Dibakar Malu Dan Rindu Karya Marga T Bagian 3
Dan sekarang, aku... kenapa diriku" Kenapa Edo bilang begitu" Bukankah Edo mencintaiku" Bukankah aku tunangannya" Kenapa Edo bilang begitu" Apa yang akan terjadi denganku" Apa yang akan dilakukannya terhadap diriku"
Sebuah suntikan" Aku akan jadi lemas lagi" Enggak! Aku enggak mau!!!
Mendadak dia mengeluh dan merintih, mencoba berteriak minta tolong. Tapi suara yang keluar hanya berupa erangan halus yang takkan terdengar dari balik pintu. Oh, dia mengerti! Ini gara-gara suntikan itu! Dia mengerti.
Entah kekuatan apa yang merasuk ke dalam jiwanya, Tania mendadak berhasil berguling ke samping. Tapi Edo tidak mengacuhkannya. Dengan mudah akan dapat disergapnya korbannya itu. Dia hanya menoleh sekilas.
"Jangan bikin ulah, Tania!" tegurnya tanpa emosi. "Aku takkan menyakitimu, percayalah. Ini akan berakhir dengan tenang bagimu, tanpa sakit sedikit pun. Berapa banyak orang yang beruntung seperti kau, mati tanpa sakit"!
"Maaf, aku terpaksa melakukannya, sebab aku butuh uangmu. Semua! Bukan cuma seratus-dua ratus juta, tapi seluruhnya! Untuk riset, untuk anakku!
"Ya, untuk Katarina! Supaya dia dapat mendengar kembali seperti orang-orang lain. Kau pasti takkan mengorbankan hartamu dengan sia-sia. Bukan cuma Rina yang akan tertolong, tapi ratusan, bahkan ribuan anak-anak lain di seluruh dunia! Namamu akan abadi.
"Kemarilah, Tania. Kau adalah gadis yang dermawan, bukan" Kau juga pemberani, kan" Kau harus tabah menghadapi saatmu yang penghabisan ini! Sebab kau tahu, kau takkan dapat lari...."
Dengan lengan kanan terjulur untuk menjangkau korbannya, jari-jari tangan kiri Edo Sabara menggenggam tabung suntik erat-erat. Cairan di dalamnya tampak mengancam dalam penglihatan Tania.
"Ja... ngan...." pintanya lemah sekali.
Lengannya sudah tercengkeram kuat. Tania berusaha menendang Edo supaya dia limbung dan alat suntiknya terlempar jatuh. Sayang tenaganya sudah lenyap. Usahanya itu hanya memancing ketawa mengejek dari tunangannya yang kini tampak menakutkan dalam ketampanannya yang palsu.
Saat itu Tania sadar, Edo selama ini selalu memakai topeng di wajahnya. Sekarang, ketika topeng itu terlepas, baru kelihatan betapa mengerikan air mukanya yang tak kenal kasihan itu. Matanya bersorot bengis menatapnya.
Dia diseret ke pinggir ranjang. Lengannya dijepit kuat oleh kelima jari Edo. Tangan kirinya mulai bergerak miring, turun dari atas bagaikan sebuah benda angkasa yang mengancam, pelan-pelan mencari mangsa di bumi.
Tania berusaha menjerit sekuat-kuatnya. Hasilnya sia-sia belaka. Erangannya cuma bertambah keras sedikit, tapi takkan ada seorang pun di luar kamar yang dapat mendengarnya.
Ah, habislah dia. Bibi, Jonas, dan dia sendiri! Di mana Arman"! Ya, di mana dia" Di mana saudara angkatnya itu" Di mana"" Di mana"""! Kenapa dia tidak ada di sini" Siapa tahu Arman masih bisa menolong. Biarlah warisanku untuknya semua, asal dibiarkannya aku hidup. Arman pasti mau. Bukan macam Edo. Dia mau warisanku, tapi aku masih harus mati!
Matanya kini terbuka lebar. Dengan kengerian luar biasa dilihatnya bayangan maut dalam mata Edo.
"Ja... ngan...." ulangnya sekali lagi, memohon dengan suara memelas yang hampir tak kedengaran.
"Kenapa kau jadi pengecut begini"" hardik Edo dengan kesal. "Bukankah sudah aku jamin, kau takkan merasa sakit sama sekali. Ini cuma dioxin chloride. Dalam sekejap mata, beres! Dan orang akan menyangka, kau kena serangan jantung! Ayo, jangan bikin aku marah!"
Tania menatap laki-laki itu dengan ketakutan hebat melilit hatinya. Wajahnya pucat seperti kertas Jantungnya berdebar demikian kencangnya, sehingga rasanya tanpa suntikan itu pun nyawanya toh akan putus sendiri! Namun jiwanya berontak, setengah mengamuk, setengah putus asa. Enggak! Aku enggak mau mati!!!
"E... do...." Tania memohon lemah.
Jarum suntik berhenti turun karena dia bergerak, berusaha berguling lagi, sehingga Edo terpaksa mempererat cengkeramannya. Kelihatan wajah tampan itu sudah menjadi tegang bercampur kesal. Urat-urat di pelipisnya menonjol semua.
"Sebenarnya aku tidak mau membunuh bibimu. Tapi dia sudah terlanjur tahu rahasiaku. Tahu siapa anak-istriku. Tahu, aku menjeratmu hanya demi uangmu. Salahnya sendiri! Sudah nasibnya. Selain itu dia juga mau memaksa aku supaya memutuskan pertunangan kita.
"Dan kau! Karena kau maunya cuma menghambur-hamburkan uangku ke yayasan segala macam! Sok mau jadi dermawati! Terpaksa aku juga harus menyingkirkan dirimu sekarang! Ya, betul, itu bukan uangmu. Itu uangku! Sejak kita pergi ke Catatan Sipil, itu sudah jadi hakku! Ayo, kemari! Jangan bertingkah!"
Tiba-tiba terdengar bunyi bledak! Sesuatu-benda apa"!-meloncat ke arahnya, dan Tania merasa ada sesuatu yang lembut dan basah menjilati pipinya. Sedetik kemudian pikirannya terbuka. Dona! Dona!! Oh, DONA!!!
Edo lenyap seketika dari pandangannya, disambar seseorang dari belakang. Terdengar seperti benda berat jatuh menimpa lantai. Apakah itu" Dia terlalu lemah untuk mengangkat kepala. Hanya telinganya saja menangkap bunyi gaduh. Gedebak-gedebuk! Lalu suara erangan.
Dona kini melingkar di lekuk sikunya. Tania tiba-tiba merasa dirinya sekarang dalam keadaan aman. Dipejamkannya matanya yang penat. Entah berapa detik atau menit kemudian, dirasakannya ada orang menghampirinya. Napasnya hangat membelai wajahnya. Orang itu membungkuk-terasa napasnya semakin dekat dan debur jantungnya menempel ke dadanya-serta mengguncangnya pelan. Terdengar dia menghela napas lega.
Tania membuka kembali matanya. "Arman!" bisiknya nyaris tak kedengaran.
"Bukan," orang itu menggeleng. "Namaku bukan Arman! Niko."
Bab 17 Dalam dekapan malam, Tania membiarkan dirinya dibuai angin sejuk. Dona melingkar dalam lengannya. Niko duduk di sampingnya. Halaman Hotel Santai Ria tampak sepi. Tak seorang pun berada di kebun yang luas itu. Tiga buah lampu taman menerangi sudut-sudut yang penuh ditumbuhi tanaman hias.
Sudah hampir sepuluh hari Tania mengungsi di hotel tersebut. Dia tidak betah berdiam lebih lama lagi di rumah Bibi. Ani dan Lia dibawanya serta. Menurut rencana, dia akan menyewa atau membeli sebuah rumah kecil yang berdekatan dengan gedung sekolah. Rumah Bibi akan disumbangkannya untuk tempat rekreasi para perawat.
"Sudah ketemu rumah yang cocok"" tanya Niko.
"Belum. Pak Razak masih mencarikannya."
"Kasihan pengacara itu. Betul-betul shock dia mendengar bibimu dibunuh!"
"Ya. Mungkin dia masih mencintainya."
"Kenapa mereka enggak menikah""
"Enggak tahu." "Menurut aku, barangkali karena Bibi telah terlanjur mencintai orang lain." "Apa maksudmu, Nik""
"Jadi kau enggak tahu, Arman itu... anak bibimu"!" "Apa""
"Bibimu melahirkan anak di luar... hm...! Zaman itu tentu saja hal seperti itu sangat memalukan keluarga. Bibimu dipaksa kakekmu untuk melepaskan bayinya, tetapi ayahmu diizinkannya mengangkat anak itu dengan syarat, bibimu enggak diperkenankan melihat anak itu sampai dia dewasa. Bibi bahkan enggak boleh tahu di mana anak itu berada. Cuma namanya saja yang diketahuinya. Arman. Waktu itu kau belum lahir."
Tania melotot bengong mendengar kisah yang fantastik itu. Dia sempat bertanya, "Dar
i mana kau tahu semua itu""
"Arman sendiri yang cerita. Dia diberitahu oleh ibu asuhnya, sebab dia enggak dirawat oleh orang-tuamu langsung supaya mencegah kemungkinan bibimu melihatnya bila sedang berkunjung. Tapi ayahmu selalu mencukupi kebutuhannya dan jarang-jarang menengoknya juga. Ayahmu sangat menyayanginya. Arman memang cerdas dan tampan."
"Dan ayahku selalu kepingin anak laki-laki selain perempuan!" Tania tersenyum dalam kenangan. "Tapi... tunggu dulu, di mana kaukenal Arman" Pasti kalian cukup erat, kalau enggak mana mungkin dia akan cerita hal-hal pribadi kayak gitu!"
Niko mengangguk. "Kami memang teman baik di fakultas kedokteran. Dia berhasil menyelesaikan kuliahnya, sedangkan aku mogok di tingkat empat. Aku lebih tertarik pada bidang tulis-menulis dan meliput berita sebagai wartawan. Kalau ada kasus ketidakadilan yang menyangkut rakyat kecil, wah, aku enggak bisa tidur nyenyak sebelum ikut membantu membongkarnya!"
"Hm." Tania tersenyum kagum.
"Edo Sabara adalah tutor yang paling dipercaya oleh Arman. Kalau enggak salah, dia lima tingkat di atas kami. Aku sendiri enggak sempat mengenalnya, sebab tutor itu baru muncul di tingkat klinik. Aku belum sempat masuk co-schap sebab rajin membolos. Rupanya Arman telah menceritakan riwayatnya pada Edo. Ketika dia mau datang ke tempat Pak Razak untuk menjawab iklan, dia tewas di jalan. Mobilnya terbalik di Jembatan Semanggi, rupanya mau menghindari tabrakan dengan jip."
"Eh, siapa tahu Arman sengaja dicelakakan olehnya""
"Pikiran itu memang sering timbul di kepalaku waktu itu. Menurut istrinya, keduanya masih erat berhubungan. Malah begitu membaca iklan tersebut, dia langsung menelepon Edo untuk minta nasihat dan support, sebab dia senewen banget mau ketemu dengan keluarga ayah angkatnya. Rupanya Arman minta ditemani oleh Edo ke tempat Razak. Edo yang menyarankan hari dan waktunya, sebab dia sempatnya saat itu, menurut Yustina."
"Kalau begitu, pasti dibunuh!"
"Ya, sekarang memang sudah terbukti. Waktu itu sih belum, walau memang mencurigakan. Menurut istrinya, cuma sepasang kaus kaki bayi yang tergantung di dalam mobil yang hilang dalam kecelakaan itu! Barang-barang lain utuh, malah dompet enggak diganggu, uangnya masih ada. Istrinya yang minta bantuanku untuk mengusut kema-tian Arman. Diperlihatkannya foto kaus kaki bayi milik Arman. Diberikannya juga seuntai kalung padaku dan dia menyuruhku berlagak sebagai Arman. Aku harus menemui bibimu dan mengakuinya sebagai ibuku, tapi enggak boleh kasi tahu siapa juga tanpa izinnya! Itu pesan Yus. Setelah melakukan penyelidikan yang ketat, aku tahu siapa yang harus aku dekati. Pak Razak!
"Setelah mendengar penjelasanku, beliau mem-beritahu mengenai sepasang kaus kaki pegangan Edo yang dianggapnya sebagai bukti utama untuk pengesahannya sebagai anak angkat ayahmu. Aku enggak bilang sama Pak Razak siapa 'ibuku', sedangkan mau ngasi tahu bibimu aku ragu terus, kuatir enggak sanggup bersandiwara lama-lama.
"Tujuanku ke sini adalah supaya berhasil mendapatkan kaus kaki itu dan membandingkannya dengan fotonya. Ternyata Edo cukup cerdik dan tak pernah mau memperlihatkan jimat itu padaku. Tapi pembunuhan bibimu telah membongkar kedoknya! Jelas ketahuan, dia bukanlah Arman! Arman enggak bakal membunuh ibunya sendiri, sedangkan Edo memang sudah tahu, bibimu bukanlah ibunya!"
Tania menggigil, teringat kejadian-kejadian fatal belum lama itu. "Semua penghalang disingkirkannya. Arman. Jonas. Lalu Bibi, setelah Bibi tahu rahasia dirinya. Dia juga mencoba membunuh aku! Beberapa kali."
"Cuma untuk mengalihkan tuduhan padaku. Dia tahu bila kau celaka, uangmu akan jatuh ke tanganku. Jadi pasti aku yang akan dicurigai. Dan bila aku sudah disingkirkan, tentunya lebih gampang baginya untuk disahkan sebagai ahli waris, bukan" Buktinya setelah kalian bertunangan, kau enggak pernah lagi mengalami musibah. Pasti menurut logikanya, itu berarti aku sudah menyerah, enggak lagi mengharapkan bagianmu supaya jatuh ke tanganku."
"Betul. Dia memang bilang, pertunangan kami akan melindungi aku dari terormu!"
"Sebenarnya, Edo sendiri yang stop cob
a-coba mencelakaimu."
"Tapi suntikan itu..."
"Karena pada akhirnya kau harus dilenyapkan olehnya, sebab tujuannya adalah mengangkangi seluruh kekayaanmu!"
"Untung kau muncul pada detik terakhir!" Tania tersenyum lega dengan mata berlinang.
Dona yang melingkar manja di atas pangkuan majikannya, merasa senang dibelai-belai olehnya.
"Terpaksa kuakui, sebenarnya aku selalu membayangi kalian!" Niko ketawa kecil.
"Terima kasih untuk jerih payahmu." Tania menyentuh lengannya dengan lembut.
"Waktu aku mendengar kau akan bertunangan, aku segera menyampaikan hal itu pada Yustina, istri Arman. Menurut dia, seingatnya Edo Sabara sudah menikah dan mempunyai seorang anak perempuan yang cacat. Karena itu aku berusaha supaya bisa bicara denganmu. Tapi kau mengelak terus. Ingat"!"
Tania mengangguk dengan wajah berduka. "Kalau enggak, mungkin Bibi..."
Niko meraih bahunya dan memeluknya dengan lembut. "Jangan sesalkan apa yang sudah terjadi. Mungkin aku juga bersalah. Kalau aku enggak terlalu gegabah membuka kedok Edo, membongkar rahasianya mengenai istri dan anaknya..."
"Sore itu" Ketika kau datang bersama Yustina""
"Ya, bersama Yus dan anak laki-lakinya."
"Oh, Arman sudah punya anak""
"Satu. Baru enam tahun."
Tania tersenyum senang membayangkan seorang keponakan manja yang lucu.
"Tapi gimana Edo jadi tahu rahasianya sudah terbongkar" Waktu aku pulang bersama Edo, Bibi kelihatan sedang melamun. Aku langsung pergi mandi. Ah, pasti saat itu Bibi melakukan konfrontasi dengan Edo!"
"Ya, kurasa begitu. Bibi menyatakan berniat membatalkan pertunangan kalian. Edo pasti keberatan. Malamnya ketika seisi rumah sudah lelap, dia datang lagi melalui beranda samping..."
"...Dengan suntikan mautnya!" sambung Tania menggigil.
"Semua itu demi cintanya pada anaknya!" keluh Niko.
Keduanya termenung. Tania masih teringat kata-kata Edo sesaat sebelum dia digiring polisi yang dibawa oleh Niko.
"Apa kalian enggak mengerti"" pekiknya dengan wajah merah padam. "Semua ini demi Katarina! Semua ini demi anakku! Sadarkah kalian bagaimana rasanya hidup dalam dunianya" Hidup tanpa musik" Hidup sunyi sepanjang masa"!"
"Dan sekarang terbukti, dia juga telah membunuh Arman!"
Niko mengangguk. "Kaus kaki itu sudah disita, ternyata memang cocok dengan foto. Walau seandainya dia enggak mau ngaku, toh jaksa sudah yakin itu benda yang sama."
"Tapi dia kan sudah mengakuinya. Gimana tuh ceritanya" Aku malas sih baca koran. Bibiku juga."
"Ah, biar bibimu suka baca koran juga, enggak bakal nyangka korban tabrakan di Semanggi itu Arman, sebab cuma disebut inisial A.R.! Ceritanya, Arman dan Edo beriringan mau ke tempat Pak Razak. Di atas jembatan, saat dari depan ada jip, mendadak Edo mau ngeduluin, Arman terpaksa banting setir ke kiri, lantas enggak bisa ngerem, nabrak pagar jembatan, terpelanting sampai miring, dari depan dihantam mobil lain. Edo berhenti dan menghampirinya, aku rasa saat itu dicurinya kaus kaki itu. Seandainya Arman saat itu enggak patah leher dan perdarahan otak hebat, dus belum mati, aku yakin dia akan diberi suntikan maut juga!
Pasti Edo sudah menyiapkan suntikan patennya. Akhirnya toh dia ngaku, rem itu sudah diutak-atik orang atas suruhannya ketika sedang di bengkel! Rupanya Arman kebetulan bilang, mobilnya sudah perlu diservis, lalu Edo mengusulkan mereka pergi menemui Razak sehari setelah mobil keluar dari bengkel. Jadi bukan lantaran dia sempalnya hari itu! Dan apa susahnya nyuruh orang ngerjai rem kalau tahu bengkelnya di mana!"
Mereka berdiam diri beberapa lama sampai Tania membuka mulut lagi. "Apa anak itu tuli sama sekali" Dia memang hampir enggak pernah mengeluarkan suara. Mungkin dia juga bisu"!"
"Anak itu enggak tuli waktu dilahirkan, tapi makin lama pendengarannya semakin berkurang."
"Kasihan. Anak itu cakep. Aku akan menolongnya kalau mungkin. Barangkali dengan mengirimnya ke luar negeri. Akan kuhubungi Ibu Melita setelah aku mencari info."
Niko tampak terharu. "Kau terlalu baik! Ayahnya telah membunuh saudaramu, pacarmu, dan bibimu!"
Tania menggeleng dan menarik napas tanda sangat berduka.
"Apa kau sudah mencuriga
i Edo sejak semula""
"Jelas! Sebab dia pasti tahu, aku bukan Arman! Kenapa dia enggak mau membongkar penyamaranku" Karena aku diperlukannya sebagai kambing hitam untuk semua kecelakaan yang akan menimpa dirimu dan Bibi. Malah kecelakaannya sendiri!"
"Jadi memang dia sengaja berlagak tergelincir dari tangga""
"Ya. Aku sudah menyelidiki lokasinya. Ada sebuah bola bekel yang mungkin telah diinjaknya, dan sengaja diletakkannya di situ! Aku berani taruhan, itu bola anaknya!"
Angin malam membelai lembut dan terasa makin sejuk. Langit cerah, penuh bertaburan bintang-bintang.
"Dia juga menipu waktu bilang dia sedang menyamar! Edo Sabara adalah nama aslinya, enggak ada Edo lain yang sekos dengannya di FK. Sedangkan Arman setahuku enggak bakal mau memakai nama lain. Dia terlalu bangga dengan namanya sendiri, Arman Rejana! Aku rasa, pertama kali ke sini. Edo memang cuma ingin dinas di sini untuk riset sekalian memperoleh saham-saham ayahnya. Tapi begitu tahu ada warisan untuk Arman-dari iklan, harus menghubungi Ibu Karla Rejana atau Pak Razak dengan membawa bukti-bukti tanda diri-rupanya dia jadi mata gelap! Dia harus mendapatkan harta karun tersebut untuk menyelamatkan anaknya dengan risetnya."
Tania menghela napas. "Sudahlah, jangan bicarakan lagi topik itu malam ini," pintanya seraya menengadah mengagumi keindahan malam. Hatinya terasa disentuh lembut, menciptakan simfoni merdu yang belum bernama.
"Nik"!" "Mmm..." "Apa kau sahabat iparku, Yustina""
"Tentu!" "Intim"" "Kenapa kautanyakan itu" Arman sudah seperti saudaraku sendiri, tahu. Begitu juga istrinya. Tentu saja enggak ada apa-apa. Kalau memang ada hubungan, masakan dia di Jakarta, aku di Ujung Pandang"" .
"Kalau begitu..." Tania tersenyum malu.
"Kalau begitu apa""
"Ah, enggak apa-apa."
"Tapi aku ingin tahu! Kalau begitu, apa" Ayo, bilang!" cecarnya. "Enggak usah, ah!"
Niko mengguncangnya dengan lembut, membuat Dona mengangkat kepala sebab rupanya merasa terganggu dengan guncangan itu. Tania membelai untuk menenangkannya. Dia menghela napas dan meletakkan kembali kepalanya ke atas haribaan induk asuhnya.
Suara Niko hangat dan mesra menyapu daun telinga Tania. "Kalau begitu apa, Sayang""
Tania menunduk, membelai-belai Dona.
"Kalau begitu..."
Diangkatnya kepalanya. Dia mengerling manja. Sejuta janji berkilau dalam kedua matanya yang indah....
BAGIAN KEDUA Rahasia Katarina Sabara Prolog katarina menoleh ketika pintu terbuka. Bukan karena bunyinya, sebab pintu itu tidak berderit, melainkan karena gerakan yang tertangkap oleh sudut matanya. Dia memang duduk di depan pintu, agak ke sudut.
"Hai, Rina!" sapa wanita yang masuk, mengenakan gaun ketat biru dengan blus putih bersulam aneka warna. Rambutnya yang dibuntut kuda memberinya penampilan di bawah umur, walau anaknya yang sudah belasan tahun takkan membuatnya dibilang berusia dua puluhan.
"Oh, Tante Tania, tumben!" balas Katarina ketawa mesra.
"Sengaja mau menemui kau sebelum berangkat nanti."
Katarina bangkit dari depan komputer dan menghampiri tamunya yang duduk di depan meja kosong dalam ruang tata usaha Rumah Sakit Sabara-Birka. Gadis itu bersandar pada sebuah meja lain yang juga sedang kosong, pemiliknya tengah makan siang di kantin.
Ibu Tania, istri wartawan Niko, adalah kepala dapur di rumah sakit itu. Dia juga merupakan pemilik sebelumnya dari Rumah Sakit Sabara, bagian pertama dari seluruh kompleks RS Sabara-Birka.
"Mau pesan oleh-oleh, Tante""
"Aku cuma kepingin kau betul-betul bahagia dengan operasimu nanti! Demi pengorbanan ayahmu!"
Katarina tertunduk diingatkan pada masa lalu keluarganya yang kelam. Lesung pipinya yang muncul bila dia tersenyum mendadak sirna ketika bibirnya terkatup serius, matanya menatap karpet yang menutupi lantai ruangan.
Masa kanak-kanak Katarina penuh kesepian, diisi nuansa kelabu sejak pendengarannya merosot. Dari Jakarta yang panas orangtuanya pindah ke pegunungan yang sejuk. Ibunya memberitahu, nama tempat itu Puncak. Bila ibunya menempelkan bibir ke kupingnya, samar-samar masih bisa ditangkapnya suaranya. Atau lebih sering diperhatikannya
saja gerak bibir ibunya ketika bicara.
Di Puncak dia tak punya teman sama sekali, sebab tetangga-tetangga biasanya cuma muncul pada akhir pekan atau hari-hari libur, dan kebanyakan anak-anak yang ikut, tidak mau mendekat sebab tidak kenal. Selain itu dia juga jarang keluar rumah. Temannya cuma ibunya tok. Ayahnya juga tidak lagi berdiam serumah dengan mereka. Dia hanya muncul sekali-sekali, terkadang bersama Tante Tania.
Lalu tiba saatnya ketika ayahnya sama sekali tidak pernah menjenguknya lagi. Hampir setiap hari dia merengek pada ibunya, ingin ketemu Ayah. ibunya memeluknya, menghibur dan memintanya bersabar. Namun sama sekali tak pernah menjelaskan kenapa Ayah sudah lama tidak berkunjung.
Kemudian muncul Tante Tania membawakan boneka, coklat, dan biskuit. Ibunya asyik bercakap-cakap dengan tamu mereka. Tentu saja dia tidak bisa menangkap apa yang mereka ucapkan. Kata-katanya sendiri yang diucapkannya begitu nyaring beberapa tahun yang lalu, kian lama kian aneh bunyinya, akhirnya tak bisa didengarnya lagi.
Beberapa waktu setelah kunjungan yang berulang itu, mereka pindah ke Jakarta, menumpang di tempat Nenek. Beberapa hari kemudian Ibu mengajaknya menemui Ayah. Ternyata Ayah tinggal bersama banyak orang, seperti dalam asrama. Dia ingin sekali dipeluk olehnya, tapi mana mungkin. Sebab ayahnya berada di belakang terali. Kenapa dinding itu kok dibuai dari kawat" dia ingin tanya, namun suaranya tak bisa keluar. Saat itu dia sudah hampir tak pernah mengeluarkan suara di depan umum, kawatir melihat kerut di kening orang yang mendengar. Hanya ibu dan ayahnya yang tak pernah menertawakannya.
Kelak barulah dia mengerti bahwa ayahnya bukan tinggal di asrama, melainkan dalam penjara karena telah membunuh beberapa orang-tiga atau empat, dia lupa-dalam usaha mendapatkan uang guna membiayai risetnya untuk menolong mengembalikan pendengaran anaknya.
Tak lama setelah kunjungan ke penjara itu, Ibu mengajaknya naik kapal terbang diantarkan oleh Tante Tania sampai ke lapangan udara. Mereka pergi ke tempat yang sangat asing dan aneh. Orang-orangnya seperti orang Belanda yang menjadi tetangga mereka di Puncak.
Mereka dijemput oleh seorang wanita, menurut ibunya dari konsulat. Apa itu konsulat, dia kurang mengerti saat itu, tapi ogah bertanya sebab perhatiannya lebih tertarik pada sekelilingnya yang ser-baasing, baru, dan kadang terasa aneh itu. Mereka diajak ke hotel, istirahat, dia langsung terlelap tanpa makan lagi.
Esoknya barulah perutnya terasa lapar. Setelah makan pagi yang kenyang, wanita yang kemarin datang lagi menjemput dan mengajak mereka ke rumah sakit. Itulah pertama kali telinganya diperiksa. Seminggu kemudian dioperasi. Saat itu mereka sudah pindah dari hotel ke gedung bertingkat, rumah kecil berkamar satu. Kemudian hari dia mengerti, rumah seperti itu namanya flat. Setelah operasi, harus kontrol setiap...
"Ayahmu sebenarnya bukan orang jahat!"
Pernyataan itu luar biasa, sebab diucapkan oleh orang yang telah kehilangan pacar serta bibinya di tangan ayahnya. Orang seperti Tante Tania ini tak ada duanya di dunia. Berkat bantuan finansialnya, dia berhasil memperoleh pengobatan di Australia, negara yang asing itu. Ke dalam telinga sebelah kiri dilakukan pencangkokan cochlea, itu alat ber-bentuk keong dalam kuping. Di luar, dipasang alat elektronik. Dengan begitu dia dapat mendengar lagi walau belum sempurna. Untuk latihan dia harus berbalik-balik datang ke rumah sakit tersebut. Dan sekarang dia akan pergi lagi untuk OP tahap lebih lanjut....
Katarina mengangkat kepala dan menatap wajah keibuan itu dengan penuh haru serta rasa sukur. Dia ingin mengucap terima kasih, namun kata-katanya tersekat di tenggorok. Matanya malah yang berkejap-kejap. Sebelum bendungan air matanya ambruk, dirangkulnya wanita itu yang telah dianggapnya seperti ibu asuhnya. Karena ibunya sendiri tinggal di dekat kompleks penjara agar dapat menjenguk ayahnya setiap hari, Katarina diajak tinggal bersama Tante Tania. Kemudian malah dicarikan lowongan olehnya di kantor tata usaha RS Sabara-Birka.
Utang budinya pada wanita itu takkan bisa dibayarn
ya kembali. Bab 18 Katarina sudah tak sabar mau kembali ke Melbourne. Dia teringat pada kunjungannya sendirian. Tahun lalu. Biasanya ibunya selalu menemani, tapi sekali itu Ibu sedang kumat rematiknya dan tak dapat bepergian jauh. Selain itu Ibu memang segan meninggalkan Ayah yang kini sudah diperbolehkan untuk tinggal serumah dengannya di samping kompleks penjara. Ayahnya sudah dibebaskan tahun lalu, tapi memilih untuk tetap tinggal di sana sebagai dokter penjara tanpa honor. Ibunya membuka katering makanan untuk sehari-hari serta pesta-pesta. Cukup sukses, sehingga mereka tidak kekurangan. Sedangkan Katarina sudah berdikari dan mendapat flat di RS Sabara-Birka.
Katarina mulai berobat ketika masih berusia enam tahun. Dia belum masuk sekolah sebab takkan mampu mengikuti. Bertahun-tahun dia bolak-balik ke Australia, mengalami operasi berkali-kali, tinggal di sana berbulan-bulan, kadang bahkan sampai setahun, mengikuti latihan mendengar, bicara, serta bahasa. Memang ada seorang staf yang berbahasa Indonesia, tapi karena keseluruhan program serta para dokter bicara bahasa Inggris, lambat laun Katarina pun jadi terbiasa dan dapat menangkap artinya.
Alat prosesor bicara yang meneruskan suara ke cochlear implant yang telah ditransplantasikan itu sangat sulit dikuasai. Perlu terus-menerus diprogram untuk membiasakan kuping dengan suara yang ditimbulkannya. Program ini harus dilakukan oleh seorang ahli yang dengan penuh kesabaran mengatur ambang arus agar menimbulkan suara yang sejuk bagi setiap elektrode. Semuanya ada dua puluh dua elektrode. Bisa dibayangkan kesabaran yang dituntut dari ahli tersebut. Dan selama pengaturan program itu, Katarina harus duduk tenang di samping komputer yang akan mengirim sinyal ke prosesor dan menunjukkan mana bunyi yang sangat halus, mana yang keras.
Katarina sudah lama dianjurkan untuk mengganti cochlear implant-nya dengan sistem yang lebih baru. Sistem yang digunakannya selama ini adalah Nucleus 22. Dia ditawari untuk menggantinya dengan Nucleus 24. Dengan alat yang lebih canggih ini, dia mempunyai dua pilihan: prosesor suara itu dapat dipasang di belakang telinga (model ESPrit) atau dimasukkan ke dalam kantong atau digantung di pinggang (model Sprint). Tentu saja dia lebih senang dengan model terakhir, untuk menghindarkan diri dari perhatian orang-orang di jalan.
Seharusnya penggantian itu dilakukan tahun lalu, namun mendadak dia sakit ketika tiba di Melbourne. Flu yang cukup berat. Operasi terpaksa ditunda. Ketika sakitnya sudah agak membaik, dia berkunjung ke perpustakaan rumah sakit, membaca-baca jurnal yang berkaitan dengan keadaannya. Selama selesma, ditanggalkannya alat prosesor itu. Akibatnya dia tak dapat mendengar bunyi apa pun. Habis, apa gunanya dipasang terus di kepala, toh dia sedang berkurung di kamar, tak bisa ke mana-mana, tidak ketemu siapa pun, sedangkan menonton TV atau video tak mungkin karena kepalanya berdenyut sakit.
Sekarang, tengah santai di perpustakaan, dilepasnya juga prosesor itu dari samping telinga, dan diletakkannya di meja. Dia begitu keasyikan menelan semua informasi mengenai penyakitnya, sehingga tidak diacuhkannya keadaan sekitarnya. Dia sama sekali tidak tahu ada seorang pemuda yang sejak tadi tengah memperhatikannya dengan serius. Laki-laki itu juga tengah membaca, dan menilik stetoskop yang menyembul sedikit dari kantong jaketnya yang berwarna putih, rupanya buku tebal di hadapannya itu textbook kedokteran. Setelah merasa sia-sia, takkan mampu konsentrasi, akhirnya ditinggalkannya buku itu terbuka pada halaman empat ratusan, lalu dia melangkah ke meja di seberang ruangan.
Karena dalam ruang perpustakaan tidak diperkenankan bercakap-cakap, dia terpaksa bicara sehalus mungkin. Katarina duduk membelakanginya, sebab barusan cuma kursi itu yang lowong, sehingga dia tidak tahu ada orang di punggungnya.
"Hello, are you from Indonesia"" bisik dokter muda itu.
Katarina tak bergerak sedikit pun. Setelah menunggu tiga detik dan masih tak ada sambutan, pemuda itu membungkukkan badan dan mengulangi bisikannya. Masih juga tak ada respons. Wajahnya le
bih menunjukkan keheranan daripada kekecewaan. Diluruskannya tubuhnya yang jangkung-kurus itu, digaruknya sekali kepalanya yang tidak gatal, dike-rutkannya keningnya. Rupanya dia termasuk spesies yang pantang menyerah. Setelah ragu-ragu sejenak, mendadak tangannya terulur menyentuh bahu Katarina selembut mungkin. Namun cukup untuk membuatnya mengerjat kaget. Dan menoleh.
Begitu kedua pasang mata itu bentrok, pemuda itu mengulangi kata-katanya. Secara otomatis tangan Katarina terjulur ke samping menjangkau alat prosesor dan memasangnya di belakang telinga. Tentu saja pemuda itu langsung mengerti dan sekali lagi membisikkan pertanyaannya. Kali ini wajahnya berseri ketika Katarina tersenyum dan mengangguk. Lesung pipi itu menyihirnya. Sedetik kemudian baru ingatannya pulih.
Diulurkannya tangannya yang kokoh. "Kenalkan, nama saya Kareem Rejana."
Katarina menyambut dengan tangannya yang halus. "Katarina Kiripan."
Sepuluh menit kemudian, perkenalan itu dilanjutkan dengan makan siang di kantin.
"Makanan di sini bermutu, tapi mungkin untuk selera agak asing," ujar Kareem ketawa kecil.
"Jangan takut Sabtu nanti aku akan ajak kau ke kota, kita makan ayam kari atau rendang pedas di warung Indonesia! Kau enggak ada acara kan Sabtu ini""
Katarina sudah menjawab pertanyaan Kareem sebelumnya mengenai kegiatannya di Melbourne. Kebetulan sekali Kareem sedang dalam latihan untuk menjadi ahli transplantasi cochlea. Dia sudah lulus sebagai spesialis telinga-hidung-tenggo-rokan.
"Enggak. Aku enggak pernah ada acara kecuali kalau mau tes. Tapi karena aku belum sembuh betul dari flu ini, semua program ditangguhkan. Ngomong-ngomong, namamu sedikit aneh bunyinya. Apa itu lantaran alat di telingaku" Aku mendengarnya seperti Kariim, bukannya Karim."
"Memang betul, Kareem. Ditulis dengan dua -ee. Tapi orang biasa memanggilku Karim tok. Ini bahasa Arab, artinya mulia dan murah hati. Yah, mudah-mudahan harapan orangtuaku itu bisa aku penuhi, supaya aku walau enggak mulia-aku enggak berharap bakal jadi presiden atau menteri-, paling sedikit murah hati."
Katarina ketawa. "Nah, praktekkin dong Sabtu nanti. Traktir aku!"
"Pasti! Cewek cakep seperti kau memang dilahirkan enggak perlu keluar duit sendiri, sebab selalu akan ada gentleman yang mau nraktir."
"Duh, gentleman nih kita!" sindir Katarina ketawa meriah, memancing senyum malu sang perwira.
Makan siang pertama itu sukses besar. Katarina tak pernah menduga di kota asing itu terdapat demikian banyak warung yang menyediakan makanan asli. Selama dia ditemani ibunya, mereka biasanya cuma mendatangi lokal-lokal di dekat tempat penginapan atau kantin di klinik. Santapan mereka biasanya sandwich, spageti, lasagne, pizza McDonald's, atau ibunya masak sendiri setelah belanja di supermarket.
Setelah sukses pertama, menyusul sukses yang kedua, ketiga, akhirnya ke-tak-terhingga. Tapi sekali itu rupanya sukses Katarina cuma di bidang human relation. Di bidang lain terdapat hambatan. Karena keadaan fisiknya yang kurang memuaskan saat itu, penggantian transplan terpaksa ditunda. Soalnya, visanya sudah keburu habis masa berlakunya. Memang dapat diperpanjang, tapi dokter-dokter memutuskan sebaiknya kali itu dilakukan re-program alat yang lama saja.
Katarina pulang tanpa kecewa. Sebaliknya, dia merasa gembira bisa punya alasan untuk balik lagi tahun berikutnya. Jadi aku dapat ketemu lagi sama Kareem!
Tentu saja mereka tidak menyia-nyiakan waktu. Selama setahun berpisah itu keduanya asyik ber-surat-suratan melalui e-mail. Itulah salah satu manfaat komputer. Mengirim surat, tak peduli positif (misalnya surat-surat cinta yang membuat jantung berdebar lebih dari dua ratus kali semenit) atau negatif (misalnya surat ancaman yang membuat bulu kuduk kaku seperti paku), sekarang tak perlu lagi takut dibaca tukang pos, atau malah dibuka dan isinya diambil oleh pegawai Pos non-teladan.
Sejak mengenal Kareem, Katarina yang cantik berlesung pipi itu mulai belajar hidup dalam mimpi. Sering melamun. Ini adalah kebiasaan baru yang dulu tak pernah dikenalnya. Masa kecilnya sunyi tanpa bunyi, tanpa musik syahdu, tanp
a ketawa ria. Masa sekolahnya diliputi ketakutan yang membuatnya menarik diri dari pergaulan dengan teman-teman sekelas.
Katarina selalu takut jangan-jangan rahasianya terbongkar: ayahnya dalam penjara! Surat lahirnya bahkan diubah atas persetujuan kedua orangtuanya. Namanya di situ Katarina Sabara, diubah menjadi Katarina Kiripan, mengikuti nama ibunya. Untung sekali tak pernah ada yang curiga atau bertanya melit kenapa ayahnya tak pernah muncul dalam pertemuan orangtua atau mengambil rapor. Dan setelah tamat sekolah, terbebaslah jiwanya dan kungkungan.
Dia mengikuti kursus komputer di mana setiap peserta asyik sendiri dengan program masing-masing, tak ada yang menaruh perhatian pada gadis langsing dengan alat aneh di belakang kupingnya. Keadaan ini sebenarnya sempat membuatnya berpikir-pikir, jangan-jangan dia takkan pernah mempunyai pacar seperti sepupu-sepupunya yang lincah-lincah.
Kareem telah mengubah hidupnya seratus delapan puluh derajat. Surat-suratnya yang mesra itu lebih mujarab dari obat tidur untuk mengantarnya ke alam mimpi penuh kegembiraan. Dia selalu terbangun dengan hati berbunga, perasaannya membayangkan yang indah-indah melulu untuk hari tersebut. Kekurangannya yang dulu begitu menga-watirkan dan membuatnya agak rendah diri, kini sama sekali tak dipedulikannya. Bila dia sedang ingin santai, tak mau mendengar salak anjing atau warta berita kematian sekian banyak orang di suatu tempat, maka digeletakkannya alat prosesornya di meja. Dia hilir-mudik di apartemennya tanpa alat pendengar. Juga tak perlu. Toh orang yang ingin kudengar suaranya sedang jauh di Melbourne, dan suratnya bisa kubaca tanpa prosesor!
Mereka memang saling ber-e-mail setiap hari, ibaratnya sama saja dengan tinggal seatap. Pagi-pagi masing-masing berangkat kerja ke tempat terpisah, malamnya ketemu lagi di rumah, saling ngobrol sejam atau lebih sebelum merebahkan diri ke kamar.
"Masih ingatkah kau trip kita ke Barossa Valley""
"Ingat" Aku masih selalu nightmare kalau mimpi! Koala itu duduk di tengah-tengah jalan, semeter lagi pasti akan keserempet mobilmu!"
"Yah! Untung aku enggak meleng, diajak bercanda terus olehmu!"
"Karena itu aku enggak mau lagi guyon kalau sedang di tengah jalan!"
"Kalau cuma di komputer, boleh dong""
"Asal enggak melewati batas..."
"Siapa yang bakal tahu" Kan enggak ada orang yang bisa membuka e-mail kita selain kita sendiri" Atau kauiklanin password-mu di koran""
"Ah, kau selalu bikin aku ketawa geli. Aku kangen sekali padamu."
"Aku apalagi! Rin. aku sangat mencintaimuuu..."
"Aku juga." "Maksudmu, kau juga sangat mencintai dirimu atau... kau juga cintrong sama aku" Yang jelas dikit, ah!"
"Iiih, manja! Enggak usyah, ya!"
"Rinnn, tega kau! Aku enggak bisa tidur nih sebelum kaujelaskan arti ucapanmu."
"IQ-mu di dengkul, ngkali ya"!"
"Dengkul itu di mana" Di tengah sawah" Maksudmu, orang-orangan yang bego itu""
"Aku tekan off nih kalau kau ngaco terus!"
"Oke, oke. Gini, deh. Aku tanya, kau tinggal jawab. Setuju""
"Setuju." "Rin, kau senang sama aku" Jawab: yes or no." "Yes"
"Kau kangen sama aku"" "Yes"
"Kau pingin ketemu lagi sama aku""
"Very much, yes!"
"Kau sedih kalau kita pisah""
"Of course, yes."
"Kau cinta padaku""
"Sudah aku jawab, bukan""
"Yes atau no"" "Menurutmu""
"Ayo, jangan malu-malu kucing, yes or no"" "Yesss! Nah, puas"" "Maukah kau menjadi istriku"" "Pantaskah aku""
"Enggak ada yang lebih pantas lagi!"
"Berarti kau belum melihat dunia!"
"Buat apa" Sejak lahir aku sudah menunggu kehadiranmu dalam hidupku."
"Nah, ini ngibul terang-terangan. Mana mungkin seorang bayi bisa tahu apa yang diinginkannya""
"Tentu saja bukan semasa bayi. Katakanlah, sejak aku mengenal cinta."
"Nah, ngaku sekarang! Berarti kau sudah pernah pacaran, ya!"
"Sumpah! Belum pernah. Maksudku, sejak aku meningkat dewasa dan mulai mengerti apa artinya cinta."
"Apa, coba!" "Cinta itu merindukan seseorang, kepingin bersama terus, selalu siap menyenangkan hatinya, memanjakannya, membuatnya bahagia, lebih mengutamakan keperluannya tanpa peduli kepentingan sendiri. Masih banyak lagi, tapi kira-kira b
egitu. Pendeknya, kau pasti akan bahagia sebagai istriku Mau, kan""
"Mau. Kapan""
"Hatiku sih ingin secepatnya, minggu depan kalau bisa. Tapi kita kan hidup dalam realita. Aku harus menyelesaikan dulu spesialisasi ini. Percayalah. aku akan berusaha mati-matian supaya lekas tamat. Tahun depan. gitu. Setuju"" "Yes!"
Dan janji itulah yang membuat Katanna selalu tersenyum setiap kali terkenang. Janji itu pula yang memacunya ingin secepatnya kembali ke klinik untuk kontrol (alasan resminya; yang tidak resmi, ya Kareem itulah!).
Karena sudah kenal dengan dokter-dokternya, Katarina tidak menemui kesulitan apa pun. Tempat penginapan sudah disediakan di tempat biasa, sepuluh menit berjalan kaki ke klinik. Sekali ini semua berjalan lancar. Operasi berlangsung mulus, dia mendapat kuping bionik baru, yang lebih canggih.
Selama dia tinggal di klinik empat hari, Kareem dengan setia mengunjunginya tiga kali sehari. Dia tak mungkin menemaninya berjam-jam sebab tugasnya banyak. Tapi diusahakannya agar dapat muncul berulang kali selama lima-sepuluh menit.
Tiba saatnya dia boleh keluar dari klinik, tapi belum boleh pulang ke Jakarta, sebab masih harus kontrol dan latihan selama enam bulan. Aku juga ogah buru-buru balik, tiap kali berpisah dengan Kareem terasa hatiku pedih, dan hidupku hampa.
Kareem menjemputnya Sabtu pagi itu. Dia melangkah sepanjang lorong klinik di samping pemuda itu, jiwanya bersenandung penuh bahagia. Dokter muda itu mengangkut semua barangnya dari dalam kamar dan menjebloskannya ke bagasi, lalu bergegas membukakan pintu mobil baginya.
Sebelum menyalakan mesin, Kareem menoleh padanya. "Rina, aku rasa sebaiknya kau pulang ke tempatku saja. Bagaimana""
"Wah, gimana ya...." Suaranya agak parau. Katarina belum menyetel lagi alat pendengarnya, sebab baru saja beres OP, belum mulai lagi latihan. Jadi dia membaca bibir Kareem yang sengaja bicara agak pelan, sedangkan suaranya sendiri kedengaran tidak seperti biasa, karena dia tak dapat mengatur bunyinya tanpa alat bantu itu.
Tapi Kareem bisa mengerti sepenuhnya. Dia bahkan langsung paham keberatan gadis itu. Disentuhnya lengannya dengan mesra. "Rin, jangan kawatir. Kau akan mendapat kamar sendiri, aku enggak akan mengganggu. Teman seapartemenku baru saja pindah ke tempat ceweknya, mereka mau kumpul kebo, biasa itu di sini. Jadi aku belum punya penyewa baru."
Katarina sudah diberitahu tahun lalu bahwa Kareem memang menyewa apartemen itu patungan dengan seorang kawan. Apartemen itu berkamar dua, masing-masing sekamar, sedangkan ruangan lain digunakan bersama.
"Aku enggak mau menyusahkan..."
"Sama sekali enggak. Justru kalau kau tinggal jauh, pikiranku enggak akan tenteram sebab memikirkan dirimu. Kau baru saja beres di-OP, gimana ngurus makanan, gimana minta tolong kalau perlu apa-apa" Paling sedikit selama seminggu kau masih perlu bantuan."
Pendeknya, Kareem mengerahkan segenap keahliannya untuk membujuk. Katarina mengerti juga, maksud baik itu demi kepentingannya sendiri.
"Kau memang pantas bernama Kareem, murah hati dan mulia." Dia ketawa. Tanpa disadarinya, suara ketawanya merdu, menyentuh hati pemuda itu sedalam-dalamnya.
Kareem tersenyum malu. "Terima kasih atas pujianmu. Aku berjanji, begitu kau bisa berdiri lagi di atas kakimu tanpa miring-miring, akan kuantarkan kau balik ke tempatmu."
Demikianlah Katarina menumpang di tempat Kareem. Rencana semula, cuma seminggu. Akhirnya berkepanjangan sampai enam bulan.
Bab 19 Katarina takkan mungkin mendapatkan pelayanan post-operative yang lebih baik lagi daripada di tempat Kareem. Dia hampir tak perlu melakukan apa-apa kecuali duduk di meja makan, menyantap habis makanan bergizi yang sudah disediakan. Karena alat prosesornya belum diatur lagi sejak operasi terakhir, maka dia tak banyak berbicara. Tapi itu tidak menghalangi keduanya untuk berkomunikasi. Katarina sekarang sudah mahir membaca bibir seseorang.
Keheranannya melihat keahlian masak Kareem sempat ditangkap oleh yang bersangkutan. Kareem ketawa cerah. "Aku sudah biasa mengurus diri sendiri, Rin. Karena itu kalau kawin denganku, kau enggak bak
al repot. Sebaliknya, kau malah akan senang, sebab segalanya serba tersedia. Aku ini laki-laki siap pakai! Dalam segala hal!" Kareem ketawa gelak melihat rona merah merayap di kedua pipi jelita itu. Jarinya tak tercegah, terjulur mengusapnya.
"Tentu saja, itu seandainya kita tinggal di luar negeri, misalnya sementara aku mengumpulkan pengalaman sebanyak mungkin. Kalau tinggal di Jakarta, yah pasti kita akan mencari beberapa pembantu supaya kau enggak repot. Jadi gimana juga, kawin denganku, kau enggak akan susah! Mau. dong"" Kareem kembali mengelus pipi mulus itu dan si jelita lagi-lagi merah padam, bibirnya yang merekah kemerahan tampak tersenyum kecil, lesung pipinya bukan main, kepalanya menunduk, tangannya berlagak asyik mengaduk bubur kacang hijau dalam mangkuk.
Selesai sarapan, Katarina disuruh mandi. Dan Kareem juga sudah menyiapkannya. Ketika dia masuk ke kamar mandi, bak sudah terisi buih yang harum dan hangat. Dia tinggal masuk dan berendam. Kamar mandi itu tidak mempunyai kunci.
"Enggak ada kamar mandi dan kamar tidur yang bergembok di sini," ujar Kareem. "Enggak seperti di rumah-rumah kita, di mana setiap saat orang ketakutan rumahnya digeledah maling. Tapi kau enggak usah kawatir, aku enggak akan masuk ke kamar mandi selama kau di dalam."
Kareem memegang janji. Dia bahkan gosok gigi di dapur sementara Katarina berendam. Bila sudah saatnya dia harus berangkat ke klinik sedangkan Katarina belum keluar, maka digerak-gerakkannya gerendel pintu kamar mandi sebagai tanda yang telah disepakati, berarti Kareem permisi mau pergi. Dia tidak bicara sepatah pun sebab Katarina takkan mendengarnya tanpa alat. Sejak dulu dia tak pernah memasang alat tersebut bila sedang di kamar mandi. Selain itu, dia takkan berdaya tanpa membaca bibir si pembicara.
Keluar dari kamar mandi, biasanya apartemen di tingkat tiga itu sudah senyap. Katarina menghabiskan waktunya dengan membaca buku atau majalah kedokteran milik Kareem. Menonton TV percuma sebab sulit membaca bibir para pembicara atau pemainnya. Jadi dibukanya komputer lalu melayang-layang dalam Internet, mencari topik ini dan itu.
Bila tugas memungkinkan, Kareem akan pulang sebentar menjenguknya siang hari. Terkadang mereka makan bersama. Kareem sanggup menyiapkan spageti bersaus tomat dalam lima belas menit. Namun bila dia sedang repot, Kareem membeli dua bungkus sandwich, seorang sebungkus. Lalu selesai makan, segera berangkat lagi meninggalkannya.
Hari besarnya tiba ketika kuping bioniknya diatur sedemikian sehingga dia kembali mampu menerima sinyal-sinyal bunyi, mampu mendengar serta mengeluarkan suara.
Untuk merayakannya, Kareem mengajaknya makan malam di restoran Indonesia kegemaran mereka. Ayam goreng, perkedel, sambal hati tak pernah luput dari menu.
"Gimana kalau minggu depan kita istirahat ke pantai barang seminggu"" tanya Kareem di antara suap. "Aku rasa baik untukmu, rileks di udara terbuka."
"Pantai mana"" tanya Katarina dengan antusias.
Dia memang gemar berenang dan bertelanjang kaki di pantai. Pendeknya, kegiatan yang bisa dilakukan sendirian merupakan hobi sejak kecil. Ini akibat trauma pendengarannya yang semakin menghilang semasa kanak-kanak, membuatnya tak punya teman bermain. Kadang terpikir olehnya, salah ibunyakah menyingkirkannya jauh dari pergaulan dengan anak-anak lain" Tapi apakah mereka mau berteman dengan seorang anak tuli yang tidak mampu bicara dengan jelas" Dia mengerti, ibunya cuma ingin melindunginya dari rasa malu karena diejek atau ditolak oleh anak-anak seumurnya.
"Pernah dengar: Pantai Sorrento"" ujar Kareem dengan mata berbinar.
Katarina membelalak. "Kau mau mengajak aku ke Itali""
"Enggak. Belum ada duitnya. Ini sih Sorrento dekat Melbourne. Seorang temanku memiliki sebuah vila, saat ini kebetulan sedang kosong. Dianjurkannya supaya aku mengajakmu istirahat ke sana."
"Dia tahu mengenai diriku""
"Semua dokter di klinik tahu, Rin. Temanku ini dinas bersamaku. Kapan-kapan kuperkenalkan kalian berdua, dengan syarat..." Kareem mengedip jenaka.
Katarina terpancing rasa ingin tahu yang tak tertahan. "Apa""
"Kau enggak boleh ter
Dibakar Malu Dan Rindu Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tarik padanya!" "Pasti enggak."
"Orangnya sangat simpatik."
"Enggak bakal lebih simpatik dari kamu!"
"Hatinya baik bukan main."
"Enggak bakal lebih baik dari hatimu!"
"Tanpa dikehendakinya, cewek-cewek selalu tergila-gila padanya."
"Aku sih enggak, dijamin deh!"
"Jeniusnya bukan main. Sudah..."
"Enggak lebih dari otakmu!"
"...Diramalkan bakal menjadi profesor. Jadi istri profesor, wah!"
Katarina tersenyum. "Daripada kau nanti serangan jantung saking stres, lebih baik enggak usah pergi ke vilanya. Di rumah juga bisa istirahat kalau mau."
"Serangan jantung sih enggak segampang itu timbulnya, Rin. Nanti kau boleh baca textbook tentang jantung. Atau cari info di Internet."
"Pendeknya, enggak usah kauperkenalkan aku padanya! Beres, kan""
"Memangnya kalau kuperkenalkan, kenapa" Dia bakal langsung jungkir balik jatuh cinta padamu kayak aku sekarang"" Melihat wajah ayu itu ber-semu merah kemalu-maluan. cepat disambungnya, "Kemungkinan besar bisa terjadi seandainya dia masih bebas. Itu kuakui!" Kareem mengangguk, tersenyum jenaka. "Tapi untunglah, dia sudah bertunangan dengan seorang pengacara. Kalau sedang guyon, dia bilang, sekali ribut pasti habis semua hartaku dirampas, maklum pengacara banyak akalnya untuk menggerogoti orang!"
"Karena itu dia enggak berani nyeleweng"" Katarina tersenyum geli.
"Orangnya memang setia kok!" bela Kareem.
"Seperti kau sendiri!" Katarina berbisik dengan kerlingan mata penuh binar. Sebagai tanda terima kasih, Kareem menjulurkan tangan dan mengelus pergelangannya.
* * * Kareem cuti seminggu. Dia memang sengaja mengumpulkan cuti selama keduanya berpisah untuk nanti diambil pada saat Katarina sudah datang berobat.
Vila itu bersih dan terawat baik Semua perabotan rapi dan apik. Saat itu bukan musim liburan umum, jadi pantai sepi. Tak ada manusia lain kecuali mereka berdua sepanjang hari. Cuma Sabtu dan Minggu, terkadang masih ada juga satu-dua mobil yang datang bersama orang-orang yang kepingin berenang atau cuma santai berjemur dan makan daging panggang.
Katarina menikmati liburan itu sepenuhnya. Setiap pagi dia berenang, dikawal oleh Kareem yang tak mau melepaskannya jauh-jauh dari matanya walaupun di daerah situ tak pernah ada ikan hiu yang senang paha manusia.
Puas berenang, mereka pergi belanja sayuran dan ikan, tak pernah daging merah. Dalam hal ini keduanya sepakat walau dengan alasan yang berbeda: daging merah takkan mereka jamah. Alasan Katarina, untuk mencegah kenaikan kolesterol serta akibat-akibatnya seperti tekanan darah tinggi dan penyakit jantung. Alasan Kareem, karena dia tidak tega melihat sapi-sapi yang digiring ke pembantaian, begitu murung, begitu pasrah sebab tahu mereka begitu tak berdaya. Mereka dipaksa menyuguhkan kenikmatan bagi manusia.
"Alasan kita ini mungkin berlebihan dan enggak ada gunanya bagi ternak-ternak itu. Kita enggak makan, tapi jutaan orang masih selalu mengkon-sumsi, dan hewan-hewan itu masih tetap akan dibantai."
"Aku tahu, Rim. Tolonglah jangan ingatkan aku pada nasib buruk mereka. Asal aku tahu, aku bukan penyebabnya, ya sudahlah. Aku berusaha melupakan mereka walau sulit."
Kareem menyetir pembicaraan ke arah lain. "Kau tampak ceria, senang liburan kayak gini"" tanyanya seraya mengeringkan rambut Katarina dengan handuk. Keluar dari air, Katarina memasang kembali alat prosesor yang dibelitkannya di pinggang.
"Ya, senang sekali. Waktu kecil enggak pernah aku pergi liburan, sebab aku cuma akan jadi tontonan anak-anak lain. Malah pernah disoraki, 'Gagu, gagu,' sebab aku enggak bisa bicara, malu, suaraku enggak bisa kudengar sendiri, gimana mau ngomong"!"
"Kasihan!" bisik Kareem mengelus rambut yang lebat dan harum itu.
"Selain itu, ayahku selalu sibuk, enggak pernah di rumah. Ibuku enggak suka pergi-pergi sendirian tanpa ayahku."
"Sekarang masa itu sudah berlalu, Rin. Kau sudah bisa ngomong, bisa mendengar. Kita akan banyak jalan-jalan. Bulan depan kita bisa pergi ke gunung, ke Pulau Kanguru. Kelak kita akan ke New York, ke London, ke Paris, ke Madrid...."
"Tapi aku ingin bekerja untuk anak-anak yang senasib denganku, yang orangtu
anya kurang mampu, jadi enggak mungkin ditolong di luar negeri."
"Pikiran kita sama."
"Maksudmu""
"Kaukira kenapa aku mau spesialisasi lebih lanjut" Sebenarnya sebagai ahli THT saja sudah cukup, kan" Telinga-hidung-tenggorok! Tapi aku ingin membantu anak-anak yang cacat seperti dirimu."
Katarina memeluk Kareem dengan ketat. "Oh. bukan main senangnya hatiku. Kau bakal menolong anak-anak yang tuli""
"Kita berdua yang akan menolong mereka. Mau, kan""
Katarina mengangguk dengan bibir tersenyum bahagia. Kareem memeluknya ketat, bibirnya berbisik mesra, "Aku bahagia sekali menemukan dirimu di sini. Semula kecil hatiku untuk hidup seperti orang-orang biasa. Tapi sekarang semangatku berkobar. Aku ingin kita membangun keluarga dan kau menjadi ibu anak-anak kita."
Katarina memilin-milin ujung handuk yang mengerudungi kepalanya. Matanya menatap jauh ke depan, ke tengah laut. "Apa kelainanku ini akan diwarisi oleh anak-anak yang kulahirkan""
"Mungkin. Tapi enggak perlu kawatir, belum tentu terjadi. Dalam keluargaku juga ada yang pendengarannya kurang. Ayah kakekku dan kakak tertua kakekku. Tapi ayahku dan aku enggak kenapa-kenapa."
"Oh, jadi itu sebabnya kau ingin menjadi ahli di bidang ini!"
Kareem mengangguk. "Supaya bila ada anggota keluarga yang perlu bantuan, aku siap melakukannya."
"Semoga anak-anak kita mulus semua." "Jangan kawatir. Seandainya enggak, toh sudah bisa ditolong sepenuhnya."
Sepulang dari Pantai Sorrento, Katarina sibuk menulis surat-surat ke Jakarta. Pertama untuk ibunya, lalu Tante Tania, dan Dokter Ishtar (kepala Bagian THT di Klinik Sabara-Birka), tiga di antara belasan nama yang biasa disuratinya.
Dokter Ishtar sangat menaruh perhatian pada kemajuan pendengarannya akibat semua operasi serta latihan yang telah diperolehnya selama ini. Di antara pasien-pasiennya ada beberapa anak yang ingin dicalonkannya untuk pengobatan yang sama. Karena tak mungkin mengirim semua anak ke luar negeri, Dokter Ishtar tengah berusaha menjalin kerja sama agar dokter luar negeri itu yang datang menemui pasien-pasiennya.
Ketika Katarina menceritakan keadaan ini pada Kareem, dengan mata berbinar dokter muda itu langsung menanggapi, "Kalau aku sudah terampil, aku bersedia menolong mereka semua!"
Katarina memandangnya dengan penuh kebanggaan. Dia merasa bahagia dalam hati. Setelah hampir putus asa menghadapi masa depan, enggak nyana aku bisa ketemu laki-laki yang begini kucintai-yang juga sangat mencintai diriku....
Dia semakin mengagumi laki-laki ini karena budinya yang luhur. Sepulang dari liburan itu, diutarakannya niatnya untuk kembali ke kamar penginapannya sendiri. "Aku sudah sembuh dari OP, enggak perlu lagi bantuan khusus. Sebaiknya aku balik ke tempatku sendiri."
Kareem menatapnya dengan pandangan polos, kemudian menggeleng dengan roman duka. "Kau merasa diperlakukan kurang telaten di sini""
Katarina menggeleng, tersenyum. "Aku belum pernah mendapat pelayanan yang begini penuh perhatian."
"Terus teranglah kalau ada yang masih kurang..."
Katarina mengulurkan tangan dan menutup bibir pemuda itu dengan telapaknya. "Sudah aku bilang, enggak ada yang kurang. Sungguh mati!"
"Lantas, kenapa kau mau kabur"" tanyanya seraya mengelus rambut serta poni gadis itu dengan lembut dan mesra.
"Enggak pantas kan seorang gadis tinggal bersama seorang pemuda yang bukan apa-apa-nya...."
Kareem mencemooh dengan lagak tersinggung. "Jadi aku ini bukan apa-apamu" Kalau begitu kau enggak punya perasaan apa juga untukku" Jadi pengakuanmu selama ini main-main saja""
Katarina tersipu dengan wajah merona merah. "Justru lantaran itu, Reem. Maksudku, kita kan belum menikah!"
Kareem menghela napas dan menggenggam kedua tangan gadis itu dalam kedua tangannya. "Rin, jangan pedulikan pendapat orang luar. Mereka enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang penting kan antara kita berdua, saling mempercayai. Aku enggak bakal menjamahmu, Rin. Kalau itu yang kautakutkan. Aku akan setia menunggu sampai saatnya tiba. Tenangkan hatimu, aku enggak akan melakukan apa juga tanpa persetujuanmu!"
Katarina menunduk, malu dan resah. Tanpa persetuj
uanku" Itulah yang kutakuti. Seandainya dia sadar, betapa gampangnya aku menyerah! Saking cintanya aku padanya! Berapa kali aku sudah hampir mengundangnya melakukan apa yang terlarang....
"Jangan pindah, Rin."
Katarina mengangkat kepala, menatapnya dan mengangguk dengan senyum bahagia. Sebenarnya dia juga segan tinggal berjauhan dengan orang yang dicintainya ini. Kamar mereka yang bersebelahan membuat tidurnya lebih nyenyak, mimpinya lebih indah. "Janji""
Dia mengangguk sekali lagi.
Bab 20 Latihan menggunakan alat prosesor yang terbaru ini ditekuninya setiap hari dengan bimbingan Dokter Charley di klinik. Telinganya sudah menjalani operasi mutakhir dan kini tinggal membiasakannya dengan dengung serta bunyi-bunyian yang ditimbulkan oleh prosesor.
Sepulang dari klinik biasanya Kareem sudah menunggu untuk mengajaknya makan siang ke kantin. Katarina tidak terlalu jengah mengenakan alat istimewanya itu, sebab rambutnya yang lebat dan panjang menutupinya. Sepintas lalu takkan ada yang tahu. Keadaan ini memberinya ketenteraman batin serta kepercayaan diri yang semakin mantap.
Cinta setulus cinta Kareem pasti akan memberi atau menambah rasa percaya diri setiap gadis. Aku merasa aman dalam lindungannya. Berada di dekatnya merupakan kerinduanku yang utama.
Selesai makan siang. Kareem mengantarnya sampai ke tempat tunggu bis. Dia sendiri tak dapat membawanya pulang, sebab masih banyak tugas di klinik. Bagi Katarina sama sekali tak menjadi masalah, sebab bis itu membawanya tepat ke jalan di mana mereka tinggal, cuma lima puluh meter dari pintu depan.
Siang itu dia pulang dengan gembira. Latihannya sudah semakin maju, Charley memberinya pujian hangat. Cuma satu hal yang mengganjal di hatinya. Bila dia sudah selesai dengan semua latihan, berarti harus balik ke Jakarta. Berarti... pisah dengan Kareem. Belum pernah dia menyadari demikian berat rasanya harus berpisah dengan seseorang.
Ketika masih kecil, dia acap kali menangis bila ayahnya harus pergi lagi setelah berkunjung setengah harian. Akibatnya, ayahnya selalu menunggu sampai dia tertidur dulu sebelum pergi. Setelah dia mengerti situasinya, tak pernah lagi dia bangun dengan rasa segar dan puas. Dia benci tidur. Tapi dia tak berdaya melawan kantuk, namun selalu terjaga dengan rasa putus asa.
Setelah besar, setelah telinganya mengalami pengobatan, dia berusaha melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehadiran ayahnya dalam hidupnya. Ini terutama disebabkan karena ayahnya memang tak pernah muncul lagi. Kalau dia bertanya, ibunya selalu memberikan jawaban yang samar berisi pengelakan. "Ada pasien kecelakaan berat yang perlu segera ditolong." "Terlalu sibuk, banyak pasien." "Nanti kau boleh bicara di telepon kalau kupingmu sudah baikan."
Sebelum mereka berangkat ke Melbourne untuk pertama kali, barulah ibunya mengajaknya mengunjungi ayahnya di penjara. Setelah masa hukumannya habis, ternyata ayahnya memutuskan untuk tetap tinggal dekat penjara, bekerja sebagai dokter. Dia merasa kecewa, namun dikeraskannya hatinya. Saat itu dia sudah menumpang di tempat Tania. Dipaksanya melindungi diri dari rasa kesepian dan kerinduan ingin selalu bersama Ayah. Sangkanya dia berhasil.
Ternyata perpisahan dengan Kareem nanti sangat ditakutinya. Sanggupkah dia melawan kesepian sendirian di Jakarta" Kapan mereka akan berkumpul lagi" Apakah mereka akan bisa menikah tanpa halangan" Dia tahu, Kareem sangat populer di kalangan staf wanita di klinik. Baik perawat maupun para dokter yang masih lajang, semua menyukainya. Katarina tak berani lama-lama merenungkan kemungkinan salah seorang di antara mereka nekat mau menjebak sang jagoan!
Dengan helaan napas kecil dibukanya sepatu, digantinya baju dengan pakaian santai, lalu dia mendekati meja tulis Kareem, mencari-cari bahan bacaan. Seperti biasa yang ada majalah-majalah kedokteran pinjaman dari perpustakaan klinik. Tapi semuanya sudah dibacanya. Kareem belum mengganti dengan yang baru. Dia segan membaca ulang. Ya sudahlah, menonton video saja. Atau rebahan di kamar.
Sementara berpikir begitu, tangannya masih menjamah sana-sini, m
embalik-balik tumpukan, penasaran masak sih tak ada bacaan sama sekali yang belum dilihatnya.
Aaah, apa ini" Matanya melihat sebuah buku tebal berukuran kitab tulis, bersampul coklat. Di bagian depan terdapat tulisan Buku Harian Karla R. Dia tahu, itu bukan tulisan Kareem. Siapakah Karla" Ibunya" Memang tulisannya mirip gaya ibunya sendiri, miring-miring seperti tulisan orang-orang yang sekolah pada zaman Belanda.
Dia tak peduli itu milik siapa. Judulnya saja sudah menggugah rasa ingin tahunya. Diangkatnya buku itu dan dibawanya ke sofa. Dijatuhkannya dirinya ke atas karet busa yang empuk, dan dibukanya halaman pertama.
Barulah saat itu pikiran tersebut menerjang otaknya: apakah aku berhak membacanya" Tapi sudah terlanjur. Dia tak bisa lagi mundur. Matanya sudah berkilat membaca kalimat pertama.
* * * Aku tiba hari Rabu, langsung melapor ke kantor perawat sambil menenteng sebuah koper dengan tas besar tergantung di bahu. Rumah sakit itu luas, bangunannya belum tua, masih kurang dari dua puluh tahun usianya, bertingkat tiga dan ruang perawat terletak di lantai bawah paling ujung dekat lift.
Suster Eli, kepala perawat, menyambutku dengan senyum ramah dan hangat. Usianya kutaksir sekitar ambang empat puluh, rambutnya masih hitam legam, dandannya sederhana namun apik, wajahnya teduh dan manis.
"Ah, Karla! Sudah saya tunggu-tunggu, kawatir kau kesasar," serunya mengulurkan langan yang kusambut dengan antusias.
Sebagai perawat yang baru saja lulus ujian, aku menganggap nasibku mujur, sekali melamar kerja langsung mendapat tanggapan positif. Beberapa orang temanku sampai saat ini masih terkatung-katung, nulis ke sana-sini.
"Letakkan saja kopermu di dalam lemari ini," ujarnya membuka pintu sebuah lemari yang tinggi sampai ke langit-langit. "Kalau pulang nanti akan saya antarkan kau ke asrama."
Setelah menyimpan koper, aku disilakan duduk di depan mejanya. Mbak Eli langsung menuang secangkir kopi yang memang kubutuhkan guna mengusir kelelahan tubuhku. Aku berangkat dari Bogor dengan kereta pagi jam delapan. Rencananya mau bangun jam enam, tapi karena tegang, adrenalin meninggi, aku sudah tak bisa tidur dari jam empat pagi. Jadi cuma gulak-gulik di ranjang sampai dua jam. Sekarang baru terasa ngantuk.
Kopi yang harum dan pekat itu sangat membantu, sehingga aku tabah mengikuti percakapan dengan Mbak Eli yang menyangkut tugas-tugasku serta keadaan rumah sakit umumnya dan pasien-pasien di bagian kami khususnya.
Sebagai novis yang belum punya pengalaman, aku akan ditempatkan di Bagian Penyakit Dalam. Kepala di situ adalah Suster Rani. "Mari saya perkenalkan kamu dengannya," ajak Mbak Eli ketika melihat cangkirku sudah kosong.
Mbak Rani tampaknya sepuluh tahun lebih muda dari Mbak Eli, orangnya kocak, tubuhnya montok, wajahnya yang bulat selalu berseri. Kemudian aku tahu, bibirnya selalu bersenandung bila tengah berada dalam kantor, bukan di depan pasien. Di atas mejanya terpampang foto kedua anaknya yang masih balita, sedangkan gambar suaminya tersimpan terus dalam dompet. Ketika aku sudah diperkenalkan oleh Mbak Eli, dan kami cuma berduaan saja di situ, dikeluarkannya dompetnya dan dicabutnya foto suaminya.
"Cakep!" ujarku spontan melihat wajah ganteng dengan kumis yang simpatik itu.
Mbak Rani tersenyum geli. "Karena itu enggak aku pajang di atas meja! Takut nanti ada anak buah yang kepincuk. Buktinya, kau sendiri langsung bilang 'cakep', kan. Padahal belum ketemu aslinya."
Karena melihat sikapnya yang senang guyon, aku juga jadi berani. "Lebih cakep"" godaku.
Tanpa wajahnya yang cukup putih itu merona merah, dia menjawab, "Sudah jelas!" Sambil membenahi foto keramat itu, ditambahkannya dengan suara pelan, "Tapi masih kalah sama Dokter Lukito!"
"Ada yang lebih cakep lagi"" tanyaku kurang percaya, padahal sebenarnya sih tak ada perhatianku untuk cowok-cowok. Mau ganteng kek, bopeng kek, aku enggak peduli. Rupanya belum waktunya bagiku untuk ngurusin jenis kelamin lain itu. Saat itu aku lebih kepingin tidur, ngantuk sih.
Tapi Mbak Rani menanggapi dengan serius seakan itu menyangkut masalah pemberian cairan infus
seorang pasien yang sedang koma(pingsan yang lama karena penyakit, luka. atau keracunan). "Terang, dong!"
Hari itu aku diperkenalkan dengan seluruh staf perawat, semuanya enam orang, tujuh bersamaku. Lalu aku diajak mengunjungi bangsal, menengok pasien-pasien setelah terlebih dahulu diperlihatkan kartu-kartu mereka disertai keterangan singkat mengenai penyakit masing-masing.
Enam bulan pertama tugasku terutama menjaga kebersihan bangsal serta mengatur pemberian obat dan makanan. Sambil menimba dan mengumpulkan pengalaman, aku mengganti seprei, menyapu dan mengepel lantai, memasukkan obat ke dalam cangkir-cangkir sesuai dengan daftar resep, serta mengantarkan makanan atau menyuapi bila pasien tak mampu makan sendiri atau tak boleh bangun.
Mengasyikkan juga dinas di sana. Dokter-dokternya ramah dan kocak, semuanya masih muda dan energik. "Sayang semuanya sudah punya!" komentar Mbak Sri berbisik ke telingaku. "Kalau bukannya kawin, ya sudah tunangan. Kita semua enggak kebagian!"
Aku tersenyum saja, sebab minatku di bidang itu belum muncul. Tapi Mbak Sri sendiri sebenarnya juga tidak kesiangan, sebab anaknya sudah dua. Masak masih mengharapkan ketiban rezeki tambahan" Tentu saja dia cuma guyon. Atau menyindir aku" Uh, aku sih enggak kena dipanas-panasi. Sampai pada suatu hari....
Ibu Urti di kamar sembilan menderita penyakit ginjal yang menahun. Keadaannya saat itu tidak terlalu parah, sebab ginjal yang sebelah lagi masih tokcer. Dia sudah ribut ingin segera pulang, tapi oleh Dokter Anwar belum diizinkan. Masih menunggu hasil biakan kuman serta penentuan anti-biotika mana yang cocok.
"Dik. saya udah pingin banget pulang. Anak-anak enggak ada yang ngurus. Suami juga terlantar," pintanya padaku. Tentu saja dia salah saluran. Aku kan enggak berwenang menyarankan hal sekecil apa pun seperti misalnya penggantian merek parfumnya yang sangit sekali baunya itu. Kalau wanginya menusuk penciuman, bagiku itu namanya bukan harum melainkan bau. Tapi siapa sih aku, berani-berani memberi komentar"
"Sabar dikit, Bu. Hasil pembiakan akan segera kita ketahui," ujarku mencoba menenangkan. "Anak-anak kan ada neneknya yang menjaga. Mereka juga sudah besar...."
"Tapi kerjaan saya di kantor!" keluhnya. "Kalau kelamaan libur, jangan-jangan nanti dipecat."
"Dokter Anwar akan memberikan surat keterangan. Ibu pasti takkan dipecat."
"Tapi berapa lama lagi saya mau ditahan di sini"" Matanya mengerjap-ngerjap seolah mau menahan turunnya air mata. Diambilnya saputangan dari bawah bantal yang dibawanya ke hidung, sekedar dicium-cium harum... eh, baunya itu.
Aku berdiri mengawasi dengan tak berdaya, seperti si bego, cuma mengelus-elus selimut yang menutupi kakinya, mataku menatap cairan infus di ranjang sebelah. Setiap tempat tidur dikelilingi gorden putih untuk melindungi kebebasan pribadi pasien. Siang hari gorden itu direntangkan cuma setengahnya, sehingga orang yang berdiri di kaki ranjang dapat melihat ke ranjang-ranjang lain.
Mendadak terdengar suara pelan bergumam, "Saya kuatir memikirkan suami sampai susah tidur."
Aku mengangkat muka, menatap pasien. Wanita tiga puluhan itu mengembalikan tatapanku seraya menghela napas. Wajahnya yang menarik itu tampak berkerut seolah menahan sakit, hidungnya yang bangir mengembang lebar ketika dia menarik napas dalam-dalam. Rambut lebat dan hitam itu bergerak di atas bantal ketika kepalanya bergoyang kian kemari. "Laki-laki susah, Dik, ngeladeninya," keluhnya. "Adik pasti belum menikah, ya," tebaknya seraya menujamkan pandangnya ke jari-jari tanganku.
Aku cukup menggeleng tanpa kata-kata. Apa yang mau kukatakan" Bahwa aku belum tertarik pada laki-laki" Bahwa aku enggak tahu apa gunanya seorang dari mereka dalam hidupku yang saat itu sudah cukup menyenangkan, aman, dan sentosa"
"Sudah bertunangan""
Aku menggeleng. "Pacaran""
Juga menggeleng. "Ah!" Dia ketawa kecil. "Jangan sok jual mahal!"
Giliranku ketawa. lalu jawabku sekenanya, "Enggak ada yang mau."
Dia terkekeh. "Enggak percaya! Adik begitu menarik! Ayo, jangan pura-pura tahan harga. Ada kawan saya yang sok berlagu begitu. Empat orang yan
g naksir, semuanya diapkir olehnya. Sekarang keempatnya sudah kawin, tinggal dia sendiri yang melongo."
"Ah, jodoh di tangan Tuhan!" komentarku sebagai pembelaan. Lalu mendadak otakku mendapat ilham yang langsung tercetus, "Toh perkawinan itu bukan jaminan hidup bahagia! Berapa banyak yang..."
"Kau betul sekali!" sambut Ibu Urti tanpa menunggu kalimatku selesai. "Kawin, susah. Enggak kawin, susah."
"Kenapa begitu"" tanyaku sekedar sopan santun. Sebenarnya aku sama sekali enggak kepingin tahu.
Ibu Urti menghela napas. "Laki-laki, Dik, pola sentralnya cuma seks! Yang ada di kepalanya cuma itu."
"Masak"" Aku tersenyum untuk mengurangi ketegangan yang membayang di wajahnya. "Saya kira mereka sangat memikirkan uang dan kekayaan."
"Oh, ya, itu juga. Uang dan seks." "Jadi selama jam kantor, mereka mikirin uang" Selebihnya waktu mereka untuk mikirin seks""
"Huh! Selama jam kantor juga mereka enggak bisa ketinggalan seks. Uang dan seks. Semakin banyak uangnya, semakin gencar seksnya."
"Maksud Ibu"" Aku betul-betul enggak mengerti maksud kata-katanya.
"Ya, itu. Seorang laki-laki, semakin kaya, semakin obsesif terhadap seks. Kasarnya, mereka itu enggak bisa hidup tanpa itu. Dan celakanya, susah dipuaskan. Sering kan kita dengar orang-orang berduit yang punya istri lebih dari satu" Alasan mereka terkadang menggelikan. Mereka bilang, untuk melindungi kaum perempuan. Supaya hidup mereka terjamin, jadi mereka kawini sebanyak-banyaknya."
"Kalau begitu, saya akan mencari suami yang miskin saja deh," kataku, yakin bahwa itu jalan keluar yang aman. Ya. enggak kelewat miskin, tapi yang pasti enggak bakal sanggup memberi nafkah pada istri-istri muda.
"Suami saya juga bukan miliuner. Dik. Tapi mata keranjangnya enggak ampun deh. Sekali pernah kepergok sama saya, ngobrol intim-intiman sama teman sekantornya. Selama saya di sini seminggu, tahu deh apa yang sudah terjadi. Saya enggak bakal heran kalau dia sudah tidur sama wanita lain. Kebutuhannya begitu mendesak!" Dia menghela napas kesal.
Untung sekali pasien di ranjang sebelah kiri sedang berada di luar, sedangkan yang di kanan rupanya sedang tidur atau pura-pura tidur tapi nguping, aku kurang tahu. Tapi yang jelas, kurasa Ibu Urti mencari penyakit sendiri. Kenapa kawin dengan laki-laki hidung belang"
"Kenapa Ibu menikah dengannya"" Aku enggak bisa menahan diri untuk tidak mencetuskan pikiran tersebut.
Wanita itu kembali menarik napas berat. "Lantaran saya sangat tertarik padanya. Orangnya kelewat ganteng. Juga ramah. Pintar mengambil hati. Tentu saja waktu itu saya enggak terpikir, sifatnya akan seperti itu."
"Yah, semoga dia enggak sampai jatuh benar-benar. Bu. Kalau cuma ngobrol saja kan enggak apa-apa," aku coba menghibur untuk membesarkan hatinya.
"Itulah yang saya kualirkan. Kemarin waktu dia datang, diberinya saya ultimatum. Cepat pulang, kalau enggak, aku enggak jamin enggak bakal kelayapan. Aku udah kagak tahan! Karena itu saya kepingin pulang secepatnya."
Aku merasa geli dalam hati. sama sekali enggak mengerti kenapa enggak tahan. Barangkali suami pasien ini sudah rada-rada alias sinting atau malah psikopat! Tapi melihat wajah menarik itu bermuram durja, tak sampai hati juga aku.
"Jangan bingung. Bu. Saya akan coba menanyakan pada Dokter Anwar kalau-kalau Ibu boleh pulang lebih cepat. Mungkin pulang sebentar, lalu balik lagi kalau hasil labor sudah ada," hiburku sok tahu. Aku langsung berjengit. merasa keliru ngomong ketika melihat wajah itu kembali cerah.
Kepalanya mengangguk di atas bantal. "Ya, itu juga harapan saya. Tolong ya. Dik. Siapa tahu dokternya mau menerima usul itu."
Mampus aku! Di mana sih ada perawat yang baru saja lulus, berani-beranian ngasi usul sama dokter spesialis" Enggak peduli seramah dan sekocak apa juga, dokter mana pernah mau mendengarkan nasihat perawat" Sejauh pengamatanku yang masih kurang pengalaman ini, mereka malah ogah mempertimbangkan nasihat teman-teman se-jawat kecuali kalau sudah erat dan memang teman baik. Mereka enggak mau kehilangan, apa itu namanya, gengsi sebagai dokter yang brilian, yang enggak perlu bantuan orang lain.
Tapi saat itu aku enggak bisa berbuat apa-apa, kecuali manggut dengan harapan mudah-mudahan hasil labor sudah masuk dan pasien memang bisa dipulangkan sonder aku perlu membuka mulut.
Setelah berhasil meloloskan diri dari kamar yang "panas" itu, aku kembali ke ruang perawat. Dasar nasib (entah buruk atau baik, enggak bisa aku pastikan), ternyata Dokter Anwar ada di sana, sedang membaca beberapa laporan pasien-pasiennya, duduk di meja Mbak Rani.
Aku berdiri di depan meja itu, membelakangi pintu. Setelah menyalaminya "selamat siang", aku langsung ke tujuan.
"Dok," kataku sedikit gemetar.
Terdengar suara gembok pintu dibuka dari luar. Kareem pulang! Katarina menengok ke arah jam Kiranya sudah setengah enam. Cepat-cepat ditutupnya buku itu, lalu dia berdiri untuk mengembalikannya ke atas meja.
Namun dia terlambat. Pintu sudah keburu terbuka, sedangkan Kareem sudah nyeplos ke dalam, menutup kembali pintu dan melangkah dengan lagak orang yang kesusu harus ke WC. Tentu saja dia tidak perlu ke sana. Dia menghampiri Katarina dan berhenti di depannya, menjawil dagunya seraya tersenyum menyapa, "Apa yang kaulakukan seharian""
Katarina tersenyum, mengangkat bahu. Sejenak dia tak tahu harus bilang apa. Seandainya buku ini terlarang baginya, celaka banget!
Kareem meletakkan tasnya di lantai pojok. "Enggak tidur siang"" tanyanya seraya menarik dasi dan melepasnya.
"Enggak. Enggak ngantuk," sahut gadis itu seraya memegang buku harian itu di balik punggungnya. Matanya jelilatan ke mana-mana selama dua-tiga detik. Setelah melihat tak ada kesempatan untuk meletakkan buku tersebut tanpa ketahuan, akhirnya dia nekat. Dikeluarkannya buku itu dari belakangnya dan diacungkannya ke depan.
"Aku baca buku harian ini. Baru beberapa lembar saja. Boleh, kan" Tergeletak di atas mejamu, kok. Bukan rahasia, dong"" tanyanya dengan hati kebat-kebit, kawatir memang terlarang.
Hatinya berdesir lega ketika Kareem menggeleng tanpa melirik sedikit pun ke arah buku tersebut. "Rin, aku enggak punya rahasia," ujarnya mantap namun ramah. "Apa saja milikku boleh kaubaca, sebab kelak akan menjadi milikmu juga."
"Terima kasih."
Kareem melepas sepatunya, lalu dengan kaki telanjang di atas karpet, diraihnya Katarina dan dipeluknya. "Di antara kita enggak boleh ada rahasia, Rin," bisiknya, mengecup tengkuk gadis itu yang nyaris menggelinjang geli. Dilonggarkannya pelukannya dan diangkatnya dagu yang mulus itu sampai mata mereka saling menatap. "Janji"" pintanya mesra.
Katarina tak kuasa berbuat apa pun kecuali mengangguk dengan bibir terkatup diliputi keharuan. Diperlihatkannya buku itu. "Siapa sih Karla" Ibumu""
Kareem menggeleng. "Bukan. Nenekku. Ibu ayahku. Ceritanya panjang. Mari aku dongengi sambil kita menyiapkan makan malam."
Mereka memang selalu kerja di dapur berduaan. Kareem sudah terbiasa berdikari, bukan termasuk golongan pria yang tinggal terima jadi, segala apa harus disiapkan oleh sekompi wanita yang berpredikat istri, anak, sampai mantu atau pembantu.
Hidangan mereka selalu bergizi namun sederhana. Dalam hal ini Kareem lagi-lagi tidak termasuk kelompok manusia yang cerewet, yang cuma punya selera bila makanan yang disajikan memerlukan paling sedikit satu jam persiapan.
Katarina mengeluarkan dua potong ikan trevally dari lemari es. Dia tidak tahu nama ikan itu di Jakarta, sebab belum pernah dilihatnya di sana. Ikan itu sudah dibelah, tanpa kepala tanpa isi perut, dan sudah diberi rempah-rempah khas Kareem. Diletakkannya kedua potongan itu ke atas panggangan yang sudah diolesi minyak, lalu dimasukkannya ke dalam oven yang telah dihangatkan.
"Kau mau apa malam ini, Rin" Asparagus" Bayam" Brokoli" Buncis""
"Gimana kalau kita bikin gado-gado"" "Masih ada bumbunya"" "Setengah bungkus."
Sambil menikmati santapan setengah jam kemudian, Kareem mendongeng. "Ayahku meninggal ketika aku lima tahun. Aku masih ingat wajahnya, tapi enggak pernah ketemu dengan anggota famili lainnya. Ayahku diangkat anak sejak bayi. Semula kusangka karena orangtuanya sudah tak ada. Tapi setelah membaca buku harian nenekku, aku mengerti. Cuma sekali aku bertemu deng
an Nenek, ketika diajak ibuku ke rumahnya. Malamnya dia meninggal. Setelah aku dewasa, buku harian itu diserahkan oleh ibuku untuk kusimpan. Kalau kau sudah membacanya, kau sendiri akan mengerti. Nenek enggak pernah menikah. Dia dilarang oleh ayahnya untuk memelihara bayi yang dilahirkannya, yaitu ayahku. Jadi anak itu diserahkan pada orang lain, tapi terus dibiayai oleh keluarga Nenek sampai menjadi dokter."
"Ayahmu juga dokter""
Kareem mengangguk tanpa menanggapi senyum Katarina yang menyatakan kagum.
"Sudahlah, enggak usah aku ceritakan sampai tamat. Nanti kurang menarik lagi bukunya."
Bab 21 maunya sih terus-menerus melotot di depan buku harian yang memukau perhatiannya, tapi acaranya banyak yang lebih penting. Pertama-tama, latihan di klinik. Kedua, sedikit kurang penting, menjelajahi kota dengan berjalan kaki. Tidak berbelanja, tidak menghamburkan uang yang notabene memang tidak banyak di dompetnya, tapi hanya kepingin mengenal alam dan lingkungan. Kalau penat, dia istirahat dalam taman yang banyak tersebar di seluruh kota.
Kalau kebetulan sudah direncanakan, tidak makan siang bersama Kareem, maka Katarina membawa bekal sandwich yang diisi dengan coklat atau keju. Dengan tenang dia makan di atas bangku taman seperti orang-orang di sekitarnya. Tak ada yang pusing.
Sebenarnya dia ingin sekali membawa buku harian itu. cuma kawatir kalau sampai hilang! Katarina tahan duduk berjam-jam di atas bangku dalam taman atau di pinggir jalan, memperhatikan orang-orang lalu lalang. Tak seorang pun yang dikenalnya, namun tidak menjadi soal. Dia sama sekali tidak merasa kesepian. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia mengenal ketenangan batin, keceriaan hidup, kebahagiaan penuh, dan gairah untuk bangun esok pagi. Kekurangannya dalam pendengaran sama sekali tidak merupakan momok lagi baginya. Dan itu semua disebabkan semata-mata karena kehadiran Kareem dalam hidupnya.
Tidak pernah dia berani memikirkan, membayangkan, apalagi mengharapkan cinta seorang laki-laki. Ternyata dia memperoleh cinta yang tulus dan bulat. Tanpa dia sendiri melakukan apa pun untuk memikat Kareem, pemuda itu sudah tunggang langgang jatuh cinta padanya. Dia merasa tidak pantas, tapi juga tidak berdaya menghindari perhatian yang begitu besar. Siapa yang mampu melepaskan diri dari sesuatu yang membuatnya demikian bahagia"
Cuma satu benih keraguan menyelip dalam pikirannya, sesekali. Namanya: Beti. Orangnya luwes, manis, langsing, pendeknya serbatop. Otaknya juga cemerlang. Punya gelar. Psikiater. Nah, entah sejak kapan, rasanya memang dari dulu, Katarina selalu ngeri menghadapi ahli jiwa. Batinnya merasa kurang tenteram di hadapan mereka. Seandainya mata memang betul cermin hati (bagi orang biasa), nah, apalagi bagi pakar yang sudah dilatih bertahun-tahun untuk menyelinap ke dalam lubuk sanubari orang lain, pasien atau bukan pasien.
Tapi Beti cukup rendah hati, tak pernah memamerkan kepandaiannya. Orangnya polos. Yang lebih penting lagi, dia juga orang setanah air, jadi kalau diajak bicara rasanya rileks, tak usah pusing soal bahasa asing. Khas Beti, dia selalu mengambil inisiatif pertama.
Katarina nyaris termangu ketika seorang wanita mendekatinya di ruang perpustakaan. Dia sedang kangen dengan koran tanah air, jadi masuk ke ruang baca koran di mana terdapat belasan koran dari seluruh dunia. Rupanya wanita itu melihatnya mengambil tumpukan koran KOMPAS.
"Ah, kenalkan, nama saya, Beti."
Mendengar bahasa ibu yang sudah bulanan tidak didengarnya kecuali dalam flat bersama Kareem, Katarina kemekmek dan tidak bisa langsung menanggapi. Dia menoleh, lalu bengong menatap lawan bicaranya. Tangan yang diulurkan tidak segera disadarinya, sampai akhirnya Beti menyentuhnya pelan, membuatnya sedikit terkejut, sadar, menerima uluran perkenalan dan berkata setengah berbisik, "Katarina...."
"Kau ke sini untuk berobat"" tebaknya melihat alat yang menyembul sedikit dari belakang kuping serta mendengar nada suaranya.
Katarina mengangguk. "Dari kota mana" Aku sih dari Jakarta."
"Sama." "Kapan-kapan kita harus makan ke kota. Sekalian shopping. Kau tinggal di
mana"" Katarina menyebutkan nama jalan serta nomor flat.
"Ah, itu kan tempat Kareem!" Beti membelalak seraya ketawa kecil. "Kau adiknya""
Katarina menggeleng dengan jengah. Pipinya merona merah. Beti rupanya langsung maklum dan tidak mendesak lagi.
"Sabtu depan aku jemput kau. Tapi kalau berhalangan, tolong kasi tahu. Ini nomor teleponku. Kareem juga tahu sebenarnya. Dia juga tahu alamatku." Lalu seakan ingin menenangkan hati Katarina, melihat rona pipinya yang semakin merah, ditambahkannya sepintas lalu, "Habis, namanya sama-sama setanah air. tentu saja harus saling kenal. Siapa tahu nanti salah seorang butuh pertolongan." Sambil melambaikan tangan, Beti berlalu.
Malamnya sehabis makan, seperti biasa mereka duduk di depan TV mendengarkan warta berita sambil makan apel. Kareem memeluk bahunya, ini sudah kebiasaan yang lumrah saja walau sejauh itu tak pernah lebih dari sekedar peluk-memeluk serta kecup-kecupan.
"Rim, tadi aku ketemu Beti." Diceritakannya pertemuan mereka di perpustakaan. "Kau kenal dia""
Kareem mengakak. "Siapa yang enggak kenal nenek nyinyir itu!" Tapi nadanya sama sekali bukan menghina, melainkan senda-gurau belaka. Justru membuat hati Katarina bercekat. Kalau Kareem herani ngomong ceplas-ceplus begini, artinya mereka berdua saling kenal baik.
"Nyinyir gimana"" tanyanya ingin mengeruk semua info mengenai cewek mutakhir itu. Entah mengapa, belum apa-apa dia sudah menganggapnya sebagai saingan.
"Ya seperti biasanya ahli jiwa. Mana ada psikiater yang enggak suka cerodean"!. Laa, tugas mereka memang mengorek sebanyak mungkin isi hati orang. Mereka kan dibayar untuk itu. Memang paling enak jadi psikiater kalau kita senang mencampuri urusan orang lain. Bisa nanya apa saja yang intim-intim, dan bukannya dimaki, tapi malah disodori cek!"
Kareem mengecup pipinya. Cup! "Hati-hati sama dia. Jangan terlalu banyak mengeluarkan isi hati. Hobinya justru menguras hati siapa saja yang kebetulan apes berada di dekatnya!"
"Maksudmu, kau belum pernah apes"" goda Katarina. memancing ledakan ketawa.
"Ha... ha... ha...! Bidadariku rupanya mulai pintar mengorek-ngorek masa lalu! Enggak, Neng, aku selalu siaga terhadapnya. Aku memang alergi sama psikiater, siapa saja, enggak peduli cewek atau cowok. Apalagi cewek. Apalagi yang single dan menarik."
Katarina ikut ketawa, walau dalam hati meringis. Jadi kau mengakui Beti memang menarik. Entah kenapa, mendadak pikiran itu meresahkan. Sedikit.
"Sabtu ini dia mau mengajak aku jalan-jalan. Gimana"" Dia mulai bimbang, jangan-jangan takkan berdaya melindungi diri terhadap tanya-jawab sang pakar. Semula hatinya cukup antusias. Jalan dengan cewek kan berbeda dengan cowok. Tapi kini"Gimana apanya" Pergi saja, apa salahnya. Jangan tanya aku mau ikut, enggak. Aku mau jaga menggantikan teman. Kebetulan kalau kau bisa jalan-jalan, enggak usah kesepian sendiri di rumah."
Katarina semakin yakin, Kareem sengaja menghindari Beti. Apakah keduanya pernah punya sejarah bersama" Pikiran itu membuatnya gundah sedikit, tapi tak punya akal untuk mengorek jawabnya. Maklum, aku bukan psikiater yang ahli mengorek info!
* * * Tamasya itu cukup menyenangkan dan pasti lebih meriah seandainya Kareem ikut. Beti memang lincah, membuat Katarina merasa mereka sudah teman lama, bukannya baru berkenalan beberapa hari yang lalu.
"Apa kau sekarang gembira sudah mendapat alat pendengar baru itu"" tanya Beti ketika mereka tengah menghadapi sepiring nasi campur dalam sebuah warung makan Indonesia.
"Ya. Tanpa ini. aku enggak berdaya sama sekali. Enggak bisa dengar, enggak bisa ngomong. Jadi si gagu terus."
"Aku dengar, rumit juga OP-nya."
"Memang. Mula-mula mesti dipastikan kedua kuping memang tuli. Lalu diperiksa mana yang paling tuli. Kuping itulah yang akan dioperasi. Lama OP-nya tiga jam, tinggal di bangsal empat hari."
"Mereka menyebutnya 'kuping bionik'! Hebat namanya." Beti tersenyum sambil mengangkat sebelah alis.
"Bionic ear itu terdiri atas dua bagian. Separuh ditanam di bawah kulit, yaitu implantasi cochlea serta elektrode penerima dan stimulator, separuh lagi di luar, dipasang dua
minggu selelah OP. Ini yang disebut prosesor suara dan bagian untuk di kepala. Aku mendapat model yang terbaru, mikrofonnya lebih kecil, di belakang kuping, enggak kelihatan, kan" Prosesornya bisa aku masukkan ke kantong atau dicantel ke ikat pinggang."
"Jadi enggak terlalu mengganggu!"
"Betul." Katarina mengangguk.
"Apa ada saudaramu yang juga menderita kelainan yang sama""
"Aku anak tunggal. Begitu juga ayahku. Dalam keluarga ibuku enggak ada yang tuli, tapi salah seorang bibi ayahku juga tuli. Mungkin enggak separah aku, sebab menurut cerita dia masih bisa menjadi guru."
"Hm." Beti tersenyum. "Untung baginya, murid-murid yang suka bikin gaduh enggak akan mengganggu ketenangannya."
"Tapi kemudian dia terpaksa berhenti karena penyakitnya progresif.".
"Agaknya penyakit itu menurun dalam keluarga ayahmu""
Katarina mengangkat bahu. "Mungkin. Saudara perempuan kakekku itu enggak menikah. Jadi cuma aku satu-satunya bahan bukti. Enggak ada sepupu untuk dobel-cek."
Kekawatirannya semula bahwa Beti akan nyerempet-nyerempet mempercakapkan Kareem ternyata tidak beralasan. Dia sama sekali tidak me-nyebut-nyebutnya.
"Kau kerasan di sini, Bet" Enggak kepingin pulang""
"Terang, mau. Cuma susahnya, aku sudah kebiasaan menangani pasien dalam bahasa Inggris. Psikiatri kan paling banyak memerlukan tanya-jawab. Istilah-istilahnya kebanyakan aku apal dalam bahasa Inggris, kalau mesti pakai bahasa sendiri, wah mesti mikir-mikir dulu, di kamus umum keseringan enggak ada, tuh. Tapi ibuku memang sudah gencar menyuruh aku pulang. Tahu sendiri deh, orangtua." Dia ketawa memperlihatkan sebaris gigi yang pulih rata. "Kalau anak belum kawin, enggak peduli laki atau perempuan, pasti bawel terus menguliahi. Katanya, menyesal sudah kuizinkan kau sekolah tinggi-tinggi, jauh-jauh begitu. Mau jadi apa kau enggak mau berumah tangga" Manusia kan harus kawin dan punya keturunan! Uh, ibuku bisa ngotot lho. Makanya tahun ini aku belum pulang, takut nanti enggak boleh balik lagi."
"Tapi kau kan sudah lulus""
Beti mengangguk. "Aku masih ingin menimba pengalaman dulu. Kalau nanti pulang, aku emoh diharuskan praktek sebagai dokter umum. Aku mau langsung tugas di rumah sakit sebagai spesialis begini."
"Sorenya praktek""
"Enggak penting. Aku sih jadi dokter bukan lantaran kepingin dapat duit banyak. Kalau memang mau kaya, tentunya aku akan pilih spesialisasi lain yang lebih lukratif. Selain itu, skenarionya kan aku harus married. Nah, biarlah suami yang cari duit, jadi aku enggak perlu praktek sore. Cukup di rumkit, asal bisa benar-benar menolong pasien yang membutuhkan bantuan."
"Kagum juga aku pada prinsip hidupmu. Biasanya kebanyakan orang selalu mengacu pada duit melulu. Mereka berlomba mencari dan mengumpulkan harta seakan bakal hidup seribu tahun. Aku heran memikirkan sikap orang-orang seperti itu. Buat apa sih kekayaan" Toh kita cuma bisa makan tiga kali sehari, dan aku memang takut gemuk, jadi enggak rakus."
"Kenapa heran. Jamak saja kalau orang kepingin kaya. Namanya manusia, yang penting bagi mereka biasanya kan duit, duit, duit. Makin banyak, makin wah. Soal gimana cara mendapatkannya, itu enggak jadi masalah. Pokoknya, kaya!"
"Wah, apa kau setuju orang korupsi""
"Apa aku bilang, aku setuju" Pendapatku sih enggak menarik. Yang penting, korupsi itu enggak bakal bisa dibasmi selama gaji mereka masih terlalu jauh di bawah layak. Terlalu minim."
"Kalau gaji sudah cukup, apa bisa dijamin enggak ada yang tergoda lagi" Korupsi itu kan sedap karena umumnya bisa bebas dari mata hukum."
"Rin, apa sih kriteria 'cukup' itu" Cukup bagi kita, mungkin buat orang lain cuma tibang pas. Selama barang-barang bagus terus diproduksi, selama masih ada orang-orang lain yang lebih kaya, maka manusia juga akan selalu kepingin nambah terus hartanya. Kalau enggak bisa halal, ya lewat pintu belakang. Banyak jalan ke Roma, enggak kurang jalan buat selingkuh. Enggak ada hukum mana juga yang bisa mencegah seseorang berbuat kriminal. Korupsi itu termasuk kejahatan, iya, kan" Sebab merugikan bangsa dan negara. Tapi pembunuhan dan perkosaan juga kejahatan. Pelakunya
malah ada yang dihukum mati. Ternyata enggak bisa membendung orang-orang yang punya aspirasi serupa."
"Aku jadi bingung. Kalau enggak salah tangkap, kau ini sudah pesimis. Keadaan dunia enggak bisa diperbaiki. Korupsi akan terus merajalela walau gaji sudah bagus. Jadi apa gunanya mau dicukupi" Misalnya pegawai negeri""
"Yah, dengan harapan orang akan takut kehilangan gaji yang sudah bagus itu, jadi menjauhi korupsi. Ini bisa terjadi kalau orang tahu, setiap koruptor akan dihukum. Kalau hukum cuma untuk diapalkan dalam ruang kuliah tapi enggak berusaha dipraktekkan semaksimal mungkin, korupsi enggak akan bisa diberantas."
"Pembunuhan, perkosaan, perampokan juga."
"Ya. Selama hukum masih bisa ditawar atau dibeli."
"Teroris juga."
"Tentu." "Kenapa ya ada orang yang sanggup menjadi teroris" Menghancurkan diri sendiri, padahal diri kita ini bukan milik kita. Jiwa dan tubuh kita kan milik Tuhan, bukan" Cuma Tuhan yang berhak mencabut nyawa kita, bukan""
"Itu pelajaran di bangku sekolah, Rin. Dalam praktek, dunia ini seperti siang dan malam dibanding sama ruang sekolah. Berapa banyak dokter yang setuju untuk menyetop pengobatan atas permintaan pasien yang merasa enggak sanggup lagi menderita penyakit yang enggak tersembuhkan. Mereka begitu gampang melupakan sumpah Hipokrates waktu pelantikan."
"Bet, kenapa kau enggak mau jadi S.H. saja" Kau begitu pintar ngomong, perhatianmu tertuju pada banyak topik yang enggak pernah singgah di kepalaku kecuali pada saat warta berita TV," ujar Katarina kagum.
Beti tergelak. "Kenapa aku enggak mau jadi S.H." Karena aku enggak mau duit! Karena aku masih menghargai diriku sendiri. Aku ogah dibayar orang yang terang-terangan melanggar peraturan dalam usahanya-entah impor, ekspor, perbankan, pabrik-tapi kepingin bebas. Atau orang yang betul-betul bersalah, tapi karena punya kedudukan, merasa berhak mengabaikan hukum dan pengacaranya mati-matian membuktikan dia enggak bersalah dengan imbalan segunung. Aku malu kalau terpaksa ngemis seperti itu. Di mana harga diriku, menjual kebenaran demi duit! Mendingan aku dengarkan ocehan orang-orang yang sinting atau depresi atau gila benaran...."
"Betul kau enggak suka duit""
"Susah dipercaya" Rin, kalau aku kepingin kaya, aku pasti spesialisasi di bidang lain. Misalnya, bedah kosmetik yang paling digandrungi oleh orang-orang modern. Mereka kepingin awet muda. Nah, dengan gampang aku yakinkan mereka, skalpelku bisa menguras sepuluh-dua puluh tahun dari wajah mereka. Pasti uang akan mengalir seperti pasir ke dalam kocekku. Tapi aku cuma ingin membantu manusia-manusia malang yang memang betul-betul enggak berdaya menolong diri sendiri, yaitu pasien-pasien penyakit jiwa. Soal duit" Bukan aku alergi, tapi itu mau aku serahkan ke tangan suami. Adil, dong. Aku enggak mau kawin sama orang yang enggak bisa cari duit."
"Gimana kalau kau jatuh cinta sama orang yang miskin""
"Rin, kau memang kelewat lugu. Cinta itu cuma bagus di atas piano, dalam CD, sewaktu kita masih di bangku sekolah. Merdu di telinga, mesra di hati. Belum perlu memikirkan soal nafkah, semua masih dicukupi orangtua. Tapi kalau sudah harus berdikari, wah! Kawin itu bukan soal main-main, tanggung jawabnya berat, enggak enaknya banyak buat kita, wanita. Laki-laki itu memang pembawaannya sok ngatur, maunya dilayani, diperlakukan kayak raja tanpa mahkota. Waktu masih pacaran atau bergaul biasa saja maunya sudah dominan terus, apalagi kalau nanti sudah resmi suami-istri. Memang salah wanita juga sih. Ibu-ibu cenderung untuk memanjakan anak laki-laki, enggak perlu ke dapur, enggak perlu bantu menyapu. Abangku enggak becus masak nasi, apalagi bikin lauk pauk. Nah, kalau aku mau dikacungi suami, pantas kan aku minta imbalan. Dia harus sanggup mencukupi kebutuhanku. Di segala bidang! Seks. Moneter."
Sementara mendengarkan ocehan Beti, dalam benak Katarina timbul pergolakan. Mendadak dia merasa perlu membela Kareem yang sama sekali tidak sesuai dengan gambaran tersebut.
"Apa kau enggak terlalu menyamaratakan semua cowok""
"Maksudmu, ada kekecualian" Siapa misalnya""
"Kareem!" cetusnya tanpa be
rpikir lagi. Begitu melihat seringai Beti, dirasakannya pipinya panas. Dia merasa tolol sekali, seperti anak ingusan masuk perangkap yang memang sejak tadi sudah menunggunya.
"Aha, pertapa itu!!!" Beti mencibir seraya mengaduk cappuccino dalam cangkirnya, lalu membawanya ke bibir.
"Pertapa" Alasanmu"" Seakan tersihir, Katarina juga ikut-ikutan mengaduk kopinya walau tidak dihirupnya. Dia terlalu tegang menunggu jawaban.
"Orang yang enggak butuh apa-apa, pertapa kan namanya" Tak acuh saja sama orang lain. Dia enggak perlu makan, enggak perlu bergaul, enggak perlu segala apa deh."
Kembali hatinya berontak, merasa perlu membantah pendapat yang keliru itu. Sekali ini dia lebih hati-hati. "Apa kau pasti dia memang begitu""
"Hm. Coba bilang, apa dia pernah mendekatimu" Memegang tanganmu" Mengecupmu""
Katarina merasakan pipinya panas lagi saking jengah. Dia ingin sekali berterus terang menjawab "ya", tapi merasa malu.
"Barangkali kau kurang mengenalnya!"
Dibakar Malu Dan Rindu Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sedangkan kau lebih"!" ujar Beti setengah menyindir, ketawanya sumir sekali. Jari-jarinya terjulur ke depan mengelus tangan Katarina yang tergeletak lesu di samping cangkir.
"Jangan takut, aku enggak akan menanyakan detil-detilnya!"
Entah terpacu oleh sindiran terselubung itu atau memang ingin membela Kareem, mendadak sudah tercetus begitu saja dari bibirnya, "Enggak ada yang perlu aku rahasiakan!"
"Nah, kan terbukti kau juga enggak pernah diapa-apakan olehnya""
Goblok kau! Kena lagi dijebak olehnya, dipaksa mengakui apa yang enggak mau kaukatakan. Yang bukan haknya untuk diketahui.
"Rin, percayalah padaku, laki-laki itu biasanya perlu seks. Kalau dia berlagak jadi pertapa, itu berarti dua. Dia kurang normal atau kitanya dianggap kurang menggairahkan! Apa kau sudi diapkir kayak gitu" Aku sih terang merasa terhina!"
"Tapiii, kalau orang belum menikah..." ujarnya terkejut.
"Rin, Rin, Rin!" Beti tergelak membuat Katarina menyembunyikan wajahnya ke balik cangkir yang cepat-cepat diangkatnya ke bibir. Suara penuh ria itu mengaduk-aduk sanubarinya, membuatnya merasa pandir tanpa pengalaman.
"Zaman sekarang orang enggak peduli lagi dengan surat kawin kalau sudah tertarik. Itu kan cuma proforma, secarik kertas bisu, enggak bisa melindungi kita kalau suami kepingin cerai atau kawin lagi atau memperlakukan kita secara kasar."
Katarina semakin yakin ada apa-apa di antara Beti dan Kareem. Mereka pernah terlibat asmara" Lalu Beti sakit hati"
"Kau membuat aku jadi takut kawin!" cetusnya sambil ketawa, mencoba mengurangi keseriusan suasana.
"Aha! Sudah ada calon""
"Belum! Menurutmu, apa sebaiknya aku pasang iklan, terus terang mencari calon kaya""
Beti ketawa geli. "Laki-laki lebih takut cewek yang mata duitan daripada kita ketakutan terhadap cowok yang mata keranjang."
"Jadi"" "Eh, kenapa enggak mau kautanyakan pada Kareem" Aku masih kurang jelas dia itu apamu, tapi aku enggak akan tanya-tanya."
Dan aku juga enggak akan kasi tahu! Katarina menanggapi dengan senyum yang sama manisnya. Dalam hati dia ingin sekali tahu ada apa di antara kedua orang itu. Namun sampai pertemuan bubar, Beti sama sekali tidak menyebut lagi nama Kareem.
Malamnya, selesai makan, mereka nonton TV. Ketika pulang tadi sore, Kareem cuma bertanya sepintas lalu, "Nah, senang sudah jalan-jalan""
"Iya. Tapi juga capek," sahutnya jujur. Lima jam mondar-mandir, bolak-balik, kalau diukur entah sudah berapa kali mengitari lapangan Monas tuh. Keluar-masuk toko, jalan dari ujung kota ke ujung lain. Cuma terakhir istirahat makan dan minum kopi.
Katarina merasa agak heran kenapa Kareem tidak mau bertanya lebih melit soal rekreasi itu. Enggak peduli apa yang dibicarakan oleh Beti" Atau merasa enggak berhak nanya" Tapi aku ingin tahu ada apa antara mereka berdua!
"Rim, apa Beti pernah sakit hati padamu""
Kareem menoleh, wajahnya tampak sedikit terkejut. "Aku enggak tahu. Kenapa kau bilang begitu""
"Dia mengatai kau 'pertapa'. Kenapa""
Kareem menggaruk kepalanya, tersenyum meringis. "Mungkin lantaran dia pernah mendekatiku, tapi aku tolak."
"Kenapa kautolak" Enggak usah dijawab kalau keberatan. Aku engg
ak berhak tahu." "Enggak ada yang rahasia untukmu. Aku tolak sebab aku enggak tertarik sama cewek yang terlalu bebas."
Hm, jadi Beti terlalu bebas! Sebebas apa" Dia tak berani bertanya.
Kareem memeluk bahunya. "Apa dia tanya kau ini apaku""
"Dia memang menyinggung soal itu, tapi enggak berani nanya dan aku juga enggak mau ngasi tahu."
"Bagus. Kau enggak usah pikirkan dia. Aku enggak pernah punya hubungan dengan siapa juga. Kaulah yang pertama dan terakhir." Kareem menunduk, memegang dagu Katarina. dan mengecup kedua pipinya. Itu memang hobinya. Katanya menggemaskan, mirip pipi dakochan, boneka Jepang yang pop tahun 60-an, rupanya ibu asuhnya punya satu.
Suatu perasaan yang tak dapat diungkapkannya dengan kata-kata melanda dirinya, membuatnya terbang ke awang-awang, kepalanya terasa ringan, pikirannya seolah melayang jauh. Tapi cuma berlangsung sesaat, paling tidak menurut perasaannya. Kareem sudah mengangkat kembali kepalanya dan mendekapnya semakin erat.
"Aku sangat mencintaimu, Rina," bisiknya ke telinganya. "Jangan tinggalkan aku."
Bab 22 Senin, karena tak ada kerjaan, Katarina menyambung bacaannya. Buku Harian Karla:
"Dok," kataku sedikit gemetar. "Ibu Urti menanyakan kapan dia boleh pulang."
Dokter Anwar mengangkat kepala dan menatapku seakan melihat makhluk ruang angkasa yang kesa-sar. Kemudian dia mengejap sekali dan matanya lebih terfokus. "Kita masih menunggu hasil biakan kuman."
Bangau Sakti 21 Runtuhnya Gunung Es Karya Sherls Astrella Jago Kelana 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama