Ceritasilat Novel Online

Cahaya Bintang 2

Cahaya Bintang Karya Bois Bagian 2


Bob, Ran, ketahuilah! Dunia kita dan dunia gaib adalah semu. Karenanya, apapun yang ada di dunia kita dan yang di dunia gaib bisa dimanipulasi sedemikian rupa sehingga menjadi kejadian yang tampak aneh buat kita. Seperti ilmu sihir yang bisa memanipulasi manusia menjadi seekor katak misalnya. Kalau kalian mau tahu, Jin adalah makhluk yang diberi kemampuan untuk bisa memanipulasi seperti itu, yang mana jin fasik justru menyalahgunakannya untuk menyesatkan manusia.
Karenanya tidak usah heran jika ada manusia yang bisa mengoperasi tanpa luka, memindahkan penyakit dari manusia kepada hewan, dan masih banyak lagi peristiwa aneh yang sulit diterima akal. Ada dua kemungkinan yang bisa membuat manusia bisa melakukan itu. Pertama karena ia sudah menguasai antena semu yang ada di dahinya, dan yang kedua karena dia dibantu oleh Jin yang memang sudah mempunyai kemampuan itu."
"Bas" Apa mungkin pengendalian antena itu bisa dilakukan dengan cara berdoa, membaca mantra, atau berkonsentrasi penuh. Yang mana selama ini manusia tidak menyadari kalau sebetulnya dengan cara itu mereka sudah mengendalikan antena semu itu," tanya Randy menambahkan.
"Eng, mungkin saja begitu. Entahlah, aku sendiri belum tahu cara mengendalikan antena itu agar bisa memanipulasi hal apa pun di dunia ini," jawab Abas jujur.
"Wah, kalau aku bisa mengendalikan antena itu. Aku pasti bisa menjadi manusia sakti mandra guna. Aku bisa terbang, bisa menurunkan hujan, bisa merubah sebuah benda menjadi bentuk lain, dan masih banyak lagi hal-hal hebat yang bisa aku lakukan. Orang pasti kagum jika aku mempunyai kemampuan seperti itu," ungkap Bobby terus terang.
"Bob, sudahlah! Kau jangan berpikiran aneh-aneh begitu. Ingatlah, hidupmu adalah untuk menjadi seorang khalifah. Bukan untuk menjadi manusia yang terkuat atau yang terhebat di mata manusia, sebab yang terkuat dan terhebat di mata Allah adalah manusia yang bisa melaksanakan tugasnya sebagai khalifah dengan tanpa menunjukkan kehebatan yang dikaruniakan kepadanya. Seperti para nabi dan para wali, yang dengan rendah hati menganggap dirinya bukan apa-apa, padahal mereka itu sudah mempunyai kehebatan yang melebihi manusia biasa," jelas Randy panjang lebar.
"Apa yang dikatakan Randy itu benar, Bob. Karenanyalah kau tidak usah menginginkan hal yang aneh-aneh, sebab dengan sendirinya Tuhan akan memberikan kemampuan itu padamu, yaitu berupa karomah. Yang mana akan diberikan kepada manusia yang bertakwa kepada-Nya dan selalu rendah hati dan bisa menjaga karunia-Nya itu hanya untuk menegakkan kebenaran dan membela agama-Nya," jelas Abas menambahkan.
"Betul itu, Bob. Itulah yang dinamakan khalifah sejati, seorang wali Allah," timpal Randy meyakinkan.
"Kalau begitu, bisakah aku menjadi wali Allah"" tanya Bobby.
"Sudahlah, Bob! Kau jangan berpikiran sejauh itu. Lakukan saja tugasmu sebagai manusia biasa, yaitu dengan selalu bertakwa kepada-Nya. Berusahalah untuk memperbaiki diri sendiri dengan penuh kesungguhan sehingga ketika tiba saatnya kau dipanggil Tuhan, kau sudah mempunyai cukup bekal untuk kehidupan di akhirat nanti," pesan Randy.
Bobby pun tampak merenungi kata-kata Randy tadi, hingga akhirnya dia bisa menyadari kalau keinginan
nya yang terlalu muluk itu bisa saja membuatnya justru menjadi sesat dan jauh dari rahmat Tuhan-nya. Dalam hati, ia hanya bertekad untuk berusaha memperbaiki akhlaknya sendiri yang terkadang memang suka melenceng dari tuntunan agama. Namun begitu, dia pun akan berusaha keras untuk menjadi khalifah yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai manusia awam yang masih harus banyak belajar.
Kini Bobby sudah kembali berbincang-bincang dengan kedua saudaranya yang seiman itu, hingga akhirnya Bobby dan Randy memutuskan untuk pamit pulang. Dan setelah mengantar Randy pulang, Bobby pun segera pulang ke rumah dan langsung menyimpan limas teka-teki ke dalam laci lemarinya. Kini pemuda itu sudah tidak mau memikirkan perihal benda itu, yang nyatanya hanya sebuah benda biasa. Dia memilih untuk menyerah saja, daripada nantinya malah membuat pikirannya menjadi bertambah kusut seperti benang kusut yang sulit untuk diluruskan kembali. Karenanyalah dia memutuskan untuk menyimpannya sebagai benda kenangan, walaupun sebenarnya di dalam hati pemuda itu masih ada rasa penasaran dengan segala teka-teki yang belum terpecahkan, yaitu mengenai arti simbol yang ada di benda itu.
"Hmm... lebih baik sekarang aku ke rumah Nuraini saja. Entah kenapa tiba-tiba aku begitu merindukannya, dan aku ingin sekali melihat wajahnya yang cantik itu."
Lantas dengan segera Bobby kembali ke mobil dan melaju menuju ke rumah Nuraini. Dalam perjalanan, pemuda itu terus membayangkan perihal kekasihnya. Dari awal dia berkenalan sampai akhirnya Nuraini menerima cintanya di suasana yang begitu romantis. Hingga akhirnya, tanpa terasa pemuda itu sampai juga di rumah Nuraini. Kini pemuda itu sudah berbincang-bincang dengan gadis pujaannya sambil menikmati suguhan ala kadarnya.
"Terima kasih, Nur. Kau sudah mau memaafkan aku. Percayalah, minggu depan aku pasti akan mengajakmu jalan-jalan."
"Sudahlah, Kak. Aku mengerti kok, kalau kau melakukan itu karena sebab ada hal yang lebih penting. O ya, Kak. Ngomong-ngomong, memangnya kau dan Randy pergi ke mana sih""
"Tadi aku dan Randy pergi ke rumah Abas untuk mendeteksi sebuah benda yang semula kuanggap diberi kekuatan magis. Dan ternyata, benda itu hanyalah sebuah benda biasa yang tak mengandung unsur magis."
"Kak, benda seperti apa itu""
"Sudahlah, Nur. Aku mohon kita jangan membahas mengenai benda itu lagi. Kini benda itu sudah aku simpan di laci lemariku, dan aku tidak mau dibuat pusing lagi olehnya. Lebih baik kita bicara soal rencana kita minggu depan. Eng... bagaimana kalau minggu depan kita pergi ke mal saja, nonton film sekalian makan-makan. Kita tidak usah memancing, sebab aku takut kalau terlalu sering memancing nanti kulitmu yang putih mulus itu jadi hitam legam."
"Ah, Kakak. Aku kan selalu merawat diri. Percayalah, kulitku tidak akan menjadi hitam seperti yang kau takutkan itu."
Kedua muda-mudi itu terus berbincang-bincang hingga akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke Sea World saja. Sebab, di tempat itu mereka bisa pacaran sambil menikmati keindahan makhluk laut yang beragam.
LIMA Setelah beberapa bulan menjalin cinta dengan
Nuraini, akhirnya Bobby mulai bisa melupakan Winda. Sungguh dia tidak menyangka kalau Nuraini adalah sosok gadis pujaan yang sangat didambakannya. Berkat kehadiran Nuraini di dalam kehidupannya, dia merasa menjadi manusia baru yang beruntung. Hidupnya yang semula begitu sepi kini berganti menjadi penuh warna-warni. Namun belakangan ini, dia melihat Nuraini agak berubah. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikannya, sesuatu yang semakin membuat Bobby terus bertanya-tanya. Karena rasa penasaran yang amat sangat, akhirnya dia pun membicarakan hal itu pada kekasihnya.
"Apa""" Ka-kau sudah dilamar orang"" tanya Bobby dengan keterkejutan yang amat sangat. Nuraini mengangguk.
"Kau menerimanya"" tanya pemuda itu lagi.
"Kak, dia itu pemuda yang baik dan juga beriman. Terus terang, aku merasa berdosa jika menolak lamarannya."
"Tapi, Nur. Kau kan sudah mempunyai kekasih."
"Kita kan baru sebatas kekasih, Kak. Apakah itu cukup kuat untuk menolak lamarannya""
"Tentu saja. Bukankah jelas-jelas aku sudah lebih dulu me
milikimu." "Kau jangan lupa, Kak. Aku belumlah milikmu."
"Jadi, karena itu kau bisa seenaknya menghianatiku."
"Aku tidak mengkhianatimu, Kak. Namun aku hanyalah menjalankan apa yang sudah digariskan Tuhan padaku. Salah sendiri, kenapa kau tidak cepat-cepat melamarku""
"Apa! Kau pikir menikah itu seperti membalik telapak tangan. Apa kau pikir dengan keadaanku sekarang, aku bisa menjadi kepala rumah tangga yang baik""
"Kak, ingatlah...! Bahwa semua perkara itu Tuhanlah yang mengaturnya. Manusia hanya tinggal menjalani apa yang sudah digariskan padanya. Dan Mengenai apa yang akan terjadi kemudian, hanya Tuhan yang mengetahuinya. Kita sebagai manusia hanya bisa menjalani dengan selalu mengharap kasih sayang-Nya. O ya, Kak. Kalau kau mau tahu, sebenarnya orang yang melamarku itu adalah sahabatmu sendiri, dialah Randy yang selama ini selalu mengajarkan kebaikan padamu."
"A-apa""" Ra-Randy... be-benarkah yang kau katakan itu"" tanya Bobby dengan keterkejutan yang amat sangat.
Nuraini mengangguk. "Dasar pengkhianat, pagar makan tanaman! Sungguh aku tidak menyangka dia akan tega berbuat begitu. Sungguh dia memang sudah sangat keterlaluan dan tak berkeperimanusian, tega-teganya dia mengkhianatiku. Padahal, selama ini aku sudah menganggapnya sebagai saudaraku sendiri. Sungguh kini dia sudah tidak layak lagi menjadi sahabatku.
Terus-terang, aku betul-betul menyesal dan kecewa karena telah bersahabat dengan manusia seperti dia."
"Kau tidak mengerti, Kak. Dia sama-sekali tidak seperti yang kau tuduhkan."
"Alah! Sudahlah... ! Kini aku sudah tahu siapa dia sebenarnya. Dan kau juga, kenapa kau begitu tega menghianatiku, kenapa kau mau saja dilamar olehnya""
"Kak, kau lupa dengan kata-kataku tadi. Bahwa semua ini adalah karena kesalahanmu sendiri. Andai kau cepat melamarku mungkin tidak seperti ini kejadiannya."
"Cukup, Nur! Aku tidak mau mendengar kata-katamu lagi. Kau memang gadis yang picik. Jika kau bijak, paling tidak kau ultimatum aku dulu," kata Bobby seraya bergegas meninggalkan Nuraini."
"Kak Bobby, tunggu... ! Aku mau bicara padamu!" tahan Nuraini.
Tampaknya Bobby memang sudah tidak mau mendengar kata-kata Nuraini, dia terus saja berlalu tanpa menengok sedikitpun. Pada saat yang sama,
Nuraini tampak terduduk di atas kursi dengan perasaan yang sangat menyesal. "Kak Bobby, maafkanlah aku! Sungguh aku tidak menyangka akan seperti ini kejadiannya."
Gadis itu terus larut di dalam penyesalan, sementara itu di dalam sebuah jeep, Bobby tampak begitu kalut. Sungguh pemuda itu tidak menyangka kalau sahabatnya yang selama ini dikenal baik ternyata telah tega mengkhianatinya. Dan setelah agak lama menyusuri jalan yang menuju rumah Randy, akhirnya Bobby tiba juga di rumah sahabatnya itu. Kini pemuda itu tampak sedang bertatap muka dengan sahabatnya yang diketahuinya telah berkhianat. Dalam hati, dia ingin sekali menghajar Randy yang dianggapnya sudah menzolomi saudaranya sendiri. Namun karena pemuda itu masih mempunyai rasa hormat, maka ia pun mengurungkan niatnya. "Ran, apa benar kau telah melamar Nuraini"" tanya pemuda itu memastikan.
"Kau benar, Bob. Kalau kau mau tahu, sebetulnya selama ini aku pun mencintainya. Untunglah kau tidak cepat melamarnya sehingga aku masih mempunyai kesempatan. Lagi pula, aku menduga selama ini Nuraini paling hanya kau jadikan sebagai pelarian. Coba katakan padaku sejujurnya! Kau tidak benar-benar mencintainya kan, hingga kini kau masih mencintai Winda. Iya kan""
"Kau salah, Ran. Kalau kau mau tahu, sekarang ini aku sudah begitu mencintainya. Semula aku memang merasa tidak mungkin bisa pindah ke lain hati, namun setelah aku mengenal Nuraini, pandanganku pun mulai berubah. Dia itu bukan hanya cantik, tapi juga berkepribadian seperti Winda. Sungguh bodoh jika aku tidak bisa mencintai gadis seperti dia."
"Benarkah"" tanya Randy ragu.
Bobby mengangguk. "Jika kau memang mencintainya, kenapa kau tidak segera melamarnya"" "Aku belum siap, Ran."
"Kalau begitu, itu memang sudah salahmu sendiri. Andai kau berkeyakinan kalau setiap kejadian di dunia ini adalah ketentuan Tuhan, tentu kau tidak akan terlalu banyak pertimb
angan terhadap sesuatu yang baik. Kau itu sudah menunda-nunda kebaikan, Bob. Sehingga takdir yang semula akan membawamu kepada kebahagiaan, yaitu menikah dengan Nuraini, kini telah lewat dan telah berganti menjadi hukuman, yaitu lepasnya Nuraini darimu. Bukankah kau sudah mengetahui kalau Nuraini itu gadis yang baik, malah kau bilang kepribadiannya itu sama seperti Winda. Nah, jika memang benar demikian, apa alasanmu untuk menunda-nundanya. Jika alasanmu memang belum siap, kapan kau akan siap, Bob" Aku yakin, kau tidak akan pernah siap jika alasanmu itu selalu karena belum siap."
"Kau benar, Ran. Kini aku sungguh menyesal karena telah menyia-nyiakan kesempatan itu. Karenanyalah aku mohon padamu, kiranya kau mau membatalkan lamaran itu!"
"Itu tidak mungkin, Bob. Mau disembunyikan ke mana mukaku dan muka kedua orang tuaku jika aku sampai membatalkannya. Apa kau lupa dengan pelajaran yang sudah aku ajarkan padamu, yaitu janganlah kau merebut gadis yang sudah dilamar oleh saudaramu sendiri."
"Iya, Ran. Aku ingat, tapi kan..."
"Sudahlah, Bob. Semuanya sudah terlambat. Lagi pula, apa yang bisa menjadi jaminan kalau nantinya kau akan menikahi dia."
"Nyawaku, kau boleh membunuhku jika aku sampai tidak menikahinya."
"Benarkah yang kau katakan itu" Begitu besarkah cintamu kepadanya sehingga kau begitu yakin kalau kau memang akan menikahinya."
"Tentu saja, aku kan memang sangat mencintainya. Jika tidak, untuk apa aku memohon padamu."
"Hmm... aku rasa memang begitu. Karena begitu cintanya kau kepada Nuraini, sampai-sampai kau melanggar larangan agama dengan mau merebut gadis yang sudah dilamar oleh saudaramu sendiri."
"Aku bukan hendak mau merebut dia darimu, Ran. Tapi... aku justru memohon kerelaanmu."
"Hmm... baiklah kalau begitu, sebaiknya sekarang kau bicara kepada Nuraini. Apakah dia bersedia lamarannya kutarik kembali lantaran kau begitu mencintainya. Dan apakah dia rela menanggung malu karena sebab batalnya lamaranku."
"Ka-kau bersedia membatalkannya, Ran."
"Kini semuanya tergantung kepada Nuraini, Bob. Terus terang, aku merasa berdosa jika membatalkan lamaranku begitu saja tanpa persetujuannya lebih dulu. Sebab jika aku membatalkannya dengan alasan karena kau tak bisa melepaskannya sungguh tidak masuk di akal, akan dianggapnya pemuda macam apa aku ini."
"Baiklah, Ran. Aku akan bicara padanya, dan aku yakin dia pasti mau. Sebab aku meyakini kalau sesungguhnya dia pun tak menghendaki hal itu. Terima kasih, Ran. Kau memang sahabatku yang paling baik. O ya, maafkan aku yang telah menuduhmu yang tidak-tidak."
"Sudahlah, Bob... sebaiknya sekarang cepat kau temui dia!"
"Iya, Ran. Wassalamu'alaikum..." "Wa-allaikum salam..."
Saat itu Bobby bahagia bukan kepalang, dan kali ini dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Saking gembiranya dia pun memacu mobilnya dengan sangat cepat, sampai-sampai tidak mempedulikan keselamatannya sendiri. Akhirnya pemuda itu pun tiba kembali di kediaman Nuraini. Kini dia tampak sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita yang mirip dengan Nuraini.
"Apa" Nuraini sedang pergi keluar," ungkap Bobby dengan nada kecewa.
"Betul, Nak Bobby. Katanya sih dia mau pergi memancing bersama Haris di tempat biasanya," jelas ibunya Nuraini.
"O, kalau begitu sebaiknya aku mohon diri sekarang, Bu."
"O ya, apa mungkin ada pesan yang bisa Ibu sampaikan."
"Tidak, Bu. Wassalamu'alaikum... "
"Wa Allaikum salam... Hati-hati di jalan Nak Bobby!"
"Iya, Bu. Terima kasih."
Bobby pun segera kembali ke mobil dan memacunya menuju ke tempat Nuraini biasa memancing. Saat itu, Bobby lagi-lagi memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, sungguh dia sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan sang Pujaan Hati. Setibanya di tempat tujuan, pemuda itu langsung memarkir mobilnya di tepian telaga dan segera melangkah menuju ke lokasi yang cukup jauh, yaitu di daerah yang masih banyak ditumbuhi pepohonan lebat.
Pemuda itu terus melangkah dan melangkah, menyusuri jalan setapak yang di kanan-kirinya banyak ditumbuhi ilalang. Tak lama kemudian, pemuda itu tiba juga di tepian telaga yang ditumbuhi pepo
honan bambu yang begitu lebat dan menyeramkan. Kini pemuda itu melangkah melewati rimbunnya pohon bambu yang sebagian akar-akarnya tampak digenangi air. Setibanya di tempat yang agak kering, sayup-sayup terdengar suara sepasang muda-mudi yang sedang berduaan, tertawa riang seolah mendapat kepuasan. Saat itu, dari balik kerimbunan pohon bambu, Bobby melihat seorang pemuda tampak sedang mengenakan celana panjangnya, sementara yang gadis tampak sedang mengancingkan bajunya.
"Nu-Nuraini..."" tanya Bobby dalam hati. "A-apa sebenarnya yang dia dilakukannya bersama Haris di tempat sepi seperti ini"" tanya pemuda itu hampir tak bisa mempercayainya. Lantas dengan rasa penasaran yang teramat sangat, pemuda itu pun terus mengamati keduanya dengan penuh seksama.
"Nur, aku senang bisa membuatmu ceria kembali," kata Haris puas.
"Iya, Kak. Kakak memang hebat, terus terang aku betul-betul puas dengan pengalaman yang luar biasa ini. Terima kasih ya, Kak!"
"Kalau begitu, maukah kau melakukannya di lain waktu""
Nuraini mengangguk sambil merapikan tatanan rambutnya.
"Bagus... lain waktu tentu akan lebih hebat dari yang tadi," kata Haris seraya menggendong ransel yang dibawanya. Kini kedua muda-mudi itu tampak bergerak meninggalkan tempat itu sambil terus berceloteh riang gembira. Pada saat yang sama, Bobby tampak sedang berpikir keras. "Hmm... sungguh aku tidak menduga kalau mereka baru saja melakukan itu," gumam Bobby seraya tertunduk sedih. Saat itu perasaannya langsung hancur berkeping-keping karena sebab peristiwa yang baru dialaminya.
"Nuraini.... sungguh aku tidak menduga, kalau kau
adalah gadis seperti itu. Sungguh selama ini kau telah memikatku dengan kepalsuan." Lantas pemuda itu segera melangkah pergi. Setibanya di mobil, dia pun langsung merebahkan diri di atas kap mobilnya dan merenungkan apa yang baru didengar dan disaksikannya. Saat itu hatinya terasa benar-benar hancur, dan dia benar-benar tidak menyangka kalau apa yang didengar dan disaksikannya itu telah begitu menyayat hatinya.
Malam harinya, Randy tampak sedang menelepon Nuraini. Rupanya pemuda itu ingin mengetahui perihal Bobby yang katanya mau datang menemui Nuraini, namun dia menjadi heran lantaran Bobby belum juga datang menemuinya.
"Nur, kau jangan bercanda!"
"Sungguh, Kak. Dia memang belum menemuiku."
"Hmm... aku benar-benar tidak mengerti akan sikapnya. Padahal ketika sedang bersamaku tadi, dia sudah tak begitu sabar ingin menemuimu. Bahkan aku sudah menduga, kalau dia pasti akan langsung melamarmu. Tapi ternyata... "
"Mungkin dia datang saat aku sedang pergi, Kak."
"Memangnya kau pergi ke mana""
"Aku pergi memancing bersama Haris."
"O, kalau begitu... mungkin saja dia memang datang disaat kau pergi. Tapi... "
"Tapi apa, Kak""
Tapi, bukankah dia bisa kembali lagi untuk menemuimu. Sekarang kan sudah pukul sembilan malam, masa sih sudah selama ini dia belum juga menemuimu."
"Iya, ya... jika dia memang betul-betul mencintaiku, seharusnya dia itu sudah datang dan langsung melamar aku."
"Ya, seharusnya memang seperti itu. Sebab, dia sudah begitu memohon padaku untuk membatalkan lamaranku, bahkan dia berani menyerahkan nyawanya padaku."
"Hmm... ini memang benar-benar aneh."
Kedua muda-mudi itu terus berbicara mengenai keanehan itu. Sementara itu di tempat lain, di tepian telaga. Orang yang sedang mereka bicarakan itu tampak masih termenung di atas kap mobilnya. Dia tampak termenung sambil memperhatikan air telaga yang tenang. kini pemuda itu tampak terlentang memandang ke arah bintang-bintang yang bertaburan. Matanya yang basah tampak tak berkedip memperhatikan bintang-bintang itu, dan ketika ia berkedip bulir air matanya pun langsung meluncur jatuh. "Ya Tuhan... aku betul-betul tidak mengerti akan garis hidupku yang sudah kau tentukan ini. Haruskah aku menikahi gadis lacur seperti dia, yang selama ini telah bersembunyi di balik topengnya yang hampir sempurna. Dan jika memang benar demikian, kenapa Engkau membukakan topengnya padaku, sehingga aku pun merasa berat untuk menikah dengannya" Ya Tuhan... apakah ini semua karena hukuman-Mu yang tak menghendaki aku memiliki ga
dis yang sudah dilamar oleh saudaraku sendiri""
Pemuda itu terus hanyut di dalam kesedihan, hingga akhirnya dia memutuskan untuk kembali pulang. Di dalam perjalanan, pemuda itu tampak memacu mobilnya dengan kecepatan yang sangat tinggi dan berharap maut segera merenggutnya. Namun karena Tuhan masih melindungi, akhirnya dia tiba di rumah dengan selamat.
Esok harinya, sepulang dari Mall, Bobby langsung duduk melamun di tepian kolam ikan dan memandangi ikan-ikannya yang tampak riang gembira. Sungguh sangat kontras dengan perasaannya yang kini sedang dilanda kesedihan. Pada saat itulah, tanpa diduga-duga Randy datang menemuinya dan menceritakan perihal lamaran yang ternyata hanya sebuah sandiwara. Ketika mengetahui itu, Bobby sama sekali tidak terkejut, sebab dia memang sudah mengetahuinya dari mulut Nuraini sendiri. Bahkan dia sudah tidak mempermasalahkan hal itu lantaran kebenciannya kepada Nuraini-yang diketahuinya telah mengkhianati cintanya.
"Sudahlah, Bob! Sebaiknya kau lekas temui Nuraini, dia sengaja melakukan sandiwara itu karena dia itu begitu mencintaimu," pinta Randy yang menduga Bobby masih kecewa lantaran sandiwara itu.
"Ran, kau tidak perlu mengajariku soal itu. Ketahuilah! Hati nuraniku mengatakan kalau Nuraini itu bukanlah gadis yang tepat untukku, sungguh dia itu tidak seperti yang kuduga selama ini."
"Kau salah, Bob. Nuraini itu adalah gadis yang baik, dan dia sangat layak menjadi pendampingmu."
"Tidak, Ran. Hanya Winda-lah satu-satunya gadis yang tepat untukku. Dan aku percaya hanya dialah gadis yang bisa mengerti aku."
"Bob, Winda itu tak mungkin bisa menjadi milikmu. Jika kau terus mengharapkannya, kau hanya membuang-buang waktumu."
"Ran, kau jangan sok tahu. Kau jangan sombong dengan menjadikan dirimu lebih tahu dari Tuhan. Ketahuilah kalau sebenarnya jodoh itu bukan kau yang menentukan, melainkan Tuhan-lah yang menentukannya."
"Kau benar, Bob. Tapi kau juga harus ingat, bahwasannya manusia harus menyadari realita, dan ia harus berusaha mencari alternatif lain."
"Aku kan sudah berusaha, dan ternyata Nuraini memang bukan untukku."
"Bob, apa kau masih juga tidak percaya kalau soal lamaran itu hanyalah sebuah sandiwara."
"Ya, aku percaya.. sangat percaya... Namun, bukan itu persoalannya."
"Lalu apa""
"Ketahuilah kini aku sudah tidak tak berminat lagi padanya, sebab dia itu seorang gadis pendusta yang selama ini telah bersembunyi di balik topeng kebaikan. Hanya Windalah satu-satunya gadis yang terbaik untukku."
"Bob, aku betul-betul tidak mengerti. Waktu itu sepertinya kau begitu mencintai Nuraini, lalu kenapa tiba-tiba kau begitu membencinya. Apakah semua ini karena sebab lamaran sandiwara itu, sehingga kau menganggapnya sebagai gadis pendusta yang tak pantas kau cintai. Bob, kau tidak fair. Apakah karena sebab kekurangan Nuraini yang terpaksa melakukan dusta putih itu, lantas kau membandingkannya dengan segala kebaikan Winda yang kau sendiri belum mengetahui pribadinya secara utuh."
"Sudahlah, Ran. Terus terang, sebetulnya aku enggan untuk mengungkap aib Nuraini. Sebab dengan begitu, sama saja dengan mengungkap aibku sendiri. Bukankah kau sendiri yang mengajariku soal itu. O ya, Ran. Aku betul-betul tidak mengerti, kenapa sih kau begitu ngotot untuk menjodohkanku dengan Nuraini" Bahkan kau harus terlibat dengan dusta yang kau bilang putih itu. Apa iya ada dusta putih, setahuku dusta tidak berwarna, dusta tetaplah dusta."
"Kau benar, Bob. Dusta tetaplah dusta. Tapi... aku terpaksa terlibat demi untuk kebaikanmu, dan juga kebaikan Nuraini. Bob, aku ini sahabatmu, dan aku sangat peduli denganmu."
"Jika memang benar demikian, kenapa kau tidak berusaha mencari Winda dan menyatukan kami."
"Itu tidak mungkin, Bob."
"Kenapa"" "Sebab, kini dia sudah menjadi milik orang." "A-apa! Ja-jadi dia sudah menikah"" "Belum, Bob. Tapi... dia sudah menjadi kekasih orang."
"Jadi... baru sebatas kekasih. Ketahuilah, Ran... ! Selama dia belum dilamar orang, berarti aku masih mempunyai kesempatan. Kalau begitu, katakanlah! Di mana dia sekarang. Biar aku menemuinya dan langsung melamarnya."
"Sudahlah, Bob! Lupakanlah dia, sebab
tak lama lagi dia akan dilamar. Lagi pula, aku juga tidak tahu sekarang dia lagi ada di mana."
"Be-benarkah yang kau katakan itu""
Randy mengangguk. "Karenanyalah aku mohon kepadamu untuk segera menemui Nuraini, dan kemudian minta maaflah padanya. Bob... jika kau sudah mengenal dia aku yakin kau akan sangat mencintainya."
"Tidak, Ran. Aku tidak mungkin bisa mencintai gadis munafik seperti dia."
"Kau bicara apa, Bob! Teganya kau menuduh Nuraini seperti itu."
"Kau tidak tahu, Ran. Kalau sebenarnya Nuraini itu tidak seperti yang kau duga selama ini. Ketahuilah kalau selama ini dia sudah menipumu dengan segala kedok kebaikan yang memikat itu."
"Bob, kau memang sudah keterlaluan. Aku sungguh tidak menduga kalau kau bisa berkata seperti itu. Sebab aku tahu betul siapa Nuraini itu, dia adalah gadis baik-baik yang taat kepada perintah Tuhan. Tidak mungkin menjadi seperti yang kau tuduhkan itu."
"Iya, kan. Baru aku bilang begitu saja kau sudah sangat marah. Apalagi jika aku sampai mengungkapkan aib yang sebenarnya. Mungkin kau akan menuduhku sebagai tukang fitnah."
"Aib" Aib apa itu, Bob. Katakanlah!"
"Tidak! Aku tidak akan mengatakannya padamu. Pokoknya kini semua terserah kepadamu, kalau kau mau percaya padaku, ya syukur. Kalau pun tidak, ya tidak apa-apa. Yang jelas, aku tidak akan bersedia mengikuti keinginanmu untuk kembali mencintai Nuraini. O ya, aku sama-sekali tidak percaya kalau Winda sudah mau dilamar orang. Mungkin itu hanya siasatmu agar aku kembali pada Nuraini. Jika benar demikian, sungguh aku tidak menduga kalau sahabatku tega berbuat serendah itu."
"Bob, kau bicara apa! Andai kau tahu yang sebenarnya tentu kau tidak akan menuduhku begitu."
"Kalau begitu, katakanlah yang sebenarnya!"
"Baiklah, aku akan mengatakan hal yang sebenarnya." Saat itu Randy tampak terdiam seperti memikirkan sesuatu.
"Ran! Kenapa kau diam"" tanya Bobby menyadarkan pemuda itu dari lamunannya. "Kau ini bagaimana sih, katanya mau mengatakan hal yang sebenarnya. Tapi, kenapa kau malah diam""
"Maaf, Bob! Aku tidak bisa," kata Randy mengurungkan niatnya, dia betul-betul khawatir jika sampai memberitahunya tentu akan membuat Bobby menjadi seperti yang ada di bayangannya barusan. "Bob, kini aku bisa mengerti, cinta itu ternyata memang tidak bisa dipaksakan. Kalau kau memang tidak mencintai Nuraini, aku tidak akan berusaha lagi menjodohkanmu dengannya. Lakukanlah apa yang menurutmu baik, karena apa yang menurutku baik belum tentu baik untukmu," kata pemuda itu melanjutkan.
Sungguh Bobby tidak menduga kalau akhirnya Randy akan mengatakan itu. "Terima kasih, Ran.
Akhirnya kau mau mengerti aku," kata pemuda itu puas.
"Bob, maafkan aku jika tak bisa membantumu!"
Setelah berkata begitu, Randy mohon pamit dan akhirnya pergi meninggalkan Bobby. Pada saat yang sama, Bobby tampak heran dengan perubahan prilaku sahabatnya yang begitu tiba-tiba. Entah kenapa dia pergi begitu saja dengan meninggalkan banyak pertanyaan, sepertinya pemuda itu sengaja menyembunyikan sesuatu yang tak sepatutnya dia ketahui.
ENAM Semenjak pertemuannya dengan Randy waktu
itu, Bobby tak pernah berjumpa lagi dengannya. Karena penasaran, Bobby pun berniat mengunjunginya. Di suatu siang yang panas, Bobby tampak mengendarai mobilnya menuju ke tempat kost Randy. Setibanya di sebuah gang kecil, pemuda itu segera turun dan melangkah menyusuri jalan MHT yang di kanan-kirinya tampak permukiman penduduk yang padat dan berdempet-dempet. Pemuda itu terus melangkah, hingga akhirnya dia tiba di tempat tujuan. Saat itu Bobby betul-betul tampak kecewa, ternyata sahabatnya itu sudah pindah entah ke mana.
"Hmm... sebenarnya dia pergi ke mana, hingga tak seorang pun teman kostnya mengetahui"" tanya Bobby seraya meninggalkan tempat itu.
Sungguh dia tidak menyangka kalau Randy kini sudah menghilang bak ditelan bumi. Kini pemuda itu duduk di atas pagar jembatan sambil terus memikirkan perihal sahabatnya. Sungguh dia tidak mengerti, kenapa hanya karena perbincangannya waktu itu Randy menjadi demikian. Sambil memandang ke aliran sungai yang cukup tenang, pemuda itu pun mencoba mendapat jawaban.
"Hmm... Ke napa dengan Randy" Apakah semua itu karena dia kecewa dengan keputusanku. Aku benar-benar heran, kenapa Randy begitu ngotot ingin menjodohkanku dengan Nuraini. Padahal, dia itu kan gadis lacur yang tak bermoral. Hmm... apa mungkin karena selama ini dia sudah begitu percaya dengan Nuraini yang begitu lihai bersembunyi di balik topengnya yang benar-benar sempurna, hingga akhirnya dia pun tidak mampu mengetahui siapa Nuraini itu sebenarnya. Jika benar demikian, perbuatan Randy yang ingin menjodohkanku dengan gadis itu adalah perbuatan yang sangat bodoh. Dan karena kebodohannya itu, dia hampir saja memasukkanku ke dalam perangkap gadis yang tak bermoral itu," pikir Bobby sambil terus memperhatikan riak air sungai yang dilihatnya tampak kotor.
Pemuda itu terus memikirkan Randy, sedang kedua matanya tampak memperhatikan aliran sungai yang saat itu dilihatnya banyak membawa benda-benda aneh dan unik yang entah dari mana asalnya. Saat itu dia sempat melihat sebuah boneka yang menyeramkan, tangan dan kakinya sudah tak ada, sebagian kepalanya yang berambut pirang tampak gundul. Dan yang paling menyeramkan adalah sebelah matanya yang tak mempunyai bola mata. Tak jauh dari boneka yang hanyut itu terlihat sebuah bola plastik yang sudah penyok-penyok, dan juga seekor bangkai kucing yang hampir membusuk. Bobby sempat iba melihat hewan malang yang sudah menjadi bangkai itu, bahkan dia sempat memikirkan penyebab kematiannya. Namun belum sempat dia mendapatkan jawaban, tiba-tiba dia melihat sebuah bagian tubuh manusia yang tengah mengapung. Bobby sempat terkejut dengan apa yang dilihatnya itu, namun setelah dia mengamati dengan seksama kalau itu hanyalah sebuah tangan boneka yang sering dilihatnya di etalase, akhirnya dia pun menjadi lega.
Memang ada-ada saja yang dibawa oleh aliran sungai di Ibu Kota ini, yang mana airnya terkadang berwarna cokelat keruh dan terkadang berwarna kelabu dengan sedikit hijau kehitaman. Bahkan sesekali waktu airnya itu pun beraroma tak sedap dan membuat selera makan jadi berkurang, sungguh cocok buat mereka yang berniat melangsingkan badan. Karena dengan tanpa obat-obatan yang mempunyai efek samping, dia pun bisa mengurangi nafsu makannya.
Tiba-tiba Bobby dikejutkan oleh seekor ikan sapu-sapu yang entah kenapa mendadak muncul dan menciptakan suara yang cukup mengejutkan. Saat itu Bobby sempat terpukau dengan ikan yang diduganya sangat kuat dan bisa mempertahankan keberadaan rasnya dari kepunahan. Maklumlah, ikan jenis itu memang cukup banyak ada di sungai itu, dan ukurannya pun cukup besar pula, namun anehnya tidak banyak orang yang mau mengkonsumsinya. Dan yang paling membuat Bobby kagum adalah ikan itu mampu bertahan hidup disaat ikan-ikan lain sudah pada teler lantaran limbah yang mengotori sungai.
Setelah Bosan merenung di tempat itu, Bobby segera kembali ke mobil dan bergerak menuju ke tempat favoritnya. Dan beberapa menit kemudian, dia sudah sampai di tempat tujuan. Kini pemuda itu sedang melangkah ke sebuah gedung tinggi yang belum selesai dibangun. Di atap gedung itulah dia tampak menyendiri sambil memperhatikan kepadatan rumah penduduk yang jika dilihat dari atas hanya tampak atapnya saja. Ada atap yang berwarna merah, kuning, hijau, cokelat, dan biru. Saat itu dia sempat melihat beberapa anak kecil tampak sedang bermain layang-layang di atap rumahnya masing-masing. Kini kedua mata pemuda itu tampak memperhatikan berbagai antena televisi yang seperti berlomba-lomba menangkap gelombang siaran. Bentuknya pun tampak bermacam-macam, ada yang besar dan yang kecil, malah ada yang berbentuk unik seperti seekor ikan yang tinggal hanya tulangnya saja, dan ada juga yang aneh menyerupai tutup panci. Ups! Ternyata itu memang tutup panci betulan yang dimanfaatkan untuk antena karena tak mampu membelinya. Saat itu Bobby hanya tersenyum dalam hati, dan di dalam benaknya pemuda itu sempat bertanya-tanya apa ia tutup panci seperti itu bisa menangkap gelombang dengan bagus.
Setelah sedikit terhibur dengan segala yang dilihatnya, kini pemuda itu kembali merenungkan sahabatnya. Dan setelah agak lama, renungan itu pun be
rubah. Kini pemuda itu tengah merenungkan perihal pujaan hatinya, yang selama ini tak pernah diketahui rimbanya. "Winda... ke mana lagi aku harus mencarimu" Padahal, aku sudah sangat merindukanmu. Entah sampai kapan aku sanggup begini" Apakah selama ini usahaku masih kurang maksimal sehingga aku tak jua menemukanmu. Baiklah... aku berjanji, mulai saat ini aku akan berusaha lebih keras lagi untuk mencarimu. Kalau perlu, semua pelosok akan kujelajahi demi bisa berjumpa denganmu. Bukankah Randy belum lama telah berjumpa denganmu. Dengan begitu, aku pun tentu bisa berjumpa denganmu."
Bobby terus memikirkan perihal pujaan hatinya. Sementara itu di tempat lain, Randy dan Nuraini tampak sedang bercakap-cakap. Mereka duduk berdampingan di sebuah kursi taman yang terbuat dari beton. "Ja-jadi... kau masih mau mencoba untuk bisa mendekatinya"" tanya Randy kepada Nuraini.
"Kau betul, Kak. Sebab aku sudah begitu mencintainya, dan aku ingin dia menjadi suamiku."
"Hmm... apa mungkin dia mau kembali padamu" Bukankah kau bilang ketika terakhir bertemu dengannya, dia tampak begitu marah, bahkan dia bilang sudah tak mau melihat wajahmu lagi. Kalau sudah begitu, bagaimana mungkin kau bisa mendekatinya."
"Entahlah, Kak. Aku juga tidak tahu, namun begitu aku akan berusaha untuk bisa mendapatkan hatinya kembali."
"Kalau begitu terserah kau saja. Aku pun tidak punya cara untuk bisa menyatukan kalian, saat ini aku cuma bisa bantu doa semoga kalian bisa kembali bersatu. O, ya Nur... ngomong-ngomong kenapa dia sampai menuduhmu seperti itu."
"Sebagai gadis munafik maksudmu""
Randy mengangguk. "Entahlah, aku juga tidak tahu. Terus terang, aku sendiri masih bingung kenapa dia tiba-tiba menuduhku begitu. Dan terakhir aku bertemu dengannya, dia tampak begitu jijik dan... " tiba-tiba Nuraini menangis.
Seketika gadis itu teringat kembali dengan peristiwa yang menyedihkan itu. Waktu itu, ketika dia dan Bobby bertemu di areal parkir sebuah Mall. "Kak, Bobby!" panggil Nuraini kepada Bobby yang kala itu dilihatnya sedang berjalan menuju mobil. Lantas dengan segera gadis itu berlari menghampiri, "Kak, maafkan aku yang sudah memainkan perasaanmu. Terus terang, lamaran Randy itu hanyalah sebuah sandiwara."
"Be-benarkah yang kau katakan itu"" tanya Bobby hampir tak mempercayainya.
Nuraini mengangguk. "Jahat sekali kau, Nur. Kau senang ya jika aku sampai bunuh diri."
"Aku terpaksa, Kak. Sebab, A-aku... "
"Sudahlah, lupakan saja soal itu! Dan karena peristiwa itu pula kini aku tahu siapa dirimu sebenarnya. Dasar gadis munafik!"
"Ka-kau bicara apa, Kak""
"Huh, pura-pura bodoh. Dasar gadis pendusta!"
"Kak, sekali lagi aku minta maaf! Bukan maksudku untuk memainkan perasaanmu. Tapi... "
"Sudahlah! Kau tidak perlu banyak bicara! Sebaiknya kau pergi dari hadapanku! Terus terang, aku sudah muak dan jijik melihatmu."
"Kak, ka-kau... " saat itu Nuraini menangis. Sungguh kata-kata yang diucapkan Bobby itu telah menyakiti perasaannya.
"Percuma kau menangis, Nur. Kau pikir aku akan luluh oleh air matamu itu. Dasar gadis munafik yang murahan!" kata Bobby ketus seraya masuk ke dalam mobilnya.
"Kak! Tunggu, Kak...! Aku mohon, biar aku menjelaskan semuanya," kata Nuraini seraya menahan pemuda itu untuk tidak meninggalkannya.
"Alah..! Pergi sana! Jangan dekat diriku, najis aku berdekatan dengan gadis sepertimu, kata Bobby ketus seraya melaju bersama mobilnya meninggalkan tempat itu. Pada saat itu Nuraini hanya bisa menangis dan menangis.
"Sudahlah, Nur! Kau jangan menangis seperti itu. Jika kau terus menangis, bagaimana aku mencarikan jalan keluarnya," kata Randy membuyarkan ingatan Nuraini.
Mendengar itu, Nuraini pun segera mengusap air matanya. Kini gadis itu tampak berusaha tegar melawan kesedihannya.
"Hmm... apa semua itu karena sebab sandiwara lamaran itu"" duga Randy.
"Aku rasa bukan. Aku kan sudah mengatakannya. Dan kau pun sudah memberi tahunya kalau itu hanyalah sebuah sandiwara. Lagi pula, bukankah disaat sandiwara itu, kau bilang dia begitu menginginkan aku, bahkan dia rela menyerahkan nyawanya padamu. Dan ketika dia mendapat kesempatan, dia pun begitu senang bukan kep
alang. Lantas apakah pantas jika dia marah hanya gara-gara kita mempermainkan perasaannya."
"Iya, semula aku pun menduga demikian. Namun setelah kupikir-pikir, rasanya memang tidak mungkin. Masa iya dia sampai tega meninggalkanmu oleh karena sebab hal seperti itu. Menurut dugaanku, dia menjadi seperti itu karena ada sebab lain, yaitu dia masih tetap terpengaruh oleh sandiwara lamaran itu-yang mungkin saja diyakininya bukanlah sebuah sandiwara."
"Maksudmu"" tanya Nuraini mau tahu lebih jauh. "Bukankah sebelumnya dia tidak tahu kalau lamaran itu hanya sebuah sandiwara." "Iya... lalu""
"Eng... Begini, Nur. Saat itu dia memang sangat menginginkanmu, namun karena suatu sebab tidak mustahil dia mengurungkan niatnya itu."
"Hmm... maksudmu"" Nuraini tampak mengerutkan keningnya.
"Begini, Nur. Bagaimana kalau dia merasa perbuatannya itu salah. Dan karena dia merasa berdosa, akhirnya dia pun pura-pura marah dengan tujuan agar kita kembali bersatu dan menikah, dengan demikian dia merasa kesalahannya tentu akan terbayar. Dan ketika aku memberitahunya kalau itu hanyalah sebuah sandiwara tentu dia tidak akan mudah percaya begitu saja."
"Kalau begitu, bodoh sekali dia. Bukankah hal itu memang cuma sandiwara."
"Ya bodoh sekali dia. Hmm... aku sungguh tidak menyangka kalau dia bisa begitu menghayati hal itu."
"Hal apa, Ran"" Tanya Nuraini penarasan.
"Itu, kalau gadis yang sudah dilamar oleh saudaranya seiman, maka ia sebagai pemuda pantang untuk merebutnya. Dalam kasus itu kan, aku sudah melamarmu lebih dulu, dan aku yakin dia pasti merasa berdosa karena sudah berupaya merebutmu dariku."
"Tapi, bukankah saat itu dia tidak merasa demikian. Ingatlah, bukankah saat itu kau pernah bilang, kalau dia itu tak hendak merebut aku darimu, tapi dia memohon kerelaanmu."
"Ya, itu memang benar. Tapi jika kesadarannya memang sudah begitu tinggi, maka dia pasti bisa merasa kalau apa yang dilakukannya adalah perampasan dengan cara yang sangat halus."
"Hmm... begitu ya. Sungguh betul-betul mengherankan. O ya, ngomong-ngomong kenapa kau pindah dan tak mau menemuinya lagi"" tanya Nuraini perihal kepindahan Randy.
"Itu karena aku takut rahasiaku terbongkar, soalnya akibat sandiwara itu dia justru semakin mengharapkan Winda. Kau kan bisa menduga bagaimana jika sampai ia mengetahui tentang rahasiaku. Dalam kasus lamaran itu terbukti seperti apa dia."
"Kalau begitu, kau tak perlu khawatir. Sebab sudah terbukti kalau dia memang pemuda yang bisa berbesar hati."
"Apa kau bilang" Ingat Nur, biarpun kedua kasus itu serupa, namun sebab-musababnya jauh berbeda. Dan apa kau yakin kalau ending-nya akan sama. Lagi pula, perihal Bobby yang berubah pikiran itu kan baru dugaanku saja. Namun, bagaimana jika ternyata penyebabnya bukan karena kesadarannya yang tinggi, melainkan karena ada sebab lain. Jika begitu, bukankah itu berarti akan mengancam kebahagiaanku."
"Entahlah... aku tidak tahu," jawab Nuraini bingung.
Kedua muda-mudi itu terus berbincang-bincang memecahkan persoalan itu. Sementara itu di tempat lain, Bobby yang sudah merasa lapar terlihat sedang menuruni gedung tempatnya merenung. Kini pemuda itu sudah sampai di warung padang dan langsung memesan sepiring nasi dengan lauk rendang yang lezat. Saat itu selera makannya sempat hilang karena sebab dia teringat kembali dengan peristiwa senja yang menyakitkan itu. Namun karena dia teringat kembali dengan tekadnya yang mau mencari Winda, maka dia pun berusaha untuk tetap makan agar tujuannya mencari Winda tak terhalang oleh karena kesehatan.
Malam harinya, di atas gedung tinggi yang belum selesai dibangun. Bobby tampak kembali termenung sambil memperhatikan rumah-rumah yang ada di kejauhan, namun kali ini pemandangan yang dilihatnya hanyalah lampu-lampu berwarna-warni yang tak beraturan letaknya. Saat itu dia kembali teringat kembali dengan peristiwa yang tak akan pernah dilupakannya, yaitu ketika dia menyusul Nuraini ke telaga. Saat itu, hatinya pun kembali tersayat-sayat, dan dari kedua matanya tampak mengalir air mata kesedihan. Kini kedua mata yang sudah basah itu tampak memperhatikan bintang-bintang yang bertabura
n. Dalam benaknya pemuda itu terus meratap sedih, mengadu pada Tuhannya di bawah gemerlap malam berbintang. Dan setelah udara bertambah dingin, barulah pemuda itu pergi meninggalkan tempat itu.
Esok siangnya, Bobby tampak sedang memasukkan barang-barang yang akan dibawanya bersama pengembaraannya nanti. Rupanya pemuda itu sudah bertekad untuk mencari sang Pujaan Hati yang kini entah berada di mana. Andai saja ia punya fotonya, mungkin akan lebih untuk mudah mencarinya. Setelah semuanya beres, pemuda itu segera menuju ke mobil dan mengendarainya menyusuri jalan yang sudah mulai gelap.
Jeep warna merah yang dikendarai pemuda itu terus melaju menyusuri jalan yang mengarah ke pusat perbelanjaan. Bobby memang berniat mencarinya di tempat itu dan berharap bisa berjumpa dengan kekasihnya. Setibanya di tempat tujuan, pemuda itu segera melangkah memasuki pusat perbelanjaan dan mengamati setiap orang yang ditemuinya. Pemuda itu terus melangkah dan melangkah hingga akhirnya dia pun merasa lelah.
Kini pemuda itu tampak sedang beristirahat di sebuah kafetaria. Sambil menikmati lezatnya makanan dan minuman di tempat itu, Bobby terus saja mengamati orang-orang yang berlalu-lalang. Dalam hati dia sangat berharap akan melihat Winda di antara orang-orang yang berlalu lalang itu. Namun hingga makanan dan minumannya habis, pemuda itu tak jua menemukannya. Hingga akhirnya, dengan langkah gontai pemuda itu segera kembali ke mobilnya dan duduk termenung.
"Win... hari ini aku tidak berhasil menemukanmu. Tapi aku yakin, jika aku terus berusaha, Tuhan pasti akan mempertemukan kita." Saat itu Bobby sempat membayangkan betapa indahnya masa pertemuan itu. Semua kerinduan dan penderitaannya selama ini akan berubah menjadi kebahagiaan yang tiada tara. Maklumlah, pemuda itu merasa kalau selama ini Winda berusaha menjauhinya dan menolak cintanya lantaran dia itu sudah mempunyai kekasih, dan bukan karena sebab dia tak mencintainya. Andai saja dulu dia langsung melamar Winda, tentu gadis itu tak mungkin bisa menolaknya. Sebab, dia yakin sekali kalau Winda itu adalah gadis yang baik dan taat agama, sehingga tidak ada alasan yang kuat baginya untuk menolak lamarannya yang semata-mata karena Allah. Dan keyakinannya itu muncul karena sebab sandiwara lamaran yang dimainkan Nuraini dan Randy waktu itu, yang betul-betul sudah memberikan inspirasi kepadanya perihal pentingnya arti sebuah lamaran. Bahkan, saat ini dia sudah tidak sabar lagi ingin segera bertemu dengan Winda, yang jika nanti bertemu tentu akan langsung dilamarnya. Andai pun nanti Winda menolak dengan alasan yang tidak kuat menurut ukuran agama, maka dia bisa menyimpulkan kalau Winda itu bukanlah tergolong gadis yang baik untuknya.
Kini pemuda itu sudah kembali melaju bersama jeep merah yang dikendarainya. Kali ini dia berniat untuk pergi ke Solo, tanah kelahiran Winda. Maklumlah, saat ini dia menduga kalau Winda mungkin saja sudah pulang kampung dan menjalani kehidupannya di sana. Dan selama di perjalanan, pemuda itu selalu menyempatkan diri untuk mampir di tempat-tempat keramaian dan berharap bisa berjumpa dengan pujaan hatinya itu. Namun sungguh disayangkan, di setiap tempat yang disinggahinya itu, Winda tak juga ditemukan, bahkan ketika pemuda itu sudah sampai di Solo, ternyata gadis itu juga tak ada di rumahnya.
Kini pemuda itu sedang berbincang-bincang dengan adik lelaki Winda yang pekerjaannya sehari-hari membantu ayahnya menggarap sawah.
"Kak, Bobby. Sudah lama juga Kak Winda belum memberi kabar apa-apa mengenai dirinya. Bahkan saat ini pun kami tidak tahu di mana dia sekarang. Kabar terakhir yang kami ketahui, dia itu mau pergi dari Jakarta dan bekerja di kota lain. Sayangnya, Kak Winda tidak memberitahu nama kota itu. Kalau saja dia sempat memberitahuku, tentu aku akan memberitahukannya pada Kakak."
"Hmm... kira-kira kota apa ya"" tanya Bobby seakan tak mempunyai harapan.
"Entahlah, Kak. Yang jelas kota itu masih di Pulau Jawa."
Sejenak Bobby menarik nafas panjang membayangkan betapa luasnya Pulau Jawa itu, haruskah ia menelusuri setiap jengkal kota-kota di Pulau Jawa demi menemukan Winda
. "Hmm... sanggupkah aku untuk terus mencarinya"" tanya Bobby dalam hati meragukan kemampuannya. "Ya, Tuhan... apakah aku memang sanggup. Terus terang, mencarinya hingga sampai di sini saja aku sudah merasa kelelahan. Apa lagi jika harus mencarinya di semua kota, bisa-bisa.... "
"Kak, apa yang kau pikirkan"" tanya adik Winda membuyarkan pikiran pemuda itu.
"Tidak. Aku hanya sedang bingung saja, apakah aku akan terus mencarinya atau tidak," jawab Bobby terus terang.
"Kak, sebaiknya sekarang ikut aku yuk!" tawar adik Winda kepada Bobby.
"Ke mana"" tanya Bobby penasaran.
"Bagaimana kalau kita ngopi di warung sambil mendengarkan teman-temanku bermain musik. Mungkin dengan begitu, hati Kakak akan bisa sedikit terhibur."
Saat itu Bobby langsung membayangkan suasana ceria yang ada di warung itu, di dalam benaknya dia membayangkan kalau suasananya tentu akan lebih ramai daripada di kebun singkong tempatnya biasa nongkrong. "Kalau begitu, Mari!" ajak pemuda itu bersemangat.
Lantas kedua pemuda itu segera melangkah menuju warung yang dimaksud. Dan setibanya di sana, mereka pun langsung memesan kopi dan menikmatinya sambil mendengarkan beberapa pemuda yang memainkan alat musik. Saat itu, suara tabuhan gendang yang bertalu-talu, dan juga suara gitar dan alat perkusi lainnya terdengar begitu harmonis, sungguh semua itu telah menciptakan suasana yang membahagiakan. Hati Bobby pun menjadi riang kala mendengar semua itu, bahkan rasa sedihnya sedikit bisa terobati, hingga akhirnya dia pun bisa bersenda-gurau dengan adik Winda dan juga para pemuda yang baru dikenalnya itu.
Beberapa bulan kemudian, di sebuah jalan, seorang pemuda tampak duduk termenung sambil menyandarkan kepalanya di atas setir mobil. "Ya Tuhan... Ampunkanlah segala dosa-dosaku yang lalu. Berilah aku kekuatan untuk terus bisa mencarinya. Ya Tuhan, Engkau tentu tahu, kalau selama ini aku sudah menelusuri beberapa kota, namun ternyata Winda tak jua kutemukan. Karenanyalah aku mohon, kiranya pada kota berikutnya Engkau mau mempertemukan aku dengan gadis yang aku cintai itu," ucap Bobby dalam hati seraya kembali teringat dengan segala kebaikan yang Winda miliki. "Ya Tuhan, aku tentu akan bahagia bila dia benar-benar bisa menjadi istriku. Sebab, dia itu akan menjadi istri yang baik, istri yang pengertian dan juga patuh kepada suami, yang dengannya aku akan menjadi suami yang bertanggung jawab dan merasa berkewajiban untuk membahagiakannya."
Tiba-tiba ingatan pemuda itu dibuyarkan oleh kehadiran seorang ibu tua yang meminta belas kasihannya. Saat itu, Bobby pun segera mengambil uang receh yang ada di dashboard mobil dan memberikannya kepada ibu tua itu. Setelah ibu tua itu pergi, Bobby tampak memikirkan rencana selanjutnya. Dan setelah berpikir agak lama, akhirnya dia memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanannya ke kota berikutnya, yaitu ke Kota Perjuangan, Surabaya.
TUJUH Setahun telah berlalu. Di stasiun kereta api Tugu
Jogyakarta, seorang pemuda tampak duduk termenung di peron sambil memandang ke rangkaian gerbong yang sedang dibersihkan. Kini pemuda itu tampak menyeka rambut kusut yang menutupi sebagian wajahnya. Hingga akhirnya tampak jelaslah seluruh goresan air muka yang menggambarkan kepedihannya selama ini, sungguh terlihat lusuh bagaikan kain tua yang tak terawat. Tiba-tiba wajah lusuh itu tertunduk, lantas dari kedua matanya yang tak lagi bersinar tampak mengalir air mata kesedihan. "Winda... ke mana lagi aku harus mencarimu" Sudah seluruh pelosok kota aku jelajahi, namun hingga kini aku tak jua menemukanmu. Haruskah aku menghentikan pencarian yang sia-sia ini"" tanya Bobby dalam hati seraya kembali memandang ke arah rangkaian gerbong yang sedang dibersihkan itu.
"Hmm... sebaiknya aku memang harus menyerah dan segera pulang ke kampung halamanku. Sebab, di sanalah aku bisa menjalani kehidupanku dengan penuh makna. Biarlah aku tak bisa bersamamu, biarlah aku terus menderita di dalam kesendirianku, yang selama ini memang terasa begitu sepi, walau kini aku sedang berada di tengah hiruk-pikuknya kehidupan kota yang tak pernah tidur. Walaupun demikian, aku akan ter
us berusaha bertahan. Sebab aku yakin, suatu saat aku pasti akan menemukan kebahagiaan lain yang direncanakan Tuhan."
Sungguh penampilan pemuda itu sangat berbeda dengan penampilannya setahun yang lalu. Kini dia sudah menjadi seorang gelandangan karena semua miliknya sudah dijual selama pengembaraan. Kini yang tertinggal hanya pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya.
"Ka-Kak, Bobby! Apa yang kau lakukan di sini"" tanya seorang wanita yang tampak begitu terkejut melihatnya.
Mendengar namanya dipanggil, seketika pemuda itu menoleh. "Le-Leni" Ka-kau..." ucap pemuda itu tergagap sambil terus memperhatikan wajah cantik, milik seorang wanita yang dikenalnya ketika menginap di villa dulu.
"Iya, Kak. Ini aku. Se-sebenarnya apa yang telah terjadi"" tanya Leni prihatin.
"A-aku mencari Winda, Len. Dan karenanya aku menjadi seperti ini. Namun, kini aku sudah menghentikan pencarian. Sebab aku menyadari, kalau dia memang bukanlah jodohku. Ka-kau sendiri sedang apa di sini"" Bobby balik bertanya.
"A-aku berjualan nasi gudeg, Kak," jawab Leni tersipu.
"Ka-kau sudah meninggalkan pekerjaan lamamu"" tanya Bobby hampir tak mempercayainya.
"Iya, kak. Masih ingatkah ketika kau memberikan uang Rp. 2.000.000 kepadaku""
"Ya, aku memberikan uang itu sebagai ucapan terima kasihku karena kau sudah mau menjadi tempat curahan hatiku," jawab Bobby.
"Nah, dengan uang itulah akhirnya aku memutuskan untuk pulang kampung dan membuka usaha nasi gudeg ini. Saat itu aku menyadari kalau kau telah memberikan peluang padaku untuk kembali ke jalan yang lurus, dan dengan uang halal yang kau berikan itu, akhirnya aku memutuskan untuk menjalani kehidupan baru, yaitu hidup dengan nafkah halal yang diridhai Tuhan. Saat itu aku betul-betul yakin, jika aku memang mau berusaha keras aku pasti bisa bertahan hidup walaupun dengan penghasilan yang kecil."
"Syukurlah, Len. Sungguh aku sangat bersyukur karena ternyata doaku sudah dikabulkan-Nya," kata Bobby gembira. "Len... " lanjutnya lagi seraya menatap mata wanita itu dalam-dalam.
"Iya, Kak. Ada apa""
"Ma-maukah kau menikah denganku""
"Me-menikah...!" ucap Leni terkejut.
"Iya, Len. Dengan begitu, aku bisa membantumu berjualan nasi gudeg itu. Atau kalau perlu kita pergi ke Jakarta dan membuka usaha di sana. Len... apakah kau bersedia""
Leni tidak segera menjawab, dia malah meneteskan air matanya. Lalu dengan air mata yang masih terus berlinang, gadis itu menatap mata Bobby dalam-dalam. Dipandangnya kedua bola mata pemuda itu dengan penuh penyesalan. "Kak, maafkan aku! Belum lama aku sudah menikah dengan seorang pemuda baik-baik yang mau menerimaku apa adanya."
"Be-benarkah itu"" tanya Bobby hampir tak mempercayainya.
Leni mengangguk, "Terima kasih atas niat baikmu itu, Kak. Namun sekali lagi aku minta maaf karena tak mungkin bisa menerimanya."


Cahaya Bintang Karya Bois di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak apa-apa, Len. Aku bahagia kalau ternyata kau sudah mempunyai suami yang baik. Aku menyadari, kalau kau memang bukanlah jodohku. Kau hanyalah gadis yang sengaja dipertemukan oleh Tuhan untuk menjadi bagian dari upayaku dalam meningkatkan nilai keikhlasan dan juga kesabaranku. Rupanya inilah yang dimaksud oleh sahabatku Randy, kalau setiap episode yang aku jalani adalah untuk membuatku menjadi lebih dewasa dan lebih bijaksana. Jika aku ikhlas dan sabar dalam menjalaninya, maka Insya Allah aku akan menjadi lebih baik. Kini aku bukan hanya tahu, namun juga bisa memahaminya," ungkap Bobby yang tampaknya sudah mulai memahami akan hikmah tersembunyi yang ada pada setiap episode. Namun sebetulnya bukan itu saja hikmah yang bisa ia dipetik, melainkan ada hikmah lain yang belum dia sadari, yaitu bahwa ia telah dilindungi untuk tidak menikahi gadis pezina lantaran ketidaktahuannya. "O ya, Len. Terima kasih karena kau sudah menjadi bagian terpenting di dalam kehidupanku. Aku doakan, semoga keluargamu bisa menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah. Amin..."
"Terima kasih, Kak. Aku doakan juga semoga Kakak segera bertemu dengan belahan jiwa Kakak. Amin.. O ya, Kak. Ngomong-ngomong apa rencana Kakak selanjutnya" Apakah Kakak akan menetap di sini""
"Tidak, Len. Aku akan kembali ke Jakar
ta. Sebab, di sanalah aku telah dilahirkan dan dibesarkan. Dan di sana pulalah aku berharap akan meninggal dan dimakamkan. Namun, sebelum aku menemui ajal, aku akan berjuang dan ikut berpartisipasi semampuku dalam membangun kampung halaman tercintaku."
"Kalau begitu, aku doakan semoga Kakak tiba di sana dengan selamat. Dan aku juga mendoakan semoga apa yang selama ini Kakak cita-citakan dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Amin..."
"Amin. Terima kasih, Len. Kalau begitu, sebaiknya aku pergi sekarang."
"Iya, Kak. Hati-hati di jalan!"
Setelah melempar sebuah senyum, lantas dengan segera Bobby mengejar sebuah kereta barang yang baru saja bergerak meninggalkan stasiun. Dan tak lama kemudian, dia sudah naik di atas sambungan gerbong sambil melambaikan tangannya kepada Leni. Pada saat itu, perempuan yang bernama Leni itu cuma bisa terpaku seraya membatin, "Kakak... kenapa kau tak bilang kalau kau tak punya ongkos" Andai kutahu, aku pasti akan memberikannya dengan suka rela."
Sementara itu di atas kereta api, Bobby tampak sudah duduk di ruang sempit yang ada di dekat sambungan gerbong. Saat itu dia tampak berbincang-bincang dengan seorang pengamen yang juga mau ke Jakarta. Keduanya tampak begitu akrab karena menjadi teman seperjalanan, sebuah perjalanan panjang yang pastinya akan sangat melelahkan. Benar saja, setelah menempuh perjalanan beberapa puluh kilometer, kedua pemuda itu tampak mulai kelelahan. Maklumlah, memang lelah sekali rasanya berjam-jam duduk di tempat yang tidak nyaman seperti itu, apa lagi ketika hari sudah semakin larut, dimana hawa dingin dan rasa lelah membuat rasa kantuknya hampir tak tertahankan.
"Kau jangan tidur, Bob!" larang Manto, teman baru Bobby yang pengamen itu.
"Aku tak kuat lagi, To."
"Jika kau tertidur, kau bisa jatuh, Bob. Kalau begitu, pakai tali gantungan gitarku ini! Jika kau tertidur, kau akan sedikit lebih aman."
Lantas, Bobby pun segera mengikat dirinya dengan menggunakan tali gantungan gitar itu. Benar saja, ketika Bobby tertidur, tali itu bisa menahannya agar tidak terjatuh.
"Bob, bangun!" seru Manto tiba-tiba sambil menepuk pundak pemuda itu. Seketika Bobby terjaga dan berusaha memperbaiki posisi duduknya. "Maaf To! Aku telah tertidur."
"Berusahalah untuk tetap terjaga, Bob!"
"Iya, To. Aku akan berusaha, sebab tadi kantukku memang sudah tak tertahankan. Tapi sekarang, sepertinya sudah agak berkurang."
Agar rasa kantuk tak kembali menyerang, akhirnya kedua pemuda itu memutuskan berbincang-bincang menceritakan pengalaman hidup masing-masing. Benar saja, setelah saling berbagi pengalaman hidup, mereka pun sudah tak mengantuk lagi.
"Bob, bersiap-siaplah menjadi tuli!" kata Manto memperingati. "A-apa, tuli.""
"Ya, sepertinya kereta ini mulai memasuki terowongan. Dengarlah suara bising di depan kita itu!"
"Kau benar, To. Sepertinya kereta ini memang memasuki terowongan."
"Kalau begitu, bersiaplah untuk menerima kebisingan yang menyiksa!"
Benar saja, ketika gerbong yang mereka tumpangi memasuki terowongan, suara bising pun terdengar begitu memekakkan telinga. Saat itu Bobby ingin sekali menutup telinganya, namun dia tidak bisa, sebab sebelah tangannya sudah digunakan untuk membantu memegang gitar Manto, dan yang satunya lagi digunakan untuk berpegangan agar tak jatuh. Lalu dengan terpaksa, pemuda itu terus mendengarkan bunyi bising yang menyiksa itu, hingga akhirnya kereta sudah kembali keluar terowongan.
"Apa"" tanya Bobby tak mendengar ucapan temannya yang kini sedang berbicara padanya. "Gawat, aku jadi tuli," kata Bobby dalam hati.
"Bob!" seru Manto.
"Apa, To"" tanya Bobby refleks seraya menyadari sesuatu. "A-aku bisa mendengar," ungkap pemuda itu senang ketika menyadari kalau ia bisa mendengar ucapan Manto barusan. "To, tadi aku pikir aku akan tuli selamanya. Tapi untunglah kini aku sudah bisa mendengar," kata pemuda itu senang bukan kepalang.
"Itu namanya kau masih beruntung, Bob. Sebab, jika tidak kau tentu tuli selamanya."
Dalam hati, Bobby merasa kapok untuk menumpang kereta dengan cara seperti itu karena memang sangat berbahaya. Kalau saja dia tahu akan sepe
rti itu, tentu ia akan mengesampingkan rasa tidak enaknya terhadap Leni, yang karena rasa sayangnya tidak mau membebani gadis itu dengan meminta hasil usahanya yang tak seberapa sebagai ongkos pulang. Tapi, semua sudah terlambat. Akibat rasa tidak enak itu, maka nyawa dan pendengarannya pun menjadi taruhan.
Pagi harinya, sinar mentari yang keemasan tampak mulai menerangi stasiun Jakarta Gudang. Pada saat itu, Bobby dan Manto terlihat menuruni gerbong dan melangkah menuju ke tempat truk-truk besar sedang diparkir. "Hati-hati, Bob!" pesan Manto seraya menjabat tangan pemuda itu dengan erat. "Terima Kasih, To. Sampai berjumpa lagi," pamit Bobby seraya naik ke atas truk yang kebetulan memang satu tujuan dengannya.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya Bobby sampai juga di perkampungan tempat tinggalnya. Dan setibanya di rumah, dia langsung terkapar di tempat tidurnya yang berdebu. Lama pemuda itu tertidur karena kelelahan yang teramat sangat.
Esok harinya, Bobby sudah lupa dengan tekadnya untuk menjalani kehidupan dengan penuh makna. Kini dia justru sedang meratapi nasibnya yang dirasakan tidak adil. Sungguh perkataan yang mengatakan kalau ia sudah memahami mengenai arti ikhlas dan kesabaran hanyalah berupa isapan jembol belaka. "Ini tidak mungkin, Tuhan sudah terlalu berat memberikan ujian kepadaku. Padahal selama ini aku sudah berusaha keras, namun entah kenapa semua usahaku itu sia-sia. Kalau terus begini aku tidak sanggup lagi. Padahal, selama ini aku sudah berusaha baik, namun tampaknya Tuhan masih juga tidak peduli, sungguh Dia tidak adil dan tak sayang padaku. Sebaiknya aku mati saja, sebab percuma aku hidup jika terus seperti ini. Persetan dengan kehidupan nanti, biarlah Tuhan yang menentukan menurut kebijaksanaannya. Selamat tinggal Dunia, selamat tinggal penjara yang menyesakkan."
Ketika Bobby hendak menenggak obat serangga yang ada digenggamannya, tiba-tiba ia kembali teringat dengan ayat yang sudah sangat dihafalnya, bahwa Tuhan tidak akan memberikan ujian yang melebihi kesanggupan hamba-Nya. "Hmm... apa benar aku masih sanggup sehingga Tuhan masih terus memberikan ujian yang berat ini," pikir Bobby seraya meletakkan obat serangga yang dipegangnya.
"Ya, Tuhan... ampunkanlah apa yang sudah kuniatkan tadi. Sesungguhnya Engkau masih peduli dan sayang padaku, sehingga disaat aku hampir putus asa. Kau pun segera mengingatkanku akan firman-Mu. Sungguh kau Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Andai Kau tidak bertindak demikian, tentu aku akan terus berada di dalam kesesatan."
Karena tak ingin setan kembali memperdayainya lagi, akhirnya Bobby memutuskan untuk pergi berjalan-jalan agar pikiran yang semula kusut bisa menjadi segar kembali, sehingga dengan demikian dia bisa berpikir lebih jernih dan bisa mengambil putusan dengan tepat. Begitulah pasang surut keimanan manusia yang terkadang turun dengan sangat drastis, sehingga dia tidak lagi bisa berpikir panjang.
Untunglah Tuhan masih mencintainya dengan cara memberikan petunjuk, sehingga ia tidak terus terjerumus. Sungguh ini bukan perkara yang mudah, sebab manusia yang mengerti agama saja masih bisa seperti itu, apalagi yang tidak, tentu ia akan mudah untuk diperdaya oleh bisikan setan yang menyesatkan.
Kini pemuda itu berniat pergi ke telaga, sebuah tempat yang menurutnya cukup indah dan bisa menyegarkan pikirannya. Dan setelah menempuh perjalanan yang lumayan menyita waktu, akhirnya pemuda itu sampai juga di tepian telaga. Kini pemuda itu sedang duduk memperhatikan keindahan pemandangannya yang cukup menentramkan jiwa. Dengan khusuk dia memperhatikan pohon-pohon yang menghijau, dan juga riak gelombang air telaga yang tenang. Hijaunya ganggang dan kejernihan air telaga itu betul-betul membuat hatinya merasa sejuk. Bukan itu saja, dia pun begitu terhibur dengan kehadiran capung-capung yang dilihatnya bak pesawat canggih, bermanufer memamerkan kemampuan terbangnya. Saat itu Bobby begitu takjub dengan serangga yang satu itu, bahwa sesungguhnya tubuh serangga kecil itu memang memiliki disain yang lebih unggul dari rancangan manusia. Dan teknolog
i penerbangan capung yang disain sayapnya tampak begitu canggih itu telah mengemukakan suatu fakta bahwa ciptaan Allah itu sangatlah sempurna.
"Kau kagum"" kata seorang gadis tiba-tiba.
Mendengar itu, Bobby segera menoleh, memperhatikan seorang gadis bercadar yang kini sedang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. "Si-siapa kau..."" kata pemuda itu tergagap.
"O ya, kenalkan. Namaku Bintang."
"Eng... A-aku, Bobby. O ya, kalau boleh kutahu, sedang apa kau di tempat seperti ini""
"Sama sepertimu. memikirkan setiap ciptaan Tuhan," jawab gadis bercadar itu.
Bobby tampak mengerutkan keningnya. "Ya. entah kenapa kini aku baru menyadari, bahwa sesungguhnya masih banyak hal penting yang bisa kupikirkan selain memikirkan gadis yang tak mempedulikan aku," ucap Bobby terus terang.
"Hmm... Itu tandanya Tuhan masih menyayangimu, yaitu dengan membuka mata hatimu agar bisa lebih mengenal-Nya, yaitu melalui berbagai ciptaan-Nya. Sesungguhnya ayat-ayat Al-Quran pun menyatakan bahwa tujuan diwahyukannya Al-Quran adalah untuk mengajak manusia berpikir dan merenung.
Dalam surat Ibrahim ayat 52 Allah menyatakan: (Al-Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka mengetahui bahwasannya Dia adalah Illah Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.
Yaitu Allah mengajak manusia untuk tidak mengikuti secara buta kepada kepercayaan dan norma-norma yang diajarkan masyarakat. Akan tetapi memikirkannya dengan terlebih dahulu menghilangkan segala prasangka, hal-hal yang tabu dan yang mengikat pikiran mereka.
Manusia harus memikirkan bagaimana ia menjadi ada, apa tujuan hidupnya, mengapa ia suatu saat akan mati dan apa yang terjadi setelah kematiannya. Ia hendaknya bertanya mengenai bagaimana dirinya dan seluruh alam semesta menjadi ada dan bagaimana keduanya terus-menerus ada. Ketika melakukan hal ini, ia harus membebaskan dirinya dari segala ikatan dan prasangka.
Dengan berpikir menggunakan akal dan nurani yang terbebaskan dari segala ikatan sosial, ideologis dan psikologis, seseorang pada akhirnya akan merasakan bahwa seluruh alam semesta termasuk dirinya telah diciptakan oleh sebuah kekuatan Yang Maha Tinggi. Bahkan ketika ia mengamati tubuhnya sendiri atau segala sesuatu di alam ia akan melihat adanya keserasian, perencanaan dan kebijaksanaan dalam perancangannya.
Al-Quran memberikan petunjuk kepada manusia dalam masalah ini. Dalam Al-Quran Allah memberitahu kepada kita apa yang hendaknya kita renungkan dan amati. Dengan cara perenungan yang diajarkan dalam Al-Quran, seseorang yang memiliki keimanan kepada Allah akan merasakan secara lebih baik kesempurnaan, hikmah abadi, ilmu dan kekuasaan Allah dalam ciptaan-Nya. Ketika orang yang beriman mulai berpikir menurut cara yang diajarkan Al-Quran, ia segera menyadari bahwa keseluruhan alam semesta adalah sebuah isyarat karya seni dan kekuasaan Allah, dan bahwa "alam semesta adalah sebuah hasil kreasi seni, dan bukan pencipta kreasi seni itu sendiri." Setiap karya seni memperlihatkan keahlian yang khas dan unik serta menunjukkan pesan-pesan dari sang pembuatnya.
Dalam Al-Quran, manusia diseru untuk merenungi berbagai kejadian dan benda-benda alam yang dengan jelas menunjukkan kepada keberadaan dan ke-Esaan Allah beserta Sifat-sifat-Nya. Di dalam Al-Quran segala sesuatu yang menunjukkan kepada suatu kesaksian (adanya sesuatu yang lain) disebut sebagai "ayat-ayat", yang berarti "bukti yang telah teruji (kebenarannya), pengetahuan mutlak dan pernyataan kebenaran." Jadi ayat-ayat Allah terdiri atas segala sesuatu di alam semesta yang memperlihatkan dan mengkomunikasikan keberadaan dan sifat-sifat Allah. Mereka yang dapat mengamati dan senantiasa ingat akan hal ini akan memahami bahwa seluruh jagad raya hanya tersusun atas ayat-ayat Allah.
Sungguh, adalah kewajiban bagi manusia untuk dapat melihat ayat-ayat Allah.Dengan demikian orang tersebut akan mengenal Sang Pencipta yang menciptakannya, dan akan menjadi lebih dekat kepada-Nya, serta mampu menemukan arti kehidupannya, dan akhirnya menjadi orang yang beruntung (dunia dan akhirat).
Itulah hal penting yang Allah sampaikan kepadaku dengan perantara manusia yang bernama pena Harun Yahya, seorang penulis yang karya-karyanya mengajak kepada kebaikan."
Setelah mendengar penuturan Bintang, Bobby pun langsung merenung dan merenung. Betapa saat itu dia merasakan seolah mendapat cahaya bintang di malam yang kelam. "Kini aku menyadari kenapa hidupku selama ini terasa hampa dan tidak berarti apa-apa, walaupun selama ini aku sudah mencoba untuk mengisinya dengan hal-hal yang sekiranya bermanfaat. Ternyata aku telah salah menilai, karena bukan itulah tujuan hidup yang sesungguhnya. Ya
Tuhan.... lagi-lagi Aku telah melupakan-Mu. Selama
ini aku terlalu sibuk dengan urusan dunia, dan sangat sedikit waktu yang aku berikan untuk bermunajad kepada-Mu. Selama ini aku telah menyia-nyiakan hidupku dengan jarang beribadah kepada-Mu. Selama ini kehidupanku selalu kuisi dengan hal-hal yang kuanggap bermanfaat, tapi nyatanya aku salah duga. Ternyata hal itu tidaklah membawa manfaat kepada orang-orang di sekitarku. Kerja kerasku selama ini tidaklah membawa manfaat apa-apa. Aku baru sadar, kalau produktif itu adalah untuk orang lain, bukan untuk diriku semata. Selama ini aku memang terlalu egois sampai-sampai melupakan orang-orang di sekitarku. Aku terlalu asyik dengan pekerjaan yang aku anggap bermanfaat itu. Dan aku terlena dengannya hingga tidak sadar kalau aku hidup tidaklah sendirian. Untunglah Engkau masih sayang kepadaku sehingga Engkau mau memberi rahmat dan hidayah-Mu kepadaku. Rupanya inilah hikmah yang bisa kupetik dari pertemuanku dengan Leni, bahwa uangku bisa menjadi sangat berguna untuk kehidupannya."
"Kak Bobby, apa yang kau pikirkan"" tanya Bintang membuyarkan renungan pemuda itu.
Bobby tersentak seraya memandang kepada gadis yang dianggapnya sudah berjasa itu, yaitu telah menyampaikan suatu nilai kebenaran kepadanya. "Terima kasih, Bintang... kau adalah gadis yang baik dan peduli kepada manusia sepertiku," ucapnya tulus.
"Kau bicara apa, Kak" Bukankah setiap manusia itu memang berkewajiban untuk menyampaikan nilai kebenaran."
"Kau benar, Bintang. namun, jika tanpa keikhlasan, kerendahan hati dan rasa kepedulianmu, apakah kebenaran itu bisa sampai kepadaku""
Bintang segera mengalihkan pandangannya ke arah telaga, "Sesungguhnya Allah-lah yang telah membuatku menjadi demikian. Dan karena izin-Nya pulalah kebenaran itu bisa sampai kepadamu," katanya kemudian.
DELAPAN Di siang yang cerah, ketika Bobby hendak pergi
ke telaga untuk menjumpai Bintang. Tiba-tiba pemuda itu dikejutkan oleh kehadiran seorang gadis yang selama ini dicarinya. "Win! Winda!" teriak pemuda itu seraya berlari menghampiri. "Win. Tunggu, Win!" tahan pemuda itu ketika mengetahui gadis itu akan menaiki sebuah angkot.
Mendengar namanya dipanggil, Winda pun segera menoleh. "Ka-Kak Bobby.," ucap gadis itu terkejut seraya memperhatikan Bobby yang kini sudah berdiri dihadapannya.
"Win. ke mana saja kau selama ini" Ketahuilah, kalau selama ini aku sudah mencarimu ke mana-mana. Win, terus terang aku sangat mencintaimu. Dan aku ingin menikah denganmu."
"Kak... " kata gadis itu menggantung kalimatnya, saat itu dia tampak begitu berat untuk mengatakan hal sebenarnya. "I-itu tidak mungkin, Kak. Se-sebab..."
"Sebab apa, Win. Katakanlah!"
"Sebab. kini aku sudah menikah."
"A-apa""" Ka-kau sudah menikah"" tanya Bobby hampir tak mempercayainya.
"Betul, Kak. Bukankah saat itu aku pernah mengatakan padamu, kalau aku terpaksa menolak cintamu dan meninggalkanmu karena sebab aku sudah mempunyai kekasih. Dan kekasihku itulah yang kini menjadi suamiku."
Mendapat jawaban itu, hati Bobby pun langsung hancur berkeping-keping. Sungguh kini dia sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk bisa bersanding dengan gadis yang begitu dicintainya.
"Maaf kan aku, Kak! Andai saat itu kau tidak memberi kesempatan padaku untuk mencintainya, tentu tidak demikian jadinya."
"Iya aku tahu. Itu memang salahku. Saat itu aku memang lebih menuruti ego ketimbang hati nuraniku sendiri. Bahkan setelah kau memberitahukan perihal kekasihmu itu, aku pun hanya diam saja. Saat itu aku memang betul-betul bodoh. Andai saat it
u aku sudah tahu ilmunya, tentu aku akan segera melamarmu. Bukankah saat itu pemuda itu belum menikahimu, jadi aku tentu masih mempunyai kesempatan."
"Itu juga tidak mungkin, Kak."
"Ke-kenapa tidak mungkin""
"Se-sebab, yang menjadi pacarku adalah sahabatmu sendiri, Randy. Malah saat itu kami sudah bertunangan. Sebetulnya saat itu Randy ingin segera menikahiku, namun karena dia tahu ternyata kau sangat mencintaiku, akhirnya dia menundanya hingga kau menikah lebih dulu."
"Ra-Randy"""" ucap pemuda itu terkejut bukan kepalang. "Pantas selama ini dia tidak pernah cerita tentang pacarnya, dan dia malah berupaya menjodohkanku dengan Nuraini agar bisa melupakanmu," kata pemuda itu melanjutkan.
Saat itu Bobby merasa iri dan begitu cemburu terhadap sahabatnya, namun di sisi lain dia bahagia karena ternyata gadis yang dicintainya itu mendapatkan seorang suami yang tampan dan baik hati, dialah Randy, sahabatnya sendiri, yang mana selama ini diduga telah mengkhianatinya. Kini pupus sudah harapannya, dan dia gagal mendapatkan gadis sebaik Winda, Gadis dengan inner beauty yang telah membuatnya jatuh cinta.
"Hmm... kini aku mengerti kenapa setelah peristiwa sandiwara lamaran itu Randy menghilang bak ditelan bumi, mungkin dia sudah buntu untuk mengalihkan pikiranku dari gadis yang ternyata telah menjadi belahan jiwanya. Jadi, selama ini aku sudah terlalu berharap untuk mendapatkan gadis yang begitu dicintai oleh sahabatku sendiri. Ah, sudahlah. semuanya sudah terjadi dan tak mungkin bisa terulang lagi," kata Bobby dalam hati mencoba untuk mengikhlaskannya.
Tak lama kemudian, pemuda itu pun kembali berbicara dengan Winda, "Win. aku senang kalau ternyata kau sudah menikah dengan sahabatku. Dan aku doakan semoga kalian bisa terus berbahagia, menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah. Eng... sudah saatnya kini aku mohon diri. Sebab, masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan," pamitnya kepada Winda. Namun, ketika Bobby baru melangkah beberapa meter, tiba-tiba.
"Kak, tunggu!" tahan Winda seraya menghampiri pemuda itu.
Seketika Bobby menghentikan langkahnya, kemudian berpaling memandang gadis yang kini sudah berdiri dihadapannya. "Ada apa, Win"" tanya pemuda itu heran.
"Kak, apakah kau mau kukenalkan dengan seorang gadis yang menurutku begitu baik" Saat ini, dia pun sedang mencari seorang suami. Kebetulan hari ini dia mau main ke rumahku, dan kau bisa segera berkenalan dengannya."
"Eng, ti-tidak Win... Terima kasih," tolak Bobby tidak mempercayai kalau ada gadis yang lebih baik dari gadis pujaannya itu.
"Ayolah, Kak! Aku mohon! Kau pasti tidak akan menyesal, dia itu cantik dan juga seorang gadis yang taat beribadah."
"Kenapa kau begitu yakin kalau aku tidak akan menyesal. Lagi pula, belum tentu dia mau padaku."
"Dia pasti mau. Sebab, aku sudah begitu mengenalnya. Andai pun kau tidak suka, kau boleh menjadikannya hanya sebagai teman"
"Hmm... baiklah. Aku rasa jika hanya berkenalan tentu tidak apa-apa."
Lantas mereka pun segera menuju ke rumah Winda. Setibanya di sana, Bobby tampak terkejut karena di muka rumah tampak seorang gadis bercadar yang sedang duduk menunggu. Penampilannya sama persis dengan gadis yang sudah dikenalnya. "Bi-Bintang, benarkah kau itu Bintang"" tanya Bobby seakan tidak mempercayainya.
Kini Bobby, Winda, dan gadis bercadar itu sudah saling berhadapan. Saat itu Winda langsung memeluk dan mencium kedua pipinya. "Duhai sahabatku!
Maafkan aku karena sudah membuatmu lama menunggu," ucap Winda kepada gadis bercadar itu.
"Tidak apa-apa, duhai sahabatku" Aku juga baru tiba kok."
"O ya, kenalkan ini temanku."
"Hai, Kak Bobby!" sapa Gadis bercadar itu tiba-tiba.
Mendengar itu Bobby langsung yakin kalau dia adalah Bintang. "Bi-bintang. Ternyata kau memang Bintang. Aku betul-betul tidak menyangka kalau kau adalah sahabat Winda.""
"Betul, Kak. Aku dan Winda sudah bersahabat lama."
"Wah, ternyata kalian sudah saling mengenal rupanya," komentar Winda tiba-tiba.
"Betul, Win. Aku bertemu dengannya di tepi telaga ketika aku sedang merenung."
"Kalau begitu, berbincang-bincanglah kalian! Aku mau membuat minum dulu."
Sepeninggal W inda, kedua muda-mudi itu tampak berbincang-bincang dengan akrabnya. Tak lama kemudian, Winda sudah kembali dengan membawa makanan dan minuman. "Ini silakan dinikmati makanan dan minuman ala kadarnya!" tawar Winda kepada kedua tamunya.
"O ya, Win. Ngomong-ngomong, Randy ke mana"" tanya Bobby kangen.
"Dia sedang keluar kota. Katanya sih, lusa akan kembali."
"O ya, Win. Bisakah kau merahasiakan pertemuan kita ini, jangan sampai Randy mengetahuinya."
"Untuk apa, Kak"" tanya Winda heran.
"Jika aku bertemu dengannya, aku mau bersandiwara bahwa aku masih mencintaimu. Terus terang, aku ingin memberi pelajaran padanya, yaitu dengan membalas semua sandiwaranya yang telah memainkan perasan orang itu."
"Tapi, Kak." "Please, Win...! Hanya itu permintaanku padamu." "Hmm... baiklah. Tapi ingat, jangan kau terlalu lama memainkan perasaannya." "Tidak akan. Percayalah padaku!"
Bintang yang sejak tadi terdiam, kini mulai ikut bicara. "O ya, Kak. Ngomong-ngomong apa kau sudah melamar kerja kembali""
"Belum, Bintang. Hingga saat masih belum sempat memikirkannya."
"Emm... memangnya apa yang masih kau pikirkan""
"Banyak. banyak sekali. Sebelum bertemu denganmu aku hanya memikirkan soal pendamping. Namun sekarang, setelah perbincangan kita tempo hari di tepian telaga. Entah kenapa pikiranku jadi semakin bertambah kusut."
"Lho. kenapa bisa begitu""
"Ya, soalnya banyak sekali yang ingin aku lakukan. Namun, aku tidak tahu harus memulainya dari mana."
"Kak, sebaiknya kau cari kerja dulu. Setelah itu baru kau melakukan segala keinginanmu yang lain, dan keinginan itu haruslah yang sesuai dengan kapasitasmu."
"Bintang benar, Kak. Jika kau belum bekerja bagaimana kau bisa mewujudkan segala keinginanmu itu," timpal Winda.
"Kalian benar. Sebab tidak mungkin aku mewujudkan semua itu hanya dengan mengandalkan uang pinjaman dari teman-temanku. Kalau begitu, besok aku akan mencoba melamar kembali di kantorku yang dulu, dan mudah-mudahan saja mantan bosku mau menerimaku kembali."
"Baguslah kalau begitu, aku doakan semoga kau kembali diterima," kata Bintang senang.
"Aku juga akan mendoakanmu, Kak," timpal Winda juga ikut merasa senang.
"Terima kasih, Bintang, Winda. Kalian memang wanita yang baik."
Ketiga anak manusia itu terus berbincang-bincang, hingga akhirnya Bobby dan Bintang pamit mohon diri. Saat itu, Bobby yang ingin sekali mengantar Bintang sampai ke rumah, namun dia langsung ditolak mentah-mentah. Sebab, Bintang khawatir tetangganya akan berpikiran macam-macam jika sampai melihatnya berjalan berdua dengan Bobby yang bukan muhrimnya. Karena alasan itulah, akhirnya Bobby mau mengerti.
Esok harinya, sepulang dari melamar pekerjaan, Bobby langsung menuju ke telaga. Saat itu dia sangat berharap bisa bertemu dengan Bintang dan dapat segera mencurahkan isi hatinya. Namun sungguh disayangkan, ketika Bobby berada di tempat itu dia tak menjumpai Bintang. Lantas dengan kecewa pemuda itu duduk di bawah sebuah pohon yang rindang, memperhatikan seorang pemuda tua yang sedang mengendarai rakit bambu. Saat itu Bobby sempat membayangkan dia dan Bintang sedang berada di atas rakit itu, mengarungi indahnya telaga bersama-sama sambil memikirkan berbagai ciptaan Tuhan yang ada sekitar mereka.
"Kak Bobby!" seru seorang gadis tiba-tiba.
"Bi-bintang!" seru Bobby senang bukan kepalang ketika mengetahui gadis yang memanggilnya adalah Bintang. Lantas dengan segera pemuda itu berdiri menghampirinya.
"Apa kabar, Kak"" sapa gadis itu.
"Baik," jawab Bobby singkat. "O ya, ini..." kata Bobby seraya menyerahkan seikat bunga kepada gadis itu.
Bintang pun segera menanggapi bunga putih tanda persahabatan itu seraya menciumnya dalam-dalam. "Terima kasih, Kak. Kau baik sekali," ucapnya kemudian.
"O ya, bunga itu juga sebagai ucapan terima kasihku atas doamu. Kini aku sudah diterima kembali di kantorku yang dulu. Malah bosku sangat senang aku mau kembali."
"Benarkah yang kau katakan itu, Kak" Kalau begitu, aku ucapkan selamat," ucap Bintang gembira.
"Terima kasih, Bintang. O ya, tunggu sebentar ya!" pinta Bobby seraya menghampiri pengendara rakit yang kini dilihatnya sedang menepi. Dan t
ak lama kemudian pemuda itu sudah kembali. "Bintang, maukah ikut denganku mengarungi telaga ini dengan rakit itu!" pinta Bobby kemudian.
"Aku takut, Kak!" kata Bintang sungguh-sungguh.
"Kau tidak perlu takut, Bintang. Rakit itu aman kok, percayalah!"
"Tapi, Kak." "Ayolah, Bintang. Sekali ini saja." "Eng, baiklah. Tapi hati-hati ya." "Beres."
Lantas kedua muda-mudi itu segera menaiki rakit dan melaju mengarungi air telaga yang tenang. Kini mereka sudah berada di tengah telaga sambil menikmati pemandangan yang kali ini tampak berbeda dari yang mereka lihat sebelumnya.
"Kak. pasti asyik ya jika memancing di tengah telaga seperti ini."
"Memancing" Ka-kau suka memancing"" tanya Bobby hampir tak mempercayainya.
"Eng, ma-maksudku bukan aku, ta-tapi kaulah yang memancing. Sebab, aku senang melihat orang memancing."
"O, aku kira kau yang suka memancing."
"Kak. memangnya ada gadis yang suka memancing""
"Ada. Salah satunya adalah gadis yang sudah mengecewakan aku, dia itu gadis tak bermoral yang begitu kubenci."
"Hmm... memangnya apa yang sudah dilakukannya sehingga kau sampai begitu membencinya""
"Ceritanya begini. Waktu itu..." tiba-tiba Bobby menghentikan kata-katanya.
"Wa-waktu itu kenapa, Kak"" tanya Bintang penasaran.
"Maaf, Bintang! Aku tidak bisa menceritakannya padamu. Ingatlah, bukankah menceritakan aib orang itu tidak baik."
"Kau betul, Kak. Menceritakan aib orang itu sama juga dengan membuka aib kita sendiri. Maafkan aku yang hampir saja membuatmu berbuat demikian!"
"Tidak apa-apa, Bintang. Aku maklum, kita sebagai manusia terkadang memang suka lupa. Karena itulah, kenapa aku suka berteman denganmu. Sebab, kau gadis yang bijaksana. Selain kau suka mengingatkan aku, kau juga mau menerima apa yang aku ingatkan kepadamu."
"Itu karena aku menyadari kalau sesama saudara seiman memanglah harus saling mengingatkan."
"Bintang. coba kau lihat itu!"
Pandangan Bintang pun segera tertuju kepada sesuatu yang diberitahukan Bobby. "Hmm. Elang. Itu burung elang, Kak. Wah, aku betul-betul heran, kenapa burung itu bisa ada di wilayah ini ya""
"Iya, itu memang burung elang. Namun yang menarik perhatianku bukanlah keberadaannya di tempat ini, sebab burung elang itu adalah burung peliharaan yang tadi kulihat dilepaskan oleh pemiliknya dari tepian telaga, tapi yang menarik perhatianku adalah untuk apa dia berputar-putar di atas telaga seperti itu""
"Paling dia sedang mencari makan, Kak." Jelas Bintang.
"Mencari makan kok hanya berputar-putar di udara seperti""
"Dia itu sedang mencari target, Kak."
"Target"" "Ya, targetnya adalah ikan di telaga ini. Kalau kau mau tahu, sebenarnya penglihatan elang itu sangat tajam. Dia bisa melihat mangsanya dari tempat setinggi itu, dan kecepatan menukiknya pun sangat tinggi. Kecepatan seekor elang emas menukik hampir sama dengan kecepatan pesawat jet tempur ketika mendarat yaitu 240-320 km/jam."
"Hebat, bagaimana mungkin dia bisa mempertahankan posisinya dalam kecepatan seperti itu""
"Kak, burung itu bukan hanya bisa menjaga posisinya, namun juga bisa menangkap mangsanya dengan akurat dan tepat waktu. Lihatlah dia mulai menukik!"
Kedua muda-mudi itu tampak terpana dengan apa yang dilakukan oleh burung elang itu. Burung elang itu menukik dengan cepat, dan dengan cakarnya yang tajam dia berhasil mencengkram seekor ikan yang cukup besar.
Bobby tampak geleng-geleng kepala, "Sungguh luar biasa, pengaturan waktu, jarak, dan juga kecepatan yang sangat mengagumkan. Aku saja ketika memainkan simulator pesawat tempur sangat kesulitan ketika harus mendaratkan pesawat di atas landasan kapal induk yang terus bergerak. Padahal, saat itu aku sudah dibantu dengan berbagai peralatan navigasi. Coba kau pikirkan, seekor ikan yang mau mengambil udara kan cepat sekali. Bagaimana dia bisa begitu akurat mengukur jarak dirinya dengan jarak ikan itu tanpa bantuan alat apa pun, apalagi dia begitu mudahnya mengontrol kecepatannya yang begitu tinggi."
"Itulah kuasa Tuhan, Bob. Yang mana telah menciptakannya sedemikian rupa. Sebenarnya burung itu sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan super canggih ciptaan Tuhan," jelas Bintang yan
g begitu mengagumi Sang Pencipta.
Begitulah yang selama ini dilakukan oleh muda-mudi itu jika mereka bertemu, keduanya selalu memperbincangkan ciptaan Tuhan yang tampak luar biasa. Terkadang, Bobby pun suka heran dengan sikap Bintang yang selalu mau menemaninya. Padahal dia sudah tahu, kalau tidak sepantasnya pemuda dan gadis yang bukan muhrimnya untuk berduaan seperti yang mereka lakukan sekarang. Apalagi Bintang itu gadis yang taat agama, yang tentunya juga memahami hal itu. Bukankah waktu itu, ketika dia mau mengantarnya pulang sampai ke rumah, Bintang menolaknya mentah-mentah lantaran takut ada orang yang akan berpikiran macam-macam. Tapi entah kenapa, justru di tempat sepi seperti ini dia tak mempedulikan semua itu. Betul-betul sungguh mengherankan. Apakah dia melakukan itu karena menganggap Bobby hanyalah sebagai seorang sahabat, yang tak akan berani berbuat kurang ajar kepadanya, yaitu dengan meminta yang tidak-tidak, seperti yang biasanya dilakukan seorang pemuda kepada pacarnya karena merasa sudah memiliki. Padahal sesungguhnya, bisa saja hal itu menimbulkan fitnah yang akan mencelakakan keduanya karena tergoda oleh bisikan setan yang menyesatkan.
Semula, Bobby pun sempat ragu mengenai prilaku Bintang yang demikian, apa betul Bintang itu memang seorang gadis yang taat agama. Jangan-jangan dia itu seperti Nuraini, gadis yang menurut Bobby begitu munafik dan sangat lihai bersembunyi di balik topengnya yang sempurna. Namun akhirnya pemuda itu bisa memaklumi, bahwa semua itu bisa terjadi karena sebab di negeri ini seorang gadis memang boleh bebas berkeliaran ke mana saja tanpa perlu didampingi oleh muhrimnya. Dan karena sebab itulah, Bobby tidak mau ambil pusing memikirkannya. Walaupun pada hati kecilnya dia merasa risih juga karena apa yang dilakukannya bersama Bintang itu bisa membuat citra berbusana yang dikenakan Bintang menjadi ternoda. Seperti ketika dirinya menilai kalau Bintang mungkin saja seorang gadis yang munafik yang bersembunyi di balik topengnya yang sempurna. Sungguh dilema, akibat tidak adanya peraturan yang melindungi citra berbusana seperti itu, dan juga peraturan yang melindungi gadis dari fitnah dunia, maka orang pun bisa berpikiran macam-macam. Padahal apa yang tampak di mata, belum tentu sama dengan yang tergambar di dalam hati.
SEMBILAN Semenjak pertemuannya dengan Bintang,
kehidupan Bobby pun mulai berubah. Maklumlah, selama ini mereka sering bertemu di tepian telaga dan berbincang-bincang seputar kehidupan. Dengan begitu, segala keresahan yang semula sangat membebaninya kini dengan perlahan sirna dan berganti menjadi pelajaran yang sangat bermakna. Gadis itu memang sudah memberikan cahaya yang menerangi hatinya, cahaya terang yang bersumber dari segala sumber cahaya, dialah Allah SWT, yang kembali menerangi hatinya melalui cahaya Bintang untuk kembali mengingat-Nya.
Kini Bobby sudah kembali produktif dengan tanpa melanggar aturan Tuhan. Dan dampak dari melakukan itu adalah dia bisa mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang selama ini tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Kini dia merasa betul-betul bahagia karena kepintaran dan kerja kerasnya telah dimanfaatkan oleh orang-orang di sekelilingnya. Dia bahagia melihat mereka bahagia, dan dia bahagia karena telah menjadi manusia yang produktif sesuai dengan aturan Tuhan. Dia pun semakin mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjalani kehidupannya dengan hanya mengharapkan ridha dari-Nya. Namun, setelah agak lama berada di jalur yang benar, tiba-tiba sebuah cobaan lain menghadang. Kini dia mulai bersikap sombong dan angkuh, seakan-akan dia telah berbuat banyak untuk mereka, padahal apa yang sudah diperbuatnya itu tidaklah seberapa. Maklumlah, setan memang lihai memperdayanya, sehingga dia selalu teringat akan setiap perbuatan baik yang pernah dilakukan. Dan karenanyalah sedikit demi sedikit setan telah berhasil membuatnya semakin angkuh dan semakin menjauh dari-Nya, sehingga kini dia merasa orang yang terbaik di antara mereka, dan dia merasa orang yang paling tahu segalanya.
Kini pemuda itu tampak sedang berdiri memperhatikan para peng
emis dan pengamen jalanan yang ada di lampu merah. "Dasar manusia pemalas, seharusnya mereka mengikuti jejakku dengan menjadi manusia yang produktif yang tidak menyusahkan orang lain."
"Kasihan, Den... minta sedekahnya...!" kata seorang pengemis kepada Bobby.
"Maaf, Pak! Minta sama yang lain saja ya!" kata Bobby ringan seraya memaki dalam hati. "Huh, dasar pemalas! Masih segar-bugar seperti itu kok minta-minta. Jika aku memberinya sama saja dengan membuatnya bertambah malas," gerutu Bobby seraya melangkah menuju ke sebuah halte dan duduk di tempat itu.
Kini pemuda itu tampak memperhatikan seorang pengamen yang baru saja turun dari bis kota. Pengamen yang masih muda itu lantas duduk di sebelah Bobby. "Rokok, Bang," tawarnya kepada Bobby.
"Maaf saya tidak merokok," jawab Bobby sopan seraya menggerutu dalam hati, "Huh, sok banyak uang. Padahal dia sendiri boleh mengamen dengan menjual suaranya yang aku yakin tidak bagus. Aduh, dasar manusia tidak punya otak. masak merokok di tempat umum begini. Itu kan sama saja dengan menzolimi orang lain, sebab dia bisa membuat orang-orang di sekitarnya menjadi perokok pasif. Andai saja dia mau mengikuti jejakku menjadi pemuda baik yang produktif untuk kebahagiaan banyak orang, dan tidak membuang-buang uang dengan cara dibakar seperti itu tentu kehidupannya akan menjadi lebih baik."
Karena tak mau menjadi perokok pasif, akhirnya Bobby melangkah menuju ke sebuah rumah makan. Di tempat itulah dia menikmati santap siangnya sambil sesekali memperhatikan pengunjung yang datang. "Hmm. Siswi SMA itu pasti bukan gadis baik-baik, dia pasti mau menggadaikan kehormatannya pada pria hidung belang itu," duga Bobby ketika melihat seorang siswi SMA yang tampak bersikap manja kepada pria paruh baya. "Hufff. Sungguh kasihan sekali dia karena telah menyia-nyiakan masa mudanya demi kesenangan duniawi. Beruntung jika dia masih punya kesempatan untuk bertobat, sebab kalau tidak tentu dia akan masuk neraka."
Pendekar Pedang Sakti 20 Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi Sang Penebus 13

Cari Blog Ini