Ceritasilat Novel Online

Cinta Sang Naga 4

Cinta Sang Naga Karya V. Lestari Bagian 4


Tapi semua itu cuma berlangsung sesaat. Sakitnya memang tak segera hilang, namun ia masih memiliki kemampuan untuk kembali ke realitas. Dengan wajah hampa tanpa ekspresi ia berdiri lalu bergegas menyusul Cek A Piang untuk memulai tugasnya mengatur acara terakhir. Makan malam.
Irma memerlukan waktu lebih lama untuk memulihkan dirinya dari kekecewaan. Ia heran, penasaran, dan gemas. Lalu ingin segera menyusul ayahnya untuk menanyakan. Atau mengingatkan. Tapi tak mungkin. Ayahnya dikelilingi banyak orang. Dia duduk dengan sikap akrab di sebelah Jimmy. Wajahnya ceria seperti tak menyembunyikan apa-apa. Irma jadi marah dan juga sedih. Kalau ayahnya tidak lupa, maka yang tinggal hanya satu kemungkinan. Kesengajaan! Sebabnya" Ah, ia tidak ingin memikirkannya sekarang.
Wajah Irma yang memucat dan sikap duduknya yang kaku tidak begitu menarik perhatian orang.
Dia kelihatan seperti orang yang tengah terbenam dalam lamunan untuk sesaat. Tapi tempatnya yang kosong di sebelahnya, yang semula diduduki Cek A Piang, menarik minat Herman. Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggunya itu. Kalau sekarang ia mengajak Irma bertukar kata mustahil tak diladeni. Tapi ketika ia berdiri dari duduknya, gerakannya itu mengingatkan Irma akan tugasnya sendiri. Ia mau membantu Henson. Lebih baik ia bekerja menyibukkan diri daripada berdiam diri atau bicara kosong. Jadi dengan buru-buru ia pun berdiri dan bergegas pergi.
Herman yang sudah terlanjur berdiri jadi salah tingkah. Mukanya memerah. "Oh, saya mau ke belakang dulu," gumamnya, tak jelas ditujukan kepada siapa. Lalu ia melangkah menuju WC.
Tiba-tiba Yeni tertawa tertahan. Entah kenapa mendadak ia merasa geli melihat sikap Herman yang kikuk. Padahal bila ada Anton ia pasti akan merasa jengkel kepada Irma. Mungkin karena sekarang situasinya berbeda. Tapi justru ledakan geli itu membuat ia terhibur dari kekecewaannya. Dan ketika dari sudut mata ia melihat ibunya melotot kepadanya, ia pura-pura tak melihat. Ia tak ingin melihat kepada siapa pun. Masa bodoh dengan para tamu itu. Mudah-mudahan mereka cepat pulang. Ia hanya ingin cepat-cepat makan dan kemudian cepat-cepat tidur. Tapi tanpa sengaja pandangnya toh tertuju ke satu arah. Pandangnya bentrok dengan pandang Asrul. Ia tersenyum dan mendapat balasan. Perasaannya jadi kian terhibur.
Meja makan diatur begitu rupa hingga mereka dapat berkumpul semeja. Maksudnya supaya tercipta suasana lebih akrab. Toh jumlah mereka cuma sedikit dan genap enam belas orang hingga mudah diatur.
Di kedua ujung meja duduk dua orang saling berhadapan. Dan mereka yang mendapat tempat itu adalah suami istri Liong berhadapan dengan suami istri Peter. Lantas pada sisi yang memanjang duduk enam orang saling berhadapan. Suami istri Tanujaya bersebelahan dengan suami istri Freddy, Herman, dan Cek A Piang. Di seberang mereka berturutan duduk Jimmy, Lili, Yeni, Asrul, Henson, dan Irma. Sementara Jimmy berada di sebelah Tuan Liong, sedang Nyonya Tanujaya bersebelahan dengan Nyonya Linda.
Pengaturan semacam itu sebenarnya mengandung maksud. Hal itu sudah direncanakan sebelumnya oleh Henson dan Irma. Peter dan Nyonya Linda akan diberi tempat sejauh mungkin satu dari yang lain. Sedang orang-orang lainnya tak penting. Mereka dapat mengatur diri sendiri sesukanya.
Sebelumnya, Henson dan Irma tidak pernah merencanakan untuk duduk bersebelahan. Demikian pula pada saat itu. Mereka tidak saling bertanya, tidak pula saling mengajak. Seperti dengan sendirinya saja mereka memilih tempat itu. Mungkin kekecewaan yang sedang sama-sama dirasakan mendorong keduanya untuk berdekatan. Lalu tak peduli lagi pada
apa kata orang. "Pak Asrul bebas memilih masakan yang mana saja. Tak ada yang mengandung daging babi," Henson menjelaskan. Hal itu tentunya penting mengingat Asrul beragama Islam.
"Oh ya, terima kasih," sahut Asrul yang gembira karena kebetulan beroleh tempat duduk di sebelah Yeni. Karenanya, makanan yang tengah dihadapi serasa jadi kurang berarti dibanding hal yang satu itu. Sambil makan ia dapat mengajak Yeni berbincang-bincang. Dalam waktu singkat keduanya sudah terlibat obrolan yang mengasyikkan. Padahal makan dengan bicara itu merupakan kegiatan yang tak dapat dilakukan secara bersamaan. Jadi kalau yang satu bicara, yang lain mendengarkan sambil mengunyah makanan. Begitu pula sebaliknya kalau giliran bicara beralih pada yang lain. Dengan demikian, yang paling banyak bicara itu makannya akan ketinggalan. Tapi pada mereka berdua nampaknya hal itu berimbang. Asrul pandai mencari bahan omongan, sedang Yeni mewarisi bakat ibunya dalam hal berbicara.
Sementara itu Henson dan Irma makan perlahan-lahan tanpa banyak bicara. Sebelumnya mereka sudah kehilangan nafsu makan. Di seberang mereka Herman cuma bisa memandangi. Wajah Irma yang murung membuat ia pun kehilangan nafsu makan. Barangkali sebentar bila acara makan ini selesai ia bisa mempunyai kesempatan untuk bicara dengan Irma. Untuk sementara ini memang baru itu yang didambakannya. Cuma bicara saja. Tapi kok begitu susah" Padahal Yeni dan Asrul yang barusan saling mengenal itu ternyata bisa mengobrol dengan asyik. Coba kalau Anton melihat. Tapi, oh, bagaimana kalau Yeni tahu tentang Anton" Kecemasannya kembali muncul. Nasi yang dimakannya serasa duri.
Cek A Piang di sebelahnya menegur, "Kenapa" Apa kurang enak""
Herman tergagap. "Oh, nggak, Cek. Eh, enak, kok. Enak."
"Tapi makannya kok diemut-emut," Cek A Piang penasaran. Andaikata memang ada yang kurang enak, masakan yang mana pula itu" Buatannya atau buatan Henson"
Muka Herman memerah. "Ah, masa iya, Cek. Mungkin saya lagi... saya lagi mikir. Pusing."
"Mestinya pikiran jangan dibawa ke meja makan. Ditinggal di rumah saja," saran Cek A Piang.
Herman manggut-manggut walau dalam hati kesal.
Tapi Cek A Piang tak ingin mengganggu Herman lagi. Matanya yang kecil tapi tajam diam-diam menelusuri wajah-wajah orang di depannya. Tampakkah rasa nikmat makanan di wajah-wajah itu" Ternyata sulit menemukan.
Mereka lebih asyik bicara. Dan Henson kelihatan murung. Begitu pula Irma yang biasanya periang. Cek A Piang jadi ikut-ikutan merasa tidak gembira. Makan dengan tata cara formil seperti itu terasa seperti siksaan baginya. Kemudian matanya menangkap senyum Peter. Ah, Peter memberi tanda kepadanya. Tangannya menunjuk piringnya, lalu jempolnya teracung. Mulutnya mengucapkan sesuatu yang tak terdengar, tapi dari gerak bibirnya bisa diperkirakan bahwa ia mengatakan, "Enak!"
Cek A Piang tersenyum dengan perasaan sedikit terhibur. Ya, cuma sedikit, karena Peter pastilah cuma berbasa-basi saja. Rata-rata semua orang yang diundang makan akan mengatakan enak di depan yang mengundang, biarpun di belakang mungkin akan mengatakan lain.
Tapi Peter merupakan pelopor. Berturut-turut Tanujaya, disusul oleh tamu-tamu lain sama-sama memberi komentar tentang rasa makanan yang sedang mereka santap. Semua mengatakan enak.
"Apalagi gurame asem manisnya ini. Wow!" puji Tanujaya, sambil mengambil lagi sepotong besar makanan yang disebutnya itu.
Senyum Cek A Piang tambah lebar, lebih-lebih setelah melihat Henson melirik kepadanya. Wajah Henson kelihatan lebih cerah. Tak mengherankan. Masakan gurame itu buatan Henson. Dan merupakan hasil ajarannya, tentu saja. Jadi, pujian untuk siapa pun kiranya akan sama saja.
Tapi di ujung meja sebelah sana, Nyonya Linda makan tanpa banyak bicara. Hanya sesekali saja ia menjawab pertanyaan Nyonya Tanujaya di sebelahnya. Ia kelihatan kikuk berdampingan dengan suaminya sendiri. Sementara Tuan Liong melimpahkan perhatian sepenuhnya kepada Jim-my. Anak muda itu diajaknya bicara dengan begitu serius, hingga Lili tak kebagian perhatian. Dia pun lebih banyak diam, padahal di sebela
hnya Yeni sangat ceria mengobrol dengan Asrul. Tak mengherankan kalau Herman yang duduk berse-berangan melontarkan pandang curiga sesekali. Anton pasti sangat cemburu kalau tahu.
Pada saat itulah terdengar ribut-ribut di luar rumah. Suara orang teriak-teriak, suara gedom-brangan, dan kemudian suara pintu digedor.
"Anton" Anton! Ayo, keluar! Keluar kamu!"
"Ayo, kalau jantan keluar! Jangan ngumpet!"
"Kalau mobilnya ada, orangnya pasti ada juga!"
Teriakan-teriakan itu terdengar jelas. Herman menjadi pucat. Ia menyesal setengah mati, kenapa tadi menggunakan mobil Anton. Oh, rahasia itu. Rahasia itu sekarang berada di balik pintu. Dan bila pintu itu dibuka...
Untuk sesaat semua mata menatap kepada Herman. Makanan lezat terlupakan.
"Hei, ada apa ini, ya" Jangan bikin ribut di sini!"
"Ya, ya. Selesaikan baik-baik kalau ada persoalan. Masa caranya begitu."
Suara-suara itu pun terdengar jelas. Mereka di dalam segera menyadari bahwa yang bicara belakangan itu pasti bukan dari kelompok pertama tadi. Tapi Henson dengan perasaan lega mengenali suara-suara itu sebagai milik teman-temannya yang disuruhnya tugas parkir malam itu. Kiranya tak percuma ia menggunakan tiga orang. Faktor jumlah itu penting untuk menyurutkan niat orang yang mau melakukan kekerasan.
"Mereka mencari Pak Anton," kata Henson sambil memandang pada Herman. "Tidakkah sebaiknya Anda keluar untuk menanyakan apa maksud mereka mencari Pak Anton ke sini""
Pelan-pelan Herman memandang pada Yeni. ia melihat wajah yang cemas tapi juga keheranan. Lalu raut muka Irma yang tegang tapi ingin tahu. Mestinya dia keluar sendiri saja, agar dia bisa menjelaskan kepada mereka yang di luar itu bahwa Anton tidak ada di sini. Dengan demikian masalahnya tidak akan tersiar. Ia bisa bicara pelan-pelan di luar. Orang di dalam tidak perlu ikut mendengarkan. Tapi ia takut keluar sendiri. Bagaimana kalau ia diculik, lalu di..."
"Keluar dong, Man. Tanyai mereka, mau apa cari Anton," desak Yeni tak sabar. .
"Kami cuma mau mencari Anton!" teriak seseorang di luar. "Kami perlu ketemu dia! Kami bukannya mau merusak tempat ini. Cuma Anton! Anton!"
Herman malah semakin terpaku di kursinya. "Kalau saya yang keluar nanti mereka tidak percaya," kata Henson, berusaha menahan sabar.
"Soalnya, mobil Pak Anton ada di luar. Jadi, Pak Herman-lah yang harus menjelaskan."
"Emangnya kenapa sih si Anton" Bikin ulah apa dia"" tanya Yeni curiga. Ia jengkel kepada Herman.
"Aku... aku takut keluar," Herman terpaksa mengakui.
"Kalau begitu biar kutemani," usul Henson.
"Ayo, cepat, Anton!" seru orang di luar. Suaranya kedengaran gemetar menahan emosi. "Kalau kau tidak mau keluar, nanti kuteriakkan perbuatanmu. Biar semua orang tahu!" Wajah Herman semakin pucat. Dia semakin terpaku.
Nyonya Linda melompat dari duduknya. "Apa-apaan sih kamu ini" Kok diam kayak patung" Biar kita keluar ramai-ramai! Emangnya mereka berani mukul perempuan""
Tapi walaupun bicara begitu, Nyonya Linda tidak mau melangkah lebih dulu. Sementara Herman semakin gugup dan bingung. Akhirnya, Irma menarik tangan Henson. "Ayolah, kita keluar saja."
Anehnya, setelah Irma dan Henson berjalan menuju pintu, mereka semua ramai-ramai mengikuti. Kedua pelopor itu seperti memiliki daya magnit yang menarik orang lain agar ikut serta. Herman yang terkejut seperti disentakkan dengan tiba-tiba. Ia setengah berlari tak ingin ketinggalan walaupun semangatnya sudah menciut. Bahkan Tanujaya yang semula acuh tak acuh saja, karena lebih mementingkan santapannya, terpaksa ikut juga karena ditarik istrinya. Mereka semua ingin tahu. Toh masalahnya tidak menyinggung kepentingan mereka. Dan bukan itu saja. Mereka juga mencium bau skandal. Itulah daya tariknya!
Tapi ada satu orang yang tidak terbawa arus. Dia adalah Tuan Liong. Pada mulanya ia termangu-mangu memandangi orang-orang yang berbondong-bondong menuju pintu itu, tapi kemudian ia tersenyum. Senyumnya aneh.
*** Cuma sebuah pintu yang membatasi ruang makan dengan halaman parkir. Pintu itu besar dan berdaun dua. Bila dibuka daun pintu masuk ke da
lam rumah. Modelnya cukup unik karena setengahnya arah ke atas terdiri dari kaca-kaca berbentuk segi empat sebanyak delapan buah, masing-masing empat buah di kiri dan kanan. Kacanya berwarna sedikit gelap. Lalu di baliknya diberi tirai dua lapis, satu halus dan satu tebal. Pada saat tutup di malam hari seperti itu kedua tirai dipasang. Tapi bila sedang buka sudah tentu kedua daun pintu dibuka lebar-lebar hingga masing-masing merapat pada dinding bersisian. Dengan demikian daun pintu itu tidak sampai menghalangi orang-orang yang lewat.
Terciptanya model pintu itu sama sekali bukan demi keindahan. Hal itu tak berbeda dengan bagian-bagian lainnya dari rumah itu. Kalaupun ada orang yang menilainya indah pasti cuma kebetulan saja. Tapi semua itu terbentuk lewat campur tangan orang berilmu. Lewat 'mata gaibnya' ia bisa memperhitungkan mana yang seharusnya ada dan mana yang tidak boleh ada. Tapi ada satu hal yang kebanyakan orang tidak menyadari, lebih-lebih mereka yang bermaksud menjiplak mentah-mentah bentuk bangunan SANG NAGA. Yaitu, bentuk bangunan itu sudah disesuaikan dengan segala sesuatu yang ada pada diri sang pemilik sendiri. Dalam hal ini, sudah tentu dia adalah Tuan Liong.
Memang bisa dipahami kalau setiap orang memiliki daya, potensi, atau energi yang kadar kekuatannya tidak sama satu dengan yang lain. Ada yang lebih besar, ada pula yang lebih kecil. Dan itu tidak bisa diubah lagi. Tapi yang paling penting adalah bagaimana mengolah yang sudah tertentu itu agar mencapai hasil besar, sebesar mungkin. Pemahaman modern dan pemikiran ilmiah sudah tentu akan memberi jawaban rasional, seperti misalnya, orang harus mempelajari ilmu yang sesuai dengan bakatnya, lalu pandai-pandai memanfaatkan setiap kesempatan, lalu memperbaiki kepribadian, lalu tekun, ulet, rajin, dan sebagainya. Namun menurut pemahaman dari 'jalur lain', jawaban rasional semacam itu tidak lengkap. Masih ada lagi lainnya yang penting. Bahkan sangat penting. Dan konon, justru paling menentukan keberhasilan seseorang.
Konon pula, daya atau potensi yang dimiliki seseorang itu termasuk juga daya tarik terhadap hal-hal di luar dirinya. Tapi yang dimaksud dengan 'hal-hal di luar diri seseorang' di sini bukanlah sesuatu yang bisa dilihat, dipahami, ataupun diperhitungkan. Contoh paling mudah dan paling utama adalah mengenai keberuntungan dan kesialan. Bukankah dua hal itu yang paling dianggap penting oleh kebanyakan orang, bahkan mungkin oleh semua orang" Keberuntungan selalu dicari dan diharapkan, sementara kesialan amatlah ditakuti. Tapi sudah terbukti, upaya semacam itu sangat susah.
Banyak contoh nyata yang bisa dijadikan pertimbangan. Lihat saja orang-orang yang tak pernah mengenyam pendidikan tinggi, tak punya latar belakang kekayaan atau kekuasaan yang dapat memberinya berbagai sarana kekuatan, dan tidak pernah tahu berbagai teori menuju sukses, tapi kemudian toh bisa sukses dengan caranya sendiri. Kebetulan atau peruntungan"
Contoh lain adalah mengenai kebalikannya, yaitu tentang orang-orang yang sarat ilmu karena sudah belajar 'sampai bongkok' dan sudah pula memiliki segala macam sarana penunjang, tapi tidak kunjung sukses. Bahkan kemungkinan malah ambruk. Peruntungan jugakah" Memang tidak mampu mengundang keberuntungan ataukah yang diundang justru adalah kesialan"
Karena itu, segala segi yang ada pada bangunan SANG NAGA dirancang berdasarkan kekuatan yang ada pada diri Tuan Liong. Seberapa besar daya tariknya terhadap keberuntungan, dan seberapa besar daya tolaknya terhadap kesialan" Lalu, bagaimana cara mengukurnya" Sudah tentu itu merupakan 'rahasia jabatan' si empunya ilmu. Hal yang satu inilah yang juga dirahasiakan oleh Tuan Liong, yaitu bahwa dirinya punya hubungan dengan bangunan yang dihuni dan dijadikannya tempat usaha itu, sesuai dengan yang dikatakan si orang pinter. Tapi ia tidak keberatan kalau cerita perihal campur tangan orang pinter itu sampai diketahui orang. Mereka boleh tahu, tapi tidak perlu tahu semuanya.
Tapi kemudian, setelah ia menganggap dirinya cukup sukses, ia ragu-ragu terhadap keamanan pintu itu. Ada yan
g mengatakan tentang mudahnya pintu semacam itu dibobol penjahat. Maklumlah, setiap orang yang menjadi kaya juga menjadi calon mangsa penjahat. Jadi timbul niatnya untuk memasang pengamanan pada pintu itu, misalnya dengan melapisinya dengan jeruji. Tapi ia juga khawatir kalau-kalau cara itu bisa membuat rezekinya jadi seret. Maklumlah, pintu rumah itu merupakan jalan keluar masuknya orang. Dan baginya masalah itu penting. Bagi sebuah restoran, masalah keluar masuknya orang itu paling penting. Semakin banyak orang masuk, semakin besar rezekinya. Ternyata Mama Gembrot yang jadi konsultannya itu juga melarang pemakaian jeruji. Adanya jeruji akan membuat Sang Naga keberuntungan merasa dikerangkeng atau dikurung dan karena itu dapat membuatnya tidak betah. Kalau Sang Naga sampai pergi, tahu sendiri akibatnya. Demikian alasan Mama Gembrot. Dan itu dipatuhi Tuan Liong walaupun kekhawatirannya masih saja ada. Ia tidak bisa tidur kalau uangnya belum disetorkan ke bank.
Belakangan disadarinya, bahwa kekhawatiran itu disebabkan karena kepercayaannya belum seratus persen. Padahal selama itu ia tak pernah mengalami gangguan keamanan. Kemudian terjadilah gangguan kecoa itu, suatu masalah paling serius yang pernah dialaminya sepanjang kisah suksesnya. Lalu ia jadi gelisah dan khawatir. Ia kembali mendatangi Mama Gembrot, tapi wanita itu menyuruhnya pergi tanpa mau memberi usul apa-apa. Katanya dengan nada tinggi, "Kenapa kecoa dibawa-bawa ke sini"" Entah kenapa wanita itu kelihatan jengkel, padahal masalah itu sangat serius. Itu membuat Tuan Liong semakin gelisah. Ia takut, Sang Naga sudah meninggalkannya. Ataukah Sang Naga itu sebenarnya tak pernah ada, karena merupakan bualan Mama Gembrot belaka" Keraguan kembali lagi. Karena ragu-ragu itulah pikirannya kembali ke hal-hal yang rasional. Setelah melihat usaha Henson membawa hasil positif, ia sangat gembira dan lega. Sebegitu rupa gembira dan leganya, hingga dengan spontan ia mengangkat Henson sebagai manajer. Tapi belakangan, penyesalannya muncul setelah kepercayaannya kepada Sang Naga kembali lagi. Patutkah Henson diberi penghargaan sebegitu besarnya kalau ia cuma sekadar alat sesuatu kekuatan yang lain" Penyesalan itu mencapai klimaks setelah ia melihat peristiwa di gudang. Sama sekali belum terlambat untuk membatalkan janji.
Kini, melihat orang ramai-ramai keluar, ia sama sekali tidak merasa terangsang untuk ikut keluar. Ia tetap saja duduk dengan senyum di bibirnya. Tapi kemudian ia melihat Linda dan Peter jalan berdekatan dalam iring-iringan itu. Sepertinya wajar saia, karena semuanya memang saling berdekatan. Namun di mata Tuan Liong, keduanya semakin dekat saja sampai kemudian bersentuhan. Terus begitu menuju pintu. Senyumnya lenyap. Lalu ia meraba sakunya untuk kesekian kali.
-XI- Tuan Liong melihat Henson membuka pintu. Tapi pintu itu tidak sampai terpentang lebar-lebar. Cuma cukup bagi kelompok orang itu untuk melihat ke luar. Dari tempat duduknya, ia memang bisa melihat karena tak ada halangan apa-apa walaupun jaraknya cukup jauh. Tapi ia tak bisa mendengar jelas apa saja yang dipercakapkan. Suara Henson dikenalinya, tapi bicaranya perlahan saja. Biar saja. Ia toh tidak ingin mendengar.
Tak lama kemudian terdengar Yeni memekik. Tapi Tuan Liong tetap tak tergugah. Biar saja.
Barulah ketika belakangan Peter melenggang dengan santai untuk kembali ke meja makan, Tuan Liong buru-buru menegakkan tubuhnya kembali. Wajahnya memperlihatkan kewaspadaan.
Kembalinya Peter tidak diikuti mereka yang lain. Rupanya di ambang pintu sedang berlangsung perbincangan atau perdebatan yang panas namun mengasyikkan bagi yang tidak punya kepentingan. Karena itu, Peter tidak duduk di tempatnya semula yang letaknya di ujung meja, cukup jauh dari Tuan Liong. Apalagi di situ ia tidak bisa melihat ke arah pintu. Jadi ia memilih kursi yang ada di dekat Tuan Liong meskipun tidak persis di sebelahnya.
Tuan Liong melirik dengan sudut matanya. Mulutnya melengkung ke bawah, ia merasa sebal. Benci.
"Beginilah moral anak-anak muda zaman sekarang, kata Peter, tanpa memandang ke
pada Tuan Liong. "Kasihan Yeni, ya."
"Kenapa"" tanya Tuan Liong dengan segan. "Si Anton, pacarnya itu. ternyata menghamili gadis lain. Sekarang anggota keluarganya menuntutnya supaya bertanggung jawab. Entah dia ngumpet di mana. Si Herman ngotot bilang nggak tahu. Pantas dia nggak datang, ya."
Tuan Liong kaget juga. Jadi itulah masalahnya. Tapi biar saja. Toh Yeni belum kawin dengan Anton. Belum terlambat. Susah-susah amat. Putuskan saja. Habis perkara. Kenapa si Peter harus pusing dengan moral anak muda zaman sekarang kalau dia yang sudah jadi orang tua lebih bejat lagi moralnya"
"Tapi si Henson itu pintar juga ngomongnya. Orang yang lagi pada emosi itu bisa ditenangkan-nya. Padahal tukang-tukang parkir, yang rupanya Batak semua kayak dia, sudah pada siap mau membela. Eh, berantem, maksudku. Tak heran kalau orang-orang itu jadi pada keder. Coba kalau nggak ada si Henson...," kata Peter lagi, tetap tanpa memandang pada Tuan Liong.
Dengan kesal Tuan Liong bangkit dari duduk nya. Pujian ke alamat Henson itu membuat ia jengkel. Lalu tanpa mengatakan apa-apa ia berjalan ke aralh pintu, meninggalkan Peter sendiri.
Peter memonyongkan mulutnya. Huh, sombong banget si Tuan itu. Lalu ia duduk lebih santai sambil memandang ke luar. Ia melihat Tuan Liong sudah melangkah melewati ambang pintu. Mungkin mau bergabung dengan yang lain, yang semakin lama semakin beringsut lebih ke luar. Rupanya mereka tak ingin melepaskan kesempatan menyaksikan adegan dramatis itu sampai akhir. Tamatnya riwayat percintaan salah seorang dara SANG NAGA!
Beberapa saat kemudian ia berdiri lalu melangkah ke luar untuk menggabungkan diri dengan yang lain.
*** Ramai-ramai mereka kembali ke meja makan, terkecuali dua orang. Herman sudah pulang dengan diantar oleh salah seorang petugas parkir. Sedang Yeni yang bersedih ingin menyendiri di kamarnya.
Dengan cekatan Irma mengangkat piring-piring bekas makan Yeni dan Herman untuk disingkirkan ke dapur. Sedang Henson menyilakan para tamu untuk meneruskan makan yang tertunda. Ternyata mereka tidak berkeberatan. Perut belum kenyang benar. Makanan terlalu lezat untuk dilewatkan secara percuma. Sedang peristiwa tadi sama sekali tidak terasa mengganggu. Di antara mereka yang hadir saat itu tidak ada yang merasa dirugikan. Sebaliknya, mereka jadi memperoleh tambahan bahan untuk dipercakapkan. Peristiwanya cukup sensasional.
nyonya Linda juga tidak merasa harus bersedih. Berulangkali ia mengatakan betapa beruntungnya Yeni karena hal itu terjadi sebelum Yeni kawin dengan Anton. Kenapa harus berat hati melepaskan seorang pemuda bejat" Biar saja dia pergi dan mengawini gadis yang dihamilinya itu. Siapa mau punya menantu kayak begitu" Pendeknya, ia sama sekali tidak keberatan atau kehilangan. Ia yakin, Yeni yang cantik dapat dengan mudah memperoleh pengganti Anton. Bahkan siapa tahu malah lebih hebat.
Tapi Asrul merasa kehilangan teman berbincang. Toh ia tidak terlalu kecewa. Peristiwa tadi memang tidak membuat ia rugi. Bahkan kemungkinan justru membawa keuntungan untuknya. Namun gerak-gerik Irma kembali menarik perhatiannya. Ah, Irma sebenarnya lebih menarik. Sayang Henson tidak bisa diajak menukar tempatnya.
Pembicaraan kemudian lebih banyak didominasi kaum wanita. Mereka berceloteh sambil makan. Selingan peristiwa itu ternyata membuat mereka makan lebih banyak. Rupanya saat-saat penundaan telah memberi kesempatan pada makanan yang sudah masuk lambung untuk turun ke bawah, hingga tersedialah ruang yang lebih besar untuk menampung makanan baru.
Para pria lebih banyak diam. Terutama Tuan Liong nampak kontras dengan saat sebelum peristiwa tadi terjadi. Sikapnya itu paling terasa oleh Jimmy yang tadi amat kerepotan melayani pembicaraan Tuan Liong yang seru. Keadaan itu jadi memberi peluang padanya untuk mencurahkan perhatian lebih banyak pada Lili. Tapi ia tidak enak hati. Sesekali ia melirik dan terkejut ketika menyadari betapa pucat wajah calon mertuanya itu. Apakah perubahan itu disebabkan oleh peristiwa tadi"
Mendadak Tuan Liong berteriak mengaduh kesakitan. Suaranya melengking tinggi
membuat bulu roma para pendengarnya berdiri semua. Dan wajahnya sangat mengerikan. Kedua tangannya bergerak ke leher, mengurut dan mencekik.
"Jimmy! Tolong! Tolong! Oh, sakit! Panas, panas! Minum!" seru Tuan Liong kalang kabut. Lalu ia jatuh dari kursinya.
Mereka berlompatan menubruk. Jimmy paling dulu memeluk Tuan Liong setelah menyambar gelas minum yang isinya sudah tinggal separuh. Tapi Tuan Liong melolong sambil menepak gelas itu hingga terlepas dan jatuh pecah di lantai.
Tuan Liong merintih dan menangis. Suaranya serak. Kemudian ia muntah-muntah. Jimmy yang memeluknya tak bisa menghindar dari terkena muntahan. Ia terlalu bingung untuk melakukan sesuatu kecuali memegangi Tuan Liong erat-erat.
Untuk beberapa saat lamanya semua orang seperti terpaku kebingungan. Mereka tak mengerti. Bahkan Henson yang biasanya tangkas jadi seperti orang kehilangan akal. Alangkah banyak peristiwa terjadi dalam waktu singkat. Dan yang seperti ini terlalu mendadak.
"Panggil dokter!" seru Peter.
"Uh! Uh!" rintih Tuan Liong. Tangannya menggapai-gapai ke atas, lalu turun menyentuh tubuhnya dengan gerakan yang lemah. Ia meraba-raba sakunya seakan berusaha mengambil sesuatu dari situ. tapi sangat susah.
Henson yang sudah mau melompat untuk memenuhi anjuran Peter, jadi terpesona. Ia memandangi. Yang lain pun memandangi. Entah kenapa, gerakan Tuan Liong itu jadi membangkitkan keingintahuan hingga orang melupakan keharusan menolong dengan cepat.
Irma menubruk. "Papa! Kenapa, Pa"" serunya ketakutan. Baru saja ia berhasil menemukan suaranya kembali setelah hilang untuk sesaat.
Tuan Liong masih meraba-raba. "Sakunya, Irma. Sakunya dilihat," Asrul menganjurkan. Ia juga baru pulih dari rasa kaget. Gejala yang diperlihatkan Tuan Liong itu terlalu mengagetkan. Sepertinya ia bisa menyimpulkan penyebabnya. Tapi kalau benar, tidakkah itu mengerikan sekali untuk dirinya juga" Dia dan yang lain telah memakan makanan yang sama. Keringat dinginnya keluar. Ia sibuk meneliti perasaan-perasaan tubuhnya. Adakah perasaan tidak enak"
Irma merogoh saku ayahnya. Lalu mengeluarkan benda yang terpegang. Racun tikus Nyonya Linda!
Pekikan ngeri terdengar di sana sini. Ya, ampun! Racun di tengah jamuan makan! Satu korban sudah jatuh. Tidak mungkinkah akan ada korban yang lain" Tapi Nyonya Linda lebih kaget lagi. Ia menjerit-jerit histeris hingga perlu ditenangkan Lili.
Akhirnya mereka sepakat membawa Tuan Liong ke rumah sakit, karena kasusnya sudah jelas. Dan sisa racun tikus yang masih ada dalam bungkusnya, lengkap dengan etiketnya dimasukkan kembali ke dalam saku Tuan Liong.
Jimmy menawarkan mobilnya untuk mengangkut Tuan Liong. Dan semantara ia pergi mempersiapkan kendaraannya, Irma menggantikannya memegangi ayahnya.
Tapi Tuan Liong masih terus muntah-muntah. Dia mengerang dan merintih. Sampai kemudian suaranya berhenti. Dia sudah kolaps. Dalam keadaan seperti itulah ia dimasukkan ke dalam mobil.
Melihat suaminya kehilangan kesadaran, Nyonya Linda jatuh pingsan. Terpaksa Lili ditinggalkan untuk menjaga ibunya. Sementara Irma bertekad untuk ikut serta.
Para tamu semua ikut mengantarkan ke rumah sakit. Tampaknya mereka memiliki simpati dan empati yang tinggi. Tapi sebenarnya tidak sepenuhnya demikian. Masing-masing memiliki kekhawatiran perihal diri sendiri. Siapa tahu mereka juga keracunan, walaupun ringan, hingga gejalanya baru terasa belakangan. Dengan ikut berada di rumah sakit, setidaknya mereka akan cepat mendapat pertolongan andaikata gejala itu sampai terasa. Sementara Asrul juga punya motivasi lain. Sambil menjaga kesehatannya ia bisa sekalian mengejar berita.
Cek A Piang tertinggal. Ia tidak mau ikut. Dan ia sama sekali tidak mengkhawatirkan soal racun dalam makanan. Mana mungkin ada racun, karena dia sendiri yang memasak. Dan ia tahu betul Henson juga tidak mungkin memasukkan racun. Ia yakin, racun itu cuma meracuni orang yang menyimpannya. Yaitu, Tuan Liong sendiri.
Tapi sebelum pergi Henson sempat berpesan padanya, "Jangan dibersihkan atau dibereskan, Cek! Biarkanlah seperti apa adanya!"
Kemudian setel ah semua orang pergi, ia menatap meja makan dengan sedih. Semua berantakan. Itulah akhir jerih payahnya bersama Henson.
Beberapa saat setelah tiba di rumah sakit, Tuan Liong meninggal dunia. Dalam perjalanan, tak sepatah kata pun bisa keluar dari mulutnya karena kesadarannya tak pernah kembali. Dengan demikian, Henson dan Irma yang memeganginya di jok belakang mobil Jimmy tidak bisa memperoleh penjelasan barang sedikit pun. Kenapa racun tikus itu dikantongi Tuan Liong" Dan kenapa sampai termakan"
Berdasarkan penelitian sementara, bisa disimpulkan bahwa kematian Tuan Liong disebabkan karena keracunan arsen. Hal itu pas dengan kenyataan bahwa racun tikus tersebut pun mengandung arsen dalam kadar yang tinggi. Dan menilik kematian Tuan Liong yang berlangsung cepat, maka bisa dipastikan bahwa racun yang termakan olehnya pasti banyak. Jadi hampir pasti bahwa kematian Tuan Liong disebabkan oleh racun tikus itu. Tapi yang masih tetap jadi pertanyaan, apakah hal itu suatu kesengajaan atau bukan" Kalau sengaja, hal itu tentunya merupakan tindak bunuh diri. Tapi kalau bukan, itu merupakan pembunuhan!
Ternyata, tidak ada barang satu pun dari mereka yang hadir dan ikut menikmati jamuan makan itu yang ikut keracunan. Semua sehat-sehat saja. Tidak ada yang sakit perut, muntah, ataupun diare. Karena itu, bisa disimpulkan bahwa racun tersebut hanya terdapat dalam makanan atau minuman milik Tuan Liong sendiri. Tapi demi kejelasan, dari setiap makanan diambil sampelnya untuk diteliti di laboratorium. Dan tentu saja, yang paling terutama adalah makanan yang ada di piring Tuan Liong beserta minumannya. Tapi yang menyulitkan adalah gelas minumnya sudah pecah dan isinya tumpah ke lantai. Untung masih bisa diserok dan dimasukkan kantung plastik berikut pecahan gelasnya. Kecurigaan terhadap minuman berupa teh itu paling kuat, karena Jimmy sangat yakin bahwa Tuan Liong segera memperlihatkan reaksi sakitnya setelah ia minum. Padahal sebelumnya ia makan tenang-tenang tanpa keluhan apa-apa. Satu hal lain yang menguatkan keyakinan Jimmy adalah sikap Tuan Liong ketika disodori minuman itu waktu ia merintih minta minum. Gelas itu ditepaknya dengan gerak sengaja, seakan tahu apa isinya dan karenanya tak mau meminumnya.
Semua pemeriksaan itu memerlukan waktu. Dan sementara itu polisi juga sudah ikut campur, walaupun pihak keluarga sebenarnya tidak meng-inginkan peristiwa itu jadi panjang. Orang sudah mati ya sudah. Apalagi ada banyak hal yang menguatkan dugaan bahwa Tuan Liong memang bunuh diri. Banyak saksi, pendeknya semua yang hadir pada jamuan makan itu, melihat sendiri bahwa racun itu berada di saku Tuan Liong. Dan Tuan Liong sendirilah yang memberi isyarat dengan gerak tangannya akan adanya benda itu. Tanpa isyarat yang diberikannya orang tidak akan tahu apa isi kantungnya. Jadi, andaikata ada orang lain yang memasukkannya secara diam-diam, pastilah Tuan Liong tidak akan melakukan gerak-gerak isyarat itu karena ia tidak tahu.
Tapi pemeriksaan tetap harus dijalankan. Keyakinan tidak bisa diperoleh dari dugaan saja. Maka orang-orang pun ditanyai secara intensif. Mau tak mau, beritanya pun tersiar. Kejadian demikian tentu tak bisa disamakan dengan peristiwa masakan yang kemasukan kecoa itu.
Memang Asrul telah memberikan jasa baiknya dengan memuat berita itu biasa-biasa saja, yaitu tentang seorang pemilik restoran yang mati mendadak setelah makan, dan diduga bunuh diri. Sama sekali tak ada unsur sensasinya. Orang yang mati mendadak maupun yang bunuh diri bukan cuma Tuan Liong seorang saja. Tapi mereka cukup sadar, koran yang beredar bukan cuma satu itu. Sekali lagi SANG NAGA akan jadi obyek pembicaraan. Bahkan kemungkinan diwarnai skandal.
Sementara itu SANG NAGA terpaksa tutup selama waktu yang belum ditentukan. Kalaupun buka, pastilah akan diisi tamu yang melulu kepingin tahu saja, lalu tengok sana sini dan tanya ini itu. Jadi perlu menunggu sampai suasana mereda. Orang perlu waktu untuk melupakan.
Tiga hari setelah kematiannya, Tuan Liong dimakamkan tanpa ramai-ramai. Sama sekali tak ada upacara apa-apa sesuai dengan tradisi.
Bahkan iklan duka cita yang dimuat di koran ukurannya kecil saja, juga tanpa disertai foto seperti kebiasaan orang belakangan ini, yaitu semakin kaya si almarhum semakin besar pula iklan dan fotonya. Ongkos memasang iklan tentunya mahal. Tapi dalam hal kematian Tuan Liong, kesan yang ingin diberikan adalah berusaha untuk tidak menarik perhatian, walaupun kematiannya memang harus diumumkan.
Selama hari-hari itu Nyonya Linda jadi pendiam. Kentara sekali ia mengalami stres. Sama sekali tidak nampak gerak-gerik dan gayanya yang biasa. Berdandan pun segan. Wajahnya murung dan matanya sayu. Tentu bagi sebagian orang, keadaan itu dinilai wajar. Istri yang baik pasti akan bersedih dan meratapi kematian suaminya. Tapi bagi ketiga putrinya. Henson, Peter, dan orang lain yang mungkin juga tahu. sikap Nyonya Linda itu ada penyebabnya yang lain lagi. Karena dialah maka racun itu ada di rumah. Kalau ia tidak terlalu bernafsu membunuhi tikus-tikus itu, mungkinkah kisahnya akan lain" Karena itu, apakah ia merasa bersalah atau takut disalahkan" Bagaimanapun, yang paling tahu tentu hanya dirinya sendiri. Bagi Yeni, kesedihannya juga disebabkan karena patah hati. Tiba-tiba saja Anton seolah menguap. Dia tak muncul-muncul lagi. Bahkan ia pun tidak datang melayat. Hanya karangan bunga berikut ucapan turut berduka cita yang datang sebagai pengganti orangnya. Tapi itu tentu tak ada artinya. Yeni marah dan gemas. Mau bertanya atau melampiaskan kekesalan juga tidak bisa, karena Herman pun tak muncul-muncul.
Tapi Asrul menampilkan diri sebagai penghibur. Sejak kematian Tuan Liong ia rajin datang tiap hari. Memang ia mamperlihatkan perhatiannya kepada Yeni secara terang-terangan, tapi sebenar-nya ia juga didorong oleh naluri profesinya. Ia mencari cerita dan berita. Toh kepada Henson ia mengakui hal itu terus terang. Namun ia juga berjanji tidak akan mengeksploitasi secara murah-an cerita yang didapatnya. Sebenarnya, mencari dan mengorek informasi itu penting dan berguna asal tujuannya untuk mencari kebenaran.
Pada mulanya Henson merasa berat hati. Ada saja wartawan yang demi kariernya tak segan-segan menghancurkan nama baik orang lain, atau berusaha dengan cara kotor. Tapi setelah merundingkannya dengan Irma, mereka sepakat untuk menerima Asrul dengan tangan terbuka. Bukan berarti mereka mempercayainya, tapi menerimanya dalam batas-batas tertentu. Mereka tidak akan memberinya cerita, tapi membiarkannya mencari sendiri. Bersikap memusuhi atau mencurigai wartawan malah akan membuatnya semakin penasaran dan ingin tahu. Jadi biarkan saja hubungan berkembang sendiri. Barangkali itu yang paling bijaksana.
Perhatian Asrul kepada Yeni ditanggapi Henson secara positif. Berusahalah menerima tantangan dengan tabah, demikian ia memberi semangat kepada Asrul. Tapi ketika Asrul bertanya-tanya perihal Irma kepadanya, karena tetap menganggap Irma lebih menarik daripada Yeni, spontan Henson berterus terang. "Irma adalah gadisku," katanya. Bukan karena ia khawatir kalau-kalau Irma berhasil dirayu Asrul. tapi karena merasa hal itu memang tak bisa disembunyikan.
tentu saja informasi itu membuat Asrul tercengang, tapi juga jenang. "Jadi memang ada sebabnya kenapa kau begitu betah bekerja di situ, bukan"" katanya.
Henson tersenyum. "Tapi ingat, Rul. Jangan siarkan info itu ke mana-mana."
"Oh, masih rahasia" Jadi. mereka belum tahu""
"Belum." "Dan Tuan Liong juga tidak tahu""
"Aku kira juga tidak," jawab Henson ragu-ragu Pertanyaan itu mengganggu. Ya, apakah Tuan Liong memang tidak tahu" Dulu-dulu memang tidak, tapi bagaimana di saat-saat menjelang kematiannya"
"Kalau begitu, tentu ada alasan kenapa kalian menyembunyikan hubungan kalian. Kira-kira mereka, maksudku Tuan dan Nyonya Liong, tidak akan menyetujui, bukan""
"Ya." "Jadi, mereka mementingkan soal ras."
"Bukan begitu. Aku sendiri tidak tahu pasti soal itu. Tapi aku harus tahu diri. Dulunya aku cuma seorang pelayan. Tak bisa disamakan dengan kau."
"Oh, aku dulunya pedagang kaki lima." Asrul tertawa.
Tapi mereka tidak pernah melihatmu dulu." Ah, sudahlah. Yang penti
ng kan gadisnya mau. Lalu kita perjuangkan bersama-sama."
Henson tak ingin mendebat. "Ya. Kuharap Yeni akan menyambut perhatianmu dengan positif. Aku dengar dari Irma, secara pribadi dia tidak punya masalah terhadap pembauran. Cuma dalam hal itu, pendapat pribadi saja jelas tidak cukup," katanya sambil membayangkan Irma. Ia yakin, Yeni tidak sama eperti Irma. Keyakinan yang
membanggakan. Tapi hal itu tentu saja tidak akan diutarakannya kepada Asrul. Biar saja Asrul mencari tahu sendiri tentang Yeni.
"Aku dengar Anton sudah kawin dengan gadis yang dihamilinya," kata Asrul kemudian.
"Pantas ia tak muncul lagi. Apakah Yeni sudah tahu""
"Mungkin sudah. Informasi itu tidak kusampai kan padanya, melainkan kepada ibunya. Aku tak sampai hati melihat reaksinya nanti. Tapi nyonya Linda kelihatan senang mendengar berita itu. Biarlah dia saja yang menyampaikan. Seorang ibu tentu lebih tahu caranya."
"Dia baik kepadamu."
"Ya, memang. Tapi aku tidak tahu hatinya. Kau lebih tahu," kata Asrul dengan tatap menyelidik.
Henson tersenyum saja. "Aku tahu, dia tidak pernah suka padaku."
"Kau tak berusaha mengambil hatinya""
"Tidak bisa. Mungkin aku yakin, apa puji yang kulakukan ia akan tetap tidak suka. Percuma."
"Dia berbeda dengan suaminya, bukan" Nah, kalau sekarang Tuan Liong sudah tiada, bagaimana kalau dia berusaha menggesermu"" tanya Asrul ingin tahu.
"Aku sudah memikirkan hal itu, Rul. Tentu saja aku akan angkat kaki. Aku bisa kerja di tempat lain."
Asrul menggeleng-gelengkan kepala. "Sekarang kau bertahan di situ karena Irma, bukan" Ah, sayang nyonya I inda tidak mau menghargaimu."
"Dia lebih percaya kepada Sang Naga keberuntungan."
"Kau kelihatan kecewa." Tatapan Asrul kembali penuh selidik.
"Kecewa" Ah, tidak. Aku sudah kebal terhadap kekecewaan. Tak susah lagi mengatasinya," kata Henson, berusaha menyembunyikan perasaan hatinya. Pada suatu ketika, kekecewaan itu pernah mencapai puncaknya. Di malam mengerikan itu. Begitu rupa emosinya hingga tak ada lagi rasa iba melihat penderitaan Tuan Liong. Biarlah dia merasa sakit yang sangat. Rasakan. Tapi bagaimanapun, cuma rasa sakit itu yang disyukurinya. Bukan kematian. Ia tidak mengharapkan kematian Tuan Liong. Juga tidak menginginkan. Kematian membuat masalahnya tidak selesai. Bahkan sekadar penjelasan pun tak ada. Kenapa Tuan Liong membatalkan janji" Harga dirinya yang demikian rupa tersinggung telah menggugah semangatnya untuk berontak. Ia tidak akan menerima perlakuan semacam itu begitu saja. Sudah terlalu lama ia bersabar, merunduk dan mengalah. Suatu pengorbanan harga diri yang sia-sia. Jadi ia akan berterus terang. Ia akan minta berhenti, sekalian memberitahukan soal hubungan cintanya dengan Irma. Tapi dengan kematian Tuan Lionghal itu tak bisa ia lakukan. Pertanyaan itu tak terjawab dan kepuasan batinnya tak tercapai.
"Tidakkah terpikir olehmu, bahwa kematiannya itu agak ganjil"" tanya Asrul tiba-tiba.
"Ah, ganjil" Kenapa kau menyimpulkan begitu"" Henson keheranan. Ia tak berpikir ke situ. Atau memang belum. Mungkin kekecewaannya terlalu besar untuk menyempatkannya berpikir ke soal lain.
"Pikir saja. Orang mau bunuh diri kok di depan banyak orang. Di tengah pesta lagi. Sedang saat-saat sebelumnya ia tidak kelihatan sedih atau merasa tertekan."
Mau tak mau Henson jadi mengingat-ingat kembali kejadian yang ingin dilupakannya itu. Apakah hal semacam itu memang ganjil" Tapi ia ingat akan sikap Tuan Liong di hari-hari sebelum peristiwa itu. Bahkan jauh sebelumnya. Orang bukan ahli pun akan bisa menyimpulkan bahwa Tuan Liong memperlihatkan kelainan. Dia berbeda daripada biasanya. Mungkin tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa dia mengalami stres waktu itu. Dan bagi Henson penyebabnya tidak susah dicari. Bersama Irma, ia sepakat untuk menyimpulkan bahwa hubungan gelap nyonya Linda-lah penyebab utamanya. Tapi hal-hal semacam itu, terutama perubahan sikap Tuan Liong, cuma bisa dilihat dan dirasakan oleh orang-orang yang dekat dengannya.
Asrul mempelajari wajah Henson. "Jadi, kau berdua Irma tidak merasakan keanehan apa-apa""
Henson menggelengkan kepala.
"Ah, itu kan aneh," cetus Asrul.
Henson menjadi jengkel. Ia memang tak bermaksud untuk bercerita kepada Asrul. "Aku sudah menceritakan apa yang kuketahui kepada polisi. Rul. Merekalah yang nanti akan menyimpulkan apakah ada yang aneh atau tidak."
Asrul tertegun sebentar. "Oh, maaf. Son. Aku bukan sok menyelidik. Tapi semata-mata dorongan naluri yang membuat aku selalu kepingin tahu. Aku merasa tergelitik kalau ada sesuatu yans terasa ganjil. Tapi, kau tentu sepakat bahwa kebenaran harus dicari, bukan""
"Ya. tentu saja. Tapi itu merupakan tugas polisi. Bukan orang-orang seperti kita." "Kita. bisa membantu."
"Oh. apa yang bisa kita lakukan" Jadi detektif amatir"" kata Henson sinis, tapi kemudian menyesal. Ia sudah bersikap kasar. Mungkin karena kekecewaannya belum juga mereda. "Maafkan aku, Rul," katanya buru-buru. "Peristiwa itu menekan syarafku."
"Sebabnya""
"Ah, kau sangat ngotot. Pak Dermawan saja tidak menanyai aku seperti itu," ujar Henson, walau tanpa kejengkelan seperti tadi. Ia teringat pada kapten polisi yang ramah itu.
"Oh ya" Tapi itu kan baru permulaan. Mereka akan mengawali tanya-jawab dengan keramahan. Maklum belum punya pegangan. Tapi nanti, kalau berbagai informasi sudah di tangan, apalagi yang menjurus, maka tunggu saja saatnya kita akan digebrak dan dicecar "
"Kita, katamu" Jadi, kau dan aku juga""
"Tentu saja. Kau tahu, dalam peristiwa seperti itu, semua yang hadir di situ termasuk orang-orang yang dicurigai. Mereka tidak akan begitu saja mau menerima kesimpulan selintas tentang kematian mendadak karena keracunan."
Henson tersadar. "Oh, aku ingat, kau kenal Pak Dermawan cukup baik. Apakah dia yang mengatakan hal itu padamu""
"Dia belum mengatakan apa-apa. Tapi aku tahu, biasanya memang seperti itu. Untuk sementara ia akan membiarkan orang-orang merasa aman. ia berbuat seolah-olah sepakat dengan kesimpulan bahwa Tuan Liong memang bunuh diri. Tapi diam-diam otaknya bekerja. Dan aku yang jadi terlibat dalam peristiwa itu sungguh-sungguh mau membantunya. Bukan saja karena dorongan naluri, tapi aku juga ingin membersihkan diri. Aku tak ingin dicurigai."
"Ah, mustahil kau dicurigai. Kau tidak punya motivasi."
"Terima kasih kalau kau memang tidak mencurigai aku. Sayang polisi tidak akan berpikir begitu juga. Mereka merasa perlu mencurigai setiap orang. Selalu ada kemungkinan bahwa pelakunya justru orang yang tidak disangka. Hampir setiap orang punya sesuatu yang disembunyikan. Jadi, siapa tahu"" ujar Asrul bersemangat.
"Kau terlalu banyak membaca cerita detektif."
"Tapi kenyataannya memang begitu, kok. Misalnya saja tentang dirimu. Terus terang aku merasa sedikit aneh waktu itu. Aku melihat perbedaan sikapmu antara dua peristiwa. Pertama. sewaktu kau mengucapkan kata sambutan kau kelihatan cerah dan gembira. Tapi kedua, sesudah Tuan Liong berpidato kau berubah drastis. Wajahmu itu muram sekali. Dan matamu memperlihatkan kemarahan. Anehnya, Irma juga memperlihatkan ekspresi serupa! Dia pun nampak sedih dan lemas. Ketika ia bangkit untuk menyusulmu, sepertinya ia perlu mengumpulkan kekuatan lebih dulu. Belakangan aku baru paham setelah tahu perihal hubunganmu dengan Irma. Pasti ada sesuatu yang jadi sebab. Nah, apakah aku keliru mengenai penilaianku itu""
Henson tercengang sebentar. Ia tak menyangka akan ada orang yang memperhatikan dirinya saat itu. Ia juga tak menyangka bahwa perasaannya bisa dibaca orang.
"Jadi, aku termasuk orang yang patut dicurigai," gumamnya.
"Masih ada satu hal lagi, Son," kata Asrul lagi, tanpa mengomentari kata-kata Henson. "Itu adalah saat Tuan Liong sedang sekarat. Kau kehilangan ketangkasanmu. Kau sama sekali tidak biasa. Padahal kau tipe orang yang cepat bereaksi. Tapi ketika itu kau diam saja untuk beberapa saat. Kau oma memandang. Dan wajahmu, ah, mungkin aku terlalu kejam menilai tapi aku ingin berterus terang, ya, wajahmu memperlihatkan kepuasan. Sepertinya kau senang melihat dia kesakitan. Hanya orang yang dendam dan benci bisa begitu, Son. Ah, maafkan aku. Tapi kalaupun benar, pasti kau p
unya alasan untuk itu."
Henson tak menyahut. Jadi ada juga orang yang melihat, keluhnya dalam hati.
"Jangan katakan bahwa kau memang terlibat, Son!" Asrul setengah memekik. Dia ngeri memikirkan teorinya sendiri.
"Kenapa jangan" Semua yang kaukatakan itu benar belaka."
"Jadi, kau mengaku"" tanya Asrul dengan wajah memucat.
"Ya." Asrul memekik. "Kau, Son" Kau" Tapi, kenapa" Kenapa kau yang memiliki masa depan cerah ini bisa lupa diri seperti itu" Sayang sekali. Kenapa kau sampai jadi pembunuh" Itu sama sekali tidak perlu," ia nyerocos dengan penuh penyesalan.
Henson tertegun sebentar. Ia memandang Asrul dengan mata terbelalak. Lalu dengan tiba-tiba ia tertawa keras. Asrul jadi terkejut dan cepat-cepat bersikap siaga. Jangan-jangan Henson mulai kehilangan kewarasannya. Itu bisa berbahaya sekali.
"Sudah kukatakan tadi, kau terlalu banyak membaca cerita detektif," kata Henson geli.
"Maksudmu"" tanya Asrul bingung.
"Jangan sembarangan menuduhku sebagai pembunuh, lho. Wah, wah."
Asrul tersipu. Kepercayaannya kembali lagi.
"Hei, sudah tentu aku sendiri tidak bermaksud begitu. Tapi, kenapa kau mengaku tadi""
Henson tertawa lagi. "Coba pikirkan dulu, Rul. Aku mengaku perihal apa tadi""
Asrul tersipu lagi. "Ya, ya, aku memang salah. Tapi syukurlah kalau kau tidak punya salah. Aku senang. Tapi, kenapa kau harus menaruh dendam padanya" Jawabanmu itu perlu. Son. Soalnya... ya, soalnya, apa yang kulihat dan kusimpulkan itu sudah kuceritakan kepada Pak Dermawan."
Henson memandang jengkel, tapi kemudian merasa tak bisa menyalahkan Asrul. Mungkin Asrul sungguh-sungguh mau membantu polisi. Mungkin juga ia sangat ingin mencari kebenaran. Atau ia ingin menyelamatkan diri sendiri agar terhindar dari kecurigaan. Tapi bisa juga ketiga-tiganya. Namun Asrul patut dikagumi. Matanya tajam.
"Sebenarnya aku tidak ingin bercerita padamu."
"Kenapa" Dulu kau mau bercerita banyak padaku. Ingat saat perkenalan kita yang pertama"" tanya Asrul sambil tersenyum.
"Dulu itu lain."
"Ya, memang betul. Dulu kau membutuhkan aku, bukan""
Sindiran itu memerahkan muka Henson. Tapi ia tidak tersinggung. Ia membalas senyum asrul. "Benar sekali. Dan aku memang belum percaya padamu. Dulu kau juga yang pertama-tama memuat berita tentang SANG NAGA kemasukan kecoa itu sampai kami jadi kalang kabut. Nah, siapakah sumber berita itu""
Mereka saling tatap seolah sedang mengadu kekuatan. Lantas keduanya sama-sama tertawa.
"Ah, kau cerdik!" seru Asrul. "Baiklah. Cerita itu kuperoleh lewat telepon dari seseorang bernama Gunawan."
"Jadi, cerita lewat telepon kaulahap begitu saja" Orang itu bisa saja memberi nama palsu. Coba kaucek dulu kebenarannya."
"Ya, ya. Sudahlah. Aku memang salah. Tak usah kita debatkan lagi soal itu, ya. Yang penting kan peristiwa yang sedang kita bicarakan ini. Nah, kau tidak keberatan bercerita padaku, kan"" bujuk Asrul.
"Lalu esok harinya kaumuat di koran."
"Oh, sama sekali tidak. Aku berjanji demi persahabatan kita. Lihatlah berita yang kutulis tentang peristiwa itu. Biasa saja, kan""
"Kupikir, itu berkat permintaan Nyonya Linda. Dan juga berkat Yeni tentu saja."
Asrul cuma tertawa. "Kau tahu kenapa Nyonya Linda baik padaku" Itu karena dia mengharap jasaku. Barangkali kalau aku tak berguna lagi, aku akan disepaknya jauh-jauh. Jadi sekarang perlu kumanfaatkan."
"Wah, sebegitu burukkah persangkaanmu" Tapi, bagaimana tanggapan Yeni terhadapmu""
"Dia baik dan ramah padaku. Tapi dia masih menjaga jarak. Maklum, belum lama kenal sih. Hei, jangan melenceng. Omongan kita jadi lain.
Nah, mana ceritamu"" desak Asrul tak sabar. "Aku yakin, kau pasti tidak ingin si pembunuh berkeliaran dengan bebas."
"Si pembunuh, katamu" Apakah Pak Dermawan juga yakin, bahwa kematian itu adalah pembunuhan""
"Ah, itu bukan keyakinan dia, tapi keyakinanku."
"Keyakinan saja tidak cukup." "Ya, aku tahu. Ayolah, mana ceritamu" Kenapa kau dendam kepada Tuan Liong""
Ketika Henson masih menimbang-nimbang, Asrul cepat-cepat mengatakan, "Kita saling bertukar cerita, Son. Aku pun punya cer
ita menarik yang kemungkinan besar belum kaudengar. Bahkan belum kuceritakan pada Pak Dermawan."
"Baiklah, kau memang pintar." Henson menyerah. Ia menceritakan soal janji Tuan Liong itu dan bagaimana Irma mendukungnya. "Tapi aku sungguh tidak merasa perlu menceritakan hal itu, karena aku pikir tak ada hubungan dengan kematiannya. Mestinya yang bunuh diri itu aku, bukan dia. Aku sangat malu kepada Irma, karena ayahnya tak menghargai diriku."
"Nah, kau sendiri bisa bilang bahwa yang sepatutnya bunuh diri itu kau. Bukan dia. Jadi kau pun punya keraguan tentang teori bunuh dirinya Tuan Liong itu. Betul tidak"" tanya Asrul.
"Oh, sama sekali tidak betul. Aku mengatakan begitu hanya untuk menjelaskan bahwa pengalaman pahitku itu tak ada hubungan dengan kematiannya. Secara kasarnya, kematiannya tak ada untungnya buat aku. Apalagi kalau aku yang bunuh. Wah, aku bisa kehilangan segala-galanya. Termasuk Irma tentu saja. Padahal dia paling berharga untukku."
"Tapi, kembali ke soal tadi, Son," lanjut Asrul masih penasaran. "Bukankah kau menaruh dendam pada Tuan Liong" Kau marah. Kau benci. Apakah semua itu cukup diledakkan hanya dalam ujud ekspresi kepuasan melihat dia sekarat"" "Rupanya kau belum percaya padaku." "Bukan begitu. Aku cuma belum puas saja. Memang kedengarannya aku cerewet, bukan" Beginilah aku. Kalau tidak begini, aku tak mungkin bisa mendapat cerita banyak, Son. Maklum saja."
"Hei, jangan lupa janji. Bukan untuk dipublikasikan, lho."
"Tentu aku tidak lupa. Jadi, kau tidak keberatan menjelaskan, bukan""
"Terus terang, kalau melihat lagakmu yang suka mengorek-ngorek itu, aku segan bercerita. Tapi karena kupikir kau akan meneruskan informasi ini kepada Pak Dermawan, maka dengan senang hati kubuka diriku padamu," kata Henson sambil tertawa. "Nah, begini. Ketika aku melihatnya kesakitan untuk sesaat aku mensyukurinya. Aku puas. Sepertinya impas sudah segala dendam. Tapi setelah menyadari realitas aku menyesal. Aku berharap Irma tidak melihat wajahku saat itu. Ya, mungkin karena ada Irma maka aku jadi selalu diingatkan. Bagaimanapun, Tuan Liong pernah memberikan kebaikan padaku."
Asrul mengangguk "Terima kasih. Son. Aku puas sekarang. Cuma yang masih tetap mengganjal adalah keyakinanmu tentang teori bunuh dirinya Tuan Liong itu."
"Pikirkan saja perihal racun di dalam saku Tuan Liong itu. Racun itu ada di sana. Itu suatu takta. Masalahnya, siapa yang memasukkannya" Untuk menjawab pertanyaan itu, hubungkan saja dengan takta berikut. Dia menunjuk-nunjuk sakunya setelah menyadari apa yang sudah ditelannya. Berarti dia tahu benda apa yang ada di situ. Jadi tak bisa lain, dia sendirilah yang memasukkannya. Dialah si pemegang racun. Dan karena belakangan dia yang keracunan, maka tak bisa lain dia sendiri pula yang memasukkannya ke dalam minumannya. Bukankah hal itu cocok dengan analisa laboratorium" Racun itu hanya terdapat di dalam gelas minuman yang diminum Tuan Liong dan belakangan pecah itu. Dan tidak terdapat di dalam makanan atau minuman yang lain. Itu cocok pula dengan perbuatannya yang menepak gelas itu saat disodorkan oleh Jimmy. Ia tak mau meminumnya lagi karena sudah tahu apa isinya.
Asrul terdiam sebentar. "Wah, kau lebih pintar," keluhnya, merasa teorinya gagal. Tapi ia masih penasaran. "Aku heran. Kalau ia memang sengaja meminum racun kenapa ia berteriak-teriak minta tolong" Bahkan aku pikir, gerakannya menunjuk-nunjuk sakunya justru bertujuan agar ia dapat cepat tertolong. Kalau orang tahu apa yang sudah diminumnya, bukankah penawarnya pun dapat cepat diberikan""
"Itu karena dia tidak tahan sakitnya. Mungkin tidak menyangka bahwa racun itu menimbulkan sakit yang amat sangat. Kudengar banyak orang yang berniat bunuh diri selalu mencari cara yang gampang, cepat, dan sakitnya sesedikit mungkin."
"Tapi aku tidak mengerti. Istrinya yang nyeleweng, kok malah dia yang bunuh diri. Kan keenakan istrinya itu. Lebih masuk akal kalau..." Asrul tak meneruskan kalimatnya. Matanya memandang jauh.
Henson memperhatikannya sebentar. "Aku tahu maksudmu. Mestinya dialah yang membunuh istrinya. Beg
itu, bukan" Ya, kadang-kadang aku juga berpikir begitu. Dan aku yakin Irma juga serupa meskipun ia tidak menyatakannya terus terang. Dulu ia sering mengeluh tentang rasa ngeri yang mencekamnya. Itu sejak ayahnya mulai menampakkan sikap yang aneh-aneh. Misalnya setelah ia tahu bahwa istrinya mengundang Peter, spontan ia mencoret nama-nama orang yang tadinya akan ia undang secara pribadi. Sikapnya seperti orang yang merasa terpukul."
"Karena itulah Nyonya Linda patut dicurigai. Kalau kau dan Irma saja bisa memiliki perasaan seperti itu, apalagi dia yang bersangkutan. Tentu nalurinya akan mengatakan bahwa dirinya teran cam. Cepat atau lambat suaminya akan melakukan sesuatu terhadap dirinya Jadi supaya aman dia mendahului bertindak, kembali Asrul mengajukan teorinya.
"Dengan racun tikus yang sudah dikenal seisi rumah itu" Dan racunnya berada di dalam kantung suaminya" Bagaimana itu bisa dijelaskan""
Asrul memandang dengan gemas. "Ya. Itulah satu-satunya yang menghambat teoriku." ujarnya geregetan.
"Maka itu tidak bisa lain. Tuan Liong memang bunuh diri."
"Tapi aku tidak suka kesimpulan seperti itu."
"Kau terlalu banyak membaca..."
"jangan ngomong seperti itu lagi. Hei. mau taruhan""
"Apa" Taruhan" Oh. tidak. Terima kasih. bukannya aku takut, tapi aku tak sampai hati kalau kau kalah. Soalnya aku masih punyaa cerita andalan yang dapat kujadikan penunjang keyakinanku." "Oh, ya" Ayo, cepat bilang." "Sebenarnya, di antara orang yang hadir pada malam itu, hanya satu orang yang paling disayangi Tuan Liong. Dia adalah Irma. Aku tahu betul. Tapi kenapa pada saat sekarat dia malah memanggil-manggil Jimmy" Ya, harus diakui dia duduk bersebelahan dengan Jimmy dan saat-saat sebelumnya ia banyak mengobrol dengan Jimmy. Tapi itu tidak berarti bahwa ia sayang atau akrab dengar Jimmy. Sebelum itu, aku tak pernah melihat Tuan Liong berbicara begitu banyak dengan Jimmy. Mungkin ketika itu Jimmy cuma sebagai pelarian saja, karena saat itu dia sedang benci kepada Irma!"
Asrul terkejut. "'Oh, kenapa begitu" Apakah Irma juga menyadari hal itu""
"Ya. Dialah yang mula-mula menyampaikan dugaan itu padaku. Dan sebabnya tidak susah diduga. Begini. Sebelum tamu-tamu datang, aku dan Irma sedang berada di gudang. Lalu kami berdua... ah, saling bersikap mesra. Sampai tiba-tiba Irma terkejut karena merasa telah melihat kepala seseorang nongol di pintu yang tidak dirapatkan. Kami tidak tahu pasti siapa orang itu. Tapi sekarang kami bisa menduga. Dia adalah Tuan Liong!"
Asrul manggut-manggut. "Jadi itu pula sebabnya kenapa ia batal mempromosikan dirimu di depan para tamu. Tapi, apa hubungannya dengan tindakan bunuh diri""
"Dia sangat kecewa. Tentu karena tidak menyangka bahwa putri kesayangannya menjalin hubungan denganku. Mungkin dia memang membutuhkan aku. Dan mungkin dia pun menyukai aku. Tapi tidaklah sampai sebegitu besar hingga ia mau menerimaku sebagai menantu." Henson menelan ludahnya yang terasa pahit.
"Yang penting kan bagaimana pendirian gadis mu. Bukan bapaknya atau ibunya," hibur Asrul.
"Ya. Aku pikir, Tuan Liong pasti tahu bagaimana pribadi Irma. Gadis itu keras hati. Tidak akan mudah melarangnya melakukan sesuatu yang dianggapnya benar."
"Jadi kekecewaan itu kauanggap jadi penunjang motivasi bunuh dirinya""
"Ya." "Tapi seingatku ia tidak memperlihatkan wajah murung atau kesal sepanjang acara itu."
"Tentu saja. Bukankah ada saatnya orang harus menyembunyikan perasaan" Apalagi di depan banyak orang dan di tengah suasana yang sama sekali tidak memungkinkan. Tapi ada satu hal yang janggal dan berbeda dari biasa. Orang yang tak begitu mengenalnya pasti tidak akan menyadari hal itu sebagai kelainan. Biasanya dia pendiam, dan sama sekali tidak suka membual atau membangga-banggakan hasil usahanya. Tapi ternyata di malam itu justru sikap macam itulah yang diperlihatkan-nya. Jelas sikapnya itu berlebihan. Kenapa" Karena ia ingin menutupi perasaannya yang sesungguhnya. Gerakan tangannya yang berulang-ulang menyentuh saku itu pun menandakan kegelisahannya."
"Lalu ia memperoleh kesempatan ketika semua
orang keluar menyaksikan keributan di depan pintu itu."
"Ya. Peter mengatakan bahwa Tuan Liong sedang duduk termangu-mangu sendirian ketika semua orang pergi ke luar."
"Baiklah. Nanti perbincangan kita ini akan kusampaikan pada Pak Dermawan. Bagaimanapun kita sudah membantunya. Ya, kita. Kau juga."
"Tunggu dulu. Tadi kau menjanjikan cerita padaku. Nah. mana""
"Oh ya. Hampir kelupaan. Begini. Aku mendapat info bahwa beberapa bulan yang lalu Tuan Liong rajin berobat ke sinshe Lie yang prakteknya di Krukut itu. Kau tahu apa keluhannya" Impotensi."


Cinta Sang Naga Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Henson tertegun. Lalu ia berseru, "Wah, kau hebat!"
"Ah, itu cuma kebetulan saja kok. Aku juga sedang berobat ke sana. Tapi bukan untuk kasus yang sama, lho. Kalau aku menyimpan batu di ginjal."
"Apakah para sinshe tidak mempunyai kode etik hingga begitu saja menceritakan penyakit pasien mereka""
"Ini bukan soal kode etik, Son. Tapi berkat kepintaranku bicara. Ketika itu aku melihatnya sedang asyik baca koran yang ditandai spidol merah. Ternyata yang ditandai itu adalah berita mengenai Tuan Liong. Lantas kupancing dia bicara dengan segala akalku. Apa saja akalku itu kiranya tak perlu kuceritakan. Nyatanya dia yang semula tak mau bercerita malah mengungkapkan semuanya."
"Katamu tadi, Tuan Liong jadi pasien sinshe itu beberapa bulan yang lalu. Apakah kemudian dia sembuh""
"Tidak. Karena itulah mungkin dia jadi pesimis hingga segan berobat lagi. Padahal Sinshe Lie memastikan, kalau saja Tuan Liong mau berobat dengan rajin dan tekun tentu bisa sembuh. Ya, tentu saja dia bilang begitu, bukan""
Henson mengerutkan kening, lalu berkata lambat-lambat. "Coba kaupikirkan, Rul. Tidakkah ceritamu itu juga menunjang motivasinya bunuh diri" Dia menyimpan frustrasi sejak lama."
"Ah. lagi-lagi bunuh diri. Sungguh aku tidak suka kesimpulanmu itu!"
"Kau masih penasaran""
"Ya." Henson tersenyum. Asrul yang penasaran kiranya akan menghasilkan banyak cerita baru. Mungkin dia sendiri pun dapat ikut merasakan sensasinya. Tapi ia sungguh tidak menyukai jalan pikiran Asrul. Demi Irma.
-XII- Selama dua minggu SANG NAGA tutup. Padahal semula nyonya Linda ingin lebih lama lagi. Kira-kira sampai peristiwa itu tidak lagi jadi topik berita. Tapi Henson menanggapi keinginan itu dengan alasan yang dapat diterima nyonya Linda. Bila SANG NAGA terlalu lama tutup langganan akan lari ke restoran lain lalu mereka akan melupakan. Keadaan semacam itu tentu saja tidak dikehendaki nyonya Linda. Bahkan dita kutinya.
Sementara itu para karyawan dirumahkan. Termasuk Cek A Piang. Tapi Henson tetap datang setiap hari. Di samping perlu melihat-lihat situasi ia juga harus siap-siap menerima instruksi dari Nyonya Linda. Tapi masih ada lainnya yang lebih penting baginya, yaitu bertemu dengan Irma. Berbeda daripada dulu kini mereka melakukannya dengan leluasa. Tak ada lagi yang perlu disembu nyikan. Irma sudah mengatakan kepada Henson, bahwa ibunya sudah tahu.
Tapi satu hal yang masih belum pasti adalah penerimaan nyonya Linda terhadap hubungan mereka berdua. Selama waktu itu ia memang tidak pernah melarang apa-apa. Juga kalau Irma dan Henson keluar rumah berdua. Hanya sekali ia mengatakan kepada Irma, "Awas, jaga nama baik keluarga!" Suatu peringatan yang membuat gatal mulut Irma. Tidakkah perbuatan ibunya dengan Peter lebih dari tercela" Tapi ia berusaha menahan diri. Bersabarlah, kata Henson. Yang penting, keleluasaan pertemuan mereka tidak dilarang.
nyonya Linda bersikap masa bodoh meskipun sesekali matanya awas memperhatikan. Ia memang masih memerlukan waktu untuk dirinya sendiri. Tapi perlahan-lahan tekanan perasaan sebagai akibat dari kematian suaminya sudah berhasil ia atasi. Perlahan tapi pasti ia sudah kembali kepada dirinya yang dulu.
Asrul selalu diterima Nyonya Linda dengan baik. Dan ia pun tidak menghalangi keinginan Asrul untuk bertemu dengan Yeni. "Buatlah cerita yang bagus tentang restoran kami di koran Anda, ya Pak Asrul"" katanya dengan manis. Dan Asrul tentu saja mengiyakan dengan penuh semangat.
Pada mulanya Yeni masih suka menyindir Irma.
"Ah, nyatanya benar kau pacaran dengan Henson, bukan" Hati-hati lho. Apa sih yang kaulihat dari dirinya" Bersiap-siaplah untuk jadi miskin!"
Terhadap sindiran itu Irma punya balasan yang ampuh. Katanya, "Sejelek-jeleknya Henson, dia masih jauh lebih baik daripada si Anton!"
Terhadap kata-kata itu Yeni tak bisa membalas lagi. Dia cuma bisa melotot marah. Sedang Irma tersenyum-senyum. Ternyata kemudian Yeni kapok menyindirnya lagi. Ia takut hatinya yang sakit gara-gara perbuatan Anton akan dikorek-korek Irma. Lalu ia mulai mengalihkan perhatian kepada Asrul yang dinilainya punya daya tarik tersendiri.
Tapi Lili memperingatkan Irma. "Aku takut suatu ketika nanti Mama akan memecat Henson. Kau tahu" Beberapa kali aku melihat si A Kiong datang lalu bicara serius dengan Mama. Jangan-jangan Mama masih menyimpan keinginannya yang dulu untuk menempatkan si A Kiong di sini."
"Tapi sekarang Mama tidak galak lagi kepada Henson. Dan dia pun tidak melarangku berhubungan dengannya."
Lili tidak kelihatan heran. "Oh, kau seperti belum kenal Mama saja. Sekarang Mama memang begitu. Tapi nanti""
"Maksudmu""
"Sekarang ia masih membutuhkan tenaga Henson. Tentu saja. Yang paling banyak tahu tentang restoran kita kan cuma Henson seorang. Sedikit-sedikit dia akan mengambil alih. Lihat saja kesibukannya sekarang. Dan si A Kiong itulah asistennya. Dan nanti, kalau mereka sudah merasa pinter, baru mereka unjuk gigi. Kalau aku jadi kau, Irma, akan kusuruh Henson cari kerjaan lain dari sekarang-sekarang. Jangan tunggu sampai didepak. Bisa menyakitkan lho."
Irma termenung, lalu berkata lambat-lambat, "Kau benar, Ci. Mungkin aku terlalu optimistis."
"Sudahlah Jangan bersedih. Ah. apa kau masih meratapi Kematian Papa""
"Ya. sesekali, Habis Kematiannya begitu... begitu mengerikan," kata Irma lirih dengan mata kembali berkaca kaca.
Lili memperhatikannya sebentar. "Tidak mengherankan, Kau anak kesayangan Papa."
Kata-kata itu hanya membuat Irma tersedu-sedu Tiba-tiba ia merasa dirinya jadi cengeng tanpa daya. Tentu saja Lili tidak tahu, bahwa masalahnya bukan itu. Bukan kasih sayang yang dibawa Papa ke alam baka, melainkan sesuatu yang tak punya penyelesaian dan tak ada kepastiannya. Tapi toh bisa diperkirakan. Itu adalah dendam, kebencian, amarah, dan sejenisnya. Hanya dia yang tahu. Tapi ia tak bisa mengutarakannya kecuali kepada Henson. Apakah Mama sebenarnya tahu, atau paling tidak bisa memperkirakan apa yang sebenarnya tersimpan dalam diri Papa menjelang saat-saat akhirnya"
"Sudahlah. Kau harus bisa melupakan," hibur Lili.
Cepat-cepat Irma mengeringkan air matanya. Terima kasih, Ci. Nasihatmu sangat bermanfaat. Ya. Mama saja bisa melupakan dengan cepat."
"Memang. Kalau terlalu lama bersedih kita bisa ambruk. itu kata Mama sendiri. Dan dia benar. Sekarang tanggung jawab meneruskan usaha kita terletak di pundak Mama. Kalau restoran kita bubar, nanti kita makan apa""
Irma tertawa. lucu juga rasanya. Habis menangis bisa langsung tertawa "Makan apa, kata Cici. Oh, kita kan belum semiskin itu! Harta kita yang sudah terkumpul dari tahun ke tahun kan sudah banyak. Bila SANG NAGA tak jalan lagi, kita masih bisa berusaha yang lain."
Lili menjadi jengkel. "Tapi, bukankah SANG NAGA merupakan andalan kita" Dialah yang sudah mendatangkan rezaki selama ini!"
"Oh, jangan keki, Ci. Aku cuma mau bilang, bahwa kita tidak perlu takut berusaha di bidang yang lain."
Lili menggelengkan kepala. "yang bilang begitu kan kamu. Tapi Mama pasti tidak sependapat, ia akan mempertahankan SANG NAGA dengan segala cara."
"Ya. Aku juga yakin Mama akan berbuat begitu. Mungkin karena itu yang paling mudah buat Mama. Bukankah Mama tak perlu susah-susah banting tulang dan peras otak kalau dibantu oleh Sang Naga" Rezeki akan mengalir masuk lewat pintu," kata Irma sinis.
"Hus! Jangan ngomong begitu," ucap Lili dengan wajah khawatir sambil memandang berkeliling.
Sikap Lili itu cuma mengundang tawa Irma. Tapi belum sempat Irma bicara, Lili sudah buru-buru angkat kaki. Ia tak ingin melayani Irma berdebat dalam soal itu. Belum apa-a
pa tengkuknya sudah meremang.
Tapi Irma juga tidak ingin membicarakan soal itu. Tadi ia tak sengaja. Sepertinya keceplosan bicara seperti itu Memang tidak tepat berbicara begitu di saat sekarang ini. Jangan ngomong soal rezeki di saat sang terbilang kritis. Menurut Henson, keadaan yang akan mereka hadapi nanti kira-kira bisa seperti keadaan yang mereka alami setelah peristiwa dengan kecoa itu. Bahkan mungkin bisa lebih parah. Sekarang penyebabnya bukan cuma sekadar kecoa, melainkan kematian yang mengerikan.
Saat itu ia berada di ambang ruang makan. Ruang di mana peristiwa itu terjadi. Tak mengherankan kalau perasaan-perasaan tak enak itu muncul, pikirnya. Tapi mestinya perasaan semacam itu hanya menghinggapi orang yang tahu. Sedang para tamu, walaupun tahu, toh tidak mengalaminya sendiri. Apakah mereka juga akan merasa ikut-ikutan tidak enak nanti" Bila iya, akibatnya bisa buruk.
Saat itu ia mendengar bunyi bel pintu. Bergegas ia menuju pintu. Barangkali Henson, pikirnya dengan bersemangat Tapi ketika pintu terbuka ia melihat seraut wajah pucat dengan bibir tebal dan rambut lurus kaku yang berdiri semua. A Kiong.
Anak muda itu segera tersenyum lebar dengan keramahan yang kentara dibuat-buat. Tapi sebelum suaranya keluar, Irma sudah mendahului, "Cari Mama" Naik sajalah ke loteng. Mama ada di sana, katanya ambil menunjuk arah dimaksud. Lalu ia menyisih memberi jalan dan sekalian membuka daun pintu lebih lebar, kedua daun pintu dibukanya, Dan sebelum A Kiong menjawab, ia buru burn melangkah keluar.
Untuk sesaat A Kiong memandang Irma, tidak tahu mesti bilang apa. Akhirnya ia cuma menggumam, lalu bergegas masuk. Dan Irma menoleh, tersenyum kepada punggungnya.
Berada di halaman ia sedikit tertegun. Sudah beberapa hari pemandangannya sama, tapi masih juga belum terasa biasa. Sepi dan kosong. Padahal biasanya mobil-mobil berjajar, luber sampai ke jalanan. Sekarang cuma dipenuhi sinar matahari. Memang di saat sibuk dulu, ada hari libur dalam seminggu. Hari yang sepi seperti saat itu juga. Tapi satu hari cepat berlalu untuk segera diganti hari-hari rutin yang sibuk.
Ia berjemur sebentar sampai merasa kepanasan. Lalu masuk kembali. Tapi pintu tidak ditutupnya. Dibiarkannya saja seperti ketika ia membukanya tadi. Rasanya lebih enak begitu. Udara segar dan matahari. Barangkali itu dapat membunuh perasaan-perasaan tidak enak yang ditimbulkan ruang makan yang hening itu. Ia ingin bertahan di situ sampai Henson datang.
Ruang makan bersih dan mengkilap. Memang kebersihannya selalu dijaga. Tapi tata letak kursi meja tidak berubah sejak peristiwa malam itu. Memang demikianlah yang diperintahkan polisi. Jangan mengubah letak barang-barang.
Agak jauh dari pintu dekat sudut yang menuju ke dapur terletak meja panjang tempat mereka berpesta malam itu. Ke sanalah mata Irma terarah. Matanya berkejap-kejap sebentar. Ah, bagaimana perasaannya" Susah menggambarkan. Tapi rasa-nya biasa-biasa saja. Ia cuma ingat lalu merasa ngeri sebentar. Ya, cuma sebentar, karena langkahnya kemudian diarahkan ke sana. Bahkan kemudian ia duduk di kursi di mana ayahnya pernah duduk. Nah. bagaimana perasaannya kini"
Tapi ia tidak memikirkan soal perasaan saat itu. Pandangnya tertuju lurus ke depan. Ke arah pintu. Ia mengenang kembali saat itu. Ketika mereka berbondong-bondong menuju pintu, ayahnya tetap duduk di situ. Apa yang dilakukan ayahnya" Sudah tentu ia memandangi. Setidaknya pada saat permulaan. Ketika itu ia berada paling depan bersama Henson. Dan di sebelahnya berjalan Yeni. Ya, tentu saja Yeni termasuk orang yang paling ingin tahu dalam persoalan menyangkut diri Anton itu. Sedang mereka yang berjalan di belakangnya... Ah, ia tidak tahu siapa-siapa saja mereka itu secara berurutan. Ayahnyalah yang paling tahu.
Irma terus saja memandangi, dan mengingat-ingat. Dulu pintu juga terbuka dalam sikap yang serupa dengan sekarang. Dulu malam, cahaya di dalam lebih terang daripada di luar. Sekarang pagi menjelang siang, matahari menerobos masuk, sebagian memantul lewat kaca pintu. Ketika itu mereka bergerombol di ambang pintu. Tidak se
muanya keluar menginjakkan kaki di halaman. Yang jelas, dia sendiri bersama Henson dan Yeni berada di luar, berhadapan langsung dengan ketiga tamu tak diundang itu. Tapi dia tidak tahu siapa lagi yang berada bersamanya, dan siapa yang tetap berada di sebelah dalam tanpa melewati ambang pintu. Ah, apakah itu penting" Ia juga tidak tahu. Ia cuma memandang saja ke arah yang sama. "Irma! Irma!"
Seruan Nyonya Linda tidak segera menyadarkan Irma dari pemikirannya yang dalam. Bahkan ia juga tidak mendengar langkah ibunya yang berisik sewaktu menuruni tangga.
"Irma! Ke mana sih anak itu"" seru nyonya Linda untuk kesekian kali. Tapi kemudian langkahnya terhenti dan mulutnya terbuka tanpa suara. Ia menatap heran dan cemas kepada Irma. Di matanya ada kengerian. Sampai kemudian Irma menoleh dan berpandangan dengan ibunya. "Kenapa kau duduk di situ"" Irma seolah dibangunkan. Tiba-tiba ia tersenyum. Tapi senyumnya itu nampak aneh di mata Nyonya Linda hingga ia jadi semakin cemas. Jangan-jangan Irma kemasukan. Tapi suara Irma yang jernih melenyapkan kecemasannya. "Memangnya kalau duduk di sini kenapa, Ma"" begitu tanya Irma, seolah perbuatannya itu merupakan kewajaran. Padahal kursi kan banyak. Kenapa dia justru memilih yang itu" Meskipun tidak cemas lagi, Nyonya Linda bersikap siaga.
"Ya. Memang sih nggak apa-apa. Tapi coba katakan, sedang apa kau di situ""
"Saya sedang mengenang malam itu, Ma," jawab Irma terus terang.
Nyonya Linda mengerutkan kening. Sebenarnya ia ingin tahu. tapi kemudian memutuskan untuk tidak bertanya-tanya. Mendengar hal-hal baru dapat membuatnya tambah pusing. Dan tambah susah. Jadi ia cepat menanyakan, "Si Henson sudah datang, Ir""
"Belum, Ma." "Kalau dia datang, segera suruh ke atas, ya. Temui aku di situ."
"Baik, Ma." nyonya Linda membalikkan tubuhnya. Tapi suara Irma menahan langkahnya. "Ma! Maukah Mama duduk di sini sebentar saja" Cuma sebentar, kok." Suara Irma kedengaran manis dan lembut.
Mendadak bulu roma Nyonya Linda berdiri. "Oh, tidak! Tidak!" serunya sambil berlari menaiki tangga. Dalam sekejap ia sudah tak nampak lagi.
Irma yang ditinggalkan sendiri tidak memberi reaksi apa-apa: Ia kembali serius berpikir. Seperti itulah sikapnya ketika Henson melangkah masuk, keheranan karena tidak biasanya menemukan pintu terpentang tanpa ada orang yang menjaga. Lalu ia jadi terkejut ketika melihat Irma.
"Ngapain kau di situ, Ir"" ia bertanya sambil mendekat.
Irma tersenyum. "Pertanyaanmu senada dengan ibuku, Son. Coba, kenapa hal itu mesti ditanyakan"
"Soalnya kau duduk di situ. Kursi itu, kan" Dan kau melamun begitu."
"Aku bukan melamun. Aku sedang berpikir."
"Oh ya" Tentang apa"" tanya Henson tertarik.
"Tentang peristiwa malam itu."
"Oh. Ayolah ceritakan." Henson segera menarik kursi di sebelah Irma.
"Tapi sebelum itu, lebih baik kauselesaikan dulu tugasmu, Son. Kau dipanggil Mama di loteng. Dan di sana juga ada si A Kiong."
Henson tak jadi duduk. "Baik. Aku ke atas dulu. Kau mau tunggu di sini atau...""
"Tentu saja di sini."
"Tapi sebaiknya pintu ditutup saja, Ir. Nanti dikira orang kita sudah buka."
"Tidak mungkin. Kan sudah ada pengumuman tutup di depan. Mereka tentu bisa membaca. Lagi pula enak begitu kok. Ada matahari. Ada angin."
"Ya. Sesukamulah."
Henson bergegas menaiki tangga. Ia sudah tak sabar ingin mendengar cerita Irma. Karena itu tutur kata Nyonya Linda serasa bagai seabad lamanya. Untung saja tak ada instruksi yang harus dikerjakannya saat itu juga. Setelah selesai ia bergegas menuruni tangga kembali diiringi pandang penuh makna dari Nyonya Linda dan A Kiong. Ia menyadari hal itu, tapi tak peduli.
Ia menjumpai Irma di tempat yang sama. Tapi Irma tidak lagi sendirian, melainkan sudah ditemani Asrul. Dilihatnya mereka berdua sedang terlibat pembicaraan mengasyikkan.
"Wah, aku ketinggalan nih," kata Henson cepa-cepat bergabung. Ia mengambil tempat di sebelah Irma, yaitu tempat yang dulu diduduki Nyonya Linda. dan senyum Irma yang me-nyambutnya membuat ia spontan meletakkan tangannya di atas tangan Irma yang terletak d
i meja. Mereka berpegangan tangan sebentar. Mata Asrul pun terarah ke situ. Ia tersenyum maklum. Mau tak mau timbul rasa iri. Ah, kapan tiba gilirannya"
"Begini. Son. Kalian berdua diminta datang oleh Pak Dermawan." kata Asrul. "Jangan kaget dulu. Dia ingin mengajak kalian berdiskusi tentang masalah itu."
"Oh. kapan""
"Siang ini juga."
"Jadi masih ada waktu untuk mendengarkan cerita Irma." Henson mengingatkan sambil menekan tangan Irma.
"Wah, kau belum dengar" Aku sudah. Cerita-nya seru," goda Asrul.
Irma tertawa, lalu buru-buru bercerita sebelum Henson meledakkan ketidaksabarannya. "Son, kaulihat pintu itu" Dari sini daun pintu yang sebelah sana itu persis berhadapan. Kita bisa melihat kacanya. Di sini Papa duduk dan terus duduk sampai kemudian ia ikut keluar untuk melongok sebentar, lalu kembali lagi ke sini ramai-ramai dengan kita semua. Nah, pada saat Papa duduk sendiri itu apa saja yang dilakukan-nya" Aku pikir, itu saat paling penting. Kita tahu, sebelum terjadinya ribut-ribut di luar pintu itu dia tidak apa-apa. Dia sehat-sehat saja. Padahal dia sudah minum dari gelas yang sama. Jadi pastilah pada saat ia sedang sendirian itu ia memasukkan racun ke dalam gelas minumnya."
Ketika Henson masih termenung memikirkan, Asrul nyeletuk, "Lagi-lagi teori bunuh diri."
"Tapi itu cocok dengan racun yang ada di sakunya. Bang!"
"Kau lupa, ada satu orang yang juga punya kesempatan karena sendirian di ruang ini. Peter!" kata Asrul bangga.
Irma menggelengkan kepala. "Apakah dia juga mengantungi racun" Mustahil. Dia juga tidak punya alasan membunuh Papa."
"Tapi, dia dengan ibumu kan...""
"Ya, memang betul. Toh aku yakin, perbuatan itu cuma keisengan belaka dari pihaknya. Tidak sampai begitu serius sampai mau menyingkirkan Papa. Dia sudah kaya, punya istri dan anak-anak. Dan jangan lupa, kesempatannya sendirian itu hanyalah suatu kebetulan belaka, hingga tak mungkin baginya untuk mengatur rencana. Kalau dia memang berniat menyingkirkan Papa pasti tidak di situ."
"Tapi buat ayahmu kesempatan itu juga suatu kebetulan," ujar Asrul masih penasaran.
"Buat Papa, kebetulan itu lebih gampang dicarinya. Bukankah dia tuan rumah di sini" Kalaupun di saat itu ia tidak memperoleh kesempatan, ia bisa mencari kesempatan lain, kan" Ia bisa menyendiri di kamar atau di ruang lain.
Pendeknya rencana itu sudah ada melihat racun di sakunya itu."
"Tapi, kenapa justru pada saat itu" Dan bukan pada saat lain""
Irma termenung. Ia melirik kepada Henson yang sedang merenung dengan pandangan ke arah pintu. Sepertinya Henson tidak mendengar perbincangannya dengan Asrul yang seru itu. Ia asyik dengan pikirannya sendiri. Irma jadi tersenyum. Pastilah jalan pikiran Henson sama. Padahal ia belum menceritakan apa saja kesim-pulannya tentang pintu itu. Ya, biarkan sajalah Henson menemukan sendiri.
"Nah, kenapa justru pada saat itu, Irma"" Asrul mengulangi pertanyaannya, seolah Irma adalah Tuan Liong sendiri yang bisa ditanyai langsung.
"Bang Asrul tentu kenal sifat gunung berapi. Ya, kan" Orang awam kan tidak tahu persis kapan dia mau meledak, dan apakah dia memang akan meledak. Tahu-tahu, bledug! Tapi toh sebetulnya ada gejala sebelumnya. Ya, kan" Nah, semakin meningkat gejala itu, semakin dekat saat meledaknya. Papa juga begitu. Oh, heran juga aku, kok bisa ngomong begini tanpa rasa sedih lagi. Tapi ya, memang begini kenyataannya. Pada hari itu, saat itu, Papa kelihatan lain. Barusan saja Lili menyampaikan padaku perihal cerita Yeni. Ya, Yeni cuma mau bercerita pada Lili, tidak padaku. Barangkali nanti sama Bang Asrul dia mau mengulang ceritanya. Begini. Beberapa saat menjelang para tamu datang malam itu, Yeni berpapasan dengan Papa yang jalannya terburu-buru dan wajahnya muram. Kata Yeni, belum pernah dia melihat Papa semuram itu. Dan kemudian tak jauh dari tempat ia berpapasan dengan Papa ia melihat Mama sedang berdiri mematung dengan pandang yang sama anehnya. Ia bilang, Mama bengong saja seperti orang hilang ingatan. Sepertinya kaget, takut, atau bagaimana. Ah, kautanyakanlah lagi sendiri. Tapi ia yakin, b
ahwa kedua orang itu, Papa dan Mama, barusan terlibat dalam suatu ketegangan yang tentunya hanya diketahui mereka berdua saja. Dan kalau kupikirkan lagi kemudian, maka semuanya jadi cocok. Kira-kira sesudah pertemuannya dengan Yeni itu, tentunya Papa kemudian menemukan aku dan Henson di gudang. Wah, bisakah kaubayangkan kalau Papa itu gunung berapi" Sedang racun itu berada dalam jangkauan tangannya." Irma mengakhiri ceritanya dengan sedih. Padahal semula ia penuh semangat. Kemudian ia merasakan tangan Henson erat memegangnya. Rupanya pikiran Henson sudah kembali.
Asrul manggut-manggut. Ia mengagumi Irma. "Sampaikanlah cerita itu kepada Pak Dermawan nanti."
"Ya," jawab Irma, dan matanya kembali mengarah ke pintu.
"Kau tetaplah duduk di sini, Ir," kata Henson sambil berdiri. lalu ia berjalan pelan-pelan menuju pintu dengan pandangan mengarah kepada kaca.
Di belakangnya Irma dan Asrul memperhatikan.
"Dia sudah mengerti apa yang kaumaksudkan. Padahal belum kaujelaskan," kata Asrul.
"Ya. Dan rupanya kita bakal sepaham."
"Kau cerdik bisa berpikir ke situ."
"Tapi itu baru suatu kemungkinan. Belum pasti mengarah ke mana dan kepada siapa."
"Bagaimanapun, itu bagus sekali."
Kemudian mereka memperhatikan Henson tanpa berbicara. Agak lama Henson berdiri di ambang pintu dengan kepala miring ke sebelah kanannya, ke arah kaca. Lalu ia berbalik dan cepat-cepat kembali ke sisi Irma.
"Tidak begitu jelas bayang-bayangmu di kaca itu. Maklum matahari memantul. Tapi malam hari pasti jelas. Ya, malam itu," kata Henson.
"Jadi kau sepaham, kan""
"Ya. Kau pintar, Irma. Apa sudah kaulihat sendiri tadi""
"Itu cuma kebetulan saja. Mula-mula kuminta Mama agar duduk di sini, supaya aku bisa mencari tahu. Tapi Mama menolak dengan sikap ketakutan. Lantas ada Bang Asrul. Kita saling coba tadi." Asrul manggut-manggut. "Pada waktu itu, kalian berada di sebelah depan. Aku di belakang kalian. Tidak jelas memang urut-urutan semua orang karena bergerombol begitu. Aku tidak ingat siapa yang berada di sebelah atau di belakangku.
Tapi yang jelas aku sama sekali tidak melihat ke arah kaca itu. Saat itu aku berdiri melampaui ambang pintu. Jadi yang bisa melihat adalah mereka yang berdiri paling belakang, belum melewati ambang pintu. Ya, kalau mereka melihat ke arah kaca pasti mereka bisa melihat Tuan Liong di situ!"
"Lalu bisa melihat juga apa saja yang dilakukannya. Dia adalah saksi mata!" Irma melanjutkan dengan bersemangat.
"Tapi tidak ada yang mengaku bahwa ia telah melihat sesuatu yang seperti itu. Entah memang tak ada yang melihat atau diam-diam saja." Asrul menyayangkan.
"Mungkinkah memang tak ada yang melihat" Padahal orang sebanyak itu. Dan hampir pasti mereka yang berada di luar bersamaku waktu itu tak sampai separuhnya," kata Henson sambil mengingat-ingat.
"Kalau memang ada yang melihat kenapa ia diam-diam saja" Dia kan tidak perlu takut. Justru dengan memberi kesaksian dia jadi berjasa. Hanya ada satu kemungkinan dalam hal itu, Son. Orang yang tahu tapi berdiam diri pasti menganggap bahwa sikap itu lebih menguntungkan dirinya dibandingkan kalau dia bicara," Irma menyimpulkan.
"Ah, orang yang bodoh!" Asrul menggerutu.
"Belum tentu bodoh, Rul. Bisa jadi malah sebaliknya!" kata Henson.
"Sudahlah. Kepalaku jadi pusing. Sebaiknya kita berangkat sekarang," ajak Asrul.
Sewaktu mereka pamitan pada Nyonya Linda, ia nampak keberatan karena katanya masih banyak pekerjaan untuk Henson. Tapi ketika Asrul mengatakan bahwa itu merupakan panggilan polisi, ia terdiam. Dan membiarkan mereka pergi tanpa komentar apa-apa lagi.
Sambil mengerutkan dahi Nyonya Linda memandangi kepergian ketiga orang itu. Lalu ia tertegun, baru sadar melihat kedua daun pintu terbuka. Biasanya pada saat tutup tak pernah dibiarkan terbuka begitu. Orang yang keluar masuk selalu menutup pintu kembali, yang cukup dibuka sebagian saja.
Ketika akan menutup pintu, pandang Nyonya Linda tertuju tanpa sengaja ke arah kaca di sebelah kanannya. Tiba-tiba jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia melihat bayang-bayang seseorang di sebe
lah sana. Tapi samar-samar. Yang jelas bukan bayang-bayangnya sendiri. Bayang-bayang itu jauh, di dekat meja makan. Entah duduk, entah berdiri. Apakah itu tempat di mana Hok Kie duduk tempo hari" Dengan ketakutan yang amat sangat ia menjerit penuh kengerian. Tapi ia juga masih mampu memaksa diri untuk menoleh. "Kenapa, Tante""
Nyonya Linda jadi lega bercampur marah. Si empunya suara itu adalah A Kiong. Dan melihat wajah A Kiong yang tanpa dosa hingga tampak dungu itu marahnya jadi memuncak. "Sialan lu! Ngapain di situ" Bikin kaget orang saja!" bentaknya tak kira-kira.
Wajah A Kiong yang pucat jadi memerah. Baru kali itu ia dibentak oleh Nyonya Linda. Ia jadi gugup dan bingung.
"Saya... saya nggak tahu, Tante," katanya ngeri.
"Sudah! Jangan dekat-dekat meja itu!"
A Kiong buru-buru menjauh. Ia tahu, sebaiknya jangan bertanya-tanya.
Masih takut-takut Nyonya Linda kembali menatap ke arah kaca. Tidak ada apa-apa di sana. Toh agak lama ia merenung. Sampai kemudian matanya membesar dan perasaannya menjadi dingin. Lalu ia bergegas menutup pintu.
Telepon berdering. Dengan sigap A Kiong berlari. Dan tak lama kemudian kembali. "Dari Oom Peter, Tante," katanya dengan wajah cerah, yakin hal itu dapat menyenangkan hati Nyonya Linda. Itu berarti ia tak akan kena bentak lagi.
"Bilang aku nggak ada!"
A Kiong terkejut. "Tapi... tapi saya sudah bilang ada."
Nyonya Linda melotot. "Emangnya kau anak kecil" Kau kan bisa bohong" Ayo, kasih tahu! Dan sebentar kalau ada telepon lagi dari dia, bilang aku nggak ada! Ngerti""
Tanpa bertanya lagi A Kiong kembali berlari. Di belakangnya Nyonya Linda berjalan pelan-pelan. Tubuhnya terasa gemetar.
-XIII- Hanya sepuluh nama dan alamat orang pinter yang diperoleh Henson. Dan itulah yang dibawanya ke kantor Peter. Tapi Peter menerimanya tanpa semangat. Aku sudah tidak memerlukannya lagi sekarang. Sudah terlalu lama. Coba kulihat. Ah, ada nama Mama Gembrot. Dari sekian banyak nama ini kiranya hanya yang satu itulah yang paling berarti. Dialah konsultan SANG NAGA, bukan" Aku juga sudah menggunakan jasanya untuk merancang bangunan restoranku. Surprise, ya" Aku memang terus terang. Tak ada keberatan apa-apa. Setiap orang punya rezekinya sendiri-sendiri. Cuma tergantung bagaimana mengolahnya."
Henson cuma mengangguk. Ia memang kecewa. Kesepuluh nama dan alamat itu tidak diperolehnya dengan kemudahan. Tapi tentunya ia tak bisa memaksa. Segera ia mengulurkan tangannya untuk meminta kembali kertas catatannya. Tapi Peter tidak menyerahkan. "Walaupun tidak kuperlukan lagi sekarang, tapi untuk nanti siapa tahu. Bagaimanapun aku sudah memesan dan tidak pernah membatalkan. Apakah lima puluh ribu cukup"" ia bertanya.
"Cukuplah, Pak," kata Henson, tak bisa lain. Untuk jasa semacam itu, nilainya memang relatif. Tak pula ada perjanjian sebelumnya. Mungkin itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Baginya sendiri, nama-nama itu tak punya nilai sama sekali.
Peter menyerahkan sejumlah uang tersebut dan Henson menerimanya dengan ucapan terima kasih, lalu bangkit untuk pamitan. Tugasnya sudah selesai.
"Ah, berbincang-bincanglah dulu. Kalau kau tidak sibuk tentunya," kata Peter sambil melambaikan tangannya. Lalu menyambung, "Tapi kupikir, kau tentu tidak sibuk. SANG NAGA masih tutup, bukan""
Henson duduk kembali. "Kulihat kau akrab dengan Asrul, orang koran itu," Peter mulai. "Padahal aku tahu, dia pun akrab dengan polisi. Karena itu mungkin kau tahu tentang perkembangan peristiwa itu."
"Peristiwa mana, Pak""
"Ah, kematian Tuan Liong, tentu saja. Habis yang mana lagi""
"Apakah Bapak belum tahu""
"Belum. Ceritakanlah. Aku sangat tertarik."
"Kematian Tuan Liong positif disebabkan oleh keracunan arsen, Pak. Hasil otopsi menyatakan demikian."
"Oh, jadi bukan racun tikus yang ada di sakunya itu""
"Sama saja. Pak. Racun tikus itu mengandung arsen."
"Jadi betul dong dia bunuh diri."
"Mungkin, Pak." Mungkir" Jadi belum pasti" Maksudku, polisi belum merasa pasti""
"Habis tidak ada saksi yang melihat perbuatan-nya, Pak."
Peter tertawa. "Ah, kok lucu, ya. Mana ada orang yang berniat bunuh diri mau disaksikan orang lain. Bisa batal dong. Persoalan gampang kok dibikin susah," ia menggerutu kemudian.
"Siapa tahu memang susah, Pak." "Maksudmu"" tanya Peter dengan membelalakkan mata.
"Ya, siapa tahu ada hal-hal yang masih tersembunyi."
"Kau seperti menyimpan sesuatu," kata Peter dengan pandang menyelidik.
"Sebenarnya saya tidak menyimpan apa-apa. Nanti juga Bapak akan diberi tahu."
"Diberi tahu soal apa""
"Jadi memang belum tahu, ya Pak"" tanya Henson sengaja.
Peter jadi cemas. "Apakah memang kebiasaanmu kalau ngomong sepotong-sepotong begitu""
"Bukan, Pak. Cuma dalam hal seperti itu saya takut kebanyakan ngomong."
Peter memandang jengkel. "Apakah kau memerlukan imbalan supaya mau ngomong"" ia bertanya dengan nada memaksa.
Henson menahan geli hatinya. "Sama sekali tidak, Pak. saya akan memberi tahu. Kabarnya, tiga hari lagi akan diadakan rekonstruksi di tempat peristiwa," katanya seakan hal itu masih merupakan rahasia. Padahal tujuannya ke situ adalah untuk sekalian memberitahukan hal itu.
Peter membelalakkan matanya yang kebiru-biruan. "Rekonstruksi"" ulangnya lambat-lambat. "Kalau kesimpulannya sudah jelas, buat apa lagi, toh""
"Saya kurang tahu, Pak."
Peter menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Aku tak mengerti kenapa bisa terlibat seperti ini. Aku menyesal kenapa minta diundang," keluhnya.
Keluhan itu kedengarannya begitu sungguh-sungguh hingga Henson menatap penuh perhatian. Ia pun tertarik oleh kata 'minta diundang' itu.
Peter segera menyadari kata-katanya yang terlanjur. "Oh, waktu itu Nyonya Linda bicara tentang rencana pesta, lalu aku iseng-iseng ngomong. Apakah aku tidak diundang juga" Ya, sama Tanujaya tentu saja. Tahu-tahunya diundang. Andaikata aku tidak iseng, mungkin aku tidak diundang hingga tidak punya sangkut-paut dengan peristiwa itu. Oh, sekarang aku jadi repot. Jadi susah!"
"Bukan Bapak seorang saja yang jadi tersangkut, melainkan semua yang ikut hadir waktu itu."
"Ya, aku tahu. Tapi sungguh aku menyesal, Son." Peter menepuk-nepuk dahinya.
Henson merasa heran. Semestinya Peter lebih menyenangi keadaan sekarang, ia bisa bebas berpacaran dengan Nyonya Linda tanpa dibayang-bayangi suami yang cemburu. Sedemikian susah-nyakah Peter"
Kemudian Peter menegakkan kepala, merasa terlalu banyak mengungkapkan perasaannya. Ia mengalihkan pembicaraan. "Setelah Tuan Liong tiada, pimpinan SANG NAGA tentu beralih ke tangan Nyonya Linda. Dialah bossmu sekarang. Sedang dia tidak sama dengan Tuan Liong. Apakah kau akan bertahan kerja di sana""
"Ya. Kalau tenaga saya dibutuhkan."
Peter tertawa. "Itu karena Irma, bukan" Jadi memang betul dugaanku tempo hari. Mesti ada penyebab dari loyalitasmu yang hebat itu. Cinta memang luar biasa. Tapi coba katakan, apakah dia sangat sibuk sekarang"" "Dia siapa, Pak"" "Nyonya Linda tentu saja."
"Ya. Dia sibuk, Pak. Dia kelihatan serius dengan tanggung jawabnya."
"Sedemikian sibuknya hingga tak mau menerima telepon""
Henson tak segera memahami. Baru kemudian ia mengerti. "Kalau Bapak mau menitipkan pesan, saya bersedia menyampaikan, Pak."
Peter membelalakkan mata. "Urusan penting mana mungkin dititipkan. Enak saja kau," ia menggerutu.
"Oh, penting, Pak"" "Ya."
Henson berpikir sebentar. "Ah, saya lihat dia mau saja menerima telepon, Pak."
"Tapi tidak dariku. Sudah beberapa kali aku menelepon selalu dibilang tidak ada. Padahal ada, bukan"" kata Peter jengkel.
Henson manggut-manggut. "Kalau begitu, jangan sebut nama Bapak. Sebut saja nama orang lain. Yang penting Bapak bisa bicara, kan"" ia mengusulkan.
"Kalau begitu sih aku tidak perlu diajari. Cuma aku tidak suka cara begitu," sahut Peter angkuh. "Ya, terserah Bapak."
Kemudian Henson pamitan, dan kali ini Peter tidak menahannya. Tapi baru beberapa langkah berjalan, ia dihentikan oleh pertanyaan Peter. "Apakah sekarang Nyonya Linda ada di rumah""
"Tadi saya berangkat dari sana. Dan dia ada, sedang berdiskusi dengan A Kiong."
"Oh, ya. Terima kasih."
Peter menunggu dulu sampai Henson tid
ak nampak lagi baru ia meraih telepon. Tapi setelah diangkat ia meletakkannya lagi, kemudian berpikir dulu. Diketuk-ketukkannya jari-jarinya di atas pesawat telepon, lalu mengangkatnya.
"Di sini Tanujaya," katanya menjawab pertanyaan laki-laki di sebelah sana.
*** Nyonya Linda mengerutkan kening. "Ada perlu apa si Tanujaya itu"" gumamnya sebelum menerima pesawat telepon dari tangan A Kiong.
A Kiong diam saja, sadar ia tidak diharapkan menjawab.
"Halo" Di sini nyonya Linda."
Segera waiah nyonya Linda berubah mendengar suara yang sudah teramat dikenalnya. Ia berserak mau meletakkan pesawat itu kembali, tapi kemudian tak jadi. Bagaimanapun, ia ingin tahu. "Ya. Tunggulah sebentar," katanya. Kemudian sambil menutup mulut pesawat ia menggapai ke arah A Kiong. "Kau pulanglah dulu. Nanti sore kembali lagi."
Tanpa bertanya-tanya A Kiong melangkah pergi.
nyonya Linda menunggu dulu beberapa saat lamanya, lalu memandang berkeliling dengan saksama, baru kemudian mengangkat pesawat telepon yang barusan diletakkannya di meja. Biarlah Peter menunggunya dengan sabar.
"Ya. Ada apa""
"Wah, nadamu kok dingin sekali sekarang."
"Mau tak mau memang harus begitu. Kau tidak tahu" Suasananya panas sekarang ini. Kau dan aku punya nama baik yang harus dijaga. Emangnya kau mau nekat"" kata Nyonya Linda dengan suara pelan. Matanya pun awas memandang ke sekelilingnya.
"Apakah kaupikir sudah ada yang tahu tentang... tentang kita""
"Ya." Nyonya Linda teringat akan Irma, tapi tak ingin menyebut nama itu. Kalau disebut bisa jadi orangnya malah muncul lalu memasang telinga.
"Siapa"" "Sudahlah. Itu tak penting. Yang penting adalah apa urusanmu menghubungi aku."
Peter tak segera bicara. Kadang-kadang Linda memang bisa ketus dan judes luar biasa. Tak terkecuali kepadanya. Karena itu, kadang-kadang ia juga merasa jengkel. Tapi tak pernah dendam. Ia selalu bisa memaafkan dan menganggapnya sebagai bukan persoalan. Tak ada gunanya menaruh dendam kepada seseorang berotak kosong macam Nyonya Linda, begitu penilaiannya sendiri.
"Sudah tahukah kau tentang rencana rekonstruksi itu"" ia bertanya dengan suara dipelahan-kan. Padahal ia cuma sendirian di ruang kantornya.
"Ya. Sudah. Kenapa""
"Aku mau tanya, masih ingatkah kau bagaimana urut-urutan peristiwa malam itu"" Diam sebentar.
"Maksudmu, dari permulaan""
"Ya." "Kayaknya sih ingat. Barangkali kalau sudah dilakoni nanti ingat sendiri."
"Kau tidak merasa ngeri""
Diam lagi. Nyonya Linda memandang berkeliling, ia tidak suka pertanyaan itu.
Tapi Peter juga tidak mendesakkan jawaban. "Sorry, Lin. Mungkin aku menyinggung perasaanmu," katanya buru-buru, khawatir telepon diletakkan.
"Apakah cuma itu saja yang mau kausampaikan""
"Tidak, tidak. Ada yang lebih penting lagi." "Oh, ya" Ayo dong, cepat katakan. Aku kan sedang banyak kerjaan."
Peter memonyongkan mulutnya. Huh, sok sibuk, pikirnya. Tapi ia memang harus buru-buru. "Begini, Lin. Setelah aku menerima pemberitahuan rekonstruksi itu aku jadi berpikir-pikir. Maksudku, aku berusaha mengingat-ingat kembali. Tapi ada yang belum kuingat secara pasti. Itu adalah pada saat kita berbondong-bondong keluar. Pada waktu itu aku berjalan berdampingan denganmu. Coba ingat-ingat lagi. Saat mendekati ambang pintu, apakah aku berada di sebelah kanan atau sebelah kirimu""
Linda menahan napasnya. Sebenarnya ia tidak memerlukan waktu lama untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi ia memikirkan sesuatu yang lain. Dan itu membuatnya tegang.
"Hei, lama betul kau berpikir. Kau sudah lupa rupanya, ya," kata Peter tak sabar.
"Setengah lupa," jawab Linda ragu-ragu. Lalu ia mendengar bunyi napas. Apakah itu cetusan kelegaan"
"Sekarang aku ingat, Lin. Ya, ya, memang nggak salah kok. Aku berada di sebelah kirimu. Coba pikir lagi. Memang betul begitu, kan""
Senyum Linda mengembang. "Entah, ya. Sudah kukatakan aku..."
"Karena kau lupa itulah sekarang kuingatkan. Itu kan penting untuk rekonstruksi nanti. Kita harus bersikap pasti. Tidak boleh ragu-ragu."
"Ya. Kau betul."
"Nah, ada kegunaannya aku menele
ponmu, bukan" Maka itu jangan suka menghindar kalau kuhubungi. Siapa tahu penting."
"Baiklah. Tapi aku takut kalau sering-sering. Kau harus hati-hati."
Diam sebentar. "Ya, aku mengerti. Terima kasih untuk peringatanmu. Tapi kita sudah sepakat sekarang, bukan""
Dalam Derai Hujan 6 Trio Detektif 19 Misteri Danau Siluman Dewi Olympia Terakhir 4

Cari Blog Ini