Ceritasilat Novel Online

Yang Terasing 12

Yang Terasing Karya S H Mintarja Bagian 12


900 meninggalkan tepian itu, naik keatas tanggul dan hilang didalam gelapnya malam. Tepian itupun kemudian menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah gemericik air Kali Kuning yang mengalir diantara bebatuan. Diiringi oleh gemericik dedaunan dihembus angin malum yang basah. Selebihnya adalah kesenyapan yang mengerikan, karena ditepian Kali Kuning itu terbujur beberapa sosok mayat dengan luka-luka yang parah. Dalam pada itu, Wiyatsih yang sedang berlatih bersama Puranti dan Kiai Pucang Tunggalpun telah berhenti. Wiyatsih dan Puranti yang berlatih berpasangan telah basah oleh keringat. Karena itu, maka Wiyatsihpun kemudian mengajak Puranti untuk pulang saja kerumahnya. "Kakang Pikatan sudah tahu kalau aku ada disini" berkata Wiyatsih setiap kali Puranti menolak. "Tetapi aku tidak mau ia memandang aku dengan bibir yang monyong" "Ah" desah Wiyatsih. "Marilah, kami antar kau pulang, Wiyatsih" Kiai Pucang Tunggal menengahi "masih ada beberapa hari menjelang purnama naik. Segala sesuatunya harus kita persiapkan baikbaik. Dan agaknya kau sudah mempersiapkan dirimu, jika pada suatu saat tidak ada jalan lain daripada kau sendiri yang harus menghadapinya" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Dan persiapanmu tidak mengecewakan. Jika kau dapat memanfaatkan yang beberapa hari ini dengan baik, maka kau benar-benar telah siap menghadapinya jika terpaksa sekali. Aku yakin bahwa selama ini Hantu Bertangan Api yang telah yakin akan dirinya itu tidak akan melakukan latihan apapun
901 juga apalagi berusaha menambah kemampuannya dengan unsur-unsur tata gerak yang baru" Wiyatsih masih mengangguk-anggukan kepalanya. "Nah marilah" sekali lagi Kiai Pucang Tunggal mengajaknya. Demikianlah maka Wiyatsihpun kemudian meninggalkan latihan itu dan pulang kembali kerumahnya. Disepanjang jalan pikirannya selalu saja dicengkam oleh berbagai pertanyaan tentang sikap Pikatan dan bendungan itu. "Wiyatsihpun" berkata Kiai Pucang Tunggal "jangan cemas tentang bendunganmu" Wiyatsih berpaling. Dipandanginya Kiai Pucang Tunggal sejenak dengan herannya, seolah-olah orang tua itu dapat membaca pikiranya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Seperti biasanya, Wiyatsihpun kemudiah masuk seorang diri kehalaman rumahnya. Kali ini tidak mau terganggu oleh siapapun juga, sehingga karena itu, setelah mencuci kaki dan tangannya, maka iapun memasuki rumahnya lewat pintu butulan, dan langsung ke dalam biliknya. Dengan lesu dibaringkannya dirinya dipembaringan. Namun anganangannya masih saja berkeliaran tidak henti-hentinya, sehingga karena itu, betapapun lelahnya, Wiyatsih tidak segera dapat tertidur. Bayangan-bayangan yang kadang mendirikan bulu-bulunya masih saja selalu mengganggunya. Bahkan Wiyatsih yang seakan-akan sudah digelut oleh bercampur baurnya perasaan cemas, takut dan kecewa itu kemudian menelengkupkan wajahnya dan menutupnya dengan kedua belah tangannya, seakan-akan ia ingin menghindarkan diri dari bayangan-bayangan yang sedang menghantuinya itu. Demikianlah selagi Wiyatsih mencoba menenangkan perasaannya itu, Kiai Pucang Tunggal dan Puranti berjalan meninggalkan, padukuhan itu didalam gelapnya malam.
902 Sejenak mereka tidak berbicara. Namun kemudian Kiai Pucang Tunggal bertanya kepada anak gadisnya "Apakah kau akan kembali ke Cangkring malam ini?" "Tidak ayah" jawah Puranti "aku ingin berlatih" "He, bukankah kau baru saja berlatih?" "Aku belum berbuat apa-apa ayah" "Jadi apa yang kau lakukan tadi?" "Sekedar melayani Wiyatsih. Bukankah. aku tidak berbuat apa-apa?" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. "Jika setiap kali aku hanya sekedar harus melayaninya, maka akhirnya Wiyatsih akan menjadi seorang gadis yang mengagumkan, sedang aku akan tetap saja seperti ini" "Puranti" potong ayahnya. Tetapi orang tua itupun kemudian berkata sareh "Puranti. Aku tahu bahwa kau kecewa terhadap Pikatan. Tetapi kekecewaan itu jangan merambat kepada orang lain. Kau sendirilah yang membentuk Wiyatsih itu menjadi seorang gadis seperti sekarang ini. Jika kau kecewa kepada Pikatan, akupun kecewa. Tetapi aku tidak kecewa terhadap Wiyatsih. Aku justru menjadi kasihan kepadanya. Ia masih terlampau muda. Dan ia sudah memikul beban perasaan yang berat" Puranti tidak menyahut. Namun terasa sesuatu menyentuh hatinya. Dan didalam hatinya ia berkata "Wiyatsih memang tidak bersalah" Tetapi ia tidak merubah niatnya untuk berlatih. Kiai Pucang Tunggalpun tidak menghalanginya. Ia tahu, Puranti adalah seorang gadis yang keras hati. Meskipun seandainya hatinya berkata lain, tetapi apa yang sudah terucapkan tidak mudah baginya untuk menarik kembali.
903 Keduanyapun kemudian kembali ketempat mereka berlatih. Sejenak Kiai Pucang Tunggal menunggui Puranti. Tetapi agaknya gadis itupun tidak begitu bernafsu lagi. la berlatih sekedar, karena ia sudah mengatakannya. Didalam kegelapan Kiai Pucang Tunggal tersenyum sendiri. Ia mengerti, bahwa Puranti tidak berlatih sepenuh hati. Tetapi ia sama sekali tidak menegurnya agar gadis itu tidak berbuat aneh-aneh untuk melepaskan kejengkelannya. Karena itu, Kiai Pucang Tunggal hanya duduk saja menanti. Dibiarkannya saja Puranti berbuat sesuka hatinya. Tetapi Purantipun tidak terlalu lama berlatih. Ketika ia melihat ayahnya duduk bersandar pada sebuah batu yang besar maka iapun mendekatinya sambil bertanya "Apakah ayah sudah mengantuk" " Pertanyaan itu sebenarnya sangat menggelikan bagi Kiai Pucang Tunggal. Puranti tahu bahwa ayahnya dapat mencegah tidur tiga hari tiga malam terus-menerus. Bahkan dalam keadaan yang sangat penting, dapat lebih dari itu. Namun Kiai Pucang Tunggalpun tahu, bahwa anaknya sedang mencari alasan untuk berhenti berlatih. Karena itu maka iapun menjawab "Ya Puranti. Aku merasa lelah sekali" "Marilah kita pulang ayah" katanya "sebenarnya aku masih ingin berlatih lama sekali. Tetapi agaknya ayah sudah tidak tahan lagi menunggu" Ayahnya mengangguk-angggukkan kepalanya. Katanya "Ya, aku memang ingin beristirahat. Dan, kau masih juga sempat kembali ke Cangkring malam ini" Puranti menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Keduanyapun kemudian meninggalkan tempat itu dan menyelusuri tanggul Kali Kuning. Keduanya berjalan beriringan tanpa berkata apapun juga. Keduanya melangkah sambil
904 menundukkan kepalanya merenungi angan-angan masingmasing yang sangat merisaukan hati mereka. Namun tiba-tiba saja Puranti yang berjalan didepan berkata "Ayah, aku ingin melihat bendungan di Kali Kuning itu" "Bendungan itu baru dimulai. Beberapa buah brunjung sudah diturunkan. Tetapi bendungan itu masih jauh sekali dari yang direncanakan" "Aku ingin melihatnya" Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Baiklah. Kita akan singgah sebentar. Tetapi hati-hatilah. Ada kemungkinan Hantu Bertangan Api itu ada disana. Ia menunggu Pikatan hampir setiap malam sampai saatnya Purnama naik" "Apakah mereka menunggu sampai lewat tengah malam?" Kiai Pucang Tunggal menggelengkan kepalanya. Katanya "Biasanya tidak Puranti. Jika mereka menganggap bahwa Pikatan tidak akan datang lagi malam itu, merekapun segera pergi" Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Kebetulan sekali. Kita akan melihat, sampai dimana kemampuan Anak-Anak muda Sambi Sari itu" Mereka berduapun kemudian berjalan kearah bendungan yang-sedang dibuat itu. Beberapa puluh langkah dari bendungan itu mereka berhanti. Sejenak mereka berusaha meyakinkan diri, bahwa tidak ada seorangpun yang berkeliaran disekitar bendungan itu. Baru setelah keduanya yakin bahwa bendungan itu sepi, merekapun kemudian, mendekat dengan hati-hati Namun tiba-tiba Puranti hampir terpekik melihat beberapa sosok mayat yang terbujur lintang ditepian. Dengan suara bergetar ia berkata "Ayah. Lihatlah"
905 Kiai Pucang Tunggal yang sudah melihat pula, menyahut "Tentu sesuatu telah terjadi. Perkelahian yang dahsyat sekali " "Apakah Pikatan sudah datang?" Kiai Pucang Tunggal tidak segera menjawab. Diamatinya mayat yang terbujur lintang ditepian. "Puranti" berkata Kiai Pucang Tunggal "perkelahian yang baru saja terjadi agak mengherankan" "Apa yang mengherankan ayah?" "Kau lihat jenis senjata-senjata ini. Sebagian dari senjata yang berserakan ini bukanlah senjata yang pantas untuk berkelahi meskipun ditangan orang-orang yang berbahaya. Kau lihat parang-parang ini dan beberapa potong linggis?" Puranti mengangguk-angggukan kepalanya. Tetapi ia tidak dapat mengatakan sesuatu tentang mayat-mayat itu. Sejenak kemudian keduanya masih saja melihat-lihat bekas arena yang bagaikan dibajak. Bekas-bekas kaki yang berloncatan, senjata yang tergolek diatas pasir dan noda-noda darah kering yang yang meresap. Namun ketika Kiai Pucang Tunggal sempat memperhatikan sesosok mayat yang terbaring agak jauh dari arena itu ia terkejut. Dilihatnya punggung orang itu berlubang-lubang dan beberapa buah batu kerikil masih melekat pada tubuh itu, selain yang menghunjam masuk. "Mengerikan sekali" Kiai Pucang Tunggal berdesis. Purantipun kemudian mendekatinya. Ketika tampak olehnya luka-luka itu, iapun memalingkan wajahnya. Meskipun sudah beberapa kali ia mengalami perkelahian yang dahsyat, dan bahkan sudah, beberapa kali ia terpaksa membunuh lawannya, namun luka-luka yang demikian mengerikan itu membuatnya berdebar-debar. "Perkelahian yang gila" desis Kiai Pucang Tunggal pula.
906 Puranti mengangguk "Siapakah yang telah melakukannya ayah" Aku menjadi ngeri melihatnya. Tetapi yang melakukan itu adalah oraug yang memiliki kemampuan yang tinggi. Orang yang telah berhasil melepaskan tenaga cadangannya, sehingga batu-batu kerikil itu dapat menghunjam begitu dalam dipunggung orang itu" "Begitulah agaknya" sahut ayahnya "hanya Pikatan dan Hantu Bertangan Api sajalah yang dapat melakukannya" "Wiyatsih yang sudah menjadi semakin sempurna itupun dapat berbuat demikian" "Tetapi tentu tidak mungkin. Bukankah Wiyatsih selalu bersama kita malam ini?" Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun iapun terdiam. Sementara itu Kiai Pucang Tunggal masih berusaha untuk menemukan sesuatu yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan sedikit petunjuk apa yang sudah terjadi sebenarnya. Ketika ia mengamati sesosok mayat yang lain, orang tua itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia merenung. Dan tiba-tiba saja sekali lagi ia memanggil anaknya "Puranti. Kemarilah" Dengan tergesa-gesa Purantipun mendekatiinya. Ketika ayahnya berjongkok, maka Purantipun berjongkok pula disisi mayat itu. "Puranti" berkata ayahnya"Aku pernah melihat orang ini sebelumnya" "Siapakah orang ini ayah?" "Orang ini adalah kawan Hantu bertangan Api itu" "He" Puranti terkejut. Sebelum berpikir ia berkata "Jadi, adakah Pikatan sudah datang dan berkelahi melawan sekian banyak orang?"
907 Kiai Pucang Tunggal tidak segera menjawab. Ia masih mengamat-amati mayat itu dengan saksama. Namun kemudian katanya "Tidak Puranti Tentu bukan Pikatan. Lukaluka ini bukan luka-luka bekas senjata Pikatan. Dan sudah tentu orang-orang lain yang terbunuh ditepian ini bukan, kawan-kawan Hantu bertangan api kecuali seorang ini" "Bagaimana ayah tahu?" "Bukankah kita melihat jenis senjata orang-orang itu?" "O" Puranti mengangguk angguk "tentu kawan-kawan Hantu Bertangan Api tidak akan membawa senjata serupa itu" ia herhenti sejenak, lalu "Jadi siapakah yang telah, melakukannya?" "Agaknya Hantu bertangan api dan seorang kawannya terlibat dalam perkelahian dengan sejumlah orang-orang ini. Dan tentu orang-orang ini bukan anak-anak Sambi Sari yang sedang menjaga bendungan. Mereka tidak akan mampu berkelahi dan apalagi berhasil membunuh salah seorang dari kawan Hantu Bertangan Api" "Bagaimana jika jumlah mereka terlalu banyak untuk dilawan?" "Tentu korban yang jatuh tidak hanya sebanyak lima orang. Dengan, sekali hentak, Hantu Bertangan Api dapat membunuh lima orang Sambi Sari yang tidak mengenal caranya memegang senjata" "Jadi apakah yang kira-kira sudah terjadi ayah?" "Seperti yang aku katakan, bentrokan diantara para penjahat" Tetapi aku tidak tahu kelanjutannya" Purantipun kemudian melangkah menjahui mayat itu. Bagaimanapun juga hatinya terasa berdebaran. Perlahanlahan ia bergumam seakan-akan kepada diri sendiri "Jika anak-anak muda Sambi Sari besok melihat mayat yang berserakan ini, aku yakin, mereka pasti akan ketakutan.
908 Terutama gadis-gadisnva yang membantu nenyediakan makan dan minum mereka" "Ya" sahut ayahnya "bahkan mungkin ada diantara mereka yang tidak berani lagi menginjakkan kakinya ditepian Kali Kuning. Mereka tentu menganggap bahwa Hantu Bertangan Api itu Sudah mulai bertindak" "Dan kerja ini akan terhenti" Kiai Pucang Tunggal mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya anak gadisnya itu sejenak, lalu katanya "Marilah kita singkirkan. "Disingkirkan?" Puranti mengerutkan, keningnya "Ya" Maksud ayah, sekian banyak orang?" "Ya" Puranti menarik nafas dalam-dalam, lalu "Bagaimana jika mayat-mayat ini kita kuburkan saja ditepian ayah?" "Tanahnya berpasir Puranti. Jika kelak datang banjir, maka mungkin sekali mayat-mayat ini akah terbongkar karena pasir yang menimbuninya dibawa oleh arus air" "Biar sajalah ayah, hal itu tidak akan mempengaruhi pembuatan bendungan ini. Mugkin itu akan terjadi dipertengahan musim hujan tahun mendatang" "Tetapi jika benar terjadi demikian, maka Sambi Sari akan menjadi gempar. Banyak ceritera akan timbul. Tentu ceritera itu akan mengatakan, bahwa untuk membuat bendungan ini telah dikorbankan tumbal beberapa orang karena ternyata didekat bendungan ini diketemukan beberapa sosok kerangka. Mereka tidak tahu, kerangka siapa saja yang terbongkar itu, namun yang mereka artikan, Seakan-akan ada kesengajaan untuk membunuh seseorang dan menanamnya disaat-saat bendungan ini dibuat"
909 Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. la dapat mengerti bahwa kepercayaan semacam itu masih kuat sekali mencengkam rakyat Sambi Sari, sehingga dengan demikian maka yang akan menjadi sasaran tentu orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas pembuatan bendungan itu. Karena itu maka dengan ragu-ragu Puranti bertanya "Jadi bagaimana sebaiknya ayah?" "Kita bawa keatas tanggul. Kita kuburkan disisi tanggul itu" "Tidak ada bedanya. Jika seseorang menemukan mayat itu, mereka akan,membuat ceritera serupa" "Tidak tepat diatas bendungan ini. Kita bawa agak keudik, sehingga orang akan menghubungkan mayat-mayat itu tidak dengan bendungan ini, tetapi dengan Alas Sambirata" "Sekarang?" bertanya Puranti dengan nada yang kecut. "Ya sekarang. Malam masih cukup panjang" "Tetapi, aku malas sekali ayah. Aku ingin pulaing ke Cangkring dan tidur nyenyak sampai besok siang" "Selain untuk mengamankan perasaan anak-anak Sambi Sari. Puranti, bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk menguburkan mayat yang tidak terurus?" Puranti menarik nafas dalam-dalam Katanya, "Baiklah ayah" namun kemudian "tetapi dengan apa kita akan menggali tanah?" "Kita mencari cangkul sebentar" "Dimana kita mendapatkan cangkul" "Kita pinjam dipadukuhan. Tidak usah mengatakan kepada pemiliknya, asal kemudian kita kembalikan" Puranti tidak menyahut.
910 "Tunggulah disini. Aku akan kepadukuhan itu sebentar. Biasanya mereka menaruh cangkunya disudut kandang atau didekat bajak dan garunya" berkata ayahnya. Puranti ragu-ragu sejenak. Dan ayahnya melanjutkan "Tentu. tidak akan ada yang bangkit lagi diantara mereka itu Puranti" "Ah" Puranti berdesah. Jika seandainya ada yang bangkitpun Puranti tidak akan takut. Tetapi ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Ayahnya tidak menunggu lebih lama lagi. Sebelum pagi, semuanya harus sudah selesai. Sehingga karena itu, maka ia harus berbuat cepat. Dengan tergesa-gesa Kiai Pucang Tunggalpun pergi kepadukuhan disebelah Alas Sambirata. Diambilnya dua buah cangkul tanpa mengatakannnya kepada pemiliknya, dan dengan tergesa-gesa pula dibawanya kembali kebendungan. "Kita sudah mendapatkannya" berkata Kiai Pucang Tunggal kepada Puranti. Puranti hanya dapat menarik nafas saja. Ia tidak dapat mengelak lagi. Karena itu, maka iapun tidak dapat berbuat lain kecuali menyeret mayat-mayat itu naik keatas tanggul dan membawanya agak keudik. Sedang Kiai Pucang Tunggal sibuk membuat lubang yang besar untuk menguburkan mereka bersama-sama. "Ayah sajalah yang membawa mayat-mayat itu, mengerikan sekali. Akulah yang akan melanjutkan menggali lubang itu" Ayahnya memandanginya sejenak, namun kemudian ia mengangguk "Baiklah. Nanti aku bantu kau menggali lubang" Demikianlah, meskipun dengan keringat yang membasahi seluruh tubuh, namun mereka dapat menyelesaikan pekerjaan itu sebelum malahari terbit. Dengan tertib mereka mencoba
911 menghilangkan jejak yang ada dan kemungkinan yang dapat menumbuhkan persoalan bagi anak-anak Sambi Sari. Sambil menarik nafas dalam-dalam Kiai Pucang Tunggal berkata "Kembalilah ke Cangkring, mumpung belum pagi " Tetapi Puranti menggeleng. Jawabnya "Aku akan ksiangan di jalan" "Jadi?" "Aku akan masuk Alas Sambirata saja. Bukankah ayah juga akan bersembunyi di hutan itu?" Kiai Pucang Tunggal mengangguk. "Dan bukankah masih ada persediaan makan buat aku hari ini?" Ayahnya tersenyum sambil menjawab "Masih ada" Demikianlah maka setelah Kiai Pucang Tunggal mengembalikan kedua cangkul yang dibawanya, maka kedua ayah dan anak itupun segera pergi ke Alas Sambirata sebelum matahari terbit di Timur. *** Yang pertama-tama datang kebendungan pada saa matahari terbit adalah Kesambi. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ditepian itu baru saja terjadi perkelahian yang sangat dahsyat. Beberapa sosok mayat berserakan dan darah berhamburam diatas pasir, Meskipun ia masih melihat nodanoda yang lain dari basahnya pasir, namun Kesambi sama sekali tidak menghiraukan apa yang menyebabkannya. Sejenak kemudian maka beberapa orang lainpun berdatangan., Sebelum mereka mulai dengan kerja mereka, meneruskan pembuatan bendungan itu, merekapun dudukduduk berserakan diatas pasir tepian. Mereka bergurau dan berkelakar, kadang dorong mendorong dengan gembiranya sebagaimana kebisaan anak-anak muda. Kegembiraan yang
912 seakan-akan mereka dapatkan sejak mereka mulai dengan kerja mereka itu. Sebelumnya wajah-wajah mereka adalah wajah-wajah yang pucat dan murung. Wajah-wajah yang. seakan-akan tidak berpengharapan menghadapi masa depannya. Selagi mereka tenggelam dalam gurau dan tertawa, tibatiba seseorang terkejut ketika kakinya menyentuh sebuah parang. Diambilnya parang itu dan diamat-amatinya. "He" tiba-tiba ia berteriak "parang siapakah ini" Anak-anak muda yang ada disekitarnya berpaling kepadanya. Mereka mengamat-amati parang itu sejenak Tetapi seorang demi seorang menggelengkan kepalanya sambil berkata "Bukan punyaku" Dan yang lain "Bukan kepunyaanku" Tetapi anak anak itu sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa parang itu adalah parang seorang penjahat yang telah terbunuh di tepian dan yang agaknya karena kekhilafan Kiai Pucang Tunggal dan Puranti, parang itu tertinggal. Namun anak muda yang memeganginya itu menjadi heran. Dilihatnya parang yang dikotori oleh noda-noda yang merah kehitam-hitaman. Dengan kerut merut dikening ia bergumam "Noda apakah kira-kira yang melekat pada ujung parang ini?" Kawan-kawannya mengamat-amatinya. Yang seorang berkata "Tentu parang ini milik seorang pencari kayu bakar. Noda ini adalah getah pohon racun" "Bodoh kau, getah pohon racun berwarna putih" "Ya,tetapi getah pohon racun yang sudah bernoda warna soga" "Ah macam kau. Noda itu tentu getah kayu Cangkring" "Bukan, getah kayu Cangkringpun keputih-putihan"
913 "Kalian memang bodoh" Kesambilah yang kemudian menyambung "parang ini tentu baru saja dipergunakan buat mengupas sabut kelapa muda. Lihat, warna-warna merah sahut itu masih tampak meskipun menjadi hitam" Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak seorangpun yang membantah karena tidak seorangpun yang mengetahui lebih banyak lagi tentang warna-warna itu. Selagi mereka termangu-mangu, maka Wiyatsihpun menyusup diantara mereka sambil bertanya "Apakah yang kalian lihat?" Anak muda yang menemukan parang itu menjawab "Nah, barangkali kau tahu, apakah getah pelepah pisang itu sewarna dengan noda-noda ini?" "Wiyastih memperhatikan noda pada parang yang diketemukan itu. Sejak ia mengamat-amatinya. Namun kemudian tampakiah wajahnya menegang. Ia pernah melihat noda yang warnanya seperti warna noda pada parang itu. Warna darah yang sudah membeku. Ketika beberapa orang perampok terbunuh dihalaman rumahnya, maka noda-noda darah serupa itulah yang dulihatnya pada hari berikutnya. Dan kini ia melihat noda itu pada sehelai parang ditepian, ditempat anak-anak muda Sambi Sari membuat bendungan. "Warna apa?" anak muda itu mendesak. Sejenak iapun mengerutkan keningnya ketika ia melihat wajah Wiyatsih yang meniadi pucat. Tetapi cepat-cepat Wiyatsih menghilangkan kesan goncangan perasaannya itu. Sejenak kemudian maka iapun tersenyum sambil berkata "Tentu noda ini noda telutuh gori" "Ah, mana mungkin" seorang anak muda yang lain berteriak "mana mungkin. Telutuh goripun berwarna putih"
914 "Memang. Tetapi jika telutuh gori itu tersentuh kotoran yang lain, maka kotoran itu akan melekat dan biasanya membuat warna seperti itu" Anak-Anak muda itu sama sekali tidak puas mendengar jawaban itu. Tetapi Wiyatsih segera melangkah pergi dan bahkan parang itu dibawanya. "He, kau bawa kemana parang itu?" "Ini parangku. Kemarin aku mengupas gori dengan parang ini" Anak-anak itu mengangguk-anggukan kepala. Tetapi salah seorang masih juga bertanya "Bagaimana mungkin parang ini dapat sampai disini?" "Tentu kau yang mengambilnya dari dapur" Wiyatsih justru menuduhnya. "Celaka" guman anak muda itu "lebih baik aku diam saja" Anak-anak yang lainpun tertawa. Wiyatsih juga tertawa. Tetapi hanya bibirnya sajalah yang tertawa, karena pada saat itu hatinya sedang bergejolak dahsyat sekali. Parang itu bernoda darah. Dan siapakah yang telah mempergunakan parang itu ditepian, ditempat Hantu Bertangan Api itu menunggu Pikatan. Berbagai pikiran bergulat didalam otaknya. Tetapi ia menjadi agak tenteram karena ia masih melihat Pikatan ada dirumah. "Seandainya terjadi sesuatu, kakang Pikatanlah yang masih tetap selamat" katanya didalam hati. Namun iapun menjadi ragu-ragu. Tentu Hantu Bertangan Api tidak akan membawa senjata seburuk itu. Juga kawan-kawannya. "Jadi, apakah yang.telah terjadi disini?" pertanyaan itu telah bergulat didalam hatinya.
915 Tetapi Wiyatsih tidak dapat bertanya kepada siapapun hari itu. Jika ia ingin mempersoalkan senjata bernoda darah itu, maka ia harus menunggu malam nanti jika Puranti atau Kiai Pucang Tunggal datang menengoknya. Jika mereka tidak datang, maka ia harus menahan masalah itu didalam dadanya, meskipun seakan-akan gejolak itu membuat dadanya hampir retak. Pada hari itu, Wiyatsih tampaknya lebih banyak merenung dari hari-hari sebelumnya, sehingga seorang kawannya menggamitnya sambil bertanya "He, apakah yang kau renungkan?" Wiyatsih terkejut. Sambil berdiri da menjawab "Aku tidak merenung. Bahkan kadang-kadang alam didalam renungan itu sangat menyenangkan" "Mungkin kau benar " jawab Wiyatsih "dan agaknya kali terlalu sering merenung" "Tidak terlalu sering, hanya kadang-kadang" Wiyatsih memandang kawannya itu sejenak, lalu, He, lihat. Air itu sudah mendidih" Kawannya masih saja tersenyum. Tetapi ia tidak berkata apa-pun lagi. Dipandanginya saja Wiyatsih yang berjalan keperapian. Sebenarnyalah, bahwa Wiyatsih pada hari itu lebih banyak tenggelam didalam angan-angannya. Parang yang kemudian disembunyikan itu sangat mempengaruhinya. Dan ia tidak dapat membagi kegelisahannya dengan siapapun juga dibendungan itu. Meskipun ia selalu berusaha tersenyum dan menghilangkan setiap kesan yang buram diwajahnya, namun kawan-kawannya, terlebih-lebih lagi kawannya yang dekat, dapat menangkap sesuatu yang lain pada gadis itu. Ketika matahari sampai kepuncak langit, maka anak-anak muda yang sedang membangun sebuah bendungan itupun
916 beristirahat seperti biasanya. Mereka duduk berserakan, dan bahkan ada yang berbaring dipasir tepian, Keringat yang masih belum kering ditubuhnya, membuat tubuh itu menjadi kotor oleh pasir yang melekat. Tetapi sama sekaii tidak dihiraukannya. Bahkan pakaian yang basahpun sama sekali tidak mengganggunya. Dalam pada itu, Wiyatsihpun duduk disudut dapurnya. Kawan-kawannyapun sedang beristirahat pula. Bahkan ada beberapa orang gadis yang sudah mendahuluinya pulang, karena tugas mereka setelah makan siang, hampir tidak ada lagi, selain, membersihkan alat-alat. Mereka membagi diri sehingga setiap hari sebagian dari gadis-gadis itu dapat mendahului kawan-kawannya yang lain bergantian. Tetapi kadang-kadang gadis-gadis itu lebih senang berada ditepian sampai saatnya matahari jauh turun diarah Barat, dan pulang bersama dengan kawan-kawannya yang lain, apabila mereka tidak mempunyai keperluan lain dirumah. Wiyatsih yang sedang merenung itu berpaling ketika ia mendengar langkah mendekatinya. Gadis itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat Kesambi berdiri beberapa langkah dibelakangnya. "O" Wiyatsihpun kemudian berputar menghadap anak muda itu "apakah kau sudah makan?" "Sudah. Aku kira semuanya sudah makan" Wiyatsih menganggukkan kepalanya dan Kesambi berdiri semakin dekat. "Kenapa kau merenung Wiyatsih?" bertanya Kesambi kemudian. "Lelah" jawab Wiyatsih singkat. "O" Kesambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun katanya kemudian "tetapi kau tidak pernah tampak begitu letih seperti sekarang. Mungkin setiap hari kau berada ditepian
917 ini sehari penuh, sedang kawan-kawanmu kadang-kadang pulang mendahului" Wiyatsih tidak menyahut. Tetapi dimalam hari, yang diharapkan itupun tidak dapat diperolehnya. Ternyata Kiai Pucang Tunggal dan Puranti juga tidak dapat mengatakan apa yang sebenarnya sudah terjadi. "Sekali-kali kau perlu beristirahat Pembuatan bendungan ini sudah berjalan lancar. Setidak-tidaknya kau tidak usah memikirkannya sampai saat purnama nanti. Jika saat purnama naik nanti Pikatan benar-benar tidak mau datang, biarlah kami anak-anak muda semuanya akan tidur ditepian. Betapapun tinggi kemampuan seseorang, tetapi jika kami hadapi bersama-sama, maka ia tidak akan dapat banyak berbuat" Wiyatsih memandang Kesambi sejenak-. Lalu "Kau keliru Kesambi. Jika kalian ingin melawannya, maka akibatnya akan sangat mengerikan. Semakin banyak anak-anak muda yang melawannya, maka korbanpun akan menjadi semakin banyak pula" "Maksudmu?" "Tentu mayat akan berserakan dibendungan ini. Jika demikian tumbal akan terlalu banyak. Dan itu sama sekali tidak aku inginkan, dan kita semuanyapun tidak akan menginginkannya" "Jadi, apakah kita akah melepaskan bendungan kita ini?" "Juga tidak" "Jadi?" "Itulah sebenarnya yang sedang aku renungkan" Kesambipun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti perasaan apakah yang bergejolak didalam hati Wiyatsih. Tentu bagi Wiyatsih akan sulit sekali untuk menjatuhkan pilihan. Bendungan ini atau Pikatan. Bahkan
918 Kesambi itu berkata didalam hatinya "Jika Pikatan tidak cacat, maka Pikatan tentu tidak akan mengasingkan dirinya. Dan tentu Pikatan akan dapat menyelesaikannya dengan mudah. Sedangkan dalam keadaan cacat itupun ia dapat membunuh beberapa orang perampok dihalaman rumahnya. Tetapi perampok-perampok itu tentu tidak sebesar orang yang menyebut dirinya seorang yang telah berani mengimbangi dan mengundang Pikatan itu" Wiyatsih tidak mengatakan apapun lagi. Ia juga tidak mengatakan tentang parang yang disimpannya. Semuanya itu merupakan persoalan baginya sendiri. Demikianlah, betapapun dadanya serasa sesak, namun Wiyatsih tetap berada dibendungan itu. Ia meninggalkan tepian bersama-sama" dengan kawan-kawannya. *** "Tinggalah bersama Puranti" berkata Kiai Pucang Tunggal "aku akan pergi kebendungan itu. Aku akan melihat, apakah Hantu Bertangan Api itu masih berkeliaran" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mudah-mudahan aku mendapatkan bahan yang lebih banyak untuk mengetahui apakah yang sudah terjadi itu" Demikianlah, maka Kiai Pucang Tunggalpun pergi kebendungan untuk melihat, apakah Hantu Bertangan Api itu masih ada disana. Ketika ia sudah berada disebelah tanggul, maka dengan hati-hati iapun mendekat. cahaya bulan muda yang sudah mulai menerangi tepian itu di ujung malam, membantu Kiai Pucang Tunggal yang sedang mengawasi tepian disebelah bendungan yang sedang dibuat. Dengan hati yang berdebar-debar ia melihat tiga orang yang berjalan hilir mudik diatara brunjung-brunjung yang masih belum sempat diisi dan diturunkan ke sungai.
919 "Hantu Bertangan Api" desis Kiai Pucang Tunggal "ternyata ia masih hidup. Tetapi kenapa pembantunya itu terbunuh" Dan siapakah yang telah membunuhnya?" Pertanyaan itu tidak segera dapat dijawabnya. Dan pertanyaan yang belum terjawab itulah yang dibawanya kembali kepada Wiyatsih dan Puranti. "Apakah ada persoalan baru yang akan menambah buram keadaan Kademangan Sambi Sari?" bertanya Wiyatsih kepada diri sendiri. Dalam pada itu, Purantipun menjadi semakin cemas menghadapi perkembangan keadaan. Jika tidak segera diambil sikap yang pasti, maka keadaan akan dapat berlarut-larut. Apalagi bulan muda sudah menjadi semakin terang dilangit. Setiap hari bulan itu menjadi semakin bulat, sehingga akhirnya bulan itu akan menjadi bulat penuh. "Ayah" berkata Puranti kemudian "apakah ayah tidak segera dapat mengambil sikap?" "Sampai purnama naik?" bertanya Wiyatsih pula. "Purnama naik adalah batas yang terakhir. Jika sampai saat Itu aku tidak menemukan cara yang paling baik, maka kitalah yang akan mencegah usaha Hantu Bertangan Api, meskipun aku yakin bahwa hal itu pasti akan menyinggung perasaan Pikatan" "Itulah yang tidak dapat aku mengerti Kiai" berkata Wiyatsih "kakang Pikatan tidak mau berbuat sesuatu. Tetapi jika orang lain yang melakukannya, maka ia akan segera menjadi tersinggung. Kiai Pucang Tunggal mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu katanya "Aku akan mendapalkan jalan itu" Wiyatsih tidak mendesaknya lagi. Ia hampir tidak dapat mengharap Pikatan berbuat sesuatu. Karena itu yang dilakukannya kemudian adalah menempa diri sendiri, sejauh920 jauh dapat dilakukan, Bulan muda sudah bertengger dilangit. Sebelum bulan itu bulat, ia harus yakain, bahwa ia akan dapat melawan Hantu Bertangan Api, Tidak perlu Puranti atau bahkan Kiai Pucang Tunggal sendiri. Dengan demikian, maka Wiyatsih berlatih semakin tekun. Dorongan hatinya yang bergelora membuatnya seakan-akan sama sekali tidak mengenal lelah. Tetapi yang mengejutkan, bahwa dihari-hari berikutnya di Sambi Sari telah tersebar berita tentang perkelahian di tepian. Agaknya perampok yang masih tetap hidup itu tidak dapat menahan diri lagi untuk tetap merahasiakan apa yang terjadi. Mula-mula ia berceritera kepada keluarganya saja, dan kepada kawan-kawan terdekatnya. Tetapi ceritera itupun segera berpencaran dari mului ke mulut. Ternyata ceritera yang mengerikan itupun segera merayap ke segenap penjuru. Sehingga akhirnya sampai juga ke telinga orang Sambi Sari dan anak-anak muda. "Kesambi " seorang anak muda yang baru saja mendengar ceritera itu berkata dengan nafas terengah-engah di suatu pagi "Kau sudah mendengar ceritera tentang perkelahian yang terjadi di tepian ini?" Kesambi memang belum mendengar, itulah sebabnya ia menggelengkan kepalanya "Aku tidak mendengar perkelahian itu. Maksudmu, apa Pikatan sudah memenuhi undangan penantangnya" "Tidak, bukan Pikatan. Ceritera Ini berasal dari seorang penjahat yang diupah oleh beberapa orang untuk merusak bendungan ini" "He...!" Dan berceriteralah anak muda itu. Ternyata ceritera yang merambat dari mulut kemulut itu justru menjadi semakin mengerikan, sekan-akan telah terjadi pembantaian yang tidak
921 dapat dibayangkan. Seakan-akan beberapa sosok mayat telah dicincang menjadi sayatan-sayatan daging, kulit dan tulang. "Begitu?" bertanya Kesambi. "Ya" jawab anak muda itu. Dan belum lagi ia menjelaskan, anak muda yang lain berkata "Benar. Aku juga mendengar. Sepuluh orang lawan sepuluh. Mereka saling membunuh, seorang diantaranya bernama Hantu Bertangan Api" Kesambi menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata banyak diantara anak-anak muda itu yang mendengar peristiwa yang telah terjadi ditepian ini. Meskipun ceritera itu tidak tepat sama sama yang satu dengan yang lain, namun pada urutannya mereka menyebutkan pertempuran yang mengerikan telah terjadi ditepian dan beberapa korban telah jatuh" "Parang itu" tiba-tiba seorang berdesis "noda itu bukan getah apapun, tetapi itu tentu noda darah" Kesambi tidak segera menyahut. Ia mencoba untuk menilai keadaan dalam keseluruhannya. Ternyata bahwa untuk menyelesaikan bendungan ini telah dihadapinya berbagai macam rintangan yang sangat berat. Namun demikian Kesambi itu berkata kepada kawankawannya "Semuanya itu baru dugaan saja. Baiklah aku akan menyelidikinya. Apakah yang sebenarnya telah terjadi. Aku sendiri akan menemui Pikatan dan perampok yang telah mendapat upah itu. Apakah sebenarnya telah terjadi seperti itu" "Tetapi itu berbahaya sekali Kesambi. Mungkin Pikatan tidak akan berbuat apa-apa, selain membentak-bentak. Tetapi perampok yang telah diupah itu?" "Sudahlah" berkata Kesambi "jangan hiraukan. kita kerja terus. Kita harus melawan semua ceritera-ceritera yang barangkali sengaja ditiup-tiupkan untuk menakut-nakuti kita.
922 Dan kita bukan pengecut, karena sejak semula kita sudah meletakkan dasar niat kita untuk membuat bendungan itu" "Tetapi" tiba-tiba salah seorang berdesis "bagaimanakah jika hal itu dapat membahayakan diri kita?" "Kenapa kita" Kita tidak mempunyai persoalan dengan siapapun juga." "Menurut ceritera itu, orang-orang kaya yang tidak sependapat dengan adanya bendungan ini mulai bergerak. Selain itu, bagaimana dengan orang yang menantang Pikatan dan mengancam akan merusak bendungan ini?" Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Semua persoalan itu harus diatasi. Jika tidak, maka keragu-raguan akan segera mencengkam perasaan anak-anak muda di Sambi Sari. Karena Itu, maka katanya "Kita tidak usah mengarang ceritera sendiri. Kita mendengar beberapa patah kata yang belum kita ketahui kebenarannya. Kemudian dikepala kita masing-masing, kita menganyam ceritera itu sehingga menjadi semakin dahsyat dan mengerikan. Itulah sebabnya kita menjadi ketakutan sebelum kita berbuat apa-apa" Kawan-kawan Kesambi mengerutkan keningnya. Tetapi mereka tidak menyahut lagi. Mereka mencoba untuk menenangkan diri mereka dengan keterangan Kesambi itu, meskipun sebenarnya dihati mereka sudah mulai tumbuh keragu-raguan, apakah bendungan itu kelak benar-benar dapat terwujud. Ternyata bahwa ceritera itu mempengaruhi juga gairah kerja anak-anak Sambi Sari. Bagaimanapun juga tampak wajah-wajah yang murung dan bahkan tegang. Anak-anak muda itu tidak lagi gembira seperti hari-hari sebelumnya. Pengaruh itu terasa pula oleh Wiyatsih. Iapun sudah mendengar apa yang telah terjadi. Dan berbeda dengan kawan-kawannya, maka Wiyatsih mempunyai bahan yang
923 lebih lengkap untuk mengurai persoalan yang sebenarnya sedang mereka hadapi, sehingga Wiyatsih mulai mendapat gambaran yang sedikit lengkap tentang perkelahian yang terjadi ditepian ini. Berbeda pula dengan Kesambi, yang sekedar memberikan sedikit ketenangan kepada kawan-kawannya dengan mengatakan bahwa ia akan menemui perampok yang masih hidup itu, Wiyatsih telah benar-benar melakukan, atas persetujuan Puranti dan Kiai Pucang Tunggal, maka Wiyatsihpun diam-diam dengan tidak menimbulkan kecurigaan telah berusaha menelusur sumber berita itu. Akhirnya Wiyatsih berhasil menemukannya. Ketika gelap mulai menyaput Sambi Sari dimalam yang cerah, Wiyatsih meninggalkan rumahnya dalam pakaian lakilaki. Ia sudah menyediakan tutup wajah bila diperlukan. Diperjalanan Wiyatsih dikawani oleh Puranti, yang masih juga selalu cemas jika tiba-tiba saja Wyatsih bertemu dengan Hantu Bertangan Api diperjalanannya itu. Adalah benar-benar diluar dugaan, bahwa perampok yang masih hidup itu harus berhadapan dengan dua orang yang sama sekali tidak dikenanya. Dengan wajah yang tegang, ketika ia membuka pintu rumahnya yang diketuk orang, dilihatnya dua orang berdiri dimuka pintu itu. "Siapakah kalian?" bertanya perampok itu. "Kau tidak usah bertanya tentang kami " jawab Wiyatsih. Orang itu mengerutkan keningnya. Meskipun didalam kegelapan kedua orang itu tampaknya seperti laki-laki, tetapi suara itu adalah suara perempuan. "Jangan heran. Aku memang seorang perempuan. Tetapi jika besok pagi aku mendengar ceritera tersebar, bahwa kau didatangi oleh dua orang perempuan berpakaian laki-laki,
924 maka umurmu akan segera berakhir, bukan Hantu Bertangan Api yang akan membunuhmu, tetapi kami berdua" Perampok itu menjadi semakin tegang. Tetapi harga dirinya benar-benar tersinggung. Meskipun lukanya masih belum sembuh, tetapi perempuan-perempuan itu sangat menyakitkan hatinya. "Siapakah kalian sebanarnya?" "Kami adalah isteri-isteri dari Hantu Bertangan Api itu" "He?" wajah perampok itu menjadi semakin tegang. "Jangan kaget. Isteri Hantu Bertangan Api itu lebih dari sepuluh orang. Dua diantaranya adalah kami. Sekarang, kami memerlukan kau" "Apa maksudmu?" "Ikut kami, supaya kami dapat bertanya dengan leluasa kepadamu. Tidak didepan rumahmu" Orang itu ragu-ragu sejenak. Tetapi jika benar orang-orang ini ada sangkut pautnya dengan Hantu Bertangan Api, maka ia tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa. "Cepat" bentak Wiyatsih. Orang itu tidak dapat membantah. Karena itu, maka iapun segera mengikutinya ketika Wiyatsih dan Puranti meninggalkan pintu yang kemudian ditutup lagi oleh perampok itu. Mereka bertigapun kemudian kebulak panjang diluar padukuhan. Mereka memasuki pematang dan kemudian berhenti disela-sela pokok jagung yang sudah hampir berbuah. Pohon jagung yang ditanam diakhir musim setelah panenan padi.
925 "Duduklah" berkata Wiyatsih kepada perampok itu. Perampok itu termangu-mangu. Namun sekali lagi Wiyatsih membentak "Duduk" Perampok itupun kemudian duduk dipematang, sedang Puranti dan Wiyatsihpun duduk pula disebelah menyebelah. "Nah, sekarang ceriterakan kepadaku, apa yang sebenarnya telah terjadi ditepian itu. Yang tersebar sekarang adalah desas-desus tentang suamiku. Apakah benar kau bertempur melawan Hantu Bertangan Api" " Perampok itu menjadi ragu-ragu. "Katakan yang sebenarnya sebelum aku berhasil menemui Hantu itu." Meskipun ia masih juga ragu-ragu, namun perampok itu akhirnya menganggukkan kepalanya. Katanya "Ya. Aku bertemu dan berkelahi dengan orang yang menyebut dirinya Hantu Bertangan Api." "Apa sebabnya?" Perampok itupun kemudian mengatakan tentang tugas yang harus dilakukan dengan upah yang menarik. Tetapi rencana itu gagal karena kebetulan Hantu Bertangan Api melihatnya. Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan nada yang dalam ia menggeram "Siapa sajakah yang mengupah kau?" "Orang-orang kaya di Sambi Sari" "Ya. Tetapi siapa saja orangnya" " "Aku tidak tahu. Ja Betetlah yang membicarakannya. Aku hanya diajaknya" "Bohong"
926 "Benar, aku tidak tahu, siapakah orang yang sudah mengupahnya. Menurut pendengaranku, lebih dari tujuh atau delapan orang kaya yang mengumpulkan uang untuk upah kami. Wiyatsih menggeram. Tetapi ia masih mencoba bertanya "Apakah aku harus memaksamu untuk menyebut nama-nama itu?" "Aku benar-benar tidak tahu" Wiyatsih memandang Puranti sejenak, lalu katanya ketika ia melihat isyarat Puranti "Baiklah. Kami akan pergi. Tetapi ingat, jangan ada seorangpun yang mengetahui bahwa isteri-isteri Hantu Bertangan Api berkeliaran juga didaerah ini. Jika ada seorangpun yang menyebutnya, maka kau akan mati dengan cara yang lebih dahsyat lagi dari cara yang ditempuh oleh hantu Bertangan Api ditepian. Aku dapat membunuhmu tidak dengan batu kerikil, tetapi dengan pasir yang aku taburkan di seluruh tubuhmu. Kau sadari apa yang akan terjadi atasmu" Tiga hari setelah itu kau baru akan mati. Dan tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya karena butiran debu itu akan menyelusuri seluruh urat darahmu" Ancaman itu memang sangat mengerikan. Karena itu maka perampok yang sudah terluka itu menganggukkan kepalanya sambil menjawab "Aku tidak akan mengatakannya kepada siapapun" "Tetapi ternyata ceritera tentang Hantu Bertangan Api itu diketahui oleh semua orang meskipun menjadi berbeda-beda" "Bukan maksudku. Tetapi Hantu itu sendiri tidak berpesan seperti kau." "Tentu ia tidak sempat, karena kau lari. Setelah ini kau jangan membumbui ceriteramu dengan ceritera yang anehaneh supaya umurmu agak lebih panjang sedikit"
927 "Baik, baik" perampok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sekarang pulanglah. Kalau pada kesempatan lain, orangorang kaya itu datang lagi kepadamu dan kau menerimanya juga, maka kau akan menyesal. Sekarang aku sudah tahu, jika bendungan itu rusak sebelum purnama naik kau adalah orangnya" "Tidak, tentu tidak. Aku sudah terluka, dan lukaku tidak akan sembuh benar sampai saat purnama naik. Bagaimana jika orang-orang itu menghubungi orang lain?" "Ceritera tentang Ja Betet yang mati ditepian itu sudah menutup setiap kemungkinan bagi orang lain. Karena itu, kau adalah satu-satunya orang yang bertanggung-jawab" "Aku bersumpah. Aku tidak akan melakukannya lagi" "Diam. Sekarang pergilah. Aku akan mencari Hantu Bertangan Api. Ia sudah meninggalkan kami lebih dari dua bulan berturut-turut" Perampok itu tidak menyahut. Didalam kegelapan malam ia melihat samar-samat wajah itu. Tetapi tidak begitu jelas meskipun Wiyatsih tidak mempergunakan tutup wajahnya. Apalagi didalam kecemasan, perampok itu hampir tidak berani memandang wajah perempuan-perempuan itu cukup lama. Demikianlah, maka Wiyatsih dan purantipun kemudian membiarkan perampok itu pergi. Sekali-sekali perampok itu masih berpaling, tetapi kemudian langkahnya semakin lama menjadi semakin cepat. Sepeninggal perampok itu Wivatsih menarik nafas dalamdalam. Katanya "Ceritera itu sebagian besar memang benar. Memang ada usaha untuk merusak bendungan Itu, justru dari orang-orang Sambi Sari sendiri, selain Hantu Bertangan Api, meskipun kepentingan mereka sangat berbeda"
928 Puranti menganggukanggukkan kepalanya. Namun didalam dadanya telah terjadi pergolakan yang sengit. Bahkan diluar sadarnya ia berkata "Persoalan ini memang harus segera selesai, jika tidak, semuanya akan gagal" "Puranti" desis Wiyatsih kemudian "aku melihat kemurungan diwajah Anak-Anak muda yang sedang mengerjakan bendungan itu" "Kita harus segera berbuat sesuatu" Puranti menyahut, tetapi ayah terlalu lamban. Mungkin umur ayah yang semakin tua membuatnya sangat berhati-hati. Mudah-mudahan peristiwa ini dapat mendorongaya semakin cepat" "Tetapi tentu menunggu saat purnama naik" --ooo0dw0ooo-- Jilid 12 "Ya Itulah yang aku cemaskan. Jika ayah menunggu saat purnama naik dan ternyata usaha itu gagal, maka penyelesaian yang dilakukannya adalah apa saja yang dapat dilakukan saat itu, dan yang barangkali tidak sesuai dengan keinginan ayah sendiri" Wiyatsih tidak menyahut. Sebenarnya ia juga ingin Kiai Pucang Tunggal mengambil sikap yang segera. "Aku selalu dilarang oleh ayah jika aku ingin membuat perhitungan langsung" berkata Puranti. Wiyatsih hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku akan berbicara sekali lagi" berkata Puranti kemudian.
929 "Aku akan mencobanya pula" berkata Wiyatsih "apapun tanggapan kakang Pikatan, aku harus memberitahukan bahwa sebentar lagi bulan akan bulat dilangit, dan masalah bendungan itu harus dipecahkan. Demikianlah, maka keduanyapun meninggalkan ladang jagung itu dan kembali menemui Kiai Pucang Tunggal yang menunggu keduanya di tepian Kali Kuning, dibawah tebing yang curam tempat mereka biasa berlatih. Dengan singkat Puranti menceriterakan apa yang didengarnya dari perampok itu, sehingga dengah demikian Kiai Pucang Tunggal mendapat gambaran yang pasti tentang orang-orang yang mati terbunuh itu. "Apakah ayah masih akan menunggu?" "Apaboleh buat Puranti" jawab ayahnya "kita hanya menunggu beberapa hari saja. Bulan menjadil semakin bulat, dan sudah barang tentu semuanya harus diatur sebaikbaiknya" Puranti menarik nafas dalam-dalam. "Tetapi kerja anak-anak muda Sambi Sari menjadi semakin kendor Kiai " berkata Wiyatsih. "Usahakah agar mereka tetap melakukan tugasnya. Untunglah bahwa kami sempat menyingkirkan mayat-mayat itu. Jika tidak maka kerja itu pasti sudah terhenti sama sekali" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa itu adalah suatu tekanan agar ia mendengarkan pendapat Kiai Pucang Tunggal. Demikianlah waktu yang pendek itu dilalui dengan penuh ketegangan. Namun demikian, dengan susah payah Wiyatsih dan Kesambi berusaha agar anak-anak muda Sambi Sari tidak menjadi jemu dan apalagi ketakutan. Meskipun ada juga satu dua yang dengan berbagai macam alasan sudah tidak dapat bekerja sepenuhnya, namun betapapun lambatnya, kerja itu
930 berjalan terus, dari hari kehari dengan penuh ketegangan, kecemasan dan debar yang semakin keras memukul jantung mereka. Dalam pada itu, Wiyatsihpun ternyata bekerja semakin keras disiang dan malam hari. la tidak mau ikut menyusut dalam kerja dibendungan, tetapi ia ingin juga mencapai kemajuan sejauh-jauhnya dibidang olah kanuragan. Ketika bulan sudah hampir bulat, maka sekali lagi Wiyatsih menemui Pikatan. Sekali lagi ia memperingatkan, bahwa menjelang purnama naik, Hantu Bertangan Api menunggunya. "Aku tidak peduli pada bendungan itu" berkata Pikatan "jika pada suatu saat aku akan membuat perhitungan dengan Hantu Bertangan Api, aku melakukannya setelah purnama haik, Setelah bendungan itu dirusaknya. Aku ingin menyelesaikan persoalanku tanpa menghubungkannya dengan siapapun dan dengan apapun. "Bukan kau kakang, tetapi hantu itulah yang telah menghubungkan persoalan itu dengan bendungan yang belum selesai. "Itu bukan urusanku. Jika kau memang mempunyai kemampuan berkelahi seperti yang pernah kau perlihatkan, kenapa tidak kau pertahankan bendunganmu?" "O, jadi kakang tidak berkeberatan jika akulah yang melawan Hantu Bertangan Api?" "Apakah keberatanku, Itu urusamnu. Jangan mengorbankan aku" Dada Wiyatsih menjadi semakin panas. Dan kakaknya melanjutkan "Jika kau ingin mendapat pujian dari seluruih rakyat Sambi Sari, kau harus dapat melakukannya hingga selesai. Kau tidak perlu menjerumuskan aku untuk menjadi tumbal bendunganmu, karena kau menyangka bahwa jika aku
931 sudah mati karena Hantu Bertangan Api itu, ia tidak akan merusak bendunganmu" "Tidak, tidak. Bukan maksudku. Tetapi aku mengharap bahwa kakang Pikatan dapat membinasakan Hantu Bertangan Api itu, sehingga bendungan itu tidak akan terganggu lagi" "Omong kosong. Aku tidak peduli. Lakukanlah sendiri bersama dengan kawan-kawan kebanggaanmu itu" Bibir Wiyatsih menjadi gemetar. Lalu katanya " adi kau menghendakl begitu" Kau ingin akulah yang membunuh Hantu Bertangan Api itu" Bailklah, Tetapi kau jangan tersinggung karenanya. Kau jangan menganggap hahwa aku telah merendahkan kau, karena kau adalaih saudaraku, Saudara tua dan apalaga saudara laki-laki" "Persetan" bentak Pikatan "aku tidak peduli. Aku juga tidak peduli jika kau akan ditelan oleh Hantu Bertangan Api itu hidup-hidup. Kau akan menyesal atas kesombonganmu. Tetapi aku tidak peduli, apakah kau akan menjadi debu karenanya" "Kakang" teriak Wiyatsih. Pikatan tidak menghiraukannya. Iapun kemudian menutup biliknya meskipun Wiyatsih masih berdiri didepan pintu. Wiyatsih tidak dapat menahan tangisnya yang meledak. Iapun kemudian berlari-lari kebiliknya. Tidak seorangpun yang berani medekatinya, karena ibunya tidak berada dirumah. Namun ketika langkah Wiyatsih menjauh, pintu bilik Pikatan terbuka sedikit. Sedikit saja, dan Pikatan mangintai dari celahcelahnya. Terasa sesuatu bergejolak dihati anak muda itu. Setiap kali ia melihat Wiyatsih menangis jika berselisih dengannya. Dan hampir setiap mereka berbicara tentang apapun, pembicaraan itu tentu akan berakhir dengan perselisihan.
932 Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia menutup pintu yang hanya terbuka setebal jari itu. Perlahan-lahan pula ia melangkah ke pembaringannya dan duduk sambil menyangga kepalanya dengan tangan kirinya. Dalam pada itu, Wiyatsiih yang menangis dibiliknya menggeretakkan giginya sambil berkata kepada diri sendiri "Aku tidak akan memintanya lagi pergi ke bendungan. Akulah yang akan mewakilinya. Aku akan manyebut diriku Pikatan. Jika orang itu tidak mau menganggap aku Pikatan, aku akan mendahuluinya" Wiyatsih meremas jari-jarinya pada rangka pembaringannya. Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar derik bambu yang diremasnya itu menjadi remuk. "O" barulah Wiyatsih menyadari, bahwa kemarahan yang meluap dihatinya telah membangkitkan tenaga cadangannya, sehingga jari-jarinya memiliki kekuatan wajarnya. Namun dengan demikian seakan-akan ia menemukan keyakinan dalam dirinya. Memang tidak ada jalan lain. Ia sendirilah yang harus melawan Hantu Bertangan Api itu, seperti yang dikatakan oleh kakaknya. Akibatnya tentu akan lebih bailk daripada jika Puranti atau Kiai Pucang Tunggallah yang akan menanganinya bagi Pikatan. Ternyata betapa kemarahan, kejengkelan dani kepepatan hati menyumbat dadanya, namun la masih juga dapat membuat pertimbangan, kemuigkinan yang paling baik bagi perasaan Pikatan, dan selain itu, ia memang juga ingin mengatakan kepada Pikatan, bahwa sebenarnyalah ia juga mampu melakukannya. "Aku akan berbicara dengan para penjaga itu" berkata Wiyatsih "jika Hantu itu curang dan membawa beberapa orang kawan, biarlah para penjaga regol itu membantuku, memberi kesempatan kepadaku untuk bertempur seorang lawan seorang dengan Hantu Bertangan Api itu"
933 Demikianlah, maka tekad itu sudah bulat. Ia harus mengatakannya kepada Puranti dan Kiai Pucang Tunggal. Tidak ada jalan lain yang harus dilakukannya dalam keadaan serupa itu. Ketika gelap malam mulai menyelubungi padukuhan disekitar Alas Sambirata, maka Wiyatsihpun mendapatkan para penjaga yang masih belum naik kependapa. Mereka masih duduk diregol halaman rumah Nyai Sudati. Dijalan yang membujur didepan regol itu, kadang-kadang masih ada seorang dua orang yang berjalan tergesa-gesa. Mereka adalah orang-orang yang kemalaman di pategalan menyiangi tanaman mereka. Kedua penjaga itu melihat mata Wiyatsih yang menjadi bendul dan kemerah-merahan. Dan merekapun segera mengetahui bahwa Wiyatsih tentu baru saja menangis sehariharian. "Apakah kau bertengkar lagi Wiyatsih?" bertanya penjaga yang tinggi agak kekurus-kurusan. Wiyatsih menganggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya "Dari mana kau tahu?" "Matamu menjadi redup sekali dan kemerah-merahan" Tanpa sesadarnya Wiyatsih mengusap matanya. Katanya "Kakang Pikatan selalu marah kepadaku" "Sebaiknya kau tidak mendekatinya, atau jangan dibawa ia berbincang tentang apapun juga" "Tetapi beberapa hari lagi purnama naik. Aku sekedar memperingatkannya, bahwa kepentingan pokok dari Hantu Bertangan Api itu adalah kakang Pikatan. Dan aku berharap bahwa kakang Pikatan dapat memusnahkannya, sehingga untuk selama-lamanya ia tidak akan mengganggu kita lagi"
934 Kedua penjaga itu mengangguk-anggukkan kepalauya. Tetapi salah seorang dari keduanya bertanya "Apakah menurut dugaanmu, Pikatan akan menang?" "Tentu. Dahulu kakang Pikatan menang. maka sekarangpun kakang Pikatan pasti akan menang. Jika orang itu sempat meningkatkan ilmunya, kakang Pikatanpun sempat juga meskipun kini tangannya hanya sebelah" Kedua penjaga itu hanya dapat menarik nafas dalamdalam. "Tetapi kakang Pikatan sama sekali tidak menghiraukannya. Wiyatsih berhenti sejenak, lalu "karena itu aku sudah mengambil keputusan, bahwa akulah yang akan melawan hantu Bertangan Api itu" "Kau?" kedua penjaga itu bertanya hampir berbareng. Wiyatsih menganggukkan kepalanya. Lalu katanya "Tetapi aku minta bantuanmu. Aku tidak minta kau ikut bertempur melawan Hantu Bertangan Api. Biar aku sajalah yang akan menyelesaikannya" "Jadi apa yang harus kami lakukan?" "Kau hanya sekedar mengawasi. Jika ada anak buah Hantu Bertangan Api yang curang, cegahlah, sehingga aku mendapat kesempatan berperang tanding hingga selesai apapun akibatnya. Jika aku mati, kubuikan aku disebelah bendungan, agar mayatku dapat menjadi tumbal pembuatan bendungan itu selanjutnya, Hantu Bertangan Api tentu tidak ingin lagi merusak bendungan itu, karena ia akan berpendapat, bahwa hal itu tidak akan ada gunanya lagi sepeninggalku. Apalagi bendungan, sedang kematianku tidak menggerakkan kakang Pikatan untuk pergi ke bendungan itu" "Ah, jangan berkata begitu Wiyatsih. Kami tahu bahwa kau selama ini telah berlatih mati-matian. Mudah-mulahan ilmumu
935 meningkat semakin tinggi, dan kau dapat menyelesaikannya dengan baik" "Tentu tidak seorangpun mengharap agar dirinya terbunuh di dalam perkelahian. Tetapi jika itu terjadi, apaboleh buat, jangan lupa akan pesanku itu" "Jangan begitu Wiyatsih. Tentu ibumu akan sangat bersedih" sahut salah seorang dari kedua penjaga itu "kenapa kita tidak menghadapi bersama-sama". Mungkin kau dan kami berdua dapat melawan Hantu Bertangan Api itu, sedang kawan-kawannya, kita serahkan kepada anak-anak muda Sambi Sari. Jika sejak sekarang mereka berlatih, maka mereka tentu akan dapat mengatasinya" "Sejak sekarang?" bertanya Wiyatsih "hitunglah, berapa hari lagi purnama akan naik. Kau sangka, kita dapat berlatih dalam empat lima hari saja dan sudah cukup untuk melawan gerombolan Hantu Bertangan Api" Meskipun seandainya anakanak muda Sambi Sari ada yang berani melakukannya, namun korbannya tentu terlampau banyak" Kedua penjaga itu tidak dapat mengatasinya lagi. Memang mengerikan sekali jika ditepian itu berserakan mayat anakanak muda Sambi Sari, Dengan demikian maka setiap orang pasti akan menyalahkan Wiyatsih dan Kesambi yang dengan sepenuh hati berusaha membawa semua anak-anak muda Sambil Sari untuk bekerja ditepian membuat bendungan itu. Dengan demikian, maka bendungan itu akan terhenti karena tidak seorangpun lagi yang berani dan yang boleh turun ketepian Kali Kuning. Orang-orang tua yang sejak semula sudah ragu-ragu, akan menyebutnya sebagai bencana karena anak-anak muda Sambi Sari tidak menghormati lagi danyang peri prayangan yang menunggui Kali Kuning dan Alas Sambirata. Sedang orang-orang kaya akan menganggukanggukkan kepalanya karena usaha yang dapat menutup kemungkinan untuk memeras lebih banyak lagi telah lenyap
936 bersama, lenyapnya beberapa nyawa anak-anak muda Sambi Sari. Dan kesulitan semacam itu harus diatasi oleh Wiyatsih. Pikatan sama sekali tidak mau mengetahuinya. Ia masih saja acuh tidak acuh dan membiarkan adiknya, seorang gadis yang masih sangat muda itu menghadapi persoalan itu. Para penjaga itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. "Bagaimana" Kalian belum menjawab permintaanku. Apakah kalian bersedia turun ketepian disaat purnama naik?" "Tentu Wiyatsih" jawab mereka bersamaan. "Jika terjadi apa-apa dengan kalian, maka biarlah keluarga kalian tidak menderita. Sebelum purnama naik aku akan mengusahakan usahamu untuk beberapa bulan dan sedikit bekal bagi keluargamu" "Ah, itu tidak, perlu Wiyatsih. Katakanlah bahwa tugas yang kau bebankan kali ini bukannya tugas pribadi. Bukan karena aku berkelahi untuk melindungi rumah ini dan harta kekayaanmu. Tetapi jika itu yang kau maksud, maka aku telah berbuat untuk banyak orang, dan itu atas kesadaranku sendiri. Aku berterima kasih atas perhatianmu terhadap keluargaku. Tetapi sekali-sekali ada baiknya aku berbuat untuk banyak orang tanpa pamrih. Dan jika kesempatan itu terbuka, aku akan melakukannya. Namun sudah barang tentu, seperti yang kau katakan, aku tidak ingin terbunuh didalam perkelahian. Tetapi jika itu terjadi, apaboleh buat" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian dengan nada yang dalam "Terima kasih. Tetapi sebenarnya kalian tidak bersangkut-paut dengan Hantu Bertangan Api itu" Kedua orang itu memadang Wiyatsih dengan tajamnya. Yang seorang kemudian berkata "Setiap orang tentu bersangkut paut atas kejahatan yang dilakukan oleh siapapun"
937 "Terima kasih" berkata Wiyatsih sekali Jagi "pada saatnya aku akan membawamu ketepian. Pada saat purnama naik nanti. Karena hari itu adalah batas terakhk yang diberikan oleh Hantu Bertangan Api. Jika saat itu kakang Pikatan tidak datang, maka bendungan itu akan dirusaknya. Dan tentu aku tidak akan membiarkannya" Kedua orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang kekurus-kurusan berkata "Kami akan menyediakan senjata kami yang paling baik" Demikianlah Wiyatsih dengan haru meninggalkan kedua penjaga regolnya. Ternyata mereka bukan orang-orang upahan yang hanya berbuat sesuatu dengan imbalan uang. Ternyata disamping bekerja untuk mendapatkan sesuap nasi, merekapun mempunyai tanggung jawab yang utuh terhadap lingkungan hidupnya. Jika orang-orang kaya berusaha menghancurkan lingkungan mereka untuk menambah kekayaan sendiri, maka kedua orang itu, meskipun hidupnya dalam kesulitan, namun mereka tidak membiarkan lingkungannva lebih menderita lagi. Dan yang dapat diberikannya untuk lingkungpnnya itu, hanyalah tenaganya, karena ia tidak mempunyai lebih dari itu. Sepeninggal Wiyatsih maka kedua orang itupun kemudian pergi ketempat yang sepi dihalaman samping. Mereka ternyata masih ingin juga mencoba apakah mereka dapat meningkatkan meskipun hanya setitik, ilmu mereka untuk menghadapi bahaya yang sebenarnya akan mereka hadapi. "Besok kita minta Wiyatsih memberikah waktu semalam suntuk untuk kita. Jika ia masih bersedia, malam-malam berikutnya pula, kemudian kita beristirahat semalam, karena malam berikutnya lagi adalah saat purnama naik" berkata salah seorang dari kedua orang itu. Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa dua malam tidak. begitu berarti. Tetapi setidaktidaknya yang telah terlupakan dapat digalinya kembali dan
938 didalam keadaan yang gawat akan dapat membantu melindungi mereka dari lawan-lawannya Malam itu, Wiyatsih sendiri pergi menemui Puranti Disampaikannya apa yang dikatakan oleh Pikatan. Dan dikatakannya pula tekad yang sudah diputuskannya didalam hati. "Akulah gantinya kakang Pikatan. Itu adalah suatu cara penyelesaian yang lebih baik" berkata Wiyatsih. "Jangan kau Wiyatsih" berkata Puranti "lebih baik aku yang langsung menyelesaikannya, karena ia mempunyai persoalan tersendiri dengan aku" "Tetapi itu akan membuat kakang Pikatatn semakin terasing didalam dunianya yang sempit itu. Jika aku yang menghadapinya, apapun akibatnya, ia tidak akan dapat berbuat apa-apa, karena ia sendiri sudah menyuruh aku melawan sendiri" Puranti masih akan menjawab, tetapi Kiai Pucang Tunggallah yang mendahului "Kita akan menunggu sampai perkembangan terakhir" Kedua gadis itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak mengatakan sesuatu lagi. Hanya kepala mereka sajalah yang kemudian tertunduk lesu. "Wiyatsih dan Puranti" berkata Kiai Pucang Tunggal "aku sudah mendapatkan suatu gambaran penyelesaian yang dapat kalian tempuh. Aku masih tinggal mematangkannya saja. Malam ini aku akan melihat lagi ke bendungan itu, apa saja yang dilakukan oleh Hantu Bertangan Api disana" Yang dapat dilakukan oleh. kedua gadis itu hanyalah menganggukkan kepalanya. "Karena itu, marilah kita pergi. Kaliah berdua dapat berlatih, sedang aku akan melihat apa saja yang terjadi dibendungan"
939 "Baiklah ayah" jawab Puranti. "Hati-hatilah, setiap saat kau tanpa disengaja dapat bertemu dengan bencana itu. Jika kalian tidak mempunyai jalan lain, kalian dapat mengatasinya sesuai dengan perkembangan keadaan. Tetapi jika mungkin kalian harus menghindari dan menunggu sampai saatnya purnama naik" Demikianlah, Kiai Pucang Tunggal meninggalkan kedua gadis itu. Sejenak. keduanya masih berada dihalaman belakang rumah Wiyatsih. Sebelum mereka pergi, diam-diam mereka dapat juga melihat kedua penjaga regol itu berlatih. "Agaknya sudah cukup untuk mengikat pengikut-pengikut Hantu Bertangan Api itu didalam perkelahian tanpa membahayakan jiwa mereka sendiri. Karena menurut penilaianku, didalam gerombolan Hantu Bertangan Api itu, tidak ada orang yang memiliki ilmu mendekati Hantu itu sendiri, dan ternyata pula bahwa seorang kepercayaannya telah terbunuh di tepian melawan perampok-perampok kecil kawan-kawan Ja Betet" berkata Puranti kemudian. "Tetapi kita tidak tahu, berapakah sebenarnya kawan hantu itu. Mungkin tidak hanya satu dua, tetapi sepuluh atau lebih" "Kau dapat membawa anak-anak muda Sambi Sari ke bendungan pada saat purnama naik Wiyatsih" "Dan mengumpankan mereka" Mereka akan menjadi semacam batang ilalang yang ditebas dengan mudahnya" "Tentu tidak semudah itu. Kita tidak akan membiarkan mereka terbunuh. Bukankah selain kedua. penjaga regolmu itu, kita juga bertiga. Jika salah seorang dari kita harus berkelahi menghadapi Hantu itu sendiri, bukankah dua orang dari kita akan dapat melindungi anak-anak itu" Jika kita minta mereka keluar malam itu, semata-mata untuk memaksa mereka dihari-hari berikutnya mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang serupa"
940 Wiyatsih mengangguk-aggukkan kepalanya. "Aku mengerti maksudmu" Demikianlah, maka kedua gadis itupun kemudian meninggalkan halaman rumah Wiyatsih dan pergi ketepian yang dilindungi oleh tebing yang dalam. Seperti biasa mereka berlatih sebaik-baiknya. Dan bahkan hampir semalam suntuk. Disaat-saat terakhir itu, terutama Wiyatsih ingin meyakinkan dirinya, bahwa ia tidak akan mati dibunuh oleh Hantu Bertangan Api. Lewat tengah malam, Kiai Pucang Tunggalpun menyusul mereka berdua, setelah ia berihasil melihat dari kejauhan apa saja yang dilakukan oleh Hantu Bertangan Api itu. "Sepeninggal pengiringnya yang seorang itu, kini ia selalu membawa dua orang bersamanya" berkata Kiai Pucang Tunggal Kedua gadis itu mengangguk-anggukan kepalanya. "Hantu Bertangan Api tampaknya memang sudah gelisah. Empat malam lagi purnama akan naik. Waktu yang diberikan kepada Pikatan itu sebenarnya cukup longgar. tetapi sampai empat hari dari batas waktu yang ditentukan, Pikatan sama sakali tidak menampakkan diri" berkata Kiai Pucang Tunggal. "Apakah kira-kira yang akan dilakukan?" bertanya Wiyatsih. "Menilik sikapnya yang gelisah, maka jika Pikatan tidak datang pada saat purnama naik, ia akan benar-benar merusak bendungan itu. Aku sudah melihat ketiga orang itu mulai mengguncang timbunan brunjung ditepian. Bahkan mereka agaknya sedang mengamat-amati tali temali yang mengikat brunjung-brunjung yang sudah diturunkan kedalam air" "Benar-benar hantu tidak tahu diri" geram Wiyatsih "bendungan itu bukan bendunganku. Bukan bendungan Pikatan. Tetapi sampai hati juga Hantu itu menjadikan
941 bendungan itu sebagai taruhan. Ia memang harus dibunuh Kiai. Hantu itu memang harus dibunuh saja" "Tinggal empat malam lagi setelah malam ini Wiyatsih" "Ya" jawab Wiyatsih "empat malam lagi. Hantu itu yang binasa, atau aku yang akan berkubur dibendungan itu" "Ah" desah Puranti "jangan berkata begitu. Kau masih sangat muda" "Itu adalah tanggung jawab yang harus aku pikul" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Mudah-mudahan aku berhasil. Empat malam lagi" Kedua gadis itu memandanginya. Sorot matanya memancarkan kegelisahan hati. Sebenarnya mereka tidak sabar menunggu, apa saja yang akan dilakukan oleh Kiai Pucang Tunggal empat malam lagi. Dan jika itu gagal, maka bencana yang mengerikan akan terjadi. Mayat anak-anak muda Sambi Sari atau Wiyatsih sendiri harus menjadi tumbal karena kekerasan hatinya. Dihari-hari berikutnya, Wiyatsih tampak semakin murung. Sedang anak-anak muda Sambi Sari yang sedang berada dibendunganpun tampak menjadi semakin gelisah. Bahkan satu dua orang sudah kehilangan gairah sama sekali. Dengan nada yang datar mereka membicarakan kemungkinan yang dapat terjadi pada saat purnama naik nanti. "Kenapa kita menjadi berputus-asa" berkata Kesambi kepada mereka "jika pada saat itu Pikatan benar-benar tidak datang maka kitalah yang wajib mempertahankan bendungan ini?" "Kita harus berkelahi?" bertanya salah seorang dari anakanak muda itu. "Apaboleh buat"
942 "Tetapi, ceritera tentang pertempuran ditepian ini" Bukan saja kita, tetapi perampok-perampok itupun terbunuh oleh orang yang sedang menunggu Pikatan itu" "Kita tidak melihat sesosok mayatpun disini" "Tentu sudah disingkirkan" "Siapa yang menyingkirkannya" Orang yang menunggu Pikatan itu" Mustahil. Ia tidak akan membuang waktu dan tenaga untuk melakukannya. Atau perampok yang terlepas dari kematian itu" Itupun, mustahil. Ia pasti melarikan diri secepat-cepat dapat dilakukannya" "Jadi kau tidak percaya kepada berita itu?" "Bukan tidak percaya" jawab Kesambi "tetapi aku heran, bahwa tidak sesosok mayatpun yang kita temui ditepian ini, hanya sebuah parang, itupun jika dugaan kita benar" Anak anak muda Sambi Sari itu mengangguk-anggukkan kepalanya. mereka memang tidak melihat bukti apapun tentang perkelahian yang kabarnya terjadi dengan dahsyatnya ditepian ini, dan beberapa orang perampok terbunuh karenanya" Dalam pada itu, selagi anak-anak muda itu beristirahat disiang hari, Wiyatsih sempat berkata kepada Kesambi "Kalianlah yang harus mempertahankan bendungan ini jika kakang Pikatan tidak akan datang. Bukankah kalian laki-laki?" Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian, setiap kali ia mempersoalkan bendungan itu dan kemungkinankemungkinan yang dapat terjadi dengan kawan-kawannya. ia lelalu berkata "Bukankah kalian laki-laki?" Betapa kecutnya hati anak-anak muda di Sambi Sari. Namun diantara mereka, ada juga beberapa orang yang berhati jantan. Meskipun selama ini mereka tidak pernah menunjukkan kemampuan dalam persoalan yang keras dan
943 mempergunakan Kekerasan itu, namun mereka bersedia bersama-sama dengan beberapa orang kawannya untuk menunggui bendungan itu. "Kekuatan orang tentu terbatas juga" berkata salah seorang dari mereka "jika kita lawan mereka dalam jumlah yang banyak, tentu kita akan berhasil menguasainya juga" Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun demikian mereka masih saja selalu dibayangi oleh kecemasan dan kegelisahan. Orang yang menantang Pikatan itu tentu orang yang telah benar-benar mempersiapkan dirinya. Meskipun demikian, mereka merasa dipanggil oleh rasa tanggung jawab atas keselamatan bendungan yang akan dapat menjadi lambang kesuburan kampung halaman mereka. Dimalam yang kemudian menyelubungi Sambi Sari, Wiyatsih berada di kebun rumahnya bersama kedua penjaga regolnya. Mereka berlatih bersama-sama untuk mengungkapkan kembali kemampuan yang barangkali agak terselip karena mereka jarang sekali mempergunakannya. "Tetapi aku tidak dapat terlalu lama" berkata Wiyatsih kepada mereka "Kenapa?" "Aku mempunyai janji. Aku harus menepati janji itu. Tetapi dengan sedikit ungkapan dalam latihan ini, kalian akan dapat membuka sendiri kemungkinan-kemungkinan selanjutnya. Besok diujung malam begini, aku dapat mengawanimu lagi. Demikian juga malam berikutnya. Sedang malam yang menjelang, adalah malam disaat purnama naik. Kita akan berada dibendungan itu bersama-sama dengan beberapa orang anak Sambi Sari.
944 "Apakah anak-anak itu sudah pernah belajar mempergunakan senjata?" Wiyatsih menggelengkan kepalanya Dengan nada yang dalam ia berkata "Belum. Itulah yang membuat aku cemas. Tetapi dengan kalian berdua dan aku sendiri, mudah-mudahan semua kesulitan dapat diatasi jika Hantu Bertangan Api itu membawa beberapa orang kawan. Kedua penjaga regol itu mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi sebenarnya merekapun dirambati pula oleh perasaan cemas. Bagi diri mereka. Masing-masing, dan juga bagi anakanak Sambi Sari. "Apakah kami berdua akan dapat berbuat lebih banyak dari perampok-perampok yang menurut ceritera orang banyak itu dapat dibinasakan oleh Hantu Bertangan Api" Apakah didalam pertempuran itu nanti, anak-anak Sambi Sari tidak akan menjadi seperti ilalang yang ditebas dengan parang yang sangat tajam?" pertanyaan itu memang selalu mengganggu kedua penjaga regol itu. Namun seperti dapat membaca perasaan kedua penjaga itu, Wiyatsih berkata "Kalian tentu jauh lebih baik dari para perampok kecil yang terbunuh itu. Perampok-perampok itu tentu tidak lebih dari perampok-perampok yang pernah memasuki halaman rumah ini. Sedang perampok anak buah Hantu Bertangan Api itupun tidak perlu disegani. Yang mempunyai kelebihan didalam olah kanuragan hanyalah sekedar Hantu Bertangan Api itu sendiri. Sedang orangorangnya hampir tidak ada bedaya dengan perampokperampok kecil itu saja" Para penjaga itu menarik nafas dalam-dalam. Dalam pada itu, setelah mereka berlatih cukup lama, maka Wiyatsihpun meninggalkan mereka untuk menemui Puranti yang memang sudah menunggunya.
945 Bersama Puranti dan Kiai Pucang Tunggal, Wiyatsih masih berusaha mempergunakan waktu yang sebaik-baiknya. Meskipun tinggal ada waktu dua malam. Tetapi yang dua malam itu dipergunakan oleh Wiyatsih untuk meyakinkan tenaga cadangannya bersama Puranti. "Kau memang mengagumkan" berkata Puranti meskipun waktu yang kau pergunakan untuk mempelajari ilmu ini terhitung pendek, namun kau kini memiliki kemampuan yang luar biasa. Agaknya ayah telah menemukan cara yang sebaikhaiknya untuk menempa murid-muridnya" "Gadis itu adalah muridmu" berkata Kiai Pucang Tunggal. "O, aku tidak ingat lagi. Wiyatsih tidak pantas menjadi muridku karena ilmunya yang hampir menyamai ilmuku sendiri dalam waktu yang sangat singkat" berkata Puranti "ketika aku mulai mempelajari ilmu ini, untuk mencapai tingkat yang sama seperti Wiyatsih sekarang, aku mempergunakan waktu lima kali lebih lama" "Ah" Wiyatsih berdesah. "Sudahlah" potong Kiai Pucang Tunggal "berlatih sajalah terus. Memang dalam waktu yang pendek, tetapi dengan niat yang bulat, akan banyaklah yang dapat dicapainya" Kiai Pucang Tunggal berhenti sejenak, lalu "Tetapi tinggallah kalian disini. Aku akan melihat Hantu bertangan api itu sebentar" Kedua gadis itu menganggukkan kepalanya. Dan Purantipun kemudian berkata "Seharusnya ayah sudah dapat menentukan cara yang ayah katakan itu" "Mudah-mudahan setelah aku melihat hantu itu sekali lagi" Demikianlah maka Kiai Pucang Tunggalpun kemudian pergi meninggalkan kedua gadis yang sedang berlatih itu. Ia pergi ke bendungan untuk melihat sejenak, apakah Hantu Bertangan Api ada dibendungan"
946 "Dendamnya membara sampai keubun-ubunnya" berkata Kiai Pucang Tunggal kepada diri sendiri ketika Hantu Bertangan Api itu masih berjalan mondar mandir didalam cahaya bulan yang hampir bulat bersama dua orang pengiringnya. "Ia tidak akan datang" terdengar salah seorang dari kedua pengiringnya itu berkata. "Persetan" Hantu itu menggeram "jika saat purnama naik ia benar-benar tidak datang, maka aku akan memecahkan bendungan ini. Anak-anak muda Sambi sajalah yang kemudian akan melepaskan dendamku kepada Pikatan. Atau, didalam kesempatan lain aku harus membunuhnya" "Sebaiknya kita datang saja kerumahnya" "Aku menunggu sampai saat purnama naik. Dan aku akan merusak bendungan ini lebih dahulu sebelum aku merusak tubuh Pikatan yang memang sudah cacat itu" "Tetapi malam ini ia tidak akan datang" "Masih ada tiga malam lagi, setelah malam ini" geram Hantu Bertangan Api" Rasa-rasanya aku sudah tidak sabar lagi" Kawan-kawannya tidak menyahut lagi. Ketika Hantu itu kemudian berjalan hilir mudik pula, maka kawan-kawannya itupun duduk diatas sebuah brunjung yang sudah diisi dengan batu, tetapi belum sempat diturunkan kedalam air. Kiai Pucang Tunggal tidak menunggu mereka lebih lama lagi. Dengan hati-hati ia meninggalkan tanggul diatas tebing itu, tetapi ia tidak segera kembali ke tempat Puranti dan Wiyatsih berlatih. "Aku ingin meyakinkan diri tentang Pikatan sebelum rencana ini aku cobakan" berkata Kiai Pucang Tunggal didalam hati.
947 Ternyata bahwa ia sempat juga melihat Pikatan berlatih seorang diri. Tetapi benar-benar meyakinkan. Jika Pikatan itu kemudian bersedia melawan Hantu Bertangan Api, maka ia mempunyai kesempatan yang baik. Setidak-tidaknya Pikatan akan dapat mengimbangi kemampuan Hantu Bertangan Api. Bahkan Pikatan masih mempunyai kelebihan. Justru karena tangannya cacat, maka gerak kakinya menjadi semakin lincah. Namun demikian, jika Hantu Bertangan Api mempergunakan sanjata rangkap, maka itu akan merupakan suatu kelemahan bagi Pikatan yang harus diisi dengan kecepatan gerak tangan kirinya dan terutama adalah kakinya. Baru setelah ia yakin, maka Kiai Pucang Tunggal itupun kembali mendapatkan kedua gadis yang juga sedang berlatih dengan tekunnya. "Hampir tidak ada selisihnya" berkata Kiai Pucang Tunggal didalam hati ketika ia melihat Wiyatsih berlatih melawan Puranti "tetapi Puranti mempunyai kesempurnaan yang lebih baik didalam penyaluran tenaga cadangan dan penyesuaian diri yang masak terhadap kekuatan alam disekitarnya, justru yang sudah disediakan bagi manusia. Namun sambil menarik nafas dalam-dalam Kiai Pucang Tunggal berkata kepada diri sendiri "Tetapi disitulah letak puncak dari ilmu ini. Meskipun didalam tata gerak lahiriah keduanya hampir tidak ada selisihnya, tetapi didalam pengetrapan yang sebenarnya Wiyatsih masih harus banyak berlatih. Namun demikian, apabila terpaksa sekali, Wiyatsih pasti akan mampu dihadapkan kepada Hantu Bertangan Api itu. Dengan demikian maka Kiai Pucang Tunggal sudah sampai pada suatu kepastian, dan menganggap bahwa sudah sampai waktunya untuk mengatakan rencananya kepada kedua gadis itu. Karena itu, ketika ia sudah behar-benar yakin, maka iapun segera turun ketebing mendapatkan Puranti dan Wiyatsih, yang kemudian berhenti pula berlatih.
948 "Aku sudah siap dengan rencana itu" berkata Kiai Pucang Tunggal. Purantilah yang tidak sabar. Dengan serta merta ia bertanya Apakah rencana itu ayah?" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "Duduklah. Kita berbicara dengan tenang, agar kita dapat menilai setiap persoalan sehari-harinya" Kedua gadis itu menjadi berdebar-debar. Tetapi merekapun kemudian duduk diatas sebuah batu berhadapan dengan Kiai Pucang Tunggal. Dengan hati-hati Kiai Pucang Tunggal mengatakan rencananya. Dipilihnya kata-kata yang tidak menyakitkan hati dan mengejutkan. Orang tua itu sadar, betapa kerasnya hati kedua gadis itu. Puranti dan Wiyatsih mendengarkan setiap kata dengan bersungguh-sungguh. Tetapi kerut merut dikening mereka semakin lama menjadi semakin dalam. Sehingga sebelum Kiai Pucang Tunggal selesai sama sekali, Puranti telah memotongnya "Tidak ayah. Tidak dengan cara itu. Aku tidak mau" Ayahaya mengerutkan keningnya pula. Sejenak dipandanginya wajah Puranti yang menjadi suram. "Puranti" berkata Kiai Pucang Tunggal "jangan memandang hidup ini hanya sesaat. Kau mungkin dapat membanggakan dirimu dengan membunuh Hantu Bertangan Api. tetapi sepekan, sebulan dan untuk bertahun-tahun lamanya hatimu akan menjadi kering. Apakah hal itu sudah kau perhitungkan?" "Aku tidak memerlukan orang lain didalam hidupku selain ayah. Selagi ayah masih tetap menganggap aku sebagai anak, maka aku tidak memerlukan apapun" "Tetapi pada saatnya aku akan mati Puranti. Mungkin karena petualangan yang masih saja aku lakukan, karena
949 seperti sudah aku katakan, bahwa tidak ada seorangpun manusia yang seutuhnya sempurna, Yang sempurna hanyalah yang menjadikan kita semua. Itulah sebabnya. pada suatu saat kematian itu pasti tidak akan dapat kita hindari lagi" Kiai Pucang Tunggal berhenti sejenak, lalu "tetapi seandainya aku berhasil menggulingkan diri dari dendam yang pernah aku nyalakan dihati orang lain, maka akan datang juga niat itu menjemputku" Puranti menundukkan kepalanya. Dalam pada itu, Wiyatsih ternyata berpendirian lain. Dipandanginya wajah Puranti yang suram itu. Perlahan-lahan ia bergeser mendekatinya. Kemudian seperti Kiai Pucang Tunggal, maka dengan hati-hati ia berbisik "Puranti, pertimbangkanlah baik-baik" "Ah" Puranti memutar tubuhnya "tentu kau sepandapat dengan ayah, karena kau tidak merasakan, betapa sakitnya hati ini. Tentu tidak seorangpun, yang bersedia dihinakan dan direndahkan. Aku masih mempunyai harga diri" "Kau dapat melupakannya Puranti" berkata ayahnya "meskipun aku tahu bahwa itu akan sangat sulit dilakukannya. Tetapi kau harus menyadari bahwa yang terjadi sampai kini, bukannya sikap yang sewajarnya, tetapi dipengaruhi olah kejutan jiwa yang tidak tertanggungkan. Karena itu, kau yang tidak mengalami cidera jasmaniah, sebenarnya tidak perlu ikut mengalami goncangan perasaan sehingga kau perlu mempertahankan harga dirimu dan bahkan mencari saluran untuk menunjukkan kelebihanmu" "Ayah" wajah Puranti menjadi merah. Tetapi tiba-tiba saja Wiyatsih memeluknya sambil berkata "Puranti. Mungkin aku lebih muda dari padamu, sehingga pertimbanganku tidak cukup masak bagiku. Tetapi aku harap kau dapat menerimanya. Aku akan berbahagia sekali jika kita tidak terlampu dikungkung oleh harga diri kita masing-masing.
950 Aku juga tidak meskipun kakang Pikatan masih akan memakimaki aku setiap hari" Puranti tidak menghiraukannva sama sekali. Bahkan ia beringsut menjauh. Namun tiba-tiba terasa sesuatu menyentuh perasaannya ketika setitik air jatuh dilengannya, air mata Wiyatsih. "Kau mau mendengar Puranti" suara Wiyatsih mulai menjadi serak. "Jangan cengeng" Puranti memotong, Tetapi suaranyapun sudah berbeda. Dalam keadaan yang tidak dapat dihindari lagi, maka hati seorang gadis akan tersantuh oleh lembutnya titik air mata. Sejenak mereka terdiam. Namun Wiyatsih tidak lagi dapat menahan isaknya. Bahkan kemudian ia berkata "Puranti, pada dasarnya aku memang seorang gadis yang cengeng. Tetapi aka minta kepadamu, pertimbangkanlah setiap kata Kiai Pucang Tunggal sebaik-baiknya. Puranti tidak menjawab. Tetapi matanyapun menjadi panas. Namun ia tidak mau menitikkan air mata seperti Wiyatsih. Karena itu maka iapun segera berdiri sehingga tangan Wiyatsihpun terlepas. Dengan langkah yang tegang Puranti berjalan hilir mudik. Lehernya terasa pepat karena ia bertahan untuk tidak menangis. Kiai Pucang Tunggal dan Wiyatsih sama sekali tidak menegurnya. Dibiarkannya saja Puranti berusaha menguasai dirinya sendiri. Namun sejenak kemudian dengan lemahnya gadis itu duduk pula diatas batu. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Dan terdengarlah suaranya parau "Aku akan melakukannya ayah" Sekilas cahaya kegembiraan memantul dimata Kiai Pucang Tunggal. Namun ia masih harus berdiam diri ketika ia melihat
951 Wiyatsih sekali lagi memeluk Puranti seperti memeluk kakak kandung yang telah lama hilang dari padanya, walaupun ia harus bertahan agar tangisnya tidak meledak. Beberapa saat lamanya mereka saling berdiam diri, sehingga tepian dibawah tebing yang curam itu bagaikan dicengkam oleh kesenyapan yang tajam. Hanya desir air yang mengalir disela-sela bebatuan sajalah yang terdengar gemericik dalam irama yang ajeg. Sepi malam itupun kemudian dipecahkan oleh desah nafas Kiai Pucang Tunggal. Perlahan-lahan ia berdiri dan berkata "Terima kasih Puranti. Dalam keadaan yang tidak memaksa sekali, biarlah Pikatan yang mengakhiri persoalannya sendiri. Mudah-mudahan ia mau pergi ke bendungan. Dan agaknya aku masih mengharapkannya" Puranti tidak menyahut. Tetapi perlahan-lahan pula kepalanya menunduk. la tidak dapat ingkar dari perasaanya sendiri, dan ia tidak dapat lari dari sifat-sifatnya. sebagai seorang gadis betapapun keras hatinya. Karena itulah matanyapun manjadi panas pula. "Aku bukan gadis cengeng seperti Wiyatsih "ia menggeram didalam hatinya. Karena itulah maka ia bertahan sejauh-jauh dapat dilakukan, meskipun terasa pelupuknya menjadi basah, dan terasa pula sesuatu menyangkut dikerongkongan. Sejenak kemudian maka merekapun sudah merasa cukup membicarakan persoalan yang harus mereka lakukan kemudian, apalagi malam menjadi semakin larut mendekati fajar yang segera akan pecah di Timur. "Aku akan pulang" berkata Wiyatsih "besok aku akan berlatih lagi. Bagaimanapun juga, aku harus menyiapkan diri, jika terpaksa aku harus mengganti kedudukan kakang Pikatan" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas. Tetapi ia tidak membantahnya. Bahkan kemudian ia mengangguk sambil
952 berkata "Baiklah Wiyatsih. Besok kamipun akan datang seperti biasa" "Aku akan memenuhi permintaan para penjaga regol lebih dahulu. Baru tengah malam kita akan pergi ketepian ini" "Baiklah. Tetapi jagalah badanmu. Betapapun niatmu membakar dada, namun kemampuan jasmaniahmu sangat terbatas seperti kodratnya. Karena itu, cobalah beristirahat disiang hari, agar kau menjadi tetap segar sampai saat purnama naik. Bukan sebaliknya. Sebelumnya kau telah berusaha mati-matian, namun pada saatnya, kekuatan jasmaniahmu menjadi terus tanpa kau kahendaki" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahah ia menjawab "Baik Kiai. Aku akan tetap menyadari betapa terbatasnya kemampuan kita, manusia yang kecil ini" Demikianlah maka merekapun kemudian meninggalkan tepian, Wiyatsih dengan tergesa-gesa segera kembali pulang. la ingin mendahului kakaknya, Pikatan. Apalagi sesuai dengan pesan Kiai Pucang Tunggal, ia harus juga mengingat kemampuan jasmaniahnya. Karena itu, ia masih berusaha untuk tidur barang sekejap. Jika siang hari masih ada kesempatan, alangkah baiknya. Tetapi disiang hari ia harus berada di bendungan dan bekerja bersama-sama dengan anak muda Sambi Sari dalam suasana yang gelisah. Apalagi mereka merasa semakin dekat dengan saat purnama naik. Saat yang sama sekali tidak mereka harapkan. Ketika Wiyatsih dipagi hari sampai ke bendungan. rasarasa-nya bendungan itu masih sepi. Baru satu dua orang anak muda yang duduk dengan lesu diatas batu-batu yang masih belum dimasukkan kedalam brunjung-brunjung yang masih tertimbun. "Manakah yang lain?" bertanya Wiyatsih. Kesambi yang ada diantara mereka menjawab "Sebentar lagi mereka akan segera datang"
953 Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah seorang gadis yang pertama datang. Agaknya gadis-gadispun menjadi ketakutan dan ragu-ragu untuk datang ketepian. Tetapi ketika matahari semakin tinggi ada juga beberapa anak muda yang datang, meskipun tidak sebanyak biasanya. Gadis-gadispun tidak menuruni tanggul sambil tersenyumsenyum. Tetapi wajah-wajah itu manjadi buram dan berkerutmerut. Meskipun. demikian, kerja Itu mereka lanjutkan juga. Dengan tenaga yang ada mereka mengisi brunjung-brunjung bambu. Tetapi mereka tidak menurunkannya kedalam air. Meskipun demikian, namun Kesambi dan Wiyatsih tidak dapal memaksa anak-anak muda Sambi Sari dan gadisgadisnya untuk bekerja seperti biasanya. Mereka menyadari bahwa mereka dibayangi oleh ketakutan yang belum pernah mereka alami. Anak-anak yang jumlahnya tidak sebanyak hari-hari yang lewat itupun pulang sebelum matahari hinggap dipunggung bukit seperti biasanya. Mereka menjadi cepat lesu dan seakanakan tenaga merekapun cepat terkuras habis. Namun dengan demikian, Wiyatsih masih mendapat kesempatan untuk beristirahat. Disore hari menjelang senja ia berbaring dipembaringannya. Mereka-reka apakah yang kirakira akan terjadi pada saat purnama naik. Ibunya yang hampir tidak pernah melihat Wiyatsih berada di pembaringan menjelang sore hari menjadi bendebar-debar. Perlahan-lahan ia membuka pintu bilik itu dan perlahan-lahan pula ia melangkah masuk. "Ibu" Wiyatsihpun kemudian bangkit dan duduk dibibir pembaringannya. "Apakah kau sakit Wiyatsih?" bertanya ibunya. "Tidak ibu, kernapa?"
954 "Kau berbaring disaat begini?" "O" Wiyatsih mencoba tersenyum. Lalu katanya "Aku memang lelah sekali. ktapi aku tidak sakit. Hari ini kita bekerja lebih keras ditepian ibu Ada beberapa orang kawan yang karena sesuatu hal tidak dapat ikut masak bagi anak-anak muda yang mengerjakan bendungan itu, sehingga aku menjadi lelah sekali" Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tangannya meraba tengkuk Wiyatsih. Katanya "Tubuhmupun tidak panas. Mungkin kau memang lelah sekali. Beristirahatlah" "Baik ibu. Tetapi jika aku tertidur, tolong bangunkan aku pada saat lampu dinyalakan" "Kita sudah hampir menyalakan lampu didalam bilikmu yang mulai gelap ini" berkata ibunya. Wiyatsih tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum sambil membaringkan dirinya dipembaringannya. Ibunyapun kemudian meninggalkannya dan menutup pintu bilik itu. Namun ia sama sekali tidak mengetahui kegelisahan yang sebenarnya yang mencengkam hati anak-anaknya. Beberapa saat kemudian, ketika malam mulai turun, setelah dibangunkan oleh ibunya, maka Wiyatsihpun pergi kehalaman depan. Dilihatnya kedua penjaga regolnya bergegas berdiri dan menghampirinya. "Aku baru saja bangun tidur berkata Wiijatsih "tunggu sebentar. Aku akan mandi dan makan sedikit" Kedua penjaga regol itu mengerutkan keningnya. Salah seorang dari keduanya berkata "Kau tidak pernah tidur disaat begini" "Sekarang aku mencobanya" jawab Wiyatsih.
955 Penjaga regol itu hanya menarik nafas saja ketika kemudian ia melihat Wiyatsih tersenyum sambil berkata "Tunggulah di regol" Penjaga regol itupun kemudian kembali kepintu regol yang masih terbuka. Sejenak mereka berbincang tentang kemungkinan yang akan mereka hadapi. Namun merekapun kemudian berhenti ketika mereka melihat Tanjung memasuki halaman rumah itu. "Kalian sudah siap disitu?" bertanya Tanjung. "Ya" jawab salah seorang penjaga regol itu dengan hati yang kosong. Tanjung tidak bertanya lagi. Ia berjalan tergesa-gesa naik ke pendapa, kemudian mengetuk pintu pringgitan. "Siapa?" bertanya Nyai Sudati. "Aku, Tanjung Nyai" "O" desis Nyai Sudati. Sejenak kemudian pintu peringgitan itupun terbuka, dan Tanjungpun dipersilahkannya masuk. "Aku hanya sebentar saja Nyai" berkata Tanjung dengan tergesa-gesa pula "Keadaan menjadi bertambah buruk. Dan apakah Nyai sudah mendengar desas-desus tentang usaha merusak bendungan selain orang yang menantang Pikatan itu" Yang justru orang itu telah dirintangi oleh orang yang menyebut dirinya mempunyai kepentingan dengan Pikatan pada saat purnama naik itu" "Ya, aku memang mendengar. bahwa di bendungan terjadi semacam perang. Tetapi bagaimanakah jelasnya?" "Benar, semacam perang. Tetapi yang penting, kabar yang tersebar, orang-orang kayalah yang mengupah orang-orang itu untuk merusak bendungan" Nyai Sudati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Ya aku memang mendengar"
956 "Nah, bukankah hal itu berbahaya bagi Nyai?" "Kenapa?" "Anak-anak muda itu tentu akan membenci setiap orang kaya, termasuk Nyai. Apalagi Nyai sudah pernah mengatakan kepada Wiyatsih, bahwa Nyai tidak sependapat dengan bedungan itu" "O" wajah Nyai Sudati menjadi tegang, "tetapi aku tidak pernah ikut campur didalam Persoalan itu" "Aku tahu, Nyai. Tetapi hal ini perlu ditegaskan" "Maksudmu?" "Wiyatsih yang ikut serta dalam pembuatan bendungan itu harus tahu, bahwa Nyai tidak ikut mengupah orang-orang yang akan merusak bendungan itu, supaya Nyai tidak ikut menjadi sasaran kemarahan anak-anak muda itu. Meskipun andaikan musuh Pikatan itulah yang kemudian merusak, karena Pikatan tidak mau datang ke bendungan Pada saat purnamu naik, maka kebencian dan kekecewaan mereka terhadap Pikatan dan sekaligus terhadap orang kaya akan berbahaya Nyai" "Aku tidak tahu maksudmu" "Bukankah semua orang mempersoalkan Pikatan sekarang ini Nyai, karena ia tidak mau datang ke bendungan" "Lebih baik ia tidak mau datang ke bendungan. Aku juga mendengar bahwa Pikatan ditantang orang di bendungan. Aku sependapat bahwa ia tidak usah datang. Dan tentu saja, biarkan bendungan itu dirusak orang. Siapapun yang merusak. Aku tidak berkepentingan dengan bendungan itu, tetapi aku berkepentingan dengan Pikatan" "Baik Nyai. Karena itulah Nyai harus menjelaskan kepada Wiyatsih bahwa Nyai tidak terlibat didalam usaha merusak bendungan itu"
957 Nyai Sudati mengerutkan keningnya. Katanya "Baiklah. Aku akan menyampaikannya kepada Wiyatsih" Tanjung mangangguk-angguk. Namuni kemudian katanya "Tetapi pengaruh Nyai terhadap Wiyatsih kini sudah jauh berkurang. Bagaimana jika aku saja yang mengatakannya. la tentu mau mendengarkan aku. Aku berharap bahwa aku masih mempunyai pengaruh yang cukup atasnya" Nyai Sudati merenung sejenak. Namun kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata "Baiklah Tanjung. Cobalah mengatakannya. Ia baru mandi. Tetapi aku kira ia sudah selesai sekarang" Tanjung mengangguk-angguk pula ketika Nyai Sudati kemudian berdiri dan melangkah ke dalam memanggil anak perempuannya. Ketika ia melihat Wiyatsih baru makan, maka katanya "Datanglah ke Pringgitan setelah kau makan" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Sebelum ia bertanya, ibunya berkata kepadanya "Tanjung mempunyai sedikit keperluan dengan kau. Wiyatsih tidak menjawab. Tetapi kedatangan Tanjung itu tiba-tiba saja telah menghilangkan seleranya untuk makan Karena itu ketika ibunya kemudian meninggalkannya diletakkannya mangkuk nasinya. Setelah mencuci tangannya dan meneguk minumannya ia meninggalkan nasi yang sudah disenduknya didalam mangkok dari masih belum termakan semuanya itu. "Kenapa kau tidak menghabiskan makanmu?" bertanya seorang pelayannya. Wiyatsih menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan kening yang berkerut-merut Wiyatsihpun kemudian pergi ke pringgitan. Ketika ia membuka pintu dan melihat Tanjung duduk dihadapan ibunya, ia menjadi muak. "Duduklah Wiyatsih" berkata ibunya.
958 Dengan hati yang kosong Wiyatsihpun kemudian duduk di sisi ibunya. "Tanjung ingin berbicara sedikit Wiyatsih" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. Dipandanginya Tanjung sejenak, kemudian katanya "Bicaralah" Tanjung menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "Apakah kau pernah mandengar desas desus tentang orang-orang yang akan merusak bendungan yang sedang kau buat Wiyatsih?" Wiyatsih merenung sejenak, jawabnya "Tidak. Aku tidak mendengar apa-apa" Tanjung menarik alisnya. Ia menjadi heran mendengar jawaban Wiyatsih. Karena itu, ia mendesaknya "Wiyatsih, apakah kau benar-benar tidak pernah mendengar ceritera tentang usaha merusak bendungan itu?" Wiyatsih menggelengkan kepalanya dengan acuh tak acuh. "Wiyatsih" ibunyalah yang kemudian mendesaknya "jawablah yang sebenarnya" Wiyatsih memandang ibunya sejenak. Kemudian dipandanginya Tanjung dengan tajamnya "Apakah sebenarnya yang kau kehendaki Tanjung" Menakut-nakuti aku atau mengancam atau kau sendiri ikut berusaha merusak bendungan itu?" "Wiyatsih" ibunyalah yang memotong. Wiyatsih tidak menyahut. Dipandanginya saja wajah Tanjung yang menjadi tegang. "Aku bermaksud baik Wiyatsih" berkata Tanjung kemudian. "Terima kasih" jawab Wiyatsih. "Maksudku, agar kau tidak salah mengerti. Usaha merusak bendungan itu memang ada. Orang-orang kayalah yang mengusahakannya. Tetapi agar kau tidak salah paham. aku
959 ingin memberitahukan kepadamu, bahwa ibumu tidak terlibat didalamnya. "Aku sudah tahu" sahut Wiyatsih. Tanjung menjadi heran. Sejenak ia merenungi wajah Wiyatsih namun kemudian dipandanginya pula wajah Nyai Sudati yanig juga menjadi keheran-heranan. "Darimana kau mengetahuinya Wiyatsih?" bertanya Tanjung. "Dari ibu sendiri. Kenapa kau bertanya" Bukankah aku setiap hari berkumpul dengan ibuku, dan kau hanya kadangkadang saja datang kerumah ini" Tentu aku tahu lebih dahulu daripadamu. Dan tentu ibuku akan mengatakan hal itu kepadaku lebih dahulu daripada kepadamu" Wajah Tanjung menjadi merah padam. Dipandanginya wajah Nyai Sudati yang tampak kebingungan. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kata-kata Wiyatsih. Sebenarnyalah bahwa ia setiap hari berkumpul dengan Wiyatsih, dan memang wajarlah jika Wiyatsih mengetahuinya lebih dahulu dari Tanjung. Sejenak Tanjung terdiam. Ia tidak dapat segera mangatasi kebingungannya, sehingga Wiyatsih berkata "Jika hanya itu yang akan kau katakan Tanjung, sudah aku beritahukan bahwa aku sudah mengetahuinya. Nah, jika masih ada, apa lagi. Aku mempunyai pekerjaan lain dari pada duduk saja disini. Aku masih harus mencuci mangkuk dan alat-alat dapur yang kotor" Tanjung menjadi semakin bingung, sehingga karena itu ia tidak segera dapat menjawab. "Ibu" berkata Wiyatsih kemudian "agaknya tidak ada lagi yang akan dikatakan oleh Tanjung. Aku akan mencuci mangkuk didapur"
960 Ibunyapun menjadi bingung pula, sehingga dengan gugup ia bertanya kepada Tanjung "Apakah tidak ada yang akan kau katakan Tanjung?" "Tidak, tidak Nyai. Ternyata Wiyatsih sudah mengetahuinya" berkata Tatnjung terputus-putus. Wiyatsihpun kemudian meninggalkan Tanjung dipringgitan. Tetapi ia tidak Pergi ke dapur. Lewal pintu butulan ia pergi kehalaman dan menemui para penjaga regolnya. "Mariiah" berkata Wiyatsih "meskipun aku baru saja makan, kita berlatih sebentar. Biar saja Tanjung nanti lewat pintu regol ini. Tetapi tutuplah. Aku kira sudah tidak akan ada lagi orang yang akan lewat. Tetapi jangan diselarak" "Apakah Nyai Sudati tidak akan mencari kami jika ia nanti mengantarkan Tanjung sampai kependapa?" "Kita berada dihalaman samping. dibalik gandok. Jika ibu memanggil, kita akan mendengar. Padamkan saja lampu serambi gandok itu, agar kita tidak dapat dilihat dari kejauhan" Keduanyapun kemudian mengikuti Wiyatsih kehalaman samping di belakang gandok. Seperti kata Wiyatsih, lampu disudut gandok itupun mereka padamkan. Dan mereka mengambil tempat dibalik pepohonan yang rindang. "Aku tidak dapat terlalu lama berada disini. Menjelang tengah malam aku akan pergi. Aku mempunyai janji seperti kemarin" Bagi kedua penjaga regol itu, waktu yang betapapun singkatnya akan lebih baik daripada tidak sama sekali. Dengan latihan-latihan yang singkat itu, rasa-rasanya badan mereka yang menjadi seolah-olah membeku itu telah mencair kembali. Urat-urat nadi mereka mulai menjadi lemas dan gerak mereka menjadi semakin lincah. Seakan-akan yang terlupakan telah dapat mereka ingat kembali,
961 "Masih ada kesempatan semalam lagi, besok" berkata kedua Penjaga regol itu didalam hati. Meskipun mereka sadar, bahwa yang mereka lakukan dalam waktu singkat itu hampir tidak menambah ilmu mereka, tetapi yang terselip ternyata telah mereka ketemukan kembali. Menjelang tengah malam, maka Wiyatsihpun meninggalkan mereka, untuk melakukan latihan sendiri bersama Puranti dan Kiai Pucang Tunggal, sementara kedua penjaga regol itu masih ingin melanjutkannya sendiri untuk sekedar memperlancar ingatan mereka terhadap ilmu yang mereka miliki pada saat mereka masih bertualang. Apalagi ternyata bahwa Nyai Sudati sama sekali tidak mencari mereka. Seperti biasanya, Wiyatsihpun kemudian berlatih di tepian. Dan seperti biasanya ia melakukannya dengan kesugguhan hati, meskipun Kiai Pucang Tunggal telah mempunyai rencana tersendiri untuk menyelesaikan persoalan Pikatan dengan Hantu Bertangan Api itu. Demikianlah, di pagi harinya, anak anak muda Sambi Sari yang datang ke bendungun menjadi semakin sedikit. Sebagian besar dari mereka, adalah anak-anak muda yang telah menyatakan diri untuk ikut menjaga bendungan mereka disaat purnama naik. "Jika bukan kita, siapakah yang akan melakukannya" Jangan tergantung kepada Pikatan" berkata Kesambi "untuk tujuan yang besar, maka pengorbanan memang tidak dapat dihindarkan. Mungkin aku, mungkin salah seorang dari kalian, atau bahkan mungkin kita semua akan binasa. Tetapi kita sudah berusaha. Anak cucu kita kelak tidak akan membebankan kesalahan kepada kita, apabila tanah ini semakin lama menjadi semakin kering dan tandus, karena kita sudah berusaha. Tetapi usaha kita kurang berhasil" "Bagaimana jika kita mencoba menemui Pikatan?" bertanya seorang kawannya.
962 Kesambi ragu-ragu sejenak. Lalu katanya "Aku tidak banyak menaruh harapan" "Tetapi kita dapat mencobanya. Mungkin terhadap Wiyatsih ia sama sekali tidak mau menghiraukan lagi karena pengaruh hubungan keluarga, atau barangkali Wiyatsih terlampau menjengkelkan bagi Pikatan" "Baiklah" berkata Kesambi selanjutnya "Kita akan segera menemui Pikatan" "Kapan....?" "Sekarang. Sebagian dari kita akan datang bersama-sama ke rumahnya, dan sebagian lagi menunggu disini, menunggu hasil dari pembicaraan kita dengan Pikatan. Nanti di rumah Pikatan, kita akan berbicara tentang keadaan padukuhan kita, tentang bendungan kita yang sedang kita bangun dan tentang apa saja yang menyangkut rakyat Sambi Sari dan ada hubungannya dengan Pikatan" Dengan keputusan itu, Kesambi dan sebagian kawankawan seperjuangannya yang masih bertahan, berangkat menuju rumah Nyai Sudati. Setelah mereka sampai di rumah Nyai Sudati, mereka diterima dan dipersilahkan duduk di pendapa. Sejenak kemudian, maka Nyai Sudatipun telah menemui mereka dengan hati yang berdebar-debar. Yang pertama-tama terlintas di kepalanya adalah kemarahan anak-anak muda karena menurut desas-desus yang tersebar, orang-orang kaya telah mengupah beberapa orang untuk merusak bendungan. Karena itu, maka terasa betapa tegangnya wajah perempuan itu. Bahkarn terasa denyut jantungnya menjadi semakin cepat. Dengan kaki bergetar ia melangkah mendekati anak-anak muda yang sudah duduk di Pendapa.
963 "Wiyatsih kebetulan tidak ada di rumah" ia mengeluh "sedang Pikatan tidak akan memperdulikan apa saja yang dapat terjadi. Tetapi ia harus datang menemui mereka. Jika tidak, maka anak-anak itu akan berbuat apa saja yang mereka kehendaki untuk melepaskan kemarahan mereka. Tetapi ternyata Kesambi yang duduk di paling depan diantara kawan-kawannya, justru menganggukkan kepalanya dengan sopan dan bertanya "Nyai, apakah kami dapat bertanya serba sedikit tentang Pikatan?" Nyai Sudati mengerutkan keningnya. Sesaat ia menarik nafas-lega. Ternyata persoalannya sama sekali bukan persoalan orang-orang yang ingin merusak bendungan. Namun sesaat kemudian keningnya telah berkerut kembali. "Apakah kau berkepentingan dengan Pikatan, Kesambi?" bertanya Nyai Sudati. "Ya, Nyai. Jika tidak berkeberatan, sebenarnya kami ingin bertemu dengan Pikatan. Sudah lama kami kawan-kawan bermainnya tidak menemuinya" Nyai Sudati memandang Kesambi dengan tajamnya. Sekilas terlintas desas-desus yang lain, bukan tentang orang-orang kaya yang ingin merusak bendungan, tetapi tentang orangorang yang menunggu Pikatan di bendungan menjelang purnama naik. "Apakah kepentinganmu, Kesambi?" "Kami hanya sekedar ingin berbicara. bermacam-macam persoalan persoalan yang ingin kami bicarakan, diantaranya tentang bendungan itu" "O" potong Nyai Sudati. Kini hatinya diberati oleh persoalan yang lain, yang baginya tidak kalah gawatnya dengan persoalan orang-orang kaya yang ingin merusak bendungan itu.
964 Sejenak Nyai Sudati memandang Kesambi dengan tajamnya. Ternyata naluri seorang. ibu telah menjalar di hati Nyai Sudati. Meskipun ia menjadi gemetar karena ketakutan, namun ketika persoalannya menyentuh anaknya, maka tibatiba saja sorot matanya menjadi garang. "Kesambi, apakah kau ingin memaksa Pikatan untuk pergi ke bendungan?" "Bukan memaksa Nyai. Tetapi kami hanya sekedar ingin menyampaikan persoalannya saja" "Dan berusaha menyinggung harga diri Pikatan, agar Pikatan pergi juga?" Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Tentu Nyai sudah mendenar persoalan bendungan dengan orang yang ingin bertemu dengan Pikatan itu. Kita semuanya menjadi prihatin karenanya. Seandainya ada jalan lain. tanpa kehadiran Pikatan di bendungan maka tentu jalan itulah yang akan kami tempuh. Karena itulah Nyai, aku ingin berbicara dengan Pikatan. Menurut penilaian kami, Pikatan adalah orang yang paling banyak memiliki pengalaman diantara kami semua anak-anak muda di Sambi Sari. Karena itu, alangkah senangnya hati kami jika Pikatan dapat memberikan petunjuk, apa yang dapat kami lakukan untuk keselamatan bendungan itu dan tentu saja juga keselamatan Pikatan" "Tidak" berkata Nyai Sudati "aku tidak akan membiarkan Pikatan pergi ke bendungan pada saat purnama naik. Aku tidak mau kehilangan anakku, karena aku sudah mendengar, bahwa Pikatan akan dijadikan tumbal pembuatan bendungan itu. Dan itu tidak adil. Kenapa harus Pikatan?" "Bukan kami yang menentukan, bahwa Pikatanlah yang harus datang ke bendungan. Tetapi orang itu memang ingin bertemu dengan Pikatan. Dan itu ada dituar kekuasaan kami untuk mencegah atau menggantinya dengan orang lain"
965 "Omong kosong. Aku tidak rela anak laki-lakiku satusatunya dikorbankan untuk membuat bendungan, sedang aku sendiri sama-sekali tidak memerlukan bendungan itu. Pergilah kepada mereka yang memiliki sawah yang kering, yang kelaparan dimusim paceklik. Biarlah mereka yang mengorbankan anak laki-lakinya untuk kemakmuran sawah dan pategalan mereka" Kesambi menarik nafas dalam dalam. Terlampau sulit baginya untuk menjelaskan maksudnya, dan untuk mendapat kesempatan berbicara dengan Pikatan. "Nyai" berkata Kesambi kemudian "jika Pikatan pergi, ke bendungan, tentu kami, anak-anak muda Sambi Sari tidak akan berdiam diri dan menonton dari kejauhan. Kami akan ikut serta bersama Pikatan, apapun yang akan terjadi. Aku sendiri bersedia menjadi taruhan. Jika Pikatan terpaksa menjadi korban di tepian aku menyediakan diriku dikubur hidup-hidup bersama mayat Pikatan" Nyai Sudati termenung sejenak. Kata-kata Kesambi itu benar-benar menyentuh hatinya. Begitu besar kesungguhan hatinya untuk menyelamatkan bendungan itu. Namun demikian, rasa-rasanya ia tidak akan dapat melepaskan Pikatan, apapun taruhannya. Meskipun Pikatan tidak ubahnya seorang yang sakit ingatan yang harus dirawatnya baik-baik, namun ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejenak pendapa itu dicengkam oleh kesepian. Nyai Sudati menundukkan kepalanya dengan dada yang berdegupan, sementara Kesambi masih juga mengharap-harap cemas. Tetapi Nyai Sudati tidak segera mengatakan sesuatu. Hatinya ternyata bergejolak dahsyat sekali menghadapi persoalan bendungan dan anaknya Persoalan yang sama sekali tidak pernah dibayangkannya. Bendungan itupun baginya sama sekali tidak penting, dan bahkan kerusakan bendungan itu sebenarnya akan menyenangkan hatinya.
Bangau Sakti 13 Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin Misteri Menara Berkabut 1

Cari Blog Ini