Ceritasilat Novel Online

9 Dari Nadira 4

9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori Bagian 4


dengan kelom pok burung nazar m eski sekadar basa-basi
lim a m enit. Sem ua warga lantai tujuh m em buat m aklum at
bahwa Nadira Suwandi sudah "sem buh" dari kegilaannya,
dan sudah hidup "norm al" karena kolong m ejanya kini
bersih, licin, dan sentosa. Hanya Andara, Yosrizal, dan aku
yang memperhatikan, Tara adalah satu-satunya mahluk yang
ter lihat seperti seekor anjing yang dikhianati tuannya.
Di suatu pagi yang m asih gelap dan dingin, dua m inggu
sebelum pernikahan Nadira, aku m elihat tiga orang lelaki
m asuk ke lantai delapan. J am sudah m enunjukkan pukul
tiga. Saat itu kantor Tera hanya bersisa segelintir wartawan,
dan beberapa desainer dan penata letak yang terkantukkantuk. Dari tinggi tubuhnya, aku sudah tahu, itu tubuh Tara
yang sedang ditopang oleh Andara dan Yosrizal. Aku segera
m em buru m ereka dan m em bantu Tara untuk duduk di sofa
lobi kantor kam i. Pori-pori Tara m eruapkan arom a alkohol.
Mereka pasti baru saja m inum habis-habisan di J oe"s Bar.
205 Sebilah Pisau Tara m engucapkan terim akasih sem bari m em ijit-m ijit
kepalanya. Andara dan Yorizal m em inta agar aku m en ja ga
Tara, karena m ereka m asih harus m enyelesaikan pe nyuntingan nas kah. Pada jam tiga pagi sudah tak ada para Polisi
Rokok, m aka aku m em beranikan diri untuk m enge luarkan
rokok kretekku (Majalah Tera terdiri dari warga anti rokok
yang sangat berkuasa. Kami, para perokok, bagai budak yang
harus patuh pada peraturan m ereka).
Baru saja aku m enyalakan api, Tara m enyodorkan
lengannya yang panjang. Eh, m anja sekali anak ini. Aku
m em berikan rokokku dan m em biarkan dia klepas-klepus,
tenggelam di dalam kesedihannya.
"Mas Tara"."
"Shut up!" Oh, oke. Aku diam m enatap tem bok. Kenapa tem boktem bok kantor tak dibuat m ural saja" Bukankah m ajalah
Tera terdiri atas banyak senim an, term asuk Mas G, pem im pin redaksinya. Pasti para ilustrator seperti Mas Elan, Mas
Prajoko, dan aku bisa m engisi tem bok kosong yang m em bosankan ini dengan m ural yang ekspresif. Misalnya...
"Mas... Kris?""
Astaga. Nadira" Apa pula ini" Kenapa dia harus m uncul
saat Tara sedang terlihat dungu"
Tara seperti disengat lebah, langsung duduk dan
m elotot. "Ada apa, m alam -m alam m asih di sini?"
Nadira m engerutkan kening, "Kan Mas Tara bilang
aku harus m enyelesaikan sem ua utang laporan... J adi aku
kerjakan. Kan aku sudah m au cuti ka..."
"Ya, ya, ya"," Tara m em otong dengan nada judes. Kata
"kawin", "nikah", "Niko", atau "cinta" kini m enjadi m usuh
utam a Tara. Dia kini duduk tegak. Mungkin pengaruh
206 Leila S. Chudori alkoholnya m endadak m enguap, atau m ungkin saja dia
terlalu tegang m elihat Nadira"yang sudah m au kawin itu"
yang m endadak m uncul di hadapannya.
Aku m erasa ini saat yang paling tepat untuk m enyingkir.
Barangkali saja Tara ingin m engucapkan "Selam at jalan,
Sayang... Ku selalu rindu padam u" atau sem acam itulah.
Tetapi Tara m alah m enahan tanganku. Tepatnya, dia
m encengkeram pergelangan tanganku seperti seorang
anak TK yang m encengkeram tangan ibunya yang m au
m eninggalkan dia pada hari pertam a sekolah.
"Mas...," Nadira m alah ikut duduk di sofa tanpa diundang. Aku bisa m erasakan tubuh Tara sem akin tegang.
Tangannya sem akin m encengkeram pergelangan tanganku
dan aku m encoba m enahan rasa sakit. Mudah-m udahan darahku bisa m engalir dengan lancar.
"Biarpun nanti saya cuti, kalau Mas Tara perlu saya kalau ada yang sangat penting, panggil saya, Mas. Kita kan sedang kekurangan reporter."
"Oh, jangan, cutim u tidak boleh diganggu. Reporter
lain banyak. Nikm ati saja liburanm u," Tara m engucapkan
itu sem bari m enelan ludah.
"Mas...." "Ya....?" Aku berdiri, inilah m om en "Selam at jalan, Sayang" itu.
Aku harus m eninggalkan m ereka. Kali ini Tara tidak m engha langiku. Aku m enggum am , pura-pura ada sesuatu yang
per lu kuselesaikan. Tam paknya m ereka tak peduli. Tapi aku
sengaja m em buat kopi di pantry yang letaknya hanya be berapa m eter dari lobi m ajalah Tera. Aku bisa m endengar percakapan m ereka dengan jelas.
"Aku ingin tanya, Mas... Kenapa banyak sekali orang
yang tidak berbahagia aku m enikah dengan Niko?"
207 Sebilah Pisau O, Nadira..., kenapa kau m esti m engeluarkan
pertanyaan itu" Kenapa"
Aku tak m endengar jawaban apa-apa. Lalu kudengar
Tara m engeringkan kerongkongannya.
"Ya, kecenderungan m anusia kan selalu iri oleh keba hagiaan orang lain, Dira. Kam u tak perlu m erasa terganggu"."
"Mas Tara kenal Niko kan" Menurut Mas Tara, dia lelaki yang baik kan?"
"Ya, tentu saja saya kenal dia. Siapa yang tidak kenal
Niko Yuliar?" "Dia lelaki yang baik kan?"
"Ya"." Aku ham pir tak bisa m endengar bisikan Tara.
"Nadira..., aku harus m engatakan sesuatu?"
J antungku berloncatan kian-kemari. Tara, Tara, aduh".
"Ya, Mas"."
Hening. Udara kantor terasa seperti kandungan seorang ibu yang
berusia sembilan bulan yang siap jebrol kapan saja. Dan isi
kandungan itu adalah rasa cinta yang sia-sia.
"Aku... m engenal Niko dengan baik..."
"Ya, Mas?" "Nadira..., aku ingin kam u berbahagia dengan Niko...
Itu saja." Suara Tara ham pir pecah.
"Oh, terim akasih, Mas?" Aku bisa m endengar suara
Nadira yang riang, "Aku pasti akan bahagia. Sekarang pun
aku sudah bahagia... Aku pulang dulu ya, Mas?"
Kudengar Nadira m elangkah dengan ringan m eninggalkan lobi kantor. Hatiku terasa berat. Aku m engham piri Tara
yang m asih duduk dengan tegak. Aku m elihat di dadanya
208 Leila S. Chudori tertancap sebilah pisau. Dan aku m elihat aliran darah dari
m atanya yang m engalir berkelok-kelok m em basahi seluruh
lantai lobi. Paris, April 20 0 5-Anom ali, J akarta, J uli 20 0 9
209 UTARA BAYU UNTUK seorang perempuan yang har i in i sudah mencapai
usia 63 tahun, Ar yati Abim anyu nampak seper ti setangkai
anggrek ungu. Anggun, kukuh, klasik, dan tak lekang dim a kan usia. Dia mewakili para ibu J awa yang rajin mengusap kulitnya dengan m inyak zaitun dan m andi air m awar
pada tanggal-tanggal yang sudah ditentukan. Dia tak pernah
absen mem bersihkan wajah dengan air melati. Sekali se bulan, di luar acara undangan dan ar isan, segala tradisi r u tin
itu dia kombinasikan dengan perawatan moder n yang mewah: salon dan spa.
Setiap pagi, seperti juga pagi ini, Aryati m enghirup
jam u awet m uda singsetnya yang luar biasa pahit, tapi yang
telah m am pu m enyangga kehidupannya puluhan tahun. Dia
akan berjalan-jalan di sekitar kebunnya beberapa m enit,
Leila S. Chudori memeriksa koleksi anggrek dan anthurium, mengusap-usapnya dengan m inyak agar daunnya berkilat, lalu kem bali lagi
ke kursi tam annya untuk m enghirup jam u paginya.
Setelah cangkir jam unya sudah ham pir bersih, m aka
suam inya akan keluar dari kam ar, duduk bersam anya
m em baca koran dan m enghirup kopi pagi. Mereka kem udian
sam a-sam a m enikm ati sarapan. Aryati akan m enikm ati
sepotong roti, m entega, dan seoles m adu; sedangkan suam inya, Triyanto Abim anyu, akan m elahap dua buah telur setengah m atang, dua potong pepaya, dan sepotong roti. Mereka saling bertukar inform asi tentang rencana m ereka hari
itu. Triyanto Abimanyu, pensiunan perusahaan minyak yang
kini m enjadi kom isaris di beberapa perusahaan, m engisi
harinya dengan m engadakan kunjungan dan pertem uanper te m uan kecil, sebelum akhirnya kem bali ke rum ah dan
m a kan m alam bersam a istrinya.
Pada hari Minggu, putri bungsu m ereka, Utari Dini,
datang bersam a suam i dan kedua anaknya untuk m e ngunjungi Eyang Putri dan Eyang Kakung; berenang di kolam
renang di belakang rum ah. Putra sulung m ereka, Utara Bayu,
jika tak sedang sibuk dengan deadline m ajalah Tera akan
ikut bergabung. J ika Tara berhasil hadir dalam kum pulkum pul m ingguan ini, dia akan m engeluarkan panggangan
barbeque berkaki tiga. Aryati dan Tari akan m e ngeluarkan
daging, ayam , udang, cum i, ikan, dan segala m acam bum bu
untuk kem udian dibakar dan dim akan beram ai-ram ai.
Hidup pasangan Abim anyu itu sungguh sem purna.
Ham pir sem purna. Seandainya saja, yah, seandainya saja
putra sulung m ereka yang jangkung, berhidung lancip, dan
ber m ata hitam dan tajam itu segera m enyusul adiknya yang
lebih dahulu berum ah tangga. Utara Bayu, lelaki yang halus
budi itu, adalah im pian banyak perem puan dan banyak calon
213 Utara Bayu m ertua. Tetapi hingga kini, dia m enjadi pusat kegelisahan
sang ibu, karena m asih belum juga m au m em buhulkan hubungannya dengan perem puan m anapun.
Aryati dan Triyanto Abim anyu tahu betul, jika bocah
lanang kesayangan m ereka itu belum kunjung m endapat
jodoh, pastilah bukan karena Utara Bayu tidak laku. Dia
sangat laku keras. Tetapi...
Inilah yang m enjadi topik pem bicaraan khusus pagi
itu, ketika Aryati Abim anyu tengah m enghirup sisa jam u
dan Triyanto m engupas telur setengah m atangnya.
"Saya betul-betul tak m engerti, Mas..."
"Hm m m ?" Triyanto m em baca halam an depan koran
pagi itu dan m enggeleng-gelengkan kepala, "Ndak tega
aku, biar bagaim ana beliau ini Presiden, orang tua...,"
Triyanto m em perlihatkan foto hari-hari akhir Presiden
Abdurrahm an Wahid di istana yang tengah m elam baikan
tangan perpisahan. Dia akhirnya digantikan oleh Megawati
Soekarnoputri. Aryati hanya m em perhatikan sebentar, lalu m enggerutu, "Iya, gara-gara sibuk m ondar-m andir ke istana, Tara
tidak sem pat datang ke pesta barbeque tem po hari, Mas..."
"Ya, nam anya wartawan...," Mata Triyanto m asih terpaku pada foto itu.
Aryati menghela nafas, "Lalu bagaimana soal Tara, Mas?"
"Hm m m ... Tara kenapa?"
Aryati m asuk ke persneling dua. Suaranya m ulai m eninggi. "Mas, dia belum juga punya calon?"
Triyanto hanya m enggum am dan m em buka halam an
ke dua koran itu "Mungkin hatinya m asih tertam bat pada
ga dis itu..., tem an sekantornya itu... Nadia..., Nadina..."
"Ooooo"," Aryati Abim anyu ham pir tersedak; sejum put
jam u pahit itu ham pir saja m asuk ke hidungnya. Nam a itu
selalu m em buat jantungnya berdebar-debar.
214 Leila S. Chudori "Nadira, Mas?" "Ya, Nadira"ke m ana dia?" Triyanto kem bali m em bukabuka halam an koran pagi yang sungguh tebal itu.
"Nadira yang ibunya bunuh diri itu, Mas?"
Triyanto Abim anyu, sang ayah, sang patriarki keluarga
yang ram butnya sudah diselim uti warna salju, tapi toh m em perlihatkan sisa-sisa ketam panan itu, m engerutkan kening,
"Dia bunuh diri?"
"Ibunya, ibunya yang bunuh diri..."
"Oooh, ibunya..."
"Lo, ya tetap saja itu tragedi to, Mas..."
"Lha iya... Tapi saya kira dia yang bunuh diri. J adi
artinya, Nadia ini m asih hidup to?"
"Nadira..." "Iya, iya... Nadira. Bukan dia yang bunuh diri... Artinya
dia m asih hidup, m asih sehat... Lha sudah, undang saja dia
ke sini. Kenalan sam a Mas Priyatno..."
"Lho, Mas ini..., piye, kok m ain undang. Nadira itu bukan
pacarnya Tara, Mas... Dia itu tem annya..., bawahannya."
"Terus kenapa?"
"Ya, buat apa diundang?"
"Lha, katanya m encari calon m antu?"
"Duh Mas, Mas... Dia sudah kawin, sudah cerai, sudah
ter bang ke Am erika..."
"Katanya Kanada...," Triyanto m engoreksi istrinya.
"Ya, ya Kanada. Am erika... Apa to bedanya," Aryati kini
m e nuang teh jahe ke dalam cangkirnya. Suam inya tidak
m en jawab. Dia tak berm inat m enjelaskan bahwa kedua negara itu sangat berbeda.
"Mas..." "Hm ..." "Ingat Novena?"
Suam inya m eletakkan korannya, "Novita?"
215 Utara Bayu "Novena, Mas..., kan kita pernah diperkenalkan dengan
dia waktu pesta ulang tahun m ajalah Tera."
Triyanto terdiam , artinya dia tak ingat. Dia m em utus kan
kem bali tenggelam dalam halam an koran yang bertum puktum puk itu.
"Tem po hari saya sudah tanya Tara, ke m ana Nak
Novena itu... Tara diam . Tidak m enjawab."
Kali ini suam inya baru m engangkat kepalanya.
"Siapa?" Aryati m enghabiskan jam unya. Nam paknya suam inya
belum terlalu paham , atau belum m em fokuskan diri dalam
diskusi penting ini. Telur sudah habis, roti sudah hilang dari
piringnya. "Kopinya dim inum , Mas..."
Sam bil m em baca, sang suam i m enghirup kopinya. Mem ang ajaib, hanya dalam waktu beberapa detik, suam inya
m ulai terlihat segar. "J adi begini, Mas..., aku pikir, kita bikin acara barbeque
hari Minggu yang akan datang..."
"Yooo..., beli tenderloinnya nanti di Kem Chick saja"."
"J adi nanti Mas bicara sam a Tara, supaya undang seseorang, Mas?"
"Oke..." "Betul" Nanti Mas yang bilang sam a Tara untuk m engundang Novena ya?"
"He?" kepala Trianto keluar dari lem baran korannya,
"Novena" Siapa itu Novena?"
Aryati Abim anyu m enghela nafas. Dia m em utuskan
untuk berdiri dan m em beri instruksi pada pem bantu-pem ban tunya.
*** 216 Leila S. Chudori Kara Novena lahir ketika hari tak pernah senja. Dia ada lah
sum ber kebahagiaan orangtuanya yang m erindukan seorang anak perem puan sesudah tiga anak lelaki yang lahir
se be lum nya. Kara Novena m enjadi pusat perhatian dalam
ke luarga Baskara. Kara Novena tidak tumbuh menjadi anak manja. Dengan
kasih sayang yang berlim pah dari orangtua dan ke tiga
abangnya, Novena berkem bang m enjadi seorang pe rem puan yang penuh kasih dan kesabaran. Term asuk ke sabaran
m e nanti seorang lelaki yang sudah lam a dicintainya. Utara
Bayu. Lelaki berhidung lancip dan berm ata tajam itu sudah


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

m e nam bat hati Novena sejak hari pertam a pertem uan
m ereka. Selam a dua tahun, Novena m enjadi reporter junior
yang m engikuti sem ua tugas liputan dan saran-saran Tara,
Kepala Bironya, hingga akhirnya Tara m eletakkan Novena
pada peliputan rubrik Lingkungan, Perilaku, dan Kesehatan.
Selam a dua tahun itu, Novena m erasa hidupnya tenteram ,
hingga kedatangan seorang reporter baru yang menjadi pembicaraan di ruang redaksi. Pada tahun 1989, Novena ingat
sekali, seorang calon reporter baru yang m asih hangat keluar dari panggangan akadem is di luar negeri m uncul di
ruang rapat lantai tujuh. Wajahnya tak disentuh oleh riasan
kecuali bedak dan selajur olesan m erah m uda pada bibirnya.
Ram butnya yang panjang itu nam paknya tak bersahabat
dengan sisir. Bibirnya hanya se se kali dibuka jika ada se seorang yang bertanya. Novena m en duga, Nadira tidak gem ar
berbelanja seperti um um nya pe rem puan J akarta. Dia hanya
suka m engenakan celana jeans dan kem eja putih. "Pasti dia
m em beli dua lusin kem eja putih dan dua lusin jeans dari
m erek yang sam a," dem ikian Adina m em beri kom entar
tentang penam pilan Nadira.
217 Utara Bayu "Hai..., pasti novelnya bagus sekali," kata Novena
m engham piri m eja Nadira.
Nadira, reporter yang baru sem inggu bergabung dengan
m ajalah Tera itu langsung berdiri dengan sigap. Dia tahu
Novena reporter yang lebih senior daripada dirinya.
"Oh, duduk saja. Aku Vena... Novena...," Vena m e nyodor kan tangannya.
"Nadira, Mbak."
"Ah tak perlu m em anggil aku Mbak, usia kita tak jauh
beda, Nad." Nadira m engusap-usap tangannya ke kem ejanya, kikuk. Dia akhirnya duduk dan m eletakkan novel yang se dang
dibacanya. "Novel tentang apa?" Novena m engam bil buku yang
sedang dibaca Nadira. Dia m elirik judulnya: Novem ber.
"Tentang seorang anak rem aja yang lari dari rum ahnya;
kisah pencarian diri begitulah, Mbak."
"Vena... Novena..."
"Pasti lahir bulan Novem ber."
Vena tertawa, "Ya..."
"Tokoh dalam novel ini juga lahir di bulan Novem ber...
Pe ristiwa yang dia alam i juga terjadi pada bulan
Novem ber." Vena mengangguk-angguk, "Ilustrasinya bagus sekali..."
Nadira m engangguk. Masih kikuk.
"Mbak...Vena... m eliput desk apa?"
"Kesehatan, Perilaku, dan Lingkungan, Nad. Kalau
kam u m enem ukan kasus m enarik, usulkan saja..."
"Oh ya, Mbak. Lingkungan pasti m enarik."
Nadira pura-pura m em bersihkan key board kom puter
karena tak tahu bagaim ana caranya berbicara dengan seorang reporter senior yang begitu ram ah dan bersedia m eng218 Leila S. Chudori ham piri m ejanya. Novena paham dan segera m e ninggalkan
m eja Nadira. Setelah pertem uan pertam a itu, Nadira kelihatan sibuk
dengan tugas-tugas awalnya, sem entara Novena m em perha tikan serangkaian reaksi Tara terhadap kehadiran Nadira.
Novena bisa m elihat: ada tenaga baru yang m e nyelinap ke
dalam tubuh Tara. Tenaga baru itu berhasil m en dorong Tara
m elahirkan ide-ide baru. Tara rajin m e ngum pulkan para
reporter dan m em buat diskusi-diskusi khu sus tentang bagaim ana m engejar sum ber. Dia m em buat program baru, yaitu
evaluasi laporan para reporter setiap Selasa pagi. Pada acara
evaluasi itu, selain Tara, para redaktur secara bergantian diundang untuk m em beri kritik, saran, dan m asukan pada
laporan para reporter. Tentu saja rom bongan reporter baru
itu m enelan sem ua ajaran Tara dan para redaktur dengan
m ata m elotot dan jari-jari yang jum palitan m enulis sem ua
kalim at dan petuah para wartawan senior. Tapi Novena segera m enangkap sinyal itu: Tara m enciptakan pro gram itu
agar dia m em punyai alasan berinteraksi lebih intens dengan
Nadira. Perhatian Tara yang istim ewa terhadap angkatan repor ter Nadira ini kem udian m enjadi bahan pem bicaraan
para burung nazar. "Mem ang wajahnya m anis, m eski penam pilannya rada
berantakan..." "Dia suka membaca, Tara pasti cocok ngobrol sama dia."
"Tapi, Novena lebih cantik..."
"Apa urusannya dengan Vena?"
"Lah, bodoh pula kau, tidak tahu soal Vena?"
"Novena terlalu lem but buat Tara, terlalu m irip ibu
rum ah tangga. Mungkin Nadira m em buat bisa m em buat
Tara jadi hidup." 219 Utara Bayu "Hidup apa" Anak baru itu cum a senang bawa buku,
di pojok m em baca atau sibuk di lapangan. Apanya yang
m enggairahkan?" Novena tak pernah m em usingkan para burung nazar.
Dia duduk dengan takzim di hadapan m ejanya yang tak jauh
dari m eja Tara. Dia m enulis laporan, m enyelesaikannya, dan
m enyerahkannya kepada Tara dan selalu siap m em bantu
kebutuhan Tara. Novena tahu, m ata Tara selalu lebih
banyak tertuju kepada layar kom puter atau kepada buku
yang dibacanya. "Vena..." "Ya, Mas...?" "Ada konferensi soal AIDS, kam u ikut ya."
"Ya, Mas..." Tara m enyerahkan lem baran penugasan itu sem entara
m a tanya tetap m enatap layar kom puter. Novena berharap,
sua tu hari, Tara m enyerahkan lem baran penugasan sam bil
m e natap wajahnya dan hatinya.
Di tahun 1991, di sebuah pagi yang m urung dan basah
oleh rintik hujan, Novena sudah duduk di m ejanya m encari
bahan usulan untuk rubrik Perilaku. Saat itulah, dia m elihat
Yosrizal dan Andara berbincang dengan wajah tegang.
Novena perlahan berdiri dan tanpa sadar m endekati kedua
re kannya. Dari jauh dia bisa m elihat keduanya m engucapkan
nam a Nadira berulang-ulang.
"Ada apa, Yos?"
Yos m enatap Novena. Andara perm isi m eninggalkan
m ereka karena harus m enem ui Pem im pin Redaksi.
"Ibu Nadira wafat, Vena..."
Untuk pertam a kali, Novena m erasa hari m endadak
senja. Segala optim ism e dan sinar m atahari tiba-tiba redup.
Apalagi ketika dia m endengar kalim at Yosrizal berikutnya,
"Nadira m enem ukan ibunya di lantai, Vena..."
220 Leila S. Chudori Kara Novena merasakan bahwa sebuah hari harus mengalam i petang yang suram .
*** Tara berdiri di depan pintu ruang rapat lantai delapan
kantor m ajalah Tera. Dia m endengar suara dialog yang berasal dari sebuah film . Tara m engetuk pintu dan terdengar
suara Novena yang m em persilakan dia m asuk. Ruang rapat
itu gelap, kecuali cahaya yang bersum ber dari layar televisi
m enyirat wajah Novena. Novena duduk sendirian m enyaksikan tayangan sebuah video. Tara m em utuskan duduk
di sebelah Novena dan ikut m enyaksikan video itu.
"Apa ini?" "Ssssshh..." Tara dengan hikm at m enatap layar televisi. Film itu
m e nya jikan adegan seorang perem puan kulit putih yang
se dang m encurahkan isi hatinya kepada seorang psikiater.
Mungkin dia baru berusia sekitar 40 tahun. Aksennya m enunjukkan dia berasal dari Inggris. Tersendat-sendat
perem puan itu m enceritakan bagaim ana dia m enjalani sisa
hidupnya di dunia ini. Nam un, katanya dengan wajah m enerawang, dia selalu m erasa kem atian adalah solusi yang
paling tepat untuk m engatasi kegelisahannya. Tara m elihat
betapa gelisahnya sang perem puan. Sesekali dia m enggaruk
pergelangan tangannya yang diperban. Sesekali dia m enatap
keluar jendela. Pada adegan berikutnya, sineas dokum enter
itu m enyebutkan beberapa pekan setelah wawancara itu,
sang perem puan ditem ukan tewas gantung diri di kam ar
m andi. Tara tersentak. Dia m engam bil rem ote, m em encet
tom bol, dan video itu mati dalam sekejap. Dia berdiri dan
menyalakan lampu. "Buat apa ini, Vena?"
221 Utara Bayu "Ini film dokum enter yang dipinjam kan Dr Yusri Sakti,
salah satu psikiater yang sedang aku wawancara. Aku sedang
m enggali info untuk liputan tentang kasus-kasus bunuh diri
di Indonesia." Tara m engerutkan kening. Hatinya berdebar. Tubuh
Tara m ulai berkeringat, pertanda dia m enahan am arah.
"Dr Yusri bahkan m em injam kan beberapa buku yang
m em bahas kasus bunuh diri dari sudut pandang antropologi,
sosiologi, dan psikologi. Ada lagi buku tentang bunuh dirinya
tokoh-tokoh selebriti dunia. Penyair, penulis, pelukis..."
"Aku tak pernah m enugaskanm u m em buat liputan tentang kasus-kasus bunuh diri, Vena."
"Oh, m em ang ini insiatifku, Mas... Aku sedang m encari
bahan dulu, setelah itu aku akan m engusulkan pada rapat
reporter pekan depan, Mas..."
Tara duduk di hadapan Novena. Dia m encoba m enahan
diri. Tetapi gagal. Sem entara Novena terlalu polos untuk
m em aham i gejolak hati Tara.
"Kenapa" Kenapa kam u harus m em buat peliputan
tentang kasus bunuh diri" Kenapa harus sekarang" Apa
pentingnya?" Pada saat itulah Novena m enyadari, Tara tidak
m endukung idenya. "Saya pikir... Saya pikir, setelah peristiwa
ibu Nadira yang bunuh diri bulan lalu, m asyarakat perlu
m em aham i...," "Itu nonsens!!"
Tara dan Novena sam a-sam a terkejut dengan bentakan
Tara yang begitu saja m elesat keluar dari m ulutnya.
Mata Novena m ulai berkaca-kaca. Dia tak pernah m elihat Tara berbicara sekeras itu kepada siapapun. Dia segera
berdiri dan menghampiri video play er; mengeluarkan kaset
video dan memasukkannya ke dalam kotaknya. Air matanya
222 Leila S. Chudori menetes perlahan. "Vena...," Tara berdiri dan m encekal lengan Novena
yang sudah bergerak m au pergi.
"Duduklah... Duduk..."
Novena patuh, tapi kali ini dia m enunduk.
"Saya tak berm aksud m em bentakm u, m aaf Vena...,
sungguh..." "Ya, Mas..., saya tidak berm aksud jahat..."
"Saya tahu..., saya tahu... Cum a begini..., soal bunuh
diri adalah kasus yang sangat sensitif, yang m eninggalkan
traum a yang m endalam bagi orang-orang yang ditinggalkan.
Saya rasa, ini tem a liputan yang bisa kita tulis suatu hari.
Bukan sekarang... Tidak ada urgensinya."
Novena m asih terdiam . "Majalah Tera kan seperti keluarga kedua buat kita,
Vena. Apa yang kau lakukan terhadap anggota keluarga yang
sedang ditim pa m usibah" Sensitif, toleransi, dan m em aham i
se gala luka yang sedang diderita Nadira. Mem buat liputan
se perti ini, apalagi berdasarkan peristiwa kem atian ibunya,
ada lah tindakan yang sangat tidak sensitif."
Kali ini air mata Novena meluncur dengan deras. Novena
tak tahu apakah dia menangis karena menyesali per buatannya
yang dianggap tidak sensitif; atau karena dia menyadari bahwa Tara memang jatuh hati pada perempuan lain.
*** Tara m elirik alarm di atas m eja, pukul tujuh. Dia bisa m elihat
nom or telepon ibunya yang tercantum di layar telepon yang
sejak tadi berdering-dering m enyeruak sebuah pagi yang seharusnya sepi dan teduh itu. O, Ibu..., tidakkah kau ingin
anakm u cukup tidur" Tapi Tara bukan anak lelaki yang kurang ajar. Dia m engangkat telepon itu m eski m atanya terpejam .
223 Utara Bayu "Ya, Bu..." "Ee..., belum bangun kam u, to..."
"Ya sekarang sudah, Bu... Ada apa?" suara Tara m asih
ter dengar serak dan m enahan jengkel.
"Anu..., hari Minggu kam u m au bawa ikan atau
daging?" "He?" "Looo, bukannya Tari sudah telepon kam u, bulan
depan, m inggu terakhir kita m au m engadakan barbeque di
kebun. Bisa datang kan?"
Tara menggaruk-garuk kepalanya. Kelopak matanya sem a kin lengket.
"Ya, Tari sudah telepon, Bu..."
"Nah itu, kam u m au bawa ikan atau daging?"
"Ya, Ibu m aunya apa?"
"Ya wis, Ibu beli daging, kam u tolong beli ikan di Muara
Angke ya, Nak... Yang bagus dan segar. Tolong belikan
kakap, kerapu, bawal, baronang..."
"Mem angnya siapa yang m au sunatan, Bu" Banyak
betul..." "Pakde Prayitno sekeluarga juga m au datang."
Kali ini Utara Bayu, bocah lanang keluarga Abim anyu
langsung m elotot dan duduk, "Kok ada Pakde No?"
"Dia kangen, m em ang kenapa?"
Tara m elenguh seperti sapi yang digiring ke tem pat
pem bantaian. "Kalau begitu, Tara tidak datang. Banyak pekerjaan."
"Husy! Apa-apaan..."
"Capek Bu, selalu dijodoh-jodohkan sam a berbagai
perem puan. Saya takut naik darah, nanti saya kualat m arah
pada pakde sendiri."
"Itu dia. Supaya pakdem u tidak neko-neko, Tara, m bok
ya bawa pacar..." 224 Leila S. Chudori "Bawa apa?" "Bawa pacar, Nak... Bawa gadis yang akan kau nikahi..."
"Katanya tadi minta bawa ikan baronang dan kerapu..."
Kini suara ibunya m ulai m eninggi. "Nak, jangan begitu,
coba sekarang usiam u sudah berapa" Dan ingat, Nak Nadira
kan sudah..." "Iya, iya, saya tahu, Nadira sudah pergi ke luar negeri,
Bu, dan dia sudah bercerai... Apa hubungannya dengan


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saya?" Kini Tara terpaksa bangun dan m em bawa teleponnya
ke dapur sem bari m em buat kopi.
"Adikmu Tari sudah punya dua anak. Kamu masih warawiri sendirian ndak keruan. Ndak baik, Nak... Usiam u su dah
kepala 4. Bagaim ana kalau Ibu m eninggal besok?"
Tara m engaduk-aduk cangkir kopinya dan m enghirupnya. J am tujuh lewat 10 m enit dan dia m em bicarakan soal
jodoh dan kem atian dengan ibunya.
"Bu...," Tara m engeluarkan suara sibuknya, "ada
telepon m asuk. Sepertinya bos saya, Bu..."
"Baik, baik, jadi hari Minggu, kamu bawa ikan dan bawa
pacarm u ya, Nak..."
"Saya akan bawa ikan, tapi tidak bawa pacar, Bu..."
Tara m enutup telepon dan m enghela nafas.
*** Kara Novena selalu berbahagia saat salah seorang kaw an ny a m em buhulkan hubunganny a dengan kekasih ny a
secara resm i. Novena dianggap seorang ibu y ang akan
m eng urus peray aan perkaw inan anggota kantor m ajalah
Tera. Pada saat Andara m enikah, Novena m em baw a nasi
kuning y ang dilahap dengan segera oleh seisi kantor; atau
ketika sekretaris redaksi, Mbak Im ung m eny ebar undangan,
Novena sibuk m engum pulkan uang untuk m em belikan
hadiah dari seluruh redaksi. Novena selalu m eny alakan
225 Utara Bayu optim ism e pada w arga Tera, bahw a per ka w inan adalah
sebuah institusi y ang luhur, y ang perlu diray akan keluarga
Tera. Karena itu, sungguh m engejutkan ketika suatu hari di
tahun 1995, ia m enem ukan sebuah undangan pernikahan
y ang ditem pelkan di papan redaksi. Nadira Suw andi dan
Niko Yuliar. Novena langsung m encabut kartu undangan itu dan
bak anak panah, ia m elesat m enuju m eja Nadira. Nadira
y ang tengah bersiap-siap m engam bil lem baran cuti di
ruang Sum ber Day a Manusia terkejut m elihat Novena sudah
berdiri di hadapanny a seperti hantu y ang ber kelebatan.
"Benarkah?" Novena m engangkat kartu pernikahan
itu. Suarany a m eninggi dengan ekspresi kegem biraan
y ang tak tertahankan. Nadira m engangguk, setengah heran, setengah bingung.
"Ya, Mbak... Datang y a..."
Novena tak tahu dari m ana datangny a keinginan itu.
Dia langsung m enjerit hingga lengkinganny a m encapai
langit sem bari m em eluk Nadira seerat m ungkin, seperti
seorang ibu y ang bahagia karena putriny a m eraih gelar
Miss Universe. "Aku ikut senang. Ooo, aku ikut senang, Nadira!!"
Nadira sem akin bingung dan m engucapkan terim akasih dengan sopan sem bari m enepuk-nepuk bahu Novena.
Dia bahkan m erasakan setitik air m ata Vena y ang tum pah
ke bahuny a. "Kita harus ray akan, Nad. Nanti aku atur..."
"W ah, tak perlu Mbak... Say a sudah m au cuti, dan..."
"Tidak ada taw ar-m enaw ar. Sebelum kam u cuti, kita
bikin peray aan di rooftop. Kam u tak perlu m elakukan apaapa; aku paham kau sibuk dengan persiapanm u. Aku akan
226 Leila S. Chudori atur dengan para sekretaris redaksi. Oke?"
Nadira m engangguk setengah terpaksa. Dia tidak terlalu suka m eray akan apa-apa. Dia tak m enikm ati pesta.
Bah kan jika dia m em puny ai pilihan, dia ingin sekali pernikahanny a dilakukan hany a di depan keluarga dekat dan
beberapa kaw an saja. Tetapi, m ana m ungkin itu dilakukan
di dalam m asy arakat y ang kelihatan gem ar dengan pesta
per kaw inan ini" Pesta versi m ajalah Tera m eny am but pernikahan
Nadira itu terjadi dengan m eriah di rooftop lantai 9 kantor.
Yosrizal m em baw a tape recorder dengan kaset m usik
reggae; Novena m eny ediakan berbagai m acam m akanan
dan Andara m em baw a aneka m inum an term asuk bir dan
anggur. Mungkin karena lelah dengan pekerjaan, pesta
itu m enjadi sem acam saluran bagi w arga Tera untuk m elepas ketegangan. Nadira akhirny a ikut m enikm ati pesta itu sem bari m eny eruput anggur bersam a Yosrizal di
pojok, m em andang kaw an-kaw anny a y ang berdansa seper ti m ony et kesiangan. Novena m engham piri Nadira
dan Yosrizal dengan w ajah m erah karena bahagia, seolah
dialah y ang akan m enjadi pengantin perem puan. Dia m eny odorkan gelas anggur.
"Selam at... Cheers, Nadira!"
Nadira m endentingkan gelasny a dengan patuh. Novena
kem udian ikut m eloncat ke dalam lautan w artaw an y ang
tengah jejingkrakan m engikuti lagu Bob Marley y ang
m eny any ikan lagu "Red, Red W ine."
"Yos...," Nadira m enghirup anggurny a sem bari m em perhatikan m ony et-m ony et itu.
"Ya..." "Kau tahu lagu ini sebetulny a diciptakan Neil
Diam ond?" 227 Utara Bayu Yosrizal m enggeleng dan bersendaw a, "Tak terbay ang
kalau dia y ang m eny any ikan."
"Yos..." "Ya..." "Mana Mas Tara?"
"Entah, Nadira..."
Mereka berdua terdiam . Dari jauh, entah bagaim ana
Yosrizal dan Nadira tiba-tiba saja paham sinar kebaha giaan y ang terpancar dari w ajah Novena.
*** Tara baru saja m enyelesaikan laporan koresponden
New York tentang tem uan terbaru atas peristiwa tragedi
Word Trade Center yang m engguncang dunia. New York
pe nuh dengan poster wajah-wajah orang hilang, dan setiap
m a lam selalu saja ada kelom pok yang m em asang lilin dan
ber doa untuk keselam atan m ereka yang belum ditem ukan
di antara reruntuhan gedung di kawasan ground zero. Hati
Tara pecah. Nadira terasa begitu jauh. Tapi dia tahu, Nadira
pasti sudah sibuk m engum pulkan m uridnya di Victoria
College untuk ikut berdoa.
Ini hari Minggu pagi. Tapi Tara m erasa harus berkom u nikasi dengan Nadira. Baru saja dia m au m em buka laptopnya, telepon rum ahnya berdering.
Astaga. Tara baru ingat. Barbeque. Ikan. Muara Angke.
"Ya, Bu?" "Kam u ingat kan?"
Tara terdiam . "Tara..." "Ya, Bu, ini baru m au ke Muara Angke..."
"Kam u akan m em bawa tem an?"
"Ya, Tara akan ditem ani ikan baronang, Bu..."
228 Leila S. Chudori Terdengar ibunya m enghela nafas, "Ya sudah, Ibu
tunggu kam u dan ikanm u."
Sore itu kebun keluarga Abim anyu penuh dengan asap,
arom a daging tenderloin, udang, cum i, jagung, ikan, bawang
bom bai, dan serangkaian tawa riang. Tari dan suam inya
tam pak sibuk m em buat m inum an yang disukai keluarga
besar Abim anyu jika sedang pesta barbeque: es lobi-lobi.
Rasa asam m anis lobi-lobi biasanya bisa m engim bangi lem ak daging yang m ereka kunyah. Aryati dan Triyanto m enem ani para pakde dan bude duduk-duduk di teras; se m entara Tara dibantu sim bok m em bolak-balik daging tender loin
dan jagung. Baru saja dia m ulai m em beri bum bu pada ikan
kerapu dan baronang yang dibelinya tadi pagi, dia m endengar sebuah suara yang dikenalnya.
"Mas Tara..." Tara m enoleh dan tidak percaya m elihat Novena sudah
berdiri di hadapannya, di kebun orangtuanya.
*** Nadira y ang baik... Nadira, Hey , Nad... Nadira, apa kabar... Kalau kau m em baca em ailku ini, Nad...
Jakarta, seperti juga seluruh dunia, terguncang oleh
peristiw a W TC... Tara m enghela nafas. Sem ua kalim at awal itu diha pusnya kem bali. Apakah dia berhutang kepada Nadira untuk
m engisahkan tentang dirinya, tentang gejolak hatinya" Apakah dia harus m elaporkan kepada Nadira bahwa m ungkin
akan ada perubahan dalam hidupnya" Apakah Nadira
229 Utara Bayu adalah orang yang pertam a yang harus tahu tentang... Tara
m enggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tahu, Nadira selalu
m e langkah dalam hidupnya tanpa m em perhitungkan kehadiran Tara. Kawin, cerai, terbang ke Kanada. Nadira sam a
sekali tak pernah m em asukkan Tara sebagai faktor penting.
Kenapa pula Tara harus m em perhitungkan Nadira untuk
m em utuskan sesuatu yang penting"
Tara m enutup kom puternya.
*** Novena m engaduk-aduk cappucino itu, lalu m enghirupnya
perlahan. Tara tersenyum m elihat busa cappucino yang tertinggal di bibir Novena. Dia m engam bil tisu dan m engusap
pinggir bibir Novena. Novena m erasa seluruh tu buhnya tergetar. Tara kem udian m enghela nafas dan m e natap kopi
hitam di hadapannya. Gelap.
Tara m erasa dirinya m enciut, m em iuh, m engecil m enjadi sebuah boneka yang berdiri di pinggir lautan kopi
yang hitam legam itu. Tara ham pir saja ingin m enerjunkan
dirinya ke dalam lautan kopi yang seolah tak m em iliki dasar
itu; tenggelam dan tak pernah m uncul lagi.
"Mas..." Perlahan Tara m engangkat wajahnya. Di depannya ada
seorang Kara Novena yang tak m engenal kepedihan; tak
pernah m engenal m atahari yang turun pada senja; tak pernah berhenti m encintainya m eski dia tahu Tara tak kunjung
bisa m enatap m atanya. "Aku selalu ingin bertanya... sejak dulu."
"Ya?" Novena m enghela nafas, karena dia akan m engeluarkan
pertanyaan yang sudah m em batu di dalam hatinya sepanjang
dia m engenal Tara. "Mengapa Mas Tara tak bisa m elihat
saya?" 230 Leila S. Chudori Tiba-tiba saja Tara tahu, dia tak boleh m enciutkan diri
dan terjun ke dalam lautan kopi hitam legam . Dia tak boleh
ikut larut dalam luka. J ika Nadira yang m engalam i sebuah
traum a besar dalam hidupnya bisa m encoba bangkit dan
hidup, Tara pun harus bisa bertahan, m eski tanpa Nadira
di sisinya. Tara m enatap sepasang m ata yang jujur dan penuh
cinta itu. "Mungkin m ulai hari ini, saya akan m enatap m atam u
sebagai panggilan hidupku."
Tara m em egang tangan Novena, "Tolong sabar, karena
saya sudah lam a hidup dalam kesedihan,Vena."
"Ya, Mas...," Novena ham pir m enangis.
"Vena..., m aukah kau..."
"Ya, Mas... Aku m au..."
Tara kini m enggenggam tangan Vena dengan tulus. Dia
lega, m eski hatinya teriris. Dia harus m engucapkan selam at
tinggal kepada seseorang yang tak pernah dim ilikinya.
**** J akarta, Agustus-Septem ber 20 0 9
231 AT PEDDER BAY MER AH. Daun m apel di bulan Oktober m enyelim uti tanah
hingga bum i Victoria m irip sehelai kain batik Cirebon. Bercorak m eriah, m erah dan m erah.
Aku menghirup satu aroma khusus yang hanya bisa
ditem ukan di tem pat ini, di Pedder Bay. Bau hutan pinus
yang senantiasa m asih basah oleh em bun pagi hari, bercam pur dengan bau daun m apel m erah yang m anis itu. Tak
ter tandingkan. Aku tak akan pernah m enem ui arom a itu
di J akarta, Manila, Tokyo, Am sterdam , atau Paris. Bau itu
m ilikku, hanya ada di Pedder Bay, di hutan pinus kam pus
kam i. Di atas bukit itu, di belakang bangunan kayu Filsafat
dan Musik, aku bersam a ketiga kawanku"Maria, Finn, dan
Leila S. Chudori Wai Tsz"biasa m enyaksikan bintang di m alam hari. Nun di
utara kam pus, adalah tem pat Rick Vaughn m em bawa pacarpacarnya untuk dicium hingga m ereka ham pir pingsan, saking lezatnya. Kam i sem ua sudah m erasakan cium annya.
Tapi, di seluruh kampus, hanya aku dan ketiga kawanku saja
yang berhasil m enghindar dari bahaya m agnet tubuh Rick,
anak Inggris ganteng itu.
Senja sudah tiba. Tetapi di bulan Oktober pukul lima
sore masih terang-benderang, meski tubuh sudah rontok
oleh ku liah yang beruntun. Marc dan aku duduk berbantal
daun-daun m apel m erah yang em puk dan harum itu, m e natap riak-riak Pedder Bay. Untuk beberapa m enit, kam i tak
berkata-kata. "Seperti m ereka, riak-riak itu sedang m em bisikkan
puisi...," kata Marc.
"Kam u adalah puisi."
Marc Gillard adalah selarik puisi dari langit.
Dia bisa m elihat pori-pori tubuhku dari langit karena
Tuhan m enganugerahkan tubuh Marc yang m am pu m enggapai pucuk pohon pinus. Pertem uan pertam a Marc denganku terjadi di sebuah m alam setelah kam pus kam i diusap hujan, 19 tahun lalu.
Di atas bukit, di Gedung Filsafat dan Musik, aku m endengar denting piano yang bernada m inor yang m engiris
hati. Tubuhku seperti m elayang ditarik oleh dentingan
suara itu. Tubuhku terbang m asuk m elalui jendela dan tibatiba saja sudah tertanam di ruang Musik. Aku berdiri di
balik sebuah punggung m ilik setangkai tubuh yang tinggi,
kepala yang tenggelam di antara tuts yang ditutupi ram but
brunette seperti kacang alm ond yang tebal dan ikal. Setelah
selesai, dia duduk tegak dan m enebak kehadiranku.
"Nadira?" 235 At Pedder Bay Aku heran sekali. Kam i tak pernah berkenalan. Bagaim ana dia bisa tahu nam aku. Dia m em balikkan tubuhnya.
Bibirnya terlalu m erah untuk seorang lelaki. Dia tersenyum
dan m engajakku duduk di bangku piano, di sebelahnya.
"Aku selalu m elihatm u m em bawa setum puk buku m enuju kelas Inggris."
"Bahasa Inggrisku m asih buruk," kataku terusterang, "aku m engam bil kelas ekstra agar bisa m engejar
Shakespeare." "Kamu tidak sadar kita sekelas di tutorial Shakespeare?"
Aku m enggeleng. Berbeda dengan lelaki Eropa yang
ku kenal, Marc m engirim kan bau tubuh dan ram but yang
ha rum . Ini sungguh ajaib. Aku belum pernah bertem u lelaki
Eropa yang bersahabat dengan air dan sabun. Aku segera saja
m enyukainya. Bukan hanya karena dia pecinta Eric Satie,
tetapi karena dia sangat harum . Ketika kam i bercium an, aku
bisa m erasakan arom a cengkeh.
"I love Indonesians..."
"He?" Marc m engeluarkan rokok kretek dari kantungnya. Aku
segera m em aham i m aksudnya. "Kam i, para perokok jahanam, menyebutnya Indonesians. Kalau sedang kepingin, kami
ke Am sterdam m em beli Indonesians..., rokok Indonesia."
Aku m engangguk-angguk. Aku tidak pernah suka rokok.
Aku tidak suka asapnya dan sangat tidak cocok dengan aktivitasnya (keluar-m asuk m engisap sebatang kesia-siaan
hanya untuk m engotori udara. Untuk apa"). Tapi entah


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke napa, bau harum tubuh Marc yang berbaur dengan bau
cengkeh dari bibirnya m alah m em bangkitkan birahi. Ah,
kam i m asih pada fase tubuh yang segar dan teguh. Kam i
baru saja berkenalan dengan Pedder Bay dan kam pus yang
terisolasi di tengah hu tan pinus Victoria. Apa yang bisa
236 Leila S. Chudori kam i lakukan"terutam a setelah m enyelesaikan tuntutan
akadem is"selain m elepas birahi"
Sem bilan belas tahun kem udian.
Begitu banyak yang terjadi. Terlalu banyak. Aku
m e ne ruskan pendidikan di Kanada, Marc terbang ke
Universitas Yale. Aku m enjadi warga m ajalah Tera; lalu
Ibu m em utuskan pergi m eninggalkan kam i. Aku bertem u
dengan Niko, m enikah, bercerai. Aku m em punyai J odi.
Itu se m ua kuceritakan pada Marc hanya dalam waktu dua
jam . Marc, yang m asih m enjulang ke langit, m asih brunette,
m asih tak m engenal sisir dan m asih bertubuh harum itu,
m en dengarkan tanpa m enyela. Dia m endengarkan dengan
se pasang m ata biru yang m enyorot dengan tajam . Yang
m em bedakan dia dengan Marc 19 tahun lalu adalah kerut di
sekeliling m atanya. Tetapi, dia m asih tetap sam a. Dan bibirnya m asih m engirim arom a cengkeh dari Indonesia.
*** Cepu, 11 Oktober 20 0 1 Nadira say ang, Aku tahu, ini tahun pertam a pengasinganm u di antara
pohon-pohon pinus kesay anganm u. Aku bisa m em ba y angkan, keinginanm u m enulis begitu deras. Aku bah kan bisa
m em bay angkan, setelah kam u m engajar, kam u m eng habiskan w aktum u m enatap langit Victoria (y ang pasti jauh
lebih biru dan lebih bening dibanding langit Jakarta y ang
penuh polusi). Aku juga ingat, kau m engatakan langit
Victoria dihiasi segum palan aw an y ang kau katakan
m irip gulali rasa vanilla. Aku rindu m endengar suaram u,
tapi aku lega kau sudah bisa m endengarkan bisikan riak
Pedder Bay y ang kau katakan m em buatm u ny am an.
Maafkan jika perm intaanku akan m em aksam u untuk
237 At Pedder Bay m engam bil jeda sejenak dari percintaanm u dengan hutan
pinus di Kanada. Akhirny a aku bertem u dengan Am alia Djum hana.
Seseorang y ang cantik hatiny a; m urni budiny a. Kam i
akan m enikah tiga bulan lagi, tepatny a bulan Januari
tahun depan. Orangtua Am alia m em inta kam i m enikah
tahun ini juga. Tetapi aku tak akan m enikah sebelum aku
m em perkenalkan Am alia pada orang y ang paling penting
dalam hidupku. Perkaw inan kam i akan diray akan dengan sederhana,
Dira. Hany a untuk keluarga dan kaw an terdekat saja. Setelah peristiw a 11 Septem ber, dunia, term asuk Indonesia,
sa ngat m urung. Aku tak bisa m em bay angkan m engadakan
pes ta di antara kegilaan y ang tengah terjadi. Aku m em bay angkan, seandainy a kam u m asih aktif di m ajalah Tera,
kau sudah sibuk m engirim seorang reporter ke New York;
atau m ungkin saja kau sendiri y ang akan berangkat ke
sana. Tetapi, aku kira keputusanm u untuk sabatikal sangat
tepat. Kita m em butuhkan sebuah jeda dari hiruk-pikuk
aliran hidup kita. Karena itu, tolong segera pulang. Setahuku, pada
akhir tahun, sem ua sekolah dan kam pus, term asuk Victoria
College m em berikan libur Natal dan Tahun Baru y ang
cukup panjang. Pulanglah. Batalkanlah apapun y ang telah kau renca na kan bulan Desem ber dan Januari 20 0 2. Ray akanlah
tahun baru dan hari paling bahagia dalam hidupku ini
ber sam a abangm u (dan Am alia y ang akan m enjadi kakakm u kelak; m eski dia sebenarny a sedikit lebih m uda
daripadam u). Ary a Suw andi. 238 Leila S. Chudori PS: Ini bukan perm intaan, tetapi sudah sam pai tahap perm ohonan. Pulanglah. Aku ingin kam u bertem u dengan
Am alia, lengkap dengan aksen Cerbon y ang sungguh cantik
dan m elodious. Oh y a, ini kulam pirkan salah satu contoh
undangan kam i. Ah, alangkah jeniusny a penem u internet
ini, aku bisa m engirim apa saja ke hadapanm u. Kam u ingat
bagaim ana kita harus bersurat-suratan saat kam u m asih
sekolah di sana" Sem bilan belas tahun kem udian, kam u
jadi pengajar di sana, dan kita sudah bertukar inform asi
dalam bilangan detik. Hanya beberapa hari setelah m enerim a surat elektronik
itu, sebuah surat dalam bentuk tradisional, lengkap dengan
am plop dan perangko (oh, betapa retro kata-kata itu: am plop
dan perangko) m elayang ke kotak suratku. Ternyata Kang
Arya m engirim sebuah contoh surat undangan berwarna
hijau m uda. Aku sudah tahu, warna ini pasti pilihan Kang
Arya yang m erasa hutan adalah rum ahnya: Am alia Djum hana
dan Arya Suwandi. Nam a-nam a itu ditulis seperti rangkaian
dedaunan. *** Am alia Djum hana. Dia seperti setangkai bunga yang m enyem buhkan
rindu. Sudah begitu banyak kum bang dan naga yang siap
m enjerat hatinya, tetapi ia hanya terpikat oleh kum bang
bernam a Arya Suwandi. Malam itu, Am alia tengah m em oles bibirnya. Untuk
kali pertam a keluarga besar Suwandi datang berkunjung.
Arya akan m elam ar Am alia. Am alia m enatap wajahnya
yang sungguh bercahaya. Kebaya m erah m uda. Kain Cerbon
239 At Pedder Bay penuh kem bang. Oh, cinta telah m engubah dirinya m enjadi
pelukis dengan kuas yang m encintai warna-warni cerah.
"Lia..." "Yu Ina!" Am alia m em eluk kakak sepupunya dengan erat.
"Aduh..., kapan datang. Aih, kangen, kangen... Langsung
dari Kuningan?" Yu Ina m em eluk Am alia dan m engguncang-guncang bahu nya. Dia m em bawa satu koper kecil berisi kain Cirebon.
"Ini Yu Ina bawakan kain Cerbonan... Ada pilihan dari
Uwak Mim i, Uwak Surti... Ayo pilih, pilih..." Yu Ina m em buka
koper dan m em ajang batik Cerbonan itu satu persatu.
"Aduh, ini kan batik untuk kawinan... Nantilah..."
Yu Ina m em andang Am alia yang betul-betul seperti
m awar yang m erekah. Dia duduk di pinggir tem pat tidur.
"Kam u kelihatan cantik dan bahagia... Ayuh..., ceritakan
tentang Arya itu... Bagaim ana perkenalannya?"
Am alia tertawa cekikikan, "Iya, ceritanya Yu Marni m au
m em perkenalkan saya dengan kawannya, Kang Dodi. Nah,
Kang Dodi itu datang ke rum ah bawa Kang Arya. Maksudnya
m enem ani, eh, saya m alah sukanya sam a Kang Arya. He he
he...," Am alia tertawa. Suara tawa Am alia m em ang m udah
m enular. Siapa saja yang m endengarnya pasti langsung larut
dan ikut m asuk dalam arus tawanya yang begitu m erdu.
Yu Ina ikut tertawa terkekeh-kekeh, "Terus" Kang
Dodinya?" "Ya tidak apa, dia juga sudah ketem u jodoh kok. Sudah
nikah tahun lalu. Istrinya sudah isi..."
"Sebentar lagi, kam u m enyusul," kata Yu Ina.
Mereka berdua tertawa terkekeh-kekeh.
"J adi kam u m au diboyong ke J akarta" Atau ke hutan?"
"Ya, nanti ikut tergantung dia ditugaskan ke hutan
240 Leila S. Chudori m ana, Yu. Sekarang kebetulan saja dia sedang di J akarta.
Tapi setahun dua tahun lagi, pasti dia ditem patkan di hutan.
Saya ya ikut saja sebagai istri..."
Ketika m engucapkan kata "istri", Yu Ina yakin
dia m elihat ada sekelabatan cahaya yang berkilat-kilat
m em ancar dari kedua m atanya. Yu Ina tersenyum .
"Kam u sudah kenalan dengan keluarganya?"
"Aduh, keluarganya pencar-pencar. Kakaknya, Yu Nina,
ada di Am erika. Adik bungsunya, Nadira, sedang di Kanada,
m ungkin dia m au pulang... Kang Arya sudah m engirim
em ail, tapi belum tahu apa m ereka bisa pulang atau tidak."
"J adi nanti yang datang hanya ibu dan bapaknya" Serta
pam an dan bibinya?"
Am alia tiba-tiba m erasa ingin sekali m em indahkan
topik ini kepada tem a pem ilihan kain untuk akad nikah.
Mungkin yang bergam bar burung, atau bisa juga bungabunga itu..., tetapi bukankah hari ini kain yang dikenakannya
juga penuh bunga" "Lia..." "Oh, kain ini bagus sekali ya, Yu... Ini pasti punya Uwak
Surti..." "Lia, nanti siapa yang datang?"
"Kang Arya, bapaknya dan adik-adik bapaknya..."
"Oh..." "Ibunya Kang Arya sudah m eninggal 10 tahun yang
lalu..." "Oh..., kasihan... Sakit apa?"
Kem bang warna salem itu terlihat lem but, m ungkin
bagus juga kalau pesta pernikahan m alam dia m engenakan
sesuatu yang lebih ceria. Tapi apakah kebayanya harus
berganti" "Lia." 241 At Pedder Bay Am alia sem akin m enyibukkan m atanya dengan pilihan
kain yang ditebarkan di atas tem pat tidur. Yu Ina m erasa Lia
bertingkah aneh. "Ada apa, Lia?"
Am alia akhirnya m enatap m ata Yu Ina, sepupunya yang
paling dekat dengan dia sejak kecil, karena usia m ereka tak
jauh berbeda. "Yu Ina ingat ada berita kecil di J akarta itu... 10 tahun
yang lalu, ada istri wartawan yang ditem ukan tewas bunuh
diri itu?" Yu Ina m enutup m ulutnya seolah m enghalangi rangkaian kejutan yang ham pir m engham bur keluar. Am alia duduk di sam ping Yu Ina, dan Yu Ina entah kenapa m erasa
ha rus m em eluk bahu sepupunya itu.
"Aku tidak apa-apa, Yu Ina. Itu kan m em ang perjalanan
hidup Kang Arya." "Mereka pasti sedih sekali..."
"Itu sudah pasti, Yu... Bukan hanya sedih, tapi juga
m ungkin seperti Uwak Chusnul..."
Yu Ina m engerutkan kening, "Uwak Chusnul?"
"Uwak Chusnul m enderita diabetik... dan luka di kakinya yang tak sem buh-sem buh. Terus-m enerus basah
dan sem akin m enganga. Menurut saya Teh, kem atian Ibu
Suwandi m em buat luka yang dalam pada anak-anaknya."
Yu Ina m enggeleng-gelengkan kepalanya prihatin. Seke tika saja, perhatiannya pada kain-kain yang ditebarkan di
atas tem pat tidur, susut ke tingkat paling bawah.
"Bagaim ana dengan kakak dan adiknya..., siapa nam anya... Nina... dan Nadira. Dinas di m ana ?"
"Yu Nina m engajar di Am erika. Tadinya am bil program
Pe Ha De, kawin sam a Gilang Sukm a, koreografer terkenal
itu..." 242 Leila S. Chudori "Oreo..., apa?"
"Koreografer..."
"Apa itu koreo..."
"Ya, m enari... m enciptakan tarian."
"O, suam inya Nina suka nari-nari begitu?"
"Sudah bukan suam inya lagi..."
"He?" Am alia kini m em utuskan untuk betul-betul pindah
topik. Tapi ternyata lepas juga dari m ulutnya.
"Mereka sudah bercerai..."
"O..." Am alia m erasa kegem biraannya m engalam i defisit.
"Yu, tak perlulah kita bicarakan keluarganya"."
"Ei, itu penting. Perkawinan itu bukan antara kam u
dan Kang Arya. Tapi juga keluarga kita dan keluarga Arya...
Mereka punya anak?" "He?" Yu Ina tahu, Am alia m endengar pertanyaannya, tetapi
kelihatannya dia pura-pura tuli.
"Kakak Kang Arya itu, sudah punya anak dengan
suam inya?" "Tidak." Yu Ina terdiam . "Kam u sudah kenal Nina?"
"Ya, saya sem pat bertem u di J akarta waktu Yu Nina
berkunjung Lebaran kem arin."
"Baik?" "Siapa?" "Nina... Yu Nina"."
"Ya, baik atuh..., ya, begitulah..."
"Maksudm u?" Am alia m enghela nafas. "Dia tanya pendidikanku."
"Terus?" 243 At Pedder Bay "Ya, aku bilang, aku m asih kuliah ekonom i di Bandung,
tapi kalau sudah m enikah nanti, aku kan harus ikut Kang
Arya, jadi m ungkin aku berhenti kuliah."
"Lalu?" Amalia menghela nafas. Kegembiraannya sudah amblas.
"Yu Nina tiba-tiba saja m elabrak Kang Arya, m engatakan Kang Arya m em ikirkan diri sendiri. Dengan m enikah
denganku dan m em aksaku m engikuti dia ke m ana-m ana,
artinya Kang Arya m enghalangi pendidikanku. Kang Arya
sangat m arah. Mereka bertengkar habis-habisan, hingga
saya harus m enengahi dan m engatakan bahwa ini adalah
pilihan saya untuk ikut Kang Arya. Pendidikan akan saya
lan jutkan kalau sudah m em ungkinkan."
Yu Ina m endengarkan sem ua penjelasan Am alia dengan
nafas yang naik-turun. Setiap kalim at sepupunya itu m em buat nafasnya sem akin cepat.
"Dan pertengkaran selesai?"
Am alia m enggelengkan. Dia m enyenderkan kepalanya
ke tem bok dan konde kecil yang sudah susah-payah dia
bentuk itu m ulai kem pis. Kini dia m erasa seperti pelukis
yang hanya bisa m enggunakan warna-warna suram : kelabu
dan hitam . Yu Ina juga sudah terlalu larut dalam cerita ini.
"Giliran Yu Nina m em beri ceram ah padaku bahwa seka rang aku m em ilih untuk m enghentikan kuliah karena
aku m asih buta oleh cinta. Tetapi nanti jika terjadi apa-apa,


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau saja suatu hari aku harus hidup sendiri, aku tak akan
punya m odal." "Ha" Maksudnya apa" Hidup sendiri?"
"Iya, Yu Nina m engkhawatirkan kalau saja perkawinan
kam i tidak bisa bertahan..."
"Masya Allah...," Yu Ina ternganga. Dia belum pernah
m endengar cara berpikir dem ikian. "Kok sudah jauh sekali
ya pem ikirannya." 244 Leila S. Chudori Am alia m erasa harus m em bela Yu Nina. Bagaim anapun
juga, ia akan m enikah dengan keluarga ini.
"Pasti m aksudnya baik, Yu... Bukannya dia ingin aku
bercerai. Tetapi dia sendiri kan bercerai. Adiknya, Nadira
juga baru saja bercerai..."
"Ha" Adiknya..., siapa nam anya..., Nadia?"
"Nadira. Dia juga sudah bercerai dari suam inya"
"Laaah, kok hobi ya... cerai-cerai..."
"Ya, bukan hobi Yu. Siapa yang punya rencana cerai"
Tidak ada..." Yu Ina terdiam . "Nadira sudah punya anak?"
"Mereka punya satu anak lelaki, J odi. Tapi saya
belum pernah bertem u dengan Nadira dan J odi. Mereka di
Kanada." "Sekolah lagi?"
"Itu..., dia cuti dari kerja, dan m engajar di sekolah
alm am aternya, Yu."
"Oh..." Am alia m enghela nafas. Terasa ada batu berat yang
m enghalangi nafasnya yang panjang itu. Yu Ina m encoba
m encari kalim at hiburan yang tepat untuk sepupunya.
Tapi kini, wajah Am alia tam pak pucat, kondenya agak
berantakan, dan dandanannya sudah terhapus keringat.
Kali ini, Am alia m erasa seperti seorang pelukis gagal. Yu
Ina m erasa bersalah. Tetapi dia juga tak tahu di m ana letak
kesalahannya. Terdengar suara ketukan pada pintu.
"Am alia, keluarga Kang Arya sudah datang... Hayuh,
hayuh..." Am alia dan Yu Ina saling m em andang.
*** "J adi, kau akan ke J akarta?"
245 At Pedder Bay Nadira tak m enjawab. Dia m enutup bukunya dan m em andang cahaya m atahari yang m em bentur perm ukaan
riak Pedder Bay. Marc duduk di sebelahnya dan m erangkul bahunya,
"Saya m engira kam u sangat dekat dengan abangm u. Oui?"
"Ya..." "J adi, kenapa m esti ragu?"
"Ke J akarta artinya banyak hal..."
Marc m enanti Nadira. Dia sudah m endengar sejarah
Nadira selam a 19 tahun yang diringkas dalam dua jam . Nadira
belum m em berikan versi asli yang pasti isinya berjilid-jilid.
Nam paknya Nadira belum siap untuk m engorek-ngorek
ruang gelap dalam sejarah hidupnya. Kem atian ibunya,
Yu Nina dan Gilang, perceraiannya dengan Niko. Apa serangkaian m onum en hitam dalam hidupnya itu harus dikunjungi satu persatu" Marc duduk di sam ping Nadira,
m e m eluk kepala Nadira agar dia tiduran di atas pangkuan
Marc. "Marc..., sebelum ke sini, terlalu banyak hal-hal yang
buruk yang terjadi padaku."
"Kam u tak perlu m enceritakan kalau tak siap."
"No, I really w ant to...," nada Nadira sangat tegas.
"Saya tak m au lagi m eratap karena kepergian ibu. Saya
m asih m erindukannya; tapi saya tak m au hanyut dalam
kesedihan.?" Marc diam , tak m engejar Nadira dengan pertanyaan
apapun. "Ayah J odi" saya sangat m encintainya"."
Marc m enghela nafas, Nadira tersenyum . "Marc...,
waktu itu kita m asih terlalu m uda. Kita belum siap. Kam u
m asih m au m engam bil kuliah hingga ke ujung PhD, saya
m au pulang..." "No," Marc m enggelengkan kepala, m eski bibirnya
246 Leila S. Chudori m enyem bunyikan senyum , "Kam u m engatakan ingin punya
anak, tapi kam u tak ingin m enikah. Rem em ber?"
Tentu saja Nadira ingat. "Tapi saya paham . J odi anak yang cerdas dan tam pan,
saya bisa m em bayangkan ayahnya juga pasti sangat
ganteng," kata Marc.
Wajah Nadira berubah serius.
"Aku rasa, aku terlalu lelah m erasa sedih. Tiba-tiba
Niko datang dan seperti m engajak aku m elem par kesedihan
itu jauh-jauh. Dia berhasil m engajak aku m elihat bagian dari
dunia lain yang lebih cerah. It w as a bliss... for a w hile."
Marc m engangguk, m encoba paham .
"Perkawinanku yang pendek usia; kantorku yang penuh
burung nazar..." "Kam u kan selalu berbahagia dengan pekerjaanm u."
"Ya, saya berbahagia m enjadi wartawan. Tetapi, sam a
seperti kantor lain, di kantor saya, pastilah ada kelom pok
yang gila kerja, tapi ada juga yang gem ar bergunjing. Itu
m enu utam a para burung nazar."
"Aaah, ya..." "Tapi politik di kantor itu bukan hal yang terlalu penting,
sebetulnya. Mas Tara m engatakan, aku m em erlukan jeda
yang panjang. Meski, akhirnya, ketika aku m inta izin pergi,
Mas Tara terlihat berat hati. Kam i m em ang kekurangan
orang..." Marc m em ainkan ram but Nadira, "Dia berat hati karena
takut kehilangan kam u."
Nadira m elotot, "Kenapa ya sem ua orang m engatakan
itu?" Marc m enggelengkan kepala, "Karena cum a kam u yang
tidak tahu, Tara m encintai kam u. Dari ceritam u saja, aku
sudah langsung tahu."
Nadira tidak m enjawab. Dia celentang di atas pangkuan
247 At Pedder Bay Marc, tetapi m atanya m enikm ati langit Victoria.
"Nadira, sem ua persoalanm u di J akarta tak ada hubungan nya dengan Arya. Kalau kam u pulang, harusnya
kam u bisa m enyingkirkan ketidaknyam anan itu. Ini hari
ter penting untuk dia kan?"
Nadira tidak m enjawab. "Ceritakan tentang Arya?"
Nadira tersenyum . Dia m em ejam kan m ata dan
m em bayangkan puluhan tahun silam , ketika m ereka sem ua
kanak-kanak yang diwajibkan belajar m engaji di Gang
Bluntas?" Jalan Kesehatan, Jakarta, Februari 1974
Kang Ary a m encintai arom a dedaunan, tanah dan
tanah y ang basah. Meskipun kam i bertiga hidup di kota
besar, sejak pulang dari Am sterdam , Kang Ary a selalu
saja y ang paling betah berm ain di kebun belakang rum ah
kam i di Jalan Kesehatan, di tengah Jakarta. Dengan kedua sepupu kam i, Iw an dan Mursid, Kang Ary a m em perlakukan kebun belakang sebagai kerajaanny a. Dia pernah
m enjadi juragan y ang m em im pin tiga ekor kelinci, dua
ekor anjing (Hero dan W iro, y ang diam bil dari nam a
kom ik y ang dia sukai), dan 20 ekor burung m erpati y ang
diberi sebuah rum ah. Dia juga m enanam pohon m angga,
ram butan, jam bu air, durian (y ang tak pernah berbuah),
dan belim bing. Setiap hari Sabtu, sejak duduk di sekolah dasar hingga
duduk di SMA, Ary a bersam a Iw an dan Mursid, gem ar
m em bangun kem ah di halam an belakang. Dan acara
per kem ahan tiga m ony et itu tak selalu berjalan m ulus.
Pernah suatu m alam , ketika Ibu dan Ay ah m em enuhi
undangan m akan m alam Duta Besar Australia, trio bandel
248 Leila S. Chudori ini pu ny a ide untuk m em buat api unggun. "Seperti kem ah
Jam boree...," kata Kang Ary a.
Entah bagaim ana m ereka bisa m endapatkan setum puk kay u. Dari ruang kerja Ay ah, aku bisa m elihat m ereka
m eny im pan bensin ke atas tum pukan kay u itu dan by ar!!
Api m enggelegak. Berkobar. Tangan-tanganny a m en julur ke sana-kem ari, sem bari sesekali terdengar buny i gem eletak kay u y ang tercium lidah api. Aku ikut-ikutan ke
kebun, m erasakan kehangatan api unggun bikinan ketiga berandal itu. Kam i berem pat duduk m engelilingi api
unggun dan bertingkah seolah kam i berada di sebuah
negara dingin. Kam i m enjabarkan kesepuluh jari kam i,
berlagak m enghangatkan tubuh, padahal Jakarta sungguh
gerah dan tak m em butuhkan api unggun.
Tetapi aku m ulai m em aham i rom antism e y ang
dibangun ketiga berandal ini. Mereka hidup di dalam
fantasi kom ik y ang m ereka baca. Mungkin W iro, m ungkin
Tarzan, atau m ungkin Tintin. Tiba-tiba...
"Ary aaaaaaaaaaaaaaaaa!!!"
Lo, ada apa" Yu Nina m elangkah m endekati kam i dengan langkah
raksasa, w ajah berkeringat, dan dua bola m ata y ang ham pir m enggelinding. Ada apa gerangan"
Kulihat ketiga berandal itu m alah terseny um ; sam a
sekali tidak terkejut m elihat Yu Nina blingsatan.
"MANA MEJA BELAJARKU?"!!!"
He" Meja belajar"
Ary a m alah cekikikan. Iw an dan Mursid m em per lihat kan w ajah heran.
"Meja belajar y ang m ana, Yu?"
"MEJA BELAJARKU, y ang terbuat dari kay u!! MANAAAAAA" Pasti kalian y ang m em indahkan. Pasti kalian
y ang m eny em buny ikan. MANAAAAAA?""
249 At Pedder Bay "Meja belajar kay u" Kenapa bisa m enghilang dari kam ar Yu Nina?" tany aku bingung.
Buny i kay u y ang berdetak bercam pur dengan udara
kem arahan Yu Nina. Tiba-tiba kulihat m ata Yu Nina
ham pir m elesat keluar dari kantung m atany a. Astaga. Aku
juga baru m eny adari... batangan kay u y ang bertum puk,
y ang berdetak-detak dibakar api itu... Apakah itu potongan
m eja kay u m ilik Yu Nina" Tidak m ungkin. Tapi...
"ARYAAAAA!!!!!!! IW AN! MURSIIIIID!!!!"
Dan ketiga begundal itu langsung angkat kaki dan
ber lari tunggang-langgang. Suara taw a m ereka y ang
ter bahak-bahak tertinggal di udara. Untuk beberapa
detik pertam a, Yu Nina m encoba m engejar trio tuy ul itu,
tetapi tentu saja dia kalah. Ary a dan kedua pengikutny a
itu gem ar berolahraga, sedangkan Yu Nina sangat m alas
gerak badan. Yu Nina berhenti berlari. W ajahny a sem akin ber keringat dan sangat m urka.
*** Kini Nadira sudah duduk tegak karena Marc sibuk tertawa
terbahak-bahak tak berkesudahan. Cerita m asa re m aja Arya
itu terlalu lucu. Nadira tersenyum m elihat Marc be gitu
m enikm ati kisahnya. Ah, dia m asih m encintai Marc. Dia
masih melayang setiap kali melihat jari-jari panjang langsing
itu m engusap tuts piano. Dan yang paling penting, Marc
selalu m em bakarnya di tem pat tidur. Bersam a Marc, seprei
tak pernah teduh. "Arya masih marah soal ledakan petasan di lemari itu?"1
Nadira m engangguk, "Ya... Tetapi orangtuaku tetap tak
bisa m enerim a alasan Arya." Nadira m em andang birunya
Baca masa kecil Nina, Arya, dan Nadira dalam "Tasbih".
250 Leila S. Chudori Pedder Bay, m elam un. "Seorang kawan Ayah m engusulkan agar Kang Arya
dibawa ke psikolog. Hanya kunjungan pertam a, Kang Arya
cum a m engangguk-angguk sem bari m enggam bar sang
psikolog perem puan dengan kum is. Setelah itu Ibu tak m au
m em bawa Kang Arya ke psikolog itu lagi."
Kini Marc tertawa tak berkesudahan. Dia kelihatan
sudah tertarik dengan karakter abang Nadira.
"Untuk beberapa waktu, para bibi dan uwak m engusulkan agar Arya diganti nam anya. J adi nam a Kang Arya
sem pat diganti m enjadi Ardian...
"Ibu dan Ayah m em utuskan untuk m engadakan selam at an nasi kuning segala. Kang Arya hanya m enyeringai
m e lahap m akan nasi kuning itu dengan nikm at. Toh bandelnya tidak hilang. Malah sem akin m enjadi-jadi. Dia pernah m eletakkan balon berisi air di kursi tem pat pacarnya
Nina duduk. Seluruh kursi dan celana pacar Nina basahkuyup. Pokoknya Kang Arya bandelnya sudah tak tertolong...
Akhirnya Ayah dan Ibu putus asa. Dia kem bali dipanggil
dengan nam a Arya." "Aku harus bertem u dengan Arya," Marc m em utuskan
dengan nada yakin. Nadira tertawa, "Kalian akan cocok sekali. J anganjangan di pertem uan kalian yang pertam a, dia akan m engajak
berkem ah atau hiking, m eninggalkan aku sendirian dengan
polusi J akarta." Marc m engatakan itu hal yang sangat m ungkin. Tibatiba saja Nadira teringat sesuatu.
"Apa yang terjadi?" tanya Marc.
"Kang Arya tak pernah m erestui perkawinan Yu Nina
dengan Gilang." Wajah Nadira m enjadi serius. Dia kem bali m em andang
251 At Pedder Bay riak Pedder Bay. Aneh, bunyi riak itu seperti sebuah ritm e
yang tetap. Seperti ritm e zikir. Tiba-tiba saja Nadira
teringat zikir yang selalu m enenangkannya; helai-helai
bunga seruni... Seikat kem bang seruni yang diberikan Tara
kepadanya. Matahari sore Victoria sudah m ulai turun. Anak-anak
sudah keluar dari kelas m ereka yang terakhir. Nadira m erasa
teluk itu m enjadi sebuah layar lebar m asa lalu m ereka.
Jalan Kesehatan, Jakarta, Juni 1989
Aku m elihat cahay a bulan seperti m engusap-usap ram but Kang Ary a. Mungkin alam tahu betul, seluruh tubuh
Ary a tengah dibakar api kem arahan. Dan m ungkin juga
cahay a bulan telah m em buatny a lebih dingin dan tenang.
Aku m endekati dia perlahan. Loteng rum ah kam i di Jalan
Kesehatan m em ang tem pat Kang Ary a m erenung setelah
dia salat. Setelah sebuah m akan m alam y ang heboh dengan Yu
Nina, Mas Gilang, dan seluruh keluarga Suw andi, Kang
Ary a m enghilang. "Kang..." Kang Ary a tidak m enoleh dan tidak m enjaw ab. Aku
duduk di sam pingny a. "Say a ingin kem bali lagi ke Am sterdam , kita tak pernah bertengkar di sana...," tiba-tiba kudengar suara Kang
Ary a.

9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Say a tidak ingat, Kang. Say a kan m asih kecil w aktu
kita kem bali ke Jakarta."
"Menjadi dew asa m em buat kita jadi harus penuh
perhitungan dan strategi. Aku ingin sekali percay a pada
Gilang. Tetapi sejarahny a m em buat aku jadi penuh
curiga." 252 Leila S. Chudori "Kang..., biarkan itu m enjadi persoalan Yu Nina. Kita
kan sudah cukup m engingatkan dia. Pada akhirny a nanti,
dia y ang m enjalankan kehidupan rum ah tangga ber sam a
Mas Gilang. Mungkin ini terdengar klise..., tapi kita m endoakan saja, Kang."
Kang Ary a tidak m enjaw ab.
Untuk beberapa bulan berikutny a, kam i m eny adari
bagaim ana Kang Ary a berusaha m asuk dalam peradaban
keluarga Suw andi. Dia m enjaw ab sebisany a jika Mas
Gilang tengah berada di antara kam i; Kang Ary a berusaha
tertarik dengan sem ua rencana perkaw inan pertam a di
dalam keluarga Suw andi (m eski dia m enggerutu padaku,
bahw a pasti Gilang sudah sangat berpengalam an dengan
upacara sem acam ini); Kang Ary a bahkan"tanpa
seny um "m em bantu m engurus peny ew aan tenda untuk
tam u-tam u di rum ah pada saat akad nikah.
Pada hari perkaw inan, seperti biasa, di akhir acara
selalu ada acara foto keluarga. Foto bersam a kaw an m em pelai lelaki, kaw an m em pelai perem puan; keluarga m em pelai lelaki, keluarga m em pelai perem puan. Nah, ketika
tiba saat keluarga kam i itulah terjadi kehebohan baru.
Tiba-tiba saja sulit sekali m encari Kang Ary a. Padahal
sejak akad nikah hingga resepsi, Kang Ary a selalu hadir
dan sibuk m em bantu. Ke m anakah dia"
Mbak MC y ang cerew et sudah m em anggil nam a Kang
Ary a berulang-ulang. Yu Nina tam pak gelisah, sem entara
Gilang m em pertahankan w ajah penuh w ibaw a. Akhirny a
aku m enciptakan alasan. "Kang Ary a perm isi ke kam ar
m andi, sudahlah, kita foto saja dulu. Nanti kita ulang lagi
kalau Kang Ary a datang."
Maka jadilah foto keluarga Suw andi tam bah satu
anggota baru, m inus satu anggota lam a. Kang Ary a tak
pernah ada dalam foto pernikahan Yu Nina dan Gilang.
253 At Pedder Bay Hingga kini, aku tak pernah tahu ke m ana dia m enghilang
m alam itu. Marc terdiam m endengar kisah itu.
"Apakah dia akan bisa m enerim a aku, Nadira?"
Nadira tersenyum , "Mem angnya kenapa" Kam u m au
m enikah dengan Kang Arya?"
Marc tersenyum . "Aku tidak bisa berhenti m encintaim u."
"Aku tak ingin pulang, dan kam u tak perlu bertem u
dengan keluargaku... Aku ingin di sini saja seperti orang
yang tak punya sejarah dan tak punya rum ah."
"Rum ahm u ada di sini, bersam aku."
Matahari Victoria seolah berhenti bergerak. Riak
Pedder Bay tiba-tiba m em beku. Marc m encium Nadira.
Tanpa akhir. Hanya beberapa m enit kem udian, terdengar bunyi
gesekan daun m apel m erah kering yang m enjadi alas tidur
Marc dan Nadira. *** New York, Novem ber 20 0 1
Nadira, Say a m enulis ini agak tergesa.
Kehidupan di New York berkejaran dengan sisa nafas
kita. Setelah tragedi Tw in Tow ers, ada satu pertany aan
y ang selalu m enghajar say a setiap hari: tolong jelaskan
pada say a tentang apa y ang terjadi.
Kenapa m ereka bertany a pada say a" Apa hany a karena say a sedang m engajar sejarah m asukny a Islam di
Asia; atau karena w ajah say a y ang sangat "un-Am erican."
254 Leila S. Chudori New York luka, seluruh Am erika kelam , seluruh dunia
gelap. Tetapi, say a tetap m eny im pan sisa optim istim e, dan
m encoba m enjaw ab pertany aan-pertany aan y ang penuh
sy ak w asangka itu dengan sabar.
Soal Ary a. Sebaikny a kam u datang. Say a sudah pernah bertem u dengan Am alia. Dia sangat
cantik, ram but panjang, dan... she has a fantastic sm ile.
Am alia adalah seorang m ahasisw a Ekonom i di Bandung.
Dia belum selesai kuliah dan Ary a m elam arny a. Jadi kau
bisa m em bay angkan apa y ang terjadi, kan" Am alia m em utuskan "m enunda" kuliahny a untuk abang m u itu. Menunda, biasany a akan berujung m enjadi: m eng hen tikan.
Kenapa" Karena m asy arakat Indonesia selalu m eng harap kan pasangan baru langsung m em puny ai keturunan.
("Sudah isi" Kok belum " Ay o, ay ahm u kan ingin m enim ang
cucu. Masakan sudah tiga tahun belum juga ada isi, salah
posisi y a" Ini say a ada orang pinter y ang bisa bantu...,
hay uh, hay uh...") Dan Kang Ary a bukan sosok y ang bakal m enentang
tun tutan m asy arakat. Mereka akan segera beranak-pinak.
Pastilah cita-cita Am alia m enjadi sarjana ekonom i ter bang
bersam a angin. Sungguh... Keputusan sem acam ini y ang m em buat darahku
m encapai ke ubun-ubun. (Ya, y a, y a, kau akan m engatakan,
"Biarkan Kang Ary a m em ilih kebahagiaanny a, dia sudah
dew asa."). Aku hany a jengkel. Berapa puluh ribu Am alia
y ang m em utuskan sekolahny a bukan karena tak m am pu,
tapi karena lebih m em ilih berum ah tangga" Mungkin itu
sebabny a fem inism e di negara kita bergerak bak siput.
Ringkasny a, untuk perkaw inan Ary a ini kau W AJIB
hadir. Aku belum tentu bisa hadir karena aku sudah
255 At Pedder Bay telanjur m erencanakan sebuah sim posium besar di kam pus persis pada pekan pernikahan m ereka. Ini proy ek
lam a, dan kam i akan m enjadi tuan rum ahny a. Say a tak
m ungkin m eninggalkan proy ek y ang say a pim pin sejak dua
tahun lalu. Topik tentang sejarah Islam di Asia Tenggara
m em ang kam i geser sedikit, m em fokus pada posisi Islam
kini. Beberapa rekan m enekankan lahirny a per sepsi baru
setelah peristiw a 9/ 11. Itu m eny ebabkan say a sungguh terikat di New York, dan sam a sekali tak m ungkin pulang.
Tapi toh say a sudah berkenalan dengan Am alia, dan
bahkan sem pat ikut m enjadi panitia m enjelang lam aran,
saat say a sedang berada di Jakarta.
Lagi pula, kam u m asih m em puny ai beberapa per soalan y ang belum ditunaikan. Istilah kam i di sini "uninished
business". Salah satuny a: uruslah Tara. Aku tak sengaja
bertem u dengan dia di acara diskusi di kantor LBH. Dia
m enjadi salah satu pem bicara. Kam i diperkenalkan, dan
dia langsung saja m eny am butku. Rupany a kau bany ak
bercerita tentangku pada dia. Hany a dalam w aktu satu
m enit aku tahu, lelaki ini jatuh cinta padam u. Habishabisan. Dia m endengarkan setiap kalim atku seperti
seorang kelaparan y ang m enanti butiran nasi, rem ahrem ah dari sisa m akanan restoran. Dia sebetulny a tahu,
aku sam a butany a dengan dia tentang dirim u karena kita
tinggal berjauhan. Aku di New York, kam u di Victoria. Ya
m em ang lum ay an lebih dekat daripada Victoria-Jakarta.
Tetapi orang Am erika sering m enganggap Kanada sebagai
negara antah-berantah. Pendekny a, dia kelihatan rindu sekali ingin bertem u
denganm u (hm , pertem uan satu jam itu sudah m em buat
aku berkesim pulan sebany ak itu tentang Tara. Jadi kam u
bisa m em bay angkan w ajah Tara).
256 Leila S. Chudori Apakah kam u: a. Sam a sekali tidak tertarik pada dia
b. Terlalu bodoh. c. Terlalu sibuk dengan diri sendiri.
d. Sudah tak tertarik pada lelaki.
e. Lebih suka pada lelaki y ang sudah beristri"
Hany a kam u y ang bisa m enjaw ab.
Yang jelas, Ay ah bercerita, Tara pernah berkunjung
ke rum ah Ay ah hany a untuk m em inta tasbih Ibu y ang
ada padaku. Katany a, Tara berharap dengan tasbih itu,
engkau akan lebih tenang. Aku kagum dengan perhatian
Tara kepadam u. Tidak bany ak rekan dan kaw an y ang m au
berpay ah-pay ah m elakukan itu jika tidak karena cinta.
Dan ingat. Hingga kini Tara tak kunjung bisa m engikat
diri dengan siapapun (ini m enurut laporan Ary a).
Aku tak pernah m enem ukan cinta seperti itu pada
Gilang. Dan aku tak tahu apakah kau juga pernah
m enem ukan cinta sebesar itu dari Niko.
Pulanglah. Hadiri pernikahan Ary a dan Am alia.
Tem ui Ay ah. Dan terutam a, tem ui Tara.
Nina Suw andi. Nadira m em baca surat elektronik itu dengan hati berdebar. Tentu saja dia menyadari perhatian Tara. Tetapi
tak m ungkin dia m enjelaskan isi hatinya pada orang lain.
Lagi pula"Nadira berpikir dengan defensif"kenapa harus
m em berikan alasan atau pertanggungjawaban kepada dunia
tentang pilihan hidupnya"
Nadira m em ejam kan m atanya. Mengingat hari ter akhir nya bersam a Tara sebelum dia berangkat ke Victoria.
257 At Pedder Bay Jakarta, Septem ber 1999 "Jadi sabatikal ini cum a dua tahun kan?"
"Pak G m em beri w aktu dua sam pai em pat tahun di luar
tanggungan. Jadi y a sebetahku, Mas...,"Nadira m em beresbereskan m ejany a, buku-bukuny a, dokum enny a, disket
y ang digunakan di tahun 1980 -an y ang m asih berserakan.
Tara m eny ender di atas m eja kerja Yos y ang bersebelah an dengan m eja Nadira.
"Kam u akan rindu dengan peliputan. Kam u akan
m erasa jengkel kalau tak bisa berada di tengah kegairahan
kerja jurnalistik," Tara kelihatan m enggunakan senjata
terakhir. "Aku rindu dengan arom a hutan pinus...," Nadira
terseny um . "Kalau aku bertahan terus di Jakarta, aku akan
gila. Aku jadi ingin bereksperim en dengan bany ak hal. Aku
harus pergi, Mas." Tara terdiam . "Kalau kam u tidak pulang setelah
setahun, aku akan m enjem putm u."
Tara m engucapkan itu seperti lepas kontrol.
Nadira m engerutkan kening, "Setahun" Kenapa?"
"Karena aku tak tahu hidup tanpa kam u. Setahun
cukup. Setelah itu aku akan m enjem putm u."
Kali ini Nadira betul-betul m eny adari perasaan Tara
kepadany a. "Say a rasa kam u tidak akan m enjem putku...," Nadira
terseny um dan m elirik pada Novena y ang sejak tadi terusm enerus m em perhatikan m ereka dari jauh.
"Kau akan m em ilih sebuah zona y ang am an. Yang
tenteram . Yang m em buatm u ny am an. Hidupku, Mas Tara,
terlalu penuh dengan dram a. Hidup bersam aku sesekali,
m em ang seperti bertam asy a ke daerah eksotis. Tapi itu
bukan pilihan y ang tepat untukm u..."
258 Leila S. Chudori Nadira terseny um dan berbisik ke telinga Tara, "Ada
seseorang y ang sejak dulu jatuh cinta padam u."
W ajah Tara berubah m endung dan terluka. Dia baru
m eny adari, Nadira m em ang tak pernah m encintainy a.
Nadira m enutup laptopnya. Dia m engam bil jaket dan
ranselnya, lalu berjalan m enerobos angin m usim gugur
m enuju perpustakaan kam pus. Daun m apel berwarna
m erah sore itu bertebaran di jalan seperti ham paran kain
batik Cirebon. Cerah dan m erah. Hati Nadira tersenyum .
Marc sudah m enunggunya di perpustakaan.
*** Gerom bolan bunga alam anda itu m asih sam a. Seolah-olah
m ereka adalah kelom pok bunga yang sudah pasti m e nyam but
kedatangan Tara. Dia m asih saja berdiri di de pan m obilnya,
tak kunjung m elangkah m asuk. Setelah m enghabiskan satu
batang rokok"satu kebiasaan baru yang dim ulai sejak dua
tahun lalu"Tara akhirnya m elangkah m asuk.
Bram Suwandi. Masih sam a. Kecuali, kini seluruh
ram butnya bak salju dan kulitnya seperti kulit jeruk yang
sudah m engering dan penuh bercak hitam . Sudah senjakah
hidup kita sem ua" Tapi Tara bisa m elihat kerjap sinar yang
se sekali m encelat keluar dari sepasang m ata tua itu. Dia
senang bertem u denganku, pikir Tara lega.
"Apa kabar, Pak..."
"Alham dulillah, Tara... Mari, m ari..."
Tara m ulai senewen. Akhirnya dia m enawarkan rokok
kreteknya. Bram tertawa m enggeleng dan m engatakan bahwa kini posisinya terbalik. Bram berhenti m erokok, se m entara Tara m em ulai kebiasaan buruk itu.
Bram Suwandi, wartawan yang begitu perkasa di m asa
kejayaannya, kini berjalan tertatih-tatih dengan disangga
259 At Pedder Bay se batang tongkat. Tara m engikuti langkah jagoan tua itu.
Mereka duduk berhadapan, m em ulai basa-basi tentang perkem bangan berita terakhir: dari soal tem uan-tem uan baru
tragedi 9/ 11 sam pai soal istilah baru yang kini tengah populer:
w ar on terrorism . Berbagai teori pengam at internasional
m encoba m em baca paradigm a m acam apa yang ada di balik
para pelaku penyerang gedung World Trade Center itu.
Tetapi setelah berputar-putar dengan diskusi politik
dan ekonom i, dan m enghabiskan secangkir kopi, akhirnya
m ereka sam a-sam a kehabisan bahan pem bicaraan. Bram
Suwandi, m eski sudah digerus oleh usia, tetap peka dan
paham bahwa Tara datang bukan untuk m encari tem an bergunjing soal politik; dan juga bukan untuk sekadar m em perlihatkan bahwa dia sekarang sudah m ulai m engisap
rokok kretek yang sam a. "Sebetulnya Pak, saya m au datang m em bawa... m em berikan ini...," Tara m engeluarkan sebuah surat undangan
ber warna biru dan m enyodorkannya pada Bram . Bram segera m engenakan kacam atanya dan m enerim a surat un dangan itu. Senyum nya berkem bang, sebuah senyum bijaksana.
"Aaaah, akhirnya kau selesaikan m asa bujangm u yang
terlalu lam a. Selam at, selam at, Nak..."
Tara tersenyum dan m engangguk.
"Siapa gerangan calonm u yang beruntung ini, Nak?"
Tara tertawa, agak kikuk, "Tem an sekantor, Pak. Kara
Novena..." Bram m engangguk-angguk, "Tanggal berapa ini... Oh,
untung, karena sepekan sebelum nya, Arya juga akhirnya
m em buhulkan ikatan dengan Am alia... Zam an sekarang,
m e nunggu bujangan lapuk dulu baru m enikah."
Mereka sam a-sam a tertawa; m eski Tara berani bertaruh. Dia m erasa ada kegetiran di dalam suara Bram .
"Nak Tara tahu kan, Nadira sedang di Kanada... Yah,
260

9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Leila S. Chudori ten tu saja kau tahu, kan dia pasti minta izin sabatikal
padamu..." "Ya Pak..., tapi ini undangan untuk seluruh keluarga.
Saya kan juga sudah kenal Bapak dan Kang Arya..."
Bram m engangguk-angguk sem bari m em bisikkan terim a kasih berulang-ulang. Matanya m enatap lantai.
Hening. Tara tak tahu bagaim ana caranya m engisi kekosongan
itu. Akhirnya sem bari berpura-pura m engecek arlojinya dan
se olah-olah dia sudah ditunggu oleh puluhan anak buahnya,
Tara m em inta izin "m engurus naskah untuk berangkat ke
per cetakan." Bram segera berdiri. Tara berdiri. Ketika Tara
m e ngulurkan tangannya untuk berjabatan, Bram m alah
m e m eluk bahunya dan m enepuk-nepuk punggungnya. Tara
berani bertaruh (entah dengan siapa), dia m erasakan ada
se titik air m ata yang m em basahi bahunya.
Begitu pintu rum ah keluarga Suwandi itu tertutup, Tara
tak m am pu m elangkah ke m obilnya. Kedua kakinya seperti
dipaku. Tepat di sana, di rum ah Nadira.
*** "Aku benci Rick. Aku ingin m em bunuh dia...," tiba-tiba
Marc m enyem protkan kejengkelan m asa rem ajanya. Aku
tertawa terbahak-bahak. Di m asa kam i m asih rem aja, di awal tahun 1980 -an,
Rick tak pernah berhasil m encicipi tubuhku dan ketiga
sahabatku. Tetapi, untuk sekadar iseng, aku pernah me nerima
tawarannya untuk makan malam. Dan selama tiga jam berdikusi sem bari m enikm ati m akan m alam , aku segera paham
m engapa kawan-kawan sekam pus segera saja jatuh ke
pelukan Rick. Bukan hanya m atanya yang dalam dan tajam
itu yang m enarik jantung hati, tetapi ucapan-ucapannya
m em ang orisinil dan bahkan agak kontroversial.
261 At Pedder Bay "Mediocrity kills the soul...," kata Rick sam bil m enghem buskan sebatang ganja. Dia sedang m engejek kawan-kawan
yang sibuk m engisi form ulir untuk m eneruskan pendidikan
ke berbagai universitas Ivy League di AS. Rick m em ang
terlalu cerdas. Dia tak pernah kelihatan di perpustakaan
atau m engutak-atik buku filsafat, sejarah atau m usik,
seperti halnya Marc. Tiba-tiba saja nilai esainya selalu tertinggi, berlom ba-lom ba dengan Marc dan Neil. Tetapi dia
m enertawakan m ereka yang terengah-engah ingin m e langkah m asuk Harvard atau Princenton atau Yale. "Itu hanya
gerbang konform ism e..., taik!" kata Rick.
Rick tahu, salah satu tujuan Marc dalam hidup adalah
m enyelesaikan pendidikan di Universitas Yale.
Rick sering terkekeh. Pasti karena ganja. Tetapi juga
karena sikapnya yang selalu terus-terang dan m enyem protkan kritik dengan brutal. Sikap tengil ini m alah m enarik
perhatian seluruh perem puan kam pus. Dan aksen Inggrisnya
itu sem akin berhasil m enjerat perem puan seperti sarang
laba-laba yang m enangkap nyam uk.
Tapi kencan kam i tak berakhir dengan pergulatan tubuh
versi Rick. Rick sudah tahu"dari bahasa tubuhku"bahwa
aku sangat tidak tertarik. Tetapi cium annya m em ang seperti
sengatan seekor lebah. Menyetrum . Mem buat seluruh aliran
darah berdesir dengan kecepatan m aksim um .
Itu yang m em buat Marc ingin m em bunuh Rick.
Tetapi ini soal m asa lalu. Ketika kam i sem ua m asih
m uda, segar, dan kurang ajar. Kini kam i sudah m enjadi
pengajar dan harus bersikap dewasa, dan seharusnya m asa
lalu itu m enjadi lucu. Sayangnya, Marc tak bisa m enganggap
Rick sebagai bagian dari hum or. Apalagi Rick berniat
datang sebagai dosen tam u ke kam pus kam i. Marc m erasa
teritorinya tersenggol. 262 Leila S. Chudori "Sebaiknya kam u pulang saja ke J akarta waktu dia ke
sini," kata Marc jengkel.
Aku tersenyum . Ini saatnya m engum um kan keputusanku yang terbaru.
"Aku m em ang harus pulang, Marc..."
Marc tercengang, tapi kem udian tertawa m em elukku.
"Pulanglah. Dan segera kem bali. Mudah-m udahan saat
kam u pulang, kom posisiku sudah selesai."
Marc tam pak gem bira dengan keputusanku.
"Aku benci m elihat cara Rick m em andangm u... Pergilah
ke J akarta. Kau tak harus m endengarkan arogansi Oxford
dari m onyet itu." "Aku tak pernah tertarik pada Rick..."
"Kau m engatakan cium annya..."
"Ya, ya, ya...," aku tertawa, "hanya itu."
Marc m em andangku tajam , "Kau tahu betapa bahayanya
sebuah cium an yang hebat?"
"Ya...," aku tak bisa m em bantah argum en itu. Sebuah
cium an yang hebat m em ang lebih berbahaya daripada seks
yang dahsyat. Aku m em andang m ata Marc yang biru, "Alasanku pulang tentu bukan karena Rick. Aku tak peduli apakah Rick
m au m enjadi dosen tam u atau dia m au berenang m enyeberang Pedder Bay," kataku dengan nada tegas.
"Ya, ya, kam u akan pulang untuk m enghadiri perkawinan Arya." Marc m engangguk cepat-cepat.
"Ada soal lain yang harus kubereskan."
Kini Marc m em andangku dengan tajam . Dia m em egang
kedua bahuku, seperti takut kehilangan.
"Ada apa?" dia berbisik. Marc tahu aku akan m enyam paikan sebuah berita buruk.
"Aku harus bertem u dengan Tara..."
263 At Pedder Bay Kedua tangan itu terasa m em beku. Bola m ata Marc
per lahan m enjelm a m enjadi Pedder Bay. Biru, bening, dan
basah. *** Am alia tengah m em isah-m isahkan undangan yang akan
dibawanya untuk keluarganya, tem an-tem annya, tem antem an ayahnya, tem an ibunya; kem udian setum puk lagi
untuk keluarga si Akang, tem an-tem an Akang di hutan,
kawan-kawan ayah Akang. Aduh, banyak sekali tem an ayah
si Akang ini. "Ini undangannya tidak cukup atuh, Kang..., bagaim ana
yah...?" Am alia panik, tetapi m encoba m encari cara agar
undangan m iliknya bisa disisihkan untuk pihak si Akang.
Si Akang tidak m endengar. Matanya m em andang keluar
jendela. Di tangannya ada sebuah undangan perkawinan
ber warna biru. "Ayuh, Akang..., bagaim ana iniiiih?"
Akang Arya m enatap kekasihnya penuh cinta.
"Terserah, kurangi saja jatah Ayah, Lia..."
"Ya, jangan atuh... Ini saya kurangi jatah tem an saya,
nanti m ereka saya kasih satu undangan sekaligus saja.
Bagaim ana?" "Ya, boleh...," Arya m enjawab setengah m elam un.
Sem ula Am alia ham pir m erasa jengkel. Tapi dia m elihat
si Akang seperti bersusah hati.
"Kang?" "Nnng..." "Mau tam bah kopinya?"
Si Akang m engangguk, m eski m atanya tetap m elayang
keluar jendela. Am alia m alah m endekati Arya. Dia baru m enyadari si
Akang tengah m em egang kartu undangan lain. Berwarna
264 Leila S. Chudori biru. Am alia m engam bilnya dari tangan Arya, lalu m em bacanya.
"Tara, Kang?" Arya m engangguk dan m enggaruk-garuk dagunya.
"Taranya Nadira?"
"Ngng... Tara tem an kantor Nadira, ya." Arya m erasa
perlu m em perbaiki kalim at Am alia.
Am alia yang sudah m em pelajari sejarah keluarga
Suwandi luar-dalam "perkawinan, perceraian, kelahiran,
dan kem atian"m enghela nafas.
"Tapi Akang bilang, Nadira kan tidak pernah..."
"Entah kenapa Lia, hati kecilku mengatakan, Nadira se betulnya tak m enyadari bahwa dia sangat m encintai Tara.
Tapi hanya dia sendiri yang tidak m engetahuinya."
"Waduuuuh, susah am at ya, Kang..."
"Kalau terlalu m udah, pasti itu bukan nasib keluargaku,"
Arya m engatakan itu dengan datar; m encoba tidak pahit.
"Kalau m em ang Nadira cinta m ah, ya Nadira harus
dikasih tahu bahwa Tara m au m enikah, Kang," tiba-tiba
Am alia panik. Arya tidak m enjawab. "Akang sedang m encari cara,
Lia... Saya tidak ingin m enelepon dia. Mungkin ada untungnya juga dia tidak bisa m enghadiri perkawinan kita," Arya
m engatakan itu dengan nada pasrah. Tentu saja dia ingin
Nadira hadir dalam hari terpenting dalam hidupnya. Namun
ketika adiknya membalas suratnya panjang-lebar men je laskan ketidaksiapan dia m enghadapi Indonesia yang ter lalu
m engingatkan kegelapan hidupnya, Arya tak bisa m em aksa.
"Lewat em ail juga rasanya tidak genah ya, Kang?"
Arya m engangkat bahu, "Belum tahu, Lia. Nanti saya
pikir-pikir dulu. Kam i sekeluarga tahu betul soal Tara dan
Nadira ini. Kam i tahu Tara m enanti Nadira begitu lam a,
begitu sabar dia m endam pingi Nadira. Dialah yang selalu
265 At Pedder Bay dengan setia m enem ani Nadira setiap dia dalam kesulitan.
Tapi kam i tak pernah paham kenapa Nadira tak bisa
m em balas perasaan Tara."
"... Kalau begitu..."
"... Sam pai sekarang," Arya m em otong kalim at Am alia,
"kalau Nadira m endengar Tara akan m enikah, saya yakin
dia akan m enyadari arti Tara yang sesungguhnya buat dia."
"Aduh, pelik am at ya, Kang..."
Si Akang m em eluk bahu kekasihnya dan m encium
ram butnya, "Kopinya m ana?"
"Eh, iya...," Am alia tersenyum m alu, "biar aku yang
buatkan. Kasihan Yu Nah. Sekalian saya buatkan ayahm u
ya..." Am alia m enghilang ke dapur. Arya m asih m elam un,
m en coba m engorganisir strategi agar adiknya jangan sam pai sem akin m enjauhi tanah airnya ini. Baru beberapa m enit, dia duduk memandang kembang anggrek kesukaan ibunya yang m asih terus dirawat ayahnya, terdengar dering
tele pon. J antung Arya nyaris m eloncat.
Dia mengangkat kop telepon dan mengucapkan sa lam
dengan nada agak m alas. Tetapi m atanya langsung ter belalak. Isi dadanya berdebar-debar.
"Kang Arya..." "Nadira?" "Kang..." "Eh, ada apa, Nad. Aku sudah terim a kok em ailm u,
Sayang. Tidak apa. Aku paham kalau kam u tak bisa datang.
Ayah juga paham ," kalim at Arya m eluncur begitu saja.
"Kang, aku berubah pikiran, Kang. Aku sudah izin
dengan kam pus, aku bisa ke J akarta..."
"Oh..." Arya m erasa ada segum pal ludah yang tersekat di
kerongkongannya. 266 Leila S. Chudori "Aku juga sedang berpikir-pikir, Kang... Yu Nina
m engirim em ail dan bercerita tentang Tara."
Kali ini Arya ham pir tak bisa bernafas.
"Cerita apa?" "Ya, sam a seperti Kang Arya, dia m enganggap aku harus m enyelesaikan hal-hal yang belum tuntas dengan Tara,
Kang. Aku pikir, aku berhutang pada diriku sendiri untuk
m en cari jawab. Aku harus bertem u dengan dia, dan aku
harus tahu apa yang kurasakan."
"O..." Arya m asih diam tak m enjawab. Nadira terus m enerobos
keheningan, seolah dia tengah berbicara sendiri.
"Beberapa hari terakhir, aku duduk m engikuti dan
m endengarkan suara riak Pedder Bay, seperti ritm e yang
teguh, yang m enentram kan. Seperti suara Ibu jika dia sedang
zikir... Kang, aku ingat suatu hari Tara pernah m em berikan
seikat kem bang seruni untukku..., kem bang seruni yang
disukai Ibu, Kang... Aku selalu berzikir untuk Ibu."
Sunyi. "Kang Arya benar, di dalam hati kecilku, aku m enyim pan sebuah tem pat untuk Tara... Mungkin selam a ini aku
terlalu sibuk m encari lilin, m encari obor... Hidup ini selalu
saja gelap, Kang. Aku m encari dan m encari, hingga ke Pedder
Bay... Hingga ke ujung bukit Victoria. Dan tiba-tiba aku baru
m enyadari, di m ana pun aku berada, selalu ada Tara."
Sobek. Sobek. Hati Arya terkoyak-koyak.
"Kang..." "Nadira..." Arya tak m elanjutkan kalim atnya.
**** J akarta, J anuari 20 0 8-19 Agustus 20 0 9
267 CATATAN KARYA TENTANG PENULIS LEILA S. CHUDORI lahir di Jakar ta, 12 Desember 1962.
Ter pilih sebagai wakil Indonesia pener im a beasiswa pendidikan di Lester B. Pearson College of the Paciic (United
World Colleges) di Victor ia, Kanada, Leila memperoleh
gelar sar jana di bidang Political Science dan Comparative
Development Studies dar i Trent University, Kanada.
Kar ya-kar ya awal Leila dimuat saat ia ber usia 12 tahun
di m ajalah Si Kuncung, Kaw anku, dan Hai. Pada usia dini ia
menghasilkan kumpulan cer pen ber judul Sebuah Kejutan,
Em pat Pem uda Kecil, dan Seputih Hati Andra. Pada usia
dewasa cerita pendeknya dimuat di m ajalah Zam an, Matra,
m ajalah sastra Horison, jurnal sastra Solidarity (Filipina),
Menagerie (Indonesia), dan Tenggara (Malaysia).
Tentang Penulis Malam Terakhir, kumpulan cer ita pendeknya yang
diterbitkan oleh Pustaka Utama Graiti (1989), telah
diter jem ahkan ke dalam ba hasa J erm an dengan judul Die
Letzte Nacht (Horlem m an Verlag). Cer pen Leila dibahas
oleh kr itikus sastra Tinneke Hellwig dalam "Leila S. Chudor i
and Women in Contemporar y Fiction Wr iting" yang dimuat
di Tenggara, sebuah jurnal sastra Asia Tenggara.
Selain sehar i-har i beker ja sebagai war tawan m ajalah
ber ita Tem po, Leila (bersam a Bambang Bujono) men jadi
editor buku Bahasa! Kum pulan Tulisan di Majalah Tem po
(Pusat Data Analisa Tempo, 20 0 8). Leila juga aktif menulis skenar io dram a televisi. Dram a TV ber judul Dunia
Tanpa Kom a (produksi Sinem Ar t, sutradara Mar uli Ara)
yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dan Tora Sudiro
ditayangkan di RCTI tahun 20 0 6. Terakhir, Leila menulis
skenario ilm pendek Drupadi (produksi Sinem Ar t dan
Miles Film s, sutradara Rir i Riza), yang mer upakan tafsir
kisah Mahabharata. Leila tinggal di Jakar ta bersam a putr i tunggalnya, Rain


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Chudori-Soer joatmodjo. 270 Di sebuah pagi yang murung, Nadira Suwandi menemukan ibunya t ewas
bunuh diri di lant ai rumahnya. Kemat ian sang ibu, Kemala Yunus"yang
dikenal sangat ekspresif, berpikiran bebas, dan selalu bert arung mencari
diri"sungguh mengej ut kan.
Tewasnya Kemala kemudian mempengaruhi kehidupan Nadira sebagai
seorang anak (" Melukis Langit " ); seorang wart awan (" Tasbih" ); seorang
kekasih (" Ciuman Terpanj ang" ); seorang ist ri, hingga akhirnya membawa
Nadira kepada sebuah penj elaj ahan ke dunia yang baru, dunia seksualit as
yang t ak pernah disent uhnya (" Kirana" ).
Kendat i pot ongan kisah dalam kumpulan ini dit ulis dengan j eda yang lama,
pada hakikat nya pot ongan ini bukan kumpulan cerpen (kecuali " Kirana" ),
namun sebuah novel yang ut uh mengenai sebuah keluarga dari dua generasi"yang
karena zamannya masing-masing"t ampaknya mempunyai permasalahan berbeda t api
pada hakikat nya sama. Permasalahan keset iaan, harga diri, dan pengorbanan
mengikat semua pot ongan ini menj adi sebuah kesat uan.
Budi Darma, sastrawan dan Guru Besar UNESA (Universitas Negeri Surabaya)
Cint a it u membahagiakan at au menyakit kan" Hmm ".
Namun Leila t akhanya berkisah t ent ang hubungan cint a romant ik, melainkan bet apa
manusia menj alani kehidupannya dengan rasa, dengan hat i, yang t akselalu dimanj akan
oleh dunia kit a sekarang ini. Bila sast ra dianggap menyirat kan dunia di balik
permukaan, kisah-kisah Nadira dalam buku ini memberikannya.
Seno Gumira Ajidarma, sastrawan dan wartawan
Set elah Malam Terakhir menandai sat u fase dalam sast ra Indonesia mut akhir, kini Leila
kembali dengan 9 dari Nadira. Kekuat an cerit a kumpulan ini t erlet ak pada kerumit an
psikologis dan masalah yang dihadapi t okoh-t okohnya. Ia bagai pusaran air, merenggut
lalu menarik kit a sampai ke dasar. Alur yang t ak t erduga, t api t erasa waj ar.
Linda Christanty, penulis dan jurnalis
KPG: 895 04 09 0303 ISBN 13: 978-979-91-0209-6
KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA)
Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3
Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Telp. 021-53650110, 53650111 ext. 3362-3364
Fax. 53698044 9 789799 102096 dari Nadira 9 dari Nadira Kemelut Blambangan 7 The Heroes Of Olympus 3 Tanda Athena The Mark Of Athena Tugas Rahasia 7

Cari Blog Ini