Ceritasilat Novel Online

Sepasang Ular Naga 4

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 4


pakaian, maka mereka berdua bersama-sama meloncat dengan
pakaian mereka sekaligus.
Para prajurit yang bertugas pun kadang-kadang terpaksa
mengejar keduanya jika keduanya memasuki jembatan di atas
kolam itu, karena jembatan itu merupakan papan loncat yang
menyenangkan sekali. Kadang-kadang para prajurit hanya dapat menggeleng-gelengkan
kepalanya, karena para prajurit itu tidak berhasil menangkap
mereka. Kadang-kadang Anusapati yang melihat dari kejauhan justru
tersenyum. Ternyata menilik sikap dan geraknya, Ranggawuni
adalah seorang anak laki-laki yang kuat dan tangkas. Demikian juga
dengan saudara sepupunya itu.
"Mudah-mudahan mereka akan menjadi anak-anak muda yang
memiliki kemampuan untuk meneruskan pemerintahan di atas
Singasari ini," berkata Anusapati di dalam hatinya.
Namun dalam pada iu, setelah kolam itu selesai, maka Mahisa
Agni pun merasa, bahwa Anusapati telah menjadi semakin aman.
Sebenarnya ilmunya yang semakin meningkat, dan mendekati
kesempurnaan itu nilainya tidak kurang dari kolam yang melingkari
bangsalnya. Namun usaha orang-orang yang tidak dikenal untuk
menyusup ke dalam bangsal akan sangat sulit. Jika ada juga yang
mencoba, maka asal para prajurit sempat membangunkan
189 Anusapati, maka ia akan dapat menjaga dirinya. Apalagi jika
kemudian datang membantunya para perwiranya yang setia.
Hal itulah yang kemudian membuat Mahisa Agni tidak lagi
merasa wajib untuk berada di istana Singasari lebih lama lagi. Selain
ia memang memiliki tugas di Kediri, maka baginya Anusapati tidak
lagi membuatnya cemas. Tetapi berbeda dengan Mahisa Agni, justru Anusapati mulai
merasa dirinya seakan-akan selalu diintai oleh bahaya.
Bagaimanapun juga, ia tidak dapat mengingkari, apakah yang
sebenarnya telah terjadi atas Sri Rajasa. Kematian Sri Rajasa
sebenarnya adalah karena tangannya.
Seperti Sri Rajasa, tiba-tiba Anusapati mulai merasa bahwa apa
yang dapat dicapainya itu sama sekali tidak memberikan
ketenteraman di hatinya. Ia seakan-akan dibayangi oleh dendam
yang membara di hati saudaranya yang lahir dari Ibundanya Ken
Umang. Bahkan ia bertanya kepada diri sendiri, "Apakah yang akan
dikatakan oleh Mahisa Wonga Teleng tentang dirinya apabila
adiknya itu mengetahui bahwa sebenarnya ia sendirilah yang telah
membunuh Sri Rajasa, dengan keris Empu Gandring, apapun
alasannya." Dalam pada itu, ketika kolam itu telah selesai dan memberikan
kesegaran pada istana Singasari, beberapa orang menjadi kecewa
karenanya. Beberapa orang yang memang sedang berusaha untuk
menyingkirkan Anusapati dari tahta dan membunuhnya sekali.
Kolam itu memang merupakan pagar yang sangat sulit dilintasi.
Adalah lebih mudah seandainya di seputar bangsal itu di bangun
190 dinding batu yang tebal dan tinggi. Masih ada kemungkinan untuk
meloncatinya. Tetapi kolam yang luas itu terlampau sulit untuk di
seberangi. Orang yang akan pergi ke bangsal itu harus melalui salah
satu dari dua buah jembatan di atas kolam atau berenang sama
sekali. Sedangkan kedua jembatan itu tidak akan terlepas dari
pengawasan para penjaga karena di ujung jembatan itu terdapat
regol dan gardu. Sedang mereka yang berenang, tidak akan dapat
menghindarkan diri dari gejolaknya air. Seandainya seseorang
berenang di bawah permukaan air, maka ketika ia masuk dan
kemudian keluar dari air, tentu akan sangat sulit untuk
menghindarkan diri dari pengamatan para petugas yang selalu
waspada. Apalagi, tentu tidak ada seorang pun yang dapat
berenang di bawah air dari tepi sampai ke tepi melintasi kolam yang
luas itu. "Kita harus mendapatkan cara lain," berkata salah seorang dari
mereka. "Ya. Kita tidak boleh tergesa-gesa. Kita akan mempelajari apakah
sebenarnya yang dapat kita lakukan."
"Kita sudah menunggu terlalu lama," berkata yang lain.
Namun mereka bersepakat, bahwa mereka harus berhati-hati
melakukan usaha yang gawat itu.
Dalam pada itu, Anusapati pun justru menjadi semakin waspada.
Seakan-akan bahaya yang mengancamnya semakin lama menjadi
semakin besar dan semakin dekat.
191 Anusapati yang gelisah itu terperanjat ketika pada suatu hari
adiknya Mahisa Wonga Teleng datang kepadanya dengan sikap
wajah yang agak lain dari kebiasaannya.
"Apa yang terjadi Adinda?" bertanya Anusapati.
Mahisa Wonga Teleng mencoba mengedapkan perasaannya.
Kemudian dengan suara yang sendat ia berkata, "Ampunkan Adinda
ini. Sebenarnya Adinda tidak perlu datang kepada Kakanda
Anusapati karena aku harus dapat menyaring, manakah yang pantas
aku dengarkan dan mana yang tidak."
Anusapati menjadi semakin berdebar-debar.
"Apakah yang meragukanmu Mahisa Wonga Teleng?" bertanya
Anusapati kemudian. "Kakanda," berkata Mahisa Wonga Teleng kemudian, "jika aku
mengatakannya kepada Kakanda, sebenarnya sekedar untuk
melepaskan keragu-raguan di dalam hati. Karena aku yakin bahwa
aku sudah dapat menjawabnya sendiri meskipun aku tidak
mengatakannya." "Katakan Adinda."
"Kakanda Anusapati," berkata Mahisa Wonga Teleng dengan
ragu-ragu, "beberapa hari yang lampau seseorang telah datang
kepadaku. Aku tidak tahu, siapakah orang itu. Tetapi ia membawa
192 cerita seperti yang pernah tersebar di antara beberapa orang yang
membenci Kakanda." "Maksudmu?" "Orang itu mengatakan, bahwa Kakanda adalah yang telah
membunuh Ayahanda Sri Rajasa."
Dada Anusapati menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia
berhasil menguasai perasaannya. Katanya, "Aku juga mendengar
Mahisa Wonga Teleng. Bahkan seseorang pernah melontarkan
tuduhan itu langsung kepadaku. Dan aku telah memaafkannya
karena ia tidak mengetahui apakah yang sebenarnya telah terjadi.
Dan seperti yang kau katakan, memang ada golongan yang dengan
sengaja menyebarkan berita semacam itu. Jadi yang kau dengar
bukanlah berita yang pertama kali tersebut di daerah ini dan bahkan
di luar kota Singasari."
"Aku tahu Kakanda. Dan sudah sejak lama aku tidak
memercayainya." "Dan kenapa tiba-tiba saja sekarang kau menjadi ragu?"
"Itulah yang aneh Kakanda. Tetapi sebenarnya aku yakin bahwa
berita itu hanyalah fitnah semata-mata. Tetapi di samping berita
yang pernah aku dengar sejak beberapa waktu itu, aku mendengar
berita lain yang sangat menggelisahkan jika sampai tersebar di
antara rakyat Singasari."
193 Anusapati mengerutkan keningnya. Terasa dadanya men-jadi
berdebar-debar. Karena itu, maka wajahnya pun tampak menegang.
"Adinda Mahisa Wonga Teleng. Kau benar-benar telah membuat
aku menjadi gelisah," berkata Anusapati kemudian.
"Bukan maksudku menggelisahkan Kakanda. Tetapi biarlah
Kakanda tidak terkejut kelak apabila Kakanda mendengarnya.
Daripada Kakanda mendengar dari orang lain, maka aku
menganggap bahwa lebih baik Kakanda mendengar dari aku
sendiri," berkata Mahisa Wonga Teleng.
"Katakanlah Adinda. Barangkali aku memang perlu
mendengarnya." "Kakanda," berkata Mahisa Wonga Teleng kemudian setelah ia
bergeser setapak. Tampak wajahnya masih saja dibayangi oleh
keragu-raguan, "akhir-akhir ini aku benar-benar telah dibingungkan
oleh keterangan orang yang tidak aku kenal itu."
Anusapati menganggukkan kepalanya, "Katakanlah."
Mahisa Wonga Teleng menelan ludahnya. Tetapi dipaksanya juga
untuk berkata, "Kakanda. Orang itu mengatakan, bahwa bukan saja
Kakanda telah membunuh Ayahanda Sri Rajasa, dengan meminjam
tangan Pengalasan dari Batil itu dan kemudian Kakanda
membunuhnya, namun orang itu juga mengatakan bahwa Kakanda
bukanlah putra Ayahanda Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi."
194 Pertanyaan itu bagaikan petir yang meledak di ujung telinga
Anusapati. Karena itu sejenak wajahnya menjadi merah dan terasa
mulutnya terbungkam. Dipandanginya wajah adiknya dengan sorot
mata yang aneh, sehingga Mahisa Wonga Teleng menjadi kecut
hatinya. Ada semacam penyesalan melonjak di hatinya bahwa ia
sudah mengatakannya. Jika Anusapati menjadi marah, maka
mungkin ia akan mengalami sesuatu yang tidak pernah dibayangkan
sebelumnya. Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Anusapati yang
dikejutkan oleh pertanyaan itu, dengan susah payah mencoba
menenangkan hatinya. Sambil menarik nafas dalam-dalam, maka Anusapati pun
kemudian berkata, "Kau sudah melakukan sesuatu yang benar
menurut penilaianku Adinda. Memang sebaiknya aku mendengar
darimu daripada orang lain."
Mahisa Wonga Teleng tidak mengetahui, apakah yang
sebenarnya tersimpan di hati Kakandanya itu, sehingga karena itu
untuk beberapa lamanya ia masih tetap berdiam diri sambil
menundukkan kepalanya. "Adinda Mahisa Wonga Teleng," berkata Anusapati, "tentu berita
yang kau dengar itu belum kau katakan seluruhnya. Maksudku,
menurut pendengaranmu dari orang yang belum kau kenal itu."
Anusapati berhenti sejenak, lalu, "berita itu tentu ada
kelanjutannya Adinda. Jika aku bukan putra Ayahanda Sri Rajasa,
maka menurut orang itu, siapakah sebenarnya aku ini" Maksudku,
menurut ceritanya, anak siapakah aku ini?"
195 "Maafkan aku Kakanda. Aku hanya mengatakan apa yang
dikatakan oleh orang itu."
"Ya. Aku tahu."
"Katanya, Kakanda adalah putra seorang akuwu yang dahulu
memerintah daerah yang kini disebut Singasari. Pada waktu itu
daerah ini masih bernama Tumapel. Dan akuwu itu bernama
Tunggul Ametung." Anusapati mencoba menahan perasaan yang bergejolak. Bahkan
kemudian ditekankannya tangannya di dadanya. Katanya, "Adinda.
Berita itu memang mengejutkan aku. Aku mengerti urut-urutan
cerita orang itu. Karena aku bukan putra Ayahanda Sri Rajasa, dan
karena aku putra akuwu yang dahulu memerintah daerah ini, maka
aku menuntut hakku dan membunuh Ayahanda Sri Rajasa. Begitu?"
"Begitulah kira-kira, Kakanda."
"Adinda. Jika demikian coba katakan, siapakah ibuku?"
Mahisa Wonga Teleng mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia
berkata, "Ibundamu juga Ibunda Ken Dedes."
Tetapi jawaban itu ternyata telah menggetarkan hatinya sendiri.
Ken Dedes adalah ibundanya, sehingga dengan demikian maka
ibundanya pernah menjadi seorang istri dari orang lain, atau jika
mempergunakan istilah lebih kasar maka sebelum ibundanya
196 menjadi permaisuri di Singasari, ibundanya mencintai laki-laki lain
selain ayahandanya. "Oh, tidak, tidak," desisnya sebelum Anusapati mengatakan
sesuatu. "Apa yang tidak Adinda?"
"Tentu tidak. Bahwa Ibunda pernah mencintai laki-laki lain selain
Ayahanda. Tentu tidak bahwa Ibunda pernah berhubungan dengan
laki-laki lain sebelum Ayahanda menjadi istri Ayahanda sehingga
mengandung dan melahirkan seorang anak."
"Tenanglah Adinda," berkata Anusapati, "memang kabar itu
sangat pahit bagi kita, terutama apabila Ibunda yang sudah tua itu
mendengarnya. Tentu berita itu bukannya sekedar fitnah, tetapi
juga hinaan atas kesetiaan Ibunda. Berita itu berarti bahwa aku
adalah anak seorang laki-laki lain daripada Ayahanda Sri Rajasa.
Dan itu adalah hinaan atas kesetiaan Ibunda."
"Ya Kakanda. Itu tentu fitnah yang sangat keji atas Ibunda."
"Dan kau tahu maksudku?"
"Untuk memisahkan kita berdua. Maksudnya agar aku
mendendam atas kematian Ayahandaku, dan adalah lebih baik jika
aku bertindak atas Kakanda, karena Kakanda bukan saudaraku
seayah." 197 Anusapati menganggukkan kepalanya. Ia berharap agar ia
berhasil meyakinkan Mahisa Wonga Teleng bahwa cerita itu
hanyalah fitnah semata-mata.
"Kakanda," berkata Mahisa Wonga Teleng kemudian, "aku minta
maaf bahwa aku telah menyampaikan hal ini kepada Kakanda.
Seharusnya aku tahu, bahwa tidak sepantasnya aku memikirkannya.
Apalagi meragukannya, dan menyampaikannya kepada Kakanda.
Seharusnya aku tahu, bahwa Kakanda terlampau sibuk dan banyak
hal yang harus dipikirkan, sehingga yang aku sampaikan hanya akan
menambah kesibukan Kakanda."
"Tidak Adinda," berkata Anusapati, "sebaiknya hal ini memang
harus kau sampaikan. Dengan demikian hatimu segera menjadi
terang. Kau tidak perlu lagi berteka-teki tentang diriku dan tentang
hubungan keluarga di antara kita."
Mahisa Wonga Teleng mengangguk dalam-dalam. Katanya, "Aku
memang dungu sekali. Tetapi biarlah lain kali aku dapat
menyelesaikan masalah-masalah seperti ini tanpa mengganggu
Kakanda." Anusapati hanya tersenyum saja. Ia mulai yakin, bahwa Mahisa
Wonga Teleng dapat dikuasainya, sehingga adindanya itu tidak akan
meragukan lagi kebenaran ceritanya.
Namun sepeninggal Mahisa Wong Teleng, Anusapati merasakan
sesuatu yang pahit di dalam hatinya. Meskipun ia berhasil
meyakinkan adindanya itu, dan barangkali juga beberapa perihal di
Singasari, namun bahwa seseorang telah berusaha mengungkit
kebenaran tentang dirinya, adalah sangat mendebarkan hati.
198 Anusapati yang berhasil menguasai tahta Singasari itu merasa,
bahwa ia harus hidup di dalam suatu keadaan yang tidak
dikehendakinya sendiri. Kebimbangan, kecemasan, pura-pura dan
bahkan kepalsuan seperti itu. Ia harus mengingkari kebenaran
tentang dirinya sendiri. Ia harus mengingkari ayahandanya sendiri
yang sebenarnya. "Alangkah pahitnya hidup seperti ini," katanya di dalam hati.


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan kadang-kadang Anusapati harus menelusuri jalan yang
pernah dilaluinya. Sejak ia masih muda. Hidupnya yang seakan-akan
terasing dari kasih sayang orang tua. Hidup yang seakan-akan selalu
diancam oleh bahaya. Bahkan usaha-usaha untuk
menyingkirkannya. Puncak dari semuanya itu adalah kematian Sri Rajasa yang
menggetarkan itu. Dan ia harus mengingkari semuanya. Mengingkari ayahandanya
yang menurunkannya, mengingkari kematian Sri Rajasa.
Mengingkari kebaikan hati Sumekar, mengingkari banyak hal yang
menyiksa dirinya. Dengan demikian, maka Anusapati pun menjadi sangat prihatin.
Seakan-akan hidup yang dihayatinya adalah hidup yang semu
semata-mata, karena semuanya disaput oleh kepalsuan dan purapura.
Dengan demikian, maka seakan-akan Anusapati merasa dirinya
berjalan di jalan yang sangat panjang, melalui kesulitan demi
199 kesulitan, melalui kepalsuan demi kepalsuan. Dan jalan itu rasarasanya
tidak akan ada habis-habisnya. Ia harus menyembunyikan
setiap kepalsuan dengan kepalsuan yang lain, mengingkari
kebohongan dengan kebohongan yang lain.
Namun Anusapati merasa bahwa ia tidak akan dapat kembali.
Baginya Singasari adalah pusat dari segalanya, sehingga apapun
yang akan terjadi atas dirinya, maka ia harus berusaha agar
Singasari tidak pernah guncang. Bahwa apa yang pernah dicapai
oleh ayahandanya, meskipun bukan yang sebenarnya, harus
dipertahankannya. "Apa yang sudah ada ini tidak boleh terlepas," berkata Anusapati
di dalam hatinya, karena ia merasa bahwa ia tidak mempunyai
kesempatan untuk mengembangkannya.
"Kenapa aku merasa diriku terbelenggu oleh sesuatu?" tiba-tiba
Anusapati mencoba menghentakkan diri dari bayangan-bayangan
yang suram dari hidupnya itu, "aku sudah bertekad untuk
melakukannya. Aku harus berani mempertahankannya dan
bertanggung jawab. Aku adalah Maharaja Singasari."
Namun di dalam kegelisahannya, Anusapati tidak dapat lari dari
kejaran pengakuan di dalam dirinya sendiri, sehingga ia terpaksa
memanggil Mahisa Agni ke Singasari. Satu-satunya orang yang
paling dipercayainya, dan orang yang memang mengetahui segala
rahasianya. "Pamanda," berkata Anusapati, "aku selalu dikejar oleh bayangan
yang suram tentang diriku sendiri. Apakah di dalam kelanjutan
200 hidupku ini, aku akan selalu dikejar oleh kepalsuan yang harus aku
pertahankan?" Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Semuanya sudah
terjadi. Seperti Anusapati sendiri, maka yang dihadapi adalah yang
tidak diharapkannya sama sekali.
"Tuanku," berkata Mahisa Agni kemudian. Ia tidak mendapat
jalan lain, kecuali berusaha menenteramkan hati Anusapati, "dahulu
Ayahanda Sri Rajasa pun hidup di dalam dunia yang lain dari
kebenaran itu. Ayahanda Sri Rajasa justru dengan sengaja dan
diperhitungkan lebih dahulu, hidup di dalam dunia yang lain dari
kebenaran itu. Ayahanda Sri Rajasa justru dengan sengaja dan
diperhitungkan lebih dahulu hidup di dalam dunia yang penuh
dengan kepalsuan. Kematian pamanku Empu Gandring, Kebo Ijo
dan Akuwu Tunggul Ametung. Kemudian perkawinannya dengan
Ken Umang, dan kepura-puraannya yang paling gila adalah
mengangkat Tuanku menjadi Putra Mahkota. Karena di satu pihak
Sri Rajasa bersikap jujur karena Tuanku adalah putra permaisuri
yang tertua, namun di lain pihak, Sri Rajasa ingin menyingkirkan
Tuanku dengan cara apapun, karena Sri Rajasa ingin memaksa
niatnya, mengangkat Tuanku Tohjaya menjadi Pangeran Pati."
Mahisa Agni berhenti sejenak, "Namun di dalam waktu yang lama
itu, Sri Rajasa berhasil menguasai keadaan dan dirinya sendiri."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti
bahwa juga Sri Rajasa hidup di dalam dunia yang palsu. Namun ia
berhasil menguasainya sehingga ia berhasil memanfaatkan dunianya
yang dibayangi oleh kepura-puraan itu untuk kerja yang besar.
Mempersatukan Singasari, Kediri dan daerah-daerah lain di
sepanjang pulau. 201 "Aku harus mempertahankannya," Anusapati menarik nafas
sambil berkata kepada diri sendiri, "aku harus hidup di dalam dunia
yang pernah dihuni oleh ayahanda Sri Rajasa dan berbuat seperti
Ayahanda Sri Rajasa pula."
Demikianlah Anusapati mencoba untuk dapat melupakan
peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi. Ia mencoba berbuat seperti
yang pernah dilakukan oleh ayahandanya, Sri Rajasa Batara Sang
Amurwabumi. Tetapi ternyata bahwa Anusapati mempunyai sifat dan watak
yang berbeda. Sri Rajasa, yang semasa kecilnya bernama Ken Arok,
dan yang hidup di padang belantara itu, sudah terbiasa hidup di
dalam bayangan yang kelam. Adalah sudah menjadi kebiasaannya
untuk melakukan tindakan-tindakan yang kasar. Merampok,
menyamun, memerkosa dan bahkan membunuh. Dengan demikian,
maka kematian demi kematian yang direncanakan tidak terlampau
banyak membekas di hatinya, meskipun di saat-saat yang khusus Sri
Rajasa tidak berhasil menghindarkan diri dari kejaran dosa-dosanya
itu. Berbeda dengan Sri Rajasa, Anusapati di masa kecilnya hidup
dalam suasana yang sepi, meskipun di dalam keramaian suasana
istana Singasari. Namun ia menjadi dekat dengan perasaannya lebih
dari nalarnya. Ia memandang manusia dari segi yang lain dari Ken
Arok. Ken Arok adalah orang yang hidup dalam dunia wadagnya
yang kasatmata. Kekuatan, kemampuan berkelahi, perang dan keris
Empu Gandring. Sedang Anusapati memandang manusia lebih
banyak dari segi pribadi dan hidup mereka yang tidak kasatmata.
Meskipun Anusapati juga mempelajari ilmu kanuragan, namun
baginya manusia adalah kesatuan yang utuh. Bagi Anusapati, yang
kasatmata justru sekedar bayangan dari yang tidak kasatmata
202 wadagnya. Sehingga dengan demikian Anusapati lebih menghargai
manusia pada segi rohaniahnya, bukan jasmaniahnya.
Itulah sebabnya ia tidak semudah Ken Arok untuk melupakan apa
yang pernah terjadi. Bahkan keris di tangannya pernah menusuk
orang yang bernama Ken Arok dan bergelar Sri Rajasa yang
diakunya sebagai ayahnya sendiri. Dan karena itu pulalah ia tidak
segera dapat melupakan, bahwa ia telah berbohong kepada rakyat
Singasari. Jika setiap orang menyebut nama pengalasan dari Batil
sambil meludah, maka alangkah perih hati Anusapati, karena ia
menyebut nama Sumekar dengan menundukkan kepala dan hormat
yang setinggi-tingginya. Dan itu pun merupakan kebohongan yang
besar dan tidak berperikemanusiaan.,
Selesainya ia harus mempertahankan kebohongannya itu kepada
adiknya seibu, Mahisa Wonga Teleng. Ia menolak kebenaran yang
pernah dikatakan oleh adiknya.
"Kenapa aku menjadi ketakutan mengaku bahwa aku adalah
putra Akuwu Tunggul Ametung di hadapan Mahisa Wonga Teleng?"
ia bertanya kepada diri sendiri.
Namun sebenarnyalah bahwa Anusapati yang pernah dikenal
dengan gelar Kesatria Putih, dan yang berani menyusuri kehidupan
malam yang penuh dengan kejahatan, sama sekali tidak mempunyai
keberanian untuk mengakui di hadapan adiknya tentang dirinya
sendiri. Tentang ayah yang sebenarnya menitikkan darah keturunan
ke dalam dirinya. Dengan demikian, maka ternyata kolam yang sudah dibangunnya
mengelilingi bangsalnya itu hanya mampu mengamankan badannya,
203 tubuhnya saja. Tetapi tidak berhasil mengamankan kegelisahan
hatinya. Kolam itu berhasil menyingkirkan kecemasan bahwa ia akan
terancam oleh orang-orang yang tidak dikenal, dan barangkali oleh
adiknya, Tohjaya, yang sebenarnya tidak mempunyai sangkut paut
sama sekali dengan dirinya. Tetapi tidak berhasil membentengi
dirinya dari pengakuan betapa hidupnya dibayangi oleh kepalsuan
dan pura-pura. Dengan demikian, maka Anusapati semakin lama justru semakin
dalam tenggelam suasana yang buram. Ia menjadi semakin sering
merenungi dirinya sendiri dan Singasari.
Rasa-rasanya tidak ada yang pantas lagi dilakukan selain
menyerahkan segalanya bagi Singasari. Rasa-rasanya hidupnya
akan menjadi terlampau sempit, sehingga ia mempergunakan segala
yang ada padanya bagi kebesaran negerinya.,
Tetapi karena hati yang suram, maka yang memancar pun
bukannya cahaya yang cerah. Anusapati lebih senang melihat
Singasari tenang, tenteram dan damai. Ia lebih senang memelihara
yang sudah ada sambil merenungi kepedihan di dalam diri.
Namun dengan demikian Singasari tetap seperti Singasari sejak ia
naik ke atas tahta. Singasari yang tenang dan damai, yang
sawahnya menjadi hijau dari ujung sampai ke ujung cakrawala.
Yang lembah dan ngarainya dialiri oleh sungai-sungai yang jernih, di
sela-sela pegunungan yang menjulang ke langit.
Dengan demikian maka Singasari bagaikan seorang bayi yang
sedang berbaring di dalam buaian. Ia tidak bergejolak dan tidak
menggelegak seperti saat Sri Rajasa naik ke atas tahta. Singasari
204 tidak berhias dan membenahi dirinya. Apalagi menimang senjata,
menebas hutan, membendung bengawan, lebih-lebih mengarungi
lautan. Meskipun demikian, sebenarnyalah Singasari tidak seluruhnya
tenggelam di dalam hidup yang tenang dan terhenti. Di dalam dada
Ranggawuni yang meningkat dewasa, sebenarnyalah menggelegak
gejolak yang belum kasatmata. Kenakalan dan kelincahannya,
memberikan harapan bagi masa depannya.
Di dalam umurnya yang masih sangat muda, telah tampak pada
anak itu, bahwa ia memiliki kelebihan dari anak-anak sebayanya.
Bukan saja karena ia adalah putra seorang maharaja yang berkuasa
di Singasari, tetapi Ranggawuni memang memiliki sesuatu yang lain.
Dan Mahisa Agni yang memiliki pengamatan yang tajam itu dapat
melihat kelebihan itu. Itulah sebabnya maka ia menaruh harapan
pada anak itu. Dengan telaten Mahisa Agni membimbing anak itu,
selain Anusapati sendiri. Tetapi karena ilmu Anusapati juga
bersumber dari Mahisa Agni, maka sama sekali tidak ada persoalan
di dalam latihan-latihan yang dilakukan oleh anak itu. Apalagi
setelah ia mendapat kawan yang hampir sebaya, meskipun agak
lebih muda. Adik sepupunya ternyata juga seorang anak laki-laki
yang nakal seperti dirinya sendiri, sehingga keduanya adalah dua
orang yang memiliki hampir kesamaan di banyak hal.
Anusapati sendiri melihat anak laki-lakinya dengan sepenuh
harapan. Bahkan kadang-kadang jika ia sedang merenungi dirinya
dirinya sendiri, selalu berakhir dengan sebuah tarikan nafas,
"Mudah-mudahan Ranggawuni tidak mengalami kesuraman di dalam
hidupnya. Ia tidak boleh hidup di dalam dunia yang palsu dan purapura
ia harus berada di tempatnya seperti yang ada padanya."
205 Demikianlah, maka tumpuan harapan Anusapati semata-mata
ada pada anak laki-lakinya. Ia sendiri tidak lagi berhasrat untuk
berbuat banyak atas Singasari, selain memelihara ketenteraman dan
kedamaian. Yang sudah ada itulah yang dipeliharanya.
Meskipun demikian, ia berharap bahwa kelak Ranggawuni akan
berhasil membuat Singasari menjadi jauh lebih besar, lebih baik dan
lebih kuat. Sawah-sawah yang ada harus menjadi berlipat, air harus
semakin banyak naik ke sawah dan pategalan. Jalan-jalan yang
menghubungkan tempat yang satu dengan tempat yang lain.
Jembatan-jembatan dan bendungan-bendungan.
Agaknya Ranggawuni pun menaruh perhatian atas cita-cita yang
demikian. Setiap kali ayahandanya mengatakan tentang masa depan
Singasari, Ranggawuni selalu mendengarkan dengan seksama.
Meskipun umurnya belum menginjak dewasa, tetapi ternyata ia
sudah tertarik kepada persoalan-persoalan yang besar.
Namun dalam pada itu, selagi Anusapati mencurahkan
harapannya pada masa depan, karena ia merasa tidak memiliki
kekuatan lagi untuk mengatasi kekalutan di dalam dirinya, beberapa
orang selalu mencari jalan untuk menyingkirkannya.
Kolam di sekitar bangsal memang merupakan rintangan yang
besar bagi setiap usaha untuk membunuhnya. Tidak mudah
menembus kolam itu betapapun tinggi ilmu seseorang, karena di
sekitar kolam itu pun diletakkan pengawal-pengawal yang mumpuni.
Setiap gejolak air yang tidak sewajarnya, tidak akan terlepas dari
pengamatan mereka, sehingga seakan-akan seekor itik pun tidak
akan dapat menyeberangi tanpa diketahui oleh para penjaga.
206 Dengan demikian maka cara yang paling baik yang dapat
dilakukan untuk menyingkirkan Anusapati, Maharaja Singasari,
adalah dengan memancingnya keluar. Di malam hari atau siang
hari. Tetapi dengan demikian, maka tidak akan mungkin dapat
merahasiakan lagi, siapakah yang melakukannya atau atas perintah
siapa. Jika para pengawal bertindak dengan cepat, maka semuanya
akan terbongkar, dan usaha yang sudah dilakukan itu tidak akan
gunanya. "Para pengawal itulah yang harus dipisahkan dari Anusapati,"
berkata salah seorang dari mereka.
"Ya," jawab yang lain, "Kita baru memiliki seorang panglima."
"Tetapi panglima itu adalah panglima pelayan dalam. Semua
usahanya akan sangat bermanfaat."
"Dan bagaimana dengan panglima pasukan pengawal?"
Tidak seorang pun yang dapat menjawab. Meskipun panglima
pasukan pengawal itu adalah seorang yang setia kepada Sri Rajasa,
namun ia tidak dapat dengan mudah dipengaruhi untuk memusuhi
Anusapati yang kini duduk di atas tahtanya.
"Aku akan berusaha," berkata salah seorang dari mereka.
Semua orang berpaling kepadanya. Kepada seorang perempuan
yang meskipun umurnya sudah semakin tua, namun ia masih tetap
tampak sebagai seorang perempuan muda yang cantik.
"Apakah yang akan Ibunda lakukan?" bertanya anak laki-lakinya.
Perempuan itu tersenyum. Katanya, "Jangan takut. Aku tidak
akan berbuat apa-apa. Aku dapat mencari dua tiga orang gadis yang
sangat cantik. Aku akan mencoba menundukkannya."
Semua orang yang mendengarnya menarik nafas dalam-dalam.
Mereka masih melihat perempuan itu tersenyum sambil mengangkat
wajahnya, "Jika aku berhasil, apakah yang harus dilakukan oleh
panglima itu?" 207 "Tidak apa-apa. Ia hanya diharuskannya berdiam diri saja."
"Kenapa berdiam diri?"
"Berdiam diri dengan seluruh pasukannya. Jika terjadi sesuatu di
istana ini, Pasukan pengawal sebaiknya tidak bertindak apapun
juga. Dan dengan demikian, maka pasukan penempur yang ada di
dalam istana tidak akan banyak dapat berbuat sesuatu. Mereka akan


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera dapat dikuasai oleh pasukan pengawal dan pelayan dalam."
Perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Aku mengerti. Karena kalian tidak mungkin lagi membunuh
Anusapati dengan diam-diam, maka kalian akan membunuhnya di
hadapan penghuni istana ini tanpa tedeng aling-aling. Tetapi untuk
itu kedua pasukan terkuat di istana ini harus dikuasai lebih dahulu."
Orang-orang yang ada ditempai itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya pula seperti perempuan itu. Sepercik harapan memang
telah timbul di hati mereka. Jika kedua panglima yang paling
berkuasa di dalam istana ini dapat dikuasai, maka semuanya akan
dapat berjalan dengan lancar. Tidak akan ada seorang pun yang
berani berbuat sesuatu apapun yang akan terjadi.
Namun demikian salah seorang dari mereka bertanya, "Tetapi
bagaimana dengan para prajurit di luar istana. Jika mereka tidak
mau tunduk kepada perintah kita, apakah kita dapat menundukkan
mereka" Dan bagaimana jika tiba-tiba mereka mengepung istana
ini?" "Kita akan dapat mempengaruhi sebagian dari mereka. Jika
mereka tidak sependirian lagi, maka kekuatan mereka tidak akan
menggetarkan dinding istana. Apalagi jika kita dapat mengumumkan
harapan yang dapat kita berikan kepada mereka dan kutukan atas
segala kejahatan yang pernah dilakukan oleh Anusapati."
"Semua usaha akan kita jalankan."
Demikianlah maka pertemuan itu telah sepakat, bahwa mereka
akan menempuh jalan terakhir. Jalan yang paling kasar yang pernah
208 mereka pikirkan. Tetapi mereka benar-benar tidak mempunyai jalan
lain. Ternyata bahwa mereka tidak menyia-nyiakan waktu lagi.
Dengan tertib mereka mulai melakukan tugas masing-masing. Dan
berhasillah mereka mendapatkan tiga orang gadis yang paling
cantik, yang menyediakan diri menjadi umpan bagi yang mereka
namakan suatu perjuangan untuk merebut keadilan dari tangan
Maharaja Anusapati. Dengan pesan yang meyakinkan, maka ketiga orang gadis yang
paling cantik itu mendapat tugas untuk menguasai panglima
pasukan pengawal yang memiliki pengaruh yang besar bagi
keamanan di dalam lingkungan halaman istana dan keluarga
maharaja. Adalah kebetulan sekali bahwa salah seorang dari ketiga gadis itu
berhasil mendekatkan diri dengan panglima itu yang secara
kebetulan sedang berada di halaman istana, di antara beberapa
orang pengawal. Tetapi ia baru berhasil mendapat perhatian saja dari panglima
itu. Panglima itu masih belum menegurnya dan apalagi bertanya
tentang sesuatu. Namun akhirnya, gadis yang lain berhasil pula memancingnya
dalam suatu pembicaraan. Ketika panglima itu memasuki halaman
istana, maka dengan serta-merta, gadis yang sedang berada di
semak-semak itu berlari-lari sehingga terjatuh.
"Kenapa?" tanpa berpikir lagi panglima itu pun bertanya.
"Ampun Tuan," gadis itu terengah-engah, "ada seekor ular.
Hamba sedang mencari sekuntum bunga yang indah di dalam
taman ini. Tetapi ternyata hamba diganggu oleh seekor ular
berbisa." Dengan usaha yang sungguh-sungguh, untuk kepentingan
perjuangan yang menurut mereka adalah perjuangan yang luhur,
maka akhirnya ketiga orang gadis itu berhasil memperkenalkan diri,
209 justru ketika panglima pasukan pengawal itu sedang dilihat
kesepian. Sebagai seorang prajurit kadang-kadang ia terpisah dari
keluarganya untuk waktu yang tidak tertentu. Dan itulah yang
memungkinkan ia kehilangan keseimbangan. Agaknya usaha yang
lain telah dilakukan pula. Ketika panglima itu mendengar bahwa
istrinya yang ditinggalkan di rumah terlibat dalam hubungan yang
tidak sewajarnya dengan seorang laki-laki.
Alangkah dangkalnya perasaannya. Meskipun nalarnya masih
dapat menahan agar ia tidak segera bertindak, karena mungkin
yang didengar itu sekedar fitnah, namun kehadiran gadis-gadis
cantik itu telah mempengaruhinya. Seakan-akan ia tidak mau lagi
melihat apakah yang didengarnya itu suatu kebenaran atau sekedar
fitnah semata-mata. Bahkan di dalam gejolak nafsu butanya, ia
mengharap bahwa ia tidak akan sempat melihat pembuktian bahwa
istrinya tidak bersalah. Dengan demikian, maka kekebalan dinding hatinya menjadi
semakin luluh, Kehadiran ketiga orang gadis yang cantik itu benarbenar
telah mencengkamnya. Apalagi dengan sengaja ketiga orang
gadis itu mengganggunya dengan segala cara.
Tidak ada yang dapat dilakukan, selain pasrah diri di dalam
cengkeraman nafsu yang gila itu. Ia benar-benar kehilangan
pengamatan diri, ketika gadis-gadis itu seakan-akan dengan ikhlas
menyerahkan dirinya. Meskipun dari ketiga orang itu yang paling
dibutuhkan hanya seorang, namun yang seorang itu sudah cukup
kuat mencengkam dan membelenggu tangan dan kakinya.
Seperti disambar petir rasanya, ketika pada saat ia kehilangan
kendali atas dirinya, tiba-tiba saja pintu rumah gadis itu terbuka.
Dengan wajah yang pucat panglima itu berdiri dengan tubuh
gemetar. Di sampingnya gadis yang cantik itu justru semakin
melingkar di pembaringan.
Di muka pintu berdiri Tohjaya dengan sepasukan pengawal.
"Apa yang kau lakukan di sini?" bertanya Tohjaya.
210 Jari-jari yang menunjuk hidungnya itulah yang membuka
kesadarannya, bahwa sebenarnya ia sudah terjebak. Dengan wajah
yang semakin pucat, akhirnya ia pasrah sambil bertanya, "Apakah
yang sebenarnya Tuanku kehendaki. Hamba memang tidak akan
dapat ingkar, karena di hadapan hamba ada beberapa orang saksi
yang tidak akan dapat hamba hapuskan."
"Apakah kau akan mencoba membunuh orang-orang yang
melihat dengan mata kepala sendiri atas peristiwa ini?"
"Tidak mungkin Tuanku. Karena itu Tuanku akan berhasil
memeras hamba. Dan itulah yang hamba tanyakan, apakah yang
akan aku lakukan?" Tohjaya mengerutkan keningnya sejenak. Namun kemudian ia
tertawa sambil melangkah masuk. Kepada gadis yang masih ada di
dalam bilik itu ia berkata, "Pergilah! Tugasmu sudah selesai."
Gadis itu memandang panglima yang telah ditundukkan itu
dengan senyum yang paling menyakitkan hati. Sambil melangkah
pergi ia berkata, "Maaf Tuan. Hamba telah menyelesaikan tugas
hamba. Apa yang terjadi memang akan tetap menjadi kenangan
bagi hamba. Dan hamba tidak akan pernah melupakan Tuan.
Bahkan seandainya kelak hamba sudah bersuami sekalipun."
Panglima itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak menjawab.
Dipandanginya saja gadis yang meninggalkan bilik itu dengan tanpa
berkedip. Tetapi gadis itu terkejut ketika tiba-tiba sebuah tangan yang kuat
memegang lengannya dan tanpa berkata apapun juga lengan itu
ditariknya "Tuan," gadis itu memekik kecil, tetapi suaranya terdengar dari
dalam bilik yang ditinggalkannya, "apa artinya ini?"
Panglima yang ada di dalam bilik itu mendengar juga suara gadis
itu, sehingga ia menggeram, "Jadi Tuankulah yang akan
menghapuskan jejak dan saksi" Apakah Tuanku akan melenyapkan
gadis itu?" 211 "Ia akan menerima hadiahnya. Dan sudah barang tentu ia masih
sangat aku perlukan. Jika kau ingkar, ia adalah saksi yang pertama
yang akan mengatakan kepada sidang para pemimpin Singasari
yang sembilan, bahwa kau adalah seorang panglima yang tidak
pantas menjadi teladan rakyat dan prajurit di seluruh Singasari."
"Hamba mengerti. Tetapi hamba tidak yakin bahwa gadis itu
akan menerima hadiah yang sebenarnya Tetapi tuan tentu akan
menyingkirkannya untuk selama-lamanya, karena gadis itu akan
dapat bercerita, bahwa Tuankulah yang telah memberikan tugas
kepadanya menjebak hamba di dalam rencana pemerasan ini."
Tiba-tiba Tohjaya tertawa. Hanya perlahan-lahan. Katanya, "Aku
tidak tergesa-gesa. Tetapi sebaiknya kau bekerja bersama dengan
aku, agar kau tidak menjadi tumpuan caci dan maki karena
tindakanmu yang liar ini. Aku kira istrimu masih belum
membayangkan apa yang telah terjadi. Jika kau anggap istrimu
benar-benar telah berbuat salah karena melanggar pagar ayu, maka
berita yang sampai ke telingamu itu pun sekedar berita yang sejalan
dengan semua rencanaku. Istrimu adalah istri yang setia. Istri yang
baik. Nah, apakah kau sampai hati merusak kesetiaannya karena
berita yang akan didengarnya tentang apa yang kau lakukan, dan
apakah ia akan sampai hati melihat kau diarak ke alun-alun dan
dilempari batu sampai mati karena kau berzina?"
"Hamba mengerti Tuanku. Karena itu, sebaiknya Tuanku
mengatakan saja, apakah yang harus hamba lakukan?"
Tohjaya tersenyum bagaikan senyuman iblis di atas tanah
perkuburan yang baru. Katanya, "Baiklah Panglima. Aku ingin
bertemu dengan kau malam nanti di ujung jalan yang memotong
ujung dinding halaman istana ke arah barat."
"Baiklah Tuanku. Hamba akan datang. Dan sekarang, apakah
Tuanku bersedia meninggalkan hamba, atau membiarkan hamba
pergi dari tempat ini?"
212 "Tentu. Aku akan segera pergi. Kau dapat tetap tinggal di sini.
Tetapi sendiri. Gadis itu dilindungi oleh para pengawalku. Demikian
juga kedua gadis yang lain."
"Hamba tidak berkepentingan lagi dengan gadis-gadis itu. Tetapi
hamba justru menjadi cemas, bahwa gadis itu akan mengalami
nasib yang sangat buruk di dalam perlindungan pengawal-pengawal
Tuanku." "Kasihan sekali. Tetapi mereka adalah bebanten dari perjuangan
ini, seperti Kakanda Anusapati harus mengorbankan pengalasan dari
Batil itu." Sepercik gugatan nampak di wajah panglima itu. Tetapi ia pun
kemudian menundukkan kepalanya. Agaknya nasib ketiga gadis itu
pun tidak akan lebih baik dari nasibnya sendiri.
Panglima itu pun kemudian tidak mendengar lagi gadis itu
meronta-ronta di tangan para prajurit. Salah seorang dari mereka
berkata, "Jangan ribut. Kau tidak akan di-apa-apakan. Kau hanya
akan dilindungi dari kemungkinan yang dapat mengancam
nyawamu. Jika panglima itu berbuat licik, maka ia akan dapat
memerintahkan orang-orangnya membunuhmu, agar tidak ada saksi
yang utama apabila persoalannya terpaksa dihadapkan kepada para
pemimpin di Singasari."
"Aku tidak akan membuka rahasia ini. Tetapi jangan kau seret
aku seperti menyeret kambing."
Tetapi pengawal itu tertawa. Katanya, "Sayang, kau bukan gadis
lagi. Tetapi jangan takut bahwa kau tidak akan mendapatkan
seorang suami karena kau sangat cantik. Jasamu tentu akan selalu
diingat oleh Tuanku Tohjaya yang masih jejaka itu. Kecuali jika
Tuanku Tohjaya tidak memerlukannya dan memberikan kau
kepadaku, agar aku dapat selalu melindungimu dari ancaman
maut." "Diam, diam. Aku tidak sudi."
213 Pengawal itu tertawa. Benar-benar menyakitkan hati, sehingga
gadis itu mengumpatnya. Tetapi gadis yang malang itu tidak dapat melawan ketika ia
kemudian dibawa dengan pengawalan yang kuat ke tempat yang
tidak diketahuinya. "Kau benar-benar sekedar kita amankan," seorang pengawal
masih sempat berkata kepadanya ketika pintu biliknya kemudian
ditutup dari luar. Ternyata di dalam bilik itu telah berkumpul ketiga gadis yang
telah menyerahkan diri, mengorbankan kehormatannya untuk suatu
perjuangan yang mereka anggap luhur. Namun yang akhirnya
mereka terlempar ke dalam suatu tempat yang tidak mereka kenal.
Karena itu, maka ketiga gadis itu hampir berbareng telah
memukul-mukul pintu bilik itu sekuat tenaga mereka sambil
berteriak-teriak, "Lepaskan kami! Kami telah berjasa bagi kalian."
Tetapi pintu itu masih tetap tertutup. Dan bahkan bergetar pun
tidak, sehingga ketiga gadis itu semakin lama menjadi semakin
lelah, dan akhirnya mereka terhenti dengan sendirinya.
Namun dalam pada itu, selagi mereka terduduk sambil menangis,
tiba-tiba pintu bilik itu berderit. Perlahan-lahan pintu itu terbuka,
sehingga ketiga gadis itu terkejut. Serentak mereka mengangkat
wajah sambil memandang ke arah pintu yang terbuka itu.
Sepercik harapan telah melonjak di dalam hati mereka ketika
mereka melihat seorang putri masuk ke dalam bilik mereka sehingga
serentak pula mereka meloncat dan bersujud di hadapannya.
"Ampun Tuanku. Hanya kepada Tuanku Ken Umang, hamba
bersama-sama mohon perlindungan," dan gadis yang telah berhasil
meruntuhkan hati panglima itu melanjutkan, "hamba telah berhasil
melakukan perintah Tuanku. Namun akhirnya hamba justru
dimasukkan ke dalam bilik ini."
Ken Umang tersenyum hambar. Kemudian ia pun duduk di atas
sebuah dingklik kayu di sudut ruangan itu.
214 "Anak-anakku," berkata Ken Umang, "kalian memang sudah
memberikan pengorbanan yang tiada taranya bagi Singasari. Karena
itu aku datang untuk mengucapkan terima kasih kepada kalian."
"Hamba sekedar melakukan kewajiban hamba," jawab salah
seorang dari mereka, "namun hamba tidak mengerti, kenapa hamba
justru harus berada di tempat ini?"
Ken Umang justru tertawa sambil berkata, "Jangan berbuat
setengah-setengah anak-anakku. Lakukanlah pengorbananmu
dengan sempurna. Kau sudah berhasil menaklukkan panglima
pasukan pengawal itu dengan mutlak. Karena itu, maka kalian
dituntut untuk memberikan pengorbanan yang lebih banyak lagi.
Aku kira kalian tidak akan berkeberatan."
"Maksud Tuan Putri?"
"Apa boleh buat anak-anakku. Pengorbanan berikutnya adalah
kesediaan kalian tinggal di sini untuk sementara."
"Oh," hampir bersamaan mereka merayap mendekat, "ampun
Tuanku. Apakah Tuanku tidak dapat memerintahkan kepada para
prajurit, agar hamba dapat dilepaskan" Apa yang hamba lakukan
semata-mata demi kepentingan Singasari, sehingga hamba tidak
pernah mengharapkan hadiah atau semacam itu yang
bagaimanapun bentuknya. Hamba sudah berkorban dengan ikhlas
sehingga apa yang hamba lakukan adalah berdasarkan pada
kesadaran hamba untuk mengabdi. Jika dicemaskan bahwa hamba
akan berkhianat, tentu tidak mungkin sama sekali. Berbeda jika
hamba mengharapkan untuk mendapatkan hadiah. Hamba tentu
akan memilih siapakah yang akan memberi lebih banyak dari yang
hamba terima sebelumnya."
Ken Umang masih saja tertawa. Katanya, "Karena itulah maka


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalian masih harus berkorban lagi. Pengorbanan yang kalian
berikan, kalian sandarkan kepada pengabdian. Dan kalian masih
harus memberikan pengorbanan atas dasar yang sama. Tidak
terlampau berat. Kalian harus berada di dalam bilik ini untuk
215 sementara. Jika keadaan telah memungkinkan, maka kalian akan
dapat kami lepaskan lagi."
"Tetapi ampun Tuanku, untuk sementara di dalam bilik yang
dikelilingi oleh prajurit-prajurit yang kasar, adalah berbahaya sekali
bagi perempuan-perempuan seperti hamba bertiga."
"Ah, kenapa kalian berpikir demikian" Bukankah hal itu sudah
kalian lakukan demi pengorbanan kalian untuk Singasari."
"Tetapi tidak seperti ini, Tuan Putri."
Ken Umang memandang perempuan-perempuan yang menangis
itu sejenak. Namun yang tampak di dalam angan-angannya adalah
perbuatannya sendiri. Ia berhasil memaksa Ken Arok mengawininya,
karena ia lebih dahulu telah berhasil memancing kekhilafannya di
hutan perburuan, sehingga Ken Arok yang merasa dirinya seorang
pemimpin pada waktu itu, tidak mau ingkar dari tanggung jawab.
Karena itu maka sambil mengerutkan keningnya ia berkata,
"Apakah salahnya jika semuanya terjadi. Kalian harus menyerahkan
apa saja yang ada pada kalian untuk suatu tujuan yang besar.
Untuk kepentingan diri kalian masing-masing, dan apalagi untuk
kepentingan Singasari."
"Oh," tangis ketiga perempuan itu pun bagaikan meledak. Tetapi
agaknya sama sekali tidak tersentuh perasaan belas kasihan di
dalam hati Ken Umang. Ia merasa berhak menuntut pengorbanan
yang serupa, karena ia pun harus melakukannya meskipun untuk
kepentingannya sendiri. "Jangan cengeng!" berkata Ken Umang, "Lakukanlah dengan
ikhlas, agar kalian tidak menjadi sakit hati. Pada saatnya kalian akan
bebas dari tempat ini, dan kalian akan mendapat hadiah yang
cukup. Kau harus mengetahui bahwa rencana ini akan dilakukan
dengan cermat. Anusapati harus disingkirkan dan bahkan dibunuh.
Agar rencana ini tidak dapat disadap oleh siapa pun, maka kalian
terpaksa berada di tempat ini. Jika Anusapati telah terbunuh, maka
kalian akan bebas pergi ke manapun."
216 Ketiga gadis itu menangis semakin keras, sehingga Ken Umang
merasa bahwa telinganya menjadi bising. Sambil mengerutkan
keningnya ia pun kemudian berdiri. Ia mengibaskan kain
panjangnya ketika salah seorang gadis itu memeganginya sambil
berteriak, "Jangan pergi Tuanku, jangan pergi. Hamba bertiga
memerlukan perlindungan Tuanku."
Tetapi Ken Umang pun melangkah keluar.
"Tuan Putri, Tuan Putri," gadis-gadis itu berteriak semakin keras.
Tetapi Ken Umang justru menjadi semakin cepat pergi.
Hampir di luar sadarnya, ketiga gadis itu pun berpegangan pada
kain panjang, kaki dan bahkan tangan Ken Umang sehingga Ken
Umang harus membentak, "Lepaskan! Lepaskan!"
Tetapi di dalam kebingungan gadis- itu berpegangan semakin
erat. "Jangan bodoh. Jika kalian tidak mau melepaskan, maka aku
akan memanggil prajurit-prajurit itu dan memegangimu. Setelah aku
pergi, aku tidak tahu, apa yang akan mereka lakukan atasmu."
"Oh, tidak, tidak."
"Jika tidak, lepaskan aku!"
Ketiganya tidak dapat berbuat lain. Mereka terpaksa melepaskan
Ken Umang dan membiarkan ia pergi keluar dari bilik itu.
Sepeninggal Ken Umang, maka pintu bilik itu pun tertutup
kembali. Rasa-rasanya lebih rapat daripada sebelum Ken Umang itu
mengunjunginya, karena mereka pun kemudian yakin, bahwa yang
terjadi itu bukannya karena para prajurit berbuat atas kehendak dan
kepentingan mereka sendiri, tetapi memang demikianlah yang harus
mereka lakukan menurut rencana yang sudah ditetapkan
sebelumnya. "Jika aku tahu sebelumnya," kata seorang gadis di antara isak
tangisnya. 217 Kedua kawannya tidak menyahut. Penyesalan yang sudah
terlambat sekali. Apalagi seorang di antara mereka bertiga yang
sudah terlanjur mengorbankan dirinya lebih dari kedua kawannya
yang lain. Tetapi mereka tidak dapat menolak lagi nasib yang menerkam
mereka. Bahkan terbayang, bahwa yang akan terjadi adalah saatsaat
yang mengerikan di dalam hidup mereka. Mereka tidak dapat
mengharap lagi untuk keluar dari bilik ini dan hidup dengan wajar.
Jika pada suatu saat mereka keluar juga dari sekapan, maka mereka
adalah sampah buangan yang tidak ada harganya sama sekali.
"Aku harus menebus pengkhianatanku kepada Tuanku
Anusapati," keluh mereka di dalam hati masing-masing. Dan rasarasanya
yang terjadi adalah petunjuk bagi mereka, bahwa
sebenarnya yang mereka dengar tentang perjuangan untuk
menegakkan kebenaran dan hak di atas Singasari itu keliru.
"Jika benar Tuanku Anusapati berbuat salah, tentu aku tidak
akan mengalami nasib begini buruk. Jika aku mati karena
perjuanganku di medan yang aku pilih ini, adalah wajar sekali.
Tetapi aku justru telah dikhianati oleh Tuan Putri Ken Umang,"
perasaan itu tumbuh di hati ketiga gadis itu.
Tetapi tidak ada jalan untuk kembali. Mereka harus berjalan
terus, betapapun tajamnya batu berserakan di sepanjang perjalanan
mereka. Dalam pada itu, seperti yang sudah dijanjikan, maka pada malam
harinya, panglima yang sudah dalam jebakan itu tidak dapat
mengelak lagi. Ia harus pergi ke ujung jalan yang memotong ujung
dinding halaman yang menuju ke barat.
Dadanya menjadi berdebar-debar ketika ia berada semakin dekat
dengan tempat yang ditujunya, sehingga akhirnya ia berhenti di
ujung jalan yang sepi. "Apakah yang harus aku lakukan di sini?" ia bertanya kepada diri
sendiri, karena ia tidak melihat seorang pun yang berada di tempat
itu. 218 Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Bahkan kemudian berjalan
mondar-mandir. "Apakah aku harus mengalami perlakuan semacam ini?" katanya
di dalam hati. Sebagai seorang panglima ia mempunyai harga diri
yang teguh. Tetapi ia pun harus melindungi namanya dari
perbuatan yang paling hina, yang hampir di luar sadar telah
dilakukannya. Baru sejenak kemudian ia mendengar sesuatu berdesir. Naluri
keprajuritannya telah membuatnya bersikap untuk menghadapi
segala kemungkinan. "Tuan," tiba-tiba ia mendengar seseorang memanggilnya.
"Siapa kau?" "Aku Tuan. Aku adalah utusan Tuanku Tohjaya untuk membawa
Tuan ke tempat Tuanku Tohjaya menunggu."
"Kenapa Tuanku Tohjaya tidak berada di tempat ini?"
"Tidak Tuan. Tuanku Tohjaya masih harus mengatur rencananya
di tempat yang tersembunyi. Karena itu, marilah Tuan ikut bersama
aku." Tidak ada pilihan lain, daripada mengikuti orang itu ke manapun
ia pergi. Ternyata mereka pergi menyusup jalan kecil melewati halaman
kosong yang luas dan gelap, sehingga akhirnya mereka sampai ke
sebuah gubuk kecil yang terpencil.
"Di dalam gubuk itu Tuanku Tohjaya menunggu tuan."
Panglima pasukan Pengawal itu termangu-mangu sejenak.
Namun sebenarnya ia sudah meraba, apa yang harus dilakukannya,
karena ia mengetahui latar belakang dari perebutan kekuasaan di
Singasari. 219 Perlahan-lahan ia mendekati gubuk kecil itu. Dilihatnya beberapa
orang prajurit bertebaran di sekitar gubuk kecil itu, sehingga ia pun
menjadi semakin berdebar-debar karenanya.
Tetapi ia harus menemui Tohjaya, sehingga betapapun ia
dicengkam oleh keragu-raguan, maka ia pun melangkah perlahanlahan
mendekati gubuk itu. Di depan pintu seseorang telah menunggunya dan
mempersilakan, "Tuan, silakan masuk. Tuanku Tohjaya sudah lama
menunggu." Panglima pasukan pengawal itu menarik nafas. Tetapi ia pun
kemudian melangkah masuk ke dalam gubuk kecil itu. Karena pintu
gubuk itu terlampau rendah, maka panglima itu harus menundukkan
kepalanya ketika ia melangkah tlundak pintu.
Demikian ia berada di dalam rumah itu, ia pun terkejut. Di dalam
rumah itu ternyata selain Tohjaya terdapat seorang panglima yang
lain pula. Panglima pelayan dalam.
Dengan wajah yang tegang ia memperhatikan seorang demi
seorang yang duduk di sebuah amben yang besar. Beberapa orang
senapati telah ada di dalam gubuk itu pula.
"Marilah," Tohjaya mempersilakannya, "untuk sementara kita
memerintah Singasari dari gubuk yang kecil ini. Tetapi sebentar lagi,
akulah yang akan berada di paseban di hadapan para panglima,
senapati dan para pemimpin pemerintahan di Singasari."
Panglima pasukan Pengawal itu memandang Tohjaya sejenak,
lalu katanya kepada panglima pelayan dalam, "Apakah kau terjebak
seperti aku?" Panglima pelayan dalam itu tidak segera menjawab. Sejenak ia
memandang Tohjaya yang tersenyum. Katanya, "Sebaiknya kau
tidak mempersoalkan lagi, kenapa kita masing-masing terdampar
sampai ke tempat ini."
"Kita berkumpul di sini karena kita masing-masing merasa wajib
untuk menyelamatkan Singasari dari bencana yang lebih besar lagi.
220 Akhirnya aku memutuskan bahwa kita tidak dapat memaafkan lagi
atas semua kesalahan yang pernah dilakukan oleh Kakanda
Anusapati. Dan kini pun aku sudah mengetahui dari orang-orang
tua, bahwa sebenarnya aku dan Kakanda Anusapati tidak
mempunyai sangkut paut dalam hubungan darah. Tegasnya, aku
dan Kakanda Anusapati memang orang lain. Demikian juga Kakanda
Anusapati dan Ayahanda Sri Rajasa sama sekali tidak bersangkut
paut keluarga," kata Tohjaya.
Panglima pasukan pengawal itu tidak menjawab. Sebenarnya ia
pun mengetahui bahwa saat yang paling buruk ini akhirnya memang
akan datang. Orang-orang tua yang mengetahui bahwa Anusapati
bukannya putra Sri Rajasa, pada suatu ketika akan mengatakannya
juga kepada orang-orang yang akan terlibat di dalam persoalan itu
sendiri. "Nah, duduklah," sekali lagi Tohjaya mempersilakan.
Dengan ragu-ragu panglima pasukan pengawal itu pun kemudian
duduk bersama dengan mereka yang telah datang lebih dahulu di
atas amben yang besar itu. Ia menarik nafas ketika amben itu
berderik seolah-olah merintih karena beban yang terlalu memberati
punggungnya. "Nah, kita sekarang sudah berada di dalam satu rumah. Di bawah
satu atap. Sebaiknya kita lupakan saja apa yang sudah mendorong
kita masing-masing sampai ke tempat ini. Sebaiknya kita
memandang ke depan, bahwa Singasari harus menjadi semakin
cerah." Tidak ada seorang pun yang menjawab.
"Aku masih belum tahu, cara yang manakah yang akan aku
tempuh. Kita tahu, bahwa Kakanda Anusapati adalah seorang yang
pilih tanding. Sedang di sampingnya ada seorang yang tidak ada
duanya di Singasari, yaitu Mahisa Agni. Karena itu, untuk menguasai
Singasari, kita harus bergerak serentak. Tidak tanggung-tanggung.
Jika kita kehilangan kesempatan untuk menguasai dengan mutlak,
maka kita tentu akan gagal."
221 Masih belum ada yang menyahut. Dan Tohjaya pun berkata
selanjutnya, "Karena itu kita harus membulatkan hati. Kita harus
yakin, bahwa kita akan berhasil."
Beberapa orang senapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau pun harus yakin," berkata Tohjaya kepada panglima
pasukan pengawal, "kau harus mempersiapkan orang-orangmu,
sehingga mereka tidak akan menghalangi rencana kita. Kau dapat
membicarakan dengan beberapa orang kepercayaanmu. Tentu saja
dengan sangat hati-hati. Kau dapat menjanjikan kenaikan pangkat
dan kedudukan. Meskipun barangkali kau sendiri tidak memerlukan
kenaikan pangkat dan kedudukan karena kau di dalam kesatuanmu
adalah seorang yang berpangkat paling tinggi dan berkedudukan
paling tinggi. Tetapi kaudapat mengharapkan yang lain dari
kedudukan dan pangkat. Aku masih menyimpan ketiga orang gadis
yang barangkali kau perlukan setelah perjuangan ini selesai."
"Cukup Tuanku. Hamba sudah mencoba untuk tidak mengingat
lagi kenapa hamba terlempar ke dalam gubuk ini. Hamba berharap
bahwa Tuanku pun tidak akan mengungkitnya lagi."
Tohjaya tertawa. Katanya, "Baik, baik. Aku tidak akan
mengungkit yang telah lalu. Tetapi aku hanya ingin mengatakan
kepadamu, bahwa kau akan mendapat hadiah yang lain kecuali
pangkat dan kedudukan."
"Aku tidak memerlukan pangkat dan kedudukan yang lain
Tuanku. Jika aku akan melakukan perintah Tuanku, karena Tuanku
telah berhasil menjebak aku. Aku kira di antara kita di sini, hal ini
bukannya suatu rahasia lagi. Dan aku pun tidak akan
merahasiakannya pula."
"Kau benar-benar seorang senapati yang jujur terhadap dirimu
sendiri. Baiklah. Perintah yang pertama yang harus kaujalankan
adalah mempengaruhi setiap senapati terpenting dari pasukan
pengawal agar mereka pada suatu saat dapat melindungi
gerakanku. Terserah kepadamu, dan mungkin kau memang akan
mengatur pasukanmu lebih tertib dari sebelumnya."
222 Panglima itu tidak menyahut. Tetapi wajahnya membayangkan
perasaannya yang pahit mengalami peristiwa yang hitam di dalam
hidupnya. Sebenarnya panglima itu bukannya seorang yang berhati
lemah. Tetapi memang ada katanya ia berada di puncak
kelemahannya menghadapi persoalan yang semula tidak pernah
dibayangkan. Namun kini panglima itu tahu pasti. Tentu ada di antara
senapatinya yang memang sudah mengetahui rencana ini sejak
lama. Perubahan-perubahan yang terjadi di istana, menurut dugaan
panglima itu adalah rangkaian dari rencana Tohjaya. Senapati yang
mendapat kepercayaan daripadanya, yang bertugas mengatur
kesiagaan di halaman istana, agaknya sadar atau tidak, telah
terpengaruh pula oleh orang-orang yang berada di dalam jalur
rencana Tohjaya itu. "Mungkin masih ada satu dua orang perwira tertinggi yang
terjebak seperti aku, atau akan terjebak di hari-hari yang akan
datang," berkata panglima itu di dalam hatinya.


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena panglima itu masih saja berdiam diri, maka Tohjaya pun
kemudian berkata, "Panglima yang besar. Kau tidak boleh ragu-ragu
lagi. Di dalam pergolakan yang akan terjadi kau harus berdiri di
tempat yang pasti. Karena jika kau goyah, maka kau akan terlindas
di tengah-tengah. Atau kau akan memilih rahasiamu itu
diungkapkan" Aku masih menyimpan gadis-gadis itu. Dan dengan
sedikit janji ia akan mengatakan apa yang sudah terjadi di atas diri
mereka." "Tuan memang sangat bijaksana," panglima itu bergumam
seperti kepada diri sendiri, "Tuanku tahu betapa lemahnya hati
hamba. Dan setiap kali Tuanku mempergunakan kelemahan hati
hamba untuk memaksakan kehendak Tuanku. Sebenarnya Tuanku
tidak usah mengancam berulang kali, karena hamba yang berhati
kecil dan hitam ini tidak akan dapat menolak apapun yang harus
hamba lakukan." "Nada kesanggupanmu bukannya nada yang ikhlas."
223 "Tentu Tuanku mengetahui bahwa hamba melakukannya bukan
karena hamba hendak melakukannya. Hamba melakukan sekedar
karena hamba tidak berani melihat kesalahan hamba diketahui oleh
orang yang lebih banyak lagi dari sekarang. Meskipun aku sadar,
bahwa pada suatu saat seluruh Singasari akan mengetahuinya
juga." Tohjaya menarik nafas panjang. Tetapi ia pun tersenyum sambil
berkata, "Baiklah. Aku memang harus berpendirian demikian. Kau
memang tidak membantu kami dengan ikhlas. Tetapi apa boleh
buat. Sebaiknya aku tidak mempertimbangkan lagi, ikhlas atau
tidak, asal semua perintahku dilaksanakan sebaik-baik-nya."
Tohjaya berhenti sejenak, lalu, "Nah, kalian tentu tabu, bahwa
orang yang bernama Mahisa Agni itu tidak ada yang mengalahkan di
dalam perang tanding di seluruh permukaan bumi, setidaknya di
seluruh Singasari." Hampir semua orang yang ada di dalam ruangan itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dengan demikian maka orang itulah yang harus mendapat
pengawasan yang sebaik-baiknya selain Anusapati sendiri. Nah,
tugas kalian memang berat jika Mahisa Agni berada di istana."
Para senapati itu mengangguk-angguk.
"Karena itu, kita harus dapat memilih waktu yang sebaik-baiknya.
Kita harus dapat memperhitungkan kesempatan selagi Mahisa Agni
berada di Kediri." Sekali lagi mereka yang mendengarkan mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Nah, agaknya pertemuan kita kali ini sudah cukup. Yang
penting, kalian harus dapat mempengaruhi pasukan masing-masing,
sehingga pada saatnya kita tidak akan terjebak dan mengalami
kegagalan lagi. Dengan kolam itu kita tidak mempunyai banyak
kesempatan. Dan aku sudah memutuskan untuk menyeretnya
224 keluar dan membunuhnya dengan dada terbuka. Setelah itu, kita
akan membereskan Mahisa Agni itu sendiri."
Demikianlah maka pertemuan di gubuk yang kecil itu pun
berakhir. Tetapi para panglima dan senapati itu tidak bubar
bersama-sama. Seorang demi seorang meninggalkan gubuk itu agar
tidak menarik perhatian. Demikian pula panglima pasukan pengawal itu. Ia pun
melangkah dengan kepala tunduk meninggalkan tempat itu, melalui
beberapa halaman kosong seperti hatinya yang kosong pula.
Di rumah, panglima pasukan pengawal itu pun menjadi murung.
Setiap kali ia melihat istrinya yang setia, hatinya berdesir. Ia merasa
telah melakukan suatu kesalahan yang besar bagi keluarganya. Dan
kesalahannya itu telah menyeretnya ke dalam suatu keadaan yang
pahit. Pahit sekali. Tetapi ia tidak dapat menarik diri dari keadaan yang telah
membelenggunya itu. Ia harus berjalan terus, apapun yang akan
sampai ke daerah yang sama sekali tidak diharapkannya.
Meskipun demikian, ia terpaksa juga melakukannya. Dengan hati
yang luka ia mulai mempengaruhi beberapa orang senapatinya
Mula-mula disebarkan cerita tentang Anusapati seperti yang
memang pernah didengarnya, bahwa sebenarnya Anusapati bukan
putra Sri Rajasa. Dan berita itu memang mengejutkan bagi sebagian
orang, karena yang sebagian memang sudah mengetahuinya
meskipun hanya disimpannya di dalam hati.
Tetapi setiap kali ia mencoba meyakinkan kepada orang lain,
bahwa Anusapati tidak berhak menggantikan Sri Rajasa, maka ada
sebagian dari kesetiaannya yang ikut serta terseret dan hanyut ke
dalam ceritanya sendiri, sehingga akhirnya panglima itu bertanya
kepada diri sendiri, "Apakah memang sebenarnya Anusapati tidak
berhak menjadi Maharaja di Singasari?"
Apalagi panglima pasukan pengawal itu sudah mendengar sejak
lama bahwa Anusapati memang bukan putra Sri Rajasa. Karena itu,
maka lambat laun, ia pun justru menjadi percaya akan cerita yang
225 disebarkannya sendiri, seperti kehendak yang dipaksakan dari
Tohjaya, bahwa Anusapatilah yang sebenarnya menyuruh
Pengalasan Batil untuk membunuh Sri Rajasa, dan kemudian
pengalasan itu telah dibunuhnya sendiri.
Kepercayaan itu semakin lama justru menjadi semakin tebal.
Dengan demikian, maka ia pun menjadi semakin bernafsu untuk
meyakinkan orang lain, bahwa sebenarnyalah Anusapati tidak
berhak untuk menggantikan Sri Rajasa, karena Anusapati memang
bukan putra Sri Rajasa. "Tetapi Anusapati adalah putra Akuwu dari Tumapel," berkata
salah seorang tua kepada kawannya ketika orang-orang itu
mendengar desas-desus yang menjadi semakin tersebar itu.
"Ya, dan Sri Rajasa sebenarnya hanyalah mewarisi kekuasaan
Akuwu Tunggul Ametung, karena Sri Rajasa mengawini Ken Dedes.
Jika kemudian Kekuasaan itu berkembang, kita memang menaruh
hormat kepadanya. Tetapi tidak boleh dilupakan dari mana ia
mendapatkan sumber kekuasaan, sehingga jika Tuanku Anusapati
yang mewarisi kekuasaan atas Singasari, adalah wajar sekali."
Namun demikian, kekuasaan keprajuritan di dalam istana
sebenarnya sudah mulai beralih. Perlahan-lahan tetapi pasti, maka
pengikut Tohjaya mulai menguasai kedudukan penting di dalam
istana, terutama di bidang pengamanan. Hampir setiap senapati
yang ada di dalam istana dari pasukan pengawal adalah orangorang
yang sudah berdiri di pihak Tohjaya. Dengan licik panglima
pasukan pengawal berhasil menyingkirkan orang-orang yang
dianggapnya tidak dapat bekerja bersamanya.
Seperti yang dilakukan oleh panglima pasukan pengawal, maka
panglima pelayan dalam pun telah bekerja sebaik-baiknya. Apalagi
ketika kedua panglima itu hampir di luar sadarnya telah terlempar
ke dalam sebuah bilik sempit di luar halaman istana. Meskipun gadis
yang berada di dalam bilik itu sudah bersikap lain, namun semakin
sering mereka berada di dalam bilik itu, maka semakin dalam
mereka terperosok ke dalam perangkap Tohjaya.
226 Ternyata gadis-gadis yang berada di dalam bilik itu, meskipun
masih juga gadis-gadis yang pernah menjebak panglima pasukan
pengawal itu, namun mereka sudah kehilangan gairah
perjuangannya. Mereka tidak lagi dengan segala usaha
menjerumuskan panglima itu ke dalam lumpur dengan
mengorbankan diri sendiri, tetapi kini ia tidak lebih dari barang yang
tidak kuasa berbuat sesuatu selain membiarkan dirinya diperlakukan
apapun juga. Dan betapa dalam penyesalan menyesak dada, namun ketiga
orang gadis itu tidak dapat lagi mengubah nasibnya yang buruk.
Persiapan yang dilakukan oleh Tohjaya ternyata semakin lama
menjadi semakin mapan dan rapat. Tidak seorang pun di luar
mereka yang mengetahui apakah yang sebenarnya akan terjadi.
Dalam pada itu, Anusapati sendiri, yang meskipun merasa bahwa
kolam itu berhasil untuk sementara menenteramkan hatinya, namun
semacam kegelisahan yang semakin lama semakin dalam, telah
mencengkam hatinya. Perasaan bersalah atas kematian Sri Rajasa,
dan penyesalan atas pengorbanan yang terlampau besar yang telah
diberikan oleh Sumekar, membuatnya selalu dibayangi oleh
peristiwa-peristiwa yang buram itu.
"Ternyata aku tidak berhasil mengatasinya seperti Ayahanda Sri
Rajasa," berkata Anusapati di dalam hatinya, "bayangan hitam itu
selalu mengejarku ke mana aku pergi."
Dan akhirnya Anusapati jatuh ke dalam kelemahannya. Ia
memang bukan seorang yang pantas berdiri di atas tetesan darah
orang lain, karena hatinya lembut. Dan karena itulah, maka tiba-tiba
ia terlempar ke dalam suatu keadaan yang tidak seharusnya
dilakukan. Pasrah diri terhadap nasib yang manapun yang akan
menimpanya. Dengan demikian di dalam kegelapan Anusapati tidak lagi ingin
mengganggu pamannya, Mahisa Agni. Semua kekalutan dicobanya
untuk menelannya, betapa pahitnya.
227 Meskipun demikian, ada juga usahanya yang dilakukannya.
Anusapati telah menempa anak laki-lakinya untuk menjadi seorang
laki-laki. Anusapati mencoba mempelajari sifat-sifat yang ada di
dalam dirinya, kelemahan dan kekuatan pamannya, yang juga
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Ayahandanya Sri Rajasa,
Sumekar dan orang-orang lain. Dengan meresapi setiap sifat dan
watak, maka ia berusaha membentuk anak laki-lakinya menjadi
seorang yang baik, lahir dan batinnya.
Kepada Ranggawuni lah, Anusapati menggantungkan seluruh
harapannya. Harapan bagi kelanjutan namanya, dan harapan bagi
Singasari. "Pada saatnya, awan akan berlalu. Tetapi matahari akan tetap
mengarungi jalur jalannya. Jika aku pergi, Ranggawuni harus siap
berada di atas cakrawala," katanya di dalam hati, "dan jika aku
terlampau cepat pergi, aku harap Pamanda Mahisa Agni masih
sanggup melakukan pekerjaan besar yang lain, membuat
Ranggawuni menjadi seorang maharaja yang besar."
Dan rasa-rasanya hidup ini menjadi terlampau tergesa-gesa.
Sehingga ada semacam firasat, bahwa hari terakhir bagi Anusapati
memang menjadi semakin dekat.
Dan inilah ujud dari perasaan putus asa itu, kadang-kadang
Anusapati menyadari. Tetapi ia tidak dapat menghindarkan dirinya.
Untuk beberapa lamanya, Anusapati masih dapat berusaha untuk
menenteramkan hatinya. Tetapi lambat laun ia tidak dapat
bersembunyi lagi. Kolam yang mengelilingi bangsalnya hanya
mampu membentengi keselamatan jasmaniahnya untuk beberapa
lamanya. Tetapi tidak mampu untuk membentengi hatinya dari
perasaan bersalah. Agaknya Tohjaya melihat perubahan yang terjadi pada diri
Anusapati. Meskipun secara lahiriah ia selalu bersujud dan seakanakan
tidak lagi ingin berbuat sesuatu, namun ternyata ia mampu
menangkap perkembangan jiwa yang terjadi pada Anusapati.
228 Apalagi ia berhasil mengatur beberapa orang yang berada di
sekeliling Maharaja Singasari itu.
Sebenarnya Anusapati yang memang sudah menaruh kecurigaan
kepada Tohjaya itu merasakan juga sikap yang berlebih-lebihan.
Bukan watak Tohjaya menjadi seorang penurut dan sekedar
menundukkan kepalanya. Namun demikian, kelemahan di dalam diri
Anusapati selalu menahannya apabila ia ingin berbuat sesuatu.
Sehingga pada puncaknya, Anusapati hanya sekedar dapat
merenungi kesalahannya sendiri.
Dengan rendah hati Tohjaya selalu mengemukakan
kepedihannya atas kematian ayahandanya, bahkan seakan-akan
Tohjaya telah menggantungkan dirinya kepada Anusapati sebagai
saudara tuanya. "Kakanda Anusapati," berkata Tohjaya, "tidak ada orang lain
yang dapat menjadi pengganti Ayahanda Sri Rajasa daripada
Kakanda Anusapati." Anusapati mengerutkan keningnya. Bagaimanapun juga ia tidak
dapat melupakan beberapa orang yang sengaja memasuki biliknya.
Beberapa kelompok prajurit yang memberontak, yang terbunuh di
dalam bilik tahanannya, dan hal-hal lain yang mencurigakan.
Namun di hadapan Tohjaya, Anusapati selalu menunjukkan
wajah yang bersih dan cerah.
"Adinda Tohjaya," katanya, "aku memang menganggap adikadikku
sebagai keluarga yang berada di bawah tanggung jawabku
sepeninggal Ayahanda, karena aku adalah saudara yang tertua di
antara kalian." "Terima kasih Kakanda," berkata Tohjaya, "tetapi untuk
selanjutnya barangkali aku akan sering mengganggu Kakanda di
dalam banyak hal, karena aku akan mengadukan semua persoalan
dan kebutuhanku kepada Kakanda."
"Aku tidak berkeberatan Adinda."
229 Dan Tohjaya pun ternyata membuktikan kata-katanya. Kadangkadang
ia datang menghadap dan mohon sesuatu kepada
Anusapati. Terutama berhubungan dengan kegemarannya
menyabung ayam, sehingga kadang-kadang ia memerlukan
berbagai macam kelengkapan bagi lapangan sabung ayamnya.
Dan seperti yang sudah dikatakannya, Anusapati pun tidak
pernah menaruh keberatan. Seakan-akan ia memang ingin
membiarkan Tohjaya tenggelam di dalam sabungan ayam dan tidak
memikirkan lagi persoalan-persoalan yang menyangkut
pemerintahan. "Itu suatu kelemahan Kakanda," Mahisa Wonga Teleng lah yang
kadang-kadang terpaksa memperingatkannya, "aku tidak pernah
merasa tenteram apabila Kakanda Tohjaya masih saja leluasa
berbuat sesuatu di istana ini."
"Aku tidak dapat melarangnya Adinda," berkata Anusapati, "ia
adalah putra Ayahanda Sri Rajasa juga. Karena itu maka ia pun
berhak untuk berbuat sesuatu di dalam halaman istana peninggalan
ayahandanya." "Tetapi sudah barang tentu bila tidak menentang kekuasaan yang
ada di Singasari," sahut Mahisa Wonga Teleng, "seperti yang
Kakanda rasakan, apakah Kakanda Tohjaya berlaku jujur
menghadapi keadaan yang berkembang di Singasari sekarang ini."
"Kita hanya sekedar berprasangka Adinda."
"Tidak Kakanda," berkata Mahisa Wonga Teleng, "sebaiknya
Kakanda selalu ingat nasihat Pamanda Mahisa Agni. Dan aku yakin,
bahwa sumber dari setiap bencana yang terjadi atau pun tandatanda
bahwa hal itu akan terjadi, tentulah lapangan sabungan ayam
itu." Anusapati mengerutkan keningnya.
"Kakanda," berkata Mahisa Wonga Teleng, "aku kira saatnya
sudah tiba bagi Kakanda untuk mengambil sikap. Kakanda dapat
mengusir lapangan sabung ayam itu keluar halaman istana. Adalah
230 tidak pantas sekali bahwa sebagian dari halaman istana ini menjadi
arena sabungan ayam."


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(bersambung ke jilid 4). Koleksi: Ki Ismoyo Scanning: Ki Arema Retype: Ki Sunda Proofing: Ki Sunda Rechecking/Editing: -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
231 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo gagakseta web
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 4 "TOHJAYA hanya mempergunakan sebuah sudut
kecil dari taman yang dipergunakan
oleh Ibunda Ken Umang," sahut
Anusapati. "Tetapi apakah Kakanda pernah
membayangkan, bahwa yang datang di arena itu adalah
sembarang orang. Aku tidak
berkeberatan jika yang datang itu
rakyat jelata yang paling rendah
martabatnya sekalipun. Tetapi aku
berkeratan jika arena itu menjadi
ajang percaturan rencana penghambatan tugas Kakanda."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Sekilas teringat olehnya
pesan dan laporan yang pernah diberikan oleh Kuda Sempana yang
kadang-kadang masih juga datang ke arena sabungan ayam itu.
Tetapi Anusapati tidak berkuasa untuk mencegahnya. Bukan
karena ia sama sekali tidak mempunyai kewibawaan lagi. Tetapi
justru kelemahannyalah yang telah menahannya untuk berbuat
sesuatu. Perasaan bersalah dan dikejar-kejar oleh dosanya.
Namun dengan demikian Anusapati telah membiarkan benalu
tumbuh semakin subur di dalam istana Singasari itu, sehingga pada
suatu saat akan mencapai puncaknya.
232 Namun sejalan dengan itu, ternyata Anusapati juga telah
menempa putranya, Ranggawuni dan sekaligus kemenakannya,
putra Mahisa Wonga Teleng, yang bernama Mahisa Campaka.
Dalam hidup yang rasa-rasanya terlampau tergesa-gesa itu,
Anusapati telah berusaha menghabiskan waktunya dengan
membentuk kedua anak yang masih terlalu muda itu menjadi dua
orang yang perkasa. Ilmu yang diterima dari pamandanya Mahisa
Agni, rasa-rasanya dituangkannya kepada kedua anak yang masih
sangat muda itu sampai tuntas. Hanya puncak dari ilmunya sajalah
yang belum dapat diberikannya karena dalam umurnya yang masih
muda itu, keduanya masih belum akan mampu menampung
kedahsyatan ilmu yang tiada taranya. Namun apabila keduanya
meningkat sedikit lagi, maka mereka akan dengan mudah dapat
membajakan diri mereka dengan puncak ilmu itu.
Mahisa Wonga Teleng yang setiap kali masih mencoba
memberikan peringatan kepada kakaknya, rasa-rasanya melihat
sesuatu yang mencemaskan pada kakaknya. Baru setahun ia
memerintah Singasari. Namun rasa-rasanya Anusapati sudah
kehilangan segala gairah perjuangannya untuk membuat Singasari
semakin berkembang. Memang agak berbeda dengan ayahandanya
Sri Rajasa, yang bagaikan api yang menyala-nyala semakin lama
semakin besar. Tetapi wajah Singasari di bawah pemerintahan
Anusapati rasa-rasanya bagaikan wajah gadis yang ditinggalkan
kekasih. Kadang-kadang sepercik kecurigaan tumbuh juga di hati Mahisa
Wonga Teleng bahwa berita yang didengarnya itu benar. Namun
kematangan jiwanya kemudian telah membuatnya berpikir dengan
tenang, tanpa dikendalikan oleh perasaan melulu.
"Seandainya benar, maka berita itu harus dilengkapi dengan
segala macam alasan, kenapa Kakanda Anusapati melakukannya,"
katanya di dalam hati. Karena itulah maka akhirnya Mahisa Wonga
Teleng yang selalu dicengkam oleh teka-teki itu pun berusaha
dengan jalannya sendiri, untuk mencari kebenaran tentang
hubungan antara kakandanya Anusapati dan ayahanda Sri Rajasa.
233 "Tuanku," berkata seorang tua yang menjadi pemomongnya di
masa kanak-kanak, "kenapa Tuanku bertanya tentang Kakanda
Anusapati" Tuanku adalah saudara terkasih dari Tuanku Anusapati.
Karena itu, sebaiknya Tuanku tidak usah berusaha mencari
persoalan yang dapat menimbulkan kegelisahan-kegelisahan apalagi
ketegangan-ketegangan baru di dalam istana ini. Ibunda menjadi
semakin tua dan lemah. Jika terjadi tuntutan-tuntutan baru di dalam
hidupnya yang tersisa, maka itu akan berarti mempercepat akhir
dari hidupnya. Cobalah Tuanku bandingkan. Ibunda permaisuri
usianya tidak banyak terpaut dari Ibunda Ken Umang. Namun jika
Tuanku membandingkan ujudnya, maka seakan-akan Ibunda Ken
Umang adalah anak Ibunda Tuanku Ken Dedes. Apakah Tuanku
pernah memperhatikannya?"
Mahisa Wonga Teleng mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Aku mengerti. Tetapi aku tidak akan berbuat apa-apa atas
Ibunda yang memang sudah sakit-sakitan itu. Seandainya aku
mengerti persoalan yang sebenarnya, aku tidak akan
memandangnya lebih dari kebenaran itu sendiri."
Pemomongnya yang memang sudah tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi akhirnya ia berkata, "Baiklah Tuanku. Aku kira
Tuanku tentu sudah mendengar desas-desus tentang kakanda
Tuanku. Jika tidak demikian, Tuanku tentu tidak akan bertanya
kepada hamba tentang kakanda Tuanku."
Mahisa Wonga Teleng mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Demikianlah. Karena itu aku ingin mendengar kebenaran
dari peristiwa yang telah terjadi jika kau mengetahuinya."
"Tuanku," berkata pemomong yang tua itu, "daripada Tuanku
mendengarnya dari orang lain, baiklah hamba akan mengatakannya.
Jika Tuanku mendengar dari orang lain, maka selera orang itu akan
ikut berbicara." Orang itu berhenti sejenak, lalu, "Baiklah Tuanku. Sebenarnyalah
bahwa Tuanku dan Tuanku Anusapati hanyalah saudara seibu.
Tuanku dan Tuanku Anusapati bersama-sama dilahirkan oleh
seorang perempuan yang bernama Ken Dedes. Karena ketika
234 Tuanku Ken Dedes kawin dengan ayahanda Tuanku, sebenarnya
bahwa Tuanku Ken Dedes sudah mengandung."
Mahisa Wonga Teleng yang sudah pernah mendengar cerita itu
menahan nafasnya. Sejenak ia mencoba menenangkan hatinya yang
bergejolak. Bukan karena cerita itu sendiri, tetapi justru karena ia
pernah mendengar, kakaknya Anusapati pernah mengingkarinya.
"Jadi, dengan demikian maka sebenarnya tidak ada hubungan
apapun antara Kakanda Anusapati dan Ayahanda Sri Rajasa?"
"Demikianlah Tuanku. Tetapi agaknya Tuanku Anusapati tidak
mengetahui bahwa Tuanku Anusapati itu sebenarnya adalah bukan
putra Sri Rajasa. Jika seandainya Tuanku Anusapati itu akhirnya
mengerti juga, maka hal itu tentu baru terjadi beberapa waktu yang
lampau." "Jadi Kakanda Anusapati juga tidak mengerti keadaan dirinya
sendiri?" "Aku tidak tahu, apakah demikian keadaannya sekarang. Tetapi
hamba pernah mendengar dari emban pemomong Tuanku
Anusapati, seorang perempuan tua yang sekarang selalu
mendampingi Ibunda Tuanku Ken Dedes, bahwa setiap kali Tuanku
Anusapati mengeluh, bahwa rasa-rasanya ia selalu dikesampingkan
sebagai anak tiri. Saat itu, Tuanku Anusapati masih belum
mengetahui tentang dirinya sendiri. Mungkin kini hal itu sudah
diketahuinya. Tetapi jika demikian, apakah yang akan Tuanku
lakukan" Hamba sudah memperingatkan, bahwa Ibunda Ken Dedes
berada dalam keadaan yang lemah sekarang ini. Tuanku seharusnya
mengerti akan keadaan itu."
Mahisa Wonga Teleng tidak segera menyahut. Berbagai macam
perasaan bercampur baur di dalam dadanya, sehingga karena itu
rasa-rasanya nafasnya menjadi sesak.
"Tuanku Mahisa Wonga Teleng," berkata pemomongnya,
"memang Tuanku kini berdiri di jenjang tangga yang sulit.
Seandainya Tuanku merasa tersinggung karena kematian Ayahanda
Sri Rajasa, yang masih belum pasti apakah yang sebenarnya, dan
235 Tuanku akan menuntut balas seperti yang dilakukan oleh beberapa
orang yang sebenarnya sudah dapat dibayangkan akan
melakukannya, maka Tuanku akan semakin menyiksa hati Ibunda.
Karena sebenarnyalah bahwa Ibunda pun merasa dirinya tersisih
dari sisi Tuanku Sri Rajasa karena kehadiran Ken Umang yang
kemudian melahirkan Tuanku Tohjaya."
Mahisa Wonga Teleng mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun rasa-rasanya masih ada sesuatu yang bergejolak di dalam
dadanya. Bahkan rasa-rasanya seseorang yang tidak dikenalnya
pernah berbisik di telinganya, "Tuanku Mahisa Wonga Teleng.
Sebenarnya Tuankulah yang paling berhak atas tahta Singasari.
Tuanku Anusapati sama sekali bukan putra Tuanku Sri Rajasa
karena ia sudah berada di dalam kandungan ketika Ibunda Tuanku
Ken Dedes kawin dengan ayahanda Tuanku, sedangkan Tuanku
Tohjaya pun tidak berhak atas tahta karena ia tidak lahir dari
seorang permaisuri."
Tetapi Mahisa Wonga Teleng menggeram. Ia sadar bahwa ia
sudah didorong ke dalam adu domba yang keji. Di dalam kekalutan
itulah sebenarnya orang yang bermaksud buruk dapat mengambil
keuntungan. Namun seakan-akan ia memang terlempar kepada pilihan yang
sangat sulit. Apakah ia harus berdiri di s isi ayahandanya, atau di s ini
ibundanya, karena menurut perhitungannya, sebenarnyalah bahwa
ayahandanya telah menyia-nyiakan ibundanya setelah ibundanya
meningkat semakin tua, sedang Ken Umang rasa-rasanya masih
saja tetap muda. "Jika aku melepaskan Kakanda Anusapati, karena aku anggap
Kakanda Anusapati tidak berhak atas tahta, maka aku akan jatuh di
bawah pengaruh Kakanda Tohjaya anak Ken Umang yang telah
membuat ibundanya sakit hati," berkata Mahisa Wonga Teleng
selanjutnya. Karena itu, didorong oleh perasaan tanggung jawabnya, dan
sifat-sifat kesatria di dalam dirinya, ia tidak mau berteka-teki. Maka
sekali lagi ia bertekad menghadap Kakandanya Anusapati, apapun
236 yang akan dikatakannya. Bahkan kenyataan yang paling pahit pun,
jika itu merupakan kebenaran, ia tidak akan lari.
Demikianlah maka sekali lagi Mahisa Wonga Teleng menghadap
Kakandanya Anusapati. Ia tidak lagi bertanya tentang sebab-sebab
kematian ayahandanya Sri Rajasa, karena siapa pun dapat
menyusun cerita yang berbeda-beda menurut seleranya. Jika yang
dikatakan oleh Anusapati tidak benar, maka biarlah ia
mengatakannya atas kehendaknya sendiri. Yang penting baginya,
siapakah sebenarnya kakandanya Anusapati di dalam hubungan
darah dengan dirinya. Anusapati yang mendengar pertanyaan adindanya menarik nafas
dalam-dalam. Namun akhirnya ia berkata, "Baiklah Mahisa Wonga
Teleng. Memang sudah waktunya aku mengatakan yang aku ketahui
tentang diriku." Anusapati berhenti sejenak, lalu, "Tentu kau sudah mendengar
dari siapa pun siapakah sebenarnya aku dan siapakah sebenarnya
kau." Dan seperti dapat melihat ke dalam hati Mahisa Wonga Teleng,
Anusapati berkata, "Bahkan mungkin Adinda, seseorang dapat
meniup-niupkan cerita atau pendapat, bahwa seharusnya kaulah
yang paling tepat menggantikan Ayahanda Sri Rajasa, karena
sebenarnyalah aku memang bukan putranya. Aku memang agak
cemas mengakuinya di hadapanmu, karena dengan demikian akan
mungkin sekali terjadi salah paham. Tetapi kau kini memang bukan
kanak-kanak lagi. Dan aku harus menyadarinya, sehingga aku tidak
pantas untuk berahasia lagi. Sedangkan Tohjaya memang tidak
sepantasnya menggantikan kedudukan Ayahanda karena ia tidak
dilahirkan dari permaisuri."
Anusapati berhenti sejenak, lalu, "Tetapi bukannya aku ingin
mempertahankan hakku atas tahta ini Adinda, karena sebenarnya
kau dan aku tidak ada bedanya. Ketahuilah, bahwa yang
sebenarnya berhak atas tahta ini sama sekali bukannya Ayahanda
Sri Rajasa. Meskipun yang berhasil mengembangkan Tumapel
menjadi Singasari yang besar adalah Ayahanda Sri Rajasa, namun
237 sumber dari kekuasaan itu adalah kekuasaan atas Tumapel yang
berada di tangan Ibunda Ken Dedes. Kekuasaan yang diterimanya
dari Akuwu Tunggul Ametung sebagai bukti penyesalan bahwa
Akuwu Tunggul Ametung telah mengambil Ibunda Ken Dedes
dengan paksa dari Panawijen."
Mahisa Wonga Teleng mendengarkan cerita kakaknya dengan
seksama. Dan ternyata Anusapati tidak menceritakan bagian-bagian
saja dari peristiwa yang telah terjadi, tetapi Anusapati telah
menceritakan seluruhnya. Juga kematian yang dialami oleh Akuwu
Tunggul Ametung, Empu Gandring dan Kebo Ijo. Dan Anusapati
tidak menyembunyikan sama sekali kebenaran yang terjadi atas
dirinya dan atas Sri Rajasa, dan Anusapati pun tidak lagi
menyembunyikan nama Pangalasan dari Batil.
"Nah, Adinda, engkau sudah dewasa. Kau dapat menentukan apa
saja yang baik bagimu. Ambillah sikap dan katakanlah kepadaku.
Apa yang kau kehendaki dariku, aku akan memenuhinya, karena
seperti yang sudah aku katakan, bahwa kau dan aku memang tidak
ada bedanya, karena di dalam tubuh kita mengalir darah Ibunda
Ken Dedes yang sebenarnya berhak atas tahta Singasari."
Mahisa Wonga Teleng mendengarkan ketegangan kakandanya
dengan kepala tunduk. Kini ia tahu apakah yang sebenarnya telah
terjadi. Namun dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan
dengan hati yang jernih. Meskipun Anusapati telah membunuh dengan tangannya,
ayahandanya Sri Rajasa, namun Mahisa Wonga Teleng tidak dapat
mendendamnya, karena perbuatan Anusapati itu tidak berdiri
sendiri. Di dalam angan-angannya ia dapat membayangkan, apakah
yang sudah terjadi jauh sebelum ia menghadap kakandanya dan
mendengar segala cerita tentang pertumbuhan dan perkembangan
Singasari. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Aku tidak dapat
bersikap lagi dari s ikapmu yang sekarang, Kakanda."
238 Anusapati mengerutkan keningnya. Dengan berdebar-debar ia
bertanya, "Apakah maksudmu Adinda."
"Aku tidak akan mengubah sikapku kepada Kakanda. Kakanda


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah seorang maharaja bagiku dan seorang saudara tua."
Mahisa Wonga Teleng berhenti sejenak, lalu, "Yang sudah terjadi
adalah urutan peristiwa yang tidak terpisahkan. Dan agaknya
putaran roda itu masih belum berhenti, karena menurut penilaianku,
Kakanda Tohjaya tidak akan tinggal diam."
"Tetapi kau sendiri Adinda?"
"Kakanda, memang aku dan Kakanda ternyata tidak lahir dari
keturunan ayah yang sama. Tetapi kita adalah seibu, dan terutama
Kakanda memang berhak mewarisi tahta. Yang telah terjadi, biarlah
terjadi. Aku tidak akan menambah sedih hati Ibunda. Sejak remaja
ternyata Ibunda selalu mengalami kepahitan yang tidak terhenti
sampai saat tuanya. Apalagi jika aku menambah luka di hati Ibunda
karena aku bernafsu untuk berbuat sesuatu oleh kematian
Ayahandaku. Karena itu Kakanda, aku berjanji, bahwa aku tidak
akan mengubah sikapku. Bukan karena aku melupakan kecintaan
seorang anak kepada ayahandanya, tetapi aku memandang
persoalannya dari waktu yang panjang sebelum dan sesudahnya."
"Terima kasih Adinda. Aku yakin bahwa Adinda Mahisa Wonga
Teleng memang tidak akan menambah mendung yang kini sedang
meliputi langit di atas Singasari. Meskipun dengan demikian bukan
berarti bahwa aku tidak menyembunyikan dosa di dalam diriku
karena kematian Ayahanda Sri Rajasa."
"Kakanda. Bagiku, Kakanda Anusapati dan Kakanda Tohjaya
mempunyai kedudukan yang sama. Kakanda Anusapati adalah
saudaraku seibu, sedang Kakanda Tohjaya saudaraku seayah.
Tetapi biarlah aku menimbang beratnya, di dalam keadaan yang
sekarang dan berdasarkan hak yang memang ada, aku memilih
Kakanda Anusapati. Selain kewenangan Kakanda atas Singasari,
maka sebenarnyalah bahwa Ibunda merasa tersisih dari sisi
239 Ayahanda Sri Rajasa. Dan itu sangat menyakitkan hati. Bukan saja
bagi Ibunda, tetapi juga bagi kita berdua."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya hatinya kini
menjadi bertambah lapang setelah ia mengatakan apa yang
sebenarnya terjadi kepada Mahisa Wonga Teleng. Seakan-akan
beban yang memberati hatinya, kini sudah tertumpahkan. Apalagi
ketika Anusapati mengerti, bahwa Mahisa Wonga Teleng menerima
yang terjadi itu sebagai suatu keharusan yang wajar, karena hukum
putaran. Demikianlah, maka Mahisa Wonga Teleng pun tidak ragu-ragu
lagi menentukan sikap. Namun demikian, ia masih juga berkata
kepada Anusapati, "Kakanda. Mungkin masih akan datang
kepadaku, orang-orang yang ingin mengeruhkan hubunganku
dengan Kakanda. Jika kemudian aku menunjukkan sikap yang lain
dari yang aku katakan, maafkanlah aku Kakanda, karena aku tidak
sebenarnya bermaksud demikian. Mungkin dengan sikap itu aku
akan dapat menemukan sesuatu."
"Terserahlah kepadamu Adinda. Aku percaya kepada Adinda,
karena pada dasarnya aku akan pasrah, apakah yang Adinda
kehendaki sebenarnya, itulah yang berlaku, karena aku merasa
bahwa aku telah melakukan kesalahan yang maha besar."
Ketika kemudian Mahisa Wonga Teleng meninggalkan
kakandanya, maka rasa-rasanya tidak ada persoalan lagi di dalam
dirinya. Semuanya sudah jelas, dan ia tidak perlu lagi selalu merabaraba
di dalam kegelapan. Namun seperti yang diduganya, maka masih saja ada usaha
untuk mencoba mempengaruhinya. Tidak seorang pun yang
menyangka bahwa Anusapati sudah menceritakan semuanya yang
telah terjadi kepada adiknya.
Seseorang yang tidak dikenal, telah mengunjungi Mahisa Wonga
Teleng, seperti yang pernah terjadi. Diceritakannya bahwa
sebenarnya yang telah membunuh Sri Rajasa adalah Pangalasan
240 Batil atas perintah Anusapati. Kemudian pangalasan itu sendiri telah
dibunuhnya. "Siapakah yang mengatakannya?" bertanya Mahisa Wonga
Teleng, "bukankah yang mengetahui peristiwa itu hanya Ayahanda,
Pangalasan Batil dan Kakanda Anusapati" Padahal baik Ayahanda
dan Pangalasan itu sudah tidak ada lagi, sehingga satu-satunya
saksi adalah Kakanda Anusapati."
"Tentu Tuanku Anusapati akan ingkar. Tetapi sebenarnyalah ada
saksi yang melihatnya. Seorang pelayan dalam yang malam itu
bertugas di bangsal Tuanku Sri Rajasa."
"Apakah kau menjamin bahwa bukan dandang disebutnya kontul
dan sebaliknya kontul disebutnya dandang?"
"Tidak Tuanku, tidak."
"Kenapa ia tidak memberikan kesaksian di muka sidang dan
berbicara di bawah wajah dewata, sehingga apabila kata-katanya
tidak benar ia akan kena kutuk seribu keturunan."
"Oh, ya, hamba tidak tahu Tuanku. Tetapi demikianlah
kenyataannya." Mahisa Wonga Teleng mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu
katanya kepada orang itu, "Apakah kau dapat membawa pelayan
dalam itu kepadaku?"
"Tentu Tuanku. Hamba akan membawanya menghadap Tuanku,
meskipun sampai saat ini pelayan dalam itu selalu bersembunyi.
Pelayan dalam itu selalu dikejar oleh perasaan takut, bahwa pada
suatu saat ia akan dibunuh oleh Tuanku Anusapati untuk
melenyapkan sama sekali jejak pembunuhan itu."
Mahisa Wonga Teleng masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi kini wajahnya tampak berkerut merut. Agaknya ia sedang di
cengkam oleh perasaan yang bergejolak di dalam dirinya.
"Bawalah pelayan dalam itu kemari. Aku ingin mendengar
pengakuannya." 241 "Tetapi apakah Tuanku bersedia melindunginya dari kemurkaan
Tuanku Anusapati. Jika Tuanku Anusapati mengetahui bahwa
pelayan dalam itu merupakan saksi yang akan dapat berbicara
tentang sebab-sebab kematian Tuanku Sri Rajasa dan Pangalasan
dari Batil, maka sudah barang tentu, Tuanku Anusapati akan
menghilangkan jejak pembunuhan yang pernah dilakukan itu.
Meskipun untuk sementara ia berhasil mengelabui rakyat Singasari,
tetapi pada akhirnya ia harus memikul akibat dari dosanya itu."
"Baiklah, aku akan mengusutnya. Tetapi apakah Kakanda
Tohjaya sudah mengetahui tentang hal ini?"
Orang itu tergagap sejenak, lalu, "Ampun Tuanku. Hamba sama
sekali tidak menghubungi Tuanku Tohjaya, karena Tuanku Tohjaya
tentu tidak akan mempunyai kedudukan sekuat Tuanku. Tuanku
adalah seorang putra yang lahir dari permaisuri seperti juga Tuanku
Anusapati. Sedang Tuanku adalah benar-benar putra Tuanku Sri
Rajasa. Tidak seperti Tuanku Anusapati, yang sebenarnya sama
sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan kekuasaan atas
Singasari ini." "Baiklah. Aku ingin mendengarnya. Apakah yang sebenarnya
terjadi. Tetapi apakah orang itu dapat dipercaya?"
"Tentu Tuanku. Orang itu dapat dipercaya. Aku tahu pasti."
"Baiklah. Bawalah ia menghadap. Setiap saat, aku akan
menerimanya. Dan aku akan melindunginya sejauh dapat aku
lakukan." Sepeninggal orang itu, maka Mahisa Wonga Teleng pun duduk
merenungi keadaan yang berkembang di Singasari. Hari depannya
yang panjang tetapi suram dan kemungkinan-kemungkinan lain
yang memang dapat terjadi.
Tiba-tiba saja ia mengambil lontar dan menulisnya beberapa
baris. Seorang hambanya disuruhnya menyampaikannya kepada
Anusapati. Namun dengan pesan, hanya Anusapati sajalah yang
dapat menerima lontar itu.
242 Anusapati menerima lontar itu dengan dada yang berdebardebar.
Namun setelah ia membaca isinya, maka ia pun menarik
nafas dalam-dalam. Agaknya ia tidak dapat ingkar lagi dari kejaran
sebab dan akibat yang melingkar tanpa ujung dan pangkal.
Anusapati menjadi termangu-mangu ketika seseorang berusaha
untuk menghadapnya. Namun didorong oleh keinginannya untuk
mengetahui, bahwa orang itu mempunyai sangkut paut dengan
lontar Mahisa Wonga Teleng, maka orang itu pun diperkenankan
untuk menghadap, "Tuanku," sembah orang itu, "ampunkan hamba, bahwa hamba
telah menghadap Tuanku tanpa Tuanku kehendaki. Hamba merasa
bahwa hamba sama sekali tidak pantas untuk memohon waktu
menghadap seperti sekarang ini."
"Katakanlah, apa keperluanmu?"
"Ampun Tuanku. Sebenarnyalah hamba menjadi cemas bahwa di
dalam masa-masa seperti ini, seseorang telah berusaha
mengeruhkan keadaan. Hamba mendengar bahwa seorang pelayan
dalam telah menghadap Tuanku Mahisa Wonga Teleng. Menurut
pendengaran hamba, maka pelayan dalam itu mengaku bahwa ia
melihat sendiri peristiwa yang telah terjadi atas terbunuhnya Tuanku
Sri Rajasa." Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Lalu, "Apa katanya
tentang kematian Ayahanda Sri Rajasa?"
"Ampun Tuanku. Bukannya hamba yang mengatakannya, tetapi
pelayan dalam itu. Hamba hanya sekedar menirukan saja, karena
hamba memang tidak percaya. Bahwa sebenarnyalah Tuanku yang
memerintahkan Pangalasan Batil membunuh Tuanku Sri Rajasa, dan
Pangalasan itu telah Tuanku bunuh pula."
Anusapati memandang orang itu dengan tajamnya. Namun
kemudian katanya, "Bawalah orang itu menghadap."
"Ampun Tuanku, tentu hamba tidak berani, karena orang itu
berada di dalam perlindungan Tuanku Mahisa Wonga Teleng.
243 Kecuali jika Tuanku sendirilah yang memerintahkan para senapati
untuk mengambilnya."
Anusapati memandang orang itu dengan tajamnya. Lalu, "Apakah
orang itu ada di bangsal Mahisa Wonga Teleng?"
"Mungkin sekali Tuanku. Jika tidak, tentu Tuanku Mahisa Wonga
Teleng mengetahui di manakah orang itu bersembunyi."
"Kenapa orang itu bersembunyi?"
"Hamba tidak tahu pasti Tuanku. Tetapi barangkali ia merasa
bersalah dengan ceritanya itu, atau agar ia masih dapat bercerita
terus dan menyebarkan kebohongan itu kepada orang lain lagi."
"Baiklah," berkata Anusapati, "aku akan mengambilnya dari
Adinda Mahisa Wonga Teleng. Jika ia berusaha melindunginya,
maka aku akan memaksanya, karena akulah Maharaja dari
Singasari. Bukan Mahisa Wonga Teleng."
Dalam pada itu, seperti yang sudah disanggupkan, maka
datanglah orang yang pernah mengunjungi Mahisa Wonga Teleng
dan mengatakan tentang pelayan dalam yang dapat menjadi saksi
dari kematian Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
"Ampun Tuanku, hamba telah membawanya menghadap,"
berkata orang itu, lalu, "tetapi hamba mohon ampun bahwa pelayan
dalam ini mengenakan pakaian sebagai seorang pendeta, karena
dengan demikian ia dapat selamat menyusup sampai ke bangsal ini.
Jika ia memakai pakaian pelayan dalam, atau memakai pakaian
sehari-hari, maka ia akan segera dikenal. Dan itu sangat berbahaya
baginya. Jika yang mengenalinya adalah orang yang berpihak dan
katakanlah, abdi-abdi setia dan Tuanku Anusapati, maka akibatnya
akan parah baginya."
Mahisa Wonga Teleng mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu
katanya, "Kemarilah. Mendekatlah. Kita akan mengadakan
pembicaraan penting."
Orang yang disebut sebagai pelayan dalam itu bergeser maju.
244 "Siapa namamu?" bertanya Mahisa Wonga Teleng.
"Deksa," jawab orang itu.
"Kau seorang pelayan dalam?"
"Hamba, Tuanku."
"Nah, sekarang katakan, apakah kau benar- melihat apa yang
telah terjadi. Dan apakah kau bersedia menjadi saksi jika persoalan
ini kelak akan dihadapkan pada sidang agung di paseban."
"Ampun Tuanku. Sebenarnyalah hamba mengetahui apa yang
sudah terjadi. Tetapi hamba pun mengetahui, bahwa tidak ada
kekuasaan yang lain kecuali kekuasaan Tuanku Maharaja di
Singasari. Seandainya hamba harus memberikan kesaksian di
paseban, maka suara hamba bagaikan garam yang dilemparkan di
lautan. Apalagi hal itu akan dapat membahayakan hidup hamba.
Karena itu Tuanku, sebaiknya hamba akan mempergunakannya di
mana perlu." "Tetapi bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan
keteranganku di muka sidang agung di paseban. Jangan takut. Aku
akan melindungimu. Aku akan mempergunakan pengaruhku sebagai
putra Ibunda Permaisuri. Mudah-mudahan Kakanda Tohjaya dapat
mengerti." Pelayan dalam yang bernama Deksa itu berpaling sejenak
memandang kawannya yang membawanya menghadap. Lalu
katanya, "Kenapa dengan Tuanku Tohjaya, Tuanku Mahisa Wonga
Teleng. Sebenarnyalah bahwa Tuanku Tohjaya tidak mengerti sama
sekali apa yang telah terjadi ini."
"Aku akan menghubunginya. Aku akan mengatakan kepadanya
seperti yang kau katakan. Ayahandaku adalah ayahanda Kakanda
Tohjaya. Jika demikian kita bersama-sama akan mendendam di
dalam hati. Apabila dendam ini telah membara, maka akan
meledaklah istana Singasari."
Orang yang membawa pelayan dalam, dalam pakaian seorang
pendeta itu, berkata, "Tetapi Tuanku, Tuanku harus mengingat
245 rakyat Singasari. Sebenarnyalah bahwa Kakanda Tuanku bersalah.
Tetapi jika Tuanku menuntut balas, apakah itu akan bermanfaat
bagi rakyat?" Tetapi jawab Mahisa Wonga Teleng justru merupakan pertanyaan
pula yang sulit untuk dijawab, "Bagaimana menurut pendapatmu?"
Orang itu terdiam sejenak. Ia tidak segera menemukan jawaban
sehingga Mahisa Wonga Teleng mendesaknya, "Bagaimana
pendapatmu" Menilik kesediaanmu membawa pelayan dalam itu
kemari, maka aku kira kau bukannya sekedar ingin membakar
hatiku. Tetapi agaknya kau sudah mempunyai gambaran apa yang
sebaiknya terjadi di Singasari."
Orang itu menjadi berdebar-debar. Namun akhirnya ia
menjawab, "Semuanya terserah kepada Tuanku."
"Jadi apa maksudmu mengatakan kepadaku, bahwa Kakanda
Anusapati bukan saudaraku seayah, dan bukan pula putra Ayahanda
Sri Rajasa sehingga tidak berhak atas tahta" Dan bahwa dengan
demikian Kakanda Anusapati sama sekali tidak mempunyai
hubungan darah apapun dengan Kakanda Tohjaya?"
Orang itu tergagap sejenak. Namun kemudian, "Tuanku.
Sebenarnyalah hamba adalah seorang yang setia kepada ayahanda
Tuanku, Sri Rajasa. Hamba ingin melihat tahta Singasari akan jatuh
ke dalam kekuasaan salah seorang putranya. Itulah yang
mendorong hamba menghadap untuk mengatakan kebenaran,
bahkan membawa seorang saksi kepada Tuanku. Namun selain itu,


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hamba adalah seorang Singasari yang mencemaskan pergolakan
yang dapat terjadi, sehingga menimbulkan persoalan yang panjang
dan tidak berkeputusan. Namun jika pergolakan itu kelak akan
membawa kebahagiaan bagi Singasari, maka terserahlah kepada
pertimbangan Tuanku."
"Maksudmu, jika aku bertanggung jawab akan akibat yang
timbul, maka kau tidak menentang jika aku memberontak?"
"Ah, tentu bukan begitu Tuanku. Bukan maksud hamba Tuanku
harus memberontak." 246 "Aku bukan seorang yang suka berbicara melingkar-lingkar. Aku
lebih senang berbicara langsung pada pokok persoalannya. Mungkin
aku dapat memilih kata-kata yang lebih lunak, misalnya, aku dapat
mengadakan perbaikan atas keadaan ini. Aku dapat memohon
kepada Kakanda Anusapati, agar Kakanda Anusapati, menyingkir
dan memberi kesempatan kepada orang yang memang berhak, atau
kata-kata lain. Tetapi aku tidak ingin berbicara seperti itu. Jika aku
menghadapi Kakanda Tohjaya, maka aku akan berkata terus terang,
aku akan merebut kekuasaan. Begitu. T idak ada tedeng aling-aling.
Nah, sekarang apa yang akan kau ceritakan selengkapnya, pelayan
dalam yang bernama Deksa?"
Pelayan dalam itu menarik nafas. Sejenak ia memandang orang
yang membawanya. Ketika orang itu mengangguk, maka pelayan
dalam itu pun mulai menceritakan kesaksiannya. Seperti ceritacerita
yang pernah didengarnya tentang Pangalasan Batil yang
membunuh Sri Rajasa, kemudian dibunuh oleh Anusapati. Bagi
Mahisa Wonga Teleng cerita itu bahkan telah membuatnya menjadi
jemu mendengar. Tetapi ia menahan diri dan membiarkan orang itu
berbicara seakan-akan benar-benar suatu kesaksian.
"Demikian Tuanku," berkata orang yang mengaku sebagai
pelayan dalam itu, "hamba melihatnya, tetapi hamba tidak dapat
berbuat apa-apa." "Kau melihat bagaimana cara pangalasan itu membunuh
Ayahanda Sri Rajasa?" bertanya Mahisa Wonga Teleng.
"Hamba Tuanku. Ayahanda Tuanku baru habis bersantap, lalu
duduk di serambi bangsal untuk menghirup hawa yang sejuk. Pada
saat itulah Pangalasan Batil menyerang tuamku Sri Rajasa dengan
keris yang bertuah itu."
Mahisa Wonga Teleng mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Baiklah. Jika demikian, aku akan berbuat sesuatu. Itu
adalah suatu perbuatan yang licik. Terima kasih. Pada suatu saat
aku akan memanggilmu. Bagaimana aku dapat menghubungimu.
Mungkin aku memerlukan kesaksian ini di hadapan beberapa orang.
247 Mungkin di hadapan Kakanda Tohjaya, atau di hadapan orang-orang
yang dapat kita bawa berbicara tentang masalah ini."
"Hamba akan selalu menghadap Tuanku," berkata orang yang
membawa pelayan dalam itu.
"Baiklah, bagaimana aku memanggilmu dan di mana kau tinggal
di dalam istana ini?"
"Hamba tinggal di luar istana Tuanku. Panggil saja hamba Abi."
"Abi. Ya, tetapi di mana aku harus mencarimu jika kau tidak
datang, padahal keadaan memaksa?"
"Hamba sering berada di tempat sabungan ayam di taman
sebelah, di hadapan Tuanku Tohjaya."
"Oh, baiklah. Aku akan mencarimu jika aku perlukan."
Demikianlah maka kedua orang itu mohon diri. Namun masih
sekali lagi orang yang menyebut dirinya Abi itu berkata, "Ampun
Tuanku. Hamba berdua benar-benar mohon perlindungan dari
tangan Kakanda Tuanku Anusapati yang apabila mengetahui maka
hamba berdua tentu akan dihukum gantung. Kakanda Tuanku itu
tidak pernah mengampuni orang yang dianggapnya bersalah."
"Jangan takut. Aku selalu melindungimu."
"Terima kasih, Tuanku."
Dengan dada yang berdebar-debar Mahisa Wonga Teleng
memandang kedua orang yang meninggalkan bangsalnya itu.
Menurut penilaiannya yang berpakaian pendeta memang seorang
prajurit. Atau jika bukan, ia tentu menguasai ilmu olah kanuragan
yang baik. Langkahnya yang mantap dan dadanya yang tengadah
adalah pertanda bahwa ia memiliki kemampuan jasmaniah yang
baik. Sedang yang seorang, yang membawanya itu pun tentu
mempunyai sangkut paut. Bahkan mungkin orang itu adalah
gurunya atau orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi,
tetapi tidak dalam lingkungan keprajuritan di Singasari.
248 Dalam pada itu, Anusapati rasa-rasanya menjadi semakin jauh
dari ketenangan. Ia merasa bahwa sehari-hari ia selalu dilingkungi
oleh ketidakpuasan, dendam dan kebencian. Orang-orang yang ada
di sekelilingnya seakan-akan telah menuduhnya membunuh
ayahanda Sri Rajasa karena ketamakannya, karena ia ingin segera
menguasai tahta di Singasari. Dan yang lebih memberatkan
perasaannya adalah hatinya sendiri yang tidak dapat menahan
penyesalan atas peristiwa yang sudah terjadi. Kadang-kadang ia
juga berusaha melupakannya seperti yang pernah dilakukan oleh
Ken Arok. Ken Arok tidak pernah menghiraukan apa yang sudah
dilakukannya. Bahkan seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu
setelah kematian Empu Gandring, Kebo Ijo dan Akuwu Tunggul
Ametung. Anusapati menjadi semakin bimbang, ketika pada suatu saat
Tohjaya datang menghadapnya, hatinya menjadi terguncang.
Meskipun adindanya itu menghadap sambil menundukkan
kepalanya, namun rasa-rasanya bara api memancar dari keduabelah
matanya. "Kakanda," berkata Tohjaya sambil menunduk dalam-dalam,
"Ampun Kakanda, bahwa Adinda memberanikan diri menghadap
Kakanda tanpa Kakanda panggil."
"Kau bebas berada di istana ini Tohjaya. Bukankah kita bersamasama
telah menghuni istana ini sejak kita masih kanak-kanak?"
"Terima kasih Kakanda. Kakanda memang berhati selapang
lautan, yang dapat memuat segala arus air dari seribu sungai yang
betapapun keruh airnya."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Pujian itu justru bagaikan
duri yang menyentuh jantungnya.
"Kakanda," berkata Tohjaya kemudian, "sudah setahun lebih
Ayahanda Sri Rajasa terbunuh oleh keris Empu Gandring. Tetapi
Ibunda Ken Umang dan bahkan aku sendiri, masih belum pernah
melihat dengan jelas, bagaimanakah bentuk keris Empu Gandring
yang terkenal itu. Karena itu Kakanda, jika Kakanda tidak
249 berkeberatan, apakah aku dapat meminjamnya barang satu dua
hari. Aku dan Ibunda Ken Umang, yang kini bernaung di bawah
belas kasihan Kakanda, ingin melihat, pusaka yang pernah
menghabisi jiwa Ayahanda itu."
Dada Anusapati serasa berdesir. Tetapi ia berusaha untuk
menghapuskan kesan apapun dari wajahnya.
Selintas terbayang wajah Sri Rajasa yang pernah tersentuh keris
itu sehingga menyebabkannya meninggal. Bahkan kemudian
terbayang pula tubuh-tubuh yang berlumuran darah yang
mendahului Sri Rajasa, Meskipun Anusapati belum pernah melihat
wajah-wajah itu, tetapi rasa-rasanya Anusapati dapat
membayangkan betapa mereka didera oleh perasaan sakit hati dan
dendam di saat-saat terakhir dari hidup mereka. Seperti juga Sri
Rajasa yang dicengkam oleh perasaan ganda. Di satu pihak ia
mengutuk Anusapati, tetapi kadang-kadang terucapkan dari
mulutnya di saat nyawanya sudah berada di ujung ubun-ubun,
pujian dan harapan kepada anak tirinya itu.
Karena itu untuk beberapa saat Anusapati ragu-ragu, sehingga
karena ia tidak segera menjawab, maka Tohjaya mendesaknya,
"Kakanda. Aku dan Ibunda Ken Umang memang ingin melihatnya.
Aku mengharap bahwa Kakanda tidak berkeberatan aku
membawanya untuk beberapa saat saja kepada Ibunda Ken
Umang." "Adinda Tohjaya. Keris itu bukan keris kebanyakan. Aku pun tidak
pernah melihatnya lagi setelah aku menyimpannya. Ada kengerian
yang amat sangat jika aku melihat darah yang membeku pada daun
keris itu. Darah dari beberapa orang yang terdahulu dari Ayahanda
Sri Rajasa, dan kemudian darah Ayahanda Sri Rajasa sendiri."
Tohjaya menundukkan kepalanya. Sejenak kemudian kepala itu
terangguk-angguk kecil. Katanya, "Keinginan itu memang tidak
berhingga besarnya. Demikian juga Ibunda Ken Umang. Tetapi jika
Kakanda memang berkeberatan, apa boleh buat. Agaknya aku
memang tidak akan dapat melihat senjata pembunuh Ayahanda itu."
250 Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Sesuatu bergejolak di
dalam hatinya. Seakan-akan ia berdiri di simpang jalan. Jika ia
memilih jalan yang satu, ia akan tersesat masuk ke dalam jurang
yang dalam. Sedang jika ia memilih jalan yang lain maka ia akan
jatuh ke dalam sungai yang banjir bandang.
Anusapati menjadi gelisah, ia dapat menolak permintaan itu.
Tetapi dengan demikian akan dengan mudah dipergunakan oleh
orang-orang yang sengaja ingin mengacaukan kedudukannya.
Tentu orang-orang itu akan mengatakan, bahwa ia memang
bersalah. Ia tentu telah memerintahkan seseorang membunuh Sri
Rajasa dengan keris itu, yang kemudian telah dibunuhnya pula. Kini
ia menjadi ketakutan untuk menyerahkan keris itu, meskipun hanya
sekedar dilihat saja, kepada adiknya, putra yang sebenarnya dari Sri
Rajasa. Tetapi jika ia memberikan keris itu, maka Anusapati merasa
bahwa hidupnya memang terancam. Ia tidak dapat menjamin
bahwa sebenarnya Tohjaya tidak akan mendendam lagi atas
kematian ayahanda. Apalagi akhir-akhir ini selalu dibisikkan berita,
bahwa Anusapati telah membunuh Sri Rajasa dengan meminjam
tangan orang lain. Selagi Anusapati merenungi kesulitannya, maka Tohjaya pun
kemudian berkata, "Ampun Kakanda. Biarlah aku mohon diri. Aku
akan mengatakannya kepada Ibunda Ken Umang, bahwa Kakanda
berkeberatan menunjukkan keris itu. Keris yang menurut beberapa
orang, terlalu bagus buatannya, tetapi masih belum selesai
seluruhnya. Masih ada yang kurang, dan karena itulah maka keris
itu mempunyai bentuknya yang khusus."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
"Sudahlah Kakanda. Aku mohon maaf, bahwa aku sudah
memberanikan diri memohon kepada Kakanda untuk meminjam
keris itu." Anusapati masih tetap dicengkam keragu-raguan. Jika ia tidak
memberikannya, maka seakan-akan Tohjaya itu memandangnya
251 dengan tatapan mata yang memancarkan tuduhan yang pasti,
bahwa ia memang telah membunuh ayahandanya.
Dalam keragu-raguan yang mencengkam itu, maka Tohjaya pun
mulai bergeser sambil berkata, "Kakanda, hamba mohon diri."
"Tunggulah," berkata Anusapati kemudian, "aku tidak ingin kau
salah paham." "Maksud Kakanda?" bertanya Tohjaya.
"Jika aku tidak memberikan keris itu, berarti bahwa aku
menghormati kematian ayahanda dan orang-orang sebelumnya,
yang mengalami nasib serupa."
Dada Anusapati tergetar ketika ia melihat Tohjaya tersenyum
sambil menjawab, "Aku mengerti Kakanda. Memang keris itu
Dewi Beruang Putih 2 Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Hikmah Pedang Hijau 18

Cari Blog Ini