Akar Asap Neraka Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 1
ACI - Aku Cinta Indonesia
Akar Asap Neraka Arswendo Atmowiloto Djvu: syauki_arr http://hana-oki.blogspot.com
Edit & Convert Jar: Inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
DAFTAR ISI Halaman 1. Joko Jadi Pelaut...5 2. Rahasia Di Kelas...22 3. Menjadi Tenaga Pemasaran...50
4. Amir dan Cici Tertangkap...70
(1) Joko si Pelaut Joko mengawasi sekeliling.
Kantin sekolah masih seperti dulu. Bangku-bangku panjang yang sederhana, serta di beberapa tempat penuh dengan coretan. Dinding yang dibuat dari papan tripleks, seperti biasanya, juga penuh dengan tempelan. Tak bisa dibedakan mana yang baru dan mana yang lama. Tak bisa dibedakan mana yang perlu dan yang bisa dilewatkan begitu saja. Semua ada. Menjadi satu. Pengumuman kemping, seorang yang kehilangan catatan, harga bakso, poster yang menyelip, serta komentar-komentar.
Tempat ini akan segera berubah.
Sudah. Seiring dengan bel istirahat yang dipukul dengan irama musikal dari Pak Jamilun, kantin ini mendadak saja berubah menjadi pasar. Semua berebut masuk, semua berebut kursi. Dan dengan koor pula mereka memesan sama. Bakso. Minta diberi tambah tulang kalau bisa. Minta kuah yang banyak. Dan botol-botol kecap, saus, sambal, berpindah tempat dengan cepat. Hanya
satu-dua saja yang memesan es teler. Selebihnya teh gratis.
Joko memandang semuanya, menyapu seluruhnya. Tak banyak yang dikenal. Kecuali Ito, si lembut kecil yang selalu berusaha membetulkan gagang kaca matanya. Perawakannya lembut, wajahnya sama sekali tidak mengesankan darah Panjaitan. Cara masuk ke dalam kantin juga biasa sekali - sehingga selalu diserobot oleh teman lain.
"Tok." "Hai, Jok." Ito mendekati Joko. Lalu berpaling ke arah Amir dan Cici yang menemukan tempat di dekat "tong" bakso - begitulah anak-anak menyebutnya. Setidaknya ini tempat paling strategis untuk menerima pesanan pertama kali. Pak Jumingun, pengelola kantin itu, tak pernah bisa menolak jika ada yang melambaikan tangan di dekatnya. Siapa yang memesan lebih dulu, selalu menjadi kacau jika dicegat di tengah jalan seperti itu.
"Mir, itu Joko yang kuceritakan. Ia kakak kelas saya. Angkatan pertama lulusan sekolah ini."
Amir mengangkat alisnya. Cici melirik. "Nostalgia ya""
Joko melihat ke arah Amir. "Ah, jalan-jalan saja. Kangen."
Ito menarik kursi tanpa sandaran buat Joko. Joko duduk, dan terpaksa Ito melihat celingukan
kalau-kalau ada kursi yang kosong. Ada satu di sudut. Tapi harus hati-hati kalau duduk. Sebab kalau lupa, goyangan sedikit saja bisa membuat kursi itu lepas kakinya.
"Ito pernah menceritakan," kata Amir sambil memilih tahu yang besar - tahu yang paling besar dari persediaan yang ada. "Sekolah di mana sekarang""
"Biasa ...," jawab Joko sekenanya sambil melihat ke arah pintu. Dari caranya melihat pintu, bisa dipastikan ia menunggu seseorang.
"Saya baru dengar ada sekolah biasa," sergap Cici cepat. "Sekolah macam apa itu""
Joko tak menduga akan menerima sergapan begitu. Pandangannya beralih dari pintu ke wajah Cici yang tertawa.
"Apa" Apa tadi""
"Nggak. Nggak apa-apa," jawab Cici.
"Saya tidak mendengar."
"Baksonya ini, lho ditunggu kok tak datang." Lalu Cici menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang tergerai di bahu bergoyang bagai dalam iklan.
"Mana pesanan ..., ingin tidak dibayar atau
..."" "Sebentar ...," suara Pak Jumingun di tengah kesibukannya.
Sebenarnya tak ada gunanya menyuruh Pak Jumingun cepat. Jawabannya selalu sama. Dan itu juga tak mengubah cara kerjanya. Serba pelan - di mata anak-anak yang tak sabar.
"Joko sudah bekerja," kata Ito mencoba men-tralisasi keadaan. Cici mengangguk. Joko sendiri kembali memandang ke arah pintu.
"Kerja di mana""
"Di... kapal," jawab Ito sambil membetulkan kaca matanya.
"Ui ..., pelaut, nih, ceritanya" Asyik juga. Pelaut kan banyak duitnya. Hari ini kita bakal ditraktir."
Amir bersungut. "Cici, selain minta ditraktir ... tak punya permintaan lain."
"Mir, memangnya kamu menolak kalau ditraktir""
"Siapa yang mentraktir""
"Saya," suara Joko mantap sekali. "Kali ini saya yang mentraktir semuanya. Berapa pun yang kalian semua habiskan."
Amir menggigit tahu goreng lebih cepat. Dan tangan Cici sudah terul
ur ke arah stoples yang berisi peyek. Seluruh jarinya terkembang dalam stoples, seakan mau mengambil seluruhnya. Ito, di luar dugaan, malah berdiam diri. Ia nampak menjadi gelisah. Dan apa yang dilakukannya ialah membetulkan kaca mata yang sejak tadi letaknya tetap di situ. Setelah itu jari-jarinya mencabut vulpen dari saku, dan mengembalikannya lagi. Amir tidak begitu peduli. Ia mengambil tahu yang kedua. Mencari cabe - yang tidak terlalu pedas.
"Benar, ya"" Cici berusaha meyakinkan.
"Saya belum pernah bohong soal mentraktir
Antaran pertama telah datang. Bakso yang berkepul-kepul karena panasnya.
"Yang membayar nanti itu ..."
"Sebentar jawaban Pak Jumingun
terdengar tetap saja nadanya sambil berjalan kembali ke tempatnya semula.
Joko tersenyum ke arah pintu. Mengangkat tangan. Cici dan Amir ikut menoleh. Ito masih melihat asap bakso yang ada di depannya. Di pintu, muncul Tono, ketua kelas II C. Tidak seperti biasanya, Tono tidak langsung melangkah masuk. Malah menoleh kiri-kanan. Seperti tidak kenal dengan kantin yang lebih didatanginya daripada ruang guru.
"Ikut ditraktir, Ton""
"Mau juga," kata Tono seraya melangkah masuk. Karena tak ada lagi kursi yang tersisa, ia berdiri saja.
"Tapi kenalan dulu sama yang mentraktir."
"Saya sudah kenal, kok." Suara medok Tono kembali terdengar jelas. Kalau tadi seakan tersembunyi, sekarang kedengaran aslinya.
Tono berputar, mendekat ke arah Joko. Bersandar ke dinding, Joko menatap Tono. Tono berbicara perlahan sekali. Sedemikian perlahannya sehingga Joko sendiri tidak mendengarnya.
"Apa, sih, kok bisik-bisik""
"Ci, urusi bakso itu. Ini soal rahasia," kata Tono sambil mengedipkan matanya. Kalau ini terjadi di hari lain, Cici akan mengomentari bahwa Tono mulai genit. Tapi bakso hangat bisa mengganti keinginan yang lain. Apalagi karena tadi tergesa, seluruh kuah baksonya terasa sangat pedas. Atau diam-diam Amir menaruh sambal" Tak mungkin juga. Amir terlalu sibuk dengan mangkuknya sendiri.
"Bagaimana, Ton"" bisik Joko.
"Beres." "Mau ambil lagi""
"Ya, tapi jangan sekarang. Jangan di sini." "Takut amat, Ton""
Tono menggelengkan kepalanya. Bibirnya rapat, membentuk garis yang lebih panjang. "Kita harus hati-hati. Tak bisa sembarangan. Kalau bisa Kak Joko tak usah muncul terlalu sering di sini. Repot. Kita tak bisa mempercayai sebelum yakin betul."
Reaksi Joko hanya tertawa kecil. Tapi dalam hatinya, Joko mengakui bahwa Tono sangat hati-hati. Tak salah ia memilih Tono. Ternyata Tono lebih serius dari yang diduganya. Tono bukan hanya bisa melakukan kegiatan secara diam-diam, akan tetapi bisa menjaga orang lain. Joko merasa aman. Tawa kecilnya berubah menjadi tawa yang lebih lebar.
"Makan dulu, Ton."
"Saya bisa makan setiap saat, kan""
Joko menepuk pundak Tono, memberikan kursinya untuk Tono yang segera duduk. Joko sendiri berjalan ke belakang. Masuk ke dalam kantin di bagian Pak Jumingun sibuk mengurusi mangkuk. Kali ini Pak Jumingun tidak mengurusi mangkuk. Mengurusi buku tulis yang sudah kusut dan kumal. Buku itulah yang menjadi pegangan untuk menilai transaksi perdagangan. Banyak coretan anak-anak yang memberi komentar. Ada yang menyebutkan sebagai bentuk pembukuan yang paling tradisional. Ada yang menyebut sebagai buku rahasia seluruh sekolah. Sebab di situlah Pak Jumingun mencatat semua kegiatannya yang berhubungan dengan warung. Siapa makan apa, tanggal berapa, dan belum dibayar. Semua siswa-siswi sepertinya pernah tercatat namanya di situ. Termasuk juga guru-guru. Tetapi catatan itu jugaditinggal di situ begitu saja. Kadang, atau sering, anak-anak sendiri yang menuliskan di situ. Dalam hal ini memang berlaku hukum saling mempercayai. Pak Jumingun dengan mudah dikecoh. Tiga tahu satu tempe saja ditulis satu. Atau bahkan bukan menambahi tulisan, malah mencoret. Bisa saja itu terjadi. Akan tetapi, di luar itu semuanya, Pak Jumingun seakan menyadari bahwa hal itu tak akan mengurangi kegiatannya. Tak mengurangi usahanya. Dan sebenarnya memang tak banyak yang melakukan itu. Kalau pun ada satu-dua, yang berbuat seperti itu karena iseng saja.
Joko merebut catatan dari tangan Pak Jumingun.
" Shit," katanya dalam bahasa Inggris seperti yang dihafalkan dalam film ketika tokoh penjahat memaki. "Dari dulu catatan seperti ini. Bagaimana usaha bisa maju kalau pembukuannya seperti ini""
Pak Jumingun berdiri, tak menggubris Joko. Ia melayani pembeli yang lain.
"He, Pak. Dari pembukuan ini mana bisa diketahui untung berapa rugi berapa. Semuanya ... aha ..., siapa ini yang berutang rokok lima batang""
Pak Jumingun berbalik. Buku itu ganti direbutnya.
"Jangan membuka rahasia orang." "Sori, Pak."
"Sori juga boleh," jawab Pak Jumingun tanpa menyadari apa yang dikatakan. Baginya, bekerja di kantin suatu sekolah membuatnya bertemu dengan banyak istilah yang tak dipahami benar. Itu tak menjadi soal benar baginya. Toh kadang mereka malah tertawa mendengarnya.
"Maju, Pak""
"Ya, pokoknya bisa buat makan anak dan istri. Namanya juga usaha. Ya sedapatnyalah."
"Tadi ada catatan mau belanja rokok. Sudah apa belum""
"Susah. Sekarang zaman susah. Kata orang lagi resesi, lagi ambruk ekonomi. Jadi cari uang kontan susah. Apa-apa naik semua. Ya agak susah jadinya."
"Kalau apa-apa naik, Pak Jumingun tinggal menaikkan harga. Apa susahnya" Begitu kan hukum ekonominya""
"Sebentar begitu yang diajarkan di
sekolah. Tapi, kan, tidak begitu di sekolah ini. Nyatanya harga bakso jadi seratus rupiah saja, saya diprotes ramai-ramai. Cici itu yang memelopori. Malah Cici bikin rincian kalau dijual tujuh puluh lima semangkuk, masih ada untungnya. Saya pikir, mungkin Cici yang lebih pantas jualan bakso ..."
"Apa" Jangan ikut sertakan nama saya," teriak Cici masih kepedasan. Namun selebihnya sibuk sendiri. Tak peduli apa yang dibicarakan antara Joko dan Pak Jumingun. Meskipun justru sebenarnya yang dikatakan bagian yang menyenangkan.
"Cici juga pintar. Meskipun harga tujuh puluh lima rupiah semangkuk, kalau beli separuh tetap lima puluh rupiah. Benar juga. Kan lebih banyak yang membeli separuh. Bakso kecil di sini lebih laku."
Bagi Pak Jumingun, ini persoalan yang rumit. Sebab kalimat penyambung di bagian ujung masih memperlihatkan kecemasan.
"Tapi kalau mereka minta bakso kecil, bijinya minta tiga. Yaaaa, serba repot."
Joko memandang Pak Jumingun. "Khusus untuk hari ini, harga semangkuk kembali seratus rupiah. Saya yang membayar. Kontan."
"Sebentar eh, boleh-boleh. Kalau mau dibayar seratus rupiah. Saya tidak memaksa.
Joko mengeluarkan duit. "Nah, hitung sendiri semuanya."
Pak Jumingun sering melihat uang. Tapi tidak seperti yang berjubel di saku Joko. Yang dengan enteng sekali mengambil sebagian dan memberikan begitu saja, serta memasukkan yang lain secara sembrono. Bagaimana kalau jatuh"
"Itu duit bener, Pak."
"Ya ..., kayaknya duit bener."
"Eee, jangan macam-macam, Pak. Kalau Pak Jumingun bilang itu duit palsu, Bapak bisa ditangkap polisi. Masak uang sah dibilang palsu."
"Seperti duit Jepang saja di saku itu."
Joko tertawa lebar. Kentara sekali rasa bangga memompa isi dadanya. Apalagi seluruh kantin jadi melihat ke arahnya dengan perhatian penuh. Dengan sorot mata kagum, tetapi sekaligus juga heran. Joko menikmati.
"Zaman dulu, duit Jepang tidak laku. Kalaupun laku, kurang berarti. Tapi zaman sekarang, duit Jepang lakunya keras. Satu duit Jepang sama dengan lima duit kita. Tahu kurs apa tidak""
Suara bel masuk menandai suasana lain lagi. Suara bel Pak Jamilun, yang teng-teng-teng-teng ..., menjadi pertanda siklus perubahan dalam kehidupan anak-anak sekolah. Sepotong besi yang dipukul setiap kali dalam seharinya, mempunyai banyak makna bagi siswa-siswi. Suatu saat sangat diharapkan - kalau pelajaran menyebalkan. Tetapi saat lain, menjadi yang sangat menyebalkan. Seperti sekarang ini. Keinginan untuk menambah kuah tertunda. Tak bisa lain. Kalaupun digerutui karena memukul bel terlalu cepat, Pak Jamilun tak menjawab apa-apa. Ia akan menunjukkan jam gandul yang berada di saku celananya.
"Trims, Jok." "Yuk." "Trims, Jok." "Yuk."
Semua yang ditraktir merasa perlu mengucapkan terima kasih sendiri-sendiri. Dan Joko dengan sikap gagah menjawab yuk. Seolah ia tak merasa perlu memperhitungkan apa yang dihabiskan Amir, Cici, Tono, Ito. Kalau kedua nama pertam
a itu segera meninggalkan kantin, Tono menunggu sampai agak sepi.
"Siang nanti saja. Saat pelajaran selesai."
"Aku sudah bawa barangnya."
"Nanti saja. Di tempat biasa."
Joko mengangguk. Tono berlalu, sambil melirik ke arah Ito yang masih berdiri. Nampak kikuk. Ingin mengatakan sesuatu, akan tetapi melihat masih banyak yang lain. Rencananya lebih buyar lagi ketika Wati muncul di pintu kantin yang memang tidak ada daun pintunya. Pandangannya menyapu ke dalam. Melihat Joko - anak asing di sekolah. Baru sekarang ini Wati melihat Joko. Langsung hidungnya terangkat ke atas.
"O, ini yang tadi mentraktir Cici""
"Siapa ini""
"Kok tidak malu, merayu dengan bakso. Memangnya tak ada yang lebih mahal dan lebih enak dari bakso""
Sekilas Joko menemukan suatu keberanian dari Wati. Dibandingkan dengan tadi yang ditemui,
Wati jauh lebih berani. Cara bicaranya keras, dan langsung. Tidak terlalu banyak basa-basi.
"Kalau merayu jangan di sekolah ini. Malu!"
"Selama saya masih pakai baju, ya, tak perlu malu," kata Joko sambil maju. Ia berani mendekati Wati karena Wati tidak menimbulkan rasa segan.
"Kamu, siapa namamu""
Wati mendongak makin tinggi. Bel yang sudah habis gemanya seakan tak menjadi persoalan. Wati tetap tenang.
"Kamu sendiri siapa" Tukang sensus penduduk" Kalau bukan tukang sensus penduduk, tak perlu tanya nama."
"Namaku Joko ..."
"Aku tidak tanya. Mau Joko mau bukan Joko,apa urusanku""
Dengan sekali gerak, Wati berputar. Meninggalkan.
"Bagaimana kalau istirahat kedua saya traktir"" Joko mengejar. Ito menghela napas. Habis sudah kesempatan untuk berbicara secara khusus dengan Joko.
"Sori. Aku ada urusan sendiri. Aku mengadakan pesta sendiri. Hidangannya bukan bakso."
"Bagaimana kalau lain kali""
Wati berhenti. Selalu terasa sesuatu yang menarik dalam diri Wati. Tertarik untuk mengalahkan siapa saja. Kalau tadi ia mendengar pembicaraan bahwa Cici ditraktir Joko, Wati jadi merasa ditantang. Kalau Cici sampai bisa ditraktir seseorang, Wati juga ingin mengungguli. Tak boleh kalah. Itu sudah hukum tak tertulis yang mengalir dalam darah Wati. Hukum itu pula yang menyebabkan Wati kadang dinilai terlalu agresif oleh teman-temannya. Sikap tak mau kalah, tak mau diinjak bayang-bayang tubuhnya, menyebabkan Wati seperti ingin mencampuri semua urusan. Kadang ini juga menunjukkan kemampuannya yang berlebih. Wati memang termasuk anak yang pandai. Di kelas, nilainya tidak memalukan. Di atas rata-rata. Kegiatan ekstra sekolah, ia selalu tampil. Kalau bisa memimpin, kalau tak bisa ia bikin kegiatan tandingnya. Kekuatan ekstra dalam tubuhnya seakan mencari penyaluran.
"Lain kali" Telepon dulu. Sori, acara saya banyak sekali. Kamu bisa minta tolong Cici kalau mau menulis surat. Cici tahu alamatku."
Wati berlalu. Ito juga sudah berlalu. Tono sudah pergi. Joko sendirian. Kembali duduk di bangku kantin, yang sekarang sepi lagi. Sangat sepi.
Dalam waktu tidak ada setengah jam, Joko mengenal begitu banyak hal yang menyenangkan. Hubungannya dengan Tono beres. Bagus, malah. Dengan Ito, belum menjadi masalah serius. Joko tahu siapa Ito. Anak satu ini sangat menghargai persahabatan. Dulu, ketika Joko kelas tiga, Ito baru kelas satu. Mereka sempat berkenalan. Ito, sebagai anak baru, mengagumi Joko yang pintar main gitar. Ito merasa senang karena Joko mau mengajari beberapa kunci yang bisa dimainkan dengan enak.
Joko sendiri tak menduga bahwa persahabatan yang kecil-kecilan itu mempunyai arti mendalam bagi Ito. Itulah sebabnya ketika muncul pertama kembali di sekolah, Joko memakai jembatan Ito sebagai penghubung. Walau sebenarnya ia telah kencan dengan Tono.
Kalau semua berjalan dengan baik ...
"Ini kembaliannya ..."
Joko memandang uang kembaliannya. Tidak segera bereaksi untuk mengambil. Malah mengeluarkan rokok.
Pak Jumingun duduk di dekatnya, setelah membereskan mangkuk-mangkuk dan mengelap hingga bersih meja.
"Enak, ya, jadi pelaut. Banyak duitnya."
"Ah, saya juga sering meninggalkan rumah. Dulu cita-cita saya menjadi pelaut. Bisa keliling dunia. Melihat laut luas. Tapi duluuuuu. Sekarang tidak lagi."
"Kenapa dulu tidak jadi""
"Saya" Saya tak bisa berenan
g." Joko tak bisa menahan senyumnya. Tapi melihat wajah Pak Jumingun serius, senyum itu urung melebar.
"... dan gampang mabuk laut. Mau tambah baksonya""
"Dari tadi belum makan. Saya tak suka bakso
"Minum saja" Teh" Es teh"" "Bir."
Pak Jumingun mengangkat alisnya. "Biar ada bir, juga tak dijual di sini. Bisa mabuk."
"Bir tidak untuk diminum. Untuk cuci tangan," kata Joko sambil berdiri perlahan. Mengambil uang kembalian, memasukkan ke saku tanpa menghitung.
"Saya akan kembali lagi, Pak."
Pak Jumingun mengangguk. Dalam.
Kantin sepi. Pak Jumingun sendirian. Melihat catatan di buku yang kusut. Hari ini banyak yang dicoret. Setidaknya tidak tambah bon yang baru. Beberapa tanda tanya muncul di dalam hatinya. Apa benar Joko itu mencuci tangan saja pakai bir" Lalu mandinya pakai anggur" Betapa enaknya anak-anak itu. Duit ada. Keperluan bisa terpenuhi.
Sungguh berbeda dengan dirinya. Bekerja keras, setiap pagi hari hingga sore nanti. Dan benar-benar bekerja, tidak sekadar duduk dan membaca koran. Selalu ada yang dikerjakan. Mencuci mangkuk, mengelap meja, membawa pulang dan pergi dagangan dari rumah. Di saat seperti ini pun, ia membantu-bantu membersihkan halaman. Menyapu. Atau sore nanti mengepel, membantu Pak Jamilun-penjaga sekolah yang telah begitu baik kepadanya. Tanpa pak Jamilun tak mungkin ia diizinkan membuka warung di sekolah ini. Karena ini sebenarnya jatah Pak Jamilun. Akan tetapi Pak Jamilun memberikan kepadanya. Pak Jumingun merasa sangat terima kasih. Sebagai tanda terima kasihnya ia membantu beberapa pekerjaan Pak Jamilun, dan menyediakan makan siang gratis.
Dirinya tak berbeda banyak dengan Pak Jamilun. Bekerja, dengan otot. Seharian. Tapi hidupnya pas-pasan saja. Berbeda dengan anak-anak yang dikenalnya. Berbeda dengan Joko.
Dari mana mereka mendapat uang. Apakah kamar tidurnya penuh dengan uang sehingga tinggal mengambil begitu saja"
"Ah, peduli amat memikirkan harta orang lain. Kalau ia datang dan mentraktir lagi, satu bakso dihargai seratus rupiah sudah cukup bagi saya. Dan ini bisa terus-terusan.
Tapi ..., ah, kalau ia tiap kali kemari, kapan berlayarnya""
Pertanyaan yang menggoda hatinya itu tak mempunyai gema lama. Bagi Pak Jumingun ini bukan pertanyaan yang merisaukan benar. Hanya berupa pertanyaan - yang tak dijawab pun tak menjadi soal. Apa urusannya kalau Joko tak bisa berlayar" Apa urusannya kalau Joko pelaut atau bukan"
Selama masih makan di kantin, seperti tadi, dan membayar kontan, itu sudah lebih dari cukup baginya.
Itulah kenyataan. (2) Razia di Kelas Pertanyaan sama, akan tetapi reaksi bisa berbeda.
Bagi Pak Jumingun, pertanyaan siapa Joko tak membuatnya berpikir jauh. Bagi Ito, lain jawabannya. Justru karena ia tahu jawabannya yang pasti. Joko memang bukan pelaut. Cita-citanya menjadi pelaut kandas karena kesehatannya tidak memungkinkan. Joko terlalu banyak keluyuran, sehingga paru-parunya tidak cukup memenuhi syarat. Jauh sebelum pengujian yang lain, Joko telah gagal.
Ito tahu presis karena Joko sendiri yang menceritakan. Namun di depan teman-temannya, Itolah yang justru berbohong dengan mengatakan Joko seorang pelaut. Ia tak ingin pembicaraan menjadi panjang. Sebab dirinyalah yang membawa Joko ke dalam lingkungan sekolah.
Sebenarnya tak menjadi masalah yang memberati kalau persoalan sampai di situ. Ito merasa bersalah dengan memperkenalkan Amir dan Cici - serta membiarkan Joko mentraktir mereka berdua. Ada sesuatu yang membuat Ito mencurigai Joko. Sampai sekarang belum ada bukti kuat, akan tetapi Ito mempunyai perkiraan bahwa Joko memperdagangkan sesuatu yang terlarang. Sesuatu yang terlarang itu dimasukkan ke dalam amplop. Dan ia menjualkan kepada orang lain. Joko adalah pengecer obat terlarang. Atau bahan terlarang. Presisnya apa, Ito hanya bisa memperkirakan. Bisa jadi daun ganja kering.
Semua ini mempunyai alasan. Secara tidak langsung Joko pernah mengatakan bahwa sekarang ia terlibat pekerjaan terkutuk. Joko sendiri menganggap itu pekerjaan terkutuk. Tapi ia tak bisa lepas, tak bisa melepaskan diri. Baik karena ancaman teman-teman sekomplotan maupun karena hasilnya memang besar.
"Kamu tak usah ikut-ikutan, Tok. Cukup kalau kamu tutup mulut. Aman bagi siapa pun."
Itu pernah diucapkan Joko.
Itu yang sekarang merisaukan Ito.
Tono sudah berhasil menjadi bayangan Joko. Joko sudah bisa menguasai Tono dengan baik. Ini bisa menjalar kepada Amir dan Cici atau yang lainnya. Bagi Ito, Amir dan Cici soal yang dekat sekali. Mereka bertiga sering dianggap sebagai inti kegiatan sekolah. Bahkan inisial nama depan mereka bertiga, dianggap sebagai inisial resmi mengenai kegiatan sekolah ataupun di luar sekolah. Walau sebenarnya Ito tidak seaktif Amir dan Cici dalam berbagai kegiatan. Sebab Ito lebih mengonsentrasikan diri untuk ujian nanti. Namun itu semua tak menghalangi niatnya untuk memberitahukan kepada Amir dan Cici. Hanya saja, yang membuat Ito merasa repot, ia tak bisa berterus terang. Apa yang akan dikatakan kepada kedua sahabat kentalnya" Bahwa Joko pengedar ganja" Ia tak punya bukti kuat. Bahwa Amir dan Cici tak usah kenal dengan Joko" Kok lucu, karena justru Itolah yang memperkenalkannya.
Tapi jelas Ito tak bisa berdiam diri.
Saat istirahat kedua, Ito menemui Amir dan Cici. Ito mengajak mereka ke bagian sudut, dekat tempat Pak Jamilun.
"Aku harus mengatakan kepadamu, Mir, Ci," kata Ito tersendat. "Kalau tidak memberi tahumu, aku merasa bersalah."
Amir dan Cici saling berpandangan. "Kenapa"" tanya mereka berdua secara bersamaan.
"Aku tak bisa menerangkan alasannya, tetapi lebih baik kalian berdua menjauhi Joko. Aku tak ingin kalian berdua terseret arus yang kurang baik."
"Tok, kenapa kamu tidak terus terang saja" Kenapa masalahnya""
Amir memandang Ito. Cici memandang Ito. "Apa salahnya kita ditraktir""
"Ditraktir saja tidak ada salahnya. Aku pun suka. Akan tetapi Joko mempunyai kepentingan lain. Pertama kali ia mentraktir. Kedua mentraktir. Ketiga masih mentraktir. Lalu keempat... mungkin kamu akan diajak ke dalam persekongkolannya.
Jangan tanya persekongkolan apa."
Amir menggeliatkan badannya.
Cici bersiap meninggalkan tempat.
"Aku serius." "Dua rius juga boleh," kata Cici sambil nyengir. "Begini saja. Kalau memang tak mau memberitahukan, buat apa kita bicara bisik-bisik di sini" Kenapa tidak mengatakan terus terang saja" Persekongkolan apa" Perbuatan jahat" Merampok bank""
"Lebih jahat dari itu."
"Wuiii, lebih jahat dari merampok bank" Merampok duit setan""
"Merampok duit setan"" Amir mengerutkan keningnya. Rambutnya yang rada keriting makin tertekuk.
"Ya, kalau merampok duit setan, selain dimurkai Tuhan, juga dimusuhi setan."
Ito membetulkan kaca mata yang tak melorot.
"Ci, aku minta kalian serius sedikit. Joko lebih jahat dari yang kamu perkirakan. Ia akan mengajakmu, menyeretmu."
"Memang," kata Amir. "Tadi Tono mengatakan kalau mau makan-makan, sore nanti kita diajak."
"Kamu mau""
Amir meleletkan lidah. "Tok, kalau kamu diajak makan gratis, apakah kamu akan menolak""
"Tolong carikan alasan yang baik kalau bisa," tambah Cici.
"Baiklah, kalau keputusan kalian berdua memang ingin makan-makan tak bisa dihalangi, aku hanya berpesan, jangan terlibat di dalam kegiatannya. Suatu kali kalian berdua tak mempunyai tempat untuk menyesali. Itu saja."
Ito berbalik dengan cepat.
Cici menyertai. "Apa sebenarnya yang menjadi masalah""
"Joko, besar sekali kemungkinannya menjadi pengedar ganja. Dan kalian akan dijadikan agen atau pengecer."
Cici terbatuk. "Selama ini ia tak akan mengatakan hal itu."
"Mungkin nanti malam akan mengatakan."
"Kalau aku tak mau" Kalau aku hanya mau makan-makan saja""
"Kamu tak bisa menolak. Godaannya terlalu besar." Ito memandang ke arah Amir yang mendekati dengan langkah seperti sudah menjadi gaya Amir, kedua tangan terayun-ayun.
"Kalau ia menjadi pengedar ganja, atau apa saja namanya, kenapa tidak kamu laporkan ke polisi saja, Tok""
"Kamu tak tahu, Mir. Masalahnya tidak sesederhana itu. Komplotan ini punya jaringan yang luas. Dan Joko, biar bagaimana, adalah teman baikku. Menangkap Joko sekarang tak banyak artinya. Tapi membiarkannya saja, mangsanya semakin besar. Dan kalian berdua, sahabatku sendiri yang menjadi korban berikutnya."
Ito menatap kedua sahabatnya dengan tatapan mata dingin. So
rot akrab selama ini tak kelihatan.
"Aku sudah mengatakan semua, Mir."
Amir mengangguk seakan dibuat-buat. Ia berjalan sendirian lebih dulu.
"Ke mana, Mir""
"Ke kakus, Tok. Mau ikut" Buat mengosongkan perut. Agar nanti malam bisa makan banyak."
Belum pernah Amir sengaja menantang seperti sekarang.
Cici menggerakkan rambutnya dengan tangannya yang digunakan sebagai sisir. "Kamu juga, Ci""
"Tidak," jawab Amir. "Cici akan mencari kera."
"Mencari kera""
"Ya. Kera kan pintar menyimpan makanan di pipi. Cici akan belajar cara itu. Untuk nanti malam juga."
Cici tertawa, bersamaan dengan Amir.
Ito justru merasa sakit. Mereka berdua dianggap sahabat paling dekat. Akan tetapi begitu menganggap enteng persoalan. Malah setengah bercanda. Kalau bukan Amir dan Cici, Ito tak akan serisau ini. Tak akan begitu bimbang untuk melaporkan atau tidak.
Tetapi kini Ito mempunyai kekuatan baru. Bagaimanapun ia tak bisa membiarkan ini semua. Tak akan pernah! Walau untuk itu semua harus dibayar mahal -persahabatannya dengan Amir dan Cici menjadi berantakan. Mungkin mereka tak akan seakrab dulu lagi. Justru sebaliknya.
Aku sudah berusaha memberi peringatar, kata Ito dalam hati ketika kembali ke kelasnya.Bukan salahku kalau mereka nekat dan menerima akibatnya. Ah, sayang sekali. Amir, Cici, Tono terlalu polos. Teman-teman yang baik, jujur dan tanpa prasangka. Karena perangkap bakso saja mereka jadi baik dengan Joko. Dan Joko mempergunakan mereka untuk menjual ganja kering dalam amplop. Benda paling terkutuk! Itu semua hanya setengah langkah kecil. Mereka berdua akan jadi pecandu juga. Jika itu terjadi, neraka yang ada. Neraka yang sebenarnya bisa dihindari!
Sampai larut malam, Ito masih bolak-balik dengan kecemasannya. Salah satu keputusan harus diambil. Menghentikan kegiatan Joko. Apa pun akibatnya. Cara satu-satunya menghentikan adalah dengan tindakan, karena kata-kata tak lagi menghentikan. Kemungkinan yang lain membiarkan saja, sampai mereka sendiri ditangkap. Tapi Ito berpikir bahwa dengan membiarkan mereka terjebak lebih jauh, bahayanya lebih besar.
Amir, kamulah sahabatku yang dekat. Juga kamu, Ci. Tapi apa sebenarnya arti persahabatan" Apakah persahabatan berarti harus membenarkan apa yang dianggap keliru" Apakah nilai persahabatan untuk menutupi kebenaran" Kurasa bukan. Justru sebaliknya. Kebenaran yang harus ditegakkan. Dan dari sinilah persahabatan itu terjalin. Dari sini inilah persahabatan itu ada maknanya. Bukan karena grup, lalu semua tindakan bisa dibenarkan. Bukan karena setia kawan, lalu kesalahan ditolerir.
Aku bicara padamu, sahabatku. Bahwa ini menyakitkan sekali, apa boleh buat. Aku pun sakit melihatmu. Aku lebih sakit. Tetapi aku harus berbuat sesuatu. Semata-mata demi kebaikanmu, kebaikan kita bersama. Maafkan aku sahabatku, kalau ada yang perlu dan bisa dimaafkan.
Kalimat demi kalimat tersusun dalam benak Ito. Tadinya akan disusun dalam bentuk surat. Tapi urung sendiri niatan itu. Bisa-bisa jadi bahan tertawaan. Kalaupun ditulis sebagai puisi - seperti kebiasaan selama ini jika ada masalah-masalah berat - belum tentu menangkap maknanya dengan jelas. Kata-kata, surat, puisi, dalam hal ini tak banyak mengubah. Yang diperlukan adalah tindakan!
Ito merasa mantap setelah malam itu berdoa secara khusyuk. Mantap sekali: melapor kepada Kepala Sekolah.
Namun, ketika pagi hari sampai di sekolah, timbul kembali kebimbangan. Rasanya tak tega melihat Amir, Cici, Tono dan sebagian kawan-kawannya mendapat hukuman dari Kepala Sekolah. Bahkan bisa jadi hukuman terberat. Sampai dengan skorsing tidak boleh mengikuti pelajaran. Berat, alangkah beratnya. Bukan hanya tidak boleh mengikuti pelajaran saja, akan tetapi efek yang lain. Orang tua terlibat, jadi mengetahui. Semua teman yang ada akan membicarakan dari mulut ke mulut. Benar-benar pukulan batin yang berat. Akan tetapi, Ito kembali mempertimbangkan, bahwa itu semua masih lebih baik - daripada berurusan dengan polisi. Yang berarti bisa lebih tak tertanggungkan lagi!
Ito merasakan isi perutnya bolak-balik. Antara dua pilihan. Belum pernah sepanjang hidupnya merasakan sulitnya mengambil keputu
san seperti sekarang ini.
Sewaktu istirahat, Ito menyendiri. Tetapi telinganya seperti mendengar kemeriahan pesta traktiran di kantin. Kini yang menjadi pusat perhatian adalah Tono. Ya, kini bukan lagi Joko, melainkan Tono. Tono sudah menggantikan posisi Joko. Tono bisa mentraktir, bisa ber-bangga, bisa ngomong sesukanya. Tanpa merasa bersalah.
"Jatah kita berapa mangkuk, Ton"" kata Cici bersemangat.
"Jatah kalian semua adalah kekuatan perut kalian masing-masing. Selama masih kuat, tenggak saja. Yang menghalangi hanyalah apakah tong Pak Jumingun ini masih ada isinya atau tidak."
Pak Jumingun menghela napas.
"Ton, kamu bilang tong boleh. Kamu bilang tempat sampah, saya bolehkan. Asal dibayar. Asal laku. Semangkuk seratus rupiah."
Pak Jumingun melanjutkan menghela napas gembira sehingga panggilan Wati yang sudah diulangi dua kali tak disahuti.
"Pak Jumingun! Baksonya tambah!" "Sebentar ..."
Pak Jumingun membawa mangkuk baru. "Ini ..."
"Saya minta bakso saja. Bukan mangkuk baru. Ini kan masih bisa. Bagaimana ini""
"Yang ini dituang kan bisa."
Tangan Wati bergerak. Kuah yang siap dipindah terhenti.
"Saya tidak mau tambah kuah. Cuma baksonya. Bagaimana Pak Jumingun ini" Ngelapor melulu."
"Ngelapor apa pada siapa""
Akar Asap Neraka Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ngelapor itu artinya ngelamun porno. Ia, kan""
Pak Jumingun dengan hati-hati menuangkan bakso yang diminta Wati. Tak mendengar tawa yang lain. Menertawakan Pak Jumingun yang dijebak dengan permainan kata-kata oleh Wati.
Di sebelah, Cici juga minta tambah.
"Mau dibilang tong ya boleh, tempat sampah ya boleh, dibilang porno ya boleh."
"Pak Jumingun, saya juga membayar seperti Wati ..."
"Sebentar ..." "Hui sebentar melulu. Ada rezeki
nomplok jadi bingung." Cici tak sabar membawa mangkuknya sendiri. "Tadi malam mimpi apa, Pak, kok baksonya bisa diborong""
Dengan segala wajah polosnya, Pak Jumingun mengingat-ingat apa yang dimimpikan malam harinya.
"Cepat. Kok malah diam saja."
"Ia ... ya ... Saya mimpi apa" Orang semalam saya tidak tidur."
Ucapan polos ini disambut dengan sigap oleh Wati. "Tuuuu, Pak Jumingun porno, kan" Tidak tidur, lalu kenapa""
"Sebentar ..." "Jangan menghindar!"
"Lho, kalian semua ini mau porno apa mau bakso""
Karena kata-kata ini diarahkan kepada Wati, yang bersangkutan kaget bagai kena sengat. "Eeee, jangan sembarangan ngajak porno saya, ya""
Hengki, setelah secepatnya menelan bakso, berkata dengan suara cukup keras. "Pak Jumingun terlalu berani. Wati lagi mengharap kedatangan Joko, bukan Pak Jumingun."
Wati mengeluarkan suara mengejek. "Joko yang mana" Joko yang itu" Oho, kalian semua boleh menjadi saksi. Seribu Joko boleh datang mengharap Irawati, tetapi seribu Joko pula yang bakal kecewa. Jangan datang kalau tak mau kecewa."
"Hari ini Joko memang tidak datang," kata Tono perlahan. "Tapi ia kirim salam kepadamu." "Huh!"
"Huh. Baiklah, kalau begitu nanti saya bilang sama Joko, bahwa kamu menjawab dengan
"Huh. Saya tidak menjawab dengan huh." "Baru saja." "Saya huh sendiri."
"Jadi apa jawabanmu kalau nanti Joko bertanya""
Cici menahan tawa kecilnya. "Akhirnya tuan putri guncang hatinya, bingung jadinya."
Amir tak mau ketinggalan: "Wat, kalau bingung dan guncang cari pegangan saja, biar tidak jatuh. Nih, pegangan mangkuk saja."
"Hei, beraninya main keroyokan. Kok ngo-mongnya sembarangan semua. Baru ditraktir bakso saja sudah pada mabuk."
"Jadi apa jawab saya, Wat""
Wati bimbang juga. Kalau menurutkan kesombongannya, ia bisa tetap tinggi hati. Tapi bisa jadi Tono menyampaikan apa adanya. Bisa repot. Kan sekarang ini hanya dirinya yang dikirimi salam. Bukan yang lainnya. Bukan Cici, bukan Emi, bukan Utami.
"Jawab saja ..., apa, ya" Nanti disangka saya sombong. Cuma dikirimi salam saja tak mau menjawab.Bilang saja salam balik."
Koor tawa menggema. Hengki meletakkan mangkuknya. "Heran. Tono berani-beraninya bilang dapat titipan salam dari Joko. Kapan Tono ketemu Joko""
Amir menyenggol Hengki. "Cemburu, Heng" Merasa kalah saingan dengan Joko""
"Ah, kamu, Mir. Kalau aku yang cemburu masuk akal, sebab aku dekat dengan Wati. Tetapi kalau kamu yang mengurusi kecemburuan, jangan-jangan kamu yang cemburu."
S atu kalimat dari Hengki sudah mampu membuat wajah Amir berubah menjadi merah. Meskipun belum semerah saus, tapi sudah mirip kerupuk udang - kalau saja di kantin itu dijual kerupuk udang.
"Saya memang cemburu. Iri."
"Kok baru mengaku iri sama Wati""
"Saya iri sama Wati. Sebab sekarang ini Wati, kalau makan bakso, cepat dan banyak."
Kembali suasana riang gembira lepas. Di antara saus, kecap, cuka," sebentar..." dan saling menimpali. Hanya Cici yang kelihatan kurang menikmati. Pandangannya menyapu keliling kantin, menyapu ke arah luar melewati dinding kawat.
"Mir ..." Amir mendekatkan telinga ke Cici. "Mana Ito""
"Aku tak melihatnya sejak tadi."
"Tadi aku justru melihatnya. Di ujung sana. Sekarang tidak kelihatan.
Tono ikut menunduk. "Ito bisa tega dengan kita.,"
"Apa kira-kira yang akan dilakukannya""
"Apa lagi kalau bukan ..."
Ketiganya berpandangan. Saling berpandangan. Wati jadi sebal.
"Seperti anak kecil saja main bisik-bisik! Kampungan!"
Justru karena ingin menjengkelkan Wati, Hengki ikut berbisik: "Setega-teganya Ito, ia tak akan mencelakakan kita."
"Tidak. Kecuali kalau Ito ingin menjadi pahlawan." Suara Tono kedengarannya lebih dipengaruhi kekuatiran.
"Saya tak tega mencurigai Ito," kata Cici. "Tapi siapa tahu ia ingin namanya diabadikan menjadi salah satu nama ruang di sekolah kita""
"Kita tak perlu mencurigai Ito."
"Bukan begitu, Mir. Soalnya, kalau kita salah melangkah, bisa buyar semuanya. Kewaspadaan dan jaga-jaga selalu perlu. Kata Joko juga begitu."
"Kalau begitu kita perlu strategi," kata Cici. "Apa""
Cici melihat sekeliling. " Ngomong-ngomong saja. Kalian pakai strategi tertentu belum tentu Joko senang sama kamu, Ci." Dari suaranya Wati masih menganggap yang menjadi persoalan soal Joko.
"Ton ..., kamu awasi Ito. Kalau ketahuan ke mana, kita atur strategi ..."
Tono mengangguk. Cepat sekali ia berbalik dan menuju ke luar. Berbaur dengan yang lainnya. Mengawasi segala penjuru dari sekolah. Tono, sebagai ketua kelas II C, mempunyai kelebihan lain. Dengan serta-merta pandangannya tertuju ke ruang guru. Karena sangat boleh jadi Ito menuju ke sana. Apa yang diduganya meleset. Tapi justru itu yang membuatnya lebih kuatir. Karena Ito tidak menuju ke ruang guru ... melainkan ke ruang Kepsek. Ruang Kepala Sekolah! Tembak langsung! Tono terbatuk.
Berarti ini harus ... Tapi, apa yang dilakukan Ito di dalam" Apakah ia mempunyai keberanian untuk berbicara kepada Kepala Sekolah" Pak Rakhmat memang bisa akrab dengan siswa-siswi. Namun, tetap saja angker.
Ito juga merasakan kebimbangan itu. Kalau tidak nekat, tangannya tak akan berani mengetuk pintu Kepala Sekolah. Hatinya menciut setelah tak ada jawaban atau perintah masuk. Ito menunggu. Mengetuk lagi. Tak ada jawaban. Ito membuka pintu dan langsung masuk ke dalam.
Ruang Kepala Sekolah sebenarnya sama saja dengan ruang yang lainnya. Sama saja dengan ruang guru. Bedanya, ruang Kepala Sekolah lebih sempit.
Kalaupun lebar, ruang itu telah menyebabkan Ito makin terhimpit. Ia maju selangkah dua.
Pak Rakhmat duduk di kursinya, seperti biasa. Yang tidak biasa adalah di depannya ada Bu Ari, Ibu Guru Pembimbing. Tidak terlalu mengherankan kalau Bu Ari membawa dagangannya. Ada saja dagangannya yang bisa ditawarkan. Mulai dari batik sampai peralatan rumah tangga. Yang sedang dipegang dengan kedua tangan ini pun kain batik. Pak Rakhmat memperhatikan selin-tasan saja.
"Ini juga bisa dicicil, Pak."
Kalimat Bu Ari yang memuji dagangannya terhenti karena pandangan Pak Rakhmat tertuju kepada yang lain. Pak Rakhmat tegak duduknya, dengan punggung lurus. Di balik kaca matanya yang indah, terasakan kewibawaan dengan sorot pandang langsung dan suara berat.
"Ya"" "Maaf, Pak. Saya masuk kemari. Tadi saya sudah mengetuk pintu."
Pak Rakhmat mengangguk. Tak sehelai pun rambutnya yang hampir semua putih ikut bergerak. Rapi sekali sisirannya.
"Saya boleh langsung bicara, Pak""
Pak Rakhmat mengangguk. Kedua gerahamnya tetap terkatup.
"Ada sesuatu yang akan saya laporkan kepada Bapak. Sesuatu yang mengancam sekolah kita."
Dagu Pak Rakhmat sedikit miring. Itu tandanya ia memperhatikan dengan sepenuh per
hatian. Bu Ari membereskan dagangannya. Melipat kembali dengan baik. Ada pintu samping yang menghubungkan ke ruang guru. Tapi Bu Ari tidak segera beranjak meninggalkan tempat. Ingin tahu apa yang dikatakan Ito.
"Duduk, Tok." Ito duduk. Berdampingan dengan Bu Ari. Buku-buku di tangannya ditekuk. "Bagaimana, Tok""
Pancingan keberanian yang mengena. Pak Rakhmat sebagai kepala sekolah tahu betul bagaimana membangkitkan keberanian anak didiknya untuk mulai berbicara. Pengalaman mengajar dan mendidik sudah lebih dari cukup memberikan bekal. Satu hal yang menjadi kelebihan kepala sekolah yang satu ini - yang dirasakan oleh murid-muridnya - adalah bahwa Pak Rakhmat hafal dengan nama murid-muridnya. Semua dihafal, dan mengetahui perbedaan satu dengan yang lainnya. Ini bisa ditandai kala menegur. "Bagaimana, Tok, sudah ada puisi yang baru"" Terus terang ini membuat Ito merasa senang dan sekaligus bangga. Ia bukan cuma dikenal sebagai salah seorang murid, tapi juga dikenali dengan nama akrabnya. Itok, pakai k. Juga dikenali bahwa Ito suka menulis puisi. Kepada Amir, Cici, Tono, Eka, Joni, atau bahkan yang tak dikenali oleh sesama siswa pun Pak Rakhmat bisa mengetahui.
Penampilan Pak Rakhmat dekat dengan anak didiknya. Ada saat-saat Pak Rakhmat bercerita, mengajak bicara tidak hanya soal-soal sekolah. Dengan cara yang akrab. Namun, itu tidak menghalangi kalau Pak Rakhmat murka. Bagi Pak Rakhmat ada yang bisa untuk bercanda, tetapi juga ada yang tak bisa ditawar. Soal disiplin sekolah, tak boleh tidak. Dari sisi ini memang Pak Rakhmat kelihatan angker. Menakutkan.
"Agak sulit saya mulai bercerita, Pak. Ini menyangkut teman kita sendiri. Saya tak mau menyebutkan siapa. Akan tetapi ada di antara teman-teman saya yang terlibat pengedaran ganja di sekolah ini."
Bu Ari meneriakkan sesuatu. Jidat Pak Rakhmat berkerut sedikit. Kedewasaan dan penguasaan pada situasi yang mendadak menunjukkan kelebihannya.
"Kalau begitu sekolah kita termasuk sekolah morfinis" Astaga" Siapa, Tok" Kamu harus berani mengungkapkannya. Kalau tidak ..." Suara Bu Ari dipotong Pak Rakhmat.
"Kuhargai laporanmu, Tok. Kuhargai kebera-nianmu. Memang di sekolah ini ada siswa dan siswi yang menjadi semacam pengawas. Namun hasilnya baru dalam tahap awal. Kenakalan kecil-kecilan. Itu juga perlu diketahui. Tapi kalau yang kamu katakan benar, kita harus bertindak. Sekarang. Sebelum itu, saya mau bertanya. Seberapa jauh pengamatanmu""
"Saya melihat sendiri ada beberapa teman yang dipengaruhi."
"Beberapa" Jadi lebih dari satu"" Suara Bu Ari meninggi kembali.
"Mungkin satu-dua atau tiga. Mereka dipengaruhi menjadi pengedar. Saya belum melihat mereka menjadi pecandu. Tapi mereka mengedarkan dan mendapat imbalan besar."
"Kenapa siswa kita yang dijadikan pengedar, Tok""
"Barangkali karena anak-anak sekolah memakai seragam, Bu. Biasanya tidak diduga. Dan yang menyelidiki tak menaruh kecurigaan."
"Benar juga. Pintar juga mereka ini."
"Apa saran kamu, Tok""
"Pak Rakhmat pasti lebih mengetahui. Satu-satunya cara adalah menemukan bukti. Dan ... terserah Bapak bagaimana penanganan selanjutnya."
Bel masuk terdengar. Pak Rakhmat mengangguk. Ito berdiri. Bu Ari ikut berdiri. "Ini masalah serius. Saya sendiri yang akan bergerak."
Pak Rakhmat ikut berdiri. Melangkah ke samping. Membuka pintu penghubung ke ruang guru. Para guru melihat ke arah Pak Rakhmat, seperti ketika Pak Rakhmat melihat Ito yang baru masuk tadi.
Tenang, pelan, tetapi mantap Pak Rakhmat berjalan menuju pintu. Menutup rapat. Lalu mengambil salah satu tempat duduk. Guru-guru yang lain segera mengambil tempat duduk di kursi yang paling dekat. Semua guru yang ada mengelilingi Pak Rakhmat.
"Saya minta perhatian. Ito baru saja melaporkan bahwa di sekolah kita ada yang menjadi pengedar ganja. Laporan ini harus kita terima dengan kepala dingin. Tak perlu overacting, tak perlu keladuk, tak perlu berlebihan. Tapi juga tak bisa dibiarkan. Salah satu cara mengantisipasi adalah dengan mengadakan penggeledahan.
Saya minta semuanya menggeledah ke kelas masing-masing di mana Bapak dan Ibu mengajar. Geledah dari isi tas, isi saku. Tindakan
mendadak ini pasti tak mereka duga.
Apa pun hasilnya, kita mengadakan pertemuan lagi di sini. Kita korbankan jam pelajaran yang sekarang. Untuk menjaga kejadian yang lebih berat. Pada masalah siswa saya, saya masih bisa berpikir kalau mendengar mereka berkelahi, atau nakal. Tapi soal ganja, obat bius, atau apa saja, saya tak akan kompromi."
"Saya kira kalau Ito yang memberi laporan, ia bukan anak yang sembarangan." Suara Bu Rum memberi penekanan persetujuan apa yang diputuskan Pak Rakhmat.
"Terima kasih, dan kita mulai ..."
Pak Rakhmat berdiri pertama kali, membuka pintu. Semua guru menyadari bahwa sesaat itu wajah Pak Rakhmat menjadi keruh. Muram, berat. Pakaian dinasnya terasa lebih kaku dan mengganggu. Bu Ari paling merasakan perubahan kesan itu. Belum setengah jam yang lalu, Pak Rakhmat masih bercerita banyak mengenai batik, mengenai perdagangan, mengenai kehidupan rumah tangga. Diselingi tawa. Tapi begitu Ito masuk dan memberi laporan, segalanya berubah.
"Saya akan membantu kelas yang memerlukan bantuan," kata Bu Ari. "Karena sebenarnya saya sudah tidak mengajar lagi pagi ini."
Pak Rakhmat mengangguk pendek. Tanpa tambahan gerakan.
Guru-guru keluar dari ruang guru, satu per satu. Tegang langkah dan gerak kakinya. Bunyi sol sepatu sangat keras menekan. Gemanya terpantul kembali. Bu Ari, Pak Jasman, Pak Budi, disusul Bu Rum.
Rambutnya nampak menjadi lebih ikal. Bu Rum memang paling terlihat kecemasannya. Jari-jari tangannya saling mendekap. Gelisah. Masuk pintu kelas II C, tak setitik pun menunjukkan senyuman.
Anak-anak kelas II C sudah hafal. Jika ada ulangan, Bu Rum kelihatan lebih galak dari biasanya. Kelas tenang. Anak-anak sudah menyiapkan kertas kosong, pena, dan kertas buram untuk menghitung angka-angka. Pensil, karet penghapus, garisan, juga siap. Kalau Bu Rum mengadakan ulangan, tak akan ada izin untuk meminjam milik teman. Semua kegiatan yang tak ada hubungannya dengan mengerjakan ulangan, tidak akan diberikan. "Persiapkan dirimu sebaik mungkin, juga tentang peralatan. Saya tak mau melihat ada yang pinjam ini pinjam itu." Begitu kalimat hafalan yang diperkenalkan dulu.
Kali ini Bu Rum berada di tengah kelas. Pandangannya tajam menyapu seluruh isi ruangan. "Kali ini ulangan diundur ..."
Detik sunyi tak lama. Hengki bersorak, diikuti oleh seluruh kelas. Seakan mereka menjebol ketegangan sebelumnya.
Bu Rum masih tetap kelihatan angker. "Semua berdiri di samping meja."
Kini kegembiraan berubah menjadi tanda tanya. Bu Rum kalau memberi perintah dengan kalimat pendek. Jelas. Tapi susah dimengerti. Utami yang telah menyiapkan diri penuh, jadi bertanya-tanya. Dan yang ada di benak Utami masih soal pelajaran dan ulangan. Apakah kali ini akan diadakan ulangan sambil berdiri"
Semua anak kelas II C berdiri di samping meja.
"Hari ini saya akan melakukan pemeriksaan. Tinggalkan semua barang kalian di kelas. Apa saja tinggalkan di kelas. Sekarang keluar satu per satu. Mulai dari Utami."
Utami berjalan, keheranan, menuju pintu keluar. Bu Rum menyuruh berhenti. Pandangan matanya masih ke seluruh kelas. Sedikit gerak mencurigakan bisa membuat Bu Rum tegas mengawasi.
"Utami, keluarkan isi saku."
Utami mengeluarkan isi saku atas. Hanya sebuah karet gelang. Bu Rum memeriksa saku rok. Kosong. Lalu menyuruh Utami melangkah keluar. Sementara memeriksa Utami, Bu Rum tetap menguasai sekitar.
Emi mendapat giliran kedua. Juga diperiksa dengan teliti. Lalu siswi lain yang berada di barisan depan. Satu demi satu. Hengki, Tono, Andi, maju. Amir memandang ke arah Cici. Keduanya saling melempar senyum dengan sembunyi. Seakan saling maklum. Sementara itu memang tak ada yang perlu dicurigai dari saku baju dan rok atau celana. Pada Wati, hanya ketahuan bahwa Wati sudah menyediakan sontekan yang tak diperhitungkan orang lain. Di balik kaus kaki, melesak ke dalam sepatu.
Anak-anak yang telah selesai pemeriksaan bergerombol di depan pintu. Sebagian terbesar tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Juga ketika akhirnya pintu kelas ditutup. Teriakan dan sorakan dari luar, dari berbagai mulut pintu masing-masing kelas, menyatu tanpa ada yang menghenti
kan. Sebab semua guru sedang sibuk memeriksa tas sekolah. Satu demi satu. Setiap sudut. Setiap bungkusan kecil dibuka. Tempat pensil - yang berisi pena - dibuka. Dompet juga. Tak ada yang dilewatkan.
Yang paling berdebar adalah Ito. Ia menahan deburan kegelisahan dengan berjalan masuk ke ruang perpustakaan. Sebentar lagi akan terjadi peristiwa yang paling ditakuti. Teman sendiri terjebak.
Ito merasa sedikit lega. Di ruang perpustakaan itu ada Utami sedang membaca buku. Selalu, Utami tak pernah menyisakan semenit pun dengan menganggur. Selalu membaca buku, mencatat, menulis. Apalagi untuk waktu kosong seperti sekarang. Dalam benak Utami, saat sekarang ini adalah saat belajar. Dan harus digunakan untuk belajar. Kalau guru tak jadi dalang. Utami tetap saja akan belajar dalam kelas. Sekarang pun Utami lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan.
Ito duduk dekat Utami. "Baca apa, Ut""
"Apa saja. Daripada menunggu. Ada pemeriksaan apa""
"Kamu anak baik, Ut. Kalau semua anak seperti kamu, ceritanya akan lain, surga akan penuh."
"Kalau cari buku mengenai surga ... tuh di sebelah kanan. Itu semua buku mengenai kehidupan baik di masa depan."
Ito tersenyum. "Saya sudah menemukan, Ut."
Ganti kini Utami yang heran.
"Saya sudah menemukan. Tanpa melihat buku. Kehidupan yang lebih, lebih baik. Ya, saya sudah menemukan."
Utami berdiri. Tak memperhatikan omongan Ito. Kembali ke kelas karena mendengar keributan di luar mulai mereda. Ini juga salah satu sikap yang membuat Utami bisa selalu berkonsentrasi, la tak mau mengurusi terlalu teliti hal yang dianggap tak begitu penting. Bahkan jika kemudian masuk ke dalam kelas, mengetahui ada teman yang dihukum Bu Rum karena menyimpan sesuatu yang terlarang, Utami tak akan bertanya panjang lebar. Tidak juga meneruskannya kepada teman yang lain.
"Razia apa ini" Ada spionase, ya""
"Bukan. Ini latihan untuk main film," kata Amir.
"Jangan-jangan zaman perang dahulu juga seperti ini."
Semua suara dan komentar terhenti ketika Bu Rum mengangkat wajahnya. Helaan napas mendahului kalimatnya. "Saya gembira karena tak ada yang perlu dicurigai dari kelas ini. Ini pemeriksaan biasa. Kalau kalian tak merasa bersalah, tak perlu gelisah. Sekarang kita mulai dengan pelajaran biasa."
Sementara itu Wati mulai mengedarkan kertas bertulisan: Bu Rum kehilangan lipstik, maka semua tas digeledah. Agaknya Wati masih merasa keki karena ulangan tidak jadi dan kertas sontekan yang dipersiapkan ketahuan.
Bu Rum memberikan soal di papan tulis, lalu keluar lagi. Masuk ruang Kepala Sekolah. Ternyata Bu Rum datang paling lambat. Guru-guru yang lain sudah berkumpul.
"Bagaimana, Bu Rum""
"Kosong," jawab Bu Rum.
"Berarti sekolah kita tak termasuk dalam jalur pengedaran," kata Pak Jasman. "Tak saya temukan satu amplop pun."
Pak Rakhmat menggerakkan kaca matanya. "Saya tak tahu harus sedih atau gembira. Sedih karena anak-anak lebih pintar menyembunyikan. Atau seperti Pak Jasman, bergembira karena memang sekolah kita bersih."
"Jangan-jangan ini hanya khayalan Ito saja." Bu Arie tak bisa menahan geramnya.
"Bu Arie jangan menuduh begitu. Saya memang akan berbicara lagi dengan Ito. Akan tetapi kita tak harus menyalahkan Ito. Juga Bu Arie jangan merasa terganggu karena menggagalkan acara jual-beli seprei."
Pak Jasman mendengus. "Apa hubungannya jual-beli ganja dengan jual-beli sprei"" Pertanyaan ini terlontar karena Pak Jasman tak mengetahui ketika Ito memberi laporan, Pak Rakhmat sudah menyetujui membeli sprei, tinggal memilih warna yang cocok.
"Dua-duanya bisa membuat tidur lebih enak," kata Pak Rakhmat sambil tersenyum. "Hanya sprei lebih sehat. Kalaupun ketagihan, bukan akibat buruk yang terjadi."
Pak Jasman melangkah keluar.
"Pak Jasman, tolong beri tahu Ito. Saya ingin bicara dengannya. Saya tunggu di sini. Usahakan agar tidak terlalu menyolok. Nanti setelah pelajaran terakhir saja."
"Baik, Pak." Guru-guru yang lain keluar. Kembali mengajar. Tinggal Bu Arie. Pak Rakhmat juga ikut melangkah keluar.
3 MENJADI TENAGA PEMASARAN Tono mengikuti Ito ketika pelajaran berakhir.
Setelah yakin Ito masuk ruang Kepala Sekolah, dengan bersiul p
anjang Tono memasuki kantin. Melihat kiri-kanan. Amir berjaga di pintu. Cici ikutan masuk.
"Mana titipan saya, Pak""
Pak Jumingun mengambil satu bungkusan dari amplop coklat yang diletakkan begitu saja "Ini."
Tono mengangkat alis. "Justru dengan meletakkan sembarangan, tak ada yang curiga," bisiknya kepada Cici.
"Bukan hanya itu. Siapa yang menyangka kantin ini menjadi tempat penampungan""
"Guru-guru dan Ito masih harus bekerja lebih cerdik kalau membongkar kita."
Tono memandang Pak Jumingun.
"Besok, penuhi tong bakso itu. Kita semua siap untuk menguras isinya."
Pak Jumingun tak bereaksi.
"Tidak percaya kalau saya yang bicara""
"... yah.. .bagaimana besok saja." Suaranya tanda ada menyesal. Tanpa nada bangga. Biasa saja. Itulah kelebihan pak Jumingun - mungkin sekaligus juga kelemahannya. Ia sama sekali tak peduli akan datangnya sesuatu yang mengejutkan. Dan juga tidak menjadi terkejut karenanya.
Tono, Amir, Cici keluar dari kantin, menuju ke tempat sepeda. Tono melihat sepeda Ito masih berada di tempatnya.
"Agak seru juga pembicaraan di dalam," kata Tono.
"Mungkin Ito akan menerima penghargaan," kata Cici.
"Penghargaan apa" Ide untuk merazia dalam kelas sudah jelas gagal total."
"Penghargaan dari kita. Karena Ito, kelas kita tak ada ulangan dari Bu Rum. Bukankah itu boleh dipuji dan dihargai"" Tono tertawa lepas.
"Mir, aku akan kontak kamu. Sore nanti. Kalau Joko ada waktu. Setiap perkembangan harus kita laporkan. Kalian berdua ada waktu""
"Kalau pertemuan juga berarti pesta, selalu ada waktu."
"Jangan takut soal itu," kata Amir menengahi. "Yang perlu kita kuatirkan justru soal Ito. Pasti sekali mereka tak akan berhenti begitu saja. Saya kenal Ito. Saya kenal Kepsek tak akan memberi ampun peristiwa ini jika tahu terjadi di tempat kita."
Sampai ketiganya meninggalkan halaman sekolah, Ito masih berada dalam ruang Kepala Sekolah. Hening.
Pak Rakhmat lebih banyak menunggu.
Ito akhirnya mendongak. "Kalau Bapak tak percaya, saya akan melaporkan ke polisi. Bagi saya sangat jelas. Ada teman yang terlibat."
"Kalau tak ada bukti, apa yang bisa kamu lakukan, Tok" Kamu jangan salah paham. Saya sepenuhnya mendukung usahamu. Bahkan untuk melapor ke polisi pun, saya bersedia - sekarang juga. Masalahnya akan berbeda kalau sampai polisi turun tangan, dan tak ada hasil apa-apa."
"Mereka biasa mengadakan pertemuan di salah satu tempat. Saya akan melaporkan untuk menggerebek."
"Dengan kata lain, mereka memang mengedarkan di sekolah ini""
"Ya, memakai jalur sekolah."
"Dan mereka mencium razia di kelas""
"Saya kira ia, Pak."
"Kalau begitu, mereka cukup cerdik. Sangat cerdik. Kita harus lebih cerdik. Tok, laporkan semua yang kamu ketahui. Setidaknya kalau kamu masih percaya kepadaku. Bahwa bukan aku yang membocorkan rahasia ini. Itu saja. "Terima kasih."
Ito berdiri. Sampai di pintu tertahan langkahnya oleh panggilan Pak Rakhmat. "Jangan-jangan mereka tahu kamu memata-matai. Kalau benar begitu ruang gerakmu terbatas."
"Sebelum terbatas, saya akan menyikat mereka."
Ito tidak langsung pulang. Ia pergi menemui Cici. Di rumahnya. Cici agak kaget dengan kedatangan Ito yang mendadak. Dan pembicaraan juga berlangsung sangat kaku.
"Ci, aku tahu kamu menganggapku aneh. Mungkin sinting. Tapi kamu, dan juga Amir, adalah sahabatku yang paling dekat. Selama ini kita bertiga dikenal sebagai ACI. Yang tak terpisahkan. Akan tetapi ceritanya akan berakhir lain."
"Soal razia tadi""
"Dan soal razia yang akan datang. Sebagai sahabat saya memperingatkan ini. Yang terakhir."
"Kak Itok menuduh saya...."
Ito menggelengkan kepalanya cepat sekali. "Aku tak tahu sejauh ini hubungan kalian seperti apa. Keterlibatan kalian seperti apa. Aku tak ingin tahu. Telingaku akan sakit seperti hatiku kalau mendengar pengakuan kalian. Kini aku merasa lega telah memperingatkan."
"Trims." Ito kembali ke sepedanya. "Katakan juga kepada Amir." "Kalau ketemu."
Ito menoleh untuk terakhir kali. Masih dilihat pandangan mata Cici yang polos. Ah, mata yang indah itu! Sahabat yang begitu dekat. Kembali perasaan itu mengganggunya. Tapi sekali ini Ito begitu mantap akan keputusannya. Di Kantor
Kepolisian, ia membelokkan sepedanya. Menempatkannya di tempat parkir. Berjalan tegap menuju pos penjagaan.
"Boleh saya menghadap Bapak Komandan"" Kalimat itu meluncur dengan cepat sehingga membuat polisi yang sedang bertugas melihat dengan wajah heran.
"Saya ingin memberi informasi yang penting.
Di tempat lain, Tono juga sedang menceritakan kejadian di sekolah. Joko dan Rico mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Jasa Amir dan Cici," kata Tono mengakui. "Tanpa mereka berdua, rasanya jaringan kita di sekolah sudah habis!"
Joko mengangguk. Puas. "Ini bahan pertimbangan buat kita. Tadinya saya kurang begitu percaya sama Amir dan Cici. Mereka berdua sahabat erat Ito. Ito orangnya sok suci. Dengan melaporkan kepada Pak Rakhmat, sudah jelas posisinya. Tapi bisa kita pertimbangkan sebagai sahabat kerja."
Joko memandang Rico, seolah mencari pembenaran.
"Saya kira bisa kita coba," kata Rico. "Kita berdua ini sudah terlanjur dimata-matai. Jadi gerak kita kurang bebas. Makanya kita memerlukan kamu, Ton."
"Ya." "Dan kamu bisa membeli sepatu baru." Tono tak bisa menyembunyikan rasa girang di wajahnya.
Malam nanti ada yang akan mengambil dagangan. Tempat pertemuan di warung Ayu dekat stasiun. Mungkin Amir dan Cici bisa kita coba."
"Jangan-jangan malah menimbulkan kecurigaan kalau Cici berada di warung Ayu," kata Joko.
"Tidak ada yang mencurigai Cici," kata Rico seakan sudah mengenal Cici dengan baik. "Karena kita terlibat, kita dengan mudah bisa mencurigai. Tapi tidak yang lain.
Jok, kamu besok masih harus tampil di sekolah. Supaya tidak menghilangkan kesan bahwa kamu terlibat."
"Aku senang. Malah bisa bertemu Wati."
"Kalau Pak Rakhmat atau aparat kepolisian melihat kamu di sana, akan konsentrasi ke sekolah. Dan selama ini kita operasi terus. Barang kiriman dari Jakarta akan datang sebentar lagi.
Jadi nanti malam Amir serta Cici""
"Sekalian mencoba mereka""
"Baik. Kalau begitu kontak dengan warung Ayu. Nanti ada dua anak yang memakai karet gelang di tangan kirinya. Itu yang dihubungi."
Tono ikut mengangguk. Rada lesu.
"Bukan kami tidak mempercayai kamu, Ton. Kamu ada usaha lain. Kita justru paling banyak memerlukan penghubung yang baik. Sampaikan kepada Amir, ke mana ia menyerahkan. Malam ini juga."
Tono sudah membayangkan sepatu baru. Sepatu basket yang bisa untuk nampang. Sepatu yang kalau dipakai serasa menginjak kasur busa empuk. Yang membuatnya gagah. Dan pemberian duit dari Rico-agaknya setingkat lebih tinggi dari Joko-cukup untuk itu. Dengan sepatu baru itu pula Tono menemui Amir. Sangat kebetulan, sebab Cici sudah ada di sana.
Tono menerangkan segalanya dengan terinci.
"Tugasmu hanya menyerahkan barang itu."
"Mana barangnya""
"Akan kita berikan satu jam sebelum kamu antarkan."
"Kenapa harus berdua, Ton""
"Itu intruksi dari Rico. Kamu akan menemuinya setelah penyerahan ini "
"Di mana""
"Aku akan memberitahukan nanti."
"Kenapa...," suara Cici tertahan. Lalu diubah. "Kepada siapa saya menyerahkan juga belum tahu."
"Seseorang yang memesan dua kopi di warung itu. Salah satu cangkir yang ada di situ diberi pisang. Kamu langsung duduk di dekatnya dan mengambil pisang. Kalau orang itu bilang boleh, kamu serahkan."
Amir mengangguk. "Sepatu macam ini juga akan kamu miliki."
"Ton," suara Cici seperti gemetar. "Kalau hanya untuk menyerahkan barang seperti ini, apa susahnya mereka lakukan sendiri""
Tono mengawasi sekeliling. Seakan masih belum percaya. "Usaha pengedaran ganja dan obat-obatan semacam ini sekarang praktis tak ada kemungkinannya. Semua menjadi sangat peka.
Ingat kejadian di sekolah kita. Kabar sedikit membuat seluruh isi kelas dan isi saku digeledah habis. Demikian juga di tempat lain. Sehingga kita memerlukan perantara yang aman. Kalian berdua yang terpilih.
Sampai nanti, menjelang keberangkatan kalian, saya akan datang lagi."
Sementara itu, Ito akhirnya bisa menghadap Komandan Jaga, dan menceritakan apa yang diketahuinya.
"Satu tempat lain yang sering dipakai adalah warung Ayu."
"Kami sudah mengetahuinya. Kami sudah pasang orang di sana."
"Bapak tak akan menyangka bahwa anak sekolah seperti saya yang mengantarkan bingkisa
n itu. Saya akan menyertai Bapak ke sana. Menurut perasaan saya, malam ini akan terjadi transaksi itu."
"Dari mana perhitunganmu"" "Dari sekolah."
"Joko yang kamu sebutkan, kita pernah menanyai. Pernah menahannya. Bahkan salah seorang temannya, yang namanya Rico - nama panggilan-pernah kita tahan. Sengaja kami lepas kembali karena kami menghendaki menangkap yang lebih besar lagi.
Baik, kalau kamu mau menunjukkan, lebih baik kita rencanakan sekarang. Tak perlu pulang."
Dalam hati, Ito sedikit takut. Apakah Bapak Polisi ini termasuk mencurigainya" Ito membuang pikiran itu jauh-jauh. Bukannya tak ada kemungkinan ke arah itu. Tapi ia mengesampingkan semua persoalan. Tekadnya cuma satu: menggulung komplotan!
Lepas magrib rombongan berangkat. Ito memakai jaket yang tebal, yang membungkus seluruh tubuhnya. Mereka menunggu agak lama. Menunggu dalam sebuah beca yang sengaja dipakai untuk keperluan operasi.
Jam tujuh lewat. Kegiatan di warung Ayu masih seperti biasanya. Ada yang keluar, ada yang masuk. Lampu masih bersinar terang.
Mendadak Ito berkeringat. Dari arah pasar, muncul dua bayangan yang sangat dikenalnya. Amir dan Cici. Astaga! Inilah perang batin yang paling menakutkan. Ito berharap mudah-mudahan bukan Amir dan Cici. Kalaupun benar mereka Amir dan Cici, mudah-mudahan tidak menuju warung Ayu.
Tapi Amir dan Cici masuk ke warung Ayu.
"Itu"" Polisi yang bertugas lebih mengetahui apa yang ada dalam perasaan Ito. Bisa membaca kegelisahan Ito.
"Kamu diam di sini."
Dua orang polisi yang berpakaian preman masuk ke dalam. Mereka menyamar sebagai pengamen. Dengan begitu bisa mengetahui apa yang terjadi di dalam warung tanpa dicurigai. Dengan gitar yang telah disediakan.
Akar Asap Neraka Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seorang lagi juga berjaga di depan. Pasti juga ada di belakang, sehingga kalau ada yang berusaha lari mendadak, masih bisa disergap. Mereka tinggal menunggu dengan siapa Amir dan Cici berhubungan. Dan menangkap basah.
Amir dan Cici masuk. Mengamati keliling. Nampak seorang duduk dengan santai, memesan dua kopi secara mendadak, dan mengambil pisang. Amir berpandangan dengan Cici. Amir mengangguk.
Cici berniat balik. Amirmendekati orang itu. Duduk di sebelahnya, seolah memperlihatkan tangan yang memakai karet gelang. Ketika satu tangan memegang pisang, ketika itulah terdengar teriakan.
Dalam waktu kurang dari satu menit, Amir telah ditangkap. Digeledah seluruh tubuhnya. Juga Cici, yang karena kaget menampar polisi yang berpakaian preman. Juga orang yang memesan kopi.
"Apa-apaan ini""
Cici berubah merah wajahnya.
Amir malah tertawa kegelian. "Di sekolah ada latihan perang. Di sini juga ada."
Warung itu telah dikepung. Satu regu datang dan turut memeriksa. Tapi tak ada barang yang dicurigai.
"Boleh tanya, pak," kata Amir. "Ada penyelundupan emas dan intan ya""
Petugas yang menggeledah Amir masih menunjukkan sikap yang sabar.
"Maaf atas kelancangan kami. Kami hanya menjalankan tugas. Sekali lagi maaf."
Lalu semuanya berlalu. Dengan sama cepatnya.
Cici masih muram wajahnya.
Amir memandangi lelaki di sebelahnya. Matanya berkedip. Lalu berjalan pergi, bersama Cici.
Lelaki itu menepuk pundak Amir. "Lain kali saja," katanya antara terdengar dan tidak.
Berita penggerebekan warung Ayu menjalar lebih cepat dari kapas terbakar. Dengan cepat meluas. Pada Ito, ini merupakan kekalahan total, la nampak bingung. Tak bisa berkata apa-apa.
"Hukum saya kalau dianggap salah." Hanya itu yang dikatakannya. Selebihnya tak ada. Tidak lebih dari dua puluh empat jam, Ito merasa melakukan sesuatu yang hina. Di sekolah ia begitu yakin, tapi tak ada bukti. Diwarung Ayu semua berjalan seperti yang direncanakan, tetapi ternyata tak ada bukti. Penggeledahan oleh polisi dan oleh guru jelas berbeda dalam soal ketelitian, pikir Ito. Itu bukan berarti Amir dan Cici bisa menyembunyikan dengan aman, melainkan memang mereka tak membawa!
Ito merasa kalah. Tandas.
Joko dan Rico tadinya juga merasa begitu. Mereka mengawasi dari kejauhan, dan sudah lebih dulu menyelamatkan diri ketika terjadi keributan. Bahkan sampai tengah malam, keluarganya mengatakan Joko tak ada di rumah sewaktu Tono datang.
"Bilang saya Tono, dan sendirian," kata Tono meyakinkan.
Barulah ia dibiarkan masuk, menemui Joko di kamarnya.
"Aman." "Aman"" "Amir dan Cici lebih hebat dari yang kita duga."
"Kenapa"" "Kenapa" Amir sengaja menyembunyikan dagangan. Ia datang untuk memastikan. Jika ketemu orangnya, Cici akan mengambilkan. Nah, ketika Cici akan mengambil itu, terjadi razia. Jadinya mereka aman."
Joko tersenyum. Tapi senyum itu hilang mendadak. "Kalau kamu berdusta, kamu bisa saya bunuh."
"Saya tak akan menjebak kamu, Jok, pun andai saya ditangkap."
Malam itu juga Joko menghubungi Rico di tempat persembunyiannya. Seperti Tono, Joko pun diterima ragu sebelum akhirnya dipertemukan dengan Rico.
"Boleh juga kedua anak itu."
"Saya yang memilih," kata Tono.
"Ya, kamu yang memilih mereka. Kalau bukan karena jasa itu, kamu sudah lama tak kupakai."
"Apa rencana kita selanjutnya Ric""
"Tunggu kontak dengan mereka. Jaga diri baik-baik."
Mereka berpisah. Dan sejak malam itu, Amir serta Cici sudah dianggap tenaga pemasaran dan pengiriman yang dapat diandalkan. Rico bahkan memutuskan bahwa Amir dan Cici bisa ditugaskan untuk menerima barang kiriman dari Jakarta. Kalau perlu malah bisa ditugaskan ke tempat lain.
Ini satu-satunya jalan. Sebab dirinya sendiri praktis selalu dalam pengawasan. Demikian pula-Joko. Tono tak bisa diandalkan karena tak memiliki kegesitan.
Dan memang esoknya Amir bersama Cici bisa menyampaikan bungkusan dengan selamat kepada lelaki yang dimaksud. Tak terlalu sulit bagi Amir karena ia telah mengenalnya. Mereka bertemu di stasiun, seakan mau naik kereta ke Sukabumi. Setelah memberikan barangnya, Amir meloncat turun, bersama Cici.
Lelaki itu juga turun, entah di mana.
Yang paling berubah adalah Tono. Penampilannya di sekolah seolah jenderal yang baru memenangkan pertempuran secara gemilang. Senyuman dan cara mengangkat alis seakan semua tahu bahwaTono menjadi pentraktir paling royal. Pak Jumingun sendiri memuji sebagai penglaris yang belum ada saingannya, sejak ia mendirikan warung.
Sepatu baru Tono lebih banyak mengundang komentar Hengki yang memang usil. "Ton, kamu pakai sepatu, seperti orang menginjak kelinci. Sepatu jalan ke mana... , kamunya jalan ke mana."
"Heng, bagi orang kaya segala apa juga pantas. Pakai sepatu mahal pun pantas." Cara bicara Tono pun disertai dengan gerakan tangan yang memakai jam tangan besar - milik ayah atau pamannya.
Jangan meledek, Heng," kata Wati. "Begitu-begitu Tono bakal jadi panjang sebelah. Lihat saja tangannya keberatan jam."
Kalau yang lainnya tertawa, Tono merasa tersudut. Kalau Hengki yang memperolok, Tono masih bisa mengangkat muka. Tapi kalau Wati sudah ikutan, Tono merasa selalu kalah. Namun tidak kali ini. Kali ini Tono justru melihat peluang untuk meledek Wati. Ia memiliki senjata andalan, yaitu Joko!
"Wati, kalau kamu sentimen, saya tidak mau dititipi salam."
Wati berubah senyumnya merekah. "Boleh juga. Salam balik."
"Baik, nanti kalau ke kebun binatang salam kamu saya sampaikan."
"Ke kebun binatang" Memangnya Joko...," Wati merasa keceplosan ngomong. Harusnya ia tak perlu mengucapkan nama Joko. Dan inilah umpan yang dijotos oleh Tono.
"Siapa bilang kamu dapat salam dari Joko" Saya dititipi salam dari Siamang."
"Siwalan," kata Wati cepat.
"Saya bilang siamang. Bukan siwalan."
Giliran Wati yang jadi bahan tertawaan. Siwalan memang ucapan khas Wati kalau jengkel. Ia mengubah kata sialan - yang kasar dan terlalu umum - menjadi siwalan. Tapi oleh Tono ini diartikan Wati tak mendengar kata Siamang.
Jago juga Tono kali ini. Wati merasa sakit hati karena Hengki yang selama ini membelanya, juga ikut-ikutan menertawakan.
"Heng!" "Apa salah saya" Tertawa saja kok dilarang." "Kita kan c.s!"
"C.s. kalau makan bakso saja, Wat." "Siwalan."
"Lebih gawat. Bakso pun dikira siwalan."
Ledakan tawa makin bergema. Tono yang menjadi pusat perhatian merasa terlambungkan. Dadanya membusung.
Di satu tempat yang tak terlalu jauh dari keramaian yang semarak, Ito sendirian. Ia mendengar tawa itu sebagai ejekan pada dirinya. Ia mendengar sebagai menertawakan dirinya. Ito merasa sangat sepi. Ia sendirian. Lebih menyakitkan lagi
, karena kini tak ada lagi orang yang mempercayai omongannya. Tidak Pak Rakhmat, tidak juga Komandan Polisi. Tidak juga Amir dan Cici yang telah diperingatkan! Inilah yang membuat Ito merasa sakit yang paling menyakit-kan. Pedih, perih. Menyayat.
Apa yang dilihat Ito lebih dari memedihkan matanya. Amir, Cici, dan Tono mentraktir kawan-kawan di kantin. Dan pulangnya pun bersamaan. Bahkan Amir dan Cici sama sekali tak menoleh ke arahnya!
"Malam nanti aku jemput," kata Tono.
"Jangan terlalu malam," kata Cici.
"Kita adakan pertemuan dengan boss dari Jakarta."
"Asal makan lagi," kata Amir.
"Bukan cuma makan. Kalian bakal dapat
bagian." Malam hari Tono menjemput bersama dengan Rico dan Joko. Mereka membawa kendaraan. Jadi Amir dan Cici tak perlu naik sepeda. Baik Cici maupun Amir mengatakan kepada orang tua mereka bahwa ada urusan di sekolah.
Amir dan Cici nampak berkeringat telapak tangannya.
"Tenang saja," kata Joko. "Nanti ada boss dari Jakarta. Ia akan memberi keterangan mengenai operasi ini."
"Aman"" Suara Cici mengandung nada kuatir yang sempurna.
"Selalu aman," kata Rico.
Rombongan menuju ke salah satu bengkel. Menyimpan kendaraan di situ, lalu berpencar, naik beca berdua-dua. Cici dengan Tono, Amir dengan Joko, Rico sendirian.
Kata-kata Rico memang cukup beralasan. Mereka dalam keadaan aman. Itulah yang ada dalam pikiran Tono. Karena dengan beca mereka menuju ke suatu tempat yang tak pernah diduga. Sebuah rumah yang cukup bagus di luar kompleks perumahan. Tak terlalu menyolok,
justru karena bagian depan rumah itu dipergunakan sebagai warung serba ada yang cukup terkenal. Mereka melewati tempat samping, menyelinap ke bagian belakang. Masuk ke dalam kamar yang mirip gudang.
Boss yang dikatakan dari Jakarta itu muncul setelah semua ada di dalam.
Amir dan Cici paling tegang. Sebenarnya Tono juga. Ia ingin pipis tapi tak diizinkan.
"Ada barang yang harus diserahkan dalam minggu ini. Kita bekerja sendiri-sendiri. Amir ada tiga alamat, dan mengatur penyerahan dengan kode yang ada di situ. Juga Cici tiga alamat. Tono dua alamat. Kalian semua sudah terikat dengan kami. Kami selalu mengawasi gerak-gerik kalian."
Tak ada yang menyela pembicaraan boss dari Jakarta. Juga tidak setelah boss itu diam. Masing-masing menerima bagiannya. Dalam tas anak sekolah. Lengkap dengan stiker sekolah.
"Upah akan diberikan, tapi tidak seketika. Agar kalian tidak menyolok dengan sepatu yang dipamerkan model Tono."
Tono menunduk. "Ada pertanyaan""
Tak ada yang berbisik. "Kalau begitu kita bubaran. Ingat, dalam tas itu sudah ada alamat dan cara menghubunginya. Kalau selesai kita bubaran. Tono akan menghubungi di mana kita bertemu lagi. Selesai."
Boss dari Jakarta membuka pintu. Melangkah keluar. Disusul temannya. Rico baru melangkah keluar ketika terdengar teriakan keras agar mereka mengangkat tangan. Boss dari Jakarta melemparkan tas dan berlari ke arah lain. Tapi ia tersungkur begitu salah seorang polisi menjegal kakinya. Rico langsung ditelikung. Joko mendapat tamparan di pipi ketika berusaha menelu-sup. Cici masih berada dalam ruangan.
Amir yang bisa menyelamatkan diri. Sewaktu semua keribuatan terjadi, ia meloloskan diri dari samping. Memanjat dinding dan meloncat ke balik. Tapi beberapa orang sudah menunggunya.
"Angkat tangan!"
"Saya Amir..." Amir diringkus. Tak ada yang lolos. Dua boss dari Jakarta, Rico, Joko, Tono, Amir, Cici, dinaikkan ke dalam mobil bak terbuka. Dikawal dari ujung bangku ke ujung yang lain. Mobil berjalan dengan sirene tinggi melengking.
Malam itu juga mereka diperiksa satu demi satu. Pemeriksaan yang ketat.
Cici menangis terus. Makin keras tangisnya ketika tengah malam Bu Ratna yang pucat dan gemetar merangkulnya. Amir hanya bisa menggigit bibirnya sampai dalam. Joko, Rico, dan dua boss dari Jakarta membuang muka. Mata Tono berkaca-kaca.
Malam itu hanya Cici yang diizinkan pulang dari Kantor Polisi.
Pak Ali, ayah Amir, datang juga. Menampar Amir keras. Semalam penuh tak ada yang bisa tidur.
4 AMIR DAN CICI TERTANGKAP Mendung tebal di sekolah. Jalan Ki Hajar Dewantara seolah gelap. Sesekali terlihat kilat. Tapi hujan t
ak juga turun. Siang hari begini, sebenarnya menyenangkan. Sebab siswa-siswi yang pulang tak kepanasan - dan tak basah oleh hujan.
Mendung itu terasa di seluruh sekolah.
Dua hari lalu berita penggerebekan polisi melibatkan beberapa anak sekolah menengah pertama satu, Kota Kita. Nama Tono, Amir, dan Cici disebut-sebut. Ini merupakan pukulan yang memalukan. Bahkan Utami ikut-ikutan menangis mendengar berita Cici sempat ditahan. Utami paling tidak peduli, akan tetapi sekali ini tergetar juga hatinya. Wati yang biasanya paling keras menteror dan meledek habis, kini pun terdiam. Sifat bawelnya ternyata tahu situasi. Yang cerewet menjadi pendiam. Yang pendiam menjadi pena-ngis. Yang biasa menangis... tidak ada.
Hanya Hengki yang masih berkomentar: "Kasihan Amir sama Cici. Mereka belum sempat mengenakan sepatu baru sudah ditahan."
Ledekan Hengki tak mendapat jawaban.
"Sebenarnya enak ditahan. Daripada di rumah sendiri kan kebocoran. Ia, Ci""
Ledekan ini juga tak mendapat reaksi.
"Dan dapat rangsum.'
Malah tak ada yang mendengarkan. Hengki jadi merasa kesal. Kali ini betapapun ia membuat lelucon, tetap saja tak ada yang mencoba tertawa. Mereka lebih tertarik dengan bisik-bisik. Bahkan Amir dan Cici diharuskan melapor ke Kantor Polisi, seperti juga Tono. Sedangkan Joko, Rico, dan dua teman dari Jakarta kemungkinan besar akan diajukan ke pengadilan. Oleh teman-teman sendiri Amir, Cici, dan Tono dianggap hanya sekadar ikut-ikutan. Sekadar dilibatkan.
Namun memang untuk sementara tak ada yang mendekati Amir dan Cici. Baik di kelas, maupun waktu istirahat. Apalagi waktu pulang. Mereka melihat Amir dan Cici berjalan bersama. Mereka berdua ke Kantor Polisi jalan kaki.
Seperti siang ini. Mereka berjalan berdua, lusuh oleh keringat, dengan wajah kuyu. Barangkali karena udara sangat gerah. Barangkali juga karena lapar. Tono lebih suka pulang lebih dulu untuk makan.
Amir dan Cici berjalan bersama. Mereka mengambil jalan pintas, lewat jalan kecil. Di ujung belokan, seseorang telah menanti. Seseorang itu adalah Ito, yang segera turun dari sepedanya.
"Hai...." "Hai...," jawab Amir dan Cici bersamaan. Keduanya berhadapan dengan Ito.
"Sori, Mir. Sori juga, Ci. Saya sudah berusaha memberitahukanmu."
Amir tersenyum. "Tak apa, Tok."
"Saya tetap kurang enak."
"Kamu terlalu baik. Di saat semua teman menjauh, kamu masih mau berteman dengan kami berdua."
"Kita selalu bersama. Selalu. Itulah persahabatan."
Ito berjalan sambil menuntun sepedanya.
"Joko bukan pelaut. Ia kaki-tangan Rico. Dan Rico kaki-tangan orang lain lagi. Jalurnya begitu ruwet. Saya dengar semua yang tercantum dalam alamat yang kalian bawa berhasil digulung polisi. Tangkapan yang hebat. Kebenaran selalu menang."
"Ya," kata Cici.
"Saya sendiri kalah. Saya memberi informasi di sekolah, gagal total. Di warung Ayu - kalian berdua ikut diperiksa, gagal pula. Tapi siapa menyangka mereka bisa menggulung dengan mudah" Saya tak menyangka. Siapa yang memberi informasi ini""
Cici memandang Ito. "Saya."
Ito berhenti. Ketiganya jadi berhenti. Mendung seperti terusir sebagian.
"Kamu, Ci""
"Saya yang melaporkan. Atas persetujuan Amir."
"Ito membelalak. Pegangan sepedanya terlepas. Jatuh ke tanah. Bibirnya gemetar. Telunjuknya menuding.
"Jadi..., jadi, selama ini kalian berdua menjadi informan" Tuhan, kenapa kalian berdua tega mempermainkanku" Kalian begitu tega. Kalian membuat aku sungsang-sumbel."
"Tok...," Suara Amir perlahan sekali.
Ito mengibaskan rangkulan Amir.
"Tak perlu. Kita sudah berjanji untuk selalu bersama, nyatanya kalian tidak mempercayaiku! Tidak ada gunanya persahabatan ini."
"Rencana ini justru berhasil kerena Kak Itok," kata Cici merendah. Itu menggelengkan kepalanya.
"Kalian mau memujiku seperti anak kecil, ya""
"Cici benar, Tok. Kalau tidak karena kamu, Joko dan Rico serta boss mereka tak akan mempercayaiku. Kami berdua mencari waktu yang tepat untuk menceritakan semua kepadamu. Kami berdua salut kepadamu, Tok. Kamu hebat.
Tetapi kita tak bisa menangkap Tono atau Joko saja. Mereka hanyalah pengedar kecil. Jadi kita berusaha mencari akar asap neraka. Akar permasalahannya. Tono b
isa kita tangkap, tapi Tono lain yang terpikat sepatu baru akan muncul."
"Itulah sebabnya kami berpura-pura bergabung. Tanpa itu tak mungkin." Suara Cici merendah. "Kami berdua membuat susah Kak Itok."
"Saya juga membuat susah Ayah. Ayah sampai tega menamparku." Suara Amir mendadak sedih. "Untunglah itu terjadi di depan Rico, Joko dan boss. Sehingga mereka tak menyangka kami yang berkhianat. Cici membuat ibunya susah. Kami sudah melaporkan ke polisi agar terus mengikuti kami, malam itu.
Karena berhasil, lumayan juga pengorbanan ini."
Ito menggeleng. "Teman-teman menyangka kamu terlibat."
"Tak apa. Asal bukan kamu, Tok."
Ito seperti tersadar. Dirangkulnya Amir kencang sekali. Disalaminya Cici.
"Kalau Pak Rakhmat mengetahui hal ini..."
"Pak Rakhmat mengetahui saat terakhir. Bapak Komandan Polisi yang kamu lapori yang memberi tahu bahwa kita berdua ini memang menyusup sepengetahuan Pak Komandan. Saya kira Bu Rum juga tahu sekarang.
Memang mengejutkan. Tapi apa boleh buat."
"Pak Ali juga baru tahu belakangan. Juga Ibu." Cici menghela napas. "Kami berdua merasa berdosa mempermainkan orang tua. Kak Itok bisa memahami perasaan kami kalau kami tidak memberitahukan kepada Kak Itok""
Itok mengangguk. "Lalu kenapa kalian masih ke kantor polisi untuk melapor""
"Ya..., sekadar mengelabui saja. Supaya Tono tidak terlalu curiga. Ia sendiri sudah insaf. Semalam dalam tahanan..., huh, mengerikan sekali.
Kita pergi sama-sama Tok""
"Tidak. Nanti merusak strategi kalian."
Ito mendirikan sepedanya.
"Ci, kenapa kamu lebih percaya kepada Amir daripada aku""
"Karena Kak Itok terlalu baik kepada sahabat. Saya kuatir nanti Kak Itok juga menceritakan rencana kita menjebak kepada Joko."
"Itu kelemahanku. Terlalu menjunjung tinggi persahabatan."
"Walau akhirnya Kak Itok menunjukkan sikap tegas dan terpuji."
"Sejak lama Joko bukan lagi temanku."
"Kalau kami, masih teman atau bukan""
Ito tersenyum. Sepeda itu jatuh lagi ketika Ito merangkul Amir, dan menggenggam tangan Cici erat sekali.
Mendung sudah terusir. Kilat sudah menyingkir. Tiga bayangan siswa sekolah, masih dengan seragamnya, nampak berjalan bersama, di antara alam yang indah. Alam yang tak dikotori asap neraka. Alam remaja.
tamat Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 13 Roro Centil 16 Tiga Siluman Bukit Hantu Patung Emas Kaki Tunggal 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama