Terminal Cinta Terakhir Karya Ashadi Siregar Bagian 1
Terminal Cinta Terakhir Oleh Ashadi Siregar Sepanjang Rute Kelembutan
Dapatkah dibandingkan dengan segumpal duri yang mengganjal di lekuk hati" Ketika pintu rumah itu terhempas keras, maka berarti kenyerian di relung dada. Dan, Joki menelan ludahnya yang kemudian terasa getir. Helaan napasnya terasa tersendat. Dia mengawasi pintu tebal bercat coklat tua itu sesaat, lalu membalik badan, dan berjalan pelahan menjauhi rumah
itu. Inilah ganjaran buat keberanian. Inilah kenyataan yang dihadapkan oleh keterombang-ambingan sekian lama: selembar pintu yang nyaris menyenggol hidung, dan suara debumannya yang lebih keras dari suara seribu kanon.
Maka Joki berjalan terseok di bawah kerindangan pohon di sepanjang kiri-kanan jalan. Semakin jauh dia berjalan, semakin reda tusukan di dadanya. Cuma, berangsur lenyapnya nyeri itu, tidaklah menghilangkan kemelut di hatinya.
Terlalu berani aku agaknya. Aku tahu, dan aku menduga, akan menghadapi kenyataan pahit itu. Tetapi, tidakkah itu lebih baik" Bukankah lebih baik menelan empedu yang paling pahit, sekali reguk lalu lupakan segalanya"
Ah, lupakan segalanya" Bisakah aku melupakan seluruh kenyataan yang pernah kualami" Itu telah menjadi sejarah. Bukankah" Betapa tak berartinya pun diriku, kenyataan dalam hidupku adalah sejarah yang harus dikenang.
Pada usiaku yang kedua puluh empat, harus kucatat bahwa cinta telah membuat aku menjadi manusia kreatif menurut versiku, menjadi manusia paling berani menurut gayaku, dan menjadi manusia paling tak berharga menurut hatiku.
Klakson mobil mengejutkan Joki. Maka pembicaraan dengan dirinya terhenti. Kembali dia sadar bahwa dia sedang berada di jalanan kota yang ramai. Renyal gerimis bulan Maret mengusap mukanya. Sepatunya berdetuk-detuk di trotoar. Langit Kota Jakarta murung disaput mendung. Sore yang basah. Tetapi, Joki merasa dirinya garing. Tenggorokan kering. Ketika dia, menjilat bibirnya, ah, asinkah gerimis yang turun ini" Ataukah, air mataku yang merembes diam-diam" Dia berkeluh dalam hati.
Dia jengkel terhadap kesedihannya. Lantas ditendangnya biji salak yang lain di trotoar yang dipijaknya.
Gerimis telah berubah menjadi rintik-rintik yang semakin deras. Tetapi, Joki terlindung oleh pepohonan yang rindang. Cuma, tempias sesekali memukul wajahnya. Angin yang giris menyusup ke balik kulit. Angin itu juga menggoyang daun-daun dan ranting-ranting pohon. Beberapa tetes tadahan daun-daun itu menimpa Joki. Tak dipedulikannya. Dia tekun menyusuri jalan.
Angin pada sore itu lebih dingin dibanding hari kemarin yang kering. Lebih dingin lagi di daerah Menteng itu. Tetapi, bagi Joki, kawasan itu tetap terasa panas. Dia ingin secepatnya meninggalkan tempat itu. Bukan karena di situ tinggal orang-orang berada. Bukan pula karena pada salah satu rumah di situ membuat hatinya terbanting. Bukan karena itu, melainkan lantaran rumah itu dihuni oleh tulang-nya. Paman dari garis ibu itulah yang tadi menghempaskan daun pintu keras-keras.
Sebagai orang Batak, tak ada kenyataan yang lebih pahit dari kenyataan itu. Joki memberangsang tanpa tahu kepada siapa ditujukan. Karena yang ada hanya kerikil di kakinya, maka ditendangnya kerikil itu sambil merutuk, "Mate ma ho!"("Mate ma ho!" = "Mampuslah kau!") Dia bayangkan kerikil itu sebagai wajah pamannya. Lalu melintas wajah nantulang-nya,
istri pamannya. Wajah yang dingin. Tetapi, sekejap sa-ja bayangan wajah istri pamannya melintas. Sebab, di antara bayangan wajah tulang dan nantulang-nya itu, menyusup wajah Meinar. Agak lama bayangan gadis itu menatapnya nanap. Dan, Joki tak bisa menduga apa makna tatapan boru tulangnya itu. Gadis anak pamannya itu berdiri mematung. Lalu digeser oleh wajah-wajah keras dan dingin milik saudara-saudaranya. Hm, anak-anak manja Orang Kaya Baru Kota Jakarta.
Maka Joki menempelak semua bayangan dari kepalanya, menjungkirbalikkan hingga hilang bentuk. Tak-kan kupijak lagi rumah itu. Takkan kuingat lagi dia yang dipaterikan adat sebagai tulang-ku itu!
Joki keluar dari kerindangan pohon di sepanjang Jalan Imam Bonjol. Deru hujan menerpa -nerpanya. Sepatunya telah liat dan berbunyi kriut-kriut
sebab kulitnya basah. Dingin pun kini membuat tubuhnya menggigil. Di jalan yang lebar, terpaan angin menyeruak ganas.
Lalu dia melompat ke dalam bus kota.
Hangat. Tetapi, pakaian tetap basah. Dia ingin meniru anjing yang menggoyang tubuhnya untuk mengeringkan badan. Cuma, bus terlalu penuh-sesak. Dia menatap berkeliling. Tak mungkin menempiaskan percik-percik air dari pakaian ini, pikirnya. Walau orang Batak terkenal kasar, tapi rasa-rasanya sangat tidak pantas membasahi orang lain. Apalagi gadis di depan itu. Dia juga berdiri. Sangat tidak sopan jika sampai dia tepercik. Sangat tidak layak berbuat tidak sopan di depan gadis yang punya mata seteduh itu. Seteduh Danau Toba kalau tak ada angin. Bening.
Ada titik air di ujung hidung gadis itu. Barangkali keringat. Ah, ya, di dalam bus kota ini tentunya pengap. Jendela-jendela tertutup. Manusia berjubel.
Joki kembali mengawasi mata yang teduh itu. Hm, di mana gadis ini pernah kulihat" Rasa-rasanya sudah pernah ketemu dengannya.
Bus itu menyentak. Sopirnya kelewat kasar dalam mengharmoniskan kopling dengan gas. Brengsek! Gadis itu tergoyang dan tubuhnya bersentuhan dengan lelaki di sampingnya. Bah! Beruntungnya lelaki tua itu. Dan, Joki menghela napas dalam-dalam.
Ya, rasa-rasanya pernah ketemu. Di mana ya" Barangkali di dalam bus kota juga, pada hari-hari yang lalu. Atau di salah satu kantor" Atau, di TIM" Atau, di kampus Rawamangun" Atau, di mana saja. Gadis bermata teduh, berhidung indah, berbibir halus seperti kelopak bunga mawar, bisa ditemui di mana saja. Mungkin di dalam majalah. Siapa tahu" Atau dalam mimpi.
Tiap kali bus tersentak, gadis itu hampir kehilangan keseimbangan. Tangannya memegang tiang penyangga atap bus. Bah, brengseknya lelaki yang duduk itu! Seharusnya dia memberikan tempat duduk pada gadis ini.
Tapi, ah, lebih baik jangan. Jika dia duduk, tak bisa lagi dilihat mukanya yang lonjong dan bulu matanya yang sarat. Hm, apakah dia pakai bulu mata palsu" Joki mengamati lebih teliti. Bukan! Bulu mata itu asli. Pasti asli. Seperti halnya alisnya yang bagus. Pasti alis itu tidak diukir. Itu memang lebih bagus. Bukan imitasi. Tak nampak bekas-bekas cukuran. Matanya memang bagus. Tidak pakai eyeshadow. Yakin!
Bus berhenti. Ada lagi penumpang yang naik.
"Maju sedikit. Maju sedikit," kata kondektur.
Joki tersenyum. Bukan lantaran mendengar dialek kondektur yang berteriak-teriak itu - dialek Batak yang keras - melainkan karena dia punya alasan untuk semakin rapat pada gadis itu.
Sesekali bus berguncang. Kulit lengan Joki bersentuhan dengan kulit lengan gadis itu. Bukan main halusnya. Wah!
Di luar, hujan menyerpih-nyerpih. Gadis itu mengipas-ngipaskan saputangan ke lehernya. Dan, teruai keharuman yang menyejukkan. Andainya bus itu tak berhenti-henti, tak kenal terminal! Andainya gadis ini tak punya tujuan tertentu! Andainya keadaan ini begini terus-menerus! Andainya... !
"Hei, Jok!" Panggilan dari lelaki yang duduk menyentak.
Joki menoleh. Dia tersenyum. Kemudian katanya, "Kau enak-enakan duduk. Hormatilah kaum wanita."
"Alaaah, ini 'kan zaman emansipasi," kata Wawan.
"Di bus sesak begini bukan soal emansipasi lagi, tapi soal kewajaran. Apa wajar kalau kau duduk sedang ada gadis cakep berdiri di dekat kau""
"Itu tergantung dan segi mana kita melihat. Dari segi sosiologis, itu wajar saja. Kita tidak saling kenal. Dari segi ekonomis, tentu saja wajar sebab kita sama-sama bayar. Dari segi politis____"
"Bah! Tak usah memancing diskusi. Hidupmu cuma diskusi, sedangkan sikapmu brengsek!" kata Joki.
Wawan tertawa. Lalu dia berdiri.
"Oke. Biar aku solider sama kau. Silakan, Zus," katanya.
Gadis itu beringsut, tetapi dia tidak duduk. Dia berpaling ke arah perempuan tua yang berdiri di belakangnya.
"Silakan, Bu," katanya.
Seraya mendesiskan terima kasih, perempuan tua itu menyelinapkan tubuhnya, lalu duduk. Wawan menatap Joki, lalu tertawa keras-keras.
Joki tersenyum kecut. Dan, kini gadis itu terjepit di antara kedua lelaki muda itu. "Ke mana, Zus"" tanya Wawan.
Gadis itu tak menjawab. Dan, Joki sudah menduga ucapan Wawan berikutnya, "Sombong ya"" Gadis itu tetap membisu.
"Wah , sayang. Cewek cakep begini, rupanya bisu."
Gadis itu melirik. Sekejap. Tak ada ekspresi di mata ataupun di wajahnya.
"Aku dulu punya burung beo," kata Wawan kepada Joki, "tapi cuma bisa bilang, 'Terima kasih, Tuan. Terima kasih, Tuan. Terima kasih, Tuan.' Seharusnya kulatih untuk bilang, 'Silakan, Bu. Silakan, Bu'. Kayak cewek ini."
"Hah!" sergah Joki.
Wawan mengikik. Gadis itu menatap ke depan. Dia tak sabar akan lambatnya bus. Dia ingin secepatnya tiba di tujuan. Tingkah Wawan tentunya membuatnya mual. Tetapi, anehnya, ekspresi mukanya tetap seperti semula. Teduh.
"Zus turun di mana"" tanya Joki.
Gadis itu mengalihkan tatapannya ke wajah Joki. "Menteng," katanya kemudian.
"Hujan begini, repot ya""
Gadis itu mengangguk. Joki melirik tas gadis itu.
"Pulang kerja""
Gadis itu mengangguk lagi.
"Di Kebayoran""
Kepala gadis itu tergerak ke bawah. "Di perusahaan""
Gadis itu tak bereaksi. Dia kembali menatap ke depan lewat kisi-kisi kepala orang-orang. Pandangannya membentur kaca jendela bus yang dilabur air hujan.
"Kau bertanya kayak interogator," kata Wawan.
Mesin bus menderuru menggetarkan kaki penumpang.
Barangkali tiap sore gadis ini naik bus kota jurusan Kebayoran, pikir Joki. Mungkin di rute bus ini pula aku pernah melihatnya.
"Kau dari rumah Meinar tadi"" tanya Wawan.
"Hm," gumam Joki.
"Aku lama nggak ketemu dia."
"Oh, ya"" kata Joki datar.
"Dia jarang kuliah sekarang. Kenapa ya"" "Entahlah."
"Kapan-kapan kita sama-sama ke rumahnya ya"" Joki cuma bergumam. Bus terguncang. Gadis itu terseok. Tubuhnya menghimpit Joki.
"Maaf," desisnya. Leher gadis itu berpeluh, tetapi dia tak berani mengusap sebab satu tangannya memegang tas dan satu lagi berpegangan pada besi. Rambut gadis itu harum. Dan, Joki teringat pada Meinar. Boleh jadihairspray mereka serupa merknya. Joki pernah memeluk
gadis itu di sudut teras rumah gadis itu. Juga menciumnya. Dan.... ah, hatinya terasa perih
lagi. Pintu yang terbanting itu, pintu yang terbanting itu....
"Ah!" Tanpa sadar Joki mengeluh dan menghela napas dalam-dalam. Berharap udara itu bisa menyegarkan dadanya yang sesak.
Gadis itu mengira bahwa keluhan itu sebagai protes himpitan tak sengaja tadi. Dia melirik lelaki itu. Joki sedang menatap rambut yang terurai hingga bahu itu. Dan, gadis itu menunduk.
Bus meluncur terseok-seok membawa beban yang melebihi kapasitas. Ali Sadikin telah berusaha memperbaiki pengangkutan di kotanya, tetapi hujan yang turun di sore itu membuat manusia berjejalan di dalam bus kota, melanggar peraturan yang dibuat oleh gubernur. Apa boleh buat.
Gadis itu mengangkat kepalanya kembali. Matanya bentrok dengan mata Joki. Khawatir dianggap sebagai orang Batak yang kurang ajar, Joki Tobing cepat-cepat mengalihkan tatapannya. Melewati bahu gadis itu, dia memandang Wawan.
"Di mana tinggalnya, Zus"" tanya Wawan.
Gadis itu tak bereaksi. "Coba kau yang tanya, Jok. Kalau kau yang tanya, dia akan menjawab," ujar Wawan lagi. "Ah!" sergah Joki.
"Walaaa, kok jadi sopan lu sekarang"" Wawan berkata diiringi tawa.
Joki diam saja. Gadis itu menatap Joki. Joki berusaha untuk tidak memandang gadis itu. Bukan apa-apa. Soalnya, dia merasa matanya terlihat garang. Barangkali karena pengaruh dari profilnya yang keras, dagu yang kukuh dengan rahang yang agak menonjol. Maka dia khawatir kalau tatapannya dinilai garang. Dia tidak bisa menyorotkan pandangan lunak. Apalagi romantis. Inilah yang membuatnya ragu-ragu untuk mendekati seorang gadis. Inilah yang sering membuatnya kehilangan keberanian untuk mencumbu seorang gadis. Padahal keinginan untuk beromantis-romantis bukan alang kepalang. Selamanya dia berpikir bahwa gadis-gadis akan takut kepadanya, tak suka berdekatan dengannya.
Akan halnya gadis yang berdiri di depannya ini, sesekali melintaskan pandangannya manakala dia berpura-pura melihat ke depan. Dan, dia menemukan wajah lelaki yang berwarna coklat, alis yang tebal, dagu yang kehijau-hijauan bekas cukuran. Lekukan di dagu lelaki itu mengingatkan gadis itu pada bintang film Kirk Douglas atau Sean Connery. Cuma, matanya memang tak sesayu mata Kirk Douglas. Mata lelaki ini malahan lebar sehi
ngga hitamnya terlihat sangat kelam, kontras dengan bagian putih mata itu.
Hm, mata itu memang sesuai dengan profil macam itu, pikir gadis itu.
Gadis itu memang tak menyukai lelaki yang bermata ke sayu-sayuan. Apalagi lelaki yang berbibir merah dan basah. Kayak banci. Dan, lelaki ini bibirnya coklat. Barangkali dia kuat merokok.
Gadis itu memintaskan pandangannya lagi ke wajah lelaki itu. Dan, bentroklah pandangan mereka. Tentu saja gadis itu cepat-cepat menunduk. Joki pun menurunkan pandangannya. Tetapi, matanya tertancap di dada gadis itu.
Hm, tak terlalu busung. Tonjolan itu hanya berupa bukit. Bukan gunung. Bukit yang ditutupi blus biru muda. Mata Joki turun lagi. Dia menemukan rok biru tua panjang hingga lutut. Ah, tidak sampai lutut. Agak di atas sedikit. Hm, kira-kira tiga centi. Pinggangnya melekukkan badan sehingga tubuh yang langsing itu terlihat rapi.
Seperti kura-kura yang hendak bertelur, bus itu memasuki terminal. Lalu, dengan menyentak bus berhenti. Umpatan terhadap sopir bercampur dengan rasa terima kasih di hati Joki. Sekali lagi tubuh gadis itu menghimpit badan Joki. Parfumnya harum. Lunak. Segar. Sejuk. Wah! Andainya bisa berhimpitan terus-menerus. Penumpang berebut turun. Wajah gadis itu nampak sabar sekali menunggu luangnya jalan. Joki memberinya kesempatan untuk lewat.
Lampu-lampu telah menyala. Kesibukan di terminal itu tak terasakan oleh Joki. Hatinya tengah lengang. Beberapa saat dia mengawasi tubuh gadis yang kian menjauh itu, dan akhirnya lenyap di luar terminal. Tentunya dia menawar helicak dan kemudian pulang ke rumahnya. Lalu mandi. Lalu istirahat. Lalu, lalu, lalu, ah! Segala macam 'lalu' bisa dilakukannya. Akan halnya aku. Maka Joki menghela napas panjang, dan menghembuskannya perlahan. Dia berbalik, dan dilihatnya Wawan menyeringai di depannya.
"Cantik ya"" kata Wawan.
Joki cuma mengangkat bahu.
"Pertemuan di bus kota, apalah artinya. Bagaimanapun indahnya, harus dilupakan. Ada sajak yang mengungkapkan perasaan seperti itu," lanjut Wawan.
"Sajak siapa""
"Aku lupa. Pokoknya, isinya bilang: betapapun mesranya senyum seorang gadis yang ditemui di bus kota, itu harus dilupakan. Sebab, pertemuan itu tak beda dengan mimpi. Begitu bus tiba di terminal, masing-masing akan berpencaran mengurus dirinya sendiri. Yang maling menjadi maling, yang suami kembali menjadi suami, dan yang hostess kembali menjadi hostess."
"Apa diahostes "" tanya Joki.
"Bagaimana aku tahu" Kalauhostess , memang kenapa" Atau barangkali dia masaser disteambath ."
"Ah!" Tanpa sadar Joki mengeluh. "Atau pelacur high-class. Siapa tahu"" Dada Joki menyentak.
"Ah, jangan main-main kau, Wan," katanya.
"Ya, siapa tahu" Di Kota Metropolitan begini, apa saja bisa terjadi. Seorang yang kita kira istri yang baik, ternyata punya penghasilan sebagai gadis panggilan. Yang kita kira gadis, ternyata janda. Saking besarnya kota ini, penduduk tak bisa lagi saling mengetahui secara personal. Kita hanya mengenal manusia lain selintasan saja. Pada moment tertentu. Kita tak bisa mengenal orang lain secara menyeluruh dirinya."
Joki melangkah pelahan ke arah bangku tinggi. "Minum kita"" tanya Wawan. Joki mengangguk tak acuh.
Lampu-lampu kota cemerlang bagai bintang. Langit yang tadinya kelam, tiba-tiba membiaskan cahaya terang.
"Sudahlah, jangan pikirkan cewek tadi. Dia sudah lenyap. Entah kapan kau bisa ketemu lagi dengannya. Untuk bisa bertemu dengan dia, kau hanya punya satu per lima juta kemungkinan. Sebab, dia hanya satu per lima juta bagian dari penduduk kota ini. Bayangkan, dia hanya satu di antara lima juta penduduk Jakarta. Kayak sebutir pasir, 'kan""
Joki membisu. Dia meneguk minumannya. Matanya nanap menatap jalan menuju luar terminal. "Wah, untuk apa memikirkan dia"" kata Wawan lagi. "Aku bukannya memikirkan dia!" kata Joki jengkel.
"Lantas"" "Aku memikirkan diriku sendiri."
"O, bagus! Aku juga mau memikirkan diriku. Apa yang akan kita kerjakan malam ini""
Joki tak menjawab. "Kau punya uang"" tanya Wawan.
"Untuk apa""
"Kita ke disko saja."
"Ah!" keluh Joki. "Kau 'kan tahu aku tak punya kerjaan sekarang" Aku penganggur, Wan." "Alaaa, kau
'kan terima pesangon dari perusahaanmu."
"Iya, pesangon. Tapi, itu untuk kehidupanku sebelum dapat kerjaan lagi. Padahal aku pesimis bisa kerja masa ini."
"Jangan khawatir. Aku akan ganti besok. Aku ada obyekan pukulan besar. Kalau berhasil, paling sedikit tigaperempat juta. Aku tidak akan melupakan kau."
Joki diam. "Aku yakin berhasil. Aku cuma perlu menghubungkan seseorang dari Solo dengan kontraktor, untuk merehabilitir bangunan kuno di kota itu. Tadi siang sudah oke. Kalau besok pagi mereka meresmikan kontrak me-reka, aku akan dapat dari kontraktor yang sudah menjanjikan. Lumayan juga. Kerjaan iseng-iseng."
"Bagaimana kau bisa kenal orang dari Solo itu""
"Kenalan oomku," kata Wawan.
"Bukan main." "Yah. Tapi, sekarang aku masih tong-pes."
Sempritan petugas LLJR melengking tinggi, bercampur dengan deruman tinggi mesin-mesin bus. Suasana hiruk, tetapi lengang di hati Joki.
"Ayolah, kita pergi," kata Wawan.
"Ke mana"" kata Joki separo dalam bentakan. Bayangan wajah gadis tadi lenyap lagi. "Ngapain ngelamun di sini"" "Aku lebih senang di sini."
"Alaaa," kata Wawan sembari membayar minuman mereka, dan dia menyeret tangan Joki.
Joki mengikuti tarikan dengan sikap tak acuh. Dia berjalan seperti dokar yang rodanya baling dan berjalan di tanah becek. Padahal mereka berdua berjalan di trotoar yang mulus.
Lampu-lampu merkuri membuat suasana remang-remang di bawah pohon terasa nyaman. Apalagi jika berjalan bergandengan dengan pacar. Bukan main! Apalagi kalau pacar itu gadis yang manja. Bukan main! Apalagi kalau gadis itu bersuara lunak. Bukan main! Pokoknya bukan main yang lain-lain bisa dijejer tak habis-habisnya di sepanjang jalan.
Tetapi, sekarang Joki hanya melangkah dengan tangan di dalam saku. Kaki celananya mengibas-ngibas.
"Ke mana kita"" tanyanya dengan nada malas. "Ke mana saja."
"Ah, aku malas jalan-jalan, Wan." "Atau, ke Cijantung saja"" "Ah!" dengus Joki. "O, iya. Sudah mulai malam."
"Bukan soal malamnya. Biar siang aku juga tak suka ke situ. Aku tak mau lagi ke daerah-daerah semacam itu."
"Bertobat" Wah," Wawan tertawa ngakak.
Joki tak bersuara. Dia mengeluarkan kreteknya. Menyulut sebatang, lalu menyodorkan yang lain kepada Wawan. Wawan menolak seraya mengeluarkan Benson-nya.
"Kau tak pernah datang ke kampus"" tanya Wawan kemudian.
"Ya. Aku kehilangan gairah untuk kuliah."
"Aku juga. Rasa-rasanya makin bosan saja."
Ya, kita sama-sama bosan, pikir Joki. Tapi, berlainan kualitas bosan kita. Kau terlalu banyak obyekan, dan aku karena sebab-sebab yang lain macamnya. Tapi, akibatnya sama saja. Kita sama-sama mahasiswa abadi. Lima tahun kuliah, baru tingkat dua.
"Wah, hebat!" kata Wawan. Badannya berputar mengikuti arah perempuan yang mereka papasi. Keduanya berhenti melangkah dan mengawasi tubuh gempal yang semakin menjauh itu.
"Kayak Sophia Loren!" lanjut Wawan komentar.
"Ya, dari belakang," kata Joki.
Pinggul perempuan yang mereka awasi bergoyang bagai bandul jam dinding. "Kalau aku cari bini, aku pilih yang tubuhnya kaya itu," kata Wawan.
Joki melirik badan lelaki yang tegak di sampingnya. Tubuh kerempeng. Dan, tanpa sadar Joki tersenyum.
Tak tahu diri, pikirnya. Badan seperti papan, tapi pilihan perempuan mirip sekoci. Joki tertawa pelahan.
"Kok ketawa""
"Ah, tidak," kata Joki cepat-cepat. "Kau ngetawain seleraku ya""
"Ah, tidak. Aku cuma geli, membayangkan kau terapung-apung di atas tubuh sebesar itu." "Kalau kau, pilih yang bagaimana"" tanya Wawan. "Yang macam mana pun jadilah." Wawan menatap tubuh Joki. "Tapi, aku tahu diri," lanjut Joki.
"Maksudmu""
"Ya, karena aku kerempeng, aku pilih perempuan yang tidak besar. Biar bisa kugendong. Kalau kayak yang tadi, wah! Bisa putus napasku untuk memangkunya."
"Tak perlu dipangku. Kalau perlu, dia yang memangku."
Keduanya bertatapan. Lalu mereka tertawa keras-keras, dan kembali melangkah. "Style apa pula perempuan memangku laki-laki," kata Joki.
"Style praktis. Aku senang yang praktis-praktis saja. Kalau kau barangkali senang yang romantis
ya"" "Ah, entahlah."
"Iya, kau senang yang romantis. Kau senang menggendong bini, senang memangkunya. Itu tandanya kau seorang yang rom
antis. Kalau aku, hanya cocok dengan gadis yang erotis. Kau tak butuh gadis yang besarsex-appeal -nya. Bagiku, itu penting. Diumpamakan binatang, aku senang pada kuda teji, kau pada kucing anggora."
"Bagaimana kau tahu"" tanya Joki dalam nada tak percaya.
"Bisa dilihat dari mukanya. Terutama mata. Ya, mata, bisa mengungkapkan apakah seorang gadis itu romantis atau erotis. Apakah peka perasaan atau peka bi-rahi." Lalu Wawan tertawa mengakak, membuat penge-mudi helicak di pinggir jalan mengawasinya.
"Apa tandanya, Wan""
"Itu hanya bisa diketahui dari pengalaman."
Mereka berjalan ke arah Monas.
"Dan, Meinar termasuk tipe kuda teji," kata Wawan tiba-tiba.
Joki gelagapan. Bayangan gadis itu melintas. Wajahnya yang bundar, matanya yang redup, dan bibirnya yang senantiasa basah.
Ya, memang kuda teji dia, pikir Joki. Tapi, belum pernah kupacu. Hanya kuelus-elus bulu surinya. Badannya yang gempal, dadanya yang menggunung, tak bisa lenyap dari pelukan.
"Bagaimana kau bisa akrab dengan kuda itu"" tanya Wawan.
"Dia anak oomku," kata Joki datar.
"Ooo." Wawan bergumam. Dan, dia melangkah dengan kepala menekuri trotoar.
Joki pun menatap garis-garis yang malang-melintang di trotoar itu. Pintu yang terbanting, ah! Pintu yang terhempas. Dan, itu dilakukannya oleh tulangnya sendiri.
Maka dendam yang hampir sembuh kembali mengoyak dengan ganas di dada Joki. Ya, dendam yang pernah mekar itu, kini melebar dan mendalam bagai borok yang perih. Joki ingat bagaimana pertama kali datang di Jakarta. Seperti anjing kampung yang tiba-tiba berada di kota besar. Bingung. Waktu itu dia baru kelas dua SMA. Orang tuanya tak sanggup lagi membiayainya di kampung. Dan, dia hanya tahu satu alamat: rumah tulangnya, adik kandung ibunya. Dialah Tulang Sahala. Ke situ Joki menuju.
Tetapi, sekarang, seorang yang bernama Sahala harus dilenyapkan dari ingatan. Betapa tidak! Perlakuan yang dingin yang diterimanya waktu itu telah teredakan oleh perubahan keadaan. Berangsur-angsur dia telah berhasil mengubah dirinya, sampai bisa mendapatkan harga yang senilai dengan kehormatan Keluarga Sahala, keluarga yang tinggal di Menteng.
Hm, tapi rupanya harga itu bukan harga tetap. Masih bisa berubah.
Itulah yang menyebabkan Joki meninggalkan rumah itu. Kepergiannya bagaikan anjing yang terpukul, berlari sambil mengempit ekornya, tanpa berani mengangkat kepala lagi. Tak berani pula menatap orang-orang berbaju hijau yang menunggu rumah penjagaan di dekat pintu pagar. Tak berani. Sudah pasti orang-orang di rumah penjagaan itu terheran-heran melihat layunya le-laki kemenakan si penghuni rumah.
Dan, bah! Sepatu Joki terperosok di lubang.
Wawan cepat-cepat memegang tangan Joki.
"Ke mana kita, Jok"" tanyanya.
"Ke mana saja," jawab Joki tak bersemangat.
"Ke Kota"" "Baik."
"Aku pinjam duitmu nanti ya""
"Boleh," kata Joki datar. Dia memang tak punya keinginan apa-apa. Tidak ingin berbuat apa pun. Dia tahu apa yang diinginkan Wawan. Dia tahu apa yang akan diperbuat Wawan. Sudah sering dia mengantar sahabatnya ini ke tempat-tempat kesenangan sahabatnya ini.
Ke Kota, selain untuk urusan obyekan, juga berarti ke sebuah rumah yang dihuni para perempuan yang memang gawat kecantikan mereka. Bibir mereka mengelopak bunga mawar dan siap menyambut lelaki-lelaki yang datang. Joki selamanya tidak keberatan untuk duduk-duduk menunggu Wawan keluar dari kamar. Dia hanya senang minum bir, dan perempuan-perempuan di situ sudah tahu bahwa lelaki ini termasuk orang sopan. Lalu, setelah Wawan keluar dari kamar, dia akan menjadi pendengar atas komentar-komentar Wawan. Dua ban, selangit, dan segala macam istilah teknis akan berhamburan dari mulut Wawan. Semuanya membuat Joki melongo sambil mengawasi tubuh kerempeng di depannya. Dari cerita-cerita itu, agaknya tubuh kerempeng itu bagai menyimpan potensi yang bukan main hebatnya.
Joki menghempaskan pantatnya ke kursi. Akan halnya Wawan, begitu masuk langsung mencubit pantat seorang perempuan di situ. Tak perlu menunggu lebih lama lagi, Wawan merangkul seorang perempuan berbaju merah menyala, memakai rok hitam, dan mengesankan bagaimana pakaian itu nyaris bedah
sebab terlalu ketat membungkus badan.
Lalu Wawan dan perempuan itu masuk ke kamar. Di depan pintu, Wawan menatap Joki dan mengacungkan jempolnya. Kode ucapan 'selamat bertempur' untuk dirinya sendiri.
Joki duduk diam-diam. Seorang perempuan mem-buka botol bir.
"Ai!" jerit perempuan itu karena busa bir melimpah dan membasahi pakaiannya.
Joki memperhatikan setiap gerakan perempuan itu. Perempuan itu menuang bir ke dalam gelas. Hati-hati sekali dia menuang sebab khawatir busanya melimpah ke luar gelas.
Masih terlalu muda, pikir Joki, tapi sudah berada di sini. Perempuan ini paling banter berusia tujuh belas. Tubuhnya kecil. Jika dia sekolah, masih cocok jadi siswi SMP. Atau barangkali kekurangan gizi pada masa kanak-kanaknya" Wajahnya yang mungil, yang terlihat innocent, menyimpan keletihan. Matanya redup. Bibirnya mungil dan hidungnya bangir, membuat wajahnya cantik. Jika dia pandai menyanyi, dan ada wartawan yang mengeksposenya, bukan mustahil dia akan meratui dunia musik pop.
Wajah gadis itu mengingatkan Joki pada seorang bintang ternama, Tanty Yosepha. "Minum, Oom," kata perempuan itu. Joki cuma menggumam.
Mata perempuan itu mengerjap. Lalu dia tersenyum. Matanya indah, tetapi menyimpan keletihan. Barangkali dia sudah melayani beberapa orang sejak pagi tadi, pikir Joki. Tubuhnya yang kecil barangkali sudah terbanting-banting oleh tangan lelaki-lelaki perkasa. Banyak le-laki berbadan besar yang menyukai perempuan-perempuan bertubuh kecil.
Joki ingat temannya, Saleh. Lelaki itu selamanya mencari perempuan bertipe seperti perempuan in!. Kecil dan mungil. Trisno juga. Lelaki gemuk itu menyukai gadis-gadis mungil yang seperti boneka. Atau Dombo Ijo, serupa juga.
Bertahun-tahun tinggal di Jakarta, Joki mengikuti arus yang berjalan. Dan, nampak-nampaknya, arus itu menuju pada sasaran yang sama: seks. Seolah-olah seluruh kegiatan yang dilakukan orang tak lain untuk seks. Seolah-olah seluruh kehiruk-pikukan kota pada akhirnya bermuara di ranjang perempuan. Hiruk-pikuknya kota akan diendapkan dalam pelukan perempuan. Inilah yang diketahui Joki selama tinggal di kota ini.
Dan, aku pun bukan seorang yang suci, pikirnya. Dia ingat perempuan pemilik rumah yang dipondokinya. Hanya beberapa kali tersenggol ketika melintas ke kamar mandi, jadilah. Apalagi senggolan itu terjadi pada pagi hari, pada bangun yang terlambat, pukul sembilan, sementara rumah telah sepi.
Maklumlah, bangun pagi hari selamanya menimbulkan suasana yang lain bagi seorang bujangan. Celana menjadi sempit, dan biasanya hanya akan reda jika diguyur air dingin. Tetapi, nongkrong beberapa menit saja mengundang imajinasi yang bukan-bukan pula. Maka senggolan - entah disengaja atau tidak - gampang sekali menimbulkan pijar-pijar yang membuat jantung menggelepar dan riak menyumbat tenggorokan. Itulah. Aku bukan orang suci, keluh Joki dalam
hati. Perempuan mungil itu masih menatap Joki. Dan mata itu tak seperti mata perempuan-perempuan lainnya. Tidak menantang. Bahkan takut-takut.
Joki mengusap busa bir di bibir dengan lidahnya. Perempuan itu meniru. Hm, siapa pula yang mengajarkan teknik pancingan murahan begitu"
Joki tersenyum. Perempuan itu tersenyum. Senyuman anak kecil ketika mendapat hadiah permen.
"Namamu"" tanya Joki.
"Euis," kata perempuan itu tidak dengan basa-basi. "Hm," gumam Joki.
"Hm." Euis menirukan. Dia berlagak lincah, tetapi bukan itu aslinya.
"Duduk baik-baik. Kalau kamu bersikap baik, nanti aku kasih persen," kata Joki.
Euis cemberut. "Aku mau melamun," kata Joki. "Jangan ganggu ya"" "Lebih baik melamun di kamar, Oom." "Dengan kamu" Kamu cantik, bagaimana aku bisa melamun"" Euis tersipu.
"Oom kok nggak pernah ngamar""
"Aku punya istri di rumah. Ke sini cuma nganter teman."
"Ah, masak"" Bibir perempuan itu terlipat. Joki tersenyum.
Euis pindah duduk di samping Joki.
"Kalau Oom mau tiduran, pakai saja kamar saya," bisik perempuan itu. "Bayar sewa kamar saja."
Joki menatapnya. Mata perempuan itu menyorotkan kesungguhan.
"Kalau Oom tak ngamar, saya harus melayani lelaki itu," kata Euis sembari mengisyaratkan dengan kepalanya ke arah seorang lelaki. "Sudah bebe
rapa kali saya ngamar dengan dia. Saya tidak suka."
Joki melirik ke arah lelaki yang dimaksudkan Euis. Wah, memang gawat! Lelaki berkulit hitam dengan tubuh besar. Kontras sekali dengan perempuan mungil ini. Lelaki itu berkali-kali melontarkan pandang ke arah Euis. Alangkah anehnya selera lelaki ini.
Joki mengamati wajah Euis yang berada di dekat bahunya.
"Saya tak kuat melayaninya lagi," kata Euis.
"Tadi sudah melayani berapa orang""
"Tiga," kata Euis tandas.
Joki terpana. Biasanya perempuan macam Euis ini tak pernah mau mengaku sudah melayani berapa lelaki sebelumnya. Biar sudah melayani empat atau lima orang lelaki, tetap saja mengaku belum mendapat tamu sejak pagi. Tetapi, perempuan ini polos sekali. Barangkali lantaran takut kepada lelaki hitam di pojok itu"
"Oom, tiduran di kamar saya ya"" kata perempuan itu berbisik.
Joki menatapnya dalam-dalam. Mata perempuan itu jernih dalam memandang. Penuh harap. Lalu Joki mengangguk.
Cepat sekali Euis mengangkat gelas dan botol bir. Joki mengikutinya pelan-pelan.
Euis tersenyum lega. Dia mengunci pintu kamar. Joki duduk di pinggir ranjang, dan Euis membukakan sepatunya. Joki menatap rambut yang halus dan berombak.
"Tidurlah, Oom," kata perempuan itu setelah kaki Joki telanjang. Perempuan itu duduk dengan kaki berjuntai.
Joki menatap langit-langit kamar. Lalu mengedarkan pandang ke dinding. Ada gambar-gambar dari kalender yang telah lewat masa. Gambar-gambar bintang film Mandarin. Dan, Joki menyimpan senyumnya ketika olehnya terbaca tulisan Hidupku Penuh Noda di dinding itu.
"Oom kok nggak pernah main sih"" tanya perempuan itu.
"Hm, siapa bilang tak pernah""
"Pernah" Di mana""
"Di rumah." "Oom betul-betul punya istri"" "Istri orang," kata Joki diiringi tawa.
"Wah, itu berdosa."
Tawa Joki meledak. "Lalu, kalau di sini, tidak berdosa"" "Berdosa juga, tapi lebih ringan." "Wah, wah, wah. Tahu dosa juga." Perempuan itu ikut tertawa.
"Jadi, kamu takut masuk neraka"" tanya Joki kemudian. "Iya dong. Tiap orang takut masuk neraka." "Lalu, kenapa kamu masuk ke sini"" Euis tidak menjawab. Dia tersenyum. "Kamu dari Indramayu ya"" tanya Joki.
"Kok Oom tahu""
"Biasanya kalian mengaku dari daerah itu." "Oom sering ke tempat-tempat beginian""
"Sering." "Tapi, nggak pernah main."
"Pernah juga main."
"Di rumah ini""
"Tidak. Di tempat lain."
"Di Kramat Tunggak""
"Tidak." "Kalijodo""
"Tidak." "Cijantung""
"Tidak." "Lha, jadi di mana""
"Di salah satu wisma di Grogol."
"Wah, haik-klas dong""
Terminal Cinta Terakhir Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hm, tahuhigh-class juga," kata Joki.
Euis tertawa. Dia mulai memijit-mijit bahu Joki.
"Nggak dibuka bajunya, Oom""
"Ah, nggak usah. 'Kan tadi janjinya mau tiduran saja." "Iya. Tapi, biar nggak kusut." "Nggak apa-apa kusut."
"Ini tidak gampang kusut ya" Lepis ya"" kata Euis sembari mengusap-usap merk Levi's di kantong baju Joki.
Wajah perempuan itu sangat dekat dengan muka Joki. Kulitnya yang kuning dan halus tercium harum. Bibirnya yang tipis-kecil mengulum basah. Sesekali mengintai giginya yang kecil-rata dan putih. Nyaris terlupa siapa dia, Joki ingin menciumnya. Tetapi, kemudian dia ingat bahwa bibir itu bekas dilumat lelaki-lelaki lain.
Tetapi, Euis menempelkan bibirnya ke pipi Joki. Dengan halus Joki mendorongnya. Lalu tak acuh menggeser tubuhnya.
"Lebih baik kamu berbaring di sini," katanya setelah kepalanya berpindah bantal. Euis meletakkan kepalanya pada bekas kepala lelaki itu.
Joki kembali merenungi langit-langit kamar. Kulit lengannya bergeseran dengan kulit pipi Euis. Ada jalaran halus. Tetapi, karena dia ingat bahwa perempuan ini telah melayani lelaki-lelaki sebelumnya, maka birahi yang akan bergerak itu pun padam.
Euis memiringkan kepalanya sehingga menghadap Joki. Hembusan napasnya sampai ke leher lelaki itu. Dan, tangannya mengusap pipi Joki.
"Jangan, ah!" kata Joki menepiskan tangan itu. "Tadi 'kan janjinya aku tiduran saja. Ingat""
"Ya," desah perempuan itu perlahan. Lalu tangannya ditarik, dan dia hanya berani memandangi wajah Joki.
Kulitnya halus, tubuhnya harum, kata hati Joki. Tapi, dia telah disetubuhi beberapa orang lelaki dalam sehari ini. Ah!
Hanya sebentar perempuan itu diam. Dia mer
apatkan kepalanya ke kepala Joki. Pipi mereka bergesekan. Bibir perempuan itu menjalar-jalar di sepanjang leher Joki, membuat lelaki itu merinding.
"Saya kepingin mencium Oom," kata Euis. Ada desah di leher Joki. Dan, perempuan itu bergerak, dan... hup! Bibirnya menangkap bibir Joki. Terasa lunak dan hangat oleh Joki. Tetapi, Joki kembali ingat lelaki-lelaki yang tentunya telah menciumi perempuan ini. Lidah
perempuan itu berusaha menembus bibir Joki. Hangat. Licin. Ah, tubuhnya harum. Ah, ludahnya panas. Ah, siapa tahu lantaran bercampur dengan ludah lelaki entah siapa.
Joki menahan napas. Dia tersengal. Lalu dia dorong kepala perempuan itu hingga kecupan itu terlepas.
Lelaki itu menghela napas sedalam-dalamnya. Dia ingin meludah - sebab mulutnya berisi ludah perempuan itu - tetapi, ah! Ini jelas menyakitkan hati. Lalu, sembari menutup mata, Joki menelan liur itu sekalipun kerongkongan terasa kejang. Oh!
Dia bernapas bagai baru saja terlepas dari tindihan.
Euis mendekatkan kepalanya lagi.
"Jangan, ah!" kata Joki.
"Saya pingin mencium Oom," kata perempuan itu. "Aku mau tiduran saja. Tidak mau yang lain-lain." Euis terdiam. Tetapi, tangannya masih mengusap-usap pipi Joki.
"Kamu perayu ulung ya"" kata Joki jengkel. "Tanganmu tak bisa diam kalau dekat laki-laki. Kamu tak bisa diam kalau ada laki-laki di ranjangmu!"
Seperti tersengat strom, perempuan itu menarik tangannya cepat-cepat. Kemudian dia menelentang menatap langit-langit kamar. Keduanya membisu. Di luar lagu Tetty Kadi distel keras-keras. Sementara itu, di kamar hanya helaan dan hembusan napas yang terdengar. Joki ingat pada gadis yang ditemuinya di bus tadi.
Bibirnya juga sebagus bibir Euis ini. Cuma, tentunya lebih murni. Bukan bibir yang secara kolektif bisa disinggahi mulut lelaki.
Perempuan yang berbaring di sampingku ini, pikir Joki, masih muda nian. Sepantasnya dia masih asyik berpacaran. Ya, seusia dia ini, masih dalam masa bercinta monyet. Masih dalam taraf melamun, dan kalau berciuman pun harus sembunyi-sembunyi.
Tetapi, bagi Euis, masa itu telah terlompati sama sekali. Dia harus hidup dengan cara yang lain, cara yang tidak sesuai dengan usianya.
Joki menatapnya. Eh, ada linangan di pinggir mata perempuan itu. Lalu, butir-butir air mata itu menggulir ke bantal.
Joki bangun dari posisi tidurnya. Dia mengawasi perempuan itu lebih teliti lagi. Ya, perempuan itu menangis
"Kok menangis""
Euis tak menjawab. Dia tetap menatap langit-langit kamar. Pandangannya tentulah baur oleh air mata.
"Kenapa, Euis"" Joki menggoyang bahu perempuan itu. "Tak apa-apa. Tak apa-apa," kata Euis cepat-cepat.
Suaranya tersekap. Dia menghapus matanya. Telapak tangannya basah.
Sembari membalikkan badan sehingga membelakangi Joki, dia kembali mengucapkan 'tak apa-apa'.
"Kamu marah"" tanya Joki sembari mengelus bahu perempuan itu. Euis tak menjawab.
"Euis, aku menyakiti hatimu ya"" kata Joki dengan suara mengambang. "Aku minta maaf,
Euis." "Nggak, Oom," kata Euis.
Joki menarik bahunya hingga mereka berhadap-hadapan.
"Nggak, Oom. Saya yang salah. Saya yang salah. Oom memang cuma mau tiduran saja. Saya yang salah."
"Begini ya, Euis. Aku tidak ingin menyakiti hatimu. Aku menyukaimu. Kau cantik. Menarik. Tapi, aku memang sedang tidak ingin main. Sungguh! Bukan karena menganggap kamu tidak menarik."
"lya, Oom. Saya mengerti."
Lalu keduanya membisu. Lagu Tetty Kadi telah berganti. Tetap keras dan melengking. Pemilik radio itu tentunya memutar volume sampai maksimal.
"Berapa tahun umurmu, Euis"" tanya Joki kemudian.
"Tujuh belas." "Hm," gumam Joki. "Kau pernah pacaran""
"Tidak. Langsung dikawinkan oleh bapak saya tiga tahun yang lalu." "Waktu umur empat belas""
"Ya, itu biasa di daerah saya, Oom. Orang tua saya tak bisa ngongkosi saya. Lagi, orang tua saya malu kalau saya lama tidak mendapat jodoh. Dianggapnya saya tak laku."
"Kau cantik. Masak tak laku"" kata Joki sembari mengelus dagu perempuan itu.
Pelan-pelan senyuman Euis mekar.
"Lalu cerai dari suamimu""
"Ya." "Kenapa"" "Nggak tahu."
"Wah, kok aneh" Masak nggak tahu""
"Iya. Pokoknya saya dicerai. Saya cuma istri keempat."
"Waktu pertama k ali, dengan suami kamu"" tanya joki.
"Iya." "Umur berapa dia""
"Empat puluh atau lima puluh."
"Wah, bandot ya""
"Iya, memang bandot. Dia sering kawin. Kalau dia kawin, salah satu istrinya dicerai. Jadi, yang dipakai tetap empat orang."
"Dia orang kaya""
"Ya. Kaya sekali. Ayah saya menggarap sawah dia."
"Kok kamu tahu datang ke rumah ini""
"Ada yang ajak. Dia datang ke desa saya."
Air mata Euis telah kering, tetapi matanya sempat merah.
"Eh, tadi kamu 'kan kepingin mencium. Ayolah," kata Joki.
Euis tersipu. "Nggak, ah! Oom 'kan nggak suka," katanya. "Suka sekali. Ayolah."
"Nggak, ah!" "Ayolah," kata Joki seraya merapatkan kepalanya. Dan, dia menggesekkan mulutnya ke bibir Euis. Mata perempuan itu terpejam.
"Biasanya, laki-laki yang saya layani kasar-kasar," kata Euis. "Mereka rakus. Kalau mencium, seperti khawatir ada yang tersisa. Seolah-olah takut rugi kalau tidak mendapat sebanyak-banyaknya."
"Oh, ya"" kata Joki sebelum mengulum bibir perempuan itu.
Entah berapa lama lidah Euis terpilin-pilin dalam mulut Joki. Wajah perempuan itu merah.
Seekor cicak merambat pelan-pelan di dinding. Lalu berhenti, menunggu, dan... hup! Tetapi, nyamuk yang hendak ditangkapnya lolos. Tentulah cicak itu jengkel. Dia meneruskan rambatannya ke pojok kamar. Ada cicak lain di situ. Lalu, dua cicak, jantan dan betina, berkejaran. Kedua insan itu dilibat birahi yang panas. Ketika, saat-saat menggelora telah berlalu, Euis puas.
Wajahnya yang murni, sungguh, bagai anak kecil yang belum mengenal dosa. Bagaikan lenyap penderitaannya selama bertahun-tahun.
Ya, penderitaan pun lenyap jika harmoni diperoleh di ranjang tidur. Itu kata buku ilmiah atau qwasi ilmiah.
Joki menatap wajah perempuan muda itu. Bibir merah perempuan itu mengingatkannya pada gadis yang dilihatnya di bus sore tadi. Alisnya yang hitam juga meng-ingatkan Joki pada gadis itu. Ah, kenapa"
Bayangan yang timbul lantaran aku punya perasaan kasihan" Ya, aku kasihan pada gadis yang bernama Euis ini. Juga pada gadis yang tak kuketahui namanya itu. Aku kasihan pada mereka. Ya, aku kasihan pada Euis. Ini jelas. Aku tahu kenapa. Tetapi, kenapa pula aku kasihan pada gadis yang di bus tadi" Karena dia berdiri terjepit di antara orang yang berjejalan" Lantaran itukah" Bah! Bertahun-tahun aku melihat gadis-gadis terjepit di bus kota, aku tak pernah menaruh perhatian. Kenapa sekarang aku harus memberi perhatian khusus pada gadis yang tak kukenal"
Joki mengenangkan wajah gadis berbaju biru muda di bus kota. Wajah yang teduh. Karena keteduhan wajah itu maka aku berkasihan padanya" Bah, alangkah anehnya! Kenapa justru padanya" Kenapa harus pada-nya berkasihan" Ribuan gadis yang berwajah teduh ada di Jakarta ini.
Barangkali, ah, barangkali karena aku baru mengalamimental breakdown . Karena hatiku baru terpukul. Karena aku gampang luluh. Barangkali karena itu. Tapi, kenapa harus berlemah hati" Kau akan hancur kalau ha-timu rapuh. Ini Jakarta! Ini Jakarta! Ini Jakarta! Kau harus keras! Keras! Keras! Keras!
Bangsat! Bah, inikah Jakarta"
Ketika Joki Tobing meninggalkan Tanjung Priok, dia sama sekali buta tentang Jakarta. Dia termangu-mangu mengawasi bangunan yang bergerak cepat di luar bus yang meluncur laju. Boleh jadi karena hampir seming-gu tersekap di dek kapal yang pengap. Tetapi, mungkin juga karena usia mudanya yang dibawa menyeberang ke Jakarta. Selamat tinggal, Medan, sudah diucapkannya. Dia hanya membawa satu kopor pakaian usang.
Kemudian dia ragu. Tulang-nyakah yang dihadapinya ini" Dinginnya tatapan, dinginnya sambutan, tak selayaknya diberikan oleh seorang yang diadatkan sebagai tulang. Nantulang, istri tulang, memang tak sedingin itu, tetapi tatapan matanya alangkah tidak nyaman.
Meinar, yang dikenalnya waktu kecil di Medan dulu, telah berubah. Selain besar, juga tak acuh menanggapi kedatangannya. Berbeda dengan dulu. Barangkali Jakarta telah mengubahnya, pikir Joki.
"Jadi, ayahmu masih di RTM"" tanya Tulang Sahala.
"Ya," jawab Joki sembari menunduk.
Tulang Sahala saling bertatapan dengan istrinya.
"Saudara-saudaramu yang lain bagaimana"" tanya Nantulang.
Sekejap Joki menatap perempuan itu.
"Baik-baik saja."
"Masih sekolah""
"Abang-abang tidak lagi. Jadi sopir oplet. Adik-adik yang di SMP masih sekolah. Dibiayai
Abang." Sekelumit iba menyusup di mata perempuan itu. Tetapi, kemudian diputus oleh suaminya. "Baiklah. Kau tinggal di sini. Aku akan membiayai sekolahmu. Kelas berapa kau sekarang""
"Kelas dua." "Selama kelakuanmu baik, kau boleh tinggal di sini. Jangan sampai aku mendengar kejadian yang tidak baik tentang dirimu. Kudengar, sewaktu ayahmu masih bertugas kau ikut-ikut jadi krosboi. Di sini jangan sampai terjadi. Aku tidak ingin terseret-seret karena kelakuanmu. Lebih-lebih kalau disangkut-sangkutkan dengan ayahmu. Mengerti""
Joki menyangguk takzim. Lalu dia mendiami kamar di dekat kamar-kamar pelayan. Meinar dan saudara-saudaranya datang bertandang sekejap ke kamarnya, tetapi dia tahu bahwa kedatangan itu bukan untuk silaturahmi. Hanya sekadar keingintahuan. Seperti halnya dulu dia lakukan, sewaktu ayahnya masih menduduki jabatan, jika ada pembantu rumah tangga baru, dia ingin mengenalnya. Sekadar ingin tahu bagaimana bentuk dan susunan kamarnya. Itu saja.
Joki kembali bersekolah. Sesungguhnya dia tak terlalu suka mengikuti pelajaran. Seandainya ayahnya masil berwenang, dia takkan seserius sekarang ini di sekolah. Sekarang, bersekolah merupakan kesempatan untuk melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban di rumah.
Namun demikian, matahari terasa lebih nyaman dibandingkan dengan matahari bulan-bulan terakhir yang dilaluinya di Medan. Matahari Jakarta lebih cemerlang, sekalipun mendung suka berkepanjangan. Itu lebih indah karena tidak ada teror yang berkepanjangan merusuhinya. Bulan-bulan terakhir di Medan terlalu pahit. Setelah ayahnya ditahan dan harta mereka disita, segalanya menjadi kelabu. Hari-hari yang dilalui terasa getir. Lebih-lebih karena kehidupan terasa sangat jomplang. Betapa tidak! Dari kehidupan terhormat, lalu terlempar ke kehidupan penuh nista.
Sinar matahari sore menyusup ke kamar Joki. Dia baru saja menyelesaikan pekerjaan rumah yang dibawa dari sekolahnya. Terdengar detak sepatu di depan pin-tu kamarnya. Lalu tersembul kepala Meinar. Wajah ga-dis itu berseri. Hm, tentunya ada maunya. Meinar memang hanya muncul jika membutuhkan sesuatu. Benar saja dugaan Joki.
Meinar meletakkan bukunya di meja.
"Joki, tolong kerjakan ya""
Joki melirik buku tulis dan buku cetakan itu.
"Kalau aku yang mengerjakan, kau tidak akan pernah bisa Aljabar," katanya. "Nggak bisa Aljabar juga nggak apa-apa." "Kau tak naik nanti."
"Ah, siapa bilang" Ayolah, Jok," kata gadis itu sembari membuka buku cetakan.
Joki mengawasi jari-jari gadis itu. Hm, gadis pesolek. Baru kelas II SMP, tetapi kuku jarinya pakai kuteks.
"Ini soalnya." Joki tak bersuara. "Aku mau pergi. Besok PR ini diperiksa. Tolong ya, Jok"" Joki membisu.
"Kau nggak mau"" Suara gadis itu tajam.
"Bukan tak mau. Cuma tak baik. Aku bukan menolongmu kalau membuatkan PR-mu. Aku malah menjerumuskanmu."
"Ah, menjerumuskan apa" Pidato Papa juga dibuatkan oleh stafnya." "Tapi, ini bukan pidato. Ini untuk melatih kau agar bisa Aljabar." "Aku tak suka Aljabar."
"Bagaimanapun kau harus bisa Aljabar. Kalau tidak, kau nanti tinggal kelas," kata Joki. "Aku tak mungkin tinggal kelas."
"Kalau kau bodoh.... "
"Papa akan mengurus."
"Wah," "Wah apa" Kau 'kan juga bisa sampai kelas II SMA karena bantuan ayahmu waktu ayahmu punya jabatan. Kalau tidak, SMP pun tentunya kau tak tamat."
Joki terdiam. "Ini soalnya, Jok," kata Meinar kemudian sembari membuka halaman buku cetakan. Lalu dia pergi.
Belum lenyap suara sepatu Meinar, sudah terdengar suara lain, "Ada dia di kamar"" "Ada," kata Meinar.
Lalu muncul Monang, saudara Meinar. Anak ini pun tersenyum-senyum dengan buku di tangan. Joki sudah bisa menduga apa maunya. Monang kelas 1 SMA.
"Tolong ya, Jok""
Joki tak menjawab. Tetapi, Monang tetap tersenyum. Dia meletakkan sebungkus rokok di meja Joki.
Joki menatapnya. "Ini soalnya," kata Monang dan kemudian pergi.
Joki menyandarkan tubuhnya pelahan. Kehidupan memang seperti roda pedati, pikirnya. Roda yang reyot pula. Menjengkelkan. Tapi, apa mau dibilang" Inilah kehidupan. Dulu a
ku seperti anak penguasa, dan sekarang tak ubahnya pelayan. Apa mau dibilang"
Dia memandang ke luar lewat jendela. Seorang babu tersenyum kepadanya. Perempuan itu masih muda. Wajahnya bulat seperti bakpao. Kulitnya bersih. Sejak Joki tinggal di kamar itu, perempuan itu selalu ingin beramah-ramah. Barangkali dia mengira Joki pembantu baru di rumah itu. Joki tak lain adalah seorang udik dan Tapanuli, menjadi pelayan di rumah Tuan Sahala, orang Batak yang jadi tentara berpangkat. Nah!
Perempuan itu menjenguk lewat jendela.
"Ngapain, Oom"" tanyanya.
Joki tak menjawab. Dia cuma menyangkat buku-buku yang ada di mejanya.
"O, belajar ya"" "Ya," kata Joki.
"Tuan Sahala baik ya"" Joki menyangkat matanya.
"Dia mau menyekolahkan Oom," lanjut perempuan itu.
"Oh, ya"" "Masih permili""
"Masih." "Pantes."
Joki membuka buku di depannya. Bau minyak wangi murahan menusuk hidung. Separo badan perempuan itu menjenguk ke jendela.
"Oom juga orang Batak"" tanya perempuan itu tiba-tiba.
"Ya." "Kok nggak kelihatan kayak orang Batak" Tuan Sahala, Nyonya, Non Mei, semuanya nggak kayak orang Batak."
"Bagaimana rupanya orang Batak"" "Kayak yang sering saya lihat di bus."
"Kasar"" "Ya. Dan, jorok."
"Ah, itu karena mereka sedang kerja. Kalau mau nonton, kondektur atau calo bus itu rapi."
Perempuan itu mengangguk-angguk. "Oom kok jarang nonton""
Joki cuma menyangkat bahu. Dia hanya nonton kalau diajak Monang. Itu pun hanya sesekali. Monang lebih suka bepergian dengan teman-temannya, kelompok yang terdiri dari anak-anak pembesar.
Seperti hari itu. Monang masuk ke kamar Joki. Tatapannya mengandung rahasia. Dia menutup pintu kamar dan mendekati Joki.
Malas-malasan Joki bangun.
"Jok, kau kenal Marihot"" tanya Monang hampir berbisik.
"Marihot" Marihot mana""
"Dulu tinggal di Medan Baru. Marihot Aruan."
"Hm, Marihot. Ya, kenal. Kenapa""
"Kenalkan aku sama dia."
"Buat apa""
"Dia punya nisan. Dia sering bawa nisan dari Medan."
"Kau biasa berganja, Monang""
Monang menyeringai. "Wah, kalau Tulang tahu bisa berabe."
"Ah, dia tak perlu tahu. Ayolah, kita ke rumahnya. Kabarnya dia baru datang dari Medan. Biasanya dia banyak bawa."
Sekejap Joki mengawasi Monang.
Monang tak acuh. Dia mengisap rokoknya dalam-dalam.
"Berpakaianlah," katanya.
Joki berdiri pelahan. Monang tak sabar.
Lalu, bagaikan kesetanan Monang melarikan Jeep Toyotanya.
"Kita ngampiri teman-teman dulu."
Dan, kemudian Jeep itu penuh anak-anak muda. Ban mobil menjerit-jerit di aspal. Apalagi setelah semuanya menyulut rokok berganja. Bau langu mengingatkan Joki pada masa-masa tinggal di Medan dulu. Joki tersenyum melihat Monang mengisap ganjanya kuat-kuat, menyusupkan asap ke lekuk paru-paru.
"Oke, sekarang kita ke mana"" tanya Marihot.
"Ya. Ke mana"" tanya Monang. Dia menoleh ke belakang, dan arah mobil melenceng. Fendi yang duduk di sampingnya memekik. Monang sigap membanting stir. Nyaris menabrak becak. "Bah! Mau mati ya"" bentak Monang diikuti koor Marihot dan tiga kawannya.
"Aku pulang dulu, Monang," kata Joki. "Bah! Mengapa kau pulang"" tanya Marihot. "Ada yang mau kukerjakan," kata Joki. "Kayak cewek saja kau!" bentak Marihot. "Sungguh! Ada yang harus kuselesaikan di rumah."
"Kau berubah sekarang, Joki," ujar Marihot. "Kalian tahu" Joki ini jagoan dulu di Medan." "Itu dulu. Sudah berlalu," kata Joki murung.
"Dulu Joki jago benisan, jago becewek, jago ngebut, jago begadang, jago apa lagi"" kata Marihot.
Joki membisu. Anak-anak muda di mobil itu menatapnya penuh respek. Hm, laki-laki yang selalu di kamar belakang rumah Monang ini ternyata punya sejarah hebat. Dan, mereka memang selalu respek kepada lelaki yang jago segala macam. Respek terhadap kejagoan di bidang yang mereka kerjakan sekarang.
"Monang, aku pulang saja," kata Joki.
"Oke!" Monang membanting stir. Suara jeritan ban mencicit.
"Bisa jadi wadam kau kalau di rumah saja," kata Marihot.
Wadam atau bukan, peduli apa"
Joki melangkah ringan ke kamarnya. Senja telah mulai turun. Bunga-bunga terlihat lebih indah. Lama tak mengisap ganja, begitu mengisap kepala rasanya agak berat. Atau barangkali ganja dari Marihot itu memang keras" Mungkin ganja A
ceh atau Mandailing. Tapi, pikir Joki, dulu aku tak segampang ini tinggi. Sekarang kakiku ringan. Lebih baik tidur.
Bisa jadi wadam kalau di rumah saja. Wadam atau bukan, peduli apa" Tapi jadi wadam____wah!
Dan, Joki ingat pada wadam di Jalan Thamrin. Dan, dia tertawa. Tawanya meledak.
Bunga di taman menguarkan wewangian. Semilir angin terasa nyaman. Langit di barat masih menyisakan warna merah. Bagus sekali. Bunga-bunga berwarna ungu. Ada mawar berwarna ungu" Bagus sekali. Wanginya melebihi wangi parfum mana pun. Harum sekali. Angin menggoyang ranting mawar itu. Dan, kaki Joki semakin ringan melangkah.
Dia menghempaskan daun pintu. Lalu berbaring. Dia ingin tertawa. Wadam melenggang di Jalan Thamrin. Pantatnya bergoyang. Tangannya gemulai. Hah! Joki tertawa.
Kamarnya gelap, tetapi dia malas menyalakan lampu. Padahal letak kontaknya dekat sekali. Lebih enak berbaring saja. Sinar lampu dari luar menerobos lewat ventilasi. Pancarannya menimpa dinding. Warnanya bagus sekali. Kuning. Ventilasi itu cemerlang dalam ge-lap.
Tiba-tiba pintu kamarnya terkuak. Bayangan tubuh perempuan mengisi bingkai pintu.
"Nggak makan, Oom""
Mata Joki berkedip-kedip, mencoba menatap wajah babu itu.
"Semuanya pergi ke Bogor. Oom kok nggak ikut""
Joki tak menjawab. "Oom Monang juga nggak ikut."
Hah, cerewet benar perempuan ini! Joki menutup matanya. Badannya terasa melayang-layang, Ah, kenapa begini gampang aku fly" Cuma satu linting-an. Langsung terasa ke otak.
"Sakit, Oom"" tanya perempuan itu.
"Tidak!" bentak Joki.
"Sore-sore kok tidur"" Perempuan itu mendekati Joki. "Mau saya pijit""
Joki tak menjawab. Dipijit memang enak, pikirnya. Maka dia diam saja ketika perempuan itu memijit-mijit kakinya. Jari-jari perempuan itu kuat mencengkeram otot-otot. Rambatan aneh mengalir dari bagian yang dipijit, mengarus ke dada Joki. Profil perempuan itu tidak lagi seperti bakpao dalam remang-remangnya kamar. Dan, ketika perempuan itu memijit bagian paha, bayangan tubuh perempuan itu menjelma menjadi tubuh peragawati Ade Sulaiman. Minyak wanginya pun tidak lagi tercium sengit dan memeningkan kepala. Bau bedaknya juga tidak lagi murahan. Lebih-lebih karena jari-jari perempuan itu telah menyusur ke mana-mana. Joki merasa dirinya melayang-layang. Tetapi, dia tahu napas perempuan itu terengah-engah.
Joki senang melihat perempuan itu mengunci pintu kamar. Sesekali dia memang ingat wadam di Jalan Thamrin. Dia tertawa tanpa sadar. Perempuan itu cemberut sebab mengira Joki menertawakan dirinya yang berpantat besar. Dia cemberut. Maksudnya merajuk, tetapi Joki tidak peduli. Joki ingin tertawa. Tetapi, kemudian keringatnya deras mengalir. Dia mengeluh. Perasaan lucu telah lenyap.
Perempuan itu kecewa. Joki menyuruhnya ke luar. Tak ada lagi yang lucu. Tidak ada lagi wadam atau pantat besar. Yang ada hanya rasa malu.
Sejak itu Joki malu bertatapan mata dengan perempuan itu. Kendatipun perempuan berdada busung itu sering memancing-mancingnya, Joki tetap tak peduli. Tak pernah punya keberanian untuk mengulangi lagi. Tak pernah. Keluhan 'ah' panjang dari mulut perempuan itu ketika Joki terkulai, selamanya menghantui.
Itulah kenapa Joki kemudian lebih senang ke luar rumah mengikuti Monang. Selain agar jarang berada di rumah, juga agar kebutuhan rokok tertanggulangi. Tetapi, ini berarti dia harus kembali ke dalam gaya hidup yang lama.
Monang terburu-buru menjemputnya.
"Ada apa"" tanya Joki.
"Nanti kuceritakan. Ayo, ke tempat teman-teman," kata Monang terengah. Ternyata gadis Monang dibawa pemuda lain. "Cari cewek yang lain," kata Joki.
"Bukan aku tak bisa cari cewek lain. Bukan itu soalnya. Tapi, ini penghinaan. Cewek tidak seberapa. Penghinaan ini harus dibalas!"
"Lantas"" Lantas, esok harinya koran-koran menulis:
Tiga orang luka parah akibat perkelahian di Restoran M, di bilangan Kebayoran Baru. Perkelahian antar geng anak muda, diduga akibat cewek. Kalangan yang melihat mengatakan, serombongan anak muda datang dengan Jeep Toyota, langsung melakukan pemukulan terhadap anak-anak muda yang sedang minum di situ. Identitas penyerang sudah diketahui oleh yang berwajib... dan sete
rusnya dengan bumbu masing-masing koran.
"Sudah aku peringatkan, jangan bikin gara-gara di sini! Tapi, ternyata kau tidak bisa mengubah kelakuanmu!" kata Tulang Sahala. Wajahnya yang coklat berwarna tembaga.
Joki duduk tertunduk. "Kau lebih tua dari Monang. Seharusnya kau bisa menunjukkan kelakuan yang lebih dewasa!"
Joki membisu. Sekilas dia melirik Monang yang duduk di sudut ruangan. Meinar menatap takut-takut ke arah ayahnya, lalu kepada abangnya yang kepalanya terbalut. Kepala Monang sempat bocor dihantam dengan botol bir.
"Dan, kau!" kata Tulang Sahala kepada anaknya.
"Bikin malu orang tua! Menggunakan mobil untuk ugal-ugalan! Ini urusan Mabak! Kapolri langsung turun tangan. Coba, apa aku tidak malu punya anak anggota geng begini"" Napas lelaki itu sesekali sesak. Lalu dia duduk. Istrinya menyodorkan minuman, dan cepat-cepat mengeluarkan tablet. Sekali teguk lelaki itu memindahkan tablet ke dalam perutnya.
"Sudahlah, Pap. Nanti malah darah tinggimu kumat," kata perempuan itu.
Tulang Sahala memijit-mijit jidat.
"Kepalaku pusing," katanya.
Kepalaku juga, pikir Monang. Dia menatap ibunya. Dan, yang diharapkannya pun tibalah. "Pergilah tidur, Monang. Kau perlu istirahat." "Tunggu!" sergah ayahnya.
"Biar dia istirahat, Pap. Darahnya banyak keluar. Kalau tak istirahat, dia bisa gegar otak."
"Lebih baik lagi dia mati!" kata lelaki tua itu. Tetapi, akhirnya toh dia membiarkan Monang beranjak masuk ke kamarnya.
Hening sejenak. "Kau!" bentak Tulang Sahala dengan tatapan sembilu. "Ingat janjimu dulu"" Joki mengangguk.
"Kau hanya kuterima di rumah ini kalau kelakuanmu baik!" "Ya, Tulang," desah Joki.
"Kau mengerti maksudku""
"Ya." Lebih berdesah suara Joki.
"Nah, baik." Lelaki itu mengeluarkan uangnya dari kantong. "Ini," katanya, "uang terakhir yang kau peroleh dari aku. Terserah mau kaugunakan untuk apa. Mau untuk ongkos pulang ke Medan, atau apa saja. Itu urusanmu. Aku tidak akan mengurusmu lagi."
Lalu Tulang Sahala berpaling. Tak ingin melihat Joki lagi.
Joki melangkah pelahan ke belakang. Pelan-pelan dia memasukkan pakaiannya ke dalam kopor. Di mulut pintu kamar, berdiri Meinar.
"Jadi, kau akan pergi, Joki""
"Ya," kata Joki tanpa mengangkat kepala. Matanya panas. Tetapi, dia takkan menangis. Tak akan, tak akan tak akan. Kemarin dia telah berkelahi bagai macan. Dia telah mengeluarkan jurus-jurus karate yang dipelajarinya. Dia telah menghajar pontang-panting lima orang musuh. Tiga orang bahkan diluluhlantakkan sebelum Monang memainkan botol bir di kepala mereka. Tetapi, musuh pun menggunakan botol bir sebagai senjata. Ah, Monang. Andainya perkelahian dengan tangan kosong saja, tak akan ada yang pecah kepalanya. Darah memang mengerikan.
"Ke mana kau akan pergi, Joki"" Suara Meinar terdengar pelahan.
"Ke mana saja," kata Joki tak acuh. Dia sadar bahwa suara Meinar tidak seperti biasanya. Tidak segalak biasanya. Kini suara itu pilu tersekap dalam dada.
Maka Joki mengangkat matanya. Meinar bersandar pada kusen pintu. Matanya berlinangan. "Di mana kau tinggal nanti""
"Di mana saja. Banyak kenalan di Jakarta ini. Aku akan menumpang di rumah salah seorang kenalan."
"Jadi, kau tidak akan pulang ke Medan""
"Kenapa harus pulang" Aku harus hidup di Jakarta ini."
Meinar menatap Joki. "Aku ingin ke Medan," kata gadis itu. "Waktu kecil kita sering main-main. Kau masih ingat,
Joki"" Joki bergumam. Matanya kembali panas. Mengenangkan Medan, hatinya menjadi murung. Murung mengingat pohon asam di pinggir jalan, atau pohon ke-nari yang menaungi jalan.
"Kau pernah memukul kepalaku," kata Meinar. "Kau ingat, Joki""
"Ah!" keluh lelaki muda itu. Kenapa harus sekarang diingat-ingatkan"
"Aku ingin ketemu dengan namboru(panggilan bagi saudara perempuan dari pihak ayah. Dalam cerita ini, ibu Joki.) Dia baik sekali. Waktu aku kecil, dia pernah memukul kau lantaran kau menyakiti hatiku. Aku lupa apa pasalnya. Tetapi, aku selalu ingat, dia baik sekali. Selalu dia memperhati-kan aku."
"Ah, sudahlah!" kata Joki dalam decak.
Meinar tertunduk. Gadis itu baru duduk di kelas III SMP, tetapi pertumbuhan badannya membuatnya cepat dewasa.
"Kau tetap akan sekolah,
Joki"" tanya gadis itu.
"Ya. Kalau bisa."
"Siapa yang membiayaimu"" "Aku akan kerja."
Terminal Cinta Terakhir Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kerja apa""
"Apa saja. Yang jelas, aku tidak akan mati kelaparan di Jakarta ini." "Tapi, apa bisa kau sekolah"" "Itu tak perlu dirusuhkan."
"Kalau kau mau, biar aku bujuk Mama agar membiayaimu diam-diam." "Tak perlu. Aku tidak ingin membuat persoalan baru dalam keluarga kalian." "Sayang sekali kalau kau berhenti sekolah. Sudah kelas tiga." Joki tertawa, tetapi pahit.
"Aku bisa membiayai diriku. Entah dengan jalan apa. Pokoknya aku akan berhasil."
Meinar menatap tangan Joki yang sedang menutup kopor. Joki mengedarkan pandangannya berkeliling kamar. Tujuh bulan dia tinggal di kamar itu. Terasa sudah akrab dengan dinding berkapur putih itu. Dinding yang ditempeli gambar-gambar besar sobekan dari majalah.
Gadis itu menatap Joki dengan matanya yang berkaca-kaca.
"Gara-gara Monang kau terusir," katanya.
"Ah, bukan gara-gara dia. Memang aku yang tak tahu diri."
"Seharusnya kau jangan mau diajak berkelahi."
"Tak perlu lagi dipersoalkan, Mei. Yang berlalu, berlalulah. Sekarang aku akan pergi."
Meinar tetap berdiri di pintu.
"Oke. Ada yang mau kau bicarakan lagi""
"Tidak," kata gadis itu sebelum menyisih.
Matahari Kota Jakarta terik membakar bumi. Tubuh yang melata di bawahnya gosong dan berkeringat. Aspal yang panas memanggang sepatu. Di sini, hanya dengan jalan bertarung maka orang bisa hidup. Karena itu, keteduhan adalah langka, dan terasa indah. Karena itu, taman yang teduh adalah surga, dan wajah yang teduh adalah indah.
"Jika kau menanti pada dekat sore di terminal ini, tentunya kau akan bertemu lagi dengan wajah yang teduh itu," kata Joki kepada dirinya sendiri.
Ya, apa salahnya" Toh tidak ada yang harus dikerjakan pada sore hari begini. Nyaman juga rasanya duduk melamun di terminal yang sibuk.
Satu per satu bus tiba dan berangkat. Matahari tak lagi panas. Cahayanya hanya mengintaikan kemerahan di langit barat. Sebentar lagi lampu-lampu akan menyala. Lalu malam akan menggeser senja. Tetapi, hendaknya sebelum kelam, wajah teduh itu muncul.
Dan, ketika sebuah bus lagi masuk ke terminal, Joki menajamkan pandangan. Penumpang-penumpang mengalir turun, Dan, ah, itu dia. Masih berbaju biru muda. Rupa-rupanya warna itulah pakaian kerja di kantornya. Tapi, di perusahaan mana"
Joki mengawasi gadis itu melangkah. Ayunan langkah gadis itu, aduhai lunak. Dia melintas di dekat Joki. Sekejap pandangan mereka beradu. Mata gadis itu seperti tersibak. Barangkali dia merasa kenal, tetapi tak pasti. Dia terus melangkah.
Joki berdiri dan mengawasinya hingga gadis itu keluar dari terminal. Gadis itu menawar helicak.
Joki termangu-manqu. Ah, alangkah penakutnya aku. Bah, alangkah konyolnya. Telah terlewat satu moment. Maka Joki kembali duduk. Dia menatap puntung kretek di dekat kakinya. Enam atau tujuh puntung.
Agaknya inilah namanya jatuh cinta model abad sebelum renaisans, pikir Joki. Tertarik, tapi tak berani bertindak. Ngomong pun tak berani. Konyol!
. Bus datang. Terminal itu bising. Semua ingin bersuara. Penumpang, kondektur, petugas LLJR yang marah-marah, semua bising. Hanya Joki yang senyap dalam kesendirian di tengah kehirukan itu.
Sampai kemudian sepatunya ditendang seseorang.
Dia menyangkat kepala. Di depannya, berdiri Wawan.
"Kayak patung Borobudur kau di sini," kata Wawan.
Joki menghela napas dalam-dalam. Muncul lagi biang penyakit, pikirnya.
"Ayoh, aku mau mentraktir kau."
"Berhasil obyeknya"" tanya Joki.
"Ya. Aku akan kembalikan uangmu nanti. Ditambah lagi dengan uang dengar."
Langkah mereka bersemangat meninggalkan terminal.
"Aku ketemu lagi dengan cewek kemarin itu," kata Joki.
"Cewek yang mana""
"Yang di bus kemarin."
"Ooo. Lantas""
"Tak apa-apa." "Lha, jadi""
"Ya, aku lihat dia. Dia lihat aku. Itu saja." "Banyak cewek bisa dilihat dan bisa melihat di kota." "Tapi, dia tak sama dengan cewek mana pun." "Ah! Apanya yang tidak sama!" kata Wawan sinis. Joki terdiam.
Apanya yang tak sama" Banyak hal yang tak sama, yang membedakan gadis itu dengan gadis mana pun. Dalam kesamaran senja, wajahnya yang teduh bagaikan patung dewi klasik, bagaikan madon
na-madonna yang sering dilukiskan seniman-seniman sebelum abad perte-ngahan. Tetapi, wajah gadis itu tidak bertipe erotis. Dia lebih mendekati Dewi Sri, yang menyimpan pesona da-lam hening. Dia tidak bertipe modern. Tetapi, indah di tengah-tengah kehidupan metropolitan. Dia bagaikan bunga melati bersaput embun di tengah bunga-bunga plastik yang indah. Indah, tetapi diam. Dia bertipe kejawaan yang sabar, bukan tipe kemanadoan atau ke-batakan yang lincah.
Wawan berkata, "Kalau kau memang ada niat, langsung serang. Pakai teknik Napoleon." Maka, sore itu, kendati dengan jantung yang berdegupan, Joki mendekati gadis itu. "Selamat sore," katanya. Bah, suaranya kok jadi lain"
Dan, jantungnya menggelepar sebab gadis itu menyangkat kepala dan menatapnya. Sejuta pesona terhimpun dalam mata itu. Bagai telaga yang menyimpan sejuta misteri.
"Sore." Bibir gadis itu terkuak. Kelopak bunga mawar itu terkuak pada senja yang disungkup keredupan sinar matahari. Maka bibir itu nampak cemerlang.
Mata gadis itu masih menatap. Menaksir-naksir.
Banyak percakapan permulaan yang sudah dikursuskan oleh Wawan, tapi tak satu pun teringat oleh Joki. Joki bingung. Mereka masih berdiri berhadapan. Apalagi yang harus dikatakan"
"Pulang"" Gadis itu mengangguk. Maka Joki bingung lagi. "Saya ingin kenalan," kata Joki kemudian.
Kelopak mata gadis itu terangkat. Dia pun bingung Tetapi, bibirnya menyimpan senyum samar. Geli melihat kecanggungan lelaki di hadapannya.
"Boleh"" Suara Joki tersendat.
Gadis itu masih terheran-heran. Dia mengawasi muka lelaki di depannya. Instingnya menilai. Kelihatannya lelaki ini jujur, pikirnya. Lalu dia mengangguk.
Joki mengulurkan tangannya. Gadis itu nyaris tertawa. Kayak dagelan. Tetapi, disimpannya tawa itu sebab dia melihat kesungguhan di wajah lelaki itu.
"Joki. Joki Tobing," kata Joki saat menjabat tangan perempuan itu. Mak, halusnya telapak tangan ini.
"Widuri," kata gadis itu. Widuri, ulang Joki tanpa suara. Widuri, Widuri, Widuri. Baik. Namanya sudah tahu. Lantas"
Gadis itu mulai melangkah.
"Kita pernah ketemu di bus dua hari yang lalu," ka-ta Joki.
Gadis itu mengangguk. Rambutnya melambai.
"Waktu itu hujan," lanjut Joki.
"Ya. Sekarang musim hujan," kata Widuri.
"Untung hari ini cerah."
"Kemarin juga cerah."
"Kalau hujan, repot di Jakarta ini."
"Ya, tanah-tanah becek."
"Kecuali kalau perbaikan kampung proyek Husni Thamrin sudah selesai semua. Jalan-jalan di kampung tak lagi becek."
Langkah mereka pelan-pelan ke arah luar terminal. "Kerjanya di mana""
Widuri menyebutkan nama sebuah perusahaan asing yang diketahui oleh Joki berkantor di Kebayoran Baru.
"Tidak disediakan pengangkutan""
Widuri menggeleng. Lehernya yang jenjang mengintai di sela rambutnya. "Tinggal di mana""
Widuri menatap Joki, lalu tersenyum. Hanya itu. "Boleh saya antar""
Widuri tetap tersenyum, tetapi tak memberikan jawaban.
"Boleh"" desak Joki.
Gadis itu menggeleng. "Kenapa"" Rambut gadis itu melambai. Dia menggeleng. Ah! Joki terdiam. Mereka tiba di luar terminal. Mata gadis itu mencari-cari sesuatu. Seorang pengemudi helicak menyorong kendaraannya
mendekati Widuri. Widuri tersenyum. Nampak-nampaknya dia sudah biasa pa-kai helicak itu. Pengemudi helicak itu sudah tua.
"Agak cepat pulang hari ini"" kata pengemudi helicak itu. Dari dialeknya, Joki bisa mengetahui dari daerah mana pengemudi helicak itu berasal.
"Di dia jabu na (di mana rumahnya)"" tanya Joki.
Pengemudi helicak itu menatap Joki. Lalu tertawa. "Bagak ate (cantik ya)"" katanya. Dia men-start helicaknya, lalu pergi.
Sekejap Widuri sempat melintaskan pandangan arah Joki. Dan, lelaki itu terpana.
Asap dari knalpot helicak mengotori udara sore. Dan sesuatu terbawa dari diri Joki, dilarikan oleh helicak yang menyusup kesibukan lalu-lintas. Rembang petang sebentar lagi turun. Maka kesibukan kendaraan yang berseliweran kian bertambah sebab orang-orang tak sabar untuk segera tiba di rumah masing-masing.
Joki melangkah santai kembali ke terminal. Lalu kembali duduk. Wawan berjanji akan datang. "Sudah aku tahu namanya," kata Joki begitu Wawan tiba. "Widuri. Bagus ya"" "Hm." Wawan bergumam. "Alamatny
a sudah kau ketahui""
"Itu gampang. Helicak yang biasa dipakainya, pengemudinya bisa kucari. Orang Batak. Aku tahu bengkel tempat mereka biasa mereparasi helicak. Bengkel orang Batak."
"Wah, di mana-mana orang Batak. Bisa kacau kota ini."
"Lalu, apa yang harus kulakukan lagi""
"Tempat kerjanya sudah kau ketahui""
"Sudah." "Nah, lebih baik besok sore kau tunggu di dekat kantornya. Biar bisa naik bus sama-sama dari sana."
"Kaupikir dia mau""
"Bukan soal dia mau atau tidak, tapi soal kesempatan. Kau harus menciptakan kesempatan
itu." Joki mengangguk-angguk. "Barangkali aku memerlukan ajimat sekarang," katanya. "Ah, taik ajimat. Nonsens!"
"Soalnya aku gugup kalau ketemu. Aku bingung. Aku kehilangan kata-kata." "Tak perlu banyak berkata-kata."
"Iya, tapi 'kan perlu ngomong. Kalau tidak, bagaimana dia tahu aku tertarik kepadanya""
"Dengan isyarat dia akan tahu. Apalagi dia orang Jawa. Iya 'kan" Mereka lebih peka dengan bahasa isyarat. Mereka lebih peka untuk membaca apa yang tersirat. Beda dengan kita, orang Batak dan orang Ambon. Kita lebih senang langsung-langsung saja. Aku tahu betul itu. Sebab, aku pernah punya pacar orang Jawa dulu. Ham-pir kukawini dia."
Joki diam. Dia mengambil rokok yang disodorkan Wawan.
"Jadi, itulah nasihatku. Tunggui dia keluar dari kantornya."
Joki mengisap rokoknya dalam-dalam. Lalu mulutnya monyong untuk membuat bulatan-bulatan asap.
"Nah, sekarang kita pikirkan kepentinganku. Aku naksir si Meinar. Bisa kaubantu"" "Bisa saja. Tapi, bagaimana bentuk bantuanku"" "Kau tidak ada niat sama dia""
"Tidak." "Tapi, kulihat dulu kalian akrab."
"Tentu saja akrab. Dia anak oomku,"
"Hm." Wawan menakisir-naksir. "Pernah kau-kerjain""
"Bah! Bagaimana mungkin""
"Siapa tahu" 'Kan sempat jadi pacarmu!"
"Berpacaran 'kan bukan berarti bisa dikerjain. Biadab betul otakmu!"
"Dia hot ya"" "Entah."
"Tapi, pernah kaucium, 'kan""
Sesaat mereka bertatapan. Lalu Joki menyeringai.
"Yah," katanya.
Wawan mengakak. "Hm, Meinar," katanya separo mengigau.
Meinar memang hot. Meledak-ledak. Joki ingat ketika gadis itu masuk UI. Ketika itu Joki sudah beberapa tahun menjadi senior di UI. Kuliah sambil bekerja. Lalu mereka bertemu saat Meinar mendaftar.
"Hai, Joki!" Hai!" Dan, Joki terpana. Siapa mengira dalam beberapa tahun saja gadis ini sudah berkembang menjadi seperti sekarang. Dia seperti negeri Arab yang mengalami perkembangan drastis akibat
ditemukannya sumur-sumur minyak. Tiba-tiba saja menjadi dewasa dan subur. Rambutnya yang bergelombang berjuntai hingga bahu. Mukanya lonjong dan mencerminkan kegalakan. Kecantikan gaya I tali. Lebih-lebih matanya, dan bibirnya yang menyimpan kesan: berani membentak lelaki. Wah.
"Lama nggak kelihatan. Berapa tahun ya"" Suara gadis itu nyaring. "Ya, lama. Empat tahun. Iya, 'kan"" "Selama ini tetap di Jakarta""
"Ya." "Kok tak pernah ketemu""
"Hm," gumam Joki. Memang aku berusaha agar tidak bertemu dengan kalian sekeluarga, pikir Joki. Jakarta begitu luas. Apa susahnya untuk tidak bertemu dengan seseorang"
"Kenapa tak pernah datang ke rumah""
Joki tak menjawab. "Kau kuliah di sini juga""
"Di FIS. Kau mendaftar ke mana"" tanya Joki.
"Sastra." "Ooo. Bagaimana keadaan Nantulang"" "Mama sehat. Monang di ITB."
"Tulang"" "Papa sehat-sehat," kata gadis itu. Matanya tajam menyeruak. Joki tak acuh. "Aku ada beberapa kali ketemu dengan dia," kata Joki. "Oh, ya" Kok dia tak pernah cerita di rumah ya" Di mana ketemu"" "Di kantornya. Waktu aku bertugas." "Bertugas" Kau sudah kerja"" "Ya. Merangkap sambil kuliah."
"Kerja apa""
"Wartawan." "Wah, hebat." "Hebat apa""
Gadis itu tertawa. Giginya yang halus, rata, dan putih mengintai. Bibirnya yang merah mengelopak.
Lantas mereka sering bertemu di Kampus Rawamangun. Sering makan bersama di kafetaria. Juga nontonmatine . Kemudian gadis itu mem-fait accomply, mem-bawa Joki ke rumahnya. Maka Joki berbaikan kembali dengan tulang-nya. Toh dia sekarang mahasiswa. Lebih-lebih lagi, dia wartawan pada sebuah surat kabar besar.
Itulah. Pertemuan itu menjadi permulaan baru. Mereka pernah bergaul waktu masih kecil. Sekarang, tinggal penyesuaian saja.
Joki menarik napas dalam -dalam. Tapi, pintu sudah terbanting, keluhnya. Dia tersentak oleh tepukan di bahunya. Wawan menatapnya. Joki mengawasi cambang Wawan yang rapi serta hidungnya yang mancung. Sebagai orang Ambon, lelaki ini memang layak bangga akan dirinya, pikir Joki. Dia tampan, berwajah simpatik. Kayak Omar Sharif. Cuma lebih kurus.
"Kenapa ngelamun" Mengenang Meinar"" tanya Wawan. "Berapa kali sudah kaucium dia""
"Hah, gila! Mana bisa kuhitung"" kata Joki.
"Yang pertama, bagaimana" Ceritakanlah."
"Itu privacy . Tak patut diceritakan."
"Aku perlu mengetahui itu, biar aku bisa menyusun strategi."
"Kayak mau perang saja. Pakai strategi segala macam!"
"Strategi bukan cuma untuk perang. Untuk pembangunan juga perlu."
"Oh, ya. Memang perlu strategi pembangunan cinta."
"Nah, itulah. Bagaimana kali pertama kau menciumnya""
"Wah, itu sulit mengingatnya."
"Itu perlu kuketahui. Soalnya, dia bisa digolongkan gadis galak. Sulit untuk merayunya. Aku perlu mengetahui kecenderungan-kecenderungannya."
"Tak sulit menciumnya. Itu yang kualami. Entah kalau orang lain."
"Bagaimana, bagaimana""
"Ketika itu ulang tahun papanya. Ulang tahun oomku yang darah tinggi itu."
Lampu-lampu kristal yang tergantung di langit-langit bersinar cemerlang. Tamu-tamu semua berpakaian indah. Walau sudah dicanangkan pola hidup sederhana, tetap saja pesta ulang tahun sekaligus kawin perak Tulang Sahala penuh dengan kemewahan. Toh bagi Tulang Sahala masih dianggap sederhana.
Tetapi, apa peduli Joki" Malam itu dia hanyalah seorang kemenakan yang harus membantu kelancaran resepsi itu.
Tak ada lagi yang perlu dikerjakan. Lalu Joki mengundurkan diri dari tengah khalayak. Lehernya berkeringat. Jas dan dasi yang mencekik leher membuatnya kepingin mencari udara segar di luar.
Di koridor, di dekat lukisan Affandi, dia berpapasan dengan Meinar. Sejak tadi Joki ingin memuji gadis itu. Malam itu Meinar bagaikan dewi. Dalam pakaian yang menjuntai hingga lantai, dia terlihat anggun. Tentunya dia juga tak betah menemani orang-orang tua itu. Apalagi orang-orang tua itu cas-cis-cus menyempatkan diri menggunakan bahasa sisa-sisa masa lampau mereka. Sungguh orang-orang tua itu menyebalkan manakala mereka berbahasa Holland di depan anak-anak yang ha-nya belajar bahasa Inggris. Di situ baru benar-benar terasageneration gap yang disebut-sebut dalam koran-koran.
Joki dan Meinar bertatapan. Maka Joki lupa untuk mengeluarkan pujian. "Ayo, ke teras," kata Meinar.
Joki tak membantah. Dia memegang tangan gadis itu, dan mereka melangkah ke teras. Jari-jari Meinar lunak dalam genggamannya.
"Kau tak ada rencana pulang ke Medan, Joki""
Joki menggeleng dalam keremangan teras. Lampu duduk di taman sinarnya redup menggapai terus.
"Kenapa"" "Tak ada gunanya pulang. Buang-buang ongkos."
"Kau 'kan bisa minta pada surat kabarmu untuk ditugaskan meninjau ke sana."
"Buat apa" Aku lebih senang meninjau ke daerah lain. Ke Indonesia Timur terutama. Biarlah wartawan dari sana meninjau Medan. Jadi, bisa saling melihat daerah lain. Itu lebih bermanfaat. Bisa memupuk rasa saling mengerti yang lebih dalam. Yang dari Manado melihat Medan, yang dari Medan melihat Manado atau Makasar."
"Kau tak rindu pada namboru""
"Wah, kayak anak-anak saja. Bisa diketawai orang aku kalau berindu-rindu pada Ibu. Terlalusisy
s." Mereka bertatapan. Ke tempat itu, semayup terdengar nyanyian Grup Impola terbawa angin dari depan. Lagu Batak yang sentimentil. Aneh sekali. Orang-orang Batak yang dikenal bertabiat keras mempunyai persediaan lagu sentimentil segudang. Dan, orang Batak gampang pula terhanyut oleh lagu itu.
Meinar pun membisu menyimak lagu itu. Lagu yang menceritakan nasib anak muda yang pergi merantau. Sebelum pergi, anak muda itu telah berjanji kepada seorang gadis. Dia pergi karena kemiskinan. Lantas, ketika dia pulang, ternyata dia menemukan gadisnya telah menjadi istri sahabatnya. Tak ada lagi yang bisa dikatakannya. Seluruh kekayaan yang diperoleh di rantau, apalah artinya. Seluruh perjuangan keras yang dijalani di rantau selama ini, apalah artinya.
"Lebih baik aku terjun ke Danau Toba pada saat penolakan orang tuamu dulu," kata pe
muda itu. "Lebih baik mati di saat itu kalau memang beginilah akhirnya. Telah kujelajah kota yang kejam, telah kutaklukkan Jakarta yang keras, tetapi ternyata aku dikalahkan oleh kampungku sendiri. Tu magon nama au mate, tu magon nama au mate, tu magon nama au mate. Lebih baiklah aku mati, lebih baiklah aku mati, lebih baiklah aku mati."
Nyanyian itu berakhir. Meinar menarik napas dalam-dalam. Matanya berlinang.
Joki menatap bunga-bunga di taman. Grup Impola di ruangan resepsi membawakan lagu berirama Latin.
"Jadi, kau tak mau pulang, Joki"" tanya Meinar.
"Tidak." "Amongboru (suami namboru ) 'kan sudah lama keluar dari RTM"" "Ya."
"Tak ada yang ingin kautemui di sana""
"Tidak." Sesaat gadis itu membisu.
"Aku ingat waktu kita kecil," katanya kemudian. "Kau sering menjemputku dari sekolah. Ketika itu aku masih di Taman Kanak-Kanak. Kau berkelahi dengan anak-anak yang menggangguku. Padahal Monang, abangku sendiri, tak pernah membelaku."
"Di daerah kita, anak-anak memang sering berkelahi," kata Joki datar.
"Monang juga sering berkelahi, tetapi tak pernah karena membelaku."
"Sebenarnya kau tak perlu dibela. Kau galak. Kau memang sering cari gara-gara."
Gadis itu tersenyum. "Aku galak" Ya, barangkali. Karena itu aku tak pernah lama punya pacar. Gampang putus." "Ah, masak. Kau cantik. Pasti banyak laki-laki yang suka kau." "Masak iya"" Senyum gadis itu tambah mekar.
"Kalau kau ikut pemilihan Miss Pariwisata, aku yakin kau dapat nomor."
Gadis itu tambah merapatkan duduknya ke tubuh Joki. Joki tetap tak acuh. Tetapi, barangkali justru ketak-acuhan ini membuat Meinar semakin geregetan.
Kemudian itulah! Entah siapa yang mendahului, mereka sudah berciuman. Terus terang, Joki memang sudah sedari tadi ingin mencium gadis itu. Tetapi, dia terlalu rapi menyimpan perasaannya di balik ketakacuhannya. Barangkali itu yang menyebabkan gadis galak itu tak sabar untuk segera dicium atau mencium. Bibir yang panas dan tubuh yang lunak itu menjadikan Meinar sejinak pada masa kanak-kanaknya yang manja.
Itulah. Joki menatap Wawan yang duduk tekun di sampingnya. "Itulah" Kok gampang sekali"" tanya Wawan.
"Menghadapi cewek yang galak memang susah-susah gampang. Kalau kita main serobot, bisa-bisa kita ditempeleng," kata Joki.
Wawan mengangguk-angguk. "Ya, aku tahu," katanya.
"Sewaktu di SMA, kabarnya dia sudah punya pacar. Tapi, pacarnya itu ada yang pergi setelah mendapat tempeleng. Barangkali tak kenaslah nya. Dia kira kayak menghadapi cewek yang malu-malu. Kalau cewek pemalu memang perlu diserobot. 'Kan begitu""
"Ya." "Nah, untuk selanjutnya, kau sendirilah yang maju. Aku tak mungkin membantumu." "Kenapa" 'Kan masih familimu""
"Iya, famili. Tapi, perfamilian itu sudah putus akibat keadaan sekarang."
Terminal itu telah dibalut malam. Lampu bus yang datang dan berangkat berkedip-kedip.
Wawan berdiri. Diikuti Joki.
"Ke mana kita"" tanya Joki.
"Pertanyaan klasik buat orang muda. Mau ke mana kau" Bagaimana aku bisa menjawabnya" Jalan yang kutempuh semrawut. Jalan yang dirintis oleh orang-orang yang lebih tua dari kita semuanya menuju neraka."
"Alaaah, tak usah sok filsafat!"
"Ini bukan filsafat. Ini kenyataaan. Seperti yang kau-alami. Beberapa minggu yang lalu kau masih menjadi wartawan yang bersemangat. Sekarang kau jadi penganggur."
"Ah, tak usahlah kita persoalkan. Lebih baik ngomong soal cewek."
"Itu satu bukti frustrasi tingkat maksimal. Beberapa teman yang kukenal sebagai aktivis di kampus juga bersikap semacam itu. Setelah mengalami bantingan sedikit, mereka terus menarik diri dari kenyataan. Mereka masuk ke dunia mimpi. Dunia percewekan."
"Toh kau juga sibuk memikirkan cewek!"
"Tapi, tidak melupakan yang lain-lain. Aku masih tetap ikut diskusi-diskusi seperti biasanya, membahas masalah kemasyarakatan. Tidak frustrasi. Bantingan kecil tidak membuat aku frustrasi." kata Wawan.
"Bantingan kecil, katamu" Bah! Menjadi penganggur kau bilang bantingan kecil" Pekerjaan sebagai wartawan itu kuperoleh dengan susah-payah, Wan. Aku pernah kerja jadi montir di bengkel motor. Pernah jadi sopir bemo. Karena itu maka pekerjaan sebagai wartawan itu merupakan per
juangan berat. Tapi, dengan gampang aku di-onslagbegitu saja!" kata Joki. Kesengitan membuat napasnya sesak.
"Tapi, kau 'kan berhenti dengan hormat."
"Aku hanya ingin bekerja sebaik-baiknya, bekerja secara profesional! Tapi, perlakuan yang kuterima sangat menyakitkan. Caranya, Wan, sangat busuk. itu yang menyakitkan hatiku."
"Ya, aku tahu. Tapi, perusahaanmu tak ada pilihan lain."
"Itulah yang membuat kenyataan ini semakin pahit. Secara jurnalistik, apakah aku membuat kesalahan" Aku menulis berita sesuai dengan apa yang terjadi. Kebetulan saja berita yang kutulis itu mengenai gerakan-gerakan mahasiswa. Nah, apakah itu terlarang menurut jurnalistik""
"Wah, wah! Daripada kau jadi senewen, lebih baik kita cari hiburan," kata Wawan. "Aku, Burwan Wattimena, akan mendampingi kau dalam susah dan senang. Aku, Burwan Wattimena, yang ada di siang dan di malam, akan mendampingi kau dalam frustrasimu."
"Ah, taik!" kata Joki. Tetapi, kemudian dia tertawa.
Lalu mereka meninggalkan terminal itu. Di pintu ke luar, Joki berkata, "Itu pengemudi helicak tadi. Aku mau tanya alamat cewek itu."
Mereka mendekati pengemudi helicak.
"Horas, Bapak!" kata Joki. "Bapak yang antar gadis pakai baju biru tadi sore, 'kan""
Lelaki tua pengemudi helicak itu menatap Joki sesaat, kemudian menyeringai memperlihatkan giginya yang coklat bekas rokok. Itu namanya senyum lebar.
"Ya." katanya. "Di mana rumahnya""
Untuk beberapa saat lelaki itu mengawasi mata Joki.
"Untuk apa"" tanyanya seperti anjing yang siap melindungi anaknya.
"Nggak apa-apa. Cuma kepingin ke rumahnya." Joki tersenyum sumbang.
"Hm, dari Jalan Bungur, tapi masih masuk gang. Dia cuma turun di mulut gang."
"Ooo, terima kasih." Maka bahu Joki terketuk.
"Sudah kubilang," kata Wawan, "kautunggu saja dia abis kantor. Bisa omong-omong di bus." Joki mengangguk.
"Jatuh cinta gaya zaman Siti Nurbaya," katanya kemudian dengan senyum kecut.
*** Sisa-Sisa Keberanian Manakala Widuri melintas di dekat jendela, maka dia akan melihat lelaki itu berdiri di bawah pohon di pinggir jalan. Apa maunya lelaki itu"
Widuri berkemas-kemas merapikan mejanya. Sebentar lagi kantor tutup. Apa maunya lelaki itu" Dan, hati gadis itu rusuh. Sejak semalam hatinya rusuh. Kemunculan lelaki itu kemarin sore di terminal membuatnya bingung. Lebih-lebih lantaran dia masih bisa merasakan cekalan tangan yang masih tertinggal di jari-jarinya. Widuri bingung. Rusuh.
Aku tak ingin berdekatan dengan lelaki mana pun. Masa lampauku yang pahit tak mungkin kutambah dengan pengalaman yang tak terduga. Yang tak terduga adalah mengerikan. Bisa pahit, bisa pula getir. Ya, yang pahit, yang getirlah yang mungkin singgah padaku. Aku tak ingin menumpuk kegetiran dalam hidupku. Gadis itu berkeluh dalam hati.
Dan, dia keluar dari kantornya.
Lelaki itu mendekatinya. "Selamat sore," kata lelaki itu.
Widuri menyangkat kepala. Sekejap pandangannya bersamplokan dengan pandangan mata lelaki itu.
"Ada apa"" tanya gadis itu datar.
Lelaki itu kebingungan. Matanya gelisah. Dia tak berani menatap mata Widuri.
"Ada apa"" ulang Widuri.
Lelaki itu gelagapan. "Saya... eh, boleh sama-sama pulang""
Widuri tak menjawab. Dia meneruskan langkah. Lelaki itu menjajarinya. Mereka berjalan ke halte bus. Tanpa bicara. Hanya suara sepatu mereka yang berdetuk-detuk di jalan.
Kemudian bus meluncur. Joki kepingin bicara, tetapi dia bingung apa yang mau diomongkannya. Mereka duduk berdampingan. Dan, gadis itu lebih bingung lagi dibanding Joki.
"Sudah lama kerja di kantor itu"" tanya Joki kemudian.
"Baru empat bulan."
"Sebelum itu kerja di mana""
"Tidak kerja." "Kuliah""
"Tidak." "Sudah lama tinggal di Jakarta""
"Belum." Kulit tangan mereka bergesekan. Bus membelok dan miring ke kanan. Keduanya membisu lagi.
"Dulu saya sering datang ke kantor itu," kata Joki.
Terminal Cinta Terakhir Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ooo," kata gadis itu.
"Senang kerja di situ""
"Asal ada kerja, itu sudah senang."
"Ya, memang," kata Joki murung.
"Anda kerja di mana"" tanya Widuri.
"Tidak kerja." "Masih kuliah""
"Tidak. Nganggur." Widuri melirik lelaki itu.
Joki menggoret-goretkan kukunya ke sandaran kursi di depannya.
"Tinggal dengan orang tua"" tanya lelak
i itu tanpa mengalihkan pandangan.
"Tidak. Sewa rumah kecil."
"Sendiri"" "Tidak."
Lelaki itu melirik ke kanan. Matanya disambar lirikan Widuri. Kebetulan gadis itu sedang memandangnya. Main lirik. Bah, kampungan! Tetapi, entah kenapa Joki merasa canggung.
"Berapa lama sudah tinggal di Jakarta ini"" tanya Joki.
"Setengah tahun."
"Ooo, baru." "Anda""
"Enam tahun." "Ooo, lama," kata Widuri.
Senang rasanya mendengarkan suara gadis itu. Lunak dan empuk. Menyusup nyaman ke telinga. Berputaran di kepala, lalu mengalir ke hati. Nyaman. Tetapi sayang sekali dia sangat sedikit bicara. Sementara itu Joki sendiri tak mampu bicara banyak.
"Tinggal di mana"" tanya gadis itu.
"Utan Kayu," "Lho, kok sampai ke Kebayoran"" "Ah, enggak. Biasa." "Biasa apa""
"Nggak apa-apa. Saya memang senang keluyuran. Sejak nggak kerja, saya banyak keluyuran." "Dulu kerja di mana"" "Di koran." "Ooo, wartawan""
"Ya." "Kenapa berhenti""
"Dipecat." "Kenapa""
"Banyak persoalan. "Ooo." Bus melaju. Kali ini sopirnya terampil mengemudi. Jalannya halus dan lincir. Belokannya pun tidak patah dan tersentak.
"Sebelum tinggal di Jakarta ini, di mana tinggal"" "Yogya," kata gadis itu.
Joki menoleh sebab suara gadis itu terdengar tersekap.
Widuri membuang pandang lewat jendela bus. Bangunan-bangunan megah lari cepat ke belakang, ditinggalkan bus yang melaju.
"Ooo, di Yogya. Saya pernah dua kali ke sana," kata Joki. "Mengikuti rombongan pusat. Pertama waktu Sri Sultan meresmikan pabrik tekstil baru, dan kali kedua waktu menteri PU."
Widuri tak bereaksi. "Tapi, sayang sekali tak sempat melihat-lihat. Acaranya terlalu padat. Untungnya saya bisa ke Bulaksumur, melihat kampus terbesar di Indonesia."
Widuri tetap membisu. Matanya nanap melihat ke luar. Angin menerpa rambutnya. "Pernah kuliah di Gama"" tanya Joki.
Gadis itu tersentak. Dia menggerakkan kepala, lalu menunduk.
"Pernah," jawabnya dalam desah.
"Fakultas apa""
"Ekonomi." "Tamat"" "Tidak."
"Kenapa tak diselesaikan"" "Tak kenapa-kenapa."
Nampak-nampaknya Widuri tak senang membicarakan soal Yogya.
Maka Joki mengalihkan pembicaraan, "Sudah melihat-lihat seluruh Jakarta""
"Tidak." "Kenapa""
"Tak kenapa-kenapa." Lantas diam lagi.
Dan, matahari telah condong ke barat. Sinarnya yang merah masuk ke dalam bus, menimpa wajah Widuri yang lembut.
"Kalau malam, apa acaranya""
"Di rumah saja," kata Widuri.
"Nggak sering nonton""
"Tidak." "Nggak sering jalan-jalan""
"Tidak." "Nggak senang jalan-jalan""
"Tidak." "Nonton juga nggak senang""
Masih 'tidak' jawaban gadis itu.
"Lha, jadi, senangnya apa"" tanya Joki.
"Tidak ada." "Wah!"
Widuri menoleh. Joki tersenyum.
Hm, senyumnya tidak sekeras matanya, pikir gadis itu.
Bus tiba lebih cepat dari biasanya. Rasa-rasanya, jalan yang ditempuh bus itu lebih singkat dari biasanya. Rasanya.
Mereka turun. "Bagaimana kalau kita turun dulu"" tanya Joki.
"Maaf, saya harus buru-buru." Gadis itu berjalan ke arah kumpulan helicak.
"Boleh saya temani sampai rumah""
"Terima kasih. Tak usah. Saya lebih senang sendiri."
Joki berdiri mematung di dekat helicak yang sudah terbuka pintunya. Alangkah dinginnya, keluhnya dalam hati. Sedingin air di gunung pada pagi hari.
Untuk sesaat mereka bertatapan. Lalu Widuri masuk ke helicak.
"Selamat sore," desahnya.
"Sore," kata Joki hampir tak terdengar.
Ditimpa matahari sore, helicak itu berderum.
Joki tertegak bagai Monas. Sendiri dan sepi, di tengah-tengah sibuknya lalu-lintas.
Akan halnya Widuri" Dia menghembuskan napas keras-keras. Hatinya rusuh lagi. Tak ingin. Tak ingin. Tak ingin dia didekati. Tetapi, ah! Mata lelaki itu. Mata yang gelisah. Mata yang tak berani bertatapan. Mata yang menimbulkan iba. Mata yang memohon simpati. Ah, gelisah apa gerangan yang tersimpan dalam hati lelaki jangkung itu"
Mata itu, mata itu, mata itu, ah! Mengingatkan Widuri pada mata seseorang yang sudah lampau. Mata yang pernah mengkilik-kilik hatinya. Mata yang menyimpan sejuta cinta, tetapi tak berani pemilik mata itu mengungkapkannya. Mata yang pemiliknya dicintai Widuri. Tetapi, masing-masing tak berani mengungkapkan cinta. Oh, mata yang menatap, lekat-lekat, tetapi menyimpan keg
elisahan berkepanjangan. Widuri menyalakan lampu, membersihkan semprongnya, lalu menggantungkan lampu itu. Rumahnya yang kecil, yang apik, menyungkupkan kesepian. Lalu dia masuk ke kamar. Lalu berusaha melupakan sore yang te-lah dilaluinya.
Joki menunggu Wawan yang melangkah mendekatinya. Senyum lelaki itu membuat Joki berusaha menghilangkan kemurungannya.
"Aku lihat tadi kalian turun dari bus," kata Wawan.
Joki membisu seperti baru saja tersapa hantu di tempat yang angker. Bengong.
"Berhasil"" tanya Wawan.
Joki menghela napas berat, bagai traktor yang menyeret balok raksasa. Dia menyangkat bahu dan berkata, "Entahlah. Aku bingung."
"Jangan bingung. Mari kita bahas. Mari kita analisa. Ceritakanlah."
"Mau dibilang sombong, dia mau menjawab pertanyaanku. Mau dibilang mendapat sambutan, dia hambar."
"Barangkali itulah jinak-jinak merpati."
"Aku tak tahu, jinak-jinak merpati atau jinak-jinak balam. Pokoknya aku tak bisa menarik kesimpulan."
"Wah, ini sulit. Tapi, kau sudah tahu dari mana asalnya""
"Ya. Dari Yogya."
"Hm, dari Yogya." Kening Wawan berkerut. "Biasanya orang Yogya: mungkin untuk tidak, dan tidak untuk ya."
"Ah, apa pula itu" Menambah pusing kepalaku!"
"Itu gampang. Kita minum bir nanti. Pokoknya besok kau serang lagi. Ulangi strategi tadi. Selama dia masih mau menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, itu berarti ada harapan. Kalau memang dia menolak, dia akan diam seribu bahasa. Jadi, diam berarti penolakan. Paham""
"Tapi, soalnya, aku sendiri bingung apa yang harus aku omongkan."
"Ah, omong apa saja. Pokoknya bertanya. Asal, jangan kautanyakan berapa umurnya, berapa anaknya, atau berapa suaminya."
Joki diam. Wawan menyeretnya meninggalkan tempat itu. Dan, tiba-tiba keduanya terlompat ke pinggir. Seorang pengemudi helicak mendelik sebab hampir saja menyerempet mereka berdua.
"Lalu, urusanmu dengan Meinar, bagaimana"" tanya Joki.
"Beres! Aku sudah datangi dia ke rumahnya. Malam Minggu ini aku akan bawa dia nonton di
TIM." "Good. Tapi. hati-hati. Jangan anggap menghadapi cewek biasa. Bisa dibantingnya kau. Dia pernah latihan judo."
"Ya, aku tahu. Aku akan hati-hati. Aku pikir dia suka pada lelaki lembut, tapi yang sekaligus keras."
"Bagaimana bisa lembut dan keras bergabung""
"Maksudku, berhati peka, tapi siap melawan. Jadi, berjiwa seniman, tapi mau melawan jika terinjak."
Joki mengangguk-angguk. "Kalau cewek yang kuuber ini, laki-laki yang bagaimana kira-kira yang disukainya"" "Barangkali laki-laki pemurung." "Bagaimana kau tahu""
"Kau ingat waktu kita di bus" Dia tak mau menjawab pertanyaanku, tapi dia mau omong dengan kau. Waktu itu kau 'kan sedang murung tak karuan. Muka-mu kayak anak kecil yang baru saja dimarahi ibu tirinya. Matamu tak berani kau angkat."
Keduanya menyusuri jalan yang dinaungi pohon.
"Memang membingungkan urusan dengan cewek," kata Joki.
"Jangan bingung. Kalau bingung, kita jadi terbenam. Kita akan jadi permainan nasib. Padahal, kitalah yang harus mempermainkan nasib."
Joki terdiam. "Bagaimana nasibmu sekarang" Sudah ada yang mau menampung""
"Belum," jawab Joki dalam satu tarikan keluhan.
"Sabarlah. Situasi ini akan berubah. Suasana akan lebih lunak."
Joki menyelipkan jarinya ke saku celana. Dia menendang-nendang biji salak.
"Atau, mulailah ngobyek-ngobyek. Kau 'kan punya banyak relasi," lanjut Wawan.
"Kadang-kadang aku agak menyesal mengikutkan bakaran idealisme waktu yang lalu. Sekarang, inilah akibatnya. Terbuang dari pekerjaan."
"Tapi, 'kan tak terbuang dari teman-teman. Itu yang lebih penting. Teman-teman seide jauh lebih penting dari apa pun. Kita masih muda. Kalau idealisme itu padam, entah apa macamnya kita nanti. Mungkin cuma jadi generasi konsumtif. Generasi yang hanya menghabiskan. BerTuhan pada uang. Tak punya keterikatan kepada lingkungan. Tak punya simpati pada kehidupan sesama. Ini berbahaya."
"Ah, kau kayak kotbah saja."
"Eh, iya. Yang kulakukan banyak keluar dari idealisme generasi muda. Untuk obyekku, aku sering membuat orang-orang main komisi." Lantas Wawan tertawa mengakak. "Aku teriak antikorupsi, tapi diam-diam aku memberikan peluang untuk main komisi," lanjut Wawan di sela-s
ela tawanya. Mereka menunggu lampu hijau untuk penyeberang jalan. Kemudian mereka melintas ke seberang jalan.
*** Derai piring kaleng jatuh, lalu hingar-bingar terdengar. Joki tersentak. Dia membuka mata. Tetapi, aduuuh, silau! Dia kembali memejamkan mata. Kesadaran samar-samar muncul lebih jelas di kepalanya.
Hari pasti pagi lagi. Matahari telah menembus ventilasi. Sorotnya persis menimpa muka Joki yang terbaring di ranjang. Ludahnya pahit. Terlalu banyak merokok dan minum bir tadi malam.
Kehingarbingaran itu berasal dari luar, dari para te-tangga. Rumah-rumah di kawasan itu memang berjejal-an. Joki duduk di pinggir ranjangnya sambil mereka-reka apa yang harus dikerjakan hari ini. Dan, dia ingat tak perlu mengerjakan apa pun. Lalu dia kembali berbaring. Keinginannya untuk kencing ditahan. Dia malas bangun. Lalu tangannya meraba kretek di meja di dekat kepalanya. Dia merokok sembari menatap langit-langit kamar yang kotor.
Lantas membayang wajah Widuri. Wajah yang mencerminkan keteduhan. Tetapi, rasa-rasanya menyimpan kesedihan. Dan, Joki tak tahu akan dinilai bagaimana gadis itu. Tidak sombong, tetapi sulit didekati. Tidak murahan, tetapi untuk mendekatinya terasa gampang.
Di luar, barangkali matahari bersinar cerah.
"Bantingan sedikit tidak membuat aku frustrasi."
Joki ingat Wawan. Bantingan sedikit tidak membuat aku frustrasi, kata Wawan kemarin sore.
Frustrasikah aku" Siapa bilang aku frustrasi" Tetapi, jika memang tidak frustrasi, kenapa aku penuh keragu-raguan masa belakangan ini" Kenapa aku jadi minder menghadapi orang" Kenapa aku tak berani menatap mata gadis itu" Kenapa aku kehilangan kata-kata sewaktu menghadapinya" Padahal, semasih menjadi wartawan, aku tak pernah kehabisan bahan obrolan dengan teman bicara. Tetapi, kenapa sekarang aku kebingungan meng-hadapi gadis bernama Widuri itu"
Sederet pertanyaan membombardir Joki. Kenapa, kenapa, kenapa, menghunjam di benaknya, membuat dia ingin menempelak kepalanya sendiri sebab jengkel. Di luar terdengar jerit anak kecil. Ada suara perempuan nyinyir menimpanya. Kesibukan di perumahan rak-yat yang berjejalan itu membuat Joki tak kerasan berlama-lama di kamar. Kebisingan menyeruak ke dalam kamarnya, mengobrak-abrik ketenangan yang semula masih ingin mengedap di kepalanya.
Maka Joki memutuskan untuk pergi ke kampus.
Matahari di Rawamangun melemparkan kehangatan. Bayangan pohon cemara di tanah berpasir menimbul-kan imaji sejuk. Yang hangat dan yang sejuk, itulah nyaman.
Joki menghirup udara pagi. Paru-parunya lahap menerima udara segar. Dia mengedarkan pandangan berkeliling. Bangunan-bangunan fakultas terpacak asri. Dan, sekarang terasa bangunan-bangunan itu lebih akrab de-ngan hati Joki. Ada perasaan kerasan berada di lingkungan itu. Selama ini, fakultas hanya merupakan tempat singgah yang serba terburu-buru bagi Joki. Ini akibat kesibukan pekerjaan yang menyita waktu. Tetapi, sekarang tak ada lagi yang memburunya. Dia bebas. Dia tidak diuber oleh kewajiban apa pun.
Tanah berpasir membenam ujung sepatu Joki. Ujung celananya yang lebar melambai-lambai. Langkahnya perlahan, tetapi pasti. Berbeda dengan hari-hari yang lalu, hari-hari dengan langkah tergesa. Tugas-tugas jurnalistik yang terikat oleh deadline menjadikannya seperti mesin yang harus berpacu dengan waktu. Tugas kewartawanan yang mendewa-dewakan aktualitas berita membuatnya tak sempat akrab dengan kampusnya.
Sekarang dia tahu bahwa sebenarnya udara di kampus sangatlah nyaman. Kendati tanah gersang, derai-derai cemara yang meluruhkan daunnya adalah suasana yang berbeda dengan gersangnya aspal di pusat kota.
Di sini Kampus UI di Rawamangun. Aku warganya. Kenapa selama ini suasana tidak kunikmati"
Dia berpapasan dengan empat orang gadis. Parfum mahasiswi-mahasiswi itu mengambang. Pakaian mereka berdesah-desah dalam setiap gerakan. Kepala Joki berputar mengikuti tubuh gadis-gadis itu. Bukan main, pi-kirnya. Seperti peragawati. Atau, siapa tahu mereka me-nang peragawati" Bukankah mahasiswa UI banyak yang menjadi bintang dalam berbagai show"
"Heit!" jerit seorang gadis yang nyaris tertabrak oleh Joki.
Joki kaget. Sampa i-sampai terlompat. Dan, begitu memandang gadis itu, senyumnya mekar.
"Jangan mata bakul dong," kata gadis itu diiringi tawa renyah.
"Wah, kau membuat aku kaget. Hampir saja jantungku terlepas dari tempatnya."
"Kalau begitu kau perlu main golf, biar tak kena serangan jantung."
"Kayak orang besar, he!"
Lantas keduanya tertawa. "Back to campus"" tanya gadis itu.
Joki menyeringai. "Apa kabar, Lusi""
Gadis itu, Lusi, tak menjawab. Dia mengawasi Joki dalam-dalam. "Aku dengar.... "
"Ya, itu sebabnya sekarang aku datang ke sini," kata Joki memutus.
"Jadi, kau kira kampus ini cuma tempat penganggur, he!" Bibir gadis itu mengerjap-ngerjap.
Joki mengagumi bibir yang kemerahan dipulas lipstik tipis itu. Lipstik warna merah jambu. Bagus. Serasi dengan bajunya yang hitam.
"Teman-teman kepingin ketemu dengan kau," kata Lusi.
"Oh, ya" Untuk apa""
"Ada yang tarohan, apakah kau akan datang ke kampus minggu ini, atau pulang ke kampung." "Bah! Aku jadi barang tarohan""
"Maklumlah orang penting. Kayak Mohammad Ali 'kan jadi pusat pertaruhan"" "Kalau kau, pegang yang mana""
"Pada alternatif ketiga, yang tidak tersebut di antara yang dua tadi. Kau minta suaka politik pada kedutaan asing!" kata Lusi.
"Wah!" Dan, keduanya tertawa. "Kalau Uganda punya perwakilan di sini, aku memang akan minta suaka politik pada mereka. Aku pengagum Oom Idi Amin," kata Joki.
Matahari semakin cerah. Derai tawa semakin terbawa jauh oleh angin. Mereka masih berdiri di bawah pohon cemara. Angin memberaikan rambut Lusi. Tangan Lusi sibuk merapikan rambut
itu. "Sekarang kau mau ke mana"" tanya Joki.
"Pulang." "Kok cepat""
"Nggak ada kuliah. Tadi aku cuma mau melihat pengumuman." Lusi mengayun-ayun tasnya. "Jangan pulang dong," kata Joki.
"Lantas"" "Ngobrol kek, nyanyi kek, berak.... "
"Hah"" "Iya, daripada berak di rumah."
"Gilamu kok belum hilang sih" Sejak Mapram dulu kau gila."
"Mulanya aku tergila-gila sama kau. Tapi, karena kau lebih suka sama Bram, aku jadi gila sungguhan."
"Ah, taik!" sergah Lusi.
"Ya, taik kuda, bisa membikin tetanus."
"Eh, kau masih ingat sama si Roy""
"Yang hampir kena tetanus sewaktu Mapram kita dulu" Di mana dia sekarang" Aku tak pernah ketemu dengan dia lagi."
"Sudah kerja di Bogor, waktu dia masih tingkat tiga."
"Wah, kok nggak melanjutkan" Padahal otaknya pintar ya" Dulu dia sering menjadi tempat aku meminjam catatan kuliah."
Lusi mengayun-ayunkan tasnya lagi. Celananya yang brai-brai bergoyang diterpa angin. Tubuhnya yang langsing kelihatan anggun. Tetapi, ternyata tinggi badannya hanya sebatas dagu Joki.
Joki memperhatikan hidung Lusi yang bangir. Hidung yang dikaguminya ketika mereka menjalani Mapram beberapa tahun yang silam.
"Bram bagaimana""
"'Kan sudah lama selesai""
"Kau kok belum""
"Angkatan kita memang belum ada yang selesai. Bagaimana aku bisa""
"Siapa tahu" 'Kan di antara angkatan kita, kau yang paling.... "
"Bego!" putus Lusi. Keduanya tertawa. "Oke dah, aku mau pergi."
"Ngapain sih cepat-cepat pulang" Kayak punya baby di rumah saja."
Gadis itu tersenyum. "Kalian sudah kawin"" lanjut Joki.
"Kalian siapa" Siapa dengan siapa""
"Kau dan Bram."
"Betul-betul kau ketinggalan zaman. 'Kan sejak lama aku nggak ada apa-apa dengan dia"" "Jadi, dengan siapa sekarang""
"Eko." "Hai, bagus! Tokoh mahasiswa itu ya""
Senyum Lusi tambah lebar. Giginya yang putih mengintai. Cocok untuk reklame pasta gigi. "Aku kepingin ketemu dengan teman-teman," kata Joki. "Hari ini nggak ada yang muncul." "Aku kepingin berdebat." "Wah, nggak ada lawan."
"Masak"" "Iya. Sekarang ini diskusi-diskusi jarang. Malahan boleh dibilang nggak ada." "Darus, Fausi, dan yang lain-lain, bagaimana kabarnya"" "Entahlah. Sudah lama aku nggak ketemu dengan mereka."
Joki menatap kerikil di dekat sepatunya. Semua porak-poranda, pikirnya. Jika orang-orang muda itu telah kehilangan semangat, apa jadinya negeri ini" Jika pentolan-pentolan diskusi yang selamanya asyik melihat problem-problem kemasyarakatan itu telah melempem kayak apem, apa jadinya" Jika benar begitu, maka te-lah gugur kuntum yang belum sempat mekar.
"He, kok melamun""
Joki gelagapan. Mereka masih berdiri berhadapa
n. "Aku kepingin mentraktir kau," kata Joki.
"Ditraktir" Ha, bagus juga. Ditraktir pensiunan wartawan. Oke. Ke mana""
"Hm. Di restoran yang pakai AC. Tapi, sebelum itu, karena aku kepingin mengenangkan saat-saat Mapram dulu, bagaimana kalau kita nonton matine lebih dahulu""
"Oke, oke, oke!" kata Lusi. Tawanya seperti kicau burung murai.
Mereka melangkah beraturan.
"Jalan sama cewek, tangan jangan dikantong dong," kata Lusi. Joki tersenyum. Lalu mencabut tangannya dari kantong celana.
"Aku nggak biasa jalan pelan-pelan. Maklum, biasa tergesa-gesa. Kalau jalan pelan, aku bingung di mana harus menaruh tangan."
"Hm," gumam gadis itu. Dia melirik Joki. "Kalau berjalan dengan pacarmu, bagaimana"" "Pacar" Ah!" Joki tersipu.
"Apa setiap wartawan kalau jalan tergesa-gesa"" ta-nya Lusi. "Terbawa oleh kebiasaan." "Lantas sekarang, apa kerja kau""
"Tak ada." Darah Dan Cinta Di Kota Medang 8 Pendekar Slebor 32 Malaikat Peti Mati Suramnya Bayang Bayang 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama