Jingga Dalam Elegi Karya Esti Kinasih Bagian 5
Ari terpana. Seketika dia bangkit dari posisi tidur dan dengan tergesa membuka SMS yang tidak terduga itu.
Lo baik2 aja kan" Maaf ya.
Ari tertegun. Nanar ditatapnya kalimat sangat pendek itu. Kepalanya yang seperti di hantam palu karena hangover berat seketika terlupakan. Seperti arca batu, cowok itu duduk membeku. Kedua matanya menatap layar ponsel, lurus dan intens, meyakinkan diri bahwa SMS itu adalah nyata dan tidak akan berubah jadi ilusi begitu dia kedipkan mata.
Beberapa menit kemudian Ari kembali ke realitas. Namun, kali ini dengan hati yang mendadak menghangat dan beban pikiran yang jadi ringan. Meskipun rasa sakit di kepalanya kembali menghantam, sama sekali tidak ada keinginan untuk kembali menggeletakan diri di tempat tidur, seperti yang selalu di lakukannya setelah melewatkan malam dengan menegak alkohol. Ari malah merasa bersemangat.
Sambil menekan puncak kepalanya dengan satu tangan, ditelopannya Wayan.
"Oi, Yan." ucapnya dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur.
"Oh, udah sadar"" sambut Wayan. "Tadi Made aku suruh ngecek, katanya kamu masih pingsan."
"Barusan. Yan, tolong cariin tiket balik ke Jakarta ya."
"Kapan"" "Sekarang." "What!"" di seberang, Wayan kontan memekik. "Kita kan mau nyeberang ke Nusa Penida. Anak-anak lagi pada ngecek motor tuh. Semuanya udah siap. Tinggal nunggu penyandang dananya sadar aja. Ini usul kamu lho."
"Gue hangover berat nih. Kayaknya nggak bisa jalan jauh. Apalagi bawa motor," Ari mencoba berkilah.
"Alaaaah, gampang itu. Ntar aku yang bawa motor. Kamu duduk manis aja di belakang. Pegangan, jangan sampai jatuh."
"Sori banget. Tapi gue bener-bener harus pu
lang." "Mau ngapain sih" Bapakmu itu kan nggak peduli anaknya ada dimana. Mau sekolah" Besok sabtu."
"Ck!" Ari berdecak. "Bukan soal Bokap. Ada yang harus gue kerjain. Nusa Penida bisa besok-besok." "Bukan Nusa Penida yang aku pikirin. Kondisimu itu." "Nanti siang juga udah mendingan."
"Maksudku bukan hangover. Kamu ingat nggak, semalam itu habis berapa gelas, hah""
Jelas Ari tidak ingat. Yang masih dia ingat dengan jelas cuma dia harus minum. Minum dan minum dan minum.
"Kalo nggak terlalu penting, nggak usah buru-buru," suara Wayan melunak. "Aku cemas sama kondisimu. Besok aja. Aku cariin penerbangan yang paling pagi. Tapi janji, nggak ada alkohol!" Ari terdiam. Hanya satu SMS singkat. Berisi kalimat yang sangat biasa pula. Jadi memang lebih baik tidak mempertaruhkan hatinya yang sudah berantakan. Pulang untuk sesuatu yang masih menjadi praduga, apalagi harapan.
Setelah beberapa saat sambungan telepon seluler itu menggantung dalam keheningan, akhirnya Ari menyetujui usul Wayan. "Betewe, gue lo taro di mana nih""
"Penginapan. Sori, di rumahku lagi banyak tamu. Mendadak banget datangnya. Yang punya penginapan temenku kok. Jadi kamu santai aja di situ. Kalau mau keluar kamu bel aja si Made, temenku itu. Semalam kamu aku kunciin dari luar. Takut macem-macem." Kalimat terakhir Wayan kontan membuat Ari mengerut. "Emang gue ngapain""
"Kalau aku ceritain, malu kamu nanti." Wayan terkekeh pelan "Jadi, aku jemput jam berapa"" "Hmm....satu jam lagi deh."
"Oke." Akhirnya hari itu berlalu seperti rencana semula. Rencana yang disusun oleh Ari. Teman-teman Balinya hanya menyetujui, karena kekacauan Ari sudah terlihat jelas sejak mereka jemput cowok itu di bandara hampir seminggu yang lalu. Lama mengenal Ari, sama seperti Wayan, membuat mereka tahu sangat baik bagaimana cara memperlakukan kawan dari Jakarta yang hidupnya berantakan itu. Namun SMS Tari membuat Ari tidak fokus melakukan apa pun. Menjelang sore keinginan Ari untuk pulang ke Jakarta sudah tidak bisa dicegah lagi. Wayan dan semua teman yang menemaninya selama di Bali akhirnya menyerah.
Pukul 21.00 WITA, diantar teman-temannya Ari berlari secepat-cepatnya memasuki bandara. Pesawat sudah boarding. Tinggal menunggu seorang penumpang yang memesan tiket pada detik-detik terakhir, yang berhasil mendapatkan tempat berkat koneksi Wayan. Di pintu keberangkatan mereka berhenti. Sambil menepuk punggung teman-temannya satu per satu, Ari mengucapkan terima kasih. Kemudian dia balik badan dan berlari masuk ke ruang chek-in. Pesawat itu landing di Bandara Soekarno-Hatta pukuk 21.30 WIB.
Ari langsung meninggalkan kursinya dan jadi orang pertama yang berdiri di depan pintu pesawat, di sebelah seorang awak kabin. Begitu pintu terbuka, dituruninya anak tangga tiga sekaligus. Melompati empat sisanya dan berlari di sepanjang landasan menuju pintu kedatangan. Cowok itu langsung menerobos masuk ke sebuah taksi yang berhenti tepat di depan pintu kedatangan, yang baru saja menurunkan seorang penumpang. Disebutkannya alamat Tari dan dimintanya sang sopir untuk ngebut. Di sepanjang jalan cowok itu dicekam kegelisahan. Rasanya ingin diteriakinya si sopir taksi untuk melaju lebih cepat.
Namun menjelang sampai tujuan, Ari baru menyadari dia tidak punya alasan kuat untuk menemui Tari. Apa yang harus dikatakannya untuk SMS dari cewek itu yang efeknya melegakan"
Ari tersentak. Mendadak muncul rasa cemas dan ketakutan. Gimana kalau ternyata itu SMS salah kirim" Karena sampai saat ini, hampir dua puluh tiga jam sejak SMS itu dikirimkan, tidak ada SMS lagi.
Dugaan itu seketita menyurutkan langkah Ari. Jam di pergelangan tangan membantunya memutuskan tindakan yang harus diambilnya. Dua puluh menit telah berlalu dari pukul sepuluh malam. Terlalu larut untuk bertamu, apalagi tanpa alasan kuat.
Taksi berhenti di mulut jalan kecil menuju rumah Tari. Cowok itu turun dan menuju ke rumah Tari dengan jalan kaki. Ada sebuah jalan kecil di samping rumah Tari, yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Ke sanalah Ari menuju.
Dan langkah Ari terhenti. Di sanalah dia -cewek yan
g sangat ingin dilihatnya- duduk di belakang meja belajar dengan kepala menunduk dalam-dalam. Serius mengerjakan sesuatu entah apa. Ari melangkah menuju sebatang pohon yang tumbuh di halaman samping rumah Tari yang tidak begitu luas. Setelah beberapa saat, Ari baru tahu apa yang dilakukan cewek itu. Bermain puzzle. Melihat keseriusan Tari mencermati setiap potongan sebelum meletakannya pada sebuah bidang tempat potongan-potongan yang tepat telah tersusun membuat Ari jadi yakin itu memang SMS salah kirim. Karena dilihatnya cewek itu begitu santai, rileks, dan lupa pada sekelilingnya.
Ari tidak tahu, Tari penggila puzzle. Sepuluh set permainan puzzle yang rumit tersimpan dalam sebuah kotak di bawah tempat tidurnya. Dan permainan itu selalu jadi caranya melarikan diri saat merasa gelisah, sedih, cemas, marah,dan perasaan apa pun yang membuatnya tak tenang. Tari bukan rileks. Dan Ari juga tidak tahu itu. Dia tidak menyaksikan kondisi Tari sebelum potongan-potongan puzzle itu berhasil mengambil alih semua kegelisahannya sejak tayangan televisi kemarin menjatuhkan kesadarannya secara tiba-tiba.
Dalam enam puluh menit rentang waktu yang terjadi dalam satu jam, yang dilakukan Tari adalah menghela napas panjang, berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya yang tidak begitu luas, menyambar ponselnya lalu menatap layarnya dengan beban harapan yang makin lama terasa makin memberatkan hati dan pikiran, serta menggeletakkan diri di atas tempat tidur dengan mata terbuka lebar atau menatap langit dari ambang jendela.
Sedangkan variasi tindakan lain selain tindakan-tindakan itu adalah menelepon Fio lalu menanyakan dugaan teman semejanya itu di mana kira-kira Ari berada, apa yang sedang dilakukannya, kapan kira-kira dia akan muncul di sekolah lagi, apakah cowok itu sehat-sehat saja, dan dugaan-dugaan lain yang semakin lama didiskusikan, daftarnya semakin panjang dan sama sekali tidak membuat perasaannya jadi lebih baik.
Berdoa adalah variasi tindakan yang lain lagi. Entah sudah berapa kali Tari berdoa sejak kesadaran itu datang. Doa yang sungguh-sungguh tulus. Untuk Ari, di mana pun cowok ini saat ini berada. Semoga dia sehat, semoga cepat pulang, semoga saat ini dia tidak sendirian, semoga jika bertemu lagi mereka masih bisa saling bicara. Semoga segalanya masih bisa diperbaiki. Variasi tindakan Tari yang lain adalah menatap nama teman sekelasnya, Nyoman, di daftar kontak ponselnya. Disusul 'iya' dan 'jangan' yang berperang hebat di dalam kepalanya saat keinginan melemparkan saran, barang kali melalui teman-teman sebelas Nyoman yang seabrek banyaknya bisa didapatkannya nomer telepon Ridho atau Oji. Dua orang yang terdekat dengan Ari itu pasti mengetahui di mana cowok itu berada. Pada akhirnya, 'jangan'-lah yang selalu menang. Sedangkan tindakan variasi Tari yang paling emosional adalah meringkuk di antara tempat tidur dan dinding, melipat kedua lutut lalu menyembunyikannya mukanya di sana, saat emosi beban dan pikiran memuncak dan rasanya dia ingin menangis untuk melepaskan semuanya.
Ari tidak menyaksikan semua itu. Cowok itu baru datang setelah lima set permainan puzzle yang rumit dan dilakukan Tari secara maraton sejak berjam-jam lalu berhasil mengambil alih semua kegelisahan itu.
Saat ini Tari sedang menyelesaikan puzzle ke enam, yang tersulit dari seluruh koleksi puzzle-nya. Bergambar pemandangan alam khas Eropa dalam bentuk lukisan, puzzle ini mempunyai kepingan sebanyak seribu buah!
Meskipun begitu, berkali-kali di tengah permainan, semua rasa itu berhasil menyeruak dan sesaat mengambil kembali semua kendali. Seperti yang kemudian disaksikan Ari, tapi sayangnya dia tidak mengetahui.
Dengan kepala tetap menunduk, Tari menghela napas saat dugaan-dugaan itu itu kembali muncul. Ari pasti marah. Atau Ari pasti sudah tidak mau peduli lagi, karena urusan yang kemarin itu dianggapnya sudah selesai. Karena cowok itu sudah minta maaf berkali-kali tapi dirinya tidak juga mau memaafkan.
Ingat itu, Tari jadi menyesal. Seandainya saja dia tidak terlalu menuruti emosi dan mau memikirkan dengan lebih jernih alasan Ari melak
ukan kebohongan itu. Karena sebagai Ata, Ari telah menceritakan semuanya. Meskipun dengan banyak kiasan dan metafora yang membingungkan. "Tapi udalah. Udah telat," bisik Tari. Digelengkannya kepala kuat-kuat, lalu dipaksanya konsentrasi yang sempat buyar itu kembali pada potongan puzzle yang berserakan di depannya. Sayangnya malam membuat Ari tidak bisa menangkap kesedihan itu. Sementara Tari tidak menyadari, seseorang yang menjadi sumber kesedihan dan sesalnya berada tidak jauh di luar kamarnya dan sedang di cekam kegelisahan yang sama.
Menjelang pukul satu dini hari, Tari mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Enam set permaiman puzzle yang sulit berhasil dia selesaikan. Capek, tapi sayangnya tidak seperti harapannya: matanya sama sekali belum mengantuk. Dan begitu perhatiannya tidak lagi teralihkan, kembali ingatan Tari melayang pada Ari.
Ditatapnya ponsel yang dia taruh yang dia letakan tidak jauh dari potongan puzzle yang tadi berserakan, tanpa keinginan untuk meraihnya. Karena dia tahu, tidak akan dia temukan apa yang dia harapkan dilayarnya -SMS balasan dari Ari- karena ponselnya itu terus membisu. Tampa semangat, Tari kemudian bangkit berdiri dan menyondongkan tubuhnya ke ambang jendela. Diulurkannya kedua tangan, meraih kedua daun jendela yang terbuka. Dia sama sekali tidak menyadari sebatang pohon yang tumbuh di halaman samping rumahnya menyembunyikan seseorang yang sangat ingin dia ketahui keberadaan dan kondisinya, di bawah gelap bayang-bayangnya.
Tubuh Ari seketika menegak. Dia berharap menemukan jawaban untuk keraguannya -apa pun bentuknya- yang bisa memberikan kepastian bahwa SMS itu memang dikirimkan Tari untuknya. Namun, harapannya pupus saat kedua daun jendela itu menutup. Melenyapkan cahaya yang tadi menerangi sebagian halaman samping. Dan meninggalkan keremangan total. Ari menatap keremangan yang memeluknya dari segala arah itu. Bukan dengan mata, tapi dengan hati. Sedih, nelangsa, dan merasa konyol. Kalau ingat bagaimana dia tinggalkan Bali dengan terpontang-panting demi sebuah SMS, dan demi harapan besar yang muncul karenanya, cowok itu tertawa tanpa suara. Pahit. Sumbang. Getir.
Tiga puluh menit setelah Tari menutup jendela, Ari beranjak pergi. Ditinggalkannya kegelapan bayang pohon tempat diamatinya cewek itu selama tiga jam. Dengan kedua tangan tenggelam dalam saku celana, dia berjalan menembus malam yang hening dan akhir-akhir ini -karena anomali cuaca- kerap kali terasa begitu dingin.
**** SABTU, jam tujuh pagi, Tari sudah berpakaian rapi. Hal yang langsung dilakukannya begitu membuka mata tadi adalah mengecek ponsel. Masih tidak ada balasan dari Ari, membuat kegelisahan ini terasa makin menekan dan dirinya nyaris tak tahan lagi. Dia harus keluar rumah dan melakukan sesuatu agar pikirannya bisa sesaat teralihkan.
Tari sudah mengirimkan sebuah SMS singkat untuk Fio. Belum ada jawaban. Pasti teman semejanya itu masih tidur. Tari tidak peduli. Akan dibangunkannya Fio dengan paksa dan begitu temannya itu membuka mata, dirinya akan langsung minta maaf karena melakukan itu. Setelah itu dirinya akan langsung minta maaf lagi karena, lagi-lagi dengan paksa, meminta Fio untuk menemanyi pergi. Ke mana saja.
*** Sabtu, jam delapan pagi, Ari berdiri di depan pintu pagar rumah Tari dengan dada berdebar. Sebenarnya dia ingin berangkat lebih pagi, tapi mendadak dia sadari dirinya kehilangan keberanian. Untuk pertama kali dalam sejarahnya mengunjungi rumah seorang cewek, dirinya sampai membuat konsep. Apa yang akan dikatakan, apa yang akan ditanyakan, apa yang akan dilakukan, apa yang akan diceritakan. Yang pasti dia berutang penjelasan pada Tari dan dirinya tidak akan mengingkari itu.
"Sinting!" desisnya pelan, jadi geli sendiri saat mengingat kertas berisi coretan konsep itu. Tapi harus diakuinya, persiapan itu membantu dirinya untuk sedikit lebih tenang.
Dibukanya pintu pagar, lalu setelah melepas sepatu, cowok itu berjalan menuju pintu. Diketuknya pintu itu. Ari sengaja tidak ingin memencet bel, karena itu akan mengagetkan dirinya sendiri dan membuyarkan ketenangan yang
susah payah diperolehnya. Pintu didepannya terbuka.
"Ari"" Mama Tari terlihat surprise. "Apa kabar kamu""
"Baik, Tan," Ari menjawab sambil menganggukan kepala dan membungkukkan sedikit punggungnya.
"Tante apa kabar" Sehat""
"Sehat. Sehat." Wanita itu mengangguk-angguk.
"Mm... Tari ada, Tan""
"Waaah, ke rumah Fio. Pagi-pagi dia udah berangkat." Seketika raut kecewa muncul di wajah Ari.
"Susul aja ke tempat Fio," mama Tari menyarankan dengan wajah lunak.
Ari menggeleng dan tersenyum. "Nggak usah deh, Tan. Kapan-kapan aja saya main ke seni lagi." "Kamu susul aja. Paling di juga baru sampai."
Kembali Ari menggeleng. Bukan itu. Menyusuk adalah perkara kecil. Tapi ketiadaan Tari, pergi pagi-pagi sekali saat hari libur, sementara semalaman dilihatnya cewek itu begitu rileks dan tenang, mungkin itu sinyal bahwa dirinya berharap terlalu banyak. Kemungkinan benar, itu SMS salah kirim. "Terus kamu mau ke mana" Mau pulang"" Mama Tari bukannya usil. Tapi dari cerita Tari, anak ini hanya tinggal berdua dengan ayahnya. Itu pun sang ayah lebih sering tidak berada di rumah. Pasti dia kesepian. Bersama seorang teman atau lebih jelas lebih baik. "Nggak, Tan. Mau ke tempat teman."
Ari langsung teringat Oji. Rumah Oji dan rumahnya punya kemiripan. Begitu sunyi, hingga pemakaman pun masiah terasa lebih ceria. Lebih baik ditemaninya kawan karibnya yang sering merasa kesepian itu. Mumpung masih pagi, jadi Oji belum pergi.
"Oh. Di mana""
Ari menyebutkan alamat rumah Oji.
"Oh, kalo itu sih mendingan kamu lewat jalan potong. Lebih dekat. Ini nih... " Mama Tari beranjak ke pintu pagar. Ari mengikuti di belakangnya. "Kamu lurus aja, tapi nanti jangan belok kanan, jangan ngikuti jalan aspal. Kamu belok kiri." "Itu kan gang kecil, Tan"" tanya Ari heran.
"Iya memang. Tapi dari situ ke rumah teman kamu lebih dekat. Nanti di dalam situ memang banyak jalan kecil. Semerawut deh. Tapi kamu ikuti aja jalan yang banyak dilewati motor. Nanti tembusnya di jalan aspal kecil kayak ini. Dari situ tinggal kamu ikuti, nanti sampai di jalan besar. Dari situ ke tempat teman kamu itu tinggal lurus. Lebih dekat, Ri."
"Oh, gitu"" Ari mengangguk-angguk.
"Iya, deh. Saya coba. Terima kasih, Tan."
"Iya." Sebelum menaiki motornya, Ari menanyakan sebuah pertanyaan, sekedar untuk membuat hatinya sedikit lega.
"Tari sehat kan, Tan""
"Sehat. Sehat." Mama Tari tersenyum menenangkan.
"Bagus deh." Ari tersenyum lalu menganggukan kepala.
"Pergi dulu, Tan."
"Iya. Hati-hati ya."
*** Permukiman padat itu benar-benar semrawut. Penuh dengan labirin jalan kecil. Ari menuruti petunjuk yang diberikan mama Tari. Mengambil sebuah jalan kecil yang memang kerap dilewati motor.
Setelah menyusuri jalan kecil itu di belakang beberapa motor yang lain, yang berkelok-kelok seperti tak akan berujung, akhirnya Ari melihat sebuah jalan aspal. Tidak terlalu lebar seperti yang terbentang di depan rumah Tari. Cowok itu menarik napas lega. Akhirnya! Tangan dan kakinya sudah pegal karena sebentar-sebentar harus pemperlambat bahkan menghentikan laju motornya. Permukiman padat ini begitu penuh dengan anak-anak kecil yang berlarian ke segala arah.
Begitu sampai di jalan aspal kecil itu, sepuluh meter setelah keluar dari mulut gang, Ari menghentikan motornya. Di lepasnya helmnya lalu ditariknya napas panjang. Gang kecil panjang yang penuh kelokan dan anak-anak kecil berlarian, serta ketiadaan Tari, membuat Ari mendapati tubuhnya jadi semakin letih.
Tiba-tiba kedua mata Ari terbelalak maksimal. Disusul mukanya yang sontak memucat. Tak jauh di depannya, tegak sebuah gapura. Gapura yang sudah sangat dikenalnya. Gapura kompleks rumah lamanya!
Terhuyung nyaris saja jatuh, Ari turun dari motor. Dia belalakan kedua matanya lebar-lebar, meyakinkan diri bahwa itu memang gapura rumah lamanya. Tak salah lagi!
Dia hafal bentuk gapura ini. Dia hafal warna hijaunya. Dia hafal bentuk puncannya yang seperti kubah masjid. Dia hafal bentuk portal di sebelahnya. Bahkan pos siskampling tak jauh dari gapura itu pun, yang dulu kerap jadi markas
bermainnya bersama teman-teman sebaya, masih pos siskamling yang sama!
Dengan mulut ternganga dan ketidaksadaran lagi terhadap sekelilingnya, Ari menatap gapura itu. Pada masa kecil, nama perumahan yang tertera di sana sama sekali tidak berarti apa-apa untuknya. Lebih sering diabaikan dan tak terbaca meski dilaluinya berulang kali dalam sehari. Kini, nama itu seperti Atlantis yang hilang dan baru saja ditemukan!
Dengan tubuh lemas dan gemetar Ari memaksakan diri menuntun motornya memasuki sebuah aspal kecil. Jalan ini bahkan belum berubah sejak sembilan tahun lalu. Jalan ini nanti akan berbelok. Berjarak dua rumah dari belokan itu adalah rumah lamanya.
Dengan kedua kaki yang rasanya seperti tidak menjejak bumi, Ari menuntun motornya ke arah belokan itu, yang kini sudah mulai terlihat. Makin lama makin dekat. Makin dekat. Makin dekat. Dia belokan langkah seiring dengan detak jantungnya yang semakin menggila. Dan Ari ternganga, nyaris tersedak napasnya sendiri. Tubuhnya melemas dan seketika terayun limbung. Buru-buru disambarnya tiang listrik terdekat. Malang bagi motornya. Kendaraan besar dan berharga mahal itu tanpa ampun terbanting keras ke aspal. Itu rumah lamanya! Benar-benar rumah lamanya!!!
Ari lumpuh. Cowok itu jatuh terduduk di tepi jalan, di sebelah motornya yang rebah di aspal jalan. Kedua matanya tertancap pada rumah di depannya. Tidak bisa dialihkan.
Tidak berubah. Masih sama. Rumah itu masih rumah yang sama. Hanya warna cat dindingnya yang berubah. Dulu ayahnya mengecat rumah itu dengan warna hijau. Kini rumah itu berwarna putih. Selebihnya tidak ada yang berubah. Bahkan pohon jambu biji yang dulu ditanamnya bersama Ata dan Papa masih ada. Sekarang sedang berbuah. Bahkan bingkai jendela di kamar belakang pun masih bingkai jendela yang sama. Sisi bawah bingkai kayu itu retak. Ulah Ata saat dia mengamuk karena Mama tidak meluluskan permintaannya.
Ari menelan ludah. Membasahi tenggorokannya yang mendadak kering dan sakit.
"Ari"" sebuah suara memanggilnya dalam keterkejutan hebat. Disusul suara langkah-langkah kaki berlari. Ari tidak mendengar. Seluruh fokus dirinya ada pada rumah di hadapannya.
"Ari"" seorang wanita paruh baya kini berlutut di depannya. Menatapnya lekat-lekat dengan kedua mata yang segera berkaca. Baru Ari tersadar.
"Tante Lidya"" Ari terperangah.
"Ya ampun, Ari. Kamu ke mana aja" Tante sama Oom kamu terus nyari-nyari. Kenapa nggak pernah ke sini""
Ari tak menjawab. Terpana, kini seluruh fokusnya ada pada wanita di depannya.
Melihat lagi wanita ini benar-benar seperti melihat mama kembali. Karena baginya dan Ata, Tante Lidya sudah seperti mama kedua.
"Tan...te.... masih.... di sini"" tanyanya lirih.
"Memangnya tante mau ke mana""
"Mama sama Ata... masih di rumah itu"" dengan gerakan lemah, ditunjuknya rumah lamanya. Tante Lidya merintih dalam hati. "Waktu kamu masih di situ, mamamu sama Ata kan udah pergi," dengan nada sakit Tante Lidya mengingatkan.
"Iya sih." Ari mengangguk. "Kirain setelah saya sama Papa pergi, Mama sama Ata balik ke rumah itu lagi."
Tante Lidya menggeleng. Tanpd sadar wanita itu mengulurkan tangan kanannya lalu mengusap-usap kepala Ari, seperti saat Ari masih kecil dulu. Tindakannya itu membuat Ari nyaris tidak sanggup menahan air mata.
"Tante tau, Mama sama Ata ke mana""
"Masuk dulu yuk"" ajak Tante Lidya dengan nada lembut.
Ari seperti tidak mendengar.
"Tante tau, kenapa Mama dulu milih Ata" Kenapa Mama nggak milih saya" Tante kan tau, Ata tuh nakal banget. Sebentar-sebentar berantem. Sebentar-sebentar bikin nangis orang. Nggak pernah berhenti usil. Kalo disuruh Mama beli apa ke warung, nggak pernah mau. Ata juga nggak pernah bantuin Mama jahit apalagi ikut beresin baju-baju jahitan. Saya yang selalu bantuin Mama. Saya yang selalu nemenin Mama jahit. Saya yang selalu berangkat kalo Mama nyuruh apa-apa. Kenapa bukan saya yang diajak" Kenapa malah Ata" Kenapa saya yang ditinggal""
Air mata turun bersamaan dengan rentetan tanya itu. Selama bertahun-tahun, ini adalah pertanyaan yang paling ingin dia ketahui jawa
bannya. Pertanyaan yang menjadi sumber luka dan sakit hatinya. Pertanyaan yang menjadi pemicu dirinya mengambil pribadi Ata dan 'membunuh' dirinya sendiri. Tante Lidya menatap Ari dengan pandang nelangsa. Kedua matanya langsung merebak. "Yuk, masuk dulu. Kebeneran banget, hari ini Tante bikin bolu kukus, kue kesukaan kamu. Yuk,masuk." Tante Lidya membujuk seolah-olah ini masih Ari yang dulu. Ari kecil yang manis dan penurut. Penyeimbangan untuk Ata, saudara kembarnya yang pemberontak dan tak bisa diam. Ari menurut. Dia bangkit berdiri dengan sedikit limbung. Dibantu Tante Lidya, cowok itu menegakkan motornya lalu menuntunnya masuk ke halaman sebuah rumah yang letaknya tepat bersebelahan dengan rumahnya dulu.
Tante Lidya bergegas membuatkan teh manis hangat. Bersama sepirin bolu kukus, diletakkannya gelas teh itu di meja, di depan Ari yang sibuk memperhatikan ruang tamu rumahnya dengan sorot mata sarat kerinduan.
Wanita itu lalu duduk di depan Ari. Dibiarkannya sesaat waktu berlalu agar anak laki-laki ini sedikit tenang. Takjub dia mendapati, anak laki-laki yang dulu kecil itu sekarang sudah sebesar ini. Setelah Ari mengosongkan gelas teh manis hangatnya, baru wanita itu memulai penjelasannya. "Bukan mamamu yang milih. Tapi papa kamu," ucapnya dengan suara pahit. "Nggak ada ibu yang bisa memilih, mana anak yang mau dibawa dan mana anak yang mau ditinggal. Dan jangan dikira juga, mama kamu nggak berusa nyari kamu. Waktu dia ke sini dan ngeliat rumah kalian ternyata sudah kosong, mama kamu udah kayak orang gila, Ri."
Ari, yang mendengar penjelasan awal tadi dengan muka menghap dinding, seketika menoleh. Ditatapnya Tante Lidya dengan kaget.
"Mama kamu kerjanya cuma nangis. Begitu udah nggak sanggup nangis lagi, dia tiap hari pergi. Berangkat pagi pulang malam. Kalo Tante tanya, jawabnya cuma satu. Nyari Ari. Ata sampai terlantar..." sesaat Tante Lidya menghentikan ceritanya untuk menghela napas. "Mama kamu pergi ya pergi aja. Ata nggak di urus. Kadang nggak ditinggalin makanan. Nggak ditinggalin uang jajan. Untung waktu itu ngontraknya nggak jauh. Jadi Tante bisa ke situ, nengok. Kalau sudah pulang, mama kamu juga lebih banyak diam. Tante lihat, lama-lama bukan cuma mamanya yang gila, anaknya pasti akan gila juga. Terpaksa, begitu mama kamu pergi untuk nyari kamu, Ata langsung bawa ke sini. Tante nggak sanggup bayangin Ata sendirian di rumah kontrakan. Dari pagi sampai malam. Suka nggak ada makanan, lagi."
Ari tergugu. Tak bisa bicara. Benar-benar tak menyangka seperti ini cerita yang akan didengarnya. Penjelasan Tante Lidya yang panjang lebar penuh dan penuh luapan emosf itu akhirnya menjawab tuntas pertanyaan terpentingnya. Lebih dari yang dia duga.
"Sekarang Mama sama Ata di mana, Tan"" tanya Ari kemudian, dengan suara pelan. Tante Lidya tak langsung menjawab.
"Di Malang," jawabnya kemudian dengan nada lambat. "Biaya sekolah SMA di Jakarta mahal. Mama kamu nggak sanggu. Jadi terpaksa mereka pulang ke rumah kakek-nenek kamu. Biar Ata bisa lanjut sekolah. Biaya sekolah di sana masih relatif terjangkau. Dan banyak saudara yang bisa membantu." Ari menatap wanita di depannya dengan pandang kaget. "Emang Mama... "
"Masih menjahit kayak dulu." Tante Lidya tahu apa yang ingin ditanyakan Ari. "Berapa sih penghasilannya" Pas-pasan. Itu juga sudah dibantu Ata kerja."
"Ata kerja"" Ari semakin kaget. "Kerja Apa""
"Nanti kamu tanya sendiri aja ya. Tante takut salah ngomong."
Perlahan kepala Ari tertunduk. Tepekur menatap lantai. Informasi itu benar-benar mengagetkannya. Benar-benar tidak dia sangka. Ata terpaksa kerja"
Tante Lidya menghela napas diam-diam. Kemudian dia bangkit berdiri dan dengan lembut ditepuknya satu bahu Ari.
"Sekarang kamu ke kamar tamu, terus buka lemari kayu yang di pojok ya," ucapnya lunak.
"Ada apa, Tan""
"Kamu buka aja. Lihat isinya." wanita itu tak ingin bicara banyak.
Dengan bingung Ari bangkit berdiri lalu berjalan ke kamar tidur tamu. Setelah membuka pintu, dia langsung berjalan menuju sebuah lemari kayu disudut ruangan. Dibukanya salah satu pintu lemari. Isin
ya membuat cowok itu mengerutkan kening.
Tiga tumpuk kado yang belum dibuka. Bertumpuk-tumpuk baju dalam keadaan terlipat rapi dan sepertinya belum pernah digunakan sama sekali. Dua boks tanpa tutup berisi mainan dan benda-benda lain.
Dengan bingung Ari meraih sebuah kado yang terletak paling atas dari tumpukan paling kanan. Sebuah amplop bergambar pesawat direkatkan di kado tersebut. Tanpa prasangka Ari membukanya. Seketika dia terperajat. Tulisan rapi mamanya tertera di kartu ulang tahun di dalamnya. Ari, selamat ulang tahun yang kesebelas ya. Ari sekarang di mana" Ari sehat, kan" Mama dan Ata juga sehat. Ini Mama beliin puzzle. Ari kan suka puzzle. Puzzle yang gambarnya mobil, Mama yang pilih. Kalau yang gambar pesawat, Ata yang pilih. Ata titip salam. Selamat ulang tahun katanya. Ari mau titip salam selamat ulang tahun juga nggak buat Ata" Seperti kesetanan, Ari mengambil semua tumpukan kado itu. Semuanya untuknya!
Dari mama. Dari Ata. Dari Tante Lidya. Sejak usianya sembilan tahun hingga yang terakhir kali, tujuh belas tahun, dua bulan lalu!
*** Sesak oleh keterkejutan yang amat sangat, Ari meraih tumpukan baju. Semuanya masih baru.
Bergambar tokoh-tokoh kartun favoritnya, gambar mobil, gambar pesawat, gambar tank, gambar truck. Dan di setip baju atau celana, dengan sebatang jarum pentul, selalu tertempel secarik kertas.
Untuk Ari. Dari Mama, Ari sekarang di mana" Ari sehat, kan" Mama sama Ata juga sehat.
Selalu begitu redaksinya. Ari meletakan tumpukan baju itu di tempat tidur. Tergesa diraihnya salah satu boks. Isinya benda-benda pemberian Ata, untuknya. Selalu ada secarik kertas di setiap benda-benda itu, apa pun itu. Ditempelkan dengan selotip. Dia mengenali tulisan itu. Tulisan cakar ayam Ata pada masa-masa kecilnya.
Dengan napas memburu, Ari meraih mainan robot-robotan. Pada secarik kertas itu Ata menulis. Ari di mana" Ini tadi Ata dibeliin mainan sama Tante Lidya. Buat Ari aja.
Dengan tenggorokan yang mulai terasa sakit, Ari meraih sebuah paket ulang tahun. Berisi wafer cokelat, permen lolipop, dan banyak lagi. Bentuknya sudah menciut, isinya pasti sudah jadi fosil.
Pada secarik kertas Ata menulis...
Ari, tadi Niko ulang tahun. Ata dikasih kue dua. Katanya yang satu buat Ari. Ata taro sini ya.
Dengan tangis yang mulai mencapai pangkal tenggorokan, Ari meraih benda yang lain. Kali ini sebuah plastik berisi beberapa butir permen aneka rasa. Entah apakah permen-permen ini juga masih bisa dimakan. Pada secarik kertas yang tertempe di plastik bagian luar, Ata menulis... Ari, Ata minta maaf ya kalo suka nakalin Ari. Nanti kalo kita ketemu lagi, Ari nggak akan Ata nakalin lagi deh. Ata janji.
Nih, Ata kasih permen. Belinya pake duit Ata sendiri. Nggk minta sama Mama.
Dan selembar kertas berisi deretan nomer telepon. Hampir semua nomer dicoret, kecuali dua nomer terbawah. Sepertinya setiap muncul nomer baru, itu akan mencoret nomer telepon sebelumnya. Namun Ari sudah tidak sanggup melihat lebih banyak lagi. Tubuhnya terhuyung mundur dan membentur tembok dengan keras. Dia meluruh di sana. Dalam cengkeraman tangis yang benar-benar hebat. Tangis hebat yang pertama, setelah bertahun-tahun dia tak lagi mengeluarkan air mata. Setelah bertahun-tahun dia memutuskan untuk berhenti menangis dan mulai belajar menjalani hidupnya tanpa mama dan saudara kembarnya.
Berdiri di luar kamar, Tante Lidya harus menekan mulutnya kuat-kuat dengan kedua tangan untuk juga meredam tangis dan sesak di dadanya.
Entah sudah berapa lama Ari meringkuk di sudut kamar. Memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan muka di antaranya. Entah sudah berapa lama dia menangis. Ketika tangis itu reda, cowok itu menatap semua benda yang tersusun rapi dalam lemari kayu itu dengan kedua mata yang bengkak dan berkabut. Benda-benda yang jadi bukti nyata bahwa ternyata, sama seperti dirinya, mama dan saudara kembarnya tak putus mencarinya.
Nyaris kehilangan seluruh tenaga, Ari memegang dinding, tepi meja, dan semua benda yang bisa diraihnya dan dijadikan pegangan. Terhuyung-huyung dia berjalan menuju lemari k
ayu itu, dan dengan gerakan lemah meraih lembar kertas berisi deretan nomer telepon itu. Begitu kertas itu teraih, cowok itu langsung jatuh terduduk seketika itu juga.
Dengan gerakan pelan, dikeluarkannya ponselnya dari saku depan celana jinsnya, lalu ditekannya deret nomer terbawah. Nada tunggu di seberang membuat tubuhnya gemetar.
"Halo.."" Ari tercekat. Suara itu masih sama! Suara itu masih sama!!! Ari menggerakkan mulutnya, tapi tidak ada suara yang bisa keluar. Sama sekali. "Halooo"" suara lembut itu mengulangi sapaannya. Ari masih belum sanggup mengeluarkan suaranya.
"Siapa, Ma""
Satu suara terdengar di belakang. Kali ini bukan seperti suara yang tersimpan dalam kenangannya. Suara ini berat. Ari tersentak. Ata" "Nggak tau ini. Mama halo-halo diem aja." "Ya udah. Tutup aja, Ma. Orang iseng, kali." "Iya, mungkin."
Dan kontak itu terputus. Seperti tersengat, Ari segera menekan tombol kontak.
"Halo"" suara lembut itu kembali terdengar. Ari menelan ludah dengan susah payah dan terengah.
Cepat-cepat dijawabnya sapaan itu sebelum dia menghilang lagi.
"Mama.... Ini.... Ari.... "
Suara yang dikeluarkan Ari dengan mengerahkan seluruh tenaga di tubuhnya yang sudah lemah itu hanya berupa bisikan parau yang nyaris tak terdengar, namun seketika menimbulkan keheningan di seberang sana. Keheningan sedetik yang disusul bunyi seperti benturan keras dan kemudian hubungan terputus. Ari tersentak.
"Ma"!" panggilnya seketika. Tak ada sahutan. "Mama!" Mama!" Ini Ari!!!"
Ponselnya yang menjawab panggilan paniknya itu, dengan nada sibuk. Seperti kesetanan, benar-benar sudah tanpa kesadaran, Ari bergegas menekan tombol kontak. Nomer itu kini tidak aktif.
Dicobanya sekali lagi. Tetap tidak aktif. Menyentakkan tangis cowok itu kembali ke permukaan.
Di tengah usaha keras Ari terus menghubungi nomer itu, masuk sebuah panggilan. Dari nomer yang tidak di kenal dan bukan nomer yang tertera di selembar kertas itu. Diangkatnya panggilan itu.
"Halo"" suara lembut itu kini sudah bercampur tangis. "Halo, Ari" Bener, ini Ari""
Ari tak mampu menjawab. Nomer pertama yang kini tidak aktif itu melumpuhkannya. Beberapa saat cowok itu berjuang keras mengatasi cengkeraman kekacauan tubuhnya.
"Iya," jawabnya dengan suara parau. Hening sesaat. Sebelum kemudian...
"Ari"" telepon ternyata telah berpindah tangan. Suara berat itu. Ari tertegun.
"Iya," sahutnya kemudian.
"Ini Ata""
Kembali hening. Sebelum kemudian suara berat itu menjawab. Dalam getaran sangat hebat.
"Iya. Ini Ata."
Kemudian Ari mendengar Ata -dengan posisi ponsel dijauhkan dan suara yang masih bergetar- bicara kepada seseorang.
"Iya, Ma. Ini Ari."
Langsung terdengar isak tangis, dan ponsel langsung berpindah tangan.
"Ini Ari" .... Bener, ini Ari" ... Ini Mama, Ri... " suara itu terputus-putus oleh tangis.
"Iya, Ma. Ini Ari... "
Kembali isak tangis pecah. Selama beberapa saat hanya suara tangis itu yang terdengar. Ari sendiri sudah tak mampu membuka mulutnya. Emosi menguras habis tenaganya. Dengan bersandar sepenuhnya ke lemari di sebelahnya, cowok itu mendengarkan isak tangis sang mama di ujung sana. Betapa suara ini sungguh-sungguh melegakannya dan mengangkat seluruh bebannya. Ketika telah berhasil menguasai tangisnya, mama Ari langsung bertanya, "Ari, kamu sekarang di mana, Nak" Mama cari-cari nggak pernah ketemu."
"Di rumah Tante Lidya, Ma." Ari menjawab, dengan suara yang lemah namun terasa ringan. "Mama sering ke situ tapi kok nggak pernah ketemu kamu" Tante Lidya juga bilang kamu nggak pernah datang""
"Baru hari ini, Ma. Ari nyari-nyari udah lama, tapi baru ketemu hari ini!"
"Ari sehat"" "Sehat, Ma."
Komunikasi yang kembali setelah terputus selama sembilan tahun itu baru berakhir setelah pulsa dari kedua belah pihak habis. Ari menatap ponselnya yang kini tak bisa lagi digunakannya untuk menelepon itu. Senyum lega dan bahagia tercetak dibibirnya. Baru dirasakannya, tubuhnya sangat lelah. Cowok itu lalu menjatuhkan tubuh ke lantai. Kelelahan panjang, pikiran, dan emosi yang terus diaduk-aduk
dan dikacaukan membuatnya tertidur tak lama kemudian.
Dua jam kemudian, Ari membuka mata karena ponselnya meneriakan ringtone tanpa berhenti. Sederet nomer yang muncul dilayar membuat cowok itu segera menyambarnya. Mamanya. Tapi kali ini wanita itu tidak bicara banyak, hanya mengatakan bahwa sekarang di ruang tamu sudah berkumpul kakek-neneknya dan beberapa saudara. Semua ingin bicara padanya. Orang pertama yang diserahi telepon itu adalah Mbah Putri.
"Tole, ini Uti, Le. Kamu sehat"" Hanya satu kalimat itu yang sanggup dikatakan perempuan tua itu. Setelah itu Ari hanya mendengar isak tangis. Ari sampai harus menutup mulut rapat-rapat untuk menahan tangisnya sendiri.
Setelah mama dan saudara kembarnya, Mbah Putri adalah sosok yang paling dia rasakan kehilangannya. Menyumbangkan banyak kesedihan dalam hari-harinya kemudian. Telepon segera diserahkan ke orang berikut, karena Mbah Putri sepertinya tidak akan sanggup bicara. Ari dan Ata adalah cucu-cucu pertamanya. Cucu-cucu kebanggaannya. Cucu-cucu yang membuatnya takjub karena begitu sama dan serupa. Tidak bisa dibedakan. Kesalahan dalam memanggil nama, ketidaktepatannya dalam mengenali, yang sering terjadi berulang kali, selalu membuat bahu wanita tua itu terguncang-guncang dalam kekehan tawa. Apalagi kalau wajah kedua cucunya tersebut kemudian jadi cemberut karena bosan selalu salah dikenali, tawa terkekeh sang nenek akan makin menjadi. Hilangnya salah satu cucu kesayangannya itu seketika mencabut semangat hidupnya dan sempat membuat perempuan tua itu jatuh sakit dalam jangka waktu cukup lama.
Orang berikut di ujung telepon adalah Mbah Kakung. Dengan suara serak dan bergetar, beliau menanyakan kabar. Apakah cucunya itu sehat" Sudah sebesar apa" Bagaimana sekolahnya" Dan sederet pertanyaan lain yang merupakan bentuk rasa syukur dan kebahagiaan yang sarat. Setelag Mbah Kakung, berturut-turut para pakde dan budenya, disusul paklik dan bulik serta para sepupu.
Dua jam berlalu. Rentetan telepon itu ditutup oleh seseorang yang selama sembilan bulan berbagi rahim sang mama dengannya. Ata.
Percakapan itu canggun. Tak bisa disalahkan karena sembilan tahun bukanlah rentang waktu yang pendek.
**** Menjelang jam delapan malam, Ari pamit pulang.
"Makan dulu ya, Ri. Tante sudah masakin makanan kesukaan kamu tuh. Yuk," Tante Lidya bicara setengah membujuk. Ari menggeleng dengan perasaan bersalah.
"Nggak usah, Tan. Nanti saya makan di rumah aja. Lagi pula, saya benar-benar nggak laper. Nggak pengin makan. Nanti juga kan saya pasti main ke sini lagi." Tante Lidya mengangguk mengerti.
Ari meninggalkan rumah Tante Lidya dengan sebuah kantong plastik dalam pelukan. Berisi sebagian benda-benda dari lemari kayu penyembuh luka itu. Kado ulang tahun yang dititipkan mamanya dan Ata di rumah Tante Lidya. Beberapa potong baju. Beberapa buku cerita. Beberapa mainan. Semua sudah jauh melampaui usianya. Namun Ari tidak peduli. Semua benda dalam pelukannya ini adalah benda-benda yang sangat berharga.
Rumahnya gelap gulita, tapi kali ini Ari tak peduli. Dengan langkah-langkah ringan, dibukanya pintu pagar. Kemudian dimasukkannya motornya ke garasi.
Dengan langkah-langkah ringan juga, cowok itu lalu membuka pintu ruang tamu lalu menembus kegelapan pekat rumahnya. Dinyalakannya lampu di setiap ruangan, satu per satu. Dengan langkah-langkah cepat, seperti tak sabar, dan dengan sebuah senyum yang merekah tanpa dia sadari, Ari bergegas menuju kamar tidurnya. Diletakannya bawaannya di depan sebuah lemari kayu di sudut kamarnya. Lemari kayu pesanan khusus, karena berornamen semua simbol matahari dari banyak legenda dan mitologi.
Setelah melepas kausnya, dengan bertelanjang dada cowok itu duduk bersila di depan lemari kayu yang terdiri atas susunan empat laci. Ari masih ingat dengan jelas apa isi tiap-tiap laci yang selalu di kuncinya dengan cermat itu. Keempatnya berisi barang-barang yang amat sangat berharga. Setelah bertahun-tahun, ini pertama kalinya dirinya memiliki keberanian untuk membuka kembali laci-laci tersebut.
Laci terbawah adalah laci milik Ata. Berisi
mainan-mainan Ata, baju-bajunya, topi, sepatu, kaos kaki, dan semua barang milik Ata yang berhasil diselamatkannya dari usaha 'genosida' yang dilancarkan papanya saat laki-laki itu murka.
Walaupun belakangan papanya menyesal, Ari terlanjur sakit hati. Tidak ada jaminan Papa tidak akan murka lagi pada lain waktu.
Ari membuka laci terbawah. Benda yang terletak paling atas langsung membuatnya tersenyum geli. Jubah Batman kesayangan Ata. Batman adalah tokoh idola saudara kembarnya itu. Waktu kecil dulu, Ata sering berkeliaran di sekitar rumah dengan jubah Batman-nya yang bejibun, membela kebenaran dan menegakkan keadilan menurut versinya sendiri. Dan sering kali praktik-praktik superhero Ata itu berujung dengan rumah mereka didatangi ibu-ibu tetangga, dengan muka cemberut kesal bahkan marah, karena anak mereka dibuat menanis oleh Ata. Mama sampai sering kelimpungan menghadapi gelombang protes yang begitu kerap terjadi.
Setelah mengenang masa-masa kecil saudara kembarnya dengan senyum geli, Ari menutup kembali laci itu dan menguncinya dengan cermat.
Kemudian cowok itu berdiri. Dibukanya laci nomer dua. Isinya semua benda milik mamanya. Lagi-lagi yang berhasil diselamatkannya dari usaha pembersihan yang dilakukan oleh Papanya. Dan benda yang diletakannya paling atas adalah benda yang membuatnya selalu tersenyum saat laci ini ditariknya hingga terbuka. Cetakan bolu kukus. Kue kesukaannya. Setelah memandangi cetakan kue itu beberapa saat, Ari menutup kembali laci itu dan menguncinya dengan cermat. Terakhir, Ari membuka laci ketiga. Laci tempatnya meletakkan benda-benda pribadinya. Tentu saja benda-benda pribadi yang berasal dari masa kecilnya, saat keluarganya masih utuh dan tinggal bersama. Dimasukkannya semua benda yang dibawanya dari rumah Tante Lidya, kemudian ditutupnya laci itu dan dikuncinya dengan cermat.
Malam itu, untuk pertama kalinya Ari tertidur pulas di kamarnya dengan perasaan tenang. Nyaman. Lepas. Karena kesunyian rumahnya sudah tidak lagi menjadi hantu yang bahkan dalam keadaan terlelap pun bisa dirasakan kehadirannya. Berkuasa, absolut, dan kerap membuatnya takluk dalam kekalahan.
*** Ari membuka mata karena ponselnya terus menjeritkan ringtone, tanpa henti. Dengan lemah, karena masih setengah sadar, diraihnya benda itu. Dari mamanya. Seketika cowok itu melompat bangun.
"Iya, Ma"" ucapnya segera. Setelah sembilan tahun tidak bisa mengucapkan satu kata itu, rasanya Ari ingin terus-menerus mengatakannya mengiringi setiap detik pergantian waktu. Dengan kegembiraan yang meluap, mama Ari mengabarkan bahwa dirinya dan Ata akan terbang ke Jakarta sore nanti.
Ari terpaku. "Betul" Mama betul mau ke Jakarta"" tanyanya terbata. "Iya. Kamu sehat, kan""
"Iya. Ari sehat, Ma," jawabnya dengan suara yang langsung berubah serak.
"Begitu aja ya, Ri," mamanya mengakhiri pembicaraan singkat itu, setelah menyebutkan maskapai penerbangan dan jam keberangkatan. "Mama mau bantu Uti dulu nih. Dia masakin banyak lauk. Buat dibawa ke Jakarta, katanya. Buat kamu. Yang waktu kamu kecil dulu sering dia masakin buat kamu itu. Ata lagi ikut Akung, beli oleh-oleh buat kamu. Nanti Mama kabarin lagi kalo kami sudah mau berangkat ke Surabaya ya."
"Iya, Ma. Iya." Ari menjawab lirih, tak bisa menahan tangisnya. Ketika pembicaraan itu berakhir, cowok itu jatuh terduduk di sisi tempat tidur. Tenggelam dalam cengkeraman isak tangis dan air mata. Mama dan Ata akan ke Jakarta!
Setelah tangisnya reda, dengan perasaan sedikit malu Ari bangkit berdiri. Hari ternyata telah pagi. Sinar matahari menerobos lewat sela-sela tirai. Sambil menghapus air matanya, cowok itu bangkit berdiri lalu mematikan lampu dan membuka tirai serta jendela.
Hal pertama yang langsung dirasakannya adalah, perutnya melilit kelaparan. Baru dia ingat, terakhir makan adalah kemarin pagi. Itu pun bubur ayam, dalam perjalanan ke rumah Tari. Setelah itu perutnya tidak kemasukan apa-apa lagi selain teh manis hangat dan sebuah bolu kukus di rumah Tante Lidya.
Cowok itu bergegas turun menuju dapur. Barangkali ada yang bisa digunakannya untuk mengg
anjal perut. Kulkas sudah seperti minimarket dalam bentuk lebih mini. Semuanya ready stock. Beberapa botol minuman ringan, buah dan sayuran, yang jika layu akan langsug diganti dengan yang segar oleh pembantu paruh waktunya. Biskuit, cokelat, kacang-kacangan.
Ari menghela napas. Dia ingin makan nasi. Dibukanya freezer. Kembali semuanya lengkap tersedia. Bakso dan sosis beku. Nugget yang juga beku. Daging ayam dan daging sapi berbumbu yang juga beku total, yang kerasnya mungkin menyamai baja penopang jalan layang. Kembali cowok itu menghela napas.
"Ini mah beruang kutub juga nggak doyan," desahnya. Akhirnya dia menjerang sedikit air dan membuat segelas cokelat panas.
Dengan gelas cokelat panas di tangan kanan, untuk pertama kalinya Ari melihau ruangan demi ruangan di rumahnya dan segala isinya tanpa kesigapan pertahanan diri terhadap kesunyian absolut rumah ini. Juga tanpa khayalan musykil, seandainya seluruh benda di ruangan ini bisa bicara. Hingga dirinya punya teman dan tidak selalu sendirian.
Untuk pertama kalinya juga cowok itu menyadari, menyadari yang benar-benar menyadari, betapa indah dan megah tempat tinggalnya. Ketika dibukanya pintu depan, dia juga sempat terpukau dengan keindahan taman kecil di depan rumahnya.
Ayahnya memang sudah menyewa ahli pertamanan untuk mengurus taman kecil di depan rumah ini dan semua ornamen penunjangnya, seperti lampu, air mancur, kursi, patung dan lain-lainnya. Juga pembantu paruh waktu untuk membersihkan rumah dan membereskan segala tetek-bengek urusan rumah tangga, seperti mencuci, menyetrika dan lain-lain. Tadinya Bu Asih, pembantu paruh waktu itu, juga memasak. Tapi karena makanan-makanan itu lebih sering berfungsi seperti sesajen buat hantu, alias jarang sekali di sentuh, akhirnya dia berhenti memasak. Alasannya simpel tapi masuk akal. Mubazir.
Dari tadinya datang setiap hari, Bu Asih jadi datang dua hari sekali, atau tiga hari sekali, bahkan empat hari sekali, karena memang tak banyak tugas yang harus diselesaikan. Rumah sang majikan lebih sering terasa seperti rumah kosong daripada berpenghuni. "Apa panggil Ridho sama Oji ke sini ya"" gumam Ari tanpa sadar.
Gumaman tanpa sadar itu membuatnya seketika mematung. Cowok itu meyakinkan diri bahwa pemikiran barusan bukan muncul karena dirinya sedang kelaparan dan sedang malas keluar. Sekarang era delivery. Makanan apa pun bisa diantar. "Bukan." dia menggeleng.
Selama ini dia merahasiakan rumahnya bukan karena tempat ini mewah. Tapi lebih karena dia tidak ingin menjawab ribuan pertanyaan yang pasti akan muncul. Pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya sederhana dan wajar, tapi akan berefek hebat terhadap pertahanan mental dan emosinya.
Tetapi sekarang sudah tidak perlu lagi, karena rumah ini sudah tidak lagi menjadi momok. Ari tersenyum, mendadak jadi bersemangat. Akan dibaginya tempat ini bersama dua sahabatnya. Juga kabar baik yang saat ini hampir membuat dadanya ingin meledak karena lega dan bahagia. Keputusan itu seketika membuat Ari meletakan gelas cokelat panasnya di kursi taman, lalu berlari masuk. Pulsa ponselnya habis, tapi masih ada cukup banyak pulsa di ponselnya yang satu lagi, yang selama ini hanya digunakan untuk berkomunikasi dengan Tari. Ponselnya sebagai Ata. Senyum sesal muncul kala mengingat masa-masa itu, tapi Ari buru-buru mengenyahkannya. Ditekannya sederet angka yang sudah diingatnya di luar kepala.
*** Sebuah nomer tak dikenal muncul di layar ponselnya, Ridho mengangkat dengan kening berkerut.
"Halo"" "Ini gue," ucap Ari langsung.
"Oh, elo. Ganti nomer, ya" Emang kenapa sama nomer keramat lo"" "Pulsanya abis. Dho, lo bisa tolong ke sini, nggak""
Begitu Ari menyebutkan alasan dia menelpone, di seberang kontan hening.
"Dho" Lo denger, nggak"" ucap Ari setelah beberapa saat membiarkan Ridho terkejut. Masih tak ada suara. "Dho" Halo" Halo""
"Iya. Iya. Halo," Ridho menjawab tergeragap. "Elo serius nih"" "Serius. Sori ya, baru sekarang." "Nggak. Nggak pa-pa. Di mana""
"Ntar gue kasih tau kalo lo udah jalan. Jangan lupa beliin gue sarapan. Laper banget. Kemare
n seharian gue nggak makan."
"Emang kenapa sih" Sakit lo ntar."
"Ntar gue cerita banyak. Lo ke sini aja dulu."
"Terus, sarapannya apaan nih""
"Apa aja lah." "Warteg dekat rumah gue aja, ya" Biar gue bisa langsung ke tempat lo, nggak perlu mampir-mampir."
"Apa aja. Yang penting bisa buat ngisi perut." "Oke. Gue langsung jalan."
"Thanks." *** Sebuah nomer tak dikenal muncul layar ponselnya. Oji mengangkatnya tanpa menduga. "Ji, lo temanin Ridho gih!" Perintah Ari yang selalu tak terbantahkan turun saat itu juga.
"Ke mana""
"Lo telepon aja dia."
Ari langsung mengakhiri pembicaraan. Di seberang, Oji menjauhkan ponselnya dari telinga dengan kening mengkerut rapat. Langsung dikontaknya Ridho. Kawan karibnya itu menjelaskan dengan suara mengambang. Oji ternganga.
"Serius lo"" tanya Oji dengan suara tercekat.
"Dia bilang begitu."
Jingga Dalam Elegi Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Oji terdiam. Masih dengan ponsel masing-masing menempel di telinga, keduanya sama-sama terdiam. Ini memang sama sekali di luar dugaan. Sama sekali tidak mereka sangka.
"Di mana.... rumahnya"" ganti suara Oji yang kemudian terdengar mengambang.
"Nanti dia kasih tau. Setelah kita udah jalan dan beliin dia makan. Dia minta tolong dibeliin sarapan." "Gue ke tempat lo!" putus Oji seketika dan langsung ditutupnya telepone.
Tak sampai setengah jam, sebuah taksi berhenti di depan pagar rumah Ridho. Sedan putih Ridho telah terpakir di tepi jalan dan Oji melihat temannya itu sedang berdebat dengan mamanya di teras rumah.
Debat itu jelas tanpa titik temu, karena Oji melihat Ridho balik badan dengan muka kaku dan melangkah cepat keluar halaman tanpa menghiraukan panggilan keras mamanya. "Kalo dia, juga Bokap, bisa pergi seenaknya dengan alasan kerjaan -ke luar kota bahkan ke luar pulau sampe berhari-hari- kayak nggak punya segerombolan anak, kenapa gue nggak"" ucapnya dengan kesal sambil membuka pintu depan mobil.
Oji cuma tersenyum tipis. Dia sangat mengerti karena situasi rumahnya sendiri juga seperti ini. Dengan perasaan tidak enak, dianggukkannya kepala ke arah mama Ridho yang sedang cemberut di teras, kemudian buru-buru masuk mobil. Sedan putih itu segera melesat pergi. Lima menit kemudian Ridho menepikan mobilnya di depan sebuah warteg kecil di pinggir jalan. Dia turun sementara Oji tetap di mobil. Tak lama Ridho kembali dengan tas kresek hitam. Setelah meletakan bawaannya itu di jok belakang, dikeluarkannya ponselnya dari saku depan jins biru pudarnya. Diketiknya sebuah SMS singkat untuk Ari.
Breakfast is served. Di teras rumahnya, Ari tersenyum tipis. Ditekannya tombol kontak.
"Udah"" "Yap."
"Lo sama Oji"" "Ada di sebelah gue."
Ridho melirik Oji yang bisa mendengar percakapan itu dengan jelas karena Ridho menekan tombol loudspeaker. Ari menyebutkan lokasi rumahnya. Seketika di seberang tercipta keheningan. Dibiarkannya beberapa detik terlewat untuk memberikan kesempatan kepada kedua teman akrabnya itu untuk terkesima.
"Oke, gue tunggu ya," kata Ari kemudian. "Cepetan. Gue udah kelaperan banget nih."
Begitu Ari menutup telepone, Ridho dan Oji saling pandang. Bersamaan kedua pandangan mereka beralih ke nasi bungkus keluaran warteg di jok belakang.
"Nggak level." kedunya menggeleng bersama lalu meringis lebar.
"Ya udah. Ganti."
"Gue nggak ada duit lagi, Ji. Tinggal buat bensin nih. Emak gue kalo lagi ngamuk kayak tadi, nggak bakal ngasih gue duit."
"Ya udah. Tenang. Tenang. Gue aja," ucap Oji langsung. Ditepuk-tepuknya pundak Ridho.
*** Ari sengaja berdiri di tepi jalan depan rumahnya agar kedua temannya lebih mudah menemukannya. Begitu sampai, Ridho dan Oji tidak mampu menyembunyikan kekaguman mereka. Keduanya bahkan sudah langsung terlongo-longo begitu mobil berhenti. Ari menghentikan ketakjuban keduanya dengan mengetuk-ngetuk kaca jendela di sebelah Ridho. "Woi, gue laper."
Keduanya tersadar. Buru-buru mereka turun. Setelah sesaat memandangi kedua patung Helios dengan terkagum-kagum, keduanya memasuki Gerbang Helios dengan sikap seperti undangan yang memasuki ruang acara grand opening sebuah galeri seni.
Ari membawa kedua teman akrabnya itu memasuki ruang tamu. Di sana Ridho dan Oji makin terlongo-longo lagi, karena ruangan itu penuh dengan benda-benda yang baru pertama kali itu mereka lihat.
Setelah meletakan sarapan pesanan Ari di meja tamu, Ridho langsung menghampiri sebuah benda yang merupakan tema inti ruangan itu. Patung Dewa Ra.
Meskipun Ridho tadi mengatakan akan membeli pesanan Ari di warteg dekat rumahnya, yang sekarang tergeletak di depan Ari adalah paket sarapan keluaran sebuh restoran Jepang yang sudah punya nama.
"Tadi kayaknya gue denger lo bilang warteg deh," ucap Ari sambil mengeluarkan kotak makan pagi itu dari dalam tas plastik.
"Warjep. Salah denger lo," kilah Ridho ringan. Oji tersenyum.
Tanpa sadar terintimidasi oleh lokasi rumah yang disebutkan Ari di telepon, Ridho dan Oji terlibat debat kecil di mobil tadi, tentang restoran TOP mana yang kira-kira levelnya pas dengan rumah Ari. "Kami boleh liat-liat"" tanya Oji.
Ari mengangguk tanpa menjawab, sibuk mengunyah makanannya. Kedua temannya segera berpencar. Oji nyelonong ke ruang dalam sementara Ridho menaiki tangga.
Setelah selesai menghabisi setiap sudut rumah, setelah terkagum-kagum di depan setiap peralatan eloktronik yang memang tercanggih, setelah puas melototi semua benda yang menurut mereka aneh dan keren, atau nggak jelas itu apa, keduanya kembali menghampiri Ari yang saat itu telah menyelesaikan sarapan dan sedang menyulut sebatang rokok.
Ada satu hal yang disadari keduanya dengan sangat jelas. Terlepas dari semua kemewahan yang bisa ditemukan di hampir setiap sudut rumah; rumah ini dingin. Tak berjiwa. Kosong.
Oji bisa merasakan itu karena rumahnya juga seperti ini. Selalu sepi. Sementara Ridho tak selalu. Karena meskipun kedua orangtuanya juga sering berpergian, dia punya seorang kakak dan dua orang adik.
"Bokap lo ke mana" Minggu kerja juga"" tanya Oji dengan nada hati-hati.
"Nggak tau," Ari menjawab dengan nada tak peduli. "Dari sebelom berangkat ke Bali gue udah nggak ngeliat dia."
Oji mengangguk-angguk langsung paham.
"Ada apa, Ri"" Kalau Oji hanya berani menyinggung sisi terluar, Ridho langsung ke pusat lingkaran. Ari menatap wajah salah satu sahabatnya itu, berusaha menahan luapan emosh yang sejak tadi ditahannya mati-matian. Kemudian dia menoleh dan menatap wajah sahabatnya yang lain. "Lo berdua tau" Gue berhasil nemuin Nyokap sama Ata." suaranya langsung berubah serak dan ketenangannya segera lenyap. Ridho dan Oji terperangah. "Beneran"" bisik Ridho tak percaya. "Kapan" Di mana"" "Kemaren. Waktu pulang dari rumah Tari."
Ketenangan Ari pecah. Ketenangan sang pentolan sekolah yang selalu sempurna itu luluh lantak. Dengan suara tersendat, kadang terdengar, kadang tidak, dengan susunan kalimat yang berantakan, dengan intonasi yang naik-turun, Ari menceritakan semuanya. Termasuk soal SMS Tari. Kedua sobatnya terpana. Diam tak bisa bicara. Dan Ari benar-benar tak sanggup lagi menahan luapan emosinya. Berkali-kali cowok itu terpaksa mengusa kedua mata setelah gagal menahan agar kabut bening itu tidak mengalir turun.
Kedua mata Ridho dan Oji ikut berkaca, karena hampir dalam sebagian waktu, Ari menghabiskannya bersama mereka berdua. Cepat-cepat keduanya mengerjapkan mata, mencegahnya mengalir turun. Bersamaan keduanya mengulurkan tangan lalu merangkul Ari dari kedua sisi, saat untuk yang sudah tak bisa di hitung lagi Ari kembali mengusap kedua matanya.
"Jangan bilang siapa-siapa kalo lo berdua pernah ngeliat gue nangis ya," ancamnya, tapi dengan suara lemah.
Kedua sobatnya tertawa pelan dan mengeratkan rangkulan bersamaan. "Nggaklah. Kami paham," bisik Ridho. "Lo udah bilang Tari""
Ari tersenyum, menggelangkan kepalanya. "Lo pasti nggak percaya," ucapnya sambil menatap Ridho. "Gue nggak berani."
Kedua alis Ridho sontak bertaut rapat, membuat Ari tertawa pelan.
"Serius, gue nggak berani ngasih tau dia."
"Kalo ngeliat dari SMS-nya, kayaknya dia ngerti, Ri."
"Kayaknya itu SMS salah kirim. Soalnya sampe sekarang dia nggak kirim lagi."
"Ya udah. Nanti-nanti aja lo kasih ta
u dia." Ridho mengangguk, mengerti salah satu sisi cowok yang tidak diketahui cewek itu.
Ari menarik napas panjang. Rasanya benar-benar lega. Benar-benar ringan. Dilihatnya jam kayu jati berbentuk matahari di salah satu dinding ruang tamunya. "Sori, gue harus ke bandara."
"Sekarang"" Ridho mengangkat kedua alis. "Masih empat jam lagi pesawatnya landing. Ini aja mereka belom berangkat."
Ari tersenyum tipis. "Nyiapin mental," ucapnya pendek. Tak ingin mengatakan yang sebenarnya. Dia cemas dengan pertemuan ini. Dia cemas jika ternyata mama dan saudara kembarnya sudah bukan lagi orang yang sama. Dia cemas sembilan tahun kehilangan itu telah menciptakan dinding yang kokohnya mungkin akan abadi.
Ari tahu, sesungguhnya saat ini dirinya sangat membutugkan seorang teman. Tapi reputasinya selama ini membuatnya tak sanggup membiarkan seorang melihat kejatuhannya nanti seandainya semua kecemasan itu benar-benar terjadi, meskipun itu kedua sahabatnya sendiri. "Mau kami temenin"" tawar Ridho, bisa membaca pikiran itu.
Ari tersenyum tipis dan menggeleng. "Gue akan baik-baik aja, kalo itu yang elo takutin." "Yakin"" Ridho menatapnya lurus.
"Iya." Ari mengangguk tegas, menyangkal kata hatinya sendiri. "Oke." Ridho tak ingin memaksa.
Ari bankit berdiri. "Gue siap-siap dulu," ucapnya sambil berjalan ke kamarnya.
*** Mereka berpisah di mulut kompleks. Begitu motor Ari sudah hilang dari pandangan, Ridho segera menepikan mobilnya. Dikeluarkan ponselnya dari saku celana dan segera dicarinya satu nama di daftar kontak. Satu nama yang secara cepat dan diam-diam tadi dilihatnya dari ponsel Ari.
Tari mengerutkan kening saat layar ponselnya memunculkan sederet nomer baru yang tidak dikenalnya.
"Halo"" sapanya dengan nada ragu.
"Ini gue, Tar. Ridho," ucap Ridho langsung.
"Oh!" Tari terkejut. Kedua alisnya terangkat tanpa sadar.
"Iya, Kak""
"Alamat rumah lo di mana" Gue lupa."
"Emang kenapa""
"Gue jemput lo sekarang."
Tari tercengang. "Ada apa sih, Kak""
Ridho menceritakan dengan singkat. Tari terperangah. Mulutnya sampai ternganga lebar. Saking tak percayanya dengan berita yang disampaikan Ridho. "Serius" Beneran!"" serunya tertahan.
"Serius. Makanya gue mau jemput lo sekarang. Siap-siap ya. Jadi nanti kita langsung jalan."
"Iya. Iya." Begitu Ridho menutup telepone, Tari mematung. Benar-benar tak mengira penantian dan pencarian Ari yang panjang dan menyakitkan akhirnya berujung. Cewek itu buru-buru berlari ke kamar mandi.
*** Ridho menghentikan mobilnya di terminal kedatanan domestik tempat maskapai penerbangan yang membawa mama Ari dan saudara kembarnya nanti mendarat. Untuk tujuan inilah tadi dia --seolah-olah sambil berlalu-- bertanya pada Ari maskapai apa yang mereka gunakan. Mengantar seseorang yang sesungguhya sangat dibutuhkan Ari saa ini, namun sahabat karibnya itu tak ingin mengtakan. "Di sini, Tar." Ridho menoleh ke belakang, juga Oji.
"Oh." Tari langsung bergerak, mengulurkan tangannya untuk membuka pintu. "Kak Ridho sama Kak Oji nggak turun"" tanyanya heran.
Kedua cowok di depannya menggeleng bersamaan.
"Kalo dia mau kita temenin, pasti tadi udah ngomong." ucap Oji.
Ridho mengangguk membenarkan. "Tolong jangan tinggalin dia ya, Tar," pesan Ridho.
Tari menatap kedua orang itu sambil menggigit bibir, kemudian mengangguk pelan. Setelah mengucapkan terima kasih, dibukanya pintu di sebelahnya dan turun. Sesaat Ridho dan Oji mengikuti kepergian cewek itu, yang berjalan menyusuri koridor lapang terminal kedatangan dengan kepala menoleh ke segala arah, mencari-cari keberadaan Ari.
**** MASIH tiga jam lagi pesawat yang akan membawa mamanya dan Ata dijadwalkan landing. Pesawat itu bahkan belum take off. Masih terpakir di Bandara Juanda, Surabaya sana. Tapi Ari sudah duduk menunggu sejak setengah jam lalu. Bertahun-tahun jatuh-bangun dalam begitu banyak usaha pencarian yang menguras emosi, menunggu, berharap, memohon dalam ribuan doa sampai akhirnya pasrah dan berusaha ikhlas, tiga setengah jam sama sekali tidak ada artinya.
Duduk bersila di atas rumput,
di bawah kerindangan sebatang pohon, cowok itu memandangi setiap pesawat yang terbang dan datang. Membayangkan tidak lama lagi sebuah pesawat akan membawa mama dan saudara kembarnya ke hadapan, membuat kedua matanya menerawang dan senyumnya mengembang tanpa sadar.
Senyum bahagia, pasti. Namun senyum cemas juga. Akankah mereka bisa kembali ke sembilan tahun lalu itu, ataukah mereka harus mulai saling belajar untuk menerima, bahwa saat ini mereka bukan lagi orang-orang yang sama.
*** Tari menarik napas lega. Setelah mencari ke sana kemari, setelah ditelusurinya koridor terminal kedatangan yang luas nyaris dari ujung ke ujung, akhirnya Ari dia temukan juga. Jauh di luar area gedung terminal, cowok itu duduk bersila di rerumputan dengan punggung bersandar pada sebatang pohon. Fokusnya begitu tenggelam pada landasan. Dan Tari tahu mengapa. Karena landasan itu nanti, pesawat yang membawa mama dan saudara kembarnya akan mendarat. Yang sebentar lagi akan datang bukan ibu dan saudara kembarnya, tapi Tari menemukan dirinya ikut dicekam kegelisahan. Cemas, apakah pertemuan pertama setelah perpisahan bertahun-tahun ini akan seperti harapan Ari. Harapan yang disimpannya selama bertahun-tahun dan tidak diceritakannya kepada siapa pun.
Atau dia harus melihat cowok itu kembali terpuruk. Jalan untuk bisa sampai pada ketenangan dan penerimaan bisa sangat panjang dan melelahkan. Jika pertemuan kembali harf ini benar-benar telah menjadikan ibu dan saudara kembarnya sebagai keping rekahan, Tari berharap Ari akan sanggup bertahan.
Setelah beberapa saat menatap Ari di kejauhan, Tari balik badan sambil menarik napas panjang. Di ujung lantai koridor terminal kedatangan, pada posisi yang terhalang serumpun pepohonan dari posisi Ari duduk, cewek itu meletakkan tasnya lalu duduk. Ini waktu milik Ari sendiri. Meskipun Ridho dan Oji memintanya untuk menemani, inilah cara dirinya menemani cowok itu. Cukup dari jauh.
*** Setengah jam sebelum pesawat yang ditunggunya mendarat, Ari bangkit berdiri. Tari buru-buru ikut berdiri dan langsung menyembunyikan diri di balik pilar terdekat. Kemudian -bersembunyi dari pilar ke pilar, atau bergabung di belakang serombongan orang- diikutinya Ari diam-diam.
Sampai cowok itu berhenti di depan sebuah pintu kaca lebar, berbaur dengan banyak orang yang sepertinya juga menunggu kedatangan seseorang. Tari ikut berhenti lalu berdiri diam di balik pilar.
Sambil sebentar-sebentaq mengucapkan kata 'permisi', Ari menyeruakkan diri hingga posisi terdepan, di depan pagar besi pembatas. Lima belas menit lagi, bisik hatinya dengan resah.
Tanpa sadar kesepuluh jarinya menggenggam kuat besi pembatas. Sepasang matanya menatap lurus ke dalam ruangan di depannya yang dibatasi kaca.
Sepuluh menit lagi, jantungnya berpacu. Sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua....
Dan di sanalah! Bergerak di balik kaca, timbul-tenggelam di antara puluhan orang yang juga sedang berjalan menuju pintu keluar, untuk pertama kalinya Ari melihat kembali dua orang yang pergi dari hidupnya bertahun-tahun lalu itu. Mama dan Ata!
Seketika cowok itu membeku. Buku-buku jemari tangannya yang menggenggam besi pembatas kuat-kuat, memutih. Dikatupkannya kedua rahangnya kuat-kuat. Seluruh giginya saling menekan. Berusaha keras mengalahkan sesak di dada dan sakit di tenggorokan.
Keduanya kini telah melalui pemeriksaan. Keduanya berjalan semakin dekat dan semakin dekat.
"Ariiii!""
Mereka kini tak jauh di hadapan!
Mamanya mematung di ambang pintu setelah menyerukan satu nama itu dengan suara tertahan. Tak lagi sadar, Ari melompati pagar pembatas dan menghambur mendapati sang mama. Dipeluknya wanita itu kuat-kuat. Dalam tangis. Dalam luap kerinduan. Dalam titik akhir pencarian. Ata segera melindungi keduanya dari tatapan orang. Meskipun ini bandara dan menangis adalah hal biasa, dia tidak ingin keduannya jadi tontonan.
Sang mama membalas pelukan anaknya itu sama kuatnya. Matahari-nya yang lain. Yang tenggelam bertahun-tahun lalu. Yang nyaris saja mematahkan semangat hidupnya karena pencarian yang terus s
ia-sia. Ari menenggelamkan wajahnya pada salah satu bahu mamanya. Menumpahkan air matanya di sana. Mengiris batin dan membuat sang mama harus menekan kuat-kuat luapan emosiny. Cara anak ini menangis masih sama seperti dulu.
Dalam banyak hal, kedua Matahari-nya memang berbeda. Tangis Ata akan menenggelamkan suara apa pun di sekitarnya. Sementara Ari lebih sering tanpa suara.
Ketika semua luapan perasaannya tuntas, Ari menguraikan pelukannya. Sambil tersenyum malu, cowok itu menyeka sisa-sisa air matanya dengan lengan baju. Baru disadarinya, mamanya terlihat jauh lebih tua. Jadi lebih kurus. Namun ada yang tidak berubah, sorot kedua matanya yang sabar dan teduh.
"Mama kurus," bisik Ari pedih.
Sang mama tersenyum. "Yang penting kan sehat," ucapnya arif. "Iya, kan""
Ari mengangguk-angguk. Kedua matanya masih menatap mamanya lekat-lekat dan menyeluruh.
"Mama sekarang kok jadi kecil"" tanyanya polos, membuat mamanya seketika tergelak.
"Kamu sehat"" tanyanya serak.
"Sehat, Ma." Ari mengangguk.
Sang mama menatapnya dengan pandang sedih, juga penyesalan.
"Ari sekarang udah gede. Mama nggak ngeliat. Tau-tau udah segini. Mama minta maaf. Maafin Mama ya, Nak, nggak bisa nemenin."
Ari mengangguk-angguk lagi, tak sanggup menjawab. Kalau dulu sang mama harus membungkuk untuk menyentuh kedua pipinya, kini ganti sang anaklah yang harus membungkukkan tubuh agar mamanya bisa menyentuh kedua pipinya.
Setelah puas, setelah seluruh kerinduannya pada sang mama tertumpah, Ari balik badan. Ketika ditatapnya saudara kembarnya yang hanya sepuluh menit lebih tua itu, hal yang langsung terlintas dalam kepalanya adalah, Ata terpaksa harus bekerja. Seketika muncul rasa bersalah. Dirinya punya banyak uang dan lebih sering di gunakan untuk hal-hal yang tidak jelas. Membeli teman. Membeli perhatian. Mengenyahkan kesepian.
Ata balik menatap adik kembarnya itu. "Baik-baik"" bisiknya. Ari mengangguk. Keduanya saling tatap. Saling meneliti.
Rasanya Ari tak bisa percaya ini adalah Ata yang dulu hobi berteriak-teriak jika keinginannya tak dipenuhi. Ata yang penegak keadilah dalam jubah hitam Batman-nya yang berkibar-kibar. Ata yang paling anti kalau disuruh Mama ke warung beli garam apalagi terasi dan memilih diomeli. Bagi Ata sendiri, nyaris tidak ada lagi yang tersisa dari Ari yang terus diingatnya selama sembilan tahun ini. Ari yang kalem. Ari yang anak rumahan. Ari yang penurut. Ari yang anak Mama. Dan Ari yang membuatnya sering cemas dengan semua sifat-sifatnya itu. Saat ini yang berdiri di hadapannya adalag Ari yang telah berhasil melewati segala kesulitan. Ari yang kuat.
Keduanya tersenyum bersamaan, dengan visual tentang sang saudara kembar dalam masing-masing kenangan.
"Lo jadi beda," ubap Ata.
"Lo juga." Ata tertawa pelan. Dia rentangkan kedua lengannya dan dipeluknya Ari kuat-kuat, yang lalu membalas pelukan itu sama kuatnya.
Berdiri di dekat keduanya, sang mama menyaksikan itu dalam tangis tanpa suara.
*** Dari balik salah satu pilar tempatnya menyembunyikan diri, Tari menatap pemandangan itu dengan mulut yang tanpa sadar menganga lebar. Sembilah tahun terpisah dan keduanya masih tetap seperti saat kamera itu mengabadikannya dalam lembar-lembar kenangan.
Keduanya tetap begitu sama dan serupa. Seperti benda dan bayangan. Seperti laut dan langit. Keduanya benar-benar sama tinggi. Entah dengan cara bagaimana alam menyampaikan kepadanya, Ata juga punya potongan rambut yang benar-benar sama dengan saudara kembarnya. Satu-satunya perbedaan yang mencolok hanya dalam penampilan keduanya. Ata terlihat sangat sederhana. Sementara Ari, meskipun gaya berpakaiannya memang kasual, semua bisa melihat setiap benda yang menempel di tubuhny bukanlah barang murah.
Ketiga orang itu kini berjalan menjauhi pintu kedatangan. Tari menatap ketiganya dalam keharuan. Mama kedua kembar itu berjalan di tengah, diapit kedua anak kembarnya. Satu yang terpisah begitu lama dengannya, memeluk satu lengannya kuat-kuat. Sementara satu yang selama ini selalu bersamanya, sibuk dengan barang bawaan yang begitu banya
k. *** Tari membasuh mukanya di wastafel berkali-kali. Mencoba sedikit mengurangi sembab di kedua matanya. Ketika usahanya gagal, dengan putus asa ditatapnya pantulan wajahnya di cermin di depannya.
"Aduh, gue pulangnya gimana nih"" desisnya pelan. Sembab di kedua matanya begitu parah, sampai dia yakin orang akan bisa melihatnya dari jarak satu kilometer.
Tapi ini bandara. Tempat orang berdatangan atau perpergian bahkan ke tempat terjuh di bumi. Tempat orang-orang bertemu dan berpisah.
Beberapa mungkin hanya berpisah sementara, namun beberapa bisa jadi berpisah abadi. Beberapa adalah pertemuan yang pertama, sementara beberapa yang lain bisa jadi pertemuan yang terakhir. Jadi, sebenarnya sangat wajar kalau seseorang menangis di bandara.
Tari jadi sedikit tenang setelah menemukan alasan itu. Mudah-mudahan saja saat bus Damri yang ditumpanginya nanti sampai di tempat dia harus turun, sembab di kedua matanya sudah berkurang. Dikeluarkannya kotak bedak padat dari dalam tas, lalu dengan cermat dibubuhinya mukanya dengan serbuk halus itu. Berharap mukanya yang pucat bisa terlihat sedikit lebih cerah. Setelah menghela napas panjang sambil menatap pantulan wajahnya di cermin, Tari berjalan ke luar toilet dengan kepala menunduk. "Mau pulang dalam kondisi begitu""
Langkah Tari sontak terhenti. Dengan terkejut diangkatnya kepala. Ari berdiri tidak jauh di depannya. Punggungnya bersandar di dinding luar toilet. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Tertegun, Tari menata kedua mata Ari yang sembab. Dalam keadaan begitu, cowok ini jadi terlihat lebih manusiawi.
Mulut Tari sudah terbuka, tapi dia tidak berhasil menemukan alasan yang tepat untuk keberadaannya di bandara pada saat yang bersamaan dengan kedatangan mama Ari dan saudara kembarnya.
Ari tersenyum. "Gue udah ngeliat lo tadi," ucapnya pelan. "Duduk ngumpet di balik pilar. Ngumpet, tapi sebentar-sebentar ngintip."
Seketika kedua mata Tari melebar. Dan segera, mukanya dipenuhi rona merah.
"Kok bisa" Kayaknya elo nggak pernah nengok deh."
Ari tersenyum lagi. "Kayaknya, kan""
Tari tertegun. "Berarti lo tau gue udah... "
"Tiga jam lebih di bandara"" potong Ari. "Jelas tau lah."
Cowok itu lalu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Tatapannya pada Tari kini tak lagi dengan kata. Tak lagi ada suara. Hanya menatap.
"Ada apa"" tanya Tari bingung.
Ari tak menjawab. Tetap hanya menatap.
"Ada apa sih" Lo jangan aneh gitu dong," kejar Tari lagi.
Tetap tidak ada jawaban. Namun kali ini sepasang mata Ari yang terarah lurus-lurus padanya itu mengerjap.
Tiba-tiba Ari menguraikan kedua tanganny yang terlipat di depan dada. Cowok itu lalu menghampiri Tari dengan langkah-langkah panjang. Dan sebelum Tari sempat menyadari, Ari sudah merengkuhnya. Ditenggelamkannya gadis yang telah menunjukan pintu keluar baginya itu dalam kedalaman dada dan kedua lengannya.
Tari tersentak. Dia meronta, tapi dada dan kedua lengan ini kuat mengurungnya. Dia tak bisa bertanya, karena degup jantung Ari mengalahkan semua suara. Tak lama cowok itu menundukkan kepala lalu berbisik lirih di satu telinganya. "Terima kasih." bisiknya.
Ari menguraikan pelukannya. Ditatapnya muka Tari yang kini merona.
"Banyak yang mau gue bilang. Tapi sekarang cuma itu yang bisa gue bilang. Terima kasih banyak." "Gue nggak ngerti... " Tari menggeleng.
"Nggak pa-pa." Ari ikut menggeleng. Kemudian di tariknya napas dan sikapnya kembali biasa. "Yuk,
gue kenalin lo ke nyokap gue sama Ata."
Tari langsung menolak. "Nggak ah, nggak enak."
"Nggak pa-pa. Mereka baik kok."
"Gue tau mereka baik. Cuma momennya nggak pas aja. Nanti-nanti aja deh. Kalian kan baru aja ketemu lagi."
Ari membungkukkan punggungnya, menjajarkan mukanya dengan Tari.
"Kalo ada orang kedua yang harus mereka temuin," kedua matanya memancarkan sorot yang kontradiktif, lembut tapi tidak bisa ditolak, ".....itu elo."
"Iya, tapi.... "
Ari sudah tidak lagi memedulikan penolakan Tari. Dirangkulnya cewek itu dan dengan paksa dibawanya ke tempat Mama dan Ata berdiri menunggu. "Ini,
Ma. Kenalin," ucap Ari dengan senyum lebar.
Seketika kedua orang yang berdiri di dekatnya menatap Tari dengan tanda tanya.
"Eeh.... saya Tari, Tan," ucap Tari. Sambil senyum kikuk, dia anggukan kepalanya. Wanita di depannya membalas senyumnya tapi tetap dengan ekspresi bingung.
"Sebutin dong nama lengkap lo," kata Ari.
"Mm.... nama saya Jingga Matahari, Tante, Kak Ata... "
Begitu Tari menyebutkan nama lengkapnya, dua orang di depannya kontan ternganga.
"Ya ampuuun!" mama Ari berseru tertahan. "Kok namanya kebalikan nama Ata""
"Kaget kan, Ma" Ari juga kaget banget. Nanti kalo Ari ceritain cerita lengkapnya, Mama pasti makin kaget lagi."
"Oh, ya" Cerita apa"" tanya mama Ari seketika. "Jangan-jangan dia jodoh gue"" sela Ata.
Ari langsung menatapnya tajam. "Kita baru ketemu nih. Jadi jangan ngajak berantem deh," gerutunya.
Ata terkekeh. "Nanti aja. Sekarang Mama istirahat dulu deh. Tante Lidya udah nungguin. Udah SMS Ari melulu nih. Oke, Ma"" Ari mengacungkan jempol kanannya. "Okeee." Mamanya mengangguk.
Sambil tertawa geli karena kata 'oke' tadi mengingatkannya pada masa kecilnya, Ari mengayunkan satu tangannya. Sebuah taksi langsung merespons. Begitu taksi itu berhenti di depannya, bersama Ata, Ari segera memasukkan barang-barang bawaan yang begitu banyak itu ke bagasi. "Nanti Ari nyusul, Ma. Mau nganter Tari dulu. Oke"" "Okeee." mamanya mengangguk.
Dengan senyum lebar, Ari menatap taksi yang ditumpangi mamanya dan Ata sampai benar-benar hilang, kemudian dia balik badan.
"Lo utang penjelasan," Tari langsung menyebutnya dengan nada menuntut.
"Gue tau," jawab Ari lembut. "Gue nggak bareng mereka bukan karena gue bawa motor, tapi karena gue punya utang sama elo." Kemudian dirangkulnya satu bahu Tari. "Yuk, cari tempat yang sepi." "Ngapain"" tanya Tari langsung curiga.
"Ya biar nggak ada saksi lah. Buat jaga-jaga aja. Siapa tau ntar lo ngamuk terus gue dicubit atau dicakar. Atau lo jadi histeris terus jerit-jerit."
"Emang gue kayak gitu" Lo nggak usah ngarah deh," ucapnya dengan muka yang langsung cemberut. "Iya. Lo emang begitu." Ari mengangguk. "Lo pernah jerit-jerit di sekolah, kan" Berapa kali coba"
Bikin rame. Bikin heboh."
"Itu kan gara-gara elo!" sergah Tari seketika.
"Makanya. Sekarang ini bakalan gara-gara gue lagi. Makanya harus nyari tempat yang sepi. Masalahnya, ini di bandara, orang-orang nggak kenal kita. Mereka nggak tau kita emang doyan ribut. Beda sama di sekolah." "Ng.... " Tari mati kutu.
"Nggak bisa ngomong kan lo"" Ari mengedipkan satu matanya, tersenyum menang. Ditariknya Tari dari situ dan benar-benar dibawanya ke tempat yang sepi, ke salah satu titik di ruang terbuka bandara yang begitu luas. Di balik rumpun tanaman hias yang tumbuh lebat dan penuh bunga.
*** Tari ternganga. Terjawab sudah semuanya. Ari membayar seseorang untuk menjadi dirinya pada saat dia menjadi Ata. Hadir pada tempat yang sama untuk mengesankan bahwa Ata memang benar-benar ada.
Ari yang mengatur semuanya. Setiap kejadian. Setiap tindakan. Setiap dialog. Setiap respons. Juga waktu dan tempat. Kode-kode digunakan agar semua berjalan sesuai skenario yang telah disusun. SMS-SMS telah disimpan dalam fitur draft dan tinggal dikirimkan sesuai urutan skenario atau pemberian kode.
Masih dengan mulut ternganga, Tari menggeleng-gelengkan kepala. "Lo hebat. Pinter. Cerdas. Smart."
Pujian itu tulus, tapi Ari benar-benar merasa bersalah. Ditatapnya Tari tepat di manik mata. "Gue minta maaf," ucapnya sungguh-sungguh.
Tari menggeleng-geleng lagi. "Sumpah, lo pinter banget. Bisa ngatur semua itu." Ari tersenyum. Senyum bersalah. "Gue dimaafin"" tanyanya pelan.
Ganti Tari tersenyum. "Kalo nggak, gue nggak akan ngirimin lo SMS." Mendadak dia terdiam. "Lo terima SMS gue nggak sih""
Ari terlihat kaget. Ditatapnya Tari lurus-lurus. "Itu bukan SMS salah kirim"" tanyanya pelan. "Ya nggak lah."
"Ya ampun....." Ari mendesah, bersamaan dengan kedua bahunya bergerak turun. "Gue kirain SMS salah kirim, Tar. Kenapa lo nggak ngirimin gue SMS lagi""
"Kalo yang itu nggak d
ibales, ngapain gue ngirimin SMS lagi" Gue kirain lo marah. Nggak mau maafin gue. Udah telat. Soalnya..." Tari terdiam. Kemudian suaranya melemah. "Waktu lo udah minta maaf berkali-kali dan gue nggak mau denger."
"Iya, sama. Pertimbangan gue itu juga. Waktu itu lo segitu marahanya, segitu bencinya ngeliat gue, jadi gue pikir nggak mungkin tu SMS buat gue. Kecuali kalo ada SMS susulan. Dan ternyata nggak." Keduanya saling tatap. Tari hanya mampu bertahan sejenak. Kedua bola mata hitam yang menatapnya lurus-lurus kedalam manik matanya itu membuatnya jengah. Akhirnya cewek itu memalingkan muka ke arah lain. Ari jadi tersenyum geli.
"Maaf ya," ucap Tari pelan, tapi dengan muka masih menata ke arah lain. Ari menahan senyumnya agar tidak berubah jadi tawa. "Lo minta maaf sama siapa sih" Pohon" Emang lo diapain""
Tari berdecak kesal. Wajahnya kembali berpaling. "Lo tuh emang suka cari gara-gara deh." Tawa Ari meledak. Setelah tawanya reda, kembali ditatapnya Tari dengan ekspresi serius.
"Gue dimaafin"" dia bertanya balik.
"Makanya gue ngirim lo SMS," Tari menjawab manis.
Ari tersenyum lebar. "Elo emang pinter ngeles. Tapi... " kedua matanya menatap keseluruhan wajah cewek di depannya itu dengan sorot menerawang. "Apa jadinya kalo elo nggak ada ya"" gumamnya lirih.
"Apa"" tanya Tari. "Lo ngomong apa" Gue nggak denger... "
"Nggak." Ari langsung geleng kepala. "Yuk, pulang. Udah sore." Diraihnya satu tangan Tari dan ditariknya cewek itu sampai berdiri.
*** Ari menghentikan motornya di depan pagar rumah Tari. Dibantunya Tari turun dari boncengan motornya.
"Langsung ke rumah Tante Lidya itu""
"Iya." Ari mengngguk. "Mama sama Ata tinggal di sana selama di Jakarta. Gue penginnya sih ngajak ke rumah, tapi bokap belom tau."
"Iya, jangan." Tari mengangguk. "Nanti malah kisruh. Satu-satu aja dikelarin." Kalimat Tari itu membuat Ari menatapnya dengan sorot ganjil. "Kenapa"" tanya Tari heran.
Ari tak menjawab. Tiba-tiba cowok itu mengulurkan tangan kirinya, menyentuh belakang kepala Tari. Sambil menyondongkan tubuh, cowok itu mendekatkan kepala Tari kearahnya. Dan sebelum Tari sempat menyadari, dia merasakan sebuah ciuman lembut di keningnya. Seketika cewek itu membeku.
Ari menjauhkan kepalanya. Rona merah padam di wajah Tari dan cewek itu yang sekarang jadi sibuk menghindari tatapannya -tidak punya keberanian lagi untuk menatap langsung ke dalam matanya-menghangatkan dada Ari.
"Istirahat gih. Lo pasti capek. Tiga jam lebih nemenin gue di bandara," ucapnya lembut. Sejenak diusap-usapnya kepala Tari. "Gue pamit dulu ya. Sampein salam gue buat nyokap lo." Motor hitam Ari meluncur pergi. Tari terus memandang sampai motor itu menghilang, berbelok ke sebuah gang kecil di ujung jalan, dengan ciuman lembut yang terasa seperti tertinggal.
*** Pembicaraan itu menelan waktu berjam-jam. Berpindah-pindah lokasi dari teras lalu ke ruang tamu, kemudian ke ruang keluarga dan berakhir di kamar tidur tamu. Di rumah Tante Lidya yang bagi kedua kembar itu adalah rumah kedua mereka.
Dua anak tertua Tante Lidya -'Kakak-kakak' kedua kembar itu dulu- satu sudah bekerja, sementara yang satu kuliah di Yogya. Sementara si bungsu, yang dulu masih tertatih-tatih berjalan, sekarang sudah duduk di bangku sekolah dasar.
Sepanjang pembicaraan itu, mama Ari nyaris tidak bisa mengalihkan tatapannya dari anak kembarnya yang baru saja berhasil dia temukan kembali. Yang sembilan tahun lalu terpaksa harus dia tinggalkan. Hasil dari perjanjian yang berbelit, penuh dengan kemarahan dan pertengkaran hebat, serta benar-benar menguras emosi dan air mata.
Tanpa sadar, bergantian, satu tangannya mengelus kepala Ari, merapikan rambutnya lalu mengacak-acaknya lagi, mengusap-usap punggungnya. Bahkan berkali-kali wanita ini mencium dan memeluk anaknya yang dulu saat dia tinggalkan masih berupa anak laki-laki kecil, namun sekarang sudah menjadi laki-laki remaja. Tinggi besar seperti saudara kembarnya.
Sepanjang pembicaraan itu pula, Ari selalu berada di sebelah mamanya. Sebagian jiwanya yang tertahan pada usia delapan tahun
keluar dan meretas sembilan tahun kehilangannya. Mengengar sebagian jiwanya yang lain yang berkembang sesuai usianya.
Cowok itu duduk bersandar pada tubuh mamanya, tidak sadar bahwa sekarang sang mama lebih kecil darinya. Memeluk tubuh mamanya lalu meletakan kepala di salah satu bahunya. Ikut meminum teh manis hangat dari gelas yang sama meskipun untuknya sudah dibuatkan di gelas sendiri. Makan dari piring mamanya dan sendok yang dipakai mamanya pula. Dan semua hal-hal lain yang dilakukannya pada saat masih kecil dan mereka masih tinggal bersama.
Menjelang pukul sebelas malam, Ari tertidur dengan kepala di pangkuan mamanya. Di sebelahnya, Ata sudah lebih dulu terlelap. Lelah dengan segala persiapan keberangkatan mendadak ke Jakarta ini, yang bahkan sudah dilakukan sejak kemarin siang.
Sambil berkali-kali mengusap kedua matanya, mama Ari menatap kedua anak kembrnya yang tidur berdampingan itu. Setelah sekian lama, setelah begitu banyak usaha pencarian, air mata, keterpurukan dalam putus asa, doa-doa yang tak putus, akhirnya bisa dipeluknya lagi kedua anaknya ini. Akhirnya bisa melihat lagi keduanya tidur berdampingan. Kedua anaknya yang begitu sama dan serupa.
Tak jauh dari tempat tidur, duduk di atas sebuah sofa yang sengaja ditarik dari ruang tamu, wanita yang menjadi sahabat karibnya bahkan sebelum kedua kembarnya ini hadir ke dunia, juga berkali-kali menghapus air matanya
**** SENIN pagi, SMA Airlangga gempar. Kemunculan Ari bersama Ata seketika menggegerkan seisi sekolah. Semua mulut ternganga. Semua mata terbelalak selebar-lebarnya. Beberapa tetap berdiri di tempat mereka, dicengkeram ketersimaan. Beberapa membuntuti kedua kembar itu untuk meyakinkan bahwa memang betul-betul ada dua Ari, jadi ketidakberesan bukan terletak pada penglihatan mereka.
Bahkan para guru, yang notabene sudah tahu sejak lama bahwa siswa paling bermasalah itu memang mempunyai saudara kembar, sama syoknya. Mereka benar-benar tak menyangka bahwa sang saudara kembar itu ternyata begitu mirip dengan Ari. Bahwa keduanya ternyata benar-benar serupa satu sama lain. Benar-benar sama!
Ketika Ari mengenalkan saudara kembarnya itu kepada setiap guru, sudah tentu dimulai dari kepala sekolah dan wakilnya, benar-benar Ata harus berhenti cukup lama di depan setiap orang. Karena setiap guru, sambil terus menjabat tangannya erat-erat, menatapnya dengan ekspreri seolah-olah kembar adalah fenomena alam yang amat sangat jarang terjadi, dan karanenya bisa dikategorikan sebagai keajaiban. Ata sampai kesal.
"Mereka tuh belom pernah ngeliat anak kembar, ya"" bisiknya. Ari cuma tersemyum. "Gue balik deh. Males banget. Diliatin terus, kayak tampang gue nggak mirip manusia aja."
"Sebentar lagi," Ari langsung menahan. "Lima menit lagi bel upacara. Gue belom ngenalin elo ke wali kelas gue. Lo harus kenal dia." "Emang kenapa""
Ari tak menjawab. Seringai lebar tapi geli yang jadi pengganti jawabannya membuat Ata memandangnya dengan curiga.
Vero tidak sanggup menyembunyikan luapan kegembiraannya. Ata menatap dengan bingung saat cewek itu menyapanya dengn manis.
"Kenapa sih dia"" tanyanya pada Ari ketika Vero sudah pergi bersama gerombolannya. Ari cuma mengangkat alis dan menyembunyikan senyumnya. "Lo tanya dia aja." Ata cuma mendengus.
Bel berbunyi. Jam tujuh tepat. Seluruh siswa keluar dari kelasnya masing-masing menuju tempat lapangan olahraga di depan sekolah. Ata pamit. Begitu banyak cowok yang melambaikan tangan padanya atau menepuk bahunya. Begitu banyak cewek yang berdadah-dadah dengan ribut untuknya. Membuat Ata semakin mendapatkan kesan, Ari sepertinya selebriti di sekolah ini.
Bu Sam datang terlambat. Satu hal yang cukup mencengangkan karena beliau sudah bisa dianggap sebagai pengganti jam, saking selalu on time untuk urusan apa pun. Dengan demikian ibu guru yang sangat militan untuk urusan ketaatan pada peraturan itu belum mengetahui perkembangan terakhir. Melihat Ata melenggang dengan santai di sepanjang trotoar depan sekolah, sementara semua siswa yang lain bersiap-siap mengikuti upacara bendera, sontak kedua ma
ta Bu Sam melotot lebar. Tidak mengenakan seragam pula!
Segera dimintanya suaminya untuk menghentikan mobil. Begitu mobil berhenti, beliau langsung turun dan menghampiri Ata dengan langkah-langkah panjang.
"AAKH!!!" Ata berteriak keras saat sebuah telapak tangan memukul punggungnya keras-keras. Dia berbalik cepat.
Jakarta memang sudah terkenal punya tingkat kriminalitas yang cukup tinggi. Tapi ini kelewatan. Seorang ibu menyerangnya dengan ganas tanpa alasan.
"Hebat kamu ya!"" Bu Sam berkacak pinggang. Dipelotntinya Ata tajam-tajam. "Nggak dengar kalau sudah bel!" Atau sengaja" Kalau kamu mau bolos kenapa datang ke sekolah" Kamu tuh emang senengnya nantang guru-guru, ya""
"Ibu, saya.. " Ata tidak punya kesempatan untuk bicara. Dengan geram Bu Sam mengulurkan tangan lalu mencubit satu lengan Ata keras-keras. "AduuuhM!" Ata memekik.
Para siswi yang berbaris di bagian belakang, tak jauh dari pagar sekolah, menyaksikan kejadian itu dengan tawa geli. Muncul kesepakatan kolektif tanpa musyawarah untuk tidak memberitahu Bu Sam yang sebenarnya.
Bu Sam menggelandang Ata, yang kiranya Ari, kembali ke sekolah. Dicengkeramnya satu lengan Ata kuat-kuat lalu ditariknya cowok itu dengan paksa.
"Ibu, saya bukan Ari, Bu. Saya Ata. Sumpah demi Tuhan!"
Entah sudah berapa kali Ata mengucapkan kalimat itu sejak dia diseret paksa dari trotoar depan sekolah tadi. Bu Sam tak mengacuhkan sama sekali. Beliau bukannya tidak mengetahui bahwa Ari punya saudara kembar. Tapi baik Ari maupun ayahnya tidak ada yang mengetahui keberadaan saudara kembar Ari itu dan ibu mereka sejak perpisahan itu. Jadi tidak mungkin dia ini bukan Ari. Memasuki gerbang, semakin banyak lagi senyum lebar dan tawa geli yang menyaksikan adegan itu. Para guru tidak sempat menyelamatkan salah seorang kolega mereka itu. Bu Sam keburu menyeruak barisan kelas 12 IPA 3 dari arah belakang. Diseretnya Ata ke barisan depan. Kali ini akan dibuatnya si Bengal ini berdiri di baris terdepan, agar bisa tetap diawasinya selama upacara berlangsung. Mendadak langkah-langkah Bu Sam terhenti. Lewat ekor mata, sepertinya dia melihat sosok yang sama. Dia menoleh dan seketika terperangah. Tak jauh di sebelah kirinya berdiri.... Ari juga!
Kali ini Ari tampil dalam balutan seragam putih abu-abu yang tersetrika rapi. Bukan jins biru belel dan kemeja putih lengan panjang yang digulung sampai siku seperti Ari yang tadi diseretnya. Tanpa sadar cekalan Bu Sam di lengan Ata terlepas.
"Tuh, kan" Saya nggak bohong, kan" Saya bukan Ari, Bu," ucap Ata kesal. Diusap-usapnya lengannya yang terasa sakit. Ibu guru ini ternyata tenaganya kuat juga.
Dengn wajah masih terperangah, Bu Sam menatap Ari dan Ata bergantian. Dengan takjub dia harus mengakui bahwa nyaris tidak ada perbedaan fisik di antara keduanya. Benar-benar serupa. Setelah berhasil menguasai diri, dengan terbuka Bu Sam meminta maaf pada Ata. Juga memintanya untuk tetap di sekolah, menunggu sampai upacara selesai dengan alasan itu akan memberi efek yang baik untuk Ari.
Begitu Bu Sam meninggalkan mereka, Ata langsung menoleh ke Ari. Ditatapnya saudara kembarnya itu dengan sorot tajam. "Lo bermasalah, ya""
Ari cuma mengulum senyum. Dirangkulnya saudara kembarnya itu.
Pagi itu upacara bendera tidak berjalan selancar biasanya, karena hampir semua mata sebentar-sebentar menatap bergantian ke dua sosok yang begitu sama dan serupa itu -Ari di lapangan dan Ata di depan ruang guru- sehingga komandan upacara harus mengulangi intruksi lewat pengeras suara dengan suara keras pula.
**** Epilog Tari keluar dari halaman rumahnya sepuluh menit lebih cepat dari pada biasanya. Cewek itu nggak yakin dengan jawaban-jawaban tugas kimia yang sudah dikerjakannya semalam. Makanya dia berangkat lebih pagi, supaya jawabannya bisa dia cocokkan dengan jawaban Fio.
"Tari.... " Bukan panggilan itu yang seketika menghentikan langkah Tari, tapi orang yang melakukan panggilan itu. Ditatapnya mulut gang sempit di sebelah kanannya, tempat panggilan itu berasal. Meskipun gaya berpakaian Ari sering kasual -celana jins dengan k
aus atau kemeja- semua orang bisa melihat seluruh benda yang melekat ditubuhnya berharga mahal. Berbeda dengan sosok ini. Dia terlihat kasual dalam arti yang sesungguhnya. Secara keseluruhan pula. Juga karena -meskipun sosok ini begitu sama dan serupa- ada atmosfer asing yang seketika begitu kuat. Detik itu juga Tari menyadari sosok ini bukanlah Ari.
Namun, sama seperti pertemuan pertamanya dengan Ari dulu, ketika langsung di kenalinya sisi sebenarnya dari cowok itu, kali ini hal yang sama juga langsung terjadi. Wajah tanpa senyum tak jauh darinya bukan orang jahat. Sama sekali.
Jingga Dalam Elegi Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ata melangkah mendekati Tari lalu berdiri tepat di depannya. Dia tundukan kepala karena tinggi cewek itu tak melebihi bahunya. Kemudian ditatapnya Tari tanpa sedikit pun suara. Tatapan cowok ini membuat Tari akhirnya berusaha merentang jarak dengan menjauhkan punggungnya ke belakang.
Dengan kedua mata yang jadi menyipit karena bingung, dibalasanya tatapan kedua manik mata Ata yang sehitam saudara kembarnya. "Kok kak Ata tau rumah gue""
"Gue tau dari Ari."
"Ada apa"" tanya Tari pelan.
"Elo apes." sebentuk senyum muncul di bibir Ata, mengiringi kalimat pendek itu. Sebentuk senyum yang bahkan apabila ditelusurinya semua kata yang ada di dalam kamus, tidak akan ada satu pun yang bisa digunakan untuk menjelaskan maknanya. Senyum ini tak terbaca.
"Apa maksud lo"" tanya Tari. Kedua matanya yang terus menatap Ata semakin menyipit.
Ata tak langsung menjawab. Dia menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan cara seperti sedang mencoba melepaskan sebongkah beban.
"Gue akan, dengan sangat terpaksa, bikin lo sering nangis nanti," ucapnya berat.
Kedua mata Tari yang menyipit seketika membelalak lebar. "Apa sih maksud lo"" desisnya, langsung jadi was-was.
Ata tidak mengacuhkan pertanyaan itu. Dia lanjutkan ucapannya seolah-olah Tari tidak bertanya apa-apa.
"Makanya gue mau minta maaf dari sekarang."
"Apa sih maksud lo"" ulang Tari dengan suara meninggi. Kedua matanya yang terus terarah lurus-lurus pada Ata kini diwarnai kebingungan, kecemasan, dan ketakutan. Ata tersenyum. Senyum tak terbaca itu lagi.
"Gue bener-bener minta maaf," bisiknya dengan nada sesal. "Tapi apa pun yang gue lakukan ke elo nanti, kalo bisa gue perlunak, akan gue perlunak. Juga kalo bisa gue hindari, akan gue hindari. Tapi kalo nggak...." sepasang bola mata sepekat jelaga itu mengerjap lambat. "Tolong lo inget, gue bener-bener terpaksa."
"Aa..... " karena benar-benar bingung, Tari hanya sanggup membuka mulutnya tanpa kesanggupan lagi untuk mengeluarkan satu pun kata.
Ata melihat jam tangannya. "Sebentar lagi Ari dateng. Dia mau jemput elo. Jangan bilang kalo elo ketemu gue. Oke"" Ditepuk-tepuknya satu bahu Tari, kemudian balik badan dan pergi. Kesadaran Tari yang melayang langsung kembali.
"Kak Ata, apaan sih!"" serunya seketika. Seruannya sia-sia. Langkah-langkah panjang Ata menelan jarak dengan cepat dan tikungan gang sempit itu pun segera melenyapkan tubuh tingginya. Tari menatap gang yang kini kosong itu dengan mulut yang kembali ternganga. Dia betul-betul tidak mengerti. Yang pasti, pembicaraan tadi membuatnya betul-betul cemas.
"Tar.... " Panggilan yang benar-benar dari belakang punggungnya itu membuat Tari terlonjak kaget. Seketika dia memutar tubuh. Ternyata Ari telah berada tepat di belakangnya. Di atas motor hitamnya yang mesinnya menyala.
"Ada apa"" Cowok itu langsung menyadari ada sesuatu yang tak beres.
"Mmm.....itu...." Dengan bingung Tari menoleh ke gang sempit tempat Ata belum lama menghilang, lalu kembali menoleh ke Ari, lalu ke gang sempit itu lagi, lalu kembali ke Ari lagi.
Pertemuan yang benar-benar tak terduga dengan kembar identik Ari itu, ditambah pembicaraan singkat mereka yang sungguh-sungguh membingungkan, membuat Tari tak bisa menjelaskan apa-apa. Sama sekali bukan karena Ata telah melarangnya untuk bicara tadi.
"Nggak. Nggak ada apa-apa." Akhirnya dia gelengkan kepala.
"Yakin"" Ari bertanya dengan kedua mata sesaat terarah ke gang sempit itu.
"Iya." Tari mengangguk. Tak lama keningny
a mengerut. Baru benar-benar disadarinya kehadiran Ari di belakangnya.
"Emang siapa yang minta di jemput sih""
Ari mengambil jaket putihnya yang dia letakan di atas tengki bensin. Diraihnya satu tangan Tari lalu diletakannya jaket itu dengan cara yang membuat Tari terpaksa membuka telapak tangannya. "Yang pegang komando itu gue. Jadi gue nggak perlu izin," ucapnya, santai tapi tandas. "Pake. Terus naik, cepet. Udah jam setengah tujuh kurang dua puluh menit."
"Elo tuh kebiasaan banget ya, suka merintah-merintah orang." Tari menatapnya dengan pandang agak kesal.
"Karena emang gue yang punya kuasa, kan" Lo lupa"" Ari mengangkat sedikit kedua alisnya. Tersenyum tipis.
Tari berdecak. "Ya udah, buruan berangkat deh. Males banget dengernya," gerutunya sambil menggunakan jaket putih itu.
Ari tersenyum geli. Diulurkannya satu tangannya ke belakang untuk membantu cewek itu naik. Setelah keduanya pergi, Ata keluar dari balik dinding yang selama ini menghalanginya dari pandangan. Ditatapnya jalanan yang kini kosong. Dipaksa untuk menatap realitas hidup sejak bertahun-tahun lalu, dalam usia yang bahkan amat sangat belia, cowok itu dengan cepat bisa merasakan akan datangnya badai.
Rekonsiliasi ini sama sekali bukan happy ending seperti dalam sinetron dan film-film. Pertemuan kembali ini mungkin akan jauh lebih menyakitkan daripada kebersamaan yang dipenggal mendadak sembilan tahun lalu itu.
Akan ada banyak air mata yang jatuh. Akan ada sayatan untuk begitu banyak hati yang sudah lama tidak utuh. Akan ada letup emosi. Akan ada luap amarah dan caci maki. Dan akan ada teramat banyak tikaman luka dan sakit hati.
Karena itu, seandainya bisa, benar-benar ingin dijauhkannya Tari dari semua itu. Karena empat orang sudah terlalu banyak. Karena jika tidak mampu untuk ikhlas, luka hati adalah kegelapan dan amarah adalah pedang. Buta, tak peduli mereka yang dihadapi adalah orang-orang yang pernah berbagi cinta dan tawa. Dulu sekali.
Namun, begitu diketahuinya Tari menyandang nama yang sama dengan dirinya, Ata segera menyadari dia harus melepaskan niatnya itu. Gadis itu telah termaterai. Dia ditakdirkan untuk terpuruk, dilukai, menangis, mencoba bangkit, terjatuh lagi, berkali-kali. Hingga sampai di ujung nanti, yang entah akan menelan berapa banyak jam dan hari, bersama dirinya dan saudara kembarnya.
**** Kisah Ari, Tari, dan Ata belum berakhir.
Cuplikan Jingga untuk Matahari
Tari terus gelisah. Apa maksud Ata akan membuatnya lebih banyak menangis" Cewek itu juga bingung, karena pada saat rasa sayangnya untuk Ari mulai tumbuh, Angga muncul lagi dan kembali mendekatinya.
Sementara itu Vero, ketua Geng The Scissors di SMA Airlangga, sepertinya nggak rela Tari hidup tenang. Lalu, terungkapkah apa yang menjadi alas an Angga begitu dendam pada Ari"
Tunggu kelanjutannya dalam buku terakhir trilogi "Jingga dan Senja" Jingga untuk Matahari
TAMAT Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 8 Raja Petir 12 Rajahan Naga Hitam Macan Tutul Di Salju 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama