Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari Bagian 2
Srintil menikmati mimpi bercengkerama dengan para anak gembala; berlarian di atas permukaan bunga-bunga ilalang. Langit di atasnya penuh laron dan burung-burung. Srintil membaur bersama semua hewan di Dukuh Paruk. Namun keindahan mimpinya terputus. Sepasang tangan halus meraba-raba dadanya, masuk ke dalam kutang. Goder merengek minta menetek. Sudah beberapa hari Sakarya kelihatan lebih banyak termenung. Perubahan yang terjadi atas diri Srintil, cucunya, sangat mengganggu pikirannya. Perihal Srintil menampik seorang laki-laki yang ingin memakainya tidak begitu memusingkannya. Masalahnya, bagaimana jadinya bila Srintil tetap menghindar dari panggung pentas. Dukuh Paruk akan kehilangan pamornya. Tanpa seorang ronggeng, Dukuh Paruk akan mati; suatu hal yang tak ingin disaksikan oleh Sakarya yang kini sudah berada pada ujung usia.
Perasaan kakek Srintil itu lebih dirisaukan oleh peristiwa-peristiwa kecil namun baginya penuh makna. Kemarin, seekor burung tlimukan terbang secepat angin menerobos pintu rumahnya yang terbuka, membentur keras cermin lemari kacanya. Burung itu runtuh ke lantai dan mati seketika. Dari paruhnya yang mungil merah menetes darah. Entah mengapa Sakarya sangat terkesan oleh pemandangan itu; seekor burung yang molek dengan bulu hijau mengkilap dan paruh seperti cabai masak, mati di hadapannya dengan gelimang darah. Sehari sebelumnya kamitua Dukuh Paruk itu menyaksikan seekor ayam hutan hinggap di pohon angsana di samping rumahnya.
Sakarya selalu membaca sasmi
ta alam. Sakarya tidak pernah berpikir bahwa suatu perkara sekecil apa pun bisa berdiri sendiri, lepas dari kehendak semesta. Dan semuanya pastilah mengemban makna yang sasmita. Sepanjang menyangkut binatang asing yang mendekat, apalagi sampai masuk ke rumah, siapa pun di Dukuh Paruk akan membacanya sebagai pertanda buruk. Dan pagi ini, selagi duduk membatu di ruang depan, punggung Sakarya tertimpa sesuatu yang dingin dan lembut: seekor cicak. Dua makhluk sama-sama terkejut. Binatang itu lari setelah menjatuhkan diri ke tanah lalu merayap cepat di dinding. Sakarya tak kalah cepat. Dengan gombal pembersih meja dilecutnya cicak itu, kena! Dilumatnya dengan kaki, "Asu buntung, mampus kamu!" Sasmita buruk lagi, pikir Sakarya. Apabila sudah yakin demikian maka hanya satu hal yang harus dilakukan oleh kamitua Dukuh Paruk itu; mengetuk pintu makam Eyang Secamenggala di puncak bukit, kemudian memasang sesaji dan membakar kemenyan. Dia bersiap-siap. Istrinya disuruh mencari kembang di halaman rumah Kartareja. Dia sendiri masuk ke kamar mengambil seikat upet. Bila sekali dibakar ujungnya sayatan kelopak manggar ini akan terus membara sampai habis.
Sakarya keluar rumah dalam pakaian serba hitam. Celananya longgar sampai ke tengah betis. Di lehernya terselempang kain. Iket wulung membelit kepalanya. Di tangan kanannya yang tersilang ke belakang tergenggam upet yang sudah membara di ujungnya. Sepanjang perjalanannya kakek Srintil itu tak sekali pun mengangkat muka. Langkah-langkahnya pelan dan khidmat. Tetapi sekali dia harus berhenti, menarik napas panjang kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Seekor ular koros menyeberang jalan setapak yang hendak dilaluinya. Binatang melata itu berhenti sejenak mengalang jalan. "Lagi-lagi, alangan!" desis Sakarya. "Kalau tidak berada-ada mengapa ular itu berkeliaran mengalang jalan. Toh perutnya menggembung pertanda ada tikus yang telah dimakannya. Dalam keadaan biasa seharusnya dia bergelung tidur di bawah semak."
Episode 19 Tiba-tiba Sakarya tersenyum. Di tengah kebeningan hatinya mendadak muncul kesadaran yang dalam bahwa usianya sudah di atas tujuh puluh tahun. Di Dukuh Paruk dialah laki-laki sang paling lanjut. Apabila pertanda buruk yang dirasakannya adalah peringatan akan datangnya ajal maka pantaslah adanya. Perihal kematian diri, bukan hanya sekali-dua Sakarya merenungkannya. Kadang malah merindukannya. Beberapa tahun yang lalu Sakarya memesan tempat di pekuburan Dukuh Paruk. Dibuatnya pemakaman palsu dengan tonggak nisan. Bila ajal tiba maka orang akan menanam tubuh Sakarya di tempat itu.
Dalam kesadaran yang mulai akrab dengan kematian Sakarya sampai ke pekuburan Dukuh Paruk. Dia berhenti di kaki tanjakan buat menata pernapasannya. Suasananya temaram karena kerindangan beringin di puncak bukit memayungi sebagian besar tanah pekuburan. Ditambah lagi matahari pagi masih tersaput awan. Mata Sakarya yang sudah kelabu menatap ke depan. Ketika angin yang lemah berembus pohon-pohon puring bergoyangan. Dan Sakarya diam sempurna. Pohon-pohon yang bergoyang itu tampak olehnya sebagai kelompok manusia dalam tarian aneh. Meski dengan wajah-wajah mengerikan Sakarya bisa mengenali mereka. Yakni orang-orang yang meninggal keracunan tempe bongkrek tujuh belas tahun yang lalu. Ada wajah Santayib suami-istri di antara wajah-wajah yang menyeramkan itu. Keduanya adalah anak dan menantunya, tepatnya orang tua kandung Srintil. Ada wajah-wajah ronggeng Dukuh Paruk sebelum Srintil yang meninggal puluhan tahun yang lalu.
Sakarya merasa hawa dingin bertiup di kuduknya. Suara hiruk-pikuk bergalau dalam telinga. Dan tiba-tiba Sakarya terkejut oleh sinar menyilaukan yang menusuk matanya. Matahari pagi muncul dari balik awan. "Ah, boleh jadi benar, kematianku sudah dekat," gumam Sakarya. Aneh, Sakarya
merasakan ketentraman dalam hati setelah bergumam demikian. Ketika mulai mendaki pekuburan Dukuh Paruk, Sakarya tidak merasa lain kecuali sedang menapaki jalan menuju rumah. Hatinya damai. Pasrah. Kepasrahannya terucapkan ketika mulutnya komat-kamit menyatakan sesuatu di depan pintu makam Ki Secamenggala. Asap kemeny
an mengepul dari ujung upetnya yang membara. Apabila Sakarya masih mengajukan keinginannya sebelum ajal tiba, maka masalahnya menyangkut kepentingan Dukuh Paruk; hendaknya calung dan ronggeng lestari adanya. Setidaknya, Srintil akan kembali menari, meronggeng. Kamitua Dukuh Paruk itu sungguh tidak bisa membayangkan apa jadinya bila Srintil tetap menghindari pentas. Dukuh Paruk tanpa ronggeng; reputasi buruk bagi kakek yang merasa menjadi pemangku anak-cucu Ki Secamenggala di Dukuh Paruk.
Pulang ke rumah Sakarya mendapati Srintil sedang menerima seorang tamu. Semula Sakarya mengira tamu itu hanya berkepentingan dengan Srintil secara pribadi. Namun setelah jelas siapa dia, Sakarya langsung ikut duduk. Tamu itu adalah Pak Ranu, seorang penggawa kantor kecamatan yang sudah dikenalnya. Sakarya sadar betul seorang seperti Pak Ranu tidak akan berurusan dengan ronggeng secara pribadi.
"Wah, seorang priyayi datang ke Dukuh Paruk; ada apa ini"" kata Sakarya.
"Tentu ada urusan yang saya bawa bagi sampean serta cucu sampean ini."
"Begitu. Nah, katakan, Pak Ranu. Asalkan jangan urusan hukum, karena kami di Dukuh Paruk tak pernah menyalahi hukum."
"Sama sekali bukan itu, Kang. Ini urusan calung."
"Calung"" "Apabila ada orang luar datang ke Dukuh Paruk, apa lagi maksudnya"" "Yah, ya. Lalu, apakah sampean sudah berbicara langsung dengan Srintil"" "Sudah."
Sakarya menoleh kepada cucunya. Wajah Srintil tersaput awan ketidakpastian. Murung dia. Sakarya mengerti, lalu menarik napas panjang sambil bersandar ke belakang.
"Kang Sakarya," ujar Pak Ranu. "Bukan saya yang hendak punya hajat melainkan panitia perayaan Agustusan."
"Agustusan dengan mementaskan ronggeng""
"Nah, baru kali ini terjadi bukan" Rasanya, ini sebuah kehormatan bagi Dukuh Paruk." "Ya, tentu."
"Nah. Tetapi saya agak heran mengapa Srintil tidak segera memberi kesanggupan."
Lagi, Sakarya menarik napas panjang. Kemudian, dengan tetap menunduk Sakarya bergumam seperti kepada dirinya sendiri.
"Seharusnya Srintil mengerti urusan kali ini bukan sekedar undangan berpentas. Bisa juga dikatakan sebagai perintah karena dia datang dari panitia resmi."
"Nah! Sampean betul, Kang Sakarya. Betul. Untung sampean yang mengatakannya, bukan saya." "Sekarang bagaimana sampean, Jenganten"" kata Pak Ranu kepada Srintil.
Setelah lama berdiam-diri Srintil menjawab lirih, "Sudah lama saya tidak menari, Pak."
"Kenapa"" Pertanyaan Pak Ranu berulang sampai tiga kali. "Tidak apa-apa, Pak."
"Ah, masa. Bila ada ronggeng maka harus ada calung, bukan"" "Yah, pokoknya saya sedang malas menari, Pak."
"Memang, Jenganten. Terkadang orang bisa merasa malas atau bosan terhadap pekerjaannya. Soalnya, permintaan ini datang dari panitia Agustusan yang diketuai sendiri oleh Camat. Bagaimana""
"Bila sedang malas, tarianku bisa tidak karuan, Pak. Bagaimana""
Pak Ranu tersinggung oleh pertanyaan balik ini. Tetapi penggawa kantor kecamatan ini bertahan dalam kesabarannya.
"Nanti dulu, Jenganten. Pada malam kesenian nanti kalian akan tampil berganti-ganti. Ada rombongan orkes keroncong dari kota, ada rombongan lawak dan juga rombongan akrobat. Tetapi saya percaya rombongan ronggeng Dukuh Paruk jugalah yang paling digemari penonton." Srintil tak bergeming oleh rangsangan yang ditawarkan oleh Pak Ranu. Juga dia tetap bungkam ketika Sakarya ikut mendesaknya. Akhirnya utusan dari kantor kecamatan itu berdiri. Ucapannya terdengar bernada ancaman.
Episode 20 "Pikirlah baik-baik, Wong Dukuh Paruk. Kami tidak rugi bila sampean menampik permintaan ini. Sebaliknya, sampean bisa menghadapi kesulitan karena telah mengecewakan pihak kecamatan!" Pak Ranu keluar dengan wajah buram. Srintil mengikutinya dengan pandangan bimbang. Sakarya terpaku, tak sepatah kata pun bisa terucapkannya bahkan ketika Pak Ranu berpamitan. Baru setelah Pak Ranu pergi Sakarya berhasil membuka mulutnya. Kata-kata kecewa bernada menyalahkan ditujukannya kepada Srintil. Dalam kata-kata itu tersirat ketakutan akan datangnya kesulitan seperti diisyaratkan oleh pertanda-pertanda aneh beberapa hari ini.
"Kamu telah mengecewakan seorang priyayi; suatu hal yang tidak
layak dilakukan oleh orang dusun seperti kita ini. Oalah, cucuku, kamu tidak menyadari dirimu sebagai seorang kaula."
"Kek... " "Apa!" "Bila saya bertahan, apakah saya bisa kena hukum""
Pertanyaan Srintil adalah bukti sebuah langkah surut. Sakarya melihat pintu mulai terbuka. Tetapi kakek itu menyembunyikan perasaannya.
"Mengapa tidak" Kita ini kaula. Kita wajib tunduk kepada perintah, bahkan keinginan para penggawa itu. Menampiknya, sama saja dengan mengundang hukum. Nah, beranikah kamu melakukannya""
Sakarya sengaja melebih-lebihkan ucapannya. Dia berharap Srintil akan segera mengubah pendiriannya. Tetapi jawaban Srintil bahkan mengejutkan Sakarya.
"Ya, sudah! Aku rela menerima hukuman. Dibui pun jadi! Bagaimana aku harus menari bila hati tak mau. Kakek tahu bukan, sebuah tarian baru hidup bila hati dan jiwa ikut menari."
Tanpa menunggu tanggapan kakeknya, Srintil bangkit. Di pintu ruang tengah dia berpapasan dengan neneknya. Dari tali sampiran Srintil menarik sehelai kain pengemban, disampirkannya ke pundak, dan keluar. Srintil melangkah cepat ke rumah Tampi. Goder ada di sana sejak pagi hari. Sebelum sampai ke tujuan Srintil berhenti di depan rumah Sakum. Hatinya terkesan oleh suasana di situ. Penabuh calung yang buta itu sedang menganyam sebuah kukusan. Kedua tangannya trampil, seakan ada mata pada setiap ujung jarinya. Di belakangnya tersusun barang-barang anyaman yang sudah jadi, siap dijadikan uang bila ada yang membutuhkannya. Ah, semua orang tahu apalah arti jumlah uang yang diterima Sakum dari barang-barang anyamannya. Anaknya empat orang.
Apa yang kelihatan oleh Srintil adalah gambar ketidakcukupan yang parah. Rumah Sakum hanya bertiang empat, doyong, ayam dan angin bebas masuk dan keluar dari segala penjuru. Dari dalamnya orang bisa melihat awan di langit, dan bintang-bintang pada waktu malam. Rumah, tepatnya gubuk itu, kelihatan demikian compang-camping.
Ketidakcukupan Sakum lebih jelas kelihatan pada diri keempat orang anaknya. Yang tertua, seorang gadis sembilan tahun. Rambutnya merah bulu jagung. Kedua ujung bibirnya berhiaskan cokop yang seperti lumut kerak. Wajahnya, bahkan kedua matanya kusam tanpa cahaya. Kulitnya mati dengan daki terutama pada tengkuk dan betisnya. Kini dia duduk bersandar dinding menunggui adiknya yang terkecil yang merayap-rayap di tanah. Dua anak Sakum yang lain sedang mencungkil-cungkil tanah di samping rumah. Keduanya telanjang. Gerigi tulang punggungnya menyembul kulit. Tangan mereka yang lemah tergantung tanpa daya. Mereka sedang menyelusuri alur lubang orong-orong.
"Asu buntung!" kata yang lebih kecil. "Lubang orong-orong ini menghunjam ke dalam tanah. Di bawah batu pula."
"Kamu yang tolol," kata kakaknya. "Setiap lubang orong-orong mempunyai gua. Minggir kamu." Si kakak jongkok tepat di atas lubang orong-orong, memegang kulupnya dan kencing. Karena kebanjiran air hangat maka orong-orong keluar dari liangnya. Dua pasang tangan berebut menangkapnya. Yang kecil kalah dan terjungkal ke belakang oleh dorongan kakaknya. Dia menangis dan berusaha merebut haknya. Tetapi si kakak telah lenyap masuk ke dapur. Orongorong dalam genggamannya segera mati dalam abu panas. Semenit kemudian serangga tanah itu lumat dalam mulutnya.
Sakum kelihatan tidak terusik oleh hiruk-pikuk anak-anaknya. Jemarinya terus bekerja: menganyam, menyambung, atau memotong serpih bambu yang kepanjangan. "Bila aku masih mendengar suara anakku, itu pertanda baik. Berarti mereka masih hidup." Ini senda-gurau Sakum yang bukan sekali-dua diucapkannya.
Dan untuk berhubungan dengan segala sesuatu di luar dirinya Sakum tidak hanya mengandalkan indria pendengaran. Naluri dan perasaannya terkadang justru lebih terpercaya. Misalnya, Sakum tahu istrinya telah atau akan berbuat serong dari nada suaranya. Demikian juga halnya bila terjadi ketidakadilan pada waktu makan. Untuk mengetahui apakah satu-satunya pelita dalam rumahnya sudah menyala di malam hari Sakum hanya memerlukan tarikan napas panjang-panjang. Hidungnya dapat memastikannya dari udara yang masuk ke paru-parunya. Naluri atau mungkin seluruh permukaan kulitnya
sangat peka terhadap perubahan yang terjadi di sekitarnya. Seperti saat itu; Sakum berhenti mendadak dari kegiatannya ketika Srintil melangkah mendekatinya. Kelopak mata yang menutupi lubang keropok bergerak-gerak. Mulutnya cengar-cengir. Suara yang kemudian didengarnya adalah suara yang telah diramalkannya, dan jitu. "Sibuk, Kang Sakum"" kata Srintil sambil duduk di balai-balai hanya beberapa jengkal dari tubuh Sakum.
"Eh, Jenganten" Pantas, sejak pagi kudengar burung prenjak berbunyi ngganter di dekat rumah. Rupanya ada tamu penting hari ini."
"Bukan aku yang penting, Kang. Tetapi aku membawa masalah penting."
"Eh, penting bagaimana" Pak Marsusi datang lagi" Eh, maaf, Jenganten."
"Bukan itu. Ada seorang utusan dari kantor kecamatan datang ke rumahku tadi pagi. Kita dimintanya naik pentas pada malam perayaan Agustusan nanti
Episode 21 Srintil menunggu tanggapan Sakum. Yang dinantinya adalah ledakan kegembiraan. Naik pentas berarti uang bagi seluruh anggota rombongan ronggeng. Keluarga Sakum yang hidup di atas titik pusat peta kemelaratan Dukuh Paruk harus menyambutnya dengan gembira. Tetapi laki-laki dengan sepasang mata keropos itu diam saja. Hanya alisnya turun-naik. Benar, Sakum sudah lama merindukan pentas. Namun saat itu dia sudah bisa membaca dengan tepat perasaan Srintil yang masih enggan menari.
"Bagaimana, Kang""
"Eh, bagaimana" Sampean sudah mengerti apa jadinya bila aku berlama-lama tidak menabuh calung, jadi akulah yang harus bertanya kepada sampean; bagaimana""
"Aku mengerti, Kang. Kau berharap aku mau menerima permintaan panitia Agustusan, bukan""
"Tentu saja begitu, Jenganten."
"Ya... " Srintil menghadapi kebuntuan rasa. Di depan kakeknya dia bersikeras tak mau memenuhi permintaan panitia Agustusan. Dihukum pun dia mau. Tetapi sebenarnya Srintil ingin menarik kata-katanya sesaat setelah terucapkan. Kini Srintil merasa telah menemukan orang yang paling tepat untuk menyatakan perasaannya secara jujur. Tanpa disadari sejak semula ternyata Sakum adalah orang yang dekat dengan dirinya, lebih dekat daripada suami-istri Kartareja, bahkan kakek dan neneknya sekalipun.
"Ya, Kang. Sebaiknya aku menuruti permintaan mereka. Aku mau menari lagi, Kang. Tetapi hatiku, Kang, hatiku!"
"Hati"" "Ya. Hatiku tak bisa kubawa menari."
"Bisa," Ujar Sakum cepat. "Aku percaya indang ronggeng masih tetap bersemayam pada diri sampean. Hati sampean yang buntu akan terobati bila sampean melupakan dia."
"Dia"" "Ya, Rasus." Berkata demikian wajah Sakum memperlihatkan segala kesungguhannya. Amat jarang Sakum berbuat demikian. Bibirnya merapat, otot-otot pipinya menegang. Dengan cara itu Sakum ingin menyatakan kebenciannya atas hubungan Srintil-Rasus yang telah membawa banyak persoalan bagi rombongan ronggeng, bagi Dukuh Paruk.
Srintil langsung menundukkan kepala, benci melihat wajah Sakum yang mengerikan. Hatinya tersinggung oleh kata-kata Sakum. Tetapi Srintil kemudian sadar kata-kata itu bukan ditujukan kepada Srintil maupun Rasus sebagai pribadi, melainkan kepada sifat hubungan antara keduanya yang ternyata telah membuat suara calung lenyap dari Dukuh Paruk.
"Jenganten," sambung Sakum. Kini dengan nada suara seorang bapak. "Bukan sampean seorang yang menjadi ronggeng dan terpikat oleh laki-laki tertentu. Hal semacam ini sejak dulu sering terjadi. Tetapi tidak segenting pada diri sampean.
Dulu, puluhan tahun yang lalu, ronggeng Trombol mengalami hal seperti ini. Dia kawin dengan seorang wedana. Nah, dasar masih bersemayam indang dalam dirinya, perkawinan mereka hanya berumur selama orang mengunyah sirih. Ronggeng Trombol kembali menjadi milik Dukuh Paruk, artinya kembali melenggang dan melenggok seperti laiknya seorang ronggeng.
Demikian juga yang terjadi atas diri ronggeng Cepon. Dia tergila-gila kepada anak seorang pedagang batik. Mereka kawin juga akhirnya. Tetapi nasibnya malah lebih buruk. Suami yang dicintai pergi meninggalkannya. Ronggeng Cepon begitu merana. Akhirnya dia mati ketika usianya belum lagi dua puluh.
Nah, sekarang diri sampean. Sudah cukup apa yang sampean dapatkan dari Rasus. Begitulah namanya seorang ronggeng. S
ampean sudah merasakan kesenangan bersamanya, tidur bersamanya. Hanya itulah yang bisa sampean terima, karena sampean seorang ronggeng. Selagi indang masih tinggal dalam diri, sampean tidak mungkin mendapatkan lebih dari itu. Tidak mungkin! Jadi sekali lagi, lupakan Rasus demi kebaikan sampean sendiri."
Srintil masih menundukkan kepala. Kini matanya basah. Tadi setiap kali Sakum menyebut nama Rasus, setiap kali pula jantungnya berdenyut keras. Terbayang kembali olehnya suatu ketika di malam hari menjelang acara bukak-klambu. Rasus menemuinya dengan wajah demikian hampa tetapi penuh ketidakberdayaan. Terngiang kembali ucapan Rasus terakhir yang masih sempat didengarnya, "Aku tak mungkin mengawinimu karena kamu seorang ronggeng. Kamu milik Dukuh Paruk."
"Jadi aku masih seorang ronggeng karena pada diriku masih bersemayam indang"" ucap Srintil pelan.
"Eh, sudah puluhan tahun dan sudah sekian banyak ronggeng yang kukenal. Getar suara sampean adalah getar suara ronggeng. Bau badan sampean adalah bau badan ronggeng. Wibawa sampean juga wibawa ronggeng. Nah, sampean memang masih seorang ronggeng. Kelak pada suatu saat aku akan tahu sampean bukan lagi ronggeng. Yakni bila indang telah meninggalkan diri sampean." Sakum kemudian menarik napas lega. Kedua bahunya turun seakan baru lepas dari beban yang berat. Memang, Sakum telah lama ingin mengungkapkan perasaannya kepada Srintil; mengingatkannya dan mengajarinya tentang bagaimana seharusnya sikap seorang ronggeng. Niatnya demikian tulus sehingga Sakum tak menghendaki orang menghubungkan niat itu dengan kepentingan pribadinya.
Merasa telah mengungkapkan semua perasaannya Sakum kembali kepada pekerjaannya. Tangannya kembali menganyam serpih-serpih bambu. Tangis anak Sakum masih berkepanjangan. Tangis yang hambar, tangis seorang anak yang lapar tetapi merasa pasti tak ada nasi yang bisa dituntutnya. Burung kembali ngoceh, bebas, dan lepas. Suaranya meriah dan renyah, kebalikan yang sempurna atas suara tangis anak Sakum.
"Ke mana istrimu, Kang""
"Eh, dia di rumah Kartareja. Menumbuk padi. Tentu dia hampir pulang. Suara alunya sudah lama tak terdengar."
"Sudah menanak nasi"" tanya Srintil menatap wajah anak-anak Sakum. Pertanyaan itu mengundang harapan bagi mereka.
"Jenganten ini bagaimana" Yang sedang memburuh menumbuk padi belum lagi pulang."
Episode 22 "Ah, begitu. Sekarang matahari hampir tergelincir. Mestinya istrimu sudah pulang."
"Aku tahu matahari sudah tergelincir. Buktinya, bau sengak makin menyengat, pertanda tempat kencing anak-anak di sebelah barat rumah sudah kena panas matahari."
Srintil meneruskan perjalanan ke rumah Tampi hendak mengambil Goder. Masih di dekat rumah Sakum dia melihat sepasang bunglon berkejaran pada ranting pohon dadap. Yang betina lari tunggang-langgang lalu melompat ke dahan lain. Yang jantan mengejar, ragu-ragu, lalu menyusul melompat. Kali ini dia luput dan terbanting ke tanah.
Diam dan seakan-akan mati. Warna kulitnya yang semula hijau terang perlahan-lahan berubah warna tanah. Binatang itu baru bergerak setelah langkah Srintil begitu dekat. "Bila Kang Sakum
tidak picek tentu dia akan berkata kepadaku; jangan membabi buta mengejar orang yang lari. Nanti terbanting seperti bunglon itu."
Seperti Sakum, Tampi pun mendorong Srintil menerima permintaan panitia Agustusan itu. Tampi bahkan membumbui kata-katanya dengan hal-hal yang memang belum diketahui oleh Srintil. Jenganten mungkin belum tahu. Pada malam perayaan seperti itu akan berkumpul semua priyayi di Dawuan. Ada wedana, ada polisi, dan ada tentara. Mantri ini, mantri itu, semua akan berkumpul. Penonton lain bisa mencapai jumlah seribu orang."
"Seribu orang, Yu""
"Percayalah, Jenganten. Maka jangan sia-siakan pentas yang istimewa itu. Sampean justru harus tampil dalam tarian yang terbagus."
"Kamu juga mau nonton, Yu""
"Yah, itu pasti. Saya kira semua orang akan kerok-batok pergi semua ke alun-alun kecamatan Dawuan. Jadi mengapa aku harus tinggal di rumah""
Dalam perjalanan pulang, Srintil telah mendapat kata putus. Dia hendak memenuhi permintaan panitia Agustusan. Tetapi Srintil sendiri tidak
bisa memastikan apakah keputusan itu merupakan tekad yang utuh atau hanya karena sebab lain. Pihak pertama yang mendengar keputusan Srintil adalah Goder, bayi yang dipeluknya erat-erat sambil berjalan pulang.
"Bocah bagus, aku mau menari lagi. Boleh, kan" Ah, kau tak usah khawatir. Aku tetap emakmu. Kau tetap anakku yang paling bagus!"
Ketika laut surut di Segara Anakan. Sebuah perahu motor dengan mesin disel tua merayap terbata-bata menempuh jalur Cilacap-Kalipucang. Pada saat laut seperti itu Segara Anakan mirip sungai di tengah endapan lumpur yang luas. Terbentuk delta-delta yang ditutup rapat oleh pohon bakau. Para penumpang dalam perahu motor itu dapat melihat kerajaan burung yang masih tersisa. Di atas amparan lumpur itu terlihat berbagai jenis burung pemakan ikan. Trinil yang tak pernah berhenti membuat gerakan cabul berjalan kian kcanari dengan kegesitan yang mengagumkan. Bila perahu motor mendekat, mereka terbang dalam lintasan patah-patah, suaranya hiruk-pikuk. Ada bluwak berkejaran setengah terbang dan setengah berlari di atas lumpur. Sementara kuntul membentuk kelompok: makhluk-makhluk putih, terkadang mereka menyebar kemudian berkumpul lagi dalam gerakan-gerakan lamban. Ada seekor binatang tamu yang besar, berdiri dengan kaki hampir sepenuhnya tenggelam dalam lumpur. Langkahnya amat lamban, mirip langkah-langkah seorang kakek pikun. Dia adalah bangau tongtong. Dia kelihatan merana, tanpa teman sejenis.
Manakala hutan-hutan sudah rusak. Manakala sawah-sawah sudah berbau obat penyemprot hama, dan manakala sudah terlalu banyak pemuda menyandang senapan angin. Maka wilayah Segara Anakan serta daerah berawa-rawa di sekitarnya adalah tempat terakhir bagi berjenis-jenis burung untuk mempertahankan keberadaannya. Suaka. Burung dadali yang sudah sulit ditemukan di daerah pedalaman ternyata masih banyak di sana. Demikian juga burung-burung pemakan biji-bijian seperti tekukur, balam, dan perkutut. Dan yang menyolok adalah banyaknya burung alapalap. Tentu saja karena mangsanya, burung-burung kecil seperti berondol, burung madu, atau kutilang seperti sengaja dikumpulkan dalam pulau-pulau kecil berambut hutan bakau itu.
Para penumpang yang menyarati kapal motor tua itu tampaknya tak terkesan oleh pesona dunia burung. Boleh jadi mereka terlalu angkuh dalam dunianya sendiri, dunia manusia. Atau hanya karena mereka tidak bisa duduk tenang. Kendaraan yang mereka tumpangi harus meliuk-liuk menuruti air yang dalam agar tidak kandas. Dalam hal ini pengemudi perahu motor itu, yang tak lebih dari seorang pemuda belasan tahun, layak mendapat pujian. Dia memahami betul seluk-beluk pekerjaannya. Dan keahliannya terbukti bila perahunya harus berpapasan dengan perahu lain dalam alur sempit dekat sebuah tikungan.
Pada sebilah tempat pemberhentian tiga orang turun, semuanya laki-laki. Melihat keadaannya dua di antara mereka tentulah tengkulak terasi, yakni hasil utama penduduk di wilayah itu. Yang seorang lagi kelihatan belum terbiasa di sana. Dia berdiri agak ragu. Kemudian berjalan tertatih-tatih di atas titian bambu yang menghubungkan dermaga kapal motor dengan daratan. Di tengah titian dia berhenti dan terkejut melihat seekor biawak melintas di bawahnya. Binatang yang lari berkecipak itu meninggalkan alur berkelok-kelok pada lumpur hitam yang berbau terasi.
Di tepi daratan ada warung yang menjual rokok, minuman, dan buah-buahan. Sebetulnya laki-laki itu merasa haus. Tetapi karena tidak terbiasa dengan minuman bersahaja, yakni air asam yang disajikan dalam gelas kotor, maka dia berusaha menahan hausnya. Masalahnya, bagaimana juga dia harus masuk ke warung itu. Dibelinya rokok dan pisang. Sambil makan pisang laki-laki itu mencapai tujuan utama berhenti di warung itu. Kepada pemilik warung dia menanyakan sebuah alamat.
Yang ditanyakan oleh Marsusi adalah alamat yang terlalu sering dicari orang pendatang. Pak Tarim. Banyak tetangga merasa heran mengapa begitu sering Pak Tarim menerima orang pendatang. Tarim, laki-laki tua berkepala Semar, demikian juga perutnya. Setiap hari berleha-leha menghadapi gelas besar dengan kue-kue jaja
n pasar. Penghidupan sehari-hari dipercayakan kepada istri serta anak-anaknya. Anak-anak juga cucunya sudah mempunyai keahlian menangkap udang, kepiting, atau binatang lainnya untuk campuran bahan terasi. Demikian jorok cara pengumpulan bahan terasi itu schingga orang yang anti terasi sering menuduh bahwa bumbu masakan itu pasti tercampur bekicot dan belatung, bahkan bangkai kadal.
Episode 23 Memang di kampung laut itu nama Tarim sering dihubungkan dengan ngelmu. Tetapi hanya orang-orang tua tertentu yang mengetahui pasti ilmu apakah yang dikuasai orang tua itu. Anehnya justru orang luarlah yang mengetahui kekhususan Tarim. Seperti halnya Marsusi. Melalui jalur informasi yang panjang dan berliku-liku sampailah dia kepada Tarim. Menurut seorang teman Tarim-lah orangnya yang bisa membantu Marsusi dalam hal melaksanakan urusan khususnya. Panas udara mulai reda ketika Marsusi diterima oleh Kakek Tarim. Tuan rumah menerima tamunya tanpa emosi meskipun sang tamu adalah orang yang baru pertama dilihatnya dan kelihatan berasal dari kalangan priyayi. Ketika Marsusi memperkenalkan diri, Tarim bahkan sama sekali tidak memperhatikan wajahnya. Hanya kepala Semarnya yang mengangguk-angguk. Lalu mempersilakan Marsusi beristirahat di sebuah kamar yang tertutup.
"Silakan beristirahat dulu," kata Tarim sambil menunjuk kamar yang dimaksud. "Nanti malam sampean baru bisa berbicara. Selamanya aku tak pernah berembuk dengan siapa pun yang berada dalam keadaan lelah."
Marsusi agak terperangah karena dalam kamar yang tak berkursi dan berlantai tikar pandan itu ada seorang tamu lain. Laki-laki yang tengah telentang itu cepat-cepat bangkit begitu Marsusi masuk. Keduanya berpandangan sejenak lalu bertukar senyum dan mengangguk. Naluri masing-masing mengatakan bahwa kedua-duanya sedang menempuh jalan yang sama. Maka antara kedua tamu itu segera tercipta suasana akrab.
"Saya Dilam dari Warubosok. Saya datang kemari hendak minta tolong kepada Kakek Tarim. Bapak juga, kan""
Marsusi hanya tersenyum. Dan menyulut rokok. Teman barunya ditawarinya sebatang. Asap rokok membuat keduanya makin akrab seperti telah terjadi persahabatan yang lama sebelumnya. "Nah, apakah persoalan sampean"" tanya Marsusi sambil menyandarkan diri pada dinding bambu. Dilam kelihatan ragu. Rahasia pribadi yang dibawanya dari Warubosok belum seorang pun tahu, belum juga istrinya. Haruskah dia membocorkannya kepada orang yang baru sekali bertemu" Hati Dilam menolak. Tetapi suasana senasib-sepenanggungan bersama orang yang baru dikenalnya itu mengubah semuanya. Juga, di mata orang dusun seperti Dilam, Marsusi kelihatan begitu berwibawa. Dan bagaimana juga Dilam merasa telah berutang budi; rokok Marsusi sudah diisapnya.
"Sebenarnya persoalan saya sangat sepele, Pak. Kerbau!" "Kerbau""
"Benar. Dua ekor kerbau saya mati di kandang, diracun orang." Marsusi mengangguk, tak ingin menyela cerita Dilam.
"Mula-mula pada suatu malam seekor kerbau saya lepas dari kandang. Malam itu juga saya cari ke mana-mana tetapi saya tidak bisa menemukannya. Baru pagi hari saya berhasil menemukan kerbau itu di ladang orang, sedang menumpas tanaman jagung. Saya mengambil bintang itu kemudian pergi ke rumah pemilik ladang. Permintaan maaf saya ditolaknya. Dia juga menolak tawaran saya tentang ganti rugi. Nah, saya sudah berniat baik, tetapi dua malam berikutnya kerbau saya mati dua ekor. Bukan main sakit hati saya, Pak."
"Sampean yakin kerbau-kerbau itu mati termakan racun""
"Iya, Pak. Sejak kecil saya tidak pernah berpisah dengan kerbau. Saya tahu bahwa kerbau hanya berak di tempat-tempat tertentu. Saya juga tahu kerbau yang ingin kawin, yakni bila binatang itu mulai mengasah pantatnya ke tiang kandang. Apalagi tentang kerbau yang sakit. Nah, kerbauku mati mendadak. Mulutnya berbusa. Setelah dipotong dan isi perutnya dikeluarkan tercium ban racun. Isi perut itu kami buang ke kolam dan ternyata ikan-ikan mati. Jadi apa lagi kalau bukan racun""
"Sampean juga yakin bahwa pemilik ladang itulah yang meracuni kerbau sampean"" "Kalau bukan dia, siapa lagi""
Marsusi tersenyum dan mengangguk demi menyenangkan l
awan bicaranya. Ganti Dilam yang bertanya tentang persoalan yang dibawa oleh kepala perkebunan karet itu. Tetapi Marsusi menghindar dengan cara melorotkan tubuhnya hingga sampai pada posisi tidur. Mata dipejamkan pura-pura mengantuk. Dan kelelahan serta angin laut yang menerobos masuk ke bilik tamu itu membuatnya benar-benar tertidur.
Ketika terbangun beberapa jam kemudian Marsusi mendapati kamar sudah diterangi lampu minyak. "Jam tujuh malam," desisnya setelah melihat jam tangannya. Marsusi bangkit. Kakinya hampir menyentuh gelas. Ternyata bukan hanya ada gelas-gelas, melainkan juga piring-piring berisi nasi dan lauk-pauknya. Semuanya tidak mampu membangkitkan selera Marsusi. Lidahnya sudah terbiasa dengan makanan yang lebih baik. Gelas Dilam tinggal berisi setengahnya. Tetapi ke manakah orangnya"
Pertanyaan itu terjawab oleh suara dua orang yang sedang bercakap-cakap di dalam rumah. Marsusi dapat memastikan dua orang itu adalah Dilam dan tuan rumah. Tergerak oleh rasa ingin tahu Marsusi keluar dari bilik. Ternyata ruang depan tanpa lampu. Sepi, bahkan tak terdengar suara anak-cucu Tarim maupun istrinya. Marsusi, perlahan-lahan, duduk di kursi yang paling dekat dengan asal suara di balik dinding.
Di ruang dalam Dilam duduk berhadapan dengan Tarim. Kali ini wajah Tarim bersungguh-sungguh. Setiap ucapan tamunya ditanggapi dengan kening berkerut serta kedua alis yang hampir bertemu. "Sekali lagi, pikirlah dahulu, Nak. Ini persoalan nyawa. Dan saya akan membebankan seluruh tanggung jawab pada diri sampean," kata Tarim sambil memandang tajam ke arah bola mata Dilam.
"Hati saya sudah bulat, Kek. Saya bersedia menerima segala akibatnya." "Akibat di dunia dan di alam kelanggengan nanti""
"Ya, Kek." "Sampean mengerti bahwa urusan semacam ini juga akan berakibat buruk kepada anak-cucu sampean""
Dilam tidak segera memberi tanggapan. Kini wajahnya menunduk, sejenak berhenti bernapas. Saat itu rasa sakit hati karena permintaan maafnya ditolak pemilik ladang menyengat kembali. Dalam rongga matanya terbayang dua ekor kerbau kesayangannya terkapar.
Episode 24 "Saya tidak berpikir jauh ke sana, Kek. Urusan nanti bagaimana nanti saja. Pokoknya begitulah tekad saya."
"Aku tidak biasa tergesa-gesa, Nak. Nah, pikirlah kembali. Keluarlah, siapa tahu udara di luar bisa mengubah pikiran sampean."
Meskipun merasa enggan, namun Dilam bangkit juga. Tidak diketahuinya pada saat yang lebih cepat Marsusi berjingkat kembali ke biliknya.
Udara di luar memang lebih dingin. Dilam memandang langit yang masih merona merah di barat sisa mambang petang. Nyamuk luar biasa banyak sehingga Dilam tak pernah berhasil menenangkan dirinya. Tak mengapa, karena setidaknya Dilam bisa mengingat kembali sepenuhnya kata-kata Tarim. Mestinya semuanya benar. Lepas dari kenyataan bahwa kakek itu menikmati upah dari ilmu hitamnya, toh dia kelihatan bersungguh-sungguh mencegah orang membuat celaka sesamanya. Atau seperti yang pernah didengar oleh Dilam sendiri bahwa Tarim akan menerima dengan ikhlas pengunduran diri seseorang yang semula datang dengan maksud minta bantuan buat membinasakan orang lain.
Masalahnya tinggal pada nurani Dilam untuk menerima sinar terang. Ternyata kesumat yang mengendap dalam hati laki-laki dari Warubosok itu lebih pekat. Kata-kata sendiri yang tadi terucapkan di depan Tarim bergema kembali. "Urusan nanti, bagaimana nanti saja!" Dilam masuk kembali menghadap Tarim. Wajahnya malah bertambah gelap. Sambil duduk dilepasnya napas banyak-banyak.
"Bagaimana, Nak""
"Saya tetap pada pendirian semula. Sudahlah, Kek. Pokoknya semua ini atas tanggung jawab saya."
"Baiklah kalau begitu."
Tarim bangkit meninggalkan tamunya. Seperempat jam kemudian dia muncul lagi membawa sebuah cawan berisi air bening dan sehelai kain mori. Setelah terpapar di atas meja Dilam baru melihat ada sebuah jarum berekor benang terselip pada kain mori. Tak urung hati Dilam terkesiap melihat benda-benda yang mendadak berpengaruh magis itu.
Kakek Tarim duduk. Entah mengapa napasnya terengah-engah. Keningnya mengkilat oleh titik keringat. Jarum dipegang pada ekor benangnya, diayun-ayun
memutar tepat di atas cawan. Ayunan dihentikan. Jarum yang masih berpusing-pusing itu ditunggunya sampai berhenti. Kemudian dijatuhkan tepat di tengah air dalam cawan. Air seperti mendidih dan Tarim cepat menutup cawan itu dengan kain mori. Sesaat kemudian terdengar suara gemercik. Kain mori itu disingkapkan. Airnya masih bening tetapi jarum berekor benang itu telah lenyap. "Kirimanmu sudah berangkat," kata Tarim.
Ketegangan pada wajahnya mengendur. Dengan ujung baju dilapnya keringat yang mengucur deras. Sementara itu Dilam sendiri belum bisa melepaskan diri dari kebisuan yang sebenar-benarnya. Dan Dilam terperanjat ketika terdengar lagi suara berkecipak dari dalam cawan yang tertutup mori. Tarim membukanya.
Mata Dilam membulat melihat air dalam cawan sudah berubah. Jarum berekor benang kelihatan lagi, mengkilat dalam cairan yang lambat-laun menjadi merah. Darah mengental pada ekor benang itu, larut perlahan-lahan merata dalam cairan.
"Hem, selesai," kata Tarim sambil mengemasi perkakasnya. "Sekali lagi, Nak. Semua ini terjadi atas tanggung jawab sampean sepenuhnya. Kalau besok cepat pulang ke Warubosok sampean bisa melihat penguburan mayat seteru sampean itu."
Yang terkesan dari wajah Dilam adalah perasaan puas sekaligus ngeri. Orang Warubosok itu tak mampu berkata-kata. Dirasakannya keringat meleleh di tengkuknya. Melihat Dilam yang pucat
dan agak gemetar Tarim tersenyum. Kakek itu sudah hapal. Itulah perilaku kebanyakan tamu yang datang kepadanya.
"Agar sampean tidak gemetar seperti itu hanya ada satu cara. Usahakan sekeras-kerasnya rasa benar di hati sampean. Bahwa musuh sampean mendapat celaka akibat ulah sendiri; tanamkan keyakinan itu kuat-kuat pada diri sampean."
Dilam mengundurkan diri dengan kegoncangan hati yang tidak bisa disembunyikan. Dalam bilik tamu didapatinya Marsusi sedang menengadah, tidur di lantai bertikar.
"Sudah"" tanya Marsusi dengan senyum.
Jawaban Dilam adalah air muka yang kosong hambar.
"Masih adakah perahu motor menghilir ke Cilacap" Aku ingin secepatnya pulang," ujar Dilam. Mendengar cakap temannya yang ngelantur Marsusi sekali lagi tersenyum. Sebab sesungguhnya dirinya pun mulai diliputi ketidakpastian. Dia mendengar seluruh percakapan antara Dilam dengan Kakek Tarim; sesuatu yang tidak boleh tidak telah membuat bulu kuduknya meremang. Marsusi merasa yakin temannya, seperti dirinya juga, dihantui oleh perasaan tidak nyaman. Kedua penghuni bilik tunggu itu berdaulat dalam pikiran masing-masing. Dilam telentang berbantal tangan, matanya menerawang jauh menembus atap, membayangkan seterunya tiba-tiba terbatuk dan muntah darah. Disusul hiruk-pikuk dalam kegawatan yang amat sangat. Jerit istri dan anak-anaknya. Seruan minta tolong kepada tetangga. Tangis yang ramai dan berkepanjangan. Galau suara laki-laki dan perempuan. Dan akhirnya sesosok mayat diam di atas balai-balai tertutup kain dari ujung kaki hingga kepala.
Orang-orang yang semula tercekam kepanikan mulai duduk. Dilam seakan mulai mendengar mereka berspekulasi tentang sebab malapetaka. Tak ayal lagi, pergunjingan akan sampai kepada masalah kiriman. Dilam gelisah. Kegelisahan itu makin terasa mengusik hati ketika terbayang kembali olehnya pemandangan dalam cawan putih itu. Ada darah kental yang larut perlahan-lahan dalam air bening.
Marsusi duduk berselonjor dengan punggung lekat pada dinding bilik. Rokoknya mengepul. Dia sama sekali tidak memperhatikan Dilam yang kelihatan begitu gelisah. Namun sebenarnya Dilam-lah yang sedang menjadi titik pusat permenungannya.
Tak salah lagi Dilam pastilah seorang petani. Dia berasal dari kaum yang selama ini dianggap sebagai simbol sisa keluguan, kejujuran, bahkan keutuhan kemanusiaan. Tetapi mengapa si tani yang dungu itu memiliki keberanian menumpahkan darah meski secara tidak langsung, melalui jalan yang tidak bisa diterangkan dengan akal " petani sesamanya" Kearifan yang segera diperoleh Marsusi dari permenungan sesaat itu adalah sebuah pelajaran sederhana, bahwa rasa dendam mampu membinasakan martabat kemanusiaan. Juga di antara dua orang dusun yang masih terikat pada keserbaluguannya
Episod e 25 Dan Marsusi terkejut ketika sadar dirinya kini berada hanya beberapa jengkal dari Dilam. Dan dia berada dalam bilik itu, terus terang dalam rangka tujuan yang sama. Bila Dilam telah mencelakakan pemilik ladang yang telah meracuni kerbaunya, maka Marsusi akan membuat celaka seorang anak Dukuh Paruk yang telah mempermalukannya, menampik hajatnya.
Pandangan mata Marsusi baur. Terbayang olehnya Srintil memegang dada sambil terbatuk mengeluarkan darah segar. Ada beling dan paku-paku berhamburan dari mulutnya. Matanya terbeliak mengerikan. Kemudian terbayang keranda diusung menuju pekuburan diiringi tangis semua warga Dukuh Paruk.
Marsusi menggeleng-gelengkan kepala. Menelan ludah dan membunuh rokoknya di lantai. Seperti halnya Dilam, pada saat itu pun Marsusi ingin segera pulang. Tetapi bayangan Stintil ketika menampiknya kelihatan lagi di depan mata. Urat-urat pipinya menggumpal. Pada saat itu terdengar suara dari dalam. Kakek Tarim memanggilnya.
Seperti orang yang kehilangan kepastian Marsusi bangkit. Dilam memandangnya sambil tetap telentang. Ah, mata orang Warubosok itu! Seakan ada sesuatu yang minta diterjemahkannya. Sayang lampu minyak itu tidak mempunyai cukup cahaya buat memantulkan kembali makna yang terkandung dalam sinar mata Dilam. Sementara itu suara panggilan terdengar kembali buat kali kedua. Marsusi menyeberang ruang depan dan membuka pintu yang menuju ruang dalam. "Silakan duduk," sambut Tarim dalam gaya yang paling ayem dan acuh. "Sekarang terangkan maksud kedatangan sampean."
Setelah terbatuk beberapa kali, Marsusi menceritakan kembali pengalamannya di Dukuh Paruk kira-kira dua minggu sebelumnya. Nada suaranya santun, tanpa emosi; satu hal yang menarik perhatian tuan rumah. Tarim sudah terbiasa dengan bicara orang mengadu, mengeluh, dan penuh dendam. Tetapi hal itu tak terbersit dalam pembicaraan Marsusi. Tiba-tiba Tarim tersenyum, membuat Marsusi berhenti berbicara.
"Srintil, Nak"" "Ya, Kek." "Ah."
"Sampean mengenalnya, Kek""
"Benar. Dia seorang ronggeng yang bisa membuat orang geregetan, bukan" Aku sudah pernah menontonnya. Ah, memang. Dan dia telah mempermalukan sampean yang gagah begini." Marsusi tersipu, dibalas oleh Tarim dengan tawa terkekeh.
"Ah, memang tidak enak dibikin malu, apalagi oleh seorang ronggeng cantik. Lalu sampean mau apa""
"Tentu saja aku ingin membalasnya, bahkan melenyapkannya. Aku tahu betul Srintil menerima semua laki-laki yang datang sebelum saya demi uang yang tak seberapa atau demi satu-dua gram emas, Tetapi dia menampikku, padahal seratus gram kalung emas berbandul berlian yang kusodorkan kepadanya. Mau disebut apa lagi kalau bukan penghinaan yang sebesar-besarnya. Tetapi, Kek... "
"Tetapi"" "Pikiran saya berubah sekarang."
"Maksud sampean""
"Ah, biarlah dia."
Marsusi tersenyum tawar. Tetapi Kakek Tarim terkekeh-kekeh.
"Karena, kalau Srintil melirik sambil pacak gulu, jantungmu rontok, bukan" Karena, kalau Srintil melempar sampur, hatimu terbeset, bukan""
Tarim menyambung tawanya lebih keras. Perut semarnya bergejolak. Bibirnya yang tumpul pada kedua ujungnya tertarik ke belakang sehingga tak salah lagi; Semar.
"Ah, ya! Mestinya semua orang seperti sampean; tak usah ragu mengubah pikiran bila disadari pikiran yang dimaksud tidak baik. Mengapa masih saja orang datang kemari dengan tujuan mencari pelampiasan dendam, bahkan kadang hanya karena rasa iri terhadap sesama. Mereka mengira dengan melampiaskan dendam maka urusannya selesai. Nah, mereka keliru. Dengan cara itu bahkan mereka memulai urusan baru yang panjang dan lebih genting. Di dunia ini, Nak, tak ada sesuatu yang berdiri sendiri. Maksudku, tak suatu upaya apa pun yang bisa bebas dari akibat. Upaya baik berakibat baik, upaya buruk berakibat buruk.
Lebih aneh lagi, Nak. Orang yang sudah tahu akan akibat buruk tetapi masih juga berani mengambil risiko."
Marsusi mendengarkan khotbah Tarim dengan minat yang penuh. Bukan hanya karena dia menangkap kebenaran dalam khotbah itu, melainkan secara pasti dia merasakan adanya kepura-puraan yang nyata. Seorang tukang sihir berkhotbah tentang nilai-nilai budi luhur! Keganjilan y
ang terasa di hati Marsusi mengambang menjadi garis-garis tanda tanya pada wajahnya, pada sinar matanya. Sasmita ini terekam oleh indria Tarim. Dia tanggap sasmita.
"Nah, saya ini, Nak, bisa diibaratkan sebagai tukang membuat bedil. Dia tahu betul bedil hanya dibuat untuk satu tujuan; memisahkan nyawa dari badan. Mestinya tak perlu ada orang membuat bedil supaya setiap mayat yang dikubur adalah dia yang mati wajar. Dan itu baik. Nah, ternyata kehidupan ini seperti demikian adanya. Aku hanya Kakek Tarim. Aku tak berdaya mengubah arah kehidupan, bahkan aku tak kuasa menghindar dari garis yang telah ditentukan buat diriku."
"Ya. Dan untunglah, setidaknya aku telah berhasil mengubah niatku," kata Marsusi setelah beberapa kali mengangguk. Tetapi dia kaget karena Tarim menertawakannya, ditambah dengan pandangan mata menyindir.
"Sampean memang beruntung. Tetapi yang baru sampean lakukan adalah mengubah niat. Pelaksanaannya tidak gampang, Nak. Betulkah sampean telah berhasil menghapus dendam sehingga hati sampean bersih dan putih seperti daging buah kelapa" Aku tidak yakin, Nak."
Tarim menatap wajah tamunya, lama dan menghunjam. Marsusi merasa tersinggung. Tetapi tak bisa berbuat lain kecuali diam dan mempertanyakan kembali apa yang ada dalam hatinya.
"Coba, Nak. Sekarang sampean mengaku telah memaafkan Srintil, ronggeng Dukuh Paruk itu. Bagaimana masalahnya bila suatu ketika sampean melihat Srintil menjadi buah pujaan ratusan orang dalam suatu pentas" Dan, bagaimana halnya bila suatu saat sampean mendapati Srintil bergendak dengan laki-laki yang pada dasarnya lebih rendah daripada diri sampean" Betulkah dendam sampean kepadanya tidak akan kembali kumat""
Episode 26 Marsusi tergagap oleh pertanyaan beruntun itu. Dan tatapan mata itu. Tatapan mata yang penuh keyakinan diri. Marsusi dibuatnya merasa kecil.
"Aku ini sudah tua, Nak. Jangan-jangan aku lebih menguasai persoalan sampean dan lebih tahu apa yang sebaiknya sampean lakukan sekarang."
"Boleh jadi begitu, Kek. Maka tidak salah aku sampai ke tempat ini."
"Baiklah. Dalam hal diri sampean yang ternyata belum setua diriku maka balaslah sakit hati sampean. Asal adil. Sampean telah dipermalukan, bukan""
Marsusi mengangguk seperti anak kecil.
"Maka balaslah kembali dengan mempermalukannya. Hanya dengan cara itu sampean bisa membebaskan diri dari rasa dendam. Mungkin juga sampean bahkan bisa melupakan Srintil buat selama-lamanya. Sekali lagi, membalas dendam yang adil adalah dengan cara sama: mempermalukannya. Bukan menyakiti badan, apalagi membahayakan jiwanya."
"Saya sudah mengerti, Kek. Tetapi bolehkah saya bertanya""
"Lha, mengapa tidak""
"Andaikan yang telah mempermalukan diriku bukan Srintil, apakah sampean tetap pada kata-kata yang sama""
Pertanyaan balik yang dilontarkan Marsusi ini membuat wajah Tarim sedikit menegang. Apabila yang dihadapinya bukan seorang kepala perkebunan tentu kemarahannya meletus. Atau, tentu saja. Karena menyadari derajatnya Marsusi berani bertanya kepada orang pandai itu. Tarim maklum. Bibirnya yang tebal dan tumpul merekah senyum.
"Wah, saya harus berkata jujur. Begini, Nak. Srintil dalam kenyataannya bukan hanya milik orang tuanya, sanak saudaranya, bahkan bukan hanya milik Dukuh Paruk bersama kelompok ronggengnya. Dia milik semua orang. Sampean juga, aku juga. Maka membuatnya tertalu celaka akan berakibat lebih buruk dari apa yang bisa kita duga. Ini sangat tidak baik, terutama bagi sampean sendiri. Percayalah!"
Marsusi mengakui dirinya kalah. Tetapi lega. Selanjutnya dia lebih banyak menganggukangguk menerima petunjuk Tarim. Ketika pertemuan dua orang itu berakhir, angin darat mulai bertiup. Meski nyamuk luar biasa banyak serta tidur di atas amparan tikar, Marsusi lelap hingga pagi. Sayang, beberapa kali dia dikejutkan oleh Dilam yang tidur gelisah dan sering mengigau.
Kegembiraan itu lahir dan berkembang dari Dukuh Paruk. Berita cepat tersiar bahwa pada malam perayaan Agustusan nanti Srintil akan kembali meronggeng. Kurang dua hari lagi, tetapi sudah banyak orang bersiap-siap. Anak-anak mulai bertanya tentang uang jajan kepada orang tua mereka
. Para pedagang, dari pedagang soto sampai pedagang pecel bersiap dengan modal
tambahan, juga tukang lotre putar yang selalu menggunakan kesempatan ketika banyak orang berhimpun.
Nyai Kartareja segera memperbaiki hubungannya dengan Srintil, pertama-tama dengan berusaha mengaku bersalah dalam peristiwa Marsusi beberapa minggu berselang. Perubahan sikapnya terhadap Srintil sangat nyata. Dia tidak berkamu lagi terhadap ronggeng Dukuh Paruk yang telah sekian lama menjadi anak akuannya. Nyai Kartareja kini memanggil Srintil dengan sebutan Jenganten atau setidaknya sampean; suatu pertanda bahwa kedewasaan, tepatnya kemandirian Srintil telah diakuinya.
Srintil seperti hendak menjadi temanten laiknya. Dia dipingit oleh Nyai Kartareja. Badannya dilulur untuk memulihkan keremajaan kulitnya. Sebelum berangkat tidur Nyai Kartareja memintanya mengunyah satu-dua butir merica agar suaranya tetap lantang dan jernih. Pakaian pentasnya dicuci secara istimewa. Sementara itu Nyai Kartareja tidak perlu lagi mencari jelaga dan getah pepaya buat penghitam alis, juga tak perlu lagi menyuruh Srinitil mengunyah sirih sebelum naik pentas. Kios Pak Simbar di pasar Dawuan sudah menyediakan gincu, pensil rias, dan sebagainya.
Selagi istrinya mengurus Srintil, Kartareja menyiapkan perangkat calung. Penabuh-penabuh dihubungi dengan pesan agar nanti menampilkan permainan terbaik. Calung-calung yang sudah lama tidak terpakai diperbaiki. Diteliti kalau ada temalinya yang putus. Ada orang datang, entah siapa. Kepada Kartareja orang itu mengaku anggota panitia. Dia menyodorkan kertas berisi catatan lagu. Tetapi karena Kartareja buta huruf orang itu membacakan untuknya. Ternyata lagu-lagu itu semua sudah dihafal oleh dukun ronggeng itu. Hanya di sana-sini ada pergantian kata atau kalimat. Kartareja merasakan keanehan karena dalam lagu-lagu itu diselipkan kata "rakyat" dan "revolusi", kata-kata mana terasa kurang akrab dalam hatinya. Tetapi Kartareja tidak mengajukan pertanyaan apa pun. Baginya menuruti kata priyayi atau orang yang seperti itu merupakan salah satu kebajikan dalam hidup.
Boleh jadi hanya Sakarya yang tidak sepenuhnya larut dalam kegembiraan. Sikapnya yang hati-hati berasal dari filsafatnya yang sederhana. Bagiya segala sesuatu berpasang-pasangan adanya, tak terkecuali sesuatu yang bernama kegembiraan. Pasangannya pastilah kesusahan. Sepanjang lintasan hidupnya yang panjang Sakarya sering menemukan kenyataan bahwa segala sesuatu tak pernah berpisah jauh dari pasangannya. Orang selalu memilih pihak yang menguntungkan dan menjauhi pihak yang merugikan. Antara keduanya harus tetap terjaga jarak. Dan dalam pikiran Sakarya menjaga jarak itu berarti harus selalu bersikap hati-hati, eling. Kadang juga diartikannya sebagai keseimbangan dan tidak berlebih-lebihan.
Jadi Sakarya tidak ikut berhura-hura. Persiapannya menyambut kembali pementasan Srintil lebih ditekankan pada segi kejiwaan. Lebih sering memasang sesaji di dekat makam Ki Secamenggala, lebih banyak terjaga di malam hari serta mengurangi makan-minum. Srintil diperintahkannya dengan sangat ngasrep pada hari kelahirannya.
Perayaan Agustusan tahun 1964 itu dimulai dengan upacara pagi hari di lapangan kecamatan Dawuan. Pemandangan dikuasai oleh kain rentang dengan tulisan macam-macam. Ada yang direntang di antara pohon-pohon, tetapi lebih banyak yang ikut masuk ke lapangan yang padat manusia. Gelombang ribuan kepala memberi gambaran seperti pemandangan di ladang tembakau yang ditiup angin. Acungan seribu tangan yang diiringi pekik gempita hanya dapat diandaikan kepada petir yang terjadi di hutan jati meranggas
Episode 27 Semua yang berpidato mengerahkan habis-habisan tenaga urat lehernya. Agitasi, propaganda, serta slogan kutukan membakar seluruh lapangan dalam kepalan ribuan tangan serta riuhnya bunyi tambur. Semua orang tegak dalam harga diri yang tertempa seketika oleh retorika para pembicara. Semua orang menggenggam semangat meluap yang setidaknya mampu mengalahkan siksaan yang datang dari sinar matahari yang mulai terik.
Gadis-gadis remaja yang biasa malu bersuara keras atau bertingkah sepe
rti laki-laki, larut dalam semangat massa yang meluap. Mereka tidak ketinggalan mengepal tangan dan berteriak. Dan puncak hura-hura itu meledak ketika sebuah patung kelaras jagung yang diberi kopiah serta kaca mata dibakar massa. "Gembong musuh rakyat telah jadi abu!" teriak seorang pemuda. Matanya merah berkaca-kaca karena letupan emosi dalam dirinya.
Sakum mendukung anak pada pundaknya.
Dia berdiri di bawah pohun sengon, menjadi titik ironi di tengah galau manusia. Baru sekali ini Sakum mengutuk dirinya yang buta. Baru sekali ini Sakum gagal menerjemahkan suara dan suasana yang terekam oleh sisa indrianya. Padahal Sakum sudah biasa melihat meriahnya pentas ronggeng dengan jiwa, bukan dengan matanya. Sakum juga mampu melihat kepanikan semua orang bila datang angin ribut. Atan kecemasan anak istrinya ketika petir menyambar. Dia juga mampu menangkap ceria wajah anak-anak bila gumpalan nasi di depan mereka lebih besar dari kepalan tangan.
Tetapi Sakum tidak berputus asa. Melalui denyut nadi anak yang bertengger di pundaknya Sakum terus mencoba mengikuti dan mencari makna hiruk-pikuk yang sedang terjadi di sekelilingnya. Bila denyut nadi anaknya mencepat Sakum mengerahkan kemampuan indrianya yang tersisa. Terkadang juga Sakum menyadap saraf mata anaknya.
"Apa yang kaulihat, Nak""
"Wah! Merah, merah, Pa. Bapa tidak melihat ya""
"Apa yang merah""
"Semua, banyak sekali. Orang-orang bertopi kain merah. Bendera-bendera merah. Tulisan-tulisan merah. Eh, ada juga yang hitam, hijau, dan kuning. Wah, bagus sekali, Pa."
"Siapa yang berpidato""
"Tidak tahu." "Mari kita mendekat barisan kuda lumping." "Wah, panas, Pa. Tetapi tak mengapa, asalkan... "
"Hah"" "Es, Pa. Haus."
"Tak ada uang lagi, Nak. Habis."
"Wah, jangan bohong. Tadi sebelum berangkat kulihat Srintil memberimu uang. Iya, kan" Kalau bukan es, air asem juga boleh. Haus, Pa."
Sakum mengalah. Anaknya diturunkannya dari pundak. Begitu menginjak tanah, anak itu menyeret ayahnya ke arah pedagang minuman. Sakum juga minum. Setelah membayar dan menerima uang kembali, Sakum jongkok. Anaknya yang tangkas kembali bertengger di atas pundak.
"Ayo, tunjukkan aku jalan ke dekat barisan kuda lumping."
"Punten, punten," seru anak Sakum dari atas pundak ayahnya. Barisan orang yang padat menyisih membuka jalan. Hampir semua orang mengenal siapa laki-laki buta yang mendukung anaknya di pundak itu. Tetapi anak Sakum yang baru berusia enam tahun itu sudah pintar memanfaatkan kebutaan ayahnya. Sakum tidak digiringnya ke arah barisan kuda lumping melainkan ke arah pedagang balon di sudut lapangan. Meskipun tak mungkin baginya memiliki permainan yang mengagumkan itu, dia setidaknya berkesempatan melihatnya sepuas hati.
"Asu buntung! Kaubawa ke mana aku ini"" tanya Sakum sengit.
"Ke dekat barisan kuda lumping."
"Mampus kamu! Ini bukan dekat barisan kuda lumping. Bau busuk ini pasti ulah tukang balon gas, bukan""
Anak itu tertawa lalu memutar kepala ayahnya. "Punten, punten."
Upacara diakhiri dengan pawai. Gempita dan kepalan tinju menjalar ke segenap penjuru kota kecamatan itu. Dua-tiga anak sekolah yang jatuh pingsan karena sengatan matahari tidak mengurangi sedikit pun gelora massa.
Menjelang tengah hari segala keramaian surut. Dawuan kembali sepi, bahkan pasarnya lebih sepi dari hari biasa. Bersama orang-orang Dukuh Paruk, Sakum pulang. Anaknya tidak lagi didukung di atas pundak. Kini anak itu menjadi tongkatnya. Dalam dunianya yang gelap Sakum masih mencoba memahami keramaian yang baru saja diikutinya. Semua orang tahu perayaan Agustusan tahun ini luar biasa ramai. Jauh lebih ramai daripada tahun-tahun sebelumnya.
Bagi Sakum hura-hura hari ini tanpa makna betapapun keras dia berusaha menangkapnya. Dia sudah mendengar, bukan mengerti, bahwa perayaan hari ini demi mengagungkan hari kemerdekaan, bukan kemerdekaan itu sendiri. Sementara itu konsep tentang kemerdekaan baginya adalah bagian dari antah-berantah. Baginya hidup ini harus dijalani dengan pasrah, dengan atau tanpa apa yang sering dikatakan orang kemerdekaan.
Mengapa Sakum tidak tahu bahwa teman-temannya sesama orang Dukuh Paruk tidak lebi
h beruntung meski mata mereka awas" Mereka juga tidak menangkap makna istimewa yang dibawa hari ini, sejarah hari ini. Mereka tidak mengerti makna pidato, tanda-tanda gambar partai, atau slogan-slogan yang telah dilihatnya memenuhi lapangan kecamatan Dawuan. Bukan hanya karena mereka sepenuhnya buta huruf. Lebih dari itu. Dalam tradisi hidup mereka ikatan kesetiaan dan kebersamaan nyaris tak pernah menerobos ke luar batas Dukuh Paruk. Politik dalam sisi pandang
yang paling bersahaja tak pernah muncul di pedukuhan terpencil itu. Tatanan hidup mereka adalah tradisi yang berdasar pada ikatan darah keturunan. Kesetiaan mereka berpusat pada cungkup di puncak sebuah bukit kecil di tengah Dukuh Paruk, makam Ki Secamenggala. Dan kedaulatan Dukuh Paruk digembalakan oleh seorang kamitua.
Suatu ketika datang seseorang ke Dukuh Paruk menawarkan gambar-gambar partai. Dikatakannya gambar itu adalah perlambangan rakyat tertindas
Episode 28 Mula-mula Sakarya tertarik karena orang pendatang itu sering kali dan berulang-ulang menyebut kata "rakyat". Kata itu bagi Sakarya tidak bisa lain kecuali bermakna kaula. Siapa pun di Dukuh Paruk merasa dirinya kaula. Tetapi Sakarya kemudian bangkit menghentikan cakap orang pendatang itu ketika dia mulai berbicara tentang rakyat melarat korban kaum penindas yang jahat.
"Siapakah yang sampean maksud dengan rakyat korban kaum penindas itu""
"Nah! Misalnya sampean sendiri bersama semua warga Dukuh Paruk ini. Darah kalian diisap habis sehingga hanya tertinggal seperti apa yang kelihatan sekarang; kemelaratan! Ditambah dengan kebodohan dan segala penyakit. Kalian mesti bangkit bersama kami."
"Nanti dulu. Menurut sampean kami adalah rakyat yang tertindas. Apa sampean tidak keliru" Kami sama sekali tidak merasa tertindas, sungguh! Sejak zaman dulu kami hidup tentram di sini." "Itulah. Sampean tidak mengerti bagaimana cara mereka melakukan penindasan terhadap rakyat. Sejak zaman nenek moyang sampean, kaum penindas itu telah melakukan kejahatannya. Cara mereka telah menyejarah. Lihatlah akibat kejahatan mereka di sini. Semua orang kurang makan! Semua orang bodoh dan sakit. Anak-anak cacingan dan kudisan. Anak-anak kalian di sini sungguh-sungguh hidup tanpa harapan."
"Yang sampean maksud dengan kaum penindas""
"Kaum imperialis, kapitalis, kolonialis, dan para kaki tangannya. Tak salah lagi!"
"Wah, kami bingung, Mas. Kami tak pernah mengenal mereka. Cerita sampean kedengaran lucu. Pokoknya begini, Mas. Sejak dulu beginilah yang bernama Dukuh Paruk. Kami senang hidup di sini, karena itulah kepastian yang kami terima. Kami tak pernah percaya ada sesuatu yang lebih baik daripada kepastian itu. Dan kekeliruan besar bila sampean berharap akan mendengar keluhan kami. Boleh jadi benar kami bodoh, miskin, dan sakit. Tetapi itulah milik kami pribadi. Sampean tak usah pusinig memikirkannya. Lucu, kan" Kami sendiri merasa biasa-biasa saja. Kenapa orang lain mesti repot""
"Sampean yang lucu karena tidak tahu dan tidak mau tahu akan sejarah"" "Wah, sekarang sejarah. Apa pula itu, Mas"
"Sejarah itu sesuatu yang amat perkasa. Kalian tidak bisa menolak apalagi melawannya. Dan sampean akan digilasnya bila tetap diam dalam ketololan. Tunggu saja!"
"Yang paling perkasa itu yang murbeng dumadi, Mas. Yang telah menentukan kami hidup di Dukuh Paruk ini, yang telah memastikan hidup kami seperti ini."
Jadi Dukuh Paruk masih tetap Dukuh Paruk meskipun pada tahun 1964 itu dunia di luarnya sedang berhura-hura. Pidato di mana-mana. Gambar-gambar simbol partai di mana-mana dan pawai di mana-mana. Dukuh Paruk tetap tenang ditunggui oleh cungkup di puncak sebuah bukit kecil di tengahnya.
Atau sekedar Sakarya, kamitua pedukuhan kecil itu yang tak pernah lengah membaca sasmita alam. Dia merasakan datangnya hari-hari beringas. Hari-hari ketika orang-orang meninggalkan pekerjaan buat berhimpun di tanah lapang. Hari-hari ketika jalan penuh manusia mengepal tangan serta teriakan lantang. Semuanya mengingatkan Sakarya akan sebatang pohon kelapa yang ditiup angin. Bila angin bertiup dari utara pohon itu akan meliuk ke selatan. Bila angin reda poho
Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
n kelapa itu tidak langsung kembali tegak melainkan akan berayun lebih dulu ke utara. Bagi Sakarya hura-hura di luar Dukuh Paruk adalah angin kencang yang meniup kehidupan. Seperti pohon kelapa itu: sebelum kehidupan kembali tenang lebih dulu harus terjadi sesuatu. Tetapi sesuatu itu tak bisa diraba oleh daya pikir siapa pun di Dukuh Paruk, tidak juga Sakarya. Padahal sepanjang hidupnya yang tidak pernah berhenti dari mengikuti irama dan keberimbangan alam, Sakarya telah memperoleh cukup kearifan. Bahwa suatu keluarbiasaan harus dibayar dengan kerusakan keberimbangan. "Jangan tertawa terlalu terbahak-bahak, sebab nanti akan segera menyusul tangis sedih," demikian sering dikatakan Sakarya kepada anak-cucunya di Dukuh Paruk.
Entahlah. Yang terjadi malam itu di Dukuh Paruk adalah kegembiraan yang luar biasa. Hampir semua warganya keluar mengiring Srintil yang hendak meronggeng pada malam perayaan Agustusan di Dawuan. Inilah penampilan pertama ronggeng Dukuh Paruk pada sebuah arena resmi; suatu hal baru yang membawa kebanggaan istimewa.
Malam itu semangat kota kecil Dawuan berpusat di lapangan sepak bola dekat kantor kecamatan. Sebuah panggung yang lebar, setinggi satu meter didirikan orang pada salah satu sudutnya. Dawuan belum mengenal aliran listrik. Tetapi malam itu banyak sekali lampu neon di sekitar panggung. Suara generator yang bising, anehnya, mendatangkan kebanggaan orang. Rupanya semua orang melupakan suara bising karena toh dari sanalah tenaga bagi lampu-lampu neon yang mengagumkan itu. Bagi sebagian besar orang yang menyemut di sekitar lapangan adalah sesuatu yang luar biasa, ada cahaya terang-benderang tetapi tanpa minyak.
Rombongan dari Dukuh Paruk disambut dengan sinar mata serta wajah-wajah berseri. Para penabuh dengan perangkat calungnya diterima panitia. Mereka ditempatkan di belakang panggung. Tetapi Srintil bersama Nyai Kartareja dipersilakan duduk bersama ibu-ibu pejabat kecamatan Dawuan.
Srintil menemukan dirinya kembali utuh sebagai seorang ronggeng yang telah matang. Suasana panggung yang megah menghidupkan seluruh permukaan kulitnya. Dan cahaya matanya. Barangkali pada saat itu baru kali pertama indang ronggeng benar-benar merasuk sepenuhnya. Dari sosoknya terpancar wibawa dan pesona luar biasa. Dia duduk tenang, setenang kembang soka di depan cungkup makam Ki Secamenggala. Pandangan matanya adalah cahaya penuh harga diri, mantap, dan dalam ketenangan pandangan mata itu terpancar tenaga yang melumpuhkan. Srintil sesudah berusia delapan belas adalah Srintil yang telah mengalami perihnya upacara bukak-klambu, juga sudah merasakan getirnya ditampik laki-laki idaman. Pada usia semuda itu Srintil juga sudah menjelajahi dunia perhubungan dengan sekian puluh lelaki. Dan jauh sebelum
itu tanah airnya, Dukuh Paruk, telah menempanya dalam kemiskinan yang mengakar. Sejarahnya pahit yang pasti layak membuatnya kusut, malu, dan tanpa harga diri. Apalagi saat itu Srintil duduk di antara kaum perempuan yang paling bermartabat di kecamatan Dawuan.
Episode 29 Sorot neon pertama di Dawuan menjadi saksi bahwa yang terjadi pada diri Srintil adalah sesuatu yang khas Srintil. Latar sejarahnya yang melarat dan udik ibarat beribil. Tahi kambing itu meski busuk dan menjijikkan namun mampu menyuburkan daun-daun tembakau di tanah gersang, tidak tercabik-cabik oleh sejarahnya. Sebaliknya, Srintil bangkit membentuk dirinya sendiri dengan sejarah keterbelakangannya. Hasilnya mulai terpapar di bawah sorot lampu neon itu. Srintil menjadi pusat suasana, menjadi daya tarik suasana dan Srintil duduk menguasai suasana.
"Itukah rupanya si Anak Dukuh Paruk itu"" bisik Ibu Camat kepada perempuan di sebelahnya. Ibu Wedana.
"Ya, itulah dia."
"Aku baru melihatnya dengan jelas sekarang." "Bagaimana" Cantik" Kenes""
Hati Ibu Camat risau. Tetapi perasaan itu tersembunyi di balik senyumnya yang tawar. Kejujurannya mengakui keunggulan ronggeng Dukuh Paruk itu. Lebih cantik daripada dirinya, bahkan seandainya Ibu Camat masih sebelia Srintil. Dengan gerakan yang amat licik mata Ibu Camat menoleh kepada deretan kursi para lelaki. Hatinya makin ka
cau ketika melihat kenyataan hampir semua mata laki-laki di sana terarah kepada Srintil. Tak terkecuali mata suaminya. Ibu Wedana tersenyum. Ikhlas senyumnya karena baginya sama saja; ronggeng cantik atau ronggeng bopeng takkan membahayakan kehidupan rumah tangganya. Karena suaminya sudah tua dan impoten.
"Lihat, kondenya terlalu tinggi, kan""
"Memang," jawab Ibu Wedana tenang saja. "Tetapi itu sengaja. Nanti Srintil akan pamer tengkuk." "Kebayanya berantakan kukira. Potongannya acak-acakan."
"Apa pun kebayanya takkan menjadi soal. Toh nanti akan dibukanya. Dan, lihat saja. Di balik kebaya itu masih terlihat bentuk pundaknya yang amat serasi. Apalagi nanti bila pundak itu tampil telanjang."
Ibu Camat merengut. Entah dengan alasan apa dia minta diri dan berpindah ke sebelah Ibu Komandan Polisi. Sekali lagi Ibu Wedana tersenyum. Kali ini senyum kemenangan. "Siapa bilang mempunyai suami impoten sama sekali tidak beruntung"" Di sebelah Ibu Komandan Polisi, kasak-kusuk Ibu Camat berlanjut.
"Meski cantik, tetapi kesan udiknya sangat kentara."
"Ya, memang. Aku sendiri menjadi risi, jadi ingin tahu, siapa, laki-laki mana, yang menempatkan anak udik itu duduk bersama kami."
"Mbakyu benar. Akan kuminta suamiku menyuruh orang..." "Suruh apa""
"Memindahkan anak Dukuh Paruk itu ke tempat lain." Ibu Camat hendak bangkit.
Pada saat yang sama Srintil bangkit. Menoleh ke arah dua ibu yang kasak-kusuk, dengan senyum yang paling aneh. Senyum seorang rani dari atas singgasananya. Ibu Camat berhenti pada gerakan yang janggal. Ibu Komandan Polisi berpura-pura membuka tas tangannya. Tetapi dari tempatnya yang agak terpisah Ibu Wedana tertawa terkekeh. Perang dingin itu berlangsung setengah menit, pada saat mana mata Srintil memancarkan cahaya lembut namun mampu membungkam semangat perempuan-perempuan di sekelilingnya. Kejanggalan itu berakhir ketika Nyai Kartareja menarik Srintil agar duduk kembali.
Dan Srintil duduk kembali. Tersenyum kembali dengan keanehan yang sama. Senyum gadis panggung yang selalu merasa setiap malam hiburan adalah miliknya yang paling sah. Mendung menyaput deretan kursi kaum perempuan. Wajah Ibu Camat merah padam. Rasanya, baru sekali ini dia dilangkahi oleh perempuan lain, dan justru oleh seorang yang di matanya tidak lebih dari sundal. Hatinya bergolak. Tetapi tenaga ajaib mana yang telah melumpuhkannya" Ibu Camat hanya bisa terpaku di kursinya. Terkalahkan oleh senyum dan sinar mata anak udik dari Dukuh Paruk. Senyum kecil serta kerlingan mata bisa membuat sakit jauh lebih hebat dari pukulan tangan: ungkapan ini sedang dirasakan kebenarannya oleh Ibu Camat.
Kegelisahan Ibu Camat serta perempuan-perempuan lain tersisih karena acara hendak dimulai. Seperti ketika pagi hari upacara diawali dengan pidato serta teriakan para pengunjung yang gemuruh. Lebih seribu tangan mengepal di udara. Mereka begitu sengit mengganyang musuh. Musuh itu dilukiskan dalam kata-kata penuh retorika oleh pembicara secara amat pintar sehingga para pengunjung seakan melihat setan yang demikian jahat dan harus segera dilumpuhkan. Pengganyangan berlangsung lancar dan musuh tercabik-cabik, mati oleh semangat massa. Meski hanya berlangsung dalam kata-kata plus kepalan tinju, namun kelihatan memuaskan. Pembicara turun dalam iringan tepuk tangan yang panjang dan riuh. Menang!
Acara hiburan dimulai. Seorang pengantar acara menaiki pentas. Laki-laki dengan mata burung hantu itu mengatakan penuh semangat bahwa revolusi saat ini menuntut pengabdian habis-habisan tak terkecuali dari para seniman. Dan meskipun kebanyakan pengunjung telah maklum laki-laki itu mengatakan, rombongan musik keroncong mewakili kekuatan politik ini, rombongan pencak silat mewakili itu, serta ronggeng Dukuh Paruk mewakili yang lain lagi. Ketiga-tiganya telah bersatu-padu, seia-sekata ikut mengganyang musuh melalui pengabdian seni.
"Dan ronggeng Dukuh Paruk itu," ujarnya dengan tekanan kata yang istimewa, "mereka adalah seniman-seniman rakyat! Rakyat yang perkasa, rakyat yang demikian tangguh, schingga mereka masih tetap menyanyi dan menari meskipun telah berabad-abad hidup tertinda
s. Sebentar lagi Srintil dan kawan-kawannya akan tampil di pentas ini. Tetapi jangan salah. Apa pun yang disajikannya tidak bisa lain daripada sebuah makna tuntutan kebebasan! Bebas dari penindasan kaum imperialis, kapitalis, dan kolonialis bersama antek-antek mereka. Sekali lagi, bebas!" Dari salah satu sudut lapangan terdengar sorak-sorai yang riuh. Terasa sekali hura-hura itu diatur dengan komando. Terasa sekali ada usaha lebih menonjolkan peran rombongan ronggeng Dukuh Paruk di antara rombongan kesenian lain. Di tempat berkumpul di sisi panggung, Sakarya melirik rekannya Kartareja. Keduanya tidak paham akan ucapan-ucapan pengantar acara apalagi
maknanya. Tetapi setidaknya kedua orang Dukuh Paruk itu merasakan ada kejanggalan. Sepanjang pengetahuaannya ronggeng tak memerlukan pengantar kata yang macam-macam sebelum mulai berpentas.
Episode 30 "Aku khawatir, Kang," kata Sakarya. "Bagaimana""
"Jangan-jangan kita melakukan kesalahan. Pentas kita kali ini dilakukan menyimpang adat. Sampean mendengar ucapan-ucapan pengantar acara tadi""
"Ya," jawab Kartareja. "Tetapi bagaimana, ya. Kita di sini menjadi orang yang diatur."
"Aku dilarang mereka membakar dupa, Kang. Juga syarat-syarat lainnya. Wah, hatiku sungguh tidak enak. Bisa terjadi apa-apa nanti."
"Benar, Kang. Mereka tidak tahu bagaimana jerih kita membujuk Srintil agar mau kembali menari. Nah, sekarang Srinfil sudah mau, tetapi mereka kelihatan tidak menghargai tata cara pementasan ronggeng."
"Aku mau pergi, Kang." "Pergi" Ke mana""
"Ke luar. Aku percayakan kepada sampean pengaturan atas anak-anak."
Kartareja maklum. Rekannya harus berbuat sesuatu yang berhubungan dengan arwah Ki Secamenggala. Di tempat yang penuh manusia hal-hal semacam itu tak mungkin dilakukannya. Pergelaran musik keroncong sudah dimulai. Suasana yang tercipta oleh nada-nada klangenan membuat para pengunjung terpilah-pilah. Ketika seorang pemuda necis membawakan lagu Jenang Gula, banyak orang terkesima; hanyut terbawa ombak melankolik. Srintil menatap lurus ke arah pemuda yang berpakaian bersih dengan dasi kupu-kupu itu. Hatinya ikut bernyanyi. Tetapi dari sudut tertentu mulai terdengar kasak-kusuk. Kemudian sebuah suara mencuat entah dari mana.
"Turun, turun! Kami tidak doyan ngak-ngik-ngok imperialis! Turun!"
Si pemuda yang segera tanggap tidak menuruti ocehan dari sudut lapangan itu. Dia cukup pintar dengan cara mengganti lagunya. Para pemain diaturnya sejenak. Kemudian berkumandanglah Genjer Genjer, sebuah lagu daerah yang entah mengapa menguasai udara tanah air pada tahun 1964 itu. Semangat dan kegembiraan pengunjung terbakar kembali. Banyak orang bangkit dari tempat duduk agar bisa lebih leluasa bertepuk tangan atau bahkan ikut tarik suara. Suasana sungguh meriah membahana.
Anehnya Srintil makin membeku di tempat duduknya. Bukan karena tidak terbawa suasana. Di dalam hatinya terjadi letupan kegembiraan yang hanya bisa dinikmati dalam diam. "Namanya Murdo, Tri Murdo, putra penilik sekolah di Dawuan ini," bisik Nyai Kartareja kepada Srintil. Hanya orang yang berbakat mucikari segera menangkap apa yang terjadi dalam hati Srintil. Dia jugalah perempuan yang paling banyak tahu data tentang para lelaki di daerahnya.
"Sekolahnya di Yogya. Di mataku Murdo adalah seorang anak muda yang bagus. Entahlah di matamu."
Srintil menepis tangan Nyai Kartareja, memberi isyarat agar perempuan tua itu tidak meneruskan kata-katanya. Srintil malu. Perubahan wajahnya begitu nyata sehingga Nyai Kartareja malah tertawa. Sebelum hiburan musik keroncong berakhir seorang laki-laki menemui Nyai Kartareja. Rombongan ronggeng dimintanya menyiapkan diri karena waktu baginya hampir tiba. Sebenarnya, sesudah musik keroncong berakhir, tibalah giliran pertunjukan pencak silat. Tetapi tanpa penjelasan apa pun rombongan itu tidak hadir.
Nyai Kartareja membawa Srintil ke sebuah ruang tertutup di kantor kecamatan. Di sana Srintil bertukar pakaian. Tidak seperti beberapa tahun yang lalu, sekarang, tak ada yang kurang pas pada tubuh Srintil. Segala hiasan alami pada tubuhnya sedang berada pada puncak perkembangannya. Ketika kebaya d
an kutang dilepas tampillah pesona sang Ratih. Lehernya yang segar menjadi perimbangan kedua pundak yang memiliki kesempurnaan bentuk. Kalung emas, cincin, serta tiga gelang berkilat dan mempertegas keremajaan kulitnya. Giwangnya besar. Cahaya berjatuhan dari mata faset intan bila Srintil menggerakkan kepala sedikit aja. Banyak orang menerobos masuk ingin melihat Srintil berdandan. Nyai Kartareja hanya mengusir ke luar mereka yang masih anak-anak. Bagi yang dewasa, istri dukun ronggeng itu hanya berpura-pura merasa keberatan. Tetapi sesungguhnya dia senang memperoleh kesempatan memamerkan kecantikan anak asuhannya. Srintil melihat dirinya dalam cermin kecil yang dipegangnya. "Ya. Itulah diriku yang sebenarnya, yang demikian seharusnya. Tetap tersenyum dan gembira. Aku seorang ronggeng dan ronggeng!"
Ketika Srintil keluar diiringi Nyai Kartareja dirinya menjadi titik pusat pancaran ratusan pasang mata. Seorang laki-laki berjalan di depan menyibak kerumunan orang. Laki-laki ini langung membawa Srintil menuju panggung. Perangkat musik keroncong telah berganti dengan calung. Dan demi anu orang memberi kaca mata hitam kepada Sakum. Mula-mula Sakum menolak karena kebutaan adalah bagian hidup yang telah diterimanya tanpa rasa malu sedikit pun. Tetapi setelah dikatakan dia bertambah gagah dengan kaca mata itu Sakum menerimanya.
Srintil menapaki tangga panggung dengan iringan tepuk tangan yang riuh. Dari sudut tertentu slogan politik. "Hidup kesenian rakyat!" Tetapi Srintil tenang seperti awan putih bergerak di akhir musim kemarau. Memang, sejenak dia tertegun oleh luas serta benderangnya panggung. Dia hanya terbiasa dengan arena beralaskan tikar pandan dan lampu pompa sebagai penerang. Kemudian segenap penonton menyaksikan bagaimana Srintil menempatkan dirinya secara mengesankan sebagai pemangku utama kewibawaan panggung. Dia berdiri memutar badan ke arah semua penonton. Bibirnya sedikit ditarik sehingga terjadi keindahan lekuk di kedua ujungnya. Matanya berkilat seperti kepik emas hinggap di atas daun. Angkuh tetapi teduh. Srintil sedang memberi hormat kepada penonton tanpa harus menekan harga dirinya.
Kemudian hening. Semua orang melihat Srintil merendahkan badan, duduk di hadapan para penabuh. Rombongan dari Dukuh Paruk sedang menunaikan tata cara mereka sendiri, mengheningkan cipta sebelum pertunjukan dimulai. Dan tak seorang pun mengerti apa yang sedang bergolak di hati Srintil. Dia sadar betul dirinya sedang menjadi tumpuan pandangan lebih dari seribu pasang mata. Ada mata Ibu Camat, mata bapak ini, bapak itu, dan mata warga Dawuan. Namun Srintil menganggap tak ada beda antara sekian banyak mata itu. Baginya sama saja. Semuanya adalah mata Rasus. Di depan mata Rasus itu Srintil akan menunjukkan betapa dirinya mempunyai sekian banyak kelebihan. Sehingga meski sudah menjadi tentara Rasus sama sekali tidak berhak mengecilkan arti dirinya. "Kamu telah meninggalkan diriku dengan cara
menyakitkan. Kamu takkan berbuat seperti itu bila kamu tidak ingin dirundung penyesalan yang mendalam. Lihat saja!"
Episode 31 Tidak diperlukan pengetahuan yang mendalam untuk mengatakan bahwa pada dasarnya tarian ronggeng adalah tiruan kasar tari gambyong, sejenis tari pemanasan berahi di kalangan para ningrat. Dalam perkembangan selanjutnya tari ronggeng meniru juga tari serimpi, tari Bali, dan tari topeng. Bahkan juga tari Baladewa. Semuanya ditiru secara mentah, gaya jelata. Kadang tari-tari itu digabung tidak karuan sehingga dalam pentas orang bisa mengatakan lenggang-lenggok seorang ronggeng tidak lebih dai gerakan spontan, bermakna dangkal dan lebih ditekankan kepada kesan erotik.
Dan siapa pun yang mengikuti perkembangan Srintil sejak awal tidak akan menemukan perubahan-perubahan dalam gaya tariannya meski dia hampir enam tahun menjadi ronggeng. Kecuali malam itu yang terbukti lain. Si buta Sakum justru yang pertama merasakannya. Sakum mendengar suara gesekan kaki Srintil di lantai panggung. Dirasakannya kibasan sampur dan didengarnya getar suara Srintil. Semuanya berubah. Srintil seakan menari dalam keadaan marah. Andaikan mata Sakum awa
s tentulah dia dapat melihat betapa Srintil mengangkat kedua lengannya lebih tinggi hingga tampak putih kulit ketiaknya. Goyang pundaknya lebih berani. Bila sedang pacak gulu mata Srintil tidak terarah kepada penonton seperti telah menjadi ciri khasnya. Mata Srintil menantang bintang-bintang. Senyum seorang ronggeng, apalagi bila dia sedang menari, tak pernah mempunyai makna lain kecuali ungunya bunga kecipir bagi kumbang atau merahnya kembang soka bagi kupu-kupu. Rayuan tanpa kata atau pemikat yant bertuah. Tetapi malam itu senyum Srintil tak mungkin diterjemahkan sebagai perayu atau pemikat. Tarikan kedua ujung bibirnya hanya menggambarkan hati penuh martabat. Kekenesan yang pongah meski menggemaskan.
Apabila Srintil telah bertekad hendak menundukkan seribu mata Rasus maka dia terbukti berhasil melakukannya. Selama menari terbayang olehnya Rasus yang runduk tak berdaya dan penuh penyesalan, mengapa dia telah tega membuat Srintil sengsara. "Apalah arti seorang Rasus," demikian pikir Srintil sambil meratui panggung, "bila seribu mata terkesima padaku. Di sana ada camat, ada wedana, ada Tri Murdo, dan entah siapa lagi. Mereka terpaku di tempat masing-masing membiarkan hati mereka menjadi bulan-bulanan, membiarkan perasaan mereka menjadi permainanku."
Srintil terus menari dalam semangat yang mengesankan. Gerakannya tetap penuh tenaga meskipun kulitnya mulai berkilat oleh keringat. Sampai babak kelima, saat yang biasa dia gunakan untuk beristirahat Srintil terus melenggang dan melenggok. Tentulah semua orang mengatakan semangat Srintil dipacu semata-mata oleh suasana panggung yang luar biasa menurut ukuran seorang ronggeng. Atau oleh kenyataan jumlah penonton yang meluap dan termasuk orang-orang terpenting di Dawuan di antara mereka. Tak seorang pun mengerti Srintil sedang melampiaskan kemurkaan di alam bawah sadarnya. Tak seorang pun tahu. Kecuali Sakum. Laki-laki buta itu sudah terbiasa memahami sesuatu dengan intuisinya. Sakum ingin menghentikan Srintil. Dengan sikunya dia menggamit Kartareja yang kebetulan duduk di sisinya. Kartareja cepat mengerti maksud Sakum, tetapi tidak berani mengambil keputusan. Maka Sakum yang bertindak. Sentuhan irama calungnya dibuat sumbang dengan cara menyimpangkan nada tiada tertentu. Itulah cara yang sudah disepakati bila para penabuh ingin berbicara dengan ronggeng. Namun demikian Srintil terus menari. Baru setelah tiga buah lagu berlalu Srintil patuh akan aba-aba yang diberikan Sakum.
Lenyapnya suara calung menciptakan suasana yang mendadak janggal dan hampa. Kekosongan udara kemudian diisi oleh bisik-bisik dari kiri-kanan yang terus mengembang menjadi dengung merata di seputar lapangan. Orang-orang mendapat kesempatan melepas ketegangan setelah sekian lama berdiam diri memampat kesan yang mendalam. Sesaat kemudian terdengar suara keras. "Terus, terus! Hidup Srintil. Hidup seniman rakyat."
"Sampean harus beristirahat, Jenganten. Jangan terlalu memaksakan diri. Tidak baik," kata Sakuni.
Srintil duduk bersimpuh, menutup mukanya dengan ujung sampur. Layaknya dia sedang melap keringat. Tetapi hingga beberapa saat lamanya Srintil tetap dalam keadaan demikian. Dari samping terlihat pipi Srintil yang berubah pucat. Napasnya tersengal-sengal. Nyai Kartareja yang segera menangkap suasana genting cepat naik ke panggung.
"Kenapa, Jenganten""
"Pusing, Nyai. Pusing! Oh, hk. Napasku sesak. Dadaku sesak!"
Nyai Kartareja merangkul Srintil. Dia langsung mengerti masalahnya genting karena Srintil tidak lagi menguasai berat badan sendiri. Dan terkapar di lantai panggung. Pekik Nyai Kartareja mengawali kekusutan di sana. Dalam sekejap arena sudah penuh orang. Kebanyakan hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun setidaknya seorang di antara mereka mengerti apa yang harus dilakukannya setelah menyadari Srintil dalam keadaan pingsan. Segala yang mengikat tubuh Srintil dikendurkannya. Kemudian dia bersiap membuat napas buatan. Namun sebelum Tri Murdo melakukannya Srintil telah siuman. Napasnya megap-megap seperti orang yang habis lama tenggelam. Sejenak dia kelihatan bingung. Matanya bergulir ke kiri
dan ke kanan, Kemudian dia cepat bangkit ketika menyadari seorang berdasi kupu-kupu berdiri melangkahi tubuhnya. Wajahnya merah ketika beradu pandang dengan Tri Murdo.
Kekalutan masih berlangsung hingga beberapa lamanya meskipun Srintil sudah dituntun orang turun dari panggung. Tak kurang suatu apa. Orang-orang tidak percaya bahwa tak ada yang kurang beres pada tubuh ronggeng itu. Tetapi Srintil bersikeras bahwa dirinya tidak memerlukan pertolongan apa pun kecuali sedikit waktu buat membenahi kembali pakaiannya lalu siap lagi naik panggung.
Hanya seorang yang tahu persis apa yang telah terjadi. Marsusi dalam pakaian penyamaran berdiri di balik bayang-bayang sebatang pohon. Tangan kanannya menggenggam sebuah botol kecil sebesar kelingking. Bila mulut botol itu ditutup dengan ibu jarinya maka terjadi heboh di panggung. Srintil tak bisa bernapas. Itu sudah sekali dibuktikannya. Dan sekali heboh belumlah cukup buat membalas kesumatnya terhadap ronggeng Dukuh Paruk itu. Dengan sabar Marsusi menanti kesempatan berikutnya
Episode 32 Seperempat jam kemudian Srintil kembali menjadi fokus hidup yang mendaulat panggung. Dia menari seperti mengapung di udara; lincah dan bebas lepas. Kadang seperti burung beranjangan, berdiri di atas satu titik meski sayap dan paruhnya terus bergetar. Kadang seperti bangau yang melayang meniti arus angin. Suaranya yang timbul tenggelam dalam pengeras suara bahkan memberikan kesan lebih hidup, seperti sendaren layang-layang yang meliuk-liuk di angkasa.
Perasaan segenap penonton ikut mengapung bersama irama tarian Srintil. Mereka mengikuti setiap gerak ratu panggung itu dengan mata, dengan hati, dan dengan denyut jantung mereka. Ibu Camat dan Ibu Komandan Polisi dengan kebencian mereka. Ibu Wedana malah ceria karena melihat suaminya berjingkrak-jingkrak penuh gairah, persis seperti lelaki perkasa laiknya. Para penonton demikian terpesona sehingga mereka bingung ketika melihat tiba-tiba Srintil berhenti, berdiri tak bergerak. Kedua lengannya yang merentang tinggi terpancang kaku. Mulutnya yang terbuka tetap dalam keadaan demikian hingga beberapa saat lamanya. Calung serentak berhenti. Kartareja melompat ke depan, menahan tubuh Srintil yang roboh ke belakang.
Gempar lagi. Banyak orang berlompatan ke atas panggung. Juga Pak Camat. Tetapi istrinya menahannya. Tri Murdo yang sejak tadi menonton di deretan kursi paling depan hanya dalam beberapa detik sudah menangani Srintil. "Apa kataku. Mestinya Srintil jangan menari lagi," katanya.
Sementara petugas keamanan mengusir penonton yang berlompatan ke atas panggung. Tri Murdo berdua Nyai Kartareja berusaha menyadarkan Srintil. Kutang ketat yang membalut tubuh Srintil dari dada sampai ke pinggulnya dibuka. Wajah Srintil biru, paru-parunya berhenti. Tetapi Tri Murdo yakin jantungnya masih berdenyut. Dia berdiri mengangkang tepat di atas perut Srintil menggerak-gerakkan kedua tangan ronggeng itu, membuat napas buatan. Tidak lama, karena kemudian Srintil tiba-tiba membusungkan dada menarik napas dalam-dalam. Megap-megap, mulutnya terbuka seperti ikan mujair. Dan terbelalak karena setagen dan kutangnya sudah terbuka. Di atas perutnya berdiri laki-laki muda berpakaian putih berdasi kupu-kupu. Srintil cepat duduk. Tri Murdo melangkah ke samping. Orang-orang henclak mengangkat tubuh ronggeng itu. Tetapi Srintil menolak. Nyai Kartareja merangkul dan membimbing Srintil turun dari panggung. Setelah keadaan sedikit reda pengatur acara mengumumkan bahwa pertunjukan kesenian malam itu usai. Meskipun keadaan sedikit kalut tetapi laki-laki itu menutup acaranya dengan teriakan mengguntur. Penonton menyambutnya dengan teriakan bersama. Dan acungan seribu tangan mengepal. Penonton bubar dengan berbagai kesan pada diri mereka masing-masing. Namun kebanyakan dari mereka tidak menduga macam-macam. Yang terjadi atas diri Srintil adalah sebuah permainan; suatu hal yang tidak terlalu aneh bagi masyarakat Dawuan. Hanya sedikit orang menduga Srintil terkena ayan atau penyakit lainnya.
Apabila Marsusi menghendaki nama Srintol ternoda oleh peristiwa di atas panggung ini maka dia keliru b
esar. Boleh jadi Marsusi merasa puas. Juga Ibu Camat atau Ibu Komandan Polisi. Tetapi ratusan lagi lainnya justru merasa bertambah simpati terhadap ronggeng Dukuh Paruk itu. Marsusi telah menyakiti burung perkutut milik umum. Beruntunglah Marsusi karena tak seorang pun tahu akan ulahnya.
Kecuali Kartareja. Sejenak setelah Srintil sadar dia menyelinap di antara kerumunan pengunjung. Kartareja sudah menduga adanya tangan jail dan ingin segera tahu milik siapakah tangan itu. Tidak gampang mencari satu orang di antara ratusan pengunjung. Namun Kartareja sudah mengetahui cara yang paling gampang. Orang yang dicarinya pasti memiliki ekspresi wajah sang berbeda dan gerak-gerik yang tidak sama dengan semua pengunjung lainnya. Dan Kartareja melihat seorang yang bergegas meninggalkan arena. Pakaiannya hitam dengan ikat kepala wulung. Dikejarnya laki-laki yang kelihatan tegap itu.
"Tunggu sebentar, Mas," panggilnya. Laki-laki itu menoleh. Mata Kartareja membulat untuk lebih memahami wajah laki-laki itu. Mula-mula Kartareja ragu.
"Oh, sampean" Ah, mestinya sampean menonton bersama Pak Camat. Tak pantas di sini, bukan""
"Yah, terkadang orang ingin menyendiri." Jawab Marsusi tenang. Kartareja tersenyum. Marsusi tersenyum. Dalam kebisuan mereka telah terjadi komunikasi yang intensif. Tetapi kejanggalan tidak bisa dihindari. Marsusi menawarkan rokok yang kemudian diterima oleh Kartareja, dan langsung menyulutnya.
"Pentasmu kali ini sedikit terganggu," ujar Marsusi.
"Yah, saya maklum. Saya mengerti perasaan sampean. Yang penting, sekarang perkara utang-piutang sudah tunai."
"Hm, ya." "Ya." "Dan itu... " "Apa""
"Asuhan sampean!"
"Srintil""
Marsusi tidak menjawab. Hanya senyumnya yang mengembang dan segera terbaca oleh Kartareja. "Ah, itu persoalan mudah. Apalagi bagi sampean. Apabila sampean masih mau, masalahnya tinggal bagaimana sampean bisa bersabar."
"Aku memang masih penasaran. Oh, tidak. Maksudku, ronggengmu memang membuat gemas!"
"He-he." "He-he-he." Dan Marsusi membanting hancur botol jimatnya. Tunai sudah. Tak ada lagi siapa mempermalukan siapa.
Kartareja dan Marsusi berpisah dengan senyum. Keduanya tahu betul arti senyum mereka masing-masing.
Jam satu tengah malam rombongan dari Dukuh Paruk belum meninggalkan arena. Mereka menikmati kopi panas yang disediakan panitia. Srintil sudah melepaskan pakaian ronggengnya, duduk dikelilingi beberapa orang laki-laki yang merasa beruntung bisa berdekatan dengan ratu panggung.
Episode 33 Mata Srintil mencari laki-laki yang berdasi kupu-kupu. Tri Murdo masih ada tetapi sudah siap berangkat dengan rombongan orkes keroncongnya. Ketika minta diri Tri Murdo bersikap biasa, sangat biasa. Srintil menelan ludah. Bapak Wedana bangkit. Dari mulutnya terdengar tembang pucung, pujian bagi para ronggeng. Sambil melangkah tangannya bertepuk berirama. Sengkang ceplik, cunduk jungkat sarwi wungu
Pupur lelamatan Nganggo rimong plangi kuning Candanira kaya sekar dhedhompolan
Bergiwang rupa bunga tanjung, bermahkota sisir serba ungu. Bedaknya tipis rona, dengan selendang pelangi kuning. Baunya adalah harum serumpun bunga.
Ibu Wedana bertepuk tangan memberi semangat bagi suaminya. Orang-orang ikut bertepuk dan bertembang melagukan pucung yang setua Dukuh Paruk itu. Srintil tertawa dan tertawa. Keayuannya muncul pada sinar matanya, pada cerah kulitnya, dan pada kesegaran mulutnya. Srintil menoleh kepada Ibu Wedana ketika Bapak Wedana mencubit pipinya. Ibu Wedana malah bertambah gembira. "Siapa mengira suamiku laki-laki tanpa daya""
Malam itu Srintil hampir tidak pulang ke Dukuh Paruk. Bapak dan Ibu Wedana memintanya dengan sangat menginap di Dawuan. Sebaliknya, Kartareja amat berkeberatan.
"Maafkan kami, Bapak. Kami orang-orang Dukuh Paruk tidak bisa berbuat sesuatu yang melanggar ketetapan yang kami anut. Ini malam Ahad Pahing: tidak boleh tidak, kami semua harus tidur di rumah kami masing-masing di Dukuh Paruk."
Sebuah obor besar kelihatan dari jauh melintasi pematang panjang yang menuju Dukuh Paruk. Nyala apinya meninggalkan ekor asap hitam yang meliuk di udara. Orang-orang Dukuh Paruk sedang berjalan menuj
u tanah airnya. Hampir tak ada yang berbicara. Sepi, kecuali suara calung dalam pikulan. Kaki-kaki mereka basah oleh embun rerumputan. Sinar obor membuat penerangan bagi sebuah pentas tersendiri. Ada burung cabak berebut serangga di angkasa. Ada belalang terbang menabrak nyala api. Dan Sakum berteriak karena kakinya menginjak katak kecil hingga perut binatang itu meledak.
Di hadapan mereka Dukuh Paruk kelihatan remang seperti seekor kerbau besar sedang lelap. Di atasnya lintang waluku. Di atasnya, terkadang, membersit sinar terang bintang beralih. Dan suara burung hantu dari atas pekuburan Dukuh Paruk menggema, seakan menyambut para warga yang sedang pulang di puncak malam.
Kuda hitam itu sudah berbusa mulutnya. Suara kuk-kuk terdengar setiap kali binatang jantan itu melangkahkan kaki: suara kantung buah zakarnya yang tergesek-gesek kulit paha. Lebih dari tiga puluh kilometer telah ditempuhnya, menarik andong dengan kusir dan seorang penumpang. Sentika, satu-satunya penumpang di atas andong itu adalah laki-laki usia enam puluhan. Subur badannya, berwajah bulat dan tenang. Bajunya hitam. Celananya yang longgar menutup lutut juga berwarna hitam. Ikat kepalanya melilit rapi. Dengan bibir merah karena makan sirih lengkaplah penampilan Sentika sebagai laki-laki sisa masa lalu, dan hidup bertani di daerah pegunungan.
"Kudamu sudah letih rupanya," kata Sentika kepada Sartam, kusir. "Itu, di depan ada warung. Kita mengaso dulu."
"Bukan hanya kudaku yang minta islirahat, Pak."
"Lha iya. Kamu juga lapar. Mulutku asam. Makan sirih sambil berayun-ayun di andongmu terasa kurang nyaman."
Sartam menghentikan andongnya di bawah lindungan pohon johar. Kudanya meringkik. Di sana ada andong lain, kudanya betina. Sementara Sartam memberi makan kudanya dengan rumput bercampur dedak yang dibawanya dari rumah. Sentika berjalan gontai ke warung. Dipesannya dua
gelas kopi. Ketika Sartam datang menggabungkan diri Sentika sudah menggulung daun sirih dengan bumbu-bumbunya; kapur, gambir, dan biji pinang kering. Gerahamnya bekerja.
"Dawuan masih jauh"" tanya Sentika kepada perempuan pemilik warung.
"Oh, sampean hendak pergi ke sana" Jauh, masih jauh. Kukira tengah hari nanti sampean baru sampai ke sana."
"Dari Dawuan aku mau terus ke Dukuh Paruk. Sampean mengerti arahnya""
"Aku belum pernah pergi ke Dukuh Paruk. Tetapi sudah sering mendengarnya. Pedukuhan itu terkenal ronggengnya bukan" Sampean mau mengundang ronggeng""
"Lha iya. Kira-kira begitulah."
"Sampean dari mana""
"Alaswangkal." "Alaswangkal" Dan sampean naik andong dari sana""
"Lha iya. Aku orang kuno, tidak biasa naik bus. Tidak pernah."
"Kalau begitu andong itu milik sampean sendiri""
"Aku menyewanya. Ini dia pemiliknya," jawab Sentika sambil menoleh kepada Sartam. Yang dilirik tersenyum karena teringat besarnya sewa andong yang bakal diterimanya. Ah, tetapi Sartam mengerti siapa Sentika. Kebun singkongnya hampir seluas tanah pegunungan di Alaswangkal. Dua-tiga pabrik tapioka tergantung kepada singkong hasil perkebunannya. Untuk itu Sartam tak usah ragu memilih makanan terbaik yang disajikan di warung itu. Toh Sentika yang akan membayarnya. Setelah perut kenyang Sartam kembali ke andongnya, duduk sambil merokok. Rokok itu terus mengepul di mulutnya meskipun Sartam tertidur karena lelah. Dan tersentak bangun ketika Sentika menepuk pundaknya.
"Lha iya. Dasar ular koros kamu! Bila perut penuh, mata mengantuk. Ayo berangkat!" Perempuan warung itu benar; menjelang tengah hari Sentika dan andongnya sampai ke Dawuan. Setelah bertanya kepada seseorang di pinggir jalan dia meneruskan perjalanan. Andong itu berhenti di sudut pematang panjang yang menuju Dukuh Paruk. Sartam mendapat waktu istirahat panjang karena harus tinggal bersama andongnya di pinggir jalan sementara Sentika berjalan seorang diri ke Dukuh Paruk.
Episode 34 Laki-laki itu berjalan mantap meskipun matahari terik berada tepat di atas kepalanya. Perjalanan selama setengah hari pun tidak memberikan kesan lelah kepadanya. Sentika sudah terbiasa berjalan jauh. Turunan dan tanjakan di Alaswangkal melatih kakinya sejak masa kanak-kanak.
Di tepi Dukuh Paruk seorang anak kecil memberi tahu arah rumah Srintil yang sejak peristiwa Marsusi tinggal bersama kakeknya, Sakarya. Nyai Sakarya yang pertama menemuinya. Kemudian menyusul suaminya.
"Namaku Sentika dari Alaswangkal. Betulkah di sini rumah ronggeng Srintil"" "Ya, benar. Sampean tidak keliru." jawab Sakarya.
"Lha iya. Dari jauh aku datang kemari karena aku mempunyai kepentingan."
"Tentulah soal menanggap ronggeng, bukan""
"Lha iya. Apalagi kalau bukan itu. Tetapi masih ada lainnya..."
"Nanti dulu." Sakarya menyuruh istrinya pergi memanggil Kartareja. Sementara itu Srintil muncul sambil membopong Goder. Mata Sentika menatapnya lama. Bibir Sentika bergerak-gerak tanpa mengeluarkan kata. Matanya terus menatap hingga Srintil tertunduk malu. Kalau benar ini Srintil, oh, benar kata orang. Cantik. Tetapi mengapa ada bayi di tangannya"
"Nah, inilah cucuku, Srintil. Dan bayi itu tentu saja bukan anaknya. Anak tetangga."
"Ah, memang tidik salah."
"Tidak salah""
"Lha iya. Aku tidak salah telah datang kemari."
"Ya, ya. Lalu kapan sampean punya kepentingan"" Nah, ini Kartareja, kamitua ronggeng di sini," kata Sakarya sambil mengenalkan rekannya.
"Aku menyediakan dua pilihan. Kalan tidak Kemis Manis, pilihlah Ahad Pon mendatang."
"Kebetulan dua-duanya kosong." kata Kartareja sambil menarik kursi.
"Tetapi jangan Ahad Pon. Jangan. Pakailah hari Kemis Manis."
"Lha iya. Itu terserah sampean berdua."
"Berapa malam""
Sentika terdiam. "Eh, Srintil, buatkan minuman. Bapak ini datang dari jauh."
"Berapa malam"" ulang Sakarya. Tetapi Sentika tidak segera memberi jawaban. Malah laki-laki dari Alaswangkal itu mengeluarkan kotak sirihnya.
"Sebetulnya begini," kata Sentika akhirnya. "Aku memerlukan Srintil bukan hanya untuk meronggeng."
Diam. "Lalu"" tanya Sakarya dan Kartareja hampir bersamaan. "Baiklah. Tetapi aku akan memulai dengan sebuah cerita." "Lho, silakan."
"Anakku berjumlah empat belas orang, tetapi hanya dua yang laki-laki. Itu pun seorang di antaranya meninggal ketika masih kecil. Jadi tinggal si Waras seorang, anak laki-lakiku. Semata wayang. Si Waras kini sudah tujuh belas tahun."
"Ya, ya." "Aku terlanjur mengucap kaul: bila si Waras memang waras sampai dewasa, aku akan mementaskan ronggeng terbaik baginya."
"Oh ya, ya." "Dan, aku akan mengundang baginya seorang gowok yang cantik." Sakarya dan Kartareja saling berpandangan.
"Sampean berdua jangan khawatir. Aku menyediakan upah yang tidak bakal mengecewakan. Asal gowok itu memang cantik seperti Srintil itu."
"Bukan itu masalahnya. Kami memang pernah mendengar tentang pergowokan. Tetapi belum jelas karena di sini tidak berlaku adat seperti itu."
"Lha iya. Aku mengerti. Di kampungku pun gowok mulai ditinggalkan orang. Dan kalau bukan kaul aku takkan melakukannya. Sampean mengerti bukan""
"Ya, ya. Tetapi tolong terangkan."
Srintil duduk di samping neneknya, ikut mendengarkan penjelasan Sentika. Orang Alaswangkal ini tidak biasa menerangkan sesuatu lebih dari beberapa kalimat. Kata-katanya tidak lancar. Namun demikian para pendengarnya bisa mengerti. Bahwa gowok adalah seorang peremputan yang disewa oleh seorang ayah bagi anak lelakinya yang sudah menginjak dewasa. Dan menjelang kawin.
Seorang gowok akan memberi pelajaran kepada anak laki-laki itu banyak hal perikehidupan berumah tangga. Dari keperluan dapur sampai bagaimana memperlakukan seorang istri secara bak misalnya, bagaimana mengajak istri pergi kondangan dan sebagainya. Selama menjadi gowok dia tinggal hanya berdua dengan anak laki-laki tersebut dengan dapur yang terpisah. Masa pergowokan biasanya berlangsung hanya beberapa hari, paling lama satu minggu. Satu hal yang tidak perlu diterangkan tetapi harus diketahui oleh semua orang adalah hal yang menyangkut tugas inti seorang gowok. Yaitu mempersiapkan seorang perjaka agar tidak mendapat malu pada malam pengantin baru.
Ada Apa Dengan Setan 1 Oppa And I Karya Orizuka Dan Lia Indra Andriana Pendekar Bloon 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama