Balada Si Roy 04 Bad Days Karya Gola Gong Bagian 2
"Jagain ya, Mang!" Roy mendorong becak. Tukang becak hanya tersenyum dan mengayuh becaknya.
Mereka saling melambaikan tangan. Sore yang menyenangkan.
Kalau saja si Roy tahu bahwa si manis juga sebetulnya sedang punya persoalan sebagaimana layaknya remaja. Dan tadi dia membuang segala persoalannya dengan bertingkah laku di luar batas kebiasaannya.
"Manis ya, Ton!" Roy masih memandangi becak itu.
Toni mengangguk dan tersenyum.
"Punya pacar belon, ya "" Roy semakin tertarik.
Toni mengangkat bahu. Kalau sudah begini berbahaya, batin si Toni. Dia hafal betul perangai si Roy. Kalau dia sudah kepincut dengan wanita, segala jalan akan ditempuh dan beragam rintangan akan diterjangnya. Dia tidak akan peduli harus mengejar gadis idamannya sampai mana. Yang penting sampai pada sasarannya.
"Kenikmatan bagiku adalah ketika mengejar-ngejar cewek itu, Ton. Apalagi kalau cewek itu sukar sekali ditaklukkan. Sebetulnya prosesnya yang aku cari. Yang aku geluti.
"Bagiku tidak jadi soal diterima atau ditolak, Ton. Tapi justru biasanya akan jadi hambar dan biasa-biasa saja. Jika aku bisa menaklukkan cewek idamanku itu.
"Cinta memang dahsyat kekuatannya, Ton. Tapi pada ujungnya aku tidak pemah menemukan apa-apa," begitu Roy tempo hari menguliahi Toni tentang cinta.
Toni hanya menggelengkan kepala saja jika si Roy sudah berkoar-koar tentang
cinta. Si Roy kini bersiul-siul. Dia tampak bergairah lagi. Matanya berbinar-binar. Dia merangkul pundak Toni. "Sekarang kita nengok Iwin!" ajaknya pasti. "Mudah-mudahan Iwin bisa memaklumi aku, Ton!". Toni tersenyum dan balas merangkul. Gadis manis tadi betul-betul manjur kalau diibaratkan sebagai obat, batin Toni melucu.
Si Roy memang merasa sudah kembali lagi jiwanya seperti dulu. Di mana hidup adalah terdiri dari kenyataan-kenyataan yang manis dan yang pahit. Di mana kita harus mau menerima kenyataan itu keduanya. Tanpa tawar-menawar.
VI. BEZOEK Jiwa kita tak dapat ditapakkan di satu tempat karena jiwa kita tercipta dari kisah-kisah, lamunan, igauan, mimpi, lumut, batu, rawa, laut, pasir, karang, awan, gunung, belantara, matahari, bulan... dan wajah kita sendiri biarkan jiwa kita mengelana di setiap langkah!
-Toto ST Radik MINGGU sore yang gemilang. Matahari sudah tiga perempat menelusuri hari. Angin menggoyangkan pepohonan, terasa sejuk dan menyenangkan. Lorong-lorong rumah sakit penuh tawa pengunjung yang hendak menghibur si sakit. Mereka tentu tidak membawa sesuatu yang buruk lagi tentang dunia di luar rumah sakit. Misalnya, tarif listrik yang dihebohkan naik, perang di Timur Tengah yang tak kunjung hab
is, atau kabar buruk di rumah. Tentunya kabar segar dan lucu-lucu saja yang kita bawa bagi si sakit. Para perawatpun ikut memercikkan meriahnya suasana dengan senyum manusiawinya sambil mendorong brankar.
Roy mengintip di jendela. Dia melihat Iwin sedang bercanda dengan seorang perawat. Setiap hendak mengatakan sesuatu, Iwin menuliskannya di kertas. Rahangnya yang patah baru saja dioperasi, dipasangi kawat, sehingga belum diperbolehkan berbicara. Kepala sobatnya itu hampir seluruhnya dibebat perban. Kelihatan dari jauh sih ibarat sorban bapak haji saja.
"Kapan nih boleh makan bubur saring, suster"" begitu Iwin menulis. Tampaknya dia sudah tidak sabar, karena selama ini perutnya cuma diisi cairan infus dan baru-baru ini sudah diperbolehkan menyedot susu murni.
"Seminggu lagi." Si suster tersenyum kecil sambil menyodorkan segelas susu
murni. Iwin menyedotnya hati-hati.
Roy memperhatikannya dengan teliti. Tampaknya Iwin sudah mendingan, batinnya. Sudah bisa mengangkat kepalanya dan bersender agak tinggian dari posisi berbaring sebelumnya. Yang paling menggembirakan, dia melihat di sorot mata Iwin ada sesuatu yang hebat. Sesuatu yang berkilat-kilat menandakan gelora hidup yang berkobar. Dia begitu terharu dan bahagia melihat semuanya. Tiba-tiba dia ingin memeluk sobatnya, dan merasa menyesal karena musibah ini menjadikan ia sendiri tidak berani menghadapi kenyataan.
Sambil bersiul-siul, Toni lebih dulu masuk. Iwin berseri menyambutnya. Si Roy memperhatikan mereka, kedua sobatnya yang ditakdirkan hidup dengan kehilangan salah satu anggota tubuhnya. Cacat. Tapi, kedua sobatnya itu tetap saja tabah dan gembira mengisi hari-harinya. Ah, sungguh tidak bijaksana kalau kita mengeruhkan air kolam jernih ini, sementara mereka menikmati ikan-ikan hiasnya yang berenangan.
Roy menyeret masuk langkahnya. Roy merasa bergetar hatinya ketika bertatapan dengan Iwin. Dia tersenyum kecut. Serba salah. Untuk beberapa saat mereka saling berbicara dan menerobos lewat bahasa mata.
"Apa kabar, Win"" Roy menggenggam lengannya erat-erat.
Wajah Iwin bersinar terang. "A..ku ya..yakin ka..mu bakal da..tang, Roy." susah-payah Iwin menggerakkan bibirnya. Rasa nyeri memang ditahannya, tapi keluhannya kedengaran juga.
"Jangan banyak bicara dulu, Win," Roy khawatir. "Tulis kayak tadi saja, ya." Iwin meringis. Dia meraih pulpen dan menulis, "Kamu ke mana saja, Roy"" nadanya seperti menyalahkan. Roy tersentak.
Toni malah bersiul pura-pura tidak tahu.
Si bandel bingung harus menjawab apa dan bagaimana. Dia menuju jendela. Membuang pandangannya ke luar paviliun dan membentur ke seorang pekerja yang menyapu halaman. Terbersit begitu saja di benaknya, ah, bagaimana kalau orang itu atau salah seorang dari keluarganya sakit" Apakah orang itu sanggup membayar rekening rumah sakit dan obat-obatnya yang semakin mahal" Apakah nanti ada yang bezoek membawa sekadar oleh-oleh atau kabar segar" Entahlah....
Untung suasana kurang menyenangkan itu terpenggal dulu ketika ibu Iwin masuk membawa termos air panas. Toni dengan sigap mengambil alih termos itu dan meletakkannya di meja.
"Sudah sembuh lukanya, Nak Roy"" Wanita itu tersenyum. "Alhamdulillah, Bu." Roy mengangguk kikuk.
Wanita itu mengusap lembut kepala anaknya. "Ibu tinggal dulu sebentar ya, Win." Usapannya berulang-ulang seperti tidak ingin kehilangan anak lelakinya lagi. "Kalian temani Iwin, ya"" pintanya.
"Beres, Bu." Toni tertawa kecil mengacungkan ibu jarinya.
Roy merayap mendekati pembaringan. Dia melirik ke Toni, meminta bantuan dan pengertiannya untuk membuka suara terus. Tapi, konyolnya sedang kumat, Toni cuek saja. Ah!
"Kenapa kamu, Roy"" tulis Iwin buru-buru. Kalimatnya ini ibaratnya meminta pertanggungjawaban saja. Tanpa sadar, "Aku baik-baik saja, Win," suara Roy kedengaran tidak yakin pada dirinya sendiri. Iwin menangkapnya. Dia menulis lagi teramat lugas. "Kamu bohong, Roy!"
Roy tercenung. Lantas hening.
Toni malah bersiul-siul sengaja mengusik suasana.
Roy memakinya jengkel dalam hati.
Iwin memejamkan matanya. Tidak lama, "Win...," suara Roy kedengaran. "Apa yang mesti aku bicarakan sama kamu" Tentang
apa"" Nadanya meminta pengertian. Semua memasang kupingnya.
"Aku nggak mempermasalahkan tentang kupingmu yang putus satu, Win. Itu risiko, namanya. Tapi yang aku permasalahkan sekarang, kenapa Tuhan selalu menggunakan takdir-Nya kepada orang-orang yang dekat dengan aku" Kenapa justru aku yang selalu jadi penonton" Kenapa nggak aku yang putus telinga dan kamu yang jadi penonton, Win" Kenapa nggak begitu"
"Umurku kini menjelang delapan belas. Tetapi kenapa separuhnya selalu diisi untuk mengalami dan melihat kemalangan-kemalangan saja" Akibatnya aku memang jadi kuat dan terbiasa. Tapi aku manusia. Ada batasnya. "Terus terang saja, dengan musibah kamu ini, Win, aku belum sanggup menerimanya. Aku merasa shock. Mungkin dibutuhkan waktu, Win!"
Roy mengacak-acak rambutnya. Dia tampak larut dalam emosi. Matanya murung berkaca-kaca. Dia bergegas keluar. Iwin sebetulnya ingin berteriak, "Roy!" tapi mulutnya terasa berat dan sakit untuk dibuka. Dia hanya bisa memandangi punggung sobatnya. Dia meminta pertimbangan Toni, yang sedari tadi mesem-mesem saja.
"Biarin saja, Win," kata Toni kalem. "Aku tahu persis siapa dia. Sebentar juga dia akan kembali seperti yang pernah kita kenal."
Si Roy sendiri menyendiri di sudut. Agak memisah. Dia menyender pada sebuah tiang. Diusapnya matanya yung terasa basah. Lantas dia melengos ketika ada seorang gadis menuju ke arahnya. Novi sudah di hadapannya. "Apa kabar, Roy" Kok baru nongol" Ngumpet ke mana aja sih"" ledeknya terasa menyudutkan.
Roy hanya berusaha untuk tersenyum.
"Masuk, yuk!" ajak Novi.
"Ada Toni di dalam," Roy serba salah. "ku...aku cari angin dulu: Gerah, Vi," si bandel itu menutup-nutupi kekikukannya.
Novi memperhatikannya. Dia bisa menebak kalau lelaki ini terpukul jiwanya karena musibah yang menimpa sobatnya. Itu bagus. Inilah pertanda sobat sejati, di mana kita ikut merasakan kesulitan hidupnya, bukan cuma sekadar senang-senangnya saja. Tapi akan lebih komplet lagi kalau selain ikut merasakan kesulitannya, kita juga ikut mencarikan jalan keluar. Roy merasa pundaknya dipegangi seseorang. Hangat dan penuh pengertian.
"Kenapa jadi rapuh, Roy"" Ini suara Toni. "Kamu yang aku kenal ketika menemani aku diamputasi kaki di CBZ, jauh berbeda dengan yang aku kenal sekarang.
"Di CBZ dulu, kamu mengomentari tentang kakiku yang buntung, 'Anggap saja seperti kehilangan daging beberapa kilo, Ton,' begitu katamu. Tapi, kenapa sekarang nggak kamu komentari tentang kuping Iwin yang tinggal satu" Kenapa dari mulutmu nggak keluar kalimat, 'Anggap saja cuma kehilangan secuil daging, Win!' Kenapa nggak, Roy"" Toni memberondongnya.
"Kenapa mesti aku" Kenapa nggak kamu"" Suara Roy mirip sebuah gumam. Dia menengadah ke atas.
Toni melihat dengan ujung matanya. Dia tertawa dalam hati melihat kelakuan Roy yang mentah ini, yang tidak seperti biasanya.
"Aku sering nengok Iwin ketimbang kamu, Roy. Aku mengerjakan sesuatu pada Iwin seperti yang kamu kerjakan padaku di CBZ dulu.
"Aku katakan pada Iwin, lihatlah aku. Lihatlah kakiku yang buntung. Coba bandingkan. Kamu masih bisa lari cepat kalau pacarmu kabur, Win. Kamu bisa mengubernya. Lha, aku"" Toni tertawa dulu.
Roy meringis. "Iwin sedang berjuang untuk bangkit lagi. Kamu lihat sendiri kan, betapa dia bersemangat ingin lekas sembuh. Kita harus menjaga gelora apinya agar nggak padam, Roy. "Kalau kamu tetap begini, berarti kamu menghambat perjuangan dan melukai perasaannya, Roy!"
Roy merasa ada yang panas menjalari wajahnya. Dia jadi tidak enak dan malu pada sobatnya, yang dulu pemah disebutnya: bancilah, pengecutlah! Tapi, kini dia membalikkannya padaku! batin Roy.
Toni menggandengnya. "Kita ngobrol-ngobrol di dalem. Ada Novi di dalem, kan" Yuk!" Toni menariknya. "Nggak enak dong sama Novi, Roy. Masa sih sama cewek kalah," ledeknya. Roy lagi-lagi meringis. Tapi dia masuk juga.
Roy masih kikuk ketika setiap gerakannya diperhatikan oleh mereka. Dia mengambil tempat dekat jendela saja, agar mudah mengganti suasana kalau merasa dipojokkan oleh mereka. "Ada nggak ya orang yang mau jadi donor kuping"" tulis Iwin.
"Ada tuh." Novi tersenyum lucu. "Kuping kambing, mau"
" Gadis itu tertawa renyah. Iwin tampak kesal, karena tidak bisa tertawa lepas. Dia memukul lengan Novi dengan pulpen."Nggak. Sekalian kuping gajah saja!" Toni nyeletuk. Novi semakin renyah tertawa. Iwin meringis menahan tawanya. Dan Roy tersenyum simpul juga.
Lantas Roy pun ikut-ikutan larut ke percakapan mereka yang konyol-konyol. Yang paling enak memang membuat lelucon-lelucon dari kekurangan kita, ya. Karena itu bisa memudahkan kita untuk mengoreksi diri. Coba saja, deh.
"Aku minta maaf, Win," Roy menggenggam lengan Iwin, "kalau sudah mengecewakan kamu."Senyumnya mulai mengembang. " Aku jadi malu sama kalian. Iwin sendiri nggak apa-apa, kok malah aku yang uring-uringan." Dia menggaruk kepalanya.
"Syukur deh kalau masih punya kemaluan," Toni tertawa. Novi memukulnya.
Roy mendekatkan bibirnya ke telinga Iwin yang satunya lagi. Dia berbisik, "Boleh aku tahu, Win, kenapa kamu nggak berubah sedikit pun dengan musibah ini""
Iwin menatapnya. Dia menarik kepala Roy agar mendekat. Dan dia menempelkan bibirnya di telinga Roy. Dengan susah-payah dia membuka mulutnya mengucapkan beberapa kalimat.
"To..ni, so..batmu itu, Roy. Di.. a ba..nyak ber..ce..rita ten..tang o..rang cacat yang suk..ses." Iwin berhenti dulu.
Roy melirik Toni yang asyik bercanda dengan Novi. Si konyol itu semakin matang saja dalam mengarungi hidup ini, begitu kesimpulan Roy.
Iwin mengumpulkan kekuatannya lagi. Bibirnya bergerak dengan susah-payah, "Apa..lah ar..tinya se..cu..il kuping, Roy, ka~au... ji..wa.. ki..ta... ca..cat. A..ku banyak be..la..jar dari To..ni, Roy. Be..la..jar da..ri se..mangat hi..dup..nya,"
Iwin mengeluh. Rasa sakit mungkin mulai terasa. Dia tidak berkedip memandangi Roy.
Roy mengangguk. "Jangan terlalu banyak bicara, Win, kalau pengen cepat sembuh." Si bandel ini terharu juga.
Matahari mulai menyelinap dan sinarnya pun meredup. Lampu-lampu di sepanjang lorong mulai berkilauan. Sinarnya pelan-pelan berpendar ke sudut-sudut yang gelap. Semuanya jadi terang. Laron-laron pun mulai merubungi.
Malam datang dan sang bulan pun menjelang.
VII. PART TIME belum juga kupahami di sini waktu terus berlari atau justru berhenti barangkali memang mesti begitu tapi mengapa semua seperti tak peduli bersikejaran dengan entah apa entah siapa memaknai perjalanan gelisahku menjelma duri nyeri!
-Toto ST Radik SABTU sore, hari terakhir sekolah menjelang EBAS. Semua siswa bergegas memasukkan buku-bukunya. Mereka ribut bukan kepalang, seperti menghabiskan segala-galanya sebelum larut dengan "minggu tenang", menyusun strategi untuk tempur EBAS nanti. Roy menyandang tas ranselnya. Dia menyerobot minta jalan. "Minggir, minggir!" teriaknya tidak kalah ribut.
Suasana semakin ramai. Ada yang mengumpat senang, memukul punggung dengan buku, mencubit lengan, dan meringkusnya. Si Roy berusaha mengelak. Mereka memang sangat akrab satu sama lainnya.
"Heh, nyentuh kulitku bayar pajak!" Roy meronta.
Mereka semakin kuat meringkusnya.
"Lepasin, dong! Ngeburu waktu, nih!" teriaknya.
"Mau ke mana sih, buru-buru"" Yudi melepaskan ringkusannya. "Mau kamu isi 'minggu tenang' ini dengan journey, Roy"" tebak Yudi. Roy mengangguk.
"Nanti raportmu kebakaran, tau rasa kamu!"
Roy tertawa mendengarnya. Baginya "minggu tenang" dan minggu-minggu lainnya sama saja. Belajar toh bukan berarti seminggu menjelang musim ulangan saja. Secara rutin, satu jam sehari saja kita sisihkan untuk mengulang pelajaran. Insya Allah, kita tidak akan begitu ketinggalan, deh. Ya, berada di pertengahanlah. ..
"Jam kamu berapa sih, Ka"" Roy mencolek pinggang Eka. Si centil yang cantik itu menggelinjang. Dia pasang wajah cemberut. Pura-pura tidak mengerti maksud si tengik itu. Dia membereskan buku-bukunya. Si centil itu memang paling sering digombalin Roy, si badung itu. Orang-orang badung sebetulnya dibutuhkan juga untuk keharmonisan. Kalau laut tenang terus, mana ada para pelaut yang pulang membawa cerita hebat-hebat" Atau juga para polisi yang bakal nganggur tidak ada kerjaan kalau semua orang adem-ayem saja.
"Eh, maksudku jam berapa gitu, Ka""
"Alaah, nanya jam aja mesti ke Eka! Aku juga pake jam, Roy!" pro
tes Yudi. "Ya, sori deh." Roy tertawa. "Eka, nggak jadi nanyanya. Abis ada yang sirik, sih!" Senyumnya konyol. "Jam berapa, Yud"" "Setengah lima." Yudi nyengir. Roy melenggang dan bersiul-siul.
"Daripada keluyuran, mendingan bantuin jaga tokoku, Roy!" usul Yudi. "Katanya kamu butuh duit" Kebetulan penjaga tokoku lagi mudik." Dia mengekor terus.
Roy tampak berpikir. Tawaran Yudi tadi sangat menarik. Dia memang sejak dulu ingin menambah sedikit uang jajannya selain dan honorarium karangannya.
Yudi, kawan sekelasnya ini, memang remaja yang sudah pandai membagi waktu. Pagi hari mengelola tokonya dan siang hari menuntut ilmu. Orangtuanya memberi kepercayaan penuh padanya untuk mengelola toko, sebuah Mode Centre, satu-satunya toko jeans model Cihampeulas Bandung, sehingga remaja-remaja kota debus ini sekarang tidak usah capek-capek ke Jakarta atau Bandung kalau ingin jeans model terbaru.
"Aku mau ke Malimping lihat pesta nelayan, Yud!" "Hari Rabu besok pesta nelayannya, Roy!"
"O, ya"" "Gimana tawaranku tadi"" desak Yudi. "Malam Minggu banyak cewek pada belanja, Roy!" Dia tersenyum girang. Roy menggaruk kepalanya.
Di bumi kita ini memanfaatkan liburan sekolah dengan bekerja memang masih belum lazim. Malah salah-salah dilecehkan kawan sendiri atau yang parah ketahuan pacar lantas diputus, tusss! Padahal itu sangat baik bagi kita daripada menadahkan tangan terus pada orangtua. Biasanya kita, remaja, suka banyak maunya. Jauh-jauh hari sudah punya rencana akhir tahun untuk piknik ke Bali. Nah, apa salahnya kalau kita kerja part time untuk nambah- nambah biaya"
"Oke, Yud, aku coba nanti malam."
"Siip!" "Tapi, jangan salahkan aku kalau barang-barangmu pada nggak laku!" Mereka tertawa.
*** Malam Minggu. Anak-anak badung seperti biasanya meramaikan arena ngeceng di setiap sudut kota sambil menggodai cewek-cewek yang lewat. Tempat-tempat strategis jadi showroom mereka dan trotoar atau jalanan untuk cat walk objek mereka. Kalau kalian cewek, jangan coba-coba melintas sendirian di lokasi itu. Mulut anak-anak badung tidak bakalan diam mengomentari segala yang ada pada objeknya. Mulai dari rambut sampai kaki.
Seperti, "Sepatu getuk lindri ni yee!" seseorang mengomentari serombongan cewek dengan sepatu permen. Tahu kan getuk lindri" Jenis jajanan yang diberi warna meriah.
Atau yang ini, "Ngobrol dong sama tukang becaknya!" begitu ada gadis cantik naik becak.
Si gadis mendongkol saja.
"Jungkierkeun becakna, Mang! 'Ngke ongkosna ditambahan seratus (Jungkirkan becaknya, Mang! Nanti ongkosnya ditambah seratus)!" serobot mulut lainnya.
Itulah ngeceng style kabupaten. Jangan deh disamakan dengan model LM-nya Jakarta dan Let's Go-nya Bandung. Ngeceng sambil memajang roda empat tidak lazim, masih belum pantas untuk ukuran kota kabupaten ini. Ya, paling banter roda dualah.
Walaupun ada juga sih yang kolokan ingin pamer.
Serang Plaza, salah satu sudut itu, di mana sekarang menjadi kebanggaan kota ini, memperlihatkan betapa betul pepatah lama, bahwa di mana ada terang di situlah laron-laron berkumpul. Semua manusia menyembul mengerumuni tembok benderang itu. Menawarkan sesuatu dan menguras isi kantong mereka.
Si bandel berada di salah satu bagian tembok benderang itu. Berdiri, masih kikuk menebarkan senyum semanis mungkin pada para pembeli.
Tiga orang cewek mendekatinya. Minta diambilkan celana model anu. Tidak cocok. Coba yang model itu, juga belum cocok. Nih, yang ini. Ah, kantongnya model lama. Mereka terus menyuruh Roy mengambili celana model lainnya. Masih belum ketemu.
Ketiga cewek itu saling pandang. Tersenyum lucu. Roy berusaha sabar. "Pilih yang mana, nih"" "Aduh, gimana ya"" "Maaf deh, nggak ada yang cocok sih."
Yang seorang lagi meletakkan sembarang saja celana itu sehingga jatuh. Dia tidak mengambilnya. Mereka ngeloyor dan tertawa-tawa. Mereka sepertinya memang tidak mau membeli. Dan tampaknya hanya menggodai si Roy saja.
"Jangan marah, ya." Yang paling genit tersenyum. "Hei!" Roy mulai jengkel. "Kalau nggak punya duit jangan belagu!" Dia jadi tidak sopan selaku pelayan toko.
"Heh, siapa bilang nggak punya duit"!" salah seorang dari mereka
sewot. Dia mengambil dompetnya (diikuti kedua kawannya) dan mencabut beberapa lembaran bergambar Kartini. "Kalau mau, toko ini aku beli juga bisa!" sewotnya masih saja. Lantas tersenyum sinis meninggalkan toko.
Roy meringis dan merasa serba salah.
Yudi menghampiri. "Kenapa, Roy"" bisiknya.
Si bandel itu diam saja. Ia memberesi celana-celana itu dan memasukkannya ke tempat pajangan. Huh! Ternyata jadi pelayan toko itu tidak segampang yang aku kira! batinnya.
"Aku dikerjain mereka, Yud!" katanya kesal.
Yudi tertawa kecil. "Pembeli adalah raja, Roy, begitu pepatah bilang. Kita harus melayani dan menuruti apa mau si pembeli," dia memberikan resep suksesnya. Klise, memang.
"Melayani bukan berarti jadi budak kan, Yud!" "Ah, nanti juga kamu terbiasa kok, Roy."
Lantas Roy berusaha melayani para pembeli seramah mungkin. Dengan lagak seperti salesman jempolan dia berhasil menjerat beberapa pembeli. Selagi asyik-asyiknyadia melakukan improvisasi (rupanya mencoba menjadi entertainer dan tampaknya berhasil), seperti melempar-lempar dulu barang yang hendak dibungkus, atau melakukan moonwalk setiap mengambil sesuatu, si Roy melihat dua orang gadis yang sangat dikenalnya, memilih-milih T-shirt. Duh! Jantungnya berdegup keras dan dia merasa nervous sekali.
Kedua gadis itu melihatnya.
"Hai, Roy!" Suci gembira sekali.
Lain halnya dengan Jesse, si keren, yang membuang pandang ke arah lain. Dia tampak kebingungan juga ketika si manis itu menarik lengannya. "Hai lagi." Suara Roy tersendat di kerongkongan. Suci, si manis, malah pura-pura melihat celana.
Dia seperti sengaja memberi kesempatan kepada mereka berdua untuk berbicara. "A... pa kabar, Jesse"" dia gugup mengucapkannya.
"Baik," singkat saja Jesse menjawab. Tampaknya dia masih tidak senang pada bajingan tengik ini. Bahkan dia ngeloyor tidak peduli, memilih-milih T-shirt lagi. Suci merasa tidak enak juga.
"Ayo, ayo! Buat kalian gratis deh!" Tawa Roy tidak enak kedengarannya. Dia memang berusaha melucu untuk mengusir kegelisahannya. Suci juga tertawa hambar. "Ngisi liburan, Roy""
Roy mengangguk. Anehnya dia tidak memandang pada si manis ini, hal yang tidak biasa dia lakukan. Entahlah kenapa dia jadi begitu. Sepertinya dia merasa ada ketakutan dan tidak percaya diri. Wajar saja. Dia kan seorang remaja yang sedang puber. Tapi dia buru-buru mengusir dan membunuh perasaan jelek itu. Ini tidak baik buat pertumbuhan selanjutnya. Kalau kita ingin maju, kita harus hebat! Harus mau melakukan apa saja (halal tentunya) dengan membuang perasaan malu.
"Kenapa dengan Jesse, Roy"" bisik Suci.
"Kami udahan, kok."
"Semudah itu""
"Dia yang mutusin hubungan." "Dan kamu yang memulai"" Roy tidak menjawab.
Suci menggelengkan kepalanya. "Hei, kapan nraktir aku"" si manis ini menagih
janji. Roy tertawa kecil. Dia mulai bisa menguasai emosinya. Mulai bergairah lagi. " Aku nanti ke rumah, deh. Tentunya jangan malam Minggu, kan"" pancing si bandel itu. Suci jadi tersipu-sipu.
Jesse mengusik mereka. "Sudah"" katanya kaku.
Suci tahu itu isyarat untuk meninggalkan toko ini. Apalagi lengan Jesse sudah menggandengnya. "Jangan lupa lho, Roy. Aku tunggu!" katanya lagi mengingatkan.
Roy tertawa. Matanya tadi sempat bertubrukan juga dengan si keren itu. Huh! Ternyata dia masih memusuhiku, gerutu hatinya.
Ketika pembeli agak sepi, Roy berdiri di pintu. Dia melihat betapa ramainya Serang Plaza yang dibangun dengan menghancurkan dan meratakan pasar induk kota ini. Memusnahkan kisah lama yang pernah terjadi di kota ini. Dan pasar induk ini dipindahkan ke lokasi lain untuk pelebaran kota. Untuk kemajuan memang harus begitu. Harus ada yang dikorbankan.
Tiba-tiba ada keributan. Seorang wanita gila (maaf) bernyanyi-nyanyi dan berteriak-teriak. Kadang kala dia menyerang orang-orang yang menonton dan menggangguinya. Orang-orang melengkapi tontonan gratis ini dengan musik mulutnya. Suasana malam semakin meriah ketika wanita gila itu mengejar seseorang. Lantas berhenti. Tertawa. Mengejar seseorang yang lain lagi. Berhenti. Tertawa... Begitu terus berulang-ulang.
Puncaknya, wanita gila itu menyingkapkan roknya!
Orang-orang riuh menyuiti
. Roy teriris melihat tontonan yang memprihatinkan itu. Manusia yang sudah kalah, tersisih dalam persaingan hidup yang serba keras ini. Huh! Dia membuang kesesakannya terhadap hidup itu sendiri.
Tampak menyeruak di kerumunan, dua orang polisi sambil mengacung-acungkan pentungan. Wanita gila itu menghindar dan takut (aneh juga) kepada aparat negara ini. Dia terbirit-birit dan menghilang.
Orang-orang tertawa puas dengan tontonan gratis tadi. Roy tersenyum kecut.
Malam merambat terus dan langit rata kelabu. Laron-laron sudah kelelahan dan beringsut menuju sarangnya. Lalu tembok benderang pun mulai menyuram. "Aku pulang duluan, Yud!"
"Besok pagi, pukul sepuluh!" Yudi mengingatkan dan tersenyum lebar. Malam ini dia boleh bergembira karena barangnya banyak laku terjual.
Roy memilih jalan kaki menyusuri seluruh pertokoan. Banyak yang terekam di benaknya tentang kehidupan malam orang-orang kebanyakan. Dilihatnya emang-emang becak yang asyik dengan lagu malam sambil membanting-banting kartu gaple. Mungkin mereka mempertaruhkan uang hasil genjotan mereka seharian tadi. Ah! Atau orang-orang yang asyik mimpi tentang kasur empuk dan makanan lezat-lezat di sepanjang emperan toko. Ya, semuanya terekam jelas di benak nya. Kita memang jangan keseringan melihat ke atas saja, karena nanti kesandung kan bahaya. Karenanya cobalah untuk sering-sering melihat ke bawah. Itu supaya kita bisa mengoreksi dan merasa bersyukur atas karunia-Nya.
Roy berjalan terus. Sesekali dia menoleh, karena sedari tadi dia merasa lampu mobil yang menyorot itu mengikutinya terus. Kemudian mobil itu sudah ada di sampingnya. Roy agak ke pinggir. Samar-samar dia melihat ada tiga pasang remaja sedang mengolok-oloknya.
Kaleng-kaleng bekas minuman sengaja dilemparkanke arahnya. Bunyinya nyaring dan menyakitkan. Bahkan puntung rokok yang baranya masih menyala menyerempet tubuhnya. Dia meloncat menghindar dan berhenti. Mobil itu juga berhenti. Suara tawa yang keras meledak di mobil itu.
"Heh, pelayan!" Kepala gadis menyembul di jendela belakang. Dia tertawa mengejek. "Laku banyak tadi""
Roy meringis. Ternyata yang tadi mengerjainya di toko. Yang sewot ketika disindir tidak punya uang. Si bandel itu melangkah lagi. Dia berusaha tidak mempedulikannya. Dia menelan saja cemoohan-cemoohan mereka. Baginya hal semacam ini sudah terbiasa. Sudah sering dialaminya sejak kecil. Sebagai orang kebanyakan dia merasa harus dan sudah kebal dengan cemoohan orang-orang yang kelebihan uang.
Tapi mobil itu terus menjajarinya. Kini kacang-kacang berhamburan ke tubuhnya. Si bandel itu masih saja meredam amarahnya yang mulai membentur-bentur kepalanya. Ah! Jangan, Roy!
"Heh, Pelayan! Bersihkan tuh jalanan!"
"Berapa sih upah seharinya" Cukup nggak buat belanja beras""
"Ceritanya jadi anak teladan ni yee!"
Roy mengatupkan rahangnya. Aduh, Roy, sungguh jangan! Telan saja, telan. Nikmatilah cemoohan mereka. Nikmatilah pergulatan baik-buruk ini. Nikmatilah penderitaan batin ini. Nikmatilah, Roy! Ya, nikmati!
Si bandel itu terus berjalan. Dia membiarkan saja segala macam benda berhamburan ke tubuhnya. Dia juga mendengarkan saja gelak tawa dari dalam mobil itu. Dia biarkan semuanya sampai bosan sendiri.
Tidak apalah, Roy. VIII. PESTA NELAYAN Pernah aku dengar suara terima kasih laut atas merah langit dalam keramahannya menyapa getar haruku Dan Kau kuhampiri setelah aku gagal mengunjungi yang lain Duh.
-Dang Suganda MATAHARI persis menyelinap ketika si Roy berdesakan turun dari bis. Dia menarik tas ranselnya yang terjepit di antara tubuh orang-orang. Huh! Dia membuang napasnya dengan lega, karena berhasil keluar dari impitan orang. Dia menuju ke sebuah tempat yang agak lapang untuk menghirup udara segar. Beberapa kali dia bersenggolan dan menepi memberi jalan. Dia berhasil mencapai gundukan yang agak tinggi itu dan duduk menyelonjorkan kakinya.
Bau air laut terbawa angin sampai ke hidungnya. Dan ombak selatan yang ganas berdebur di dadanya. Sejauh mata memandang hanya manusia yang tumpah-ruah, bermunculan dari liang-liang persembunyian. Semuanya memakai busana terbaik yang mungkin baru mereka beli di
tukang obral yang sengaja datang dari kota.
Senja pun meredup. Lampu-lampu mulai menyala persis kunang-kunang saja.
Roy memesan es sirop dan meminumnya sambil tetap duduk di situ, memandangi orang-orang yang bergerak ke segala arah. Tapi ada sebuah arus manusia yang deras ke arah barat, menyeberangi sebuah jembatan yang membentang bagus di muara sungai Binuangeun, Malimping. (Kalian pasti tidak akan ada minat untuk melihat letak geografisnya di peta. Tidak apa. Kampung ini hanya sebuah pelabuhan kecil tempat pelelangan ikan.) Si bandel pun lantas mengikuti arus. "Ada apa, sih"" sembarangan saja dia bicara.
"Layar tancep!" Seorang gadis nyeletuk. Dia berbisik-bisik dengan kelompoknya. Mereka gadis-gadis kampung yang cantik dan mulai mengenal arus konsumtif. Terlihat dari cara berbusana mereka dan tingkah laku yang sudah bukan milik orang kampung lagi.
Roy tersenyum saja merasakan perubahan ini. Dia berdiri berpegangan pada pagar jembatan. Orang-orang pada berjejer melihat ke sungai, ke perahu-perahu yang bergoyang gemulai, yang sedang dihiasi untuk pawai mengiringi sebuah perahu berisikan kepala kerbau dan beragam sesajen untuk "sedekah laut" pada penunggunya, Nyi Roro Kidul, esok hari. Sesekali dia menggombali juga gadis-gadis yang melintas genit di depannya. Ya, sekadar intermesolah. Kalian juga pasti begitu.
"Filmnya apa, sih"" Roy sudah menjajari gadis itu.
"Satria Bergitar," tanpa malu-malu dia menyebut satu judul film raja dangdut
kita. Tiba-tiba ada sekelompok pemuda yang jelas-jelas sengaja menyenggolnya. Mereka menatapnya tidak senang. Lantas tertawa keras. Mulutnya bau alkohol. Roy memilih mengalah saja. Tapi, dia melihat kelompok gadis tadi sudah lari menghindar. Roy hendak mengejarnya, tapi dihalang-halangi oleh mereka. Lengannya dipegang oleh salah seorang yang bertampang kasar.
"Kamu anak mana"" Dia melecehkan dan tertawa.
Roy melepaskan pegangannya dan menghindar. Terus terang saja, konyol jadinya kalau koboi-koboi pelabuhan ini diladeni. Dia tidak peduli ketika tawa mereka semakin keras dan ditujukan padanya.
Roy masuk ke sebuah warung kagetan yang bagai jamur muncul memanfaatkan lahan kampung. Dia melihat jajanan khas pelaut dipajang semenarik mungkin. Minuman beralkohol! Tampaknya kebiasaan pelaut ini menular juga kepada pemuda kampungnya, yang malam ini berpesta-pora dan berkubang dalam "air api" itu.
Sambil makan dia memperhatikan sekeliling. Di sebelahnya para pemuda sedang menggodai penjaga warung yang manis. Botol-botol dan gelas mereka sudah pada kosong. Wajah mereka khas pelabuhan, keras. Dan mata mereka, merah dan liar.
"Sendirian saja"" Seseorang duduk di sebelahnya. Roy mengangguk, memindahkan tas ranselnya.
Orang itu mengambil bir kaleng. Membuka hati-hati dan meminumnya dengan semangat.
Punggung tangannya menyeka mulutnya. Tubuhnya tegap. Kulitnya sawo matang. Rambutnya basah baru dikeramas. Sesekali dia mencoleki gadis-gadis yang lewat di dekatnya. Orang ini tampaknya sableng juga dan yang jelas bukan asli kampung ini.
"Baru datang"" Dia membuka sekaleng lagi.
Roy mengangguk saja. "Namaku Soni." Dia membuang kalengnya. Mengambil lagi. "Roy," si bandel itu memperkenalkan diri.
"Aku lihat tadi kamu ribut sama koboi-koboi sini." Soni merogoh saku jaket hijaunya. Mencomot sebatang rokok.
"Cuma salah paham." Roy menyalakan Zipponya. "Mereka lagi mabok!"
"Hati-hati deh kalau urusan cewek di sini. Pemuda-pemudanya nggak bakalan senang kalau ada orang lain yang menggodai cewek-cewek kampung ini. Boleh-boleh saja kalau kamu kepengen menggoda. Tapi risikonya, krek!" Soni melingkarkan jari-jari tangannya ke sekeliling lehernya. Lidahnya terjulur. Dan dia tertawa.
Roy meringis. "Mulanya memang begitu. Tapi kalau kita sudah saling mengenal sih, bukan masalah lagi," ceritanya lagi.
Lantas mereka saling memperkenalkan keberadaannya. Soni termasuk dari sekian puluh ribu siswa SLTA korban Sipenmaru. Sudah setahun ini dia jadi penganggur. Mau kuliah di swasta, wadauw, biayanya! Rencananya tahun depan mau coba-coba lagi ikut UMPT, sekadar melampiaskan dendamnya. Makanya dia keluyuran terus mengisi hari-hariny
a. Dia asli Sukabumi. Kakaknya kerja di kampung ini, di Polsek. Sudah sebulan dia tinggal di sini.
"Hebat ya para nelayan ini, Roy. Setahun sekali, mereka menghambur-hamburkan uangnya hanya untuk sebuah legenda, Nyi Roro Kidul itu.
"Belum yang lainnya. Kamu lihat itu, layar tancep, pertandingan sepakbola 'Kerbau Cup', volley ball, dan catur. Semua biayanya terkumpul dari para nelayan.
"Ya, saban tahun para nelayan di pesisir selatan membuang-buang uangnya ke laut, sementara nelayan-nelayan di pesisir lain bergelut melawan para tengkulak dan kapal-kapal pencuri dari negeri seberang," Soni berpidato dengan semangat.
"Ini tradisi turun-temurun, Son," si Roy netral saja. "Aku dengar, sudah tiga tahun belakangan ini, para nelayan tidak lagi melakukan 'sedekah laut'. Ternyata banyak para nelayan yang hilang dimakan laut. Menurut kepercayaan mereka, Nyi Roro Kidul marah, karena mereka tidak pemah melakukan tradisi tersebut."
Soni mengangkat bahu. Dia berdiri dan tertawa merentangkan tangannya, menghalang-halangi dua orang gadis yang cantik.
"Aha! Ini dia 'kembang' kita, Roy!" seru Soni konyol.
Kedua gadis itu tertawa. "Nonton layar tancep, yuk!" ajak Nining.
Soni menarik lengan Roy dan memperkenalkannya. Roy biasa- biasa saja. Tapi, betapa gadis-gadis desa sekarang sudah tidak lugu lagi. Modernisasi memang deras sekati membombardir mereka-mereka yang di pedesaan.
Lantas mereka jalan berpasangan. Roy dengan Ade agak tertinggal di belakang. Keduanya sating bertukar informasi. Dari pembicaraan-pembicaraan mereka, Roy mengambil kesimpulan, bahwa Ade seorang wanita moderat. Dia siswi sebuah SLTA di Rangkas Bitung. Menurut Ade, wanita desa tidak mesti harus menunggu lamaran datang lantas mengurusi dapur saja. Wanita desa pun bisa sama dengan wanita-wanita lainnya yang "kebetulan" lahir dan tinggal di kota. Dan sah saja kalau lantas dia mengagumi Kartini dan Tjoet Nyak Dien.
"Cowok-cowok kota macam kamu, Roy, biasanya cuma menilai gadis kampung itu dari segi fisiknya saja. Begitu kan, Roy""
Roy tertawa saja mendengamya. Dia lantas berubah hati-hati ketika dilihatnya sekelompok pemuda, koboi-koboi pelabuhan, melintang di depannya. Mereka menghalangi dan salah seorang betul-betul menyenggolnya! Cowok-cowokmu, De, cemburu sosialnya tinggi! maki Roy dalam hati.
Ade menarik lengan Roy, mengajaknya untuk menghindar. Tapi, si Roy sudah kepalang tanggung menentang mereka. Dia balas menatap lelaki itu. Lalu menangkis pukulan pertama yang tanpa kompromi itu. Mau tidak mau, dia melontarkan tinjunya juga. Mengena di kening.
Orang itu dengan geram meraba keningnya. "Jago berkelahi rupanya!" serunya melancarkan jurus-jurus bela diri yang sangat asing.
Roy susah-payah menghindar. Gerakannya kurang bebas, karena tempat itu deras dengan arus manusia. Tiba-tiba dia mengeluh panjang. Orang itu berhasil menyodok perut Roy dengan kakinya. Orang itu tertawa dan bermaksud menyerang
lagi. "Hei, tunggu, tunggu!" teriak Soni mencegat nya. "Dia saudaraku, Rip!" katanya memperingatkan.
Syarip memandangnya tidak senang. Dia menyuruh kawan-kawannya untuk berlalu meninggalkan mereka. Suara tawa mereka masih saja kedengaraan. "Nekat kamu, Roy!"
"Kayaknya dia takut sama kamu, Son." Roy masih memegangi perutnya. "Bukan sama aku, tapi kakakku!" Dia tertawa. Roy menguap. "Ke rumahku saja, Roy!" Soni rupanya mengerti juga. Si bandel itu mengangguk dan hatinya bersorak girang.
*** Sejak pagi suasana kecamatan yang persis di muara sungai Binuangeun ini sudah ramai oleh manusia. Bermacam-macam kepentingan berserakan di sini: Setiap saat orang-orang dimuntahkan ke luar lewat bis-bis atau menyembul begitu saja dari sudut-sudut kampung. Tukang-tukang ojek berseliweran mengangkut penumpangnya. Belum lagi tukang obral yang merayu pembeli dengan "mulut manis"-nya. Semuanya ikut memeriahkan "sedekah nelayan" ini: Sebuah tradisi tahunan para nelayan yang menggantungkan hidupnya di Laut Selatan, sebagai rasa terima kasih mereka kepada penunggu laut.
Manusia semakin meluber. Kampung ini seperti tidak mampu lagi menampung mereka. Semuanya memenuhi pinggiran muara dan bibir pantai. Wa
ktu bergerak terus. Perahu-perahu motor mulai melakukan pemanasan, bergerak kian kemari. Seperti ngeceng saja, membiarkan dirinya dinilai oleh orang-orang, apakah perahu mereka sudah dihias dengan cantik atau tidak.
Tidak berapa lama suara mesin motor menderu-deru dan orang-orang berisik sekali. Rupanya acara puncak sebentar lagi berlangsung. Mula-mula beberapa perahu motor yang agak besar berputar-putar di muka, seperti memberi salam kepada para penonton, Lantas berpuluh-puluh perahu mengekor di belakangnya.
Air laut menyibak dan beriak-riak ke bibir pantai.
Orang-orang berteriak. Entah apa yang diteriakkannya.
"Tuh, tuh, Roy! Kepala kerbaunya di perahu bercat merah, yangdi tengah itu!" Soni menunjuk-nunjuk dengan semangat.
Roy melihat di perahu merah itu, beberapa orang mengusung perahu-perahuan. Katanya, di dalam perahu-perahuan itulah tersimpan kepala kerbau, yang nanti akan ditenggelamkan di tengah laut bersama sesajen-sesajen lainnya. Perahu-perahu yang mungkin mencapai ratusan itu semakin bergerak dan mulai keluar dari mulut muara. Laut Selatan yang ganas menyongsong mereka.
Suasana mulai mereda. Orang-orang pun membuka perbekalannya.
"Aku ke pasar dulu ya, Son. Beli minuman!"
"Temani dia, Son," kata Ade khawatir.
Tapi Roy sudah keburu lari. Tas ransel di punggungnya melompat-lompat. "Aku khawatir lho, Son. Koboi-koboi itu." Ade masih memandangi punggung Roy. Si bandel itu sudah lenyap di kerumunan orang. "Susul sana!" Nining mendorongnya. "Tunggu di sini, ya!" Soni mengejarnya.
Kekhawatiran gadis-gadis itu beralasan sekali, karena koboi-koboi pelabuhan itu memang mengincarnya. Rupanya pemimpinnya masih penasaran ketika tinju si Roy mendarat di keningnya.
Soni berdesak-desakan melawan arus. Kepalanya dijulurkan lebih tinggi lagi agar bisa lebih jauh melihat ke muka. Tangannya mulai sikut sini sikut sana kalau dia merasa jalannya terhambat.
Hatinya berdetak keras ketika di kejauhan tampak orang-orang sangat ribut sekali. Apalagi jeritan-jeritan yang namanya perempuan, semakin membuat gelisah hatinya.
"Minggir, minggir!" Soni seradak-seruduk. Dia merasa kawan barunya itu dalam bahaya. Syarip memang brengsek! makinya. Kalau terjadi apa-apa, tahu rasa hukuman kakakku nanti! Dia memaki lagi ketika ingat bahwa Syarip hanya takut kepada kakaknya yang jadi polisi di sini.
"Aya naonnya (Ada apa, ya")"" tanyanya sembarangan saja. "Aya anu gelut (Ada yang berkelahi)!"
"Saurang dirempug kuopatan (satu orang dikeroyok oleh empat orang)!"
Soni kalang-kabut jadinya. Itu pasti si Syarip sableng! Tapi, ketika dia sampai di lokasi perkelahian, keributan itul sudah berpindah jauh di depannya. Rupanya si Roy menghindar dan dikejar-kejar!
Soni pun tanpa pikir panjang melabrak orang-orang. Dia tidak peduli orang-orang mengumpat padanya. Entah kenapa dia mau melakukan ini,
Yang jelas, dia sangat terkesan sekali oleh kawan barunya ini, yang menurut dugaannya, sama memiliki hobi petualang.
"Kasih tau kakakku, sana!" dia menyuruh seseorang yang dikenalnya. "Cepet!" hardiknya.
Si Roy sendiri sudah terengah-engah. Dia meraba bibirnya yang berdarah kena pukul si Syarip tadi. Dia pun sempat melepaskan tinjunya tadi. Kalau saja dia tidak lari, wah, konyol namanya. Percuma. Satu lawan empat!
Ada seorang yang berjarak beberapa langkah dari Roy. Tanpa pikir panjang, si Roy menyongsongnya dengan pukulan telak di wajahnya. Orang itu terjerembap, tidak menyangka akan diserang. Roy tersenyum kecil dan menyelinap lagi. Dia berkelit di antara orang-orang sambil merunduk. Lalu membelok ke perkampungan.
Syarip menggerutu ketika melihat kawannya meringis kesakitan, memegangi wajahnya yang bengap. "Ke mana orang itu"!" bentaknya gusar.
"Teuing atuh (Nggak tau, tuh)," jawab orang itu kesal.
Syarip tampak murka sekali. Dia menjambak rambut cecunguknya. "Brengsek!" umpatnya. Matanya disebarkan ke seluruh penjuru angin. Kedua kawannya menyusul. "Lolos, Rip""
Syarip semakin mendongkol. "Goblok!" dia tambah uring-uringan.
Soni pun menuju mereka. Keringat bergulir di keningnya. Napasnya tersengal-sengal. "Kamu apakan dia, Rip"" amarahnya meluap.
"Bukan urusan kamu
Balada Si Roy 04 Bad Days Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
, Son!" Syarip balas menghardik. Dia berjalan diikuti ketiga cecunguknya. Mereka mencibir sinis.
Seseorang memberi tanda. Soni langsung menyelinap. Berlari di gang-gang pasar. Pasti ke arah jalan raya! batinnya girang. Dia bertanya kepada seseorang dan orang itu menunjuk ke utara, ke arah jalan raya! Wajahnya semakin girang.
Roy mengatur napasnya. Dia bersorak begitu melihat jalan raya. Dia memepet ke dinding sebuah rumah. Dia memutuskan untuk bersembunyi, menunggu bis lewat di sini saja. Pasar lumayan jauh juga.
Pulang ya, Roy! Dia melihat sebuah bis merayap pelan. Keneknya berteriak-teriak menyuruh calon penumpang untuk segera naik. Si bandel hampir-hampir saja kepergok ketika hendak lari ke bis itu. Koboi-koboi pelabuhan itu sedang nangkring di mulut jembatan dan persis melihat ke arah bis. Deg! Jantungnya berdetak keras. Dia harus menunggu bis itu persis lewat di depannya. Lalu menyetop dan berlari menyeberang! Semuanya harus serba cepat! Beres sudah!
Dan bis itu lewat dengan kecepatan sedang.
"Stop, stop!" teriak Roy berlari menyeberang.
Bis itu melambatkan lajunya.
Tiba-tiba, "Roy, Roy!" seseorang memanggilnya.
Roy kenal suara tadi. Dia menoleh. Tampak Soni melambaikan tangannya. Malang bagi Roy, ketika menoleh tadi, kakinya tersandung jalan berlubang! Dia tersungkur terbawa berat tubuhnya! Semua orang yang waktu itu melihatnya pasti menahan napas, karena persis ketika Roy terjatuh tadi, sebuah truk dengan kecepatan lumayan dari arah barat menuju ke arahnya! Ciiiiit! Bunyi ban bergesek dengan aspal. Sang sopir dengan tenang memindahkan perseneling. Truk itu hanya beberapa senti saja hampir menciumnya. Semua orang bemapas lega.
Huh! Roy membuang napas. Dia bangkit bertumpu pada bemper truk. "Remnya pakem, Pak!" seru Roy mengacungkan ibu jarinya.
Sopir hanya menggelengkan kepalanya.
"Lari, Roy!" Soni mengingatkan koboi-koboi yang sedang berlari ke arahnya.
Roy langsung tancap gas menguber bis yang sengaja jalan pelan-pelan. Dia melambaikan tangannya kepada Soni. "Makasih, Kawan! Salam sama Ade, ya!" teriaknya konyol.
Soni mengepalkan tinjunya.
Roy dengan sigap melompat, meraih pegangan pintu. Dia pun mengepalkan tinjunya, tapi ke arah koboi-koboi yang kelihatan mendongkol. "Oiiiii!" teriaknya meledek.
Bis pun melaju. Mengepulkan asap ke wajah mereka.
Roy merasa lega. Dia mengatur napasnya. Mencari-cari tempat duduk. Ada bangku kosong agak di tengah. Di sebelahnya duduk seorang gadis. Cantik alamiah. "Mau ke mana"" Roy mengusiknya. Ah, lagi-lagi wanita!
IX. HAPPY NEW YEAR hujan berkeliaran di langit tak terbatas pandang
kemudian dicurahkan ke bumi gersang
menyiram benih tumbuh jadi padi menguning
pohonan pun merindang ikan-ikan berenangan dan hujan terus berkeliaran
di langit tak batas pandang
-Toto ST Radik BUMI sudah di ujung tahun lagi. Orang-orang bergerak merencanakan apa-apa yang mesti diperbaiki untuk tahun yang baru. Sebetulnya hari-hari sama saja, tidak ada bedanya. Senin kemarin, sekarang, dan selanjutnya, atau Selasa, Rabu... ya tetap saja begitu. Hanya suasananya saja yang berbeda. Dan biasanya, mungkin ini sudah tradisi turun-temurun, di mana setiap orang mempersiapkan sebuah party atau apalah saja namanya.
Yang punya duit dan berkompeten dengan lingkungannya, orang-orang yang duitnya pas-pasan memenuhi pusat perbelanjaan, agar bisa tampak serba baru dan serba lain. Mungkin kalian juga begitu!
Sedangkan anak-anak badung yang baru terlepas dari seminggu yang melelahkan dengan soal soal rumit di sekolah, cukup hura-hura di jalanan saja!
Si bandel sendiri maslh melengkapkan part time-nya yang tersisa di Mode Centre, melayani orang-orang yang kelebihan duit hanya untuk mengikuti selera konsumtif mereka. Padahal baju-baju mereka, yang pasti masih bagus-bagus, tentu menumpuk di lemarinya, dan kalau saja disedekahkan ke fakir miskin, oh, alangkah mulianya!
"Gimana kira-kira nilai raportmu, Roy"" tegur Yudi di balik meja manajernya.
Roy tersenyum mengangkat bahu. "Asal jangan kebakaran ajalah!" katanya tertawa.
"Liburan ini journey lagi""
"He-eh!" sambil memberesi tumpukan-tumpukan celana jeans. "Mumpung lagi
bebas, Yud. Liburnya kan cuma seminggu. Mana cukup." "Rencananya ke mana""
"Mungkin ke luar Jawa. Eh, malam ini yang terakhir lho, Yud. Jam delapan aku ada perlu." Roy tersenyum. "Dan jangan lupa honornya." Dia tertawa.
"Ke mana, sih" Mau apel" Kayak punya pacar aja!" Yudi tertawa ngakak.
"Approach, dong!" Roy tidak mau kalah. "Lagian si Iwin baru pulang. Rencananya kami mau ngadain pesta Tahun Baru. Itung-itung syukuran. Ikut yuk,
Yud!" "Gimana nanti, deh."
Orang-orang semakin mengalir. Memilih-milih dan membikin pusing para pelayan, karena suka ada-ada saja pembeli yang bikin repot inilah-itulah. Tapi itu wajar. Dan bagi seorang pelayan toko justru itulah seninya. Kenikmatannya melayani para pembeli. Apalagi kalau sudah bisa menaklukkannya untuk jadi pembeli sebuah produk.
Si Roy juga sudah bisa menguasai emosinya. Menghayati peran sebagai seorang pelayan toko; bagaimana cara terbaik untuk melayani para pembeli. Karena laku tidaknya barang jualan, ya terletak dari ramah tidaknya pelayan toko. Kalian pasti sebel kan kalau dilayani pelayan toko dengan muka mengkerut.
Dedi, adik Yudi yang sama konyolnya dengan si Roy, berbisik, "Ada cewek cakep, Roy." Matanya jelalatan. Dua dara manis yang modis itu memilih-milih jeans tambalan yang lagi ngetrend. Tapi yang rambutnya ala Farah Fawcet mencuri-curi pandang ke si bandel itu.
"Halo," sapa Roy. "Selamat datang di... " Roy tertawa. "Di mana, ya"" Konyolnya kumat.
Dua dara manis itu tertawa.
"Kamu mau cari yang gratisan, ya"" ledek Roy.
"Enak aja!" Mereka memberengut manja.
"Eh, kalau beli celana dua, ada hadiahnya, lho," Dedi nimbrung.
"Apaan, tuh"" Yang rambutnya ada buntutnya tertarik.
"Gambar tempel!" Dedi tertawa.
"Wuhhh!" Mereka keki.
Akhirnya mereka jadi membeli. Lumayan, batin Roy. Dia melihat Yudi mengacungkan ibu jarinya. Si bandel itu hanya mesem-mesem saja.
Orang-orang yang kelebihan duitnya tambah mengalir. Penuh sesak. Simpang-siur. Toko ini memang tidak begitu besar. Kalau dalam situasi begini, membingungkan juga mana yang sekadar iseng ngerjain para pelayan toko atau yang betul-betul hendak membeli. Sebab biasanya dalam kesimpangsiuran begini, suka ada saja yang memancing di air keruh. Dan itu betul-betul terjadi!
"Maling!" seseorang berteriak. Entah siapa.
Anak-anak badung yang sedang ngeceng di depan toko, anak-anak badung seperti umumnya remaja, yang bisa membedakan mana tindakan kriminal dan tidak, menyerbu ke dalam. Melayangkan tinjunya kepada dua orang maling amatiran yang memasukkan beberapa produk ke tasnya. Kegaduhan terjadi. Mating amatiran itu babak-belur; harus mau menerima risikonya dari ulahnya yang konyol.
Ini memang hukum rimba. Kadang kala dalam situasi begini manusia seperti kembati ke peradaban silam. Tidak ada yang sempat melerai. Semua orang nekad bisa berbuat apa-apa tindakan main hakim dari anak-anak badung itu. Bagi mereka, para berandalan sejati, yang punya kadar intelektual standar (apalagi di atas standar), di mana nongkrong itu hanya sekadar menyegarkan mata dengan melihat gadis-gadis manis, biasanya sangat menabukan hal-hal yang bersifat kriminal.
Yudi dan Dedi, kakak-beradik itu, mau menyerbu juga. Bagaimanapun pertanggungjawaban mereka kepada orangtua mau tidak mau memaksa mereka bertindak begitu. Tapi Roy buru-buru menghalaunya.
"Udah, udah!" Roy berusaha menghalang-halangi mereka. "Apa kalian masih tega" Lihat tuh wajahnya udah kayak ayam disembelih aja!"
Akhirnya dua maling amatiran itu diamankan. Kasihan. Mereka adalah jenis manusia yang hanya berpikir praktis bagaimana caranya agar mudah mendapatkan uang. Tapi, mungkin juga mereka adalah korban arus konsumtif yang bagi mereka sangat berat untuk hanyut ke dalamnya.
"Itu lebih dari cukup untuk menghukumnya. Bahkan kelewatan!" Roy tidak tega juga melihat wajah maling amatiran itu.
"Biar dia tahu rasa!" Dedi tampaknya masih keki.
Roy melirik jam dinding. "Aku pergi sekarang, Yud!"
"Tunggu, Roy!" Yudi berlari ke mejanya.
"Alah, nggak usah repot-repot, sih!" Roy tertawa meledek.
"Kucing buduk, lu!" Yudi tertawa juga. Dia membawa sebuah bungkusan. "Nih! Jeans kebanggaan kamu!" Bungku
san itu dilemparkannya. "Ini hadiah, Roy. Celana kesukaanku. Mau, kan""
Roy menangkapnya. "Thanks!"
Lalu Yudi menyelipkan amplop. "Honor, lu! Kerjamu membawa berkah!" "Aku... " dia risi juga. "Nggak seimbang dengan jam kerjaku, Yud"" Roy bingung juga.
"Udah pergi, sana!" Yudi mendorongnya. "Cewekmu tuh nungguin!" "Kucing buduk juga, lu!" Roy meringis. "Thanks, ya!
*** Kerinduan itu tiba-tiba menjebolnya begitu saja. Tanpa kompromi. Dan itu tidak dimengertinya. Ah, lagi-lagi wanita. Dia memang pemuja wanita. Itu diakuinya. Tapi bukan berarti dia punya cinta banyak. Cintanya, seperti kalian juga, tentunya hanya satu. Dia baru mengenal cinta sebatas antara anak dan orangtua saja. Mama dan almarhum papanya. Pernah memang, sekali, dia hampir memberikan cintanya pada seorang gadis, Dewi Venus (entah di mana dia sekarang). Walaupun itu tanpa disadari dan tidak diakuinya.
Tapi alam keburu mengetuk palunya. Menjatuhkan vonis padanya untuk menggelinding lagi tanpa "cinta", yang kata orang-orang itu agung. Menggelinding lagi tanpa apa-apa.
Sekarang rindu pada siapa sih, Roy"
Malam ini dia sudah berdiri di sebuah rumah besar. Rumah yang sejuk asri ditumbuhi pohon flamboyan. Dia membaca nama yang tertempel di tembok dan di depan nama itu tertulis huruf "H" besar. Pertanda si empunya nama sudah pergi menunaikan rukun islam yang kelima.
Ning-nong, begitu bunyi bel ketika dipencet. Tidak lama terdengar pintu dibuka. Menyembul seraut manis tingkatan akhir SLTP.
"Cari siapa"" Ramah sekali tuan rumah ini. "Suci, ada"" Roy tersenyum. Hohoho, si bandel itu rindu pada Suci rupanya.
Si manis yang pemah mentraktir dan menghibur keruwetannya dengan cerita-cerita lucu. Roy, Roy, Roy! Adik suci itu berlari kecil ke dalam. Meneruskan permainan karambolnya. Roy melihat Suci sedang menembakkan biji karambolnya.
"Masuk, Roy!" serunya gembira. "Tanggung sebentar, nih!" Dia menembakkan bijinya. Wah, meleset. Dia kesal juga, karena adik lelakinya yang bungsu meledeknya tidak mahir. Suci mencubit lengan adik laki satu-satunya. Mereka memang cuma tiga bersaudara. Keluarga kecil, tapi kelebihan satu.
"Asallammualaikum," salam Roy ketika melihat ibu Suci hadir di situ, sedang asyik nonton serial Oshin. Wanita itu membalas dan tersenyum bijaksana.
Roy duduk dan bersikap sopan sekali. Padahal dia orang yang terlahir dari peradaban silam kalau bertamu ke rumah seorang gadis. Barbar. Dan sekarang dia harus bersikap tidak seperti biasanya. Siksaan memang. Tapi itu harus dilakukannya, karena situasi menuntutnya begitu. Kalian juga pasti pernah mengalami, kan" Tidak apa, kok. Kita harus berani mencoba sesuatu yang ba ru, karena dengan begitu kita menambah isi gelas kita lagi. Sampai penuh dan meluber pun tidak apa.
Suci sudah duduk. Tersenyum simpul sambil memeluk bantal.
"Aku mau nepatin janji nih. Nraktir kamu," bisik Roy.
Si manis itu tersenyum kecil. "Bilang sama Mamah, ya," suruhnya.
"Bilangnya, gimana"" Roy kikuk juga.
"Ya, bilang aja. Minta izin dulu gitu." Si manis itu lagi-lagi tersenyum. Dia seperti menunggu apakah Roy berani atau tidak untuk minta izin. Semacam prosedur juga, ya. Ya, harus dong. Orangtua mana sih, yang nggak khawatir melihat anak gadisnya bepergian dengan lelaki" Makanya kalian lelaki, kalau hendak bepergian dengan seorang gadis, minta izinlah dulu pada orangtuanya. Baik-baiklah. Insya Allah, mereka akan mengizinkannya dengan ikhlas.
"Bu...," Roy berdiri kikuk.
"Bilangnya Mamah saja," Suci meralat.
Roy tambah kikuk sambil melotot kesal ke arah Suci. Wanita itu hanya tersenyum saja melihat kelakuan anak gadis pertamanya.
"Mamah...," Roy berhenti lagi. Meminta pertimbangan pada Suci. Harus ngomong apa, ya" batinnya. Lantas, "Boleh pinjam Suci sebentar, Mah"" serba salah dia.
"Emangnya Suci barang, bisa dipinjem-pinjem." Suci masih saja tertawa dan mempermainkan. "Tunggu, ya." Dia beranjak. Paling-paling mau ganti busana. Begitulah wanita, yang kadang kala suka tidak yakin dengan penampilannya.
Tidak lama Suci muncul. Sekarang keren memang. Kulot hitam, T-shirt turtle, dikombinasikan blazer bergaris-garis. Tidak ber-make up. Tapi itu tidak
mengurangi kemanisannya. Sebaiknya memang begitu. Kita harus yakin dengan apa-apa yang diberikan Tuhan pada kita, karena Tuhan tidak pernah memberikan sesuatu yang jelek kepada umatnya. Justru kalau kita mengada-ada, yang asli dari kita biasanya jadi sirna. Lumer. Percayalah itu.
"Permisi, Mah."
"Suci pergi, Mah."
"Jangan terlalu malam, ya."
"Bawa oleh-oleh, ya!" Dede nyeletuk.
"Silver Queen!" Rembang, yang bungsu, ikut nyeletuk.
Roy tertawa. Tidak usahlah diceritakan ketika mereka jajan di sebuah tempat yang memang asyik untuk berdua-duaan. Nanti kalian iri mendengarnya. Yang jelas, malam itu mereka bergembira. Romantis. Sampai-sampai pasangan-pasangan di meja lain melirik iri.
*** "Payah! Kamu tuh hobinya ngaret terus!" Toni menggerutu. "Udah pada ngumpul semuanya, Roy."
Roy nyengir. Dia merangkul pundak sobatnya. Mereka menuju halaman belakang. Di gubuk di tengah kolam sudah berkumpul sobat-sobatnya: Iwin, Edi, Mumu, dan si manja Novi.
"Roy!" Edi, mantan OSIS ketika di sekolah negeri menyambutnya. "Apa kabar, Petualang""
Mereka berjabatan. "Kamu jarang ke rumah, Di," kata Roy. "Aku mesti banyak belajar, Roy. Tahun depan kan aku ujian." Edi memandangnya.
"Kamu agak kurusan sekarang, Roy." Roy cuma tersenyum.
"Heh, kami ini kalian anggap patung, ya!" Novi memprotes.
Roy tertawa. Dia baru sadar kalau sobat-sobatnya sedang berkumpul di sini. "Katanya pesta ini dilarang buat cewek"" Roy melirik ke Novi, yang cemberut saja.
"Gimana, Win, udah mendingan"' Roy duduk di sebelahnya. Memperhatikan telinga kirinya yang masih dibalut perban. Lantas katanya, "Makan, gimana" Udah boleh nasi""
Iwin menggeleng. "Ma..sih bubur saring," bicaranya sudah agak mendingan. Wajahnya pun cerah dan bersinar. Sudah tidak ada tanda-tanda keputusasaan. Yang ada malah gelora hidup.
"Aku ma..sih tetep... yang du..lu, Roy," tambahnya lagi. "Ya... tidak, secara... fi..sik, memang." "Aku percaya itu, Win." Roy tersenyum. "Lantas, kita ngapain sekarang" Novi punya ide"" "Aku sih kepengen sop kaki," Mumu nyeletuk. "Kaki palsunya si Toni," ledeknya.
Semua tertawa. Toni meringkus Mumu dengan kesal.
Iwin hanya bisa meringis menahan tawa. Dia sebetulnya ingin meledakkan tawanya ketika mendengar lelucon sableng si Mumu itu, tapi rahangnya sakit sekali. Dan dia hanya menggelengkan kepala. Aku mesti meniru si Toni, batinnya. Enjoy sajalah menikmati hidup ini. Jangan jadikan beban persoalan itu. Tapi bukan berarti tidak dipikirkan. Dengan akal sehat, kita cari jalan keluarnya, karena kalau melibatkan perasaan suka sentimentil. Buktikan, deh.
Mendekati pukul 00.00. Mungkin di kota-kota besar semua orang berpesta-pora. Macam-macam bentuknya. Yang jelas di kota kabupaten tidak bakalan kita jumpai kembang api berpendar-pendar di langit.
"Betul mau journey lagi, Roy""
Roy mengangguk sambil mengeluarkan kaset dari saku jaket Levi's-nya. Dia menggantikan suara merdunya Whitney Houston. Novi memprotesnya.
"Selagu aja, Nov," Roy memohon. " Aku kangen nih sama si Jim Morrison," si bandel itu menyebutkan dedengkotnya group The Doors yang sudah almarhum. "Dengerin, deh." Dia cuek saja duduk menggelosor menikmati lagu The End.
Semua orang mau tidak mau tidak mengganggunya. Novi memperhatikannya. Dalam hatinya dia berkata: aku ingin sekali mengenal pribadinya lebih jauh. Dia remaja "gelisah", tapi seorang pekerja keras, single fighter. Di mana segala sesuatunya mesti diperjuangkan dan digeluti sampai mencapai titik puncaknya. Si sableng ini memang sedang merintisnya ke sana. Dia punya potensi ke sana. Tapi tidak mustahil kalau dia akan tergelincir termakan kegelisahannya sendiri, begitu batinnya. Dia membutuhkan seseorang yang mau betul mengerti tentang jiwanya. Jiwa seorang petualang, yang sangat sukar untuk dimengerti.
"Aku mau bantu-bantu nyiapin makanan dulu," begitu Novi mengakhiri penilaiannya pada si bandel. Dia menuju ke dalam rumah.
"Makan besar ya, Bu!" teriak Toni konyol begitu melihat ibu Iwin berdiri di pintu memanggil Novi.
"Belum bosen juga, Roy"" Edi tampaknya prihatin sekali. "Mamamu, Roy. Inget itu," dia serius memperhatikan wajah Roy.
Roy tertawa. "Kamu jag
ain mamaku lagi ya, Di!"
Edi meringis. "Lantas Suci, gimana"" Toni meledek. Roy merenung. Ya, Suci bagaimana " Dia mengakui sedang mencari-cari "cinta" yang agung itu. Tapi itulah, alam! Ya, alam! Alam menyediakan segala-galanya bagi jiwanya. Dia "haus". Dan dia tahu itu.
"Kamu bilang sama Suci mau avonturir"" Toni usil lagi.
Roy menggeleng. "Buat apa" Lagian mana aku tahu dia itu peduli sama aku. Jangan bawa-bawa cewek dalam soal ini." "Roy..." Iwin membuka suara. "A..aku cuma min..ta oleh-oleh kuping aja,.. deh." Dia berusaha tertawa, tapi masih terasa nyeri.
Roy menatapnya takjub. Tersenyum gembira, merangkul pundaknya. Semua tertawa.
"Hoii... mau pada makan, nggak"" "Cihuiii!" Roy berteriak girang. Tapi Edi menariknya. Mencekal bahunya. Matanya tajam menembus mata Roy yang sayu. "Kamu masih minum obat-obat sialan itu, Roy"" hardiknya kesal. "Ya, Tuhan!"
Roy tertawa tidak peduli. Yang lainnya hanya bisa menggelengkan kepala saja.
Lantas Roy merogoh sakunya. Hendak menyulut rokok. Tapi tiba-tiba dia panik ketika menyadari geretan Zippo-nya tidak ada. Dengan penasaran dia rogoh seluruh kantong setelan jeansnya. " Aduuuh, Zippo gua mana, nih"!" Nadanya memprihatinkan.
"Tau rasa kamu, Roy!" Edi semakin kesal. "Makanya buang kebiasaan brengsek itu. Jadi pikun kamu! Aku kan dari dulu bilang, obat-obat laknat itu bisa melemahkan daya ingat kamu!"
"Win, Zippo hadiah kamu itu, Win. Aduuuh!" Dia mengentakkan kakinya. " Aaaaah!"
"Coba deh diinget-inget, Roy." Mumu membantu memeriksa seluruh kantongnya.
"Udah, kita makan yuk!" Edi menarik yang lainnya untuk meninggalkan si bandel yang sedang tidak karuan itu.
Bagi para petualang dan anak-anak badung, geretan Zippo memang ibarat "nyawa". Ini sudah jadi konsensus mereka. Kalau tidak percaya, tanyakan deh sama mereka.
"Hei, keburu basi nih makanannya!" teriak Novi lagi.
Lonceng berdentang 12 kali. Di seluruh pelosok bumi, tidak peduli siapa pun orang itu, akan merayakannya. Merenungkan hari-hari yang lewat dan merencanakan lagi hari-hari yang akan datang agar lebih baik.Tapi si Roy malah meratapi geretannya itu.
*** BERSAMBUNG BALADA SI ROY 05
Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Seruling Naga Sakti 1 Pendekar Naga Putih 46 Petualangan Di Alam Roh Wanita Iblis 21
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama