Ceritasilat Novel Online

Senja Di Selat Sunda 2

Senja Di Selat Sunda Karya Gola Gong Bagian 2


Eri menangis terisak-isak.
Saat inilah dia baru percaya, bahwa menangis itu bukan cuma milik wanita. Lelaki pun bisa terjebak di dalamnya. Sebetulnya tak perlu diributkan betul kalau "lelaki menangis itu cengeng dan senjata wanita adalah menangis". Anggap saja "menangis" itu milik semua orang; lelaki dan wanita. Menghadapi situasi seperti ini, Nana cuma ingat pesan ibunya, "Mendengarkan adalah hal paling bijaksana."
"Ketika hal itu aku tanyakan, Papa tidak membantah. Papa malah balik menyalahkan Mama, yang katanya suka keluyuran dengan 'daun muda' di Jakarta.
Aku betul-betul seperti anak bodoh, yang dilempar ke sana-kemari. Mama menyalahkan Papadan begitu juga sebaliknya.
Aku pikir dalam hubungan Papa-Mama sudah nggak ada keharmonisan lagi. Kini komplit sudah. Selain soal melulu materi, ternyata ada orang ketiga.
Tadinya, aku pikir, Papa memang mata keranjang. Cuma ingin menang sendiri dengan mengkambinghitamkan Mama saja. Aku sampai perlu menguntit Mama ke Jakarta untuk membuktikan omongan Papa.
Oh, Nana!" Eri menjambak rambut gondrongnya ke belakang.
Nana menggigit bibirnya. Ombak Selat Sunda menggelora.
"Mama memang berbisnis permata. Tapi, Mama ternyata kelayapan ke Mall-mall; melirik cowok-cowok yang sebaya dengan aku. Bahkan menggaetnya ke hotel." Aku sampai hilang pikiran saat itu. Aku hajar cowok buaya itu di depan Mama. Mama menangis seperti orang kesurupan."
Ombak berdebur memukuli pantai. Ujungnya yang putih seperti busa seperti memanggil-manggil mereka agar mendekat. Ujung ombak putih itu kini ibarat janggut putih penguasa laut, yang datang hendak menghibur mereka.
Eri berdiri lagi. Dia mondar-mandir. Betul-betul anak manusia yang kehilangan arah mata angin. Tak tahu harus bertindak apa dan bagaimana.
"Tahu apa yang Mama bilang, Nana" 'Ini lebih baik ketimbang papamu, Eri! Yang mengkhianati Mama dengan mengawini salah satu dari mereka!"
"Apa betul itu berbeda, Nana"
"Yang mereka pikirkan adalah dirinya sendiri, bukan aku, sebagai anak mereka.
"Aku pikir, perceraian adalah hal yang terbaik buat mereka. Tapi mereka tidak memilih itu. Mereka masih takut dengan hukum masyarakat tanpa pernah mau memikirkan aku."
Beberapa hari setelah itu, Eri mengajak Nana untuk menonton pertunjukannya. Wajah Eri dari hari ke hari semakin kusut. Seperti tak ada gairah hidup lagi.
"Kok, main di sini"" Nana keheranan ketika jeep diparkir di sebuah hotel terkemuka di pesisir Selat Sunda.
"Kami dikontrak 6 bulan di sini," Eri berusaha tersenyum.
"Oh, congratulations!"' Nana terpekik memeluk Eri. Mengecup pipinya. "Ini harus kita rayakan, Eri!"
Eri berusaha tersenyum lagi.
"Oh, Eri, betapa aku ingin duduk-duduk di pantai di sekitar hotelnya. Melihat keindahan Krakatau malam-malam, yang kadang menyemburkan letupan-letupan apinya!" Nana betul-betul gembira.
"Aku mau nyanyi malam ini, Nana."
"Oh, ya"!" Nana menahan tawa.
"Aku nggak akan jadi kalau kamu ketawa kayak tadi."
"Okey, okey," Nana menepuk-nepuk pipi Eri. "Aku janji nggak akan mentertawakan kamu." Eri mendelik.
"Swear!" Nana mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya. Eri kini tersenyum.
Nana begitu bahagia melihatnya. Kadang kala dia merindukan senyum Eri yang mempesona sekaligus menggoda, seperti pertama kali Nana melihatnya. Oh,
perkenalan itu sangat membekas di hatinya. Ketika Eri menimpuknya dengan
buah mangga. Lalu mengajaknya berkenalan!
Eri menariknya ke lobby hotel. Mereka melintasinya. Nana melihat ada beberapa track bowling. Para tamu, yang mayoritas orang asing, sedang asyik menggelindingkan bola hitam itu untuk menghancurkan barikade kendi-kendi putih.
"Nanti ajari aku bowling, ya!" Nana merajuk.
Eri mengangguk. Beberapa orang kawan bandnya menyambutnya, yang juga membawa pasangan masing-masing. Mereka saling merengkuhkan tangan, pertanda kekompakan mereka.
"Wah, kamu nggak bakalan bisa nyanyiin rock 'n roll di sini. Apalagi metal!" Nana meneliti pengunjung bar hotel ini, yang rata-rata berumur dan berduit.
"Kamu lihat aja nanti!" kata Uzi, penyanyi utama sambil tertawa merangkul Yanti, pasangannya yang tersenyum malu-malu.
"Kamu mau nyumbang lagu"" si penggebuk drum, Adam, meledek.
Nana mencubitnya keras-keras.
"Heh, enak aja. Pacar orang, tau!" Dini, pasangan Adam, merajuk manja.
"Kamu udah tahu Eri bakal nyanyi"" Uzi menahan tawa.
Eri menggepit kepala Uzi dengan gemas. "Pokoknya, malam ini posisi kamu bakalan kegusur!" Eri tertawa.
"Oh, Boy!" Uzi tertawa keras. "Kamu denger itu, Opik!" Uzi meninju bahu pemain keyboard.
"Aku jadi penonton aja, deh!" Opik tertawa. Dia berlindung di balik Prety, pacarnya, ketika Eri hendak menjambret rambutnya.
"Nggak janji lah yaa!" Rehan, pasangan si pencabik bas, Mhaex, mengerling lucu dan tertawa genit.
Tapi Nana sudah berjanji tidak tertawa untuk hal ini.
Eri memanggil seorang pelayan. Berbicara padanya. Lalu, "Kalian ikuti dia, ya," katanya pada Nana dan keempat cewek lainnya.
Nana mengangguk. Kelima cewek itu mengikuti pelayan. Nana duduk menyender ke tembok. Meminta es cola pada pelayan itu. Cahaya di bar mulai redup. Para pengunjung yang sedang bersantai memenuhi dua pertiga ruangan masih asyik bercengkrama dengan lawan bicaranya atau lamunannya masing-masing.
"Saya deg-degan," Yanti meraba dadanya.
Episode 15 "Kalian yakin para tamu bakalan suka lagu-lagu mereka"" Dini juga ikut khawatir.
"Aku sedang berdoa untuk itu," Prety memejamkan mata. "Paling-paling cuma suka sama pemain bass-nya," Rehan tertawa. "Aku serius!" Yanti mendelik.
"Kamu kok diem aja"" Dini menyentuh lengan Nana.
"Kami ikut prihatin, Nana, dengan apa yang terjadi pada Eri," Rehan merangkul bahunya.
Nana mencoba tersenyum. Lampu mulai menyorot ke panggung.
Eri dan Mhaex menyelendangkan gitar, Adam mulai memukul-mukulkan stik drum, Opik berdiri di depan piano, dan seketika itu pulalah melengking suara Uzi, "Oh Darling!" dari Beatles.
Nana melihat para pengunjung agak tersentak juga. Mata mereka perlahan-lahan berpindah ke panggung di sudut ruangan. Suasana yang romantis dan penuh kenangan seperti tercipta dari wajah-wajah tamu, yang rata-rata di atas 40-an tahun.
Lalu meluncur lagu-lagu blues legendaris. Rupanya malam ini mereka tidak membawakan lagu-lagu yang hingar-bingar atau jingkrak-jingkrak tanpa harus meninggalkan akar rock 'n roll yang sudah biasa mereka bawakan.
Di atas panggung tiba-tiba ada kelainan. Uzi menghilang ke belakang panggung. Rupanya saat inilah Eri akan menyanyi. Seseorang muncul membawakan kursi.
Eri duduk di kursi itu. Hening sebentar.
Nana pada mulanya tidak percaya kalau yang sedang membawakan "Mother"-nya John Lennon itu adalah Eri, yang paling kesal jika disuruh menyanyi. Tapi Nana merasakan Eri bukan sekadar menyanyi. Tiba-tiba Nana seperti melihat seseorang sedang meronta-ronta, menjerit, menangis, dan berteriak-teriak marah pada keadaan.
"Oh, aku nggak percaya Eri bisa nyanyi!" Yanti menutup mulutnya.
Nana merasa kelopak matanya hangat. Dia mengusap air matanya, yang mulai mengalir hati-hati. Dia tahu persis apa yang sedang berkecamuk di hati Eri. Kalau saja papa-mama Eri malam ini hadir di sini, selayaknya mereka harus bahagia melihat anaknya yang sangat mendambakan keharmonisan sebuah keluarga. Harta yang melimpah memang tidak pernah bisa menjamin kebahagiaan seseorang.
"Bagaimana, Nana" Bagus suaraku"" Eri meminta pendapatnya dalam perjalanan pulang tadi.
"Kamu nggak nyanyi tadi," Nana meledek.
"Lalu, apa""
"Kamu protes." "Protes pada siapa"" "Pada Tuhan."
Eri tertawa hambar, "Para tamu 'kan nggak ada yang tahu masalahku." "Aku 'kan tahu. Uzi, Adam, Mhaex, dan Opik juga tahu. Yanti dan yang lainnya juga ngerti."
"Kalian bukan tamu."
"Tapi kamu menyuruh aku dan pemain band untuk mendengarkan rintihanmu. Protesmu. Seolah-olah kamu mengumumkan pada kami, bahwa Tuhan sudah nggak bersikap adil pada kamu. Sementara kami hidup dengan keluarga yang bahagia, tapi kamu malah hidup berantakan."
"Yang penting pengunjung terpesona tadi dengan suaraku."
"Mereka cuma memhayangkan John Lennon yang nyanyi tadi," Nana tertawa.
"Sekarang kamu tertawa, Nana. Dan kedengarannya sinis."
Nana terpaksa harus hati-hati. "Aku cuma bosan ngedenger persoalan-persoalan yang terjadi di rumahmu, Eri. Seolah-olah kamu mengeksploitirnya. Minta dibelaskasihani sama orang-orang, bahwa 'Nih, aku anak yang terlahir dari keluarga broken home' .
Kenapa aku bosan ngedengernya" Karena aku nggak hisa ngebantu apa-apa. Seharusnya kamu bisa lebih tabah dari yang terjadi seperti sekarang, Eri." "Apa maksudmu, Nana"" Eri meminggirkan jeepnya. "Sudah malam, Eri. Nantilah kita bicarakan hal ini."
"Jawab, Nana. Kamu bosan dengan keluh-kesahku atau bosan dengan aku" Malah jangan-jangan ada cowok lain, Nana"" "Oh, Eri, jangan kayak anak kecil."
"Kita memang masih anak kecil, Nana. Kamu saja baru akan tujuh belas tahun. Aku belum lagi dua puluh." ' "Ayolah pulang, Eri."
"Aku memang nggak bisa kayak cowok-cowok lain, Nana. Yang bisa menggembirakan pasangannya di setiap malam Minggu, karena hidup mereka sendiri sudah hahagia.
Aku malah jarang mengapeli kamu di malam Minggu. Mengajakmu nonton atau makan malam. Kalaupun aku mengajakmu pergi, paling-paling aku menceritakan tentang keadaan rumah yang seperti neraka."
Nana tidak menjawab, walaupun hatinya mengiyakan.
Setelah kejadian malam itu, Eri menghilang lagi selama seminggu. Seperti angin, yang datang dan perginya tak pernah ketahuan.. Begitulah yang terjadi pada Eri, yang bisa datang dan pergi semaunya saja. Kadang kala Nana melongok lewat pagar pembatas, mencari-cari Bik Iyem, pembantu tetangga sebelah itu.
"Bik, Bik," Nana memanggil pembantu itu.
"Eh, Neng Nana."
"Nggak ada orang di rumah, Bik"" Bik Iyem menggeleng.
"Eri ke mana, Bik""
"Nggak tahu, Neng. Malam-malam Eri bawa ransel. Bawaannya banyak, Neng. Mungkin pergi kemping."
Nana menggerutu sendirian, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Setelah itu kelompok band Eri datang memberondong Nana dengan beragam pertanyaan. Membuatnya kesal dan tidak bisa memihak siapa-siapa.
"Kemping ke mana Eri"" Uzi penasaran.
"Mana aku tahu!" Nana histeris.
"Ayolah, jangan main rahasia-rahasiaan!" Adam kesal.
"Kacau, kacau!" Mhaex nimbrung. "Bubar, bubar deh! Ke mana sih tuh anak!"
Episode 16 Cuma Opik yang bisa memaklumi. "Mungkin Nana nggak tahu ke mana Eri pergi. Ya, sudah. Kalaupun Nana tau, kita nggak punya hak untuk memaksa mengatakannya," katanya pada yang lain.
"Sudah empat hari kami nggak main. Tanpa Eri, kita nggak bisa main. Malam ini peringatan terakhir. Kalau tetep nggak main, kami akan dipecat!" Uzi begitu kecewa.
"Cari aja pengganti Eri!" usul Nana. "Nggak akan kami lakukan itu, Nana," Opik masih tenang. "Kenapa" Karena setengah dari uang pembelian peralatan band uangnya dari Eri"" Nana menyindir.
Mereka bersungut-sungut. "Untuk sementara aja sambil menunggu Eri pulang," Nana tetap pada pendiriannya.
"Inget, ini kamu yang mengusulkan!" Uzi menunjuknya.
"Iya, ini atas usulku!" suara Nana tegas.
"Gimana, Opik"" Uzi meminta pendapatnya.
"Kalian punya pilihan"" Opik melemparkan lagi persoalan.
Mhaex menyebut sebuah nama.
"Kita cobalah," Adam tidak bergairah.
Tapi keesokan paginya di sekolah, orang-orang meributkan tentang kebakaran yang melanda hotel ternama di Pantai Selat Sunda. Hotel di mana Eri dan bandnya biasa tampil menghibur para tamu di bar.
Nana cuma bisa terisak-isak sendirian di kamarnya. Kenapa hal ini terjadi padamu, Eri" hati Nana meratap nelangsa.
"Sekarang semuanya berakhir, Nana," Uzi tidur-tiduran di rumput. Yanti membelai-belai rambut kekasihnya dengan iba.
"Ada di mana kamu, Eri!"Adam berteriak.
"Kami nggak nyangka, bahwa malam tadi adalah malam terakhir kami main di hotel itu," Mhaex meratapi nasib.
"Tanpa Eri," Opik tersenyum kecut. "Bagaimana itu bisa terjadi"" Nana panik.
"Biasa, korslet listrik!" Rehan yang bersender di bahu Mhaex, nyeletuk.
"Ya, siapa bisa membaca garis tangan hidup kita," Opik menarik napas. "Aku pikir, kita akan istirahat panjang dari main band. Ini ada baiknya juga. Aku agak jenuh juga main di bar-bar."
"Maksudmu"" Uzi bangkit.
Adam dan Mhaex juga menatapnya tidak enak.
"Tadi pagi kakakku menelepon. Dia tahu kebakaran hotel semalam dari berita TV. Aku ditawari kursus piano di Bandung," Opik memegangi terus lengan Prety.
"Kamu mau meninggalkan kami"" Adam tidak percaya.
"Aku mau serius di musik sekarang. Dukunglah aku," Opik memohon. "Kalian juga bisa melakukan hal sama seperti aku."
"Ya, benar apa yang dibilang Opik," Nana menyumbang pendapat. "Kalian 'kan nggak akan selamanya main di bar-bar. Tentu suatu hari bermimpi masuk studio rekaman. Bermimpi bikin lagu sendiri dan didengar oleh semua orang."
"Sebaiknya kita tunggu Eri pulang," kata Uzi lemah.
"Kalau dia masih hidup!" Adam masih jengkel.
Nana menarik napas panjang.
*** Episode 17 Rhapsodi Penantian Nana! Jika kamu terima suratku ini, mungkin aku sudah melakukan perjalanan lagi. Kayaknya terus ke timur menenteng gitar. Kalau lagi suntuk, ngamen adalah hiburanku. Setelah aku merasakan beberapa kali ngamen, kini 'plong'. Aku bisa merasakannya. There is something different. Entah apa namanya. Tak tahu aku. Cuma yang aku rasa, jadi bosan sendiri ngamen di Yogya. Sekarang aku menyingkir dululah. Dengan kawan-kawan baruku di Yogya nggak ada masalah, kok. Hanya aku perlu cari udara lain.
Nana, bila perjalanan ini sudah selesai dan aku pulang, itu artinya aku jadi manusia instan yang fleksibel. Lentur dan elastis. Manusia serba siap. Termasuk siap melempar jangkar. Aku punya tali yang panjang, kok. Tak sepanjang milik orang lain, sih. Tali yang panjang, artinya tidak tergantung pada suatu tempat. Aku punya dua "titik" sekaligus. "Titik" tempat jangkar menancap dan "titik" bagi kapal terapung. Tidak seperti pasak yang cuma satu titik dan lurus, tegak, dan kaku melawan gelombang. Bukan mengikuti arusnya. Tali punya cakupan wilayah yang luas, Nana, dibanding pasak.
Mungkin tak perlu jadi kapal. Perahu kecil yang lincah ke segala arah, tapi rentan pada badai dan gelombang. Hidup memang banyak pilihan dan aku masih terus melihat-lihat. Wah, aku sebetulnya berlayar saja belum, ya! Kadang aku berpikir, Nana, tak akan meninggalkan rumah terlalu jauh. Kasihan Papa dan Mama. Kami keluarga kecil. Akulah dinasti penerus mereka. Aku tentu akan memelihara kerajaan kecil kami.
Nana, kapankah kita bisa ketemu lagi" Aku pikir kamu nanti bakalan kesulitan membalas surat-suratku. Entahlah, aku nggak punya alamat sekarang. Aku mungkin cuma bisa meratapi rasa kangenku padamu. Kenanglah aku di hatimu. Tapi aku akan berusaha untuk tetap memberimu kabar.
Tentang orangtuaku, bagaimana kabar mereka" Sesekali aku menelepon mereka. Tapi aku nggak berani menelepon kamu. Aku takut bisa "gila" jika
mendengar suaramu. Aku takut setelah mendengar suaramu, kerinduanku padamu taktertahankan lagi. Aku nggak mau itu terjadi. Ini bisa menyiksaku.
Terima kasih, itu saja yang bisa aku ucapkan sama kamu. Nanti aku kabari
lagi. *** Nana mendekap lagi surat itu. Dia membayangkan Eri sedang kelelahan menyandang ransel dan gitarnya; menahan haus dan lapar dalam perjalanan. Sedang menuju ke mana dia sekarang" Batinnya nelangsa. Ah, kenapa kamu tidak pulang saja
Eri" Setelah kelompok band Eri datang membawa kabar kebakaran hotel tempat mereka bekerja, dua hari kemudian, di Minggu siang, Eri menimpuk Nana dengan ranting kecil pohon mangga.
"Hey, ngelamunin aku, ya!" teriaknya dari dahan pohon mangga.
Ingin sekali Nana berteriak girang saking rindunya. Tapi itu diurungkannya. Sebagai perempuan, kata ibunya, tidak baik mengumbar perasaan. Menunggu adalah hal terbaik yang harus dilakukan perempuan. Ibunya memang terhitung wanita konservatif dalam soal cinta.
"Marah, ya!" Eri meloncat turun dan kin
i sudah duduk di rumput. "Ke mana aja, sih!" Nana cemberut.
"Aku ke Baduy."
"Kok, nggak bilang! Aku 'kan kepingin juga ke Baduy."
"Di luar rencana, sih."
"Aku pikir nggak bakal pulang lagi."
Eri tersenyum. "Hotelmu kebakaran."
"Aku denger di radio."
"Lho, katanya di Baduy nggak boleh denger radio""
"Sembunyi-sembunyi," Eri tertawa kecil.
"Wah, itu merusak lingkungan namanya!" Nana protes.
Eri mencubit pipinya. "Udah ketemu kawan-kawanmu""
Eri mengangguk. "Kami sepakat untuk mencari jalan sendiri-sendiri dulu. Opik kursus piano di Bandung, Uzi mau adu nasib di Jakarta. Siapa tahu ada band yang butuh penyanyi. Adam ikut bisnis pamannya ke Semarang dan Mhaex memilih mengurus lebih serius sanggar lukisnya."
"Kamu"" Nana bermanja-manja.
"Itulah sebabnya aku kemari. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu, Nana. Ini mendesak sekali," nadanya serius.
"Apa lagi, sih"" Nana ogah-ogahan. "Please, ini untuk yang terakhir, Nana."
Nana menatapnya penuh ingin tahu. Tiba-tiba dia merasakan ada 'sesuatu' menyusup ke hatinya. Dia merasakan rasa sepi yang panjang. Sorot matanya pun jadi redup. Eri menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya. Rambutnya yang gondrong menutupi seluruh wajahnya.
Mereka meluncur ke pantai di Selat Sunda. Menghabiskan hari sambil menanti senja. Nana seperti merasakan pertemuan dengan Eri ini untuk yang terakhir kali.
"Kamu seperti mau pergi jauh, Eri," perasaannya diungkapkan.
Eri memegang lengannya. Dia tidak ingin kehilangan gadis yang selama ini selalu hadir, jika dia sedang bersusah hati. Gadis yang selalu menemaninya dalam kegembiraan.
"Aku renungkan berhari-hari di Baduy sana, Nana. Dan aku semakin mantap setelah hotel tempatku bekerja kebakaran."
Nana menyembunyikan wajahnya. Dia tidak berani untuk menatap layar yang membentang luas di atas Selat Sunda. Dia seperti takut untuk menyaksikan matahari tenggelam di layar itu, karena dia sudah merasa hatinya berubah jadi gelap. Tak ada cahaya. Pernyataan Eri tadi cukup menggoncangkan jiwanya.
"Aku ingin melupakan dulu masalah-masalah yang sepertinya nggak berhenti menimpaku. Sebutlah aku pengecut. Tak apa. Yang penting, aku sedang berusaha untuk memperbaiki keadaan. Aku cuma ingin meninggalkan Papa-Mama; mencari suasana baru. Kalau terus-terusan begini, aku bisa stress, Nana. Bisa frustasi di usia muda.
Episode 18 "Mungkin ini jalan keluar yang terbaik." "Betul itu pilihanmu, Eri"" Nana memeluk Eri.
"Sudahlah, Nana, jangan menangis," Eri mengusap air mata di pipinya. "Aku menyesal sudah membuatmu sedih." ,
"Kenapa kamu tidak tinggal di sini saja. Toh ada aku, Siska, Om dan Tante." "Bagaimanapun mereka bukan milikku, Nana."
"Setidaknya kami akan menghiburmu."
"Ketulusan hati kalian memang membuatku terhibur. Bahagia rasanya jika aku berada bersama kalian, Nana. Tapi ada yang lebih penting dari itu, kehidupanku sendiri.
Aku masih muda. Jalanku bisa saja terbentang lurus, panjang, atau berkelok-kelok. Dan aku harus melaluinya."
"Tapi, kamu butuh pertolongan."
"Aku akan minta pertolongan pada Tuhan."
"Tapi nggak mesti sendirian."
"Aku sedang ingin sendiri."
"Kamu akan meninggalkan aku""
"Kamujuga masih muda, Nana. Malah jalanmu lebih mulus dari aku. Laluilah. Nikmatilah."
"Tapi, aku ingin bersamamu melewati jalan itu."
"Sebaiknya aku berterus terang saja," Eri berdiri. Dia berjalan menuju lidah ombak. Kakinya terbenam di pasir sampai semata kaki. "Aku nggak tahu pasti akan pergi ke mana dan pulang kapan," pelan suaranya.
"Oh, Eri!" Nana seperti tidak mau mendengarnya.
"Sebaiknya ketika aku pergi, janganlah aku pikirkan soal pulang. Kamu tahu, aku seperti tidak punya tempat untuk pulang, Nana. Itulah yang aku rasakan saat ini."
"Aku akan kehilangan kamu," Nana sudah berada di belakangnya. Mereka berhadap-hadapan. Layar raksasa mulai kemerah-merahan. Sebentar lagi senja akan turun di Selat Sunda. Ini seperti mengisyaratkan kisah-kasih mereka, yang akan pudar dimakan oleh waktu.
Eri memeluk Nana. Mendekapnyaerat-erat.
"Aku takut untuk berjanji, Nana. Aku nggak ingin janjiku itu nanti akan membelenggumu. Kita masih muda. Masih butuh menghirup udara sebebas-bebasnya."
"Aku akan menunggumu pulang."
"Jangan, jangan, Nana," Eri merapihkan rambut Nana yang jatuh di kening. "Itu bisa jadi beban buatku di perjalanan nanti." "Kamu akan berkirim surat"" Eri mengangguk.
"Janji"" "Untukmu, apa pun yang kauminta, akan aku lakukan."
"Apa yang akan kamu cari, Eri"" Nana merebahkan kepala di dadanya.
"Aku ingin menemukan diriku sendiri."
"Apa selama ini kamu merasa bukan diri kamu""
Eri menggeleng. "Aku yang sekarang adalah 'aku yang cengeng' .Yang begitu mudah rapuh oleh hempasan hidup. Aku ingin jadi lelaki yang kuat, yang mengerti 'untuk apa seorang lelaki hidup'.
Selama ini aku hidup di atas kekayaan dan kehormatan semu dari orangtuaku. Apa pun yang aku inginkan, terlebih-lebih materi, selalu tersedia. Kalau selamanya seperti ini, aku tidak akan pernah siap jika suatu waktu barus betul-betul kehilangan Papa dan Mama.
Aku harus meninggalkan rumah untuk sementara waktu. Harus ada 'sesuatu' mengisi jiwaku, karena bagaimanapun aku adalah pewaris tunggal mereka. Aku harus jadi kebanggaan mereka suatu hari kelak."
Nana semakin merapatkan pelukannya. Dia harus merelakan kepergian Eri untuk waktu yang tidak terbatas. Seorang wanita cuma bisa memiliki lelaki seutuhnya dengan kelembutan perasaannya. Tak akan bisa seorang wanita memiliki jiwa lelaki seutuhnya. Dia berharap bisa begitu; merasakan terus kehadiran Eri di hatinya.
"Kamu tahu, Nana, sekuat-kuatnya lelaki akan jadi lemah jika di hadapan wanita. Itulah aku sekarang di depan kamu.
"Karenanya, bantulah aku agar kuat. Janganlah tangisi kepergianku ini."
Nana harus merelakan Eri 'pergi' seperti juga setiap manusia harus merelakan matahari tenggelam di setiap senja.
*** Setelah tiga surat terakhir Eri dari Yogya, Nana cuma menerima kartu pos-kartu pos saja dari Eri. Kadang baru sebulan dia menerimanya tanpa bisa membalasnya. Tampaknya Eri mulai kesulitan untuk berkirim surat padanya. Ini terlihat dari tempat Eri mengeposkan surat. Kadang di kampung-kampung kecil di Madura, Bali, bahkan di Nusa Tenggara Timur, yang tidak diketahuinya.
Hari bergulir terus. Pada tahun pertama kepergian Eri, Nana pergi sendirian ke Pantai Selat Sunda. Menikmati senja. Dia mencoba merasakan apa-apa yang pernah dilaluinya bersama Eri di sini.
"Ada di mana sekarang Eri, Senja"" bisiknya pada matahari. "Apakah Eri sedang duduk di pantai menikmatimu, Senja"" air matanya bergulir.
Ini adalah saat perpisahan kecil bagi Nana menikmati senja di Pantai Selat Sunda. Dia akan meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Setiap liburan semester Nana menyempatkan diri pulang sambil berharap, semoga ada sepucuk surat atau kartu pos lagi dari Eri. Tapi cuma kehampaan saja yang dia dapatkan. Eri seperti hilang ke dasar samudra. Tertelan belantara bumi. Paling-paling dia cuma bisa mengadu pada matahari senja di Selat Sunda.
"Berilah aku kabar tentang Eri, Senja"" Nana menatap langit timur Selat Sunda. "Apa yang terjadi dengan Eri""
Lain saat, "Aku kangen sama Eri, Senja."
Paling-paling Nana melongok di pagar pembatas ke rumah sebelah. Jika ada Bik Iyem, dia memanggilnya, "Eri ada di mana sekarang, Bik""
"Bulan lalu Bibik yang nerima tilpon. Den Eri bilang sih di Irian," Bik Iyem memandang gadis cantik ini dengan iba. Dia bisa merasakan kerinduan hati si gadis pada Eri.
"Ada kabar mau pulang, Bik""
"Den Eri mau pulang kalau rumah ini sudah tidak seperti neraka," Bik Iyem melihat ke rumah besar yang sepi itu. "Petaka apa lagi yang akan menimpa penghuni rumah ini"" gumamnya.
"Hus, jangan ngomong yang nggak-nggak, Bik."
Episode 19 "Astagfirullah," Bik Iyem merasa berdosa.
Dari Bik Iyem-lah Nana selalu tahu Eri berada .di mana. Cuma sekadar tahu. Tentang istri muda papa Eri yang melahirkan bayi perempuan, Nana juga tahu dari Bik Iyem. Eri pasti senang punya adik sekarang.
Kadang kala dia tidak mengerti, kenapa Eri setega itu tidak memberinya kabar. Kalau menelepon terlalu mahal, rasanya kartu pos tidaklah berlebihan. Tapi Eri seperti bermaksud melupakannya.
Nana masih ingat kartu pos terakhir yang dikirim Eri dari Kupang:
Cukup kenanglah daku, Nana
Yang jauh di pulau Aku t ak tahu kapan kembali Kalaupun pulang Ke mana harus kulabuhkan hati"
Ya, aku cukup dikenang saja
Langitmu masih terbentang, Nana
Terbanglah kamu Jauh dariku Nana menangis semalaman di kamar. Ini betul-betul halilintar, menyambar tanpa pilih bulu. Setelah kabar terakhir dari Eri yang menyakitkan itu, Nana cuma bisa mengadu pada senja di Selat Sunda.
"Kenapa Eri meninggalkan aku, Senja"" air mata Nana gemerlap. "Haruskah aku melupakan Eri, Senja"" begitu pengaduannya.
Senja tetap saja terjadi setiap hari tanpa Eri di samping Nana. Ketika senja bergulir pada tahun kedua dengan kehampaan, Nana merasakan sudah harus melupakan kenangannya bersama Eri.
tertutup awan. Langit menangis, ikut bersedih melihat ada gadis cahtik yang dirundung duka.
*** Nana menarik napas kuat-kuat ketika mengakhiri ceritanya tentang Eri. Dilontarkan napasnya ibarat membuang segala himpitan di dadanya. Tanpa terasa mataku menjadi hangat oleh air mata. Kisah hidup sahabatku ini betul-betul menyentuh. Ternyata "cinta" pernah melukai hatinya.
Nana kini tergolek memejamkan matanya. Tampak wajahnya berseri-seri. Aku yakin sekarang Nana merasa lega. Mungkin batu yang selama ini menghimpit dadanya sudah terangkat.
Aku lebarkan selimut. Aku tutupi tubuh perkasa yang kini tampak kembali menemukan kekuatannya. Wajah cantik alami itu tertidur pulas. Betapa damai. Kalau Eri diizinkan untuk melihat Nana bahagia, inilah saat yang paling tepat untuk melihatnya.
Aku betul-betul terharu mendengar ceritanya. Tak kusangka betapa rapihnya dia menyimpan luka lamanya. Dua tahun aku bersahabat dengannya dan tak secuil pun aku menaruh curiga, bahwa dia pernah punya 'sesuatu' yang mengharu biru.
Aku baru bisa tidur menjelang fajar menyingsing.
Ketika aku menggeliat bangun, karena merasakan hawa panas di dalam kamar, Nana sudah tidak ada di sampingku. Aku lihat jarum jam menunjukkan angka dua belas! Betapa lelap tidurku!
Aku melongok di jendela. Melihat ke pantai. Nana sedang duduk sendirian. Aku berteriak memanggilnya. Nana melambaikan tangan.
"Mandi dulu, sana!" Nana tertawa cerah.
Aku sangat gembira bisa melihat Nana tertawa lagi.
Sepanjang hari kami cuma jalan-jalan di pantai; membicarakan apa saja. Buatku ini penting untuk mengembalikan tenaga, karena lusa akan menjelajah wilayah Kanekes.
"Betul nggak akan berubah pikiran"" aku mengingatkan lagi.
"Sekarang aku sudah plong," wajahnya berseri-seri.
"Eri ikut ke Baduy""
"Seperti kata Yanto, selain dia senior PA, cuma dialah yang tahu rute lewat pintu belakang."
"Kamu tahu kenapa alasannya Eri pulang"" "Nanti aku tanyakan."


Senja Di Selat Sunda Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita akan menikmati senja lagi hari ini, Nana"" Nana mengangguk.
Tampaknya senja di Selat Sunda tak bisa dilepaskan oleh Nana. Aku pun pasti akan melakukan hal yang sama. Ini semata-mata bukan melulu kenangannya saja, tapi melihat senja tanpa halangan apa-apa sangatlah indah. Kita seperti dibawa pada kebesaran Tuhan, ketika bola merah kekuning-kuningan itu bergulir perlahan. Cuma beberapa saat saja keindahan itu berlangsung. Lalu semuanya berubah jadi kegelapan.
Ketika kami sedang asyik menunggu saat senja tiba, kami dikagetkan oleh suara langkah kaki. Kami tak bisa berkata-kata begitu tahu seorang lelaki gondrong bertampang bohemian berdiri dengan rasa bersalah.
"Aku nggak tahu kalian ada di sini," katanya pelan. Suaranya tertahan di tenggorokan. "Kalau kamu keberatan, aku akan pindah ke tempat lain."
Nana menggigit bibirnya. "Sebaiknya aku pergi," kataku tidak enak.
Tapi Nana menahanku. "Temani aku," bisiknya. "Ini terlalu cepat bagiku." "Lebih baik kamu di sini menemani Nana," katanya padaku. Aku mengangguk dengan segan.
"Aku besok mau ke Jakarta. Aku dapat kabar dari Uzi, bahwa ada pekerjaan di bar tempatnya bekerja."
Aku menyikut Nana. "Semoga perjalanan kalian di Baduy menyenangkan," dia berjalan. "Mau ke mana, Eri"" akhirnya suara Nana terdengar.
Eri berhenti seperti patung. Dia membalik, "Aku mau duduk di sana. Masih dilarangkah aku menikmati senja, Nana"" nadanya menyindir. Nana tersenyum getir.
Aku menengahi, "Duduklah bersama kami, Eri."
"Aku cuma mau menikmati senja beberapa saat saja. Ini ad
alah kenangan paling indah yang aku miliki. Aku tak ingin melewatkannya," suaranya berat dan bergetar.
"Eri," Nana mendekatinya.
Eri tampak gelisah. "Betul kamu nggak akan mengantar kami ke Baduy"" kini Nana sudah bisa menguasai emosinya.
Episode 20 "Kamu yang melarang aku, Nana."
"Sekarang tidak lagi."
Eri melihat ke langit timur.
"Kasihan dong sama Tina. Jauh-jauh dari Yogya."
Eri duduk di pasir. "Sebentar lagi senja, Nana," dia mengingatkan tanpa mengiyakan apakah mau mengantar kami ke Baduy. Lembayung di langit timur sangat membius.
"Kenapa kamu pulang, Eri" Pasti ada alasan untuk itu," aku dengar Nana mengusik.
"Aku kangen sama kamu," Eri seenaknya saja bicara. "Kan bisa lewat surat," Nana agak protes.
"Aku memang pengecut, Nana. Serba salah. Aku takut untuk mencintai kamu. Aku sengaja nggak berkirim surat agar kamu benci sama aku. Agar kamu meninggalkan aku. Kamu salah sudah menunggu aku, Nana. Apa yang bisa kamu harapkan dari aku, lelaki pengecut yang tak punya tujuan hidup""
Aku jadi semakin tidak enak ikut mendengarkan percakapannya. Aku berdiri dan betul-betul meninggalkan mereka. Biarlah mereka menumpahkan segala-galanya yang hilang selama tiga tahun.
Setelah senja berganti kegelapan, Nana masuk ke cottage dengan wajah yang sukar aku tebak. Duduk di tempat tidur dan bersender.
"Anibody home!" teriakku.
Nana tersenyum hambar. "Kenapa, Na"" aku memegang lengannya.
"Apakah salah jika aku menunggu Eri, Tina"" sorot matanya hampa.
"Menunggu seseorang yang kita cintai""
Nana mengangguk. Aku bilang, "Asal tidak sepihak saja."
"Tapi kamu denger tadi Eri bilang apa."
"Ya," aku mencoba memberi pengertian.
"Aku sebetulnya sudah melupakannya, Tina," Nana berjalan ke jendela. "Tapi tiba-tiba dia muncul mengoyak kenangan lama."
"Eri ngomong apa lagi""
"Selain ingin melihat adik tiri dan mamanya dirawat di rumah sakit, dia pulang memang sengaja untukku. Dia cuma ingin minta maaf dan menjelaskan bahwa semuanya demi kebaikanku.
Demi kebaikanku, Tina""
Aku mengangguk pelan, "Apa yang dikatakan Eri memang betul." Nana mendelik.
"Duniamu masih membentang luas. Eri nggak ingin mengikatmu, sementara kamu di sini menunggu dengan ketidakpastian."
"Kalau memang begitu, kenapa Eri nggak gamblang saja bilang""
"Karena Eri masih mencintaimu. Dia menyerahkan segalanya pada kamu untuk mengambil keputusan. Apa pun yang kamu putuskan, dia akan menerimanya."
"Oh, begitu" Setelah tiga tahun aku dalam penantian yang sia-sia, tanpa secuil pun kabar darinya, tiba-tiba dia datang menawarkan 'cinta' lagi padaku"
Begitu, Tina" Oh, tidak. Tidak, Tina!"
"Jangan bilang sama aku. Bilang sana sama Eri," aku tersenyum.
Nana betul-betul gelisah.
"Eri, mana"" aku melongok di jendela.
"Pulang." "Nganter kita ke Baduy""
"Dia nggak ngomong."
"Ya sudah, lewat rute normal aja."
Nana mengambil pakaian kotor dan memasukkan ke tas. "Kita check out sekarang, Tina!" katanya bergegas. Aku cuma bisa melongo.
*** Episode 21 Kabut di Selatan 1 Ada enam lelaki dan empat perempuan -termasuk aku- berdiri di pinggir jalan. Mereka sudah sepakat untuk melewati jalan lolongok, pintu belakang dari arah selatan tanpa Eri. Toh, nanti bisa tanya sama orang-orang, begitu pikir mereka. Keinginan mereka ini sudah lama terpendam: pergi ke Baduy menyusuri Pegunungan Kendeng. Selama ini mereka cuma melewati rute turis, masuk lewat pintu gerbang Ciboleger atau pintu samping Ciranji-Kroya.
Nana, Rini, dan Yayah menyetopi truk. Mereka mengumbar senyum pada para supir, yang siapa tahu mau mengangkut kami ke Malimping, jauh ke selatan. Kaum lelaki bersembunyi di warung. Dengan taktik seperti ini, biasanya suka ada supir truk yang rela mengangkut para petualang cewek. Kasih umpan cewek, yang nongol para begundal! itu pepatah mereka.
Tiba-tiba kami melihat seorang lelaki gondrong berlari-lari. Aku melihat reaksi Nana, yang sukar sekali ditebak. Aku harus mau mengangkat jempol, karena Nana bisa begitu cepat menguasai emosinya. Entahlah kalau ini terjadi padaku. Dan orang-orang berseru girang.
"Masih ada tempat buatku"" Eri tersenyum dan saling berjabat tangan. Dia tersenyum padaku dan Nana.
"Sorry, telat!" dia tertawa.
Aku membalas senyumnya, tapi Nana cuma mengangguk.
Yanto meninju bahunya. Kami termasuk beruntung juga ketika ada truk langsung mengangkut ke Malimping. Dari kota kecamatan ini kami terus ber-liften ke Cikotok, tambang emas di Banten Selatan. Menjelang senja kami tiba di Cikotok.
Tambang emas, yang mulai dibuka oleh perusahaan Belanda, NV Mynbouw Maatschapij Zuid Bantem, 1936, adalah sebuah desa bertampang kota. Rumah penduduk tumbuh di bukit-bukit hijau yang indah, seperti anak tangga yang disusun teratur oleh seniman Agung. Udaranya yang sejuk dan nyaman semakin mendukung panorama alami ini. Penduduknya kebanyakan pendatang.
Setelah minta izin pada penguasa setempat, kami membuka tenda di tanah lapang. Untuk meneruskan perjalanan sudah tidak mungkin. Esok pagi kami akan
melanjutkan lagi. Ada jalan sepanjang 10 km yang masih bisa dilalui kendaraan roda empat.
Keesokan paginya kami tetap beruntung lagi, karena ada kendaraan tambang yang mengangkut kami sampai kampung Ciusul, batas terakhir yang masih bisa dilalui mobil. Kalau naik angkutan umum, perorang kena seribu lima ratus perak.
Setelah itu kami berjalan naik-turun bukit.
Ketika meniti jembatan gantung yang sudah tua dan miring, aku merasa deg-degan juga begitu melihat sungai di bawahnya yang kecoklatan. Apalagi ketika beberapa orang bergurau, dengan menggoyang-goyangkan jembatan. Terutama Eri. Tampaknya dia berusaha ingin melihat ada orang yang terjatuh ke sungai.
Kalau aku perhatikan sepanjang perjalanan, Eri memang termasuk jail. Doyan iseng. Biang keributan. Mulutnya tak mau diam dan dia bisa bergerak ke depan dan ke belakang rombongan tanpa kenal lelah. Perjalanan memang jadi tidak membosankan. Tapi dia tampaknya tidak berani lagi mengisengi Nana, karena jarak sudah terbentang memisahkan mereka.
"Kalau nggak kuat, biar aku gendong," Eri sudah berjalan di sampingku dengan cengiran nakalnya.
Aku tersenyum. "Bawain ranselku, mau"" aku berharap.
"Hey, siapa yang mau jadi porter cewek Yogya!" teriaknya kurang ajar. "Lumayan lho, go ceng perjam!" tawanya menggema. Orang-orang tertawa.
Tiba-tiba Eri dengan sangat tidak sopan membuang ingus di depanku. Menyadari reaksiku yang jijik, dengan tenang dia bilang, "Sekaranglah saatnya kita melakukan pelepasan. Membuang segala tata krama, basa-basi yang biasa kita lakukan di kota.
"Mari kita back to nature! Kembali jadi orang tak beradab!" teriaknya ngawur.
Nana menoleh ke arahku. Lewat isyarat matanya, dia seperti menanyakan apakah aku baik-baik saja. Aku mengangguk, walaupun kadang putus asa melihat tanjakan yang harus aku daki.
Aku betul-tul tercecer. Nana dengan setia menemaniku istirahat. Aku jadi tidak enak pada yang lainnya, karena sudah menghambat perjalanan. Ketika aku betul-betul tertinggal, Eri menyuruh Yanto untuk berjalan di depan. Si gondrong yang
betul-betul jadi tidak tahu tata krama ini mengambil tempat di belakang. Aku tahu dia berjaga-jaga kalau aku tertinggal.
Nana yang merasa serba salah aku beri isyarat untuk terus saja berjalan. Dia beberapa meter di depanku. Yang lainnya sudah jauh di depan. Nana pun lama-lama sudah tak kelihatan lagi.
Aku duduk beristirahat di bawah pohon. Minum sebanyak-banyaknya.
"Jangan terburu-buru minum," Eri sudah tiba. "Pelan-pelan saja. Nanti dada kamu sakit," katanya lagi sambil mengkuliahi, bahwa suhu badan kalau sedang panas jangan langsung kena air. Berilah tempo untuk menurunkan suhu badan.
Akhimya aku sependapat setelah aku batuk-batuk.
Akulah yang paling terakhir datang di tempat beristirahat, di pinggir sungai berbatu-batu. Matahari hampir menggelincir. Eri beberapa belas meter di belakangku. Aku tahu kalau dia sengaja menjaga jarak, walaupun tetap menjaga keselamatanku.
Nana tersenyum menyambutku. "Eri mengganggu kamu"" dia melihat Eri yang baru tiba dan langsung membantu mendirikan tenda.
Aku menggeleng. "Aku berani bayar berapa pun, Nana, kalau ada motor ojek!" aku mengeluh.
Nana tertawa lucu. Kami yang perempuan, kebagian mengurusi dapur. Aku agak kikuk juga ketika ikut memasak. Untung mereka membiarkan aku istirahat. Aku tertidur pulas
di hammock, yang diikat di antara dua batang pohon rindang.
Aku dibangunkan setelah makan malam tersedia. Sebetulnya aku agak risih juga melihat nasi dan mie rebus yang diciduk langsung dari panci dan kadang saling berebut, piring-piring yang tampak kotor, serta cara makan mereka yang buatku jorok.
Episode 22 Untung aku sudah mempersiapkan makan malam yang lain. Roti, keju, dan coklat. Tapi sialnya, selera makanku langsung hilang begitu Eri duduk di sebelahku. Dia makan tanpa menggunakan sendok. Malah dengan sengaja piring itu diangkat dan didekatkan ke bibir. Dia langsung menyeruputnya!
Perutku memberontak. "Enak lho makan kayak gini," dia menjilati piringnya sampai licin. "Ini bisa jadi obat penawar stress!" tawanya meledak. "Selera makanmu hilang" Boleh minta rotinya" Buat cuci mulut!"
Aku sodorkan bungkusan roti. Eri pun berteriak pada yang lain. Dalam sekejap rotiku pun amblas. Untuk mengganjal perut, aku cuma makan coklat dan makanan kecil yang sudah aku persiapkan. Tapi perbekalan darurat ini pun cepat menipis, karena aku harus membagi-bagikan pada rombongan cewek.
"Kayaknya acara makan berikutnya, kamu harus mau bergabung, ya"" Nana tertawa senang.
Aku mengangguk lemah. Kami berkumpul mengelilingi api unggun. Saling tukar cerita. Banyak pertanyaan terlontar padaku. Terutama soal kehidupanku, yang menurut mereka sangat berbenturan dengan kehidupan mereka. Aku memang paling "berbeda" di antara mereka. Tidak segesit dan sekuat mereka. Aku cenderung "dilayani" dan "diistimewakan" oleh mereka. Lalu beberapa lelaki menawarkan membawakan ranselku.
Ini ide bagus. Ranselku dibongkar. Barang-barangku dibagi-bagi kepada mereka. Kecuali barang-barang "perusahaanku" saja, yang tetap aku bawa. Kini ranselku terasa ringan.
Tapi ketika kami melanjutkan perjalanan lagi keesokan harinya, ransel itu tetap saja membuat punggungku sakit. Aku sadar bahwa setiap saat kondisi badanku semakin lelah, sehingga barang yang semestinya ringan tetap terasa berat. Mungkin yang paling bagus, aku tidak usah membawa apa-apa.
Menjelang tengah hari, langit berubah gelap. Angin menderu-deru. Aku cuma melihat punggung seseorang di depanku. Lalu hilang di tikungan. Aku menunggu Eri muncul dari belakang. Aku merasa takut sekali ketika gerimis mulai turun.
"Kenapa"" Eri menadahkan tangannya. "Bakalan gede nih hujannya!" katanya. "Siniin ranselmu!"
Tanpa hanyak omong aku serahkan ranselku. Punggungku terasa ringan sekali. Aku menarik napas lega. Aku berjalan cepat-cepat. Eri tetap di belakangku. Ranselku disandang di dadanya.
Gerimis semakin rapat. Aku hampir putus asa ketika sadar, bahwa kampung itu ada di atas bukit. Aku harus melalui tanjakan berbatu-batu yang panjang. Aku berlari semampuku.
Hujan mulai deras. Tubuhku basah kuyup. Eri membantuku menaiki tanah menyerupai anak tangga. Aku betul-betul putus asa dan menyesal sudah ikut ke sini. Aku betul-betul ambruk ketika sampai di perkampungan.
"Kamu baik-baik saja, Tina"" Nana menyambutku. Dibawanya aku ke rumah kepala kampung, di mana orang-orang sudah bermalas-malasan di bale-bale-nya.
"Aduh, Nana," tanpa merasa malu aku merebahkan badan di bale-bale. Beberapa orang memberi tempat yang luas padaku. "Sebaiknya bajumu diganti dulu," Nana membangunkan aku.
"Badanku kayaknya remuk," aku bangun dengan malas.
Setelah berganti baju dengan yang kering, aku langsung meringkuk di sleeping bag di pojok. Hujan tak ada tanda-tanda mau berhenti, malah semakin besar saja. Perjalanan terpaksa dilanjutkan esok hari.
Kami bermalam di kampung ini. Aku perhatikan suasana kampung ini sangat terisolir. Mustahil bisa dimasuki mobil sampai tahun 2000. Tapi aku merasa trenyuh sekali melihat penerimaan tuan rumah, yang sangat ramah dan manusiawi. Segala yang ada di dapur, dihidangkan pada kami. Buat orang kampung, kedatangan tamu dari kota memang sebuah kebanggaan.
Sebelum kami pergi meringkuk, Bapak Kepala Kampung memberi nasihat, tentang pantangan di leuweung kolot, hutan Baduy yang penuh misteri. Untuk sampai Baduy Dalam, kita memang harus menembus leuweung kolot. Yang membuatku ngeri adalah ketika bapak itu mengabarkan
tentang tiga orang perampok dari Rangkasbitung, yang melarikan diri ke wilayah Kanekes.
Aku berbisik pada Nana, "Jangan-jangan kita ketemu mereka."
Nana cuma tersenyum menghiburku.
Keesokan harinya langit cerah. Kami melanjutkan perjalanan lagi; naik turun bukit. Menjelang senja kami melintasi sebuah sungai kecil berbatu-batu. Lagi aku
selalu tiba paling akhir. Eri tetap setia di belakangku. Seharian tadi dia tidak menggodaku.
Sungai berbatu-batu ini perbatasan alam wilayah Kanekes, yang memisahkan dunia "luar" dengan alam Baduy. Setelah itu leuweung kolot menjulang di depan kami. Dan kampung Baduy ada di sana.
Aku duduk dan membuka sepatu. Merendam kedua kakiku. Aku basuh wajahku dengan air sungai yang jernih. Terasa segar, walaupun kulit wajahku terasa perih terbakar.
Nana menghampiriku. "Hebat," katanya tertawa kecil. "Ternyata kamu masih kuat jalan. Aku kira udah digendong Eri."
Aku semprot Nana dengan air sungai. Nana membalas.
"Kita bermalam di sini aja!" Eri muncul di balik semak-semak. "Daripada kemaleman di leuweung kolot!"
Yanto mengiyakan sambil menyuruh beberapa orang untuk mencari tanah agak lapang.
Aris, Toni, Ato, dan Maman membongkar ranselnya. Mereka mendirikan tenda. Peralatan berkemah berhamburan. Sebuah flysheet, lembaran gantung, mereka rentang dan diikat di dahan-dahan. Ini bisa jadi atap tenda jika hujan turun nanti.
"Mestinya anak Yogya ini masak buat kita-kita!" Eri berteriak pada yang lain.
Nana melirikku sambil mengulum senyum. Aku jadi serba salah. Nana tahu kalau aku paling tidak bisa masak. Di rumah segalanya dikerjakan oleh pembantu. Paling-paling aku cuma bisa merebus mie. Sialnya aku kebagian memasak nasi. Aku meminta pertolongan Nana. Ini seperti kiamat buatku.
"Aku ajarin deh," Nana menarik aku ke sungai.
"Eri cuma mau mempermainkan aku saja," bisikku.
Episode 23 Nana lagi-lagi tertawa. "Sana, kamu kumpul sama mereka saja," suruhku. "Betul"" Nana menyelidik.
Aku mengangguk. Biarlah aku kerjakan sendiri saja. Aku ingat-ingat kursus kilat yang diajarkan Nana tadi. Aku cuci beras di sungai. Rasanya dadaku tertekan sekali, karena setiap gerakanku seperti diperhatikan orang-orang.
Aku raba-raba benda keras persegi empat berwarna putih ini. Para petualang menyebutnya parafin. Aku nyalakan dengan korek api, malah tanganku yang tersundut. Aku sembunyikan rasa perihku dengan menjilati jariku yang tersundut api tadi. Beberapa kali aku coba menyalakan api, tapi selalu gagal. Benda "ajaib" ini masih barang aneh buatku. Yayah yang kebagian merebus mie, membantuku menyalakan api.
"Hati-hati, nasinya jangan sampai hangus," Eri menyindir aku.
Aku pura-pura tidak mendengar ocehannya.
Api di tungku sudah menyala. Aku letakkan panci berisi beras di atasnya. Api pun menjilat-jilat. Sesekali aku buka tutup panci, aku aduk-aduk. Akhirnya nasi pun matang juga, walaupun di bawahnya terbentuk kerak lumayan tebal.
Eri mengacung-acungkan kerak, nasi yang gosong, pada orang-orang sambil tertawa-tawa. "Ini dia nasi made in Yogya! Lumayanlah!"
Kami mengitari api unggun.
Aku lihat Nana ingin menghentikan ulah Eri. Tapi Eri tidak peduli. Yang lain ngobrol seperlunya saja. Yanto malah asyik main catur dengan Aris. "Kamu tuh noraknya nggak ilang-ilang!" tegur Nana.
Eri cuma tertawa. Dia menghampiri aku. "Kamu marah, Tina"" si brengsek ini duduk di sebelahku.
Aku menatapnya. "Kalau sedang begini, aku selalu bergembira, Nana. Kadang kala aku suka melakukan hal-hal yang di luar dugaan. Entahlah. Yang penting aku bisa melupakan keruwetan di rumah."
"Itukah sebabnya kamu suka traveling"" tanyaku.
Eri mengangguk. "Tapi itu jangan dijadikan alasan untuk bikin kesal orang, dong!" protesku.
"Aku cuma nggak betah dengan suasana sepi. Aku pingin semua orang bergembira dalam perjalanan seperti ini."
Yanto menghampiri kami. "Siapa yang duluan jaga, Ri"" katanya melihat ke sekeliling.
"Aku sama siAris, deh!" Eri berdiri. "Sebaiknya kamu tidur aja. Kumpulin tenaga buat besok,"
Eri tersenyum padaku. Aku merasa terhibur melihat senyumnya yang mempesona. Aku lihat arlojiku. Sudah hampir jam sepuluh! Aku masuk ke tenda lebih awal.
"Na nti tiga jam lagi di aplus, ya!" aturnya pada Yanto. "Setelah Ato sama Maman, kamu giliran yang terakhir sama Toni!" Eri masih memberi petunjuk pada Yanto.
Malam merembet dan gerimis mulai turun.
Di antara tidurku yang setengah terjaga, aku dengar suara kasak-kusuk. Ketika aku buka mata, betapa gelapnya suasana sekeliling. Aku hampir saja berteriak, karena dadaku ini seperti terhimpit. Aku belum pemah tidur dalam kegelapan seperti ini. Tapi mulutku langsung terkunci, begitu ingat aku sedang berada di mana. Aku meraba-raba arlojiku. Mencoba melihatnya di keremangan cahaya. Aku pijit lampu penerang arloji. Jam satu malam! Aku lihat Nana sedang dikerubuti kawan-kawannya. Aku mencoba memasang kuping, mencuri percakapan mereka.
"Tadi Eri ngeronda ke batas hutan," bisik Nana seperti takut kedengaran oleh aku. "Dia lihat ada api di sana."
"Api unggun"" Rini memegangi lengan Nana.
Nana mengangguk. "Perampok itu"" Yayah agak cemas.
"Belum pasti," hibur Nana. "Eri, Yanto, sama Aris sedang menyelidiki. Siapa tahu mereka rombongan seperti kita." "Kalau bukan"" Mira gelisah. "Jangan berisik," Nana melihat kepadaku. Aku pura-pura tertidur lelap.
"Kita balik lagi ke kampung aja, deh," usul Yayah. "Tengah malam begini"" Nana mengingatkan.
"Daripada ketemu perampok!" Rini ketakutan. Tiba-tiba Eri dan Aris muncul. "Yang lain mana"" sura Nana tegang. "Jaga-jaga," ini suara Aris.
"Tina tidur"" Eri melihat ke arahku. "Bagus. Jangan sampai dia tahu, ya." "Gimana" Betul mereka perampok itu"" Rini tak mau diam. "Ada tiga orang lelaki sedang berkemah di batas hutan," keterangan Eri ini membangunkan aku.
"Apa" Perampok itu ada di sini"" pekikku. Nana memelukku, "Tenang, Tina." "Tenang bagaimana, Nana"" aku meronta.
"Bakal bahaya kalau kita semalaman ketakutan di sini," aku tetap memilih untuk kembali ke kampung.
"Denger, denger dulu," potong Eri. "Mereka nggak bakalan berani keluar dari persembunyian, karena tempat ini sudah dikurung. Apalagi sampai dateng ke tempat
kita." "Apa rencanamu, Eri"" Nana tetap menenangkan aku.
"Kalian tidur aja. Biar kami jaga-jaga di luar. Besok pagi baru kita putuskan, apakah mau terus ke Baduy atau balik lagi ke kampung," Eri keluar dari tenda.
Nana berdiri dan menyusul keluar tenda. Tinggal aku, Rihi,Yayah, dan Mira yang saling pandang dan merasakan ketakutan. Tidak lama Nana muncul lagi. Wajahnya tetap tenang, atau katakanlah ditenang-tenangkan agar kami ikut tenang juga. "Bagaimana, Nana"" sambutku.
"Kita tidur saja. Perjalanan kita masih panjang," Nana mengambil tempat.
"Apanya yang tenang"" Rini gelisah lagi.
Nana tidak menjawab. Dia menyelipkan tubuhnya di antara aku dan Mira. Kami berdesak-desakan. Ketakutan akhirnya terkalahkan juga oleh rasa kantuk yang menyengat.
Episode 24 Kegelapan aku rasakan membelenggu seperti jubah-jubah penunggu hutan. Kegelapan yang menyeringai mempertontonkan gigi-gigi taringnya. Waktu menggelinding bagai derit pintu tua, seperti ikut menyeramkan suasana malam.
Aku menggeliat ketika seseorang menepuk-nepuk tubuhku. Burung-burung aku dengar bersahutan dengan riang. Aku keluar dari tenda. Warna kemerahan pun mengambang di langit timur.
Aku lihat Nana, Yayah, dan Rini sedang merebus air. Menyiapkan teh atau kopi panas, dan sarapan mie rebus. Selalu saja aku bangun paling akhir. Rasanya malu juga. Sebagian lelaki membereskan tenda. Aku pergi ke sungai, mencuci muka.
"Kita kembali ke kampung"" aku sudah membantu membukai bungkus mie.
"Ngapain balik lagi!" sambar Eri. "Nanti sore juga kita sampai di Baduy!"
"Tapi perampok-perampok itu"" aku menatapnya kesal.
"Sudah aku bilang, mereka nggak bakalan berani menampakkan wajahnya. Apalagi berani muncul di jalan setapak. Mereka itu sembunyi jauh-jauh di dalam hutan," Eri bersikeras. Tiba-tiba Yanto menyentuhkan telunjuknya kebibir,menyuruh untuk diam. Dia menyuruh kami untuk bersembunyi. Aku berlari mengikuti Nana ke semak-semak. Eri, Toni dan Aris bersembunyi di batang pobon di mulut jalan setapak. Yang lainnya cuma menanti saja dengan perasaan was-was di depan tenda.
Ah, ternyata cuma serombongan Baduy Panamping, Baduy Luar yang hidup di
sekitar Baduy Dalam; Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo. Ada tiga gadis muda belia memakai pemerah pada bibirnya. Mereka membawa buntelan. Dua bocah berambut panjang, yang memanggul pisang. Dan dua lelaki dewasa, yang menggotong weulit, atap dari daun kelapa. Mereka berpakaian serba bitam, yang menandakan identitas Baduy Luar. Kalau pakaian Baduy Dalam selalu ada unsur warna putihnya. Atau bisa juga serba putih.
Penduduk Baduy Luar ini membawa hasil bumi untuk ditukar pada kampung-kampung terdekat dengan kebutuhan sehari-hari, seperti garam, terasi, atau ikan asin. Begitulah kebiasaan mereka, kalau tidak berdagang ya paling-paling bertandang untuk melestarikan kehidupan bertetangga dengan masyarakat di luar wilayah mereka..
Lalu ada rombongan kedua. Kali ini lebih banyak. Selain yang membawa pisang, weulit, ada seseorang yang memanggul kayu bakar. Orang itu memakai topi laken dan pakaiannya kotor sekali.
Eri keluar dari persembunyiannya. Dia berlari mendekati si kayu bakar itu. Mencegatnya. Aku melirik Nana, yang tampak tegang. Aku yakin bakal ada sesuatu yang terjadi. Apalagi Yanto dan Aris ikut menghadang.
"Mau ke mana, Kang"" Eri menelitinya.
Si kayu bakar tidak menggubris. Dia mempercepat langkahnya, melewati rombongan Baduy panamping.
"Tewak tah, tewak! (Tangkap tuh, tangkap!)" teriak Eri mengejar. "Rampok, rampok!" Yanto menimpali.
Si kayu bakar merasa posisinya terjepit. Dia membuang pikulan kayu bakarnya dan ngibrit. Tapi Eri lebih cepat dan sudah menubruknya. Mereka bergulingan di tanah. Yanto membantunya. Orang-orang Kanekes berhenti dan memperhatikan pergumulan itu. Eri mencekal perampok itu. Yanto menggeledah tas kecilnya. Ada beberapa perhiasan dan segepok uang.
"Mana yang dua orang lagi"!" bentak Eri.
Perampok ini menatapnya dengan beringas.
Eri menyuruh Aris mengikat perampok ini kuat-kuat. Lalu menyerahkannya pada rombongan Baduy Luar. Mereka menggiringnya ke kampung terdekat. Menyerahkannya ke kepala kampung.
"Kamu nekat, Eri!" protesku masih was-was.
Eri malah tertawa. "Yuk, kita berangkat!" katanya pada yag lain.
"Heh, bagaimana kalau yang dua orang lagi melihat tadi"" aku menolak untuk pergi. "Bisa berabe nanti!"
"Mereka tinggal dua orang! Kita bersepuluh! Kalian takut"" tantang Eri. "Percaya deh, mereka nggak bakalan berani menampakkan batang hidungnya!"
"Asal jangan kemalaman saja," Yanto buka suara.
"Nggak bakalan. Sore juga udah nyampe," Eri meyakinkan. "Tanggung dong kalau balik lagi. Ini justru keasyikannya!"
Aku meminta pendapat Nana, yang tampak mulai terpengaruh oleh omongan Eri. Aku lihat yang lainnya sudah membereskan ransel.
"Cuma resikonya, kita nggak bisa mampir lama-lama di Cikeusik dan Cikartawana," Eri menyebut dua kampung Baduy Dalam. "Sasaran kita langsung ke Cibeo aja!" tegas Eri.
Aku agak kecewa juga. Berarti aku tidak akan melihat kehidupan di dua kampung Baduy Dalam yang masih murni memegang aturan adat. Bahkan agak tertutup menerima tamu dari luar wilayah mereka. Menurut Nana, kampung Baduy Dalam terakhir, Cibeo, sudah tercampur dan agak terbuka pada kehidupan dunia "luar". Kampung inilah yang tampaknya dipersiapkan untuk "terbuka" menyambut wisatawan nusantara, yang ingin tahu tentang kehidupan mereka.
*** Episode 25 Kabut di Selatan 2 Petualangan besar buatku pun dimulai. Satu per satu kami memasuki leuweung kolot, hutan Baduy di pintu selatan. Aku tahu bahwa masuk ke Kanekes lewat jalan lolongok sangatlah tabu, karena dikhawatirkan akan "menginjak" tanah larangan, Arca Domas, yaitu titik awal yang dipercaya orang Kanekes sebagai tempat bumi ini mulai mengeras. Tempatnya di Bukit Pamuntuan, di hulu Ciujung pada ujung barat Pegunungan Kendeng. Namun lokasinya sangat dirahasiakan. Cuma puun Cikeusik dan beberapa orang kepercayaannya saja yang tahu.
"Bagaimana kalau kita 'nginjek' tanah larangan"" bisikku khawatir pada Nana.
"Tanah larangan itu ada di dalam hutan," Nana meyakinkan. Tambahnya, "Sepanjang kita nggak keluar dari jalur jalan setapak, aman deh!"
Tapi beberapa kali kami berpapasan dengan orang Kanekes, yang panamping atau tangtu. Wajah mereka seperti berkesan tidak
suka. Mereka cuma melintas apa adanya saja. Moga-moga ini cuma perasaanku saja.
"Ati-ati nya, aya rampok! (Hati-hati, ada perampok!)" aku mendengar seseorang dari mereka memperingatkan.
Eri menerangkan, bahwa seorang dari perampok itu sudah tertangkap basahdi perhatasan leuweung kolot. Terus terang saja, selain lelah, hatiku tetap saja didera ketakutan yang tidak enak. Selain akan serangan dari perampok yang tiba-tiba, juga "kualat" karena melanggar tradisi setempat terus membayangiku.
Sepanjang perjalanan Eri mencoha mengusir rasa takutku dengan joke-joke-nya. Aku tertawa juga. Misalnya Eri melucu tentang seorang Baduy yang salah makan. Maksud hati mengunyah sukro, apa daya kamper yang dimakan! Anekdot yang lainnya lagi, ketika seorang Baduy keheranan melihat tamu dari kota memakan sabun (baca: keju).
Hatiku agak terhibur juga. Apalagi ketika orang-orang ikut tertawa ketika melewatiku. Kedengarannya mereka bergembira. Tapi ketika melihat Nana yang tersenyum simpul, aku jadi curiga. Pasti ada sesuatu yang tidak beres padaku.
Nana membalik. Berjalan ke arahku. Dia mengambil sesuatu yang menggantung di ranselku. Huh, kerak itu! Wajahku betul-betul panas dan merah. Bagi
seorang wanita, ketahuan tidak bisa masak sangat memalukan! Apalagi kepergok nasi yang ditanaknya hangus! Aku tahu siapa biang keroknya! Aku pelototi Eri. Agak aneh anak ini. Ketika orang-orang was-was dengan para perampok, dia masih sempat untuk berbuat iseng. Tapi si brengsek itu cuma cengar-cengir. Aku ambil kerak itu. Aku lempar sekeras-kerasnya pada dia.
Eri menghindar sambil tertawa ngakak.
Nana menyuruhku untuk melanjutkan perjalanan lagi. Dia berada di belakangku, bermaksud untuk melindungiku dari gangguan Eri.
Aku cuma menggigit bibir dan tersenyum saja ketika menyadari sedang berada di "dunia kecil" yang masih mempunyai aturan hidup sendiri. Desa Kanekes ini luasnya sekitar 5000 Ha. Terdiri dari tanah perkampungan dan pertanian (2000 Ha), serta sisanya tanah tutupan (hutan lindung). Ada 46 kampung Baduy, termasuk tiga kampung tangtu, Baduy Dalam.
Leuweung kolot sudah kami tinggalkan. Pohon-pohonnya tidak terlalu besar, tapi cukup rapat. Kami mesti hati-hati ketika menyusuri jalan setapak yang ditutupi akar-akaran. Atau juga menyusuri aliran air yang berbatu-batu. Serba licin dan berlumut.
Beberapa kampung panamping, Baduy Luar, kami lewati. Di kampung-kampung Baduy, pada siang hari penduduknya pergi menggarap ladang atau mencari kayu bakar. Paling-paling wanita tua dan bocah-bocah saja yang tinggal di rumah. Tapi untuk menjaga keselamatan kampung diserahkan pada petugas ronda.
Orang panamping sudah termasuk yang mau menerima kebudayaan modern. Hal-hal yang ditabukan seperti radio, pakaian yang lebih dari dua warna (hitam dan putih), peralatan dapur dari gelas dan logam, memakan binatang berkaki empat, sudah merasuki keseharian mereka. Tapi apa pun perubahan yang terjadi di sini, kesederhanaan masih terpancar jelas di wajah-wajah mereka. Kesederhanaan dalam pola pikir dan hidup.
Walaupun mereka sudah meninggalkan tradisi leluhur, yang masih dipertahankan oleh saudara-saudara mereka di tiga tangtu; Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo, mereka tetap tidak rakus. Mereka cuma memenuhi sekadar kebutuhan hidup saja. Kesederhanaan itu bukanlah dikarenakan oleh ketidakberdayaan ekonomi, melainkan ajaran hidup yang dianut. Bagi mereka kesederhanaan merupakan kewajiban yang harus diwujudkan dalam kegiatan sehari-hari.
Berbeda memang dengan orang tangtu. Mereka berupaya memenuhi kebutuhan hidup dan ekonominya di bidang pertanian secara tradisional. Mereka bertani dengan sistim slash and burning, berpindah-pindah dalam siklus sekitar 4 -6 tahun, karena secara tradisi perputaran kembali ke ladang semula harus terjadi dalam jangka waktu yang ganjil. Jika mereka berpindah ke tempat yang lain, peremajaan hutan sudah dilakukan. Menggarap lahannya pun tanpa cangkul, tapi menggunakan arit, karena buat mereka bumi tidak boleh "dilukai".
Persis tengah hari kami sampai di Cikeusik. Yang paling menarik, sebelum memasuki tangtu, di setiap utara kampung selalu ada leuit. Pada t
iang-tiangnya dibuat lempengan papan seperti piring. Gunanya untuk mencegah tikus nakal naik ke lumbung.
Aku terperangah, begitu memasuki kampung tangtu pertama ini. Rumah-rumah berdinding anyaman bambu ini masih serba baru dan ada sisa-sisa bekas kebakaran. "Agustus 1993 lalu, kampung ini kebakaran," Yanto menerangkan.
"Semua rumah musnah dilumat api!" sambung Eri.
"Kecuali rumah puun," Nana menunjuk ke titik selatan dan agak terpencil.
"Rumah puun memang kebal!" seseorang berdecak kagum.
"Puun 'kan orang sakti!" tambah yang lain lagi.
Aku mencoba berpikir rasional. Rumah puun letaknya di selatan, kondisi tanahnya lebih tinggi, dan cukup jauh dengan rumah penduduk. Maka wajar kalau tidak terjilat api. Kalau memang ada faktor-faktor di luar logika, entahlah itu. Tapi aku harus percaya pada kenyataan sejarah yang ada, bahwa orang-orang natural; yang menganggap "alam sebagai bagian hidup", selalu punya kekuatan gaib.
Nana menyambung bahwa mereka punya filosofi hidup, "Bumi haruslah dipelihara. Jangan disakiti." Itulah sebabnya rumah-rumah mereka tidak menggunakan paku. Antara tiang-tiangnya cuma diikat dengan akar-akar pohon dan atapnya bukan dari genteng, yang bahan bakunya diambil dari bumi, tapi dari daun kelapa. Serta dindingnya dari bilik, anyaman bambu. Air sungai pun tidak boleh dicemari oleh limbah kimia. Mandi memakai sabun, atau mencuci dengan deterjen dilarang keras!
Episode 26 "Karena tidak boleh 'menyakiti' bumilah, semua Baduy Dalam memasak di dalam rumah panggung mereka. Tanpa alas yang representatif. Maka tidak heran kalau ada perkampungan Baduy Dalam sering kebakaran!" Nana menjelaskan lagi tradisi turun-temurun itu.
"Ya, pantesan!" aku menggelengkan kepala.
"Kenapa tradisi ini nggak ditinggalin aja, sih""
"Menurut mereka, kebakaran sudah hukum alam. Nggak bisa ditawar-tawar lagi," Eri mencoba memuaskan rasa ingin tahuku. Tambahnya, orang tangtu tidak pernah menyalahkan tradisi. Tapi semata-mata kecerobohan mereka saja. "Kalau tradisi yang disalahkan, kata mereka, Baduy Dalam nggak bakalan pernah ada!" Eri tertawa.
Benakku langsung merekam pola kampung tangtu ini. Jika diibaratkan sebuah kotak, pusatnya adalah alun-alun. Di titik selatan pada tanah yang agak tinggi, itulah rumah puun. Ini disengaja, agar penguasa adat bisa mengawasi wilayahnya. Di sisi timur-barat alun-alun, rumah penduduk berderet, mengikuti kondisi tanah yang berbukit. Di antara rumah dengan rumah ada kamalir, saluran kecil tempat mengalirkan air hujan dari atap rumah. Mereka tidak mengenal pagar, karena itu artinya mengaku tanah sebagai milik pribadi. Untuk sekadar batas wilayah, mereka cuma mengenal kayu wayang, berupa sebatang pohon atau batu.
"Perbedaannya dengan kampung panamping cuma dalam tanahnya saja," Eri menerangkan padaku. Dia menambahkan, kalau di tangtu, mereka tidak boleh merusak tekstur tanah. Jadi konstruksi bangunanlah yang menyesuaikan dengan kondisi tanah. Kebalikannya di panamping, mereka sesuka hati membangun rumah. Jika tanahnya tinggi, mereka akan meratakannya. Kalau terlalu rendah, tentu akan ditinggikan.
Ketika melihat aku berjalan menuju rumah puun, Yanto yang berada di dekatku, menyetop. Menurutnya, orang "luar" seperti kami dilarang mendekati rumah puun dalam batas tertentu.Aku kini yakin kenapa kita tidak boleh masuk ke Kanekes lewat jalan lolongok (pintu selatan), karena selain dikhawatirkan "menginjak" tanah yang disucikan, juga "halaman puun" ini.
Kami duduk di bale kapuunan, di titik utara, tempat pertemuan resmi atau untuk menerima tamu. Di sebelah kanan bale pertemuan, ada saung lesung, tempat penduduk menumbuk padi. Setiap menjelang sore akan kita lihat wanita-wanita Baduy ngobrol sambil menumbuk padi di sini.
Dua pria tangtu, yang meronda, menghampiri kami. Memakai aros, sarung dari benang kasar berwarna putih, yang dililitkan menyentuh batas lutut. Lebih menyerupai rok wanita. Bajunya warna putih yang sudah kecoklat-coklatan. Tanpa kancing dan kutung-seperti kaos. Juga telekung, ikat kepala berwama putih. Kalau telekung itu dibuka, jangan kaget melihat rambut mereka yang panjang seperti penyanyi r
ock! Eri mengajak mereka hercakap-cakap dalam bahasa Sunda. Orang Baduy ini tidak banyak bertanya dan kesannya seperti menunggu saja. Jika ada pertanyaan, mereka menjawab dengan singkat saja.
"Kita disarankan untuk melanjutkan perjalanan ke Cibeo," kata Eri.
"Kenapa"" "Soal perampok itu."


Senja Di Selat Sunda Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menarik napas. Sebetulnya aku ingin sekali bermalam di sini. Selain untuk menyegarkan badan, juga ingin melihat isi rumah Baduy Dalam. Mereka membaca keinginanku itu, tapi tidak bisa berhuat apa-apa.
Satu tangtu lagi, Cikartawana, kami lewati. Sudah sore. Dari tangtu kedua ini cuma memakan waktu sekitar sepuluh menit menuju tangtu terakhir, Ciheo. Lagi-lagi kami disarankan untuk meneruskan perjalanan, karena keadaan sedang darurat. Orang Kanekes kalau berbicara sangatlah polos dan tidak ada basa-basi. Setiap omongannya mengandung kebenaran dan tidak bisa ditentang. "Rencana nggak selamanya mulus, ya!" Eri tertawa kecut padaku.
Aku minta break. Kepada mereka aku bilang bahwa punggungku sudah tidak kuat lagi membawa ransel. Eri dan Yanto langsung membongkar ranselnya. Barang-barang mereka disebar pada ransel yang lain. Lalu ranselku dijejalkan ke ransel Eri. Aku berharap nanti bisa melanjutkan perjalanan lagi dengan lenggang kangkung.
"Aku kepengen ngerasain tidur di rumah Baduy," kataku kecewa. "percuma aku jauh-jauh ke sini! Cuma capek doang!" keluhku lagi.
"Moga-moga kita bisa tidur di panamping," Nana memberiku semangat.
"Apa kita nggak bakalan kemalaman ""
"Kita lewat jalan potong!" Eri menegaskan.
"Kamu pernah lewat sana 'kan, Ri""
Eri mengangguk cepat. "Yuk!" dia begegas.
Setelah menyeberangi sungai dan menaiki bukit kecil, Eri membelok memasuki hutan. Kami menyusuri jalan setapak yang tidak pernah dilalui orang, kecuali orang Kanekes yang mencari kayu bakar. Jalan setapaknya tertutup daun-daun kering yang basah dan akar-akar pohon.
Kami ternyata berjalan di atas Gunung Paniga yang melingkar. Lagi-lagi aku merasa was-was, karena di wilayah tangtu Cibeo ini ada hutan larangan yang lain, Sasaka Domas, yang menjadi tanggung jawab puun Cibeo. Jangan-jangan kami "menginjak"nya.
"Setelah bukit itu pasti ada pancuran alam!" Eri berteriak.
Aku memandang Nana. Ada sebuah pohon besar tumbang. Batangnya melintang menghalangi jalan. Kami memanjat ketika menyeberangi pohon itu. Yanto membantuku naik.
Eri tampak berdiri di batang pohon itu. Dia agak pendiam dan banyak berpikir sekarang. Mungkin sedang mengingat-ingat ke arah mana yang betul, karena banyak cabang yang membingungkan.
Eri melompat dan berjalan lagi. Belum begitu jauh ada pohon lain yang tumbang. Lebih besar dari yang pertama. Pohon yang ini tampaknya belum begitu lama roboh. Dahan-dahannya belum dipotong semua. Eri kini kalang kabut.
"Salah jalan, Ri"" Nana menegur.
"Kita balik lagi ke pohon tumbang yang pertama!" Eri langsung membalik dan bergegas.
Aku merasa kepalaku kosong dan membesar. "Tenang, Tina, tenang," Nana juga gelisah.
Beberapa orang meneriakkan kekecewaan yang sama. Bahkan menyarankan untuk kembali ke jalan simpang pertama.
"Ngapain balik lagi" Tanggung! Malah lebih deket dari sini ke Ciboleger!" Eri menyebut kampung base camp di pintu gerbang utara itu.
"Tapi mana jalannya"!"
"Sudah jam lima, nih!"
"Kalau kemalaman di sini, waduh, gawat, Broer!"
Episode 27 "Heh, jangan ribut kayak gini dong!"
Eri tidak menggubris. Dia turun ke sisi kiri ketika ada jalan getapak. Semakin ke bawah, malah tidak jelas arahnya. Ternyata cuma jejak pencari kayu bakar. Terpaksa kami naik lagi, kembali ke pohon pertama yang tumbang.
Kami mengikuti lagi ke mana Eri. Terbentur ke lembah yang lain. Malah sekali waktu kami cuma berputar-putar saja. Aku betul-betul panik dan kehabisan napas. Nana memapahku.
"Kasih aku waktu!" Eri gelisah. "Kalian tunggu di sini!" Eri bergegas. Dia mundur beberapa meter dari tempat kami berdiri. Dan hilang di balik semak-semak.
Yanto menyuruh Ato dan Aris untuk mencari kemungkinan jalan lain. Mereka mengambil arah yang berlawanan. Menerobos semak-semak. Sepuluh menit kemudian mereka kembali dengan wajah tegang. Bahkan kening Eri tampak berdarah.
"Hati-hati, Ri," Nana langsung memberinya obat merah.
Eri tampak serba salah diberi perhatian lebih oleh Nana. "Aku tahu jalannya ke arah sana!" Eri menunjuk ke seberang lembah. "Tapi, kenapa nggak pernah nyampe"!" Eri berteriak kesal. Tangannya seperti menyibak-nyibakkan 'kabut' di depannya.
Matahari semakin menggelincir.
Kegelapan sebentar lagi akan merengkuh kami.
"Ini pasti ada yang 'menghalangi' pandangan kita!" sungut Eri sambil membanting tubuhnya ke tanah. Dia duduk bersender pada batang pohon. Wajahnya berkeringat dan penuh rasa bersalah. "Aneh.Aku nggak ngerti," matanya menerawang jauh, seperti mencoba menembus 'kabut' itu.
"Kena 'kualat' 'ngkali!" ada yang nyeletuk.
"Huss, jangan ngomong sembarangan!"
"Ya, kita sering ngelanggar aturan!"
"Buktinya kita mandi di sungai pakai sabun!"
"Itu sih Eri, Ato, sama Maman!"
"Enak aja, kok nuduh aku! Tuh, Yayah sama Rini malah keramas pakai shampo!"
"Sudab, sudah!"
Eri tampak terpukul sekali.
"Kita coba lagi, Ri," Yanto menariknya untuk berdiri. Eri berdiri. Dia merogoh senter dari ranselnya.
"Sebaiknya kita berdoa dulu," Nana menyarankan. "Dalam situasi begini, kita harus tetep kompak. Jangan saling menyalahkan. Juga jangan merasa yang paling bersalah," Nana menyuruh semua orang untuk memejamkan mata.
Eri menatap Nana dengan perasaan yang sulit ditebak. Kami berdo'a dalam hening. Minta petunjuk pada Tuhan. Minta pikiran dijernihkan dari hal-hal buruk yang membelenggu. Dan aku menangis, karena takut pada segalanya. Pada perampok yang setiap saat mengancam, kualat karena "menginjak" tanah larangan, dan pada kegelapan hutan.
Jubah-jubah hitam sekarang berkepak-kepak menutupi bumi. Semua orang kini, selain pada Tuhan, menggantungkan hidupnya pada nyala senter.
"Hey, ada tanda jejak nih!" Eri berteriak girang. Senternya menyorot ke semak-semak.
Ada tanda panah dari alang-alang. Tadi kami sudah melewati jalan setapak ini. Aneh. Ah, mungkin saja tadi kami tidak teliti.
Dengan hati-hati kami meniti jalan setapak yang menuju lembah. Lenganku tetap tidak mau lepas mencekal lengan Nana. Aku tidak ingin berjalan sendirian. Kadang kala aku menjerit kalau ada duri-duri pohon membeset kulitku.
Eri berteriak lagi ketika ada tanda bacokan di batang pohon. Kami semakin turun ke bawah. Ada patahan ranting. Aku merasa tanda-tanda itu seperti dibuat oleh 'seseorang' untuk kami. Inikah pertolongan Tuhan"
"Hey, sini, sini!" Eri berteriak-teriak di bawah sana. "Cepetan!" teriaknya lagi gembira.
"Huma di atas bukit!" Yantojuga berteriak senang.
Ada sebuah gubuk di huma, ladang orang Baduy. Kadang kala orang Baduy suka bermalam di huma, jika pekerjaan ladangnya belum selesai.
Aku langsung menyuruh untuk bermalam saja. Aku tidak meminta persetujuan mereka. Ini seperti perintah yang keluar dari mulut seorang amatir! Untung mereka mengiyakan juga. Eri tampak sudah berhasil membuka pintu gubuk. Kebiasaan orang Baduy memang tidak pernah mengunci rumah seperti kita. Rasa saling percaya tertanam kuat di jiwa mereka.
Beberapa saat aku terlelap kelelahan di pojok ruangan. Aku cuma bangun untuk makan mie rebus saja beberapa suap. Setelah itu aku meringkuk lagi. Angin malam yang dingin menakutkan, menyusup ke dalam gubuk lewat celah-celah dinding. Aku terbius dan terbelenggu.
Tapi itu terasa tidak lama.
Aku menjerit ketika terdengar ribut-ribut. Ada dua orang lelaki mengobrak-abrik ransel kami. Dua orang perampok itu! Mereka dengan rakus dan liar menyantap sisa makanan yang kami punya.
"Jangan coba-coba!" bentak yang wajahnya brewok sambil mengacungkan golok, begitu melihat Eri bergerak mencurigakan.
Aku menangis ketakutan dipeluk Nana.
"Heh, jangan nangis kamu!" yang berkumis mengacungkan golok ke arahku.
Tangisku malah tambah nyaring. Seluruh persendianku terasa copot dan bergetar. Oh, Tuhan, aku merasa celanaku basah. Nana yang menyadari itu hampir saja tertawa. Mulutnya memang terkunci rapat-rapat, tapi sorot matanya menandakan kegelian. Aku cuma bisa pasrah saja.
"Kataku, diem! Cewek cengeng kamu!" lelaki biadab itu berdiri. Dia berjalan ke arahku.
Secara reflek mulut aku rapatkan. Nana terus membantuku agar tena
ng. Dia berbisik mengembalikan kepercayaan diriku. Pelan-pelan membantuku juga.
"Heh, kamu! Sini!" si Brewok menghardik Yanto. "Ambil tali-tali itu! Iket semuanya!" perintahnya.
Si Kumis membantu Yanto mengikat. Satu-satu kami diikat. Ketika giliran aku, mata si Kumis jelalatan. Wajahku langsung pucat dan aku meronta-ronta, menangis, dan berteriak, ketika perampok bedebah itu menyeretku. Nana memegangi kuat-kuat tubuhku dan Yanto menubruk si Kumis. Yang lain berteriak-teriak. Eri berusaha bangkit, tapi ambruk lagi, karena tangan dan kakinya diikat.
"Heh, minggir, minggir!" si Brewok menendang dan mengancam leher Yanto dengan ujung goloknya.
Episode 28 Aku menangis menjadi-jadi. Aku pikir inilah kisah hidupku yang tragis berawal di sini. Kisah-kisah seorang gadis korban perkosaan, yang sering aku baca di mass media atau di film-film Amerika, sebentar lagi akan terjadi padaku.
"Apa-apaan kamu!" bentak si Brewok. "Kita nggak punya waktu untuk begituan!"
Si Kumis bersungut-sungut.
Nana memelukku. "Ayo, ikat lagi mereka!"
Setelah Nana, Yanto mengikatku. Aku tahu dia tidak tega mengikatku kencang-kencang. Lalu Yanto pun diikat oleh mereka.
Kedua perampok itu dengan gerak cepat mengambil beberapa pakaian dari ransel. Mencobai satu per satu, sampai dirasa ada yang cocok. Aku kira yang pas dikenakan mereka adalah pakaian Eri dan Yanto. Tubuh mereka sama tinggi dan besarnya. Lalu mereka mengobrak-abrik peralatan mandi. Di dalam keremangan cahaya senter, mereka mencukur habis jenggot dan kumis!
Aku baru menyadari kalau mereka sedang mengganti penampilan. Mereka menyamar menjadi seperti kami untuk menerobos keamanan. Aku semakin yakin ketika mereka mengambil dompet kami dan memilih-milih mana yang cocok.
"Terima kasih, ya!" kata mereka tertawa puas meninggalkan kami. Dengan ransel di punggung, penampilan mereka jauh dari perkiraan buruk. Mereka kini tak ubahnya seperti para petualang seperti kami.
"Aduh, ranselku masih baru, tuh!" Yanto memaki, karena ranselnya diambil perampok.
"Punyaku juga!" Aris menggerutu.
"Ransel lagi diributin!" Rini berteriak kesal.
"Pikirin nih, gimana ngebuka tali!" teriaknya lagi.
Eri meronta-ronta. "Kenceng amat sih ngiketnya, To!" katanya pada Yanto. "Si Amat aja nggak kenceng-kenceng!" dia mencoba melucu.
"Nggak ada waktu buat ngelucu, tau!" Yayah kini buka suara. "Kapok aku, kapok!" jeritnya.
"Tolong, toloong!"
"Berisik amat, sih!"
"Diem kenapa, sih!"
"Lagian siapa yang ngedenger""
Aku cuma menggelengkan kepala. Dalam keadaan darurat begini, mereka masih bisa adumulut. Aku kehabisan kata-kata. Aku cuma memejamkan mata, karena sudah terbebas dari hal yang paling buruk tadi.
"Mendingan sekarang tidur ajalah," Eri mengusulkan. "Besok pagi pasti ada orang Baduy ke sini."
Aku mengiyakan usul Eri tadi. Aku sentuh tubuh Nana. Aku lihat Nana pun mengangguk. Kami akhirnya mencoba untuk pasrah; tidur meringkuk dengan tangan terikat, menunggu sampai matahari terbit.
Kami semua terjaga begitu suara pintu berderit. Mata kami terpicing, karena cahaya terang dari pintu menyilaukan mata. Seorang lelaki Baduy berdiri memandang kami dengan perasaan heran. Beragam suara pun berlompatan dari mulut kami. Kehidupan mulai membias lagi di wajah kami.
Aku mengucap syukur dalam hati. Pertolongan pun akhirnya datang. Lelaki Baduy ini seperti sudah paham apa yang terjadi. Dia menyuruh kami untuk berkemas. Kami mengikutinya menuruni bukit dan menyeberangi sungai kecil. Beberapa kali kami naik-turun bukit, lalu sampai ke panamping Kadu Keter. Kampung ini adalah pos terakhir jika kita masuk lewat pintu utara.
Beberapa petugas keamanan dari Rangkasbitung menginterogasi kami. Ketika kami menceritakan tentang kejadian semalam, para petugas itu tersentak. Mereka memang sudah mendengar rombongan kami lewat handy talky, yang sudah menangkap salah seorang dari ketiga perampok itu di wilayah selatan.
"Semalam dua orang dari kalian sudah keluar dari sini," seorang petugas mengabarkan. "Mungkin mereka sedang menuju Rangkas sekarang."
"Mereka bilang terpisah dari rombongan," kata petugas yang lain. "Malam tadi kami sedang ada di lapangan.
Orang Baduy 'kan nggak bisa membaca surat keterangan mereka," tambahnya.
"Aduh!" Eri memaki.
"Mereka perampok-perampok itu, Pak!" seru kami.
Para petugas itu memang sudah terkecoh. Mereka langsung mengirim kabar lewat hatong ke Ciboleger. Mereka masih yakin, bahwa di Rangkas kedua perampok itu akan dibekuk.
Tapi perjalanan buatku belum selesai. Masih satu jam perjalanan lagi untuk keluar dari wilayah Kanekes. Masih banyak tanjakan yang harus aku daki sebelum sampai di Ciboleger.
Tengah hari kami tiba juga di base camp. Kami terpaksa bermalam di sini, karena kendaraan ke Rangkas cuma di pagi hari saja. Kami bermalam di rumah Pak Askari, seorang penduduk yang sudah biasa menampung wisatawan nusantara yang akan pergi ke Kanekes. Bahkan bapak berputra lima ini suka jadi guide amatir.
Tak ada yang kami kerjakan selain bermalas-malasan. Aku lebih suka duduk menyendiri. Kadang kala kejadian semalam membayangi terus. Memberati pikiranku. Kalau sedang begini, aku jadi ingat rumah; Papa, Mama, dan Robby.
"Ngeganggu"" Nana duduk di sebelahku.
Aku mencoba tersenyum. "Sudah rindu Yogya"" Nana menyebutkan tanggal kepulanganku, yang tinggal empat hari lagi.
Aku mengangguk. "Kamu ikut pulang dengan aku 'kan"" aku berharap.
"Eri mengajakku melihat senja di Selat Sunda," suaranya perlahan.
"Untuk apa"" aku keberatan, karena akan pulang sendirian.
"Eri memintaku untuk yang terakhir kali."
"Nanti malah menjadi beban kamu."
"Aku belum selesai ngomong."
"Pokoknya aku nggak mau pulang sendirian."
"Aku bilang tadi, Eri mengajakku. Aku 'kan nggak ngomong, bahwa aku mau diajak Eri."
"Berarti kita pulang sama-sama 'kan!" Nana mengangguk.
"Kamu sudah siap kehilangan dia sekarang""
"Sejak dia pergi meninggalkan aku, sejak dia nggak pernah ngirim surat lagi, aku sudah siap untuk kehilangan dia."
Episode 29 "Terus, Eri jadi kerja sama Uzi di Jakarta""
"Akhirnya antara anak dan ayah ada kesepakatan. Eri dikirim ayahnya sekolah musik di Eropa."
"Wow! Dia bakalan kecantol cewek bule di sana!"
"Mungkin sekarang aku harus memilih salah satu cowok di kampus, ya!"
Aku menatapnya tidak percaya, "Betul, Na""
Lalu aku ajukan Alfred, si Menado yang doyan rally, Boyke, ketua senat yang juga hobi naik gunung, atau Mulyadi, jagoan karate kampus.
Nana cuma mengangguk-angguk. "Pokoknya kamu jadi penasihatku, ya!" dia gembira sekali saat ini.
Lalu Nana menatapku dengan lucu. Aku tahu kalau dia bermaksud mengingatkan aku tentang kejadian semalam, ketika aku ketakutan sampai-sampai buang air kecil di celana.
Aku tersipu-sipu, "Aku betul-betul takut waktu itu."
Nana tertawa keras. Aku mencubitnya. Nana kini menjerit. "Ini bisa jadi gosip murahan di kampus!" teriaknya masih tertawa.
Aku terus mencubitnya. "Hey, hey," Nana memegangi kedua lenganku.
"Awas, kalau sampai bocor di kampus!"
Nana menggeleng. "Ada pesen dari temen-temen," katanya mencoba menahan tawa. "Sore ini ada pelantikan. Kamu mendapat 'bintang kehormatan' dari kami." "Apaan, tuh "" aku tertarik.
"Mereka sangat terkesan, karena kamu berhasil menjelajahi Kanekes." Aku manggut-manggut.
Setelah aku membeli tas koja khas Baduy, yang dianyam dari akar pohon, serta selendang untuk suvenir di rumah, menjelang senja ada upacara kecil-kecilan di halaman. Yanto memberi wejangan alakadarnya. Terutama mengucapkan syukur, karena sudah lolos dari bahaya yang mengancam. Beberapa kali dia menyebut aku, yang tetap dengan semangat tinggi melintasi Kanekes.
Lalu mataku ditutup. Aku disuruh maju, karena akan dikalungi 'tanda kehormatan'. Eri maju dan mengalungi aku. Dia tidak mengatakan apa-apa. Beberapa saat tidak ada suara. Aku buka selendang yang menutup mataku. Tak ada siapa-siapa di halaman.
Aku dengar suara orang tertawa riuh di dalam rumah Pak Askari. Aku berteriak ketika tahu apa bandul kalung 'tanda kehormatan' itu. Kerak nasi itu! Aku betul-betul marah. Bukankah kerak sialan ini sudah aku buang" Rupanya Eri memungutnya lagi. Anak ini memang tukang iseng!
Tapi aku tersenyum juga. Mungkin kalau sudah sampai di rumah nanti, aku akan minta diajari memasak pada Mama. Rasanya tidak komplet menjadi seorang wanita kalau tid
ak tahu urusan dapur. Ternyata liburanku kali ini membawa banyak kenangan buatku.
Tak akan pernah aku lupakan. Tak akan pernah aku sesali sudah berlibur di
sini. Nana, memang, sudah mengajari aku banyak hal lewat liburan ini.
Selesai tamat Pembalasan Ratu Mesum 1 Pedang Siluman Darah 1 Rahasia Pedang Siluman Darah Cula Naga Pendekar Sakti 10

Cari Blog Ini