Ceritasilat Novel Online

Senja Di Selat Sunda 1

Senja Di Selat Sunda Karya Gola Gong Bagian 1


SENJA DI SELAT SUNDA GOLA GONG Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
Episode 1 Di Atas Bus Malam Aku usap kaca jendela bus beberapa kali, membentuk bulatan-bulatan kecil. Terasa dingin di telapak tanganku. Lalu aku hapus semuanya. Embun yang menempel di kaca jendela pun hilang sudah. Bayangan yang seolah-olah menghalangiku terhadap dunia luar sudah tak ada lagi. Pagi baru saja menjelang. Langit timur yang aku tinggalkan semalam kini dipulas kemerahan. Tampaknya matahari mencoba menggeliat; membebaskan cahayanya supaya bisa menyentuh sahabatnya, pucuk-pucuk padi yang sedang kesepian menguning.
Bus keluar di mulut tol Ciujung, kira-kira 20 km sebelum kota Serang. Jalan tol Cikampek-Merak memang terputus di sini. Sisanya sedang dalam pengerjaan. Jika jalan tol ini sudah rampung, tentu segalanya akan jadi lancar. Tapi kata versi yang lain, malah kota-kota di eks Karesidenan Banten ini akan semakin ketinggalan, karena tak akan satu pun kendaraan yang singgah. Seperti kata sebuah anekdot, kalau sudah ngebut di jalan tol suka lupa berhenti. Berarti, semua kendaraan cuma akan melaju kencang melintasi eks Karesidenan Banten dan "wusssss!" anginnya saja yang membekas.
Bus terus meluncur menyibak genangan air, sisa dari hujan semalam. percikannya berhamburan dilindasi roda-roda dan menimbulkan bunyi desisan yang merdu. Beberapa orang sudah ada yang mulai menggeliat dan sibuk memberesi barang-barangnya. Tapi Nana, yang mengajakku liburan ke kampung halamannya, masih asyik bermimpi.
Aku sendiri tidak bisa menikmati perjalanan bus malam ini. Terguncang-guncang sepanjang Yogya-Magelang-Semarang, dibanting ke kiri-ke kanan di Alas Roban, terkatung-katung membosankan di jalur lurus Cirebon-Cikampek, dan melaju dalam kecepatan tinggi dijalan tol Cikampek-Merak, bukanlah sesuatu yang menyenangkan buatku untuk teman tidur. Aku betul-betul iri melihat Nana tertidur yenyak. Wajah yang cantik itu tampak begitu damai. Tak terganggu oleh goncangan bus. Jiwa dan raganya memang sudah menyatu dengan alam. Dan selalu pasrah pada kehendak Tuhan.
Padahal aku mengenal Nana belum begitu lama. Dia adalah sahabat baruku. Dua tahun yang lalu, waktu itu sedang Pekan Orientasi Mahasiswa, aku melihat Nana sebagai calon mahasiswi yang keras kepala, Itu mungkin ungkapan yang tepat baginya selain sebutan pemberani. Setiap ada raka-raka fakultas yang iseng padanya, si perkasa yang cantik itu menggeliat liar seperti ular. Setiap hukuman dijalaninya dengan tegar dan menantang, sampai-sampai para raka bosan dengan ulahnya. Ketika tiba giliranku dibulan-bulani para raka, dia tidak segan-segan membela dan membantuku. Dan bahkan pada siapa saja.
"Terima kasih," aku betul-betul malu padanya, ketika dia menyelamatkan aku dari hukuman push up seorang raka yang over acting.
Nana membalas dengan senyuman tipis. Lalu, "Namaku Nana," nadanya tegas ketika menyebutkan namanya.
"Aku sudah tahu," kataku membersihkan kedua lutut dan telapak tanganku. "Kamu cukup beken di sini," aku tersenyum. "Tina, namaku," aku ulurkan pula lenganku.
Lantas kami berkawan. "Aku dari Pandeglang," kata Nana di saat lain, ketika acara makan siang nasi bungkus di halaman kampus.
Nama kota itu sungguh asing bagiku.
Nana tersenyum kecut. Ketika dia menyebutkan nama yang lain, aku baru mengerti di mana letak kota yang disebutkannya itu.
"Banten," aku mengingat-ingat nama sebuah tempat di ujung barat Pulau Jawa, yang terkenal dengan hal-hal magisnya. Pantas kalau Nana begitu berani menentang para raka, batinku saat itu.
Aku sangat menyukai sejarah. Di sana pernah ada sebuah kerajaan Islam -yang menurut historiografi didirikan oleh Maulana Hasanuddin- yang gigih melawan gerogotan taring penjajah. Lantas kerajaan Islam itu dihancurleburkan oleh Herman Willem Daendels. Juga ada suku Baduy, penduduk yang mengasingkan diri di wilayah Kanekes, pesona Gunung Krakatau yang mengagetkan dunia ketika tahun 1883 melumat 163 desa dan mencabut 36.000 nyawa manusia, kesenian debusnya, juga gemulai ombak serta kemolekan pantainya.
"Pelajaran geografiku payah!" aku tertawa.
"Tapi kot aku memang tidak ngetop. Kalah bersaing dengan kota-kota lainnya di Banten," Nana memaklumi.
Aku langsung membongkar-bongkar buku geografiku di rumah. Aku pelajari wilayah paling barat di Jawa itu. Ada beberapa kota di eks Karesidenan Banten. Selain Tangerang yang sudah "dicaplok" Jakarta dengan Jabotabek-nya, juga ada Serang, Cilegon, Merak, Pandeglang, dan Rangkasbitung. Kota-kota ini memang masih asing buatku, padahal kisah masa lalunya yang termashur sudah sering aku baca.
Setelah itu akujadi lengket dengan Nana.Aku sering mampir ke tempat kosnya di setiap kesempatan. Kadang kala aku bawa Nana dengan sedan mutakhir pemberian Papa keliling Yogya; memperkenalkan pesona wisatanya.
"Kenapa kamu sia-siakan keindahan kotamu, Tina"" kata Nana.
"Maksudmu""
"Kamu akan bisa melihat dan merasakan keindahan Yogya lebih banyak lagi dengan naik bus daripada naik mobil sendiri."
Aku tidak langsung setuju pendapatnya. Tapi tidak pula aku biarkan menggantung. Pelan-pelan aku mencoba mengikuti kehidupan yang ditawarkan Nana, sebagaimana layaknya orang yang merantau. Ke mana-mana selalu naik kendaraan umum atau berjalan kaki. Hari-hari bergulir, minggu berganti ke bulan, lalu jadi merupakan kebiasaan menjalaninya. Dan aku menyukainya.
Orang-orang di rumah, baik Papa, Mama, Robby kakakku dan pacarku Anton -dua yang terakhir doyan olahraga mobil, jenis olahraga yang kata Nana cuma semakin menambah polusi bumi saja- cukup terheran-heran juga melihat perkembangan hidupku, yang tiba-tiba jadi lebih mencintai lingkungan hidup ketimbang mengotorinya. Begitu juga kawan-kawan pestaku semasa di SMA. Lambat-laun, mereka berguguran meninggalkanku dengan senyum yang ganjil.
Lantas sedan mutakhirku hampir tidak pernah aku gunakan lagi, kecuali jika sedang dalam keadaan darurat. Ketika Robby bermaksud memakainya pun, aku tidak keberatan. Malah aku hibahkan padanya dengan timbal balik dua buah mountain bike. Aku bermaksud, dengan dua sepeda gunung itu, bersama Nana bisa menyelusuri Yogya setiap Minggu pagi.
"Lebih enak naik sepeda 'kan!" Nana mengayuh sepedanya dengan terengah-engah, melahap tanjakan menuju hutan wisata Kaliurang.
Tapi aku turun dari sadel. Menuntun sepeda. Nana juga turun. Kami saling tersenyum. Dua dunia yang berbeda sedang berusaha untuk bersatu. Duniaku adalah kehidupan seorang gadis yang selalu tergantung pada orang lain. Sedangkan Nana
adalah seorang wanita yang bertanggung jawab pada dirinya. Yang tidak memberikan hidupnya untuk jadi tanggung jawab orang lain.
"Liburan semester besok, aku ada reuni dengan kelompok pecinta alamku di SMA," Nana menyeka keringat di kening dengan punggung tangannya. "Aku mengundang kamu lagi untuk liburan di kampung halamanku," Nana mengajukan tawaran berlibur lagi.
Episode 2 Entah ini tawaran Nana yang keberapa kali. Setiap liburan semester tiba, aku cuma berani mengantarnya sampai di pintu bus saja. Aku tidak pernah punya keberanian untuk menerima ajakannya. Terlebih-lebih Anton, yang selalu paling pertama menentang ajakan Nana.
"Sekarang kamu harus mau!" suara Nana ada tekanan.
Aku agak kaget juga. Ini sebetulnya 'petualangan besar' buatku. Berlibur di kampung halaman orang lain. Terus terang saja, aku tidak terbiasa bepergian dalam jarak jauh dengan bus umum. Kalau tidak naik pesawat, ya kendaraan pribadi. Tapi ketika aku mengenal Nana, ada 'sesuatu' yang selama ini tidak pernah menyentuh kehidupanku.
"Bagaimana, Tina" Mau""
Aku berpikir keras. Aku belum berani mengiyakan ajakan Nana. Aku takut, karena belum pernah mengalami liburan seperti yang ditawarkannya. Selama ini aku cuma memesan tempat untuk berlibur lewat biro-biro perjalanan. Segalanya sudah serba teratur dan menyenangkan. Naik pesawat; kalau tidak ke negara tetangga atau beberapa kota di Eropa dan Australia, paling sial ke Bali, Lombok, dan Medan. Tidur di hotel dengan menu makan yang terjaga.
Dan sekarang berlibur ke kampung halaman Nana"
"Kamu akan aku ajak keliling Banten, Tina. Akan aku kenalkan pada pesona yang sesungguhnya," Nana serius sekali.
"Nanti aku bicarakan dulu sama Papa dan Mama," itu yang keluar dari mulutku.
"Jug a Anton," Nana tampak berusaha menyimpan kekecewaannya.
Sebetulnya aku sudah tahu apa jawaban mereka nanti; Mama, Papa, Robby, dan terlebih-lebih Anton. Tak akan ada seorang pun yang mendukung. Tapi aku berharap Papa akan mendukung, jika aku punya keinginan yang kuat.
"Apa" Liburan ke Banten"" begitu jelas tergambar kengerian di wajah Mama pada saat makan malam. Ini tidak berbeda ketika aku utarakan pada awal-awal persahabatanku dengan Nana. Juga oleh Anton sebelumnya.
Papa dan Robby tertawa, sampai-sampai terbatuk.
"Nanti kamu nggak akan bisa pulang!" Robby menyambar air putih. Meminumnya. Tambahnya masih tertawa, "Cowok di sana 'kan terkenal jago pelet!" sambil menyebutkan 'ilmu' yang biasa digunakan lelaki untuk menjerat wanita. Hal ini pun sudah dikatakan oleh Anton dengan perasaan was-was.
Aku bergidik juga mendengar kata 'pelet' tadi. Aku memang pernah mendengar bahwa suka ada lelaki yang menggunakan pelet untuk mendapatkan wanita idamannya.
"Ayo dong, dimakan kacangnya!" ledek Susi, putri Solo.
Nana cuma tersenyum. Dia tampaknya memaklumi guyonan mereka tentang imej daerahnya, yang sudah kondang dengan permainan debus-nya. Bahkan yang kurang ajar, beberapa kawan sekelas memohon-mohon pada Nana untuk diajarkan cara memikat lelaki impian.
Memang, setelah pekan orientasi selesai, Nana menjelma jadi pusat perhatian. Hampir semua lelaki se-fakultas ramai menggunjingkannya. Katakanlah Nana menjadi "primadona kampus". Tapi sebagian menganggap, karena Nana berasal dari Bantenlah kenapa semua lelaki di fakultas terpusat padanya.
"Diapasti punya 'apa-apa'!" omongan seperti ini sering aku dengar.
"Heh, 'apa-apa' bagaimana, sih""
"Ah, bego!" "Ora mudeng, aku!"
"Itu lho, semacam peletlah!"
"Atau susuk!" Aku yang terbiasa diajarkan untuk menggunakan logika di rumah, cuma geleng-geleng kepala saja. Aku pernah membaca di koran gosip tentang beberapa artis yang menggunakan susuk agar tetap bersinar nasibnya di dunia perfilman atau tarik suara. Tapi terjadi pada Nana" Bagiku ini cuma karena Nana yang selain cantik, juga pandai bergaul dan tak pernah pilih-pilih teman. Di senat dia aktif. Di kelompok pecinta alam mahasiswa, dia semakin menonjol. Dalam kegiatan sosial kampus, wah, jangan ditanya. Itu saja. Tak ada pelet atau susuk pada diri Nana.
Tapi untuk memuaskan rasa ingin tahu sekelompok orang, dengan tenang Nana menyuruh mereka datang ke tempat kosnya. Nana menjanjikan akan memberi 'apa' yang mereka minta. Aku pun termasuk yang datang.
"Jangan berebut!" kata Nana.
Ada sebuah bungkusan sebesar buku di halaman rumah kosnya. Nana menyuruh mereka mengambil isinya dan dimasukkan ke dalam kotak korek api, yang sudah mereka persiapkan sebelumnya.
"Rahasiaku ada di kotak itu!" kata Nana meyakinkan.
"Apa isinya"" kataku.
"Buat memikat cowok!" aku lihat Nana menahan tawa.
Hidungku yang sudah terbiasa dengan wewangian mahal, mengisyaratkan lain. Tapi kawan-kawan sudah begitu kebelet. Bungkusan itu dibuka. Lalu terdengar jeritan; rasa jijik, dan kebingungan.
"Apaan ini!" bungkusan berisi kotoran kerbau itu dibuang.
"Olesin aja di pipi cowok impian kalian!" kata Nana tertawa senang, karena sudah berhasil 'membodohi' mereka. "Ditanggung manjur. Kalian pasti dikejar-kejar!"
Sebetulnya ini lelucon tidak lucu, yang memperlihatkan "kebodohan" kami. Keterlaluan. Tapi aku selalu tertawa sendiri jika ingat kejadian itu. Akibatnya, setelah kejadian 'memalukan' itu tak ada lagi yang 'mengusik' Nana tentang hal-hal aneh daerahnya.
Papa menatapku. "Betul kamu mau liburan dengan Nana"" Papa seperti memberi kekuatan padaku.
Aku mengangguk ragu-ragu. "Bagaimana dengan Arjunamu, si Anton""
"Akan Tina beri pengertian, Pa," aku menghibur diri, walaupun tahu Anton yang paling keras menentang setiap rencana liburanku dengan Nana.
"Jangan, Pa! Jangan kita izinkan Tina berlibur ke sana!," Mama masih khawatir. "Bagaimana kalau nanti sampai terjadi apa-apa pada Tina""
"Terjadi apa-apa, bagaimana"" Papa tertawa. "Mama ini terlalu banyak baca cerita mistik. Soal black magic-lah; santet, teluh, atau peletlah!
Sekarang hal-hal seperti itu sudah jadi bumbu-bumbu pariw
isata, Ma. Misalnya, kesenian Banten yang kesohor itu, debus, malahan sering mengharumkan negara kita di negara-negara lain. Jadi, jangan berprasangka dulu. Apalagi sekarang sudah abad komunikasi. Era globalisasi," Papa menekankan pembicaraannya.
"Kalau ada lelaki yang melet Nana"" Mama terus saja berusaha melarang.
Papa tertawa, "Kalau 'pelet' itu betul ada, kenapa mesti si Nana" Anak kita 'kan nggak terlalu cantik," Papa melirik padaku. "Mendingan Liz Taylor atau Brooke Shield sekalian!"
Aku merajukdan menggelayut di bahu Papa. Mama cuma bersungut-sungut, tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Robby nyeletuk, "Nana ternyata sudah mengubah Tina!" Dalam hati aku mengiyakan pendapat Robby.
Aku jadi teringat pertengkaran dengan Anton seminggu sebelum keberangkatan. Semua berpangkal cuma pada Nana. Anton merasa kalau aku lebih mementingkan Nana ketimbang dirinya.
"Ingat, Anton. Sudah berkali-kali kamu menentang Nana untuk mengajak aku berlibur di kotanya. Lantas kalau ajakannya kali ini pun kamu larang, sampai kapan aku bisa memilih acara berlibur sendiri, Anton"
Aku jadi kesal, kok dilarang-larang! Emangnya kamu berhak mengatur hidup orang lain, Anton""
Episode 3 "Kapan aku melarang kamu, Tina, kecuali rencana 'gila'mu yang satu ini"" nada kalimat Anton tegang.
"Kalau begitu, apa masalahnya aku berlibur bersama Nana!"
"Masalahnya" Sudah berulang-ulang aku bilang, jangan berlibur ke sana! 'Kan masih banyak tempat yang bagus, Tina! Kalau kamu bosan ke Bali, Lombok, ayo kita berlibur ke Irian kalau perlu!"
"Kenapa mesti risau, Anton" Daerah itu sama saja dengan daerah-daerah yang lain! Masih tetap di Indonesia."
"Tapi tetap jangan berlibur ke sana!"
Aku tidak habis pikir dengan 'kebodohan'nya kali itu, yang tetap bersikeras melarang aku berlibur bersama Nana ke Banten. "Aku tetap pergi, Anton, apa pun taruhannya! Aku nggak peduli kalau nanti ada cowok sana yang melet aku! Syukur-syukur ada, kalau itu bisa membuatmu puas!" akhirnya aku mengultimatum.
Anton tampak kaget melihat aku bicara begitu. "Ngomongmu ngawur, Tina! Bisa kualat kamu!" dia memperingatkan.
"Aku nggak peduli!"
"Gara-gara kamu berkawan sama 'anak kampung' itu, hubungan kita jadi kacau!" dia memaki dengan tidak sopan. Aku merasa tersinggung mendengar makiannya waktu itu. "Kamu anggap Nana seperti itu" Jadi kamu ini 'anak kota', Anton"! Lebih beradab ketimbang Nana, begitu"!" otot leherku tertarik saking marahnya.
Anton wajahnya merah padam dibentak-bentak oleh aku.
"Baik, baik, Anton! Kalau modernisasi atau istilahmu 'anak kota' itu diukur oleh yang namanya cineplex, fast food, mall, rally mobil, disco, dan tetek bengek lainnya, berarti selamat tinggal modernisasi!
Aku akan siap disebut sebagai 'anak kampung' oleh kamu, karena semua merek modernisasi itu aku tinggalkan! Ternyata nggak buruk jadi 'anak kampung' seperti Nana, yang begitu peduli terhadap lingkungan!" aku membentak-bentak lagi. "Ketimbang jadi 'anakkota' sepertimu, yangcuma hura-hura!" aku masih belum puas.
"Tina!"Anton memegang bahuku.
"Apa pun yang kamu katakan, aku tetap akan pergi dengan Nana!"
"Walaupun taruhannya hubungan kita, Tina"" ancamnya. "Ya, hubungan kita!"
Aku sebetulnya berharap untuk tidak kehilangan dia. Anton memang pacarku yang kesekian, tapi kali ini aku berusaha untuk menjadikan dia sebagai yang terakhir. Tapi, apa boleh buat. Sebuah hubungan yang menjalin dua perasaan, aku kira, kalau sudah ada usaha untuk memaksakan kehendak yang satu pada yang lainnya, itu tidak akan jadi baik. Bukankah semua harus bermula dari rasa saling pengertian dan bermuara pada kesamaan sikap"
Anton meninggalkan aku dengan amarah yang terpancar dari sorot mata dan wajahnya. Dia tampaknya serius dengan ucapannya. Terbukti setelah pertengkaran itu, aku tidak pernah melihatnya lagi.
"Anton ngambek"" Nana merasa tidak enak ketika aku tidur-tiduran di kamar
kosnya. Aku menutup wajah dengan majalah. "Ajak saja Anton berlibur."
Aku lempar majalah. "No, no way!" kataku tegas. "Liburan kita bisa runyam kalau Anton ikut!"
"Aku nggak ingin hubungan kalian... "
"Lupakan hubunganku dengan Anton!" aku memotong.
"Maksu dmu"" Nana merasa tidak enak.
"Aku memilih pergi dengan kamu, Nana, daripada diatur oleh Anton!"
"Oh, ajakanku kali ini ternyata memakan korban!" Nana membenturkan telapak tangannya ke dahi. "Maatkan aku, Tina."
"Sekarang, bawalah aku ke kotamu, Nana! Akan aku buktikan, apakah betul segala cerita di majalah atau omongan orang-orang itu!"
"Cuma sekedar itu, Tina""
"Aku ingin jadi diri sendiri, Nana, seperti halnya kamu selama ini. Yang tak pernah takut melakukan segala hal yang kamu sukai," aku memang iri padanya.
Nana tersenyum tipis, "Rasa 'takut' itu tentu ada, Tina. Pada semua orang. Aku juga. Dengan adanya rasa 'takut' itu, kita jadi bisa menghargai apa arti hidup ini."
Aku sering mendapat 'pelajaran' berharga dari setiap omongannya. Betapa luas pandangannya tentang 'apa itu hidup'. Dia seolah-olah tahu apa yang akan diperbuat dan tahu bagaimana menemukan jalan keluar yang terbaik ketika dalam kesulitan. Mungkin ini tejadi pada semua orang yang merantau. Aku kira, "Iya".
Kini keputusanku untuk ikut berlibur bersama Nana semakin kuat. Aku rasa ini terdorong oleh 'ingin membuktikan sesuatu', yang selama ini tidak pemah aku peroleh atau rasa 'solidaritas perempuan', yang selalu identik dengan ketergantungan pada orang lain. Pada lelaki.
"Sudah, pergi saja, Tina. Jangan kamu gubris omongan Mamamu dan si Robby!" Papa merangkul bahuku ketika nonton TV di malam yang hangat. "Juga lupakan itu si Anton!"
Papa, Mama, dan Robby mengantarkan aku ke tempat bus malam. Sebelum aku naik ke bus, Mama berulang-ulang mencium pipi dan memelukku. Saat itu aku merasa jadi boneka tontonan yang aneh bagi penumpang bus. Bahkan mereka masih saja membuntuti bus yang aku tumpangi sampai batas kota. Aku tahu itu atas suruhan Mama.
Nana cuma tertawa saja melihat kejadian yang aku alami. Menjadi anak yang terlahir di atas kehormatan dan kekayaan tidak melulu enak. Setidak-tidaknya itulah yang aku alami. Ada yang terasa kurang dalam kehidupanku. Mungkin aku bisa mendapatkannya dari Nana nanti.
Bus malam Yogya-Merak terus meluncur menyambut pagi yang basah.
Aku sikut Nana. Dia menggeliat. Aku lihat dari balik kaca jendela bus, di kiri-kanan jalan, banyak orang-orang sebayaku berdiri. Aku perhatikan malah lebih banyak kaumku ketimbang lelaki. Mereka sedang bergerombol di pintu gerbang pabrik-pabrik. Aku lihat mereka sedang sarapan alakadarnya; bacang, ketan, lontong, atau bubur seharga 100 perak-an.
"Mereka karyawan pabrik," Nana sudah bangun. Dia menghaluskan sebuah kata yang tidak enak, 'buruh', jadi 'karyawan'. Euphemism yang sia-sia buatku.
Di Indonesia segalanya memang serba dihaluskan agar kedengaran manusiawi. Nanti bisa menyinggung perasaan. Bisa dibilang bukan bangsa yang beradab. Wah, jangan-jangan sebutan 'pembunuh' bisa dirubah jadi 'mengambil nyawa' atau 'korupsi' bergeser jadi 'menyembunyikan uang'. Ini juga euphemism yang sia-sia.
Aku lihat betapa banyak pabrik berdiri di tanah-tanah produktif; menghimpit perkampungan dan persawahan. Sedangkan yang aku tahu tentang arti nama kota "Serang" bukankah "sawah"" Tapi, ke mana sekarang sawah-sawahnya"
"Pabrik sudah merajalela di sini. Jauh berbeda ketika aku masih kecil, Tina. Persawahan di mana-mana. Sungai yang bening, anak yang menggembalakan kerbau serta itik, jadi lukisan sehari-hari," Nana rupanya merasakan pikiranku.
Episode 4 Nana menceritakan keprihatinannya yang lain, "Sekarang polusi sudah bukan milik orang kota lagi, tapi mulai merambah ke kampung-kampung. Sungai Cidurian, batas Serang-Tangerang tadi, contohnya. Semua penduduk yang hidup di sepanjang Sungai Cidurian kini merasakan tak bisa nyaman lagi memanfaatkan airnya yang sudah tercemar. Mereka jadi korban segala macam penyakit yang kini mewabah.
"Aku benci sekali, Tina, dengan boss-boss pabrik itu, yang cuma mau memikirkan keuntungannya saja tanpa mau memperhatikan kehidupan lingkungan di sekitar pabriknya. Mereka saling tuding; melemparkan tanggung jawab. Dan, memang, sangat pintar serta licik bersembunyi pada kebijakan pemerintah."
Aku manggut-manggut. Ternyata bukan cuma Teluk Jakarta saja yang hancur biota lautnya, kare
na limbah sialan dari pabrik-pabrik yang berjejer di dua belas sungai yang bermuara di perairan Tanjung Priuk itu. Tapi sungai-sungai di kampung pun bernasib sama. Ini buatku seperti pertanda dari Tuhan, bahwa jika alam dirusak, maka akibatnya malapetaka.
Tapi aku tidak pernah memikirkan hal-hal seperti itu. Paling-paling sesekali, jika ada dompet bencana alam dikoran-koran, aku suka iseng mengirimkan uang agar namaku tertera di koran.
"Kamu tahu, Tina, apa dampaknya yang lain dengan adanya pabrik-pabrik
itu"" Aku menggeleng. "Krisis pembantu!" Aku hampir saja tertawa.
"Sekarang, Tina, gadis-gadis kampung lebih tergiur kerja di pabrik daripada jadi pembantu. Kenapa" Karena kalau kerja di pabrik, kata mereka, ada santainya. Bisa saling lirik jika ada cowok cakep, ngegossip, dan tentu statusnya lebih bergengsi dibandingkan dengan pembantu.
Padahal gaji seorang karyawan pabrik seperti mereka tidak lebih tinggi dari pembantu rumah tangga."
Aku mendengarkan 'sarapan pagi' dari Nana dengan 'lahap'. Ini 'menu' istimewa buatku, yang tidak pernah tersedia di 'meja makan' di rumah.
Nana berdiri. Melihat ke depan."Sebentar lagi kita turun, Tina," katanya.
Bus berbenti di mulut by pass. Agak di luar kota. Dibutuhkan waktu bampir 14 jam perjalanan melintasi malam untuk sampai ke sini. Perjalanan yang 'menyebalkan'. Seluruh tubuhku terasa gatal, dan bau keringat. Mulut pun begitu pahit dan tidak sedap baunya.
Aku seret ranselku yang masih baru. Perjalanan belum berakhir. Kami menyambung lagi dengan bus kecil. Dari terminal bekas ibu kota eks Karesidenan Banten ini, bus meluncur 25 Km ke arah selatan. Aku sebetulnya sedang bermimpi mandi di bathtub, membasuh badan yang bau dan lengket oleh keringat. Lantas berbaring di kasur empuk. Tapi mau tidak mau aku harus merasakan dan menikmati 'penderitaan' ini.
Beberapa saat setelah itu, "Heh, bangun!" Nana menyikut sambil tertawa lucu.
Aku tersentak. Kaget juga. Aku tidak mempercayai apa yang terjadi. Aku tertidur tadi" Di atas bus" Kalau saja Papa, Mama, Robby, dan Anton tahu! Tapi aku tidak sempat memikirkannya lagi, karena Nana sudah berada di pintu belakang bus. Aku tergesa-gesa dan agak malas mengikutinya.
Kini udara sejuk menyelimuti tubuhku. Aku lihat Gunung Karang menjulang di depanku. "Sudah sampai"" aku duduk di trotoar sambil memeluk ransel. Menunduk dan menyembunyikan kepalaku, di antara kedua lenganku. Aku mencoba untuk tidur lagi. Rasanya seluruh tubuhku begitu berat untuk digerakkan.
Nana tertawa. Dia ikut duduk. Berbisik, "Kita jalan kaki sekarang. Nggak jauh, kok." Suara ringkikan kuda tiba-tiba menyusup ke telingaku. Tak tik tok, tak tik tok..., tapal kakinya beradu merdu dengan aspal jalanan. Ah. aku jadi teringat kotaku. Yogya. Tampak satu-dua delman tertatih-tatih turun-naik di jalan kota, yang terletak pada perbukitan lereng gunung.
Aku nikmati keadaan kota yang bersih, sejuk, dan lengang. Tak ada becak yang hampir berjubel seperti di Yogya atau Serang yang panas tadi. Kata Nana, selain kondisi jalannya yang banyak tanjakan, pemerintah daerah pun melarang transportasi roda tiga yang suka disebut sebagai biang kemacetan di kota besar. Dan penggantinya motor ojek bersliweran jadi primadona, mengangkuti ibu-ibu kampung yang belanja di pasar.
Betapa lengang kota berhawa sejuk ini. Selain delman dan motor ojek tadi, sesekali bus antarkota melintas di jalan-jalan kota yang lebar, ditimpali tawa ceria anak sekolah. Seolah-olah kota yang miring ke timur di lereng gunung ini lebih suka dengan kondisi gunung yang sepi daripada hingar-bingar seperti Puncak Pass.
Terbukti dengan tidak adanya bioskop, yang merupakan salah satu ciri utama sebuah kota.
Sekitar sepuluh menit kemudian, aku melihat Nana diserbu seorang gadis kecil usia sepuluh tahunan. Mereka berpelukan melepaskan rasa kangen.Aku tak pernah mendapatkan suasana seperti ini. Rasa kangenku cuma sebatas pada hadiah atau oleh-oleh yang dibawa Papa, Mama, atau Robby sepulang dari bepergian.
"Ini Mia, adikku yang bungsu," Nana menarikku ke sebuah rumah yang persis di kelilingi pepohonan; mangga, jambu air, pisang, rambutan, dan m
asih banyak lagi. "Rumahku!" katanya tersenyum bangga sambil membuka kedua lengannya lebar-lebar. Ayah Nana bekerja di instansi pemerintah dan ibunya seorang guru di sekolah dasar. Sedangkan adik lelakinya, Uus di SMA, dan Maya di SMP. Semuanya meninggalkan rumah di pagi hari. Cuma Mia, sekolah siang di SD, dan seorang pembantu yang menunggui rumah.
Aku terkesiap. Betapa nyaman dan asri rumahnya. Tiang-tiangnya dari batang pohon. Temboknya setengah bata dan sisanya dari bambu. Atapnya terbuat dari weulit, daun kelapa yang sudah kering kena sinar matahari. Sangat menyatu dengan alam. Dan sayup-sayup aku dengar suara air gemericik.
"Di belakang rumah ada sungai!" Nana menegaskan.
Aku semakin terpesona. "Teh, tadi malam Aa Yanto dan Aa Eri ke sini," Mia mengabarkan sambil menggelayut manja.
Belum juga sampai di pintu depan rumah, aku melihat perubahan yang dahsyat di wajah Nana. Warna merah menjalar dan sorot matanya tajam. Kalau sudah begini, berarti pertanda buruk. Aku hafal betul dengan kemarahan Nana. Mia tampak merasa bersalah sudah mengabarkan sesuatu yang membuat kakaknya tidak suka. Dia berlari ke dalam rumah yang kosong. Dan bersembunyi di dalam kamarnya.
Nana melempar ranselnya ke sudut ruangan tengah. Dengan kesal dia membanting tubuhnya ke kursi."Huh, si Eri!" napasnya terlontar gemas. "Setahuku itu anak ada di Kalimantan!" gerutunya. "Ah, kenapa si brengsek itu diajak!"
Tampaknya Nana 'alergi' pada nama 'Eri'. Tapi, siapa 'Eri '" Nana cuma pernah cerita padaku, bahwa Yanto adalah ketua kelompok pecinta alamnya selagi di SMA. Liburan semester ini, Yanto memberi kabar rencana reuni kelompok PA-nya di wilayah Kanekes, Rangkasbitung. Siapa 'Eri', aku belum pernah mendengar Nana menyebut atau menceritakan nama lelaki itu. Tentu aku bisa menanyakannya nanti.
Sekarang aku cuma ingin berbaring di atas kasur dan melunaskan tidurku yang tidak komplet di atas bus malam Yogya-Merak.
*** Episode 5 Mendung di Hati Nana Alun-alun kota ini penuh tepuk-riuh oleh orang-orang yang menonton pertandingan sepakbola antarkampung. Di keempat sisi jalannya yang saling mengikat, warna-warni oleh gelak tawa anak sekolah yang latihan baris-berbaris dan drum band. Hampir seluruh penduduk kota menghabiskan sisa hari dengan menonton pertandingan olahraga, bermain, sekadar berkumpul, atau apa saja di sini.
Kota yang mempunyai legenda Ki Amuk, meriam yang suka memporak-porandakan kampung, keramaiannya terpusat di alun-alun. Lalu untuk menyelamatkan kehidupan rakyat, disuruhlah seorang pande besi dari kampung Kadu Pandak membuat anting-anting gelang. Diangkutlah meriam Ki Amuk itu ke Banten Lama. Lantas orang pun latah. Kampung pande besi yang menjadi tempat gelang-gelang itu dibuat disebut "Pandeglang".
Tapi ada versi lain tentang Pandeglang yang "Betah" (Bersih, Endah, Tertib, Aman, dan Hidup), yaitu berasal dari ungkapan "paneglaan". Artinya, tempat melihat ke arah lain dengan jelas. Versi terakhir menyebut kota berhawa sejuk yang berada 776 M di atas permukaan laut ini berasal dari kata "Pani-Gelang", yang berarti tepung gelang. Tapi, bagaimana dan apa pun asal-usulnya, kota ini seperti tetap memilih "diam" dulu daripada melaju seperti yang terjadi di dua kabupaten lainnya; Serang dan Lebak.
"Nonton bola, ya!" Nana menuju pintu gerbang. Alun-alun kota ini dipagari besi. Ada empat orang perempuan menjaga. Di tangan mereka tergenggam segepok karcis masuk. Sebetulnya nonton di luar pagar pun bisa. Tapi, tentu lebih mengasyikkan jika kita masuk ke kawasan di dalamnya. Nana merogoh saku celana army look kegemarannya. Dua ratus rupiah per orang. "Cuci matalah!" dia tertawa.
Sudah seminggu aku di sini.
Nana membawaku ke seluruh lekuk pesona Banten. Dari mulai wisata sejarah di situs purbakala Banten Lama, wisata kota di Serang dan pabrik baja Krakatau Steel di Cilegon, wisata bahari di Pantai Anyer, Salira, dan Carita, serta dua hari yang lalu mendaki Gunung Karang.
Dari alun-alun kota aku bisa melihat gunung Karang dengan jelas dan takjub. Persis di depan mata. Seperti hendak membentur kening. GunungKarang yang cuma 1778 meter itu punya legenda
Sumur Tujuh. Legenda ini bermula dari Syekh Mangyur yang pulang dari Tanah Arab dan muncul tujuh kali di puncak Gunung Karang. Bekas kemunculannya itu meninggalkan jejak tujuh buah sumur, yang sering diziarahi orang untuk minta berkah. Atau legenda yang lain, tentang putri cantik Lenggang Kencana yang dikawini raja jin, karena bosan digodai jejaka-jejaka kampung. Konon, kalau ternak-ternak di kampung mati, itu artinya di kerajaan jin Lenggang Kencana sedang ada pesta besar!
"Masih kuat ke Baduy"" Nana menyebutkan nama penduduk yang mengasingkan diri di wilayah Kanekes, Rangkasbitung, Banten Selatan.
Aku tersenyum dan mengangguk. Baduy adalah babak akhir dari episode "Liburan Di Banten". Rencananya dipimpin oleh Yanto, bersama beberapa orang anggota PA lainnya, kami akan menjelajahi wilayah Kanekes, yang terlindung di antara Pegunungan Kendeng, di mana orang Baduy bermukim.
Aku sangat ingin pergi ke Baduy. Rasanya kalau cuma mendengar atau membacanya saja dari koran atau buku, bahwa orang Baduy itu beginilah dan begitulah, tidaklah komplet. Dari buku yang pernah aku baca saja, riwayat orang Baduy atau Kanekes sampai kini masih menimbulkan perdebatan. Beragam versi dilontarkan. Oleh kaum birokrat, mereka dicap sebagai suku terasing. Mereka dianggap "tidak berbudaya". Itu artinya tidak sama atau berbeda dengan "kita", masyarakat "yang berbudaya". Kadang kala dengan kondisi seperti ini suka menimbulkan konflik. Terbukti "penolakan" orang Baduy terhadap proyek-proyek birokrasi. Pembangunan sekolah dasar, puskesmas, dan "bantuan" lainnya.
Di kalangan antropolog saja masih mendua. Versi yang satu, orang Baduy adalah sisa-sisa keturunan masyarakat Padjadjaran. Ketika kerajaan Hindu besar itu jatuh ke tangan Islam, ada sekelompok bangsawan dan pengawalnya yang melarikan diri ke pedalaman. Mereka memilih mengasingkan diri di tempat terpencil, yang sulit dijangkau oleh orang luar. Wilayah Kanekes yang ditindih oleh Pegunungan Kendeng, dipeluk oleh hutan rimba, dan dililit oleh beberapa sungai, memang cocok sebagai tempat persembunyian.
Versi yang lainnya sangat berbeda. Menurut cerita rakyat, para tetua, dan tokoh Baduy, mereka menyebut tentang Ratu Banten yang melarikan diri dengan menyusuri Ciujung sampai ke hulunya di Pegunungan Kendeng, karena diserang oleh
Sultan Maulana Hasanuddin, yang sedang menyebarluaskan ajaran Islam. Akhirnya Ratu Banten menyerahkan kampung Cicakal sebagai taklukan kepada Sultan untuk di-Islam-kan, dengan syarat kampung-kampung lainnya di wilayah Kanekes tidak diusik keberadaannya. Bukti versi ini sangatlah mendukung. Yaitu kampung Cicakal yang seluruh penduduknya beragama Islam.
Kami mengambil tempat di sudut alun-alun. Duduk selonjoran di rumput sambil makan kacang rebus. Memperhatikan orang-orang yang sedang asyik nonton bola. Kadang kala beberapa kawan lama di sekolahnya menegurnya. Beberapa saat mereka saling menanyakan kabar serta perkembangan kuliah.
Aku tahu kenapa Nana memilih tempat ramai seperti ini, karena sedang kesal terhadap keikutsertaan Eri ke Baduy. Jika Nana sedang marah, tempat-tempat sepi selalu dihindarinya, karena dia bisa teriak-teriak seperti orang gila nanti. Kalau teriak-teriak di tempat ramai 'kan malu. Itulah alasannya kenapa sekarang kami nongkrong di alun-alun nonton bola.
"Kalau keberatan Eri ikut, ya sudah, aku pulang ke Yogya," aku mencoba mengerti.
Nana terus saja mengunyah kacang rebus. "Betul nggak akan berubah pikiran"" Nana mengangguk ala kadarnya. "Padahal Eri cakep, lho!" aku meledek. Nana melotot.
Aku mengenal Eri pada hari pertama liburanku di sini. Yanto datang bersama Eri di sore hari. Tubuhnya tinggi langsing dan berkulit putih bersih. Pakaiannya serba jeans yang compang-comping. Rambutnya gondrong tidak beraturan. Berkesan bohemian dan tidak mengenal tata krama.
"Well, rupanya ini anak Yogya!" sebuah permulaan dari Eri, yang kedengaran sangat meremehkan. "Apa kuat nanti ke Kanekes" Jalannya naik-turun, lho!" tambahnya ke babak yang lain.
Aku tersenyum kecut. Episode 6 Ketika kami saling berjabatan tangan dan menyebutkan nama, tanganku digenggam Eri denga
n penuh. Cukup lama. Aku merasakan getaran yang aneh. Kalau saja tidak karena Nana yang mengusikku, mungkin aku sudah berada di dunia yang lain. Sebuah pengalaman yang aneh buatku.
Aku mulai menyadari, kenapa Nana tidak menyukai Eri. Ini menyangkut soal perasaan seorang wanita. Eri memang punya daya tarik yang luar biasa. Semua wanita pasti akan sependapat denganku jika mengenal Eri. Dia maskulin, betul-betul seorang lelaki.
Aku saja langsung terpesona. Terutama pada matanya. Bolanya bening dan hitam berkilat-kilat seperti hewan liar. Tapi tidak setiap saat aku bisa mencuri-curi untuk menikmati keindahan matanya yang misterius bagai lautan itu, karena wajahnya yang tampan sesekali tertutup oleh rambut bagian depannya yang panjang.
Tapi Eri memergoki aku sekali waktu. Dia cuma tersenyum. Sangat menggoda. Aku tidak berani menikmati senyumnya lagi. Ini bisa menjebak. Aku pikir, ini mungkin yang disebut "pelet" itu.
"Kapan pulang dari Kalimantan, Eri"" pertanyaan dari Nana ini terdengar cuma basa-basi, untuk membelokkan perhatian Eri padaku.
"Seminggu yang lalu."
"Katanya mau jadi orang Dayak!"
Eri menggeleng. "Katanya ingin mencari arti hidup yang sesungguhnya!" Eri tersenyum kecut.
"Katanya nggak akan pulang sebelum dunia dijelajahi!" "Kamu sinis sekali, Nana!" Eri menengadah. Nana menatap Eri dengan perasaan kesal.
Aku rasakan suasana dalam sekejap saja berubah jadi gerah. Ujung dan pangkalnya cuma ada di antara Nana dan Eri. Entahlah siapa yang lebih dulu tersulut. Aku pikir mereka menjadi sumbu sekaligus apinya. Ini persoalan pribadi, yang cuma bisa dirasakan dan diselesaikan oleh mereka berdua. Palihg-paling soal "cinta". Geli juga. Ternyata Nana yang keras kepala pernah punya kisah buruk dengan "cinta".
Di kampus Nana paling tidak peduli pada lelaki, walaupun kawan sehari-harinya hampir melulu lelaki. Sebatas bergaul sih oke-oke saja. Tapi kalau sudah menjurus ke soal cinta, dia langsung pasang pagar pembatas. Padahal banyak lelaki di kampus, mulai dari anak pecinta alam, resimen mahasiswa, sampai yang doyan rally dan pesta, mendambakan Nana. Tapi dia tidak (mungkinbelum) terusik.
"Apa yang bisa diharapkan dari lelaki zaman sekarang, Tina, selain kita cuma jadi objek mereka saja""
Itu kata Nana, ketika aku menyindirnya untuk memilih salah seorang di antara mereka.
Sekarang aku mulai mengerti; kenapa Nana selalu bersikap menjaga jarak terhadap lelaki. Mungkin Eri adalah "gelas"nya yang pernah "retak".
"Kamu ikut juga ke Kanekes, ya!" nada dari Nana terdengar tidak setuju.
Aku lihat Eri mencoba menahan gejolaknya dengan mempermainkan rambutnya yang gondrong; menyibakkan, menyatukan, dan mengikatnya dengan karet seperti buntut kuda. Tiba-tiba aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Semakin tampan, tapi menyimpan kekerasan hidup. Dan matanya tampak semakin liar.
"Aku yang mengajak Eri, Nana," Yanto menjelaskan. "Takut ada apa-apa," tambahnya.
"Takut ada apa-apa, bagaimana"!" Nana ketus sekali.
"Kali ini kita masuk lewat jalan belakang, yang sebetulnya nggak diizinkan. Bisa dua atau tiga malam untuk sampai ke Cikeusik," Yanto menerangkan betapa panjangnya perjalanan untuk mencapai tangtu, perkampungan Baduy Dalam.
Untuk mencapai tangtu, yang terdiri dari Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo, bisa ditempuh lewat tiga jalan. Melalui Ciboleger sebagai pintu gerbang utara, pintu barat melewati Kroya, dan selatan melintasi tambang emas Cikotok. Tapi satu-satunya jalan yang diizinkan oleh puun, penguasa adat dan religi masyarakat Kanekes, adalah melalui kampung Ciboleger. Ini memang rute untuk turis. Jalannya pun sudah disediakan khusus dengan pos-pos tertentu. Sedangkan lewat pintu barat dan selatan sangat tabu, karena kalau tidak hati-hati bisa-bisa "menginjak" tanah larangan seperti Arca Domas dan Sasaka Domas, tempat suci bagi orang Kanekes, yang lokasinya tidak diketahui di mana.
"Ini nggak ada dalam perjanjian!" Nana bersikeras.
"Lho, kita 'kan nggak pernah bikin perjanjian"" Yanto berlagak bingung sambil tertawa kecut.
Nana menggerutu. "Apa hak kamu ngelarang aku ikut, Nana"" Eri bergetar suaranya. "Selain aku alumni PA sekol
ah, toh wilayah Kanekes bukan punya nenek moyangmu"" "Eri 'kan senior kita, Nana," Yanto mengingatkan.
Nana menggigit bibirnya. Memandang ke arahku seperti meminta bantuan. Nana memang sudah bersikap sinis terhadap Eri, tapi perkataan Eri tadi pun sangat menyudutkan Nana. Aku berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja, walaupun perasaanku tertekan. Bagaimanapun Nana adalah sahabatku. Aku merasakan apa yang sedang bergejolak di dalam hatinya, karena untuk urusan "cinta", wanita lebih mengandalkan perasaan ketimbang pikiran.
Tiba-tiba Nana tidak bisa menahan gejolaknya. Dia berlari ke dalam rumah.
Aku pada mulanya seperti patung bego yang kebingungan. Tapi setelah melihat Yanto memberi isyarat, aku mengejarnya. Tapi Nana membanting pintu dan menguncinya dari dalam.
"Begitulah Nana kalau sudah ketemu Eri," kata ibunya. "Mereka masih kayak anak kecil," wanita cantik setengah baya ini tertawa lucu.
Aku semakin yakin kalau Nana dan Eri pernah ada "apa-apa". Ibu Nana saja sudah begitu maklum; seolah-olah kejadian seperti ini bukan sekali-dua kali terjadi. Aku kembali ke halaman belakang. Aku lihat Eri dan Yanto sedang beradu mulut.
"Aku bilang apa!" sungut Eri. "Jangan bawa-bawa aku! Berantakan jadinya!"
"Ah, kapan dewasanya sih kalian!" Yanto menimpali.
"Bukan aku, Yanto ! Tapi, dia yang nggak mau dewasa!"
"Sama aja! Itulah sebabnya, kalau punya cewek jangan ditinggal lama-lama!"
"Ah, itu lagi yang dipermasalahkan! "
"Ya, apa lagi"" Yanto tamlpak kesal sekali. "Kamu 'kan tahu, berapa cewek yang patah hati gara-gara kamu"!"
"Tapi, 'kan nggak berarti aku harus selalu di sisinya!"
"Ya, ya! Tapi, mana kabar-kabarmu pada Nana setelah meninggalkan Yogya" Kamu tampaknya semakin egois dengan kenikmatanmu traveling, tanpa pernah mau tahu bahwa ada seorang wanita yang selalu mengharapkanmu.
Episode 7 Misalnya, secuil khabar darimu kek lewat kartu pos! Syukur-syukur mau menelepon! Eh, tiba-tiba kamu nongol di depan aku. Di depan semua orang. Di depan Nana pula! Setelah tiga tahun ngilang!" Yanto seperti menumpahkan kejengkelannya.
Eri menarik napas. Dia tampak geram entah pada siapa. Posisinya sangat sulit untuk menyalahkan "siapa" atau mengkambinghitamkan "apa" saat ini.
"Ayo, kamu mau bilang apa"" Yanto menyudutkannya.
"Kamu yang ngajak aku ikut ke Baduy, Yanto!" nada Eri kesal. "Sekarang aku nggak ikut!" bentaknya.
"Hey, jangan kayak anak kecil gitu, dong!" Yanto baru sadar. "Ayolah, jangan campur adukkan soal Nana dengan rencana reuni PA. Aku butuh kamu!" Yanto mencekal bahunya.
"Ya, lewat rute normal aja!"
"Ah, bosan dong!"
"Aku nggak kepingin ngerusak acara liburannya! Kasihan tuh si Tina, jauh-jauh datang dari Yogya!"
Aku berdehem; mengingatkan mereka bahwa aku bukan patung. Mereka mencoba mengembalikan suasana menjadi tenang lagi.
"Gimana, ada perkembangan "" Y anto mendekati.
"Kamarnya dikunci," kataku tersenyum. "Ini pasti gara-gara kamu, Eri."
"Lho, kok aku"" Eri tertawa kecut.
"Kamu apain Nana"" kejar aku.
"Kamu pikir, aku 'Drakula'" Suka ngisep darah perempuan"" Eri tampak
berang. Yanto tertawa keras. "Kamu jangan cerita macam-macam, Yanto!""
Yanto menggeleng. "Ini pasti soal cinta!" tembakku.
"Tuh 'kan, apa kubilang!" Yanto tertawa lagi.
Eri salah tingkah. Dia tampak begitu terpukul. "Aku sebetulnya kepengen banget ikut, Yanto. Di rumah, kamu tahu, masih saja kayak neraka. Tapi, kalau kenyataannya Nana nggak bisa nerima aku lagi, ya kenapa harus dipaksakan."


Senja Di Selat Sunda Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan pesimis," Yanto tersenyum menghibur.
" Aku memang salah. Egois. Selama ini cuma memikirkan kesenanganku saja; pergi dari satu kota ke kota lainnya tanpa pernah memberi kabar padanya.
"Sekarang, setelah tiga tahun tanpa kabar berita, datang begitu saja dan memaksa ikut reuni PA sekolah.
Ini acara kalian, bukan acaraku."
"Hey, hey, kamu 'kan senior kami. Nggak ada alasan buat kami untuk melarang kamu ikut. Apalagi di antara kami, cuma kamu yang tahu rute jalan belakang itu."
"Aku, memang, sudah menyia-nyiakannya. Tapi, ah, sudahlah!" Eri tampak putus asa sekali.
Aku meminta penjelasan pada Yanto.
"Yakinkanlah dia, Yanto, bahwa aku sebetulnya nggak berubah." "Aku u
dah nyerah!" Yanto mengangkat bahu. "Setidak-tidaknya, aku masih ingin bersahabat." "Sekarang, nih! Minta tolong sama dia!" Yanto menunjuk ke arahku. Eri menatapku tajam. Tersenyum. Mengangguk. Lalu pergi meninggalkan seribu tanya di hatiku. Aku masih belum mengerti, walaupun ini lagi-lagi soal "cinta". "Apa dia bakalan ikut ke Baduy"" Yanto mengangguk. "Bagaimana dengan Tina""
"Mereka bisa membedakan mana untuk urusan pribadi dan mana untuk urusan orang banyak."
"Kamu yakin""
Yanto tidak mengangguk. "Kamu mesti cerita soal ini, Yanto," kataku.
"No comment!" Yanto menuju dapur.
Aku memburunya. Yanto mengambil air es di kulkas. Menyambar sepotong pepaya yang baru saja diletakkan di piring oleh ibu Nana.
"Eri mana"" wanita itu melongok ke halaman belakang.
"Biasa, kabur!" Yanto menyambar sepotong lagi. "Kawinin aja sih, Bu!"
"Huss, ngomong sembarangan kamu!" ibu Nana tersenyum.
Yanto tergelak-gelak dan menarik aku ke teras.
"Sekarang tergantung sama kamu, Tina!" katanya sambil mohon pamit.
Tinggal aku yang kebingungan di teras. Ini di luar rencana semula, bahwa liburanku ini akan ada sedikit ganjalan. Aku begitu ingin melihat Baduy, suku asli Sunda itu. Tanpa Nana, tentu keinginanku itu tinggal harapan.
Aku ketuk pintu kamar Nana.
Beberapa saat kemudian Nana muncul membuka pintu. Tersenyum, "Maafkan aku ya, Tina." Matanya tampak merah.
"Kamu sedang nggak mau diganggu, Na""
"Ayolah," Nana membetotku ke dalam kamar. "Udah pada pulang""
Aku mengangguk. Duduk di bibir pembaringan. Mencoba menyelidiki apa yang terjadi pada hatinya. Untuk memahami perasaan kawan kita, terlebih dalam persoalan cinta, dibutuhkan kesabaran dan rasa pengertian. Kata Mamaku, "Harus diemong." Tapi aku belum pernah jadi seorang ibu, sehingga omongan Mama belum bisa aku buktikan.
"Jangan ngelihat aku kayak gitu, dong," Nana serba salah.
Aku tertawa melihat wajah Nana memerah seperti itu. Kalau saja anak-anak PA di kampus tahu apa yang sedang terjadi pada Nana sekarang, aku yakin mereka akan merasa surprise.
"Nggak akan cerita soal Eri"" pancing aku.
Nana menggigit bibirnya. "Kamu merahasiakan sesuatu, Nana."
Nana menuju jendela kamar. Betapa sentimentil dia. "Liburan kamu kayaknya... "
Aku buru-buru memotong, "Oh, jangan sampai itu terjadi, Na! Kamu udah janji akan membawaku ke seluruh pesona Banten. Ingat, kamu yang mengajakku kemari," aku berusaha menyudutkannya.
"Tapi tanpa Eri."
"Tanpa atau dengan Eri, buatku nggak ada bedanya. Kamu nggak pernah menyinggung-nyinggung soal ini sebelumnya."
"Aku minta pengertianmu, Tina. Ini terlalu rumit."
"Bagaimana aku bisa mengerti kalau persoalannya sendiri aku nggak tahu" Masa cuma gara-gara nggak ketemu sama Eri selama tiga tahun, kamu korbankan aku"" Nana menatapku, "Yanto cerita apa""
"Pasti ada 'apa-apa' dengan Eri."
"Siapa yang cerita""
Aku tersenyum menang, "O-o, ini bisa jadi headline di buletin kampus!"
Episode 8 "Liburanmu berakhir sampai di sini." "Aku pulang."
"Silakan." "Bener""
Nana tampak kesal sekali.
"Tampaknya Eri sangat istimewa di hati kamu."
"Sekarang nggak."
"Sekarang pun masih."
"Bagaimana kamu bisa ngomong begitu""
"Dari cara kamu memperlakukan dia."
"Aku nggak bermanis-manis sama dia."
"Nggak harus bermanis-manis, kok."
"Lantas"" "Perasaan itu nggak bisa dibohongi. Itulah unsur yang masih tersisa dimiliki oleh manusia, yang bisa kita percayai." "Udah mulai berfilsafat kamu." "Filsafat cinta!" aku tertawa gembira. "Emang bagaimana gitu perasaanku sama dia"" "Kamu jawab sendiri aja." "Versi kamu." "Versiku""
Kami tidur-tiduran di karpet. Membicarakan lelaki memang sangat mengasyikkan bagi perempuan. Aku kira lelaki pun suka membicarakan tentang wanita di waktu senggangnya. Aku kadang kala suka memergoki kakakku, Robby dan konco-konconya membicarakan wanita. Bahkan kadang yang porno-porno diselipkan, sehingga suasananya semakin meriah.
"Kenapa sih dengan Eri""
"Nggak akan aku ceritakan."
"Nggak perlu merahasiakannya dari aku, Nana."
"Iya"" "Ceritain, dong."
"Rasa ingin tahumu besar."
"Siapa tahu aku bisa belajar dari pengalamanmu."
Nana terdiam. Matanya menerawang jauh sekali.
"Tampaknya i ni berat sekali bagi kamu."
Nana mengangguk pelan. Dalam sekejap matanya berkaca-kaca.
"Maafkan aku, Nana, kalau ini jadi membuka luka lamamu lagi," aku merangkul bahunya. Hatiku merasa tidak enak melihat sahabatku yang baik dirundung duka. "Sudahlah, aku nggak akan bertanya-tanya lagi soal Eri," janjiku tersenyum menghibur.
Nana menggeleng. "Sebetulnya hal ini tak ingin aku ceritakan, Tina. Pada siapa saja. Selama ini aku sudah kuat memendamnya sendirian. Tapi, begitu tadi melihat dia setelah berusaha aku lupakan selama tiga tahun, aku mulai merasakan, bahwa ini terlalu berat untuk ditanggung sendirian. Aku harus membagikan kisah dukaku ini pada orang lain. Pada seseorang yang aku percayai," Nana terisak-isak.
Aku menatapnya. Berusaha meyakinkannya, bahwa aku bersedia menjadi orang yang diberi kepercayaannya. "Aku siap mendengarkannya, Nana. Ceritakanlah, kalau itu bisa membuat hatimu lega," aku mengusap air matanya yang mulai jatuh.
"Tapi janji ya, nggak cerita sama temen-temen!"
Aku memastikannya. "Betul kamu akan siap mendengarkan ceritaku"" Aku mengangguk. "Tapi tidak sekarang."
"Kapan"" "Besok sore kita ke Pantai Carita. Aku ingin menikmati senja di Selat Sunda."
Aku menatapnya tidak berkedip. Aku kini semakin yakin, bahwa Eri memang istimewa dihati Nana. Mereka pasti pernah melalui jalan-jalan yang indah penuh bunga.
Yang paling aku sukai tentu ketika Nana mengajakku menikmati senja di Pantai Carita keesokan harinya. Kami menyewa sebuah kamar yang menghadap ke laut agar bisa leluasa melihat bola merah raksasa yang akan tertelan batas horison Selat Sunda. Aku lihat Nana saat itu sangat romantis dan melankolis sekali. Hal yang tidak pernah aku lihat sebelumnya pada diri Nana.
"," aku bersajak.
Aku lihat Nana tersentak.
"Tempat ini menyimpan banyak kenangan buat kamu, Na"" Nana tersenyum getir. "Pasti Eri."
Nana menutup wajahnya. menggetarkan hati. "Ayo, ceritalah," aku sudah tidak bisa bersabar.
Bola mata Nana menerawang lagi. Berkeliaran ke mana-mana. Wanita cantik dan perkasa itu sedang mengumpulkan kenangannya.
"Ini bisa semalam suntuk. Kamu tahan udara pantai"" Aku mengangguk.
Dan pelan-pelan dia bercerita tentang "luka" nya, yang selama ini rapih tersimpan di sudut hatinya yang dalam. Sampai senja berakhir. Sampai bulan empat belas muncul serta cahaya peraknya memantul di permukaan laut.
*** Episode 9 Rhapsodi Pertemuan Amplop lusuh itu tergeletak di meja belajar Nana. Tak ada kesan istimewa dari bentuknya. Cuma dihiasi strip merah-putih-biru di keempat sisinya. Amplop murahan yang harganya paling-paling seratus perak tiga biji.
Sambil membuka sepatu dan menggantungkan tas di pinggiran lemari, Nana terkesiap ketika membaca nama si pengirim. Nana menendang sepatu ke kolong tempat tidur dan langsung rebahan tanpa mengganti baju seragam dulu di tempat tidur.
Dengan rasa ingin tahu yang besar Nana merobek bagian pinggir amplop:
Dearest, Nana! Aku tiba di Yogya pukul 11.00 keesokan harinya. Aku ngeluyur ngikutin kaki dan hati sambil terus bergumam: Aku mesti menang! Aku mesti menang!
Lalu aku terdampar di pojokan alun-alun. Aku punya " kompas " sekarang. Pasrahkan pada yang di atas. Whatever will be, will be! So, aku kenalan dengan Steven, Gondrong, Alex, dan masih banyak lagi. Mereka baik-baik. Pengamen dengan ratusan jam terbang. Mereka bukan unggul di gitar; tapi di lagu. Puluhan lagu mereka hapal, tapi aku" Tak pernah aku berusaha sebelumnya menghapal lirik-lirik lagu. Aku pikir itu tak begitu penting. Ternyata sekarang begitu penting.
Mereka peace man, Nana. Selalu cari teman. Aku diterima di "kantor" mereka. Aku "ngantor" pagi dan "pulang" malam; Aku masih terus mengamati dan waspada terhadap segala sesuatu. Ini sebuah."negara". Campur baur: Ada Ambon, Jawa, Sunda, Batak, Palembang, orang sinting, gembel, pengompas, pelacur; campur aduk. Aku dapat kamar Rp. 15.000/bulan. Fasilitas lengkap; dipan, tikar, bantal, dan si 'mbok yang sudah punya cicit manis-manis.
Kawan-kawan baruku selalu bertanya, " Ngapain ke Yogya"" Aku bilang cuma main-main. Aku iri melihat mereka enjoy tiap hari. Dapat uang seribu-dua ribu
perak. Sisakan untuk makan dan bus. Sisanya patungan untuk mabuk -mabukan. Aku juga...
Aku punya cerita, Nana. Kemarin ada anak yang lapar ngajak aku ngamen. Selagu-dua lagu. Aku pikir, ayolah dimulai sambil nolong tuh anak. Aku nyanyikan lagu kesenangan kita "More than words" di depan bule. Olala, suaraku nggak lepas. Padahal itu bule (cewek lagi) udah interest. Penampilan pertama yang buruk. Lalu keliling meja lainnya. Mulai lancar. Dapat berapa perak, aku nggak peduli. Aku cuma tanya sama anak itu, "Cukup buat makan"" Dia bilang cukup. Udah makan sana. Hehehe, aku bisa ngasih orang makan. Lumayan, ngurangin dosa.
Itulah cerita awalku di Yogya. Seterusnya aku mau minta tolong sama kamu. Cariin dong lirik lagu Duran Duran "Ordinary World (word") ". Itu lagu bagus, buat digenjreng dengan gitar. Kamu tahu, aku biasa main gitar dipetik. Lagi ngamen begini ternyata kurang klop. Mesti digenjreng. Sekalian "Blowing in the wind" si Bob Dylan. Gini lagunya: How many roads, must.... Atau yang lainnya. Pokoknya yang digenjreng. Nambah deh, "Blood money"-nyaBon Jovi. Koleksi kaset kamu kan komplet.
Nana, Bagaimana kalau aku jadi orang yang tak berharga di mata keluarga dan masyarakat" Jadi orang yang serba terpaksa. Terpaksa kerja. Kataku, ini bahaya. Aku bisa "sakit" seumur hidup.
Terus terang, Nana, Seperti yang pernah kamu lihat di diriku sebelum berangkat, agak panik juga aku. Huh, kalau saja kebakaran hotel tempatku bekerja itu tidak terjadi, entahlah apa yang akan terjadi padaku. Mungkin sekarang aku sudah jadi penyanyi beken, ya. Sekitar 2 tahun, sejak aku mulai mengisi acara di bar-bar kecil sampai sebelum hotel itu terbakar, aku menimbang, melihat, dan memutuskan segala kebimbangan. Aku memilih untuk pergi saja dari rumah, yang masih saja begitu. Takada perubahan. Masih kayak neraka.
Yogya adalah pilihanku, Nana. Aku jadi ingat lagu Queen. Aku mungkin si "Sammy was low". Just watching the show, over and over again, knews he was time, he made up his mind, to live he dead behind! Spread your wings! Pull your self together, cause I know I should do better, just because I am free man.
Bagaimana keadaan rumahku, Nana " Adakah Papa-Mama menanyakan tentangku sama kamu" Tak ada pilihan lain bagiku, selain pergi meninggalkan rumah. Aku harap, kalau mereka memang merasa memiliki anak, tentu akan menyusulku ke Yogya. Aku kemarin malam interlokal. Mama yang nerima. Pada
mulanya Mama menangis mengharapkan aku pulang. Tapi setelah itu, Mama cuma menjelek-jelekan Papa saja dengan istri mudanya. Mama mungkin lupa, bahwa penyebab utamanya juga adalah pacar-pacar muda Mama (Oh, Nana, aku nggak nyangka kalau kedua orangtuaku doyan "daun muda"!). Aku betul-betul bodoh selama ini, kalau ternyata kepergian Papa-Mama ke Jakarta selain untuk urusan bisnis, juga ada "bisnis" yang lain. Nggak kebayang, kalau berita-berita tentang "daun muda" yang lalu-lalu lalang di pusat perbelanjaan Jakarta, seperti yang sering kita baca di majalah, digaet kedua orangtuaku. Tapi, yang lebih kaget lagi, Papa ternyata mengambil salah satu dari mereka sebagai istri muda-nya! Kalau saja Mama ikut-ikutan latah seperti Papa, aku lebih baik terus seperti ini: tidak pernah merasa diakui sebagai anak oleh mereka!
Bagaimana sekolahmu, Na" Sebentar lagi ujian, ya. Wah, kamu bakal jadi mahasiswi. Kuliah di mana nanti" Di Yogya aja, deh. Asyik lho di Yogya. Kota ini bisa dibilang "kota internasional". Turis mancanegara dan lokal nggak ada habis-habisnya. Sambil kuliah nanti, kamu bisa praktek bahasa di Yogya.
Nana, sambil aku perangi kekhawatiran yang ada. Kalaupun aku kalah, aku tak kehilangan martabat kemanusiaanku. Pernah aku bilang padamu, bahwa aku suka sekali bila melihat jembatan. Kenapa" Karena sekaranglah aku sedang menitinya. Jika aku sampai di ujungnya, aku akan menengok sambil tersenyum syukur. Oh, betapa manisnya sejarah hidupku. Atau mungkin aku tak lagi menengoknya. I don't know, yet! Just keep fighting! Aku tak ingin jadi teroris bagi nuraniku sendiri. Itu penjahat kemanusiaan. Okey, I am nothing now. But not forever. I wish I could. Dan akhir kata, wish me l
uck, Nana! I'll wait your answer!
*** Nana mengenggam surat itu ke dadanya. Dia betul-betul terpekik sendirian di kamar ketika di luar gemuruh petir mengagetkan. Surat yang ditulis di atas kertas buku tulis, yang dirobek sembarangan itu masih digenggam erat-erat. Rasanya seperti baru kemarin dia ada di sini. Senyumnya saja masih terasa di mataku.
Nana berjalan menuju jendela samping. Angin berhembus keras menerbangkan gorden. Air hujan berhamburan. Dia tutup jendela. Dia raba-raba kacanya. Di seberang tembok pemisah, dia melihat rumah besar bercat putih itu semakin sepi saja.
"Hey!" ada seseorang berteriak. Nana mencari-cari asal suara tadi.
Episode 10 "Halo, yang di bawah!" kali ini kepala Nana ditimpuk dengan buah mangga
kecil. Nana mendongak. Di dahan pohon mangga dari rumah sebelah yang agak menjulur ke tembok rumahnya, seorang pemuda gondrong bertampang trash mania asyik duduk sambil mengunyah mangga.
Dada Nana berdegup kencang, walaupun. senang bukan kepalang. Sudah beberapa hari ini dia mengharapkan akan mendapat kawan baru sebaya dari rumah sebelah. Oh, the boy next door! hatinya terpekik.
"Kenalan, dong!" katanya. Nana tersenyum. Inilah yang ditunggu-tunggunya.
"Namaku Eri!" Nana menyebut namanya dengan riang.
Eri memuji namanya. "Kok, baru nongol sekarang""
Eri cuma tertawa. Nana memang baru seminggu tinggal di perumahan mewah ini. Rumah om dan tantenya. Setelah lulus SMP, ayahnya menyekolahkan dia di kota tetangga, Serang, yang lebih ramai ketimbang kota asalnya, Pandeglang. Maksudnya agar bisa mengejar ketinggalan segala-galanya. Sekolah di kota kecil, seperti Pandeglang, kata ayahnya, janganlah terlalu diharapkan untuk bisa menyamai prestasi para pelajar dari kota besar. Apalagi untuk bersaing nanti merebut kursi di perguruan tinggi negeri. Risikonya Nana harus meninggalkan lingkungan kekeluargaan bersama para tetangga yang sudah dibina bertahun-tahun. Juga kawan-kawan masa kecilnya di kota asalnya.
Tadinya Nana tetap memilih meneruskan sekolah di SMA di kotanya, tinggal bersama ketiga adiknya; Uus, Maya, dan Mia daripada harus hidup bersama om-tantenya. Tapi om-tantenya pun berharap sekali, karena Siska, anak mereka yang baru di kelas dua SD, butuh seorang "kakak" di rumah; untuk menemani bermain atau belajar.
Baru satu hari tinggal di sini saja, Nana langsung tidak kerasan. Tak ada kawan yang bisa diajak bermain. Rumah-rumah berpagar tinggi di sebelah atau di seberang jalan, seperti tidak ada penghuninya. Kehidupan antar tetangga seolah-olah
tak berdenyut. Kesannya individual. Terbukti ketika pertama kali pindah ke sini, tak ada sambutan atau uluran tangan dari para tetangga, yang biasanya terjadi di kampung-kampung.
Perumahan-perumahan dari kelas real estate sampai BTN yang tipe 21 atau tipe rumah sangat sederhana, memang bagai jamur musim hujan bermunculan di Serang. Om Oya, adik ayahnya, memang lebih bernasib baik dibandingkan dengan keluarga ayahnya yang lain. Bermula dari berdagang material, kini omnya menjadi kontraktor yang sukses. Terbukti sanggup membeli rumah di kalangan yang kalau di Jakarta sekelas dengan Pondok Indah. Dan ini cuma ada di sebuah sudut di kota Serang. Persisnya di kawasan Industri Cilegon, yang melaju pesat. Mulai dari toko serba ada, fast food sampai bar tersedia di kota baja ini.
Kawan-kawan barunya di sekolah memang ramah menyambut murid baru. Bahkan terlalu ramah, sehingga kesannya seperti mengolok-olok. Mungkin karena dia pindahan dari kota tetangganya, yang bioskop pun tidak punya. Tapi ketika mereka tahu dia tinggal di perumahan elit, sepulang sekolah beberapa orang "memaksa" untuk mengunjungi rumahnya.
"Kamarmu pasti besar, ya," Susan, kawan sebangku, tersenyum lebar. "Pasti koleksi bonekamu banyak 'kan""
"Aku tinggal sama Om dan Tante. Mana punya aku koleksi boneka, " Nana menggeleng.
"Punya koleksi gantungan kunci"" Hera menyerobot. "Nanti kita tukeran, ya!"
"Itu aku punya. Tapi nggak di sini. Di rumahku yang di Pandeglang! Malah koleksi perangko segala!"
"Oh, ya!" Hera tampak tertarik.
"Acaranya makan-makanlah yaaa!" Rini mengusulkan.
"Hitung-hitung merayakan perke
nalan kitalah!" timpal Yuni.
Nana agak bingung, walaupun tidak bisa menolak, karena takut kehilangan kawan-kawan barunya. Saat itu juga Nana menelepon ke rumah, meminta kebijaksanaan tantenya, apakah diperbolehkan mengajak beberapa kawan barunya di sekolah untuk makan siang. Untung tantenya mau mengerti.
Hari pertama Nana di sekolah, memang menyenangkan. Terbilang sukses. Dia langsung jadi bagian dari mereka. Tapi setelah seminggu berjalan, belum ada seorang pun yang sebaya dengannya, yang bisa diajaknya berkawan di perumahan elit ini. Terus terang saja, dia kesepian sekali di rumah ini, karena om-tantenya jarang ada di
rumah. Paling-paling cuma ditemani dua orang pembantunya saja, kalau tidak ada kawan sekolah yang datang, setelah main scrabble sendirian atau mengajari Siska matematika. Atau setiap sore Nana cuma berangin-angin saja di halaman. Kadang kala mengintip ke tembok sebelah, kalau-kalau ada orang yang bisa diajak bercakap-cakap. Atau iseng-iseng mengambil buah mangga yang menjulur ke halamannya.
Kini penantiannya berakhir sore itu. Seorang pemuda tampan dan berambut gondrong dari rumah sebelah muncul. Dia mengajak berkenalan.
"Kamu suka nyuri manggaku, ya!" Eri turun bergantungan dari dahan ke dahan pohon mangga.
"Kok, tau"" pipi Nana terasa merah.
Eri tertawa hinggap di pucuk tembok pemisah. Dia duduk di sana, "Aku pernah ngintip kamu, kok! Duh, cewek kesepian. Nggak punya temen, ya!"
"Aku 'kan nggak nyuri! Menurut peraturan, apa saja yang masuk ke halaman rumah kita, berarti menjadi milik kita."
Eri melompat ke halaman rumah Nana. Dia kini ada di hadapannya. "Kalau begitu, sekarang aku jadi milik kamu!" senyumnya menggoda.
Nana tidak bisa menjawab pertanyaannya.
Sore itu Nana mencatat di buku harian sebagai hari yang bersejarah, karena Eri-lah orang pertama dan satu-satunya teman yang dia peroleh di lingkungan perumahan ini. Tak ada lagi selain dia, kecuali rumah-rumah yang terkunci dengan tembok pagar bisu yang tinggi.
"Komplek ini kayak kuburan aja," Nana mengeluh ketika duduk di pantai, menunggu senja di Selat Sunda tiba.
"Om-mu salah beli rumah!" Eri tertawa memetik gitarnya.
"Rumahmu aja mirip rumah hantu. Nggak ada orangnya."
Eri berhenti memetik gitar. Dia memeluk dan menopang wajahnya pada tubuh gitar. "Aku juga merasa kesepian seperti kamu. itulah sebabnya kenapa aku lebih sering beada di luar rumah.
"Kamu suka hiking""
Nana mengangguk cepat. "Ya, berpetualanglah. Naik gunung, menyusuri pantai, atau cuma sekedar jalan-jalan keluar-masuk kampung bersepeda.
Itu hobiku yang lain selain main musik. Semuanya sangat menyenangkan ketimbang diam di rumah yang kayak neraka!"
"Aku nggak pernah lihat orang tuamu. Ke mana aja mereka""
Eri menerawang. Melihat ke langit timur. Bola merah raksasa itu sebentar lagi jatuh. "Sebentar lagi kegelapan datang, Nana, dan hari pun menghilang," katanya pelan dan bergetar. "Cuma kegelapan saja yang ada di sekeliling kita."
Nana mencoba menangkap makna kalimatnya.
Episode 11 "Itulah hidupku, Nana." Nana menatapnya.
"Orang tuaku seperti tidak pernah merasakan, bahwa aku itu anaknya. Mereka selalu datang dan pergi sendiri-sendiri. Jarang sekali kami bisa makan sama-sama di meja makan dalam satu kesempatan seperti yang biasa kamu lakukan di rumah bersama Om dan Tantemu.
Kalau aku makan, kadang cuma dengan Mama, ya dengan Papa, atau malah cuma ditemani Bik Iyem, pembantu kami.
Biasanya Papa bilang, 'Mana Mamamu"' Aku sendiri tidak pernah tahu, apalagi yang sedang dikerjakan Mama saat itu. Atau kebalikannya, 'Papamu belum pulang"' kata Mama. Itu pun aku nggak pernah tahu, ke kota mana lagi Papa pergi. Sebuah keluarga yang satu sama lainnya cuma bisa berhubungan lewat telepon genggam saja," Eri tertawa hambar.
Hari-hari Nana di komplek elit itu kini beragam setelah ada Eri. Kalau tidak bersepeda ke kampung-kampung di Minggu pagi, biasanya mereka naik kereta ke mana saja mereka suka. Atau diisi dengan menikmati senja di Pantai Selat Sunda dan duduk-duduk saja di halaman samping rumah sambil mendengarkan petikan gitar Eri. Biasanya Nana yang jadi penyanyinya. Eri memang lebih mahir
memainkan gitar daripada menyanyikan lagunya.
Menjalin bubungan dengan Eri mengantarkan Nana jadi menyukai alam. Dia lalu ikut bergabung denga kelompok pecinta alam di sekolahnya. Dia jadi mengenal Yanto, sang pemimpin PA dan beberapa orang lainnya selain kawan-kawan di kelasnya. Kalau PA sekolahnya melakukan ekspedisi, Eri suka ikut serta sekalian menurunkan "ilmu-ilmu"nya pada Yanto. Eri memang lulusan sekolahnya juga sekaligus seniornya di PA.
Bersama Eri pula, bagi Nana seperti sedang mengikuti sebuah drama keluarga. Atau seperti sedang membaca sebuah novel dengan kisah yang klise. Tentang seorang anak lelaki yang tumbuh kesepian di rumah yang besar. Harta yang melimpah ternyata bukan jaminan kebahagiaan seseorang. Papanya memang sibuk luar biasa mengurusi perusahaannya dan ibunya lebih memperhatikan bisnis perhiasan.
Sesekali Nana diajak bersama kelompok Eri latihan band di sebuah rumah kosong. Kadang pula dia menggantikan penyanyi utamanya jika terlambat datang. Atau kalau Eri mengajak kawan-kawan bandnya untuk latihan di rumah, jika kedua orangtuanya tidak ada di rumah, Nana pun ikut bernyanyi membikin gaduh seisi komplek.
Eri sudah setahun menganggur. Dia tiga tahun di atas Nana. Ternyata dia tidak memilih meneruskan kuliah, tapi semakin asyik dengan kelompok bandnya. Melewati jam terbang dari satu panggung sekolah ke panggung seni lainnya. Kadang kala dia ikut festival band ke kota-kota lainnya atau menjadi kelompok pembuka di bar-bar kecil di kawasan Merak. Atau traveling sendirian ke mana saja dia suka. Terutama mengunjungi Baduy; bersahabat dengan masyarakat yang mengasingkan diri di Banten Selatan.
"Aku dapat kerja!" Eri berteriak ketika kami sedang makan malam.
Eri menarik kursi. Tante Oya langsung menyodorkan piring. Bagi tantenya, Eri sudah dianggap sebagai pagian dari mereka. Bahkan Eri bisa leluasa melakukan apa saja di rumah mereka. Begitu juga sebaliknya, mereka bisa menyuruh apa saja pada Eri, karena tidak ada lagi lelaki di rumah ini selain omnya.
"Kerja di mana Kak Eri"" Siska, mencoba membantu mengambilkan nasi.
"Pokoknya Siska harus nonton, ya!" Eri mencomot paha ayam. "Ya. Tapi, nonton apa"" Siska mulai tertarik.
"Eri and group band, sekarang punya pekerjaan tetap! Nggak akan menclok ke sana-kemari lagi!" Eri berteriak girang sambil menyebutkan salah satu bar kecil di kawasan hiburan malam Cilegon.
"Wah, selamat!" Om Oya tersenyum lebar.
"Siapa tahu nanti ada yang tertarik merekam lagu-lagumu, Eri," Tante pun ikut memberi perhatian.
Nana menatapnya dengan perasaan gembira, "Kamu sudah memberi tahu orangtuamu, Eri""
Lalu tanpa gairah Eri bilang, "Aku nggak tahu mereka ada di mana sekarang. Lagian, mereka pasti nggak akan pernah setuju dengan apa yang aku lakukan ini. Mereka menginginkan aku kuliah. Lalu jadi sarjana ekonomi!
Tapi kini anaknya malah jadi pemain band!" Eri tertawa hambar.
"Mungkin main band sambil kuliah"" Tante memancing.
"Oh, saya bukan seorang perfeksionis, Tante."
"Kenapa tidak dicoba"" kejar Tante lagi.
Eri menggeleng. Dia berpikir sebentar. "Orangtua saya, Tante, tidak pernah menggubris apa yang sedang atau saya lakukan. Melihat saya masih sehat-sehat saja, buat mereka lebih dari cukup.
Tapi ketika mereka tahu anaknya gandrung musik, tanpa alasan yang jelas, mereka merasa bertanggung jawab atas masa depan saya!"
"Itu gunanya orangtua," Om nimbrung.
"Seharusnya itu mereka lakukan dari sejak awal," Eri mulai gelisah. "Kapan mainnya"" Nana mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Minggu depan."
"Saya kamu ajak nonton 'kan"" Nana merajuk.
Eri mengangguk. "Kalau bisa Siska, Om, dan Tante juga nonton, ya. Ini penting buat pemunculan saya yang pertama."
Pada malam pertama pemunculannya di bar kecil, mereka sekeluarga nonton. Tadinya Tante keberatan, karena tempat itu tidak cocok bagi Siska, yang masih kecil. Untung Om mau menyediakan waktu khusus untuk menemani.
Malam itu Eri tampak bersemangat sekali memetik gitarnya. Dia tampil penuh percaya diri mengimbangi suara penyanyi utamanya. Permainan mereka tidak mengecewakan. Terbukti banyak orang-orang yang berjoget dan ikut berteriakteriak mengikuti irama lagu rock 'n roll tahun 70-an.
Tapi bermain di bar kecil itu temyata tidak bertahan lama. Eri dan kelompoknya pindah ke sebuah bar yang agak besar. Tentu dengan bayaran yang lebih besar pula. Cuma akibatnya, Nana jadi jarang bertemu Eri lagi. Kalau Eri pulang, pasti dini hari. Ketika dia bangun, Nana sudah ada di sekolah. Giliran Nana ada di rumah, dia sudah sibuk dengan kelompok bandnya. Paling-paling sesekali Nana diizinkan omnya untuk ikut Eri di malam Minggu.
Suatu malam, jendela kamar Nana diketuk. Dia melihat Eri dengan wajah kusut. Dia membuka jendela dengan gusar, "Ada apa, Eri, malam-malam begini""
"Temani aku malam ini, Nana," pintanya serius.
"Ke mana"" Nana menguap.
"Ke pantai, ya"" harapnya.
Episode 12 Nana melihat jam di meja belajar sudah melewati angka satu. Sebetulnya dia ingin sekali kembali memeluk guling, tapi begitu melihat wajah Eri yang sangat memelas, dia urungkan niat tadi. Inilah gunanya seorang teman. Siapa tahu dia pun mengalami hal yang sama seperti Eri suatu saat nanti.
Dengan tergesa-gesa Nana menulis surat. Dia kabarkan pada Om dan Tante tentang kepergiannya pada dini hari bersama Eri ke pantai di Selat Sunda. Siapa tahu mereka "geger" dan melaporkan "kehilangan"ku pada polisi, pikir Nana.
Nana melompati jendela. Dengan jeep Eri, mereka melaju ke Selat Sunda. Sepanjang perjalanan, Eri cuma berkonsentrasi pada kemudi dan jalanan.
"Maafkan aku, Nana," suaranya terdengar juga. Nana cuma tersenyum menghibur.
Kali ini tanpa gitar, Eri menceritakan keadaan rumahnya, yang semakin hari semakin seperti neraka saja baginya.
"Mereka saling menyalahkan, Nana. Saling melemparkan tanggungjawab, karena merasa telah gagal membesarkan dan mendidik aku," suara Eri seperti putus harapan. Nana merapatkan jaket. Angin pantai memang berhembus keras.
Begini kira-kira cerita Eri:
Begitu lagu terakhir usai, Eri memilih untuk pulang lebih awal daripada menghabiskan sisa malam dengan botol-botol bir atau wanita seperti kebiasaan para penyanyi rock di bar-bar kecil. Perasaannya tidak menentu. Dia merasa sesuatu akan terjadi malam ini di rumahnya.
Betul juga. Baru saja Eri memasukkan jeep ke garasi, Papanya sudah bertolak pinggang di pintu masuk. Mamanya cuma memperhatikannya dari ruangan dalam dengan perasaan cemas.
"Ternyata begini Eri, balasan dari kepercayaan yang Papa berikan! Keluyuran setiap malam! Tampang kayak anak jalanan!"
"Eri nggak keluyuran, Pa," Eri menjawab seenaknya.
"Apa namanya kalau pulang selalu menjelang pagi, kalau bukan keluyuran!" Papanya semakin murka.
"Eri main musik, Pa."
"Kamu bisa apa dengan musik, heh"! Cuma membawakan lagu-lagu pinggiran jalan! Bikin telinga orang jadi sakit! Apa sih yang kamu dapat dari musik, Eri"" "Selain kepuasan batin, Eri juga dibayar, Pa."
"Sudah kaya kamu, heh! Berapa bayarannya " Biar Papa nanti yang bayar kamu, kalau uang dari Papa masih saja kurang! Yang penting kamu kuliah! Kalau perlu, Papa kirim kamu sekolah ke Eropa atau ke Amerikar!"
"Sudah, sudah, Pa. Malu sama tetangga," Mamanya menengahi. Wanita cantik itu menuntun anak lelaki kesayangannya ke dalam rumah.
"Ini semua gara-gara Mama, sih! Tuh, lihat anak kesayanganmu sekarang. Jadi liar dan tidak intelektual! "
"Kok, Mama"" Mamanya kini menggeliat.
"Harusnya Papa! Ke mana saja Papa selama ini" Selalu rapat inilah-itulah! Padahal cuma cari-cari alasan biar bisa berduaan dengan sekretaris itu!"
"Heh, heh, jangan menyebar fitnah, Mama!" Papanya membentak. "Malah selama ini apa yang Mama lakukan terhadap Papa" Tanggung jawab seorang istri terhadap suaminya" Apa pernah Mama menyediakan Papa sarapan" Mempersiapkan tas, dasi, atau jas sebelum Papa berangkat ke kantor" Semuanya dikerjakan oleh Bik Iyem! Mama ini lebih mementingkan bisnis permata daripada ngurusin anak! Istri macam apa itu!"
"Lho, bisnis permata itu bernilai jutaan, Papa! Kalau Mama selama ini cuma diam saja, kita mau makan apa" Bagaimana nanti dengan biaya listrik, telepon, iuran televisi, gajih Bik Iyem, dan biaya sehari-hari Eri " "
"Dari gaji Papa saja itu semua sudah cukup!"
"Tapi bagaimana dengan keinginan-keingi
nan Mama, Papa" Apa Papa selama ini bisa mencukupinya" Mama 'kan wanita. Butuh pergaulan, hiburan, dan perhiasan demi menjaga citra suami!"
"Mama terlalu mengada-ada!"
"Papa yang tidak mau menerima Mama, sebagai istri yang berpikiran maju! Sebagai wanita karir!"
"Tapi jangan kelewatan, dong!" "Papa mungkin yang kelewatan!" "Tapi lihat akibatnya pada anak kita!"
Eri tercengang. Sebetulnya malam ini dia cuma jadi kambing hitam saja dari "peperangan " kedua orangtuanya. Segalanya jadi jelas kini, bahwa kedua orangtuanya sudah tidak bisa mengarungi bahtera hidup lagi bersama-sama. Mereka lebih merasa ketakutan tidak bisa membayar rekening ini-itu daripada memikirkan pertumbuhan dirinya. Untuk alasan lain tentang ketidakharmonisan papa-mamanya, misalnya ada orang ketiga, Eri belum melihatnya.
Eri mengunci dirinya di dalam kamar. Dadanya terasa terhimpit. Sebetulnya ingin sekali dia menceritakan kebanggaannya, bahwa dia sudah bisa mendapatkan pekerjaan. Sudah bisa memperoleh uang dari keringatnya sendiri. Ingin betul dia melihat papa-mamanya memeluknya bangga, karena sudah bisa memilih hidup, tanpa perlu menggantungkan diri dari fasilitas orangtua.
Tapi mana mau papa-mamanya mengerti. Mereka cuma mau dirinya meneruskan kuliah dan jadi manusia intelektual dan mentereng dipandang rekan sejawat Papa. Mereka tidak pernah bisa mengerti kalau yang dibutuhkan dirinya sekarang adalah menjadi lelaki merdeka, yang bisa bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Dia sedang butuh pengakuan dari sekelilingnya, untuk bisa tumbuh di masyarakat. Dan itu cuma bisa diperolehnya dengan bekerja. Dengan mendapatkan uang dari tetesan keringatnya sendiri.
Malam terus menggelincir. Pagi mulai menggeliat-geliat. Kesibukan baru berputar lagi.
"Papa berpendapat, menjadi seorang pemusik itu bukan pekerjaan intelektual," Eri menelungkupkan wajahnya di kemudi.
"Mungkin karena dandananmu yang mirip berandalan," Nana tertawa.
"Maksudmu""
"Cobalah potong rambutmu. Rapih sedikit. Ganti jeans-mu yang pada bolong itu dengan yang agak sopananlah. Syukur-syukur berjas-dasi," Nana mengusulkan sambil tertawa.
Eri ikut tertawa, walaupun kecut.
"Aku harus pergi sekolah," Nana menguap.
Eri mengangguk. Dia menyalakan jeepnya.
"Moga-moga Om dan Tante nggak marah, ya," katanya pelan. Tapi Eri tidak menarik kopling. Lengannya merengkuh jemari Nana. Eri menoleh. Menatapnya. Ombak berdebur di hati Nana.
"Aku takut kehilangan kamu, Nana," suara Eri bergetar.
Lengan Eri mengangkat wajah Nana. Dia mengecup keningnya sambil berbisik, "Aku mencintaimu, Nana."
Nana terkesiap. Matahari pagi kini menyeruak perlahan. Membangunkan mimpi-mimpi semua orang yang sedang terlena. Hari baru kini di hadapan; harus mereka lalui tanpa tahu apa yang akan terjadi.
*** Episode 13 Rhapsodi perpisahan Hai, Nana! Suratmu nyampe. Ternyata alamat Poste Restante, GPO Yogyakarta mantep juga. Aku nggak usah bingung-bingung buat nyari alamat surat kalau bepergian sekarang. Thank's juga kiriman lirik-lirik lagunya. Membantu banget dalam perjalangan ngamen-ku.
Aku masih betah di Yogya. Sehat, gemuk, dan bersih. Sungguh! Walau kegiatan sehari-hari di jalan, tetaplah aku yang masih menyisakan bekas "keteraturanku". Tak bisa tak peduli pada tubuhku sendiri, karena itu aset mendasar.
Nana, sepatu western-ku disambar maling. Raib, dah! Sandal jepitan aku sekarang. Aku masih merokok sedikit. Susah ngeberentiinnya. Alkohol, no! Drugs, apalagi. Ngamen, cuma ini yang baru bisa aku lakukan. Setiap hari aku dipelototin mata, yang entah apa artinya. Mungkin kasihan, mungkin aneh, dan terkadang juga kilatan-kilatan mata sebal. Aku tak peduli, walaupun suka ada juga cewek-cewek kampus yang larak-lirik (pengamennya 'kan keren, hehehe). Yang jadi pedomanku, semuanya aku lakukan dengan penghayatan. Itu jarang aku lakukan ketika masih maen sama kawan-kawan. Wah, kalau saja si Uzi sekarang ngikut ngamen sama aku, bakalan panen terus, deh.
Tapi Nana, di lain waktu aku merasa pada saat dulu di mana mestinya aku jadi orang baik-baik, patuh, dan lurus, malah pengen coba-coba jadi orang liar. Sekarang di Yogya, ketika mestinya aku
jadi orang jalan yang liar dan impulsif, malah jadi seperti orang yang terpencil. Di antara kawan-kawan baruku di jalanan, cuma aku yang nggak minum. Cuma aku yang nggak senang bergerombol. Cuma aku yang tak terlalu bergairah. Terutama pada cewek-cewek senasib. Oh, betapa bebasnya pergaulan mereka. Kehidupan seperti ini sebetulnya tidak terlalu aneh betul untukku. Hanya saja sekarang bobotnya lebih kuat. Iya, betul-betul anak jalanan, yang sehari-harinya di jalan melulu. Jalanan Yogya lumayan keras juga, di mana berlaku motto "Daripada menang, lebih baik mengalah". Apa ini pernah aku tulis di surat kemarin" Aku belum pernah clash fisik, memang. Tapi semenjak datang, semenjak aku mengenal kata pasrah pada Tuhan, tertanam di benakku: Aku tak boleh


Senja Di Selat Sunda Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan tak akan dipermalukan oleh siapa pun. Itu suara rendah dari hatiku. Dan aku enjoy sambil tetap jaga mulut.
Ngamen itu tak bisa diandalkan buat cari kekayaan, Nana. Tapi bisa dipakai sebagai jembatan pengubah nasib. Itu yang tampaknya tak dihiraukan para kolegaku. Begitu dapat duit, mereka langsung asyik dengan alkohol. Aku sempat nonton konser "Raja Pengamen", Iwan Fals di Yogya. Hebat. Dia orang hebat. Berkharisma dan tahu persoalan. Dia "pahlawan". Dia idola bagi orang-orang sisa. Seperti katanya: Kita memang sampah, tapi bukan sampah plastik. Mungkin maksudnya, sampah plastik diolah cuma jadi sampah plastik lagi.
Dari dulu aku tahu, jika terlalu banyak keinginan akan makin membuat kita menderita. Dulu keinginanku banyak, ingin punya keluarga hebat gitaris rock. memiliki kamu (ehem), dicintai kamu (huuuuu), punya album kaset, dan entah apa lagi. Ternyata setelah dihayati, tidak terlalu banyak keinginan itu yang membuat kita enteng, tapi sekaligus mandeg. Aku sekarang, sehari-harinya keinginanku cuma memenuhi kebutuhan dasar saja; makan, minum, dan istirahat (tidurlah). Keinginan untuk corat-coret bikin lirik lagu, kadang jadi males kalau tidak dipaksakan.
Kawanku bilang: Arti hidup itu adalah saling berhutang. Itu karena kawanku itu suka ngutang di warung 'kali. Mungkin maksudnya, hidup itu saling ketergantungan. Ada benarnya. Yang pasti, hidup tolong-menolong dan saling mendukung itu ada di kalangan bawah. Orang-orang kebanyakan. Contohnya para pengamen inilah. Aku perhatikan, yang paling sering dan ihklas memberi adalah sesama rakyat kecilnya. Mahasiswa, yang katanya kaum intelektual dan peka terhadap aspirasi rakyat kecil, juga pegawai pemerintah, weh, ternyata lebih banyak yang ogah melirikkan matanya pada kami (aku kini digolongkan jadi bagian dari pengamen).
Sering aku tidak paham diriku. Kadang merasa hari ini aku sedang marah pada diriku, marah pada orangtua yang nggak becus ngurus anak, dan marah pada ketololanku, pada negaraku, dan masyarakatku. Di lain hari aku merasa damai, aman, dan ikhlas.
Okey, Nana, untuk sementara aku tetap ngamen dulu. Hidupku memang tak bisa lepas dari musik. Oh ya, kemarin aku naik Gunung Merapi. Asyik juga. Di surat ini aku nggak ingin ngomongin orangtuaku. Kamu pasti bosen. Sampai di sini dulu,
ya! *** Nana mendekap lagi surat itu. Dia membayangkan Eri yang kesepian sendiri. Tak ada kawan jika sedang gundah-gulana. Nana sadar, bagaimanapun Eri tetap merahasiakan kisah hidupnya pada kawan-kawan sesama pengamennya. Kalau mereka mengamen itu untuk menyambung hidup, Eri cenderung untuk sekadar pelepasan hati atau menghibur kegetiran hidupnya. Uang sebetulnya bukan segala-galanya bagi Eri, tapi kedamaianlah yang dicari Eri.
"Sekarang betul-betul perang dunia ketiga," Eri menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, seolah tidak mau melihat perahu nelayan yang begitu tenangnya dipermainkan ombak di Selat Sunda.
"Ada apa lagi"" Nana menyenderkan tubuhnya ke punggung Eri. Sebetulnya dia rindu, karena Eri seperti menghilang begitu saja selama sebulan. Tapi, ketika sepulang sekolah tadi Eri mencegatnya dengan jeep di muka sekolah, Nana bisa menebak bahwa kerinduannya akan sia-sia. Wajah Eri begitu kusut dan terhimpit beban.
Mereka kembali duduk di pantai, sedang menunggu senja turun di Selat
Sunda. Eri berdiri. Nana menggerutu, karena tergul
ing ke pasir. "Papaku punya bini muda," suara Eri tertelan ombakSelat Sunda.
Nana terperangah. "Sebulan yang lalu Mama menangis di kamarku. Mama memperlihatkan potret pemikahan Papa. Pengantin wanitanya tak jauh beda dengan kamu. Lebih pantas aku anggap kakak ketimbang ibu tiri."
"Oh, Eri," Nana cuma bisa memeluk tubuh lelaki itu. Mencoba meredakan badai di dadanya yang bergejolak.
"Apa yang harus aku lakukan, Nana"" Eri mulai menggeliat.
Episode 14 "Aku nggak tahu, Eri," Nana belum pernah mengalami hal ini sebelumnya. Dia baru saja di bulan-bulan awal kelas dua SMA.
"Oh, kalau saja mereka tahu, betapa aku menginginkan mereka hidup rukun. Betapa aku menyayangi mereka."
Nana menuntun Eri ke pantai. Nana merasa seperti sedang membawa benda tak bernyawa. Rapuh sekali. Mereka duduk.
Kail Naga Samudera 1 Pendekar Rajawali Sakti 118 Dukun Dari Tibet Biru Laut 1

Cari Blog Ini