Ceritasilat Novel Online

Yang Terasing 10

Yang Terasing Karya S H Mintarja Bagian 10


769 "Marilah. kita pergi. Aku kira gadis itu tidak akan datang malam ini. Mungkin, karena ia tidak berhasil membujuk Pikatan, tapi mungkin gadis itu menjadi takut, setelah ia tahu siapa kita sebenarnya. Setidak-tidaknya ia tahu bahwa kita bukan sahabat yang baik bagi Pikatan" Demikianlah maka keduanyapun meninggalkan tempat itu, sambil berjalan kawannya masih berkata "Jika kau datang kerumah"nya, biarlah aku yang mengurusi kedua penjaga itu. Bukankah dengan demikian kau dapat berkelahi melawan Pikatan" "Maksudku, tidak ada gangguan apapun pada perkelahian itu. Jika ada orang diantara kita dan orang-orang Sambi Sari, mereka harus berdiri melingkari arena, menonton perkelahian yang sedang berlangsung itu" "Sebuah perang tanding" "Ya" "Apakah kau tidak berkeberatan jika aku datang kerumahnya menyampaikan tantanganmu itu langsung kepada Pikatan?" "Akan aku pikirkan, Tetapi jika ia datang menemui aku. Aku akan mengajukan beberapa syarat untuk perang tanding itu. Jika jika ia tidak may datang, kita pikirkan kemudian. Mungkin cara yang aku tempuh masih berubah-ubah menurut perkembangan keadaan" Kawannya tidak menyahut lagi. Sementara itu merekapun men"jadi semakin jauh. Ketika mereka berbicara lagi. suaranya sudah ti"dak dapat didengar oleh Kiai Pucang Tunggal meskipun ia memiliki pendengaran yang sangat tajam. Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemu"dian berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Yang
770 tampak olehnya kini adalah timbunan brunjung-brunjung bambu dan batu yang teronggok di tepian. "Mereka benar-benar akan membuat penyelesaian yang tuntas" berkata Kiai Pucang Tunggal didalam hati "dan agaknya orang itu cukup menanggapi keadaan. Tetapi yang akan menjadi korban adalah rakyat Sambi Sari. Jika orangorang kehabisan bekal, mereka akan benar-benar mulai dengan cara yang dikatannya itu" Sejenak Kiai Pucang Tunggal termangu-mangu, masalah yang akan terjadi di Sambi Sari bukannya masalah yang dapat dianggap kecil. Meskipun persoalan yang sebenarnya adalah persolan Pikatan dengan orang itu, namun pasti akan menyangkut beberapa pihak yang sebenarnya tidak tahu menahu persoalannya, Wiyatllh, orang-orang Sambi Sari, dan bendungan itu yang sudah diancam akan dirusak jika Wiyatsih tidak berhasil membawa Pikatan" "Orang itu tentu akan. menjumpai Wiyatsih dimanapun" ber"kata Kiai Pucang Tunggal. Untuk beberapa lamanya Kiai Pucang Tunggal masih berdiri ditempatnya. Namun sejenak kemudian iapun mulai melangkahkan kakinya. Sekali-kali ditengadahkan kepalanya memandang bintang gemintang yang bergayutan dilangit yang bersih. "Musim hujan memang sudah jauh berkurang" katanya kepada diri sendiri. Lalu "Anak-anak itu pasti akan segera mulai dengan bendungannya" Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiai Pucang Tung"gal berjalan terus. Ia sudah berjanji dengan Puranti untuk bersama-sama melihat Pikatan beriatih jika ia melakukannya. Bukan saja sekedar melihat, tetapi juga mengawasi jika terjadi sesuatu atasnya karena kehadiran orang-orang yang sengaja mencarinya. "Jika Pikatan tidak segera menyelesaikan persoalannya. hal ini akan berlangsung lama" berkata Kiai Pucang Tunggal
771 didalam hati "dan aku akan terpaksa berkeliaran setiap malam. Seperti hidup kelelawar. Tidur disiang hari dan keluar dimalam hari" Tetapi bagi seorang tua seperti Kiai Pucang Tunggal yang su"dah terlampau biasa mesu diri dan berprihatin, hal itu tidak membuat kesulitan baginya. Ditempat yang sudah dijanjikan, ternyata Puranti telah menunggunya. Bahkan gadis itu sempat berbaring direrumputan disela-sela sebuah gerumbul yang rindang. "O" iapun bangkit ketika ayahnya mendekatinya "apa"kah ayah berhasil melihat mereka?" "Ya" "Mereka benar-benar menunggu Wiyatsih?" "Ya" "Apakah yang mereka lakukan setelah mereka yakin bahwa Wiyatsih tidak datang?" "Mereka pergi" jawab Kiai Pucang Tunggal "lalu diceritakannya apa yang telah dilihat dan didengarnya. Puranti mengangguk-anggukan kepalanya. Tiba-tiba saja ia berkata "Akulah yang wajib menjadi sasaran dendamnya. Biarlah aku menemuinya dan melayani tantangannya. Bukan Pikatan" Tetapi ayahnya menggelengkan kepalanya. "Kenapa ayah?" Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Tatapan matanya hinggap pada bayangan pedukuhan yang hijau hitam dikejauhan. "Puranti" berkata Kiai Pucang Tunggal "sebenarnya su"dah lama aku ingin bertanya kepadamu. Tetapi bukan maksudku
772 untuk menggelisahkanmu. Aku ingin kau menjawab pertanyaanku sejujur-jujurnya" "Apakah ada persoalan padaku ayah?" "Tentu ada Puranti"' "Dalam hubungan dengan siapa?" Puranti mulai curiga. "Puranti, kau adalah seorang gadis yang sudah dewasa. Yang bahkan dapat disebut sudah dewasa. Sudah tentu kau tidak akan hidup seperti sekarang. Seperti seekor burung yang terbang dari satu dahan kedahan yang lain. Pada saatnya kau harus membuat sarang. Nah. disitulah kau akan menetap. Kau harus menghentikan petulanganmu ini meskipun bukan berarti kau harus berhenti pula mengabdikan dirimu kepada sesama" Wajah Puranti menjadi merah. Ia mengerti kemana ayahnya akan berbicara. Namun ia masih tetap berdiam diri. "Karena itu Puranti, sebagai seorang ayah, aku berpikir apa yang akan kau hadapi kelak" "Waktu masih panjang bagiku ayah" "Mungkin kau benar, tetapi waktu itu akan sampai pula menelanmu. Karena itu kau harus sudah mulai memikirkannya" "Pada saatnya aku akan memikirkannya" Tetapi Kiai Pucang Tunggal menggelengkan kepalanya. Katanya "Sebagai seorang ayah, Puranti. Sebenarnya aku dapat merasakan getaran didadamu. Tetapi kau adalah seorang gadis. Seorang ga"dis memang mempunyai beberapa perbedaan dari seorang anak laki-laki" "Tidak ayah. Tidak ada perasaan apa-apa padaku" "Perasaan apa yang kau maksud" Aku belum mengatakan apa-apa"
773 "O" wajah Puranti menjadi merah dan menunduk dalam. "Puranti, sebaiknya kau jawab pertanyaan ayah ini dengan jujur, supaya ayah dapat mengambil sikap yang benar" Puranti tidak menyahut. "Sebagai seorang gadis, Puranti. Apakah hatimu pernah tergerak oleh seorang anak laki-laki?" Pertanyaan itu benar-benar telah mendebarkan jantungnya. Karena itu, Puranti tidak segera dapat menjawab. "Sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Tetapi kaulah, yang harus mengatakannya" sambung ayahnya. Puranti mengatupkan giginya rapat-rapat. Kemudian jawabnya nyentak "Tidak, tidak pernah" "Baiklah Puranti" suara ayahnya menjadi dalam dan berat "jika itu jawabmu, sebaiknya kita kembali ke Pucang Tunggal. Tidak ada gunanya kita berada disini, Wiyatsih yang langsung atau tidak langsung menjadi muridmu itu, sudah cukup banyak menguasai pokok-pokok tata gerak ilmu yang dipelajarinya, sehingga ia sudah mempunyai kesempatan untuk mengembangkannya" "Ayah, tiba-tiba suara Puranti parau. "Ya, sebaiknya kita pulang" "Tetapi, bagaimana dengan orang yang mendendam itu?" "Itu bukan urusan kita, Biarlah mereka berurusan langsung dengan Pikatan" "Tetapi Wiyatsih?" "la akan dapat melinduhgi dirinya sendiri. Orang itu agaknya tidak akan berbuat apa-apa atas Wiyatsih" "Tidak. Aku tidak sampai hati melepaskan Wiyatsih didalam keadaan serupa ini"
774 "Aku akan berpesan kepadanya, agar ia jangan mencampuri persoalan Pikatan. Jika Wiyatsih dapat menjaga dirinya dan sikapnya, ia tidak akan terlibat" "Tidak ayah, tidak" "Kenapa Puranti" Kau harus memikirkan dirimu pula. Kau sudah dewasa penuh. Sebentar lagi kau akan menjadi perawan tua. Karena itu, marilah pulang. Ayah sudah menerima beberapa lamaran. Kau dapat memilih salah seorang dari mereka. Karena itulah ayah mencarimu kemari" Terasa dada Puranti berdesir. Dipandanginya ayahnya tajam. Sejenak ia justru mematung. "Sudah sepantasnya kau melakukannya Puranti" Puranti menjadi semakin tegang. Namun tiba-tiba ia menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya "Tidak ayah. Aku tidak akan segera pulang. Aku tidak akan, pulang" "Apakah yang kau tunggui disini" Sudah aku katakan. jika kau memang tidak sampai hati meninggalkan Wiyatsih, aku akan berpesan, kepadanya, agar ia tidak terlibat dalam kesulitan" "Ayah" suara Puranti parau "aku ingin, tinggal disini" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Lalu "Baiklah Puranti. jika kau masih ingin tinggal disini. Tetapi berilah aku hak uhtuk menerima lamaran salah seorang dari mereka supaya aku tidak selalu dirisaukan oleh tamu-tamu yang selalu bertanya tentang kau. Jika mereka tahu. bahwa salah seorang dari mereka su"dah aku terima, maka mereka tidak akan mengganggu aku lagi" Puranti tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja air matanya meleleh dipipinya. Bagaimanapun juga ia adalah seorang gadis yang peka terihadap masalah-masalah seperti yang dikatakan oleh ayah"nya. Meskipun Puranti adalah seorang petualang yang tidak gentar menjelajahi hutan, lembah dan ngarai.
775 namun pada akhirnya ia harus dihadapkan pada persoalan yang sangat rumit itu. Jauh lebih rumit daripada menghadapi ujung-ujung senjata macam apapun. Ayahnyapun tidak mendesaknya lagi. Dengan sabar ia duduk menunggu sampai perasaan Puranti menjadi reda. "Ayah " suara Puranti sendat "ayah sebaiknya tidak ber"kata begitu kepadaku" Ayahnya mengerutkan keningnya. "Kenapa?" ia bertanya. "Bukankaih ayah sudah mengatakan, bahwa sebenarnya ayah sudah mengetahui perasaanku" Sudah mengetahui jawaban pertanyaan yang ayah berikan itu didalam hatiku" Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah anak gadisnya yang suram dan basah. Sehingga kemudian timbullah perasaan ibanya. Namun kemudian ia masih berkata "Aku mula-mula merasa bahwa aku mengetahui perasaanmu Puranti. Tetapi ternyata jawabanmu berbeda dengan dugaanku" Puranti menundukkan kepalanya dalam-dalam "Puranti, kehadiranmu didaerah ini memantapkan dugaanku. Aku kira kau datang dengan suatu tujuan yang paling dalam menjelang hidupmu masa mendatang. Tetapi yang aku jumpai justru ungkapan dendam yang tiada taranya. Aku menjadi cemas melihat kau melatih diri, yang menurut penilaianku, telah merampas segala waktumu. Hanya orang yang dikejar orang oleh dendam sajalah yang memaksa diri seperti yang kau lakukan. Dan aku menduga bahwa kau dan Pikatan telah berpacu untuk berebut unggul" "Ayah" Puranti yang sudah mulai mengeringkan air matanya itu menangis kembali. "Jangan menangis Puranti. Bukaukah kau tidak pernah me"nangis" berkata ayahnya lirih hampir ditelinganya.
776 Puranti mengangguk. Tetapi air matanya masih juga mengalir. "Marilah kita berkata sebenarnya. Marilah kita melihat kedalam diri dengan jujur. Sebenarnya aku telah berusaha memaksamu untuk mengatakan perasaanmu. Aku telah membohongimu. Ti"dak ada orang yang datang melamarmu meskipun aku sudah mendengar, bahwa ada beberapa orang tua yang memang sudah menyebut-nyebut namamu. Tetapi mereka belum datang kepadepokan kita. Aku ingin memancing agar kau mengatakan perasaanmu yang se"benarnya" Kiai Pucang Tunggal berhenti sejenak, lalu "Nah, aku sudah berterus terang. Selanjutnya terserah kepadamu Puranti. Puranti mencoba untuk tidak menangis. Tetapi dari pelupuknya masih saja mengembun air matanya yang bening "Apakah kau dapat juga berkata sejujurnya?" "Ayah" berkata Puranti dengan suara yang dalam "sebenarnya aku telah dicengkam oleh perasaan yang paling bertentangan. Jika ayah ingin melihat warna hatiku yang sebenarnya aku kira ayah memang sudah melihatnya. Aku memang datang kemari karena Pikatan. Tetapi karena hatinya yang terlampau tinggi, aku juga mendedamnya. Aku mencintainya sekaligus membencinya. Aku harus mengalahkannya. Ia harus sadar bahwa ia tidak akan dapat melampaui kemampuanku meskipun aku seorang gadis" Puranti berhenti sejenak, lalu "Ayah, apakah selamanya lakilaki harus lebih baik dalam segala hal dari seorang perempuan?" "Tentu tidak Puranti" jawab ayahnya "tidak. Tidak selamanya seorang laki-laki harus menang atas seorang perempuan" "Kenapa Pikatan merasa dirinya seorang laki-laki yang harus tidak terkalahkan, apalagi oleh seorang perempuan" Kenapa ia ti"dak mau mengakui kegagalannya dan bahwa akulah yang telah menolongnya dan menyelamatkannya" Ia
777 harus sadar bahwa didalam perguruan, aku adalah saudara tuanya meskipun umurnya lebih tua dari umurku. Dan ia harus sadar bahwa saudara muda didalam per"guruan pasti tidak akan dapat menyamai dan apalagi melampaui kemampuan saudara tuanya, meskipun ia seorang perempuan" "Puranti" suara ayahnya menjadi dalam" apakah sauda"ra tua seperguruan harus lebih unggul dari saudara mudanya?" "Tentu ayah. Yang tua belajar lebih dahulu. Semisal orang yang pergi kearah yang sama, yang tua berangkat lebih dahulu" "Tetapi bagaimanakah jika yang berangkat kemudian berjalan lebih cepat dari yang dahulu?" "Tidak, aku berjalan jauh lebih cepat dari Pikatan" Puranti terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar ayahnya tertawa pendek. Dengan dahi yang berkerut-merut ia bertanya "Ke"napa ayah tertawa?" "Puranti" berkata ayahnya "jika demikian, apakah bedanya kau dan Pikatan yang terlampau memanjakan harga dirinya?" Pertanyaan itu mengejutkan Puranti pula. Namun kepalanya justru menjadi tunduk dalam-dalam. Sambil bermain-main dengan pasir dibawah kakinya ia mencoba untuk mencari jawaban pertanyaan itu. Beberapa lamanya ia merenungi dirinya sendiri dan mencoba menilai, apakah yang telah dilakukanya. Kiai Pucang Tunggal yang melihat gejolak didalam dada anak gadisnya itupun terdiam untuk beberapa saat. Dibiarkannya anaknya mencoba mencernakan perasaannya itu. Untuk beberapa saat keduanya duduk saling berdiam diri. Te"tapi kini wajah Puranti telah menjadi kering. Air matanya tidak lagi menitik dari pelupuknya.
778 "Marilah kita pergi" tiba-tiba saja ayahnya berkata "bukankah kita akan melihat Pikatan dan mencoba melindunginya jika ia diganggu oleh orang yang sedang mencarinya itu" Puranti mengangguk lemah "Marilah ayah" Keduanyapun kemudian pergi meninggalkan tempat iiu. Dengan hati-hati mereka mendekati tempat Pikatan berlatih hampir setiap malam. Ternyata malam itu Pikatan meninggalkan rumahnya ditengah malam seperti biasanya. Dengan demikian, maka kedatangannya ditempat latihannya, justru lebih dahulu dari Kiai Pucang Tunggal dan Puranti, karena keduanya terlibat dalam pembicaraan yang bersungguh-sungguh, sehingga mereka tidak ingat lagi akan waktu. Perlahan-lahan mereka merayap mendekati tebing dibawah mereka. Pikatan sedang berlatih dengan segenap hati. Dengan kecepatan yang luar biasa ia berlonpatan bukan saja diatas tepian, tetapi juga berloncatan dari satu yang satu kebatu yang lain. "Kecopatannya semakin bertambah-tambah" berkata Kiai Pucang Tunggal didalam hati, hampir bersamaan dengan gerak hati Puranti. Tetapi keduanya tidak meagucapkan katakata apapun ju"ga. Dengan telaten keduanya menunggm Pikatan berlatih Setelah membiasakan kaki dan tangan kirinya bergerak cepat dan kemudian mengayun-ayunkan senjata, maka Pikatan mulai mempertinggi kemampuan kekuatan tenaganya. Dengan tenaga cadangan yang ada didalam dirinya, yang pada umumnya tidak dikenal bagi kebanyakan orang, Pikatan mampu memecahkan batu-batu padas. Kiai Pucang Tunggal berpaling ketika ia mendengar Puranti me"narik nafas. Namun yang kemudian seolah-olah tertahan.
779 Tetapi keduanya masih tetap berdiam diri. Jika mereka saling berbisik, maka ada kemungkinan bahwa suara mereka dapat didengar eleh Pikatan. Demikianlah keduanya menunggui Pikatan sampai wajah langit menjadi kemerah-merahan. Sebelum Pikatan mengakhiri latihannya, maka Kiai Pucang Tunggalpun menggamit Puranti dan dengan isyarat diajaknya gadis itu pergi. Purantipun kemudian mengikuti ayahnya berjalan menjauhi tempat itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, setiap kali Kiai Pucang Tunggal berpaling memandang wajah anak gadisnya. Puranti mengerutkan keningnya ketika ia mendengar ayahnya tiba-tiba berkata "Puranti, aku mempunyai jalan yang dapat kau tempuh agar hubungan dengan Pikatan menjadi baik" Puranti tidak segera menyahut. "Tetapi aku hanya sekedar berusaha. Jika aku berhasil, sukurlah. Jika tidak, entahlah, apakah kelak aku akan dapat menawarkan jalan lain" "Apakah yang ayah maksud" Apakah ayah akan menemuinya dan memberinya nasehat?" "Tidak ada gunanya" "Lalu, apakah yang akan ayah kerjakan?" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Pada waktunya aku akan mengatakannya" "Kenapa tidak sekarang saja ayah?" Ayahnya menggelengkan kepalanya. "Kapankah waktunya itu datang?"
780 Ayahnya tersenyum. Sambil menepuk bahu anak gadisnya ia berkata "Tidak lama lagi. Tetapi seperti yang sudah aku katakan. Aku sekedar berusaha. Mudah-mudahan berhasil" Puranti tidak bertanya lagi. Ia tahu bahwa ayahnya tidak akan dapat didesaknya. Dalam pada itu, ketika langit menjadi semakin merah, maka Pikatanpun mengakhiri latihannya dan berjalan tergesa-gesa pulang. Ia sampai dirumahnya disaat padukuhannya mulai terbangun. Didalam keremangan pagi Pikatani mendengar derik sapu lidi dihalaman dan suara senggot timba bergerit. Ketika matahari mulai memancar, maka mulailah kesibukan sehari-hari dipadukuhan Sambi Sari. Meskipun dengan hati yang lesu. penghuninya melakukan pekerjaan mereka. Terutama memelihara tanaman disawah yang hampir sampai waktunya untuk memetik hasilnya. Namun waktu untuk menunggu itu rasa-rasanya hampir tidak dapat mengharap bahwa besok mereka masih akan makan. Ketela yang tumbuh dikebun-kebun tidak begitu banyak memberikan hasilnya, sehingga yang dapat mereka ambil adalah akar ketela pohon sebesar batangnya yang kurus dan tidak lebih. Dalam pada itu, diluar perhatian para petani Sambi Sari dua orang berjalan di jalan-jalan persawahan. Karena pakaian mereka yang tidak ada bedanya dengan pakaian. para petani, maka tidak ba"nyak orang yang tertarik kepadanya. Mereka menyangka bahwa orang itu adalah orang yang datang dari padukuhan-padukuhah tetangga. Mereka sedang mengunjungi keluarga mereka di Sambi Sari atau sekedar lewat saja. Demikian pula ketika kedua orang itu berhenti, sejenak diba"wah sebatang pohon yang rindang, sekedar berlindung dari bawah sinar matahari yang mulai menggatalkan kulit. "Itulah mereka" desis yang seorang.
781 Yang lainpun berpaling. Dilihatnya beberapa orang gadis ber"jalan itu pula. Agaknya mereka sedang berangkat kesawah. Dengan wajah yang buram dan pakaian yang sangat sederhana mereka berjalan menyusuri tanggul parit dipinggir jalan. Seorang diantara mereka yang berpakaian agak lebih baik dari yang lain dan yang tengadah memandang kedepan adalah Wiyatsih. Ketika gadis-gadis itu lewat didepan kedua orang yang berhetati dibawah pohon,itu, salah seorang dari mereka menyapa "Wiyatsih" Wiyatsih terkejut, sehingga langkahnyapun tertegun. Sambil tersenyum salah seorang dari keduanya berkata "Apa"kah aku boleh bertanya sedikit?" Wiyatsih menjadi ragu-ragu. Sekali dipandanginya kawankawannya yang terhenti pula. Namun kemudian ketika sekali lagi ia memandang wajah orang itu, hatinyapun berdesir tajam. Akhirnya ia dapat mengenal, orang itu adalah orang yang menjumpainya di dekat timbunan brunjung-brunjung itu. Sejenak Wiyatsih berdiri tegang, namun kemudian katanya kepada kawan-kawannya "Pergilah dahulu" Kawan-kawannya termangu-mangu sejenak, namun merekapun segera pergi meninggalkannya. Sepeninggal kawan-kawannya, Wiyatsih melangkah maju mendekat. Namun ia tidak kehilangan kewaspadaan. Mungkin sesuatu dapat terjadi Jika ia harus berbuat sesuatu, maka apaboleh buat meskipun siang hari, sehingga orang-orang Sambi Sari akan dapat mengetahui tentang dirinya lebih banyak lagi. Juga ia tidak peduli, meskipun ia mengenakan selembar kain panjang. Sambil menyingsingkan kainnya, seperti jika ia turun kedalam lumpur, ia bertanya "Apakah keperluanmu" Aku masih mengenalmu dengan baik meskipun kau berpakaian seperti seorang petani miskin"
782 Orang itu tertawa. Jawabnya "Bagiku pakaian ini tidak ada artinya. Aku dapat berpakaian seperti seorang Adipati karena aku memang memilikinya. Tetapi juga pakaian seorang petani seperti yang aku pakai ini. "Nah, sekarang katakan, apa maksudmu?" "He, kenapa kau menjadi garang?" Wiyatsih mengerutkan keningnya, lalu "Cepat, katakan. Kawan-kawanku sudah jauh" Tetapi orang itu tertawa. Meskipun demikian ia menjawab "Baiklah. Tetapi seharusnya kau tidak perlu bertanya lagi tentang maksudku" "Cepat katakan " "Jangan marah-marah. Bukahkah kau berjanji untuk datang bersama Pikatan?" "Aku tidak berjanji. Aku hanya akan mencoba. Kakang Pi"katan sama sekali tidak mau mendengar aku. Bahkan ia menjadi semakain marah-marah karena aku tidak dapat mengatakan kepada"nya siapa namamu" Orang itu mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya "Agaknya Pikatan memang sudah gila. Tetapi cobalah berulang kali. Ka"takan kepadanya, jika ia tidak datang menemui aku, aku akan menghancurkan bendungan itu jika kalian membuatnya. Bukan hanya jembatan, tetapi juga merusak parit-parit dan merampok semua orang yang berada diseluruh Kademangan Sambi Sari, termasuk ibumu dan Ki Demang bahkan Ki Jagabaya" "Kalianlah yang sudah gila. Bukan kakang Pikatan" Kedua orang itu tertawa. Yang seorang lagi menyela "Kau harus meyakinkan Pikatan, bahwa ia harus menolongmu hanya un"tuk datang saja ketimbunan brunjung-brunjung itu. Bukankah pekerjaan itu tidak terlampau berat". Katakan
783 kepadanya, aku tidak akan menyakitinya. Aku tidak datang berbuat apa-apa jika memang Pi"katan sudah menjadi ketakutan. Cobalah katakan kepadanya, agar ia minta maaf kepadaku. Aku akan memaafkannya dan aku akan menjadi sahabatnya yang paling baik" Kata-kata itu ternyata telah membakar dada Wiyatsih. Namun ia sadar, bahwa ia tidak boleh bertindak tergesa-gesa. Menurut Kiai Pucang Tunggal orang ini adalah orang yang sangat berbahaya. Ka"rena itu, maka Wiyatsih mencoba untuk bertahan sekuat-kuatnya agar ia tidak membuat pembicaraan itu menjadi semakin panas. "Aku tidak akan dapat membujuknya lebih dari yang sudah aku lakukan. Tetapi kenapa kalian merahasiakan jati diri kalian terhadap kakang Pikatan?" "Maksudku, agar ia menjadi ingin tahu, siapakah kami. Setidak-tidaknya ia ingin membuktikan, apakah orang yang menunggunya itu benar-benar orang yang pernah berhubungan dengan dirinya dahulu" "Tetapi ternyata kau tidak berhasil. Nah, sebaiknya katakan siapakah kalian agar kakang Pikatan tidak berkeberatan untuk memenuhi undanganmu" Tetapi kedua orang itu hanya tertawa saja. Orang yang agaknya lebih berpengaruh dari keduanya justru berkata "Marilah kita pergi. Biarlah ia berusaha" "Tidak, aku tidak dapat berusaha lagi" Sahut Wiyatsih. Tetapi orang itu masih saja tertawa dan berkata "Kau tentu sayang kepada bendungan dan bahan-bahan yang sudah kau siapkan itu. Dan aku tidak tergesa-gesa. Aku memang dapat tinggal dimana saja untuk waktu yang tidak terbatas. Daerah disekitar Sambi Sari adalah daerah yang cukup subur bagiku meskipun daerah Sambi Sari sendiri adalah daerah yang kering. Tetapi Prambanan, Pengging dan Pajang adalah daerah yang memberikan cukup kesempatan padaku"
784 "Kenapa dengan daerah yang jauh itu?" "Memang jauh. Tetapi Sambi Sari yang kering dapat aku pergunakan sebagai tempat bersembunyi jika aku sudah berhasil mendapatkan sesuatu didaerah-daerah yang subur itu, yang tentu saja hanya aku lakukan sebulan dua atau tiga kali. Yang paling banyak waktuku aku peruntukan bagi Pikatan" "Aku tidak mengerti, apa hubungannya semuanya itu" "Memang tidak ada hubungannya. Tetapi sekaligus aku laku"kan. Daripada aku menunggu Pikatan sambil tidur mendengkur un"tuk waktu yang tidak tertentu, bukankah aku dapat menunggunya sambil bekerja" Prambanan, Pengging, Pajang bahkan sampai daerah yang lebih jauh lagi memang daerah yang sering aku kunjungi. Tetapi aku sekarang sudah kahilangan tempat tinggalku yang tetap, se"hingga aku barus berpindah-pindah sebelum aku menemukan rumah yang paling baik menurut kebutuhan kami. "Aku tidak mengerti. Tetapi aku kira kalian adalah petualang-petualang yang liar" "He" orang itu mengerutkan keningnya "kau berani menyebut aku dengan istilah yang menyakitkan hati itu?" "Aku tidak mempunyai istilah lain" Orang itu mengerutkan keningnya. Sejenak wajahnya menjadi tegang, namun kemudian ia tersenyum "Jika kau tidak terlalu cantik, kau akau menyesal" Wiyatsih menjadi berdebar-debar. Beberapa kali ia mendengar orang itu memujinya. Dan itu adalah tanda bahaya baginya. Jika orang ini ingin mengganggu Pikatan, mungkin ia akan melakukan perbuatan yang berbahaya baginya. "Sudahlah Wiyatsih " berkata salah seorang dari kedua orang itu "pergilah ke sawah. Kau sudah mendapat gambaran terlampau banyak tentang diri kami. Mudah-mudahan Pikatan
785 mengenalku dan datang memenuhi undanganku. Tentu saja kadang-kadang aku tidak ada disekitar daerahmu ini jika aku sedang melakukan tugasku. Kadang-kadang daerah yang dekat jika kebutuhanku tidak mendesak, misalnya dirumah ibumu yang cukup kaya, tetapi kadang-kadang aku tentu pergi kedaerah yang jauh" Wiyatsih tidak menjawab. Giginya terkatup rapat-rapat menahan kemarahan yang menyesak didadanya. Namun ia masih tetap menahan diri. Ia sama sekali tidak bertanya lagi ketika kedua orang itu pergi meninggalkannya. Tetapi hatinya berdesir tajam ketika ia melihat seorang dari keduanya berpaling dan berkata sambil tersenyum menyakitkan hati "Cantik sekali Kau Wiyatsih" Gigi Wiyatsih terdengar gemertak. Untunglah bahwa ia masih tetap ingat pesan Kiai Pucang Tunggal, bahwa orang itu adalah orang yang sangat berbahaya. Sepeninggal kedua orang itu, maka Wiyatsihpun dengan tergesa-gesa menyusul kawan-kawannya pergi kesawah. Dengan tangkasnya ia berloncatan diatas pematang. Namun dalam pada itu hatinya masih saja diganggu oleh kehadiran kedua orang itu. "Kedua orang itu akan selalu membayangi aku. Tentu hampir setiap saat sebelum mereka berhasil menemui kakang Pikatan" berkata Wiyatsih didalam hatinya. Lalu timbul pula sebuah pertanyaan "Tetapi apakah maksudnya dengan menyebutkan Pengging, Pajang dan tempat-tempat yang jauh itu" Apakah ia inggin mengatakan bahwa ia termasuk orang yang berpengaruh didalam lingkungannya?" Wiyatsih tidak dapat memecahkan pertanyaan itu. Dalam keadaan yang demikian ia selalu berkata dirinya sendiri "Aku akan menyampaikannya kepada Kiai Pucang Tunggal dan Puranti"
786 Ketika Wiyatsih sampai disawah, maka kawankawannyapun sudah mulai bekerja disawah masing-masing yang sudah mulai membayangkan harapan. Sebentar lagi mereka akan memetik hasilnya, meskipun hasil panenan itu sebagian akan jatuh ketangan orang-orang kaya yang sudah memberikan pinjaman kepada mereka dimasa paceklik. "Siapakah orang-orang itu Wiyatsih?" bertanya seorang kawannya. "Mereka adalah pedagang-pedagang yang sering datang ke rumah. Mereka berurusan dengan ibu" jawab Wiyatsih "O, tetapi kenapa ia menemuimu ditengah bulak?" Mereka hanya bertanya, apakah ibu ada dirumah" Kawan-kawannya tidak bertanya lagi. Mereka melanjutkan kerja mereka masing-masing. Menunggui burung, memotong daun-daun padi yang berulat dan yang lain memetik daun lembayung ditanam di pematang. Demikianlah maka seperti yang sudah diangan-angankan, dimalam harinya semuanya itu disampaikannya kepada Kiai Pucang Tunggal untuk mendapatkan pertimbangan. Namun selagi Kiai Pucang Tunggal mengangguk-anggukan kepalanya. "Kiai, siapakah sebenarnya orang-orang itu" Aku merasa diombang-ambingkan oleh keadaan ini. Orang itu sama sekali tidak mau menyebut dirinya sendiri, sedang Kiai yang menurut dugaanku mengetahui pula dengan pasti siapakah mereka, juga tidak mau menyebutkan namanya" Kiai Pucang Tunggal mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia menjawab "Jadi kau ingin mendengar namanya?" "Ya Kiai. Aku akan dapat mengatakannya kepada kakang Pikatan supaya kakang Pikatan tidak marah kepadaku jika aku membujuknya"
787 Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang wajah Puranti yang ragu-ragu. "Kiai" desis Wiyatsih "jika aku tidak mengetahui dengan pasti siapakah mereka, maka aku selalu dibayangi oleh bermacam-macam angan-angan yang sama sekali gelap dan menyeramkan, meskipun barangkali setelah aku mendengar namanya, aku akan menjadi semakin ngeri karenanya" Kiai Pucang Tunggal mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah merenung sejenak, maka iapuni berkata "Baiklah Wiyatsih. Jika kau memang ingin mengetahui siapakah mereka. Satu diantaranya adalah lawan Pikatan selagi ia melakukan pendadaran. Orang itulah yang bernama Hantu Bertangan Api" "O" wajah Wiyatsih menegang sejenak. Ia sudah pemah mendengar nama itu. Nama yang memang menggetarkan dadanya "Jadi orang itulah yang bernama Hantu Bertangan Api. Sepasang Hantu Bertangan Api itu?" "Tidak lagi sepasang. Mungkin ia mencoba membuat pasangan baru. Tetapi Hantu Bertangan Api yang satunya sudah terbunuh" Wiyatsih mengangguk-angguk. "Itulah sebabhya ia menyebut daerah-daerah Pengging, Pajang, Prambanan dan mana lagi, sebagai daerah yang seakan-akan telah disediakan bagi mereka" Dada Wiyatsih menjadi berdebar-debar. Ternyata yang dihadapinya adalah orang yang menyebut dirinya Hantu Bertangan Api. la pernah mendengar nama itu. Dan ia tahu, bahwa karena pertempuran yang terjadi di Goa Pabelan itulah selagi Pikatan menjalani pendadaran tangannya yang kanan telah menjadi cacat. "Wiyatsih" berkata Kiai Pucang Tunggal" kita harus meinperhitungkan kemungkinan yang terjadi pada orang yang
788 berbahaya itu. Ia pernah dikalahkah oleh Pikatan menurut penilaian yang dimengertinya dengan baik. Jika tidak ada perubahan maka ia tidak akan datang kemari mencari Pikatan. Hantu itu pasti merasa dirinya sekarang sudah lain dari Hantu yang kalah di Goa Pabelan itu. Hantu itu tentu sudah menempa dirinya dan merasa dirinya kuat menghadapi Pikatan" "Atau karena perhitungan yang lain" sahut Wiyatsih "Hantu itu berani mencari Pikatan karena kakang Pikatan sekarang sudah cacat?" "Boleh jadi. Tetapi bukankah ia mengancam akan mencari Puranti pula" Tentu ia tidak berani mencarinya jika ia tidak merasa dirinya cukup kuat" "Mungkin ia tidak benar-benar akan mencari Puranti. Mungkin ia sekedar mengancam" Pikatan sekarang bukan Pikatan yang dahulu lagi. Meskipun tangan kanannya menjadi cacat, tetapi kemampuannya sudah melonjak jauh. Tangan kirinya telah menjadi lebih tangkas dari tangan kanannya, bahkan sebelum tangan itu cacat. ia sekarang sudah menguasai hampir seluruh tenaga cadangan yang ada didalam dirinya" "Jadi, apakah menurut Kiai Pucang Tunggal, kakang Pikatan dapat mengimbangi Hantu itu sekarang?" "Tentu aku tidak dapat mengatakannya Wiyatsih. Aku belum tahu. sampai dimana kemampuan Hantu itu sekarang" Wiyatsih mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi iapun merasa cemas bahwa kakaknya akan berhadapan dengan kekuatan yang jauh berada diatas kemampuannya. Namun demikian, ia percaya bahwa tentu Kiai Pucang Tunggal tidak akan membiarkan saja jika sesuatu akan terjadi atas kakaknya yang cacat itu.
789 "Jadi apakah aku harus mengatakannya kepada kakang Pikatan?" bertanya Wiyatsih kemudian. "Kiai Pucang Tunggal mengangguk-anggukan kepalanya. Jawabnya "Ya Wiyatsih. Tetapi kau tidak usah mengatakan bahwa Hantu itu menantangnya. Kau hanya mengatakan kepadanya, bahwa Hantu itu kini berkelaran didaerah ini. Hanya itu. Dengan demikian Pikatan akan berhati-hati, tetapi ia tidak segera mencari musuhnya itu. Jika ia mendengar bahwa Hantu itu mengundangnya, maka kemungkinan terbesar adalah bahwa Pikatan itu segeia menemuinya tanpa mempertimbangkan apapun juga" Wiyatsih mengangguk-angguk pula. "Sementara itu apabila aku berhasil Wiyatsih, biarlah aku menjajagi kemampuan Hantu Bertangan Api itu" "Madsud Kiai?" "Aku ingin tahu, apakah Pikatan tidak akan terjerumus kedalam kesulitan. Jika demikian, maka aku kira kita akan mengambil jalan lain" "Bagaimanakah Cara Kiai untuk mengetahui kemampuan Hantu itu" " "Itulah yang sedang aku pikirkan. Tetapi kau sudah dapat mengatakannyai kepada Pikatan sebelum ia pergi malam ini. Hati-hati agar kau tidak terlibat dalam pertengkaran dengan Pikatan. Jika ia menjadi marah, meskipun sebenarnya tidak harus diarahkan kepadamu, kau tidak usah menanggapinya" Wiyatsih menarik nafas dala-dalam. Jika dahulu kakaknya yang selalu melayaninya, juga jika ia marah-marah dan menangis, sekarang yang terjadi adalah sebaliknya. Ialah yang harus menahan hati jika kakaknya marah-marah kepadanya. Tetapi apaboleh buat. Selagi kakaknya terganggu keseimbangan jiwanya karena cacatnya, maka ia wajib
790 menempatkan dirinya agar ia justru tidak membuat sakit dihati kakaknya itu menjadi semakin parah. "Nah Wiyatsih" berkata Kiai Pucang Tunggai "cobalah kau temui kakakmu sekarang. Mungkin ia masih belum tidur. Katakanlah dengan hati-hati" "Baiklah Kiai, tetapi apakah Kiai bersedia tinggal disini sebentar. Aku tidak tahu apakah yang akan dilakukan oleh kakang Pikatan jika ia mendengar bahwa Hantu itu ada disini" Kiai Pucang Tunggal mengangguk-angguk. Jawabnya "Baiklah. Tetapi tentu aku tidak dapat berbuat apa-apa" "Puranti mungkin dapat berbuat sesuatu" "Itu kurang bijaksana" jawab Kiai Pucang Tunggal "tetapi aku kira, asal kau dapat menjaga diri dan perasaanmu, maka tidak akan terjadi sesuatu" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih juga berdebar-debar. Apakah ia dapat membiarkan dirinya dicaci-maki dan bahkan diumpati oleh kakaknya tanpa menjawabnya sama sekali. "Mudah-mudahan ibu dapat meredakan persoalan ini jika timbul salah paham" berkata Wiyatsih didalam hatinya. Malam itu Wiyatsih tidak berlatih bersama Puranti. Ia harus menemui kakaknya dan mengatakan tentang Hantu Bertangan Api. Dengan hati yang berdebar-debar Wiyatsih masuk kembali kedalam rumahnya lewat pintu butulan, Ketika ia menjenguk kepringgitan, ternyata ibunya masih duduk menghitung lidi. "Darimana kau Wiyatsih?" bertanya ibunya. "Dari kebun belakang ibu" "Kau masih juga membuat dirimu menjadi laki-laki?" "Tetapi agaknya bermanfaat juga bagi keluarga ini"
791 Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa Wiyatsih telah berusaha untuk menyelamatkan isi rumah ini meskipun kakaknya masih harus menolongnya. Wiyatsih yang kemudian meninggalkan pringgitan, melangkah mendekati bilik kakaknya yang sudah tertutup. Pikatan yang hampir tidak pernah keluar dari biliknya disiang hari itu dan selalu tidur sore hari. Namun malam itu Wiyatsih memberanikan dirinya untuk mengetuk pintu bilik kakaknya, Perlahan-lahan. Pikatan yang sebenarnya memang sudah tidur, terkejut mendengar ketukan pada daun pintunya. Sejenak ia memperhatikan suara itu, namun kemudian nalurinya telah menariknya bangkit dan meloncat berdiri disisi pembaringan dengan hati yang berdebar-debar. Wiyatsih mendengar suara kaki kakaknya. Dengan demikian iapun menjadi berdebar-debar pula. Bagaimanakah jadinya jika kakaknya tidak dapat menahan perasaannya lagi dan berbuat kasar atasnya". Namun Wiyatsih sudah bertekad untuk mengatakannya apapun akibatnya. Karena itu, maka iapun mengetuk pintu itu sekali lagi. "Siapa?" terdengar suara Pikatan menggeram "Aku kakang. Wiyatsih" "O" suara Pikatan menurun. Namun kemudian terdengar ia bertanya "apa kepentinganmu Wiyatsih" "Aku ingin berbicara sedikit kakang" "Aku sudah mengantuk sekali. Kau mengejutkan aku" "Aku minta waktu sedikit saja"
792 Pikatan termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya "Besok pagi saja. Apakah tidak akan ada hari lagi sehingga kau mengejutkan aku?" "Tetapi soalnya sangat mendesak kakang. "Tidak" Tetapi Wiyatsih tidak segera pergi. Bahkan katanya "Kakang boleh marah kepadaku. Tetapi hal ini penting sekali bagi kakang dan kita sekeluarga. "Tidak. Aku mengantuk sekali" Wiyatsih menjadi semakin berdebar-debar. Jika kakaknya benar-benar tidak mau mendengarkan, maka ia tidak akan dapat mempersiapkan dirinya jika malam nanti ia bertemu dengan Hantu Bertangan Api itu. Karena itu, maka sekali lagi ia mencoba meyakinkan "Kakang, aku hanya memerlukan waktu sedikit saja. Apakah pintu ini sudah diselarak?" "Aku bilang tidak. Apakah kau tidak mendengar?" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. "Baiklah kakang, jika demikian, biarlah aku pergi sendiri mencarinya. Ia sangat berbahaya" Sejenak Wiyatsih terdiam. Tetapi ia tidak mendengar kakaknya menyahut. Karena itu, maka iapun kemudian bergeser sedikit. "Wiyatsih" tiba-tiba ia mendengar suara kakaknya. sejenak kemudian maka Wiyatsih mendengar langkah kaki kakaknya dan pintu bilik ilupun terbuka. "Cepatlah katakan, siapakah yang akan kau temui" Agar kakaknya segera tertarik perhatianmya, maka dengan serta-merta ia menjawab "Hantu Bertangan Api"
793 "He?" wajah Pikatan menjadi tegang, serta nafasnya seakan-akan tertahan di hidungnya. Dengan suara yang dalam ia bertanya "Hantu Bertangan Api?" "Ya, Hantu Bertangan Api" Pikatan berdiri sejenak mematung didepaan pintu biliknya. Ditatapnya Wiyatsih dengan sorot mata yang aneh. Dari selasela bibirnya seolah-olah diluar sadarnya Pikatan bertanya "Darimana kau tahu tentang Hantu Bertangan Api?" "Orang itu sendiri yang mengatakan" "Kau sudah bertemu?" "Belum" "Wiyatsih, apakah kau sudah gila he" Kau mengigau selagi kau masih belum tidur, bahkan dengan mata terbuka. Apakah sebenarnya yang ingin kau katakan?" "Kakang" Wiyatsih melangkah mendekati kakaknya. Ia mencoba untuk tidak menimbulkan kemarahannya "tetapi kakang jangan marah. Aku takut mengatakannya jika kakang masih saja selalu marah kepadaku" Pikatan termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata "Cepat katakan, dari siapa kau mendengar nama Hantu Bertangan Api?" "Dahulu Puranti pernah menyebut nama itu?" "Bukan dahulu tetapi sekarang. Dari mana kau tahu bahwa Hantu Bertangan Api ada disekitar tempat ini" "Agaknya Hantu itu dengan sengaja menyebar desas desus. Mungkin ia sedang mencari tempat untuk dipergunakannya sebagai sarangnya yang baru. Atau mungkin ia sedang mengintai korbannya disini, atau sekedar lewat" "Bohong" teriak Pikatan "ia tahu aku ada disini"
794 Wiyatsih mengerutkan keningnya. Lalu katanya "Jika ia tahu kakang ada disini, apakah kira-kira yang akan dilakukannya?" "Ia tidak akan berani datang kemari. Aku akan membunuhnya" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Mungkin kakang dapat mengusirnya, jika tidak membunuhnya sama sekali " Wajah Pikatan menjadi menyala sejenak. Namun seperti sebuah pelita yang kehabisan minyak, tiba-tiba saja ia berkata dengan mata yang redup "Aku tidak peduli. Aku tidak berkepentingan lagi dengan Hantu Bertangan Api" "Tetapi" dengan serta merta Wiyatsih menyahut "bukankah kau mempunyai persoalan dengan Hantu itu" Bagaimanakah sikapmu jika Hantu itu datang sengaja untuk mencarimu" Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku tidak peduli. Biar saja ia mencariku" "Kakang" Wiyatsih melangkah semakin, dekat "jika Hantu itu mendendam, kakang harus berhati-hati. Bukankah kakang sering keluar dimalam hari?" "Aku tidak peduli. Aku tidak berkepentingan lagi dengan, Hantu itu" "Mungkin kakang menganggap bahwa kakang sudah tidak berkepentingan lagi. Tetapi Hantu itu pasti masih tetap mendendam" "Aku tidak peduli" "Kakang" Wiyatsih menjadi cemas, Ternyata kakaknya masih tetap dalam sikapnya. Pasrah dan putus-asa "kakang harus berbuat sesuatu. Setidak-tidaknya kakang harus menjaga diri "
795 "Jangan gurui aku. Aku mengerti apa yang harus aku lakukan. Aku lebih tua daripadamu dan aku adalah seorang laki-laki. Jika aku bersikap, sikap itu adalah sikap yang sudah aku pertimbangkan baik-baik. Kau tidak berhak mengajari aku dalam segala hal" "Tidak kakang. Aku sama sekali tidak ingin mengajarimu. Tetapi aku didorong oleh perasaan cemas" "Apa yang kau cemaskan?" Wiyatsih menundukkan kepalanya. Dan iapun berkata dengah jujur "Aku tidak mau kehilangan kau, Ibu juga tidak. Itulah sebabnya aku memberanikan diri mengatakannya kepadamu" "Omong kosong. Kau tidak akan kehilangan jika aku dibunuh sekalipun oleh Hantu itu. Ibu juga tidak akan merasa kehilangan. Bahkan kalian akan merasa terlepas dari gangguanku selama ini, dan ibu tidak perlu lagi menyediakan apa-apa lagi buatku" "Kakang, kau keliru. Jika aku tidak peduli lagi akan keselamatanmu, buat apa aku datang kepadamu dan memberitahukan kehadiran Hantu itu didaerah Sambi Sari ini" Buat apa aku memaksa diri berkata kepadamu karena selama ini sebenarnya aku takut mendekat pintu bilikmu" "Jangan hiraukan aku. Jangan pedulikah aku" berkata Pikatan kemudian sambil melangkah surut masuk kedalam biliknya lagi. "Kakang" panggil Wiyatsih. Dan Pikatanpun berhenti sejenak. Dipandanginya adiknya sesaat. Ketika Wiyatsih memandang tatapan mata kakaknya itu, hatinya berdesir. Ia melihat kelembutan pada sinar mata itu, yang selama ini seakan-akan telah tidak pernah dilihatnya lagi. Tetapi hanya sejenak, karena sejenak kemudian Pikatan telah hilang dibalik pintu.
796 Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam sambil bersandar dinding. Seakan-akan ia telah menunaikan suatu tugas yang sangat berat. "Sukurlah, bahwa kakang Pikatan tidak menjadi marah" berkata Wiyatsih didalam hatinya "meskipun ia tidak menghiraukannya, tetapi setidak-tidaknya ia sudah mengetahui bahwa orang itu ada disekitar Sambi Sari. Wiyatsih berpaling kelika ia mendengar langkah ibunya mendekat dari Pringgitan. Sejenak ibunya memandang pintu bilik Pikatan yang sudah tertutup. Kemudian dengan isyarat dipanggilnya Wiyatsih mendekat. Ketika Wiyatsih sudah berdiri dihadapannya, maka gadis itupun kemudian dibimbingnya masuk kepringgitan dan duduk diatas sehelai tikar. Disudut pringgitan itu masih terdapat beberapa buah bumbung berisi potongan-petongan lidi sebagai peringatan atas piutang yang diberikan kepada orangorang Sambi Sari dimasa paceklik. Jika sebentar lagi mereka memetik hasil sawah, maka lidi-lidi itu harus dihitungnya seluruhnya. "Apakah kau bertengkar lagi dengani kakakmu Wiyatsih?" bertanya ibunya. Wiyatsih menggelengkan kepalanya. Jawabhya "Tidak ibu" "Tetapi aku merdengar kakakmu membantak-bentak lagi. "Tetapi kami tidak bertengkar" "Jadi apa yang kalian bicarakan?" Wiyatsih menjadi ragu-ragu sejenak. Jika ia memberitahukan kepada ibunya, maka ibunya akan menjadi sangat cemas. Tetapi ternyata ibunya bertanya pula "Siapakah yang kau sebut dengan hantu itu?"
797 Sejenak Wiyatsih tidak menjawab "Apakah orang itu mendendam Pikatan?" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya ia mengangguk "Begitulah agaknya" "Dan kau memberitahukan kepadanya?" Wiyatsih mengangguk sekali lagi. "Bagaimanakah tanggapannya?" "Seperti biasa ibu. Acuh tidak acuh dan membentak-bentak, Tetapi kali ini ia tidak marah-marah. Ia mau mendengarkan meskipun tidak seluruhnya. Namun dengan demikian ia sudah mengetahui bahwa seseorang sedang berkeliaran didaerah ini" Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut. Tiba-tiba saja hatinya telah dijalari oleh kecemasan. Ternyata banyak sekali orang yang mendendam terhadap Pikatan, sedang Pikatan sendiri seakan-akan tidak lagi berusaha untuk mempertahankan dirinya. "Ia adalah satu-satunya anak laki-lakiku" desah ibunya didalam hati Sejenak kemudian Wiyatsihpun segera meninggalkan ibunya yang untuk beberapa lamanya masih saja duduk termenung dipringgitan. Sekali-kali dipandanginya bumbungbumbungnya yang berisi potongan lidi. Bahkan kemudian ia bergumam kepada diri sendiri "Sekarang aku jadi tidak mengerti. Untuk apa sebenarnya aku mengumpulkan lidi-lidi ini" Anak-anakku sama sekali tidak mempedulikannya dan apalagi berusaha untuk melanjutkan kerja ini. Bahkan Wiyatsih telah membangun sebuah benudungan yang akan mengurangi usahaku untuk seterusnya" Dalam pada itu, Wiyatsih yang kemudian pergi kehalaman belakang, telah mengatakan apa yang sudah dilakukan. Seperti anggapan Wiyatsih sejndiri, maka Kiai Pucang Tunggalpun berkata "la akan merenungkannya. Tetapi yang
798 penting ia sudah mengetahuinya. Bagaimanapun juga ia akan berhati-hati. Jika ia sudah bertemu dengan Hantu itu seandainya Hantu itu menemukan tempat latihannya, maka Pikatan tentu akan bersikap lain" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. "Nah. Sudahlah Wiyatsih. Kaupun harus berhat-hati. Jika Hantu itu jemu menunggu Pikatan, mungkin ia akan mempergunakan cara lain. Mungkin ia akan memaksa Pikatan untuk keluar dengan mempergunakan kau sebagai umpan" Tiba-tiba terasa seluruh bulu-bulunya meremang. Diluar sadarnya Wiyatsih berkata "Mereka selalu memuji aku Kiai" "Nah" Purantilah yang menyahut "itu suatu pertanda" "Pertanda apa?" Puranti tersenyum, tetapi sambil menggeleng ia menjawab "Bukan apa-apa Wiyatsih" Ketika Wiyatsih melompat mendekatinya, Purantipun bergeser menjauh "Jangan" "Sudahlah" berkata Kiai Pucang Tunggal "sekarang kami terpaksa minta diri. Jika kami terlalu lama ada dihalaman ini maka ada kemungkinan orang lain mengetahuinya. Bukankah kedua penjaga regol itu sering pergi ke halaman ini jika mereka ingin. sekali-kali ajaklah mereka ikut berlatih bersamamu?" "Ya" jawab Wiyatsih "kadang-kadang aku memberi mereka beberapa latihan. Tetapi sebenarnya mereka telah memiliki dasar-dasar yang cukup. Sayang, mereka kurang mengembangkannya, sehingga apa yang mereka miliki itu sama sekali tidak menjadi bertambah sempurna" "Kau dapat memberi beberapa petunjuk kepada mereka" "Aku sudah mencoba"
799 "Baiklah. Mereka adalah orang-orang yang setia akan tanggung jawabnya. Jagalah baik-baik agar mereka. tidak lepas dari rumah ini. Jika mereka pada suatu saat dihinggapi iblis, maka mereka akan menjadi orang yang berbahaya juga. Tetapi pada dasarnya mereka adalah orang baik-baik" "Ya Mereka orang yang baik dan setia" sahut Wiyatsih Demikianlah maka sejenak kemudian Kiai Pucang Tunggal dan Purantipun minta diri. Mereka masih harus mengawasi setiap kemungkinan bahwa "Hantu Bertangan Api akan berusaha menjumpai Pikatan. Ketika mereka sudah berada diluar padukuhah, maka Kiai Pucang Tunggalpun berkata "Setidak-tidaknya Pikatan dapat mengambil sikap. Jika ia masih ingin tetap hidup, maka ia pasti akan berusaha membela dirinya. Tetapi jika ia akan membunuh diri seperti yang pernah dilakukan, maka itu adalah keputusannya" "Tetapi...." tiba-tiba Puranti memotong. Namun ia tidak melanjutkan kata-katanya. "Kenapa Puranti" Puranti menundukkan kepalannya. Tetapi ia berdesis "Apakah kita akan membiarkan Pikatan terbunuh oleh Hantu Bertangan Api?" "Jika itu sudah keputusannya" "Tetapi apakah dengan demikian kita tidak dapat mencegahnya?" Kiai Pucang Tunggal mengerutkan keningnya. "Ayah" berkata Puranti "aku sama sekali tidak menghiraukan kematian Pikatan. Tetapi bukankah dengan demikian kematian kakang Pikatan akan menodai perguruan ayah" Murid Kiai Pucang Tunggal ternyata tidak mampu
800 melawan Hantu Bertangan Api. Dan itu adalah suatu penghinaan bagi perguruan ayah" Kiai Pucang Tunggal mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir saja ia tidak dapat menahan senyumnya. Sebagai seorang tua ia dapat mengerti perasaan anaknya yang sebenarnya. Tetapi agar Puranti tidak tersinggung maka iapun menjawab "Ya Puranti. Sudah tentu aku tidak akan merelakan nama perguruan Pucang Tunggal tercemar. Tetapi kitapun harus berhati-hati bersikap terhadap Pikatan yang sedang mengalami goncangan perasaan itu. Ia akan dengan mudah tersinggung dan berbuat diluar dugaan" Puranti tidak menjawab. Tetapi kepalanya teranggukangguk kecil. Namun tiba-tiba saja setelah terdiam beberapa lamanya, Puranti bertanya "Ayah, apakah ayah akan memberitahukan cara yang pernah ayah katakan?" "Cara untuk apa Puranti?" "Ah" Puranti berdesah "bukankah ayah pernah mengatakan bahwa ayah mempunyai cara yang baik untuk menyembuhkan kakang Pikatan" "O, tentu, aku akan memberitahukan pada waktunya, caracara itu selengkapnya" "Kenapa tidak segera. Jika kakang Pikatan menjadi baik sebelum Hantu itu bertindak lebih jauh, maka keadaannya akan lebih baik. Mungkin, kita tidak usah mencemaskannya lagi dan tidak perlu setiap kali mengntainya berlatih" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Seolaholah ia ingin menghirup udara malam yang sejuk itu sebanyakbanyaknya. "Bukanlah lebih cepat lebih baik ayah" desak Puranti.
801 "Tetapi tidak dengan segera Puranti. Aku memerlukan waktu, justru karena pertentangan antara Pikatan dan Hantu itu. Namun sekali lagi aku katakan, aku sedang berusaha. Apakah usahaku berhasil, itu masih harus kita tunggu kenyataan yang akan terjadi" Puranti tidak dapat memaksanya lagi Perasaannya sebagai seorang gadis telah menahannya. Bagaimanapun juga ia tidak akan sampai hati untuk dengan berterus-terang menyatakan kecemasannya tentang seorang anak muda, bagaimanapun juga ia menahannya didalam hati. Seperti biasanya, malam itu Kiai Pucang Tunggal mengikuti Puranti pergi ketempat yang biasa dipergunakahnya untuk menempa diri. Seperti biasanya, selama Kiai Pucang Tunggal menunggui anak gadisnya, iapun memberikan beberapa bimbingan terakhir untuk menyempurnakan ilmu yang memang sudah hampir sampai ke puncaknya itu. Tetapi malam itu mereka tidak melakukan terlalu lama, karena, malam sudah menjadi semakin larut. Ditengah malam mereka pergi ketempat Pikatan berlatih untuk mengawasi apakah terjadi sesuatu atasnya. "Akhirnya aku menjadi jemu" berkata Puranti. Kiai Pucang Tunggal memandang Puranti dengan sorot mata yang terasa menggelitik hati, sehingga Puranti menegaskan "Aku sudah benar-benar menjadi jemu ayah. Sampai kapan kita harus mengawasimya seperti mengawasi anak-anak yang bermain-main dipinggir sumur" Kiai Pucang Tunggal tidak segera menjawab. Dibiarkannya Puranti menyatakan perasaannya yang diketahuinya, tidak seluruhnya melonjak dari nuraninya. Tetapi yang dikatakannya itu adalah ungkapan dari perasaan yang pernah dikatakannya, bahwa sebenarnya Puranti mencintai Pikatan, tetapi sekaligus membencinya.
802 Karena Kiai Pucang Tunggal tidak menyahut, maka Puranti berkata lebih lanjut "Karena itu, silahkanlah ayah melihat permainan yang sudah berpuluh kali saya lihat" "Lalu, kau akan kemana?" "Tidak kemana-mana. Tetapi aku akan tidur" Kiai Pucang Tunggal hanya dapat menarik nafas panjang. Ia tidak dapat mencegahnya. Sejak kanak-kanak Puranti kadang-kadang menunjukkan sifatnya yang kaku. Bahkan kadang-kadang sukar dimengerti orang lain. Karena itu, maka jawabnya "Baiklah Puranti Tetapi jika terjadi sesuatu, aku akan membangunkanmu" Puranti tidak menyahut. Iapun kemudian pergi berlindung dibalik sebuah gemmbul, sedang ayahnya duduk dibalik tanggul menunggu kedatangan Pikatan. Namun demikian Kiai Pucang Tunggal tidak meninggalkan kewaspadaan sama sekali. Sejenak kemudian, maka Kiai Pucang Tunggalpun menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya Pikatan seperti biasanya datang dari arah yang tetap. Seperti biasanya pula Pikatanpun mulai berlatih mematangkan ilmunya. Mempertinggi kecepatan bergerak dan memperkuat tenaga cadangan yang dapat dipergunakannya. Sambil mengawasi Pikatan yang sedang berlatih itu, Kiai Pucang Tunggal mencoba menganyam cara yang sebaikbaiknya yang dapat dilakukan. Ia tidak boleh menyinggung perasaan Pikatan tetapi juga Puranti. Dan ia harus berusaha mengakhiri petualangan Hantu Bertangan Api itu. Tetapi Kiai Pucang Tunggal harus selalu menunggui apa yang selanjutnya akan terjadi. Jika Hantu Bertangan Api datang bersama gurunya, maka ia tidak boleh lengah sama sekali. Dan jika guru Hantu itu ikut campur, maka mau tidak mau iapun harus ikut campur pula.
803 Demikianlah yang terjadi dibeberapa malam berikutnya. Puranti lebih senang tidur daripada menunggui Pikatan berlatih, meskipun Kiai Pucang Tunggal tahu bahwa sebenarnya Purantipun tidak dapat tidur nyenyak seperti yang dikatakannya. Bahkan kadang-kadang Purantipun kemudian bangkit dan merayap mendekati ayahnya yang sedang memperhatikan latihan Pikatan dengan saksama. "Puranti" berkata ayahnya pada suatu saat kepada anak gadisnya "sebelum Pikatan benar-benar bertemu dengan Hantu itu, aku harus mendapat gambaran bahwa Pikatan tidak akan menjadi korban karenanya. Atau setidak-tidaknya, bahwa Pikatan mampu bertahan dan menyelamatkan dirinya" "Apa yang akan ayah lakukan?" "Sekedar menjajagi kemampuan Hantu itu" "Bagaimana mungkin?" "Aku akan memancing persoalan" "Itu tidak adil. Jika ayah akan membuat perhitungan, sebaiknya ayah mencari gurunya dan aku akan menyelesaikan Hantu itu" "Bukan begitu Puranti" jawab ayahnya "aku tidak akan menyelesaikan masalah ini. Dengan demikian aku akan menyinggung perasaan guru Hantu itu dan tentu akan menyinggung perasaan Pikatan pula" "Jadi?" "Sekedar meyakinkan" "Tetapi apa salahnya jika aku menjumpai hantu itu dan membuat perhitungan jika ia memang mendendamku?" "Bukan kau Puranti. Aku masih mencoba untuk melaksanakan rencanaku agar Pikatan, terbangun dari mimpi
804 buruknya selama ini. Tetapi aku mencoba pula untuk berhatihati agar Pikatan tidak justru binasa karenanya" Puranti tampaknya acuh tidak acuh mendengarkan keterangan ayahnya itu, meskipun sebenarnya hatinya bergolak. Setiap kali ayahnya menyebut nama Pikatan, terasa desir yang lembut menyentuh pusat jantungnya. Dalam pada itu, langit yang selalu dibayangi oleh mendungpun, menjadi semakin cerah. Musim basah perlahanlahan mulai berlalu. Dan padi disawahpun mulai manguning. Dalam cahaya matahari pagi, sawah yang luas itu bagaikan lautan yang airnya berwarna emas. Dalam hembusan angin yang lembut, gelombang yang halus mengalir dari ujung bulak sampai keujung bulak lainnya. Untuk beberapa hari lamanya, anak-anak Sambi Sari tidak berbuat sesuatu untuk bendungan yang sedang mereka persiapkan karena mereka sibuk dengan sawah mereka yang hampir menuai. Anak-anak gadis sibuk menunggu burung disawah, sedang anak laki-laki mulai bekerja keras memperbaiki lumbung mereka yang selama paceklik telah kosong dan hampir tidak pernah dipergunakan. Namun setiap kali dada mereka berdesir. Berapa bagian dari panenan mereka yang sempat masuk kedalam lumbung" Sebagian dari basil panenan mereka akan langsung diambil oleh orang-orang yang memberikan hutang kepada mereka selama paceklik. Sebagian lagi harus disisihkan untuk upacara yang meriah seperti yang selalu mereka adakan setelah panen. meskipun hanya sekali setahun. Bahkan kegembiraan mereka kadang-kadang sangat berlebih-lebihan tanpa mengingat kemampuan dan sisa padi yang ada dilumbung. "Tahun ini kita tidak akan tenggelam dalam kegembiraan yang berlebih-lebihan selama tiga atau empat hari, dan seterusnya kita harus kelaparan dan kembali tenggelam dalam hutang" berkata Kesambi kepada kawan-kawannya.
805 "Ya, kita harus meyakinkan orang tua kita bahwa perayaan yang berlebih-lebihan itu sama sekali tidak berarti. Makan, minum dan segala macam hidangan yang tidak ada artinya bagi kesejahteraan padukuhau kita" jawab yang lain. Dan yang lain lagi berkata "Tentu kita tidak akan mengulangi kesalahan yang pernah kita lakukan bersama. Makan minum dihari-hari setelah panen adalah lambang kelaparan dihari-hari berikutnya" Dalam kesibukan itu, anak-anak muda di Sambi Sari mulai berusaha untuk menyusun bentuk kehidupan baru di padukuhan mereka dengan melepaskan diri dari kebiasaankebiasaan yang tidak berarti. Mereka mencoba mulai dari keluarga masing-masing, sehingga persiapan yang dilakukan untuk menyambut masa panenan itupun mulai nampak perbedaannya. "Ayah tidak usah bersusah payah menyediakan apapun untuk merti desa. Kita selenggarakan sesuai dengani apa yang ada pada kita. Sudah tentu kita harus mengingat hari-hari mendatang" berkata-salah seorang dari mereka kepada ayahnya. "Mana mungkin" jawab ayahnya "kita akan diejek oleh tetangga sebelah. Mereka akan datang kebanjar dengan sebuah jodang. Sepasang ingkung ayam yang besar dan tumpeng yang putih. Telur lembaran dan jajan pasar" Tetapi anaknya menggelengkan kepalanya "Tidak ayah. Merekapun tidak akan membawa jodang dengan sepasang ingkung ayam. Mereka akan membawa sebuah anak kecil dengan tumpeng megana. Sayur-sayuran yang hijau dan kecambah. Tidak ada yang lain" "Darimana kau tahu?" "Kami sudah sepakat, bahwa kami akan berusaha menyederhanakan. suasana yang terlampau berlebih-lebihan melampaui kemampuan kita"
806 "Tetapi, tentu ada yang tidak sependapat" "Biarlah orang-orang kaya membawa apa saja yang dapat mereka bawa. Itu adalah cara mereka memancing kemelaratan kita agar dimasa paceklik, bahkan sebelum musim kemarau menjadi sangat kering, kita sudah mulai datang kepada mereka dan minta diberi pinjaman dengan bunga yang tinggi. Biarlah mereka bangga dengan kekayaan mereka, dan kita bangga bahwa kita sudah dapat mangalahkan nafsu bersaing yang sama sekali diluar nalar. Dan kelak jika bendungan itu sudah jadi, mudah-mudahan nasib kita akan berubah. Tetapi bahwa kita wajib berusaha dan itu telah kita lakukan" Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi rasarasa masih belum mapan apabila ia tidak membawa sepasang ingkung ayam. "Apakah kata orang, jika kita sudah mulai dengan menyederhanakan upacara merti desa itu, tetapi yang lain belum?" "Kita akan mentertawakan mereka bahwa mereka telah dicengkam oleh ketamakan yang tidak tersembuhkan. Seperti mereka mentertawakan kita, kitapun akan berbuat ganda, karena dimasa paceklik kita masih mempunyai persediaan meskipun hanya sedikit" Ayahnya mengangguk-angguk pula. Katanya dengan suara yang dalam tertahan "Baiklah. Kita akan mencoba. Tetapi aku akan tetap membeli dua ekor ayam jantan. Jika perlu ayam itu akan dipotong" "Jika tidak, ayam itu dapat ditukar dengan ayam betina. Kita akan mendapatkan telurnya dan anak-anaknya yang menetas dari telur itu ayah. Bukankah itu lebih baik daripada kita makan daging kedua ekor ayam itu sekaligus" Jika kelak ayam itu menjadi banyak kita akan dapat membuat ingkung bukan hanya sepasang apabila perlu"
807 Ayahnya masih mengangguk-angguk, meskipun masih ada sesuatu yang terasa bergejolak didalam dadanya. Namun dalam pada itu, selagi anak-anak muda Sambi Sari sibuk dengan keluarga masing-masing untuk mencegah pemborosan yang tidak berarti itu, yang hanya sekedar memberikan kebanggaan sesaat, maka Wiyatsih menjadi cemas bahwa ia merasa selalu dibayangi oleh orang yang menyebut dirinya Hantu Bertangan Api. Setiap kali hantu itu menjumpainya dan berbicara sepatah dua patah kata tanpa arti. "Apakah Pikatan tidak ingin bertemu dengan kami?" bertanya Hantu Bertangan Api itu. Tetapi Wiyatsih masih tetap bersikap seakan-akan ia belum mengetahui dengan pasti, siapakah yang sedang dihadapinya itu. Karena itu, maka ia sama sekali tidak mengatakan tentang tanggapan Pikatan yang sebenarnya. "Mungkin ia sudah mengerti bahwa kamilah yang datang. Dengan demikian maka ia justru bersembunyi semakin dalam didalam biiiknya" "Bukan saja didalam biliknya" sahut yang lain "tetapi dibawah kolong pembaringannya" Hampir saja Wiyatsih kehilangan kesabaran. Namun ia masih tetap berusaha untuk tidak berbuat sesuatu. "Tetapi kami tetap sabar menunggu, Wiyatsih" berkata hantu itu "dengan demikian akan ada alasan bagi kami untuk selalu menjumpaimu" Terasa seluruh permukaan kulit Wiyatsih meremang. Dan kawan hantu itu berkata pula "Kau bertambah cantik, Wiyatsih" Wajah Wiyatsih menjadi merah oleh marah dan malu. Tetapi ia masih tetap berdiam diri.
808 "Baiklah Wiyatsih" berkata hantu itu "sebentar lagi kalian akan merayakan hari-hari merti desa. Kalian akan mengucapkan terima kasih kepada Dewi Sri, Dewi Padi, bahwa panenan kalian kali ini berhasil baik. Aku tidak akan mengganggu upacara itu. Bahkan aku akan ikut menyaksikan apa saja yang kalian lakukan disini pada hari-hari itu, setelah kalian memetik hasil sawah kalian dan memasukkannya kedalam lumbung" Wiyatsih sama sekali tidak menjawab. "Kau menjadi semakin garang tampaknya" berkata hantu itu sambil tersenyum. Namun senyumnya bagi Wiyatsih benarbenar bagaikan senyum hantu yang melihat onggokan tanah pekuburan yang masih baru. "Kita akan bertemu lagi" berkata hantu itu sambil meninggalkan Wiyatsih yang termangu-mangu di pematang. Dirumah, ibu Wiyatsih menjadi semakin sibuk dengan lidilidinya. Tanjung masih saja dengan setia datang kerumah ibu Wiyatsih meskipun didalam hatinya mulai ditumbuhi oleh berbagai macam perasaan. Ia tidak dapat menutup kenyataan bahwa anak-anak muda Sambi Sari telah berbuat jauh lebih bermanfaat dari yang dilakukannya. Meskipun demikian, ia masih juga mencoba membela sikapnya "Tetapi mereka tidak akan mendapat manfaat sama sekali bagi diri mereka masingmasing. Jika kemudian air mengalir, maka mereka harus menunggu untuk waktu yang lama dan perlahan-lahan. Karena panen yang akan datangpun tidak akan segera membuat mereka kaya. Sedang yang aku lakukan adalah suatu kerja yang langsung dapat memberikan sesuatu bagiku sekarang tanpa menunggu satu dua musim lagi" Demikianlah maka Sambi Sari tampaknya menjadi semakin sibuk menjelang masa panen. Meskipun sebagian terbesar orang-orang Sambi Sari sependapat dengan anak-anak mereka, namun masih ada juga orang yang ingin memamerkan kekayaannya dalam upacara di banjar setelah
809 panenan. Mereka tidak peduli kemelaratan yang mencengkam sebagian besar dari rakyat Sambi Sari. Bahkan dengan bangga mereka menyediakan tidak hanya sebuah jodang. Tetapi tiga buah dan bahkan lebih. Dalam kesibukan itulah Hantu bertangani api berkeliaran didaerah Sambi Sari. Ada juga niatnya menunggu sampai upacara merti desa. la ingin juga melihat, apa saja yang akan dilakukan oleh orang Sambi Sari. Dan apa saja yang akam dilakukan oleh Pikatan yang terasing itu. Hampir setiap malam menjelang hari-hari yang ditunggunya, Hantu Bertangan Api itu masih saja berkeliaran. Kadang-kadang mereka duduk diantara brunjung-brunjung yang ditimbun dipinggir sungai. Kadang-kadang di tengahtengah bulak. Tetapi mereka sama sekali tidak mengganggu orang-orang lain. Mereka agaknya masih cukup sabar menunggu Pikatan. Sebelum mereka berbuat sesuatu atas Pikatan agaknya mereka masih belum berbuat apapun terhadap orang-orang Sambi Sari. Jika mereka membutuhkan sesuatu bagi kepentingan makan dan pakaian mereka, mereka pergi ketempat-tempat yang agak jauh dan mengambil menurut kebutuhan mereka. Ternyata bahwa Hantu Bertangan Api itu berusaha untuk tidak menimbulkan keonaran mendahuluii rencana yang dibuatnya untuk Pikatan. Tetapi ketika pada suatu malam Hantu Bertangan Api bersama seorang kawannya berjalan melalui bulak panjang Sambi Sari, mereka terkejut melihat seorang yang duduk dipematang. Menilik pakaiannya orang itu tentu bukan seorang petani yang sedang menunggu air diparit, Karena itu maka Hantu Bertangan Api itupun berhenti sejenak beberapa langkah dihadapan orang itu. Dengan nada datar maka iapun menyapanya "Ki Sanak, apakah Ki Sanak orang Sambi Sari?" Orang itu mengangkat wajahnya. Wajah itu ternyata tampak menyeramkan. Kumis seperti ijuk yang melintang
810 sampai kepipi, alis yang hitam lebat dan rambut yang terurai, dibawah ikat kepala yang hanya sekedar dibelitkan didahi. Hantu Bertangan Api mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian tersenyum. Katanya "Wajahnya seperti wajah genderuwo" Wajah yang dikatakan seperti wajah genderuwo itu menjadi tegang. Perlahan-lahan ia berdiri dan memandang Hantu Bertangan Api dengan tajamnya. "Siapa kau?" suaranya menggelegar. Hantu Bertangan Api masih tersenyum. Dipandanginya orang itu dari ujung kaki sampai keujung kepalanya. Katanya "Apakah kau tidak kedinginan" Orang itu tidak menjawab. Bahkan iapun ikut mengamati dirinya sendiri. Kemudian diusapnya dadanya yang telanjang dengan tangannya yang mengenakan gelang akar waringin sungsang yang sudah menjadi sehitam besi. Dilehernya membelit sebuah kalung serat yang digantungi dengan berbagai macam benda. Gigi harimau, sepotong tanduk rusa. Taring ikan hiu dan duri ular hijau dari laut Selatan. "Siapa kau?" sekali orang itu bertanya. "Akulah yang bertanya lebih dahulu" sahut Hantu Bertangan Api. Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya " Kau belum mengenal aku" Apakah kau bukan orang daerah Selatan ini?" Hantu itu menggeleng, jawabnya "Aku datang dari sebelah Timur Gunung Merapi" "O" namun kemudian "orang-orang disebelah Timur Gunung Merapipun tahu tentang aku" "Siapa kau?" "Akulah yang disebut Hantu bertangan sepuluh"
811 "He?" Hantu Bertangan Api terkejut. Bukan karena ia pernah mendengar nama itu. Tetapi nama itu mirip sekali dengan nama yang dipakainya. Nama yang selama ini menjadi hantu yang tiada terlawan meskipun untuk beberapa saat lamanya nama itu telah hilang dari pembicaraan, karena selama itu Hantu Bertangan Api sedang menempa diri karena dendamnya yang tiada tertanggungkan. Tiba-tiba saja kini ia bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Hantu Bertangan Sepuluh. "Kenapa kau terkejut?"bertanya orang berkumis lebat itu. Tetapi Hantu Bertangan Api itupun kemudian tersenyum. Katanya "Namamu bagus sekali. Apakah kau masih ada hubungan keluarga dengan Hantu Bertangan Api?" "Huh" orang itu berdesah "hantu itu telah mati. Akulah yang membunuh mereka kakak beradik" Hantu Bertangan Api masih tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia bertanya pula "Apakah kau membunuh kakak beradik itu seorang diri?" "Ya. Aku membunuhnya seorang diri. Baru setelah mereka mati terbunuh aku menyebut diriku Hantu bertangan sepuluh" "Dahsyat sekali" desis Hantu Bertangan Api "sebelum itu siapakah namamu?" "Hantu bertangan lima" Hantu Bertangan Api mengerutkan keningnya. Ia mulai curiga dengan jawaban-jawaban itu. Namun demikian ia bertanya pula "Apakah pada saat itu Hantu Bertangan Api kakak beradik itu tidak berada diantara anak buahnya?" "O" orang yang menyebut dirinya Hantu bertangan sepuluh itu termenung sejenak. Namun kemudian jawabnya "Tidak. Hantu Bertangan Api tidak mempunyai anak buah seorangpun. Mereka hanya berdua saja. Dan aku telah membunuh mereka.
812 Bukankah sekarang tidak ada lagi orang yang mendengar nama Hantu Bertangan Api itu" Hantu Bertangan Api tidak dapat menahan tertawanya Katanya "Kau adalah pembual yang paling pandai. He, siapakah kau sebenarnya" Jangan menyebut namamu dengan nama yang tidak pantas kau pergunakan" "Kenapa?" orang itu menjadi marah. Dan iapun bertanya "Siapa kau" Aku sudah menyebut namaku. Sekarang katakan siapa kau?" Hantu Bertangan Api ragu-ragu sejenak. Ia tidak ingin menyebut namanya meskipun ia menduga bahwa Pikatan pasti sudah mengetahui bahwa ialah yang datang mencarinya. Namun kepada genderuwo itu ia menjawab "Namaku Saepa" "Saepa?" orang yang disebut seperti gendruwo dan menyebut dirinya bernama Hantu Bertangan Sepuluh itu mengerutkan keningnya. Katanya "Nama yang jelek, tetapi pantas bagimu. Sekarang kau mau apa?" Hantu Bertangan Api menggelengkan kepalanya. Katanya Tidak apa-apa. Aku sedang berjalan-jalan" "Berjalan-jalan dimalam hari begini?" "Aku menyelusuri parit. Air masih cukup meskipun hujan sudah jauh berkurang" "Air" Menjelang menuai kau memerlukan air?" "Tidak, aku tidak mengatakan bahwa aku memerlukan air" "Gila, kau gila. Siapa kawanmu itu?" "Namanya Sura" sebut Hantu Bertangan Api. Orang itu mengangguk-angguk "Supa dan Sura" desisnya, lalu "Seperti nama-nama empu terkenal. Tetapi kalian tidak pantas mempergunakan nama itu. "Namaku Saepa, bukan Supa"
813 "O, ya Saepa, itu lebih jelek lagi. Tepat seperti kataku. Nama yang jelek tetapi pantas bagi orang yang jelek pula" "He, kenapa kau berkata begitu" Apakah kau memang ingin mencari perkara?" Orang yang menyebut dirinya bernama Hantu Bertangan Sepuluh itu tertawa. Jawabnya "Kau mau apa, he orang-orang jelek. Tampaknya kau bukan orang yang membawa uang cukup atau perhiasan apapun. Jika kalian membawanya, apakah kalian mau menyerahkannya kepadaku" Jika tidak, maka sebaiknya aku membuang sial dengan memukul kalian berdua setengah mati dan meninggalkan kalian pingsan disini" Belum lagi mulut orang itu terkatub rapat, Hantu bertangan api itu tidak dapat menahan tertawanya. Sambil melangkah mendekat ia berkata "Kau memang baik hati Ki Sanak. Kau bersedia memukuli aku jika aku tidak membawa barangbarang berharga. Baiklah, aku memang tidak membawa apapun juga. Jika kau ingin memukuli aku, segera Jakukan, mumpung masih belum terlalu malam" Orang yang berwajah genderuwo itu menjadi heran. Katanya "He, kau tidak takut kepadaku, kepada Hantu bertangan sepuluh?" "Aku senang bertemu dengan kau. Aku sudah lama tidak dipukuli orang sehingga badanku merasa sangat letih. Jika kau ingin membantu membuat badanku sedikit segar, nah lakukanlah" Orang yang menyebut dirinya Hantu Bertangan Sepuluh itu menggeram. Tiba-tiba saja suaranya menghentak "Siapa kau he" Siapa" Tentu bukan tidak beralasan kau menantangku. Ada dua kemungkinan. Kau benar-benar belum pernah mendengar namaku, atau kau merasa dirimu tidak terkalahkan oleh siapapun juga"
814 "Kedua-duanya" jawab Hantu Bertangan Api "aku memang belum pernah mendengar namamu, dan aku memang tidak akan terkalahkan, apalagi sekarang" "Persetan" geram orang yang bernama Hantu Bertangan Sepuluh itu "kau akan menyesal. Nah, bersiaplah. Kita berkelahi, kau berdua, aku seorang diri" "Jangan terlalu sombong" Hantu Bertangan Api tertawa "kau benar-benar seorang yang sangat dungu. Tetapi apakah sebenarnya pekerjaanmu disini" " "Pertanyaan yang bodoh sekali" "Aku mengerti. Tetapi bukankah kau yang lebih bodoh lagi" Jika kau ingin merampok saat ini, rakyat Sambi Sari masih belum mengumpulkan uang dan hasil sawahnya. Kenapa tidak sebentar lagi setelah panen dan setelah mereka menjual sebabagian dari hasil panenan" "O, kaulah yang paling bodoh diantara kita. Kau sangka bahwa para petani Sambi Sari masih dapat menjual hasil panenan mereka" Semuanya sudah ada ditangan orang-orang kaya yang meminjamkan uang dimasa paceklik. Nah aku tidak akan datang kepada orang-orang miskin seperti perampokperampok kecil dan pencuri ayam. Aku akan datang kerumahrumah orang kaya. Diseluruih Sambi Sari ada tujuh atau delapan orang kaya. Kemudian ada dua puluh tiga orang yang memiiiki kekayaan sedang. Jika masih kurang masih ada orang yang meskipun tidak kaya tetapi menyimpan barang-barang berharga" "He, kau tahu tepat jumlah itu?" Hantu bertangan sepuluhlah yang kemudian tertawa. Katanya "Nah, apa katamu sekarang" Apakah kau juga perampok seperti aku" Aku yakin kau bukan orang Sambi Sari" "Aku orang Sambi Sari"
815 "Jika begitu aku harus membunuhmu, supaya rencanaku tidak diketahui orang" "Akulah yang ingin menangkapmu. Kau adalah permainan yang mengasyikkan" "Gila" wajah orang yang menyebut dirinya Hantu Bertangan Sepuluh itu menjadi tegang. "Nah, acungkan kedua tanganmu dan aku akan mengikatmu dan membawamu ke Kademangan" "Gila. Aku bunuh kau" Hantu Bertangan Api tertawa. Tetapi suara tertawanya terputus ketika tangan orang berwajah menyeramkan itu terayun kewajahnya. Hampir saja tangan, itu mengenai mulutnya yang sedang tertawa. Tetapi Hantu Bertangan Api sempat berpaling dan tangan itu sama sekali tidak menyentuhnya. Tetapi sebagai seorang yang merasa dirinya tidak terkalahkan, maka tamparan itu benar-benar telah meneguncang dadanya. Tiba-tiba saja kemarahannya hampir meledak. Katanya "Kau benar-benar tidak tahu diri genderuwo gila. Apakah kau mau mati, he?" "Genderuwo tidak dapat mati" "Aku dapat membunuhmu. Kau tidak lebih seekor cucurut buatku" Sekai lagi tangan Hantu Bertangan Sepuluh terayun. Tetapi sekali lagi tangan itu tidak mengenai sasaran. Bahkan hal itu telah membuat Hantu Bertangan Api semakin marah dan iapun telah mengayunkan tangannya pula menyerang kening Hantu bertangan sepuluh. Tetapi ternyata lawannya yang berwajah genderuwo itupun sama sekali tidak menyentuhnya.
816 Betapa marahnya Hantu Bertangan Api, yang merasa dirinya Sudan sempurna, masih juga tidak dapat mengenai sasarannya yang hanya seorang yang menyebut dirinya Hantu Bertangan Sepuluh dan berwajah mirip genderuwo. Karena itu, maka iapun kemudian menggeram sambil berkata "Kau benar-benar akan menyesal genderuwo buruk" Hantu Bertangan Api terkejut pula ketika tiba-tiba saja lawannya itu telah menyerangnya. Serangannya benar-benar berbahaya, sehingga karena itu iapun harus segera menghindarinya. Namun hal itu merupakan peringatan baginya bahwa ia mendapat seorang lawan yang tidak dapat dianggap tanpa arti. Demikianlah keduanya kemudian terlibat dalam suatu perkelahian yang seru. Namun sejenak kemudian Hantu Bertangan Api itupun segera mengetahui, bahwa lawannya bukanlah seseorang yang memiliki kelebihan tertentu. Ia adalah seorang yang memiiiki pengalaman yang cukup, tetapi tata geraknya sama sekali sidak berdasar, sehingga dalam waktu yang singkat ia pasti akan segera kehabisan tenaga. "Aku ingin tahu, siapakah sebenarnya orang ini" berkata Hantu Bertangan Api didalam hatinya. Namun meskipun demikian, selagi lawannya itu masih memiliki tenaga sepenuhnya, maka serangan-serangannya yang kasar itu benar-benar berbahaya baginya. Karena itu, maka Hantu Bertangan Apipun harus bertempur bersungguhsungguh. Disaat-saat permulaan Hantu Bertangan Sepuluh tampaknya memang berhasil mendesak Hantu Bertangan Api, sehingga Hantu Bertangan Api itu kadang-kadang harus mengumpat. Bahkan lambat laun ia kehilangan pengendalian diri, karena kadang-kadang serangan lawannya itu berhasil menyentuh tubuhnya. "Orang yang tidak tahu diri ini memang harus dibunuh"
817 Demikianah keduanya segera bertempur sepenubnya sehingga perkelahian itupun menjadi bertambah sengit. Tetapi bagaimanapun juga Hantu Bertangan Api mengerahkan kemampuannya, ia tidak segera dapat mengalahkan lawannya yang bertempur tanpa dasar tata gerak yang teratur itu. Ia seakan-akan, licin seperti belut dan tubuhnya tidak dapat disentuh oleh tangannya. Namun seperti yang diperhitungkannya, maka sejenak kemudian orang berwajah genderuwo itupun menjadi semakin lelah. Sambil menyerang ia sempat mengumpat "Anak setan. Kau benar-benar anak setan dan hantu jadi-jadian. Aku tidak pemah berkelahi sekian lamanya tanpa membunuh lawan" Hantu Bertangan Api tidak menjawab. Ialah yang kemudian menyerang dengan segenap kemampuan yang ada padanya, sehingga Hantu Bertangan Sepuluh itu menjadi semakin terdesak dan berloncatan surut. "Gila. Kau benar-benar hantu" desis orang yang berwajah genderuwo itu. Hantu Bertangan Api tidak menghiraukan. Serangannya justi menjadi semakin garang Bahkan kemudian sekali-sekali ia berhasil menyentuh tubuh lawannya sehingga setiap kali ia mendengar lawannya mengaduh. "Tanganmu seperti api" geram Hantu Bertangan Sepuluh. Lawannya tidak menjawab. Tetapi serangannya menjadi semakin dahsyat. Bahkan Hantu Bertangan Api itupun kemudian berteriak kepada kawannya yang menyaksikan perkelahian itu "Jagalah, jangan biarkan, orang ini lari. Aku ingin menangkapnya hidup-hidup dan mengikatnya ditengahtengah halaman Kademangan malam nanti. Biarlah orangorang Sambi Sari menghukum picis" "Jangan" orang itu menyahut sambil melangkah surut.
818 "Jangan lari" "Jangan tangkap aku" Hantu bertangan Api berteriak sekali lagi kepada kawannya "Cepat. Tahan orang ini" Kawannyapun segera berlari melingkar untuk mencegah orang yang menyebut dirinya Hantu Bertangan Sepuluh itu lari. Tetapi ternyata bahwa Hantu Bertangan Sepuluh itu masih sempat meloncati parit dan berlari menyusur pematang. "Jangan lari" teriak Hantu Bertangan Api. Tetapi lawannya sama sekali tidak menghiraukannya. la berlari semakin cepat. Namun Hantu Bertangan Api dan kawannya tidak melepaskannya. Mereka mengejar terus. Dengan demikian keduanyapun segera bekejar-kejaran. Kawan Hantu Bertangan Api itupun ikut mengejarnya pula, tetapi jaraknya justru semakin lama menjadi semakin jauh. "Pengecut" teriak Hantu Bertangan Api. Tetapi yang dikejar itu sama sekali tidak menghiraukan. Bahkan ia berlari semakin cepat dan melampaui kecepatan langkah Hantu Bertangan Api. Hantu Bertangan Api mempecepat langkahnya pula, ia tidak mau kehilangan lawannya itu. Tetapi kemampuannyapun terbatas. Meskipun ia telah menempa diri dan meningkatkan kecepatan gerak anggauta badannya, namun ia tidak berhasil meinyusul lawannya yang menyebut dirinya Hantu Bertangan Sepuluh. "Gila" ia menggeram sambil bertolak pinggang ketika ia tidak lagi dapat mengingkari kenyataan bahwa orang yang dikejarnya itu tidak akan dapat ditangkapnya. Sejenak kemudian barulah kawannya menyusulnya. Nafasnya tersengal-sengal sampai keujung hidungnya.
819 "Orang itu dapat berlari seperti angin" desisnya disela-sela arus nafasnya. Hantu Bertangan Api masih berdiri tegak. Wajahnya benarbenar tegang dan matanya bagaikan menyala. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa didaerah yang sepi dan kering ini akan menjumpai seseorang yang memiliki kemampuan yang demikian tinggi meskipun tanpa dasar ilmu olah kanuragan yang baik. Tetapi mustahil bahwa ia tidak pernah mempelajari. Mungkin ilmu itu disadapnya dari orang yang aneh atau ilmu yang memang pada dasarnya bersumber pada tata gerak yang kasar dan kegila-gilaan. "Belum lagi aku bertemu dengan Pikatan, aku sudah harus bertempur dengan Hantu gila itu" desis Hantu Bertangan Api. "Orang itu memang aneh" berkata kawannya. "Aku tidak dapat mengejarnya. Tetapi jika aku sanggup menahannya beberapa saat lagi, ia pasti akan terkapar kehabisan nafas" "Ya" sahut kawannya "ia hampir kehabisan nafas. Tetapi ia masih sempat berlari cepat sekali" "Barangkali sekarang ia sedang berbaring pingsan setelah mengerahkan sisa kekuatannya untuk melarikan diri. Ternyata bahwa perasaan takut yang sangat, telah mendorongnya untuk melarikan diri dengan kekuatan terakhirnya" "Apakah kita akan mencarinya?" "Dapat kita coba" Keduanyapun kemudian berjalan perlahan-lahan sambil mencoba mengikuti jejak orang yang dikejarnya. Beberapa saat Hantu Bertangan Api masih berhasil mengikuti bekas kaki diatas rerumputan meskipun dalam kegelapan malam. Tetapi Kemudian jejak itu seakan-akan hilang begitu saja ketika mereka sampai kesebuah pereng yang terjal dan berbatu padas.
820 "Ia turun ke pereng ini" desis Hantu Bertangan Api. "Turun atau jatuh terguling" Bukankah dibawah pereng ini terdapat Kali Kuning?" "Ya" "Apakah kita akan melihat kebawah?" Hantu Bertangan Api mengerutkan keningnya sejenak, lalu "Baiklah. Kita akan melihat dibawah. Mungkin ia pingsan atau ia tidak lagi dapat menahan haus" Keduanyapun kemudian mencoba menuruni tebing yang terjal itu, sehingga akhirnya dengan susah payah merekapun kemudian berdiri ditepian, diatas pasir dan bebatuan yang berserakan. Tetapi mereka tidak melihat seseorang, jejak kakipun tidak. "Ia tidak turun. Jika ia mencoba dalam keadaan yang payah itu, ia pasti akan tergelincir dan jatuh terguling" berkata Hantu Bertangan Api "Dan aku kira tidak ada orang yang pernah datang kemari. Jika mereka akan pergi ke Kali Kuning, mereka akan memilih tepian yang landai. Tidak terjal seperti disini" Kawannya meng-angguk-angguk. Namun ia masih menjawab "Tetapi bagi orang yang ingin menyembunyikan diri, tempat ini merupakan tempat yang paling baik" "Aku tidak melihat seorangpun dan aku juga tidak melihat bekas kaki sama sekali" Kawannya mengangguk-angguk sekali lagi. Katanya "Ya. Orang itu tidak datang kemari. Hantu Bertangan Api memandang ke sekitarnya. Dicobanya untuk nendengarkan setiap desir dengan telinganya yang tajam. Namun iapun yakin bahwa ia tidak mendengar siapapun juga. "Marilah kita pergi" berkata Hantu itu, lalu "aku tidak melihat kemungkinan bahwa orang itu akan mengganggu
821 usahaku menemukan Pikatan. Orang itu menurut dugaanku adalah perampok kecil yang sering mencuri ayam dikandangkandang. Sebaiknya kita tidak menghiraukannya. "Tetapi jika ia melakukan kejahatan ditempat ini, maka ada kemungkinan tuduhan itu dilemparkan kepada kita. Terutama Wiyatsih yang sudah mempunyai prasangka kurang baik. Hantu itu mengangguk-angguk. Dan iapun kemudian bergumam "Ya memang mungkin sekali. Jika ternyata demikian, maka aku akan mencarinya dan tidak segan-segan membunuhnya sama sekali" "Dan kita mendapat tugas baru, Meronda di Sambi Sari" "Ah kau" desah Hantu Bertangan Api "jangan pikirkan lagi. Kita tunggu saja apa yang dllakukannya" Keduanyapun kemudian naik kembali dengan hati-hati keatas tebing. Bukan saja karena tebing yang terjal, tetapi karena mereka pun harus berhati-hati terhadap orang yang menyebut dirinya Hantu Bertangan Sepuluh itu. Jika tiba-tiba saja orang itu menyerang dari atas, maka keadaan mereka akan menjadi gawat Dengan beberapa buah batu, seseorang yang berada diatas tebing akan dapat melumpuhkannya. Tetapi tidak seorangpun yang mengganggu mereka, sampai mereka sampai keatas tanggul dan kemudian berjalan meninggalkan tempat itu. *** Dalam pada itu Puranti yang mengantuk sambil duduk dibalik gerumbul hampir tidak sabar lagi menunggu. Ia berjanji akan bertemu dengan ayahnya ditempat itu, sehingga oleh kejemuan, maka Purantipun kemudian berbaring diatas batu-batu padas yang datar disebelah gerumbul itu meskipun ia masih tetap berhati-hati jika tiba-tiba saja seseorang melihatnya.
822 Sejenak kemudian Puranti mendengar desir yang lembut mendekatinya. Dengan beralaskan telapak tangannya ditempelkannya telinganya ditanah, dan suara itu menjadi semakin jelas didengarnya. Langkah seseorang yang sedang mendekatinya, Perlahan-lahan Purantipun kemudian bangkit. Dilihatnya seseorang dengan wajah yang seram mendekatinya. Tetapi Puranti justru tertawa sambil berkata "Ayah pantas sekali memakai samaran serupa itu" Orang itu tersenyum. Jawabnya "Tentu ia tidak mengenai aku lagi" Ketika kemudian Kiai Pucang Tunggal duduk disebelah Puranti, maka anak gadisnya itupun segera bertanya "Apakah ayah berhasil menjumpai Hantu itu" "Ya. Aku dapat menjumpainya malam ini" "Aku sudah jemu sekali. Dua malam berturut-turut aku menunggu ayah disini tanpa berbuat sesuatu" "Tetapi malam ini aku telah menjumpainya" "Dan ayah berhasil memancing perkelahian?" "Ya" "Apakah ilmu Hantu itu sekarang mancemaskan ayah?" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam dalam Katanya kemudian "Puranti. Jika ia harus bertempur melawan kau, aku kira aku tidak akan menjadi cemas. Tetapi Hantu Itu sekarang menjadi-semakin matang. Olah kanuragan dan jiwanya. la lebih matang menghadapi persoalan-persoalan yang gawat tetapi ilmunyapun jauh meningkat" "Jika demikian, aku sajalah yang akan menjumpainya mulamula. Aku juga menjadi sasaran dendamnya, aku tidak akan ingkar apapun akibatnya."
823 "Tunggu. Jangan tergesa-gesa. Aku sedang memikirkan masalah lain daripada Hantu itu sendiri" "Maksud ayah, apakah ayah memikirkan Pikatan?" "Ya. Aku ingin ia tidak tersinggung lagi dan justru menjadi semakin jauh mengasingkan dirinya ke dalam bilik tertutup atau bahkan mungkin lebih parah lagi dari itu" "Tetapi jika Hantu Bertangan Api benar-benar menjumpainya dan ia tidak dapat melawan dan mengimbangi ilmunya, bukankah akibatnya akan sama saja.?" "Aku akan memikirkannya Puranti" "Ayah" suara Puranti bersungguh-sungguh" keadaan menjadi semakin mendesak. Jika Hantu itu mengambil tindakan lain maka akibatnya tidak seperti yang kita harapkan. Jika pada suatu saat ia mengambil Wiyatsih untuk memancing Pikatan, maka keadaannya menjadi semakin sulit. Kita dapat membayangkan apa yang dapat terjadi atas Wiyatsih disarang para penjahat itu. Seperti yang dikatakannya, Hantu itu tentu tidak seorang diri" Kiai Pucang Tunggal mengangguk-angguk. Katanya "Aku mengerti. Sedang kita masih belum melihat persembunyiannya di sekitar Sambi Sari. Jelas ia tidak berada di Alas Sambi Rata" "Nah, jika demikian ayah harus segera mengambil keputusan. Apakah aku diperkenankan menyelesaikan persoalan dengan Hantu itu. Dengan demikian hidupku selanjutnya tidak akan dibayangi oleh dendam yang tidak akan padam di dalam dada Hantu Bertangan Api itu" "Aku akan memikirkannya Puranti, segera. Tetapi jangan bertindak lebih dahulu sebelum aku menentukan sikap lebih lanjut" Puranti menarik nafas dalam-dalam, ia tidak dapat menolak keputusan ayahnya itu meskipun hatinya bergejolak dahsyat
824 sekali. Untuk melepaskan gejolak itu. Maka Purantipun segera bangkit dan meloncat turun ke tebing. Dengan sigapnya iapun mulai berloncatan melatih diri sendiri didalam gelapnya malam. Tetapi kali ini tata gerak Puranti seakan-akan tanpa tujuan, karena baginya yang dilakukan itu hanya sekedar melepaskan kejemuan. Namun dengan demikian hampir diluar sadarnya Puranti telah melepaskan segenap kekuatannya. Kekuatan wajarnya dan bahkan kemudian kekuatan yang dibangkitkannya dari tenaga cadangannya. Namun kemudian oleh gelora didalam dirinya, Puranti telah menghentakkan segenap kekuatan, yang dapat dihimpunnya. Dani tiba-tiba saja setelah ia memusatkan segenap inderanya sejenak, gadis itu meloncat dan menghantam sebongkah batu padas dengan sisi telapak tangannya. Akibatnya mengejutkan sekali. Batu padas itu pecah hancur lumat menjadi debu. Puranti sendiri terkejut melihat hasil pukulannya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu dengan nafas yang terengah-engah setelah ia melepaskan segenap kekuatan yang ada didalam dirinya. Bahkan ternyata Puranti telah berhasil menyatukan segala kekuatan yang ada didalam dirinya dan disekitar dirinya yang dapat diserapnya dalam pemusatan inderanya. Kiai Pucang Tunggal yang menyaksikan hal itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Sejenak kemudian iapun tersenyum. Perlahan-lahan didekatinya anak gadisnya sambil berkata "Puranti. Ternyata kau sudah memancing segenap kemampuan yang mungkin kau dapat. Meskipun tidak ada seorangpun yang sempurna dimuka bumi ini, karena yang sempurna adalah Yang Esa saja, namun kau sudah sampai kepuncak ilmu yang dapat kau sadap dari padaku. Selanjutnya terserah kepadamu, bagaimana bentuk dan ciri dari ilmu yang telah kau miliki itu dengan perkembangannya sendiri. Mungkin karena umurmu yang masih jauh iebih muda dari umurku, kau
825 akan dapat mencapai suatu tingkat yang jauh lebih tinggi dari aku" Puranti memandang ayahnya dengan terheran-heran. Katanya kemudian dengan suara gemetar " Tetapi ayah, aku tidak melakukannya dengan sadar" "Tetapi kau pernah melakukan, Kau akan dapat mengingatnya, apa yang sudah kau lakukan. Semisal pintu, maka daun-daunnya sudah terbuka. Dan kau akan dapat memasukinya setiap saat kau kehendaki" Puranti memandang ayahnya sejenak. Namun kemudian terdengar suaranya parau "Apakah benar begitu ayah?" "Percayalah kepadaku Puranti. Bukankah aku gurumu dan sekaligus ayahmu" Puranti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ayahnyapun berkata "Cobalah, lakukanlah sekali lagi jika kau ingin meyakinkannya" Puranti memandang ayahnya sejenak. Kemudian iapun berpaling kearah batu-batu padas yang berserakan. "Cobalah Puranti" desak ayahnya "desakan gelora perasaanmu telah tersimpan didalam dirimu" Puranti mengangguk kecil. Kemudian iapun melangkah diantara batu-batu padas itu. Dicobanya memusatkan inderanya. Tetapi Puranti masih memerlukan waktu. Ia masih harus menggerakkan anggauta tubuhnya untuk dapat mencapai puncak pemusatan kekuatannya. Sejenak ia merenggangkan kakinya. Kemudian mengangkat kedua tangannya kedepan. Puranti sama sekali tidak melakukan gerak itu menurut kehendaknya, tetapi seakan-akan anggauta badannya itu telah bergerak dengan sendirinya. Sejenak kemudian kedua tangannya yang terjulur kedepan itu bersilang dimuka dadanya, dan sampailah ia pada puncak pemusatan inderanya. Demikian kedua tangannya bersilang,
826 maka iapun mengangkat sebelah kakinya, Dengan tiba-tiba pula tangannya terurai dan dengan suatu loncatan, maka tangannyapun segera terayun keatas sebuah batu padas Maka terulanglah sekali lagi lontaran kekuatan yang tiada taranya. Dan sekali lagi sebuah batu padas pecah menjadi debu dan berserakan diatas tanah yang basah oleh embun malam. Kiai Pucang Tunggal mengangguk-anggukan kepalanya. Ia menjadi yakin seperti juga Puranti. Bahwa gadis itu sudah sampai pada puncak kemampuannya. Ketika Kiai Pucang Tunggal gadisnya termangu-mangu. Maka iapun mendekatinya. Ditepuknya bahu anaknya sambil berbisik "Kau sudah berhasil Puranti. Kau telah berhasil menyatukan dirimu dengan alam disekitarmu. Kau sudah berhasil menyerap kekuatan yang ada diluar dirimu tetapi yang ada sentuhan dengan getaran dalam jiwamu, sehingga kau berhasil memiliki kemampuan jasmaniah yang luar biasa. Yang perlu kau lakukan adalah membiasakan diri dengan kekuatan itu. Kau harus semakin. mengenalnya dan memahami wataknya" Puranti tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk. "Kau mengerti Puranti?" Puranti mengangguk. Tetapi terasa sesuatu tergenang dipelupuknya. "Karena kau telah berhasil, maka tanggung jawabmupun menjadi berat. Tanggung jawabmu kepada dirimu sendiri, kepada manusia sesamamu dan kepada Tuhan" Sekali lagi Puranti mengangguk. Dan kini terasa sesuatu yang ada dipelupuknya itu meleleh dipipinya. "Puranti" berkata ayahnya kemudian "karena justru kau sudah sampai kepuncak, maka kau tidak perlu lagi mempertahankan harga dirimu dengan caramu. Seharusnya
827 kau menanggapi keadaan yang kau hadapi dengan sikap yang lebih matang. Diketahui atau tidak dketahui oleh orang lain. Diketahui atau tidak diketahui oleh Pikatan, kau telah memiiiki ilmu itu." Sejenak Puranti merenung sambil mengerutkan keningnya, namun iapun kemudian menganggukkan kepalanya. "Bagus. Sekarang beristirahatlah, pulunglah kerumah ibu angkatmu di Cangkring. Malam besok kita akan bertemu lagi. Kalau perlu aku dapat menemuimu di rumah itu dengan caraku. "Baik ayah" jawab Puranti "tetapi biyung itu tidak akan pemah mencari aku jika aku tidak, pulang, karena aku sudah mengatakan kepadanya" "Ia tidak akan mencarimu, tetapi ia akan menjadi gelisah karenanya jika kau tidak kembali . meskipun kegelisahan itu direndamnya didalam hatinya" Puranti menganggukkan kepalanya. "Meskipun hanya sesaat, ia akan menjadi lega jika ia melihat kau pulang. Karena kau sudah dianggapnya sebagai anaknya" Demikianah Puranti malam itu kembali ke Cangkring, sedang Kiai Pucang Tunggal masih saja berkeliaran di Sambi Sari, la masih harus mengawasi jika kebetulan saja Hantu Bertangan Api itu bertemu dengan Pikatan. Jika demikian maka rencananya tentu akan gagal sama sekali. Bagi Kiai Pucang Tunggal, Puranti kini sudah memiiiki kemampuan yang justru memberinya kepercayaan yang matang sehingga gadis itu tidak lagi dicengkam oleh harga diri yang cengeng. Dalam pada itu Sambi Sari telah mulai disibukkan dengan musim panenan yang sebentar lagi akan datang. Beberapa orang telah mulai mengadakan selamatan wiwit di sawah828 sawah mereka untuk menghormati Dewi Sri, meskipun baru sekedarnya. Sedang ucapan terima kasih yang sebenarnya baru akan diadakan pada saat yang ditentukan kemudian bersama-sama. Dalam upacara kecil itu, para petani mulai memetik sepasang pengantin padi yang sudah masak. Baru beberapa hari kemudian mereka akan memetik seluruh hasil sawah mereka. Tidak lagi seorangpun yang datang berkunjung pada timbunan brunjung-brunjung dan batu-batu yang sudah menggunung. Tetapi itu bukan berarti bahwa bendungan yang sudah mereka rencanakan itu sudah dilupakan. Mereka kini sedang sibuk menyelesaikan. sawah mereka. Mereka berusaha untuk mempercepat semua kerja yang biasanya mereka lakukan dengan lamban. Mereka akan segera turun kembali ke pinggir Kali Kuning untuk segera mulai dengan bendungan mereka, karena sebagian besar parit indukpun sudah siap" "Kita harus segera menyelesaikan sawah kita" berkata Kesambi "setelah panen selesai, kita harus cepat-cepat menggarapnya dan memanfaatkan sisa hujan yang masih ada untuk menanam palawija. Setelah itu, kita harus segera turun kembali ke sungai agar bendungan kita dapat siap sebelum musim hujan mendatang. Kita harus yakin, bahwa jika banjir kelak datang seperti banjir dimusim ini, bendungan kita tidak akan pecah sehingga dimusim kering berikutnya, kita akan mulai menikmati hasil jerih payah kita" Dan ternyata bahwa hal itu, telah mendorong anak-anak muda Sambi Sari bekerja lebih keras. Lebih keras dari yang biasa mereka lakukan. Bahkan anak-anak muda yang hampir tidak pernah mengenai kerjapun telah terseret dalam kerja yang mapan itu. Ki Demang di Sambi Sari kadang-kadang menunggui anakanak muda yang bekerja keras disawah masing-masing itu dengan hati yang berdebar-debar. la merasa beruntung bahwa
829 anak-anak muda didaerahnya seakan-akan telah bangkit dengan sendirinya untuk membangun padukuhannya. Memang ada satu dua orang tua dan bahkan bebahu Kademangan yang kadang-kadang menghalangi derap kaki anak-anak muda itu telah berusaha membantu mereka sejauh-jauh dapat dilakukan berdasarkan wewenang yang ada padanya meskipun kadang-kadang ia harus berbantah dengan orang-orang yang setiap waktu berada disekitarnya, dengan para bebahu dan orang-orang tua yang tidak sependapat atas usaha anak-anak muda itu dengan berbagai alasan. Alasan ketahayulan, alasan naluri dan ada yang sekedar bersembunyi dibalik alasan-alasan itu, namun sebenarnya mereka telah memanjakan kepentingan diri sendiri. Demikianah, maka masa panenpun kemudian telah meramaikan Kademangan Sambi Sari. Hampir tidak ada seorangpun yang tinggal dirumah kecuali mereka yang khusus untuk menjaga rumah itu. Bahkan ada diantara mereka yang mengosongkan rumah mereka, karena mereka tidak mempunyai apapun yang berharga didalam rumahnya. Pakaian mereka adalah yang sekedar mereka pakai dan sama sekali mereka tidak menyimpan perhatian atau apapun yang lain yang dicemaskan akan hilang dicuri orang. Bukan saja laki-laki yang bekerja di sawah, tetapi juga perempuan. Mereka menuai padi dibulak yang luas Seolaholah sekelompok ikan yang bermain-main di dalam air yang kuning keemasan, didalam lautan butir-butir padi yang telah masak. Dalam keadaan yang demikian, tampaklah wajah-wajah yang cerah. Anak-anak muda bekerja sambil tersenyum dan sebagian lagi melagukan kidung gembira. Di pinggir sungai anak-anak yang menggembalakan kambing bermain seruling melagukan percikan hati yang riang, karena mereka tidak lagi harus menahan lapar sampai senja, dan kadang-kadang sehari
830 penuh mereka sama sekali tidak menyentuh nasi, selain ketela pohon yang kurus, sekurus tubuh mereka. Untuk beberapa saat Sambi Sari telah melupakan kemiskinan mereka yang terasa mencengkam dimusim kering. Kini hampir setiap rumah menyimpan beberapa onggok padi. Meskipun banyak diantara mereka dengan hati yang berat melepaskan sebagian dari hasil panenan mereka untuk membayar hutang yang telah mereka terima selama musim paceklik, namun karena hampir setiap perempuan ikut meniuai padi disawah tetangga, maka merekapun mendapat juga bagian yang dapat disimpannya dirumah. Dalam pada itu, hujanpun sudah menjadi semakin berkurang. Hanya kadang-kadang saja langit mendung dan gerimis kecil turun disiang hari. Tetapi mereka yang menuai padi tidak merasa perlu untuk berhenti. Dengan tudung kepala dari anyaman bambu dan belarak, mereka melanjutkan kerja mereka memotong padi yang telah menjadi kuning. Akhirnya musim panen itupun sampai pada akhirnya. Sambi Sari yang sepi tampak menjadi agak ramai. Warung-warung yang hampir selalu tertutup, mulai membuka pintunya. Mereka tidak menjual dagangan mereka untuk menerima uang, tetapi mereka menukarkan barang-barang dan makanan diwarung mereka dengan genggaman-genggaman padi. Setelah perempuan tidak lagi turun kesawah menuai padi, maka anak muda dan ayah-ayah mereka manjadi semakin sibuk bekerja. Mereka menebasi jerami dan membakarnya dimalam hari. Kemudian mencangkul sawah mereka untuk memanfaatkan hujan yang tersisa dengan menanam palawija. Baru setelah mereka selesai mengerjakan sawah, maka mereka mulai dapat menarik nafas lega. Kerja yang berat telah selesai. Di tahun-tahun yang silam, maka merekapun kemudian dapat tidur mendengkur sepanjang hari. Hanya kadang-kadang saja mereka pergi kesawah menengok
831 tanaman mereka. Atau sekali-kali memanjat pohon kelapa dihalaman dan menjual hasilnya kepasar. Dan apabila mereka sudah tidak mempunyai kewajiban sama sekali, mulailah mereka dengan merencanakan sebuah perayaan yang besar disetiap tahun. Merti Desa. Mereka mengucapkan terima kasih kepada Dewi Sri, karena mereka sudah menerima hasil panenan mereka, meskipun sebagian dari hasil itu masuk kelumbung orang-orang kaya. Tetapi yang terajadi tahun ini agak berbeda. Anak muda dan laki-laki yang dapat mengerti setelah anak-anak mereka, adik-adik mereka dan kawan-kawan mereka memberikan penjelasan, mereka tidak lagi mempergunakan hari-hari terbuang mereka dengan tidur mendengkur. Dan mereka tidak lagi menyibukkan diri menjelang perayaan Merti desa dengan berbagai macam persiapan penyediaan berjenis-jenis makanan, lauk pauk dan jajan pasar. Tetapi mereka telah terlibat dalam kesibukan yang lain. Kesibukan yang telah mereka mulai di musim hujan yang hampir habis. Beberapa orang tua mengusap dadanya sambil berkata didalam hati "Orang-orang sekarang sudah tidak lagi dapat menyatakan terima kasih. Mereka hampir tidak peduli lagi dengan kemurahan Dewi Sri. Mereka lebih senang menyibukkan diri dengan kerja yang tidak berarti itu daripada menyediakan perayaan yang besar bagi Dewi yang telah menjadikan tanaman padi kita berhasil dengan baik" Dan beberapa orang kaya menjadi kecewa, bahwa mereka tidak lagi akan dapat menunjukkan kelebihannya didalam selamatan Merti desa, karena tetangganya dan orang-orang lain agaknya kurang menghiraukan lagi perayaan semacam itu. "Gila" berkata mereka didalam hati "mereka tidak mau mengagumi jodang-jodangku lagi. Mereka seakan-akan tidak
832 menghiraukan, lagi makanan yang berlimpah-limpah setiap tahun di banjar desa selagi selamatan Merti desa. Demikianah, ketika selamatan Merti desa itu diselenggarakan, suasananya sama sekali berbeda dengan tahun tahun yang lampau. Tidak ada lagi kebanggaan pada mereka yang membawa makan berlebih-lebihan karena tidak ada nafsu bersaing pada sebagian dari mereka. Bahkan ada yang benar-benar hanya membawa sebuah bancak dengan makanan sekedamya, nasi tumpang dengan bumbu kelapa muda. Sebutir telur ayam dan sambal kedele, selebihnya adalah buah-buahan yang mereka peti dari kebun sendiri. Dengan demikian maka suasana perayaan di Banjar itu menjadi lesu. Tidak banyak tampak bibir yang tersenyum. Tidak banyak pula kelakar dan gurau anak-anak muda yang berkumpul diluar banjar. Dimalam hari berikutnya, keadaan padesan Sambi Sari tidak juga terasa meriah seperti tahun-tahun yang lalu, tidak ada pertunjukkan lain kecuali di banjar Kademangan. Tidak diadakan di setiap padukuhan dan tidak lagi di rumah-rumah yang atas kehendak sendiri menyelenggarakan pertunjukan beraneka ragam. Namun ternyata dihari berikutnya, rakyat Samba Sari telah dikejutkan oleh kemeriahan yang lain, yang tidak mereka duga-duga. Selagi matahari terbit, dan lampu-lampu di banjar masih belum padam, anak-anak muda Sambi Sari telah turun kejalan-jalan dengan cangkul, sabit, parang dan linggis ditangan Dengan riuhnya sambil berkelakar dan bahkan bersorak-sorak mereka mulai melakukan kerja yang sudah mereka rencanakan. Dengan wajah yang cerah dan hati yang tulus, mereka bekerja atas kehandak mereka sendiri. Kemeriahan Merti desa telah mereka alihkan dari ruang yang sempit di banjar Kademangan dan rumah-rumah orang kaya dan orang-orang yang sekedar mendapat pujian, pindah dijalan-jalan, di simpang-simpang empat, di gardu-gardu
833 parondaan. Mereka telah bekerja atas kehendak sendiri membersihkan jalan dipadukuhan masing-masing. Jalan-jalan yang kotor dan berlubang memanjang bekas roda pedati, dan batu-batu yang berserakan, telah mereka perbaiki dan mereka ratakan. Ki Demang Sambi Sari yang dihari itu berkeliling Kademangannya bersama Ki Jagabaya mengusap dadanya sambil berkata "Asal mereka tidak dihalang-halangi, ternyata mereka merupakan kekuatan penggerak yang tiada taranya. Yang paling gawat adalah pengarahan yang tepat dari jiwa mereka yang bergejolak itu. Jika ada diantara mereka yang kadang-kadang tertinggal itu adalah wajar sekali. Tetapi sebagian terbesar dari anak muda Sambi Sari menunjukkan kedewasaan mereka berpikir. Dan yang lain akan terpengaruh oleh sikap itu" Ki Jagabayapun mengangguk-angguk pula. Mereka yang dapat mengerti akan tujuan anak-anak muda itu tentu tidak akan menentangnya, meskipun ada juga beberapa orang yang menjadi kecewa karenanya. Ternyata anak-anak muda Sambi Sari memerlukan waktu dua hari untuk melakukan pembersihan diseluruh Kademangan. Dan yang dua hari itu telah menandai perayaan Merti desa untuk tahun yang sedang mereka jalani. Ternyata, meskipun, berbeda bentuknya, kegembiraan dan hasil dari perayaan Merti desa ini tampak jauh lebih bermanfaat daripada sekedar bersaing dan sekedar mendapat pujian dengan jodang-jodang penuh berisi makanan di banjar Kademangan. Apalagi anak-anak muda itu tidak lagi membiarkan dirinya dicengkam oleh kemalasan di pembaringan disatu musim. Mereka tidak lagi pergi ke sungai dan tidur dibawah pohon turi diatas pasir yang putih. Atau duduk sekedar termenung diatas tanggul sambil melihat adik-adik mereka menggembalakan kambing. Tetapi anak-anak muda itu masih mempunyai kerja
Gaung Keheningan 1 Pendekar Mabuk 089 Pedang Penakluk Cinta Senopati Pamungkas I 17

Cari Blog Ini