Ceritasilat Novel Online

Pertemuan Di Sebuah Motel 4

Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari Bagian 4


"Apakah tak ada kamar lain yang kosong saat itu"" tanya Delia, ingin tahu.
"Ada. Beberapa."
232 "Aku ngerti. Kau memakaiku untuk ngetes kamar itu, kan""
"Maafkan aku." "Kalau kau mau pindah, Del, masih ada kamar lain," Kosmas menawarkan.
"Ah, nggak perlu. Di kamar itu aku mengalami banyak hal. Mungkin ada hikmahnya bagiku mendapat kamar itu."
"Jadi kau nggak marah, Kak"" tanya Erwin.
"Kenapa mesti marah" Aku senang di situ. Tapi yakinkah kau bahwa kamar itu memang sudah bersih""
"Ketika kau merasakan sengatan listrik di dinding padahal aku tidak merasakannya, aku pikir ada se suatu di sim. Kau juga mendengar tangis Yasmin padahal Yasmin tidak sedang menangis."
"Tapi kalaupun ada sesuatu, dia bermaksud baik padaku. Sudahlah, soal itu tidak usah diributkan."
"Jadi nggak mau pindah"" tegas Kosmas.
"Nggak." "Tapi aku memintamu tinggal di sini untuk waktu yang lebih lama, Del," kata Kosmas. "Bukankah kau harus periksa kesehatan" Berapa pun waktu yang diperlukan, tinggallah di sini. Jangan membayar. Kami ingin berbuat sesuatu unmkmu."
"Aku masih punya uang. Masa tak bisa membayar""
"Uang itu kaugunakan saja untuk biaya rumah sakit. Sudah. Jangan malu hati."
Mata Delia berkaca-kaca. Ia terharu.
"Jadi masalah satu lagi sudah kita dapatkan penyelesaiannya," kata Erwin lega. "Tapi masih ada yang lain. Kita bicarakan sekalian. Mengenai masa depanmu, Del."
233 Delia mengerutkan kening. "Apakah aku punya masa depan""
"Pertanyaan itu bernada pesimistis, Del. Jangan begitu. Kita memang tidak tahu apa yang ada di depan. Semua ada di tangan-Nya."
"Baik. Aku percaya. Jadi bagaimana""
"Maukah kau membantu kami di sini"" tanya Kosmas. "Kau tidak mungkin kembali ke Bandung lagi, kan" Apa yang mau kaulakukan di sana" Tapi di sini, kau bisa berbuat banyak. Kau lihat sendiri, kan" Kami memerlukan tenaga pembukuan. Dulu kau berpengalaman."
"Oh ya. Aku sarjana akuntansi."
"Nah, bagus sekali! Tapi terus terang, kami nggak bisa memberi honor besar."
Delia berpikir sejenak. Jalan keluar seperti itu sangat menolong.
"Baiklah. Terima kasih, Bang. Tapi aku nggak mau dibayar dulu sebelum benar-benar bisa bekerja secara profesional. Apalagi masalah kesehatanku belum ada kepastian."
"Jadi kau setuju"" Kosmas gembira.
"Ya. Kalian benar-benar memberiku jalan keluar yang bagus. Terima kasih banyak."
Delia mengulurkan kedua tangannya yang dijabat oleh Kosmas dan Erwin. Ketika Kosmas menatapnya dengan lekat, ia tersipu. Ia teringat ketika berada di kamar dan memeluk Kosmas. Cukup lama ia melakukannya sampai kemudian menyadari bahwa tubuh Kosmas terasa kaku tak bergerak. Pasti Kosmas tidak lagi menikmati pelukan itu karena tubuhnya sudah pegal!
Mereka kembali ke kantor. Tiba saatnya bagi Adi untuk digantikan.
234 "Bu Del, tadi ada telepon dari Bu Yasmin," Adi memberitahu. "Karena Ibu lagi makan, katanya nggak usah dipanggil. Nanti dia telepon lagi."
"Kau saja yang telepon. Nanti dia keburu tidur," kata Kosmas.
Sebenarnya Delia memang berma
ksud begitu, tapi malu. Biaya telepon naik terus.
Yasmin menyahut dengan senang, "Aku mau nele-pon lagi, tapi takut makannya belum selesai. Gini, Kak. Nggak lama-lama kok. Aku juga udah ngantuk nih. Aku mau memberitahu, tadi aku sudah nelepon Papa. Dia girang sekali kutelepon. Kami udah baikan lagi. Terima kasih untuk nasihatnya, Kak. Papa juga berterima kasih padamu. Katanya nanti ingin ketemu kau."
Delia tersenyum. Kosmas mengamatinya. Ia menganggap itu senyum paling manis yang pernah dilihatnya.
"Bagus sekali, Yas. Aku senang mendengarnya."
"Aku juga memutuskan untuk mengubah hidupku ke depan. Pokoknya nggak seperti dulu. Konkretnya belum tahu seperti apa. Mungkin aku akan cari pekerjaan, atau kegiatan yang menyenangkan."
"Bagus, Yas. Istirahat panjang ada hasilnya, kan""
"Besok ngomong lagi ya, Kak" Ngantuk nih."
"Ya, tidurlah yang nyaman. Sampai besok."
Delia menutup telepon. Segera Erwin bertanya, "Apa katanya, Kak""
Delia menyampaikan laporan Yasmin.
"Padahal aku membujuknya untuk nelepon ayahnya adalah supaya dia punya tempat berlindung yang kuat. Bukan diriku yang hidupnya tinggal sebentar lagi," Delia mengakui.
"Itu bagus. Jadi suaminya tidak lagi berani sewenang-wenang," kata Erwin.
235 "Sekarang giliranku yang ngantuk," Delia pamitan. "Aku juga ingin merenungkan percakapan kita tadi. Harus buat rencana ke depan."
Kosmas merasa berat melepas Delia. "Ingat janjimu, Del. Jangan berubah pikiran," katanya.
Delia tertawa. "Kalaupun berubah pikiran, pilnya sudah diambil Erwin. Percayalah, Bang."
Kosmas dan Erwin mengamati kepergian Delia. Lalu mereka saling pandang dengan tersenyum. Kelegaan terpancar di wajah mereka.
"Ternyata berakhir dengan baik ya, Win."
"Satu babak sudah lewat. Masih ada banyak babak berikutnya, Bang!"
"Aku tahu. Tapi yang paling kritis sudah lewat."
"Bang, sadarkah kau bahwa sekarang kau berubah" Dulu sama cewek yang lain-lain itu kau nggak seperti ini. Sekarang kau jadi romantis. Dan yang paling menonjol adalah kau jadi pinter ngomong. Rupanya bakat terpendam. Padahal tadinya pendiam."
"Aku juga nggak tahu kenapa bisa begim. Rasanya ada sesuatu yang bergejolak dalam diriku, membuatku lebih intens dan terbuka melihat sekitar. Mungkin itu yang menggerakkan lidahku hingga aku bisa berceloteh sepertinya aku ini orang bijak!"
"Betul, Bang. Kau sudah jadi orang bijak, tapi terlambat lahir! Sori, bercanda. Tapi aku kira, dorongannya adalah cinta!"
"Bukankah dulu pun aku pernah mengalami jatuh cinta" Tapi nggak seperti ini. Mungkin karena situasi-nya yang khas."
"Bukan cuma situasinya yang beda, tapi juga orangnya!"
"Betul. Tak ada orang yang sama. Tapi dia belum
236 menanggapi pernyataan cintaku. Apa aku terlalu optimis, Win""
"Kalau aku boleh memberi saran, biarpun kau optimis, jangan perlihatkan. Nanti dia jadi serbasalah. Perlihatkan bahwa kita menolong tanpa pamrih, bukan dengan harapan dia mau membalas cintamu."
"Tentu. Aku sudah cukup bahagia karena dia tak jadi bunuh diri. Selama dia masih hidup, harapan tetap ada, kan""
"Kelebihan lain adalah kesediaannya tinggal di sini. Kalian jadi berdekatan terus. Cinta bisa tumbuh dari kedekatan. Tapi cinta itu perjuangan juga, Bang. Kalau terlalu mudah didapat rasanya kurang membanggakan, bukan""
"Kau ngomong untuk dirimu sendiri juga rupanya, Win!"
"Tentu. Aku perlu menghibur diriku juga. Jarakmu dengan Delia cuma sejengkal, tapi aku dengan Yasmin jauh banget sampai tak kelihatan ujungnya."
"Katamu cinta adalah perjuangan."
"Betul. Tapi bagaimana menyingkirkan si suami""
"Eh, kau tak berpikir buruk, kan"" Kosmas terkejut.
Erwin tertawa. "Tentu saja nggak, Bang. Aku masih waras."
"Sebaiknya kau bersaing saja. Berikan perhatianmu pada Yasmin. Telepon dia tiap hari. Ngomong apa aja. Cerita kan banyak. Dengan demikian dia jadi terus ingat padamu. Segala sesuatu kan harus ada awalnya."
"Im ide yang bagus, Bang! Terima kasih."
237 BAB 24 Esoknya, sepulang dari kantor, Hendri menelepon Winata.
"Bisakah saya datang ke rumah Papa sekarang"" tanyanya.
"Tentu saja bisa. Datanglah. Aku tunggu."
Hendri agak surprise karena jawaban Winata singkat dan tak banyak be
rtanya. Semula ia menyangka akan ditanya macam-macam atau disuruh bicara saja di telepon tanpa perlu datang sendiri. Meskipun sudah mempersiapkan diri, masih ada rasa malu hingga enaknya bicara di telepon saja. Tapi ia perlu datang.
* * * Winata menunggu di ruang tamu ditemani Aryo. Keduanya membaca. Winata membaca buku sedang Aryo membaca koran. Sesekali Aryo melirik majikannya. Ia tahu, Winata merasa tegang karena ingin tahu apa maksud kedatangan Hendri. Yang pasti Winata akan lebih tegang lagi andaikata Yasmin tidak mendahului menelepon. Sekarang Winata sudah tenang.
Aryo merasa bersyukur atas majikannya itu. Bagi Winata, apa yang dilakukan Yasmin itu membuatnya jadi bernilai lebih karena mau berbaikan tanpa bujukan
238 dan tanpa takut kehilangan harta. Hal itu membuat Winata senang dan bangga. Terus terang ia menyatakan bersyukur karena dari istri keduanya ia tak beroleh anak. Boleh dikata hampir tak ada yang dirahasiakannya dari Aryo.
Aryo senang bekerja di situ meskipun tak ada hari libur khusus. Kalau memang ada keperluan, ia bisa saja minta izin untuk keluar. Istrinya akan menggantikan menemani Winata. Pekerjaannya tidak berat bila dibandingkan dengan di rumah sakit biarpun di sana ada sistim shift. Kalau Winata tidur, Aryo pun istirahat. Tapi kalau Winata duduk-duduk seperti itu, ia pun bisa istirahat juga. Pekerjaannya bukan melulu sebagai perawat, tapi juga asisten. Gajinya jauh lebih besar daripada gaji di rumah sakit. Ia pun bisa berdekatan dengan Tati, istrinya. Juga bolak-balik ke dapur bila dirinya sedang tidak dibutuhkan. Maka tak mengherankan bila bobot tubuhnya bertambah.
Bukan cuma hal itu yang membuat Aryo betah. Winata selalu baik kepadanya. Bahkan ketika ia belum bekerja sebagai perawat Winata dan datang ke situ untuk menjenguk Tati atau menjemputnya untuk pulang, Winata suka mengajaknya berbincang dan memberikan perhatian.
Saat Winata terkena serangan stroke, ia kebetulan datang untuk menjemput Tati pulang bersama-sama. Sebagai perawat berpengalaman ia sigap dan cepat. Bersama Tati ia membawa Winata ke rumah sakit dengan mobil Winata yang dikemudikannya karena Winata tak punya sopir. Tindakan cepat memang dibutuhkan untuk menangani serangan itu. Dari situlah awalnya. Aryo bukan hanya menjadi perawat tapi juga teman dalam kesepian.
Sebenarnya Winata memiliki kerabat dekat seperti
239 para keponakan dan keluarga mereka. Setelah ia dan ibu Yasmin bercerai, mereka menjauh darinya. Tambahan lagi sikap arogannya tak disukai. Tapi ia malah senang dijauhi. Daripada didekati hanya untuk dimintai uang, pikirnya. Bahkan kadang-kadang ia terus terang menyatakan kecurigaannya itu. Maka ia semakin dijauhi. Daripada disangka mau minta sedekah kalau mendekat, lebih baik jauh-jauh saja. Karena itu ketika ia sakit tak ada kerabat yang menengok. Yang datang hanya relasi dan karyawan.
Semula Winata tidak terlalu risau ketika Yasmin memutuskan untuk ikut ibunya bahkan marah kepadanya. Ia yakin akan punya anak lagi dengan istri barunya sebagai pengganti. Ia ingin punya anak banyak supaya kehilangan satu masih ada yang lain. Ternyata, jangankan banyak, satu saja tak ia peroleh. Bahkan istri baru pun pergi.
Lalu ia dilanda ketakutan kalau-kalau sampai mati pun ia sendirian. Ia merindukan Yasmin dan ingin ditemani olehnya. Ingin merasakan kasih sayang sebelum ajal merenggutnya. Kasih sayang yang hanya bisa diberikan seorang anak, yang punya ikatan batin dengannya. Bukan orang-orang seperti Aryo dan Tati. Mereka dekat dengannya karena ikatan kerja.
Sebenarnya dokter sudah menenangkannya. Ia belum masuk kategori sekarat, Harapan hidup masih panjang asal ia pandai menjaga diri. Tapi ia tetap merasa takut. Untuk apa umur panjang kalau badan loyo tak punya semangat"
Winata menarik napas panjang.
"Kenapa, Pak"" tanya Aryo.
"Kenapa dia nggak ngomong lewat telepon aja ya""
"Mungkin penting, Pak. Atau ceritanya panjang."
"Ngarangnya kepanjangan, kali."
240 "Mungkin, Pak."
"Aku benci dibohongin, Yo. Rasanya dianggap bodoh."
"Jangan berandai-andai dulu, Pak. Lihat saja nanti."
Winata memang tak perlu berpikir lebih lama. Hendri suda
h datang. Aryo menyilakannya masuk. Setelah Hendri duduk berhadapan dengan Winata, Aryo masuk ke dalam. Dengan cepat ia keluar lagi membawa dua cangkir teh manis panas. Sesudah itu ia kembali masuk. Tapi ia tidak jauh-jauh supaya bisa mendengar kalau dipanggil. Memang di dinding ruang tamu ada bel listrik. Tapi bukan cuma soal panggilan yang dipikirkannya. Ia juga perlu mendengar pembicaraan. Bukan untuk memenuhi keingintahuannya, tapi supaya bisa melayani dan memahami curhat Winata. Kalau Hendri pulang, hal itu pasti dilakukannya.
"Papa kelihatan lebih segar," Hendri memulai.
"Oh ya, Yas gimana" Sudah kautengok""
"Sudah, tadi saat istirahat siang. Dia pulang besok."
"Sudah sembuh benar""
"Sudah, Pa." "Soal itu gimana" Sudah dibicarakan""
"Kayaknya sih ada harapan, Pa. Tadi aku bilang padanya bahwa Papa sedang sakit dan nanyain dia, kangen sama dia. Tapi dia nggak memberi jawaban pasti. Katanya mau ziarah ke makam Mama dulu."
Winata ternganga. Tapi segera sadar. Ia tidak boleh memperlihatkan perasaannya.
"Kau tidak berusaha membujuknya""
"Tentu saja, Pa. Dia keras sekali. Katanya waktu Mama sakit dulu Papa tak pernah menjenguk."
Winata berusaha menekan amarahnya. Kurang ajar
241 sekali lelaki ini. Yasmin sendiri tidak berkata begitu. Pasti dia mengada-ada saja. Winata memalingkan muka, tak ingin menatap wajah Hendri yang menyebalkan.
Hendri mengira sikap Winata itu menggambarkan penyesalan.
"Tapi jangan khawatir, Pa. Sekeras-kerasnya Yasmin pasti bisa diatasi. Aku yakin bisa membujuknya. Selama ini dia selalu patuh padaku. Sebaiknya jangan dipaksa. Keikhlasan itu harus datang dari kemauan sendiri."
"Apa kausampaikan padanya soal warisan itu""
"Oh, itu belum, Pa. Jangan dulu. Kalau bisa dibujuk dengan cara biasa, nggak usahlah ngomong begitu. Takutnya dia malah jadi marah."
"Bagaimana kalau aku nelepon langsung ke dia""
Hendri terkejut. "Jangan, Pa. Nanti dia menyahuti Papa dengan judes. Sabarlah dulu."
"Pokoknya jangan lebih dari sebulan."
"Kukira nggak sampai sebulan juga beres."
"Baik. Ada lagi lainnya""
Pertanyaan itu singkat dan terkesan dingin. Tak mau berpanjang-panjang. Padahal Hendri ingin berbincang lebih akrab. Ingin ditanyai soal pekerjaan dan hal-hal lain seputar pribadinya. Bukankah dia menantu satu-satunya" Ia merasa kecewa dan kesal. Tapi ia masih tetap yakin Winata membutuhkannya.
"Memang ada, Pa. Aku bermaksud minta bantuan Papa," katanya, sedikit malu.
"Katakan saja."
"Begini, Pa. Besok Yasmin pulang. Tapi aku... aku kebetulan lagi bokek untuk membayar biaya rumah sakit. Untuk meminjam dari kantor nggak mungkin."
"Berapa"" tanya Winata tanpa basa-basi.
242 Hendri terkejut juga oleh pertanyaan langsung itu. "Lima belas juta, Pa."
Winata tidak bertanya atau mempersoalkan jumlahnya. Ia memanggil Aryo yang muncul dengan cepat.
"Ambilin buku cek, Yo."
Hendri terkejut lagi oleh cepatnya reaksi Winata. Ia tak menyangka. Segera muncul sesalnya kenapa tidak minta lebih banyak.
"Nanti kuberikan perincian biayanya kalau sudah dapat, Pa."
"Nggak usah." "Terima kasih, Pa."
Hendri berdiri. Winata mengangguk lalu menjalankan kursi rodanya masuk ke dalam. Dalam sekejap tak kelihatan lagi. Hendri diantar Aryo ke luar. Aryo memegangi pintu mobil yang terbuka, siap menutupkan kalau Hendri masuk. Tapi Hendri belum mau buru-buru pergi. Ia memandang ke sekitarnya.
"Sudah lama merawat Papa, Pak"" tanya Hendri kepada Aryo.
"Cukup lama. Sejak sakit. Setahun lebih."
"Sakit apa""
"Maklumlah. Orang sudah tua."
"Papa belum terlalu tua. Apakah dia lumpuh""
"Nggak. Cuma kakinya lemas."
"Bapak tinggal di sini juga""
"Iya." "Emangnya nggak punya keluarga""
"Istri saya kerja di sini juga."
"Oh begitu. Memang kasihan kalau Papa tinggal sendirian di rumah sebesar ini."
Hendri masih mengagumi rumah itu, tak menyadari tatap cemooh dari Aryo. Ia membayangkan dirinya
243 dan Yasmin tinggal di situ. Mungkin saja bisa menjadi kenyataan. Ia teringat akan kontrak rumahnya yang akan habis beberapa bulan lagi. Ia juga menyesalkan kebodohan Yasmin.
* * * "Dia itu brengsek, Yo!" Winata mengumpat. "Betul, Pak."
"Aku bener-bener kasihan sama Yasmin. Ha
ti orang memang susah ditebak."
"Betul, Pak. Bahkan peramal aja suka bohong." "Apa hubungannya sama peramal"" Aryo tersipu.
"Aku nggak percaya sama peramal, Yo. Apa kau suka meramal nasib""
"Kadang-kadang aja, Pak. Oh ya, Bapak nggak mau nelepon Bu Yasmin""
"Entar ada si Hendri di sana. Dia pasti ke sana."
"Dia kan baru jalan. Pasti belum nyampe. Mau saya sambungkan""
"Iya deh." Setelah mengeluarkan kartu nama pemberian Hendri, Aryo menghubungi nomor ponsel Yasmin. "Bu Yasmin" Pak Winata mau bicara."
Cepat Winata mengambil alih. "Halo, Yas! Lagi ngapain""
"Lagi nonton teve, Pa."
"Hendri di situ""
"Nggak. Dia sudah datang tadi siang. Katanya sore nggak bisa datang."
"Kenapa" Masa datang sebentar aja nggak bisa""
"Katanya mau cari duit buat bayar rumah sakit. Besok kan aku pulang, Pa."
244 "Cari duit ke mana""
"Taulah dia. Nggak ngomong."
"Yas, mau kubantu""
"Nanti ketahuan kalau kita berhubungan, Pa." "Oh iya. Aku hanya ingin membantu." "Biarin aja, Pa. Supaya dia bertanggung jawab." Winata tertegun. Tapi tak bisa heran lama-lama. "Habis, kalau dia nggak berhasil dapat duit, gimana, Yas""
"Paling-paling aku disandera rumah sakit. Nggak boleh pulang!" Yasmin tertawa.
"Kok ketawa" Nggak takut disandera"" Winata tertawa juga. Ia tentu" tidak khawatir Yasmin akan disandera. Hendri sudah mendapat uangnya.
"Aku masih punya teman-teman, Pa. Nggak usah khawatir."
"Yang namanya Delia itu""
"Bukan cuma dia. Masih ada yang lain, Pa."
"Baguslah kalau begitu. Aku senang kau besok pulang. Berarti kita bisa ketemu nanti, ya."
"Iya. Pa, seandainya Tante masih ada dan aku punya adik, apakah Papa akan baik padaku""
Winata tak segera menjawab. Pertanyaan itu wajar tapi tajam untuknya.
"Papa tersinggung, ya""
"Ah nggak. Cuma menyentuh saja. Boleh aku terus terang, Yas" Bila Tante masih ada dan kami punya anak, mungkin aku tidak akan mengejarmu. Karena dulu aku sombong. Dengan memiliki istri dan anak, aku pasti berpikir, buat apa aku peduli" Tapi aku diberi pelajaran dan kesadaran. Dalam kesepian dan kesendirian aku jadi lebih diingatkan akan kebahagiaan masa lalu dan apa yang hilang dari hidupku. Tapi kau belum hilang. Kau masih ada untuk diperjuangkan."
245 Bagi Yasmin, jawaban itu- cukup jujur.
"Pa, aku mewarisi arogansi Papa. Benci dan dendam sulit hilang. Kita sama-sama mengalami situasi dan kondisi yang memberi perubahan. Semuanya sudah terjadi. Takdir kali, Pa."
Winata tertegun takjub. Yasmin kedengaran dewasa. Bukan lagi anak manja dan cengeng yang dulu itu.
"Tapi kita beruntung masih diberi kesempatan untuk memperbaiki yang salah. Bukan begim, Yas""
"Betul, Pa." Setelah menutup telepon, Winata menceritakan perbincangannya dengan Yasmin kepada Aryo. Ia senang sekali.
"Dia bilang, biar si Hendri bertanggung jawab. Aku jadi prihatin. Jangan-jangan si Hendri memang kurang bertanggung jawab. Lihat saja kebohongannya itu," kata Winata.
"Kalau Bu Yas sudah lebih dewasa, dia pasti bisa menerima kalau dia tahu, Pak."
"Kuharap begitu. Aku tak mau kehilangan lagi, Yo."
* * * Yasmin tersenyum ketika merenungkan percakapannya dengan ayahnya. Semakin sering mereka berbincang, semakin dekat rasanya. Hilang sudah segala penghalang yang pernah ada. Ia sudah menduga ayahnya akan menawarkan bantuan kalau memberitahu soal biaya itu. Tapi bila diterima, Hendri akan keenakan dan tidak mau berupaya.
Kenapa Hendri tidak menelepon untuk memberitahu apakah usahanya mencari uang berhasil atau tidak" Kenapa ia tidak mengucapkan selamat malam dan
246 selamat tidur seperti yang dilakukannya kemarin malam" Im menyenangkan sekali rasanya. Tanda perhatian.
Lalu ponselnya berbunyi seperti mengabulkan keinginannya. Tapi itu bukan dari Hendri, melainkan Erwin.
"Apakah aku mengganggu" Jangan-jangan kau sudah tidur."
"Oh, belum. Ada apa, Bang""
"Nggak ada apa-apa, Yas. Cuma nanya kabar. Jadi pulang besok, ya""
"Jadi, Bang. Keadaan di sana gimana""
"Semuanya baik-baik. Hendri ada di situ""
"Nggak ada. Dia nggak datang."
"Nggak datang""
"Tadi siang sudah, Bang."
"Oh begim. Kasihan kau nggak ada yang nemenin." "Nggak usah. Aku kan sudah sembuh." "Baiklah. Kalau nanti kau s
udah pulang, boleh aku nelepon""
"Tentu aja boleh."
"Terima kasih, Yas. Selamat malam dan selamat tidur!"
"Sama-sama." Ternyata orang lain yang memenuhi keinginannya, pikir Yasmin. Bukan Hendri, tapi Erwin. Biarpun demikian ia senang.
Tak lama setelah ia tertidur, ponselnya berbunyi lagi. Kali ini dari Hendri! Tapi ia tidak terbangun. Ia justru bermimpi melihat Hendri terbaring dalam pelukan perempuan lain!
247 BAB 25 Pulang ke rumah, Yasmin melihat keadaan rumah sudah rapi dan bersih. Termasuk kamar mandi dan dapur.
"Aku yang membersihkan," kata Hendri bangga.
Yasmin terheran-heran, hampir tak percaya Hendri mau melakukan pekerjaan itu.
"Tapi aku nggak bisa ngerjain setiap hari, Yas."
"Tentu saja. Itu kan kewajibanku."
"Apa sebaiknya kita cari pembantu lagi supaya kau nggak capek""
Yasmin terkejut mendengar usul itu. Cari Inem baru"
Hendri memahami pikiran Yasmin. "Kita cari yang sudah tua, jelek, dan peot. Yang penting dia bisa kerja. Bisa masak. Jadi kau bisa punya waktu lebih banyak."
"Nggak ah. Aku kerja sendiri juga nggak masalah."
Kemudian Hendri memeluk Yasmin lalu menciumnya. "Aku kangen sekali padamu, Yas," bisiknya.
Tubuh Yasmin menegang. Kecemasan itu muncul lagi. Hendri merasakannya. Ia segera melepaskan pelukan.
"Rileks, Yas. Jangan berpikir peluk dan cium pasti berakhir di atas ranjang," katanya tanpa emosi.
248 Yasmin tersipu. "Aku perlu waktu, Hen. Perlu waktu," ia mengingatkan.
"Tentu. Kadang-kadang aku bisa lupa. Jadi ingatkan aku," kata Hendri sambil tersenyum pahit.
Yasmin kembali-diingatkan pada realitas hidupnya. Ketabahan yang sudah dibangun dan dipupuk selama berada di rumah sakit mendapat ujian. Hendri tetaplah lelaki yang punya gairah seksual tinggi. Bagaimana mungkin hidup bersama dan tidur seranjang dengan lelaki seperti itu tanpa membangkitkan gairahnya" Dia punya kewajiban memenuhi hasrat suami, tapi dia juga punya hak untuk menolak. Tapi bisakah menolak terus-terusan"
Malam itu, ketika mereka merebahkan diri berdampingan, kembali, keringat dingin membasahi tubuh Yasmin. Padahal Hendri belum melakukan apa-apa. "Sebenarnya Yasmin sudah bertekad untuk menghadapi Hendri dengan berani, tapi rupanya tekad saja tidak cukup.
"Apa kau tidak rindu padaku, Yas"" tanya Hendri. Lalu ia meraih dan memeluk Yasmin.
Yasmin tidak bisa menjawab karena cumbu rayu Hendri membuatnya gelagapan. Napasnya sesak dan tubuhnya mengentak-entak seperti serangan ayan! Bukan karena terangsang, tapi ketakutan! Setelah berusaha susah payah, ia berhasil juga menguasai diri. Ia mendorong tubuh Hendri. "Jangan, Hen. Jangan sekarang," katanya lemah.
Sebenarnya penolakan itu adalah kemajuan, karena biasanya ia tidak bisa menolak.
"Aku akan melakukannya pelan-pelan," bujuk Hendri. "Biarkan aku melakukan pemanasan dulu supaya gairahmu bisa bangkit. Aku tidak akan buru-buru. Kutunggu sampai kau bergairah, baru kulakukan
249 penetrasi. Oke" Jadi rilekslah. Santai saja. Kendurkan otot-ototmu. Jangan tegang begini."
Tapi ketakutan Yasmin tidak bisa diredakan dengan bujukan. Ingatan bagaimana ia merasa tubuhnya dihunjam dan dirobek-robek masih kuat sekali. Kalau ketakutan seperti itu sudah menguasai, tak ada pengaruh lain bisa mengatasi.
"Kau mau, kan" Mau, ya"" gumam Hendri di telinga Yasmin sementara kedua tangannya sibuk melakukan "pemanasan".
Tapi apa yang dilakukan Hendri itu malah membuat Yasmin merinding.
"Tidaaak!" serunya keras sambil mendorong tubuh Hendri dengan keras pula. Tubuh telanjang Hendri yang sama sekali tak siap lalu terdorong dan terje-rembap ke lantai!


Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yasmin terkejut. Getar ketakutannya mereda melihat Hendri terpuruk. Ia mengulurkan tangan untuk membantu Hendri bangun. "Maaf, Hen. Nggak sengaja," katanya penuh sesal.
Hendri menepis tangan Yasmin lalu melompat berdiri. Ia tak berkata-kata tapi wajahnya yang muram memperlihatkan perasaannya. Setelah menyambar pa-kaiannya ia melangkah ke pintu. Ia keluar dengan membanting pintu keras-keras. Kamar seolah bergetar.
Yasmin tertegun tanpa daya. Ia menyesal atas kejadian itu tapi tidak menyesali penolakannya. Sejak berada di rumah sakit ia sudah bertekad tidak akan la
gi mengalami sakit dan nyeri seperti sebelumnya. Ia tidak mau lagi diperlakukan semena-mena secara seksual. Hal itu juga ditekankan berulang-ulang oleh Delia. Jangan mau! Jangan mau!
Ketika Yasmin masih merenungi kejadian itu dengan
250 sedih, pintu terbuka dan Hendri melangkah masuk. Wajahnya masih terlihat kusut. Segera Yasmin menegang dengan perasaan takut. Ia bersikap siaga.
Hendri berlutut di tepi ranjang lalu menatap Yasmin. Ekspresinya murung.
"Maafkan aku, Yas. Aku khilaf. Betapa sulitnya bagiku menahan diri. Sungguh aku tidak ingin menyakitimu seperti dulu. Aku tidak mau mengulangi. Aku sadar dulu telah memperlakukanmu secara kasar. Aku juga sudah berjanji padamu dan pada diriku sendiri untuk berubah. Aku tidak ingin kau mencoba bunuh diri lagi. Itu pelajaran keras buatku. Tadi aku ingin mencoba dengan cara yang berbeda. Nggak seperti dulu. Sepatutnya kau sendiri mau mencoba juga. Jangan belum apa-apa sudah ketakutan," kata Hendri dengan suara lembut.
Yasmin merasa tersentuh mendengar suara Hendri. Ketakutannya menyurut. Sudah lama ia tak mendengar Hendri bicara dengan gaya seperti itu.
"Maafkan aku, Yas. Maukah kau memaafkan aku"" Hendri mengiba penuh sesal.
"Jangan ulangi lagi."
"Ya. Aku berjanji. Oh, betapa susahnya menepati janji. Ayolah, kau belum mengatakan apakah kau memaafkan aku atau tidak. Aku akan terus berlutut di sini sebelum kau memaafkan aku."
"Iya. Aku maafkan. Bangunlah."
Belum lagi Yasmin berhenti bicara, Hendri sudah melompat bangun. Ia duduk di samping Yasmin.
"Apakah kau melihatku sebagai monster"" tanya Hendri.
"Kenapa kau bertanya begim"" "Sikapmu seperti itu. Seolah kau akan dimakan olehku, monster keji."
251 "Mungkin juga begitu. Aku takut melihatmu telanjang dan dalam keadaan terangsang."
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita bercinta tanpa membuka pakaian""
"Tapi... tapi nantinya kan dilepas juga."
Hendri tertawa. "Nyatanya, aku memeluk dan mencium dengan pakaian lengkap pun kau takut juga. Takutmu tidak rasional."
"Aku trauma." "Tapi trauma itu mesti dihilangkan dengan cara menghadapi. Bukan menghindari."
"Entahlah. Pendeknya, aku tidak mau mengalami seperti dulu lagi."
Yasmin merasa lega setelah mengucapkannya. Sewaktu berada di ranjang rumah sakit, ia pernah mengatakannya. Tapi situasinya berbeda dengan sekarang. Ketika itu ia merasa aman karena Hendri tidak berani macam-macam di situ. Di rumah sendiri menjadi lain. Di sini Hendri berkuasa. Dan janji yang pernah diucapkannya terbukti mau dilanggar di hari pertama mereka berada di rumah!
"Apa itu berarti kau tidak mau bercinta lagi denganku""
Yasmin diam. "Coba katakan. Apa kau masih mencintaiku""
"Ya," sahut Yasmin. Aneh memang. Tadi ia marah dan benci, tapi setelah Hendri mengiba minta maaf, cinta datang lagi.
"Aku heran. Orang yang mencintai itu punya dorongan untuk memeluk, membelai, dan mencium. Kau nggak," kata Hendri.
"Kalau kulakukan itu pasti kau terangsang lalu..." Yasmin tidak meneruskan.
"Ah, aku ngerti. Mestinya aku jadi robot. Tidak
252 membalas aksi dengan reaksi. Ya sudah. Betapapun mengherankan, kau masih mencintaiku. Aku senang mendengarnya. Begini saja. Untuk menghindari kejadian itu terulang lagi, biar kita pisah kamar saja. Bagaimana menurutmu""
Yasmin tersenyum. Ia menyukai ide itu!
* * * Dokter Zainal, psikiater dan seksolog, menerima kedua pasiennya secara bergiliran. Dari pengalamannya ia mendapatkan suami-istri yang punya masalah dalam soal hubungan seksual sering susah bicara leluasa bila didampingi pasangannya.
Awalnya ia mendengarkan curahan hati Yasmin. Tak lupa Yasmin memberikan surat rujukan dari Dokter Minarti, ginekolog yang pernah memeriksanya. Di situ lengkap tertulis kondisi organ seksualnya sesuai hasil pemeriksaan. Di luar dugaan Yasmin, ternyata ia bisa menceritakan permasalahannya tanpa merasa malu.
Yasmin melihat seorang lelaki setengah baya bertubuh kurus dengan wajah panjang berekspresi serius mengangguk-angguk setiap kali ia berhenti bicara. Mata kecilnya di balik kacamata hanya sesekali menatapnya, lalu beralih ke atas meja yang membatasi mereka berdua. Ia mendapat kesan Zainal memang tekun
mendengarkan meskipun tidak memandang kepadanya. Hal itu membuat rasa malunya lenyap.
"Saya patut mengacungkan jempol pada Ibu karena berhasil mengatasi tekanan itu," puji Zainal. "Lepas dari usaha bunuh diri dan bisa membuat suami menyesali perbuatannya, Ibu juga tabah karena mau
253 kembali kepadanya meskipun menghadapi risiko terulangnya kejadian yang sama."
"Itu karena saya berhasil ditolong teman, Dok. Tanpa teman saya juga tidak tahu apa yang terjadi."
"Ibu memang beruntung. Sepatutnya keberuntungan itu jangan disia-siakan. Terutama manfaatkanlah untuk hidup Ibu ke depan. Jangan biarkan suami merusak hidup Ibu. Jadi waspadalah. Kalau ia tidak bisa dan tidak mau menepati janjinya, beranilah untuk segera bertindak. Secara fisik Ibu kalah darinya. Dan kalau dia stres akibat penolakan Ibu, saya khawatir dia bisa kehilangan kendali. Sebaiknya Ibu berbuat sesuatu sebelum hal itu terjadi."
"Maksud Dokter, sebaiknya saya meninggalkan dia" Bercerai begitu""
"Kalau memang itu jalan keluarnya, kenapa tidak" Kezaliman harus dilawan. Tapi bila menyangkut fisik, jelas tidak mungkin Ibu bisa menang."
"Apakah saya bisa disebut frigid, Dok" Suami sering mengatai saya begitu."
"Kalau saya menelaah cerita Ibu, bisa disimpulkan begitu. Ibu tidak bisa terangsang, benci dan muak terhadap seks. Setiap didekati dan dirayu, Ibu langsung ketakutan. Tapi untuk sementara saya simpulkan kondisi Ibu itu hanya tertuju kepada satu orang, yaitu suami. Pengalaman pertama dengannya adalah horor, demikian pula seterusnya. Dia membuat Ibu trauma. Jadi jangan segera berpikir bahwa diri Ibulah yang bermasalah. Bukan. Dia adalah penyebab. Pendekatan yang dilakukannya terhadap Ibu salah besar. Kalau Ibu bisa meyakini hal itu, Ibu tidak perlu rendah diri atau menganggap Ibu punya kelainan."
"Ada satu hal yang mengganjal, Dok. Apakah
254 rasa sakit itu disebabkan oleh besar-kecilnya organ vital atau gerakan yang kasar""
"Organ lelaki memang tak sama ukurannya satu sama lain, Bu. Ada memang yang superbesar. Im sering terdapat pada orang dari ras tertentu. Pada orang kita juga ada. Ukuran itu pun tidak bisa dilihat dari postur tubuh. Orang tinggi besar belum tentu organnya itu besar pula. Demikian pula dengan orang yang tubuhnya kecil. Perempuan pun memiliki ukuran liang vagina yang tidak sama satu sama lainnya. Elastisitas otot-ototnya pun begim. Makanya banyak yang suka senam. Semakin elastis semakin mampu menerima ukuran penis meskipun tergolong besar. Dan karenanya ia bisa pula menikmati. Saya sendiri tidak tahu, seberapa besar ukuran penis suami. Apakah tergolong besar atau sedang. Ibu pernah mengatakan, saat penetrasi tidak sakit tapi setelah bergerak baru sakit Seharusnya suami tidak melakukannya dengan kasar. Dia harus mengimbangi perasaan istri, jangan mau enak sendiri."
"Jadi yang mesti diperbaiki adalah suami, Dok""
"Pertama-tama, ya. Tapi setelah dia menyatakan mau berubah, Ibu harus belajar melihatnya dari sisi lain. Tentu dia pun tidak cukup hanya ngomong saja. Yang penting adalah perbuatan. Itulah yang bisa membuat Ibu melihatnya secara berbeda. Bukan lagi sebagai mamak seks."
"Jadi masih ada harapan bagi kami, Dok""
"Harapan selalu ada kalau disertai usaha, Bu. Dan jangan lupa, perlu saling menghargai. Kalau Ibu bisa menghargai susahnya menahan diri bagi lelaki yang punya libido tinggi, pandangan Ibu kepadanya bisa pelan-pelan berubah."
"Dia tidak perlu menahan diri, Dok. Terhadap
255 saya memang iya, tapi dia mencarinya di luar. Untuk menghindari sakit, saya lebih suka dia melakukannya dengan orang lain. Tapi kalau dia lakukan itu, saya juga merasa kesal, Dok."
"Tentu. Itu lingkaran setan yang menyulitkan. Tapi kalau Ibu menahan sakit terus-terusan demi mempertahankan dia supaya tidak nyeleweng juga salah. Daya tahan Ibu kan terbatas. Dia pun jadi manja dan tidak mau berubah."
"Apakah itu berarti kami tidak cocok satu sama lain""
"Kecocokan itu kan tidak bisa dilihat hanya dari satu segi, Bu. Dari segi seks, saya kira memang iya."
"Apakah Dokter akan mengatakan hal itu juga kepadanya""
"Kira-kira begitu. Tapi sudah tentu ada perbedaannya. In
ilah kegunaannya bicara dengan masing-masing secara terpisah. Pernah saya bicara dengan satu pasangan secara bersama-sama. Akhirnya mereka bertengkar di depan saya, karena masing-masing merasa benar. Bagi saya pembicaraan pertama penting karena harus mengetahui permasalahannya dari sudut masing-masing. Baru sesudah itu tampil bersama-sama untuk mencoba memberikan solusi."
"Jadi nanti kami tampil bersama, Dok""
"Ya. Tapi saya anjurkan, sebaiknya sebelum itu Ibu dan suami berdiskusi di rumah, berusaha dan mencoba sendiri. Kesulitan yang ditemui bisa dibicarakan dengan saya."
Sesudah Yasmin selesai, ia diminta keluar dan Hendri menggantikannya masuk ke dalam. Hendri bercerita mengenai masalahnya dari sudut pandang dan kepentingannya. Ia yakin dokter yang sama256 sama lelaki pasti akan lebih memahami dan bersimpati kepadanya.
Tapi setelah bercerita panjang-lebar, ia terkejut dan gusar ketika pada akhir ceritanya Zainal cenderung menyalahkannya.
"Tidak sepatutnya Anda memperlakukan istri sebagai objek seks. Biarpun Anda punya libido tinggi, jangan jadi alasan yang perlu dimaklumi. Dia istri yang Anda cintai, kan" Seharusnya Anda menyayangi dan melindungi. Bukan menyakiti tubuh dan perasaannya. Dia bukan pekerja seks yang bisa diperlakukan semaunya demi uang. Juga tidak semua perempuan suka dengan gaya atau cara Anda dalam berhubungan. Kalau perempuan yang Anda gauli bilang Anda hebat, mungkin dia nggak ngomong yang sebenar-nya. Dia cuma mau mengambil hati demi materi. Mungkin saja dia juga merasa sakit tapi nggak mau bilang. Tambahan lagi perempuan yang sering berhubungan seks dengan banyak orang berbeda mungkin sudah terbiasa dan kebal. Tapi istri Anda" Pengalamannya cuma dengan Anda seorang. Betapa terkejutnya ketika pengalaman pertamanya menjadi horor baginya. Tapi Anda tidak peduli. Sampai dia hampir tak bisa jalan pun Anda tak peduli. Tak kasihankah Anda"" Sesungguhnya Zainal sendiri terkejut oleh ucapannya. Tak biasanya ia jadi emosional sampai cenderung menghakimi. Tapi dari penglihatan pertama ia sudah bisa memperkirakan siapa yang bisa lebih dipercayainya. Bahkan ia mengira ada bagian yang diperhalus dari cerita Yasmin. Tapi sebaliknya dengan Hendri. Ceritanya mengandung pembenaran pada perbuatannya dan tuduhan kepada Yasmin.
"Tidak seharusnya Dokter langsung percaya kepada ceritanya. Dokter harus objektif."
257 "Dia menyerahkan pada saya surat pengantar dari Dokter Minarti, ginekolog yang pernah memeriksanya. Tanggalnya sudah cukup lama. Yang pasti sebelum dia berusaha bunuh diri."
Hendri terkejut. Jadi Yasmin mengungkapkan soal bunuh dirinya itu" Padahal ia sendiri ingin menyembunyikan.
Zainal melanjutkan, "Surat pengantar itu menyertakan hasil pemeriksaan Dokter Minarti. Menurut istri Anda, dia tidak memperlihatkan surat itu kepada Anda. Saya akan memberitahu. Ada luka robek pada vagina istri Anda! Bahkan ada luka yang tadinya sudah kering jadi terobek lagi!"
Hendri terkejut lagi. "Tadinya saya pikir dia cuma pura-pura. Orangnya memang cengeng," katanya.
"Ketika dia mengatakan sakit, kenapa Anda tidak berusaha memeriksa sendiri" Itu kan kelihatan jelas! Dan kalau dia memang cengeng seharusnya Anda memperlakukannya dengan lembut sesuai dengan sifatnya."
"Lantas jalan keluarnya gimana, Dok" Apa dia tidak boleh saya dekati lagi""
"Dia mengalami trauma, Pak. Itu karena perbuatan Anda. Kalau sekarang yang Anda pikirkan melulu tentang seks, Anda tak akan bisa mendekatinya."
"Saya sudah berjanji kepadanya untuk berubah, Dok. Saya berusaha mendekatinya dengan cara yang berbeda. Tapi baru dipegang dia sudah gemetaran. Padahal saya sudah lembut sekali. Dan saya juga bilang bahwa saya akan melakukannya perlahan-lahan. Tapi dia tetap saja begitu. Kok sulit amat."
"Sebenarnya tidak sulit. Asal ada kemauan, Pak. Anda harus bersabar. Jangan buru-buru. Berikan perhatian tanpa menjurus ke seks. Selama ini dia
258 telanjur menganggap segala bentuk perhatian dan sentuhan Anda pasti menjurus ke seks."
"Jadi selama itu saya harus puasa, Dok""
"Anda sudah berpengalaman. Pasti tahu bagaimana caranya. Asal jangan lupa pakai pengaman su
paya tidak mendapat masalah baru. Yang penting Anda harus menjaga dan melindungi istri yang Anda sayangi. Cobalah tempatkan diri Anda pada dirinya."
"Apakah Dokter tidak menasihati dia supaya berusaha menghilangkan takutnya yang berlebihan""
"Takutnya itu hanya bisa dihilangkan oleh Anda sendiri. Tunjukkan bahwa Anda memang ingin berubah dan tidak sama lagi seperti dulu. Jangan cuma dengan kata-kata. Percuma. Kalau Anda ingin berhasil, Anda harus bisa mengendalikan diri. Bukan cuma dalam soal seks Anda harus bersikap lembut dan penuh perhatian, tapi juga dalam keseharian. Saya percaya Anda mampu. Awalnya adalah iktikad. Dan itu sudah Anda tunjukkan."
"Apa yang dikeluhkan istri saya, Dok" Mungkin ada hal-hal yang tidak mau disampaikannya pada saya."
"Dia tidak, mengeluh. Dia cuma bercerita mengenai pengalamannya. Yang ditanyakan adalah bagaimana dia harus bersikap dan membantu Anda supaya bisa berubah."
"Ah, jadi dia ingin saya bisa dibentuk sesuai kehendaknya""
Zainal tertegun. Ucapan Hendri itu sepertinya tidak sesuai dengan niat baik yang diutarakan sebelumnya.
"Saya kira nggak begitu, Pak. Dia juga ingin berubah. Dia sadar punya kelainan. Tapi menurut saya, itu bukan kelainan. Dia terlalu sensitif. Gampang trauma."
259 Sebelum pamitan, Hendri bertanya, "Apakah orang yang pernah mencoba bunuh diri cenderung mengulanginya, Dok""
"Tidak selalu, Pak."
"Tidak selalu berarti mungkin ya, Dok"" "Usahakan supaya itu tidak terjadi lagi, Pak!" Setelah Hendri keluar, Zainal tidak lagi menyembunyikan kejengkelannya. Ia memonyongkan mulutnya. "Huuu..."
260 BAB 26 Sebenarnya Hendri punya motivasi cukup kuat untuk memperbaiki sikapnya kepada Yasmin, yaitu kekayaan ayah mertuanya. Bagaimanapun ia harus berbaik-baik dengan Yasmin. Jangan sampai ditinggalkan apalagi diceraikan. Ia pernah punya angan-angan yang sangat buruk. Bila Yasmin yang jadi ahli waris kelak meninggal, misalnya dengan bunuh diri lagi, tentu dialah yang jadi ahli waris berikutnya! Betapa senangnya mendapat harta tanpa susah payah. Padahal selama ini dengan bekerja setiap hari, capek badan dan capek hati, ia hanya mendapat penghasilan pas-pasan.
Ia menyadari, sebaiknya tidak mengulur waktu terlalu lama untuk memberitahu Yasmin soal ayahnya itu. Biarpun Winata memberi waktu sebulan, Hendri tak mau menunggu sampai selama itu. Bisa merugikan dirinya sendiri.
Untuk meyakinkan dan mengambil hati Yasmin, di samping pisah kamar ia juga membuat kesepakatan bahwa ia tidak akan mengajak Yasmin berhubungan seks bila Yasmin tidak suka. Dengan demikian Yasmin tidak usah ketakutan lagi bila didekati dan disentuh. Perjanjian ini melegakan hati Yasmin. Perasaannya kepada Hendri melembut karena sadar itu kesepakatan yang berat bagi Hendri. Yasmin menganggapnya
261 sebagai pengorbanan. Orang yang mau berkorban tentulah baik sekali. Patut dihargai. Dengan adanya kesepakatan itu berarti jalan keluar sudah diperoleh. Jadi mereka sepakat juga untuk tidak perlu berkunjung lagi ke Dokter Zainal.
Bagi Hendri, kesepakatan itu bukanlah masalah berat seperti yang diperlihatkannya di depan Yasmin. Itu hanya strategi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih berarti untuknya. Apa senangnya bercinta dengan orang yang mengerut karena ketakutan dan kesakitan" Ia bisa memuaskan dahaganya di tempat lain. Yasmin boleh saja mencurigainya mengenai hal itu, tapi ia tahu Yasmin tidak akan mempersoalkan. Yang penting ia harus lebih berhati-hati dan tidak mengumbarnya terang-terangan seperti dulu.
Selama beberapa hari itu hubungan mereka berjalan baik. Yasmin mulai menikmati kehidupannya sebagai ibu rumah tangga. Dulu ia tidak bisa menikmatinya karena ketakutan dan kesakitan lebih mendominasi kehidupan sehari-hari. Karena itu ia belum memikirkan soal lainnya, termasuk keinginan untuk melakukan kegiatan di luar rumah. Misalnya bekerja atau menambah ilmu.
Tanpa diketahui Hendri, setiap hari Yasmin bicara dengan ayahnya lewat telepon. Setiap kali pula Winata berpesan agar tidak memberitahu Hendri mengenai hal itu. Bila ditanyakan kenapa, selalu dijawab bahwa pada saatnya ia akan tahu. Ia tidak tahan lagi. Ia harus
tahu. "Mungkin tak lama lagi Hendri akan mengatakan sesuatu perihal aku, Yas. Jangan kaget dan jangan menyangka jelek dulu ya."
"Supaya aku nggak kaget, bukankah sebaiknya Papa memberitahu dulu apa yang akan dia katakan itu""
262 "Ah... baiklah. Dia ingin membujukmu supaya mau baikan denganku. Aku yang memintanya."
"Oh begitu. Masa begitu aja kaget sih, Pa""
"Aku ingin kau tidak terpengaruh oleh pemberitahuan itu. Biar kau menilai sendiri. Tapi sebaiknya kau berpura-pura tidak tahu. Bukankah kau sudah berjanji tidak akan bercerita perihal hubungan kita ini" Bayangkan. Aku meminta dia sebagai perantara untuk membujukmu. Tahu-tahu kau sudah baikan denganku tanpa bantuan dia. Padahal dia tidak dibe-ritahu. Aku kira dia bakal tersinggung."
"Tapi kenapa Papa nggak sejak pertama saja memberitahu aku""
"Begini. Aku surprise sekali ketika sehari setelah aku minta bantuannya, kau nelepon sendiri. Padahal nggak dibujuk si Hendri. Makanya waktu itu aku cerewet menanyai kau. Tapi aku senang sekali. Luar biasa rasanya."
"Kenapa Papa nggak mengizinkan aku memberitahu dia saat itu juga" Kan jadi cepat beres."
"Aku ingin ngetes dia, Yas. Kelihatannya dia bersemangat sekali. Ingin jadi perantara yang sukses. Apalagi dia cerita betapa keras kepalanya kau dan besarnya dendammu padaku. Pendeknya, dia menggambarkan betapa susahnya membujukmu agar mau memaafkan aku. Makanya aku ingin dia nggak tahu dulu. Apalagi sehari kemudian dia bilang sudah ngomong sama kau tapi kau tetap nggak mau baikan denganku biarpun sudah diberitahu bahwa aku sakit. Jadi dia bohongi aku."
"Wah, begitu ya" Mestinya Papa kasih tahu aku."
"Ketika itu kau masih di rumah sakit. Aku tak mau membuatmu marah."
"Baiklah. Aku ngerti, Pa."
263 "Aku minta padamu, Yas. Apa pun yang dikatakannya nanti, jangan sampai memengaruhi hubungan kita, ya""
"Ya," sahut Yasmin. Tak ingin bertanya lagi.
Pemberitahuan ayahnya itu tidak memengaruhi Yasmin. Ia tetap bersemangat dan gembira. Bila" Hendri pergi ke kantor, ia sibuk berteleponan. Bukan hanya dengan ayahnya, tapi juga dengan Delia dan Erwin. Setiap pagi jam sembilan Erwin menelepon untuk menanyakan kabarnya dan bercerita mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di motel. Yasmin senang mendengarnya. Ia lebih senang lagi setelah tahu bahwa Delia akan bekerja di motel bila pemeriksaan kesehatan yang sedang dijalaninya menyatakan dia sehat. Yasmin terkejut karena mengira Delia jatuh sakit. Tapi Delia menenangkannya dengan mengatakan dia hanya menjalani general check up.
Setiap hari Yasmin menunggu Hendri membuka pembicaraan perihal ayahnya. Ia tak perlu menunggu lama. Saat itu tiba juga.
"Waktu kau pergi ke motel itu dan nggak pulangi pulang, aku menelepon ayahmu. Siapa tahu kau ada di sana. Ternyata memang nggak ada. Dia senang kutelepon lalu memintaku datang karena perlu bicara, Jadi aku datang dan kami berbincang. Dia ingin sekali berbaikan denganmu, Yas. Dia minta kaul memaafkan dia. Sekarang dia sakit. Hampir sepanjang hari duduk di kursi roda," tutur Hendri.
Yasmin merasa kesal kenapa baru sekarang Hendri mengatakannya.
"Aku baru bilang sekarang karena takut kau malah jadi tambah stres. Sekarang kan kau sudah gembira. Aku juga bilang pada Papa. Tunggulah sampai Yasmin sehat dan pulang dari rumah sakit."
264 "Apakah kau memberitahu Papa soal kenapa aku masuk rumah sakit"" tanya Yasmin meskipun ia sudah tahu.
"Aku bilang kau keserempet motor."
"Oh begitu. Apa kau ketemu Tante""
"Papa sudah cerai. Tante pergi sama lelaki lain."
"Oh begitu. Pantas dia mau baikan sama aku. Dasar egois!" seru Yasmin. Senang bisa berpura-pura.
"Kau mau kan baikan sama dia"" "Nggak ah."
"Kasihan dia sendirian, Yas. Cuma ditemani perawat dan pembantu."
"Biar sajalah. Biar tahu rasa."
"Dia kan ayahmu, Yas. Jangan kejam dong."
Yasmin melotot. Bisa-bisanya Hendri menyebut ia kejam. Siapa yang lebih kejam"
"Jangan marah, Yas. Aku bermaksud baik mau mendamaikan kalian."
"Apakah anak-anaknya dengan Tante juga dibawa serta""
"Mereka tidak punya anak, Yas. Jadi kau anak satu-satunya. Ingatlah. Dia kaya, Yas. Rumahnya besar dan mewah." "Jadi kenapa""
"Kau tak ingin jadi ahli warisnya"" "Aku memang ahli warisnya. Dia tak punya istri dan anak lain, kan""
"Memang betul. Tapi dia bilang akan menyerahkan hartanya kepada yayasan sosial atau apalah bila dalam waktu sebulan kau belum juga mau baikan dengannya. Jadi kau tak bisa mendapatkan hartanya. Paling-paling kebagian sedikit. Kan sayang, Yas."
Sekarang Yasmin benar-benar terkejut.
265 "Benar dia bilang begitu" Atau kau ngarang saja"" "Iya. Bener."
"Coba aku tanya dia apa bener begitu."
Yasmin melompat menuju pesawat telepon, pura-pura mau menelepon. Tapi Hendri menyambar lengannya. "Jangan, Yas! Kau mau apa" Marah-marah, ya" Itu cuma membuat dia marah juga. Bisa dipastikan besok dia hibahkan hartanya kepada orang lain."
"Peduli amat! Buat apa harta""
"Hei, jangan begitu, Yas! Buat apa katamu"" seru Hendri gemas. "Apa kau tidak ingin kaya dan hidup senang di rumah besar dan mewah" Apa kau merasa cukup dengan gajiku yang kecil""
"Aku suka hidup sederhana. Bukankah aku tak pernah menuntut ini-itu kepadamu""
Hendri menatap Yasmin dengan geregetan. "Pikiranmu sungguh pendek, Yas. Bagaimana kalau aku dipecat" Perusahaanku lagi gonjang-ganjing, tahu""
"Nantilah. Kupikirkan."
"Ya, pikirkan dengan baik. Jangan langsung menelepon dia. Bilang aku dulu."
Yasmin mengiyakan. Tapi pikirannya berjalan dengan sendirinya. Sebelum Hendri mengetahui apa yang dilakukan Yasmin di Motel Marlin, lelaki itu bicara dengan Winata. Hendri ingin jadi perantara yang sukses, begitu penilaian Winata. Apakah itu yang membuatnya jadi begitu baik dan perhatian kepadanya" Yasmin menjadi sedih. Bukan cuma mengenai Hendri, tapi juga ayahnya! Jadi itulah rupanya yang membuat ayahnya berpesan agar ia tidak kaget mendengar penuturan Hendri. Ayahnya memang tidak memahami dirinya.
* * * 266 Esok pagi, begitu Hendri berangkat ke kantor, Yasmin langsung menelepon ayahnya.
"Dia sudah ngomong, Pa. Jadi itu yang Papa sembunyikan" Kok tega sih Papa menggunakan harta sebagai senjata""
"Maafkan aku, Yas. Aku sudah putus asa. Aku sakit. Aku... aku takut mati tanpa bisa berbaikan denganmu lebih dulu. Aku takut mati sebagai orang yang kesepian. Aku sungguh terpaksa. Kontak denganmu benar-benar tak ada. Aku orang yang panik."
Yasmin tertegun. Kata-kata itu membangkitkan iba. Tapi ia masih kesal.
"Kenapa Papa tidak segera mengatakannya saja waktu kutelepon" Kenapa Papa mengulur waktu""
"Aku tidak mau merusak suasana. Kau sudah begitu baik padaku dengan menelepon duluan. Masa aku mengejutkanmu dengan pengakuan itu" Kau pasti marah, kan" Maka awal yang baik itu menjadi sia-sia. Aku menyesal pun percuma karena sudah terjadi. Padahal kau menelepon aku tentu tidak gampang. Lewat pertimbangan dan hati nurani dulu, kan" Tapi sekarang ini berbeda karena hubungan kita sudah terjalin. Kalaupun kau berpikir negatif, pasti ada pertimbangannya."
Yasmin bisa merasakan kebenaran kata-kata itu. Sebenarnya, kalau ia sendiri tidak mengalami derita, mungkin reaksinya akan lain. Orang yang pernah menderita lebih bisa merasakan derita orang lain.
"Iya deh. Aku ngerti. Mengenai Hendri, berapa komisi yang dimintanya dari Papa""
"Komisi"" "Bukankah Papa mengatakan dia ingin menjadi perantara yang sukses" Pasti ada komisinya dong." "Ah, nggak ada. Dia nggak minta komisi. Malu
267 dong. Cuma aku menganggap dia ingin menimbulkan kesan bahwa usaha membujukmu itu akan sulit sekali. Jadi kalau berhasil, pasti hebat. Jelas Citranya di mataku tentu akan naik. Sayangnya dia tidak berhasil karena dia berkata begitu setelah kau menelepon aku dengan kemauan sendiri. Jadi gambarannya tentang dirimu sama sekali tidak benar."
"Aku nggak percaya dia nggak minta apa-apa sama Papa."
"Baiklah. Terus terang saja, ya. Nanti aku dibilang menyembunyikan. Dia minta bantuanku membayar biaya rumah sakit."
"Oh begitu." Yasmin merasa tidak perlu kaget. "Berapa""
"Lima belas juta."
"Jadi dua kali biaya sesungguhnya."
"Ya sudahlah. Nggak apa-apa. Banyak orang suka begitu. Sebaiknya kau nggak usah menanyakannya. Nanti kalian jadi ribut. Itu masalah kecil. Aku kan punya uang dan ingin membantumu."
Yasmin tidak merasa terhibur oleh ucapan itu.
Ia sudah tahu Hendri tidak jujur. Tapi ayahnya sekarang tahu.
"Yas, masih marah"" "Nggak, Pa."
"Sedih" Jangan, Yas. Aku menyesal sekali."
"Nggak, Pa. Aku nggak marah dan nggak sedih. Kecewa sih iya. Tapi sudahlah. Seperti Papa bilang tadi, banyak orang begitu kok. Tambah satu lagi nggak masalah."
"Aku menyesal kau harus tahu. Tadinya aku nggak mau bilang. Tapi aku takut dibilang menyembunyikan kalau suatu saat kau tahu juga."
"Betul, Pa. Aku malah senang dikasih tahu."
268 "Yas, ngomong di telepon gini nggak pernah bisa cukup. Kenapa nggak datang saja"" "Sekarang""
"Ya. Kapan lagi" Kecuali kau merasa kurang sehat." "Baiklah."
"Tunggu saja. Nanti Aryo datang menjemputmu." * * *
Yasmin mengagumi rumah ayahnya. Hasil renovasinya spektakuler, pikirnya. Tapi untuk apa rumah besar dan mewah kalau penghuninya sendirian dan kesepian"
Ia terkejut lalu menangis ketika berjumpa dengan ayahnya. Rasa ibanya menghapus semua perasaan negatif yang masih tersisa. Ayahnya yang terakhir dilihatnya tampak gagah dan berwibawa kini berwajah cekung, kurus, dan loyo. Sorot matanya tak lagi setajam dulu. Keangkuhannya tak ada lagi. Bagi orang yang tak pernah mengenalnya, pasti bukan kejutan. Tapi bagi Yasmin yang mengenal dan dekat di masa kecil, kejutannya besar sekali.
Winata pun kritis mengamati dan menilai putrinya. Ia juga terkejut karena melihat gurat-gurat kesedihan di wajah Yasmin. Itu membuat usianya tampak lebih tua. Apakah dia tidak bahagia" Orang yang bahagia dalam hidupnya, ceria dan banyak tawa, biasanya akan tampak lebih muda dari usianya. Biarpun demikian ia menganggap Yasmin tetap cantik seperti yang selalu dikenal dan dikenangnya.
Dibantu Aryo, Winata turun dari kursi roda. Ia mengulurkan kedua tangannya. Yasmin masuk dalam pelukannya. Mereka berpelukan sampai Winata tak
269 sanggup lagi berdiri. Ia kembali ke kursi roda. Air mata kegembiraan mengalir di pipinya. Sementara itu Aryo segera masuk ke dalam untuk menempati posnya yang biasa. Ia pun dilanda keharuan.
Yasmin mengambil tempat di sisi kursi ayahnya.
"Ah, kau nangis, Yas."
"Papa juga." Mereka tertawa. Yasmin menyandarkan kepalanya di lengan Winata. Dulu ia suka berbuat begitu. Winata pun menikmati.
"Jadi kau sudah tidak membenciku lagi, Yas""
"Ah, Papa ini gimana sih" Kalau benci masa ke sini."
"Habis kayak mimpi sih."
"Jangan gitu, Pa. Papa membuatku merasa jadi anak durhaka."
"Ah masa" Nggak deh. Aku nggak gitu lagi."
"Pa, aku yakin Mama juga akan memaafkan Papa."
"Oh ya" Aku sudah sering minta maaf padanya, tapi sudah tentu aku takkan mendapat jawaban. Hanya kau yang bisa memberi jawaban. Aku ingat, Hendri bilang kau perlu ziarah dulu ke makam Mama sebelum memberi jawaban."
"Aku seperti orang bodoh dong. Masa harus ke makam dulu kalau jawabannya ada di sini." Yasmin menunjuk dadanya.
"Betul sekali. Mulai sekarang aku nggak akan percaya lagi pada mulut si Hendri. Apakah dia sering berbohong juga padamu""
"Kalaupun berbohong aku nggak tahu, Pa," jawab Yasmin diplomatis.
"Oh ya. Setelah Hendri bercerita tentang pertemuannya denganku, apa yang terjadi""
270 "Dia membujukku, aku pura-pura nggak mau. Lalu dia ngomong soal harta yang Papa mau hibahkan kepada orang lain kalau aku nggak mau. Tapi aku bilang, perlu pikir-pikir dulu."
"Bagus! Biar dia tahu rasa sudah bikin susah orang!"
Yasmin tersenyum. Ia beranggapan sama. Hitung-hitung membalas perbuatan Hendri kepadanya. Terpikir olehnya, apa reaksi ayahnya bila tahu apa saja yang dilakukan Hendri terhadapnya selama masa perkawinan mereka. Tapi ayahnya tidak perlu tahu. Itu masalah pribadinya.
Winata membelai kepala Yasmin. Dulu dia sering melakukannya.
"Sekarang kau dewasa sekali, Yas. Caramu bersikap dan kata-kata yang kauucapkan menunjukkan itu."
"Pengalaman hidup yang membuat orang berubah, Pa."
"Betul sekali. Boleh aku tahu apa yang membuatmu berubah""
"Wah, jangan dulu deh, Pa. Ceritanya panjang."
Winata tertawa. "Kau membalasku, ya" Padahal kau punya banyak waktu untuk bercerita. Ini kan bukan di telepon."
"Justru itu, Pa. Kita masih punya banyak waktu. Besok dan besoknya lagi."
"Apa itu berarti kau akan sering-serin
g datang kemari""
"Ya, Pa. Kalau Papa nggak bosan."
"Aduh! Bosan" Masa sih" Tapi ingat kondisiku. Aku ini sudah tua dan sakit."
"Pa, umur itu di tangan Tuhan. Ingat saja itu."
Yasmin mengatakannya dengan serius. Winata mengangguk respek.
271 Mereka berbincang tentang masa lalu dengan asyik. Yang sama-sama dihindari keduanya adalah kehidupan perkawinan mereka. Akhirnya Yasmin sadar dengan terkejut. "Pa, aku mesti pulang!"
"Kenapa" Ada janji""
"Bukan. Aku ke sini tanpa rencana. Jadi nggak siap. Aku belum masak, Pa. Dia rumah nggak ada pembantu."
"Im sih soal kecil. Bu Tati sudah masak ekstra hari ini. Kau bawa rantang pulang, ya""
"Wah, Hendri akan terheran-heran melihat masakanku yang lain dari biasanya."
"Bohongin aja."
"Dia pasti tahu kalau aku pergi. Aku harus berbohong yang lain lagi." "Tahu dari mana""
"Tiap hari dia menelepon dan kantor, Pa. Kalau nggak diangkat pasti nggak ada orang, kan""
"Menelepon tiap hari itu tanda perhatian atau mau ngecek keberadaanmu""
"Bisa dua-duanya, Pa."
Jawaban itu cukup bagi Winata untuk memastikan bahwa Hendri bukanlah suami yang ideal.
"Pa, aku punya ide! Daripada berbohong terus, lebih baik terus terang aja. Aku akan beritahu Hendri bahwa aku sudah baikan sama Papa dan hari ini datang ke sini. Pulangnya bawa masakan dari sini."
Winata terperangah sejenak. "Kenapa kau memutuskan begitu""
"Aku sudah bosan berbohong terus. Lain kali kalau aku ke sini lagi, masa bohong lagi""
"Apa kau akan cerita semuanya dari awal""
"Yang sudah lalu biarlah berlalu."
"Terserah kau bagaimana baiknya. Apa dia nggak akan marah padamu""
272

Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan mengatakan bahwa kita baru baikan hari ini. Lalu aku datang ke sini. Im saja."
"Kalau kau diapa-apakan, kasih tahu aku, ya""
Yasmin tersenyum. "Jangan khawatir, Pa. Dia akan baik-baik saja."
Perkiraan Yasmin memang benar. Ketika Hendri pulang, tanpa buang waktu atau ditanyai lebih dulu, ia segera mengatakan, "Aku tadi ke rumah Papa. Masalah di antara kami sudah selesai. Kami sudah baikan. Yang lalu sudah dimaafkan."
Hendri terkejut sekali. "Kenapa kau pergi nggak bilang-bilang" Kau bisa menelepon ke kantor, kan" Kenapa nggak tunggu aku" Kan kita bisa pergi sama-sama" Bukankah sudah kukatakan, kalau hendak memutuskan sesuatu katakan padaku dulu," Hendri menyesali.
"Semuanya terjadi spontan. Aku memutuskan tadi. Aku menelepon Papa, terus Papa kirim mobil. Im makanan bawa dari sana. Enak sekali."
"Mestinya, habis memutuskan kau menelepon aku. Nanti sore kita bisa pergi sama-sama. Kau melupakan peranku, Yas."
"Peranmu""
"Ya. Bukankah aku yang berinisiatif menelepon Papa waktu kau pergi ke motel"" "Tapi..."
"Jangan lupa. Berkat bujukanku juga kau mengambil keputusan itu."
"Sori deh. Lain kali kita pergi sama-sama ke sana."
"Sayang aku melewatkan perjumpaan pertama kalian setelah dendam bertahun-tahun."
"Ah, tak usah mendramatisir. Biasa-biasa aja." "Ada pelukan dan ciuman""
273 "Ada." "Mestinya untukku juga ada dong."
Yasmin tersenyum. Hendri mengira itu pertanda positif. Ia mendekat sambil mengulurkan kedua tangannya. Senyum Yasmin serta-merta lenyap dan wajahnya berubah. Cepat-cepat Hendri menjatuhkan kedua tangannya dan menghentikan langkahnya. Ia mengangkat bahu.
"Kalau begitu, aku mengucapkan selamat saja," katanya, berusaha tidak memperlihatkan kejengkelannya.
"Terima kasih, Hen. Kau baik sekali."
Lalu Hendri teringat akan uang yang diberikan Winata untuk biaya rumah sakit. Dan cerita bohong-" nya yang lain.
"Apakah Papa cerita yang lain, Yas""
"Yang lain apa""
"Tentang kunjunganku ke sana dan apa yang kami bicarakan""
"Oh, yang itu sedikit. Kami lebih banyak bicara tentang masa lalu. Nostalgia. Memangnya ada yang istimewa""
"Nggak. Nggak ada."
Aku tahu dia sebenarnya marah, pikir Yasmin. Tapi aku yakin dia tidak akan melampiaskannya kepadaku. Sekarang aku terlalu berharga untuk disia-siakan.
274 BAB 27 Hari itu merupakan hari bahagia bagi Delia, Kosmas, dan Erwin. Ada berita menakjubkan dari rumah sakit berupa hasil pemeriksaan terhadap Delia. Ia dinyatakan tidak menderita kanker rahim! Kista yang dulu ditemukan di dalam rahim sudah lenyap!
Awalnya Delia datang ke dokter yang pertama memeriksanya dulu lalu menentukan adanya kanker kemudian menganjurkan agar ia menjalani operasi pengangkatan rahim. Tentu saja dokter itu takjub sekali ketika hasil pemeriksaan menunjukkan ra-himnya bersih dari tumor. Ia tidak percaya hasil pemeriksaannya dulu salah atau tertukar dengan milik orang lain. Itu sangat tidak mungkin. Tapi kenyataan menunjukkan demikian. Ia bukan saja takjub, tapi juga sempat takut kalau-kalau disangka melakukan malapraktik. Bayangkan kalau rahim sesehat itu sampai diangkat karena anjurannya! Tapi Delia mengatakan padanya bahwa ia menjalani pengobatan alternatif. itu membuat si dokter terhibur. Jadi bukan dia yang salah, melainkan si pengobat alternatif itulah yang lebih pintar.
Tapi Delia tidak hanya memeriksakan diri di satu rumah sakit. Ia juga pergi ke rumah sakit lain dan melakukan pemeriksaan yang sama. Di rumah sakit kedua itu pun hasilnya sama. Tapi ia sendiri tidak
275 yakin apakah benar pengobat alternatif itulah yang menyembuhkannya. Bukankah ia tidak melakukan pengobatan sampai tuntas" Jawabannya tidak perlu dicari, hanya diterima saja.
Mereka bertiga merayakannya dengan melakukan meditasi dan doa bersama.
Kemudian Delia resmi menjadi karyawan Motel Marlin. Ia pindah dari kamar 14 ke bagian belakang, kamar para karyawan yang tinggal di dalam. Semula Kosmas memaksanya menetap di kamar 14, mengingat kamar itu bersejarah. Tapi Delia tidak mau. Kamar itu untuk tamu, bukan untuk karyawan. Ia tidak ingin diperlakukan berbeda. Bagaimana nanti anggapan karyawan lain"
Tapi Delia tidak melupakan Ratna.
* * * Perubahan fisik Ratna menimbulkan problem baru. Orang-orang di luar anggota keluarga tentu saja tidak pernah menyangka bahwa Ratna yang sekarang mereka lihat sama dengan Ratna yang dulu. Mereka itu para tetangga dan karyawan di bengkel Rama.
Dalam berbagai kesempatan Rama dan Maya mengatakan pada mereka bahwa Ratna sudah pindah untuk tinggal bersama anaknya yang lain. Sementara Ratna yang sekarang adalah kerabat dekat yang akan tinggal sementara dengan mereka.
Rahasia harus dijaga rapat-rapat. Mereka menyadari keharusan itu karena rasa takut. Bahkan anak-anak seperti Boy, Lisa, Donna, dan sepupu-sepupunya yang masih remaja dan umumnya suka sensasi tahu betul apa bahayanya bila mereka sampai membocorkan rahasia itu. Di samping belum tentu ada yang
276 percaya, masih ada lain yang menakutkan, yaitu hukuman dari Rama. Sudah terbukti bagaimana keampuhan ilmu yang dimiliki Ratna hingga mereka tunduk.
Bukan cuma rasa takut dikutuk yang membuat mereka mampu menjaga rahasia, melainkan ketakutan yang lain. Bila sampai terjadi kehebohan di masyarakat sekitar yang kemudian meluas, Ratna bisa dituduh sebagai dukun hitam atau tukang santet! Sudah terbukti banyak orang yang dituduh sebagai tukang santet dibunuh ramai-ramai walaupun tak ada bukti.
Rama dan Maya semakin stres. Lebih-lebih Maya. Tetapi keadaan itu membuat hubungan mereka berdua menjadi lebih baik dan dekat. Demikian pula anak-anak mereka. Mereka jadi lebih bersatu. Hal itu menghibur perasaan Maya hingga ia menjadi lebih diringankan.
"Bagaimanapun kita masih lebih baik daripada Del. Dia sendirian dan dikejar-kejar," bisik Rama, sekalian menghibur diri sendiri.
"Tapi kita serumah dengan Mama, Pa," balas Maya dengan berbisik juga.
"Serumah atau tidak serumah baginya pasti bukan masalah."
Ternyata bila sedang membicarakan Ratna di rumah mereka melakukannya dengan berbisik-bisik walaupun Ratna sedang keluar. Bagaimana kalau Ipah mendengar lalu menyampaikan" Mereka tidak tahu apakah Ipah sudah menjadi kaki tangan atau tidak. Lebih baik berhati-hati.
Setelah menjadi muda kembali, Rama jadi lebih sering jalan-jalan, terutama ke mal. Dulu ia hanya pergi kalau ikut serta dengan Rama sekeluarga atau ada yang mengajak. Biasanya ia segan karena kakinya
277 tidak kuat berjalan jauh. Tapi sekarang fisiknya menjadi kuat dan energik. Encoknya pun hilang tak berbekas.
Meskipun ia suka pergi keluyuran sendiri, tak ada anggota keluarganya yang mengkhawatirkan keselamatannya. Tak ada yang meragukan kemampuannya menjaga diri. Ya
ng di rumah pun merasa lega kalau ia pergi. Sepertinya udara menjadi lebih nyaman untuk dihirup. Bebas berteriak dan bernyanyi. Asal tidak membicarakan dirinya. Kalau perlu, juga dilakukan dengan berbisik-bisik.
Tetapi kesenangan baru Ratna itu membawa ekses lain. Ia perlu uang untuk biaya jalan-jalan dan belanja. Terpaksa Rama menyisihkan uang yang diperolehnya dari iuran saudara-saudaranya, padahal itu pun sudah berkurang karena Delia tidak lagi ikut serta dalam iuran itu. Maka terpaksa ia minta tambahan dari saudara-saudaranya. Ada yang bersedia, ada yang tidak.
Akhirnya Rama terpaksa meminta Ratna untuk menerima jatah tertentu setiap bulannya. Tidak bisa minta lagi dan minta lagi setiap kali uangnya habis. Biarpun takut, Rama bisa juga melakukannya. Demi kehidupan keluarganya. Tak mungkin ia membiarkan Ratna berbelanja tanpa batas padahal dirinya sekeluarga berhemat habis-habisan.
"Sekarang cari duit susah, Ma. Bengkel banyak saingan. Anak-anak butuh biaya besar untuk sekolah. Harga-harga kebutuhan pokok naik terus," ia menjelaskan.
Ratna tidak memaksa meskipun wajahnya cemberut. Rama merasa lega karena tidak mendengar sumpah serapah dari mulut Ratna.
"Jangan lega dulu," bisik Maya. "Kalau mau
278 mengutuk, dia tidak perlu terang-terangan. Bisa saja dia melakukannya di kamar sambil membakar kemenyan."
"Tenang, Ma," bisik Rama. "Kalau dia mengutuk kita dan membuat kita hancur, siapa yang mau tinggal bersamanya" Memang ini rumahnya" Apa dia mau tinggal sendiri" Dan siapa yang membiayainya" Kalau semua anak, menantu, dan cucu dikutuknya, bukankah berarti ia akan hidup sendirian""
Ratna sedang dalam kondisi terlalu gembira untuk mengutuk siapa pun. Ia menikmati keadaannya dan memaksimalkan penampilannya. Sekarang ia bisa memperoleh apa yang diinginkannya yang tak bisa didapatkannya di masa lalu. Ia juga lebih menyukai situasi sekarang daripada dulu. Model pakaian lebih menarik dan seronok dibanding dulu. Demikian pula urusan rias wajah dan rambut. Untuk pakaian ia mencari sendiri di toko dan urusan rambut ia pergi ke salon. Alat kosmetik bisa digunakannya sendiri.
Maka penampilan Ratna tampak mencengangkan. Ia menyingkirkan daster-dasternya yang longgar dan berwarna tua. Sebagian diberikannya kepada Ipah. Sebagai gantinya ia mengenakan pakaian yang baru dibelinya. Ada rok ketat, celana panjang ketat atau cutbrai, atau celana ukuran sebetis atau selutut dengan atasan blus pendek yang pas di badan atau kaus ketat! Tubuhnya yang ramping, dada penuh, dan perut rata, membuat ia pantas saja mengenakan pakaian itu. Bahkan sanggup memesona mata yang memandang. Penampilan Ratna jadi lebih cantik, lebih muda, dan lebih modis dibanding Maya. Ia kelihatan seperti ibu Lisa dan Boy, bukan nenek mereka!
Melihat itu, bertambah saja rasa muak dan keben279 cian Maya. Ditambah dengan rasa iri. Ia sendiri tidak mungkin bisa mengenakan pakaian seperti yang dikenakan Ratna karena perutnya yang membesar. Dan tentu saja karena Ratna tampak jauh lebih muda dari dirinya. Padahal ia sadar sepenuhnya bahwa Ratna mendapatkan semua itu secara tidak wajar.
Akhirnya suatu waktu Maya tak bisa lagi menyembunyikan perasaannya dari pandangan Ratna. Setelah sadar, ia terkejut bahwa dirinya tengah menatap Ratna dengan mata menyorotkan kebencian dan mulutnya berkerut mengekspresikan kemuakan padahal Ratna sedang memandang kepadanya. Sudah telanjur menyembunyikannya kembali. Ia buru-buru berpaling dan pergi. Tapi telinganya menangkap bunyi tawa Ratna yang sinis.
Biarpun sudah menghindar, ternyata Maya tidak selamat. Ia melihat cermin lalu terkejut melihat wajahnya dipenuhi jerawat besar-besar. Tidak mungkin hal itu terjadi tanpa sebab. Ia tidak punya alergi atau sedang makan obat yang bisa menimbulkan reaksi kulit. Dengan ketakutan ia melaporkan hal itu kepada Rama. Didampingi Rama, ia menghadap Ratna dan minta maaf. Segera sesudah itu wajahnya bersih kembali. Peristiwa itu telah memberinya pelajaran.
Ratna merasa puas tidak terkira. Jangan main-main denganku!
Lalu ia berkonsentrasi kembali kepada Delia. Setelah sempat menyisihkannya dari pikiran, ia teringa
t kembali. Ia terkejut mendapati Delia sekarang semakin jauh dijangkau. Ia harus mengakui kekuatan Delia sekarang lebih besar daripada dulu. Tapi dirinya juga jauh lebih kuat dibanding dulu. Ia yakin, Delia pasti datang menemuinya.
280 Delia sibuk dengan kegiatannya yang baru. Ia mengambil alih pekerjaan pembukuan dari tangan Kosmas dan sesekali juga menjadi penerima tamu. Ia pun tak segan membantu apa saja. Sebagai perempuan, ia lebih fleksibel dibanding Kosmas dan Erwin yang juga tak membedakan pekerjaan. Ia belajar dari kedua orang itu mengenai perhotelan, terutama perkembangan Motel Marlin. Ia sangat serius hingga mencengangkan Kosmas dan Erwin, juga karyawan lain. Apakah semangat yang tinggi itu sifatnya hanya sementara"
Dengan uangnya sendiri Delia membeli pohon-pohon peneduh untuk ditempatkan di sudut-sudut halaman parkir. Ia memilih akasia dan mahoni. Dibantu karyawan lelaki yang mencangkul tanah, Delia menanam sendiri dan memberi pupuk. Ia menempatkan pot-pot pohon palem hijau di lorong depan kamar-kamar. Tetapi sebelum melakukan itu ia minta izin dulu pada Kosmas dan Erwin. Segera tampak sentuhan feminin pada motel itu.
"Bagus," puji Kosmas dan Erwin.
Delia senang mendapat pujian itu.
"Tapi seharusnya kau tidak menggunakan uang sendiri. Nanti kami ganti, Del," kata Kosmas.
"Iya. Kau harus berhemat dengan uangmu," tambah Erwin.
"Sudahlah. Anggap itu sebagai hadiah dariku. Jangan diganti."
Sebenarnya Delia mengakui kebenaran ucapan Erwin. Ia harus berhemat. Tapi sekarang ia memerlukan pakaian, luar dan dalam, karena yang dimilikinya sekarang cuma beberapa potong. Sebagian besar
281 pakaiannya sudah ia sumbangkan. Yang meringankan adalah ia tak perlu memikirkan akomodasi.
Tetapi ia tetap tidak bisa melupakan Ratna! Perempuan tua itu masih suka muncul dalam mimpinya dan pikirannya.
"Biarkan saja. Nanti juga kau bisa melupakannya," kata Kosmas.
"Tidak. Dia masih tetap berusaha, Bang Kos. Itu karena dia masih menginginkan hartaku. Setidaknya sebagian. Atau yang masih tersisa."
"Kau bilang dia sepertinya sudah tahu, lewat kemunculannya dalam mimpimu, mengenai apa yang telah kaulakukan. Uangmu tinggal sedikit. Apa itu pun masih diincarnya"" tanya Kosmas geram.
"Sepertinya begitu. Yang penting dia diberi."
"Jahat sekali."
"Tapi aku rela menghabiskan hartaku kemudian bunuh diri semata-mata karena aku tak mau menyisakan sedikit pun untuknya. Kalau dipikir, apakah aku nggak jahat juga""
"Ah, nggak. Kau mempertahankan milikmu. Tapi dia mengincar milik orang lain, padahal dia tidak berhak."
"Entah. Kadang-kadang aku berpendirian seperti itu, tapi kadang-kadang aku merasa jahat. Aku masih belum selesai berpikir apa yang harus kulakukan terhadapnya. Selalu terasa ada yang belum selesai. Dan kalau itu belum selesai, aku tak bisa mendapatkan ketenangan."
"Kau bermaksud menemuinya atau apa""
"Entahlah. Aku belum tahu juga. Tapi dari pengalaman aku tahu bahwa berkunjung dengan tangan kosong tidak akan menyenangkan dia. Sebaliknya, dia malah marah. Kalau mau datang aku harus
282 konsekuen dengan merelakan sesuatu untuk kuberikan. Dia sangat suka perhiasan. Tapi semua perhiasanku sudah kujual."
"Apa itu berarti kau mau menyerah padanya, Kak"" tanya Erwin.
"Entahlah, apakah itu berarti menyerah atau bukan."
"Dulu kaubilang..."
"Ya. Dulu lain. Heran ya" Melihat persoalan yang sama, antara dulu dan sekarang, kok bisa beda ya" Dulu kesannya adalah menyerah. Tapi sekarang terpikir jangan-jangan bukan menyerah tapi mengalah. Bukankah itu beda""
Kosmas dan Erwin berpandangan.
"Andaikata kau memutuskan ingin mengabulkan permintaannya, berapa yang mau kauberikan" Punyamu tinggal sedikit. Padahal dia kan pengennya banyak," kata Kosmas.
"Di situlah herannya. Sesudah tinggal sedikit, muncul pemikiran untuk mengalah."
"Pikirkanlah lagi, Del," Kosmas menganjurkan. Juga menghibur.
"Jangan lupa tetaplah berdoa," Erwin menambahkan.
"Oh, tentu saja."
Lalu Kosmas mengusulkan agar Delia menjadi warga Jakarta dengan mengganti KTP-nya.
"Kau toh tidak akan tinggal di Bandung lagi," alasan Kosmas. "Nanti kubantu mengurusnya di kelurahan. Tapi kayaknya kau
perlu ke Bandung untuk mengurus surat pindah di kelurahan tempat tinggalmu. Tentu kau tidak perlu cepat-cepat. Kapan saja kau mau dan siap."
"Ah, itu usul yang kebetulan. Aku perlu menjenguk rumah kontrakanku. Masih ada sisa waktu kontraknya.
283 Aku ingin menyelesaikan baik-baik dengan pemiliknya. Biarpun masih ada sisa waktu, sebaiknya kukembalikan saja. Tempo hari kutinggalkan begim saja, karena aku yakin takkan kembali lagi."
"Jadi kapan mau ke sana"" tanya Kosmas.
"Secepatnya saja. Mungkin lusa. Aku akan nginap satu malam."
"Mau kuantarkan""
"Nggak usah. Aku nggak pakai mobil. Capek. Enaknya naik kereta saja."
"Baiklah. Nanti kuantar kau ke stasiun."
Sebenarnya ada sebab lain yang mendorong Delia ingin berdamai dengan Ratna. Di samping merasa terganggu oleh pikiran dan mimpi perihal Ratna, ia juga mengkhawatirkan keselamatan Kosmas dan Erwin. Ia takut mereka akan diganggu oleh Rama.
Kosmas menyampaikan masalah lain yang disampaikannya saat bicara berdua dengan Delia.
"Kasihan Erwin. Tiap hari dia menelepon Yasmin hanya untuk menanyakan kabarnya atau bercerita sendiri. Kelihatannya dia cukup senang bisa bicara sebentar, tapi dia pasti ingin lebih dari itu. Dia juga ingin seperti kita yang bisa bergaul tanpa penghalang. Kenapa pula tertarik pada istri orang""
"Mungkin dia perlu waktu untuk bisa menerima keadaan. Beberapa kali aku bicara dengan Yasmin di telepon, tampaknya dia tersentuh oleh perhatian yang diberikan Erwin. Dia takut kalau-kalau Erwin berharap terlalu banyak padahal dia tak bisa membalas."
"Ah, bagus kalau Yasmin berpendapat begim."
"Yang penting kita tidak boleh menyisihkan dia. Meskipun hubungan kita akrab, kita jangan berduaan saja tanpa mengikutsertakan dia."
"Terima kasih, Del. Erwin menyukaimu. Dia tak
284 pernah menganggapmu saingan. Dia bilang, kau seperti ibu kami. Mama-lah pemersatu kami. Biarpun Mama sudah nggak ada, spiritnya tetap memengaruhi kami."
"Punya saudara itu menyenangkan, bukan" Apalagi kalau akrab seperti kalian."
"Tapi pacar-pacar kami tidak menyukai hal itu."
Delia tersenyum. "Ada saja orang yang kadar cemburunya lebih daripada yang lain. Kau harus maklum juga."
Sementara itu Erwin merasa harus tetap optimistis. Selama Yasmin masih hidup, jalan itu masih ada, biarpun berliku dan tak jelas berapa panjangnya. Ia tahu, ada kode etik yang mestinya tak boleh dilanggar kalau ia masih ingin disebut sebagai orang bermoral. Mungkin menelepon tiap hari di saat si suami tak ada di rumah bisa juga disebut sebagai pelanggaran. Ia memang hanya menanyakan keadaan Yasmin dan bercerita yang sopan dan tidak menjurus. Tapi maksudnya sudah jelas. Ada pesan yang terkandung, "Jangan lupakan aku!"
285 BAB 28 Donna merasa stres belakangan ini. Nilai-nilainya di sekolah menurun. Padahal ia rajin belajar. Ia selalu rajin. Penyebabnya adalah ia sulit berkonsentrasi dan gampang lupa. Sudah menghafal setengah mati, tapi setelah tiba saatnya menghadapi ulangan hampir semua menguap dari otaknya. Orang lain mengira ia berbohong. Bahkan kedua orangtuanya juga tidak percaya. Padahal mereka melihat sendiri bagaimana tekunnya Donna belajar.
"Jangan-jangan kau kebanyakan melamun," kata Mila, ibunya.
Ramli, ayah Donna, membelikannya suplemen yang konon berkhasiat menguatkan daya ingat.
"Kayak orang tua pikun aja," ejek Ines, adik Donna.
Donna paling kesal kalau diganggu Ines, karena sudah lama ia menyimpan rasa iri pada adiknya itu. Penampilan fisik mereka berbeda. Ines punya wajah cantik dan lembut. Sedang Donna tomboi dan tidak cantik, juga suka bicara seenaknya. Tak mengherankan kalau Ines populer di antara teman-temannya, bahkan punya banyak pacar. Sedang Donna tak punya teman dan belum menemukan cowok yang tertarik padanya. Karena itu ia memfokuskan diri pada belajar. Hal itu membuat prestasinya di sekolah
286 cukup tinggi. Nilai-nilainya selalu bagus. Tapi sekarang keberhasilan dan kebanggaan satu-satunya itu pun terancam lenyap. Ia merasa sedih dan putus asa.
Ternyata kemudian suplemen yang dibelikan ayahnya dan rajin diminumnya itu tidak cukup berkhasiat. Tak ada kemajuan dengan daya ingat dan kemampuan ot
aknya. Ia tambah panik karena ujian akhir SMU kian dekat. Ia tidak ingin lulus dengan nilai pas-pasan. Apalagi kalau sampai tidak lulus. Betapa memalukan bila hal itu sampai terjadi. Lebih baik ia mati saja.
Dalam keadaan seperti itu ia teringat kepada neneknya, Ratna. Sejak Delia menghilang, Donna tak suka menemui Ratna lagi. Bukan hanya karena larangan orangtuanya, tapi ia sendiri merasa muak dan benci. Di matanya Ratna adalah nenek sihir yang keji dan menyeramkan. Di zaman modern ini mestinya tak ada yang namanya nenek sihir. Tapi kenapa ternyata ada dan justru neneknya sendiri" Ia benci tapi juga takut.
Ia pernah diajak Ratna ke mal. Terpaksa ia mau karena takut akan akibatnya kalau menolak. Waktu itu Ratna belum berpengalaman jalan-jalan sendiri, jadi minta ditemani dulu. Sepanjang jalan Donna harus menahan perasaannya. Sebelumnya ia sudah diingatkan oleh orangtuanya, "Jangan perlihatkan rasa benci di wajahmu kepadanya. Ingat pengalaman Tante Maya." Jadi betapapun tak sukanya, ia harus tetap tersenyum dan mengangguk-angguk. Padahal berjalan-jalan dengan Ratna sering kali membuatnya malu.
"Nenek itu genit banget," lapornya kepada orangtuanya. "Kalau ada cowok menegur, dilayani dengan ketawa ha-ha hi-hi. Padahal yang negur itu banyak. Habis dandanannya menor sih! Makanya jalan-jalan
287 sama dia itu makan waktu lama karena kebanyakan bercanda sama orang yang nggak dikenal. Jadi kalau dia lagi bercanda, aku jauh-jauh aja. Pura-pura nggak kenal."
"Ya. Mendingan begitu aja, Don," ibunya setuju. "Kalau menolak ikut, nanti dikutuk!"
Tapi setelah dua kali menemani Ratna, Donna tidak tahan lagi. Ia menolak dengan berbagai alasan. Mau ulangan, katanya. Ratna tidak marah karena belakangan ia lebih suka jalan-jalan sendiri. Yang penting baginya ia sudah tahu jalan dan sarananya Kendaraan umum cukup banyak.
Di luar dugaan Donna, ia mendapat hadiah dari Ratna berupa sebuah ponsel lengkap dengan nomor dan pulsa. Tinggal pakai.
"Bukankah kau sangat ingin punya itu"" kata Ratna. "Nih, aku juga punya. Sudah kumasukkan nomorku ke dalam ponselmu. Dan nomormu sudah pula kusimpan. Jadi kita gampang berhubungan."
Donna terperangah. Ia tidak tahu mesti berterima kasih atau mencurigai pemberian itu.
"Tahukah kau, uang yang dipakai untuk membeli barang itu adalah uang kami juga, anak-anaknya"" Ramli mengingatkan dengan emosi.
"Tahu, Pa. Habis mau gimana lagi" Aku kan nggak minta. Apa mesti dikembaliin"" sahut Donna.
Ramli terkejut. "Ah, jangan. Nanti dia marah."
"Betul. Sudah, terima aja," Mila membenarkan.
Ines punya bahan ejekan baru. Ia sebenarnya ingin memiliki ponsel juga, tapi tidak dibelikan. Tak punya uang, begitu alasan orangtuanya. Habis, banyak uang terserap oleh Rama.
"Kalau aku sih nggak mau dikasih apa-apa sama Nenek," begim kata Ines. "Kau tahu maksud dia
288 memberimu ponsel" Im supaya dia bisa SMS-an sama kamu!"
Kejengkelan Donna bertambah. Ines benar, ponsel itu jadi memudahkan Rama berhubungan dengannya. Entah itu sekadar bertanya perihal keadaan keluarganya atau instruksi. Mau tak mau harus dijawab. Akibatnya, ponsel itu jadi beban. Sering kali dengan sengaja ia matikan saja. Lalu telepon rumah berbunyi. Ratna menegur dan mengingatkan.
Dulu Donna cucu kesayangan Rama. Ia memang menikmati keadaan itu. Ia senang karena sering mendapat hadiah dan makanan enak. Ia tak keberatan disuruh ini-itu oleh Ratna. Banyak hal yang tak dipedulikan atau dijadikan keberatan olehnya. Misalnya kesenangan Rama melontarkan kutukan dan sumpah serapah. Bukan dirinya yang jadi sasaran. Bahkan disuruh memata-matai Delia pun ia mau saja. Tetapi setelah semakin dekat mengenal Delia, ia mulai merasa kurang enak. Ada perasaan telah mengkhianati atau melakukan sesuatu yang tidak patut. Lalu muncul perasaan bersalah. Terakhir adalah penipuan terhadap Delia, yaitu membohonginya dengan mengatakan ibunya sakit lalu membutuhkan uang sepuluh juta untuk biaya rumah sakit. Donna merasa muak terhadap Ratna. Apalagi kesan bahwa Delia orang yang baik semakin kuat. Tanpa segan dan pertimbangan ini-itu Delia bersedia membantu keluarganya. Donna bisa membayangkan b
etapa sakitnya perasaan Delia ketika tahu dibohongi. Bahkan untuk perbuatan itu ia dan keluarga tidak meminta maaf! Sungguh memalukan. Karena itu ketika Rama mau menyisihkan lima ratus ribu rupiah untuknya dari uang sepuluh juta itu, Donna menolak. Biarlah si nenek memakannya sendiri dan menanggung dosanya sendiri
289 juga. Tapi ia sadar dirinya punya andil dalam dosa itu.
Sekarang ia menyesal menjadi cucu kesayangan Ratna. Ia mulai berpikir bagaimana caranya melepaskan diri dari Ratna. Ia mencari seribu satu alasan untuk menolak perintah Ratna. Ponselnya ia bawa ke mana-mana dan terang-terangan ia pamerkan di depan umum, misalnya dengan mencantelkannya di pinggang saat berada di jalan. Tujuannya bukan untuk memudahkan Ratna menghubunginya di mana saja dan kapan saja, tapi supaya gampang dijambret orang! Sayang sekali, "undangan" itu tak diminati siapa pun. Tak ada penjahat yang tertarik.
* * * Donna mendapat ide untuk belajar di rumah kontrakan Delia yang kosong. Mungkin di situ ia bisa berkonsentrasi dengan lebih baik. Pulang sekolah ia ke sana dengan membawa bekal. Air mineral, roti, dan gorengan.
Ibu Sulis, tetangga sebelah yang dititipi kunci oleh Delia, sudah mengenalnya. Jadi tidak keberatan memberikan kunci kepadanya.
"Ke mana sih Bu Del" Kok nggak muncul-muncul ya"" tanya Bu Sulis ingin tahu.
"Tante Del di Jakarta, Bu. Lagi berobat," sahut Donna ringan.
"Sakit apa""
"Nggak tahu, Bu. Sekalian ngurus bisnis." "Oh, kalau berobat sambil bisnis pasti nggak berat sakitnya, ya"" "Kayaknya gitu, Bu."
290 "Rumahnya mesti dibersihin dulu, Don. Pasti banyak debunya."
"Beres, Bu. Saya akan bersihin."
Donna tidak keberatan membersihkan rumah itu. Semula ia memutuskan untuk membersihkan ruang tamu saja, karena di situlah tempat yang dipilihnya untuk belajar. Alat pembersih masih lengkap di belakang rumah. Air juga ada. Tapi setelah ruang tamu bersih, ia merasa masih punya energi dan semangat untuk membersihkan ruang yang lain. Akhirnya ia mengepel seluruh lantai rumah, kecuali kamar tidur. Ia membuka semua jendela supaya udaranya bisa berganti.
Setelah itu ia duduk di sofa dan menikmati dulu makan siangnya. Andaikan punya rumah sendiri meskipun kecil, alangkah senangnya, pikirnya. Seperti sekarang ini. Memang harus membersihkan sendiri, tapi nyaman dan tenang, tak ada yang mengganggu.
Baru saja ia membuka-buka bukunya, ponselnya berbunyi. Dengan sebal ia melihat pesan dari Ratna. "Kau ada di mana""
Mungkin neneknya menelepon ke rumah lalu di-beritahu ia belum pulang. Tidak mungkin ibunya mau memberitahu di mana ia berada. Ibunya tahu ia ke situ untuk belajar. Jadi tak mau diganggu.
Ia menyesal menghidupkan ponselnya. Tadi ia hidupkan supaya ibunya bisa menghubunginya. Misalnya kalau ia ketiduran. Ia tidak memperhitungkan Ratna. Terpaksa ia membalas, "Di rumah Tante Del. Lagi belajar!"
Ia berharap neneknya tidak mengganggu lagi. Tapi masih ada balasan, "Kalo dia datang, kasih tahu!"
Kali ini Donna terheran-heran. Tentu saja ia me291 ngerti siapa yang dimaksud dengan "dia" oleh neneknya itu. Tidak mungkin neneknya sudah pikun. Donna tidak menjawab. Untung tidak ada pesan lagi. Tapi ia memerlukan waktu agak lama sebelum berkonsentrasi. Sesudah itu, baru sedikit yang masuk ke otaknya, ia sudah mengantuk. Ia pun menjatuhkan diri di sofa. Begitu kepalanya mendarat, ia segera mendengkur.
Entah berapa lama kemudian ia terbangun karena ada yang mengguncang-guncang tubuhnya. Guncangannya pelan saja, tapi ia tersentak kaget. Lebih-lebih setelah melihat siapa yang membangunkannya. Delia!
"Tante!" serunya sambil melompat. Ia mengucek-ucek matanya kalau-kalau salah lihat.
"Ya. Aku," sahut Delia sambil tersenyum. "Apa aku mengganggu tidurmu" Pintunya nggak dikunci. Oh, lagi belajar, ya""
Baru Donna sadar sepenuhnya bahwa ia tidak bermimpi. Kesadaran itu cuma sebentar karena kemudian ia dicekam ketakutan. Bagaimana neneknya bisa tahu"
Delia tertawa melihat Donna masih saja melongo.
"Wah, kau masih bermimpi rupanya. Ayolah belajar lagi. Atau mau tidur lagi""
Donna menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa Tante udah janjian sama Nenek""
"Nenek"" tanya Delia, terkejut. Donna memberitahu sambil memperlihatkan pesan Rama di ponselnya. Delia tertegun sambil menatap Donna. Mereka berpandangan sejenak. Donna sadar, Delia tidak membuat janji dengan Ratna.
"Jadi dia tahu," gumam Delia. Kemudian ia menjatuhkan diri di sofa. Ia duduk berdampingan dengan Donna.
292 "Sekarang Nenek udah sakti, Tante. Tapi kenapa Tante datang ke sini""
"Ini masih rumahku, kan""
"Mendingan di Jakarta aja, Tante."
Delia terkejut lagi. "Dari mana kau tahu aku di Jakarta""
"Nenek. Ah, Tante jangan kaget. Dia kan nenek sihir. Oh ya, Tante belum tahu aja apa yang telah terjadi. Luar biasa mengerikan!"
"Tunggu dulu. Dia kan berpesan, kalau aku datang kau disuruh kasih tahu. Ayolah, beritahu saja."
"Boleh, Tante""
"Iya. Nggak apa-apa. Nanti kamu dapat masalah kalau nggak buru-buru memberi kabar. Mungkin dia juga sudah tahu."
Donna meraih ponselnya untuk mengirim pesan.
"Udah, Tante," katanya. "Sekarang gimana""
"Kita tunggu saja. Sebentar lagi telepon di kamar pasti berbunyi. Dia kepengen ngomong sama aku."
"Dia lagi ngejar-ngejar Tante, tuh. Mau minta duit."
"Yang sepuluh juta itu belum cukup rupanya."
"Oh, belum. Tante, maafkan aku ya" Aku merasa bersalah sekali telah menipu Tante waktu itu. Padahal Tante berniat baik. Pasti Tante marah sekali pada kami sekeluarga."
"Sudahlah. Aku sudah memaafkan kok, Don."
Donna memeluk Delia. Tindakan spontan yang belum pernah ia lakukan kepada orang lain. Bahkan kepada ibunya sendiri.
"Aku malu sekali, Tante. Papa dan Mama juga malu. Mereka ingin sekali minta maaf kalau ketemu Tante."
"Ya. Sudahlah. Aku mengerti posisi kalian. Nggak apa-apa."
293 "Terima kasih, Tante. Kau baik sekali. Aku juga minta maaf untuk yang dulu-dulu. Perbuatanku sangat memalukan."
"Sudahlah. Semua sudah berlalu, Don. Tadi katanya mau cerita. Apa yang luar biasa mengerikan itu""
"Nenek sudah berubah jadi muda, Tante! Kata Papa, penampilannya seperti saat Papa masih duduk di SMU!"
"Ha" Bukan karena bedah plastik, kan""
Donna tertawa. Ia segera menceritakan apa yang telah terjadi. "Tante Maya dan Bi Ipah pada pingsan, Tante! Kami semua datang ramai-ramai ingin melihatnya. Wah, Nenek berlagak dan bergaya deh. Sesudah itu Papa dan oom-oom terpaksa keluar duit banyak untuk makan-makan di restoran dan beliin baju buat Nenek."
Delia termenung. Jadi mimpinya yang mengerikan itu memang merupakan petunjuk bahwa Ratna yang sekarang tak lagi sama dengan yang dulu.
"Tante harus hati-hati sama dia. Tempo hari Tante Maya dikerjain Nenek, karena kedapatan memandanginya dengan benci. Mukanya jadi penuh jerawat. Sesudah minta maaf, baru mukanya bersih lagi. Serem, Tante!"
"Ya. Menyeramkan memang. Apa kau mau menginap di sini, Don""
"Nggak, Tante. Entar sore pulang."
"Kau jangan pulang dulu, ya. Aku mau ke kelurahan sebentar. Takut keburu tutup. Belajarlah dulu. Aku nggak lama. Nanti kita bicara lagi, ya""
Delia pergi meninggalkan Donna termangu. Kedatangan Delia yang mengejutkan membuat ia kehilangan semangat belajar. Tapi ia merasa lega karena
294 berhasil menyampaikan permohonan maafnya yang diterima oleh Delia. Ia berpikir, mungkin kelegaan itu bisa membuatnya lebih mampu berkonsentrasi. Kata orang, perasaan bersalah bisa mengganggu pikiran
Ia melirik ponselnya. Belum berbunyi lagi. Semula mau dimatikan, tapi tak jadi. Ada juga rasa ingin tahu, apa lagi yang mau disampaikan neneknya setelah tahu bahwa Delia ada bersamanya. Kenapa malah diam"
Delia kembali. "Untung keburu, Don. Ambilnya besok."
"Ambil apa, Tante""
"Surat pindah. Aku mau tinggal di Jakarta. Supaya nggak susah, aku mau jadi warga sana aja." "Ngapain di sana, Tante""
"Aku kerja. Oh ya, punya kertas, Don" Aku tulis nomor telepon kantorku ya. Kalau ada apa-apa atau berita baru, bisa gampang menghubungiku."
Delia menyodorkan kertas yang sudah ditulisi nomor telepon Motel Marlin. "Simpan, Don."
Donna memasukkannya ke dalam tas. "Kok alamatnya nggak ditulis, Tante""
"Alamatnya belakangan. Aku belum punya tempat tinggal tetap. Masih kos."
"Jadi Tante memang bermaksud mau menemui Nenek""
"Ya." "Wah, dia bener lagi, Tante. Dia sudah bilang begit
u kepada kami. Katanya, Tante nggak usah dicari. Nanti juga datang sendiri."
"Dia memang mengejutkan."
"Kasihan mereka yang serumah, Tante. Si Boy dan Lisa jadi sering nginap di rumah kami. Katanya,
295 di rumah sendiri sulit belajar. Bau kemenyan melulu. Bikin tengkuk meremang. Aku pun jadi susah konsentrasi dan gampang lupa, Tante."
Lalu Donna menunjuk ponselnya di atas meja. "Itu hadiah dari Nenek, Tante. Tapi aku tahu, maksudnya supaya gampang menghubungi aku. Pe-ngennya sih nggak nanggapin. Tapi takut. Semua orang takut."
"Kau tidak boleh takut bila ada di pihak yang benar," hibur Delia.
"Tapi gimana nggak takut, Tante" Dia mengerikan. Dia bukan lagi nenekku. Dulu, biar mata duitan, dia tetap nenekku. Tapi sekarang dia jadi orang asing."
"Ya, memang mengerikan. Aku cuma bisa ngomong, ya" Tapi sampai saat ini, motivasinya masih berupa materi, kan""
"Maksud Tante""
"Maksudku, tak ada niat mencelakakan orang misalnya."


Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kayaknya nggak. Dia lagi asyik belanja, jalan-jalan, dan mempercantik diri. Si Lisa bilang meja rias Nenek penuh kosmetik. Dia genit deh, Tante. Mungkin lagi nyari pacar!"
Delia tertawa. "Tante, cerita dong mengenai Tante. Apa yang Tante kerjain di Jakarta sekarang""
"Im nggak penting, Don. Yang penting cuma satu. Aku nggak takut lagi pada kutukannya."
"Caranya, Tante""
"Kau percaya sama Yang Mahakuasa, Don" Percaya, bukan" Tapi sering kali kita tidak sebegitu percayanya sampai mau berserah diri kepada-Nya. Takut itu wajar. Semua orang punya rasa takut. Tapi kita harus melawan sesuai kepercayaan kita
296 kepada-Nya. Berdoa, Don! Jangan hanya ritual, tapi sungguh-sungguh dan tulus!"
Donna termangu. Ia merasa terpesona oleh ucapan Delia itu. Tapi Delia yang mengamati wajah Donna jadi terkejut. Ia melihat gurat-gurat keriput di wajah Donna! Kulitnya tampak kering bersisik di sana-sini! Dia tampak seperti ular mau berganti kulit! Tak tahan Delia memekik.
"Ada apa, Tante" Ada apa"" seru Donna cemas.
"Tenang dulu, Don."
Delia memeluk Donna lalu membimbingnya ke depan cermin. Donna menjerit keras lalu menangis.
"Aduh, mukaku! Betulkah itu mukaku, Tante"" jeritnya.
"Tenang, Donna. Menangis tidak menyelesaikan masalah. Panik apalagi."
"Habis gimana, Tante" Masa aku jadi lebih ma dari Nenek" Lebih baik aku mati aja!"
Kata-kata itu menyadarkan Delia. Im pasti perbuatan Rama.
"Dengar, Don. Bukankah Maya pernah dikerjain Nenek" Jangan-jangan kau juga begitu."
Donna tersentak. "Oh iya. Kalau begitu aku harus minta maaf padanya."
Ia mengambil ponselnya, tapi Delia menahannya. "Jangan, Don! Jangan menyerah. Im hanya membuat kau takluk padanya."
"Tapi aku nggak mau punya muka kayak gini, Tante," keluh Donna.
"Kita berdoa yuk""
Delia mengajak Donna bersila di atas sofa. Kepala tegak, kedua tangan di atas lutut. Gaya meditasi.
"Kosongkan pikiran dan perasaan dari emosi, Don. Susah, tapi pasti bisa. Lalu berdoalah kepada Yang
297 Kuasa. Kita mohon diberi kekuatan melawan keburuk-an.
Beberapa saat lamanya mereka melakukan hal itu. Tak terasa dan tak terhitung lagi waktu yang lewat. Hening dan sepi. Suara yang terdengar pun tak lagi terasa mengganggu. Bahkan ponsel Donna sempat berbunyi cukup lama, tapi dibiarkan saja.
Lalu Delia membuka mata lebih dulu. Sekeliling sudah mulai gelap. Ia menoleh ke arah Donna yang masih diam dengan mata terpejam. Diam-diam Delia mendekatkan mukanya untuk mengamati wajah Donna. Meskipun suasana agak gelap, ia meyakini wajah Donna sudah kembali normal. Ia melihatnya dengan mata hati!
Donna membuka mata, lalu menoleh kepada Delia. "Tante! Aku yakin sudah pulih!" serunya.
Kedua tangannya merabai wajahnya. Sementara itu Delia melompat lalu menyalakan lampu.
"Ayo lihat cermin, Don! Sini!"
Donna berteriak girang. Ia memeluk Delia kemudian berputar-putar keliling ruangan!
Dalam perjalanan pulang, Donna bersenandung riang. Ia merasa tubuhnya ringan. Ingin sekali melompat-lompat, bahkan terbang. Tapi masih sadar untuk tidak melakukannya karena takut disangka gila.
Lalu ia mendengar bunyi ponselnya dari dalam tas punggungnya. Ia mengeluarkan benda itu lalu menggenggamnya saja. Itu bunyi SMS. Tapi ia tid
ak menjenguk ponselnya untuk mengetahui apa isi pesan dan dari siapa. Sambil menggenggam ponsel itu, ia terus berjalan. Akhirnya ia menemukan tempat sam298 pah yang dianggapnya bagus. Tempat sampah itu bertutup dengan lubang di bagian depannya untuk memasukkan sampah.
Donna mengulurkan tangannya yang menggenggam ponsel ke dalam lubang pembuangan tempat sampah. Ketika tangannya ditarik kembali, ponsel itu sudah tak ada lagi dalam genggamannya! Ia tertawa lalu menepuk-nepuk kedua tangannya seakan menepiskan kotoran. Lalu ia berjalan kembali.
Di dalam tempat sampah ponsel itu berbunyi lagi. Donna tidak lagi mendengarnya. Kalaupun mendengar, ia tidak peduli.
Sementara itu Delia membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur yang sudah dialasi seprei yang dibawanya dari Jakarta. Tidak nyaman kalau tidur di kasur yang tidak dialasi. Rasanya gatal-gatal. Ia merasa capek sekali. Lebih baik tidur siang-siang supaya besok bangun segar dan kembali ke Jakarta dalam keadaan segar juga.
Telepon di atas meja di sampingnya berbunyi. Belum mengangkatnya ia sudah berdebar-debar.
"Jadi kau mau menemuiku, Del""
Suara itu dikenalnya meskipun sekarang memiliki vibrasi dan tekanan yang berbeda. Tadinya suara orang tua, sekarang suara orang yang jauh lebih muda.
"Betul, Ma. Tapi nggak sekarang."
"Baik. Tapi pastikan kalau datang jangan dengan tangan kosong! Aku paling benci!"
Hanya itu yang dikatakan Rama. Tenang dan dingin, tanpa sumpah serapah.
299 BAB 29 Ratna sangat marah. Bukan hanya kepada Delia, tapi juga kepada Donna. Tapi ia tahu dirinya tak punya kendali lagi terhadap kedua orang itu. Sepertinya mereka licin sekali hingga selalu lepas dari genggaman. Mengucapkan sumpah serapah atau kutukan pun percuma.
Betapa kurang ajarnya Donna dengan mengabarkan, "Maaf ya, Nek! HP saya hilang di jalan. Tapi nggak usah beliin lagi. Sayang duitnya, Nek!"
Kemarahannya terhibur dengan janji Delia yang akan datang menemuinya. Berapa kira-kira yang akan diberikan Delia untuknya" Ia yakin, Delia tidak akan datang tanpa membawa apa-apa. Dengan kepastian itu ia sibuk membuat rencana.
* * * Setibanya di Motel Marlin, Delia membicarakan hal itu dengan Kosmas dan Erwin. Mereka terheran-heran mendengar cerita mengenai Ratna. Bagaimana mungkin ada kejadian seperti itu. Kalau bukan Delia yang menceritakan dan mengalaminya sendiri, pasti mereka tidak percaya. Ternyata orang tak bisa selalu memastikan bahwa sesuatu yang tak masuk akal itu tak mungkin terjadi.
300 "Jadi dia masih tetap menginginkan bagian dari hartaku," kata Delia. "Kasihan, bukan""
"Kasihan"" tanya Kosmas heran.
"Ya. Ternyata ada orang yang bisa diperbudak materi begitu rupa sampai rela membiarkan diri dikuasai setan. Apalagi kalau bukan begitu" Materi dekat dengan setan, bukan" Cerita Donna cuma memperjelas. Orang seperti itu patut dikasihani."
Kosmas geleng-geleng kepala. Ia tidak sependapat tapi tak ingin membantah.
"Bukankah mestinya orang seperti itu dibenci, Kak"" tanya Erwin.
"Aku dulu membencinya setengah mati. Tapi sekarang benci itu menjadi kasihan. Aneh nggak" Tapi tak perlu dipertanyakan. Terima saja sebagai bagian diriku yang berubah."
Erwin mengangguk respek. Masalah seperti itu memang sulit diperdebatkan.
"Kembali ke hal tadi, Del," kata Kosmas. "Bagaimana rencanamu sekarang terhadap dia" Kapan kau mau ketemu dia dan apa yang mau kaubawa sebagai upeti""
Delia tertawa. "Ah, upeti ya" Mirip juga. Aku sebenarnya sudah punya ide. Kupikirkan di kereta tadi. Tapi aku mau minta pendapat kalian."
"Apa yang bisa kauberikan bila uangmu tinggal sedikit" Jangan, Kak," kata Erwin.
"Kalian lupa. Aku masih punya satu benda berharga, yaitu mobilku!"
Kosmas dan Erwin saling memandang dengan terkejut.
"Memang itu bukan mobil mewah. Umurnya juga sudah lima tahun. Tapi sangat terawat, baik mesinnya maupun bodinya. Masih lumayan bagus, kan""
301 "Jadi kau mau memberikan mobil itu kepadanya supaya dia bisa jalan-jalan ke sana kemari"" tanya Kosmas.
Delia tertawa geli. Ia membayangkan Ratna me-ngemudi. Tapi kemudian teringat bahwa ia memba-yangkan sosok Ratna yang tua, bukan yang muda.
"Dia nggak bisa nyeti
r. Kalau belajar sih bisa aja. Apalagi fisiknya kan sudah muda lagi. Tapi aku tidak bermaksud memberikan mobil itu kepadanya. Aku mau jual, lalu uangnya kuberikan padanya. Kira-kira berapa ya harganya" Besok mau kubawa ke pedagang mobil bekas."
Kosmas menarik Erwin, menjauh sedikit dari Delia. Lalu mereka berbisik-bisik. Delia mengamati dengan heran.
Tak lama Kosmas berunding. Ia segera mendekati Delia. "Kami akan membeli mobilmu, Del! Berapa mau kaujual""
"Kalian cuma mau membantuku, kan" Bila itu memberatkan perusahaanmu...," Delia ragu-ragu.
"Sama sekali tidak. Kami memang perlu mobil sebagai aset motel kami. Selama ini kami hanya punya satu. Pick-up, lagi. Kalau masuk bengkel tak ada yang lain," Kosmas meyakinkan Delia.
Tapi Delia tidak sepenuhnya percaya. Namun ia menghargai usul itu. Baginya tentu lebih baik lagi karena sekali waktu ia masih bisa memakainya meskipun sudah bukan miliknya lagi.
"Aku nggak tahu harganya. Kalian lebih tahu."
"Begini saja. Besok kita bawa ke show room mobil bekas. Tanya-tanya harga. Dari situ kita bisa mendapat patokannya."
Delia setuju. 302 Erwin terkejut ketika wanita pujaannya tiba-tiba muncul di kantor ketika ia sedang berjaga sendirian.
"Kenapa nggak memberi kabar dulu, Yas"" tanyanya. "Kan aku bisa siap-siap""
"Siap-siap apa"" Yasmin tertawa.
"Menghidangkan yang enak-enak untukmu."
Erwin menatap Yasmin lekat-lekat. Pujaannya ini tampak jauh lebih segar dan ceria dibanding terakhir dilihatnya. Im membuatnya cantik dan memesona. Mata Erwin susah benar beralih. Tapi bersamaan dengan itu muncul rasa cemburu. Apakah perubahan besar itu disebabkan pulihnya hubungan Yasmin dengan Hendri" Apakah sekarang Yasmin sudah bisa menikmati cintanya dengan Hendri" Erwin mengagumi, tapi juga mencemburui.
Yasmin jadi salah tingkah dipandangi Erwin "Hei, kenapa aku kaupandangi seperti itu" Takut ah," katanya bercanda.
Erwin tersadar. "Oh, sori, Yas. Terus terang aku terpesona. Kau kelihatan cantik sekali! Pasti kau sudah benar-benar sehat, ya""
Yasmin tertawa senang karena dipuji. "Oh ya. Aku sudah benar-benar sehat, Bang! Aku datang ke sini karena tidak ada yang nengokin aku di rumah. Jadi biarlah aku yang ke sini. Aku sudah kangen sekali sama Kak Del. Ngomong di telepon nggak memuaskan."
"Sayang Kak Del lagi pergi sama Bang Kos. Ada urusan. Perginya sudah cukup lama. Mungkin sebentar lagi juga kembali."
"Katanya Kak Del kerja di sini ya, Bang""
"Iya." 303 "Gimana dengan toko busananya di Bandung""
"Itu sudah dijual, Yas. Jelasnya nanti tanya dia aja. Aku takut salah ngomong."
"Yah, sayang sekali. Apakah tokonya bangkrut""
"Nanti tanya dia aja, Yas. Ngomong-ngomong, gimana kabarmu sekarang" Sibuk di rumah atau ada kegiatan lain"" Erwin cepat mengalihkan. Ia tahu, Delia belum bercerita banyak kepada Yasmin mengenai masalah dirinya. Tapi Erwin tidak mau bercerita tentang Delia biarpun ia tahu Delia pasti akan bersikap terbuka kepada Yasmin. Biarlah Delia yang bercerita tentang dirinya sendiri.
"Aku masih menikmati kebebasanku, Bang. Tapi aku sudah punya rencana."
"Apa itu" Boleh tahu""
"Aku ingin punya toko busana seperti Kak Del. Tadinya aku ingin mengajak dia bekerja sama. Tapi dia sudah bekerja di sini."
"Wah, dia senang di sini, Yas! Kau lihat pepohonan itu" Tadinya kan nggak ada."
Erwin khawatir kalau-kalau Delia diajak pergi oleh Yasmin. Tentu Yasmin bisa bicara begitu sekarang karena dia memiliki ayah yang kaya.
"Ya. Jadi bagus memang. Aku sudah menduga itu pasti sentuhan Kak Del. Tapi kalau dia nggak mau berbisnis busana lagi juga nggak apa-apa. Aku minta nasihatnya aja."
"Betul. Mendingan begitu. Bagaimana kabar ayahmu" Katanya sakit""
"Oh, dia sudah lebih baik. Aku sudah bertemu dengan dia, Bang. Sekarang aku lega sekali karena tidak punya dendam lagi. Demikian pula Papa."
"Bagus sekali. Sudah berapa kali ketemunya" Tentu suasananya mengharukan."
304 "Baru sekali. Kami berdua nangis, Bang. Pada saat itu aku bersyukur karena masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk berbaikan dengan Papa. Coba kalau Papa keburu meninggal atau aku yang meninggal duluan, bukankah kesempatan itu hilang" Bagi siap
Omega Swordsman 1 Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah Bende Mataram 21

Cari Blog Ini