Ceritasilat Novel Online

Sepasang Ular Naga 7

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 7


tidak dapat mengerti, kenapa rakyat yang marah itu tidak dapat
dikuasai dan tidak dapat dicegah lagi membunuh Maharaja Singasari
yang Agung. Tetapi sebaiknya kalian menyadari, bahwa kemarahan,
kekecewaan dan ketidak pastian yang tertahan, pada suatu saat
akan dapat meledak. Ledakan itu tidak mengingat lagi sasaran,
akibat dan apapun yang akan terjadi." Panglima itu berhenti
sejenak, lalu, "sekali lagi aku katakan, hanya wibawa tuanku
Tohjaya sajalah yang dapat menghentikan semuanya itu."
Para Senapati itu semakin menundukkan kepalanya. Bukan
karena mereka melihat kebenaran di dalam keterangan itu, namun
justru karena mereka berusaha menyembunyikan perasaan yang
tersirat di wajah mereka itu.
Karena Panglima itu sama sekali tidak dapat menjajagi
tanggapan para Senapati yang mendengarkannya, maka ia menjadi
agak ragu-ragu. Namun apabila disadarinya bahwa disisinya ada
panji-panji dan tunggul kerajaan, maka hatinya menjadi kembang,
dan mulailah ia berkata lagi dengan tegas. "Kalian harus
menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Tuanku Tohjaya untuk
sementara memegang pimpinan kerajaan. Tidak ada orang kuat
yang lain yang pantas duduk di atas Singgasana Singasari selain
tuanku Tohjaya itu."
377 Beberapa orang Senapati hampir bersamaan mengangkat
wajahnya. Rasa-rasanya ada sesuatu yang ingin mereka tanyakan.
Tetapi tidak sepatah katapun yang terlontar dari mulut mereka
ketika mereka melihat Mahisa Agni masih saja duduk dengan
tenang, betapapun jantung di dadanya berdenyut semakin cepat.
"Nah." berkata Panglima itu, "apakah ada yang ingin
mendapatkan keterangan yang lain" Ketika kami baru saja datang di
tempat ini, Mahisa Agni ingin mengajukan beberapa pertanyaan
yang tidak aku jawab. Sekarang, aku persilahkan jika ada di antara
kalian yang masih memerlukan penjelasan lebih banyak."
(bersambung ke jilid 6) Koleksi: Ki Ismoyo Scanning: Ki Arema Retype/Convert: Ki Mahesa
Proofing/editing: Ki Mahesa
Re-checking: Ki Arema -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
378 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 06 PARA SENAPATI hanya memandang Mahisa Agni saja.
Seakan-akan mereka ingin menitipkan pertanyaan yang
berdesakan di hati mereka.
"Tetapi yang penting." berkata
Panglima itu kemudian, "bahwa
aku telah membawa panji-panji
dan tunggul kerajaan. Kalian
harus tetap terikat dengan
kesetiaan kalian terhadap
Singasari. Dan Panji-panji serta
tunggul ini adalah lambang
kekuasaan Singasari. Meskipun
barangkali aku belum menjatuhkan perintah yang
harus kalian kerjakan, namun kalian harus sudah mendasarkan diri
kepada kesetiaan kalian terhadap panji-panji dan tunggul ini. Bukan
terhadapku." Tidak seorang pun yang menyahut. Mahisa Agnipun tidak.
Dan Panglima itu berbicara lagi. "Baiklah. Kalian barangkali baru
mencernakan keteranganku. Masih banyak waktu. Aku tidak
berkeberatan jika kita semalam suntuk duduk di sini berbicara
tentang Singasari dan hari depannya. Namun yang penting kalian
ketahui, selain keterangan yang harus aku sampaikan kepada
379 kalian, aku pun telah membawa perintah yang penting bagi
pimpinan pemerintahan Singasari yang dikuasakan di Kediri."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Panglima itu berkata selanjutnya. "Nah, dengarlah, perintah ini.
Atas nama kekuasaan tertinggi di Singasari, aku perintahkan kepada
Mahisa Agni untuk mengikuti aku kembali ke Istana Singasari untuk
menghadap Tuanku Tohjaya."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
"Kau tidak akan dapat membantah."
Mahisa Agni memandang Panglima itu sejenak, lalu, "Aku Tidak
akan membantah. Tetapi sebaiknya kau mempergunakan istilah lain
yang lebih baik dari istilahmu itu?"
"Maksudmu?" "Kau dapat berkata, bahwa atas perintah tuanku Tohjaya, aku
harus menghadap, atau istilah-istilah lain seperti itu. Tidak seperti
yang kau ucapkan." "Apakah salahnya" Aku membawa panji dan tunggul kerajaan."
Mahisa Agni hampir tidak dapat menguasai perasaannya. Hanya
karena ia menyadari sepenuhnya, bahwa persoalan Singasari berada
di atas persoalan apapun, ia masih berhasil menahan dirinya. Jika ia
saat itu kehilangan pengamatan diri, dan berbuat sesuatu yang
dapat menimbulkan keributan di dalam pendapa itu, maka persoalan
yang sekedar memercik di pendapa itu akan menjalar ke seluruh
Singasari. Meskipun demikian ia masih menjawab, "Siapapun yang
membawa panji-panji dan tunggul itu adalah mereka yang
mendapat limpahan kekuasaan dari tuanku Tohjaya. Karena itu
apapun yang kau lakukan adalah sekedar menyampaikan
perintahnya. Bukan kau sendirilah yang memerintahkannya. Apalagi
aku adalah wakil kekuasaan Singasari di Kediri."
380 Sejenak Panglima itu menjadi termangu-mangu. Dipandanginya
para Senapati yang ada di sekitarnya. Kemudian para pengawalnya
yang sebagian berada di luar pendapa.
Namun ketika terpandang olehnya wajah Mahisa Agni, maka tibatiba
saja ia telah melontarkan tatapan matanya. Bagaimanapun juga
ia tidak dapat mengatasi wibawa wakil Mahkota yang ada di Kediri
itu. Untuk melontarkan kegelisahan yang mencengkamnya, maka
tiba-tiba saja ia berkata lantang tanpa memandang Mahisa Agni.
"Apapun bunyinya, tetapi kau harus menghadap tuanku Tohjaya di
Singasari." "Baiklah. Aku akan menghadap. Kapan kita akan berangkat."
"Besok pagi. Semakin cepat semakin baik."
"Besok pagi adalah waktu yang paling cepat dapat kita lakukan."
"Ya." Mahisa Agni pun kemudian memandang para Senapati yang ada
di pendapa itu. Katanya, "Baiklah. Besok aku akan berangkat ke
Singasari. Tetapi aku akan minta diri dahulu kepada para prajurit
dan para pengawal di Kediri. Usahakan agar mereka dapat
berkumpul di alun-alun. Sebagian yang mungkin dapat dihubungi
tanpa menimbulkan kegelisahan. Tidak ada apa-apa, selain aku
akan minta diri kepada mereka. Bukan saja para Senapati yang
berkumpul sekarang, tetapi juga beberapa golongan prajurit dan
pengawal yang pernah berhubungan dengan tugasku."
Panglima Pelayan Dalam yang hadir di pendapa itu pun menjadi
berdebar-debar pula. Persiapan itu akan dapat disalah gunakan oleh
Mahisa Agni, sehingga karena itu, maka Panglima itupun berkata,
"Itu tidak perlu. Tidak boleh ada kesibukan keprajuritan yang dapat
menimbulkan kesan yang tidak aku kehendaki."
"O." Mahisa Agni tersenyum, "kau berprasangka" Jika aku ingin
memberontak, aku tidak perlu menunggu kau datang dan duduk di
381 pendapa ini. Aku dapat menyongsongmu di regol dan membunuhmu
tanpa banyak perlawanan."
Wajah Panglima itu menjadi merah. Sambil menggeram ia
menjawab. "Tetapi kau akan dipancung di alun-alun Singasari atau
dihukum picis di perapatan."
"Itu soal kemudian. Jika aku sudah bertekad untuk memulai,
tentu aku tidak akan takut dipancung atau dihukum picis. Tetapi
soalnya tidak begitu sederhana. Soalnya adalah Singasari yang
dengan susah payah diperjuangkan sejak masa pemerintahan Sri
Rajasa. Tentu, aku yang ikut mempersatukan Kediri dan Tumapel
sehingga menjadi Singasari yang besar tidak akan dengan mudah
ikut menghancurkannya. Memang berbeda dengan kau. Kau hadir
pada saat Singasari sudah utuh seperti sekarang. Dengan
mengorbankan harga diri sedikit saja kau sudah dapat menduduki
jabatan tertinggi di Singasari yang sudah menjadi besar."
"Cukup." Panglima itu membentak, "apakah kau tidak sadar
bahwa kau berhadapan dengan Panglima yang mendapat limpahan
kekuasaan tertinggi di Singasari."
"Ya." "Kau sudah menodai kedudukanku."
"Tidak. Aku tidak mengatakan apapun tentang panji dan tunggul
itu. Tetapi aku mengatakan tentang kau. Tentang seorang Panglima
Pelayan Dalam. Tanpa panji-panji dan tunggul itu."
"Persetan. Tetapi aku sekarang membawa panji-panji dan
tunggul itu." "Kita semua harus menghormati panji-panji dan tunggul itu.
Karena itu, sebaiknya panji-panji dan tunggul itu tidak dipergunakan
untuk memaksakan kepada orang lain bagi kepentingan pribadi. Kau
tidak dapat memaksa aku dan para Senapati yang lain untuk
menghormatimu sebagai suatu pribadi meskipun kau membawa
panji-panji dan tunggul itu karena kami semuanya sudah
mengetahui siapakah kau sebenarnya."
382 Wajah Panglima itu menjadi semakin tegang. Dengan suara
gemetar ia berkata, "Aku dapat menjatuhkan hukuman apapun
terhadapmu seperti tuanku Tohjaya melakukan, selama panji-panji
dan tunggul itu ada padaku."
"Jangan membakar Singasari. Mungkin kau tidak begitu
mencintainya karena kau tidak ikut membangunnya seperti aku."
"Kau justru menghina Singasari."
Sambil tersenyum Mahisa Agni menjawab, "Sadarilah. Jika kau
memaksa aku melawan, maka itu berarti Singasari akan mengoyak
dadanya sendiri. Dan kaulah penyebabnya. Dan kau tentu akan
dihukum sesuai dengan kesalahan itu. Mungkin aku juga jika aku
tertangkap hidup-hidup, karena aku dapat mati di dalam
pemberontakan itu, sehingga kita akan bersama-sama menjalani
hukuman picis yang dahsyat itu."
Panglima Pelayan Dalam itu memandang Mahisa Agni dengan
tatapan mata yang tegang. Kini ia menyadari sepenuhnya, bahwa
Mahisa Agni adalah orang yang matang di dalam setiap tingkah
lakunya, meskipun bagi para Senapati di Kediri, sikap itu dianggap
terlampau lemah. "Apakah karena sikap itulah maka Panglima Pasukan Pengawal
berkeberatan pergi ke Kediri dan memberikan tugas ini kepadaku?"
Panglima Pelayan Dalam itu bertanya kepada diri sendiri.
Namun demikian ia tidak boleh menunjukkan kelemahannya. Ia
harus tetap bersikap sebagai seorang Panglima yang mendapat
limpahan kekuasaan Singasari. Karena itu maka katanya, "Mahisa
Agni. Jangan bersikap seperti seorang penyamun yang menakutnakuti
korbannya di bulak yang sepi. Aku bukan pengecut dan
bukan pula kanak-kanak yang dapat kau ancam. Aku adalah
seorang Panglima dan lebih dari itu aku membawa lambang
kekuasaan atas Singasari."
"O. Jangan salah menilai kata-kataku. Aku tahu kau seorang yang
berani. Jika tidak, kau tidak akan dapat memanjat sampai
jabatanmu yang sekarang. Tetapi aku sekedar ingin
383 memperingatkanmu, bahwa jika kau salah langkah, kau akan
menjadi penyebab hancurnya Singasari. Soalnya bukannya apakah
kau seorang pengecut atau seorang pemberani. Seorang
pengkhianat biasanya seorang pemberani. Tetapi jarang sekali
seseorang yang menyediakan dirinya untuk menjadi seorang
pengkhianat." "Cukup." potong Panglima itu, "aku tidak memerlukan
sesorahmu. Besok kau harus pergi bersamaku ke Singasari."
"Bukankah aku tidak membantah?" sahut Mahisa Agni, lalu, "nah,
sekali lagi aku ingin minta kepada para Senapati agar besok
berkumpul di alun-alun dengan para prajurit yang ada saja. Yang
mungkin dapat diberi tahu dan diperintahkan berkumpul. Yang kirakira
agak sulit tidak perlu. Yang bertugas di tempat yang agak jauh,
cukup diberitahu sesudah aku berangkat. Aku minta diri kepada
mereka." "Kau tidak akan pergi ke Singasari untuk digantung." potong
Panglima itu, "kau masih mungkin kembali pada tugasmu di sini."
"Ya, aku tahu. Tetapi biarlah aku minta diri kepada mereka.
Keberatanmu hanya sekedar berdasarkan atas prasangka saja."
Panglima itu tidak melarangnya lagi. Ia tahu bahwa Mahisa Agni
masih selalu mengekang diri, jika ia bertindak lebih keras lagi, maka
mungkin sekali Mahisa Agni akan bersikap lain, dan tugasnya akan
gagal sama sekali. Demikianlah maka Senapati yang ada di pendapa itupun
kemudian meninggalkan tempatnya. Panglima yang mendapat tugas
ke Kediri itu sama sekali bukan seorang yang pandai menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang di datanginya. Ia hanya sekedar
membanggakan kekuasaan yang ada padanya, karena ia membawa
panji-panji dan tunggul kerajaan.
Beberapa orang Senapati masih saja berbincang di sepanjang
jalan. Mereka menyadari bahwa mereka berhadapan dengan
kekuasaan tertinggi. Dan mereka tidak dapat menggambarkan
384 dengan sesungguhnya, sikap prajurit-prajurit Singasari di daerah
lain. "Yang penting, tuanku Mahisa Agni tidak ingin melihat
pertumpahan darah terjadi lagi di Singasari." berkata seorang
Senapati yang sudah menginjak setengah abad.
"Tetapi dengan mengorbankan harga diri dan kedudukan kita
seperti ini?" jawab Senapati yang masih muda.
"Kita akan melihat perkembangannya." jawab yang lain, "tetapi
kita harus menyatakan diri bahwa kita cukup kuat untuk
diperhitungkan. Besok kita akan membawa pasukan yang kuat ke
alun-alun. Semuanya sudah lama siap. Perintah akan menjalar
dengan cepat ke seluruh kota dan bahkan keluar kota tanpa
menimbulkan kesan yang menggelisahkan."
"Panglima itu tentu akan mengirimkan petugas sandinya keluar


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan mengamati kegiatan di kota ini."
"Tidak akan ada tanda-tanda apapun. Hubungan dapat
berlangsung dengan tenang. Yang nampak hanyalah dua tiga ekor
kuda saja di jalan-jalan raya. Tidak lebih."
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Semuanya
memang sudah disusun sebelum Panglima itu datang, sehingga
dengan isyarat yang sederhana, setiap prajurit tahu apa yang harus
mereka lakukan. Dan yang mereka lakukan pun bukannya persiapan
perang, karena mereka hanya harus berkumpul di alun-alun,
meskipun dengan perlengkapan perang.
Seperti yang diduga oleh para Senapati, sebenarnyalah bahwa
Panglima itu telah mengirimkan beberapa orangnya untuk
mengamati keadaan kota. Tetapi seperti yang sudah diperhitungkan
pula oleh para Senapati, mereka tidak melihat kesibukan yang dapat
menumbuhkan kecurigaan. Karena itu, maka mereka menganggap
bahwa tidak akan timbul kerusuhan apapun di Kediri.
Meskipun demikian Panglima Pelayan Dalam itu masih juga selalu
dibayangi oleh prasangka. Karena itu, hampir semalam suntuk ia
385 tidak dapat tidur nyenyak meskipun di muka biliknya dua orang
pengawalnya selalu berjaga-jaga bergantian.
Dalam pada itu, Mahisa Agni sempat juga menemui Witantra di
biliknya. Seperti yang sudah direncanakan, maka Mahisa Agni minta
agar Witantra besok hadir di alun-alun. Ada sesuatu yang akan
menarik perhatian para prajurit.
Witantra hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kepalanya
terangguk-angguk kecil. Demikianlah maka di malam itu telah terjadi kesibukan di antara
para prajurit. Kesibukan yang tidak begitu nampak bagi orang lain,
karena mereka sudah mempersiapkannya lebih dahulu. Yang
tampak hanyalah satu dua ekor kuda yang menghubungkan dari
barak yang satu kebarak yang lain. Sesudah itu, maka perintah itu
mengalir bagaikan air yang sudah disediakan salurannya.
Karena itulah, maka Kediri rasa-rasanya tetap tenang. Petugaspetugas
sandi yang berkeliaran di dalam kota hanya melihat
hubungan yang wajar, karena Mahisa Agni ingin minta diri kepada
prajurit dari kalangan yang lebih luas lagi di alun-alun. Dan menurut
pengamatan para prajurit sandi itu, sama sekali tidak ada persiapan
perlawanan dari para prajurit di Kediri.
"Jika mereka ingin melakukan pelawanan dan membinasakan
kami, maka mereka tidak perlu memanggil setiap prajurit yang ada
di Singasari." berkata salah seorang prajurit sandi kepada
kawannya. "Ya. Para Senapati yang tadi berkumpul di pendapa itupun sudah
cukup kuat untuk membinasakan kami semua. Panglima Pelayan
Dalam itu tentu tidak akan dapat melawan tuanku Mahisa Agni yang
memiliki kemampuan dan ilmu setingkat dengan Sri Rajasa. Sedang
jumlah para Senapati yang ada di pendapa dan para petugas yang
meronda di istana tuanku Mahisa Agni itu cukup banyak untuk
menghancurkan kami."
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Untunglah bahwa tuanku Mahisa Agni tidak mau berbuat sesuatu.
386 Ia memiliki hak juga atas Singasari betapapun kecilnya. Ia adalah
saudara laki-laki tuanku Permaisuri Ken Dedes. Dan ia ikut
mempersatuan Kediri dengan Singasari. Jika ia bangkit dan
mengadakan perlawanan atas tuanku Tohjaya, maka Singasari
benar-benar akan hancur karena tingkahnya sendiri."
"Kau dengar apa yang dikatakan di pendapa itu?"
"Ya. Ia tidak mau membelah jantung sendiri."
Para prajurit sandi itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka tidak dapat menutup kenyataan, bahwa Mahisa Agni adalah
orang yang jauh lebih berwibawa dari Panglima Pelayan Dalam itu,
meskipun membawa panji-panji dan tunggul kerajaan.
Menjelang fajar para prajurit yang bertugas mengawal Panglima
dari Singasari itu sudah berkumpul di halaman istana wakil Mahkota
di Kediri. Mereka tidak membawa laporan apapun yang dapat
menggelisahkan hati Panglimanya, karena rasa-rasanya Kediri tetap
tenang. "Hari ini kita kembali sambil membawa Mahisa Agni." berkata
Panglima itu, "betapa sombongnya orang itu, namun ia tidak akan
berani melawan perintahku."
Pengawalnya tidak menyahut. Namun terasa di dalam hati
mereka, bahwa Panglima yang baru saja diangkat itu telah merasa
dirinya terlampau besar, karena prajurit-prajurit itu pun mengetahui,
siapakah Panglima itu sebelum ia diangkat menggantikan Panglima
yang terbunuh oleh Kuda Sempana di dalam kerusuhan di arena
sabung ayam itu. Demikianlah ketika matahari terbit di Timur, Panglima yang
hampir semalam suntuk tidak tidur dan selalu menghubungi
petugas-petugas sandinya itu, sudah siap. Dengan gelisah ia
menunggu Mahisa Agni yang masih berada di biliknya.
"Bangunkan Mahisa Agni." perintah Panglima itu, "kita akan
berangkat pagi-pagi benar."
387 Pengawalnya yang mendapat perintah itu menjadi ragu-ragu.
Katanya, "Bukankah di istana ini ada pelayan yang dapat
membangunkannya" Tentu pelayan itu tahu kebiasaan tuanku
Mahisa Agni, dan tahu bagaimana caranya membangunkannya."
"Cepat, cari pelayan itu."
Pengawal itupun kemudian mencari pelayan yang bertugas di
dalam istana hari itu, dan menyuruhnya membangunkan Mahisa
Agni. Pelayan itu tidak dapat membantah. Karena itu meskipun ia agak
ragu-ragu, tetapi iapun pergi ke bilik Mahisa Agni dan
membangunkannya. Tetapi pelayan itu terkejut ketika tangannya baru saja
menyentuh pintu, maka pintu itu sudah terbuka.
"Ampun tuanku." berkata pelayan itu, "hamba mendapat perintah
dari para pengawal Panglima Pelayan Dalam itu untuk
membangunkan tuanku."
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Aku sudah bangun sejak pagipagi
tadi. Tetapi aku memang sengaja untuk tinggal saja di dalam
bilik." "O." pelayan itu hanya menundukkan kepalanya.
"Katakan kepada pengawal itu bahwa aku sudah bangun."
Pelayan itupun kemudian meninggalkan bilik Mahisa Agni dan
mengatakan kepada pengawal itu bahwa Mahisa Agni telah bangun.
"Panglima menunggunya, agar ia segera siap. " berkata
pengawal itu. "Tuanku Mahisa Agni sudah mengatakannya, bahwa ia akan
segera siap." Pengawal itu pun kemudian melaporkannya kepada Panglimanya
bahwa Mahisa Agni akan segera siap.
388 Tetapi persiapan Mahisa Agni memerlukan waktu yang cukup
lama, sehingga Panglima itu menjadi gelisah. Bahkan kemudian
dengan tidak sabar ia memerintahkan pengawalnya untuk
menghubungi Mahisa Agni. "Tuan." berkata pengawal itu, "Panglima sudah lama siap. Kita
harus segera berangkat."
Mahisa Agni tersenyum sambil menepuk bahu pengawal itu.
Katanya, "Biarlah Panglima belajar bersabar sedikit. Katakan, aku
hampir selesai." Pengawal itu hanya dapat mengangguk dalam-dalam. Ia tidak
mempunyai keberanian cukup untuk mendesak agar Mahisa Agni
bersiap lebih cepat lagi, meskipun ia sadar bahwa Panglimanya
tentu akan membentak-bentaknya lagi.
Karena itu, ketika Panglima Pelayan Dalam itu benar-benar
membentaknya, pengawal itu sudah tidak terkejut lagi.
"Gila. Kita harus segera berangkat. Katakan kepadanya, bahwa
aku telah memerintahkannya." Panglima itu hampir berteriak
sehingga sebenarnya Mahisa Agni telah mendengarnya.
"Sebentar lagi tuanku Mahisa Agni tentu telah siap." jawab
pengawal itu. "Aku menghendaki ia siap sekarang."
"Baiklah." gumam pengawal itu seakan-akan kepada diri sendiri.
Tetapi sebelum ia berdiri dan melangkah Mahisa Agni telah
berdiri di ruang dalam itu sambil berkata, "Aku sudah siap."
Panglima itu berpaling. Sambil menggeram ia berkata, "Kau
berbenah diri seperti perempuan. Aku tidak telaten. Kita akan
segera berangkat." "Bukankah kita akan pergi ke alun-alun sejenak untuk minta diri
kepada para Senapati dan prajurit yang sempat dihubungi malam
tadi" Tentu prajurit yang ada di sekitar istana ini saja. Namun
389 bagiku yang sudah lama bekerja bersama dengan mereka
menganggap perlu untuk sekedar minta diri."
"Kau tidak akan pergi berperang dan mati di peperangan."
"O, tentu. Tetapi anak-anak yang pergi bermain-main keluar
rumah pun sebaiknya minta diri."
"Persetan. Bagaimana jika aku menganggap hal itu tidak perlu?"
"Akulah yang akan minta diri kepada mereka. Bukan kau."
"Aku dapat memerintahkan kepadamu untuk membatalkan
rencanamu bertemu dengan prajurit-prajurit itu."
"Tentu kau dapat melakukannya. Tetapi apakah kau menganggap
hal itu perlu kau lakukan" Sekali lagi aku peringatkan, sebaiknya kau
jangan mempersoalkan masalah-masalah yang sebenarnya tidak
penting sehingga akan membakar Singasari menjadi abu. Jika kau
tidak keras kepala, dan merasa dirimu terlampau besar, jauh lebih
besar yang sebenarnya, kau tidak akan memberikan perintah yang
aneh-aneh. Seandainya yang datang kemari tuanku Tohjaya sendiri,
tentu ia tidak akan berkeberatan. Bahkan ia akan berbangga
bertemu dengan prajurit-prajuritnya yang ada di Kediri. Dan kau
pun akan berbangga berdiri di hadapan prajurit dan Senapati yang
sebagian besar sudah kau kenal itu dengan panji-panji dan tunggul
kerajaan." Panglima itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat menolak lagi.
Meskipun demikian ia masih membentak, "Aku beri waktu sampai
matahari naik ke ujung pepohonan. Kita akan berangkat sebelum
panas matahari itu menyengat kulit."
"Tidak banyak bedanya. Apakah kita berangkat segera atau kita
akan menunggu tengah hari. Kita tidak akan dapat mencapai
Singasari hari ini. Perjalanan di daerah yang masih berhutan-hutan
itu akan memerlukan waktu yang panjang. Kita akan bermalam di
perjalanan." 390 "Tidak. Kita akan mencapai Singasari meskipun sudah gelap.
Karena itu, cepat, lakukan jika kau akan minta diri kepada para
prajurit di alun-alun."
"Baiklah." berkata Mahisa Agni, "aku akan pergi ke alun-alun.
Tetapi sebaiknya kau pergi juga untuk melihat pasukan Singasari
yang ada di Kediri. Panji-panji dan tunggul itu akan dapat menjadi
pertanggungan jawabku kepada mereka, karena aku telah
meninggalkan Kediri untuk waktu yang tidak ditentukan."
"Kau memang banyak tingkah. Bahkan kau selama ini hilir mudik
antara Kediri dan Singasari?"
"Tetapi keadaan Singasari tidak seperti sekarang ini. Kita berada
disuatu masa perpindahan yang belum pasti."
"Sudah pasti. Kau jangan mengada-ada."
"Baiklah. Aku tidak memerlukan waktu yang lama. Tetapi aku
persilahkan kau pergi juga ke alun-alun dengan panji-panji dan
tunggul itu." Panglima itu termenung sejenak. Memang senang sekali dapat
menunjukkan limpahan kekuasaan Maharaja Singasari kepadanya
itu kepada prajurit-prajurit dan Senapati yang memang sebagian
besar telah dikenalnya. Bahkan Senapati yang dahulu merupakan
perwira sejajarnya. Kini ia telah jauh mendahuluinya, dan menjabat
sebagai seorang Panglima di Singasari.
"Apakah kau tidak berkeberatan?" bertanya Mahisa Agni.
"Baiklah. Aku akan pergi bersamamu dan para pengawal yang
aku bawa dari Singasari."
"Terima kasih atas kesediaanmu. Aku sudah siap. Dan kita akan
segera berangkat." Demikianlah maka para pengawal pun segera menyiapkan kuda
dan perlengkapan yang akan mereka bawa ke alun-alun. Sementara
itu beberapa orang pengawal Mahisa Agni pun bersiap pula. Di
391 antara mereka terdapat Witantra yang berpakaian seperti seorang
prajurit biasa. Meskipun mula-mula pemimpin pengawal Mahisa Agni menjadi
agak segan setelah ia mengetahui bahwa orang itu adalah Witantra,
seorang Panglima Pasukan Pengawal di Tumapel pada masa
pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Namun kemudian iapun
berhasil membiasakan diri dengan sikapnya sebagai pemimpin.
Demikianlah maka rombongan itu pun segera keluar dari regol
istana. Yang berada di paling depan adalah dua orang pengawal dari
Singasari. Kemudian Panglima itu berkuda bersama-sama dengan
Mahisa Agni. Di belakangnya pengawalnya yang membawa panjipanji
dan tunggul kerajaan, lambang kekuasaan yang dilimpahkan
kepadanya oleh Maharaja yang berkuasa di Singasari.
Perlahan-lahan iring-iringan itu menyusuri jalan kota menuju ke
alun-alun di muka istana Maharaja Kediri yang telah gugur melawan
Sri Rajasa, dan yang kemudian istana itu seakan-akan tidak lagi
mempunyai arti di dalam pemerintahan. Meskipun demikian di
dalam istana itu masih tetap tinggal keluarga dan keturunan raja di
Kediri. Panglima Pelayan Dalam yang memiliki limpahan kekuasaan itu
tiba-tiba saja menjadi bertambah bangga melihat rakyat Kediri
berdiri berderet di pinggir jalan. Mereka melihat kemegahan panjipanji
dan tunggul kerajaan Singasari itu. Namun dengan demikian
maka mereka pun tahu bahwa yang datang itu tentu sekedar
seorang pemimpin Singasari yang membawa kekuasaan Mahkota.
Tentu bukan Maharaja itu sendiri.
Karena itu, maka Rakyat di Kediri tidak perlu berjongkok di
sepanjang jalan. Mereka tetap berdiri meskipun agak jauh dari jalan
yang dilalui oleh iring-iringan itu.
Dihadapan istana Kediri beberapa orang Senapati telah siap
menerima iringan itu ketika seorang penghubung berkuda yang
mendahului iringan itu memberi tahukan bahwa utusan dari
Singasari dan Mahisa Agni sedang menuju ke alun-alun.
392 Namun yang sangat mengejutkan Panglima Pelayan Dalam itu
dan para pengawalnya adalah sambutan yang mereka terima ketika
mereka mendekati regol alun-alun itu.
"Mahisa Agni." desis Panglima itu, "apakah artinya ini?"
"Tidak berarti apa-apa. Bukankah aku akan minta diri kepada
mereka?" Panglima itu menjadi tegang. Ternyata yang dilihatnya di alunalun
itu adalah pasukan segelar sepapan. Pasukan Singasari yang


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada di Kediri dan pasukan pengawal keamanan yang disusun oleh
Mahisa Agni di Kediri itu sendiri.
Sejenak Panglima itu termangu-mangu. Kemudian dipanggilnya
seorang Senapati pengawalnya mendekat. Katanya, "Gila, apa yang
dilakukan oleh petugas-petugasmu yang mengawasi keadaan"
Apakah mereka sama sekali tidak melihat kesibukan apapun
sehingga di alun-alun dapat terkumpul sekian banyak orang?"
Senapati itu tidak segera menjawab. Ia sendiri heran, bahwa di
Kediri sempat dikumpulkan sekian banyak prajurit yang lengkap
dengan senjata masing-masing.
Namun sebelum Senapati itu menjawab, Mahisa Agnilah yang
menyahut, "Apakah kau sudah melepaskan petugas-petugas sandi?"
Panglima itu tidak menjawab. Tetapi dipandanginya Mahisa Agni
dengan tajamnya. "Aku sudah menyusun jalur hubungan yang sebaik-baiknya di
Kediri. Setiap perintah akan mengalir melalui aluran yang sudah
ditentukan. Apa salahnya" Bukankah tuanku Sri Rajasa dahulu
sudah mulai menyusun saluran perintah yang teratur dan tuanku
Anusapati pun berusaha untuk menyempurnakan" Namun agaknya
di saat terakhir, terutama di Singasari, jalur itu telah terputus-putus.
Setiap pimpinan dan Senapati memilih jalurnya masing-masing."
"Omong kosong." potong Panglima itu.
"O, kau tidak merasakannya?"
393 "Tidak. Semuanya berjalan wajar."
"Jika demikian yang kau lihat inipun adalah hasil usaha yang
tekun untuk mempercepat semua perintah lewat saluran yang dari
sedikit aku sempurnakan. Agaknya hasilnya cukup memuaskan.
Nah, sebaiknya kau laporkan pula nanti jika kita menghadap, bahwa
saluran perintah di Kediri sudah berjalan sesuai dengan keinginan
para pemimpin di Singasari sejak masa pemerintahan Sri Rajasa."
Panglima itu tidak menyahut. Tetapi terdengar giginya
gemeretak. Ketika ia memasuki alun-alun, maka terasa dadanya bergetar. Ia
melihat prajurit-prajurit Singasari di Kediri dan para pengawal dari
Kediri sendiri telah siap menunggu kedatangan mereka di alun-alun.
Di bagian depan terdapat sebuah panggungan kecil yang dibuat
dengan tergesa-gesa, sekedar dipergunakan untuk berbicara.
"Marilah." ajak Mahisa Agni, "kita pergi ke panggung kecil itu."
Panglima itu tidak menjawab. Seorang penunjuk jalan segera
mendampingi kedua orang berkuda yang ada di depan Panglima
Pelayan Dalam itu dan membawanya ke hadapan para prajurit
diikuti oleh iringkan itu.
Panglima Pelayan Dalam itu benar-benar tidak menyangka,
bahwa Mahisa Agni sempat mengumpulkan prajurit sebanyak itu.
Maka mulailah ia menyadari kesalahan prajurit sandinya, yang justru
melihat-lihat Kediri di malam hari, tidak saat menjelang fajar. Di
malam hari Kediri itu memang sepi, tetapi menjelang fajar, semua
jalan menuju ke alun-alun itu telah dipenuhi oleh pasukan yang
akan berkumpul di alun-alun, justru saat pasukan sandinya tidak lagi
mencurigai adanya kegiatan prajurit di Kediri.
Dengan dada yang berdebar-debar maka iring-iringan prajurit
utusan dari Singasari itu menuju kehadapan para prajurit yang
sudah berkumpul itu. Dibelakang panggung kecil itu mereka
berhenti dan disambut oleh beberapa orang Senapati yang semalam
telah mendengarkan penjelasan dari Panglima Pelayan Dalam itu.
394 "Kami mengucapkan selamat datang." berkata salah seorang
Senapati itu, "agaknya ada baiknya pula memperkenalkan diri
sebagai seorang Panglima yang baru di Singasari."
Dada Panglima itu menjadi semakin berdebar-debar.
Dipandanginya Senapati yang mengucapkan selamat datang
kepadanya itu. Ia tidak dapat mengelak lagi, bahwa Senapati itu
adalah Senapati yang pernah dikenalnya di dalam pasukan
pengawal sebelum ia mendapat tugas di dalam pasukan Pelayan
Dalam. "Panglima." berkata Senapati itu, "apakah Panglima lupa
kepadaku" Kita pernah berada di dalam satu medan perang. Tentu
Panglima masih ingat, selagi kita berada di hutan Kusu."
Panglima itu terpaksa menganggukkan kepalanya. Katanya, "Ya
aku ingat. Tetapi itu sudah lama terjadi."
"Ya. Sudah lama."
"Ternyata selama ini kau masih saja seperti keadaanmu dahulu.
Kau sama sekali tidak maju di dalam segala hal. Aku kini datang
membawa panji-panji dan tunggul kerajaan."
"Aku sudah melihat." jawab Senapati itu, "aku akan
mengucapkan selamat atas pengangkatanmu menjadi seorang
Panglima." Panglima itu tidak menjawab, meskipun kepalanya teranggukangguk
kecil. Ketika seorang prajurit siap menerima kudanya, maka Panglima
itu pun kemudian turun dari kudanya diikuti oleh para
pengawalanya, Mahisa Agni dan prajurit-prajurit Singasari yang
mengiringinya. Sejenak mereka berdiri berderet bersama dengan Senapati yang
sudah berada di Kediri. Beberapa orang Senapati itupun bergantiganti
mengucapkan selamat kepada Panglima yang baru pertama
kali berada di Kediri. 395 "Nah." berkata Mahisa Agni, "biarlah aku minta diri kepada para
prajurit dan biarlah aku menunjuk seorang perwira yang dapat
mewakili aku selama aku tidak ada di Kediri."
"Hanya Maharaja di Kediri yang berhak menunjuk seorang wakil
Mahkota." "Aku tidak menunjuk wakil Mahkota di Kediri. Aku hanya ingin
menyerahkan pengawasan prajurit-prajurit yang ada di Kediri
kepada seorang perwira yang aku percaya."
Panglima itu tidak menjawab lagi. Dipandanginya saja Mahisa
Agni yang kemudian melangkah mendekati panggung kecil itu dan
kemudian memanjat naik. Sebelum Mahisa Agni berbicara sepatahpun, terdengar tepuk
tangan dan sorak yang bagaikan meledak menyambutnya dengan
sepenuh hati. Tepuk tangan dan sorak sorai itu bagaikan menghentak-hentak
dada Panglima itu. Ia sadar bahwa agaknya pergantian pimpinan
pemerintahan di Singasari tidak mendapat sambutan yang baik di
Kediri. Dan iapun sadar, bahwa kekuatan di Kediri tampaknya
melampaui kekuatan yang diketahui oleh Singasari.
"Kekuatan di Kediri ini harus mendapat perhatian yang sungguhsungguh."
berkata Panglima itu dalam hatinya.
Dalam pada itu Mahisa Agni yang sudah berada di atas panggung
kecil itu menerima sambutan dengan lambaian tangan. Namun
sejenak kemudian maka iapun memberikan isyarat agar para
prajurit itu menjadi tenang.
"Saudara-saudaraku." berkata Mahisa Agni kemudian, "aku
berdiri di sini atas nama kekuasaan tertinggi yang berada di Kediri.
Namun di sini kini ada kekuasaan yang lebih tinggi lagi, yaitu
Panglima Pelayan Dalam yang baru yang kini membawa limpahan
kekuasaan Maharaja di Singasari dengan pertanda panji-panji dan
tunggul kerajaan." 396 Alun-alun itu justru menjadi hening. Para prajurit yang memang
sudah mengetahui kehadiran Panglima itu hanya memandangi panjipanji
dan tunggul itu saja tanpa memberikan sambutan apapun.
Terasa sesuatu berdesir di dada Panglima itu. Jika Mahisa Agni
ternyata akan berbuat curang, maka tidak banyak yang dapat
dilakukan dihadapan prajurit yang sekian banyaknya lengkap
dengan senjata masing-masing. Adalah pekerjaan yang hampir tidak
berarti, seandainya Mahisa Agni memerintahkan pasukannya untuk
menangkapnya dan merampas panji-panji dan tunggul itu. Apalagi
setiap orang mengetahui bahwa Mahisa Agni memiliki kemampuan
yang tidak ada taranya. Hampir tidak ada tandingnya di seluruh
lingkungan istana Singasari. Apalagi Maharaja yang baru saja duduk
di atas tahtanya itu. Namun agaknya Mahisa Agni tidak ingin berbuat demikian.
Seperti yang dikatakan, ia ternyata hanya minta diri kepada
prajuritnya, bahwa ia dipanggil oleh tuanku Tohjaya, yang kini
duduk di atas tahta Singasari.
"Aku akan menghadap." berkata Mahisa Agni, "mudah-mudahan
aku akan mendapat perintah yang akan dapat menempatkan
kedudukan kita semua bertambah baik. Agaknya kini sudah
waktunya kita memikirkan keadaan kita seorang demi seorang.
Bukan saja para prajurit, tetapi seluruh rakyat yang berada
dilingknngan Kerajaan Singasari."
Panglima itu masih saja berdebar-debar. Mahisa Agni masih
berbicara terus. Kadang-kadang sambutan yang bagaikan
menyentuh langit terdengar memekakkan telinga.
Dan setiap kali sambutan itu meledak, maka dada Panglima itu
menjadi berdebar-debar. Dalam pada itu Mahisa Agni yang dengan sengaja ingin
menunjukkan kekuatan yang ada di Kediri agaknya telah mencapai
maksudnya. Ia sudah berhasil memberikan kesan, kekuatan yang
tidak boleh diabaikan. Bukan saja prajurit yang cukup jumlahnya,
397 namun mereka adalah prajurit-prajurit yang memiliki kemampuan
berbuat sesuatu dengan cepat.
Panglima Pelayan Dalam yang baru itu berserta para
pengawalnya termenung saja di tempatnya. Setiap kali para prajurit
itu bertepuk atau bersorak menyambut kata-kata Mahisa Agni, maka
rasa-rasanya hati mereka pun tergores karenanya.
Namun akhirnya Mahisa Agni selesai juga berbicara. Tidak ada
tanda-tanda bahwa Mahisa Agni telah menghasut mereka untuk
melakukan perlawanan. Dengan demikian maka perlahan-lahan tumbuh pula kebanggaan
mereka atas panji-panji dan tunggul kerajaan itu. Karena itu, maka
ketika Mahisa Agni telah turun dari panggung kecil itu, maka
Panglima Pelayan Dalam itupun berkata kepadanya, "Aku juga akan
berbicara dengan mereka atas nama kekuasaan tertinggi di
Singasari." "Apa yang akan kau bicarakan?" bertanya Mahisa Agni.
"Tentang keadaan terakhir di Singasari."
"Kau akan menyampaikan dongengmu seperti semalam?"
"Dongeng yang mana?"
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Sama sekali tidak perlu.
Biarlah para Senapati yang semalam telah mendengarkan
sesorahmu nanti menyampaikannya kepada para prajurit. Kini
kepentinganku sudah selesai. Bukankah kau ingin berangkat lebih
cepat?" "Tetapi aku akan berbicara." desak Panglima.
"Itu tidak perlu."
Tetapi Panglima itu selalu mendesak. Bahkan kemudian ia
mengancam, "Aku datang dengan panji-panji dan tunggul kerajaan.
Apakah kau akan menolak perintahku?"
398 Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri
memandang Panglima itu dengan tajamnya, sehingga suasana
menjadi tegang sejenak. Para Senapati yang ada di sekitar
menunggu dengan hati yang berdebar-debar.
"Jika kau memaksa." berkata Mahisa Agni, "terserahlah
kepadamu. Kau memang berhak. Tetapi kau tidak akan dapat
menguasai keadaan. Kau harus mengetahui jiwa setiap prajurit
Singasari yang ada di Kediri. Kau harus mengetahui jiwa prajurit
Singasari dari semua lingkungan dan pasukan. Bukan sekedar
Pelayan Dalam." "Aku memahami. Dan aku akan berbicara dengan mereka."
"Jika demikian aku akan pergi. Aku akan mendahului menghadap
tuanku Tohjaya. Karena aku tidak yakin bahwa kau akan berhasil
menguasai perasaan para prajurit itu. Kau tentu tidak akan dapat
meyakinkan mereka, bahwa tuanku Anusapati telah dibunuh oleh
rakyat Singasari karena bagi mereka tuanku Anusapati adalah
seorang pahlawan yang sangat dicintai rakyatnya. Sejak ia masih
seorang Pangeran Pati dengan ujudnya sebagai Kesatria Putih,
namanya sudah dikenal dan disuyuti."
Panglima itu termangu-mangu sejenak.
"Sekarang terserahlah kepada pilihanmu." berkata Mahisa Agni
kemudian. Panglima itu menjadi termangu-mangu. Ia berdiri di simpang
jalan yang sulit. Sebagai seorang yang membawa panji-panji dan
tunggul kerajaan, makan kata-katanya seharusnya berlaku sebagai
ketentuan yang tidak dapat dirubah. Tetapi jika ia benar-benar
berbicara dihadapan prajurit-prajurit itu, peringatan Mahisa Agni itu
merupakan pertanda buruk baginya. Jika Kediri bergolak justru
karena kesalahannya, maka ia tentu harus mempertanggung
jawabkannya. Sejenak Panglima itu termangu-mangu. Namun demikian ia
berkata, "Aku akan tetap naik keatas panggung. Dan aku
perintahkan kau tetap berada di sini."
399 "Apakah kau takut sendirian berdiri di atas panggung itu" Jika
demikian, baiklah, aku kawani kau sebentar. Tetapi yang terjadi
kemudian bukan tanggung jawabku."
Jawaban Mahisa Agni benar-benar telah menusuk jantungnya.
Sejenak ia memandang wajah pengawalnya. Namun pengawalnya
sama sekali tidak mengangkat wajahnya. Kepala mereka tertunduk
lesu, seperti dedaunan yang dipanggang diteriknya matahari.
Ketika Panglima itu mencoba memandang wajah para Senapati
Singasari yang ada di Kediri, dilihatnya para Senapati itu
memalingkan wajah-wajah mereka, seakan-akan mereka tidak
mendengar percakapannya dengan Mahisa Agni.
Untuk beberapa lamanya Panglima itu termangu-mangu. Tetapi
ia adalah seorang prajurit. Ia tidak dapat begitu saja meninggalkan
ucapan tanpa melaksanakannya hanya karena orang lain
mencegahnya. Padahal ia membawa panji-panji dan tunggul
kerajaan lambang kekuasaan tertinggi.
Sejenak kemudian maka Panglima itupun membulatkan hati.
Sambil menggeretakkan giginya iapun kemudian memanjat tangga
dan naik ke atas panggung kecil itu.
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Bukan karena ia
harus mentaati perintah Panglima itu, atau bukan karena ia merasa
tersinggung karena ia tidak berhasil mencegahnya. Namun justru
jika Panglima itu salah lidah, akibatnya akan sangat parah.
Tetapi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam ketika ternyata
Panglima itu hanya berbicara beberapa patah kata saja, katanya,
"Aku, atas nama kekuasaan tertinggi Singasari telah diperintahkan
untuk memanggil Mahisa Agni. Dan aku, atas nama kekuasaan
tertinggi telah memberikan wewenang kepada Mahisa Agni untuk
menunjuk seseorang sebagai kepercayaannya selama ia berada di
Singasari. Kata-kataku berlaku sebagai sabda Maharaja Singasari."
Ketika Panglima itu terdiam maka tiba-tiba saja dada Mahisa Agni
telah menjadi berdebar-debar kembali.


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

400 Sejenak ia memperhatikan Panglima Pelayan Dalam itu. Jika ia
masih akan berbicara lagi, maka akan membuka kemungkinan
pembicaraannya tersesat dan membakar hati para prajurit itu.
Kalimat yang pertama diucapkan agaknya sama sekali tidak
mendapat tanggapan yang baik. Semakin banyak yang akan
dibicarakan, maka akan semakin banyak terdapat lubang-lubang
yang dapat menyeretnya terperosok ke dalamnya.
Namun agaknya Panglima itu sadar, bahwa ia tidak mendapat
sambutan yang baik dari para prajurit. Maka iapun segera
menyelesaikan kata-katanya. "Aku tidak akan banyak berbicara di
hadapan kalian. Semuanya akan dijelaskan oleh para Senapati."
Panglima itupun kemudian melangkah turun dari panggung kecil
itu tanpa sambutan apapun dari para prajurit.
"Kita segera kembali ke Singasari." geramnya. Tetapi Mahisa Agni
berkata, "Bukankah aku masih harus menunjuk seorang wakilku?"
Panglima itu menarik nafas dalam-dalam.
"Aku akan menunjuk dan membawanya naik kepanggung kecil itu
untuk memperkenalkannya kepada para prajurit."
"Mereka pasti sudah kenal."
"Ya. Tetapi aku ingin meyakinkan mereka, bahwa benar orang
itulah yang aku tunjuk."
Panglima itu terdiam sejenak, lalu, "Cepat, waktu kita akan habis
disini." Mahisa Agni pun kemudian berbicara dengan beberapa orang
Senapati. Kemudian merekapun sepakat menunjuk seorang Senapati
yang tertua di antara mereka.
"Aku akan membawanya naik dan mengumumkannya." berkata
Mahisa Agni kemudian. Demikianlah maka Mahisa Agnipun membawa Senapati tertua itu
naik keatas panggung kecil itu. Sambil mengacukan tangan kanan
Senapati tertua itu Mahisa Agni berkata, "Berdasarkan kekuasaan
401 yang ada pada Panglima Pelayan Dalam yang membawa panji-panji
dan tunggul kerajaan, maka aku menunjuk Senapati ini sebagai
wakilku selama aku tidak ada di Kediri."
Para prajurit Singasari yang ada di Kediri itu pun menyambutnya
dengan sorak yang gemuruh. Senapati itu sudah dikenal oleh setiap
prajurit. Ia adalah seorang Senapati yang senang sekali bergurau
meskipun masih tetap dalam batas-batas yang wajar. Apalagi
Senapati itu memiliki kemampuan yang cukup dibidangnya dan di
dalam olah kanuragan. "Selama aku tidak ada, maka kalian harus mentaati perintahnya."
berkata Mahisa Agni kemudian, lalu, "tetapi di samping Senapati
tertua itu, aku akan mengangkat seorang penasehat baginya. Ia
akan selalu mendampinginya dan memberikan pertimbangan dan
nasehat. Diminta atau tidak diminta. Tetapi Senapati ini pun dapat
menerima atau menolak nasehat itu."
Semua menjadi hening. Mereka mulai menebak-nebak siapakah
yang akan menjadi penasehat itu. Tetapi agaknya para prajurit itu
tidak begitu banyak menaruh perhatian, karena jabatan itu mereka
anggap tidak begitu penting dan tidak begitu banyak pengaruhnya
bagi kedudukan wakil Mahisa Agni itu.
"Nah." berkata Mahisa Agni kemudian, "aku menunjuk seorang
prajurit tua dari pasukan pengawal yang selama ini pengawal aku di
istana. Ia banyak mengetahui tentang rencana yang pernah aku
susun. Ia mengetahui kelemahan-kelemahannya dan ia mengetahui
manakah yang baik dan berarti." sejenak Mahisa Agni terdiam. Ia
mencoba melihat apakah keterangannya itu mendapat tanggapan.
Tetapi agaknya para prajurit itu menjadi acuh tidak acuh saja
terhadap kedudukan yang kurang mereka kenal itu.
Namun kemudian Mahisa Agnipun berkata, "Saudara-saudaraku,
para prajurit. Mungkin kalian sudah ada yang mengenalnya. Sudah
lama sekali tidak menampakkan diri dengan namanya sendiri. Tetapi
ia berada di antara kita dengan nama yang lain. Pati-pati. Dan
sekarang aku harap Pati-pati itu tampil ke atas panggung ini."
402 Tidak seorang pun yang bergerak dari tempatnya. Tidak seorang
pun yang biasa disebut Pati-pati. Namun Mahisa Agni pun kemudian
menjelaskan, "Orang itu sebenarnya bukan orang baru. Tetapi ia
adalah seorang prajurit yang justru sudah terlampau lama berada di
lingkungannya." Semua mata saling mencari, siapakah agaknya yang disebut oleh
Mahisa Agni. Mereka yang mula-mula tidak begitu berminatpun
menjadi tertarik juga mendengarkan penjelasan itu. Bukan karena
mereka tertarik pada jabatan yang kurang mereka kenal itu, tetapi
mereka tertarik kepada orang yang bernama Pati-pati itu.
Karena tidak ada seorang pun yang bergerak, maka Mahisa
Agnipun kemudian berkata, "Ia berada di antara pasukan
pengawalku." Dan sambil berpaling kepada seorang yang
berpakaian prajurit di belakang panggung ia berkata, "Naiklah
bersama kami." Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun iapun sadar, bahwa ia
agaknya memang diperlukan oleh Mahisa Agni.
Karena itulah maka dengan ragu-ragu ia melangkah mendekati
panggung dan memanjat naik. Dengan termangu-mangu ia pun
kemudian berdiri di samping Mahisa Agni dan Senapati tertua yang
akan mewakili Mahisa Agni selama ia tidak berada di tempatnya.
"Nah, inilah prajurit itu." berkata Mahisa Agni kemudian.
Semua mata kini tertuju kepada prajurit yang berdiri di sebelah
Mahisa Agni. Prajurit yang sebenarnya sudah cukup tua. Tetapi dari
sepasang matanya memancar kepribadian yang mengesankan.
Namun di dalam lingkungan para prajurit itupun timbullah
keheranan yang sangat. Justru karena sebagian terbesar dari
mereka belum pernah mengenal prajurit yang disebut bernama Patipati
itu. Juga prajurit dari Pasukan Pengawal sendiri kecuali
beberapa orang prajurit yang kebetulan pada hari itu bertugas
Mahisa Agni dan mendapat pesan langsung tentang orang yang
disebut bernama Pati-pati itu.
403 Dalam keheranan itu para prajurit mendengar Mahisa Agni
berkata lantang, "Para prajurit dan Senapati. Orang yang bernama
Pati-pati ini adalah orang yang sebenarnya pernah kalian kenal jauh
sebelum ini. Terlebih-lebih mereka yang usianya sudah cukup untuk
mengenang masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung."
Para prajurit yang mendengar keterangan Mahisa Agni itu
menjadi semakin heran. Bahkan Panglima Pelayan Dalam yang
mendapat limpahan kekuasaan Maharaja Singasari itu pun menjadi
berdebar-debar pula. "Apakah hubungannya dengan masa pemerintahan Akuwu
Tunggul Ametung?" Panglima itu bertanya di dalam hatinya.
Namun sebelum ia sempat berbuat apa-apa, Mahisa Agni telah
melanjutkan keterangannya, "Nah, para prajurit. Orang yang
bernama Pati-pati ini adalah orang yang mempunyai kedudukan
penting di masa itu. Meskipun orang ini pada waktu itu tidak dikenal
sebagai seorang yang bernama Pati-pati. Tetapi pada waktu itu ia
bernama Witantra. Seorang Panglima Pasukan Pengawal."
Ternyata sebutan itu telah mendebarkan setiap jantung sehingga
untuk beberapa saat terdengar suara menggeramang di antara
mereka. Beberapa orang mengulangi nama dan sebutan itu.
Witantra, Panglima Pasukan Pengawal pada masa Akuwu Tunggul
Ametung. Namun dalam pada itu, selagi orang-orang itu sibuk berbicara
diantara mereka, maka Panglima Pelayan Dalam yang memegang
kekuasaan tertinggi itu berkata lantang dari belakang panggung
kecil itu. "He, Mahisa Agni. Apakah maksudmu dengan Panglima
Pasukan Pengawal di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung
itu" Pemerintahan yang hanya berkisar di sekitar daerah Tumapel.
Apakah artinya seorang Panglima dari seorang Akuwu."
Mahisa Agni memandang Panglima itu sejenak, lalu,
"Persoalannya bukannya karena ia seorang Panglima, meskipun dari
pemerintahan yang jauh lebih kecil dari Singasari sekarang. Tetapi
bahwa Witantra mempunyai pengalaman yang luas dan
404 pengetahuan yang cukup akan dapat dimanfaatkan di dalam
keadaan seperti ini."
"Mahisa Agni." sahut Panglima itu, "betapa banyaknya
pengalaman dan betapa tingginya pengetahuannya, agaknya di
Singasari dapat diketemukan puluhan orang seperti Witantra.
Karena itu, apakah kau memandang perlu sekali mempergunakan
orang itu di Kediri?"
"Panglima Pelayan Dalam yang kebetulan membawa kekuasaan
tertinggi. Sebenarnyalah aku mempercayainya. Selama ini ia adalah
pengawalku dan penasehatku meskipun tidak secara resmi diangkat.
Aku mengetahui banyak tentang dirinya. Dan jika kau menyebut
puluhan orang terdapat di Singasari yang memiliki pengalaman dan
pengetahuan seperti orang ini, maka aku dapat mengatakan bahwa
itu sama sekali tidak benar. Ada berapa orang Singasari yang
memiliki kemampuan seperti tuanku Sri Rajasa" Nah, jika kau dapat
menyebut namanya, maka orang itu dapat disejajarkan dengan
orang yang bernama Witantra ini meskipun barangkali Witantra
masih belum sepenuhnya dapat diseimbangkan dengan Sri Rajasa.
Namun agaknya di Singasari sekarang tidak ada lagi orang yang
menyamainya." Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, "seorang di
antara mereka yang memiliki kelebihan adalah Kuda Sempana. Dan
kau tahu, bahwa Kuda Sempana bekas Pelayan Dalam di masa
pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung itu, ternyata memiliki
kemampuan lebih besar dari Panglima Pelayan Dalam yang
terbunuh dan yang kedudukannya dilimpahkan kepadamu."
Panglima itu menjadi tegang. Sejenak ia diam mematung. Bukan
saja karena menurut keterangan Mahisa Agni, Witantra memiliki
kemampuan setingkat Sri Rajasa, namun yang lebih mendebarkan
jantungnya adalah bahwa Mahisa Agni dapat menyebutkan bahwa
Panglima Pelayan Dalam itu telah mati terbunuh oleh Kuda
Sempana, dan yang disebutnya pula bahwa ia adalah bekas seorang
Pelayan Dalam di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung.
Apakah dengan demikian berarti bahwa Mahisa Agni telah
mengetahui dengan pasti apakah yang terjadi di halaman istana itu"
405 Dalam pada itu Mahisa Agnipun melanjutkannya, "Nah, orang
yang kini berada di sisiku ini bukan sekedar seorang Pelayan Dalam
seperti Kuda Sempana itu, tetapi ia adalah seorang Panglima pada
waktu itu. Karena itu, sebaiknya yang sudah aku tetapkan ini
berlaku. Biarlah Kuda Sempana sudah mati terbunuh di dalam
kerusuhan yang terjadi di halaman istana itu, kerusuhan yang sudah
direncanakan sebaik-baiknya. Tetapi aku tidak akan mempersoalkan
kerusuhan itu sendiri karena kau sudah langsung memberikan
penjelasan kepada para Senapati."
Wajah Panglima Pelayan Dalam itu menjadi merah. Meskipun
kata-kata Mahisa Agni itu ditujukan kepadanya, sehingga tidak
banyak didengar oleh para prajurit yang berada di depan panggung
kecil itu, namun dengan demikian Mahisa Agni seakan-akan ingin
menjelaskan kepadanya, bahwa ia tidak percaya sama sekali dengan
keterangannya, bahwa tuanku Anusapati mati di dalam kerusuhan
yang tiba-tiba saja meledak, meskipun bibit kebencian itu sudah
lama ada dihati rakyat. Karena itu, untuk beberapa saat lamanya
Panglima itu justru diam mematung menahan gejolak di dadanya.
Dalam pada itu karena Panglima itu tidak segera menyahut
Mahisa Agni pun melanjutkan kata-katanya kepada pada prajurit.
"Nah, demikianlah ketetapanku sebelum aku berangkat ke Singasari.
Aku sudah menunjuk wakilku dan seorang penasehatnya. Aku yakin
bahwa pemerintahan di Kediri akan tetap berjalan seperti biasa
dengan bantuan para pemimpin di Kediri sendiri."
Mahisa Agni tidak menunggu jawaban dari Panglima itu, dan
berkata seterusnya, "Baiklah, aku sekarang minta diri untuk segera
berangkat ke Kediri, Lakukanlah tugas kalian baik-baik. Aku akan
segera kembali." lalu ia berpaling kepada Panglima Pelayan Dalam
itu sambil bertanya, "Bukankah aku akan segera kembali?"
Pertanyaan itu benar-benar menyakitkan hatinya. Belum lagi ia
berhasil menguasai perasaannya Mahisa Agni sudah berkata kepada
para prajurit. "Nah, bukankah ia mengiakan. Karena itu, lakukanlah
tugas kalian sebaik-baiknya sehingga pada saatnya aku kembali."
406 Mahisa Agni kemudian mengangkat tangannya sambil
mengucapkan selamat tinggal.
Sambutan yang gemuruh bagaikan memecahkan langit. Setiap
prajurit telah melambaikan tangannya. Tetapi ketika beberapa orang
prajurit yang ada di depan panggung kecil itu tiba-tiba menarik
senjatanya dan mengacukannya, maka yang lainpun menarik
senjata mereka dan mengacukannya pula sambil meneriakkan nama
Mahisa Agni. Mahisa Agni tersenyum. Rencananya berjalan seperti yang
diharapkan untuk memberikan kesan tersendiri kepada utusan
Maharaja di Singasari. Pasukan yang ada di Kediri adalah pasukan
yang cukup kuat ditambah dengan pasukan pengawal Kediri sendiri.
Meskipun pasukan itu tidak begitu besar, tetapi dalam waktu yang
singkat, Mahisa Agni tentu berhasil mengumpulkan jumlah yang
belipat. Apalagi jika diingat saat-saat Singasari memasuki kota
Kediri. Mahisa Agni memimpin sepasukan orang-orang Kediri yang
tidak puas terhadap sikap pemimpin pemerintahannya sendiri saat
itu. Sambil melambaikan tangannya Mahisa Agnipun surut selangkah.
Ia memberikan beberapa pesan kepada Senapati tertua yang telah
diserahi pimpinan atas para prajurit yang berada di Kediri dan
kepada seorang prajurit yang bernama Pati-pati dan yang
sebenarnya adalah bekas seorang Panglima Pasukan Pengawal pada
masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung.
Nama Pati-pati maupun Witantra sebenarnya asing bagi para
prajurit. Tetapi sebutan bekas Panglima itu sangat menarik
perhatian mereka. Mahisa Agnipun kemudian turun dari panggung kecil itu.
Perlahan-lahan sambil tersenyum ia mendekati Panglima Pelayan
Dalam itu sambil berkata, "Aku sudah minta diri. Marilah kita
berangkat. Barangkali kau ingin cepat kembali meskipun kita pasti
akan memasuki kota Singasari di malam hari atau bermalam di
perjalanan." 407 Panglima itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian iapun
berkata, "Kita akan memasuki istana Singasari meskipun lewat
tengah malam." Panglima itupun kemudian memerintahkan pengawalnya untuk
menyediakan kudanya. Sejenak ia memperhatikan para prajurit
yang masih saja mengacukan senjata mereka sambil meneriakkan
nama Mahisa Agni. "Kita segera pergi." geram Panglima itu.
Panglima Pelayan Dalam dan para pengawalnya beserta Mahisa
Agni dan para pengawalnya pun kemudian meloncat ke punggung
kuda masing-masing. Mereka pun segera meninggalkan alun-alun
dengan kesannya masing-masing. Sedang para prajurit di alun-alun
masih saja melambai-lambaikan senjata mereka sebagai


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penghormatan kepada Mahisa Agni.
Baru ketika Mahisa Agni telah hilang dari pandangan mereka,
maka mereka pun mulai menyadari bahwa seorang Senapati telah
mendapat limpahan tugas Mahisa Agni bersama seorang prajurit
bernama Pati-pati. "Kita akan melakukan tugas kita sebaik-baiknya." berkata
Senapati tertua itu, "dan aku akan selalu berhubungan dengan
penasehat yang telah ditunjuk oleh tuanku Mahisa Agni." Senapati
itu berhenti sejenak, lalu, "apalagi penasehat ini adalah bekas
seorang Panglima yang mendapat kepercayaan di masa
pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung."
Demikianlah maka para prajurit yang berada di alun-alun itupun
kemudian kembali ke barak mereka masing-masing. Beberapa orang
Senapati kemudian mengadakan pembicaraan-pembicaraan yang
penting menanggapi keadaan yang berubah dengan cepatnya.
Namun bagaimanapun juga mereka tidak akan dapat melepaskan
diri dari sikap Mahisa Agni sendiri, sehingga Senapati tertua yang
mewakilinya itu pun selalu memperingatkan bahwa para prajurit di
Kediri harus tetap dapat menahan hati sehingga tidak
408 menumbuhkan persoalan-persoalan yang harus diselesaikan dengan
kekerasan. Dalam pada itu, sebuah iring-iringan dengan cepatnya telah
meninggalkan kota Kediri. Di paling depan seorang pengawal
berkuda dengan dada tengadah. Kemudian Panglima Pelayan Dalam
yang membawa Mahisa Agni menghadap bersama pengawalnya
yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan. Baru kemudian
Mahisa Agni berkuda sambil merenung, apakah kira-kira yang akan
dihadapinya di Singasari.
Namun bagi Mahisa Agni, sebagian besar rencananya telah
berhasil. Ia dapat menunjukkan kepada Panglima Pelayan Dalam itu,
bahwa Mahisa Agni tidak berdiri sendiri. Ia berdiri dihadapan
sepasukan prajurit yang kuat, sehingga Tohjaya yang baru saja naik
tahta itu akan selalu mempertimbangkannya. Apalagi di antara
mereka telah disebut nama Witantra yang juga bergelar Panji Patipati.
Seorang bekas Panglima pada masa pemerintahan Akuwu
Tunggul Ametung. Meskipun Witantra tidak berbuat apa-apa,
namun kehadirannya di antara para prajurit memang perlu
dipertimbangkan. Demikianlah agaknya yang sedang berkecamuk di dalam anganangan
Panglima itu. Ternyata ia sedang merenungi kekuatan prajurit
Singasari yang ada di Kediri.
"Demikian banyaknya." berkata Panglima itu di dalam hatinya,
"sungguh di luar dugaan. Mahisa Agni tentu sudah menarik pasukan
Singasari yang terpencar di tempat-tempat yang terpencil. Mungkin
sebelum aku datang."
Dan di dalam dada Panglima itupun berkecamuk berbagai macam
pertimbangan yang harus diperhitungkan tentang kekuatan yang
berdiri di belakang Mahisa Agni, termasuk seorang bekas Panglima
Tumapel. "Tentu Mahisa Agni sengaja menyusun kekuatan itu." berkata
Panglima itu pula di dalam hatinya. Sekilas ia dapat meraba bahwa
409 Mahisa Agni dengan sengaja memamerkan kekuatan itu kepadanya.
Namun sebenarnyalah bahwa kekuatan itu tidak dapat diabaikan.
Di sepanjang perjalanan ke Singasari hampir tidak ada persoalan
dan kesulitan apapun. Mahisa Agni dengan para pengawalnya tidak
pernah membicarakan tentang diri mereka dan kemungkinankemungkinan
yang akan terjadi. Jika seseorang bertanya kepada
mereka, maka mereka pun menjawabnya. Jika tidak maka mereka
berbicara di antara mereka sendiri tentang beberapa macam
persoalan yang sama sekali tidak berarti. Tentang sawah yang
mereka lihat di sebelah menyebelah jalan. Tentang hutan yang
mereka lewati dan tentang binatang buruan.
Seperti yang telah diduga oleh Mahisa Agni, maka Panglima itu
ingin langsung menghadap kapan pun mereka memasuki kota.
Hanya sekali-sekali mereka berhenti, memberi kesempatan kuda
mereka beristirahat sejenak, untuk minum dan sedikit makan
rumput di pinggir-pinggir jalan. Kemudian mereka melanjutkan
perjalanan langsung menuju ke istana.
Kedatangan iring-iringan itu dilewat tengah malam sangat
mengejutkan para penjaga istana. Tetapi ketika mereka melihat
panji-panji dan tunggul kerajaan, maka mereka pun menyibak dan
membiarkan iring-iringan itu lewat dengan letihnya, setelah mereka
melintasi bulak yang panjang, hutan perdu dan bukit-bukit padas.
Bahkan kadang-kadang mereka hanya dapat merayap sangat
lambat maju jika mereka melintasi lereng-lereng bukit dan hutanhutan
yang masih cukup lebat. Demikian mereka memasuki halaman istana, maka Mahisa Agni
pun menarik nafas dalam-dalam. Sudah terlalu lama ia tidak datang
ke istana Singasari. Dan itu barangkali merupakan suatu kekhilafan
juga sehingga ia tidak dapat mengikuti perkembangan keadaan
istana itu dengan saksama.
"Yang terjadi kemudian adalah Anusapati telah terbunuh."
berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
410 Dalam pada itu, maka Mahisa Agni dan pengawalnya pun
kemudian dipersilahkannya masuk ke dalam bangsal yang selalu
dipergunakan oleh Mahisa Agni jika ia berada di Singasari. Tetapi
bangsal itu sudah banyak berubah. Dan yang pada saat itu,
mendapat pengawasan yang kuat sekali. Meskipun tidak sematamata,
tetapi Mahisa Agni mengerti, bahwa di seberang longkanganlongkangan
kecil, di sudut-sudut bangsal di sebelah menyebelah,
dan di belakang dinding batu di dalam halaman istana yang
menyekat halaman itu, penuh dengan prajurit yang mengawasinya.
"Pergunakan waktu istirahat ini sebaik-baiknya." berkata Mahisa
Agni kepada para pengawalnya, "mungkin besok kita akan sibuk,
atau mungkin ada tugas-tugas lain yang harus kita lakukan."
Demikianlah Mahisa Agni sendiri, seakan-akan tidak
menghiraukan apa yang dapat terjadi atas dirinya. Iapun kemudian
masuk ke dalam biliknya dan berbaring di pembaringan tanpa
membersihkan diri lebih dahulu selain mengusap peluh yang
membasahi tubuhnya. Sedang beberapa orang pengawalnya pun
kemudian berbaring di atas tikar yang terbentang di serambi
belakang. Sedang dua orang di antara mereka tetap berjaga-jaga di
ruang depan. Tetapi, meskipun Mahisa Agni seakan-akan tidak menghiraukan
apapun lagi, namun ia tidak segera dapat tertidur nyenyak.
Tubuhnya terasa panas dan gatal-gatal. Dan lebih dari pada itu,
sebenarnyalah bahwa ia merasa gelisah jika ia mengenang Ken
Dedes dan isteri Anusapati serta anaknya.
"Apakah yang dapat mereka lakukan di dalam keadaan serupa
ini, dan apakah yang diperlakukan atas mereka?" pertanyaan itu
selalu mengganggunya, "Dan bagaimanakah dengan Mahisa Wonga
Teleng dan adiknya."
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membebani perasaannya,
sehingga meskipun ia berbaring sambil memejamkan matanya,
namun Mahisa Agni hampir tidak tertidur sama sekali di sisa malam
yang tidak terlampau panjang itu.
411 Pada malam itu juga Panglima Pelayan Dalam yang membawa
panji-panji dan tunggul kerajaan itu berusaha untuk menghadap
tuanku Tohjaya. Demikian mendesaknya gejolak di dalam dadanya
sehingga rasa-rasanya ia tidak dapat menunggu sampai besok.
Pasukan yang kuat di Kediri masih terbayang di wajahnya, dan
seorang Panglima di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung
yang bernama Witantra. Meskipun orang itu sudah setua, bahkan
mungkin melampaui umur Mahisa Agni, namun agaknya ilmu justru
menjadi semakin masak. Namun ternyata bahwa tidak seorang pun yang sependapat
dengan Panglima itu untuk membangunkan Tohjaya di malam hari.
Senapati yang bertugas berjalan-jalan di depan bangsal
menyarankan agar Panglima Pelayan Dalam itu menunggu saja
sampai besok. "Aku baru datang dari Kediri." berkata Panglima itu, "aku harus
segera menghadap tuanku Tohjaya."
"Apakah salahnya jika ditunda sampai besok" Tuanku Tohjaya
sedang marah-marah saja sehari penuh."
"Kenapa?" "Adik-adiknya memerlukan banyak sekali perhatian. Pimpinan
pemerintahan yang belum mapan dan persoalan-persoalan yang lain
yang perlu dipecahkan segera justru disaat pemindahan kekuasaan
ini." Panglima Pelayan Dalam itu menarik nafas. Ia mengerti bahwa
waktunya memang kurang tepat untuk menghadap. Karena itu
maka katanya, "Baiklah, aku akan menunggu sampai besok pagi.
Aku tetap berada di halaman istana. Pengawal-pengawalku akan
tetap mengawasi Mahisa Agni."
"Ia tidak akan berbuat apa-apa. Jika ia ingin melakukan
perlawanan, maka yang paling tepat adalah dilakukan di Kediri atau
di perjalanan. Tidak di s ini."
412 "Kau terlalu yakin. Mungkin Mahisa Agni mempunyai
pertimbangan lain." "Aku yakin." Panglima Pelayan Dalam itu terdiam sejenak. Namun iapun
kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah. Aku akan
menunggu. Tetapi kau jangan lengah. Mahisa Agni adalah orang
yang luar biasa. Mungkin ia dapar berbuat sesuatu yang sama sekali
tidak kita duga sebelumnya."
"Baiklah. Aku sudah menyiapkan sepasukan terpilih untuk
mengawasi isi halaman istana, terutama bangsal Mahisa Agni.
Sebenarnyalah bahwa aku sudah menduga bahwa kau akan
memasuki halaman di malam hari. Sebaiknya kau percaya
kepadaku, bahwa di setiap sudut halaman ini telah bersiap-siap
pengawal-pengawal pilihan."
"Terima kasih. Meskipun kau yakin bahwa Mahisa Agni tidak
berbuat apa-apa di sini, ternyata kau sudah bersiap juga."
Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak mengucapkannya
meskipun di dalam hatinya ia berkata, "Tuanku Tohjaya lah yang
menjadi ketakutan. Bukan aku."
Pelayan Dalam yang memegang panji-panji dan tunggul kerajaan
itupun kemudian pergi ke bangsal di sebelah bangsal induk yang
kemudian dipergunakan oleh Tohjaya itu. Bersama para
pengawalnya itu pun kemudian beristirahat sambil menunggu fajar.
Tenyata bahwa perjalanan mereka adalah perjalanan yang
melelahkan. Bukan saja karena jarak yang jauh, tetapi juga karena
hati yang tegang penuh kecurigaan.
Sisa malam itu terasa menjadi sangat panjang. Panglima itu
sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Namun rasarasanya
matahari menjadi sangat lambat terbit, sehingga karena itu,
maka ia pun menjadi sangat gelisah. Bahkan kadang-kadang ia
bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir di dalam biliknya.
413 Kemudian duduk sejenak, berbaring dan bangkit lagi berjalan
mondar-mandir. Namun akhirnya terdengar juga kokok ayam jantan bersahutan.
Ketika Panglima itu keluar dari bangsalnya di lihatnya cahaya
kemerah-merahan sudah membayang di ujung Timur.
Rasa-rasanya tidak sabar lagi ia menunggu. Karena itu maka ia
pun segera mengirimkan seorang utusan untuk menjumpai Senapati
yang bertugas. Apakah ia sudah sepantasnya menghadap.
Senapati itu pun kemudian berpesan, agar Panglima itu bersiapsiap.
Ia akan menyampaikannya kepada tuanku Tohjaya.
Demikianlah maka sejenak kemudian, utusan Senapati itu sudah
menemui Panglima Pelayan Dalam untuk menyampaikan pesan
bahwa Tohjaya sudah dapat menerimanya.
"Tetapi jangan dibawa Mahisa Agni itu dahulu." pesan utusan itu.
Panglima Pelayan Dalam yang membawa panji-panji dan tunggul
kerajaan itu pun dengan tergesa-gesa mempersiapkan dirinya. Ia
merasa bahwa sebagai seorang Panglima yang baru, tugasnya
sudah dapat diselesaikan sebaik-baiknya sehingga ia akan dapat
menghadap dengan kepala tengadah.
Bersama beberapa pengawalnya Panglima itu pun kemudian
pergi ke bangsal induk di tengah-tengah halaman istana. Bangsal
yang dikelilingi oleh kolam yang berair bening. Bangsal yang semula
dipergunakan oleh Anusapati.
"Silahkan menghadap di bangsal itu. Tidak perlu menunggu
paseban. Tuanku Tohjaya pun segera ingin mengetahui apakah kau
sudah berhasil." "Tentu." sahut Panglima itu, "aku tidak pernah gagal. Apalagi
dengan panji-panji dan tunggul kerajaan."
Senapati yang sedang bertugas itu pun mengerutkan keningnya.
Namun ia tidak memberikan tanggapan apapun juga.
414 Dalam pada itu, Panglima itupun kemudian naik ke bangsal lewat
sebuah jembatan kecil di atas kolam yang mengelilingi bangsal itu.
Para pengawalnya berada di luar regol selain seorang yang
membawa panji-panji dan tunggul kerajaan.
Di ruang tengah Tohjaya sudah menunggunya dengan gelisah.
Karena itu, ketika Panglima itu memasuki ruang depan, dengan
tergesa-gesa Tohjaya pun segera memanggilnya.
"Suruh masuk kemari." perintahnya kepada seorang Pelayan
Dalam yang sedang bertugas.
Pelayan Dalam itu pun kemudian menyampaikannya kepada
Panglimanya, bahwa tuanku Tohjaya sudah berkenan menerimanya
di ruang tengah. Ketika Panglima itu memasuki ruangan, dilihatnya Tohjaya duduk
di atas sebuah batu berukir beralaskan kulit harimau berbelangbelang.
Wajahnya yang tegang membayangkan kegelisahan di
hatinya. "Ampun tuanku." berkata Panglima Pelayan Dalam itu, "hamba
sudah menghadap." "Bagaimana dengan Mahisa Agni?"
"Hamba sudah membawanya tuanku. Setiap saat Mahisa Agni
dapat tuanku panggil menghadap. Ia berada di bangsalnya di bawah
pengawasan yang kuat."
"Apakah ia datang sebagai orang yang bebas?"
"Hamba tuanku."
"Ia harus ditangkap. Mahisa Agni adalah orang yang paling
berbahaya bagi kedudukanku sekarang. Ia adalah orang yang tidak
ada tandingnya. Dan ia adalah orang yang mempunyai pengaruh
yang kuat." Panglima itu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia sempat
berbicara, Tohjaya sudah mendahuluinya, "Kerahkan semua orang
yang memiliki kemampuan tertinggi. Betapapun dahsyatnya ilmu
415 Mahisa Agni, namun melawan sepasukan prajurit pilihan, para
Senapati dan Panglima, ia tidak akan dapat meloloskan dirinya lagi."


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tuanku." Panglima itupun dengan tergesa-gesa mencoba
menyela, "ampun tuanku. Apakah hamba dapat memberikan sedikit
gambaran tentang Mahisa Agni dan kedudukannya di Kediri?"
Tohjaya mengerutkan keningnya, lalu, "Apa yang akan kau
katakan." "Tuanku, sebenarnyalah bahwa hamba telah melihat pengaruh
Mahisa Agni itu di Kediri."
"Apa yang kau lihat?"
"Tuanku." berkata Panglima itu, "adalah diluar dugaan hamba
bahwa Mahisa Agni di Kediri mempunyai wewenang seperti tuanku
Tonjaya sendiri." "Itu adalah kesalahan Kakanda Anusapati."
"Hamba tuanku. Agaknya tuanku Anusapati terlampau percaya,
atau dengan sengaja membesarkan Mahisa Agni. Kekuasaannya
hampir seperti kekuasaan seorang raja. Meskipun keturunan Sri
Rajasa di Kediri masih berkuasa di dalam lingkungan keluarga dan
istana, serta sedikit kekuasaan di dalam adat dan tata kehidupan,
namun sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni lah yang menguasai
segala-galanya. Agaknya Mahisa Agni sudah mendengar apa yang
terjadi di Singasari sehingga ia telah menyiapkan suatu pameran
kekuatan yang mengasyikkan."
"Kekuatan prajurit?"
"Hamba tuanku. Kekuatan prajurit yang diberikan oleh tuanku
Anusapati melampaui dugaan hamba."
"Apa saja yang diperlihatkan kepadamu?"
Panglima Pelayan dalam itu pun kemudian menceriterakan
pameran kekuatan di alun-alun Kediri. Prajurit Singasari yang kuat,
pasukan keamanan di Kediri dan seorang yang menyebut dirinya
416 bernama Pati-pati, bekas seorang Panglima di masa pemerintahan
Akuwu Tunggul Ametung. "Seorang Panglima pada masa pemerintahan Tumapel?" Tohjaya
mengulang. "Hamba tuanku."
"Tentu orang itu sudah tua."
"Hamba tuanku. Sudah melampaui setengah abad. Tetapi ia
masih tetap nampak segar."
Tohjaya menggeretakkan giginya. Ditatapnya Panglima itu
sejenak, lalu katanya, "Apakah maksudnya dengan menampilkan
orang bernama Pati-pati itu?"
"Hamba kurang tahu tuanku. Tetapi Pati-pati yang juga bernama
Witantra itu adalah seorang Panglima yang sangat disegani saat itu.
Mungkin Mahisa Agni ingin meyakinkan bahwa kekuatannya di Kediri
dapat mengimbangi kekuatan seluruh Singasari."
"Omong kosong. Kediri, apalagi kota Kediri saja, adalah bagian
kecil dari seluruh Singasari. Jika aku berniat, maka untuk menggilas
Kediri aku tidak memerlukan waktu lima hari."
Panglima itu mengangkat wajahnya sejenak. Namun kepala
itupun segera tertunduk kembali. Sebenarnyalah bahwa ia
meragukan keterangan Tohjaya. Singasari memang besar, tetapi
apakah seluruh Singasari meyakini kebesaran Tohjaya.
Panglima itu menarik nafas dalam-dalam. Ia sendiri merasa
heran, bahwa tiba-tiba saja ia meragukan kekuasaan Tohjaya. Diluar
sadarnya ia berpaling, memandang panji-panji dan tunggul yang
dibawanya ke Kediri. Panji-panji dan tunggul itu adalah pertanda
limpahan kekuasaan Tohjaya. Tetapi sampai betapa jauhnya
kekuasaan Tohjaya itu sendiri atas Singasari yang besar ini.
Yang dapat dilihatnya kekuasaan Tohjaya barulah di dalam
lingkungan istana dan kota Singasari saja. Tetapi bagaimanakah
417 sikap para Senapati yang terpisah dan ditempatkan di kota-kota lain,
di pesisir dan sikap para Akuwu, Buyut dan rakyat seluruhnya"
Namun dalam pada itu Tohjaya itu pun berkata, "Mahisa Agni
harus ditangkap. Siapapun yang akan membelanya harus
dimusnakan." "Tuanku." berkata Panglima itu, "hamba melihat sendiri apa yang
terjadi di Kediri." "Kau adalah seorang Panglima. Kau dapat memerintahkan
Senapati di dalam lingkunganmu yang bertugas di istana Kediri dan
di istana Mahisa Agni untuk bersikap lain. Panglima pasukan
medanpun dapat berbuat serupa, sehingga Mahisa Agni akan
kehilangan kewibawaannya. Jika setiap Senapati menjalankan
perintah Panglimanya, maka apa artinya Mahisa Agni bagi
Singasari." "Itulah yang meragukan tuanku."
"He." wajah Tohjaya menjadi merah, "kau adalah seorang
Panglima. Dan kau meragukan kesetiaan Senapati-senapatimu?"
"Ampun tuanku. Hamba adalah seorang Panglima yang baru. Jika
tidak ada kesetiaan atas perintah hamba, maka itu adalah
kelanjutan dari sikap mereka yang dahulu. Apalagi di Kediri di dalam
susunan pemerintahan tuanku Anusapati, Mahisa Agni memiliki
kekuasaan tunggal yang mewakili Mahkota sehingga para Senapati
di dalam tata pemerintahan sehari-hari tunduk pada perintah Mahisa
Agni." "Tetapi aku berpendapat lain. Tidak ada kekuasaan lain di Kediri.
Semua Senapati harus tunduk kepada Panglimanya masing-masing.
Aku tidak memerlukan seorang Mahisa Agni."
"Tetapi perubahan itu memerlukan waktu di dalam
pelaksanaannya tuanku. Hamba mengerti bahwa tuanku dapat
mangambil kebijaksanaan itu. Tetapi tidak sekarang dan begitu tibatiba."
418 Tohjaya menjadi semakin marah. Namun ia dapat mengerti
keterangan Panglimanya itu, sehingga karena itu maka ia pun
menggeram, "Aku akan mengumumkan perubahan ini secepatnya.
Tetapi aku tidak akan melepaskan Mahisa Agni pergi. Jika ada
Senapati yang tidak mau tunduk kepada perintah para Panglimanya
masing-masing, maka itu adalah suatu pengkhianatan."
"Benar tuanku. Itu adalah suatu Pengkhianatan. Tetapi jika
pengkhianatan itu terlampau kuat, maka itu harus dipertimbangkan
sebaik-baiknya. Hamba masih belum yakin bahwa persoalannya
dapat di atasi dalam waktu singkat. Sedang tuanku masih harus
mempertimbangkan kesetiaan para Akuwu dan para Buyut yang
juga mempunyai kekuatan keprajuritan di luar susunan keprajuritan
Singasari." "Kekuatan mereka tidak berarti."
"Tuanku harus ingat, bahwa pemerintahan Tumapel yang kecil
dibawah tuanku Sri Rajasa sebelum memerintah Singasari
sepeninggal Akuwu Tunggul Ametung telah berhasil mengalahkan
Kediri yang besar. Karena itu, tuanku sebaiknya selalu
memperhitungkan kekuatan para Akuwu di wilayah Singasari
sekarang, agar tidak terulang kembali peristiwa yang pahit bagi
Kediri." Tohjaya merenungi kata-kata Panglima itu. Namun kemudian ia
membentak. "Kau jangan mengajari aku. Aku selalu mendengar
laporan tentang seluruh wilayah Singasari. Sejak aku belum menjadi
seorang Maharaja seperti sekarang, aku sudah menempatkan
orang-orangku di seluruh wilayah Singasari sehingga aku yakin
bahwa mereka kini akan tetap tunduk kepadaku."
Panglima itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia
mencoba untuk menindas keragu-raguan yang tiba-tiba saja
berkembang di dalam hatinya. Sebelum ia pergi ke Kediri dan
sebelum ia bertemu dan berbicara dengan Mahisa Agni, hatinya
sudah dibayangi oleh kecemasan bahwa ia akan menghadapi
perlawanan di Kediri. Tetapi ketika ia melihat langsung kekuatan di
Kediri meskipun ternyata tidak mengadakan perlawanan apapun,
419 namun hatinya justru menjadi semakin berdebar-debar dan cemas.
Menurut penilaiannya Kediri justru diam karena yakin akan
kekuatannya. Setiap saat mereka dapat bertindak sesuatu untuk
memaksakan kehendak mereka.
Karena Panglima itu tidak segera menyahut, maka Tohjayapun
membentaknya pula, "He, kenapa kau diam saja" Apa pendapatmu
tentang Mahisa Agni?"
"Hamba sudah menyatakan pendapat hamba."
"Persetan." Tohjaya menggeram. Tetapi ia mulai berpikir tentang
kekuatan prajurit Singasari sendiri yang berada di Kediri. Agaknya
memang berbeda dari laporan yang disampaikan kepadanya, bahwa
kekuatan yang perlu diperhatikan di Kediri adalah Mahisa Agni
sebagai pribadi. Tetapi menurut laporan Panglima itu, kekuatan di Kediri adalah
kekuatan yang jauh lebih besar dari yang diperkirakan. "Apakah
laporan-laporan yang lain juga meragukan seperti ini?" bertanya
Tohjaya di dalam hatinya.
Karena itu maka katanya kemudian, "Aku akan memanggil para
Panglima. Aku akan berbicara tentang Mahisa Agni. Kau tetap disini
untuk memberikan gambaran seperti yang kau katakan tentang
Kediri. Dan biarlah Mahisa Agni tetap berada di bangsalnya sampai
aku memanggilnya. Aku akan mengirimkan utusan agar
memerintahkan kepada Mahisa Agni, untuk tetap berada di bangsal
itu. Setiap saat aku memerlukannya ia harus segera datang."
"Suatu cara yang baik untuk menahannya tuanku." sahut
Panglima itu. Tohjaya pun kemudian mengirimkan seorang prajurit untuk
menyampaikan perintahnya kepada Mahisa Agni agar ia tetap
berada di tempat karena setiap saat ia memerlukannya, sedang
beberapa orang prajurit yang lain diperintahkannya untuk
memanggil para Panglima dan Senapati terpenting di Singasari.
420 Ketika perintah itu sampai kepada Mahisa Agni, maka Mahisa
Agni pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada prajurit itu.
"Apakah itu berarti bahwa aku tidak boleh keluar dari bangsal ini?"
"Ampun tuanku Mahisa Agni. Hamba tidak mengerti maksud
perintah itu selain menyampaikannya seperti bunyi yang diucapkan
oleh tuanku Tohjaya."
"Ya, ya. Kau tentu tidak dapat memberikan arti perintah itu
sendiri. Baiklah. Aku akan mematuhi perintahnya. Tetapi katakan
kepada tuanku Tohjaya, bahwa aku akan pergi menengok tuan
Puteri Ken Dedes yang menurut pendengaranku menjadi samakin
lemah." "Hamba tuanku. Tuan Puteri Ken Dedes memang sudah semakin
lemah. Apalagi sepeninggal tuanku Anusapati. Tidak ada lagi
kehendaknya untuk bertahan, sehingga kadang kadang keadaannya
sangat mencemaskan."
"Apakah yang sudah dilakukan oleh Tohjaya?"
Prajurit itu terdiam sejenak.
"Aku sudah tahu jawabnya justru karena kau diam."
"Hamba tuanku. Tetapi tuanku Mahisa Wonga Teleng hampir
tidak pernah beranjak dari sampingnya."
"Dan adik-adiknya?"
"Mereka semuanya menunggui dengan tekun. Dan mereka
adalah hiburan yang paling baik bagi tuan Puteri Ken Dedes dalam
saat terakhirnya." Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Meskipun prajurit itu
tidak menyebutnya, tetapi Mahisa Agni dapat membayangkan
bahwa Ken Dedes yang berkali-kali kehilangan orang-orang yang
dicintainya itu telah kehilangan segalanya. Juga kehilangan
nafsunya untuk tetap hidup.
"Aku akan menengoknya," berkata Mahisa Agni.
421 Prajurit itu mengerutkan keningnya, lalu, "T etapi, ampun tuanku.
Pesan tuanku Tohjaya, tuan tidak boleh meninggalkan bangsal ini."
Mahisa Agni tertawa kecil. Katanya, "Katakan kepada tuanku
Tohjaya, bahwa Mahisa Agni akan pergi ke bangsal tuan puteri Ken
Dedes untuk menengoknya. Aku tidak akan melarikan diri. Jika
setiap saat tuanku Tohjaya memerlukan aku, aku akan menghadap,
jika aku tidak berada di sini, berarti aku ada di bangsal tuan Puteri."
"Tetapi." prajurit itu termangu-mangu.
"Tidak apa-apa. Kau sampaikan saja pesan ini, seperti kau
menyampaikan perintah itu kepadaku."
Prajurit itu bingung sejenak. Ia tidak mengerti maksud Mahisa
Agni, sehingga untuk sejenak ia tidak dapat berkata apa-apa.
Mahisa Agni melihat kebingungan itu. Lalu katanya, "Sudahlah,
jangan bingung. Kembalilah kepada tuanku Tohjaya dan katakan
bahwa aku akan menjunjung perintahnya. Tetapi bahwa Mahisa
Agni akan pergi lebih dahulu ke bangsal tuan Puteri Ken Dedes."
"Tuan." berkata prajurit itu, "hamba benar-benar tidak mengerti.
Hamba hanya menyampaikan perintah tuanku Tohjaya, seorang
yang kini telah menjadi seorang Maharaja di Singasari meskipun hari
penobatannya secara resmi masih akan ditentukan dalam waktu
yang dekat. Tetapi hamba kira perintah itu sama sekali tidak boleh
diartikan lain atau diberi perubahan bagaimanapun bentuknya."
"Kau adalah prajurit yang baik." berkata Mahisa Agni, "akupun
mengerti, bahwa perintah itu berarti bahwa aku harus menunggu di
sini sampai tuanku Tohjaya memanggil. Tetapi barangkali aku dapat
memanfaatkan waktu sebelum aku harus menghadap. Dan
sampaikan saja, aku berada di bangsal tuan Puteri Ken Dedes, jika
aku tidak ada di s ini."
Prajurit itu masih saja termangu-mangu. Sebelum ia sempat
berkata apapun juga Mahisa Agni melangkah mendekatinya. Sambil
menepuk bahunya ia berkata, "Sudahlah. Jangan pikirkan apapun
lagi. Pergilah menghadap tuanku Tohjaya."
422 Prajurit itu tidak dapat berbuat lain. Iapun kemudian
meninggalkan bangsal Mahisa Agni dan kembali menghadap
Tohjaya menyampaikan pesan Mahisa Agni.
"Gila. Ia sudah membantah perintahku." teriak Tohjaya, "apakah
tidak kau katakan bahwa itu adalah perintah kekuasaan tertinggi di
Singasari sekarang?"
"Hamba sudah mengatakan tuanku."
"Jadi bagaimana?"
"Tuanku Mahisa Agni hanya tertawa saja sambil mengatakan
bahwa ia akan tetap pergi kebangsal tuan Puteri Ken Dedes."
"Gila. Apakah tidak ada prajurit yang menjaganya?"
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Lalu jawabnya, "Hamba
kira penjagaan di sekitar bangsal itu ada tuanku. Tetapi hamba tidak
tahu perintah apakah yang sudah diberikan oleh para Senapatinya
kepada mereka, karena hamba tidak termasuk di dalam pasukan
yang bertugas di bangsal itu."
"Aku sudah tahu." bentak Tohjaya, lalu katanya kepada Panglima
Pelayan Dalam, "apa perintah Senapati bagi para prajuritnya?"
Prajurit itu tidak dapat berbuat lain.
"Bukankah hamba baru datang dari Kediri tuanku. Tetapi
menurut pembicaraan kami terdahulu, mereka hanya sekedar
mengawasi Mahisa Agni."
Wajah Tohjaya menjadi tegang. Namun sejenak ia justru berdiam
diri. Ia sendiri tidak mengerti, apakah yang harus dilakukan oleh
para prajurit jika Mahisa Agni benar-benar meninggalkan
bangsalnya. Dalam pada itu, selagi Tohjaya termangu-mangu, maka beberapa
orang Senapati dan Panglima telah datang menghadapnya. Seperti


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang diperintahkannya, maka para Panglima dan Senapati itu harus
datang secepatnya untuk berbicara tentang Mahisa Agni dan
tindakan-tindakan yang akan mereka ambil.
423 Agaknya Tohjaya tidak mau membuang waktu. Apalagi karena
prajurit yang menyampaikan pesan kepada Mahisa Agni
mengatakan, bahwa Mahisa Agni tidak menghiraukan perintah
Tohjaya itu. "Apakah kita akan menangkapnya?" bertanya Tohjaya kepada
para Senapati dan Panglima.
Tidak seorangpun yang menjawab. Yang sebenarnya mereka
tunggu adalah sebuah perintah. Bukan sebuah pertanyaan.
"He, apa pendapat kalian?" Tohjaya itu membentak.
Sejenak para Panglima dan Senapati itu saling berpandangan.
Akhirnya mereka seakan-akan memusatkan perhatian mereka
kepada Panglima Pelayan Dalam yang telah membawa Mahisa Agni
dari Kediri. Panglima Pelayan Dalam itupun merasa, bahwa mereka
menunggu keterangan daripadanya. Tetapi Panglima Pelayan Dalam
yang membawa panji-panji dan tunggul Kerajaan ke Kediri itu tidak
berani melakukannya sebelum mendapat perintah dari Tohjaya.
Tetapi Tohjaya pun menyadari persoalannya sehingga katanya,
"Katakan kepada mereka, apa yang kau lihat di Kediri, dan
kemudian kita akan memutuskan apakah yang sebaiknya kita
lakukan atas Mahisa Agni."
Sekali lagi Panglima Pelayan Dalam itu menceriterakan tentang
Mahisa Agni. Sikapnya, wibawanya, dan kemudian kesiagaannya.
Panglima itu pun menceriterakan jumlah prajurit di Kediri yang
ternyata melampaui perhitungan mereka. Apalagi kehadiran seorang
yang menyebut dirinya Pati-Pati yang juga bernama Witantra, bekas
seorang Panglima di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung.
Para Panglima dan Senapati itu merenungi keterangan Panglima
Pelayan Dalam itu. Namun kemudian seorang Senapati
memberanikan diri berkata, "Ampun tuanku Tohjaya. Sebenarnya
pasukan Singasari di Kediri sama sekali tidak melampaui jumlah
yang ditetapkan. Pasukan Singasari di Kediri dengan pasti diketahui.
424 Nama-nama mereka tercantum di dalam urutan nama yang tertulis
di dalam rontal. Jika jumlah mereka cukup banyak, maka mereka
tentu terdiri dari prajurit-prajurit Singasari yang berada di Kediri dan
sekitarnya. Di daerah-daerah terpencil yang semula tidak aman. Dan
daerah-daerah yang dianggap masih mungkin berbahaya."
Tohjaya memandang Senapati itu sejenak, lalu katanya, "Tetapi
kenapa mereka itu berkumpul semua di Kediri" Dan apakah Mahisa
Agni sempat memanggil mereka dalam waktu semalam?"
"Tentu mereka sudah dipersiapkan sebelumnya tuanku."
"Sengaja untuk memamerkan kekuatan?"
Kenapa itu tidak menjawab. Tetapi iapun terkejut ketika Tohjaya
memanggil namanya dengan keras, "Lembu Ampal. Apa katamu
tentang Mahisa Agni?"
Senapati yang bernama Lembu Ampai itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian sambil bergeser setapak ia berkata,
"Tuanku. Menurut ceritera Panglima Pelayan Dalam yang mendapat
limpahan kekuasaan tuanku memanggil Mahisa Agni, agaknya telah
memperingatkan kepada kita, bahwa kita harus berhati-hati. Kita
tidak akan dapat bertindak sesuai dengan selera kita saja tanpa
menghiraukan keadaan yang sebenarnya."
"Cukup, cukup. Tetapi apakah yang harus kita lakukan. Itu yang
aku tanyakan kepadamu."
Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak segera
dapat menjawab pertanyaan Tohjaya itu.
Wajah Tohjaya yang tegang menjadi semakin tegang. Hampir
berteriak ia bertanya kepada para Panglima dan Senapati, "He,
apakah kalian menjadi bisu" Mahisa Agni sekarang sudah ada di
halaman istana ini. Aku sudah memerintahkannya agar ia tetap
berada di bangsalnya. Tetapi agaknya ia tetap berkeras kepala."
Para Panglima terkejut mendengar keterangan itu. Tetapi tidak
seorang pun yang segera bertanya tentang Mahisa Agni. Mereka
menunggu saja Tohjaya menjelaskannya.
425 Namun dalam pada itu, sebelum Tohjaya sempat menjelaskan
sikapnya dan s ikap Mahisa Agni, seorang Senapati yang bertugas di
luar bangsal yang di kelilingi oleh sebuah kolam itu dengan raguragu
memasuki ruangan dan duduk di muka pintu sambil
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"He, kenapa kau menghadap tanpa aku panggil?" bertanya
Tohjaya. Baru setelah Tohjaya mengajukan pertanyaan itu, Senapati itu
berani menyampaikan keperluannya, "Ampun tuan ku. Para prajurit
yang bertugas mengawasi tuanku Mahisa Agni melaporkan bahwa
tuanku Mahisa Agni telah meninggalkan bangsalnya."
"He." wajah Tohjaya menjadi merah, "kalian tidak menahannya?"
"Kami belum mendapat perintah itu tuanku. Kami tidak dapat
berbuat sesuatu. Jika tuanku menjatuhkan perintah, hamba akan
melanjutkan perintah itu kepada para prajurit."
Tohjaya justru menjadi bingung. Wajahnya menegang Sedang
matanya menjadi merah. Tetapi dari mulutnya sama sekali tidak
meloncat sebuah perintah pun.
Dalam pada itu, Mahisa Agni sudah di halaman bangsalnya.
Ketika seorang prajurit bertanya kepadanya maka dengan sebuah
senyuman di bibirnya ia berkata, "Aku akan pergi mengunjungi tuan
puteri Ken Dedes." "Tetapi apakah tuan tidak menunggu perintah tuanku Tohjaya?"
Mahisa Agni justru tertawa. Jawabnya, "Aku akan selalu
menunggu perintahnya. Tetapi aku dapat menunggu di bangsal ini,
tetapi juga dapat di bangsal tuan puteri Ken Dedes. Aku sudah
mengatakannya kepada prajurit yang membawa pesan dari tuanku
Tohjaya." Prajurit itu termangu-mangu. Memang tidak ada perintah untuk
menahan Mahisa Agni di bangsalnya. Itulah sebabnya ia menjadi
bingung. Sedang kawannya yang melaporkan bahwa Mahisa Agni
telah keluar dari bangsalnya dan berjalan hilir mudik masih belum
426 datang kembali membawa ketegasan bagaimana mereka harus
bersikap. Jika para prajurit itu menahan Mahisa Agni di tempatnya,
mungkin ia justru telah melakukan kesalahan. Tetapi jika mereka
membiarkan, maka hal itupun mungkin pula keliru. Pengawasan
yang ketat di sekitar bangsal itu memang lebih condong kepada
usaha untuk membatasi gerak Mahisa Agni. Tetapi perintah yang
pasti masih belum mereka dengar.
Sebelum prajurit yang melaporkan hal itu datang kembali Mahisa
Agni telah melalui penjagaan di regol depan dari bangsalnya. Seperti
tidak terjadi apapun ia berjalan saja seenaknya. Sekali-sekali ia
berpaling dan mengangguk sambil tertawa kepada para prajurit
yang termangu-mangu mengawasinya.
Bahkan kemudian Mahisa Agni berhenti di sudut longkangan
mendekati dua orang prajurit yang berdiri dan bersiaga sepenuhnya,
"Kenapa kau berjaga-jaga disitu" Sejak tuanku Sri Rajasa bertahta
di Singasari, tempat itu tidak pernah dijaga."
Kedua prajurit itu menjadi bingung, sehingga mereka tidak
segera dapat menjawab. Tetapi Mahisa Agni tertawa sambil berkata, "Apakah tugasmu
sebenarnya?" Kedua prajurit itu sama sekali tidak dapat menjawab pertanyaan
itu. "Apa." Mahisa Agni membelalakkan matanya, "cepat jawab.
Untuk apa kau berdiri disitu he?"
Perbawa Mahisa Agni benar-benar telah menggoncangkan
jantung kedua prajurit itu, sehingga hampir di luar sadarnya mereka
menjawab, "Maksud kami, kami bertugas atas perintah pemimpin
kami." "Tentu." sahut Mahisa Agni, "kau mendapat tugas dari
pemimpinmu. Tetapi tugas apa yang harus kau kerjakan" Apakah
perintah itu berbunyi "berdiri disudut tanpa tujuan." begitu?"
"Tidak tuan." 427 "Nah, apakah yang harus kau kerjakan."
Keduanya termangu-mangu. Namun ketika Mahisa Agni
melangkah setapak maju, maka dengan gemetar salah seorang
berkata, "Kami harus mengawasi tuan."
Mahisa Agni memandang prajurit itu dengan tajamnya. Namun
kemudian iapun tersenyum. Ditepuknya bahu prajurit itu sambil
berkata, "Kau adalah orang yang jujur. Tetapi aku tidak tahu,
apakah kau benar-benar jujur, atau karena sekedar ketakutan."
Kedua prajurit itu hanya berdiri termangu-mangu saja ketika
Mahisa Agni kemudian pergi meninggalkan mereka.
Prajurit-prajurit yang lain, yang melihat dari kejauhan
pembicaraan itu pun segera mendekatinya dan saling mendahului
bertanya apa saja yang telah mereka percakapkan.
Kedua prajurit itu tidak dapat ingkar, bahwa mereka telah
mengatakan, apakah tugas mereka sebenarnya.
"Aku tidak dapat berkata lain." prajurit yang seorang menjadi
ketakutan, "aku tidak tahu apakah yang sudah aku katakan."
"Tidak penting." tiba-tiba kawannya bergumam, "kau jelaskan
atau tidak, Mahisa Agni tentu sudah tahu bahwa kami sedang
mengawasinya. Nah, apakah kau tahu, apakah yang dilakukan oleh
para pengawalnya di bangsal itu."
Kawan-kawannya menggelengkan kepalanya.
"Mereka semuanya menyelipkan keris mereka tidak di punggung,
tetapi dilambung kanan. Di leher mereka tersangkut kain berwarna
putih. Nah, kalian tahu artinya."
Para prajurit itu menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka
adalah prajurit yang cukup berpengalaman, namun mendengar
keterangan kawannya itu, hati mereka menjadi berdebar. Dengan
demikian mereka mengetahui bahwa para pengawal Mahisa Agni
yang ditinggalkan di bangsal itu, telah pasrah untuk mati apabila
diperlukan. 428 "Dibawah pimpinan Mahisa Agni, serombongan kecil orang-orang
di bangsal itu akan merupakan kekuatan yang luar biasa. Kau tahu,
ketika tuanku Anusapati terbunuh. Empat orang pengawal yang
mengamuk ditambah seorang bekas Pelayan yang telah
menjatuhkan korban yang tidak terhitung meskipun akhirnya
mereka dapat dikuasai. Nah, berapa banyak korban yang bakal
jatuh jika Mahisa Agni dan pengawalnya mengamuk." desis seorang
prajurit. Kawan-kawannya yang mendengarkan keterangan itu saling
berdiam diri. Tetapi mereka semuanya sependapat, bahwa jikabenarbenar hal itu terjadi, maka halaman istana itu tentu akan
kacau. Meskipun akhirnya Mahisa Agni akan dapat dikuasai, tetapi
korban akan sangat banyak berjatuhan.
Dalam pada itu Mahisa Agni berjalan perlahan-lahan menuju ke
bangsal Ken Dedes yang sudah lama tidak dikunjunginya. Setiap kali
dilihatnya beberapa orang prajurit termangu-mangu mengawasinya.
Tetapi tidak seorang pun diantara mereka yang menegurnya.
Dalam pada itu, di bangsal yang lain Tohjaya sedang
kebingungan. Apakah yang harus dilakukan oleh para Senapati
terhadap Mahisa Agni. Namun selagi Tohjaya termangu-mangu para
Panglima dan Senapati yang ada di bangsal itu berkata kepada diri
masing-masing, "Mahisa Agni tentu sudah berada di bangsal tuan
Puteri Ken Dedes sebelum tuanku Tohjaya menjatuhkan pilihan."
Tohjaya yang termangu-mangu itupun akhirnya berkata keras,
"He, kenapa kalian seperti kehilangan akal setelah Mahisa Agni itu
ada di bangsalnya?" Tidak seorangpun yang menjawab.
"He, kenapa kalian tiba-tiba saja menjadi patung yang beku.
Sekarang, pergilah dan tangkap Mahisa Agni dengan para
pengawalnya. Bukankah Mahisa Agni membawa beberapa orang
pengawal. Tentu pengawal-pengawal itu pengawal pilihan. Tetapi
kalian adalah Panglima dan Senapati pilihan. Bawalah prajurit
secukupnya." 429 Senapati yang datang menghadap itu pun memberanikan diri
untuk menyela, "Ampun tuanku. Memang tuanku Mahisa Agni
membawa beberapa orang pengawal terpilih. Hamba mengenal
beberapa di antara mereka. Mereka bukan saja prajurit pilihan,
tetapi Senapati-senapati pilihan. Menurut laporan yang hamba
terima, mereka tidak menyelipkan keris di punggung, tetapi di
lambung. Sedang di leher mereka tersangkut sehelai kain berwarna
putih." Dada Tohjaya menjadi semakin ber-debar-debar. Apalagi ketika
ia melihat wajah-wajah para Panglima dan Senapati yang gelisah.
"Jadi bagaimana menurut pertimbangan kalian" Bagaimana?"
Dalam keadaan yang serba tidak menentu itu, Panglima Pelayan
Dalam yang pergi ke Kediri akhirnya mencoba untuk berkata,
"Ampun tuanku. Menurut pendapat hamba, berdasarkan atas
kenyataan yang kita hadapi, sebaiknya tuanku tidak menjatuhkan
perintah untuk menangkap Mahisa Agni sekarang. Kita harus
mengingat perkembangan keadaan. Jika keadaan memungkinkan,
maka terserahlah kepada tuanku di saat mendatang. Tetapi adalah
sangat berbahaya untuk melakukannya sekarang."
"Kenapa?" Tohjaya membelalakkan matanya.
"Berdasarkan atas pertimbangan yang luas. Hamba tahu tuanku,
bahwa sebenarnya Mahisa Agni menolak tata pemerintahan
Singasari di bawah pemerintahan tuanku Tohjaya, karena menurut
pertimbangan Mahisa Agni, tuanku Anusapati masih mempunyai
adik seibu." "Tentu, karena ia kakak ibunda Ken Dedes. Menurut kepentingan
pribadinya, putera ibunda Ken Dedes memiliki hak lebih daripada
aku. Tetapi aku adalah putera tertua dari ayahanda Sri Rajasa."
"Demikianlah agaknya tuanku. Namun ternyata Mahisa Agni tidak
dapat melakukan perlawanan. Ia dapat saja membunuh dirinya
sendiri, menghasut perlawanan sampai mati. Mahisa Agni adalah
seorang yang tidak takut mati untuk mempertahankan
430 keyakinannya. Tetapi ia tidak melakukan karena ia ingin melihat
Singasari yang tetap utuh itu saja."
"Bohong. Bohong." teriak Tohjaya.
"Tuanku." Lembu Ampalpun kemudian menyela, "hamba
sependapat tuanku. Kurang bijaksana untuk menangkap tuanku
Mahisa Agni dalam keadaan seperti sekarang. Korban akan
terlampau banyak di halaman istana ini, dan setelah itu, orang yang
menyebut dirinya bernama Pati-pati dan disebut juga Witantra,
bekas Panglima Pasukan Pengawal dimasa pemerintahan Akuwu
Tunggul Ametung, dan yang sekarang berada di antara pasukan
Singasari di Kediri itu tentu akan melakukan suatu tindakan. Ia tentu
tidak akan membuat pertimbangan sejauh Mahisa Agni untuk
mempertahankan persatuan dan keutuhan Singasari dan daerahdaerah
yang sudah dipersatukan. Bahkan mungkin ia masih dibebani
dendam pribadi. Dan itu pulalah agaknya Mahisa Agni memilihnya


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menjadikannya penasehat Senapati yang dikuasakannya di
Kediri." "Pengecut. Jadi kalian sudah menjadi pengecut sekarang. Kalian
dalam jumlah yang banyak itu tidak berani menangkap Mahisa
Agni?" Tohjaya membentak, "dan setelah itu kalian pun takut
menghadapi pemberontakan di Kediri" Jika demikian tidak ada
artinya aku memilih kalian menjadi Panglima dan Senapati."
Para Panglima dan Senapati itu saling berpandangan sejenak.
Namun mereka tidak mengatakan apapun lagi.
"Lembu Ampal." teriak Tohjaya, "bagaimana pendapatmu he?"
"Bukankah sudah hamba katakan?"
"Kau tetap ketakutan" Dan bagaimana dengan kau?" bertanya
Tohjaya kepada Panglima Pelayan Dalam.
"Hambapun telah mencoba untuk menyatakan pendapat hamba
tuanku." Wajah Tohjaya menjadi merah padam. Ternyata para Senapati
dan Panglimanya tidak berani bertindak tegas atas Mahisa Agni
431 sehingga karena itu, maka Mahisa Agni masih tetap dapat berbuat
sesuka hatinya di halaman istana.
Namun Tohjaya sendiri pun tidak berani berbuat apa-apa. Ia
hanya dapat berteriak memberikan perintah, aba dan marah.
Namun ia sendiri bukannya seseorang yang memiliki kemampuan
untuk bertindak jika para Panglima dan Senapatinya tidak mampu
melakukannya. Berbeda dengan Anusapati apalagi Sri Rajasa, bahwa mereka
adalah orang-orang yang menghayati sendiri pertempuranpertempuran
jika diperlukan. Menghadapi persoalan Mahisa Agni itu pun Tohjaya hanya dapat
mengumpat-umpat karena para Panglima dan Senapatinya
berpendapat lain. Mereka mengusulkan agar Tohjaya tidak
menjatuhkan perintah untuk menangkapnya karena pertimbanganpertimbangan
yang luas. "Jadi bagaimana menurut pendapat kalian sekarang" Apakah
Mahisa Agni kita biarkan saja berkeliaran" Dan he, apakah gunanya
Mahisa Agni itu dibawa kemari?" bertanya Tohjaya sambil
membentak-bentak. Tidak seorangpun yang menjawabnya.
"Baiklah. Aku menunggu perkembangan keadaan. Nanti kita akan
bertemu lagi di paseban. Sekarang, apakah yang pertama-pertama
harus aku lakukan atas Mahisa Agni jika aku tidak menangkapnya?"
Para Panglima dan Senapati termangu-mangu sejenak. Tohjaya
hampir tidak pernah mengambil sikap. Tetapi ia selalu bertanya
kepada orang lain apapun yang akan dilakukannya.
"Tuanku." berkata Panglima Pasukan Pengawal, "tuanku dapat
memanggilnya. Memberikan penjelasan tentang keadaan Singasari
sekarang. Kemudian tuanku dapat memberikan perintah-perintah
kepada Mahisa Agni untuk mengurangi kekuasaannya."
"Perintah apa yang harus aku berikan?"
432 "Misalnya dengan menarik Mahisa Agni ke Singasari agar ia dapat
mengawasi tuan puterti Ken Dedes yang sedang sakit. Untuk
sementara Mahisa Agni dibebaskan dari tugasnya di Kediri sampai
ada ketentuan lebih lanjut kelak."
Tohjaya mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Persoalan ibunda
Ken Dedes tentu menarik perhatiannya. Aku akan memanggilnya
dan memerintahkan kepadanya untuk tetap berada di Singasari
menunggui Ibunda Ken Dedes." namun kemudian, "tetapi apakah
hal itu justru tidak menjadi sangat berbahaya" Ia berada di dekat
kita semuanya." "Kita kirimkan pengawalnya kembali ke Kediri."
"Tetapi bagaimanakah jika ia berusaha melakukan pembalasan
dengan cara yang pernah dilakukan oleh Anusapati terhadap
Ayahanda Sri Rajasa."
"Tuanku. Jika Mahisa Agni berada di halaman istana, maka kita
akan dapat mengawasinya. Jika tidak, maka hal itu akan menjadi
lebih berbahaya lagi. Jika ia kehendaki maka ia akan dapat masuk
setiap saat ke halaman ini meskipun ia berada di luar. Dan jika ia
menghendaki maka ia tentu akan dapat melakukan pembalasan
dengan cara yang licik. Tetapi jika ia berada di dalam halaman,
maka kita dapat selalu mengawasinya sehari semalam penuh
dengan prajurit yang cukup."
Tohjaya mengangguk-angguk kecil. Lalu katanya, "Baik.
Sekarang panggil Mahisa Agni."
Seorang Senapatipun kemudian diperintahkan untuk memanggil
Mahisa Agni. Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, maka ia
harus dicari di bangsalnya atau di bangsal tuan puteri Ken Dedes.
Dalam pada itu, Mahisa Agni memang sudah berada di dalam
bilik Ken Dedes. Permaisuri Sri Rajasa dan ibu Anusapati itu hanya
dapat menitikkan air mata menyambut kedatangan Mahisa Agni. Ia
kini telah kehilangan semuanya. Sehingga karena itu maka hidup
baginya sudah tidak ada gunanya lagi.
433 Mahisa Agni melihat keadaan badan Ken Dedes yang sudah
menjadi semakin lemah dengan debar di dalam dadanya. Tetapi ia
dapat mengerti sepenuhnya, bahwa betapa teguhnya hati, seorang
ibu, namun jika ia mengalami peristiwa-peristiwa yang berturutturut
menimpa seperti yang dialami Ken Dedes, maka hatinya pasti
akan menjadi kuncup. "Sebaiknya tuan puteri melupakan semuanya." berkata Mahisa
Agni kemudian. "Apakah hal itu mungkin dilakukan oleh seseorang kakang?"
"Maksud hamba, tuan puteri tinggal menyerahkan diri kapada
Yang Maha Agung. Tentu tuan puteri tidak dapat melupakan
semuanya. Namun dengan pasrah diri, tuan puteri akan
mendapatkan sekedar penghiburan. Daripada-Nyalah segalanya
terjadi dan kepada Nyalah kita pasrah diri."
Ken Dedes mengangguk-angguk. Katanya, "Memang tidak ada
lain dari kekuasaan dan kebesaran Yang Maha Agung yang harus
dipuji. Dan aku memang sudah menyandarkan seluruh hidupku
kepada-Nya." Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnya hatinya
bagaikan tergores duri melihat keadaan Ken Dedes yang nampaknya
semakin mundur. Untunglah bahwa anaknya yang lain selalu
mencoba membesarkan hati ibunya. Mahisa Wonga Teleng selalu
datang membawa anaknya. Namun setiap kali Mahisa Wonga
Teleng masih harus juga menjaga kakak ipar dan kemanakannya
sepeninggal Anusapati. Mahisa Agni melihat keluarga yang besar itu bagaikan belanga
yang terbanting di atas batu hitam. Pecah berserakan berkepingberkeping.
Masing-masing saling menyimpan dendam di dalam hati.
Dendam yang sulit untuk dihapuskan. Bahkan dendam itu rasarasanya
semakin lama menjadi semakin dalam. Tuntutan untuk
membalas kematian dengan kematian pasti akan membakar
Singasari yang akan hangus menjadi abu.
434 Dalam pada itu, selagi Mahisa Agni duduk menghadapi Ken
Dedes yang keadaan jasmaniahnya menjadi semakin mundur,
seorang Senapati masuk ke dalam bangsal itu dan mohon untuk
menyampaikan pesan bagi Mahisa Agni.
"Pesan dari siapa?" bertanya Mahisa Agni.
"Dari tuanku Tohjaya." jawab prajurit itu.
"Apa katanya?" Prajurit itu termangu-mangu sejenak, lalu, "Tuan dipanggil
menghadap tuanku Tohjaya."
"Kapan?" "Sekarang tuan."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, lalu katanya. "Baiklah aku
akan segera menghadap. Tetapi tidak sekarang. Secepatnya jika aku
sudah selesai." "Kakang Mahisa Agni." Ken Dedeslah yang memotong.
Mahisa Agni berpaling. Ditatapnya mata Ken Dedes sejenak, lalu
sambil tersenyum ia berkata, "Aku sudah mempertimbangkannya
tuan puteri." "Tetapi kakang, kini yang memegang kekuasaan adalah Ananda
Tohjaya. Meskipun masih akan diadakan wisuda, namun ia sudah
mengangkat dirinya menjadi Maharaja di Singasari. Dan kau tidak
akan dapat menolak perintahnya."
"Tentu tuan puteri. Hamba tidak akan dapat menolak
perintahnya. Karena itu hamba akan datang menghadap. Tetapi
tidak sekarang. Sebentar lagi, jika aku sudah puas menemui tuan
puteri." Ken Dedes menjadi berdebar-debar. Apakah itu berarti tantangan
dari Mahisa Agni bagi Tohjaya" Jika demikian, apabila benar-benar
terjadi benturan kekerasan, maka Singasari pasti akan menjadi
semakin terkoyak-koyak dan akan hancur dengan sendirinya.
435 "Sudahlah tuan puteri." berkata Mahisa Agni kemudian sebelum
Ken Dedes sempat mengatakan sesuatu, "sebaiknya tuan puteri
tidak usah menghiraukan hamba. Hamba akan berbuat sebaikbaiknya
tanpa menimbulkan keributan apapun. Hamba percaya akan
kebesaran jiwa tuanku Tohjaya sehingga tidak akan menolak
permohonan hamba itu."
Ken Dedes hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, dan Mahisa
Agni berkata pula kepada Senapati yang membawa pesan itu.
"Berjalanlah dahulu. Aku akan segera menyusulmu memenuhi
perintah tuanku Tohjaya."
Tetapi Senapati itu menjadi bingung. Ia tidak biasa mendengar
jawaban seperti itu jika ia sedang menjalankan perintah
Maharajanya. Karena itu, maka ia tidak segera beranjak dari
tempatnya. "Kenapa kau menjadi bingung?" bertanya Mahisa Agni, "pergilah
dan katakan, aku akan segera menghadap. Sekarang aku masih
berada di bangsal tuan puteri Ken Dedes untuk menengok
kesehatannya. Kau dengar?"
"Ampun tuan. Tetapi tuanku Tohjaya memerintahkan kepada
tuan untuk menghadap sekarang."
"Aku tidak menolak perintah itu. Kau sudah menyampaikan
perintah itu kepadaku. Dan aku sudah mendengarnya. Sekarang kau
kembali menyampaikan apa yang kau lakukan dan kau dengar dari
mulutku kepada tuanku Tohjaya. Dengan demikian kau sudah
melakukan tugasmu dengan baik."
Prajurit itu masih tetap bingung.
"Pergilah." ulang Mahisa Agni, "kau adalah seorang utusan. Dan
kau sudah melakukan tugasmu. Nah, apalagi yang kau tunggu
sekarang?" Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sorot mata
Mahisa Agni bagaikan meretakkan dadanya, sehingga Senapati itu
merasa lebih baik ia mendengar Tohjaya membentak-bentak
436 daripada harus menatap sorot mata yang tidak terlawan
perbawanya itu. Demikianlah maka Senapati itupun kemudian mohon diri sambil
berkata, "Tuan. Hamba adalah sekedar seorang utusan. Hamba
akan menyampaikan semuanya kepada tuanku Tohjaya. Hamba
tidak tahu sikap apakah yang akan diambil oleh tuanku Tohjaya itu."
"Tentu, kau tidak tahu apa-apa. Pergilah."
Senapati itupun kemudian meninggalkan bangsal Ken Dedes
dengan hati yang berdebaran. Ia tentu akan dibentak-bentak oleh
Tohjaya. Tetapi baginya hal itu tidak banyak mempengaruhi
perasaan. Laporan Senapati itu telah menggetarkan jantung Tohjaya.
Seperti yang sudah diduga, maka Tohjaya itupun kemudian
membentak-bentak sambil berteriak, "Gila. Kau harus membawanya
menghadap sekarang."
"Hamba sudah mengatakannya tuanku. Tetapi tuanku Mahisa
Agni mohon waktu beberapa saat. Ia sedang menengok kesehatan
tuan puteri Ken Dedes."
"Apa peduliku dengan ibunda Ken Dedes?" teriak Tohjaya, "ia
sama sekali tidak berarti bagiku."
Kata-kata Tohjaya itu ternyata telah menyentuh setiap hati.
Bagaimanapun juga orang-orang yang ada di ruangan itu mengenal,
bahwa Ken Dedes adalah isteri tertua dari Sri Rajasa. Dan ia adalah
ibu tiri dari Tohjaya. Bagaimanapun juga ia harus tetap
menghormatinya. Tetapi tidak seorang pun yang mengucapkannya. Para Panglima
dan Senapati yang ada di ruangan itu justru menunggu, apa yang
akan diperintahkan oleh Tohjaya.
"He." Tohjaya itupun kemudian berteriak lagi, "kenapa kalian
Pedang Sakti Tongkat Mustika 9 Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka Badai Awan Angin 22

Cari Blog Ini