Ceritasilat Novel Online

Sepasang Ular Naga 34

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 34


kudanya dan duduk bersama Empu Sanggadaru, maka iapun
berkata, "Empu, agaknya dugaan bahwa orang-orang dari Serigala
Putih akan membalas dendam itu bukannya sekedar dugaan. Tentu
saja kini mereka mempunyai kekuatan yang lain, kecuali kekuatan
padepokan Serigala Putih sendiri."
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Dengan suara berat
ia bertanya, "Dan menurut dugaan anakmas, adikku Baladatu telah
dapat mereka peralat?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
tidak dapat mengatakan Empu. Apakah Empu Baladatu telah
diperalat, atau karena alasan yang lain. .Tetapi yang jelas, bahwa
dalam keadaan seperti sekarang lini, Serigala Putih, telah menjadi
satu dengan padepokan gerombolan Macan Kumbang."
"Itulah agaknya mereka sempat mengumpulkan orang sebanyak
dua ratus orang." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun katanya, "Tidak
hanya kedua kelompok itu saja."
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Jika bukan saja
kedua kelompok itu tentu ada sekelompok orang-orang yang datang
dari padepokan Empu Baladatu sendiri.
Namun Mahisa Bungalan berkata, "Para petugas sandi melihat
orang-orang dari kelompok yang belum diketahui berdatangan
kepadepokan kelompok Serigala Putih."
Empu Sanggadaru termenung sejenak. Kemudian terdengar
suaranya yang dalam dan datar, "Baladatu agaknya benar-benar
2050 telah diperalat, sehingga ia kehilangan kecintaannya terhadap
saudara sendiri." namun kemudian ia menggeram, "tetapi jika
demikian, apaboleh buat."
Empu Sanggadaru pun segera memerintahkan semua orang nya
bersiap. Ternyata Mahisa Bungalan tidak meninggalkan padepokan
itu. Ia tidak sampai hati meninggalkan kedua adiknya yang berada
di padepokan itu pula. Dalam pada itu, orang-orang yang memencar di luar
padepokanpun segera, menghimpun kekuatan. Meskipun orangorang
yang berada di padukuhan itu bukannya cantrik-cantrik dan
prajurit Singasari, namun mereka pada umumnya telah memiliki
dasar ilmu kanuragan yang dapat melindungi diri mereka masingmasing.
Tetapi jumlah mereka tidak terlalu banyak. Disetiap penjuru, para
prajurit dan para cantrik tidak dapat mengumpulkan anak-anak
muda dan laki-laki yang masih cukup kuat memegang senjata lebih
dari tigapuluh orang. Bahkan di salah satu penjuru, mereka tidak
lebih dari duapuluh lima orang saja.
"Jumlah kita tidak terlalu banyak" berkata salah seorang cantrik
kepada para prajurit yang berada di antara mereka.
"Jumlah kadang-kadang memang menentukan" jawab prajurit
itu, "tetapi yang lebih menentukan lagi adalah nilai perseorangan
dari mereka yang saling berbenturan itu."
Para cantrik dan mereka yang berada di padukuhan itu
mengangguk-angguk. "Aku yakin bahwa jumlah kita sudah memadai" berkata prajurit
itu pula, "kita tidak saja merasa berdiri di pihak yang benar karena
kita mempertahankan hak yang kita miliki dengan syah, tetapi juga
karena kita masing-masing telah pernah mempelajari dan melatih
diri bagaimana caranya kita bertempur "
2051 Setiap laki-laki dan terutama anak-anak mudanya menjadi
berbesar hati. Mereka merasa wajib untuk mempertahankan hak
yang sudah mereka miliki dengan syah.
"Pergunakan untuk memanaskan badan" berkata para prajurit
kepada anak-anak muda dan laki-laki di padukuhan yang berada di
bawah pengaruh padepokan Empu Sanggadaru itu, "waktu kita
banyak. Kita harus mencapai kesiagaan tertinggi pada saat purnama
naik, saat orang-orang dari perguruan ilmu hitam itu mencari
korbannya." Anak-anak muda dan laki-laki yang telah berkumpul dengan
senjata masing-masing itupun mengangguk-angguk.
"Bukankah kalian pernah mendengar kabar tentang orang
berilmu hitam itu?" Anak-anak muda itu mengangguk-angguk pula.
"Kita tidak mau menjadi korban yang mengerikan itu.Lebih baik
kita mati di medan pertempuran daripada mati dengan kaki dan
tangan terikat di alas batu menyerahkan korban dan ditikam di alah
jantung dengan perlahan-lahan."
Terasa tengkuk anak-anak muda dan laki-laki yang mendengar
keterangan itu meremang. Seorang di antara mereka berdesis
kepada kawannya, "Memang lebih baik mati ditikam pedang di
pertempuran." Demikianlah anak-anak muda dan laki-laki di setiap padukuhan
itupun mulai memanaskan diri. Purnama naik sudah berada di dapan
hidung mereka. Lewat sehari, jika malam tiba, maka malam itu akan
diterangi dengan bulan bulat. Saat yang paling mengerikan bagi
mereka yang berada di sekitar orang-orang berilmu hitam itu.
"Kita masih mempunyai waktu malam ini dan satu hari besok"
berkata prajurit yang mengatur pasukan kecil di setiap penjuru itu,
"kita harus menyesuaikan diri, bagaimanakah cara kita menghadapi
musuh yang menurut keterangannya akan datang dalam jumlah
yang besar." 2052 Anak-anak muda dan laki-laki di setiap padukuhan itu pun
kemudian berusaha untuk menyesuaikan diri dengan petunjuk para
prajurit dan para cantrik, yang berada di antara mereka. Dengan
singkat para prajurit memberikan beberapa petunjuk untuk
melakukan perang dalam kelompok-kelompok yang lebih besar dari
kelompok-kelompok mereka sendiri.
"Kita tidak boleh bertempur sekedar menuruti keinginan sendiri.
Kita, kelompok ini harus tetap merupakan sebuah kelompok yang
bulat, sehingga nasib kita akan kita tentukan bersama-sama" pesan
prajurit itu. Dengan sungguh-sungguh merekapun mengadakan latihan
sekedarnya mengatur diri sesuai dengan kemampuan yang ada di
antara mereka. Ketika tengah malam telah lewat, maka prajurit-prajurit yang ada
di antara mereka itupun mengakhiri petunjuk-petunjuk yang mereka
berikan. Salah seorang dari prajurit-prajurit itupun kemudian
mempersilahkan anak-anak muda dan laki-laki yang berada di
antara mereka yang telah mempersiapkan diri itupun untuk
beristirahat. "Tidurlah, agar badan kalian tetap segar. Besok siang kita masih
mempunyai waktu sehari. Kita akan mempergunakan sebaik-baiknya
untuk menghadapi segala kemungkinan dan mencari tempat yang
sebaik-baiknya untuk menunggu kedatangan lawan. Bahkan
mungkin mereka akan datang di siang hari.
Setiap orang yang mempersiapkan diri untuk menghadapi segala
kemungkinan itupun segera beristirahat, mengikuti petunjuk para
prajurit yang ada di antara mereka. Namun kegelisahan di dalam
hati, telah membuat mereka sama sekali tidak dapat tidur nyenyak.
Ada satu dua di antara mereka yang mendengkur. Tetapi kemudian
terbangun sambil tergagap oleh kejutan di dalam mimpinya sendiri.
Namun dalam pada itu, para prajurit dan para cantrik yang
dikirim oleh Empu Sanggadaru, telah membagi diri untuk
mengadakan pengawasan yang ketat terhadap padukuhan masingTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
2053 masing dan arah isyarat dari padepokan. Jika serangan itu datang
dengan tiba-tiba setiap saat, mereka harus bersiaga menghadapi
kemungkinan-kemungkinan itu. Juga apabila serangan itu datang di
pagi atau siang hari besok. Mereka tidak boleh menjadi bingung dan
kehilangan pegangan. Kegelisahan mereka rasa-rasanya ikut hanyut dalam kegelapan
yang semakin tipis di pagi hari. Ketika matahari kemudian terbit,
rasa-rasanya hati mereka yang sedang mempersiapkan diri
menghadapi segala kemungkinan itu menjadi lebih tenang,
meskipun mereka sadar, bahwa mereka harus tetap berhati-hati,
karena tidak mustahil bahwa tiba-tiba saja di siang hari lawan
mereka datang seperti banjir bandang melanda padepokan mereka
yang nampak sepi. "Kita masih sempat berbuat sesuatu" berkata para prajurit,
"kecuali bersiaga, kita juga masih sempat melatih diri barang
sejenak." Laki-laki dan anak-anak muda di padukuhan itupun segera
berkumpul di-tengah-tengah padukuhan mereka. Sekali lagi para
prajurit itupun memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana mereka
harus menghadapi lawan yang kadang-kadang bertempur di luar
dugaan. "Jangan bingung menghadapi setiap kesulitan" para prajurit
itupun memberikan petunjuk. Bahkan kemudian anak-anak muda
dan laki-laki yang telah bersiap itu dibagi menjadi kelompokkelompok
kecil yang dipimpin oleh seorang prajurit untuk berlatih
lebih terperinci lagi bersama dengan para cantrik, yang membagi
diri dalam kelompok-kelompok itu pula.
Sementara orang-orang itu berlatih, maka mereka tidak lupa
meletakkan beberapa petugas yang mengawasi keadaan di sekitar
padukuhan mereka. Jika mereka melihat sepasukan mendatangi
padukuhan, mereka harus segera bertindak. Juga jika mereka
mendengar bunyi isyarat dari padepokan. Kentongan, atau panah
sendaren. 2054 Selagi orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru yang
jumlahnya tidak sebanyak orang-orang yang telah disiapkan oleh
Empu Baladatu, maka pasukan yang sudah tersusun itupun masih
belum berangkat menuju kesasaran. Meskipun Empu Baladatu dapat
mengemukakan berbagai alasan, namun sebenarnyalah bahwa ia
ingin menyembunyikan kenyataan, bahwa pasukannya tidak terdiri
dari satu lingkungan, sehingga kedatangannya akan segera
diketahui, bukannya sekedar dendam orang-orang dari padepokan
Serigala Putih. Meskipun setiap kelompok dari gerombolan yang
berbeda telah berusaha menyesuaikan diri, tetapi perbedaan itu
masih akan mudah di lihat di dalam pertempuran di siang hari.
Karena itu, maka Empu Baladatu telah memutuskan untuk
menyerang padepokan kakaknya di malam hari.
"Yang akan terjadi adalah upacara korban yang terbesar yang
pernah kita selenggarakan" berkata Empu Baladatu kepada orangorangnya,
terutama yang menyadap ilmu hitam sepera yang
dilakukan oleh orang-orang dari gerombolan Serigala Putih dan
Macan Kumbang, "korban yang akan membasahi senjata kalian dan
ubun-ubun kalian bukannya sekedar dari satu orang saja, tetapi dari
berpuluh-puluh orang. Kalian dapat membasahi senjata kalian
dengan darah dari dua tiga orang, dan membasahi ubun-ubun
kalian dengan darah bermangkuk-mangkuk. Bukan hanya setitik, "
Pernyataan itu ternyata telah berhasil membakar hati orangorang
Serigala Putih dan Macan Kumbang, sementara orang-orang
dari Mahibit hanya tersenyum saja mendengarkan. Tetapi saat itu
mereka mendapat tugas untuk bekerja bersama dengan orangorang
dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang sehingga
mereka sama sekali tidak mengganggu jalan pikiran orang-orang
berilmu hitam itu. "Kita akan melihat, apa yang akan mereka lakukan di
peperangan" bisik salah seorang yang datang dari Mahibit, "upacara
besar-besaran itu tentu akan sangat menarik perhatian."
Kawannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi kawannya
yang lain berdesis, "Itu kalau kau sempat."
2055 "Kenapa tidak sempat?"
"Kalah kau mati?"
Kawannya tertawa. Jawabnya, "Itu tidak perlu dicemaskan.
Lawan kita terlalu lemah. Tetapi jika yang lemah itu sempat
membunuhku, itu adalah kecelakaan yang pantas di sesali oleh
kalian semuanya." Yang lain tidak menyahut lagi. Mereka seolah-olah tidak
memperhatikan lagi apa yang akan terjadi. Bahkan mereka pun
tidak memperdulikan diri mereka masing-masing pula, karena
merekapun berusaha untuk dapat melupakan semuanya barang
sejenak di dalam istirahat yang utuh sebelum mereka akan terjun di
kancah peperangan. Jika di hari itu, orang-orang di padepokan Empu Sanggadaru
masih sibuk memperhatikan petunjuk-petunjuk yang lebih terperinci,
dan sekali-kali berlatih mempergunakan senjata, maka orang-orang
dari padepokan Macan Kumbang, Mahibit dan juga orang-orang
Serigala Putih sendiri, berusaha untuk menenangkan hati dan
beristirahat. Dengan demikian, maka perhitungan orang-orang dari
padepokan Empu Sanggadaru tentang kemungkinan kedatangan
orang-orang berilmu hitam itu adalah tepat. Mereka akan
mempergunakan saat purnama untuk menyampaikan korban
terbesar dalam upacara mereka.
Meskipun demikian, masih terbersit niat pada Empu Baladatu,
bahwa ia akan dapat menundukkan padepokan kakaknya dan
menangkap kakaknya hidup-hidup.
"Bukan tujuan mutlak" berkata Empu Baladatu kepada
Linggadadi, "tetapi jika mungkin maka tenaganya akan berguna bagi
kami." "Mungkin berguna, tetapi mungkin juga berbahaya," jawab
Linggadadi. 2056 "Kita akan menaklukkannya dan memaksanya untuk berjanji- Jika
ia menolak, kita akan membunuhnya dengan menyerahkannya
sebagai korban yang paling berharga. Tetapi jika ia dapat menyadari
kedudukannya, maka kita akan dapat memaafkannya."
Linggadadi tersenyum. Senyumnya mengandung seribu arti yang
tidak dapat dimengerti oleh Empu Baladatu. Namun Kiai Dulang
yang ada di antara mereka dapat melihat, betapa ngerinya
senyuman itu. Tanpa Linggapati, Linggadadi adalah seorang yang
sangat buas. Tidak kalah buasnya dengan orang-orang yang disebut
berilmu hitam seperti Kiai Dulang sendiri.
Seperti dirinya sendiri, maka Linggadadi pun tentu tidak akan
mengambil jalan seperti yang dikehendaki oleh Empu Baladatu.
Baginya kematian adalah hadiah yang paling baik diberikan kepada
lawan-lawannya. "Jika Empu Sanggadaru jatuh di tangan Linggadadi, maka ia akan
menjadi lumat meskipun ia menyerah" berkata Kiai Dulang di dalam
hatinya. Disiang hari, orang-orang dari padepokan Serigala Putih, Macan
Kumbang dan orang-orang Mahibit, berkesempatan untuk tidur
barang sejenak. Ketika mereka terbangun lewat tengah hari, mereka
merasa dirinya semakin segar. Satu-satu mereka pergi kepakiwan,
seolah mereka sedang bersiap-siap untuk datang ke peralatan
perkawinan. Berurutan mereka mandi dan kemudian membenahi
diri, karena yang akan mereka lakukan bagi orang-orang berilmu


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hitam, bukannya sekedar sebuah peperangan yang dahsyat tetapi
juga penyerahan korban terbesar sejak mereka menganut ilmu
hitam yang mempergunakan upacara korban dengan membasahi
diri masing-masing dengan darah.
Ketika matahari turun ke ujung Barat, maka semuanya sudah
bersiap. Mereka akan segera berangkat langsung menuju
kepadepokan Empu Sanggadaru.
2057 "Setelah kita mendekati padepokan itu, kita akan membagi diri"
berkata Empu Baladatu, "kita akan memasuki padepokan dari dua
arah yang bertentangan."
Setelah mereka mendapat kesepakatan bahwa serangan yang
pertama akan datang dari arah yang berbeda dengan serangan
yang menyusul kemudian, setelah perhatian seisi padepokan
dicengkam oleh pertahanan atas serangan yang pertama, maka
serangan yang berikutnya akan menentukan jatuhnya padepokan
itu. "Kita akan datang bersama-sama dari arah yang sama" berkata
Empu Baladatu kepada Linggadadi.
Linggadadi mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian
tersenyum sambil menjawab, "Baik Empu. Kita akan datang
bersama-sama. Biarlah anak-anak yang memancing perhatian
mereka dengan serangan yang pertama. Kita berdua datang
kemudian dan langsung memasuki padepokan itu tanpa kesulitan."
Langit yang suram berangsur menjadi gelap. Namun kemudian
cahaya yang kekuning-kuningan telah memancar dari balik
pepohonan di sebelah Timur. Bulan yang bulat perlahan-lahan naik
menerangi langit. Orang-orang berilmu hitam yang tengah berada dalam perjalanan
itu merasakan sesuatu yang seakan-akan meresap sampai ketulang
sungsum. Cahaya bulan bulat merupakan nafas tersendiri dalam
kehidupan orang-orang berilmu hitam itu, sehingga rasa-rasanya
mereka mempunyai kesegaran melampaui saat yang lain.
Dibawah cahaya bulan bulat itu, maka perjalanan mereka
bagaikan menjadi semakin cepat. Jarak antara pdepokan Serigala
Putih sampai kepadepokan Empu Sanggadaru cukup panjang. Tetapi
mereka tidak dibatasi oleh waktu. Selagi bulan masih nampak di
langit, mereka masih sempat melakukan upacara korban yang
terbesar yang akan mereka lakukan di Padepokan Empu
Sanggadaru itu. 2058 Menjelang tengah malam, pasukan itu telah mendekati
Padepokan Empu Sanggadaru. Untuk beberapa saat mereka
berhenti. Mereka mulai mengatur jalan dan jarak yang akan mereka
tempuh. "Seandainya mereka mengetahui semua rencana kita, mereka
tidak akan mampu berbuat apa-apa" berkata Empu Baladatu,
"menurut perhitunganku, orang-orang yang ada di padepokan itu
tidak akan melampaui jumlah seratus."
"Seratus adalah jumlah yang cukup banyak" sahut Linggadadi.,
"Jika kita lengah, mungkin yang seratus itu akan mendapat
kesempatan untuk menusuk punggung kita."
"Kita akan berhati-hati" desis Empu Baladatu, "pembagian
pasukan inipun adalah salah satu ujud dari s ikap hati-hati itu."
Linggadadi tertawa Katanya, "Kapan kita akan membagi diri?"
Empu Baladatu berpikir sejenak. Memang pasukan-pasukan itu
harus segera membagi diri.
"Kita dapat membagi pasukan ini sekarang" berkata Empu
Baladatu kemudian, "sebagian kecil akan menempuh jalan lurus,
sedang yang lain akan melingkar dan menyerang dan arah yang
berlawanan." "Linggadadi tertawa pula. Katanya, "Empu benar-benar seorang
yang berhati-hati. Meskipun Empu tahu bahwa lawan kita tidak akan
lebih dari seratus, namun siasat itu masih juga dipergunakan."
"Kita menghindari korban sejauh-jauh dapat kita lakukan. Kita
akan membunuh lawan sebanyak-banyaknya dengan jika mungkin
tanpa seorangpun dari kita yang menitikkan darah meskipun hanya
dari ujung jarinya."
"Terserahlah." desis Linggadadi kemudian.
Empu Baladatu pun kemudian membagi pasukannya. Ia
mengambil dari setiap kelompok duapuluh lima orang sehingga
seluruhnya berjumlah tujuh puluh lima orang.
2059 Dibawah pimpinan seorang kepercayaannya, maka yang tujuh
puluh lima orang itupun ditugaskannya mengambil jalan langsung,
seolah-olah mereka adalah keseluruhan pasukan yang datang
padepokan Serigala Putih. Sementara yang lain akan melingkar dan
menerkam dari belakang. Setelah memberikan pesan-pesan terakhir, maka kedua pasukan
itupun mulai berpisah. Linggadadi yang berada bersama pasukan yang langsung
dipimpin oleh Empu Baladatupun kemudian menempatkan diri di
antara sisa pasukan yang lain. Mereka telah bersiap memotong arah
agar mereka tidak terpaut terlalu banyak dari pasukan yang
langsung menyerang padepokan itu.
Perhitungan yang cermat telah dipertimbangkan bersama.
Pasukan yang langsung menyerang itu harus menunggu untuk
waktu yang telah dipertimbangkan masak-masak.
"Bayangkan, jarak jalan yang akan kita tempuh itu akan dua kali
lipat dari jalan yang kalian lalui. Dengan demikian kalian akan dapat
mempertimbangkan waktu sebaik-baiknya. Selebihnya, jika kalian
akan mulai menyerang, lontarkanlah panah sendaren keudara
sehingga kami dapat membuat perhitungan kapan kami akan
memasuki padepokan itu dari arah lain."
Pemimpin kelompok yang akan memancing perhatian seisi
padepokan itupun mengangguk-angguk. Tetapi ia menyadari bahwa
soal waktu itu akan sangat penting baginya. Jika ia terlalu cepat
menyerang, maka hal itu akan sangat berbahaya bagi pasukannya.
Tetapi jika terlambat, dan pasukan induk itu sudah diketahui oleh
lawan, maka rencananya tentu tidak akan berhasil sama sekali,
karena lawan akan membagi kekuatannya sebaik-baiknya.
Setelah semua pertimbangan, perhitungan dan pesan-pesan tidak
ada yang terlampaui, maka Empu Baladatupun mulai dengan
rencananya dalam keseluruhan.
Linggadadi yang memimpin sepasukan anak buahnya dari Mahibit
nampaknya sama sekali tidak mempunyai rencana tersendiri. Ia
2060 benar-benar menempatkan pasukannya di bawah pimpinan Empu
Baladatu dan anak buahnya seperti yang pernah dijanjikan oleh
Linggapati. Kedua pasukan yang terpisah itupun kemudian mengambil
jalannya masing-masing dengan perhitungan waktu seperti yang
sudah mereka sepakati. Pasukan yang langsung menuju sasaran
berjalan agak lebih lambat, sedang yang lain berjalan semakin lama
semakin cepat. Dalam pada itu, orang-orang dari padepokan Empu
Sanggadarupun sama sekali tidak lengah. Mereka melakukan
pengawasan dengan ketat. Meskipun ada di antara mereka yang
menganggap bahwa Empu Baladatu telah mengurungkan niatnya
untuk menyerang, apalagi setelah tengah malam.
"Kita hanya dipermainkannya" desis salah seorang dari mereka
yang mengawasi keadaan. Kawannya termangu-mangu Namun jawabnya, "Malam purnama
masih belum habis." "Sampai tengah malam. Kemudian haripun akan berganti dan
bulan mulai tergelincir turun."
"Ya. Tetapi malam masih baru separo. Yang separo masih
mungkin dipergunakan oleh Empu Baladatu."
Kawannya tidak menjawab. Namun iapun melingkar semakin
bulat di bawah kain panjangnya, karena malam menjadi bertambah
dingin. Namun tiba-tiba pengawas itu terkejut. Dari kejauhan mereka
melihat bayangan-bayangan yang bergerak-gerak di bawah sinarnya
bulan yang cerah. "Apa itu?" bertanya yang seorang.
"Kita bersembunyi."
2061 Keduanyapun kemudian bergeser dan bersembunyi di balik
gerumbul. Dari sela-sela dedaunan mereka mengintip, siapakah
yang lewat menuju kepadepokan induk.
Ketika tujuh puluh lima orang itu lewat, kedua pengawas
menentukan nilai atas lawannya yang jauh di bawah dugaannya.
Setelah iring-iringan itu lewat, salah seorang berdesis" Hanya
sedikit." "Itu bukan berarti kita akan membiarkannya."
"Apakah kita, akan menarik tali goprak itu?"
"Lebih baik tidak. Kita memotong jalan lewat pematang. Kita
akan memberitahukan kehadiran mereka dengan lesan, agar lawan
kita tidak mengetahui bahwa kedatangan mereka telah kita tunggu.
Sejenak kawannya termangu-mangu. Agaknya ia sedang
membuat pertimbangan. Namun yang lain mendesaknya, "Marilah.
Jangan terlambat." "Apakah kita akan pergi keinduk padepokan atau kepadukuhan."
bertanya kawannya- "Jangan bodoh. Kita, harus kepadukuhan Pertimbangan
selanjutnya terserahlah para pemimpin yang berkepentingan. Tugas
kita hanya terbatas.",
Keduanyapun kemudian dengan tergesa-gesa kembali
kepadukuhan untuk melaporkan apa yang telah mereka lihat.
Mereka memintas lewat pematang yang jauh lebih dekat dari jalan
yang ditempuh oleh orang-orang berilmu hitam dan orang-orang
Mahibit. Ketika kedua pengawas itu melaporkan penglihatanya, maka para
prajurit dan cantrik yang ada di padukuhan itu menjadi heran.
"Apakah benar yang kau lihat hanya sebuah iring-iringan
pendek?" bertanya salah seorang prajurit.
2062 "Ya. Tidak sampai seratus orang."
Para prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Keterangan yang kita dengar mengatakan bahwa jumlah
mereka jauh lebih banyak dari yang kau lihat. Agaknya ada sesuatu
yang perlu dipertimbangkan."
"Jadi?" "Dua di antara kita harus mencapai padepokan itu lebih dahulu."
"Yang lain?" "Yang lain akan menyerang iring-irngan itu."
"Jumlah kita lebih sedikit."
"Dari induk padepokan akan dikirim orang secukupnya untuk
menahan iring-iringan itu."
Sejenak beberapa orang cantrik termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Kalau itu yang terbaik. Aku sependapat."
"Siapkan semua orang yang bersedia ikut bersama kita. Dengan
demikian, maka dua di antara para prajurit dan cantrik itupun
dengan cepat meninggalkan padukuhan dan langsung menuju
kepadepokan Empu Sanggadaru melalui jalan melintas seperti yang
dilakukan oleh kedua orang pengawas. Mereka tidak langsung
memberikan isyarat bunyi atau tanda yang lain untuk menjebak
lawan agar mereka tidak menyangka bahwa kedatangan mereka
sudah diketahui. Laporan itu mengejutkan Empu Sanggadaru dan para prajurit
yang ada di padepokan. Bahkan Mahisa Bungalanpun berdesis"
terlalu sedikit. Yang akan datang lebih dari dua ratus orang."
"Mungkin keterangan itu keliru "
"Tidak mungkin. Kurang dari jumlah itu, mereka tidak akan
berani datang, karena mereka mengetahui serba sedikit centang
padepokan ini." 2063 "Kita harus bertindak cepat" berkata Empu Sanggadaru
kemudian. Tetapi katanya selanjutnya, "Agaknya memang ada
sesuatu yang perlu kita curigai"
Mahisa Bungalan mengangguk. Katanya, "Jatuhkan perintah.
Apakah kita akan menyongsong yang sedikit, atau menunggu
perkembangan keadaan."
Empu Sanggadaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian,
"Berapa orang yang ada di padukuhan itu?"
Prajurit yang dikirim dari padukuhan yang dilalui oleh tujuh puluh
lima orang itu menjawab, "Tidak banyak. Yang dapat diperhitungkan
tidak lebih dari ampat puluh lima orang."
"Apakah masih ada yang lain?"
"Sudah terlalu tua untuk bertempur meskipun mereka menolak
untuk disisihkan. Mereka dengan kehendak sendiri bersedia ikut
melawan orang-orang dari gerombolan. Serigala Putih."
Empu Sanggadaru menjadi ragu-ragu. Jumlah itu memang terlalu
sedikit. Karena itu, maka katanya, "Aku akan mengirimkan bantuan.
Biarlah sepuluh orang cantrik pergi bersamamu. Kalian harus
menghambat perjalanan iring-iringan itu. Jika perlu kalian dapat
bertempur sambil menarik diri mendekati padepokan ini sambil
menunggu perkembangan keadaan. Jika tidak ada laporan
menyusul, maka jumlah itu bukanlah jumlah yang banyak. Mereka
akan kita kepung, dan kita paksa untuk menyerah."
Tetapi ketika kedua prajurit itu s iap kembali kepadukuhan sambil
membawa sepuluh orang cantrik yang sudah dipersiapkan, maka
datang dua orang dari padukuhan yang lain membawa laporan yang
mengejutkan, "Sepasukan laskar akan mendekati padepokan ini dari
arah belakang. Mereka telah melingkari padepokan ini meskipun
sebenarnya mereka datang dari arah depan."
"Berapa jumlah mereka?"
"Terlalu banyak. Lebih dari duaratus orang."
2064 "He" Mahisa Bungalan termangu-mangu. Jumlah itu memang
terlalu banyak ditambah jumlah yang hampir seratus itu "
"Cepat, siapkan semua orang yang ada. Hubungi setiap
padukuhan. Yang datang dari depan, aku serahkan sepenuhnya
kepada padukuhan yang dilaluinya. Sepuluh orang cantrik yang aku
serahkan, aku cabut kembali karena keadaan menjadi gawat."
Prajurit yang datang lebih dahulu itu termangu-mangu. Namun
dalam pada itu, kedua anak muda yang berada di padepokan itupun
berkata hampir bersamaan, "Aku ikut "
Empu Sanggadaru memandang Mahisa Bungalan sejenak. Lalu
katanya, "Terserah kepada angger Mahisa Bungalan."
Mahisa Bungalan memandang adik-adiknya dengan tegang.
Agaknya yang mereka hadapi bukannya sekedar permainan, tetapi
sebenarnya bahaya- "Kami akan berhati-hati" berkata Mahisa Murti.
Mahisa Bungalan kemudian mengangguk sambil menjawab, "Kalian
harus menahan diri. Jangan berbuat seperti kanak-kanak. Kalian
berhadapan dengan kekuatan yang tangguh."
"Ya kakang." "Pergilah." Kedua anak-anak muda itupun kemudian mempersiapkan


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senjatanya akan mengikuti prajurit yang akan kembali
kepasukannya. "Mudah-mudahan pasukan itu sudah bergerak" berkata prajurit
itu, "jika tidak, kita akan terlambat. Pasukan lawan itu tentu sudah
sampai kepadepokan dan menyerang dari satu jurusan, sementara
yang lain akan datang dari arah yang berlawanan."
Ternyata seperti yang sudah mereka persiapkan lebih dahulu,
bahwa pasukan yang berada di padukuhan itu telah mulai bergerak.
Mereka mengikuti pasukan lawan dengan hati-hati sampai saatnya
2065 mereka bertemu dengan prajurit yang mereka tugaskan
menghubungi padepokan induk.
"Kita akan menyerang mereka" berkata prajurit yang baru datang
bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Marilah. Meskipun jumlah kita tidak sebanyak jumlah lawan,
tetapi kita mendapat kesempatan mendahului. Mudah-mudahan kita
tidak terjebak." Sejenak pasukan kecil itu masih mengikuti lawannya yang
melingkar mencapai tempat yang sudah ditentukan. Jika menurut
perhitungan mereka, pasukan yang melingkar itu sudah siap, maka
pasukan kecil yang berjalan lurus itu baru akan menyerang untuk
memancing perhatian, sementara induk pasukannya akan menggilas
padepokan itu dari arah lain.
"Kita biarkan sampai mereka mendekati padepokan" berkata
pemimpin prajurit yang ada di dalam pasukan kecil yang mengikuti
lawannya itu, "kita akan menyergap langsung untuk mengurangi
jumlah lawan pada benturan pertama. Berhati-hatilah."
Lima orang prajurit dan sepuluh orang cantrik yang terlatih baik
itupun mulai memencar di antara kira-kira limapulun orang itu,
termasuk Mahisa Pukat dan Mahisa Murti.
Prajurit yang memimpin pasukan kecil itu sudah memberikan
isyarat. Jika mereka mendengar teriakan aba-aba, mereka harus
segera bertindak. Untuk beberapa lamanya mereka masih mengikuti lawan pada
jarak tertentu dengan sangat berhati-hati. Meskipun malam
diterangi oleh cahaya bulan yang bulat, namun mereka berhasil
mengikuti orang-orang Serigala Putih, Macan Kumbang dan orangorang
Mahibit itu tanpa diketahui, karena orang-orang itu sama
sekali tidak menyangka, bahwa pasukan lawan tidak terkumpul
seluruhnya di padepokan, tetapi menunggu mereka di padukuhan
masing-masing. 2066 Seperti yang sudah mereka bicarakan, maka ketika iring-iringan
itu sudah mendekati padepokan, maka dengan tiba-tiba saja telah
terdengar teriakan aba-aba yang memecahkan sepinya malam.
Orang-orang Serigala Putih, Macan Kumbang dan dari Mahibit itu
terkejut bukan buatan. Mereka memang tidak menyangka bahwa
mereka akan menghadapi serangan yang demikian tiba-tiba justru
saat mereka akan memancing perhatian orang-orang yang menurut
perhitungan mereka tentu berkumpul di padepokan untuk
memusatkan kekuatan mereka.
Namun mereka tidak sempat membuat pertimbanganpertimbangan,
karena sejenak kemudian, maka merekapun telah
dihujani dengan lembing yang dilontarkan dengan sekuat tenaga
oleb lawan mereka yang berlari-larian menyerang.
Lontaran-lontaran lembing itu benar-benar telah membuat
mereka kebingungan. Meskipun lembing-lembing itu adalah sekedar
bambu cendani yang panjang dan berujung sekeping besi, namun
ternyata bahwa lembing-lembing itu telah berhasil mengurangi
jumlah lawan. Beberapa orang yang tidak sigap menghindari atau
menangkisnya, telah tertusuk dadanya, bahkan ada yang terkena
punggungnya, atau tersentuh pundaknya.
Pemimpin pasukan gabungan itu menggeram. Ia sadar, bahwa
pada serangan pertama itu, ia sudah kehilangan beberapa anak
buahnya. Meskipun mereka tidak langsung terbunuh, tetapi ada
beberapa orang di antara mereka sudah kehilangan kemampuan
untuk bertempur. Kawan-kawannya tidak mempunyai kesempatan untuk menolong
mereka, karena orang-orang yang telah menunggu dan mengikuti
mereka itupun dengan cepatnya telah berlari menyerang dengan
senjata teracung. Ternyata bahwa selain lembing yang, mereka
lontarkan, mereka masih membawa pedang atau jenis senjatasenjata
yang lain. Sejenak kemudian kedua pasukan itupun telah berbenturan
dalam satu pertempuran. Ternyata perhitungan para prajurit
2067 Singasari itu berhasil- Serangan yang tiba-tiba dengan lontaran
lembing dan teriakan-teriakan nyaring itu telah mempengaruhi
keseimbangan. Beberapa orang lawan telah dilumpuhkan, sedang
yang lain menjadi kebingungan. Tetapi karena mereka adalah
orang-orang yang berpengalaman, maka merekapun segera dapat
mengatur diri dalam perlawanan yang mapan. Namun jumlah
mereka yang telah berkurang itu, merupakan kenyataan yang pahit
bagi mereka atas kelengahan mereka.
Pertempuran yang telah terjadi itupun menjadi semakin sengit.
Orang-orang berilmu hitam itupun segera terdesak untuk
mempergunakan segenap kemampuan yang ada pada mereka,
sehingga karena itu, maka perlawanan merekapun menjadi semakin
kasar. Dalam setiap kesempatan mereka selalu berusaha untuk
membentuk lingkaran yang terdiri dari empat atau lima orang.
Tetapi lawan yang mereka hadapi, sudah pernah mendengar cara
orang-orang berilmu hitam itu bertempur. Karena itu maka
merekapun segera menyesuaikan dirinya untuk menghindar dari
putaran yang akan dapat menjerat mereka dalam kesulitan.
Namun dalam pada itu, prajurit Singasari yang ada di dalam
kelompok itupun segera melihat, bahwa ada di antara lawan mereka
yang memiliki ilmu dari cabang perguruan yang lain. Mereka bukan
orang-orang berilmu hitam.
Lima orang prajurit dan sepuluh orang cantrik yang terlatih baik
itupun segera memencar. Mereka seolah-olah telah memimpin
kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga atau empat orang di
antara kawan-kawannya. Dengan sigapnya mereka bertempur tanpa
mengenal gentar. Diantara mereka, terdapat sepasang anak muda yang memiliki
kelebihan dari setiap orang di dalam pasukannya. Dengan lincah
keduanya berloncatan dengan senjata ditangan. Mereka bertempur
bagaikan sepasang lebah yang berterbangan. Sekali-kali menukik
dan menyengat lawannya berganti-ganti.
2068 Perlawanan yang seru itupun tidak diduga sama sekali oleh
pasukan gabungan yang terdiri dari orang-orang Serigala Putih,
Macan Kumbang dan orang Mahibit. Karena itu maka meskipun
jumlah mereka lebih banyak, tetapi mereka segera merasa berada
dalam kesulitan. Apalagi jumlah yang lebih banyak itu telah
dikurangi pada benturan yang pertama. Beberapa orang di antara
mereka yang terluka berusaha untuk merangkak menepi, agar
tubuh mereka tidak lumat terinjak-injak oleh orang-orang yang
sedang bertempur itu. Satu dua di antara mereka yang terluka, masih berusaha untuk
berbuat sesuatu. Tetapi darah yang mengalir terlalu banyak dari
tubuh mereka, telah membuat mereka tidak berdaya.
Meskipun demikian pasukan gabungan itu tidak menjadi cemas.
Mereka menyangka bahwa mereka sedang berhadapan dengan
pasukan induk dari padepokan Empu Sanggadaru. Jika demikian,
maka pasukan yang melingkari padepokan itupun akan segera
datang dan menghancurkan mereka sama sekali.
Namun demikian masih timbul pertanyaan di dalam hati para
pemimpin dari pasukan gabungan itu. Mereka tidak melihat Empu
Sanggadaru di antara lawan-lawanrya.
"Mungkin orang itu berada di padepokan" berkata pemimpin
pasukan gabungan itu di dalam hatinya, "jika demikian maka ia akan
segera jatuh ketangan Empu Baladatu atau Linggadadi. Jika ia
berhadapan dengan Empu Baladatu dan mau menyerahkan diri,
nasibnya masih akan dapat dipertimbangkan. Tetapi jika ia jatuh
ketangan Linggadadi, maka nasibnya benar-benar menyedihkan. Ia
akan mati dalam kekecewaan dan penderitaan."
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa pasukan gabungan itu
banyak mengalami kesulitan melawan para prajurit Singasari, para
cantrik yang terlatih baik dan orang-orang yang dengan sepenuh
tekad bertempur mempertahankan haknya. Kejutan yang pertama,
benar-benar telah berpengaruh untuk selanjutnya. Apalagi dengan
kehadiran dua orang anak muda yang bertempur menyambarnyambar
dengan sigapnya. Senjata mereka setiap kali mematuk
2069 dengan cepat, dan meninggalkan segores luka pada lawannya,
sebelum ia meloncat menjauh dan seolah-olah hilang dalam hiruk
pikuk pertempuran yang dahsyat itu.
Sementara itu, induk pasukan gabungan dari orang-orang
padepokan Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit
itu dengan perlahan-lahan mendekati padepokan dari arah yang
lain. Mereka akan menyerang dari arah belakang, langsung
menikam jantung. Mereka menganggap bahwa orang-orang di
padepokan itu sedang sibuk menghadapi serangan dari pecahan
pasukan yang memang sudah dikirim untuk mendahului memancing
perhatian. Kehadiran induk pasukan gabungan itu ternyata memang sudah
ditunggu. Pasukan yang berada di beberapa padukuhan diluar
padepokan itu pun sudah dihubungi dengan mengirimkan petugas
yang langsung menyampaikan semua rencana yang telah tersusun,
meskipun dengan tergesa-gesa. Isyarat-isyarat yang sudah
disiapkan sama sekali tidak dipergunakan, apalagi isyarat bunyi.
Dengan hati-hati pasukan yang berada di padukuhan-padukuhan
yang terpisah itu mulai mendekat. Mereka sudah mendapat
petunjuk arah yang kira-kira akan dilalui oleh pasukan lawan yang
jumlahnya agak mengejutkan. Lebih dari dua ratus orang.
Sementara itu, jumlah yang dapat dikumpulkan dari orang-orang
padepokan Empu Sanggadaru itu tidak cukup banyak untuk
mengimbangi jumlah lawan. Tetapi mereka mempunyai kelebihan
lain. Mereka memiliki tekad yang rasa-rasanya membakar isi dada
mereka. Karena itulah maka dengan tabah mereka telah bersiap menanti
apa saja yang akan terjadi. Jangankan jumlah itu hanya sekitar dua
ratus orang, seandainya lipat dua sekalipun, mereka tidak akan
menjadi gentar. Dengan demikian, maka pasukan Empu Sanggadaru di induk
padepokanpun tidak terkumpul menjadi satu di dalam dinding
padepokan. Sebagian mereka tetap berada di luar meskipun mereka
sudah saling mendekat dan siap untuk bertempur bersama-sama.
2070 Mereka tahu benar, sesuai dengan petunjuk yang mereka terima,
bahwa pasukan induk lawan akan menyerang dari belakang.
Empu Sanggadaru telah membagi pasukan kecil yang ada di
padepokan. Sekelompok kecil masih harus mengawasi arah depan.
Jika orang-orang yang menghentikan pasukan lawan yang
memancing perhatian mereka itu gagal, dan pasukan lawan itu
berhasil menyerang padepokan induk, kelompok kecil itu harus
mencegahnya. Meskipun kelompok itu hanyalah kelompok yang kecil
sekali, namun mereka percaya bahwa pasukan yang ada di
padukuhan sebelah, pasti akan dapat ikut menentukan.
Sementara itu, pasukan yang lebih besar telah siap menghadapi
lawan yang datang dari arah belakang- Dipimpin langsung oleh
Empu Sanggadaru, Senapari prajurit Singasari maka para prajurit
yang bertugas di padepokan itu sebagai cantrik dan cantrik yang
ada di padukuhan itu dan seorang anak muda yang bernama Mahisa
Bungalan. "Kita akan menjumpai lawan yang kuat" berkata Empu
Sanggadaru, "yang sebenarnya sampai saat terakhir aku masih
belum percaya bahwa adikku sendiri telah melakukan hal yang sama
sekali tidak aku duga. Bagaimanapun juga berita tentang Baladatu,
tetapi aku masih menganggap ia sebagai adikku yang baik. Tetapi
kini aku tidak akan dapat ingkar pada kenyataan. Adikku benarbenar
telah datang, tidak dengan jodang pisungsung dari saudara
muda kepada saudara tua, tetapi dengan membawa ujung-ujung
senjata yang dapat menyebarkan maut."
Mahisa Bungalan melihat, betapa pahitnya perasaan Empu
Sanggadaru menghadapi kenyataan itu. Adiknya sendiri telah
memusuhinya tanpa sebab. Sampai saat Empu Baladatu berdiri
dengan senjata di lambung, ia masih tidak mengerti, apakah
salahnya sehingga adiknya telah menyerangnya.
"Aku tidak tahu, apakah aku sudah melakukan kesalahan
terhadap adikku itu." katanya, "jika demikian, maka kenapa ia tidak
datang langsung mengatakannya kepadaku Jika benar aku bersalah,
aku tentu tidak akan segan dan malu untuk minta maaf kepadanya,
2071 meskipun aku saudara tuanya. Tetapi tiba-tiba saja ia datang
dengan pasukannya." Senapati prajurit Singasari yang mendengar Empu Sanggadaru
mengeluh mengatakan, "Soalnya bukannya salah atau tidak
bersalah Empu. Apa yang terjadi sudah diperhitungkan oleh para
pemimpin Singasari. Terbukti dengan perintah atas kami untuk
tinggal di padepokan ini. Masalahnya sebenarnya telah Empu
ketahui. Perluasan pengaruh dari perguruan dan ilmu Empu
Baladatu, atau ada maksud-maksud lain. Tetapi bahwa Empu
Baladatu telah menguasai padepokan Serigala Putih dan Macan
Kumbang, adalah pertanda keinginannya untuk menguasai kekuatan
yang lebih besar lagi."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Namun masih saja
terasa kebimbangan di hatinya, bahwa semuanya itu benar-benar
telah terjadi. "Aku masih ingin menjumpainya untuk mendengarkan
penjelasannya." berkata Empu Sanggadaru.
"Yang berhadapan adalah dua kekutaan" jawab Senapati itu,
"bukan waktunya lagi untuk berbincang-bincang.
"Tetapi aku akan mencobanya."
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Menurut perhitungan
keprajuritannya, dalam keadaan seperti itu tidak ada lagi waktu
untuk berbicara. Yang langsung akan berbincang adalah senjatasenjata
yang sudah berada di dalam genggaman.
Tetapi Senapati itu tidak ingin berbantah. Apalagi padepokan itu
adalah padepokan Empu Sanggadaru. Kedudukannya di padepokan
itu, meskipun ia masih tetap seorang Senapati, adalah cantrik
seperti cantrik-cantrik yang lain. Namun dalam keadaan khusus
seperti yang dihadapinya, maka ia telah kembali kedalam
kedudukannya, prajurit Singasari yang akan berhadapan langsung
dengan orang-orang yang dianggap menentang kekuasaan yang
ada. 2072 Dalam pada itu, induk pasukan Empu Baladatu yang mendekati
padepokan menjadi termangu-mangu. Mereka tidak melihat atau
mendengar pertempuran di padepokan itu. Namun semakin mereka


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendekat, maka mereka mulai mendengar suara riuh di kejauhan.
Tidak di regol di padepokan itu.
"Dimanakah mereka bertempur?" bertanya Empu Baladatu.
"Kami belum membuat hubungan. Tetapi agaknya tidak di
padepokan itu" Empu Baladatu menjadi ragu-ragu. Lalu perintahnya, "Cepat.
Kedudukan kami meragukan. Carilah hubungan dengan pasukan
yang telah mendahului kami. Atau setidak-tidaknya usahakan agar
kita mengetahui kedudukan mereka"
Dua orang di antara mereka segera menyelinap kedalam
kegelapan, hilang dalam bayangan daun-daun perdu. Dengan hatihati
mereka menyusup memotong arah, langsung ke tempat
pertempuran. Dalam cahaya bulan yang bulat, kedua orang itu akhirnya
menemukan arena perkelahian yang sengit. Pertempuran itu meluas
di atas arena yang tersekat-sekat oleh pepohonan, karena mereka
bertempur di pategalan yang, kering.
"Kenapa benturan itu terjadi di sini?" pertanyaan itu telah
mengganggu kedua orang yang mencari keterangan tentang
pasukan yang terdahulu itu.
Sementara itu pertempuran itupun masih berkobar dengan
sengitnya. Meskipun pada benturan pertama, pasukan gabungan
dari ketiga padepokan yang menyerang itu telah kehilangan orangorangnya,
namun jumlah mereka masih lebih banyak. Tetapi lawan
mereka adalah sekelompok orang-orang yang berjuang dengan
segenap hati dan tekad. Apalagi di antara mereka terdapat
beberapa orang prajurit Singasari, beberapa orang cantrik yang
terlatih dan dua orang anak muda yang mampu bergerak secepat
burung s ikatan menyambar bilalang
2073 "Gila" tiba-tiba saja salah seorang dari dua orang pengawas yang
dikirim oleh Empu Baladatu itu menggeram, "ternyata pasukan
Empu Sanggadaru itu telah mencegat mereka di sini."
"Tetapi ini adalah suatu hal yang aneh" sahut kawannya, "apakah
dengan demikian berarti bahwa padepokan mereka telah kosong?"
"Meskipun tidak kosong, tetapi jumlah pasukan yang tinggal
tentu sama sekali tidak berarti. Kita akan dapat memasuki
padepokan itu tanpa perlawanan."
"Tetapi apakah kau yakin bahwa yang ada di sini adalah seluruh
kekuatan Empu Sanggadaru?"
"Aku kira demikian. Empu Sanggadaru tidak akan mengetahui
bahwa kita telah memecah pasukan kita menjadi dua bagian. Justru
bagian ini adalah bagian yang kecil."
Kawannya terdiam. Sejenak ia mengamati pertempuran yang
sengit itu. Lalu katanya, "Marilah, kita akan melaporkannya."
"Kita singgah di padepokan itu. Kita akan melihat, apakah masih
ada pasukan segelar sepapan."
Kedua orang itupun kemudian meninggalkan arena. Mereka
diam-diam mendekati padepokan yang nampak sepi. Dengan hatihati
mereka merapat dinding padepokan agak jauh dari regol,
karena mereka yakin bahwa di regol itu tentu terdapat beberapa
orang, yang berjaga-jaga. Apalagi di hadapan padepokan itu sedang
terjadi pertempuran yang riuh.
"Aku akan menengok ke dalam" desis yang seorang.
"Berhati-hatilah. Jika kita tertangkap di sini, maka Empu Baladatu
akan kehilangan keterangan yang kita bawa. Atau harus
mengirimkan orang lain lagi."
Kawannya tidak menjawab. Tetapi dengan sangat berhati-hati
iapun telah memanjat naik keatas dinding batu padepokan itu.
Ketika ia menjengukkan kepalanya, tampaklah bahwa padepokan
itu sepi. Ia melihat obor di regol yang dijaga oleh beberapa orang
2074 bersenjata. Tetapi nampaknya terlalu sedikit bagi sebuah persiapan
perang. Sedangkan di bagian lain dari padepokan itu nampaknya
lengang dan tidak terdapat kesibukan sama sekali.
Setelah mengamati keadaan beberapa lama, maka orang yang
sedang memanjat itupun segera turun. Dengan ragu-ragu ia
berkata, "Keadaan ini memang sulit dipahami. Jika benar yang
bertempur itu adalah orang-orang dari padepokan ini, itu berarti
bahwa semua kekuatan sudah dikerahkan, karena nampaknya
padepokan ini kosong. Hanya beberapa orang yang nampak berada
di regol dengan senjata telanjang. T etapi di bagian lain sama sekali
tidak nampak kesibukan apapun juga."
"Jika demikian, maka segenap kekuatan benar-benar telah
dikerahkan untuk melawan pasukan yang terdahulu itu. Justru
bagian yang lebih kecil."
"Marilah, kita akan melaporkannya. Mungkin kita memang sudah
berhasil memancing segenap kekuatan Empu Sanggadaru. Agaknya
Empu Sanggadaru sama sekali tidak menyadari apa yang akan
terjadi, sehingga ia tidak sempat mengumpulkan seluruh kekuatan
yang ada." "Memang keadaan ini agak meragukan. Tetapi bagaimanapun
juga, kita akan berhasil memasuki padepokan ini."
Kedua orang itupun kemudian meninggalkan dinding batu itu dan
kembali kepada Empu Baladatu. Tetapi adalah suata kekeliruan
bahwa mereka memanjat dinding halaman di bagian depan,
sehingga mereka sama sekali tidak melihat persiapan para cantrik
dan para prajurit Singasari di bagian belakang dari padepokan itu,
karena mereka sudah mengetahui bahwa serangan lawan akan
datang dari arah itu. Laporan kedua pengawasnya itu didengar oleh Empu Baladatu
dengan ragu-ragu. Iapun kemudian mengalami kesulitan untuk
membayangkan keseluruhan dari keadaan yang di hadapinya.
Namun kemudian Empu Baladatu mengambil kesimpulan, bahwa
Empu Sanggadaru tidak mengetahui sama sekali bahwa akan
2075 datang serangan yang besar pada padepokannya. Tentu karena
kebetulan mereka melihat pasukan kecil itu datang mendekati
padepokannya dan mengerahkan perlawanan yang mungkin
dilakukan. "Kita akan memasuki padepokan itu" berkati Empu Baladatu,
"sebagian dari kita akan segera menolong kawan-kawan kita yang
sedang bertempur. Kita akan melakukan korban terbesar dalam
sejarah upacara kepercayaan untuk menyadap ilmu yang maha
besar ini, sehingga kita akan segera memiliki kesempurnaan "
Empu Baladatu segera memerintahkan pasukannya untuk maju
dengan cepat mendekati padepokan. Sementara Linggadadi dengan
berdebar-debar berbisik kepada kawannya, "Kita akan melihat
upacara yang mengerikan. Mudah-mudahan kita tidak akan ikut
menjadi korban pula."
Kawannya tersenyum. Jawabnya, "Tentu tidak. Mereka masih
memerlukan kita. Dan mereka pun tidak akan mengambil korban
yang dapat membahayakan diri sendiri."
Linggadadi tertawa. Ia sependapat dengan kawannya.. Jika Empu
Baladatu menjadi wuru dan ingin mengambil korban yang lebih
besar lagi dengan mengumpankan orang-orang Mahibit, itu akan
berarti kemusnahannya sendiri.
Sementara itu pasukan yang besar itu dengan cepat maju
mendekati padepokan Empu Sanggadaru. Sejenak Empu Baladatu
menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bulan bulat di langit. Tetapi
bulan itu sudah semakin bergeser ke Barat, Sebentar lagi bulan itu
akan mulai turun semakin rendah.
"Masih ada waktu" berkata Empu Baladatu, "kita masih akan
dapat membasahi senjata kita dengan darah korban dan
menitikkannya pada tubuh kita di dalam terangnya bulan purnama."
Sementara itu, para pengawas dari padepokan Empu Sanggadaru
sudah mulai melihat iring-iringan yang besar mendekati padepokan.
Dengan dada yang berdebar-debar salah seorang dari mereka
2076 berkata, "Apakah sudah datang saatnya, padepokan ini akan
lenyap?" "Hatimu ternyata sekecil menir. Kita akan bertempur sampai
orang yang terakhir. Tetapi kita masih dapat mengharap bahwa
sebelum kita sampai orang yang terakhir, lawan sudah dapat kita
hancurkan." "Jumlahnya terlalu banyak. Sebentar lagi, yang datang dari arah
lainpun akan segera menusuk padepokan ini pula, karena
pertahanan kita sebentar lagi akan pecah."
"Jangan berputus-asa. Kita akan menyampaikan laporan kepada
Empu Sanggadaru dengan isyarat yang sudah di tentukan.."
Sejenak kemudian terdengarlah gonggong seekor anjing hutan
dari dalam gerumbul-gerumbul perdu di luar padepokan. Suaranya
meninggi bagaikan menyelusuri awan putih yang terbang di langit
yang biru. Empu Sanggadaru dan mereka yang berada di padepokanpun
menyadari, bahwa lawan telah mendekati padepokan. Gonggong
anjing itu adalah isyarat yang telah ditentukan bagi para pengawas
untuk memberitahukan, bahwa sebentar lagi akan segera terjadi
benturan kekerasan yang mengerikan.
"Tidak ada yang dapat membedakan" berkata kawan pengawas
yang menirukan gonggong, anjing itu, "tepat seperti anjing hutan."
"Sekarang kau" sahut kawannya.
Yang lain menggeleng" tidak. Jika suaraku tidak sebaik suaramu,
maka akan segera diketahui, bahwa kami sudah menunggu
kehadiran lawan itu."
Kawannya tidak menyahut. Tetapi merekapun kemudian
mendengar gonggong anjing yang sama di kejauhan. Agaknya
penghubung yang bertugas di luar padepokanpun telah
menyampaikan isyarat yang sama kepada para prajurit dan cantrik
yang berada di luar padepokan bersama pasukan masing-masing
2077 yang di susun dari padukuhan-padukuhan yang berada di bawah
pengaruh padepokan Empu Sanggadaru.
Tetapi jumlah mereka pun tidak cukup untuk mengimbangi
jumlah pasukan yang datang menyerang. Namun seperti yang telah
bertempur labih dahulu, merekapun dibekali dengan tekad yang
membaja di dalam hati. Para prajurit yang ada di padepokan pun segera mengatur diri.
Mereka memencar bersama para cantrik yang sudah mendapat
tempaan lahir dan batin. Yang selalu ikut serta dalam latihan-latihan
yang berat bersama para prajurii Singasari di dalam padepokan itu.
Mahisa Bungalan yang ada di padepokan itu pula menjadi
berdebar-debar. Agaknya akan terjadi pertempuran yang sangat
sengit antara dua orang saudara sekandung bersama pengikut
masing-masing. "Dengki dan iri hati agaknya telah mulai berbicara lewat ujung
senjata" berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.
Sejenak kemudian, di dalam cahaya bulan yang kekuningkuningan,
para prajurit dan para cantrik yang ada di padepokan itu
telah melihat, bayangan yang samar-samar di kejauhan mendekati
dinding padepokan. Karena itu, maka merekapun segera
menempatkan diri. Seseorang telah mendapat perintah untuk
menghubungi para penjaga regol, agar regol ditutup rapat-rapat.
Meskipun agaknya lawan akan mengambil jalan lain, tetapi mungkin
sekali sebagian dari mereka akan tetap berusaha melalui regol
padepokan itu. Beberapa orang di antara mereka yang berada di padepokan
itupun segera bersiap di atas dinding dengan busur di tangan.
Meskipun mereka masih berusaha untuk menyamarkan diri di
belakang dinding itu, namun mereka sudah siap dengan anak panah
untuk di lontarkan. Sementara itu Empu Baladatu telah menjadi semakin dekat.
Bahkan kemudian katanya kepada Linggadadi yang tidak jauh di
sisinya, "Agaknya pasukan yang terdahulu memancing para cantrik
2078 untuk bertempur di luar padepokan. Jika benar demikian, maka itu
adalah suatu keberhasilan yang menguntungkan meskipun pasukan
itu mengalami tekanan yang sangat berat."
"Kita akan segera mengirimkan bantuan kepada mereka" sahut
Linggadadi., "kita akan menghancurkan semuanya sampai orang
terakhir. Termasuk perempuan dan kanak-kanaknya yang ada di
padukuhan itu." Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Katanya di dalam hati,
"Ternyata orang-orang Mahibit ini juga tidak kurang dari iblis yang
bertubuh manusia. Jika benar seperti yang dikatakan; merekapun
termasuk orang-orang yang paling buas di tlatah Singasari ini."
Demikianlah maka pasukan itu pun merayap semakin dekat.
Beberapa puluh langkah mereka berhenti. Sejenak para
pemimpinnya mengadakan pembicaraan. Baru kemudian mereka
mengambil keputusan, "Kita akan memasuki padepokan ini dari arah
belakang. Tetapi karena nampaknya padepokan ini sepi dan tidak
ada pertempuran di bagian depan, maka sebagian dari kita akan
memasukinya lewat regol. Agaknya pasukan di padepokan ini telah
terpancing keluar dan bertempur di luar."
Dengan demikian, maka sekelompok kecil dari pasukan itu telah
diperintahkan untuk melingkari padepokan dan masuk lewat regol
depan, sedang yang lain akan tetap seperti yang direncanakan,
memasuki padepokan itu dari arah belakang.
"Sebenarnya tidak perlu" berkata Linggadadi, "jika mereka
bertempur di depan, kita menusuk dari belakang. Tetapi kini mereka
bertempur di luar. Kita masuk lewat manapun juga. Tetapi sebagai
suatu langkah yang hati-hati, kita akan melakukan sesuai dengan
keputusan kita. Kita akan memanjat dinding dan meloncat
kedalam." Empu Baladatu tidak menjawab. Tetapi iapun memerintahkan
pasukannya untuk maju semakin dekat.
2079 Gonggong anjing di kejauhan masih terdengar. Semakin panjang
dan tinggi. Seolah-olah mereka telah mulai mencium bau darah
yang akan tertumpah. Namun bagi orang-orang di dalam padepokan, gonggong anjing
itu merupakan pertanda bahwa saat yang paling gawat sudah
menjadi semakin dekat. Tetapi gonggong anjing itu juga merupakan perintah bagi
pasukan yang berasal dari padukuhan di luar padepokan yang
dipimpin oleh para prajurit dan cantrik yang terlatih. Mejeka
merayap semakin dekat pula di belakang pasukan lawan yang sudah
berada di depan dinding padepokan.
Seorang pengawas yang berada di balik regol sempat mengintip
lewat lubang yang terdapat pada daun pintu regol. Sejenak ia
menjadi tegang ketika ia melihat beberapa orang berjalan
mendekat. Cahaya bulan yang kekuning-kuningan telah terpantul
dari ujung senjata mereka yang berkilat-kilat.
"Beberapa orang mendekati regol" desisnya.
Yang lainpun menjadi tegang pula. Namun sejenak kemudian
merekapun segera bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
"Kita tidak akan dapat minta bantuan kepada siapapun" desis
pemimpin kelompok yang menjaga regol itu, "kita semua akan sibuk
dengan tugas kita masing-masing. Suara anjing itu terdengar
semakin nyaring.

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak
sempat berbicara lagi, karena mereka mulai mendengar suara
bergeremang di luar regol.
Para penjaga regol itupun mulai mempersiapkan diri. Mereka
membiarkan lubang pada daun pintu tidak tertutup sehingga yang
berada di luar dapat mengintip kedalam. Tetapi para penjaga itu
berdiri merapat dinding, sehingga mereka sama sekali tidak nampak
dari luar jika di antara lawan mereka mengintip kedalam lewat
lubang yang terbuka itu. 2080 Sejenak suasana dicengkam oleh kesepian. Para penjaga regol
itu telah menahan nafas, agar orang-orang yang di luar tidak
mengetahui bahwa di sebelah menyebelah regol itu terdapat
beberapa orang penjaga. "Sepi sekali" tiba-tiba terdengar suara di luar regol.
"Ya. Tidak nampak seorangpun." sahut yang lain.
"Tetapi regol ini ditutup rapat-rapat. Jika para cantrik itu
terpancing keluar dalam pertempuran, mereka tidak akan sempat
menutup regol." "Tentu tidak oleh mereka yang pergi kepertempuran yang ramai
itu. Tentu ada sekelompok penjaga yang tinggal di dalam. Pintu
regol ini diselarak dari dalam."
Para penjaga yang mendengar percakapan itu menjadi berdebardebar.
Agaknya lawan merekapun mengetahui bahwa tidak mungkin
regol itu dibiarkan tanpa penjaga sama sekali.
"Suatu kesalahan" berkata pemimpin kelompok yang menjaga
regol itu, "seharusnya dibiarkan ada dua orang yang nampak dari
luar, sehingga mereka akan menyangka bahwa memang hanya ada
dua orang itu saja.Tetapi sudah terlanjur sehingga tidak mungkin
lagi akan diulang." Sementara itu, orang yang berada di luar itupun masih saja raguragu.
Namun kemudian pemimpinnya justru mengetuk pintu regol
itu sambil berkata, "Siapa yang ada di dalam he" "
Tidak ada jawaban. "Bukalah sebelum pintu ini aku pecahkan. Dengarlah. Suara
pertempuran itu sudah mereda. Kawan-kawanmu yang terpancing
keluar telah kami hancurkan. Karena itu, buka pintu dan
menyerahlah. Kami tidak akan berbuat apa-apa."
Masih tidak ada jawaban. 2081 Agaknya orang-orang yang berada di luar regol itu menjadi tidak
sabar lagi. Merekapun kemudian mulai membentak, "Buka regol ini
he" " Tidak seorangpun dari para penjaga itu yang bergerak dan
menjawab. Beberapa kali terdengar pintu diketuk keras-keras. Sementara itu,
di bagian belakang padepokan itupun telah mulai terdengar
teriakan-teriakan nyaring. Agaknya orang-orang yang berada di luar
dinding telah menjadi semakin dekat, dan dengan sengaja membuat
kejutan yang menghentak. Sebagian dari mereka telah bersiap untuk meloncati dinding batu
yang mengelilingi padepokan ituDalam pada itu, para prajurit Singasari yang berada di
padepokan itu sebagai cantrik, bersama para cantrik yang
sebenarnya, telah siap menyambut lawan yang jumlahnya jauh lebih
banyak. Beberapa orang dengan serta merta telah meloncat keatas
dinding dengan busur dan anak panah yang siap dilepaskan.
Kehadiran beberapa orang di atas dinding padepokan itu benarbenar
tidak diduga oleh pasukan Empu Baladatu. Sebelum mereka
menyadari apa yang mereka hadapi, maka berhamburanlah anak
panah yang terlepas dari busurnya menghujani mereka yang sudah
berkumpul dihadapan dinding itu.
Seperti yang telah terjadi pada pecahan pasukannya, maka
pasukan induk Empu Baladatu inipun.mengalami kejutan yang
membingungkan. Tiba-tiba saja mereka di hadapkan pada keadaan
yang tidak mereka duga sebelumnya.
Linggadadi yang datang dari Mahibit itupun terkejut pula
menghadapi serangan yang tiba-tiba itu. Karena itu, dengan serta
merta terdengar aba-abanya terutama ditujukan kepada
pasukannya, "Mundur. Jagalah jarak jangkau anak panah itu.
Kemudian bersiaplah. Kita bakar padepokan ini sampai lumat."
2082 Ternyata yang bergerak mundur dengan cepat bukan hanya
orang-orang Mahibit. Tetapi para pengikut Empu Baladatu pun
kemudian bergerak dengan cepat surut sehingga melampaui jarak
jangkau anak panah. "Sekarang kita bersiap menghadapi keadaan ini" terdengar suara
Linggadadi. "Siapkan perisai di bagian depan .Yang tidak berperisai bersiaplah
menghadapi anak-panah itu dengan senjata masing-masingTernyata kita menghadapi lawan yang licik seperti demit."
Empu Baladatu pun menggeram. Namun katanya, "Mereka tidak
terlalu banyak. Lihat, bukankah kita dapat menghitung jumlah
orang-orang yang berada di atas dinding itu" Didalam cahaya bulan,
kita dapat membuat mereka menjadi sasaran. Siapkan lembing
kalian. Lontarkan yang tepat akan melemparkan mereka dengan
luka di dada. Atau setidak-tidaknya membuat mereka harus berhatihati
dan tidak dapat membidikkan anak panahnya dengan
sekehendak hati." Beberapa orang yang membawa tombakpun segera bersiap.
Ketika terdengar teriakan nyaring, maka merekapun berlari sekuat
tenaga tanpa menghiraukan anak panah yang akan dapat
menembus kulit mereka. Dengan teriakan nyaring merekapun
kemudian melontarkan lembing mereka sekuat-kuatnya mengarah
kepada orang-orang yang berada di atas dinding padepokan.
Ternyata usaha mereka berhasil. Dibelakang mereka menyusul
orang-orang yang membawa perisai. Sehingga dengan demikian
maka sebagian dari merekapun berhasil mendekati dinding
padepokan itu- Lontaran-lontaran lembing itu telah mendesak beberapa orang
yang berada di atas dinding untuk berlindung. Sehingga dengan
demikian maka sebagian dari pasukan yang berada di luar itu
sempat mendekat. Meskipun dengan demikian telah jatuh beberapa
orang korban, karena mereka yang berlari-lari untuk melontarkan
2083 lembing itu telah jatuh dengan anak panah menancap didada
mereka. Orang-orang yang berada di dalam padepokan itu menjadi raguragu
untuk menampakkan dirinya dengan serta merta, karena lawan
mereka akan dapat melontarkan lembing lebih banyak lagi. Karena
itu, maka merekapun mulai menjadi hati-hati, sehingga hanya pada
saat-saat yang memungkinkan saja mereka muncul, melepaskan
beberapa anak panah dan kembali menghilang.
"Kita sudah mendapat kesempatan" teriak Empu Baladatu, "kita
harus cepat menguasai keadaan."
Sekali lagi terdengar teriakan-teriakan nyaring ketika pasukan di
luar dinding itu sudah bersiap untuk meloncat naik.
Namun dalam pada itu, mereka telah dikejutkan oleh beberapa
anak panah sendaren yang dilepaskan dari dalam padepokan.
Suaranya meraung-raung di langit, seperti teriakan seorang
Senapati yang memberikan aba-aba kepada pasukannya.
Sebenarnyalah panah sendaren itu merupakan aba-aba bagi
pasukan yang ada di luar padepokan. Pada saat orang-orang di luar
padepokan itu termangu-mangu, maka para prajurit dan para
cantrik yang memimpin pasukan dari padukuhan di sekitar
padepokan itupun mulai menggerakkan pasukannya mendekat
dengan senjata siap di tangan.
"Jangan hiraukan" teriak Empu Baladatu, "kita meloncat naik."
Tetapi mereka belum sempat melakukannya. Ketika beberapa
orang mulai berloncatan naik, maka dari dalam keremangan malam
telah muncul bayangan tiga buah pasukan yang datang dari tiga
arah. (Bersambung ke jilid 29) Koleksi: Ismoyo Scanning: Arema Convert/proofing: Ayasdewe
2084 Editing/Rechecking: Arema
-oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
2085 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 29 "SETAN ALAS" teriak Empu
Baladatu, "hentikan mereka. Aku
akan memasuki padepokan itu
dan membuatnya menjadi karang abang." "Kita masuki bersama-sama"
teriak Linggadadi. Demikianlah sebagian dari
pasukan itu telah bersiap-siap
menyongsong serangan yang
datang justru dari luar padepokan, sedangkan Empu
Baladatu dan Linggadadi langsung memasuki padepokan
itu dengan senjata di tangan, d
bawah benturan senjata dari
pasukannya yang telah mendahuluinya.
Di dalam dinding padepokan, Empu Sanggadaru telah meunggu.
Di dalam cahaya bulan, ia langsung dapat melihat adiknya yang
kemudian berdiri di atas dinding sambil berteriak, "Inilah Baladatu,
penguasa ilmu maha sakti."
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Kini ia suda
melihat sendiri, bahwa benar-benar adiknya telah datang dengan
senjata di tangan. 2086 "Apakah salahku" sekali lagi ia mengeluh di dalam hati, "aku
memang sudah membunuh pemimpin gerombolan Serigala Putih.
Tetapi kenapa adikku sendiri kini datang bersama gerombolan itu
untuk menuntut balas?"
Tetapi Empu Sanggadaru tidak dapat mengucapkan pertanyaan
itu. Apalagi sudah ternyata, bahwa pertempuran yang sengit sudah
mulai berkobar. "Kakang Empu Sanggadaru" terdengar suara Baladatu memekik
tinggi, "apakah, kau mendengar suaraku kakang?"
Empu Sanggadaru ragu-ragu sejenak. Namun iapun kemudian
bergeser ke cahaya bulan yang bulat di langit. Dengan ragu-ragu
iapun kemudian menjawab, "Aku disini Baladatu."
"Nah" teriak Baladatu, "jadi kau mendengar suaraku kakang?"
"Aku mendengar "
"Sekarang, jawablah pertanyaanku."
Empu Sanggadaru termangu-mangu. Ia melihat beberapa orang
telah terlibat di dalam pertempuran. Ternyata bahwa serangan anak
buahnya yang tiba-tiba telah menguntungkan pertahanannya seperti
pasukannya yang sedang bertempur melawan pecahan pasukan
Empu Baladatu. "Kakang, apakah kakang mengakui kekuasaanku atas semua
kekuatan diluar istana Singasari?"
"Aku tidak tahu maksudmu Baladatu?"
"Maksudku, kau harus tunduk kepada semua perintahku
meskipun kau saudara tuaku. Aku adalah penguasa tunggal di
seluruh daerah Singasari di luar kekuasaan kedua anak-anak itu,
yang pada saatnya akan hancur juga."
"Itu artinya kau telah menyusun kekuatan untuk membayangi
kekuasaan yang sebenarnya."
2087 "Itu memang maksudku. Aku datang dengan kekuatan dari
Mahibit yang sesuai dengan sikap dan pendirianku meskipun dalam
beberapa hal masih harus dibicarakan."
Empu Sanggadaru termangu-mangu. Namun jawabnya, "Lihatlah.
Mayat mulai terbaring dihalaman ini. Apakah kau dapat
menghentikan pertempuran" Kita akan berbicara. Tetapi tidak
diganggu oleh dentang senjata seperti sekarang ini."
"Kita berbicara dikancah peperangan. Itu menyenangkan sekali.
Aku akan mengadakan korban darah terbesar yang pernah aku
selenggarakan. Nah, jawablah pertanyaanku sebelum aku meloncat
turun dan menghancurkan padepokanmu sehingga menjadi karang
abang." "Jangan kehilangan nalar Baladatu. Turunlah. Hentikan
pertempuran ini. Kita akan berbicara."
"Jawablah. Atau, menyerahlah tanpa syarat. Baru kira berbicara
setelah semua senjatamu dan anak buahmu dikumpulkan."
"Baladatu" potong Empu Sanggadaru, "aku adalah saudara
tuamu. Kenapa kau telah terjerumus ke dalam sikap gilamu itu?"
"Tidak ada pilihan lain kakang."
"Tidak. Lihat pasukanmu. Tengoklah keluar. Aku tidak sendiri."
Empu Baladatu tiba-tiba menjadi ragu-ragu. Kerika ia berpaling,
dilihatnya pasukannya telah terlibat dalam pertempuran yang riuh.
Ternyata jumlah pasukan Empu Sanggadaru cukup banyak
meskipun tidak sebanyak pasukannya yang di tambah dengan
orang-orang Mahibit. Bahkan di dalam pasukan Empu Sanggadaru
itu terdapat beberapa orang cantrik yang memiliki kemampuan yang
melampaui kemampuan orang orangnya dan orang-orang Mahibit.
Mereka bertempur seperti seorang prajurit pilihan.
Sebenarnyalah bahwa di antara mereka adalah prajurit-prajurit
Singasari dalam kedudukannya sebagai cantrik dari padepokan itu,
bersama cantrik-cantrik pilihan yang memiliki ilmu yang cukup
memadai. 2088 "Apakah katamu Baladatu?".
"Persetan" Linggadadi lah yang berteriak, "aku tidak telaten
melihat pembicaraan yang berkepanjangan itu. Aku akan turun dan
membunuh Empu Sanggadaru."
"Siapa kau?"Empu Sanggadaru bertanya
"Aku adalah Linggadadi pembunuh orang berilmu hitam."
Jawaban itu mengejutkan, hingga di luar sadarnya Empu
Sanggadaru bertanya., "Kenapa kau kini berada di antara orang
berilmu hitam. Dan ternyata pemimpin dari mereka yang berilmu
hitam itu adalah adikku sendiri."
"Kami sejalan. Kami menemukan persesuaian sekarang ini" jawab
Linggadadi "Kalau begitu jangan sebut namamu dengan gelar pembunuh
orang berilmu hitam, karena di sini ada orang yang sebenarnya
lebib berhak disebut pembunuh orang berilmu hitam."
"He, siapa orang itu?"teriak Linggadadi


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan jawab Empu Sanggadaru pun mengejutkan orang-orang
berilmu hitam itu. Katanya, "Namanya tentu sudah kalian dengar,
Mahisa Bungalan." Sejenak Empu Baladatu, Linggadadi dan beberapa orang yang
sempat mendengar nama itu termangu-mangu- Namun Empu
Sanggadaru menegaskan "Lihatlah. Orang yang berdiri diam tanpa
sikap sombong itulah yang bernama Mahisa Bungalan, putra
Mahendra. Ia sudah siap menunggu kalian di sini bersamaku."
"Persetan" geram Linggadadi, "aku menemukan lawan yang
sebenarnya sekarang."
Suasana medan yang semakin sengit itu menegang sejenak. Para
pemimpin dari kedua belah pihak seolah-olah masih sedang menilai,
apa yang mereka hadapi. 2089 Namun sejenak kemudian terdengar Linggadadi berteriak
nyaring, "Persetan, siapakah yang pantas menyebut dirinya
pembunuh orang-orang berilmu hitam."
Tetapi terdengar jawaban Empu Sanggadaru, "Dan kau sekarang
sudah berpihak kepadanya, "
Linggadadi tidak menjawah. Iapun kemudian meloncat turun dan
langsung berlari mendapatkan Mahisa Bungalan yang sudah siap
menyongsongnya. Empu Sanggadaru termangu-mangu sejenak. Kedua orang itu
memiliki nama yang sama-sama dikagumi karena mereka adalah
pembunuh-pembunuh orang berilmu hitam. Namun kini mereka
berdua telah bertemu di arena pertempuran sebagai lawan
Sementara itu, Empu Baladatu pun masih berteriak lagi, "Kakang
Sanggadaru, apakah kakang masih sempat berpikir untuk menyerah
saja dan berpihak kepadaku"
"Baladatu" jawab Empu Sanggadaru, "jangan mimpi. Akulah yang
harus memperingatkanmu. Ilmu hitammu itu telah menyesatkan
akalmu, bahwa kau sudah berani melawan saudara tuamu sendiri
tanpa alasan. Aku tidak tahu, apakah salahku terhadapmu. Mungkin
aku kau anggap bersalah terhadap ilmu hitammu, tetapi tidak
kepadamu sendiri." "Tidak ada persoalan lain yang aku bicarakan kakang Kau
menyerah atau tidak?"
"Tidak Baladatu. Meskipun kau Mampu membunuh aku sekalipun,
namun aku akan tetap pada pendirianku dan bahkan dengan
harapan, kau akan dapat menyadari kesalahanmu. Agaknya bulan
bulat dilangit telah membuat kau menjadi mata gelap dan siap
untuk menyerahkan korban terbesar sesuai dengan ilmumu."
Empu Baladatu tidak ingin berbicara lagi. Ternyata kakaknya
benar-benar tidak mau menyerah, sehingga karena itu, maka ia
akan segera melakukan kekerasan untuk memaksakan
kehendaknya. 2090 Sejenak kemudian Empu Baladatu pun segera meloncat turun
dan menyusup di antara pertempuran yang menjadi semakin seru.
Sementara itu, Linggadadi telah terlibat dalam pertempuran yang
sengit melawan Mahisa Bungalan. Ternyata dugaan Linggadadi
bahwa tidak ada orang yang dapat menyamainya selain orang-orang
terpenting di istana, adalah keliru. Yang dihadapi itu adalah seorang
anak muda yang pada benturan pertama telah memperingatkan
kepada Linggadadi, bahwa ia kini berhadapan dengan lawan yang
sangat tangguh. Karena itulah, maka Linggadadi pun menjadi semakin berhatihati.
Ia surut beberapa langkah, sengaja untuk mengambil tempat
yang lebih luas, agar ia dapat bertempur melawan anak muda yang
juga disebut pembunuh orang berilmu hitam tanpa diganggu.
Mahisa Bungalan pun agaknya memakluminya. Itulah sebabnya
maka ia pun mengikuti lawannya meskipun ia pun tidak kehilangan
kewaspadaan. Di tempat yang agak terpisah, maka keduanya pun segera
terlibat dalam pertempuran yang sengit. Keduanya mencoba untuk
mengetahui kelemahan lawannya sebelum mereka masing-masing
menentukan sikap dan melepaskan ilmu mereka yang tertinggi.
Sementara itu, pertempuran itupun terjadi dengan dahsyatnya.
Arena pertempuran antara orang-orang di padepokan Empu
Sanggadaru melawan pasukan gabungan yang dipimpin langsung
oleh Empu Baladatu itu telah terpecah menjadi tiga.
Yang pertama terjadi beberapa puluh tonggak dari padepokan,
karena pecahan pasukan Empu Baladatu yang berusaha memancing
perhatian padepokan lawannya. Tetapi yang justru telah terjebak
dalam pertempuran tersendiri tanpa mengganggu pasukan lawan di
padepokannya. Sehagian lagi adalah mereka yang sudah terlanjur melompat
memasuki dinding halaman, sedangkan yang lain bertempur di luar
padepokan melawan pasukan yang datang dari padukuhan di luar
2091 padepokan yang dipimpin oleh para cantrik, namun yang di antara
mereka sebenarnya adalah prajurit-prajurit Singasari.
Sedang yang sebagian, yang berada di dalam dinding padepokan,
segera merasa, betapa beratnya tekanan lawan, karena yang
berada di padepokan itu sebagian terbesar adalah para prajurit,
para cantrik yang terlatih baik dan orang-orang yang memang
benar-benar dipersiapkan. Apalagi setelah ternyata bahwa
pemimpin-pemimpin mereka terlibat dalam pertempuran yang
seolah-olah telah mengikat segenap perhatian mereka.
Empu Baladatu telah mulai menyerang Empu Sanggadaru yang
ragu-ragu. Tetapi karena Empu Baladatu benar-benar berusaha
membunuh kakaknya, maka Empu Sanggadaru pun lambat laun
telah bertempur sepenuh tenaganya pula meskipun setiap kali ia
masih selalu dibebani pertanyaan, "Kenapa Baladatu telah benarbenar
menyerang aku?" Namun dalam pada itu, Empu Sanggadaru masih juga mengucap
syukur, bahwa prajurit Sngasari telah disentuh oleh kecurigaan
bahwa pada suatu saat orang berilmu hitam itu akan menyerang
padepokan Empu Sanggadaru, karena menurut pertimbangan para
prajurit, tidak ada sasaran lain yang akan dilandanya selain
padepokan kakaknya. Apalagi setelah para petugas sandi melihat
persiapan yang meningkat pada padepokan orang-orang Serigala
Putih dan Macan Kumbang. Namun para prajurit sandi sama sekali
tidak mempertimbangkan kekuatan yang datang dari Mahihit.
Berbeda dengan imbangan pertempuran yang terjadi di dalam
dinding padepokan, maka di luar dinding orang-orang dari
padepokan Macan Kumbang, Serigala Putih dan orang-orang Mahibit
berhasil menahan serangan yang datang justru dari luar lingkungan
mereka. Dengan mengerahkan segenap kekuatan yang ada, mereka
berusaha untuk menghalau lawan mereka yang menyerang
bagaikan ombak bergulung-gulung di pantai. Namun orang-orang
Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit berusaha
untuk mempertahankan diri sekuat-kuatnya.
2092 Berkurangnya pasukan gabungan yang dipimpin oleh Empu
Baladatu pada benturan yang pertama, seperti juga yang terjadi
beberapa puluh tonggak dari padepokan, mempunyai pengaruh
yang besar bagi irnbangan kekuatan.
Namun dalam pada itu, pasukan Empu Baladatu di luar
padepokan ternyata masih berhasil menekan lawan mereka kuatkuat.
Untunglah bahwa mereka berada di tempat terbuka, sehingga
para prajurit dan para cantrik yang terlatih baik sempat
memanfaatkan arena untuk mengurangi tekanan lawan.
Mereka bertempur sambil berlari-larian. Sekali-kali mereka
menghilang dibalik gerumbul-gerumbul dan digelapnya bayangan
dedaunan. Namun tiba-tiba mereka muncul sambil menyerang
ditempat lain dengan dahsyatnya.
Tata gerak para prajurit dan para cantrik yang sudah terlatih itu
untuk beberapa saat lamanya dapat menimbulkan kebingungan di
antara lawan. Namun sesaat kemudian, maka mulailah warna-warna
yang sebenarnya nampak didalam arena perkelahian itu.
Orang-orang yang berbekal ilmu hitam, tidak lagi dapat
mengekang diri. Mereka harus cepat menyelesaikan pertempuran itu
sehingga mereka sempat melakukan upacara korban terbesar yang
pernah mereka lakukan. Itulah sebabnya, maka beberapa orang di antara mereka,
mulailah dengan tata gerak yang mengerikan. Satu dua dari orangorang
padepokan Serigala Putih dan Macam Kumbang yang telah
ikut serta menyadap jenis ilmu hitam yang dibawa oleh Empu
Baladatu, apalagi mereka yang memang berasal dari padepokannya,
telah mulai dengan gerak berputarnya.
Namun orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru telah
mendapat petunjuk, bagaimana mereka harus menghadapi lawan
dalam tata gerak yang mengerikan itu. Mereka harus berada dalam
kelompok-kelompok kecil yang setiap saat harus berusaha
memotong tata gerak yang melingkar, dan kemudian mematuk
menyambar-nyambar. 2093 Beberapa orang prajurit dan cantrik yang berada di luar dinding,
segera berusaha mengatasi setiap keadaan.
Namun demikian, ternyata bahwa jumlah pasukan Empu
Baladatu yang berada di luar memang lebih banyak, sehingga
karena itu, maka merekapun nampaknya akan segera dapat
menguasai arena. Dua arena yang terpisah dengan tidak sengaja itu, tidak dapat
saling mempengaruhi. Orang-orang yang bertempur di luar dinding
tidak dapat mengetahui apa yang telah terjadi didalam dinding, dan
sebaliknya Karena itulah maka keseimbangan pertempuran dikedua tempat
itiu justru berlawanan Namun demikian, agaknya Empu Baladatu yang melihat bahwa
pasukannya mulai terdesak di dalam dinding padepokan, telah
memberikan isyarat kepada seorang pengawalnya untuk mencari
hubungan dengan mereka yang berada di luar padepokan.
"Carilah keseimbangan. Jumlah di luar dinding tentu masih cukup
banyak."teriak Empu Baladatu.
"Orang-orangku juga banyak di luar" Empu Sanggardaru
menyahut. "Bohong. Aku tahu. orang-orangmu tidak banyak." geram Empu
Baladatu. Empu Sanggadaru tidak menyahut. Ia mempertahankan dirinya
sekuat-kuat dapat dilakukan. Namun akhirnya, Empu Sanggadaru
tidak mau sekedar menjadi sasaran. Pada saat berikutnya, iapun
mulai menyerang dengan segenap kemampuan.
"Kau harus menyadari kekeliruanmu Baladatu" geram Empu
Sanggadaru. "Menyerahlah teriak Empu Baladatu."
Kakaknya tidak menyahut. Namun tata geraknya semakin lama
menjadi semakin cepat. 2094 Dalam pada itu, di regolpun telah terjadi perkelahian-perkelahian
kecil. Beberapa orang telah berusaha memecahkan pintu dari luar.
Tetapi mereka ternyata telah diterima dengan ujung senjata dari sisi
pintu, karena para penjaga regol berusaha, untuk tidak
menampakkan diri. Tetapi pertempuran itu tidak terpadi terlalu lama. Para pengawal
segera dapat mengakhiri tugas mereka. Sergapan yang tiba-tiba.
seperti yang dilakukan di mana-mana oleh para prajurit dan para
cantrik, memang memberikan banyak keuntungan.
Ketika lawan telah terbunuh, maka para pengawal regol itupun
segera menentukan sikap. Mereka segera meninggalkan dua orang
kawannya untuk sekedar mengawasi regol yang rusak itu,
sementara yang lain berusaha mencari bubungan dengan arena
yang berada didalam dinding halaman.
Sementara itu maka pengawal Empu Baladatu telah
memerintahkan beberapa orang yang berada diluar regol untuk
meloncat masuk. Mereka harus membantu kawan-kawannya yang
mengalami kesulitan dibagian dalam dinding padepokan itu.
"Cepat" perintah pengawal itu, "dengan demikian tugas kita akan
segera selesai." Dalam pada itu, Linggadadi pun sedang bertempur dengan
sengitnya melawan Mahisa Bungalan. Keduanya mempunyai
kemampuan melampaui kemampuan kebanyakan orang.
Linggadadi yang datang dari Mahibit itu merasa dirinya orang
yang tidak terkalahkan, selain oleh orang-orang istana yang
namanya sudah lama mengusai Singasari. Ia tidak menyangka
bahwa anak Mahendra ini pun mempunyai kemampuan yang tidak
ada taranya Dengan sepenuh tenaga Linggadadi menyerang Mahisa
Bungalan. Senjatanya terayun mendatar setinggi lambung. Namun
Mahisa Bungalan sempat meloncat surut menghindari serangan
lawannya. 2095 Linggadadi tidak membiarkannya. Selangkah ia meloncat maju.
Sekali lagi ia siap mengayunkan senjata mengarah kekepala
lawannya. Mahisa Bungalan sempat mengelak. Dengan tangkas ia
merendah. sehingga senjata lawannya terbang rendah di atas
kepalanya. Tetapi Mahisa Bungalami terkejut bahwa dalam pada itu,
Linggadadi pun telah menyerangnya pula. Kakinya terjulur lurus ke
wajahnya. Dengan tergesa-gesa Mahisa Bungalan menghindarinya. Sekali ia
berguling ke belakang. kemudian melenting dengan cepatnya, tegak
di atas kedua kakinya Pada saat yang bersamaan serangan lawannya telah
mengejarnya. Senjata Linggadadi mematuk dada Mahisa Bungalan
yang nampak terbuka. Mahisa Bungalan terdesak ke samping. la harus meloncat sambil
memiringkm tubuhnya. Namun ia mulai memperhitungkan serangan
lawannya yang bakal datang.
Ketika senjata lawannya itu kemudian bergerak mendatar, maka
Mahisa Bungalan pun menjatuhkan dirinya. Namun dengan
perhitungan yang masak, ia bergeser pada punggungnya dan
sebuah serangan kaki yang keras telah menghantam lutut
Linggadadi. Serangan itu telah mengejutkan lawannya. Namun dengan serta
merta pula Linggadadi telah terpelanting dengan derasnya jatuh
berguling di atas tanah. Tetapi Linggadadi menyadari keadaannya. la masih sempat
melihat Mahisa Bungalan meloncat berdiri dan berusaha
mengejarnya Karena itulah ia pun segera berusaha melenting berdiri
dan dengan cepat mempersiapkan diri menghadapi serangan lawan
berikutnya. 2096 Pertempuran antara kedua orang itu menjadi samakin seru.
Masing-masing telah mengerahkan kemampuannya untuk
mengalahkan lawan. Namun keduanya Mampu bergerak secepat
sikatan di rerumputan. Namun keduanya kadang-kadang menyerang
dengan kekuatan sebesar tenaga gajah jantan.


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu, beberapa orang dari pasukan Empu Baladatu
telah berusaha meloncati dinding padepokan. Mereka sudah siap
untuk langsung menyerang pada loncatan pertamanya. Apalagi
ketika mereka melihat, bahwa kawan-kawannya di bagian dalam itu
memang telah terdesak oleh pasukan Empu Sanggadaru.
Dengan hadirnya sekelompok pasukan Empu Baladatu kedalam
lingkungan halaman padepokan, maka keseimbangan pun menjadi
herubah. Orang-orang padepokan Empu Sanggadaru mulai
tertahan. Sekelompok orang-orang baru itupun segera melibatkan
diri ke dalam pertempuran yang sengit di halaman itu.
Tetapi dengan demikian tekanan pada orang-orang padepokan
Empu Sanggadaru yang berada di luar dinding padepokan menjadi
berkurang. Bahkan para prajurit yang menjadi tulang punggung
kekuatan di luar padepokan itu bersama para cantrik merasakan.
bahwa mereka menjadi agak longgar dan sempar bernafas lagi.
Meskipun demikian, jumlah orang-orang yang datang menyerang
itu memang lebih hanyak. Meskipun pada benturan yang pertama
beberapa orang lawan telah roboh karena anak panah yang
menghunjam dada, namun ternyata mereka masib mempunyai
kekuatan yang cukup untuk menekan pasukan Empu Sanggadaru.
"Cepat, hancurkan" terdengar suara Empu Baladatu
mengumandang, "kemudian kalian sempat menolong.kawan-kawan
kalian yang telah mendahului kalian menyerang lewat arah depan.
Kemudian kita akan melakukan upacara korban terbesar dalam
sejarah Ilmu kita yang maha besar"
Empu Sanggadaru menjadi berdebar-debar. Ia tidak dapat ingkar
bahwa adiknya telah membawa pasukan yang lebih banyak
2097 Sehingga dengan demikian, maka anak buahnya telah terdesak
semakin berat. "Pasukan yang dihadapan pintu gerbang itu pun mengalami
kesulitan serupa" berkata Empu Sanggadaru di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka iapun mulai dijamah oleh perasaan
cemas tentang anak buahnya. Beberapa kali ia merasakan desakan
yang sangat sehingga pasukannya mulai bergeser ketengah.
"Apakah padepokan ini tidak akan tertolong lagi"desisnya
Sekilas dilihatnya seorang prajurit dalam kedudukannya sebagai
seorang cantrik sedang bertempur sekuat tenaganya Dipundaknya
meleleh warna merah dari luka yang tergores di kulitnya.
Empu Sanggadaru menjadi terharu. Prajurit-prajurit itu telah
bertempur mempertahankan nyawanya, seperti mereka yang
memang sedang mempertahankan padepokannya.
Namun dengan demikian, Empu Sanggadaru telah menjadi
semakin panas. Hubungan yang selama itu mengikatnya sebagai
kakak beradik dengan Empu Baladatu. menjadi semakin kabur.
Meskipun ia masih tetap berusaha untuk menganggap bahwa
yang sedang dihadapi itu adalah saudaranya sendiri yang sedang
kehilangan akal, dan yang baginya masih tersandang kuwajiban
sebagai saudara tua untuk memperingatkannya, namun keadaan
yang berkembang telah membuat darahnya bagaikan mendidih.
Karena itulah, maka semakin lama maka tata geraknya pun. rasarasanya
menjadi semakin cepat- Kakinya semakin ringan dan
tangannya bagaikan berputaran seperti baling-baling.
Empu Baladatu merasa bahwa kakaknya telah sampai ke puncak
ilmunya. Betapapun ia berusaha, namun terasa betapa berat
melawan Empu Sanggadaru yang sedang dibakar oleh
kemarahannya. 2098 Perkelahian antara kedua orang kakak beradik itupun menjadi
semakin sengit. Keduanya memiliki kelebihan, tetapi juga
kelemahan. Empu Sanggadaru yang pernah mendapat keterangan tentang
ilmu-ilmu hitam itu pun tidak terkejut lagi melihat Empu Baladatu
berusaha untuk melepaskan puncak ilmunya. Tetapi ternyata bahwa
Empu Baladatu tidak banyak mempunyai kesempatan. Empu
Sanggadaru dengan gerak yang menghentak, selalu memotong arah
putaran Empu Baladatu. Dan bahkan kadang-kadang telah berbasil
mendesaknya dalam kebingungan.
"Setan alas" umpat Empu Baladatu di dalam hatinya, "dimanakah
kakang Sanggadaru menghisap ilmu demit ini."
Namun bagaimanapun juga, Empu Baladatu tidak segera mampu
menguasai lawannya yang agaknya memiliki pengalaman yang
cukup luas pula. Apalagi sebagai seorang pemburu yang biasa hidup
didalam lebatnya hutan-hutan, Empu Sanggadaru memiliki kekuatan
jasmaniah yang pada dasarnya melampaui kekuatan Empu
Baladatu. Sementara itu, Linggadadi pun menjadi semakin marah.
Kehadiran Mahisa Bungalan di tempat itu benar-benar tidak
diduganya. Apalagi ketika keduanya sudah bertempur sampai ke
puncak ilmu, ternyata bahwa Mahisa Bungalan bukannya anak-anak
yang hanya Mampu menyombongkan diri dengan menyebut dirinya
dengan gelar pembunuh orang-orang berilmu hitam.
Dalam pada itu, selagi di padepokan itu terjadi pertempuran yang
dahsyat, maka beberapa tonggak diarah depan padepokan itupun
sedang terjadi pertempuran yang sengit. Baik Empu Sanggadaru
maupun Empu Baladatu telah mencemaskan masing-masing karena
ketika penghubung-penghubung Empu Baladatu sempat
menyaksikan pertempuran itu maka keseimbangan yang sebenarnya
masih belum dapat ditentukan.
Tetapi Empu Baladatu yang yakin bahwa pasukannya di
padepokan Empu Sanggadaru itu akan segera dapat menguasai
2099 keadaan, telah siap untuk memerintahkan sebagian dari mereka,
membantu kawan-kawannya yang sedang bertempur di luar
padepokan itu. Sebenarnyalah bahwa pasukan Empu Baladatu dipadepokan Itu
telah berhasil menekan lawannya. Yang di dalam dinding dan yang
berada di luar dinding. Meskipun banyak kemungkinan yang masih
dapat terjadi, namun keadaan pasukan Empu Sanggadaru agaknya
akan mengalami kesulitan. Hanya jika mereka menemukan
kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan pada pasukan
lawan, maka mereka akan dapat memenangkan pertempuran itu.
Tetapi lawan mereka, baik yang berasal dari padepokan Serigala
Putih, Macan Kumbang maupun orang-orang Mahibit, telah
menunjukkan kemampuan mereka yang tinggi. Mereka benar-benar
telah dipersiapkan untuk menghadapi pertempuran yang sengit.
Hanya karena dipasukan Empu Sanggadaru terdapat sekelompok
prajurit dan cantrik-cantrik yang terlatih sajalah, maka mereka dapat
bertahan. Namun dalam pada itu, pertempuran yang terjadi tidak terlalu
jauh dihadapan regol itupun berlangsung dengan serunya. ternyata
bahwa meskipun mula-mula jumlah pasukan gabungan dari Serigala
Putih, Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit itu lebih banyak.
namun pada sergapan yang pertama dengan lontaran-lontaran
lembing dan kejutan-kejutan yang membingungkan, orang-orang
dari padepokan Empu Sanggadaru itu berhasil mengejutkan dan
kemudian mengguncangkan perasaan lawan. Ternyata bahwa
pengaruh bahwa sergapan itu memang cukup besar. Beberapa
orang di antara lawan langsung terbunuh, yang lain luka-luka dan
selebihnya kebingungan. Meskipun kemudian merek berhasil
menyesuaikan diri, jumlah mereka telah banyak berkurang.
Keadaan itulah yang telah menentukan akhir dari pertempuran
itu. Pasukan Empu Baladatu itu ternyata tidak dapat mengatasi
sergapan-sergapan berikutnya. Lawannya, orang-orang padepokan
Empu Sanggadaru yang dipimpin oleh para prajurit dan beberapa
orang cantrik yang terlatih itu, lambat laun berhasil menguasai
2100 keadaan. Meskipun lambat tetapi mereka berhasil mendesak sisa
pasukan lawan. Jumlah orang-orang dari padepoka;n Serigala Putih,
Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit itu memang masih lebih
banyak. Tetapi mereka mengalami kesulitan karena medan itu
seolah-olah langsung dikuasai oleh lawan yang terpencar dalam
kelompok-kelompok kecil. Meskipun beberapa kelompok-kelompok orang-orang berilmu
hitam itu mencoba untuk menyusun lingkaran maut yang
mengerikan itu, namun mereka kadang-kadang telah dikejutkan
oleb kehadiran dua orang anak-anak muda yang tiba-tiba saja telah
memotong lingkaran mereka. Namun yang sejenak kemudian
keduanya telah meninggalkan lawannya untuk bertempur di sudut
yang lain dari arena yang semakin meluas itu.
Dengan demikian, maka kedua anak muda itu seolah-olah telah
berubah menjadi puluhan orang yang bergerak di seluruh arena.
Dari ujung sampai keujung, orang-orang Serigala Putih, Macan
Kumbang dan orang-orang dari Mahibit telah dibingungkan oleh tara
geraknya yang cepat dan tidak terkendali.
Karena itulah maka keseimbangan dari pertempuran itu semakin
lama menjadi semakin jelas. Ujung senjata kedua anak muda itu
selalu saja menjatuhkan korban di seluruh arena pertempuran.
Selain kedua anak muda itu, para prajurit pun memiliki
kemampuan yang sulit untuk diimbangi oleh orang-orang Macan
Kumbang, orang-orang Serigala Putih dan orang-orang Mahibit.
Meskipun mereka telah menempa diri sebaik-baiknya, namun
ternyata bahwa usaha mereka untuk bertahan, semakin lama
menjadi semakin tipis. Beberapa orang yg mengalami luka-luka
tertusuk lembing pada benturan pertama, sudah tidak Mampu lagi
untuk bangkit karena darah yang terlampau banyak mengalir,
sementara senjata orang-orang padepokan Empu Sanggadaru masih
selalu menuntut korban demi korban.
Demikianlah maka desakan lawan tidak dapat dibendung lagi
oleh orang-orang Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang
Mahibit. Satu-satu korban berjatuhan terus-menerus, sementara
2101 arena masih selalu bergetar oleh teriakan dan keluhan yang
panjang. Setapak demi setapak, pertempuran itu mulai bergeser. Agaknya
orang-orang Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang
Mahibit berusaha mendekati padepokan.
"Orang-orang yang langsung memasuki padepokan itu tentu
mempunyai kekuatan yang jauh lebih besar dari sisa orang-orang
padepokan yang menyergap kami" berkata pemimpin pasukan yang
terdesak itu, lalu, "sehingga dengan demikian kami akan
mendapatkan bantuan dari mereka apabila arena kami dapat saling
mendesak." Karena itulah maka pemimpin pasukan itupun segera
memerintahkan kepada orang-orangnya, lewat mulut kemulut, agar
mereka berusaha bergeser kepadepokan.
Perintah itu lambat sekali menjalarnya. Tetapi ternyata bahwa
sebagian dari pasukan itu telah mendengar, sehingga merekapun
segera berusaha menyesuaikan diri.
Dengan demikian maka gerak arena itupun menjadi semakin
cepat, seolah-olah arena itu berputaran mendekati padepokan.
Dengan harapan untuk mendapatkan bantuan, maka pemimpin
pasukan Empu Baladatu itu berusaha untuk mempercepat geseran
yang memang sudah bergerak itu.
Tetapi di padepokan, pertempuran pun masih belangsung
dengan sengitnya. Meskipun pasukan Empu Baladatu memang
berhasil menekan lawannya, di dalam dan diluar padepokan, tetapi
para prajurit, para cantrik dan orang-orang lain dari padepokan
Empu Sanggadaru masih bertempur dengan gigihnya.
Karena itulah maka mereka masih belum sempat mengirimkan
bantuan bagi pasukanya yang terpisah.
Namun sebentar kemudian, mereka mulai mendengar suara riuh
pertempuran itu semakin dekat. Bahkan kemudian terdengar
2102 seakan-akan dengan cepatnya bergeser ke sebelah dinding
padepokan. Sebenarnyalah bahwa pertempuran yang bergeser itu telah
berada di sisi padepokan. Beberapa orang cantrik yang mendesak
lawannya telah mencoba menahan agar geseran arena itu tidak
masuk kcdalam padepokan. Karena pintu regol yang telah rusak, maka para cantrik itupun
telah bertempur langsung menahan orang-orang yang akan
memasuki regol padepokan itu, sehingga karena tekanan yang kuat,
maka arena itu bergeser ke samping, di luar dinding.
"Apakah mereka sudah menyelesaikan pertempuran itu" bertanya
Empu Baladatu kepada pengawalnya.
Pengawal yang juga merupakan penghubung itupun kemudian
mendapat perintah untuk mencari hubungan dengan pasukannya
yang sedang dalam gerak mendekat itu.
Tetapi laporan yang kemudian diterima oleh Empu Baladatu telah
membuatnya marah. Pasukan itu ternyata telah terdesak tidak
Mampu lagi untuk memberikan perlawanan.
"Gila" teriak Empu Baladatu, "hancurkan mereka yang telah
berhasil mendesak pasukanku."
Perintah itupun segera sampai kepada pasukannya yang lain,
yang berada di luar padepokan, sehingga sejenak kemudian maka
kedua arena yang. berada di luar padepokan itu pun seakan-akan
telah bergabung menjadi satu.
Dengan demikian, maka pasukan Empu Baladatu yang terdesak
itu seakan-akan mendapat perlindungan dari induknya. Tetapi
mereka telah banyak meninggalkan korban di antara kawankawannya.
Baik dari padepokan Serigala Putih, Macan Kumbang dan
orang Mahibit. Namun karena itulah, maka seolah-olah kekuatan di luar
padepokan itu telah menimbulkan keseimbangan haru. Pasukan
Baladatu yang semula menguasai arena, tiba-tiba telah berubah
2103 karena hadirnya kawannya yang justru telah terdesak. Seolah-olah
dengan demikian, kekuatan kedua belah pihak justru menjadi
seimbang. Tetapi dalam keseimbangan itu, kedua anak muda yang memiliki
beberapa kelebihan itu rasa-rasanya masih saja selalu mengganggu
para pemimpin pasukan Empu Baladatu. Ia datang dan pergi
dengan kecepatan yang sulit mereka imbangi. Ujung senjata mereka
bergerak-gerak dengan dahsyatnya, seperti angin pusaran yang
menjilat dari langit. "Gila" geram pemimpin pasukan Empu Baladatu yang berada di
luar padepokan itu. Tetapi ia tidak Mampu menghentikannya.
Sementara itu seakan-akan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mendapat ruang getak yang semakin luas setelah dua. arena
pertempuran di luar dinding padepokan itu bergabung. Namun
agaknya sifat kekanak-anakan mereka masih saja melekat di hati
meskipun mereka sedang berhadapan dengan bahaya yang
sebenarnya. Itulah sebabnya mereka masih saja menuruti kesenangan hati
dan perasaan, seolah-olah mereka merasa seperti sepasang burung
yang berterbangan dilangit. Di antara sekelompok semprang yang
ketakutan. Kedua anak muda itu ternyata telah benar-benar menimbulkan
kemarahan pada Kiai Dulang yang berada di luar padepokan.


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seakan-akan kedua anak-anak muda itu dapat bergerak leluasa
tanpa seorang pun yang dapat menghalangi.
"Kita akan mengejarnya dan menangkapnya" desis Kiai Dulang,
"kemanapun keduanya berlari, kita akan mengikutinya."
Bersama tiga orang pengawal yang terpilih Kiai Dulang telah
mempersiapkan sebuah kelompok kecil untuk menghentikan tingkah
laku Mahisa Pukat dan Mahisa Murti.
"Kita akan mulai" berkata Kiai Dulang, "kita akan berlomba lari.
Mungkin keduanya memiliki nafas yang lebih panjang karena
2104 keduanya pernah mengikuti latihan yang berat di padepokan ini.
Latihan berjalan sehari penuh tanpa berhenti."
"Tetapi kita tidak akan berlari-lari sehari penuh. Kita akan segera
menghentikan keduanya dan mencincangnya sampai lumat." sahut
seorang pengawal yang berkumis dan ber janggut lebat.
"Marilah, kita harus segera mulai. Tidak sekedar berbicara saja"
geram Kiai Dulang- Keempat orang itu pun kemudian mempersiapkan diri khusus
untuk menghentikan kedua anak-anak muda yang seolah-olah
berterbangan dengan bebasnya itu. Mereka menunggu beberapa
saat ditempat yang agak terpencar. Tetapi yang dengan suatu
teriakan aba-aba mereka dapat menyergap lawannya bersamasama.
Seperti yang mereka rencanakan, maka sejenak kemudian
mereka sudah melihat Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Sejenak
mereka masih menunggu, namun tiba-tiba saja terdengar sebuah
teriakan nyaring. Serentak keempat orang, yang dipimpin oleh Kiai Dulang itu
berloncatan. Seolah-olah dengan tiba-tiba saja Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah berada didalam kepungan keempat orang itu.
"Bersedialah untuk mati" terdengar Kiai Dulang menggeram.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Na
mun kemudian terdengar jawaban Mahisa Pukat, "He, apakah yang
kalian kehendaki?" Kiai Dulang menggeretakkan gigi. Nampaknya kedua anak muda
itu seperti sedang bermain-main. Keduanya sama sekali tidak
nampak gentar atau setidak-tidaknya bersungguh-sungguh.
Dengan kasar Kiai Dulang membentak, "Kami akan
membunuhmu." Tiba-tiba saja kedua anak-anak muda itu tertawa. Mahisa Murti
bertanya disela-sela derai tertawanya, "Kenapa baru sekarang" Aku
sudah berada di sini sejak tadi."
2105 "Baru sekarang aku sempat, setelah pasukan dipihakmu menjadi
semakin tipis. Sekarang datang giliranmu untuk mati."
"Tidak mau. Kami masih ingin hidup. Jika hidupku harus aku
pertahankan dengan membunuhmu, maka aku akan
melakukannya." Kiai Dulang, benar-benar tersinggung. Dengan serta merta ia pun
meloncat sambil berteriak, "Kubunuh kau "
Mahisa Pukat yang menerima serangan langsung itupun masih
sempat mengelak. Sambil meloncat kesamping ia berkata, "Jangan
tergesa-gesa. Kita akan bertempur lebih dahulu."
Keempat lawannya itupun segera menyerang bersama-sama.
Mereka berloncatan sambil mengayun-ayunkan senjata mereka.
Bahkan sejenak kemudian, Kiai Dulang sudah mulai dengan gerak
lingkarannya. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti harus bergerak dengan cepat
menghindari serangan yang datang seperti ombak lautan. Susul
menyusul tidak habis-habisnya. Bahkan kemudian keempat
lawannya itu sudah mulai bergerak dalam lingkaran.
Sejenak kedua anak muda itu berdiri saling beradu punggung.
Mereka harus bekerja keras untuk menangkis serangan-serangan
yang berdatangan. Namun sejenak kemudian Mahisa Pukal berbisik, "Kita akan
memutuskan lingkaran itu."
"Ya" jawab Mahisa Murti, "berilah aba."
Mahisa Pukat segera mempersiapkan diri. Perlahan-lahan ia
bergeser. Kemudian dengan kakinya ia menghentak tanah untuk
memberikan aba-aba kepada Mahisa Murti.
Demikian kakinya menghentak untuk ketiga kalinya, maka kedua
anak-anak muda itu segera meloncat dengan cepat mengikuti gerak
putar lawannya. Tetapi hanya untuk beberapa langkah, karena
merekapun kemudian telah berada digaris lingkaran itu pula. Namun
2106 secepat itu pula mereka meloncat keluar lingkaran, disusul oleh
gerakan berputar pada tumitnya.
Sesaat kemudian keduanya telah menyerang lawan mereka dari
luar dengan ayunan senjata mendatar berlawanan arah dengan
puraran lawannya. Yang terjadi itu sedemikian cepatnya, sehingga keempat
lawannya itu terkejut dan untuk sesaat mereka telah kehilangan
kesempatan. Tetapi agaknya mereka masih tetap sadar akan keadaan mereka.
Dengan segenap kemampuan yang ada, maka mereka pun segera
berloncatan sambil berusaha menangkis serangan yang sama sekali
tidak mereka duga sebelumnya itu.
Namun ternyata bahwa tidak semua diantaranya keempat orang
itu berhasil menyelamatkan dirinya. Dua orang yang merada pada
jarak terdekat dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, benar-benar
tidak mempunyai Kesempatan untuk menyelamatkan diri.
Sejenak kemudian terdengar keluhan panjang. Dua diantara
keempat orang itu menjadi termangu-mangu sejenak, namun, yang
sejenak kemudian, keduanyapun telah terjatuh ditanah tanpa dapat
bangkit kembali. Kiai Dulang menggeretakkan giginya. Kini ia tinggal bersama
seorang pengawal. Karena itu, adalah mustahil bahwa mereka
berdua akan Mampu melawan kedua anak-anak yang masih sangat
muda itu. itulah sebabnya maka sejenak kemudian terdengar isyarat dari
mulut Kiat Dulang untuk memanggil beberapa orang kawannya.
Tetapi sementara itu perkelahian pun menjadi semakin sengit,
sehingga hampir setiap orang telah berdiri berhadapan dengan
lawannya masing-masing. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menunggu lebih lama lagi.
Ketika mereka melihat kedua lawannya terbunuh, maka merekapun
2107 segera memusatkan perhatian mereka kepada kedua orang yang
masih tersisa. isyarat yang terlontar dari mulut Kiai Dulang memang
menimbulkan pertanyaan dihati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun keduanya tidak mau menunggu perkembangan yang
mungkin tidak menguntungkan bagi mereka itu. Sehingga dengan
demikian maka keduanya pun langsung menyerang Kiai Dulang
bersama seorang pengawalnya.
Serangan yang datang membadai itu memang sulit untuk
dihindari. Itulah sebabnya, maka Kiai Dulang dan seorang kawannya
itupun segera terdesak. Tidak ada kemungkinan untuk melawan kedua anak muda itu
dengan ilmu kepercayaannya. Melingkar sambil menggoreskan
senjata. Karena ternyata bahwa kedua anak-anak muda itu Mampu
bergerak lebih cepat dari orang-orang berilmu hitam itu.
Ternyata bahwa Kiai Dulang dan seorang kawannya sama sekali
tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat bergerak semakin cepat. Senjata mereka menyambarnyambar
seperti burung sikatan. Seolah-olah tidak seorang pun
akan dapat menghindarkan diri dari sentuhan ujung senjata itu.
Ketika pertempuran diluar dinding padepokan itu berlangsung
semakin seru, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah
memutuskan untuk menyelesaikan kedua lawannya yang telah
mencoba menghalangi mereka itu.
Ternyata bahwa Kiai Dulang yang bertekad untuk membatasi
gerak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah terperosok
kedalam kesulitan. Keduanya tidak berhasil menghentikan gerak
kedua anak muda itu, tetapi pada saat-saat yang menentukan.
maka senjata Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah mulai menyentuh
tubuh mereka. "Gila" teriak Kiai Dulang, "tetapi suaranya terputus ketika ujung
senjata lawannya langsung menembus jantung di dadanya.
2108 Pengawalnya mencoba untuk menyelamatkan diri karena
pertempuran yang riuh. Tetapi iapun kemudian jatuh tertelungkup
ketika ujung senjata lawannya membelah punggungnya.
Dengan terbunuhnya keempat orang itu, maka kedua anak muda
itu justru menyadari, bahwa korban telah semakin banyak jatuh.
Bukan saja dipihak lawan, tetapi juga dipihak mereka.
"Kita tidak boleh bermain-main lagi"berkata Mahisa Murti.
"Ya Kita harus ber-sungguh-sungguh. Korban telah berjatuhan.
Bahkan mungkin satu dua orang prajurit telah terbunuh pula."
Keduanya menyesal bahwa. se-olah-olah keduanya masih saja
terseret oleh suatu keinginan untuk bermain-main dengan
nyawanya mereka sendiri dan nyawa orang lain, sehingga apa yang
mereka lakukan sampai kematian keempat orang lawannya itu. tidak
banyak berarti bagi keseimbangan pertempuran Mereka hanya
mendapat kepuasan dengan kejutan-kejutan dan sekali-kali
membuat lawannya bingung dan berlari-larian menjauh. Tetapi
dalam arti benar-benar merubah keseimbangan, rasa-rasanya masih
belum mereka lakukan sepenuhnya.
Dengan kesadaran itulah maka merekapun kemudian turun
kembali karena pertempuran. Mereka mulai melihat kenyataan
bahwa pasukan Empu Sanggadaru diluar dinding halaman itu masih
saja merasakan tekanan yang berat, meskipun dengan menyatunya
dua arena pertempuran itu telah sedikit memperingan tekanan pada
pasukan yang mempertahankan padepokan itu
Karena itu, maka sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun telah menempatkan diri langsung kedalam arena yang
garang itu. Meskipun mereka sadar, bahwa kehadirannya dibanyak
tempat juga dapar mempengaruhi keadaan, terapi mereka
memutuskan langsung untuk mengurangi jumlah lawan, dengan
melumpuhkan mereka seorang demi seorang.
Keputusan itu ternyata benar-benar dapat mempengaruhi
keseimbangan. Ketika Mahisa Murti berhasil melukai seseorang
sehingga tidak lagi dapat mengangkat senjata, disusul oleh ujung
2109 senjata Mahisa Pukat yang tergores dipundak lawan, maka
keduanya benar-benar merupakan hantu yang semakin ditakuti oleh
lawan-lawannya. Dalam pada itu, di dalam dinding padepokan. Empu Baladatu
telah memeras Segenap kemampuan yang ada untuk mengalahkan
Empu Sanggadaru. Mula-mula ia masih mencoba untuk
menundukkan kakaknya tanpa membunuhnya, karena dengan
demikian kakaknya akan dapat dijadikan alat yang baik baginya
untuk menghimpun kekuatan di padepokan itu. Tetapi karena
dengan demikian ia tidak segera dapat menguasai kakaknya, maka
iapun kemudian telah kehilangan pengekangan diri. Ia ingin
mengalahkan kakaknya, hidup atau mati, atau dalam keadaan
apapun juga. Dengan demikian maka perkelahian itupun semakin lama menjadi
semakin sengit. Empu Sanggadaru pun tidak membiarkan kepalanya
dipenggal oleh adiknya sendiri.
Di bagian lain, Mahisa Bungalan masih bertempur dengan
dahsyatnya melawan Linggadadi. Mereka mempergunakan arena
yang seakan-akan terpisah. Tidak seorangpun yang dapat
mencampuri perkelahian antara keduanya.
Orang-orang Mahibit yang datang dengan bangga di bawah
pimpinan Linggadadi menjadi heran, bahwa dipadepokan itu ada
juga orang yang mampu mengimbangi lawannya. Meskipun nama
Mahisa Bungalan pernah mereka dengar, tetapi mereka tidak
menyangka bahwa Mahisa Bungalan benar-benar seorang yang luar
biasa, sehingga untuk beberapa lamanya ia masih Mampu bertahan
melawan Linggadadi. Orang-orang dari Mahibit benar-benar merasa heran. Bagi
mereka, Lingadadi tidak ada duanya selain Linggapati.
Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa kini Linggadadi tidak
segera mampu mengalahkan Mahisa Bungalan. Betapa pun
dahsyatnya ia menyerang tetapi Mahisa Bungalan masih saja
Mampu bertahan 2110 Namun agaknya bagi kedua belah pihak pertempuran itu
merupakan pertempuran yang berat.
Ketika Mahisa Bungalan agak terdesak, maka Linggadadi tidak
mau melepaskan kesempatan itu. Dengan sekuat tenaga ia
mendesak terus dan memaksa Mahisa Bungalan untuk berloncatan
surut. "Sebaiknya kau hentikan perlawananmu" teriak Linggadadi,
"carilah kesempatan untuk berdoa sebelum ajalmu sampai"
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Ketika senjata Linggadadi
hampir menyentuh tubuhnya, ia masih sempat meloncat kes
amping. Tetapi demikian kakinya menjejak tanah. serangan
Linggadadi telah menyusul dengan dahsyatnya.
Mahisa Bungalan hampir kehilangan kesempatan sama sekali.
Tetapi ia masih dapat mengelak dengan menjatuhkan diri meskipun
ia tahu, bahwa perjuangan yang kemudian akan menjadi bertambah
berat. Tetapi ia tidak melihat cara lain yang dapat menyelamatkan
nyawanya. Ketika ia melenting berdiri, maka Mahisa Bungalan telah
memperhitungkan bahwa serangan berikutnya tentu akan
menghantam dengan serunya, sehingga iapun telah bersiap untuk
Sayap Sayap Terkembang 29 Joko Sableng 43 Karma Manusia Sesat Pendekar Sakti 20

Cari Blog Ini