Ceritasilat Novel Online

Jingga Dan Senja 2

Jingga Dan Senja Karya Esti Kinasih Bagian 2


Sesaat Ari berdiri di ambang pintu, memindai seluruh isi kelas. Cewek yang dicarinya berada di antara sekelompok cewek yang duduk berkelompok. Asyik ngobrol dengan riuh. Dasar cewek, katanya dalam hati. Sehari aja nggak ngegosip, mati kali ya"
Tak seorang pun dari cewek-cewek itu menyadari kehadiran Ari. Sampai Ari meraih sebuah bangku lalu menariknya tepat ke sebelah Tari dan menjatuhkan diri di sana, baru cewek-cewek itu tercengang. Apalagi Tari. Ari menyambut tatapan-tatapan kaget yang terarah padanya itu dengan senyum.
"Tolong pada pergi ya. Gue mau ngomong sama Tari," ucapnya dengan nada otoritas seorang kakak kelas. Cewek-cewek itu langsung menurut. Mereka bubar. Berjalan menuju bangku masing-masing, tapi dengan kedua mata melirik ingin tahu kea rah dua orang itu. Termasuk Fio. Meskipun yang dia duduki bangkunya sendiri, tu cewek ikutan pergi, duduk berimpitan dengan Maya.
Ari memajukan tubuhnya. Dia letakkan kedua lengannya di meja, kesepuluh jarinya saling bertaut. Dlakukannya itu agar bisa menatap muka Tari, yang tidak bisa dilakukan kalau posisi duduknya sama seperti cewek itu, menempelkan punggung di sandaran bangku.
Kemunculan Ari membuat suasana kelas menjadi hening. Semua mata terarah padanya meskipun tidak terang-terangan. Semua telinga terpasang tajam-tajam. Ari tahu itu, karenanya dia bicara dengan suara perlahan. Sebenarnya dia bisa masa bodo, tapi akibatnya untuk Tari yang dia pikirkan.
Dengan kepala dimiringkan, Ari menatap cewek yang duduk di selah kanannya itu. Ketegangannya terlihat jelas. Bukan hanya di muka dan sorot kedua matanya, tapi juga sikap tubuhnya.
Sebenarnya Ari juga dalam kondisi yang sama. Bahkan lebih parah. Gejolak emosi itu sudah membuatnya kacau sejak diketahuinya nama lengkap cewek ini. Kalau saat ini dia terlihat tenang, itu karena Ari memaksakan dirinya untuk tenang. Namun, dia tahu dengan
sangat pasti, ketenangannya ini serapuh gelembung sabun.
"Lo nggak cerita ke siapa pun, kan"" tanyanya dengan suara pelan.
"Nggak, Kak." Tari menggeleng.
"Angga nganter lo sampe rumah""
"Iya." Tari mengangguk, heran gimana Ari bisa tahu.
"Ngomonga apa aja dia""
"Cuma ngobrol..."
Tari tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Ari memotongnya dengan satu perintah.
"Majuin duduk lo." Cowok itu menggerakkan dagunya ke depan. Tari menatapnya bingung.
"Gue udah minta lo jangan cerita apa-apa, kan"" suara Ari makin pelan. "Kalo caranya kayak gini sama aja bohong, lagi."
"Oh!" Tari langsung mengerti. Dia majukan duduknya, tapi tanpa sadar arahnya menyerong, agak menjauh dari Ari.
"Deketan sini. Malah makin jauh, lagi. Tenang aja, gue nggak ngegigit. Kalopun iya, nggak bakal gue lakuin itu di depan banyak orang." Kalimat itu kontan membuat muka Tari memerah. Digesernya tubuhnya mendekati Ari.
"Sip!" cowok itu mengangguk kecil. "Sekarang cerita. Jangan ada yang diumpetin ya."
Tanpa berani menatap Ari, Tari menceritakan semuanya. Sejak dia dan Fio dibawa paksa ke SMA Brawijaya dengan motor Moko dan Bako. Perlakuan yang diterimanya di sana, yang sebagian juga diketahui Ari, sampai dia diantar pulang oleh Angga.
Selama cewek itu bercerita, suasana kelas semakin hening lagi. Baik Ari maupun Tari, keduanya menyadari itu. Tari jadi semakin lirih, membuat Ari jadi menggeser tubuhnya semkain dekat. Kepalanya yang sejak tadi menoleh ke arah Tari dengan posisi menunduk semakin dia tundukkan karena kepala Tari juga semakin menunduk. Ketika cerita Tari sampai di bagian Angga mengajaknya makan, reaksi Ari seperti tersengat.
"Makan!"" desisnya. Kedua matanya yang sejak tadi terus menatap muka Tari seketika menyipit tajam.
"Iya." Tari mengangguk, jadi ngeri. "Di deket rumah sih." "Dan elo mau""
Entah kenapa, seperti ada alarm yang tak mengeluarkan suara bordering di dalam kepala Tari. Yang memeperingatkan cewek itu untuk tidak memperlihatkan keterpihakan pada Angga bahkan dalam skala terkecil, di depan Ari.
Karena itu Tari nggak berani bilang sikap Angga tuh baik dan manis. Jadi dia nggak merasa terancam. Beda dengan saat bersama Ari begini. Meskipun dikelilingi teman sekelas, nggak Cuma berdua, Tari merasa seperti ada bahaya yang sedang mengintai.
"Katanya dia dari pagi belom makan. Gara-gara itu." Tari terdiam. Diliriknya Ari takut-takut. "Itu. sibuk bikin rencana mau nyerang sekolah kita." Suaranya jadi semakin lirih lagi, tapi Ari bisa mendengarnya dengan jelas.
"Karena dia sibuk bikin rencana nyerang sekolah kita, yang langsung dilanjut dengan realisasi, jadi nggak sempet makan. Trus lo nemenin dia makan. Hebat!" Ari mengangguk-angguk.
Tari langsung menyesal kenapa bagian yang ini nggak dia simpan untuk diri sendiri aja. Tapi kalo dipelototin gini, mau nggak jujur susah juga.
"Cuma sebentar kok. Yang makan juga cuma dia. Saya cuma minum aja."
Ari mengangguk-angguk lagi.
"Elo dimaafkan kalo begitu."
Diam-diam Tari menarik nafas panjang, lega. Ari menatap jam tangannya. Kurang lima menit lagi bel masuk akan berbunyi. Sekarang ganti cowok itu yang menarik napas panjang diam-diam. Kedua matanya menatap lurus-lurus ke depan. Ke arah whiteboard yang saat itu bersih tanpa sedikit pun tulisan. Cowok itu mencoba mencari kekuatan dalam belantara putih di fokus pandangannya itu.
Ari tidak sadar, dia telah menciptakan keheningan yang mencekam. Meskipun tidak bisa mendengar percakapan kedua orang itu dengan jelas, seisi kelas bisa merasakan ketegangan sedang meningkat, karena bahasa tubuh Ari mengatakan itu dengan jelas.
Ari menoleh, mengembalikan tatapannya pada cewek yang duduk diam di sebelahnya. Rambut panjangnya diikat ekor kuda. Sebuah pita oranye menghiasi ikatan itu. Kedua telinganya dihiasi anting-anting plastic berbentuk matahari sedang bersinar. Lagi-lagi berwarna oranye dengan gradiasi kuning. Ada sebentuk cincin lucu melingkari jari tengah tangan kirinya. Lagi-lagi berbentuk matahari. Kali ini matahari itu sedang tersenyum lebar.
Cewek ini! Desis Ari dalam
hati. Kelu. Bisa dirasakannya detak jantungnya mulai bergemuruh, karena luka-lukanya yang memang selalu terbyka mulai mendenyutkan rasa sakit. Ketika kemudian mulutnya terbuka, Ari sudah nyaris mengerahkan seluruh kekuatannya agar emosinya tetap terjaga.
"Bener nama lo Jingga Matahari"" bisiknya. "Iya." Tari mengangguk.
Ari jadi tertegun. Seiring dengan jawaban Tari, kedua mata hitam Ari menggelam dengan cepat.
"Ada embel-embelnya" Siapa Jingga Matahari, atau Jingga Matahari siapa"" suara Ari masih berupa bisikan, tapi kali ini ada getar hebat yang tak mampu lagi diredamnya.
"Jingga Matahari aja."
"Jingga Matahari atau Matahari Jingga"" kejar Ari, membuat kening Tari jadi mengerut.
"Jingga Matahari."
"Jingga Matahari ya, bukan Matahari Jingga"" Ari seperti meminta kepastian. "Iya. Jingga Matahari." Tari mengangguk.
Ari mengangguk-angguk. Nyaris di luar kesadarannya, karena kedua matanya masih tertancap lurus-lurus pada raut muka Tari. Baginya, kombinasi kedua kata itu tidaklah penting. Kenyataan cewek ini menyandang kedua kata itu, itulah yang terpenting.
Kalau sebelumnya Tari bisa mengatakan sepertinya dia kenal Ari, kali ini dia benar-benar nggak tahu siapa cowok yang duduk di sebelahnya itu. Bel berbunyi. Ari bangkit berdiri.
"Kak," panggil Tari buru-buru, membatalkan langkah pertama Ari menuju pintu. "Ng. itu.," Tari menatapnya takut-takut, "kertas yang waktu itu diselipin Angga di kamus saya, masih ada nggak""
"Kenapa" suara Ari langsung menajam.
"Boleh saya minta nggak"" tanya Tari dengan nada hati-hati.
Ari membungkukkan tubuhnya. Benar-benar rendah di atas Tari, sampai cewek itu terpaksa melengkungkan punggungnya untuk menciptakan jarak.
"Elo mau digebukin orang satu sekolah"" bisik Ari. Tari menatapnya bingung. "Tu cowok anak Brawijaya!"
"Oh." Tari langsung mengerti. "Cuma pengin tau aja kok, dia nulis apa." "Ngajak kenalan. Waktu itu gue udah bilang,kan"" "Iya. Ya udah kalo gitu." Tari mengangguk.
Ari menegakkan punggungnya, balik badan lalu berjalan ke luar kelas. Tari menatapnya sambil menarik napas lega. Begitu Ari hilang dari pandangan, seisi kelas sudah bersiap akan menyerbu meja Tari lalu memberondongnya dengan pertanyaan.
Sayangnya, Pak Isman, guru fisika, keburu muncul. Guru itu memasuki kelas setelah sesaat berdiri di luar pintu, menatap Ari yang berjalan menjauh dengan kening berkerut. Untuk kedua kalinya Tari menarik napas lega. Bukan apa-apa. Dari cara Ari ngomong tadi, pelan bahkan beberapa kali dengan berbisik, ditambah cowok itu memintanya untuk duduk agak merapat, jelas Ari nggak ingin orang lain tahu isi pembicaraan mereka tadi.
Fio kembali ke tempat duduknya. Sesaat kedua matanya menatap Tari. Terlihat cemas. Tari hanya bisa membalas tatapan itu dengan ekspresi tak berdaya.
*** Bel masuk sudah berbunyi, tapi Ari justru melangkahkan kakinya menuju kantin. Dia sedang nggak mood belajar. Daripada nanti dibuatnya kelas jadi rusuh dan ingar-bingar, lebih baik dia menyepi. Jadi paling nggak yang rugi cuma dirinya sendiri.
Setelah selesai melahap dua potong arem-arem bersama segelas teh manis hangat, Ari menghampiri Mas Wiji, pedagang gorengan yang saat itu sedang bersiap-sipa membuat adonan bakwan. Mas Wiji itu perokok berat dan selalu punya stok rokok yang cukup buat orang se-RT, yang disimpannya di dalam salah satu laci.
"Mas, rokok sebungkus dong," kata Ari.
Meskipun stok rokoknya bukan untuk dijual, terhadap murid yang satu ini Mas Wiji membuat pengecualian. Tanpa banyak cakap, dikeluarkannya sebungkus lalu diserahkannya pada Ari. Setelah menerimanya, Ari mengulurkan selembar uang dan langsung berlalu tanpa meminta kembalian.
Dengan sebatang rokok terselip di bibir, Ari menarik sebuah bangku ke dekat jendela yang menghadap ke arah lapangan dan area depan sekolah. Cowok itu lalu duduk diam dengan kedua kaki diletakkan di ambang jendela. Kedua matanya menatap keluar sementara kedua bibirnya mengisap lalu mengembuskan asap rokok tanpa henti.
Tidak dipedulikannya kesibukan para pedagang di kantin yang mulai menyiapkan dagang
an masing-masing. Sama seperti sikap para pedagang itu, yang tak acuh dengan keberadaan Ari. Karena pemandangan cowok itu membolos saat jam pelajaran memang sudah jadi hal biasa.
"Gerak cepat juga tu anak!" desis Ari, saat teringat ucapan Tari bahwa Angga mengajaknya makan. Tekadnya semula untuk membicarakan hal ini kalau urusannya memang soal hati, sudah batal sejak diketahuinya Tari menyandang dua kata yang baginya sangat sacral.
Cewek itu hanya boleh bersamanya!
Tiba-tiba ponselnya bordering. Nama Oji muncul di layar.
"Ya"" "Cabut, Bos""
"Hm." "Bu Sam nanyain elo tuh." "Bilang gue lagi PMS."
"Oke." Di seberang, Oji menyeringai. "Katanya dia lagi nggak mood belajar, Bu. Soalnya lagi PMS!" lapor Oji dengan suara lantang. Seisi kelas kontan tertawa riuh.
Ari yang bisa mendengar karena Oji sengaja tidak mematikan ponselnya, menyeringai lebar lalu tertawa tanap suara.
Muka Bu Sam langsung jadi kencang. "Di mana dia sekarang"" tanyanya galak. Oji menempelkan lagi ponselnya ke kuping.
" Bos di mana sekarang"" tanyanya.
"Kantin kelas sepuluh."
"Oh," Oji mengangguk lalu menjauhkan ponselnya dari kuping. "Lagi check-up, Bu. Di tempatnya Dokter Boyke. Katanya itunya sakit," Oji menempelkan lagi poselnya ke kuping. "Apanya yang sakit, Bos""
Meskipun yang didengar Oji hanya tawa Ari - yang terdengar jelas dilakukan bersamaan dengan mengisap rokok lalu mengembuskan asapnya - Oji menjabarkannya dengan kata-kata karangannya sendiri.
"Dadanya yang sakit, Bu. Rasanya kayak bengkak gitu. Katanya kalo dipegang-pegang sakit."
"Cara megangnya dong," sela Ridho. "Kalo kenceng-kenceng ya jelas sakitlah. Megangnya yang lembut, pake perasaan."
Oji menyempatkan diri menoleh ke arah Ridho lalu merespons komentar temannya itu bukan hanya dengan sikap yang serius, tapi ekspresi muka yang juga sama.
"Kacau lo, man. Porno lo." Kemudian pandangannya kembali ke Bu Sam. "Sama itunya, Bu. Bagian di bawah pusarnya juga sakit. Maksudnya bagian perut di bawah pusar," Oji meneruskan laporannya, tetap dengan gaya seolah-olah itu laporan ilmiah.
Seketika kelas meledak lagi dalam tawa. Juga Ari yang berada di kantin. Cowok itu sampai menurunkan kedua kakinya, terbahak-bahak sampai badannya membungkuk.
Bu Sam sudah setengah mati menahan marah, tapi beliau tahu tidak ada yang bisa dilakukan karena biang keroknya tidak ada di tempat. Akhirnya guru itu memerintahkan kelas untuk diam, bukan hanya dengan bentakan, tapi juga dengan penghapus whiteboard yang dia hantamkan ke permukaan meja.
"Kita mulai. Jangan buang-buang waktu. Kalian sudah kelas dua belas!" ucapnya dengan nada dingin dan tajam.
Masih dengan sisa-sisa tawa, murid-murid di depannya mulai membuka buku masing-masing. Oji menempelkan ponselnya ke kuping degan gerakan sembunyi-sembunyi.
"Met cabut ya, Bos. Have a nice madol," bisiknya dan langsung ditutupnya telepon.
Ari tersenyum. Tapi begitu Oji menutup telepon, Ari sadar dia lupa menanyakan nomor telepon Tari.
"Goblok!" makinya pada diri sendiri. Akhirnya dia putuskan untuk mendatangi Tari lagi, jam istirahat pertama nanti. Sekaligus untuk mengalahkan skor yang diperoleh Angga. Tari harus makan bersamanya. Bukan menemani, tapi makan sama-sama!
*** Begitu bel istirahat berbunyi, seluruh isi kelas langsung menyerbu Tari. Bak selebriti yang tiba-tiba diterjunkan di tengah massa fanatiknya, teman-temannya mengerumuni dalam bentuk lingkaran rapat dengan Tari sebagai titik pusat. Bak badai suara dalam skala tinggi, semuanya membuka mulut pada saat bersamaan dan mendesak Tari untuk menceritakan isi pembicaraannya dengan Ari tadi pagi.
Tari kebingungan. Soalnya dia nggak tahu boleh cerita atau nggak. Soal dirinya dan Fio dibawa paksa ke SMA Brawijaya, Ari memang sudah tegas-tegas melarangnya untuk cerita. Tapi soal pembicaraan mereka tadi pagi, cowok itu nggak ngomong apa-apa. Jadi mungkin aja dia boleh cerita, tapi bisa jadi juga nggak.
Saat Ari berjalan memasuki kelas Tari, tak seorang pun menyadari kehadiran cowok itu karena perhatian mereka semua sedang tercurah penuh pa
da Tari. Ari mengahampiri kerumunan itu lalu mengetuk-ngetuk punggung cowok yang berdiri paling belakang dengan satu jari. Cowok itu, Andri, menoleh dan seketika terkejut.
"Kak." Andri menganggukkan kepala.
Dengan gerakan dagu, Ari menyuruh Andri menepi. Andri langsung memenuhi perintah itu. Dia segera menyingkir dari depan Ari sambil menyikut Ahmed dan Chiko, dua orang yang berdiri di depannya. Kedua cowok itu bereaksi sama persis dengan Andri. Kaget kemudian menyingkir sambil menyikut orang di depannya.
Gerakan menyikut estafet itu akhirnya menciptakan jalan untuk Ari. Sekaligus juga mengirangi tekanan terhadap Tari, karena setiap anak yang telah menyadari kehadiran Ari langsung mengunci mulut rapat-rapat. Suara yang memaksa Tari untuk bercerita juga jadi berkurang satu demi satu, sampai akhirnya hening. Semuanya diam. Dengan tenang Ari menyeruak kerumunan itu.
"Ada apa nih" Pembagian zakat"" tanyanya dengan nada ringan, berlagak nggak tahu. Tidak ada yang berani menjawab. Cowok itu kemudian mengulurkan tangan kirinya pada Tari dengan posisi kelima jarinya terbuka.
"Makan yuk!" Bukan cuma Tari yang terpana mendengar ajakan Ari itu, juga semua teman sekelasnya. Cewek itu menatap tangan yang terulur di depannya. Ari berdecak tak sabar.
"Cepetan. Gue udah laper nih."
Dia gerakkan kelima jarinya yang sejak tadi terbuka lebar-lebar, meminta Tari segera menyambut uluran tangannya itu. Tapi karena cewek itu tetap terdiam, akhirnya Ari meraih satu tangan Tari. Dengan paksa ditariknya cewek itu sampai berdiri.
"Elo tuh reaksinya emang suka lambat ya"" katanya sambil menarik Tari ke arah pintu.
Diiringi seluruh temansekelasnya yang menatap ternganga, Tari dibawa Ari ke luar kelas. Cewek itu berjalan dengan wajah sedikit menunduk. Bukan cuma teman-teman sekelasnya yang shock, tapi juga seluruh siswa kelas sepuluh yang menyaksikan adegan itu.
Banyak dari mereka yang bahkan tidak mampu menyembunyikan kekagetan itu dan menatap keduanya dengan mulut ternganga!
Kenapa sih pake gandeng-gandeng segala" Keluh Tari dalam hati. Dia jalan berdua Ari aja udah menciptakan kegemparan, masih tambah digandeng pula. Di depan temen-temen sekelas sih masih nggak apa-apa. Tapi kalo di depan seluruh murid kelas sepuluh begini, Tari nggak bisa membayangkan dia mesti gimana nanti. Pasti bakalan terus diperhatiin dan bisa jadi bakalan ditanya-tanyain.
Kemudian Tari berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Ari, tapi malah menyebabkan cowok itu menguatkan cengkeraman jari-jarinya di pergelangan Tari.
"Nggak usah gandengan deh, Kak," akhirnya Tari menggunakan cara verbal.
"Emang kenapa sih" Santai ajalah." Ari merespons kegelisahan Tari dengan sikap santai. "Harusnya lo bersyukur. Banyak cewek yang berharap bisa kayak gini. Digandeng sama gue. Dan elo jadi yang pertama." Cowok itu menoleh. Dikedipkannya satu matanya sambil tersenyum.
Tari jadi makin kesal mendengar kalimta itu. Lo sadar pesona, terserah deh. Tapi nasib gue niiiiihhh! Cewek itu menjerit dalam hati.
"Lagipula kalo nggak gue gandeng, ntar lo pasti bakaalan kabur. Iya, kan"" Ari melirknya sekilas. Tari nggak menjawab, tapi dalam hati membenarkan kalimat itu.
Begitu memasuki kantin, suasana yang sama langsung menyambut kedatangan keduanya. Muka-muak kaget dan terpana seketika memenuhi seluruh ruangan kantin. Banyak dari mereka bahkan sampai berhenti makan saking nggak percayanya dengan pemandangan itu.
"Lo mau makan apa"" Ari menoleh dan menatap Tari.
"Eeeemmm...." Tari memandang deretan penjual makanan di depannya. Bukannya bingung, tapi dia sedang menentukan makanan apa yang bisa dihabiskannya dalam waktu cepat. Jadi dia juga bisa cepat pergi dari sini. Tetapi, nervous dan rasa tak nyaman karena terus menjadi fokus tatapan semua orang membuat Tari akhirnya memutuskan untuk nggak makan. Selain itu, perutnya juga jadi nggak lapar.
"Nggak usah deh, Kak. Saya minum aja."
"Oh, nggak bisa. Lo harus makan," tandas Ari.
"Kok"" "Pokoknya lo harus makan!" Ari nggak ingin menjelaskan. "Gue yang mesenin kalo lo lagi nggak punya p
ilihan." Pilihan cowok itu jatuhpada siomay, soalnya sebenarnya dia juga lagi nggak mood makan dan dilihatnya Tari juga sama. Lagipula, ini cuma usahanya untuk melalmpaui skor yang diperoleh Angga.
Setelah memesan dua porsi siomay dan dua gelas es jeruk, Ari menggandeng Tari ke salah satu bangku panjang dari enam belas bangku yang ada, yang mengapit delapan meja. Diperintahkannya para siswa kelas sepuluh yang sudah lebih dulu menduduki bangku itu untuk bergeser. Perintahnya langsung dipatuhi tanpa protes sedikit pun. Seorang cowok bahkan harus pindah ke bangku lain supaya Ari bisa duduk.
Sementara menunggu pesanan mereka datang, Ari ingat tujuannya kembali mencari Tari, selain untuk melampaui progress yang dicapai Angga. Dikeluarkannya ponselnya dari saku celana.
"Berapa nomor HP lo"" tanyanya dengan suara pelan, karena meskipun sibuk dengan makanan masing-masing, bisa dipastikan perhatian seisi kantin tetap terarah pada mereka berdua.
Dengan perasaan enggan tapi nggak berani nolak, Tari menyebutkan nomor ponselnya. Begitu angka terakhir ter-input, Ari langsung menekan tombol kontak. Seketika I Can, satu lagu lama milik NAS, terdengar dari saku kemeja seragam Tari. Cewek itu mengeluarkan poselnya.
"Itu nomor gue," kata Ari sambil mengetikkan nama Tari. Kemudian dia masukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. "Tau nama gue, kan"" tanyanya. Tari mengangguk. "Nomor gue di-save dong. Kok dicuekin""
Sambil menahan-nahan kesabaran, Tari memencet "save" dan mengetikkan kata "Kak Ari" untuk nomor yang muncul di layar ponselnya itu.
"Cuma sepotong itu ya, yang lo tau"" Ari tertawa mendengus. Tari menatapnya.
"Emang nama lengkap Kakak siapa""
"Ntar aja gue kasih tau. Sekarang makan dulu."
Pesanan mereka memang sudah datang. Tari makan dengan lambat. Selain perutnay mendadak kenyang saat Ari muncul kembali di kelasnya tadi lalu menyeretnya ke sini, juga karena Tari bisa merasakan mereka berdua tetap menjadi pusat perhatian seisi kantin. Beberapa pasang mata malah menatap terang-terangan, sedangkan yang lainnya sebentar-sebentar melirik sekilas dan diam-diam.
"Nggak usah nervous gitu. Lo aman sama gue," bisik Ari santai.
Lo enak ngomong gitu. Gue nih! Gerutu Tari dalam hati. Sudah terbayang di matanya, dirinya bakal dibombardir pertanyaan dari teman-teman sekelasnya. Yang pasti, mereka makin nggak sabar dan makin penasaran karena tadi Tari belum sempat membuka mulut sama sekali. Bahkan bisa jadi anak-anak dari kelas lain bakal ikut-ikutan.
"Lo lahir pagi atau sore"" tanya Ari sambil menyuapkan potongan siomay ke mulut.
"Sore." Ari mengangguk-angguk. Nggak terlalu kaget. Dia sudah mengira cewek ini pasti lahir pada sore hari, saat matahari akan tenggelam. Hanya pada saat itulah matahari dam langit yang melingkupinya benar-benar berwarna jingga.
Diliriknya Tari. Cewek itu sedang mendorong piring siomaynya yang masih terisi setengah ke tengah meja, kemudian meraih gelas es jeruknya. Ditunggunya sampai cewek itu menghabiskan separuh minumannya, sekaligus menunggu sampai suasana kantin agak sepi. Lima menit lagi bel berbunyi. Meskipun masih sangat penasaran, mau nggak mau para siswa kelas sepuluh itu harus meninggalkan kantin dan kembali ke kelas masing-masing.
"Lo percaya nggak kalo gue bilang kita berdua kayak benda dan bayangan" Lo bayangan gue dan gue bayangan elo," ucap Ari pelan, mulai mengatakan bagian prolog untuk menyiapkan cewek di sebelahnya itu.
"Maksud Kakak"" Tari menoleh dan menatap Ari dengan kening berkerut.
"Gue lahirnya juga sore."
"Oh ya"" Tari mengangkat kedua alisnya. Tapi tidak terlalu terkesan, karena banyak orang yang lahir pada sore hari. Jadi persamaan itu bukan sesuatu yang istimewa.
"Iya," Ari mengangguk. "Gua juga lahir pas matahari terbenam. Sama kayak elo." Baru perhatian Tari mulai tercurah.
"Bener-bener pas matahari mau terbenam"" tanyanya memastikan.
"Iya!" Ari menganggu tegas. Ditatapnya cewek itu tepat di manik mata. "Dan elo tau siapa nama lengkap gue""
Tari menggeleng. Entah kenapa kedua mata itu seperti menguncinya. Mem
buatnya tidak mampu berpaling ke arah lain. Ari tidak langsung menjawab. Ketika kemudian kedua bibirnya terbuka, suaranya terdengar seperti datang dari tempat yang sangat jauh.
"Matahari Senja!"
Tari terenyak. Kedua matanya terbelalak menatap Ari. "Nggak mungkin!" desisnya dengan suara tercekat.
Ari hanya bals menatapnya. Tanpa bicara apa-apa. Karena itu memang fakta. Mereka berdua sama-sama lahir pada saat matahari sedang tenggelam. Dan sama-sama menyandang nama benda langit pusat tata surya itu.
Matahari dan Matahari! Ari melakukan kesalahan di langkah pertamanya. Terlalu memaksa. Fakta bahwa mereka menyandang nama yang sama sudah membuat Tari shock. Dan apa yang dikatakan cowok itu selanjutnya membuat Tari lebih shock lagi.
Bel masuk sudah berbunyi, tapi cowok itu masih menahannya di kantin. Sengaja menunggu sampai ruangan kantin benar-benar kosong, untuk menegaskan kembali ucapannya. Bahwa mereka dipertemukan bukan karena satu kebetulan. Bahwa dia dan Tari adalah benda dan bayangan untuk satu sama lain. Karena itu Ari meminta, dengan nada yang bagi Tari lebih tepat terdengar memaksa, untuk menolak tawaran dari cowok mana pun yang ingin mengajaknya makan, atau ajakan apa pun yang sifatnya pedekate.
Secara spesifik Ari memang tdiak menyebut nama Angga, namun dengan kemunculan Ari di kelas Tari yang mencapai jumlah tiga kali dalam waktu cuma dua hari, ditambah cowok itu menggandengnya dengan demonstrasif di depan begitu banyak mata, sudah tertutup kemungkinan bagi Tari untuk bisa dapat cowok dari lingkungan satu sekolah.
Sepuluh menit setelah bel berbunyi, Ari mengantar Tari ke kelas, untuk menjelaskan pada guru yang sedang mengajar bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab atas keterlambatan Tari masuk kelas.
Perjalanan singkat dari kantin ke kelas ditempuh Tari dalam kondisi setengah sadar. Kepalanya penuh dengan kata-kata cowok yang berjalan di sebelahnya itu. Bahwa mereka berdua adalah bayangan untuk satu sama lain! Dan karenanya dia harus menolak cowok mana pun yang mau pedekate.
Itu tadi nembak atau apa sih"
Sialnya, begitu sampai kelas, lagi-lagi Bu Pur yang sedang mengajar. Begitu Ari pergi, tentu saja setelah cowok itu sesaat menggoda sang guru, langsung Tari mendapatkan teguran keras. Kalau sebelumnya Bu Pur memanggilnya ke ruang guru agar pembicaraan itu hanya jadi rahasia mereka, kali ini Bu Pur melakukannya terang-terangan di depan kelas.
Dengan kepala agak tertunduk dan muka merah padam menahan malu, Tari mendengarkan rentetan kalimat keras Bu Pur yang juga bisa didengar seluruh isi kelas itu. Itulah kejadian yang menjadi awal timbulnya rasa tidak suka Tari terhadap Ari.
Begitu bel istirahat kedua berbunyi, kejadian yang sama persis seperti waktu istirahat pertama terulang. Tari dikerubungi seisi kelas dan langsung dibombardir pertanyaan. Tapi kali ini ia tahu, Ari nggak mungkin nongol lagi. Jadi ia nggak bisa mengelak dan terpaksa menceritakan sebagian isi pembicaraannya dengan cowok itu.
Saat dikatakannya bahwa nama lengkap Ari adalah Matahari Senja, semuanya kontan berseru kaget. Dan semuanya kompak, sependapat, bahwa Tari dan Ari jangan-jangan jodoh. Soulmate.
Soalnya punya nama yang sama. Apalagi kalau ingat mereka pernah dua kali dipertemukan oleh ketidaksengajaan.
Pendapat teman-temannya itu seperti bentuk lain dari apa yang dikatakan Ari tapi tidak diceritakan Tari pada mereka. Benda dan bayangan.
Di luar dugaan Tari, teman-teman sekelasnya menyambut berita itu dengan girang. Nggak cewek nggak cowok, karena itu berarti mereka bisa minta perlindungan Ari - lewat Tari tentunya- kalau nanti mereka kena gencet anak kelas sebelas apalagi kelas dua belas. Begitu ceritanya selesai, Tari langsung mendapatkan ucapan selamat.
"Orang dia cuma ngasih tau kalo nama kami tuh sama kok," ucap Tari dengan nada lelah campur kesal, karena azas manfaat yang diperlihatkan terang-terangan itu.
"Itu namanya pedekate, Oneng!" kata Christian. "Udah, terima aja. Soalnya kalo nggak, sekelas bisa bonyok nih."
"Iya ya" Bener juga. Iya, Tar. Terima aja." Nyoman menganggu
k-angguk, baru menyadari kebenaran kalimat Christian itu. Yang lain juga setuju.
"Jadi, daripada yang bonyok satu kelas, mending gue sendiri aja yang jadi korban, gitu ya"" Tari memandang teman-teman sekelasnya dengan dongkol.
"Ya iyalaah!" mereka menjawab kompak, kemudian ketawa geli.
"Masa pacaran bisa bikin lo bonyok sih" Kecuali kalo lo selingkuh," kata Maya.
"Udah, Tar. Terima aja. Demi keamanan dan keselamatan kelas kita," putus Renanta, sang ketua kelas. Mendengar itu, Tari jadi makin sebel sama Ari.
*** Sampai malam, Tari masih kacau. PR dan tuags yang bejibun jadi terbengkalai, bahkan bisa dibilangterlupakan. Lewat telepon akhirnya dia ceritakan semuanya kepada Fio. Teman semejanya itu kontan kaget.
"Dia nembak elo, Tar. Udah nggak salah lagi."
"Trus, gue mesti gimana dong"" tanya Tari cemas.
"Yah. kalo gitu ceritanya sih, ya udah. Apa boleh buat""
"Yaaah," Tari langsung lemas. "Elo kok ngomongnya sama kayak temen-temen sekelas gitu sih""
"Abis kalo storinya udah gitu, kayaknya emang nggak ada jalan lain, Tar."
"Tapi gue nggak mau pacaran sama dia. Serem, tau."
"Tapi dulu kan lo suka sama dia" Sempet suka, maksud gue."
"Dulu pas upacara itu" Waktu itu kan gue belom tau kalo dia itu yang namanya Ari. Malah kita semua belum tau."
"Tapi waktu lo diselametin Ari pas kejebak tawuran itu, yang lo dianterin sampe kelas, lo bilang lo ngeras dia itu sebenarnya baik. Inget, nggak" Berarti kan sebenernya lo suka sama dia""
"Itu gue ngomong dengan kapasitas orang yang kayaknya nggak mungkin bisa pacaran sama dia. Ngerti kan lo" Sama kayak elo gitu deh, Fi. Lo naksir Thomas, ketua OSIS. Tapi lo ngerasa kayaknya nggak mungkin bisa jadian sama dia. Jangankan jadian, bisa deket aja kayaknya nggak mungkin. Iya, kan" Gue masih inget kok lo pernah ngomong gitu."
"Hehehehe, iya sih," di seberang, Fio ketawa malu.
"Lagian sekarang gue jadi sebel sama dia, gara-gara ngeliat dia godain Bu Pur. Bener-bener tu orang, nggak tau sopan santunnya parah banget."
"Iya emang," fio setuju. "Jadi rencana lo gimana""
"Belom tau. Bingung..." Tari menghela napas. "Yang jelas, nggak mau deh pacaran sama dia. Nggak banget!"
Tiba-tiba terdengar nada sela.
"Bentar, Fi. Ada telepon masuk." Tari menjauhkan ponselnya dari telinga. Nama Angga muncul di layar. Dia dekatkan lagi ponselnya ke telinga. "Dari Angga. Udah dulu ya, Fi."
"He-eh. Kalo ada apa-apa, cerita ya."
"Iya. Daah!" diputuskannya hubungan telepon dengan Fio dan langsung diangkatnya panggilan Angga. "Ya, halo""
"Sibuk banget kayaknya ya" Lagi online sama siapa" Pasti cowok." Kalimat yang sebenarnya bermaksud menyelidik itu diungkapkan Angga dengan nada menggoda yang manis. Yang memang sengaja dia gunakan untuk menyamarkan.
"Nggak. Sama Fio."
"Oh, kirain sama cowok. Syukur deh. Gue nggak jadi patah hati."
"Ha"" "Udah makan""
"Nggak, tadi itu maksudnya apa sih"" tanya Tari. Keningnya sudah mengerut rapat.
"Kalimta tadi" Ya begitu," ucap Angga. Suaranya mendadak melembut. "Udah makan belom""
"Ng. udah belom ya" Udah deh kayaknya."
"Kok kayaknya"" di seberang Angga mengerutkan kedua alisnya.
Dan kekacauan Tari yang tadi sudah langsung bisa dirasakan Angga lewat suara kini bisa ditangkapnya dengan jelas lewat kata-kata.
"Elo kenapa, Tar" Kok kayaknya kacau banget""
"Nggak. Nggak pa-pa."
Meskipun tak ada pengakuan yang keluar, Angga sudah bisa menduga Ari-lah pangkal penyebabnya. Tapi Angga tidak bertanya apa-apa. Seperti Ari sama sekali tidak menyinggung nama Angga, Angga juga melakukan hal yang sama. Cowok itu tidak menyinggung nama Ari sama sekali. Namun keduanya tahu dengan paati, siapa lawan masing-masing.
"Minum teh manis anget gih. Biar tenang," saran Angga. Suara lembutnya begitu sarat perhatian.
"Iya, ntar. Ada apa lo telepon""
"Nggak ada apa-apa. Emangnya harus ada apa-apa dulu ya, baru boleh telepon""
Tari tertawa pelan, jadi merasa nggak enak. "Ya nggak juga sih. Tapi nggak mungkin nggak ada maksud deh."
Ganti Angga tertawa pelan. "Lo itu ternyata cerdas ya""
" Itu mah cewek bego juga tau, lagi."
Kali ini tawa pelan Angga berkembang menjadi tawa geli.
"Besok pagi lo gue jemput ya, Tar." Gue anter sampe sekolah."
Tari tercengang. "Lo gila ya" Lo bisa bonyok, tau!"
"Nggak sampe depan sekolah. Gue juga tau itu sama aja nganter nyawa. Sampe halte aja. Oke" Besok lo gue jemput jam enam kurang. Sampe ketemu besok ya" Bye."
Dan telepon langsung ditutup. Angga sengaja tidak member Tari kesempatan untuk menolak ajakannya. Tari ternganga, masih dengan ponsel menempel di satu telinganya.
Tari langsung teringat percakapan awalnya dengan Angga tadi. Cowok itu bilang nggak jadi patah hati karena ternyata Tari lagi online sama Fio dan bukannya sama cowok.
Itu tadi nembak atau apa sih" Tari mengetuk-ngetukkan ponselnya ke kepala. Bingung, sekaligus cemas.
"Telepon Fio deh," desahnya dan buru-buru dikontaknya teman semejanya itu. "Iya. Itu dia nembaaaaak!" Fio langsung memekik begitu tari menceritakan.
"Wah, ini gawat, Tar!"
"Iya, gue tau. Jadi gimana dong"" pertanyaan Tari itu tidak terjawab. Fio juga bingung.
"Ya udah. Liat gimana perkembangannya aja nanti." Akhirnya cuma itu yang bisa diusulkan Fio. Keduanya kemudian mengakhiri pembicaraan.
"Hari ini kok kacau banget sih"" desis Tari, sambil mati-matian berusaha berkonsentrasi mengerjakan PR. Akhirnya cewek itu jatuh tertidur. Dengan kepala menelungkup di atas meja dan PR yang tidak selesai.
*** Angga datang jam enam kurang sepuluh. Tari yang mengetahui kedatangan cowok itu lewat panggilan mamanya segera membenahi buku-bukunya. Gara-gara semalam ketiduran, PR-nya jadi nggak selesai. Terpaksa dia bangun sebelum subuh.
"Itu cowok yang waktu itu sore-sore nganterin kamu"" Mama langsung menyambut dengan pertanyaan begitu Tari keluar kamar. Ada tatapan ingin tahu di kedua mata Mama.
"Iya. Dia mau nganter Tari sampe sekolah." Tari mengangguk. "Tari berangkat ya, Ma," pamitnya sambil berjalan menuju pintu depan.
"Ati-ati di jalan, bilang sama cowok itu."
"Iya." Begitu Tari muncul di pintu, Angga yang duduk di atas jok motornya yang diparkir di luar pagar langsung menyambutnya dengan senyum.
"Udah baikan"" tanyanya begitu Tari sudah berada di depannya.
Tari mengerutkan kening. "Maksudnya""
"Semalem lo kacau banget."
"Ooh." Tari tersenyum. "Udah."
"Udah sarapan""
"Udah." "Tidurnya semalem cukup""
"Apaan sih lo" Norak, tau." Tari jadi jengah dengan rentetan pertanyaan Angga yang sarat perhatian itu. Cewek itu tidak mampu mencegah rona merah menjalari kedua pipinya. Angga menatap rona merah itu. Dia kedipkan satu matanya.
"Yuk." Angga mengulurkan helm dan jaket pada Tari, lalu menstater motornya. Saat itulah Tari menyadari Angga tidak mengenakan seragam. Cowok itu memakai celana jins biru, dan dari risleting jaketnya yang terbuka di bagian atasnya Tari bisa melihat T-shirt putih di baliknya.
"Lo nggak pake seragam"" tanyanya heran.
"Gampang. Tinggal ganti di toilet sekolah," Angga menjawab ringan. "Yuk. Udah jam enam lewat nih."
Tari buru-buru mengenakan jaket dan helm yang diulurkan Angga.
"Duduknya jangan nyamping ya, Non."
"Udah tau. Biar lo nggak kayak lagi boncengin emak lo, kan""
Angga menyeringai. "Bukan. Biar gue nggak dikira tukang ojek."
Tari tergelak. Disingsingkannya rok panjangnya, kemudian duduk di belakang Angga.
"Udah"" Angga menatapnya lewat spion.
"Yap!" "Oke. Pegangan ya."
Keduanya membelah lalu lintas pagi Jakarta yang mulai padat. Sepanjang jalan Angga sengaja mengajak Tari ngobrol, membuat Tari merasa nyaman hingga tidak menyadari Angga tidak menepati janjinya yang katanya hanya mengantar sampai di halte.
Pengamatan yang selalu dilakukan sebelum melakukan penyerangan membuat Angga tahu kebiasaan Ari. Cowok itu sering menuggu bel masuk dengan duduk-duduk di tepi lapangan futsal yang dinaungi pohon, di area depan sekolahnya.


Jingga Dan Senja Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tari terpengarah ketika Angga menghentikan motornya tepat di depan sekolah, kira-kira lima belas meter dari pintu gerbang.
"Gila lo, di depan sekolah!" bisiknya tegang.
"Makanya gue ng gak bisa lama-lama." Angga mengangkat kaca helmnya, balas berbisik tapi dengan nada santai.
Tari buru-buru turun. Cepat-cepat ia melepaskan helm dan jaket Angga yang dipakainya, lalu mengembalikannya kepada sang pemilik.
"Thanks ya," ujarnya.
"Oke. Cepet masuk sana!"
"Elo yang cepet pergi sana!"
Angga ketawa geli. "Oke deh. Sampe ketemu ya." Cowok itu menurunkan kembali kaca helmnya lalu langsung tancap gas.
Emang nggak perlu lama-lama. Seperti dugaan Angga, Ari sedang duduk di tepi lapangan futsal bersama teman-temannya. Dan keberadaan Angga tepat di depan sekolah, meskipun cuma tiga puluh detik, jelas tertangkap kedua matanya.
Tanpa seragam dan dengan kepala terbugkus helm membuat tak seorang pun siswa SMA Airlangga menyadari kehadiran pentolan SMA musuh bebuyutan sekolah mereka itu.
Hanya Ari. Pertama karena Tari, kedua karena kedua mata Angga terarah tepat padanya. Ari sangat hafal bentuk kedua mata itu dan sorot khasnya. Dan tindakan Angga itu membuat Ari tecengang. Benar-benar di luar dugaannya cowok itu berani mengantar Tari sampai di depan sekolah.
Dengan geram Ari bangkit berdiri. Dengan langkah-langkah cepat dia berjalan ke arah pintu gerbang lalu berdiri dengan punggung bersandar di dinding pos sekuriti. Sementara itu sesaat setelah Ari meninggalkan teman-temannya, Tari berjalan kea rah pintu gerbang dengan langkah-langkah cepat. Lewat sela-sela jeruji pagar, diawasinya tepi lapangan futsal tempat Ari biasa duduk. Ketika dilihatnya cowok itu, Tari menarik napas panjang-panjang.
"Fiuuuuh, aman! Aman...!" desahnya lega. Seketika langkah-langkahnya jadi melambat.
"Dianter siapa tadi""
Tari nyaris saja melompat. Kaget karena tiba-tiba saja Ari sudah ada di depannya, sesaat begitu dilewatinya ambang gerbang sekolah. Sontak cewek itu memucat. Bukan saja karena kaget, tapi juga karena orang yang paling ingin dihindarinya ternyata malah muncul tepat di depan mata.
"Angga"" Ari menjawab sendiri pertanyaannya.
"Emmm, iya," Tari menjawab dengan suara pelan. Kedua matanya yang sempat menatap Ari buru-buru dia alohkan ke tempat lain. Ngeri melihat tatapan tajam Ari yang terarah lurus-lurus padanya.
"Lupa yang gue bilang di kantin, kemaren""
"Dia yang jemput ke rumah kok."
"Bisa lo tolak, kan""
"Nggak ada alasannya."
"Kan gue udah bilang di kantin kemaren. Lupa"" Ari mengulang kalimatnya. Sekarang sambil dia tundukkan kepalanya rendah-rendah. Tari serentak mundur. Mukanya bersemu merah.
"Maksudnya, nggak ada alasan yang pas buat nolak dia. Gitu lho," kilah Tari, lalu buru-buru kabur.
Ari menatap Tari yang berjalan menjauh dengan langkah-langkah cepat. Dia sudah tahu , pasti Angga yang mengambil inisiatif. Tapi keduanya terlihat akrab. Untuk peretmuan yang baru terjadi dua kali, dengan setting yang juga jauh dari manis apalagi romantic, kemajuan yang dicapai Angga cukup mengejutkan. Sekali lagi cowok itu mendahului langkahnya!
Tubuh Ari menegang. Mendadak saja dia dicekam ketakutan. Seketika dikejarnya Tari. Tari kaget saat tiba-tiba satu tangannya ditarik dari belakang.
"Sekarang gue kasih lo alasan yang pas!" Ari langsung menyambutnya dengan satu kalimat tandas.
"Eh!" Eh!" Kakak apa-apaan sih!"" Tari berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Ari. Tapi itu justru membuat Ari mengetatkan cekalan kelima jarinya di pergelangan tangan Tari. Tari memucat ketika tahu ke mana Ari tengah menyeretnya. Area kelas dua belas!
"Kak Ari, lepas!"
Sekuat tenaga Tari menarik tangannya yang berada dalam genggaman Ari, sementara kelima kuku dari tangannya yang bebas dia tancapkan dalam-dalam ke dalam lengan Ari. Tapi itu justru membuat Ari jadi semakin marah. Ditariknya Tari dengan sentakan keras. Sampai tubuh cewek itu membentur tubuhnya.
"Brenti berontak, kalo lo nggak mau gue jadi kasar!" desisnya. Tari langsung kooperatif. Bukan saja karena sepasang mata nyalang Ari membuat nyalinya ciut, juga karena mereka sudah menaiki tangga menuju lantai dua gedung selatan, tempat kelas-kelas dua belas berada.
Kalau sebelumnya kegemparan itu terjadi di area kelas se
puluh, merembet ke area kelas sebelas dalam bentuk berita dan laporan heboh beberapa saksi mata, kemudian sampai di area kelas dua belas dalam bentuk laporan tanpa saksi mata, kini kegemparan itu terjadi langsung di area kelas dua belas.
Dan kegemparan yang terjadi di area angkatan dengan hierarki tertinggi itu jelas lebih hebat daripada yang terjadi di area kelas sepuluh. Karena kelas dua belas adalah angkatan yang paling mengenal Ari.
Mereka tahu dengan pasti kosongnya "tempat" di sebelah Ari selama ini. Karena itu munculnya sang pentolan sekolah itu dengan seorang cewek yang digandengnya erat-erat jelas menimbulkan kegemparan lebih dari sekadar tatap-tatap terkesima dan mulut-mulut ternganga seperti yang terjadi di area kelas sepuluh.
Begitu memasuki kelas dua belas, sebagian dari tatap-tatap terkesima dan mulut-mulut ternganga kemudian mengekor di belakang keduanya. Tidak tidak diam di tempat seperti yang terjadi di area kelas sepuluh.
Lama-lama jumlah pengekor semakin banyak dan keduanya jadi terlihat seperti sepasang pengantin yang sedang diiringi sanak keluarga dan orang sekampung. Yang mengiringi bukan hanya dengan rasa ingin tahu, tapi juga berondongan pertanyaan dan komentar.
"Siapa, Ar" Siapa" Kenalin dong!" teriak satu suara.
"Cewek lo, Ar" Akhirnya! Gue kirain lo homo!" satu suara lain melengking keras.
"Anak sekolah kita juga"" satu suara lain menyeruak dari dengungan.
"Ya iyalah. Liat badgenya dong. Goblok banget lo nanyanya," lontaran pertanyaan itu langsung mendapatkan jawaban.
Sementara itu, di sebelah Ari, Tari melangkah seperti dalam mimpi. Riuhnya suasana yang mengelilingi mereka membuatnya tak lagi mampu mencerna apa yang tengah terjadi. Di samping itu, di antara tatap-tatap ingin tahu yang tidak bersuara, dia menemuka sorot iri, benci, bahkan kemarahan. Satu hal yang bisa dia sadari, mulai saat ini hari-harinya ke depan bisa dipastikan bakalan runyam dan banyak masalah.
Rombongan pengiring it uterus mengikuti Ari menggandeng Tari masuk ke kelasnya. Dibawanya cewek itu ke bangku Oji, yang hari ini nggak masuk. Setelah itu ditariknya bangkunya sendiri, rapat di sebelah bangku Oji yang kini diduduki Tari. Kemudian Ari duduk dan merentangkan kedua tangannya. Satu dai letakkan di puncak sandaran kursi yang diduduki Tari, satu di meja depan cewek itu. Dia sangat menyadari takut yang dirasakan Tari. Karena begitu memasuki area kelas dua belas, cewek itu berhenti berontak dan tidak lagi mengeluarkan suara.
Ari sengaja bersikap ambigu. Proteksi sekaligus unjuk kekuasaan. Lo aman di sebelah gue, karena gue berkuasa!
Pak Yusuf, guru Bahasa Indonesia yang mengajar di jam pertama, memasuki kelas dengan kening berkerut karena ruangan itu sudah seperti tempat penampungan yang memuat terlalu banyak pengungsi.
"Ada apa ini!"" serunya sambil mengetuk-ngetuk whiteboard dengan spidol keras-keras. Seisi ruangan menoleh kaget. "Cepat ke kelas masing-masing. Sudah bel!"
Para pengiring Ari dan Tari kontan bubar. Begitu yang tersisa tinggal penghuni asli kelas XII IPA 3, Pak Yusuf langsung menyadari adanya pendatang baru. Bukan karena dia hafal isi kelas itu, tapi karena Tari telihat takut dan canggung berada di antara orang-orang yang tidak dikenalnya.
"Kamu bukan siswa kelas ini, kan"" tanyanya.
"Bukan, Pak," jawab Tari pelan disertai gelengan kepala. Gelengan kepala itulah yang membuat Pak Yusuf tahu, karena suara Tari sama sekali tidak terdengar olehnya.
"Kamu kelas berapa""
Duh! Tari mengeluh dalam hati. Kenapa pake nanya gue kelas berapa sih" Suruh aja gue pergi dari sini! Jeritnya dalam hati. Meskipun sejak tadi dirinya sudah jadi pusat perhatian, hadirnya Pak Yusuf dan mata seisi kelas yang terarah padanya membuat Tari merasa kehadiran guru itu sama sekali tidak berguna.
"Bapak nanya saya aja. Saya tau kok dia kelas berapa," Ari menawarkan diri. Pak Yusuf tidak mengacuhkan. Kedua matanya tetap tertuju pada Tari.
"Kelas berapa kamu"" ulangnya.
"Sepuluh sembilan, Pak," jawab Tari setelah menghela napas diam-diam.
"Berapa"" Pak Yusuf menyipitkan kedua m
atanya. Tidak bisa mendengar suara Tari saking lirhnya.
"Sepuluh sembilan!" Ari yang menjawab, dengan suara lantang dan sambil melirik cewek di sebelahnya itu. "Udah saya bilangin, Bapak nanya sama saya aja. Ni cewek suaranya allus banget, Pak. Saya aja yang di sebelahnya nggak denger."
"OOOH, KELAS SEPULUH SEMBILAAAAN!!!" seisi kelas membeo dalam bentuk koor yang kompak dan nyaring.
"Nama kamu"" tanya Pak Yusuf lagi.
"Jingga Matahari, Pak!" lagi-lagi Ari yang menjawab. Begitu Ari menyebutkan nama lengkap Tari, kontan ruangan kelas jadi sunyi senyap. Tapi hanya sesaat. Kemudian suasana berubah riuh. Semua membicarakan persamaan nama dua orang yang duduk bersebelahan itu. Heran. Takjub.
Pak Yusuf mengetuk-ngetuk meja dengan penghapus whiteboard keras-keras. Memerintahkan kelas agar tenang. Tapi belum sempat beliau bicara, Eki sudah menyerukan usulan agar hari ini mereka bebas, nggak belajar.
"Pak, hari ini nggak usah belajar deh. Kita merayakan bertemunya dua Matahari ini."
"SETUJU! SETUJUUU!!!" seisi kelas langsung menyambut dengan gegap-gempita.
"Terus kenapa kalau mereka punya nama yang sama"" tanya Pak Yusuf dengan nada dingin.
"Ya kan orang yang namanya Matahari itu jarang banget, Pak. Seumur hidup malah baru ini saya punya temen namanya Matahari. Kalo nama Bapak, Yusuf, buanyak buanget, Pak. Coba deh Bapak pergi ke pasar, terus teriak manggil nama sendiri. Ada kali lima puluh orang ikutan nengok juga, Pak."
Ucapan Eki membuat seisi kelas ketawa geli.
"Kurang ajar lo sama orang tua, Ki. Dosa, tau!" kata Ical.
Eki buru-buru berkilah. "Bukan begitu, Pak," katanya sambil tersenyum sumir. "Maksud saya, nama 'Matahari' itu superlangka. Jadi bertemunya dua 'Matahari' jelas peristiwa yang juga sangat langka. Berarti ini suratan takdir. Kehendak dari Sang Maha Pemberi Hidup yang bertakhta di keabadian untuk mempertemukan kedua insan ini, Pak. Makanya perlu dirayakan." Eki menoleh ke Ical lalu meringis. "Keren banget kan kata-kata gue""
"Iya. Gila, lo Gibran banget, man. Nggak nyangka." Ical geleng-geleng kepala sambil mendecakkan lidah dan mengacungkan kedua ibu jarinya.
Kembali kelasriuh dipenuhi tawa-tawa geli. Pak Yufuf menatap Eki dan Ical dengan pandangan dingin, lalu perhatiannya kembali ke Tari.
"Kenapa kau ada disini""
"Saya yang bawa dia kesini, Pak," ucap Ari dengan gaya khasnya apabila sedang melakukan penentangan. Tenang, lugas, tandas.
Pak Yusuf jadi semakin kesal. Kemungkinan besar dia akan semakin banyak kehilangan waktu mengajarnya, karena lagi-lagi Ari membuat ulah.
"Kembali ke kelas kamu. Cepat!" perintahnya. Dengan lega Tari berdiri. Akhirnya dirinya bebas juga. Tapi Ari langsung mencekal pergelangan tangan Tari dan menariknya sampai cewek itu jatuh terduduk di sebelahnya lagi.
"Oji nggak masuk, Pak. Makanya dia saya ajak ke sini. Semuanya pada punya pasangan, masa saya sendirian" Kan nggak adil. Lagipula, hari ini mnedung. Kayaknya bakalan hujan deras.
Sendirian, pas dingin-dingin, terus di tengah pasangan-pasangan. Sumpah, itu rasanya merana banget, Pak."
"Ya udah. Gue duduk sama elo deh," Ridho menawarkan diri.
Ari menoleh lalu menatapnya sambil menggelengkan kepala. "Poligami, oke. Tapi kalo homo-homoan, mending gue sama satu orang aja deh. Cukup si Oji aja, man. Too much love will kill you," ucap Ari kalem. Seisi kelas kontan tertawa riuh.
Di saat Pak Yusuf berpikir keras bagaimana caranya menyelesaikan masalah di depannya, karena Ari sudah terkenal semakin dikerasii akan semakin frontal, tiba-tiba Bu Sam muncul di pintu kelas. Rupanya Fio sempat melihat saat Tari dibawa Ari dengan paksa. Dan ketika teman semejanya itu tidak muncul-muncul juga, Fio langsung melapor pada wali kelas mereka, Bu Pur. Bu Pur otomatis melaporkan peristiwa itu pada wali kelas Ari, Bu Sam.
Bu Sam, yang selalu meras telah terkena kutukan setiap kali teringat dirinya menjadi wali kelas Ari, langsung berjalan menuju kelas XII IPA 3 dengan langkah lebar dan roman muka kesal. Setelah mengangguk ke arah rekan sejawatnya, Pak Yusuf, Bu Sam langsung melayangkan p
andangannya pada Tari. "Kamu Tari""
"Iya Bu." Tari mengangguk, kembali terlihat lega. "Kembali ke kelas kamu. Sekarang!"
Tari langsung berdiri dan bergegas keluar. Tak lama kemudian suara langkah-langkah kebebasannya di sepanjang koridor menghilang. Di luar dugaan semua orang, Ari membiarkan. Dia cuma tersenyum tipis kemudian berdecak sambil menggelengkan kepala.
"Ibu tuh kayaknya nggak bisa banget kalo ngeliat saya seneng dikit aja ya""
Bu Sam tidak mengacuhkan ucapan Ari itu. Dia mengangguk ke arah Pak Yusuf sambil mengucapkan terima kasih, kemudian pergi. Pak Yusuf segera memrintahkan seisi kelas agar membuka buku cetak masing-masing. Kemudian beliau berdiri di depan whiteboard dan mulai menuliskan poin-poin penting untuk dicatat. Begitu membalikkan badan, guru bahasa Indonesia itu kaget karena Ari sudah menghilang dari bangkunya.
"Ke mana dia"" tanyanya tajam.
"Nggak tau Paaak!" seisi kelas menjawab kompak.
Di kelas X-9, Bu Pur baru saja menyuruh Tari duudk di bangkunya, tanpa bertanya apa-apa karena dilihatnya muka cewek itu pucat dan terlihat jelas sedang berusaha keras menahan tangis.
Beliau kemudian meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda, memindahkan isi buku catatannya ke whiteboard agar disalin para muridnya.
Tapi ketika beberapa saat kemudian dia membalikkan badan, ibu guru muda itu terkejut. Karena Ari sudah berada di dalam kelasnya. Duduk manis di sebelah Tari. Sementara Fio, sang pemilik bangku yang terusir, berdiri bingung di lorong antarbaris.
Bu Pur berdecak pelan, kesal saat masalah yang terjadi di kelas XII IPA 3 berpindah ke kelasnya. Untungnya tak lama kemudian Bu Sam muncul, dan tidak sendiri. Pak Rahardi, sang kepsek, menyusul di belakangnya.
"Maaf mengganggu sebentar, Bu Pur." Pak Rahardi mengangguk ke arah Bu Pur, kemudian melangkah masuk dan berhenti di depan kelas. Sementara Bu Sam tetap berdiri di luar kelas, dengan muka yang sangat jelas terlihat sedang menahan marah. Pak Rahardi langsung melayangkan pandangannya pada Ari.
"Ari, kamu ikut Bapak!"
Ari menahan napas kemudian berdecak kesal. Sambil bangkit berdiri, cowok itu memukul meja di depannya.
"Beraninya pada keroyokan!" ucapnya.
Tari dan seluruh teman sekelasnya menatap ternganga. Walaupun telah berulang kali menyaksikan sikap Aro yang suka seenaknya, mereka tak menyangka itu juga berlaku di depan Pak Rahardi. Kepsek! Orang yang dianggap paling berpenagruh dan paling dihormati di sekolah.
"Ntar siang lo gue nater pulang." Ari menepuk lengan Tari, bicara tanpa menoleh, kemudian melangkah keluar.
"Terimakasih Bu Pur, silahkan diteruskan." Pak Rahardi menganggukkan kepala diikuti Bu Sam, kemudian pergi.
Melihat seisi kelas masih ternganga-nganga, menatap ke arah pintu tempat Ari menghilang bersama Pak Rahardi dan Bu Sam, Bu Pur mengetuk-ngetuk whiteboard dengan spidol.
"Ayo, kita lanjutkan!"
Tari menatap Fio dengan raut putus asa.
"Ntar kita omongin pas istirahat," Fio menenangkan sebisanya.
*** Begitu bel istirahat brebunyi, Tari dan Fio langsung bangkit berdiri dan berjalan ke luar kelas, bersamaan dengan seisi kelas yang sudah bersiap melejit ke arah Tari. Apalagi kalau bukan ingin tahu tentang peristiwa jam pertama tadi.
"Eh, mau ke mana" Certain yang tadi pagi dong!" seru beberapa orang bersamaan.
Fio menoleh. "Apaan sih" Anggak tau apa, situasinya udah emergency banget"" tanyanya kesal.
Sementara Tari hanya diam. Gawtnya situsati yang dia hadapi membuat pikirannya kalut, hingga tak sempat lagi menanggapi teman-temannya. Sesaat keduanya berhenti di ambang pintu.
"Kalo Kak Ari dateng trus tanya Tari di mana, plis banget, Man, jangan kasih tau ya""
"Emang lo berdua mau ke mana"" tanya Nyoman.
Fio tak menjawab. Dia langsung balik badan sambil meraih satu tangan Tari. Ditariknya temannya itu pergi dari situ. Keduanya menjauh dengan langkah bergegas.
Nyoman melongokkan kepala. Mengikuti dengan pandangan hingga tahu ke mana kedua temannya itu menghilang. Gudang di ujung koridor. Sebuah ruangan yang nyaris tidak pernah dimasuki orang. Tempat kur
si, meja, dan lemari-lemari rusak disimpan. Sama sekali bukan bermaksud untuk berkhianat. Dia justru ingin membantu seandainya nanti situasi berubah semakin gawat.
Begitu pintu gudang ditutup Fio, ketakutan Tari langsung pecah.
"Sekarang giman nih, Fi"" "Tadi pagi ada apa sih""
Dengan berat, karena sebenarnya dia malas mengingat lagi peristiwa tadi pagi, Tari terpaksa menceritakannya pada Fio.
"Ck! Angga cari gara-gara aja!" Fio berdecak lalu menghela napas.
"Makanya sekarang gimana""
"Tadi Kak Ari bilang mau nganter lo pulang, ya""
"He-eh. Dan gue nggak mau lagi deket-deket dia."
Keduanya terdiam. Sibuk berpikir. Tiba-tiba ponsel Tari berdering. Sang pemilik jadi terlonjak karena kaget.
"Dari Angga," desah Tari lega saat menatap layar ponselnya. "Untung deh bukan Kak Ari."
Angga terkejut mendengar perkembangan terakhir. "Ntar siang lo gue jemput," katanya.
"Jangan!" cegah Tari seketika. "Gila lo. Ini aja udah gawat situasinya. Jangan ditambahin lagi dong."
"Kalo dia mau marah, sama gue. Bukan elo."
"Ya, tapi jangan dengan cara lo nganter gue pulang dong."
"Terus, lo lebih milih dianter Ari, gitu"" suara Angga menajam.
"Ya nggak gitu juga. Ini memang masalah lo sama Kak Ari, tapi sekolah kita kan musuh bebuyutan."
"Itu sih apa boleh buat, Tar. Kami udah sering saling serang tanpa alasan kok."
"Jangan bikin gue ge-er dong. Gue jadi ngerasa bak Helen dan Troya nih." Di tengah impitan rasa takut, Tari masih bisa bercanda. Angga tertawa.
"Trus, rencana lo gimana""
"Ini lagi gue diskusiin sama Fio."
"Oke deh. Kabarin gue gimana hasilnya ya."
"Oke." Komunikasi ditutup. Tari menarik napas lega, mengira berhasil mengatasi Angga. Padahal Angga sama sekali tidak berniat mundur. Yang dia inginkan sama sekali bukan kemenangan di belakang. Tapi kemenangan di depan. Kemenangan yang menghancurkan lawan. Kemenangan yang bisa membuat dirinya tertawa keras-keras.
Setelah menghabiskan seluruh waktu istirahat di gudang yang kotor dan pengap, Tari dan Fio berhasil mendapatkan satu cara untuk melarikan diri dari Ari sepulang sekolah nanti. Tapi Tari tidak sempat lagi memberitahu Angga karena bel masuk sudah berbunyi.
Keduanya kembali ke kelas dengan cemas. Menjelang mendekati pintu, langkah keduanya melambat. Nyoman, yang tahu kenapa dua temannya itu bersikap waspada, langsung bangkit dari bangkunya yang memang berada di dekat pintu. Tergesa dia menghampiri. Raut mukanya tegang.
"Kak Ari nggak dating. Tapi ada yang lebih gawat nih,Kak Vero tadi dating, bareng gerombolannya. Nyari elo, Tar."
Tari tersentak. "Se... serius"" tanyanya tergagap.
"Ngapain sih gue bohong" Emangnya ini lucu apa, buat bahan bercandaan" Lo tanya anak-anak sekelas deh kalo nggak percaya."
Tari kontan lemas. Pucat pasi. Tidak mengherankan. Siswa cowok yang paling disegani teman seangkatan dan ditakuti para junior adalah Ari. Untuk cewek, posisi itu dipegang oleh Veronica.
Cewek itu anak ketua yayasan. Mungkin karena itu dia jadi merasa berkuasa. Dia punya geng dan namanya membuat para junior langsung jiper : The Scissors!
Geng ini terkenal suka merusak baju atau barang-barang milik para junior yang mereka anggap telah menyaingi penampilan anggota geng mereka. Sering kali dengan menggunakan gunting. Dan sering kali pula kejadian itu berlangsung di depan banyak mata.
"Pak Yakob udah dating. Buruan masuk kelas," Nyoman memecahkan kebekuan Tari. Antara sadar dan tidak, Tari mengikuti kedua temannya memasuki kelas.
Istirahat kedua, Tari dan Fio memberanikan diri ke kantin karena perut Fio sudah melilit kelaparan. Tari sendiri sudah kehilangan selera makan sama sekali. Dia hanya sanggup menelan dua potong siomay. Itu pun setelah Fio memaksanya. Keduanya duduk meringkuk di balik tumpukan kotak minuman botol Pak Kumis, pedagang minuman di kantin. Menyembunyikan diri seandainya Ari dan Vero mencari.
Mereka tidak tahu bahwa baik Ari maupun Vero tidak akan muncul. Vero merasa akan merendahkan diri dan gengnya kalau mereka datang lagi untuk mencari cewek kelas sepuluh yang sudah men
ggemparkan kelas dua belas tadi pagi. Yang penting tu cewek tau kalo dia dicari, itu udah cukup.
Sementara itu, karena menganggap mengembalikan Ari ke kelasnya hanya akan melanjutkan huru-hara yang sudah diciptakan anak itu, Pak Rahardi sengaja membuat Ari sibuk dengan memberikan sederet tugas: memfotokopi lembaran soal milik beberapa guru, mencari beberapa buku sebagai bahan rujukan, juga untuk beberapa guru dari mata pelajaran yang berbeda. Ini yang makan waktu lama, karena buku-buku itu adalah buku-buku lama yang tidak lagi diproduksi. Mau tidak mau Ari harus mencarinya di tempat penjualan buku-buku bekas.
Terakhir, Pak Rahardi memrintahkannya untuk mengecek mobilnya yang sudah dua hari menginap di bengkel langganan.
Ari pergi juga meskipun dalam hati dongkol. Pak Rahardi satu-satunya orang di sekolah yang tidak ingin dilawannya. Tapi, karena Ari juga mengerti mesin, dia mulai curiga ada permainan. Soalnya sudah hampir satu jam berlalu dan yang dikerjakan montir itu cuma keluar-masuk kolong mobil dan buka-tutup kap mesin. Tidak jelas apa sebenarnya yang sedang diperbaiki.
"Mas, lo tuh tau mesin nggak sih" Dari tadi nggak kelar-kelar. Atau jangan-jangan Pak Hardi sengaja nyuruh lo nahan gue di sini ya""
Montir itu terlihat tidak enak, membuat Ari yakin dugaannya tepat.
"Sialan!" maki Ari, lalu langsung balik badan dan dengan langkah cepat berjalan ke arah motornya diparkir.
"Eh, Dik! Dik! Sebentar!" Montir itu meletakkan peralatan yang dipegangnya dan bergegas menyusul.
"Dak-dik-dak-dik! Sejak kapan lo jadi kakak gue"" Ari menatapnya tajam sambil memutar kunci kontak. "Untung lo kongkalikongnya sama Pak Hardi. Kalo sama guru lain, atiati aja lo, Mas."
Montir itu menatap motor Ari yang melesat pergi sambil geleng-geleng kepala.
"Masih SMA udah kayak gitu. Mau jadi apa itu anak nanti"" dikeluarkannya ponsel dari saku celana. "Gagal, Pak. Anaknya baru saja pergi. Semua bawaannya tadi, buku-buku sama tumpukan kertas, dia tinggal di sini."
Di seberang, Pak Rahardi menghela napas.
*** Sepuluh menit menjelang bel pulang, Tari dan Fio membereskan buku-buku mereka yang masih berantakan di dalam laci dengan gerakan perlahan agar tidak menimbulkan suara. Soalnya Pak Isman masih serius menerangkan rumus-rumus yang ditulisnya di whiteboard.
Pak Isman punya kebiasaan langsung pulang kalau gilirannya mengajar terletak pada jam terakhir. Dan beliau selalu membawa mobil. Begitu bel berbunyi, Pak Isman mengakhiri pelajarannya dan seisi kelas langsung sibuk berkemas. Tari buru-buru berdiri dan mendekati guru fisika itu. Fio mengekor di belakangnya.
"Pak...," panggil Tari dengan suara memelas. "Kami boleh numpang mobil Bapak, nggak" Sampe halte pertama di jalan raya aja, Pak. Nanti kami cari taksi."
Pak Isman menoleh sekilas dari kesibukannya membereskan buku-buku cetak dan lembar-lembar fotokopian. Beliau tidak bertanya apa-apa.
"Boleh ya, Pak"" Tari mengulangi permintaannya. Dengan suara yang makin memelas karena harapannya mulai dikikis rasa takut.
Pak Isman meluluskan permintaan Tari dengan menyodorkan buku-buku dan tumpukan kertas fotokopiannya. Tari menerima dengan hati yang kontan terasa amat sangat lega. Cewek itu malah hampir saja menangis.
"Makanya, kalau bergaul itu pilih-pilih. Jangan sembarangan," ucap Pak Isman sambil berjalan keluar kelas.
Di tempat lain, Ari membelah kepadatan lalu lintas Jakarta dengan kecepatan tinggi. Tidak peduli jika sampai tertilang polisi dia bisa kena masalah. Masalahnya, baru beberapa hari yang lalu dia kena tilang dan STNK-nya masih ditahan.
Lima belas menit lagi bel pulang berbunyi. Telat sedikit saja bisa dipastikan dia akan kehilangan jejak Tari.
Jam dua tepat. Tidak terkejar. Ari segera menepikan motornya. Dikeluarkannya ponsel dari kantong celana dan dikontaknya Ridho.
"Dho, tolong lo tahan Tari. Gue masih di jalan."
Telepon langsung ditutup. Ridho, kawan karib ari selain Oji, segera melaksanakan perintah itu. Tak sampai lima menit laporannya masuk.
"Dia ikut mobil Pak Isman."
"Oke. Thanks." Ari langsung balik a rah. Pak Isman juga guru fisikanya saat kelas sepuluh dulu. Dan ari hafal rute pulang yang selalu diambil guru itu.
Sementara itu, satu orang yang juga punya kepantingan atas Tari, duduk diam di atas motornya sejak setengah jam yang lalu. Helm yang terus menutupi kepala membuatnya tidak dikenali meskipun berada tepat di mulut kandang lawan. Dan begitu ditangkapnya sosok Tari dan Fio di dalam salah satu mobil yang keluar dari gerbang di depannya, Angga langsung menyalakan mesin dan mengikuti di belakang.
Di dalam mobil Pak Isman suasana begitu hening, karena baik Tari maupun Fio sungkan untuk memulai pembicaraan. Tapi, karena mengira telah berhasil melarikan diri dengan sukses, keduanya merasa lega dan tidak peduli dengan keheningan itu dan fakta bahwa Pak Isman masuk dalam jajaran guru-guru killer.
Padahal, kalau mereka mau melirik kaca spion tengah, mereka bisa melihat bukti awal kegagalan usaha pelarian itu. Sebuah motor menguntit mereka sejak keluar dari gerbang sekolah. Sementara berpuluh-puluh kilometer dari situ, sebuah motor lain tengah digas gila-gilaan dalam usaha untuk mengejar.
*** Ari terkejut ketika akhirnya dilihatnya mobil Pak Isman di kejauhan, dan sebuah motor sedang menguntit mobil itu. Dia langsung tahu siapa orang itu.
"Sialan tu orang!" makinya, dan langsung menambah kecepatan.
Menggambarkan dengan jelas kegeraman sang pengemudi, motor itu melesat dengan kelihaian seorangraja jalanan. Sayangnya, lampu pengatur lalu lintas menyala merah di kejauhan, menghentikan usaha keras itu. Beberapa mobil membentuk dua barisan rapat. Sementara di sisi kiri jalan, motor-motor berhenti dengan posisi menyemut, tanpa ada celah yang bisa diterabas. Tidak ada jalan lain selain berhenti total, kaena belum ada motor yang didesain bisa terbang.
"Sialan! Sialan! Sialan!" rentetan makian keluar, diikuti tinju kanan yang dihantamkan sang pemilik kepalan ke kaca pelindung spidometer.
*** Sesampainya di jalan raya, sesuai permintaan, Pak Isman menurunkan Tari dan Fio di halte bus pertama.
"Terima kasih, Pak." Keduanya menganggukan kepala dan membungkukkan badan sedikit.
"Ya." Pak Isman mengangguk kecil. "Kalian hati-hati kalau memilih teman bergaul," pesannya sebelum pergi.
"Emangnya kita kelihatan kayak pengin bergaul sama Kak Ari, ya"" ucap Tari setelah mobil Pak Isman menjauh.
"Udah deh, nggak usah dipikirin. Buruan pulang yuk. Kalo belom sampe rumah, kayaknya gue belom merasa aman."
Baru saja ucapan Fio selesai, motor Angga berhenti tepat di hadapan. Membuat keduanya terkejut.
"Gue anter lo pulang, Tar."
"Tadi kan gue udah bilang."
"Udah, cepetan!" Angga memotong kalimat Tari. "Nggak aman lo ada di pinggir jalan gini."
Diraihnya satu tangan Tari dan ditariknya cewek itu ke boncengan motornya. "Lo juga cepetan pulang, Fi. Tapi sori, gue nggak bisa nganter." "Iya, nggak pa-pa. Yang penting dia dulu tuh." Fio menunjuk Tari dengan dagu. Tari menyingsingkan rok panjangnya kemudian duduk di belakang Angga.
"Udah"" tanya Angga.
Tari mengangguk. "Tapi Fio gimana"" tanyanya bingung.
"Nggak pa-pa. Gue bisa pake taksi," sahut Fio. "Udah, buruan pergi deh!"
Begitu Angga dan Tari melesat pergi, Fio langsung celingukan ke dua arah, mencari-cari taksi kosong yang lewat. Cewek itu sadar, dia telah menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam bahaya. Tapi Tari teman semejanya, dan teman pertama yang didapatkannya pada hari pertama MOS, hari yang membuatnya takut dan cemas saat memasuki gerbang SMA Airlangga. Jadi dia nggak bisa nggak peduli. Kalau Tari melarikan diri, otomatis dia juga harus melakukan hal yang sama. Karena dirinyalah orang pertama yang akan dicari lalu diinterogasi.
Sebuah taksi muncul di kejauhan. Tidak pernah berhubungan langsung dengan Ari membuat Fio tidak mengenali sepeda motor yang melaju cepat di depan taksi. Baru setelah motor itu berhenti tepat di hadapannya dan sang pengemudi menaikkan kaca helm, cewek itu membeku.
"Naik!" perintah Ari. Ditunjuknya boncengan motornya dengan dagu. "Tunjukin gue rumah temen semeja lo!"
"Sori banget, Tar. Soriii
." "Bukan salah lo, Fi," desah Tari.
"Tapi kami nggak sampe ngelewatin rumah lo kok. Gue tunjukin dari jauh, trus kami balik arah."
"Iya. Tapi abis Kak Ari nganter lo pulang, dia lewat depan rumah gue. Gue kan hafal motornya."
"Iya!"" Fio memekik. "Waktu itu Angga masih ada""
"Masih. Dia juga ngenalin motor Kak Ari. Pastilah. Namanya juga musuh bebuyutan. Makanya dia besok mau jemput gue terus nganter ke sekolah."
"Jangan! Jangan! Jangan mau, Tar. Ih, tu orang ya" Nggak sadar juga kalo dia udah bikin situasi jadi kisruh. Lo berangkat sendiri aja. Kalo perlu, besok pagi gue ke rumah lo deh. Kita berangkat bareng."
"Udah gue tolak. Gue bilang gue mau berangkat sendiri."
"Trus dia bilang apa""
"Iya, katanya. Tapi gue nggak yakin dia besok nggak nongol. Secara tadi aja dia sampe ngebuntutin mobil Pak Isman. Pasti dia udah nunggu dari depan sekolah tuh""
"Nekat banget tu orang."
"Kalo nggak nekat, nggak bakalan bisa dia jadi lawannya Kak Ari. Liat besok deh. Kalo dia nongol, maksa nganterin, gue mau minta turun di tengah jalan aja. Jangan sampe sekolah."
Dugaan Tari tepat. Keesokan paginya, jam enam kurang sepuluh, sebuah motor berhenti di depan rumahnya.
"Ck, bener, kan"" desah Tari sambil membereskan buku-bukunya. "Tetep aja tu orang dateng jemput."
Cewek itu membuka pintu depan dan detik itu juga dia membeku di ambangnya. Bukan Angga yang ada di depan pintu pagar rumahnya. Tapi Ari! Duduk santai di atas motor hitamnya, cowok itu tersenyum tipis. Menikmati keterkejutan sang tuan rumah.
"Pagi.," sapanya. Tari tidak menjawab, karena separuh kesadarannya masih terlepas di udara. "Jawab dong kalo senior ngasih salam."
"Emang siapa sih yang minta dijemput Kakak!"" Tari tidak mengacuhkan sapaan Ari. Tanyanya tak terjawab karena mamanya muncul di pintu. Tari langsung menarik napas lega. Kesempatan untuk mengusir Ari. Namun detik berikutnya dan berikutnya lagi, cewek itu terdiam dipeluk ketersimaan.
Di depan matanya Ari bertransformasi. Begitu mama Tari muncul, sikap duduk khas "pentolan sekolah" Ari -satu kaki terlipat di atas tangki bensin sementara kaki yang satu menjejak tanah dan sebatang rokok di bibir - segera menghilang. Berganti dengan sikap duduk sopan bersamaan dengan sang rokok yang terjun bebas, disentil sang pengisap ke selokan. Kemudian cowok itu turun dari motor hitamnya. Tubuh tingginya menjulang di depan pagar.
"Selamat pagi, Tante." Santun di disapanya mama Tari dengan anggukan kepala, badan setengah membungkuk, dan tentu saja, sebentuk senyum manis.
"Pagi," mama Tari membalas. Diamatinya Ari karena ini kali pertama kedatangan cowok itu.
"Mau jemput Tari, Tante. Kami satu sekolah."
Tari ternganga. Gila emang ni orang, selalu main tabrak!
Mama Tari terlihat ragu. Ari tersenyum tipis. Senyum tipis yang sopan dan melukiskan pengertian atas keraguan yang diterimanya. Cowok itu membuka jaket hitamnya lalu meletakannya di atas tangki bensin.
Di balik jaket itu ternyata Tari tidak menemukan pemandangan sehari-hari seperti yang selalu dilihatnya. Kemeja Ari tersetrika licin. Semua kancingnya terkait rapi. Sepatu kedsnya juga terlihat baru dicuci. Semua penampilan Ari yang biasa - satu anting di telinga, kemeja yang selalu berkibar-kibar, kadang dengan T-shirt di dalamnya kadang dada telanjangnya terlihat - menghilang. Rambutnya yang sedikit panjang, yang biasanya dia biarkan berantakan, kini tersisir rapi. Tapi mama Tari tidak terkesan.
"Oh iya. Saya belum memperkenalkan diri," Ari berlagak baru tersadar. "Nama saya Ari, Tante. Matahari Senja, lengkapnya."
Seketika itu juga mama Tari ternganga takjub. Siswa SMA yang rapi, banyak. Yang ganteng, juga banyak. Yang rapid an ganteng, pasti banyak juga. Tapi yang rapi, ganteng, sopan, dan punya nama hampir sama dengan nama anaknya, jelas nggak banyak. Bahkan mungkin ini satu-satunya.
Ari menyaksikan ketakjuban itu dengan puas. Kartu pass akhirnya keluar!
Tari cuma bisa berdiri diam. Terpesona saat mamanya dan Ari memperbincangkan nama dirinya dan nama cowok itu dengan keakraban seperti dua kawan l
ama yang baru kembali berjumpa. Tapi tetap, Ari menempatkan diri seseorang yang lebih muda di hadapan seseorang yang jauh lebih tua. Santun dan penuh tata karma. Keseluruhan jejaknya sebagai siswa paling bermasalah di sekolah benar-benar hilang.
Jam enam lewat lima, Ari memutuskan obrolan akrabnya dengan mama Tari dengan cara melihat jam tangannya lalu berpura-pura kaget.
"Maaf, Tante. Mesti buru-buru berangkat. Udah jam enam lewat."
"Ya ampun!" Mama Tari terperanjat. "Maaf. Maaf. Tante sampai lupa. Habis tante kaget, ternyata ada juga selain Tante yang jadi penggila sunset, sampai mengabdikannya untuk nama anaknya."
"Nggak apa-apa, Tan. Saya juga seneng kok ngobrol sama Tante."
"Kapan-kapan kenalkan Tante dengan mamamu, ya""
"Pasti, Tan!" Ari mengangguk sambil tersenyum lebar. Sama sekali tidak terlihat bahwa satu kata itu, "mama", selalu menimbulkan efek menghancurkan untuknya.
Kembali cowok itu berusaha menunjukkan bahwa dirinya bukanlah seseorang yang patut diwaspadai. Kali ini dia gentleman sejati. Dibawakannya tas dan buku-buku Tari, kemudian diulurkannya jaket hitamnya. Ketika Tari tak bereaksi, diselubunginya jaket itu hingga menutupi seluruh tubuh bagian atas Tari. Meski begitu, tatap lembut kedua matanya menyiratkan peringatan keras agar Tari bersikap kooperatif.
Tari menentang peringatan itu, juga lewat sorot mata. Diliriknya mamanya, berharap menemukan peluang untuk membongkar kedok Ari. Sayangnya yang dia temukan masih tampang takjub sang mama melihat bertemunya dua matahari tenggelam.
Tari nggak mungkin bilang bahwa matahari senja yang ini sebaiknya tenggelam selama-lamanya. Nggak perlu terbit lagi besok paginya.
"Ayo cepet, Tar. Ini sudah siang." Malah itu yang keluar dari bibir mamanya.
Terpaksa Tari menghampiri Ari. Cowok itu menyambutnya dengan satu alis terangkat dan senyum kemenangan yang tercetak samar.
"Duduknya jangan nyamping. Nggak stabil," ucap cowok itu dengan nada yang terdengar wajar seolah tanpa tujuan. Padahal selama ini dia selalu memerintahkan setiap cewek yang nebeng motornya untuk duduk dengan posisi menyamping. Karena dua alasan. Pertama, biar ngusirnya gampang. Kedua, demi mencegah menempelnya benda asing di punggungnya, yang sering kalidilakukan cewek-cewek itu dengan sengaja. Khusus untuk Tari, Ari justru mencegah supaya cewek itu tidak melarikan diri.
Tari terpaksa menuruti perintah Ari itu. Tapi dia sudah bertekad, bakalan kabur langusng pada kesempatan pertama.
"Berangkat dulu, Tan," Ari pamit pada mama Tari. Lagi-lagi menggunakan kesempatan itu untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan orang yang patut diwaspadai.
"Ya. Hati-hati di jalan ya."
"Siap, Tan." Motor hitam itu meluncur pergi. Tari duduk sejauh mungkin dari Ari. Karena tidak ada besi pegangan, kesepuluh jarinya mencengkeram tepi jok belakang erat-erat.
Di balik helmnya, Ari tersenyum tipis. Tiba-tiba motor hitam itu melesat cepat. Menyentakkan tubuh Tari ke belakang. Cewek itu sudah hampir menjerit. Posisi duduknya sudah di ujung jok. Sentakan tadi nyaris membuatnya terlempar ke jalan di belakang.
Tak lama Ari menghentikan laju motornya. Lagi-lagi dengan tiba-tiba. Tari yang sama sekali tidak menduga, tak ayal terdorong keras ke depan. Tubuhnya membentur punggung Ari dengan keras. Cewek itu memegangi dadanya, mengerang lirih. Anjrit banget ni orang! Makinya dalam hati. Ari menolehkan kepalanya sedikit ke belakang.


Jingga Dan Senja Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masih nggak mau pegangan""
Tari tidak menjawab. Sambil memgangi dadanya, ditatapnya Ari dengan sengit. Meskipun tidak terlihat, Ari bisa merasakan aura penentangan yang dilancarkan cewek di belakangnya.
"Setelah ini nggak ada lampu merah. Kalo nggak ada penghalang begitu, gue suka bawa motor gila-gilaan."
Masih tidak ada reaksi apa pun dari Tari. Cewek ini memang tidak mendengar kalimat yang diucapkan Ari. Motor dalam keadaan berhenti total di tepi sebuah jalan. Kalau mau kabur, sekaranglah saatnya.
Masalahnya, akibat berhenti mendadak tadi, bukan hanya benturan yang mengakibatkan dada Tari sekarang sakit, juga jaraknya dengan Ari jadi teram
at dekat. Sayangnya, keterdiaman yang merespons kalimat peringatannya membuat Ari langsung sadar. Seketika itu juga pikiran Tari terbaca olehnya. Cowok itu mendesis geram.
"Elo tuh emang suka nantang, ya" Oke, gue jawab!"
Mesin motor menggerung. Disusul sedetik kemudian motor itu bergerak maju dengan entakan, yang ternyata menjadi awal dari putaran kedua rodanya yang gila-gilaan.
Tari, yang sleuruh perhatiannya sedang terfokus pada usahanya untuk melarikan diri, sama sekali tidak menduga hal itu. Tak ayal lagi-lagi tubuhnya membentur Ari begitu sang pemilik membuat motornya melonjak. Begitu tubuh Tari membentur punggung Ari dan melenyapkan jarak di antara mereka, Ari langsung mengulurkan tangan kirinya ke belakang. Dicekalnya tangan kiri Tari tepat di pergelangan kemudian dengan paksa ditariknya ke depan dan diletakkan di antara perut dan dadanya. Di sana, ditekannya tangan itu kuat-kuat.
Dengan satu tangan terkunci begitu, jangankan untuk melarikan diri, merentang jarak pun kini sudah tidak mungkin lagi.
Walaupun hanya dengan satu tangan, Ari ternyata sanggup melarikan motornya dengan kecepatan tinggi. Meliuk di antara padatnya lalu lintas, dibuatnya maneuver-manuver yang akhirnya memaksa Tari menyerah.
Untuk Tari, ini jelas-jelas pengalaman mengerikan. Laju motor yang sangat cepat menyebabkan udara berdesing dan setiap kendaraan yang mereka lewati mengeluarkan raungan klakson. Ridho yang rajanya trek-trekan aja mengakui kegilaan Ari kalo lagi bawa motor.
Tanpa fokusnya teralihkan dari jalan raya di depannya, kedua mata Ari hanya menyipit saat tangan kanan Tari akhirnya melingkari pinggangnya. Cewek itu kemudian menyandarkan kepala di punggung Ari.
Ari tersenyum dingin. Dia mengangkat tangan kirinya yang sejak tadi mencekal dan menekan tangan kiri Tari di atas perutnya. Diraihnya tangan kanan Tari dan ditariknya hingga bertemu dengan tangan kiri.
Penyerahan Tari membuat kegeraman Ari perlahan mereda. Cekalan kelima jarinya dan tekanan lengan kirinya di atas kedua tangan Tari yang bertaut melingkari pinggangnya tidak lagi sekuat awal-awal tadi. Cowok itu juga mulai mengurangi laju gila motor hitamnya.
Di saat emosi Ari perlahan mulai mereda, sebuah motor tiba-tiba menyalip dari sisi kanan. Berdesing dalam hitungan kejap, motor itu langusng menghentikan laju motor dengan paksa.
Seketika Ari menarik rem kuat-kuat, karena motor itu - yang langsung dikenalinya sebagai milik Angga - berhenti dengan posisi melintang tidak sampai dua meter di depannya.
Semuanya berlangsung dalam hitungan singkat. Angga turun dari motornya lalu mengahmpiri Ari dengan langkah panjang dan cepat. Ketika cowok itu menaikkan kaca helmnya, Ari bisa melihat letup tantangan yang sangat jelas dalam sepasang mata yang terarah lurus padanya itu.
Dalam jarak kurang dari dua meter, dalam waktu kurang dari dua detik, Angga sudah tahu di mana dia harus mendaratkan kepalan tanpa harus melukai Tari yang berada di boncengan Ari.
Ari segera menguraikan kedua tangan Tari yang melingkari pinggangnya. "Mundur, Tar!" perintahnya dengan nada mendesak. Sayangnya tidak ada waktu yang tersisa bagi Tari untuk melaksanakan perintah itu.
Memaksa tubuh Tari lekat di tubuhnya yang sebelumnya menjadi satu kemenangan kini justru melemahkan posisi Ari untuk melawan serangan Angga. Dengan mudah Angga melumpuhkan rival utamanya itu.
Dengan tangan kiri ditahannya tinju Ari yang jelas terlihat canggung karena posisinya yang tidak menguntungkan. Dan dengan tangan kanannya yang bebas, Angga mengayunkan kepalannya tepat ke kepala Ari.
Terdengar bunyi erangan, pelan karena teredam helm, bersamaan dengan tubuh Ari yang terdorong keras ke kiri. Akibatnya, motor yang berdiri karena disangga kedua kaki sang pemilik ikut rebah ke arah yang sama.
Angga segera mengulurkan kedua tangannya ke arah Tari. Cewek itu pucat pasi, dan jelas-jelas tidak mampu mencerna apa yang sedang terjadi dengan kesadaran penuh. Setelah melempar jaket hitam Ari yang menyelubungi tubuh Tari begitu saja ke tanah, dengan satu tangan di punggung Tari dan tangan yan
g lain merengkuh pinggang Tari, Angga menarik Tari dari boncengan motor Ari.
Tindakannya tepat waktu, karena sedetik kemudian motor besar itu terbanting rebah ke aspal jalan. Ari sempat melompat. Dengan amarah yang sudah di hulu ledak, cowok itu melepas helmnya. Dilemparnya helm itu begitu saja sambil berjalan menghampiri Angga dengan langkah cepat. Angga segera berjalan ke arah motornya.
"Buruan, Tar!" bisiknya.
Tari bergesa mengikuti langkah cepat Angga lebih karena cowok itu mencekal satu lengannya. Kali ini Angga terpaksa membiarkan Tari duduk dengan posisi menyamping. Menyuruhnya duduk dengan posisi ke depan kelihatannya akan sama seperti menyuruh Tari mengerjakan soal fisika yang sulit. Butuh bengong yang cukup lama.
Sambil menstater motornya, Angga menatap Ari yang berjalan mendekat, tepat di bola mata.
"Gue anter Tari dulu. Lo tunggu sini. Ntar gue balik!"
"Tu cewek tanggung jawab gue. Gue yang jemput dia dari rumah!"
Angga tidak mengacuhkan, langsung tancap gas.
"Brengsek!" maki Ari dan segera berlari ke arah motornya. Diangkatnya kendaraan itu dari posisi rebah dan langsung dikejarnya Angga.
Pagi itu ratusan orang menyaksikan adegan seperti yang kerap mereka saksikan di film. Dua motor menderu di antara padatnya lalu lintas. Dua-duanya dengan kecepatan tinggi. Satu mengejar yang lain. Seragam putih abu-abu dan adanya seorang cewek di boncengan motor pertama membuat semua yang menyaksikan peristiwa itu kontan mendecakkan lidah sambil gelng-geleng kepala.
"Anak sekarang, nggak tau susahnya orangtua cari uang!" adalah komentar yang muncul seragam.
"Sok kayak jagoan. Masuk gawat darurat keluar cacat, baru tau rasa!" komentar yang lebih ekstrem kaluar dari bibir seorang ibu yang menyaksikan dari jendela sebuah bus. Bus yang ditumpanginya itu terpaksa menginjak rem karena tiba-tiba kedua motor itu menyalip dari sisi kanan.
Angga melirik ke belakang lewat spion kanan. Dilihatnya Ari masih tertinggal cukup jauh. Yang dia takutkan sama sekali bukan rivalnya itu, melainkan Tari. Terus terang, dia mencemaskan cewek yang sekarang duduk rapat di belakangnya ini, karena Tari tidak bersuara sejak ditariknya dari boncengan Ari tadi.
Angga melepaskan tangan kirinya dari setang. Disentuhnya tangan Tari yang melingkari pinggangnya. Dingin kesepuluh jari yang disentuhnya membuat Angga memaksakan diri menoleh ke belakang di tengah-tengah konsentrasinya yang terpusat penuh ke jalan raya dan setiap maneuver yang dibuatnya. Cowok itu menaikkan kaca helmnya.
"Tar, lo nggak apa-apa, kan"" tanyanya dengan suara keras untuk mengalahkan deru mesin.
Tari mengangguk-angguk, yang jelas dilakukannya dalan keadaan setengah sadar, karena anggukan-anggukan itu membuat kepalanya membentur punggung Angga.
Cara Tari mengangguk dan masih juga tidak ada suara yang keluar dari bibirnya akhirnya meyakinkan Angga bahwa cewek di belakangnya ini justru kenapa-kenapa.
Perlahan kedua rahang Angga mengatup keras. Tidak ada jalan lain selain menambah kecepatan motornya dan menciptakan jarak dengan Ari sejauh dan sesegera mungkin.
Mencapai SMA Airlangga dengan menyusuri jalan raya membutuhkan waktu agak lama. Tidak jauh di depan mereka ada sebuah pemukiman padat penduduk yang penuh jalan tikus. Area potong kompas sekaligus tempat menghilangkan diri yang sempurna.
Angga memiringkan sedikit kepalanya, melirik ke belakang lewat spion kanan. Ari yang bisa melihat itu seketika mengirimkan ancaman lewat lampu depan yang dikedipkannya selama tiga kali.
Angga mengulurkan tangan kirinya ke belakang. Direngkuhnya pinggang Tari.
"Rapet lagi, Tar. Pegangan yang kenceng. Sori, terpaksa banget nih!" serunya.
Tari langsung merespons. Cewek itu memajukan duduknya hingga benar-benar melekat di tubuh Angga. Kedua tangannya yang melingkari pinggang Angga semakin mengetat. Terakhir, dia benamkan mukanya di punggung Angga.
"Sip, pinter! Merem aja kalo takut. Tapi ikutin ritme motor ya!" Angga menepuk lembut pinggang Tari. Kemudian pandangannya kembali ke depan. Diturunkannya kaca helm, dan dijawabnya ancaman Ari t
adi dengan kecepatan yang mendadak bertambah tinggi.
Ari terpengarah saat motor Angga tiba-tiba saja melesat meninggalkannya. Makian keluar dari mulutnya disertai raungan mesin, dan langsung dikejarnya Angga. Kedua motor berwarna gelap itu melaju dengan kecepatan melewati ambang yang diperbolehkan.
Angga mengatupkan kedua rahangnya keras-keras. Kedua matanya tertancap lurus-lurus ke depan. Dikerahkannya seluruh kemampuannya untuk melepaskan diri dari kejaran Ari. Di satu momen saat dirinya mulai terdesak, Angga sengaja mengagetkan seorang cewek yang sedang menyetir sebuah mobil mewah berbodi besar.
Dari sisi kiri disalipnya mobil itu dalam jarak yang benar-benar dekat, nyaris rapat. Cewek itu tersentak dan seketika menghentikan mobilnya. Pengemudi di mobil belakang ikut kaget dan langsung menghentikan laju mobilnya juga.
Ari yang tengah melaju tepat di belakang mobil kedua sontak menarik rem kuat-kuat. Motornya berhenti nyaris rapat di belakang mobil kedua, dengan ban berdecit dan posisi badan motor melintang miring ke kiri. Nyaris terbanting rebah ke aspal kalau saja tidak refleks disangganya dengan kaki kiri.
Angga langusng menggunakan kesempatan itu untuk merentang jarak sejauh-jauhnya. Dengan kemarahan yang makin melahar, Ari menegakkan motor hitamnya, mundur secukupnya dan kembali mengejar Angga yang kini sudah berupa titik di kejauhan.
Menjelang sampai tujuan, dengan satu tangan yang terulur ke belakang, merengkuh Tari sebisanya, Angga membelokkan motornya dengan gerakan menikung tajam. Memasuki sebuah gang sempit yang merupakan salah satu jalan masuk ke area pemukiman semikumuh yang padat penduduk.
Kecepatan motornya menurun drastic, tapi tetap terlalu cepat untuk ukuran gang sempit yang sarat penghuni - penuh anak-anak berkeliaran dan ibu-ibu yang duduk bergerombol di sana-sini.
Agar tindakannya dapat dimaklumi oleh para ibu itu,juga beberapa laki-laki dewasa yang langsung melotot begitu motornya muncul, Angga memperlihatkan sebuah kontradiksi. Cowok ugal-ugalan yang tahu sopan santun!
Dilepaskannya helmnya lalu diserahkannya pada Tari.
Sejak kecepatan motor Angga menurun tajam, Tari tidak lagi berpegangan kuat-kuat dan membenamkan muka di punggung cowok itu.
Angga memamerkan senyum manis yang sopan, diikuti kalimat, "Maaf, Ibu, Bapak, kami permisi numpang lewat," yang diucapkannya dengan nada sangat santun sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Pelan-pelan dong bawa motornya. Udah tau ini gang sempit, banyak anak kecil, lagi! Nanti kalo ada yang celaka, gimana!"" hardik seorang ibu. Ucapan ibu itu dibenarkan oleh ibu-ibu lain dengan pelototan mata dan ekspresi muka galak.
"Iya, maaf. Maunya sih pelan-pelan. Tapi maaf, lagi bauru-buru banget. Pacar saya sakit, jadi mesti secepetnya sampe sekolah. Lagipula biar ngebut, saya hati-hati kok." Sedikit setelah diucapkannya alasan itu, Angga sadar kalimatnya nggak sinkron. Kalo sakit kenapa juga malah ke sekolah" Sesaat dia mengerutkan kening, tapi kemudian menggeleng-menggelengkan kepala. Halah, udahlah. Yang penting bisa lewat!
Tari terpaksa mengimbangi setiap kalimat Angga dengan senyum ramah dan anggukan kepala sopan. Rona pucat di wajahnya yang terlihat jelas membuat para ibu itu memaklumi. Mereka bahkan tidak menyadari kalimat Angga yang nggak konsisten tadi.
Setelah mengulang kalimat yang sama di setiap titik tempat para ibu bergerombol, tapi tetap menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk menambah kecepatan motornya, akhirnya mereka keluar juga dari area permukiman padat itu.
"Fiuuuuh!" Angga menarik napas lega lalu mengembuskannya kuat-kuat. "Gila, gue rasa ni daerah bener-bener mirip Negeri Bahagia di Kalkuta."
Cowok itu melihat jam tangannya. Kalau dugaannya tepat, saat ini Ari sudah melewati gang sempit tempat dirinya dan Tari menghilang tadi dan sekarang sedang meluncur ke arah sekolah.
Angga mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Dia ingin memastikan Ari menjawab tantangannya atas nama pribadi, tanpa melibatkan satu pun teman-temannya.
"Berapa nomor Ari""
"Buat apa"" Tari langsung cemas. Angga
menoleh ke belakang dan menatapnya.
"kalo udah sampe begini, lo pikir untuk apa"" tanyanya dengan senyum tipis dan kedua alis terangkat.
*** Ketika Ari sampai di mulut gang tersebut, jejak Angga telah menghilang. Dengan bingung ditatapnya berkeliling. Dia sama sekali tidak tahu bahwa gang sempit yang baru saja dilewatinya merupakan jalan pintas untuk sampai sekolah.
Sambil mendesis marah, dihentikannya motor dan dikeluarkannya ponsel dari saku celana.
"Ji....!" Seruan Ari terhenti karena ada panggilan masuk. Dijauhkannya ponselnya dari telinga. Satu nomor yang tidak dikenal terpampang di layar. Didekatkannya kembali ponsel itu ke telinga, kali ini dengan kening sedikit mengerut.
"Halo"" "Gue tunggu lo di Lapangan Garuda!"
Telepon di seberang langsung ditutup. Sesaat Ari tercengang.
"Bangsat banget tu orang!" makinya. Dimasukannya ponselnya ke saku celana dan langsung tancap gas. Bukan menuju lapangan bola untuk umum seperti yang disebutkan Angga tadi, tapi kea rah sekolah.
*** Jam setengah tujuh kurang tiga menit. Fio memandangi jam tangannya sambil mengerutkan kening. Nggak biasanya sampai jam segini Tari belum datang. Biasanya dia paling telat jam setengah tujuh kurang lima.
Tiba-tiba ponselnya bordering. Dari nomor yang tidak dikenal. Sambil mengerutkan kening Fio menekan tombol bergambar telepon hijau. Belum sempat dia mengucapkan "halo", seseorang sudah berteriak di ujung sana.
"Fio, jemput Tari di gerbang!"
Telepon langsung ditutup.
"Siapa sih ni orang"" Fio tercengang. Sesaat dia tak bisa mencerna. "Ya ampun! Ada apa nih si Tari"" desisnya kemudian dan langsung berlari menuju tangga.
Semenit serasa seabad saat Angga menghentikan motornya dengan mendadak, sampai menimbulkan bunyi berdecit. Fio langsung menghampiri. Bersama Angga dibantunya Tari yang pucat dan lemas turun dari boncengan.
"Ada apa sih"" tanya Fio. Angga menggeleng, tak ingin menjawab.
"Bawa aja dia ke kelas." Sesaat Angga menatap Tari yang berjalan menjauh dibimbing Fio. "Kasih teh manis anget, Fi!" serunya dan langsung cabut. Tak bisa berlama-lama karena masih ada urusan yang harus diselesaikannya.
Tak sempat seperempat jalan Angga menuju tempat yang disebutkannya tadi, mendadak Ari muncul dari arah berlawanan dan langsung memotong laju motor Angga dengan gerak menikung tajam.
Angga yang tidak mengira, dengan terkejut menarik rem sekuat-kuatnya. Motornya berhenti mendadak, menimbulkan gaya dorong hebat dan membuat sang pemilik tak ayal terlontar.
Ari turun dari motornya dna menghampiri rival utamanya yang terkapar di aspal itu. Dicekalnya Angga tepat di kerah lalu ditariknya sampai berdiri.
"Tunggu di Lapangan Garuda!"" desisnya tepat di muka Angga. "Lo pikir kita janji main bola!""
*** Fio merangkul Tari dan bergegas membawanya menuju kelas karena bel sudah berbunyi. Cewek itu tidak tega membuka mulut meskipun kepalanya disesaki tanda tanya. Tanpa dia sadari, Oji yang berdiri di depan pos sekuriti mengikuti dengan pandangan.
Semenja menerima telepon yang hanya berisi suara Ari memanggil suku kata terakhir namanya, dan setelah itu Ari tidak mengangkat telepon meskipun dicobanya untuk menghubungi berkali-kali, Oji langsung menyadari sesuatu pasti telah terjadi. Apalagi ditambah dengan apa yang baru saja terjadi di depan pagar sekolah tadi. Tari turun dari boncengan motor Angga.
Dua tahun lebih duduk semeja membuat Oji sadar, Tari telah membangkitkan sisi macan tidur Ari!
Sepanjang perjalanan menuju kelas, Tari berusaha menenangkan diri secepat mungkin. Sedetik saja dirinya terlihat kenapa-kenapa, teman-temannya pasti langsung mengetahui itu berhubungan dengan Ari. Buntutnya, bombardier pertanyaan akan menyerbunya dari segala penjuru. Yang bukan saja tidak membantu, malah tambah bikin emosi.
Tak lama kemudian Bu Endang, guru biologi, memasuki kelas dan langsung memanggil Maya ke depan. Ternyata ada rapat mendadak. Semua guru yang mengajar di jam pertama harus melepas jam mengajarnya.
Namun, Bu Endang nggak mau rugi-rugi amat. Ia memerintahkan Maya, yang tulisan tang
annya terkenal indah, untuk menyalin isi buku yang dibawanya ke whiteboard. Setelah memperingatkan seisi kelas bahwa dia akan kembali pada jam kedua dan memeriksa buku catatan, Bu Endang melangkah keluar.
"Yuk, Tar, ke kantin." Fio langsung berdiri sambil meraih satu tangan Tari. Di tempatnya, Nyoman juga berdiri.
"Gue mau ke secretariat nih. Bayar SPP," ucapnya ke seisi kelas. "Ada yang mau titip, nggak" Kertas ulangan" Bolpoin" Atau something else""
"Kacang atom!" "Es kue!" "Keripik pedes!"
"Cimol!" "Es tape!" Seketika cowok-cowok di bagian belakang meneriakkan semua jajanan yang ada di koperasi, yang letaknya memang bersebelahan dengan secretariat.
"Pasti deh pake duit gue dulu. Iya, kan"" wajah Nyoman tampak kesal.
"Iyaaaaa!" langsung terdengar koor kompak dari para pemesan itu.
"Wah, kagak dah!" Nyoman geleng kepala dengan ekspresi malas. "Elo-elo tuh kalo makanannya udah abis pasti langsung pada belagak lupa kalo belom bayar."
Seketika cowok-cowok itu menyeringai geli. Tari, Fiio, dan Nyoman kemudian berjalan bersisian di sepanjang jalan koridor dan berpisah di depan pintu kantin. Jam kosong yang terjadi serentak membuat suasana kantin jadi jam seperti jam istirahat.
"Lo tunggu situ deh. Gue pesenin teh manis." Fio menunjuk tempat kosong. Tak lama dia kembali dengan segelas teh manis hangat untuk Tari dan segelas es the manis untuk dirinya sendiri.
"Ada apa sih" Gue kaget banget pas Angga teriak di telepon tadi. Nyuruh gue jemput elo di gerbang."
Tari menarik napas. "Kacau banget, Fi!"
*** Ari muncul dua puluh menit kemudian. Berantakan dan tampak berbahaya. Noda darah menghiasi beberapa titik di bagian seragamnya yang kusut masai dan robek di beberapa tempat.
Oji membuntuti di belakangnya. Terlihat jelas dia menjaga jarak dan bersikap waspada. Kedua matanya tak lepas dari Ari dan setiap gerak-geriknya. Ari langsung melangkah menuju kelas Tari, mencari target utamanya. Tapi beberapa saat sebelumnya, Nyoman yang berlari pontang-panting dari depan ruang secretariat telah menyampaikan info perihal kemunculan sang pentolan sekolah itu berikut dengan kondisinya. Dia menerobos masuk kantin dan langsung duduk di sebelah Tari.
"Kak Ari lagi ke sini!" bisiknya tegang.
Tari sontak memucat. Dia nggak idiot dengan mengira peristiwa tadi tidak akan berlanjut. Justru sekarang sedang ditunggunta telepon Angga untuk membahas apa yang harus dilakukannya selanjutnya.
Tari tidak tahu, saat ini Angga sedang terkapar di tepi jalan. Babak belur. Motornya ringsek karena kemarahan Ari. Sementara ponselnya rusak saat tubuhnya terlontar dari motor dan mendarat di aspal yang keras.
Beberapa saat yang lalu Angga memaksakan diri untuk bangkit. Dipinjamnya ponsel salah seorang dari sekian banyak orang yang menonton perkelahiannya dengan Ari tadi. Dikontaknya Bram dan dimintanya sahabatnya itu untuk memantau kondisi Tari lewat Fio.
Sebagai seseorang yang paling dekat dengan Angga, Bram melakukan lebih daripada yang diminta. Pada guru yang sedang mengajar, dia meminta izin ke kamar mandi. Tapi sampai dengan mata pelajaran itu berakhir, dua kali empat puluh lima menit kemudian, cowok itu tidak kembali.
Di atas motornya yang melaju kencang menuju tempat Angga terkapar, Bram mengontak Fio. Sayang, waktunya sama sekali tidak tepat.
Info Nyoman tadi telah menyebabkan Tari dan Fio disergap panik.
"Gimana nih"" Tari menatap kedua temannya bergantian. Bertanya dengan suara lirih agar tidak mengundang perhatian.
Kembali ke kelas, jelas tindakan konyol. Satu-satunya tempat bersembunyi cuma gudang. Sayangnya ruangan itu berada di ujung yang berlawanan dengan kantin. Tidak ada jalan lain selain menuruni tangga di depan kantin, meskipun tangga itu berujung di jantung area kelas sebelas.
Saat-saat seperti jam kosong begini, kantin kelas sebelas yang juga berada di depan tangga pasti dipenuhi para siswa. Dan sama seperti siswa kelas sepuluh, mereka juga suka duduk sampai hampir memenuhi seluruh undak-undakan tangga. Menyeruak meminta jalan meskipun sambil mengucapkan "Permisi
, Kak. Maaf numpang lewat ya," dengan intonasi yang bahkan paling sopan, tetep aja judulnya cari gara-gara.
Tari menatap Nyoman, yang segera mengerti maksud tatapan itu.
"Oke, gue kontak Edo atau Aya deh," Nyoman menyebutkan dua dari seabrek teman-teman kelas sebelasnya. Dikeluarkannya ponselnya dari saku kemeja.
"Lain kali pikir dulu kalo mau ngajak gue main, ya!"
Tari dan kedua temannya tersentak dan memucat. Sedikit waktu untuk kabur itu ternyata telah berakhir.
Ari telah berdiri di hadapan ketiganya!
*** Kemunculan Ari dan kondisinya tak pelak membangkitkan keingintahuan yang tak terbendung dari para juniornya.
Di belakang Oji, dalam jarak yang terjaga, dengan cepat terbentuk barisan rapat siswa-siswa kelas sepuluh dan sebagian kelas sebelas. Perhatian Oji sendiri benar-benar terfokus pada Ari, hingga tidak menyadari rombongan pengikut yang terbentuk di belakangnya itu.
Hanya Oji yang mengikuti langkah Ari sampai masuk ke ruangan kantin, lalu berdiri tidak jauh di belakang sang pentolan sekolah itu. Rombongan pengikutnya memilih tempat yang aman. Mereka berdiri berdesakan di depan deretan jendela kantin. Menatap ke dalam ruangan dengan konsentrasi penuh.
Ari sedang menatap Tari lurus-lurus, sebelum kemudian berpindah ke dua orang di kiri-kanan Tari.
"Lo berdua tolong pergi."
Nyoman bingung, antara pergi atau bertahan. Sementara Fio memilih tidak meninggalkan Tari. Saat itulah ponselnya bergetar dan mengeluarkan ringtone tanda panggilan masuk.
Saat Fio mengeluarkan ponselnya dari saku kemeja, lalu menatapnya dengan kening berkerut, Ari sudah langsung bisa menduga.
"Sini." Cowok itu mengulurkan tangan kirinya lalu menggerakkan jari telunjuknya.
"Hah"" Fio menatapnya tak mengerti.
"Sini HP lo," perintah Ari. Kali ini dengan intonasi bernada perintah yang tidak bisa dibantah. Fio terpaksa menyerahkan ponselnya yang masih terus berdering. Sesaat Ari menatap layarnya lalu mendekatkan ponsel itu ke telinga.
"Ya"" Satu patah kata. Sudah cukup membuat Bram tersentak dan seketika menghentikan motornya. Cowok itu tetap menempelkan ponselnya di telinga, tapi tidak mengeluarkan suara. Dia masih belum yakin bahwa yang didengarnya barusan memang suara Ari.
Keheningan di ujung sana membuat Ari tersenyum tipis. Perlahan kedua bola mata hitanmya bergerak ke arah Tari. Kemudian didekatkannya ponsel Fio ke bibir.
"Kasih tau Angga.," bisiknya. Jenis bisikan provokatif, karena itu sengaja dia biarkan beberapa orang di sekitarnya bisa mendengarnya dengan jelas, "Tari ada sama gue!"
Ari mengulurkan ponsel itu kembali ke sang pemilik. Saat itulah, saat Fio mengulurkan tangan kanannya untuk menerima ponselnya, Ari menangkap pergelangan tangan Fio dan menjauhkan cewek itu dari Tari dengan paksa.
Ari melakukannya dengan sangat cepat. Ponsel Fio yang tergenggam di tangan kiri segera berpindah ke tangan kanan. Tangn kirinya yang sekarang bebas langsung menatap dan mencekal pergelangan tangan kanan Fio yang diulurkan pemiliknya tanpa sedikit pun kecurigaan. Kemudian dipaksanya Fio memutari meja, menjauh dari target utamanya.
Begitu meja - benda yang menjadi jarak antara dirinya dan Fio tidak ada lagi -Ari menarik cewek itu ke arahnya. Langsung dimasukannya ponsel itu ke saku kemeja Fio, kemudian didorongnya cewek itu ke arah Oji.
"Suruh dia keluar!"
Oji buru-buru menangkap tubuh Fio yang limbung.
"Udah, lo pergi. Biar nggak tambah kacau," bisik Oji pada Fio.
Fio melangkah keluar. Kedua matanya yang sarat kecemasan menatap Tari dengan permintaan maaf.
Begitu Fio tersingkirkan dan kedua mata Ari kini terarah lurus padanya, Nyoman tidak perlu merasa harus berpikir lebih dari sekali untuk juga memilih hengkang dari sisi Tari.
"Sori banget, Tar," bisiknya. Sama seperti Fio, seat kedua matanya menatap dengan permohonan maaf. Kemudian Nyoman melangkah keluar dan berdiri di sebelah Fio, di dekat pintu. Meskipun tak bisa membantu, mereka takkan meninggalkan Tari.
Melihat sikap kasar Ari terhadap Fio, beberapa mulut langsung mengeluarkan komentar dalam bentuk gumaman.
Seketika Oji melayangkan pandangan tajam ke arah para penonton itu. Dengung gumaman itu mereda lalu hilang dengan cepat.
"Suasana lagi panas begini, malah pada komentar, lagi!" desis Oji jengkel. Kemudian perhatiannya kembali ke dua orang yang sedang berdiri berhadapan, terpisah jarak oleh sebuah meja panjang itu.
Ari sedang menatap Tari dengan kedua alis terangkat tinggi dan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Tadi itu murni sepihak cuma dari Angga, atau lo juga terlibat""
Sebenarnya murni sepihak. Tari sama sekali tidak tahu bahwa Angga akan muncul dan melakukan tindakan itu, menurunkannya dari boncengan motor Ari.
Dengan cemas Oji mengirimkan sinyal agar Tari jangan melawan. Tapi Tari sama sekali tidak mengacuhkan isyarat itu. Dia sudah muak diperlakukan seenaknya oleh preman sekolah ini.
"Saya terlibat!"
Jawaban pendek, tapi mampu membuat keuda mata Ari seketika melebar.
"Lo mau gue ngomong terang-terangan" Hmm"" cowok itu melirik sekilas ke arah jendela kantin. Deretan jendela itu dipenuhi wajah-wajah ingin tahu, dengan tatapan terfokus penuh ke dalam. "Selagi ada banyak saksi mata nih."
Bagi Ari, ini memang sama sekali bukan soal hati. Jauh lebih penting daripada itu. Tapi jika demi legitimasi harus dibuatnya pengakuan palsu, tidak masalah. Akan dilakukannya itu!
"Kakak juga mau saya tolak terang-terangan"" Tari balik menantang.
Oji, Fio, dan Nyoman sontak ternganga. Juga semua penonton yang berjubel di luar. Meskipun mereka tidak tahu topic pembicaraan antara Ari dan Tari, aura ketegangan yang sangat terasa sudah cukup membuat mereka bisa menduga, masalahnya pasti gawat.
Tapi yang paling kaget jelas Ari. Kedua matanya sampai menyipit menatap Tari.
"Sekarang lo makin berani ngelawan gue ya!" desisnya.
Tari tidak menjawab. Kedua matanya tetap menentang Ari. Sendirian, terdesak dan tak terlindung, memang sering kali membuat seseorang akhirnya menemukan kekuatannya sendiri. Lagipula sudah sampai begini, dirinya tidak bisa mundur lagi.
"Okeee..." Ari mengangguk-angguk. Dia lalu menoleh ke belakang, menatap Oji yang sejak tadi berdiri dalam kondisi siaga. "Menurut lo"" Ari menggerakkan dagunya ke arah Tari, dengan kedua mata tetap menatap Oji.
"Begini, Bos.," Oji berusah membujuk. Tapi kalimatnya tak sempat selesai, karena pertanyaan Ari itu ternyata pertanyaan formalitas. Detik berikutnya, cowok itu balik badan dengan gerakan tiba-tiba dan menyingkirkan bangku panjang di depannya, lalu menggeser meja yang menjadi penghalang dirinya dengan Tari. Tari menjerit dan seketika berbalik ke meja panjang berikutnya.
"Ngapain jug ague takut" Emangnya lo kira elo tuh siapa!" Lo cuma cowok tukang bikin onar, tau! Dikira keren, apa!"" serunya. Seruan yang jelas berbeda dengan kenyataan. Ketakutan Tari makin besar, memicu kekuatannya untuk makin melawan. Hingga tanpa sadar cewek itu tidak lagi menggunakan sebutan "kakak" dan "saya", seperti yang selama ini selalu digunakannya saat berhadapan dengan Ari.
"Aduh!" desis Oji, serentak memegangi kepalanya dengan kedua tepak tangan.
"Kalo gitu, lo lawan gue!" Ari mengukirkan senyum tantangan. "Tapi inget ya, kalo lo kalah, lo jadi cewek gue. Suruh tu cowok mundur, daripada gue yang maksa dia mundur." Senyum tadi kemudian berubah menjadi seringai. "Deal" Lo emang bener-bener cewek yang mengasyikkan!"
Tari mengatupkan kedua rahangnya kuat-kuat. Meskipun takut, kemarahnnya jadi makin membuncah mndengar kalimat terakhir Ari yang baginya sudah melecehkan itu. Ditatapnya cowok itu dengan sorot mata yang berubah dingin.
"Gue pilih Angga!!!"
Pengakuan Tari itu seketika menciptakan hening yang pekat. Kesunyian yang benar-benar absolute. Semua mulut sontak ternganga. Semua mata terbelalak.
Dan kalimat terakhir Tari itu akhirnya meletupkan magma dari kawah vulakniknya.
"SIAPA YANG NYURUH LO MILIH!!!!""
Ari menggebrak meja di dekatnya dengan seluruh kekuatan. Kalau tadi hanya siswa-siswa yang berada satu meja dengan Tari yang bangkit berdiri dan pergi sambil membawa makanan masing-masing, kali ini semua siswa yang berada di
dalam kantin bangkit dan bergegas meninggalkan meja masing-masing. Kabur ke luar ruangan. Sebagian dengan membawa serta piring dan gelas mereka, sebagian meninggalkannya begitu saja di atas meja.
"Lo cuma boleh sama gue! Dengar nggak lo!"" bentak Ari dengan suara menggelegar. Kedua matanya menatap Tari dengan kilatan nyalang.
Tari pucat pasi. Sesaat dia hanya bisa berdiri mematung, terhipnotis menyaksikan kemurkaan Ari yang benar-benar di luar dugaannya itu.
"Denger, nggak!"" bentak Ari lagi.
Tari tetap bungkam. Ari menggeram. Kedua tangannya menyambar tepi meja di dekatnya lalu membantingnya sampai terguling. Tak ayal beberapa piring dan
gelas yang berada di atasnya terjun bebas dan hancur berkeping. Lantai kini bertabur pecahan beling dan potongan makanan.
Tari tersentak, tapi tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Meja berikutnya dengan dua buah bangku panjang yang mengapitnya, kini jadi satu-satunya penghalang antara dirinya dan Ari. Di luar para penonton jadi menahan napas ketika situasi di dalam jadi semakin panas.
Sementara itu daripada ikut campur, para pedagang di kantin lebih memilih mengamankan barang-barang mereka yang kira-kira berada dalam radius kemarahan Ari. Untungnya, karena semua meja dipakai bersama, para pedagang itu lebih memilih meletakkan semua perlengkapan seperti botol saus, kecap, sambal, dan cuka di gerobak masing-masing, sehingga peristiwa merugikan sekaligus membahayakan seperti barusan bisa diminimalisasi. Kecuali beberapa piring dan gelas yang tadi ditinggalkan para pemakainya menyelamatkan diri keluar ruangan.
"Denger!"" kembali Ari bertanya. Volume suaranya menurun, tapi intonasinya justru makin menajam. Tari tetap bungkam. Kebungkaman Tari itu membuat kemarahan Ari semakin menjadi. Karena dia bisa melihat, meskipun dicengkeram ketakutan, cewek itu melawannya habis-habisan.
"Lo bener-bener bikin gue marah!" geramnya sambil melompati meja. Tari menjerrit dan seketika menyusupkan diri ke kolong meja, berusaha mencapai pintu. Jalan pikirannya jelas terbaca.
"Oji, tutup pintunya!" seru Ari. Oji langsung melaksanakan perintah itu. Bukan karena taat, tapi murni karena refleks. Serentak, Fio dan Nyoman menggeser tubuh menjauhi pintu. Kini keduanya juga ikut terkurung di dalam ruangan kantin, dengan napas tertahan menyaksikan perjuangan Tari tanpa sanggup memberikan pertolongan. Posisi Fio dan Nyoman, juga Oji, kemudian ikut berpindah-pindah mengikuti pergerakan dua orang yang tengah terlibat dalam situasi mengejar versus melarikan diri itu.
Usaha Ari untuk mendekati Tari dan usaha Tari untuk menjauhkan diri tak ayal menyebabkan ruangan kantin di area makan jadi porak poranda. Meja dan bangku berganti-ganti posisi dari tegak jadi berguling kembali. Digeser ke satu sisi lalu dilempar ke sisi lain. Pecahan-pecahan piring dan gelas terinjak dan tertendang ke sana-sini. Potongan-potongan makanan, cipratan bumbu, kuah dan saus menutupi hampir seluruh permukaan lantai. Teriakan dan bentakan Ari terdengar berselang-seling dengan jerit dan tangis tertahan Tari. Adegan Ari dan Tari berlarian memutari meja dan bangku panjang silih berganti dengan adegan Ari melompatinya dan tari menyusup di bawahnya.
Semua penonton seperti terhipnotis menyaksikan peristiwa itu. Ari lepas kendali. Kemarahannya tak bisa dimengerti. Kekalapannya tak terpahami.
Tak seorang pun tahu, secara emosi Ari memang tidak bisa berpisah dengan dua kata itu. Dua kata yang mengikatnya sampai mati. Bahkan di saat dirinya belum mengetahui nama lengkap Tari, nuansa oranyenya telah membuat alam bawah sadarnya menggiringnya pada gadis itu.
Karena penonton yang berjubel di luar sudah semakin banyak, akhirnya Oji memutuskan untuk bertindak. Beberapa wajah kelas dua belas bahkan ditemuinya menyeruak kerumunan yang berjubel di depan deretan jendela itu. Dihampirinya Ari dari arah belakang, dicekalnya kedua lengannya dan diseretnya cowok itu menjauhi Tari.
"Apa sih lo!"" dengan kasar Ari melepaskan cekalan Oji dari kedua lengannya. Disentaknya tubuh kawan karibnya itu sampai terdorong mundur.
"Di luar udah banyak banget orang yang nonton, Ri...," bisik Oji.
"Ck, peduli amat!" Ari berdecak. "Kalo mereka suka, biar mereka nonton!"
Ari kembali mendekati Tari, yang berdiri gemetar di belakang salah satu meja. Dengan kedua rahang terkatup rapat, Oji juga melakukan hal yang sama. Kembali dihampirinya Ari dari arah belakang dan direngkuhnya dengan kedua lengan. Kali ini Oji mengerahkan seluruh kekuatannya, sehingga ketika Ari memberontak, lingkaran kedua lengan Oji di dada Ari tetap ketat.
Dengan paksa kemudian Oji menjauhkan sang pentolan sekolah itu dari cewek pucat pasi di depannya.
"Lepas, Ji!" sesaat Ari berhenti berontak. Dimintanya Oji untuk melepaskan kedua tangannya dengan nada perintah khas siswa yang paling berkuasa di sekolah, yang selama ini selalu membuat Oji patuh. Tapi kali ini Oji tidak mengindahkan perintah itu.
"Lo udah jadi tontonan banyak orang, Ri. Anak kelas sepuluh pula!" Oji mengulang kalimatnya. Kali ini tepat di satu telinga Ari.
"Kalo mereka mau ngeliat, biar aja. Biar mereka ngeliat. Biar mereka nonton. Peduli apa sih lo!""
Bersamaan dengan Oji yang dengan paksa menjauhkan Ari dari Tari, Fio dan Nyoman segera berlari mendapati Tari, merengkuhnya dari sisi kiri dan kanan, kemudian langsung menyeretnya ke balik etalase kaca milik Bu Een, pedagang kue.
Sebenarnya tak ada ruang yang cukup luas di balik etalase itu. Tapi karena itu satu-satunya tempat bersembunyi yang terdekat untuk mencapai pintu yang saat itu masih dalam keadaan tertutup, Fio dan Nyoman memaksa menyusupkan diri ke celah kecil sempit itu, dengan Tari di tengah-tengah keduanya. Bu Een terpaksa menggeser tubuh tambunnya ke tepi, setelah itu dia berbuat seolah-olah tidak terjadi sesuatu.
Sementara itu sekuat tenaga Ari berusaha melepaskan rangkulan ketat Oji di tubuhnya. Mulutnya mengeluarkan sumpah serapah dibarengi ancaman untuk sobat karibnya itu.
"Woi, bantuin gue!" Oji berseru pada para penonton yang berjubel di luar. Tapi sebagian besar penonton yang terdiri atas siswa-siswa kelas sepuluh dan sebelas itu hanya menanggapi seruan Oji itu dengan berdiri beku.
Yang sedang emngamuk di depan mereka adalah senior yang paling berkuasa dan ditakuti. Yang meminta tolong untuk bantu mengatasi adalah sahabat karibnya sendiri. Namun, akibat di kemudian harilah yang memenuhi benak setiap siswa cowok yang menyaksikan itu.
Kalau urusan hari ini berbuntut, apakah Kak Oji akan melindungi mereka dari Kak Ari" Kalo nggak... nah, ini baru masalah besar. Karena bisa bikin hari-hari ke depan bakalan runyam dan full of nightmare!
Sadar tidak seorang pun akan bergerak dari tempatnya, sambil terus memegangi Ari dengan satu tangan sekuatnya, Oji cepat-cepat mengeluarkan ponselnya dari saku celana.
"Dho, lo di mana""
"Kantin. Kenapa""
"Ke sini cepet!"
"Ada apa sih" Gue lagi makan nih."
"Ari ngamuk. Gue nggak bisa nge-handle!"
Di seberang, Ridho tersentak. Kontan dia letakkan sendok dan bangkit berdiri. "Lo di mana, Ji""
"Kantin kelas sepuluh."
Sesaat kedua alis Ridho menyatu mendengar info itu. Bingung. "Oke, gue ke sana."
"Cepetan!" "Iya."
Dengan badan yang kalah tinggi, Oji memang tidak mungkin sanggup menangani Ari lebih lama. Ridho datang tak lama kemudian dan langsung merangkul Ari tepat di leher dengan satu tangan.
"Tahan diri lo," bisiknya.
"Apa sih lo" Lepas!" seketika Ari berontak. Dengan marah dia enyahkan lengan Ridho yang melingkari lehernya. "Nggak usah ikut campur urusan gue! Pergi lo!"
"Elo di depan anak-anak kelas sepuluh, tau!" desis Ridho. Kedua matanya sampai menatap Ari dengan tajam. Tak percaya kawannya itu bisa lepas control hanya karena cewek dan di depan begitu banyak junior pula.
"Ck, aaah!" Ari mengibaskan tangan kanannya tak peduli. "Dia udah ngomong berkali-kali tau nggak"" dengan sepasang mata tertancap pada Ridho ditunjuknya muka Oji dengan ujung jari. "Dan gue udah bilang, gue nggak peduli. Biar aja mereka nonton! Biar mereka ngeliat! Peduli setan!"
Kemudian Ari balik badan dan langsung mencari-cari Tari. Kedua matanya memindai seluruh sudut ru
angan dengan gerakan liar.
"Ke mana tu cewek"" tanyanya. Pertanyaan itu dilontarkannya dengan suara tinggi, karena dia tujukan untuk semua kepala yang berada di ruangan kantin, yang menatapnya dengan sorot tegang. Ketika tak seorang pun menjawab, Ari menggerbrak meja di depannya dengan berang. Dia yakin semua orang yang berada di dalam ruangan itu tahu keberadaan Tari tapi tidak ingin mengatakan.
"Ngumpet di belakang gerobak gorengan lo ya, Mas"" tatapan Ari berpindah ke Mas Wiji.
"Ndak ada. Yang ngumpet di sini cuma pisang satu tandan," jawab Mas Wiji santai, karena memang begitulah kenyataannya.
"Di belakang gerobak lo, Mas Yad"" tuduhan Ari berpindah ke Mas Yadi, penjual mi ayam.
Ridho dan Oji sesaat saling pandang. Ridho mengangguk samar. Tiba-tiba kedua cowok itu bergerak bersamaan. Dengan gerakan cepat dan terlatih, Ridho menggunakan jurus mengunci lawan yang diperolehnya dari ilmu beladiri taekwondo yang dipelajarinya.
Kemudian dengan paksa dan cepat - karena Ari berontak hebat, bukan hanya dengan tenaga dan mulut - Ridho menyeret Ari keluar menuju toilet yang terletak di sebelah kantin. Oji berjalan rapat di belakang keduanya, menutupi apa yang dilakukan Ridho terhadap Ari dari pandangan para junior mereka. Begitu pintu toilet ditutup oleh Oji, Ridho melepaskan cekalannya.
"Bangsat lo! Mau pamer kekuatan" Minggir dari pintu. Gue bilang jangan ikut cam..."
PLAK! Satu tamparan yang benar-benar keras dilayangkan Ridho di pipi kiri Ari. Ari sampai terdorong mundur beberapa langkah. Dipandangnya Ridho dengan tatap terkesima. Ridho balas menatapnya, dengan tubuh bersandar di pintu toilet dan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Kenapa sih lo" Kalo lo emang bener-bener naksir tu cewek, biar gue yang pedekate. Lo tinggak terima beres. Lo sadar nggak, tadi jadi tontonan hampir semua anak kelas sepuluh""
Ari tersadar. Kemarahnnya mulai menguap. Lunglai disandarkannya tubuhnya ke dinding. Tubuh itu kemudian meluruh di sana. Beberapa saat hanya pemandangan itu yang terjadi. Ambruknya Ari di hadapan dua orang teman terdekatnya. Yang menatapnya tertegun dan nyaris tidak bisa percaya.
"Namanya Matahari Jingga."
Suara itu nyaris selirih embusan angin. Namun Oji dan Ridho bisa mendengarnya dengan jelas. Bahkan ketika terucap, keduanya bisa merasakan beratnya beban Ari saat mengeluarkan satu kalimat singkat itu dari keterbungkamannya selama ini. Satu kalimat yang menciptakan keheningan pekat. Yang bahkan tidak tertembus dengung pembicaraan yang terjadi di luar, yang pasti diakibatkan peristiwa di kantin barusan.
Ridho dan Oji saling tatap. Kedua alis mereka bertaut bersamaan, saling bertanya lewat sorot mata. Jelas-jelas mereka mendengar Ari menyebutkan "Matahari Jingga", bukan "Jingga Matahari". Jadi jelas bukan Tari yang dia maksud di sini.
Keduanya menggelengkan kepala bersamaan. Dan bersamaan pula, bola mata keduanya mengarah pada Ari. Sobat mereka itu terduduk di lantai dengan kepala menunduk dalam. Kedua lututnya yang terlipat menyangga kedua lengannya. Kesepuluh jarinya bertaut erat. Ridho dan Oji menunggu kelanjutan kalimat Ari tadi.
Namun Ari bungkam. Tak mampu lagi meneruskan. Jauh di dalam, seluruh pertahanannya telah runtuh. Karena satu nama itu adalah bagian dari inti seluruh luka dan rasa frustasinya.


Jingga Dan Senja Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lagi-lagi Ridho dan Oji saling pandang. Ketika hening yang tercipta berlanjut, harapan mereka akan satu penjelasan terhalau.
Matahari Jingga. Satu nama yang tercetus dari bibir Ari beberapa saat lalu. Hanya itu. Satu kalimat pendek yang tidak menjelaskan apa pun. Hanya memperbesar tanya dalam benak Ridho dan Oji.
Namun, keduanya sepakat untuk tidak bertanya. Pengertian bisu yang justru teramat dalam yang telah menyertai mereka sejak bertemu Ari di hari pertama masa SMA. Keduanya teramat sadar, pada Ari ada banyak rahasia. Ada banyak relung gelap yang tidak terbaca. Dan pengertian dalam diam adalah hal terbaik yang bisa mereka berikan.
Satu yang diyakini keduanya dengan pasti: satu nama dari masa lalu itu sepertinya sangat berarti untuk Ari. Berarti, itu alasan
utama untuk keanehan sikap Ari hari-hari belakangan ini, dan untuk kalap juga control yang terlepas tadi. Persamaan nama. Bukan untuk Tari secara pribadi.
Ridho melirik jam tangannya. Ada batas keterpurukan bagi setiap orang, yang berbeda satu sama lain. Dan untuk Ari, batas itu tidak bisa terlalu lama. Karena di sini bukan hati yang dipakai untuk barometer, tapi reputasi.
Pahlawan Harapan 10 Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar Bocah Berdarah Hitam 2

Cari Blog Ini