Ceritasilat Novel Online

Kuncup Sebelum Berbunga 2

Luruh Kuncup Sebelum Berbunga Karya Mira W Bagian 2


"Ya, masih muda sekali. Baru lima belas tahun!"
"Wah, aku benar-benar kuatir! Dalam usia semuda itu, paling-paling dia baru memiliki ijazah SMP! Sudah bisa diterima di kantormu, pasti daya tariknya luar biasa!"
"Memang luar biasa! Tidak ada yang seperti dia di kantor. Kedatangannya selalu ditunggu oleh setiap bagian!"
"Termasuk direkturmu""
"Oh, jelas! Dia sudah menelepon tenis kalau sampai siang gadis itu belum muncul juga!"
"Termasuk Mas juga"" Dewi memijit hidung suaminya dengan gemas.
Kris pura-pura memekik kesakitan. Padahal dia senang. Dapat mempermainkan istrinya.
"Dia cantik""
"Tergantung siapa yang melihatnya." "Ah, jangan berdiplomasi! Dasar lelaki hidung zebra!"
Sekali lagi Dewi memijit hidung suaminya. Kali ini lebih perlahan.
"Bukan diplomasi! Tapi kenyataan! Kalau kamu yang lihat, pasti kamu bilang dia jelek seperti kuda nil!"
"Kalau Mas yang lihat""
"Tergantung apa yang dia bawa!"
"Memang dia sering bawa apa""
"Tergantung siapa yang dia bawakan."
"Kalau untuk Mas, dia bawa apa""
"Teh." Kris menahan tawa.
"Teh" Memang dia bekerja di bagian apa""
"Dapur." Kris tertawa geli.
"Dapur"" Dewi hampir menjerit gemas. "Jadi...""
Kata-katanya tidak selesai. Kris telah menyumb
at mulutnya dengan sebuah ciuman.
Bab V Keheran-heranan Ari melihat neneknya menunggu di dalam mobil di depan sekolah.
"Ada apa, Yang"" tanya Ari heran. "Eyang mau ambil darah lagi""
"Tidak. Hanya kebetulan Eyang lewat. Ari sekolah di sini""
Ari mengangguk. Diraba-rabanya mobil neneknya dengan perasaan kagum.
"Mobil Eyang bagus."
"Ari mau ikut naik""
"Ke mana""
"Ke rumah Eyang. Mau""
"Tapi sebentar lagi Mama datang."
"Mama belum menjemputmu""
"Mama ke pasar dulu. Sebentar lagi juga datang. Ari sudah biasa menunggu di sini sampai Mama menjemput."
"Bagaimana hasil pemeriksaan darah Ari""
"Kata Mama semuanya bagus."
"Syukurlah. Ini cokelat buat Ari."
"Wah, banyak betul!"
"Jangan bilang dari Eyang, ya." "Kenapa""
"Tidak apa-apa. Tapi Ari jangan bilang siapa-siapa Eyang datang, ya. Besok Eyang datang lagi."
Tentu saja Ari gembira menerima cokelat. Permen. Kue. Mainan. Wah, Eyang sungguh royal! Ari hanya bingung di mana harus menyimpan hadiah sebanyak itu! Bagaimana menyembunyikannya supaya tidak diketahui Mama"
Satu-satunya tempat persembunyian adalah di rumah Pinta. Tapi Pinta juga keberatan. Bukan keberatan membantu menghabiskannya. Tapi keberatan membantu menyimpannya. Kalau Kak Uti tahu... wah!
Tidak heran kalau sepanjang sore itu mereka makan cokelat dan kue sebanyak-banyaknya. Supaya tidak ada sisanya. Dan malamnya, baik Pinta maupun Ari sama-sama sakit perut.
*** Dewi mengawasi kaleng cokelat itu dengan heran. Dia tidak pernah membelikan Ari cokelat di dalam kaleng. Rasanya Mas Kris juga tidak mungkin. Harganya terlalu mahal. Dari mana Ari memperolehnya" Dan mengapa Ari menyembunyikannya di bawah tumpukan mainannya"
Dewi mengerutkan kening. Seingat dia, robot Ari hanya dua. Mengapa sekarang sudah bertambah dua lagi"
Teman main Ari hanya Pinta. Dan anak itu tidak mungkin membeli robot. Jangankan membeli mainan. Membeli makanan saja pasti sulit. Dari sekolah" Dari siapa"
"Dari Eyang," sahut Ari terus terang ketika Dewi menanyakannya. Suaranya lantang. Polos. Baru sesudah mengucapkan kata-kata itu dia seperti teringat sesuatu. Ditutupnya mulutnya dengan tangannya. Dia tampak terkejut sendiri.
"Dari Eyang"" ulang Dewi tidak percaya.
"Wah, Ari kelepasan omong!" cetus Ari dengan perasaan bersalah. Matanya bersorot ketakutan.
"Di mana Ari ketemu Eyang"" desak Dewi bingung.
"Di sekolah. Tapi Eyang bilang, nggak boleh bilang siapa-siapa. Mama jangan bilang, ya" Nanti Eyang nggak mau datang lagi!"
Penasaran Dewi datang lebih pagi keesokan harinya. Dia ingin membuktikan kebenaran kata-kata anaknya. Mustahil Ari berdusta! Tapi... ibu Kris! Benarkah dia yang datang" Angin apa yang meniupnya ke sana"
Ari sudah keluar dari sekolah, tetapi Dewi sengaja menyembunyikan diri. Anak-anak adalah makhluk yang tidak dapat dipercaya. Lebih baik Ari tidak tahu ibunya sudah datang. Supaya dia tidak kelepasan bicara nanti. Jadi Dewi sengaja
menyembunyikan dirinya di balik pohon. Dan menunggu sambil mengawasi Ari dari jauh.
Dewi menahan napas ketika sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan sekolah. Seseorang turun dari dalam mobil itu. Dan Ari sudah berlari menghambur sebelum pintu mobil itu tertutup kembali.
Dewi merasa dadanya berguncang keras. Perempuan itu benar-benar mertuanya! Dan dia seorang diri. Hanya dengan sopir.
Mereka bercakap-cakap sebentar. Lalu ibu Kris menyodorkan sebuah bungkusan. Ari melonjak-lonjak kegirangan. Lalu mereka berpisah. Ibu Kris masuk kembali ke dalam mobil. Melambai-lambaikan tangannya. Dan mobil bergerak pergi.
Kasihan, pikir Dewi ketika rasa takjubnya telah hilang. Dia pasti ingin sekali mengobrol lebih lama dengan Ari. Tetapi dia takut menantunya keburu datang. Karena itu dia cepat-cepat pergi. Ah. mengapa keangkuhan harus memisahkan mereka"
*** Rasanya Dewi hampir tidak sabar menunggu sampai suaminya pulang. Lama sekali hari ini! Dia sudah ingin lekas-lekas menyampaikan kabar itu! Ibu menjenguk Ari di sekolah. Bukan main! Kris pasti senang.
Tetapi sore itu Kris tidak pulang-pulang. Dari tegang menunggu, sampai kesal ak
hirnya marah, Dewi tidak mau menunggu lagi. Dia sudah bosan. Bosan menunggu!
Dan ketika akhirnya Kris pulang pada pukul sebelas malam, rekor yang belum pernah terpecahkan selama belasan tahun perkawinan mereka, Dewi sudah kehilangan selera untuk menyampaikan kabar istimewanya itu. Dia membukakan pintu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Tetapi Kris seperti tidak mau memahami kekesalan istrinya. Begitu masuk, dia langsung merangkul Dewi dari belakang. Dewi yang sudah memutar tubuh segera setelah membuka pintu, menggeliat marah. Apalagi ketika Kris mencium lehernya, dia mencium bau alkohol dari mulut suaminya.
Dengan kasar Dewi meronta lepas dari dalam pelukan suaminya. Begitu kasarnya sampai Kris mundur dengan keheran-heranan.
"Kamu marah, Wi""
"Masih perlu tanya""
Dengan kesal Dewi mengentakkan kakinya dan melangkah masuk ke dalam kamar. Jika tidak ingat Ari yang sudah tertidur pulas, ingin dibantingnya pintu kamarnya sekeras-kerasnya.
Kris menyusulnya dengan separo berlari.
"Kamu keliru, Wi!" sergah Kris kecewa.
"Yang keliru pasti matahari!" sahut Dewi dingin. "Seharusnya dia baru terbenam sekarang!"
"Dengar dulu penjelasanku, Wi," pinta Kris sungguh-sungguh.
"Tidak perlu. Bau alkohol dalam napasmu telah menjelaskan semuanya." Dewi melemparkan tubuhnya dengan jengkel ke atas tempat tidur.
"Aku memang pergi minum, Wi." Dengan perasaan serbasalah Kris duduk di tepi tempat tidur. "Tapi bukan untuk bersenang-senang dengan wanita seperti dugaanmu."
"Apa bedanya" Yang jelas Mas sampai lupa pulang!"
"Aku memang salah karena tidak sempat mem-beritahu kamu. Tapi percayalah, Wi, ini demi kebaikan kita berdua."
"Sampai sekarang aku belum melihat apa kebaikannya untuk diriku."
"Relasi bosku datang dari luar negeri. Kebetulan Bos tidak dapat menemani malam ini. Dia menyuruhku."
"Alasan yang sempurna. Mudah-mudahan lain kali dia tidak menyuruhmu menemaninya sampai pagi!"
"Wi!" sergah Kris tersinggung. "Begini sikapmu pada suamimu""
"Bagaimana seharusnya sikapku""
"Tidak pantas kamu marah-marah begini!"
"Tidak pantaskah aku marah kalau suamiku pulang pada pukul sebelas malam padahal kantor sudah tutup pukul empat sore""
"Tadi kan sudah kujelaskan!"
"Mas baru menjelaskannya lima detik yang lalu. Aku telah menunggumu selama lima jam lebih!"
"Tapi aku tidak bisa pulang lebih cepat. Ini
tugas!" "Mudah-mudahan tidak setiap malam ada tugas seperti ini!"
"Capek-capek aku pulang, bukannya disambut baik-baik malah marah-marah!"
"Bagaimana Mas pikir aku harus menyambut suami yang pulang terlambat sampai tengah malam begini""
"Tanya dulu. Jangan langsung marah-marah begitu!"
"Aku kan tidak bilang apa-apa."
"Tapi sikapmu! Aku tahu kamu marah!"
"Tidak pantaskah aku marah""
"Tentu saja tidak! Aku bukan pulang terlambat karena bersenang-senang! Bosku bilang, kalau aku berhasil meyakinkan relasinya sampai mau menanamkan modal di perusahaan kami, aku akan diangkat menjadi kepala kantor cabang! Bos akan pindah ke Jakarta. Dan kalau dia jadi ditarik ke pusat, aku yang akan menggantikannya. Aku ingin menyampaikan kabar gembira ini padamu, tapi sekarang aku sudah kehilangan selera!"
"Aku juga punya kabar gembira untukmu," sahut Dewi dingin. Dibalikkannya tubuhnya
membelakangi Kris. "Tapi sekarang aku sudah lupa karena terlalu lama menunggu!"
"Mudah-mudahan kamu tidak hamil!" gerutu Kris sengit. Dibukanya sepatunya. Dilemparkannya ke sudut kamar.
Kris tahu, Dewi paling kesal kalau dia atau Ari melempar-lemparkan barang-barang mereka semau-maunya saja. Dewi marah kalau rumahnya yang selalu rapi itu menjadi berantakan. Tetapi sekarang, Kris malah ingin membuat kamar mereka lebih berantakan lagi. Biar tersalurkan rasa jengkelnya.
Dengan kasar Kris membuka kemejanya. Dilemparkannya ke atas kursi. Kemudian celananya pula. Menyusul melayang ke atas tempat tidur, tempat yang paling suci hama bagi Dewi.
Kris tahu, pantang bagi Dewi meletakkan pakaian kotor dari luar ke atas tempat tidur. Naik ke atas ranjang harus dengan pakaian bersih. Itu undang-undang. Tidak dapat ditawar lagi. Nah, kini dia pasti meledak!
Tetapi aneh. Ledakan yang ditunggu-tunggu itu justru tidak muncul. Dewi tidak membalikkan tubuhnya. Tidak menggeram marah. Menggerutu. Atau melemparkan celana Kris ke lantai, Dia diam saja. Bahkan ketika Kris kembali dari kamar mandi, Dewi masih dalam posisi semula.
Keheran-heranan Kris mengamati-amati istrinya. Sekarang dia baru melihat bahu yang turunnaik diguncang tangis itu. Dewi menyembunyikan tangisnya di balik bantal.
Perempuan. Kris menghela napas panjang. Cuma itulah senjatamu. Menangis. Gembira menangis. Sedih menangis. Kesal pun menangis. Persis film India.
Tetapi memang di sana pulalah Tuhan men-ciptakan kelemahan laki-laki. Tidak tahan melihat air mata. Apa boleh buat. Meskipun tidak merasa bersalah, terpaksa Kris mengalah.
Hati-hati dipungutnya celananya. Dikumpulkannya bersama kemeja dan sepatunya. Pakaian kotor ditaruhnya di dalam keranjang cucian yang memang telah disediakan Dewi di sudut kamar. Sepatu ditaruhnya baik-baik di atas rak sepatu.
Kemudian sambil sekali lagi menghela napas, Kris menghampiri tempat tidur. Sesaat sebelum dia naik, Kris baru ingat belum mengganti pakaian dalamnya dengan yang bersih. Terpaksa kaki yang telah diangkat sebelah itu diturunkan lagi. Dan Kris kembali ke lemari. Mengambil pakaian dalam dan piama bersih.
Ketika Kris baru mengenakannya sebagian, tiba-tiba Dewi bangkit. Sambil tetap membelakangi suaminya, dibersihkannya cepat-cepat air matanya. Dan separo berlari dia menghambur ke pintu. Sesaat sebelum tangannya mencapai pintu, Kris memanggilnya.
Dewi berhenti. Tertegun. Tapi tidak menoleh. Tergesa-gesa Kris memakai piamanya. Hendak
memburu Dewi. Karena terlalu terburu-buru, kakinya terlibat celananya sendiri. Dan dia terhuyung ke depan. Hampir terjerembap.
Terkejut, Dewi refleks berbalik. Sekejap dia melihat suaminya. Belum berpakaian rapi. Tapi sudah mengenakan piama bersih. Pakaian kotornya telah lenyap. Sepatunya pun telah teronggok rapi di atas rak.
Sekonyong-konyong saja Dewi ingin tertawa. Amarahnya hilang entah ke mana. Dia tahu kalau suaminya yang sembrono itu telah mencoba untuk rapi, artinya Kris sedang berusaha mengambil hatinya. Karena itu ketika Kris menghambur untuk memeluknya, Dewi tidak menolak.
Dalam hati Dewi juga percaya suaminya tidak mungkin mengkhianatinya. Alasan yang dike-mukakannya tadi pasti bukan dusta. Hanya saja dia sudah keburu marah. Kesal karena terlalu lama menunggu.
"Maafkan aku. Wi," bisik Kris sambil mendekap istrinya erat-erat. "Aku membuatmu kuatir tadi."
"Mas bukan hanya membuatku kuatir," rajuk Dewi. "Mas membuatku takut." "Takut""
"Takut kalau-kalau sudah muncul sainganku."
Kris tertawa lebar. Begitu kerasnya sampai Dewi buru-buru menutup mulut suaminya dengan tangannya.
"Hus! Jangan keras-keras dong! Ari tidur!"
Kris meraih tangan istrinya dan mengecupnya. "Kamu pikir aku minum-minum dengan perempuan lain""
"Mas yang membuatku berpikir begitu. Pulang pukul sebelas malam. Bau alkohol lagi!"
"Kalau mau nyeleweng, kamu pikir suamimu begitu bodoh" Lebih baik aku membawa pacarku minum-minum siang hari saja. Waktu jam kantor. Atau kukatakan saja ada tugas ke luar kota dua hari. Nah, aku lebih bebas, kan""
"Awas ya!" Dewi memukul dada suaminya. Tentu saja perlahan-lahan. Hanya pura-pura. "Kalau Mas sampai nyeleweng, aku juga bisa berbuat yang sama!" "Kamu"" Kris tertawa geli. Sekali lagi Dewi buru-buru menutup mulut suaminya. Takut suara tawanya yang keras-lepas itu akan membangunkan Ari.
"Sama siapa kamu mau nyeleweng, Wi" Sama Mbah Goro""
"Kurang ajar!" geram Dewi gemas. Tangannya sudah terayun hendak memukul lagi. Kali ini lebih keras. Tetapi Kris keburu menangkap tangan istrinya. "Kamu pikir cuma kamu yang masih laku""
"Begitulah nasib perempuan," ejek Kris separo bergurau. "Makin tua, makin berkurang peminatnya! Lain dengan laki-laki! Makin tua, makin tinggi kedudukannya, makin banyak pengalaman, makin laku!"
"Siapa bilang aku sudah tidak laku"" "Tidak ada yang bilang! Aku percaya kamu masih laku keras. Tapi siapa dulu dong peminatnya!" "Aaahh!"
Dewi mengayunkan tangannya yang sebela
h lagi untuk memukul suaminya. Tetapi sekali lagi Kris lebih cepat menangkapnya. Kali ini dia langsung merangkul istrinya erat-erat. Dan mendorongnya ke tempat tidur.
Sekarang Dewi-lah yang memekik kaget. Dan Kris cepat-cepat menyumbat mulutnya dengan sebuah ciuman. Bersama-sama mereka jatuh ke atas tempat tidur.
"Makanya, bersikaplah semanis mungkin pada suamimu." goda Kris sambil tersenyum. "Jangan malah marah-marah kalau dia pulang terlambat! Nanti dia tidak mau pulang sekalian!"
Dewi sudah ingin membantah. Tetapi Kris lebih cepat lagi memagut bibir istrinya. Dan mengulumnya mesra sekali. Begitu mesranya sampai Dewi lupa apa yang ingin diucapkannya tadi. Dia hanya mampu mendesah pasrah. Membiarkan- bibir dan tangan suaminya menjelajahi tempat-tempat yang peka di tubuhnya.
Setelah bertengkar, entah mengapa hubungan mereka selalu menjadi lebih manis. Dan permainan cinta mereka menjadi jauh lebih mesra. Tidak seperti biasa kalau Dewi harus melayani suaminya semata-mata karena kewajiban sebagai seorang istri.
Hampir lima belas tahun menikah, hubungan mereka sebagai suami-istri memang sudah hampir merupakan sesuatu yang rutin. Kadang-kadang malah cenderung membosankan. Tetapi malam ini baik Kris maupun Dewi sama-sama bergairah. Yang satu seakan-akan melupakan rasa letihnya. Yang lain kehilangan kejengkelannya karena telah sekian lama menunggu.
"Beri aku seorang anak lagi, Wi," bisik Kris ketika semuanya sudah selesai. "Kamu tidak keberatan mengandung anakku lagi, kan""
"Aku tidak pernah keberatan, Mas... meskipun harus mengandung selusin anak lagi... untukmu, aku rela biarpun terpaksa jadi gembrot...."
Kris tersenyum lembut. Diciumnya leher istrinya dengan mesra.
"Jangan pernah jadi gembrot, Wi. Nanti suamimu takut. Dan mencari yang lebih ramping."
"Belum juga jadi direktur, sudah mimpi punya istri muda," gerutu Dewi pura-pura merajuk. Dia menggulingkan tubuhnya menjauhi suaminya. Menarik selimut. Dan menyelubungi tubuhnya.
"Mau ke mana"" Kris mengulurkan tangannya hendak meraih istrinya.
"Lihat Ari." "Mau apa lihat Ari malam-malam begini" Dia pasti sudah tidur! Jangan cari-cari alasan untuk menjauhi suamimu!"
"Sudah ah." Dewi menepiskan tangan suaminya yang mulai lagi meraba-raba pinggulnya. "Sudah malam. Besok Mas kesiangan bangun."
"Tidurlah di sini. Bersamaku."
"Aku sudah janji malam ini tidur dengan Ari."
"Besok malam saja. Dia toh sudah tidur sekarang. Temani aku."
Terpaksa Dewi membatalkan langkahnya. Di-baringkannya kembali tubuhnya di tempat tidur. Ketika dia sedang berpikir-pikir untuk menceritakan kejadian di sekolah Ari siang tadi, Kris telah keburu mendengkur.
*** "Benar Ibu yang datang"" belalak Kris tak percaya.
Dewi sedang melayani suaminya sarapan pagi. Dan mulutnya bekerja sama cepatnya dengan tangannya. Begitu sarapan siap, cerita mengenai ibu Kris pun telah selesai.
"Masa aku salah mata sih, Mas""
"Coba panggil Ari kemari."
"Jangan. Mas. Ibu sudah berpesan agar Ari tidak menceritakan pertemuan mereka. Mungkin Ibu malu pada kita!"
"Tapi kasihan Ibu. Masa mau bertemu cucu sendiri mesti sembunyi-sembunyi begitu" Mungkin Ibu takut pada Ayah."
"Aku tidak percaya ayahmu tidak suka pada Ari, Mas. Hanya belum ada kesempatan!"
"Maksudmu""
"Perlukah kita ke rumah orangtuamu lagi"" "Percuma. Kupikir, satu-satunya pendekatan hanyalah melalui Ari." "Jadi""
"Temui Ibu nanti siang. Buatlah seolah-olah kebetulan saja. Tanya Ari apakah dia mau ikut ke rumah eyangnya. Ari pasti mau. Dan Ibu juga pasti tidak menolak. Dengan demikian, Ibu tidak kehilangan muka pada kita. Tidak usah takut pula pada Ayah. Ari yang mau, kan""
"Aku ikut""
"Tentu saja tidak. Ayah paling alergi padamu. Tentu saja kamu harus menyingkir dulu!"
"Bagaimana kalau Ari merepotkan Ibu""
"Jangan kuatir. Sudah lama Ibu tidak direpotkan oleh siapa pun. Repot sedikit pasti membuatnya bergairah kembali. Tidak ada kesibukan itu melelahkan, tahu""
"Dan membosankan." Dewi tersenyum. Penuh harap. "Mudah-mudahan saja misi perdamaian Ari berhasil ya, Mas!"
*** "Kebetulan lewat," sahut ibu Kris ketus. "Bo
leh kan sekali-sekali melihat cucu""
"Oh, tentu saja boleh, Bu," kata Dewi cepat. "Ari senang kok... ah, maksud saya, saya juga
gembira! Kami senang Ibu datang. Ari juga senang kan, Ri""
Ari mengangguk bingung. Mengapa Mama tiba-tiba muncul" Nah, Eyang kelihatannya jengkel! Padahal hari ini Eyang janji mau bawa robot baru! Dynaman. Seperti punya Bobi. Hhh, mudah-mudahan saja Eyang tidak lupa.
"Mau ikut Eyang""
"Mau!" sahut Ari cepat. Hampir tidak keburu bernapas. Tidak salah dengarkah dia" Mama menawari dia ikut Eyang" Wah, ini kesempatan baik!
Ternyata yang terkejut bukan hanya Ari. Neneknya juga. Cuma bedanya, ibu Kris masih bisa berpura-pura. Tahan harga.
"Jangan," sahutnya dingin. "Nanti papanya marah."
"Kris" Oh, dia pasti senang, Bu!"
"Boleh ya. Yang"" potong Ari tak sabar.
Celaka. Eyang kelihatannya enggan membawanya. Dan sudah mau buru-buru pergi saja. Aduh, Dynaman bisa hilang! Semua gara-gara Mama sih! Datang tidak bilang-bilang!
"Kamu betul-betul mau ikut Eyang"" tanya ibu Kris kepada Ari. Nada suaranya masih tetap tawar.
"Betul. Yang!" sahut Ari segera. Gembira. Bersemangat. Begitu senangnya sampai sekujur wajahnya yang bulat seakan-akan berpijar dalam seri.
"Tapi kamu tidak boleh nakal, Ari!" sela Dewi agak kuatir. "Jangan membuat Eyang Kakung dan Eyang Putri marah! Kalau Ari nurut sama Eyang, lain kali boleh ikut lagi!"
"Hhh, siapa bisa melarang cucuku ikut aku"" gerutu ibu Kris kesal. "Ayo, naik!"
Serbasalah, pikir Dewi sambil menahan napas. Disabar-sabarkannya dirinya. Kalau saja perempuan ini bukan ibu Kris...
"Jangan nakal ya, Ri!" seru Dewi sekali lagi.
Tetapi Ari sudah masuk ke dalam mobil. Dan pintu langsung tertutup. Cukup keras. Terlalu keras malah.
"Dah, Mama!" teriak Ari dari dalam mobil. Dia melambai-lambaikan tangannya dengan gembira.
Dewi masih terus melambai sampai mobil itu lenyap dari pandangannya. Tiba-tiba Saja, dia merasa ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Dan dia merasa cemas.
*** "Mau apa kaubawa anak itu kemari"" gerutu ayah Kris sengit. "Kau ke rumahnya""
"Kebetulan aku lewat di depan sekolahnya. Dan dia memaksa ingin ikut."
"Nanti dicari-cari orangtuanya."
"Ibunya sudah tahu."
"Cari kerjaan saja." gerutu ayah Kris pula. Tetapi suaranya sudah lebih lunak. Dia tidak menolak ketika ibu Kris mengajaknya makan bertiga dengan Ari.
Ketika sambil makan Ari terus-menerus berceloteh, ayah Kris malah diam-diam ikut mendengarkan. Meskipun belum ikut berbicara.
"Ari sudah bisa nulis"" tanya ibu Kris sambil menyendokkan sayur ke piring Ari.
"Sudah!" sahut Ari mantap.
"Menulis apa""
"Ba bi bu be bo. Ca ci cu ce co."
"Susah sekali." Ibu Kris menahan senyumnya.
"Ah. gampang! Ari selalu selesai paling dulu! Yang lain belum!"
"Pasti dipuji Bu Guru."
Ibu Kris kelihatannya amat tertarik. Sudah lama suaminya tidak melihatnya makan selahap ini. Barangkali karena makan sambil ngobrol dengan cucunya.
"ggak. Malah dihukum."
"Lho"" Yang kaget bukan cuma ibu Kris. Ayahnya juga. Tidak sadar tangannya berhenti menyuap.
"Ari ikut Bu Guru. Jalan-jalan ke meja teman-teman."
"Ikut memeriksa pekerjaan mereka"" Ibu Kris menahan tawa. Suaminya pura-pura menyuap. Padahal diam-diam dia juga merasa geli.
"Ari kira kalau sudah selesai boleh jalan-jalan."
"Lalu kamu dihukum""
Ari mengangguk. Digigitnya kerupuknya dengan lahap.
"Kerupuknya enak, Yang. Ari boleh minta
tambah"" "Ambillah. Kebetulan ada kiriman kerupuk dari Malang. Tapi tidak ada yang makan. Eyang kan sudah ompong. Kok dikirimi kerupuk."
"Buat Ari semua, Yang""
"Nanti dia batuk," sahut ayah Kris datar.
Sekarang Ari menoleh pada kakeknya.
"Kenapa kalau makan kerupuk bisa batuk, Yang""
Tidak dapat menjawab, bukan tidak mau, ayah Kris cuma mendengus.
"Apa hukumanmu, Ri"" sela ibu Kris, kuatir Ari mendesak kakeknya terus.
"Ari disuruh jalan-jalan terus sampai pulang. Tidak boleh duduk."
"Kasihan." Nenek Ari tersenyum iba. "Kamu pasti capek."
"Ah, nggak! Ari malah senang kok! Enak! Bosan duduk terus dari pagi!"
"Nakal kamu!" gerutu kakek Ari. Tapi tidak ada rasa kesal. Apalagi marah.
Ibu Kris sam pai menoleh karena terkejut. Tetapi menyadari kesalahannya, dia lekas-lekas memalingkan mukanya lagi.
"Ari bisa nyanyi"" "Bisa."
"Nyanyi apa"" "Apa juga bisa." "apa misalnya"" "Di Dadaku Ada Kamu" "Hhh, lagu apa itu"" Neneknya mengerut bingung.
"Lagunya Vina." potong ayah Kris. "Yang sering di TV."
Sekali lagi ibu Kris terkejut. Suaminya sudah mau bicara. Betapa cepatnya si kecil yang lucu ini mencuri hati kakeknya. Meruntuhkan benteng keangkuhan yang telah belasan tahun tegak memagari hubungan mereka dengan Kris dan istrinya.
Ketika selesai makan, Ari benar-benar menyanyikan lagu itu sampai selesai, dan ibu Kris tidak dapat lagi menahan tawanya. Bukan hanya karena lucunya Ari membawakan lagu itu, tetapi juga karena dia tahu suaminya mendengarkan baik-baik walaupun tidak ikut tertawa.
Dan ibu Kris merasa kehilangan ketika Ari diantarkan pulang. Dia kehilangan suara yang lucu dan polos itu. Kehilangan kegembiraan yang tulus dari seorang cucu yang belum pernah dirasakannya. Kehilangan seorang teman bicara yang dapat membuatnya tersenyum geli. Dan kehilangan seorang asisten yang dengan rajin menggulungkan benang rajutannya kalau dia sedang merajut seperti sore tadi.
Tidak heran kalau sejak hari itu, ibu Kris sering mengirim mobil dan pengemudinya untuk menjemput Ari ke rumah. Sekarang Dewi-lah yang gelisah.
"Kok sering sekali ya, Mas," keluh Dewi. "Sampai malam lagi."
"Ke rumah neneknya sendiri, Wi," hibur Kris. "Nggak apa-apa, kan""
"Tapi sampai malam begini belum pulang, Mas."
"Mungkin Ayah-Ibu makin suka pada Ari. Dan menahannya lebih lama."
"Ari belum buat PR, Mas. Aku kuatir pelajarannya mundur."
"Dia kan baru kelas nol, Wi."
"Tapi sudah ada PR, Mas! Kapan dia mau bikin PR kalau dari pulang sekolah sampai malam begini belum pulang""
Kris menghela napas. "Mungkin Ibu mulai menyayanginya, Wi. Dan merasa kehilangan kalau Ari pulang."
"Kalau seminggu tiga kali Ari pulang malam terus, dia bisa sakit, Mas."
"Habis aku harus bagaimana, Wi" Kalau ku-larang, Ayah-Ibu pasti marah lagi!"
Sekarang Dewi-lah yang menghela napas. Terus terang, kini dia bukan hanya gelisah. Dia menyesal. Untuk apa menyodor-nyodorkan Ari pada neneknya" Sekarang dia sendiri merasa kehilangan anak tunggalnya.
Seminggu tiga kali Ari dijemput. Malam baru diantar pulang. Ari bukan hanya tidak memiliki cukup waktu untuk mengerjakan PR-nya. Dia juga kehilangan kesempatan untuk berkumpul dengan ayah-ibunya sendiri.
Pulang, Ari sudah letih. Biasanya dia langsung tidur. Padahal Dewi dan Kris telah menunggu-nunggu sepanjang sore untuk bermain-main dengan Ari. Mendengarkan celotehnya. Nyanyiannya.
Sepi rasanya rumah tanpa Ari. Dewi tidak tahu harus mengerjakan apa kalau tidak memandikan Ari. Tidak menyuapinya makan. Tidak menemaninya bermain. Mengajarinya membaca. Melatihnya menulis.
Akibatnya Dewi menjadi sering marah-marah sendiri. Uring-uringan. Apa-apa salah. Sedikit saja tersinggung. Dan karena tidak ada orang lain di rumah itu, Kris-lah yang selalu menjadi sasaran. Padahal dia baru pulang. Sudah lelah, masih pula menerima gerutuan-gerutuan istrinya.
Bukan hanya sekali-dua kali Kris juga ikut meledak. Nah, coba pikir, apakah hanya Dewi yang merasa kehilangan Ari"
Kris juga kehilangan. Dan dia baru pulang kerja. Kalau di kantor sedang banyak pekerjaan, kadang-kadang habis dimarahi atasan pula, dirinya ibarat setumpuk ranting kering. Diperciki lelatu api saja langsung terbakar.


Luruh Kuncup Sebelum Berbunga Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak heran kalau selama sebulan itu, hampir
dua hari sekali mereka bertengkar. Dan penyesalan Dewi mencapai puncaknya ketika malam itu Ari pulang pada pukul sembilan malam.
"Diajak Eyang nonton video," sahut Ari lesu. Tidak seperti biasanya kalau baru pulang dari rumah neneknya, apalagi kalau baru menonton video tentang pertarungan robot dengan monster-monster ganas, cerita Ari pasti tidak ada habis-habisnya.
Mengikuti naluri, Dewi langsung meletakkan tangannya di dahi Ari. Dan jantungnya tersentak. Panas.
"Mas!" pekiknya seperti hendak menumpahkan kejengkelannya pada suaminya. Pada siapa lagi.
Tidak adil memang. Ini bukan salah
Kris. Tetapi semuanya gara-gara ulah orangtuanya, bukan" Mengembalikan anak orang ke rumah malam-malam begini! Pasti dia masuk angin. Namanya saja anak kecil. Lemah. Mudah sakit.
"Ada apa lagi"" tanya Kris sama jengkelnya. Dia juga kesal. Tetapi dia tidak dapat menumpahkan kekesalannya pada istrinya.
"Coba lihat, Ari panas!" sergah Dewi dengan suara seperti seorang guru yang menemukan buku porno di dalam tas muridnya.
"Pusing, Ri"" tanya Kris sambil menyentuh dahi Ari. Terus terang dia juga kesal. Tapi tidak mau memperbesar persoalan. Nanti Dewi tambah uring-uringan.
Ari cuma mengangguk sedikit.
"Kenapa nggak bilang sama Eyang, Ari sakit"" serutu Dewi kesal.
"Sudahlah, Wi," keluh Kris, bising dengan nada suara istrinya yang tidak sedap didengar. "Anak sedang sakit digerutui terus."
"Semua gara-gara Ibu!" gerutu Dewi sengit. "Aku bilang apa, kalau Ari pulang malam terus, dia pasti sakit! Nah, betul, kan!" Sambil masih mengomel. Dewi membawa Ari ke kamar.
"Sudah makan belum"" tanya Dewi sambil mengambil sebotol sirup obat penurun panas.
Ari mengangguk lesu. "Kalau begitu lekas minum obat. Terus tidur."
"Tadi sudah minum obat."
Dewi tidak jadi menuangkan obat ke dalam sendok teh yang telah dipegangnya.
"Minum obat apa""
"Nggak tahu Eyang."
"Oh, jadi Eyang sudah tahu Ari sakit""
Sekali lagi Ari mengangguk. Dibaringkannya tubuhnya dengan lesu.
"Sudah tahu sakit, kok baru diantarkan pulang sekarang""
"Jangan salahkan Ari, Wi," potong Kris yang menyusul masuk ke dalam kamar. "Dia tidak tahu apa-apa."
"Memang Ibu yang salah!" geram Dewi pedas. "Sudah tahu Ari sakit, kenapa tidak cepat-cepat diantar pulang""
"Mungkin Ibu pikir cuma panas-panas biasa. Masuk angin. Ibu juga pernah punya anak."
"Tapi Ari anakku! Aku lebih tahu obat apa yang bisa diberikan!"
"Barangkali Ibu cuma memberikan obat-obat penurun panas biasa."
"Ah, Mas selalu membela Ibu!" Dewi mengembalikan botol obat itu ke dalam lemari obat.
"Sudahlah, jangan menyalahkan siapa-siapa!" bentak Kris sengit. Kesabarannya benar-benar sudah melewati ambangnya. "Ari cuma masuk angin. Panasnya juga tidak seberapa!"
Pertengkaran mereka bakal semakin menghangat bila saja Ari tidak tiba-tiba muntah. Seperti dulu juga, muntahnya menyemprot begitu saja. Tanpa didahului rasa mual.
Dewi bertambah panik. Lebih-lebih ketika Ari mulai kejang-kejang.
"Panasnya tidak tinggi," desah Kris cemas. "Mengapa dia kejang, Wi""
"Mana aku tahu!" sergah Dewi separo menangis. Dia sedang sibuk mengompres kepala Ari. "Kita bawa ke dokter ya, Mas""
"Malam-malam begini""
"Rasanya aku tidak bisa menunggu sampai besok pagi."
"Di mana ada dokter praktek malam-malam begini, Wi"" "Kita bawa saja ke rumah sakit." "Naik motor malam-malam begini apa Ari
tidak tambah masuk angin, Wi"" tanya Kris bingung.
"Aku takut, Mas...."
"Panasnya kan tidak terlalu tinggi. Kejangnya pun telah hilang. Ari sudah sadar lagi. Tidak muntah. Lebih baik besok pagi saja kita bawa Ari ke rumah sakit. Bagaimana, Wi""
Dewi tidak menjawab. Dia hanya menatap anaknya dengan air mata berlinang. Mata Ari terpejam rapat. Tetapi Dewi tahu, dia tidak tidur. Dibelai-belainya rambut Ari dengan penuh kasih sayang. Dan dikecupnya puncak hidungnya dengan lembut.
Merasakan ciuman ibunya, Ari membuka matanya sedikit. Tatapannya yang redup menikam hati Dewi.
"Pusing. Ri"" bisik Dewi cemas.
Ari cuma mengangguk lemah. Lalu dia memejamkan matanya kembali.
"Dirawat di rumah sakit"" belalak Dewi cemas. "Gawatkah penyakitnya, Dokter""
"Ari harus menjalani beberapa pemeriksaan penting."
"Dulu darahnya sudah diperiksa, Dok. Katanya tidak ada apa-apa. Semuanya baik."
"Darah yang normal belum menjamin semua
organ tubuhnya berada dalam keadaan baik. Kita perlu melakukan beberapa pemeriksaan lagi. Sebaiknya Ari saya konsulkan ke Bagian Saraf."
"Bagian Saraf"" desis Dewi lemas. "Ada apa dengan saraf Ari, Dokter""
"Lebih baik tidak saya katakan sekarang. Tanpa pemeriksaan lengkap sebelumnya, saya tidak berani mendiagnosa. Coba Ibu bawa surat ini ke Dokter Rahman di Bagian Saraf."
Saat itu Dewi menyesal buk
an main tidak mengajak Kris ikut. Sebenarnya Kris ingin ikut mengantarkan Ari ke dokter pagi ini. Tetapi Dewi merasa sanggup membawanya sendiri. Dia menyuruh Kris bekerja saja seperti biasa. Sekarang dia baru menyesal. Kalau saja suaminya ada di sini!
Dokter Rahman sendiri tampaknya menyetujui usul Dokter Darmo. Padahal Dewi justru mengharapkan yang sebaliknya.
"Saya setuju. Ari sebaiknya dirawat."
"Tapi saya harus mendapatkan persetujuan suami saya dulu, Dok!" desah Dewi hampir menangis. Ya Tuhan! Sakit apakah anaknya" Kalau tidak gawat, pasti tidak usah dirawat!
"Tentu saja." Dokter Rahman tersenyum sabar. Senyumnya demikian menenangkan. "Ari kan tidak menderita usus buntu yang harus dioperasi sekarang juga. Ibu boleh membawa Ari pulang dulu. Berundinglah dengan Bapak. Besok ke sini lagi."
"Sebenarnya Ari sakit apa, Dokter""
"Saya mencurigai ada proses di otaknya."
"Proses"" Dewi menggagap. "Proses apa""
"Itu yang ingin kita ketahui."
"Haruskah dia dirawat""
"Saya kira itu yang terbaik. Rumah Ibu cukup jauh, kan" Nah, Ari harus melakukan beberapa pemeriksaan. Daripada Ibu membawa Ari bolak-balik kemari, bukankah lebih baik dia dirawat di sini saja""
*** "Dirawat"" desis Kris kaget. Seluruh tubuhnya mendadak lemas. Rasa letihnya langsung hilang. "Di rumah sakit""
Dewi mengangguk sedih. "Aku juga bingung, Mas," rintihnya cemas.
"Ari sakit apa""
Sekarang Dewi menggelengkan kepalanya.
"Dokter juga belum tahu. Katanya, mereka mencurigai ada proses di otaknya."
"Proses" Proses apa""
Sekali lagi Dewi menggeleng.
"Aku takut, Mas," keluhnya sedih. "Kalau Ari harus sakit, mengapa sakit yang begini" Yang kita tidak mengerti sama sekali""
"Sabarlah, Wi." Kris memegang bahu istrinya dengan lembut. "Dokter kan belum bisa menentukan apa penyakit Ari. Kita jangan cemas dulu. Mudah-mudahan saja Ari tidak apa-apa."
"Dokter juga bilang mesti dilakukan dulu beberapa pemeriksaan penting pada Ari, baru dapat menentukan dengan pasti apa penyakitnya."
"Sebaiknya kita berdoa pada Tuhan, Wi. Semoga Ari cepat sembuh."
"Bagaimana kalau biaya pemeriksaan itu mahal, Mas""
"Kalau soal itu, jangan dipikirkan. Itu tanggung jawabku."
"Tapi sekarang sedang tanggung bulan, Mas. Aku kuatir sisa uang kita tidak cukup."
"Aku bisa ngebon dulu di kantor, Wi. Jangan kuatir. Sekarang yang penting, kamu beri penjelasan pada Ari, mengapa dia besok harus tinggal di rumah sakit."
Mendengar kata-kata suaminya yang terakhir itu, tiba-tiba saja air mata Dewi menitik. Ari harus tinggal di rumah sakit! Anak tunggalnya. Buah hatinya. Permata hatinya. Sekarang dia sakit! Harus dirawat.
Untuk pertama kalinya selama lima tahun, mereka harus berpisah. Ari harus tinggal di rumah sakit. Jauh dari ayah-ibunya. Meleleh air mata Dewi ketika dia duduk di tepi pembaringan Ari.
Ari sudah memejamkan matanya. Tetapi Dewi tahu, dia belum tidur. Dia memang tampak lesu. Walaupun panasnya sudah turun. Dan dia tidak pernah kejang lagi.
Dewi belum sempat menghapus air matanya. Ari sudah keburu membuka matanya. Dan melihat air mata yang menggenangi mata ibunya.
"Mama..." desisnya lemah. "Kok Mama nangis""
Dewi tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya membelai-belai pipi Ari dengan sedih.
"Mama menangis karena Ari sakit"" Dewi mengangguk sedikit. Dihapusnya air matanya.
"Nggak terlalu sakit kok, Ma," hibur Ari, membuat hati Dewi kian terasa pedih. "Cuma pusing sedikit."
"Ari." Dewi membungkuk dan mengecup pipi anaknya dengan lembut. "Ari sayang Mama, kan""
"Sayang," sahut Ari spontan, tanpa berpikir lagi.
"Kalau Ari sayang Mama, mau kan Ari besok tinggal di rumah sakit""
"Tinggal di rumah sakit""
Mata Ari yang redup langsung melebar. Sorot matanya berbaur antara terkejut dan takut. Membuat hati Dewi kian terpukul.
"Kenapa Ari mesti tinggal di rumah sakit, Ma""
"Karena Ari sakit."
"Biasanya juga Ari sakit. Tapi nggak mesti tinggal di rumah sakit."
"Kali ini sakit Ari lain." "Ari sakit apa""
"Mama tidak tahu, Sayang. Dokter-dokter juga belum tahu. Karena itu Ari mesti tinggal di rumah sakit. Di sana banyak dokter pinta
r yang akan memeriksa Ari. Ari mau, kan""
"Diperiksa apanya lagi, Ma""
Apanya lagi" Dewi juga tidak tahu.
"Periksa darah lagi" Seperti dulu"" desak Ari penasaran.
"Mungkin," sahut Dewi lirih. "Mama juga tidak tahu, Ri."
"Mama juga tinggal di rumah sakit""
"Tidak. Mama kan tidak sakit."
"Papa"" "Papa juga tidak."
"Jadi Ari tinggal sendiri""
"Ari takut" Masa jagoan takut""
"Nggak. Bukan takut. Tapi Ari kesepian. Iseng sendirian."
"Ari tidak sendirian. Di sana banyak dokter yang baik-baik. Dan perawat yang manis-manis."
"Tapi Ari lebih suka sama Mama," sahut Ari murung.
"Malam ini Mama tidur sama Ari, ya"" hibur Dewi getir. "Papa tidur sama siapa"" "Sendiri."
"Kasihan Papa. Suruh Papa tidur di sini ya,
Ma"" "Di mana" Tempat tidur Ari nggak muat, kan""
"Di sini saja. Bertiga."
"Terlalu sempit, Ri. Biar Papa tidur sendiri, va" Besok tidur sama Mama lagi."
"Mama gosok-gosok kaki Ari, ya""
"Tentu. Setiap malam juga Mama gosok-gosok kaki Ari, kan"" Dengan lembut Dewi mulai mengusap-usap paha anaknya.
"Siapa besok yang gosok-gosok kaki Ari, Ma" Kan Mama nggak ada""
"Nanti Mama minta tolong Tante Suster di sana. ya." Dewi menggigit bibirnya untuk menahan perasaannya. "Ari jangan kuatir."
"Tante Suster mau""
"Tentu." "Lama Ari di sana. Ma""
"Mama tidak tahu, Ri."
"Ari nggak sekolah""
"Sementara Ari istirahat dulu, ya."
"Nggak ketemu Pinta""
"Cuma untuk beberapa hari."
"Eyang"" Dewi menghela napas. "Eyang juga." "Kasihan Eyang. Nggak ada yang menggulung benangnya."
"Ari sering menggulung benang Eyang Putri"" Dewi terperangah heran.
"Kalau Eyang Putri lagi merajut. Eyang banyak dongengnya."
"Eyang Putri sering cerita sama Ari"" desak Dewi tak percaya. Ari mengangguk. "Eyang Kakung""
"Eyang Kakung sih nggak pernah cerita. Tapi Ari suka lihat kumisnya."
"Eyang Kakung galak""
"Ah, nggak. Eyang Kakung sering sakit kakinya. Ari yang gosok-gosok. Kayak Mama gini"
Sekali lagi Dewi tersentak. Ayah Kris" Harimau yang galak itu" Mau digosok-gosok kakinya oleh Ari" Bukan main! Dewi benar-benar tidak menyangka hubungan mereka sudah sejauh itu!
"Eyang Kakung punya burung bagus, Ma. Ari suka. Ari juga sering membantu memberi makan burung-burung Eyang. Kata Eyang, kalau Ari mau, Ari akan dibelikan burung seperti itu!"
"Ari mau""
"Mau, Ma. Ari suka. Boleh ya, Ma, Ari juga yang kasih makan. Ada yang makan pisang. Pepaya. Ada yang makan beras merah. Jewawut. Wah, macam-macam deh, Ma!"
"Memelihara binatang kan bukan hanya bisa memberi makan, Ri."
"Pokoknya Ari bisa deh, Ma! Ari kan belajar sama Eyang. Ari bisa membersihkan kandang burung!"
Dewi terpaksa tersenyum mendengar betapa bersemangatnya anaknya bercerita. Sungguh aneh membayangkan ayah Kris yang garang itu
berjongkok bersama Ari di depan kandang-kandang burungnya. Bersama-sama membersih-kan kandang, memberi makan burung-burung, mengobrol tentang bagaimana cara merawat hewan-hewan itu...
"Boleh ya. Ma"" desak Ari ketika dilihatnya ibunya hanya tersenyum.
"Ari janji tidak akan menelantarkan burung-burung itu"" "Janji. Ma!"
"Baiklah. Tapi Ari mesti mau tinggal di rumah sakit, ya"" "Lama nggak. Ma""
"Kata dokter, cuma untuk beberapa hari."
Tetapi yang beberapa hari itu ternyata benar-benar tidak menyenangkan Ari. Bukan hanya darahnya yang diambil seperti dulu. Cairan otaknya juga. Dan karena sakitnya punksi lumbal itu. Ari sampai jera. Tidak mau lagi diperiksa apa pun.
Membayangkan tubuhnya ditekuk dalam-dalam dan tulang belakangnya ditusuk jarum saja, Ari sudah hampir menangis. Percuma segala bujuk rayu Dewi. Ari tetap mogok. Tidak mau diperiksa lagi. Padahal pemeriksaan selanjutnya sama sekali tidak menyakitkan. Terpaksa Kris yang turun tangan.
"Ari percaya Papa, kan""
"Papa jahat!" gerutu Ari separo menangis. "Kenapa Ari dibawa ke sini" Ari mau pulang!"
"Katanya Ari mau burung," bujuk Dewi dengan perasaan serbasalah.
Terus terang Dewi sendiri merasa ngeri melihat bagaimana cara dokter mengambil cairan otak Ari. Kalau boleh memilih, rasanya dia ingin membawa Ari pulang saja. Tidak usah diperiksa lagi. Tapi kalau mereka pulang sekara
ng, mereka tetap tidak tahu apa penyakit Ari.
"Ari nggak mau burung!" tangis Ari kesal. "Ari mau pulang!"
"Pemeriksaan kali ini tidak sakit, Ri," bujuk Kris sambil menghela napas. "Ari percaya Papa, kan""
"Nggak mau! Ari mau pulang!"
"Ari mau tetap sakit" Nggak bisa main sepeda sama Pinta" Nggak bisa sekolah" Nggak bisa ke rumah Eyang" Kalau Ari cepat sembuh, kita cepat pulang. Ayo, Papa temani Ari. Kalau sakit, Ari tidak usah percaya Papa lagi."
Foto kepala berlangsung dengan mulus. Walaupun masih curiga, Ari percaya alat-alat foto itu tidak akan menyakitkannya. Tetapi ketika seorang perawat menempelkan kabel-kabel elektroda EEG ke kepalanya, Ari menjerit-jerit ketakutan. Terpaksa dia dipegangi ramai-ramai. Padahal pemeriksaan itu tidak menyakitkan sama sekali.
"Mengapa Ari harus mengalami ini"" keluh Kris ketika pemeriksaan telah selesai. "Mengapa bukan aku saja" Dia masih terlalu kecil!"
"Ari sakit apa ya, Mas"" gumam Dewi getir.
"Aku takut." "Jangan tanya aku, Wi. Aku sama tidak tahunya dengan kamu."
"Firasatku mengatakan penyakit Ari bukan penyakit biasa, Mas...."
"jangan berpikir yang bukan-bukan, Wi. Lebih baik kita berdoa saja. Memohon pada Tuhan. Jika aku yang berdosa pada orangtuaku. jangan Ari vang dihukum...."
"Kurasa penyakit bukan hukuman dosa, Mas. Orangtuamu tidak membenci Ari. Mas akan terkejut kalau tahu sudah sejauh mana Ari menerobos masuk ke dalam hati Ayah-Ibu."
Bab VI "Ari sakit"" sergah ibu Kris kaget ketika sopirnya kembali seorang diri tanpa Ari. "Sakit apa""
"Gurunya juga tidak tahu, Bu."
Ibu Kris tampak sangat kecewa. Lebih-lebih ketika dua hari kemudian sopirnya kembali pulang dengan tangan hampa.
"Belum masuk sekolah. Masih sakit, Bu."
Ari sakit apa" Mengapa demikian lama" Ah, ibu Kris sudah rindu. Ingin mendengar tawanya. Suaranya, Nyanyiannya. Tidak enak rasanya merajut seorang diri. Tanpa Ari yang dengan rajin membantu menggulung benangnya sambil asyik mendengarkan dongeng-dongengnya. Sepi nian rumah ini tanpa sorakan-sorakan Ari kalau dia sedang menonton video.
Tentu saja bukan cuma ibu Kris yang kehilangan. Suaminya juga. Tapi ayah Kris masih dapat menyembunyikan perasaannya. Berpura-pura tidak peduli. Istrinya tidak. Dia betul-betul gelisah.
"Coba kau ke rumahnya," diam-diam ibu Kris menyuruh sopirnya. "Tanya, Ari sakit apa."
Tetapi tidak ada siapa-siapa di rumah. Yang ditemukan di depan rumah cuma Pinta. Sedang bermain-main seorang diri di depan rumahnya.
"Di rumah sakit," sahut Pinta sambil memiringkan kepalanya, memasang telinganya baik-baik. "Bapak siapa""
"Terima kasih," sahut pengemudi itu tanpa merasa perlu memperkenalkan identitasnya. Tetapi sebelum dia melangkah kembali ke mobilnya, gadis cilik yang buta itu memanggilnya.
"Pak," suaranya demikian lirih. Demikian penuh permohonan. Membuat orang terpaksa menoleh. "Kalau Bapak mau menengok Ari, maukah Bapak mengajak saya""
Tentu saja tidak, sahut sopir itu dalam hati. Majikanku pasti marah. Tetapi dia tidak sampai hati mengecewakan seorang tunanetra.
"Lain kali." sahutnya sambil cepat-cepat berlalu. Melalui kaca spion mobilnya, dia masih dapat melihat gadis cilik yang buta itu tegak mematung seorang diri. Entah apa yang dipikirkannya. Tidak seorang pun tahu.
*** "Di rumah sakit"" belalak ibu Kris tak percaya. "Ari sakit apa""
Tidak ada orang di rumahnya. Bu." "Jadi kaudengar dari siapa""
"Dari tetangganya, Bu."
"Pergilah kau melihatnya," sela ayah Kris acuh tak acuh. "Daripada terus-terusan gelisah begini."
"Di sana pasti ada ibunya," gumam ibu Kris kesal. "Aku tidak ingin melihat mukanya."
"Kalau begitu duduklah tenang-tenang di sini. Jangan mondar-mandir terus begitu! Bikin orang senewen saja!"
"Bapak tidak ingin tahu Ari sakit apa""
"Kan sudah ada orangtuanya," sahut ayah Kris dingin. "Anak-anak. Hhh. Tidak tahu membalas budi! Seperti ayahnya. Sejak kecil disayang-sayang. Sudah besar" Tidak tahu membalas budi orangtua!"
"Bapak tidak merasa kehilangan Ari""
"Aku sudah pernah merasakan kehilangan yang lebih menyakitkan."
"Karena itu aku tidak mau kehilangan lagi.
Pak." "Suatu hari kelak kau pasti akan kehilangan lagi. Ari bukan milikmu. Mempertahankan milikmu saja kau tidak mampu."
"Tapi Ari kelihatannya berbeda dari Kris, Pak. Anak itu bukan hanya lucu. Dia baik. Senang membantu."
"Ah, sama saja! Waktu kecil Kris juga begitu!"
"Bapak sendiri juga mulai menyukainya, kan""
"Siapa bilang" Aku cuma kasihan! Dia kan tidak tahu apa-apa. Masa mesti kumarahi untuk kesalahan yang dibuat oleh orangtuanya""
"Kalau ingat orangtuanya. aku juga kesal, Pak. Tapi kalau sudah dekat dengan Ari, aku tidak bisa marah. Habis dia lucu. Tidak nakal. Pintar. Gemar membantu pula. Beberapa hari ini, terus terang aku betul-betul kehilangan dia, Pak."
"Kalau begitu, tengoklah dia. Supaya kau tidak penasaran."
*** Tetapi ketika ibu Kris akhirnya benar-benar datang menengok Ari di rumah sakit, bukan ketenangan yang diperolehnya. Kegelisahannya malah justru bertambah.
Ari tidak ada di kamarnya. Yang ditemuinya cuma Dewi yang sedang menangis di sisi tempat tidur yang kosong. Dan Kris yang sedang duduk termenung dengan wajah kusut masai.
"Ibu!" sergah Kris kaget, ketika melihat ibunya tiba-tiba muncul di depan pintu kamar.
Saat itu memang sedang waktu berkunjung. Ada lima pasien lain yang berada di dalam kamar itu. Masing-masing pasien rata-rata menerima dua-tiga orang pengunjung. Tidak heran kalau suasana di sana cukup ramai. Tetapi ibu Kris seakan-akan tidak memedulikan keadaan. Dia langsung menghampiri Kris.
"Mana Ari"" tanyanya langsung ke sasaran. Tanpa basa-basi lagi.
"Masih difoto, Bu," sahut Kris gugup. "Foto kepala sekali lagi. Sebentar juga kembali. Sudah lama kok."
"Dia sakit apa""
Tanpa menghiraukan kursi yang disodorkan anaknya, ibu Kris meletakkan sekaleng besar cokelat di atas meja kecil di samping tempat tidur.
"Kata dokter, ada semacam biji di otaknya, Bu. Tepat di tengah-tengah kepala..."
"Biji"" cetus ibu Kris tidak percaya. "Penyakit apa itu! Masa ada biji di otak""
"Itulah, Bu." Kris menunduk muram. "Dokter Rahman menganjurkan agar Ari dibawa ke Jakarta..."
"Ke Jakarta"" belalak ibu Kris heran. "Buat
apa"" "Di sana ada alat yang lebih canggih untuk memotret kepala Ari. Kelainannya dapat lebih sempurna didiagnosa. Lagi pula di sini tidak ada ahli bedah saraf..."
"Ahli bedah"" Hampir berhenti jantung ibu Kris. "Ari harus dibedah""
"Jika nanti hasil foto di Jakarta membenarkan diagnosa mereka, ada kemungkinan kepala Ari harus dibedah... biji di otaknya akan diambil sedikit untuk diperiksa di laboratorium. Jika ternyata berbahaya... kepala Ari harus dioperasi lagi untuk mengeluarkan biji itu...."
"Ya Tuhan!" Tak sadar untuk pertama kalinya setelah sekian tahun berlalu, kata itu terlompat dari mulutnya. Lalu ibu Kris tidak mampu lagi mengucapkan sepatah kata pun. Tiba-tiba saja kedua lututnya terasa lemas.
Dia merosot lemas ke atas kursi yang tadi disodorkan Kris. Dan secercah suara yang sudah amat dikenalnya sekonyong-konyong melanda telinga ibu Kris, seperti seberkas sinar matahari yang tiba-tiba menerobos kegelapan menguakkan kabut tebal yang tengah menyelimuti dirinya. "Eyang!"
"Ari!" desah ibu Kris, lega melihat keadaan cucunya. Anak itu kelihatan sehat. Tidak seperti yang dibayangkannya semula.
"Eyang Kakung mana, Yang""
"Di rumah." "Kakinya sakit lagi""
"Sedikit." "Nanti kalau Ari sudah sembuh, Ari gosok-gosok lagi, ya" Pakai minyak gosok. Eyang suka kok. Katanya jadi nggak sakit."
Tak dapat menahan keharuannya, tetapi malu untuk mengungkapkannya di depan anak-me-nantunya, ibu Kris memalingkan wajahnya. Dewi segera membantu Ari naik ke atas tempat tidur. Sementara perawat yang tadi mendorongnya dengan kursi roda menyusun bantal untuk sandaran punggung Ari.
"Capek, Ri"" tanya perawat itu ramah.
"Nggak. Cuma bosan. Bolak-balik difoto melulu."
"Enak kan didorong-dorong""
"Lebih enak jalan sendiri."
"Kan supaya Ari tidak lelah."
"Ari nggak capek kok."
"Suster tinggal dulu, ya."
"Terima kasih, Suster."
Perawat itu mencubit pipi Ari sambil tersenyum. Setelah mengangguk pada Kris dan Dewi, dia berlalu.
"Susternya cantik ya, Pa"" cetus
Ari pada Kris, membuat ayah yang sedang bingung itu terpaksa tersenyum.
"Iya. Pantas Ari betah di sini."
"Tapi Ari juga kepingin pulang, Pa. Sudah kagen sama Pinta."
"Besok Ari boleh pulang."
"Betul"" "Betul." "Yang! Ari boleh pulang!" cetus Ari gembira. "Ari sudah boleh ke rumah Eyang lagi! Bilang Eyang Kakung, nanti Ari gosok-gosok kakinya lagi, ya" Kaki Eyang Kakung masih sering sakit,
Yang""

Luruh Kuncup Sebelum Berbunga Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak lagi sejak digosok Ari," sahut ibu Kris terharu. Matanya terasa panas. "Makanya Ari cepat sembuh, ya."
"Ari nggak sakit apa-apa kok, Yang." sahut Ari bersemangat.
"Anak itu tidak apa-apa," kata ibu Kris tegas. "Tidak terlihat seperti anak yang harus segera dioperasi! Lebih baik kaucari dokter lain. Barangkali saja diagnosanya keliru!"
"Justru untuk menegakkan diagnosalah Ari harus dibawa ke Jakarta, Bu," sahut Kris lesu. Mereka sedang berjalan keluar dari rumah sakit setelah jam kunjungan berakhir. "Tapi tidak usah dioperasi!" "Tentu saja tidak. Bu. Kalau tidak perlu." "Kapan kaubawa dia ke Jakarta"" "Mungkin lusa, Bu. Kata dokter, lebih cepat lebih baik."
"Dari mana kita dapat uang sebanyak itu, Mas"" desah Dewi ketika mereka sudah tinggal berdua saja di atas motor yang membawa mereka pulang. "Mas kan dengar apa yang dikatakan oleh dokter itu" Biaya foto kepalanya saja mungkin mencapai ratusan ribu. Belum biaya lain-lain. Rumah sakit. Dokter. Obat-obatan. Pemeriksaan laboratorium...."
"Biarpun harus menjual motor, aku tetap akan membawa Ari ke Jakarta, Wi."
"Jangan motor ini, Mas," pinta Dewi sungguh-sungguh. "Kantormu begitu jauh. Mas bisa terlambat kerja terus kalau mesti naik kendaraan umum. Lebih baik uang tabungan kita saja, Mas."
"Tapi kau ingin memakainya untuk uang muka rumah kita, bukan""
"Rumah bisa menunggu, Mas. Jangan dipikirkan."
Yang mereka pikirkan memang bukan hanya uang. Tapi Ari. Kalau dokter sampai menyuruhnya ke Jakarta, pasti keadaannya cukup menguatir-kan. Apalagi Dokter Rahman menyuruh mereka berkonsultasi dengan seorang ahli bedah saraf.
Ahli bedah" Mendengar namanya saja sudah meremang bulu roma Kris dan Dewi. Ahli bedah. Keahliannya tentu saja mengoperasi pasien. Dan yang harus dioperasi adalah kepala Ari. Otak Ari!
"Operasi"" Ayah Kris tersentak kaget. Kali ini dia tidak dapat berpura-pura lagi. Dia benar-benar peduli! "Otaknya""
Ibu Kris cuma mampu menganggukkan kepalanya. Air mata yang telah ditahan-tahannya sejak masih di rumah sakit tadi tumpah ruah tanpa dapat dikendalikan lagi. Masa bodoh amat suaminya marah! Dia tidak peduli. Dia benar-benar sedih. Dan bukan cuma itu. Dia takut. Takut kehilangan Ari!
Sesuatu pasti telah terjadi pada Ari. Sesuatu yang hebat. Meskipun ibu Kris masih berharap
dokter salah mendiagnosa, dia tidak dapat mengusir perasaan cemas itu dari dalam hatinya.
"Dia sakit apa"" desak ayah Kris penasaran. Melihat keadaan istrinya, ayah Kris juga merasa tidak perlu lagi berpura-pura acuh tak acuh.
"Kata dokter, ada biji di otaknya. Tepat di tengah-tengah kepala."
"Biji" Di otak" Apa bukan tumor""
"Karena itu Ari harus ke Jakarta. Dia perlu difoto lagi."
"Di sini tidak ada alat fotonya""
"Bukan cuma alatnya saja yang tidak ada. Dokter bedah saraf pun belum ada di sini."
"Dokter bedah saraf""
Ayah Kris terduduk lemas di kursi malasnya. Ketika duduk, tidak sengaja tangannya menyentuh botol obat gosok. Dan sebuah pukulan yang tidak kelihatan menerpa jantungnya. Pada saat yang sama. ibu Kris juga melihat botol itu. Dan suara Ari tiba-tiba saja terngiang lagi di telinganya,
"Bilang Eyang, nanti Ari gosok-gosok kakinya lagi, ya" Kaki Eyang Kakung masih sering sakit, Yang""
"Lusa mereka ke Jakarta," gumam ibu Kris dengan suara basah. "Padahal Ari begitu ingin kemari lagi. Dia menanyakan kaki Bapak. Katanya dia ingin menggosok kaki Bapak, supaya tidak sakit lagi."
Ayah Kris tidak mampu mengucapkan sepatah
kata pun. Untuk pertama kalinya kegarangan dan kesombongannya luluh seperti cermin dibanting ke atas batu. Berulang-ulang dia menghela napas panjang.
"Entah kapan Ari bisa kemari lagi," desah ibu Kris sedih. "Bapak tidak mau menengokny
a"" "Aku telah bersumpah tidak akan menginjak rumah mereka."
Lain dari biasanya, kali ini ibu Kris tidak mendengar nada geram-di dalam suara suaminya. Ketika dia menoleh, dilihatnya betapa redup mata suaminya.
Tatapannya yang sayu menerawang jauh ke halaman belakang rumahnya. Ke deretan sangkar burung yang bergelantungan di sana. Dan di depan matanya terbayang kembali betapa riangnya Ari berlari-lari sambil menjinjing sebuah ember kecil berisi air. Tangannya yang lain menggenggam sikat. Karena terlalu terburu-buru. kakinya terantuk batu. Dia jatuh terjerembap.
Embernya terpelanting ke depan. Isinya tumpah. Sebagian airnya menyiram kakeknya yang sedang berjongkok membersihkan kandang burung.
Tentu saja ayah Kris gusar. Dia bangkit dengan marah. Tetapi ketika dia menoleh, siap untuk menyemburkan amarahnya, dilihatnya Ari masih tertelungkup di tanah.
Wajahnya mengerut kesakitan. Hampir menangis. Tetapi begitu melihat wajah kakeknya,
dia langsung menyeringai menahan sakit yang
berbaur dengan ketakutan.
Dan melihat mimik Ari saat itu, ayah Kris tak dapat marah. Dia merasa geli. Sekaligus iba. Tanpa berkata apa-apa, ayah Kris membuka bajunya yang basah.
Ari langsung mengulurkan tangannya untuk mengambil baju itu. Dan sebelum kakeknya mengerti hendak diapakan bajunya, Ari telah memerasnya. Sambil berjinjit, dia berusaha menggantungkan baju kakeknya pada tali jemuran.
Kakek Ari menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ulah cucunya. Sambil menghela napas diambilnya kembali bajunya. Direntangkannya baju itu di atas tali jemuran.
Ketika dia sudah selesai menjemur, ada yang mencolek pahanya. Ayah Kris menoleh ke bawah. Dan dia melihat Ari sedang menyodorkan bajunya sendiri. Baju itu juga basah. Kotor berlumuran tanah.
Tentu saja seharusnya baju itu dicuci dulu baru dijemur. Tetapi melihat air muka Ari yang demikian mengharap, terpaksa ayah Kris menerimanya juga. Dan menjemur baju itu di sebelah bajunya sendiri.
Ari tertawa gembira sambil mengacung-acungkan ibu jarinya. Dan kakeknya terpaksa menyimpan senyumnya sekali lagi.
Ari begitu gembira ketika untuk pertama kalinya kakeknya memperbolehkannya membantu membersihkan sangkar burung. Mengganti air minumnya. Memberi makan. Bahkan membelai-belai burung yang jinak itu. Ah, bulunya begitu halus... begitu lembut menyentuh jari-jemari Ari. Ayah Kris tak dapat melupakan bagaimana lucunya Ari kalau sedang tertawa-tawa begitu. Giginya yang ompong dipamerkannya ke sana kemari... dia demikian mirip dengan Kris ketika masih kecil....
Seperti hendak menghindarkan kenangan itu dari ingatannya, ayah Kris bergegas bangun. Tetapi dia tidak mampu berdiri. Lututnya bukan main sakitnya.
Seketika Ari melompat untuk membantu kakeknya. Dicobanya menarik-narik tangan ayah Kris. Tetapi Eyang terlalu berat. Pegangan Ari terlepas. Dan dia jatuh tunggang langgang.
Tetapi Ari bukan menangis. Dia malah tertawa geli. Dan untuk pertama kalinya, kakeknya terpaksa tersenyum.
Ketika Ari menanyakan mengapa Eyang tidak bisa bangun, ayah Kris langsung menunjuk lututnya. Tanpa berpikir dua kali, tergopoh-gopoh Ari berlari masuk, meminta obat gosok pada neneknya. Dan ayah Kris tak dapat melupakan kejadian sore itu. Sampai kapan pun.
Mereka duduk berdua di teras belakang. Sama-sama bertelanjang dada. Ari berlutut di dekat kaki kakeknya. Dan melumurinya dengan obat
gosok. Lalu jari-jemarinya yang kecil mungil memijati kaki kakeknya....
Ingat kejadian itu, ayah Kris menghela napas berat. Dadanya terasa sesak. Air mukanya berubah. Mengerut seperti orang kesakitan.
Ibu Kris mengawasinya dengan cemas. "Mengapa, Pak" Dadanya sakit lagi"" "Ah, tidak apa-apa," sahut ayah Kris, seperti baru kembali dari dunia mimpi. "Bapak kelihatannya kesakitan." "Biasa. Kakiku. Rematik." "Dadanya tidak pernah sakit lagi"" "Jangan kuatir. Aku sehat kok." "Apa salahnya kalau sekali-sekali pergi ke dokter. Pak""
"Ah. buat apa pergi ke dokter" Mbahku tidak pernah diperiksa dokter. Tapi bisa hidup sampai seratus tahun!" "Mbah kan sehat...." "Aku juga sehat!"
"Iya. Bapak juga sehat. Tapi serin
g memeriksakan diri seperti aku kan tidak ada salahnya. Supaya kalau ada penyakit cepat ketahuan. Jadi bisa cepat diobati, sebelum terlambat!"
"Ah, itu kan kata dokter! Padahal berapa umur dokter yang tinggal di seberang jalan itu ketika dia meninggal""
"Lho, itu kan lain, Pak! Umur manusia di tangan Tuhan."
"Nah, kalau begitu buat apa aku ke dokter"
Kita tidak bisa memperpanjang umur kita biar semenit pun, bukan""
*** Majikan Kris langsung mengabulkan permohonan Kris untuk minta cuti. Dia juga tidak menolak ketika Kris mengajukan permohonan pinjaman
uang. "Tidak usah bolak-balik," katanya tegas. "Kalau Ari belum diizinkan pulang, kamu tunggui saja di Jakarta. Tidak usah memikirkan pekerjaan di sini."
"Terima kasih, Pak."
Cuma itu yang dapat diucapkan Kris. Dia benar-benar terharu. Dalam keadaan susah, perhatian seseorang benar-benar terasa hikmahnya.
"Sudahlah." Majikannya langsung menjabat tangannya dan menepuk-nepuk bahunya. "Tabahkan hatimu. Sekarang lebih baik kamu pulang. Bersiap-siap untuk berangkat ke Jakarta besok."
Kris hanya dapat mengangguk. Semua kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Berbaur dengan air mata.
Lebih-lebih, ketika rekan-rekan sekantornya datang menyodorkan sebuah amplop tebal.
"Cuma ini yang dapat kami kumpulkan untuk Ari, Kris," kata Ida mewakili teman-temannya. "Mudah-mudahan Ari lekas sembuh."
Dengan mata berkaca-kaca Kris menerima amplop berisi uang itu. Dia benar-benar tidak mampu lagi membuka mulutnya. Karena begitu dia membuka mulut, tangis yang telah lama tertahan di tenggorokannya pasti pecah. Dia ha~ nya mampu menjabat tangan teman-temannya sebagai ungkapan terima kasih.
Alangkah baiknya mereka, pikir Kris sepanjang perjalanan pulang. Mengapa kebaikan itu justru baru terasa tatkala musibah datang menyapa"
*** Tak sampai hati Kris melihat kegembiraan Ari ketika pulang ke rumah. Dia begitu riang. Celotehnya tak ada henti-hentinya mewarnai perjalanan mereka pulang dari rumah sakit.
Ari tidak tahu, kegembiraannya hanya sementara. Karena besok dia sudah harus masuk rumah sakit lagi! Dia harus menjalani pemeriksaan-pemeriksaan yang lebih berat lagi!
Pinta sudah tegak di depan rumah tatkala mereka tiba. Entah sudah berapa lama dia menunggu Ari di sana. Begitu melihat Pinta, Ari langsung menghambur turun dari motor. Dewi tidak keburu mencegah.
"Biarkan saj," cegah Kris. "Aku tahu bagaimana mereka saling merindukan."
"Pinta!" teriak Ari gembira. "Ari sudah pulang!"
Tertatih-tatih sambil meraba-raba ke depan, Pinta bergegas menyongsong. Karena terlalu terburu-buru, kakinya terantuk batu. Dia jatuh terjerembap. Tetapi tanpa menghiraukan rasa sakitnya, Pinta bergegas bangun. Wajahnya berbinar dalam keriangan. Ari menyongsongnya. Langsung memegang tangannya.
"Sakit"" tanya Ari cemas.
"Ari," sergah Pinta tanpa menghiraukan pertanyaan temannya. "Ari sudah sembuh""
"Ari sudah sembuh. Yuk, kita main."
"Ari, masuk dulu," potong Dewi sambil meraih tangan anaknya. "Ari harus istirahat."
Terlukis kekecewaan di wajah kedua anak itu.
"Yaaa..." desah Ari kecewa. "Ari kepingin main dulu sama Pinta, Ma."
"Ari kan belum sembuh betul. Kalau terlalu capek, nanti sakit lagi."
Tanpa menghiraukan protes Ari, Dewi menarik tangan anaknya. Dan membimbingnya masuk ke dalam rumah.
"Ari masuk dulu ya. Pinta!" seru Ari dari ambang pintu. "Nanti Ari keluar lagi!"
Pinta cuma mengangguk. Di wajahnya masih terlukis kekecewaan. Kris memandangnya sekilas dengan iba. Tetapi dia hanya mampu menghela napas. Dilewatinya anak itu tanpa berkata apa-apa.
"Ari boleh main ya, Ma," rengek Ari ketika
Dewi sudah selesai menggantikan bajunya. "Sebentar saja."
"Jangan dulu. Ari. Kamu masih sakit."
"Kan Ari sudah sembuh""
"Siapa yang bilang Ari sudah sembuh""
"Buktinya Ari sudah boleh pulang."
"Besok kita harus ke Jakarta, Ari. Di sana ada dokter yang akan memeriksamu lagi."
"Ari nggak mau, Ma. Bosan!"
"Bosan"" "Bosan diperiksa terus! Ari sakit apa sih, Ma" Kenapa tidak habis-habisnya diperiksa""
"Dokter juga belum tahu, Ri. Karena itu Ari mesti ke Jakarta."
"Ari nggak merasa sakit, Ma. Sudah sembuh. Kepala Ari sudah tidak sakit lagi. Nggak usah ke Jakarta ya, Ma" Ari takut!"
"Ari takut"" Berdesir darah Dewi. Untuk pertama kalinya dia mendengar Ari mengucapkan kata itu. "Takut apa""
"Takut nggak bisa ketemu Pinta lagi."
"Jangan bilang begitu, Ari!" Tidak dapat menahan kesedihannya, Dewi merangkul anaknya erat-erat. Air matanya mengalir membasahi pipinya. Kalau Ari saja sudah merasa takut, apalagi dia! Oh, Tuhan... dia benar-benar takut kehilangan Ari!
Melihat ibunya menangis, Ari ikut tersedu. Kris yang baru masuk, tertegun menatap mereka berdua.
"Ada apa"" tanyanya bingung. "Papa!"
Ari langsung melepaskan diri dari pelukan ibunya begitu mendengar suara ayahnya. Dia menghambur mendapatkan Kris.
"Ari nggak mau masuk rumah sakit lagi, Pa! Ari bosan!"
"Ari." Kris berlutut dan merangkul anaknya dengan terharu. "Papa juga tidak ingin Ari masuk rumah sakit lagi. Tapi Papa ingin Ari sembuh!"
"Ari sudah sembuh!"
"Belum, Ri. Dokter belum tahu apa penyakit Ari. Karena itu kita mesti ke Jakarta."
"Ari nggak mau diperiksa lagi, Pa. Ari nggak mau pergi lagi. Ari mau main sama Pinta. Mau tidur sama Mama. Mau ke rumah Eyang. Ari sudah janji mau gosok kaki Eyang yang sakit!"
"Ari." Kris menahan perasaannya. Di sudut sana, Dewi sudah terisak-isak menahan tangis. "Papa-Mama juga tidak ingin berpisah dengan Ari. Besok kita ke Jakarta bersama-sama, ya""
"Pinta ikut""
"Tentu saja tidak. Pinta masih kecil. Anak kecil yang tidak sakit tidak boleh ke rumah sakit."
"Eyang" Eyang kan bukan anak kecil lagi."
"Eyang Putri harus tinggal di rumah menemani Eyang Kakung."
"Jadi kita cuma bertiga""
"Kita pergi bertiga."
"Kita harus berangkat besok""
"Ya." "Kalau begitu, Ari mau ketemu Pinta dulu ya, Pa" Ari mau bilang, besok Ari mesti pergi lagi."
"Tapi jangan lama-lama, ya""
Ari cuma mengangguk. Begitu mendapat izin, dia langsung menghambur ke luar rumah mencari Pinta.
*** "Pergi lagi"" desis Pinta kecewa. Wajahnya langsung mengerut sedih.
"Dokter belum tahu apa penyakit Ari."
"Jadi Ari mesti pergi lagi" Cari dokter lain"" Sekilas air muka Pinta berubah. "Ari enak. Masih punya ayah. Punya ibu. Kalau sakit ada yang bawa ke dokter. Nggak kayak Pinta."
"Nanti kalau Ari sudah besar, Ari cari dokter buat mata Pinta. ya. Supaya Pinta bisa melihat lagi."
"Betul"" Paras Pinta berpijar disulut kegembiraan bercampur haru. "Jika Pinta bisa melihat lagi, Ari-lah yang pertama kali ingin Pinta lihat."
"Besok Ari mesti ke Jakarta. Kita nggak bisa main sepeda."
"Di mana Jakarta itu""
"Jauh kata Papa."
"Menyeberangi laut""
"Nggak." "Mendaki gunung""
"Nggak juga." "Naik apa Ari ke sana""
"Bus." "Pinta bisa menyusul"" "Ke mana""
"Ke sana. Ke tempat Ari." "Jangan. Terlalu jauh. Nanti Pinta kesasar. Pinta kan nggak bisa lihat." "Tapi ke mana Pinta mesti cari Ari kalau
kangen"" Ari menengadah ke atas. Saat itu, mega-mega putih sedang berarak perlahan di angkasa.
"Di langit ada awan," kata Ari perlahan, seperti berbisik kepada dirinya sendiri. "Kalau Pinta kangen sama Ari, bilang saja sama awan itu. Dia berjalan terus, kan. Dia pasti lewat juga di Jakarta. Di tempat Ari."
"Bagaimana kalau dia tidak berjalan ke Jakarta tapi ke tempat lain"" tanya Pinta bingung. "Dia pasti tidak bisa cari Ari!"
"Suruh dia lewat di tempat Ari."
"Kalau awannya nggak mau""
"Minta tolong. Dia pasti mau. Kalau dia nggak lewat hari ini, pasti besok."
Pinta cuma mengangguk. Meskipun dia masih kebingungan. Bagaimana kalau awan-awan itu tidak mau menyampaikan pesannya"
Biasanya Dewi paling alergi melihat Pinta. Sudah kumal, kotor lagi. Dia takut Pinta akan menularkan kuman-kuman .yang melekat di tubuhnya pada Ari.
Tetapi hari ini, melihat gadis cilik yang buta itu diam-diam meneteskan air mata mengiringi kepergian Ari, Dewi tidak dapat menahan keharuannya. Tanpa ingat betapa kotornya rambut Pinta, disentuhnya kepala anak itu dengan lembut.
"Jangan sedih, Pinta," katanya, lebih mirip sebuah permohonan untuk dirinya sendiri daripada untuk menghibur Pinta. "Ari pasti kembali. Kalian akan dapa
t bermain-main kembali. Seperti biasa."
Kris sedang membantu Ari naik ke dalam mobil yang dikirim oleh majikannya dari kantor ketika sebuah mobil lain berhenti di samping mereka. Dan Kris hampir tidak dapat mempercayai matanya sendiri melihat mobil itu.... Lebih-lebih mendengar teriakan Ari yang begitu nyaring....
"Eyang!" Dewi tidak jadi mengembuskan napasnya melihat siapa yang turun dari mobil hitam itu. Tetapi tanpa menghiraukan sikap orangtuanya, Ari sudah menghambur ke luar mendapatkan neneknya. Dan sebuah adegan yang mengharukan segera terpampang di depan mata mereka.
Tanpa malu-malu ibu Kris berlutut merangkul Ari. Membuat mata Dewi terasa panas. Ibu mertuanya yang angkuh itu merangkul anaknya!
Akhirnya Ari berhasil juga merentangkan benang yang telah putus....
Dewi masih terpaku menyaksikan keharuan itu ketika seseorang yang lain turun dari dalam mobil. Dan napasnya yang telah hampir terlepas tertahan kembali. Lebih-lebih ketika dia melihat suaminya berlutut mencium tangan laki-laki itu....
Dia masih setegar biasa. Seangkuh biasa. Belum kehilangan seluruh kegarangannya. Tetapi demi Ari, dia telah melanggar sumpahnya sendiri... tidak akan menginjak rumah mereka.... Dan sebuah dorongan yang mahakuat mendesak Dewi untuk mengikuti jejak suaminya.... Dia berlutut di depan kaki laki-laki itu. Dan mencium tangannya.
Ayah Kris tidak menolak. Tetapi dia juga tidak memberi respons. Seolah-olah mereka tidak pernah ada, dia melewati tempat mereka. Dan menghampiri Ari.
"Eyang!" sapa Ari gembira.
Spontanitas kanak-kanaknya meruntuhkan hambatan tradisi dan prinsip. Dia melangkah tegap menerobos jurang antargenerasi. Menggempur semua benteng perbedaan prinsip, usia, dan keangkuhan.
Tanpa permisi, Ari lari ke dalam gendongan kakeknya. Dan meskipun tidak sepatah kata meluncur dari mulut ayah Kris yang terkatup rapat selama pertemuan itu, tak seorang pun meragukan lagi arti Ari dalam kehidupannya.
Sesaat sebelum Kris naik ke dalam mobil, ibu nya menyelipkan sebuah amplop ke dalam tangan
nya. "Bukan untukmu." katanya dengan suara yang diusahakan sedatar biasa, tetapi yang tidak dapat menyembunyikan geletar kesedihan. "Untuk Ari."
Masih terenyak dalam keharuan, sesaat sesudah mobil mereka meluncur pergi, Kris menoleh ke belakang. Dan dia melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Sesuatu yang membuat pertahanannya yang terakhir runtuh bersama butir-butir air matanya. Dia melihat ayahnya menangis.
Bab VII Tatkala dipanggil menghadap seorang diri ke ruang kerja Dokter Siswojo, Kris sebenarnya sudah merasa, kabar buruklah yang akan diterimanya. Ari telah tiga hari dirawat. Berbagai pemeriksaan telah dilaluinya. Fisik. Laboratorik. Maupun radiologik.
Dokter-dokter spesialis dari berbagai cabang ilmu telah berkumpul mempresentasikan kasusnya. Bahkan beberapa orang mahasiswa kedokteran yang sedang kuliah kerja di rumah sakit itu ikut memantau keadaan Ari. Ikut sibuk membuat status penyakitnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan kadang-kadang lebih berbelit-belit daripada pertanyaan dokter, membuat Dewi sering sakit kepala menjawabnya. Dan karena sudah terlalu sering diperiksa, Ari sendiri merasa bosan. Dalam tiga hari saja, sudah tiga belas kali dia merengek minta pulang.
Ketika melangkah dengan kepala pusing dan hati tegang ke kamar kerja Dokter Siswojo, Kris merasa seperti seorang terdakwa yang akan segera mendengar vonis hakim. Dan ketika palu benar-benar telah dijatuhkan, Kris tidak mampu lagi mengangkat wajahnya menentang kenyataan.
Tumor otak. Diagnosa itu seperti vonis kemati-an baginya. Dan sepanjang pembicaraan Dokter Siswojo, tak satu kata lain pun yang mampu melekat di benak Kris. Kata itu seperti palu godam yang berdentam-dentam menghantam kepalanya. Gemanya terasa membahana sampai ke ujung kaki. Serasa riuh rendah menggedor-gedor gendang telinganya.
"Saya ingin membicarakan penanganannya dengan Saudara," kata Dokter Siswojo, seperti mengerti keadaan Kris. "Tapi saya kita Saudara memerlukan waktu untuk menenangkan diri. Kembalilah kemari jika Saudara m
erasa sudah cukup kuat. Kita harus berkejaran dengan waktu."
"Saya cukup mampu, Dokter." Kris seperti mendengar gema suaranya sendiri, tetapi dia tidak mengenalinya lagi. "Teruskan saja."
"Hasil pemeriksaan kami memperlihatkan adanya penyumbatan yang diakibatkan oleh tumor di otak Ari. Penyumbatan pada lintasan likwor serebrospinal is ini menyebabkan cairan otak tersebut tak dapat mengalir dengan lancar. Jika sumbatan ini tidak segera diatasi dengan membuat saluran baru, maka cairan otak yang terbendung akan semakin bertambah. Dan ini sangat berbahaya karena dapat menekan jaringan otak Ari."
"Saya tidak rela anak saya dioperasi, Dokter! Apakah tidak ada jalan lain untuk menolongnya""
"Rasanya untuk saat ini kita tak dapat menghindari operasi. Pertama-tama untuk membuka sumbatan yang tadi saya katakan. Kemudian kita akan melakukan biopsi. Mengambil sedikit jaringan otak Ari, untuk diperiksa di laboratorium. Jika tumor itu ternyata ganas dan masih memungkinkan untuk diangkat, kita akan melakukan operasi lagi."
"Berarti kepala Ari harus dibuka-tutup berkali-kali!" Kris menutup mukanya menahan tangis. Suaranya menggeletar hampir sampai ke tahap meratap. "Dia masih anak-anak! Kepalanya masih begitu kecil! Kepala anak sekecil dia sudah harus dioperasi" Dibuka" Dilubangi""
"Barangkali kedengarannya memang kejam bagi orang awam." Dokter Siswojo menghela napas. "Tapi itulah cara kami untuk menolong jiwa Ari."
"Sampai kapan, Dokter" Sampai kapan""
"Umur manusia di tangan Tuhan. Tetapi selama Tuhan masih memberi kesempatan, bukankah kita harus berusaha untuk memperpanjang
Rahasia Harta Karun 2 Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari Alam Kubur Panji Wulung 12

Cari Blog Ini