Balada Si Roy 09 Traveller Karya Gola Gong Bagian 2
menyiksa jika kita dicekoki penderitaan orang terus-terusan, tanpa bisa mencarikan jalan keluarnya.
"Ikut nggak, Roy"" Japri mengingatkan rencana kepergiannya ke KL. "Lusa berangkat. Kalau mau, kita beli tiket sekarang." Ada seorang lagi yang ikut Japri. Marja namanya. Yang terakhir ini agak pendiam dan tahunya cuma mengekor ke mana Japri pergi.
Roy memang merencanakan menyusuri Semenanjung Malaysia, terus naik ke Thailand, terus Myanmar, terus... trus.- mengikuti arah matahari. Menyongsong senja. Tapi, tidak secepat ini. Memang, keasyikan menjadi seorang traveler adalah ketika menghirup udara baru. Daerah baru, Orang-orang baru.
"Aku ikut," itu yang keluar dari mulut Roy.
Dan dia betul-betul ikut dalam arti sesungguhnya. Ikut dengan Japri. Ke mana Japri pergi, seperti halnya Marja, si avonturir bandel pun mengekor. Sebetulnya dia punya alamat seorang sahabat pena, tapi Japri menjanjikan sebuah keluarga yang akan menampung untuk beberapa hari sebelum dapat kerja.
Pesawat yang mestinya berangkat pukul 14.00 molor jadi pukul 20.00. Betul-betul menyebalkan. Pukul 22.00 tepat, ketiga orang muda itu sudah di koridor Bandara Shah
Alam, KL. Untuk beberapa saat mereka celingukan, tak tahu harus pergi ke mana. Japri beberapa kali mencoba nomor telepon yang ada di buku alamat, tapi dia memaki-maki, karena tidak ada yang mengangkat.
"Janjinya mereka menjemput di bandara." Japri mulai gelisah.
Malam terus merembet. Roy mengitarkan pandang- Betapa makmur dan bagus sekali sistem di sini. Dia melihat orang-orang yang menuju loket, beberapa saat bicara, lalu barang-barangnya diangkut ke taksi. Begitu terus tidak pernah berhenti. Setelah taksi yang satu terasi, taksi yang lain akan datang. Ongkos dari bandara ke Kuala Lumpur-seperti halnya Bandara Soekarno Hatta-sudah ditentukan. Tidak akan ada sopir taksi yang punya niat mengubah ongkos terhadap kaum pendatang.
Roy menyuruh Japri naik taksi saja. Alamat diperlihatkan pada petugas loket. Sopir taksi pun dipanggil. Beberapa saat mereka berembuk, lalu tas-tas dan blue ransel pun dimasukkan ke bagasi.
Taksi melaju meninggalkan bandara. Menyusuri jalanan yang lebar dan mulus. Roy mengintip dari jendela. Semuanya serba asing. Sopir taksi tampak malas sekali bercakap-cakap. Dia tekun melihat ke jalan dan patuh pada rambu-rambu lalu lintas. Si bandel itu merasakan kegelisahan kawan barunya, Japri, yang sedari tadi celingak-celinguk, memperhatikan sekeliling.
Roy yakin bakal ada masalah. Kira-kira lima belas menit perjalanan berada dalam suasana bisu. Dalam kegelisahan. Setelah keluar dari highway dan melewati jembatan, taksi pun menepi- Si sopir menunjuk ke arah kiri jalan, jauh di bawah jembatan. Menurut dia, dalam bahasa Malaysia yang lucu, daerah yang dituju ada di sana. Silakan tanya-tanya saja sama orang. Alamat yang pasti,, sampai nomor rumah, dia tidak tahu pasti,
Roy membuka pintu mobil. Menyeret blue ranselnya. Dia melihat lampu kerlap-kerlip, daerah yang ditunjuk si sopir taksi. Ya, di sana, batinnya. Tapi, untuk menuju ke sana lewat jalan mana" Lantas, malam-malam begini-menjelang pukul 24.00-apa masih ada orang yang bersedia dimintai pertolongan"
"Bagaimana, Pri"" Roy melirik pada kawan barunya.
Taksi sudah meninggalkan mereka.
"Kita ke sana." Japri melompati pagar pembatas. Menuruni bahu jalan dan sudah menyeberangi jalan kecil di bawahnya. Tanpa banyak omong, Marja mengekor sambil me-nyelendangkan tas jinjingnya.
Roy pun menyandang blue ransel-nya.. Dia melihat Japri sedang bertanya pada seorang lelaki, yang kebetulan melintas. Jalanan betul-betul sepi. Ketika sudah dekat, si bandel itu melihat roman kekecewaan tergambar di wajah Japri .
"Lewat sini," Japri tampaknya asal tebak saja. Sudah pukul 24.00.
Mereka mulai kelelahan, karena tidak pernah tahu kapan akan sampai pada alamat yang dituju, Roy mengusulkan untuk beristirahat dulu. Mengambil napas dan memikirkan langkah-langkah selanjutnya yang dirasakan baik. Roy mengusulkan, bagaimana kalau ke hotel saja" Bertiga kan bisa iuran dan jatuhnya murah. Tapi, Japri tetap bersikeras hendak mencari alamat itu. Kalau perlu sampai pagi.
Roy berpikir keras. Sebetulnya, kenapa aku harus mengekor Japri" Bukankah aku punya rencana sendiri" Bagaimana dengan fajar, senja, bayangannya sendiri" balinnya mengingatkan. Dengan hari-hari dan halus, Roy akhirnya mengutarakan niatnya untuk memisahkan diri.
"Kamu mau ke mana sendirian dan tengah malam begini"" japri terbengong-bengong. Marja apalagi. Lelaki pendiam ini berusaha keras merayu Roy, agar tetap bergabung.
"Selamat jalan, ya. Hati-hati." Roy memeluk mereka dengan perasaan sedih. Dia dengan susah payah tadi, menerangkan rencana sesungguhnya.
Si petualang jalanan itu menyilakan Japri dan Marja untuk jalan duluan. Dia memandang mereka sampai hilang dalam kegelapan. Dia merasa iri terhadap kegigihan mereka, yang begitu berani menghadapi tantangan; meninggalkan kampung halamannya untuk memperbaiki nasib. Untuk masa depan, yang di negerinya sendiri sangat sulit diraih.
Kini dia melihat dirinya sendiri. Apa yang kucari sampai-sampai saat ini terdampar di sebuah sudut entah di mana di Kuala Lumpur" Masa depan, pengalaman, memuaskan ambisi, atau obsesikah"
Dia berjalan menuju tempat yang terang. Membuka peta kota dan mencocokkannya dengan alamat sahabat penanya. Tempatnya jauh di sebelah timur. Beberapa saat menunggu taksi. Nalurinya mengatakan untuk pergi ke sana, tidak peduli saat ini Waktu sudah menggelincir dari ujung malam. Bulan lalu dia sudah mengirim kabar hendak datang ke sini. Pasti tidak bakalan merepotkan nantinya. Taksi pun lewat.
Ada sekitar satu jam untuk menemukan alamat yang dituju. Beberapa kali berputar-putar di kompleks rumah susun, bertanya pada orang-orang yang masih berkumpul di warung-warung. Akhirnya Roy bernapas lega, ketika taksi berhenti persis di rumah yang dituju.
Bel pun dipencet berkali-kali. Hatinya berdebar-debar tidak keruan. Seorang lelaki berumur membuka pintu. Dia tergopoh-gopoh menuju pintu gerbang. Memandang heran pada tamunya. Bercakap-cakap sebentar.
Tokoh ktta berlalu dengan kuyu. Sahabat penanya sudah raib ke kota lain. Pikirannya melantur ke mana-mana, walaupun rubuhnya lelah dan mengantuk. Orang-orang yang masih ngerumpi di sebuah warung memperhatikannya. Dia tersenyum dan terus berjalan. Dilihatnya sebuah bangunan yang belum jadi. Tanpa pikir panjang dia menuju ke sana. Untuk ke hotel rasanya tanggung- Ya sudah, tidur di bangunan itu saja.
"Hei!" Ada orang memanggilnya. Bahkan berlari menghampirinya. "Mau ke mana"" tanyanya dalam bahasa Inggris yang fasih.
Roy tersenyum. Mungkin orang ini tidak akan pernah berpikir, bahwa ada orang Indonesia yang hobi traveling. Dalam hatinya ada pertentangan, apakah orang ini akan bersikap ramah jika tahu ia dari negeri tetangganya, yang sering merepotkan mereka dengan pekerja ilegal.
Si bandel itu menunjuk ke bangunan yang belum jadi, sambil bilang, "Saya orang Indonesia," tanpa sungkan-sungkan. Di luar dugaannya, orang itu tampak gembira. Bahkan bicara banyak tentang kawan-kawannya yang juga berasal dari Indonesia.
"Daripada tidur di bangunan itu, mari saya antar ke tempat kawan saya. Kamu bisa tidur di sana," ajaknya serius. Dia menuju rumahnya. "Tunggu di sini," katanya.
Roy melihat ke langit yang berbintang. Dia mengadu ke sana, inilah keasyikannya sebagai traveler: menemukan hal-hal yang tidak terduga. Yang tak pernah didapatnya di buku teori mana pun di sekolah.
Sebuah sedan Proton biru melaju ke arahnya. Orang itu melongok dari jendela. Roy memasukkan blue ransel-nya ke bagasi. Dia duduk di depan. "Thanks, ya!" kata Roy gembira.
Proton biru itu melaju lagi pelan-pelan.
Roy melihat ke luar jendela. Sangat lengang. Tapi dia yakin, orang baik dan jahat itu ada di mana-mana.
VI. TRAVELER 3 Segalanya berjalan seperti adanya. Langkah sudah terjadi pun sejarah. Hendak kauulang sesuatu yang tak kau ingin ingat" Bebaskan segalanya, lepas bebas, sebagaimana udara di ketinggian. Lepaskan masa dulu selepas-lepasnya. Biar lak ada sisa kecuali sejarah. Biarlah tersisa nama dan cerita, toh segalanya pada apa yang disebut segalanya.
-Asih Purwaningtyas EMBUN dari permukaan danau mengambang, menyerupai kapas tipis. Bunga-bunga liar dari tan
aman parasit yang hampir menutupi setengah permukaan danau bermekaran. Lampu-lampu dari pemukiman yang memanjang di pinggiran danau bermunculan lagi, memantul indah- Kerlap-kerlip, seperti seribu lilin. Menjelang fajar.
Seorang pemuda merayap-rayap di sebuah.
bangunan yang berjejer di pinggiran danau itu. Dia mencari-cari sakelar. Menyalakan lampu. Lalu ia berjalan hati-hati menuju bagian belakang- Bunyi papan yang reyot berderik Kalau tidak hati-hati, dia bisa terperosok ke danau. Selanjutnya dititinya anak tangga, yang juga sudah keropos.
Dia mengambil air, menyucikan tubuh dan jiwanya dengan air di drum, yang sangat terbatas dan saling berbagi dengan bangunan-bangunan lainnya.
Dia memanjatkan doa-doa pada Tuhan, Usai itu dia menuju ruang tengah, ruang utama bangunan yang agak luas. Kakinya agak hati-hati melangkah, kalau tidak ingin tersandung onderdil kendaraan bermotor,
alat-alat dongkrak, atau ember berisi oli kotor.
Dia menuju pintu depan. Membuka gemboknya. Mempreteli satu-satu papan yang menutupi bangunan. Udara pagi yang segar dihirupnya puas-puas.
"Selamat pagi, Roy," sapa seseorang di sebelah. Frans namanya. Orang Flores, yang tempo hari terlanda musibah dahsyat, terhantam gempa. Ia juga sedang membuka kiosnya. Sudah dua tahun bekerja di sini, menjadi tukang potong ayam. Masuk ke negeri tetangga ini ibarat kisah pelaut tempo dulu.
Cuma berbekal tekad, dia naik perahu kayu ke Bali. Nyambung ke Surabaya, Semarang, Priok, Pangkalpinang, dan Medan. Enam bulan perjalanan dihabiskannya untuk sampai ke Medan. Dia bekerja sebagai apa saja; kuli di pelabuhan, tukang cuci di restoran, atau jadi kelasi. Suatu hari, ada yang mengiming-imingi, bahwa di negeri jiran duit begitu gampang diperoleh. Dengan sekian ratus ribu untuk uang pelicin, dia diangkut dengan boat di tengah malam buta. Seorang calo sudah mengatur semuanya. Beruntunglah dia mendapatkan majikan yang baik hati, saudagar ayam. Walaupun tanpa keterangan resmi- paspor atau SPLP-dia masih bekerja dengan aman. Pada awal-awalnya, selama tahun pertama, ketakutan memang menghantuinya. Dunianya tak lebih kiosnya saja. Tahun kedua, bosnya punya kiat, tiap bulan harus membayar sekian puluh ringgit kepada oknum polisi setempat. Minggu-minggu terakhir ini, dia sedang bernapas lega, karena surat keterangan izin menetap dari Pemerintah Malaysia akan digenggamnya. Nasib baik memang berada di pihaknya.
Roy mengeluarkan empat sepeda motor yang masih belum selesai diperbaiki. Dua sedan yang akan dicat baru memenuhi ruangan. Bikin sesak. Si bandel itu menyapu ruangan. Membereskan segalanya.
Sebuah sepeda motor dituntun pemiliknya.
Berhenti di depan kiosnya. Minta diisi bensin dan ditambah angin pada ban belakangnya.
Setelah Roy mendarat di KL dengan dua pemuda Jawa yang gigih mencari kerja demi masa depan, mereka berpisah di suatu tempat. Si bandel itu menuju rumah sahabat penanya. Tapi, malang tak dapat ditolak, orang yang dituju pindah. Kemudian seorang lelaki membawanya ke sebuah tempat....
Sekitar pukul 02.00 sedan Proton biru itu berhenti di sebuah rumah papan, di pinggiran selatan KL. Nama-nama kampungnya berciri khas Indonesia. Kebanyakan penghuninya kaum pendatang dari Indonesia, India, Thailand, dan Srilanka. Daerah yang oleh mereka disinyalir sebagai tempat bersembunyi kaum imigran gelap.
Seorang lelaki tiga puluhan menyambut dengan senyum tulus. Masih mengenakan sarung, kopiah, dan serban yang meliliti kemeja putihnya. Tampaknya dia sudah salat malam, tahajud. Imron namanya. Orang Lombok yang taat pada ajaran Islam. Kisahnya tidak beda jauh dengan Frans. Dia jadi buruh pabrik di sini. Sudah lima tahun, dan hanya dengan KTP sementara sudah cukup membuat hidupnya aman.
Ternyata lelaki Proton biru itu murid Imron dalam mengaji. Selain jadi buruh pabrik, Imron mencari uang tambahan dengan mengajar agama, mengaji, atau huruf-huruf Arab. Dia memang pernah memasuki dua pesantren besar di Jawa.
Dua hari Roy ditampung di sini. Tidur beralaskan tikar. Ada seorang Medan, Elson, yang jadi tukang jahit sambil sesekali menyabet or-deran memperbaiki rumah, serta adik Imron. Pada
hari ketiga Imron membawa kabar baik, bahwa ada lowongan kerja sebagai penjaga bengkel dengan upah tujuh ringgit sehari- Tanpa banyak cincong, Roy terima tawaran itu, dengan pertimbangan pada siang hari bisa keluyuran di belantara KL. Kerjanya cuma membuka kios di pagi hari; membersihkannya, dan menutupnya di saat senja. Sebuah kamar kecil dengan dipan tersedia di belakang bengkel. Kalau ada waktu, untuk mengirit uang, peralatan memasak pun tersedia.
Pada siang hari yang cuma beberapa jam, Roy pontang-panting mencari sesuatu yang bisa ditulis. Dari sanalah dia bisa mendapat tambahan uang. Biasanya dia masuk ke sebuah tempat kursus mengetik. Menyewa mesin tik dua atau tiga jam. Tulisan itu pun dikirimnya ke sebuah majalah remaja di Indonesia. Begitulah rencananya, menulis catatan perjalanan atau apa sajalah, untuk menyambung hidupnya di negeri orang.
Terminal bus antarkota, Puduraya-Kuala Lumpur. Sebuah bangunan segi empat, jauh berbeda dengan terminal-terminal bus di tanah air yang menghabiskan tempat dan letaknya di pinggir kota. Di sini begitu rapi dan tertib. Orang-orang akan menuju lantai dua. Jika lapar, banyak kantin. Kalau mau langsung pergi, beli karcis di loket (dan harus antre). Jika karcis sudah di tangan, tinggal mencocokkan saja harus turun ke jalur mana. Seperti jika kita sedang di lantai bawah (lobi) Blok M Mall, harus naik ke jalur berapa, yang kita inginkan. Cuma sayangnya, terminal Blok M semrawutnya minta ampun. Bus-bus kota dan penumpangnya sama brengseknya. Nge-tem dan berlompatan turun di pintu masuk. Tidak ada sangsi apa-apa bagi mereka. Kalau di KL, pintu-pintu bus terkunci begitu memasuki terminal dan terbuka begitu berhenti di dalam terminal. Jika ada penumpang yang mau turun di mulut terminal, kondektur langsung melarang dengan tegas.
Koy turun ke sebuah jalur. Dia cuma ingin melihat keramaian di bawah, bagaimana orang-orang yang hendak bepergian. Dia agak kaget juga. Orang-orang banyak yang antre di beberapa jalur. Begitu sabar dan tertib. Bus pun satu-satu mengangkuti mereka. Tak ada yang berebut. Jika bus penuh, mereka menunggu bus berikutnya dengan tenang. Tak ada kecemasan di wajah mereka.
Roy menuju jalur lain. Dia melihat dua pemuda cacat sedang berusaha naik ke bus. Yang satu memakai kruk-kaki kirinya buntung-dan yang seorang lagi duduk di kursi roda. Si bandel agak heran juga melihat orang-orang yang antre di belakang kedua pemuda cacat itu, cuma menonton saja. Tak ada yang menolong begitu si lumpuh merangkak naik. Tak ada yang membantu, ketika si kruk mengangkat dengan susah payah kursi roda itu.
Roy berlari. Tanpa banyak omong, dia menyuruh mereka untuk naik dan duduk di kursi barisan depan. Di Malaysia, dua baris kursi depan bus memang khusus diperuntukkan bagi orang cacat. Dia lalu mengangkat kursi roda itu.
"Terima kasih," kata si lumpuh.
Roy mengangguk dan tersenyum. Dia kembali ke tempat semula, berdiri menyaksikan kesibukan terminal. Tidak berapa lama, dia melihat kedua pemuda cacat itu turun lagi dart bus. Tetap seperti tadi, tak ada yang menggubris.
"Kok turun"" Roy membantu menurunkan kursi roda.
"Salah naik bus," kata si kruk kecewa.
"Lho, ini kan bus jurusan yang kamu tuju," kata Roy sambil mencocokkan rute bus yang tertulis jelas di bagian depan.
"Kata sopir, kami menghambat perjalanan," si kursi roda jengkel sekali.
"Jangan begitu, kawan. Ayo, naik lagi." Roy mengangkat lagi kursi roda itu. Meletakkannya di kursi barisan depan.
Seorang lelaki-sopir bus-menghampiri Roy. Dia bersungut-sungut tanpa alasan yang jelas pada Roy. Si bandel malah ikut sewot juga. Dia tidak kalah gertak. Terjadi- adu mulut. Beberapa sopir dan petugas terminal merubung. Si bandel tidak peduli. Dia jadi ingat Toni, sobatnya di SMA dulu, yang juga invalid. Betapa tidak manusiawi sopir bus ini, batin Roy geram. Sudah bersusah-susah, merangkak ke bus, eh, setelah lega duduk disuruh turun lagi. Padahal Pemerintah Malaysia betul-betul mengistimewakan kaum cacat. Mulai dari tempat parkir, antrean karcis kereta, bus, bioskop, juga masalah pekerjaan. Bahkan untuk kaum cacat, harga-harga pelayanan juga cuma
50%. Semuanya jelas-jelas ditulis handicaped only.
Seorang polisi lalu lintas menghampiri kerumunan.
Roy diperiksa paspornya. "Ya, saya dari Indonesia," kata Roy. "Negeri saya memang tidak semakmur negeri Tuan. Tapi, orang cacat di negeri saya diperlakukan baik-baik. Manusiawi."
Mereka tampak serba salah dan malu.
Polantas itu mencatat nomor bus. Memeriksa surat-surat si sopir. Beberapa orang mengomentari ini-itu. Salah seorang dari mereka menggotong si lumpuh dan mendudukkannya di kursi- Si kruk tersenyum pada Roy, matanya berkaca-kaca.
Roy meninggalkan terminal, masih dengan perasaan jengkel. Dia menyusuri trotoar. Kebosanan mulai menderanya. Sudah satu ming-gu dia mengobrak-abrik KL- Tidak ada apa-apa. Jalan-jalan yang kecil menyerupai lorong, hampir bersentuhan dengan bibir toko yang cuma dibatasi trotoar, dialiri kendaraan. Tak ada sopir yang ugal-ugalan. Tak ada bunyi tat-tet-tot klakson. Tak ada sumpah serapah. Pejalan kaki pun begitu. Berduyun-duyun di trotoar. Jika lampu merah, mereka menunggu dengan sabar dan cuma menyeberang di zebra cross atau jembatan penyeberangan. Tak pernah terlihat remaja berlarian dengan riang, tertawa-tawa dengan lincah. Atau cowok mengisengi cewek di jalan-jalan. Tak ada. Tak akan ketemu gejolak seperti remaja Jakarta, atau kebanyakan remaja di negeri sendiri.
"Halo, Mister)" Seseorang bertopi menjajari Roy.
Roy biasa-biasa saja. "Butuh sesuatu""
Roy menggeleng. Dia duduk di bus shelter. Orang itu berlalu. Si bandel cuma duduk bengong-ngong. Melihat orang-orang yang turun dan naik. Benaknya masih dipenuhi kejadian di terminal tadi. Dia tidak habis pikir, kok negara yang ekonomi dan sistemnya sudah maju, masyarakatnya masih punya pola pikir primitif begitu.
"Dari tadi melamun saja," tegur lelaki bre-wok dalam bahasa Inggris yang fasih. Kalau dilihat tampangnya, imigran dari India. Pakaiannya lusuh dan matanya merah.
Roy berusaha tersenyum. "Thai"" "Indonesia." "Wow, negara yang indah * Roy mengangguk. "Punya dua ringgit" Saya lapar." Roy menatapnya.
"Saya baru keluar dari penjara. Merampok."
Roy berdiri. Berlalu. Dia sebetulnya sedang segan mendengar atau melihat penderitaan orang lain. Dia memang sedang melakukan perjalanan panjang. Perjalanan yang entah kapan akan berujung dan berakhir. Dia cuma menyongsong senja. Cuma mengejar bayangannya sendiri. Pahit dan manis siap direguk. Suka dan duka harus dia tempuh.
Ya, aku traveler. Tak pernah tahu apa yang
akan terjadi sedetik berikutnya. Apalagi di bumi orang, yang segalanya serba asing dan baru. Untuk menduga-duga pun sangat sulit. Terlebih-lebih hati orang.
"Hai, ketemu lagi, Mister!" sapa orang bertopi tadi.
Roy menyeberang jalan. Orang bertopi itu mengekor terus sambil nyerocos dalam Inggris yang kacau. Guide amatiran, batin Roy geli. Si bandel itu melintasi pertokoan. Dia berhenti dt depan etalase yang memajang mountain bike. Dadanya kontan berdebar-debar. Berdesir. Dia meraba-raba kaca, seperti hendak menjangkau sepeda gunung itu. Dia membayangkan dirinya duduk di sadel sepeda serta mengayuhnya dengan semangat. Terbayang, betapa menggairahkan menyusuri bumi dengan sepeda!
Roy masuk ke toko sepeda.
Si topi juga. Beberapa toko sepeda dimasukinya juga. "Bagaimana, ada yang cocok"" tanya si topi. Roy mengangkat bahu. "Oke, saya harus pergi." Si bandel mengangguk.
Si topi menatapnya. Meminta pengertian, Lalu, "Bisakah membelikan saya sebotol minuman""
Roy tertawa kecil. "Atau lima ringgit""
Tawa Roy makin keras. Tadi di bus shelter,
seseorang yang mengaku jebolan penjara, minta dua ringgit untuk makan. Sekarang lima ringgit untuk beli wiski! Dalam hatinya dia berbisik, bahwa perjalanannya nanti pastilah akan dibumbui pertolongan dari orang-orang. Dia yakin kalau akan banyak menemui kesulitan. Tapi, bukan berarti dia harus begitu dermawan menolong jenis orang-orang seperti si brewok dan si topi ini.
"Saya orang Melayu juga," kata Roy. "Dari negara yang penghasilan per tahunnya cuma seperempat negara kamu," tambah Roy, mengutip berita yang ditulis di koran-koran sini.
Si topi tersenyum kecut. Dia ngeloyor sambil bersungut-sungut.
Malam t elah larut. Lampu-lampu dari bangunan di sepanjang danau mulai dipadamkan satu-satu. Ada beberapa yang masih menyala. Langit begitu indah. Bintang kerlap-kerlip sebagai penggantinya.
Seekor bebek liar berenang pelan-pelan.
Cahaya-cahaya dari sekeliling danau yang tersisa memantul di permukaannya.
Roy sedari tadi menikmati suasana itu. Dia duduk di teras belakang, yang beberapa papannya sudah bolong. Dia betul-betul meresapinya. Ah, jadi sentimentil! Benaknya melayang ke mana-mana. Diusirnya jauh-jauh. Dia berusaha untuk cuma memikirkan yang di sekitarnya saja. Dia harus berusaha bersikap realistis.
Malam sudah jatuh dari puncaknya.
Roy beringsut pelan-pelan. Dia menuju ruang tengah- Membelai-belai sepeda gunung yang baru dibelinya tadi. Besok aku melanjutkan perjalanan lagi. Menjadi seorang traveler memang begitu. Menyongsong fajar dengan hal-hal baru. Gairah baru.
Tak akan pernah tahu apa selanjutnya.
VII. CIK GUR Alam memberi manusia hanya satu lidah tetapi dua telinga supaya kita mendengar dari orang dua kali lebih banyak daripada yang kita ucapkan.
-Eictetus (50-55 S) SEORANG pemuda menggeliat. Kepalanya menyembul sedikit dari balik sleeping bag, Matanya terpicing. Angin malam yang berembus ke teras mesjid membuatnya malas untuk bangun. Tiba-tiba dia tersentak. Terperanjat. Mundur dan memepet ke tembok.
Dadanya bergetar keras. Suara tawa menggema. Ah, cuma orang gila yang kelaparan.
Dengan kesal pemuda itu merogoh kantong luar traveling bag-nya. Menyerahkan roti. Lalu menyuruh orang gila itu pergi. Dengan gembira orang gila itu melompati tembok mesjid.
Tawanya masih menggema, membuat bulu kuduk berdiri.
Dia memperhatikan sepedanya kedinginan terkunci di pagar. Diliriknya traveling bag berwarna hitam itu. Benaknya melayang jauh ke blue ransel-nya. Dia sudah mengirim ransel belahan jiwanya itu lewat jasa pos ke Bangkok. Ke alamat Poste Restante General Post Office. Alamat yang sering digunakan traveler mancanegara, para nomaden abad kini yang tidak punya alamat tetap. Suatu hari kelak, jika kakinya menginjak Bangkok, dia akan menyandang blue ransel-nya. lagi. Memeluknya dan menyusuri bumi lagi bersamanya.
Malam semakin jatuh dan merangkak habis.
Selepas subuh plus kuliahnya, ada sarapan pagi masai dengan segelas susu dan nasi bungkus. Tentunya gratis. Tanpa malu-malu, pemuda itu minta jatah dobel. Ketika sedang asyik berpesta nasi bungkus, seseorang yang wajahnya berjenggot lebat dan panjang tapi bercahaya, menghampiri dengan penuh senyum.
"Kata pepatah Melayu, Jauh berjalan luas pandangan," kata orang itu.
Dia mengangguk terkagum-kagum melihat sinar yang dipancarkan orang itu. Betapa damai dan bahagianya orang ini, batinnya.
"Terimalah." Orang itu menggenggamkan sesuatu pada lengan dia. "Tidak seberapa.
Dik. Jangan tersinggung. Anggap saja ini rezeki dari Tuhan."
Kejadian ini diterimanya saja. Itulah menjadi seorang lelaki pejalan, harus siap menerima apa saja. Dicaci, disayang, atau disia-siakan. Kadang ada yang peduli, kadang tidak. Lalui dan nikmati saja semuanya. Memang harus begitu jika ingin menjadi seorang lelaki pejalan. Terlebih-lebih harus mau disia-siakan terlebih dahulu.
"Roy!" panggil seseorang bertubuh kecil, mengenakan topi putih dan serban. "Makan, yuk!" ajaknya.
Pemuda gondrong yang baru saja salat asar itu bersorak girang. Tiga anak kecil pun menyambut gembira ajakan ini. Mereka menuju restoran kecil, tak jauh dari Mesjid Tengkera. Sebuah mesjid tua berumur enam ratus tahun, yang jadi primadona kota Malacca. Mesjid yang berarsitektur khas. Menaranya berbentuk pagoda dan kubahnya meru-bertingkat-tingkat dan semakin ke atas semakin kecil. Seperti tusuk sate. Hal unik lainnya, ubinnya impor Itali, pilar-pilarnya hadiah Spanyol, porselen di dinding mesjidnya suvenir Cina, dan mimbar khotbah ukiran Jawa.
Roy baru tiba siang tadi. Dia selalu mengayuh sepeda selepas subuh. Pas siang hari melepas penat sesuka hati. Di taman-taman kota.
pinggiran sungai, mesjid, atau seketemunya saja sambil merebus mi untuk makan siang. Lantas lepas asar melanjutkan perjalanan lagi sampai menjelang senja. Untuk bermalam d
ia manfaatkan apa saja yang bertebaran di sepanjang perjalanan.
Usai lohor tadi, seseorang yang mengaku guru menghampirinya. Mengajaknya untuk menempati sebuah ruangan di lingkungan mesjid. Sangat ramali dan banyak omong. Dia bercerita tentang keluarganya yang saudagar buku di provinsi lain, tunangannya, dan usaha sampingannya, menjual buku-buku agama ke mesjid-mesjid di setiap kota.
Tapi begitu usai pesta makan malam. Cik Gur, lelaki bertubuh kecil, ramah, dan banyak omong itu berbisik, "Punya uang kecil, Roy"" Dia memperlihatkan dompetnya di bawah meja. Ada cash card dan beberapa kartu telepon. Tapi tak ada selembar uang pun. "Cik Gur belum ke bank. Lupa. Nanti besok Cik Gur ganti, Roy."
Roy menyerahkan sepuluh ringgit.
"Kamu mau part time job, Roy"" Roy mengangguk kegirangan. "Kerjalah sama Cik Gur. Mau" Jadi pedagang buku keliling," katanya sambil menceritakan bisnis bukunya yang semakin maju. Dia sedang butuh penambahan pekerja. Dia menawarkan kerja selama sebulan
dulu dengan gaji 250 ringgit, mobil van, dan seorang helper.
"Mobil uari"" Roy tertawa tidak percaya.
"Kamu bisa around Malaysia sambil berniaga, Roy!"
"SIM-nya, Cik Gur""
"Mudah itu. Besok kita ke toko buku."
Seperti mendapat durian runtuh saja, batinnya bersorak. Sekali lagi, inilah dunia traveler. Mengalir ke samudra, terantuk batu-batu, dan diombang-ambingkan gelombang. Tak perlu panik. Hanyut, hanyutkan saja. Jalani, jalani saja.
Cik Gur membawa Roy ke sebuah toko buku
besar. Dengan lagak pembeli bonafide, dia minta buku ini-itu diturunkan dari rak. Bahkan pemilik toko dengan perasaan tidak percaya mengeluarkan persediaannya di gudang.
Roy dengan risi memperhatikan.
Segalanya dihitung dan angka-angka itu membuat Roy terbelalak. Oh, kalau saja itu buat biaya perjalananku! batinnya naif.
"Sudah, Cik Gur"" tanya pemilik toko.
"Boleh ikut menelepon"" Cik Gur mengangkat gagang telepon di meja kasir.
Pemilik toko mengangguk cepat.
"Barang-barang ini nanti akan diambil. Sekaligus dengan pembayarannya," kata Cik Gur sambil memijit angka-angka.
"Kapan"" Tiba-tiba wajah pemilik toko kelihatan kecewa.
"Sore ini. Ya, halo"" suaranya agak keras.
Cik Gur bercakap-cakap di telepon.
Lain, "Okay, siapkan saja semuanya. Kalau perlu masukkan ke boks," kata Cik Gur. "Nanti sore saya kembali ke sini. Soalnya mobil saya sedang dipakai Uncle."
Roy mendelik. "Tanpa persekot"" pemilik berharap cemas.
Cik Gur tersenyum dan meninggalkan toko tanpa perasaan bersalah. Tingkah lakunya memang meyakinkan orang sebagai pedagang terpandang. Apalagi tutur katanya yang selalu disertai firman Tuhan.
"Pinjam uangmu dulu, Roy," katanya sambil menyebut jumlah lima puluh ringgit.
Roy mulai merasa ada yang tidak beres. "Saya tidak mengerti. Cik Gur. Kenapa tidak pergi ke bank saja" ATM kan bertebaran di mana-mana. Ingat, Cik Gur, jangan coba-coba menipu saya!"
Cik Gur merangkul pundaknya. Mereka menuju restoran. "Kamu boleh tidak percaya pada Cik Gur. Kan Cik Gur tidak pergi ke mana-mana. Sekarang kita makan dulu, Roy!"
"Buku-buku itu""
"Nanti sore kita ambil. Nunggu Uncle dulu."
"Siapa itu Uncle""
"Orang yang akan ngasih modal."
"Saya tidak mengerti. Cik Gur." "Sudah, makan dulu."
Roy didera perasaan gelisah dari detik ke detik. Lantas dia memutuskan untuk menunggu saja. Dia yakin kalau pada akhirnya yang putih selalu menyeruak ke permukaan mengalahkan yang hitam. Begitulah aturannya sejak dulu.
Sampai pada waktunya, "Mana uncle-nya, Cik Gur" Ini sudah pukul empat sore!"
"Tunggulah sebentar!" Cik Gur menuju jalan raya.
Sudah pukuL lima sore. "Saya minta uang saya. Cik Gur!"
"Kok"" Cik Gur tersenyum kecut. "Apa tidak berminat berniaga sambil keliling Malaysia, Roy"" katanya mengingatkan.
Roy menggeleng. "Mungkin Uncle ada halangan."
"Uang saya. Cik Gur. Sekarang!"
"Tapi saya belum ke bank." Cik Gur mulai gelisah.
"Saya tidak peduli!"
Cik Gur menatapnya kebingungan.
"Saya akan bicara pada orang-orang di mesjid, Cik Gur!"
"Oh, jangan, jangan, Roy!"
"Kalau begitu, kembalikan uang saya!"
Cik Gur, yang tubuhnya lebih kecil, langsung mengeret. Dia tidak menduga kalau Roy punya nyali. Dia merogoh sa
ku celananya. Ada 25 ringgit berupa uang pecahan. Dia meminta pengertian.
Roy betul-betul jengkel. Tangannya dikepalkan. Dia sangat gemas. Umpatan berlompatan. Padahal tempo hari seseorang memberinya pekerjaan di bengkel, dan uang ala kadarnya di sebuah mesjid. Inikah rasa pahit dan manis, yang akan selalu beriring-iringan, silih berganti datang"
"Uang saya. Cik Gur!" Tanpa diduga Roy mencekal kerah kemejanya. Memepetnya ke tembok. Sebetulnya buat Roy bukan semata-mata besar-kecilnya jumlah uang tapi niat bu-ruknyalah yang membuatnya berang. Menipu orang, itu tindakan seorang pengecut!
"Urusannya bisa jadi besar. Cik Gur! Orang-orang di Mesjid Tengker ini cuma tahu bahwa Cik Gur orang baik; suka mengajar ngaji pada anak-anak dan rajin salat.
"Tapi di balik itu. Cik Gur ternyata seorang penipu. Berusaha menipu saya. Cik Gur pikir saya ini goblok apa"! Ingat, Cik Gur, saya bukan imigran gelap yang suka ditulis di koran-koran sini. Saya traveler, Cik Gur! Camkan itu!"
"Baik, baik." Wajah Cik Gur memucat. "Tunggu di sini."
Roy masih memaki-maki ketika mengemasi perlengkapannya. Aku harus pergi dari sini, batinnya kesal. Dia melihat ke langit. Matahari masih tersisa. Masih ada waktu untuk mencari tempat bermalam yang lain.
Cik Gur datang. "Kurang lima ringgit, Roy," kalanya. "Maafkan saya," suaranya pelan.
Roy menggerutu. "Kenapa Cik Gur lakukan hal ini pada saya" Pada seorang musafir yang mestinya Cik Gur tolong" Apa Cik Gur tidak takut pada dosa""
Tiba-tiba mata Cik Gur berkaca-kaca.
"Apa Cik Gur tidak memikirkan, bahwa bisa saja sewaktu-waktu polisi menangkap saya" Padahal perjalanan saya masih panjang" Padahal saya tidak tahu apa-apa""
Cik Gur mengusap matanya.
Roy menuntun sepedanya. "Hendak pergi ke mana, Roy""
"Ke toko buku. Membersihkan nama saya."
"Hendak kamu laporkan bahwa saya ada di sini""
Roy mengangguk. "Oh, please, jangan, Roy." Cik Gur memegang setang sepeda. "Turunlah dulu, Roy. Akan saya ceritakan sesuatu. Ayo, turunlah dulu."
Roy tetap duduk di sadel. "Ceritalah," katanya. "Saya tidak punya banyak waktu."
Dengan suara tersendat-sendat, Cik Gur bercerita. Keluarganya sedang kena musibah. Usaha ayahnya sedang menuju kehancuran. Toko bukunya sudah ditutup. Karier mengajarnya berantukan. Hubungannya dengan tunangannya pun di ambang perpecahan. Semua berpangkal pada ayahnya, yang menikahi wanita muda. Ibunya sakit keras dan minta dicerai karena perbuatan ayahnya. Kalau diibaratkan kapal, badai dan karang memorak-porandakannya .
"Sebetulnya saya sedang menyepi di sini. Sudah satu bulan saya meninggalkan rumah. Uang saya habis. Utang saya sudah menum- . puk di sini." Cik Gur menghela napas.
"Kalau cuma untuk makan, kenapa harus menipu saya, Cik Gur" Kenapa harus pura-pura memborong buku" Selama perjalanan ini, saya banyak ditolong orang. Jadi apa susah dan ruginya buat saya, kalau cuma membayari Cik Gur makan""
"Janjinya, Ayah akan mengirim uang ming-gu ini. Tapi..." Cik Gur tidak bisa meneruskan kalimatnya. Dia begitu terpukul. "Sebetulnya saya ingin membantu kamu, Roy. Saya khilaf, sekarang saya sudah bukan anak saudagar buku lagi." Cik Gur tertunduk malu.
"Kalau tidak ada lagi ceritanya, saya mohon diri. Cik Gur." Roy bersiap-siap mengayuh sepedanya. "Hati-hati untuk selanjurnya. Jangan konyol. Percuma saja Cik Gur rajin mengunjungi mesjid."
Cik Gur menyalami tangan Roy. Dia seperti tidak mau melepaskannya. Roy merasa jengah. Buru-buru dia menariknya- Mengayuh sepedanya. Dia meluncur pelan-pelan di jalan
Lay a. Disusunnya jalan-jalan kecil di Malacca. Pertokoan dan bibir jalan menyatu. Cuma dibatasi trotoar. Jalannya kecil, menyerupai lorong. Bangunan-bangunan di sini sudah tua, tetapi tetap dilestarikan. Inilah mungkin daya tarik Malacca, sehingga dijuluki old city. Juga daya tarik legenda Hang Tuah dan Hang Jebat terdapat di sini. Jika ingin melihat tapak kaki Hang Tuah, datanglah ke sini.
Roy berputar-putar terus. Mampir sebentar di kedai makan yang bertebaran di pinggir jalan. Setiap sore kedai-kedai terbuka bermunculan dan sangat laris. Orang-orang banyak yang melepas lelah di sini; jajan atau sekalian ma
kan malam. Matahari pun ditelan horizon di langit belahan barat.
"Bangun... bangun...." Seseorang menepuk-nepuk pundaknya. Mata Roy terpicing. Paling-paling orang gila lagi, batinnya mangkel. Ups! Buru-buru dia bangkit. Ternyata orang tua berjenggot tersenyum. Dengan topi putih, serban, dan jubah putih, Roy tahu kualitas orang tua ini. Dia melihat ada dua orang sedang salat. Sebuah mobil van putih diparkir di halaman mesjid.
"Musafir" Asal anak dari mana"" Orang tua ini tersenyum.
"Dari Indonesia," jawab Roy sopan.
Orang tua itu menyebut sebuah kota di Indonesia.
"Kenapa harus kota itu. Uwak Haji"''
"Uwak pernah ke sana. Banyak pencuri."
"Apa itu berarti saya juga pencuri Uwak Haji""
Uwak Haji tetap tersenyum.
"Apa sebetulnya yang Uwak Haji inginkan, kok membangunkan saya dari tidur""
Roy menceritakan kejadian Cik Our tadi.
Uwak Haji tertawa kecil. Dia bersila di depan Roy. Katanya, "Anak harus belajar me-ngendalikan emosi. Anak memang masih muda. Lewatilah proses pematangan diri ini sebaik-baiknya. Maafkan kalau pertanyaan Uwak tadi menyinggung perasaan anak."
"Uwak cuma ingin bersilaturahmi," katanya sambil menyuruh seseorang ke mobil van. "Uwak baru pulang berniaga. Sekarang kita makan. Ayo." Uwak Haji membuka bekal yang diambilkan orang suruhannya tadi.
Roy merasa kikuk. Hidup dengan penuh syak wasangka, sering di luar dugaan. Sulit ditebak apa maunya lakon hidup. Menebak apa maunya semesta saja bikin pusing, apalagi menebak hati orang.
Si petualang jalanan itu memandangi mobil van, yang kini mulai melanjutkan perjalanannya ke kota lain. Mereka pedagang buku keliling yang mampir sebentar untuk melepas penat sambil berdoa kepada tuhan, bersilaturahmi, dan mengajaknya makan. Hal yang pernah ditawarkan Cik Gur.
Roy cuma mengelengkan kepalanya begitu van putih itu lenyap di kegelapan. Dia kembali menyelinap ke balik sleeping bag-nya. Angin dari arah pekuburan berembus keras ke teras mesjid.
Roy berpikir bahwa hari-harinya masih panjang dan tak bisa dimengerti.
VIII. THAI GIRL aku ngungun memandangi kawanan burung yang terbang lintas di atas padang, kepak sayapnya mengigaukan lagu pulang di batinku, dan rindu pada kampung seketika koyak, kenangan pun nyalang, ah, sedang apakah kalian" aku di sini, memburu matahari mencatat seribu kemarau di kota-kota benua yang terluka kehilangan makna cinta sementara kanak-kanak menyanyi-menari memanggil-manggil hujan dan pelangi seperti dalam dongeng para peri
-Toto ST Radik Kota Bangkok masih pagi betul, tapi kesibukan sudah terasa di mana-mana. Orang-orang bermuka keras tapi ramah itu mendorong gerobak makanannya dan menempati tempat-tempat kosong di pinggiran jalan. Setelah membereskan letak gerobak, gadis-gadis Thai yang sensual dan demam celana jeans Levi's plus T-shirt putih, membereskan panci-panci serta baskom berisi makanan. Bangku-bangku pun mulai dipasang satu-satu.
Seorang pemuda gondrong sedari tadi memperhatikan kesibukan ini. Setelah menikmati sarapan ala kadarnya, ada pemandangan menarik di sekelilingnya. Yaitu lelaki-lelaki berjubah kuning atau keoranyean, dengan kepala plontos memeluk guci. Tanpa alas kaki mereka berjalan berduyun-duyun, antre dengan tertib seperti antre tiket. Tanpa alas kaki berjalan mengelilingi kota atau kampung, untuk mengambil sedekah dari penduduk, berupa nasi, lauk-pauk, kue, bunga, atau kadang kala uang. Di seluruh sudut Thai (dan yang beragama Buddha) berlangsung kebiasaan rutin seperti pagi hari ini, karena kehidupan para monk ini tergantung dari kemurahan penduduk.
Ketika menyusuri Thai bagian selatan, pemuda gondrong itu pernah tidur di wat candi monk itu. Dia baru mengerti bahwa wat-wat. itu adalah tempat menuntut ilmu. Tempat mempelajari ajaran Buddha. Kalau untuk Islam, pesantren namanya. Dalam kehidupan Thailand, ada keharusan yang turun-temurun, setiap anak lelaki harus digunduli rambutnya untuk menjadi Buddha. Biasanya selama tiga-empat bulan mereka mendekam di wat.
Pagi hari adalah panorama yang unik. dan mengasyikkan di wat. Tanpa perlu mandi dulu, para monk mengambil guci dan las. Mereka mengelilingi kota atau kampung, mengambi
li sedekah dari penduduk, yang sejak pagi sudah menunggu mereka di depan rumah atau di jalan-jalan. Usai itu mereka kembali ke urat, berkumpul di balairung, dan sarapan pagi bersama. Seharian mereka menimba ilmu dari yang tua-tua. Menjelang senja, mereka bergantian membersihkan lingkungan wat dan seminggu sekali melakukan bakti sosial: membersihkan jalan-jalan kampung, got, serta sampah. Cuma lucunya, jika malam menjelang, seperti kebanyakan ringkah remaja di mana pun, para monk muda itu ngegosip yang tidak-tidak. Malah di bawah kasur mereka, disembunyikan majalah Playboy versi Thai!
Pemuda gondrong yang sedang menyusuri bumi itu sudah tidak ingat lagi sejak kapan dia memulai perjalanan panjang ini. Yang masih terasa adalah air mata mamanya yang hangat serta kecupan si manis. Suci. Setelah menyusuri Malaysia, dia mengangkut sepedanya ke kereta sampai di perbatasan paling barat daya Malaysia, kota kecil Tumpat-Kelantan.
Lewat pintu check post Sungai Kolok, dia memasuki Thai Selatan, meninggalkan bumi Malaysia dengan napas lega. Negara serumpun yang sering membuatnya keki dan kesal-Hampir sepuluh hari dia kepanasan dan kehujanan mengayuh sepeda di selatan Thai. Ibarat koboi prairi, dia memasuki kota Hat Yai dan tersungkur di losmen kelas kambing, yang setiap pukul sepuluh pagi, penjaganya mengetuk seluruh pintu kamar. "Girl, Mister"" begitu tawarannya. Di lobi losmen memang gadis-gadis Thai belasan tahun bergerombolDari Hat Yai sepeda pun diangkut lagi ke kota Prachuap Kiri Khan. Dari kota ini cuma sekitar tiga ratus kilometer lagi menuju Bangkok. Satu minggu dihabiskannya di atas sadel sepeda, sampai kulit wajah panas terbakar dan bibir pecah-pecah. Akhirnya alun-alun Grand Palace, Sanam Luang pun diinjaknya. Dari kejauhan menara-menara pagoda Wat Prha Kaeo, tempat Raja Bhumibol, kelihatan.
Hari menjelang sore waktu itu. Si petualang jalanan itu dengan terseok-seok mengayuh kuda besinya ke kawasan turis, Khao San, tempat guest house murah berserakan. Dia ingin membasuh debu-debu yang lengket di rubuhnya. Dia ingin tidur sepuas-puasnya, karena rasa lelah yang amat sangat. Rasanya konyol sekali jika di kota besar ia mencari-cari tempat bermalam gratisan. Risikonya terlalu besar.
Pemuda-pemuda Thai, yang rata-rata ber-James Dean style, datang menyerbu. Bahasa bulenya lumayan, mereka adalah kaum oportunis yang menyebar hampir di setiap kawasan turis. Banyak turis mancanegara atau traveler yang jadi santapan mereka, jika kehabisan uang. Yang mereka incar biasanya ransel, sepatu, jeans Levi's, dan walkman. Tentunya harga-harga yang ditawarkan mereka bikin gemas dan geregetan.
Mereka mengusap-usap kuda besinya.
Wow, dia merasa berada di daerah baru, seperti di film-film koboi!
"Mau dijual""
Roy tersenyum. "Berapa""
Salah seorang dengan enteng menyebutkan harga.
Karena untuk melanjutkan perjalanan ke barat sangat tidak mungkin dilakukan dengan
sepeda, Roy terpaksa merelakannya. Tak apa. Segala-galanya yang menempel di sepedanya diambil kaum oportunis ini. Segala-galanya. Terlebih-lebih hari-hari yang dilewati bersama ketika menyusuri Malaysia dan Thai Selatan. Dia tidak bisa mencegah dan berbuat apa-apa, ketika mereka menuntun kuda besinya.
Good bye. Roy langsung berbalik dengan sedih.
Kini warna kuning dan keoranyean membayang di mana-mana. Berseliweran seperti nada-nada manis pada lagu pagi hari. Sebuah sedan ratusan juta berhenti. Penumpangnya dengan berseri-seri menuju gerobak jualan. Dia memborong puluhan bungkus kue. Berdiri menunggu Para monk lewat. Sambil melakukan gerakan menyembah, dia memasukkan sebungkus demi sebungkus ke dalam guci monk yang lewat. Lalu seorang gadis yang baru berolahraga membeli lima bungkus nasi. Dia pun melakukan hal yang sama. Seorang ibu yang menggendong seorang balita mencoba sebisa mungkin agar bayinya itu tampak seperti yang bersedekah.
Semakin siang semakin banyak yang bersedekah- Rupanya untuk bersedekah pun mereka tidak harus capek-capek memasak di rumah. Asal ada uang, tinggal pergi ke jalan raya dan gerobak jualan pun berserakan. Kebanyakan masyarakat Thai percaya, jika melakukan itu ber
Balada Si Roy 09 Traveller Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
arti hidupnya akan penuh berkah. Buddha adalah kebijaksanaan, itu yang tercermin dari wajah mereka.
Matanya kini menikmati gadis-gadis Thai yang begitu ulet. Sejak memasuki Thai lewat pintu Sungai Kolok, Thai Selatan, dia sudah merasakan itu. Wanita pekerja, itulah yang tercermin. Dia jadi ingat wanita Bala yang ulet. Cuma bedanya, kebanyakan gadis di sini sudah kena gerus modernisasi. Dalam tingkah polahnya. Terlebih-lebih dalam cara berpakaian. American style melanda kaum mudanya. Jeans dan T-shirt memang praktis. Kadang kala dia suka kagum juga jika melihat mereka memikul dagangan atau mendorong gerobak serta melayani pembeli. Yang menonjol dari setiap gerak-gerik tubuh mereka adalah ke sensualannya. Banyak traveler mancanegara mengakui hal ini, sehingga tak jarang gadis Thai yang sadar pada daya tarik tubuhnya mengambil jalan pintas saja. -Seks memang j;adi masalah utama di negeri ini.
Di suat u sore yang panas, di halte bus, orang-orang bergerombol menunggu bus kota. Di Bangkok lalu lintas tidak beda jauh dengan Jakarta. Membludak dan pada Jam-jam sibuk macet di mana-mana. Yang berbeda, kedisiplinan pengendara serta penumpang sangat bagus. Tak ada rebutan untuk saling mendahului jika ada bus kota. Pernah suatu kali dia melihat seorang penumpang menawarkan tempat duduknya pada yang membutuhkan, hal yang tidak dilihatnya di Kuala Lumpur. Atau ada yang menitipkan barang bawaannya yang berjibun pada penumpang yang duduk, padahal kenal juga tidak. Tolong-menolong, itulah yang terasa di sini seperti yang diajarkan oleh Buddha. Banyak hal seperti itu yang dialaminya ketika menyusuri Thai bagian selatan.
Sebuah bus kota berhenti. Banyak penumpang yang turun. Roy bersenggolan dengan seorang gadis Thai. Tampaknya si gadis begitu terburu-buru. Tas serta beberapa majalahnya jatuh. Roy serba salah membantu mern-bereskannya.
"Terima kasih," katanya dalam bahasa Inggris yang kagok. "Saya terburu-buru." Gadis itu segera naik ke bus.
Roy mengangguk dan tersenyum. Dia mencium wangi parfum yang enak. Rambutnya yang diberi efek basah berkilauan kena matahari sore. Tubuhnya padat berisi di bungkus jeans dan kemeja hitam. Sepatu be bop mempertegas penampilannya. Begitu mengundang selera.
Sayang Roy kebagian tempat di belakang.
Ketika si gadis menengok, Roy tersenyum lagi.
Di beberapa halte semakin banyak penumpang yang naik. Yang tidak kebagian tempat, dengan tertib dan sopan berdiri. Kondektur bus menagih ongkos sambil memberikan karcisnya. Ketika bus memasuki kawasan hiburan, Roy melihat si gadis sudah berjalan di trotoar. Dia memaki kesal. Berarti harus turun di halte berikutnya. Jangan coba-coba minta diturunkan di sembarang tempat kalau tidak ingin dicaci maki sopir, kondektur bus, dan orang-orang.
Roy berlari-lari mencoba mengejar gadis itu. Tapi ia hilang ditelan orang-orang yang melimpah ruah. Dia masih terus mencari jejaknya. Menghirup udaranya, siapa tahu wangi parfumnya tercium.
"Roy!" Seseorang berteriak.
Si bandel itu celingak-celinguk. Tumben ada orang yang mengenalnya. Tapi begitu tahu siapa orangnya, dia tersenyum saja. John, imigran dari Taiwan, kawan sekamarnya di dorm-bed. Youth Hostel, yang sudah belasan tahun tinggal di Amerika.
"join me, Roy"" katanya.
"Ke mana"" Roy menjajari langkahnya
John tersenyum dan tertawa ngakak. Dia sudah menghabiskan setengah bulan di Australia. Lalu dari Canberra terbang langsung ke Bangkok. Waktu liburannya tinggal seminggu lagi. Dia sedang liburan sekolah. Umurnya sebaya dengan Roy.
Matahari sudah menggelincir. Lampu-lampu mulai kerlap-kerlip, menawarkan mimpi-mimpi. Menawarkan gairah baru yang lain. Gairah kaum lelaki petualang. Lelaki yang suka iseng, yang suka mencari-cari hal-hal yang tidak diperolehnya di rumah.
Roy membaca huruf-huruf dari neon boks, di mulut lorong pertokoan. "Patpong," dia membacanya berkali-kali. Ini rupanya kawasan yang beken di mata turis atau traveler. Sebuah lorong pertokoan di kawasan bisnis. Jika siang hari, kawasan ini tidak menampakkan kesibukan yang luar biasa dibandingkan dengan dua ruas jalan utamanya. Tapi begitu menjelang senja, udara lain mengemb
us. Menggelitiki seluruh tubuh untuk datang ke tempat ini.
Badan jalan lorong itu dipenuhi pedagang suvenir. Mulai dari T-shirt, barang antik, sampai ke kaset video porno yang digelar bebas. Di kedua trotoarnya, cowok-cewek tanpa malu merayu orang-orang yang lewat, terutama warga asing, untuk masuk ke bar mereka. Biasanya mereka memajang white board atau membagi-bagikan leaflet yang berisi menu malam itu.
Patpong memang kawasan hiburan yang mendunia. Di kedua sisi jalannya berderet bar-bar, tempat go go dance bergoyang menyebar bisa. Semakin malam pertunjukan di bar itu semakin liar. Itulah sebabnya, kenapa di antara sesama bar bersaing menawarkan menu yang lebih berani untuk menarik pelanggan.
Roy betul-betul bergidik membaca menu-menu itu. Kadang kala dia melihat sekelebat dari pintu luar yang sengaja dibuka, bagaimana pertunjukan seronok itu berlangsung. Tapi rasa ingin tahu membuatnya lupa pada norma-norma yang ada.
"Come on, Roy!" John menariknya ke sebuah bar.
Roy bersiul-siul. Mereka memesan dua botol bir. Dua gadis dengan pakaian minim menghampiri. Roy
menggeleng, tapi John dengan bernafsu menggamit yang seorang.
Di panggung pertunjukan gadis-gadis menari silih berganti. Demi uang mereka melakukan gerakan-gerakan erotis. Kebanyakan masih muda belia.
Setelah membayar sebotol bir, John mengajak Roy pergi. Dia tidak peduli gadis yang menemaninya ngobrol tadi marah-marah, karena tidak diberi tip.
Ke bar yang lain lagi dan bir lagi.
Kali ini pertunjukan betul-betul seronok. Ketika mereka sedang asyik menikmatinya, seorang pemuda menyodorkan bill. Mereka tercengang, tidak percaya pada angka dolar. Mereka menggeleng.
"Kalian harus membayar untuk pertunjukan ini," dia marah-marah dalam bahasa Thai dan Inggris yang kacau.
Tidak." Roy merogoh sakunya. Meletakkan uang pas untuk sebotol bir yang diminumnya
John juga mengikuti. Pemuda itu mengancam. "Bawa saja kami ke polisi," kata Roy.
Tiba-tiba seorang gadis go go dance meleng-gak-lenggok dengan genitnya di depan mereka. Matanya mengerdip manja. Roy terkesima. Hatinya berdesir. Itu gadis yang tadi ditemuinya di halte bus. Yang tadi ditabraknya sehingga tas dan majalahnya berceceran. Yang
tadi hilang dalam kejarannya. Oh, gadis secantik dia kenapa harus berada di sini" batinnya prihatin.
"Nona..." Roy mendekatinya. Dia meronta-ronta ketika lengan pemuda itu mencekalnya. "Please, saya harus bicara dengan nona itu. Nona!" Roy berteriak.
Si gadis menengok. Dia meneliti pemuda gondrong yang memanggilnya. Tampak dia ragu-ragu mendekati. "kamukah"" katanya dalam jarak beberapa meter. Dalam sekejap wajahnya yang cantik berubah-ubah warna, seiring kerlap-kerlip lampu bar. Dia tampak gugup sekali.
"Mau bayar, tidak"!" bentak si pemuda.
Roy melepaskan cekalannya dengan paksa. Dia mendekati si gadis yang tidak percaya dengan pandangannya. "Hello. Ingat saya, kan"" tegurnya mengimbangi suara musik.
"Oh, ya, ya. Tapi, maaf, saya sedang bekerja." Dia membalik.
Roy memegang lengannya. Mengajaknya duduk. John menghampiri. Berbisik-bisik di telinga Roy. Beberapa orang pemuda mendatangi meja mereka.
"Bayar, cepat!" kata yang berbadan kekar.
Roy menatap si gadis, meminta penjelasan. Salah seorang dari mereka menarik si gadis dengan paksa. John menggeleng dengan tegas. Mereka sudah berhadap-hadapan dan dalam suasana yang panas. Sementara Itu per tunjukan tetap saja berlangsung. Orang-orang asing dan segelintir penduduk lokal bersuit-suit dan kadang menggumamkan sesuatu.
"Kami tidak punya uang untuk membayar sebanyak itu. Bawa saja kami ke polisi," tantang John. "bukankah di setiap pertunjukan tidak ada cover charged!"
"Saya mau tanya pada yang lain!" Roy beranjak.
"Jangan macam-macam! Jangan usik tamu yang lain!"
Roy kembali menikmati kecantikan si gadis. Dia masih saja menatapnya, walaupun tubuhnya diseret dan didepak ke luar bar. Dia masih bisa melihat sorot menyesal di mata gadis itu. Dia berharap bisa bertemu lagi dengannya.
John cuma terbahak-bahak di luar bar.
Malam sudah menggelincir dari ujung malam. Pedagang kaki lima di badan jalan sudah lama berkemas. Bar-bar satu-dua mulai membenahi
diri. Musik yang semalaman tadi ingar-bingar kini bersembunyi kelelahan. Suasana jadi sepi. Lengang. Ada beberapa bule yang berleha-leha di kafe terbuka, menikmati wiski.
"Bangun, John!" Roy menepuk-nepuk kawan barunya.
John yang tertidur di trotoar menguap. "Sudah keluar gadis itu, Roy"" matanya terpicing. Dia mengikuti pandang ke arah yang ditunjuk Roy.
Roy menyeberang. Mengikutinya. John. memaki-maki. Gadis itu kini memisah dari rombongan.
"Nona, tunggu!" panggil Roy.
Gadis itu berhenti dan menengok. Dia tampak tergesa-gesa memanggil tuk-tuk, angkutan kota sejenis bajaj. Roy mengejarnya, tapi terlambat. Roy menyetop tuk-tuk pula. Menarik John agar cepat-cepat naik. John memang terlalu banyak minum.
"Youth Hostel" John menyuruhnya pulang, "please"
Roy baru ingat, bahwa dalam keadaan begini tidak baik mengikuti keinginan sendiri. Apalagi sudah pukul 03.00. Ah, gagal sudah. Betapa aku ingin bercakap-cakap dengan gadis itu. Betapa ingin mendengar suaranya lagi yang mendesah merdu. Betapa ingin menghirup parfumnya.
Dia memandangi laju tuk-tuk yang membawa gadis itu sampai hilang di tikungan.
"Ke mana, Mister"" tanya pengemudi tuk-tuk.
"Youth Hostel," kata Roy pelan sambil memejamkan matanya.
IX. PAYOM tetapi rumah-rumah tanpa nomor mengapit jalan, dan gang-gang tanpa nama matahari terik! debu bersekutu dengan angin menjadi duri bagi mata yang jaga Tuhan, beri kami nabi! beri kami nabi!
-Toto ST Radik KEDUA pemuda itu tertawa terbahak-bahak. Untuk yang kesekian kalinya mereka meneguk "air api" itu. Mereka betul-betul menikmati lukisan sore hari di Khao San, sebuah lorong jalan pertokoan ibarat Sabang di Jakarta atau Malioboro di Yogya. Turis dan
traveler mancanegara lalu lalang dengan penampilan semaunya. Rileks dan bebas. Tak ada norma. Mobil dan pedagang kaki lima berimpitan di kedua sisi jalan. iklan-iklan guest house murah meriah serta paket tur tumpang tindih. Musik rock pun bergema ke Seantero sudut-sudut jalan dari kios-kios kaset.
Kawasan Khao San memang ibarat pasar malam dan terkenal ke seantero jagat. Segala macam hal ada dan tersedia di sini. Tinggal pesan saja dan nanti seseorang bakat menghubungi. Mau Thai giri yang eksotik, paspor palsu, kartu pelajar internasional, atau narkotik kelas tinggi-semuanya ada, asal dolar pun tersedia.
Mereka sedang bersenang-senang di kafe di pojokan jalan. Beberapa traveler bule mengangkat botol minuman ke arah mereka. Semuanya membiarkan dirinya bebas setelah banyak diatur oleh dogma, undang-undang, pemerintah, atau norma-norma. Untuk mencapai hal seperti itu, mereka mesti pergi jauh dan membelinya dengan uang. Untuk membiarkan batin melayang bebas ke mana suka memang ongkosnya mahal.
"Kabar Thai girl itu gimana, Roy"" tanya John, imigran dari Taiwan, terbahak-bahak. Matanya yang sipit selalu terpejam jika tertawa. Mama sesungguhnya Duong Cao- Tapi agar American style, tanpa malu-malu ia mengaku sebagai John. Kuliah di arsitektur dan rajin mencari pari time job untuk ongkos liburan keliling dunianya. Orangtuanya pengusaha restoran yang sukses, sehingga kehidupannya sebagai imigran tidak merepotkan.
Bahkan semua keluarganya sudah jadi warga negara Amerika. John sendiri tampaknya sudah mengamerika.
"Aku belum pernah ke Taiwan," katanya mengaku. "Bicara bahasa Taiwan paling sedikit-sedikit. Di rumah, orangtuaku malas mengajak kami bercakap-cakap dalam bahasa Taiwan," begitu pengakuannya. Bahkan memilih pacar pun dia sudah mengamerika.
Roy berdiri. "ke mana, buddy""
"'Aku kangen sama Patpong girl itu, John."
John tertawa. "Kalau pacarmu di Indonesia tahu, wah, bisa-bisa perang, Roy!"
Roy meringis. "Kapan-kapan kita ke sana lagi, yuk!" dia meminta persetujuannya.
John menggeleng cepat. Dia mengejar Roy yang sudah meninggalkan kafe. Terhuyung-huyung dia berjalan. Dia memang doyan minum. Empat botol bir dihabiskannya tadi. Roy sendiri cuma sebotol. Bir di sini sangat keras, berbeda dengan di bumi kita.
Khao San di ujung tahun semakin membludak. Anak-anak muda Thai, kaum oportunis, yang mencari keuntungan dalam kesempitan merajalela merayu orang-orang bule agar mau menjual apa saj
a yang dibawa dari negaranya. Pedagang kaki lima, yang menjual segala macam suvenir atau cendera mata khas negeri gajah putih ini, laris manis bagai lampu neon dirubung laron.
Tiba-tiba John terbelalak. Dia menjambret leher Roy. Menunjuk ke sisi jalan yang lain, di seberang mereka.
Roy mengucek-ucek matanya. Dia menggelengkan kepalanya dengan keras. Berusaha berpikir bahwa dirinya dalam keadaan sadar. Pengaruh alkohol sesedikit apa pun tetap tidak baik. Dan dia sedang berusaha mengusir pengaruh itu.
Seorang gadis Thai yang mengundang selera sedang berdiri memilih-milih kaset. Matahari senja membuatnya tampak memesona.
"Gadis itu, Roy." John tampak tidak percaya.
Hati Roy berdegup tidak keruan.
"Ayo, nunggu apa lagi!"
Roy ragu-ragu menyeberangi jalan. "Kamu tunggu di sini, ya!" teriaknya mulai yakin. Dia memutar ke samping dan sudah berada di belakang gadis Thai itu.
"Hai!" sapa Roy memberanikan diri.
"Hai!" Thai girl itu membalas, tanpa menoleh. Dia tetap asyik memilih-milih kaset.
"Wah, suka Sade juga nih!"
Thai girt itu mengangguk.
"Sori, ya, kejadian yang kemarin malam itu."" Roy mengambil Nirvana, memperhatikan sampulnya iseng-iseng saja. "Apakah ada buntutnya sama kamu""
Thai girl itu melirik dengan ekor matanya. Bulu matanya yang lentik bergerak. Rambutnya yang selalu tampak seperti basah berkibas ibarat ekor burung merak. Mulutnya ternganga, sehingga bibirnya yang merah tebal membuat gemas. Dia terperanjat sekali begitu menyadari siapa pemuda yang menyapanya.
"Apa kabar. Nona..."" kata Roy tersenyum.
"Payom, nama saya." Dia membalas senyum Roy, walau masih kebingungan.
"Panggil saya Roy."
"Japan"" Roy menggeleng dan menyebutkan negara asalnya.
Dia terpekik lagi. "Saya sangat ingin ke Bali. Kata orang-orang, Bali sangat indah. Nice island," dia nyerocos dengan Inggris yang kagok.
"Boleh saya traktir minum""
"Oh, sorry, I can't." Payom tampak menyesal. Dia melihat ke sebuah travel agent.
"Menunggu seseorang""
Payom menganggukRoy manggut-manggut.
"Saya menyesal. Mungkin lain waktu."
"Tidak apa-apa."
"Saya mau ke Chiang Mai." Payom menyebut kota kecil berhawa sejuk di utara, yang beken dengan sebutan "Mawar dari Utara".
"Tapi tidak keberatan saya temani ngobrol""
Payom menggeleng. Dia mengambil Sade terbaru dan membayarnya. "Mereka biasa melakukan hal itu pada tamu-tamu yang baru," katanya tentang kejadian di Patpong itu. "Untung kalian tidak macam-macam."
Roy tertawa kecil- Dia melihat ke seberang jalan. Tampak John melambaikan tangan ke arahnya. Dia sedang mentato bahunya di tukang tato kaki lima.
"Aku nggak menyangka bakal ketemu kamu di Patpong."
Payom tersenyum aja. Katanya, "Kebanyakan wanita di sini melakukan profesi ganda. Seks memang jadi jalan yang termudah untuk memecahkan segala persoalan.
"Kamu pasti sudah merasakan hal itu, Roy, sejak kamu menginjakkan kaki di sini. Seks dan pornografi, dua hal yang jadi. momok tapi ibarat bumbu penyedap bagi pariwisata di sini."
Roy mendengarkan saja omongan Payom yang ibarat gumaman. Sejak memasuki Sungai Kolok Thai -Selatan, dia memang menghirup aroma itu: seks, pornografi, dan bahkan alkohol. Majalah-majalah Playboy versi Thai dijual di kaki lima seharga dua ribu perak dan alkohol dijual di sembarang tempat. Bahkan ditata dengan sentuhan artistik di etalase-etalase toko. Anak-anak mudanya dengan rileks membaca buku porno dan minum alkohol di muka umum. Seperti halnya bisnis prostitusi di Malaysia yang jelas-jelas ditulis "Rumah Tumpangan" (agar pria hidung belang tidak tersesat), bersebelahan dengan deretan toko dan dilindungi negara. Di Thai bentuknya lebih menjurus ke entertainment. Seperti di kawasan Patpong itulah. Mulai dari go go dance sampai ke striptease tersedia di sini- Jika ingin lebih, tinggal mem-booking saja. Tak ada yang susah jika ada dolar.
Payom, yang bertubuh padat berisi, melihat lagi ke travel agent. Dia menyibakkan rambutnya yang jatuh menutupi wajahnya. Gerakan-gerakannya seperti sudah ditakdirkan untuk dinikmati orang-orang. Dia tampaknya menyadari daya tariknya. "Sendirian, Roy"" "Ya."
"Tidak butuh seseorang untuk menemani kamu bepergian""
Ro y tertawa. "Saya tidak punya uang untuk itu."
Payom juga tertawa. Di dalam dunia traveler, seks memang jadi bahasa sehari-hari. Tidur di Youth Hostel di dorm-bed, satu ruang bisa diisi sepuluh orang, membuatnya banyak belajar tentang segala hal. Terlebih-lebih dari traveler bule. Dari merekalah dia jadi tahu, bahwa selain norma sudah tidak digubris lagi, ternyata hidup itu sesungguhnya sulit. Para traveler bule ini sebetulnya cuma memanfaatkan waktu atau menghabiskan umur di jalan. Pada mulanya mereka bekerja keras beberapa tahun; menyisihkan dolarnya. Setelah merasa cukup, mereka menyandang ransel dan mengenakan boot, menggelandang ke seantero jagat; melihat sudut-sudut dunia yang indah. Jika kehabisan
uang, mereka bekerja jadi apa saja untuk menyambung hidup. Itulah hidup lelaki pejalan. Bebas, lepas seperti burung. Hinggap di ranting yang dia suka. Kepanasan dan kehujanan. Tak tahu kapan harus berhenti- Mungkin sampai sayap-sayapnya tak mampu berkepak lagi. "Saya harus pergi." Payom menatapnya. Roy melihat seorang lelaki bule keluar dari travel agent. "Bisakah kita ketemu lagi, Payom"" tanya Roy berharap.
om membuka tas kecilnya. Mengeluarkan kartu nama. Dia menyodorkannya pada Roy. "Kamu bisa hubungi saya di sini. Minggu depan."
"Kamu bepergian dengannya satu minggu"" Payom mengangguk"Hello, darling." Lelaki bule itu menarik lengan Payom dan mencium bibirnya. Dia menarik Payom untuk pergi.
Payom masih sempat menoleh dan tersenyum.
Roy menarik napas dan melontarkannya kuat-kuat. Dia melihat John tertawa kepadanya. Si bandel memaki kesal. Dia menyeberang jalan. Menuju John, yang masih asyik dengan tatonya.
"Disambar orang, Roy!" Tawanya meledak lagi. "Kalau kamu mau, dia bisa mencarikan untuk kamu." John melirik ke lelaki tukang tato. "Asal kamu punya dolar, Roy! Dolar membuat segalanya jadi mungkin!" Tawanya tidak berhenti.
Matahari Bangkok sudah jatuh dan kegelapan pun dalam sekejap berganti lampu-lampu. Ini di ujung tahun. Berarti hari-hari baru bergulir lagi. Begitu cepat. Dia memalingkan wajah, bercermin ke etalase toko. Hatinya berbisik lirih, sudahkah aku jadi jalan setapak yang mengantar orang ke tujuan" Jadi mata air untuk pelepas dahaga" Pelita pengusir kegelapan" Ikan-ikan untuk makan nelayan" Hujan bagi petani" Batu, kerikil, sungai, lautan, dan pepohonan"
Ini di ujung tahun di Bangkok. Umurnya bergulir lagi. Entah sampai kapan. Mungkin sampai dia belum melakukan apa-apa.
"Saya pergi dulu, John!"
"Ke mana, Roy" Ngejar Thai girl"" Masih tertawa.
Roy mengumpatnya. Dia betul-betul melihat matahari jatuh di langit Bangkok dan umurnya bergulir lagi- Betul-betul melihat dan merasakan kehilangan hari-harinya, jejak-jejaknya, dan dia belum melakukan apa-apa.
Si petualang jalanan itu merogoh saku celana jeans-nya. Jari-jarinya menyentuh sesuatu. Sebuah kartu nama yang belum sempat dibacanya. Dia membacanya. Lalu dirobeknya kecil-kecil kartu nama itu. Diterbangkannya ke udara. Angin menerbangkan potongan-potongan kecil kertas itu. Ke mana-mana.
Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Asmara Darah Tua Gila 1 Istana Tanpa Bayangan Karya Efenan Irama Pencabut Nyawa 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama