Maryamah Karpov Karya Andrea Hirata Bagian 4
Tak ada apa pun, tak ada siapa pun, selain lautan ilalang dan sekolah kami yang teronggok di tengah lapangan. Lapuk, renta, dan kesepian. Sekolah itu hanya ditemani pohon filicium yang sejak dulu selalu setia di situ, meneduhi kami, membiarkan kami bertengger di lengan-lengan dahannya. Jika Angin bertiup, sekolah usang dan pohon fihcium itu seakan ikut berayun-ayun seirama ilalang kuning.
Sebagian atap sekolah telah runtuh, bilah-bilah si
rap berserakan di tanah, papan-papan pelepak dindingnya banyak yang terlepas dari pakunya.
Balok panjang wuwungannya telah patah, tiang-tiang penyangganya terpancang merana. Namun, lonceng tungkunya masih menggantung Tiang bendera juga masih tegak, dan satu-satunya tanda yang mengabarkan bangunan itu sekolah masih lekat di dinding utara, yakni sebidang papan yang gagah, meski miring dan berlumut-lumut. Masih kentara tulisan di papan itu: SD Muhammadiyah di antara pancaran sinar matahari terbit yang menjunjung sebaris kalimat nan agung: Amar Makruf Nahi Mungkar: Mengajak pada yang baik dan mencegah pada yang mungkar.
Sungguh menyedihkan keadaan sekolah kami sekarang. Dulu ia dikucilkan zaman, sekarang ia masih senyap sendirian. Kami tertegun bergandengan tangan. Tak seorang pun bicara karena kami terlena mendengar suara Bu Muslimah dari dalam kelas itu, gelak tawa, sedan tangis, bait-bait puisi, dan dialog sandiwara kami dulu. Lalu mengalun suara kecil Lintang menyanyikan lagu Padamu Negeri, hanya untuk menyanyikan satu lagu itu saja ia dengan gagah berani mengayuh sepeda empat puluh kilometer dari rumahnya di pinggir laut. Di kelas itu, meski suaranya sumbang, ia bersenandung sepenuh jiwa.
Kami berjalan bersama mengarungi ilalang menuju kelas kami. Bangku-bangku kelas masih seperti dulu, dan aku takjub menyadari betapa semua berasal dari kelas seperti kandang ternak itu. Tiang utama sekolah kami, sebatang kayu bulin sepeluk orang dewasa yang dulu dipikul sendiri oleh pendiri-pendiri sekolah itu masih kukuh tertanam. KuLit kayu itu penuh goresan pisau lipat, tanda tinggi badan kami yang diukur dengan menggaris tepat di atas ubun-ubun. Garis-garis pertama, kelas satu SD dulu: Harun 150 cm, Trapani 110 cm, Sahara 105 cm. A Kiong 105 cm, Kucai 103 cm, Samson 102 cm, Mahar 100 cm, Lintang 97 cm, Ikal 94 cm, dan Syahdan 90 cm. Kami juga menandai garis waktu ketika masing-masing kami dikhitan. Kelas dua, tinggi Harun melejit jadi 157, gara-gara ia sudah dikhitan.
Pada kelompok kedua sebelum tertinggi, berarti saat kami kelas dua SMP, tampak sebelas goresan, di sana masih tegas terbaca. Garis teratas: Harun 168 cm, lalu Flo 160 cm, Trapani 159 cm, Sahara 159 cm. A Kiong 158 cm, Kucai 157 cm, Samson 156 cm, Mahar 155 cm, dan tiga garis terbawah adalah Lintang 149 cm, Ikal 147 cm, dan Syahdan 144 cm. Saat SMP kami juga membuat garis batas yang bisa ikut mencuri masuk ke bioskop Wisma Ria khusus untuk anak-anak kaya Meskapai Timah. Kami menerobos penjagaan dan menonton film dari sisi belakang layar sehingga semua gambar film terbalik Batas tinggi badan untuk ikut penyusupan rahasia itu adalah minimal 145 cm, karena itu Syahdan tak pernah bisa ikut.
Namun, garis tertinggi setahun kemudian, saat kami kelas tiga SMP, hanya tampak garis harun 167 cm. Flo 165 cm. Trapani 164 cm, Sahare 163 cm, A Kiong 160, Kucai 160 cm, Samson 159 cm, Mahar 159 cm, Ikal 144 cm, dan syahdan 135 cm, tak tampak lagi garis nama lintang,karena pada hari kami mengukur tinggi badan itu, hari yang sama pula Lintang terpaksa meninggalkan sekolah. Kini kami tertegun di depan balok bulin itu dan terisak-isak tak tertahankan melihat tak ada lagi nama Lintang dalam garis-garis tinggi badan kami terakhir kami di tiang itu. Samson, Sahara, dan Harun tersedu sedan sambil memeluk pundak Lintang. Mata Lintang berkaca-kaca. Betapa menyakitkan hari perpisahan itu bagi kami. Hari pedih yang terekam jelas pada tiang keramat perlambang kerasnya perjuangan kami demi pendidikan, dan hari pedih itu, tak kan pernah tersembuhkan oleh waktu sekalipun, sampai kapan pun.
Mozaik 41 Masih Seperti Dulu KAMI membuka jendela yang telah karatan kuncinya. Matahari sore Jingga masuk ke dalam kelas dari celah dedaunan fihcium yang telah tumbuh menjadi pohon yang tinggi dan makin rindang. Pelan mulanya, lalu makin dekat dan kian nyaring terdengar suara kut, kut, kut. Ah, Coppersmith barbet alias burung ungkut-ungkut! Tepat pukul empat sore sekarang, mereka melakukan muhibah keduanya untuk menyatroni ulat-ulat di kulit pohon filicium. Sejak dulu, jadwal mereka selalu tetap.
Ketukan kut, kut , kut tak ayal membangunkan hewan-hewan lain untuk makan sore. Kami terkejut, dari dinding sekolah yang bolong kami melihat kawanan burung peren-jak berdasi melesat berhamburan. Mereka menyerbu sari bunga dengan cara bertengger di tangkai-tangkai rendah labu muda, berjingkat-jingkat, bersuat-suit, lalu melolong-lolong mengusir kawanan gelatik yang sebenarnya punya urusan dengan capung-capung yang suka menciumi putik delima. Perenjak berdasi tetap tak senang. Apa daya, gelatik berukuran lebih besar jadi tak mudah di usir. Mereka makin terganggu dengan kehadiran belasan ekor madu sepah, pipit, bondol pelang, burung matahari, dan yang paling menyebalkan: jalak-jalak kerbau. Unggas gendut ini menyerobot, menyenggol, dan buang air sesukanya sambil melenggak-lenggok. Semuanya berkicau, berteriak melengking-lengking Menakjubkan, lapangan yang tadi sunyi senyap mendadak ingar bingar. Persis seperti dulu waktu kami masih SD.
Anak-anak tupai kelabu juga terbangun dari tidur siangnya, lahi meloncat-loncat tangkas di antara buah-buah rambat ketule yang dulu tak pernah kami biarkan menjalar sampai jauh karena mengundang ulat-ulat bulu. Namun kini, rambatnya melewati sebatang penyangga sekolah yang tumbang, lalu merayap melalui bibir talang sekolah ke dahan-dahan filicium, Sejurus kemudian, tak tahu dari mana, meruaplah ratusan ekor lebah madu, berkecipak sayapnya, gemuang berputar-putar di atas monstera, nolina, violces, aster, damar kamar, dan kembang sepatu yang telah tumbuh dengan liar karena tak lagi dipelihara. Bangku-bangku tempat pot mereka dulu telah patah dan pot-potnya sendiri pecah berserakan tapi tumbuh-tumbuhan itu bertahan. Sementara nun di sana, di pucuk-pucuk 12 Semacam pohon pare. tinggi ganitri, mata tajam pemain trapeze, sirindit melayu nan cantik, tengah berakrobat nunggu-nunggu momen yang pas untuk bermanuver ke dahan-dahan fiticium, untuk merompoki buah-buah mudanya. Lapangan meriah oleh nyanyi ratusan unggas.
Kami berlarian ke halaman sekolah dan terpana mendengar orkestra
selamat datang dari para sahabat lama kami kaum unggas, capung, dan lebah madu. Kami telah meninggalkan sekolah ini belasan tahun, tapi mereka tak pernah ke mana-mana. Generasi demi generasi mereka bercengkerama di seputar pohon filicium dan sekeliling sekolah kami. Akhirnya, melengkapi keindahan sore itu, tumpahlah keluarga-keluarga kupu-kupu cantik thistle crescent Dengan anggun mereka hinggap di daun-daun linaria seperti bidadari turun ke danau. Indah, indah tak terperikan.
Lambat laun kawanan hewan itu berangsur pulang ke padang sabana untuk tidur berayun-ayun di dahan perdu-perduan. Tinggallah kami, duduk berkeliling di atas akar filicium yang menonjol, seperti dulu. Betapa indah duduk di sini bersama para sahabat sejati, reuni untuk kali pertamanya setelah belasan tahun tercerai-berai. Sebuah reuni yang bersahaja dan menarik hati, karena tak ada acara naik mimbar berpidato untuk memegah-megahkan diri, untuk memamerkan prestasi-prestasi yang dicapai, dan apa yang mati-matian ingin dikejar. Tidak pula untuk arisan, untuk mengadvokasi sesuatu, untuk networking, bertukar kartu nama, atau membuat yayasan. Kami berkumpul, hanya bertukar kisah nasib, saling membesarkan hari. Kami bersatu lagi, untuk mendengar lagi suara-suara masa kecil nan ajaib dari kawanan burung, lebah madu, daun-daun tua filicium yang berguguran, kumbang-kumbang koksi, kepak sayap capung dan jerit anak-anak tupai.
Di pokok filicium kami masih dapat melihat nama-nama kecil dan janji setia yang kami ukir dulu dengan pisau lipat.
Lalu aku teringat akan sesuatu. Aku melangkah menuju sisi utara filicium, dekat bangku batu di depan kantor kepala sekolah. Dulu di sana aku menggali sebuah lubang. Tak seorang pun tahu tentang ini. Dalam lubang itu aku menyimpan barang-barang yang paling rahasia. Setelah lulus sekolah, di permukaan lubang itu kutanami ilalang dan kutandai dengan bongkah-bongkah batu lempung.
Aku menggali lubang itu. Dadaku berdebar melihat di dasar lubang masih tersembunyi potongan terpal yang terlipat rapi Kubuka pelan-pelan bungkusan terpal itu seumpama membuka
peta rahasia harta karun. Terpal terbuka dan benda rahasia itu masih utuh! Aku terpana. Benda rahasia itu adalah beberapa batang kapur tulis milik Bu Muslimah yang sengaja kusembunyikan agar aku disuruh lagi membeli kapur ke Toko Sinar Harapan, dengan begitu aku dapat berjumpa lagi dengan belahan jiwaku: A Ling.
Mozaik 42 Rencana Rencana C KUTATAP Harun, ia sudah menjelang tua, tapi senyumnya tetap saja seperti ketika ia menyelamatkan kami pada hari pertama sekolah dulu. Jika Harun tak tiba pagi itu, mungkin tak kan pernah ada Laskar Pelangi.
Cerita Harun sekarang, masih tetap sama seperti dulu, yakni tentang kucingnya yang berbelang tiga dan telah berkali-kali melahirkan anak tiga yang juga berbelang tiga. Tapi sekarang ada informasi baru.
"Aku baru tahu, tiga tahun yang lalu," tukasnya serius.
"Ternyata kucingku itu adalah istri ketiga dari jantan yang telah kawin tiga kali!"
Kami mengangguk-angguk takzim menyimak kisah Harun. Informasi lain darinya adalah ia secara rutin, setiap hari Jumat sore, pukul tiga, menurunkan sepedanya dan pergi mengunjungi Trapani. Mereka ngobrol sampai dekat magrib. Tak tahu apa yang mereka bicarakan. Kunjungan ini dilakukan Harun setiap minggu, pada waktu yang persis sama, tak berubah sedikit pun, meski hujan lebat dan petir sambar-menyambar. Begitu selama bertahun-tahun.
Sementara Trapani, diam seribu bahasa. Ia selalu tampak seperti orang yang tak berada di tempat ia sedang berada. Lelaki tampan itu telah padam. Segala sesuatu tentang dirinya telah padam. Kesehatan jiwanya merosot drastis. Ia dingin seperti es, tatap matanya kosong sekosong langit. Cita-citanya dulu yang ingin menjadi guru yang mengabdi di daerah terpencil menguap sudah. Ia tetap tinggal dengan ibunya, dan masih amat sulit dipisahkan.
A Kiong juga telah melepaskan cita-citanya untuk menjadi kapten kapal. Berarti pupus sudah peluangnya untuk menyembunyikan kepala kalengnya di balik topi kapten kapal yang besar. Malang melintang berwiraswasta, akhirnya ia terdampar pada rencana C hidupnya, membuka warung kopi di pasar ikan. Seratus lima puluhan langganan tetapnya, dan menakjubkan, ia hafal takaran kopi, gula, dan susu untuk lima puluh gelas kopi itu.
Yang tetap sukses dengan rencana awal mereka hanyalah Samson, Kucai, Harun, dan Mahar.
Cita-cita Samson yang sederhana ingin jadi tukang sobek karcis bioskop akhirnya terwujud. Sementara Kucai dari semula memang berkeras sepenuh jiwa ingin jadi politisi, sekarang ia tetap berusaha mencapainya. Harun juga tetap teguh dengan rencana A-nya. Cita-citanya tak pernah sedetik pun berubah
sejak SD dulu, ia tetap ingin menjadi Trapani.
Flo dan Sahara telah mapan. Bahagia dengan suami dan anak-anak. Sahara yang rencana A-nya ingin menjadi pembela hak-hak perempuan kini sibuk meneduhkan tingkah anak-anak lelakinya yang seperti gasing itu.
Lintang lain pula hikayatnya. Terakhir aku berjumpa dengannya, ia adalah seorang sopir truk tronton yang terpuruk di bedeng bantaran sungai. Tapi kini nasibnya membaik. Ia dan keluarganya hijrah ke sebuah pulau kecil. Mereka menanam ribuan pohon kelapa di pulau itu dan membuat pabrik pengolahan kopra. Sekarang Lintang telah menjadi juragan kopra sekaligus pelatih beruk pemetik kelapa yang piawai. Dengan ditemani beberapa ekor beruknya, ia bertandang ke pulau induk Belitong dua minggu sekali dengan tiga perahu penuh kopra. Namun bagiku, ia tetaplah matematikawanku, Isaac Newton-ku.
Akhirnya Mahar. Selalu tak cukup tempat untuk menceritakannya. Ia duduk sendiri, di situ, di tonjolan akar tempat duduk miliknya dulu. Ia diam saja, serbahitam pakaiannya, bertumpuk-tumpuk kegilaan dalam kepalanya Di sampingnya, dengan takzim, duduklah abdi setianya, A Kiong, yang memandang kami seolah ingin mengatakan: kalian rakyat sipil, apa sih masalah kalian sebenarnya" Ditambah satu kesan lagi bahwa jika semua masalah itu diserahkan pada Suhu Mahar, pasti beres!
Seperti selalu, aku bahagia berada di tengah orang-orang luar biasa ini. Masa kecil dengan mereka, adalah bagian yang paling kusyukuri dalam hidupku. Dalam serba-kekurangan, dalam kesetiakawanan kami berjuang
untuk pendidikan. Mereka telah membentuk aku apa adanya aku sekarang. Dan aku senang karena setiap anggota Laskar Pelangi telah menemukan dirinya sendiri, telah menemukan cintanya masing-masing, kecuali aku. Ajaib, mereka tak pernah ke mana-mana, tak pernah meninggalkan sudut bumi di pulau terpencil ini, tapi menemukan semua vang mereka cari. Sementara aku, telah melintasi samudra berbagai negeri nan jauh, dan benua-benua asing, tapi tak menemukan apa pun, tidak juga cinta itu, sungguh menyedihkan.
Mozaik 43 Ia Sedang Mencari Tuhan MAHAR, hampir sama seperti Trapani. Jika duduk, ia sering tampak seakan tak sedang duduk di situ, ia sedang berada di tempat lain. Jika bicara, jelas sekali ia memikirkan sesuatu selain yang ia bicarakan. Ia hilang hilang dalam ruang dan waktu. Kian dewasa, ia kian edan, kian sesat.
Lebih parah lagi, ia hemat bicara. Katanya demi me-makulkan ilmu-ilmu gaib yang sedang dianutnya. Menurutnya, ia sedang mencontoh apa yang dilakukan Tuk Bayan Tula waktu muda dulu. Mahar berusaha mengikuti jejak Tuk, junjungannya. Meskipun kelas tiga SMP dulu ia pernah dikecewakan oleh Tuk, ia tetap memujanya. Mahar ingin jadi orang sakti, itulah rencana A-nya, dari dulu tak pernah sedikit pun berubah.
Tak terbilang banyaknya orang yang mengingatkan Mahar agar menjauhi syirik karena syirik adalah larangan tertinggi dalam Islam, tapi ia bergeming. Ia selalu mengatakan bahwa ia sedang mencari Tuhan. Tak jarang cercaan masyarakat pada Mahar begitu keras, tetapi dianggap Mahar angin lalu saja.
Namun, apa pun pendapat orang tentang Mahar, yang kebanyakan miring, aku tak pernah memandang Mahar seperti kebanyakan orang lain. Ia tetaplah sahabat yang amat kusayangi. Karena jika melihatjemarinya dan paras-paras kukunya yang rusak karena disayat tajamnya gerigi parut karena ketika kedi dulu ia terpaksa jadi kuli parut kelapa di toko kelontong demi menghidupi orangtua yang sakit-sakitan, siapa pun akan bersedia melihat Mahar dengan cara yang berbeda. Sampai sekarang ujung-ujung jemarinya masih cacat Jika melihatjemarinya, rasanya aku ingin memeluk sahabatku itu.
Dikucilkan masyarakat dan masjid, Mahar tak gentar. Ia memutuskan pindah dari rumah orangtuanya dan mendirikan rumah di tengah padang Mang di pinggir kampung. Rumah Mahar akan mengingatkan orang pada pengusiran hantu yang merasuk ke dalam tubuh seorang perempuan dalam film Exorcist yang mendirikan bulu kuduk itu. Otomatis pula, lokasi pertemuan rahasia Societeii de Limped di blok pasar ikan pindah ke rumah itu. Para anggota Societeii sangat bangga dengan markas besar mereka yang baru. Di sana bebaslah mereka merencanakan petualangan-petualangan sinting Dan Mahar mengatakan padaku bahwa ia yakin, suatu hari nanti akan ada sineas dari Jakarta menggunakan rumahnya untuk pembuatan film Setan Kredit Beraksi Kembali.
Sore ini, aku berjanji berjumpa dengan Mahar di Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi, dan ia terlambat. Sambil menunggu Mahar, aku tertawa sendiri melihat Lao Mi bertengkar dengan seteru abadinya sejak mereka kecil, yaitu Munawir Berita Buruk. Setiap membeli hok lo pan, Mu-nawir pasti cari gara-gara dengan Lao Mi. Kali ini ia ingin membeli tiga loyang. "Enak saja, bagi-bagi yang lain!"
Begitulah Lao Mi. Ia tak kan membuat lebih dari dua puluh loyang setiap hari dan pembeli tak boleh membeli lebih dari dua loyang. Ia menutup gerobak semaunya, meskipun antrean masih panjang. Ia memarahi pelanggan sekehendak hatinya pula. Angkuhnya sudah kondang ke mana-mana. Tapi siapa pun menaruh hormat padanya sebab dialah pembuat hok lo pan paling hebat. Lihatlah bagaimana ia mengoles margarin pada loyang yang telah berusia puluhan tahun itu dan bagaimana ia menaburkan kacang yang telah dibelahnya rapi berbentuk persegi empat. Ramuan terigu, gula, dan margarinnya tertakar secara misterius, resep suci rahasia warisan empat generasi. Tak dapat Ditiru siapa pun. Jika sempat merasakan hok lo pannya maka siapa pun akan lupa pada betapa congkak pembuatnya. Lao Mi dan Mapangi pembuat perahu adalah para maestro yang telah menemukan seni dalam pekerjaannya.
Hiburan dari gerobak Lao Mi u
sai, lalu aku menikmati irama Semenanjung yang mengayun-ayun dari biola Nurmi di pojok jalan dekat warung kopi. Saban Rabu dan Sabtu sore, saat warung-warung kopi dipenuhi pengun- jung, putri Mak Cik Maryamah Karpov itu berdiri di pojok pertigaan, menggesek biolanya.
A Kiong tiba. Rupanya ini telah menjadi kebiasaan, jika Mahar membuat janji pada siapa pun, A Kiong akan datang lebih dulu, mengamati situasi dan mempersiapkan segala sesuatu yang mungkin diperlukan Mahar, majikannya.
"Aku sekretaris Societeii sekarang," ujarnya bangga sambil menjentikkan jarinya, memberi perintah pada pelayan warung agar membuatkan kopi untuknya dan untuk majikannya. Ketika ia menyebut suhu, pelayan mengangguk takzim, artinya kopi untuk Mahar. Setengah gelas bubuk kopi tanpa gula sama sekali.
Berarti A Kiong telah mengambil alih jabatanku dulu. Aku bersusah payah menahan tawa. A Kiong, dengan wajah kaleng kerupuk yang hampir tak beralis itu sama sekali menganggap hal itu tidak lucu. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Mahar dan Societeit adalah hal yang amat serius baginya.
Maryamah KarjJoV 146 Kadang kala, teknik paling efektif menanggapi orang gila adalah dengan berbuat seperti orang gila pula, maka aku bertanya. "Mengapa tak jadi anggota tetap""
"Sungguh berat syarat-syaratnya, Boi. Kalau hanya puasa empat puluh hari, aku sanggup. Tapi aku belum bisa lulus ujian akhir;" "Ujian akhir bagaimana""
"Ujian akhir itu kepala digundul dan harus kuat di-an top tiga ekor tawon pas di ubun-ubun. Baru tawon yang kedua aku sudah pingsan."
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalaku, prihatin sekaligus setengah mati menahan tawa. Rasa geli, heran, bercampur gemas menyundul-nyundul ulu hatiku. Cara A Kiong menceritakan dengan mata bulat polos dan pipi gembil berayun-ayun membuat semuanya makin tak tertahankan. Tapi sekali lagi, ia sangat serius.
"Tapi tak mengapa, Kal, Suhu Mahar akan memberikan kesempatan lagi untukku."
A Kiong mengucapkan kata-kata Suhu Mahar dengan nada kagum dan ekspresi bahwa kali ini ia tak boleh gagal, bahwa ia siap diantop lima belas tawon sekalipun di kepala gundulnya, dan bahwa betapa bijaksananya sang Suhu Mahar karena bersedia memberinya kesempatan lagi. A Kiong merasa dirinya murid yang diistimewakan suhunya, karena itu sungguh hormat dan sayang ia pada suhunya itu.
Mahar yang telah lama kami tunggu pun tiba. Demi melihatnya datang, A Kiong sigap berdiri dan menarik bangku untuk sang Suhu. Mahar duduk dengan tenang melinting tembakau Warning dengan sepotong kertas putih, menyulutnya, dan mengembuskan asapnya padaku. Aku terbatuk-batuk.
Aku langsung merundingkan pokok masalah pada Mahar, yakni tentang ikhtiar menghadapi Tuk Bayan Tula. Aku berusaha rasional dalam hal ini karena informasi yang kukumpulkan mengindikasikan bahwa Tuk sedikit banyak terlibat dalam urusan mayat-mayat terapung dulu. Percuma susah payah membuat perahu jika tak bisa berlayar Melintasi Karirnata yang dikangkangi Tuk. Mahar mengangguk-angguk.
"Jangan cemas, Boi, aku sudah punya rencana menghadapi Tuk"
Kudesak Mahar agar menceritakan rencananya, 'jangan, Boi, ini berbahaya, lihat saja nanti."
A Kiong, dengan wajah kalengnya yang mengerikan itu menyeringai bangga.
Sementara Nurmi melenakan sore yang syahdu dengan stambul-stambul nan memikat. Ia tersenyum setiap kali orang yang terpukau melemparkan
Maryamah KarjJoV 147 derma ke dalam koper biolanya. Nurmi, putri Mak Cik Maryamah, kini remaja dan cantik, tak lagi sekolah karena tak punya biaya. Jika ia membawakan lagu Surga di Telapak Kaki Ibu, siapa pun akan tergetar mendengar jerit senar-senar biola Nurmi.
Maryamah KarjyoV Mozaik 44 Mereka Yang Tidak Mengaji Adalah Manusia Krosboi
BERGABUNGNYA Laskar Pelangi dan Societeit kembali mengubah seluruh sifat rencanaku. Semangatku untuk membuat perahu kembali meletup-letup. Begitu banyak perkembangan baru dalam waktu amat singkat. Banyak saran dan ide. Bahkan, aku telah pula melupakan sakit di gerahamku. Namun, setelah kuendapkan semuanya, aku baru sadar bahwa kemajuanku baru sampai semangat saja.
Sepanjang malam, di kamarku yang lembap, aku memandangi f
oto perahu Mapangi dari berbagai angle. Setiap akan tidur, yang amat payah dilakukan, kulihat perahu itu, dan jika bangun subuh-subuh, yang pertama kulihat, juga perahu itu. Menyenangkan sekaligus menyiksa.
Demi menegakkan martabatku di depan orang kampung, terutama di depan Eksyen dan gengnya, aku bertekad membuat perahu itu sendiri. Lagi pula bukankah aku telah berjanji untuk membuat sendiri perahu itu dengan tanganku" Laskar Pelangi akan membantu jika nanti beberapa bagian dari perahu harus dipasang dengan tenaga lebih dari saru orang Lintang akan memberikan pemikiran tekniknya jika perahu kopranya sandar di dermaga. Mahar dan Societeii akan turun tangan jika aku telah siap berangkat Begitu sempurna rencanaku, di atas kertas. Hanya di atas kertas.
Namun, aku tak banyak mengalami kemajuan di rumah.
Sesudah BBC London menarik diri dari udara. Warta berita domestik pukul tujuh. Gawat, berita soal Tuk Bayan Tula pasti telah sampai ke telinga Ibu. Pertama-tama, ia sangat kecewa dengan lingkaran lebam di mataku dan wajahku yang pucat karena kurang tidur. Baginya, seorang pemuda, terutama pagi, harus selalu berada dalam keadaan segar bugar dan siap bekerja keras, membanting tulang, menebang menggali, atau memikul. Tak ada seberkas pun kesan itu ia lihat padaku, dan itu membuatnya kecewa berat.
"Apa yang akan kaukerjakan sekarang""
Seperti biasa, aku berusaha melewatkan sepuluh menit sari berita dengan menunduk dalam-dalam mengheningkan cipta. Sikapku seperti orang sedang menggumamkan lagu Syukur karya Husein Mutahar yang selalu dilantun- kan pada suatu situasi perpisahan atau pelantikan anggota baru Pramuka. Selain itu, selama sepuluh menit itu aku memeras otak sejadi-jadinya mencari-cari cara mengalihkan topik bicara Ibu. Tak ditanggapi, Ibu kembali mengulang berita soal si D yang sudah beranak lagi, kembar tiga, dan si E yang akan segera meminang si E.
"Sudahkah kau coba tengok masa depanmu"" Aku tak menjawab.
"Tak lain Ibnu Mursyiddin dan Sukamsir, merekalah yang ada dalam pikiranku!"
Maksud Ibu tentu saja Mursyiddin 363 dan Kamsir si Buta dari Gua Hantu, dua orang bujang lapuk yang sampai tua tinggal dengan ibunya. Itulah gambaran masa depanku bagi Ibu. Lalu ia kembali pada pokok berita.
"Jadi, mau kerja apa""
Aku tafakur. "Jawab!" Kawan, menurut ketentuan agama, tak boleh mendiamkan orangtua bertanya lebih dari tiga kali. "Membuat perahu."
"Apa katamu" Membuat perahu" Apa telingaku tak salah dengar"!" Mercon cabe rawit meletus.
"Sebenarnya apa yang kaupelajari jauh-jauh sekolah ke Prancis sana"! Tak ada faedahnya! Tak ada faedahnya sama sekali!"
Aku menunduk makin dalam, dimarahi pagi-pagi sungguh tak nyaman.
"Apa kataku dulu, sekolah di madrasah saja! Belajar mengaji, belajar akidah! Eropa itu, tak ada yang beres! Lihatlah dirimu itu! Sudah magrib, tak tampak lagi batang hidungmu, sementara semua orang mengaji, baru kulihat lagi kau kusut masai pagi-pagi begini. Menurutku, orang yang tidak mengaji adalah manusia krosboi!"
Ibuku menunjuk-nunjukku dengan centong nasi.
"Ke mana saja kau sepanjang malam"! Apa kau telah terlibat pula dalam orhanisasi-orhanisasi yang dilarang peme-reniah"
Ibu, telah menyaksikan masa kelam politik negeri ini pada '65. Kata orhanisasi sering berarti trauma bagi orang-orang seangkatan beliau. Aku menggeleng.
"Kudengar kau mau ke Batuan pula. Kau tak pernah mengerti bahaya sebelum kaurasakan sendiri, itulah watakmu!"
"La,ani bilang kau akan berurusan lagi dengan du-kun-dukun palsu itu! Musyrik! Tahukah kau" Musyrik, neraka lantai tujuh ganjarannya!"
Sering kudengar Ibu masygul, tapi kali ini nada suaranya tak mam-main. Ia bangkit dan berdiri tegak di depanku, centong nasi di tangannya, alu lumpang batu dekat dalam jangkauannya, gawat.
"Coba kauucapkan cepat-cepat nama belakangmu itu,lima kali!"
Aku merasa heran,tapi tak mungkin,ibu kubantah karena ia sudah
muntab mustajab. "hirata, hirata, hirata, hirata......."
"Kurang cepat!"
"Hirata hirata hirata hirata hirata."
Ibu bersikap mengancam, aku takut alu lumpang batu melayang. "Kurang cepat!!"
"Hirata hirata ahirat ahirat ahirat."
Ganjil, rupany a setelah diucapkan cepat-cepat, nama belakangku hirata itu secara ajaib berubah menjadi akhirat, aneh betul.
"Nah, kaudengar itu!" Itulah kalau kau mau tahu arti namamu. Aku bersusah-susah mengarang namamu hirata agar kau selalu ingat pada akhirat!"
Mozaik 45 Terjal Cara Pandang SEPANJANG hari aku melamunkan kejadian di imarahi Ibu pagi tadi. Puluhan tahun aku menyandang nama Hirata, baru hari ini aku mafhum maksudnya. Selama ini aku selalu menduga nama itu dilekatkan pada nama depanku karena orangtuaku ingin aku pintar seperti orang Jepang. Atau karena Hirata bagus kedengarannya, tak ketinggalan zaman, modern. Sering pula kusangka nama itu diambil dari seorang Jepang pahlawan, seniman maestro, atlet pencetak rekor, seorang ilmuwan discoverer yang menaklukkan Kutub Utara atau seorang inventor-penemu obat tangkal bengek, seorang dokter hebat, atau profesor penemu magic Jar, alat penetas telur, peninggi badan, atau paling tidak pencegah botak. Rupanya, seperti sangkaku akan wajahku dulu, anggapanku akan nama pun telah mengalami overvaM Menyadari akhirat lekat dalam namaku, begitu dekat, aku berdebar-debar. Hari ini aku berjumpa dengan Lintang di Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi untuk membicarakan desain perahu. Kusampaikan padanya bahwa aku tak pirnya konsep bagaimana membuat perahu. Tingkat kesulitan membuatnya dan kemegahan perahu Mapangi telah memblok mentalku.
Lintang yang sejak dulu selalu bisa membaca pikiranku, menghirup kopinya, santai saja. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Menit demi menit berlalu, tapi inilah situasi yang selalu kurindukan darinya, selalu kunanti-nanti. Sebab aku tahu, sebentar lagi sesuatu yang amat cemerlang pasti segera meluncur dari mulut pintarnya itu. Sementara di luar warung kopi, Nurmi membawakan lagu Semalam di Malaysia, Indah mendayu-dayu.
"Lihatlah Nurmi main biola," kata Lintang tenang.
"Tahukah kau, Boi" Biola adalah instrumen yang amat susah dimainkan. Pemainnya harus punya feeling yang kuat untuk menemukan nada Sebab tak ada pedoman posisi nada seperti pada gitar. Tangan kanan menggesek, jemari kiri menekan dawai, itu tak mudah, karena dua macam gerak mekanika yang berbeda. Jarak dawainya pun amat dekat, maka gampang sekali suaranya distorsi. Jangankan menemukan nada yang pas, menggeseknya dengan benar saja memerlukan latihan lama. Orang yang tak berjiwa musik, tak kan dapat memainkan biola."
Aku menyimak kisah biola ini, tapi belum dapat kulihat hubungan biola Nurmi dengan peraku Mapangi.
"Jika kau ingin belajar main biola dengan memikirkan bagaimana Nurmi bisa membawakan lagu Semalam di Malaysia seindah itu, kau tak kan
bisa melakukannya. Bagaimana kau dapat menemukan presisi nada seperti Nurmi" Bagaimana kau dapat menemukan koordinasi gerak mekanikamu" Sehingga muncul vibrasi yang menakjubkan itu" Begitulah caramu melihat perahu Mapangi selama ini."
Mulai menarik. Lintang mengulum senyum khasnya.
"Barangkah akan lebih mudah jika kita berpikir bahwa biola adalah alat musik akustik yang berbunyi karena getaran. Tangga nadanya merupakan konsekuensi dari panjang-pendek gelombang akibat jemari yang memencet dawai bergerak dalam jarak tertentu ke depan atau belakang stang-nya. Dengan melatih terus jemari agar konsisten denganjarak tertentu itu, begitulah kita akan menemukan nadanya"
Membuat sesuatu yang rumit menjadi begitu sederhana adalah keahlian khusus Lintang yang selalu membuatku iri.
"Kesulitan akan gampang dipecahkan dengan mengubah cara pandang,
Boi." Aku teringat, serupa ini pula Lintang dulu memecahkan hambatan kami sekelas belajar bahasa Inggris.
"Begitu pula perahu," katanya dengan mata pintarnya yang berkilauan.
"Jika kepalamu selalu dipenuhi oleh hebatnya kapal Bulukumba Mapangi, tak kan mampu kaubuat perahu itu. Mulai sekarang kau harus berpikir bahwa perahu, apa pun bentuknya, adalah sebuah bangun geometris yang tunduk pada dalil-dalil hidrodinamika. Berangkadah dari sana Kau harus berangkat dari sebuah pernikihan hidrodinamika!"
Aku terpukau karena kagum. Betapa genius orang udik di depanku ini" Mengapa aku tak pernah berpikir dengan cara seperti itu.
Lelak i pandai yang rendah hati itu tersenyum kecil saja melihatku terperangah. Ia mohon diri sembari memberikan petuah terakhirnya.
"Tempatkan dirimu sebagai ilmuwan, Boi, bukan sebagai pembuat perahu. Dengan ilmu, perahumu akan lebih hebat daripada perahu Mapangi!"
Mozaik 46 Sains Perahu SETELAH pertemuan singkat dengan Lintang, aku menjelma menjadi orang yang bersemangat dalam bentuk baru. Sam jenis semangat yang berbeda dari minggu sebelumnya. Inilah semangat dengan sebuah rasionalitas. Kalimat tempatkan dirimu sebagai seorang ilmuwan dari lintang, bergaung-gaung dalam kepalaku. Di atas kalimat itulah seluruh moral rencana baruku membuat perahu kini kuletakkan.
Yang pertama kulakukan, aku segera berangkat ke Tanjong Pandan, masuk ke warung internet, dan mengirimi Arai e-mail, agar aku segera dikirimi buku-buku tentang desain perahu. Aku mengumpulkan bacaan tentang hidrodinamika, geometri, pertukangan kayu, dan navigasi yang kudapat dari para awak kapal tanker yang sandar di dermaga Olivir.
Sampai dini hari aku tak tidur. Bukan karena berkhayal seperti sebelumnya, melainkan karena state of mind yang baru: bahwa semua kemungkinan membuat perahu itu dapat dikalkulasi secara rasional, dan kalkulasi itu memberiku kesimpulan akhir bahwa aku bisa melakukannya.
Dari bacaanku, perlahan-lahan aku mulai memahami sains perahu. Kini kamarku dipenuhi kertas besar rancang bagan perahuku. Makin dalam belajar, ilmu perahu ternyata makin menarik, dan makin aku paham, kian kagum aku pada Mapangi. Ia tak pernah belajar matematika, ia bahkan tak bisa membaca, tapi intuisi membimbingnya ke dalam formula-formula geometris perahu yang sesungguhnya sangat rumit.
Lalu aku mengerti bahwa keseluruhan konstruksi perahu adalah konsekuensi dari desain limas-semacam chassis pada mobil-dan gading-gadingnya-rusuk-rusuk yang membentuk rangka dasar perahu. Pembuat perahu tradisional menyebutnya gading-gading karena bentuknya mirip gading gajah. Rangkaian gading ini berperan ibarat bahu yang memanggul seluruh bangunan perahu. Terus-menerus membaca dan merancang aku mendapatkan satu dalil penting bahwa stabilitas perahu dan kecepatannya saling bereaksi dalam suatu sifat hubungan trade-off. Maksudnya, jika perahu stabil ia cenderung tidak lajak, alias tidak laju dan sebaliknya, perahu yang layak akan cenderung linggar alias oleng Trude of tadi terjadi akibat jarak antara linggi haluan dan linggi buritan pada lintang lunas dari titik ketika masing-masing papan lambung di luar linggi-linggi tadi mulai dilengkungkan. Demikian gerangan teori desain perahu paling dasar, demikian ilmunya, di atas kertas.
Hanya saja aku tak paham takaran yang paling pas antara ukuran bukaan
tengah dan pada titik mana papan lambung akan mulai dilengkungkan di antara dua linggi tadi. Jika salah menghitung ini, akibatnya fatal. Saat kali pertama diturunkan ke air, perahu dapat jadi satu bobot mati saja, tak mau bergerak. Atau boleh jadi, belum ke mana-mana, perahu tiba-tiba tertelungkup dan tenggelam. Dalam pikiranku, aku harus membuat sebuah perahu yang dapat dipacu secepat mungkin sebab kesulitan terbesar ekspedisi ke Batuan adalah menghadapi kejaran perahu perompak Selat Malaka.
Sungguh menakjubkan ilmu perahu. Risiko ini baru kuketahui ketika mempelajari konstruksinya. Sebelumnya tak pernah sebersit pun terlintas padaku soal pertaruhan harga diri para pembuat perahu saat perahu kali pertama diciumkan ke permukaan air. Anehnya, pria-pria Bulu-kumba, para maestro pembuat perahu seperti Mapangi, bisa langsung tahu apakah sebuah perahu akan iinggar atau akan lamban hanya dengan melihat lengkung lunas dan gading-gadingnya.
Aku ngeri membayangkan risiko itu. Kerja keras berbulan-bulan akan sirna dalam beberapa detik saja ketika perahu dilungsurkan ke air, tenggelam tak bersisa seperti batu, bahkan belum sempat ditumpangi. Betapa memalukan jika itu terjadi pada hari aku menurunkan perahu. Eksyen dan komplotannya pasti akan tertawa sampai berguling-guling lalu berpesta merayakan kemenangan taruhan. Aku membayangkan julukan seumur hidup untukku nanti, misalnya Ikal Linggar atau Deal Oleng.
Akan ku kemanakan mukaku" Tidak boleh, itu tidak boleh terjadi, dan satu-satunya cara memperkecil risiko itu adalah dengan menguasai ilmu rancang bangun perahu setinggi-tingginya.
Masalahnya, memang tak mudah menentukan ukuran pasti bukaan tengah linggi-linggi itu. Tapi aku tak perlu cemas sebab Lintang, Isaac Newton-ku itu, sore ini akan merapat lagi ke dermaga.
Ia berdiri di atas palka, tersenyum padaku ketika pe-rahu-perahunya akan merapat Seekor beruk jantan melingkar-lingkar manja di kakinya. Ia pasti telah tahu bahwa kafi ini aku telah siap dengan sebuah konsep.
Aku menjelaskan desainku pada Lintang dan kesulitan yang kuhadapi. Ia memerhatikan dengan saksama.
"Boi, masalahmu itu bisa diselesaikan lewat eksperi-men"
Jika gairah Mahar pada misteri dan mistik, gairah lintang adalah eksperimen.
Tanpa banyak cincong lintang mengajakku naik ke salah satu
perahunya. Ia memegang sebuah stopwatch, kemudian memacu mesin 40 PK dengan kecepatan optimal dari bawah jembatan Sungai Linggang sampai ke muara. Perahu melaju kencang seperti speed boat. Tamparan keras haluan depan yang menganga ke permukaan air mendebarkan dadaku. Lintang menyiapkan tabel di atas selembar kertas. Aku dimintanya mencatat waktu yang ditempuh pada terjangan perahu seratus meter pertama serta total waktu tempuh dalam jarak yang kami tetapkan sebelumnya. Setelah perahu pertama, eksperimen serupa kami ulangi pada perahu Lintang yang kedua dan ketiga. Kecepatan tertinggi yang dapat dicapai perahu itu adalah sekitar 22 knot. Artinya, 22 mil laut per jam, atau sekitar 40 km per jam. Usai eksperimen, Lintang menggiringku ke pekarangan kantor syah bandar dan menjelaskan maksudnya dengan ranting di atas tanah, persis seperti dulu, jika ia mengajariku matematika. Rupanya Lintang sudah punya data jarak lengkung papan pada masing-masing linggi pada tiga perahunya. Lalu ia menghubungkan catatan-catatan eksperimen kami tadi dengan ukuran linggi masing-masing perahu. Tujuan menghitung terjangan seratus meter pertama tadi agar dia dapat menerapkan hukum-hukum diferensial. Lintang mendaras rumus-rumus matematika di tanah. Sebagian tak kupahami. Dalam waktu kurang dari lima belas menit, Lintang hadir dengan solusi yang membuatku tercengang.
Solusi itu adalah ia mampu menemukan formula sensitivitas jarak linggi terhadap kecepatan perahu, melalui logika sekaligus presisi yang mengagumkan. Misalnya, jika jarak linggi diperlebar sepuluh sentimeter pada masing-masing sisinya, maka hal itu akan menyumbang kecepatan perahu sampai lima knot. Semua kecemerlangan itu dite- rangkannya dengan santai saja-berdasarkan data dari bekas bungkus tembakau tadi-seakan juragan warung kopi menghitung utang pelanggan.
Lalu ia mengkhotbahkan dalilnya, barangkali seperti Newton dulu menasbihkan Principia.
"Jarak linggi menentukan seberapa besar lambung perahu akan terendam air. Jika jarak linggi lebar, berarti perut perahu besar, ia akan lebih stabil, tapi lamban. Jika jarak linggi kecil, lambung perahu ramping, ia akan lebih lajak Sekarang tergantung keputusanmu."
'Aku ingin perahu yang lajak. Berapa ukuran yang pas agar laju perahu tetap berada dalam ambang linggar yang tak berbahaya""
Lintang kembali pada rumusnya di tanah.
"Panjang perahumu harus tepat 11 meter. Bobotnya tak boleh lebih dari 3 ton. Jarak lengkung lambung dari linggi depan 4,43 meter, dari linggi belakang 3,91 meter. Bukaan perutnya jangan lebih dari 1,72 sentimeter. Tinggi
lambung 1,86 meter. Motor dobel 40 tenaga kuda. Dengan takaran ini, dalam angin selatan tenang, perahumu dapat melesat sampai 35 knot Itulah, Boi, yang kumaksud perahu Asteroid!"
Lintang memberiku solusi sampai tingkat ketelitian sentimeter. Mulutku ternganga.
Mozaik 47 Filosofi Biola LENGKAP sudah sketsa ukuran lunas dan gading-gading perahuku. Ibarat membuat rumah, tahap ini berarti aku selesai membuat desain fondasi. Sempat kutanyakan pada lintang, apakah orang-orang seperti Mapangi mengerti hitungan-hitungan akselerasi semacam itu"
"Perahu mereka memang megah," jawab Lintang.
"Tapi kecepatan semata-mata urusan fisika.
" Pernyataan itu semakin memb
esarkan hatiku bahwa dengan terus memelihara mentah tas ilmiah, sangat mungkin aku membuat perahu yang dapat menandingi perahu Mapangi. Hal ini tak terbayangkan olehku dua minggu yang lalu. Membuat perahu ini adalah proyek terbesar dan paling tidak mungkin yang pernah kulakukan seumur hidupku. Kini aku tak sabar menanti hari terindah bagi para pembuat perahu, yakni saat menamai perahuku.
Kuperlihatkan rancangan lunasku pada Mapangi. Alisnya naik.
"Tidak linggarkah""
"Kurasa tidak."
"Ramping betul, tak pernah kulihat lunas seperti ini, apa mungkin"" Sangsi wajah Mapangi, tapi tampak pula ia tergoda. Tak dapat disembunyikan satu kilatan dalam matanya: kagum.
Sekarang aku tahu harus mulai dari mana. Yaitu dari nol besar. Aku berangkat ke hulu Sungai Linggang untuk menebang pohon teruntum. Ketika pohon raksasa itu tumbang, bumi menggelegar. Dengan bantuan Samson, Harun, dan A Kiong kami terseok-seok memikulnya ke bantaran lalu menghanyutkan pohon raksasa itu ke hilir. Untuk satu pekerjaan itu saja, butuh waktu dari subuh hingga petang. Sampai di hangar perahu, tubuhku remuk redam.
Teruntum, selalu lurus dan panjang Seratnya hat menahan beban sehingga merupakan bahan terbaik untuk lunas, gading-gading dan telebut paku-paku kayu sejengkal untuk merekatkan papan-papan lambung. Langkah berikutnya, aku memecahkan tabungan uang yang susah payah kukumpulkan dari beraedan mendulang timah. Uang itu kubelikan kayu seruk, kayu lambung terbaik.
Akibat hasutan Eksyen, para penebang enggan membantuku. Ditambah lagi satu kesulitan lain, yaitu musnahnya hutan Belitong karena dilahap kebun
kelapa sawit. Aku masuk sendiri jauh ke dalam hutan yang gelap untuk menebang serak. Pekerjaan ini, jauh lebih berat daripada kerja rodi. Tapi semangat, telah mengalahkan segalanya, meski rasanya otot-ototku robek, punggungku patah, telapak tanganku melepuh, dan bahuku ringsek. Minggu pertama, aku berhasil mengumpulkan sebagian bahan yang diperlukan. Masih jauh panggang dari api. Bahan-bahan ini hanyalah setumpuk kayu-kayu bulat.
Minggu berikutnya aku mulai membelah kayu untuk papan lambung. Sekarang sifat perkerjaanku berubah, dari menebang dan memikul menjadi pekerjaan dalam hangar. Aku berpacu dengan waktu, cemas musim barat segera turun. Jika lelah, sore hari, aku mengunjungi Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi, menyimak Nurmi melantunkan lagu dengan biolanya.
Kuhampiri Nurmi. Kukatakan padanya aku ingin belajar main biola. Ia tersenyum dan mengenalkan padaku empat senar los bernada G, D, A, dan E. Dengan piawai ia membunyikan skala nada tiga oktaf dari senar terendah, senar pertama paling atas, G tadi, sampai senar paling bawah A. Demikian maksudnya. Tapi tak sedikit pun kupahami. Kusadari, aku buta nada dan sangat tidak musikal. Dalam enam bulan aku belum tentu dapat melakukan seperti yang baru saja Nurmi pertontonkan.
Nurmi menyerahkan biola padaku.
"Pegang saja, Pak Cik."
Aku gugup. Seumur hidup baru kali ini aku menjamah biola Instrumen ini begitu artistik. Gelap, berwibawa. Seperti ada nyawa dalam rongganya. Seperti ada sejarah tercatat pada serat-seratnya Alat ini hanya berhak dipegang orang berjiwa musik yang menjunjung tinggi seni. Orang itu bukan aku. Peganganku adalah kapak, tambang dan gerinda.
Aku sering terpaku mendengar orang main biola. Getaran dawainya mampu menimbulkan suara yang membuat hati menggeletar. Tak semua alat musik memiliki kekuatan semacam itu. Kini ia berada di tanganku, berkilat, melengkung dingin, menjaga jarak, anggun, sekaligus sangat rapuh Biola bukanlah benda sembarangan. Ia terhormat seperti tubuh perempuan.
Aku bahkan tak bisa memegangnya dengan benar. Namun, waktu biola itu kusampirkan di pundakku, aku disergap perasaan nyaman yang tak dapat kujelaskan. Nurmi tertawa melihat kaku sikapku. Tampak jelas aku dilahirkan memang bukan sebagai seorang pemain biola. Jemariku terlalu kasar untuk senar-senarnya yang halus. Telapak tanganku terlalu besar untuk stangnya yang ramping Daguku tak padan untuk disandarkan pada kelok pinggangnya nan elok. Di pundak Nurmi, biola itu menyatu, bak bagian dari indranya, seperti
kepanja ngan anggota tubuhnya. Sementara di pundakku, biola itu laksana benda asing yang terang-terangan memusuhiku.
Tangan kiriku menggenggam leher biola, mataku melirik empat baris dawai. Sekali lagi aku takjub. Dawai-dawai itu menukik seperti sebuah jalan cahaya. Jalan menuju keindahan musik. Aku sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku mencoba menggesek nada terendah senar pertama, los senar. Biola berbunyi, napasku tertahan karena jerit suaranya langsung menerobos ke dalam jiwaku.
Magis. Nurmi mengatakan dengan menggesek sesuka hati itu, aku, tanpa sedikit pun kusadari, baru saja mengambil nada G. Katanya, aku dapat melanjutkan nada berikutnya dalam sebuah skala, dan aku tak peduli. Aku tak ambil pusing akan tangga nada dan aku tak hirau dengan segala skala. Aku hanya ingin membuktikan hipotesis Lintang bahwa kesulitan apa pun dapat diatasi dengan mengubah cara pandang. Seperti caraku melihat perahu, bagiku sekarang, biola adalah benda akustik dengan senar-senar yang tunduk pada aturan fisika akustik.
Cukup sudah pelajaran biola hari itu. Aku tidak memencet senar apa pun. Aku hanya menggesek-gesek berulang-ulang satu los senar pertama. Dalam perjalanan pulang ke hangar perahu, aku terpana akan sulitnya main biola bagi seorang buta nada dan bermental buruh perahu sepertiku. Namun, aku ingin dapat membawakan sebuah lagu, sebuah lagu, itu saja. Hari ini, cukuplah aku bisa membuat sebuah biola berbunyi. Itu saja dulu.
Mozaik 48 Armada Hang Tuah SERUK atau Schima walicHii atau kayu puspa dalam bahasa Indonesia, berada dalam familia tkeaceae, adalah harta karun hutan rimba. Kayu ini memiliki tabiat aneh sebab makin lama terendam air, makin kuat. Tak terkejut, ia selalu dicari-cari untuk bahan lambung perahu. Zaman dulu, ketika siapa berjaya di laut, maka ialah penguasa, kayu seruk diperebutkan sampai menimbulkan perang berkepanjangan.
Pun, konon armada Hang Tuah yang malang melintang di Selat Malaka memakai seruk untuk perahu-perahu mereka. Karena itu sulit dikejar armada kumpeni sekalipun. Selain tahan air, kayu seruk punya istimewa lain, yaitu meski sangat liat daging kayunya, tapi gampang ditekuk. Banyak kayu lain yang liat dan tahan air, tapi ketika dilengkung seratnya pecah, dan itu pantangan besar bagi lambung perahu. Kayu seruk memang diturunkan Ilahi ke muka bumi ini agar umat manusia dapat membuat perahu yang layak.
Dibantu oleh Harun, Samson, dan Kucai, kami memasang palang balok besar dan dengan takal kami mengangkat papan-papan seruk yang telah kuserut Aku mengikuti sketsa Lintang pada batas-batas linggi papan-papan seruk itu mulai ditekuk. Tahap ini sangat krusial, 'lekukan itu harus mencapai presisi dengan toleransi bias nol. Jika ia melenceng satu milimeter saja pada bukaan awalnya, bias itu akan melebar makin besar pada lengkung ke depan atau ke belakang Akibatnya, nanti lubang-lubang antar sisi papan lambung yang telah dibuat berpasangan untuk disatukan dengan telebut atau paku-paku kayu itu tak kan klop. Dan semua itu hanya berarti satu hal: betapa bodoh sang pembuat perahu. Diperlukan waktu paling tidak dua minggu untuk memaksa agar papan-papan seruk itu melengkung, diasapi sepanjang malam.
Sambil menunggu papan lambung melengkung, pekerjaan berikutnya mengubah pohon teruntum raksasa itu agar menjadi lunas perahu sepanjang sebelas meter berikut dua belas pasang gading-gading dengan bentangan lengan sedepa. Ini juga pekerjaan yang amat kasar. Mapangi mengajariku mengerjakan lunas. Antara lain cara menggunakan cental- senjata utama para pembuat lunas. Ia semacam kapak pacul kecil untuk meratakan balok, sangat intens dipakai dalam pembuatan perahu tradisional. Dari namanya, pastilah alat unik ini ciptaan orang-orang Khek kuno yang bekerja di parit-parit tambang timah
purba. Pekerjaanku sekarang menginjak pada sifat pekerjaan tukang kayu dan karena aku lahir dan besar di pinggir hutan, pekerjaan tukang kayu tidaklah terlalu sulit bagiku. Berjam-jam aku menunduk mengerjakan limas itu. Jika bangkit, pandanganku berkunang-kunang.
Sore menjelang. Aku kembali mengunjungi Nurmi. Kali ini aku mencoba memence
t senar pertama itu pada satu titik, yang menurut Nurmi, padahal sama sekati tak kusengaja, aku baru saja memencet nada A. Selanjutnya, seperti teori Lintang waktu itu, aku membiasakan diri memencet satu titik itu saja, demikian berulang-ulang. Tak kulakukan hal lain, hanya memencet satu titik itu saja, dan satu titik itu kuanggap sendiri sebagai Do. Nurmi boleh mengatakan apa saja, aku tak peduli.
Pada pertemuan kedua, aku telah mengenal satu nada. Sekali kunjungan, satu nada, cukuplah bagiku.
Tiga hari penuh aku mengerjakan lunas dan gading-gading. Hari keempat kulekatkan semuanya, maka selesailah rangka dasar perahuku.
Sore hari keempat itu, aku belajar biola lagi. Aku mencoba memencet satu titik di depan satu titik yang kuanggap Do tiga hari yang lalu.
"Nurmi, apakah ini kedengaran seperti re di telinga-mu""
Gadis itu menjawab dengan cepat. "Iya, Pak Cik."
Kupencet lagi satu titik di depan re, sama dengan jarak antara titik yang kuanggap do tiga hari lalu terhadap re yang baru saja kutemukan. Kulakukan itu tanpa mengikuti aturan skala tangga nada versi Nurmi, tapi berdasarkan pendapat Lintang bahwa jarak bunyi yang konsisten pada satu dawai akan secara teknis membentuk tangga nada.
"Apakah ini terdengar seperti mi""
Nurmi terperangah melihatku belajar sendiri dan meski merangkak-rangkak, tapi ajaib, aku mulai menemukan nada-nadaku.
Kutekan lagi satu titik dekat titik mi, di telingaku terdengar seperti fa Lalu kuikuti jarak yang konsisten pada frekuensi yang lebih tinggi. Aku mengulanginya berkali-kali, membiasakan diri, dan mata Nurmi yang lucu melotot, mulurnya ternganga-nganga, sebab aku, tukang perahu ini, baru saja menemukan sendiri, tanpa pernah ia ajari, satu oktaf lengkap nada biola.
Mozaik 49 Tunggu Aku GENAP sebulan, tibalah aku pada satu tahap yang paling menentukan, sekaligus paling pelik dalam membuat perahu, yakni menautkan papan-papan lambung yang telah dilengkungkan selama berrninggu-minggu.
Jika papan-papan itu tak terpasang pas satu sama lain, seluruh proses pembuatan perahu yang telah susah payah harus diulang. Aku tak mau itu terjadi, aku tak punya waktu lagi, musim barat kian dekat. Jika papan itu dipas-paskan dengan memaksa, itulah titik mula bencana. Saat perahu memuai karena panas atau mengerut karena dingin, pilas papan lambung akan saling melawan dan tiba-tiba di tengah laut, perahu pecah. Tak jarang petaka ini menimpa nelayan. Atau karena bias lengkung papan itu saling melawan, telebut atau paku pasak kayunya yang hanya sebesar jari telunjuk yang dipakai untuk menautkan papan leng kung akan patah, diam-diam perahu bocor, dan baru diketahui setelah karam.
Pekerjaan menautkan papan lengkung itu adalah pekerjaan yang hampir mustahil. Sebab, demi menjaga bentuk haluan agar serupa tampak atas kubah masjid, papan-papan itu harus melengkung seirama tapi tak sama. Lengkungnya landai di bawah dan makin ke atas, makin pilas atau makin meliuk. Bagaimana mereka bisa dipertautkan tanpa meninggalkan semi meter pun rongga agar rapi dan perahu tak bocor" Ini laksana memenuhi botol dengan dadu-dadu persegi dan tak boleh bercelah. Tahap ini adalah puncak Himalaya kesulitan membuat perahu tradisional.
Dan, aku seluruhnya menyanderakan diriku atas risiko dan kesulitan itu pada perhitungan Lintang. Waktu mengangkat papan lambung, satu per satu aku dilanda gugup, sekaligus penasaran ingin tahu apakah hukum jarak linggi Lintang memang benar. Aku mengebor puluhan lubang kayu telebut agar dapat menautkan papan lambung. Jarak antara lubang bor mengikuti skala yang telah dibuat lintang dengan sangat teliti. Aku sulit bernapas. Tak tertanggungkan kecewaku nanti jika papan-papan itu saling melenceng....
Kupasang papan lambung terbawah, tentu tak ada masalah, karena lengkungnya amat landai dan belum berpasangan. Aku mengangkat papan kedua yang telah melengkung demikian artistik sambil berdoa pada Yang Mahatinggi, semoga semuanya cocok. Puluhan telebut kutancapkan pada papan pertama. Lalu, papan kedua dengan halus kuletakkan di atas telebut. Tahu-tahu, tanpa aku harus menekannya dengan keras, semua telebut secara simul
tan memasuki rongga papan kedua secara sempurna. Aku terkejut dan berteriak
girang Hal serupa terjadi pada papan ketiga yang ditautkan pada papan kedua, papan keempat, dan seterusnya. Sangat pas, hanya periu dirapatkan secara halus dengan palu kayu. Tak sernilimeter pun meleset. Sungguh hebat perhitungan geometris lintang Bagaimana ia bisa mengikuti irama gradasi lengkung papan dan memperkirakan skala antarpuluhan telebut dengan presisi yang begitu mengagumkan" Dengan bias pilas papan sebesar nol" Tak seberkas cahaya pun bocor" Hanya dengan membayangkannya saja" Merinding aku dibuatnya. Ilmu, Kawan, sekali lagi ilmu, dapat membuat sesuatu jadi mencengangkan.
Sore ini aku kembali melanjutkan pelajaran biolaku. Nurmi menatapku seakan aku murid ajaib. Aku membunyikan senar ketiga dan keempat pada titik yang sama kulakukan pada senar pertama dan kedua kemarin. Nurmi kembali terpana karena sekarang aku telah menemukan dua oktaf lengkap. Kuulangi berkali-kali tone dua oktaf itu. Setelah hampir sejam, dua oktaf itu mulai terdengar jernih.
Ku keluarkan selembar kertas yang terlipat dari sakuku. Ku perlihatkan pada Nurmi. Aku telah menyalin notasi sebuah lagu.
05 55 53 4 5 I 6. 5.10 i ii ii 7617.5 4.1
"Aku tahu lagu ini, Pak Cik."
Aku memilih tone di antara dua oktaf yang telah ku-kuasai sesuai notasi lagu itu. Tersendat-sendat seperti truk reyot mendaki bukit. Sampai beberapa lama masih meraba-raba. Sampai aku akan pulang dan jemariku panas, masih tergagap-gagap.
Esoknya kuulangi lagi mengikuti notasi itu. Delapan puluh kali kucoba dan siapa pun tak setuju jika yang sedang kulakukan dengan biola itu adalah membawakan sebuah lagu. Sang biola menjerit, berdengung, mengerem, terkikik, dan meringkik, sama sekali tak dapat kukenda-likan. Hari berikutnya, kucoba lagi, kuulangi tak henti-henti. Berdasarkan hitunganku, seratus delapan belas kali sudah. Namun, biola sama sekali tak sudi takzim mematuhi mauku. Suaranya seperti anak kucing dicekik. Aku tak menyerah. Hari keempat dan kelima, kesulitan tak kunjung reda. Tapi makin sulit, makin bernafsu aku menaklukkan biola. Ujung-ujung jemariku melepuh. Aku bertekad ingin dapat membawakan lagu itu, satu lagu itu saja, setelah itu aku tak kan main biola lagi.
Hari keenam berlatih, setelah empat ratus lima puluh kali mengulang sampai dawai terkecil putus, Lintang mengatakan bahwa yang ku perbuat
dengan biola Nurmi nan melankolis itu mulai samar-samar terdengar seperti membawakan sebuah tembang Tak kepalang senang hatiku.
Hari ketujuh, seminggu sudah. Elok nian sore di dermaga. Sinar surya magenta menembus celah awan-awan kapas. Angin semilir meningkahi pucuk-pucuk pohon bintang. Kucoba lagi lagu itu, untuk kali keenam ratus sepuluh. Nurmi melirikku. Aku mulai terbiasa, nada-nadaku terdengar jernih, ketukan lagu kena. Kucoba terus tak kenal lelah, tak kenal jemu, dan pelan-pelan biola mulai menunjukkan iktikad mau berdamai denganku. Pengunjung Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi mengelilingiku dan mengangguk-angguk seolah mengakui bahwa yang kubawakan dengan biola itu memang benar sebuah lagu. Percobaan kati ketujuh ratus, kugesek biola dengan tenang, penuh penghayatan. Irama mengalun syahdu. Nurmi tercenung lalu perlahan ia bersenandung, Rayuan Pulau Kelapa, mengikuti iramaku.
Pikiranku melayang bersama senandung Nurmi. Jemariku bergetar menekan nada-nada pada dawai biola. Aku terkenang akan seorang perempuan Tionghoa kecil yang menyanyikan lagu itu untuk menenangkan riak-riak Sungai Linggang di bawah jendela rumahnya. Suara kecilnya yang sumbang, memasuki relung-relung dadaku, mengaramkannya dengan air mata rindu. Tunggulah A ling, tunggu aku, sebentar lagi perahuku rampung. Aku akan membawamu pulang.
Mozaik 50 Dekat Sekali Seperti Nyawa
SUSAH kupercaya, aku berhasil memainkan biola, walau hanya satu lagu, dengan cara ilmu bukan dengan cara para musisi. Meski begitu, tidaklah terlalu buruk kedengarannya. Lalu, aku kembali menekuni perahuku dan kutemukan kesulitan baru. Hasutan Eksyen termakan para penebang. Tak seorang pun ingin menjual seruk padaku. Tak mungkin lagi aku masuk hutan dan me
mbelah seruk untuk papan lambung. Tak kan cukup waktu untuk itu. Jika malam, angin mengamuk mematahkan dahan-dahan kemiri. Musim barat mulai mencium-cium daratan.
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan untuk menyelesaikan seluruh lambung perahuku. Bisa saja bahan lambung memakai kayu yang tak seragam, tapi itu tak lazim. Jika seruk haruslah seruk semua. Ini semacam etika dan estetika tak tertulis bagi para pembuat perahu. Karena, akibat-akibat buruk bisa muncul belakang hari, misalnya lambung tak seimbang sehingga perahu mudah terbalik. Ingin aku berkonsultasi pada Lintang untuk mengatasi soal ini, tapi ia baru akan merapat lagi minggu depan, tinggallah Mahar harapanku.
Aku bertandang ke rumah Mahar di tengah padang ilalang. Ia dan anggota Societeii tengah menjerang berupa-rupa ramuan aneh akar kayu dan daun-daun dalam dandang besar Orang-orang sinting itu mengaduk ramuannya yang mendidih dengan tulang tungkai kerbau. Mereka tengah mempersiapkan sebuah ekspedisi.
Kuceritakan perkaraku. Mahar acuh tak acuh. Ia membelai dua ekor burung gagak peliharaannya. Ia merenung sejenak, lalu dengan gaya seperti seorang yang amat luas pengetahuannya, ia memberi saran yang, seperti biasa, pasti ganjil.
"Boi, jawaban masalahmu itu sedang menunggumu di perpustakaan Pangkal Pinang. Di rak buku asal muasal Kerajaan Melayu."
Begitu jawaban Mahar. Ia kembali membelai burung-burung gagaknya. Tak peduli.
Perpustakaan Pangkal Pinang" Apa pula ini" Aku bingung dan mengejarnya dengan pertanyaan lanjutan agar ia memperjelas maksudnya. Ia menggeleng Aku mendesak, ia memandangku panjang.
"Jika kau melihat dengan hati, tak jauh jawaban masalahmu itu. Setiap hari kau memandangnya, senapas jauh darimu, dekat laksana nyawa. Namun bisa jauh, jauh sekati umpama Tuhan. Ialah makhluk purba zaman pleis-tosen sang penguasa dasar sungai, tapi haruskah kita rusak keindahan sensasi sebuah misteri hanya karena kau begitu bodoh""
Minta ampun. Mahar melantur tak keruan. Kepalaku pening dibuat sayap-sayap katanya yang melangit itu. Tadi perpustakaan di Pangkal Pinang, sekarang makhluk purba penguasa dasar sungai, sakit saraf tak terkira-kira! Tapi begitulah Mahar yang eksentrik, meracau, mengigau dan bicara benar, sudah tak bisa dibedakan.
"Maka berangkadah engkau ke Pulau Bangka, anak muda. Temukan rahasia misteri itu."
Gerak lakunya bak padri nan bijak bestari. Lalu, ia membujur jari di bibirnya, tanda ia tak mau lagi mendengarku berpanjang mulut.
Sesungguhnya aku sungkan ke Pulau Bangka. Tujuh jam naik perahu paling tidak. Apalagi teringat saran itu datang dari orang yang kian hari kian tak
sehat pikirannya. Secuil pun aku tak paham kalimatnya: jawaban itu dekat laksana nyawa. Gerangan apa maksudnya" Apa yang akan kudapat dari kitab-kitab lama sejarah Kerajaan Melayu di perpustakaan" Aku tak mau mengikuti saran Mahar, tak mau terlibat dalam jalan pikirannya yang sesat. Tapi, aku tak punya pilihan lain. Aku sudah habis akal bagaimana mengatasi soal lambung perahuku. Sudah sangat bersusah payah membuat perahu sampai tahap ini, aku tak mau tersia-sia hanya karena kekurangan papan lambung.
Maka dengan setengah hati aku menumpang perahu orang bersarung ke Bangka. Di perjalanan yang menyusahkan karena gelombang besar sehingga mabuk laut, aku menyumpah-nyumpahi diriku sendiri. Jika nanti di perpustakaan daerah itu aku tak menemukan solusi lambung perahuku, aku sudah mereka kata-kata yang paling keras untuk berbalik menyumpahi Mahar. Kata-kata yang paling keras itu antara lain: Dasar kau, Har! Manusia tak berguna, tak berperasaan, musyrik, ketinggalan zaman, bau, sinting tak pernah mandi, sesat! Keras bukan buatan. Kuulang berkali-kali, ku-latih-latihkan agar pedas benar di depan Mahar nanti.
Tengah hari perahu merapat di Pangkal B alam dan aku bergegas ke perpustakaan di Pangkal Pinang. Seorang petugas termangu-mangu saja ketika aku masuk. Seluruh benda dalam perpustakaan itu tampak tua. Bangunannya tua, rak-rak bukunya tua, bukunya tua-tua, bingkai foto di dinding berisi foto orang-orang tua, kap lampunya tua, seekor kucing tua hilir mudik, penjaganya juga tua, dan b
uku pendaftaran pengunjung juga tua. Aku langsung menuju rak berisi koleksi buku lawas. Di rak itu ada pula peta-peta lama. Aku membentang peta yang telah lapuk dan berdebu dan tak kutemukan informasi apa pun yang dapat menghubungkan saran Mahar dengan persoalan perahuku. Aku beranjak ke kitab-kitab lama sejarah Kerajaan Melayu, juga tak kutemukan petunjuk apa pun yang berkaitan dengan saran Mahar. Aku geram. Makian untuknya mengiang-ngiang. Namun, aku telah datang ke Pulau Bangka demikian jauh, sebelum pulang aku ingin melihat semuanya. Buku-buku tua itu umumnya berisi tentang riwayat Kesultanan Melayu, tentang masuknya Hindu dan Islam ke sana, serta hikayat mulanya orang-orang Ho Pho, Khek, Hokian, dan orang-orang Pasai masuk ke Pulau Bangka Belitong. Berbelas-belas kitab telah kuteliti, tetap tak kutemukan maksud Mahar. Aku kian geram. Akhirnya kutemukan sebuah buku yang amat tua. Buku itu berlubang setiap halamannya karena dimakan kutu. Aku bersin-bersin karena debu yang meruap dari lembar-lembarnya.
Buku itu berkisah tentang Kesultanan Palembang yang dikuasai Inggris pada 1812, lalu diambil alih kembali oleh Belanda pada Februari 1817. Namun,
Belitong bara bisa dikuasai Belanda, di bawah pimpinan Kapten De La Motte. Armada lanun terpukul mundur. Yang tertangkap diikatkan pada tiang layar dan ditenggelamkan hidup-hidup bersama perahunya.
Perahu-perahu perompak itu diburu sampai jauh masuk ke anak-anak sungai Pulau Belitong. Pada buku itu digambarkan peta pengejaran oleh kumpeni. Nama-nama wilayah dan sungai-sungai masih disebut dengan nama dan ejaan Belanda. Aku mengikuti satu per satu alur perburuan. Beberapa perahu lanun digambarkan melarikan diri mengikuti satu cabang sungai yang kuyakini adalah Sungai Linggang yang membelah kampungku di timur Belitong sana Pelan-pelan mengikuti urat-urat sungai itu, diam-diam sebuah lonceng kecil berdenting dalam kepalaku. Darahku berdesir menyimak anak-anak urat anak sungai nan berkejar-kejaran. Kuulangi lagi beberapa paragraf bercerita soal pengejaran perahu-perahu lanun. Sebuah pangkalan perahu yang besar, di sisi utara salah satu anak sungai, pastilah kampungku sekarang. Rimba bakau di kiri-kanan sungai dekat pangkalan itu, tak lain jembatan Lrng. gang sekarang pada ratusan tahun silam. Dentang lonceng kecil dalam kepalaku itu tiba-tiba berubah menjadi gaung gong bertalu-talu. Astaga' Inikah maksud Mahar" Apakah ia memang berpikir segenius ini" Mataku tak berkedip melihat peta aliran sungai, kian ke timur kian mencengangkan. Tepat pada posisi di bawah jembatan Linggang jariku terhenti. Sekarang aku paham maksud Mahar! Luar biasa! Sungguh menakjubkan misteri ini.
Mozaik 51 Makhluk Taman Pleistosen AKU tergopoh-gopoh ke Pangkal B alam untuk kembali menumpang perahu pulang. Perahu berangkat pagi berikutnya sehingga aku tiba di dermaga kampungku menjelang senja.
Tak buang tempo, aku meminjam underwater toreh dari petugas dok Meskapai Timah. Setengah berlari aku menuju ke jembatan. Permukaan Sungai Linggang diam seperti kaca. Pertanda laut tenang karena jembatan itu tak jauh dari muara.
Aku membuka baju dan langsung terjun ke sungai. Aku menyelam, kepak demi kepak menusuk sungai. Aku berusaha mencapai dasar. Hatiku waswas ingin membuktikan informasi Mahar lewat kitab tua itu.
Maryamah Karpov Karya Andrea Hirata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku mencari-cari dengan menyinarkan underwater toreh ke segala penjuru dan aku kecewa karena tak menemukan apa pun di dasar sungai yang dingin dan gelap. Aku maklum sebab skala yang digambarkan dalam buku tua itu tentu tidak persis seperti bayanganku. Aku sudah mau bangkit ke permukaan ketika sinar senter menangkap satu bayang tanpa bentuk kira-kira lima meter dariku. Aku berdebar mendekatinya Makin dekat, sinar senter makin nyata menangkap sesosok makhluk yang sangat besar seperti mammoth. Dalam hatiku berteriak. Aku telah menemukan makhluk Pleistosen, raksasa penguasa dasar sungai seperti kata Mahar. Ratusan tahun makhluk ini terbenam di dasar sungai. Duhi ia sangat garang. Panjangnya tak kurang dari lima belas meter. Ikrarnya mungkin sepuluh ton. Kini ia menjadi jenazah yang malang. Ia terbaring seperti
bersemadi. Kakinya patah, lehernya terkulai, tapi bahunya masih tegap. Aku menyentuh kulitnya dan aku tersenyum gembira. Kulitnya itu kayu seruk kelas satu yang dijarah lanun dari hutan Bengkalis. Kondisinya masih sangat baik sebab terawetkan oleh suhu dingin dasar sungai dan terbalsem lumpur serta lumut yang membuatnya tak dapat dijangkau seekor pun rayap. Makin lama di dalam air, lambung kayu seruk itu makin kuat, likat seumpama baja hitam.
Seribu perasaan bercampur dengan beragam rencana berkecamuk dalam kepalaku. Terutama karena memikirkan sifat Mahar. Sebenarnya dengan gampang saja ia bisa memberi tahuku bahwa di dasar sungai di bawah jembatan Linggang terbenam perahu lanun kuno.berlambung kayu seruk yang masih
sangat bagus. Kayu serak itu dapat kupakai untuk menyelesaikan perahuku. Jembatan itu saban hari kulalui sehingga Mahar memetaforakannya sebagai dekat seperti nyawa. Begitulah Mahar. Baginya, perahu kuno itu tak penting, yang penting adalah ia senang memasukkanku ke dalam sebuah situasi misterius. Misteri adalah denyut nadi Mahar.
Sebaliknya, aku kagum pada informasi Mahar dan So-cieteit. Informasi yang mereka dapat dari ekspedisi-ekspedisi aneh dan lama mereka simpan rapat-rapat. Satu bukti bahwa kegiatan mereka bukan sembarang saja. Siapa pun tak pernah tahu soal perahu lanun kuno di dasar Sungai Linggang. Tak tertutup kemungkinan dalam perahu perompak itu masih tersimpan harta raja brana. Atau jangan-jangan mereka tengah menyiapkan ekspedisi untuk memburu harta-harta lanun itu"
Sekarang harus kuakui, meski sangat tidak praktis dan melelahkan, harus ke perpustakaan di Pangkal Pinang sana, tapi secara keseluruhan aku sangat menikmati sensasi rahasia perahu-perahu lanun itu. Kusampaikan pada Mahar bahwa aku telah mengurai maksudnya dan telah melihat perahu lanun itu di dasar Sungai Linggang.
"O," pekiknya. "Ternyata kau tak sebodoh yang kukira selama ini!"
Kuucapkan terima kasih dan permohonan maaf karena telah bersyak wasangka, bahkan sampai melatih makian untuknya. Ia berbalik, telinganya berdiri.
"Makian apa yang kaulatahkan, Boi"!'* "Dasar kau, Hari Manusia tak berguna, tak berperasaan, musyrik, ketinggalan zaman, bau, sinting, tak pernah mandi, sesat!"
Mahar serta-merta memasukkan jarinya ke mulut Melengkinglah siutan panjang. Sejurus kemudian dua ekor burung gagak menukik dari puncak pohon randu, berkaok-kaok menyerbuku. Aku kabur pontang-panting melintasi ilalang setinggi lutut Gagak-gagak buas itu berusaha menjambak rambutku dengan cakarnya. Kulihat dari jauh Mahar memegangi perutnya Ia tertawa terbahak-bahak.
Mozaik 52 Budaya Warung PERASAANKU sudah tak enak waktu melihat pengunjung Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi lebih banyak daripada biasanya. Empat puluh tiga cecunguk anggota sindikat Eksyen hadir lengkap. Eksyen sendiri sudah mengambil posisi yang aduhai dari angle simpang jalan, seandainya menurut kepala sintingnya kamera berada di situ. Seorang perempuan bermaskara tebal membuatku gugup. Ia berbicara dengan seorang lelaki asing berpakaian seperti baru menjual enam ekor sapi. Mulut perempuan itu secepat gerak-gerik bola matanya. Waktu aku tiba, mereka lekat menatapku. Dan mata perempuan itu, ampun, seperti tak pernah berkedip. Nanar memancar-mancar, belum pernah aku lihat orang seperti itu, kedua mata itu seperti menyalak-nyalak.
Sebelumnya Mahar memang telah mengingatkanku agar berhati-hati menjaga rahasia soal perahu lanun di bawah jembatan Linggang. Sebab, mafia pemburu harta karun mulai beredar di pulau-pulau kecil perairan Sumatra Selatan sejak di lepas Pantai Tanjong Tinggi ditemukan bangkai-bangkai perahu bermuatan porselen mahal Tiongkok. Perahu-perahu itu dicurigai bagian dari armada Laksamana Cheng Ho yang berlayar menuju Selat Malaka dan karam di perairan Belitong Barat.
Tak tahu dari siapa, tapi berita bahwa aku akan mengambil papan serak di bangkai perahu lanun di dasar sungai Linggang menyebar cepat bak kolera. Eksyen dan komplotannya yang berambisi menghalangiku membuat perahu itu, dan kian bernafsu karena takut kalah taruhan, menyerbu Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi. Berbed
a dengan tujuan mafia harta karun, mereka berkumpul di warung kopi untuk menjatuhkan mentalku.
'Apa kau tak tahu, Kal, perahu itu sudah terbenam dalam lumpur sejak masa kumpeni" Bagaimana kau akan mengambil papan lambungnya""
Nur Gundala Putra Petir menyulut sumbu dinamit.
Masuk akal juga. "Papan-papan serak itu tak kan bisa dibongkar, apalagi di bawah air sana, mustahil!"
Sangat mengecilkan hati ucapan Rustam Simpan Pinjam. Tapi, apa yang baru saja dikatakannya, meski pahit bagiku, benar adanya.
"Sulit, Boi, sangat sulit, sungai itu sangat dalam, kau bisa tewas di bawah sana atau hanyut di bawa arus bawah kalau laut pasang, kau bisa mati meragan."
Meledaklah tawa semua orang menanggapi Sami'un Barbara. Mati
meragan, ungkapan mati dalam keadaan yang paling konyol dan menyedihkan bagi orang Melayu. Kata itu lebih sering digunakan untuk menghina. Sekali lagi, mereka benar. Harapanku perlahan runtuh. Lalu Dinamit meletus, Eksyen berkicau.
"Beginilah akibatnya kalau bergaul dengan si sinting Mahar itu."
Tawa ejekan berderai-derai. Aku berusaha sabar. Ia masih bernafsu.
"Kali ini aku bertaruh, kalau Ikal bisa menaikkan papan lambung perahu lanun itu ke daratan, kutraktir kalian semua minum kopi di sini, selama dua minggu."
Pendukungnya bertepuk tangan riang gembira. Tantangan itu disambut Rofi'i Bruce Lee yang ingin bertaruh dengan siapa pun di warung kopi: bahwa jika aku gagal, ia minta dibayar sejumlah uang oleh petaruhnya. Tapi jika aku sukses, ia siap memecahkan buah kemiri dengan cara memukulnya, pakai jidat. Bukan main banyaknya pembeli tantangan Rofi'i, antara lain Marsanip Sopir Ambulans, Berahim Harap Tenang Yunior, Marhaban Hormat Grak II, dan Makruf Bui, Bc.I.R.
Rustam Simpan Pinjam menaruh sejumlah uang dengan Zainul Helikopter dan Marhaban Hormat Grak II. Zainul dan Marhaban juga menantang Muslimat Ram-bo. Tancap bin Setiman menawar Mustahaq Davidson. Muharam Ini Budi menawar Mustajab Charles Martin Smith. Mustajab juga menantang Mursyiddin 363, dan Mursyiddin 363 bertaruh sejumlah uang pula melawan Muas Petang 30 serta Mahadi Sheriff. Mursyiddin 363 berambisi mengalahkan Mahadi Sheriff yang berkali-kali menciduknya karena menggondol jemuran atau mengejar ayam yang bukan haknya.
Begitu ramai dan runyam taruhan, bentuknya sudah semacam matriks yang rumit, semacam labirin sehingga Syamsiar, pemilik Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi, mesti membuat catatan khusus siapa menaruh siapa. Syamsiar, belakangan dijuluki Syamsiar Bond, karena jika tak punya uang boleh ngebon-ngutang-dulu minum kopi di warungnya, ia dibayar semata untuk memelihara administrasi taruhan itu. Lima ratus perak per taruhan dan dua persen dari pemenang taruhan uang Selalu ada tiga macam budaya besar di warung-warung kopi orang Melayu, yaitu pertama main catur berlama-lama, kedua berkomentar kiri-kanan menjelek-jelekkan pemerintah. Sangat hebat mereka dalam hal ini, bahkan pengamat politik bisa kalah berdebat Jika orang-orang ini jadi politisi, sulit dicari tandingannya. Piawai benar ia berkelat-kelit di atas lubang bui, meski kasatmata hukum ditelikungnya, lantaran lihai man k bersilat kata. Ketiga adalah budaya bertaruh. Beragam suku di kampung kami gemar bertaruh. Kadang kala Ketua Karmun dan Modin Mahligai angkat bicara
di tengah warung kopi mengingatkan kuli-kuli itu bahwa bertaruh, apapun bentuknya adalah judi, dan judi adalah penghinaan gawat pada agama, besar dosanya. Mereka diam tafakur. Ketua dan Modin berlalu, berbisik-bisik, mereka bertaruh lagi. Kecuali orang-orang Sawang Orang-orang ini tak suka menjelek-jelekkan pemerintah walau mereka sering diabaikan. Mereka bukan suku yang spekulatif karena tak senang bertaruh.
Kamsir si Buta dari Gua Hantu menaruh Jumiadi Setengah Tiang. Rupanya, meski meminang taruhan, Jumiadi agak kurang kena hatinya dengan taruhan. Matanya sendu menatapku. Ia terharu akan perjuanganku membuat perahu. Matanya berkaca-kaca. Rupanya Mahmuddin Pelupa ingin pula bertaruh, tapi tak ada yang sudi meminang tantangannya. Sebab jangankan kalah, menang taruhan pun belakang hari nanti ia pasti lupa. Ia sebenarnya sangat g
emar bertaruh. Sayangnya, urusan tak ada yang beres. Orang-orang kapok bertaruh dengannya. Ia tak bisa ditagih atau menagih karena ia lupa. Kasihan Mahmuddin, ia mendesak-desak orang agar melawannya. Akhirnya karena iba, Nur Gundala Putra Petir berkenan. Mereka sating menaruh sepeda.
Dalam pada itu, A Ngong menantang A Tong. Taruhannya, ia bersedia digunduli alisnya sebelah kalau aku bisa mengambil papan-papan seruk itu. Jika tak bisa, A Tong harus memberinya uang dan harus bersedia mengisap lima belas batang rokok linting tembakau Warning sekaligus. Mereka saling memegang telinga.
Sekonyong-konyong Daud Biduan berdiri dan berteriak lantang. Dengan percaya diri, ia menantang siapa pun sekaligus menawarkan mufakat yang ganjil. Jika aku berhasil, ia siap bernyanyi pada kenduri di rumah siapa pun tanpa dibayar, dan jika aku gagal, ia tak kan menuntut apa-apa dari siapa pun.
"Cincailah.......," katanya tulus, yakin, dan gembira. Orang-orang
terdiam dan saling pandang. Aneh, tawaran yang amat menggiurkan itu, karena akan menguntungkan petaruh mana pun tanpa risiko suatu apa, tak mendapat tanggapan. Belakangan aku mafhum, rupanya banyak orang yang justru bersedia membayar Daud Biduan agar dia tak bernyanyi.
Aku memnggalkan warung kopi dengan perasaan putus asa. Namun jauh di dalam hati, aku juga punya taruhan yang hanya aku sendiri yang tahu. Aku akan melakukan sesuatu yang telah lama ingin kulakukan.
Aku membuka kunci sepeda, masih sempat-sempatnya Eksyen
mencelaku bahwa aku tak kan mampu menyelesaikan perahuku. "Perahumu itu," cibirnya.
"Akan bernasib seperti hidupmu itu sendiri, Boi, setengah-setengah, selalu setengah-setengah."
Rasanya aku ingin meninju hidungnya.
"Kau tak mungkin dapat membawa pulang perempuan Hokiaa itu, bahkan kau tak kan pernah sampai ke Batuan."
Sungguh tak ada ucapan yang membesarkan hati. Aku hanya berharap semoga mereka dengan jantan bisa memegang sesumbar taruhan seperti orang-orang Ho Pho memegang janji mereka. Namun harus kuakui, kesulitan mengangkat papan-papan lambung itu memang seperti yang mereka peringatkan. Selama ini aku hanya dipenuhi oleh semangat yang tidak realistis. Aku telah melihat sendiri perahu lanun itu di dasar sungai sana, sebagian badannya terbenam di lumpur karena lambung kanannya berlubang sebesar buah kelapa akibat hantaman meriam, karena itulah perahu megah itu karam.
Aku mengaduk-aduk rambutku. Betapa runyam situasiku sekarang karena hanya perahu lanun itulah satu-satunya peluangku untuk menyelesaikan perahuku dengan cepat. Musim badai barat telah membayang di gerbang kampung. Aku kembali menghadap Mahar. Ia mengatakan bahwa di permukaan bumi ini hanya Tuk Bayan Tula, junjungannya itu, yang dapat mengambil papan-papan serak itu. Dua jam mendengarnya berkisah, tak ada satu kalimat pun yang masuk akal. Kian lama menyimaknya, kian dalam Mahar terperosok ke dalam dunia khayali gila-gilaan di dalam kepalanya. Kata demi kata tak lagi menginjak bumi. Ia berkisah soal bagaimana Tuk Bayan Tula bisa menimbulkan perahu itu hanya dengan mengutus seekor burung emprit yang disuruhnya mengencingi permukaan Sungai Linggang.
"Lalu......" racaunya.
"Tunggu saja penuh penghayatan.
"Tengah malam, pelan dan diam-diam, seakan diisap oleh cahaya rembulan dramatis.
"Perahu itu akan timbul dengan sendirinya!"
Mahar, melanglang dunia yang ia ciptakan sendiri, berkelana dalam kegelapan yang ujungnya ketimpangan kewarasan, pergi jauh, jauh sekali meninggalkanku.
Aku pulang dari persemayaman Mahar dengan kepala pening hati yang lara karena hampir putus asa, dan pertanyaan yang kian banyak. Tak tahu lagi apa yang harus kulakukan, aku bahkan yakin Lintang sendiri tak kan mampu memecahkan masalah ini. Tapi apa rugiku meminta pendapatnya" Bukankah ia
selalu hadir dengan ide-ide hebat yang tak pernah terbayangkan olehku"
Sore hari setelah menemui Mahar, aku menunggu Lintang merapat di dermaga. Tiga perahunya sarat kopra. Suara motor tempel nendang-nendang, tersendat mendorong perahu lebih muatan. Anak buah Lintang telah bertambah beberapa orang Pemuda-pemuda pulau asing yang senang sekali jika merapa
t sebab mereka senang melihat pasar. Mereka adalah orang-orang superudik. Konon per-mintaan kopra dari pabrik-pabrik sabun colek di Jawa meningkat tajam. Usaha kopra orang-orang pulau tengah berjaya. Lintang sang juragan, berdiri bertelekan pinggang di haluan. Beberapa ekor beruk yang setia metingkar-ling-kar di kakinya.
Langsung kugiring ia ke warung kopi dan dengan sikap patah harapan serta wajah kusut, kuceritakan soal kesulitan papan untuk lambung perahuku, soal waktu yang mendesak, dan peluangku dari perahu lanun itu. Berdiri telinga Lintang mendengar kisahku. Matanya lucu penuh minat. Ia memang menyukai kisah-kisah sejarah. "Nyatakah, Boi""
"Aku telah menyelaminya. Kapal perompak ulung zaman dulu, Lintang. Serak tua kelas satu rimba Bengkalis Utuh melengkung lima belas meter tanpa satu pun sambungan. Kuat seperti besi, hat, berkilat seperti kulit kerbau."
Lintang terpana. "Belum lagi kutengok ke bawah palka, mungkin pula ada harta karun bajak laut."
"Harta karunnya adalah kayu-kayu serak itu sendiri, Boi." "Jadi, soalmu apa""
"Perahu itu telah terisap dasar sungai, bagaimana mengambil papan-papan serak lambungnya""
Seperti biasa, lintang diam mencerna. Ia memandang jauh melalui bingkai jendela warung. Wajahnya serius. Seperti dulu di sekolah Laskar Pelangi, jika mendapat soal fisika dari Bu Mus, ia terpejam sebentar untuk mengumpulkan anak-anak kecerdasan yang melayang-layang berkeliaran di seputar kepalanya. Aku tertegun melihat Lintang seperti tengah dirasuki sesuatu. Kemudian, dalam siraman sinar matahari yang menembus jerejak warung ia membuka matanya, bersinar-sinar. Apakah ia telah menemukan sesuatu" Inikah saat-saat ajaib itu" Saat seberkas ilham memasuki kepalanya" Lintang tersenyum. Napasku tertahan, sebuah ide yang menakjubkan pasti akan segera terlontar darinya.
"Solusinya tetap berada di perahu itu, Boi."
Seperti biasa pula, pertama-tama, masih gelap bagiku.
"Maksudmu""
"Solusinya adalah papan-papan lambung perahu lanun itu sendiri."
"Aku tahu, Boi, tapi bagaimana mengangkatnya" Aku telah memikirkan semua kemungkinannya, mustahil, sampai mau pecah kepalaku."
Lintang menatapku dengan kesan: benarkah telah kau-pikirkan semuanya"
Aku meyakinkannya. "Kauperiu tahu, Boi. Perahu itu dilamun lumpur hampir setengahnya selama ratusan tahun. Papan lambungnya telah menjadi lengket dengan telebut dan gading-gading. Belasan meter di dasar sungai sana, tak mungkin bisa membukanya."
Lintang mengangguk. Aku tahu ia pasti punya solusi hebat, tapi sikapnya selalu rendah hati. Aku tak sabar.
"Katakan padaku, Kawan, bagaimana aku bisa mengangkat papan-papan lambung itu."
Lintang menjawab dengan tenang.
"Kita tidak akan mengangkat papan-papan lambung itu"
Aku heran. "Lantas"" "Kita akan mengangkat perahunya."
Aku terkejut seperti tanganku tersengat setrika. Ide sinting macam apa
itu" "Apa aku tak salah dengar, Boi" Mengangkat perahu itu" Bagaimana mungkin" Jangankan mengangkat perahunya, mengangkat papan lambungnya saja tak mungkin."
"Percayalah, Boi. Mengangkat perahu itu lebih mudah daripada memotong papan di bawah air atau membongkar telebut-telebutnya."
Lebih mudah" Sungguh tak masuk akalku. Mengangkat perahu itu sungguh rencana yang lebih mustahil.
Tak terbayangkan susahnya. Rencana itu bak upaya Bandung Bondowoso membangun seribu arca dalam satu malam, dan ia gagal. Jika benar terjadi, seandainya perahu itu terangkat ke permukaan, sensasinya akan seperti kejadian munculnya benda-benda aneh dari dasar danau atau dari balik kabut seperti
dalam film Indiana Jones. Dan Indiana Jones serta kejadian-kejadian yang dialaminya adalah utopia, sedang utopia tak terjadi dalam dunia nyata. Kau memang genius, Lintang, tapi kali ini kau sedikit keterlaluan. Kau memasuki area khayal Mahar.
"Lintang, sadarkah kau" Perahu itu lima belas meter, bobotnya tak kurang dari sepuluh ton, terisap lumpur jadi beratnya berkali-kali lipat, dan terbenam sangat dalam di dasar sungai!"
Lintang menjawab tangkas.
"Nah, justru di situlah madunya. Kau baru saja menjelaskan kemungkinan kita bisa mengangkat perahu lanun itu. Makin dalam sungai, makin ja
uh perahu itu tenggelam di dasarnya, makin besar energi yang akan kita dapat. Lu pakan kau, Boi, bunyi aksioma kedua dari dalil Pak TUa Archimedes""
Aku terperangah. Masih sangat tidak mungkin, tapi aku baru saja menyalakan sumbu kepintaran Lintang, dan aku tahu, argumen-argumen berikutnya akan membuat perkara ini jadi mencengangkan.
"Intinya tekanan, Kawan! Tekanan adalah keniscayaan semesta, dasar keseimbangan galaksi-galaksi. Kita tegak berdiri akibat tekanan dari keseluruhan sistem kosmos. Bumi berputar-putar, air mengalir, angin bertiup, burung-burung terbang mekanika sendi-sendi tubuh, laut pasang surut, mulut berbunyi, semuanya karena tekanan. Tanpa tekanan, alam raya akan musnah. Tekanan bersembunyi dalam setiap serpih cahaya dan gerak halus benda-benda, di sanalah tersimpan rahasia, mengapa kita ini ada."
Aku tak bisa berkata-kata. Mulutku terkunci karena terkesima Seperti dulu ibu guru kami, Bu Mus, menghadapi Lintang aku hanya bisa bergumam dalam hati: Subhanallah, Mahasuci Allah.
"Kita akan memainkan fisika Archimedes, Boi. Jangankan hanya mengangkat sebuah perahu, kita bahkan bisa mengangkat sebuah kota yang tenggelam!"
Aku merinding mendengarnya. Betapa spektakuler ide ini. Pada saat bersamaan seseorang memanggil Lintang karena kopra di perahunya,yang akan bertolak ke bagan siapi api,lintang meraih slop tembakau kosong dekat meja kasir,ia membongkar slop itu,kemudian,mendaras rumus rumus serta skema2, lalu menyerahkanya padaku.
"Ini dalilnya," katanya sambil berdiri terburu-buru.
Aku melihat coretan rumus-rumus fisika dan skema pada potongan-potongan kertas slop. Terdapat gambar perahu, tali-temali, dan beberapa benda seperti tabung.
"Ini apa"" tanyaku lugu sambil menunjuk gambar tabung. "Drum," jawabnya ringan saja. Drum" pikirku.
"Iya, tong. Dengan alat itulah kau akan mengangkat perahu lanun. Maaf, Boi, aku harus pergi."
Mozaik 53 Dalil Lintang MALAMNYA, di atas meja, aku menjajar carik-carik kertas coretan sekenanya, dan tergesa-gesa, yang dibuat Lintang tadi sore. Ada empat kertas kusam bekas bungkus tembakau lapuk, laksana empat naskah rahasia tua nan ajaib dari sang empu. Berlama-lama aku menekurinya, hingga malam larut, di bawah lampu belajar. Tak kupahami sedikit pun, bahkan aku tak tahu harus mengawalinya dengan membaca rumus yang mana. Sepanjang masa pendidikan dewasaku, aku belajar teori ekonomi. Pengetahuan dan pengalaman fisikaku amat terbatas. Namun, aku tahu, aku tahu persis, bahwa ada kecerdasan amat tinggi setingkat fisika Star Trek pada coretan-coretan sembrono dari manusia supergenius petani kopra itu. Jika carik-carik itu disatukan, mungkin akan menjadi kunci untuk membuka kotak pandora ilmu hidrodinamika. Maka bagiku, kertas-kertas kumal ini amat terhormat, ia semacam manuskrip legasi seorang ilmuwan yang tak dipedulikan zaman, yang bahkan tak berijazah SMP, serupa peta harta karun raja bra-na, seumpama bahasa sandi untuk berkomunikasi dengan makhluk angkasa luar, atau semacam catatan ramuan obat agar cantik seperti dewi dan hidup abadi tak mati-mati. Karena jika rumus-rumus ini sahih, akan banyak sekali benda-benda berat dapat diangkat dari dasar air ke permukaan dengan teknik yang sederhana tapi cerdas, dengan prosedur yang dapat diterapkan kaum awam saja. Jika rumus ini ternyata benar, kesaktiannya akan seperti Archimedes putra Phidias menemukan instrumen mekanika takal yang membuatnya mampu menarik kapal terbesar Syracuse dengan satu tangan, dan andai para ahli menemukan rumus-rumus ini tak tertutup kemungkinan menjadi awal terobosan ilmiah yang penting Mungkin bisa menjadi dalil baru dalam fisika.
Beberapa lambang dasar pada catatan Lintang kupahami sebagai simbol pressure (P), tapi satu blok rumus yang terdiri atas dua baris yang tertera pada bagian terbawah satu carik kertas, kuyakini sebagai penemuan orisinal Lintang sendiri. Aku belum pernah melihat, pada buku mana pun, manipulasi formula tekanan semacam itu. Tampaknya formula ku semacam hukum perhitungan energi tabung kedap air yang dipakai sebagai akselerator untuk mengungkit benda-benda berat dari bawah air. Sungguh men
akjubkan sebab hal ini sangat rumit. Perhitungannya menyangkut sinkronisasi begitu banyak variabel, misalnya tekanan air, bobot benda yang diangkat, dan urusan membagi energi pada setiap tabung Mengikuti untai demi untai ide Lintang pada formula itu seperti menerjunkan diri ke dalam jejak cara seorang genius berpikir. Sekujur
tubuhku serasa dibungkus selimut suci ilmu pengetahuan, dan aku merinding, bagaimana petani kopra majikan beruk pemetik kelapa itu bisa begitu cemerlang"
Oleh sebab itu, jika Alessandro Volta diabadikan namanya lewat satuan Voltase, George Simon Ohm dikenang melalui hukum Ohm, Lorent dihargai lewat hukum Lorent, maka blok formula energi tabung kedap air ciptaan Lintang itu bolehlah, untuk sementara waktu ini, kusebut sebagai Dalil Lintang.
Malam pertama habis hanya untuk memelototi carik-carik kertas dan berspekulasi. Namun, langsung membuatku terobsesi pada Dalil Lintang. Aku bertekad membunyikan sekaligus membuktikan dalil itu. Pada malam kedua, sepanjang malam, aku membaca buku fisika. Malam ketiga aku mulai memahami urutan logika rumus-rumus Lintang dan makin dalam aku menyelaminya, makin aku percaya bahwa rumus-rumus ajaib itu amat mungkin mengangkat sepuluh ton perahu yang terbenam belasan meter di bawah air. Mataku tak mau beralih dari lembar-lembar buku karena ternyata fisika hidrodinamika mengandung daya tarik yang melenakan. Aku mulai berpikir bahwa aku salah mengambil jurusan ekonomi. Sepanjang waktu aku bergelimang hal-hal baru, kejutan, dan rasa indah karena sedikit banyak aku berpikir seperti Lintang berpilar. Menakjubkan seperti inikah alam pikiran Lintang"
Kubuka kembali sebuah buku tak bersampul yang ketika kami SD dulu dipakai lintang untuk mencorat-coret beragam eksperimennya. Aku tergelitik melihat skema yang aneh tentang rancangan energi matahari lewat cermin-cermin cembung yang ia ambil dari bekas-bekas kaca spion mobil afkir. Meskapai Timah. Ada gambar teknik manipulasi motor tape recorder menjadi motor perahu pelepah sagu. Ada pula rancangan lucu, konyol, tapi pintar tentang AC buatan untuk kelas kami yang sumpek, panas, dan bau. Yaitu, berdasarkan desain lintang, di depan kelas dibuat bak ah-yang rupanya lebih mirip tempat mandi sapi. Bak itu diberi ramuan rempah-rempah yang wangi. Sebuah kipas angin bertenaga besar dipasang di belakang bak sehingga uap air yang sejuk dari bak dan wangi-wangian tersebar ke seluruh kelas. Aku ingat, ide itu hampir kami laksanakan jika Bu Muslimah tidak dimarahi habis-habisan oleh pengawas sekolah dari Depdikbud. Ada berbagai desain mekanika timba sumur, dan bersama Mahar, Lintang membuat ramuan serpih-serpih gelas dicampur bahan-bahan aneh untuk beradu layangan.
Setelah empat hari mempelajari rumus itu, aku mulai mengerti tahapan teknis yang harus kulakukan. Aku menyelam lagi di bawah jembatan Linggang, memastikan bobot perahu lanun, dan mengukur dalamnya ia terbenam.
Tiga hari lalu kutanyakan pada Lintang tentang tabung-tabung pada desainnya. Ia menjawab tabung-tabung itu adalah drum. Kuperkirakan ia akan menggunakan peledak untuk membebaskan perahu lanun dari lumpur dasar sungai. Namun, apa yang akan ia lakukan dengan drum" Apa hubungannya dengan teori-teori tekanan" Apakah ia akan menggunakan drum untuk menjadi semacam tongkang, atau perahu tunda, atau untuk meredam ledakan sehingga tak menghancurkan perahu" Namun tak ada satu pun rumus Lintang yang membenarkan spekulasiku itu. Satu baris rumus mengindikasikan massa drum yang berbeda. Aku melonjak menyadari makna indikasi itu. Segera kupahami bahwa drum itu dipakai lintang untuk tujuan yang jauh lebih cerdas dari sangkaku, yakni, ia akan menenggelamkan drum-drum penuh air, setelah mencapai dasar sungai, secara simultan ia akan mengosongkannya, otomatis, dalam proses ini, ia mendapat energi dahsyat lonjakan drum hampa ke permukaan. Dengan cara itulah, karena perahu ditambatkan pada drum-drum, ia akan mengangkat perahu lanun. Dalil lintang mengandung formula dimensi udara hampa pada tabung. Artinya, dalil m dapat memecahkan soal berapa jumlah drum yang diper. lukan untuk mengangkat benda d
ari bawah air, momentum pengosongan tabung, dan besar energi lonjakannya. Genius, genius tak terbayangkan.
Seminggu berselang aku dan Lintang kembali berjumpa di warung kopi. Bergabung pula Mahar di sana.
Usai menghirup kopi yang pahit, yang kali ini rasanya nyaman nian, kubentangkan sehelai karton lebar dari gulungan di depan Lintang Kukatakan padanya aku telah memecahkan misteri empat carik kertasnya. Temuanku mencapai ketelitian sampai jumlah drum yang diperlukan untuk mengangkat perahu lanun, desain tali-temali untuk menambat perahu itu, dan mekanisme pengosongan drum lewat pompa-pompa pengisap. Tak ada yang istimewa sesungguhnya sebab aku hanya menerjemahkan dan menyimulasikan rumus-rumusnya. Lintanglah yang harus dikalungi medali dalam hal ini. Malah aku tak mampu menginterpretasi beberapa bagian Dahi Lintang soal momentum. Tak berubah sejak kami SD dulu, aku selalu berada di bawah bayang-bayang Lintang dan dialah Isaac Newton-ku, selalu, lintang tersenyum dan Mahar menggoda.
"Dia memang tak sebodoh yang kita sangka selama ini" 'Angkatlah perahu itu tanggal lima belas," saran Lintang
Aku terpaku sejenk,tapi Segera sadar bahwa informasi itu bentuk kepandaian yang lain. lintang telah menghitung sifat-sifat sungai. Tanggal lima belas nanti adalah puncak payau. Besarnya arus air laut dari muara yang masuk ke sungai menyebabkan tekanan air sungai makin kuat, dan energi lonjakan tabung makin tinggi.
Kami bertiga mengangkat cangkir kopi dan bersulang seperti para pemburu Rusia usai berbulu cerpelai. Kuamati kedua sahabatku Lintang dan Mahar. Sungguh menakjubkan aku mendapatkan orang-orang ini sebagai sahabat terdekatku. Di tengah mereka, aku seperti berada di tengah pusaran gasing tarik-menarik kutub-kutub ekstrem logika dan imajinasi.
Ada Tahukah dirimu, Kawan" Dalam serpih-serpih cahaya Dan gerak-gerik halus benda-benda Tersimpan rahasia Mengapa kita ini ada
Mozaik 54 Hari Kebangkitan TENTU saja seisi kampung gempar mendengar rencanaku dan Lintang ingin membangkitkan perahu lanun yang telah terkubur ratusan tahun di bawah jembatan Linggang. Sebagian langsung menuduh kami tak waras. Aku sampai tak berani ke warung kopi karena tak tahan diejek. Eksyen, komplotannya, dan orang-orang yang dulu meragukan aku dapat mengambil papan lambung di dasar sungai, sekarang makin ragu karena rencanaku makin musykil: tidak hanya mengambil papannya, tapi mengambil perahunya.
Kesempatan ini mereka gunakan untuk meningkatkan taruhan yang telah mereka sepakati minggu lalu. A Ngong yang dulu bersedia digunduli alisnya misal aku bisa mengambil papan-papan seruk itu meminang taruhan tambahan yang diletupkan A Tong. A Tong pun bersabda.
"Ngong, tambahannya, kau harus mau pakai helm ke mana pun pergi, walau tidak sedang naik sepeda motor, empat hari empat malam, tak boleh dilepaskan. Tidur dengan istrimu pun helm itu tak boleh kaubuka."
Sebaliknya jika aku gagal, A Tong menambah sendiri taruhannya. Ia siap memasukkan tawon mahkota emas yang sedang bertelur sehingga galaknya minta ampun ke dalam celananya. Kedua orang Ho Pho itu berkawan seperti Zippy the Lion and Hardy Har Har, kepala mereka penuh dengan ide-ide gila. Mereka saling memegang daun telinga.
Aku tak peduli dengan euforia taruhan. Fokusku adalah DaKl Lintang Aku memeriukan berpuluh drum, pekerjaan las, dan tali-temali. Benda-benda itu, di kampung tambang dan pelabuhan seperti kampung kami, dengan mudah didapat Pompa pengisap dan siang-siang untuk mengosongkan isi drum dari bawah air juga bukan masalah. Kalimut, sahabat lama yang pernah berjumpa denganku pada peristiwa tangga tali Kapal Lawi t tempo hari, dengan mudah mengumpulkan sepuluh saudara Sawangnya untuk membantuku. Mereka para penyelam tangguh sekelas penyelam kerang karang Timor Leste. Mereka mampu berada di bawah air sampai dua puluh menit, tanpa bantuan alat apa pun. Kalimut mengatakan bahwa ia hanya minta imbalan ikut berlayar denganku ke Batuan jika nanti perahuku rampung Ia ingin menyabung nasib ke Singapura. Kami mufakat.
Setelah pekerjaan las dan losing-tali-temali-seluruh peralatan cukup. Tanggal lima belas hari M
inggu sore, ketika air sungai di puncak payau, kami siap melakukan pekerjaan paling mustahil: menghidupkan jenazah perahu lanun yang telah terkubur dua belas meter di bawah jembatan Linggang selama
ratusan tahun. Berbondong-bondonglah orang kampung menuju jembatan untuk menyaksikan kejadian luar biasa. Mereka berseru dan berteriak-teriak. Sebagian bertepuk tangan menyemangati, sebagian mengejek, ada pula yang berseru-seru mengatakan kami sudah gila. Para penonton bergelantungan di lengan-lengan jembatan dan berbaris berlapis-lapis di dermaga.
Drum-drum telah diisi penuh air. Belasan penyelam siap. Tali-temali dan pompa juga siap operasi. Para penyelam terjun ke sungai seperti kawanan lumba-lumba. Mereka menusuk dalam ke dasarnya. Tugas mereka membalut perahu dengan tali-temali sehingga seperti bayi dalam ayunan. Mereka melakukan pekerjaan seperti suku liliput membungkus Gulliver. Lalu, drum-drum yang berat penuh air dicemplungkan ke sungai.
Dengan aba-aba dari Lintang pompa dihidupkan. Percobaan pertama, dan ternyata gagal. Sebab, ternyata sangat susah mengosongkan drum secara simultan. Empat drum melonjak ke permukaan, jelas tak mampu menggerakkan perahu sedikit pun. Perahu itu sangat berat seperti sebuah panser yang terbenam. Eksyen dan komplotannya berteriak-teriak girang melihat kami gagal. Percobaan kedua juga gagal. Enam drum hampa melompat dari dasar sungai menuju permukaan, dan energi yang mereka bawa masih jauh di bawah yang kami perlukan. Perahu itu tak mungkin terangkat jika dua puluh empat drum, berdasarkan Dalil Lintang, tidak melonjak bersama-sama. Kesulitannya masih sama. Timing simultan untuk mengosongkan drum sangat susah. Usaha membuatnya sama seperti untung-untungan. Kami mencoba beberapa kali dan tetap gagal. Setiap kali dicoba paling banyak delapan drum yang menyembul. Sesekali timbul belasan drum tapi karena tak simultan, energinya tersebar sehingga tak cukup tenaga untuk menarik perahu lanun.
Dendam Gila Dari Kubur 1 Abarat Karya Clive Barker Ilmu Ulat Sutera 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama