Dijemput Malaikat Karya Palris Jaya Bagian 1
Dijemput Malaikat Oleh: Palris Jaya Bagas mendadak muncul dengan wajah garang. Pintu yang baru dibuka, dibantingnya hingga membentur dinding dengan bunyi menggelegar. Bingkai-bingkai foto di dinding dan pajangan kristal di rak kecil, di sudut ruangan, bergetar serempak. Untung tidak ada yang jatuh dan pecah berantakan Lebih untung lagi. tidak ada Papa dan Mama.
"Mana Belly"!" serunya kasar. Setelah itu kembali mulutnya mengatup rapat, bibirnya membentuk garis-garis keras. Aku buru-buru membereskan alat-alat lukisku yang bertebaran di karpet, sebelum kakinya menyentak kasar, menyapu semuanya.
Dengan sudut mataku, aku sempat melirik Bagas bagai elang melesat ke lantai atas. Tetapi, meninggalkan hentakan seperti kaki gajah, berdebam. Hentakan itu menggetarkan jantungku, mengisyaratkan sesuatu yang buruk akan terjadi. Langkah kaki Bagas semakin tajam menghunjam dadaku. Aku mengkeret. bersimpuh di karpet dengan dua belah tangan penuh pensil warna bertaut di depan dada. berusaha meredam kecemasan
Setiap detik berlalu terasa menyiksaku. Kenapa waktu terasa sangat enggan bergerak dalam ketakutan begini" Selalu begitu, jika Bagas sudah mengamuk dan meledakkan amarahnya. Sungguh, aku tidak suka melihat Bagas begitu. Tetapi, justru Bagas sering berlaku seperti itu. selalu karena aku"
Mungkin sejak kami lahir. Bagas membenciku. Bagas hanya beberapa menit lebih tua daripada aku.
Banyak hal yang membuat dia marah, ada pada diriku. Tetapi, seharian tadi aku merasa tidak membuat kesalahan. Meski seringkah aku membuat Bagas gusar hanya dengan melirik sedikit, hunjaman matanya selalu memandang jijik kepadaku.
Aku tersentak. Cairan hangat merembes dari kedua sudut bibirku yang tidak becus mengatup. Iler! Salah satu hal yang paling dibenci Bagas atas diriku. Aku buru-buru mengusapnya dengan kedua ujung bahu bajuku secara bergantian. Mendadak, aku terlonjak. Ingat sesuatu. Mama. Papa .... Belly!
Entah mendapat kekuatan apa aku menghambur ke lantai atas. menyusul Bagas. Tidak kupedulikan pensil-pensil warna kesayanganku terpelanting ke mana-mana Aku tertegun begitu sampai di ujung tangga. Mataku yang kecil dan selalu berair membelalak ketakutan. Hingga aku lupa. iler kembali berle lehan dari mulutku yang menganga. Aku lupa. Bagas membenci hal itu!
Bagas menggedor pintu kamar Belly dengan kepalan tangannya yang besar Sesosok tubuh kurus langsing merapat di sela pintu yang terkuak itu. Belly masih belum mengganti pakaiannya ketika pergi tadi. Mungkin belum sempat karena tidak lama berselang. Bagas datang dengan wajah perang.
"Eh. brengsek, lo!" Serta-merta tangan kuat Bagas telah mencengkeram leher baju Belly. Tubuh kecil cowok itu terseret tanpa berani melawan sama sekali.
"Lo ngapain di Plaza Indonesia tadi. hah!!!" Bagas menghardik dengan suara yang menggelegar.
"Maen..."jawab Belly dengan suara bergetar ketakutan.
"Ya. gue tahu! Tapi. lo nggak perlu menyapa gue di depan teman-teman gue! Apalagi sampe berkenalan sama temen-temen cowok lo yang centil-centil itu!" Kali ini. Bagas mengguncang-guncang tubuh Belly dengan kasar.
"Mmma ... af" "Lo tau nggak. heh" Sejak dulu gue udah nggak suka sama tingkah to yang ganjen itu! Sekarang lo bikin malu gue di depan temen-temen gue! Gue diledek habis-habisan, semua gara-gara lo! Hah'" Tangan Bagas siap melayang, menghajar Belly yang tampak begitu kerdil.
Sebuah kekuatan menyuruhku untuk menyelamatkan Belly.
Aku berlari menubruk Bagas, berusaha menarik tangannya yang sebentar lagi mendarat di kepala Belly. Aku menjerit-jerit histeris meski aku tahu yang keluar dari tenggorokanku hanya ceracauan yang tak jelas artinya.
Jelas. Bagas gusar sekali dengan apa yang aku lakukan. Namun, aku tidak peduli. Aku terus mendorong tubuhnya yang besar agar menjauh dan melepaskan Belly. Aku berhasil. Dengan sekali sentakan, tubuh Belly terhuyung ke dinding. Dengan berani.
aku balas tatapan Bagas yang memandang kami penuh kebencian.
"Hah!!! Aku benar-benar muak dengan kalian berdua!" Setelah itu. Bagas pergi meninggalkan langkah yang menghentak-hentak ketika menuruni tangga. Kemudian, terdengar pintu dibanting lalu d
eruman motor. Hening. Sebuah isakan kecil membuat aku menoleh. Belly buru-buru mengusap matanya Kemudian, dia masuk kamar lagi dan meninggalkan aku yang tergugu sendiri. Tanpa kusadari, air mata telah membasahi pipiku, berlomba-lomba dengan ilerku yang terus ber-lelehan.
"Belly besok datang dan akan tinggal bersama kita." ujar Papa begitu menyelesaikan makan malamnya. Beliau sepertinya meminta tanggapan kami berdua. Bagas hanya mendengus pelan sambil terus sibuk dengan suapannya yang tergesa-gesa. Aku tersenyum senang mendengar berita itu.
"Erika. rapikan remah di pipi kamu." tegur Mama lembut. Kurasakan Bagas melirik tajam. Aku buru-buru menyapukan celemek yang selalu diikatkan Mama sebelum makan di leherku. Entah kenapa, aku tak pernah bisa rapi kalau makan. Padahal, aku telah berusaha keras untuk tidak meninggalkan remah-remah di sekitar mulut dan pipiku.
Apakah bentuk rahangku yang tidak normal" Sehingga pertumbuhan gigiku sangat berantakan dan jelek sekali" Ditambah dengan sepasang bibir tebal dan selalu basah, yang untuk mengatup dengan benar saja sangat susah. Jadi. bisa dibayangkan jika aku makan, selain remah yang menempel di sekitar mulut dan pipi yang tembem kendor juga sisa sisanya yang akan bertebaran di mana-mana. Padahal, aku selalu berusaha makan serapi mungkin.
Akan tetapi, entah kenapa setiap suapanku selalu saja berantakan Dan aku sadar sekali. Bagas selalu menahan jijik bila makan bersamaku.
Aku kembali sibuk mengingat-ingat, membayangkan Belly, anak Tante Lisda. adik Papa dari Padang. Aku menghitung-hitung jari tanganku .... wah. sudah sepuluh tahun kami tidak bertemu!
Aku ingat betul ketika kami sekeluarga diajak Papa pulang ke Padang begitu mendapat kabar bahwa nenek meninggal dunia. Lalu. kami bertemu Belly dan menjadi akrab karena kami sama-sama berumur tujuh tahun.
Tetapi, aku justru lebih dekat dengan Belly karena Bagas pelan-pelan suka menghindari Belly. Aku diam-diam tidak menyukai sikap Bagas itu. Jika dia memang membenci aku. dia tidak boleh juga menjauhi Belly karena lebih akrab denganku. Belly pernah mati-matian berkelahi dengan anak-anak kampung ketika mereka mengolok-olokkan diriku.
"Idiot... idiooot. Idiooot...!"" Mereka berteriak-teriak dengan semangat melihat aku kesusahan melepaskan kaleng bekas yang diikatkan pada tali pita bajuku. Aku tidak menghiraukan ketika seorang anak menyiramkan segenggam tanah ke atas kepalaku karena aku sibuk mengejar anak yang lain. yang melarikan sendalku lantas melemparkannya ke genangan kubangan becek.
Tanpa berpikir panjang, aku memburu ke sana dan sebuah dorongan kuat membuat aku terjun ke kubangan becek itu. Aku langsung menangis meraung-raung keluar dengan tubuh penuh lumpur. Anak- anak nakal itu tertawa kegirangan.
Tiba-tiba Belly datang dan menyerang anak-anak itu. Belly tidak takut meski dia dikeroyok dan babak belur. Aku hanya menonton sambil sesenggukan. Barulah setelah guru mengaji mereka kebetulan lewat, anak-anak itu lari pontang-panting. Dengan wajah lebam dan baju compang-camping. Belly memapah aku pulang. Di balik serumpun pohon pisang, kulihat Bagas memandang kami tanpa perasaan. Aku rasa. dia memang sangat membenciku.
Akhirnya Belly datang, tetapi rentang waktu yang sepuluh tahun membuat aku pangling pada sosoknya Sosok yang berdiri di ambang pintu itu memang Belly. Tubuhnya kecil langsing, berbalut kemeja ketat yang
bercorak "heboh" seperti lengket di tubuhnya. Rambutnya cepak dan sedikit jambul yang menyisa di ujung kepalanya. Kacamata berbingkai hitam tebal menyangkut di hidungnya yang mancung. Wajah Belly begitu bersih. Namun, aku merasakan Belly begitu berbeda dengan Bagas atau Papa. Dia terlihat "lain".
"Hai. Erika! Apa kabar"" Tiba-tiba Belly mencium pipiku yang gembil tanpa merasa jijik. Kemudian Belly menyalami Papa dan Mama bergantian. Tetapi. Bagas hanya mendengus membalas sapaan Belly. Sepertinya Belly tidak tersinggung, lalu dia naik ke kamarnya di lantai atas.
"Belly akan mendalami keterampilannya dengan mengikuti sekolah kecantikan dan kepribadian di sini. Di Padang. Belly sudah memiliki salon sendiri." ujar Papa sepert
i memaklumi "keterpanaan" kami tentang sosok Belly yang di luar "perkiraan". Sementara aku sibuk mengendus-endus aroma yang masih ditinggalkan Belly. Wangi....
"Banci memang bekerja di situ!" desis Bagas tertahan, lantas pergi begitu saja tanpa menghiraukan teguran Papa dan Mama. Kemudian terdengar deruman motor yang dilarikan dengan kesal
"Bagaimanapun juga. Belly adalah bagian dari keluarga kita. Kita harus menghargai keberadaannya dan menghormatinya karena Belly mempunyai hak untuk itu. Buktinya, seusia itu Belly sudah mampu berkarya dengan bakat dan kemampuan yang dia miliki." kali ini Mama yang bicara setelah beberapa bulan Belly tinggal bersama kami. Ada bangga terselip di-antara kata-kata Mama karena Belly memang luar biasa.
Saat ini. Belly diundang untuk demo kecantikan di sebuah hotel elite sebagai peserta termuda, sekaligus menangani tata rias pada peragaan busana seorang perancang beken.
Aku tahu. ucapan Mama lebih ditujukan kepada Bagas. Hingga saat ini. dia masih belum bisa bersikap "baik" kepada Belly. Bagas sengaja menjaga jarak dan terlihat tidak menyukai kehadiran Belly. Mungkin, dia juga membencinya. Aku tidak tahu siapa yang lebih dibenci Bagas, aku atau Belly. Baginya, aku dan Belly adalah arang di kening atau malu yang patut disembunyikan.
Aku tahu. Bagas tidak suka Mama menyindirnya Aku pura-pura sibuk dengan lukisanku, menahan diri tidak meliriknya. Kalau terlihat aku meliriknya, dia akan balas mendelik buas kepadaku. Bagas mendengus kasar dan pergi begitu saja sambil membanting remote televisi. Kurasakan Mama mengusap kepalaku sambil menghempaskan napas sedih. Padahal, sungguh, aku sangat menyukai kehadiran Belly. Diam-diam. Belly suka mendandani aku!
"Lihat. Erika. kamu manis sekali, bukan"" ujar Belly berbinar-binar begitu selesai mendandaniku. Aku mengangguk kuat-kuat sambil tertawa-tawa di depan cermin. Aku sangat menyukai potongan rambutku yang baru. Belly yang mengerjakannya.
"Kamu sudah besar. Erika. Jadi harus bisa merawat diri. dan juga belajar dandan. Siapa tahu. nanti ada cowok yang naksir kamu lantas ngajak nikah meski aku tidak mengerti seluruhnya maksud ucapan Belly, tetapi melihat dia tertawa cekikikan, aku ikut tertawa. Hingga tanpa sadar, iler telah berlelehan di kedua sudut bibirku. Refleks, aku bersiap mengusapnya dengan ujung bahu bajuku.
Eh stop! Ingat. Erika. kamu sudah gadis remaja! Jangan jorok begitu. Ingat, ya"" Belly buru-buru meraih saputangan kecil dari kantong bajuku. Akhirnya dengan tersipu-sipu. aku menerima saputangan itu. Belly sengaja memberi aku saputangan beberapa lusin sekaligus, dan wanti-wanti mengingatkan aku untuk selalu menggunakannya. Karena kata Belly, sebagai gadis remaja aku tidak boleh jorok.
Sebagai gantinya, aku memberikan Belly sebuah lukisan mawar kesayanganku. Belly gembira sekali menerimanya. Belly memberi bingkai yang indah pada lukisan itu. dan memasangnya di dinding kamarnya.
Tetapi, kebaikan dan perhatian Belly bukan itu saja. Suatu hari. tiba-tiba aku terkejut mendapatkan kamarku sangat rapi dan berubah. Bedcover-nya telah diganti dengan warna yang lebih cerah, juga sarung
bantalnya. Tetapi yang membuat aku ingin menangis, semua lukisanku telah dipasang di dinding kamar. Semuanya telah dibingkai dengan indah, membuat aku tidak yakin itu adalah lukisan lukisanku sendiri.
"Aku merasa sayang jika lukisan-lukisan kamu ditumpuk begitu saja. Kamu boleh mengubah semuanya bila tidak suka." ucap Belly yang sudah berdiri di ambang pintu kamarku. Aku hanya bisa menggeleng dengan gumaman tidak jelas keluar dari mulutku.
"Selamat ulang tahun. Erika...." ujar Belly kemudian. Aku langsung menghambur memeluk Belly dengan haru dan bahagia yang tidak terkira.
"Oh. ya. aku juga menyiapkan hadiah untuk Bagas. Nanti kita letakkan di meja belajarnya."
Betapa tulusnya Belly. Meski Bagas tidak pernah menyukai dirinya, tetapi dia tidak pernah membenci Bagas. Sungguh, aku sangat menyayangi Belly....
Akan tetapi, sekarang semuanya menjadi lain. Bagas telah benar-benar melukai hati Belly.
"Aku harus pergi. Erika getas Belly dengan mata memerah. Dia telah selesai
membenahi kopernya dan sebuah ransel besar tersangkut di punggungnya. Aku menggeleng keras-keras, terus menangis sesenggukan, masih bersimpuh di depan kamar Belly.
Aku ingin melarang dia pergi.
Aku menyayangi dirinya. Tentu, aku akan sangat kehilangan. Aku ingin mengatakan semuanya! Tetapi, cuma lenguhan tersendat-sendat yang terlontar dari mulutku.
"Nghhh... ounghhh... nghrhhb....."dan iler kembali berlelehan dari mulutku, selalu begitu. Aku jadi melupakan nasihat Belly bila tegang dan tertekan begini.
"Maafkan aku. Erika. Meskipun kamu. Papa. Mama menyayangiku, tapi Bagas memang berhak membenciku. Bukankah aku sudah mencoba untuk bersabar"" balas Belly tertahan. Mungkin, dia juga ingin mengeluh. Belly mengusap ilerku dengan ujung lengan bajunya. Aku lupa di mana saputangan kecilku.
"Tolong, berikan surat ini untuk Papa dan Mama. Aku minta maaf tidak bilang dulu
Akhirnya, setelah menepuk lembut pipiku. Belly benar-benar pergi. Aku tidak punya kekuatan untuk menahannya.
Semuanya benar-benar kacau, setelah Bagas ikut-ikutan menghilang. Aku lantas mengira dia menyesali sikapnya atas kepergian Belly. Sudah satu minggu lebih, dia tidak pulang atau memberi kabar, membuat Papa dan Mama panik. Malah. Mama sering mengigau memanggil Belly dan Bagas. Papa hanya bisa menghibur Mama. mungkin juga dirinya sendiri, nanti Bagas dan Belly akan ditemukan atau pulang sendiri
Sedangkan aku" Aku hanya bisa menghibur diriku sendiri dengan lukisan-lukisanku. Aku berjanji untuk tidak melupakan nasihat Belly agar menggunakan saputangan kecil untuk membersihkan ilerku. Aku sering mendapati Papa dan Mama diam-diam memandangi aku yang tengah asyik melukis, seperti meminta penjelasan apa yang sebenarnya terjadi tanpa sepengetahuan mereka.
Tetapi, apa yang bisa aku perbuat" Apa yang dapat aku katakan"
Ugh bulan puasa ternyata memang bulan yang penuh godaan. Padahal. Pak Ustad pernah bilang, semua iblis penggoda sedang dikerangkeng. Tetapi, keinginan untuk bikin batal kok. ya nggak ada habis-habisnya. Kan sudah banyak larangan yang sebenarnya nggak boleh dilakukan di bulan puasa kalo nggak ingin puasanya batal.
Misalnya, nggak boleh ngegosip. Padahal tuh bahan gosip, kenapa lagi banyak-banyaknya di bulan puasa. Kayak Friska yang baru jadian sama Todi. Padahal. Todi baru mutusin Tania. Atau. tiba-tiba Uli yang nggak masuk-masuk selama seminggu, eh .... kabar-kabarnya dia terkena BBA alias bunting by accident! Hih!
Selama bulan puasa, jangan deh main-main ke mal. Nggak boleh histeris ngeliat cowok-cowok keren yang bertebaran. Nanti puasanya tidak bernilai. Lantas, apa mesti bertapa di dalam rumah" ya. nggak juga. Kan. banyak yang dapat kita kerjakan, seperti tidur yang dinilai ibadah, apalagi kalau diisi dengan kegiatan yang lebih bermanfaat semisal tadarus Al-Quran. Tetapi, jangan bikin Mama sirik lantaran kita nggak mau ngebantuin beliau kerja di dapur.
ya. kalau emang pingin puasa kita ada nilainya, yang penting kita ikhlas dan tulus beribadah. Kita mesti menahan diri dari godaan, seperti Nina yang sore itu sedang terlelap di kamar Niken Dia nggak tergoda bangun meski Niken udah ngilik-ngilik
hidung Nina pake benang. Padahal Niken tahu. sirik ngeliat orang tidur nggak baik.
Akhirnya Niken capek sendiri, ia juga mulai bosan. Heran. Nina kok bisa pulas begitu. Tadi pas Nina nge-bel mau datang. Niken girang banget. Dia rasanya udah kangen banget sama suara Nina. Soalnya, bibirnya terasa udah tebal nggak ngobrol-ngobrol bareng Nina. Sebenarnya dia pingin ngegosip. Nina kan. partner ngegosip yang asyik.
Tetapi dengan cuek Nina bilang. Tidak ada gosip hari ini. Mulut kita lagi bau!" Niken hanya melongo. uh. dasar Nina!
"Huuu ... huuu ... huuu ...!"
Tiba-tiba saja Nina menangis dalam tidurnya. Niken sibuk menepuk-nepuk pipi Nina. Tetapi, anak itu masih menangis dengan sedihnya. Maka. Niken pun berniat menepuk pipi Nina pake botol kecap cap Bango. tetapi nggak tega. Akhirnya, dia memencet hidung Nina bikin dia megap-megap.
"Lo kenapa"" tanya Niken.
"Gue ngimpi. Sedih banget. Kayak beneran." jawab Nina sambil menepis tangan Niken dari hidungnya. Napasnya
ngos-ngosan. Nina buru-buru mengelap air matanya, dan juga keringat yang meleleh di jidatnya.
"Itulah akibatnya suka tidur sore-sore." ujar Niken sok "bijak, "kamu terkena mimpi buruk."
Memang, siang tadi dua anak itu mengeram terus di kamar Niken yang luas. Mereka baca-baca majalah.
dengerin musik, tidur-tiduran. ngisi TTS. main tebak-tebakan, atau kalau udah bosan, main petak umpet. Tempatnya, ya di kamar itu juga. Jadi. nggak seru sama sekali.
Apa serunya ngumpet di balik meja belajar, atau ngumpet di balik tempat sampah" Kalau nggak, dalam lemari. Jadi. dua anak itu cepat bosan lagi. Mereka nggak tau gimana ngisi liburan puasa kali ini. Lama-lama terasa ngebosen n Pernah juga sih. coba-coba ngisi bak mandi, tetapi yang ada malah pegel. Hihihi
"Emang Lo ngimpi apaan" Sampe sedih kayak film India begitu." tanya Niken lagi.
"Pokoknya sedih banget, deh. Gue jadi anak gelandangan yang ngamen. Gue sebatang kara. terus duit ngamen gue dirampas, padahal buat gue beliin makanan. Bayangkan, gue meringkuk sendirian di pojok gudang, mana hujan-hujan lagi." cerita Nina sendu. "Kayaknya gue malaaang banget, tapi untung cuma mimpi."
Tiba-tiba. Niken menatap Nina serius. Kemudian menarik napas sebelum bicara. "Lo percaya nggak dengan penelitian para ahli. yang mengatakan mimpi merupakan refleksi diri kita" Bahkan, masa lalu kita yang muncul kembali""
"Maksud lo. gue ini dulunya emang bekas gelandangan"" balas Nina memelas.
Niken mengangguk mantap. "Bisa jadi lo dipungut Mami ama Papi lo sekarang. Lalu mimpi itu muncul setelah mengendap-endap bertahun-tahun di dasar pikiran elo. Demikian yang pernah gue baca."
"jadi... jadi gue ini dulunya gelandangan yang di pungut anak""
"Gue nggak mastiin begitu. Lo-nya aja yang ngera-sa begitu."
"Huaaa ... a a... aaa ....'"Nina malah nangis tambah kencang. Bikin Niken panik.
"Eh. lo diem. dong. Cup. ya" Cup... cup... cup. periuk bejana sumping dari Jawa.... Gak bisa dijual!" Niken kalang kabut ngediemin Nina, sampe nyanyi segala. "Udah. dong. Na. ntar puasa lo batal. Kan. bentar lagi beduk buka."
"Emang mau buka. ya" Hihik... hihik'." ujar Nina terisak.
"Iya. lo pulang, gih." usir Niken sadis.
Nina bengong. Kok. nggak ditawarin buka puasa bareng" Uh. dasar medit! Gumam Nina mendumel. Kan. ngasih orang buka puasa bakal dapal pahala.
Nina beranjak pulang seperti orang linglung. Di teras depan, dia bertemu papa Niken sedang bermain catur sendiri, sambil nunggu waktu berbuka.
"Om. pulang dulu." sapa Nina basa-basi sebelum sampe ke sepeda balapnya.
"Ya. buruan. Udah keburu buka. lho." balas papa Niken cuek. Nina bengong. Kok. gak ditawarin buka puasa juga" Uh. anak ama bapak sama meditnya!
Akhirnya. Nina langsung menyambar sepedanya sambil misuh-misuh dalam hati. Hihihi. salah sendiri ngarepin!
Tiba-tiba. di siang bolong yang terik itu terdengar lengkingan menyayat hat Suara itu berasal dari depan televisi.
"Huaaa ... haaa ... aaa!'
Mama yang asyik mengaduk adonan kue ketan terperanjat. Lantas, buru-buru mencari sumber bunyi (cie. kayak pelajaran Fisika) yang sember itu. Tangannya penuh tepung dan berceceran di lantai.
"Nina, apa-apaan sih kamu. bikin orang kaget saja!" hardik Mama galak Mama menemukan Nina sesenggukan di depan televisi.
"Ada perang. Ma. Di Palestina." jawab Nina sambil terisak.
"Perangnya entah di mana. histerisnya di sini." omel Mama nggak mau tahu. "Itulah akibatnya kese ringan nonton tivi!"
"Kan. kita sesama umat manusia nggak boleh perang. Ma. Kalo perang sama Papa gara gara uang jajan nggak pa-pa." alasan Nina bandel. Sementara penyiar televisi yang manis sibuk melaporkan berita perang itu. "Kasihan, anak-anak korban perang itu." gumam Nina sambil menghapus air matanya.
Udah udah gak usah dipikirin. Ayo. bantuin Mama bikin kue keju buat Lebaran besok!'
"Kan. Nina lagi puasa. Ma
"Nina! Siapa yang ngajarin kalo puasa nggak boleh bantu orangtua"" bentak Mama galak. "Heran, anak zaman sekarang nggak bisa dibilangin. Liburan maunya nggak ngapa-ngapain. Kan. liburan puasa itu dikasih biar bisa bantuin orangtua." Mama masih ngo-mel. mumpung lagi nggak puasa.
"Salahnya sendiri ngapa
in dikasih libur. Coba kalo nggak libur, berarti nggak perlu bantuin orangtua." bantah Nina badung. Tetapi, langsung mingkem begitu kupingnya disentil Mama. Hihihi....
"Semalam aku mimpiii ...!" Di dapur terdengar musik dangdut yang disetel Bi Salamah. Tiba-tiba. Nina jadi inget mimpinya waktu itu. yang belakangan bikin dia jadi gampang terharu, nangis dan histeris begitu dia ngeliat anak kecil yang menderita. Kemarin pas di jalan, dia ngeliat anak kecil kejeduk bola. malah dia yang nangis guling-gulingan. Bikin si Anak Kecil itu heran dan gak jadi nangis.
"Ma. emang Nina anak pungut, ya"" tanya Nina di dapur. Tangannya mainin adonan kue Mama jadi berbentuk jempol Papa. terkadang bentuk kucing, terkadang bentuk hidung....
"Siapa bilang"" heran Mama ditanya begituan. Jidatnya yang keringatan berkerut.
Ah. nggaaak.... cuma nanya doang. Soalnya, kok Nina nggak mirip Mama."
"Nggak, kamu bukan anak pungut. Memang kamu nggak mirip Mama yang manis ini. Tetapi, lebih mirip si Papa yang jelek!" jawab Mama cuek. Bi Salamah cekikikan. Nina bengong, berarti dia jelek, dong" Tetapi... alhamdulillah. dia bukan anak pungut.
"Mimpi buruk sekaliii .. !" Duh. musik dangdut itu tambah hot aja! Bi Salamah bergoyang makin hot juga.
Horee... Lebaran datang! Usai shalat Id. Mama yang sok sibuk gerubukan sama Bi Salamah yang meriah dengan baju barunya, menyiapkan hidangan bakal tamu-tamu Papa yang datang. Berbagai macam hidangan digelar. Tetapi, yang pasti ketupat, opor ayam. sambal goreng ati. aneka puding, aneka kue-kue kecil, juga juadah. Wah bakal pesta, nih!
"Kamu maklum, dong. Nina. Papa kamu itu orang penting di negara ini. Relasinya banyak yang mau salaman sama Papa. Belum apa-apa parcel Lebaran udah berdatangan jauh-jauh hari." kata Mama menjawab keheranan Nina akan berbagai hidangan yang lumayan mewah itu.
"Kan. nggak salah kita memuliakan tamu." lanjut Mama bangga. Karena yang bakal datang emang tamu-tamu terhormat, sekalian Mama pamer gaun terbarunya.
Akan tetapi, menjelang siang nggak sebatang hidung tamu pun yang nongol. Mama dan Papa gelisah. Mereka mondar-mandir di halaman sambil sesekali
melongok keluar pagar. Jalanan depan rumah sepi. Sementara B Salamah sibuk sama dandanannya yang menor. Siapa tahu bakal kecantol sama sopir yang keren.
Alhamdulillah, akhirnya nongol juga tamu pertama. Tetapi, kok seorang bocah kecil dengan pakaian barunya yang sederhana" Papa dan Mama kecewa.
"Dia teman. Nina. Pa. Ma. Ayo. masuk, mana yang lain" Makan-makan sana!" ujar Nina girang. Setelah anak kecil itu sungkem sama Papa dan Mama. tiba-tiba di halaman nongol bocah-bocah lainnya. Sembilan, dua belas, dua puluh tujuh.... Mama dan Papa shock berat. Lima puluh lebih bocah kecil memenuhi halaman dan meja makanannya Lantas, tamu-tamu "beliau" ke mana"
Hihihi ... sebenarnya bocah-bocah itu adalah anak-anak jalanan yang diundang Nina buat berlebaran di rumahnya. Nggak ada salahnya kan. menjamu bocah-bocah kurang beruntung itu" Agaknya mimpi itu benar-benar mempengaruhi hati Nina jadi lebih peka.
Ssst... jangan bilang-bilang Papa sama Mama. ya" Karena di jalan depan mau ke rumah. Nina diam-diam telah memasang spanduk gede yang bunyinya: "MAAF. LEBARAN ANDA TERGANGGU. KELUARGA SURYA SEDANG MUDIK KE TIMBUKTU."
Walhasil, para tamu nggak jadi datang. Hihihi!
Mungkin angin yang membawanya sehingga suara itu menyusup ke dalam senyap yang mengungkungi segala sela. seperti lantunan gumam yang khusyuk, ia mendengung lembut menyusuri atap langit yang samar tanpa bintang. Angin yang membawa, entah kabar dari mana. Mungkin dari langit" ia berbaur bersama berai-berai embun yang tersemai dari atas sana.
Mur membuka matanya. Sekali sentak, tubuhnya meloncat bangun dari tempat tidur lantas berlari ke halaman. Matanya nyalang memandang sekeliling. Hening. Lantas menatap langit. Lengang. Suara itu lenyap. Lalu berganti suara berkes uran daun-daun melinjo yang ditiup angin berembun.
Suara itu masih terasa terngiang di telinga Mur. Tetapi. Mur juga tidak begitu yakin lagi. Entah kenapa mendadak hatinya terasa demikian lapang dan bahagia. Mur menghela napas panjang Dad
anya terasa ringan. Suara itu. suara itu .... Mur berusaha mengingatnya, tetapi sia-sia.
Mur bergegas ke dalam rumah berdinding kayu rimba. Dia tidak menyadari mengenakan kerudungnya. Lantai kayu berderik-derik terinjak kakinya. Dia menuju sumur tanah di samping dapur untuk ber wudhu. Malam tinggal sepertiga lagi.
Setelah sahalat Subuh. Mur melakukan rutinitasnya di dapur. Dia menjerangkan air di tungku Kemudian
merebus pisang timbatu di tungku satunya lagi. Lumayan untuksarapan pagi ini. Berkali-kali. Mur meniup bara kayu supaya apinya tetap menyala. Asap memerihkan mata Mur. Terkadang Mur menahan napas agar asap tidak terisap. Suara derik kayu terbakar" api meletik-letik.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dapur, perlahan-lahan. Mur terdiam sejenak, memperhatikan pintu kayu yang reyot itu.
"Assalamualaikum ...!"
Mur menjawab salam itu dengan suara bergetar. Kemudian, membukakan pintu dapur yang langsung mengeluarkan bunyi keriyutan yang khas. Sosok itu samar-samar di mata Mur Mur berusaha mengingatnya meski dia tersenyum. Sosok itu dilatari remang-remang subuh dan rerimbunan rumpun pisang di belakangnya.
Sosok kurus terbungkus kemeja yang Mur tidak tahu warnanya, entah kuning, entah putih, entah cokelat, dan juga tatapan yang penuh binar itu. Mur tidak mengenalinya.
"Mur. aku Uda Rasidi. Sudah besar kamu. Mur." ucap laki-laki muda itu kemudian. Mur tersengat. Dia meraih tangan yang terjulur itu. menyalami dan menciumnya takzim.
"Maaf. Uda. Mur lupa. pangling." balas Mur sambil meraih ransel udanya. Benda satu-satunya yang dibawa laki-laki itu.
"Mak sudah bangun. Mur""
"Sudah, mungkin masih zikir sehabis shalat Subuh tadi."
Mur mengantar Ras di ke kamar Mak. Di ruang tengah. Aida tergolek dengan beralas tikar pandan. Mur merapikan selimut Aida. Bau pesing. Sudut pipi Aida dipenuhi gurat-gurat liur yang mengering.
"Berapa tahun umur Aida sekarang"" tanya Rasidi sambil menghela napas.
"Dua belas. Uda."
Rasidi termangu sesaat. Waktu itu. Aida baru berumur empat tahun ketika dia memutuskan merantau. Hampir delapan tahun dia meninggalkan mereka. Setelah setahun kepergiannya. dia mendapat kabar Abak meninggal dunia. Abak terjatuh dari pohon kelapa. Beliau memang bekerja sebagai pemanjat pohon kelapa.
"Mak. Uda Rasidi pulang." terdengar suara Mur di depan pintu bilik Mak. Mak mengangkat wajah dari tepekurnya, ia mencari-cari arah suara Mur. Rasidi langsung menghambur menyalami Mak. Tangan kurus Mak meraba-raba wajah Rasidi. sementara matanya berusaha menangkap wajah anaknya. Sia-sia.
"Akhirnya kau pulang juga. Buyung. Alhamdulillah. Tapi. mata Mak sudah tak dapat melihat wajahmu lagi ucap Mak tersedu. Dan. bilik kecil itu diliputi isak-isak tertahan. Mur berkali-kali mengusap matanya.
Setidaknya pagi itu dia merasakan bahagia. Ada seseorang yang akan menjadi "penguat tegak" setelah
Abak pergi. Sementara di luar burung-burung pagi mulai riuh. Warna perak cahaya mentari menyusup di celah dinding kayu bilik Mak. Cahaya itu berpendar pendar. Mur beranjak ke dapur Pisangnya sudah matang direbus.
Ketika memasuki halaman. Mur mendengar suara Mak serak memanggil-manggil Aida. Mur buru-buru menghampiri Mak yang berpegangan pada kusen pintu.
"Aida pergi lagi. Mak"" tanya Mur tanpa berharap jawaban. Aida yang suka menghilang menjadi perkara biasa. Mur tadi memang meninggalkan Aida dan Mak karena mengantarkan jahitan selendang kepada One Sarima. Lalu ia menagih uang untuk kebutuhan sehari-hari dan mengambil jahitan yang baru.
Untung. Mur sudah shalat Asar di rumah One Sarima tadi. jadi dia bisa langsung mencari Aida. Tetapi, di ujung jalan tampak sesosok tubuh yang tergopoh-gopoh sambil menarik seorang anak. Berkali-kali dia membetulkan selendangnya yang copot.
"Mur... Mur ini adikmu. Malala sampai ke pasar. Tolong jaga adikmu ini baik-baik. Dia sudah gadih gadang banyak orang yang tidak berniat baik nanti." cerocos Etek Rabiah Sementara Aida sibuk mengunyah kuaci biji bunga matahari. Lengkap dengan kulitnya, mengisap-isap asinnya, kemudian memuntahkan ampasnya sembarangan. Ludahnya meleleh di dagu. membasahi bajunya. Mulutnya cemong ole
h ampas kuaci. "Terima kasih. Etek. Tadi dia Mur tinggal sama Mak. Maaf. membuat Etek repot." balas Mur.
"Tidak apa-apa. Bagaimana kabar mak-mu" Penglihatannya sudah ada kemajuan""
"Belum. Tek. Tapi. Mak sehat-sehat saja."
"Syukurlah. Aku harus kembali ke pasar. Daganganku belum aku bereskan, jangan kau biarkan adikmu itu pergi sendiri. Banyak orang asing berkeliaran di pasar, entah dari mana mereka itu. Aku mendengar di kampung lain sudah mulai ribut. Ada yang berbuat rusuh. Ah. sudahlah, berdebar jantungku tiap mendengar itu. Sampaikan salamku buat mak-mu." ujar Etek Rabiah sambil mengucapkan salam. Mur menjawabnya dengan pikiran penuh. Berita yang disampaikan Etek Rabiah tadi membuat perasaannya tidak enak.
Sore itu. Mur memandikan Aida sambil berbicara serius. Mur tidak yakin apakah Aida mengerti atau tidak. Hingga sebesar itu. Aida tidak bisa mengurus dirinya sendiri.
Sekilas tidak ada yang mengira Aida menderita keterbelakangan mental, kecuali sudut matanya yang sempit, pipi tembem. dan lelehan liur yang belum bisa diatasinya. Aida membalas ucapan Mur dengan
lafal berat dan sengau. Tatapannya tidak menyiratkan rasa bersalah.
Keheningan membekukan malam. Bahkan angin pun enggan mengusik. Kesenyapan demikian pekat. Perlahan, entah dari mana. suara itu mulai menyela hening. Suara itu mengusap-usap kesenyapan dengan lembut, melantun-lantun pada kubah langit yang lengang, yang membuat angin enggan mengusik pucuk rerumputan. Perdu-perdu menjadi tunduk.
Suara itu mungkin dibawa helai-helai embun yang luruh. Mungkin juga tiba-tiba ada tanpa perantara. Suara itu sayup-sayup sampai, terdengar jernih di keheningan seperti lantunan gumam yang khusyuk. Bagai zikir, menyusup hingga kalbu. Suara itu. suara itu ....
Mur berada di ambang terjaganya. Dia berusaha kuat untuk menahan suara itu agar tetap terdengar. Mur benar-benar terjaga. Oh. syukurlah suara itu masih ada. Mur beranjak ke halaman. Suara itu jangan lenyap. Mur demikian berharap, ia dapat menangkap suara itu. dan juga sosok-sosok itu
"Kamu harus ikut sekarang. Ternyata, mereka lebih cepat daripada perkiraan kita." bisik sebuah suara.
"Aku baru empat hari berada di sini. Aku belum melakukan apa-apa. Lagi pula Makku sedang sakit." ucap suara lain. Suara Uda Rasidi! Mur menggigil.
"Kita gagal. Kita tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan untuk mengingatkan penduduk kampung sekalipun. Mereka tidak akan percaya!"
"Ayo. Rasidi. kemasi barang-barangmu!"
"Mur. tolong ambilkan ranselku." kata Rasidi tiba-tiba. Mur tergagap, menyadari dia mendengarkan semua pembicaraan itu.
"Uda. hendak ke mana"" isak Mur bergetar. Tiba-tiba dia mencemaskan sesuatu.
"Aku ada keperluan. Mur. Sampaikan salamku pada Mak. Tolong, jaga Mak dan Aida baik-baik. Assalamu"alaikum..."
Kemudian. Rasidi pergi tanpa menoleh lagi. Dia diikuti empat sosok yang segera menjadi bayangan, dan gelap melenyapkannya Mur menangis tanpa suara, memandang langit mencari kejelasan, tetapi langit beku. Suara itu entah ke mana. Mur merasa sesuatu yang buruk akan terjadi. Entah apa. Tetapi, yang pasti. Uda Rasidi telah pergi.
Dan sepanjang hari itu Mur sering termangu. Dia berusaha mengerti pembicaraan udanya semalam, yang membuat hatinya pilu ketika Mak menanyakan kepergian Uda Rasidi.
"Mur tidak tahu. Mak." Demikian pendek jawabannya. Tetapi, sudah cukup bagi Mak. Perempuan yang hampir buta itu diam saja. Hanya lelehan air mata yang menyusul kemudian
Tiba-tiba suara gaduh. Bunyi kentongan Tabuhan beduk berbalasan. Teriakan dan jerit. Dengan gugup. Mur menenangkan anak-anak yang mengaji di surau kecil itu. Dari kegelapan, tampak sesosok tubuh berlari menghampiri beduk kecil di samping surau.
"Kampung kita diserang! Kampung kita diserang!" ujarnya panik sambil menabuh beduk sekuat-kuatnya.
"Diserang" Siapa yang menyerang"" tanya Kutar yang mengajar bocah laki-laki.
"Mereka mengatakan dan Kampung Kaluai" jawab laki-laki muda itu. Tangannya sibuk memukul beduk.
"Kita tidak mempunyai permusuhan dengan mereka." kata Kutar lagi.
"Api! Api! Kebakaran! Kebakaran!" Anak-anak kecil itu menjerit-jerit. Mur dengan perasaan kacau sibuk me
nenangkan mereka. Dua rekannya yang lain melakukan hal yang sama. tetapi tidak berhasil.
"Kampung kita dibakar! Mur. Tari. dan Juniar, kalian tetap di sini. Jaga anak-anak ini. Aku harus ke sana!" kata Kutar kemudian.
Langit benderang oleh pijar api. Asap menghitam mencapai ketinggian langit. Tabuhan beduk dan ken tongan bersahutan, juga jeritan-jeritan. Tangisan bocah-bocah di dalam surau itu tidak berhenti. Ketiga perempuan muda itu mulai tidak kuat menahan gundah. Mereka menangis dan berdoa.
Tidak berapa lama kemudian, datang rombongan penduduk yang mengungsi ke surau itu. Mereka saling bertangisan. Anak-anak mulai mencari orangtua mereka.
"Syukurlah, kita masih diberi keselamatan. Mari kita terus berdoa, mohon kepada Allah diberi ketabahan." sebuah suara bijak menenangkan. Diam-diam Mur berlari meninggalkan surau. Air matanya mengalir tidak henti-henti. Mak dan Aida tidak ada dalam rombongan itu!
Tetapi, ketika Mur tiba di rumahnya, yang ada hanya puing-puing yang menyala dan mengeluarkan bunyi gemeretak nyaring, seperti yang dilihatnya di sepanjang jalan tadi.
Maaak ...! Aidaaa...!" Mur berteriak-teriak pada kobaran nyala itu Mukanya basah memantulkan cahaya api. Mur berlari-lari kian kemari serasa ingin mengais puing-puing api itu. Tiba-tiba. seseorang menahan geraknya.
"Sudahlah. Upik, Sia-sia teriakanmu itu. Sekarang, kembalilah ke surau. Kami akan menuntut balas atas kekejian ini!" ucapnya dingin. Mur menggelosor di tanah tanpa daya. Kesedihannya tidak terkira. Mak ... Aida....
Kemudian yang tinggal hanyalah arang dan asap. serta kenestapaan. Mak berada dalam tumpukan hangus itu. Tetapi. Aida entah di mana. Orang-orang itu tidak menemukan Aida di sana. Mur menatap puing-puing arang itu kosong. Kilasan-kilasan peristiwa berbaur di benaknya. Larikan-larikan api. Bunga bunga asap. Keriuhan derik bara. Lantas suara-suara. Kemudian enyap Mur tiba-tiba hampa
Entah berawal dari mana. ataukah angin yang membawa" Suara itu kembali ada. Gumaman yang khusyuk, yang melebur jiwa dan perasaan pada kepasrahan Suara itu menjalar ke berbagai penjuru langit, terkirim melalui semua lembah, gunung-gunung, dan memantul pada dinding jurang, menyapu perbukitan Suara itu menyapu semua sela dan celah.
Suara itu demikian membahagiakan laksana zikir ribuan malaikat dan sebuah negeri Zikir buat Mur Suara yang sangat dirindukan Mur Dia yakin penantiannya akan berakhir segera Para malaikat akan datang menjemputnya Mur telah bertahun-tahun menunggu
Mur berlari menuju tanah lapang, menembus kegelapan ia biarkan aroma sangit arang dan puing puing memacu napasnya Dari kejauhan terdengar de ru. Itu kepakan sayap mereka dan juga dentuman ber balasan Mereka disambut dengan upacara!
Alangkah agungnya mereka Mereka datang hanya untuk menjemput Mur seorang
Mereka telah tiba! Para malaikat telah tiba. Kemudian Mur tergugu Para malaikat itu loreng. Mereka bersepatu lars. Mereka membawa senjata ....
Catatan Uda: Kakak laki-laki. abang:
Malala: Keluyuran, main-main;
Gadih gadang: Gadis remaja;
One/Etek: Tante. bibi. panggilan akrab;
Upik: Nak. panggilan sayang anak perempuan.
Abak: Bapak, ayah; Buyung: Nak. panggilan sayang anak laki laki.
Sebenarnya, hingga beberapa detik yang lalu. tidak ada apa-apa dengan diriku, juga dengan hati dan perasaanku. Kemudian dering telepon itu mampu membuatku tergugu! "Assalamualaikum...." "Ngh ... wa"alaikum salam. Leika"" "ya. aku."
"Aku Wiya. Lei!Sepupu
Aku terperanjat seketika. Dia tidak perlu menerangkan dirinya kepadaku Aku masih ingat betul Wiya. juga sepupunya itu. Meski aku telah mengubur kenangan tentang mereka dalam-dalam, semenjak setengah tahun yang lalu.
"Ada apa. Wi"" suaraku menggigil. Tanganku bergetar Tiba-tiba ada perasaan tidak enak bersarang di hatiku.
"Maaf. Sebenarnya aku nggak mau mengusikmu lagi Tapi. aku terpaksa melakukannya." suara Wiya takut-takut. Aku diam saja. mencoba menduga apa yang akan disampaikan Wiya selanjutnya.
"Jeko pulang. Lei..."
Aku termangu, menggigit bibirku yang bergetar. Berkelebat bayangan seraut wajah persegi dan kukuh. Begitu tampan meski memberi kesan angkuh. Kemudian
pusaran kenangan Begitu manis dan membahagiakan pada mulanya, namun membuatku terhempas luka dan menderita akhirnya Entah berapa lama aku terdiam dengan bibir gemetar.
"Lei..." suara Wiya terdengar cemas.
"Untuk apa kamu memberi tahu kepulangannya" Toh. dia tak pernah pamit untuk pergi!" desisku tajam
Tanpa sadar, luka hatiku kembali berdarah. Wiya yang membuat demikian dengan membawa nama Jeko. Tidak tahukah dia. aku sangat terluka oleh cowok itu" Harusnya dia merasa bersalah telah turut andil melukai perasaanku. Harusnya dia tahu bahwa aku sangat membenci Jeko. juga dirinya!
"Lei. aku memang nggak bisa berharap banyak Jeko pulang dengan segala kekalahannya. Jeko sakit parah sekali. Lei. Dia sangat ingin bertemu denganmu dan minta maaf." nada suara Wiya terdengar giris dan memelas sekali.
"Dengar. Wi. aku nggak akan tertawa senang menyaksikan kekalahannya, jika memang itu yang diharapkannya Hatiku masih terlalu sakit untuk mengenang dia. Wi. Apalagi untuk tertawa." Aku tidak menyangka suaraku begitu dingin menusuk.
"Aku nggak mengira kamu berpikiran ke situ. Jeko hanya ingin bertemu dan minta maaf. Tegakah kamu menolak permintaan orang yang sedang sekarat""
"Sekarat" Sandiwara apa yang sedang kalian mainkan""
"Terserah jika anggapanmu demikian. Aku hanya menyampaikan permohonan Jeko. Sekali lagi. bersediakah kamu. Lei"" Aku diam saja. Wiya masih menunggu jawabanku
"Aku belum bisa memutuskannya." Aku langsung menutup pembicaraan dan menghempaskan gagang telepon.
Aku masih termangu di meja telepon. Tiba-tiba ada butiran hangat yang mengalir di sudut mataku. ya. setelah begitu lama hatiku terluka. mati-matian aku memendamnya sendiri hingga sedikit mereda, tiba-tiba nama Jeko datang mengusik. Dialah penyebab luka dan membuatku menangis kembali. Tergesa-gesa aku melintasi ruang tengah. Tidak aku hiraukan tatapan Mama dan Papa yang heran.
Sekarang, entah sudah berapa lama aku berdiam diri di bangku taman halaman samping. Aku berkali-kali menghela napas panjang agar sesak di hati berkurang. Semak-semak kembang melati merebakkan harumnya yang lembut. Aku sedikit tenang. Kemudian, kulihat langit tanpa bintang. Pikiranku tertuju pada Jeko.
Apa yang terjadi pada dirinya" usik hatiku bertanya.
Sebenarnya, waktu itu aku tidak merasa malu untuk meluapkan kegembiraanku.
" Wi. sungguh aku nggak menyangka sama sekali. Dia sungguh-sungguh, kan"" Entah yang keberapa kalinya pertanyaan itu aku lontarkan.
"Benar. Lei. Jeko bilang sudah lama dia menyukai kamu. Padahal, selama ini tidak seorang gadis pun yang berhasil memikat dia. Sepupuku itu terlalu angkuh dengan segala ketampanannya. Bukankah kamu juga naksir dia"" celoteh Wiya bertubi-tubi tanda gembira. Aku mengangguk kuat-kuat.
"Ingat. Jeko ngajak makan malam di Kafe Teduh. Aku menunggu cerita serunya besok, ya"" kata Wiya mengingatkan. Aku hanya bisa memejamkan mata membayangkan acara makan malam itu.
Ya. ternyata aku benar-benar jatuh cinta pada Jeko dengan segala perlakuan lembutnya, dapat mele-nakanku. Jeko sering memanjakan aku dengan kejutan-kejutan manisnya, yang membuat aku terkaget kaget bahagia. Pernah suatu hari. aku mendapati sebuah novel romantis dengan selipan buku bergambar hati dalam tas. Terkadang dia menghadiahi aku puisi-puisi indah yang dia tulis sendiri.
Jeko juga menghadiahi aku sepasang anak kura-kura hijau, lengkap dengan akuariumnya ketika aku ulang tahun. Jelas, aku sangat senang karena sudah lama aku menginginkan makhluk manis itu. Hari-hari cintaku dengan Jeko sangat indah dan membahagiakan
Hingga ketika tanpa sadar, ternyata kebahagiaan cinta tidak lagi berpihak kepadaku. Perlahan namun pasti. Jeko berusaha memperpanjang jarak pertemuan denganku. Dan semakin lama aku mulai menyadari dia menghindar dariku. Lalu. benar-benar menghilang!
"Ada apa sebenarnya. Wi"" tanyaku dengan gundah. Aku sudah tidak mampu lagi membendung rasa ingin tahuku mengenai kepergian Jeko yang mendadak. Sementara hatiku selalu merindukannya, dan aku tahu Wiya menyimpan sesuatu.
"Wi. ngomong!' Aku mendesak Wiya yang terlihat gugup dengan pertanyaanku itu.
"Sebelumnya, terserah kamu. Lei
. jika akhirnya kamu membenciku atau Jeko karena aku turut bersalah, ya. aku merasa bersalah telah mempertemukan kamu dengan Jeko."
Aku mengernyit tidak mengerti maksud pembicaraan Wiya yang tertahan tahan
"Dengar. Lei. harusnya aku nggak mempertemukan kamu dengan Jeko karena aku tahu dia telah di tunangkan. Aku berdosa sama kamu. Lei." ujar Wiya. menatap cemas kepadaku.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Tetapi, yang jelas aku merasakan wajahku panas dan hatiku sakit sekali. Aku kecewa Air mata mengalir di pipiku. Aku sesenggukan dan tergugu. Kutepiskan tangan Wiya yang mencoba memegang bahuku.
"Wi. aku sakit sekali. Kenapa kamu nggak pernah bilang""
"Jeko memohon kepadaku. Dia sangat mencintaimu dan membenci pertunangan itu. Dia pergi dengan hati kecewa. Dia tidak memilih siapa-siapa, tunangannya, juga keluarganya."
"Dia juga tidak memilih aku!" sentakku. "Wi. aku benci Jeko. juga kamu. Sekarang semuanya sudah terlambat!"
Aku berlari meninggalkan Wiya yang termangu di bangku taman. Tanganku tidak henti-hentinya menyusut air mata. Terlambat aku sadari bahwa aku telanjur memberikan seluruh cintaku pada Jeko. Seluruhnya!
Aku adalah bunga yang tidak wangi lagi. Ke n dahanku telah dibawa Jeko pergi. Aku terhempas sakit dengan kelopak layu. Aku membenci diriku. Aku benci kata cinta seketika.
Hingga saat ini. aku masih termangu mangu ditemani semak melati yang harum. Aku tidak lagi suci seperti melati. Sekarang orang yang telah menghempaskan aku telah kembali. Lengkap dengan segala kekalahannya. Dia memohon maaf dariku. ya. aku harus menemuinya dan menunjukkan bahwa aku masih tegari
Ketika Wiya menyeretku ke pusat rehabilitasi ini. aku baru menyadari, sesuatu yang luar biasa telah terjadi pada Jeko. Aku melihat sosok ringkihnya ter benam di kursi roda. tidak bergerak sama sekali. Lehernya tertekuk seperti tanpa tulang, menekun lantai. Wajahnya tidak lagi bercahaya. Seonggok tubuh itu sudah tanpa daya.
Sepertinya lelaki itu merasa ada yang sedang memperhatikannya. Dia berusaha mengangkat wajah. Namun tidak ada gerakan yang dihasilkannya. Hanya bola matanya yang berusaha mencari-cari.
Entah kekuatan dari mana yang membuatku melangkah mendekatinya. Dengan gamis dan jilbab lebar ini masihkah dia mengenali aku"
Ada bias bahagia di mata itu. Jeko berusaha menarik sudut bibirnya untuk tersenyum. Oh. dia masih mengingat aku!
"A... hpa kah... barrr. Leiii"" suara Jeko seperti menggigil dan tersengal-sengal.
Dijemput Malaikat Karya Palris Jaya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik." jawabku tercekat Ketika tangan kurus itu berusaha menggapai, aku terpekik berusaha menghindar, lalu ber-istighfar Dia melirikku kaget. Lantas berusaha tersenyum kembali.
"Sah... ya shenangh... kam ... mmmu dat ... hang ddd... annnh mellli... hat sha... ya Mmmaaa
... afh... kanh... say... aaa, Llleiii ...." ucap Jeko terbata-bata Bibirnya basah oleh ludah sendiri. Aku benar-benar tidak tahan melihat Jeko.
New York telah membuat dia terkapar. Sebuah kecelakaan hebat merusak Jaringan saraf dan sumsum tulang belakangnya Jeko tidak lebih dari seonggok tubuh sekarang.
"Aku harus pergi. Jeko Sampai jumpa Assalamualaikum " ujarku akhirnya Aku benar-benar tidak kuat lagi melihat dia menderita. Aku membalikkan tubuh dan melangkah tergesa-gesa Aku masih mendengar panggilannya yang lemah dan memohon
"Llleeeiii..." Tetapi, aku tidak kembali Aku hapus air mata berkali-kali. Aku terus melangkah dengan cepat Tidak kuhiraukan panggilan Wiya di belakang Berkali-kali pula. aku menggumam sendiri "ya aku maafkan kamu. Jeko Aku maafkan meski hatiku semakin porak-poranda
Di halaman panti rehabilitasi, aku menatap langit senja yang buram Lantas kudengar azan magrib di belahan sana
Anet mengundang kita." ujar Cla sambil meng goyang-goyangkan undangan berbentuk kipas warna ungu di depan hidung Nov ka Bel istirahat baru beberapa menit yang lalu berbunyi. Cla membatalkan langkahnya ke kantin begitu bertemu Anet yang memberikan undangan.
"Titip buat Novika juga." kata Anet tadi. Cla langsung menuju kolam kecil taman sekolah, tempat Novika biasa menghabiskan jam istirahatnya sambil memberi makan ikan-ikan kecil dengan remah roti
"Kita datang nggak, ya"
" gumam Cla sambil mengerutkan kening. Dia tidak peduli keasyikan Novika pada ikan-ikan kecil di kolam. Dia juga tidak sadar kalau Novika sama sekali tidak merespons beritanya barusan.
"Aduh. kayaknya aku bakal kelimpungan sekali. Mama udah wanti-wanti aku datang ke pesta kawinan Om Bagyo. Terus. Anet bikin pesta kolam di rumahnya pakai ngundang koki hotel segala."
Eh kamu kok nggak jadi ke kantin" Aku kan udah nitip es krim sama roti sosis." tegur Novika menyentakkan Cla. "Buruan, nanti keburu bel!"
Kemudian Cla berlari ke kantin. Hari ini mereka lagi malas makan di kantin. Beberapa menit kemudian. Cla balik dengan tangan penuh makanan.
"Gimana. Ka" Kamu mau datang ke pesta Anet"" tanya Cla sambil menyerahkan pesanan Novika. Gadis itu menepuk nepukkan tangannya sebelum menerima makanannya.
"Ngh"" gumamnya sambil menggigit roti sosis. Kemudian menyendok es krimnya, demikian berganti-ganti. Cla melakukan hal yang sama.
"Aku saranin. sebaiknya kamu datang saja." kata Cla mantap. Novika menunggu kelanjutan ucapannya. Mulut Cla penuh makanan!
"Anet sudah memberi jaminan kalau Duv bakal datang. Gadis-gadis satu sekolah pasti sudah bersiap-siap untuk merebut perhatiannya. Tapi. hanya aku seorang yang tahu kalau Duv diam-diam naksir kamu jadi. kamu harus datang kalau nggak ingin bernasib malang!"
Novika menghela napas panjang. Suapan terakhir es krimnya sudah habis. Demikian juga dengan roti sosisnya. Dia tidak menanggapi ucapan Cla barusan. Kemudian bel berbunyi nyaring. Novika dan Cla bergegas ke kelas
Tetapi, undangan berbentuk kipas warna ungu tertinggal di pinggir kolam. Undangan itu milik Novika Angin yang lewat meniupnya hingga jatuh ke kolam, melayang sejenak di air. Ikan-ikan kecil mematuknya. Lantas, undangan itu terhempas di dasar kolam yang berlumpur.
Sore itu. Novika melangkah ke luar batas kebun, di belakang rumah. Dia memakai celana pendek dan kaus oblong putih. Tangannya menenteng sekaleng cat tembok warna putih dan kuas. Di belakangnya, tampak Utih berlari-lari kecil mengikuti. Terkadang menyalib di sela kaki Novika.
Mungkin dulu. kalau Utih begitu, tentu kucing kampung berbulu putih bersih itu sudah disepaknya sekuat tenaga, hingga terdengar suara tercekik. Kemudian, disusul lengkingan suara Tante Mo yang berang.
"Vikaaa .... kok Utih ditendang-tendang, sih"!"
"Salahnya sendiri minta ditendang." ketus Novika waktu itu. Apa nggak tahu orang lagi kegerahan pu-langsekolah" Malah nempel-nempel. Dasar Utih memang suka iseng, terkadang Novika lagi tidur siang suka mengendus-endus dekat kuping. Kalau di bilangin Tante Mo. malah suka ngebelain Utih.
"Itu tandanya Utih pingin disayang sama kamu!."
Tetapi. Novika tidak mau nyayangin Utih sebab sudah telanjur kesal sama Tante Mo yang sok galak itu. Cerewet dan over protective. Dan sebagai tempat pelampiasannya, ya Utih yang malang itu. sebagai hewan kesayangan Tante Mo.
Novika masih ingat kejadian yang membuat dia malu dan nggak enak hati ketika kelas dua SMP dulu. Hari itu. Novika senang sekali Wawa menerima undangannya makan puding sepulang sekolah di rumahnya. Novika senang sekali bikin sirik cewek satu sekolah karena Wawa cowok paling diburu para cewek.
Sampai di rumah. Novika buru-buru nyiapin puding, sementara Wawa disuruh menunggu di teras sambil baca-baca majalah. Tetapi begitu Novika sampai di teras. Wawa sudah tidak ada. Tinggal majalah-majalah yang sudah tertumpuk rapi.
"Wawa udah Tante suruh pulang." kata Tante Mo yang tiba-tiba muncul. Novika menatap Tante Mo kecewa dan mau menangis.
"Kok. disuruh pulang" Wawa kan. mau makan puding." balas Novika
"Nggak baik buat anak sekecil dia kelayapan pulang sekolah. Dia harus ganti pakaian dan makan dulu di rumah "
"Aduh, Tante Mo. kan cuma sebentar ini!" rajuk Novika. Air matanya mulai menetes. Dia malu sekali sama Wawa dan marah sama Tante Mo.
Anak sekecil kamu nggak baik ngajak cowok ke rumah." kata Tante Mo lagi. Novika menghentakkan kaki dan berlari ke kamarnya. Tante Mo jahat sekali. Dia tidak mau memaafkan Tante Mo. Aduh. mukanya bakal berwarna hijau kalau ketemu Wawa besok di sekolah! Kemudian. Novika muncul
lagi dengan ransel penuh dan boneka ulatnya.
"Mau ke mana kamu"!" tegur Tante Mo.
Minggat...." "Ke mana""
"Ke rumah Cla." Kemudian dengan langkah menghentak. Novika meninggalkan Tante Mo yang tersenyum kecil.
Tetapi, sore harinya Papa datang menjemput sambil ngomel ngomel untung tidak di depan keluarga Cla.
"Kamu sudah makan"" tanya Papa sambil nyetir. Mukanya dibuat kaku kayak patung perunggu. Novika tidak takut.
"Sudah, di rumah Cla."
"Kamu tega membiarkan Tante Mo tidak makan seharian." desis Papa membuat Novika heran.
"Tante Mo tidak mau makan sebelum kamu makan di rumah!"
Hah"! Dasar Tante Mo. pakai merajuk pada Papa segala, dan tentu Novika tidak akan bisa berkutik. Apalagi setelah Papa melanjutkan ucapannya. "Papa bakal marah beneran kalau Tante Mo sakit gara-gara ulah kamu."
Novika kalah telak. Dia bergeming tanpa suara.
"Tante Mo pengganti Mama kamu. Dia sangat menyayangi kamu." Dan Tante Mo benar-benar menikmati kemenangannya. Novika terpaksa menuruti kata-kata Tante Mo meski seringkali membantah, tetapi tetap dilaksanakannya juga. Kemudian. Tante Mo memelihara Utih yang sebenarnya lucu. Dan Novika mempunyai tempat melampiaskan kekesalannya!
Novika melintasi tanah lapang milik keluarganya yang berbatasan dengan tanah penduduk. Di sana sini tampak belukar yang bergerombol, selebihnya pa-dang rumput yang dibelah jalan setapak. Kemudian. Novika berbelok ke kanan sedikit, lalu di bawah pohon
sukun yang rindang, dia berhenti. Di hadapannya terdapat sebuah pusara.
Utih mengendus-endus pusara itu. Kemudian mulai bersikap aneh. Novika buru-buru menyambit kucing kampung itu.
"Utih. jangan kurang ajar kamu! Pipisnya di tempat lain." hardiknya. Lalu. Novika membuka kaleng cat dan memoles tembok yang mengelilingi pusara itu. Sementara Utih memperhatikan gadis itu bekerja. Angin sore bertiup pelan. Namun, sehelai daun sukun kering terhempas dibuatnya, melayang dan pasrah di atas rerumputan.
"Tante Mo tenang saja. Mulai sekarang. Novika bakal menyayangi dan merawat Utih meski Utih masih suka bandel dan kurang ajar. Itu karena Tante Mo terlalu memanjakan Utih." Novika terus berbicara sambil mengecat pusara.
Pusara itu memang milik Tante Mo. Sudah seratus hari. tante cerewet itu meninggal dunia setelah tidak kuat lagi melawan kanker rahimnya. Tante Mo yang malang. Kakak perempuan tertua Papa yang tidak pernah menikah Makanya. begitu Papa bercerai dengan Mama. Novika langsung diungsikan ke rumah Tante Mo.
"Tante Mo sangat menyayangi kamu karena sesungguhnya dia ingin sekali memiliki anak. Anggaplah Tante Mo seperti Mama." kata Papa waktu itu. Novika hanya mengangguk dengan tatapan kosong. Dia masih kaget dengan perceraian itu.
Mengecat pusara selesai sudah. Novika membersihkan rumput-rumput liarnya. Tampak pusara itu bersih dan bercahaya.
"Tante Mo. hanya ini yang bisa Novika lakukan untuk Tante Mo kali ini. Karena kemarin-kemarin. Novika suka nyuekin Tante Mo. Tapi percayalah. Utih aman sama Novika. Selamat sore. Tante Mo." ujar Novika. Kemudian, gadis itu berlalu diikuti Utih Semilir angin mengusik semak belukar. Sebentar lagi senja akan tiba.
Malam itu. Novika memang tidak ke mana-mana. Dia ingin di rumah saja meski dia tahu pesta di rumah Anet pasti meriah. Satu sekolahan tahu. Anet suka sekali mengadakan pesta dengan berbagai tema. sepertinya Anet selalu kelebihan uang. Sementara dia terpuruk dalam keheningan malam dengan Utih yang mendengkur pelan kekenyangan.
Novika memang ingin sendiri. Dia mengenakan gaun putih pemberian Tante Mo. yang sama sekali tidak pernah dipakainya karena modelnya sangat norak dan ketinggalan zaman. Selain itu. ukurannya juga kebesaran. Tetapi malam itu. Novika memakai juga gaun norak kedodoran itu. Entah kenapa, dia merasakan sepi setelah Tante Mo pergi. Sementara Papa masih berada di Thailand.
Novika memandang pantulan bayangannya di cermin. Dia merasa asing dengan sosok itu. namun terlihat begitu damai dan anggun. Tante Mo menyebutnya gamis. Lantas. Novika berusaha memasang jilbab lebar seperti Tante Mo kenakan selama ini. juga berwarna putih. Pantulan sosok putih itu membuat Novika terceng
ang. Dia telah menjelma bidadari.
Sepasang kaki kurus itu berlari di sela-sela mobil yang terjebak macet. Gerimis yang lebat me nimpa tubuhnya yang ringkih. Rambutnya lengket, sebagian tubuhnya berkilauan tertimpa cahaya lampu mobil. Bibirnya bergetar. Napasnya memburu. Kali ini. dia tidak boleh tertangkap lagi. Sebelah tangannya menggenggam kecrekan tutup limun yang berbunyi mengiringi gerak tubuhnya.
Sementara itu. di belakangnya, dua orang berandal mengejarnya. Tubuh mereka gesit menyelinap di sela-sela mobil yang macet. Tampang mereka yang dekil, jelas menunjukkan kegeraman Sesekali mereka memaki, begitu kaki-kaki mereka terhalang mobil yang sedikit bergerak. Terkadang menggebrak mobil itu dengan kepalan. Bocah itu tidak boleh lepas.
Gadis kecil yang ketakutan. Dua orang berandal. Gerimis yang deras. Mobil-mobil mewah terjebak macet. Mereka tidak sabar untuk segera sampai di rumah. Mereka tidak memikirkan kejadian selintas di depannya. Tidak ada yang dapat menolong gadis kecil itu. Apa yang akan terjadi dengannya b ia dua berandal itu berhasil menangkapnya"
Di pelataran parkir sebuah gedung yang sepi. gadis kecil itu terjatuh. Kaki-kaki berandal di belakangnya sudah mendekat. Dia ingin segera kabur. Tetapi, koreng di dengkul kanannya berdarah banyak sekali, sangat ngilu untuk digerakkan. Dua hari lalu. dia terjatuh dari metromini ketika habis ngamen. Sopirnya tidak sabar menunggu bocah dekil pengamen itu
turun dari kendaraannya. Luka itu menjadi koreng yang cukup besar karena tidak diobati. Sekarang melelehkan darah bercampur gerimis ....
"Lo masih bandel juga. heh!" hardik salah seorang berandal itu sambil mendorong kepala gadis kecil itu. Dia hanya meringis. Luka di korengnya berdenyut-denyut.
"Siniin setoran lo!" bentak yang berbaju kotak-kotak.
"jangan. Bang rintih gadis kecil itu.
"Brengsek! Cuma seribu seratus"" maki si Baju Kotak-kotak itu. begitu selesai menghitung uang yang basah dalam kantong permen Kopiko milik si Bocah.
"Eh. lo jangan bohong! Lo umpetin di mana yang lain"" kejar si Rambut Cepak.
Tangannya menjewer kuping si Bocah. Dia meringis.
"Hari ini dapat sedikit. Bang...."
"Bohong, lo! Pasti lo ngasih si Buta itu lagi"" desak si Cepak beringas. Gadis kecil itu ingin menggeleng, tetapi tatapannya ragu. Dia ingin berbohong, tetapi si Cepak dapat membaca wajahnya yang ragu.
"Brengsek! Si Buta itu perlu dihajar juga!" Kemudian, dua berandal itu pergi begitu saja. membawa uang si Bocah semuanya.
"Bang. saya belum makan ...." rintihnya.
"Biar mampus lo. coba-coba ngelawan gue!" hardik si Baju Kotak-kotak.
Tinggal gadis kecil itu sendiri. Dia beringsut ke pojok gudang. Gedung itu mati ditelan sepi. Gadis kecil itu meringkuk kedinginan. Dia lapar. Sedianya uang seribu seratus itu akan dia belikan nasi sayur untuk makan malam. Tetapi, dua berandal itu merampasnya. Dia juga tidak tega melihat Pak Jemat yang buta lumpuh di jembatan penyeberangan kelaparan. Dia pun memberi sedikit penghasilannya pada lelaki buta itu.
Sepanjang hari itu hujan deras, membuat pendapatan mengamennya sangat sedikit. Dengan perut kosong, terkadang dingin terasa tajam. Perlahan, dia mulai merintih. Lututnya rapat di dada. Dia mulai melelehkan air mata. tidak ada seorang pun yang menolongnya. Bahkan, langit pun tidak berpihak kepadanya. Hujan makin deras, air matanya menderas.
Dia bangun pagi sekali, sebelum ketahuan oleh satpam gedung itu. tetapi juga oleh perutnya yang sangat perih. Sejak pagi kemarin, perutnya hanya terisi roti basi yang dibelinya dari Bang Juki dua ratus perak. Bang Juki itu pelit, roti sisa yang basi masih dijualnya. Tetapi, roti basi itu lumayan buat mengganjal perutnya yang lapar, tidak tahunya keterusan sampai pagi sekarang. Dia mengusap sudut bibirnya sambil menghela napas berat. Dia sangat membenci dua berandal itu.
Dia tidak tahu. sejak kapan mereka menjadi penguasa di daerah itu Tahu-tahu. hasil ngamennya dipalak sebagai setoran mangkal di daerah itu. Tadinya dia mau kabur, tetapi, dia sudah telanjur dekat dengan Pak Jemat yang buta lumpuh itu Dia yang suka terduduk lemah di jembatan penyeberangan sambi
l main biola butut, yang suaranya "ngak-ngik ngak-ngik". Di dekat Pak Jemat. ditaruh gelas plastik Aqua bekas, tempat orang ngasih uang.
Tetapi, justru orang seperti Pak Jemat yang sering menjadi sasaran kejahatan dua berandal itu. atau anak-anak gembel lainnya. Mungkin saja. mereka disuruh oleh ibunya, pengemis yang suka gendong-gendong bayi kurus. Tetapi. Pak Jemat memang sabar. Dia tidak tahu. apa karena tidak berdaya. Kalau sudah demikian, dia rela berbagi hasil ngamennya dengan lelaki tua itu.
Dia berjalan tertatih-tatih. Bekas korengnya semalam telah kering mengunci lututnya menjadi bengkok. Jalannya berjingkat-jingkat tidak bisa cepat. Alamat hari ini. dia tidak bisa bergerak gesit naik-turun bus. Mungkin, hari ini pendapatannya bakal sedikit lagi. Di dekat halte, dia bertemu Wis yang sedang duduk di trotoar.
"Eh. semalem lo ditanyain Pak Jemat terus. Lo ke mana aja"" sapa Wis langsung. Matanya melirik koreng di kakinya Wis tidak berkomentar. Bagi mereka, borok atau koreng besar bukan hal yang aneh. Ditambah dengan wajah memelas, koreng itu bisa memancing rasa iba sehingga orang terpancing untuk memberi uang lebih banyak.
Ngapain Pak Jemat nanyain gue"" ujarnya tidak peduli. Perutnya sangat perih, melilit. Lehernya kering.
"Nggak tahu." jawab Wis. Dia memain-mainkan botol Yakult yang diisi kerikil. Bunyinya kesek-kesek. Terkadang dengan Wis. dia duet ngamen. Wis yang nyanyi karena suara Wis bagus. Nanti hasilnya dibagi. Wis agak lebihan. kan Wis yang jadi vokalnya.
Tanpa ngomong lagi. dia berjingkat-jingkat pergi. Dia mau menemui Pak Jemat. Kasihan orang tua itu memikirkan dia. Dari jauh. dia melihat Pak Jemat mulai siap-siap dengan biola bututnya. Satu senarnya putus. Dia berniat kalau punya uang lebih, mau membelikan senarnya, yang murah saja. di warung Koh van.
"La! La. sini kamu! Dari kemarin, aku mencari-cari kau!" seru laki-laki buta itu. Dari jauh saja. dia sudah hafal langkah kaki La. gadis kecil itu. Tertatih-tatih La mendekati Pak Jemat.
"Sini! Sini. aku punya sesuatu buat kau." ujar Pak Jemat bersemangat. Tangannya yang sering gemetaran merogoh-rogoh buntalan kain rombengnya. La tahu. semua kekayaan Pak Jemat ada dalam buntalan kesayangannya itu. Sepertinya, dia punya sesuatu yang berharga buat La. yang menunggu dengan sabar kejutan untuknya.
"Ini. ini. ayo makan!" kata Pak Jemat sambil mengangsurkan sekotak kardus makanan berlogo "M" berwarna kuning merah. Di dalamnya ada ayam goreng, nasi. irisan kentang yang sudah dingin, dilengkapi saus dan sambal sachet Hm. La menitikkan air liur. Perutnya berderuk-deruk.
La langsung makan setelah mengusapkan tangannya ke bajunya yang kumal dan kotor. Jemarinya lincah mencolek-colekkan daging ayam pada sambal. Mulutnya mendecap-decap nikmat kepedasan. Sambil La makan. Pak Jemat bercerita.
"Kemarin ada sekelompok anak muda bagi-bagiin makanan ini. Kata mereka, buat buka puasa orang-orang di jalanan. Memang, di bulan puasa banyak yang suka bagi-bagi rezeki, apalagi menjelang Lebaran. Makanan itu aku sembunyikan untuk kamu. La. Biar anak-anak bandel itu tidak merampasnya."
La hanya mengangguk sambil menyeruput air mineral. Terkadang anak-anak gembel itu seperti tikus di pembuangan sampah. Mereka suka merampas punya orang lain.
La selesai makan. Ada perasaan lega di wajahnya. Dia tenang kini. Tiba-tiba saja. dia merasakan kekuatannya telah pulih kembali. Pak Jemat tersenyum seakan mengerti kelegaan La.
"Kau jangan jauh-jauh. La Nanti, tolong beli makanan buat buka puasaku di warung Bi Imah. Aku tidak kuat turun naik jembatan ini sering-sering." ucap Pak Jemat
"ya. nanti La balik pas mau magrib." jawab La sambil mengelapkan tangannya ke baju. habis dicuci sedikit dengan air mineral. La ingin juga berpuasa seperti Pak Jemat. Tetapi, dia malas karena di hari-hari biasa, dia sudah sepe t orang berpuasa Perut La sering kelaparan. Bahkan, suka kembung kebanyakan diisi angin.
Kata Pak Jemat orang berp asa itu tidak makan, tidak minum, dan tidak boleh marah. La memang tidak pernah marah, namun La sering menangis bila sakit hati dan disakiti.
Setelah berpuasa, orang akan meraya
kan Lebaran dengan gembira. La seumur hidupnya belum pernah merayakan Lebaran. Bagi La. hari-hari sama saja. Paling-paling bedanya, di hari mau Lebaran orang-orang jadi lebih pemurah. Pendapatan ngamennya jadi banyak, seperti pengamen yang lain. juga pengemis-pengemis gembel itu. Itu saja bedanya.
La beranjak pergi. Perlahan, siang mulai menelan pagi. Jalanan mulai macet dan sibuk La melewati seorang gembel perempuan muda yang sedang menyusui bayinya yang kurus. Seorang bocah dua tahun telanjang di sebelahnya, asyik makan sepotong tempe goreng.
Di sudut jembatan dekat tangga tatapan La ber serobok dengan mata perempuan tua yang sinis. Bibirnya merengut rapat. Entah kenapa, dia tidak menyukai perempuan tua itu. Persis di tangga, seorang pemuda kurus ceking termenung kosong Tangannya penuh totol-totol suntikan dan sayatan. Dari teman
temannya. La tahu dia pemakai narkoba yang dibuang keluarganya. La juga sering melihat gembel-gembel itu mengisap kaleng lem "aica-aibon". Mungkin itu narkoba juga.
La tidak memikirkannya. La ingin segera ngamen dengan kecrekan tutup limunnya. Dengan kaki yang berjingkat-jingkat. La lari mengejar sebuah bus yang berhenti di halte, sebelum keduluan pengamen lain. Hup! La berhasil naik meski dirasakannya dengkul kanannya ngilu sekali. Korengnya berdarah. Lalu. La segera menyapa penumpang.
"Selamat pagi. Bapak Sopir. Bapak Kondektur. Bapak-bapak. Ibu. Om. dan Tante, serta Kakak sekalian. Izinkan saya menghibur perjalanan Anda semua dengan lagu-lagu berikut ini .... Semalam aku mimpiii... mimpi buruk sekaliii...!" Maka. meluncurlah sebuah lagu dari mulut La yang sesak, ditambah sebuah nyanyian lagi yang tidak merdu sama sekali diiringi kecrekan La yang sumbang.
"Demikian. Bapak-bapak. Ibu sekaitan. Semoga Anda semua terhibur dan selamat sampai tujuan, dan mohon maaf bila Anda merasa terganggu." La mengeluarkan kantong Kopiko-nya dan mengedarkannya ke bangku para penumpang. Ucapan terima kasih dan senyumnya yang manis, menyambut recehan dan uang kertas yang masuk ke dalam kantongnya
Seharian itu meski korengnya sering berdenyut ngilu. La sibuk turun-naik bus. Pendapatannya hari itu lumayan banyak. Benar kan. menjelang Lebaran orang-orang menjadi lebih pemurah"
Malam takbiran. Jalanan meriah dengan petasan dan suara beduk. La tidak menghiraukannya. Dia ingin segera menemui Pak jemat. Dia agak terlambat karena terlalu asyik mengamen. Di tangannya tergenggam bungkusan plastik hitam, berisi roti bakar dan seplastik teh manis hangat untuk buka puasa Pak jemat. Sekalian. La ingin mengabarkan bahwa dua berandal itu baru saja ditangkap polisi. Mereka ditangkap setelah berkelahi dengan sekelompok berandal lain. gara-gara memperebutkan wilayah kekuasaan. Jadi. sekarang La dan Pak jemat tidak usah khawatir lagi. Tetapi, yang lebih penting lagi. La sudah membelikan senar biola Pak jemat. Tentu, suara biola itu akan lebih merdu. La dapat penghasilan lumayan dari mengamen hari ini.
Tetapi. Pak jemat sudah tidak ada lagi di tempatnya. Di situ hanya tinggal bekas gelas plastik Aqua yang tergolek. Ke mana Pak Jemat" La mulai panik. Pak jemat tidak mungkin ke mana-mana. Air mata La meleleh perlahan-lahan.
"Tadi ada saudara Pak jemat datang. Lantas, membawa dia pergi naik mobil." lapor perempuan muda pengemis itu. Kedua anaknya sedang bermain-main dengan uang logam dalam wadah plastik.
Naik mobil" Berarti Pak Jemat akan dibawa jauh. La merasa sedih. Dia kehilangan Pak Jemat. La memberikan bungkusan plastik di tangannya kepada anak perempuan pengemis itu. Mereka langsung melahapnya. La tidak kenal perempuan itu. Selalu saja ada pengemis baru di tempat itu. apalagi menjelang Lebaran. Mereka entah dari mana.
Suara takbir semakin menggema di mana-mana. Malam semakin marak dan ceria. Petasan dan beduk bertalu-talu. Kembang api dan petasan bepercikan. La menangis tanpa mengisak. mengusap air matanya di sela-sela orang bahagia di trotoar.
Daerah itu adalah tempat dia bermain. Dia hafal setiap lekuk sudut hutan kecil di bukit itu. seperti dia mengenal tubuhnya dan hangatnya dengus napas hidungnya. Dia tahu betul, kapan a
nggrek hutan berbunga dan burung-burung yang bersarang di rumpunnya bertelur. Dia kerap mengintip induk burung sedang menyuapi anak-anaknya.
Telapak kakinya telah menyatu dengan lembapnya tanah hutan. Aroma daun-daun lapuk telah akrab dengan penciumannya yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Akar-akar pohon besar yang bertonjolan di permukaan tanah tidak membuat dia terjerembap. Dia tahu caranya menghindari dari jeratan akar berduri dan semak-semak miang yang dapat membuat badannya gatal.
Sesekali dia berpapasan dengan harimau yang lewat ke hutan besar. Kadang-kadang dia berkejaran dengan rusa gunung yang sedang minum di telaga. Kerap, dia menikmati lolongan serigala hutan sambil bersidekap pada dahan kayu yang tinggi.
Semuanya itu dia lakukan tanpa sepengetahuan Mak. Mak akan memarahinya kalau ketahuan main di hutan. Lantas, dia akan membujuk Mak dengan setumpuk manggis hutan yang membuat Mak tidak jadi marah. Dia tahu. Mak marah karena menyayanginya. Tetapi, dia akan bosan jika terus berkurung di gubuk kecil mereka. Dia tidak tahu. kenapa Mak melarang dia bermain-main hingga ke perkampungan.
Pernah dia melanggar larangan Mak itu. Dia hanya mengintip di semak-semak tepi hutan. Perkampungan penduduk tinggal seratus langkah lagi. Tiba-tiba. dia ketahuan oleh seorang penduduk yang baru pulang dari berburu. Penduduk itu berteriak. Dia terperanjat ketakutan. Kemudian berlari kencang, kembali masuk hutan.
Mak tahu kejadian itu. Mak menghukumnya. Selama enam hari dia dipasung.
Seperti malam itu. dia menyelinap ke luar gubuk begitu Mak lenyap ditelan bayangan pohon-pohon gelap. Mak mau ke kampung. Banyak orang kampung yang memerlukan tenaga Mak. Mak bekerja apa saja. Pulangnya. Mak membawa beras, ikan asin. garam, gula. benang jahit, dan kebutuhan lainnya.
Tetapi, dia tidak terlalu memedulikan hal itu. Dia toh juga bisa mencari makanannya sendiri. Pisang, cempedak, manggis, durian, belalang, ulat di pohon lapuk, dan banyak lagi yang sekiranya dapat dimakan olehnya.
Malam itu. purnama terang sekali. Dia tidak terlalu mengerti akan hal itu. Baginya, benda bulat terang di langit lebih sejuk cahayanya dibandingkan siang hari. Dia sangat menyukai ujung-ujung daun dan pepohonan berkilauan. Sementara di bagian lain. gelap seperti batu gunung yang meringkuk diam. berbongkah-bongkah. Tetapi, dia tidak takut kegelapan.
Langkahnya cepat menuju satu arah. Kakinya seakan mengerti ke mana tubuhnya akan dibawa.
Matanya yang tajam menusuk hingga jauh ke dalam gelap. Akhirnya, dia sampai pada sebuah lahan terbuka, yang di dalamnya terdapat reruntuhan rumah yang habis terbakar. Atapnya sebagian besar sudah roboh. Tanaman liar merambati dinding-dindingnya. Cerobong asapnya tinggal sisa reruntuhan.
Dia menaiki bagian tertinggi bangunan itu. Kemudian duduk diam memandang langit, menatap bulan yang seakan tinggal dijangkau saja. Dia menyukai kebiasaan itu. Dia menikmati hal yang telah menjadi rutinitasnya bila bulan purnama tiba. dan dia akan diam berjam-jam hingga menjelang pagi. Dia tidak akan peduli omelan Mak dan hukumannya. Dia melupakan sekelilingnya. Dia ditemani embusan angin meski membawa embun....
"Heh. kalian melihat sosok itu""
Sebuah suara menyengat pendengarannya. Nalurinya menyatakan tanda bahaya. Dia kedatangan teman rupanya. Dia bersiap hendak kabur. Tetapi, kakinya tergelincir dari atas atap. Tangannya cepat menjangkau tanaman rambat.
Terdengar langkah-langkah kaki menuju tempat dia terjatuh. Dia segera menyelinap ke bagian belakang rumah yang ditumbuhi pohon-pohon rapat, langkahnya agak tersaruk. Mungkin kakinya sedikit terkilir, juga banyak goresan di kaki. tangan, dan sekujur tubuhnya karena dia memang tidak pernah mengenakan baju.
Dia selamat. Tersaruk saruk dia menuju gubuknya kembali. Semoga Mak belum kembali. Syukurlah harapannya terkabul. Dia segera meringkuk di dipan reyotnya. Dia aman sekarang, tetapi pikirannya menjadi kacau. Kenapa ada orang asing mengusik tempat bermainnya" _
Sementara beberapa kilo meter dari gubuknya, terjadi keributan kecil.
"Kamu yakin dengan apa yang kita lihat tadi. Bas"" tanya Tuan. penasaran. S
ementara Tias dan Agung belum kembali dari memeriksa daerah sekeliling rumah roboh itu.
Anak Naga 15 Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna Jun 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama