Ceritasilat Novel Online

Sepasang Ular Naga 5

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 5


terlampau keramat untuk aku bawa menghadap Ibunda Ken
Umang." "Tidak, bukan begitu," cepat-cepat Anusapati memotong, "tetapi
keris itu mempunyai ceritanya tersendiri. Eh, maksudku, memang
keris itu terlalu keramat. Sebaiknya keris itu disimpan untuk tidak
disentuh lagi. Bahkan sebaiknya keris yang rasa-rasanya seperti
selalu haus darah itu dimusnahkan saja."
"Aku sependapat Kakanda."
"Maksudmu?" "Aku sependapat jika keris itu dimusnahkan. Jika tidak maka ia
akan menusuk sekali lagi orang yang sebenarnya bersalah atas
Ayahanda Sri Rajasa. Tetapi jika orang itu bernama Pangalasan Batil
dan sudah dibunuh oleh Kakanda, maka orang yang menyuruh
pangalasan itulah yang akan menjadi sasaran. Karena itu, sebaiknya
keris itu memang dimusnahkan."
Sekali lagi dada Anusapati tergetar. Seakan-akan Tohjaya sudah
memastikan bahwa sebenarnya ia sendirilah yang telah membunuh
ayahandanya itu. Karena itu, maka rasa-rasanya darahnya telah
252 bergejolak karena kegelisahan yang menghentak-hentak
jantungnya. Untuk beberapa saat lamanya Anusapati justru merenung.
Merenungi dirinya sendiri dan merenungi masa depan Singasari.
Namun yang akan terjadi akan terjadilah.
Karena itu, maka Anusapati pun berkata kepada dirinya sendiri,
"Tidak ada seorang pun yang dapat mengelakkan diri dari sentuhan
maut apabila memang sudah waktunya."
Dengan demikian maka akhirnya Anusapati pun mengambil
keputusan untuk memberikan keris itu kepada Tohjaya. Ia tidak
dapat lagi menentang perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya.
Dan tidak seperti Sri Rajasa, yang pernah tinggal di padang
Karautan dan pernah menjadi pembunuhan besar, perampok dan
pemerkosa, Anusapati tidak dapat ingkar dan melupakan bahwa
sebenarnya ia telah membunuh Sri Rajasa.
"Tohjaya," berkata Anusapati kemudian, "baiklah, jika kau dan
Ibunda Ken Umang ingin melihat keris yang telah merampas hidup
Ayahanda. Tetapi jangan disimpan keris itu terlampau lama. Segera
serahkan kembali keris itu kepada Kakanda. Aku akan
memusnahkannya agar keris itu tidak lagi menuntut kematian demi
kematian, sebagai akibat noda darah yang sudah terlanjur melekat
pada keris itu." "Baiklah Kakanda. Hamba akan segera mengembalikannya."
Dengan hati yang berdebar-debar, maka Anusapati pun bangkit
dari tempatnya. Dengan ragu-ragu ia melangkah ke dalam biliknya
dan mengambil keris yang disimpannya baik-baik.
Ketika Anusapati meraba keris itu, terasa tangannya menjadi
gemetar. Ada sesuatu yang menahannya untuk memberikan keris
itu kepada Tohjaya. Tetapi ia tidak dapat melakukannya, karena
desakan kegelisahan perasaannya, seakan-akan ia tidak
memberikan keris itu karena ia merasa bersalah.
253 Karena itu, betapa hatinya dicengkam oleh keragu-raguan,
namun keris itu diambilnya juga dan diberikannya kepada adiknya.
"Inilah keris itu Tohjaya," berkata Anusapati sambil memberikan
keris itu kepada Tohjaya.
Tohjaya tiba-tiba saja menjadi gemetar menerima keris itu. Keris
yang selama ini tersimpan rapat. Keris yang telah mengambil jiwa
ayahandanya. Apapun yang dikatakan oleh orang lain, namun
Tohjaya tetap berpendapat bahwa Anusapati telah membunuh Sri
Rajasa dengan keris Empu Gandring itu. Apalagi setelah Tohjaya
mendengar, siapakah sebenarnya Anusapati dan cerita tentang
tahta Tumapel yang jatuh kepada Ken Arok yang kemudian bergelar
Sri Rajasa, karena perkawinannya dengan Ken Dedes.
"Keris itu adalah keris yang sakti," berkata Anusapati.
Tohjaya mengerutkan keningnya. Tentu tidak ada orang yang
dapat menyentuh keris itu selain Anusapati atau orang-orang lain
yang sangat dekat padanya. Seandainya tidak demikian, maka
ceritanya tentu akan bermula lain sama sekali dengan yang pernah
didengarnya. Tetapi Tohjaya tidak dapat bertanya lebih jauh tentang
semuanya itu. Ia hanya dapat menduga-duga saja apa yang telah
terjadi sebenarnya. Dan Anusapati pun tidak pernah membantah,
bahwa kematian Sri Rajasa disebabkan oleh jenis senjata yang lain.
Bukan oleh keris itu, justru karena Anusapati tidak dapat melakukan
kebohongan yang sempurna seperti Ken Arok.
Ketika keris Empu Gandring itu sudah berada di tangannya, maka
rasa-rasanya Tohjaya tidak dapat menahan diri lagi. Ingin rasarasanya
ia berbuat sesuatu dengan keris itu. Ia sadar bahwa ia
berkewajiban untuk menuntut balas atas kematian ayahandanya itu.
Kematian yang seakan-akan masih saja disaput dengan kabut
rahasia, tetapi yang bagi Tohjaya sudah merupakan suatu kepastian
dan keyakinan bahwa Anusapatilah yang melakukannya, meskipun
ia harus meminjam tangan orang lain. Dan keris ini pulalah yang
telah dipergunakannya untuk membunuh ayahanda Sri Rajasa.
254 Tetapi Tohjaya tidak dapat langsung meloncat dan menikam
Anusapati. Ia pun menyadari bahwa Anusapati memiliki kemampuan
jauh lebih besar daripadanya. Sehingga karena itu, maka ia harus
mencari kesempatan lain untuk melakukan rencananya itu.
"Jika Kakanda Anusapati terbunuh," katanya di dalam hati, "maka
harus diyakini lebih dahulu, bahwa pasukan pengawal terutama di
istana ini akan dapat dikuasai."
Dan Tohjaya sudah berbuat sesuatu untuk menuju kepada
rencananya yang besar itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Tohjaya pun segera minta
diri Dengan keris Empu Gandring di tangannya, Tohjaya merasa
seakan-akan rencananya pasti akan dapat berjalan sesuai dengan
kehendaknya. Sepeninggal Tohjaya, Anusapati mulai merenung lagi. Kadangkadang
ia heran, kenapa ia tidak dapat menahan diri untuk tidak
menyerahkan keris itu. Dan ia tidak dapat ingat lagi siapakah
sebenarnya yang mula-mula mengatakan bahwa Sri Rajasa telah
terbunuh dengan keris Empu Gandring. Siapakah yang saat itu
melihat dan siapakah yang mengatakan kepada Tohjaya bahwa
keris itu masih ada padanya.
Tetapi Anusapati tidak mau menelusuri teka-teki itu lagi. Ia kini
sedang menghadapi teka-teki yang jauh lebih besar. Teka-teki
tentang dirinya sendiri. Dalam pada itu, Tohjaya yang menghadap Ken Umang dengan
keris yang sakti itu, menganggap bahwa waktunya memang sudah
masak untuk berbuat sesuatu. Yang penting baginya adalah
meyakinkan sekali lagi, bahwa semua rencana itu dapat berjalan
seperti yang diharapkannya.
Ken Umang adalah seorang perempuan yang cukup cerdas untuk
merencanakannya. Seperti usahanya untuk dapat duduk di sisi Ken
Arok di dalam kebesaran istana Singasari adalah akal yang licik pula.
Namun ia tidak menghiraukan cara apapun yang diambilnya,
asalkan cita-citanya dapat dicapainya. Demikian pula keinginannya
255 untuk menyingkirkan Anusapati dan menempatkan Tohjaya di dalam
tahta tertinggi. Apalagi kini keris Empu Gandring telah ada di tangan anaknya.
Keris yang seakan-akan menentukan siapakah yang akan menjadi
korban berikutnya. "Yang penting Tohjaya," berkata Ken Umang, "kau harus sudah
menguasai seluruh pasukan pengawal dan pelayan dalam di dalam
istana ini. Kedua panglimanya sudah berada di pihakmu. Sebagian
dari pasukan yang lain pun telah dapat dipengaruhi pula. Jika kau
sudah yakin, barulah kau melakukannya."
"Tentu Ibunda. Tetapi usahaku untuk memisahkan Adinda Mahisa
Wong Teleng dan Kakanda Anusapati masih belum dapat aku yakini
hasilnya. Meskipun agaknya Adinda Mahisa Wonga Teleng menjadi
kecewa setelah mendengar kepastian bahwa Kakanda Anusapatilah
yang telah membunuh Ayahanda Sri Rajasa."
"Apa ia percaya?"
"Aku belum tahu pasti. Tetapi menurut orang yang datang
kepadanya, agaknya Adinda Mahisa Wonga Teleng sedang
mempertimbangkan sikapnya."
"Mudah-mudahan kau berhasil. Sudah sewajarnya Anusapati
disingkirkan dari tempatnya, karena ia memang tidak berhak
menduduki tahta saat ini, karena jika benar kekuasaan Tumapel
seharusnya ada padanya, maka Tumapel adalah sebagian kecil saja
dari kebesaran Singasari sekarang. Dan bagi Singasari yang besar,
kau adalah orang yang paling tepat untuk mendapatkan tempat
yang tertinggi, karena kau adalah putra Sri Rajasa yang paling
dikasihinya." Dalam pada itu, setiap kali masih juga datang menghadap Mahisa
Wonga Teleng orang yang mengaku dirinya pelayan dalam yang
mempunyai kesaksian kematian Sri Rajasa untuk mempengaruhi
Mahisa Wonga Teleng. 256 "Apakah Tuanku Mahisa Wonga Teleng mempunyai sikap
tertentu menghadapi keadaan ini?" bertanya orang tua yang
membawa pelayan dalam itu menghadap.
"Aku belum tahu pasti. Tetapi jika kau benar, maka aku akan
menentukan sikap. Apakah kau bersedia menghubungi Kakanda
Tohjaya di dalam persoalan ini?"
"Hamba masih belum mengenal Tuanku Tohjaya dari dekat.
Karena itu sebenarnya hamba tidak berani untuk menyatakan diri
menyampaikan pesan kepada Tuanku Tohjaya itu."
"Baiklah. Jika kau berkeberatan, biarlah aku tidak
menghubunginya saja."
Orang itu justru menjadi ragu-ragu.
"Memang tidak ada gunanya untuk menghubungi Kakanda
Tohjaya," berkata Mahisa Wonga Teleng, "mungkin yang terjadi
justru akan sebaliknya. Jika Kakanda Tohjaya menyampaikan
persoalannya kepada Kakanda Anusapati, akulah yang akan
menanggung semua kesulitannya."
"Tetapi," tiba-tiba saja orang itu menyahut, "tidak Tuanku.
Kakanda Tuanku tentu tidak akan berbuat demikian."
"Dari mana kau tahu?"
Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak, lalu, "Tuanku. Biarlah
hamba mencobanya. Tentu saja dengan sangat hati-hati untuk
menjajaki pendapat Kakanda Tuanku."
"Bagaimana kau akan mengatakannya. Begitu saja seperti saat
kau datang kepadaku" Tentu akan sangat berbahaya sekali. Adalah
kebetulan saja bahwa aku akhirnya mempercayaimu. Jika tidak, kau
tentu akan dicincang di perapatan."
"Aku akan berhati-hati, Tuanku."
"Terserahlah kepadamu. Tetapi kau jangan mengorbankan aku."
257 Sepeninggal orang itu, Mahisa Wonga Teleng menjadi semakin
yakin, bahwa persoalannya akan segera meledak. Agaknya Tohjaya
sudah mengatur semuanya dengan baik. Dan ia harus ikut serta
bermain, agar ia dapat menempatkan dirinya sebaik-baiknya.
Dalam pada itu, persiapan yang dilakukan Tohjaya pun menjadi
semakin lengkap. Kedua panglima yang sudah berada di bawah
pengaruhnya pun bekerja sebaik-baiknya. Keduanya akhirnya yakin
bahwa Tohjaya akan menang. Karena itu mereka tidak mau
kehilangan kedudukan. Jika mereka jauh-jauh sebelumnya sudah
berpihak kepada Tohjaya, maka mereka akan dapat
mempertahankan diri di dalam jabatannya yang penting itu, bahkan
mungkin mereka akan mendapat keuntungan lebih banyak lagi.
Laporan terakhir yang didengar Tohjaya tentang Mahisa Wonga
Teleng sangat menarik perhatiannya. Baginya Mahisa Wonga Teleng
setidak-tidaknya tidak akan merintanginya jika ia berbuat sesuatu.
Untuk menghindarkan diri dari kecurigaan Tohjaya dan orangorangnya
yang menurut Mahisa Wonga Teleng tentu sudah tersebar
di seluruh halaman istana, maka ia pun jarang sekali berhubungan
dengan Anusapati. Namun semakin lama ia berhasil semakin dalam
memancing keterangan tentang kegiatan yang dilakukan oleh
Tohjaya justru dari orang yang harus memisahkannya dari
Anusapati. "Agaknya Tuanku Tohjaya tidak terlampau banyak menaruh
perhatian, Tuanku," berkata orang yang sering datang kepadanya,
"Tuanku Tohjaya lebih tertarik kepada sabung ayam daripada
pemerintahan." Mahisa Wonga Teleng mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun sejenak ia berdiam diri merenungi persoalan yang sedang
dihadapinya. "Tuanku," berkata orang itu, "sebaiknya Tuankulah yang
menentukan sikap. Tuanku mempunyai kesempatan yang baik
karena nama Tuanku sampai saat ini masih belum ternoda sama
sekali. Selama ini Tuanku tidak pernah berbuat sesuatu, sehingga
258 jika Tuanku berbuat sesuatu, maka yang Tuanku lakukan tentu
berdasarkan atas pertimbangan yang masak dan tujuan yang
bersih." Mahisa Wonga Teleng memandang orang itu sejenak, lalu, "Aku
bukan pemimpin. Kekuatan apakah yang dapat aku pergunakan
untuk melakukannya jika aku tertarik pada ceritamu itu?"
"Seperti hamba katakan. Namun Tuanku sama sekali belum
ternoda. Sehingga apabila Tuanku menyatakan diri di dalam
lingkungan kecil, maka pendukung Tuanku tentu akan
berdatangan." Mahisa Wonga Teleng tidak segera menjawab. Agaknya ia masih
diliputi oleh kebimbangan. Namun kemudian katanya, "Aku bukan
seorang yang berani berdiri tegak di atas kedua kakiku sendiri. Aku
adalah orang yang sampai saat ini masih selalu menggantungkan
diri kepada orang lain. Demikian juga agaknya kali ini. Jika Kakanda
Tohjaya tidak bersedia, dan lebih tertarik kepada sabung ayam,
maka aku sama sekali tidak peduli, apa saja yang akan terjadi atas
Singasari. Aku lebih suka bermain-main dengan anakku dan
berjalan-jalan bersama istriku. Itu lebih baik dari berbuat sesuatu
tanpa keyakinan sama sekali."
"Tuanku," berkata orang itu, "baiklah hamba akan bertanya
sekali lagi kepada Tuanku Tohjaya. Tetapi yang ingin hamba ketahui
sebagai bahan pembicaraan hamba dengan Tuanku Tohjaya,
bagaimanakah sebenarnya pendapat Tuanku. Tersalur atau tidak,
itu bukanlah soal yang penting. Tetapi bagaimanakah sebenarnya
tanggapan Tuanku atas Kakanda Tuanku Anusapati yang sekarang
bertahta di Singasari?"
"Maksudmu?" "Maksud hamba, apakah sebaiknya Kakanda Tuanku itu biar saja
duduk di atas tahta, atau ada orang lain yang lebih baik
daripadanya, misalnya Tuanku. Atau orang lain lagi yang Tuanku
anggap baik jika Tuanku tidak bersedia."
259 Mahisa Wonga Teleng termangu-mangu sejenak. Pertanyaan itu


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang sukar untuk dijawab.
"Tuanku," desak orang itu, "keterangan Tuanku sangat penting
bagi hamba." Mahisa Wonga Teleng menarik nafas dalam-dalam. Lalu, "Aku
tidak dapat mengatakan apa-apa. Aku lebih senang tidur, atau
berjalan-jalan atau bermain-main dengan anakku."
"Tentu Tuanku tidak dapat berbuat demikian dalam keadaan
seperti ini. Tuanku tidak dapat mementingkan diri sendiri, tanpa
menghiraukan keadaan Singasari."
"Itu lebih baik seperti Kakanda Tohjaya yang lebih senang berada
di kalangan sabung ayam. Bukankah itu juga merupakan salah satu
bentuk dari kekecewaan yang mencengkam hatinya.?"
Orang itulah yang kemudian menjadi termangu-mangu. Agaknya
Mahisa Wonga Teleng memang tidak dapat berdiri sendiri. Karena
itu katanya kemudian, "Bagaimanakah jika Tuanku Tohjaya bersedia
berada di pihak Tuanku?"
"Nah, jika demikian, biarlah Kakanda Tohjaya saja yang
melakukannya. Aku yang tidak memiliki kemampuan apapun tentu
tidak akan dapat berbuat sejauh Kakanda Tohjaya."
"Ah," orang itu berdesah, "tetapi baiklah. Apakah dengan
demikian Tuanku sudah menentukan sikap" Maksud hamba Tuanku
akan berada di pihak kakanda Tuanku, jika kakanda Tuanku
bersedia?" "Aku ingin berbicara."
"Tentu sangat mencurigakan Tuanku. Biarlah hamba menjadi
penghubung." "Kakanda Tohjaya tidak akan dengan mudah mempercayai orang
lain. Termasuk kau."
"Tetapi Tuanku Tohjaya percaya kepada hamba."
260 Mahisa Wonga Teleng tidak menjawab. Ketika ia memandang
orang itu, tampak kegelisahan yang sangat melanda dinding
jantungnya. Agaknya ia menyesal bahwa ia sudah mengatakan
bahwa Tohjaya percaya kepadanya. Tetapi kata-kata itu sudah
terucapkan. Karena itu, maka dengan terbata-bata ia mencoba
mengurangi kesalahannya, "Maksud hamba, jika hamba dapat
dengan baik mengatakannya, maka Tuanku Tohjaya akan percaya
kepada hamba." "Baiklah," berkata Mahisa Wonga Teleng, "tetapi harus ada
keputusan dari Kakanda Tohjaya. Aku ingin bertemu. Jika tidak,
maka aku lebih baik tidak usah membicarakan masalah Singasari."
Orang itu pun kemudian meninggalkan bangsal itu dengan penuh
keragu-raguan. Tetapi ia melihat kebimbangan yang besar pada
Mahisa Wonga Teleng, sehingga akhirnya ia berkata kepada Tohjaya
pada saat ia menghadap, "Agaknya jika Tuanku datang kepada
Tuanku Mahisa Wonga Teleng, ia akan berpihak kepada Tuanku.
Hatinya memang sedang goyah. Dan di dalam keadaan seperti ini,
Tuanku Mahisa Wonga Teleng akan mempunyai peranan penting."
"Apakah begitu menurut pertimbanganmu?"
"Hamba Tuanku. Sebaiknya Tuanku datang kepadanya. Tetapi
Tuanku harus tetap berhati-hati."
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia akhirnya
yakin bahwa semuanya akan dapat berjalan menurut rencana.
Kekuatan yang dihimpunnya semakin lama sudah menjadi semakin
besar. Sementara Anusapati masih saja merenungi dirinya sendiri
dikelilingi oleh kolam yang indah di istananya.
Seperti yang disarankan oleh pembantu-pembantunya, Tohjaya
akhirnya datang juga kepada Mahisa Wonga Teleng dengan diamdiam.
Bahkan ia berusaha untuk tidak dikenal oleh seorang pun,
juga oleh prajurit-prajurit yang sedang bertugas. Karena itu, maka
ia pun mengenakan pakaian seorang hamba biasa dan
menyamarkan wajahnya. 261 Mahisa Wonga Teleng terkejut menerima seseorang yang belum
pernah dikenalnya datang bersama orang yang sering datang
kepadanya dan bercerita tentang Anusapati itu,
"Abi, siapakah yang kau bawa?"
Orang itu tersenyum. Katanya, "Baiklah Tuanku sendiri bertanya
kepadanya." Sebelum Mahisa Wonga Teleng bertanya, maka orang itu telah
mendahului berkata, "Apakah kau tidak dapat mengenal aku lagi,
Adinda?" Mahisa Wonga Teleng termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Aku memang pernah mengenalmu."
"Pandanglah aku dengan baik."
Akhirnya Mahisa Wonga Teleng tersenyum. Desisnya, "Kakanda
Tohjaya." "Ya. Aku adalah Tohjaya."
"Silakan Kakanda, "Mahisa Wonga Teleng mempersilakannya
duduk di atas sebuah batu hitam yang beralaskan kulit kijang hasil
buruan Mahisa Wonga Teleng sendiri, "kedatangan Kakanda dengan
cara ini sangat mengejutkan aku."
Tohjaya tertawa. Katanya, "Aku hanya ingin bergurau Adinda.
Sebenarnya tidak ada alasan apapun juga yang memaksa aku
berbuat seperti ini."
Tetapi Mahisa Wonga Teleng pun tertawa sambil berkata,
"Kakanda benar-benar bergurau. Tetapi bukan karena Kakanda
datang dengan cara yang aneh, namun justru karena Kakanda
mengatakan bahwa tidak ada alasan apapun bagi Kakanda untuk
mempergunakan penyamaran seperti itu."
Tohjaya mengerutkan keningnya mendengar jawaban Mahisa
Wonga Teleng. Apalagi ketika Mahisa Wonga Teleng meneruskan,
"Aku sudah tahu semuanya yang akan Kakanda katakan. Abi sudah
beberapa kali datang kepadaku."
262 Meskipun ia tidak berterus terang, dan bahkan kadang-kadang
melingkar-lingkar seakan-akan ia masih belum begitu mengenal
Kakanda, tetapi sebenarnya aku sudah mengetahuinya bahwa ia
adalah penghubung yang baik bagi Kakanda."
"Ah," Tohjaya berdesah. Dipandanginya Abi sejenak tetapi sambil
tersenyum ia berkata, "Baiklah. Agaknya aku tidak akan dapat
ingkar lagi." "Semuanya sudah aku ketahui Kakanda. Dan aku pun sudah
meyakini, bahwa aku memang bukan saudara seayah dan seibu
dengan Kakanda Anusapati."
"Kau adalah saudara seibu dengan Kakanda Anusapati."
"Ya. Hanya seibu."
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Di antara keraguraguan
ia berdesis, "Jika kau memang sudah mengetahui, apakah
kau sudah bersikap?"
Mahisa Wonga Teleng tertawa sambil berkata, "Sikap yang
manakah yang Kakanda maksud" Aku tidak mempunya sikap
apapun juga selain menjalani hidupku ini dengan aman dan damai.
Aku hanya ingin berjalan-jalan di taman-taman dengan anak istriku,
seperti juga Kakanda sekedar ingin berada di arena sabung ayam
seperti yang dikatakan oleh Abi."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Ia tidak segera mengerti
maksud Mahisa Wonga Teleng. Dan dibiarkannya Mahisa Wonga
Teleng berkata seterusnya, "Tetapi jika ada usaha Kakanda yang
lain daripada menyabung ayam di arena, maka agaknya hal itu
memang sangat menarik perhatian."
Akhirnya Tohjaya tersenyum. Ia mendengar kata-kata Mahisa
Wonga Teleng sebagai isyarat-isyarat yang samar-samar. Namun
dengan demikian Tohjaya pun masih juga harus berhati-hati.
"Baiklah Adinda," berkata Tohjaya kemudian, "jika pada saatnya
aku tidak hanya sekedar menyabung ayam, maka kau pun
263 sebaiknya tidak hanya selalu berjalan-jalan di taman dengan anak
istrimu." "Jika Kakanda menghendaki."
"Bersiaplah untuk masa yang tidak dapat aku katakan, ada suatu
saat, aku akan mengundang orang-orang yang memang
sepantasnya berada di arena sabung ayam."
Tohjaya tidak mengatakan apapun lagi. Sejenak kemudian ia
minta diri, dan meninggalkan bilik itu masih dalam penyamaran.
Namun Tohjaya bukan seorang yang tidak berhati-hati sehingga di
muka pintu ia masih berdesis, "Adinda, aku akan meninggalkan
beberapa orang pengawalku untuk melindungi Adinda."
"Maksud Kakanda?"
Tohjaya tersenyum. Tetapi dibalik senyumnya tersirat ancaman
yang menegakkan bulu roma. Seakan-akan kini Mahisa Wonga
Teleng selalu berada di bawah pengawasan Tohjaya untuk tidak
berbuat sesuatu yang dapat menumbuhkan kecurigaan.
Namun Mahisa Wonga Teleng pun menyadari, bahwa ia memang
sedang bermain api. Dan sejak semula ia sadar, bahwa Tohjaya
tentu akan selalu mengawasinya. Jika tidak, maka ia tidak akan
berbicara dan bersikap sampai sejauh itu.
Karena itu, maka ia tidak boleh kehilangan akal. Ia pun memiliki
kemampuan berpikir seperti Tohjaya, sehingga ia akan selalu dapat
berusaha, meskipun ia tidak tahu, apakah usahanya akan berhasil.
Meskipun demikian Mahisa Wonga Teleng tidak dapat ingkar
bahwa ada perbedaan antara dirinya dan Tohjaya di dalam
kedudukannya di istana Singasari. Tohjaya agaknya telah berhasil
menghimpun beberapa orang pengikut. Sedang ia sendiri sama
sekali tidak melalukan usaha untuk kepentingan seperti yang
dilakukan oleh Tohjaya. Karena itu, di dalam keadaan seperti yang
sedang dialaminya, ia memang mengalami kesulitan.
Karena itu, maka Mahisa Wonga Teleng pun telah membatasi
geraknya sendiri. Ia menjadi curiga kepada setiap prajurit yang
264 bertugas di regol bangsalnya. Bahkan ia menjadi curiga kepada
setiap prajurit yang ada di dalam halaman istana.
Tetapi masih ada suatu jalur yang dapat ditempuhnya. Dan ia
berusaha untuk mempertahankan jalur itu, agar tidak terputus oleh
tindakan Tohjaya yang agaknya sudah tersusun rapi.
Setiap kali Mahisa Wonga Teleng keluar dari bangsalnya, maka
para prajurit yang bertugas di regol bangsalnya selalu menundukkan
kepalanya dalam-dalam sambil bertanya, "Apakah Tuanku akan
pergi?" "Ya. Aku akan berjalan-jalan."
Maka prajurit itu pun langsung memanggil satu atau dua orang
anak buahnya dan perintahnya, "Jagalah Tuanku Mahisa Wonga
Teleng baik-baik." Mahisa Wonga Teleng tidak dapat mengingkari kenyataan itu,
sehingga dengan demikian maka ia harus berbuat tepat dalam
keadaan yang tepat pula. Tohjaya yang sudah terlanjur menghubungi Mahisa Wonga
Teleng dan belum mendapat jawaban yang pasti daripadanya, tidak
dapat membiarkan rahasianya sampai kepada Anusapati. Karena
itulah, maka ia berusaha menjaga Mahisa Wonga Teleng sebaikbaiknya.
Namun sekali waktu, Mahisa Wonga Teleng ingin mencoba juga,
apakah yang akan dilakukan oleh pengawal-pengawal bangsalnya
itu seandainya ia berterus terang mengatakan, bahwa ia akan
menghadap Kakanda Anusapati.
Ketika pemimpin pengawal mengangguk di depan regol sambil
bertanya, maka ia pun menjawab, "Aku akan menghadap Kakanda
Anusapati." "Apakah ada sesuatu yang sangat penting, Tuanku."
"Ya. Sudah agak lama aku tidak menghadap."
265 "Baiklah Tuanku. Di paseban ada juga pengawal dan pelayan
dalam yang akan melindungi Tuanku jika diperlukan meskipun
Tuanku tidak mengenalnya, karena tentu para pengawal yang akan
mengawal Tuanku sampai ke paseban tidak boleh ikut masuk ke
dalam. Tetapi jangan takut, bahwa pembicaraan Tuanku tidak dapat
kami dengar. Kami akan tetap mengikuti pembicaraan Tuanku, dan
di mana Tuanku perlukan, kami akan membantu dan melindungi
Tuanku." Mahisa Wonga Teleng memandang prajurit itu dengan tajamnya.
Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, "Terima kasih.
Aku akan selalu berhati-hati."
"Silakan Tuanku. Setiap saat panggil saja nama Abi, di manapun
dalam keadaan apapun. Jika Tuanku memerlukan maka orang yang
bernama Abi itu akan datang menghadap, siapa pun orang itu."
"Maksudmu Abi adalah panggilan rahasia?"
Prajurit itu tersenyum, lalu, "Ya Tuanku. Namun setia. Abi tahu
pasti, apakah Tuanku memerlukan benar atau tidak. Jika Tuanku
hanya sekedar ingin tahu, yang manakah Abi itu maka Tuanku akan
gagal." Mahisa Wonga Teleng tertawa pendek. Katanya, "Setidaktidaknya
aku sudah mengenal satu. Kau."
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian
tertawa pula, "Ya, hamba salah seorang dari mereka."
"Baiklah. Aku akan pergi dan segera akan kembali."
"Silakan Tuanku. Dan Tuanku tidak usah cemas memikirkan putra
Tuanku dan Tuan Putri. Kami akan menjaga baik-baik sehingga
setiap saat, tidak akan ada bencana yang dapat menyentuhnya."
Dada Mahisa Wonga Teleng berdesir. Ia sadar, bahwa jika ia
berbuat sesuatu yang tidak menguntungkan Tohjaya, maka anak
dan istrinya akan dapat menjadi korban karenanya.
266 Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Mahisa Wonga Teleng
meninggalkan regol itu. Kini ia tahu benar, betapa licinnya Tohjaya
Apalagi agaknya ia sudah berhasil menyusun jaringan yang luas.
Bahkan ada di sekitar Anusapati pula.
"Tetapi bagaimana aku dapat menyampaikannya kepada
Kakanda Anusapati?" bertanya Mahisa Wonga Teleng di dalam
hatinya, "setiap gerakannya selalu diawasinya."
Tetapi Mahisa Wonga Teleng tetap bertekad untuk
menyampaikannya kepada Anusapati, apa yang sebenarnya telah
terjadi di istana Singasari itu. Namun ia harus mendapatkan cara
yang sebaik-baiknya tanpa mengancam keselamatannya dan lebihlebih
lagi adalah keselamatan istri dan anaknya.
Dengan kepala tunduk Mahisa Wonga Teleng berjalan terus
diikuti oleh dua orang pengawal bersenjata. Sekali-kali Mahisa
Wonga Teleng sempat memandang kedua orang pengawalnya.
Tetapi ia tidak mendapat kesan apapun pada wajah kedua orang
itu. Di bangsal kakandanya Anusapati, Mahisa Wonga Teleng tidak
mengatakan apapun juga selain sekedar berkunjung karena mereka
sudah lama tidak bertemu.
"Jadi kau tidak membawa kabar apapun juga Adinda?" bertanya
Anusapati. "Tidak Kakanda. Aku hanya sekedar menengok keselamatan
Kakanda sekeluarga."
Anusapati memandang Mahisa Wonga Teleng sejenak, lalu
menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat sesuatu terbayang di wajah
Adindanya. Tetapi agaknya Mahisa Wonga Teleng tidak dapat
mengatakannya. Namun bagi Anusapati, setiap persoalan yang akan disampaikan


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadanya, seakan-akan telah dapat dibacanya. Tentu sebuah
peringatan agar ia berhati-hati. Apalagi kini keris Empu Gandring
sudah tidak di tangannya lagi. Dan ia seakan-akan sudah tidak
267 mampu lagi menolak tuduhan Tohjaya yang meskipun tidak
dikatakan, bahwa Anusapatilah yang sebenarnya telah membunuh
Sri Rajasa, dengan tangan sendiri atau meminjam tangan orang
lain, dengan keris Empu Gandring. Dan Anusapati pun sadar, bahwa
sebenarnya ada nyala di dalam dada Tohjaya untuk membalas
dendam betapapun ia menyamar niatnya. Dan yang paling pahit
bagi Anusapati, bahwa ia merasa tidak berhak lagi menyembunyikan
atau menjaga dirinya sendiri.
Demikianlah maka pertemuan itu hampir tidak berarti sama sekali
bagi Mahisa Wonga Teleng yang ingin menyampaikan sesuatu
kepada kakandanya, karena ia tidak mempunyai kesempatan sama
sekali. Mungkin ia dapat begitu saja menyebut semua kecurigaan
dan bahkan persoalan yang pernah didengarnya dari orang-orang
Tohjaya atau Tohjaya sendiri tanpa menghiraukan keselamatannya.
Tetapi Mahisa Wonga Teleng tidak akan dapat mengorbankan anak
dan istrinya. Sehingga karena itu maka ia pun lebih baik diam untuk
sementara daripada harus menanggung kepedihan dalam waktu
yang panjang. Ketika kemudian Mahisa Wonga Teleng telah bermohon diri dan
turun ke halaman, maka hatinya menjadi semakin berdebar melihat
beberapa orang prajurit yang berjalan-jalan tergesa-gesa. Tanpa
disadarinya ia pun menjadi tergesa-gesa pula kembali ke
bangsalnya. Tetapi Mahisa Wonga Teleng menarik nafas dalam-dalam ketika
dijumpainya anaknya bermain-main di halaman meskipun ada juga
semacam kecemasan yang mencengkam jantungnya. Agaknya
anaknya telah bermain-main dengan pemimpin prajurit yang sedang
bertugas di regol halamannya. Permainannya pun cukup
mendebarkan. Seekor ular.
"Kenapa kau bermain-main dengan seekor ular?" bertanya
Mahisa Wonga Teleng. "Paman itulah yang memberinya," jawab anaknya.
"Kau memberikan permainan yang berbahaya itu?"
268 "Tidak berbahaya Tuanku. Ular itu tidak berbisa. Aku sudah
mengurutnya dari ekor sampai ke kepalanya. Baru setelah lima
pekan bisanya akan tumbuh kembali," pemimpin prajurit itu terdiam
sejenak, lalu, "Tuanku, aku adalah orang yang kebal atas bisa. Aku
tidak tahu kenapa Hamba memiliki kekebalan itu. Sejak lahir hamba
memang sudah mempunyai kelebihan itu. Jadi Tuanku tidak usah
mencemaskan hamba jika hamba bermain-main dengan ular."
"Aku tidak mencemaskan kau, tetapi anakku."
"Putra Tuanku pun tidak usah Tuanku cemaskan, karena hamba
dapat menjaganya sebaik-baiknya. Tetapi jika diperlukan hamba
pun membawa ular yang masih lengkap bisanya. Hanya kecil."
Dada Mahisa Wonga Teleng menjadi berdentingan ketika ia
melihat prajurit itu membuka kantong ikat pinggangnya yang lebar.
Dari kantong itu dikeluarkannya seekor ular yang kecil saja Tetapi
ular itu bergelang hitam dan putih di seluruh tubuhnya.
"Ular weling," desis Mahisa Wonga Teleng.
"Ya. Ular weling. Hampir sama dengan ketajaman bisa ular
bandotan hitam, dan sedikit lebih tajam dari ular bandotan coklat."
Mahisa Wonga Teleng mengangguk-anggukkan kepalanya,
jawabnya, "Ya. Tetapi masih belum setajam bisa lidah seseorang."
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Ditatapnya Mahisa Wonga
Teleng dengan tajamnya. Namun Mahisa Wonga Teleng
memandang langsung ke bintik hitam mata prajurit itu, sehingga
prajurit itu justru menundukkan kepalanya.
"Hamba tidak tahu maksud Tuanku."
"Baiklah. Aku memang tidak bermaksud apa-apa. Sudahlah,
simpanlah permainanmu yang mengerikan. Jika istriku melihat
bahwa anaknya telah bermain-main dengan ular, maka ia akan
berteriak-teriak sepanjang hari, dan bahkan di malam hari ia akan
dikejar oleh mimpi buruknya."
269 Mahisa Wonga Teleng pun kemudian membimbing anaknya
meninggalkan halaman itu setelah ular yang sudah tidak berbisa itu
dikembalikan kepada prajurit yang menjaga regol halamannya.
Namun dengan demikian Mahisa Wonga Teleng menjadi lebih
ngeri lagi daripada bermain-main sendiri dengan ular. Ia sadar,
bahwa jika keadaan memaksa, maka anaknya akan disentuh oleh
bisa ular weling yang disimpannya. Dan tidak seorang pun yang
akan menuduh kepada orang lain bahwa yang terjadi adalah
kejahatan, karena anaknya ternyata telah digigit ular.
"Setan!" desis Mahisa Wonga Teleng.
"Apa ayah?" bertanya anaknya.
"Oh. Tidak apa-apa. Sebaiknya kau mencuci tangan dan kakimu.
Lain kali kau lebih baik bermain-main dengan pemomongmu
daripada dengan prajurit-prajurit itu."
"Mereka baik hati Ayahanda."
"Para pemomong itu pun baik hati pula."
Anaknya memandang ayahnya dengan heran. Ia tidak melihat
tanda-tanda yang kurang baik pada para prajurit, selain tangan dan
kakinya yang menjadi kotor. Karena itu maka ia pun berkata, "Jika
saat bermain telah lampau, aku dapat mencuci kaki dan tangan.
Bermain dengan para pemomong pun kadang-kadang kakiku
menjadi kotor dan harus dicuci. Bahkan Kakanda Ranggawuni pun
jika bermain tangan dan kakinya menjadi kotor pula."
Mahisa Wonga Teleng tertegun sejenak. Dipandanginya wajah
anaknya yang sama sekali tidak membayangkan prasangka apapun
juga. Mahisa Wonga Teleng pun kemudian berjongkok di hadapan
anaknya sambil berkata, "Dengar. Para pemomong itu tugasnya
memang menjagamu. Mengawani kau bermain. Tetapi para prajurit
mempunyai tugas-tugas lain. Ia harus berjaga-jaga di depan regol.
Jika tangan dan kakimu kotor, mereka tidak dapat membantu
mencuci tangan dan kaki itu, karena itu memang bukan tugasnya."
270 Anaknya memandang wajah Mahisa Wonga Teleng dengan tanpa
berkedip. Namun akhirnya ia pun tersenyum sambil menganggukanggukkan
kepalanya. Jawabnya, "Ya, Ayahanda. Besok aku akan
bermain dengan pemomongku saja, atau barangkali aku akan pergi
saja kepada Kakanda Ranggawuni."
"Jangan besok," sahut ayahnya, "lain kali saja. Sekarang
Kakandamu Ranggawuni sedang sibuk."
"Apakah yang dilakukannya" Atau barangkali aku dapat
membantunya" Atau barangkali Kakanda Ranggawuni sedang sibuk
berlatih dengan pelatih-pelatihnya atau kakek Mahisa Agni" Jika
demikian aku pun akan ikut berlatih. Sudah agak lama aku berlatih
sendiri dengan Ayahanda di sini. Biasanya aku sering berlatih
bersama Kakanda Ranggawuni di hari tertentu."
"Tidak anakku. Kakekmu Mahisa Agni berada di Kediri. Sudah
agak lama tidak datang berkunjung. Mungkin kesibukannya tidak
memberinya waktu. Jika kakek datang, kau tentu akan dipanggilnya
juga." Anaknya hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saja
Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Maka Mahisa Wonga Teleng pun kemudian menyerahkan
anaknya kepada pemomongnya, agar dibersihkan kaki dan
tangannya, kemudian menyerahkannya kepada ibundanya yang
akan membawanya ke pembaringan.
Dengan hati-hati Mahisa Wonga Teleng pun kemudian berpesan
kepada istrinya, agar menjaga anaknya tidak lagi bermain-main
dengan prajurit-prajurit di halaman.
"Merekalah yang kadang-kadang memanggil, Kakanda," sahut
istrinya. "Tetapi jagalah agar anak kita tidak berada di antara mereka."
"Kenapa Kakanda?" bertanya istrinya, "apakah memang ada
pantangan?" 271 "Tidak. Tidak Adinda. Tetapi biarlah anak kita tidak mengganggu
tugas mereka." Istrinya mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun masih ada
sesuatu yang agaknya menyangkut di hati. Tetapi ia tidak bertanya
lagi. Sedang Mahisa Wonga Teleng pun tidak sampai hati
mengatakan persoalan yang sebenarnya. Sebab jika demikian, maka
istrinya tentu akan menjadi cemas dan ketakutan.
Karena itu yang dapat dilakukan oleh Mahisa Wonga Teleng
kemudian adalah menunggu perkembangan keadaan sambil
mencoba mencari jalan untuk memecahkan dinding yang agaknya
sudah dipasang di sekelilingnya. Namun Mahisa Wonga Teleng tidak
berputus asa. Ia masih mengharap bahwa ia akan menemukan cara
yang sebaik-baiknya. Namun rasa-rasanya hatinya menjadi semakin pepat karena
hampir setiap hari orang yang menyebut dirinya Abi, yang tua
kadang-kadang yang muda, datang kepadanya dengan berbagai
macam persoalan. Hampir setiap hari ia mendengar tawaran yang
semakin lama menjadi semakin terbuka. Sejalan dengan kekuatan
Tohjaya yang semakin nyata.
"Adinda," berkata Tohjaya dalam lontarnya, "tidak ada pilihan
lain bagi Adinda selain mendapat kedudukan yang wajar di dalam
istana Singasari, peninggalan Ayahanda kita berdua dengan
menyingkirkan Kakanda Anusapati. Agaknya sudah sampai saatnya
kita melakukannya." Dada Mahisa Wonga Teleng menjadi semakin berdebar-debar.
Tetapi penjagaan di luar bangsalnya rasa-rasanya menjadi semakin
rapat, sehingga ia tidak akan mempunyai kesempatan untuk keluar
dari halamannya tanpa diketahui orang.
"Tuanku," berkata Abi yang menghadapnya pada suatu saat,
"sebaiknya Tuanku tidak mengurung diri."
"Ah," desis Mahisa Wonga Teleng. Ia tahu, bahwa kata-kata itu
sekedar kata-kata sindiran.
272 "Tuanku sebaiknya sering datang ke tempat sabung ayam. Besok
Kakanda Tuanku Tohjaya akan mohon kepada Kakanda Tuanku
Anusapati untuk datang ke gelanggang menyambung ayam.
Meskipun Tuanku Anusapati tidak pernah melakukannya, namun
sekali-kali ada juga baiknya untuk mencobanya. Apakah Tuanku
tidak akan datang melihatnya?"
"Kapan?" bertanya Mahisa Wonga Teleng dengan dada yang
berdebar-debar, "besok pagi maksudmu?"
"Hamba Tuanku. Besok akan diadu dua ekor ayam jantan pilihan,
yang barangkali paling baik di seluruh Singasari."
Dada Mahisa Wonga Teleng menjadi semakin berdebar-debar
karenanya. Dipandanginya saja orang yang menghadapnya itu dengan
tajamnya. Dan sambil tersenyum orang itu berkata lebih lanjut,
"Tuanku, apakah Tuanku ingin datang juga besok?"
"Aku belum dapat memastikan Abi. Jika aku sempat, biarlah aku
coba besok datang." "Tetapi jika tidak, Tuanku memang tidak perlu datang. Agaknya
Tuanku bukan orangnya yang berada di lingkungan sabung ayam.
Di arena sabung ayam, seseorang harus tabah melihat darah. Jika
ayam jantan sudah wuru, maka mereka akan bertarung matran.
Dan darah akan meleleh dari kepala dan tubuh mereka."
Mahisa Wonga Teleng tidak menyahut.
"Sebaiknya Tuanku tidak melihatnya besok. Ayam yang akan
diadu adalah ayam jantan yang baik. Justru karena itu, tentu
diperlukan waktu dan ketabahan yang lebih besar dari biasanya."
Namun justru karena itu, Mahisa Wonga Teleng menjadi tertarik.
Meskipun ia tidak tertarik untuk melihat ayam beradu di arena,
namun firasatnya mengatakan, bahwa sesuatu akan terjadi di arena
itu besok. Dan tiba-tiba saja ia berkata, "Aku akan datang besok."
273 Orang yang juga menyebut dirinya bernama Abi itu mengerutkan
keningnya. Lalu katanya, "Kenapa Tuanku tiba-tiba saja memastikan
diri untuk datang?" "Ayam jantan yang paling baik di seluruh Singasari itulah yang
menarik perhatianku. Aku pernah melihat ayam bersabung di
halaman. Hanya ayam jantan peliharaan biasa. Alangkah sengitnya.
Apalagi jika kedua ayam jantan itu ayam jantan yang paling baik di
seluruh Singasari." Tetapi Abi itu tertawa. Katanya, "Baiklah hamba akan
menyampaikannya kepada Tuanku Tohjaya, apakah Tuanku
diperkenankan hadir."
"Kenapa Kakanda Tohjaya" Aku dapat hadir di manapun juga aku
kehendaki." "Tetapi arena sabung ayam itu merupakan arena tertutup
Tuanku. Hanya mereka yang bertaruh sajalah yang dapat
memasukinya." "Aku akan bertaruh."
"Apakah Tuanku tahu caranya?"
"Aku akan belajar."
"Baiklah. Hamba akan menyampaikannya kepada kakanda
Tuanku. Mungkin kakanda Tuanku tidak berkeberatan jika Tuanku
memang akan bertaruh. Tetapi sebelumnya Tuanku harus
mempelajari caranya dan menyatakan sikap Tuanku atas kedua
ayam aduan itu." "Aku tidak mengerti. Tetapi baiklah, aku akan mempelajarinya."
Mahisa Wonga Teleng memandang orang itu sejenak, lalu tibatiba
katanya, "Aku akan menghadap Kakanda Tohjaya."
"Jangan sekarang Tuanku. Sebaiknya Tuanku berada di bangsal
saja." "Atau barangkali Kakanda Anusapati."
274 "Tuanku tidak dapat menemui kakanda Tuanku. Sampai lewat
besok pagi sesudah taruhan itu selesai. Tuanku Anusapati sedang
memusatkan perhitungannya atas kedua ayam jantan yang akan
bertarung itu. Yang manakah kira-kira yang akan menang."
Mahisa Wonga Teleng sadar, bahwa sebenarnyalah ia tidak akan
dapat memaksa. Ia sadar, bahwa bangsal itu tentu sudah dikepung.
Dan ia tidak akan dapat dengan kekerasan keluar dari kepungan itu.
Karena itu, maka ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Sambil
menarik nafas dalam-dalam ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Silakan Tuanku hari ini beristirahat. Tidak akan ada paseban dan
tidak akan ada pembicaraan apapun di bangsal agung."
Mahisa Wonga Teleng hanya dapat menganggukkan kepalanya
saja. Ia tahu benar, bahwa ia tidak mempunyai kesempatan lain hari
itu. Sedang besok, adalah hari yang sangat mendebarkan jantung.
Di dalam keterangan Abi itu tersirat pengertian yang sangat
mencemaskannya. Tetapi Mahisa Wonga Teleng tidak mempunyai
banyak kesempatan. Demikianlah sepeninggal orang yang menyebut dirinya Abi itu,
maka Mahisa Wonga Teleng harus berpikir, apakah yang dapat
dilakukannya. Ia tidak akan dapat membiarkan Anusapati besok


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memenuhi undangan Tohjaya untuk menghadiri sabung ayam di
arena itu. "Paman Mahisa Agni merasa bahwa Kakanda Anusapati sudah
terlampau aman dengan kolamnya. Tetapi Pamanda Mahisa Agni
tidak mengetahui apa yang sekarang terjadi," berkata Mahisa
Wonga Teleng di dalam hatinya. Tetapi ia tidak dapat menyuruh
seseorang untuk menjemputnya. Kini setiap orang harus
dicurigainya, karena hampir setiap orang di dalam istana kini berdiri
di dua tumpuan. Namun ketika matahari semakin rendah di barat, tiba-tiba
dengan bergegas Mahisa Wonga Teleng membenahi dirinya. Kepada
istrinya ia minta diri untuk menengok ibundanya yang sudah
semakin lemah dan sakit-sakitan.
275 "Anakku," berkata Mahisa Wonga Teleng kepada anak lakilakinya,
"kau harus menolong Ayahanda saat ini."
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Kau harus memaksa Ayahanda untuk menengok Neneknda
Permaisuri." "Kenapa?" "Kau tidak tahu sebabnya. Tetapi kau harus berbuat begitu. Kau
dapat berteriak-teriak dan marah."
Anak laki-laki Mahisa Wonga Teleng yang bernama Mahisa
Campaka itu memandang ayahandanya dengan termangu-mangu.
Sekali-kali dipandanginya ibundanya yang menjadi heran pula
melihat sikap suaminya. "Lakukanlah Mahisa Campaka. Mulailah menangis dan berteriakteriak.
Aku akan mengantarkanmu menghadap Neneknda di
bangsalnya." "Kakanda," bertanya istrinya, "aku tidak mengerti. Kenapa hal itu
harus dilakukan oleh Mahisa Campaka?"
Mahisa Wonga Teleng menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
katanya kemudian, "Nanti aku akan memberitahukan kepadamu.
Tetapi sebaiknya sekarang Mahisa Campaka membantu aku."
Sejenak istrinya termangu-mangu. Tetapi ia dapat menangkap
bahwa ada sesuatu yang menyulitkan suaminya. Karena itu, maka ia
pun kemudian berjongkok di sisi anaknya sambil berkata, "Kau
dapat melakukannya Mahisa Campaka. Tentu kau tidak tahu
maksudnya. Tetapi nanti Ayahanda akan menjelaskan."
Mahisa Campaka memandang ayahnya dan ibundanya berganti.
Dan tiba-tiba saja ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagus, nah mulailah. Ayah akan berada di bilik depan. Kau
memaksa ayah untuk pergi menengok Neneknda. Kau mengerti?"
Sekali lagi anaknya menganggukkan kepalanya.
276 Mahisa Wonga Teleng pun kemudian meninggalkan ruangan itu
dan pergi ke ruang depan. Bahkan ia pun kemudian berdiri di muka
pintu menghadap keluar, seolah-olah sedang memandangi langit
yang sedang menjadi semakin suram.
Tiba-tiba terdengar Mahisa Campaka menangis berteriak-teriak
memanggil ayahandanya. Sekali-kali terdengar ia meneriakkan
nama neneknya, Ken Dedes.
Mahisa Wonga Teleng masih berdiri diam. Diamatinya para
prajurit yang bertugas di regol depan. Ia mengharap prajurit-prajurit
itu mendengarnya. Ternyata bahwa satu dua orang dari mereka berpaling. Sahkan
pemimpin prajurit yang memberi Mahisa Campaka mainan ular,
ternyata ada pula di antara mereka.
"Kenapa dengan Tuanku Mahisa Campaka?" bertanya pemimpin
prajurit itu, "apakah yang dimintanya?"
Mahisa Wonga Teleng menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kau dengar sendiri. Ia rindu kepada nenekndanya."
"Oh." "Ia mendengar aku berbicara dengan ibundanya, bahwa Ibunda
Permaisuri sudah menjadi semakin lemah. Dan tiba-tiba saja ia
berteriak-teriak minta diantar menengoknya."
Pemimpin prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Dan
didengarnya Mahisa Campaka masih saja berteriak-teriak.
"Apakah hamba dapat mengantarkannya?" bertanya pemimpin
prajurit itu. "Mahisa Campaka tidak mau diantar oleh siapa pun. Ia memaksa
aku untuk pergi." Pemimpin prajurit yang sering bermain-main dengan Mahisa
Campaka itu mengerutkan keningnya. Meskipun ia mempunyai
tugas yang mendirikan bulu roma jika terpaksa dilakukan, namun
277 karena dengan demikian ia justru sering bermain-main dengan anak
itu, sehingga betapa keras hatinya, timbullah pula ibanya.
"Apakah Tuanku akan pergi?" bertanya pemimpin prajurit itu.
"Kenapa kau bertanya begitu?" Mahisa Wonga Teleng berganti
bertanya, "aku menyadari kedudukanku. Dan aku mengerti apa
yang sedang terjadi di istana ini. Karena itu aku tidak dapat
memenuhi permintaan Mahisa Campaka."
"Ampun Tuanku, jangan bertanya seperti itu. Hamba itu benar.
Dan hamba hanya seorang perwira rendahan yang tidak dapat
bersikap lain daripada menurut perintah."
"Aku tidak menyalahkan kau. Aku sadar, bahwa aku tidak
mempunyai pengaruh apapun di Singasari. Baik di dalam.
pemerintahan maupun di bidang keprajuritan. Kakanda Anusapati
selama ini menganggap aku sebagai anak kecil yang tidak tahu apaapa.
Sedang Kakanda Tohjaya menganggap aku orang yang cukup
berbahaya. Itulah sebabnya akhirnya aku terjepit di sini."
"Ampun Tuanku. Tetapi jika Tuanku sekedar ingin mengantarkan
putranda sebentar, hamba akan mengantarkan Tuanku langsung ke
bangsal Tuan Putri Ken Dedes."
"Kau akan mengawal aku sebagai seorang Adinda Maharaja di
Singasari atau sebagai seorang tawanan?"
"Ampun Tuanku. Sebenarnyalah yang Tuanku katakan menjadi
bingung. Sebenarnyalah hamba sedang mengemban tugas yang
maha berat. Bukan karena tugas itu terlampau sulit, tetapi tugas itu
benar-benar merupakan beban yang hampir tidak tertanggungkan
pada perasaan hamba."
"Dan kau sudah menyiapkan seekor ular weling."
"Ampun Tuanku. Hamba mohon ampun. Sebenarnyalah hamba
sedang menjalankan tugas."
"Dan tugas itu sekarang hampir mencapai puncaknya."
278 "Jangan bertanya kepada hamba," sahut perwira itu, "hamba
tidak akan dapat mengatakan apa-apa. Tuanku tentu tahu akan hal
itu. Dan jika sekarang Tuanku ingin pergi, masih ada waktu
sebentar." "Baiklah. Aku akan membawa Mahisa Campaka."
"Baiklah, Tuan Putri tinggal di bangsal ini."
"Sebagai tanggungan?"
"Ah. Bukan maksud hamba mengatakannya."
Mahisa Wonga Teleng tersenyum masam. Katanya, "Aku
mengerti." Prajurit itu menundukkan kepalanya. Ia benar-benar merasa
tugas yang dibebankan kepadanya adalah tugas yang sangat
memberati hatinya. Bahkan ia mengeluh di dalam hatinya, "Jika aku
bertugas semacam ini untuk waktu sebulan, aku tentu sudah
menjadi gila karenanya."
Dalam pada itu, maka Mahisa Wonga Teleng pun kemudian
masuk ke dalam bangsalnya dan mengambil Mahisa Campaka
sambil berbisik kepada istrinya, "Hati-hatilah di rumah. Jangan
keluar sebelum aku datang."
"Ada apa sebenarnya Kakanda?" bertanya istrinya.
"Tidak ada apa-apa. Nanti aku akan mengatakannya," Mahisa
Wonga Teleng berkata, "Aku akan segera kembali. Aku harap
Ibunda sehat-sehat saja."
Istrinya menganggukkan kepalanya. Namun tampak kecemasan
merayap di wajahnya. Mahisa Wonga Teleng pun kemudian membimbing Mahisa
Campaka keluar bangsalnya. Pemimpin prajurit yang sudah siap
menunggunya itu pun kemudian mengantarkannya bersama dua
orang prajurit bawahannya.
279 Kedatangan Mahisa Wonga Teleng telah mengejutkan Ken Dedes
yang tampak semakin tua dan kurus. Meskipun anaknya kini telah
menjadi raja di Singasari, namun rasa-rasanya ada sesuatu yang
selalu mengejarnya. Ia merasa bersalah sejak permulaan. Dan
kadang-kadang ia merasa bahwa garis hidupnya dipenuhi oleh
kemalangan dan kepahitan hati. Sejak kematian Wiraprana, sampai
saat menjelang akhir hayatnya, Ken Dedes selalu dibayangi oleh
kegelisahan. Di saat-saat Ken Arok mencapai puncak kejayaannya,
Ken Umang merupakan bayangan yang paling buram di dalam
hatinya. Kemudian disusul oleh peristiwa-peristiwa yang menyayat.
Sejenak Mahisa Wonga Teleng duduk bersama ibundanya. Tetapi
tidak banyak yang dapat dikatakan selain tentang keselamatan
ibundanya, karena prajurit yang mengawalnya rasa-rasanya berdiri
di muka pintu bilik itu. Ketika di luar langit menjadi gelap, maka Mahisa Wonga Teleng
pun segera mohon diri untuk kembali ke bangsalnya.
Ken Dedes menjadi termangu-mangu. Ia melihat di wajah
anaknya ada sesuatu yang akan dikatakannya. Tetapi agaknya
tersangkut di kerongkongan. Karena itu, maka dengan ragu-ragu ia
bertanya, "Mahisa Wonga Teleng, apakah ada sesuatu yang akan
kau katakan" Apakah kau memang sekedar ingin menengokku?"
"Ampun Ibunda. Hamba sekedar ingin menengok Ibunda. Hamba
berharap bahwa Ibunda menjadi semakin sehat."
"Aku sehat Wonga Teleng. Tetapi aku memang menjadi semakin
tua, sehingga aku hampir tidak pernah keluar dari bangsal.
Dibanding dengan perempuan sebayaku, aku memang tampak
terlalu tua." Mahisa Wonga Teleng tersenyum. Katanya, "Ibunda masih tetap
muda seperti saat Ibunda melahirkan hamba."
"Ah," ibunya pun tersenyum, lalu, "jadi tidak ada persoalan yang
akan kau sampaikan kepadaku?"
280 "Tidak Ibunda. Hamba memang sekedar ingin menengok Ibunda.
Mahisa Campaka agaknya sudah rindu sekali dengan Ibunda."
Ken Dedes mencium cucunya sambil berbisik, "Kau sekarang
sudah hampir sebesar ayahandamu. Karena itu, kau tidak boleh
nakal lagi Campaka."
Mahisa Campaka menggeliat sambil menjawab, "Hamba
Neneknda. Hamba sekarang sudah tidak nakal."
"Bagus. Kau kelak akan menjadi seorang kesatria utama di
Singasari bersama dengan Kakanda Ranggawuni."
Mahisa Campaka tidak menjawab. Tetapi sambil bergayutan
ayahandanya ia tersenyum.
Demikianlah Mahisa Wonga Teleng meninggalkan bangsal itu.
Ibundanya menjadi heran. Ia melihat sesuatu yang terselip di hati
putranya. Tetapi putranya tidak mengatakannya.
"Mungkin ia tidak sampai hati melihat aku yang sudah menjadi
semakin tua," berkata Ken Dedes di dalam hatinya.
Sepeninggal Mahisa Wonga Teleng, maka Ken Dedes pun duduk
tepekur di tepi pembaringannya. Rasa-rasanya ada sesuatu yang
ikut pergi bersama Mahisa Wonga Teleng, sehingga semakin lama ia
justru menjadi semakin gelisah.
Di sepanjang langkahnya, Mahisa Wonga Teleng pun menjadi
gelisah. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Prajurit-prajurit itu selalu
mengawasinya apapun yang dikatakan oleh mereka. Betapa mereka
merasa tersiksa oleh tugas mereka, namun mereka pasti akan tetap
menjalankan tugas itu sebaik-baiknya. Jika mereka harus
membunuh, apakah yang dibunuhnya Mahisa Wonga Teleng, atau
istrinya atau anaknya, maka tugas itu tentu dilaksanakannya jika ia
sendiri tidak ingin mati digantung oleh Tohjaya.
Dalam pada itu, ketika nyala lampu menjadi semakin terang di
dalam setiap bilik, rasanya Ken Dedes melihat sesuatu di lantai
biliknya. Semula ia tidak menghiraukannya. Tetapi akhirnya
281 dipungutnya juga selembar lontar yang terletak di sebelah kaki
pembaringannya. Hampir di luar sadarnya ia membaca lontar itu. Namun bunyinya
pun tidak menarik perhatian. Sekali lagi ia mengulang membaca,
"Hulu cangkring itu akan disarungkan pada pokok pohon hidup di
halaman istana besok ketika ayam jantan mulai bersabung."
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Ia menggelengkan
kepalanya. Namun diletakkannya lontar itu di pembaringannya. Ia
ingin bertanya kepada anak-anaknya yang mungkin datang
kepadanya besok. Selama itu Ken Dedes tidak lagi menghiraukan lontar yang
berada di bawah alas pembaringannya. Ia menganggap bahwa
lontar itu bagian dari kidung yang pernah dibaca oleh seseorang dan
kemudian dituliskannya kembali, karena kalimat itu sangat menarik
pada bagian ke seluruhan dari kidung itu, tetapi tidak berarti apaapa
baginya. Demikian pula ketika matahari terbit di timur, Ken Dedes tidak
segera teringat kepada lontar itu.
Yang diingatnya adalah sinar matahari yang cerah. Putraputranya
yang bermain di halaman dan burung-burung yang
berkicau di pepohonan. Sekali-kali teringat pula olehnya cucu-cucunya yang menjadi
semakin besar mendekati usia remajanya. Ranggawuni dan Mahisa
Campaka. Ken Dedes yang duduk di muka bangsalnya berjemur di
panasnya matahari pagi itu terkejut ketika seorang putranya berlarilari
mendekatinya. "Ada apa Agnibhaya?" bertanya Ken Dedes.
"Ibunda, apakah hamba diperkenankan pergi ke taman Kakanda
Tohjaya." "Kenapa?" 282 "Hari ini Kakanda Tohjaya menyelenggarakan sabung ayam
besar-besaran. Ayam yang paling baik di Singasari akan bersabung.
Hamba dan Kakanda Saprang akan pergi melihat sabung ayam itu."
"Ah, jangan Agni. Kau di bangsal ini saja bersama Ibunda."
"Bukankah hamba tidak akan pergi ke mana-mana, Ibunda.
Masih di halaman istana. Hamba dengar Kakanda Anusapati juga
akan datang ke arena sabung ayam."
"Tetapi kau masih terlampau muda untuk melihat ayam jantan
bersabung sehingga menitikkan darah."
Agnibhaya bersungut-sungut. Ketika ia berpaling dilihatnya
kakandanya di regol halaman sambil memberi isyarat agar adiknya
segera turun. Tetapi Angibhaya justru menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dengan siapa kau berbicara?" bertanya Ibundanya.
"Kakanda Saprang."
"Katakan kepada Kakandamu, bahwa Ibunda tidak mengizinkan
kalian pergi ke arena sabung ayam itu."


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua putranya itu menjadi kecewa. Tetapi mereka adalah anakanak
yang patuh, sehingga karena itu, mereka tidak juga
meninggalkan halaman. Dengan permainan yang ada mereka
menghibur diri di halaman belakang. Bahkan kemudian mereka pun
segera berlatih olah kanuragan untuk mengisi waktu.
Namun ternyata sabung ayam itu telah mengingatkan Ken Dedes
kepada lontar yang dibacanya. Karena itu, ketika emban pemomong
Anusapati yang kini selalu ada di sampingnya, datang kepadanya,
maka katanya, "Ambillah lontar di bawah alas pembaringanku."
"Lontar apa Tuanku" Hamba belum pernah melihat lontar di
bawah alas pembaringan Tuan Putri," jawab embannya.
"Baru kemarin sore aku meletakkannya. Hanya selembar."
"Oh, bukan lontar berisi kidung, Tuanku?"
283 Ken Dedes menggelengkan kepalanya.
Emban itu pun kemudian masuk ke dalam bilik Ken Dedes.
Emban itu memang menemukan selembar lontar di bawah alas
pembaringan Ken Dedes. Meskipun ia hanya seorang emban, tetapi sebenarnya ia adalah
orang yang mula dipercaya oleh Ken Umang untuk membentuk
Anusapati menjadi seorang yang lemah. Lahir dan batinnya. Tetapi
ternyata emban itu telah gagal. Ada sesuatu yang menghalanginya
untuk berbuat demikian. Bahkan Anusapati kemudian dirawatnya
seperti anaknya sendiri. Tanpa sesadarnya, emban itu pun membawa lontar yang
ditemukan. Sebagai seorang yang mendapat kepercayaan dari Ken
Umang, maka ia dapat juga membaca dan mengguratkan huruf
pada lontar. Namun tiba-tiba saja terasa keringatnya mengalir. Ia memiliki
firasat yang justru lebih tajam dari Ken Dedes. Permaisuri itu sama
sekali tidak mudah menjadi berprasangka meskipun ia mengalami
beberapa kali bencana karena akal madunya. Namun ia tidak
berpikir terlampau jauh tentang anak-anak keturunannya.
Emban itu dengan tergesa-gesa mendapatkan Ken Dedes yang
masih duduk di serambi bangsalnya memandang dedaunan yang
seakan-akan menjadi semakin cerah disentuh oleh cahaya matahari
pagi. "Tuan Putri," berkata emban itu dengan nafas terengah-engah,
"dari s iapa Tuanku mendapat lontar ini?"
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Katanya, "Aku tidak tahu.
Yang aku ketahui lontar itu tiba-tiba saja ada di bawah
pembaringanku." "Tetapi siapakah yang masuk ke dalam bilik Tuanku."
Ken Dedes merenung sejenak, lalu, "Mahisa Wonga Teleng. Ia
datang bersama Mahisa Campaka."
284 "Ampun Tuanku," tiba-tiba saja emban itu bersimpuh di bawah
kaki Ken Dedes, "Tuanku Anusapati harus segera mendengar berita
lontar ini." "Apa maksudmu?"
"Menurut dugaan hamba lontar ini merupakan peringatan bagi
Tuanku Anusapati, agar tidak datang ke arena sabung ayam."
"Kenapa?" "Agaknya Tuanku Mahisa Wonga Teleng telah mendengar
sesuatu yang akan terjadi di arena. Tetapi Tuanku Mahisa Wonga
Teleng tidak sempat menyampaikannya sendiri."
Wajah Ken Dedes menjadi pucat. Demikian juga emban yang
menganggap bahwa Anusapati sebagai anaknya sendiri. Yang
diasuhnya sejak kanak-kanak, sehingga ia menjadi seorang
maharaja di negara yang besar.
"Emban," bertanya Ken Dedes, "kenapa kau menganggap bahwa
lontar itu sebagai suatu peringatan bagi Ananda Anusapati?"
"Cobalah Tuan Putri perhatikan. Pada lontar ini tergurat kalimat,
"Hulu cangkring itu akan disarungkan pada pokok pohon hidup di
halaman istana besok ketika ayam mulai bersabung". Dan hari ini,
Tuanku Tohjaya mengadakan sabung ayam yang terbesar yang
pernah diselenggarakan."
Emban itu berhenti sejenak, lalu, "Tuan Putri, bukankah keris
Empu Gandring itu berhulu kayu cangkring. Dan siapakah
sebenarnya pokok pohon hidup bagi Singasari yang besok akan
mengunjungi arena sabung ayam. Maksudnya, hari ini."
"Emban," wajah Ken Dedes menjadi semakin pucat. Lalu, "Jadi
maksudmu bahwa keris Empu Gandring itu akan disarungkan hari
ini?" Emban itu tidak segera menjawab.
285 "Jika demikian, sebaiknya Anusapati segera diberi tahu.
Perintahkan kepada seorang pengawal untuk memanggil Anusapati
menghadap aku sejenak, atau aku yang harus menghadapnya."
"Tuan Putri," berkata emban itu dengan ragu-ragu,
"sebenarnyalah hamba ragu-ragu mengatakan, bahwa hamba
menaruh curiga kepada setiap pengawal. Mereka selalu memandang
ke pintu bangsal ini. Mereka berada di segala sudut rumah dan
halaman. Jika seandainya Tuanku memerintahkan seorang
pengawal, hamba sangsi apakah pesan Tuan Putri akan
disampaikan." "Jadi bagaimana sebaiknya menurut pendapatmu, emban?"
"Biarlah hamba saja yang pergi Tuan Putri."
Ken Dedes termangu-mangu sejenak, lalu, "Baiklah, pergilah.
Dan bawalah lontar ini. Kau tahu apa yang harus kau kerjakan di
bangsal putraku." "Hamba Tuan Putri. Perkenankanlah hamba pergi."
Demikianlah maka emban itu pun segera keluar dari bangsal
permaisuri. Agar tidak menumbuhkan kecurigaan apapun, maka
emban itu berjalan dengan langkah yang wajar. Dibawanya seorang
emban lain yang masih muda dan cantik.
"Apakah yang harus aku lakukan bibi?" bertanya emban yang
masih muda itu. "Tidak apa. Kau hanya berjalan saja mengawani aku. Dan sekalikali
kau boleh tersenyum kepada para pengawal. Tetapi hanya
tersenyum saja. Tidak boleh lebih daripada itu."
Emban yang masih muda itu tertawa sambil mencubit lengan
emban tua yang mengajaknya.
"He, sakit," emban pemomong Anusapati itu mengaduh.
Keduanya pun kemudian meninggalkan halaman bangsal Ken
Dedes. Seperti yang dikatakan oleh pemomong Anusapati, maka di
286 regol emban itu pun tersenyum kepada para pengawal yang
menghentikan langkah mereka.
"Mau ke mana?" bertanya pemimpin penjaga.
"He, apakah hakmu menghentikan aku" Aku adalah emban yang
bertugas melayani Tuan Putri."
"Aku tahu, sekarang kau akan pergi ke mana?"
"Kepada putranda Tuanku Ken Dedes, Tuanku Anusapati. Hamba
mengemban pesan Tuan Putri, bahwa Tuan Putri sangat mengharap
kedatangan Tuanku Anusapati di bangsalnya, karena tubuh Tuan
Putri menjadi semakin lemah."
Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Tuanku Anusapati tentu tidak berada di bangsalnya."
"Jadi ke mana?"
"Tuanku Anusapati akan mengunjungi sabungan ayam di arena."
Dada emban itu menjadi berdebar-debar. Tetapi dicobanya untuk
tetap tenang dan berkata, "Ah, biarlah Tuanku Anusapati pergi. Aku
dapat berpesan kepada para pengawal dan pelayan. Bahkan aku
akan dapat menghadap Tuanku Permaisuri dan menyampaikan
pesan Ibundanya." Pemimpin prajurit itu tidak menjawab lagi. Dibiarkannya saja
emban itu lewat. Tetapi ia sempat tersenyum ketika emban muda
yang cantik itu tersenyum pula kepadanya.
Sebenarnya emban tua itu tidak lagi dapat bersabar. Rasanya ia
ingin meloncat dan berlari ke bangsal Anusapati untuk mencegah
agar Anusapati tidak pergi ke arena sabung ayam.
"Mudah-mudahan Tuanku Anusapati masih belum berangkat."
Tetapi emban itu tidak dapat benar-benar berlari. Jika demikian
tentu akan segera timbul kecurigaan. Sehingga karena itu, betapa
hatinya bergelora tetapi ia tetap saja berjalan seperti biasanya.
287 Apalagi ketika ia sudah melihat regol bangsal yang dipergunakan
oleh Maharaja Singasari. Darahnya serasa menggelegak dan
didorongnya untuk terbang ke dalam bangsal itu.
Tetapi emban itu masih harus berhenti di regol. Prajurit yang
bertugas di regol itu pun menghentikannya sambil bertanya, "He,
kau akan ke mana?" "Aku adalah emban Tuanku Ken Dedes. Aku harus menghadap
Tuanku Anusapati." Prajurit itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian, "Tuanku
Anusapati tidak berada di dalam bangsal."
Jawaban itu benar-benar telah menggetarkan jantung emban
pemomong Anusapati yang kemudian berada di bangsal Ken Dedes
itu. Namun ia masih tetap sadar, bahwa ia tidak dapat menunjukkan
gejolak perasaannya itu. Karena itu ia masih bertanya lagi, "Apakah
kau berkata sebenarnya, atau sekedar berolok-olok."
"Aku berkata sebenarnya. Tuanku Anusapati sedang melihat
sabung ayam terbesar yang pernah diselenggarakan di halaman
istana ini." "Tetapi, apakah Tuanku sudah lama pergi?"
"Belum terlalu lama."
"Dengan siapa Tuanku Anusapati pergi?"
"Dengan siapa?"
"Kau ini seperti orang linglung. Tentu dengan beberapa orang
pengawal." Emban itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian, "Apakah aku dapat masuk?"
"Untuk apa. Sudah aku beri tahu bahwa Tuanku Anusapati tidak
ada di bangsal." "Aku akan menghadap Tuanku Permaisuri."
288 Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun emban itu bukan
orang yang pantas dicurigai. Sehingga karena itu, maka akhirnya ia
mengangguk sambil berkata, "Cepat. Kau harus segera pergi dari
bangsal ini." "Kenapa tergesa-gesa?" emban yang masih muda itulah yang
bertanya, "apa salahnya kalau aku berada di sini agak lama?"
Prajurit itu membelalakkan matanya. Tetapi karena emban yang
cantik itu tersenyum, maka ia pun tersenyum pula, "Masuklah.
Terserahlah kepada kalian."
Keduanya pun kemudian masuk ke regol halaman bangsal induk
istana Singasari. Setelah melalui longkangan sempit, maka mereka
pun berada di serambi belakang dari bangsal itu.
Lewat emban dan seorang pelayan dalam, maka emban
pemomong Anusapati itu pun berhasil menghadap Permaisuri Tetapi
sebenarnyalah Anusapati sudah pergi.
"Apakah ada persoalan yang penting yang kau bawa dari Ibunda,
emban?" bertanya Permaisuri itu.
Emban itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak
dapat mengatakan kecemasan yang sedang disandang, karena ia
tidak tahu pasti apa yang akan terjadi.
"Tuan Putri," berkata emban itu kemudian, "tidak ada hal yang
penting yang harus hamba sampaikan kepada Tuanku, selain
kerinduan Ibunda Tuanku yang kesehatannya menjadi semakin
mundur itu." "Oh, baiklah. Aku akan mengatakannya kepada Kakanda
Anusapati jika Kakanda sudah kembali dari arena. Adinda Tohjaya
pagi ini mohon agar Kakanda Anusapati tidak berkeberatan untuk
menyabung ayam. Meskipun Kakanda Anusapati tidak pernah
melakukannya, tetapi dipenuhinya juga permohonan Adinda Tohjaya
itu." Emban itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dalam
pada itu, dengan segenap kemampuannya, ia berusaha untuk tidak
289 mengesankan kegelisahan yang terasa semakin mengganggu
jantungnya. "Jika demikian Tuanku," berkata emban itu, "perkenankanlah
hamba kembali kepada Ibunda Tuanku, dan menyampaikan pesan
Tuan Putri, bahwa Tuan Putri akan menyampaikan hal ini kepada
Tuanku Anusapati." "Oh, baiklah. Sampaikan kepada Ibunda, bahwa Kakanda
Anusapati, aku dan cucunda Ranggawuni menyampaikan baktinya
dan tentu kami akan segera menghadap."
Permaisuri itu tertegun sejenak, lalu, "Tetapi apakah kesehatan
Ibunda menjadi sangat mundur akhir-akhir ini?"
Emban itu termangu-mangu, lalu, "Demikianlah Tuan Putri, tetapi
juga tidak terlampau mencemaskan."
"Baiklah. Jika Kakanda Anusapati tidak terlibat dalam kesibukan
yang tidak dapat ditinggalkan, kami akan menghadap hari ini."
Demikianlah emban itu pun kemudian mohon diri dan
meninggalkan bangsal itu. Di regol ia terpaksa berhenti lagi betapa
hatinya dicengkam oleh kegelisahan.
"Kenapa kau cepat pergi?" bertanya prajurit yang bertugas.
"Keperluanku sudah selesai."
"Katanya kau akan tinggal di sini cukup lama."
"Tidak." "Tadi, kawanmu itu yang mengatakannya."
Emban yang masih muda dan cantik itu menyahut, "Semuanya
sudah selesai. Keperluan kami sudah selesai. Kami sudah
menghadap Tuanku Permaisuri."
"Kau tidak tinggal di sini saja" Sebaiknya kau pindah saja dari
bangsal Ibu Suri itu ke bangsal ini."
"Baik." 290 "Bagaimana?" "Ya." "He, kenapa kau bilang baik dan kemudian ya."
"Ya, baik juga pindah kemari."
Prajurit itu tidak sempat bertanya lagi ketika emban itu kemudian
dengan tergesa-gesa meninggalkan regol.
"Emban itu memang cantik," desis prajurit yang lain ke telinga
kawannya yang memandang langkah emban itu dengan tanpa
berkedip. "Ya, ya," ia menjadi tergagap, "emban itu memang cantik dan
muda." Dalam pada itu kedua emban yang baru saja meninggalkan
bangsal Maharaja Singasari itu pun termangu-mangu sejenak.
Emban pemomong itu ragu-ragu untuk kembali kepada Ken Dedes.
Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan apapun untuk berbuat
sesuatu, karena ia tidak lebih dari emban pemomong.
"Ke mana lagi kita akan pergi?" bertanya emban yang masih
muda. Emban pemomong itu menarik nafas dalam-dalam sambil
berdesah, "Aku menjadi bingung."


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa?" Sejenak ia terdiam, namun kemudian katanya, "Tidak apa-apa."
"Lalu, ke mana kita sekarang?"
Sejenak emban pemomong itu merenung, lalu, "Kita pergi ke
bagian sebelah dari istana ini."
"Ke belahan Tuanku Ken Umang?"
"Ya." 291 "Lebih baik tidak. Emban-emban di sana tinggi hati. Mereka
menganggap kita yang berada di lingkungan Tuanku Ken Dedes
adalah orang-orang yang bodoh atau barangkali tidak berharga."
"Itu dahulu. Tetapi sejak Tuanku Anusapati menggantikan
kedudukan Tuanku Sri Rajasa, keadaannya sudah berubah."
"Tetapi sikap mereka tidak berubah. Ireng hampir saja berkelahi
dengan emban Tuanku Ken Umang yang berwajah seperti keledai."
"Kenapa?" "Rasa-rasanya ia adalah orang yang paling cantik di muka bumi,
dan mengolok-olok Ireng yang kulitnya memang hitam. Tetapi Ireng
memang seorang yang berhati keras. Tanpa banyak bicara, emban
itu diterkam sanggulnya. Jika tidak dipisah, emban itu akan digigit
telinganya sampai putus."
Betapapun hatinya dicengkam kegelisahan, tetapi emban
pemomong itu tersenyum juga. Katanya, "Kita tidak akan berkelahi.
Biarpun mereka bersikap buruk terhadap kita, kita tidak akan
berbuat apa-apa." Emban yang cantik itu tidak menyahut lagi. Tetapi sebenarnya ia
tidak senang pergi ke bagian istana yang dihuni oleh keluarga Sri
Rajasa yang lain itu. Sebenarnyalah bahwa suasananya agak berbeda. Sifat Ken Dedes
dan Ken Umang, masing-masing telah mempengaruhi sikap para
emban dan pelayan. Ken Umang yang merasa dirinya lebih awet
muda, lebih cerdik dan banyak kelebihan-kelebihan yang lain,
berpengaruh pula atas emban-embannya.
Tetapi emban pemomong Anusapati itu sama sekali tidak
menghiraukan sikap mereka. Perlahan-lahan ia mendekati arena
untuk melihat, apakah benar Anusapati ada di arena itu.
Dengan dada yang berdebar-dehar ia melihat beberapa orang
mengerumuni arena. Begitu pepetnya, sehingga ia tidak dapat
melihat, apakah Anusapati ada di antara mereka.
292 "Mereka tidak mengenal sopan santun lagi," berkata emban itu di
dalam hatinya, "mereka tidak lagi menghormati Maharaja Singasari."
Tetapi emban itu hanya dapat menahan perasaannya. Dari
kejauhan ia melihat ciri-ciri kebesaran Maharaja Singasari. Sebuah
tombak pusaka yang berhiaskan sehelai kain berwarna kuning.
Sebuah payung kebesaran dan dua batang tombak pengiring. Tetapi
yang tampak pada emban itu hanyalah ujung-ujungnya saja.
Di arena sabung ayam, maka semua adat dan tata kesopanan
seakan-akan sudah terlupakan. Setiap orang berbuat seperti yang
terloncat di dalam hatinya. Berteriak, melonjak di dalam saat
kegirangan dan mengaduh seperti orang tertusuk perutnya, di saat
mereka kecewa melihat ayam yang dipertaruhkan
mengecewakannya. "Apakah kita akan mendekat?" bertanya emban yang cantik itu.
Tetapi sebelum emban pemomong Anusapati menjawab, seorang
pelayan dalam yang tanpa mereka ketahui sudah ada di dekat
mereka berkata, "He, bukankah kalian emban dari seberang."
Emban pemomong Anusapati itu terkejut. Hampir di luar
sadarnya ia bertanya, "Maksudmu?"
"Maksudku dari seberang regol pemisah."
"Aku adalah emban dari istana Singasari. Yang manapun juga."
Pelayan dalam itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
tersenyum, "Pelayan Tuan Putri Ken Dedes memang cantik-cantik
meskipun Tuan Putri sendiri tidak cantik."
"Diam!" emban yang cantik itu tiba-tiba saja membentak, "kau
memang tidak sopan. Apakah semua pelayan dalam dan para
emban di bagian ini sengaja diajari untuk berlaku tidak sopan?"
"Sst," emban yang tua mencegahnya sambil berdesis, "sudahlah.
Kita tidak usah menghiraukannya."
293 Pelayan dalam itu masih saja tertawa. Katanya, "Kau galak sekali.
Tetapi biasanya orang yang galak seperti kau itu sangat menarik
perhatian. Kau tentu hangat juga di dalam bercinta."
Hampir saja emban yang cantik itu menampar mulut pelayan
dalam itu. Tetapi emban pemomong yang tua itu mencegahnya.
Katanya, "Sudahlah. Kita tidak mempunyai sifat seperti s ifat pelayan
dalam itu. Marilah kita kembali."
Emban itu tidak menunggu lagi. Dibimbingnya emban yang muda
itu seperti membimbing anaknya yang nakal sedang marah.
Dengan tergesa-gesa keduanya bermaksud kembali ke bangsal
Ken Dedes. Tetapi kini emban pemomong Anusapati itu sudah dapat
menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi. Seakan ada firasat di
dalam hatinya, bahwa prajurit-prajurit yang ada di bagian lain dari
istana itu pun sebenarnya telah dikuasai oleh Tohjaya. Apalagi
ketika terlihat olehnya, beberapa orang panglima ada di sekitar
arena itu pula. "Oh, agaknya bencana memang akan menimpa Singasari,"
katanya di dalam hati, "dalam keadaan seperti ini, Tuanku Mahisa
Agni harus hadir." Tetapi emban itu sama sekali tidak mempunyai cara yang dapat
dipergunakannya untuk menyampaikan persoalan yang sedang
dihadapi oleh Singasari ini kepada Mahisa Agni yang berada di
Kediri. Dengan ragu-ragu emban itu melintasi regol yang memisahkan
bagian istana yang seakan-akan dihuni oleh keluarga Sri Rajasa
yang dilahirkan oleh Ken Dedes, dengan keluarga yang berdarah
Ken Umang. Namun mereka harus berhenti ketika seorang prajurit
bertanya, "Akan ke mana kalian berdua?"
Emban itu menyahut, "Kembali. Kembali ke tugasku."
"Kenapa kau kemari?"
"Mencari Tuanku Agnibhaya," sahut emban itu asal saja.
294 "Tuanku Agnibhaya tidak berada di s ini."
"Karena itu aku akan kembali. Ibundanya, Tuanku Ken Dedes
mencarinya. Pagi-pagi Tuanku Agnibhaya pergi ke gelanggang."
"Tidak ada di gelanggang," terdengar suara di belakang emban
itu. Ketika ia berpaling, dilihatnya seorang anak laki-laki yang
meningkat dewasa memandanginya dengan tajamnya.
"Oh, Tuanku Panji Sudhatu," emban itu membungkukkan
kepalanya dalam-dalam. Yang berdiri di belakangnya itu adalah
putra Sri Rajasa dari istrinya Ken Umang. Adik Tohjaya yang mulai
berkuasa di Singasari meskipun belum dengan terbuka.
"Kau akan kembali ke bangsal Ibunda Ken Dedes?" bertanya
Panji Sudhatu. "Hamba Tuanku."
"Baiklah. Katakan kepada Ibunda Ken Dedes, bahwa Kakanda
Anusapati sedang bersabung ayam. Suatu kegemaran baru baginya.
Jika ia menang, maka ia akan menjadi semakin kaya raya, karena
yang hadir di arena saat ini adalah saudagar-saudagar yang paling
kaya di Singasari." "Jika kalah?" "Tidak ada pengaruhnya. Tidak seorang pun yang berani
menuntut hak kemenangannya atas Kakanda Anusapati, karena
Kakanda Anusapati adalah seorang Maharaja yang berkuasa."
Sudhatu berhenti sejenak, lalu, "He, bukankah engkau emban
pemomongnya semasa Kakanda Anusapati masih muda" Nah,
agaknya kaulah yang mendidiknya sehingga Kakanda Anusapati
dapat menjadi seorang besar seperti sekarang ini."
"Ah," emban itu menjadi berdebar-debar.
"Dan bukankah semuanya itu atas jasa Ibunda Ken Umang.
Bukankah Ibunda Ken Umang yang meletakkan kau di bangsal
Ibunda Ken Dedes saat Kakanda Anusapati kecil" Aku telah
mendengar semuanya. Mendengar cerita tentang kau, tentang
295 pengkhianatmu dan tentang seribu satu macam persoalan yang
sebenarnya." Emban itu sama sekali tidak menjawab, selain menundukkan
kepala. "Dan sekarang agaknya kau akan menyesali pengkhianatanmu
itu. Tetapi sudah terlambat. Kau tidak akan dapat berada di dalam
lingkungan kami. Dan kami sama sekali tidak cemas, jika kau
mengatakan persoalanmu yang sebenarnya kepada siapa pun juga."
Emban itu masih tetap berdiam diri.
"Pergilah. Kakanda Agnibhaya tidak ada di s ini."
Emban itu menunduk dalam-dalam.
"Nah, pergilah!"
Dengan dada yang berdebar-debar emban itu meninggalkan
regol pemisah itu. Ketika ia menginjak bagian yang lain dari
halaman istana, rasa-rasanya hatinya menjadi dingin. Tetapi ketika
dilihatnya dua orang prajurit pengawal lewat dan memandanginya
dengan penuh curiga, maka terasalah, bahwa istana Singasari
memang sudah dipanggang di atas bara.
"Terlambat," desis emban itu kepada diri sendiri.
"Apa yang terlambat," emban yang masih muda itu bertanya.
"Tidak. Tidak ada apa-apa."
Keduanya pun kemudian berjalan dengan tergesa-gesa ke
bangsal Ken Dedes. Tetapi emban itu telah memutuskan di dalam
hatinya, bahwa ia tidak akan mengatakan apapun juga kepadanya,
agar permaisuri yang sudah menjadi semakin tua dan lemah itu
tidak terguncang hatinya.
Dalam pada itu, di arena, suasananya menjadi semakin panas.
Meskipun ayam jantan yang disebutnya paling baik itu masih belum
diturunkan di arena, namun para penonton di sekitar arena sudah
296 mulai berteriak-teriak melihat ayam-ayam jantan yang terdahulu
bersabung dengan sengitnya.
Anusapati sendiri, yang tidak biasa melihat sabung ayam,
menjadi berdebar-debar. Darah yang mengucur dari luka-luka di
kepala membuatnya gelisah. Meskipun ia seorang senapati di
peperangan, namun melihat darah di kepala dua ekor ayam itu rasarasanya
hatinya tertekan. Tetapi ia tetap duduk di tempat yang disediakan. Ia harus
menunggu sampai ayam jantan yang paling baik di seluruh Singasari
itu dilepaskan di gelanggang.
Betapapun ia merasa tidak senang berada di antara suara yang
kisruh di dalam arena, maka Anusapati itu pun harus menahan diri.
Namun dalam pada itu, Anusapati merasakan pula sesuatu yang
asing di dalam hatinya. Sebagai maharaja, ia selalu dihormati. Katakatanya
diterima tanpa persoalan dan semua perintahnya
terlaksana. Tetapi di dalam suasana arena sabung ayam, seakanakan
semuanya itu tidak berlaku. Orang-orang yang ada di sekitar
arena, di dalam gejolak arus perasaan mengikuti gerak dan sikap
ayam yang sedang bersabung itu, mereka sama sekali tidak
menghiraukan kehadiran seorang maharaja.
Tetapi Anusapati bukan seorang yang kasar. Yang membentakbentak
apabila ia tersinggung. Bahkan Anusapati mencoba untuk
mengerti suasana di arena sabung ayam itu.
Meskipun kadang-kadang jantungnya serasa terhenti melihat
ujung-ujung taji yang menyobek kulit ayam yang sedang bersabung,
kemudian darah yang memancar dari luka itu, namun ada semacam
dorongan di hatinya untuk setiap kali melihatnya. Jika dua ekor
ayam jantan selesai bersabung karena salah seekor di antaranya
sudah koyak oleh pisau yang dipasang di kaki ayam-ayam jantan
itu, maka di arena diturunkan lagi dua ekor ayam jantan yang
terpilih, setelah pada kakinya masing-masing dipasang taji yang
tajam, keduanya pun dilepaskan di gelanggang untuk sebentar
kemudian salah seekor di antaranya mati pula di arena.
297 Dalam pada itu, emban pemomong Anusapati pun kemudian
dengan ragu-ragu memasuki bangsal. Di ruang depan, ketika
dilihatnya, Ken Dedes masih menunggunya, hatinya menjadi
semakin berdebar-debar. "Di manakah Anusapati emban?" bertanya Ken Dedes dengan
serta-merta. Emban itu pun kemudian merayap maju dan duduk di sisi Ken
Dedes. Dengan suara yang patah-patah, maka jawabnya, "Hamba
melihat Tuanku berada di arena."
"Kau tidak menyampaikan pesan agar ia segera datang kemari?"
Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tuanku,
suasana sabung ayam itu sama sekali tidak menyenangkan. Apalagi
bagi seorang perempuan. Karena itu hamba tidak berani mendekat.
Tetapi hamba melihat tanda kebesaran Tuanku Anusapati."
"Tadi, bagaimana dengan lontar itu?"
"Hamba tidak tahu dengan pasti Tuanku. Tetapi jika ada cara
lain, barangkali Tuan Putri dapat memanggil Tuanku Anusapati."
"Jadi menurut pertimbanganmu, apakah ia harus dipanggil
sekarang?" "Itulah yang hamba tidak dapat mengatakannya. Tuanku adalah
seorang Maharaja. Karena itu, maka yang dapat Tuan Putri lakukan
sebenarnya hanyalah sekedar memberikan pesan."
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya dengan
nada datar, "Aku mengerti emban. Aku memang tidak berhak
memanggilnya, karena ia seorang Maharaja. Tetapi aku adalah
seorang ibu. Aku merasa bahwa sesuatu akan terjadi dengan
anakku." Emban itu melihat setitik air mengambang di pelupuk mata Ken
Dedes. Mata yang sudah terlampau sering menitikkan air mata.
"Tuan Putri," berkata emban itu kemudian, "hamba memang
tidak berani mendekati arena, apalagi masuk ke dalam lingkungan
298 para penonton sabung ayam yang kasar itu. Juga karena hamba
merasa, bahwa hamba telah mengkhianati Tuan Putri Ken Umang di
saat-saat Tuanku Anusapati masih remaja. Karena itulah, maka
hamba hanya dapat melihat dari kejauhan saja apa yang telah
terjadi. Namun hamba mengerti bahwa Tuanku Anusapati sebaiknya
diberitahukan tentang sesuatu agar Tuanku Anusapati meninggalkan
arena. Mungkin Tuanku dapat menyampaikan pesan atau sekedar
pemberitahuan bahwa Tuanku sakit keras."
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
"Panggillah Agnibhaya."
Emban itu termangu-mangu sejenak.
"Biarlah Agnibhaya menghadap Kakandanya dan menyampaikan
pesan yang sekedar memberitahukan bahwa aku sakit keras. Tetapi
aku akan berbaring dahulu di pembaringan, sehingga Agnibhaya
benar-benar mendapat kesan, bahwa aku memang sakit, karena
anak itu tidak akan dapat berbohong sama sekali."
"Baiklah Tuan Putri. Marilah Tuanku berbaring, dan biarlah
hamba memanggil Tuanku Agnibhaya."
Ken Dedes pun kemudian berbaring di pembaringannya. Sejak ia
membuat dirinya sendiri seperti orang sakit di saat Sri Rajasa masih


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidup, rasa-rasanya badannya memang selalu sakit-sakitan. Karena
itulah, maka kesan yang tampak pada Ken Dedes itu, seakan-akan
Ken Dedes memang sedang sakit keras.
Agnibhaya yang kemudian dipanggil oleh emban itu pun terkejut
melihat Ibundanya berbaring, berselimut rapat dengan mata yang
agak redup. "Ibunda," desis Agnibhaya, "bukankah baru saja Ibunda duduk di
ruang depan?" "Ya Agnibhaya. Tetapi rasa-rasanya badanku kini lemah sekali.
Sampaikan kepada Kakandamu di arena, bahwa Ibunda sakit keras.
Terserah kepadanya, apakah ia dapat meninggalkan arena itu atau
tidak." 299 Agnibhaya menjadi termangu-mangu. Ia pun mengerti bahwa
Ibundanya memang menjadi sakit-sakitan di saat-saat terakhir.
Karena itu maka ia tidak bertanya lebih banyak lagi. Segera ia minta
diri dan pergi ke arena sabung ayam itu.
Di halaman langkahnya terhenti ketika pemimpin prajurit yang
mengawal bangsal itu bertanya, "Tuanku Agnibhaya. Apakah
Tuanku akan pergi ke arena?"
"Ya," jawab Agnibhaya singkat, "Ibunda sakit keras."
"Biarlah kedua prajurit pengawal itu mengawal, Tuanku."
"Aku tidak memerlukan pengawal. Bukankah aku tidak akan
keluar dari istana?"
"Tetapi Tuanku adalah putra seorang maharaja besar di
Singasari. Dan kini Tuanku adalah dinda seorang maharaja yang
menggantikan ayahanda Tuanku. Jika Tuanku pergi ke arena, dan
ada orang lain yang melihat bahwa Tuanku tidak berpengawal
meskipun itu atas kehendak Tuanku sendiri, agaknya kurang baik
bagi Singasari. Seolah-olah Singasari tidak menghormati kepada
keluarga maharaja." Agnibhaya sama sekali tidak berprasangka. Karena itu maka ia
tidak berkeberatan sama sekali seandainya kedua orang itu
mengikutinya. Demikianlah maka dengan tergesa-gesa Agnibhaya pun
meninggalkan bangsalnya menuju ke arena. Di sepanjang
langkahnya Agnibhaya hampir tidak berbicara sama sekali, sedang
kedua prajurit yang mengawalnya pun mengikutinya saja dengan
langkah-langkah panjang. Sementara itu. di arena sabung ayam, semua orang seolah-olah
terpukau oleh pertarungan setiap ayam jantan yang dilepaskan di
arena. Sekali-kali terdengar teriakan para penonton yang meledak.
Namun kemudian terdengar desah kekecewaan dan penyesalan jika
ayam di arena itu membuat kesalahan.
300 Tetapi ayam-ayam yang bersabung di arena itu sama sekali tidak
memedulikan penonton-penontonnya. Mereka turun ke gelanggang
dengan satu di antara dua pilihan. Hidup atau mati. Dan kematiankematian
yang menjemput ayam-ayam jantan yang kalah itu
agaknya memberikan kegembiraan kepada orang-orang yang
berada di seputar arena yang semakin lama semakin banyak
digenangi dengan darah. Semakin lama Anusapati menjadi semakin pening melihat
perkelahian berdarah itu. Ia sendiri adalah seorang prajurit. Tetapi
agaknya hatinya lebih tenang mengalami pertempuran di arena
peperangan daripada duduk melihat ayam bersabung di arena
aduan itu. Ketika keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya, maka
barulah Tohjaya berdiri dan mengumumkan kepada setiap orang di
arena, bahwa segera akan diturunkan ayam jantan yang paling baik
di arena. Anusapati yang sudah jemu berada di arena itu menarik nafas
dalam-dalam. Agaknya sabung ayam itu sudah mendekati akhirnya.
Jika kedua ayam yang disebutnya ayam jantan yang paling baik itu
sudah selesai bersabung, maka ia akan dapat meninggalkan arena
itu, sehingga adiknya itu tidak akan menjadi kecewa.
Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang bergetar di dadanya.
Getaran yang aneh yang terasa sejak ia akan meninggalkan
bangsalnya. Semacam firasat yang suram telah membayanginya.
Anusapati menjadi termangu-mangu. Ia tidak tahu kenapa ketika
ia berangkat ke arena, istrinya menggenggam tangannya erat-erat.
Dan ia juga tidak mengerti, kenapa ia melarang Ranggawuni untuk
ikut bersamanya. "Aku bermimpi buruk Kakanda," desis istrinya di muka pintu.
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ada
hubungannya antara mimpi buruk dan kegelisahan di dalam hatinya.
301 "Hanya sebuah prasangka, justru karena keris itu masih berada
di tangan Adinda Tohjaya," Anusapati mencoba untuk menenangkan
hatinya sendiri. Tetapi ia tidak dapat ingkar. Ada sesuatu yang lain di dalam
hatinya saat ia melihat Tohjaya berdiri, dan kemudian berbicara
dengan orang-orang yang berada di sekitar arena.
"Inilah ayam jantan yang paling baik yang ada di Singasari,"
katanya sambil mengangkat seekor ayam jantan. Lalu, "Dan itulah
keseimbangannya. Ayam yang tidak kalah baik dari ayam yang
pertama. Di arena ini kita akan menentukan, yang manakah yang
paling baik dari keduanya."
Terdengar suara riuh di antara para penonton. Meskipun ada di
antara mereka bangsawan, para senapati dan orang-orang kaya,
tetapi seolah-olah tingkah mereka di arena sama sekali sudah
berubah. Bahkan hanya apabila mereka ingat saja mereka
menghormati kehadiran maharajanya. Tetapi jika ayam yang sedang
bersabung itu hampir menentukan akhir dari setiap sabungan, maka
mereka sudah melupakan, bahwa Anusapati ada di antara mereka.
Dalam kecemasan itu tanpa sesadarnya Anusapati memandang
keris yang berada di punggung Tohjaya. Keris itu adalah keris yang
bagus, wrangkanya berukiran lembut dan berlapis emas, sedang
hulunya berwarna cokelat berbentuk kepala seekor ular berbulu di
atas sepasang tanduk kecil.
"Sebilah keris yang sangat bagus," desis Anusapati di dalam
hatinya. Tetapi keris itu sama sekali tidak mencemaskannya seperti
seandainya Tohjaya membawa sebilah keris yang hulunya sekedar
terbuat dari kayu cangkring yang masih belum dibentuk sama sekali,
karena keris itu adalah keris buatan Empu Gandring.
Demikian, maka sejenak kemudian ayam jantan yang paling baik
dari Singasari itu pun diturunkannya ke arena. Berbeda dengan
ayam jantan yang terdahulu, yang pada kakinya dipasang sebilah
pisau kecil yang dengan cepat dapat mengakhiri setiap pertarungan,
302 maka bagi kedua ayam jantan yang disebut oleh Tohjaya sebagai
ayam yang paling baik itu, sama sekali tidak dipergunakan pisau itu.
"Ayam-ayam jantan itu adalah ayam jantan yang sudah memiliki
taji yang baik, panjang dan setajam ujung pisau. Karena itu biarlah
mereka berkelahi menurut kemampuan yang ada pada mereka
tanpa mempergunakan apapun juga," berkata Tohjaya sambil
berdiri di tengah-tengah arena.
Semua orang yang berada di sekitar arena itu memandanginya
dengan heran. Adalah tidak biasa mereka lakukan menyabung ayam
tanpa pisau di kaki. Dengan demikian maka pertarungan itu akan
memiliki bentuk yang berbeda, sehingga mereka yang biasa
bertaruh dengan sejumlah uang yang besar pun menjadi ragu-ragu.
"Nah," berkata Tohjaya, "kalian akan melihat sesuatu yang baru
di arena sabung ayam. Lihatlah apa yang akan terjadi pada ayamayam
itu nanti. Pertarungan akan berlangsung lebih lama dan itulah
sebenarnya pertarungan jantan yang sebenarnya."
Beberapa orang masih tetap ragu-ragu.
"Nah, yang akan bertaruh, bertaruhlah."
Orang-orang yang biasa bertaruh itu pun mulai menilai kedua
ekor ayam jantan yang sudah dibawa ke dalam gelanggang. T etapi
mereka tidak berani bertaruh seperti biasanya. Karena itulah maka
beberapa orang menjadi kecewa. Mereka menunggu ayam jantan
yang disebut paling baik dari Singasari itu, dan mereka pun telah
bersedia bertaruh dengan taruhan yang besar. Tetapi karena
pertarungan itu tidak berlangsung seperti biasanya, maka
pertaruhan itu pun terasa dilambari oleh perasaan bimbang.
Tetapi Tohjaya tidak menghiraukannya lagi. Diperintahkannya
melepaskan dua ekor ayam jantan yang akan bersabung tanpa
mempergunakan pisau seperti kebiasaan di dalam arena sabung
ayam. Begitu kedua ekor ayam itu dilepaskan, maka keduanya bagaikan
meloncat sambil menengadahkan kepalanya. Berganti-ganti mereka
303 berkokok dengan garangnya. Beberapa saat keduanya berjalan
berputar-putar, seakan-akan sedang menilai lawannya sambil
menunjukkan kelebihan diri sendiri.
Sejenak kemudian maka kedua ayam itu pun saling merundukkan
kepalanya. Mulailah bulu-bulu leher mereka berdiri tegak, dan
mulailah keduanya menyentuh lawannya dengan ujung paruh
mereka. Demikianlah maka kedua ekor ayam jantan itu pun mulai
bersabung. Mereka saling mematuk dan saling menghantam dengan
sayap dan taji masing-masing. Semakin lama menjadi semakin
sengit. Kadang-kadang leher mereka saling membelit, namun
kemudian paruh mereka mematuk kulit kepala yang menjadi luka
dan berdarah. (bersambung ke jilid 5). Koleksi: Ki Ismoyo Scanning: Ki Arema Retype: Ki Sunda Proofing: Ki Sunda Rechecking/Editing: -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
304 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jild 05 SEPERTI yang dikatakan oleh
Tohjaya, maka pertarungan
kedua ekor ayam tanpa pisau di
kaki itu, merupakan pertarungan
yang justru paling sengit.
Perkelahian itu tidak segera
diakhiri dengan ujung pisau
yang membelah kulit. Tetapi
dengan demikian hampir di
seluruh tubuh ayam jantan yang
sedang berlaga itu dipenuhi oleh
luka yang berdarah. Orang-orang yang berkerumun di sekitar arena kini
benar-benar telah dicengkam
oleh pertarungan dua ekor ayam
jantan yang semakin dahsyat
itu. Pertarungan yang jarang sekali mereka saksikan. Keduanya
memerlukan waktu berlipat ganda dari pertarungan yang biasa di
arena itu. Namun pertarungan itu bagaikan sebuah pesona yang
mencengkam seluruh perhatian para penonton di sekitarnya. Mereka
seakan-akan tidak menyadari lagi apa yang terjadi di sekitarnya
selain kedua ekor ayam yang sedang bersabung itu.
Dalam pada itu, Agnibhaya dengan tergesa-gesa melintasi
halaman istana diiringi oleh dua orang prajurit. Meskipun Agnibhaya
masih terlalu muda, tetapi terasa sesuatu bergerak di dalam
305 dadanya. Ibunya yang dengan tiba-tiba saja memerintahkannya
memanggil kakandanya, didengar atau tidak didengar, membuatnya
bertanya-tanya di dalam hati.
"Ibunda baru saja duduk di ruang depan." berkata anak muda itu
di dalam hatinya, "namun tiba-tiba saja ibunda menjadi sakit,
apalagi sakit keras."
Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada kedua prajurit yang
mengawalnya. Dilihatnya wajah-wajah yang kosong dan buram itu.
Tiba-tiba saja hampir di luar sadarnya Agnibhaya bertanya
kepada pengawalnya, "He, kenapa kau mengikuti aku?"
Pengawal itu menjadi heran mendengar pertanyaan Agnibhaya.
Tetapi salah seorang dari mereka menjawab, "Hamba hanya
menjalankan perintah, tuanku."
Agnibhaya mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu, "Jika
demikian biarlah aku pergi sendiri."
"Hamba tidak berani melanggar perintah itu."
"Manakah yang lebih tinggi antara perintah pemimpinmu dan
perintahku." Prajurit itu termangu-mangu sejenak, lalu, "Perintah tuanku
terlampau tinggi bagi hamba. Tetapi hamba seharusnya
menjalankan perintah atasan hamba langsung. Karena itu,
sebaiknya tuanku menjatuhkan perintah kepada Senapati yang hari
ini bertugas di istana, dan Senapati itu akan memerintahkan kepada
pemimpin hamba itu."
Agnibhaya menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa ia tidak
akan dapat berbicara banyak dengan orang-orang yang hanya
sekedar menjalankan perintah. Karena itu, betapapun hatinya
kurang mapan karena kedua prajurit itu, ia tidak lagi berniat untuk
melepaskan diri. Tetapi sejenak kemudian timbullah pikiran yang lain di dalam
hatinya. Tiba-tiba saja ia merasa bahwa kedua prajurit itu bukan
306 sekedar mengawalnya. Tetapi keduanya tentu sedang
mengawasinya dan memperlakukannya sebagai seorang yang telah
kehilangan sebagian dari kebebasannya.
Namun demikian Agnibhaya tidak berbuat apa-apa. Katanya di
dalam hati, "Asal keduanya tidak mengganggu kehadiranku."
Namun demikian rasa-rasanya ada sesuatu yang mengganggu
perasaan. Semakin dekat Agnibhaya dengan regol yang
memisahkan bagian-bagian dari istana Singasari itu, hatinya menjadi
semakin berdebar-debar. Apalagi ketika kakinya menginjak tangga regol itu. Terasa
sesuatu menghentak dadanya. Dari kejauhan ia sudah melihat arena
sabung ayam yang riuh dan keributan yang semakin lama menjadi
semakin kisruh. Dada Agnibhaya menjadi semakin berdebar-debar. Karena itulah
maka iapun menjadi semakin tergesa-gesa mendekat.
Dalam pada itu, kedua ayam aduan itu sudah sampai ke puncak
kemampuannya. Justru keduanya mulai menjadi lemah. Keduanya
tidak lagi saling menyerang. Tetapi keduanya seolah-olah hanya
membelitkan leher dan sekali-sekali mematuk.
Para penontonnyalah yang menjadi riuh. Mereka bersorak-sorak
seakan-akan tidak telaten lagi melihat perkelahian yang menjadi


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lamban. Bukan kebiasaan mereka melihat ayam bersabung sampai
demikian lama dan lamban. Luka-luka yang kemerah-merahan
menjadi semakin banyak memenuhi tubuh ayam itu.
"Bunuh saja." seorang berteriak, "bunuh saja, dan biarlah yang
lain turun ke gelanggang."
"Menjemukan. Bunuh saja." sahut yang lain.
Tetapi terdengar seseorang berteriak, "Mengerikan, jangan
biarkan mereka menderita terlalu lama. Bunuh saja."
"Bunuh saja. Bunuh saja." hampir berbarengan orang-orang itu
berteriak-teriak. 307 Pada saat kekisruhan karena kejemuan dan sebagian iba hati itu
menjadi semakin memuncak, maka Anusapati pun menjadi semakin
gelisah. Ia pun menjadi sangat iba melihat kedua ayam jantan yang
menjadi semakin lemah. Bahkan kadang-kadang mereka jatuh
bersama-sama dan seolah-olah sudah tidak mampu lagi untuk
bangkit lagi. Dalam pada itu, para penonton menjadi semakin ribut. Keributan
yang berbeda-beda nadanya. Namun yang terdengar jelas adalah
suara, "Bunuh saja, bunuh saja."
Anusapati pun akhirnya tidak tahan lagi. Seperti orang-orang lain
ia ingin menghentikan pertarungan dua ekor ayam yang sudah tidak
berdaya oleh kelelahan dan luka-luka yang arang kranjang itu.
Pada saat itu semua perhatian orang yang ada di sekitar arena
itu tertuju kepada kedua ekor ayam yang berada di arena. Setiap
mata hampir tidak berkedip dan semua hati menjadi berdebaran.
Tidak seorang pun memperhatikan orang-orang lain di
sekitarnya. Bahkan orang yang berada di sampingnya.
Demikian juga Anusapati. Perhatiannya terampas oleh kedua ekor
ayam di arena itu, sehingga ia tidak memperhatikan apapun juga di
sekitarnya. Demikian juga para pengawalnya.
Dalam keadaan yang demikian, sebenarnya bukan semua orang
seakan-akan telah kehilangan kesadaran. Dengan diam-diam
seseorang merayap mendekati Tohjaya yang duduk di samping
kakandanya, Anusapati. Perlahan-lahan, ia menggamit kaki Tohjaya
sambil menunjuk kelambungnya.
Tohjaya berpaling sesaat. Ia pun kemudian mengangguk kecil.
"Inilah saatnya." berkata Tohjaya di dalam hatinya.
Dengan demikian maka perlahan-lahan ia meraba sesuatu di
lambung orang yang mendekatinya itu. Ketika tangannya
menyentuh hulu keris yang kasar, yang terbuat dari sepotong kayu
cangkring, maka Tohjaya itu pun tersenyum.
308 Perlahan-lahan ia menarik hulu keris itu. Sedang orang yang
duduk di sampingnya sama sekali tidak mengacuhkannya, sehingga
orang-orang yang ada di sekitarnya sama sekali tidak tertarik
perhatiannya kepada kehadiran dan sikapnya.
Keris yang kini telah berada di tangan Tohjaya itu adalah keris
Empu Gandring. Sejenak ia memandang keris itu, kemudian
memandang kakandanya yang sedang memusatkan perhatiannya
kepada dua ekor ayam jantan di arena.
Namun ternyata ada seorang yang melihat keris di tangan
Tohjaya itu. Karena itu hatinya menjadi bergerak. Sejenak ia
termangu-mangu. Jika ia berteriak memperingatkan Anusapati,
maka keris itu justru akan segera menghunjam kelambung.
"Yang akan terjadi, kini ternyata telah terjadi." desisnya. Namun
ia tidak dapat berdiam diri. Perlahan-lahan ia pun bergeser
mendekat. Ia tidak mau mengejutkan Tohjaya dan mempercepat
gerak tangannya. Namun, orang itu merasa bahwa sangat sulit untuk
melakukannya. Rasa-rasanya tidak akan tercegah lagi, bahwa
Anusapati memang harus meninggalkan tahta Singasari dalam
keadaan yang serupa dengan ayahandanya Tunggul Ametung dan
ayahandanya Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Sambil menahan nafas maka orang itupun bergeser semakin
dekat. Tetapi belum lagi jarak itu mencapai sepanjang jangkauan
tangannya, Tohjaya sudah mulai menggerakkan tangannya.
Hampir di luar sadarnya orang itu berteriak nyaring sehingga
suaranya bagikan memecahkah selaput telinga. "Tuanku Anusapati,
hati-hati atas sebuah serangan yang licik."
Tetapi suara itu menyentuh telinga Anusapati berbareng dengan
ayunan tangan Tohjaya. Anusapati yang mendengar suara itupun
terkejut. Tetapi ia lebih terkejut lagi ketika terasa tangan Tohjaya
menarik lengannya sedang tangan yang lain menghujamkan keris
Empu Gandring di lambungnya.
309 Anusapati tidak sempat berbuat sesuatu. Meskipun ia memiliki
kemampuan yang tinggi, yang jauh lebih tinggi dari Tohjaya, namun
kelengahannya itulah yang mengantarkannya ke pintu kematian.
Terdengar Anusapati mengaduh perlahan-lahan. Ia masih sempat
menatap mata Tohjaya dengan pandangan yang sedih. Sedih
melihat kelakuan Tohjaya yang sama sekali tidak menunjukkan sifat
kesatria, dan yang bahkan, memang sudah direncanakan.
Pengawal-pengawal Anusapati tidak dapat berbuat apa-apa
melihat keris Empu Gandring menghunjam di lambung Anusapati.
Namun demikian mereka adalah pengawal-pengawal yang setia.
Pengawal-pengawal khusus yang langsung ditunjuk oleh Anusapati
sendiri. Karena itulah, mereka tiba-tiba saja telah menarik senjata
masing-masing. Empat orang pengawal khusus Anusapati itu bagaikan orang
kehilangan akal. Tiba-tiba saja mereka mengamuk seperti seekor
banteng yang terluka. Senjatanya terayun-ayun dengan dahsyatnya
menyambar siapa pun yang berada di dekatnya.
Namun serentak mereka berusaha menyerang Tohjaya yang
telah membunuh kakandanya sendiri dengan cara yang licik sekali.
Tetapi Tohjaya sudah menyiapkan pengawalnya yang kuat.
Karena itu, maka pengawalnya itulah yang kemudian berusaha
menyelamatkannya. Namun demikian, di dalam kemarahan yang memuncak itu, ke
empat pengawal khusus Anusapati itu telah membunuh lebih dari
lima orang yang berada di sekitarnya. Tiba-tiba seorang prajurit
yang lain tewas pula seketika. Dan sejumlah yang lain telah
dilukainya sebelum para pengawal Tohjaya berhasil mengurung
mereka di dalam kepungan yang rapat.
Arena Sabung ayam itu menjadi kacau balau. Sehingga dari
mereka yang berada di gelanggang memang orang yang telah
dipasang oleh Tohjaya. Tetapi beberapa orang yang lain tidak tahu
menahu sama sekali tentang apa yang terjadi, sehingga mereka
hanya dapat berlari-larian kian kemari tanpa arah.
310 Dalam kebingungan yang sangat itu, telah terjadi pertempuran
antara para pengawal yang setia kepada Anusapati, melawan orangorang
yang memang sudah disiapkan dengan baik oleh Tohjaya.
Dan sebenarnyalah bahwa sebagian besar dari para prajurit di
dalam istana itu sudah dikuasainya, karena para Panglimanya sudah
dikuasainya pula. Empat orang pengawal yang setia itu bertempur membabi buta.
Mereka tidak rela melihat Maharajanya mati ditusuk dengan cara
yang sangat licik itu. Bagi mereka, adalah lebih baik mati bersama
Anusapati daripada hidup di dalam dera siksaan batin mereka
sendiri. Mereka merasa bahwa mereka telah gagal menjalankan
tugas dan menyia-nyiakan kepercayaan Maharaja Singasari atas
mereka. Namun perlahan-lahan keempatnya berhasil dikuasai oleh para
prajurit yang sudah berpihak kepada Tohjaya. Sementara itu di
seluruh halaman istana itupun telah dilakukan penguasan serentak
atas segala segi pemerintahan.
Tetapi, keempat orang pengawal itu sama sekali tidak akan
menyerah. Mereka akan berkelahi sampai mati. Dan justru karena
itu, maka mereka menjadi kehilangan kekangan atas diri sendiri.
Ujung senjata mereka bagaikan seekor burung sikatan yang
meloncat-loncat menyebarkan maut.
Meskipun mereka berempat sudah terkurung, namun mereka
masih sempat menaburkan korban di sekitar mereka. Justru karena
mereka adalah pengawal pilihan yang memiliki kemampuan
melampaui kemampuan prajurit-prajurit yang lain, bahkan
melampaui kemampuan senapati-senapatinya.
Tetapi yang mengepung mereka adalah prajurit dalam jumlah
yang jauh lebih banyak. Apalagi ketika hadir di antara perkelahian
itu Panglima Pelayan Dalam yang memang telah mengatur semua
yang akan terjadi itu bersama Panglima pasukan Pengawal yang
tidak lagi dapat melepaskan diri dari cengkaman tangan Tohjaya.
311 "Biarlah aku membunuh mereka." geram Panglima Pelayan
Dalam itu, "lepaskan mereka seorang demi seorang. Aku akan
membunuh mereka seperti membunuh penjahat yang paling
terkutuk di Singasari."
Para pengawal yang setia itu melihat kehadiran Panglima Pelayan
Dalam. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja berteriak,
"Pengkhianat. Kau memang pengkhianat. Aku sudah mencurigaimu
sejak lama." Panglima itu tertawa. Katanya, "Kau jangan banyak berbicara
lagi. Sebentar lagi kau akan mati."
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar suara yang lain.
"Panglima yang perkasa. Biarlah prajurit-prajurit itu bertempur di
antara mereka. Jika kau masih juga ingin berkelahi, marilah kita
berkelahi." Semua orang berpaling kearah suara itu. Mereka melihat seorang
yang meningkat ke usia tuanya berdiri tegak mamandang Panglima
Pelayan Dalam yang sedang berusaha untuk menangani sendiri
prajurit-prajurit pengawal yang setia kepada Anusapati.
"Apa yang dikatakan itu benar." berkata orang itu, "kalian adalah
pengkhianat-pengkhianat. Nah, sebaiknya kalian bertanding dengan
orang-orang yang pantas melawanmu. Bukan prajurit-prajurit yang
setia itu." "Siapa kau?" bertanya Panglima itu.
"Aku ingin tahu, apakah kau akan bersikap jantan setelah kau
mendengar namaku, atau kau akan bersikap seperti tuanmu yang
membunuh tuanku Anusapati dengan cara yang sangat licik."
"Persetan, aku dapat memerintahkan menangkap dan
membunuhmu." "Tentu. Tetapi itu sama halnya dengan perbuatan pengecut.
Padahal kau adalah seorang Panglima. Aku tantang kau berperang
tanding." 312 "Siapa kau?" "Aku adalah orang yang banyak sekali menyerahkan ayam jantan
aduan kepada tuanku Tohjaya. Tetapi katakan, bahwa kau terima
tantanganku untuk berperang tanding. Aku akan menyebutkan
namaku." Panglima Pelayan Dalam itu ragu-ragu. Sejenak ia memandang
prajurit-prajuritnya dengan ragu. Kemudian dipandanginya pula
berganti-ganti ke empat orang pengawal setia Anusapati yang
berdiri tegak mematung karena pertempuran itupun tiba-tiba
terhenti karena kehadiran orang yang menjelang umur tuanya itu.
"Sebutkan kesediaanmu. Kemudian aku akan menyebut namaku.
Jika tidak, dan kau akan memerintahkan prajuritmu mengeroyok
aku, aku akan mati tanpa nama. Tetapi setiap orang yang ada di
sini, meskipun sebagian besar adalah anak buahmu akan mengingat
peristiwa ini, bahwa seorang Panglima telah berlaku licik."
"Baiklah. Aku terima tantanganmu,"
"Semua menjadi saksi."
"Semua menjadi saksi."
"Panglima-panglima yang lain menjadi saksi."
"Ya." "Dimana tuanku Tohjaya."
Semua mata mencarinya. Dan mereka melihat Tohjaya berdiri
tidak begitu jauh sambil memegangi tangan seorang anak yang
sudah remaja. "Lepaskan aku kakanda." teriak anak muda itu.
"Tenanglah Adinda Agnibaya. Yang terjadi adalah di luar
kekuasaan adinda." "Apa yang telah terjadi atas Kakanda Anusapati."
313 "Kita sama-sama tidak tahu dengan pasti. Karena itu, tinggallah
di s ini. Jangan mendekati kekacauan itu."
"Bagaimana dengan Kakanda Anusapati." teriak Agnibhaya.
Orang yang berdiri berhadapan dengan Panglima Pelayan Dalam
itu tidak sampai hati meneriakkan kenyataan tentang Anusapati.
Tetapi salah seorang dari keempat pengawal setia Anusapati itulah
yang berkata lantang. "Tuanku Anusapati telah terbunuh. Yang
membunuh dengan licik adalah tuanku Tohjaya sendiri."
Wajah Agnibaya menjadi merah. Tiba-tiba saja ia menyerang
Tohjaya dengan sengitnya.
Tetapi Agnibaya masih terlampau muda. Ilmunya masih belum
mencukupi sama sekali untuk melakukan pembelaan dengan
kekerasan. Karena itu, maka sejenak kemudian dua orang prajurit
dengan mudahnya telah menguasainya. Keduanya memegang
lengan Agnibaya dengan eratnya. Sedang Tohjaya yang berdiri di
hadapannya berkata, "Tenanglah adinda. Kakanda akan
menjelaskan persoalannya nanti. Tetapi sekarang, menepilah.
Jangan berada di tempat yang masih kacau ini."
Dalam pada itu, prajurit yang setia kepada Anusapati itu pun
berteriak, "Kenapa tidak kau bunuh sama sekali adinda tuanku
Anusapati itu." "Diam kau." teriak Panglima Pelayan Dalam.
Dan orang yang menjelang usia tua itu tertawa sambil berkata,
"Biarlah mereka meneriakkan kebenaran. Kenapa kau menjadi
bingung." "Persetan, sebut namamu cepat, sebelum kau mati."
"Baiklah. Kita akan berperang tanding. Bersiaplah."
"Sebut namamu lebih dahulu."
Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak, namun kemudian katanya,
"Aku juga pernah menjadi seorang Pelayan Dalam. Dan aku adalah
Pelayan Dalam yang pada saat itu pernah meninggalkan tugasku.
314 Hampir berkhianat pula seperti kau. Tetapi kini aku sadar, bahwa
pengkhianatan itu tidak akan menguntungkan bagi diriku dan bagi
setiap pengkhianat."
"Tutup mulutmu, sebut namamu."
Orang itu termangu-mangu. Sejenak ia memandang berkeliling.
Dilihatnya beberapa orang prajurit telah mengerumuninya. Mereka
hampir melupakan keempat prajurit yang setia kepada Anusapati
itu. Orang itu menjadi berdebar-debar ketika ia melihat beberapa
orang perwira yang sebaya dengan umurnya. Perwira-perwira tua
yang masih berada di lingkungan keprajuritan. Agaknya tenaga
mereka masih dibutuhkan sehingga mereka masih harus tetap
memikul kuwajibannya. "Salah seorang dari Perwira-perwira tua itu dapat mengenal aku."


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata orang itu. Tetapi tidak seorang pun yang menyebut namanya. Dan
Panglima Pelayan Dalam itu berteriak kepada para prajurit. "Siapa
yang mengenal orang ini?"
Orang-orang yang ada di sekitarnya masih tetap berdiam diri.
"Tentu ada seorang yang mengalami menjadi hamba Akuwu
Tunggul Ametung. Dan bertanyalah kepadanya."
Beberapa orang tua mengerutkan keningnya. Mereka mencoba
untuk mengenali orang yang kini berdiri berhadapan dengan
Panglima itu. "Apakah tidak ada seorangpun lagi yang mengenal aku?"
Tiba-tiba salah searang perwira yang sudah sebaya dengan
orang itu mendekatinya. Perlahan-lahan ia bergumam, "Aku
memang pernah melihatmu."
Orang itu tersenyum. Agaknya ia pun mengenal perwira itu. Maka
katanya, "Kaukah yang pernah dijuluki harimau lapar di medan
pertempuran. Nah, kau tentu ingat aku."
315 Perwira itu merenung sejenak. Dipandanginya orang itu dengan
saksama sambil berdesis, "Kau benar. Dahulu aku adalah seekor
Bende Mataram 31 Lima Sekawan 01 Petualangan Di Pulau Suram Harimau Mendekam Naga Sembunyi 16

Cari Blog Ini