Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 43
yang tidak kita duga sebelumnya, maka kitapun dapat mengambil
sikap yang tidak kita gambaran sebelumnya pula."
Para pemimpin di dalam pasukan Empu Baladatu mulai menebak,
apakah yang akan dilakukan oleh Empu Baladatu. Namun yang
hampir sama terbayang di dalam angan-angan masing masing,
adalah kesulitan yang tidak teratasi bila besok mereka harus terjun
kembali ke arena petempuran yang dahsyat.
"Kita harus mencari jalan." desis Empu Baladatu.
"Maksud Empu?" bertanya beberapa orang.
Empu Baladatu termangu-mangu. Ia nampak ragu-ragu.
Sementara para pengikutnya mulai menebak-menebak.
"Katakanlah dengan jujur." berkata Empu Baladatu, "Apakah
masih ada keberanian di antara kita?"
2609 Beberapa orang di antara mereka menjadi heran. Apakah
sebenarnya yang dimaksudkannya. Semula mereka menyangka
bahwa jalan keluar dari kesulitan itu adalah menghindar dari
pertempuran dan menarik diri selagi malam masih gelap. Tetapi
agaknya Empu Baladatu bermaksud lain.
"Katakanlah." Empu Baladatu mengulangi, "Apakah kalian benarbenar
telah meletakkan cita-cita yang luhur itu di atas hidup kalian
sendiri?" "Ya." tiba-tiba seorang yang bertubuh raksasa menjawab, "Kami
telah berniat untuk berjuang merubah tata pemerintahan Singasari.
Karena itu. apapun yang akan terjadi akan kita lakukan."
"Bagus." berkata Empu Baladatu, "Kita sudah berada di dalam
lingkaran maut. Seharusnya hari ini kita sudah berada di dalam
istana Singasari dan menguasai tahta. Tetapi yang terjadi agak
berbeda. Sementara kita harus sadar bahwa kita telah terkepung."
"Jadi apa maksud Empu yang sebenarnya?" bertanya seorang
yang bertubuh kecil meskipun agak tinggi.
"Kita harus mempercepat penyelesaian agar kita tidak terlalu
lama tersiksa. Jika kita berhasil, biarlah cepat berhasil, jika kita
gagal, biarlah kita cepat mengetahui bahwa kita akan binasa."
Terasa sesuatu bergejolak di hati pengikut-pengikutnya. Mereka
pun sadar, bahwa jalan untuk menghindari pertempuran
berikutnyapun tentu sudah tertutup.
"Kita harus berbuat sesuatu yang tidak mereka perhitungkan,
seperti juga kita telah terjebak ke dalam lingkaran maut seperti ini."
Sementara itu, para pemimpin prajurit Singasari dan pasukan
Empu Sanggadaru pun tidak melepaskan pengawasannya atas
daerah di sekitarnya. Mereka mempunyai dugaan yang kuat, bahwa
Empu Baladatu akan mempergunakan malam itu untuk melarikan
diri bersama pasukannya. "Jika mereka melarikan diri, maka kita akan
menghancurkannya." berkata para Senapati.
2610 Karena itulah maka beberapa orang di antara prajurit Singasari
telah menyiapkan obor minyak dan biji jarak. Jika mereka terpaksa
bertempur di malam hari, maka mereka mempunyai alat
penerangan yang akan dapat membantu pengamatan di medan.
Sementara itu, beberapa orang petugas khusus telah dengan
cepat bekerja menyiapkan makan bagi para prajurit. Hampir di
setiap padukuhan terdapat perapian.
Seperti juga di padukuhan-padukuhan yang dipergunakan oleh
pasukan Empu Baladatu. Beberapa orang dari merekapun telah
menyiapkan makan. Beberapa ekor kambing, bahkan lembu telah
dipotong. Mereka harus makan sebelum mereka melakukan apa saja
di malam itu. Empu Baladatu masih membuat perhitungan dengan para
pembantunya. Mereka harus mempergunakan malam itu sebaikbaiknya.
"Tetapi kita tidak akan lari." tiba-tiba saja Empu Baladatu
berteriak. Beberapa orang pemimpin kelompok memandangnya dengan
ragu-ragu. Namun kemudian teriak mereka hampir berbareng, "Ya
kita tidak akan lari."
"Baik." berkata Empu Baladalu dengan lantang, "Kita akan
merayap ke pintu gerbang. Kita akan memasuki pintu gerbang itu di
malam hari dan menghancurkan semua isi. Kita bakar istana
Singasari dan kita bunuh semua orang yang, kita jumpai. Tentu saja
yang pertama-tama harus mati adalah Ranggawuni, Mahisa
Cempaka dan Mahisa Agni."
Wajah-wajah yang sedang mengadakan pembicaraan itu menjadi
tegang. Kata Empu Baladatu ternyata telah membakar hati mereka.
Karena itu, dada merekapun telah bergejolak, seolah-olah mereka
tidak sabar lagi menunda rencana itu.
Tetapi Empu Baladatu masih dapat memperhitungkan keadaan
dengan baik. Katanya, "Biarlah kita beristirahat barang sejenak. Kita
2611 menunggu makan bagi kita masak. Baru setelah tenaga kita pulih
kembali, kita akan menyergap gerbang itu, sementara lawan
menjadi lengah, karena mereka tentu mengira. bahwa kita
menunggu dini hari. Tetapi kita akan bergerak justru sebelum
tengah malam." Para pemimpin kelompok itupun segera kembali ke pasukan
masing-masing. Mereka membiarkan oranganya beristirahat, kecuali
yang bertugas mengawasi keadaan berganti-gantian.
Ketika makanan mulai masak, maka mereka seolah-olah telah
berebutan untuk mendapatkan bagian masing-masing, karena
mereka benaar-benar sudah diganggu oleh perasaan lapar.
Tetapi ternyata bahwa makanan yang tersedia cukup banyak bagi
mereka. Kawan-kawan mereka yang menyediakan makanan sama
sekali tidak memperhitungkan kemungkinan yang lebih panjang.
Mereka menganggap bahwa dalam sehari besok, pertempuran tentu
akan berakhir. Jika pertempuran tertunda lagi karena malam turun,
maka mereka akan mulai kesulitan untuk mendapatkan bahan
makanan di padukuhan-padukuhan itu.
Tetapi di sawah di sekitar padukuhan itu, terdapat beberapa
kolak tanaman jagung yang sudah berbuah di beberapa bagian dari
kebun-kebun di padukuhan terdapat pula tanaman sebangsa ubi
dan ketela, sehingga jika terpaksa, semuanya itu merupakan bahan
makanan yang mencukupi kebutuhan.
Namun sebenarnyalah bahwa Empu Baladatu sendiri tidak akan
memikirkan hari esok dan apalagi malam esok. Ia sedang,
disibukkan oleh rencananya untuk memasuki pintu gerbang dengan
diam-diam. Rencana Empu Baladatu memang tidak terduga sama sekali. Para
pengawas memperhitungkan arah yang akan dilalui Empu Baladatu
jika pasukannya di bawanya melarikan diri, sehingga karena itu
kesiagaan tertinggi pada pasukan Singasari justru pada arah yang
lain dari arah pintu gerbang Kota Raja.
2612 Setelah semua orang-orangnya selesai makan dan beristirahat
sejenak, maka Empu Baladatu telah memanggil para pemimpin
kelompoknya sekali lagi. Mereka diperintahkannya untuk mengikuti
induk pasukan dalam urutan yang panjang untuk menyusup sela
sela padukuhan yang dipergunakan oleh prajurit Singasari dan
menghindari pengawasan. "Kita akan benar-benar merangkak di sepanjang pematang yang
panjang." berkata Empu Baladatu, "Sementara kita akan muncul
dekat dengan pintu gerbang itu."
Para pemimpin kelompok mengangguk-angguk. Mereka
menyadari bahwa perjuangan akan menjadi semakin berat.
Meskipun menurut perhitungan mereka, pasukan Singasari
semuanya telah dikerahkan untuk menahan arus serangan pasukan
Empu Baladatu, tetapi di Kota raja itu tentu masih ada beberapa
bagian dari prajurit-prajurit Singasari itu.
"Mereka akan bertahan." berkata Empu Baladatu, "Sementara
pasukan yang ada diluar akan ditarik. Karena itu, maka sebagian
kecil dari kita akan mengganggu mereka dengan serangan di bagian
lain dari arah kita yang sebenarnya."
Para pemimpin kelompok itu mengerutkan keningnya, tugas bagi
kelompok yang, diumpankan itu tentu sengat berat. Tetapi Empu
Baladatu melanjutkan, "Bagi mereka aku berikan ijin untuk
meninggalkan arena jika tekanan memang tidak dapat dibendung
lagi, sementara kami sudah memasuki pintu gerbang. Mereka harus
segera menyusul jika kesempatan telah terbuka. Melalui pintu
gerbang atau memanjat dinding menurut kemampuan mereka."
Demikianlah, maka rencana Empu Baladatu itu menjadi matang.
Mereka segera membagi tugas. Tidak ada isyarat yang akan
diberikan dari induk pasukan. Semua harus berjalan menurut waktu
yang hanya dapat saling diperkirkan.
Demikian kalian sampai dipasukan masing-masing. maka rencana
ini akan segera dimulai. "Aku akan segera berangkat bersama
pasukan yang ada di s ini. Sementara yang lain akan menyusul lewat
2613 padukuhan ini pula. Aku akan meninggalkan beberapa orang
penghubung jika saatnya aku berangkat, pasukan-pasukan yang lain
belum ada di padukuhan ini. Tetapi ingat. Berhati-hatilah, sampai
saatnya kita akan menghancurkan pintu gerbang."
Maka kemudian para pemimpin kelompok itu kembali ke
padukuhan masing-masing, maka Empu Baladatu pun mulai
mengatur pasukannya. Mereka akan menyusur pematang, di jarak
yang tidak terjangkau penglihatan prajurit-prajurit Singasari. Jika
perlu mereka akan merangkak dalam arti yang sebenarnya.
"Marilah." berkata Empu Baladatu, "Kita akan mendahului. Yang
lain tentu akan segera tiba. Mereka akan segera mengikuti jalan
yang kita tempuh." Seperti yang diperhitungkan Empu Baladatu, maka pada saat itu,
beberapa kelompok pasukannya yang terpisah, telah merayap
mendekati padukuhannya untuk ikut serta menyerang pintu gerbang
sementara beberapa kelompok yang lain, akan menempuh jalan
seolah-olah pasukan itu akan melarikan diri.
Semuanya berjalan seperti yang direncanakan. Tidak ada
perintah dan isyarat yang diberikan, agar tidak memberikan isyarat
pula kepada para prajurit Singasari.
Namun dalam pada itu, terjadi pula pergeseran pada prajurit
Singasari. Ternyata pada malam itu, Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka tidak berada di padukuhan para prajurit. Atas desakan
Mahisa Agni, keduanya telah memasuki pintu gerbang Kota Raja
bersama pengawalnya. "Jika besok tuanku ingin turun kembali ke medan, biarlah hamba
mengikuti lagi. Tetapi malam ini tuanku berdua tidak perlu berada di
padukan itu. Biarlah para prajurit berjaga-jaga dan mengawasi
setiap gerakan Empu Baladatu, karena kemungkinan terbesar
mereka akan menarik pasukannya dan menghilang. Dalam keadaan
yang demikian, tuanku berdua tidak perlu ikut serta dalam
pertempuran meskipun tuanku berdua adalah prajurit Singasari."
berkata Mahisa Agni. 2614 Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sebenarnya segan untuk
meninggalkan medan. Mereka merasa dirinya satu dengan prajurit
Singasari yang lain. Namun mereka pun harus menyadari
kedudukan mereka sebagai pimpinan tertinggi dan pengikut seluruh
Singasari, sehingga akhirnya mereka pun dapat menerima
permintaan Mahisa Agni, agar mereka berdua kembali memasuki
Kota Raja. Ketika Empu Baladatu merayap mendekati pintu gerbang di
dinding Kota Raja, maka Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah
berdua di dalam istana. Para pengawal telah menyebar di halaman
istana dan bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, para prajurit yang berada di dalam lingkaran
dinding Kota Raja telah menjadi semakin berhati-hati pada saat
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sudah berada di dalam istana.
Dalam kemelut yang gawat itu, para prajurit menjadi semakin tekun
pada tugasnya. Meskipun para prajurit itu tidak menyangka bahwa
akan darang pasukan Empu Baladatu menyerang, namun
kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya memang dapat terjadi.
Itulah sebabnya, maka para prajurit yang ada di dalam batas
dinding kota Raja selalu bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
Di segala sudut dan jalan-jalan simpang, nampak para prajurit yang
meronda. Namun demikian, jumlah prajurit yang ada di dalam batas
dinding Kota Raja memang tidak terlalu banyak, sehingga
perhitungan Empu Baladatu untuk menghancurkan prajurit-prajurit
di dalam dinding Kola Raja itu merupakan rencana yang sangat
berbahaya bagi Singasari.
Dalam pada itu, Empu Baladatu sudah merayap semakin dekat
dengan pintu gerbang. Dengan pasukannya, ia benar-benar telah
merangkak di antara batang-batang padi dan jagung. Jika pematang
itu harus menyilang jalan, maka Empu Baladatu telah berusaha
untuk menghapuskan kemungkinan dapat dilihat oleh para
pengawas dan para peronda.
2615 "Jangan terpancang pada pintu." ia berbisik kepada
pengawalnya, "Jika perlu kita akan meloncati dinding. Jika sebagian
dari kita sudah berada di dalam, maka pintu itu akan dapat kita
buka. Dengan demikian maka kita akan dapat segera
memasukinya." Para pengawalnya pun mengangguk. Mereka mengerti apa yang
harus mereka lakukan. Sejenak kemudian, maka Empu Baladatu dan para pengikutnya
telah berada di hadapan pintu gerbang, meskipun masih belum
terlalu dekat tetapi rencana mereka nampaknya akan berjalan
dengan lancar. Agaknya para prajurit Singasari menganggap bahwa Empu
Baladatu benar-benar akan menunggu sampai besok, atau akan
melarikan diri karena pengawasan yang paling ketat adalah justru
pada arah yang memungkinkannya menghilang di malam itu.
Sementara itu. beberapa kelompok pasukan Empu Baladatu yang
harus memancing perhatian para prajurit pun telah bergerak pula.
Mereka berjalan melalui jalan memanjang di tengah-tengah bulak
tanpa berusaha untuk menghindari pengamatan. Justru mereka
berharap, bahwa para peronda akan dapat melihat mereka dan
memusatkan perhatian mereka kepada kelompok itu.
Untuk beberapa saat kelompok itu berjalan tanpa terjadi sesuatu,
sebelum mereka mendekati sebuah padukuhan kecil.
Tetapi para pengawas dari Singasari segera dapat melihat
kelompok itu, karena arah itulah yang paling banyak mendapat
pengawasan. Para pengawas itu tidak bertindak dengan tergesa-gesa. Mereka
sempat mengamati, berapa besar pasukan yang akan lewat,
sehingga laporannya tidak menumbuhkan salah hitung dan
menimbulkan tindakan yang merugikan.
Baru setelah mereka dapat mengira-ngirakan jumlah itu, dua
orang pengawas segera melaporkan diri kepada induk pasukan,
2616 sementara yang lain tetap di tempatnya untuk mengawasi
perkembangan keadaan.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Laporan itu menimbulkan teka teki pada pimpinan pasukan
Singasari. Jika Empu Baladatu ingin menarik diri, maka tentu tidak
hanya beberapa kelompok pasukannya saja. Prajurit Singasari
setelah bertempur sehari penuh dapat memperhitungkan jumlah
kekuatan lawan. "Dimanakah pasukan Empu Baladatu yang lain?" pertanyaan itu
timbul di antara para Senapati.
"Baiklah." berkata Panglima pasukan Singasari, "Kita akan
bertindak atas beberapa kelompok itu sesuai dengan imbangan
kekuatan." "Kirimkan pasukan di sayap kanan." berkata Mahisa Bungalan.
"Paman Lembu Ampal dengan pasukannya sudah cukup untuk
menahan beberapa kelompok pasukan Empu Baladatu dan
menggiringnya kembali ketempatnya. Jika keadaan berkembang,
dan jumlah mereka bertambah, maka pasukan yang lain dari
padukuhan yang lain akan ikut bertindak." sahut Panglima pasukan
Singasari. "Jika itu suatu kebutuhan, maka perintahmu ditunggu." berkata
Mahisa Bungalan kemudian.
Panglima itupun kemudian mengirimkan perintah kepada
pasukan yang dipimpin oleh Lembu Ampal. Panglima yang merasa
dirinya masih berada di bawah pedukuhan Lembu Ampal itu masih
harus mempergunakan cara yang khusus untuk menyampaikan
perintahnya. "Tetapi kau adalah Panglima." desak Manisa Bungalan.
Namun demikian Panglima yang masih lebih muda, baik
umurnya, maupun pengalamannya itu telah menyampaikaa laporan
kepada Lembu Ampal dan menyampaikan permintaan untuk
dipertimbangkan, bahwa pasukannya dipersilahkan untuk menahan
gerakan mundur itu. 2617 Lembu Ampal adalah seorang prajurit. Meskipun ia merasa
mempunyai kelebihan, tetapi perintah itupun sudah benar menurut
urutan kepemimpinan. Justru kehadirannya, di dalam kelompoknya
adalah karena keadaan yang gawat sehingga segala kekuatan yang
ada di Singasari perlu dikerahkan.
Karena itulah, maka Lembu Ampal pun segera memerintakkan
pasukannya untuk bersiap.
"Kita akan menyerang gerakan mundur dari sebagian pasukan
Empu Baladatu." berkata Lembu Ampal kepada pasukannya, "Kita
tidak tahu, apakah yang sudah terjadi, sehingga hanya sebagian
saja dari pasukannya yang bergerak. Mungkin mereka sekedar
mencari jalan untuk pasukan induknya, atau mereka memang
memecah pasukan mereka dalan kesatuana kecil sehingga akan
memudahkan usaha mereka meloloskan diri, atau perhitunganperhitungan
yang lain. Namun ternyata yang kita hadapi adalah
suatu kenyataan bahwa pasukan yang bergerak itu hanyalah
sebagian saja." Prajurit-prajurit dalam pasukan Lembu Ampal itu mengangguk
angguk. Mereka mengerti bahwa keadaan masih belum jelas,
sehingga mungkin akan timbul persoalan-persoalan baru dalam
pertempuran yang bakal pecah.
Demikianlah maka pasukan Singasari itu mulai bergerak. Mereka
memotong jalan yang akan dilewati oleh pasukan Empu Baladatu.
Tugas mereka adalah mencegah usaha melarikan diri dan memaksa
mereka kembali ke dalam kepungan pasukan Singasari di luar pintu
gerbang Kota Raja. Ketika tiba-tiba saja muncul pasukan di hadapannya, maka
pasukan Empu Baladatu merasa bahwa tugas mereka berhasil.
Mereka telah menarik perhatian prajurit Singasari sehingga sebagian
dari pasukannya telah memotong jalan yang akan mereka lalui.
Namun ketika kemudian pertempuran pecah, pemimpin pasukan
Empu Baladatu menjadi gelisah. Ia sadar, bahwa pasukan Singasari
yang ada di hadapan mereka, bukannya sebagian besar dari
2618 segenap kekuatannya. Tetapi hanyalah sebagian kecil sesuai dengan
kekuatan pasukannya yang akan memancing perhatian itu.
"Gila." geram pemimpin pasukan kecil Empu Baladatu itu,
"Ternyata prajurit Singasari cukup cermat. Tetapi mudah-mudahan
yang lain masih tetap di tempat masing-masing."
Dalam pada itu. Panglima prajurit Singasari telah
memperhitungkan keadaan dengan para Senapati dan Mahisa
Bungalan. Bahwa sebagian dari pasukan Empu Baladatu telah
menarik diri adalah suatu peristiwa yang aneh.
"Seharusnya, seluruh pasukan itu akan bergerak meskipun lewat
jalan yang berbeda. Tetapi sampai saat ini, kami tidak mendapat
laporan lain dari para pengawas." berkata Panglima pasukan
Singasari itu. Mahisa Bungalan meng-angguk-angguk. Tetapi ia pun merasakan
suatu keanehan. Nalurinya sebagai seorang prajurit telah
memberinya peringatan, bahwa ada gerakan lawan yang tidak
diperhitungkan sebelumnya.
"Kita lihat perkemahan mereka." tiba-tiba saja Mahisa Bungalan
berdesis. Beberapa orang perwira yang ada di dalam pasukannya tiba-tiba
saja menyadari, bahwa kemungkinan yang sama sekali tidak
diperhitungkan itu memang dapat terjadi.
Karena itu, maka beberapa orang di antara merekapun
menyahut, "Ya. Kita akan melihat perkemahan mereka."
"Aku akan pergi. Aku hanya memerlukan seorang kawan."
gumam Mahisa Bungalan. Senapati, yang memimpin pasukan Singasari di induk pasukan
itupun kemudian menyahut, "Aku akan pergi bersamamu."
"Kau Panglima yang harus berada di antara prajurit-prajurit mu."
sahut Mahisa Bungalan. Tetapi Senapati itu menjawab, "Ini adalah keputusan Panglima."
2619 Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
katanya, "Baiklah. Kita akan pergi keperkemahan induk pasukan
Empu Baladatu." Setelah menyerahkan pimpinan seluruh medan kepada perwira
bawahannya, maka Senapati itupun meninggalkan padukuhan pergi
ke perkemahan pasukan lawan yang berada di padukuhan yang
tidak terlalu jauh. Dengan hati-hati keduanya mendekati dinding
padukuhan dengan terbungkuk-bungkuk di sela-sela gerumbulgerumbul
yang tumbuh di pinggir jalan.
"Masih nampak obor-obor yang terpasang." berkata Senapati itu
di telinga Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan mengangguk. Jawabnya berdesis, "Kita akan
memasuki padukuhan itu. Mungkin kita akan mendapatkan
beberapa keterangan penting."
Senapati itu tidak menjawab. Keduanya berjalan semakin dekat
dengan sangat berhati-hati.
Keduanya menjadi berdebar-debar ketika mereka mulai
merasakan kesenyapan yang mencengkam. Meskipun obor masih
menyala, namun mereka tidak melihat, sesosok tubuhpun yang ada
di depan pintu gerbang. "Apakah mereka semuanya berada di dalam dinding padukuhan?"
bertanya Mahisa Bungalan lirih.
"Kita akan meloncat masuk."
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun kemudian keduanya
sepakat untuk memasuki padukuhan itu.
Demikian mereka meloncat memasuki dinding padukuhan, maka
debar jantung mereka serasa menjadi semakin cepat berdetak.
Mereka segera menyadari, bahwa padukuhan itu memang sudah
kosong. 2620 Meskipun mereka tidak meninggalkan kewaspadaan, namun
mereka seakan-akan dengan tergesa-gesa mendekati rumah-rumah
yang ada di padukuhan itu.
Ternyata sama sekali tidak seorangpun yang tinggal. Kecuali
penduduknya yang telah mengungsi sebelumnya, maka padukuhan
itu memang dianggap sebagai daerah yang akan menjadi ajang
pertempuran. Dari penelitian Mahisa Bungalan dan Senapati itu, mereka dapat
melihat, bekas-bekas lumbung dan kandang yang rusak. Agaknya
orang-orang Empu Baladatu telah membongkar semua sisa milik
penghuni padukuhan itu yang tertinggal, termasuk ternak dan
binatang-binatang peliharaan yang lebih kecil, seperti ayam, itik dan
angsa, disamping bahan makanan.
"Mereka telah pergi. Ternyata sekelompok pasukan yang
dilaporkan itu sengaja memancing perhatian."
"Tetapi pengawasan sangat ketat, sehingga sulit bagi pasukan
yang besar itu meninggalkan padukuhan ini tanpa diketahui."
"Dimanakah pengawas-pengawas itu berada." bertanya Mahisa
Bungalan. Senapati itu heran. Mahisa Bungalan sudah mengetahui dimana
para pengawas itu tersebar. Namun ia pun menjawab, "Di
sepanjang garis arah pasukan ini jika mereka mengundurkan diri."
"Nah, bagaimana jika arahnya justru berlawanan."
"Maksudmu?" "Tidak melarikan diri. Tetapi justru ke arah yang berlawanan."
"Maksudmu?" Senapati itu terbelalak.
"Mereka menyerang Kota Raja di malam ini." Tiba-tiba saja
terasa keringat dingin mengalir di punggung Senapati itu. Dengan
serta metta ia berkata, "Kita akan melihat, apakah benar
dugaanmu." 2621 Senapati itu tidak menunggu lagi. Ia pun kemudian berlari-lari
menuju ke pintu gerbang. "Jika benar dugaanmu, mereka tentu tidak akan berjalan melalui
jalan. Tetapi mereka akan memotong arah, lewat pematang dan
berlindung di balik tanaman-tanaman."
Betapa darah mereka terasa tersirap ketika mereka berhasil
menemukan arah gerak pasukan Empu Baladatu. Mereka memang
melihat, batang-batang jagung yang berserakan. Agaknya pasukan
Empu Baladatu lelah menyusub lewat beberapa pematang yang
sejalan menuju ke gerbang Kota Raja.
Tubuh kedua orang itu bagaikan gemetar. Dengan suara yang
tersendat-sendat Senapati itu berkata, "Pasukan di dalam pintu
gerbang Kota Raja itu sangat lemah. Jika benar mereka menyerang,
maka keadaan tentu akan sangat gawat."
"Kita dapat meyakininya. Mereka telah menyerang Kota Raja."
Sesaat keduanya memandang arah Kota Raja yang tidak terlalu
jauh. Namun kemudian Mahisa Bungalan berkata lantang, "Kita akan
menyusul dengan seluruh pasukan."
"Bagus." sahut Senapati itu hampir berteriak.
Keduanya kemudian berlari-lari kembali ke induk pasukan.
Mereka harus bergerak cepat, jika masih ada kesempatan.
Kedatangan keduanya disongsong oleh para perwira dengan hati
yang berdebar-debar. Sebelum mereka bertanya, Senapati itu sudah
meneriakkan perintah, "Semua orang disiapkan. Kita akan menyusul
pasukan Empu Baladatu yang menyerang Kota Raja."
"He?" para perwira terkejut.
"Tidak ada waktu untuk memberikan penjelasan sekarang.
Semuanya harus bersiap dalam waktu dekat. Seluruh pasukan induk
akan berangkat." 2622 Para perwira tidak bertanya lagi. Mereka segera pergi ke
kelompok masing-masing. Sepeti yang diperintahkan, maka
kelompok-kelompok itupun segera dipersiapkan.
Ketika sebuah isyarat berbunyi, maka prajurit Singasari itupun
segera berangkat menuju ke pintu gerbang Kota Raja, sementara
beberapa penghubung harus menyampaikan perintah Senapati itu
kepada pasukan-pasukan yang berada di padukuhan lain.
Sebagian dari mereka harus mengawasi keadaan di seluruh arena
dan mengambil sikap dalam keadaan yang mendesak, sementara
sebagian harus menyusul memasuki pintu gerbang Kota Raja.
"Jika pintu tertutup oleh pasukan, maka mereka di perintahkan
mencari jalan lain." perintah Senapati itu.
Pemberitahuan yang serupa telah dikirim pula kepada Empu
Sanggadaru agar ia mengetahui keadaan dalam keseluruhan.
Induk pasukan yang dipimpin langsung oleh Panglima pasukan
Singasari beserta Mahisa Bungalan itu pun dengan tergesa-gesa
menuju ke pintu gerbang. Mereka mulai membayangkan kesulitan
yang dialami oleh para prajurit yang tidak begitu banyak, yang ada
di dalam dinding yang melingkari Kota Raja.
Sebenarnya bahwa pada saat itu pasukan Empu Baladatu sudah
memecahkan pintu gerbang. Dengan penuh dendam mereka
bertekad untuk menghancurkan apa saja yang mereka jumpai,
termasuk pintu gerbang itu sendiri.
Prajurit yang bertugas di Kota Raja tekejut ketika penjaga pintu
gerbang memberikan tanda bahaya yang mendatang. Disusul oleh
gema kentongan yang menjalar dari satu gardu ke gardu yang lain.
Namun suara kentongan itu tidak cukup keras untuk mencapai
arena pertempuran yang terjadi di luar pintu gerbang Kota Raja.
"Kirim seorang penghubung kepada pasukan yang berada diluar
Kota Raja." teriak seorang perwira yang bertugas di dalam pintu
gerbang. 2623 "Jalan telah tertutup." teriak prajurit yang berada di atas pintu
gerbang. "Cari jalan lain. Lewat pintu butulan."
"Dinding ini sudah dikepung. Pintu-pintu butulan telah di jaga di
luar." "Loncati dinding."
Para prajurit termangu-mangu. Mereka tidak akan dapat
meloncati begitu saja. Para prajurit yang berada di atas pintu
gerbang melihat, bahwa jika seseorang meloncat dari dalam, akan
langsung terjun pada ujung tombak pasukan Empu Baladatu.
Dalam pada itu, Empu Baladatu memang memberikan perintah,
bahwa tidak seorangpun boleh lolos. Orang-orang di dalam Kota
Raja tidak boleh mendapat kesempatan untuk memberikan isyarat
berupa apapun kepada induk pasukannya yang berada di luar Kota
Raja. "Bunuh setiap orang yang keluar. Suara kentongan dan panah
sendaren tidak akan mencapai mereka. Juga panah api yang akan
mereka lontarkan, tidak akan terlihat oleh pasukan Singasari. Itulah
kebodohan mereka, karena mereka menganggap bahwa kita tidak
akan melakukan hal seperti ini."
Karena itu, maka kemungkinan untuk mengirimkan seorang
penghubung telah tertutup sama sekali. Yang dapat dilakukan oleh
para prajurit itupun kemudian adalah berjuang mati-matian untuk
menahan, agar para pengikut Empu Baladatu itu tidak dapat
memasuki gerbang dan dinding Kota Raja lewat manapun juga.
Prajurit yang jumlahnya sangat terbatas segera memencar.
Tetapi sebagian dari mereka berada di depan pintu gerbang. Jika
pintu gerbang itu pecah, maka akan terjadi pertempuran yang
sangat mengerikan di dalam pintu gerbang itu, sementara beberapa
orang yang lain telah memanjat dinding dan menahan lawan
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan panah yang bagaikan hujan meluncur dengan derasnya.
2624 Dengan perisai, para pengikut Empu Baladatu telah melindungi
kawan-kawannya yang berusaha memecahkan pintu gerbang.
Mereka mengangkat sebatang kayu yang panjang. Dengan serta
merta beberapa puluh orang yang mengangkat kayu itupun berlarilari
menghantam pintu gerbang itu dengan pangkal batang kayunya.
Tetapi semakin dekat dengan pintu gerbang, kekuatan mereka
menjadi semakin berkurang. Anak panah yang bagaikan hujan itu
telah mengurangi seorang demi seorang yang harus tercecer jatuh
karena anak panah yang menembus dadanya.
Namun beberapa kali batang kayu itu berhasil menggetarkan
pintu gerbang, sehingga selarak yang besar itupun menjadi retak.
"Sebentar lagi pintu akan pecah." teriak Empu Baladatu.
Teriakan Empu Baladatu telah mendorong, anak buahnya untuk
bekerja lebih keras. Jika seseorang jatuh karena anak panah para
prajurit, maka yang lainpun segera menggantikannya mendorong
kayu yang, panjang untuk nvenghantam-pintu gerbang itu.
Hati para prajurit Singasari menjadi semakin berdebar-debar
sejalan dengan retak yang semakin besar pada selarak pintu
gerbang itu. Beberapa orang telah menempatkan diri di hadapan
pintu itu dengan anak panah siap di busurnya. Sementara yang lain
telah mengangkat tombaknya, siap untuk dilemparkannya.
Dalam pada itu, seisi Kota Raja bagaikan tengah dipanggang di
atas api. Setiap orang menjadi gelisah. Tetapi sementara itu, setiap
laki-laki telah siap dengan senjata di tangan. Bukan saja mereka
yang berpakaian prajurit Singasari, tetapi anak-anak muda, dan
bahkan anak-anak yang masih sangat mudapun telah
menggenggam pedang. Bagi mereka tidak mempunyai pilihan lain
daripada turun kemedan perang, karena menurut perhitungan
mereka, jika orang-orang yang mengepung, dinding Kota Raja itu
berhasil masuk dan menguasainya, maka setiap laki-laki juga akan
terbunuh karena keganasan mereka.
Beberapa orang prajurit sibuk mengatur anak-anak muda itu agar
mereka bukan sekedar menjadi umpan peperangan. Tetapi anakTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
2625 anak muda itu akan dibaurkan di antara para prajurit, sehingga
mereka akan dapat menempatkan diri dalam perlawanan di antara
orang-orang yang, memiliki kemampuan bertempur. Dengan
demikian, mereka tidak hanya sekedar bagaikan daun ilalang yang
ditebas dengan pedang yang tajam.
Ternyata bukan anak-anak muda sajalah yang telah turun ke
jalan-jalan. Orang-orang tuapun telah bersenjata pula. Apalagi
mereka yang pernah menjadi seorang prajurit. Meskipun umur
mereka telah bertambah tua, tetapi dalam keadaan yang gawat
mereka masih siap untuk bertempur.
Orang-orang di Kota Raja itupun menjadi gelisah. Perempuan
dan anak-anak menutup diri di dalam rumah mereka. Sementara
setiap laki-laki memperhitungkan, bahwa medan peperangan akan
tersebar di seluruh Kota Raja tanpa memilih tempat.
Tetapi setiap orangpun sadar, bahwa pusar dari arah lawan,
tentu istana Singasari. Empu Baladatu tentu akan mencapai istana
itu dan menghancurkannya.
Mahisa Agni dengan sepasukan kecil pengawal berdiri di tangga
pendapa istana Singasari. Hatinya menjadi berdebar-debar melihat
kegelisahan para prajurit dan penduduk kota Raja. Ada sepercik
penyesalan, bahwa seakan-akan ia telah mendesak agar
Ranggawuni dan Mahisa Cemaka memasuki Kota Raja. Jika
keduanya berada di medan, maka keadaannya tentu akan berbeda.
Tetapi yang telah terjadi adalah berbeda. Kedua orang
pemegang, pimpinan tertinggi itu kini berada di dalam istana yang
telah dikepung oleh bahaya.
Namun Mahisa Agni tidak menunjukkan kegelisahan yang
mencengkam jantungnya. Di hadapan para pengawal ia nampak
tetap tenang dan meyakinkan.
Dalam pada itu, Witantra dan Mahendrapun telah mendengar apa
yang telah terjadi. Mereka tidak sabar lagi berjalan lambat bersama
pasukannya menuju ke dinding kota. Karena itu, mereka tanpa
berjanji dari tempatnya masing-masing telah berlari mendahului.
2626 Tanpa berjanji pula keduanya di tempat yang terpisah,
memperhatikan orang-orang yang mengepung dinding. Bahkan
tanpa berjanji pula, keduanya telah melakukan tindakan yang
berbahaya hampir bersamaan waktunya.
Dengan serta merta keduanya berlari seperti angin langsung
menuju kedinding Kota Raja.
Ketika ujung-ujung senjata yang dilontarkan mematuknya,
keduanya telah hilang, seolah-olah terbang meloncati dinding kota
Raja itu. Beberapa orang saling berpandangan. Salah seorang berdesis,
"Apakah benar aku melihat sesuatu?"
"Ya." sahut kawannya, "Seseorang telah meloncati dinding."
Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Mereka hampir tidak
percaya atas penglihatannya diremangnya malam. Namun beberapa
orang telah melihatnya, dan bahkan ada di antara mereka yang
yang telah melemparkan senjatanya.
Ternyata Witantra dan Mahendra langsung menuju ke istana.
Mereka mencemaskan keadaan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Mahisa Agni terkejut melihat kehadiran mereka yang berturutturut
hanya berselisihan waktu sekejap. Mahisa Agni menyangka
bahwa keduanya telah datang bersama-sama menembus kepungan
orang-orang Empu Baladatu.
"Kami tidak berjanji." desis Witantra, "Tetapi agaknya kami
mempunyai naluri yang sejalan."
"Terima kasih. Meskipun kalian hanya berdua, tetapi dengan
demikian, pertahanan di istana ini akan bertambah kuat."
"Mahisa Bungalan telah mengetahui bahwa Empu Baladatu
menyerang istana. Mereka bersama pasukannya telah mendekati
pintu gerbang. Semua pasukan telah ditarik, kecuali beberapa
kelompok yang harus menghadapi sebagian kecil pasukan lawan
yang memancing perhatian, seolah-olah hendak melarikan diri."
2627 Mahisa Agni mengangguk-angguk. Keterangan itu membuat
hatinya agak sejuk. Namun ia masih juga gelisah, jika Mahisa
Bungalan dan pasukannya datang terlambat.
Ternyata bahwa bukan hanya Witantra dan Mahendra Sajalah
yang telah dihinggapi oleh pertimbangan yang sama. Beberapa
orang Senapati yang mengetahui keadaan Kota Raja, tidak dapat
menahan hati. Mereka sadar, jika Empu Baladatu sempat masuk dan
menembus jantung kota, maka Kota Raja benar-benar akan menjadi
karang, abang. Setiap rumah akan menjadi abu, dan setiap orang
akan menjadi mayat. Termasuk istana Singasari dan penghuninya.
Karena itulah, maka beberapa orang Senapati yang memiliki
kelebihan telah berlari-lari mendekati dinding kota mendahului
pasukannya. Seperti Witantra dan Mahendra, mereka telah berusaha
untuk meloncati dinding meskipun mereka mengetahui, bahwa Kota
Raja itu telah terkepung. Namun mereka dapat menemukan tempattempat
yang paling lemah dari kepungan itu, dan berhasil
menembusnya dengan berlari kencang-kencang kemudian meloncati
dinding Kota Raja yang tinggi.
Para prajurit Singasari yang berada di dalam dinding Kota segera
dapat mengenal mereka dari pakaian dan ucapan-ucapan sandi
yang telah mereka sepakati, sehingga dengan demikian, maka para
Senapati itu telah memberikan sedikit ketenangan kepada para
prajurit, yang ada di dalam.
Kehadiran mereka seorang demi seorang, membuat pertahanan
di istana menjadi semakin teguh. Meskipun mereka sadar, bahwa
lawan akan datang bagaikan banjir bandang.
Para pengikut Empu Baladatu yang menyadari kemungkin dari
orang-orang yang meloncat masuk, telah memperketat kepungan
mereka, sehingga orang-orang yang datang kemudian menjadi sulit
untuk dapat menembus penjagaan di sekitar dinding Kota Raja itu.
Sementara itu para prajurit menjadi semakin banyak memanjat
dinding, di sekitar pintu gerbang. Mereka meloncari orang-orang
yang berusaha memecah pintu dengan senjata tajam. Bukan saja
2628 anak panah, tetapi tombak-tombakpun meluncur seperti hujan yang
dicurahkan dari langit. Dengan perisai-perisai yang memayungi mereka, maka para
pengikut Empu Baladatu itu berusaha untuk bekerja lebih cepat,
sehingga korban tidak menjadi semakin banyak.
Akhirnya palang pintu yang besar itu benar-benar retak dan
bahkan kemudian orang-orang yang ada di dalam tidak berhasil
menahannya, sehingga palang pintu itu patah.
Sejenak kemudian, pintu gerbang itupun bagaikan berderak.
Perlahan-lahan pintu itu terbuka oleh desakan yang tidak
tertahankan lagi. Dengan satu isyarat, maka orang-orang Singasari pun justru
berlari meninggalkan pintu gerbang itu, sementara sekelompok
prajurit telah siap dengan anak panah yang sudah melekat di
busurnya. Demikian pintu itu terbuka, maka busurpun segera menggeliat,
dan anak panah pun meluncur dengan derasnya.
Para pengikut Empu Baladatu yang mendesak pintu gerbang itu
bagaikan air yang memecahkan bendungan. Namun demikian
mereka mulai merambat masuk, maka anak panah yang terlepas
dari busur telah mengupas lapisan pertama dari orang-orang yang
menyerang itu. Ketika mereka berjatuhan tertembus anak panah di dadanya,
maka lapisan berikutnya telah meloncati mayat-mayat yang
berguling dan terinjak-injak kaki. Namun, selapis orang-orang
berpanah telah menggeser lapisan yang pertama, dan untuk kedua
kalinya anak panah telah terlepas dari busurnya.
Namun arus kekuatan Empu Baladatu benar-benar bagaikan
banjir bandang. Usaha untuk menahan dengan lontaran anak penah
dan rombak hanya berhasil menghambat kemajuan mereka dan
mengurangi jumlah, karena merekapun kemudian segera memencar
2629 di sekitar pintu gerbang, dan menguasai tempat-tempat yang paling
penting. Dibagian lain, sekelompok pasukan Empu Baladatu telah
berusaha memasuki Kota Raja dengan memanjat dinding. Namun
mereka mengalami kesulitan, karena prajurit Singasari pun bertahan
di atas dinding pula pada bagian-bagian tertentu.
Dengan pecahnya pintu gerbang, maka pasukan Empu Baladatu
mengalir memasuki Kota Raja. Demikian mereka menyebar maka
pertempuran yang meratapun telah dimulai. Arus pasukan Empu
Baladatu bagaikan arus air bah yang menyusup lewat jalan-jalan
raya menuju ke pusat kota.
Tetapi di sepanjang jalan, mereka telah menemukan perlawanan
yang dapat menghambat perjalanan mereka. Anak-anak muda dan
prajurit-prajurit yang menyebar telah menyerang mereka dari segala
arah. Namun jumlah pengikut Empu Baladatu terlalu banyak. Arus
pasukannya benar-benar tidak terbendung lagi. Sebagian dari
mereka langsung, menuju ke istana, yang lain memencar
menghancurkan yang di jumpainya di sepanjang serangan mereka.
Kota Raja Singasari bagaikan terbenam ke dalam neraka.
Dentang senjata dan pekik kesakitan memenuhi jalan-jalan raya dan
halaman-halaman yang menjadi ajang pertempuran. Dengan buas
dan liar, pasukan Empu Baladatu memuaskan nafsu hitam mereka
dengan pembunuhan-pembunuhan.
Laporan tentang pecahnya pintu gerbang segera sampai
ketelinga Mahisa Agni. Ia memang sudah menduga, bahwa prajurit
Singasari yang ada tidak dapat bertahan. Namun demikian, para
prajurit bertekat untuk mempertahankan istana itu sampai
kemungkinan yang penghabisan.
Apalagi ketika Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah berada di
tangga istana, tidak mengenakan pakaian kebesaran seorang
Maharaja, tetapi dalam pakaian seorang panglima perang.
2630 Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dengan wajah yang
buram ia mendekati Ranggawuni sambil berdesis, "Salah hamba
tuanku. Jika tuanku tetap berada di pasukan itu, maka keadaannya
tentu akan lebih baik."
Ranggawuni tersenyum. Katanya, "Bukan salah Paman Aku
bangga melihat apa yang sudah dilakukan oleh prajurit-prajurit
Singasari. Seandainya aku tidak dapat keluar dari Kota Raja, maka
aku sudah puas." Mahisa Agni membungkukkan kepalanya dalam-dalam sambil
berkata, "Tuanku adalah seorang yang berjiwa besar."
Ranggawuni menepuk bahu Mahisa Agni sambil berkata, "Jangan
bersikap berlebih-lebihan paman. Aku adalah anak-anak yang
berada di balik sayap paman Mahisa Agni selama ini bersama
Adinda Mahisa Cempaka."
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Kita semuanya akan tetap berada di atas bumi, Singasari. Hidup
atau mati." Ranggawuni tertawa. Ketika ia berpaling kepada Mahisa
Cempaka, maka anak muda itupun tertawa pula.
Dalam para itu pertempuran menjadi semakin dahsyat. Prajurit.
Singasari benar-benar telah terdesak ke pusat Kota Raja. Jalan-jalan
menjadi merah oleh darah dan pintu-pintupun bagaikan digores
dengan lukisan-lukisan maut.
Sementara itu, prajurit Singasari bagaikan dikejar hantu menuju
kepintu gerbang. Mereka tidak menyadari keadaan, merasa sangat
cemas, bahwa Kota Raja benar-benar akan menjadi karang abang.
Mayat akan berserakan seperti tebasan ilalang di padang yang
kering. Beberapa orang yang tidak sabar berlari-lari sekuat tenaga
mencari jalan memintas, keluar dari pasukannya. Karena hampir
semua orang yang mengepung kota sudah masuk ke dalam dinding
2631 Kota, maka orang-orang yang berdatangan itu dapat langsung
meloncat ke atas dinding.
Beberapa orang di antara mereka sempat meloncat turun.
Dengan tergesa-gesa mereka mencari jalan menuju ke halaman
istana yang telah dipagari dengan prajurit Singasari.
Ternyata prajurit Singasari yang berada di halaman istana itu
selalu bertambah-tambah. Meskipun mereka terlepas dari ikatan
kelompok mereka, namun mereka akan berguna untuk ikut serta
mempertahankan istana Singasari.
Banjir bandang itu akhirnya mengalir sampai ke jalan induk yang
langsung menuju ke pintu gerbang, istana. Empu Baladatu sendiri
yang, memimpin pasukannya telah menelusur jalan itu. Mereka
bagaikan menjadi gila karena putus asa. Yang mereka lakukan
adalah sekedar menghancurkan. Menghancur kan apa saja,
termasuk istana dengan isinya.
Sementara itu, pasukan induk Singasaripun telah mendekati pintu
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerbang. Para pemimpinnya seakan-akan sudah tidak sabar lagi.
Namun mereka masih tetap berusaha mempertahankan kelompokkelompok
meskipun beberapa di antaranya sudah tidak utuh lagi.
Ketika mereka mendekati pintu gerbang, maka setiap Senapati
bagaikan tersentak jantungnya. Mereka sadar, bahwa pintu gerbang
itu telah pecah, dan pasukan lawan seluruhnya telah hanyut ke
dalam Kota Raja. "Kita akan memasuki Kota Raja. Kita akan memecah pasukan
kita." berkata Senapati tertinggi.
Sejenak kemudian beberapa orang Senapati masih sempat
membagi tugas. Mereka akan memasuki Kota Raja, dan berpencar
melalui jalan yang berbeda-beda. Sementara itu. Senapati yang
memimpin pasukan induk itu akan langsung membawa pasukannya
ke istana bersama Mahisa Bungalan.
Sejenak kemudian maka prajurit Singasari itupun telah berjejalan
masuk. Mereka sama sekali tidak menemukan hambatan apapun,
2632 karena tidak seorangpun lagi yang berada di sekitar pintu gerbang
yang telah pecah itu. Setiap prajurit menjadi berdebar-debar melihat korban yang
berjatuhan. Meskipun sebagian besar adalah para pengikut Empu
Baladatu pada lapisan pertama yang terkelupas karena serangan
anak panah yang bagaikan hujan.
Namun kemudian pasukan Empu Baladatu itu berhasil mendesak
prajurit .Singasari masuk kedalam Kota Raja.
Sejenak kemudian, terdengar sorak para prajurit Singasari
bagaikan memecahkn langit. Mereka sengaja menarik perhatian,
agar setiap orang yang mendengarnya mengerti, bahwa prajurit
Singasari telah datang untuk membendung arus yang gila dari para
pengikut Empu Baladatu. Di simpang-simpang jalan yang saling melintang, maka tiba-tiba
saja kedua pasukan itu bertemu. Di simpang-simpang empat, di
simpang tiga dan ditikungan.
Dengan demikian, maka pertempuran benar-benar telah
memenuhi seluruh Kota Raja.
Namun, kehadiran prajurit Singasari benar-benar telah merubah
suasana. Prajurit-prajurit yang bertahan di dalam Kota Raja, yang
sudah hampir menjadi berputus itu, tiba-tiba telah mendapatkan
gairah baru. Seolah-olah kekuatan mereka yang semakin susut
itupun telah pulih kembali.
Tidak ada batas lagi antara para prajurit Singasari dan para
pengikut Empu Baladatu. Hanya karena pengenalan mereka masingmasing
dan ciri-ciri yang nampak pada para prajurit dan orangorang
Singasari sajalah, mereka dapat membedakan, siapakah
lawan di antara mereka. Yang masih nampak batas yang melingkar adalah halaman
istana. Pintu gerbang telah ditutup dan selarak yang besar telah
dipasang. Namun masih saja ada beberapa orang yang berloncatan
2633 masuk dan menggabungkan diri dengan pasukan pengawal istana
yang menjadi semakin banyak memutari halaman istana.
Kehadiran pasukan Singasari itu terlalu cepat menurut
perhitungan Empu Baladatu, sehingga ketika ia menerima laporan,
maka ia pun mengumpat tidak ada habisnya.
Tetapi jalan menuju ke istana sudah terlalu dekat, sehingga ia
pun berteriak, "Kita pecahkan pintu istana. Kita akan masuk dan
pertama-tama yang kita lakukan adalah membakar istana itu
sehingga menjadi abu. Baru kemudian kita memikirkan, apa yang
akan kita lakukan." Berlari-larian pasukan Empu Baladatu menempuh jalan lurus
yang langsung menuju ke pintu gerbang. Seperti yang sudah
mereka lakukan, maka para pengikut, Empu Baladatu itu sudah siap
memecahkan pintu gerbang yang diselarak dari dalam itu.
Peristiwa yang telah lerjadi di muka gerbang Kota Raja itu pun
terulang. Beberapa orang prajurit Singasari segera memanjat
dinding dan menghujani lawannya dengan anak panah.
Tetapi seperti arus banjir, maka pasukan lawan tidak terbendung,
lagi. Selarak itupun retak pula seperti pintu gerbang Kota Raja.
Mahisa Agni berdiri di tangga pendapa istana. Hatinya menjadi
berdebar-debar. Ia melihat beberapa orang Senapati bertebaran di
halaman. Witantra berdiri di sebelah kiri tangga pendapa, sementara
Mahendra di sebelah kanan. Sedangkan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka yang bepakaian seorang Senapati perang, berdiri di
belakang Mahisa Agni, siap dengan senjata masing-masing.
Sementara para prajurit berjejalan siap di belakang pintu gerbang.
Juga seperti di belakang gerbang Kota Raja yang pecah, di lapis
pertama adalah mereka yang bersenjatakan anak panah yang sudah
siap di busurnya, sehingga demikian pintu itu pecah dan lawan
menghambur masuk, anak panah itu akan meluncur dan
melumpuhkan orang-orang dilapis pertama.
2634 Tetapi korban sudah mulai berjatuhan sejak para pengikut itu
masih berada di luar pintu gerbang. Beberapa orang jatuh terkapar
karena anak panah para prajurit di atas dinding. Tetapi satu dua
orang prajuritpun terlempar jatuh oleh tombak lawannya yang
dilontarkannya kepada mereka,
Ketika hentakkan pada pintu gerbang itu berulang, maka setiap
kali retak selarak pintu itupun menjadi semakin besar, sehingga
akhirnya, pintu itu tidak dapat ditahan lagi.
Sejenak kemudian maka pintu itupun berderak. Ketika selaraknya
patah, maka dengan serta merta pintu itupun terdorong oleh
kekuatan yang berjejalan.
Tetapi orang yang berjejalan itupun kemudian tertahan ketika
kawan-kawan mereka di lapis pertama berjatuhan oleh anak panah
yang bagaikan ditaburkan. Disusul dengan taburan yang kedua
sementara yang lain telah menyiapkan anak panah di busurnya.
Tetapi para pengikut Empu Baladatu telah menyadari
kemungkinan itu, sehingga merekapun telah siap untuk
mengatasinya. Beberapa bagian dari pasukan merekapun segera
menebar di sepanjang dinding untuk mengambil jarak medan yang
lebih panjang. Namun para prajuritpun telah siap menunggunya, sehingga
sejenak kemudian, maka pertempuran di halaman istana yang luas
itupun telah menyala dengan dahsyatnya.
Mahisa Agni masih berdiri ditangga pendapa. Beberapa orang
Senapati pun masih berdiri tegak di tempatnya. Mereka memandang
para prajurit yang sudah mulai terlihat dalam pertempuran yang
sengit. Terasa dada Mahisa Agni pun telah retak seperti pintu gerbang
istana itu. Banyak persoalan yang pernah dialaminya. Baik yang
menyangkut masalah pribadinya, maupun yang menyangkut
masalah pemerintahan. Sejak ia mengenal Akuwu Tunggul
Ametung, tidak langsung ia sudah terlibat dalam banyak persoalan
pemerintah, apalagi setelah Ken Dedes berada di istana.
2635 Namun kini, sekelompok orang-orang berilmu hitam yang telah
berhasil mempengaruhi beberapa pihak justru merupakan persoalan
yang paling parah baginya disaat-saat umurnya menjelang masamasa
tuanya. Dalam kerisauan itu, hampir diluar sadarnya, Mahisa Agni benarbenar
telah mempersiapkan diri dalam puncak kemampuannya.
Sudah cukup lama ia tidak mempergunakan kekuatan ilmu
puncaknya. Namun dalam keadaan yang sangat gawat itu. maka
sebuah getaran yang merambat di seluruh tubuhnya, telah
mengantarkan kekuatan Aji Gundala Sasra keseluruh tubuhnya dan
seakan-akan telah menjalar pula di senjatanya.
Karena itulah, maka seolah-olah tubuh Mahisa Agni itu dilapisi
oleh kekuatan yang tidak kasat mata tetapi mempunyai daya
kemampuan yang tidak ada taranya.
Namun agaknya, bukan saja Mahisa Agni. Hampir setiap orang
yang menghadapi persoalan yang paling gawat, yang akan langsung
menyangkut persoalan maut, akan berusaha untuk mempergunakan
segenap kemampuannya untuk mengelakkannya. Witantra,
Mahendra, para Senapati yang lainpun agaknya telah siap pula pada
puncak ilmu masing-masing. Ilmu yang jarang sekali diperguakan
dalam kehidupan wajar sehari-hari.
Dengan demikian, maka setiap sentuhan senjata, akan
merupakan bahaya yang tidak terelakkan oleh lawan-lawan mereka.
Sentuhan-sentuhan kecil akan dapat memecahkan perisai mereka,
dan apalagi jika sentuhan itu telah mengenai tubuh mereka.
Dalam pada itu, lawanpun bagaikan air yang mulai mengalir
kesegenap arah. Betapapun juga para prajurit menahan mereka,
namun arus itu agaknya memang terlalu kuat, sehingga para
prajurit itupun telah terdesak mundur.
Sekilas Mahisa Agni berpaling ke arah kedua anak muda yang
memegang pemerintahan di Singasari. Keduanya nampak dengan
sungguh-sungguh memperhatikan para prajurit yang mulai
2636 terdesak. Sekali-sekali Ranggawuni dan Mahisa Cempaka
menggeletakkan giginya. Namun ternyata keduanya tidak dapat tinggal diam melihat
kesulitan prajurit-prajuritnya.
Karena itulah, maka merekapun kemudian mendekati Mahisa
Agni sambil berkata, "Apa kita masih akan menunggu."
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Kemudian katanya, "Tidak.
Hendaklah tuanku tetap di sini. Hamba dan para Senapati akan
turun ke medan." "Paman." suara Ranggawuni bersungguh-sungguh, "Paman
adalah pemomongku sejak aku kanak-kanak. Tetapi sikap paman
kini keliru. Aku bukan anak-anak lagi yang harus menepi jika ada
kuda lewat di jalan raya."
"Tuanku." jawab Mahisa Agni, "Persoalannya bukannya apakah
tuanku masih kanak-anak atau sudah dewasa. Tetapi tuanku adalah
tumpuan segenap rakyat Singasari, sehingga karena itu, tuanku
seharusnya agak menahan diri sedikit. Hamba sadar, betapa darah
seorang Senapati muda seperti tuanku akan mengelegak. Jika
sekiranya tuanku bukan seorang Maharaja dan Ratu Angabhaya,
maka hamba tidak akan mencoba mencegahnya."
"Kami berdua sekarang adalah prajurit." potong Ma hisa
Cempaka. "Tetapi tuanku tidak dapat menanggalkan tanggung jawab
tuanku dalam keadaan yang paling gawat, hanya karena arus
perasaan. Tuanku harus memimpin seluruh Singasari dalam arti
sebuah negara. Bukan medan peperangan di halaman istana ini
betapapun luasnya." Wajah kedua anak muda itu menjadi tegang. Tetapi mereka
merasa tersinggung apabila mereka disangka meninggalkan
tanggung jawab karena dorongan perasaan.
"Karena itu tuanku." Mahisa Agni melanjutkan, "Hamba berharap
tuanku ada disini. Terserahlah apa yang. akan tuanku lakukan pada
2637 saat terakhir jika orang-orang berilmu hitam itu sudah mulai
menjamah lantai istana."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menahan gejolak hatinya yang
bergelora. "Hamba mohon diri. Mungkin hamba akan menjadi seorang
pembunuh yang tidak berperi kemanusiaan di medan yang garang
ini. Tetapi hamba tidak mempunyai pilihan lain Agaknya demikian
pula dengan Witantra dan Mahendra."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak menjawab. Mereka
sudah mengenal Mahisa Agni sebaik-baiknya, sehingga dalam
sikapnya itu, keduanya tidak lagi membantah. Masih ada perasaan
segan terhadap orang tua itu, karena Mahisa Agni adalah tetap
mereka anggap sebagai guru dan orang tua.
Sejenak kemudian, Mahisa Agni yang sudah dilandasi oleh
kekuatan Aji Gundala Sasra itupun mulai melangkah. Perlahan-lahan
ia melintasi halaman tanpa berpaling.
Namun dengan demikian, sikapnya adalah perintah bagi semua
Senapati yang ada di halaman. Senapati yang sebagian tidak lagi
bersama pasukannya, karena didesak oleh kerisauan hati oleh
keadaan yang sama sekali di luar perhitungan mereka.
Witantra dan Mahendra melihat Mahisa Agni mulai bergerak,
sehingga keduanyapun melangkah pula medekati medan yang
semakin gawat. Sebenarnyalah masih ada keragu-raguan di dalam hati Mahisa
Agni. Ia sadar, bahwa jika ia turun kemedan, maka ia benar-benar
akan menjadi seorang pembunuh yang paling kejam. Tetapi jika ia
menghindar, maka istana itu benar-benar akan menjadi neraka
yang, paling jahanam. Mahisa Agni merasa berdiri di tempat yang paling sulit. Tidak ada
pilihan yang melepaskannya dari kemungkinan yang paling buruk.
Namun akhirnya Mahisa Agni menghentakkan tangannya seakanakan
ia telah menemukan pilihan yang tiba-tiba saja mencuat dari
2638 dasar hati. Lebih baik baginya membinasakan yang jahat betapapun
berat membebani perasaannya daripada mengorbankan yang baik
ditelan oleh yang jahat. Dengan demikian, maka ketetapan hatinya telah mendesaknya
untuk bergerak lebih cepat. Sehingga tiba-tiba saja Mahisa Agni
telah meloncat berlari ke arena yang semakin parah bagi prajurit
Singasari yang jumlahnya tidak seimbang dengan jumlah orangorang
berilmu hitam dan pengikut Empu Baladatu yang lain.
Kehadiran Mahisa Agni dimedan disambut dengan sorai yang
membahana. Rasa-rasanya langit akan runtuh ketika Witantra,
Mahendra dan para Senapati telah dengan langsung mengangkat
senjata mereka. Seperti yang diduga semula, maka Mahisa Agni, Witantra dan
Mahendra beserta para Senapati benar-benar merupakan
pembunuh-pembunuh yang paling dahsyat. Dengan landasan ilmu
mereka yang sulit dicari bandingnya, mereka telah mengamuk
bagaikan seekor banteng teluka.
Namun dalam pada itu, lawan mereka benar-benar seperti air
yang memecahkan bendungan. Sepuluh terbunuh, yang seratus
telah mendesak maju. Karena itu, betapapun kemampuan yang tidak ada taranyapun
masih tetap berada di dalam keterbatasan manusia. Desakan para
pengikut Empu Baladatu ternyata masih lebih cepat dari pembunuhpembunuh
yang dilakukan oleh Mahisa Agni dan para Senapati yang
lain, sehinggga pasukan Singasari masih tetap terdesak surut.
Dari jarak yang tidak terlalu dekat, Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka menyaksikan pertempuran itu. Wajah mereka menjadi
tegang ketika mereka melihat arus yang seolah-olah tidak
terbendung. Meskipun kemudian arus itu menjadi lambat. tetapi
pasti para pengikut Empu Baladatu mendekati istana Singasari.
Betapa malam itu bagaikan malam andrawina bagi maut. Di
arena Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan para Senapa ti tidak
2639 lagi menahan diri. Kematian tidak lagi dapat dibatasi jumlahnya oleh
rasa kemanusiaan. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun kemudian mempersiapkan
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diri. Ia masih dikelilingi oleh beberapa pengawal terpilih. Tetapi
jumlahnya terlalu sedikit untuk ikut menentukan keseimbngan,
sehingga jika para pengikut Empu Baladatu itu mencapai tangga
pendapa istana, maka berarti istana Singasari akan musnah
bersama seluruh isinya. Namun dalam pada itu, dalam ketegangan yang memuncak
karena arus lawan yang tidak terbendung, tiba-tiba saja terdengar
sorai bagaikan memecahkan dinding halaman.
Ternyata prajurit Singasari yang telah memasuki Kota Raja,
sebagian telah mencapai istana meskipun jumlahnya masih belum
terlalu banyak. Sorai itu telah mengejutkan orang-orang yang sedang bertempur.
Orang-orang yang menyerang merasa kemungkinan yang sudah di
genggam itu akan dapat terlepas, sehingga kemarahan yang tiada
taranya telah membakar jantung.
Ternyata Empu Baladatu sendiri yang terdapat di antara
pasukannya berusaha untuk dapat, tampil di lapisan terdepan.
Kematian yang disebarkan oleh tangan dan senjata para Senapati
Singasari membuatnya sangat, marah. Namun sorak para prajurit itu
membuatnya menjadi semakin marah lagi.
Dengan lantang maka ia pun kemudian berteriak, "Kita maju
terus. Kita bakar istana seisinya."
Namun sementara itu, pasukannya yang berada di belakang,
yang masih belum dapat memasuki pintu gerbang karena mereka
masih berdesakan, sementara ujung pasukannya masih tertahan
oleh prajurit Singasari, harus memalingkan arah pertempuran. Dari
arah belakang, prajurit Singasari yang bersorak-sorak itu telah
datang menyerang. 2640 Bukan saja sekedar menyerang ekor pasukan Empu Baladatu,
tetapi oleh ketidak sabaran, maka sebagian dari mereka telah
memanjat dinding dan memasuki halaman dari sebelah menyebelah.
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang berdiri di pendapa
istananya menarik nafas dalam-dalam. Di halaman istana itu
kemudian telah mengalir meloncati dinding, prajurit-prajurit
Singasari yang segera terjun karena pertempuran yang semakin
sengit itu. Mereka tidak lagi mengikat diri dalam kelompok-kelompok
masing-masing, sehingga pertempuran itu benar-benar merupakan
perang brubuh. Setiap orang berada di antara kawan dan lawan.
Batas medan semakin lama menjadi semakin kabur.
Namun prajurit-prajurit Singasari yang kemudian memenuhi
halaman itu kemudian membuat selapis pertahanan yang tidak akan
tertembus oleh pasukan Empu Baladatu, sementara para Senapati
masih saja bertempur menyebar maut.
Tetapi kehadiran prajurit-prajurit Singasari itu agaknya benarbenar
telah merubah keseimbangan pertempuran di halaman itu.
Para prajurit yang menyerang pasukan Empu Baladatu di luar pintu
gerbang istana telah memancing mereka menyebar di luar halaman
sementara yang berada di dalam halamanpun telah tertahan oleh
pertahanan yang berlapis-lapis dari prajurit-prajurit Singasari yang
telah memasuki halaman itu.
Empu Baladatu yang semula menyangka bahwa ia akan dapat
mencapai istana dan membakarnya menjadi abu menjadi sangat
cemas menghadapi perkembangan keadaan. Prajurit Singasari
baginya terlalu cepat hadir, sehingga rencananya telah rusak
karenanya. Meskipun demikian, dengan suara yang menggelegar ia masih
meneriakkan aba-aba untuk membakar istana yang tinggal
beberapa puluh langkah saja.
"Kalian dapat memaksa diri menjangkau istana itu." teriak Empu
Baladatu. 2641 Namun pasukannya benar-benar sudah tertahan. Mereka tidak
dapat lagi memaksakan diri untuk menggeser medan, karena
prajurit Singasari justru mulai mendesak mereka surut kembali ke
pintu gerbang, sementara prajurit Singasari yang berada di luar
telah menekan pasukan yang tersisa di depan pintu gerbang dengan
kekuatan yang semakin lama semakin besar.
Dalama pada itu, selagi pertempuran bagaikan membakar Kota
Raja. Mahisa Bungalan tidak sabar lagi menunggu perkembangan
keadaan di luar pintu gerbang. Ia pun kemudian meloncat
memasuki halaman dan berada di antara para pra jurit yang
berlapis-lapis. Tetapi Mahisa Bungalan tidak mau sekedar menunggu. Ia pun
kemudian menyusuri arena dan mencoba menyusup masuk
mendekati Empu Baladatu yang mulai mengamuk.
Ketika ia melihat Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra beserta
para Senapati yang lain mengamuk seperti orang yang sedang
wuru, maka ia pun segera menempatkan dirinya sehingga pada
geseran berikutnya, ia menjadi semakin dekat dengan Empu
Baladatu. "Anak setan itu sudah berada di sana." geram Empu Baladatu.
Namun ia sadar, bahwa, ia memang harus berdiri berhadapan
dengan anak muda yang seakan-akan sedang menyongsongnya itu.
Mahisa Bungalan tidak dapat ditahan lagi oleh siapapun juga.
Dengan marah ia meyibak kawan, dan menyingkirkan lawan dengan
senjatanya untuk dapat mencapai Empu Baladatu di antara mereka.
"Anak iblis. Kapan kau mendengar bahwa pasukanku telah
berhasil memasuki Kota Raja?" teriak Empu Baladatu.
"Kelicikanmu telah tercium oleh seluruh medan." sahut Mahisa
Bungalan, "Dan aku berusaha menyongsongmu. Ternyata aku
hampir terlambat." "Persetan dengan ingauanmu. Kau kira prajurit Singasari tidak
licik dengan menyembunyikan diri di padukuhan-padukuhan
2642 sehingga megaburkan penilaianku atas kekuatan kalian. Padukuhanpadukuhan
yang dihuni oleh para petani itu telah kalian kosongkan
dan kalian isi dengan prajurit-prajurit yang tersamar, itu, bukankah
itu juga licik" Manakah yang lebih licik dari sikap kami yang jantan
memasuki Kota Raja dari pintu gerbang."
Mahisa Bungalan yang marah menjadi semakin marah. Dengan
mengacukan senjata ia menjawab, "Tetapi kau harus menebus
kebodohanmu ini dengan taruhan yang sangat mahal. Seluruh
pasukanmu akan musna, dan kau sendiri tidak akan dapat ke luar
dari halaman istana ini."
"Kau memang banyak bicara. Sadarilah, bahwa mumpung kau
masih hidup, aku ingin membuktikan, bahwa aku benar-benar akan
menyobek mulutmu dengan senjata."
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Ia sudah berhadapan dengan
Empu Baladatu, sehingga senjata merekapun mulai berputaran.
Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran
yang sengit. Mahisa Bungalan yang dilandasi oleh kemarahan itu
segera telah meningkatkan pertempuran itu sampai tataran ilmunya
yang tertinggi. Meskipun demikian, ia melakukan dengan penuh kesadaran. Ia
tidak segera kehilangan akal, betapapun kemarahan bagaikan
mencekik lehernya sehingga dadanya menjadi sesak. Tetapi ia tetap
mempunyai perhitungan dan pertimbangan yang bening
menghadapi lawannya yang kuat, tangguh namun kadang-kadang
licik. Pertempuran antara Mahisa Bungalan dan Empu Baladatu itupun
segera meningkat semakin seru, sejalan dengan keadaan medan
seluruhnya. Semakin lama prajurit Singasari pun julahnya menjadi
semakin bertambah. Yang memasuki halaman istana dengan
memanjat dindingpun menjadi semakin banyak pula, sehingga
akhirnya pasukan Empu Baladatu benar-benar telah membentur
bendungan yang kokoh dan tidak tergoyahkan.
2643 Pertempuran antara Mahisa Bungalan dan Empu Baladatu itupun
segera meningkat semakin seru, sejalan dengan keadaan medan
seluruhnya. Semakin lama prajurit Singasari jumlahnya menjadi
semakin bertambah. Namun dengan demikian, maka halaman istana Singasari yang
luas itu. menjadi tempat perbantaian yang mengerikan. Mayat
berserakan membujur lintang.
Jika dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang menghormati
mayat dimanapun mereka menjumpainya, maka di medan perang
mayat yang bertebaran telah terinjak-injak kaki.
Bahkan mereka tidak sempat menolong kawan dan apalagi lawan
yang terluka, yang masih mempunyai harapan untuk hidup
meskipun sudah tidak berdaya. Dan suasana kacau di pertempuran
itu agaknya telah mempercepat kematian yang sebenarnya masih
mungkin dihindarkan. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menyasikan pertempuran itu
dengan hati yang pedih. Ia melihat dua pihak yang saling
berbunuhan. Dan kedua belah pihak adalah rakyat Singasari sendiri.
"Pengkhianatan itu telah menuntut tebusan yang mahal sekali."
desis Mahisa Cempaka. Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ini adalah
satu pengalaman yang paling pahit dalam hidup kita. Bagaimanapun
juga, kita tidak dapat melontarkan kesalahan seluruhnya kepada
Empu Baladatu. Jika pemerintahan berjalan tanpa cacat, maka
pengaruhnya tidak akan dapat meluas dengan cepat. Karena itu,
kita harus melihat kepada kekurangan itu."
Mahisa Cempaka mengangguk. Ia pun menyadari, bahwa
pengaruh buruk itu tidak akan dapat berkembang pesat, jika rakyat
Singasari tidak dikecewakan oleh beberapa kepincangan yang tidak
disadari oleh para pemimpin pemerintahan.
Namun sementara di halaman istana yang luas itu terjadi
pertempuran sengit, dua orang telah berpacu dengan kencangnya
2644 meninggalkan daerah yang sedang di bakar oleh peperangan.
Dengan dada yang berdebar-debar keduanya berusaha untuk
segera menghadap Linggapati di Mahibit.
Perjalanan yang cukup panjang itu harus segera mereka lewati.
Mahibit tidak boleh terlambat. Justru pada saat yang paling parah
bagi prajurit Singasari. Pertempuran di Kota Raja itu telah menelan
banyak sekali korban. Bukan saja dipihak Empu Baladatu. tetapi
juga dipihak prajurit Singasari sendiri.
"Jika pertempuran itu berakhir, siapapun yang, menang, maka
keadaanya tentu sudah parah sekali. Kedatangan pasukan Mahibit
dengan darah yang masih segar, akan mendapatkan kemenangan
dengan mudah atas siapapun yang berada di Kota Raja." berkata
salah seorang dari kedua orang yang sedang berpacu itu.
Kawannya tertawa Katannya, "Adalah menyenangkan sekali hadir
di Singasari bersama pasukan dalam keadaan seperti sekarang ini.
Pada saat sisa-sisa prajurit yang masih hidup sedang
mengumpulkan mayat yang tindih menindih tidak terhitung
jumlahnya, kita datang untuk membuat mayat itu semakin
menggunung." Kawanyapun tertawa pula. Seolah-olah mereka akan mendapat
kesempatan melihat suatu pertunjukkan yang sangat menarik.
Bahkan mereka akan ikut terlibat dalam pembunuhan yang akan
memberi banyak kepuasan. "Tentu tidak akan ada perlawanan yang berarti." desis salah
seorang. Yang lain mengangguk-angguk. Ia pun membayangkan pula,
betapa mudahnya merebut Kota Raja.
"Kita lidak boleh terlambat. Kita harus menyiapkan pasukan
dalam waktu singkat. Pertempuran itu akan selesai selambatlambatnya
sehari lagi. Kemudian di hari berikutnya, siapa pun yang
menang akan berusaha menyingkirkan mayat-mayat yang
berserakkan. Baru di hari berikutnya mereka akan beristirahat. Nah,
2645 saat itu adalah saat yang paling baik untuk membantai orang-orang
yang tersisa." Dengan harapan dan kegembiraan atas kemenangan yang akan
dengan mudah dicapainya maka keduanya berpacu terus tanpa
mengenal lelah, sehingga perjalanan merekapun rasa-rasanya
menjadi semakin pendek. Dalam pada itu, pertempuran yang menyala di halaman istana
menjadi semakin dahsyat. Namun sejenak kemudian, akhir dari
pertempuran itu sudah mulai membayang.
Mahisa Agni yang melihat kehadiran Mahisa Bungalan, dan
bahkan sudah berhasil menghentikan Empu Baladatu merasa bahwa
tugasnya menjadi semakin ringan.
Ketika teringat olehnya, keadaan Singasari dalam keseluruhan,
maka perlahan-lahan ia berusaha menghindar dari pertempuran.
Agaknya keadaan tidak lagi terlalu gawat. Prajurit Singasari yang
telah menyelesaikan lawan-lawannya di luar halaman, sempat,
meloncat masuk, karena mereka tidak mendapat tempat lagi di
arena di luar pintu gerbang halaman istana itu.
Dengan tubuh yang basah oleh keringat, Mahisa Agni melangkah
mendekati Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang masih berdiri
bagaikan membeku di tempatnya.
"Tuanku." sapa Mahisa Agni.
Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam.
"Kematian telah mencengkam korbannya tanpa dapat dihitung
lagi." Ranggawuni mengangguk. "Hamba juga telah terlibat ke dalamnya, karena hamba tidak
dapat membiarkan kematian itu justru menerkam para prajurit
Singasari." Sekali lagi Ranggawuni mengangguk.
2646 "Tetapi ini belum akhir dari segalanya tuanku." berkata Mahisa
Agni kemudian. "Apa maksudmu paman" Apalagi yang kira-kira akan terjadi atas
Singasari?" Mahisa Agnilah yang kemudian menarik nafas dalam-dalam.
Dengan suara rendah ia berkata, "Kita masih selalu diintip oleh
Linggapati di Mahibit."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menjadi tegang.
"Bukankah sejak semula kita sudah memperhitungkannya
tuanku." berkata Mahisa Agni.
"Sekarang, kekuatan kita benar-benar telah lumpuh." desis
Mahisa Cempaka, "Jika pada saat seperti ini mereka datang, maka
kita tidak akan mampu berbuat banyak."
"Tidak seburuk itu tuanku." jawab Mahisa Agni, "Diluar masih
ada pasukan Empu Sanggadaru. "Jika keadaan memaksa, pada saat
inipun pasukan itu akan datang. Kesalahan kita kali ini adalah,
bahwa kita tidak siap menghadapi keadaan, sehingga, pasukan
Empu Baladatu dapat menerobos masuk."
"Dan korban jatuh tanpa batas."
"Kita semuanya berprihatin." jawab Mahisa Agni, "Namun justru
karena itu, maka hamba mohon, agar beberapa penghubung dapat
diperintahkan untuk memanggil prajurit-prajurit yang tersisa di
daerah-daerah terpencil. Kekalahan Empu Baladatu yang sudah
membayang, akan menghentikan semua perlawanan di daerahdaerah
terpencil jika masih ada pengikut-pengikutnya."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka saling berpandangan sejenak.
"Tuanku." berkata Mahisa Agni, "Menurut perhitungan hamba,
pasukan Empu Baladatu tentu akan segera dapat dikuasai. Ia sudah
mengerahkan segenap kekuatannya untuk menghancurkan Kota
Raja. Tetapi ia gagal. Prajurit Singasari berhasil menguasai keadaan
meskipun agak terlambat."
2647 "Apakah menurut perhitunganmu daerah-daerah terpencil itu
sudah tidak akan berbahaya lagi?"
"Untuk waktu yang singkat tidak tuanku. Namun seterusnya
masih harus ada penilaian lagi. Namun sementara ini, hamba
mohon, agar mereka dapat menyegarkan kekuatan kita jika
Linggapati benar-benar akan memanfaatkan keadaan ini. Adalah
kurang wajar, jika kita sepenuhnya menggantungkan diri kepada
pasukan Empu Sanggadaru meskipun ia adalah orang yang dapat
dipercaya." berkata Mahisa Agni.
"Baiklah." berkata Ranggawuni, "Jika pertempuran ini selesai,
dan prajurit Singasari benar-benar dapat menguasai keadaan, kita,
akan menyiapkan diri. Pasukan yang masih ada akan dikumpulkan
untuk mendapat keterangan tentang tugas baru yang mungkin akan
segera menyusul." Mahisa Agni tidak menjawab. Namun yang nampak di halaman
itu telah membenarkan perhitungannya. Pasukan Empu Baladatu
telah jauh susut. Perlawanan mereka tidak lagi banyak berarti,
sehingga pertempuran itu agaknya tidak akan berlangsung lama
lagi. Ternyata bahwa perhitungan Mahisa Agni tidak jauh
menyimpang. Meskipun pasukan Empu Baladatu masih berusaha
melawan, tetapi kekuatan mereka tidak banyak berarti lagi. Di luar
halaman istana, maupun di luar halaman. Bahkan yang bertebaran
di jalan-jalan Kota Rajapun telah dapat dikuasai seluruhnya oleh
para prajurit Singasari. Juga pasukan kecil yang berusaha
memancing perhatian prajurit Singasari di luar Kota Raja, telah
seluruhnya dapat diatasi oleh Lembu Ampal.
Karena itu. maka pertempuranpun kemudian tinggal berkobar di
sekitar pintu gerbang. Mahisa Bungalan masih berhadapan dengan
Empu Baladatu tanpa menghiraukan orang lain, sehingga keduanya
seakan-akan sedang terlibat dalam perang tanding.
Pada saat-saat yang gawat bagi pasukannya itulah, Empu
Baladatu telah mendapatkan lawan yang tidak dapat diabaikannya.
2648 Bahkan kemudian terasa olehnya, bahwa anak muda itu memiliki
tenaga yang kuat dan tidak segera susut betapapun ia mengerahkan
kekuatannya. Dengan demikian, maka Empu Baladatu tidak dapat mengingkari
lagi, bahwa umurnyapun ikut serta menentukan akhir pertempuran
itu. Betapapun ia memiliki ilmu yang semakin meningkat, tetapi
berhadapan dengan kemampuan yang seimbang maka ia merasa
bahwa umurnya tidak lagi dapat diajak bicara.
Di saat-saat Mahisa Bungalan masih segar, meskipun keringat
mengalir di seluruh tubuhnya, Empu Baladatu merasa bahwa
kekuatannya mulai susut. Ketika warna cerah membayang semakin jelas di langit, terasa,
bahwa tenaga benar-benar telah terperas habis, la mulai dapat
memandang wajah lawannya dengan jelas. Wajah anak muda yang
keras seperti batu padas yang basah karena keringat.
Namun dengan demikian, maka jelas pulalah nampak oleh Empu
Baladatu mayat yang terbujur lintang berserakan di halaman.
Matahari yang mulai memanjat langit masih menyaksikan, betapa
Mahisa Bungalan dan Empu Baladatu bertempur dengan sengitnya,
sementara para prajurit sudah hampir menguasai lawan mereka
sepenuhnya. Tetapi ketika beberapa orang prajurit mengepung Empu
Baladatu, maka Mahisa Bungalan berkata lantang, "Aku sedang
perang tanding." Tidak seorangpun yang berani membantunya. Setiap bantuan,
tentu dianggap sebagai suatu penghinaan bagi Mahisa Bungalan
yang sedang bertempur melawan Empu Baladatu dipanasnya
cahaya matahari pagi. Namun ternyata bahwa tenaga Empu Baladatu benar-benar telah
terperas habis, sehingga ia merasa semakin sulit untuk
mengimbangi serangan-serangan Mahisa Bungalan yang datang
membadai. 2649 Tetapi bagaimanapun juga Empu Baladatu adalah orang yang
memiliki ilmu yang tinggi. Itulah sebabnya, maka ia masih juga
menunjukkan, bahwa ia mampu bergerak cepat, dan mempunyai
tenaga serangan yang mematikan.
Mahisa Bungalan yang, masih lebih muda, mempergunakan
keadaan itu sebaik-baiknya. Nafasnya yang masih teratur dan
tenaganya yang masih lebih segar dari lawannya, betapapun ia
sudah memerasnya, memberikan lebih banyak kemungkinan dari
Empu Baladatu. Selagi pertempuran seorang melawan seorang itu masih
berlangsung dengan sengitnya, para prajurit Singasari benar-benar
telah menguasai keadaan. Para pengikut Empu Baladatu benarbenar
telah dapat dikalahkan. Selain yang terbunuh, maka sebagian
dari mereka telah melepaskan senjata mereka dan menyerah.
"Anak buahmu telah habis Empu." terdengar suara dari luar
medan. "Jangan ganggu orang tua itu." Mahisa Bungalan lah yang
menyahut. Tetapi jawaban itu telah menghina Empu Baladatu. Maka ia pun
berteriak, "Apa peduliku dengan orang-orang licik dan pengecut itu."
Tetapi ternyata yang muncul di pinggir arena adalah Mahisa Agni.
Dengan wajah yang berkerut-kerut ia mendekati kedua orang yang
sedang bertempur itu. Bahkan seolah-olah tidak menghiraukan
bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang pilih tanding,
Mahisa. Agni berdiri dengan tenangnya.
Sekali lagi ia berkata, "Apakah tidak sepantasnya pertempuran ini
diakhiri" Anak buah Empu Baladatu sudah tidak ada seorangpun
lagi." Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Tetapi setelah ia
mengetahui bahwa yang mengucapkan kata-kata itu adalah Mahisa
Agni, ia tidak berani menyahut. Apalagi membentak.
2650 Empu Baladatu memandang Mahisa Agni sejenak. Dengan geram
ia berkata, "Kau akan ikut bertempur bersamanya" Cepat, aku
bunuh kalian berdua bersama-sama."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kadangkadang
orang tua. masih saja merindukan masa lampaunya. Masa
kejayaannya. Tetapi masa itu sudah lewat Empu. Umurmu tidak
lebih muda dari Mahisa Bungalan, sehingga karena itu. maka
kesempatanmu pun tidak sama dengan lawanmu yang masih muda
itu." "Persetan." Empu Baladatu berteriak sambil menghentakkan
senjatanya. Tetapi serangannya itu bukannya serangan yang. dapat
memberikan tekanan pada kata-katanya. Empu Baladatu benarbenar
telah mengerahkan segenap tenaganya.
Namun demikan, Empu Baladatu benar-benar seorang yang
keras hati. Tidak terpikir sama sekali olehnya untuk menyerah.
Betapapun keadaannyan, maka ia sudah bertekad untuk bertempur.
Itulah sebabnya, maka Mahisa Bungalan pun masih harus
melayaninya. Ternyata bahwa pertempuran di dalam halaman dan
di luar halaman istana sudah seluruhnya berakhir. Hanya tinggal
Empu Baladatu seorang diri yang masih mempertahankan harga
dirinya. "Kau tidak punya kawan lagi Empu." Mahisa Agni ma sih
berusaha untuk mendapat perhatian.
Tetapi Empu Baladatu benar-benar tidak mau mendengarkan. Ia
bertempur semakin bernafsu. Kadang-kadang liar dan kasar,
meskipun tenaganya benar-benar semakin susut.
Empu Baladatu ternyata tidak mau sedikitpun menghiraukan
kenyataan tentang dirinya dan pasukannya. Ia bahkan
mempergunakan setiap kesempatan dengan licik, justru pada saatsaat
Mahisa Bungalan memberikan kesempatan itu kepadanya untuk
mendengarkan keterangan Mahisa Agni.
2651 Akhirnya Mahisa Bungalan yang muda itu tidak lagi melihat,
sepercik niat baik pada diri Empu Baiadatu. Orang itu benar-benar
telah membeku hatinya. Meskipun di halaman itu mayat seolah-olah
telah bertimbun, namun Empu Baladatu tidak mempunyai niat untuk
menghentikan peperangan. Bahkan ia mengumpat tidak habishabisnya
melihat orang-orangnya yang sama sekali sudah tidak
berdaya. Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan itu menjadi muak
melihat lawannya. Ia sudah cukup lama bertempur. Tidak ada
tanda-tanda bahwa Empu Baladatu akan menghentikan
pertempuran. Karena itulah, maka ia merasa wajib untuk berusaha
menghentikan pertempuran itu. Apapun akibatnya, baik bagi dirinya
sendiri maupun bagi lawannya.
Sedangkan satu-satunya cara adalah melumpuhkan lawannya.
Karena itulah maka Mahisa Bungalanpun kemudian menyerang
lawannya semakin dahsyat. Kemudaannya ternyata sangat
menguntungkan menghadapi Empu Baladatu. Ketahanan tubuhnya
dan gelegak darah mudanya di dada. kemudian telah menentukan
akhir dari pertempuran itu.
Empu Baladatu yang semakin susut tenaganya, akhirnya menjadi
lengah. Ia tidak mampu lagi berusaha untuk melingkari lawannya,
justru karena nafasnya menjadi semakin memburu. Apalagi Mahisa
Bungalan dengan sengaja telah bertempur dengan loncatanloncatan
panjang, untuk memancing agar lawannya benar-benar
memeras tenaganya yang tersisa.
Empu Baladatu masih sempat mengumpat. Tetapi senjata Mahisa
Bungalan ternyata mulai menyentuh tubuhnya, sehingga darahnya
mulai mengalir di antara keringatnya yang membasahi tubuh.
"Gila." teriak Empu Baladatu.
Mahisa Bungalan tidak menyahut. Ia sadar, bahwa Empu
Baladatu masih mengerahkan puncak ilmunya di saat-saat nafasnya
2652 sudah hampir terputus, sehingga orang itu tetap sangat berbahaya
baginya. Namun darah yang mulai meleleh dari luka itu, membuat
tenaganya semakin susut. la tidak dapat melawan keharusan pada
wadagnya, bahwa luka-lukanya dapat mengganggunya justru pada
saat yang gawat. Tetapi semakin ia mengerahkan kemampuannya, maka rasarasanya
darah menjadi semakin banyak mengalir dari lukanya.
"Empu." berkata Mahisa Agni, "Masih ada kesempatan untuk
menghentikan pertempuran."
Tetapi Empu Baladatu sama sekali tidak menghiraukannya.
Dengan buasnya ia menyerang Mahisa Bungalan. Serangannya yang
sudah tidak mapan lagi justru telah membuat Mahisa Bungalan
menjadi ngeri. Wajah orang tua berilmu hitam itu bagaikan wajah
hantu yang mengerikan. Kengerian itulah yang membuat Mahisa Bungalan pun menjadi
semakin kasar. Rasa-rasanya ia bagaikan dikejar-kejar oleh wajah
hantu yang bangkit dari dasar bumi.
Karena itulah, tidak ada cara lain untuk menghindarkan diri dari
pertempuran itu selain menghentikan perlawanan Empu Baladalu itu
sama sekali. Meskipun itu akan berarti membunuhnya, jika
senjatanya mematuk terlalu keras dari sekedar melumpuhkan.
Dengan demikian maka serangan Mahisa Bungalan tidak lagi
tertahan-tahan. Bagaikan banjir bandang ia menyerang dengan
senjatanya, Semakin lama semakin sengit, justru saat-saat Empu
Baladatu menjadi semakin lemah.
Ketika darah Empu Baladatu bagaikan memerahi tubuhnya
bercampur keringat, maka tikaman Mahisa Bungalan tidak dapat
dielakkannya lagi. Sebuah luka telah menganga di dadanya.
Terdengar Empu Baladatu mengeluh. Terhuyung-huyung ia
terdorong surut. Namun wajahnya masih saja seperti wajah hantu
2653 yang memandang Mahisa Bungalan dengan sorot mata yang
mengerikan. Mahisa Bungalan benar-benar menjadi bingung menghadapi
tatapan mata itu. Karena itulah, seolah-olah diluar sadarnya, ia
meloncat sekali lagi. Ia harus memusnakan wajah yang
memandangnya dengan sangat mengerikan itu.
Itulah sebabnya, maka tusukan berikutnya telah menghempaskan
Empu Baladatu. Orang itu terjatuh di tanah dengan semburan darah
dari luka-lukanya. Ketika Mahisa Bungalan siap untuk menghunjamkan senjata
sekali lagi justru oleh kengerian yang mencekam jantung, Mahisa
Agni sempat mencegahnya. Selangkah ia maju sambil
memanggilnya, "Mahisa Bungalan. Hentikan kekacauan nalarmu.
Kau adalah seorang kesatria yang menghadapi lawan sudah tidak
berdaya." Mahisa Bungalan bagaikan tersadar dari mimpi yang sangat
buruk. Ia menghentikan langkahnya. Ketika terpandang olehnya
wajah Mahisa Agni yang lembut tetapi bagaikan tajamnya sembilu
menusuk hati, anak muda itu melangkah surut sambil menundukkan
kepalanya. Sesaat Mahisa Agni memandang anak muda itu. Namun
kemudian Perlahan-lahan ia mendekati Empu Baladatu, disusul oleh
Witantra dan Mahendra. Empu Baladatu yang terbaring di tanah masih sempat
memandang orang-orang yang mengerumuninya dengan sorot
dendam yang menyala di dalam hati. Tetapi ia sudah tidak mampu
berbuat apa-apa lagi. Bahkan menarik nafaspun rasa-rasanya
dadanya sudah terlalu lemah.
Masih terdengar orang itu mengumpat. Namun kemudian
wajahnya bagaikan menjadi beku ketika matanya perlahan-lahan
telah terpejam. 2654 Empu Baladatu yang garang itu akhirnya terbunuh di medan oleh
Mahisa Bungalan. Anak muda yang tumbuh dengan cepatnya di
antara mereka memiliki ilmu yang tinggi di dalam oleh kanuragan.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kematian Empu
Baladatu merupakan pertanda akhir dari pertempuran yang terjadi
di halaman istana dan di seluruh Kota Raja. Ia mati di antara
korban-korban lain yang berjatuhan dari kedua belah pihak.
Ketika Mahisa Agni kemudian memandang berkeliling, nampak
wajah-wajah yang tegang dari para prajurit Singsari dan wajahwajah
murung dari para pengikut Empu Baladatu yang terpaksa
menyerah karena mereka tidak berpengharapan lagi untuk berbuat
apapun juga. "Semuanya telah terselesaikan." berkata Mahisa Agni, "Kini kita
semuanya menghadapi tugas baru. Kita harus menyelenggarakan
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
para korban." Para prajurit Singasari menarik nafas dalam-dalam. Mereka
adalah termasuk orang-orang yang lolos dari kematian. Namun
terasa dada merekapun bergetar ketika terpandang oleh mereka
mayat yang berserakan di halaman dan bahkan di jalan-jalan Kota
Raja. "Mumpung kalian masih basah oleh keringat." berkata Mahisa
Agni, "Lakukanlah. Kemudian kalian akan dapat beristirahat dengan
tenang." Betapapun lelahnya, tetapi para prajurit memang merasa
sebaiknya semua pekerjaan diselesaikan sama sekali. Sehingga
kemudian mereka akan dapat beristirahat tanpa kegelisahan oleh
tugas-tugas yang masih merasa menjadi beban mereka.
Dengan demikian, maka merekapun segera mengumpulkan
mayat yang berserakan. Para pengikut Empu Baladatu yang telah
menyerahpun harus melakukannya pula di bawah pengawasan para
prajurit. 2655 Sementara itu, seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni,
Singasari telah mengirimkan penghubung ke tempat-tempat yang
tidak terlalu jauh, untuk menarik para prajurit yang sedang bertugas
di daerah-daerah terpencil. Mereka harus segera berada di Kota
Raja menghadapi perkembangan keadaan.
Namun di antara para penghubung, dua orang harus menjumpai
Empu Sanggadaru yang berada di padukuhan yang tidak jauh dari
gerbang Kota Raja. Keduanya membawa kabar, bahwa Empu
Baladatu, adik Empu Sanggadaru telah terbunuh dalam perang
tanding melawan Mahisa Bungalan.
Berita itu diterima oleh Empu Sanggadaru dengan hati yang
pedih. Bagaimanapun juga, Baladatu adalah adiknya.
"Aku akan segera datang." berkata Empu Sanggadaru. Dengan
beberapa orang pengawalnya, Empu Sanggadaru pun kemudian
memasuki pintu gerbang Kota Raja.
Ketika terpandang olehnya korban yang sedang, dikumpulkan,
maka terasa betapa jantungnya bergejolak. Diluar sadarnya ia
mengusap dadanya dengan telapak tangannya sambil berdesis,
"Manusia memang merupakan bahaya yang paling garang bagi
sesamanya." Namun Empu Sanggadaru dapat mengerti, bahwa bagi Singasari
memang tidak ada pilihan lain, jika Singasari masih ingin tetap
berdiri. Dengan wajah yang suram Empu Sanggadaru memandang mayat
adiknya yang. terbujur di antara jajaran mayat pengikutnya. Tetapi
orang tua itu harus mengikhlaskannya.
"Ia sudah memetik buah dari tanamannya sendiri." gumam
Empu Sanggadaru, "Betapapun juga aku mencoba mencegahnya,
namun sia-sia. Dan akhir yang demikianlah agaknya memang sudah
menjadi pola hidupnya."
Mahisa Agni yang berdiri di sampingnva memandangnya sejenak.
Namun kemudian katanya, "Marilah Empu. Naiklah kepaseban.
2656 Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka akan mengadakan sidang
untuk menanggapi keadaan yang berkembang dengan cepatnya."
"Apakah aku diperkenankan hadir?" bertanya Empu Sanggadaru.
"Kita akan berbicara tentang persoalan yang sangat luas." jawab
Mahisa Agni. Empu Sanggadaru masih ragu-ragu. Tetapi Mahisa Agni
mendesaknya agar ia ikut hadir dalam pembicaraan tentang masa
depan Singasari. "Baiklah." berkata Empu Sanggadaru, "Mungkin ada sesuatu
yang penting aku dengar."
Demikianlah, maka Empu Sanggadaru telah hadir dalam
pembicaraan di pasehan mengenai nasib Singasari.
"Aku sudah mengirimkan penghubung untuk menarik para
prajurit yang tersebar di daerah-daerah terpencil." berkata
Ranggawuni. "Mudah-mudahan mereka akan dapat segera datang." Desis
Mahisa Agni. "Mudah-mudahan. Kita masih menghadapi persoalana yang
gawat." sahut Ranggawuni. Kemudian, "Kita berterima kasih kepada
Empu Sanggadaru yang sudah siap membantu kita jika sesuatu
terjadi." "Itu adalah kewajiban kami." sahut Sanggadaru.
Dengan tandas Ranggawuni menjelaskan apa yang sudah terjadi
sampai saat kematian Empu Baladatu. Namun ia pun
memberitahukan kemungkinan yang dapat terjadi atas Singasari
karena sikap orang-orang Mahibit.
"Kemenangan yang baru saja kita capai jaganlah membuat kita
lengah. Setiap saat bahaya yang lain akan datang menerkam Kota
Raja. Justru pada saat kita sedang parah." berkata Ranggawuni,
"Karena itulah, maka aku berharap agar dalam kelelahan ini, kita
akan tetap sadar bahwa kita masih harus tetap berjaga-jaga."
2657 Empu Sanggadaru yang segar- itupun berkata, "Tuanku. Dalam
pertempuran yang baru lalu ternyata kami tidak mendapat
kesempatan untuk ikut serta. Karena itu, maka kami akan
melakukan setiap perintah tuanku menghadapi setiap kemungkinan
yang bakal datang." "Terima kasih Empu. Tetapi sudah tentu bahwa kami tidak akan
dapat membebankan segalanya kepada Empu Sanggadaru."
"Kami akan berbuat sejauh dapat kami lakukan."
Ranggawuni meng-angguk-angguk. Ia percaya bahwa Empu
Sanggadaru bukan sekedar mencari pujian. Tetapi dengan tulus ia
telah mengerahkan kekuatan yang ada padanya untuk membantu
kesulitan yang dialami oleh Singasari. Orang-orang yang pernah
menyebut dirinya gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang,
kini merupakan kekuatan yang besar yang dapat digerakkan untuk
kepentingan yang berlawanan dengan kegiatan kedua gerombolan
itu pada masa lampau. Dalam pada itu, selagi para pemimpin di paseban membicarakan
masalah-masalah pokok yang akan dihadapi oleh Singasari, maka di
halaman dan di Kota Raja, para prajurit dan para tawanan sedang
sibuk mengumpulkan mayat yang berserakkan.
Namun sementara itu, di Mahibit, Linggapati sedang mendengar
laporan penghubungnya yang baru datang dari Singasari. Dengan
yakin penghubung itu mengatakan, bahwa Singasari kini telah
lumpuh. Siapapun yang menang, dalam pertempuran yang telah
terjadi, mereka tidak akan mampu bertahan jika badai berikutnya
datang menghantam Kota Raja.
"Kita akan bersiap-siap." berkata Linggapati.
"Bukan sekedar bersiap-siap." sahut penghubung itu, "Tetapi kita
akan segera berangkat."
"Tentu tidak sekarang." jawab Linggapati, "Tetapi kita harus
mengumpulkan semua kekuatan untuk menghantam Kota Raja."
"Kota Raja sudah terlalu lemah."
2658 Linggapati termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Jika
demikian kita tidak perlu mengadakan gerakan di daerah-daerah
terpencil. Kita akan langsung memasuki Kota Raja dan
menghancurkannya." "Ya. Kita akan banyak kehilangan waktu untuk menunggu
kekalutan yang terjadi di mana-mana. Sebelum para prajurit siap
menghimpun diri, kita akan datang untuk menghancurkannya."
"Baiklah. Tetapi itu memerlukan satu dua hari. Kekuatan kita
tidak berkumpul di bawah satu atap. Bahkan tidak berada di satu
padepokan. Tetapi kita akan memanggil mereka. Menyusun dalam
satu barisan dan kemudian membawa mereka ke Kota Raja."
"Jangan terlalu lama."
"Kita memerlukan satu hari untuk memanggil mereka. Hari
berikutnya kita berkumpul. Kemudian di hari berikutnya lagi kita
sudah berada di perjalanan. jika benar katamu, luka Kota Raja
Singasari itu cukup parah, maka dalam tiga hari luka itu belum akan
sembuh benar, siapapun yang menang. Apakah itu Ranggawuni
dengan pasukannya atau Empu Baladatu."
Penghubung itu tidak dapat mengatasinya. Ia sadar, bahwa
memang diperlukan waktu untuk mengumpulkan seluruh kekuatan
yang ada, menyusun dalam satu barisan yang kuat untuk memasuki
Kota Raja Singasari s iapapun yang, menguasainya.
Ketika di hari berikutnya, oranga Mahibit bersiap-siap, maka
persiapan itu tidak luput dari pengamatan petugas-petugas sandi
yang memang sudah dipasang oleh Mahisa Agni. Itulah sebabnya,
maka laporan itu pun segera sampai ke istana.
Dengan, dada yang berdebar-debar Mahisa Agni mendengarkan
laporan itu. "Mereka telah berkumpul di Mahibit." berkata petugas sandi itu.
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia dapat membayangkan
bahwa kekuatan Mahibit tentu lebih besar dari kekuatan Empu
Baladatu. setidak-tidaknya seimbang. Sementara prajurit Singasari
2659 yang. kelelahan masih belum sempat beristirahat, sedangkan jumlah
merekapun jauh susut. "Tetapi kita harus berbuat sesuatu." berkata Mahisa Agni di
dalam hatinya. Karena itu, maka katanya kepada penghubung itu, "Baiklah. Aku
akan memperbincangkannya."
"Nampaknya mereka ingin bergerak cepat." berkata petugas
sandi itu. "Aku mengerti. Dan aku akan mengimbangi kecepatan mereka
bergerak." Mahisa Agni pun kemudian membawa persoalan itu dalam sidang
yang segera diselenggarakan, termasuk Empu Sanggadaru.
"Pasukanku sudah siap." berkata Empu Sanggadaru, "Jika dalam
pertempuran yang baru saja terjadi, kami telah diasingkan, maka
kami akan menebusnya dalam kegawatan yang bakal datang di Kota
Raja." "Terima kasih Empu. Sementara kami masih menunggu
kehadiran para prajurit yang dalam kelompok-kelompok kecil akan
memasuki Kota Raja."
"Jika keadaan memaksa, aku akan bertahan sampai mereka
datang." berkata Empu Sanggadaru.
"Baiklah Empu. Tetapi sesuai dengan perkembangan keadaan
dan keadaan pasukan, maka kita akan bertahan di dalam dinding
Kota Raja. Kita akan memperbaiki selarak pintu dan menjaganya
dengan segenap kekuatan. Jika mereka memasuki Kota Raja, kita
siap menyongsong. Namun menurut pertimbangan kekuatan kita
sebaiknya berada di dalam dinding. Untuk melampaui dinding
mereka tentu akan memberikan korban yang tidak sedikit, sebelum
pertempuran campuh terjadi di dalam Kota Raja." sahut Mahisa
Agni. 2660 "Tetapi Kota Raja akan menjadi semakin parah. Rumah-rumah
akan menjadi bara dan jalan-jalan akan menjadi saluran arus darah
yang tertumpah dari para korban. Pertempuran yang baru lalu telah
merusakkan sebagian dari Kota Raja. Yang rusak itu belum sempat
diperbaiki, akan datang bencana baru yang akan menambah
kerusakan itu." jawab Empu Sanggadaru.
"Tetapi kita memang harus memilih. Kita akan mengurangi
korban sampai sekecil-kecilnya atau kita lebih senang
menyelamatkan Kota Raja dari kerusakan. Jika yang baru saja kita
lakukan adalah bertahan di luar dinding, maka menurut perhitungan
kita, kita tidak akan mengalami banyak kesulitan untuk bertahan
dan menyelamatkan Kota Raja. Tetapi karena kelengahan kita,
maka Empu Baladatu telah berhasil memasuki Kota Raja dan
menghancurkannya." berkata Mahisa Agni.
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
"Baiklah. Aku akan membawa pasukanku ke dalam Kota Raja dan
bertahan di belakang dinding."
"Kami akan memperbanyak senjata jarak jauh. Kami akan
menyiapkan busur dan anak panah." berkata Mahisa Agni kemudian.
Empu Sanggadaru tidak dapat berpendirian lain. Para
Senapatipun sependapat, bahwa dalam keadaan yang lelah, prajurit
Singasari lebih baik bertahan di belakang dinding Kota Raja
meskipun pasukan Empu Sanggadaru masih segar.
Karena itu, maka Empu Sanggadaru segera ditarik masuk ke
dalam kota, sementara beberapa orang telah memperbaiki selarak.
Bahkan tidak hanya satu. Tetapi pintu gerbang itu telah diselarak
rangkap. Sementara beberapa orang lain telah mempersiapkan busur
sebanyak-banyaknya beserta anak panahnya. Mereka harus
menyediakan bagi para prajurit dan pasukan Empu Sanggadaru
yang akan menghujani lawan dengan anak panah.
2661 Sebagian dari mereka telah membuat busur dengan bambu.
Meskipun kurang baik, tetapi cukup untuk melontarkan anak panah
dan melukai dada. Sementara para prajurit dan pasukan Empu Sanggadaru bersiapsiap
setelah mereka melakukan tugas yang membuat mereka
pening, yaitu mengubur mayat-mayat yang berserakan, maka para
penghubung telah menyampaikan perintah bagi para prajurit yang
tersebar untuk kembali ke Kota Raja secepatnya.
"Tidak ada waktu untuk pertimbangan- pertimbangan." berkata
para pemimpin kelompok kepada pasukan mereka.
Maka mereka pun segera minta diri kepada anak-anak muda
yang selama itu telah mereka persiapkan. Bahkan dengan pesan,
bahwa jika perlu mereka tentu akan dipanggil pula ke Kota Raja.
Sekelompok demi sekelompok dari daerah yang terpencar,
prajurit-prajurit Singasari telah mendekati Kota Kaja. Para
penghubung telah memberikan pesan, bahwa mereka harus segera
berada di dalam Kota Raja, karena bahaya nampaknya tidak akan
tertunda-tunda lagi. Kedatangan mereka disambut dengan penuh harapan, bahwa
Kota Raja akan dapat diselamatkan dari serangan Linggapati yang
cerdik. Namun mereka digelisahkan oleh kedatangan seorang petugas
sandi yang lain, yang memberitahukan, bahwa jumlah pasukan
Mahibit ternyata sangat besar. Jauh lebih besar dari pasukan Empu
Baladatu. Para pemimpin prajurit di Singasari menjadi berdebar-debar
mendengar laporan itu. Namun Mahisa Agni masih mencoba
menenangkan mereka. Meskipun pasukan Empu Sanggadaru belum
sebesar seperempat pasukan Empu Baladatu, tetapi masih ada
harapan bahwa prajurit Singasari akan bertambah semakin banyak,
sehingga pada saat orang-orang Mahibit itu memasuki Kota Raja,
pasukan Singasari telah siap menghancurkan lawan.
2662 "Tetapi lawan itu jauh lebih besar." setiap kali terdengar para
Senapati bergumam. Tiba-tiba saja Mahisa Agni berpaling kepada para Senapati. Ada
sesuatu yang terbesit di dalam hatinya. Namun nampaknya ia masih
ragu-ragu mengatakannya.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ranggawuni agaknya melihat gejolak hati Mahisa Agni, sehingga
ia pun kemudian bertanya, "Paman, apakah ada sesuatu yang
terpikir oleh paman menghadapi keadaan yang gawat ini?"
Mahisa Agni menarik nafas. Kemudian dengan ragu-ragu ia
berkata, "Hamba mempunyai suatu pendapat yang barangkali masih
memerlukan pertimbangan."
"Katakan paman, apapun yang sedang paman pikirkan Jika para
Senapati berpendapat pikiran itu baik, kita tentu akan
melaksanakan. Jika tidak, kami akan memberikan penilaian atas
pendapat paman." Mahisa Agni rnengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Tuanku.
jika sekiranya hamba diperkenankan, hamba ingin menyusun
pasukan yang terdiri dari para tawanan yang baru saja kita kalahkan
dari pasukan Empu Baladatu. Hamba akan memberikan penjelasan
tentang keadaan yang sebenarnya kita hadapi. Kita akan
menjajakan pengampunan, jika mereka dengan sungguh-sungguh
membantu kita." Raggawuni mengerutkan keningnya. Seorang Senapati muda
dengan serta merta bertanya, "Bagaimanakah jika mereka ternyata
berpihak kepada Linggapati?"
"Kita harus memberikan penjelasan bahwa linggapati tidak akan
dapat dipercaya. Jika benar-benar Linggapati tidak bermaksud
mengkhianati Empu Baladatu. maka ia tidak akan menunggu sampai
pasukannya hancur. Tentu mereka akan dapat menilai s ikap itu."
"Apakah kita yakin bahwa mereka lebih percaya kepada kita
daripada kepada Linggapati?" bertanya Senapati yang lain.
2663 "Aku memang menganggap demikian. Kita tidak membunuhnya
meskipun kita dapat mengalahkan mereka. Kita menawan mereka
dengan sikap yang wajar."
Ranggawuni yang mendengarkan pembicaraan itu menganggukangguk.
Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, "Tetapi apakah paman
yakin?" "Hamba yakin terhadap sikap mereka. Yang hamba ragukan
apakah pendapat ini akan dapat disetujui."
Ranggawuni mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Cempaka
bertanya, "Apkah paman pernah berbicara dengan satu dua orang di
antara mereka?" "Hamba tuanku. Dan hamba mendapat kesimpulan, bahwa
sebagian dari mereka sama sekali tidak mengerti dan tidak
menyadari apakah yang sebenarnya telah mereka lakukan."
Mahisa Cempaka memandang Ranggawuni sesaat. Kemudian
katanya, "Jika paman yakin, bahwa paman dapat memberikan
penjelasan, aku kira pendapat paman dapat dicoba dengan memilih
di antara mereka, orang-orang yang nampaknya tidak terlalu liar."
"Aku sependapat." sahut Ranggawuni, "Cobalah paman bersama
beberapa orang mengamati sekali lagi. Apakah kita akan dapat,
mempercayai mereka."
Mahisa Agni mengangguk sambil menjawab, "Hamba akan
menjajagi lebih dalam lagi tuanku. Mudah-mudahan hamba
mendapatkan kenyataan seperti yang hamba duga."
Setelah pembicaraan itu selesai maka Mahisa Agni pun segera
menemui orang-orang yang berada dalam tahanan bersama
Witantra, Mahendra, Lembu Ampal dan Mahisa Bungalan. Dengan
berbagai cara mereka berusaha untuk menjajagi pendapat para
tawanan itu. Dengan hati-hati Mahisa Agni berbicara di hadapan mereka
tentang keadaan yang sedang dihadapi oleh Singasari. Sikap
Linggapati terhadap Empu Baladatu dan kemudian janji
2664 pengampunan terhadap mereka yang bersedia dan kemudian
membuktikan, bahwa mereka telah menyesali sikapnya.
"Mungkin ada di antara kalian yang terbunuh sebelum menikmati
pembebasan yang kami janjikan. Tetapi mayat kalian akan dikubur
bersama para pahlawan dari Singasari. Tidak disisihkan sebagai
pengkhianat yang telah memberontak terhadap negara."
Para tawanan itu mendengarkan keterangan Mahisa Agni dengan
saksama. Keterangan yang cukup panjang dan meyakinkan.
"Akhirnya, terserah kepada kalian. Pintu ruangan ini akan
dibuka. Demikian pula pintu ruangan-ruangan lain. Siapa yang
bersedia menerima tawaran pembebasan dan kesempatan untuk
menebus kesalahan yang pernah kalian lakukan, aku persilahkan
keluar dan berkumpul di halaman depan. Sedangkan yang tidak
bersedia, kami tidak akan memaksanya. Mereka dipersilahkan tetap
berada di dalam ruangan ini."
Mahisa Agni tidak menunggu jawaban. Ia pun segera
meninggalkan ruangan itu dan memasuki ruangan berikutnya
sehingga ia telah berbicara dibeberapa ruangan bergantian dengan
Witantra, Mahendra, dan Lembu Ampal.
Setiap ruangan yang dimasuki oleh pemimpin-pemimpin Singasari
itu, telah menjadi gelisah. Beberapa orang diburu keragu-raguan.
Mereka dibayangi oleh kecurigaan, bahwa mereka akan ditipu oleh
prajurit Singasari. Namun timbul juga kepercayaan mereka melihat
kesungguhan sikap para pemimpin Singasari yarg telah datang
kesetiap ruangan itu. "Kesempatan seperti ini jarang sekali didapat oleh tawanan yang
manapun juga." desis salah seorang dari mereka.
"Setelah perang melawan Mahibit selesai, kita akan di bantai.
Siapapun yang menang." sahut yang lain.
"Aku percaya kepada Mahisa Agni. Ia bukan termasuk orang
yang licik. Aku kira ia benar-benar akan menepati janjinya. Aku lebih
percaya kepada Mahisa Agni daripada orang-orang Mahibit.
2665 Termasuk Linggapati." berkata seorang yang telah agak lanjut usia
tetapi badannya masih nampak kuat dan gagah.
Sejenak mereka saling berbincang. Namun akhirnya di setiap
ruangan telah tumbuh kepercayaan, bahwa Mahisa Agni dan kawankawannya
tidak termasuk orang yang licik dan pendusta. Mereka
adalah kesatria yang dapat dipercaya kata-katanya.
Karena itulah, maka meskipun ragu-ragu, beberapa orang telah
menjenguk ke luar pintu yang tetap terbuka. Beberapa, saat masih
nampak keragu-raguan yang mencengkam. Namun ketika seorang
dari mereka melangkah ke luar, maka yang lainpun segera
menyusul seorang demi seorang. Tetapi akhirnya ruangan-ruangan
itu telah menjadi kosong.
Kehadiran mereka di halaman depan telah disambut oleh para
prajurit Singasari seperti keluarga sendiri. Mereka kemudian disusun
dalam satu barisan. Namun kemudian kelompok-kelompok kecil
mereka telah dilebur dengan pasukan Singasari.
"Mereka tetap curiga terhadap kita." seseorang di antara mereka
berbisik. "Itu wajar sekali." jawab yang lain.
"Dengan begini, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa. Pasukan
kita telah dipecah dalam kelompok-kelompok dan dibaurkan dengan
prajurit Singasari di tempat yang terpisah-pisah."
"Justru kita harus membuktikan bahwa kita tidak sekedar
berbohong dengan licik. Kita harus membuktikan bahwa kita benarbenar
ingin menebus kesalahan yang pernah kita buat. Jika kita
tetap hidup, maka kita akan dapat menikmati kebebasan seperti
kebanyakan orang. Sedangkan kemungkinan kita untuk mati, tidak
lebih buruk dari prajurit-prajurit Singasari sendiri."
Demikianlah maka bekas pengikut Empu Baladatu itu hampir
seluruhnya yang tertawan hidup telah menyatakan diri ikut serta
dalam perjuangan melawan orang-orang Mahibit. Mereka telah
mempertaruhkan jiwa mereka untuk mendapatkan kebebasan
2666 seperti kebanyakan orang-orang Singasari yang lain. Rasa-rasanya
mereka telah dicengkam oleh kerinduan untuk hidup tanpa dikejarkejar
oleh kewajiban-kewajiban yang kemudian mereka sadari,
seolah-olah telah mengikat mereka pada jantung dan hati. Hidup
sebagai orang-orang yang menghirup ilmu hitam dengan segaIa
macam tata cara yang mengerikan, maupun hidup sebagai tawanan
di dalam batas dinding-dinding yang kuat.
Kesempatan yang terbuka itu memang harus dipertaruhkan
dengan segenap hidup mereka. Dan orang-orang bekas pengikut
Empu Baladatu itu telah memilih untuk menebus kebebasan itu
dengan jiwa mereka. Demikianlah, maka pasukan Singasari telah bertambah kuat. Di
antara mereka terdapat pasukan Empu Sanggadaru dan bekas para
pengikut Empu Baladatu. Sementara itu prajurit Singasari yang
terpencar sekelompok demi sekelompok telah memasuki pintu
gerbang Kota Raja. Sementara itu, Linggapati telah siap dengan seluruh pasukannya.
Laporan terakhir yang sampai kepadanya, mengatakan bahwa
prajurit Singasari telah berhasil menghancurkan pasukan Empu
Baladatu. Tetapi prajurit Singasari harus menebus kemenangan itu
dengan korban yang tidak terhitung jumlahnya, karena Empu
Baladatu berhasil memasuki halaman istana setelah mereka
menghancurkan Kota Raja. "Bukan main." desis Linggapati, "Empu Baladatu benar-benar
membuktikan bahwa ia memiliki kekuatan cukup untuk
menghancurkan Singasari meskipun ia sendiri akhirnya juga menjadi
hancur." "Kita harus segera menguasai keadaan." berkata seorang
kepercayaannya. "Ya. Kita akan berangkat dengan kekuatan kita sepenuhnya. Kita
tidak mau gagal oleh kesombongan, bahwa Singasari tidak akan
dapat berbuat apa-apa lagi."
2667 "Kita akan memasuki Kota Raja dan akan berbaris di sepanjang
jalan Kota menuju ke halaman istana. Mungkin Kota Raja telah
hancur dan rata dengan tanah. Mungkin istana Singasari pun telah
rusak. Tetapi lambang kekuasaan itu akan jatuh ketangan kita. Kita
akan membangunkannya kembali dengan kemegahan yang
melampaui Kota Raja Singasari yang lama."
Dengan penuh harapan, Linggapati membawa pasukannya
menuju ke Kota Raja. Di sepajang jalan, setiap orang di dalam
pasukannya, telah memperbincangkan kemungkinan yang akan
mereka hadapi. "Kita akan menemukan sebuah Kota yang sudah hancur. Kita
tidak akan dapat merampas harta benda maupun membawa puteri
yang telah kita taklukkan. Semuanya sudah dihanguskan oleh Empu
Baladatu meskipun akhirnya Empu Baladatu sendiri menjadi
hangus." Ternyata bahwa Linggapati tidak dapat menghapuskan perasaan
bangganya terhadap pasukannya yang kuat. Kesalahan yang
pertama dibuatnya, adalah bahwa ia menganggap prajurit Singasari
benar-benar telah lumpuh.
Itulah sebabnya, maka Linggapati yang sampai saat terakhir
berhasil merahasiakan seluruh kekuatannya, maka kini ia sama
sekali tidak menyamarkan pasukannya. Pasukan itu berjalan dengan
tenang di sepanjang jalan menuju ke Kota Raja.
Penghuni padepokan yang dilalui oleh pasukan itu menjadi
gempar. Mereka melihat sepasukan pengawal lengkap dengan
senjata di tangan. "Apakah yang akan mereka lakukan?" pertanyaan itu timbul
pada setiap orang. Tetapi tidak seorang pun yang dapat memberikan jawaban.
Sebagian dari mereka memang berprasangka buruk terhadap
pasukan itu. Namun yang lain sama sekali tidak dapat menyebutkan
sama sekali. 2668 Namun dalam pada itu. Singasari telah siap menyambut pasukan
yang baru datang. Bahkan hampir setiap saat, para pengawas
datang melaporkan apa yang mereka lihat pada pasukan Linggapati
yang semakin mendekati Kota Raja.
"Pasukan ini lebih kuat dan lebih gila dari pasukan Empu
Baladatu." seorang pengawas melaporkan.
"Apa yang kau lihat?"
"Mereka berjalan dengan tenang di sepanjang jalan raya. Bahkan
sekali-sekali mereka bersorak-sorak seolah-olah mereka telah
mendapatkan kemenangan di suatu medan. Mereka mengacukan
senjata mereka dan membentak orang-orang padukuhan yang
karena ketidak tahuan mereka, berusaha untuk melihat, iring-iringan
apakah yang sedang lewat itu."
Para Senapati di Singasari termangu-mangu mendengar laporan
itu. Mereka telah membayangkan, bahwa pertempuran yang bakal
datang, tidak akan kalah dahsyatnya dengan pertempuran yang
baru diselesaikan oleh prajurit-prajurit Singasari.
Dengan hati yang berdebar-debar para prajurit Singasari telah
mempersiapkan perlawanan dari atas dinding Kota Raja Di belakang
dinding, pasukan yang besar telah bersiaga pula. Di antara mereka
terdapat bekas para pengikut Empu Baladatu yang telah
menemukan keyakinan baru di dalam hidupnya.
Pendekar Pedang Sakti 20 Benteng Digital Digital Fortress Karya Dan Brown Ksatria Puteri Dan Bintang 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama