Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng Bagian 3
t, dalam dunia nyata, siapapun bisa memiliki jumlah keinginan yang tak terbatas). Jika hanya satu dari keenam keinginan itu dianggap sebagai keinginan sejatinya (sekali lagi, mari kita anggap gagasan tentang keinginan sejati tidak bermasalah), apakah masih masuk akal mengatakan bahwa ia 1/6 bebas" Apa itu 1/6 bebas-2/5, 235/457, 34/89 bebas" Dan apa yang akan kita katakan tentang kebebasan dalam sebuah masyarakat dengan jutaan orang dan jumlah keinginan yang tak terbatas"
Berhadapan dengan persoalan ini, satu-satunya cara bagi Taylor untuk menyelamatkan gagasannya adalah dengan membagi manusia menjadi dua diri. Diri yang pertama lebih tinggi, atau rasional, atau diri sejati. Diri yang lain adalah diri empiris, "lebih rendah", irasional, atau diri yang tak-terkendalikan. Yang pertama adalah diri yang menjadi sumber realisasi diri sejati. Hanya diri pertama inilah yang merupakan wilayah kebebasan sesungguhnya. Diri yang kedua adalah sebuah entitas (dalam kata-kata Berlin) "yang dilingkupi hasrat dan nafsu", diperbudak oleh keinginan akan kenikmatan sesaat, sumber kekeliruan. Hanya dengan membuat pembedaan seperti ini gagasan tentang realisasi diri "sejati" d la Taylor menjadi masuk akal: pembedaan ini memungkinkan kita menyederhanakan kompleksitas tindakan dan keinginan manusia tersebut menjadi dua sifat yang bertentangan-baik dan buruk, lebih tinggi dan lebih rendah, sejati dan palsu.
Bagi para filsuf kebebasan negatif seperti Berlin, di sinilah letak bahaya terbesarnya. Diri yang sejati dan lebih tinggi tersebut dengan mudah dapat digelembungkan atau diubah menjadi sesuatu yang lebih luas dibanding seorang individu- suatu suku, ras, negara, suatu masyarakat besar, suatu kelas sosial, atau jalannya sejarah. Diri sejati yang lebih luas ini kemudian bisa digunakan untuk memaksakan keinginan kolektif dan organiknya pada para anggotanya yang membangkang. Dengan membebankan dan memaksakan kehendaknya pada diri yang empiris, diri sejati yang lebih luas tersebut memunculkan kebebasan yang lebih tinggi.
Pembedaan diri seperti itu, menurut Berlin, bisa menjadikan kita:
...mengabaikan keinginan-keinginan nyata manusia atau masyarakat; menggertak, menindas, serta menyiksa mereka atas nama, atau demi diri "sejati" mereka, dengan pengetahuan pasti bahwa apapun tujuan sejati manusia (kebahagiaan, pemenuhan kewajiban, kebijakan, suatu masyarakat yang adil, pemenuhan diri) pasti identik dengan kebebasan-nya-pilihan bebas dirinya yang "sejati", meski seringkali terpendam dan tak terungkapkan.
Bagi Berlin, posisi seperti ini merupakan inti semua teori politik tentang realisasi diri (teori Taylor adalah salah satunya). Posisi ini memungkinkan seseorang membuat suatu "imper-sonasi besar", yang cenderung menyamakan "apa yang akan dipilih X jika ia adalah sesuatu yang bukan dirinya, atau paling tidak belum dirinya, dengan apa yang sebenarnya dikejar dan dipilih X".
Dengan kata lain, posisi ini adalah resep bagi tirani. Dan menurut Berlin, sejarah abad kita telah memperlihatkan bahwa tirani paling kejam dan teror terbesar terhadap kemanusiaan dilakukan ketika diri yang dianggap lebih tinggi dan sejati tersebut memaksakan kehendaknya pada diri empiris yang dianggap penuh dengan hasrat dan nafsu yang lebih rendah. Tepat inilah yang terjadi di Rusia di bawah Stalin dan Jerman di bawah Hitler.
Tentu saja, hal ini tidak berarti bahwa Taylor dan para pemikir kebebasan positif yang lain adalah para pemikir yang tak liberal atau para pendukung despotisme. Apa yang ingin diperlihatkan oleh argumen-argumen Berlin adalah bahwa konsepsi positif tentang kebebasan tersebut tidak dapat dipertahankan sebagai filsafat kebebasan: ia sangat mudah dimanfaatkan oleh seorang despot untuk membangun suatu kerajaan paksaan; ia juga memunculkan suatu kesalahpahaman besar tentang sifat dan problem kebebasan.
Kontrak Sosial: Pedang Rousseau "Manusia terlahir bebas, dan di mana pun ia terkekang... Bagaimana hal ini bisa terjadi" Saya tidak tahu. Apa yang bisa menjadikan hal ini sah" Saya yakin saya bisa menjawab pertanyaan ini."
ini a dalah kalimat pembuka The Social Contract karya Rousseau. Dengan kalimat-kalimat tersebut Jean-Jacques Rousseau mengajukan pertanyaan politik yang paling radikal dan mengandaikan bahwa semua rezim politik yang ada tidak sah. Kalimat-kalimat tersebut merupakan pertanyaan paling modern di masa Rousseau. Pernyataan itu adalah pedang yang memenggal otoritas kekuasaan tradisional.
Voltaire mengecam Tuhan. Rousseau mendelegitimasi para penguasa. Para philosophers (Diderot, Voltaire) menginginkan reformasi, Rousseau menginginkan revolusi. Ia menganjurkan "suatu bentuk asosiasi" di mana tiap-tiap anggotanya sepenuhnya menyerahkan dirinya pada komunitas itu, dan pada saat yang sama hanya menaati dirinya sendiri dan tetap bebas serta otentik-paradoksnya yang terkenal adalah: "Tiap-tiap orang menyerahkan dirinya kepada semua [orang], tidak menyerahkan dirinya kepada siapapun." Ia menganggap masyarakat sipil memperbudak individu. "Bentuk asosiasinya", atau kontrak sosialnya, dengan demikian merupakan suatu penyelamatan politik yang sepenuhnya menyelesaikan konflik antara individu dan masyarakat, atau warganegara yang bebas dan negara. Baginya, hanya dalam asosiasi ini manusia dapat benar-benar mendapatkan kebebasan sipilnya. Di sini manusia diubah dari semata-mata seekor "binatang yang terbatas dan bodoh" menjadi sesosok "makhluk yang cerdas dan bermoral".
Namun jenis asosiasi baru apa yang ditawarkan Rousseau" Jawaban dari pertanyaan ini sangat ambigu. Saya cenderung berpikir bahwa, seperti yang akan saya tunjukkan nanti, konsekuensi-konsekuensi pemikirannya dalam Social Contract cenderung totalitarian. Ia mengganti otoritas tatanan lama dengan sebuah komunitas politik baru yang totalitarian. Memang, seperti yang dikemukakan Robert Nisbet (1973), Rousseau membebaskan manusia dari masyarakat lama dan korup-na-mun dalam melakukan hal ini ia menempatkan manusia di bawah kungkungan sebuah negara yang sangat kuat dan mungkin tak terbatas. Dengan kata lain, "bentuk asosiasinya" tersebut merupakan suatu format politik di mana seorang raja baru dan modern, tanpa banyak rintangan dari masing-masing wargane-gara, dapat dengan mudah menyalahgunakan kekuasaan politik atas nama kehendak umum. Rousseau tidak memberi perlindungan pribadi atau individual terhadap kemahakuasaan kekuasaan politik tersebut. Dalam pengertian ini, bukan tidak berdasar untuk setuju dengan Sir Henry Sumner Maine (1886) bahwa kehendak umum Rousseau sebenarnya "tidak lebih daripada hak ilahiah lama sang raja dalam bentuk baru".
Tentu saja, bukan tanpa alasan untuk berpikir bahwa dalam beberapa hal Social Contract Rousseau memberikan dasar bagi sebuah komunitas politik yang lebih demokratis. Kita dapat menemukan aspek ini dalam argumennya tentang supremasi hukum. Bagi Rousseau, manusia bebas ketika ia mematuhi hukum, dan bukan manusia. Di sini hukum-dan bukan para elite yang berkuasa-adalah otoritas tertinggi. Dalam Letter from the Mountain, yang dikutip oleh Sartori (1958), Rousseau mengatakan, "Nasib kebebasan sama dengan nasib hukum; ia hidup atau binasa bersamanya. Hukum adalah pelaksanaan kehendak umum: hukum berasal dari rakyat, dari semangat rakyat." Dengan demikian Rousseau telah bergeser dari tradisi hukum kodrat-ia berpindah dari ius naturale Grotius ke hukum yang disetujui oleh kehendak umum. Hukum adalah rekaman kehendak-kehendak rakyat; dan karena itu hukum tidak pernah tidak adil, karena rakyat tidak pernah tidak adil kepada diri mereka sendiri. Di sini konsep modern tentang kesetaraan dalam hak-hak hukum-yang merupakan salah satu syarat paling penting sebuah komunitas politik yang de-mokratis-menemukan pengungkapannya yang paling kuat dan bernas.
Selain itu, Rousseau menghamparkan dasar bagi kedaulatan rakyat (atau lebih tepatnya kedaulatan massa). Kekuasaan politik yang sah baginya merupakan turunan dari keinginan rakyat. Dan keinginan rakyat, seperti hukum, tidak bisa salah. Karena itu, apa yang diperlukan adalah suatu pengungkapan-diri umum (yang dalam konsepsi modern harus dipahami sebagai pemilihan umum atau revolusi) untuk menguak keinginan
rakyat yang sebenarnya. Dengan populisme romatik ini, Rousseau, seperti saya katakan di atas, mendelegitimasi raja dan rezim-rezim lama-dan karena itu membantu mempersiapkan basis filosofis bagi revolusi masa depan. Dengan kata lain, Rousseau memberikan pedang kepada massa untuk menghancurkan singgasana raja absolut mereka.
Namun, semua ini tidak menghilangkan kolektivisme romantik dalam Contract Social, yang dengan mudah dapat membenarkan kekuasaan sosial dan politik totalitarian. Hal ini dapat ditemukan jika kita mengkaji secara teliti penjelasan Rousseau tentang konsep dia yang terpenting, yakni kehendak umum. Bagi Rousseau, kehendak umum bukanlah jumlah kehendak individu, atau kehendak mayoritas, atau kehendak semua (omnes ut singuli). Ia adalah kehendak intensi umum (omnes ut universi), yang hanya dapat disingkapkan jika tiap-tiap individu mengasingkan dirinya dari orang lain (berlaku seperti atom dalam masyarakat) dan menyisihkan semua kepentingan pribadinya.
Kehendak umum tersebut adalah suatu kualitas tersembunyi-ia adalah suatu kebenaran Platonik yang memiliki eksistensi obyektifnya sendiri. Setelah kehendak umum itu ditemukan, diejawantahkan, melalui "suara hati yang murni", ia menjadi berdaulat. Lebih jauh, yang berdaulat ini utuh, tak dapat dihilangkan, dan tidak bisa diwakili oleh organ badan politik apapun. Setiap orang dengan demikian harus sepenuhnya tunduk pada yang berdaulat ini. Dan siapapun yang menolak untuk mematuhinya harus dipaksa untuk melakukan hal itu oleh seluruh badan politik-di sini orang tersebut hanya "dipaksa untuk menjadi bebas", karena pengejawantahan kehendak umum tersebut merupakan satu-satunya penyelamatan politik bagi manusia terhadap kebebasannya.
Kini, kita harus mengajukan beberapa pertanyaan sederhana: bagaimana kita mengetahui kehendak umum itu-jika orang-orang mengungkapkan opini mereka tentang beberapa persoalan umum" Bagaimana kita yakin bahwa hal itu adalah kehendak sejati mereka, dan bukan kehendak para demagog yang meyakinkan orang-orang apa dan bagaimana berpikir" Bagaimana kita tahu bahwa rakyat mengungkapkan kehendak mereka dengan "kesadaran murni" mereka" Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, penjelasan-penjelasan Rousseau kurang memadai dan tidak jelas. Kita mungkin dapat menemukan jawaban utamanya dari kalimat penting ini: "Kita selalu menginginkan apa yang baik bagi kita, namun kita tidak selalu mengetahui apa itu." Jadi, untuk membantu menemukan "hal yang baik bagi kita" ini Rousseau kemudian menoleh ke pembuat undang-undang, yang akan menemukan hal yang "baik bagi kita" (kehendak umum) tersebut. Lebih jauh, pembuat undang-undang itu juga akan "menciptakan suatu jenis manusia baru, seorang makhluk yang murni politik, tanpa suatu kepentingan dan loyalitas apapun" bagi diri individual dan asosiasi pribadinya selain bagi komunitas politiknya.
Pendek kata, jawaban Rousseau bukan hanya kontradiktif, namun juga malah membenarkan peran sebuah kelompok suatu komunitas politik untuk bertindak seperti penemu sejati kebenaran, yang akan menghancurkan wilayah kehidupan individual dan pribadi, dan menjadikan seluruh rakyat tunduk hanya pada satu entitas politik kolektif. Dengan demikian, Rousseau membuka kemungkinan untuk membenarkan seorang despot dan tiran totalitarian yang mengklaim bahwa mereka adalah perwujudan kehendak umum tersebut, atau bahwa diri merekalah yang tahu apa yang diinginkan rakyat. Despot dan tiran ini mungkin menghancurkan setiap individu yang menentang mereka tanpa rasa bersalah.
Selain itu, Rousseau, seperti yang dikemukakan J.L. Talmon (1955), gagal melihat bahwa sebuah kehendak sangat mungkin tiranik, "sekalipun diinginkan oleh semuanya, dan bahwa akan sama jahatnya bagi yang berdaulat untuk diperintah secara tiranik oleh 'dirinya sendiri' ataupun oleh pihak lain". Dalam kasus ini, setiap individu akan menjadi tiran maupun budak. Rakyat bisa bodoh terhadap diri mereka sendiri, jika bukan terhadap orang-orang lain. Opini rakyat bisa salah, dengan berbagai implikasi kejahatan (misalnya dalam eforia massa, dalam tekanan yang sangat besar, da
lam perang, dll.). Stalin, dalam Perang Dunia II, dianggap oleh rakyat Rusia sebagai pahlawan nasional. Hitler, di tahun-tahun pertama Perang Dunia II, dipandang oleh rakyat Jerman sebagai seorang pemimpin yang mengembalikan kebanggaan nasional mereka.
Dan sekarang ini, Slobodan Milosevic dan Radovan Karadzic, para penjagal Serbia, dianggap oleh rakyat Serbia sebagai pelindung kehendak rakyat. Jika sebuah kelompok dari rakyat membenci kelompok yang lain, kehendak umum Rousseau sangat mungkin menjadi suatu sarana bagi para pemimpin despotik untuk melakukan pembantaian massa.
Rousseau tidak bersikap kritis terhadap kekuasaan politik. Contract Social-nya terlalu kuat bersandar pada negara (komunitas politik, bangunan politik) sebagai sumber kemajuan sosial dan moral. Penyelamatan politik suatu masyarakat sipil yang korup baginya hanya mungkin jika terjadi "suatu penyerahan absolut dari para individu, dengan semua hak dan kekuatannya, kepada komunitas sebagai suatu keseluruhan". Keyakinan total dan romantiknya terhadap kolektivitas menghancurkan kemungkinan pengakuan akan eksistensi kehidupan pribadi dan individual. Ia begitu tergetarkan oleh majelis publik Romawi, di mana kemauan publik berkuasa. Baginya, negara harus memaksa setiap individu untuk luluh dalam kemauan publik ini demi kebaikannya sendiri. Di sinilah Rousseau memberikan jalan termudah bagi negara untuk melakukan kontrol totalitarian terhadap seluruh masyarakat.
Dalam hal ini Rousseau jelas sangat berbeda dari para filsuf liberal Inggris. Locke, misalnya, tidak banyak memberi peran kepada negara selain menjamin hak milik dan kehidupan rakyat. Dan Hobbes, dengan kejelasannya yang brilian, menyatakan bahwa satu-satunya tugas yang harus diemban kekuasaan politik adalah menjaga ketertiban dan stabilitas masyarakat. Para filsuf ini tidak banyak memberi kekuasaan kepada negara untuk ikut campur dalam urusan-urusan masyarakat sipil. Pendek kata, tradisi filsafat kebebasan adalah sebuah tradisi skeptisisme terhadap politik. Rousseau, sebaliknya, membuka suatu harapan baru terhadap negara dan politik untuk memainkan peran sebagai penggerak sejarah yang progresif. Pada dirinya sendiri mungkin tidak ada yang salah dengan harapan ini. Namun, dalam kasus Rousseau, kita tidak dapat menemukan jawaban apapun tentang bagaimana kita harus menetapkan batas bagi kemahakuasaan negara dan politik di wilayah sosial dan politik. Baginya, negara-badan politik tersebut-sepenuh-nya berkuasa.
Jean-Jacques Rousseau dengan demikian bukahlah ayah yang tidak sah dari totalitarianisme kiri dan kanan abad ke-19 dan ke-20. Memang, pedangnya menghancurkan para raja, simbol otoritas tradisional-namun pedang itu juga memberi alasan bagi kaum revolusioner populis, atau bagi setiap despot, untuk menjalankan teror dan penindasan atas nama kehendak umum.
Daftar Rujukan 1. Robert Nisbet, The Social Philosophers-Community and conflict in Western Thought, Thomas Cromwell Comp.,
1973. 2. J.L. Talmon, origins of totalitarian Democracy, Secker and Warburg, 1955.
3. Sir Henry Sumner Maine, Popular Government, Henry
Holt and Comp., 1886. 4. Giovanni Sartori, Democratic theory, Praeger, 1958.
5. Jean-Jacques Rousseau, "The Contract Social", dalam Jean-Jacques Rousseau, The Basic Political Writings, diterjemahkan oleh D.A. Cress, Hacket Publishing Comp., 1987.
Membela Kaum Pluralis dari perspektif teoretis, karya Gaventa, Power and Power-lessness, menarik karena ia melancarkan tantangan langsung terhadap kaum pluralis: para teoretisi politik yang seringkali disebut sebagai kaum liberal, yang dianggap sebagai para teoretisi terkemuka dalam ilmu politik utama sejak Perang Dunia II.
Dengan mendasarkan rumusan teoretisnya terutama dari Lukes dan Gramsci, Gaventa mengklaim bahwa orang-orang bersikap tidak aktif dalam kondisi ketidaksetaraan yang begitu besar bukan karena mereka menginginkannya.
Penerimaan mereka adalah akibat dari hubungan-hubungan kekuasaan: mereka dipaksa untuk tidak aktif. Mereka merasa tak berdaya, cemas, lemah-karena itu mereka tidak melakukan sesuat
u yang secara politik signifikan untuk mengubah penderitaan ekonomi mereka.
Bagi Gaventa, seperti halnya bagi Lukes, salah satu kelemahan utama dari kaum pluralis terletak dalam argumen bahwa tidak bertindak berarti kepuasan, atau kurang memiliki kekecewaan terhadap sistem sosial secara umum (orang-orang membutuhkan suatu tingkat kekecewaan tertentu untuk berani menghadapi risiko melakukan pemberontakan). Argumen ini, menurut Gaventa, menjadikan kaum pluralis abai terhadap kenyataan bahwa kekuasaan berfungsi menjaga kekuasaan: elite-elite yang berkuasa berusaha untuk menjaga kekuasaan mereka dengan membuat orang-orang yang mereka kuasai tunduk, dengan menanamkan bentuk-bentuk gagasan tertentu yang tidak kritis dalam pikiran orang-orang yang mereka kuasai. Dengan demikian, kaum pluralis, bagi Gaventa, akan menyalahkan para korban jika mereka bersikap tidak aktif ketika ketidaksetaraan terjadi.
Seberapa berhasil Gaventa dalam menyerang posisi teoretis kaum pluralis" Kelemahan apa yang ada dalam rumusan teoretis Gaventa sendiri jika hal ini digunakan untuk memahami bukan hanya suatu kasus spesifik di Lembah Appalachian melainkan juga suatu masyarakat yang lebih besar dan kompleks"
*** Sebelum kita membahas pertanyaan-pertanyaan di atas, kita perlu bersikap adil terhadap kaum pluralis. Penjelasan Gaventa tentang posisi teoretis kaum pluralis diletakkan sedemikian rupa sehingga menjadikan posisi kaum pluralis tersebut tampak lemah.
Secara umum, kaum pluralis mendasarkan teori-teori mereka pada tradisi liberal dalam pemikiran politik.[Penjelasan saya tentang kaum pluralis di sini sebagian besar diambil dari Ricci (1971) dan Fox, Furlong, dan Page (1985).] Mereka terutama berutang kepada John Stuart Mill dan Joseph Schumpeter.
Dari John Stuart Mill mereka belajar bahwa manusia mampu memutuskan apa yang baik bagi dirinya sendiri. Setiap manusia adalah hakim terbaik bagi kepentingannya sendiri. Para politisi mungkin mengajari orang-orang apa yang perlu dilakukan atau apa yang perlu dipikirkan (ini sudah menjadi kebiasaan para politisi). Namun, pada akhirnya, pertimbangan "rasional" orang-orang itulah yang penting: mereka bisa setuju atau tidak setuju dengan para politisi tersebut, bergantung pada kepentingan mereka sendiri. Keputusan orang-orang tersebut mungkin "salah". Mereka mungkin tertipu. Namun mereka tidak mungkin salah selamanya (mungkin mudah untuk menipu para pemilih sekali atau dua kali, namun mustahil melakukan hal ini selamanya): manusia belajar dari pengalaman mereka.
Dari Joseph Schumpeter, kaum pluralis belajar bahwa apa yang disebut elite berkuasa yang padu itu tidak ada.[Marx, Mosca, dan Michels mengandaikan bahwa elite berkuasa yang padu itu ada, karena keharusan di wilayah produksi, atau karena hukum organisasi yang kompleks, atau karena logika pengelompokan politik.] Kelompok-kelompok elite bersaing dalam memengaruhi keputusan publik tentang berbagai macam isu sosial. Dalam masyarakat, sumberdaya (sebagai dasar tindakan politik) dan kepentingan (sebagai tujuan aktor-aktor politik) beragam-dan karena itulah terdapat pluralisme elite. Karya Robert A. Dahl tentang dinamika politik lokal di New Haven, Yale (1963), bisa dilihat sebagai suatu usaha yang bagus yang memperkuat gagasan Schumpeterian tentang elite ini.
Selain itu, dari Schumpeter, kaum pluralis belajar bahwa meskipun ekonomi dan politik sangat berkaitan, masing-masing harus dilihat sebagai suatu wilayah yang otonom.[Dalam capitalism, Socialism, and Democracy (1950) karya Schumpeter, kapitalisme dan sosialisme adalah wilayah ekonomi, sedangkan demokrasi adalah wilayah politik. "Politik tidak tergantung ekonomi" dipahami dari argumennya bahwa demokrasi bisa berkembang baik dalam kapitalisme maupun sosialisme. Tidak satu hal pun dalam wilayah ekonomi yang dapat memengaruhi wilayah politik secara deterministik.] Gagasan ini membuka jalan bagi kaum pluralis untuk meyakini bahwa jika sebuah sistem secara ekonomi tidak setara, hal itu tidak niscaya berarti bahwa ia juga secara politik represif.
Ketidaksetaraan ekonomi pada dasarnya
bisa hadir bersama dengan demokrasi politik. Apa yang dibutuhkan sebuah sistem untuk menjadi demokratis, selain persaingan elite untuk merebut hati rakyat, adalah aturan permainan yang adil dan perlindungan terhadap hak-hak politik dasar.
Gagasan inilah dasar argumen bahwa tindakan politik tidak niscaya berkaitan dengan hasil-hasil di wilayah ekonomi. Karena itu, kaum pluralis berpendapat bahwa meskipun terdapat tindakan-tindakan politik yang kuat yang mendukung kebijakan-kebijakan yang lebih distributif, hasilnya dalam bentuk berbagai kebijakan tidak niscaya akan mengubah kondisi ketidaksetaraan ekonomi tersebut. Apa yang juga mungkin adalah bahwa meskipun hanya terdapat partisipasi politik yang sangat lemah, kondisi ketidaksetaraan tersebut mungkin berubah.
Semua itu adalah beberapa gagasan dasar yang menjadi sandaran posisi kaum pluralis. Untuk bisa sungguh-sungguh membongkar pandangan kaum pluralis, gagasan-gagasan tersebut harus ditunjukkan sebagai gagasan-gagasan yang salah. Karya Gaventa, jika karya tersebut dipahami sebagai sebuah karya teoretis, bisa dilihat sebagai usaha untuk melakukan hal tersebut.
Pertama, tentang elite-elite yang berkuasa. Dalam bidang yang ia pelajari, elite-elite berkuasa bagi Gaventa terutama berarti para pemimpin lokal dalam organisasi-organisasi lokal (partai, perusahaan, serikat buruh, gereja, sekolah, pemerintah lokal, dll.). Elite-elite tersebut, menurut Gaventa, mungkin tampak beragam "di puncak". Namun, "dilihat dari bawah", elite-elite tersebut tampak "pada dasarnya seragam".
Klaim ini, jika benar, merupakan pukulan berat bagi kaum pluralis. Sayangnya, jika kita mengkaji penjelasan Gaventa secara cermat, sulit untuk tidak melihat bahwa terdapat lubang-lubang besar dan argumen-argumen yang lemah dalam penjelasannya. Bagaimana bisa para pebisnis, kaum liberal, kaum komunis, para akitivis serikat buruh yang bekerja di Clear Fork Valley dilihat sebagai anggota kekuasaan konspirasi yang sama"
Kenyataan bahwa mereka semua tidak mengangkat isu-isu yang, bagi si pengamat, relevan dalam mengubah keadaan ketidaksetaraan tersebut tidak cukup memadai untuk membuat kita menyimpulkan bahwa mereka adalah bagian dari suatu kekuasaan konspirasi yang sama. Untuk memperlihatkan bahwa temuan-temuannya dalam satu kasus tertentu di wilayah tertentu (jika hal ini benar secara empiris) juga relevan untuk mempelajari kasus-kasus lain di tempat-tempat lain, Gaventa perlu mengembangkan suatu rumusan teoretis yang memberi dasar bagi kita untuk memahami, misalnya, bahwa kepentingan-kepentingan para pebisnis (mereka yang yakin pada usaha yang bebas) dan kaum komunis (mereka yang mendukung penghapusan hak milik) adalah sama.
Gaventa tidak membuat rumusan teoretis ini. Menurut saya, ia tidak melakukannya karena hal itu akan membawa dia pada posisi yang sangat sulit: Ia dapat dengan mudah dianggap abai terhadap sejarah pertarungan-pertarungan politik besar selama abad ke-20.[Salah satu pertarungan politik paling penting pada abad ini terjadi di negara-negara kapitalis maju dalam mengusung perjuangan kaum miskin, kaum buruh, dan mereka yang lemah. Hal ini menyebabkan terbentuknya negara kesejahteraan, ekonomi campuran, di hampir semua negara tersebut. Akan lucu jika berkata, misalnya, bahwa dalam pertarungan-pertarungan besar ini kepentingan para pemimpin buruh dan para pemimpin bisnis adalah sama.]
Dalam sejarah politik AS, pemberlakuan Akta Wagner pada 1935 bukan merupakan dampak dari kesepakatan yang harmonis antara serikat-serikat buruh dan kaum industrialis, melainkan merupakan dampak dari pertarungan yang panjang dan menyakitkan antara keduanya (lihat Goldman, 1956)]. Sebuah teori yang memperlihatkan bahwa kepentingan-kepentingan utama kaum Marxis radikal, para aktivis serikat buruh, dan kaum industrialis pasar bebas pada dasarnya sama dalam memelihara suatu bentuk hubungan kekuasaan tertentu, baik regional maupun nasional, akan memunculkan banyak pertanyaan yang sulit, jika bukan mustahil, untuk dijawab.
Secara empiris, ketika Gaventa mencoba untuk memperlihatkan bahwa para pemimpin
lokal di Clear Folk Valley pada dasarnya seragam, ia gagal meyakinkan kita bahwa tidak ada jalan lain yang mungkin yang membawa kita pada kesimpulan bahwa mereka, para pemimpin lokal tersebut, pada dasarnya tidak seragam. Pada awal dan pertengahan 1930-an, menurut Gaventa, ada gelombang pasang aktivisme politik di wilayah itu. Kaum liberal utara datang ke lembah itu dan, bersama dengan para pemimpin liberal lokal, berusaha untuk membantu para penambang yang tertindas dengan mengangkat isu-isu tentang hak-hak sipil (misalnya kebebasan berekspresi). Para pemimpin dan aktivis buruh tersebut, lokal dan nasional, terlepas dari konflik-konflik internal mereka yang menyakitkan, berhasil mengusung kepentingan para penambang lokal itu untuk mendapatkan tunjangan pensiun yang lebih baik, gaji yang lebih baik, dll. (bukan tanpa ketidaksepakatan dari para pemimpin perusahaan).
Bagi saya, dan saya yakin juga bagi sebagian besar kaum pluralis, contoh kecil tentang adanya pemimpin-pemimpin yang berbeda dengan berbagai kepentingan yang juga berbeda ini cukup memperlihatkan bahwa tidak ada elite penguasa yang seragam di lembah tersebut. Bagi Gaventa, kita tahu, perbedaan-perbedaan tersebut tidak memadai. Gaventa terlalu banyak menuntut: baginya, apa yang terjadi tampaknya adalah bahwa kecuali jika terdapat seorang pemimpin yang memimpin para penambang untuk memberontak demi membalikkan sistem ekonomi, kita tidak bisa berkata bahwa tidak ada yang disebut sebagai elite berkuasa yang seragam.
*** Sekarang tentang ketidakaktifan dalam kondisi ketidaksetaraan. Dalam penjelasan di bukunya, Gaventa tidak memberi penjelasan secara khusus jenis tindakan apa yang diperlukan untuk memecahkan persoalan ketidaksetaraan tersebut. Di beberapa bagian buku itu kita medapatkan kesan bahwa apa yang ia maksud dengan tindakan yang signifikan untuk mengubah kondisi ketidaksetaraan adalah pemberontakan besar-besaran untuk mengganti struktur produksi industrial-kapitalis tersebut.
Apakah memadai jika menyimpulkan bahwa karena jenis pemberontakan tersebut tidak ada, orang-orang dengan demikian tunduk begitu saja dan tidak-aktif" Jawabannya bergantung pada konsepsi kita tentang sebab ketidaksetaraan dan bentuk tindakan yang yang bisa memecahkan masalah itu. Andaikan bahwa seseorang tidak memiliki kebencian Gaventa terhadap kaum kapitalis industri, andaikan bahwa seseorang percaya bahwa kapitalisme industri tidak niscaya jahat dan bukan merupakan sumber ketidaksetaraan di lembah tersebut (keyakinan ini, menurut saya, masih harus dibuktikan secara empiris dalam kasus-kasus tertentu di wilayah itu), keseluruhan struktur argumen Gaventa tentang tindakan dan non-tindakan tersebut akan sangat kurang bisa dipertahankan.
orang bisa saja percaya bahwa tanpa pemberontakan terhadap keseluruhan struktur kapitalisme industri tersebut, reformasi-reformasi bertahap mungkin dilakukan dalam masyarakat-masyarakat kapitalis, lokal atau nasional. Di sini tindakan-tindakan "sederhana" seperti pemungutan suara, pemilihan para pemimpin lokal, dan penguatan pemerintahan lokal dianggap berkaitan, secara tidak langsung (yakni tidak deterministik), dengan proses reformasi bertahap tersebut.
Gaventa tidak memberikan bukti apapun bahwa orang-orang tidak memilih apa yang mereka anggap sebagai para wakil mereka dalam organisasi-organisasi lokal (apa yang tampaknya diandaikan Gaventa adalah bahwa orang-orang salah memilih karena mereka "ditipu" oleh para elite penguasa). Dalam hal ini, kaum pluralis berargumen bahwa karena orang-orang tersebut benar-benar memberikan suara mereka, dan karena para elite penguasa tidak seragam, sistem politik tersebut tidak mandek karena kepasifan. Mereka mungkin memilih para pemimpin yang salah, atau menanggapi isu-isu yang sa-lah-namun hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak aktif atau semata-mata tunduk pada kondisi ketidaksetaraan tersebut. Selain itu, hal ini juga tidak berarti bahwa, jika ketidaksetaraan tersebut terus terjadi, tindakan-tindakan politik "sederhana" itu (misalnya pemungutan suara, pemilihan para pemimpin lokal) harus diang
gap sebagai tindakan-tindakan "salah" yang didasarkan pada kesadaran yang salah. Seperti telah saya perlihatkan di atas, bagi kaum pluralis, tindakan-tindakan politik tidak niscaya berkaitan dengan hasil-hasil kebijakan di wilayah ekonomi.
Kasus terkuat yang disajikan Gaventa untuk menyangkal kaum pluralis adalah penjelasannya bahwa karena terdapat manipulasi kekuasaan yang begitu besar dan sistematis yang dilakukan praktis oleh semua elite lokal dan nasional, orang-orang di lembah tersebut tidak dapat berpikir atau bertindak "secara tepat" sesuai dengan "kepentingan terbaik" mereka. Kekuasaan berfungsi untuk memanipulasi kekuasaan: rakyat dengan demikian dibiarkan tak berdaya, lemah, tunduk.
Sekali lagi, jika benar, penjelasan ini merupakan suatu pukulan berat bagi kaum pluralis, karena tidak ada pertimbangan "rasional" yang bisa dilakukan dalam kondisi manipulasi kekuasaan yang begitu besar dan sistematis (tidak ada, misalnya, pilihan-pilihan alternatif yang signifikan bagi rakyat untuk berpikir). Namun di sini kita harus sangat berhati-hati. Menuduh seseorang melakukan suatu manipulasi kekuasaan yang begitu besar dan sistematis merupakan suatu hal besar. Bagaimana Gaventa menopang tuduhan ini"
Gaventa percaya bahwa sekolah-sekolah lokal (lembaga yang oleh kaum pluralis dianggap sebagai salah satu lembaga paling penting guna meningkatkan kemampuan manusia dalam memilih apa yang terbaik bagi diri mereka) merupakan salah satu alat kontrol dan manipulasi oleh para elite industri. Namun sangat aneh bahwa dalam menyajikan salah satu kasusnya yang mungkin terkuat, Gaventa samasekali tidak menjelaskan dengan cara apa kita harus melihat dan memahami proses manipulasi dalam sekolah-sekolah ini. Apa yang ia katakan hanyalah bahwa sekolah-sekolah dikontrol dan dimanipulasi karena sangat sering elite-elite industri mengangkat para guru dan membayar pemeliharaan bangungan-bangunan sekolah. Jika kita setuju dengan jenis argumen simplistik ini, kita harus percaya bahwa pada dasarnya semua profesor di universitas Amerika tidak mampu berpikir kritis terhadap kapitalisme industri atau negara yang didasarkan pada ekonomi kapitalis.
Contoh-contoh lain juga menarik. Para pemimpin liberal yang, seperti telah saya katakan sebelumnya, ingin mendukung perjuangan untuk menegakkan kebebasan berekspresi di lembah tersebut oleh Gaventa dianggap sebagai bagian dari para elite konspiratif yang memanipulasi rakyat. Alasannya: perjuangan untuk menegakkan kebebasan berekspresi tersebut menyimpangkan perhatian rakyat dari persoalan-persoalan "riil". Namun bagaimana kita bisa memahami apa itu persoalan-persoalan "riil" rakyat tanpa pertama-tama memberi mereka kebebasan untuk mengungkapkan kehendak mereka" Di sini Gaventa tampak tidak memahami pelajaran besar yang bisa ambil dari sejarah despotisme-persoalan-persoalan "riil" rakyat sangat sering dimanfaatkan oleh para despot untuk memaksa rakyat untuk tidak mengungkapkan kehendak mereka.
Para pemimpin dan aktivis serikat buruh juga dituduh manipulatif, kali ini karena alasan yang berbeda. Gaventa mengakui bahwa sejak 1930-an hingga 1960-an, dengan dibantu oleh para pemimpin serikat buruh, terjadi peningkatan keamanan kerja, upah, tunjangan pensiun, dan sistem kesehatan pekerja. Namun bagi Gaventa ini semua hanyalah "pencapaian-pencapaian pragmatis" yang hanya meningkatkan "kepatuhan buta" para pekerja.
Namun apa itu "pencapaian-pencapaian pragmatis"" Bagi Gaventa hal ini harus dilawankan dengan "pencapaian-pencapaian substantif". Masalahnya adalah mengapa peningkatan dalam jaminan kesehatan, tunjangan pensiun, upah, dan keamanan kerja tersebut dianggap hanya sebagai sesuatu yang pragmatis, bukan substansial" Apakah merupakan keputusan yang salah bagi para pekerja untuk memilih tunjangan pensiun yang lebih baik dan tempat kerja yang lebih aman" Menurut saya, di sini Gaventa telah bergerak terlalu jauh. Ia terlalu memberi penekanan pada suatu gagasan abstrak (pemberontakan" Penghapusan struktur kapitalis") sehingga hal-hal yang sangat penting dalam kehidupan para pekerja hanya dilihat seba
gai sesuatu yang "pragmatis", dengan nada peyoratif. Para pemimpin serikat buruh tersebut, ketimbang dituduh melakukan manipulasi, seharusnya dilihat sebagai orang-orang yang berhasil mendukung perjuangan para pekerja untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Dengan menyajikan contoh-contoh ini saya tidak berarti mengatakan bahwa tidak ada manipulasi kekuasaan di lembah tersebut. Apa yang sedang saya kemukakan adalah bahwa Gaventa tampak terlalu mudah melancarkan pukulannya. Itu bukan cara yang baik dalam menyajikan suatu masalah yang kuat. Semua ini menjadikan kita yakin bahwa jika terdapat manipulasi kekuasaan, maka hal itu tidak akan sesistematis sebagaimana yang dikatakan Gaventa.
Masalahnya sekarang adalah: kapan kita dapat berkata bahwa manipulasi kekuasaan sedemikian besar sehingga orang-orang menjadi tidak mampu membuat keputusan-keputusan yang baik bagi diri mereka" Kapan kita dapat berkata bahwa karena tingkat manipulasi yang sedemikian besar tersebut, keputusan apapun yang dibuat orang merupakan keputusan yang "salah""
Saya harus mengakui bahwa saya masih harus mengkaji jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan ini. Namun ada satu hal yang jelas bagi saya: bagi kaum pluralis, keputusan orang-orang untuk menjadi lebih setia kepada para pemimpin serikat buruh yang membantu mereka mendapatkan upah dan jaminan kesehatan yang lebih baik tersebut, dan kenyataan bahwa pada dasarnya terdapat kelompok elite yang berbeda-beda di lembah tersebut, menunjukkan bahwa posisi teoretis mereka masih harus diperlihatkan sebagai posisi yang salah.
Daftar Rujukan 1. Gaventa, John, Power and Powerlessness, University of Illinois Press, 1980.
2. Cox, Furlong, dan Page, Power in Capitalist Society, St. Martin Press, 1985.
3. Ricci, David M., community power and Democratic Theory, Random House, 1971.
4. Schumpeter, Joseph, capitalism, Socialism, and Democracy, Harper, 1950.
5. Dahl, Robert, Who Govern", Yale University Press, 1961.
6. Goldman, Eric F., Rendevouz with Destiny, Vintage Books,
1956. Huntington: Dari Keteraturan ke Demokrasi
PROFESOR SAMUEL P. HUNTINGTON dari Harvard University merupakan salah satu dari para ilmuwan politik kontemporer yang memiliki pengaruh intelektual yang kuat di bidangnya.
Pada 1968 bukunya yang sangat terkenal, Political Order in Changing Society (Yale University Press), diterbitkan. Buku ini sekarang ini dianggap sebagai karya klasik dalam ilmu perbandingan politik, dan sebuah buku penting bagi para pelajar yang ingin mengkaji berbagai persoalan politik yang dihadapi oleh negara-negara baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin di tahun-tahun awal modernisasi mereka. Dalam buku ini ia mencoba melihat mengapa, bagaimana, dan dalam kondisi apa keteraturan politik bisa dipelihara.
Pada 1991 The Third Wave (University of Oklahoma Press) diterbitkan. Dalam buku ini ia menjelaskan bahwa demokrasi terjadi secara bergelombang, dan bahwa dari 1974 dan seterusnya kita menyaksikan gelombang ketiga demokratisasi. Karyanya tersebut dengan demikian dicurahkan terutama untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana gelombang ketiga demokratisasi ini terjadi.
Dalam tulisan ini saya mencoba untuk mengulas The Third Wave. Fokus saya adalah posisi Huntington menyangkut beberapa isu utama seperti keteraturan dan kebebasan, atau stabilitas dan demokrasi. Dalam bagian berikutnya dari tulisan ini saya mencoba membandingkan kedua buku itu, dan melihat bagaimana Huntington, dalam The Third Wave, mengubah pendirian yang ia pegang dalam Political Order.
*** Untuk memahami gagasan-gagasan Huntington dan pentingnya buku Political Order, akan sangat membantu jika kita mulai dengan gagasan-gagasan utama dari teori-teori perkembangan politik pada tahun-tahun pertama setelah Perang Dunia II.
Menurut teori-teori ini, modernisasi politik (perkembangan politik) di Dunia Ketiga mengandaikan runtuhnya tatanan tradisional dan terbentuknya tatanan baru (modern), yang, dalam bentuknya yang mendasar, tidak akan jauh berbeda dari masyarakat modern dan demokratis di dunia Barat.
Karena itu, dalam men gkaji perkembangan politik di Dunia Ketiga, para teoretisi perkembangan politik menawarkan beberapa konsep kunci: urbanisasi, kemelek-hurufan, mobilisasi sosial, munculnya media, diferensiasi struktural, dan sekularisasi budaya. Terlepas dari semua perbedaannya, menurut William Liddle, asumsi dasar dari konsep-konsep kunci ini menunjuk pada satu arah: "demokratisasi [Dunia Ketiga] terjadi menurut garis pengalaman Barat".[William Liddle, Comparative Political Science and the Third World, the Ohio State Univ., unpublished paper.]
Dengan kata lain, bagi teori-teori perkembangan politik tersebut, demokratisasi akan terjadi di negara-negara Dunia Ketiga sebagai akibat langsung dari kemelek-hurufan yang semakin meluas, begitu banyaknya orang yang berpindah dari desa ke perkotaan, transformasi budaya politik, spesifikasi pe -kerjaan dan ketrampilan, banyaknya informasi yang dihamparkan oleh media, dan seterusnya.
Salah satu contohnya kita bisa melihat pada karya Karl Deutsch. Bagi Deutsch, mobilisasi sosial ("sebuah proses di mana bentuk utama komitmen sosial, ekonomi, dan psikologis lama terkikis atau hancur dan orang menjadi siap menerima pola-pola sosialisasi dan perilaku yang baru") akan mengarah pada demokratisasi. Dengan mengutip Karl Mannheim, ia menyatakan bahwa hancurnya tatanan lama dan masuknya orang-orang ke dalam pola-pola baru keanggotaan kelompok, organisasi dan komitmen yang relatif stabil merupakan proses "demokratisasi yang mendasar". Baginya, tugas utama ilmu politik "hanya" membuat pengukuran mobilisasi sosial lebih spesifik, dapat dihitung, dan dapat dipertanggungjawabkan secara empiris. Pemenuhan tugas itu akan menjawab pertanyaan tentang "seberapa besar" mobilisasi sosial diperlukan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan (demokratisasi). Pertanyaan tentang "bagaimana" dan "mengapa" demokratisasi terjadi, baginya, telah terjawab oleh konsep mobilisasi sosial tersebut.[Karl W. Deutsch, Social Mobilization and Political Development, ASPR LV, September 1961.]
Namun rantai krisis dan ketidakstabilan yang terjadi pada periode antara 1950-an dan 1960-an di Dunia Ketiga memperlihatkan kelemahan asumsi dasar tersebut. Alih-alih demokrasi, apa yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga adalah kudeta militer dan revolusi sosial, konflik etnis dan peme -rintahan yang otoriter. Tentu saja mobilisasi sosial dan urbanisasi terjadi. Namun negara-negara yang mengalami tingkat mobilisasi sosial yang tinggi dan tingkat pengenalan media yang tinggi (misalnya Meksiko, Brasil, dan Argentina) tidak bebas dari krisis politik; bahkan terdapat kecenderungan bahwa negara-negara ini mengalami tingkat ketegangan sosial yang relatif lebih tinggi dan ketidakstabilan yang lebih parah.
Di sini Huntington muncul dengan berbagai penjelasannya. Ia menyatakan bahwa modernisasi menghamparkan pada "orang-orang tradisional bentuk-bentuk kehidupan baru, standar-standar kesenangan baru, serta kemungkinan-kemungkinan kepuasan baru. Pengalaman ini... memunculkan berbagai keinginan dan kebutuhan baru" (hlm. 53). Dan jika munculnya keinginan dan kebutuhan baru ini tidak terpenuhi, orang-orang dengan mudah akan digiring ke dalam politik. Selain itu, modernisasi mengubah keseimbangan antara wilayah-wilayah pedalaman dan perkotaan. Dengan mendorong orang-orang pedalaman masuk ke perkotaan (urbanisasi) misalnya, modernisasi menghamparkan kekuatan-kekuatan sosial yang secara potensial dapat dimobilisasi secara besar-besaran ke dalam permainan politik perkotaan. Dan dengan terus berkembangnya perkotaan, kelas menengah yang kemudian muncul akan menuntut andil yang lebih besar dalam politik nasional, yang pada gilirannya mendorong orang-orang pedesaan untuk mengimbangi hal itu (the Green Uprising).
Pendeknya, kita dapat berkata bahwa bagi Huntington, modernisasi menghasilkan partisipasi politik (yang eksesif). Semua faktor yang inheren dalam modernisasi-mobilisasi sosial, meluasnya kemelek-hurufan, berubahnya hubungan antara kota dan wilayah pedesaan-menghasilkan lebih banyak "manusia-manusia politik" yang sangat siap untuk terlibat dalam per
mainan politik. Penting di sini untuk melihat bahwa Huntington tidak membedakan "sebab-sebab yang mendasari" partisipasi politik: orang-orang yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang korup dan para petinggi militer yang merancang kudeta untuk mendapatkan kekuasaan pada dasarnya sama.
Semua sebab partisipasi digeneralisasi dalam konsep-konsep seperti mobilisasi sosial dan urbanisasi (dalam bagian terakhir tulisan ini, saya akan berusaha untuk menjabarkan implikasi logis dari "generalisasi yang berlebihan" atas sebab-sebab partisipasi politik ini).
Kecuali jika disalurkan melalui berbagai lembaga (lembaga-lembaga politik, terutama partai politik), meningkatnya partisipasi politik yang inheren dalam modernisasi akan menyebabkan ketidakstabilan atau kekacauan politik. Dengan mengutip Talcott Parsons, ia mengatakan bahwa institusionalisasi adalah "proses yang dengannya organisasi dan prosedur mendapatkan nilai dan stabilitas" (hlm. 12). Dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa bagi Huntington partisipasi yang tak tersalurkan sama artinya dengan para penari yang bergerak tanpa irama, pola, dan sekuens-hasilnya hanyalah gerakan semata, bukan tarian, keliaran, bukan keberadaban. Tepatnya, kekurangan lembaga inilah yang merupakan penjelasan utama mengapa selama periode antara 1950-an dan 1960-an di Dunia Ketiga terjadi kudeta demi kudeta, revolusi, ketegangan, dan krisis. Agar gagasannya bisa dijalankan secara ilmiah, Huntington mengajukan beberapa konsep untuk mengukur tingkat institu-sionalisasi sebuah sistem politik; yakni, adaptabilitas, kompleksitas, otonomi, dan koherensi. Dengan demikian, bagi Hunting-ton, makin dapat diadaptasi, otonom, kompleks, dan koheren lembaga-lembaga dalam sebuah sistem, maka makin stabillah sistem tersebut.
Jadi, kita dapat berkata bahwa konsep-konsep kunci dalam penjelasan Huntington adalah partisipasi politik dan institusi-onalisasi. Bagi Huntington, hubungan antara tingkat partisipasi politik dan tingkat institusionalisasi politik menentukan tingkat stabilitas politik. Dengan kata lain, ketidakstabilan politik bergantung pada rasio institusionalisasi dibanding partisipasi. Sebuah sistem politik dengan tingkat institusionalisasi yang rendah dan tingkat partisipasi yang tinggi adalah sebuah sistem yang disebut "praetorian polity", yang dicirikan oleh tingkat ketidakstabilan yang tinggi. Sebaliknya, sebuah sistem dengan rasio institusionalisasi yang tinggi dibanding partisipasi disebut sebagai "civic polity", yang dicirikan oleh keteraturan dan stabilitas politik. Di sini penting juga untuk melihat bahwa Huntington menempatkan Uni Soviet pada tingkat tertinggi dari civic polity (tipe-partisipan).
Sebagian dari penekanan Huntington yang kuat pada institusi dan institusionalisasi dapat ditemukan dalam penjelasannya tentang hubungan antara lembaga politik dan kepentingan publik. Huntington mendefinisikan kepentingan publik "dalam kaitannya dengan kepentingan konkret pemerintah". Ia juga mengatakan bahwa kepentingan publik adalah "apapun yang memperkuat institusi pemerintahan". Di sini dia mengaburkan garis pemisah antara kepentingan publik (tujuan) dan lembaga politik (sarana)-dan ketika dia pada akhirnya berkata bahwa "kepentingan publik adalah kepentingan lembaga publik", ia pada dasarnya sepenuhnya menghapuskan garis pemisah itu: ia menyamakan kepentingan publik dengan lembaga politik (hlm. 24-25). Ia, misalnya, berkata bahwa "apa yang baik bagi Kepresidenan [AS] adalah baik bagi negeri itu... kekuasaan kepresidenan sama dengan kebaikan masyarakat" (hlm. 26). Contoh lain yang menarik adalah pandangannya bahwa lembaga-lembaga pemerintah hendaknya mendapatkan legitimasi dan otoritas mereka:
bukan dari tingkat di mana mereka mewakili kepentingan rakyat atau suatu kelompok, melainkan dari tingkat di mana mereka memiliki kepentingan-kepentingan yang khas terlepas dari semua kelompok lain. Para politisi seringkali berkata bahwa hal-ihwal "tampak berbeda" setelah mereka mendapatkan suatu jabatan dibanding ketika mereka bersaing untuk mendapatkan jabatan tersebut. Perbedaan
dalam perspektif inilah yang melegitimasi tuntutan pemegang jabatan tersebut pada warga masyarakatnya. (hlm. 27)
Dengan demikian, kita dapat berkata bahwa Huntington melihat lembaga bukan sebagai suatu sarana untuk mewujudkan kehendak dan keinginan tertinggi rakyat. Baginya, lembaga adalah tujuan pada dirinya sendiri. Lembaga adalah kepentingan publik. Karena itu, apapun yang baik bagi pemerintah, bagi partai, bagi kepresidenan, maka hal itu pasti baik bagi negeri itu dan rakyatnya. Seorang ilmuwan politik menyebut cara pandang normatif terhadap lembaga ini sebagai suatu "payung moral yang luas".[William Liddle, Op. Cit.]
Dalam membaca Political Order, orang tidak dapat mengabaikan kesan bahwa Huntington menempatkan keteraturan politik dan pemerintahan yang kuat dan otoritatif sebagai tujuan terpenting perkembangan politik. Lebih jauh, keteraturan politik bagi dia tampak bisa menggantikan modernisasi politik. Dalam hal ini, dia menulis bahwa persoalan utama di Dunia Ketiga "bukanlah kebebasan, melainkan pembentukan tatanan publik yang absah" (hlm. 7). Alasannya:
Orang tentu saja bisa memiliki tatanan keteraturan tanpa kebebasan, namun mereka tidak bisa memiliki kebebasan tanpa tatanan keteraturan (order). Otoritas harus ada sebelum ia dapat dibatasi, dan otoritas-lah yang jarang ada di negeri-negeri yang sedang mengalami modernisasi tersebut, di mana pemerintah lemah di hadapan kaum intelektual yang terasing, para kolonel yang sangat ambisius, dan para pelajar yang liar. (hlm. 7-8)
Karena kecenderungan kuat untuk menempatkan keteraturan dan otoritas pada tempat tertinggi dari proses politik ini, Huntington melihat bahwa perbedaan antara demokrasi dan kediktatoran kurang penting dibanding perbedaan antara pemerintahan yang lemah dan tidak efisien dengan pemerintahan yang kuat dan otoritatif. Dengan kata lain, bagi Huntington, "Distingsi politik paling penting di antara berbagai negara bukan menyangkut bentuk pemerintahan mereka, melainkan menyangkut tingkat pemerintahan mereka." (hlm. 1)
Ia menempatkan negara-negara komunis totaliter dalam kotak yang sama dengan demokrasi-demokrasi liberal. Ia bahkan memuji yang pertama itu karena efisiensi dan otoritas mereka.
...satu hal yang dapat dilakukan pemerintahan-pemerintahan komunis adalah memerintah; mereka memperlihatkan otoritas yang efektif.
Tantangan nyata yang diperlihatkan kaum komunis terhadap negara-negara yang sedang mengalami modernisasi bukanlah bahwa mereka sangat baik dalam menumbangkan pemerintahan (sesuatu yang mudah), melainkan bahwa mereka sangat bagus dalam membuat pemerintahan (yang merupakan suatu tugas yang jauh lebih sulit). Mereka mungkin tidak menyediakan kebebasan, namun mereka menyediakan otoritas; mereka menciptakan pemerintahan-pemerintahan yang benar-benar bisa memerintah. (hlm. 8; huruf miring ditambahkan)
Dengan kata lain, apa yang dikemukakan Huntington adalah bahwa keteraturan pertama-tama harus ada sebelum segala sesuatu yang lain, bahkan dengan mengorbankan kebebasan, sebagaimana yang terjadi di dunia komunis. Dan meskipun Huntington tidak menulis secara eksplisit dan mendetail tentang apa hubungan antara keteraturan dan pemerintahan yang kuat, penjelasan-penjelasannya cenderung membawa kita pada kesimpulan bahwa sebuah pemerintahan yang kuat adalah pra-syarat mutlak bagi keteraturan politik.
Namun mengapa keteraturan dan otoritas yang kuat harus dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan" Mengapa keteraturan dan kebebasan harus ditempatkan "secara kronologis" (pertama-tama keteraturan, kemudian kebebasan)" Bagi Huntington, hal itu sangat jelas: jawabannya adalah bahwa di Dunia Ketiga, kebebasan akan mendorong partisipasi politik (yang eksesif), yang pada gilirannya akan menghasilkan kekacauan politik.
Dan karena ia menganggap bahwa ketidakstabilan di Dunia Ketiga disebabkan oleh partisipasi politik yang eksesif tanpa adanya institusionalisasi yang memadai, kita kemudian cenderung menyimpulkan bahwa bagi Huntington Dunia Ketiga cukup memiliki kebebasan. Pendeknya, mengutip kata-katanya sendiri ya
ng dinukil di atas, bukan kebebasan melainkan "otoritaslah yang jarang ada di negeri-negeri yang sedang mengalami modernisasi tersebut".
The Third Wave Dalam Political Order, sebagaimana yang dapat dilihat di atas, bentuk pemerintahan tidak dianggap sepenting tingkat pemerintahan. Usaha Huntington dengan demikian terpusat pada pertanyaan mengapa, bagaimana, dan dalam keadaan apa keteraturan politik bisa dicapai. Baginya, persoalan utamanya adalah ketidakstabilan politik; dan jawabannya adalah institusionalisasi politik. Dalam The Third Wave, sebaliknya, perhatian utamanya berfokus pada bentuk pemerintahan (demokrasi). Di sini dia mencoba untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana demokrasi terjadi. Stabilitas atau ketidakstabilan sebagai konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi dari berbagai pertarungan politik untuk membangun demokrasi tidak dianggap penting bahkan untuk ditulis dalam sebuah sub-bab. Jadi, di sini kita melihat Huntington yang berbeda, dalam pengertian bahwa perhatian utama yang ia geluti sebelumnya (tingkat pemerintahan) telah ditinggalkan, dan digantikan oleh perhatian pada demokrasi.
Sebelum kita bahas lebih jauh, penting untuk melihat secara singkat apa itu demokrasi bagi dia dalam buku ini. Demokrasi, menurut Huntington, baik pada dirinya sendiri. Ia adalah tujuan pada dirinya sendiri. Ia juga memiliki beberapa "fungsi": "Ia memiliki konsekuensi-konsekuensi positif bagi kebebasan individu, stabilitas dalam negeri, perdamaian internasional, dan Amerika Serikat" (hlm. xv). Dalam hal stabilitas politik, ia mengatakan bahwa sistem demokratis, dengan memberi suatu ruang bagi oposisi dan ekspresi politik, "jauh lebih kebal terhadap pergolakan revolusioner besar dibanding sistem otoriter" (hlm. 29). Pendek kata, bagi Huntington, demokrasi adalah suatu kebaikan bukan hanya karena hakikatnya sebagai pengejawantahan hasrat tertinggi manusia (kebebasan), melainkan juga karena fungsinya sebagai pra-syarat bagi perdamaian dan stabilitas.
The Third Wave memperlihatkan pada kita bahwa proses demokratisasi memiliki fluktuasi dan gelombangnya sendiri. Sebuah gelombang demokratisasi adalah "sebuah kumpulan transisi" menuju pemerintahan demokratis "yang terjadi dalam suatu periode waktu tertentu...". (hlm. 15). Bagi Huntington, tiga gelombang telah terjadi di dunia modern. Gelombang pertama dan kedua diikuti oleh apa yang dia sebut sebagai "gelombang pembalikan", yakni kembalinya sekelompok negara ke dalam rezim-rezim yang tidak demokratis.
Gelombang pertama terjadi antara 1828 dan 1926. Ia bermula ketika pemerintah AS menghapuskan syarat-syarat kepemilikan dan mengakui hak pilih universal orang dewasa bagi 50 persen populasi laki-laki kulit putihnya pada pemilu presiden 1828. Gelombang ini berakhir setelah Perang Dunia I ketika Mussolini, Hitler, Salazar berkuasa dan memperkenalkan bentuk baru otoritarianisme di Eropa.
Gelombang kedua terjadi antara 1943 dan 1962. Gelombang ini bermula ketika Tentara Sekutu mengalahkan Jerman, Italia dan Jepang. Gelombang ini juga ditandai oleh munculnya negara-negara baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang lepas dari kekuasaan kolonial. Banyak dari negara-negara baru ini mencoba untuk mempraktikkan gagasan-gagasan demokratis dengan membentuk suatu jenis prosedur demokratis. Gelombang pembalikan bermula ketika eksperimen-eksperimen dengan demokrasi di negara-negara baru ini gagal, dan otoritarianisme militer atau birokratis mulai menghantui sebagian besar dari negara-negara itu.
Gelombang ketiga mulai pada April 1974. Gelombang ini bermula, sebagaimana yang dengan cerdas dikemukakan Huntington, ketika sebuah stasiun radio memutar lagu "Gran-dola Vila Morena" di Lisbon, Portugis. Lagu ini merupakan suatu sinyal untuk memulai suatu gerakan militer yang mengakhiri kediktatoran Portugis. Setelah gerakan di Portugis ini, gerakan-gerakan demokratis di seluruh dunia mendapatkan kekuatannya dan muncul sebagai pemenang. Di Yunani, Karaman-lis memperoleh suara mayoritas dari rakyat dan meruntuhkan monarki. Di Spanyol, Juan Carlos dan Suarez memperoleh persetujuan u
mum untuk membentuk majelis baru. Di Filipina, Ny. Aquino memimpin rakyat menghancurkan rezim Marcos. Di negara-negara Komunis, Gorbachev memperoleh kekuasaan untuk mempersiapkan revolusi yang menguburkan sebagian besar rezim totaliter di Rusia dan Eropa Timur.
Singkatnya, menurut Huntington, setelah April 1974, "rezim-rezim demokratis menggantikan rezim-rezim otoriter di sekitar 30 negara di Eropa, Asia, dan Amerika Latin. Dan di negara-negara lain, begitu banyak liberalisasi yang terjadi dalam rezim-rezim otoriter" (hlm. 21).
Mengapa gelombang ketiga ini terjadi" Menurut Huntington, ada lima faktor yang memainkan peran yang penting dalam memunculkan gelombang ketiga tersebut.
Pertama, legitimasi rezim-rezim otoriter yang menurun. Sebagai akibat melambungnya harga minyak pada awal dan akhir 1970-an, rezim-rezim otoriter menghadapi krisis ekonomi. Dengan sedikit pengecualian, menurut Huntington, kebijakan-kebijakan rezim-rezim tersebut untuk mengatasi krisis ini seringkali menjadikan keadaan ekonomi mereka memburuk; angka inflasi yang tinggi, depresi yang berkepanjangan, dan utang yang semakin besar merupakan contoh-contoh hasil kebijakan mereka. Karena semua inilah legitimasi mereka melemah. Di Filipina, misalnya, 90 persen minyaknya merupakan hasil impor. Ketika krisis minyak terjadi, Marcos terpaksa semakin banyak meminjam dari lembaga-lembaga keuangan internasional. Ia harus menukar lebih banyak sumberdaya-sumberdaya ekonomi negeri itu dengan dollar untuk membeli minyak. Hasilnya: dari 1980 dan seterusnya, pendapatan per kapita di Filipina terus-menerus menurun; dan legitimasi Marcos semakin merosot saat krisis ekonomi ini semakin besar. Pendeknya, ketidakmampuan untuk memecahkan krisis ekonomi ini memperlemah alasan mengapa rakyat harus terus mendukung rezim otoriter.
Kedua, perkembangan ekonomi. Selama 1950-an dan 1960-an, dunia mengalami pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya belum pernah terjadi. Sebagai akibatnya, pada 1960-an, misalnya, angka GNP negara-negara berkembang naik rata-rata di atas 5 persen. Pada 1970-an, pertumbuhan ekonomi global ini meningkatkan zona transisi ekonomi, dari level $300-$500 sebelum-perang ke kisaran $500-$1.000. Pertumbuhan ekonomi ini, menurut Huntington, memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan demokrasi dalam dua hal. Di satu sisi hal ini memunculkan:
Sebuah perekonomian baru yang jauh lebih beragam, kompleks, dan saling terkait, yang semakin sulit dikontrol oleh rezim-rezim otoriter. Perkembangan ekonomi tersebut memunculkan sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru di luar negara dan suatu kebutuhan fungsional untuk memindahkan pembuatan keputusan. (hlm. 65; huruf miring ditambahkan)
Di sisi lain, hal ini mendorong perluasan kelas menengah: "bagian masyarakat yang semakin besar yang terdiri atas orang-orang bisnis, kaum profesional, para pengusaha, para guru, para pegawai negeri, manajer, teknisi, dan para pendeta" (hlm. 66). Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi menyuburkan benih-benih demokrasi dengan menciptakan dan memperluas masyarakat sipil.
Ketiga, berubahnya peran Gereja Katolik Roma. Pada 1970-an, Paus menjadi lebih eksplisit dalam mengutuk pelanggaran hak-hak asasi manusia. Pada 1979, Yohanes Paulus II secara tersurat menyatakan gereja sebagai pengawal kebebasan. Dengan demikian, di negara-negara di mana gereja Katolik memiliki basis yang kuat (yakni, Polandia, Filipina, Amerika Latin), para pendeta sangat terlibat dalam gerakan-gerakan demokratis. Contoh umum tentang bagaimana gereja memiliki andil yang sangat penting dalam membangun demokrasi bisa dilihat di Filipina pada awal 1980-an dan di Polandia pada pertengahan 1980-an.
Keempat, kebijakan-kebijakan global baru dari negara-negara dan oraganisasi-organisasi besar. "Pada akhir 1980-an," tulis Huntington, "sumber-sumber utama kekuasaan dan pengaruh di dunia-Vatikan, EEC, Amerika Serikat, Uni Soviet- sangat aktif mendorong liberalisasi dan demokratisasi" (hlm. 86). Amerika Serikat, misalnya. Pada puncak Perang Dingin pada 1960-an dan 1970-an, Amerika lebih memilih untuk mendukung sebuah rezi
m otoriter daripada mengutuknya dan, karena itu, melihatnya menjadi sebuah negara komunis di bawah pengaruh Uni Soviet. Namun ketika Carter, dan khususnya Reagan, menjadi presiden, keseluruhan bahasa diplomasi global Amerika berubah. Carter, Reagan-dan kemudian Gorbachev di Uni Soviet-menjadikan pelanggaran hak-hak asasi manusia sebagai salah satu agenda dunia.
Terakhir, dampak-dampak demonstrasi. Demokratisasi yang berhasil di sebuah negara mendorong demokratisasi di negara-negara lain. Karena revolusi komunikasi dunia melalui Televisi dan mesin fax, efek-efek ini menjadi lebih kuat dibanding yang terjadi pada dua dekade yang lalu. Efek demonstrasi yang paling dramatis, menurut Huntington, terjadi di negara-negara komunis pada akhir 1980-an ketika kekaisaran Soviet mulai runtuh.
Bagi Huntington, kelima faktor ini sangat penting sebagai "lingkungan" yang mempersiapkan jalan menuju demokrasi. Mereka adalah faktor-faktor yang menjadi latar belakang, yang membantu mendorong para aktor politik memajukan demokrasi. Pendeknya, kelima faktor tersebut merupakan sebab-sebab, namun demokrasi pada dasarnya maju dan berkembang karena adanya orang-orang yang memunculkan sebab-sebab tersebut: para aktor politik, para pembaharu di dalam pemerintahan yang ada, dan para pemimpin publik. Jadi, jika kita menganggap kelima faktor tersebut sebagai dorongan-dorongan sejarah, maka tindakan para aktor tersebut dalam perjuangan mereka mencapai demokrasi bisa dianggap sebagai membuat sejarah menjadi realitas. Tindakan dan interaksi aktor-aktor ini dengan demikian menentukan bagaimana demokrasi berjalan.
Menyangkut hal ini, menurut Huntington, kita bisa mengidentifikasi tiga jenis proses demokratik. Pertama, transformasi. Di sini para aktornya adalah mereka yang berkuasa dalam rezim otoriter. Mereka memainkan peran penting dalam mengakhiri rezim otoriter tersebut dan mengubahnya menjadi sebuah rezim yang demokratis. Dengan kata lain, ini adalah suatu proses dari atas ke bawah. Kasus yang paling penting dari jenis ini terjadi di Uni Soviet, ketika Gorbachev berkuasa.
Proses jenis ini terjadi terutama karena tidak terdapat oposisi yang signifikan di luar rezim tersebut, dan juga karena tidak adanya basis masyarakat sipil yang kuat. Ini juga terjadi karena para pembaharu di dalam rezim tersebut merasa bahwa ke-berlanjutan kekuasaan mereka hanya bisa terjaga jika mereka berhasil mereformasi sistem otoriter yang ada. Menurut Huntington, pada akhir 1980-an, jenis demokratisasi ini terjadi pada enam belas dari tiga puluh lima negara yang tercakup dalam gelombang ketiga tersebut.
Kedua, penggantian. Di sini, berlawanan dengan proses transformasi tersebut, demokratisasi terjadi karena didorong oleh para pemimpin di luar rezim otoriter tersebut. Para pembaharu di dalam rezim itu lemah atau bahkan tidak ada. Kekuasaan diperoleh para pemimpin oposisi karena rezim tersebut menjadi semakin lemah. Penggantian umumnya terjadi pada rezim yang dianggap sebagai kediktatoran personal, sebagaimana yang terlihat di Filipina (Marcos), Rumania (Ceaucescu) dan Jerman Timur (Honecker).
Ketiga, transplacement. Dalam jenis ini, para pembaharu dan kaum oposisi bekerjasama untuk mengakhiri rezim yang ada dan menggantikannya dengan rezim demokratis. Di sini para pembaharu tersebut tidak mampu untuk mentransformasi sistem itu sendiri baik karena terdapat suatu koalisi yang sangat kuat di dalam pemerintahan yang memiliki kepentingan yang berlawanan dengan reformasi maupun karena mereka tidak melihat alasan yang cukup bagus untuk mempertaruhkan posisi yang mereka pegang di hadapan ketidakpastian perubahan. Karena itu, mereka harus dibantu dan didorong oleh tekanan-tekanan yang berasal dari kaum oposisi. Contoh kasus dari jenis ini adalah transisi panjang di Korea Selatan dan Polandia pada pertengahan 1980-an. Selama 1970-an dan 1980-an, menurut Huntington, sebelas negara mengalami jenis demokratisasi seperti ini.
Setelah menjelaskan apa itu gelombang ketiga demokratisasi, mengapa dan bagaimana hal itu terjadi, Huntington menutup bukunya dengan bertanya apakah
gelombang ketiga yang sekarang kita alami tersebut akan berlangsung terus atau akan segera diikuti oleh gelombang pembalikan ketiga. Ia mengatakan bahwa bagian terakhir bukunya tidak dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun dari bagian akhir bukunya kita tahu bahwa baginya nasib demokratisasi, perluasan dan stabilitasnya, akan bergantung pada beberapa faktor, dan yang paling penting di antaranya adalah faktor-faktor yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan kepemimpinan yang mumpuni. Sebagaimana yang dikemukakan di atas, pertumbuhan ekonomi memunculkan masyarakat sipil. Ia memunculkan orang-orang yang merasa bahwa kebebasan bukan merupakan gantinya roti-dan para pemimpin yang baik adalah mereka yang memahami perasaan ini, dan bekerja keras untuk mewujudkannya. "Pertumbuhan ekonomi," kata Huntington, "membuat demokrasi menjadi mungkin; kepemimpinan politik menjadikannya nyata" (hlm. 316).
Dengan mengulas Political Order dan The Third Wave sebagaimana yang kita lakukan di atas, kita bisa melihat bagaimana Huntington telah berubah dalam mendefinisikan persoalan utama proses politik. Dalam buku yang pertama, persoalannya adalah ketidakstabilan politik; dalam buku yang kedua, apa yang ia tulis sepenuhnya tentang proses demokratisasi. Buku yang pertama jelas memiliki andil yang sangat signifikan dalam wacana di bidang perkembangan politik; sementara arti-penting buku yang kedua dapat dilihat dari ringkasannya yang cerdas atas banyak karya intelektual sebelumnya yang mengkaji persoalan mengapa dan bagaimana demokratisasi terjadi.
Tentang Political Order, kritik kita dapat diringkaskan dalam paragraf berikut:
Kita telah melihat bahwa Huntington tidak membedakan sumber-sumber otoritas. Sebuah pemerintahan yang mendapatkan otoritasnya dari teror dan penindasan yang kejam ditempatkan dalam kotak yang sama dengan pemerintahan yang mendapatkan otoritasnya dari kebebasan. Persoalan teror atau kebebasan dengan demikian kurang penting dibanding persoalan kuat dan efektifnya sebuah pemerintahan. Dengan memuji negara-negara komunis, Huntington menjadikan kita berpikir bahwa tidak masalah jika kebebasan dihancurkan asalkan otoritas yang kuat bisa dibangun. Namun sebagaimana yang terlihat dari runtuhnya negara-negara komunis, otoritas yang kuat tanpa kebebasan bak rumah yang didirikan di atas pasir. Di sini kita juga bisa berkata bahwa sebuah otoritas yang kuat tidak niscaya berarti sebuah pemerintahan yang efektif: birokrasi-birokrasi komunis gagal untuk secara efektif menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang paling dasar dan sederhana bagi warga masyarakatnya.
Huntington juga melakukan hal yang sama menyangkut sumber-sumber partisipasi politik. Semua jenis partisipasi di-generalisasi dalam sebuah istilah yang sangat luas, yakni mobilisasi sosial. Hal ini dengan demikian menyangkal relevansi perbedaan antara para kolonel yang bernafsu akan kekuasaan dan melancarkan kudeta, dan para mahasiswa, kaum intelektual, dan para aktor politik yang lain yang melibatkan diri mereka dalam perjuangan politik karena tuntutan mereka akan kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Bagi Huntington, dalam Political Order, para kolonel, intelektual, dan mahasiswa tersebut sama: mereka semua adalah instrumen kekacauan politik di Dunia Ketiga.
Dengan mengabaikan sumber-sumber otoritas dan partisipasi, ia juga tampak menutup mata terhadap kemungkinan bahwa sebuah otoritas yang kuat bisa menyalahgunakan kekuasaanya dan menyebabkan terjadinya ketidakstabilan.
Baginya pemerintah adalah kepentingan publik, dan kita mendapatkan kesan dari penjelasan-penjelasannya bahwa kepentingan publik yang paling utama adalah keteraturan politik. Namun, dalam kenyataannya, sebagaimana yang dikemukakan Mark Kesselman, banyak pemerintahan kuat di Dunia Ketiga, demi untuk melanggengkan kekuasaan hegemonik mereka, "sangat suka melucuti lembaga-lembaga yang ada (parlemen, pemilu)".[Mark Kesselman, "Order or Movement" The Literature of Political Development as Ideology", World Politics XXVI, Oktober 1973.] Dengan kata lain, pemerintahan yang kuat-dan bukan hanya p
ara kolonel, kaum intelektual yang "terasing", dan para mahasiswa-juga bisa menjadi faktor penyebab kekacauan politik.
Dengan demikian, Huntington, dalam Political Order, sebagaimana yang dikemukakan Mark Kesselman, tidak memberi ruang bagi pembenaran untuk menentang otoritas, meskipun otoritas tersebut korup.[Kesselman, Ibid.] Di sini dia dengan mudah dapat dianggap sebagai seorang pembela otoritas yang korup, seorang konservatif yang lebih memilih "kedamaian dengan penindasan" ketimbang ketidakpastian perubahan yang dimunculkan oleh perjuangan untuk mengejawantahkan kebebasan dan keadilan.
Selain itu, penjelasan-penjelasan Huntington juga mengandaikan bahwa keteraturan politik harus dilihat dalam kaitannya dengan partai politik. Baginya, sebuah otoritas yang kuat hanya bisa diteguhkan jika ia dididasarkan pada partai-partai politik yang kuat. Namun di sini Huntington melihat partai politik terutama sebagai instrumen keteraturan politik, bukan instrumen perwakilan atau kontrol. Itulah mengapa ia menganggap bahwa salah satu ukuran kekuatan partai adalah "otonomi". Sebuah partai politik kuat sampai tingkat di mana ia dapat menolak berbagai pengaruh dari kelompok dan lembaga apapun selain dirinya sendiri. Partai adalah sebuah lembaga yang bukan oleh dan untuk rakyat; ia adalah lembaga yang ditujukan untuk kestabilan sistem.
Karena itu, baginya, pentingnya partai di Dunia Ketiga hanya terbatas sampai tingkat di mana mereka bisa menampung ledakan partisipasi yang dimunculkan oleh modernisasi. Posisinya dalam hal kebebasan masih sama: tidak ada satu hal pun dalam tulisannya tentang partai-partai politik yang menyebutkan bahwa keberadaan mereka penting sebagai pengejawantahan kebebasan, dan bukan hanya untuk alasan instrumental, stabilitas. Dengan kata lain, bahkan ketika ia berbicara tentang partai-partai politik, ia masih terus menggumamkan filosofi utamanya: "manusia bisa memiliki keteraturan tanpa kebebasan, namun mereka tidak bisa memiliki kebebasan tanpa keteraturan".
Dalam The Third Wave posisinya berubah. Transisi dari kekuasaan totaliter dan otoriter bukannya tanpa ongkos: ketidakstabilan dan ketidakpastian. Sebagaimana yang terlihat dari sejarah di negara-negara bekas komunis belakangan ini, demokratisasi sampai tingkat tertentu selalu disertai oleh kekerasan dan kekacauan politik.
Jika Huntington meyakini posisi yang sama, ia akan menulis tentang gelombang ketiga demokratisasi itu dalam nada yang skeptis. Ia akan mengutuk Gorbachev atas tindakan-tindakannya yang menyebabkan merosotnya otoritas pemerintahan yang "kuat". Ia akan menulis beberapa nasihat bagi para mahasiswa di Cina bagaimana bagaimana melakukan demokratisasi dengan masuk partai (komunis).
Sebaliknya, kita bisa merasa bahwa Huntington menulis The Third Wave dengan optimisme yang tinggi dan dengan senang hati. Ia bahkan memberikan saran tentang bagaimana mengakhiri rezim-rezim otoriter, dan berkata: "Jika [nasihat yang penuh nilai] itu menjadikan saya tampak seperti seseorang yang ingin menjadi seorang Machiavelli demokratis, biar sajalah" (hlm. xv). Di sini ia melihat bahwa modernisasi [pertumbuhan ekonomi] bukan lagi merupakan persoalan bagi perkembangan politik; hal itu kini dilihat sebagai sebuah potensi, yang menjadikan manusia dan organisasi mampu berjuang demi kebebasan. Ia juga melihat, sebagaimana yang saya sebutkan sebelumnya, bahwa sistem-sistem demokratik, dengan memberikan ruang yang lebih luas bagi ekspresi dan oposisi politik, jauh lebih aman dari berbagai ketidakstabilan politik besar.
Dalam pengertian ini, bisa dikatakan bahwa The Third Wave merupakan suatu deklarasi tentang bagaimana posisi Huntington sebelumnya telah ditinggalkan.
Pergeseran posisi Huntington tersebut mungkin paling baik dipahami dari perspektif bagaimana sejarah itu sendiri berubah. Pada 1950-an dan 1960-an sejarah kita dicirikan oleh berbagai pergolakan politik besar yang disertai dengan tingkat kekerasan yang tinggi. Prague Spring, Revolusi Budaya, Perang Arab-Israel, Perang Vietnam, Krisis Kuba, pembunuhan massal komunis di Indonesia, dan ba
nyak peristiwa lain yang menggambarkan patologi politik. Di Amerika Serikat sendiri, 1960-an merupakan salah satu dekade yang paling bergejolak: pembunuhan John dan Bob Kennedy, Martin Luther King, dan Malcom X, gerakan orang-orang kulit hitam, dan gerakan mahasiswa anti-perang dan anti-kemapanan.
Semua peristiwa ini memberi kesan bahwa dunia berada dalam kekuasaan anarki, dan bahwa tugas utama seorang pemimpin yang cakap adalah menciptakan suatu jenis keteraturan. Dan, bagi seorang profesor di salah satu lembaga terbaik di dunia, Universitas Harvard, yang secara mendalam membaca filsafat Burke, Niebuhr, dan Madison, tidak ada jawaban lain yang lebih masuk akal bagi persoalan ini selain konservatisme: suatu pemikiran dan kecenderungan politik bahwa memelihara keteraturan, menjaga lembaga yang ada di tengah-tengah berbagai perubahan yang bergejolak secara moral unggul.
Namun sejarah berubah. Pada 1980-an kita melihat kegagalan pemerintahan militer di banyak negara Dunia Ketiga. Selain itu, kita juga melihat "Kegagalan Besar" rezim-rezim sosialis, yang mengakhiri Perang Dingin.
Perubahan-perubahan ini memunculkan suatu gelombang baru optimisme-kita sadar: salah satu babak yang paling berbahaya dalam sejarah telah berlalu.
Perubahan-perubahan inilah, menurut saya, yang memengaruhi Huntington sehingga membuatnya kurang skeptis terhadap ketidakpastian kemajuan politik. Ia tidak bisa menahan gelombang optimisme baru tersebut.
Guncangan Besar dalam ilmu sosial, perubahan sosial adalah sebuah tema klasik yang selalu menarik untuk dibahas. Bahkan bisa dikatakan justru tema inilah yang mendorong lahirnya sebuah studi baru pada abad ke-19 yang disebut sosiologi. Para pelopor cabang ilmu ini, seperti Ferdinand Tonnies, Emile Durkheim, dan Max Weber, dengan cara masing-masing mencoba merumuskan teori-teori sosial berdasarkan gejala perubahan dalam masyarakat yang mereka amati. Konsep-konsep yang mereka lahirkan, seperti anomie, gemeinschaft, dan gesellschaft, menjadi acuan untuk menggambarkan proses serta akibat dari perubahan besar yang sedang terjadi di Eropa saat itu, yaitu perubahan dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri yang didorong oleh perluasan sistem kapitalisme serta oleh serangkaian penemuan teknologi baru, seperti mesin uap, kereta api, dan telegram.
Dalam buku Guncangan Besar, Francis Fukuyama mencoba meneruskan tradisi keilmuan semacam itu dengan melihat apa yang terjadi pada paruh kedua abad ke-20 hingga saat ini. Futuris seperti Alvin Toffler telah menggambarkan bahwa sete -lah era industri, masyarakat modern memasuki era informasi. Beberapa pemikir lain mengatakan bahwa masyarakat semacam ini adalah masyarakat yang pasca-modern, pasca-industri, dan pasca-kapitalis. Fukuyama tidak menciptakan istilah tersendiri mengenai karakteristik masyarakat yang dibahasnya. la pada dasarnya setuju bahwa setelah tahap pertanian dan industri, masyarakat modern memang terus mengalami proses perubahan besar yang memengaruhi setiap dimensi kehidupan manusia, di mana pun mereka berada.
Fokus bahasan Fukuyama di Guncangan Besar bukanlah pada perubahan itu sendiri, tetapi lebih pada akibatnya terhadap tatanan masyarakat, yaitu pada himpunan individu-individu yang berhubungan satu dengan yang lain, menurut aturan-aturan yang diterima bersama, baik secara formal (hukum) maupun secara informal (etika, moralitas). Bagi dia, perubahan karakteristik masyarakat di Amerika Serikat mengakibatkan terjadinya guncangan besar, the great disruption, yang terjadi sekitar 1960-an dan 1970-an, yang dicirikan oleh meningkatnya secara drastis sejumlah indikator patologi sosial, seperti tingkat kriminalitas, perceraian, dan kehancuran kehidupan rumah-tangga. Dengan cara ini, Fukuyama ingin berkata bahwa pada akhirnya, perubahan besar yang terjadi dalam dunia perdagangan, ilmu, dan teknologi akan membawa dampak yang nyata dan tidak selalu positif terhadap kehidupan yang bersifat "mikro", misalnya hubungan suami-istri, peranan wanita dalam rumahtangga, dan perilaku sosial kaum remaja.
Konsep dasar yang ditawarkan oleh Fu
kuyama dalam Guncangan Besar adalah modal sosial. Konsep ini diperkenalkan pertama kali oleh L.I. Hanifan pada awal abad ke-20, dan telah cukup sering digunakan oleh kaum sosiolog dalam berbagai kesempatan. Robert Putnam, misalnya, menggunakan konsep ini untuk menggambarkan dilema demokrasi di Italia dan menurunnya kualitas demokrasi di Amerika Serikat. Namun, "penemu" sesungguhnya dari konsep ini adalah seorang pernikir Prancis seabad sebelumnya, Alexis de Tocqueville, yang telah menulis buku klasik, Democracy in America (1840), berdasarkan konsep tentang asosiasi dan interaksi sosial dalam masyarakat.
Oleh Fukuyama konsep ini dikembangkan lebih jauh dengan memasukkan pemikiran-pemikiran baru yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial mutakhir, seperti teori-teori tentang pilihan rasional dan aksi-aksi kooperatif. Dengan cara ini, pembahasan Fukuyama, walaupun berfokus pada sebuah tema klasik, tidak terasa basi dan membosankan.
Malah sebaliknya, tema lama ini menjadi hidup dan menarik perhatian, justru karena kita ingin mengerti bagaimana para pemikir yang ada sekarang melihat sebuah proses yang telah dikupas dan diteliti sejak lahimya disiplin sosiologi.
Salah satu pendapat Fukuyama yang menarik dibahas lebih lanjut berhubungan dengan kemampuan manusia dalam menghadapi guncangan dan perubahan. Guncangan besar mengakibatkan erosi pada modal sosial. Kepercayaan manusia pada manusia lainnya menipis, kecurigaan dan ketidakjujuran merebak, serta pelanggaran hukum meningkat. Proses kerja-sama dalam masyarakat berubah menjadi proses saling memakan dan saling merugikan. Namun, bagi Fukuyama, setelah proses semacam ini akan terjadi proses penataan kembali, dari disordering menjadi reordering of the society.
Guncangan akan disusul dengan penataan kembali tatanan sosial. Dan hal ini terjadi tidak dalam proses yang dikendalikan oleh otoritas tertentu, seperti pemerintah, korporasi, atau gereja. Daya untuk membangun kembali masyarakat justru terjadi secara alamiah, tidak terpusat, dan dilakukan oleh individu-individu secara spontan. Dalam hal ini Fukuyama mengikuti jejak Friedrich Hayek, filsuf-ekonom Austria yang banyak disebut sebagai pemikir liberal terdepan pada abad ke-20, yang melahirkan konsep spontaneous order untuk menggambarkan bagaimana manusia, tanpa diatur siapapun, menciptakan dalam masyarakat sistem kerjasama yang menguntungkan semua pihak.
Pada dasamya, pemikiran semacam ini menaruh harapan dan optimisme besar pada manusia. Manusia dianggap sebagai makhluk yang secara alamiah selalu ingin bekerjasama. Tanpa diminta dan diatur oleh penguasa, pemilik modal, atau pemuka agama sekalipun, manusia akan menciptakan aturan, baik formal maupun informal, di antara mereka sendiri untuk membangun kembali tatanan yang ada.
Pada titik ini kita mungkin tertarik untuk bertanya lebih jauh, apa yang mendorong manusia untuk melakukan hal itu" Apa yang ada di balik dorongan alamiah untuk bekerjasama: kepentingan pribadi untuk mencari keuntungan dan kehormatan, semangat altruisme, ataukah justru kecemasan dan ketakutan" Dalam Guncangan Besar, Fukuyama tidak memilih salah satunya-dan hal ini mungkin memang tidak perlu dilakukan. Yang jelas, apapun motivasinya, manusia senantiasa membangun kembali modal sosial setelah terkikis oleh proses perubahan besar, dan dalam banyak hal proses ini dapat men-ciptakan sebuah masyarakat baru yang lebih baik ketimbang masyarakat sebelumnya.
Yang juga menarik adalah, pada bagian akhir Guncangan Besar, Fukuyama membahas proses perubahan, modal sosial, dan hubungannya dengan sistem kapitalisme. Dalam ilmu sosial, pandangan tentang hubungan antara kapitalisme, moralitas, dan kebudayaan secara umum terbagi dalam dua aliran besar. Aliran pertama mengatakan bahwa kapitalisme mengikis moralitas dan merusak tatanan budaya (semakin besar modal ekonomi, semakin kecil modal sosial), sementara aliran yang kedua mengatakan sebaliknya, kapitalisme justru memperkuat moralitas dan memperkaya kebudayaan. Pembagian semacam ini melampaui ideologi kiri atau kanan. Joseph Schumpeter bukan ekonom kiri, tetapi
dalam bukunya yang terkenal, Capitalism, Socialism, and Democracy (1942), ia berpandangan bahwa kapitalisme mengandung benih yang membahayakan dirinya sendiri sebab semakin ia berkembang, semakin kecil basis legitimasi moral yang ada pada dirinya. Pandangan semacam ini juga dianut oleh kaum kontradiksionis, seperti Daniel Bell, yang tidak termasuk dalam kubu kaum sosialis, lama maupun baru.
Fukuyama menolak simplifikasi satu dimensi dari hubungan modal sosial dan kapitalisme semacam itu. Memang terkesan bahwa ia lebih tertarik ke pendapat kaum pemikir di tradisi kanan. Dalam hal ini, misaInya, Montesquieu berpendapat bahwa kegiatan komersial justru mengajarkan orang pada nilai-nilai tentang kejujuran, kesetiaan pada kontrak, dan penghargaan pada kerja. Namun pada intinya Fukuyama memilih posisi tengah, dengan berkata bahwa kapitalisme dapat secara simultan mengikis dan memperkuat modal sosial. Masalahnya tidak terletak pada hakikat kapitalisme itu sendiri sebagai sebuah sistem pertukaran, tetapi lebih pada dinamika yang berhubungan dengan perubahan dan perkembangan teknologi. Dan dalam hal inilah kita harus melihat dengan lebih jeli, pada kasus seperti apa interaksi antara perubahan teknologi dan kapitalisme mengakibatkan suatu guncangan, dan pada kasus bagaimana ia mendorong terjadinya pembentukan kembali.
Singkatnya, Fukuyama mengajak kita untuk tidak terperangkap pada dogma. Seperti yang ada dalam setiap bukunya, Guncangan Besar mengajak kita untuk melihat berbagai hal penting yang terjadi dalam masyarakat dengan kepala dingin, obyektif, dan sistematis. Dan dengan begini, kecemasan maupun harapan yang berlebihan yang biasanya muncul dalam setiap proses transisi masyarakat dapat dihindari.
Jakarta, 31 Maret 2005 Alexis de Tocqueville: Penemu Teori Demokrasi abad KE-19 memiliki ciri khas yang unik dalam sejarah pemikiran. Sejak dimulainya zaman baru eksplorasi ilmu pengetahuan dan zaman pencerahan di abad ke-16, pemikir-pemikir besar yang tampil dengan gagasan-gagasan baru tentang manusia dan masyarakat adalah kaum filsuf, moralis, dan sastrawan. Kecenderungan semacam ini berlangsung hingga akhir abad ke-18, yang melahirkan tokoh-tokoh seperti Voltaire, Rousseau, Adam Smith, Hume, Kant, Montesquieu, dan Locke. Secara politik, abad ini berakhir dengan dua revolusi besar, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Prancis (1789), dua peristiwa sejarah yang mengubah dunia dan berhubungan erat dengan arus pemikiran saat itu.
Pada umumnya, tokoh-tokoh dari zaman ini mendasarkan pemikiran mereka pada penelaahan filosofis yang mendalam tentang manusia dan masyarakat serta menjadikan telaah ini sebagai asumsi-asumsi dasar dalam menjelaskan realitas di sekeliling mereka. Untuk itu, tidak jarang mereka harus berkutat dalam dunia epistemologis yang rumit untuk mengerti lebih jauh tentang hakikat manusia, sebab pada umumnya mereka menganggap bahwa manusia dan realitas hanya dapat dimengerti dari apa yang diketahuinya, dari kesadaran dan pengetahuan yang diperolehnya. Kalau toh tokoh-tokoh ini berbicara mengenai demokrasi, seperti Locke, Hume, dan Rousseau, biasanya mereka berbicara pada tingkat asumsi dan hak-hak dasar, seperti hak-hak alamiah (natural rights), manfaat dan hakikat kebebasan, kehendak umum, dan legitimasi serta moralitas hukum yang mengikat masyarakat.
Jika mereka membahas sistem ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, seperti Adam Smith, pada umumnya mereka masuk ke wilayah hukum-hukum dasar, peran kebebasan, dan hakikat moralitas ekonomi.
Kaum pemikir di abad ke-19 memang tidak meninggalkan semua ciri khas pemikiran seperti itu. Seperti kata Isaac Newton, dalam dunia pemikiran, seorang tokoh berdiri di pundak tokoh-tokoh pemikir sebelumnya. Tokoh-tokoh pemikir abad ke-19 seperti Hegel, Marx, Spencer, Nietzsche, dan Comte masih berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan dari zaman selumnya. Dari sini, sebagian dari mereka, dengan caranya masing-masing, mengembangkan kerangka besar yang melihat manusia sebagai bagian sejarah yang bergerak menurut hukum-hukumnya sendiri. Bisa dikatakan bahw
a tokoh-tokoh ini adalah system builders, kaum pemikir yang membangun sistem gagasan yang utuh dan menyeluruh yang dapat digunakan untuk menjelaskan setiap segi dari manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan, dan sejarah. Hegel, Comte, dan Marx adalah contoh terbaik dari kecenderungan ini.
Alexis de Tocqueville adalah pemikir besar Prancis yang menjadi bagian dari tradisi abad ke-19. Namun uniknya, ia tidak larut dalam semangat zaman itu untuk membuat sistem besar. Dalam karya-karyanya, tidak kita temukan kutipan-kutipan dari Hegel maupun Comte. Bahkan manakala ia berbicara tentang kelas sosial-ekonomi dan menjelaskan revolusi Prancis, tidak ada referensi satu pun tentang Marx, walaupun ia hidup sezaman dengan pemikir Jerman ini. Dalam menolak arus konstruksi sistem besar seperti itu, Tocqueville tidak kembali ke zaman sebelumnya, tetapi membuat tradisi baru dalam studi sosial, yang kemudian akan diteruskan oleh tokoh seperti Weber dan Durkheim di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. (Kedua tokoh terakhir ini kemudian disebut sebagai peletak dasar sebuah displin baru dalam ilmu pengetahuan, yaitu sosiologi.)
Dengan tradisi baru ini, Tocqueville mulai menjelaskan realitas tidak dengan asumsi-asumsi filosofis, tetapi langsung meneliti aspek-aspek mikro kehidupan pada masyarakat yang diamatinya. Di Amerika, penelitian awal yang dilakukannya justru mengenai sistem penjara di negara-negara bagian New England serta pola kehidupan dan pemerintahan lokal di beberapa counties (kabupaten) dan townships (kecamatan) yang terpencil. Dia tidak berangkat dari ide-ide besar, dengan metode berpikir deduktif, namun dengan tekun dan kreatif melihat dan mempelajari pola pengelompokan sosial, kebudayaan dan adat kebiasaan lokal serta interaksi ekonomi dari masyarakat yang diamatinya. Dalam mempelajari sebab-musabab revolusi Prancis ia menghabiskan waktunya di beberapa kantor pemerintahan tingkat lokal untuk mempelajari arsip-arsip dari masa lalu yang menyimpan bukti-bukti tertulis tentang perubahan pola kekuasaan, kecenderungan sentralisasi, dan bergesernya karakter kelas sosial dalam masyarakat.
Dari metode studi semacam itulah, selama sembilan bulan di Amerika Serikat (1831-1832), lahir karya besarnya yang pertama De la democratic en Amerique (Demokrasi di Amerika). Setelah itu Tocqueville masih melahirkan beberapa karya lagi, namun yang paling berpengaruh adalah kajiannya tentang Revolusi Prancis, LAncien Regime et la Revolution (Rezim Lama dan Revolusi Prancis). Pemikiran dalam karya-karya ini, terutama tentang demokrasi, memengaruhi berbagai aliran pemikiran hingga saat ini. Tema-tema kontemporer dalam studi politik dan sosiologi tentang masyarakat sipil, kelembagaan demokrasi, persamaan, pengaruh agama dan kebudayaan dalam perilaku politik dan sistem pemerintahan tidak mungkin dimengerti akar-akarnya dengan baik tanpa mengkaji kembali pemikiran aristokrat Prancis ini. Bahkan di Amerika Serikat, kaum pemikir dan pembuat kebijakan yang sekarang dianggap paling berpengaruh di Washington DC, yaitu kaum neokonservatif, dalam banyak hal diinspirasikan oleh pemikiran Tocqueville tentang hakikat demokrasi serta hubungan antara sistem komersial dan peran agama.
*** Pemikiran Tocqueville tentang demokrasi bertumpu pada pertanyaan: mengapa demokrasi di Amerika bersifat liberal" Mengapa Amerika berhasil menghindari perangkap anarki di satu pihak, dan pelanggengan kekuasaan aristokrasi di pihak lain, sebagaimana yang terjadi di Prancis" Mengapa demokrasi Amerika berbeda dengan Inggris" Apa yang menjadi keunikan dan kekuatan demokrasi Amerika"
Terhadap pertanyaan semacam itu, Tocqueville mengawali penjelasannya dengan konsep persamaan, equality. Di Amerika, dan juga di banyak negeri Eropa, proses industrialisasi dan komersialisasi yang saat itu mulai berlangsung dengan pesat telah mengubah struktur interaksi masyarakat. Feodalisme, sistem sentralisasi kekuasaan, dan aristokrasi sebagai kelas sosial mulai pudar. Sebagai gantinya adalah proses urbanisasi, mobilitas sosial yang tinggi, dan semakin tercerabutnya manusia modern dari kaitan
dan akar-akar sosial lama.
Dalam rezim lama, manusia dikungkung oleh posisi sosialnya yang tak mungkin berubah. Anak seorang petani juga akan menjadi petani, berikut semua atribut sosialnya. Demikian pula, keturunan seorang aristokrat akan tetap menjadi aristokrat, dengan segala warisan tanah dan pekerja yang menjadi miliknya. Dengan pudarnya sistem ini manusia menjadi individu merdeka, sama dengan individu-individu lainnya, dan terbuka untuk bersaing dalam kehidupan di kota untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Kalau dalam sistem feodal sebelumnya semua anggota masyarakat diikat oleh jejaringan yang sudah baku, dalam sistem baru ini mereka menjadi individu-individu yang bebas memilih: komunalisme berganti menjadi individualisme.
Persamaan inilah yang menjadi dasarnya demokrasi. Bahkan Tocqueville kadang menggunakan kata "persamaan" dan "demokrasi" secara bergantian. Keduanya adalah dua sisi mata-uang yang sama.
Sebagai bagian dari kaum aristokrat Prancis, Tocqueville melihat proses menguatnya demokrasi tidak dengan hitam putih. Dalam uraiannya, kita bisa melihat harapan dan antusiasme, tetapi juga pesimisme, kecemasan, dan ironi terhadap merebaknya demokrasi, persamaan, dan individualisme. Justru di sinilah terletak salah satu daya tarik pemikirannya.
Dalam satu hal, menurut Tocqueville, karena posisi individu sama dengan yang lainnya, dan karena tidak ada lagi yang mampu berkuasa sebagaimana kekuasaan kaum aristokrat sebelumnya, kebutuhan akan kekuasaan negara akan meningkat. Negara, atau pemerintah, akan menjadi sangat dominan, dan cenderung menumbuhkan bentuk tirani baru, yaitu tirani mayoritas.
Dalam hal lain lagi, sistem persamaan dalam konteks masyarakat komersial cenderung membuat individu hanya mencari kebahagiaan sesaat, dan bersaing mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Masyarakat akan berisi manusia-manusia me-dioker, tanpa keagungan, keberanian dan heroisme, serta tanpa hasrat mencari kejayaan bagi negerinya. Yang penting adalah perdamaian dan kesejahteraan dan sebuah situasi di mana anggota-anggota masyarakat dapat bekerja dengan tenang mencari hidup dan kebahagiaan.
Jadi, walaupun demokrasi dan persamaan adalah gejala universal dan pasti akan menjadi bagian dari masa depan umat manusia, Tocqueville menganggapnya sebagai pedang bermata dua. Dan baginya, keunikan dan kekuatan demokrasi di Amerika adalah karena di negeri baru ini sisi negatif dari proses persarnaan seperti itu dapat dilembutkan oleh tiga faktor, yaitu geografi, lembaga politik dan pemerintahan, serta kebudayaan dan adat-istiadat lokal. Kombinasi ketiga faktor inilah yang tidak ada di Eropa yang juga mengalami proses industrialisasi dan komersialisasi.
Dalam soal geografi, Amerika adalah benua baru yang menjanjikan kecukupan bagi penduduknya. Dari Pantai Timur ke Pantai Barat, penduduk Amerika tidak perlu khawatir akan tekanan lahan yang sempit, mereka bisa berekspansi ke Barat tanpa henti untuk mencari lahan dan penghidupan baru. Selain itu, wilayah ini dipersatukan oleh negara yang sama, tanpa potensi pesaing dari negara-negara tetangganya. Di Eropa, Inggris harus mewaspadai Prancis, yang harus pula memantau Prusia dan Austria. Italia, Polandia, Spanyol, dan lainnya, harus terus merasa terancam oleh pergerakan politik di tiga negara terbesar dan terkuat ini. Proses sejarah politik di Eropa hanya berputar di persoalan semacam itu: perang dan damai oleh negara-negara hegemon. Di Amerika, persoalan semacam ini bisa dikatakan tidak pernah menjadi bagian dari sejarah mereka, dan karena itu kekhawatiran terhadap perang besar juga bersifat minimal.
Perang adalah sebab utama sentralisasi politik dan ekspansi birokrasi. Karena ancaman perang, masyarakat bergantung pada negara sebagai instrumen utama. Dan untuk itu, negara harus memungut pajak. Untuk memungut pajak, negara harus mengembangkan aparat pemungut pajak dan birokrasi. Demikian seterusnya. Hal inilah yang menjelaskan mengapa sentralisasi pemerintahan di Prancis berlangsung dengan ekspansif. Di Amerika, karena ketiadaan hal tersebut, sentralisasi berlangsung min
imal dan sistem pemerintahan tumbuh dengan mengadaptasi kebutuhan lokal.
Hal itulah yang menjelaskan mengapa kelembagaan politik Amerika bertumpu pada sistem desentralisasi (federalisme), di mana keputusan-keputusan penting dalam pemerintahan lebih banyak dilakukan di tingkat lokal. Sistem inilah yang mendorong merebaknya semangat partisipatoris dalam masyarakat. Tocqueville mengamati betapa di kota kota kecil Amerika sema ngat partisipasi publik begitu tinggi. Mereka terlibat dalam begitu banyak kegiatan sosial dan politik lokal, sebagaimana mereka juga terlibat dalam acara-acara keagamaan. Semangat dan keterlibatan semacam ini menjadi counter-balance yang positif terhadap kecenderungan negatif yang melekat pada demokrasi dan sistem persamaan.
Dalam soal kebudayaan dan adat istiadat lokal, Tocqueville melihat sebuah kebetulan sejarah yang menguntungkan Amerika: penduduknya berbicara dalam bahasa yang sama, berimigrasi dari negeri yang relatif sama, dan dengan agama yang sama. Dalam soal agama, imigran-imigran awal Amerika umumnya adalah kaum puritan, dengan kode moral yang mendorong individu untuk bekerja keras, membangun solidaritas, disiplin, dan kemandirian. Nilai-nilai semacarn inilah yang hidup dan menjadi sumber motivasi dalam aktivitas lokal, bahkan di daerah-daerah terpencil sekalipun. (Setengah abad setelah Tocqueville, Max Weber mengembangkan analisis semacam ini untuk membahas sistem kapitalisme dan hubungannya dengan nilai-nilai keagamaan.)
Jadi, singkatnya, demokrasi Amerika adalah contoh dari sebuah sistem politik baru yang dihasilkan oleh proses perubahan masyarakat modern, namun yang di dalam dirinya mengandung unsur-unsur yang memperkuat bangunan demokrasi itu sendiri. Dengan studinya yang pada zaman itu adalah sebuah terobosan baru, Tocqueville memperlihatkan bagaimana sistem demokrasi harus dimengerti, dievaluasi, dan dijadikan model pemerintahan bagi negeri-negeri lainnya.
Penerbitan buku yang memuat bunga rampai pemikiran Tocqueville ini patut disambut baik. Setelah jatuhnya peme rintahan Orde Baru, Indonesia memasuki masa transisi dan berada dalam sebuah proses panjang yang sering disebut sebagai masa konsolidasi demokrasi. Kita sudah melangkah cukup jauh, namun satu hal yang masih terasa amat kurang adalah studi dan pemikiran tentang demokrasi itu sendiri sebagai sebuah sistem pemerintahan.
Dalam berbagai diskusi publik, masih terjadi kebingungan dan convoluted thinking mengenai esensi dan faktor-faktor yang menentukan kuat-tidaknya sebuah sistem demokrasi. Hal ini terjadi mungkin karena bacaan-bacaan yang menarik dan bermanfaat dalam tema demokrasi dan proses politik memang masih sangat sedikit di negeri kita.
Karena itulah, saya berharap agar buku ini dapat memperkaya khazanah intelektual kita dan mendorong kejelasan berpikir mengenai seluk-beluk sistem demokrasi. Walaupun dilahirkan hampir dua abad lalu, pemikiran Alexis de Tocqueville saat ini masih menarik dan relevan untuk dibaca oleh semua kalangan.
Jakarta, 25 November 2005
BAB II Pertimbangkan Kembali Masyarakat:
Tentang Negara, Pasar, dan Masyarakat
Munculnya Negara: Antara Teori Konflik dan Integratif
tidak ada organisasi manusia dalam sejarah kita yang begitu kuat, kompleks, dan berpengaruh sebagaimana negara modern.
Dari segi definisi, menurut Cohen, negara merujuk pada setiap dan semua variasi dalam kekuasaan, struktur otoritas, dan nilai-nilai yang menopang kerangka organisasi masyarakat (Cohen dan Service, 1978: 2). Ia adalah serangkaian tatanan kelembagaan yang mengontrol suatu wilayah tertentu, menerapkan serangkaian peraturan, dan memegang monopoli untuk menggunakan kekuatan paksaan. Tentu saja terdapat beragam definisi yang diberikan oleh ilmuwan-ilmuwan yang berbeda yang berasal dari bidang ilmiah yang berbeda pula. Namun definisi-definisi yang paling disepakati adalah definisi-definisi yang mengandung aspek-aspek seperti teritorialitas, legitimasi, otoritas, legalitas, dan kekuatan untuk memaksa.
Negara memiliki sejarahnya sendiri. Ia berkembang dari waktu ke waktu. Proses
penting yang berkembang dalam perjalanan panjang dari masyarakat tanpa negara ke negara-bang-sa modern adalah sentralisasi kekuasaan. Perkembangan negara tersebut merupakan dampak langsung dari perkembangan suatu unit sentral yang mengkoordinasi, memerintah, dan mengatur keseluruhan masyarakat.
Mengapa dan bagaimana negara muncul" Untuk menjawab pertanyaan ini, menurut Service (1975: 36-42), kita pada dasarnya bisa menggunakan dua jenis teori utama, yang masing-masing mengandung beberapa sub-jenis. Pertama adalah teori-teori konflik, kedua adalah teori-teori integratif. Dalam menjelaskan proses pembentukan negara, yang pertama menekankan pentingnya konflik; sedangkan yang kedua menekankan pentingnya integrasi.
Dalam tulisan ini saya mencoba menjabarkan dan mengulas teori-teori tersebut. Dalam bagian akhir tulisan ini saya akan membahas bagaimana kita bisa memanfaatkan kedua teori tersebut agar memiliki suatu perspektif yang lebih luas, dan mungkin lebih bijak, dalam memahami munculnya negara.
*** Sebelum kita lanjutkan, penting untuk melihat bahwa para pemikir seperti Aristoteles dari Yunani Kuno (384-322 SM) dan Ibn Khaldun dari Tunisia (1332-1406) telah mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas-dan mengajukan argumen-argumen yang pada dasarnya tidak jauh berbeda dari argumen-argumen yang dikemukakan oleh teori-teori konflik dan integratif tersebut. Khaldun, dalam Muqadimah: An Introduction to History, melacak munculnya negara (atau, dalam kata-katanya sendiri, munculnya otoritas raja), dalam hubungan-hubungan yang penuh konflik antara suku-suku pengelana (Badui) yang hidup di padang pasir dan para penduduk tetap yang hidup di tepi sungai, di tanah-tanah subur, dan di kota-kota.
Karena kehidupan yang sulit dan berat di padang pasir, kaum Badui, menurut Khaldun, lebih memiliki keberanian dan keuletan, serta memiliki tubuh yang lebih kuat. Mereka agresif dan terbiasa dengan kekejaman. "Mereka selalu menenteng senjata ...dan tidak berhenti di perbatasan wilayah. Mereka bergerak ke wilayah-wilayah yang jauh dan menunjukkan superioritas mereka atas bangsa-bangsa lain...." (Khaldun, 1967: 95, 114). Sebaliknya, orang-orang yang menetap lebih lemah karena kenikmatan mereka. Dan karena mereka telah terbiasa dengan keberlimpahan materi, "keberanian mereka merosot" (Khaldun, 1967: 107). Kelemahan dan keberlimpahan materiil ini selalu memancing agresi kaum Badui. Untuk menghindari agresi ini, menurut Khaldun, orang-orang yang menetap tersebut dengan demikian harus membangun tembok-tembok pengaman, dan membentuk, atau dilindungi oleh, otoritas raja yang kuat yang memegang "superioritas dan kekuasaan untuk memerintah dengan kekuatan" (Khaldun, 1967: 108).
Dengan demikian, kita dapat berkata bahwa bagi Khaldun, konflik-atau ancaman agresi-merupakan motif dalam proses pembentukan negara (lihat juga Service, 1975: 23-24).
Aristoteles, menurut Jerry Szacki (1979: 9-11), melihat negara sebagai sebuah badan di mana individu-individu beker-jasama untuk mencapai perkembangan sepenuhnya. Negara baginya merupakan suatu kreasi alamiah, dan keberadaannya terus berlanjut "demi kehidupan yang baik". Sebagaimana yang tertulis dalam Szacki (1979: 1), dalam Politica Aristoteles menulis:
...ketika beberapa keluarga bersatu, dan perkumpulan tersebut memiliki suatu tujuan yang lebih dari sekadar suplai kebutuhan, masyarakat pertama yang terbentuk adalah desa. Dan bentuk paling alamiah dari desa adalah koloni keluarga.... Ketika beberapa desa bersatu dalam satu komunitas, yang cukup besar untuk berswadaya, negara muncul, bersumber dari kebutuhan hidup dan terus ada demi suatu kehidupan yang baik.
Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 6 Dendam Sejagad Legenda Kematian Shi Hun Yin Karya Khu Lung Mister Tabib Siluman 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama