Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit Bagian 7
masing-masing terluka parah.
Ketika melihat keadaan mereka yang semakin lemah, Bhima mengangkat Chekitana yang berlumuran darah ke keretanya, sementara Sakuni segera melarikan Kripa dengan keretanya, keluar dari medan pertempuran dengan meninggalkan jejak tetesan darah di tanah.
Walaupun di tubuhnya tertancap hampir seratus anak panah Dristaketu, Bhurisrawa tampak bagaikan sinar matahari. Cahaya benderang memancar dari tubuhnya, wajahnya bersinar-sinar. Dalam keadaaan luka parah seperti itu, Bhurisrawa terus melawan hingga Dristaketu terpaksa mundur meninggalkan arena.
Di sisi lain, Abhimanyu menghadapi tiga saudara Dur-yodhana. Mereka dapat ditaklukkannya dengan mudah. Meskipun telah menang, Abhimanyu tidak bersikap kejam. Dibiarkannya ketiga tawanannya, tidak dibunuhnya, sebab Bhimasena telah bersumpah akan menghabisi nyawa mereka semua. Pada saat itu Bhisma datang melindungi mereka dan kemudian bertempur melawan Abhimanyu.
Melihat itu, Arjuna meminta Krishna untuk mengepung Bhisma. Kesatria tua itu menghadapi Arjuna yang dibantu oleh Pandawa lainnya. Pertempuran antara Bhisma dan Pandawa berlangsung hingga matahari terbenam. Tetapi, sesuai kesepakatan mereka, pertempuran diakhiri tepat ketika matahari tenggelam di kaki langit.
Mereka yang luka, ringan atau berat, sedapat mungkin diselamatkan nyawanya. Setelah makan malam, para prajurit dihibur oleh para penghibur yang menyajikan musik dan tari-tarian. Dalam acara tersebut juga dihidangkan aneka minuman dan para prajurit boleh minum sepuas-puasnya. Hiburan itu untuk melupakan keletihan, kekalahan dan kengerian pertempuran di siang harinya.
*** 46. Gugurnya Mahasenapati Bhisma
Ketika fajar hari kedelapan menyingsing, Bhisma mengatur balatentara Kaurawa dalam formasi kurma-wyuha atau kura-kura. Di pihak Pandawa, Yudhistira
memerintahkan Dristadyumna agar menyusun pasukannya dalam formasi trisula atau tombak bermata tiga. Mata
pertama dipimpin Bhimasena, mata ketiga dipimpin Sat-yaki dan mata yang tengah dipimpin Dharmaputra.
Hari itu Arjuna sedih karena kehilangan Irawan, putranya dari istrinya yang berasal dari Negeri Naga. Pemuda gagah dan tampan itu datang setelah mendengar berita tentang pertempuran ayahnya di medan Kurukshetra. Neger
i Naga memang terkenal dengan kesatria-kesatria perangnya. Karena itu, Duryodhana mengirimkan raksasa Alambasa untuk menghadapi kesatria dari Negeri Naga itu. Irawan tewas setelah bertempur sengit melawan Alambasa.
Mendengar berita bahwa anaknya gugur, hati Arjuna
hancur. Dengan sedih ia berkata kepada Krishna, "Benarlah kata Widura, kedua pihak akan terjerumus ke dalam kedukaan yang tak terperikan. Untuk apa kita saling
membunuh" Hanya demi memperoleh warisan" Setelah
saling membunuh, kebahagiaan seperti apa yang bisa kita rasakan" Wahai Krishna, sekarang aku mengerti mengapa Yudhistira hanya meminta bagian lima desa saja dari Dur-yodhana. Dharmaputra juga menyatakan bahwa sebaiknya kita tidak berperang. Duryodhana yang menjadi biang keladi semua ini karena dia menolak memberikan lima
desa. Hanya gara-gara permintaan sepele saja kita semua terjerumus ke dalam dosa.
"Sekarang aku bertempur hanya karena malu disebut
pengecut. Jika kulihat mayat para prajurit dan kesatria
bergelimpangan di medan perang ini, hatiku diliputi duka dan penyesalan. Alangkah jahatnya kita semua, terus saja
menimbun dosa dengan saling membunuh."
Melihat Irawan terbunuh, Gatotkaca tak bisa menahan kemarahannya. Ia berteriak lantang lalu maju menggempur dan mengobrak-abrik formasi balatentara Kaurawa hingga kacau-balau. Duryodhana segera mendekat dan
menerjang Gatotkaca. Raja Wanga dan pasukan gajahnya
menggabungkan diri dengan Duryodhana. Pertempuran berlangsung seru. Duryodhana banyak sekali membunuh prajurit Gatotkaca. Sebaliknya, Gatotkaca banyak pula menghancurkan pasukan gajah Raja Wanga. Akhirnya Gatotkaca melepaskan anak panah sakti ke arah kereta
Duryodhana. Tepat saat itu, gajah yang dinaiki Raja Wanga
lewat di samping kereta Duryodhana. Akibatnya, gajah itulah yang terkena panah. Gajah yang perkasa itu langsung rubuh ke tanah, menguak keras lalu mati.
Bhisma cemas melihat Duryodhana yang hanya bisa bertahan, tidak mampu membalas serangan. Ia segera mengirimkan bala bantuan yang dipimpin Drona. Sementara itu, Gatotkaca tetap menyerang dengan garang. Bala bantuan terus mengalir bagi Kaurawa. Sebab itu, Yudhis-tira juga mengirimkan bala bantuan yang dipimpin Bhima-sena untuk menolong Gatotkaca. Pertempuran semakin seru. Tidak kurang dari enam belas saudara Duryodhana dapat diremukkan Bhimasena dalam pertempuran di hari kedelapan.
*** Pada hari kesembilan, pagi-pagi sekali sebelum pertempuran dimulai, Duryodhana pergi menemui Bhisma. Dengan nada pahit ia menyatakan ketidakpuasannya akan jalannya pertempuran dari hari ke hari. Kata-katanya tajam menusuk hati, bagai lembing menghunjam ke dalam dada. Tetapi Bhisma adalah kesatria tua yang berjiwa besar. Ia menjawab dengan tenang meskipun nada bicaranya terdengar sedih, "Wahai Putra Mahkota, aku ibarat minyak untuk lentera sembahyang, kuserahkan hidupku seluruhnya untukmu. Tetapi kenapa engkau selalu menyakiti hatiku, padahal aku telah berusaha dengan segala dayaku" Bicaramu seperti orang yang tak punya pengertian yang baik, tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kata orang, jika seseorang akan menemui ajalnya,
pohon-pohon pun tampak bagaikan emas. Engkau selalu
melihat segala sesuatu tidak seperti hakikat sebenarnya. Penglihatanmu telah diliputi kabut dan mendung sangat tebal. Ketahuilah, mereka semua sesungguhnya memberikan segala-galanya, semata-mata sebagai jalan bagiku untuk memenuhi kewajibanku.
"Tidak mungkin aku membunuh Srikandi, sebab aku telah bersumpah tidak akan mengangkat tanganku untuk melawan perempuan. Demikian pula, tanganku tidak akan sanggup menetakkan pedang di leher Pandawa, sebab hati dan jiwaku tidak akan mengijinkan. Selain dua hal itu, tugas-tugasku kulakukan dengan sebaik-baiknya, walaupun harus membunuh sekian banyaknya kesatria yang berani menantangku sebagai musuhmu.
"Ingatlah, tak sesuatu pun akan kauperoleh jika kau ingkari hati nuranimu. Bertempurlah sebagai layaknya
kesatria maka kehormatan akan selalu ada padamu!"
Selesai berkata demikian, Bhisma memberikan beberapa perintah kepada para pemimpin pasukan untuk menghadapi pertempuran hari itu.
Berkat kata-kata kesatria tua itu, semangat Duryodhana timbul kembali. Dengan tegas ia memberi perintah kepada Duhsasana untuk mengerahkan seluruh kekuatan yang ada untuk menghadapi pertempuran hari itu.
"Sekarang aku baru yakin, Bhisma ternyata bertempur di pihak kita dengan sepenuh hati. Tetapi ia tidak bisa
menghadapi Srikandi karena sumpahnya. Karena itu, usahakan agar ia jangan sampai berhadapan dengan Srikandi. Ingat, seekor anjing akan mampu membunuh singa yang tidak mau melawan."
Demikianlah, begitu fajar menyingsing di hari kesembilan, pertempuran segera dimulai. Abhimanyu berhadapan dengan raksasa Alambasa. Ia tidak mau kalah dari ayahnya, Arjuna. Karena itu, dikerahkannya segenap kemahirannya dan dibuatnya Alambasa lari tunggang-langgang. Pada waktu yang sama, berlangsung pertarungan antara Aswatthama melawan Satyaki dan Drona melawan Arjuna.
Di tempat lain, kecuali Arjuna, semua Pandawa menyerbu Bhisma. Duryodhana menyuruh Duhsasana membantu kesatria tua itu walaupun yang dibantu telah bertempur dengan sangat garang. Pandawa terpukul mundur beberapa kali. Akibatnya, di beberapa medan pertempuran pasukan Pandawa berantakan, bahkan ada yang melarikan diri ke dalam hutan. Krishna, yang melihat keadaan seperti itu, segera menghentikan keretanya dan berkata kepada Arjuna, "Partha, engkau dan saudara-saudaramu telah tiga belas tahun menyabarkan diri dan menunggu-nunggu saat seperti ini. Jangan ragu atau bimbang. Tewaskan Bhisma! Ingatlah tugasmu sebagai kesatria!"
"Sebelumnya aku berpendapat, lebih baik hidup dalam pengasingan di hutan daripada harus membunuh Bhisma, Mahaguru yang kucintai dan kuhormati. Tetapi, setelah mendengar kata-katamu, aku merasa mantap... sebagai kesatria aku memang harus bertempur. Sekarang, lecutlah
kudamu!" jawab Arjuna dengan kepala tertunduk dan hati
berat. Dengan sedih ia meneruskan pertempuran itu.
Ketika balatentara Pandawa melihat kereta Arjuna dipacu ke arah Bhisma, semangat mereka berkobar lagi. Begitu berhadapan dengan Arjuna, Bhisma melepaskan anak panah, bertubi-tubi, ke arah Arjuna. Anak panah-anak panah itu melesat susul-menyusul bagai semburan api dari kepundan gunung meletus. Dengan cekatan Krishna
mengemudikan kereta hingga semburan anak panah Bhis-ma dapat dihindari. Arjuna membalas dengan melesatkan anak panah saktinya. Semua tepat mengenai sasaran. Beberapa kali Bhisma terpaksa mengganti busurnya yang patah diterjang anak panah Arjuna.
"Engkau tidak bertempur dengan sepenuh hati, Partha!" kata Krishna sambil tiba-tiba turun dari kereta lalu berlari ke kereta Bhisma.
Melihat Krishna berlari mendekatinya, Bhisma berteriak, "Hai, Kesatria bermata kembang teratai! Bahagialah hatiku, bisa mati di tanganmu. Mendekatlah kemari!"
Bagaikan induk kucing menyergap anaknya, Arjuna menarik Krishna ke keretanya untuk diselamatkan. Dipeluknya Krishna erat-erat sambil berkata, "Apakah engkau hendak membatalkan sumpahmu" Engkau telah berjanji takkan menggunakan senjata dalam pertempuran ini. Engkau hanya bertugas menjadi sais keretaku. Ingat, menggunakan senjata adalah tugasku. Dan itu akan kulakukan sekarang juga, tanpa menunda-nunda lagi. Akan kuakhiri hidup Bhisma dengan panahku ini. Pegang kembali tali kendali ini dan cambuklah kuda-kuda itu agar kereta berlari kencang!"
Hari itu Pandawa menderita banyak kekalahan. Tetapi semangat balatentara Pandawa tetap tinggi karena kemudian mereka melihat Arjuna bertarung sengit melawan Bhisma. Tak lama kemudian pertempuran hari kesembilan
berakhir. Matahari telah masuk ke peraduannya.
*** Tibalah hari kesepuluh. Arjuna menyerang Bhisma bersama Srikandi. Partha mulai melepaskan panah ke arah Bhisma, tetapi panah Srikandi-lah yang pertama menembus dada kesatria tua itu. Dengan dada tertembus panah, Bhisma menoleh, memandang Srikandi. Sesaat lamanya mata Bhisma berbinar-binar bagai permata yang terkena cahaya gemilang. Itulah tanda bahwa ia sedang marah.
Tetapi Mahaguru sakti dan berjiwa luhur itu menahan
hatinya, sebab ia ingat akan sumpahnya: tidak akan membalas Srikandi yang terlahir sebagai perempuan.
"Menepati sumpah adalah perbuatan kesat
ria," bisik hatinya. Srikandi terus menyerang Bhisma dengan panahnya.
Tak disadarinya bahwa kesatria tua itu sama sekali tidak membalas serangannya. Sesuai sumpahnya, kini Bhisma justru merasa tenang. Ia tahu, saat kematiannya telah
tiba. Di pihak lain, Partha juga mendapat kekuatan hati
untuk membidikkan anak panahnya pada bagian-bagian tubuh Bhisma yang lemah.
Mula-mula satu per satu senjata Bhisma dihancurkannya. Kemudian sekujur tubuh Bhisma dihujani panah dari
Gandiwanya. Tetapi, Bhisma malah tersenyum dan berkata
kepada Duhsasana yang ada di dekatnya, "Semua panah
yang menembus badanku ini berasal dari Partha, bukan dari Srikandi. Panasnya mulai terasa membakar tubuhku, bagaikan anak-anak kepiting yang merayap-rayap dan menjepit-jepit melukaiku."
Meskipun sekujur badannya luka-luka berlumuran darah, namun kesatria tua itu tetap melaksanakan tugasnya dengan tegar. Dilemparkannya bola-bola besi ke arah Arjuna, yang disambut lesatan panah Partha. Beradunya senjata-senjata Bhisma dengan panah-panah Arjuna menimbulkan percikan api di udara. Kedua jenis senjata itu meledak dan jatuh hancur berkeping-keping.
Partha terus menghujani Bhisma dengan anak panahnya sampai sekujur tubuh kesatria tua itu bagaikan bermandi darah. Bhisma hendak turun dari keretanya dan menyerang Arjuna dengan pedang dan tameng di tangan. Tetapi, tiba-tiba tamengnya terbelah dua ditembus panah Partha yang ujungnya setajam kapak. Tak sejari pun kulit tubuhnya yang tak ditembus anak panah Arjuna. Kesatria termasyhur itu roboh, bagaikan pohon beringin tumbang terkena angin topan. Bhisma jatuh terguling dari keretanya, tetapi karena tubuhnya penuh ditancapi panah-panah
Arjuna, ia tidak menyentuh tanah.
Ketika kesatria tua itu jatuh, pertempuran di seluruh medan berhenti. Para dewata di kahyangan terharu menyaksikan gugurnya Bhisma. Semua menundukkan kepala, mengatupkan kedua telapak tangan, memberi penghormatan terakhir kepada kesatria besar yang luar biasa itu.
Demikianlah putra Dewi Gangga itu gugur. Sang Ibu turun ke bumi, membawa cahaya untuk melingkari jasad kesatria itu. Bhisma gugur setelah melakukan tugasnya, membayar hutang keadilan dan kebenaran kepada Duryo-dhana dan Kaurawa.
Para raja, putra mahkota, perwira, senapati, dan prajurit kedua pihak, semua turun dari kereta, gajah atau kuda mereka, lalu bergegas mendekati Bhisma, yang terbaring bagai gundukan raksasa disangga tiang-tiang anak panah. Mereka menyembah dan memberikan penghormatan terakhir.
"Kepalaku terkulai, tidak beralaskan apa-apa," kata Bhisma. Mereka yang berdiri di dekatnya segera mencarikan setumpuk bantal, tetapi Bhisma menolak sambil
tersenyum. Katanya, "Cucuku Partha, beri aku bantal yang
pantas bagi seorang prajurit yang gugur."
Arjuna segera mencabut tiga anak panah dari kantong panahnya, lalu meletakkannya di bawah kepala Bhisma dengan ujung-ujung menghadap ke atas hingga menembus kepala kesatria tua itu.
Kemudian Bhisma berkata lagi dengan tenang, "Wahai para kesatria sekalian, para raja dan putra mahkota, apa yang dilakukan Partha sungguh tepat. Bantal yang kumaksud adalah anak panah, sebab sekujur badanku telah ditembus anak panah. Aku benar-benar puas. Sekarang aku bisa berbaring dengan tenang sampai matahari terbenam nanti. Setelah itu, barulah jiwaku akan meninggalkan jasad ini. Bila aku telah tiada, mungkin di antara kalian akan ada yang menyusulku. Sampai bertemu kembali. Kalau tidak, kuucapkan selamat tinggal!"
Kemudian Bhisma menatap wajah Partha dan berkata
kepadanya, "Aku haus sekali. Beri aku minum."
Arjuna segera membuat lingkaran kecil di tanah, dekat
telinga kanan Bhisma, lalu menancapkan anak panahnya
dalam-dalam ke tanah. Ketika anak panah itu dicabut, dari
lubang itu menyembur air jernih, tepat menyentuh bibir Bhisma. Demikianlah, kesatria tua itu minum sepuaspuasnya.
Setelah bercakap-cakap dengan Partha, Bhisma menatap wajah Duryodhana, lalu berkata dengan lembut, "Wahai Putra Mahkota, semoga engkau dapat memetik hikmah
dari semua yang telah terjadi. Apakah engkau melihat bagaimana Arjuna memberiku air minum yang jernih
untuk pengobat hausku" Berdamai
lah engkau sekarang juga, jangan ditunda-tunda lagi. Akhirilah peperangan ini sekarang juga. Perhatikan kata-kataku. Cucuku Duryodhana, berdamailah engkau dengan Pandawa!"
Tetapi, hati Duryodhana telah membatu, keras dan tak
tergoyahkan. Siapa yang bisa disalahkan"
*** Mendengar berita gugurnya Bhisma, Karna segera berlari
mendekat. Ia bersimpuh di dekat kaki kesatria tua itu,
menyembah dengan penuh hormat, dan berkata, "Wahai
sesepuh bangsa Bharata yang kuhormati, aku anak Radha
yang telah menyebabkan engkau kesal dan marah karena ketololanku. Aku datang bersujud ke hadapanmu. Ampunilah segala kesalahanku."
Kemudian Karna bangkit berdiri dan menatap wajah Bhisma yang pucat pasi. Perlahan-lahan kesatria tua itu membuka matanya dan tersenyum. Ia terharu mendengar kata-kata Karna. Diisyaratkannya agar Karna mendekat, lalu diletakkannya tangannya yang sudah dingin di kepala kesatria itu sambil berkata dengan penuh kasih sayang, "Wahai anak muda, sesungguhnya engkau bukan anak
Adiratha, bukan pula anak Radha. Engkau adalah putra Dewi Kunti yang sulung. Bhagawan Narada mengetahui
semua rahasia ini dan menceritakannya padaku. Ayahmu adalah Bhatara Surya. Percayalah, aku tidak pernah membencimu. Tapi aku sedih, karena kebencianmu kepada Pandawa semakin menjadi-jadi dan karena sebetulnya itu tidak beralasan. Aku tahu siapa engkau, dan aku mengagumi ketangkasanmu, kecerdasanmu dan kejujuranmu. Aku juga tahu, sebagai kesatria engkau tak kalah hebatnya dengan Palguna atau Krishna. Sungguh baik jika engkau bisa bersahabat dengan Pandawa, lebih-lebih karena engkau yang sulung di antara putra-putra ibumu. Harapanku, semoga peperangan ini segera dihentikan."
Setelah mendengarkan dengan penuh perhatian, Karna menjawab dengan penuh hormat, "Kakek yang kuhormati, aku tahu aku ini anak Dewi Kunti, bukan anak sais kereta. Tetapi, aku berutang budi kepada Duryodhana, aku hidup dan makan dari hasil bumi tanah milik Kaurawa. Aku harus jujur kepadanya dan menepati janjiku sebagai kesatria. Tidak mungkin bagiku untuk menyeberang ke pihak Pandawa sekarang. Ijinkan aku membalas jasa Duryodha-na dengan jiwaku. Ijinkan aku melunasi hutangku terhadap kepercayaan dan cintanya kepadaku. Engkau pasti
memahami ini dan memaafkan aku. Aku mohon restumu."
Bhisma memahami jiwa besar dan keluhuran budi Karna. Ia membenarkan apa yang diucapkan Karna dan
berkata, "Jika memang demikian ketetapan hatimu, lakukanlah sebaik-baiknya. Sebab, itulah yang paling pantas kaulakukan."
Sesuai sumpahnya, selama Bhisma memimpin balatentara Kaurawa, Karna menyisihkan diri. Sedikit pun ia tidak pernah mengingkari sumpah yang ia ucapkan di hadapan Bhisma.
"Jika engkau, Bhisma, dapat membunuh Pandawa dan memenangkan balatentara Kaurawa, aku, Karna, akan merasa bahagia. Aku akan meninggalkan keramaian ini dan masuk ke hutan untuk bertapa. Tetapi jika engkau tewas lebih dulu, aku -yang telah kauyakinkan bahwa bukan anak sais kereta- akan memacu kudaku sekencang angin.
Aku akan bertempur melawan semua musuhku. Akan kuhancurkan mereka dan kubawa kemenangan gemilang
bagi Duryodhana." Demikianlah sumpah Karna dahulu. Setelah diam sejenak, Karna berkata kepada Bhisma,
"Wahai Kesatria Tua, engkau sekarang terbaring di medan pertempuran. Engkau selalu memberi petunjuk tentang jalan kebenaran. Hidupmu menjadi teladan bagi kami, yaitu selalu bersih dalam kata-kata dan perbuatan, selalu suci dalam keyakinan. Kini kau terbaring dengan tubuh penuh luka. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa di dunia ini tidak seorang pun akan dapat mencapai apa yang patut diperolehnya sesuai jasa dan pengabdiannya. Ibarat sebuah kapal, engkau telah menjadi tumpangan bagi semua Kaurawa dalam mengarungi lautan suka duka.
"Setelah kau meninggal, pasti besarlah kekalahan yang akan diderita Kaurawa. Serangan Pandawa nanti bagaikan api raksasa membakar hutan kering. Krishna dan Arjuna pasti akan menghancurkan Kaurawa. Tetapi, Kakek yang kumuliakan, bukalah matamu dan pandanglah aku. Berilah aku restumu untuk memimpin balatentara Kaurawa."
Bhisma memandang Karna, lalu memberikan restunya, "Engkau ibarat tanah subur, eng
kau ibarat hujan di musim tanam yang memberi harapan pada benih-benih yang akan tumbuh. Engkau selalu menepati janjimu. Engkau selalu jujur dan setia. Bantulah Duryodhana dan selamatkanlah dia! Engkau menaklukkan Kamboja untuk Duryodhana. Engkau memusnahkan balatentara Giriwraja atas namanya. Engkau membuat balatentara Kirata dari Gunung Himalaya menyerah kepadanya. Tak terhitung jasamu untuk Duryodhana. Pimpinlah balatentara Kaurawa sebagai milikmu yang paling berharga. Semoga engkau berhasil memimpin pasukan Duryodhana. Semoga engkau selalu mendapat kemenangan. Bertempurlah engkau melawan musuhmu!"
*** Akhirnya Bhisma gugur di medan Kurukshetra. Ketika ia menghembuskan napasnya yang terakhir, anak-anak panah yang menjadi pembaringannya terangkat sedikit. Jiwa kesatria tua itu telah lepas, meninggalkan jasadnya, kembali ke kahyangan. Seisi mayapada dan kahyangan berkabung, menghormati gugurnya kesatria besar yang disegani dan dihormati itu.
*** 47. Rencana Penculikan Yudhistira
Dengan gugurnya Bhisma, padamlah semangat balatentara Kaurawa. Tetapi, begitu mendengar bahwa Karna sudah mendapat restu dari kesatria tua itu untuk memimpin mereka, semangat mereka untuk berperang kembali berkobar. Duryodhana senang sekali. Dipeluknya Karna dengan gembira. Segera ia berunding dengan Karna untuk menentukan siapa saja yang pantas dipilih menjadi mahasenapati.
Karna berpendapat bahwa setiap raja atau putra mahkota serta kesatria yang bergabung dengan balatentara Kaurawa pantas diangkat menjadi mahasenapati. Alasannya, mereka semua mempunyai kekuatan, kecakapan, keberanian, ketangkasan, kewibawaan, keagungan dan kebijaksanaan yang setara. Tetapi, tentu saja tidak mungkin mengangkat beberapa mahasenapati sekaligus. Jika salah satu di antara mereka dipilih, yang lainnya mungkin akan merasa dihina, iri hati atau sakit hati. Akibatnya, semua akan menderita. Menurut pikiran Karna, sebaiknya Drona yang diangkat sebagai mahasenapati, sebab ia adalah mahaguru dari hampir semua kesatria yang tergabung dalam pasukan Kaurawa. Dengan mantap Duryodhana menyetujui usul itu.
Kemudian Duryodhana pergi menghadap Mahaguru Drona. Di hadapan para senapati balatentara Kaurawa, ia dengan singkat mengumumkan pengangkatan Drona. Mula-mula kata-katanya ditujukan kepada mahaguru itu,
"Mahaguru yang kami hormati dan kami cintai, engkau
orang yang tidak ada bandingnya dalam kewibawaan, keturunan, kecakapan, kebijaksanaan, keagungan, umur dan ilmu pengetahuan. Kami mohon, kiranya engkau sudi diangkat menjadi mahasenapati pasukan perang kita. Di bawah pimpinanmu, kita pasti menang."
Kemudian Duryodhana berkata kepada para hadirin, "Saudara dan sahabatku sekalian, sesuai pilihan kami, Mahaguru Drona akan memimpin kita dalam pertempuran-pertempuran selanjutnya. Bersiaplah untuk menerimanya sebagai pimpinan."
Semua yang hadir menyambut ucapan Duryodhana dengan hangat dan meriah, sambil bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Demikianlah, Drona dilantik menjadi Mahasenapati dalam upacara yang meriah, diiringi tambur, genderang dan trompet yang gegap gempita. Balatentara Kaurawa mendapat semangat baru dari pemimpin yang baru.
Pada hari pertama Drona memimpin, pasukan Kaurawa
diatur dalam formasi bola. Karna yang selama sepuluh hari tidak muncul di medan perang, pada hari kesebelas itu tampak siap dengan keretanya yang kokoh dan megah. Banyak prajurit berbisik-bisik, membicarakan ketidakhadirannya selama sepuluh hari ini. Mereka berpendapat, Karna tidak mau ikut berperang karena Bhisma yang memegang pimpinan. Mereka juga berpendapat bahwa kekalahan yang mereka derita adalah kesalahan Bhisma. Hampir semua menyalahkan kesatria tua yang telah gugur itu dalam pertempuran itu. Sekarang, di bawah pimpinan Karna, mereka membayangkan kemenangan akan berpihak pada mereka dan Pandawa akan hancur.
Diam-diam Duryodhana berunding dengan Drona, Kar-na dan Duhsasana. Duryodhana mengemukakan maksudnya untuk menangkap Yudhistira hidup-hidup. Ia berkata,
"Aku tidak menginginkan apa-apa, tidak juga kemenangan, asalkan Yudhistira bisa ditangkap hidup-hidup. Kalau Mahaguru Drona bisa melakuk
an ini, kita semua akan puas." Mendengar rencana Duryodhana, hati Drona sangat senang. Dalam hati sesungguhnya ia tidak suka berperang melawan Pandawa, apalagi menghabisi mereka. Dalam sikap lahiriah, tentu ia harus patuh dan setia memihak Kaurawa. Karena itu, ia menanggapi rencana Duryodhana ini dengan puji-pujian. Katanya, "Putra Mahkota, semoga
engkau selalu mendapat restu dari Brahma Yang Esa. Rencanamu untuk tidak membunuh Yudhistira sungguh mulia dan membuatku bahagia. Sesungguhnya, di dunia ini Yudhistira tidak punya musuh. Rencanamu untuk menaklukkan Pandawa dengan jalan menjadikan Yudhistira sebagai tawanan, kemudian membagi-bagi kerajaan, dan hidup damai dalam persahabatan dengan mereka, sungguh
sangat agung. Aku melihat kemungkinan itu dengan jelas
sekali. Kita semua akan lakukan ini dengan sebaikbaiknya."
Tetapi, sebenarnya niat Duryodhana sama sekali lain
dari yang dimengerti oleh Mahaguru Drona. Yang ada di
benak Duryodhana adalah: Jika Yudhistira tewas dalam pertempuran, tidak sesuatu pun akan diperoleh dari kemenangan itu karena hal itu justru akan membuat saudarasaudaranya semakin marah dan garang. Pertempuran akan
semakin seru dan korban akan semakin banyak. Lebih
penting dari itu, Duryodhana sadar bahwa kekalahan pasti ada di pihaknya. Lagi pula, jika pertempuran diteruskan sampai kedua pihak hancur lebur, Krishna masih akan tetap hidup. Dan, ia pasti akan mengangkat Draupadi atau Dewi Kunti untuk menduduki takhta kerajaan, sebagai
pewaris sah Kerajaan Hastina. Jika demikian, apa gunanya membunuh Yudhistira" Karena itu, jalan yang terbaik
adalah menangkap Yudhistira hidup-hidup dan segera menghentikan perang. Langkah kedua adalah memanfaatkan kebaikan hati Yudhistira untuk maksud-maksud
selanjutnya, yaitu dengan mengundangnya untuk bermain dadu lagi. Duryodhana sudah memperhitungkan bahwa undangan main dadu itu pasti tidak akan ditolak.
Selanjutnya tidak ada soal lagi, sebab Sakuni tetap satu-satunya ahli siasat main dadu. Pandawa, yang pasti akan kalah, akan diusir lagi ke pengasingan selama tiga belas tahun.
Menurut kenyataan, selama sepuluh hari bertempur Kaurawa lebih sering kalah. Ini berarti, sulit bagi Duryo-dhana untuk meraih apa yang diinginkannya. Ketika Dur-yodhana mengungkapkan niatnya dengan terus terang, Mahaguru Drona merasa tertipu. Dalam hati ia mengutuk Duryodhana. Tetapi, apa pun niat Duryodhana, ada satu hal yang pasti, yaitu: ia tidak akan membunuh Yudhistira. Hal itu membuat Drona merasa agak lega.
Demikianlah, ia berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk menangkap Yudhistira hidup-hidup dan menyerahkannya kepada Duryodhana. Tetapi, rencana itu sampai ke telinga Pandawa melalui mata-mata mereka. Karena itu, Pandawa semakin waspada dan selalu menugaskan beberapa prajurit yang perkasa untuk mengawal Dharmaputra.
Pertempuran di hari kesebelas berlangsung dengan seru. Di bawah pimpinan Drona, pasukan Kaurawa unggul. Mereka berhasil membelah formasi pasukan Pandawa menjadi dua, menembus ke pusat formasi dan langsung berhadapan dengan Dristadyumna. Terjadilah pertarungan satu lawan satu di seluruh medan pertempuran. Sahadewa melawan Sakuni yang ahli siasat dan tipu muslihat di meja perjudian maupun di medan pertempuran. Di tempat lain,
Bhimasena melawan Wiwimsati, Salya melawan Nakula,
Kripa berhadapan dengan Dristaketu, Karna melawan Wirata, Satyaki berhadapan dengan Kritawarma, dan Pau-rawa melawan Abhimanyu.
Dalam situasi demikian, Drona memerintahkan pasukan Kaurawa untuk langsung menyerang dan menangkap Yudhistira. Alangkah gagahnya Drona dengan kereta emasnya yang ditarik empat kuda jantan dari lembah Sin-dhu. Yudhistira menyambut serangan Drona dengan tangkas dan membalasnya dengan melepaskan anak panahnya yang bergerigi dan dihiasi kitir bulu burung garuda. Drona
membalasnya hingga busur Yudhistira patah. Tiba-tiba Dristadyumna mendekat, berusaha menghalangi laju kereta Drona. Tetapi ia dengan mudah dikalahkan oleh Mahasenapati Kaurawa itu. Anak buah Dristadyumna tiba-tiba berteriak lantang, "Awas, awas Dharmaputra hendak
ditangkap! Awas Dharmaputra hendak ditangkap!"
Mendengar teriakan itu, secepat kilat Arjuna meluncur
mendekat dengan keretanya. Gemuruh keretanya yang
melaju membelah udara. Ia berhasil memotong jalan kereta Drona yang sudah sangat dekat dengan kereta Yudhistira. Dari Gandiwanya menyembur ratusan anak panah susul-menyusul, membuat Drona mundur dan membatalkan niatnya.
Pertempuran antara Drona dan Arjuna tidak berlanjut karena saat itu matahari telah tenggelam.
*** Pertempuran hari kesebelas sudah berakhir. Rencana untuk menculik Yudhistira gagal. Drona melaporkan itu kepada Duryodhana. Ia mengalami kesulitan besar karena Arjuna masih hidup. Mereka harus mencari siasat lain untuk menculik Yudhistira.
Mendengar itu, Susarma, Raja Trigarta kemudian bergabung dengan balatentara Kaurawa lalu berunding dengan Duryodhana dan saudara-saudaranya. Mereka mengucapkan sumpah Samsaptaka hendak bertempur mati-matian
melawan Arjuna. Mereka akan berusaha keras untuk memisahkan Dharmaputra dari Partha.
Demikianlah, sumpah itu diucapkan sesuai dengan tradisi, yaitu dengan duduk mengelilingi api unggun agnihotra dan mengenakan pakaian yang terbuat dari rumput.
Upacara ini diiringi korban mecaru, yaitu upacara yang menggambarkan mereka seolah-olah telah tewas. Upacara
ini dilanjutkan dengan upacara sumpah,
"Kami tidak akan kembali sebelum membunuh Arjuna.
Jika kami takut dan lari meninggalkan pertempuran,
semoga Batara Shiwa menghukum kami karena perbuatan itu. Aum Swastyastu."
Melalui mata-mata Pandawa, Arjuna mengetahui tentang sumpah itu. Arjuna segera melaporkan hal itu kepada Dharmaputra. Sesuai adat para kesatria, Arjuna harus menghadapi tantangan itu secara kesatria. Yudhistira ternyata sudah tahu bahwa Drona berencana menangkap dirinya dan telah menjanjikan itu kepada Duryodhana. Kecuali itu, Susarma sebenarnya berniat mengubah strategi perang mereka.
Yudhistira mengingatkan bahwa Drona adalah mahaguru yang tak terkalahkan, berani, kuat, dan pandai. Namun Arjuna berpegang teguh pada keputusannya. Ia berkata kepada Dharmaputra, "Tuanku Raja, Satyajit akan membela engkau. Selama ia tetap hidup dan ada di sisimu, tidak sesuatu pun bakal terjadi pada dirimu."
Kemudian Arjuna merentangkan Gandiwanya dan melepaskan anak panah sebagai tanda bahwa ia menerima tantangan sumpah Samsaptaka. Prajurit kedua pihak bersorak-sorak menyambut itu. Gemuruh suara mereka membuat langit bergetar. Kemudian Krishna melecut kudanya, langsung menyerang pasukan Trigarta yang dipimpin Susarma. Baru saja berhadapan dengan Arjuna, mereka buyar, takut tertimpa hujan anak panah yang menyembur dari Gandiwa Arjuna. Susarma terpaksa berteriak-teriak lantang mengingatkan sumpah mereka di hadapan Batara Agni.
Gandiwa Arjuna terus menyemburkan anak panah, menebarkan maut bagi pasukan Trigarta. Beratus-ratus
mayat pasukan Susarma bergelimpangan di tanah; banyak
di antaranya yang kepalanya terpenggal akibat amukan anak panah Arjuna. Sementara Partha sibuk menghadapi pasukan Susarma, Drona memerintahkan seluruh kekuatan pasukan Kaurawa untuk memusatkan serangan mereka ke sasaran, yaitu di sekitar tempat Yudhistira berada.
Hal ini diketahui Dharmaputra yang segera memberi-tahu Dristadyumna yang lalu mendahului menggempur
Drona. Dengan tangkas Drona menghindari serangan Drista-dyumna dan dengan mudah mengobrak-abrik pasukan Pandawa. Tak terhitung banyaknya korban yang jatuh di pihak Pandawa. Satyajit membalas serangan Drona dengan berani. Ia dibantu Wrika, salah seorang putra Raja Pan-chala. Tetapi, kedua kesatria muda itu dapat ditewaskan oleh Drona.
Satanika, putra Raja Wirata, melecut kudanya dan memacu keretanya siap menggempur Drona. Tetapi, ia tewas di tangan Drona. Kemudian Raja Katama maju bertempur melawan Drona. Ia juga tewas di tangan Maha-senapati itu. Washudana menyerbu, membalaskan kematian Katama, tetapi ia gugur terkena senjata Drona.
Yudhamanyu, Uttamaujas, Satyaki dan Srikandi melecut kereta mereka dengan kencangnya, memotong arah kereta Drona yang melaju bagai angin kencang ke arah Yudhistira berada. Tetapi, semua serangan Pandawa yang bagaimanapun dahsyatnya dapat digagalkan oleh Drona. Mahasenapati itu semaki
n mendekati Dharmaputra. Pada saat yang sama, Panchala, adik Draupadi dan Drista-dyumna, menyerang Drona seperti singa kelaparan menyergap mangsa. Tetapi Panchala dan keretanya dapat diremukkan oleh Drona. Mereka jatuh terguling ke tanah dan tewas seketika.
Melihat keperkasaan dan kemenangan mahasenapati-nya, Duryodhana senang sekali. Ia berkata kepada Karna, bahwa tidak lama lagi Pandawa pasti menyerah kalah.
Karna menggeleng dan menjawab dengan tajam, "Pandawa tidak akan semudah itu menyerah kalah. Pengalaman pahit mereka membuktikan bahwa mereka semua ulet dan tangguh. Mereka takkan melupakan pengalaman buruk mereka di masa lalu.
"Ingat, ketika engkau mencoba meracuni mereka dan ketika engkau mencoba membakar mereka hidup-hidup! Engkau pernah menghina mereka dalam permainan dadu, kemudian engkau buang mereka ke hutan, kaupaksa
mereka hidup dalam pengasingan selama tiga belas tahun.
Mereka tidak akan melupakan semua itu. Dan mereka
tidak akan menyerah!"
Ketika mereka gagal menghentikan laju kereta Drona,
Bhimasena datang. Bagaikan angin puyuh, ia menghalanghalangi majunya Drona ke arah Yudhistira. Serangan Bhima disusul serangan Satyaki, Yudhamanyu, Kesatradharma, Nakula, Uttamaujas, Drupa, Wirata, Srikandi, Dristaketu, dan para kesatria lainnya yang memihak Pandawa.
Melihat itu, Karna mendesak Duryodhana agar mengirim bantuan untuk menolong Drona.
*** Sementara itu, Duryodhana berpendapat bahwa untuk menaklukkan Bhimasena perhatian kesatria itu harus
dialihkan ke gelanggang lain. Ia akan memimpin dan
mengerahkan pasukan gajah secara besar-besaran. Sewaktu berhadapan dengan Duryodhana, Bhimasena mempertahankan diri dengan gagah. Bhima melemparkan tombaknya yang berujung pisau bulan sabit, tepat mengenai busur dan panji-panji Duryodhana yang langsung rontok ke tanah. Akhirnya Duryodhana dibantu Raja
Angga dalam memimpin pasukan gajah.
Bhimasena terus-menerus melontarkan tombak saktinya ke arah Raja Angga. Salah satu tombaknya mengenai gajah yang ditunggangi raja itu, sementara tombak yang lain mengenai tubuhnya. Seketika itu juga, tewaslah Raja Angga bersama gajahnya.
Melihat itu, balatentara Kaurawa menjadi bingung. Mereka berlarian ke sana kemari, simpang siur tak tentu arah. Mereka membuat gajah-gajah yang lain panik dan
kalang kabut berlarian. Tak sedikit prajurit yang mati
terinjak-injak. Bhagadatta, raja Negeri Pragjotisa, mempunyai seekor gajah bernama Supratika yang termashyur di seluruh dunia. Gajah perkasa itu menerjang Bhimasena dan
dengan belalainya yang kuat membuat kereta Bhima rusak terlipat-lipat. Sesaat Bhima terpelanting, kereta dan kudanya remuk digilas gajah itu hingga tak berbentuk lagi.
Pada waktu jatuh, Bhimasena dapat menguasai diri dan dengan cepat berhasil menyelinap ke bawah binatang itu. Bhima tahu betul bagaimana caranya menghadapi gajah yang sedang mengamuk dan tahu benar bagian-bagian lemah badan seekor gajah. Sambil bergayut pada salah satu kaki gajah itu, Bhima menusuk-nusuk titik-titik lemah di tubuh Supratika hingga gajah itu melengking kesakitan. Dengan belalainya, Supratika mencoba melepaskan Bhima dari kakinya, tetapi parang tajam Bhima menebasnya. Dengan belalai yang tertebas, Supratika semakin ganas mengamuk karena kesakitan. Semua yang ada di dekatnya hancur. Tetapi Bhimasena tetap bergayut pada kakinya dan terus menusuk-nusuk perut gajah itu. Ibarat jengkerik digelitik, gajah itu mengamuk kalang kabut.
Ketika Bhimasena tidak muncul-muncul dari bawah tubuh si gajah, anak buahnya berteriak-teriak mengatakan Bhima tewas diinjak-injak Supratika. Yudhistira mendengar teriakan itu, kemudian memberi isyarat kepada Raja Dasarma yang juga menunggang gajah. Dasarma lalu menggempur Bhagadatta. Kedua gajah itu bertarung sengit. Tetapi Supratika memang gajah paling unggul. Ketika mereka sedang seru-serunya berkelahi, Bhima menyelinap keluar dari kaki Supratika. Ia selamat.
Satyaki maju menyerang Bhagadatta. Meskipun sudah lanjut usianya, rambutnya sudah putih, dahinya penuh kerutan, alisnya jatuh menutupi mata, punggungnya sudah bungkuk, dan kulitnya sudah kisut, Bhagadatta bertarung dengan
perkasa. Setapak pun ia tidak mau mundur. Dengan penuh semangat ia menggempur Pandawa, bagaikan Bhatara Indra yang mengendarai Airawata melawan balatentara raksasa. Satyaki yang menyerang diterjangnya, kereta dan kudanya diterjang gajah Supra-tika sampai remuk.
Bhimasena dan Satyaki yang dapat menyelamatkan diri segera mempersenjatai diri dan bersiap untuk bertarung lagi dengan Bhagadatta. Kesatria tua itu sungguh sangat mengagumkan. Supratika, gajahnya, telah dilatih sejak kecil dan sangat mahir menggunakan belalainya. Supratika menyemburkan cairan beracun dari belalainya. Siapa pun, kuda atau gajah, yang berani mendekatinya pasti mati terkena racunnya.
Seluruh medan Kurukshetra panik karena amukan Supratika. Pasukan Pandawa terpaksa lari menyelamatkan diri. Gajah dan kuda menjadi liar, berlarian ke sana kemari, saling bertumbukan. Medan pertempuan menjadi redup dan keruh, penuh debu beterbangan. Derap langkah kaki-kaki gajah membahana, debu mengepul tinggi ke angkasa.
Saat itu Arjuna sedang menghadapi pasukan Susarma
yang telah bersumpah, "Arjuna harus mati atau mereka yang hancur." Melihat kepanikan yang ditimbulkan Bhagadatta dan gajah Supratika, Arjuna menyuruh sais keretanya untuk memutar haluan dan memacu kereta ke arah Bhagadatta. Kesatria tua dan gajahnya itu sungguh sakti tiada bandingnya dan jika dibiarkan tanpa perlawanan pasti akan menghancurkan semangat Pandawa.
Ketika Krishna membelokkan kereta Arjuna, Susarma dan saudara-saudaranya berteriak-teriak, menyumpahi dan mengatai Arjuna pengecut. Mereka terus berteriakteriak sambil menyerang Arjuna dari belakang, "Dasar
pengecut! Kau bukan kesatria! Kau tak berani menantang sumpah Samsaptaka!"
Mendengar teriakan dan caci-maki mereka, Arjuna menjadi bingung. Apakah akan terus menyerang Bhagadatta yang sedang mengamuk, atau menghadapi sisa-sisa pasukan Trigarta. Tepat ketika Arjuna ragu-ragu dan lengah, Susarma melontarkan dua butir bola besi, satu mengenai Arjuna, satunya mengenai Krishna. Mereka terluka. Untunglah lukanya tidak parah. Segera Arjuna membalas dengan lontaran tiga bola besi. Tiga-tiganya tepat mengenai
Susarma. Melihat itu, saudara-saudara dan anak buah Susarma langsung lari terbirit-birit.
Kesempatan itu digunakan Krishna untuk melarikan keretanya menuju ke tempat Bhagadatta. Kesatria tua itu tak kenal lelah, terus mengamuk bersama gajahnya, Supratika.
Arjuna dan Bhagadatta saling menyerang dengan panah. Arjuna berhasil menghancurkan perisai gajah
Supratika hingga remuk. Gajah itu jatuh terjerembap,
mukanya membentur tanah dengan keras dan kepalanya hancur berkeping-keping. Sebaliknya, tombak Bhagadatta tepat mengenai ketopong Arjuna, membuat ketopong itu terlontar jatuh.
Setelah memusatkan hati dan berdoa sebentar, Arjuna
menantang Bhagadatta, "Wahai Bhagadatta, kesatria lanjut
usia. Pandanglah dunia ini sekali lagi dan bersiaplah
untuk mati!" Setelah berkata demikian, Arjuna membidikkan bola besinya, tepat mengenai busur Bhagadatta yang dipegang dengan tangannya. Kemudian, sebuah anak panah dilepaskan Partha, tepat mengenai ikat kepala Bhagadatta yang berwarna merah dan berguna untuk menahan alisnya yang menjuntai agar tidak menutupi matanya. Karena ikat kepalanya jatuh dan alisnya terjurai menutupi matanya, Bhagadatta sulit melihat ke depan. Arjuna tahu benar kelemahan kesatria tua itu. Setelah tak ada lagi senjata di tangannya dan ia sulit melihat ke depan, akhirnya Bhagadatta memecut Arjuna dengan cemetinya yang sakti
sambil mengucapkan mantra Waishnawa. Arjuna nyaris tewas kena cemeti itu. Untunglah Krishna berhasil mengelakkan Arjuna dengan mantra Batara Wishnu. Cemeti itu jatuh lemas di pundak Arjuna. Lalu sambil bergurau
Krishna mengalungkan cemeti itu ke lehernya, bagaikan kalung bunga melati.
Sekarang Arjuna tinggal membunuh Supratika. Ia melepaskan anak panah berbentuk ular, tepat menembus mulut gajah perkasa itu. Sesaat gajah itu tertegak kaku,
kemudian jatuh berdebam dengan kaki teracung ke atas. Dalam hati Arjuna kasihan pada Supratika. Tetapi, tak ada jalan lain, jika ingin mengalahkan kesatria tua itu, gajah saktinya harus dibunuh
lebih dulu. Sebagai usaha terakhir, Arjuna melemparkan tombak berujung pisau bulan sabit tajam, tepat membelah dada Bhagadatta.
Kesatria tua itu roboh dan tewas seketika. Jasadnya
berhias kalung kebesaran yang berpendar-pendar disinari matahari senja.
Dengan tewasnya Bhagadatta, pasukan Kaurawa menjadi panik. Sakuni berusaha mengirimkan saudara-saudaranya, Wrisna dan Achala, untuk membantu Bhagadatta dengan menyerang Arjuna dari belakang dan dari samping. Tetapi serangan mereka dapat ditangkis dan dibalas oleh Arjuna. Mereka bahkan menemui ajal di tangan kesatria Pandawa itu. Alangkah gagah dan tampannya wajah dua kesatria yang mati muda itu. Keberanian mereka menantang bahaya membuat hati Arjuna menjadi gundah.
Sakuni marah melihat kedua saudaranya gugur serentak. Ia bertekad membalas. Dengan senjata tipuan, diserangnya Arjuna habis-habisan. Tetapi tipu muslihat dalam permainan judi dengan dadu tidak bisa disamakan dengan tipuan senjata perang dalam pertempuran. Arjuna tahu bagaimana caranya menangkis senjata-senjata gaib
itu. Tidak sia-sia ia mendaki Gunung Himalaya dan mendapat ilmu untuk menangkal segala macam tipuan sewaktu mengembara dalam pengasingan. Dibalasnya serangan Sakuni dengan senjata-senjata serupa. Akibatnya, ahli siasat dan tipu daya itu lari terbirit-birit.
Demikianlah pertempuran hari kedua belas itu berakhir. Rencana Duryodhana dan Drona untuk menculik Yudhistira dapat digagalkan.
*** 48. Abhimanyu Gugur "Brahmana yang kuhormati, sebetulnya kemarin Yudhistira bisa kautangkap jika kau memang menghendakinya. Tidak seorang pun dapat menghalangimu. Tetapi engkau tidak melaksanakan rencanamu dan membiarkan kesempatan terbaik berlalu begitu saja. Aku tidak mengerti mengapa kau tidak bisa melaksanakan janjimu. Benarlah kata orang, orang-orang besar memang sulit
dimengerti," demikian kata Duryodhana kepada Mahasenapati Drona di pagi hari ketiga belas.
"Putra Mahkota Duryodhana, aku telah berusaha dengan segala kekuatan dan kemampuanku. Rupanya engkau hanya menuruti pikiranmu yang tidak wajar sebagai
raja. Engkau sebenarnya tahu, selama Arjuna masih
hidup, kita takkan bisa menculik Yudhistira. Sejak semula hal ini sudah kujelaskan padamu. Hanya ada satu cara untuk memisahkan mereka, yaitu memaksa mereka bertempur di medan yang berbeda. Kita sudah mencoba cara itu, tapi gagal. Hari ini kita coba lagi. Janganlah engkau cepat patah semangat," kata Mahaguru Drona sambil menahan amarahnya.
Pada hari ketiga belas, Arjuna ditantang lagi dengan
sumpah Samsaptaka di ujung selatan medan pertempuran.
Sesuai rencana, Drona mengatur serangannya ke induk
pasukan Pandawa dengan formasi kembang teratai. Dalam
induk pasukan Pandawa ada Yudhistira, Dristadyumna, Bhimasena, Satyaki, Drupada, Chekitana, Gatotkaca,
Kuntiboja, Yudhamanyu, Srikandi, Uttamaujas, Wirata, Raja Kekaya, Raja Srinaya dan para kesatria lainnya.
Semua lengkap dikawal anak buah masing-masing.
Yudhistira mengerti betul formasi pasukan Drona. Dipanggilnya Abhimanyu, kemenakannya yang masih muda dan tampan. Seperti Arjuna, ayahnya, Abhimanyu amat mahir menggunakan bermacam-macam senjata.
"Anakku, Mahaguru Drona hari ini akan menyerang kita secara besar-besaran. Ayahmu telah berangkat ke medan pertempuran di selatan. Kalau dia tak ada, kita bisa dikalahkan musuh dan itu akan menjadi malapetaka besar bagi kita. Tidak seorang pun di antara kita yang akan mampu menembus formasi Drona, kecuali ayahmu dan mungkin engkau. Paman berharap, engkau bersedia melakukan tugas ini," kata Yudhistira kepada Abhimanyu.
"Ya, Paman, aku bersedia melakukannya. Ayah pernah mengajarkan cara menembus formasi seperti itu, tetapi aku belum pernah mempelajari cara keluarnya," jawab kesatria muda itu.
"Anakku yang gagah berani, tembuslah formasi yang kokoh itu dan buatlah jalan masuk agar kami dapat mengikutimu dari belakang. Selanjutnya, kami semua akan membantumu," tambah Yudhistira.
Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendapat Dharmaputra didukung Bhimasena, yang harus segera menyusul kemenakannya jika Abhimanyu telah berhasil masuk ke dalam formasi kembang teratai itu. Di belakang Bhimasena akan menyusul Dristadyumna
, Satyaki, Raja Panchala, Raja Kekaya, dan pasukan Kerajaan Matsyadesa.
Ingat akan ajaran ayahnya dan Krishna serta meresapkan dorongan semangat dari paman-pamannya, Abhi-manyu berkata, "Baiklah, aku akan memenuhi harapan ayahku dan pamanku. Kupertaruhkan keberanian dan nyawaku demi kemenangan Pandawa."
Yudhistira memberi restu kepada kesatria muda itu. Dengan kereta kesayangannya yang dikemudikan Sumitra, Abhimanyu berangkat melakukan tugas suci yang dipercayakan kepadanya oleh pamannya. Kereta yang ditarik empat ekor kuda gagah itu segera meluncur menembus jantung formasi kembang teratai, bagaikan seekor singa membelah gerombolan gajah perkasa.
Kedatangan Abhimanyu di tengah-tengah kekuatan Kaurawa membuat sebagian prajurit Kaurawa cemas. Mereka tahu benar, kesatria muda itu hampir sama sakti dan mahirnya dengan ayahnya, Arjuna. Ketika Abhimanyu maju dengan perkasa, pasukan Kaurawa mundur dan terbelah dua.
Jayadrata, raja Negeri Sindhu, yang memihak Kaurawa
adalah seorang ahli siasat dan taktik pertempuran yang disegani lawan maupun kawan. Ia memotong belahan yang dibuat Abhimanyu, membuat kesatria muda itu terperangkap. Bhimasena dan yang lain tercegat, tak bisa menyusul Abhimanyu dan harus berhadapan dengan pasukan yang dipimpin oleh Jayadrata.
Kendati demikian, Abhimanyu terus maju menyerang musuh yang beribu-ribu jumlahnya. Ia menyerang ke kanan dan ke kiri, tidak peduli siapa pun yang dihadapinya. Tidak terhitung banyaknya korban di pihak Kaurawa yang jatuh bagai pohon-pohon bertumbangan diamuk angin topan. Tombak, gada, pedang, busur, anak panah dan bola-bola besi berserakan di mana-mana. Mayat-mayat bergelimpangan. Ada yang tanpa kepala,
tanpa kaki, tanpa lengan; ada yang badannya terbelah.
Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan.
Melihat ini, Duryodhana merasa perlu untuk maju menghadapi Abhimanyu. Mahaguru Drona yang tahu benar kekuatan, keberanian dan tekad Abhimanyu, terpaksa mengirimkan bala bantuan untuk mengawal Duryo-dhana agar pangeran Kaurawa itu tidak tewas di tangan Abhimanyu. Duryodhana nyaris tewas, tetapi sempat diselamatkan oleh para pengawalnya.
Akhirnya, tanpa malu atau segan, para senapati Kau-rawa melanggar semua aturan perang. Beramai-ramai mereka mengeroyok putra Arjuna, dari segala penjuru dan
dengan segala macam cara. Drona, Aswatthama, Kripa, Karna, Sakuni, Duhsasana dan para kesatria besar yang patut dihormati, tanpa malu atau tanpa ragu menyerang Abhimanyu yang sendirian tanpa pasukan dan tanpa bala bantuan di tengah ribuan musuhnya. Abhimanyu bagaikan perahu kecil yang tak berdaya digulung gelombang yang susul-menyusul di lautan mahaluas ketika badai topan mengamuk dengan dahsyatnya. Tetapi dengan penuh tekad Abhimanyu terus memberikan perlawanan, bagai perahu yang terus maju memecah ombak dan melawan angin.
Asmaka menyerang Abhimanyu dengan menabrakkan keretanya yang dipacu sekencang angin. Tetapi Abhimanyu menghadapinya sambil tersenyum. Pertarungan yang tak seimbang antara seorang kesatria muda yang belum berpengalaman melawan puluhan kesatria sakti yang sudah berpengalaman membuat orang iba kepada Abhi-manyu. Ia berhasil menghancurkan senjata Karna dan menyerang Salya hingga kedua kesatria yang sudah tidak muda lagi itu terluka parah. Saudara Salya membalas dengan menggempur Abhimanyu, tetapi ia juga dapat dikalahkan. Abhimanyu menghancurkan keretanya.
Drona terharu menyaksikan Abhimanyu bertempur dengan gagah berani. Ia berkata kepada Kripa, "Adakah
yang bisa menandingi keberanian Abhimanyu" Sungguh ia
pemuda yang perkasa dan berani!"
Duryodhana, yang kebetulan berdiri di dekat Kripa, tersinggung mendengar kata-kata Drona. Ia memang cepat naik darah.
"Guru selalu memihak Arjuna. Guru tidak mau membunuh Abhimanyu," kata Duryodhana dengan curiga, seperti ketika mencurigai Bhisma.
Memang, sejak kecil Duryodhana sudah berwatak buruk. Segala perbuatannya mendorongnya untuk menambah kesalahan dan dosanya. Kelak ia akan memetik
karmaphala atas perbuatannya sendiri.
Duhsasana malu, tetapi juga benci dan iri melihat keberanian Abhimanyu. Sambil berteriak lantang ia menantang
Abhimanyu, "Hai anak muda, engkau pasti mampus di
tanganku," Begitu selesai mengucapkan tantangannya, ia segera
menyerbu. Serangannya dihadapi Abhimanyu dengan mantap. Beberapa saat kemudian, Abhimanyu dapat menaklukkan Duhsasana. Untuk terakhir kalinya, Abhimanyu melontarkan bola besi, tepat mengenai kepala Duhsasana. Kesatria Kaurawa itu jatuh terkapar di dalam keretanya, tidak sadarkan diri. Untunglah, saisnya secepat kilat membawanya lari mundur untuk diselamatkan.
Sementara itu induk pasukan Pandawa tidak bisa lagi menyusul Abhimanyu karena dihalang-halangi pasukan yang dipimpin Jayadrata, menantu Dritarastra. Jayadrata menyerang Yudhistira. Dharmaputra melemparkan tombaknya, tepat mengenai busur Raja Sindhu itu. Tetapi, dengan busur baru Jayadrata memanah Dharmaputra, tepat mengenai keretanya. Bhimasena membantu Yudhis-tira dengan memanah kereta Jayadrata, tepat mengenai payung kebesaran dan panji-panjinya. Jayadrata membalas dengan melesatkan empat anak panah sekaligus. Keempat kuda Bhimasena tewas seketika. Bhima terpaksa melompat ke kereta Satyaki.
Bagaikan banjir bandang melanda dusun, sawah, dan ladang, Abhimanyu terus maju menerjang. Tak terbilang banyaknya korban berjatuhan di tangan kesatria muda
unggulan Pandawa itu. Putra Duryodhana, Laksamana,
yang juga masih muda dan gagah berani, maju menghadapi Abhimanyu. Putra Dewi Subadra dan Arjuna itu menyambut Laksmana dengan lontaran bola besi yang berkilauan. Bola besi itu melesat cepat, tepat menembus dada cucu Dritarastra. Kesatria itu terpelanting jatuh, tewas seketika. Kaurawa sedih kehilangan Laksmana, putra Duryodhana, junjungan mereka.
Mendengar kabar kematian putranya, Duryodhana mengamuk. Ia berteriak lantang, mengancam Abhimanyu,
"Hai Abhimanyu! Berani benar kau membunuh putra
kesayanganku. Terimalah pembalasanku!"
Ia segera memerintahkan keenam kesatria Kaurawa yang telah berpengalaman, yaitu Drona, Kripa, Karna, Aswatthama, Brihatbala dan Kritawarma untuk mengepung putra Arjuna itu dari belakang, depan, samping kanan dan samping kiri.
"Tidak mungkin menundukkan pemuda ini tanpa melumpuhkan keretanya lebih dahulu," teriak Drona. Ia menyuruh Karna membidik tali kekang dan keempat kuda Abhimanyu sebelum menyerang kesatria itu.
Tanpa malu para kesatria Kaurawa melanggar aturan perang dan menyerang Abhimanyu dari segala arah. Panah Karna memutus tali kekang hingga keempat kuda penarik kereta itu tak terkendali. Kemudian, Karna menyerang Sumitra, sais kereta, dan keempat kuda itu. Sumitra dan keempat kuda itu mati seketika. Tetapi, Abhimanyu terus maju melawan musuh-musuhnya dengan pedangnya! Semua lawannya kagum dan dalam hati merasa malu melihat ketangkasan dan keberanian kesatria muda itu. Drona menebas pedang Abhimanyu hingga patah berkeping-keping, sementara Karna menghancurkan perisainya dengan bidikan anak panah.
Abhimanyu terus melawan. Diambilnya roda keretanya yang sudah berantakan dan digunakannya sebagai senjata cakra. Diayun-ayunkannya roda itu dan ditumbukkannya pada siapa saja yang berani mendekatinya.
Dalam keadaan demikian, Abhimanyu serentak diserbu dengan berbagai macam senjata, seperti tombak, gada, busur, panah, perisai, lembing, pedang, dan sebagainya. Roda kereta yang digunakannya sebagai cakra hancur berantakan. Tetapi Abhimanyu terus melawan. Ia menerjang salah satu putra Duhsasana lalu bergumul dengan hebat.
Tetapi... seberapakah kekuatan seseorang tanpa senjata
tanpa pengawal dan dikeroyok oleh beratus-ratus musuh" Dengan kekuatan yang tersisa di raganya, Abhimanyu masih dapat menarik kaki lawannya hingga mereka jatuh
bersama ke tanah. Begitu Abhimanyu jatuh, para Kaurawa segera menghabisinya. Ada yang menombak, ada yang memanah, ada yang menusuk-nusuk dengan lembing, ada yang memukul dengan gada, ada yang mencongkel-congkel dengan busur. Pendek kata, semua siksaan kejam terkutuk itu ditimpakan ke tubuh Abhimanyu yang sudah penuh luka. Semua itu dilakukan Kaurawa sambil bersorak-sorak. Seperti setan dan iblis, mereka menari-nari mengelilingi jasad Abhimanyu yang sudah tidak berbentuk.
Yuyutsu, salah satu putra Dritarastra yang ikut menger
oyok Abhimanyu merasa sangat kecewa dan marah melihat perbuatan para senapati Kaurawa.
"Cara kalian membunuh Abhimanyu sungguh sangat
tercela! Tuan-Tuan adalah kesatria besar. Apakah Tuan-Tuan telah melupakan etika dan moral dalam berperang" Seharusnya Tuan-Tuan malu karena perbuatan keji ini. Sungguh tak pantas berteriak-teriak dan menari-nari di atas mayat musuh yang Tuan-Tuan bunuh secara jahat dan keji. Apakah pantas perbuatan Tuan-Tuan itu" Sekarang Tuan-Tuan bisa bergembira, tetapi kelak Tuan-Tuan
pasti memetik hasil 'kemenangan' Tuan-Tuan yang kejam."
Setelah berkata demikian, dengan muak Yuyutsu melemparkan semua senjatanya lalu meninggalkan medan Kurukshetra untuk selama-lamanya. Ia tidak takut mati di medan pertempuran, tetapi ia muak melihat perbuatan keji seperti yang dilakukan oleh para senapati Kaurawa itu. Ia tahu benar bahwa perbuatan seperti itu bukan perbuatan kesatria sejati. Ia menyindir para senapati Kaurawa dengan kata-kata tajam. Mungkin mereka menganggap Yuyutsu pengkhianat, tetapi sebenarnya, dialah yang memiliki iktikad baik dan jujur, sesuai dengan hati nuraninya sebagai kesatria.
"Yang jahat akan tetap jahat, yang keji tetap harus dihukum, yang berbuat sesuatu tetap harus memetik buahnya."
*** Berita kematian Abhimanyu sampai ke telinga Yudhistira.
Alangkah sedih hatinya menerima berita itu, lebih-lebih ketika ia tahu bahwa kemenakannya itu gugur karena diperlakukan secara teramat kejam. Penyesalannya semakin memuncak karena dialah yang menyuruh Abhimanyu menggantikan ayahnya.
"Abhimanyu telah tiada. Dalam pertempuran ia dapat mengalahkan Drona, Aswatthama, Duryodhana dan lainnya. Serangannya bagaikan api yang berkobar membakar hutan kering.
"Oh, kesatria muda, engkau yang membuat Duhsasana
lari seperti pengecut kini telah tiada. Apa gunanya aku berperang" Menang pun takkan membuatku senang. Apa
gunanya aku menginginkan kerajaan" Kata-kata apakah yang bisa kusampaikan kepada ayahmu untuk mengabarkan kematianmu" Apa pula yang harus kukatakan kepada Dewi Subadra" Dia pasti akan sedih, seperti induk lembu kehilangan anaknya. Bagaimana aku dapat mengucapkan kata-kata penghiburan untuk menghapus duka mereka"
"Benarlah nafsu serakah dapat menghancurkan iktikad
baik manusia. Seperti si pandir hendak mencari madu dan jatuh ke dalam jurang. Aku memimpikan kemenangan dengan menyuruh kemenakanku maju ke medan pertempuran. Padahal, masa depan terbentang luas baginya. Tak ada orang setolol aku di dunia ini. Aku telah menyebabkan terbunuhnya putra kesayangan Arjuna, yang semestinya
aku lindungi selama ayahnya tidak ada." Demikian Dhar-maputra berucap sambil berurai air mata. Ia dikelilingi
para penasihat dan sahabatnya yang tunduk terdiam diliputi rasa duka.
Dalam situasi demikian, datang Bagawan Wyasa. Kedatangannya sungguh sangat diharapkan. Setelah mempersilakan resi agung itu duduk, Yudhistira mengungkapkan
perasaannya, "Bapa Resi yang kuhormati, aku telah
berusaha keras untuk memperoleh ketenangan jiwa, tetapi
aku tidak sanggup mencapainya."
"Engkau orang bijaksana. Sebenarnya engkau tahu cara
memperolehnya. Tidak pantas engkau biarkan dirimu dirundung duka terus-menerus. Engkau tahu apa artinya kematian.
"Dengar, ketika Brahma menciptakan makhluk hidup,
Dia diliputi rasa cemas. Jiwa makhluk ini berkembang
dengan pesat dan pada suatu ketika jumlah mereka menjadi terlalu banyak untuk dipikul dunia ini. Agaknya tidak ada jalan lain untuk mengatasi kesulitan ini. Pikiran Brahma yang diliputi rasa cemas menjelma menjadi nyala api, makin lama makin besar, menjadi api raksasa yang memusnahkan segala makhluk ciptaanNya. Tetapi syukurlah,
Rudra segera datang dan memohon kepada Brahma agar menenangkan api yang membawa kemusnahan itu. Brahma memperhatikan permohonan Rudra, lalu mengendalikan api yang mengerikan itu dan menggantinya dengan suatu hukum yang kemudian dikenal sebagai "kematian". Hukum Brahma, Pencipta Alam Semesta, dijelmakan olehNya dalam berbagai bentuk, misalnya perang, wabah, banjir, gempa bumi, gunung meletus, dan sebagainya, demi menjaga keseimbangan antara kelahiran dan kematian. Kematian ada
lah hukum yang tidak bisa dihindari dan merupakan bagian dari hidup. Keduanya harus berimbang, seperti dititahkan demi kebaikan dunia.
"Tak pantaslah bersedih hati berlebihan, menangisi mereka yang sudah mati. Tidak ada alasan untuk menyayangkan mereka yang berpulang ke rahmat Hyang Tunggal. Ada lebih banyak alasan untuk bersedih bagi mereka yang masih hidup." Demikian Bagawan Wyasa dengan
penuh kasih seorang resi yang agung menenangkan hati dan pikiran Yudhistira.
Sementara itu, Arjuna dan Krishna sedang dalam perjalanan kembali dari pertempuran di selatan.
Arjuna berkata, "Krishna, aku tidak tahu kenapa pikiranku kacau. Mulutku terasa kering dan hatiku berdebar-debar. Aku merasa sesuatu yang buruk telah terjadi. Aku
mencemaskan keselamatan Yudhistira," kata Arjuna memecah kesunyian.
"Janganlah engkau risaukan keselamatan Yudhistira. Dia dan saudara-saudaramu pasti selamat," jawab Krishna.
Di tengah perjalanan mereka berhenti untuk melakukan
puja sandikala, berdoa di saat pergantian siang menjadi
malam. Kemudian meneruskan perjalanan mereka. Setelah dekat ke perkemahan, mereka turun dari kereta lalu
berjalan kaki. Arjuna semakin gundah. Lebih-lebih karena
ia tidak mendengar bunyi alat musik ditabuh dan suara orang menyanyi.
"Janardana, kenapa kita tidak mendengar bunyi alat musik dan suara orang-orang menyanyi seperti biasa"
Lihat, lihat ... para prajurit itu menundukkan kepala.
Mengapa mereka menyambut kedatangan kita dengan cara seperti itu" Ini aneh sekali.
"Wahai Krishna, aku cemas. Apakah engkau masih berpikir saudara-saudaraku semua selamat" Aku bingung. Abhimanyu dan anak-anakku yang lain tidak menyambutku seperti biasa," kata Arjuna makin cemas.
Ketika masuk ke dalam kemah Yudhistira, mereka melihat wajah-wajah tertunduk muram. Arjuna tidak dapat lagi menahan diri untuk tidak bertanya. Katanya, "Kenapa kalian semua berwajah muram" Aku tidak melihat Abhimanyu. Kenapa aku tidak melihat wajah-wajah riang menyambut kemenanganku" Aku dengar Drona menyerang kita dengan pasukan yang ditata dalam formasi kembang teratai. Tidak seorang pun di antara kalian yang dapat menembus formasi seperti itu. Apakah Abhimanyu memaksa diri untuk maju ke depan" Kalau begitu, ia pasti tewas, sebab aku belum pernah mengajarkan padanya bagaimana caranya keluar dari formasi seperti itu. Oh, ia pasti tewas
terbunuh!" Karena mereka tidak ada yang menjawab dan semua semakin tunduk tak berani menatap matanya, maka
yakinlah Arjuna bahwa Abhimanyu telah tewas. Hatinya
serasa dihantam godam, remuk redam. Air matanya bercucuran. Dengan terputus-putus ia berkata, "Ya Hyang Widhi, anakku tercinta telah menjadi tamu Batara Yama. Yudhistira, Bhimasena, Dristadyumna dan Satyaki, apakah kalian biarkan anak Subadra tewas di tangan musuh" Ya Hyang Tunggal, apa yang harus kukatakan kepada Suba-dra untuk menghibur hatinya" Apa yang harus kukatakan kepada Draupadi" Apa yang harus kusampaikan kepada
Uttari untuk menghibur hatinya" Siapakah yang sanggup
menyampaikan kabar ini kepada mereka""
"Arjuna yang kucintai," kata Krishna dengan penuh iba. "Jangan biarkan hatimu lama berduka. Terlahir sebagai kesatria, pantaslah kita mati di ujung senjata. Kematian adalah teman bagi kita yang telah bertekad mengangkat senjata dan pergi berperang. Dengan penuh keyakinan, kita takkan mundur setapak pun. Kesatria sejati harus bersedia mati muda!
"Abhimanyu, sebagai kesatria muda, telah mencapai tempat yang layak di hadapan Hyang Tunggal. Ia telah mencapai apa yang selalu diidam-idamkan para kesatria
tua di medan perang: gugur sebagai pahlawan. Dan
memang demikianlah kematian yang layak baginya, seperti tertulis dalam kitab-kitab suci.
"Kalau kaubiarkan hatimu terus berduka berlebihan, saudara-saudara dan sekutu-sekutumu akan ikut sedih. Mereka bisa patah semangat dan kehilangan pegangan. Singkirkan dukamu dan coba tanamkan kepercayaan dan keberanian lagi di hati mereka."
Arjuna yang masih berduka hanya ingin mendengarkan kisah kematian anaknya.
Akhirnya Yudhistira menceritakan peristiwa itu, mulai dari saat Abhimanyu menerima perintahnya untuk menembus formasi pasukan Kaura
wa hingga gugurnya kesatria muda itu karena dikeroyok oleh musuh dan diperlakukan dengan kekejaman di luar batas.
"Memang aku yang menyuruhnya maju menembus formasi pasukan musuh. Kami berharap bisa menyusulnya
dari belakang. Aku yakin, kecuali kau, hanya Abhimanyu, dialah satu-satunya yang bisa melakukannya. Ia memang berhasil menembus formasi pasukan musuh dan kami menyusulnya seperti rencana semula. Tetapi tiba-tiba Jayadrata dan ribuan pasukannya datang. Mereka menutup jalan yang sudah dibuka oleh Abhimanyu. Kami gugup, tak siap, dan kalah dalam jumlah. Sungguh memalukan, kami tidak bisa menolong Abhimanyu hingga putramu itu tewas dibunuh secara keji."
Setelah mendengar kisah kematian anaknya, Arjuna bersumpah, "Besok, sebelum matahari terbenam, aku akan bunuh Jayadrata yang menyebabkan kematian anakku. Jika Drona dan Kripa menghalangiku, akan kubunuh kedua Mahaguru itu."
Setelah mengucapkan sumpahnya, Arjuna melepaskan
anak panah Gandiwa. Segera setelah itu, Krishna meniup trompet kerang Panchajaya dan Bhimasena berkata,
"Lepasnya anak panah dari Gandiwa Arjuna dan tiupan trompet Panchajaya Krishna berarti kematian bagi semua anak Dritarastra."
*** 49. Jayadrata Harus Ditumpas Sumpah Arjuna bahwa ia akan membunuh Jayadrata, putra Raja Wridaksatra, sebelum matahari terbenam
terdengar oleh pihak Kaurawa lewat mata-mata mereka.
Pada waktu Jayadrata lahir, ayahnya mendengar suara gaib yang berkata, "Kelak bayi ini akan mencapai kemasyhuran dan kebesaran, dan akan tewas di tangan musuhnya dalam suatu pertempuran besar. Dengan demikian, ia akan mencapai tempat yang layak bagi seorang kesatria di
alam baka. Ia akan menemui ajalnya dengan kepala
terpisah dari tubuhnya."
Raja Wridaksatra sedih mendengar suara gaib yang meramalkan kematian anaknya kelak. Dengan hati kusut
dan pikiran kacau ia mengucapkan kutuk-pastu, "Siapa
yang kelak menyebabkan kepala anakku terguling-guling di tanah, kepalanya akan pecah berantakan."
Ketika Jayadrata telah dewasa, Raja Wridaksatra menyerahkan Kerajaan Sindhu kepadanya. Kemudian ia menyepi ke hutan untuk bertapa. Hutan tempatnya bertapa kebetulan dekat dengan padang Kurukshetra, tempat berlangsungnya perang besar Bharatayuda.
"Aku tidak ingin terlibat lagi dalam peperangan ini. Aku akan kembali ke negeriku," kata Jayadrata kepada Duryo-dhana setelah mendengar berita tentang sumpah Arjuna.
"Jangan khawatir, Saudaraku. Semua kesatria perkasa ada di pihak kita. Kami senantiasa siap melindungimu jika
keselamatanmu terancam. Karna, Citrasena, Bhurisrawa,
Salya, Drona, Sakuni, Purumitra, Satyawrata, Duhsasana, Wikarna, Durmukha, Subahu, Awanti, dan aku sendiri siap membelamu. Hari ini aku akan mengerahkan seluruh balatentara Kaurawa untuk melindungimu dari serangan Arjuna. Jangan khawatir, engkau tidak perlu pergi hari ini," kata Duryodhana membujuk Jayadrata agar tidak meninggalkan perkemahan Kaurawa.
Untuk meyakinkan diri, Jayadrata pergi menemui
Mahaguru Drona. Ia berkata, "Mahaguruku, engkau telah mengajar kami, aku dan Arjuna. Engkau sangat mengenal
kami berdua. Bagaimana penilaianmu terhadap kami berdua""
Drona menjawab demikian, "Anakku, aku telah selesaikan tugasku sebagai guru, mengajar engkau berdua tanpa pilih kasih. Ajaran yang kuberikan kepadamu dan kepada
Arjuna sama. Tetapi, rupanya Arjuna lebih maju karena
usahanya sendiri. Ia rajin menempuh berbagai bahaya, mencari pengalaman dan berlatih dengan tekun. Tapi, engkau tidak perlu cemas karena pasukan yang amat kuat akan ditempatkan di depanmu. Arjuna pasti sulit menembusnya.
"Bertempurlah sesuai tradisi para pendahulumu yang gagah berani. Kematian akan menjumpai kita semua, tanpa kecuali. Kesatria yang mati di medan pertempuran akan mencapai surga dengan mudah. Hilangkan kecema-sanmu dan berjuanglah!"
Setelah berkata demikian, Mahaguru Drona mengatur
balatentara Kaurawa dalam formasi bunga teratai. Di pusat
bunga itu, Jayadrata aman terlindung dan berada kira-kira
180 pal di belakang barisan paling luar. Ia didamping
pasukan yang dipimpin Bhurisrawa, Karna, Aswatthama, Salya, Wrishasena dan Kripa.
Lingkaran pasukan paling dalam dia
tur dalam formasi bunga teratai, langsung dipimpin Drona. Di depannya, berjajar pasukan dalam formasi pakis sebagai pasukan tempur. Mahasenapati Drona naik kereta kebesaran yang ditarik empat ekor kuda berbulu cokelat abu-abu, dihiasi
panji-panji lambangnya sebagai mahasenapati. Ia berdiri di kereta, mengenakan mahkota mahasenapati dan membawa busur panah putih cemerlang dan senjata-senjata sakti lainnya. Keperkasaan mahasenapati itu membuat Duryo-dhana yakin bahwa hari itu Kaurawa pasti menang.
Demikianlah, di hari keempat belas, dengan kekuatan seribu kereta perang, seratus barisan gajah, tiga ribu barisan pasukan berkuda, sepuluh ribu prajurit peretas jalan, dan seribu lima ratus prajurit penyergap, Kaurawa maju ke medan perang. Di ujung depan berdiri Durma-shana, salah satu putra Dritarastra. Ia ditugaskan untuk meniup terompet dan meneriakkan tantangan kepada Arjuna. Tantangan itu diterima Arjuna, yang telah maju sampai sejauh selemparan anak panah dari Durmashana.
Pasukan penyergap yang dipimpin Durmashana kocar-kacir karena mendadak diserang oleh Arjuna. Duhsasana mencoba menolong saudaranya, tetapi dikalahkan Arjuna dan terpaksa melarikan diri, berlindung pada Drona. Arjuna lalu berhadapan dengan Drona. Setelah menyembah gurunya, ia berkata bahwa kedatangannya adalah untuk membalas kematian Abhimanyu dan melaksanakan sumpahnya untuk membunuh Jayadrata. Kata-katanya dijawab Drona dengan ucapan bahwa Arjuna takkan bisa maju sebelum berhasil menaklukkan dirinya.
Maka kedua kesatria itu saling membidikkan anak panah. Drona menggunakan panah api, Arjuna membalas dengan panah air. Perang panah itu berlangsung cukup lama. Masing-masing sama saktinya dan sama-sama memiliki panah sakti. Suatu kali, kedua panah mereka berbenturan, menimbulkan ledakan dan membuat langit tiba-tiba menjadi gelap.
Pada kesempatan itulah Krishna menasihati Arjuna agar menyelinap, menghindari Drona, lalu menembus pasukan Kaurawa dari samping sambil maju sampai ke tempat Jayadrata.
Arjuna berhasil menembus pertahanan Kaurawa lalu
berhadapan dengan pasukan Negeri Bhoja. Di bawah
pimpinan Kritawarma dan Sudakshina, dalam sekejap mata pasukan itu dapat dikalahkan oleh Arjuna. Putra Pandu itu kemudian berhadapan dengan Srutayudha, putra Dewi Parnasa, yang telah bertapa dan memperoleh senjata sakti dari Batara Baruna.
Senjata sakti itu diberikan kepada Srutayudha dengan pesan bahwa tak ada musuh yang akan dapat menaklukkannya. Tetapi, senjata itu tidak boleh digunakan untuk melawan orang yang tidak bertempur, sebab ia akan berbalik menyerang pemiliknya. Dalam pergulatan melawan Arjuna, Srutayudha menggunakan senjata itu untuk menggempur Krishna, sais kereta Arjuna. Ia tidak tahu, Krishna telah bersumpah tidak akan mengangkat senjata dalam pertempuran Bharatayuda. Sewaktu ia membidikkan senjatanya ke arah Krishna untuk melumpuhkan kereta Arjuna, senjata tersebut berbalik ke arahnya dan menembus dadanya sendiri. Tewaslah Srutayudha.
Raja Negeri Kamboja, saudara Srutayudha, bersama kedua putranya, menggantikannya menghadapi Arjuna. Mereka bertiga gugur di tangan Arjuna yang sedang mengamuk.
Duryodhana cemas melihat cepatnya Arjuna menembus pertahanan Kaurawa. Ia segera menemui Drona dan memprotes sikap mahaguru itu, "Arjuna menyebabkan pasukan kita kocar-kacir. Mereka yang mengelilingi Jayadrata yakin, tidak akan semudah itu Arjuna menerobos pasukan kita. Buktinya, sekarang ia sudah hampir mendekati Raja Sindhu. Para prajuritku sudah kehilangan keberanian. Arjuna dapat melewatimu tanpa perlawanan. Aku yakin, pasti ada yang tidak beres. Rupanya engkau memihak Pandawa dan membiarkan anak Pandu itu menghabisi para prajuritku tanpa perlawanan berarti.
"Ketahuilah, aku telah menahan Jayadrata agar jangan kembali ke negerinya. Sekarang Arjuna akan menggempurnya. Jayadrata pasti akan menemui ajalnya. Aku merasa berdosa. Pergilah engkau dan selamatkanlah nyawa
Raja Sindhu." Mendengar kata-kata Duryodhana, Drona menjawab, "Tuanku Raja, tak ada gunanya aku menanggapi kata-katamu yang kauucapkan tanpa dipikirkan lebih dahulu.
"Wahai muridku, bagiku engkau tak beda
dengan anakku sendiri. Ambil senjata ini dan hadang Arjuna. Aku
tidak bisa meninggalkan medan ini, sebab Yudhistira akan
segera sampai di sini bersama pasukannya yang paling kuat.
"Lihatlah asap dan debu yang menandakan gerakan
pasukan Pandawa. Yudhistira maju tanpa didampingi Arjuna. Ini kesempatan bagi kita untuk menculik dia. Kita tidak boleh membatalkan rencana kita untuk menangkap dia hidup-hidup. Kalau aku pergi menggempur Arjuna, pasukan kita akan berantakan. Pergilah engkau berbekal senjata yang dapat memusnahkan musuh. Kenakan jubah yang tidak bisa ditembus senjata apa pun. Semoga engkau
berhasil dan menang!" kata Drona dengan sabar.
Setelah menerima senjata sakti dari Drona dan mengenakan jubah gaib, dengan diiringkan pasukan amat besar Duryodhana menyerang Arjuna dengan hati mantap.
Sementara itu, Arjuna sudah jauh menembus formasi pasukan Kaurawa. Waktu Krishna hendak menghentikan keretanya dan membiarkan kuda-kudanya beristirahat sebentar, tiba-tiba dua bersaudara, Winda dan Anuwinda, menyerangnya. Tetapi, seperti para kesatria sebelumnya, dengan mudah Arjuna menewaskan mereka.
Ketika Arjuna dan Krishna sedang duduk-duduk beristirahat dan kuda mereka sedang makan rumput, dari kejauhan Duryodhana datang mendekat sambil berteriak lantang, "Kata orang engkau gagah berani dan pandai bertempur. Aku belum pernah melihat kehebatanmu dengan mataku sendiri. Sekarang aku ingin menyaksikan kemahiranmu berperang. Hai Arjuna, bangkitlah!"
Arjuna dan Duryodhana bertempur dengan hebat. Krishna heran sebab setiap anak panah yang dilepaskan dari Gandiwanya mental, tak bisa melukai Duryodhana. Ia lalu berkata, "Aneh! Apakah Gandiwamu sudah kehilangan
kesaktiannya" Tak satu pun anak panahmu bisa melukai
Duryodhana. Seperti batang ilalang, anak panahmu berjatuhan setelah menyentuh tubuhnya. Aku bingung."
Arjuna tersenyum sambil berkata, "Ya, aku tahu. Dur-yodhana pasti mendapat pinjaman senjata dari Drona. Mahaguru pernah mengajarkan padaku, bagaimana caranya melumpuhkan kekebalan dan kesaktian senjata itu. Engkau akan melihat kejadian lucu nanti."
Sambil berkata demikian, Arjuna terus melepaskan anak panahnya untuk melumpuhkan kuda, kereta, dan sais Duryodhana. Pikirnya, pasukan Kaurawa akan mudah dilucuti. Kemudian Arjuna melepaskan sebatang anak panah kecil yang mengandung racun penyengat ke arah tubuh Duryodhana yang tidak tertutup jubah. Bagaikan disengat lebah besar beracun, Duryodhana lari sambil berteriak-teriak kesakitan. Anak panah kecil itu tepat mengenai tubuhnya.
Kemudian Krishna meniup trompet kerangnya. Bunyinya menggema sampai terdengar oleh pasukan yang mengawal Jayadrata. Mereka kaget sekali. Para senapati mereka, yaitu Karna, Salya, Bhurisrawa, Aswatthama, Wisbasena, Chala dan Jayadrata lalu menyiagakan pasukan mereka masing-masing.
Sementara itu, Dristadyumna, yang dengan mahir mengemudikan keretanya yang ditarik empat kuda berbulu putih seputih bulu merpati. Ia menyerang Drona, menebas tali kekang kuda-kuda penarik keretanya dan menyusulnya dengan serangan dari tangga dan dari samping kereta. Alangkah perkasanya kedua kesatria itu. Sebentar mendekat, kemudian menjauh, lalu mendekat lagi. Masing-masing dengan kereta dan kuda yang tegap dan kokoh.
Pertarungan itu berlangsung lama. Drona tidak mudah ditaklukkan. Nyawa Dristadyumna nyaris melayang kalau tidak diselamatkan oleh Satyaki. Pada saat yang genting, kesatria itu datang mendekat sambil merentangkan busurnya dan membidik busur Drona. Kena! Dristadyumna dapat diselamatkan, sementara para kesatria yang terluka
dilarikan ke tempat yang aman.
Bagaikan ular kobra raksasa, Mahaguru Drona menyerang Satyaki yang menantangnya dengan berkata, "Engkau brahmana yang meninggalkan kewajibanmu sebagai pen-dita dan memilih berlaga di medan perang. Engkau membuat Pandawa terpaksa bertempur mati-matian. Engkau
membuat Duryodhana semakin sombong. Engkau harus menerima buah perbuatanmu."
Sungguh sengit pertarungan Satyaki dengan Drona. Pasukan kedua pihak sampai berhenti berperang. Para penonton kagum melihat pertarungan dua senapati sakti itu. Berkali-kali kereta mereka b
ertumbukan. Panji-panji mereka sudah jatuh. Meskipun masing-masing luka parah, mereka tetap bertempur dengan gagah berani. Setiap anak panah yang dilepaskan Drona selalu berhasil dipatahkan oleh Satyaki dengan menghantam busur Drona. Tidak kurang dari seratus busur Drona telah dipatahkan Satyaki.
Drona berkata dalam hati, "Kesatria ini pantas disejajarkan dengan Sri Rama, Kartawirya, Arjuna, atau
Bhisma." Ia menyerang Satyaki dengan senjata penyembur
api. Serangan itu dibalas Satyaki dengan senjata penyembur air.
Akhirnya, betapa pun kuatnya Satyaki, ia lemas dan kehilangan banyak tenaga karena luka-lukanya. Mengetahui itu, Drona bersiap untuk menyerang, seperti seekor kucing hendak menerkam anak burung. Melihat itu, Yudhistira segera memerintahkan para perwira yang ada di
dekatnya untuk menyelamatkan Satyaki. Untunglah
mereka berhasil. Baru saja Satyaki berhasil diselamatkan, Yudhistira mendengar bunyi trompet kerang Krishna melengking nyaring. Tetapi, ia tidak mendengar bunyi desing anak
panah yang dilepaskan dari Gandiwa Arjuna. Yudhistira
cemas, tidak mungkin terompet kerang Krishna dibunyikan tanpa dibarengi ledakan Gandiwa Arjuna. Pasti Arjuna terkena malapetaka, pikir Yudhistira. Pasti Arjuna dikepung musuh. Mungkin malah sudah dibunuh dan
Krishna terpaksa mengangkat senjata dan melawan Kaurawa.
Ia memanggil Satyaki dan berkata kepadanya, "Satyaki, engkau sahabat Arjuna yang terdekat. Tak ada yang tak dapat kaulakukan untuk menolong Arjuna. Aku yakin,
Arjuna pasti sudah dikepung musuh. Jayadrata adalah
kesatria sakti yang didukung berpuluh-puluh kesatria
terbaik Kaurawa. Waktu kami hidup dalam pengasingan,
Arjuna pernah berkata bahwa tak ada prajurit yang sebaik Satyaki. Pergilah engkau segera, bantulah Arjuna!"
Dalam keadaan masih lemas, Satyaki menjawab, "Wahai Raja yang tak pernah berbuat dosa, aku akan lakukan perintahmu. Apa yang tidak kulakukan demi Arjuna" Nyawaku bagaikan setitik embun dalam samudera, tak ada artinya. Demikianlah pengabdianku kepada Pandawa. Tetapi ijinkan aku mengatakan bahwa Krishna dan Arjuna
telah berpesan: sesaat pun aku tidak boleh meninggalkanmu sebelum mereka kembali dari menghabisi Jayadrata.
Kata mereka, 'Waspadalah dalam menjaga Yudhistira. Kami percayakan keselamatannya padamu. Drona berniat menculiknya.'
"Demikian pesan mereka. Sekarang kauperintahkan aku menolong Arjuna. Sesungguhnya kesaktian Arjuna tidak perlu disangsikan. Kekuatan Jayadrata dan para kesatria yang mengelilinginya tidak lebih dari seperenam-belas kekuatan Arjuna. Kalau aku pergi, kepada siapa aku dapat mempercayakan keselamatanmu, Dharmaputra" Tak seorang pun di sini yang dapat menahan serangan Drona kalau ia datang menculikmu. Pikirkanlah masak-masak!"
"Satyaki, aku telah pikirkan masak-masak. Pergilah engkau dengan ijinku. Jangan khawatir, di sini ada Bhima, Dristadyumna dan yang lain. Jangan khawatirkan diriku," kata Yudhistira yang lalu menyuruh orang menyiapkan senjata dan kereta untuk Satyaki.
"Bhimasena, jagalah Dharmaputra. Hati-hatilah engkau," kata Satyaki kepada Bhima sesaat sebelum ia melecut kudanya menuju ke tempat Arjuna bertempur
melawan Jayadrata. Mengetahui Satyaki pergi, Drona kembali menyerang
Yudhistira dengan serangan yang lebih hebat dan pasukan lebih kuat.
Sudah lewat tengah hari, tetapi Arjuna belum juga kembali. Demikian pula Satyaki. Yudhistira cemas dan bingung, lebih-lebih karena pasukan Kaurawa yang dipimpin Drona semakin dekat.
"Bhima, aku makin cemas. Matahari telah condong ke barat, tetapi tidak ada tanda-tanda mereka akan kembali," kata Yudhistira kepada Bhimasena.
"Aku belum pernah melihat engkau bingung seperti sekarang," jawab Bhima. "Katakan apa yang harus kulakukan. Jangan biarkan pikiranmu terbenam dalam rasa cemas."
"Bhimasena, aku khawatir saudaramu telah tewas dibunuh musuh. Bunyi trompet Krishna tanpa dibarengi ledakan Gandiwa Arjuna membuatku bingung. Mungkin Krishna sudah mengangkat senjata, padahal ia telah bersumpah tidak akan mengangkat senjata. Pergilah engkau, bergabunglah dengan mereka dan Satyaki. Lakukan apa yang harus kaulakukan dan kembalilah segera. Ji
ka bertemu mereka dalam keadaaan hidup,
mengaumlah seperti singa - auman yang biasa engkau
perdengarkan," perintah Yudhistira kepada Bhimasena.
"Raja yang kuhormati, jangan engkau bingung. Aku akan pergi menuruti perintahmu," jawab Bhima. Ia menoleh kepada Dristadyumna dan berkata kepadanya, "Pan-chala, kau tahu secara terperinci niat Drona menangkap Dharmaputra hidup-hidup untuk diserahkan kepada Dur-yodhana. Tugas kita yang utama adalah menyelamatkan dia. Tetapi aku harus taat pada perintahnya. Aku percayakan dia kepadamu. Jagalah dia baik-baik!"
Dalam perjalanan menuju tempat Arjuna, Bhima harus bertempur melawan pasukan Kaurawa yang dipimpin Drona. Bagaikan seekor singa menerjang gerombolan rusa, Bhima membunuh sebelas putra Maharaja Dritarastra
hingga ia berada dekat sekali dengan Drona. Gurunya itu berkata bahwa Bhima tidak bisa lewat begitu saja tanpa lebih dulu mengalahkannya. Drona mengira Bhima akan berbuat seperti Arjuna ketika menerobos pasukan Kau-rawa untuk mencapai tempat Jayadrata, yaitu dengan penuh hormat menghindari gurunya.
Tetapi Bhimasena lain. Dengan tegas ia membalas tantangan Drona. Katanya, "Wahai Brahmana, bukan karena ijinmu Arjuna dapat menerobos pasukan Kaurawa. Yang benar, itu terjadi karena engkau memang setengah hati melawan Arjuna. Arjuna selalu sangat menghormatimu. Dengan aku urusannya lain! Dulu engkau memang guruku, sekaligus ayah bagi kami. Tetapi sekarang engkau musuhku. Dulu kami menghormatimu. Tetapi sekarang engkau sendiri telah memutuskan untuk menjadi musuh kami. Baiklah, kau menentukan pilihan dengan sadar. Bagi kami, tidak ada pilihan lain."
Sambil berkata demikian, Bhima melemparkan gada ke kereta Drona. Kereta itu hancur! Drona mengganti keretanya dengan yang baru. Tetapi begitu diganti, ia digempur lagi oleh Bhimasena. Delapan kereta Drona diremukkan.
Selanjutnya Drona dibantu pasukan Negeri Bhoja, tetapi
pasukan itu juga dilumpuhkan Bhimasena. Kesatria Pandawa itu maju sampai ke dekat tempat Arjuna bertarung melawan Jayadrata.
Segera setelah melihat Arjuna, Bhimasena mengaum bagai singa lapar. Suaranya berkumandang di udara. Krishna dan Arjuna mendengar Bhima mengaum, lalu membalas dengan isyarat penuh kegembiraan. Sayup-sayup Dharmaputra mendengar auman Bhima. Maka hilanglah segala kecemasan dan keraguannya. Serta merta ia memanjatkan doa dan mengucapkan mantra demi keselamatan Arjuna.
Pertempuran berkobar di mana-mana. Duryodhana mengeluh lagi kepada Drona. Katanya, "Arjuna, Satyaki dan
Bhimasena menghadapi kita dengan cerdik dan kita hampir mati konyol. Dengan mudah mereka bisa
menerobos sampai ke tempat Raja Sindhu.
"Aneh, di bawah pimpinanmu pasukan kita selalu
kocar-kacir. Setiap orang bertanya kepadaku. Bagaimana Drona bisa seperti itu, padahal dia kesatria besar, ahli berbagai strategi perang dan menguasai segala macam
senjata" Mengapa dia selalu ditaklukkan Pandawa dengan mudah" Jawaban apa yang dapat kuberikan kepada
mereka" Apakah engkau berniat mengkhianatiku"" "Duryodhana, tuduhanmu tidak beralasan karena tidak
didasarkan kebenaran. Tidak ada gunanya bicara yang
tidak perlu. Situasi saat ini sedang sangat gawat. Jangan buang-buang waktu. Tiga senapati musuh sudah maju mengepung kita. Tetapi, kita tidak usah cemas atau bingung, karena kekuatan belakang mereka dipimpin Yudhistira yang pasti dapat kita kalahkan dengan mudah. Kini kita berada di kedua sisi mereka dan itu membuat posisi mereka tidak aman. Pergilah dan bantulah Jaya-drata sekali lagi. Aku akan menghadapi pasukan Pandawa yang dipimpin Yudhistira," kata Drona menyemangati Duryodhana, meskipun sebenarnya ia tersinggung karena hinaan putra mahkota Kaurawa itu.
*** Ketika Bhima sampai di dekat Arjuna, Karna berteriak
mengejek dan menantangnya, "Ooo... ini orangnya! Kesatria rakus berperut gendut yang tidak tahu apa-apa tentang ilmu perang. Kalau kau memang berani, jangan berbalik punggung dan kabur meninggalkan medan perang seperti pengecut!"
Bhimasena tidak tahan mendengar hinaan itu. Segera ia mendekati Karna, siap menghantamnya. Sambil tersenyum Karna mengelak, menjauhkan diri. Sebaliknya, dengan wa
jah merah padam Bhimasena terus maju menggempur
Karna. Maka, terjadilah pertempuran hebat antara kedua jagoan itu. Karna selalu menghindari perkelahian jarak dekat dengan terus menerus melepaskan anak panah ke arah Bhima. Tak terhitung banyaknya anak panah yang menancap di tubuh kesatria Pandawa itu. Tetapi raga Bhima sangat kokoh bagai baja, sedikit pun ia tidak merasa sakit. Dia terus maju. Darah menetes dari lukanya, bagaikan bunga-bunga asoka merah berguguran. Dengan tangkas berkali-kali dia menghantamkan gadanya pada kereta Karna sampai kereta itu hancur berantakan. Setelah itu ia menjauh, sementara Karna mengganti keretanya. Beberapa kali demikianlah yang terjadi. Karna mengganti keretanya dan Bhimasena menghancurkannya. Semangat Bhima berkobar-kobar karena ia ingat penghinaan Kau-rawa terhadap Draupadi dan saudara-saudaranya.
Untuk kesekian kalinya, mereka memacu kereta
masing-masing, saling mendekat. Kereta Karna ditarik empat kuda berbulu putih susu, kereta Bhima ditarik empat kuda berbulu hitam arang. Pertarungan kedua kesatria itu berlangsung sangat seru.
Setiap kali Karna mengangkat busur baru, Bhimasena mematahkannya dengan gadanya, sampai akhirnya Karna kehabisan busur. Ketika Karna sedang kebingungan kehabisan busur, Bhimasena menghantam kereta Karna sampai kereta itu hancur. Terpaksa Karna melompat turun. Pada saat itulah Duryodhana memanggil Durjaya, saudaranya, dan memerintahkan, "Kesatria Pandawa laknat itu
akan membunuh Karna. Cepatlah ke sana! Serang dia! Halangi dia! Hantam dia! Selamatkan Karna!"
Serangan Durjaya disambut Bhimasena dengan tangkas, lebih-lebih karena ia telah bersumpah hendak membunuh semua anak Dritarastra. Dalam waktu singkat Bhimasena dapat mematahkan pukulan Durjaya. Dia melemparkan beberapa gada serentak. Satu per satu kuda, kereta dan Durjaya sendiri roboh bagaikan pohon tumbang. Sementara itu, Karna sempat mengganti keretanya dengan yang baru.
Pertarungan berulang antara Karna dan Bhimasena. Kali ini makin seru! Panah-memanah, lembing-melembing, tombak-menombak tidak henti-hentinya. Tetapi gada Bhima lagi-lagi tepat mengenai kereta Karna yang baru, sais dan keretanya remuk, terserak di tanah.
Karna kini berdiri di tanah sambil merentang busurnya. Duryodhana mengirimkan saudaranya yang lain, yaitu Durmuka. Sama seperti Durjaya, Durmuka pun tewas di tangan Bhimasena. Setelah menewaskan Durjaya dan Durmuka, Bhima terus menyerang Karna. Anak panahnya tepat mengenai jubah Karna sehingga kesatria itu hampir telanjang dibuatnya.
Lima saudara Duryodhana datang lagi, yaitu Durmursa,
Dussaha, Durmata, Durdara dan Jaya. Mereka membantu Karna menyerang Bhimasena yang dengan tangkas menghadapi lima kesatria muda itu. Dengan penuh semangat, bagaikan pemburu berpengalaman yang girang melihat lima ekor kijang muda di depannya, Bhimasena menghantamkan gada-gadanya ke tubuh lima kesatria itu. Seketika itu juga kelimanya jatuh bergelimpangan di
tanah... tewas. Karna merasa malu melihat korban berjatuhan di
hadapannya karena membela dirinya. Ia menyesal karena
tidak segera menyerang Bhimasena habis-habisan. Sebaliknya, karena ingat akan penghinaan Karna di masa lalu, Bhimasena semakin garang dan ingin segera membunuhnya. Dengan kereta yang baru lagi, Karna menyerang Bhimasena. Meskipun sudah berusaha keras, posisi Karna selalu terpojok. Hal itu membuat Duryodhana mengirimkan bantuan lagi. Tujuh saudaranya, Citra, Upacitra, Citraksa, Carucitra, Sarasena, Citrayuda dan Citrawarman, diperintahkan menggempur Bhimasena. Mereka bertempur dengan gagah berani. Tetapi Bhimasena meremukkan mereka bersama kereta masing-masing.
Kegarangan Bhimasena membuat Duryodhana sangat marah sekaligus khawatir akan nasib Karna di tangan Bhimasena. Untuk kesekian kalinya, Duryodhana mengirimkan tujuh saudaranya untuk menggempur Bhimasena. Tetapi, kesatria Pandawa itu tidak dapat ditundukkan lagi. Ketujuh saudara Duryodhana yang baru dikirim diamuknya hingga tewas.
Ketika pertarungan sedang berlangsung seru, datanglah
Wikarna. Melihat kesatria itu terlibat dalam pertempuran,
Bhimasena menghantamnya dengan gada hingga tew
as seketika. Melihat itu, Bhimasena merasa sedih dan menyesal. Katanya kepada Wikarna sebelum kesatria itu menghembuskan napasnya yang terakhir, "Wahai Wikarna,
engkau orang yang adil dan mengerti arti dharma. Engkau
bertempur karena panggilan kewajiban, dan aku terpaksa membunuhmu karena panggilan kewajiban juga. Perang ini sangat terkutuk, lebih-lebih karena orang sebaik engkau dan Bhisma menjadi korban."
Karna tak bisa lagi tersenyum-senyum. Wajahnya merah padam, menahan malu dan amarah. Ia malu karena tak bisa mengalahkan Bhimasena dan marah karena melihat korban berjatuhan di depannya padahal mereka diutus untuk membelanya.
Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pasukan kedua pihak tertegun menyaksikan pertarungan Karna dan Bhimasena. Sama kuatnya, sama tangkasnya, sama saktinya. Suatu saat Bhimasena tersudut. Keretanya hancur, kuda-kudanya mati. Ia terpaksa melompat turun lalu berlari mendekati Karna. Dengan tangkas ia melompat naik ke kereta musuhnya. Bhima mengayunkan gadanya, tetapi Karna mengelak dan berlindung di belakang tiang panji-panjinya. Ia bahkan sempat menghantam punggung Bhimasena hingga kesatria Pandawa itu terjungkal ke tanah.
Kini Bhimasena tak punya senjata lagi. Gadanya yang
terakhir remuk dihantam Karna. Tetapi ia tidak mau menyerah begitu saja. Apa saja yang dapat diambilnya dijadikannya senjata: roda kereta, tombak patah, mayat musuh,
bangkai gajah. Dengan cekatan ia menggunakan senjata-senjata itu untuk menyerang Karna. Karna membalas. Sekarang keselamatan Bhima terancam, tanpa kereta
tanpa senjata. Sesaat kesatria Pandawa itu tertegun, mati langkah. Kesempatan itu digunakan Karna untuk menghina dan mencaci maki Bhimasena yang sudah tak berdaya.
Krishna berkata kepada Arjuna, "Lihat Dhananjaya, Bhimasena tidak berdaya dan dihina oleh Karna."
Melihat saudaranya dihina, Arjuna tak dapat menahan diri lagi. Ia merentangkan Gandiwanya, memasang sebatang anak panah sakti, membidikkannya, lalu melepaskannya. Semua itu dilakukannya dalam sekejap mata. Terdengar bunyi ledakan ketika anak panah itu lepas dari busurnya, meluncur cepat lalu menancap tepat pada sasaran. Kereta Karna bergoyang hebat. Penunggangnya jatuh. Karna memandang ke segala arah, mencari orang yang mencederainya. Ketika tahu serangan itu dilancarkan Arjuna, hatinya senang karena ia ingat akan sumpahnya di depan Dewi Kunti.
*** Sementara itu, kedatangan Satyaki justru membuat Arjuna khawatir karena kesatria itu sebenarnya ditugaskan menjaga Yudhistira, lebih-lebih karena Bhurisrawa ada di sekitar situ. Arjuna tahu, keluarga Satyaki dan keluarga Bhu-risrawa sudah bermusuhan sejak jaman nenek moyang mereka.
Dahulu, ada seorang gadis cantik bernama Dewaki. Kecantikan dan kehalusan budinya terkenal di mana-mana hingga banyak putra mahkota kerajaan ingin menyuntingnya. Timbullah persaingan keras di antara mereka. Waktu itu putra mahkota Dwaraka yang masih perjaka mengutus Sini untuk bertarung atas namanya, melawan Somadatta, untuk memperebutkan Dewaki. Sini memenangkan pertempuran itu, melarikan Dewaki dan menyerahkan putri itu kepada putra mahkota Dwaraka. Tak lama kemudian putra mahkota itu diangkat menjadi Raja Dwa-raka dan menikahi Dewaki. Pasangan itu dikaruniai tiga anak, Balaputra atau Baladewa, Krishna, dan Subadra.
Sejak itu permusuhan antara Sini dan Somadatta tak dapat didamaikan, bahkan sampai turun-temurun. Satyaki adalah cucu Sini, dan Bhurisrawa adalah anak Somadatta.
Waktu Bhurisrawa melihat Satyaki, seketika itu juga rasa permusuhan berkobar di dadanya. Bhurisrawa yang sudah lanjut usia itu menantang Satyaki dengan berkata, "Sombong benar engkau, menganggap diri kesatria besar tak terkalahkan. Tunjukkan kekuatanmu. Temui ajalmu di tanganku. Sudah lama aku menunggu pertemuan ini. Akan kukirim kau secepatnya ke hadapan Batara Yama."
Satyaki menjawab sambil tersenyum, "Tutup mulutmu! Tak ada gunanya omong besar. Kata-kata bukan ukuran perbuatan. Jangan coba menakut-nakuti orang yang sudah siap bertempur. Tunjukkan kegagahanmu dan jangan berkhayal."
Setelah saling melontarkan kata-kata ejekan, mereka terlibat pertarungan yang sangat dahsyat.
Kereta mereka saling be rtumbukan, kuda-kuda terbunuh, kereta hancur, busur patah-patah. Mereka berdiri di tanah, sama-sama memegang perisai dan menghunus pedang. Terjadilah pertarungan sengit. Mereka saling menebaskan pedang dan saling menangkis. Setelah pedang dan perisai hancur, mereka bergulat, banting-membanting. Sebentar Bhurisrawa berada di bawah, sebentar kemudian Satyaki yang tertindih.
Saat itu Arjuna masih sibuk menghadapi pasukan Jaya-drata. Krishna yartg melihat Satyaki mulai lemas, berkata kepada Arjuna, "Dhananjaya, Satyaki tampak kehabisan napas. Bhurisrawa mungkin akan berhasil membunuhnya. Satyaki datang untuk membantumu, tapi ia terpaksa bertarung dengan Bhurisrawa karena ditantang olehnya. Pertarungan mereka tidak seimbang, karena Satyaki tidak bersenjata lengkap. Kalau engkau tidak membantu Satyaki, ia pasti mati dibunuh Bhurisrawa."
Arjuna tidak menghiraukan kata-kata Krishna. Ia terus bertarung melawan Jayadrata. Krishna terus mengawasi pertarungan Satyaki dengan Bhurisrawa. Dilihatnya putra
Somadatta mengangkat Satyaki yang sudah lemas dan membantingnya keras-keras ke tanah. Cucu Sini itu
langsung terkapar tak sadarkan diri. Bhurisrawa lalu menyeretnya, bagai singa menyeret mangsanya ke
sarangnya. "Satyaki sudah tak berdaya ketika diseret Bhurisrawa.
Ia putra terbaik bangsa Wrisni yang masuk ke medan Kurukshetra untuk membantumu melawan Kaurawa. Di depan matamu dia akan dibunuh tetapi engkau tidak berbuat apa-apa," kata Krishna lagi.
Arjuna bimbang, pikirannya bercabang. Katanya, "Bhurisrawa datang ke medan perang ini bukan karena tan-tanganku dan sebaliknya ia juga tidak menantang aku. Bagaimana aku bisa memanah dia sementara aku masih
sibuk bertempur dengan musuhku" Aku bimbang. Pikiranku tidak mengijinkan aku berbuat demikian, padahal teman sejatiku yang datang untuk membantuku hendak dibunuh di depan mataku."
Lama Arjuna ragu-ragu, tak tahu apa yang harus
diperbuatnya. Ribuan anak panah berlesatan di angkasa, dilepaskan dari busur Jayadrata. Arjuna terpaksa melayani
serangan itu. Krishna terus mendesak Arjuna agar menolong Satyaki yang tak sadarkan diri sementara Bhurisrawa siap mengayunkan pedangnya untuk menebas lehernya. Ketika Arjuna menoleh ke belakang, dilihatnya Bhurisrawa berdiri di atas tubuh Satyaki sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Sesaat kemudian kesatria itu mengayunkan pedangnya ke arah leher Satyaki.
Secepat kilat Arjuna melepaskan anak panahnya. Anak panah itu melesat cepat, menyambar dan memotong tangan Bhurisrawa. Kesatria itu jatuh terpelanting ke tanah sambil memegangi pedangnya. Bhurisrawa menoleh ke arah Arjuna.
"Ah, anak Dewi Kunti," katanya. "Aku tidak mengira serangan ini datangnya dari engkau. Menyerang dari belakang tidak sesuai dengan watak kesatria. Aku datang untuk bertarung melawan seseorang. Muka dengan muka.
Berhadapan. Tapi engkau menyerangku dengan licik dari belakang. Benarlah kata sang bijak: sesungguhnya tak seorang pun dapat menahan pengaruh iblis dalam dirinya, tidak juga engkau yang sebenarnya patut dihormati.
"Dhananjaya, jika nanti kaukembali ke tempat saudaramu, Yudhistira, bagaimana engkau akan menceritakan
perbuatanmu ini" Hai Arjuna, siapa yang mengajarkan kelicikan itu kepadamu" Apakah Batara Indra, Mahaguru
Drona atau Kripa" Tata krama apa yang mengijinkanmu menyerang seseorang dari belakang" Engkau bertindak seperti keturunan orang hina. Perbuatan nistamu telah mengotori kehormatanmu. Perbuatanmu ini pasti dipengaruhi oleh Krishna.
"Aku tahu, ini bukan sifatmu. Ini pasti karena kau
terpengaruh oleh Krishna. Ingatlah, tak seorang kesatria pun akan merendahkan diri dengan melakukan tindakan
tercela itu." Demikian Bhurisrawa mengutuk Arjuna dan
Krishna. Partha menjawab, "Wahai Bhurisrawa, engkau telah
uzur, usia tua membuat penilaianmu berkarat. Ketahuilah,
tidak mungkin aku diam saja, jika di hadapanku kawan yang hendak menolongku terancam jiwanya. Kawanku hendak kau sembelih, padahal ia dalam keadaan tak
sadarkan diri. Lebih baik aku masuk neraka jika tidak bisa
menghalangi perbuatanmu. "Engkau katakan pikiranku telah dirusak Krishna. Tetapi tuduhanmu itu kauu
capkan dengan pikiran kacau. Satyaki datang kemari tanpa membawa senjata dan dalam keadaan lelah. Ia berniat membantuku, tetapi kau malah menantangnya.
"Setelah ia kautundukkan sampai tak sadarkan diri, dengan keji kau berniat menebas lehernya. Watak kesatria seperti apa yang mengijinkan kamu menginjak-injak tubuh orang yang tak sadarkan diri" Tidakkah kau ingat bagaimana prajurit Kaurawa bersorak-sorak dan menari-nari seperti iblis mengeroyok anakku, Abhimanyu, yang sudah tidak berdaya dan tanpa senjata"
"Wahai kesatria besar, ketahuilah, aku telah bersumpah
untuk melindungi semua temanku dalam jarak sebidikan anak panahku. Takkan kubiarkan ia terbunuh di tangan musuh. Itulah sumpah suciku. Sekarang renungkan perbuatanmu terhadap Satyaki. Bagaimana mungkin engkau menyalahkan perbuatanku" Kau melancarkan kutukan tanpa pengertian yang benar dan tepat."
Mendengar kata-kata Arjuna, Bhurisrawa terdiam. Kemudian ia bangkit dan meletakkan anak panahnya dekat kakinya. Lalu ia duduk di atas anak panah itu, seolah-olah duduk di tikar dengan kaki bersila. Kesatria tua itu bersamadi dan melakukan yoga. Melihat tindakan Bhurisrawa, pasukan Kaurawa bersorak memujinya dan mengejek Arjuna dengan kata-kata pedas.
Arjuna berkata lagi kepada Bhurisrawa, dengan cukup keras agar bisa didengar oleh mereka yang ada di sekitar
situ, "Engkau kesatria hebat. Engkau membela siapa pun yang datang meminta bantuanmu. Engkau seharusnya
sadar, apa yang terjadi sekarang ini adalah akibat kesalahanmu. Tidak adil dan tidak benar jika kau menyalahkan aku. Kalau kau mau jujur, seharusnya kau berani menyalahkan dan mengutuk kekerasan dan nafsu perang yang menguasai kehidupan seluruh bangsa kesatria."
Bhurisrawa menatap wajah Arjuna, lalu memberi hormat kepadanya dengan menundukkan kepala. Pada saat itulah Satyaki siuman. Ia segera bangkit. Melihat Bhuris-rawa ada di dekatnya, kebencian dan amarahnya seketika memuncak. Tanpa menunggu-nunggu, dia mengambil pedang dari dekat situ lalu secepat kilat menebaskannya ke leher Bhurisrawa yang sedang duduk bersila dan bersamadi. Sebelum Arjuna dan Krishna sempat merampas pedang Satyaki, kepala Bhurisrawa telah lebih dulu
terguling ke tanah. Ajaib! Badannya tetap dalam posisi
beryoga. Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Semua yang menyaksikan menahan napas dan mengutuk perbuatan Satyaki yang kemudian berdiri tegak dan berseru lantang, "Setelah
aku jatuh tak sadarkan diri, musuh keluargaku ini menginjak-injak aku dan hendak memancung leherku.
Untuk membalas perbuatannya, aku berhak membunuh
dia dalam keadaan apa pun. Aku bukan orang yang pantas dikutuk.
Apa pun anggapan Kaurawa maupun Pandawa mengenai kematian Abhimanyu dan Bhurisrawa dalam pertempuran di Kurukshetra yang dahsyat, namun pertentangan batin dan konflik moral sebagai akibat peperangan itu akan menjadi ukuran bagi nilai-nilai pandangan hidup manusia di dunia ini untuk di masa datang. Dari masa ke masa peristiwanya mungkin sama, tetapi tanggapannya bisa berbeda.
*** Di tengah pasukan Kaurawa, Duryodhana berkata kepada Karna. "Karna, hari telah sore. Jika malam tiba dan Jayadrata belum juga terbunuh, Arjuna akan malu besar. Dia pasti akan bunuh diri karena tak dapat memenuhi sumpahnya. Kematian Arjuna berarti kehancuran Pandawa dan seluruh kerajaan akan kita kuasai. Siapa pun takkan mengungkit kekuasaan kita. Sumpah Arjuna tak mungkin terlaksana karena diucapkan tanpa pertimbangan masak-masak. Arjuna pasti hancur di tangannya sendiri.
"Rupanya hari ini bintangku terang-benderang. Kesempatan ini harus kita gunakan sebaik-baiknya. Segala sesuatu tergantung padamu. Buktikan kesanggupanmu hari ini. Lihat, matahari hampir terbenam dan hari hampir malam. Aku yakin, Arjuna takkan bisa mencapai Jayadrata. Engkau, Aswatthama, Salya, Kripa dan aku harus menjaga Jayadrata sekuat tenaga agar ia tidak jatuh ke tangan Arjuna. Kita harus terus menjaganya sampai beberapa saat sesudah matahari tenggelam."
1001 Hari Di Hongkong 1 Sapta Siaga 08 Rahasia Rumah Kosong Tiga Mutiara Mustika 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama