Autumn In Paris Karya Ilana Tan Bagian 3
Tara menyadari suara ayahnya bergetar ketika berkata, Semua ini terjadi karena salahku. Kau
juga tahu, bukan" Aku telah menghancurkan putraku. Dan kalau Victoria tahu tentang ini, dia
juga akan hancur. Laurent, aku menghancurkan kedua anakku. Darah dagingku sendiri.
Kaki Tara mendadak lemas. Ia memutar tubuh dan harus bersandar di tembok supaya tidak
jatuh. Apa yang dikatakan ayahnya tadi..." Putranya..." Tatsuya"
Ia merasa pusing, seakan seluruh darah di tubuhnya terserap keluar. Tangannya dingin dan
selain itu ia tidak bisa merasakan apa pun. Bahunya tegang. Dadanya berat sekali. Paru-parunya
tidak mau berfungsi. Ia tidak bisa bernapas.
Kepalanya serasa berkabut. Tidak bisa berpikir apa pun.
Pandangannya buram. Tidak bisa melihat apa pun.
Telinganya berdenging. Tidak bisa mendengar apa pun.
Ia berbalik dengan pelan, berjalan menjauhi pintu dengan linglung. Baru berjalan beberapa
langkah, kakinya terlalu lemas untuk menopang tubuhnya dan ia jatuh terduduk di lantai.
Kepalanya disandarkan ke dinding. Matanya menatap kosong.
Putra ayahnya... Tatsuya... Putra ayahnya... Putra ayahnya...
Kata-kata itu terus berputar-putar di kepalanya. Kemudian banyak hal yang bermunculan
dalam ingatannya. Tatsuya pernah bercerita ia mencari cinta pertama ibunya, sekaligus ayah kandungnya....
Aku mencari cinta pertama ibuku....
Kekagetan Tatsuya dan ayahnya ketika mereka bertemu di La Vue pada malam ulang tahun
"lise.... Aku pernah mendengar ayahmu adalah... eh, Jean-Daniel Lemercier yang punya banyak restoran di
Prancis.... Tatsuya yang mulai bersikap aneh dan menjaga jarak....
Kalau memang boleh, aku tidak berniat melepaskan diri....
Ayahnya yang melarangnya berhubungan dengan Tatsuya....
Jangan menyukainya.... Jangan. Demi Tuhan! Jangan menyukainya seperti itu....
Tiba-tiba saja Tara tahu kenapa sejak pertama kali bertemu Tatsuya, ia merasa laki-laki itu
sepertinya tidak asing. Dulu ia tidak tahu kenapa, tetapi sekarang semuanya mendadak jelas.
Tatsuya mengingatkan Tara pada ayahnya!
Caranya berjalan, caranya tersenyum, caranya berbicara. Dan matanya. Astaga! Mata itu. Mata
Tatsuya sama dengan mata Jean-Daniel Dupont. Sama dengan mata Tara sendiri. Mereka bertiga
memiliki mata berwarna abu-abu.
Ternyata bukan lensa kontak... Tatsuya tidak memakai lensa kontak. Tara baru menyadari
Tatsuya tidak pernah berka
ta ia memakai lensa kontak. Tara sendiri yang beranggapan begitu.
Kenapa baru sekarang ia menyadarinya"
Kenapa harus Tatsuya"
Tara menekan telapak tangannya ke dada. Sakit...
Tujuh Belas TARA tidak kembali ke kamar rawat Tatsuya. Ia langsung berjalan keluar dari rumah sakit.
Kepalanya sakit dan jantungnya berdebar cepat sekali. Terlalu cepat. Ia perlu berpikir. Sendirian.
Ia tidak ingat bagaimana ia bisa sampai di apartemennya. Dalam keadaan setengah sadar ia
masuk ke kamar tidur dan duduk meringkuk di ranjang. Tetap diam seperti itu dengan
pandangan kosong. Entah sudah berapa lama ia duduk diam seperti itu. Keheningan yang menyelimuti
apartemennya tiba-tiba dipecahkan dering ponsel. Tara tersentak dan sesaat kesadarannya
kembali. Ia baru menyadari langit di luar jendela sudah gelap dan kamar tidurnya juga gelap
gulita. Pasti sudah lama ia duduk seperti itu. Ia tidak menghitung waktu. Ia juga tidak peduli.
All"" katanya begitu ponsel sudah menempel di telinga. Semuanya terdengar kering.
Kau ada di mana" tanya Sebastien langsung. Tara bisa membayangkan Sebastien pasti
kebingungan. Tara tidak menjawab. Sebastien juga tidak menunggu jawabannya. Tatsuya sudah sadar, katanya cepat dan lega.
Kening Tara berkerut dan ia menelan ludah. Kenapa begitu mendengar nama itu saja hatinya
terasa perih" All"" Tara, kau dengar" Tatsuya sudah sadar, ulang Sebastien.
Mm, gumam Tara dengan napas tercekat.
Aku akan mengantarnya pulang nanti. Kau akan datang"
Tara berusaha mengatur napasnya dan memaksa dirinya berkata, Tidak... Aku tidak bisa ke
sana sekarang. Kenapa" Ada... sedikit urusan, elak Tara. Aku akan menjenguknya besok.
Bohong... Itu bohong... Ia tidak akan siap bertemu dengan Tatsuya besok.
Oh" Sebastien terdengar heran.
Dia baik-baiks aja" tanya Tara.
Ya, dia sehat sekali. Dia bahkan sudah tidak sabar ingin keluar dari rumah sakit.
Tara mengembuskan napas lega. Baguslah.
Ada apa, Tara" Tara agak kaget mendengar pertanyaan Sebastien, lalu ia ingat Sebastien adalah orang yang
paing memahami dirinya di dunia ini. Tentu saja Sebastien bisa merasakan kegugupan Tara,
keengganan Tara pergi ke rumah sakit, kebisuan Tara.
Tidak apa-apa, Tara berbohong lagi. Aku sedang sibuk sekarang. Nanti akan kutelepon
lagi, Sebastien. Tara langsung menutup ponsel dan mematikannya. Ia tidak ingin diganggu. Oleh siapa pun.
Ia butuh sendirian. * * * Tara tidak tidur semalaman. Anehnya ia tidak mengantuk, hanya saja ia merasa tidak bertenaga,
tidak bisa dan tidak ingin melakukan apa pun. Tetapi tentu saja itu tidak mungkin. Ia masih harus
siaran, kalau tidak Charles akan mengamuk. Dan ia harus ceria. Jangan lupa itu.
Sepanjang hari ia menghindari telepon dari Sebastien dan ayahnya. Juga Tatsuya. Oh ya, laki-laki itu juga menelponnya, tapi ia tidak sanggup menjawab telepon siapa pun. Ia takut dirinya
tidak akan kuat menghadapi kenyataan. Akhirnya ia mematikan ponsel dan menjejalkannya ke
dalam laci meja kerja. Sepanjang hari itu Tara bekerja seperti orang linglung. Saat siaran ia memaksakan diri
tersenyum dan pura-pura ceria, tetapi begitu selesai siaran, ia kembali seperti mayat hidup.
Tara, ada apa denganmu hari ini" tanya "lise ketika Tara kembali ke meja kerjanya. Kau
sakit" Tara tidak menatap temannya. Ia hanya menggeleng pelan dan duduk bersandar.
Biasanya suaramu sudah terdengar ke mana-mana dan kau selalu tidak bisa diam, desak
"lise sambil mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia semakin khawatir melihat tindak-tanduk
temannya. Hari ini kau bahkan tidak bersuara. Ada apa"
Tara menyunggingkan senyum tipis dan menggeleng. Tidak apa-apa, "lise. Ia tidak bisa
menceritakannya pada "lise. Tidak kepada siapa pun.
"lise masih ingin mendesak Tara, tetapi ia harus siaran sekarang juga. Akhirnya ia menyerah
dan berkata, Setelah siaran nanti kau harus menceritakan segalanya kepadaku. Aku tidak tahan
melihatmu begini. Tara tidak menjawab. Juga tidak memandang temannya.
"lise mengamati temannya dengan prihatin. Entah apa yang mengganggu pikiran Tara, tapi
itu pasti masalah yang sangat berat sampai-sampai ia tidak bisa
membicarakannya. Kau bisa percaya padaku, Tara, kata "lise lagi karena merasa temannya sedang
membutuhkan dukungan. Tara memandang "lise sekilas dan menunduk kembali. Kemudian ia memejamkan mata dan
menggeleng pelan. Ada apa" tanya "lise cemas.
Kepalaku pusing, gumam Tara sambil memijat-mijat pelipisnya. Kemudian ia bangkit dari
kursi dan meraih tas. Maaf. Aku pergi dulu.
"lise terlalu bingung sampai tidak bisa berkata apa-apa dan hanya memandangi Tara yang
berjalan keluar dari ruangan. Ada apa dengan Tara" Apakah tadi ia mengucapkan kata-kata yang
salah" * * * Ke mana Tara" Tatsuya memasukkan kembali ponselnya ke saku jas. Gerakannya agak kaku karena tangan
kirinya yang dibebat dan bahunya yang masih sakit. Sejak ia keluar dari rumah sakit, ia belum
berhasil menghubungi Tara.
Tatsuya sudah mendengar dari Jean-Daniel Dupont bahwa Tara tanpa sengaja mendengar
pembicaraan mereka di telepon. Jean-Daniel menceritakan apa yang terjadi kepada Tatsuya dan
meyakinkannya ia sama sekali belum mengatakan apa pun kepada Tara.
Tatsuya teringat sifat Tara yang gampang penasaran. Kalau gadis itu memang belum tahu
yang sebenarnya, seharusnya sekarang ini ia sedang berusaha mencari tahu. Seharusnya sekarang
ini ia sedang merongrong ayahnya, atau bahkan Tatsuya. Bukannya menghilang seperti ini.
Tatsuya sudah menelepon ke stasiun radio dan "lise berkata Tara sudah pulang dari tadi. Sama
sekali tidak mengatakan apa-apa. Pergi begitu saja.
Ke mana gadis itu" Tiba-tiba Tatsuya ingat. Mungkinkah dia ada di sana"
* * * Tidak seperti biasanya, berdiri di puncak Arc de Triomphe dan memandangi kota Paris dari
ketinggian tidak memberikan kedamaian.
Tara datang ke tempat itu untuk menenangkan diri dan berpikir, tetapi setelah begitu lama
berdiri di sana, ia tetap belum memutuskan apa pun. Ia masih tidak tahu apa yang harus
dilakukannya, masih belum bisa menerima kenyataan, masih berharap semua ini mimpi buruk
dan ia akan segera terbangun.
Pikirannya kosong, karena hati kecilnya menolak berpikir. Ia tidak merasakan apa pun, karena
sarafnya menolak merasakan. Lebih baik ia tidak berpikir. Lebih baik sarafnya mati rasa. Kalau
tidak, ia takkan sanggup menanggung rasa sakit ini. Terlalu besar.
Sudah berapa lama ia berdiri di sini" Sepertinya akhir-akhir ini waktu berlalu begitu saja tanpa
sepengetahuannya. Tetapi ia menikmati kesunyian dan kesendiriannya.
Sudah kuduga kau ada di sini.
Suara itu menembus benteng kabut hitam di sekeliling Tara. Ia mengangkat wajah dan
menoleh dengan cepat. Napasnya tercekat ketika mendapati Tatsuya berdiri di sampingnya.
Tara terpana. Apakah ia sedang bermimpi" Mungkin saja. Tatsuya menatapnya dengan
matanya yang lembut, tersenyum kepadanya dengan cara yang sudah sangat dikenal... dan
disukainya. Lalu Tatsuya mengulurkan tangan kanannya dan membelai kepala Tara. Tara bisa merasakan
sentuhan itu. Ternyata ini bukan mimpi. Tatsuya sungguh ada di sampingnya, tersenyum
kepadanya, berbicara kepadanya.
Kau tahu berapa lama aku mencarimu" tanya Tatsuya sambil mengembuskan napas. Aku
sudah berlari mengelilingi kota Paris demi mencarimu.
Begitu melihat laki-laki itu dan mendengar suaranya, mendadak saraf Tara kembali bekerja.
Berbagai macam perasaan membanjiri dirinya. Saat itulah ia menyadari betapa ia merindukan
Tatsuya. Amat sangat... Tatsuya menarik kembali tangannya dan memasang tampang heran. Kenapa diam saja"
Tidak mau bicara padaku"
Tara mendapati dirinya tersenyum tipis dan bergumam, Berlari keliling Paris"
Tatsuya tertawa. Kau tidak percaya" Tidak percaya"
Tanpa menunggu jawaban Tara, ia meraih sebelah tangan Tara dan ditempelkan di dadanya.
Tara terlalu kaget untuk bereaksi. Matanya terbelalak menatap mata Tatsuya, mulutnya mendadak
kering dan napasnya tertahan.
Kau bisa merasakan debar jantungku" tanya Tatsuya pelan. Matanya menatap ke dalam
mata Tara. Telapak tangannya menempel di dada Tatsuya dan tangannya gemetar dalam genggaman
Tatsuya. Ia bisa merasakan debar jantung laki-laki itu. Berdebar kencang di bawah telapak
tangannya. Kau merasakan jantungku berdebar keras" Cepat"
Suara Tatsuya s eakan menghipnotisnya. Tara tidak bisa mengalihkan tatapannya dari mata
Tatsuya. Ia juga tidak bisa menjawab.
Ini karena dirimu. Tara menahan napas. Ia bisa merasakan debar jantung Tatsuya, tetapi tidak bisa merasakan
debar jantungnya sendiri.
Tatsuya tersenyum. Ini karena aku telah berlari engelilingi Paris demi mencarimu. Kau
percaya sekarang" Laki-laki itu begitu manis. Begitu baik. Hati Tara sakit sekali karena perasaan yang
dirasakannya terhadap Tatsuya. Air mata mulai membasahi pipinya.
Jangan menangis, gumam Tatsuya smabil menghapus air mata Tara dengan ibu jari.
Mendengar ucapan itu, air matanya bukannya berhenti, malah mengalir semakin deras.
Aku minta maaf karena membuatmu cemas, kata Tatsuya sungguh-sungguh. Tapi
keadaanku baik-baik saja. Sungguh. Dokter juga bilang tanganku hanya perlu dibebat selama
tinggal minggu. Aku baik-baik saja.
Laki-laki itu salah mengerti, tapi Tara tidak berusaha menjelaskan. Biarlah Tatsuya mengira ia
menangis karena alasan itu, karena bagaimanapun juga ia tidak bisa menjelaskan alasan
sebenarnya. Sebelum Tara sempat menyadarinya, Tatsuya telah melingkarkan sebelah lengan di
pundaknya. Tatsuya memeluknya sebelum ia bisa menolak. Tetapi ia tahu ia tidak mungkin bisa
menolak. Jangan menangis lagi, bisik Tatsuya sambil tetap mendekapnya. Aku minta maaf.
Tara menangis di bahu Tatsuya. Air matanya tidak mau berhenti. Mengalir terus tanpa bisa
ditahan. Ia berharap air mata itu bisa meredakan rasa sakit di dadanya, tetapi tidak bisa. Semakin
ia menangis, semakin sakit dadanya.
* * * Tatsuya baru menyadari ia sangat merindukan Tara. Ia baru menyadarinya ketika akhirnya
menemukan gadis itu berdiri di puncak Arc de Triomphe. Melihat punggung gadis itu saja bisa
membuat jantungnya berdebar kencang. Saat itu juga ia menyadari sia-sia saja ia berusaha
menghindari Tara selama ini. Ia bisa saja menghindari gadis itu, tapi ia tidak bisa menghindari
perasaannya. Segalanya bertambah rumit. Meskipun begitu, Tatsuya tidak ingin memikirkannya
sekarang. Tara sudah berhenti menangis dan terlihat lebih tenang. Walaupun Tatsuya tidak mengerti
kenapa gadis itu menangis seperti tadi, ia tidak berusaha bertanya. Ia yakin Tara akan
memberitahunya kalau memang mau. Ia tidak akan memaksa. Yang bisa dilakukannya hanya
mencoba menghibur gadis itu, karena jelas sekali Tara membutuhkannya.
Tatsuya menarik napas dan berkata, Kau benar.
Tara menoleh ke arahnya dengan pandangan bertanya.
Ia melirik gadis itu dan tersenyum. Pemandangan dari sini sangat menakjubkan.
Tara membalas senyumnya. Ini salah satu tempat kesukaanku di seluruh dunia, gumamnya,
lalu wajahnya berubah murung. Tempat persembunyianku.
Mereka berdua terdiam. Menikmati pemandangan sore kota Paris, menikmati embusan angin
musim gugur, menikmati kesunyian.
Tiba-tiba Tatsuya bertanya, Mau menemaniku jalan-jalan"
Tara menoleh. Malam ini saja, lanjut Tatsuya. Ia sudah membuat keputusan. Kita lupakan semua masalah
dan bersenang-senang sebentar. Kita pergi makan malam, lalu menonton film, teater, apa saja.
Jalan-jalan di sepanjang Sungai Seine juga boleh. Apa saja yang kauinginkan. Bagaimana"
Seulas senyum menghiasi bibir Tara. Apa saja yang kuinginkan"
Tatsuya mengangguk. Apa saja.
Kau merasa sehat" tanya Tara sambil memandangi tangan kiri Tatsuya yang dibebat.
Badanmu tidak sakit"
Aku baik-baik saja, sahut Tatsuya cepat. Luka kecil seperti ini bukan masalah sama
sekali. Tatsuya sungguh ingin melupakan semua masalah yang mengganggu pikirannya selama ini.
Juga rahasia itu. Ia ingin melupakan kenyataan sebentar. Hari ini saja. Ia tidak ingin mengingat
kenyataan Tara adalah adiknya. Malam ini saja. Ia ingin mencurahkan perasaannya terhadap gadis
itu tanpa rasa bersalah. Mereka berpandangan, lalu Tara mengangguk. Baiklah.
Tatsuya mengulurkan tangan. Setelah ragu sesaat, Tara menyambut uluran tangannya. Ketika
tangan gadis itu berada dalam genggamannya, Tatsuya merasa dirinya utuh kembali.
* * * Malam itu berjalan sempurna. Mereka makan malam di sebuah restoran Prancis yang
menyenangkan di daerah Champs-"lys"es, kemudia
n menonton film Hollywood yang di-dub ke
dalam bahasa Prancis. Dari Rive Droite, mereka menyeberangi Sungai Seine ke Rive Gauche.
Mereka mengunjungi Menara Eiffel namun hanya bisa mengagumi dari luar. Sudah terlalu malam
dan jam berkunjung sudah habis berjam-jam yang lalu. Lalu mereka pergi ke "le de la Cit", juga
ke Notre Dame. Tentu saja katedral itu juga sudah ditutup untuk umum.
Kita memilih waktu yang payah untuk berkunjung, desah Tatsuya sambil mengagumi
arsitektur Gotik yang menakjubkan dari katedral yang selesai dibangun sekitar abad 12 itu.
Tara tersenyum. Kurasa tidak ada arsitek yang tidak suka memandangi Notre Dame,
katanya. Lalu ia mengangkat tangannya yang menunjuk ke atas. Kau tahu, kalau kita naik ke
Menara Utara, kita bisa melihat banyak gargoyle yang bagus. Kau pasti suka.
Tatsuya mendongak mengikuti arah yang ditunjuk Tara.
Tara melanjutkan, Kita juga bisa melihat kota Paris dari atas sana.
Kita benar-benar harus memerhatikan jam berkunjung kita lain kali, gumam Tatsuya
dengan nada menyesal. Tara tersentak dan menurunkan tangannya. Sesaat ia kembali menginjak bumi dan
dihadapkan pada kenyataan. Apakah akan ada lain kali" Ia meragukannya. Tetapi ia tidak mau
menghadapi kenyataan sekarang. Mereka sudah berjanji, walaupun hanya malam ini, mereka akan
bersenang-senang dan melupakan segala masalah.
Lain kali kita harus menyusun jadwal, kata Tara akhirnya. Biarlah ia bermimpi bisa tetap
bersama Tatsuya setelah malam ini. Dan ingatkan aku untuk mengajakmu ke taman kecil di
belakang katedral. Dari sana kita bisa mendapat pemandangan terbaik Notre Dame.
Autumn In Paris Karya Ilana Tan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tatsuya memandangnya, lalu mengulurkan tangan dan menggenggam tangannya. Oke.
* * * Ketika malam itu harus berakihr, Tara merasa tidak rela. Perlahan-lahan kenyataan mulai
menghampiri dan ia belum siap menerimanya. Ia bertanya-tanya dalam hati bolehkah ia hidup
dalam mimpi" Apa yang terjadi kalau ia tidak mau menerima kenyataan" Apa yang akan terjadi"
Tatsuya mengantarnya sampai ke apartemennya. Laki-laki itu juga terlihat bimbang. Beberapa
saat mereka masih berpegangan tangan. Lalu Tatsuya menyerah. Dengan perlahan ia melepaskan
genggamannya dan melepaskan tangan Tara.
Selamat malam, Tara-chan, katanya sambil memaksakan seulas senyum. Ia mengulurkan
tangan dan memegang kepala Tara sekilas.
Begitu Tatsuya berbalik pergi. Tara merasa sebagian hatinya tercabik, sebagian dirinya ikut
pergi. Tetapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya bisa diam memandangi punggung Tatsuya
yang semakin menjauh. Setelah sosok Tatsuya menghilang, ia baru membalikkan tubuh dengan
pelan. Ketika mengeluarkan kunci pintu, ia baru menyadari tangannya gemetar. Ia mendesah
keras. Ia belum ingin masuk ke apartemennya. Ia butuh udara segar.
Beberapa saat kemudian ia menyadari dirinya berjalan menyusuri Sungai Seine. Ia tidak
sedang menikmati pemandangan sungai, tidak juga memerhatikan sekelilingnya. Kemudian ia
menghentikan langkah. Dengan gerakan ragu, ia mengeluarkan ponsel.
Ia ingin menelepon ayahnya dan bertanya tentang apa yang didengarnya waktu itu di rumah
sakit. Tetapi apakah dirinya sendiri sudah siap menerima kenyataan" Apakah ia siap menerima
apa pun jawaban ayahnya"
Tidak. Namun hati kecilnya menyimpan harapan rapuh bahwa apa yang didengarnya waktu itu salah.
Pasti ada penjelasan yang masuk akal di balik semua itu. Tatsuya Fujisawa pasti bukan anak
kandung ayahnya. Pasti ada kesalahan. Harapan kecil yan gsia-sia itulah yang mendorongnya
menelepon ayahnya. Maksud awal Tara adalah ingin bertanya tentang apa yang didengarnya waktu itu, tetapi
begitu mendengar suara ayahnya di ujung sana, tanpa disadari air matanya langsung mengalir.
All"" Suara ayahnya terdengar lagi. Ma ch"rie, ada apa"
Apa yang sudah Papa lakukan" Itulah kata-kata yang pertama kali meluncur dari mulutnya.
Suaranya bergetar. Apa" Tara mulai menangis dan suaranya tersendat-sendat. Apa yang... sudah... Papa lakukan"
Tubuhnya gemetar hebat dan ia terisak-isak di luar kendali. Tiba-tiba saja seluruh rasa sakit
datang membanjiri tubuhnya. Dan yang paling terasa sakit adalan hatinya. Ia me
nekan telapak tangannya di dada, seakan berusaha menutupi luka yang menganga di sana.
Ma ch"rie... Papa tidak mengerti.
Kenapa... kenapa... Sulit berbicara ketika sedang tersedu-sedu, tetapi Tara berusaha keras.
Kenapa Tatsuya... b-bisa menjadi... anak Papa"
Ayahnya tidak menjawab. Tara masih tetap tersedu-sedu. Bo-bohong, kan" tanyanya dengan nada putus asa. Itu
bohong, kan, Papa" Kau ada di mana sekarang"
Jawab aku... Papa, katanya lemah. Terlalu banyak menangis menghabiskan tenaganya.
Katakan... itu bohong... Katakan kau ada di mana. Papa akan segera ke sana dan menjemputmu. Setelah itu baru kita
bicara. Tara menggeleng keras. Papa... jawab... sekarang...
Diam sejenak di ujung sana, lalu, Papa minta maaf, ma ch"rie. Papa sangat menyesal. Papa
minta maaf. Itu jawaban yang paling ditakutinya. Setitik harapan kecilnya musnah sudah. Kenyataan
menghantam kepalanya, merobek-robek jantungnya dan menguras darah dari tubuhnya.
Victoria... Ma ch"rie...
B-bagaimana sekarang... P-papa" gumam Tara di sela-sela tangisnya. Ba-bagaimana
sekarang"... Aku harus... bagaimana"... Ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan untuk
menahan tangisnya yang semakin kencang. Belum pernah ia menangis sesedih ini. Ini pertama
kalinya ia tersedu-sedu di luar kendali.
Ia memutuskan hubungan dan jatuh terduduk di tanah. Kedua tangannya menutupi wajah,
bahunya berguncang keras dan tubuhnya masih bergetar. Kemudian ia membisikkan
pengakuannya, Papa... Papa... aku... mencintainya.
Delapan Belas TATSUYA baru saja tiba di apartemennya ketika ponselnya berbunyi. Ia menatap layar ponsel
dan tertegun. All"" katanya begitu menempelkan ponsel ke telinga. Ia menyalakan lampu ruang tengah
dan berjalan ke dapur. Tatsuya. Suara Jean-Daniel Dupont terdengar panik. Tatsuya, kau sedang bersama
Victoria" Tatsuya bimbang sejenak. Tidak, jawabnya.
Kau bertemu dengannya tadi" Suara Jean-Daniel semakin mendesak.
Tatsuya mengerutkan kening. Ada apa ini" Apakah pria ini kesal" Marah" Ia harus jujur atau
berbohong" Tadi sempat bertemu sebentar, sahut Tatsuya pelan.
Terdengar sentakan napas di ujung sana. Kau sudah memberitahunya"
Memberitahu apa, Monsieur"
Masalah itu, sahut Jean-Daniel dengan kalut. Kau sudah memberitahu Victoria tentang
masalah itu" Tatsuya bingung sesaat, lalu, Belum...
Tapi dia sudah tahu! Seketika Tatsuya membeku. Dia sudah tahu" ulangnya, seakan tidak mendengar dengan
jelas tadi. Jean-Daniel nyaris berteriak saking gugupnya, Dia baru saja meneleponku dan dia
menangis. Menangis" Ia mulai bertingkah seperti orang tolol yang terus mengulangi kata-kata orang
lain. Aku tidak pernah mendengar putriku menangis seperti itu, kata Jean-Daniel cepat.
Sepertinya dia nyaris histeris.
Histeris..." Otak Tatsuya berputar. Tadi ketika ia bersama Tara, gadis itu kelihatannya biasa-biasa saja, walaupun sedikit pendiam. Ia hanya berpikir Tara sedang punya masalah dan nanti
perasaannya akan membaik dengan sendirinya. Tetapi kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini Tara
menghindarinya, berubah pendiam, dan sikapnya aneh sekali tadi. Benarkah dia sudah tahu"
Aku tidak bisa menghubunginya, Tatsuya. Terdengar suara Jean-Daniel lagi. Dia tidak ada
di apartemennya dan ponselnya tidak bisa dihubungi. Carilah dia, Tatsuya. Tolong...
Tatsuya mematikan telepon dan tetap diam di tempat, membiarkan dirinya berpikir terlebih
dahulu. Saat itu rasa cemas mulai menjalari dirinya. Di mana Tara sekarang" Bukankah tadi ia
sudah mengantar gadis itu pulang ke apartemennya"
Seakan baru tersadar dari mimpi, Tatsuya segera berbalik dan menghampur keluar dari pintu.
Baru saja ia keluar, ponselnya berbunyi. Tanpa melihat siapa yang menelpon, ia langsung
menjawab. Tara-chan" Terdengar tawa riang di ujung sana. Sayang sekali, bukan, Teman, kata Sebastien sambil
terkekeh. Ini aku. Maaf, membuatmu kecewa.
Sebastien" Teman, aku bosan sekali malam ini. Keluarlah dan temani aku minum, kata Sebastien.
Sebastien, kebetulan kau menelepon, kata Tatsuya dengan napas memburu.
Kenapa" Sepertinya kau panik.
Kau tahu di mana Tara"
T idak. Aku belum menghubunginya hari ini. Atau tepatnya, dia tidak mau menjawab
telepon.... Ayahnya baru meneleponku, sela Tatsuya cepat, memotong penjelasan Sebastien. Dia
sangat mencemaskan Tara dan memintaku mencarinya.
Ada apa ini" Apa yang terjadi" tanya Sebastien. Nada suaranya berubah serius.
Nanti akan kujelaskan, Teman. Sekarang bantulah kami mencairnya. Kau lebih
mengenalnya. Kau tentu tahu di mana kemungkinan dia berada.
Kau membuatku gugup, Tatsuya, kata Sebastien. Ia jelas-jelas masih bingung, tetapi
sepertinya memutuskan tidak banyak bertanya lagi. Baiklah, aku akan mencoba mencarinya.
Kalau aku berhasil menemukannya, aku akan menghubungimu.
* * * Tara Dupont menghilang"
Sebastien benar-benar bingung. Selama bertahun-tahun mengenal Tara, ia belum pernah
mendengar Tara menghilang tanpa kabar dan ayahnya mencemaskannya. Berarti ini masalah yang
cukup serius. Ia mengemudikan mobilnya dengan hati-hati. Matanya menatap jalanan di depan tetapi
otaknya mulai memikirkan tempat-tempat yang mungkin didatangi Tara sendiri. Ia meraih ponsel
dan menghubungi La Vue. All"" "douard, apakah kau melihat Tara di sana"... Tidak" Dia sama sekali tidak datang hari
ini"... Mm, oke. Terima kasih... Oh, tidak apa-apa. Aku hanya sedang mencarinya.... Ngomong-ngomong, bisa tolong telepon aku kalau Tara tiba-tiba datang ke sana"... Oke, terima kasih.
Sebastien memutar otak lagi. Ke mana gadis bodoh itu malam-malam begini" Sudah hampir
tengah malam begini.... Sebastien melajukan mobilnya menyusuri Sungai Seine, ketika tiba-tiba matanya menangkap
sosok seseorang yang dikenalnya berdiri di tepi jembatan.
Tara" gumamnya pada diri sendiri, lalu mengerutkan kening. Apa yang dilakukannya di
sana" * * * Tara menatap kosong ke bawah. Permukaan sungai telrihat remang seperti kaca besar berwarna
hitam yang memantulkan cahaya dari lampu-lampu di tepi jalan. Air sungai itu pasti dingin sekali.
Ia pasti akan mati kedinginan bila terjun ke sungai itu. Mati beku.
Ia hanya perlu membiarkan dirinya jatuh. Setelah itu seluruh tubuhnya akan membeku. Rasa
sakit ini juga akan membeku. Ia tidak akan merasakan sakit ini lagi.
Sedikit dorongan. Satu kali dorongan saja.
Tetapi tubuhnya tetap bergeming. Terpaku di tempat. Tidak mau bergerak.
Rasa sakit di dadanya kian menusuk. Nyaris tak tertahankan. Ia tidak sanggup
menanggungnya lagi. Tuhan, tolonglah aku.... Ambillah rasa sakit ini dariku....
Ia kembali mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap permukaan sungai.
Tiba-tiba ada yang mencengkeram lengannya dan menariknya dengna kasar menjauhi pagar
jembatan. Tara terperanjat dan nyaris kehilangan keseimbangan. Ia memutar kepala dengan cepat
dan langsung berhadapan dengan Sebastien yang menatapnya dengan kening berkerut tidak
senang. Sebastien" gumamnya dengan suara seperti tercekik. Matanya terbelalak kaget. Ia sama
sekali tidak berharap bisa bertemu Sebastien di saat seperti ini.
Apa yang sedang kaulakukan di sini, Tara Dupont" tanya Sebastien keras. Ia masih
mencengkeram lengan Tara.
Perlahan-lahan kesadaran mulai meresap kembali ke dalam diri Tara dan ia mengerjap-ngerjapkan mata. Ia mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Sebastien. Aduh... Lepaskan
tanganku. Sakit. Sebastien melonggarkan cengkeramannya, tetapi tidak benar-benar melepaskannya.
Kau habis menangis" tanya Sebastien pelan. Ia menatap lurus ke mata Tara.
Tara memaksakan seulas senyum dan mengelak dari tatapan Sebastien. Hanya sedikit.
Sebentar. Memangnya tidak boleh"
Sebastien menarik napas. Ada apa denganmu"
Tara tidak menjawab. Mau menceritakannya kepadaku"
Pandangan Tara kembali berkabut. Temanku, Sebastien, gumamnya dengan suara seakan
sedang bermimpi. Kau mau tahu apa yang baru saja akan kulakukan"
Sebastien tidak yakin ia berani mendengar jawabannya.
Tadinya aku ingin melompat.
Apa" Sebastien benar-benar kaget. Coba katakan sekali lagi.
Tara masih tidak menatapnya. Aku ingin melompat.
Tanpa alasan yang jelas Sebastien berkata, Kau tidak bisa berenang.
Tara tersenyum dan menatap permukaan sungai dengan tatapan menerawang. Aku tahu.
Kenapa " Ada apa denganmu" seru Sebastien sambil mengguncang tubuh Tara, berharap
dengan begitu gadis itu akan tersadar kembali.
Tara mengangkat sebelah tangannya dan menempelkannya di dada. Karena sakit sekali
rasanya. Di sini. Sakit sekali, Sebastien.
Sebastien tidak mengerti. Sama sekali tidak mengerti. Ia masih shock mendengar Tara tadi
berniat bunuh diri. Tapi untunglah kau datang, kata Tara. Ia berpaling menatap Sebastien dan tersenyum.
Senyum setengah hati. Matanya berkaca-kaca. Karena kau datang, aku jadi tahu apa yang
seharusnya kulakukan. Apa maksudmu" Tara meletakkan kedua tangannya di bahu Sebastien. Temani aku minum, Teman. Ayo kita
minum sampai mabuk. Aku ingin minum sampai rasa sakit ini tidak terasa lagi. Minum sampai
mati. Jangan bicara sembarangan, gerutu Sebastien. Baru pertama kali ia melihat temannya
bersikap seperti ini. Dan ia tidak suka apa yang dilihatnya. Perasaannya mengatakan ada sesuatu
yang tidak beres. Pandangan Tara kembali kosong.
Baiklah, baiklah, kata Sebastien akhirnya. Ia sangat mengkhawatirkan kondisi Tara. Kau
mau minum" Akan kutemani. Ayo, kita pergi.
Sebastien sama sekali tdiak tahu apa yang terjadi pada Tara, walaupun ia merasa temannya itu
sedang putus asa. Ia akan bertanya pada Tara nanti. Sekarang ini ia tahu jelas lebih baik ia
menemani gadis itu daripada membiarkannya sendirian. Lebih baik ada dia yang mengawasi Tara
karena kalau dibiarkan sendirian, hanya Tuhan yang tahu apa yang bisa dilakukan gadis itu.
* * * Kau sungguh-sungguh mau membiarkannya mabuk" tanya "douard ketika membawakan
tequila sunrise pesanan Tara. Tara sudah menghabiskan botol bir pertamanya dan sekarang akan
memulai botol kedua. Kalau kau masih ingat, dia sudah minum dua gelas tequila sunrise.
Sebelum Sebastien sempat menjawab, Tara mengangkat sebelah tangannya dan mengibas-ngibas. Claude, tidak usah banyak bicara dan berikan minuman itu, katanya. Ia meraih gelas
yang diletakkan "douard dengan ragu-ragu.
"douard memandangi Sebastien dan menghela napas. Dia sudah mabuk. Lagi-lagi dia tidak
ingat namaku. Tara langsung menghabiskan minumannya dalam sekali teguk.
Astaga! Pelan-pelan saja... Pelan-pelan saja, kata "douard agak cemas melihat kelakuan
anak majikannya. Tara memejamkan mata rapat-rapat dan mendesis ketika merasakan minuman beralkohol itu
mengalir menuruni tenggorokannya.
Kepala "douard berputar cepat ke arah Sebastien yang dari tadi diam saja. Kau yang
bertanggung jawab" tanya "douard langsung.
Sebastien mengangguk. Bartender berkepala plontos itu pun mengangkat tangan dan berkata ringan, Baiklah, aku
akan meninggalkan kalian.
Ketika "douard berlalu, Tara mulai meneguk bir kedua. Tiba-tiba Sebastien ingat ia belum
menelepon Tatsuya dan memberitahunya ia sudah menemukan Tara. Ia cepat-cepat
mengeluarkan ponsel dan menghubungi Tatsuya.
All"" Tatsuya" Ini aku.... Ya, aku sudah menemukannya.... Dia bersamaku sekarang. Jangan
khawatir. Kami ada di La Vue.... Datang saja ke sini....
Jangan datang! seru Tara tiba-tiba.
Sebastien terlompat kaget dan menatap Tara dengan heran.
Kemudian Tara menutup wajah dengan kedua tangan dan berkata lagi, kali ini dengan suara
yang lebih pelan, Jangan suruh dia datang. Jangan malam ini.
Sebastien masih bingung. Tapi, Tara... Ini Tatsuya. Dia...
Jangan malam ini, potong Tara. Malam ini kami sudah berjanji melupakan semua masalah
dan bersenang-senang. Sebastien tidak paham apa yang dikatakan Tara.
Jadi jangan malam ini, Tara mengulangi kata-katanya. Aku akan menemuinya besok.
Sepertinya Tatsuya bisa mendengar apa yang dikatakan Tara, karena setelah terdiam beberapa
saat, ia meminta Sebastien menjaga Tara. Katanya ia akan memberitahu ayah Tara dan berkata
akan menemui Tara besok, sesuai keinginan gadis itu. Setelah itu ia memutuskan hubungan.
Sebastien memasukkan kembali ponselnya ke saku celana dengan perlahan. Keningnya
berkerut. Apa yang terjadi antara Tara dan Tatsuya"
Tara, kau tidak mau menceritakan apa yang sebenarnya sedang terjadi" Atau sudah terjadi"
tanya Sebastien, berusaha memulai percakapan.
Tara menggeleng tanpa me mandangnya. Ia kembali meneguk birnya.
Sebastien tidak mau menyerah begitu saja. Karena Tatsuya"
Diam sejenak, lalu Tara mengangguk pelan.
Kau bilang hatimu sakit. Karena Tatsuya"
Tara mengangguk lagi. Jadi Tatsuya yang telah menyakiti hatinya, pikir Sebastien kecewa.
Tara, kau tahu benar aku akan selalu membantumu. Kalau kau ingin aku membantumu, kau
harus menceritakan masalahnya kepadaku, kata Sebastien lagi.
Tara menghela napas, lalu mengangkat bahu acuh tak acuh. Besok saja, gumamnya ringan.
Sebastien tidak mendesak lebih jauh lagi. Baiklah, Tara bilang ia akan menjelaskannya besok.
Maka Sebastien akan menunggu sampai besok.
Ketika akhirnya Tara berniat membuka botol bir ketiganya, Sebastien terpaksa harus
menghentikannya dan mengantarnya pulang. Gadis itu sudah mabuk berat dan sama sekali tidak
bisa berjalan dengan benar tanpa dibantu.
Begitu tiba di apartemennya, Tara langsung menghambur ke kamar mandi dan membanting
pintu. Sebastien tidak buru-buru menyusulnya. Samar-samar ia bisa mendengar Tara muntah di
kamar mandi. Ini pertama kalinya ia melihat Tara mabuk. Sebastien tidak tega meninggalkannya
Autumn In Paris Karya Ilana Tan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam keadaan begitu. Ia melepaskan jaket dan berjalan ke dapur untuk membuat secangkir tisane
1 untuk Tara. Keadaan Tara sungguh berantakan dan kacau-balau ketika ia keluar dari kamar mandi. Tanpa
berkata apa-apa, ia menyesap sedikit tisane yang disodorkan Sebastien, lalu merangkak naik ke
tempat tidur dan meringkuk di balik selimut.
Setelah mematikan lampu, Sebastien keluar dari kamar tidur Tara dan berdiri di ruang tengah.
Mengingat Tara sepertinya sedang mengalami depresi berat, ia memutuskan bermalam di
apartemen Tara. Siapa yang tahu apa yang akan dilakukan Tara bila tiba-tiba terbangun dan
depresi sial itu kembali menyerangnya"
* * * Keesokan paginya, Sebastien sedang memanggang roti ketika Tara keluar dari kamar tidurnya
sambil memegangi kepala dengan sebelah tangan.
1 teh herbal Selamat pagi, Mademoiselle Dupont, sapa Sebastien ringan.
Tara menghentikan langkahnya dan mengerjap-ngerjapkan mata, kaget melihat Sebastien
berdiri di dapurnya dengan pisau roti di tangan.
Kau kelihatan kacau, kata Sebastien setelah mengamati Tara dari atas sampai bawah.
Kepalamu sakit" Tara menghampiri meja makan kecilnya, menarik kursi dan duduk. Kau tidak pulang
semalam" tanyanya dengan suara serak.
Sebastien meletakkan secangkir tisane di hadapan Tara.
Aku benci tisane, gerutu Tara. Aku mau kopi saja.
Jadilah anak baik dan minum tisane itu, kata Sebastien, lalu meletakkan piring berisi roti di
meja. Dan ya, aku memang tidak pulang semalam. Kau benar-benar mabuk dan aku tidak tega
membiarkanmu sendirian. Tara tersenyum tipis dan menyesap tisane-nya dengan patuh. Kemudian ia bangkit.
Kau mau ke mana" tanya Sebastien buru-buru. Kau harus sarapan dulu. Aku sudah beli
croissant tadi. Tara mengibaskan tangan tanpa menoleh. Aku mau cuci muka dulu, Ibu, guraunya. Nanti
aku kembali dan memakan croissant-mu itu. Oh ya, sekalian goreng telur untukku. Oke"
Memangnya aku pembantumu" seru Sebastien, tetapi Tara sudah menghilang di balik pintu
kamar mandi. Diam-diam ia senang melihat perubahan dalam diri gadis itu. Pagi ini Tara terlihat
lebih tenang. Ia bahkan sempat bergurau. Bukankah itu awal yang menjanjikan"
Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi bel pintu. Sebastien beranjak ke pintu dan
membukanya. Ia agak kaget ketika mendapati siapa yang ada di depan pintu. Oh... All", Tatsuya.
Tatsuya juga terlihat kaget melihat Sebastien. Sebastien"
Sebastien-lah yang lebih dulu pulih dari kekagetannya. Ia minggir sedikit dan menggerakkan
tangan. Masuklah dulu. Kau datang menemui Tara, bukan"
Tatsuya melangkah masuk dan mengangguk. Kau sendiri"
Sebastien berdeham dan berjalan kembali ke dapur. Tatsuya mengikutinya.
Aku tidur di sini semalam, sahut Sebastien, lalu cepat-cepat menambahkan, di sofa ruang
tamu, tentu saja. Semalam Tara mabuk dan... depresi.
Sebastien mengamati Tatsuya, ingin melihat reaksi temannya itu atas kata-katanya barusan.
Tetapi Tatsuya tidak bereaksi. Hanya diam dan memandang ke ar
ah lain. Oh ya, Tara sedang di kamar mandi, kata Sebastien sambil menunjuk pintu kamar mandi.
Kami baru saja mau sarapan. Kau sudah sarapan"
Tatsuya baru hendak menjawab ketika pintu kamar mandi terbuka dan Tara melangkah ke
luar sambil mengeringkan wajah dengan sehelai handuk kecil. Begitu melihat siapa yang datang, ia
membeku dan matanya terbelalak. Tapi hanya sesaat. Setelah itu sikap Tara berubah biasa,
namun wajahnya memucat. All", Tatsuya, sapanya ringan. Baru datang"
Tatsuya tidak menyahut. Ia hanya menatap Tara dengan kening berkerut bingung. Gadis itu
berjalan melewatinya ke meja makan.
Kau sudah menggoreng telur untukku" tanya Tara pada Sebastien.
Sebastien mengangguk. Suasananya aneh sekali. Ia sendiri tidak mengerti. Kalau tidak salah
kemarin Tara mengalami depresi parah dan semua itu ada hubungannya dengan Tatsuya.
Kemarin juga ia menolak berbicara dengan laki-laki itu. Tapi kenapa pagi ini mendadak saja Tara
bersikap biasa, seakan tidak pernah terjadi apa-apa" Sungguh, ada yang aneh di sini.
Tara berpaling ke arah Tatsuya. Duduklah dan ikut sarapan bersama kami.
Sebastien menatap Tatsuya yang masih berdiri mematung. Laki-laki itu memandang Tara
lekat-lekat. Selain itu Sebastien juga bisa melihat berbagai macam perasaan melintas di mata
Tatsuya. Tara, panggil Tatsuya pelan.
Tara langsung berpaling ke arah Sebastien dan berkata, Oh, Sebastien, aku belum
memberitahumu, ya" Aku dan Tatsuya bersaudara.
* * * Aku dan Tatsuya bersaudara.
Tatsuya menatap Tara dengan pandangan tidak percaya, sedangkan gadis itu dengan tenang
menggigit roti panggangnya. Sejak tadi Tatsuya sudah merasa sikap Tara sangat aneh. Terlihat
biasa-biasa saja, bahkan agak dingin. Dan ia mengucapkan kata-kata itu dengan mudahnya.
Padahal semalam menurut ayahnya, Tara histeris. Tadi juga Sebastien baru memberitahunya Tara
depresi. Kalau begitu, apa yang sebenarnya terjadi pada diri gadis itu sekarang" Apa yang
dipikirkannya" Sebastien jelas-jelas terperanjat dan kebingungan. Ia menatap Tara dan Tatsuya bergantian,
lalu bertanya, Apa" Bagaimana"
Tara menjawab, Kami berdua punya ayah yang sama. Ia berpikir sejenak. Itu artinya
saudara seayah, ya" Atau saudara tiri" Lalu mengangkat bahu, Pokoknya begitulah.
Tatsuya dan Sebastien berdiam diri. Terlalu kaget untuk berkata-kata.
Aku tidak memberitahumu lebih cepat karena sebenarnya aku juga baru tahu, lanjut Tara.
Ia memandang Sebastien sambil tersenyum meminta maaf. Ini kejutan besar, bukan" Tapi kami
berhasil mengatasinya. Ia berpaling ke arah Tatsuya. Bukan begitu, Tatsuya"
Tara, apa-apaan ini" kata Tatsuya tidak sabar. Ia sungguh tidak mengerti sikap Tara. Apa
maksudnya" Apakah gadis itu ingin berpura-pura semuanya baik-baik saja"
Tara menatap lursu ke matanya. Senyumnya sedikit memudar. Ini kenyataan, katanya pelan.
Aku yakin kita bisa mengatasinya dengan baik. Aku bisa.
Tara... Aku bisa menganggapmu sebagai kakak, sergah Tara cepat.
Tatsuya terdiam. Sungguh. Aku bisa. Tatsuya tidak percaya. Tidak mungkin segalanya beres dalam semalam.
Kau ingin kita langsung bersikap sopan dan menjaga jarak seperti sekarang" cetus Tatsuya.
Kau ingin aku memandang enteng masalah ini"
Tara masih menatapnya dan berkata dengan nada lelah, Kalau kau punya usul lain yang lebih
baik, aku siap mendengarkan.
Kenyataan adalah kenyataan. Tara benar. Tetapi kenapa dada Tatsuya masih terasa berat dan
sakit" Sesaat Tatsuya melupakan Sebastien yang memandangi mereka berdua dengan bingung.
Tungu dulu, kalian berdua. Sebelum aku menjadi gila, sebaiknya kalian jelaskan padaku apa yang
kalian bicarakan ini"
Tatsuya menghela napas, lalu mengembuskannya dengan keras. Ia berkacak pinggang dan
menatap Tara. Tanyakan saja padanya, sahutnya muram. Sepertinya dia sudah memikirkan
segalanya. Aku pergi dulu.
Tanpa megnhiraukan Sebastien, Tatsuya berjalan ke pintu dengan langkah lebar dan hati
kesal. * * * Sebastien tidak berhasil menyusul Tatsuya. Masih dengan perasaan bingung ia kembali ke dapur
dan mendapati Tara tetap duduk di krusinya. Ia mendengar tarikan napas gadis itu yan
g berat dan tersendat-sendat. Ketika semakin dekat, ia melihat Tara menempelkan telapak tangannya di dada.
Bibirnya bergetar. Matanya menatap meja makan dengan tatapan kosong, namun Sebastien
melihat matanya berkaca-kaca.
Gadis itu sedang berusaha keras menahan tangis.
Sembilan Belas KURASA dia baik-baik saja, kata Sebastien setelah ragu sesaat. Ia mengangguk-angguk dan
memandang pria yang duduk di hadapannya.
Jean-Daniel Dupont menggeleng pelan, seakan tidak percaya pada jawaban Sebastien.
Sebastien sendiri sebenarnya tidak yakin jawaban yang diberikan itu benar adanya, tetapi apa lagi
yang bisa diberikannya sebagai jawaban"
Tadi pagi Jean-Daniel Dupont meneleponnya dan meminta bertemu di kafe ini. Katanya ada
yang ingin dibicarakan. Sebastien sudah bisa menebak apa yang ingin dibicarakan. Tentu saja
mengenai Tara. Sikap Tara Dupont membuat semua orang bingung, termasuk Sebastien. Gadis
itu dari luar kelihatan baik-baik saja. Walaupun begitu, semua orang yang kenal dengannya tahu
keadaannya tidak baik. Suatu saat ia bekerja seperti biasa, berbicara seperti biasa, tertawa seperti
biasa. Tetapi di lain waktu ia murung, sering melamun, dan seakan tidak sadar. Hanya saja orang-orang di sekitarnya tidak tahu apa yan bisa mereka lakukan untuk membantunya.
Jadi ketika Jean-Daniel menanyakan pendapatnya tentang keadaan Tara, Sebastien hanya bisa
memberikan jawaban ragu seperti itu.
Jean-Daniel mengeluarkan sebatang rokok dan menyelipkannya di antara bibirnya. Ia melirik
Sebastien. Kau tidak keberatan kalau aku merokok, bukan" tanyanya sambil mengacungkan
bungkus rokoknya. Sebastien menggeleng. Sial, umpat Jean-Daniel. Ia menyalakan rokoknya dan mulai mengepulkan asap. Setahun
terakhir ini aku sudah berhenti merokok. Tara yang memaksaku berhenti. Tapi sekarang aku
benar-benar membutuhkan ini.
Tara sudah mencari Anda" tanya Sebastien. Untuk meminta penjelasan, maksudku.
Jean-Daniel mengangguk. Minggu lalu, jawabnya. Dia datang dan menuntut penjelasan.
Lalu" desak Sebastien ketika Jean-Daniel terdiam.
Dia menerimanya dengan baik, lanjut pria yang lebih tua itu. Sangat baik malah. Ia
mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskan asap dengan perlahan. Dia
mendengarkan seluruh ceritaku tanpa menyela. Setelah itu dia hanya mengangguk dan berkata,
Aku mengerti, Papa". Sejak saat itu dia tidak pernah menyebut-nyebut masalah itu lagi. Aku juga
tidak berani mengungkit soal Tatsuya karena... entahlah, mungkin aku takut pada reaksinya
nanti. Sebastien membetulkan letak kacamatanya. Ia memahami perasaan ayah Tara, karena ia
sendiri juga merasakannya. Ia ingat malam itu, sekitar seminggu yang lalu, ketika ia menemukan
Tara di tepi jembatan. Saat itu Tara mengaku ia nyaris bunuh diri. Gadis itu begitu depresi
sampai-sampai Sebastien tidak berani meninggalkannya sendiri. Tetapi keesokan paginya Tara
langsung berubah. Ia bersikap seakan-akan malam sebelumnya tidak pernah ada.
Tara kembali seperti semula, walaupun tidak tepat seperti dulu. Sebastien masih sering
menghubunginya, mengobrol dengannya, makan dengannya. Tetapi gadis itu tidak pernah
menyebut-nyebut nama Tatsuya lagi. Tidak pernah sekali pun sejak Tatsuya meninggalkan
apartemennya pagi itu. Dan Sebastien tidak berani mengungkit-ungkit masalah itu. Sama seperti
ayah Tara. Ia takut pada reaksi yang akan timbul bila ia menyebut nama Tatsuya. Bagaimana
kalau gadis itu depresi lagi dan kembali berpikir untuk melompat ke Sungai Seine"
Bagaimana dengan Tatsuya" tanya Jean-Daniel tiba-tiba, membuyarkan lamunan Sebastien.
Sebastien mengangkat wajah dan tersenyum tipis. Sama saja, sahutnya.
Sementara Tara kembali seperti dulu, Tatsuya Fujisawa berubah menjadi orang lain. Sebastien
jarang bertemu dengannya di kantor, apalagi berbicara dengannya. Tatsuya selalu sibuk, atau
sengaja menyibukkan diri untuk menghindar. Ia bekerja tiga kali lebih keras daripada sebelumnya.
Sebastien juga mendengar dari orang-orang yang bekerja dekat dengan Tatsuya bahwa sikap
Tatsuya berubah. Ia menjadi sangat tegang, keras, dan selalu dalam suasana hati yang buruk.
Orang-orang mengir a semua itu karena trauma dari kecelakaan yang dialaminya, tetapi Sebastien
tahu alasannya lebih dari itu.
Anda sudah bicara dengan Tatsuya" tanya Sebastien.
Tentu saja, gumam Jean-Daniel. Tapi dia juga tidak bicara banyak. Dia hanya bilang dia
lega Tara sudah tahu. Dia lega semuanya sudah jelas.
Jean-Daniel mengusap wajahnya dengan sebelah tangan. Anak itu sudah pasrah, katanya
muram. Sebastien menarik napas. Terus terang saja, Monsieur, kurasa memang hanya itu satu-satunya yang bisa dilakukan dalam keadaan ini.
Jean-Daniel menatap kosong ke luar jendela kafe dan bertanya, Menurutmu, apakah mereka
nantinya suatu hari nanti... entah kapan, entah berapa lama, tetapi suatu hari nanti bisa
melupakan perasaan mereka sekarang"
Sebastien menatap Jean-Daniel Dupont, tetapi tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Mungkin Jean-Daniel juga tidak mengharapkan jawaban pasti.
* * * "lise sesekali melirik Tara yang sedang membaca majalan Elle di meja kerjanya. Sebelah
tangannya menopang dagu dan tangan yang satu lagi membalik-balikkan halaman majalah. Tara
terlihat biasa-biasa saja. Lalu kenapa "lise merasa gugup"
Tara, panggilnya. Mm" gumam Tara tanpa mengangkat wajah.
"lise baru membuka mulut, lalu mengurungkan niat. Ia ingat peringatan Sebastien untuk
tidak mengungkit-ngungkit soal Tatsuya di depan Tara, kecuali gadis itu sendiri yang
membahasnya. Beberapa minggu terakhir ini memang agak membingungkan bagi "lise. Ia tidak tahu apa
masalah sebenarnya, namun ia yakin akan satu hal. Masalah itu pasti berhubungan dengan
Tatsuya Fujisawa. Apakah hubungan mereka tidak berhasil" Mereka sedang bertengkar" Mungkin
saja, tapi "lise merasa masalahnya lebih berat daripada itu.
Saat itu Charles Gilou masuk ke ruangan sambil tersenyum lebar dan menyapa semua orang
di sana. Sepertinya Charles sedang gembira hari ini, kata Tara tiba-tiba.
"lise menoleh ke arah temannya yang sedang memandangi atasan mereka sambil tersenyum.
Ia mengangkat bahu. Tumben sekali, sahut "lise tidak peduli.
Charles menghampiri mereka. All", semuanya, sapanya. Bukankah dunia terlihat indah
saat acara kita mendapat rating tinggi"
Tara tersenyum sopan dan "lise meringis.
Charles bertepuk tangan meminta perhatian. Aku akan mentraktir kalian semua minum
malam ini. Bagaimana"
Semua orang berseru setuju dan bertepuk tangan. Jarang-jarang atasan mereka ini mau
berbaik hati seperti itu.
Kau ikut" tanya "lise kepada Tara.
Sebelum Tara sempat menjawab, Charles berkata kepada "lise, Ngomong-ngomong, kita
tidak mendapat surat dari Monsieur Fujitatsu lagi"
"lise cepat-cepat berpaling ke arah Tara dan berdoa semoga ia tidak mendengar kata-kata
Charles, tetapi Tara mendengarnya dengan jelas. Matanya masih terpaku ke majalah di depannya,
tetapi sikap tubuhnya berubah.
Tidak, Charles, sahut "lise cepat, berharap atasannya itu tidak membahas soal itu lagi.
Harapannya tidak terkabul.
Sayang sekali. Dia salah satu alasan acara kita mendapat rating tinggi, lanjut Charles tanpa
menyadari bencana yang akan disebabkannya. "lise, bagaimana kalau kau menyapa Monsieur
Fujitatsu saat siaran nanti dan memintanya menulis....
"lise buru-buru berdiri dan menyela dengan suara lantang, Charles, ada yang ingin
kutanyakan. Charles berdeham. Ada apa" tanyanya, agak kesal karena disela.
"lise mendorongnya menjauh dari meja dan mengajaknya ke luar ruangan. Ia belum tahu apa
yang akan ditanyakannya kepada atasannya, tapi yang penting menjauhkan Charles dari Tara.
Mungkin sudah terlambat, tetapi lebih baik terlambat daripada keadaan bertambah parah.
Ketika "lise kembali ke ruangan, Tara sudah tidak ada di meja kerjanya.
* * * Jam berapa sekarang"
Tatsuya melirik tangan kirinya, lalu menyadari kebodohannya. Ia tidak memakai jam tangan
karena tangan kirinya masih dibebat. Kemudian ia merogoh saku jas dan mengeluarkan jam
sakunya. Ketika benda itu sudah ada dalam genggamannya, ia tertegun.
Jam saku hadiah dari Tara.
Napasnya tertahan. Ia cepat-cepat memasukkan kembali jam saku itu ke saku jas dan menarik
napas panjang dan perlahan.
Segalanya sudah diatur. Ia tidak boleh me
mbiarkan hal-hal kecil seperti ini mengacaukan
rencananya. Ia meyakinkan dirinya itulah satu-satunya cara yang bisa dilakukan sebelum segalanya
tambah berantakan. Bagaimanapun juga, masalah ini tidak memiliki jalan keluar yang
menyenangkan. Menghadapi masalah ini seperti berjaaln di terowongan gelap yang tak berujung.
Sama sekali tidak ada cahaya yang tampak.
Tatsuya menoleh dan melihat sebuah kafe tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia harus duduk
sebentar. Duduk dan menenangkan piiran, mengkaji ulang rencananya.
Ia baru akan masuk ke kafe itu ketika mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh dan melihat
seorang wanita muda berambut hitam panjang sedang berjalan menghampirinya sambil
tersenyum lebar. Ah, bukankah wanita itu wanita yang diajak Sebastien ke pesta ulang tahun "lise di La Vue"
La Vue... Di tempat itulah mimpi buruknya dimulai....
Tatsuya, bukan" Suara wanita itu menembus otaknya dan memaksanya kembali memusatkan perhatian pada
kenyataan. Juliette" gumam Tatsuya tidak yakin.
Senyum wanita itu bertambah lebar dan saat itu juga Tatsuya yakin ia tidak salah menyebut
nama. Aku senang kau masih ingat padaku, kata Juliette puas. Ia melirik tangan Tatsuya yang
dibebat. Apa yang terjadi dengan tanganmu"
Tatsuya menggerakkan tangannya sedikit. Hanya kecelakaan kecil. Tidak ada masalah
serius.
Autumn In Paris Karya Ilana Tan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kau ada janji dengan seseorang" tanya Juliette dan menunjuk kafe di depan mereka.
Tatsuya menggeleng. Tidak.
Kalau begitu, bagaimana kalau kutemani kau minum kopi" Juliette menawarkan. Tanpa
menunggu jawaban Tatsuya, ia mendorong pintu kaca kafe itu dan masuk.
* * * Tara duduk bersandar di kursi dan menatap kopinya yang sudah dingin. Ia sama sekali belum
menyentuh kopinya sejak tadi. Ia hanya duduk menyendiri di sudut kafe tanpa memerhatikan
sekelilingnya. Ia tidak menyangka ia masih akan bereaksi seperti itu bila mendengar nama Tatsuya disebut-sebut. Ia mengira dirinya sudah siap menerima kenyataan. Ia mengira dirinya sudah siap
menghadapi Tatsuya tanpa merasakan apa-apa. Ternyata ia salah. Buktinya, tadi ketika Charles
menyebut-nyebut Monsieur Fujitatsu, napasnya tercekat, tenggorokannya tersumbat dan air
matanya nyaris tumpah ke luar. Sampai kapan penderitaan seperti ini baru bisa berakhir"
Dengan enggan ia melirik jam tangannya. Ia harus kembali ke stasiun radio. Ia harus siaran.
Ia bangkit dan meraih tasnya. Ketika ia menegakkan tubuh, matanya menangkap sosok yang
sudah sangat dikenalnya di pintu kafe. Seketika itu juga ia membeku.
Tatsuya... Laki-laki itu sedang tersenyum. Ya Tuhan... Sudah berapa lama ia tidak melihat senyum itu"
Mata Tara tidak bisa lepas dari sosok Tatsuya.
Tatsuya sedang tersenyum pada seorang wanita berambut hitam. Tara ingat siapa wanita itu.
Juliette, mantan pacar Sebastien. Apa yang sedang mereka berdua lakukan di sini... bersama"
Tara tahu ini tidak boleh, tetapi ia tidak bisa mencegah rasa sakit yang menghunjam dadanya.
Melihat Tatsuya bersama wanita itu membuat hatinya perih. Begitu perih sampai ia ingin
menangis. Demi Tuhan! Apa yang sedang dipikirkannya" Ia tidak boleh cemburu. Tidak boleh!
Bagaimana mungkin ia bisa merasa cemburu" Laki-laki itu saudaranya!
Tara menelan ludah dengan susah payah. Udara di kafe itu mendadak terasa sesak. Ia butuh
udara segar. Ia tidak bisa bernapas. Tara bergegas menuju pintu sebelum Tatsuya sempat
melihatnya. Ketika hampir mencapai pintu, ia menabrak seorang pelayan. Tanpa menoleh, Tara
menggumamkan permintaan maaf dan segera melarikan diri dari tempat itu.
Begitu keluar dari kafe dan merasakan angin menerpa wajahnya, perasaan Tara lebih baik.
Walaupun begitu ia tetap melangkah dengan cepat. Setelah agak jauh dan merasa aman, ia
memperlambat langkah. Mendengar nama laki-laki itu sudah cukup buruk. Melihatnya secara langsung membuat hati
dan pikirannya bertabrakan. Melihatnya bersama wanita lain membuat dadanya sesak.
Membuatnya mati rasa. Ia berhenti melangkah dan menyadari kedua tangannya terkepal erat dalam saku mantelnya.
Kuku-kukunya menancap di telapak tangannya tapi ia tidak merasa sakit. Butuh usaha keras
untuk memaksa jari-jari tangannya m
embuka. Ia juga menyadari napasnya agak terengah-engah. Apakah tadi ia berjalan cepat sekali" Ia
duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan dan mengatur napas.
Tara-chan" Suara itu membuatnya terlompat berdiri. Dengan sekali sentakan, kepalanya berputar dan
matanya terbelalak ketika mendapati Tatsuya berdiri di sana. Di depannya.
Ini mimpi. Tidak mungkin Tatsuya ada di sana. Ini pasti akibat ia terlalu merindukannya.
Merindukan seseorang setiap saat bisa mengakibatkan halusinasi. Tatsuya berdiri di sana sambil
tersenyum. Tidak mungkin.
Sadarlah, Tara.... Bangunlah... Buka matamu dan lihatlah kenyataan.... Tatsuya tidak ada di
sana.... Jangan bermimpi lagi.... Kau sudah terlalu sering bermimpi sampai kau merasa dirimu
sendiri mulai gila.... Ternyata benar, kata Tatsuya lagi. Aku merasa melihatmu di kafe itu. Sudah kuduga aku
tidak mungkin salah. Ternyata memang benar kau.
Tatsuya sedang berbicara. Ini bukan mimpi"
Tatsuya, bisiknya serak.
Tatsuya mendekatinya, lalu duduk. Tara ragu sejenak, namun mengikuti tindakan Tatsuya. Ia
duduk kembali di bangku itu, agak jauh dari Tatsuya.
Beberapa lama mereka saling diam. Membiarkan suara-suara di sekitar mereka mengisi
kesunyian. Bunyi mobil-mobil berlalu-lalang, para pejalan kaki yang berbicara dan tertawa. Tara
memang merasa sangat gugup, tapi anehnya sekaligus merasa tenang. Berada di dekat Tatsuya
selalu membuatnya tenang.
Ini pasti sangat berat bagimu, kata Tatsuya, tiba-tiba memecah keheningan di antara
mereka. Tara tidak menjawab. Tidak bergerak. Matanya menatap ke depan. Kosong.
Aku ingin minta maaf atas tindakan dan ucapanku di apartemenmu waktu itu, lanjut
Tatsuya. Suaranya agak bergetar.
Diam sejenak, lalu Tara berbisik, Aku juga.
Tatsuya menunduk menatap sepatunya. Aku menyesal... atas semua yang terjadi.
Tara bersusah payah menelan bongkahan pahit yang tersangkut di tenggorokannya. Aku
juga, bisiknya lagi. Mereka kembali berdiam diri. Kemudian Tatsuya mengangkat wajah dan menoleh ke arah
Tara. Kau tidak usah khawatir, katanya pelan. Segalanya akan membaik.
Perlahan-lahan Tara memutar kepalanya menatap Tatsuya. Mata kelabu laki-laki itu begitu
dalam, begitu tulus, dan menyiratkan begitu banyak penderitaan serta luka. Tara tidak sanggup
membalas tatapannya dan memalingkan wajah.
Apakah dengan melihatku saja membuatmu sedih" tanya Tatsuya. Nada suaranya begitu
pelan dan tidak berdaya. Tara tidak bisa menjawab. Matanya sudah mulai kabur karena air mata. Jangan menangis....
Jangan menangis sekarang....
Ia mendengar Tatsuya menghela napas. Ada yang ingin kukatakan padamu, katanya.
Karena itu aku mengejarmu sampai ke sini.
Tara masih tidak mau menatap Tatsuya.
Aku akan pulang ke Jepang.
Kedua tangan Tara kembali terkepal erat di dalam saku mantelnya dan ia menggigit bibir.
Untuk sesaat jantungnya serasa berhenti berdetak.
Pulang ke Jepang..."
Aku sudah mengatur semuanya, lanjut Tatsuya datar. Pekerjaanku di sini akan kulanjutkan
di Jepang. Pasti tidak masalah. Lagi pula ada pekerjaan lain di Jepang yang harus dikerjakan
secepatnya. Ia berhenti sejenak. Dengan begini akan lebih mudah bagi kita. Bukankah begitu"
Memang benar. Melihat bayangan laki-laki itu saja hati Tara terasa sakit. Tetapi bagaimana
kalau Tara sama sekali tidak bisa melihatnya" Bahkan bayangannya pun tidak. Bagaimana" Apa
yang akan terjadi padanya"
Aku ingin memberitahumu lebih dulu sebelum memberitahu Sebastien, kata Tatsuya.
Berapa lama" tanya Tara tanpa memandang Tatsuya.
Tatsuya tidak langsung menjawab. Dengan suara berat akhirnya ia menjawab, Aku... tidak
akan kembali lagi ke Paris.
Tidak akan kembali lagi.... Tidak akan kembali lagi....
Tara berusaha mengendalikan napasnya yang terputus-putus. Bernapaslah dengan normal....
Tarik... Keluarkan... Tarik... Keluarkan...
Tara-chan. Dengan enggan Tara menoleh. Tatsuya menatap langsung ke matanya, lalu tersenyum.
Senyum yang selalu disukai Tara. Tapi sayangnya Tara tidak bisa membalas senyumannya. hatinya
terlalu hancur untuk tersenyum.
Aku sangat senang bisa mengenalmu, kata Tatsuya. Ia mengucapkan setiap kata
dengan pelan, jelas dan tegas. Terima kasih.
Kali ini Tara tidak mampu mengalihkan tatapannya dari mata Tatsuya.
Tatsuya berdiri, dan Tara mengikutinya. Mereka berdiri berhadapan dan berpandangan.
Setelah bimbang sesaat, Tatsuya mengulurkan tangan kanannya yang tidak berbebat. Tara
menatap tangan yang terjulur itu, lalu kembali menatap mata Tatsuya. Dengan agak gemetar ia
menyambut uluran tangan Tatsuya.
Kehangatan genggaman tangan Tatsuya mengalir ke tubuh Tara, mengisi hati dan jiwanya,
juga semakin membuat hatinya serasa diremas-remas. Apakah ini terakhir kalinya ia bisa
merasakan Tatsuya menggenggam tangannya"
Lalu tiba-tiba Tatsuya menarik tangan Tara dengan pelan namun yakin, menarik Tara
mendekatinya, menarik Tara ke dalam pelukannya.
Tara terpana, tercengang, tapi sama sekali tidak menghindar atau menolak. Ia membiarkan
Tatsuya melingkarkan sebelah lengannya di sekeliling tubuhnya. Ia membiarkan Tatsuya
memeluknya dengan erat, sama seperti ketika laki-laki itu memeluknya di taman rumah sakit. Ia
membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan Tatsuya. Saat itu, ia berharap waktu bisa
berhenti. Ia rela memberikan apa saja asalkan waktu berhenti saat itu.
Aku tidak pernah menyesal mengenalmu, gumam Tatsuya sekali lagi. Percayalah padaku.
Tara menelan ludah dan air matanya sudah nyaris jatuh. Ia mengangguk. Ia percaya.
Tatsuya melonggarkan pelukannya dan mundur selangkah supaya bisa menatap mata Tara.
Berjanjilah padaku kau akan baik-baik saja, katanya.
Tara menggeleng. Ia tidak sanggup berjanji. Ia tahu ini kata-kata perpisahan. Ia belum siap.
Jangan pergi, pintanya dalam hati.
Tara-chan, panggil Tatsuya. Berjanjilah.
Tara menggigit bibirnya. Wajah Tatsuya terlihat buram di matanya karena terhalang air mata.
Akhirnya ia mengangguk. Jangan pergi.... Tatsuya tersenyum. Ia mengangkat tangannya dan membelai kepala Tara. Betapa Tara
menyukai sentuhan Tatsuya itu. Tapi ia juga menyadari itu untuk yang terakhir kalinya.
Terima kasih, gumam Tatsuya. Ia menarik kembali tangannya dan memasukkannya ke saku
jas. Selamat tinggal, Tara-chan.
Jangan pergi... jangan pergi....
Tara ingin meneriakkan kata-kata itu, memohon Tatsuya untuk tidak meninggalkannya, tapi
suaranya tidak bisa keluar. Ia hanya bisa memohon dalam hati sementara Tatsuya membalikkan
tubuh dan berjalan pergi.
Kumohon... jangan pergi....
Isakan pertama melompatkeluar dari tenggorokannya dan ia harus menutup mulut dengan
tangan supaya Tatsuya tidak mendengarnya. Tetapi melihat punggung Tatsuya yang semakin
jauh, Tara sama sekali tidak bisa mengendalikan tangisnya. Isakannya bertambah keras dan ia
harus membekap mulut dengan kedua tangan, namun itu juga tidak membantu.
* * * Tatsuya tahu Tara menangis. Ketika ia membalikkan tubuh dan berjalan pergi, ia mendengar
isakan gadis itu. Butuh tekad kuat dan segenap kendali dirinya untuk tidak berbalik dan kembali
memeluk Tara. Ia tahu bila ia berbalik dan melihat Tara lagi, ia tidak akan sanggup meninggalkan
gadis itu. Ia tahu keputusannya ini adalah yang terbaik. Satu-satunya yang bisa dilakukan. Tara tidak
bertanya kapan ia akan pulang ke Jepang. Ia yakin Tara tidak berani bertanya. Juga tidak berani
mendengar jawabannya. Tatsuya sendiri tidak menawarkan diri untuk memberitahu Tara, karena
ia tidak sanggup. Hatinya sakit sekali ketika memeluk Tara, tapi jauh lebih sakit ketika ia melepaskan
pelukannya. Tidak apa-apa... Saat ia meninggalkan Paris, hatinya tidak akan sakit lagi. Ia yakin itu.
Karena pada saat itu, hatinya juga akan mati. Tidak akan merasakan apa-apa lagi.
Dua Puluh HARI ini Tara merasa sangat rapuh. Tubuhnya gemetar dan ia merasa tidak bertenaga. Hari ini
Tatsuya akan pulang ke Jepang. Tidak akan kembali ke Paris lagi.
Awalnya ia memang tidak ingin tahu kapan tepatnya Tatsuya akan pulang ke Jepang, tetapi
akhirnya ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia bertanya pada Sebastien. Sebastien
memberitahunya dan bertanya apa yang akan dilakukannya. Terus terang saja, Tara tidak tahu. Ia
tidak berencana melakukan apa-apa. Ia hanya ingin tahu. Ingin merasa yakin.
Tara tidak masuk kerja hari
ini dengan alasan sakit. Ia memang sakit. Sangat sakit. Ia tidak
bisa melakukan apa pun, hanya duduk di ranjangnya dan melamun.
Apakah ia perlu menelepon Tatsuya"
Apakah ia perlu mengantarnya ke bandara"
Apakah ia sanggup mengucapkan selamat tinggal sekali lagi"
Tidak, sebaiknya ia tidak melakukan semua itu. Itu hanya akan lebih menghancurkan dirinya.
Biar Sebastien saja yang akan mengantar Tatsuya ke bandara. Biar Sebastien saja yang
mengucapkan selamat tinggal. Tara sendiri tidak sanggup melakukannya.
Sebastien juga berjanji akan meneleponnya bila Tatsuya sudah pergi.
Tiba-tiba ia mendengar ponselnya berdering. Dengan cepat ia meraih ponsel dan
menempelkannya ke telinga. All""
Tara" "lise" gumam Tara dan bahunya merosot.
Aku meneleponmu untuk memberitahu supaya kau mendengarkan siaranku nanti.
Kenapa" Ini penting sekali. Suara "lise terdengar serius.
Katakan padaku, "lise, desak Tara.
Monsieur Fujitatsu menulis e-mail lagi.
Tara menahan napas. Dan ini e-mail terakhirnya.
* * * Apakah ada yang tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tidak boleh dicintai" Aku tahu.
Kalimat pembuka dari e-mail Tatsuya itu membuat Tara menahan napas.
Aku memang baru mengenalnya, tapi rasanya aku sudah mengenalnya seumur hidup. Dan tiba-tiba saja
aku sadar dia telah menjadi bagian yang sangat penting dalam hidupku.
Aku pertama kali bertemu dengannya di bandara Charles de Gaulle. Lalu tanpa sengaja aku bertemu
dengannya lagi di sebuah kelab ketika dia agak mabuk dan salah menyebut nama si bartender. Aku akhirnya
tahu namanya pada pertemuan kami yang ketiga. Salah seorang temanku memperkenalkannya kepadaku.
Selama ini aku tidak pernah percaya pada yang namanya kebetulan, tetapi ini seperti takdir. Karena akhirnya
aku mendapat kesempatan mengenalnya.
Saat itu juga aku memutuskan akan mencoba keberuntunganku. Sudah tiga kali aku bertemu dengannya
tanpa sengaja tentu saja saat itu dia tidak tahu, karena sejauh yang dia tahu, kami bertemu pertama kalinya
saat temannya memperkenalkan kami dan aku memutuskan jika setelah pertemuan ini aku bisa bertemu
dengannya secara kebetulan, aku akan mengambil langkah pertama dan mengajaknya keluar.
Bintang keberuntunganku ternyata sedang bersinar terang saat itu. Aku bertemu dengannya lagi, tanpa
sengaja. Kali ini dia yang datang menghampiri dan menyapaku. Harus kuakui, aku begitu terpana sampai-sampai mendadak bisu sesaat. Aku tahu aku harus menepati janjiku sendiri. Aku pun mengajaknya
menemaniku ke museum. Benar, gadis misterius yang kutemui di bandara dan Gadis Musim Gugur adalah orang yang sama.
Hidup ini sungguh aneh, juga tidak adil. Suatu kali hidup melambungkanmu setinggi langit, kali lainnya
hidup mengempaskanmu begitu keras ke bumi. Ketika aku menyadari dialah satu-satunya yang paling
kubutuhkan dalam hidup ini, kenyataan berteriak di telingaku dia juga satu-satunya orang yang tidka boleh
kudapatkan. Kata-kataku ungkin terdengar tidak masuk akal, tetapi percayalah, aku rela melepaskan apa
saja, melakukan apa saja, asal bisa bersamanya. Tetapi apakah manusia bisa mengubah kenyataan"
Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah keluar dari hidupnya. Aku tidak akan melupakan
dirinya, tetapi aku harus melupakan perasaanku padanya walaupun itu berarti aku harus menghabiskan sisa
hidupku mencoba melakukannya. Pasti butuh waktu lama sebelum aku bisa menatapnya tanpa merasakan apa
yang kurasakan setiap kali aku melihatnya. Mungkin suatu hari nanti aku tidak tahu kapan rasa sakit
ini akan hilang dan saat itu kami baru akan bertemu kembali.
Tepat saat itu terdengar bunyi ponsel. Secara otomatis Tara meraih ponselnya dan
menempelkannya ke telinga. Tidak peduli ponselnya jadi basah karena air matanya yang mengalir
deras. Tara" Suara Sebastien terdengar di telinganya. Aku ada di bandara. Pesawat Tatsuya baru
saja tinggal landas. Tara tidak bisa mendengar suara Sebastien lagi. Ponselnya terlepas dari genggaman dan jatuh
ke ranjang. Napasnya mulai tersendat-sendat dan dadanya sakit setiap kali ia berusaha menarik
napas. Namun ia bisa mendengar suara pelan "lise yang me
mbacakan surat Tatsuya. Sekarang... Saat ini saja... Untuk beberapa detik saja... aku ingin bersikap egois. Aku ingin melupakan
semua orang, mengabaikan dunia, dan melupakan asal-usul serta latar belakangku. Tanpa beban, tuntutan,
atau harapan, aku ingin mengaku.
Aku mencintainya. Saat itulah secuil kendali diri Tara yang rapuh akhirnya hancur berkeping-keping dan
tangisnya pun pecah. Ia membenamkan wajahnya dalam kedua tangan dan tersedu-sedu. Seluruh
tubuhnya berguncang keras. Ia membiarkan isakannya, sedu-sedannya, air matanya tumpah
keluar. Ia tidak bisa menahannya walaupun ia ingin. Ia hanya berharap sepenuh hati, dengan
begitu rasa sakit dan kepedihannya juga akan berkurang, walaupun sedikit. Karena ia sungguh
tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya terhadap lubang besar yang menganga di dalam
dadanya. Tempat hatinya dulu berada.
Dua Puluh Satu SEBULAN sudah berlalu sejak Tatsuya meninggalkan Paris. Walaupun tidak bisa
mengembalikan hidupnya seperti sebelum ia mengenal Tatsuya, tapi Tara berusaha menjalani
hari-harinya senormal mungkin. Tatsuya masih muncul dalam pikirannya setiap hari tanpa bisa
dicegah, tapi Tara berusaha tidak sedih dan menangis lagi.
Tatsuya tidak pernah menghubunginya sejak meninggalkan Paris, jadi Tara tidak tahu
bagaimana keadaannya. Tara tidak bisa menahan diri untuk penasaran, tetapi pada akhirnya ia
meyakinkan dirinya sendiri keadaan seperti sekarang adalah yang terbaik.
Segalanya berjalan baik, setidaknya sebaik yang bisa dilakukan dalam situasi ini, sampai Tara
menerima telepon yang mengabarkan berita buruk itu.
* * * Mobil ayahnya mogok lagi sehingga Tara terpaksa harus menyetir mobil dan menjemput ayahnya
karena mereka akan keluar makan bersama.
Papa belum siap-siap" tanya Tara begitu pintu apartemen ayahnya dibuka.
Ayahnya tersenyum meminta maaf dan berkata, Maaf, ma ch"rie. Papa tadi ketiduran. Kalau
kau mau menunggu sebentar, Papa akan siap dalam beberapa menit.
Tara melangkah masuk ke apartemen ayahnya sambil menggerutu, Mana ada laki-laki yang
meminta wanita menunggu" Biasanya Papa yang suka mewanti-wanti supaya aku tidak terlambat
Autumn In Paris Karya Ilana Tan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjemput. Sekarang" Tapi tidak apa-apa. Aku akan menunggu dengan tenang dan sabar kalau
Papa berjanji tidak akan mengomel soal mobilku. Asal tahu saja, mobilku belum sempat kucuci
selama... aku lupa sudah berapa lama aku tidak mencuci mobil. Yang penting bagian dalam
mobilnya masih bersih. Baiklah, Papa janji, kata ayahnya cepat sebelum menhilang ke dalam kamar mandi.
Tara tersenyum kecut. Ia tahu ayahnya hanya berjanji agar ia berhenti menggerutu. Nanti
ayahnya pasti mengomel juga begitu melihat kondisi mobilnya yang menyedihkan.
Ia menjatuhkan pantatnya ke sofa dan baru akan menyalakan televisi ketika telepon
berdering. Ia menoleh sejenak ke kamar mandi, lalu ke arah telepon di meja kecil di samping
televisi itu. Papaaaa! panggilnya keras.
Tolong jawab teleponnya, ma ch"rie, ayahnya balik berseru dari kamar mandi.
Tara bangkit dan berjalan ke telepon. All"" katanya begitu gagang telepon menempel di
telinga. All"" suara seorang wanita membalas dengan nada ragu.
Tara mencibir. Pasti salah satu kekasih baru ayahnya.
Ya" Anda ingin berbicara dengan siapa" tanya Tara datar.
Eh... apakah... Monsieur Lemercier" tanya wanita itu lagi. Suaranya terdengar gugup dan
jauh. Ditambah lagi ia mengucapkan kata-kata itu dalam bahasa Prancis yang payah sekali.
Tara baru akan membuka mulut, ketika ia tersentak. Lemercier" Kenapa wanita ini menyebut
nama lama ayahnya" Siapa wanita ini"
Siapa ini" tanya Tara sambil mengerutkan kening.
Wanita itu tidak langsung menjawab. Sepertinya ia menjauhkan gagang telepon dan Tara bisa
mendengar wanita itu berbicara dengan seseorang di dekatnya. Tara bisa mendengarnya, tapi
tidak memahami kata-katanya, karena wanita itu berbicara dalam bahasa asing.
All"" Siapa ini" tanya Tara lagi.
Wanita itu kembali berbicara, Inggris... oke"
No problem, kata Tara begitu menyadari wanita itu tidak bisa berbahasa Prancis.
Mendengar Tara bisa berbahasa Inggris, wanita itu mendesah lega dan kata-katanya mengalir
lancar dalam bahasa Inggris berlogat asing. I"m calling from Japan and I"m looking for Monsieur
Lemercier. Menelepon dari Jepang" Tara menahan napas dan melirik pintu kamar mandi. Ayahnya masih
belum keluar. I"m Tara, katanya sambil berusaha terdengar tenang. My father cannot answer the phone right
now. Would you like to leave a message"
Oh... Tara" Suara wanita itu terdengar semakin jauh, tapi anehnya Tara merasa sepertinya
wanita itu mengenalnya. Tara Dupont"
Tara mengerutkan kening. Wanita ini jelas tahu siapa dirinya. Do I know you"
No, jawab wanita itu cepat. Sorry. My name is Keiko and I"m calling because of Tatsuya-san.
Tatsuya Fujisawa. Nama itu... He"s very sick. Jantung Tara seakan berhenti berdetak. Apa katanya"
There"s an accident at work. His father, Kenichi Fujisawa he"s standing beside me right now he asked
me to call Monsieur Lemercier and tell him about this.
Tara mulai panik.... Tubuhnya mendadak dingin.... Darahnya seakan terserap keluar dari
tubuhnya. Kecelakaan" Kecelakaan seperti apa" Parahkah" Apa yang terjadi pada Tatsuya"
Can you come here" With Monsieur Lemercier" Come to Tokyo"
Kenapa wanita ini meminta mereka pergi ke Tokyo" Kenapa" Jangan-jangan... Tidak, tidak.
Ia tidak boleh berpikir yang tidak-tidak. Berpikir positif. Tarik napas... Jangan panik...
Why... how..., Tara menelan ludah ketika mendengar suaranya sendiri terdengar serak dan
seperti tercekik. Banyak sekali pertanyaan yang melintas dalam benaknya, tetapi lidahnya terasa
berat. Akhirnya ia hanya bisa bertanya, How is he"... Is he okay"
He"s in a coma. Gagang telepon itu terlepas dari tangan Tara dan jatuh dengan suara keras ke lantai.
Ada apa" Victoria" tanya ayahnya yang ternyata sudah keluar dari kamar mandi.
Tara tidak menjawab. Ia membiarkan ayahnya memungut gagang telepon itu. All"" Siapa
ini" Kaki Tara mendadak lemas dan tidak bisa menopang tubuhnya. Ia jatuh terduduk di lantai. Ia
tidak punya tenaga untuk bicara ataupun bergerak. Napasnya terputus-putus. Sebelah tangannya
menopang tubuhnya di lantai, sebelah tangan lagi memegang dada, berusaha menahan rasa sakit
yang tiba-tiba menyerbu dirinya. Ia merasa dingin. Dingin sekali. Begitu dinginnya sampai
tubuhnya gemetar hebat. Pandangannya buram, pendengarannya tidak jelas, seakan telinganya
disumbat, namun samar-samar ia bisa mendengar ayahnya masih berbicara di telepon.
Kepalanya berputar-putar. Ia mendongak dan melihat perabotan di sekelilingnya seakan
nyaris jatuh dan menimpanya. Ia menarik napas sekali lagi. Hal terakhir yang didengarnya
sebelum kesadarannya menghilang seluruhnya adalah ayahnya menyerukan namanya. Lalu
segalanya menjadi gelap. * * * Yang pertama dilihatnya ketika ia sadarkan diri adalah langit-langit putih. Bukan langit-langit
kamarnya. Tara menoleh ke samping dan mendapati ayahnya sedang duduk di dekatnya dengan
raut wajah cemas. Kemudian otaknya mulai bekerja kembali dan ia ingat kejadian sebelum ia
jatuh pingsan. Sekarang ia berbaring di sofa ruang tengah apartemen ayahnya. Ia bergegas
bangkit, tapi gerakan tiba-tiba itu membuat kepalanya pusing.
Kau sudah sadar, ma ch"rie" tanya ayahnya sambil membantunya duduk.
Bagaimana keadaannya" Tara balas bertanya. Ia menatap kedua mata ayahnya dengan
perasaan takut. Ayah sudah bicara dengan wanita itu"
Ayahnya mengangguk pelan.
Ceritakan padaku, Papa, desak Tara. Ia mengguncang-guncang lengan ayahnya.
Kecelakaan itu sangat parah, ma ch"rie, ayahnya memulai dengan suara serak. Itu pertanda
buruk. Sangat buruk. Tara menggeleng-geleng, menolak untuk percaya. Tapi dia akan baik-baik saja, kan"
Ayahnya menarik napas. Tatsuya masih hidup, tapi kata dokter dia tidak akan bisa bertahan
lama. Tidak! Itu bohong! Tara mulai histeris.
Victoria... Jangan! Tara menutup kedua telinganya dan menahan isakan yang akan keluar dari
mulutnya. Ktia akan meminta pendapat dokter lain, kata ayahnya, pelan tapi pasti. Pasti ada cara
lain. Tara tidak menjawab. Ia sadar ayahnya juga berusaha meyakinkan diri sendiri.
Papa harus ke Jepang, kata ayahnya, lebih kepada dirinya sendiri
daripada kepada Tara. Kemudian ia menatap Tara. Kau ikut"
Tara memandang ayahnya, lalu menunduk. Bagaimana kalau perkiraan dokter benar"
Bagaimana kalau Tatsuya tdiak bisa... Tara menelan ludah. Biasanya ia selalu mempersiapkan
dirinya untuk menghadapi yang terburuk. Tetapi kali ini ia tidak yakin ia sanggup menerima hasil
terburuk itu. Selama sebulan sejak Tatsuya meninggalkan Paris, Tara selalu berpikir suatu hari nanti ia akan
bisa bertemu dengan Tatsuya lagi. Entah bagaimana perasaannya nanti, tetapi ia yakin mereka
akan bertemu lagi. Walaupun hatinya akan sakit, walaupun ia akan menangis, tetapi setidaknya ia
tahu ia akan melihat Tatsuya lagi. Bila ia melihat Tatsuya baik-baik saja, ia sendiri juga akan baik-baik saja. Itulah yang dipercayainya selama ini.
Tetapi sekarang" Kemungkinan ia takkan pernah bisa melihat Tatsuya lagi membuatnya
merinding. Ia bahkan tidak berani berpikir apa yang akan terjadi pada dirinya bila ia dipaksa
menghadapi kenyataan terburuk itu.
Dua Puluh Dua BEGITU tiba di Tokyo, mereka langsung check-in di hotel, lalu pergi ke rumah sakit tempat
Tatsuya dirawat. Ini pertama kalinya Tara menginjakkan kaki di Jepang, tetapi ia sama sekali tidak berminat
melihat-lihat. Sepanjang perjalanan dari bandara ke hotel, dan dari hotel ke rumah sakit, ia tetap
memandang lurus ke depan. Hatinya sama sekali tidak tenang dan ketika mereka tiba di rumah
sakit, ia menyadari kedua tangannya terkepal begitu erat sampai terasa sakit.
Di rumah sakit itu ia bertemu dengan ayah Tatsuya. Ia tetap diam dan menjaga jarak
sementara ayahnya menyapa dan bersalaman dengan ayah Tatsuya.
Usia Kenichi Fujisawa pasti tidak jauh berbeda dari Jean-Daniel Dupont, tetapi pria kurus itu
terlihat jauh lebih tua daripada Jean-Daniel. Tua dan lelah. Di raut wajahnya yang dipenuhi
guratan penderitaan, Tara merasa ia pria yang sabar, pendiam, dan bijak. Matanya memancarkan
kesedihan mendalam, tetapi juga menyiratkan rasa terima kasih melihat Tara dan ayahnya
bersedia datang menjenguk putranya.
Kenichi Fujisawa hanya bisa berbahasa Jepang, sementara bahasa Jepang ayah Tara amat
terbatas, karena itulah Kenichi didampingi seorang gadis muda berambut panjang yang saat itu
berperan sebagai penerjemah.
Tara-san" Tara tersentak dari lamunannya dan menoleh. Gadis penerjemah itu menatapnya sambil
tersenyum ramah. Kenichi Fujisawa menggumamkan beberapa patah kata dalam bahasa Jepang
kepada Tara. Tara tidak mengerti. Ia memandang gadis penerjemah itu dengan pandangan
bertanya. I"m glad that we can finally meet, but I"m sorry we have to meet in this kind of situation, kata gadis itu,
menerjemahkan setiap kata yang diucapkan Kenichi Fujisawa.
Tara tidak sanggup menjawab. Ia hanya bisa mengangguk dan berusaha menahan air mata.
Pria itu berbicara lagi. Gadis penerjemah itu mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu
berkata pada Tara, Thank you for coming. It means a lot to my son. Looks like he is waiting for you. That"s
why he keeps breathing and doesn"t willing to let go.
Tara membasahi bibirnya yang kering dan menelan ludah. Tangannya gemetar dan ia segera
memasukkannya ke saku mantel. Jangan menangis sekarang....
Saat itu seorang dokter menghampiri mereka. Jean-Daniel dan Kenichi Fujisawa segera
menyambut sang dokter. Untungnya dokter itu bisa berbahasa Inggris. Ayah Tara bertanya
apakah ia boleh masuk dan melihat keadaan Tatsuya. Sang dokter mengangguk dan
mempersilakan kedua pria itu masuk. Ayahnya memandang Tara dan mengajaknya ikut masuk,
tetapi Tara menggeleng. Ia belum siap.
Papa masuk saja dulu, bisiknya pelan. Aku akan menyusul.
Seakan memahami apa yang sedang berkecamuk dalam dirinya, gadis penerjemah itu
menghampiri Tara dan menyentuh lengannya.
Enggak apa-apa, katanya dalam bahasa Indonesia.
Tara menoleh dan menatapnya heran.
Gadis itu tersenyum. Tatsuya-san pernah bilang kamu bisa berbahasa Indonesia. Aku harap
kamu enggak keberatan. Kupikir lebih nyaman bicara dalam bahasa Indonesia daripada bahasa
Inggris. Tara ingat. Tatsuya pernah bercerita tentang tetangganya yang bisa berbahasa Indonesia.
Ternyata gadis ini. Ayo kita duduk di sana, ajak gadis itu. Ia menuntun Tara ke bangku tunggu di depan kamar
rawat Tatsuya. Tara menurut tanpa perlawanan. Setelah duduk, ia menoleh ke arah gadis itu. Pardon... Maaf,
aku belum tahu namamu. Oh, aku lupa bilang, kata gadis itu dan tersenyum meminta maaf. Namaku Keiko Ishida,
tetangga Tatsuya-san. Ayahnya memintaku menelepon kalian waktu itu, sekaligus menjadi
penerjemah. Kau tahu... bagaimana keadaan Tatsuya sekarang" tanya Tara. Ia menyadari suaranya yang
bergetar dan tersendat-sendat, tapi ia tidak peduli.
Keiko mengalihkan pandangan dan menarik napas. Sama sekali enggak baik, akunya terus
terang. Kecelakaan itu parah sekali. Yang kudengar adalah waktu itu dia sedang mengunjungi
lokasi proyek dan terjatuh dari tingkat tiga gedung yang sedang dibangun.
Tara mengggigil dan memejamkan mata erat-erat. Ia tidak sanggup membayangkan Tatsuya
yang terjatuh dari ketinggian seperti itu.
Sejak terjatuh sampai sekarang, dia belum sadar, lanjut Keiko. Kata dokter luka di
kepalanya sangat parah. Dia enggak mungkin bisa bertahan lebih dari empat puluh delapan jam.
Tapi nyatanya dia bisa. Dia masih bernapas walaupun sudah lewat tiga hari. Dokter juga
bingung. Tara merasa ada yang meninju jantungnya. Berulang-ulang.
Dia memang masih bernapas, tetapi masih belum sadar. Dan Dokter sudah berterus terang
enggak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Mereka sudah meminta ayah Tatsuya-san bersiap-siap.
Tara membuka mulutnya dengan takut-takut. Quoi..." Siap-siap untuk..."
Pertanyaan bodoh. Apakah ia sungguh ingin mendengar jawabannya"
Untuk menerima yang terburuk, sahut Keiko muram.
Udara di sekeliling Tara sepertinya bertambah berat. Lagi-lagi ia kehabisan napas. Ia butuh
udara. Ayah Tatsuya-san percaya Tatsuya-san sedang menunggu kalian, kata Keiko. Karena itulah
dia terus bertahan hidup.
Sebelah tangan Tara terangkat ke dada. Tarik napas... Keluarkan... Tarik... Keluarkan... Air
matanya menetes. Aku... enggak mau menemuinya, gumamnya pelan, lalu menghapus air matanya dengan
punggung tangan. Keiko menoleh dan menatapnya dengan heran. Kenapa"
J"ai peur... Aku takut, aku Tara. Ia menutup mulutnya dengan tangan dan menggigil lagi.
Kamu enggak apa-apa" tanya Keiko cemas.
Tadi kamu bilang dia sedang menunggu kami, Tara melanjutkan tanpa menghiraukan
pertanyaan Keiko. Kalau itu benar, apa yang akan terjadi begitu kami bertemu"
Keiko tidak menjawab. Sepertinya ia tahu ke mana arah pertanyaan Tara.
Dia akan berhenti menunggu" tanya Tara.
Keiko belum sempat menjawab, karena saat itu pintu kamar Tatsuya terbuka dan Kenichi
Fujisawa melangkah ke luar. Ia berbicara sebentar dengan Keiko, lalu menyerahkan sesuatu
kepada gadis itu. Ia menoleh ke arah Tara, tersenyum samar, dan masuk kembali ke kamar.
Ada apa" tanya Tara tegang. Ia merasa mulai panik. Ada yang terjadi"
Keiko menggeleng cepat. Enggak, enggak apa-apa. Ayah Tatsuya-san hanya menyuruhku
pulang dan istirahat. Tara mengembuskan napas pelan. Lega.
Kamu mau ikut" Tatsuya-san tinggal di gedung apartemen yang sama denganku. Kamu mau
melihat apartemennya"
Tara menatap Keiko. Boleh"
Keiko tersenyum dan menunjukkan benda yang diserahkan Kenichi Fujisawa kepadanya tadi.
Kunci. Ayah Tatsuya-san yang memintaku mengajakmu, kata Keiko.
* * * Tara berdiri di depan pintu apartemen Tatsuya. Sendirian. Keiko sudah masuk ke apartemennya
sendiri. Kalau sudah selesai, aku ada di apartemen sebelah, kata Keiko sebelum menyerahkan kunci
apartemen Tatsuya kepada Tara.
Tara menggenggam erat kunci yang terasa dingin di tangannya. Ia mengumpulkan seluruh
tekad dan keberaniannya, lalu memasukkan kunci ke lubang kunci dan memutarnya. Pintu pun
terbuka. Ketika ia melangkah masuk, ia merasa seakan melangkah masuk pribadi Tatsuya. Suasana
apartemen Tatsuya meliputi dirinya, membawanya masuk ke kehidupan Tatsuya. Dadanya
berdebar-debar dan ia merasa gugup. Ia ingin melihat sendiri bagaimana hidup Tatsuya. Ingin
merasakannya. Ia ingin melihat apa yang dilihat Tatsuya, ingin merasakan apa yang diraskaan
Tatsuya. Ia ingin memahami Tatsuya.
Apartemen T atsuya tidak terlalu besar. Tara melangkah masuk dengan perlahan dan melihat
berkeliling. Sinar matahari masuk melalui pintu kaca yang menuju beranda, dan melalui jendela
ruang makan, menerangi seluruh ruangan. Tara mengulurkan tangan dan menyentuh perabotan
di sana. Meja makan... kursi... sofa... rak buku... televisi... tirai jendela.... Ia mengamati setiap foto
yang tergantung di dinding ruang tengah. Kebanyakan adalah foto keluarga. Tidak ada foto diri.
Langkah Tara terhenti di depan sebuah pintu geser yang terbuka, ragu sejenak, lalu
melongokkan kepala ke dalam. Kelihatannya seperti ruang kerja kecil. Sebagian besar diisi rak-rak
tinggi yang dipenuhi buku. Ia berjalan mendekati salah satu rak itu dan mengamati buku-buku
yang tersusun rapi di sana. Ada beberapa buku biografi orang terkenal, juga novel fiksi-ilmiah,
namun sebagian besar adalah buku tentang arsitektur.
Tara beralih ke meja kerja yang penuh berbagai gulungan kertas dan denah rancangan.
Jemarinya menyentuh kertas-kertas di meja yang penuh coretan tangan dalam huruf kanji Jepang.
Tulisan tangan Tatsuya. Tatsuya bekerja di meja ini.... Menulis di sini....
Matanya terasa panas dan tenggorokannya tercekat. Ia menggigit bibir dan mengerjapkan
mata untuk mengusir air mata yang mulai terbit.
Dengan perlahan, seakan sedang bermimpi dan ingin menikmati mimpi itu selama mungkin,
ia keluar dari ruang kerja Tatsuya dan berjalan ke ruangan lain yang dibatasi hanya dengan rak
buku yang tinggi. Kamar tidur Tatsuya.
Kamar tidur ini berukuran sedikit lebih kecil daripada ruang kerja tadi, tetapi terasa lebih lega.
Mungkin karena kamar tidur ini memiliki jendela. Tara mengedarkan pandangan. Ranjang dengan
seprai biru tua di dekat jendela itu masih kusut, bekas ditiduri, dan belum sempat dibereskan.
Tiba-tiba saja Tara bisa membayangkan Tatsuya yang bangun pada pagi hari itu, bangkit dari
tempat tidur, berjalan ke lemari pakaiannya, dan keluar dari kamar tidur menuju kamar mandi.
Bersiap-siap berangkat kerja. Sama sekali tidak menduga nantinya ia akan mengalami kecelakaan
parah. Tara menghampiri lemari pakaian dua pintu itu dan membukanya. Ia menyentuh setiap
pakaian yang tergantung di sana, berharap ia bisa merasakan Tatsuya. Lalu tangannya yang
gemetar berhenti bergerak. Ia menyentuh jaket cokelat yang sudah sangat dikenalnya. Tangannya
meluncur turun di sepanjang lengan jaket itu.
Tatsuya sering memakai jaket ini ketika di Paris. Tara ingat ia pertama kali melihat Tatsuya
memakainya ketika laki-laki itu bertemu dengannya di restoran bersama Sebastien. Tanpa disadari
Tara tersenyum mengingat saat itu ia hanya memberikan nilai tujuh setengah untuk Tatsuya,
Autumn In Paris Karya Ilana Tan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
namun dengan cepat naik menjadi delapan ketika Tatsuya mengucapkan nama Tara. Lama-kelamaan nilai Tatsuya terus naik sampai Tara tidak peduli dengan hitungannya lagi.
Merasa ia sudah nyaris larut dalam kesedihan, Tara memalingkan wajah ke arah meja kecil di
seberang tempat tidur. Mirip meja kerja, tapi bukan. Meja ini memberikan kesan yang lebih
pribadi. Di meja ada laptop dalam keadaan terbuka namun layarnya kosong, beberapa buku dan
memo. Tara menarik kursi dan duduk menghadap meja itu. Tangannya mengelus perlahan
permukaan meja, lalu menyentuh laci di depannya dan membukanya.
Sejenak ia tidak bisa merasakan detak jantungnya ketika melihat apa yang ada di dalam laci.
Tangannya kembali gemetar ketika mengeluarkan foto-foto itu. Lima lembar foto.
Foto-foto Tara sendiri. Foto pertama adalah foto dirinya yan gmenguap dengan sebelah tangan menutupi mulut.
Melihat latar belakang foto itu, Tara tahu di mana foto itu diambil. Di Muse" Rodin. Bersama
Tatsuya. Tara melihat sebaris tulisan di balik foto.
Dia menguap... Kapan Tatsuya memotretnya" Kenapa ia tidak sadar"
Foto kedua menunjukkan dirinya duduk di tepi jendela dan memandang ke luar jendela. Tara
mengenali apartemen yang ditempati Tatsuya di Paris. Ia membalikkan foto dan membaca.
Melamun sambil memandangi Sungai Seine...
Foto ketiga. Dirinya berada di dapur apartemennya sendiri, mengangkat panci dengan dua
tangan. Ia kembali membalikkan foto itu.
Dia pintar memasak ... Foto keempat adalah foto close-up dirinya yang tersenyum lebar.
Dia tersenyum... Foto terakhir membuatnya tidak bisa bernapas. Ia menyadari ternyata ia sudah menangis
ketika air matanya menetes ke foto yang dipegangnya. Ia menutup mulutnya dengan tangan
untuk menahan tangis, tetapi tidak berhasil.
Dalam foto itu ia melihat dirinya dan Tatsuya. Ia ingat dengan jelas di mana mereka saat itu.
Di Disneyland Paris. Saat itu mereka meminta bantuan pengunjung lain untuk mengambil foto
mereka berdua. Mereka mengenakan bando berbentuk telinga Mickey Mouse dan tersenyum
lebar ke arah kamera. Sebelah lengan Tatsuya merangkul leher Tara dan tangan yang lain
memegang es krim vanila. Tatsuya terlihat sangat tampan saat itu. Tampan dan bahagia.
Dengan tangan yang masih gemetar, Tara membalikkan foto itu.
Aku dan segala yang kuinginkan dalam hidup...
Tangannya terkulai lemas dan tanpa sengaja menyentuh laptop yang ada di meja. Layar laptop
yang semula gelap pun menyala.
Tara menatap layar yang mulai jelas. Alisnya berkerut samar ketika ia melihat apa yang
muncul di layar. E-mail"
To : Fujisawa Tatsuya From : Sebastien Giraudeau
Subject : Re: bagaimana keadaannya"
Tara membaca isi e-mail tersebut, kemudian ia mulai mencari e-mail lainnya. Begitu
menemukan daftar e-mail yang masuk di inbox, tanpa sadar Tara menahan napas. Setelah
membulatkan tekad, ia mulai membaca satu per satu e-mail tersebut.
Semakin lama pandangannya semakin kabur, dadanya semakin berat, dan napasnya semakin
sulit. Hanya tangisannya yang bergema di apartemen itu. Tara membiarkan dirinya menangis
dengan keras. Menangisi dirinya, menangisi Tatsuya, menangisi nasib, menangisi kenyataan. Ia
menangis sampai kehabisan napas dan kelelahan. Namun saat itu pun air matanya tidak mau
berhenti menengalir. Dua Puluh Tiga PEGANGAN pintu dari besi itu terasa dingin dalam cengkeraman Tara. Butuh keberanian besar
untuk masuk ke kamar rawat Tatsuya. Ia harus menguasai dirinya terlebih dahulu.
Hari sudah sore ketika ia tiba kembali di rumah sakit. Ayahnya melihat kedatangannya dan
segera memeluknya. Saat itu juga Tara tahu ia akan kehilangan Tatsuya.
Papa sudah mencobanya, gumam ayahnya.
Tara menatap ayahnya dan menyadari ayahnya habis menangis.
Papa bahkan sudah meminta pendapat Laurent Delcour, tetapi hasilnya sama saja, lanjut
ayahnya. Suaranya serak karena emosi.
Papa sudah meminta pendapat Dr. Delcour.... Ternyata tetap tidak bisa membantu....
Kau mau menemuinya" tanya ayahnya sambil mengusap wajah.
Tara menunduk dan tidak menyahut. Ia menghela napas tanpa suara dan akhirnya
mengangguk. Dan di sinilah ia, berdiri dengan tegang di depan kamar rawat Tatsuya dengan tangan
mencengkeram pegangan pintu. Ia memejamkan mata. Jangan menangis. Jangan menemui
Tatsuya dengan wajah basah karena air mata. Tatsuya tidak akan senang melihatnya.
Ia membuka pintu dan melangkah masuk. Bau rumah sakit tidak pernah menyenangkan.
Tidak pernah membuat siapa pun tenang. Begitu menusuk... Dingin...
Pertama-tama matanya melihat sosok Tatsuya yang terbaring tak bergerak di ranjang, lalu
berbagai selang dan kabel yang menghubungkan tubuh Tatsuya ke semua mesin dan peralatan
yang ada di sekitar ranjang. Dengan susah payah Tara mengalihkan pandangannya ke arah mesin-mesin yang menunjukkan kondisi vital Tatsuya. Ia tidak memahami sebagian besar mesin itu,
hanya saja matanya terpaku pada mesin yang menunjukkan detak jantung Tatsuya.
Monitor itu masih menampilkan garis tidak teratur. Jantung Tatsuya masih berdetak. Ia masih
hidup.... Langkah Tara terasa berat ketika ia menghampiri sisi ranjang. Wajah Tatsuya nyaris tidak
terlihat jelas di balik semua perban dan masker oksigen. Mata Tatsuya terpejam. Terlihat tenang
sekali. Seolah tidur. Tara harus mengatakan sesuatu. Diam saja juga tidak ada gunanya. Kalau ia bicara, apakah
Tatsuya bisa mendengarnya" Apakah Tatsuya akan terbangun begitu mendengar suaranya"
Apakah harapannya terlalu berlebihan" Apakah salah mengharapkan keajaiban"
Tara menatap wajah Tatsuya dan bergumam pelan, Kau bukan Putri Tidur, kau tahu"
Kenapa kau tidak bangun saja sebelu
m aku membuat keributan"
Ia diam, mengharapkan jawaban yang ia tahu tidak akan diterimanya. Tatsuya tetap
bergeming. Tara duduk di kursi yang disediakan di sisi ranjang. Ia menghela napas dan menunduk.
Aku... tadi pergi ke apartemenmu, gumamnya. Suaranya lirih. Hanya sebesar itulah tenaga
yang bisa dikerahkannya untuk bicara. Apartemenmu lumayan berantakan. Tempat tidur belum
dibereskan.... Ia mengangkat wajah dan tersenyum singkat, lalu menunduk kembali ketika
merasa matanya perih. Kuharap kau tidak keberatan aku melihat-lihat. Kau tahu aku sangat gampang penasaran.
Aku ingin mendapat sedikit gambaran bagaimana hidupmu di Jepang.
Tara mendesah pelan. Aku juga... Aku juga sudah melihat foto-foto itu.
Ia mengamati wajah Tatsuya, berharap melihat sedikit reaksi. Tapi tidak ada sama sekali.
Aku sama sekali tidak sadar kau memotretku. Bagaimana cara kau melakukannya" Kau mau
tahu foto yang paling kusukai" Foto kita berdua di Disneyland. Kau terlihat konyol sekali dengan
telinga Mickey Mouse.... Sebenarnya aku sendiri juga terlihat konyol. Ia meremas-remas
tangannya sendiri. Saat itu aku sangat bahagia. Itu saat-saat yang menyenangkan.
Tara kembali menunduk. Selain itu aku juga membaca e-mail-mu.... Kau tahu, e-mail yang
kaukirimkan kepada Sebastien. Juga e-mail Sebastien untukmu.
Air matanya menetes ke kepalan tangan yang ditumpukan di kedua lututnya. Sial! Kenapa ia
tidak bisa mengendalikan air matanya" Dengan cepat ia mengusap mata.
Selama ini kau tidak pernah menghubungiku. Ternyata kau masih berhubungan dengan
Sebastien. Ia memaksa diri mengangkat wajah dan menatap wajah Tatsuya.
Terima kasih. Suaranya gemetar. Tangannya juga. Terima kasih atas semua yang sudah
kaulakukan untukku. Aku selalu senang bersamamu. Kau membuat segalanya menyenangkan.
Saat-saat bersamamu adalah saat-saat paling membahagiakan. Aku selalu mengira saat itu bisa
bertahan selamanya. Bolehkah ia bersikap egois sekarang" Bolehkah ia meminta Tatsuya agar tetap bersamanya"
Ia menatap Tatsuya dan matanya melebar. Apakah ia salah lihat" Tidak... Sebelah mata
Tatsuya yang tidak tertutup perban sepertinya basah.
Tatsuya menangis...! Tatsuya bisa mendengarnya...!
Air mata Tara semakin deras. Ia mencondongkan tubuhnya dan menyentuh lengan Tatsuya
dengan perlahan. Tatsuya, panggilnya, lalu membekap mulutnya sendiri ketika ia mulai terisak. Kau bisa
mendengarku" Kau mendengar semua kataku"
Setetes air mata bergulir turun dari mata Tatsuya yang terpejam, namun Tatsuya sama sekali
tidak bergerak. Tara mulai terisak. Jangan marah padaku kalau aku menangis sekarang. Ia menggeleng.
Biarkan aku menangis. Hari ini saja. Ia menarik napas dengan susah payah. Dengarkan aku.
Tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja. Kau dengar aku, Tatsuya" Aku baik-baik saja. Mungkin butuh waktu, tapi aku akan baik-baik saja. Kau boleh lihat sendiri nanti. Kau
akan lihat tidak lama lagi aku akan kembali bekerja, tertawa, dan mengoceh seperti biasa. Aku
janji. Tara memegang lengan Tatsuya dengan sebelah tangan sementara tangan lainnya menutup
mulut. Aku akan baik-baik saja, isaknya pelan. Aku akan selalu menyayangimu. Aku
mencintaimu.... Aku mencintaimu.... Aku mencintaimu....
Lalu Tara mendengar bunyi panjang dan datar yang membuatnya bulu kuduknya meremang.
Ia mengangkat kepala dan menatap monitor penunjuk detak jantung. Hanya ada garis lurus yang
terlihat di sana. Dan bunyi panjang dan monoton itu....
Segalanya seakan berlangsung dalam gerakan lambat. Ia memutar kepala dan menatap
Tatsuya. Wajah Tatsuya masih tenang seperti sebelumnya. Kepala Tara berputar kembali ke
monitor yang menunjukkan garis lurus itu.
Sebelum ia sempat berpikir, pintu kamar terbuka dan orang-orang berpakaian putih
menerobos masuk. Ia tidak menyadari ayahnya menariknya menjauh dari ranjang dan
memeluknya. Sosok Tatsuya menghilang ditelan kerumunan orang berbaju putih itu.
Namun kenyataannya usaha dokter dan perawat yang mengelilingi ranjang Tatsuya tidak
membuahkan hasil. Tara melihat mereka perlahan-lahan menjauh dari ranjang. Matanya beralih
menatap monitor yan g tetap menunjukkan garis lurus itu.
Tidak berubah... Mereka gagal menyelamatkan Tatsuya.
Ia merasa tubuh ayahnya gemetar. Ayahnya menangis. ia juga melihat Kenichi Fujisawa
menangis sambil memeluk tubuh putranya. Tara membenamkan wajah di dada ayahnya dan
menangis bersamanya. Jangan marah padaku kalau aku menangis.... Hari ini saja.... Kau boleh lihat sendiri nanti. Kau akan
lihat tidak lama lagi aku akan kembali bekerja, tertawa, dan mengoceh seperti biasa.... Aku janji....
Epilog Rabu, 21 November From : Fujisawa Tatsuya To : Sebastien Giraudeau Subject : Bagaimana keadaannya"
Sebastien, apakah dia baik-baik saja"
Kamis, 22 November From : Sebastien Giraudeau
To : Fujisawa Tatsuya Subject : Re: Bagaimana keadaannya"
Tara baik-baik saja walaupun masih murung. Dia masih sangat sedih, tapi itu wajar saja
menurutku. Sejak kau pergi, dia mengurung diri di apartemennya selama dua hari. Tidak bekerja
dan menolak bicara. Tapi setelah itu dia membaik. Dia sudah kembali bekerja. Tentu saja kadang-kadang masih pendiam dan suka melamun, tapi dia baik-baik saja. Kau tidak usah khawatir.
Kamis, 29 November From : Fujisawa Tatsuya To : Sebastien Giraudeau Subject : (None) Sahabatku yang baik, bagaimana keadaannya sekarang"
Ngomong-ngomong, kau tidak memberitahunya tentang ini, bukan"
Jumat, 30 November From : Sebastien Giraudeau
To : Fujisawa Tatsuya Subject : Re: (None) Kau tahu betapa susahnya aku merahasiakan sesuatu darinya" Tapi kau tenang saja, Teman.
Tara sama sekali tidak tahu aku sudah menjadi semacam mata-mata tidak resmi bagimu.
Tara sekarang ini sedang pergi berbelanja bersama "lise. Malam nanti kami ada janji makan
malam bersama. Oh, dia sudah semakin ceria. Dia sudah tertawa seperti dulu. Dan kalau kau
ingin tahu, dia juga selalu makan tepat waktu. Dia sangat sehat. Tidak sakit apa pun.
Minggu, 02 Desember From : Fujisawa Tatsuya To : Sebastien Giraudeau Subject : Trims Maafkan aku kalau aku memintamu menjadi mata-mata . Aku lega mendengar dia baik-baik
saja. Dia sangat beruntung punya teman sepertimu.
Terima kasih, Sebastien. Senin, 03 Desember From : Sebastien Giraudeau
To : Fujisawa Tatsuya Subject : Kau sendiri"
Hei, aku sama sekali tidak keberatan menjadi mata-mata. Aku tahu kau mencemaskan Tara,
sama seperti kami di sini. Tapi kau tentu sudah tahu, Tara itu gadis yang kuat. Dia pasti bisa
bertahan. Bagaimana denganmu sendiri" Kau baik-baik saja"
Tatsuya terpekur menatap layar laptop-nya. Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan membaca
ulang e-mail dari Sebastien, khususnya kalimat terakhir. Apakah dirinya baik-baik saja setelah
meninggalkan Paris dan kembali ke kehidupan normalnya di Tokyo"
Kehidupan normal..." Kehidupan normal itu seperti apa..." Ia sudah lupa.
Ia teringat permohonan yang dibuatnya ketika merayakan ulang tahunnya bersama Tara dulu. Gadis itu
memaksanya mengucapkan permohonan. Katanya permohonan saat ulang tahun akan terkabul.
Ucapkan satu permintaan sebelum meniup lilinnya, kata Tara waktu itu.
Permintaan" Kau tentu tahu kalau permintaan yang diucapkan saat kita berulang tahun akan selalu terkabul, bukan"
Ayo, cepat. Nanti lilinnya meleleh.
Saat itu Tatsuya punya banyak permohonan yang ia tahu tidak akan bisa terkabul. Kenyataan tidak
akan bisa diubah. Tetapi ketika ia memandang Tara dan melihatnya tersenyum, ia tahu apa yang
diinginkannya. Sekarang ini ia hanya punya satu keinginan di atas segalanya. Satu permohonan.
Ia ingin Tara Dupont selalu bahagia. Walaupun itu berarti ia harus menyerahkan seluruh hidupnya.
Tatsuya menatap layar laptop dan mulai mengetik.
Selasa, 04 Desember From : Fujisawa Tatsuya To : Sebastien Giraudeau Subject : Re: Kau sendiri"
Selama dia bahagia, aku juga akan bahagia. Sesederhana itu.
tamat Pendekar Wanita Tanah Buangan 1 Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara Jejak Di Balik Kabut 21
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama