Gue Anak Sma Karya Benny Rhamdany Bagian 2
Tiba-tiba, aku melihat Uchan, anak SMPN 5 yang kukenal waktu pendaftaran. Sayangnya, aku dan Uchan nggak sekelas. Aku di kelas 1-11, sedangkan Uchan di kelas 1-9. Tapi, Uchan ngenalin aku sama Eka yang ternyata sekelas denganku. Uchan dan Eka yang sangat ramah dan welcome itu, membuatku ngerasa nggak terlalu asing lagi.
Senggaknya udah ada dua orang yang kukenal di sekolah baruku ini. Thanks, God!
Ada sebelas kelas satu di sekolahku, dan aku berada di kelas paling akhir. Kelasku, bareng kelas 1-9 dan 1-10 berada di koridor sekolah dan lebih dikenal dengan kelas akuarium. Ada empat puluh siswa di kelasku. Dari jumlah itu, anak cewek cuma empat belas orang, selebihnya anak cowok.
Setelah kenalan sana-sini, baru aku tau, ternyata setengah dari penghuni kelasku berasal dari luar Bandung, paling banyak berasal dari Lampung. Kalo yang dari Bandung, kebanyakan dari SMPN 5. Ada juga dari SMPN 2, SMP Aloysius, SMPN 13, dan beberapa SMP lainnya. Ternyata, bukan hanya aku orang "asing" di sekolah ini.
Kelasku menerapkan sistem duduk paburu-buru alias siapa cepat, dia dapat. Temen duduk pun boleh berganti setiap hari. Hal ini beda banget sama keadaan di SMP. Untungnya, aku udah dapet temen yang cocok. Namanya Ita, asal Bengkulu. Besoknya, walaupun posisi duduk bisa pindah dari ujung ke ujung, aku dan Ita tetap berdua. Perasaan senasib sebagai pendatang di kota Bandung, membuat aku bersahabat sama Ita yang dari Bengkulu, Mita dari Jambi, serta Ratih dan Justin dari Pontianak. Seneng banget rasanya, aku nggak sendiri lagi di sini.
Tetapi, ternyata masalah nggak selesai sampai di sini. Ada masalah yang lebih besar lagi. Pelajaran! Aku nggak tau, apakah pelajaran di Bandung yang
lebih "tinggi" daripada di Medan ataukah otakku yang tertinggal di bandara Polonia Medan.
Kata Ita sih, anak-anaknya aja yang kepinte-ran. Apa pun kenyataannya, aku harus menerimanya, nilai-nilai ulanganku berantakan. Ketika SMP, aku nggak pernah keluar dari lima besar di angka-tanku. Di kelas pun rangkingku nggak lepas dari satu atau dua. Tapi di sini, di sekolahku yang baru, mimpi jadi juara pun aku nggak berani. Gimana nggak, dapet nilai 6 aja rasanya udah harus jungkir balik. Untuk nilai Fisika dan Matematika, malah udah langganan do-re-mi. Ikut remedial" Tetep aja do-re-mi. Emang sih, nggak hanya aku yang dapet nilai segitu. Juga nggak hanya anak yang dari daerah. Tapi, tetep aja ... maluuu ... banget. Aku yang dulu selalu jadi juara kelas, di sini cuma jadi pecundang.
Kalo semua jeblok sih, kali aja gurunya yang nggak beres. Tapi, ini ... temenku ada
yang dapet nilai 7, 8, malah 9. Aku harus puas dengan angka 5, atau kadang-kadang angka 2. Gimana nggak down"
Lalu, aku ikut bimbel MaFiKi di Ipiems dan di Masjid Salman ITB. Kali aja ketularan pinternya anak-anak ITB. Karena pintar bukan penyakit menular, nilai-nilaiku untuk ketiga pelajaran itu nggak berubah banyak. Aku benar-benar merasa jadi orang paling debil sedunia.
Dengan prestasi akademis separah itu, mana berani aku ikut ekskul macam-macam, walaupun ada puluhan ekskul yang ditawarkan di sekolah. Masalahnya, lagi-lagi nggak pede. Semua yang ikut ekskul kayaknya udah saling kenal bertahun-tahun.
Kayaknya, semua tinggal nerusin ekskul yang pernah diikuti waktu SMP. Nggak ada yang kayak gitu di SMP-ku dulu. Aku harus mulai dari nol. Padahal, nilai pelajaranku udah hancur lebur. Ini masa paling kelam dalam sejarahku bersekolah.
Ada satu kejadian memalukan yang kualami ketika pelajaran bahasa Inggris. Sebenernya bahasa Inggrisku nggak jelek-jelek amat, tapi ya itu tadi. Semuanya seperti hilang tak berbekas. Ketika itu, guru bahasa Inggrisku Bu Fitri me-review pelajaran yang udah diberikan pada pertemuan sebelumnya.
"Ada pertanyaan"" Itu kalimat yang paling sering diucapkan oleh para guru, dan paling sering pula nggak ditanggapi oleh murid. Tapi, kali ini lain kejadian. "Kalau tidak ada pertanyaan, berarti semua sudah mengerti. Sekarang, coba jelaskan di depan kelas ...."
Aku super deg-degan ketika mata Bu Fitri berkeliling ke semua penjuru kelas dan mencari mangsa. Not me ...! Not me ...! "Kamu!"
Bah! Dari empat puluh anak di kelas ini ... kenapa harus aku yang ditunjuk" Kenapa tuh guru kelihatannya sentimen kali sama aku" Aku pernah disuruh nyapu di depan kelas gara-gara waktu hari piketku masih ada sedikit kotoran tertinggal di belakang pintu, padahal yang piket nggak hanya aku.
Sekarang ... ya ampuuun! Kenapa bukan Linda yang pindahan dari Australia aja sih, yang disuruh ngejelasin" Dia kan, bahasa Inggrisnya jago banget. Aku yang pada dasarnya emang mengalami krisis pede, makin panik aja. Sebisa mungkin aku ngejelasin, tapi ....
"Kalo cuma itu, semua juga udah tau!" kata Bu Fitri tajam.
Duh! Rasanya aku pengin tiba-tiba menghilang. Pengin tiba-tiba berada di Planet Mars. Tapi, aku masih tetap di sini. Di kelas 1-11 SMAN 3 Bandung.
Kata orang bijak, hidup ini ibarat roda yang selalu berputar. Kadang berada di atas, kadang di bawah. Masa sih, aku akan terus-terusan down dan nggak pede kayak gini"
Perkenalanku dengan lingkungan Masjid Sal-man, rupanya membawa efek positif. Emang sih, nilai MaFiKi-ku masih jauh dari membanggakan. Tapi, senggaknya aku merasa pedeku mulai tumbuh lagi. Aku jadi punya banyak temen baru. Ada yang sama-sama dari SMAN 3, juga dari SMA-SMA lain, ditambah mahasiswa-mahasiswa ITB dan Unpad.
Awalnya, aku hanya ikut mentoring, lalu gabung di buletin Suara Karisma (Sukma). Di sana, aku kenal Joe yang nggak pernah memandang susah hidup ini, kenal Kang Deden yang selalu positive thinking, dan yang lainnya. Semangat di Salman, terbawa ke sekolah. Semangat belajar nambah, walopun dikit.
Biarin aja deh, nilai Matematika, Fisika, dan kimia berantakan, yang penting aku udah berusaha. Kalo udah mati-matian berusaha tapi masih segitu-gitu juga, mau gimana lagi" Minat dan kemampuanku emang bukan di situ. Dari SMP pun aku nggak bercita-cita masuk jurusan eksak. Tapi, itu bukan berarti aku nggak bisa menjadi apa-apa.
Suatu hari, aku akan menjadi sesuatu. From nothing to be something.
Teera Tips Santai Siswa Pindahan
-Cari informasi sebanyak-banyaknya tentang SMA yang akan kamu masuki. Ini penting supaya nggak merasa asing di sana. Caranya" Tanya sama temen, tetangga, dan cari informasi lewat Internet, atau baca majalah remaja.
-Cari temen sebanyak-banyaknya, jangan hanya yang sama-sama berasal dari luar daerah. Sebagai pendatang, perlu dong, tau banyak tentang kota kamu yang baru. Bergaul sama sesama anak daerah terus, bisa bikin proses beradaptasi semakin susah. -Kalo jeblok di pelajaran tertentu, MaFiKi misalnya, jangan panik dulu. Mungkin bakat kamu ada di bidang lain. Pintar tuh, nggak selalu di bid
ang eksakta. BJ Habibie yang jenius di bidang iptek itu aja cuma bisa menyanyi lagu Bengawan Solo.
-Nggak perlu salah dulu untuk jadi benar. Kita bisa belajar dari kesalahan orang lain. Aku bisa aja sempat salah beradaptasi dan ngalamin krisis pede karena ngerasa sebagai anak daerah
yang nggak bisa apa-apa. Tapi, nggak berarti kamu juga harus ngalamin hal yang sama, kan" -Lupain siapa kamu waktu di daerah. Lain pa-dang lain belalang.
-Nggak cepat nyerah. Tetap pede sampe gede.
Bahasaku Aneh bin Ajaib ENTAH mimpi apa, sehabis pembagian ijazah dan NEM, aku dapet nilai di atas rata-rata. Hal ini membuatku girang banget. Makanya setelah pembagian itu, aku langsung pulang dan segera menemui ibuku.
"Syukur alhamdulillah, Emih ikut bahagia. Jadi atuh melanjutkan sekolah ke Bandung," komentar ibuku sambil memeluk dengan linangan air mata.
Malam harinya, aku menelepon kakakku di Bandung. Kebetulan, besoknya kakakku nggak ada kegiatan di kampus dan berjanji menjemputku ke kampung.
"Aku berhasil mendapatkan nilai yang kakak minta," kabarku masih di kawasan pantai utara. Subang, Jawa Barat.
"Oh iya, berarti kamu lulus dong, dan nerusin sekolah ke Bandung," reaksi kakakku di seberang telepon.
Ya, waktu itu ketika aku duduk di kelas dua SMP, aku, kakak, dan ibuku bikin kesepakatan. Intinya, kalo mau ngelanjutin sekolah ke SMA, aku harus berhenti gaul sama pemuda-pemuda yang nggak
sekolah di kampung halamanku dan giat belajar supaya dapet NEM yang tinggi, sehingga bisa nerusin ke sekolah negeri. Karena kalo sekolah di SMA swasta, biayanya lebih mahal.
Nggak lama, aku ke Bandung bareng kakak. Besoknya, aku langsung ngedaftar ke SMAN 24 Bandung. Setelah kunjungan pertama diantar kakakku, lalu kunjungan kedua, aku berangkat sendirian untuk melihat kelulusannya. Aku nyasar sampe terminal Cicaheum. Aku nanya-nanya dengan logat Pantura Indramayuku yang kental. Dan satpam yang kebetulan ada di situ, bukannya ngejawab kalo aku terlewat, eh ... dia malah membentakku.
"Ade tau nggak, saya ini lagi sibuk menye-brangkan para karyawan yang mau kerja. Sana, tanya ama sopir angkot aja!"
Aku seberangi jalan dan menghentikan angkot yang arahnya berlawanan. Aku duduk di kursi depan. "Mang, ke SMA, ya!" kataku.
Sopir angkot cuma diam dan nggak ngomong apa-apa.
Selama dalam perjalanan, aku udah was-was dan takut terlewat lagi. Makanya, aku agak bawel ke sopir angkot itu. "Mang, SMA-nya udah kelewat belum""
Sopir angkot itu juga diem aja. Mungkin melihat aku yang kebingungan dan gelisah, ada ibu-ibu yang duduk di belakangku menyapa, "De, mau ke SMAN 24, ya" Sebentar lagi juga nyampe."
Mendengar hal ini, aku sedikit plong dan mulai tenang. Nggak lama, angkot berhenti di depan gerbang SMAN 24 Bandung. Aku bayar angkot dan si sopir angkot marah-marah. "Tolong ditambah lagi gopek, kamu kan, naik dari Cicaheum, masa cuma bayar gopek, tekorlah aku!"
Aku pun masuk bareng orang-orang yang tampaknya punya tujuan sama, yaitu ingin melihat pas-sing grade SMAN 24. Ternyata, NEM-ku jauh di atas batas minimal. Akhirnya, mimpiku semakin nyata bisa sekolah di kota Bandung. Yang penting, aku bisa ninggalin masa laluku yang kacau dengan pergaulan yang kurang baik dan bisa ngebuktiin ke temen-temen SMP kalo aku bisa sekolah di Bandung. Sementara itu, kebanyakan temen SMP-ku banyak yang putus sekolah.
Sebelum resmi masuk sekolah, selama seminggu aku harus ikut MOS. Aku benar-benar celingukan karena belum kenal siapa pun. Sementara itu, siswa lainnya nggak canggung lagi sama temen seangkatan, bahkan sama kakak kelas.
Pernah suatu ketika, aku kena sanksi karena perlengkapan MOS-ku nggak lengkap. Aduh ... malunya luar biasa, aku disuruh nyanyi sambil joget berdua sama Dewi Kurnia, siswi baru dari Rancaekek pinggiran kota Bandung.
Di hari kedua, aku nggak make topi SMP karena topi SMP-ku entah di mana. Aku pun disuruh memeragakan berbagai gerakan oleh seniorku yang galaknya minta ampun. Dia memiliki postur tubuh yang tinggi, badannya besar, matanya sipit. Senior yang galak itu adalah Kang Dudi Iskandar, yang dalam perjalanannya nanti dia jadi temenku di tim
bola voli. Hari ke tiga diisi penyegaran rohani, aku melihat ternyata ada temen yang baik hati dan bisa diajak ngobrol. Bukan hanya itu, dia kakak senior yang asal daerahnya Subang, namanya Kang Yepi, sang ketua Rohis. Orangnya ramah dan penuh perhatian padaku. Aku sering curhat mengenai perbedaan kul-tur dan anak-anak di sini dengan di kampung hala-manku.
"Kenapa kamu mau sekolah di Bandung, padahal di tempatmu banyak SMA yang bagus"" tanyanya.
"Ah ... pengin tau aja, rasanya sekolah di kota itu kayak gimana!"
"Ya, mudah-mudahan kamu betah. Ingat, hal pertama yang akan kamu rasakan adalah perbedaan budaya dan adaptasi yang harus cepat."
"Iya Kang, makasih sarannya."
Keesokan hari, ada mentoring tentang berbagai hal. Setelah mentoring, sering diadakan diskusi atau debat antar kelompok. Yang menyedihkan, aku nggak kebagian kelompok atau tepatnya nggak ada orang yang mau mengajakku karena mereka nggak kenal sama aku. Mereka bikin kelompok berdasarkan kenal atau nggaknya.
Dengan bantuan kakak senior cewek, aku bisa ikut kelompok yang lain. Namun, ketika ada ungkap gagasan, aku sering diketawain ama mereka. Entah apa alasannya, karena yang ikut mengetawain bukan hanya temen-temen kelompokku, kakak kelasku pun demikian.
Namun, ada seorang kakak kelas sebagai men-toringku yang baik, namanya Teh Wulan, dia yang senantiasa membelaku ketika aku diketawain ama temen-temen karena aksen bahasaku yang tergolong langka dan aneh di telinga mereka. Namun, Teh Wulan senantiasa menyemangatiku agar aku nggak minder dan bisa beradaptasi sama temen-temen yang lain.
Selesai sudah acara MOS-nya, dan di akhir acara MOS, mulailah dibagi kelas-kelas. Akhirnya, aku kebagian di kelas 1-7.
Senin merupakan hari pertama resminya aku memakai seragam abu-abu. Aku nggak pede banget sama penampilanku. Topi yang kecil, pakaian yang agak ketat, dan celana yang panjangnya hanya sampe betis. Hal itu membuatku jadi bahan tontonan.
Aku celingukan dan berdiri paling belakang di antara barisan kelasku dan nggak berani ngomong apa pun ke temen-temen baruku. Sementara itu, mereka asyik bisik-bisik dalam suasana upacara. Kondisi ini pun terus berlangsung pada suasana kelas yang menurutku garing dan nggak ngeliatin kalo mereka udah pada SMA. Semuanya kayak anak-anak yang usianya jauh di bawah usiaku. Padahal kalo dilihat dari akta kelahiran, mereka semua sama. Perasaan, mereka tetep belum bisa ngilangin kebiasaan-kebiasaan waktu SMP.
Heru dan Dadang temen sekelasku yang selalu meledek kalo aku ngomong sering bikin aku malu dan nggak pede kalo ngomong apa pun di depan
mereka. Setiap kata yang keluar dari mulutku, sepertinya jadi bahan lawakan buat mereka. Karena, mereka langsung tertawa sebelum menjawab pertanyaanku atau mengomentarinya.
"Dul, emang budaya di sana gimana, sih" Aksen ngomongmu itu yang bikin kami-kami pengin ke-tawa!" tanya Indah.
"Beda banget sama bahasa Sunda di sini," sambung Rimela yang pendiam dan berkerudung.
"Nggak tau, sih. Perasaan, aku ngomong biasa-biasa aja, kalian aja yang seneng maenin orang." Aku sedikit tersinggung dengan perlakuan temen-temen yang senantiasa ngatain aku dengan kata-kata yang belum terbiasa di telingaku.
Hampir setahun, tepatnya begitu mau naik kelas dua, bahasa Sunda-ku yang beraksen Pantura Indramayu mulai mencair menjadi bahasa Sunda Bandung. Itupun berkat bantuan temen-temen yang senantiasa mengoreksi aksenku.
Doel Wahab Tips Gaya Beda Bahasa Daerah
- Harus disadari kalo yang namanya bahasa, pasti beda-beda sesuai geografisnya. Oleh karena itu, kamu jangan nyalahin diri sendiri karena nggak bisa gaul gara-gara faktor bahasa yang beda. Jalan terus, yang penting jangan sampe menyinggung bahasa orang lain, sebelum kamu betul-betul akrab sama temen-temen barumu.
- Jangan terlalu dimasukin hati kalo ada temenmu mengolok-olok waktu kamu beradaptasi dengan nada bicara bahasa daerahmu. Itu hal yang wajar dialami setiap orang yang masuk ke budaya baru baginya. Kalo kamu terus merasa tersinggung atau menyimpan dendam, percayalah kamu nggak akan bisa diterima sama komunitas barumu. Gurauan mereka sama kamu bukan sesuatu yang disengaja, namun
mereka pengin sesuatu yang lucu dan hiburan di suasana tersebut.
- Kalo bisa, kamu harus pede dengan bahasa daerah atau bahasa asalmu, karena itu akan membantumu menjadi orang penting di lingkunganmu. Suatu saat nanti, kamu akan menjadi orang nomor satu ketika ada orang yang nanya-nanya
mengenai istilah atau budaya kamu. - Berlapang dada ketika kamu ngedapetin budaya baru. Inget, perbedaan itu pasti akan kamu alami terus. Dan itu bisa menambah kaya budaya. Pe-lajarilah bahasa baru yang kamu dapetin, kemudian endapkanlah dan suatu saat, itu akan bermanfaat buat kamu. Selain itu, kamu pun akan semakin kaya bahasa, bahasa daerah yang kamu bawa sebagai bahasa ibu, dan bahasa baru yang kamu dapetin di lingkungan barumu. Intinya, jangan fanatik terhadap bahasamu, namun lebih bersikap fleksibel dan perkuat prinsipmu aja!
Madiun, Ampuuun... ! KONON, masa SMA adalah masa terindah, ma-kanya banyak seniman yang bikin lagu atau film soal SMA. Ada yang sedih, seneng, mewah, nakal, de-el-el. Tapi, apa kabar kalo SMA tempat kita "ngong-krong" selama tiga tahun ada di kota kecil yang gaya hidup, kebiasaan masyarakat, bahasa, dan kulturnya beda banget ama kebiasaan kita"
Sebagai anak Bandung yang agak badung jadi sering kena pentung, aku emang rada linglung waktu itu. Ceritanya, aku lagi bosen ama Bandung dan pengin nyari pengalaman baru. Setelah melalui "perundingan meja bundar" di rumah, akhirnya ortu ngi-zinin aku sekolah di luar kota, dan alternatif pertama adalah Madiun, karena di sana tempat tinggal keluarga ayahku. Aku belum pernah "sama sekali" ke Madiun dan belum pernah juga ketemu keluarga ayahku. Tapi dasar, aku cuek aja dan teuteup yakin pengin keluar dari Bandung. Dugaanku, namanya juga kota, pasti nggak jauh beda lah, sama Kota Bandung, so, nothing to worry about. Aku juga udah bilang sama ortu kalo di sana, aku nggak mau tinggal sama keluarga ayahku, jadi aku pengin kos
aja, untungnya diizinin. Nggak lama setelah itu, ada kabar dari Madiun bahwa aku udah terdaftar resmi sebagai siswi SMA Negeri yang katanya cukup kondang dan gosipnya juga, sekolah itu difavoritkan di sana. So ... bye ... Bandung! Madiun, I'm coming!
Dugaanku soal Madiun ternyata meleset jauh kayak dari Sabang ke Merauke. Di sini nggak ada jalan gede dan rame kayak jalan Soekarno-Hatta di Bandung yang punya empat badan jalan. Jalan di sini lebih sepi dan nggak kenal macet. Jadi, perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya cuma beberapa menit, jalannya juga lurus dan jarang sekali ada perempatan lampu merah, kecuali di pusat kota dan itu pun teuteup nggak serumit dan sepadat Bandung. Kalo di Bandung, dari rumah ke sekolah bisa sampai sejam plus macet, kalo di Madiun, sejam udah bisa ke kota lain, misalnya Ngawi, Nganjuk, Magetan, dan kota lain di sekitar Madiun.
Kendaraan paling banyak adalah bus. Di Madiun nggak ada angkot, jadi aku ke sekolah pake bus umum. Buat aku, naik bus tuh, aneh berasa kayak mau keluar kota atau perjalanan jauh gitu apalagi kalo harus berdiri di tengah bus SENDIRIAN, malu banget, bo! Rasanya kok, aku tampak jelas gitu, jelas malunya, jelas kikuknya, jelas bingungnya, jelas mau jatuh tiap bus direm, dan jelas jeleknya hihihi ... apalagi, sebelah tangan megang kertas alamat sekolah plus ancang-ancang penjelas kayak turun di sini, jalan ke sini, dsb dan mata nggak boleh lepas perhatian dari semua yang dilewati. Waktu aku udah yakin sama gedung sekolahnya yang
kebetulan di pinggir jalan aku bilang kiri dari tengah-tengah bus, jadi harus teriak rada kenceng, "KIRI! KIRI!" sampai-sampai, semua penumpang ikut ngo-mong "kiri". Duuuh ... kalo ada kepiting rebus berjajar sama aku, pasti warnanya sama deh, sama mukaku ternyata, cara turun kayak gitu salah, harusnya kalo udah mau turun, kita jalan ke deket pintu biar kondektur yang ngasih kode ama sopir untuk berhenti, jadi nggak perlu heboh kayak tadi. Lebih sial lagi, kebiasaan kendaraan operasional utama itu adalah "nggak pernah bener-bener berhenti", jadi kita harus pinter-pinter jaga keseimbangan kalo turun.
Sampe di gerbang sekolah, rasanya lega banget lega aku nggak nyasar getoh. T
apiii ... tiba-tiba aku jadi ngerasa tau gimana perasaan ikan-ikan di akuarium. "Oh, tidaaak ... kenapa semua orang pada ngeliatin aku"!"
Aku jadi rada salting tapi teuteup jalan dengan pede dan cuek, orang nggak kenal ini, kok. Tapi, aku nggak habis pikir, aku kan, udah dandan khusus hari ini, dandan paling funky mastiin nggak ada yang aneh atau sesuatu yang bakal bikin orang ngatain aku nggak fashionable. Tapi kok, malah semua orang baik yang masih pake baju putih-biru kayak aku atau yang pake kemeja safari alias guru pada ngeliatin aku. Dan cara ngeliatnya itu lho, jelas bukan memandang "Wow! Ini dia gaya paling gaol!" tapi ... keliatannya mereka lebih kayak bilang, "Mahluk aneh apa ini, ya""
Mata-mata mereka ngeliatin aku dari atas ke
bawah atau sebaliknya, bahkan dari depan belakang juga! Ada yang ngeliatin sepatu NB-ku yang talinya model "rakit tenggalam", ada yang ngeliatin gelang kakiku dari bahan kulit warna hitam yang aku pake di luar kaus kaki, ada yang ngeliatin rokku yang setelah aku perhatiin, ternyata bahan dan warnanya beda dari rok anak-anak cewek di sana, ada yang ngeliatin baju putihku yang "ngelewer" karena emang nggak aku masukin, tapi cukup dikerut pake tali sepatu, ada yang ngeliatin ranselku yang kecil dan nempel di tengkuk yang penuh coretan tanda tangan nggak penting waktu kelulusan, pilox, dan peniti Lho" Iya karena waktu itu, di Bandung lagi tren tas pake tempelan-tempelan peniti ada yang ngeliatin model rambutku, tapi paling banyak mereka ngeliatin lima tindikan di kupingku yang beranting. Padahal, cuma lima! Di Bandung, banyak te-menku yang punya lebih banyak tindikan belakangan, antingku jadi masalah dan terpaksa harus ditutupin pake rambut kalo ada guru-guru tertentu.
Karena risih dan sebel diliatin terus, aku balas ngeliatin mereka. Akhirnya, aku baru ngeh! Mereka semua ngeliatin aku karena aku emang beda dan perbedaan itu keliatan mencolok. Dari mulai sepatu, cara berpakaian, tas, dan gaya mereka semuanya beda, dan tampak aneh di mataku. Iiih ... beda banget deh, kalo menurutku mereka tuh, gayanya kebalikan di Bandung. Jadi greget rasanya, padahal mungkin emang begituah tren di sana. Tapi, ego aku bilang bahwa gayaku doang yang paling bener dan asyik karena semua orang Bandung juga begini.
Aku jadi mikir, "Mereka harus diubah, biar kayak orang Bandung!" Lagi pula, apa kabar kalo aku harus temenan ama anak-anak yang nggak funky!
Sebenernya, aku rada bingung masuk gedung sekolah itu, selain karena aku diliatin terus, gedung itu juga gede dan luas, dari struktur bangunannya emang beda ama bangunan-bangunan yang aku lihat selama perjalanan ke sekolah. Di sini cenderung lebih modern, lebih rapi, lebih tertata, dan lebih bersih. Lapangan upacaranya luas, dan ada lantai yang lebih tinggi di ujung, mirip pangung yang disediakan untuk kelompok aubade paduan suara yang nyanyi dalam upacara. Di belakang sekolah, ada lapangan olahraga yang luas banget, mungkin lebih luas dari lapangan sepak bola di lapangan itu juga nantinya, aku curi-curi belajar nyetir mobil, hihihi...Hm, emang sekolah favorit kali yeee boleh juga bagunannya.
Biarpun aku rada bingung, aku inget pesen ibuku, "Kalo di terminal, jangan suka keliatan bingung, ntar gampang ditipu." Biarpun sekolah ini bukan terminal, tapi ada juga samanya, sama-sama bikin aku bingung. So, biarpun rada bingung, aku teuteup cuek dan pede. Untung aja permen karet yang aku kunyah cukup ngebantu. Fungsi permen karet buatku ada tiga, yaitu; buat gaya, buat ngi-langin sisa makanan, dan buat ngilangin nervous. Masalahnya, sejauh mata memandang, kayaknya cuma aku doang yang luntang-lantung dan ... SENDIRIAN. Semua orang pada ngumpul berkelompok atau minimal berdua tapi nggak sendirian, dan
mereka rata-rata ngumpul di depan pintu kelas, mungkin itu kelas mereka. Kalo aku ... yang aku tau cuma ... aku siswi SMA ini dan kelasku 1-C tapi belum tau letaknya.
TENG! TENG! TENG! Waktu semua orang mulai sibuk masuk kelas, aku segera berbaur sambil terus merhatiin nomor kelas di atas masing-masing pintu. Aha! Akhirnya ketemu juga dan aku masuk kelas itu, langsung duduk d
i bangku kosong di depan aku emang lebih suka duduk di depan biar jelas lagi-lagi sendirian. Info yang aku tau, acara hari ini cuma perkenalan dan persiapan penataran (MOS dan sejenisnya ditiadakan, belakangan baru ketauan kalo acara "galak-galakan" para senior dialihkan ke program ekskul PRAMUKA yang wajib diikuti anak kelas 1).
Seorang kakak kelas cowok masuk diikuti beberapa senior lainnya, jumlah mereka sekitar enam orang. Mereka memperkenalkan diri dan katanya bakal jadi kakak pembimbing di kelasku dalam program Pengenalan Sekolah. Pemimpinnya sekaligus ketua OSIS bernama Brihan Dedy, dia cukup kharismatik, makanya jadi ketua. Sejak kakak-kakak itu mulai ngomong dan anak-anak lain mulai bisik-bisik, aku bener-bener takjub dan berasa beda banget, kayak lagi di mana gitu. Bahasa mereka aneh dan aku sama sekali nggak ngerti.
Aku duduk miring dan nyender "dikit" ke tembok, senyum-senyum kadang cengar-cengir sendiri karena cara ngomong dan tingkah temen-temen sekelasku lucu banget. Nama-nama mereka juga aneh
buatku, ada yang namanya Sugeng dan Erwin tapi cewek, ada Nina Faen Fee tapi asli Madiun dan nggak punya "keturunan asing", yang paling aneh adalah temen cowok yang namanya Puguh, tapi cara baca "u" dalam nama itu adalah antara "o" dan "u" ... bayangin sendiri, deh! Dan cuma aku doang yang nggak bisa ngucapin nama dia dengan pro-nounciation yang bener sehingga dia selalu protes tiap aku sebut namanya.
Waktu giliran aku ngenalin diri, perasaan aku kayak ngomong di panggung dan nerima anugerah Oscar, karena kelas mendadak sepi dan semua mata mutlak ngeliatin aku. Penampilan, bahasa, dan cara ngomong aku beda sama mereka. Mungkin mereka bilang dalam hati, Tuh kan, ni anak emang beda, dari planet mana, ya"
Waktu mereka tau aku dari Bandung, mereka pada ngeliatin aneh gitu, sebagian besar temen-temenku emang belum pernah ke daerah Jawa Barat. Jadi, soal Bandung juga mereka hanya sebatas nonton sinetron, film, atau liputan dari teve atau kabar yang mereka denger dari orang yang pernah ke Bandung. Nah, dari situ, aku jadi maklum dan nyiapin diri jadi bahan perhatian umum. Hal yang lucu, mereka mengangap bahasa Bandung selalu di-tambahin huruf "k" di belakang kata, misalnya "tempe" jadi "tempek" padahal nggak gitu, tapi katanya kalo dari logatku kedengaranya gitu, jadi waktu ada yang bernama "Tuti" aku pikir cara penulisannya "Tuti" karena itu yang lazim aku tau, tapi ternyata cara penulisannya "Tutik". Jadi, kalo kata itu diakhiri
bunyi seperti cara kita baca "tidak", maka kata itu pasti ditulis dengan "k" di belakangnya. Banyak lagi huruf yang pelafalannya beda, tapi sama cara penulisannya.
Selama acara perkenalan, aku curi-curi pandang ke sekeliling sekolah untuk melengkapi observasiku soal sekolah ini. Tempat parkirnya dipenuhi motor. Mobil diparkir di pelataran parkir depan sekolah. Aku mikir, Gila, gurunya banyak banget, karena dugaanku motor-motor itu punya para guru. Hm, aneh juga.
Khusus soal motor, lama kelamaan aku baru tau, kalo motor-motor itu bukan milik guru, tapi milik murid-muridnya. Wow! Kalo di Bandung, waktu itu murid yang bawa kendaraan nggak sebanyak ini, cuma sebagian kecil doang, tapi di sini hampir sembilan puluh persen. Ternyata, motor udah jadi kendaraan standar banget di sana. Anak SD aja asal kakinya udah nyampe pijakan, dia bakal bawa motor ke jalan raya walaupun belum punya SIM. Kalo aku menganalisa sih, mungkin karena penduduk di sana banyak yang rumahnya jauh dan medannya susah, nggak ada angkutan dan nggak mungkin juga dilewati sepeda.
Untungnya, aku udah bisa bawa motor di Bandung, jadi aku nggak dianggap lebih aneh lagi di sana by the way waktu itu di Bandung, cewek yang bisa bawa motor dipandang one step ahead, tapi di sini sama biasanya kayak orang pake baju. Tapi ada juga lucunya, kalo di Bandung dari anak sekelas pertanyaannya "Siapa yang bisa pake motor"", kalo
di sini "Siapa yang bisa pake sepeda"" Karena di sini, semua orang pasti bisa pake/bawa motor, tapi belum tentu bisa pake sepeda. Hahaha ...! Akhirnya, aku jadi lumayan lebih pede dalam pergaulan karena aku cewek yang bisa pake
sepeda, I'm step ahead ... mungkin.
Pelajaran di SMA baruku nggak jauh beda ama pelajaran di Bandung, bobotnya, rumus-rumusnya, mungkin cuma cara ngajarnya aja yang beda. Untungnya, di sini nggak ada pelajaran bahasa daerah. Coba kalo ada, pasti duka nestapa bakal jadi temen deketku. Masalah utama adalah aku sama sekali nggak tertarik untuk belajar bahasa Jawa ego banget ya, aku" jadi, aku sulit banget bisa bahasa Jawa, walaupun aku tinggal di sini. Tapi, aku kan, belum tentu bakal tinggal lama di sini itu niatku, tapi kenyataannya aku sekolah di sana sampe kelas tiga. Keegoisanku nggak mau belajar bahasa Jawa bikin aku kena masalah juga.
Ceritanya ada, seorang anak cowok nama panggilannya Solo, nama aslinya aku nggak tau yang ngasih tau aku untuk selalu membungkuk dan ngucapin sebuah kata tertentu kalo lewat di depan orang, katanya itu cara kita menghormati dan menghargai orang lain. Aku ngerasa, beruntung karena akhirnya ada juga yang baik hati nolong aku kayak gini, mungkin dia bisa aku jadiin temen. Tapi ternyata waktu aku praktikin, kata-kata itu berarti sangat jorok dan kasar, sehingga bikin orang yang aku lewati tersinggung dan marah. Tapi setelah aku minta maaf, dari logat dan bahasaku dia tau aku
bukan orang sana, dia pun memaafkan. Hhh ... daerah baru bahasanya pun baru aku denger, ternyata "matamu" kalo di sana adalah kasar dan termasuk kata umpatan, padahal kan, kalo dalam bahasaku sehari-hari kata itu sama sekali bukan kata yang berarti buruk. Aku jadi males temenan sama anak cowok yang badung itu, untung dia beda kelas dan akhirnya pindah sekolah waktu kelas 2.
Setelah kasus itu, aku jadi lebih hati-hati untuk percaya sama orang yang baru aku kenal. Info aja, Bandung dianggap lebih baik, jadi seolah-olah ada tuntutan bahwa aku harus serbabisa, serbatau dan serbapinter dalam semua pelajaran nggak tau ya, kalo itu cuma perasaanku aja. Jadi, aku tengsin banget kalo imej itu rusak, jadi deh, aku kasak-kasuk membekali diri pake bermacam-macam info. Terutama yang paling up to date, maksudnya jadi biar aku yang jadi penyampai informasi pertama.
Dari Bandung, niatku emang pengin jadi anak baik yang nggak pernah melanggar peraturan sekolah kecuali kepepet, misalnya kepepet ngantuk berat atau males berat (hehehe ...). Gayaku yang cuek abis padahal, sebenernya aku merhatiin, kok bikin guru-guru kadang kesel, tapi biasanya mereka senyum lagi kalo nilai ulangan atau tugasku bagus. Nilai paling tinggi aku dapat dari bahasa Inggris modalnya ngira-ngira, hihihi ... nilai paling ancur adalah Matematika Ekonomi. Bahkan, aku kena masalah sama ibu guru Matematika Ekonomi dan nilai raportku nggak diisi alias kosong. Akhirnya, aku disidang dewan sekolah. Tapi dalam kasus ini, aku "dibebaskan
bersyarat" dengan jaminan harus nyusun pelajaran Matematika Ekonomi yang udah diajarkan dari Bab 1-12. Pfffh! Setelah "kerja rodi" itu, akhirnya ada juga nilai 6 di raportku.
O, iya ... waktu mau beli sepatu, aku dan Sun-dari yang biasa aku panggil "Mer" singkatan dari Marylin Monroe. Abis, rambutnya mirip banget aku baru tau kalo di kota ini nggak ada mal! Jadi, di pusat kota cuma ada deretan toko dan ... toko-toko itu ternyata tutup pukul dua belas siang, buka lagi pukul dua atau pukul tiga, lho" Iya emang gitu. Ada toko yang lumayan gede dan karyawannya agak banyak, dan tetep buka pas pukul dua belas. Nama tokonya President Plaza, dan di situ aku beli sepatu. Mal baru berdiri waktu aku kelas 2.
Selama semester pertama, kegiatanku dipakai lebih banyak untuk adaptasi, cari info sebanyak-banyaknya tentang kota ini dan menyebarkan "is-me-ku". Di luar dugaan, berhasil juga, lho! Kalo semula aku sempet sedih karena selalu jalan atau mondar-mandir sendirian waktu di Bandung, aku punya geng sekolah, jadi nggak pernah sendirian akhirnya, aku punya juga geng yang loyal dan nge-rasa cocok temenan sama aku, salah satunya gara-gara modal bahasa Inggris itu.
Bukti keberhasilanku antara lain, temen-temen sekelasku, senggaknya temen-temen yang deket sama aku mulai bergaya ngikutin aku, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Mulai dari gelang kak
i dipake di luar sepatu, baju "dikelewerin", atau model rambut yang rada "nggak jelas". Tapi,
tindik kuping belum ada yang ngikutin karena di sana nggak ada "counter tembak kuping". Palingan cuma beberapa anak cowok yang berani nindik kuping "manual" aku nggak pernah nyuruh, lho. Ada enak dan nggak enaknya jadi sorotan. Enaknya, aku berasa jadi trendsetter, nggak enaknya males banget diperhatiin berlebihan.
Gimanapun, sekolah di Madiun jadi kesan tersendiri buat aku dan ngasih aku pengalaman hidup yang berharga. Nah, buat kamu yang juga punya rencana pindah ke kota kecil, ada beberapa tips yang kali aja berguna buat kamu.
C.N, Murtiana Tips Pindah ke Kota Kecil
- Kalo di tempat baru, jangan kelihatan bingung, nanti gampang ditipu.
- Pede sama diri kamu, walaupun kamu kelihatan beda. Pede bukan berarti harus sombong, lho!
- Jaga reputasi kota asal kamu, jaga juga harga diri dan kehormatan kamu.
- Jangan pernah menyamakan daerah baru dengan kota lama kamu, karena masing-masing daerah punya khas dan gaya hidup masing-masing.
- Funky ... wajib! Tapi drugs, cigarette, dan free sex ... NO WAY!
- Nggak kenal siapa-siapa bukan berarti night-mare, karena itu justru kesempatan buat kamu jadi "The Brand New You" sesuai sama yang kamu impikan. Misalnya di sekolah lama kamu terkenal suka ngupil, di tempat baru, kamu bisa bikin image baru bahwa kamu penemu mesin daur ulang, hihihi ....
- Selalu hormati senior kamu, guru-guru, dan semua tetangga baru kamu.
- Jangan sampe punya musuh dan jangan sampe bikin rugi orang lain.
- Cari dan pelajari informasi sebanyak-banyaknya soal daerah dan sekolah baru kamu.
- Jangan gampang percaya bahasa daerah yang diajarin temen kamu, cek dulu siapa tau artinya jelek.
- Ciptakan satu moto hidup yang cool abiz, selain buat gaya, itu juga bisa jadi penyemangat kamu kalo kamu lagi down.
Go International, Girl! HARI pertama masuk SMA, perasaanku beran-takan banget. Saking berantakannya, aku bingung dari mana harus mulai berbenah.
Aku melangkah seperti melayang. Setiap suara yang kudengar, siap mengobrak-abrik pikiranku. Bahkan, hangatnya matahari pagi nggak mampu ne-nangin hatiku yang siap meledak. Aku duduk di bangku stasiun. Kugeser ransel biruku ke samping dengan kasar. Kutatap ransel itu dengan galak. Ransel ini jadi temen hidupku sepanjang tahun pertama di SMA.
"Ransel nggak tau diri!" bentakku.
Orang-orang di stasiun mulai melirik heran ke arahku. Mungkin mereka pikir, aku seorang remaja yang kena stres akut. Emang sih, nggak salah-salah amat! Tukang koran yang dari tadi tersenyum ramah, malah kupelototi dengan sangar. Sori, sebe-nernya, aku nggak bermaksud jadi orang judes.
Ketika kereta api datang, kutarik kembali ransel biruku. Dengan sebal, kugendong dia di punggung. Ketika aku berdiri .... Hwaaa ... hampir aja aku terjungkir ke belakang! Ransel ini berat banget!
Isinya adalah tempat pensil, buku-buku tata bahasa, buku tulis dan empat kamus tebal-tebal. Kamus Inggris-Inggris, Indonesia-Inggris, Inggris-Indonesia, dan Jerman-Indonesia.
Dari SuBenbrunn, naik kereta api ke Leopol-dau. Dari Leopoldau naik trem nomor 25, lalu turun di Kagran. Aku udah menghafal rute ini berkali-kali sampai terbawa mimpi. Dari stasiun Kagran, aku berjalan melintasi area parkir yang sangat luas dan ... JRENG!!!
Keberadaan sebuah gerbang langsung menonjok mataku. Sebenarnya, gerbang itu biasa-biasa aja. Malah, lebih mirip jeruji penjara. Hanya, di sebelahnya ada lambang bola dunia dengan tulisan "Vienna International School". Empat bendera berkibar gagah di belakangnya. Arus ratusan pelajar mengalir dari gerbang menuju bangunan bermotif bata merah dengan kusen-kusen putih berderet rapi. Bangunan itu terlihat besar. Dan memang, dalam kenyataannya sangat besar karena memuat TK, SD, SMP, dan SMA.
Aku terpana melihat kebun mawar yang menghiasi halaman bangunan, juga area parkir yang luas dan bersih, dan pohon-pohon rindang dengan tempat duduk di bawahnya, dan kolam ikan yang airnya sangat jernih, dan amphliteater, dan ... beda banget sama sekolahku waktu di Bandung.
Aku berjalan terbungkuk-bungkuk, menahan beban ransel
di punggung. Karena takut terlepas, aku ikat tali ransel itu di dada dan di perut. Ketika tiba di depan pintu yang terbuat dari kaca, aku
memandang pantulan diriku nggak percaya. Aku mirip kura-kura ninja dengan tempurung besar di belakang!
Melewati pintu utama, aku memasuki hall yang sangat luas dan terang. Aku berdiri di salah satu sudutnya sambil merogoh saku rokku. Kukeluarkan lembaran kertas yang udah agak lecek dan penuh dengan coretan-coretan terjemahan. Di situ tertera, di hari pertama ajaran baru, kita semua harus kumpul di ruang teater. Untung ada denahnya. Jadi, aku tidak perlu buang-buang waktu dengan acara tersesat segala.
Ruang teater berada tepat setelah hall. Tulisan emas di atas pintu kayu yang besar menegaskannya: THEATRE. Kukira, ruang teater itu biasa-biasa aja. Tapi ternyata, lebih mirip gedung bioskop! Langit-langitnya tinggi, dan luasnya mungkin setengah lapangan sepak bola. Aku memilih kursi paling belakang yang masih kosong. Kuturunkan ranselku dengan suara "gedebug" yang membuat orang menoleh kaget.
Beberapa saat kemudian, seseorang naik ke atas panggung dan berpidato, lalu seorang bapak berkumis, disusul oleh seorang kakek dengan kepala botak mengkilat. Kurasa, mereka adalah petinggi-petinggi sekolah ini.
Ketika semua orang bertepuk tangan dan mulai beranjak dari tempat duduk, kepalaku seperti dihantam ratusan karung beras. JEGEEER ...!!! Aku seperti disadarkan pada kenyataan kalo AKU NGGAK NGERTI SEPATAH KATA PUN YANG MEREKA KATAKAN! Ya, aku pindah ke sini tanpa persiapan ketika di Indonesia. Tiba-tiba aja ayahku diterima bekerja di luar negeri, dan kami sekeluarga ikut. Aku nggak pernah kursus bahasa Inggris, apalagi bahasa Jerman bahasa nasional negara tujuan kami. Yang aku andalkan saat itu, hanyalah bahasa Inggris yang kupelajari selama di SMP.
Aku diterima di sekolah ini karena reputasiku yang cukup baik. Semasa SMP, aku selalu rangking satu. Selain itu, aku juga sering memenangkan lomba. Kalopun bahasa Inggrisku sangat kurang, toh sekolah ini punya program kelas tambahan. Namanya kelas ESL (English as a Second Language). Dan guru-guru di sekolah ini yakin, cepat atau lambat, aku akan bisa berbahasa Inggris.
Aku keluar teater dengan langkah gontai. Kegalauan mulai bertebaran di udara yang aku hirup. Kukeluarkan lagi kertas lecek itu. Menurut jadwal, sekarang aku harus pergi ke kelas homeroom. Kelasku T1B, singkatan dari Tutorial House kelas 1B (setara dengan SMA kelas 1). Dan menurut denah, kelasku itu ada di lantai dua, di sayap gedung paling belakang.
Aku berdiri di depan pintu kelas, seperti sedang menunggu ajal tiba. Melewati pintu ini, sama dengan mengubah hidupku selamanya, kataku dalam hati. Tapi mau nggak mau, aku harus melewati pintu ini dan masuk ke kelas!
Aku memandang kelas dan temen-temen baruku. Mereka semua sibuk ngobrol. Tentu aja, mereka
udah saling kenal karena sejak SMP udah ada di sekolah ini. Bahkan, ada juga yang di sini sejak TK! Nggak ada yang merhatiin aku. Seolah-olah, aku ini cuma hantu gentayangan yang nggak terlihat oleh mata telanjang. Sebenarnya, aku agak kecewa dan marah juga.
Hello ... anybody home" Aku anak baru nih, di sini! Kok, nggak ada yang merhatiin, sih" jeritku dalam hati. Tapi, untung juga, sih. Kalo mereka merhatiin dan nanya-nanya, aku bakal kelabakan harus ngejawab apa.
Sebuah kursi kosong di deretan belakang langsung menarik mataku. Aku duduk di sana dengan gelisah, seperti kambing congek. Dan lebih parah lagi, seperti orang nggak penting banget. Tiba-tiba, seorang cowok datang mendekat. Dia tersenyum ramah. Aku kege-eran. Ya ampyun! Pagi-pagi geneh udah dapet senyum dari cowok berambut pirang! Ini belum pernah terjadi dalam sejarah kehidupanku!
"Hai, namaku Mirko. Kamu siapa"" (Di SMA kelas 3, Mirko dinyatakan meninggal dunia, tapi mayatnya nggak pernah ditemuin).
"Namaku Asih." "Oh, kamu dari mana""
"Dari Indonesia."
"Boleh lihat jadwalmu""
"Boleh." Pertanyaan standar, dengan kosakata dan tata bahasa yang masih gampang. Cara ngomongnya juga jelas. Jadi, aku bisa mengerti.
"Wah, ternyata kamu sekelas denganku di pelajaran Matematika," kata
nya sambil tersenyum. "Oh, ya" Senang sekali!" kataku dengan logat dibuat-buat.
Ya, di sekolah ini, tiap orang punya jadwal pelajaran berbeda, bergantung pada apa yang dipilih dan sesuai kemampuannya. Misalnya, kalo dia jago Matematika, dia bakal ditempatin di kelas Matematika A. Kalo Matematikanya lebih dari cukup, ditempatin di kelas Matematika B. Kalo Matematikanya standar, di kelas Matematika C. Jadi, homeroom cuma kelas buat ngabsen.
Guru homeroom (wali kelas) akhirnya datang. Semua langsung diam. Beliau ngomong panjang lebar bla bla bla .... Aku merhatiin dengan serius, tapi bukan merhatiin kata-katanya karena aku nggak ngerti melainkan anting-anting anehnya yang bergelayutan ke sana kemari. Tiba-tiba aja guru itu menyebut namaku. Aku bergerak kaget, seperti habis disengat lebah. Semua yang ada di kelas refleks menengok ke arahku. Oh, aku rasa, guru ini lagi ngenalin murid baru. Dia juga menyebut nama Jennifer Rieper. Berarti, ada dua murid baru di kelas ini.
Bel pun berbunyi, tanda homeroom harus bubar dan masuk ke kelas masing-masing sesuai jadwal. Aku berdiri di lorong sepi dan kebingungan. Orang-orang udah masuk kelas beberapa menit yang lalu. Sedangkan aku, masih mondar-mandir nggak tentu arah. Sebenernya, aku pengin nanya, tapi ngomong dalam bahasa Inggris-nya gimana"
Gedung ini begitu luas, dan aku belum mengenalnya dengan baik. Setelah berkali-kali salah masuk, akhirnya kutemukan juga kelas Matematikaku. Kelas pertamaku itu ternyata ada di lantai tiga, sayap tengah.
"Sorry, Mam. I'm late," kataku sambil terbungkuk-bungkuk.
Aku buru-buru duduk di deretan kedua sebelum guru itu sempat membalikan badannya dari papan tulis. Gawat kan, kalo sampai ditanya-tanya di depan kelas. Aku nggak ngerti apa yang diterangin guru itu, tapi aku bisa memahami rumus-rumusnya. Jadi, yang kulakukan adalah mengira-ngira pembahasan.
Pelajaran selanjutnya adalah Fisika. Waktu SMP, aku suka banget pelajaran Fisika dan hampir selalu dapet nilai sepuluh di setiap ulangan. Tapi kali ini, Fisika begitu menyeramkan. Aku hanya ngerti beberapa rumus, itu pun karena rumus-rumus tersebut pernah muncul di pelajaran SMP.
Buruk sekali, ya" Tapi, yang lebih buruk lagi adalah pelajaran Sejarah. Aku duduk di kursi paling belakang dan nggak ngerti apa-apa. Ketika guru Sejarah menunjukku, aku hampir pingsan. Oh, sepertinya dia ingin aku menjawab pertanyaannya. Boro-boro menjawab pertanyaan, yang dia omongin tadi aja aku nggak ngerti. Aku diam terpaku memandangnya. Yang kulakukan cuma menggeleng, lalu menunduk. Setelah beberapa saat, guru Sejarah sepertinya ngasih tugas. Semua sibuk menulis dan membolak-balik halaman buku. Aku mulai panik.
Cuma aku yang nggak ngela-kuin apa-apa.
Tiba-tiba, guru Sejarah itu duduk di hadapanku. Dia nanyain nama dan masih banyak lagi. Guru ini sangat ramah. Dan aku rasa, dia ngerti kalo bahasa Inggrisku minim banget. Dari caranya ngomong dan dari raut mukanya, sepertinya dia memberiku semangat. Kira-kira begini, "Pelajaran ini akan cukup berat bagimu. Tapi saya yakin, kamu bisa. Saya akan membantumu." Guru ini menepati janjinya. Dia selalu bersedia meluangkan waktunya setelah pelajaran selesai, atau ketika istirahat, untuk menerangkan kembali secara perlahan-lahan.
Pelajaran Biologi sama parahnya. Bayangin, baru aja masuk langsung dikasih ulangan! Katanya, untuk me-refresh pelajaran Biologi waktu SMP. Aku membaca pertanyaan nomor satu berulang-ulang. Dan sampai bel terakhir pun, aku masih berkutat di nomor satu! Aku hampir menangis ketika guru Biologi menatap kertasku yang kosong melompong. Di luar dugaan, guru Biologi berkepala plontos dengan tampang smackdown ini, ternyata ... punya hati selembut Hello Kitty. "Oh, bilang dong, dari tadi kalau kamu tidak mengerti. Jadinya, saya bisa bantu," begitulah kira-kira katanya sambil terkekeh ramah.
Hari pertama masuk SMA, memang penuh kejutan. Ketika istirahat makan siang tiba ada dua istirahat: break pukul 10.00-10.15, dan lunch pukul 12.00-13.00 aku pergi ke kantin sekolah yang menurutku lebih mirip restoran. Aku makan di sekolah ini dengan sistem pra bayar per tahun. Tingga
l mengambil makanan, lalu menggesek kartunya. Karena
belum kenal siapa-siapa, aku duduk di pojok seorang diri. Selesai makan, aku menyempatkan diri jalan-jalan keliling sekolah. Ternyata, sekolah ini punya lapangan sepak bola outdoor (lengkap dengan track larinya) dan lapangan sepak bola indoor (lengkap dengan tribunnya). Selain itu, di samping sekolah juga ada dua lapangan tenis, lapangan basket, dan lapangan hockey (nama lapangan ini baru kuketahui belakangan).
Jenis olahraga yang terakhir ini, pernah membuatku serasa jadi orang paling bodoh sedunia. Pasalnya, pertama kali ikut pelajaran olahraga, kami semua disuruh baris sambil memegang stik panjang yang ujung bawahnya melengkung. Waktu itu, aku ada di barisan paling depan. Jauh dari seberang sana, guru olahraga melemparkan lempengan pipih ke arahku. Ketika lempengan itu mendekat, aku langsung menyodok-nyodoknya dengan gaya mencangkul! GELEGAR!!! Semua orang langsung menertawakan aku. Saat latihan dimulai, nggak ada yang menginginkan aku masuk ke regunya, kecuali ... Jo-hann.
"Kamu pernah main hockey"" tanya Johann prihatin. Sepertinya, dia kasihan melihatku ditertawakan.
Aku menggeleng. Boro-boro main hockey, main basket aja nggak pernah. Di SMP-ku dulu, pelajaran olahraga kami hanya seputar lari keliling sekolah, voli, badminton, dan renang. Kami nggak punya fasilitas yang memadai untuk jenis olahraga lainnya. Sedangkan untuk renang, kami harus pergi dulu ke tempat renang.
"Oh, nggak apa-apa. Kamu masuk reguku aja. Jadi penjaga gawang, bisa"" tanya Johann lagi.
Aku mengangguk gembira. Terima kasih, kapten Johann. Aku akan jadi penjaga gawang terbaik!
Ketika pulang sekolah (sekolahku dimulai dari pukul 8.30 sampai pukul 15.30), aku baru sadar kalo dompetku hilang!!! Aku mencarinya ke mana-mana, tapi nggak ketemu juga. Padahal, di dalamnya ada karcis transportasi umum bulanan. Aku juga nggak bisa nelepon ke rumah karena uangnya nggak ada. Gimana aku bisa pulang" Tiba-tiba aja, aku melihat Reena yang sekelas denganku di pelajaran Matematika. Aku langsung berlari ke arahnya. Aku ingin mengatakan, "Reena, bisakah aku meminjam uangmu untuk beli tiket" Dompetku hilang." Tapi, tata bahasa seperti ini udah terlalu rumit bagiku. Alhasil, aku berkata dengan kalimat terpatah-patah yang disertai bahasa tarzan (bahasa tubuh).
"My wallet... gone ... no ticket... no money
Untung, Reena mengerti. Dia memberikan beberapa lembar uang dan aku sangat berterima kasih.
Emang sih, aku nggak selalu beruntung dengan ngedapetin guru atau temen yang mengerti keadaanku. Misalnya aja guru olahraga yang punya nama feminim banget, tapi sifatnya preman abis (maaf ya, Bu). Atau salah satu guru ESL-ku. Aku sering dapet bentakan dari kedua guru ini karena salah mengerti.
Setiap hari, aku pulang sekolah sambil menangis. Betapa beratnya bersekolah di sini. Sampai pada suatu hari, aku meminta pada ayah agar aku dipindahkan ke sekolah Indonesia yang ada di perbatasan aja. Kukira, ayah akan bersimpati mendengar kesulitan-kesulitanku. Ternyata, jawaban ayah melenceng jauh dari yang kuharapkan!
"Kalau ingin sekolah di sekolah Indonesia, nga-pain juga ke luar negeri! Ayah menyekolahkan kamu di sini, supaya kamu punya nilai lebih! Bisa bahasa asing dan punya kenalan dari berbagai negara. Kalau pengin hidup gampang, udah pulang aja ke Indonesia! Tapi, ayah nggak mau ngantar. Pulang sana sendiri! Kamu pikir, ayah bekerja di sini juga gampang" Kalau kamu berusaha, tegar dan sabar, nggak ada yang nggak bisa diatasi!"
Sejak saat itu, aku seperti petasan yang baru disulut api, meluncur ke udara dan meletus jadi per-cikan warna-warni. Tiba-tiba aja bebanku seperti lenyap. Mungkin dari dulu, yang aku butuhkan adalah seseorang yang bisa diajak curhat mengenai masalahku. Aku pantang mengeluh lagi. Yang kulakukan, di mana pun, kapan pun, adalah belajar dan belajar. Ketika berada di atas kendaraan, kegiatanku adalah membaca buku tata bahasa berulang-ulang sampai ngerti. Ketika jalan kaki, atau membantu ibu, mulutku selalu komat-kamit menghafal kata-kata baru. Aku sadar, yang pertama harus kutingkatkan adalah bahasaku.
Se tiap hari, aku hanya tidur 3-4 jam. Dan kalo ada pe-er, waktu tidurku semakin berkurang. Di
sekolah, setelah makan siang, yang kulakukan adalah mengulang pelajaran di perpustakaan atau di ruang tangga darurat. Jennifer, yang jadi sahabatku, dengan setia menemani dan jadi tempat bertanya kalo aku nggak ngerti. Setiap pulang sekolah, setelah membantu ibu, yang kukerjakan adalah menerjemahkan buku-buku pelajaran dengan melihat kamus kata per kata! Dan setiap Sabtu dan Minggu, kubaca semua pelajaran berulang-ulang hingga aku mengerti. Hampir semua bukuku keriting atau kena tumpahan makanan. Karena, sambil mandi atau di dapur pun, aku tetap membaca buku!
Selain didukung oleh keluarga dan sahabatku, usahaku ini juga didukung oleh tetanggaku. Namanya Lya Russmeier, seorang nenek berusia delapan puluh tahun yang hidup sendirian. Nenek Russmeier menguasai tujuh bahasa, yaitu bahasa Jerman, bahasa Inggris, bahasa Prancis, bahasa Spanyol, bahasa Rusia, bahasa Belanda, dan bahasa Esparanto. Di masa Perang Dunia Kedua, beliau adalah seorang
penerjemah. Tau nggak, cara beliau mengajariku bahasa" Dengan mendongeng! Beliau bercerita, aku mendengarkan.
Dengan begitu, aku terbiasa menyerap kata-kata baru. Beliau tau, aku nggak mengerti. Tapi, beliau bersikap seolah-olah aku sangat mengerti.
Sikap seperti ini membuatku merasa berharga. Beliau juga mengajariku cara menyulam, merajut dan membuat selai. Jadi, aku nggak bengong-bengong amat ketika beliau bercerita. Beliau nggak nerima imbalan. Tapi, sebagai rasa terima kasihku, setiap libur, aku membantu membersihkan halaman rumahnya, atau memetik buah-buahan di kebunnya, atau menyingkirkan salju dari jalannya.
Raport semester pertamaku udah dipastiin jeblok. Aku dapet nilai 3 di sana-sini. Beruntung, or-tuku lebih mentingin proses daripada hasil. Ayah dan ibuku sangat bangga karena aku bekerja keras. Mereka yakin, aku pasti bisa melakukan apa aja. Keyakinan ortuku menjadi penyulut semangat yang sangat berharga. Aku terus berjuang dengan bahagia. Dan di akhir tahun ajaran, nilai raportku menanjak drastis. Angka istimewa bertebaran di sana-sini (setara dengan angka 10). Aku pun dapet penghargaan atas hasil kerja kerasku. Kutatap piagam penghargaan itu, sambil membayangkan raut muka bahagia kedua ortuku. Untuk pertama kalinya, aku pulang sambil tersenyum sangat lebar.
Asih Aisyah Tips Sekolah di Luar negeri
- Sebelum masuk SMA, kamu cari-cari info tentang SMA itu kayak apa, pelajarannya gimana, dan berbagai hal lain yang berkaitan. Siapkan dirimu sebaik-baiknya!
- Ketika dalam kesulitan, ingat selalu; Allah tidak akan membebani hamba-Nya di luar kemampuan. Dan beserta kesulitan itu, ada kemudahan. Ayo, tunjukkan kamu bisa!
- Kuasai bahasa negara yang akan kamu datangi, minimal bahasa Inggris.
Carilah orang-orang yang bisa membantumu, terutama dalam hal meledakkan semangat!
Pelangi Awal Sekolah 1. My Secret Identity 2. Jadi Kembang di antara Kumbang
3. Ekskul Minim Biaya 4. Enjoy Jadi Anak Kos
My Secret Identity KETIKA aku masuk SMAN 3 Bandung, seingatku hanya ada dua siswi berjilbab di angkatanku. Bagiku, mereka agak aneh. Maklum, deh ... waktu itu, berjilbab ke sekolah masih belum biasa.
Biasanya, jilbab hanya dipake oleh ibu-ibu atau anak-anak pesantren atau madrasah. Sekolahku ini kan, sekolah umum dan TOP. Di rumah, aku juga masih suka meledek kakakku yang udah berjilbab pada semester pertamanya di UNPAD. "Kayak ninja! Hahaha ...!"
Di sekolah, aku ikutan rohis. Kalo nggak salah, waktu itu namanya Organissma 3. Organisasi Kerohanian Islam SMA 3. Tapi, tiap kali mentoring atau ada kegiatan lain, yang belum berjilbab nggak kena kewajiban make jilbab. Kalo mau make jilbab bo-leeeh ... nggak make juga nggak apa-apa.
Aku sih, belum berniat make jilbab. Ngajiku aja masih terpatah-patah. Apalagi soal tajwid. Huuu ... bener-bener parah! Pengetahuan soal Islam juga masih minim banget. Emang sih, pernah terbersit juga untuk make jilbab. Tapi itu nanti. Nantiii .... banget. Kalo aku udah dewasa, udah sukses, udah
tajir! Tetapi, ternyata Allah berkehendak lain. Akhir September, Ita sahabatku ngaja
kin daftar mento-ring di Masjid Salman. Kata Ita, mentoringnya seminggu sekali, Minggu pagi. Aku yang pada dasarnya emang minus kegiatan, oke-oke aja. Dengan semangat '45 yang patut dibanggakan, aku dan Ita datang ke Masjid Salman. Tepatnya ke Gedung Kayu, nggak lupa tebar pesona. Kali aja nemu jodoh atau dapet cowok anak ITB.
Pas daftar, ada tes ngajinya! Gimana ini" Ya-aah ... cuek aja, lah! Biarpun waktu wawancara ngaco dan tes ngaji lebih ngaco lagi, aku dan Ita diterima. Pada dasarnya, semua emang diterima, sih. Beres semuanya, si Akang (aku lupa namanya) ngomong gini, "Besok-besok, kalo ikut mentoring harus pake jilbab, ya!"
Haaah ...!!! Dari situ aku mulai mikir, Aku make jilbab kalo mentoring, abis itu lepas lagi. Kok, rasanya gima-naaa ... gitu, lho. Kurang sreg. Apalagi saat itu, aku udah "ngeh" kalo pake jilbab itu hukumnya wajib bagi Muslimah yang udah akil balig. Gimana kalo aku pake jilbab aja untuk seterusnya" Tapi ... kalo aku pake jilbab ... apa nggak bakal malu-maluin, ya" Ngaji aja belum bener, kok, udah mau pake jilbab. Ntar dibilang sok-sokan, lagi.
Trus, ntar pasti banyak yang nggak bisa aku lakuin lagi karena udah pake jilbab. Make celana panjang ketat, misalnya. Kan, busana Muslimah harus longgar dan nggak ngeliatin bentuk tubuh. Dari
bingung dan ragu, akhirnya bismillah .... Sekitar tiga bulan setelah tercatat sebagai siswi SMAN 3 Bandung, tepatnya tanggal 7 Oktober, aku mulai pake jilbab ke sekolah.
Begitu aja, nggak ada faktor pendahuluan yang dramatis, seperti sakit parah yang hampir merenggut nyawa, kepala yang tiba-tiba botak seperti hutan Kalimantan, atau diultimatum oleh ortu. Nggak ada. Semua mengalir begitu aja.
Ortuku malah sempat khawatir ketika melihat aku mulai ikut-ikutan berjilbab. Khawatir bakal ada masalah di sekolah, khawatir akan memengaruhi nilai-nilai akademis atau malah dikeluarin dari sekolah. Lebih jauh lagi, khawatir kalo nantinya susah pas mau kuliah dan pas kerja. Tapi, alhamdulillah, meskipun khawatir, ortuku nggak ngelarang.
Masa ketika aku mulai berjilbab itu tahun 1990 jilbab masih jadi "barang terlarang" di sekolah-sekolah umum. Lebih khusus lagi, terlarang di sekolahku. Hanya sedikit sekolah umum yang ngizinin siswi-siswinya berjilbab.
Peraturan pemerintah menetapkan, seragam siswi SMA adalah rok abu-abu selutut dan kemeja putih lengan pendek. Nggak ada rok panjang, kemeja lengan panjang, apalagi jilbab. Sekolahku menjalankan peraturan itu dengan ketat. Jadi" Ya ... harus akal-akalan.
Mau nggak mau, aku pun menempuh jalan yang sama dengan temen-temen dan kakak kelas yang udah duluan berjilbab. Seragam sekolah biasa, ditambah dengan kaus kaki putih yang panjangnya
sampai lutut, jaket atau sweter untuk nutupin kemeja pendek, lalu jilbab. Kostum yang aneh, ya" Tapi itulah yang terjadi. Itu pun hanya bisa dipake sampai pintu gerbang sekolah!
Masuk ke lingkungan sekolah, harus nyopot jaket dan jilbab. Jilbab harus disembunyiin, harus dirahasiakan dari mata para penguasa sekolah. Hiks, sedih banget rasanya.
Awalnya, nggak banyak yang tau kalo aku pa-ke jilbab, soalnya masih harus dilepas kalo masuk ke sekolah. Yang tau aku berjilbab, cuma temen-temen deketku. Ita, Mita, Ratih, dan Justin. Soalnya kalo ketemuan di luar sekolah, aku pasti pake jilbab. Justin yang Katolik itu juga nggak ngasih komentar apa-apa.
Lama-lama, banyak juga yang tau. Jilbaber dari kelas-kelas lain, termasuk para kakak kelas yang tadinya cuma kenal gitu-gitu aja, sekarang jadi lebih deket. Perasaan senasib membuat kita jadi lebih deket dan saling menguatkan. Saling menyemangati. Ini sangaaat ... indah.
Persaudaraan yang diikat oleh kesamaan keyakinan, ternyata benar-benar indah. Nggak cuma omong kosong. Di kelasku sendiri, aku yang pertama berjilbab. Reaksi temen-temen sekelasku" Macam-macam. Ada yang biasa-biasa aja, ada yang kaget, ada yang ngasih semangat, ada yang nggak peduli.
Ada satu komentar yang aku inget banget. Temenku Rosa, kaget banget waktu tau aku pake jilbab. Biarpun masih jilbab bongkar pasang, tapi tetep aja jilbab.
"Haaah ...! Kamu pake jilbab"" tanya Rosa. "Iya."
Dia melihat ak u kayak melihat alien, "Kenapa""
"Jadi, kamu Islam, ya""
Aku bengong. Jadi, selama ini .... "Kok, kamu nggak pernah keliatan sholat di musala"" tanyanya lagi.
"Shalat, kok. Pas nggak ketemu aja, kali. Kan, musalanya penuh terus," jawabku dengan perasaan nggak keruan.
"Maaf, ya. Tadinya, aku ngira kamu bukan Muslim."
Aku cuma bisa meringis. Duh ... betapa nggak jelasnya identitasku selama ini. Tapi sekarang, dengan berjilbab, identitasku jadi terlihat jelas. Ternyata benar, jilbab itu adalah sebuah penanda dan pembeda.
Gue Anak Sma Karya Benny Rhamdany di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi ternyata, nggak semudah itu menyatakan identitasku. Benturannya lagi-lagi adalah ketatnya peraturan sekolah yang membuatku harus tetap merahasiakan jilbabku. Jam olahraga adalah saat yang paling menyedihkan. Gimana nggak" Seragam olahraga kami adalah kaus putih lengan pendek dan celana pendek berwarna hitam.
Aduh! Celana pendek! Masih sedikit untung, di sekolahku kelas olahraga cewek dan cowok dipisah. Kalo cewek kebagian olahraga indoor, cowok yang outdoor. Begitu sebaliknya. Tapi kan, tetap aja celana pendek, Man!
Untungnya lagi, temenku baik-baik. Kalo pas
olahraga outdoor dan gerombolan cowok melintas, aku bisa bersembunyi di balik badan temen-temen-ku. Mengecil-ngecilkan badan supaya nggak keliatan. Tapi sebenarnya temen-temen cowok juga baik, sih. Kalo di kelas lagi ada razia yang salah satu sasarannya mencari siswi berjilbab, mereka mau membantu. Aku bisa menitipkan jilbab dan perangkat lainnya pada mereka.
Beres, deh. Aman dan lolos dari razia. Gimanapun, aku masih harus merahasiakan jilbabku dari mata guru-guru. Jilbabku. My secret identity.
Teera Tips Berani Pake Jilbab Jangan takut bertindak kalo yakin yang kamu
lakuin itu bener. Berjilbab, misalnya. Itu kan,
bener. Kenapa harus takut"
Supaya keyakinan kamu makin teguh, bergaul
deh, sama orang-orang yang se-isme. Insya
Allah, mereka akan meneguhkan keyakinan
kamu. Nggak usah nunggu sempurna dulu untuk melakukan sesuatu. Untuk berjilbab misalnya, nggak usah nunggu sampai bisa ngaji sebagus qoriah atau berpengetahuan ke-Islaman seluas Quraish Shihab. Justru dengan berjilbab, kita jadi tertantang untuk terus belajar dan belajar. Apalagi sekarang kan, udah nggak ada masalah sama peraturan sekolah.
Kalo udah berjilbab, jangan lupa untuk terus meningkatkan kualitas diri kamu. Jangan puas hanya karena udah berjilbab. Yakin deh, berjilbab itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan menenangkan. Juga membuat identitas kamu sebagai Muslimah jadi kelihatan jelas.
Jadi Kembang di antara Kumbang
CEWEK mau masuk STM" Masya Allah, emang-nya nggak ada sekolah lain" Itulah kalimat yang aku dengar dari mulut ibu ketika aku mengutarakan maksud hatiku setelah lulus SMP. Ayah pun hanya bisa geleng-geleng kepala mengetahui keinginan putri sulungnya ini. Berbagai cara dicoba untuk membujukku agar masuk sekolah umum (SMA), tapi akhirnya mereka menyerah.
Yup! Aku udah bulat tekad mau masuk STM, itulah sekolah yang aku cita-citakan sejak aku masih SD.
Nggak tau kenapa, sejak kecil aku merasa lebih cocok bergaul sama cowok daripada sama cewek, padahal aku nggak tomboi-tomboi amat, lho! Tapi emang begitulah, aku pengin buktiin kalo aku bisa dan kuat. Karena selama ini, aku dipandang lemah sama orang-orang di sekelilingku. Mereka terlalu melindungi hingga aku merasa jadi seorang pesakitan yang harus selalu dijaga ketat.
Keinginanku semakin bulat ketika aku udah duduk di SMP. Di pertengahan semester kelas III, ada beberapa sekolah menengah yang berpromosi di
sekolahku, maklumlah, sekolah favorit. Beberapa sekolah menengah itu di antaranya SMA Taruna Nusantara. Dengan semangat '45, aku pun mendaftar. Namun, saat itu aku harus menelan pil pahit, karena mereka belum membuka kelas untuk putri.
Berbekal NEM yang cukup tinggi (47,7 untuk 6 mata pelajaran waktu itu) sebenarnya aku bisa melenggang ke sekolah favorit manapun yang aku mau. Wali kelasku sampe pusing mendengar aku tetap keukeuh mau masuk STM. Beliau menyarankan agar aku masuk SMAN 3 atau SMAN 5, SMA paling favorit di kotaku. Tapi, aku nggak mau jadi cewek "biasa". Ih, nggak "nendang" rasanya masuk SMA. Mana seke
las lagi, sama temen-temen SMP-ku jadi kayak jebol desa ke SMAN 3 atau SMAN 5.
Akhirnya, aku mendaftar ke tiga sekolah, yang semuanya "macho", yaitu STM Pembangunan, SMT Grafika, dan STM Kimia.
Ternyata, nggak gampang masuk STM, apalagi STM favorit. Selain harus bersaing sama ribuan orang yang dateng dari daerah-daerah di Jawa Tengah, aku juga harus ngikutin serangkaian tes yang sangat berat, baik fisik maupun nonfisik. Tes-tes itu memakan waktu berhari-hari, mulai dari tes akademis, tes minat dan bakat, tes buta warna, sampai tes mencangkul. Hehehe ... tapi seru, lho! Aku benar-benar merasa nyaman dan tertantang.
Alhamdulillah, tes-tes berat itu mampu aku jalani, dan lulus semuanya. Aku benar-benar kebingungan memilih yang mana. Tapi sejak awal, ayah udah ngingetin untuk melepas STM kimia.
Tinggal dua pilihan lagi, STM Pembangunan yang udah kuidamkan dari SD atau SMT Grafika yang aku belum tau persis kayak gimana. Aku masuk peringkat lima besar dalam pendaftaran di dua sekolah tersebut. Kalo di STM Pembangunan aku masuk rangking lima, di Grafika aku masuk rangking dua. Aku bener-bener bingung. Tapi, akhirnya aku mutusin memilih Sekolah Menengah Teknologi Negeri Grafika Semarang. Ya, aku milih sekolah yang sesuai dengan hobiku, yaitu membaca. Waktu itu, aku cuma ngebayangin, kalo aku milih Grafika, maka aku bisa baca buku sepuasnya dengan gratis di tempatku bekerja nanti.
Mulai hari itu, aku menuliskan masa depanku. Aku masih ingat betul gimana hari pertama aku menjadi anak STM. Berbalut seragam abu-abu, aku merasa menjadi begitu pede. Walaupun rambut di-kucir sepuluh dan dikasih pita warna-warni, aku nggak gentar menghadapinya. Kutapaki hari itu dengan senyum pasti. Aku udah jadi anak STM.
Tapi, nyaliku sempet ciut juga ketika di hari pertama itu, aku melihat calon temen-temenku selama tiga tahun ke depan. Aku berada di tengah segerombolan cowok dan segelintir cewek nekat (itu kata para cowok). Tapi aku bangga, karena aku termasuk cewek-cewek yang kuat (itu kata para cewek).
Hari-hari selama MOS yang berat, alhamdulillah bisa aku atasi. Begitu melihat wearpack oranye terang itu dibagikan, semua kepedihan selama MOS jadi nggak terasa. Kuelus lambang ke-STM-an itu
dengan penuh kasih sayang (dalam hal melankolis kayak ini, tetep aja jiwa cewek yang muncul).
Aku benar-benar menikmati hari-hariku di STM. Kebanyakan temenku baik, walaupun nggak semuanya. Ada juga beberapa temen yang antipati sama yang namanya cewek. Mereka lebih judes dari cewek. Mereka menganggap kami, para cewek telah melanggar kebiasaan. Tapi, show must go on, aku malah semakin tertantang, aku harus bisa lebih baik dari para cowok itu.
Aku berusaha mencintai pelajaran-pelajaran baru di sini. Mata pelajaran favoritku adalah Kalkulasi Grafika dan Pengetahuan Bahan dan Teknik Mekanika (PBTK), tapi aku juga menyenangi pelajaran dan praktik pracetak, cetak, dan purnacetak. Setiap hari, aku bergelut dengan mesin-mesin. Egoku terpenuhi. Aku haus tantangan, dan di sini tantangan itu kuhadapi. Nggak hanya dengan benda mati, karena ternyata pilihanku pun memberi begitu banyak konsekuensi.
Benar kata peribahasa, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Beradaptasi di lingkungan cowok bukanlah hal mudah. Mereka tetap menganggap cewek berbeda sama cowok. Mereka masih sering melecehkan kekuatan dan kemampuanku. Aku buktiin ke mereka kalo cewek bukanlah makhluk lemah. Kutempatkan diriku di posisi cowok. Aku benar-benar ingin masuk seratus persen ke dunia mereka.
Agar bisa diterima mereka, aku pun mencoba melakukan apa yang mereka lakukan. Kupotong
rambutku yang panjang menjadi cepak. Kucoba menyukai apa yang mereka sukai. Aku mencoba aktif bergaul dengan mereka. Kupenuhi hari-hariku dengan ekskul karate dan basket. Bahkan, obrolanku pun berubah di seputar sepak bola dan balapan. Hehehe ... seneng juga sih, dari situ aku mulai menyukai olahraga sepak bola. Seringkali aku maksain melek buat nonton pertandingan bola. Untung aja adikku yang cowok suka bela-belain nemenin kakaknya nonton bola.
Sekolahku luas banget, hampir enam hektar. Untuk para cewek yang berbetis lan
gsing dan pe-ngin mengubahnya menjadi lebih berisi, di sinilah tempatnya. Bayangin aja, dalam sehari kita bisa muterin area seluas itu hanya untuk pindah ruang praktik. Di kanan-kiri kelas masih banyak banget area kosong yang dijadiin kebun atau taman kelas. Biasanya ditanami dengan tanaman pisang dan mangga. Tapi di dekat kelas kami, ada sebatang pohon jengkol yang buahnya banyak banget. Pohon jengkol itu lambang kejaiman. Siapa pun pasti enggan berada di dekat pohon jengkol itu. Tapi, kalo udah kepepet, pohon jengkol menjadi sumber penghasilan alternatif buat anak-anak kos yang telat kiriman bulanannya.
Suatu sore, sambil nunggu waktu ekskul, kami ngobrol ngalor-ngidul di pinggir lapangan sepak bola. Tiba-tiba, salah satu temen kami (sebut aja He-ri) menangkap pemandangan ranumnya buah pisang raja di seberang lapangan. Tiba-tiba, muncullah ide isengnya. Kulihat beberapa temenku berbisik-bisik
dan tertawa, tapi aku pura-pura cuek.
"Win, kamu berani nggak nyuri tuh pisang" Ka-lo kamu berani, berarti kamu bener-bener pantes jadi anak STM," kata Heri sambil mesam-mesem.
Tentu aja aku kaget setengah mati mendengar tantangan ini. Tapi, ini bukan yang pertama kali. Dulu ketika kelas 6 SD, aku juga pernah ditantang sama temen-temen buat nyuri singkong di dekat Pusat Pembakaran Mayat. Tanpa pikir panjang, aku pun menyanggupinya.
Aku dan Heri pun segera melancarkan aksi tersebut. Dengan berbekal cutter senjata wajib kami di pelajaran Perwajahan dan Montase dan tas gunung, kami pun beraksi. Kami segera berbagi tugas. Heri berusaha dengan keras memotong tandan buah pisang yang udah tua itu dengan cutter. Aku pun bertugas menjadi penjaga. Mataku celingukan ke kanan dan ke kiri. Nggak lama, aku pun ngasih kode ke temen-temen yang ada di seberang. "Operasi" pisang telah berhasil. Pisang raja yang sebagian udah matang itu, berpindah tempat ke dalam tas Heri. Kami pun berpesta pisang!
Keesokan harinya, aku, Heri, dan beberapa te-men ke kantin seperti biasa. Mbah Mi yang juga membuka warung di kantin menegur Heri.
"Kemarin yang nyolong pisang Mbah Mi, kamu
tho"" "Nggak kok. Mbah, bukan saya," tangkis Heri.
"Walah, nggak usah mungkir. Ada orang yang cerita ke Mbah Mi. Hayo ngaku aja daripada saya laporkan ke Pak Hartoko."
Akhirnya, Heri dan aku pun mengaku. Sepulang sekolah, kami mengambil pisang yang masih setengah tandan lagi dari tempat kosnya, dan menyerahkannya ke Mbah Mi.
Ada satu hal yang tetap kujaga, yakni pergaulanku. Nggak semua temen cowokku itu orang baik-baik. Banyak di antara mereka udah tercemar hal-hal buruk. Rokok, minuman keras, bahkan obat-obatan terlarang, bukanlah hal yang aneh kutemui. Seringkali aku hanya bisa diam melihat temen-temenku itu fly saat jam pelajaran sekalipun.
Tapi, itulah suka-duka menjadi kembang di antara kambing ... eh, kumbang. Adaptasi itu butuh pengorbanan, tapi pengorban bukan berarti mau ngelakuin apa aja, karena menjadi baik atau buruk itu adalah pilihan kita.
Winarni Tips Jadi Kembang di STM - Jangan pernah bersikap centil di hadapan para cowok, apalagi bergenit-genit ria. Mereka jijay banget!
- Jadilah orang yang mau ngedengerin, karena cowok biasanya nggak begitu suka ngedengerin tapi mereka pun sangat konsisten, mereka nggak mau menjadi pengeluh.
- Masuk ke dunia mereka, pahami mereka karena, cowok juga ... manusia, punya rasa punya hati.
- Jangan pernah tergoda rayuan meraka. Sebe-nernya, cowok adalah orang yang lemah, mereka bisa kuat menghadapi apa pun, tapi suka lemah kalo udah mengatas namakan pertemanan/persahabatan.
- Kamu harus tetap menjadi cewek karena para cowok nggak akan menjadi apa-apa tanpa cewek.
Ekskul Minim Biaya DI akhir masa MOS, digelar juga atraksi ekskul di lapangan sekolah. Semua ekskul berebut unjuk kabisa untuk meraih simpati para siswa baru SMAN 14 Jakarta, termasuk aku.
Ada kelompok pecinta alam Gasipala yang manjat-manjat dan meluncur di gedung sekolah, ada PMR yang demo penyelamatan korban kecelakaan, drumband, pencaksilat, Paskibra dan ... kenapa ya, nggak ada atraksi olahraga seperti basket" Oh, iya, aku baru ingat. Aku kan, masuk di sekolah yang mas
uk kategori pemikir. Nggak aneh kalo ekskulnya juga nggak terlalu macam-macam.
Jujur aja, aku tertarik mendaftar di ekskul drumband. Keren, sih, apalagi dengan kostum mereka itu. Akhirnya, setelah semua atraksi ditutup, aku ikut-ikutan siswa baru lainnya memburu formulir ekskul. Paling pertama aku mengambil formulir drum band. Aku baca sekilas formulirnya. Hm! Aku langsung terbelalak ketika mengetahui salah satu syarat untuk bergabung. Biaya kostumnya ditanggung sendiri oleh setiap siswa. Dan itu mahal banget buat aku!
Aku yang cukup sadar dengan kemampuan ekonomi ortuku, batal mendaftar di drumband. Aku bergerilya ke ekskul lain. Ternyata nggak ada yang menarik perhatianku. Belum lagi kalo melihat jumlah biaya yang harus aku bayar di formulir, untuk beli kostum, peralatan, dan lain-lain. Dan, hampir semua ekskul pasti ada pemungutan uang kostum.
Sampai kegiatan belajar mengajar berlangsung, aku masih mencari-cari ekskul yang bakal kuikuti. Saat hari Minggu, aku datang ke sekolah. Menclok sana-sini melihat-lihat kegiatan ekskul. Tapi, lagi-lagi nggak ada yang menarik. Mau ikut Paskibra, takut gosong. Habis ... tengah hari bolong harus rela berjemur di lapangan upacara.
Setelah beberapa minggu, seorang teman sekelasku mengajak aku bergabung di ekskul karawitan. Aku sempat tersenyum. Aduh, gue kan, anak gaul. Masa sih, ditawarin ekskul karawitan" Yang bener aja"! Tapi setelah dipikir-pikir lagi, akhirnya aku memutuskan bergabung di ekskul karawitan. Ya, paling nggak ... masih ada unsur musiknya. Suatu kegiatan yang kusuka.
Nggak seperti ekskul lainnya, ekskul karawitan digelar di anjungan Yogyakarta Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Kami latihan pagi hari, sebelum masuk sekolah (kelas satu masuk siang). Untuk ikutan ekskul ini, sama sekali nggak dipungut biaya. Bahkan, kami bisa masuk gratis ke TMII. Tapi sayang ... pesertanya cuma sedikit, yaitu enam orang. Dan makin lama, makin berkurang. Hingga akhirnya, aku juga ikutan mundur tiga bulan kemudian (setidaknya, aku tau bagaimana memukul gong yang benar).
Karena bingung, akhirnya aku ikut-ikutan beberapa temenku terdampar di ekskul Rohis. Aku mau gabung, karena untuk ikutan ekskul ini nggak ada syarat macam-macam. Bahkan, kalo ada kegiatan pengajian di luar sekolah, aku nggak pernah pusing soal ongkos. Ada beberapa siswa yang mampu, dengan sukarela mengongkosi sebagian siswa lainnya.
Walaupun nggak aktif benar di Rohis, aku merasa betah, lho. Soalnya, aku jadi bisa kenal sama seniorku. Selain itu, kebanyakan pengurus OSIS adalah anggota Rohis. Pergaulan inilah yang aku manfaatkan banget. Dari kakak senior, aku bisa bertanya banyak hal, misalnya soal watak guru A atau B. Aku juga bisa minjem buku-buku pelajaran yang nggak dipake lagi oleh senior.
O, iya, temen-temen di Rohis juga kebanyakan berekskul ganda. Selain di Rohis, mereka ada yang juga anggota drumband ataupun PMR. Jadi, aku asyik-asyik aja gabung sama mereka dan nanya-nanya soal kegiatan mereka. Tanpa canggung, aku bisa masuk ke setiap lingkungan salah satu ekskul. Maklum, kebanyakan lingkungan ekskul itu eksklusif. Mereka sangat tertutup dengan siswa yang bukan anggota ekskul mereka untuk ikutan kumpul-kumpul. Bahkan, aku sering melihat kebangaan mereka sama ekskulnya itu sangat berlebihan. Mereka nggak mau main sama siswa lain yang nggak satu ekskul. Misalnya, temen-temen dari ekskul Paskibra. Aneh, kan"
Beberapa bulan bergulir, di sekolahku digelar pemilihan pengurus OSIS baru. Karena seniorku tau kemampuanku di bidang tulis menulis, akhirnya aku diangkat menjadi pengurus majalah dinding sekolah. Nggak cuma itu, aku juga dilibatkan dalam pembuatan majalah sekolah pertama sekolahku, lho! Asyik, kan" Aku juga diangkat menjabat sebagai humas OSIS.
Karena jabatanku itulah, aku bisa mengikuti semua kegiatan ekskul. Ya, setiap ekskul di sekolah wajib mengundang pengurus OSIS kalo mengadakan kegiatan di luar sekolah. Biasanya, aku yang ditunjuk. Alhasil, temen-temenku jadi banyak dari berbagai ekskul.
Nggak lama kemudian, di sekolahku diresmikan ekskul baru, yakni Kelompok Ilmiah Remaja (KIR). Aku diangkat menjadi
salah satu pengurus pertama. Wow! Aku kok, jadi banyak kegiatan gini, ya"
Emang sih, harus kuakui nilai akademisku nggak secemerlang saat SMP lagi. Dulu, di SMP aku biasa duduk di tiga besar. Di bangku SMA yang favorit ini, masuk sepuluh besar aja udah melegakan. Aku nggak terlalu ambil pusing, karena dari beberapa buku yang kubaca, belajar nggak harus selalu dari bangku kelas. Belajar bisa darimana aja, termasuk dari lingkungan pergaulan.
Ibuku nggak pernah khawatir dengan kegiatanku yang seabreg. Apalagi ibuku tau, aku ikut kegiatan dengan temen-temen yang "bersih". Maklum, namanya juga anak OSIS dan Rohis. Sesekali, aku mengajak temen-temenku ke rumah, biar ibuku
nggak mengkhawatirkan lingkungan pergaulanku.
Sebenarnya, biarpun temen-temenku kebanyakan "baik-baik aja", tapi mereka juga gaul, lho. Kami sempet bikin geng, yang setiap malam Minggu keliling kota Jakarta atau bersilahturahmi ke beberapa temen. Geng ini nggak hanya terdiri dari temen seangkatan. Seniorku juga ada yang bergabung. Lagi-lagi, aku sih, senang-senang aja. Soalnya, aku nggak perlu keluar uang. Temen-temenku yang dari keluarga tajir siap menanggung biayaku, yang penting aku ikutan. Kata mereka, kalo aku nggak ikut, jadi nggak rame, deh. Hm, mungkin mereka pikir, aku ini semacam petasan yang bisa bikin rame acara.
Benny Rhamdani Tips Ikutan Ekskul 1. Siapin dana Siapin dana pas sebelum masuk SMA untuk ngi-kutin kegiatan ekskul. Jarang banget ekskul yang ngebebasin anggotanya dari beberapa biaya, terutama biaya kostum. Mau ikut ekskul olah raga, kita harus siap dengan kostum tim, termasuk mau ikut beladiri. Apalagi kalo mau ikutan ekskul yang heboh kayak cheerleader, marching band, dan drumband, Ekskul lainnya yang juga butuh biaya besar, misalnya pecinta alam karena kamu harus punya sepatu khusus, ransel, bahkan kalo mau komplet, bisa-bisa butuh biaya jutaan.
2. Sesuaikan minat dan bakat
Hindari ikutan ekskul karena ikut-ikutan temen sebangku kamu. Tapi sebaiknya, pertimbangkan tawaran ikutan ekskul dari temenmu. Siapa tau emang nyenengin. Buat patokan, pilih ekskul berdasarkan minat dan bakat kamu. Kalo kamu suka musik, kamu bisa ikutan ekskul vokal group, band, angklung, ataupun karawitan. Kalo kamu
suka menulis, kamu bisa ikutan ekskul majalah dinding ataupun majalah sekolah. Kalo suka meneliti, bisa ikutan KIR.
3. Manfaatkan secara maksimal
Buang jauh-jauh pikiran, niat ikutan ekskul buat nyari gebetan. Banyak lho, hal yang lebih bermanfaat. Misalnya aja, bertanya ke senior soal pelajaran, soal karakter guru ataupun pinjam buku. Kamu juga bisa memanfaatkan kegiatan di ekskul untuk mengembangkan kepribadianmu, seperti rasa percaya diri.
4. Berani keluar Kalo ternyata lingkungan ekskul yang kamu pilih nggak nyenengin dan penuh konflik, lebih banyak orang sirik, mendingan kamu keluar aja. Pilih ekskul yang lebih asyik. Ataupun kalo kamu berani, putusin aja nggak ikutan ekskul, tapi tetap cari aktifitas lain di luar sekolah yang positif.
Enjoy Jadi Anak Kos WUAAAH ... akhirnya gue make seragam abu-abu juga walopun "kepaksa"! Setelah perjuangan dan belajar sampe "berdarah-darah" hihihi ... dra-matisir banget, seh! Cieee ... alhamdulillah akhirnya NEM gue masuk sepuluh besar en diterima di SMAN 1 Purwakarta, SMA favorit di kota gue. Tapi, gue nggak terlalu seneng coz masuk SMA bukan cita-cita gue. Sejak SD, cita-cita gue pas lulus SMP adalah masuk SPK biar pas lulus jadi perawat.
Yo wis, pas nggak lulus SPK gara-gara tinggi badan gue kurang setengah senti, daripada ngang-gur, akhirnya gue "kepaksa" euy masuk SMA. Awal-awal masuk SMA, gue sempet jadi "anak jalanan" maksudnya kebanyakan waktu gue abis di jalan coz bisa dibilang gue "anak daerah", gue sekolah di kota kabupaten sedangkan rumah di "kota" kecamatan yang jaraknya sekitar 35 km.
Hiks ... kebayang dunk, pas berangkat sekolah subuh en pulang asar, kadang magrib kalo pas musti ngerjain tugas kelompok, pernah juga nyampe rumah isya kalo pas ikutan les, belom lagi kalo kena macet en seribu satu alesan laen buat telat ke
sekolah or telat nyampe rumah. Udah getoh, masih mending pas nyeg
at bus dinaekin ama sopirnya, soalnya kadang mereka males naekin penumpang anak sekolahan yang cuma bayar setengah harga, kejar setoran, bo! Bus favorit gue ama temen-temen yang rumahnya jauh adalah Primajasa jurusan Bandung Bekasi sori neh, bukannya promosi yang cuma bayar ongkos gopek (taun itu loh), turun dari bus nyambung pake angkot, deh! But ... kalo lewat magrib, angkot ke rumah gue udah nggak ada, akhirnya dengan terpaksa, gue naek ojek.
Akhirnya, nyokap gue ngerasa kasian juga ngeliat anaknya musti ngabisin waktu di jalan. Mungkin nyokap mikir kali ya, ni anak kapan bisa belajarnya kalo nyampe rumah udah gelap plus langsung "tepar". Akhirnya, nyokap ngelepas gue buat kos. Ups ... ntar dulu, nggak segampang itu, bokap yang terkenal protect en "agak galak" hihihi ... sori, Beh! nggak ngizinin gitu aja anaknya nge-kos, khawatir ini lah ... itu lah .... So, gue diizinin ngekos but di rumah sepupunya nenek gue.
Hmmm ... sebenernya seh, enak nggak enak tinggal di rumah sodara. Kalo enaknya, kita nggak perlu pusing-pusing mikirin menu makanan, terus suasana plus fasilitasnya kayak di rumah sendiri, en yang penting keamanannya terjamin. Tapiii ... ehem, nggak enaknya kadang gue ngerasa nggak bebas aja. Eits ... jangan buru-buru nafsirin nggak bebasnya kayak gimana! Maksud gue tuh, nggak bebas kayak di rumah sendiri. Misalnya pas capek pulang sekolah, penginnya tiduran or males-malesan nonton teve en ngapain aja, but nggak enak dong, kalo liat orang rumahnya pada supersibuk ngerjain sesuatu, misalnya beres-beres rumah atau ngerjain apa aja yang ngebutuhin bantuan. Mau nggak mau, gue mesti bantuin dong, nyadar dirilah dikit!
Terus, gue kan, sekamar ama sepupu, otomatis privasi gue terbatas. Kadang, gue mesti nger-ti aja, namanya juga ikut sodara, apalagi dia yang punya kamar. Gue nggak bisa dong, seenaknya masang-masang "properti" pribadi, or leluasa gitu aja.
Selain itu, nggak enaknya tinggal di sodara tuh, kita nggak bebas ngajak temen maen ke rumah or rame-rame pada ngerjain tugas. Mungkin sebenernya buat orang rumah sih, nggak apa-apa, but guenya yang ngerasa nggak enak aja, takutnya mereka keganggu, tau sendiri kalo anak-anak udah pada ngumpul ... wuiiih ... suka pada heboh!
Setelah beberapa pertimbangan, akhirnya gue ngerasa pengin ngekos yang "pure kos". Sekalian, gue belajar mandiri, cieee ...! Wuiiih ... udah bisa ditebak dong, gimana reaksi bokap. Yup, gue nggak diizinin kos di luar, katanya seh, keamanannya nggak terjamin en khawatir gue maen mulu. Iiih ... nggak percayaan banget seh, ama anaknya. Pliiis ... kasi kepercayaan dunk buat anaknya en jangan terlalu dikekang!
Akhirnya, setelah ngelobi, ngerayu, plus nge-yakinin bokap, keluar juga SIM Surat Izin Mengekos, hihihi ... maksa banget! buat gue. Gue pun bertekad buat nunjukin ke "bonyok" kalo gue dikasih kepercayaan ama mereka, gue nggak bakalan nyia-nyiain kepercayaannya, plus gue bisa lebih baek lagi. Akhirnya, gue nemu kosan hasil hunting beberapa hari, plus nanya-nanya ama temen en guru.
Gue ngekos di rumah guru agama sekolah gue. Pokoknya, lingkungannya aman, ke sekolah cuma jalan kaki, tempatnya nyaman pula. Tapi tetep, sikap protect bokap masih ada, calon kosan gue disurvei dulu, siapa bapak ama ibu kosnya. Pas tau yang punya kosannya guru agama di sekolah gue en jarak kosan ke sekolah deket, plus lingkungan aman, bokap oke banget en langsung "nitipin" gue ama mereka, tapi tetep gue "dibekelin" peraturan plus tata tertib ngekos.
Waaah ... gue ngerasa enjoy kos di situ, ibu sama bapak kos memperlakukan gue kayak anak sendiri. Apalagi gue bisa sekalian belajar masak sama bapak kos, apalagi urusan bikin nasi liwet karena beliau terbiasa masak sejak zaman di pesantrennya dulu. Kalo sama ibu kos, gue belajar "urusan rumah" misalnya, cara nyuci en nyetrika yang bener, nyapu sama ngepel yang bersih tuh kayak gimana. Terus, gue ngerasa punya adik kecil coz anaknya ibu kos yang baru berumur satu taun lucu banget, gue serasa punya maenan getoh. Tapi, kadang kalo lagi bete, lagi belajar or tidur, Sarah nama anaknya rewel en nangis mulu, waaah ... gue cuma b
isa nutup kuping pake bantal di kamar.
Enaknya ngekos di rumah guru adalah kalo pas ada tugas pelajaran Agama or ada hal-hal yang nggak ngerti, gue bisa nanya-nanya langsung. Ssst
... selain itu, gue ngebantuin meriksa hasil ujian temen-temen gue plus "ngintip" nilai-nilainya, terutama nilai gebetan gue. Walopun guru agama, bapak kosan gue terkenal funky plus gaul sama murid-muridnya. Ditambah lagi, beliau jadi pembina Pramuka gue jadi anggotanya bisa dibilang kosan alias rumah jadi basecamp anak-anak Pramuka. Kadang alumni juga suka pada dateng, yang akhirnya gue nambah temen plus bisa nanya-nanya pelajaran or diskusi. Asyiknya lagi, gue bisa minjem buku cate-tan or buku paket "peninggalan" mereka pas kelas satu.
"Ketenangan" gue nggak berlangsung lama, coz temen gue yang dari luar kota pengin ngekos di kosan gue, padahal udah nggak ada kamar lagi. Akhirnya, dia sekamar sama gue. Wuiiih ... berarti privasi gue keganggu, dong! Gue sempet khawatir juga seh, takutnya nggak cocok ama dia coz anaknya lempeng, cuek abeez, en agak narsis ups ... I'm sorry friend!. But its ok, gue coba deketin en jajakin dia, kale aja bisa dibawa asyik, en selama dia bisa diajak kompromi plus sama-sama nggak ngeganggu privasi masing-masing.
Emang seh, ada asyiknya juga, gue jadi ada temen pulang-pergi ke sekolah, terus bisa diskusi or nanya-nanya masalah pelajaran. Asyiknya juga, kita tuh beda kelas. Kadang suka "berbagi" bocoran ulangan getoh, jadi ngehafalnya yang mo keluar pas ulangan aja aduuuh ... ini seh, jangan ditiru, yak! coz pernah kita tuh udah berbagi bocoran getoh, ternyata yang keluar pas ulangan beda banget!
Udah deh, jadi klepek-klepek nggak berkutik, kwa-ciaaan deh, gue! Selain itu, gue jadi ada temen curhat, kita suka share gitu, deh! But, jangan salah, yang namanya sekamar berdua tuh, ada nggak enaknya juga, lho. Misalnya, kalo pas tidur, gue nggak bisa merem kalo lampunya nyala, tapi dia sebaliknya nggak bisa merem kalo gelap. So, jalan keluarnya diambil tengah-tengah. Yup, lampu kamar jadi remang-remang, deh. Pernah juga gue kesel ama dia gara-gara seenaknya ngeberantakin kamar. Gue paling nggak betah liat yang kotor plus beran-takan, sedangkan dia orangnya cuek aja, yang penting enjoy hihihi ... apa guenya aja yang resek, ya"
Gue mudik seminggu sekali, kadang dua ming-gu sekali. Nyokap ngasih "angpau" seminggu sekali, soalnya kalo bulanan bisa-bisa anaknya pulang sebulan sekali nyokap kangen kali yak, or pengin tau sejauh mana perkembangan anaknya.
Pas mudik, gue selalu ditanya-tanya ama bo-kap en bikin "laporan pertanggungjawaban" selama nggak mudik. Gue pernah nggak pulang selama dua minggu, gara-gara pas libur jatah mudik, gue ikutan pelantikan Pramuka. Hiks ... padahal jatah duit gue cuma buat seminggu! Dengan kondisi cekak, gue bener-bener "ngerem" jajan en superirit. Untungnya, sekolah gue deket en nggak perlu ngeluarin ongkos angkot.
Masalah makan, gue ngirit dengan nggak beli di luar. Paling, gue beli sayuran mentah di warung belakang kosan. Sambil ngirit, gue bisa sekalian
belajar masak. Sekali masak, kadang gue jatahin buat sehari alias tiga kali makan. But, jangan baya-ngin masakannya yang "wah" kayak daging ayam, daging sapi, dkk. Itu seh, sama aja boong kaleee ...! Paling, gue bikin sayur bayam, numis kangkung, plus variasi telor telor ceplok, telor dadar, telor rebus mi instan juga jadi makanan favorit gue kalo pas cekak. But, enaknya punya ibu-bapak kos yang baek tuh, suka "berbagi" makanan getoh en ngerti kalo gue lagi cekak. Selain jadi bisa masak, jadi anak kos tuh, gue juga jadi bisa "nge-laundry" alias nyuci plus nyetrika, beres-beres rumah, dkk. Pokoknya, nggak ada istilah manja, deh!
Kalo gue mulai ngerasa homesick en ngebet mudik, paling gue neleponin orang rumah plus nanya-nanya gimana kabar mereka, terus curhat getoh ama nyokap. Kadang gue bawa enjoy aja, misalnya ngumpul ama penghuni kosan, nonton teve
bareng sambil becanda-becanda or maen tebak-tebakan getoh. Hihihi ... jadi inget, bapak kosan gue tuh, jago bikin tebak-tebakan, walopun rata-rata jawabannya jayus, tapi lucunya di situ plus bikin o
rang ketawa. Kalo pas nggak mudik en kebetulan libur, gue sukanya diem di kosan ngerjain apa aja, but asyik juga kalo ada temen yang ngajak jalan, itung-itung biar nggak inget rumah en pengin mudik. Lebih serunya lagi, kalo pas ada alumni yang gokil-gokil maen ke kosan, wah ... bisa seru-seruan, tuh! Or gue "manfaatin" mereka buat ngajarin maen gitar, hihihi ... walopun gak lancar-lancar seeeh! Jadi lupa ngebet mudik, deh.
Pokoknya, kalo rumah elo jauh dari sekolah plus "kepaksa" ngekos, don't worry be happy! Nge-kos tuh, nggak "seserem" yang elo-elo bayangin, banyak manfaatnya lho, itung-itung belajar mandiri dan tanggung jawab, belajar hemat en disiplin juga. Pokoknya, elo nggak usah parno deh, sama yang namanya ngekos, banyak hikmah en asyiknya, kok!
Meidiana Frikasari Milih Tempat Kos yang Nyaman Plus Aman
-Cari info kosan dari sumber yang bisa dipercaya, misalnya dari temen sekolah or guru. Jangan gampang percaya ama iklan-iklan or selebaran tentang kosan, mending elo tanya-tanya en survei dulu, kale aja lingkungannya nggak aman
-or fasilitasnya nggak kayak yang di iklan.
Nyari kosan tuh, enaknya yang ada ibu kosnya, biar ada yang "ngejagain" en ada "sesepuh" kalo ada komplain masalah kosan or ada apa-apa,
kan, gampang tuh! -Mending sekosan yang isinya sama-sama pelajar, jangan nyampur-nyampur getoh ama yang udah gawe or udah merit en punya anak. Bukan apa-apa, biar elonya ngerasa lebih enjoy en nyambung aja. -Terus kalo bisa, nyari juga yang isinya cewek semua or cowok semua, jadi nggak nyampur sekosan ama cowok/cewek. Kebayang dong, kalo kosannya "nyampur" kita jadi nggak leluasa "bergerak", nggak bisa bersikap seenaknya en make baju seenaknya salah make baju or kelewat seksi, bisa berabe, tuh terutama yang jilbaban, di kosan musti always make baju panjang plus kerudung biar nggak terlihat penghuni kosan yang cowok, sayang juga tuh, baju-baju santai plus pendek favorit kita jadi jarang dipake.
Tips "Ngekos" Di Sodara
Elo musti tau diri, walopun tinggal di sodara, bukan berarti elo nganggap rumah sendiri en bisa seenaknya. Tetep, elo kudu tau batasan-batasannya. - Elo musti tanggap ama sikon, jangan mo enak sendiri atau nyante-nyante aja sedangkan yang
di rumah pada sibuk, bantu-bantu lah, dikit! - Terus, kalo mo pulang telat or pergi ke mana-mana, pamit en ngasih tau dulu, yak! Gimanapun, sodara elo adalah "ortu" kedua en bertanggung
jawab ama "bonyok" yang nitipin elo.
- Liat sikon kalo mo ngajak temen maen ke rumah, apalagi nginep. Kali aja ada yang lagi sakit or sikonnya nggak tepat.
- Kalo Elo "Berbagi" Kamar
Elo musti saling ngejaga plus ngehargain privasi temen sekamar. Gimanapun, elo sama dia samasama punya hak di kamar itu.
- Reduce your ego! Kudu sama-sama care en saling ngertiin, deh! Jangan seenaknya naro barang-barang en ngatur "interior" kamar semau gue. Jangan sampe deh, nyetel musik favorit kita seenaknya or keras-keras, kale aja dia keganggu
- en nggak suka ama musik favorit elo.
Jangan pelit yak, bagi-bagi dunk kalo punya makanan or rezeki.
Tips Kalo Mudik -Bawa barang buat mudik seperlunya aja, coz kalo balik lagi ke kosan, mending isiin tas ama "sem-bako" yang berguna pas lagi cekak. Misalnya bawa sarden, mi instan-but jangan kebanyakan yak, bisa-bisa ususnya ntar bermasalah, bawa abon, dkk. Hihihi ... rajin-rajin deh, bongkar isi
kulkas en dapur rumah! -Jangan lupa ngunci kamar kosan, bisa-bisa pas balik lagi ke kosan, barang-barang udah raib. liih ... amit-amit, deh! But, jangan sampe lupa en
kuncinya ketinggalan di rumah, yak!
Inget, jangan gampang percayaan ama orang
buat nitipin kunci kamar kita!
-Pastiin kalo kosan elo "aman" pas ditinggal mudik, misalnya air, listrik, teve, dan alat elektronik la-ennya nggak ada yang nyala.
Tips Jauh Dari Ortu -Jaga nama baik elo, keluarga elo, juga keluarga atau lingkungan yang elo tempatin buat ngekos. Jaga kepercayaan ortu elo, sekalinya dilanggar, ngedapetinnya lagi susah, bo! Jangan mentang-mentang elo jauh dari rumah, terus bebas ngela-kuin apa aja plus seenaknya. Inget, tujuan semula elo ngekos buat apa, yup supaya lebih fokus be lajar en "akses" ke sekolah gampang.
-Say hi ke tetangga di kosan kita, walopun bukan rumah elo yang asli, but elo warga dari ling-kungan itu. So, baek-baeklah ke tetangga. So, ngekos" Siapa takuuut ..."! Enjoy aja, lagi!
Profil Penulis Andi Yudha Asfandiyar; pakar kreativitas anak dan remaja, serta lulusan SMAN 3 Malang, Jawa Timur.
Ary Yulistiana; penulis novel remaja The lOOth Dragonfly (Penerbit Cinta, 2006), juga mantan siswi SMA Batik Surakarta, Jawa Tengah.
Asih Aisyah; editor sekaligus penanggung jawab Read! Publishing, serta mantan siswi SMA Vienna International School, Austria.
Benny Rhamdani; penulis novel remaja Bidadari Tajir (Penerbit Cinta, 2006) dan Cowok Khayalan (Penerbit Cinta, 2005), lulusan SMAN 14 Jakarta Timur.
C.N. Murtiana; sekretaris dan alumni SMAN 1 Geger, Madiun, Jawa Timur.
Doel Wahab; penulis buku panduan remaja Sholat is Fun (DAR! Mizan, 2005), alumni SMAN 24 Bandung, Jawa Barat.
Hafsya; penulis novel remaja The Power of Curhat (Penerbit CINTA, 2005) dan masih tercatat sebagai siswi SMAN 26 Jakarta.
Kinoysan; penulis kumcer Cowok #1 (Penerbit CINTA, 2006), lulusan SMAN 1 Tulungagung, Jawa Timur.
Luna TR; penulis trilogi novel remaja Sweet Angel: The Pigeon, The Rose, dan The Princess (Penerbit CINTA 2005), mantan siswa SMAN 14 Bandung, Jawa Barat.
Meidiana Frikasari; proofreader novel-novel remaja dan lulusan SMAN 1 Purwakarta, Jawa Barat.
Muharram R.; penulis novel remaja Kling ... The Spinning Coin (Penerbit CINTA, 2005) dan Boysitter (Penerbit CINTA, 2006), serta lulusan SMAN 11 Bandung, Jawa Barat.
Spica; penulis ratusan cerpen di majalah-majalah remaja dan lulusan SMA Ksatrya Surakarta, Jawa Tengah.
Teera; penulis cerpen di majalah-majalah remaja, bukunya yang akan terbit Please, Don't Go (Penerbit Cinta), dan mantan siswi SMAN 3 Bandung, Jawa Barat.
Winarni; bekerja di penerbit DAR! Mizan dan lulusan Sekolah Menengah Teknologi Negeri Grafika Semarang, Jawa Tengah.
tamat Mata Elang 4 Pendekar Lembah Naga Serial Pendekar Muka Buruk Karya Tjan I D Pendekar Wanita Penyebar Bunga 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama