemampuannya. Dalam pada itu, ternyata bahwa Empu Baladatu yang kasar dan
liar itu masih sempat berpikir. Seperti rencana yang sudah
disusunnya saat ia mengunjungi padepokan gerombolan Serigala
Putih yang sudah kehilangan pemimpinnya itu, maka persoalan yang
tiba-tiba saja dijumpainya itupun akan dimanfaatkannya pula.
Karena itu, ketika ia sudah berhasil mengurung lawannya
sehingga tidak mungkin untuk dapat lolos lagi, maka iapun
berteriak, "Menyerahlah. Aku masih dapat berbicara dengan kepala
yang dingin." "Persetan" geram lawannya.
"Jangan keras kepala. Kau tahu, aku dapat membunuhmu
sekarang. Tetapi aku masih mempunyai rencana yang panjang yang
barangkali dapat kita susun bersama."
Tidak ada jawaban. "Jika kau pernah mendengar nama Mahisa Bungalan dan
Linggadadi pembunuh orang-orang berilmu hitam, maka kau tentu
akan menganggap pertempuran kita ini bermanfaat."
Masih belum ada jawaban. "Jika kau hentikan niatmu menguasai padepokan ini, dan
bersedia bekerja bersama kami, maka kau akan melihat jalan lurus
yang licin yang akan sampai ke tempat yang diinginkan oleh setiap
orang. Kamukten." Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu masih tetap berdiam
diri. 1836 "Jawablah. Supaya aku tidak terlanjur membunuhmu. Kita akan
bersama-sama membinasakan Linggadadi dan Mahisa Bungalan.
Kemudian kita akan menguasai seluruh Singasari. Kau mengerti."
"Sebuah mimpi yang menakjubkan. Tetapi mentertawakan"
jawab pemimpin gerombolan Macan Kumbang.
"Mungkin jika kau bercermin pada dirimu sendiri. Tetapi kau
harus melihat kepada keadaan dan kesempatan diluar lingkunganmu
yang sempit, sesempit tempurung. Kau hanya tahu rumah-rumah
yang berlaEmpu terang dimalam hari. Mengetuk pintunya dan
merampok harta bendanya. Selebihnya kau bersembunyi didalam
padepokanmu." "Kau menghina."
"Aku menawarkan kerja sama yang saling menguntungkan. Kau
sekarang harus mengakui, bahwa kau tidak dapat mengalahkan
aku. Apakah kau masih akan menyombongkan diri" Jika kedua
padepokan yang selama ini bermusuhan ini dapat bergabung,
demikian pula dengan padepokanku, maka kita akan merupakan
kekuatan yang disebut kekuatan hitam yang tidak terlawan."
Pemimpin gerombolan Maran Kumbang termangu-mangu
sejenak. Pada tatapan matanya nampak, bahwa ia sedang mencoba
memikirkan kata-kata Empu Baladatu itu.
"Apakah kau berkata sebenarnya" tiba-tiba saja ia bertanya.
"Aku berkata sebenarnya."
"Atau hanya karena kau tidak sempat berbuat lain daripada
menawarkan bekerja bersama."
"Kau memang gila. Sekarang akulah yang pada kedudukan yang
menguntungkan. Bukan kau. Dan sekarang kau mencoba untuk
menyombongkan diri."
"Kau sangat licik. Aku selalu curiga kepadamu. Jika aku mati
saat ini, maka persoalanku sudah selesai. Tetapi jika aku menerima,
tawaranmu, maka aku masih harus membuat perhitunganTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
1837 perhitungan dan pertimbangan-pertimbangan tersendiri dikemudian
hari." "Kau memang sombong. Tetapi kau nampak jujur dalam hal ini.
Aku senang menghadapi orang sekeras batu akik. Tetapi cobalah,
pikirkan tawaranku."
Orang itu termangu-mangu. Namun kapaknya tidak lagi
menyambar. Bahkan nampak bahwa tangannya mulai mengendor
ketika Empu Baladatu menghentikan tekanannya.
"Apakah kau dapat aku percaya" Atau barangkali kau sekedar
ingin mendapatkan cara yang paling baik untuk membunuhku
menurut caramu." "Kali ini aku berkata sebenarnya. Aku tidak ingin kehilangan
kesempatan seperti sekarang ini. Semula aku hanya ingin
bergabung dengan gerombolan Serigala Putih yang kehilangan
pemimpinnya. Tetapi tanpa aku duga-duga, kalian ada disini."
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu mengerutkan
keningnya. Lalu, "Apakah buktinya bahwa kau benar-benar berniat
baik." "Kau curiga?" "Aku curiga."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan kau sadar bahwa aku dapat membunuhmu?"
"Ya. Aku sadar. Tetapi aku tidak ingin mengemis belas
kasihanmu. Jika kau ingin membunuh, lakukanlah. Itu jika kau
benar-benar mampu." "Kau memang sombong." sahut Empu Baladatu, "tetapi baiklah.
Aku benar-benar tidak ingin berbuat licik kali ini, meskipun aku
memang seorang yang licik."
Sejenak keduanya berdiri dengan tegang. Namun kemudian
Empu Baladatu tersenyum sambil melangkah mundur, "Aku akan
membuktikannya." 1838 Perkelahian dihalaman padepokan itu seolah-olah telah berhenti
dengan sendirinya. Kedua belah pihak dengan dada yang berdebardebar
memperhatikan, apa yang akan dilakukan oleh Empu Baladatu
dan lawannya. Sejenak Empu Baladatu termangu-mangu. Namun iapun
kemudian melangkah mundur beberapa langkah sambil berkata,
"Kau telah aku bebaskan dari kesulitan. Kau tidak lagi terjepit di
sudut yang gawat. Sekarang keluarlah dan bicaralah dengan orangorangmu,
bahwa perkelahian telah berakhir. Katakanlah bahwa kau
telah setuju untuk bekerja bersama dengan kami menjelang harihari
yang gemilang." Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itupun termangu-mangu.
Namun ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata, "Jangan
menunggu aku lengah. Aku akan tetap bersiap menghadapi
sergapanmu yang tiba-tiba."
Empu Baladatu tertawa. Bahkan ia pun kemudian menyarungkan
kedua pisau belatinya sambil melangkah menjauhi lawannya.
"Kita berasal dari sumber yang sama. Kenapa kita harus
bertengkar. Jika kita memang ingin bertengkar, marilah. Aku akan
menunjukkan jalan bagi kalian. Baik mereka dari gerombolan
Serigala Putih maupun mereka dari gerombolan Macan Kumbang."
Orang-orang dari kedua gerombolan itu termangu-mangu.
Empu Baladatu benar-benar berusaha memperlihatkan kepada
setiap orang, bahwa ia telah melepaskan niatnya untuk membunuh
dan bertengkar diantara mereka sendiri. Pemimpin gerombolan
Macan Kumbang itu maju selangkah demi selangkah ketika
kemudian Empu Baladatu menjauhinya. Bahkan membelakanginya
menghadap orang-orang yang menjadi bingung menanggapi
keadaan yang tidak menentu itu.
"Jangan bingung" teriak Empu Baladatu. Lalu katanya sambil
berpaling kepada pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang
masih ragu-ragu, "berbicaralah."
1839 "Kau pengecut" geramnya, "jika aku sedang berbicara kau akan
menikam aku." "Aku tidak memegang senjata lagi" berkata Empu Baladatu
sambil merentangkan tangannya yang sudah tidak bersenjata.
Kesempatan itu ternyata tidak disia-siakan. Dihiar dugaan setiap
orang, juga orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang sendiri,
bahwa tiba-tiba saja pemimpin gerombolan Macan Kumbang itupun
meloncat sambil mengayunkan kapaknya langsung keubun-ubun
Empu Baladatu. Serangan itu benar-benar mengejutkan dan tidak terduga-duga.
Karena itulah, maka Empu Baladatu yang sedang berusaha
meyakinkan lawannya itupun terkejut bukan buatan. Ia sadar,
bahwa maut benar-benar sedang menerkamnya dengan licik sekali.
Empu Baladatu merasa bahwa ialah yang telah lengah saat itu. Ia
telah kehilangan kewaspadaan menghadapi lawan yang licik dan
pengecut. Namun semuanya sudah terjadi. Sekarang kapak itu sedang
terayun untuk membelah kepalanya.
Dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada, maka
Empu Baladatu yang tidak bersenjata itupun berusaha untuk
mengelak. Secepat-cepat dapat dilakukan ia telah memiringkan
kepalanya sambil bergeser. Tetapi serangan itu datang begitu cepat
dan tiba-tiba, sehingga ternyata bahwa Empu Baladatu tidak lagi
dapat melepaskan dirinya sepenuhnya dari ayunan kapak lawannya.
Ternyata Empu Baladatu masih sempat menyelamatkan
kepalanya. Tetapi ayunan yang deras dan cepat itu masih sempat
menyambar pundaknya, sehingga sentuhan kapak itu ternyata telah
bukan saja mengelupas kulitnya, tetapi segumpal daging dilengan
kirinya telah sobek. Kemarahan yang tiada taranya telah menyengat dada Empu
Baladatu. Namun ia masih harus meloncat surut, ketika dengan
serta merta, maka serangan berikutnyapun telah menyusul dengan
1840 dahsyatnya. Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu benar
bagaikan gila. Serangan-serangan beruntun mengejar Empu
Baladatu seperti angin pusaran yang melibatnya. Kapak itu seakanakan
telah berterbangan mengitarinya dengan desing yang
menggetarkan jantung.Namun akhirnya, Empu Baladatu yang
tcrluka itu berhasil mengambil jarak. Dengan kemarahan yang
meluap, maka ia pun kemudian berusaha mencabut senjatanya
yang sudah di sarungkannya.
Tetapi Empu Baladatu mengeram ketika terasa seolah-olah
tangan kirinya yang robek oleh kapak lawannya itu menjadi lemah
dan nyeri. "Gila, kau hantu licik yang tidak tahu diri" teriak Empu Baladatu.
Yang terdengar adalah suara tertawa yang memenuhi halaman
itu. Pemimpin Macan Kumbang berkata disela-sela suara
tertawanya, "Kau memang luar biasa Empu. Kau masih sempat
mengelakkan kapakku yang siap membelah kepalamu. Tetapi
meskipun demikian, tangan kirimu tentu menjadi lumpuh, sehingga
kau tidak akan dapat lagi mempertahankan sepasang belati
panjangmu. Dengan mudah aku akan membinasakanmu, jangan
kau mengharap bantuan para pengawalmu karena mereka akan
tetap terikal pada perkelahian dengan pengawalku yang memiliki
kemampuan lebih baik dari pengawalamu yang malang itu"
Empu Baladatu tidak menjawab. Yang terdengar adalah
gemeretak giginya karena kemarahan yang meledak di dalam
dadanya. Luka ditangan kirinya itu benar-benar, telah menyalakan
api kemarahan yang tidak tertahan lagi. Seolah-olah ia ingin me
loncat menerkam dan menelan lawannya bulat-bulat.
Tetapi Empu Baladatu memiliki pengalaman yang luas. Ia tidak
mau tenggelam dalam kemarahannya tanpa sempat
mempergunakan akalnya. Itulah sebabnya, maka betapun juga, ia masih tetap mencoba
mempergunakan akalnya. Ia membuat perhitungan dan
penimbangan untuk melawan pemimpin gerombolan Macan
1841 Kumbang yang licik itu. Apalagi ia seolah-olah hanya mampu tangan
kirinya yang terluka itu bagaikan telah lumpuh.
Sejenak kemudian, maka halaman itu telah dibakar kembali oleh
api pertempuran yang dahsyat. Kedua belah pihak ternyata telah
dijalari oleh kemarahan seperti yang membakar dada kedua orang
yang sedang bertempur dengan sengitnya.
Dalam pada itu, serangan pemimpin gerombolan Macan
Kumbang itupun menjadi semakin dahsyat. Kapaknya menyambar
tanpa henti-hentinya. Kelemahan Empu Baladatu benar-benar telah
dimanfaatkan oleh lawannya, sehingga serangan-serangannya
seolah-olah telah datang dari sebelah sisi.
Tetapi Empu Baladatu cukup lincah. Ia berusaha mengisi
kekurangan pada tangan kirinya dengan kecepatan gerak kakinya.
Itulah sebabnya, maka Empu Baladatu pun kemudian berloncatan
seperti kijang direrumputan.
"Aku harus cepat menyelesaikan pertempuran ini sebelum aku
kehabisan darah" geram Empu Baladatu di dalam hatinya.
Namun sementara itu lawannya berkata kepada diri sendiri, "Aku
harus memperlambat pertempuran ini, agar orang itu mati karena
kehabisan darah. Ia akan segera menjadi lemah dan tidak berdaya."
Tetapi kemarahan Empu Baladatu tidak tertahankan lagi. Dengan
cermat ia memperhitungkan setiap langkahnya justru karena ia
hanya mempergunakan tangan sebelah. Lawannya benar-benar
tidak menduga, bahwa meskipun tangan kiri Empu Baladatu sudah
tidak dapat mengangkat pisau belatinya, namun kelincahan kakinya
selalu membingungkannya Empu Baladatu yang tidak mau sekedar hanyut dalam arus
kemarahannya itu, tiba-tiba telah mempergunakan ilmunya yang
paling dibanggakan. Dengan lincah dan cepat, tiba-tiba saja ia
sudah berada dalam lingkaran di seputar lawannya. Demikian
cepatnya, sehingga pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu
seolah-olah telah dicengkam oleh kebingungan dan tidak sempat
memotong putaran itu. 1842 Empu Baladatu meskipun mempergunakan sebelah tangannya,
namun ternyata, didalam putaran yang cepat, pisaunya mulai
berhasil menggores lawannya, sehingga kulitnya pun mulai terluka.
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu menggeram.
Lawannya telah terluka, dan darah mengalir dengan derasnya.
Sebenarnya ia tinggal menunggu lawannya itu akan jatuh dengan
lemahnya, karena darahnya menjadi kering.
Tetapi ternyata lawannya itu masih berhasil menggoreskan ujung
pisaunya meskipun lukanya tidak menimbulkan kekhawatiran
apapun juga. Namun luka itu seolah-olah telah membangunkannya, bahwa
lawannya yang terluka itu masih mampu memberikan perlawanan
yang kuat. Perlawanan yang dapal membahayakan jiwanya.
Itulah sebabnya, maka pemimpin gerombolan Macan Kumbang
itu menjadi semakin berhati-hati. Dengan tajamnya ia mengamati
putaran lawannya. Dan dengan tiba-tiba saja iapun kemudian
meloncat panjang sambil mengayunkan kapaknya memotong
putaran Empu Baladatu. Empu Baladatu sempat meloncat kesamping, sehingga serangan
itu tidak mengenainya. Namun dengan demikian, pemimpin
gerombolan Macan Kumbang itu berhasil memotong putaran
lawannya yang membuatnya menjadi pening.
Sebenarnyalah bahwa kekuatan Empu Baladatu rasa-rasanya
sudah mulai dipengaruhi oleh lukanya. Darahnya yang mengalir
terus menerus, benar-benar membuatnya semakin lemah. Namun
justru karena itulah maka ia bertekad untuk segera mengakhiri
perkelahian. Pada saat-saat yang menentukan itu, ternyata keduanya
mempunyai perhitungan masing-masing. Lawannya berusaha selalu
mengambil jarak dari Empu Baladatu. Hanya pada saat-saat ia
yakin, maka serangannya datang bagaikan badai. Tetapi sejenak
kemudian, iapun segera meloncat surut menjauhinya.
1843 Empu Baladatu lah yang tidak mau melepaskannya membuat
jarak yang panjang. Dengan cepat Empu Baladatu selalu
memburunya jika lawannya meloncat mundur. Semakin lama
semakin cepat, sehingga akhirnya pertempuran itu terjadi seolaholah
tanpa jarak. Senjata dari kedua belah pihak terayun-ayun mengerikan. Dalam
jarak yang pendek, masing-masing berusaha untuk menangkis dan
menghindar sambil menyerang pada saat-saat yang hampir
bersamaan. Jika ujung belati Empu Baladatu mematuk, maka
lawannya menggeliat dengan geseran kecil sambil mengayunkan
kapaknya pada dada lawannya. Tetapi Jawannya sempat
memiringkan tubuhnya, sekaligus merubah arah pisaunya mendatar.
Tetapi lawannya masih sempat mengelak pula.
Dalam pertempuran yang semakin cepat itu, Empu Baladatu
perlahan-lahan mulai bergeser dalam satu arah putaran. Semakin
lama semakin cepat, sehingga akhirnya ia kembali berada pada
puncak ilmunya yang membingungkan lawannya.
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang menjadi bingung
menghadapi kenyataan itu. Putaran itu demikian cepat dan dekat,
sehingga serasa tidak ada kesempatan baginya untuk berbuat
sesuatu. Namun ia adalah seorang yang mempunyai pengalaman cukup.
Itulah sebabnya, maka tiba-tiba saja ia berputar justru pada putaran
yang berlawanan, dalam jarak yang lebih pendek dari putaran
lawannya. Empu Baladatu menggeram. Terasa luka ditangannya menjadi
semakin pedih. Namun ia masih mempunyai cukup kesempatan,
karena ia yakin sepenuhnya, bahwa lawannya sedang menghadapi
kesulitan. Dalam pada itu, ternyata bahwa kemarahan Empu Baladatu yang
sudah berada dipuncaknya itu, tidak dapat terbendung lagi. Apalagi
Empu Baladatu yang marah itu dengan sadar mempergunakan
nalarnya didalam perkelahian yang semakin seru dan sengit.
1844 Meskipun ia telah terluka, dan sebelah tangannya seolah-olah
tidak lagi mampu dipergunakan, namun ternyata bahwa puncak
ilmunya masih dapat dituntaskan di atas batas kemampuan
lawannya. Karena itulah, maka sejenak kemudian, terdengar sebuah
keluhan yang tertahan. Ternyata bahwa ujung pisau belati Empu
Baladatu masih sempat menggores ditubuh lawannya yang telah
melukainya dengan licik. Luka itu agaknya benar-benar telah berpengaruh pada
pertempuran yang berlangsung semakin seru, karena masingmasing
benar-benar telah dibakar oleh kemarahan yang tidak
tertahankan. Namun agaknya Empu Baladatu masih mempunyai ketenangan
yang melampaui lawannya. Betapapun kemarahan serasa
memecahkan jantung, tetapi ia masih sempat berpikir, apakah yang
sebaiknya dilakukan. Perhitungannya masih cukup cermat dan
mengarah. Dengan demikian, maka sejenak kemudian, sekali lagi terdengar
sebuah keluhan. Tetapi hanya desis yang lemah, karena tiba-tiba
suara itu terputus oleh sebuah teriakan nyaring yang terloncat dari
mulut Empu Baladatu. Dengan sekuat tenaga yang tersisa, Empu Baladatu kemudian
meloncat sambil berteriak ketika pisaunya mematuk langsung
kedada lawannya. Sesaat kemudian Empu Baladatu menarik pisaunya yang
terhunjam ditubuh lawannya. Tetapi Empu Baladatu telah bertekad
untuk menunjukkan, bahwa ia adalah pemimpin dari golongan yang
disebut berilmu hitam yang paling besar.
Karena itulah, maka ia tidak melepaskan lawannya yang sudah
tidak sempat menyelamatkan dirinya itu. Demikian pisaunya ditarik,
dan tubuh itu mulai terhuyung-huyung, maka nampaklah betapa
buasnya Empu Baladatu, pemimpin yang merasa, dirinya terbesar
dari golongannya itu. 1845 Sesaat sebelum tubuh pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu
jatuh ditanah, maka tubuhnya sudah tidak dapat di kenalinya lagi.
Goresan, luka dan bahkan kulit yang terkelupas dan daging yang
tersayat, membuat setiap orang yang melihatnya menjadi pening
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan muak. Ketika tubuh itu jatuh terguling ditanah, maka tidak seorang pun
lagi yang dapat mengenal, siapakah yang telah dibunuh oleh Empu
Baladatu itu. Dalam pada itu, pertempuran di halaman itu pun seolah-olah
telah dicengkam oleh kengerian yang memuncak. Orang-orang dari
gerombolan Macan Kumbang seolah-olah telah kehilangan
kekuatannya sama sekali. Bukan saja pemimpinnya telah terbunuh,
tetapi juga karena kematian yang mendebarkan jantung itu.
Empu Baladatu yang memegang pisau belati yang berlumuran
darah dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya masih
terkulai oleh lukanya, kemudian berdiri sambil memandang orangorang
yang bagaikan telah dicengkam oleh pesona yang
mendebarkan itu. "Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang " geramnya
kemudian, "betapa hati menjadi sakit dan dendam melihat kelicikan
pemimpinmu. Tetapi aku bukan orang yang tidak mempunyai nalar
dan perhitungan. Aku dapat mempergunakan pikiranku dengan baik
menghadapi kegilaan pemimpin dan kalian semuanya, jika aku
menghendaki, maka sebentar lagi kalian akan mengalami nasib
yang sama seperti pemimpinmu yang licik." Empu Baladatu berhenti
sejenak, lalu, "tetapi terserah kepadamu. Apakah kau akan berbuat
licik seperti pemimpinmu, atau akan memilih jalan lain, mengakui
kenyataan yang kalian hadapi."
Orang-orang yang berada di halaman itu, baik dari gerombolan
Serigala Putih maupun dari gerombolan Macan Kumbang, seolah
diam mematung. "Bersikaplah" berkata Empu Baladatu, "aku telah merasakan
kejujuran sikap orang-orang dari gerombolan Serigala Putih.
1846 Sekarang, apa katamu, hai orang-orang dari gerombolan Macan
Kumbang;?" Tidak seorangpun yang menjawab. Tetapi halaman itu benarbenar
telah dicengkam oleh kesenyapan yang tegang.
"Aku adalah orang yang paling buas dari antara orang-orang
yang disebut berilmu hitam. Tetapi aku adalah orang yang bercitacita."
berkata Empu Baladatu kemudian. Halaman itu menjadi sunyi
dan tegang. Semua orang memandang wajah Empu Baladatu yang
seolah-olah telah berubah menjadi wajah iblis yang paling buas.
Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang yang terkenal liar
itupun menjadi kecut. Mereka tidak menduga, bahwa pada saat itu
mereka akan menjumpai orang lain yang lebih ganas dan buas dari
pemimpin gerombolan Serigala Putih yang sudah terbunuh.
Karena kenyataan yang tidak terduga-duga itulah mereka justru
menjadi bingung. Apalagi pemimpin merekapun telah terbunuh pula
dengan cara yang paling mengerikan.
"He, kenapa kalian menjadi bisu?" teriak Empu Baladatu, "ingat.
Aku dapat meneriakkan perintah kepada orang-orang dari
gerombolan Serigala Putih yang mengakui kehadiranku disini
sebagai seorang tamu yang pantas dihormati, dan yang telah
membuktikan diri bahwa aku dapat menyelamatkan padepokan ini"
Terasa hati orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang
menjadi semakin kecut. "Dengarlah" Empu Baladatu melanjutkan, "kedua gerombolan ini
sudah tidak mempunyai pemimpin-pemimpinnya lagi. Karena itu,
maka aku akan menawarkan diriku untuk menerima kalian
bergabung dengan kekuatan kami. Seperti kalian, maka kamipun
disebut orang-orang yang berilmu hitam. Karena itu, maka sudah
sewajarnya jika kita menyusun kekuatan dalam lingkungan yang
sama." Tidak terdengar seorangpun yang menyahut.
1847 "Nah, pikirkan" berkata niPu Baladatu seterusnya, "jika kalian
bersedia, maka aku akan menawarkan, siapakah yang akan menjadi
pemimpin kita semuanya. Jika ada seseorang yang
menginginkannya, aku tidak berkeberatan sama sekali."
Halaman itu masih dicengkam kediaman. Dan Empu Baladatu
masih berbicara lagi, "Jangan segan. Aku akan menerima dengan
senang hati dan akan menyerahkan kekuatan yang ada
dipadepokanku kepada siapapun yang akan memimpin kita sekalian.
Aku mempunyai kekuatan sebesar kedua kelompok yang sekarang
ada disini." Sejenak orang-orang yang berada dihalarnan itu saling
berpandangan. Salah seorang dari mereka berbisik ditelinga
kawannya, "Apakah mungkin ada orang lain yang dapat
menyamainya" Ia mendapat serangan yang tiba-tiba dari pemimpin
gerombolan Macan Kumbang. Namun akhirnya ia dapat
membunuhnya dengan caranya sendiri."
Kawannya tidak menjawab. "Nah, jawablah." Tidak ada jawaban.
"Apakah kediaman kalian berarti bahwa tidak ada seorang pun
yang tertarik kepada tawaranku, atau tidak ada seorang pun yang
mau mengambil alih pimpinan kedua kelompok yang ada dihalarnan
ini." Semuanya masih tetap diam, sehingga Empu Baladatu akhirnya
membentak, "He, apakah aku berbicara dengan batu?"
Orang tertua didalam lingkungan gerombolan Serigala Putih
itupun kemudian melangkah maju sambil berkata, "Empu, tidak ada,
seorang pun diantara kami yang merasa berhak mewakili pendapat
kami. Karena itu, tidak seorang pun yang memberanikan diri untuk
menjawab pertanyaan Empu."
"Lalu, apakah sebenarnya yang kalian kehendaki."
"Empu" berkata orang itu, "sebenarnya bagi orang-orang dari
Gerombolan Serigala Putih tidak akan ada keberatan lagi jika
1848 kekuatan yang tidak seberapa dipadepokan ini di perbolehkan
berlindungan dibawah pimpinan Empu. Selanjutnya terserah kepada
orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang yang telah
kehilangan pemimpinnya pula."
"Nah, kalian dengar?" Teriakan Empu Baladatu, "terserah
kepada orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang. Jika kalian
ingin bergabung dengan kami, kami akan menerima dengan senang
hati. Tetapi jika kalian menolak, kila akan bertempur terus.
Sedangkan bila kalian berpura-pura seperti pemimpinmu, maka
setiap orang akan mengalami nasib seperti orang yang licik itu."
Tiba-tiba saja seorang yang bertubuh tinggi meskipun kekuruskurusan
maju selangkah. Katanya, "Tidak ada seorang pun diantara
kami yang berhak mewakili seluruh gerombolan sepeninggal
pemimpin kami. Tetapi perkenankanlah aku menyatakan perasaanku
sendiri." "Katakan." "Aku bersedia dengan tulus berlindung di bawah pimpinan Empu
seperti orang-orang dari gerombolan Serigala Putih."
Empu Baladatu memandang orang itu sejenak, lalu, "Kau berkata
sebenarnya?" "Ya." "Bertanyalah kepada kawan-kawanmu, apakah yang akan
mereka kehendaki seperti yang kau kehendaki pula?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun
berdiri menghadap kepada kawan-kawannya sambil berteriak,
"Siapakah yang berkeberatan, nyatakanlah kepada kami."
Wajah-wajah itupun menjadi tegang. Tetapi tidak seorangpun
yang menyahut. "Nah, sudah Empu saksikan sendiri. Tidak seorangpun yang
merasa keberatan." 1849 Empu Baladatu tertawa. Katanya, "Kaulah yang licik.
Pertanyaanmu sudah menjurus. Tetapi kediaman bukan jawaban
yang mantap. Aku hanya menerima pengakuan yang mereka
ucapkan. Bukan sekedar kediaman oleh pertanyaan yang licik."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sekali lagi ia
menghadap kepada kawan-kawannya sambil berteriak, "Katakanlah
yang ingin kalian katakan. Kau tidak terikat kepada sikapku, karena
kedudukan kita sejajar."
Nampak wajah-wajah yang ragu-ragu.
"Cepatlah. Kalian bersedia menerima Empu Baladatu sebagai
pemimpin kita, atau tidak."
Sejenak masih nampak ke-ragu-raguan. Namun kemudian
terdengar jawaban, "Kami menerimanya. Kami menerimanya"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Empu sekarang
sudah mendengar pengakuan mereka. Bukan sekedar sikap yang
diam." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih.
Dengan demikian kalian telah mengakui aku. Dan akupun akan
bertanggung jawab atas pengakuan kalian. Aku harus menjadi
seorang pemimpin yang memiliki sesuatu yang tidak kalian miliki.
Yang pertama adalah kelebihan ilmu. Berikutnya, aku akan
menunjukkan bahwa aku akan berusaha membawa kalian kesasaran
yang pasti. Bukan sekedar melakukan perampokan dan kejahatan
yang lain tanpa tujuan."
Orang-orang yang berada dihalaman itu termangu-mangu. Dan
Empu Baladatupun berkata lebih lanjut, "Camkanlah. Aku adalah
orang yang bercita-cita. Bukan sekedar melakukan kejahatan. Sejak
kini kalian harus menyesuaikan diri. Kalian bukan lagi perampokperampok
yang hanya sempat memungut jemuran dan menangkap
ayam diluar kandang. Tetapi kalian harus memandang istana
Singasari." Orang-orang itu mengerutkan keningnya.
1850 "Kalian harus mempersiapkan diri untuk melakukan sesuatu
yang besar, karena kalian adalah orang-orang yang memiliki
sesuatu. Kalian memiliki kemampuan seperti seorang prajurit.
Bahkan mungkin lebih daripada itu. Karena itulab sejak sekarang
kalian harus menyempurnakan ilmu itu sesuai dengan petunjukpetunjuk
yang akan aku berikan. Pada suatu saat kalian akan
bangkit sebagai seorang prajurit dari negara yang besar. Yang
memiliki kelebihan dari kawan-kawannya akan aku angkat menjadi
lurah prajurit atau seorang tumenggung, atau jabatan-jabatan lain
yang memadai. Sedangkan yang memiliki perjuangan yang
sempurna, tentu akan menjadi seorang Akuwu atau jabatan-jabatan
lain yang pantas." Orang-orang itu masih diam mematung.
"Nah, renungkan. Aku tidak mengingini jawaban. Tetapi aku
mengingini perbuatan yang nyata."
Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka
masih tetap diam. "Sekarang, kalian harus melenyapkan rasa permusuhan yang
ada. Pulihkan ketenangan di padepokan ini dan padepokan Macan
Kumbang. Kita harus menempa diri, agar pada saatnya kita tidak
akan mengecewakan." Orang-orang dari kedua padepokan itu mengangguk-angguk
meskipun mereka masih belum jelas.
Empu Baladatu agaknya dapat membaca rasa kebingungan yang
membayang disetiap wajah, sehingga karena itu, maka katanya,
"Kalian memang orang-orang dungu. Kalian hanya mengetahui satu
cara untuk mengisi hidupmu yang gersang. Merampok harta benda.
Hanya itu. Tetapi aku tidak. Aku bukan hanya ingin harta benda.
Tetapi aku ingin kedudukan, pangkat, kekuasaan, dan kemudian
dengan sendirinya aku akan mendapatkan harta benda jauh
melampaui yang kalian dapatkan dengan menyabung nyawa."
Orang-orang itu mengangguk-angguk.
1851 "Tegasnya, aku akan mengatakannya kemudian. Bahkan aku
mengharap bahwa kalian akan mengerti dengan sendirinya."
Sejenak halaman itu dicengkam kembali oleh ketegangan.
Bahkan seorang dari mereka kemudian berbisik, "Aku tidak
mengerti." Kawannya tidak menjawab. "Kenapa kalian tiba-tiba saja benar-benar menjadi orang-orang
yang paling dungu" Jika kalian tidak mengetahui, sebaiknya kalian
bertanya." Orang tertua dari gerombolan Serigala Putih memberanikan diri
untuk melangkah maju sambil bertanya, "Apakah maksud Empu,
pada suatu saat kita akan memberontak terhadap Singasari?"
"Tepat" jawab Empu Baladatu, "aku sudah mengira, bahwa
kaulah orang yang paling pandai di antara kalian. Pada suatu saat,
kita akan memberontak terhadap Singasari yang selama ini telah
memusuhi golongan yang mereka namakan golongan berilmu
hitam." Orang-orang itu mengangguk-angguk.
"Kemudian, kita harus memperhatikan pula orang-orang yang
bernama Linggadadi dan Mahisa Bungalan. Mereka menamakan diri
pembunuh orang-orang berilmu hitam. Karena itu, pada suatu saat
kita harus menemukannya dan membunuh mereka tanpa ampun,
agar ternyata bagi kita dan kawan-kawan orang yang bernama
Linggadadi dan Mahisa Bungalan itu, bahwa orang-orang yang
mereka sebut berilmu hitam memiliki kekuatan yang tidak terlawan."
Orang-orang yang mendengarkan penjelasan Hu menganggukangguk.
Namun tiba-tiba saja diangan-angan mereka telah terbersit
harapan-harapan yang cerah dimasa datang. Harapan-harapan yang
selama itu tidak pernah mereka bayangkan.
"Mengalahkan Singasari" desis seseorang sambil mengerutkan
keningnya, "apakah kata-kata itu benar seperti yang aku dengar?"
1852 Orang yang berdiri disampingnya berpaling. Tetapi kerut merut
dikeningnyapun menggambarkan keragu-raguan meskipun tidak
dikatakannya. Namun dalam pada itu, Empu Baladatu yang seolah-olah
mengerti keragu-raguan yang mencengkam beberapa orang yang
mendengarkan sesorahnya itu berkata, "Memang kedengarannya
seperti ceritera tentang mimpi. Tetapi aku benar-benar ingin
melakukan segala usaha, agar yang aku katakan itu benar-benar
terjadi. Jika itu suatu mimpi, maka hendaknya mimpi daradasih."
Orang-orang yang mendengarnya mengangguk-angguk.
"Nah, aku tidak akan berbicara lebih banyak lagi. Aku harap
kalian kali ini jujur meskipun kita bukannya orang-orang yang dapat
jujur sepanjang waktu."
Orang-orang itupun termangu-mangu.
"Orang-orang dari padepokan Macan Kumbang. Kembalilah
kepadepokanmu. Bawalah pemimpinmu yang sudah tidak dapat
dikenal lagi. Aku akan datang kepadepokanmu pada suatu saat.
Karena aku adalah pemimpinmu. Mungkin aku akan datang dengan
beberapa orang pengawal. Tetapi mungkin aku akan datang
seorang diri untuk mengetahui apakah kalian benar-benar orang
yang dapat dipercaya meskipun hanya untuk kali ini."
Sejenak halaman itu menjadi sepi.
"Pergilah." Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itu
termangu-mangu. Namun sejenak kemudian merekapun menyadari
keadaan mereka masing-masing. Orang yang mula-mula sekali
menyatakan pendapatnya, nampaknya telah berbuat lebih dahulu
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula. "Kami mohon diri Empu. Kami menunggu kehadiran Empu
dipadepokan kami. : :Terima kasih. Pada saatnya aku akan datang. Aku atau orang
yang aku beri kuasa untuk mengunjungi padepokanmu."
1853 Orang-orang itupun kemudian bergeser surut. Tidak banyak yang
mereka katakan. Apalagi dengan orang-orang dari perguruan
Serigala Putih. Meskipun mereka kemudian telah dipersatukan oleh
suatu ikatan yang dibuat oleh Empu Baladatu, namun rasa-rasanya
mereka masih belum dapat luluh menjadi satu keluarga.
Sejenak kemudian, maka orang-orang dari gerombolan Macan
Kumbang itupun telah meninggalkan halaman. Mereka telah
membawa pemimpin mereka yang telah terbunuh betapapun
mereka merasa ngeri. Sepeninggal orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang,
maka Empu Baladatu pun kemudian mengumpulkan orang-orang
dari gerombolan Serigala Putih. Nampaknya Empu Baladatu pun
sempat memperhatikan padepokan yang lengang itu. Seolah-olah
padepokan itu adalah padepokan laki-laki semata-mata.
"Bawalah mereka kembali" berkata Empu Baladatu, "kalian
memerlukan mereka." Orang tertua dari padepokan itu menyahut, "Maksud kami, kami
telah menyelamatkan mereka."
"Susullah. Mereka akan menjadi kawan yang baik untuk
melanjutkan kehadiranmu dimuka bumi ini. Bahkan mereka akan
dapat mengasuh anak-anak yang akan melanjutkan cita-citamu,
serta memelihara apa yang pernah kau capai selama hidupmu."
Orang tertua itu mengangguk-angguk.
"Jangan menunggu. Mereka akan berpencaran jika mereka
merasa bahwa mereka tidak akan mendapat kesempatan kembali
kepadepokan ini. Jika mereka menduga bahwa padepokan ini benarbenar
telah hancur, maka mereka akan mencari jalan keselamatan
mereka masing-masing. Orang-orang Laki-laki yang ada diantara
mereka tentu mampu memperhitungkan, bahwa lawan kalian akan
menyusul mereka." "Baiklah. Aku akan segera menyuruh beberapa orang menyusul
mereka." 1854 "Kenapa tidak sekarang?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun
menganggukkan kepalanya sambil berkata, "Baiklah. Aku akan
menyuruh beberapa orang untuk pergi sekarang."
Sejenak kemudian, maka orang itupun telah memanggil tiga
orang yang paling dipercaya. Mereka mendapat tugas untuk
menyusul perempuan dan anak-anak yang sedang menyingkir.
Mereka harus segera kembali dan berada kembali dipadepokan.
"Pergilah. Tetapi kalian memang harus ber-hati-hati. Jika terjadi
sesuatu, segera berusaha salah seorang dari kalian membebaskan
diri dan memberikan kabar kapada kami."
Ketiga orang itu mengangguk-angguk.
"Perlakukan perempuan itu dengan baik" pesan Empu Baladatu,
"jangan kau perlakukan seperti memperlakukan seekor binatang
peliharaan. Tetapi mereka sebagai kawan hidupmu."
Ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ketika
terlihat oleh mereka sorot mata Empu Baladatu yang garang, maka
mereka mengangguk sambil menjawab, "Baiklah Empu. Kami akan
melakukannya sebaik-baiknya."
Sejenak kemudian maka ketiga orang itu pun segera
meninggalkan padepokan. Mereka berpacu dengan hati segan.
Tetapi mereka tidak berani menentang pesan Empu Baladatu yang
sudah mereka ketahui kemampuan dan kekerasan hatinya. Bahkan
kekejamannya. Dalam pada itu, orang-orang dari gerombolan Serieala Putih
itupun merasa semakin senang kepada Empu Baladatu. Jika semula
beberapa orang menganggapnya sebagai seorang yang baik hati
dan pemurah, karena perlakuannya atas mereka dihutan perburuan
itu, maka kini mereka menganggap bahwa Empu Baladatu adalah
penguasa maut yang menakutkan.
Namun dalam pada itu, sikap Empu Baladatu nampaknya cukup
meyakinkan, bahwa ia benar-benar akan melakukan seperti apa
1855 yang dikatakannya. Mencari jalan bagi kemungkinan terbaik dihari
depan. Untuk beberapa lama Empu Baladatu masih berada di padepokan
itu. Ketika malam kemudian turun, maka orang tertua dari antara
gerombolan Serigala Putih itu mengharap Empu Baladatu untuk
bermalam. "Aku akan berada disini sampai Perempuan-Perempuan yang
mengungsi itu datang kembali."
Orang tertua itu mengerutkan keningnya. Tetapi nampaknya ia
mulai disentuh oleh kecurigaan, bahwa Empu Baladatu yang
ternyata mengerikan itu, mempunyai pamrih yang lain.
"Ia nampaknya mengetahui bahwa perempuan yang mengungsi
itu telah membawa barang-barang berharga yang disediakan bagi
anak-anak dan hidup mereka sendiri, sekedar untuk melayani
kelangsungan hidup anak-anak itu. Dan agaknya perempuanperempuan
itu tidak akan berani melanggar pesan yang pernah
diberikan kepada mereka. Bahkan seandainya orang-orang yang
memberikan pesan itu sudah mati terbunuh sekalipun. Karena Empu
Baladatu mengetahuinya, maka ia telah mengambil s ikap yang keras
untuk mengambil orang-orang yang telah mengungsi itu."
Dalam pada itu, ketiga orang itupun berkuda semakin cepat.
Mereka berharap bahwa mereka akan sampai ketempat tujuan
sebelum malam menjadi semakin dalam. Agaknya ketiga orang itu
tidak terlambat. Perempuan dan anak-anak yang dijaga oleh
beberapa orang laki-laki tua masih berada ditempatnya. Kedatangan
ketiga orang itu membuat mereka terkejut dan cemas. Namun
setelah ketiga orang itu menjelaskan, merekapun menjadi lega.
"Jadi kami dapat kembali kepadepokan" bertanya seorang lakilaki
berambut putih dan berpedang dilambung.
"Ya." "Kami sudah cemas. Hampir saja kami memutuskan untuk
meninggalkan tempat ini dan memencar seperti yang direncanakan.
1856 Tempat ini rasa-rasanya menjadi semakin miskin, karena binatangbinatang
buruannya telah kami tangkap setiap saat."
"Hutan ini tidak akan kehabisan binatang buruan meskipun
bukan hutan yang terlampau lebat."
"Sokurlah, bahwa kami sudah boleh kembali." desis laki-laki
yang lain, yang rambutnya justru sudah hampir habis rontok sehelai
demi sehelai. Orang-orang yang mengungsi dihutan itupun segera bersiap-siap.
Mereka berharap bahwa mereka akan dapat hidup lebih baik dan
tenang, setelah kawan-kawannya menceriterakan kematian orang
yang paling berbahaya bagi gerombolannya.
"Tetapi pemimpin kami yang baru itu bukannya tidak
mendebarkan jantung" desis salah seorang dari ketiga orang yang
menjemput mereka. "Kenapa?" Orang itupun kemudian menceriterakan serba sedikit, apa yang
sudah dilakukannya. Bagaimana ia membunuh dan seolah-olah telah
mengelupas kulit pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu.
Perempuan yang mendengarnya menjadi ngeri. Tetapi seperti
biasanya, tidak seorangpun dari mereka yang menyatakan
pendapatnya. Mereka adalah orang-orang yang seakan-akan tidak
diperhitungkan selain untuk memberikan air susu kepada bayi-bayi
yang dilahirkan. Bayi-bayi laki-laki akan mendapat tempat, sedang
bayi-bayi perempuan akan mengalami nasib serupa dengan ibunya.
Tetapi karena kebiasaan itu sudah berlaku dalam waktu yang
panjang, maka rasa-rasanya mereka tidak lagi dapat
mempersoalkannya, selain menjalani dengan hati yang Kadangkadang
me mang terasa pahit. "Kita akan berangkat pagi-pagi benar" berkata salah seorang
dari tiga orang ang menyusul mereka itu.
"Perempuan-Perempuan harus mengemasi barang-barang kita
semuanya dan siap di dini hari" teriak salah seorang laki-laki tua
1857 yang ikut mengawasi mereka. Tidak seorangpun yang dapat
mengeluh. Meskipun mata mereka kantuk, namun merekapun mulai
bekerja, mengatur barang-barang yang telah mereka bawa dan
yang akan mereka bawa kembali kepadepokan, termasuk barangbarang
berharga yang mereka sisihkan, agar tidak jatuh ketangan
gerombolan Macan Kumbang.
Ternyata bahwa mereka masih sempat beristirahat dan tidur
beberapa lama menjelang dini hari, sehingga rasa-rasanya tubuh
mereka telah menjadi segar.
Demikianlah, ketika fajar menyingsing, maka iring-iringan itupun
keluar dari persembunyian mereka. Seperti yang mereka lakukan
saat mereka pergi, maka merekapun maju dengan sangat berhatihati
menyusuri jalan-jalan sepi dipinggir hutan dan padang yang
kosong. "Kita akan memasuki daerah yang berpenghuni dimalam hari,"
berkata salah seorang dari tiga orang yang menjemput mereka.
"Ya" sahut yang lain, "kita akan berhenti setiap kali, untuk
memberi kesempatan anak-anak beristirahat."
Tidak seperti saat ketiga orang yang menyusul mereka, yang
dapat menempuh jarak itu jauh lebih cepat karena mereka berkuda,
maka perjalanan kembali itu terasa sangat lamban. Mereka harus
mengiringi beberapa orang anak-anak yang berjalan, karena tidak
ada orang lagi yang dapat mendukungnya. Hampir setiap
perempuan telah mendukung anak-anak mereka yg paling kecil,
sehingga anak-anak yang agak lebih besar harus menempuh
perjalanan mereka dengan berjalan sendiri.
Itulah sebabnya, maka jarak yang tidak terlampau jauh di pinggir
hutan itu harus mereka tempuh dalam waktu yang sangat lama.
Belum lagi mereka sempat meninggalkan hutan itu setelah mereka
berhasil keluar, anak-anak sudah mulai letih, sehingga mereka harus
beristirahat. 1858 Betapapun kejemuan terasa mengganggu perasaan beberapa
orang diantara mereka, namun mereka tidak dapat meninggalkan
anak-anak mereka. Karena itulah, maka perjalanan mereka terasa terlalu lama.
Bahkan seolah-olah mereka tidak bergerak sama sekali. Anak-anak
yang kelelahan, haus dan lapar mulai merengek, sehingga orangorang
tua yang ada diantara mereka harus berusaha untuk
mendapatkan air dan makan.
Ketika mereka kemudian berada di padang semak-semak,
sebelum mereka turun kedaerah yang berpenghuni, maka iringiringan
itupun sengaja beristirahat cukup lama. Orang-orang tua
mencoba menidurkan anak-anak mereka, karena mereka kemudian
akan menempuh perjalanan dimalam hari, agar tidak banyak
menimbulkan pertanyaan dari orang-orang yang melihat iringiringan
itu di sepanjang jalan padukuhan.
Tetapi akhirnya perjalanan yang sulit itu dapat juga mereka
selesaikan. Meskipun Perempuan-Perempuan itu seolah tidak
mendapat perlakuan yang sewajarnya dari setiap laki-laki yang ada
dipadepokannya, namun ketika mereka melihat pintu gerbang dari
padepokan yang sudah lama mereka huni, terasa juga perasaan
mereka menjadi berdebar-debar.
Hampir semalam suntuk mereka berjalan. Anak-anak yang tidak
mampu lagi berjalan, dinaikan ke atas punggung kuda yang
dituntun di antara mereka. Bahkan terpaksa beberapa orang
perempuan harus mendukung dua orang sekaligus.
Ketika mereka memasuki padepokan mereka, terasa dipipi
mereka menitik air yang hangat. Meskipun mereka harus
menghadapi tata kehidupan yang pahit, namun itu agaknya, lebih
baik daripada mereka harus berada diperantauan yang tidak
menentu, atau di hutan yang gelap dan mengerikan, apalagi di
perjalanan yang berat. Ternyata Empu Baladatu masih menuggu kedatangan perempuan
dan anak-anak. Beberapa orang penghuni padepokan itu menerima
1859 kedatangan anak-anak mereka dengan gembira. Terutama mereka
yang mempunyai anak laki-laki.
Tetapi kecemasan yang sangat telah menjalari dada orang tertua
dari padepokan Serigala Putih itu. Ia melihat beberapa orang lakilaki
tua yang mengawasi perempuan dan anak-anak itu masih
membawa barang-barang berharga yang memang diperuntukkan
bagi bekal anak-anak mereka yang akan bertebaran jika padepokan
itu benar-benar dikuasai oleh orang-orang dari gerombolan Macan
Kumbang. "Empu Baladatu adalah orang yang sama sekali tidak dapat
dimengerti watak dan tabibatnya" berkata orang tertua itu didalam
hatinya. Namun, orang itu berusaha menghapus semua kesan itu dari
wajahnya. Bahkan ia masih sempat berkata lantang, "kembalilah
ketempat kalian masing-masing. Padepokan kita tidak mengalami
kerusakan apapun juga.."
Demikianlah, maka perempuan dan anak-anak itupun segera
kembali ketempat masing-masing. Mereka benar-benar masih
menemukan tempat tinggal mereka seperti saat mereka tinggalkan.
Orang tertua dari padepokan itu menjadi berdebar-debar ketika
Empu Baladatu bertanya kepadanya, "Apakah semua dapat
diselamatkan?" Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun
bertanya, "Maksud Empu?"
"Perempuan dan anak-anak" jawab Empu Baladatu.
"O, ya, ya Empu. Semua dapat diselamatkan."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi senyum dibirnya
Geger Batu Bintang 1 Kambing Jantan Karya Raditya Dika Frostbite 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama