Ceritasilat Novel Online

Sepasang Ular Naga 31

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 31


membuat orang tertua itu tetap berdebar-debar.
Tetapi beberapa saat ia menunggu Empu Baladatu tidak bertanya
lebih lanjut meskipun nampaknya ia sangat memperhatikan barangbarang
yang dibawa oleh orang-orang yang baru saja datang itu.
1860 Tetapi sampai orang terakhir pergi ketempat mereka masingmasing,
Empu Baladatu tidak menanyakan apapun juga tentang
barang-barang itu. Bahkan iapun kemudian berkata, "lihatlah orangorang
yang baru datang. Tenangkan hati mereka, agar mereka tidak
mengalami gangguan jiwa untuk waktu yang lama. Apalagi
Perempuan-Perempuan."
Orang tertua itu kurang mengerti maksudnya, sehingga Empu
Baladatu tertawa, "Kau tidak pernah menghargai perempuan,
apalagi mencoba mengerti tentang mereka. Cobalah sekarang.
Bertanyalah apakah keadaan mereka baik, atau katakanlah kepada
mereka, bahwa mereka tidak usah gelisah dan takut, karena
gerombolan Macan Kumbang tidak akan datang mengganggu lagi."
Orang tertua itu mengangguk-angguk. Namun baginya Empu
Baladatu tetap merupakan teka-teki. Terutama yang berhubungan
dengan barang-barang mereka yang telah dibawa kembali
kepadepokan mereka itu. Meskipun dengan segan, tetapi orang tertua dari padepokan
Serigala Putih itu pergi juga menemui perempuan dan anak-anak.
Dengan ragu-ragu ia mencoba menjelaskan bahwa mereka tidak
usah cemas lagi karena orang-orang Macan Kumbang tidak akan
datang mengganggu. "Kita sudah mendapatkan seorang pemimpin yang baru yang
sekaligus menjadi pemimpin gerombolan Macan Kumbang karena ia
sudah membunuh pemimpin mereka." berkata orang tertua itu,
"karena itu, maka gerombolan Macan Kumbang sejak saat itu tidak
akan mengganggu kita lagi."
Perempuan dan anak-anak itu mengangguk-angguk. Ada sedikit
perasaan asing pada Perempuan-Perempuan itu. Orang tertua itu
nampaknya mulai memperhatikan mereka.
Tetapi yang dikatakan oleh orang tertua itu tidak lebih dari
sebuah pemberitahuan. Namun demikian pemberitahuan itu terasa
sangat berarti bagi Perempuan-Perempuan itu. Mereka memang
1861 menjadi tenang, dan terlebih-lebih lagi tanpa mereka sadari tumbuh
harapan yang tidak mereka mengerti.
Hari itu Empu Baladatu masih tetap berada dipadepokan Serigala
Putih, sedang orang tertua dipadepokan itu masih tetap dibayangi
oleh kegelisahan apabila pada suatu saat barang- barang mereka
akan dirampas. Dengan alasan apapun juga maka hal itu akan
sangat kemungkinan sekali terjadi.
(Bersambung ke jilid 26) Koleksi: Ismoyo Scanning: Arema Convert/proofing: Ayasdewe
Editing/Rechecking: Arema
-oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
1862 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 26 Tetapi, di pagi hari berikutnya,
Empu Baladatu ternyata telah minta
diri. Ia sama sekali tidak menanyakan
tentang harta benda itu. Setiap kali ia
hanya berpesan, agar orang-orang
Serigala Putih merubah sikapnya
terhadap perempuan dan anak-anak
mereka yang kebetulan lahir
perempuan pula. "Aku akan pergi" berkata Empu
Baladatu, "pada saat-saat yang belum
dapat aku katakan, aku akan datang.
Kalian tidak boleh bertengkar lagi
dengan orang-orang Macan Kumbang. Aku akan singgah di
padepokan mereka dan memberikan pesan yang sama. Selebihnya,
berhati-hatilah terhadap orang-orang yang bernama Mahisa
Bungalan dan Linggadadi. Keduanya adalah musuh yang paling buas
bagi orang-orang yang mereka sebut berilmu hitam. Yang mereka
maksud sudah tentu adalah kita sekalian."
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu menganggukangguk.
"Hati-hatilah menjaga diri" berkata Empu Baladatu kemudian.
1863 "Tetapi Empu" tiba-tiba saja orang yang dianggap memiliki ilmu
tertua dan tertinggi itu bertanya, "bagaimanakah sikapku terhadap
Empu Sanggadaru dan penguasa di Singasari yang ternyata adalah
dua orang anak muda yang baik hati itu?"
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Ia memang sulit sekali
untuk menentukan sikap Terhadap kedua pemimpin Singasari itu ia
sama sekali tidak ragu-ragu. Meskipun keduanya adalah orang yang
baik hati dan pemurah, tetapi baginya, sifat yang dianggapnya
lemah itu justru menguntungkannya, meskipun kedua anak-anak
muda itu memiliki ilmu yang luar biasa.
Tetapi untuk menentukan sikap terhadap Empu Sanggadaru
memang terlampau sulit baginya. Ia sadar, bahwa kakaknya tentu
tidak akan bersedia berdiri di pihaknya. Tetapi untuk memusuhinya,
rasa-rasanya masih ada perasaan segan, meskipun sudah terbayang
pula di dalam angan-angannya, jika Empu Sanggadaru itu kelak
akan menjadi penghalang bagi cita-citanya, maka ia tidak akan
ragu-ragu untuk mengambil s ikap.
Apalagi Empu Baladatu merasa, bahwa ilmu kakaknya tidak
terpaut banyak dari ilmunya sendiri.
"Jika aku berhasil menambah tingkat ilmuku selapis lagi, maka
aku akan menjadi orang yang akan mampu melakukan apa saja."
berkata Empu Baladatu di dalam hati.
Namun dalam pada itu, ia harus menjawab pertanyaan orang
dari gerombolan Serigala Putih itu, sehingga kemudian katanya,
"Empu Sanggadaru adalah orang yang baik. Ia tidak akan
mengganggu kita. Dan kita pun tidak akan mengganggunya. Ia
adalah kakak kandungku yang mengerti apa yang aku inginkan,
meskipun kami akan mengambil jalan yang berbeda." ia berhenti
sejenak, lalu, "dan bukankah persoalan gerombolan Serigala Putih
dan Empu Sanggadaru sudah selesai" Kematian pemimpinmu
merupakan akhir dari pertentangan yang berkepanjangan."
Orang tertua itu mengangguk-angguk.
1864 "Apakah kalian masih tetap mendendam terhadap kakang
Sanggadaru yang telah menyebabkan kematian pemimpinmu?"
Orang tertua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
menggelengkan kepalanya sambil menjawab, "Tidak Empu, aku
tidak mendendamnya."
"Tetapi meskipun demikian, tanpa aku, jangan membuat
hubungan dengan Empu Sanggadaru. Jika terjadi sesuatu akibat
kelengahanmu, aku tidak bertanggung jawab."
Orang tertua itu mengangguk-angguk.
"Nah, hati-hatilah. Aku akan kembali ke padepokanku. Pada
saatnya aku akan datang. Sebelumnya mungkin sekali aku akan
mengirimkan orang-orangku untuk melakukan hubungan-hubungan
jika aku berhalangan."
"Baiklah Empu" berkata orang tertua, "kami akan menunggu,
apakah yang harus kami lakukan."
"Baiklah. Untuk sementara, kaulah yang harus memimpin kawankawanmu.
Usahakan agar ilmu mereka meningkat dengan caramu,
karena pada suatu saat, aku akan mempergunakan caraku bagi
kepentingan kalian."
"Kami menunggu" jawab orang tertua itu.
Demikianlah Empu Baladatu pun meninggalkan padepokan
Serigala Putih untuk kembali ke padepokannya. Ia merasa usahanya
untuk menguasai gerombolan yang kehilangan pemimpin itu
berhasil. Sejak ia melihat kematian pemimpin Serigala Putih, maka
ia sudah mempunyai pertimbangan tersendiri, sehingga sikapnya
yang nampaknya lunak dan baik telah berhasil membawanya ke
dalam lingkungan Serigala Putih dan bahkan sekaligus, tanpa
diperhitungkan lebih dahulu, bahkan gerombolan Macan Kumbang.
Hanya karena kecepatannya menentukan sikap sajalah, maka kedua
gerombolan itu berada di bawah kekuasaannya, dan setiap saat
akan dapat dipergunakannya.
1865 Dalam perjalanan kembali itulah Empu Baladatu singgah sejenak
di padepokan gerombolan Macan Kumbang yang suasana serta
keadaannya tidak banyak berbeda dengan padepokan Serigala
Putih. Orang-orang di padepokan gerombolan Macan Kumbang pun
sama sekali tidak menghargai perempuan-perempuan yang ada di
padepokan mereka. Dan seperti di padepokan gerombolan Serigala
Putih, maka Empu Baladatu pun menghembuskan nafas kehidupan
yang berbeda. Namun dalam pada itu, kedua-duanya benar-benar telah berada
di bawah pengaruhnya. Kengerian dan harapan adalah ikatan yang
tidak dapat mereka lepaskan lagi.
Empu Baladatu hanya berada semalam di padepokan gerombolan
Macan Kumbang. Setelah memberikan beberapa petunjuk dan
menetapkan orang yang untuk sementara memegang pimpinan
selama ia tidak berada di padepokan itu, maka Empu Baladatu pun
segera kembali ke padepokannya.
"Semuanya harus direncanakan dengan baik" berkata Empu
Baladatu kepada para pengawalnya.
"Ya Empu. Tetapi apakah Empu tidak curiga bahwa sepeninggal
Empu mereka akan menentukan sikap yang lain?"
"Mereka tidak mempunyai kekuatan cukup untuk berbuat
demikian. Mereka merasa kehilangan pemimpin sehingga secara
jiwani, mereka menjadi lemah sekali, meskipun sebenarnya mereka
masih cukup kuat secara badani. Jika aku berhasil, maka kedua
padepokan itu akan dapat menjadi landasan kekuatan yang
berbahaya bagi Singasari."
Pengawalnya mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa jika
rencana itu berhasil, maka kemungkinan-kemungkinan yang cerah
akan dapat terjadi. "Tetapi kita harus dapat dengan cepat menguasai daerah diluar
Singasari sendiri sebelum daerah-daerah itu menentukan s ikap. Dan
untuk itu harus ada perencanaan sebaik-baiknya. Dalam pada itu,
para pemimpin pemerintahan di setiap daerah, para Raja, para
1866 Akuwu dan Buyut akan ikut menentukan. Jika kita kurang
memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi, maka
kita akan sesat." Pengawalnya hanya mengangguk-anggukkan kepala saja. Tetapi
mereka dapat membayangkan keterangan Empu Baladatu,,
"Kemenangan Akuwu Tumapel yang kecil saat itu atas Kediri
dapat dipakai sebagai cermin. Ken Arok yang kemudian bergelar Sri
Rajasa dapat memperhitungkan waktu dan keadaan sebaik-baiknya.
Ketidak puasan para brahmana dipergunakannya sebaik-baiknya
untuk melaksanakan rencananya menguasai Kediri yang besar."
Para pengawalnya masih mengangguk-angguk.
"Nah, kita harus menemukan kelemahan Singasari. Kita harus
dapat menumbuhkan ketidak puasan pada sebagian dari rakyat
Singasari agar pada suatu saat ketidak puasan itu akan dapat kita
manfaatkan sebaik-baiknya."
Pengawalnya masih mengangguk-angguk.
"Itulah sebabnya, aku masih harus memikirkannya. Masih banyak
hal yang harus diperhitungkan. Bukan sekedar menyusun kekuatan
dan bertempur di arena."
Demikianlah Empu Baladatu telah memberikan beberapa
landasan sikap kepada para pengawalnya yang terperdaya. Namun
yang masih belum diketemukan oleh Empu Baladatu adalah orangorang
yang dapat diajaknya berpikir, membuat pertimbangan dan
menentukan sikap. "Tetapi jika tidak ada orang lain" katanya di dalam hati, "aku
sendiri agaknya akan mampu melakukannya. Kakang Sanggadaru
agaknya tidak sejalan dengan rencanaku. Bahkan nampaknya ia
terlampau mengagumi kedua anak muda yang kini sedang
memegang pemerintahan."
Sekilas terbayang wajah-wajah yang tegang dari orang-orang
yang bernama Linggadadi dan Mahisa Bungalan. Namun Empu
Baladatu kemudian menggeretakkan giginya sambil berkata,
1867 "Keduanya adalah orang-orang yang tidak mempunyai kekuatan
apapun di belakangnya. Mungkin mereka mempunyai beberapa
kawan atau saudara seperguruan. Tetapi mereka bukan kekuatan
yang perlu dicemaskan." Namun kemudian, "tetapi perlu
diperhitungkan usaha mereka menjumpai orang-orangku seorang
demi seorang atau sekelompok kecil demi sekelompok kecil yang
akhirnya benar-benar dapat mengurangi kekuatan dalam
keseluruhan." Dalam usahanya untuk mengatasi kemungkinan itu, maka Empu
Baladatu berniat untuk mengirimkan beberapa orangnya khusus
untuk mengetahui lebih banyak dari kedua orang itu, tanpa
menimbulkan kemungkinan benturan, karena Empu Baladatu masih
menganggap bahwa orang-orang yang menamakan diri pembunuh
orang berilmu hitam itu benar-benar memiliki kelebihan dari orangorangnya.
"Aku harus mengirimkan beberapa orang dalam tugas sandi
tanpa memperkenalkan ciri-ciri perguruan yang disebut ilmu hitam"
berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.
Demikianlah, ternyata Empu Baladatu benar-benar melakukan
seperti yang dikehendakinya itu. Ketika ia sampai di padepokannya
dan berbicara dengan orang-orang terdekat, maka ia pun kemudian
memutuskan untuk melepaskan beberapa orang untuk mencari
keterangan lebih jauh tentang Mahisa Bungalan anak Mahendra dan
Linggadadi.. "Tetapi kalian tidak boleh sama sekali menunjukkan ciri-ciri dan
tanda-tanda yang dapat menjebak kalian. Bukan kalian yang dapat
mengenali Linggadadi dan Mahisa Bungalan, namun sebaliknya,
merekalah yang akan berhasil menjebak kalian.?"
Orang-orang itu mengangguk-angguk.
"Kalian pergi sebagai orang-orang yang tidak memiliki
kemampuan apapun yang dapat kalian banggakan. Kalian adalah
perantau-perantau miskin yang mengembara dari satu tempat ke
tempat yang lain. Tugas kalian, mengetahui dengan lebih jelas lagi
1868 tentang Mahisa Bungalan dan Linggadadi. Bukan merekalah yang
mengetahui lebih banyak tentang kalian dan bahkan membunuh
kalian."

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan demikian maka Empu Baladatu pun telah mempersiapkan
beberapa orangnya untuk tugas itu. Dengan sungguh-sungguh ia
memberikan beberapa petunjuk dan pesan.
"Tugas kalian tidak termasuk tugas yang berat. Kalian pergi
menjelajahi daerah Singasari dan sekitarnya. Kalian tidak harus
melakukan sesuatu selain mendengarkan berita. Kalian tidak harus
berkelahi atau melakukan kekerasan apapun. Hanya jika jiwa kalian
terancam, kalian boleh melakukan perlawanan. Itu pun harus kalian
jaga, agar kalian tidak menunjukkan ciri perguruan kita."
Enam orang telah disiapkan untuk tugas itu. Mereka mendapat
latihan khusus dalam tata perkelahian yang agak menyimpang dari
ciri-ciri perguruan mereka.
Setelah Empu Baladatu yakin bahwa mereka akan dapat
menyamar diri, maka keenam orang itu pun kemudian
dilepaskannya meninggalkan padepokan dengan pesan, agar
mereka selain mendapatkan keterangan tentang Mahisa Bungalan
dan Linggadadi, juga mencari keterangan tentang gerombolan yang
disebut berilmu hitam, aliran yang manapun juga. Mereka akan
dapat diserap untuk menjadi pengikut yang baik seperti gerombolan
Serigala Putih dan gerombolan Macan Kumbang.
Dengan pakaian dan sikap seorang perantau maka keenam orang
itu pun kemudian pergi memencar menempuh jalannya masingmasing.
Dari padepokan mereka membawa bekal yang cukup,
karena mereka akan menempuh perjalanan yang cukup panjang.
Mereka membawa beberapa keping perak yang dapat mereka
pergunakan jika perlu sekali. Namun bagi makan dan minum
mereka sehari-hari, mereka sudah berbekal pakaian seorang
perantau yang dapat mereka pergunakan untuk menumbuhkan
belas kasihan orang lain.
1869 Dalam pada itu, keenam orang itu pun merasa bahwa tugasnya
bukanlah tugas yang berat dalam arti benturan-benturan jasmaniah.
Mereka hanya harus melakukan dengan tekun, telaten dan tidak
segera menjadi jemu dan apalagi putus asa.
Sepeninggal keenam orang itu, maka Empu Baladatu pun
memerintahkan beberapa orang yang pernah ikut bersamanya ke
padepokan gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang. Atas
namanya orang-orang itu harus mengatur, agar orang-orang dari
gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang selalu merasa
bahwa Empu Baladatu adalah pemimpinnya sehingga semua
perintahnya harus ditaati, selain harus melakukan pengawasan atas
perkembangan padepokan itu selanjutnya.
Namun dalam pada itu, tidak semua orang di dalam kedua
lingkungan itu dapat menahan diri. Bagaimanapun juga rahasia itu
mereka simpan, namun orang-orang yang tidak terlalu puas dengan
keadaan terakhir, diluar sadarnya telah berceritera kepada orangorang
lain yang pernah berhubungan dengan mereka. Orang-orang
yang kadang-kadang mereka jumpai untuk membeli bahan makanan
atau bahan pakaian, sehingga betapapun lambatnya, tetapi akhirnya
beberapa orang pun mengetahui pula, bahwa kedua gerombolan itu
telah berada di bawah pimpinan orang baru. Dan diantara beberapa
orang itu termasuk orang yang bernama Linggadadi.
"Gerombolan itu sudah lama aku dengar" berkata Linggadadi
kepada kakaknya. "Mereka berada di bawah pimpinan seseorang yang memiliki ilmu
hitam." sahut Linggapati.
Keduanya termenung sejenak. Baru kemudian Linggapati
berkata, "Kita tidak dapat bertindak tergesa-gesa. Kita harus berada
di antara orang-orang kita untuk menyusun kekuatan. Kedua
gerombolan ditambah dengan kekuatan Empu Baladatu sendiri,
merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan."
Linggadadi mengangguk-angguk.
1870 "Kita tidak dapat menghadapi mereka seperti yang kita lakukan
sebelumnya" berkata Linggadadi, "apalagi jika kita berhadapan
dengan gerombolan-gerombolan yang karena sesuatu hal telah
menggabungkan diri menjadi satu lingkungan. Agaknya Empu
Baladatu dapat memanfaatkan kedua gerombolan perampok itu
menjadi kekuatan yang lain, yang langsung atau tidak langsung
merupakan kekuatan yang perlu kita perhatikan, jangka pendek dan
jangka panjang." Linggapati mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian
bersepakat untuk berada di dalam lingkungannya dan menempa diri
lebih tekun lagi. "Tetapi kita tidak boleh berada dalam lingkungan yang mati
sehingga kita tidak mengetahui perkembangan keadaan" desis
Linggapati. Linggadadi mengangguk-angguk. Ia menyadari sepenuhnya
bahwa padepokannya harus selalu mengikuti perkembangan
keadaan terutama tentang kedua gerombolan yang telah diikat oleh
seorang pemimpin dari keduanya.
Demikianlah, maka Linggapati dan Linggadadi pun kemudian
berusaha untuk menempa diri bersama kekuatan yang ada padanya.
Mereka tidak lagi merantau mencari orang-orang berilmu hitam dan
sekaligus membinasakan mereka. Kini mereka ternyata berhadapan
dengan gerombolan yang semakin lama menjadi semakin besar dan
meluas. Perlahan-lahan namun pasti, padepokan Linggapati dan
Linggadadi pun semakin berkembang. Dalam kehidupan sehari-hari
keduanya mempunyai pengaruh yang besar atas pemerintahan di
Mahibit, sehingga keduanya seakan-akan mempunyai kekuasaan
yang khusus melalui kekuasaan yang berada di tangan Akuwu.
"Jika pada suatu saat Akuwu Tumapel mampu mengalahkan
kekuatan di Kediri yang besar, maka tidak mustahil bahwa Akuwu di
Mahibit pun akan dapat mengalahkan kekuasaan di Singasari"
1871 berkata Linggapati kepada adiknya dan seluruh kekuasaan yang ada
padanya. Dengan hadirnya beberapa orang bekas prajurit yang
berpengalaman di dalam lingkungannya, maka Linggapati dapat
menyusun kekuatan yang semakin lama semakin berkembang.
Beberapa orang yang telah terhimpun di dalam padepokannya pun
mendapat tempaan lahir dan batin.
"Tanpa orang-orang berilmu hitam kita tidak perlu tergesa-gesa"
berkata Linggapati, "tetapi kini kita harus bersikap lain. Orang-orang
berilmu hitam itu akan dapat mendahului atau mengganggu usaha
kita." Adiknya yang sependapat, berusaha sekuat-kuatnya untuk
meningkatkan ilmu, bukan saja orang-orangnya, tetapi juga dirinya
sendiri. Namun dalam pada itu, berita tentang kekuasaan Empu Baladatu
yang telah menembus ke dalam lingkungan gerombolan Serigala
Putih dan Macan Kumbang pun terdengar pula oleh para petugas
sandi di Singasari. Orang-orang yang tidak terlalu puas dengan
keadaan di dalam lingkungan mereka, ternyata tidak berhasil
menyimpan rahasia itu serapat-rapatnya.
"Kedua gerombolan itu memiliki kekuatan yang cukup" seorang
petugas sandi melaporkan kepada Lembu Ampal
Lembu Ampal termangu-mangu. Menurut pendengarannya, orang
yang bernama Empu Baladatu itu adalah saudara Empu
Sanggadaru, sehingga karena itu, maka ia pun menjadi ragu-ragu.
"Benarkah yang kau dengar?" bertanya Lembu Ampal.
"Sepanjang pendengaranku, benarlah demikian. Tetapi aku masih
belum membuktikannya karena yang disebut bernama Empu
Baladatu itu kini tidak berada di kedua padepokan itu."
Lembu Ampal mengangguk-angguk. Tetapi keterangan itu di
terimanya dengan penuh keragu-raguan.
1872 "Aku akan menemui Empu Sanggadaru" berkata Lembu Ampal di
dalam hatinya. Karena keragu-raguannya itulah maka Lembu Ampal masih
belum menyampaikannya kepada Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka. Ia ingin mendapat keterangan yang lebih pasti,
selebihnya menunggu kedatangan Mahisa Agni yang masih belum
kembali dari pengembaraannya bersama Mahisa Bungalan dan
Witantra. "Baiklah" berkata Lembu Ampal kemudian, "aku pun akan
berusaha mendapatkan keterangan. Tetapi jika pendengaranmu
benar, maka kita memang harus berhati-hati menghadapinya.
Soalnya tentu bukan sekedar bermain-main."
"Apakah sebaiknya kita mendekati kedua padepokan itu untuk
mendapatkan kepastian?" bertanya petugas sandi itu.
"Jangan berbuat apapun juga. Aku sendiri akan mencari jalan."
Petugas sandi itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian
mengangguk-angguk. Katanya, "Silahkan. Mudah-mudahan segera
berhasil." Dengan demikian maka Lembu Ampal pun kemudian berusaha
untuk mendapat keterangan lebih jauh tentang Empu Baladatu.
Sumber yang mungkin dapat memberikan keterangan kepadanya
adalah Empu Sanggadaru yang menurut pengertiannya adalah
saudara kandung Empu Baladatu.
Dengan diam-diam maka Lembu Ampal pun kemudian pergi ke
padepokan Empu Sanggadaru. Bahkan ia sama sekali tidak
mengatakan kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Ia hanya
mengatakan bahwa ia mohon ijin untuk pergi dalam sehari karena
ada persoalan keluarga yang harus diselesaikan.
Dengan dua orang pengawalnya Lembu Ampal mengunjungi
padepokan Empu Sanggadaru. Kedatangannya ternyata telah
mengejutkan seisi padepokan, karena Lembu Ampal datang dengan
diam-diam tanpa memberitahukannya lebih dahulu.
1873 "Kami terkejut sekali" berkata Empu Sanggadaru.
"Maaf Empu, kami tidak sempat memberitahukan lebih dahulu
akan kedatangan kami. Tiba-tiba saja kami didera oleh suatu
kepentingan yang sangat mendesak."
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian
sambil tersenyum ia berkata, "Aku sudah menduga bahwa persoalan
adikku agaknya telah terdengar sampai ke istana, "
Lembu Ampal pun tersenyum pula. Jawabnya,, "Dugaan Empu
tepat sekali. Aku memang ingin mengetahui lebih banyak tentang
Empu Baladatu." Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia
sadar bahwa saat seperti itu pasti akan datang, namun ia masih
juga menjadi berdebar-debar.
Tetapi Empu Sanggadaru masih sempat berkata, "Baiklah. Aku
memang tidak akan dapat ingkar dari pertanyaan tentang adikku
itu. Tetapi aku ingin mempersilahkan Senapati untuk duduk lebih
dahulu sambil melihat-lihat hasil buruanku. Setelah para cantrik
menghidangkan seteguk air untuk menghapus dahaga, aku akan
mengatakan serba sedikit yang aku ketahui tentang adikku itu."
Lembu Ampal tidak menolak. Sambil memandang hasil buruan
Empu Sanggadaru yang sudah dikeringkan di dalam ruang itu, ia
meneguk air hangat dengan sepotong gula kelapa.
"Yang menarik" berkata Lembu Ampal, "adalah ular raksasa di
luar bilik ini." Empu Sanggadaru tersenyum. Katanya, "Adikku juga mengagumi
ular itu. Tetapi sudah tentu bagi Senapati, ular itu tidak ada
artinya." Lembu Ampal tersenyum. Dan ia masih bertanya tentang
beberapa jenis binatang buruan yang terdapat di dalam dan yang
dilihatnya diluar bilik itu.
1874 Baru sejenak kemudian ia mengulangi pertanyaannya tentang
Empu Baladatu. Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar
sebuah desah yang meluncur dari sela-sela bibirnya.
"Senapati, sebenarnyalah aku menjadi sangat prihatin
mendengar berita tentang adikku. Aku tidak menyangka, bahwa
adikku yang sudah lama tidak bertemu itu, terjerumus ke dalam
ilmu yang disebut ilmu hitam itu."
"Apakah yang kau ketahui tentang sifat-sifatnya sejak kanakkanak?"
"Ia memang keras kepala. Tetapi ia cerdas dan penuh kemauan
untuk menguasai keadaan."
"Sifat itulah yang mendorongnya untuk melakukan tindakannya
yang nampaknya agak berbahaya sekarang ini."
"Ya. Yang aku dengar, ia telah berhasil menguasai gerombolan
Serigala Putih dan gerombolan Macan Kumbang. Dua gerombolan
yang menurut penyelidikanku lewat orang-orangku adalah
gerombolan yang cukup besar. Aku pernah terlibat persoalan
dengan gerombolan Serigala Putih dan yang membuatku untuk
sangat berhati-hati. Membuat banyak rahasia di dalam padepokanku
dan bahkan kadang-kadang membuat orang lain bingung
menghadapi para, cantrik-cantrik di padepokan ini karena sikap
yang terlampau hati-hati itu."
"Dan ternyata bahwa pemimpin gerombolan itu terbunuh di
hutan perburuan." "Ya. Kesempatan itu dipergunakan oleh Baladatu sebaikbaiknya."
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam.
"Agaknya kedatangannya ke padepokan ini pada waktu itu"
berkata Empu Sanggadaru kemudian, "adalah dalam rangka
usahanya menyeret aku ke dalam lingkungannya. Untunglah bahwa
1875 sikapku waktu itu meragukannya, sehingga ia tidak menyampaikan
maksudnya kepadaku."
Lembu Ampal mengangguk-angguk. Katanya, "Jika ia
menyampaikan maksudnya, apakah yang akan Empu lakukan?"
"Aku berada dalam kesulitan. Meskipun sudah tentu aku
menolak, namun tindakan selanjutnya pasti membuat aku
kebingungan. Aku tidak akan dapat membiarkan ia melanjutkan
rencananya, tetapi aku juga tidak akan dapat menghentikannya,
karena tindakan kekerasan berarti pertengkaran antara aku dan
Baladatu, satu-satunya saudaraku."
Lembu Ampal masih mengangguk-angguk.
"Senapati" berkata Empu Sanggadaru kemudian, "bahkan untuk
selanjutnya, aku pun mohon, agar aku dibebaskan dari suatu
tuntutan kuwajiban apapun atas adikku. Aku berjanji bahwa aku
tidak akan memberikan bantuan apapun juga dari semua perbuatan
yang akan dilakukan selanjutnya. Mungkin ia akan mempergunakan
kedua gerombolan itu untuk tindakan kejahatan, tetapi mungkin
untuk kepentingan yang belum dapat kita bayangkan. Namun yang
pasti bahwa tiga padepokan yang kini dikuasainya, merupakan
kekuatan yang harus diperhitungkan, justru karena mereka adalah
orang-orang yang dikuasai oleh ilmu hitam."
Lembu Ampal memandang wajah Empu Sanggadaru yang
tegang. Namun ia mempercayai semua yang dikatakannya. Dari
sorot matanya, Lembu Ampal dapat melihat kejujuran di hati orang
tua itu. "Empu" berkata Lembu Ampal, "aku memang tidak berniat untuk
melibatkan Empu pada persoalan yang mungkin akan berkembang.
Tetapi aku ingin agar Empu sudi memberikan beberapa keterangan


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang Empu Baladatu jika ternyata kemudian Empu mendengar
segala sesuatu tentang dirinya"
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam. Katanya, "Aku bersedia.
Aku akan memberikan keterangan sejauh yang aku ketahui" ia
berhenti sejenak, lalu, "namun Senapati. Bagaimanapun juga aku
1876 tetap dikuasai oleh perasaan curiga meskipun terhadap adikku
sendiri. Jika ada sisa dendam pada gerombolan Serigala Putih dan
kecurigaan dari Baladatu bahwa aku akan menghambat usahanya,
maka pertemuan dari keduanya akan dapat berarti bencana bagi
padepokanku yang kecil ini."
Lembu Ampal terdiam sejenak. Namun katanya kemudian, "Aku
dapat mengerti Empu. Tetapi Empu mempunyai cantrik yang sudah
mendapatkan dasar-dasar ilmu kanuragan."
"Tidak sekuat gerombolan Serigala Putih dalam keseluruhan.
Seandainya demikian, tentu tidak bersama Macan kumbang."
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti
bahwa Empu Sanggadaru tidak membuat padepokannya sekuat
padepokan gerombolan-gerombolan seperti Serigala Putih dan
Macan Kumbang karena tujuan lahirnya sebuah padepokan memang
sudah berbeda. Meskipun demikian, Lembu Ampal pun dapat
memperhitungkan menurut keterangan yang pernah didengarnya
tentang perselisihan antara Empu Sanggadaru dengan orang-orang
dari gerombolan Serigala Putih, bahwa padepokan Empu
Sanggadaru bukanlah padepokan yang lemah, meskipun bukan
maksudnya untuk membangunkan kekuatan dengan maksud
tertentu. "Empu" berkata Lembu Ampal kemudian, "dengan hadirnya
Empu Baladatu di kedua padepokan itu, maka bukanlah dengan
demikian dendam itu akan terhapuskan pula?"
"Aku mengharap demikian meskipun bukan satu-satunya
kemungkinan" jawab Empu Sanggadaru.
"Mudah-mudahan memang demikian. Namun apakah yang akan
Empu lakukan dalam keadaan sekarang ini menghadapi gerombolan
orang berilmu hitam yang meskipun dipimpin oleh adik Empu
sendiri?" "Tidak apa-apa. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku akan
melakukan kebiasaanku sehari-hari."
1877 "Termasuk kecurigaan dan sikap hati-hati yang dapat membuat
orang lain menjadi heran dan kebingungan menghadapi cantrikcantrik
dari padepokan ini?"
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tersenyum sambil berkata, "Mungkin kau benar Senapati.
Mungkin aku masih tetap dalam s ikapku sehari-hari lengkap dengan
kecurigaan dan ketakutan."
"Empu" Lembu Ampal mengangguk-angguk, "tidak ada salahnya
Empu berhati-hati. Bahkan, aku sebenarnya ingin minta ijin yang
barang kali dapat Empu kabulkan."
Empu Sanggadaru termangu-mangu sejenak.
"Tetapi sebelumnya aku mohon maaf" Lembu Ampal
melanjutkan, "kami melakukannya tanpa maksud apa-apa atas
padepokan ini. Benar. Dan aku harap Empu mempercayai aku."
"Apakah yang sebenarnya akan Senapati lakukan" Senapati
adalah seorang petugas istana. Sebenarnya apapun yang akan
berlaku atas padepokanku, aku tidak akan dapat menolak apapun
yang akan terjadi dengan maksud apapun juga."
Lembu Ampal menarik nafas. Ia mempercayai kata-kata Empu
Sanggadaru, bahwa kesediaan itu adalah ucapan yang jujur,
bukannya sekedar berpura-pura atau dengan maksud tertentu.
"Empu" berkata Lembu Ampal, "Empu adalah kakak kandung
Empu Baladatu. Karena itu, bagaimanapun juga, akan mungkin
terjadi hubungan antara Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu.
Apakah hubungan itu akan berlangsung baik sebagaimana dua
orang kakak beradik, atau hubungan yang buram antara dua orang
yang berbeda pendirian dan sikap."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk.
"Empu" berkata Lembu Ampal dengan hati-hati, "jangan salah
mengerti. Bukan maksudku untuk minta ijin mengadakan
pengawasan atas padepokan ini, tetapi semata-mata karena kami
1878 ingin mengetahui apakah yang akan dilakukan oleh Empu Baladatu
selanjutnya." "Aku belum mengerti maksud Senapati."
"Jika Empu tidak berkeberatan, apakah aku diperbolehkan
menempatkan beberapa orang pengawal di padepokan ini" Menurut
perhitunganku, kapan pun waktunya, Empu Baladatu tentu akan
datang kemari. Nah, dengan demikian maka Empu Sanggadaru akan
dapat memberikan keterangan dan hubungan dengan aku lewat
orang-orangku yang aku titipkan disini."
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Nampak sesuatu
yang agak buram membayang di wajahnya, sehingga dengan serta
merta Lembu Ampal menyambung, "Tetapi itu hanyalah sesuatu
permintaan Empu. Jika Empu berkeberatan, aku tidak memaksa."
Empu Sanggadaru termenung sejenak. Lalu katanya, "Memang
agak berat untuk menerimanya. Meskipun Senapati mengatakan
bahwa itu bukanlah suatu usaha untuk mengawasi padepokanku."
"Sebenarnyalah Empu. Aku percaya kepada setiap kata yang
Empu katakan. Demikian juga aku percaya akan ketetapan hati
Empu. Tetapi jika Empu mempercayai aku seperti aku mempercayai
Empu, maka yang ingin aku lakukan benar-benar sekedar usaha
untuk mengetahui perkembangan keadaan dan perkembangan
hubungan antara padepokan ini dengan padepokan gerombolan
Serigala Putih yang kini dipimpin oleh Empu Baladatu yang
mempunyai seribu satu macam sifat dan watak sehingga yang
dilakukan itu benar-benar merupakan watak yang bertentangan
sama sekali dengan sifat dan watak yang pernah aku lihat di hutan
perburuan." "Bukan demikian Senapati. Bukan watak dan sifatnya yang
berubah-rubah, tetapi ia adalah seorang yang paling cakap
memainkan peranan yang berwatak dan bersifat saling berbeda dan
bahkan bertentangan."
1879 Lembu Ampal mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Agaknya
memang demikian. Dan ternyata bahwa ia berhasil dengan caranya
itu untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Tetapi permintaan
Lembu Ampal untuk menempatkan orang-orangnya di
padepokannya memang dapat menimbulkan keragu-raguan.
Agaknya Lembu Ampal pun memakluminya, sehingga untuk
beberapa saat ia terdiam untuk memberi kesempatan Empu
Sanggadaru memikirkannya.
Untuk beberapa saat Empu Sanggadaru merenungkan
permintaan Lembu Ampal. Dengan hati-hati ia mencoba menimbang
buruk baiknya. Namun akhirnya ia berkata, "Senapati, agaknya aku dapat
mengerti, bahwa Senapati ingin selalu mengikuti perkembangan
keadaan dalam hubungannya dengan Baladatu. Karena itu, baiklah.
Aku tidak berkeberatan memenuhi keinginan Senapati untuk
menempatkan beberapa orang prajurit di padepokan ini."
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
mengucapkan terima kasih. Jika aku kembali ke Kota Raja, maka
aku segera menyiapkan beberapa orang petugas sandi yang untuk
beberapa saat lamanya akan menjadi cantrik di padepokan ini.
Benar-benar akan melakukan tugas-tugas seorang cantrik, sehingga
karena itu, maka jika mereka membantah atau bahkan menolak
perintah yang Empu berikan, aku akan mengambil tindakan atas
mereka." Empu Sanggadaru tersenyum. Jawabnya, "Bagaimana mungkin
aku dapat berbuat demikian. Meskipun aku dapat berpura-pura,
tetapi aku tidak dapat mengelabui hatiku sendiri, bahwa sebenarnya
mereka memang bukan cantrik dari padepokanku.":
Lembu Ampal pun tersenyum. Katanya, "Yang pura-pura itu pun
memadailah asal nampaknya seperti bersungguh-sungguh."
1880 Keduanya tertawa. Sambil mengangguk-angguk Empu
Sanggadaru mengangguk, "Baiklah. Aku akan mengatur segalagalanya.
Aku akan memerintahkan orang-orangku untuk
menganggap mereka sebagai kadang di padepokan ini."
Lembu Ampal mengangguk-angguk. Nampaknya pembicaraan
mereka menemukan kesepakatan, sehingga setelah dijamu
secukupnya maka Lembu Ampal pun minta diri.
"Begitu tergesa-gesa Senapati?" bertanya Empu Sanggadaru.
"Aku akan menyiapkan beberapa orang yang akan aku kirim
kemari. Mereka akan mendapat pesan-pesan khusus dan aku
berharap, bahwa Empu pun akan memberikan beberapa petunjuk
apa yang seharusnya mereka lakukan di s ini."
"Aku akan mencoba. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu
dengan padepokanku yang kecil ini. Aku masih berharap bahwa
adikku masih tetap menganggap aku sebagai saudara tuanya
meskipun kami sudah lama saling berpisah dan tidak menemukan
persamaan cara untuk mencapai kepuasan lahir dan batin."
"Mudah-mudahan. Tetapi perlu Empu perhatikan, bahwa yang
dilakukan oleh Empu Baladatu sampai saat ini telah membahayakan
ketenteraman, bukan saja bagi Singasari yang biasanya terbatas
dengan pengertian Kota Raja, tetapi juga rakyat Singasari dalam
keseluruhan." Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Ia pun menyadari,
bahwa adiknya memang dapat kehilangan nalar dan bertindak
bertentangan dengan kewajiban sebagai seorang warga yang baik,
Lembu Ampal pun kemudian meninggalkan padepokan itu. Ia
berharap bahwa dalam waktu singkat ia akan dapat mengirimkan
beberapa orang prajurit pilihan ke padepokan itu dalam tugas sandi.
Baru setelah mendapat keterangan dari padepokan Empu
Sanggadaru, Lembu Ampal menyampaikan hal itu kepada
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Dengan sedikit keterangan dan
berita yang didengarnya, Lembu Ampal mencoba memberikan
1881 gambaran, apa yang dapat terjadi dengan tingkah laku Empu
Baladatu itu. "Hamba telah minta kepada Empu Sanggadaru untuk
menempatkan beberapa orang prajurit dalam tugas sandi di
padepokannya" berkata Lembu Ampal.
Ranggawuni mengangguk-angguk. Katanya, "Paman sudah
menentukan sikap yang benar menghadapi Empu Baladatu,
Meskipun kita tidak dapat mutlak tanpa bukti menuduh bahwa ia
akan melakukan tindak kekerasan terhadap Singasari namun aku
tidak berkeberatan paman berhati-hati. Tetapi untuk sementara
tidak lebih dari suatu sikap berhati-hati, karena kita tidak akan dapat
menentukan kesalahan Empu Baladatu hanya karena prasangka
saja." Lembu Ampal mengangguk dalam-dalam sambil menyahut,
"Ampun tuanku. Sebenarnyalah demikian. Yang hamba lakukan
hanyalah sekedar sikap hati-hati berdasarkan perhitungan dan
pertimbangan. Tetapi juga mungkin sekedar prasangka"
"Baiklah. Aku tidak berkeberatan. Kau dapat memilih prajuritprajurit
yang kau anggap akan dapat melakukan tugasnya dengan
baik." Dengan ijin Ranggawuni maka Lembu Ampal pun kemudian
memilih sepuluh orang prajurit pilihan. Untuk beberapa hari mereka
mendapat petunjuk-petunjuk khusus dari Lembu Ampal sendiri
menghadapi tugasnya yang tidak dapat ditentukan waktunya.
"Kalian berada dalam tugas sandi" pesan Lembu Ampal, "karena
itu kalian harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkunganmu.
Semua tindakan harus kalian pertimbangkan masak-masak, agar
kalian tidak melakukan kesalahan yang dapat merugikan tugas
kalian, dan terlebih-lebih merugikan orang yang telah bersedia
membantu kita semuanya."
Para prajurit itu mendengarkan semua pesan dan petunjuk
dengan seksama. 1882 Setelah tiga hari mereka mendapat latihan khusus untuk menjadi
seorang cantrik yang baik, maka mereka pun kemudian diserahkan
kepada Empu Sanggadaru di padepokannya. Agar kedatangan
mereka tidak menimbulkan kesan yang mencurigakan bagi orangorang
di sepanjang jalan menuju ke padepokan itu, maka kesepuluh
orang itu tidak datang bersama-sama. Yang terdahulu adalah
Lembu Ampal bersama tiga orang prajurit. Di hari berikutnya empat
orang lagi, dan di hari ketiga adalah sisanya.
Empu Sanggadaru menerima mereka dengan senang hati
meskipun ada juga percikan-percikan keragu-raguan. Tetapi Empu
Sanggadaru menganggap bahwa Lembu Ampal bukannya orang
yang berpura-pura di dalam tindakannya. Apalagi dalam tugas
keprajuritannya. Karena itulah maka Empu Sanggadaru pun kemudian berusaha
untuk menghapus segala macam prasangka yang telah
mengganggunya. "Empu" berkata Lembu Ampal setelah prajurit-prajuritnya
seluruhnya ada di padepokan itu, "aku sudah bermalam di
padepokan ini sambil menunggu petugas-petugas sandi yang kini
sudah lengkap. Karena itu, maka aku pun akan segera minta diri."
"Demikian tergesa-gesa Senapati?" bertanya Empu Sanggadaru.
"Sudah cukup lama aku meninggalkan istana. Tuanku
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sedang memerlukan kawan,
karena orang-orang tua di istana sedang dalam perjalanan." sahut
Lembu Ampal, lalu, "Mudah-mudahan orang-orangku berguna di
sini. Terlebih-lebih lagi tidak justru menimbulkan gangguan yang
dapat merubah suasana padepokan yang tenang dan damai ini."
"Tentu tidak" jawab Empu Sanggadaru, "nampaknya mereka
mengerti apa yang harus mereka lakukan disini."
"Selebihnya terserah kepada Empu. Jika perlu Empu dapat
memerintahkan salah seorang atau lebih untuk pergi ke Singasari
menghubungi aku dalam segala keperluan."
1883 Empu Sanggadaru mengangguk. Katanya, "Baiklah. Mudahmudahan
tidak ada sesuatu yang terjadi."
Demikianlah setelah menitipkan kesepuluh orang-orangnya dan
setelah memberikan pesan-pesan terakhir, maka Lembu Ampal pun
segera meninggalkan padepokan itu.
Ketika ia sampai di kota Raja dan menghadap Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka, maka ia pun terkejut karena Mahendra telah
menghadap pula. "Kau" sapa Lembu Ampal. Mahendra tertawa.
Setelah menyampaikan beberapa hasil kepergiannya sebagai
laporan kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, maka Lembu
Ampal atas perkenan Ranggawuni berkesempatan mendengarkan
ceritera Mahendra tentang perjalanan yang pernah ditempuhnya,
dan sebaliknya Lembu Ampal pun berceritera tentang seseorang
yang bernama Empu Baladatu dan usahanya untuk menguasai dua
gerombolan yang saling bertentangan meskipun bersumber pada


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu yang sama. Mahendra mendengarkan ceritera itu dengan penuh minat.
Baginya orang-orang berilmu hitam memang sangat menarik
perhatiannya. Di perjalanannya, telah dijumpainya pula beberapa
orang yang disebut berilmu hitam itu. Bahkan kedua anak-anaknya
pernah mengalami benturan kekerasan.
"Kekuatan orang-orang berilmu hitam itu ternyata tersebar
sampai ke tempat yang jauh" berkata Mahendra.
"Meskipun mereka mempunyai sumber yang sama, tetapi di
dalam perkembangannya, ilmu hitam itu pun memiliki berbagai
macam bentuk. Yang masih dekat sekali bentuknya adalah
gerombolan Serigala Putih dan gerombolan Macan Kumbang.
Meskipun demikian, dengan tata gerak Empu Baladatu, pada
beberapa hal masih juga dapat dijumpai persamaan watak
betapapun Empu Baladatu berusaha untuk menyembunyikannya."
sahut Lembu Ampal, kemudian, "pada saat aku menyaksikan tata
gerak Empu Baladatu di hutan perburuan itu, aku sama sekali tidak
1884 memperhatikannya. Tetapi baru kemudian, setelah aku mendengar
bagaimana ia berhasil menguasai kedua gerombolan itu, barulah
aku berusaha mengingat apa saja yang pernah dilakukannya di
hutan perburuan itu."
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya kemudian" Ternyata
yang sudah dilakukan itu sangat berbahaya, "
Lembu Ampal mengangguk. Kemudian sambil membungkuk
hormat ia menghadap kepada Ranggawuni sambil berkata
"Mudah-mudahan orang-orang yang hamba tempatkan di
padepokan itu pada suatu saat dapat memberikan keterangan yang
hamba perlukan." Ranggawuni mengangguk. Jawabnya, "Semua usaha pantas
dijalankan. Sudah tentu dengan berhati-hati dan tidak tergesa-gesa
karena semuanya masih harus dibuktikan."
"Hamba tuanku" sahut Lembu Ampal, "hamba sudah memberikan
pesan-pesan yang penting bagi mereka."
"Mudah-mudahan mereka dapat mengerti dan tidak terpengaruh
oleh perasaan mereka apabila pada suatu saat mereka harus
menghadapi suatu keadaan yang Tiba-tiba dengan orang-orang
berilmu hitam itu" berkata Mahisa Cempaka, "bukankah menurut
perhitunganmu, Empu Baladatu atau orang-orangnya, akan kembali
mengunjungi padepokan kakaknya itu?"
"Hamba tuanku" jawab Lembu Ampal, "hamba berharap, bahwa
mereka tidak berbuat apa-apa selain menangkap perkembangan
keadaan itu, kecuali jika jiwa mereka sendiri terancam."
Mahendra pun mengangguk-angguk pula. Bahkan kemudian ia
berkata, "Apakah tuanku tidak berkeberatan, jika hamba
menempatkan kedua anak-anak hamba dipadepokan itu pula?"
Ranggawuni termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Lembu
Ampal, seolah-olah ia minta pertimbangannya.
1885 Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Jika
keduanya memang berkeinginan, hamba kira, tidak ada
keberatannya tuanku."
Ranggawuni pun ternyata tidak berkeberatan. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata, "Baiklah paman Mahendra. Aku
tidak berkeberatan. Biarlah paman Lembu Ampal yang membawa
kedua puteramu itu ke padepokan Empu Sanggadaru. Tetapi seperti
yang lain, keduanya memerlukan petunjuk-petunjuk agar mereka
dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dipadepokan itu."
"Terima kasih tuanku," berkata Mahendra kemudian, "hamba
ingin, agar anak-anak hamba dapat mengenal segi-segi kehidupan
yang lain dari cara-cara hidup di rumahnya sendiri, di perjalanan
bersama ayahnya atau keperluan-keperluan lain yang masih dalam
lingkungan keluarga saja."
Ranggawuni mengangguk-angguk pula. Katanya, "Serahkanlah
kedua anak-anakmu kepada paman Lembu Ampal."
Seperti yang dititahkan oleh Ranggawuni, maka di hari berikutnya
Mahendra menyerahkan kedua anak-anaknya kepada Lembu Ampal.
Seperti para prajurit, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun
mengalami latihan-latihan dan petunjuk-petunjuk apa yang harus
dilakukannya di padepokan itu, apalagi menghadapi orang-orang
berilmu hitam yang memang mungkin sekali datang
kepadepokannya setiap saat.
Kehadiran Mahisa Pukat dan Mahisa Murti menambah padepokan
Empu Sanggadaru menjadi bertambah segar. Keduanya adalah
anak-anak muda yang mulai meningkat dewasa, yang memiliki
gairah hidup yang cerah. Keduanya segera menyesuaikan diri
dengan kerja yang dilakukan oleh anak-anak muda sebayanya di
padepokan itu. Bahkan kelakarnya yang segar dapat menambah
kegembiraan para cantrik yang sebaya umurnya.
Seperti yang dipesankan oleh Lembu Ampal, maka kedua anak
Mahendra itu sama sekali tidak menyombongkan kelebihan ilmunya
dari para cantrik. Bahkan keduanya pun dengan tekun mengikuti
1886 latihan-latihan yang diberikan oleh beberapa orang yang telah
mendapat wewenang untuk melakukannya, meskipun pada
umumnya sudah mengetahui, bahwa kedua anak muda itu memang
sudah memiliki ilmu dari perguruan yang lain.
Demikian pula kesepuluh orang prajurit dalam tugas sandi yang
ditempatkan dipadepokan itu. Baik para prajurit, maupun para
cantrik berusaha untuk saling menyesuaikan diri sehingga lambat
laun, maka mereka pun dapat luluh seolah-olah mereka memang
lahir dari satu perguruan.
Sementara itu, selagi padepokan Empu Sanggadaru sedang
mekar, karena ketekunan para cantriknya, maka gerombolan
Serigala Putih dan gerombolan Macan Kumbang pun mengalami
peningkatan ilmu pula. Empu Baladatu benar-benar telah
mengirimkan beberapa orang yang mulai menusukkan cara-cara
yang dianutnya untuk mengembangkan ilmu orang-orangnya yang
baru. Mula-mula, orang-orang gerombolan Serigala Putih dan
gerombolan Macan Kumbang menjadi ragu-ragu. Tetapi lambat
laun, rasa-rasanya ilmu mereka memang meningkat lebih cepat.
"Bukan karena darah korban itu" desis seorang tua yang merasa
sulit untuk menyesuaikan dirinya dengan cara-cara yang ditempuh
oleh orang-orang yang dikirim ke padepokan itu oleh Empu
Baladatu. "Jadi?" "Upacara itu memang mencengkam, sehingga kita semuanya
menjadi lebih bersungguh-sungguh. Itulah sebabnya. Kita seolaholah
telah memusatkan segala-galanya ke dalam pematangan ilmu
itu, sehingga dengan demikian, kemajuan kita memang nampak
lebih pesat." Kawannya mengangguk-angguk. Meskipun ragu-ragu ia berkata,
"Agaknya kau benar juga. Pemusatan pikiran memang dapat
mendorong kita untuk melakukan apa saja."
1887 Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Karena itu, jangan
terlampau terpengaruh oleh cara-cara baru yang mengerikan itu.
Setiap bulan bulat, maka akan dikurbankan seseorang. He,
dengarlah, setahun ada dua belas orang yang akan mati sebagai
korban." Kawannya tergetar hatinya sehingga bulu kuduknya meremang.
Namun, kawannya itu menjadi sangat ketakutan, ketika di hari
berikutnya, ketika fajar menyingsing, orang-orang dipadepokan itu
menemukan orang tua yang kurang menyetujui cara-cara baru yang
ditempuh itu mati terbujur di pembaringannya. Nampaknya ia mati
membeku karena tidak ada bekas luka sama sekali di tubuhnya dan
bekas-bekas yang lain yang dapat menunjukkan ciri-ciri
pembunuhan. "Kematian yang aneh" desis seseorang. Adalah kebetulan orang
yang diajak berbincang tentang cara-cara baru dari ilmu hitam oleh
orang yang mati itu mendengarnya.
"Mungkin ia telah salah ucap dan terdorong kata" diluar sadarnya
orang itu menyambung. "Apa maksudmu?"
"O" orang itu tergagap, "tidak. Aku tidak bermaksud mengatakan
apa-apa." Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Hampir berbisik ia
bertanya, "Apakah kau mengetahui sesuatu hal yang ada
hubunganya dengan kematian itu?"
Orang itu menggeleng, "Tidak. Tidak. Aku tidak tahu apa-apa."
Kawan-kawannya justru menjadi curiga, sehingga mereka
mendesaknya, "Tidak. Kau tentu mengetahui apakah yang telah
terjadi dengan orang tua itu."
Tetapi ia menggeleng lemah. Jawabnya, "Jangan mendesak. Aku
sudah cukup menderita dengan kematiannya."
1888 "Kau gila" geram seorang kawannya, "kau sengaja membuat hati
kami panas. Katakan."
"Aku tidak berani."
Kawannya yang lain Tiba-tiba saja telah mencengkam pundaknya
sambil menggeram, "Jika kau tidak mau mengatakan, aku akan
mencekikmu." "Jangan. Aku tidak mau mati dengan cara apapun juga. Aku tidak
mau mati seperti orang tua itu, tetapi juga tidak mau mati karena
dicekik." "Aku tidak peduli. Aku akan mencekikmu."
"Jangan memaksa" desis orang itu, "jika kau mempergunakan
kekerasan, aku pun akan mempertahankan diri."
Keduanya Tiba-tiba saja sudah siap untuk berkelahi. Tetapi
seorang yang lebih tua telah mencegahnya sambil berkata, "Jika
kalian berkelahi, maka kalian berdua akan mati. Pemimpin kita yang
baru atau orang yang ditugaskan di sini itu akan mengambil
tindakan yang tidak tanggung-tanggung terhadap kita semuanya
jika kita saling bertengkar."
Yang lain memandang orang itu sejenak. Lalu salah seorang
berkata, "Kita dapat menentukan sikap kita tanpa memperhatikan
orang-orang baru itu."
"Tidak mungkin" jawab yang lain, "mereka mempunyai
kekuasaan di s ini. Dan bagiku, kita sekarang memang sudah banyak
mengalami kemajuan."
"Bukan karena darah korban itu" desis seorang yang berdahi
lebar, "tetapi karena pengaruh kesungguhan kita sendiri. Korban
adalah sekedar cara untuk memaksa kita masing-masing
memusatkan perhatian tanpa gangguan apapun juga. Dengan
korban darah, kita merasa berada dalam suatu keadaan yang benarbenar
penting dan berarti."
1889 "Cukup, cukup" teriak orang yang pernah diajak berbincang
dengan orang tua yang terdapat mati dibiliknya.
"Kenapa?" Orang itu ragu-ragu.
"Kenapa?" bentak yang lain. Orang itu masih ragu-ragu.
"Baiklah" berkata yang lain lagi, "kami yakin bahwa kau
mengetahui tentang sesuatu. Tetapi kau tidak mau
mengatakannya." "Aku tidak berani. Tetapi barangkali kalian akan dapat menilai
setiap kata yang akan kau ucapkan. Kematian itu jangan terulang
lagi." Orang-orang yang mendengarnya mengerutkan keningnya. Salah
seorang dari mereka meloncat maju sambil bertanya, "Jadi apakah
karena orang tua itu terdorong kata sehingga ia mengalami nasib
buruk?" Orang itu tidak menjawab.
"Cepat, jawab" desak yang lain.
Orang itu tetap berdiam diri. Bahkan ia pun kemudian berdiri dan
melangkah pergi sambil berkata, "Aku tidak ikut campur. Jika ada
kutuk yang menimpa, janganlah menimpa diriku;, "
Orang-orang yang ditinggalkan itu pun saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian sambil mengangkat bahu seseorang
bangkit berdiri dan melangkah pergi dan bergumam, "Aku tidak
mengerti, apakah yang sedang kita hadapi sekarang."
"Persetan" geram orang yang berdahi lebar, "jika kutuk itu ada,
biarlah aku yang mengalaminya, karena memang akulah yang
mengatakan bahwa cara yang ditempuh sekarang ini untuk
mengembangkan ilmu memang berhasil, tetapi terlalu mahal."
Tidak ada yang menyahut. Satu-satu mereka meninggalkan
tempat itu dan kembali ke dalam bilik masing-masing.
1890 Ketika malam turun, peristiwa yang baru terjadi itu pun telah
membayang lagi pada orang yang berdahi lebar. Tetapi sekali lagi ia
berkata, "Persetan. Aku tidak peduli."
Ketika kemudian ia duduk seorang diri di serambi, maka orang
yang mencegahnya berbicara tentang cara-cara baru untuk
menuntut ilmu dan yang kebetulan juga berbicara dengan orang tua
yang mati itu datang mendekat sambil berkata perlahan, "Aku
mencemaskan nasibmu."
"Kenapa?" "Orang tua yang mati itu juga berbicara tentang cara-cara baru
yang sedang kita lakukan sekarang. Ia mati tanpa diketahui
sebabnya." "Aku tidak peduli."
"Mudahkan tidak terjadi sesuatu atasmu."
Orang berdahi lebar sama sekali tidak menghiraukannya.
Karena itulah maka pembicaraan mereka pun kemudian bergeser
dari satu persoalan dan persoalan lain. Seolah-olah diluar sadarnya
mereka telah mengunyah kacang yang digoreng sangan, yang
dibawa oleh orang yang datang kemudian.
Namun dalam pada itu, terasa sesuatu terjadi pada orang
berdahi lebar itu. Rasa-rasanya tubuhnya mulai gemetar dan
mulutnya bagaikan membeku.
"Aku, aku, kenapa?" desisnya terbata-bata.
"Kenapa kau?" bertanya kawannya itu.
"Lidahku, tanganku, kakiku. Rasa-rasanya aku menjadi beku."
Sejenak keduanya nampak gelisah. Orang berdahi lebar itu
mencoba menggerakkan tangan dan kakinya. Namun semakin lama
semakin terasa kelainan pada tubuhnya yang kekar itu.
"Aku, aku" desisnya, "lidahnya menjadi semakin beku.
1891 Tiba-tiba saja kawannya tertawa sambil berkata, "Jangan
bergurau." "Aku, aku tidak bergurau. Tetapi?"?" suaranya semakin sendat.
"Nah" Tiba-tiba kawannya berdiri, "sudah aku peringatkan, kau
jangan mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan usaha
memperbaiki keadaan kita di s ini sekarang."
Orang, berdahi lebar itu memandang kawannya dengan tatapan
mata putus asa. "Kau sudah kena kutuk."
Orang berdahi lebar itu tidak menyahut. Tetapi tubuhnya benarbenar
terasa membeku. "Aku menyesal bahwa telah terjadi malapetaka ini atasmu. Tetapi


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku tidak dapat mengelak lagi. Meskipun kau kawanku, tetapi
karena kau tidak sejalan dengan pimpinan kita, maka kau harus
dimusnakan. Jika tidak, maka sikapmu akan membahayakan
padepokan yang sudah mulai berkembang ini. Meskipun yang kau
katakan itu benar, bahwa darah seseorang yang dibunuh untuk
menjadi, korban itu sama sekali tidak berpengaruh, kecuali sebagai
suatu usaha untuk membangunkan suasana kesungguhan, bukan
sekedar bermain-main dan dapat dilakukan dengan s ikap acuh tidak
acuh karena seseorang sudah dikorbankan dihadapan mereka,
namun kesadaran itu tidak boleh berkembang."
"Jadi, kau, kau?" katanya sudah tidak jelas lagi.
"Ya. Aku. Yang membunuh orang tua itu juga aku dengan cara
dan racun yang sama."
Orang itu memancarkan sorot kemarahan yang tidak terhingga.
Namun agaknya racun yang bekerja di tubuhnya sudah menjadi
semakin tajam menusuk ke pusat jantung dan otak, sehingga orang
itu sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
"Tidurlah dengan nyenyak. Besok orang-orang yang menemukan
kau mati dengan selimut yang seolah-olah tidak tergeser di serambi
1892 ini akan menjadi gempar. Mereka mengetahui apa yang sudah kau
lakukan, sehingga tidak seorang pun yang akan berani
menyebarkan pendapat seperti yang kau katakan, dan yang
dikatakan oleh orang tua yang mati itu pula."
Tubuh orang berdahi lebar itu benar-benar sudah membeku.
Dengan hati-hati kawannya menolong membaringkannya seperti
saat ia tidur sambil berbisik, "Kau telah menelan racun karena
kacang yang kau makan telah aku rendam ke dalam racun yang
tajam. Aku masih mempunyai banyak sekali kacang yang demikian.
Nah, selamat tidur. Kau ketahui sekarang bahwa aku adalah
pengikut yang paling setia dari Empu Baladatu, dan dengan sadar
sepenuhnya akan arti dan maknanya, akan menerima cara yang
dipergunakannya. Membunuh di setiap bulan bulat untuk
membangunkan suasana kesungguhan. Agaknya memang mahal
sekali nilai ilmu yang akan kita miliki bersama. Sayang kau sudah
tidak dapat melihat, bagaimana padepokan ini bersama dengan
orang-orang yang sejalan, pada suatu saat merebut istana Singasari
dari tangan kedua anak-anak ingusan itu."
Orang berdahi lebar itu sudah tidak dapat menjawab, karena
lidahnya benar-benar telah membeku. Demikian juga anggauta
tubuhnya sehingga ia hanya dapat berbaring diam betapapun
batinnya serasa dibakar oleh kemarahan.
Namun kemarahan itu pun semakin lama menjadi semakin pudar
sejalan dengan kepudaran nalar dan perasaannya.
"Tidurlah dengan nyenyak. Jika kau masih bertanya di dalam
hatimu kenapa aku tidak mati, maka jawabnya, aku dapat
membedakan, yang manakah yang dapat aku makan, dan yang
manakah yang tidak."
Orang berdahi lebar itu sudah tidak mendengar lagi ketika orang
yang membunuhnya itu tertawa pendek. Bahkan matanya pun
kemudian menjadi kabur. Rasa-rasanya ingin ia meronta dan
meneriakkan kemarahannya, tetapi seolah-olah ia sudah tidak kuasa
lagi atas dirinya sendiri.
1893 Sejenak kemudian, maka semuanya pun menjadi gelap dan tidak
ada lagi yang dapat didengarnya. Kematian telah datang terlampau
cepat. Seperti yang diperhitungkan, maka tidak sampai matahari terbit
di pagi harinya, padepokan itu telah menjadi gempar sekali lagi
karena kematian yang aneh. Seseorang yang melihatnya di dini hari,
mendekatinya dan menegurnya. Tetapi orang berdahi lebar itu
sudah tidak mendengarnya.
"He, kenapa kau tidur disini" Udara sangat dingin. Apakah kau
sedang menunggu lintang alihan."
Pertanyaan itu tidak terjawab. Berulang kali, sehingga akhirnya
tubuh itu pun diguncangnya. Tetapi tubuh itu telah membeku.
Dalam kegemparan itulah beberapa orang menjadi tegang dan
saling berbisik, "Apakah kematiannya ini ada hubungan nya dengan
kata-katanya kemarin?"
Tidak seorang pun yang dapat menegaskan. Tetapi orang yang
membunuhnya itu dengan gemetar berbisik, "Aku sudah
memperingatkannya. Kematian yang terdahulu karena ucapanucapan
yang terdorong seperti itu."
"Darimana kau tahu?"
"Aku, aku akulah yang mendengarnya. Tetapi aku menjadi takut
sekali." Yang lain menarik nafas. Tetapi seseorang berdesis, "Jika kau
berterus terang, peristiwa ini tidak akan terjadi."
Orang yang membunuh dengan racun pada biji-biji kacang itu
mengerutkan lehernya. Dipandanginya orang-orang yang ada di
sekelilingnya sambil berdesis, "Tidak. Aku tidak berkata apa-apa.
Aku tidak berkata apa-apa."
Kawan-kawannya pun mulai dibayangi oleh perasaan takut pula
sehingga salah seorang dari mereka berkata, "Sudahlah. Marilah,
kita sampaikan hal ini kepada yang berwenang mengusutnya."
1894 Beberapa orang di antara mereka pun kemudian
memberitahukan kematian orang berdahi lebar itu kepada orang
yang ditugaskan oleh Empu Baladatu berada dipadepokan itu dan
memimpin upacara menurut kepercayaannya.
"Ki Lurah" salah seorang dari mereka berdesis dengan suara
gemetar, "kematian yang serupa telah terulang lagi."
Orang yang mewakili Empu Baladatu itu mengerutkan keningnya.
Kemudian dengan nada yang datar ia bertanya, "Apakah tidak ada
tanda-tanda kematiannya seperti orang tua itu?"
"Ya Ki Lurah." Yang disebut Ki Lurah itu pun kemudian berdiri sambil berkata,
"Aku akan melihatnya."
Orang-orang yang mengerumuni mayat orang berdahi lebar itu
pun menyibak. Terdengar mereka saling berdesis, "Kiai Dulang telah
datang." Kiai Dulang mendekati perlahan-lahan. Dipandanginya mayat
yang terbujur itu. Perlahan ia meraba tubuh yang telah membeku
itu pada dahinya. "Tepat seperti kematian yang telah menerkam orang tua itu. Ada
kesamaan pada gejala-gejalanya. Tetapi aku tidak tahu apa
sebabnya. Keduanya tidak nampak tanda-tanda pembunuhan,
penganiayaan, maupun sejenis penyakit yang dapat membunuhnya
dengan cepat." Ia berhenti sejenak, lalu ia pun bertanya, "bukankah
kemarin orang itu masih nampak sehat-sehat saja?"
"Ya. Kami masih berbicara lewat senja."
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Kemudian desisnya, "Ada
tanda aneh pada urat-uratnya. Seperti juga orang tua yang mati
itu." "Tanda-tanda apakah itu Ki Lurah."
"Urat-uratnya telah membeku terlebih dahulu dari pada
kematiannya." 1895 "Tetapi ia mengerti, apakah sebabnya" Tiba-tiba orang yang
berdiri di belakangnya menyahut.
"Jika kau mengerti, katakanlah."
Orang yang telah membunuh orang berdahi lebar itu ternyata
memiliki kemampuan untuk berpura-pura. Dengan suara gemetar ia
berkata, "Tetapi, tetapi aku tidak berani mengatakan. Aku takut
mengalami nasib serupa."
"Katakanlah." "Tidak. Aku tidak berani. Ada sesuatu yang rasa-rasanya
mencegah aku mengatakannya. Tetapi aku tidak tahu."
Kiai Dulang mendekatinya. Kemudian dipegangnya kepala orang
itu sambil berkata, "Katakanlah."
"Aku takut. Aku takut."
"Kau hanya mengatakan apa yang sudah terjadi. Kau tidak
mengatakan apa-apa sama sekali. Apakah kedua orang itu mati
karena mengatakan apa yang sudah terjadi?"
Orang itu ragu-ragu. Lalu mengangguk kecil. "Ya. ia mengadakan
apa yang sudah terjadi."
"Tentu tidak. Kau bohong."
"Aku berkata sebenarnya."
"Jika kau berbohong, aku gantung kau di regol padepokan ini."
"Tidak, aku tidak berbohong. Kedua orang itu memang
mengatakan sesuatu yang telah terjadi. Tentang perguruan ini."
Orang yang sebenarnya telah membunuh itu berpura-pura
bingung sejenak. Namun kemudian katanya, "Tetapi jika sesuatu
terjadi, maka itu bukanya tanggung jawabku."
"Aku akan mempertanggung jawabkan" sahut Kiai Dulang.
Orang itu termenung sejenak. Kemudian katanya, "Baiklah.
Tetapi sekali lagi aku katakan, semua kutuk jangan mengenai diriku.
1896 Jauhkan semua mara bahaya, karena aku sekedar melakukan bukan
kehendakku sendiri."
"Jadi. penyakit jenis yang manakah yang telah membunuhnya
itu?" Kiai Dulang menggeleng, "Aku tidak tahu. Tetapi yang terjadi
benar-benar bukan sewajarnya. Ada sesuatu diluar daya nalar kita.
Ada kekuatan diluar kekuatan lahiriah."
"Kutuk barangkali?" seseorang bertanya dengan ragu-ragu.
Kiai Dulang memandang orang itu sejenak. Lalu, "Siapakah yang
pernah mengutuknya" Atau mungkin ia sudah melakukan
kesalahan?" Beberapa orang menjadi ragu-ragu. Dan Tiba-tiba saja tiga
empat orang telah memandang orang yang sebenarnya telah
membunuh orang berdahi lebar itu. Salah seorang berbisik,
"Katakan. Katakanlah, "
"Kenapa aku" Banyak orang yang dapat menjadi saksi dari
peristiwa itu." "Tetapi kau sudah menyaksikannya dua kali."
Orang itu menggeleng. Namun sebelum yang lain memaksanya,
Kiai Dulang telah bertanya, "Kenapa dengan orang itu."
Salah seorang menyahut" Ia menyaksikan dua kali Ki Lurah."
"Apakah yang dua kali?"
"Kematian itu."
"Kematian yang mana?"
"Orang tua itu, dan orang berdahi lebar ini." Kiai Dulang
termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan suara yang berat ia
bertanya, "Apakah benar kau menyaksikannya kedua kematian itu?"
"Tidak, tidak Ki Lurah. Aku sama sekali tidak menyaksikannya."
"Cepat, katakan."
1897 Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
diceriterakannya apa yang pernah didengarnya dari kedua orang
yang telah terbunuh itu. bahwa mereka kurang mempercayai caracara
yang sekarang dilakukan dipadepokan ini untuk meningkatkan
ilmu." "He" Kiai Dulang terbelalak, "jadi kau tidak mempercayai upacara
yang harus dilakukan dalam penerimaan ilmu ini.?"
"Bukan, bukan aku. Bukan aku yang tidak percaya. Tetapi kedua
orang mati itu." Kiai Dulang maju perlahan-lahan. Kemudian digenggamnya
rambut orang itu sambil mengguncang-guncangnya, "Jadi kau
berani mengatakan hal itu di hadapanku?"
"Bukan aku. Aku sudah mengatakan, bahwa tanggung jawab ini
ada pada Kiai. Ada pada Kiai Dulang. Tidak padaku."
Kiai Dulang menarik nafas. Katanya, "Ya. Aku bertanggung
jawab. Tetapi bagaimana dengan kau sendiri?"
"Aku percaya Kiai, aku percaya."
Kiai Dulang itu pun kemudian berdiri menengadahkan kepalanya
dan memandang berkeliling. Dengan wajah yang tegang ia berkata,
"Terserahlah kepada kalian. Percaya atau tidak percaya. Aku tidak
akan menghukum seseorang karena ia tidak percaya. Kepercayaan
bukannya sesuatu yang dapat dipaksakan. Kepercayaan harus
tumbuh dari hati sendiri. Yang dapat dilakukan oleh orang lain
adalah memaksakan kepercayaan menilik pengakuan lahirlah saja.
Tetapi bukanya kepercayaan yang sebenarnya, yang tumbuh dari
dalam hati." Orang-orang yang ada di sekitarnya terdiam.
"Kedua orang itu harus memetik buah dari tanamannya sendiri.
Terserah kepada kalian, apakah kalian akan memilih nasib serupa
itu, atau kalian akan bersikap lain."
1898 Tidak ada jawaban, tetapi wajah-wajah yang tegang itu
nampaknya mengucapkan pengakuan yang sama bahwa mereka
tidak dapat memilih yang lain kecuali mempercayainya, karena
mereka tidak mau mengalami nasib serupa dengan kedua orang
yang telah mati dengan cara yang aneh. Seolah-olah mereka telah
mati tanpa sebab. Sejenak kemudian, maka Kiai Dulang pun meninggalkan tempat
itu. Sekilas dipandanginya wajah orang yang telah melakukan
perannya dengan baik sekali, sehingga seolah-olah apa yang terjadi
itu bukannya sekedar sikap pura-pura.
Sepeninggal Kiai Dulang, maka orang-orang yang sedang
dicengkam oleh kegelisahan itu pun bagaikan membeku. Mereka
seakan-akan telah dicengkam oleh perasaan ngeri dan cemas.
Namun di dalam setiap hati kemudian terbersit, "Jika aku akan
selamat, sedangkan ilmuku pun akan segera meningkat."
Setelah mayat orang yang terbunuh itu diselenggarakan
semestinya, maka tidak ada seorang pun lagi yang berani
mempersoalkan upacara yang berlaku dalam lingkungan ilmu hitam
itu. Setiap orang telah terikat pada suatu kepercayaan yang tidak
dapat mereka ingkari lagi. Karena mereka berpendapat, bahwa
ingkar dari kepercayaan itu, berarti kematian yang diliputi oleh
rahasia yang mendebarkan.
Sementara itu, orang yang telah berhasil mempercayakan kawankawannya
itu merasa bangga bahwa ia telah melakukan sesuatu
dengan baik dan berhasil. Itulah sebabnya maka ia memasuki
sebuah bilik dengan dada tengadah ketika Kiai Dulang
mengundangnya. "Kau pantas mendapat anugerah dari Empu Baladatu" berkata
Kiai Dulang. "Ah, apa yang aku lakukan adalah suatu kuwajiban."
"Ya. Dan kau sudah melakukan kuwajibanmu dengan baik
sekali." 1899 "Mereka sekarang tidak lagi ragu-ragu. Mereka percaya
sepenuhnya bahwa korban darah itu dapat mempengaruhi
kecepatan penyadapan ilmu itu."
Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Lalu, "Seharusnya kita
memang mempercayainya. Meskipun pembunuhan itu di lakukan
oleh seseorang. dalam hal ini olehmu, tetapi sebenarnyalah kita
harus mempercayainya bahwa upacara itu harus dilakukan. Darah
yang memercik pada saat-saat upacara itu berlangsung berarti


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memercikkan kekuatan yang ada pada korban itu kepada setiap
orang yang ikut serta dalam upacara itu."
Orang yang telah melajukan pembunuhan itu menganggukangguk.
Akhirnya ia pun berkata, "Aku memang mempercayainya."
"Bagus. Jika demikian maka kau adalah orang yang paling dapat
dipercaya dipadepokan ini. Kau memiliki kesempatan yang luas
untuk memegang pimpinan dipadepokan ini jika aku tahu orangorang
yang mewakili Empu Baladatu sedang berhalangan."
Orang itu tersenyum-senyum.
"Lain kali aku akan mengusulkan agar kau mendapat tanda jasa
itu. Sekarang, kita akan merayakan kemenangan ini dengan cara
kita." Orang itu tersenyum-senyum. Jarang sekali ia mendapat
kesempatan untuk makan bersama Kiai Dulang. Bahkan selama
hidupnya hanya akan didapatinya sekali itu saja.
Karena itulah maka orang itu telah mempergunakan kesempatan
itu sebaik-baiknya. Sambil mengunyah makanan dan meneguk
minuman, ia mendengarkan Kiai Dulang memujikan seolah-olah
tidak ada habis-habisnya.
"Sekarang setiap orang dipadepokan ini akan menganut
kepercayaan pada upacara itu tanpa ragu-ragu lagi" berkata Kiai
Dulang, "dengan demikian semuanya akan berjalan lebih lancar dan
rencana yang besar itu pun akan segera dapat diujudkan."
1900 Orang yang merasa dirinya berjasa itu pun mengangguk-angguk
sambil tersenyum bangga. "Sekarang" berkata Kiai Dulang, "aku ingin menunjukkan
kepadamu suatu keajaiban yang barangkali tidak pernah kau duga
sebelumnya. Jika kau sendiri masih juga ragu-ragu, maka kau akan
segera yakin, bahwa yang kau lakukan bukannya sekedar menakutnakuti
dan memaksa orang lain percaya karena tipu muslihat. Tetapi
sebenarnyalah yang kita lakukan mempunyai kemungkinan yang
tidak terbatas oleh kemampuan nalar manusia. Dengan demikian
maka kadang-kadang kita ragu-ragu, bahwa pada suatu saat kita
akan sampai kepada suatu tingkat yang tidak dapat dipecahkan
dengan akal." Orang itu termangu-mangu sejenak.
"Marilah" berkata Kiai Dulang sambil berdiri, "kita pergi ke
Sanggar. Tidak ada orang lain yang akan mendapat kesempatan
serupa. Kau adalah satu-satunya orang diluar perguruan Empu
Baladatu yang boleh mengetahui rahasia itu."
"Aku sekarang berada di dalam lingkungan perguruan Empu
Baladatu." Kiai Dulang tertawa. Jawabnya, "Baik. Baik. Kau sekarang
memang berada di dalam lingkungan perguruan Empu Baladatu."
Demikianlah maka keduanya pun kemudian meninggalkan bilik
itu. "Jangan ada orang lain yang melihat kita" berkata Kiai Dulang,
"karena itu, hal ini kita lakukan setelah gelap."
Orang itu mengangguk-angguk. Padepokan itu memang sudah
menjadi gelap, dan lampu-lampu minyak sudah mulai dipasang.
Obor-obor yang besar pun telah dipancangkan di regol meskipun di
setiap malam obor itu hanya akan menyala sampai saatnya orangorang
pergi tidur sebelum tengah malam.
Dengan hati-hati keduanya pergi ke ruang belakang yang untuk
sementara telah dipergunakan sebagai sanggar. Di muka ruang itu,
1901 menghadap ke belakang, upacara yang mendebarkan itu dilakukan
setiap bulan purnama. Sementara di saat-saat sebelumnya korban
yang akan disajikan dalam upacara itu telah disimpan di dalam
sanggar itu. "Kau akan melihat sesuatu yang menarik di dalam sanggar itu."
Orang itu tidak menjawab.
Sejenak kemudian, maka mereka pun lelah berada di depan
ruang yang khusus itu. T idak setiap orang boleh memasuki sanggar
upacara itu selain Kiai Dulang dan satu dua orang yang dibawanya
dari padepokan Empu Baladatu sebagai pengantar setiap upacara di
saat bulan penuh. "Kita akan memasuki ruangan itu" berkata Kiai Dulang, "kau
harus membersihkan dirimu dan hatimu. Kau harus melihat apa
yang tampak tidak saja dengan mata wadagmu tetapi dengan mata
hatimu." Orang itu menjadi berdebar-debar. Bukan saja hatinya, tetapi
tubuhnya pun serasa menjadi gemetar.
"Kau nampak pucat sekali" desis Kiai Dulang.
"Tidak Kiai. Tidak apa-apa." jawabnya. Tetapi dalam pada itu
tubuhya serasa menjadi semakin gemetar.
Kiai Dulang tersenyum. Katanya, "Aku pun pernah mengalami
keadaan serupa. Ketika pertama kali aku memasuki sanggar agung
bersama Empu Baladatu, maka aku pun menjadi gemetar. Rasarasanya
aku tidak dapat mengangkat kakiku untuk melangkahi
tlundak pintu." "Ya Kiai." "Cobalah menguasai diri. Tidak ada yang aneh jika kau benarbenar
mempersiapkan dirimu. Jika kau melihat sesuatu yang tidak
dapat kau urai dengan nalar, terima sajalah hal itu sebagai suatu
keajaiban." 1902 Orang itu mengangguk. Tetapi tubuhnya terasa menjadi semakin
lemah, bagaimanapun juga ia mencoba menguasai perasaannya,
sehingga akhirnya ia tidak dapat menyembunyikan keadaannya lagi.
Terdengar suaranya yang gemetar, "Kiai. Aku menjadi sangat
lemah dan seolah-olah aku tidak mempunyai kekuatan lagi untuk
berdiri." "Duduklah. Kau benar-benar telah dipengaruhi oleh
perasaanmu." Orang itu pun kemudian duduk di sudut di muka ruang yang
dikeramatkan itu. Peluhnya mengalir semakin deras dan nafasnya
seolah-olah menjadi semakin pepat.
"Aku tidak tahu, apakah yang terjadi atas diriku."
"Tidak apa-apa. Jika kau berhasil menguasai perasanmu, maka
semua itu akan hilang dengan sendirinya dan kau akan mendapat
kesempatan melihat sesuatu yang belum pernah kau lihat
sebelumnya." "Tubuhku menjadi gemetar. Seolah-olah tulang-tulangku telah
terlepas pada sendi-sendinya.
"Cobalah menarik nafas. Dan cobalah menyadari apa yang
terjadi. Kau terlampau bangga dan barangkali terlalu
berpengharapan." Orang itu memandang Kiai Dulang dengan wajah yang pucat dan
berkeringat. Namun ia mencoba juga untuk menarik nafas panjang
sekali. Beberapa kali. Dicobanya untuk menguasai dirinya dengan
kesadaran bahwa yang terjadi itu bukannya karena kelainan pada
tubuhnya, tetapi semata-mata karena perasaannya. Tetapi ternyata
bahwa ia tidak berhasil. Ia masih merasa dirinya lemah dan
nafasnya menjadi sesak. Bahkan kemudian seakan-akan ia tidak mampu lagi menahan
tubuhnya untuk tetap duduk meskipun sambil bersandar dinding.
"Aku menjadi lemah sekali" desisnya.
1903 Tiba-tiba saja sisa-sisa kesadarannya tersentak ketika ia melihat
Kiai Dulang tertawa meskipun tidak cukup keras.
"Kiai tertawa" orang itu bertanya.
"Aku tertawa melihat wajahmu yang pucat, tubuhmu yang
gemetar, dan ketakutan yang mencengkam."
"Aku sungguh-sungguh merasa bahwa sesuatu telah terjadi pada
diriku Kiai." "Tentu. Aku tidak membantah. Kau telah tersentuh oleh racun
seperti yang pernah kau berikan kepada orang lain. Kepada kedua
orang yang telah mati kau bunuh itu."
"He" mata orang itu terbelalak. Tubuhnya masih dapat
menyentak sejenak. Namun kemudian ia terbaring di lantai tanpa
dapat bergerak lagi selain matanya yang berkeredip dan nafasnya
yang tersengal-sengal. "Tidurlah pahlawan" desis Kiai Dulang, "kau sudah berjasa
kepada Empu Baladatu dan para pengikutnya. Juga kepada
padepokan ini. Kau pantas mendapat tanda penghargaan yang
paling tinggi dari Empu Baladatu, yaitu kematian lewat tanganku."
"Kenapa, kenapa hal ini Kiai lakukan?" suaranya tersendatsendat.
"Tugasmu sudah selesai. Kau sudah cukup meyakinkan orangorang
dipadepokan ini. Dua orang sudah cukup, dan bahkan tiga
dengan dirimu sendiri."
"Kenapa aku?" "Kau menjadi sangat berbahaya bagi kami. Kau mengetahui
rahasia kematian kedua orang itu. Karena itu, kau pun harus mati.
Kematianmu merupakan jasamu yang terakhir, karena dengan
demikian orang-orang dipadepokan ini akan menjadi semakin yakin
dan percaya, bahwa kau dan kedua orang yang terdahulu mati
karena kepercayaannya yang goyah. Kau sudah berani menyebutnyebut
sebab kematian kedua orang itu di hadapan banyak orang."
1904 "Tetapi bukankah Kiai sendiri yang menyuruhku" suaranya
menjadi semakin lambat meskipun ia masih memaksa diri untuk
tetap sadar." Kiai Dulang tertawa lagi. Perlahan-lahan. Tetapi nada suaranya
bagaikan suara hantu dari dalam panasnya api.
"Semuanya sudah aku atur. Dan ternyata aku berhasil
menyelesaikan tugasku dengan baik. Tetapi aku tidak takut
mengalami nasib seperti nasibmu karena Empu Baladatu terlalu
percaya kepadaku. Bukan saja sejak kemarin atau sejak setahun
yang lalu. Tetapi sudah bertahun-tahun. Dan sekarang aku dapat
membuktikan bahwa aku berhasil sekali lagi menjalankan tugasku."
"Gila" tiba-tiba orang itu menggeram. Sisa kesadarannya masih
dapat menangkap makna dari peristiwa itu.
Tetapi semuanya sudah terlambat. Tubuhnya sudah menjadi
terlampau lemah, sehingga pandangan matanya pun semakin lama
menjadi semakin pudar. Cahaya lampu minyak yang kemerahmerahan
itu pun rasa-rasanya telah berubah menjadi semakin
hitam, semakin pekat, dan akhirnya semuanya hilang dari
pandangan matanya sejalan dengan lenyapnya kesadarannya
tentang diri dan adanya. Kematian itu tidak dapat dielakkannya lagi.
Kiai Dulang tertawa perlahan-lahan. Dibetulkannya letak tubuh
yang membeku itu, seolah-olah sedang tidur lelap di muka pintu
sanggar. "Besok tentu ada orang yang menemukannya mati di sini."
Kiai Dulang pun kemudian meninggalkan tempat itu dengan hatihati
sehingga tidak ada seorang pun yang menyaksikannya.
Seperti yang diperhitungkan, maka menjelang pagi hari,
seseorang yang tanpa dengan sengaja lewat di tempat itu sebelah
membersihkan halaman dan masuk ke ruang dalam, melihat
sesosok tubuh yang terbaring. Senada ia pun menduga bahwa
seseorang telah tertidur. Karena itu, maka ia pun kemudian
mendekatinya. 1905 "He, kenapa kau tidur disini" desisnya sambil mengguncang
tubuh itu. Namun ternyata bahwa tubuh itu telah membeku. Terasa
dadanya bagaikan dihentakkan oleh ketakutan ketika ia sadar,
bahwa tubuh yang terbaring itu tidak akan dapat mendengar
suaranya lagi. Mati. Sejenak ia justru bagaikan membeku pula seperti tubuh yang
terbaring itu. Namun kemudian hampir diluar sadarnya ia pun
segera bangkit dan berlari keluar ruangan itu sambil berteriak
seperti orang yang kehilangan ingatan.
Sekali lagi padepokan itu menjadi gempar. Dan sekali setiap
orang telah dicengkam oleh ketakutan.
Kiai Dulang yang kemudian datang pula di tempat itu dengan
suara yang dalam dan wajah yang sedih berkata, "Aku akan
menyelenggarakan upacara untuk mohon pengampunan agar
peristiwa seperti ini tidak terulang sekali lagi."
Padepokan yang semula dihuni oleh sebuah gerombolan yang
bernama Serigala Putih dan Macan Kumbang itu, ternyata benarbenar
telah dicengkam oleh suatu kepercayaan baru tentang ilmu
yang disebut ilmu hitam. Tidak seorang pun lagi yang berani
membicarakan tentang kepercayaan baru itu. Apalagi menyatakan
ketidak percayaan. "Tiga orang telah mati" berkata Kiai Dulang, "dan aku tidak boleh
berdiam diri. Hanya dengan upacara permohonan ampun, maka hal
yang serupa akan dapat dicegah."
"Apakah yang harus kami lakukan dalam upacara itu Kiai?"
bertanya salah seorang. Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kematian itu
terjadi dengan cara yang sama, sehingga tidak dapat di sangsikan
lagi bahwa sebab kematian itu pun tentu sama pula. Meskipun
orang yang terakhir itu nampaknya hanya sekedar menceriterakan
apa yang diketahuinya, namun ternyata bahwa hatinya sendiri
1906 dihinggapi oleh keragu-raguan, sehingga nyawanya pun telah
diambilnya pula." "Siapakah yang telah mengambil nyawa itu Kiai?" bertanya
seseorang. Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Dengan suara yang dalam
ia bertanya, "Kau meragukannya?"
"Tidak. Tentu tidak Kiai" dengan serta merta orang itu menyahut,
"aku sama sekali tidak meragukannya."
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Katanya, "Kita harus
mengadakan korban khusus."
"Korban khusus?" hampir berbareng beberapa orang telah
bertanya. "Ya. Kita harus menemukan korban yang mempunyai nilai sama
dengan kemarahan kekuatan yang tersimpan, dan yang perlahanlahan
mengalir ke dalam diri kita."
Beberapa orang saling berpandangan sejenak. Tetapi wajah
mereka menjadi tegang dan bahkan cemas.
"Kita harus menemukannya. Jika tidak, maka kemarahan ini akan
berlarut-larut dan berkepanjangan." ia berhenti sejenak, lalu,
"mungkin setiap saat kita akan kehilangan seorang kawan kita
meskipun tidak seorang pun di antara kita yang menyatakan
pendapat kita tentang kekuatan yang tidak kita lihat dalam ujudnya
dengan indera wadag kita. Nampaknya kemarahan itu sudah terlalu
parah." "Jadi apakah yang harus kita lakukan?"
"Menemukan korban itu."
Beberapa orang menjadi ketakutan. Jika Kiai Dulang mengambil
korban di antara mereka, maka salah seorang dari mereka akan
diperas darahnya untuk upacara yang mendebarkan jantung itu.
Namun mereka tidak berani menyatakan sesuatu, karena mereka
tidak mau mengalami nasib yang sangat buruk itu.
1907 "Nah" bertanya Kiai Dulang kemudian, "apakah kata kalian jika


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalian mendapat tugas untuk menemukan korban yang paling baik
untuk upacara permohonan ampun itu."
Sejenak orang-orang itu terdiam. Mereka bertanya-tanya di
dalam hati, apakah yang seharusnya mereka lakukan.
Dalam pada itu, Kiai Dulang pun melanjutkannya, "Kalian tidak
dapat memilih selain melakukan tugas itu. Jika kalian tidak dapat
menemukannya, maka nasib kita disini akan menjadi semakin buruk.
Tentu tidak bagiku, tetapi bagi kalian. Aku dapat begitu saja pergi
meninggalkan padepokan ini kembali ke padepokan Empu Baladatu
dan melaporkan apa yang telah terjadi disini. Tetapi kalian yang aku
tinggalkan, seorang demi seorang akan diterkam oleh kemurkaan
itu. Kalian tidak akan dapat mengungsi kemanapun juga, karena
maut itu akan dapat menikam kalian dimanapun juga."
Tidak seorang pun yang menyatakan pendapatnya. Mereka
bagaikan patung yang berdiri tegak mendengarkan keterangan Kiai
Dulang. Namun dalam pada itu, jantung mereka serasa
berdentangan saat mereka mendengarkan setiap patah kata yang
diucapkannya dengan nada yang dalam.
"Aku ingin jawaban kalian" berkata Kiai Dulang, "jika kalian
sanggup, katakanlah. Jika tidak, katakanlah pula."
Masih belum ada jawaban. "Ucapkanlah" desak Kiai Dulang, "jika kalian tidak menjawab,
maka tidak ada yang dapat aku lakukan, karena pernyataan hati
kalianlah yang menjadi dasar usahaku kemudian."
Keragu-raguan masih tetap mencengkam hati setiap orang,
sehingga akhirnya Kiai Dulang berteriak, "Jawablah. Apakah kalian
bersedia atau tidak" Aku tidak akan bertanya lagi. Pertanyaanku ini
adalah pertanyaanku yang terakhir. Jawablah. Bersedia atau tidak."
Pertanyaan itu ternyata telah menghentakkan setiap orang dari
keragu-raguannya. Betapapun juga mereka harus menjawab. Dan
1908 mereka tidak mempunyai jawaban lain kecuali bersama-sama
menyatakan, "Kami bersedia."
Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Bagus. Aku
percaya bahwa kalian memang berusaha untuk melakukan sesuatu
yang kalian anggap berguna bagi padepokan kalian ini."
Orang-orang yang mendengarnya mengangguk-angguk.
"Nah, jika demikian kalian harus mencari orang itu. Orang yang
dapat dianggap seimbang dengan kemurkaan dari kekuasaan ilmu
hitam yang paling tinggi."
Wajah-wajah yang mendengarnya itu pun menjadi tegang.
"Dengarlah. Aku akan menunjukkan beberapa nama yang aku
anggap memenuhi syarat untuk kepentingan itu."
Wajah-wajah itu pun menjadi tegang. Mereka sudah
membayangkan bahwa nama-nama itu tentu nama-nama orang
yang memiliki suatu kelebihan.
Tiba-tiba saja Kiai Dulang tertawa sehingga orang-orang yang
mendengarnya menjadi saling berpandangan dan bertanya-tanya di
dalam hati. "Dengarlah" berkata Kiai Dulang, "mungkin nama-nama itu akan
membuat kalian pingsan. Tetapi kalian memang tidak harus
bertindak apa-apa. Kalian hanya berkewajiban untuk mengetahui
dimanakah mereka berada, dan keadaan mereka sehari-hari."
Orang-orang yang mendengarnya menjadi semakin heran. Dan
Kiai Dulang melanjutkannya, "Nah, apakah kalian dapat mengerti"
Jika kalian telah mendapatkan orang yang harus kalian cari, maka
kalian tinggal melaporkannya kepadaku. Itulah tugas kalian. Hanya
melaporkan kepadaku."
Orang-orang yang mendengarnya mulai dapat membayangkan
tugas yang dihadapinya. Tetapi mereka belum mengetahui nama
yang harus mereka cari. 1909 "Dengarlah baik-baik" berkata Kiai Dulang kemudian, "kalian
harus dapat menunjukkan kepadaku tempat, keadaan dan
kemungkinan dari salah seorang yang akan aku sebut namanya. Jika
kita gagal mendapatkan salah seorang dari mereka untuk korban
penebusan atas kesalahan-lahan kita, maka kematian-kematian itu
akan berlangsung terus."
Orang-orang yang mendengarkannya menjadi semakin berdebardebar.
"Dengarlah. Nama yang pertama dan kedua adalah nama yang
tidak mungkin dapat kita pergunakan, justru karena kebesarannya.
Yaitu Ranggawuni dan Mahisa Cempaka."
Ternyata kedua nama itu bagaikan mengguncang jantung setiap
orang yang mendengarnya, karena mereka sadar, bahwa kedua
nama itu adalah nama orang-orang yang mempunyai kekuasaan
tertinggi di atas Tanah Singasari.
"Jangan bingung. Aku sadari, bahwa kedua nama itu tidak akan
mungkin dapat kita sentuh karena mereka mempunyai kekuasaan
dan kekuatan yang tiada terjangkau oleh kemampuan kita." berkata
Kiai Dulang selanjutnya, "karena itu dengarlah nama-nama
berikutnya. Rasa-rasanya setiap hati menjadi semakin tegang.
"Nama yang kemudian ini pun hampir tidak mungkin kita sebutsebut.
Tetapi baiklah kau dengar sebagai tataran yang berikutnya.
Karena apabila pada suatu saat, entah karena sesuatu sebab, namanama
itu dapat kita korbankan, maka sudah tentu ilmu yang kalian
miliki akan meningkat dengan suatu loncatan yang jauh. Kalian akan
menjadi orang yang tidak ada duanya, karena kemampuan kalian
akan setingkat dengan kemampuan para korban itu ditambah
dengan kemampuan yang telah kalian miliki sebelumnya."
Orang-orang yang mendengarnya menjadi heran. Ada ketidak
wajaran pada keterangan itu. Tetapi ketika mereka menyadari
bahwa ketidak percayaan akan dapat mengantar mereka kepada
1910 kematian yang aneh, maka setiap orang pun dengan serta merta
segera mempercayainya. "Nama-nama itu adalah" berkata Kiai Dulang selanjutnya,
"Mahisa Agni, Mahendra dan Witantra."
Sekali lagi dada setiap orang itu terguncang. Mereka pernah
mendengar nama-nama itu. Dan mereka pun mengetahui bahwa
orang-orang itu adalah orang-orang besar yang tidak mudah di
sentuh karena kemampuan mereka yang hampir tidak ada
imbangannya. Tetapi Kiai Dulang berkata selanjutnya, "Namun demikian tugas
kalian tetap seperti yang aku katakan. Jika kalian mengetahui
sesuatu tentang mereka, kalian wajib memberitahukannya
kepadaku. Meskipun ketiga nama itu adalah nama-nama yang
seakan-akan tidak dapat disentuh dengan ilmu yang manapun juga,
namun Empu Baladatu pun memiliki segalanya untuk mencapai
kemungkinan yang hampir tidak terjangkau itu."
Orang-orang itu pun mengangguk-angguk.
"Nama-nama yang lain yang mulai dapat disentuh oleh
kemungkinan kemampuan kita bersama-sama adalah, Lembu Ampal
dan Empu Sanggadaru."
"Empu Sanggadaru" desis beberapa orang hampir bersamaan.
"Ya. Empu Sanggadaru. Kalian tentu heran, bahwa aku berani
menyebut namanya, karena ia adalah saudara Empu Baladatu
sendiri." Yang mendengarkannya mengangguk-angguk.
"Tetapi dengarlah. Meskipun ia adalah saudara Empu Baladatu,
tetapi mereka berselisih jalan. Empu Sanggadaru adalah seorang
yang memiliki kemampuan yang cukup. Tetapi ia tertidur dalam
keadaannya sekarang tanpa cita-cita dan kemungkinan yang lebih
baik di masa depan. Bahkan Empu Sanggadaru yang telah
membunuh pemimpin dari gerombolan Serigala Putih itu tentu akan
merupakan penghalang yang paling besar dari usaha Empu Baladatu
1911 untuk mencapai puncak tertinggi dari kekuasaan yang ada di
Singasari. Dan usaha ini kebetulan sekali sejalan dengan usaha kita
untuk mencari pengampunan atas segala kesalahan yang telah kita
lakukan. Adalah tebusan yang sangat murah apabila kita hanya
cukup menunjukkan nama-nama itu dengan sedikit gambaran
tentang kehidupannya, sedang yang akan bertindak adalah Empu
Baladatu sendiri dengan beberapa orang pengawalnya.
"Tetapi bukankah Empu Baladatu mengetahui segala sesuatunya
tentang Empu Sanggadaru" Tiba-tiba saja seorang bertanya.
Kiai Dulang tertawa. Dengan nada datar ia berkata, "
Sudah tentu Empu Baladatu mengetahui segala-galanya tentang
Empu Sanggadaru. Tetapi Empu Baladatu tidak mengetahui
perkembangan terakhir dari keadaan kakaknya itu. Karena itulah
maka kalian wajib memberitahukan apa yang kau ketahui tentang
dirinya." Orang-orang yang mendengarnya itu pun mengangguk-angguk.
"Selanjutnya, orang-orang lain yang tidak terlalu sulit bagi kita
untuk mendapatkannya, tetapi sudah cukup nilainya untuk
mengadakan korban pengampunan itu adalah orang-orang yang
namanya justru sudah dikenal oleh orang-orang dari lingkungan
ilmu hitam. Sebut sajalah nama Mahisa Bungalan dan Linggadadi
yang dengan sombong menyebut dirinya pembunuh orang-orang
berilmu hitam. Jika kita dapat menangkap kedua-duanya, maka
nilainya tentu sudah sama dengan apabila kita mengorbankan
orang-orang terpenting yang aku sebut. Mahisa Agni misalnya."
Orang-orang yang mendengarnya menarik nafas dalam-dalam.
Mereka sadar sepenuhnya, meskipun mereka tidak ditugaskan untuk
menangkap orang-orang yang disebut namanya, karena Kiai Dulang
dan Empu Baladatu menyadari, bahwa jika tugas itu dibebankan
kepada mereka, justru hanya akan menimbulkan korban yang tidak
berarti, namun yang harus mereka lakukan itu sudah cukup
mendebarkan jantung. 1912 Tetapi Kiai Dulang berkata, "Mungkin ada keragu-raguan di
antara kalian, apakah kalian dapat melakukan tugas itu dengan
baik. Namun tidak ada pilihan lain. Korban pengampunan itu harus
ada. Jika tidak, maka kitalah yang akan menjadi korban. Seorang
demi seorang. Sedangkan tugas yang diberikan kepada kalian
tidaklah seimbang beratnya dengan kesalahan yang pernah kalian
lakukan sehingga menimbulkan kemurkaan itu. Yang kemudian
ternyata justru mendapat tugas yang paling berat untuk
membebaskan kalian nanti adalah Empu Baladatu sendiri dan orangorang
yang ditunjuknya." Orang-orang itu mengangguk-angguk. Mereka melihat imbangan
tugas yang harus mereka lakukan.
"Kita hanya mencari keterangan dan segera melaporkan setiap
perkembangan keadaan yang kita lihat" desis salah seorang dari
mereka. Kawannya mengangguk. Jawabnya, "Empu Baladatu ternyata
tidak memberikan perintah sewenang-wenang. Ia sudah
memperhitungkan kemampuan kita, dan ia sendiri tidak segan
melakukan tugas yang berat itu demi kepentingan kita."
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat
menyebut perasaan apakah yang sebenarnya bergejolak di dalam
hatinya. Apakah ia berbangga atau justru kecewa dan menyesali
tingkah laku Empu Baladatu, ia sama sekali tidak berani
menyebutnya, karena menurut kepercayaannya, jika ada sedikit
terpercik sangkalan tentang kesetiaan dan kepercayaannya tentang
Empu Baladatu dan kekuasaan yang ada di belakangnya, maka ia
akan mengalami nasib yang buruk sekali.
Demikianlah, maka setelah Kiai Dulang memberikan keterangan
itu dihadapan orang-orangnya, maka mulailah kedua kelompok yang
mendapat pengaruh dengan cara yang sama itu mulai menyebar
orang-orangnya. Kedua kelompok yang semula bermusuhan yang
dipimpin yang sekelompok oleh Kiai Dulang sedang yang lain oleh
Kiai Ungkih telah melaksanakan semua perintah Empu Baladatu
sebaik-baiknya. Mereka harus mencari keterangan tentang beberapa
1913 orang yang dianggap cukup bernilai untuk dikorbankan sebagai
tebusan kemarahan kekuasaan yang ada di belakang kekuatan ilmu
hitam itu. Tetapi yang sebenarnya dicari oleh Empu Baladatu adalah
keterangan sebanyak-banyaknya tentang Linggadadi dan Mahisa
Bungalan. Meskipun ada beberapa bagian yang sudah diketahuinya,
namun ia masih memerlukan penjelasan lebih jauh dari keduanya.
Sejak saat itu, maka kedua kelompok itu pun telah berpencar.
Masing-masing menyebar ke segala penjuru untuk mendapatkan
keterangan yang mereka perlukan tentang beberapa nama yang
pernah disebut oleh pemimpin mereka yang mewakili Empu
Baladatu. "Tetapi tugas kita memang tidak terlalu berat" desis dua orang
yang mendapat tugas bersama.
"Tetapi apakah yang dapat kita lakukan berdua" Berjalan siang
dan malam, mendengarkan setiap pembicaraan dan menyadap
kemungkinan untuk dapat mengetahui serba sedikit tentang orangorang
yang tidak kita kenal?"
"Mungkin begitu. Tetapi kita tidak perlu cemas. Kita dapat hidup
dengan pengembaraan yang lajim dilakukan orang. Kita membawa
tempurung untuk mendapatkan belas kasihan orang di sepanjang
jalan. Atau barangkali?"?" ia terdiam karena kawannya segera
memotong, "Kita mendapat pesan, bahwa selama perjalanan kita,
kita tidak boleh melakukan kejahatan. Setiap kejahatan akan dapat
menimbulkan kecurigaan dan barangkali tindakan yang dapat
merugikan kita dalam keseluruhan yang tersebar itu."
Kawannya menarik nafas. Lalu katanya, "Apakah kita akan dapat
bertahan untuk waktu yang cukup lama dengan minta-minta itu?"
"Memang tidak. Tetapi itu tergantung pada akal kita. Kita dapat
mencari bekal dengan bekerja satu dua pekan kepada seseorang
untuk perjalanan sepekan dua pekan pula. Demikian kita akan
berhenti setiap kali dan melanjutkan pula perjalanan kita."
1914 "O" desis yang lain, "berapa bulan kita akan dapat menyelesaikan
tugas ini?" Kawannya mengerutkan keningnya. Namun ia pun tertawa sambil
berkata, "Apakah kita tergantung kepada waktu" Jika kita tidak
berhasil menemukan orang-orang yang kita cari, atau setidaktidaknya
memberikan keterangan tentang mereka, maka orang lain
akan berhasil. Setiap tiga bulan, menurut perintah itu, kita harus
berkumpul, berhasil atau tidak berhasil. Jika ternyata seseorang
telah memenuhi tugasnya dan dapat memberikan banyak
keterangan, maka tugas kita akan selesai."
"Tetapi siapakah yang akan memberikan kerja kepada kita
barang satu dua pekan" Bahkan yang akan kita temukan di
sepanjang perjalanan adalah kecurigaan."
Kawannya mengangguk-angguk. Lalu, "Baiklah kita pulang ke
rumah kita masing-masing untuk mengambil bekal apa saja yang
ada bagi perjalanan kita. Kita tidak memerlukan banyak bekal,
karena kita akan menjadi pengemis di sepanjang jalan."
"Pengemis yang muda dan bertubuh sehat kekar."
Keduanya tertawa, betapapun kecutnya. Namun mereka tidak
dapat ingkar akan tugas itu, meskipun bagi mereka agaknya lebih
baik merampok daripada mengemis. Tetapi pemimpinnya yang baru,
yang mewakili Empu Baladatu berpesan, bahwa mereka tidak boleh


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menumbuhkan keadaan yang dapat mempersempit usaha mereka.
Bahkan pemimpin-pemimpin mereka itu pun berpesan agar mereka
menghindarkan diri dari kemungkinan mempergunakan kekerasan,
kecuali semata-mata karena terpaksa untuk menyelamatkan
nyawanya. Demikianlah maka orang-orang dari gerombolan Serigala Putih
dan Macan Kumbang itu pun segera memencar. Mereka mendapat
tanda-tanda dan kata-kata sandi yang diketahui oleh kedua
gerombolan itu, sehingga apabila dua orang dari gerombolan yang
berbeda bertemu, mereka tidak akan terlibat dalam pertengkaran.
1915 Para pemimpin dari gerombolan-gerombolan itu sama sekali tidak
memberikan tugas tertentu kepada orang-orangnya yang tersebar.
Mereka dapat mencari keterangan tentang siapa saja. Tetapi hampir
semua orang diantara mereka, bahwa yang paling menarik adalah
mencari orang-orang yang bernama Mahisa Bungalan dan
Linggadadi, karena keduanya disebut sebagai orang-orang yang
memusuhi ilmu hitam dan bahkan disebut sebagai pembunuh orangorang
berilmu hitam. Meskipun mereka tidak diberi wewenang untuk langsung
melakukan suatu tindakan karena mereka tidak akan mampu
mengatasi kemampuan orang-orang itu, namun satu dua di antara
mereka ada yang langsung ingin melihat dan mendengar beberapa
keterangan tentang mereka, karena tidak semua orang langsung
mengakui bahwa orang-orang yang disebut pembunuh orang-orang
berilmu hitam itu benar-benar memiliki kemampuan yang tidak ada
taranya. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Linggadadi pun tidak
sekedar berdiam diri. Meskipun ia tidak mengetahui dengan pasti,
namun ia sudah menduga bahwa gerombolan orang-orang berilmu
hitam itu tentu mencari keterangan tentang dirinya, tentang orang
yang disebut pembunuh orang-orang berilmu hitam seperti juga
Mahisa Bungalan. "Diluar segala kemungkinan tentang diriku" berkata Linggadadi
kepada kakaknya, Linggapati, "kakang Linggapati harus menyiapkan
kekuatan yang cukup. Tidak mustahil bahwa pada suatu saat orangorang
berilmu hitam itu akan datang dan apabila mereka merasa
kuat, mereka akan melakukan kekerasan terhadap kita. Apakah kita
akan dapat mengelakkannya, sebenarnya tergantung kepada kita
sendiri." Linggapati tersenyum. Katanya, "Kita sudah dapat mengetahui
kekuatan mereka. Gerombolan Serigala Putih dan gerombolan
Macan Kumbang itu bersama-sama tidak akan mampu
menggetarkan kekuatan kita disini meskipun kekuatan kita pada
dasarnya tetap tersembunyi."
1916 "Kedua kekuatan itu memang bukan apa-apa kakang. Tetapi kita
harus mempertimbangkan kekuatan orang yang di sebut Empu
Baladatu, yang kemudian menguasai kedua gerombolan itu."
Linggapati masih tetap tersenyum.
Namun dalam pada itu, dua orang dari gerombolan orang berilmu
hitam sudah berada dilingkungan daerah pengaruh Linggapati.
Tetapi kedua orang itu bukannya orang dari gerombolan Serigala
Putih atau gerombolan Macan Kumbang. Kedua orang itu adalah
dua orang yang dikirim langsung oleh Empu Baladatu. Agaknya
mereka mempunyai kemampuan yang lebih baik dari orang-orang
dari gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang.
"Ternyata bahwa Linggadadi memiliki kekuatan yang terpisah
dari Mahisa Bungalan" desis salah seorang dari keduanya.
Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi nampaknya
akan lebih mudah untuk menguasai Mahisa Bungalan lebih dahulu
sebelum Linggadadi, karena nampaknya Linggadadi berada dalam
satu lingkungan kekuatan yang tidak kita ketahui dengan pasti."
"Pada suatu saat kita akan mendapatkannya" desis salah seorang
dari mereka. "Tetapi itu bukan tugas yang mudah" jawab yang lain, "meskipun
demikian, kita tidak boleh berputus asa. Kita harus melakukan
dengan teliti. Dalam keadaan tertentu kita mendapat wewenang
untuk menghubungi Kiai Dulang dan Kiai Ungkih. Mereka
mempunyai kekuatan yang meskipun barangkali masih harus
diperkuat." Kawannya mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya,
"Tetapi kedua orang itu pun mendapat wewenang dari Empu
Baladatu untuk mengetahui sesuatu tentang Mahisa Bungalan dan
Linggadadi yang disebut pembunuh orang berilmu hitam. Pada
suatu saat, orang-orang dari gerombolan Serigala Putih dan Macan
Kumbang pun akan berkeliaran pula."
1917 "Bukankah mereka sudah mendapat penjelasan tentang isyarat
sandi di antara mereka?"
"Seharusnya Kiai Dalang dan Kiai Ungkih membekali mereka
dengan isyarat itu. Jika ada orang-orang dari gerombolan Serigala
Putih dan Macan Kumbang belum mengetahui isyarat yang sudah
ditentukan, maka itu adalah kesalahan Kiai Dulang dan Kiai Ungkih."
Keduanya mengangguk-angguk.
"Kita tidak usah menunggu mereka. Kita akan segera berada di
sekitar Kota Raja." "Mahisa Bungalan adalah anak Mahendra."
"Tetapi ia sering berada di Kota Raja."
Kedua orang itu pun kemudian memutuskan untuk berada di
Kota Raja. Dengan cara yang paling samar, mereka selalu bertanya
tentang Mahisa Bungalan kepada orang-orang yang dijumpainya di
warung-warung atau di tempat-tempat yang banyak dikunjungi
orang. Demikian samarnya, sehingga tidak seorang pun yang
mencurigainya. Namun keterangan yang mereka dengar ternyata telah
mengecewakan mereka. "Mahisa Bungalan sudah agak lama tidak kelihatan di Kota Raja"
berkata salah seorang prajurit yang kebetulan bertemu dan
bersama-sama berada di dalam satu tempat pemberhentian dengan
kedua orang petugas sandi Empu Baladatu.
"Apakah ia sedang bertugas?"
"Resminya Mahisa Bungalan bukanlah sedang bertugas, karena ia
sekedar ingin mengadakan perjalanan keliling dengan Senapati
Agung Singasari, Mahisa Agni."
Kedua orang itu mengerutkan keningnya. Namun mereka pun
kemudian mengangguk-angguk.
1918 Setelah keduanya berpisah dengan prajurit itu, maka salah
seorang pun berkata, "Mahisa Bungalan sedang dalam perjalanan
perburuan." "Tetapi ia tidak akan menemukan orang-orang berilmu hitam di
sarangnya. Empu Baladatu pun tidak. Bahkan ia tidak akan
mendapat jejaknya sekalipun."
Yang lain menarik nafas. Namun kesimpulan mereka adalah,
bahwa mereka harus meninggalkan Kota Raja dan mencari
keterangan tentang Linggadadi.
"Salah seorang dari mereka akan kita selesaikan lebih dahulu.
Jika kali ini kita tidak dapat menjumpai Mahisa Bungalan, maka kita
harus mempergunakan waktu ini sebaik-baiknya. Kita akan mencari
keterangan tentang Linggadadi."
Setelah beberapa hari keduanya berada di Kota Raja dan tidak
berhasil mendapat keterangan tentang Mahisa Bungalan, maka
mereka pun segera meninggalkan Kota Raja itu. Bahkan salah
seorang dari mereka masih sempat berkata, "Mudah-mudahan
perjalanan Mahisa Bungalan pada suatu saat bertemu dengan
orang-orang kita yang langsung dapat menyelesaikannya."
Tetapi yang lain menggeleng. Katanya, "Tidak mungkin. Kecuali
jika segelar sepapan."
Namun dalam pada itu, selagi keduanya dalam perjalanan
mencari keterangan tentang Linggadadi, Tiba-tiba mereka telah
dikejutkan oleh peristiwa yang sama sekali tidak diharapkan.
Dalam perjalanan di sebuah padukuhan, kedua orang itu
dikejutkan oleh sikap yang curiga. Bahkan beberapa orang laki-laki
telah mengerumuninya dengan senjata di tangan.
"Kau berani memasuki padukuhan di siang hari he?" teriak
seorang yang bertubuh kekar. "Apakah kau memang merasa terlalu
kuat untuk melawan kami" Kalian memang dapat mengalahkan
sepuluh orang sekaligus, tetapi sekarang kami tidak hanya
berjumlah sepuluh." 1919 Kedua orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari
mereka pun bertanya, "Apakah sebenarnya yang telah terjadi disini"
Kami baru sekali ini menginjakkan kaki di padukuhan ini."
"Kalian tentu akan ingkar. Tetapi perampokan itu telah terjadi
tidak hanya sekali. Memang sekali di padukuhan ini, tetapi beberapa
kali di padukuhan tetangga. Bahkan ketika sekelompok peronda
menjumpai kalian, maka kalian telah membunuh lebih dari lima
orang di antara mereka."
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Ki
Sanak. Kalian salah paham. Tetapi hal itu dapat kami mengerti.
Cobalah, beri kami kesempatan. Jika perampokan itu terjadi lagi di
padukuhan ini, dan aku tidak dapat menangkap mereka, maka
biarlah aku digantung di regol padukuhan ini."
"Jangan mencari kesempatan untuk meloloskan diri."
"Percayalah. Kalian harus percaya akan niat baik kami, karena
kami sebenarnya adalah petugas sandi dari Singasari. Seandainya
kalian tidak percaya, maka kalian pun tidak akan mampu berbuat
apa-apa atas kami, karena kami mampu tidak hanya membunuh
sepuluh orang sekaligus. Sebagai prajurit pilihan yang dipercaya
untuk melakukan tugas sandi, kami dapat melawan dan membunuh
seluruh penghuni padukuhan ini dengan cara kami, meskipun kami
hanya berdua. Keterangan ini hanya aku berikan, justru karena
telah terjadi salah paham, karena sebenarnyalah tugas kami bersifat
sandi." Orang-orang itu termangu-mangu. Nampak keragu-raguan
membayang di setiap wajah. Bahkan beberapa orang saling
berpandangan dan bertanya-tanya di dalam hati tentang kedua
orang yang mengaku petugas sandi dari Singasari itu.
Selagi orang-orang itu kebingunan, maka salah seorang dari
mereka bertanya, "Apakah kata-kata kalian dapat kami percaya?"
"Kami akan membuktikan. Kami akan tinggal di sekitar daerah ini
untuk beberapa hari. Jika terjadi perampokan itu lagi, kami akan
mencoba menyelesaikan menurut cara kami. Agar kalian tidak
1920 mencurigai kami, maka biarlah kami tinggal di tempat yang
langsung dapat kalian awasi setiap saat."
Beberapa orang mengangguk-angguk. Lalu salah seorang
berkata, "Baiklah. Tinggallah di banjar."
"Terima kasih. Tetapi aku berharap bahwa di setiap padukuhan
disediakan alat-alat yang dapat memberikan isyarat. Kentongan
misalnva atau panah sendaren. Sehingga jika terjadi sesuatu, kami
akan dapat segera datang."
"Ya. Kami akan menghubungi setiap padukuhan di sekitar tempat
ini." "Tetapi ingat, jangan seorang pun dari padukuhan lain yang
mendengar, bahwa aku disini. Jika kehadiranku disini didengar oleh
orang lain, dan kemudian merambat sampai ke telinga para
penjahat itu, maka mereka tentu tidak akan melakukannya lagi,
sehingga aku tidak akan berhasil menangkapnya."
Demikianlah keduanya kemudian ditempatkan di banjar
padukuhan. Mereka mendapat pelayanan yang baik dari orangorang
di padukuhan itu. Mereka mendapat minum dan makan
secukupnya, karena setiap orang menganggap bahwa keduanya
adalah prajurit-prajurit sandi dari Singasari.
"Mudah-mudahan orang-orang yang melakukan kejahatan itu
bukan orang-orang dari gerombolan yang sudah dikuasai oleh Empu
Baladatu itu" berkata salah seorang dari kedua orang itu.
"Bagaimana kalau demikian?"
"Justru kita menjadi semakin sulit. Tetapi seperti pesan Empu
Baladatu, untuk sementara kita jangan mengundang persoalan yang
akan dapat menghadapkan kita langsung kepada prajurit-prajurit
Singasari. Karena itu, jika mereka tidak mau menurut perintah kami,
maka menjadi kewajiban kami melaksanakan perintah Empu
Baladatu." Yang lain mengangguk-angguk. Empu Baladatu memang sedang
membatasi diri, seperti juga yang ternyata dilakukan oleh
1921 Linggapati. Mereka merasa diri masing-masing belum siap
menghadapi tugas yang besar. Yang bukan saja memerlukan
kekuatan, tetapi juga perhitungan dan kewibawaan pada lingkungan
tertentu. Yang dapat mereka lakukan, barulah memberikan
pengaruh jiwani kepada orang-orang Singasari untuk menumbuhkan
suasana kejiwaan tertentu sebelum pada suatu saat mereka
melakukan tindakan kekerasan.
Karena itu, maka mereka tidak boleh menumbuhkan
kekecewaan, apalagi kebencian dari rakyat Singasari.
Untuk beberapa hari, kedua orang itu tinggal di banjar
padukuhan. Namun yang beberapa hari itu terasa tidak ada sesuatu
yang terjadi, sehingga keduanya menjadi gelisah. Mereka cemas,
bahwa akan timbul prasangka, setelah mereka berdua tinggal dalam
pengawasan, maka tidak ada lagi kerusuhan yang terjadi.
Tetapi pada malam berikutnya, padukuhan itu telah dikejutkan
oleh suara kentongan yang menjalar dari satu padukuhan ke
padukuhan yang lain. Kedua orang itu terkejut. Namun mereka cukup berpengalaman
menghadapi peristiwa apapun juga, sehingga sesaat kemudian
mereka pun telah berada di atas punggung kuda mereka.
"Kemanakah aku harus pergi" bertanya salah seorang dari
keduanya, "isyarat itu seakan-akan sudah merata."
"Sumber bunyi itu dari arah padukuhan di ujung bulak panjang di
sebelah utara padukuhan ini, "jawab salah seorang yang bertugas
ronda malam itu. Kedua orang itu pun segera berpacu. Mereka melintasi bulak
panjang dalam keremangan malam. Namun keduanya seolah-olah
memiliki ketajaman penglihatan melampaui orang kebanyakan.
Ketika keduanya sampai di padukuhan yang baru saja mengalami
perampokan, maka ia pun segera mendapat keterangan, bahwa
perampokan itu telah menghilang menuju ke hutan kecil di sebelah
utara padukuhan itu. 1922 "Kalian tidak mengejar mereka?" bertanya salah seorang dari
keduanya. "Terlampau berbahaya. Mereka mampu membunuh beberapa
orang sekaligus." "Bukankah kalian terdiri dari banyak laki-laki."
Nyawa Titipan 3 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Perawan Dalam Pasungan 1

Cari Blog Ini