Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng Bagian 7
Dengan demikian, menjalankan reformasi ini secara radikal sangat berbahaya karena hal ini mendorong angka inflasi naik dan meningkatkan defisit bujet negara. Indeks harga eceran, misalnya, naik menjadi 6% pada 1980, 10-11% pada 1985, 7% pada 1986, dan 8% pada 1987; dan defisit bujet negara antara 1978 dan 1985 naik hingga Y100 miliar. Namun, para pembaharu Cina berusaha untuk terus mendorong reformasi sepanjang 1980- an, dengan mengadopsi strategi yang fleksibel dan pragmatis: melakukan penghematan ketika persoalan menjadi terlalu berbahaya, dan maju terus ketika persoalan ter-kendalikan.
Di Uni Soviet, tidak ada reformasi harga yang signifikan. Hal ini sangat ironis, karena di Uni Soviet pada pertengahan 1980-an terdapat lebih banyak alasan untuk mereformasi sistem harga yang ada: harga roti tidak berubah sej
ak 1952, dan harga eceran resmi dari negara atas daging dan produk-produk harian tidak berubah sejak 1962. Selain itu, pada akhir 1980-an, sebagaimana yang digambarkan Shemelev, di Uni Soviet ada 25 juta produk yang berbeda yang berada dalam sistem harga yang tersentralisasi, yang perlu diatur ke dalam 25 juta harga yang berbeda oleh Goskomtsen (Hewett dan Winston, ed., 1991: 153). Sangat jelas bahwa tidak banyak hal yang dapat diperbaiki sebelum mereformasi sistem harga yang tak rasional ini.
Tentu saja terdapat beberapa usaha untuk mengundangkan dan menjalankan reformasi harga ini. Contoh paling penting dari usaha ini adalah diperkenalkannya Undang-Undang tentang Perusahaan Negara pada 1987, yang memuat beberapa usulan tentang penetapan harga. Namun proposal reformasi itu sendiri sangat ambigu dan membingungkan. Ia menyebutkan sekitar tiga kategori harga, yang mengikuti contoh Cina dan Hungaria, namun tidak pernah menjelaskan secara mendetail apa lingkup masing-masing kategori tersebut. Ia samasekali tidak menyebut harga eceran. Selain itu, ia secara membingungkan menyatakan bahwa penetapan harga harus mencerminkan "biaya sosial yang dibutuhkan". Pendeknya, seperti yang dikatakan Aslund, proposal reformasi ini "membentuk suatu campuran mustahil dari prinsip-prinsip yang saling bertentangan"
(1989: 132). Segera setelah diumumkannya proposal itu, Valentine Pavlov, Ketua Goskomtsen, mengeluarkan sebuah undang-undang otoritatif di Pravda. Ia menyatakan kembali bahwa, seperti yang dikutip oleh Aslund (1989: 132), Goskomtsen akan menetapkan harga-harga "bahan bakar dasar, bahan mentah, dan jenis-jenis produksi dasar yang lain." Tidak banyak ruang yang diberikan kepada pasar untuk menentukan harga. Dengan kata lain, proposal reformasi tersebut gagal, bahkan sebelum ia dijalankan.
Usaha kedua dilakukan pada 1990, ketika Kelompok Shatalin mengusulkan program 500-hari kepada Majelis Agung Soviet. Program ini merupakan program yang paling radikal yang pernah diusulkan oleh para pembaharu. Ia mengusulkan untuk secara radikal membebaskan sistem harga, dalam jangka waktu yang sangat dekat. Namun, sekali lagi, kelompok garis keras, kali ini dipimpin oleh Gorbachev sendiri, berhasil menghalangi proposal ini. Majelis Agung Soviet menolak program tersebut. Dengan demikian, Uni Soviet pada dasarnya tetap memberlakukan sistem harga Stalinis hingga keruntuhannya pada 1991.
Industri dan Perdagangan Dalam wilayah reformasi ini, pada dasarnya apa yang dilakukan oleh para pembaharu Cina adalah: Pertama, membuat perusahaan-perusahaan negara lebih responsif terhadap realitas perdagangan yang terkait dengan kualitas dan tuntutan pasar. Didorong oleh eksperimen yang berhasil di bidang pertanian, mereka mencoba membuat industri dan perusahaan menjadi lebih efisien dan kompetitif dengan memperkenalkan Sistem Pertanggungjawaban Industri. Dalam sistem ini, meskipun pemerintah pusat masih memegang hak untuk memutuskan rencana-rencana makro-ekonomi, perusahaan-perusahaan negara dituntut untuk bertanggungjawab atas semua keputusan ekonomi mereka, serta atas keuntungan atau kerugian mereka. Mereka juga diizinkan memakai sebagian keuntungan mereka untuk bonus, kesejahteraan pekerja, dan inovasi-inovasi yang lain. Para manajer dan pekerja dengan demikian diberi lebih banyak insentif material untuk bekerja lebih keras dan lebih efisien. Pada 1980, 6.600 perusahaan negara telah masuk dalam sistem ini; dan pada akhir 1982 semua perusahaan industri.
Langkah kedua yang dijalankan oleh para pembaharu tersebut adalah merevitalisasi perekonomian kota dengan memberi prioritas yang lebih besar pada industri konsumen, industri ringan, dan industri jasa agar lebih maju. Dengan demikian obsesi untuk membangun industri-industri berat yang ambisius dibalikkan dan sampai tingkat tertentu diredam. Namun langkah paling penting dalam hal ini adalah keputusan pada awal 1980-an untuk lebih memajukan banyak perusahaan swasta berskala kecil, khususnya yang terkait dengan perusahaan-perusahaan konsumen dan jasa. Hasilnya: bisnis swasta bertambah banyak dari 10
0.000 pada 1978 menjadi 5,8 juta pada 1983, dan pada 1985 menjadi 17 juta (Hsu 1990: 852). Dibantu oleh reformasi harga di atas, perusahaan-perusahaan swasta merupakan sektor yang paling cepat tumbuh dalam industri Cina pada paruh pertama 1980-an, dengan rata-rata angka pertumbuhan 80% per tahun (Harding, 1987: 129).
Langkah ketiga dalam reformasi ini adalah dijalankannya Kebijakan Pintu Terbuka. Dengan kebijakan ini otoritas-otoritas lokal diperbolehkan untuk mengelola investasi asing tanpa persetujuan pemerintah pusat. Dan berbagai undang-undang baru, peraturan tentang pertanggungjawaban dan perlindungan paten dijalankan. Tujuan dasar dari semua langkah ini adalah untuk menarik lebih banyak investasi dan teknologi asing, serta untuk menghubungkan perekonomian Cina dengan pasar internasional.
Dan salah satu elemen penting dari kebijakan baru ini adalah keputusan untuk membuka zona-zona ekonomi khusus dan membuka berbagai kota sebagai laboratorium bagi model pembangunan masa depan, dan sebagai mata rantai langsung Cina dengan modal internasional. Keputusan ini dapat dikatakan merupakan cerminan dari rasa percaya diri budaya dan politik dalam menjalankan eksperimen ekonomi dengan kapitalisme. Dalam zona-zona ekonomi khusus dan kota-kota terbuka ini perusahaan asing diizinkan untuk beroperasi, praktis dengan andil kepemilikan 100%, mengangkat para pekerja sendiri, dan "memiliki" tanah dengan menyewanya selama berdekade-de-kade. Hasilnya, zona-zona dan kota-kota terbuka ini menjadi jendela bagi perekonomian Cina ke dunia luar, yang sangat membantu perdagangan luar negerinya.
Dampak semua reformasi industri dan perdagangan itu sangat mengesankan. Sejak 1978 hasil industri tumbuh sekitar 10% per tahun. Antara 1978 dan 1986, perdagangan Cina dengan negara-negara lain meningkat 2,5 kali lipat. Andil barang-barang manufaktur dalam komposisi ekspornya meningkat dari 55,1 pada 1978 menjadi 62,5 pada 1986. Pada 1978 perdagangan Cina dengan AS adalah -US$541 juta (defisit), pada 1984 menjadi US$320 juta (surplus). Andil industri jasa dalam GNP meningkat dari 18,7% pada 1980 menjadi 21,5% pada 1985, dan pada tahun ini juga industri ini mempekerjakan 73,68 juta orang (lihat Hsu, 1990; Harding 1987).
Di Uni Soviet, reformasi penting di wilayah industri dan perdagangan ini adalah diperkenalkannya Undang-Undang Perusahaan Negara pada 1987, undang-undang yang telah saya sebutkan di atas. Di bawah undang-undang ini setiap pabrik harus bertanggungjawab atas keuntungan dan kerugiannya, dan para direkturnya, alih-alih mengikuti rencana yang ditetapkan oleh para birokrat Moskow, diberi kebebasan untuk menandatangani kontrak dengan perusahaan industri lain. Dengan demikian, undang-undang ini merupakan suatu usaha penting untuk ke luar dari warisan sentralisasi Stalinis yang berlebihan.
Namun dalam praktik undang-undang ini memunculkan ambiguitas dan kebingungan bagi para manajer di berbagai perusahaan karena undang-undang tersebut juga menyatakan bahwa aktivitas-aktivitas perusahaan harus didasarkan pada rencana negara (Brand, 1992). Keputusan-keputusan negara, yang melingkupi hampir semua hasil dari perusahaan-perusahaan negara, harus diberi prioritas tertinggi oleh industri-ini merupakan sistem komando lama dengan nama baru. Perusahaan-perusahaan tersebut juga tetap tunduk pada alokasi investasi modal dan suplai bahan negara. Pendeknya, seperti yang dijelaskan H. Brand (1992), "praktik kontrol pusat tetap berlaku meskipun lingkupnya agak dikurangi".
Usaha reformasi lain yang penting dijalankan ketika koperasi-koperasi berskala kecil diperbolehkan beroperasi dalam perekonomian. Di bawah Undang-Undang tentang Koperasi yang baru, yang disahkan pada 1988, berbagai koperasi dalam praktik bisa mempekerjakan tenaga kerja sendiri, secara legal diizinkan untuk membentuk bank, menjual saham dan surat obligasi, dan mendapatkan bahan-bahan mentah dari pasar bebas. Satu keluarga dengan tiga orang dewasa diizinkan untuk membentuk sebuah koperasi dan mempekerjakan jumlah nonanggota yang tidak terbatas dengan dasar kontrak. Selain itu, kope
rasi-koperasi tersebut diberi hak kepemilikan-bukan atas tanah, melainkan atas mesin dan perlengkapan yang digunakan dalam produksi.
Dari sisi ekonomi, reformasi ini merupakan reformasi paling liberal yang pernah dijalankan di Uni Soviet selama masa Gorbachev. Jika diperbandingkan, lingkup reformasi ini tentu saja tidak seluas-dan seberani-seperti yang dijalankan di Cina. Namun, menurut Hendrik Smith (1991), undang-undang koperasi yang melegalkan reformasi ini merupakan piagam hukum pertama bagi perusahaan swasta di Uni Soviet sejak periode NEP pada 1920-an. Dan dampaknya samasekali tidak buruk: pada 1990 terdapat sekitar 110.000 koperasi dalam berbagai jenisnya yang beroperasi; pada 1991 jumlah ini menjadi 245.300 (White, 1992: 119). Pada 1989, koperasi-koperasi tersebut memiliki andil sekitar 5% dari hasil kotor nasional (New York Times, 13 Mei 1990).
Dalam perdagangan luar negeri, langkah-langkah yang diambil sejak 1987 sekali lagi mencerminkan ambiguitas dan inkonsistensi reformasi ekonomi tersebut. Pada Januari 1987, Kementerian Perdagangan Luar Negeri dicabut monopolinya. 20 cabang kementerian dan 70 asosiasi besar kemudian diberi hak untuk menjalankan perdagangan luar negeri. Namun sebuah badan kementerian-super juga dibentuk untuk "meng-koordinasi" 20 kementerian dan 70 asosiasi ini. Karena itu, reformasi ini pada dasarnya mengubah monopoli perdagangan luar negeri dari satu birokrasi-super ke yang lain (White, 1992: 121).
Sebuah dekrit baru untuk menarik investasi luar negeri juga dikeluarkan pada 1987. Namun dekrit tersebut mengandung banyak kewajiban dan aturan yang samasekali tidak menarik: bagian Soviet atas sebuah perusahaan paling tidak harus 51%; presiden direktur dan manajer umum harus orang Soviet; kongsi usaha harus dipisahkan dari pasar domestik, dan dipaksa untuk membeli dari, dan menjual kepada, perusahaan-perusahaan Soviet melalui asosiasi-asosiasi perdagangan luar negeri Soviet, dll.
Karena itu, dekrit reformasi itu mengandung berbagai kontradiksi pada dirinya sendiri. Tidak mengherankan jika hasilnya mengecilkan hati: pada Juli 1988 hanya 66 kongsi usaha yang didaftarkan, sebagian besar darinya adalah usaha-usaha kecil; pada Januari 1990 hanya 337 kongsi usaha yang mulai menjalankan bisnis mereka (White, 1992: 120; Aslund, 1988: 140).
Mencari Penjelasan-penjelasan Sosio-politik
Kita telah melihat bahwa di Uni Soviet reformasi ekonomi tidak dijalankan seluas dan seberani di Cina. Untuk melucuti warisan ekonomi Stalinis, reformasi ekonomi selama era Gorbachev tampaknya mengandung ambiguitas, kesetengah-hatian, dan ketidak-konsistenan. Di Cina, meskipun benar bahwa peran fundamental pemerintah pusat dan banyak warisan sosialis dipelihara, reformasi ekonomi pada akhir 1980-an dijalankan dengan berbagai inovasi baru untuk membuka sebuah horison ekonomi baru. Kebijakan Pintu Terbuka yang telah saya kemukakan di atas, misalnya, merupakan ekspresi keper-cayaan-diri untuk memutuskan hubungan dengan warisan keterpencilan ekonomi dan ideologis masa lalu, demi untuk mencoba dan belajar sesuatu yang baru. Hal tersebut merupakan suatu langkah pragmatis, namun memiliki implikasi-implikasi yang fundamental. Dan reformasi pertanian-yang mengubah Cina dari pengimpor menjadi pengekspor bahan makanan dalam kurang dari satu dekade-merupakan suatu tindakan yang sangat tepat untuk meninggalkan masa lalu Stalinis-Maois.
Mengapa perbedaan yang mencolok itu terjadi" Mengapa para pembaharu Soviet, tidak seperti Cina, gagal melakukan serangkaian reformasi ekonomi yang baik"
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, salah satu penjelasan yang paling umum adalah dengan menghubungkan reformasi ekonomi dengan reformasi politik, dan menyalahkan yang terakhir ini untuk kegagalan yang pertama.
Argumen dasar penjelasan ini adalah bahwa para pemimpin Cina bisa melakukan apa yang mereka lakukan di wilayah ekonomi tersebut karena mereka menjaga struktur politik otoriter tidak berubah. Mereka bisa bergerak dengan cepat, pasti, dan menjalankan berbagai inovasi ekonomi yang berani karena mereka tidak harus meng
hadapi kekacauan yang dihasilkan oleh sistem politik yang terliberalkan. Sebaliknya, menurut penjelasan ini, Gorbachev mulai dengan reformasi politik, atau paling tidak mulai mereformasi perekonomian pada saat yang sama ketika ia menghancurkan warisan-warisan politik Stalinis. Meskipun reformasi politik yang ia lakukan mungkin secara moral tampak bagus, hal itu bukan merupakan suatu langkah taktis, karena Gorbachev membutuhkan kekuasaan yang kuat dan otoriter untuk menanamkan program-program baru pada sistem ekonomi yang usang dan lapuk.
Jenis penjelasan ini, menurut saya, tidak terlalu meyakinkan. Memang penjelasan ini mungkin benar sampai tingkat tertentu, namun hanya jika, dalam kasus Soviet, kita berbicara tentang 3 tahun terakhir era Gorbachev, ketika berbagai kekuatan, baik kanan maupun kiri, yang diakibatkan oleh reformasi politiknya menciptakan banyak rintangan bagi kekuasaannya. Namun, dalam 4 tahun pertama masa kekuasaannya, sebelum Kongres Wakil Rakyat dibentuk, kekuasaan Gorbachev tidak kurang kuat dibanding kekuasaan Deng. Untuk beberapa tahun pertama ia adalah kepala sebuah struktur politik yang otoriter, sebagaimana halnya Deng-namun ia tidak menjalankan suatu reformasi ekonomi yang signifikan, kuat dan berjang -kauan-luas sebagaimana yang dilakukan Deng untuk melucuti warisan ekonomi Stalinis. Dalam reformasi pertanian seperti yang telah kita lihat sebelumnya, misalnya, ia menjalankan reformasi yang pada akhirnya memberikan kekuasaan yang lebih pada birokrasi pusat, yakni kementerian-super yang baru, sebelum ia benar-benar mulai meliberalisasi sistem politik.
Selain itu, dalam kasus Cina, jelas tidak benar jika kita berkata bahwa para pemimpin Cina tidak mereformasi sistem politik pada saat yang sama ketika mereka mereformasi ekonomi. Sejak 1978, beberapa langkah penting diambil untuk melonggarkan kehidupan budaya dan intelektual, memperluas basis partisipasi rakyat, memisahkan partai dari pemerintah, merasionalisasi dan mereorganisasi militer, dan menciptakan basis yang lebih kuat untuk mewujudkan supremasi hukum (lihat Harding, 1987). Salah satu hasil dari semua reformasi politik ini dapat dilihat dalam kenyataan bahwa sejak akhir 1970-an dan awal 1980-an di Cina, di bawah Deng, terjadi serangkaian gerakan intelektual "liberal" yang menuntut reformasi politik yang lebih besar yang, seperti yang kita semua tahu, berpuncak pada Lapangan Tiananmen pada 1989. Meskipun Deng tidak bergerak sejauh Gorbachev dalam meliberalisasi sistem politik dengan mendorong sebuah pemilu umum yang "bebas", misalnya-seperti yang dilakukan Gorbachev pada akhir 1980-an-reformasi politik yang ia lakukan bagaimanapun juga merupakan suatu langkah penting dalam mengubah Cina menjadi, dalam bahasa Harding, sebuah sistem otoriter konsultatif.
Jadi, penjelasan tersebut tidak sepenuhnya benar. Ia gagal menjelaskan mengapa Gorbachev, misalnya, pada tahun-tahun awal pemerintahannya, ketika reformasi politiknya belum terjadi, tidak dengan tegas berusaha melucuti warisan-warisan ekonomi Stalinis. Penjelasan tersebut juga tidak membantu kita memahami mengapa para pemimpin Cina, tidak seperti para pemimpin Soviet, bisa berhasil dalam menjalankan reformasi ekonomi berskala luas ketika mereka juga mereformasi sistem politik.
Bagi saya, penjelasan yang lebih tepat mungkin harus melihat kenyataan bahwa di Uni Soviet, ketika Gorbachev dan para pembaharu lain berkuasa, negara itu telah mengalami 25 tahun Stalinisme yang begitu mengakar, dengan tingkat keketatan ideologis yang sangat tinggi, di bawah Stalin dan 20 tahun Stalinisme yang stagnan di bawah Brezhnev. Sejarah panjang keketatan dan stagnasi ideologis, seperti yang dijelaskan Zbigniew Brzezinski (1989), membekukan negeri itu dan menjadikannya sangat sulit untuk menerima eksperimen reformasi apapun.
Sebaliknya, di Cina para pembaharu memimpin sebuah negeri yang terus-menerus menjalankan eksperimen-eksperimen sejarah untuk mencari jalannya sendiri dan memperbaiki model Stalinis sejak model ini diteguhkan setelah Rencana Lima Tahun Pertama pada akhir 1950-an. Republik Rakyat Ci
na adalah suatu republik eksperimen, negeri dengan politik yang terus-menerus bercecabang dan berbagai pembalikan kebijakan yang dramatis. Inovasi-inovasi kebijakan yang mulai setelah Majelis Umum Ketiga pada Desember 1978 dapat dilihat, dari perspektif ini, sebagai kelanjutan dari eksperimen historis yang panjang tersebut dalam bentuk yang lain, dan juga dalam arah yang sangat berbeda.
Selain itu, perbedaan sejarah ini diperkuat dengan perbedaan kepemimpinan-faktor agensi manusia yang sangat penting dalam jalannya reformasi. Di sini kita bisa berkata bahwa, dalam kasus Soviet, Gorbachev, meskipun ia adalah seseorang yang berpandangan ke depan dan demokratis, masih merupakan seorang fungsionaris komunis (apparatchik), seseorang yang telah menghabiskan 25 tahun hidupnya untuk membangun kariernya di dalam sistem usang yang ingin ia segarkan kembali. Bahkan ketika ia ingin mereformasinya, ia tidak bisa bergerak terlalu jauh dari apa yang telah ia pelajari di bawah sistem tersebut (Kaiser, 1992).
Selain itu, Gorbachev, bahkan hingga masa-masa akhir kekuasaannya, tidak pernah memberi tujuan praktis yang jelas dan tegas dari reformasi ekonominya. Memang ia memberikan banyak pidato dengan kata-kata kunci seperti "uskoreniye" dan "perestroika", yang menarik perhatian dunia. Ia menulis sebuah buku, yang menarik pembaca di seluruh dunia, dan di dalamnya ia berbicara tentang "perubahan-perubahan revolusioner", "gerakan historis", "angin kedua sosialisme". Kata-kata kunci ini, seperti yang telah umum kita tahu, memang menyebarkan suatu gelombang baru semangat politik di Uni Soviet-semua itu membangunkan raksasa yang tertidur. Namun dari sudut pandang ekonomi, kata-kata ini tidak memancing apa-apa kecuali kebingungan. Anders Aslund, ekonom Swedia yang tinggal selama tiga tahun di Moskow di puncak kekuasaan Gorbachev dan mengamati dengan cermat jalannya reformasi ekonomi tersebut, mencoba menemukan makna praktis sejati kata "pere-stroika"-dan, pada 1991, ia sampai pada kesimpulan bahwa baginya "perestroika' adalah konsep yang kabur, sebuah kata misterius yang tak seorang pun yang benar-benar tahu apa maknanya, mungkin bahkan Gorbachev sendiri.
Dan, seperti yang ditulis Zbigniew Brzezinski (1989), pada pertengahan dekade 1980-an bukan hanya Gorbachev, melainkan juga sebagian besar pembaharu di Uni Soviet, yang masih terjangkiti keketatan ideologis, suatu ketidakmampuan untuk berpikir jauh melampaui ortodoksi ideologis yang ada. Jadi, ketika mereka memulai reformasi ekonomi, program-program yang mereka jalankan tidak dengan tegas terputus dengan masa lalu Stalinis. Mereka tampak ambigu, setengah-hati, ketika mereka harus memilih apakah masuk dengan cepat ke dalam ekonomi pasar atau secara bertahap mereformasi sistem tersebut dengan menggunakan pendekatan birokratis dan dari atas ke bawah.
Sebaliknya, di Cina, Deng adalah seorang pemimpin yang bisa melampaui ortodoksi ideologis dan mengatasi birokrasi yang ada-ia pernah menjadi korban ortodoksi ideologis ketika ia mencoba, bersama Liu Shaoqi, untuk memodernisasi sistem Stalinis tersebut pada awal 1960-an. Ia ambil bagian dalam revolusi dan, tidak seperti Gorbachev, tidak menghabiskan sebagian besar kariernya sebagai seorang birokrat atau seorang aparat partai.
Ketika ia sekali lagi berkuasa pada akhir 1970-an, setelah melalui suatu perjuangan keras untuk bertahan hidup, ia menjadi tahu bagaimana mengesampingkan ortodoksi dan menempatkan ideologi sebagai hal sekunder untuk mencapai tujuan-tujuan praktisnya.
Deng sang pembaharu adalah Deng sang pragmatis yang, tidak seperti Gorbachev, dengan jelas mendefinisikan apa yang ingin ia lakukan terhadap negerinya. Pada Desember 1979, PM Jepang, Masayoshi Ohira, yang sedang berkunjung bertanya: "Apa tujuan Empat Modernisasi anda"" Deng dengan cepat menjawab bahwa tujuannya adalah melipat-empatkan GNP saat itu dari US$250 miliar menjadi US$1 triliun pada akhir abad, dengan GNP per kapita US$1.000 (Hsu, 1990: 841-842). Jawaban tersebut mungkin terlalu sederhana, namun bagaimanapun juga hal itu memperlihatkan suatu determinisme untu
k mencapai suatu tujuan praktis yang jelas, tanpa secara kabur mencampuradukkannya dengan ortodoksi ideologis dan retorika muluk-muluk, seperti yang dilakukan oleh hampir setiap pemimpin komunis.
Para pembaharu Cina, tidak seperti para pemimpin Soviet, memperlihatkan banyak contoh tentang bagaimana mereka secara ideologis fleksibel dan pragmatis dalam usaha mereka untuk mengubah negeri mereka. Hu Qiaomu, misalnya, ketika menyampaikan pidato di depan Dewan Negara pada awal 1980-an, menyampaikan seruan untuk "mengelola perekonomian dengan sarana-sarana ekonomi" dan mempelajari pengalaman negara-negara kapitalis (lihat Nina Halpern 1985: 1003). Hu Qili, saat berbicara dengan para propagandis partai beberapa saat setelah Kongres Partai ke-13, memberikan suatu panduan umum: "Apapun yang menguntungkan perkembangan kekuatan-kekuatan produktif diharuskan atau diizinkan oleh sosialisme, dan apapun yang tidak menguntungkannya bertolak belakang dengan sosialisme ilmiah" (dikutip dalam Brzezinski 1989: 174). Fleksibilitas seperti ini dapat dipastikan membuka ruang bagi inovasi ekonomi yang lebih luas, serta kemungkinan yang jauh lebih luas untuk belajar bahkan dari pusat-pusat kapitalisme dunia.
Jadi, singkatnya, semua perbedaan antara para pembaharu di Cina dan Uni Soviet bisa digunakan sebagai dasar bagi penjelasan yang lebih memadai dalam memahami jalannya reformasi ekonomi tersebut. Para pemimpin Cina, dibanding para pemimpin Soviet, lebih memiliki faktor-faktor yang dibutuhkan untuk menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi baru yang tegas dan berani untuk mengikis warisan Stalinis-Maois mereka. Karena itu tidak mengejutkan jika di Cina, seperti yang telah kita lihat sebelumnya, sejak awal 1980-an arah dasar reformasi ekonomi telah dihamparkan dengan cukup jelas; sementara di Uni Soviet, bahkan hingga akhir era Gorbachev, arah sebenarnya dari reformasi ekonomi masih diperdebatkan di kalangan para pemimpinnya.
Memang, terlalu menekankan faktor agensi manusia (kepemimpinan) ini akan menjadikan penjelasan kita sangat menyederhanakan. Faktor-faktor kepemimpinan penting, namun semua itu diterapkan dan diwujudkan dalam keadaan dan realitas struktural tertentu, yang membantu atau merintangi para pemimpin dalam menjalankan reformasi.
Dalam hal ini kita misalnya bisa melihat kenyataan bahwa Uni Soviet terdiri atas banyak bangsa yang berbeda, yang seringkali bermusuhan satu sama lain. Di republik-republik Baltik, Ukraina, dan Georgia misalnya, tuntutan akan otonomi yang lebih besar dari otoritas Rusia terus-menerus dilancarkan. Dalam keadaan seperti ini, tidak mudah bagi Gorbachev untuk membuka zona-zona ekonomi baru atau membentuk kota-kota terbuka di tempat-tempat tertentu sebagaimana yang dilakukan Deng di Cina, karena hal itu akan menyebabkan ketidakseimbangan regional yang lebih besar yang pada akhirnya akan memperdalam konflik nasional. Memberi kesempatan bagi republik-republik Baltik (Lithuania, Latvia, Estonia) untuk membuka suatu wilayah perdagangan bebas dengan negara-negara Skandinavia yang kaya dan terindustrialisasi-yang, dari sudut pandang ekonomi, akan sangat menguntungkan-sangat berbahaya bagi Uni Soviet karena rakyat mereka akan memiliki alasan yang lebih besar untuk menuntut liberalisasi dari "imperialisme" Rusia.
Sebaliknya, di Cina, mayoritas rakyatnya adalah bangsa Han, dan hubungan di antara berbagai etnis jauh kurang bermusuhan dibanding di Uni Soviet. Karena itu, Cina yang ter-desentralisasi, sebagaimana yang dikemukakan Brzezinski (1989: 178), "masih akan merupakan satu Cina", sedangkan Soviet yang terdesentralisasi akan merupakan suatu kekaisaran yang terpecah-pecah-dan sekarang ini kita tahu bahwa hal ini benar. Zona-zona ekonomi dan kota-kota terbuka tidak akan memecah-belah Cina.
Pendeknya, keadaan obyektif, kepemimpinan, dan pengalaman historis penting. Dalam menjelaskan dan membandingkan jalannya reformasi ekonomi di Cina dan Uni Soviet kita tidak harus terpaku hanya pada satu dasar. Gorbachev dan Deng: para pembaharu ini merupakan pemain-pemain yang sangat penting, dan kemampuan mereka, ata
u kekurangan mereka, sebagai seorang pemimpin membantu kita dalam memahami proses reformasi ekonomi yang mereka jalankan. Namun banyak faktor lain-historis, sosial, atau struktural-yang harus dipertimbangkan untuk menjadikan pemahaman kita lebih menyeluruh. Proses reformasi-sosial, politik, atau ekonomi-ba-gaimanapun juga merupakan bagian dari proses sejarah yang rumit. Dan sejarah, seperti yang kita tahu, tidak berjalan hanya dengan satu kaki.
Daftar Rujukan 1. Aslund, Anders, Gorbachev's Struggle for Economic Reform, 1989, Pinter Publisher, London.
2. Bell, Daniel, "Socialism and Planning", Dissent, Winter
1991. 3. Brand, H., "Why the Soviet Economy Failed", Dissent, Spring 1992.
4. Brzezinski, Zbigniew, The Grand Failure: The Birth and Death of Communism in the Twentieth Century, 1989, Charles S. Sons, New York.
5. Desai, Padma, Perestroika in Perspective, 1989, Princeton University Press.
6. Harding, Harry, China's Second Revolution: Reform After Mao, 1987, The Brookings Inst.
7. Halpern, Nina, "China's Industrial Economic Reform", Asian Survey, Vol. xxv, Oct. 1985.
8. Hsu, Immanuel, The Rise of the Modern China, 1990, Oxford Univ. Press.
9. Kennedy, Paul, The Rise and Fall of the Great Power: Economic Change and Military Conflict from 1500 to 2000, 1987, Random House.
10. Riskin, Carl, China's Political Economy: The Quest for Development Since 1949, 1987, Oxford Univ. Press.
11. Shemelev, Nikolai, dan Popov, Vladimir, The Turning Point: Revitalizing the Soviet Economy, 1989.
The Brave New World sejak 1945 ekonomi global mengalami pertumbuhan sangat pesat yang belum pernah terjadi dalam sejarah dunia sebelum Perang Dunia II. Dari 1950 hingga 1980 saja, GNP dunia berlipat empat kali, dari US$2 triliun menjadi sekitar US$8 triliun (Kennedy 1993: 48). Apa yang lebih mencolok adalah bahwa selama periode ini, watak ekonomi dunia telah berubah: ia menjadi terglobalkan. Dunia yang kita hidupi sekarang, dalam hal ekonomi, adalah sebuah dunia yang saling terkait satu sama lain, sebuah dunia tanpa batas.
Membuat dan menjual satu produk sekarang merupakan kerja bareng banyak negara. Menjadi semakin umum bahwa sebuah produk, misalnya, dibuat oleh para pekerja Malaysia, menggunakan teknologi Korea, ditopang oleh para investor Hong Kong, dan dipasarkan di Meksiko oleh sebuah perusahaan New York. Dengan kata lain, keseluruhan proses produksi dan distribusi tersebut menjadi ter-transnasionalisasi-kan.
Dalam keadaan seperti ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh Robert Reich, tidak lagi mudah untuk berkata bahwa ada sesuatu yang disebut "produk Amerika" yang dibuat oleh "perusahaan Amerika", tidak lagi mudah untuk membedakan antara [milik] "kita" dan "mereka" (1992: 3-9).
Uang, serta perusahaan-perusahaan global, tidak mengenal negara. Karena komputer dan peralatan-peralatan berteknologi-tinggi lainnya, miliaran dollar bergerak melintasi batas-batas negara 24 jam sehari. Terutama setelah deregulasi finansial dunia yang bermula pada akhir 1970-an, sebuah fenomena baru muncul: uang menjadi komoditas, sebuah tujuan pada dirinya sendiri. Pertukaran uang luar negeri (FX) sekarang ini jauh melampaui jumlah yang digunakan untuk pembelian jasa, barang, atau investasi internasional perusahaan-perusahaan dunia.[Menurut Ohmae (1990: 157), total volume harian pertukaran uang dalam perdagangan luar negeri di antara perusahaan-perusahaan Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat pada 1988 berjumlah sekitar US$600 miliar.] Uang telah menciptakan, meminjam ungkapan Ohmae, sebuah "kekaisaran dirinya sendiri"; dengan aturan-aturannya sendiri, yang seringkali tidak cocok dengan aturan-aturan dan kepentingan-kepentingan sebuah negara tertentu. Kekaisaran baru yang "tak bertanah-air" ini memadukan perdagangan-perdagangan finansial besar di Singapura, Toronto, Stockholm, New York, dan Jakarta dalam satu pasar yang saling terkait.
Ketika perekonomian dunia menjadi semakin terintegra-sikan, otoritas dan kemampuan negara berubah. Sekarang ini tidak lagi mungkin bagi sebuah pemerintahan untuk mengelola secara makro pereko
nomian domestiknya dan mengatur perdagangan luar negerinya tanpa memperhatikan kecenderungan-kecenderungan dalam, dan sifat dari, perekonomian global. Kemampuan negara untuk memberlakukan kebijakan menurun.
Jika Bundesbank Jerman, misalnya, mengetatkan pasokan uangnya untuk meredam memanasnya perekonomian, akan ada begitu banyak dana dari luar negeri yang bisa diperoleh oleh suatu perusahaan domestik yang sehat tanpa banyak kesulitan (di Jepang saja, tabungan pribadi dan sektor korporasi menghasilkan surplus modal lebih dari US$1 miliar setiap hari, yang tentu saja harus diinvestasikan di suatu tempat). Jika Washington memutuskan untuk memberlakukan pajak yang lebih tinggi untuk membayar utang-utangnya, yang membuat biaya relatif operasi di negara tersebut kurang menguntungkan, berbagai perusahaan dan modal bisa dengan mudah berpindah ke negara lain. Jika para birokrat Prancis berusaha untuk menghalangi impor mobil Jepang, mereka harus siap untuk menghadapi perselisihan tajam dengan warga Eropa lainnya, Mr. Major, yang negaranya merakit 80 persen perangkat Nissan Bluebirds.
Bersamaan dengan melemahnya kemampuan negara, muncul kekuatan otoritas-otoritas sub-nasional. Karena pemerintah nasional tidak bisa mengontrol perekonomian domestik,[Tentang poin ini, lihat Pollins (1993: 25).] dan karena berbagai kemungkinan besar yang dibuka oleh modal global, otoritas-otoritas sub-nasional tersebut (misalnya, Kota London atau Negara Bagian Washington) kini memiliki peran yang semakin besar. The Research Triangle di Carolina Utara, serta the Route 128 di luar Boston, dan the Silicon Valley di California muncul sebagai aktor-aktor penting, yang mencari modal di luar negara tersebut dengan menggunakan daya tarik dan akses bisnis mereka sendiri. 50 negara bagian di Amerika Serikat, seperti yang dikemukakan Pollins, telah meningkatkan program-program mereka demi untuk berpartisipasi secara aktif dalam gelanggang perekonomian internasional (1993: 26).
Jadi, dalam perekonomian global kita sekarang, bukan hanya kemampuan negara nasional yang menurun, namun pada saat yang bersamaan juga muncul lebih banyak pemain dari tingkat sub-nasional yang berusaha menjalankan bisnis dengan cara mereka sendiri. Dengan demikian, apakah kita sekarang ini harus berkata bahwa negara telah menjadi usang" Apakah negara, yang diambil kontrolnya atas kemampuannya yang pernah ia miliki, ditakdirkan oleh perekonomian global untuk hanya menjadi pemain kelas-dua"
Tidak ada jawaban yang mudah atas pertanyaan-pertanyaan itu. Paul Kennedy, Robert Gilpin, dan Lester Thurow misalnya, menjelaskan bahwa negara nasional sebagai kekuatan dominan di dunia tidak akan berubah dalam jangka pendek. Negara, sebagaimana yang dikatakan Kennedy, tetap merupakan "lokus utama identitas" dari sebagian besar orang: "terlepas dari siapa majikan mereka dan apa pekerjaan mereka, individu-individu membayar pajak kepada negara, dan bisa melakukan perjalanan hanya jika mendapatkan paspor darinya" (1993: 134). Bagi Gilpin dan Thurow, terdapat beberapa persoalan dunia-mi-salnya, stabilitas pertukaran finansial dunia (Gilpin 1987), dan penanganan persoalan-persoalan lingkungan dunia, serta persaingan ekonomi global (Thurow1992)-yang hanya bisa dipecahkan oleh negara nasional. Jadi, meskipun kemampuannya terkurangi oleh perekonomian global, negara samasekali tidak musnah. Ia masih merupakan pemain kelas-satu.
Sulit untuk menyangkal argumen tersebut. Posisi terbaik yang bisa kita ambil mungkin adalah posisi moderat: negara masih merupakan kekuatan yang sangat kuat, namun ia sekarang harus membagi kekuasaannya dengan pemain-pemain lain (misalnya, otoritas-otoritas sub-nasional, kekaisaran FX yang "tak bertanah-air", perusahaan-perusahaan global) yang muncul selama dua dekade terakhir. Dengan kata lain, dunia yang tak berbatas tersebut adalah sebuah dunia poliarkis di mana kekuasaan tersebar, meskipun tidak rata, di antara banyak pemain penting.[Tentang posisi ini, lihat Brown (1974).] Posisi moderat ini memungkinkan kita untuk melihat beberapa persoalan dunia-watak serta kemungkinan
pemecahan persoalan-persoalan tersebut-secara lebih jelas. Dari sudut pandang moderat kita, stabilitas hubungan-hubungan moneter dunia, misalnya, tidak dapat diteguhkan hanya melalui kerjasama antarnegara. Kepentingan, dan juga reaksi, para aktor non-negara tersebut juga harus diperhatikan. Hal ini berarti bahwa jika hubungan yen-dollar hendak distabilkan, tindakan apapun dari Washington atau Tokyo akan tidak ada gunanya jika hal itu dilakukan tanpa melihat apa yang terjadi, atau akan terjadi, di Wall Street New York atau di pusat-pusat perusahaan global di San Francisco, Frankfurt, dan Seoul.
Daftar Rujukan 1. Brown, Seyom (1974), New Forces in World Politics, Brookings Institution.
2. Kennedy, Paul (1993), Preparing for the Twenty-First Century, Random House.
3. Gilpin, Robert (1987), The Political Economy of International Relations, Princeton University Press.
4. Ohmae, Kenichi (1990), Borderless World: Power and Strategy in the Interlink Economy, HarperCollins Publisher.
5. Thurow, Lester (1992), Head to Head: The Coming Economic Battle among Japan, Europe, and America, Time Warner Comp.
6. Reich, Robert B. (1992), The Work of Nations: Preparing Ourselves for 2ist-Century Capitalism, Vintage Books.
7. Pollins, Brian M. (1993), Governance in the Age of Global Capital, draft of a coming book.
Merosotnya Third-worldism
dalam beberapa tahun terakhir kita melihat perubahan dramatis dalam hubungan Timur-Barat. "Kegagalan besar" komunisme dan dampak-dampaknya merupakan salah satu peristiwa politik dan ekonomi yang paling penting di abad kita.
Peristiwa penting lain dalam beberapa tahun terakhir ini adalah merosotnya Third-Worldism. Hal ini mengubah hubungan ekonomi antara Utara dan Selatan. Perubahan ini tidak dramatis-dan terjadi sepanjang 1980-an hampir tanpa ledakan besar, tanpa revolusi.
Perubahan ini memperluas lingkup pasar dunia-banyak negara Dunia Ketiga, yang terbiasa melindungi pasarnya, kini membuka pintunya dan menyatukan dirinya ke dalam kapitalisme global. Perubahan ini juga mengubah sikap banyak pemimpin Dunia Ketiga terhadap praktik-praktik bisnis dan akumulasi modal dunia.
Di Dunia Ketiga, kebijakan-kebijakan yang berorientasi ke luar sekarang ini menjadi umum. Dampak-dampaknya mungkin tidak sebesar runtuhnya komunisme. Namun jika pengalaman baru di hampir setengah penduduk dunia ini berhasil, seluruh dunia akan menjadi lebih baik.
Esai ini akan menjabarkan bagaimana Third-Worldism muncul dan mengapa ia merosot. Kegagalan Third-Worldism sebagai sebuah gagasan, atau sebuah "ideologi", menurut saya, merupakan salah satu faktor yang menjelaskan kemerosotannya.
Munculnya Third-Worldism Dunia Ketiga, sebagai sebuah gerakan internasional, mulai pada pertengahan 1950-an. Secara formal, ia dilancarkan oleh negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk mengungkapkan netralitas dan independensi mereka dari dua super power dunia yang saling bersaing. Dunia Ketiga ingin dilihat sebagai sebuah kekuatan pada dirinya sendiri, dengan kepentingan-kepentingannya sendiri.
Apa yang mendasari gerakan ini adalah kekecewaan yang semakin besar pada sejarah pasca-kolonialnya: Dunia Ketiga melihat bahwa kemiskinan dan ketakberdayaannya terus berlanjut. Pada tahun-tahun awal kemerdekaan mereka, banyak negara Dunia Ketiga dipenuhi dengan optimisme bahwa mereka akan segera ke luar dari kemiskinan mereka. Dekade 1950-an membuktikan bahwa optimisme ini hanyalah ilusi: alih-alih modernisasi ekonomi, apa yang dialami negara-negara ini adalah kemerosotan ekonomi.
Dengan kata lain, Dunia Ketiga merupakan sebuah gerakan yang dilancarkan bukan hanya untuk mengungkapkan netralitas politik, melainkan juga-dan ini yang lebih penting- untuk menemukan cara untuk ke luar dari persoalan-persoalan kemiskinan dan ketidakberdayaan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Dalam hal ini, apa yang diinginkan Dunia Ketiga tersebut adalah suatu penjelasan yang sistematis tentang kemiskinan dan ketidakberdayaan mereka yang berkanjang. Ia memerlukan suatu "ideologi" untuk menjelaskan "mengapa kemerdekaa
n politik mereka tidak melepaskan mereka dari berbagai kesulitan mereka" (Bissel, 1990: 24). Selain itu, dalam hal hubungannya dengan negara-negara lain, para pemimpin Dunia Ketiga membutuhkan suatu agenda internasional yang jelas yang bisa menarik perhatian dunia pada berbagai penderitaan yang dipikul oleh rakyat mereka.
Jawabannya ditemukan dalam analisis teori-teori depen-densia dan sistem-dunia. Teori-teori ini muncul dalam panggung intelektual dunia pada saat Dunia Ketiga tersebut perlu menegaskan sejarah pasca-kolonialnya dan tempatnya di arena internasional.
Terdapat beberapa varian dalam aliran dependensia dan juga dalam aliran sistem-dunia tersebut.[Untuk penjabaran yang bagus tentang varian-varian ini, lihat Gilpin (1987) dan Spero (1977).] Bagi sebagian pemikir, seperti Andre Gunder Frank, misalnya, satu-satunya cara bagi Dunia Ketiga untuk memecahkan berbagai persoalannya adalah dengan melancarkan sebuah revolusi menyeluruh untuk melepaskan perekonomiannya dari perekonomian im-perialistik negara-negara Utara yang kaya. Bagi sebagian yang lain, seperti Prebisch dan Wallerstein, revolusi tidak diperlukan karena nasib Dunia Ketiga bisa ditingkatkan jika sistem tatanan perekonomian internasional yang ada bisa diubah dan diperbarui kembali.
Namun, terdapat gagasan-gagasan tertentu yang sama-sama diyakini oleh teori-teori ini. Bagi aliran dependensia-yang mendasarkan banyak asumsinya terutama pada gagasan-gagasan Marx dan Lenin-kapitalisme global, dengan Utara sebagai intinya, menciptakan hubungan ketergantungan yang, dalam rumusan Gunder Frank, hanya meningkatkan keterbelakangan Dunia Ketiga. "Sistem kapitalisme [global]," tulis Paul Baran (1957: 249), "yang pernah menjadi suatu mesin perkembangan ekonomi yang begitu kuat [di Utara], telah berubah menjadi beban yang sangat besar bagi kemajuan [di Dunia Ketiga]".
Dunia Ketiga, menurut aliran dependensia, secara sistematis dihisap dan dihalangi untuk berkembang oleh Utara yang kaya, kapitalis, industrial. Perdagangan internasional, bantuan ekonomi, dan perusahaan-perusahaan multinasional merupakan mekanisme-mekanisme atau lembaga-lembaga yang melayani kepentingan Utara untuk merampok kekayaan Dunia Ketiga. Paling banter, apa yang dilakukan Utara untuk membantu "mengembangkan" Dunia Ketiga adalah semata-mata memperkaya beberapa kelompok orang yang, pada gilirannya, menghisap warga Dunia Ketiga yang lain.
Bagi aliran sistem-dunia, struktur sistem ekonomi internasional secara inheren menghalangi Dunia Ketiga untuk menjalankan perdagangan yang menguntungkan dengan Utara. Aliran ini berpendapat bahwa syarat-syarat perdagangan antara Utara dan Dunia Ketiga cenderung semakin menguntungkan yang pertama dan merugikan yang kedua.[Untuk penjelasan singkat namun mendalam tentang posisi strukturalis ini, lihat Gilpin (1987: 276) dan Pollins (1988: 2-7).] Demikianlah Dunia Ketiga dipaksa untuk mengekspor komoditas-komoditas primer dalam jumlah yang sangat besar untuk membiayai impor barang-barang manufakturnya dari Utara. Dengan kata lain, pertukaran yang tidak seimbang ini, menjebak Dunia Ketiga dalam lingkaran keterbelakangan ekonominya.
Dengan demikian, bagi aliran dependensia dan sistem-du-nia ini, apa yang harus dilakukan Dunia Ketiga adalah melindungi dirinya sendiri sejauh mungkin dari Utara yang impe-rialistik atau dari ketidakseimbangan perdagangan internasional. Secara domestik, pemerintah Dunia Ketiga harus melindungi pasarnya dan memajukan industri nasionalnya dengan mengambil langkah-langkah proteksionis dan dengan menjalankan kebijakan-kebijakan pengganti-impor. Secara internasional, Dunia Ketiga harus bersatu untuk "memaksa" Utara menerima aturan-aturan dan prosedur-prosedur internasional baru yang menguntungkan atau setidaknya tidak merugikan kepentingan ekonomi Dunia Ketiga.
Sebagaimana yang telah kita lihat, teori-teori ini tampak memberikan suatu penjelasan yang kurang lebih menyeluruh tentang persoalan-persoalan dasar yang dihadapi oleh Dunia Ketiga terkait dengan kemiskinannya dan ketidakberdayaannya dalam hubungan ekonomi internasional.
Teori-teori ini memberikan berbagai penjelasan yang saling terkait dan yang bisa diubah menjadi tindakan politik dan program ekonomi.
Selain itu, teori-teori ini bisa memuaskan hasrat Dunia Ketiga untuk memahami dirinya sendiri sebagai entitas yang dihisap, dan yang kemiskinan dan ketidakberdayaannya bukan disebabkan oleh dirinya sendiri melainkan oleh orang lain. Karena itu, dengan menerima teori-teori ini para pemimpin politik Dunia Ketiga bisa menghubungkan kemiskinan dan ketidakberdayaan negaranya dengan bekerjanya kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi global.
Semua itulah alasan mengapa teori-teori ini diterima luas oleh para pemimpin Dunia Ketiga. Teori-teori ini menjadi tulang-punggung teoretis dari apa yang seringkali disebut sebagai Third-Worldism, yang umum terdapat di Dunia Ketiga sepanjang 1960-an dan 1970-an.
Tentu saja terdapat beberapa negara, terutama di Asia Timur dan Tenggara, yang tidak menerima gagasan Third-Worldism ini dari awal (misalnya, Singapura, Korea Selatan, Hong Kong, Thailand). Namun, gagasan ini tersebar luas mulai dari India dan Indonesia hingga Brasil, Argentina, dan Tanzania- di beberapa negara (misalnya India, Brasil, dan Tanzania) gagasan ini diterapkan sepenuhnya; di beberapa negara yang lain (misalnya Indonesia dan Malaysia) gagasan ini umumnya digunakan sebagai retorika oleh para penguasa untuk memperluas dukungan politik dalam negeri dan memperkuat posisi internasionalnya.
Jadi, selama 1960-an dan 1970-an, di Asia, Afrika dan Amerika Latin, kebijakan-kebijakan seperti nasionalisasi, peng-ganti-impor, dan redisribusi ekonomi berdasarkan garis populis dan anti-kapitalis berlaku. Menurut John Grimmon dari The Economist (13/11/1993), untuk menjalankan kebijakan-kebijakan itu pemerintahan-pemerintahan Dunia Ketiga mengambil risiko defisit bujet yang sangat besar dan menetapkan angka pertukaran yang tinggi.
Secara internasional, panggung utama Third-Worldism adalah forum-forum dan konferensi-konferensi PBB. Nada yang diungkapkan oleh para pemimpin Dunia Ketiga dalam forum-forum dan konferensi-konferensi ini seringkali konfrontatif.
Dalam hal ini, usaha-usaha Dunia Ketiga untuk meningkatkan kepentingannya terwujud: UNCTAD dibentuk; Utara menerima tawaran untuk menambahkan seksi-seksi perdagangan dan pembangunan baru dalam kesepakatan GATT; dan perlakuan istimewa dijalankan oleh semua negara maju (Spero 1977). Semua ini sangat substansial, meskipun bagi sebagian besar negara Dunia Ketiga hal itu dianggap kurang memunculkan hasil-hasil yang memuaskan. Seksi baru pada GATT tersebut, misalnya, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi Dunia Ketiga untuk menjual produk-produk mereka di Utara dan menutup lebih banyak pasar domestiknya karena, untuk alasan pembangunan, mereka diizinkan untuk tidak dikenakan penerapan prinsip non-diskriminatif.
Merosotnya Third-Worldism
Pada akhir 1970-an dan sepanjang 1980-an keadaan mulai berubah. Pada masa ini menjadi lebih jelas bahwa Third-Worldism tersebut tidak membawa Dunia Ketiga ke mana-mana. Berhadapan dengan berbagai kesulitan ekonomi dalam negeri, banyak negara Dunia Ketiga mulai melakukan reformasi dan internasionalisasi perekonomian mereka.
Selain itu, selama masa ini Dunia Ketiga terpaksa menerima kenyataan bahwa, alih-alih konfrontasi, kerjasama dengan Utara lebih realistik untuk memecahkan persoalan kemiskinan dan ketakberdayaannya.
Sebelum kita bergerak lebih jauh membahas perubahan ini, penting untuk diingat bahwa Third-Worldism, sebagai sekumpulan pengetahuan, pada dasarnya tidak meyakinkan. Popularitasnya yang begitu luas di Dunia Ketiga, sebagaimana yang dijelaskan Peter Berger (1986), pada dasarnya bukan karena keunggulan-keunggulan teoretisnya, melainkan karena alasan-alasan di luar lingkup wacana akademis. Peter Berger dengan jelas mengemukakan alasan "non-akademis" dari popularitas Third-Worldism ini:
Jika akar-akar keterbelakangan tersebut dicari di luar masyarakat sendiri, seseorang seringkali terhindarkan dari introspeksi-diri yang menyakitkan (dan memalukan), dan seseorang mendapatkan kambing-hita
m eksternal yang sangat memuaskan. Kombinasi motif politik dan psikologis ini cukup memadai untuk menjelaskan popularitas pandangan Third-Worldism ini di Dunia Ketiga (Berger, 1986: 128).
Sebagai sekumpulan pengetahuan, Third-Worldism tidak meyakinkan karena banyak pertanyaan yang tidak terjawab. Third-Worldism mengatakan bahwa jika seorang kapitalis New York atau London mengakumulasi modalnya di Dunia Ketiga, ia melibatkan dirinya dalam sebuah proses imperialistik. Ia hanya merampok kekayaan Dunia Ketiga. Namun bagaimana jika seorang kapitalis New York mengumpulkan modalnya di Eropa" Bagaimana jika seorang kapitalis Eropa atau Singapura berinvestasi di New York, apakah itu imperialistik" Lebih jauh, bagaimana dengan hubungan di antara negara-negara non-kapitalis-jika perekonomian Kuba atau Korea Utara sangat bergantung pada perekonomian Uni Soviet atau Cina (sebagaimana yang terjadi sebelum komunisme runtuh), apakah ini juga merupakan suatu hubungan ketergantungan, dan jika ya, mengapa hal ini terjadi tanpa kapitalisme" Baik Wallerstein, Prebisch, maupun Gunder Frank tidak dapat memberikan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan penting ini.
Bagaimana dengan Jepang" "Jika memang ada korban imperialisme," kata Berger, "itu adalah Jepang" (1986: 128). Keberhasilan modernisasi pertamanya terjadi selama masa Meiji-hal ini merupakan hasil langsung dari agresi imperialis, ketika Kommodor Perry pada 1853, dengan todongan senjata, memaksa rakyat Jepang untuk membuka pintu mereka bagi penetrasi kapitalis. Mukjizat kedua Jepang terjadi setelah Perang Dunia II, di bawah "kolonialisme" militer Amerika, dan di bawah bantuan langsung dan berskala-besar ekonomi Amerika. Mengapa hal ini terjadi" Jika hubungan ketergantungan memang mencegah suatu negara dari modernisasi ekonomi, bukankah kita sekarang seharusnya melihat Jepang sebagai salah satu negara termiskin di dunia"
Selain pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab ini, Third-Worldism tidak meyakinkan sebagai suatu kumpulan pengetahuan karena terdapat banyak cacat di dalamnya. Ia melihat hubungan dagang sebagai suatu hubungan zero-sum. Ia juga mendorong mentalitas anti-bisnis dan anti-perdagangan di kalangan politisi dan perencana ekonomi di Dunia Ketiga. Ia menjadikan orang-orang di Dunia Ketiga gagal mengakui bahwa di zaman kita perdagangan internasional dan pasar internasional merupakan potensi yang menunggu untuk dimanfaatkan dan dijelajahi dengan kreativitas kita.
Third-Worldism menyesatkan orang-orang di Dunia Ketiga dengan membuat mereka melihat persoalan kemiskinan mereka terutama sebagai persoalan merosotnya perdagangan komoditas primer mereka. Ia gagal menunjukkan pada Dunia Ketiga bahwa persoalan utama bagi masa depannya adalah bagaimana mengubah perekonomiannya dari produsen komoditas primer menjadi produsen barang-barang manufaktur (lihat Gilpin 1987: 288). Dengan kata lain, Third-Worldism menanamkan pesimisme, bukan optimisme.
Secara teoretis, harga produk-produk primer cenderung menurun dari waktu ke waktu, bukan terutama karena monopoli di Utara atau karena "hubungan imperialistik antara pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan", melainkan karena perubahan teknologis dan perkembangan industri. Karena itu, merosotnya perdagangan komoditas primer hendaknya tidak terlalu dicemaskan sebuah negara-apa yang seharusnya ia lakukan adalah berkonsentrasi dalam meningkatkan daya saing globalnya dan membuka dirinya pada dunia untuk mengembangkan basis teknologi dan industrinya.
Cacat lain dari Third-Worldism bisa dilihat pada anjurannya untuk melakukan nasionalisasi dan penggantian-impor. Kedua langkah ini, jika sepenuhnya dijalankan, hanya akan sangat memperbesar campur-tangan birokrasi. Hal ini akan men-ciptakan sebuah perekonomian yang sangat tidak efisien. Dalam hal penggantian impor, tidak ada penjelasan yang meyakinkan yang diberikan oleh Third-Worldism. Selain itu, seluruh perusahaan pengganti-impor pada dasarnya sangat mahal bagi konsumen maupun pemerintah-yang terakhir ini harus mengambil risiko mengalami defisit bujet yang sangat besar untuk membayar p
erusahaan ini. Terdapat kasus-kasus di mana Third-Worldism membantu memberikan 'telur emas' ke beberapa negara Dunia Ketiga. Sebagai contoh adalah keberhasilan Brasil, Argentina, dan Meksiko pada 1960-an dan awal 1970-an. Dalam periode itu GDP per kapita negara-negara ini meningkat lebih dari 5% per tahun. Namun, keberhasilan ini ternyata tidak bertahan lama: pada 1980-an perekonomian negara-negara ini runtuh (lihat Grimmond 1993; Crook 1989). Dalam periode ini utang mereka meningkat tajam, inflasi melambung, dan GDP per kapita merosot.[Dalam hal inflasi, Brasil 2.750% per tahun, Argentina 3.080%, dan Meksiko sekitar 80%. Dalam hal GDP per kapita, Brasil mengalami kemerosotan dari $2.481 pada 1980 menjadi $2.449 pada 1988; Argentina dari $3.359 menjadi $2.862; dan Meksiko dari $2.872 menjadi $2.588. Dalam hal utang luar negeri, Argentina meningkat dari $32,4 miliar menjadi $53,9; Brasil dari $68,7 miliar menjadi $109,4 miliar; dan Meksiko dari $78,0 miliar menjadi $93,7 miliar (lihat Kennedy 1993: 203; Grim-mond 1993: 7).]
Bagi sebagian besar negara Dunia Ketiga yang percaya pada gagasan Third-Worldism, *telur emas' yang dinikmati oleh Meksiko, Argentina dan Brasil selama 1960-an dan awal 1970-an tersebut tidak pernah datang. Sebagian besar dari negara tersebut tidak pernah mengalami suatu periode pertumbuhan ekonomi yang cepat. Sebaliknya, andil keseluruhan mereka dalam ekspor barang-barang manufaktur dunia menurun.[Jika termasuk Brasil, Argentina, dan Meksiko (namun tanpa menyertakan negara-negara Asia Timur), andil total Dunia Ketiga dalam ekspor barang-barang manufaktur dunia merosot dari sekitar 10% pada 1965 menjadi 6% pada 1980 (The Economist, 02/10/1993).]
Selain itu, bagi semua negara ini, akhir 1970-an dan 1980-an benar-benar merupakan suatu periode yang sangat buruk: karena kenaikan harga minyak dan resesi global yang terjadi tiba-tiba (pada awal 1980-an), perekonomian mereka terpuruk dalam krisis yang sangat dalam. Bagi negara-negara ini, periode ini seringkali disebut "dekade yang hilang".
Krisis inilah yang menyebabkan Third-Worldism menjadi kurang populer. Negara-negara Dunia Ketiga, pada awal 1980-an, mulai melakukan reorientasi diri dan mengambil langkah-langkah yang tidak sesuai dengan Third-Worldism. Dunia Ketiga mulai lebih membuka perekonomian mereka terhadap investasi asing dan mengubah orientasinya dari perekonomian peng-ganti-ekspor ke perekonomian yang lebih berorientasi ekspor.
Selain krisis ekonomi ini, ada satu faktor lagi yang tidak boleh dilupakan, yang juga menjelaskan mengapa Third-Worldism menjadi semakin tidak populer. Pada awal 1980-an, menjadi semakin jelas bahwa apa yang terjadi di Asia Timur dan Tenggara-di mana Third-Worldism tidak pernah dianggap sebagai suatu gagasan yang bagus-adalah suatu mukjizat ekonomi.
Selama 1960-an dan 1970-an, sementara sebagian besar perekonomian Dunia Ketiga terseok-seok, negara-negara Asia Timur dan Tenggara ini mengalami angka pertumbuhan yang menakjubkan (sekitar 6-7% per tahun pada 1970-an, dan 8-9% pada paruh kedua 1980-an). Negara-negara ini, yang secara konsisten menjalankan kebijakan berorientasi ekspor, memperlihatkan kepada dunia bahwa Selatan atau Dunia Ketiga bisa mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari perdagangan dan hubungan dekat dengan kapitalisme global. Mukjizat negara-negara ini pada dasarnya merupakan contoh tentang betapa menyesatkannya Third-Worldism (Harris 1986; Bissel 1990; Berger 1986).
Masa Depan Pada 1990 Third-Worldism tidak lagi populer di Dunia Ketiga. Sebagian besar negara penting di Dunia Ketiga kini mereformasi perekonomian mereka. Di sini kebijakan-kebijakan seperti deregulasi, devaluasi, serta debirokratisasi kini dijalankan untuk mengikis warisan-warisan lama Third-Worldism. Kini mereka lebih membuka diri kepada dunia.
Beberapa negara (seperti Meksiko) sangat berhasil dalam menjalankan reformasi-perekonomian mereka bisa ke luar dari krisis 1980-an dan mulai kembali tumbuh pada awal 1990-an. Sebagian negara yang lain (seperti negara-negara di Asia Selatan) masih harus menunggu bahwa
langkah-langkah mereka dalam meninggalkan Third-Worldism membuahkan hasil.
Bagi pemerintahan di Dunia Ketiga, reformasi adalah sebuah pertaruhan. Jika hal ini tidak segera memperbaiki standar hidup orang-orang di jalanan, pemerintah akan ditumbangkan. Reformasi akan menjadi kematian secara politik jika rakyat menganggap bahwa hal itu hanya meningkatkan beban kehidupan mereka. Third-Worldism, dalam satu atau lain bentuk, akan kembali jika pertaruhan reformasi ini gagal.
Daftar Rujukan 1. Spero, Joan Edelman (1977), The Politics of International Economic Relations, Martin's Press.
2. Harris, Nigel (1986), The End of the Third World, Penguin.
3. Gilpin, Robert (1987), The Political Economy of International Relations, Princeton.
4. Berger, Peter (1986), The Capitalist Revolution, Basic Books.
5. Bissel, Richard E. (1990), "Who Killed the Third World"", The Washington Quarterly, Autumn.
6. Kennedy, Paul (1993), Preparing for the Twenty-first Century, Random House.
7. Pollins, Brian (1988), "International Power and Unequal Exchange", Quarterly Report, OSU, Mershon Center, Winter, Vol. 12, No. 3.
Apa yang Harus Kita Lakukan Bagi Dunia Ketiga"
untuk menulis tentang hubungan antara Dunia Ketiga dan negara-negara industri kaya, kita perlu bertolak dari asumsi ini: pembangunan (ekonomi) yang pertama sangat bergantung pada perdagangannya dengan yang kedua.
Negara-negara industri menghasilkan % penghasilan dunia (The Economist, 25/09/1993). Dengan kata lain, negara-negara ini adalah satu-satunya kelompok negara yang mampu mencip-takan permintaan yang tinggi atas barang dan jasa Dunia Ketiga. Inilah alasan mengapa jika negara-negara industri maju tersebut mengurangi permintaan mereka, karena berbagai alasan (misalnya: resesi atau proteksionisme), Dunia Ketiga akan menderita.
Dari perdagangan Dunia Ketiga bisa memperoleh matauang asing yang diperlukan untuk membeli mesin dan teknologi dari negara-negara industri maju itu, yang sangat penting untuk menghasilkan barang dan jasa yang lebih baik. Jika proses ekspor-impor ini terus berjalan dalam jangka panjang, Dunia Ketiga akan menjadi lebih baik.
Kaum strukturalis atau para teoretisi dependensia benar, namun karena alasan yang salah. Sebagaimana yang dikemu-kakan Pollins (1988: 5-7), terms of trade produk-produk primer Dunia Ketiga memang menurun-tapi produk-produk primer bukan merupakan satu-satunya barang yang bisa dibuat dan dijual Dunia Ketiga: mereka bisa bergeser ke produksi modern dan membuat barang-barang manufaktur atau semi-manufaktur. Jika pemerintah Dunia Ketiga bisa menjalankan perekonomian yang bagus dan membangun lingkungan yang pro-bisnis, dan bisa mendapatkan pertolongan yang masuk akal dalam hal keuangan eksternalnya, proses pergeseran ke produksi ekonomi modern bukan sesuatu yang mustahil. Dengan kata lain, perdagangan, pada dirinya sendiri, tidak mengodratkan Dunia Ketiga menjadi pecundang. Perdagangan, sebagaimana yang diyakini kaum liberal, merupakan suatu permainan positive-sum (Gilpin, 1987: 172-180).
Sejarah tiga dekade terakhir ini memberi kita suatu contoh yang sangat jelas dari asumsi sederhana dan pro-perdagangan ini. Negara-negara paling berhasil di Dunia Ketiga (yakni naga-naga besar dan kecil Asia Timur dan Tenggara) adalah negara-negara yang lebih bergantung pada ekspor barang dan jasa ke negara-negara industri (Harris, 1986). Sebaliknya, negara-negara yang mengalami berbagai masalah sejak akhir 1970-an (sebagian besar di Amerika Latin dan Afrika) adalah negara-negara yang sangat bergantung pada mekanisme pengganti-impor atau pada orientasi swadaya (The Economist, 23/09/1989).
Dengan demikian, dari asumsi pro-perdagangan ini, kita dapat berkata bahwa hal terbaik yang bisa dilakukan untuk membantu Dunia Ketiga adalah memelihara dan memperluas rezim perdagangan yang menjamin aliran barang dan jasa yang lebih bebas dari Dunia Ketiga ke negara-negara industri, dan sebaliknya. Dengan kata lain, apa yang harus kita lakukan adalah memperkuat rezim perdagangan liberal dunia. Dalam hal ini, tugas yang paling mendesak
yang harus dilakukan dunia industri adalah menegaskan kembali GATT sebagai tulang-punggung hubungan perdagangan kita.
Prinsip-prinsip GATT (misalnya, perjanjian non-diskrimi-nasi) memungkinkan negara-negara Dunia Ketiga untuk secara otomatis mendapatkan keuntungan dari konsesi dan tawar-menawar yang dilakukan di antara negara-negara besar. Selain itu, GATT mencegah negara-negara kuat untuk secara selektif memberlakukan bea-cukai atau kebijakan-kebijakan lain yang merugikan pihak-pihak yang lebih lemah. Dengan demikian, GATT, dalam ungkapan Feinberg dan Boylan, merupakan "pelindung terbaik pihak yang lemah [yakni Dunia Ketiga]" (1992: 194).
Dalam dua dekade terakhir GATT diperlemah oleh beberapa kecenderungan baru dalam ekonomi dunia kita. Beberapa contoh di antaranya: pertama, proteksionisme baru (misalnya rintangan-rintangan non-tarif dan proteksionisme sektoral) sekarang ini lebih sering dijalankan oleh negara-negara besar. Bukti-buktinya sangat meyakinkan: sebagai contoh, pada 1980 proporsi barang manufaktur terhadap rintangan non-tarif adalah 20%, pada 1983 hal ini meningkat hingga sekitar 30% (Gilpin, 1987: 192). Kecenderungan kedua adalah pembentukan blok-blok ekonomi regional. Ada tanda-tanda bahwa blok-blok ini akan menjadi pulau-pulau yang dilindungi oleh tembok-tembok perdagangan (Thurow 1993: 27-66).
Sangat jelas bahwa jika kecenderungan-kecenderungan ini terus berlanjut, korban pertama adalah pihak-pihak terlemah dunia kita (yakni Dunia Ketiga). Karena itu, jika negara-negara kaya menegaskan sekali lagi prinsip-prinsip mulia GATT, hal itu dilakukan juga demi kepentingan Dunia Ketiga.
Tentu saja, untuk memperbaiki kehidupan Dunia Ketiga, tidak cukup jika kita hanya bersandar pada satu mekanisme (yakni perdagangan bebas). Semata-mata perdagangan bebas tidak memadai. Negara-negara industri juga harus mengurangi kecenderungan matauang-matauang utama (dollar, yen, dan mark) menjadi terlalu tidak menentu.
Jika nilai dollar atau yen terus-menerus naik turun dalam jangka waktu yang relatif pendek, para pengekspor dan pengimpor Dunia Ketiga akan sangat kesulitan untuk merancang suatu rencana jangka panjang. Selain itu, sebagaimana yang diperlihatkan oleh peristiwa-peristiwa pada awal 1980-an, perubahan mendadak nilai matauang utama (dalam kasus ini nilai dollar naik) akan menjerumuskan banyak negara Dunia Ketiga ke dalam persoalan keuangan besar.
Penting juga untuk membantu keuangan eksternal Dunia Ketiga dan juga memberi bantuan untuk membangun infrastruktur ekonomi mereka. Dalam hal ini kita bisa melihat suatu kecenderungan yang menarik dalam keuangan internasional: bangkitnya (dalam bentuk-bentuk baru) aliran modal swasta ke Dunia Ketiga (The Economist, 25/09/1993). Pada 1981, ketika aliran modal kotor ke Dunia Ketiga adalah $156,9 miliar, proporsi pinjaman bank komersial dan pinjaman resmi sangat tinggi (46,1% dan 26%). Sekarang ini (1992), ketika aliran modal ke Dunia Ketiga adalah $229,2 miliar, proporsi FDI (Foreign Direct Investment), surat obligasi, PE (Portfolio Equity), dan dana bantuan dari sumber-sumber keuangan swasta meningkat pesat.[FDI dari 8,3% pada 1981 menjadi 16,7% pada 1992; surat obligasi dari 1,2% menjadi 9,4%; PE dari 0,1% menjadi 5,7%; dan dana bantuan dari 7,3% menjadi 13,1% (The Economist, 25/09/1993).]
Semua ini berarti bahwa Dunia Ketiga kini bisa kurang bersandar pada pinjaman bank komersial, yang seringkali disertai dengan bunga tinggi. Hal ini juga berarti bahwa risiko modal yang dipinjam oleh Dunia Ketiga sekarang ini tersebar secara lebih aman. Dan yang paling penting: hal ini berarti bahwa sekarang ini terdapat tekanan yang lebih besar bagi pemerintahan di Dunia Ketiga untuk mereformasi kebijakan mereka (yakni tidak banyak campur-tangan dalam perekonomian). Para investor swasta tidak akan masuk ke negara-negara di mana terdapat terlalu banyak aturan "anti-bisnis" yang diberlakukan oleh pemerintah yang sangat aktivis. Hal ini sangat penting, karena salah satu persoalan yang paling mendasar dari negara-negara Dunia Ketiga bisa dilihat dari kenyataan bahwa pemerint
ah mereka (yang sebagian besar tidak kompeten) terlalu ikut campur dalam perekonomian.
Dengan kata lain, bentuk-bentuk keuangan internasional yang baru ini bukan hanya mengurangi risiko dan biaya modal, melainkan juga memaksa pemerintah di Dunia Ketiga untuk menjalankan reformasi ekonomi demi menciptakan suatu lingkungan bisnis yang lebih bersahabat dan kondisi makro-ekonomi yang stabil.
Karena itu penting bagi negara-negara industri untuk mendorong kecenderungan baru dalam keuangan internasional ini. Hal ini bisa dilakukan dengan beberapa cara, namun yang paling penting, sebagaimana dikemukakan oleh Clive Crook dari The Economist, adalah bagaimana negara-negara industri menjaga 'rumah' mereka sendiri tetap tertib. Jika, misalnya, suku bunga di AS naik secara dramatis (karena pemerintah menghisap sebagian besar uang untuk membayar utangnya yang semakin besar), yang menjadikan para investor keuangan berpikir bahwa lebih baik memindahkan uang mereka ke sebuah bank di New York ketimbang membeli surat obligasi beberapa perusahaan di Malaysia atau Peru, kecenderungan internasional baru ini akan berbalik, dan sangat mungkin Dunia Ketiga sekali lagi akan terperosok ke dalam persoalan besar dan tidak mampu membayar utang mereka.
Penting dicatat bahwa kita tidak dapat membantu apapun jika negara-negara Dunia Ketiga tidak membantu diri mereka sendiri. Dalam dunia perdagangan liberal, mereka yang memiliki kinerja yang lebih baik akan bertahan. Untuk melakukan hal itu, mereka harus mempraktikkan prinsip-prinsip ekonomi yang bernas (misalnya, pembatasan fiskal, inflasi yang rendah, angka pajak yang masuk akal). Seperti yang telah saya kemukakan di atas, kecenderungan baru dalam keuangan internasional tersebut sekarang ini "memaksa" pemerintahan-pemerintahan di Dunia Ketiga untuk melakukan hal ini. Namun "pengaruh eksternal" ini hanya sebagian dari cerita: apa yang juga diperlukan adalah motivasi dan tekad internal negara-negara Dunia Ketiga. Mereka yang tidak memiliki motivasi dan tekad ini akan menjadi pecundang dalam dunia baru kita.
Memang ada beberapa negara Dunia Ketiga (sebagian di Afrika Sub-Sahara, dan sebagian di Asia Selatan) yang, menurut beberapa pemikir, bagaimanapun juga akan menjadi pecundang. Lihat saja negara-negara di Afrika Sub-Sahara. Banyak dari mereka yang masih berada dalam "keadaan alamiah", dalam pengertian bahwa masing-masing kelompok suku di satu negara ingin menggorok tenggorokan satu sama lain dalam memecahkan konflik-konflik politik, ekonomi, dan budaya. Selain itu, banyak di antara mereka samasekali tidak memiliki sum-berdaya ekonomi dan sumberdaya manusia yang sangat dibutuhkan untuk mulai membuat sesuatu untuk diekspor. Lester Thurow, dalam bukunya yang menarik, Head to Head, menulis lelucon ini: jika karena alasan tertentu Tuhan menghadiahi Anda Afrika Sub-Sahara untuk Anda perintah, satu-satunya pilihan yang cerdas adalah mengembalikannya lagi kepadanya.
Bagi negara-negara ini (Dunia Ketiga di dalam Dunia Ketiga) mungkin tidak banyak yang bisa kita lakukan, paling tidak untuk sementara ini. Kita mungkin bisa memberikan bantuan kemanusiaan. Kita juga bisa memberikan pinjaman pembangunan yang murah. Namun semua usaha mulia ini akan sia-sia, kecuali jika negara-negara ini mulai menjauh dari "keadaan alamiah" mereka.
Daftar Rujukan 1. Feinberg, Richard E., dan Delia M. Boyland, 1992, Modular Multilateralism: North-South Economic Relations in the 1990s, Washington Quarterly, Winter.
apa yang harus kita lakukan bagi dunia ketiga" 383
2. Gilpin, Robert (1987), The Political Economy of International Relation, Princeton.
3. Harris, Nigel (1986), The End of the Third World, Penguin Books.
4. Pollins, Brian (1988), International Power and Unequal Exchange, Quarterly Report, Mershon Center, OSU, V. 12, Winter.
5. Thurow, Lester (1993), Head to Head, Warner Books.
Kapitalisme, Sosialisme, dan Dunia Ketiga
(Bagaimana Peter Berger Bergerak ke "Kanan")
sosialisme dan kapitalisme, sebelum Gorbachev mulai mengikis ajaran-ajaran dasar sosialisme pada pertengahan 1980-an, dian
ggap sebagai dua pilihan paham yang saling bersaing bagi pembangunan di Dunia Ketiga.[Mengemukakan hal ini bukan berarti mengatakan bahwa setelah Gorbachev, sosialisme hanya akan menjadi bagian sejarah. Tentu saja, sosialisme masih akan menarik banyak pengikut di Dunia Ketiga bahkan berdekade-dekade setelah runtuhnya kekaisaran Soviet. Sosialisme, sebagaimana kapitalisme, adalah sebuah ideologi modern yang mencoba untuk memberi berbagai penjelasan tentang bagaimana membentuk sebuah masyarakat yang adil dan damai. Sosialisme, sebagai suatu usaha intelektual manusia, akan terus-menerus diperbaiki, mungkin sampai sebagian besar jejak Marx sulit dilacak di dalamnya. Namun, tentu saja "persaingan" antara sosialisme dan kapitalisme di Dunia Ketiga sebagaimana yang terjadi setelah Perang Dunia ii dan sebelum Gorbachev pada 1980-an tidak akan sama lagi. Kapitalisme, setelah runtuhnya kekaisaran Soviet, dianggap sebagai pilihan yang lebih baik bagi masyarakat yang modern dan dinamis.] Memang, setelah Perang Dunia ii, salah satu persoalan utama dalam pembangunan Dunia Ketiga berkenaan dengan persoalan apakah sosialisme atau kapitalisme, atau perpaduan dari keduanya, yang merupakan cara tercepat dan teraman untuk ke luar dari kemiskinan dan ke-tertinggalkan.
Salah satu teoretisi sosial besar yang mencoba untuk membahas persoalan sosialisme dan kapitalisme jika diterapkan di Dunia Ketiga adalah Peter L. Berger. Pada 1974, bukunya, Pyramids of Sacrifice (Basic Books), diterbitkan. Dalam buku ini Berger menulis bahwa baik kapitalisme maupun sosialisme telah mengakibatkan korban manusia yang begitu besar di Dunia Ketiga. Kedua ideologi atau model pembangunan ini bukannya tanpa mitos-mitos; dan berbagai mitos ini harus ditolak. Posisinya netral: baik sosialisme maupun kapitalisme bisa ditolak, atau diterapkan, jika "kalkulus penderitaan" dan "kalkulus makna" diperhitungkan. Dua belas tahun kemudian, ia menulis sebuah buku lain, Capitalist Revolution (Basic Books). Di sini ia memperlihatkan bahwa ia telah meninggalkan posisi sebelumnya. Ia berkata bahwa bagi Dunia Ketiga, kapitalisme secara moral merupakan pertaruhan yang lebih aman. Ia menjelaskan bagaimana kapitalisme telah menghasilkan kekuatan produktif terbesar dalam sejarah manusia dan bagaimana kisah sukses kapitalisme di Eropa Timur merupakan suatu kabar buruk bagi Marxisme. Pendeknya, dalam buku ini, sebagaimana yang ia tulis sendiri, ia bergerak ke "kanan".
Dalam tulisan ini saya mencoba untuk menjabarkan gagasan-gagasan Berger dalam buku-buku di atas. Fokus saya adalah gagasan Berger tentang kapitalisme dan sosialisme dan penerapan mereka dalam Dunia Ketiga. Saya juga akan berusaha melihat mengapa Berger meninggalkan "netralitas" dan bergerak ke "kanan".
Piramida Korban Gagasan kapitalisme tentang pembangunan, bagi Berger, pada dasarnya merupakan "suatu proyeksi universal dari 'Mimpi Amerika'-sebuah visi tentang keberlimpahan ekonomi dalam konteks demokrasi politik dan masyarakat kelas yang dinamis" (hlm. 38). Karena itu, bagi para pemimpin Dunia Ketiga yang percaya pada cara pembangunan ini, apa yang mereka janjikan kepada rakyat mereka adalah keberlimpahan materiil dan kebebasan politik. Namun bagi Berger, gagasan bahwa pembangunan kapitalis di Dunia Ketiga dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat umum adalah sebuah mitos ("mitos pertumbuhan, yang tertanam dalam suatu mitologi kemajuan dan modernitas yang menyeluruh") [hlm. 39]. Dan sebagaimana yang kemudian akan ia tunjukkan dalam penilaiannya atas pertumbuhan ekonomi Brasil, janji akan kebebasan politik "ditunda" demi untuk mengejawantahkan mitos pertumbuhan.
Untuk mengkritik model-model kapitalis tersebut, Berger mulai dari dua pertanyaan: siapa yang menetapkan model tersebut" Siapa, jika ada, yang mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan tersebut" Dalam menjawab pertanyaan pertama, Berger sekadar menyatakan bahwa yang menentukan model tersebut adalah para teknokrat, pengusaha, birokrat, administrator, dan ahli-ahli sosial yang lain. Masyarakat pada umumnya, yang paling terkena dampak dari ke
putusan mereka, sangat jarang ditanya dalam proses pembuatan keputusan.
Dalam menjawab pertanyaan kedua, ia menyatakan bahwa kecenderungan-kecenderungan dalam Dunia Ketiga memperlihatkan bahwa kaum miskin tidak mendapatkan apapun: efek menetes ke bawah atau efek penyebaran samasekali tidak terjadi:
Di banyak negara Dunia Ketiga terdapat suatu distribusi yang semakin jauh berbeda dalam hal pendapatan dan kekayaan. Yakni, kelas-kelas bawah mendapatkan lebih sedikit, dan bukan lebih banyak, saat proses [pembangunan kapitalis] tersebut berjalan. Kondisi dasar mereka juga tidak banyak mengalami perbaikan. Terdapat lebih banyak kelaparan dan penyakit sekarang ini dibanding beberapa dekade yang lalu, bukan hanya dalam kaitannya dengan angka absolut, namun bahkan ketika pertambahan populasi diperhitungkan. Apa yang mencolok, di banyak negara Dunia Ketiga terdapat peningkatan pengangguran dan kekurangan pekerjaan (hlm. 47; huruf miring berasal dari teks asli).
Penting untuk dicatat di sini bahwa Berger tidak menolak gagasan-gagasan dari para teoretisi dependensia bahwa pembangunan kapitalis bisa menghasilkan "perkembangan bagi yang kurang-berkembang". Ia bahkan menjelaskan dengan cukup panjang lebar gagasan-gagasan utama dari teori-teori depen-desia, tanpa mengkritiknya. Ia mengatakan bahwa terdapat berbagai kemungkinan bahwa mereka yang mendapatkan keuntungan dari proses pembangunan tersebut adalah kepentingan-kepentingan asing, para kapitalis lokal, dan kaum birokrat; dan bahwa keputusan-keputusan penting dalam politik dalam negeri dilakukan di luar negara-negara Dunia Ketiga tersebut
(hlm. 47-53). Berger menjadikan pembangunan di Brasil sebagai contoh dari pembangunan kapitalis. Pemerintahan militer, setelah merebut kekuasaan pada 1964, membangun negeri tersebut. Pemerintahan ini mencoba untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, dan pada saat yang sama ia juga mendedahkan kontrol otoriter pada masyarakatnya. Para teknokrat yang bekerja dengan rezim tersebut percaya bahwa kekayaan harus diciptakan sebelum hal itu dapat didistribusikan. Mereka percaya bahwa meskipun dalam jangka-pendek sebagian orang akan dirugikan dan kesenjangan meningkat, dalam jangka panjang semua kelompok akan mendapatkan keuntungan.
Sebagai akibatnya, menurut Berger, Brasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Pada 1972, angka pertumbuhan GNP adalah 11,3 persen. Antara 1964 dan 1970, GNP meningkat 52 persen; dan dalam periode yang sama produksi industri meningkat 69 persen.
Namun pertumbuhan yang begitu besar ini, dalam pandangan Berger, ditopang terutama oleh, dan pada gilirannya juga menciptakan, perluasan industri dengan modal-intensif yang begitu besar, banyak di antaranya memproduksi barang-barang konsumen yang tahan lama dan didanai dan/atau dikontrol oleh kepentingan asing. Barang-barang yang diproduksi tersebut (mobil, TV, dan sebagainya) merupakan kemewahan yang tak terjangkau oleh sebagian besar penduduk (prioritas produksi diarahkan bagi konsumsi kalangan minoritas). Modal asing yang digunakan dalam jenis industri ini menyebabkan utang nasional yang sangat besar dan jelas menghasilkan "ketergantungan". Dengan demikian meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi, pengangguran meningkat. Yang lebih buruk, proporsi tenaga kerja yang terlibat dalam pekerjaan industri tersebut menurun (hlm. 143).
Kesenjangan populasi juga terjadi. Pada 1970, 1/3 dari total pendapatan nasional berada di tangan 5% penduduk, sementara 40% penduduk termiskin hanya memperoleh 10% pendapatan. Dan "antara 1960 dan 1970 upah minimun riil diperkirakan merosot sekitar 30%" (hlm. 144).
Karena itu, bagi Berger, gambar keseluruhan Brasil adalah suatu gambar tentang dua bangsa, "yang satu relatif makmur, dan yang lain berada dalam berbagai bentuk penderitaan" (hlm. 144). Lima belas juta orang hidup di wilayah kemakmuran, delapan puluh lima juta di wilayah penderitaan. Pendeknya, Brasil tampak seperti sebuah Swedia yang melapisi sebuah Indonesia- dan, perlu diingat, "Swedia" ini bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi dari, oleh, dan untuk dirinya sendiri (h
lm. 145). Gambar keseluruhan tersebut, menurut Berger, bahkan lebih menyedihkan ketika kita melihat bahwa dalam menjalankan kebijakannya, rezim militer tersebut menindas lawan-lawannya dan menunda berlakunya hak-hak dan kebebasan sipil (hlm. 147). Alasan utama rezim ini dalam melakukan penindasan tersebut adalah: stabilitas harus ditegakkan lebih dahulu sebelum pertumbuhan ekonomi bisa dicapai. Dari waktu ke waktu, penindasan ini menjadi suatu tindakan untuk penindasan itu sendiri; ia memiliki logikanya sendiri dan ia berbeda dengan apapun yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi; ia sekadar merupakan suatu tindakan untuk memelihara kekuasaan. Dengan demikian, penderitaan ekonomi dibarengi dengan penindasan politik. Secara keseluruhan, keadaan ini memunculkan beban yang sangat berat untuk ditanggung oleh masyarakat umum.
Menyangkut kapitalisme, Berger mengkritik sosialisme karena kegagalannya untuk memberikan "kargo" yang dijanjikan pada rakyatnya. Lebih dibanding kapitalisme, sosialisme mengandung berbagai mitos: mulai dari mitos revolusi, mitos tentang "orang-orang terpilih" (partai pelopor), hingga mitos penyelamatan dari keterasingan yang ada dalam modernitas. Lebih menarik bagi para pemimpin di Dunia Ketiga untuk "menggunakan" model pembangunan sosialis karena ia mengandung janji-janji "emosional" lebih banyak.
Model pembangunan sosialis, menurut Berger, memunculkan suatu sentralisasi birokratis dan menghalangi tiap-tiap usaha untuk mencapai sesuatu. Sebagai akibatnya, model tersebut menghasilkan ketidakefisienan dan produktivitas yang rendah. Dengan kata lain, model sosialis tersebut "memiliki suatu kecenderungan inheren untuk kembali pada kebiasaan-kebiasaan ekonomi yang buruk dan tidak efisien sebagaimana yang ada dalam sistem sosial pra-modern" (hlm. 80).
Ketergantungan terjadi bukan hanya di negara-negara yang menggunakan model kapitalis, melainkan juga di negara-negara yang menggunakan model sosialis. "Komunitas negara-negara sosialis" berarti bahwa terdapat satu negara sosialis (Uni Soviet) yang mendominasi negara-negara sosialis yang lain; dan negara dominan ini "dimotivasi oleh kepentingan ekonomi negara itu sendiri, sebagaimana yang terjadi pada negara kapitalis...". (hlm. 82).
Dengan demikian, sebuah negara Dunia Ketiga yang "disusupi" oleh kekuatan ekonomi Soviet akan melihat bahwa keputusan-keputusan ekonominya yang penting tidak dibuat secara otonom, ketergantungannya terus-menerus meningkat, keseimbangan perdagangannya buruk, dan utangnya meningkat (hlm. 82).
Sosialisme, bagi Berger, mengandung suatu kecenderungan inheren ke arah totalitarianisme karena alasan yang sederhana: "sosialisme pada dasarnya akan berusaha untuk menyerap perekonomian dalam negara, dan dengan demikian sangat meningkatkan potensi totaliter yang terakhir ini" (hlm. 86). Karena itu, tidak mengejutkan melihat bahwa di banyak negara sosialis, termasuk negara-negara di Dunia Ketiga yang menggunakan model pembangunan sosialis, teror digunakan sebagai alat politik yang "sah".
Berger menggunakan pembangunan di Cina sebagai contoh dari pembangunan sosialis. Benar, menurut Berger, bahwa rezim sosialis Cina telah berhasil dalam mengikis kelaparan. Selama berdekade-dekade, kaum sosialis (kaum komunis) adalah kelompok "yang pertama membentuk suatu otoritas pusat yang kuat di seluruh negeri itu, yang memungkinkan mereka untuk menjalankan berbagai usaha untuk mengatasi kelaparan yang sangat sulit dilakukan selama ini" (hlm. 156). Berger juga menjelaskan bahwa di bawah model sosialis tersebut, orang-orang Cina dalam hal nutrisi dan kebutuhan-kebutuhan dasar menjadi lebih baik dibanding keadaan mereka sebelumnya sebelum kaum komunis berkuasa. Dan selain itu, pencapaian ini diraih tanpa kesenjangan:
[Di Cina Komunis] hampir dapat dipastikan bahwa distribusi keuntungan-keuntungan ekonomi sekarang ini jauh lebih egaliter dibanding sebelum 1949. Kecuali mungkin pada para pemimpin politik yang berkecimpung dalam kemewahan Kota Imperial, tidak banyak kelompok yang secara ekonomi istimewa, dan kesenjangan pendapatan di antara ke
lompok-kelompok pekerjaan mungkin merupakan salah satu yang terkecil di dunia (hlm. 157; huruf miring berasal dari teks asli)
Namun bagi Berger, semua pencapaian ini harus dibayar dengan biaya manusia yang sangat besar: segera setelah berkuasa, rezim komunis tersebut menyebarkan teror pada rakyatnya, sebuah rantai teror yang mengerikan.
Keyakinan-keyakinan dan program-program seperti "Perjuangan Terus-Menerus", "Lompatan Besar ke Depan", "Reformasi melalui Kaum Buruh", dan "Revolusi Budaya Besar Kaum Proletar", memaksa orang-orang untuk menanggung pemerintahan teror. Karena itu, Ber-ger kemudian mengatakan bahwa "siapapun yang melihat pada catatan rezim komunis tersebut sejak 1949, bahkan dengan obyektivitas yang tidak begitu besar, akan terkesan oleh jumlah penderitaan manusia yang begitu besar yang secara langsung bisa dilacak pada tindakan-tindakan rezim tersebut. Ini adalah rekaman kematian, penderitaan, dan ketakutan...". (hlm. 154).
Dalam hal penindasan langsung oleh organ-organ negara, Berger menulis, "Brasil dibandingkan dengan Cina seperti Swiss dibandingkan dengan kekaisaran Genghis Khan." Dalam hal keadilan ekonomi, "Cina dibanding Brasil adalah seperti utopia kibbutz dibandingkan Eropa pertengahan di masa jayanya feodalisme." (hlm. 162-163).
Kedua model pembangunan tersebut menuntut ongkos manusianya sendiri, penderitaan manusianya sendiri. Meskipun kedua model sebagaimana yang diterapkan di Brasil dan Cina tersebut harus ditolak, secara teoretis keduanya dapat diperbaiki. Dan bagi Berger, untuk memperbaiki model-model ini, "kalkulus penderitaan" dan "kalkulus makna" harus diperhitungkan. Yang pertama merujuk pada gagasan bahwa penderitaan manusia (kematian, ketakutan, penderitaan) tidak boleh dipertaruhkan untuk "mencapai pertumbuhan masa depan" atau janji masyarakat komunistik. Yang kedua merujuk pada gagasan bahwa setiap orang memiliki nuraninya sendiri; demikian juga setiap kelompok manusia. Mereka semua memiliki sistem maknanya sendiri yang harus dihargai oleh siapapun yang ingin menerapkan model-model pembangunan atas kehidupan mereka. Dan karena model-model pembangunan tersebut mengandung makna dan nilai pada dirinya sendiri, orang-orang harus ditanya sebelum suatu model tertentu diterapkan. Pendeknya, apa yang coba diperkenalkan Berger melalui konsep-konsep ini adalah kalkulus moral: manusia tidak boleh diperlakukan semata-mata sebagai suatu agregat; mereka harus diperlakukan dengan hormat.
Revolusi Kapitalis Perpaduan teknologi modern (industri) dan kapitalisme, menurut Berger, merupakan suatu kekuatan yang paling produktif: "Kapitalisme industri telah menghasilkan kekuatan produktif terbesar dalam sejarah manusia" (hlm. 36). Alasannya, bagi Berger, adalah kenyataan bahwa kekuatan-kekuatan pasar memberikan insentif terbaik bagi produktivitas yang terus-menerus meningkat:
...pasar, dengan rujukan-rujukan harganya, adalah komputer pertama yang ditemukan oleh manusia; hingga sekarang ini, pasar tidak memiliki saingan dalam menyediakan baik informasi maupun insentif bagi tiap-tiap individu cerdas yang ingin memperbaiki nasib ekonomi mereka. Tentu saja, individu-individu ini adalah orang-orang yang dalam keadaan "baik" akan menjadi para pengusaha. Sang insinyur mungkin memiliki motif-motif yang sangat berbeda; ia mungkin tidak memiliki aspirasi ekonomi samasekali; ia hanya ingin memperbaiki berbagai peralatannya dan melihat bagaimana peralatan tersebut bisa dibuat berfungsi. Namun ekonomi pasar memberikan konteks sosioekonomi yang paling menjanjikan di mana di dalamnya jenis kecerdasan manusia ini, yakni kecerdasan insinyur, bisa berkembang. Dan inilah alasan mengapa perpaduan kapitalisme dan teknologi modern merupakan suatu perpaduan yang produktif.(hlm. 37)
Dengan kata lain, pasar, dengan semua faktor di dalamnya, seperti hubungan 'rasional' antara permintaan dan penawaran, 'kebebasan' untuk melakukan bisnis dan mendapatkan keuntungan, serta dorongan untuk menjadi kaya, memberi konteks sosio-ekonomi yang optimal bagi teknologi modern untuk menghasilkan barang dan jasa bagi masy
arakat manusia. Di sisi lain, sosialisme, meskipun ia juga bisa berjalan bersama teknologi modern (industri), memiliki kemampuan inheren untuk menginstitusionalisasikan produktivitas yang rendah (di sini posisi Berger tidak berbeda dari posisinya dalam buku sebelumnya). Menurut Berger, benar bahwa Uni Soviet, misalnya, adalah sebuah negara industri maju. Namun "ia secara intrinsik mustahil untuk merencanakan efisiensi bagi perekonomian sebuah negara-bangsa modern, khususnya jika hal itu secepat Uni Soviet. 'Rencana' tersebut jarang sekali berjalan sebagaimana diinginkan". (hlm. 176). Berger kemudian melanjutkan:
sebagian besar ekonom setuju bahwa persoalan ini inheren karena penghapusan pasar menghilangkan informasi yang disediakan oleh sistem harga. Usaha-usaha untuk memperkenalkan komputer (utopia yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai "sosialisme matematis") juga terus-menerus gagal. Sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang ahli ekonomi Hungaria, bahkan seorang birokrat yang sangat ketat lebih fleksibel ketimbang komputer yang paling fleksibel. (hlm. 176)
Selain produktivitas ekonomi, kapitalisme juga sejalan dengan kebebasan politik (demokrasi). "Semua demokrasi," tulis Berger, "adalah kapitalis; tidak ada demokrasi yang sosialis." (hlm. 76). Tentu saja Berger juga mengakui bahwa banyak masyarakat kapitalis tidak demokratis. Namun baginya, kapitalisme merupakan syarat yang diperlukan, meskipun tidak memadai, bagi demokrasi. Ia menolak argumen Joseph Schumpeter bahwa asosiasi antara demokrasi dan kapitalisme hanyalah kebetulan sejarah, dan bahwa demokrasi mungkin dijalankan baik dalam sosialisme maupun kapitalisme.
Negara modern, karena kontrolnya atas banyak sumberdaya seperti teknologi dan birokrasi, melambangkan akumulasi kekuasaan dalam sejarah manusia. Dengan demikian, negara modern memiliki "kecenderungan inheren untuk memperluas kekuasaannya semakin jauh ke dalam masyarakat, kecuali jika ia dicegah dengan berbagai pembatasan yang terlembagakan" (hlm. 79). Dan bagi Berger, hanya kapitalisme yang menyediakan pembatasan-pembatasan ini: ia menciptakan dinamikanya sendiri, sektor-sektor ekonomi dan sosialnya sendiri, yang merupakan wilayah yang relatif otonom. Kapitalisme memunculkan para pengusaha, pengacara, dst., yang independen dan bebas dari kontrol negara. Kapitalisme juga memunculkan sektor-sektor bisnis yang bebas dari campur-tangan negara. Sebaliknya, sosialisme, karena kecenderungannya untuk membirokrati-sasikan semua sektor ekonomi, tidak memberi kesempatan kepada orang-orang untuk bertindak secara independen dari negara. ia tidak memberi kemungkinan bagi benih-benih demokrasi untuk berkembang. Karena itu, sementara kapitalisme "sesuai" dengan demokrasi, sosialisme "sesuai" dengan kecenderungan totalitarian negara modern.
Setelah menjelaskan "fenomena umum" kapitalisme dan sosialisme ini, Berger kemudian mengulas Dunia Ketiga dan proses pembangunannya. Di sini ia memberikan suatu penilaian yang "kuat": "Pembangunan kapitalis, dibanding pembangunan sosialis, lebih mungkin memperbaiki standar kehidupan materiil orang-orang di Dunia Ketiga sekarang ini, termasuk kelompok-kelompok termiskin" (hlm. 136).
Untuk mempertahankan argumen ini, ia pertama-tama tentu saja harus menolak teori-teori dependensia, teori-teori yang dalam bukunya yang sebelumnya ia puji-puji. Dalam hal ini ia berkata: "Sangat sulit mengatakan bahwa, secara keseluruhan, masuknya ekonomi kapitalis ke negara-negara Dunia Ketiga telah membahayakan perekonomian negara-negara tersebut" (hlm. 126; huruf miring dari teks asli). Ia mengecam gagasan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional hanya merupakan agen-agen "sang metropolis" untuk melanggengkan keterbelakangan di Dunia Ketiga; sebaliknya, baginya, perusahaan-perusahaan multinasional tersebut, "terlepas dari dosa-dosa apapun yang mungkin telah mereka lakukan di berbagai tempat, adalah sarana-sarana yang paling penting bagi transfer modal dan teknologi ke negara-negara Dunia Ketiga, pelatihan orang-orang pribumi dalam berbagai keahlian ekonomi modern, dan penerimaan paj
ak ke dalam keuangan Dunia Ketiga" (hlm. 127).
Imperialisme tidak ada kaitannya dengan keterbelakangan atau pembangunan di Dunia Ketiga. Dengan demikian, tingkat ketergantungan sebuah perekonomian nasional, "tidak relevan dengan persoalan pembangunan" (hlm. 129). Untuk mempertahankan argumen ini Berger mengatakan bahwa Jepang adalah contoh sempurna. "Jika memang ada korban imperialisme, itu adalah Jepang" (hlm. 128). Namun Jepang kemudian menjalankan salah satu pembangunan yang paling mengesankan dalam seluruh sejarah negara modern. Keberhasilan pembangunan kapitalis di Asia Timur memberi alasan lain-dan paling kuat-bagi Berger untuk menolak teori-teori dependensia. Saya akan menjelaskan pandangan Berger atas negara-negara ini dalam paragraf berikutnya. Singkat kata, bertentangan dengan teori-teori dependensia yang sebelumnya ia puji, Berger kini menyimpulkan bahwa: "Masuknya sebuah negara Dunia Ketiga ke dalam sistem kapitalis internasional cenderung menguntungkan perkembangannya" (hlm. 129).
Alasan terkuat bagi Berger untuk memilih model pembangunan kapitalis sebagai model terbaik bagi Dunia Ketiga adalah kekagumannya atas keberhasilan perekonomian negara-negara Asia Timur (Jepang dan Empat Naga Kecil).
Negara-negara ini, dalam dua atau tiga dekade proses pembangunannya, telah hampir sepenuhnya mengikis kemiskinan, mengalami angka pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi (7% hingga 10% per tahun), menciptakan suatu dasar yang sangat kuat bagi berbagai produksi manufaktur, dan telah meningkatkan kemampuan (pendidikan) sumberdaya manusianya dengan sangat cepat. Selain itu, mereka memperlihatkan bahwa pembangunan negara mereka bisa menghasilkan kesetaraan ekonomi relatif yang lebih besar ketimbang sebagian besar negara industri Barat.
Jepang misalnya. Pada 1977, rasio 20% kelompok pendapatan tertinggi dibanding terendah adalah 4,1 (AS pada 1972 adalah 9,5; Swedia pada 1972 adalah 5,6; dan UK pada 1979 adalah 5,6). Atau Taiwan misalnya. Dari 1964 hingga 1979, share pendapatan 20% keluarga termiskin meningkat dari 7,7 menjadi 8,6%, sementara share 20% keluarga terkaya menurun dari 41,1 menjadi 37,5%. Pendeknya, dalam kesimpulan Berger, perkembangan ekonomi Asia Timur menyangkal, atau bahkan menolak, tesis Kuznets. Pada masa-masa awal pembangunan di AS, Britania, Prancis, dan Jerman, ketidaksetaraan yang begitu besar terjadi sebelum kesetaraan ekonomi relatif bisa dicapai dengan dasar yang lebih kokoh. Di Asia Timur, dalam tahap-tahap awal pembangunan Taiwan, misalnya, si miskin lebih cepat menjadi lebih kaya dibanding si kaya menjadi lebih kaya. (hlm. 140-152).
Pendeknya, bagi Berger, keberhasilan perekonomian Asia Timur adalah suatu mukjizat, Kasus Kedua dalam sejarah pembangunan ekonomi kapitalis. Dan karena itu, menurut Berger, "Asia Timur menegaskan kekuatan produktif yang superior dari kapitalisme industri" (hlm. 153).
Berger menjelaskan bahwa, di bawah kapitalisme, kunci keberhasilan ekonomi negara-negara ini terletak dalam budaya Sinitik yang mendorong orang untuk bekerja lebih keras, menghormati otoritas, dan bersikap asketis. Dengan demikian, baginya, Etika Sinitik tersebut merupakan ganti (atau dalam istilah Berger: "padanan fungsional") dari Etika Protestan yang dianggap Weber memiliki peran penting dalam perkembangan kapitalisme Barat. (hlm. 161)
*** Jelas bahwa dalam Capitalist Revolution, Peter Berger meninggalkan "netralitas"-nya dan bergerak ke "kanan". Bagi Dunia Ketiga, menurutnya, model pembangunan kapitalis adalah pertaruhan yang secara moral lebih aman. Sebagaimana yang bisa kita lihat dari berbagai penjelasan di atas, ia menolak posisinya sebelumnya[Dalam salah satu artikelnya yang ia tulis pada 1985, satu tahun sebelum Capitalist Revolution diterbitkan, Berger berkata: "Jelas, Pyramids of Sacrifice kini usang, karena berbagai perubahan yang terjadi di dunia...." (Berger dan Novak, Speaking to the Third World, Washington DC., 1985, hlm. 23).] karena baginya kapitalisme sangat mungkin akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, dan bisa memunculkan dorongan-dorongan yang
diperlukan untuk membangun demokrasi. Namun faktor paling penting yang mengubah posisinya adalah pengakuannya akan realitas empiris: mukjizat ekonomi Asia Timur. Dalam hal ini, menarik untuk melihat bagaimana ia menggambarkan pengalamannya dalam Pendahuluan Capitalist Revolution:
Ketika saya mulai menyibukkan diri saya dengan persoalan-persoalan (pembangunan) ini secara lebih serius dibanding 15 tahun yang lalu, saya sangat terbuka pada kemungkinan bahwa sosialisme mungkin merupakan suatu bentuk organisasi ekonomi dan sosial yang lebih manusiawi. Tekanan bukti-bukti empirislah-yang masuk ke dalam pikiran saya selama bertahun-tahun kerja-yang mendorong saya untuk meyakini pandangan yang sekarang ini saya yakini. Mungkin ini merupakan salah satu dari berbagai ironi karier pribadi saya bahwa.... saya bergeser ke "kanan" meski sekelompok kolega saya dalam ilmu sosial bergeser ke "kiri". ...Titik balik bagi saya terjadi pada pertengahan 1970-an, ketika saya pertama kali mengalami Asia dan terutama masyarakat-masyarakat yang mungkin disebut orang sebagai "bulan sabit kemakmuran", yang terentang mulai dari Jepang hingga ke semenanjung Malaya. Pengalaman dengan Asia Timur tersebut menjadikan saya sulit untuk tetap berada di tengah-tengah antara model pembangunan kapitalis dan sosialis. (hlm. 10 dan 12)
Kini bagaimana kita menilai Capitalist Revolution tersebut" Pertama-tama, penting untuk dicatat bahwa Capitalist Revolution tersebut diterbitkan pada masa ketika gelombang privatisasi atau liberalisasi ekonomi terjadi di banyak negara Dunia Ketiga, suatu gelombang yang mencerminkan pengakuan terhadap pasar sebagai mekanisme yang lebih baik untuk mengelola barang dan jasa.
Dengan demikian, jika kita mengingat bahwa tiga tahun setelah penerbitan buku itu "Kekaisaran" Soviet mulai runtuh, kita dapat mengatakan bahwa kini "tidak ada gunanya" menentang Berger. Terlepas dari para ideolog yang keras kepala, setiap orang yang berakal sehat kini tampaknya meyakini pandangan bahwa kapitalisme merupakan satu-satunya mekanisme yang memadai bagi masyarakat-masyarakat modern untuk mengalokasikan, mendistribusikan, dan menghasilkan barang dan jasa yang mereka perlukan.
Jadi persoalannya sekarang adalah: jenis kapitalisme apa" Seberapa jauh peran pemerintah dalam pasar diperbolehkan" Di mana batas yang optimal antara usaha publik dan privat" Terutama bagi negara-negara Dunia Ketiga yang ingin mengikuti keberhasilan ekonomi Asia Timur, pertanyaan-pertanyaan ini jelas lebih penting ketimbang pernyataan atau proposisi bahwa "kapitalisme lebih baik dibanding sosialisme". Karena itu, bagi para pembaca pada 1992 yang ingin menemukan cara yang lebih baik bagi pembangunan di Dunia Ketiga, Capitalist Revolution karya Berger tersebut tampak telah "usang". Karya tersebut menjawab pertanyaan-pertanyaan lama.
Atau sebagaimana yang dikemukakan Lester C. Thurow: Buku Berger tersebut adalah sebuah buku yang sangat bagus, namun buku itu menghindari isu-isu riil. Memang, keyakinan Berger bahwa Etika Sinitik memainkan peran yang sangat menentukan dalam keberhasilan ekonomi kapitalis Asia Timur pada dirinya sendiri merupakan "resep" bagi Dunia Ketiga. Hal itu mengandaikan bahwa untuk bisa berhasil, negara-negara Dunia Ketiga yang lain juga harus mengambil elemen-elemen Etika Sinitik tersebut: mereka harus bekerja keras, menghormati otoritas, dan bersikap asketis. Namun jenis jawaban "budaya" bagi pembangunan di Dunia Ketiga ini hampir bukan merupakan jawaban yang baru. Terlalu terlambat sekarang ini bagi Berger untuk memancing suatu perdebatan yang bermanfaat tentang pembangunan dengan hanya menggunakan "perspektif budaya".
Berger tentu saja telah memberi kita suatu pemahaman yang sangat bernilai tentang bagaimana kapitalisme dan sosialisme berjalan "secara umum". Dan karena sebagian besar dari kita sekarang ini-dengan melihat "falsifikasi empiris" yang terjadi di negara-negara komunis dua atau tiga tahun yang lalu-sama-sama meyakini bahwa kapitalisme merupakan satu-satunya sistem sosio-ekonomi yang paling memadai bagi suatu masyarakat di zaman mod
ern, tugas berikutnya adalah menemukan peran yang tepat bagi pemerintah untuk mencip-takan pertumbuhan, mencari hubungan ekonomi yang optimal antara sektor publik dan privat, dan mempelajari berbagai kebijakan publik yang mengusung kepentingan terbaik negara-negara Dunia Ketiga untuk menciptakan baik pertumbuhan ekonomi maupun kesetaraan sosial. Berger mungkin memerlukan buku lain untuk menyelesaikan tugas yang sulit namun menarik ini.
BAB IV Hentikan Kebiadaban: Tentang Integrasi Nasional, Separatisme, Konflik Etnik dan Daerah
Akankah Sejarah Berulang"
setelah pemilu pertama pada 1955, sistem politik kita waktu itu sah untuk disebut sebagai sistem demokratis. Tetapi sayangnya ia berumur sangat singkat, kurang lebih hanya tiga tahun. Baru 44 tahun kemudian kita bisa mengadakan pemilu yang sama bebasnya lagi. Tetapi, akankah sistem pemerintahan demokratis yang sudah diawali oleh pemilu yang relatif bebas dan jujur ini juga akan berumur pendek" Akankah sejarah berulang"
Kedua pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan pasti. Tetapi kita mungkin bisa melihat masa lalu, sekadar untuk memperoleh beberapa kearifan yang dapat membantu kita untuk mengerti kemungkinan masa depan. Dalam hal ini kita bisa mempelajari apa yang terjadi pada eksperimen demokrasi pertama pada pertengahan 1950-an. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan gagalnya eksperimen itu" Apakah faktor-faktor itu, paling tidak benih-benihnya, sudah mulai muncul lagi sekarang, saat kita untuk kedua kalinya melakukan eksperimen demokrasi"
Mengenai kegagalan eksperimen demokrasi pada 1950-an, sudah cukup banyak analisis yang diberikan oleh kalangan sejarawan dan ilmuwan politik. Tetapi kalau dirangkum secara sederhana, faktor-faktor penyebab gagalnya eksperimen itu adalah sebagai berikut:
Pertama, terkikisnya legitimasi sistem politik. Pemilu 1955, sama dengan Pemilu 1999, tidak menghasilkan pemenang mutlak. Hal ini mengharuskan pembentukan koalisi antarpartai untuk menjalankan roda pemerintahan dan menyelesaikan soal-soal fundamental yang masih tersisa setelah revolusi kemerdekaan, yaitu perumusan dasar negara dan pembaharuan konstitusi. Tetapi ikatan-ikatan koalisi partai ternyata kemudian berjalan dengan cair dan tanpa pola yang jelas. Koalisi mereka berumur singkat. Dan setiap kali koalisi pecah, pemerintah pun berganti.
Yang terjadi kemudian adalah kebuntuan politik. Sistem politik pada umumnya, dan pemerintah khususnya, tidak mampu menjalankan peran yang diembannya. Rumusan dasar negara dan konstitusi yang baru tidak kunjung terselesaikan. Rencana pembangunan ekonomi yang dirancang pertama kali pada 1956 terbengkalai, dan pada saat yang hampir sama eksperimen ekonomi untuk mengangkat nasib kaum pribumi dengan Program Benteng berubah menjadi arena korupsi dan kemunafikan. Waktu itulah istilah "pengusaha Ali-Baba" dan istilah "kongkalikong" (antara politisi partai, kaum birokrat, dan kaum pengusaha) menjadi sangat populer.
Mencari Jejak Pembunuh 3 Pendekar Gagak Rimang 1 Lahirnya Sang Pendekar Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama