Ceritasilat Novel Online

Cewek Cetar Dua 4

Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra Bagian 4


Dia melirik gue sebentar lalu kembali menghadap ke depan. "Sebenarnya aku agak kesulitan sih. Soalnya aku nggak terlalu bisa tulisan kanji," jelasnya santai.
"Lo mau gue ajarin tulisan kanji?" Gue nggak tahu kenapa tawaran itu keluar sendiri dari mulut gue. Aneh!
Dia menghentikan langkahnya. Lalu membalikkan badannya ke samping, menghadap gue. "Gratis nih?" ujarnya terdengar tertarik.
Gue terkekeh. "Iya. Gratis. Gue nggak akan minta bayaran les privat."
"Beneran?" tanyanya antusias. Matanya bahkan berbinar senang.
Gue mengangguk sambil tersenyum ketika dia bersorak "Yeeey" dengan lantang. Kemudian kami pun melanjutkan langkah kami menuju home stay, tempat Raya tinggal.
Dia jelas bukan penghuni asrama Mahasiswa. Soalnya di asrama ada peraturan jam malam. Jadi sudah pasti dia tinggal di salah satu home stay yang berada
di dekat sini. "Jadi, kapan senpai akan mengajariku?" tanyanya semangat.
"Kalau kita sama-sama ada waktu luang. Gimana kalau kita bertukar nomor HP?" usul gue spontan.
Dia segera merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Sedangkan gue mengambil ponsel gue di saku jaket yang gue kenakan. Dan kami pun saling bertukar nomor.
"Eh ngomong-ngomong, aku nggak nyangka lho kalau senpai makannya buanyak banget kek gitu," katanya tiba-tiba.
Lagi, gue terkekeh. "Tapi kok senpai nggak gendut sih?" sambung gadis yang samar-samar berbau ramen itu.
Gue kembali terkekeh sambil mengedikkan bahu.
"Senpai..." ucapnya tercekat.
"Please! Jangan panggil gue dengan sebutan senpai," potong gue.
"Kenapa" Bukankah wajar kalau aku memanggil seniorku dengan panggilan senpai?"
"Panggil aja gue Sam. Dan lo nggak perlu bicara formal ke gue. Jujur aja gue nggak suka."
Damn! Sifat ngatur gue keluar dengan sendirinya. Ya! Sejak kecil, gue terlahir kaya dan serba kecukupan. Apa pun yang gue inginkan harus terpenuhi. Sifat
suka mengatur mungkin menurun dari Kakek.
"Berarti mulai sekarang, manggilnya 'gue elo' doang nih?" tanyanya.
Gue mengangguk. Percakapan yang simple memang. Tapi nggak tau kenapa terkesan santai.
"Jadi, kita besok ketemu jam berapa buat belajar tulisan kanji?" tanya Raya. "Gue sih bisanya jam dua siang. Nggak ada kuliah soalnya. Kalau elo, Sam?"
Rupanya cewek ini cepat tanggap juga. Dia dengan mudahnya mempraktikkan apa yang gue suruh, dengan cepat, dia menghilangkan sekat formalitas antara junior
dan senior. "Gue juga nggak ada kuliah jam segitu. Kita ketemuan di perpustakaan ya," sahut gue.
Cewek ini memang menarik. Tapi bagi gue, nggak ada yang lebih menarik daripada Olivia, mantan pacar gue. Saat gue kelas IX SMP, gue pernah memuja seorang
gadis yang sangat cantik. Yups! Namanya Olivia. Gadis sempurna dengan segala talenta yang ia miliki. Tapi ketika dia mengetahui kepribadian gue sebenarnya,
dia tidak bisa menerima gue apa adanya. Dia bahkan pindah ke Kanada hanya untuk menghindari gue. Gue tahu kalau kepribadian gue sangat aneh. Tapi... Ah,
sudahlah. Tidak perlu dibahas.
*****?"?"?"*****
12. Chapter 56-60 Chapter 56 [Renan pov] Lagi, si kuntilanak ngajak gue vidio call-an. Bukannya gue nggak mau, tapi dia selalu ngajak vidio call-an di saat yang nggak tepat, misalnya saja saat
gue lagi tidur, saat gue lagi nongkrong sama temen-temen gue, dan paling parahnya, dia sekarang ngajak gue vidio call-an pas gue lagi buang hajat. Yakali
gue angkat! Gue biarin tuh HP geter-geter sampai gue selesai lah.
Ddrrrtt... Tuh kan. Ada panggilan lagi. Setelah gue selesai cebok dan pakai celana, barulah tuh ajakan vidio call gue terima.
"Halo, Pret!" Seorang cewek yang pipinya kini bertambah temben menyapa gue sambil melambaikan tangannya. "Pret, ngapain sih, lama bener angkat vidio call
dari gue," tegurnya seraya mengerucutkan bibirnya.
"Yakali gue angkat vidio call elo pas lagi boker. Lo mau lihat harga diri gue apa?" omel gue melotot.
"Ih najis!" Dia bergidik ngeri.
"Mau curhat apa lo kali ini?" Gue berjalan keluar kamar mandi lalu duduk di atas kasur.
"Eh, gue sekarang lagi deket sama cowok."
Alis gue terangkat karena sedikit kaget. "Deket sama cowok?"
Dia mengangguk malu-malu. "Namanya Sam, dia itu udah ganteng, pinter, cool, terus baik hati lagi!" paparnya ngotot.
"Terus, lo suka?"
"Kalau dibilang suka, gue suka. Tapi sekedar ngefans. Soalnya dia tuh sempurna menurut gue."
Gue menghela napas lega. Jujur saja, sejak Raya dan Arsyaf putus, gue sampai sekarang nggak pernah makan ati. Paling-paling makan ampela. Gue nggak pernah
sakit hati karena cemburu.
"Eh BTW, lo belum mandi yak" Wajah lo, Ren! Kayak kambing melet habis disembelih," celetuk Raya asal.
"Itu yang disukai cewek, Ray," sahut gue bangga.
"Huweeh." Raya menjulurkan lidahnya, bertingkah seolah mau muntah. "Dasar celeng kepet!"
"Eh BTW, lo tambah sexy, Ray," goda gue cengingisan. "Jamu apa?"
"Jamu asam urat. Lha elo kok tambah tinggi" Lu minum boneto?" Ia menimpali.
"Minum boneto" Lo pikir gue ABG?"
"Iya, elu ABG, Anak Bau Got!" celetuk Raya sambil terkekeh kecil. "Mandi sana! Dasar kecoa jorok!"
"Iya, kodok tokotok."
Ceklek... Terdengar suara pintu kamar kos gue terbuka. Di ambang pintu itu menyembul kepala Arsyaf. Gue langsung buru-buru mengakhiri vidio call dengan Raya. Gue
nggak mau Raya frustrasi gara-gara Arsyaf lagi.
"Ngapain lo ke sini?" tanya gue ketus.
Sudah tiga kali gue pindah kos. Dan Arsyaf selalu mengikuti kemana pun gue pindah. Dia meyakini kalau gue tahu di mana keberadaan Raya sekarang.
"Lo habis vidio call-an sama siapa?" tanya Arsyaf penuh curiga. "Sama Raya?" tebaknya.
"Raya lagi Raya lagi. Tadi itu cewek gue. Kenapa emang?" sahut gue nyolot.
"Ren, gue yakin lo tahu di mana Raya sekarang. Jadi please! Tolong kasih tau gue." Dia kembali memohon seperti hari-hari sebelumnya.
Gue selalu merasa iba melihatnya terus memohon, bahkan mengemis pada gue hanya untuk mengetahui di mana keberadaan Raya sekarang. Tapi gue sayang sama
Raya. Gue nggak bisa biarin Arsyaf mengganggunya untuk saat ini. Mentalnya masih rapuh setelah kecelakaan kedua orang tuanya. Dokter bilang, orang-orang
di sekeliling Raya harus berhati-hati dalam berucap. Kata yang berhubungan dengan kenangan buruk yang dialami Raya bisa membuat Raya kembali depresi.
"Gue nggak tau di mana Raya, Syaf. Kalau pun gue tau, gue nggak bakal kasih tau elo di mana dia berada," kata gue.
"Gue harus bertemu Raya dan jelaskan semuanya," papar Arsyaf ngotot. "Bahwa sebenarnya Zen selain mencampur obat perangsang, tanpa sepengetahuan Teo, dia
juga menambahkan sedikit alkohol."
"Iya, gue tau."
Seminggu yang lalu, Zen datang ke kos gue yang tentunya kos Arsyaf juga. Dia sudah menjelaskan semuanya bahwa Arsyaf tidak hanya dalam pengaruh obat saja,
melainkan juga karena pengaruh alkohol. Diam-diam ia menambahkan alkohol di minuman Arsyaf. Tentu saja Arsyaf marah besar pada Zen. Kemarahannya meluap,
dia bahkan memukuli muka Zen sampai Zen terkulai tak berdaya.
Zen nampaknya menyesal melakukan hal itu pada Arsyaf. Itulah sebabnya dia tak membalas pukulan Arsyaf. Kalau dia mau, dia bisa mematahkan rahang Arsyaf
hanya dengan sekali pukul. Dia bilang, selama ini dia tak bisa tidur memikirkan perbuatannya. Dia juga tidak tega melihat Arsyaf seperti orang linglung
mencari Raya. Itulah sebabnya dia datang untuk meminta maaf dan menjelaskan semuanya pada kami.
"Ayolah, please! Kasih tau gue di mana Raya sekarang, Ren." Arsyaf memohon lagi.
"Gue nggak tau!" bentak gue.
"Ren..." "Syaf," potong gue. "Gue tau lo suka sama Raya. Lo cinta sama dia. Tapi tolong lupain dia."
"Bagaimana gue bisa lupain dia, Ren" Dia itu cinta pertama gue."
"Sudahlah, Syaf. Cari saja cewek lain. Toh, dia sudah nggak suka sama lo," ucap gue sengaja menyakiti hati Arsyaf agar dia berhenti mencari Raya.
"Gue nggak peduli kalau dia nggak cinta lagi sama gue. Gue yakin bisa bikin dia cinta sama gue lagi."
Gue menghela napas jengah, malas berdebat dengannya.
*** [Raya pov] Gue mengacak rambut marah ketika gue kesulitan dalam menghafal huruf-huruf kanji. Dan hal itu membuat Sam terkekeh.
"Ngapain lo ketawa" Lo seneng lihat gue kesusahan?" tanya gue sinis.
"Lo itu lucu tau nggak" Lo itu terlalu tergesa-gesa dalam belajar."
"Tergesa-gesa?" Alis gue terangkat.
"Iya. Tergesa-gesa. Mana ada orang yang langsung hafal huruf kanji dalam waktu tiga hari?"
Gue meringis malu. Dia menatap gue sejenak lalu terkekeh sembari mengacak gemas rambut gue.
"Belajarnya dikit-dikit aja," kata Sam setelah ia berhasil berhenti tertawa. "Sekarang, lo coba baca baris yang ini." Dia menunjuk sebaris tulisan kanji
dari buku yang ia pegang.
Gue melirik sejenak tulisan itu dan jujur gue nggak bisa baca. "Auk ah! Gue mau nge-game dulu," bantah gue pada perintah Sam. Kemudian gue mengeluarkan
HP gue dari dalam tas. Dia melirik layar ponsel gue. "Lo suka game King Animal?" tanyanya.
Gue mengangguk membenarkan. Secara game ini emang benar-benar keren. Top banget coy.
"Sebenarnya, game itu buatan gue lho," kata Sam, suaranya terdengar agak malu-malu.
Ayunan jemari gue yang tadinya gesit di atas layar ponsel akhirnya terhenti. Mulut gue menganga takjub dan tak berkata apa-apa.
"Sejak kecil, gue sangat menyukai IT. Gue bisa buat game, web, dan masih banyak yang lainnya," sambung cowok bermuka bad boy itu.
"Yang bener?" tanya gue memastikan.
Dia mengangguk. "Lo nggak percaya?"
Gue mendekatkan muka gue ke telinganya lalu menutupi bagian samping mulut gue dengan tangan. Dia terlihat siap menyimak bisikan gue.
"BTW, lo bisa nge-hack nggak?" bisik gue sangat pelan, nyaris tak terdengar.
Sam terkekeh sembari mengangguk. "Emangnya lo mau gue nge-hack apa dan siapa?"
"Gue mau elo nge-hack mantan gue namanya Elbara. Bisa?"
Dia tertegun, terhenti. Ekspresinya tampak sedikit kaget.
"Eh, nggak jadi deh. Ngapain juga gue kepoin orang yang udah ninggalin gue?" celetuk gue beropini.
*** [Sam pov] Olivia membuka kado yang gue bungkus dengan rapi. Tapi senyumnya terhenti ketika ia melihat apa yang ada di dalamnya. Matanya terbelalak. Apakah ia senang"
Batin gue penasaran. Plaaak... Kado itu terjatuh ke atas lantai. Dia menggeleng sembari melihat gue dengan tatapan takut. Dia melangkah mundur perlahan.
"Olivia, kamu kenapa?" tanya gue heran. "Kenapa kamu menjatuhkan kado yang aku berikan?" Gue memungut kado itu lalu melangkah maju mendekati Olivia yang
terus melangkah mundur. "Menjauh dariku!" pekiknya sambil menangis.
"Olivia" Kamu kenapa?"
"Kamu gila, Sam! Kamu gila!" teriaknya frustrasi.
"Kamu kenapa Olivia" Apa kamu tidak suka dengan kado pemberianku?" tanya gue semakin keheranan.
"Iya. Aku tidak suka!" bentaknya marah. "Kamu gila! Kamu sinting!"
"Olivia, kemarin kamu bilang, kamu suka dengan benda ini." Gue menunjuk benda yang gue pegang dengan gerakan mata. "Tapi kenapa sekarang kamu berubah pikiran?"
"Kamu aneh! Kamu gila! Kamu gila!"
"Tidak, Olivia. Tidak!" Gue menggeleng. "Aku tidak gila."
Napas gue terengah-engah ketika gue bangun dari tidur. Kejadian bertahun-tahun yang lalu membuat gue selalu bermimpi buruk. Gue bergegas mengambil segelas
air putih dari nakas meja lalu meneguknya cepat.
Olivia memang sudah pergi ke Kanada. Tapi setiap kata yang ia ucapkan siang itu selalu terngiang di telinga gue. Dia menganggap gue gila hanya karena gue
memberinya benda yang ia suka sejak lama. Meskipun benda itu memang tak lazim untuk diberikan sebagai kado. Sejak saat itu, tepat di hari ulang tahunnya,
dia pergi tanpa pamit dan sejak saat itu pula, gue tak pernah melihat wajahnya kembali. Gue merindukannya. Sangat merindukannya.
*****?"?"?"*****
Chapter 57 [Sam pov] Sudah hampir dua tahun gue mengenal Raya. Dia pribadi yang sangat menyenangkan dan selalu membuat gue tertawa. Lama-lama gue sayang sama dia. Tapi hanya
sebatas sayang sebagai teman dan sampai kapan pun nggak akan pernah bisa lebih dari itu. Karena di hati gue hanya ada Olivia, tidak akan pernah ada yang
lain. "Dadaaah, Ren." Raya melambaikan tangan pada seseorang yang ia ajak vidio call-an. Kemudian mengakhiri panggilan itu ketika gue datang.
Dahi gue berkernyit. "Siapa itu?" tanya gue.
Aneh, hati gue kenapa agak kesal" Mendapati Raya vidio call-an sama cowok. Rasanya pengen banget gue membunuh cowok itu. Berani-beraninya dia vidio call-an
sama cewek yang gue sayang.
"Dia sahabat gue sejak TK," jawab Raya lalu tersenyum simpul.
Gue hanya mengangguk dengan mulut membentuk huruf O. Setelah memesan makanan, tak lama kemudian seorang pelayan datang sambil membawa nampan yang di atasnya
ada dua mangkuk sup iga sapi panas. Sesampainya di meja kami, dia meletakkan satu mangkuk di depan gue lalu satu mangkuk lagi di depan Raya.
Byuuurr... Sup iga sapi itu tiba-tiba tumpah ke paha Raya karena pelayan itu tak berhati-hati meletakkannya. Raya mengaduh kesakitan sambil membersihkan sisa-sisa
sup iga yang membuatnya meringis menahan sakit.
"Sumimasen. Sumimasen," kata pelayan itu yang juga ikut panik dan tampak bersalah.
Mata gue melebar sedangkan tangan gue mengepal marah. Lalu...
Braaak... Sebuah tinju mendarat sempurna di wajah lelaki itu. Kemudian gue memberinya beberapa tinju susulan. Semua orang di restoran tampak kaget dengan mulut menganga,
begitu pula dengan Raya. Dia bergegas menghentikan gue tapi gue sudah menjadi gila karena marah. Tinju gue tak bisa berhenti walaupun Raya memegang lengan
gue. Gue terus melayangkan tinju pada pelayan itu sampai pelayan itu terkulai tak berdaya dengan muka penuh darah.
"Sam hentikan! Sam hentikan!" teriak Raya
Gue tak mendengarkannya. Saat ini, gue hanya ingin membunuh pelayan kurang ajar yang dengan lancang membuat Raya terluka. Gue malah meletakkan tubuh pelayan
itu di lantai, menindihnya, lalu kembali memukulinya.
"Sam, lo gila!" pekik Raya frustrasi.
Gue terhenti ketika mendengar kata itu. Kata yang diucapkan Olivia beberapa tahun yang lalu.
"Lo gila, Sam! Lo gila!" bentaknya marah.
Gue menoleh, berdiri, menatap Raya untuk meminta penjelasan. Apa yang gue lakukan untuknya adalah sebuah kesalahan" batin gue bertanya-tanya.
"Raya..." Gue melangkah mendekati cewek itu.
Raya melangkah mundur sambil menggeleng. Raut mukanya sama persis dengan raut muka saat Olivia meninggalkan gue.
"Raya, gue hanya..." kata gue terhenti.
"Lo gila! Lihat apa yang lo lakukan pada pelayan itu?" Raya menunjuk seorang lelaki yang pingsan di samping kaki meja.
"Raya..." gue kembali melangkah maju, berusaha menjelaskan kenapa gue melakukan itu.
Dia menggeleng ketakutan lalu beranjak pergi meninggalkan gue seperti Olvia, dia tidak bisa menerima kepribadian gue ini.
*** Sudah dua minggu ini, dia tidak mau berbicara sama gue. Dia bahkan mengacuhkan gue saat di kedai ramen. Dia bertingkah seolah kami hanyalah sebatas pelayan
restoran dan pelanggan. Aneh, tapi hati gue terasa sangat sesak dibuatnya.
Hari ini adalah hari ke-14 dia mengacuhkan gue. Sudah cukup! Gue nggak mau kehilangan dia seperti gue kehilangan Olivia. Tapi mau bagaimana lagi" Kepribadian
itu muncul dengan sendirinya ketika gue terlalu marah atau terlalu mencintai seseorang.
Gue sudah dua jam di restoran ini dengan semangkuk mie ramen yang sudah dingin karena nggak gue sentuh sama sekali. Gue hanya fokus memperhatikan Raya
yang sedari tadi mondar-mandir mengantar pesanan dari satu meja ke meja yang lainnya. Cukup! Gue muak dengan tingkahnya.
"Raya, gue mau ngomong!" Tanpa izin darinya, gue mencengkram tangannya dan menyeretnya keluar restoran.
"Apa-apaan sih!" Dia menghempaskan tangan gue ketika kami sudah berada di luar kedai.
"Gue minta maaf. Gue mohon jangan diemin gue kayak gini," pinta gue memelas, tulus.
"Lo tau apa kesalahan elo?"
"Gue tau. Gue tau! Gue mukulin orang sampai pingsan dan dilarikan ke rumah sakit."
"Bagus kalau lo tau!" ucapnya ketus, membuat hati gue semakin teriris.
"Lo mau gue ngelakuin apa" Agar lo mau maafin gue."
Satu alis Raya terangkat. "Lo sudah minta maaf ke pelayan itu?"
"Gue sudah mengganti rugi semuanya."
"Gue tanya, apa lo sudah minta maaf, bukan soal ganti rugi, Sam."
Gue menggeleng pelan. "Belum. Gue belum minta maaf ke pelayan itu. Tapi Rommy, sekretaris Papa gue sudah memberinya sejumlah uang."
Raya menghela napas jengah. "Kalau lo mau gue maafin elo... Lo harus minta maaf ke pelayan itu."
Mata gue melebar. Gue" Minta maaf ke pelayan rendahan" In your dream! Gue adalah Ozora Samitra Aldebaran, pewaris tunggal dua perusahaan terbesar di Asia.
Semua orang bertekuk lutut di hadapan gue. Dan dia sekarang, menyuruh gue minta maaf pada pelayan rendahan itu" Ah, yang benar saja!
"Gue nggak mau!" sahut gue tegas.
"Kenapa" Kenapa lo nggak mau?"
"Karena gue adalah Ozora Samitra Aldebaran!!" bentak gue marah. "Gue pewaris dua perusahaan terbesar di Asia. Mana mungkin gue mau minta maaf sama pelayan
rendahan." "Pelayan rendahan" Jadi lo menganggap gue orang rendahan karena gue bekerja sebagai pelayan?" Raya bertambah emosi.
Shit! Gue lupa kalau Raya juga bekerja sebagai pelayan restoran. "Raya, bukan gitu maksud gue." Gue menurunkan volume suara.
"Gue nggak ngerti dengan pemikiran elo, Sam. Gue pikir elo itu beda. Tapi lo sama saja dengan yang lain. Elo hanya menilai seseorang berdasarkan materi
yang dia punya." "Raya..." Tangan gue mulai merambat menjamah tangan Raya. "Gue minta maaf. Jangan marah sama gue. Jangan pernah diemin gue lagi." Gue menggenggam tangannya
erat. "Jika elo beneran ingin gue maafin, maka elo harus minta maaf sama pelayan itu."
"Baiklah. Baiklah. Gue akan lakukan semua perintah elo asalkan elo maafin gue."
Setelah menunggui Raya selesai bekerja, kami berkunjung ke rumah pelayan itu. Pelayan yang bernama Sawada Keichiro itu tampak ketakutan bukan main saat
mendapati gue berdiri di hadapannya sekarang.
"Mau apa anda ke sini?" tanyanya dengan suara yang terdengar goyah, bergetar.
"Saya ke sini hanya ingin meminta maaf pada anda, Sawada-san," kata gue.
"Ba... Baiklah. Saya memaafkan anda. Se... Sekarang anda bisa pergi," kata Sawada-san tampak semakin gugup.
Raya menepuk punggung gue lalu matanya memberikan isyarat agar gue segera membungkuk di depan Sawada-San. Gue menurutinya lalu membungkuk, membuang setengah
harga diri gue hanya untuk Raya agar dia memaafkan gue dan berhenti bersikap acuh.
"Sekali lagi saya minta maaf," kata gue enggan, masih membungkuk.
"Iya tidak apa-apa." Sawada-san menegakkan kembali tubuh gue.
Setelah meminta maaf, gue dan Raya berjalan beriringan di tengah salju musim dingin. Gue bahkan bisa melihat uap yang mengepul dari dalam mulutnya ketika
ia berbicara. "Nah, begitu dong! Itu baru namanya sahabat gue." Dia menepuk punggung gue dua kali dengan penuh semangat.
Hajiiiwww Raya tiba-tiba bersin dan mulutnya menggigil kedinginan. Gue terperanjat kaget dibuatnya. Jujur, dia membuat gue sangat khawatir. Gue langsung melepaskan
syal gue lalu melilitkannya di sekeliling leher Raya.
"Terima kasih," ucap Raya sambil tersenyum simpul.
Hati gue terasa lega melihat senyumannya. Rasanya sudah lama gue tak melihat senyuman itu. Senyuman yang selalu gue rindukan.
"Eh BTW, gue perhatikan, elo kayaknya belum punya pacar deh," ucap Raya kembali memulai pembicaraan.
Gue terkekeh. "Gue nggak tertarik dengan hal semacam itu."
"Jadi, elo nggak pernah pacaran?"
"Gue pernah pacaran sekali. Tapi putus gara-gara dia nggak bisa menerima kepribadian gue."
"Kepribadian elo yang tempramen itu?"
Gue tercekat. Langkah gue terhenti lalu memutar badan menghadap ke samping dengan dahi berkernyit. Tidak hanya tempramental, batin gue. Jika elo tau kepribadian
gue sebenarnya, gue yakin elo bakalan ninggalin gue seperti Olivia.
"Tangan ini menurut gue nggak cocok buat gebukin orang." Raya meraih tangan kanan gue lalu menyentuh satu per satu jari gue secara bergantian mulai dari
ibu jari sampai jari kelingking.
Dahi gue berkerut, diam dan menyimak apa yang ia katakan selanjutnya.
"Jari ini itu pantasnya buat bikin game yang seru," lanjutnya riang.
Gue tertegun kaget. Mata gue melebar mendapati senyuman manis terpampang di wajah cewek itu. Hati gue bergetar, seolah ada kupu-kupu yang begitu banyak
keluar dari dalam perut gue. Apa gue jatuh cinta" Jika iya, apakah Raya mau menerima gue dengan segala kekurangan gue"
*****?"?"?"*****
Chapter 58 [Author pov] Gadis cantik itu menoleh ke arah anak laki-laki yang sudah berdiri di ambang pintu sejak tadi. Dia tersenyum manis, menampakkan gigi gingsulnya. Kemudian
ia berlari lalu menggandeng tangan anak laki-laki itu dengan erat.
"Permainanmu bagus sekali, Olivia. Aku selalu terperangah melihatmu bermain piano," kata Sam sambil tersenyum bangga, pacarnya adalah seorang pianis muda
yang sangat berbakat. "Benarkah?" tanya Olivia manja.
"Tentu saja." Sam menimpali.
"Eh, Sam. Lihat!" Olivia menunjuk seekor kucing yang melompat keluar jendela.
Gadis itu kemudian melepaskan rangkulannya pada Sam lalu berlari keluar menuju halaman belakang sekolah. Sam mengikutinya dari belakang.
Olivia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan kucing tersebut. Ia kemudian berjalan menuju semak-semak lalu berjongkok sambil menyingkap dedaunan
semak-semak. "Pushi?" ucapnya dengan suara lucu, membuat Sam tertawa kecil.
Seekor kucing dengan bulu lebat nan halus keluar dari semak-semak itu. Mata biru, indah bak permata, membuat Olivia terperangah takjub. Gadis itu kemudian
menggendong kucing tersebut, berdiri, lalu berjalan menuju Sam.


Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sam, lihat kucing ini! Bukankah dia sangat menggemaskan?" tanya gadis berambut ikal tergerai itu.
Sam mengangguk sambil tersenyum. "Iya, dia sangat lucu," ucapnya.
"Lihat matanya!" pinta Olvia. "Matanya indah seperti permata. Biru, jernih seperti air. Bahkan aku pun ingin memilikinya."
*** Di kegelapan malam, seorang anak laki-laki meloncat dari atas pagar sekolah. Ia mencari seekor kucing yang ia temui tadi siang bersama seorang gadis. Ya.
Dia Sam. Sebenarnya, apa yang ingin dia lakukan"
Tak lama mencari, dia menemukan kucing yang dicarinya, mengeluarkan pisau dari dalam jaket, kemudian mendekati kucing tersebut secara perlahan dan terdengarlah
suara kucing yang meraung-raung seolah meminta tolong.
Setelah melancarkan aksinya, Sam kembali ke rumah, membungkus benda yang ia dapatkan dari sekolah. Kemudian ia tersenyum puas. Entah mengapa ada kesenangan
tersendiri saat memperoleh benda itu, benda yang sangat diinginkan Olivia.
Jantung Sam berdegup kencang. Rasanya tak sabar ia menemui Olivia dan memberikan kado itu. Ia bahkan tak bisa tidur malam itu karena terlalu senang. Tak
terasa tiba-tiba fajar menjemput pagi. Sam pun bersiap-siap pergi ke sekolah, memasukkan kado ke dalam tas, lalu memakai sepatu.
Sesampainya di sekolah, Sam tersenyum lebar ketika melihat Olivia berjalan menuju kelas. Dengan cepat ia berlari ke arah gadis itu dan mengajaknya ke halaman
belakang sekolah. "Sam, kenapa kamu mengajakku kemari?" tanya Olivia heran.
Sam mengeluarkan kado yang dibungkusnya tadi malam pada Olvia. "Selamat ulang tahun!" ujarnya riang.
Senyum Olvia mengembang. Ia bergegas menyambar kado tersebut dari tangan Sam dan membukanya. Matanya melebar, senyumnya menciut ketika ia melihat apa yang
ada di dalam kotak kado tersebut.
Plaaaakk Olivia menjatuhkan kado yang diberikan Sam. Ia melangkah mundur sambil menggeleng ketakutan.
"Olivia, kamu kenapa?" tanya Sam. "Kenapa kamu menjatuhkan kado yang aku berikan?" Anak laki-laki itu memungut kotak kecil yang terjatuh di rerumputan.
"Menjauh dariku!" Pekik Olvia.
"Olivia, kamu kenapa" Kamu gila, Sam! Kamu gila! Kamu gila! Kamu sinting!" maki Olvia yang tampak begitu frustrasi.
"Olivia, kemarin kamu bilang, kamu suka dengan benda ini." Sam menunjuk benda yang berada di dalam kotak dengan gerakan matanya. "Tapi kenapa sekarang
kamu berubah pikiran?"
"Kamu aneh! Kamu gila! Kamu gila!"
"Tidak Olivia, tidak! Aku tidak gila!'
"Kamu psikopat!"
Sam tertegun. Matanya terbelalak lebar ketika mendengar kata "Psikopat" keluar dengan lancangnya dari mulut Olvia. Kata itu juga pernah ia dengar dua tahun
lalu dari mulut kedua orang tuanya. Sam adalah psikopat.
"Aku bukan psikopat, Olvia!" sanggah Sam sambil terus melangkah mendekati Olivia.
"Kalau kamu bukan psikopat, lalu kenapa kamu dengan tega mencongkel mata kucing itu dan memberikannya padaku, Sam?"
"Aku hanya berpikir..."
"Itu pikiran seorang psikopat! Aku yakin kamu merasa ada kesenangan tersendiri saat mencongkel mata kucing itu. Iya kan?" tebak Olvia.
Tebakan gadis itu benar adanya. Sam merasa sangat senang ketika mencongkel mata kucing itu. Bahkan ia tidak bisa melupakan sensasinya sampai fajar menjemput.
Tak puas dengan ulahnya di malam hari, beberapa binatang yang ada di rumahnya ia bunuh satu per satu dan ia ambil matanya.
Olivia adalah gadis yang sangat cerdas. Ia sangat suka membaca berbagai buku ilmu pengetahuan termasuk buku tentang psikologi. Seorang psikopat biasanya
sangat suka melukai mata. Itulah salah satu ciri-ciri psikopat yang pernah ia baca dari buku.
"Olivia..." kata Sam.
"Menjauh dariku!" pekik Olivia.
Sejak saat itu, Sam tidak pernah melihat Olivia lagi. Dia sering kali melacak keberadaan Olivia. Tapi nihil! Orang tua Olivia membayar orang-orang jenius
di bidang IT agar Sam tidak bisa meng-hack untuk mencari tahu tentang keberadaan Olivia. Dan detik itu juga, Olivia menghilang tanpa jejak.
*** [Elbara pov] Ting tung ting tung Gue menekan tombol "pause" ketika mendengar suara bel. Dengan malas, gue berjalan ke arah pintu lalu membukanya. Mata gue melebar ketika mendapati seseorang
yang sudah lama tak gue lihat.
"Arsyaf?" kata gue keheranan.
"Yo!" Dia mengangkat satu tangannya dan dengan seenaknya ia masuk ke apartemen gue sebelum gue mengizinkannya.
"Arsyaf, kenapa lo bisa tau gue ada di sini?" tanya gue heran.
"Om Suryabara yang kasih tau gue," kata Arsyaf lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa.
"Papa gue yang kasih tau elo?" Dahi gue berkernyit.
"Katanya, dia sudah tidak takut elo kabur mencari pacar elo yang ada di Indonesia."
"Maksudnya?" Arsyaf mengedikkan bahu. "Emangnya selama ini elo pacaran sama siapa sih" Kok sampek segitunya lo cinta sama dia" Nggak mungkin elo tergila-gila sama Pamela
kan?" Gue pacaran sama pacar elo, batin gue.
"Eh, BTW apa lo tau keberadaan Raya sekarang?"
Gue terperanjat kaget. Tapi gue mencoba berekspresi setenang mungkin dan sedatar mungkin seperti biasanya.
"Kenapa elo tanya gue" Elo kan pacarnya!" gue menimpali.
"Gue udah putus," sahutnya lemas.
Mata gue terbelalak tak percaya. "Putus" Bagaimana bisa?"
"Ini semua gara-gara Zen dan Teo. Mereka mencampur obat perangsang dan alkohol ke minuman gue sama Lea."
"Apa?" Kali ini gue benar-benar terkejut masih tak percaya. "Terus?"
"Terus, akhirnya gue tanpa sadar melakukan hal itu dengan Lea. Dan Raya melihat semuanya."
"Lalu bagaimana dengan Raya?" tanya gue khawatir.
"Dia langsung nggak mau nemui gue," papar Arsyaf.
"Terus, Lea?" Arsyaf mengangkat bahu sejenak. "Entahlah. Beberapa bulan sejak kejadian itu, gue sudah tidak pernah melihat batang hidungnya lagi."
Arsyaf putus sama Raya" Apakah itu tandanya, gue punya kesempatan untuk memiliki Raya seutuhnya" Bukan sebagai selingkuhan. Tapi sebagai pacar sungguhan.
*****?"?"?"*****
Chapter 59 [Raya pov] Gue terhenti ketika berada di depan kamar Matsumoto-san. Pintu kamarnya terbuka dan dia tampak kebingungan mencari sesuatu bersama Reiko-chan. Mereka nampaknya
sedang mencari sesuatu dari laci ke laci. Mereka bahkan mengeluarkan semua baju yang ada di lemari dan memporak porandakannya.
"Ada apa ini, Reiko-chan?" Dahi gue berkernyit.
Ya. Gue tinggal di home stay milik Matsumoto-san. Selain murah, home stay milik Matsumoto-san juga memiliki fasilitas yang sangat lengkap. Di home stay
ini, semuanya penyewa tinggal di lantai atas. Sedangkan keluarga Matsumoto-san tinggal di lantai bawah.
Reiko-chan menoleh, wajahnya tampak murung. "Matsumoto-san kehilangan kalungnya," ungkapnya lesu.
Mata gue terbelalak lebar setelah mendengar penjelasan Reiko-chan. "Bagaimana bisa hilang?" tanya gue kaget.
Reiko-chan mengedikkan bahu lalu kembali membantu Matsumoto-san mencari kalung yang hilang itu.
"Pasti ada yang mencurinya!" ujar Matsumoto-san dengan raut muka menggila. "Bagaimana mungkin kalung itu hilang sementara aku selalu meletakkannya di laci
setelah kupakai?" "Bagaimana kalau kita geledah saja semua kamar yang ada di sini," usul Reiko-chan.
"Ide bagus!!" Pertama, kami menggeladah kamar Furukawa Keiko, di sana tidak apa-apa. Dengan gelagat seperti orang keranjingan, Matsumoto-san bergegas ke kamar sebelahnya,
kamar milik Kurumi. Dan lagi, di sana tidak ditemukan benda yang dimaksud. Terakhir, Matsumoto-san dan Reiko-chan akan menggeledah kamar gue.
"Kalian tidak akan menemukan apa pun, percayalah!" kata gue denga penuh percaya diri.
Dua orang itu terus mencari. Membuka lemari gue kemudian mengobrak-abriknya, meneliti satu per satu laci lalu mengeluarkan semua barang-barang yang ada
di dalamnya. Bahkan mereka menggulingkan kasur gue untuk menemukan kalung itu. Percuma! Kalian nggak akan pernah menemukan kalung itu di sini, ujar batin
gue. "Matsumoto-san, apa ini?" tanya Reiko-chan setelah menyingkap buku-buku yang berada di nakas meja. Di tangannya ada sebuah kalung cantik emas putih.
Mata gue terbelalak lebar. Bagaimana bisa kalung itu berada di sana" Gue bertanya-tanya. Matsumoto-san meraih kalung itu dari tangan Reiko-chan. Lalu melangkah
ke arah gue. "Apa ini Raya-chan" Bagaimana bisa kalungku ada di kamarmu?" ucap Matsumoto-san marah. Matanya mendelik, melotot seolah mau keluar.
Gue menelan ludah. Sebenarnya, gue tak tahu kenapa kalung itu bisa berada di sana. "A... Aku tidak tau," jawab gue jujur.
Matsumoto-san tersenyum miring seolah meledek jawaban gue. "Berani-beraninya kau berbohong padaku!"
Plaaakk Sebuah tamparan mendapat cepat di pipi gue, membuat mata gue membulat kaget, sedangkan tangan gue spontan memegangi pipi gue yang terasa nyeri setelahnya.
"Pergi kau dari rumahku! Aku sudah sering bertemu orang-orang yang berpura-pura baik sepertimu." Matsumoto-san tiba-tiba mendorong gue menuruni tangga
hingga sampai ke halaman luar.
"Matsumoto-san, sungguh aku tidak tau bagaimana kalung itu bisa berada di kamarku," papar gue ngotot.
Wanita paruh baya itu sama sekali tak mau mendengarkan semua perkataan gue. Dia kembali ke dalam, mengambil barang-barang gue, lalu melemparnya asal di
hadapan gue. "Matsumoto-san, sungguh aku tidak tau apa-apa. Sungguh!" jelas gue lagi.
Hampir semua penghuni home stay keluar dari" kamar masing-masing. Mereka saling berbisik sambil memandang rendah gue. Sementara itu, gue bisa melihat Reiko
tersenyum licik di belakang punggung Matsumoto-san.
"Sudahlah! Aku sudah sering menjumpai orang sepertimu. Mulai sekarang, jangan pernah menampakkan wajahmu lagi. Apa kau mengerti?" bentak Matsumoto-san.
"Matsumoto-san..."
"Dan mulai sekarang, jangan pernah bekerja di kedaiku lagi!!" potong Matsumoto-san emosi.
Braaak Matsumoto-san membanting pintu, menutup semua jendela yang terbuka, dan membiarkan gue sendirian di halaman. Air mata begitu lancang membasahi pipi gue.
Dan gue sadar bahwa gue sedang difitnah mencuri.
Hati gue sesak, sempat beberapa kali gue memukul dada gue. Tapi percuma! Dada gue masih saja sesak. Sudah berapa kali gue dihianati kayak gini" Pertama
Tantri, kedua Pak Dono, lalu Lea dan Arsyaf, kemudian kini... Reiko-chan.
Sambil menangis, gue memunguti barang-barang gue yang tadi dilempar asal oleh Matsumoto-san. Sekarang, gue akan tinggal di mana" Apa gue harus tinggal
di sauna seperti drama Korea yang kerap gue tonton"
Setelah mengemasi barang-barang gue yang berserakan di halaman, gue bergegas pergi sambil mengusap sisa-sisa air mata. Beberapa home stay lain sempat gue
kunjungi. Tapi nihil! Home stay di sekitar kampus dengan harga murah sudah penuh dan tak menerima penghuni lagi. Jika gue tinggal di home stay dengan harga
mahal, lalu siapa yang akan membayar biayanya"
Punggung gue terasa pegal setelah seharian penuh menggendong tas ransel sambil menyeret koper beroda. Gue sekarang tidak punya tempat tujuan. Tadinya gue
sementara mau tinggal di motel, tapi gue tiba-tiba merasa jijik ketika melihat beberapa pasang pemuda pemudi mabuk masuk ke dalam motel tersebut. Itulah
sebabnya gue mengurungkan niat gue untuk tinggal di motel.
Hari semakin gelap, langit tampak tak begitu bersahabat. Setetes air dari langit satu per satu turun lalu disusul dengan tetesan yang lainnya. Gue berlari
kecil menuju teras mini market untuk berteduh.
"Raya?" sapa seorang cowok yang keluar dari dalam mini market.
Gue menoleh dengan mata melebar. "Sam?"
Cowok itu mengamati gue dari bawah ke atas. Alisnya agak terangkat setelahnya. "Kenapa lo bawa koper segala?"
"Gue diusir dari home stay."
"Kenapa bisa diusir?" tanya Sam kaget.
Gue mengedikkan bahu. "Terus, sekarang lo mau tinggal di mana?"
Lagi, gue mengedikkan bahu, tak berani melihat ke arah Sam, gue mengalihkan pandangan menghadap ke bawah. Gue malu.
"Gimana kalau elo tinggal di apartemen gue aja?"
Gue mengangkat kepala kaget lalu menghadap ke arah cowok itu.
*****?"?"?"*****
Chapter 60 [Raya pov] Sam membuka pintu apartemennya. Dia mempersilahkan gue buat masuk. Dengan malu-malu, gue melangkah masuk lalu melihat-lihat. Kalian tau apa yang gue katakan
saat itu" WOW!! Bagaimana tidak" Apartemennya benar-benar sangat luas. Saat masuk, gue disuguhi aula ruang tengah yang berbau maskulin dengan wallpaper
serba abu-abu. "Ini apartemen elo?" tanya gue takjub.
"Iya," jawab Sam sambil menggaruk rambutnya yang tak terasa gatal.
"Lo tinggal sendirian?" tanya gue lagi.
Sam hanya mengangguk sambil melangkah menuju dapur. "Lo suka teh?" tanyanya setengah berteriak dari dalam dapur.
"Iya," sahut gue duduk terpaku dengan mata yang masih menyisir betapa indahnya dekorasi interior apartemen Sam.
Ya. Gue terima tawaran Sam walaupun dengan berat hati. Entah mengapa gue merasa aman jika berada bersamanya. Dia sudah gue anggap seperti Renan yang selalu
ada di saat gue butuh. Yaaah! Gue akan tinggal di sini sampai gue menemukan home stay yang murah dan nyaman.
"Jadi, bagaimana ceritanya sampai elo bisa diusir?" tanya Sam sambil membawa dua cangkir teh, lalu meletakkannya di hadapan gue.
"Ceritanya panjang, Sam," sahut gue lesu. "Pokoknya, intinya gue itu difitnah sama Reiko."
"Difitnah?" Alis Sam terangkat tinggi.
"Yaaah gitulah," sahut gue malas. Hati gue selalu merasa sakit jika mengingat kejahatan Reiko pada gue. "Gue difitnah nyuri kalungnya Bu Matsumoto."
"Kurang ajar!" kata Sam geram. "Sepertinya, mata tuh anak harus dicongkel biar kapok."
Gue terkekeh mendengar lawakannya. Nggak gue sangka dia bisa melawak juga. "Lo lucu juga ya?" Gue menyikut lengannya.
"Gue serius nih!"
Gue lagi-lagi tertawa, lalu menepuk punggungnya dua kali. "Daripada lo congkel tuh mata, lebih baik buat dia ngaku," kata gue disusul dengan tawa yang
membuncah. "Gue benar-benar pengen mencongkel matanya, Raya."
Kali gue memukul agak keras punggung Sam. "Ih nggak lucu bercandanya. Serem!" kata gue mengulum tawa.
"Jadi, lo cuma pengen dia ngaku?" Dahi Sam mengernyit.
Gue mengangguk kuat, lalu berdiri sambil memegang gagang koper. "Jadi... Di mana nih kamar gue?" ucap gue mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Di sebelah situ." Sam ikut berdiri lalu berjalan menuju sebuah pintu kemudian membukakannya buat gue.
"WOW!" ujar gue kaget ketika memasuki kamar dengan nuansa maskulin.
Apa kamar ini adalah kamarnya Sam" Omo daebak! Rapi banget coy. Di depan ranjang king size sudah terdapat TV layar datar lengkap dengan play station dan
rak untuk CD. Wallpaper kamar sangat indah dengan perpaduan warna abu-abu dan merah maroon.
"Lo boleh tidur di kamar gue. Apartemen ini memang di desain dengan satu kamar. Gue akan tidur di sofa," jelas Sam.
Gue menoleh ke samping, melihat Sam yang berdiri di sebelah gue. "Lo akan tidur di sofa?" Alis gue terangkat kaget. "Gue jadi nggak enak nih. Mendingan
gue yang tidur di sofa."
"Nggak apa-apa. Nyantai aja."
*** Setelah selesai mandi dan ganti pakaian, gue mengunci pintu kamar, takut siapa tahu Sam tiba-tiba masuk. Gini-gini gue pernah disukai dua cogan the most
wanted lho. Barang kali aja Sam juga jatuh cintrong ke gue. Ya... Jaga diri ajalah.
"Waaah enaknya!" kata gue saat merebahkan tubuh di atas kasur kemudian berguling ke kanan dan ke kiri.
Rasanya sudah lama nggak tidur di kasur empuk kayak begini. Kalau di home stay milik Matsumoto-san mah tidurnya di kasur lantai. Dan sekarang, gue berada
di kasur king size lengkap dengan TV dan play station.
Dddrrrttt HP gue bergetar. Rupanya dari Renan. Siapa lagi yang mau ngajak gue vidio call-an kalau bukan dia" Gue pun bergegas mengangkatnya.
"Halo, pret!" sapa cowok berambut gondrong itu.
"Halo, prut!" sapa gue balik.
"Eh, gue mau curhat nih."
"Iya dong." "Eh, lu pikir acara Mama Dede apa?"
"Iye iyelah," sahut gue malas.
"Eh, lampu pilip!"
"Astogeh, bisa-bisa aja lu!"
"Tadi pagi, gue habis beli baju, bajunya gue buang terus gue bawa plastiknya ajah."
Tawa gue membuncah spontan. "Gila lo, Pret!"
"Iya nih. Kayaknya gue agak gila. Gue kemarin beli makan lauk ayam tapi ayamnya nggak mau gue makan terus gue suruh ayamnya makan nasi gue."
Lagi, tawa gue membuncah hebat gara-gara lawakan Renan. "Gue pernah tuh kayak gitu. Bang, beli sate sepuluh rebu, itu uangnya sepuluh rebu saya taruh di
situ, Bang. Nggak usah pakek kembalian ya, Bang."
Kali ini tawa Renan yang terpecah. "Koplak lo jadi orang!"
"Ya elu emangnya nggak koplak juga?"
"Iya sih." Renan terkekeh.
*** [Sam pov] Di depan pintu kamar. Gue bisa mendengar percakapan Raya dengan seorang cowok. Tangan gue mengepal marah. Siapa cowok itu" Siapa cowok yang selalu menyita
waktu Raya buat telfonan atau vidio call-an" Mereka terdengar sangat akrab. Dan itu membuat gue merasa sangat terganggu. Gue harus tau siapa dia! Gue harus
tau! Dan menghentikan semua permainan konyol antara Raya dengan cowok itu. Gue adalah seorang hacker, mudah bagi gue untuk menghentikan percakapan mereka
berdua dengan menghack jaringan internet yang Raya gunakan.
Gue bergegas menuju ruang baca lalu menyalakan laptop, dengan sedikit sentuhan, gue sudah tak lagi mendengar suara Raya dan suara cowok itu bersahutan.
Yang boleh membuat Raya tertawa hanya gue. Hanya gue!
Setelah berhasil menghentikan percakapan Raya dengan cowok itu, gue melacak keberadaan cowok itu dan mencari tahu identitasnya. Tak lama berkutat dengan
laptop, gue sudah mendapatkan semua informasi yang gue butuhkan. Dia, cowok yang sering mengganggu Raya ternyata Renan. Dia adalah sahabat Raya sejak TK.
Dia juga merupakan sahabat El. It's okay kalau mereka hanya sekedar bersahabat. Tapi bagi gue, hubungan persahabatan mereka sangat mengganggu.
Mulai sekarang, gue akan menghack jaringan pada ponsel dan PC yang dimiliki Raya setiap kali dia menghubungi Renan. Itu sangat mudah bagi gue. Karena gue
adalah hacker jenius. Gue bahkan bisa menghack apa pun yang gue mau.
Dddrrrttt... HP gue tiba-tiba bergetar. Gue mengangkatnya malas. Panggilan itu dari Rommy, sekretaris kepercayaan Papa. Dia menyuruh gue buat berpakaian rapi karena
Papa Mama gue akan mengadakan makan malam bersama di salah satu hotel ternama yang tak jauh dari apartemen tempat gue tinggal.
Setelah menutup telepon, gue berjalan ke kamar Raya yang sebenarnya kamar gue. Semua pakaian gue berada di dalam sana. Mau tidak mau, gue harus mengganggunya
untuk mengambil baju. Tok tok tok Perlahan gue mengetuk pintu, takut kalau ketukan pintu gue akan mengganggu jam istirahatnya. Tak lama mengetuk, Raya membuka pintu dengan mata yang setengah
mengatup lalu mulutnya kemudian menguap.
"Apa gue ganggu?" tanya gue pelan.
Dia menggeleng. "Lo mau apa?"
"Gue mau ambil baju. Boleh masuk?"
Dia mengangguk, sepertinya dia belum sadar sepenuhnya. Gue tersenyum kecil lalu mengacak rambutnya pelan, merasa lucu dengan tingkah imutnya sehabis tidur.
"Lo mau ke mana?" tanya Raya yang berjalan di belakang gue, mengikuti gue menuju lemari pakaian.
Gue menggeser pintu lemari lalu melirik Raya sejenak. "Gue mau ketemu sama nyokap bokap gue," jelas gue gamblang. Entahlah, gue merasa nyaman menceritakan
segala sesuatu pada cewek itu.
Matanya langsung melebar kaget. "Ha" Lo mau ketemu sama nyokap bokap elo?"
Gue mengangguk santai. Sedangkan dia langsung gelagapan memporak porandakan seluruh lemari pakaian gue dan mencocokkannya ke badan gue. Dan anehnya, gue
hanya menurut. "Nah, ini baru bagus. Lo kelihatan ganteng," kata Raya sambil tersenyum lebar setelah dia melihat gue berganti pakaian. Kini gue memakain kemeja biru dengan
setelan jas abu-abu. Gue terkekeh. "Emangnya, biasanya nggak ganteng?" goda gue. Menggodanya kini menjadi salah satu hobi gue. Menyenangkan!
"Iya deh. Biasanya juga ganteng. Tapi kali ini tambah ganteng," paparnya.
Gue mengulum tawa, senang terhadap pujiannya. Sekarang gue merasa seperti seorang suami yang dipilihkan baju oleh istrinya, menyenangkan, serasa ada perasaan
yang menggelitik di dada gue.
*** Saat Rommy membukakan pintu untuk gue, gue dapat melihat Mama sama Papa sudah berada di meja makan dengan sebotol wine yang direndam di dalam air es.
Gue berdehem, mencoba menstabilkan emosi. Sudah lama gue nggak pernah bertemu Mama dan Papa, mereka sangat sibuk. Entah sudah berapa tahun gue tak melihat
mereka berdua. Jujur, gue sangat senang, ingin rasanya gue meloncat kegirangan ketika melihat mereka berdua.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Papa ketika gue memundurkan kursi.
"Baik, Pa," sahut gue kemudian duduk.
Belum satu menit gue duduk bersama mereka, Papa sudah melihat jam tangannya lalu memulai pembicaraan.
"Papa sibuk. Jadi, Papa akan langsung ke intinya saja," ungkap Papa.
Gue hanya diam menyimak. "Papa dengar, kamu sudah punya pacar," tambahnya.
Mata gue melebar. Pacar" Apa maksudnya" Gue sama sekali tak mengerti. Di hati gue hanya ada Olivia. Bagaimana mungkin Papa mengira kalau gue punya pacar
lagi" Rommy dengan sigap langsung mengeluarkan beberapa lembar foto dari dalam saku jasnya lalu memberikannya ke Papa. Kemudian Papa menyodorkan foto-foto tersebut
ke hadapan gue. Gue meliriknya sebentar, lalu tersenyum miring mendapati kelakuan Papa yang masih suka mengirim mata-mata untuk mengetahui kehidupan pribadi
gue. "Siapa perempuan itu?" tanya Papa serius. "Siapa perempuan yang tinggal bersamamu?"
"Dia teman sekampus. Baru-baru ini dia diusir dari home stay tempat ia tinggal, jadi aku menyuruhnya untuk..."
Praaakk Sebelum kalimat penjelasan gue rampung, tangan Papa sudah mendarat keras ke pipi gue, membuat gue kembali tersenyum miring. Sedangkan Mama hanya meringis
ketakutan dengan mata melebar kaget.


Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu tau apa yang akan terjadi jika sampai para pemegang saham mengetahui kelakuanmu?" bentak Papa marah.
"Kehidupan pribadiku tidak ada hubungannya dengan para pemegang saham," sahut gue datar.
Gue memundurkan kursi, lalu berdiri dan beranjak pergi.
"Kamu mau ke mana?" teriak Papa.
Gue tak menghiraukan ucapan pria paruh baya itu dan langsung kembali berjalan menuju pintu.
"Dengar Papa baik-baik! Lepaskan perempuan itu. Papa yakin dia akan meninggalkanmu ketika dia tahu siapa dirimu!" tambah Papa.
Langkah gue terhenti ketika memegang gagang pintu.
"Kamu tidak perlu teman! Dia hanya akan menghambat kesuksesanmu!" lanjut Papa.
"Iya, Sam. Tinggalkan perempuan itu," tambah Mama.
"Cepat atau lambat, perempuan itu akan meninggalkanmu kalau dia tahu bahwa kamu berbeda!" kali ini suara Papa yang terdengar dari balik punggung gue.
Gue sadar gue ini berbeda. Gue sangat berbeda. Oleh karena itu, bagaimana pun juga, Raya tidak boleh tahu kalau gue adalah seorang psikopat. Meskipun gue
belum pernah membunuh orang, tapi gue sudah membunuh ratusan hewan dan mencongkel matanya. Entah mengapa ada kesenangan tersendiri saat melakukan hal itu.
Gue bahkan pernah bekerja di tempat pemotongan hewan agar gue" dengan bebas bisa menguliti hewan-hewan secara leluasa. Ya! Gue berbeda. Gue psikopat.
*****?"?"?"*****
13. Chapter 61-65 Chapter 61 [Raya pov] Gue menekan beberapa tombol password untuk memasuki apartemen Sam. Dahi gue mengernyit heran ketika melihat Sam sudah duduk di atas sofa dengan tatapan
dingin. Dia kenapa" Batin gue.
"Lo dari mana saja?" tanya Sam sinis.
"Gue habis cari home stay. Kan nggak enak kalau kita tinggal bersama. Lagian kita bukan muhrim keles," papar gue santai sambil melepas sepatu dan menaruhnya
di rak. "Kenapa lo nggak ngangkat telepon dari gue?"
"Lo nelpon?" Alis gue sedikit terangkat. "HP gue batrenya habis mungkin." Gue berjalan santai menuju sofa lalu duduk di samping Sam.
"Lo baru tinggal dua malam di sini. Kenapa buru-buru pergi?"
"Ya nggak enak aja ngerepotin orang. Lagian bukan muhrim juga. Takut napsu tinggal bareng ama cogan," kata gue asal sambil menyeringai.
"Gue nggak ngerasa direpotin kok. Masalah muhrim atau bukan, lagian gue juga nggak nyentuh elo. Jadi elo nggak perlu khawatir."
"Aduh Sam! Please deh! Gue ini cewek dan elo cowok. Bukan saudara dan tidak memiliki ikatan darah. Kagak boleh tinggal bareng! KAGAK BOLEH!" Gue menekan
kalimat terakhir dengan setengah berteriak.
"Jangan pergi, Raya."
"Maaf, Sam. Tapi gue harus pergi." Gue berdiri lalu berjalan menuju kamar, membuka lemari dan mulai berkemas.
"Lo nggak boleh pergi, Raya!" teriak Sam dari ambang pintu.
Gue menoleh, dahi gue mengernyit heran.
"Em... Maaf karena gue berteriak. Baiklah kalau lo mau pergi. Gue nggak bisa nahan elo." Sam kelihatan salah tingkah.
*** [Sam pov] Shit! Gue barusan meneriaki Raya. Tenang, Sam. Tenang. Kalau gue meneriakinya, bertanya ini dan itu, melarangnya, terlalu mengekangnya, dia bisa pergi
seperti Olivia. Jadi, gue harus tenang dan memberinya sedikit kelonggaran.
"Kalau lo belum nemu tempat, lo bisa tinggal di sini kok. Apartemen ini selalu terbuka buat elo, Ray," sambung gue mencoba menahan emosi.
Raya tersenyum manis. "Makasih ya, Sam. Gue hargai kebaikan elo," sahutnya lalu kembali berkemas.
Gue masih berdiri di ambang pintu, menungguinya. Tiba-tiba ia kembali menoleh ke arah gue, membuat mata gue sedikit melebar.
"Sam, elo kan ahli komputer," kata Raya.
Gue mengangguk pelan. "Iya. Kenapa emang?"
"Elo bisa bantuin gue nggak?" tanya Raya sambil membawa ponselnya ke arah gue.
"Bantuin apa?" "Gini, ponsel dan laptop gue jadi aneh. Sudah dua hari ini, gue nggak bisa menghubungi sahabat gue di Indonesia. Jaringannya selalu eror. Kenapa ya?"
Gue harus tenang. Gue nggak mungkin bilang ke Raya kalau gue yang meng-hack ponsel dan laptopnya agar dia tidak bisa lagi menghubungi Renan.
"Padahal saat gue menghubungi kakak gue, bisa kok. Tapi tiba-tiba nggak bisa ketika gue menghubungi sahabat gue. Aneh kan?" sambung Raya.
"Coba sini, gue lihat." Gue menyambar HP yang disodorkan Raya dan berpura-pura mengecek HP tersebut sebentar.
"Gimana" Ada yang salah ya?"
"Kayaknya emang penyedia jaringannya yang eror deh."
"Aneh deh. Kemarin gue udah ganti kartu. Tapi jaringannya tiba-tiba putus."
Gue menggaruk tengkuk gue yang tak terasa gatal. "Kurang tau kalau gitu. Mungkin saat elo menghubungi sahabat elo, jaringannya lagi eror. Buktinya elo
bisa menghubungi kakak elo kan?" jelas gue bohong.
"Iya juga sih." Raya tampak percaya dengan apa yang gue katakan.
Ya, gue sengaja menyetting agar Raya tidak bisa menghubungi Renan saja. Gue menggunakan keahlian gue untuk memblokir nomor Renan. Hanya nomor Renan saja.
Oleh karena itu, Raya bisa menghubungi siapa pun kecuali Renan.
"Eh ngomong-ngomong, elo mau pindah ke mana?" tanya gue mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Di salah satu home stay dekat kampus."
"Ooh baguslah kalau begitu."
Raya kembali berjalan menuju lemari lalu berkemas lagi. "Eh, tadi gue ketemu sama Reiko. Dia minta maaf sambil nangis-nangis gitu," ucap Raya dengan tangan
yang masih sibuk mengemasi barang-barangnya.
"Oh ya?" sahut gue mencoba santai dan berpura-pura tidak tahu.
Ya, gue adalah orang yang mengancam Reiko supaya cewek itu segera mengakui kesalahannya dan meminta maaf pada Raya. Diam-diam gue menyekap cewek itu lalu
mengancamnya untuk menjelaskan semuanya pada Bu Matsumoto prihal kalung yang hilang itu. Awalnya Reiko menolak dan bersikukuh untuk diam. Hingga akhirnya
dia menyerah juga ketika gue membawa sebuah tusuk gigi dan hendak menancapkan tusuk gigi tersebut ke matanya.
"Gue senang banget kalau dia mau tobat dan mengakui kesalahannya. Jarang-jarang lho, ada orang mau mengakui kesalahan kayak gitu," tambah Raya.
Gue tersenyum miring, merasa lucu dengan ucapan Raya. Mengakui kesalahan" Yang benar saja! Reiko nggak bakal mengakui kesalahannya kalau gue nggak mengancamnya.
Hampir saja waktu itu gue membuat salah satu mata Reiko tak berfungsi sebagaimana mestinya. Untung saja gue tersadar kalau gue jadi menancapkan tusuk gigi
itu ke mata manusia, maka itu sama saja gue mengakui kalau gue adalah psikopat. Tidak! Gue bukan psikopat. Gue harus menjadi manusia normal agar Raya tidak
illfeel sama gue. *** [Renan pov] Aneh, sudah dua hari ini, gue tidak bisa menghubungi Raya. Jaringan yang gue pakai selalu eror setiap kali gue ingin berbincang-bincang dengan Raya.
Tok tok tok Gue mengetuk sebuah pintu dari salah satu ruangan rumah sakit. Tak lama mengetuk, terdengar suara seorang wanita yang memperbolehkan gue untuk segera membuka
pintu. "Renan?" tanya Kak Icha.
Gue meringis malu. "Kenapa lo kemari?" tambah Kak Icha.
Gue menggaruk kepala gue yang tak terasa gatal. "Aku mau tanya, Kak. Sebenernya masalah sepele sih. Tapi ini ganggu banget."
"Duduk dulu gih!" perintah Kak Icha sambil menunjuk sebuah kursi di depan meja dengan dagunya.
"Gini, udah dua hari aku nggak bisa vidio call-an sama Raya. Apa gara-gara jaringan ya?"
"Mungkin kuota elo abis kali!" jawab Kak Icha asal.
"Ya elah, Kak. Nggak mungkin lah!" kilah gue setengah emosi.
"Gue bisa-bisa aja vidio call-an sama Raya tuh. Mungkin nomor WA elo minta ganti atau mungkin jaringan yang elo gunakan lagi ngambek."
Sumpah yah nih nenek sihir buat gue kesel aja, batin gue geram. Tadi gue kan sudah bilang kalau mungkin jaringan yang gue gunakan eror, dan sekarang" Ah,
gue langsung memutar bola mata malas.
"BTW, aku boleh pinjam HP Kakak nggak" Soalnya HPku nggak bisa digunakan buat teleponan sama Raya nih."
"Ya elah. Bilang aja elo mau ngirit kuota," oceh Kak Icha sembari memberikan ponselnya pada gue.
Tuh emak-emak atu, emang pandai banget kalau nyindir. Ya nggak apa-apalah. Yang penting gue bisa melihat Raya. Gue udah kangen banget sama dia, sahabat
sekaligus first love gue.
Setelah menyambar ponsel Kak Icha, gue menyentuh beberapa bagian layar kemudian tak lama setelah itu, wajah Raya akhirnya nongol juga. Dan itu sudah membuat
gue tersenyum senang. "Assalamu'alaikum Luna Maya," sapa gue sambil tersenyum senang.
"Wa'alaikum salam, Baidowi?" jawab Raya lalu terkekeh nakal.
Kak Icha yang mendengarkan percakapan kami juga ikut terkikik.
"Ya ampun upil basah! Lo kemane aje" Gue vidio call nggak pernah bisa," omel gue sambil mengerucutkan bibir.
"Gue juga nggak tau, kentutnya Kastuni! Gue juga coba vidio call elo. Tapi nggak bisa. Jaringannya selalu tiba-tiba eror. Kalau enggak ya... HP gue tiba-tiba
hang." "Oooh gitu ya" Sama dong kalau gitu. Kira-kira kenapa ya?"
"Eh BTW, gue lagi boring nih. Elo nggak punya rekomendasi lagu Indonesia yang bagus buat gue download?"
"Lagu di Indonesia mellow semua bikin gue nangis. Nggak ada yang nge-beat. Padahal gue pengen dugem."
Lagi, Kak Icha terkikik sambil berusaha menghentikan tawanya. Apa percakapan antara gue dan Raya ada yang lucu"
"Gaya lo! Pakek dugem segala!" hina Raya.
"Emangnye nggak boleh?" kata gue nyolot.
"Boleh. Asalkan elo goyang jungkir balik," ucap Raya lalu tertawa puas.
"Goyang apaan tuh?"
"Goyang topeng monyet!" Dan lagi, tawa Raya kembali pecah. "Elo itu termasuk ke dalam spesies monyet-monyetan. Kalau enggak ya masuk ke dalam spesies umbi-umbian!"
"Gue kagak mau kalau elo suruh goyang topeng monyet. Elo aja yang goyang!"
"Entar kalau gue yang goyang, elo yang tegang."
"Parah! Tegang apanya cobak?"
"Biasanya apa?" tanya Raya balik.
"Nggak paham gue."
"Nggak paham nggak apa-apa, Yul, Tuyul!"
Gue terkekeh, ingin rasanya bercakap-cakap dengan Raya lebih lama lagi. Tapi Kak Icha menyambar HP nya dari tangan gue lalu mengakhiri vidio call antara
gue dengan Raya. "Yaaah Kakak!" kata gue penuh kecewa.
"Udah udah! Bahasan elo sama Raya makin lama makin sotoy! Kagak boleh! Adek gue masih kecil. Jangan bikin dia terkontaminasi!" omel Kak Icha, membuat gue
semakin tidak paham. *****?"?"?"*****
Chapter 62 [Elbara pov] Dengan kemeja biru muda dan setelan jas warna hitam pekat, lengkap dengan dasi motif garis-garis, tubuh gue seakan menegang. Betapa tidak" Sebentar lagi
gue akan memasuki ruangan rapat dewan direksi. Gue sebenarnya malas menjadi pewaris perusahaan Papa. Impian gue adalah mendirikan perusahaan gue sendiri,
perusahaan yang dimulai dari nol. Tapi mau bagaimana lagi" Inilah takdir gue yang sudah diatur oleh Tuhan dan sekarang hidup gue dikendalikan oleh Papa.
Gue hanya sekedar boneka sekarang. Damn it!
Dua orang body guard tampak berjaga di depan pintu. Papa berjalan di barisan paling depan. Sementara gue berada di samping kanannya, satu langkah di belakang.
Dan masih ada beberapa orang berjalan di belakang gue menuju ruang rapat. Ya, Papa adalah CEO di perusahaan ini, perusahaan yang menguasai pangsa pasar
Asia dan Eropa, perusahaan yang telah didirikan oleh Kakek dulu.
Dua orang body guard itu tampak bersiap membukakan pintu ketika melihat kami berjalan ke arah mereka. Dan pintu pun terbuka. Setelah menelan ludah, gue
menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.
Semua orang tampak berdiri dengan hormat ketika Papa memasuki ruangan dan mengambil kursi yang paling depan. Kemudian Papa mempersilahkan semuanya untuk
duduk. Setelah berbasa-basi, akhirnya Papa menyuruh gue buat maju ke depan dan memperkenalkan gue ke semua anggota dewan direksi.
Papa menepuk bahu gue dua kali. "Dia adalah anak saya. Sebentar lagi dia akan lulus kuliah. Mulai sekarang, dia akan menjadi direktur keuangan di perusahaan
ini," kata Papa dengan entengnya.
Mata gue membulat lalu menoleh ke arah lelaki paruh baya itu dengan tatapan penuh tanya. Apa-apaan ini" Tanpa persetujuan dari gue, Papa membuat keputusan
seenaknya. Shit! Spontan suasana ruang rapat menjadi riuh. Para dewan direksi saling berbisik satu sama lain walaupun ada sebagian anggota yang hanya mengangguk seolah
mengiyakan keputusan Papa.
"Dia adalah penerus perusahaan ini. Jadi, saya akan memupuknya sejak dini sebelum dia benar-benar menggantikan posisi saya sebagai CEO," lanjut Papa kemudian
lelaki paruh baya itu memberikan kode mata agar gue memperkenalkan diri ke para anggota dewan direksi.
"Perkenalkan, nama saya Elbara. Mulai sekarang, saya akan menjabat sebagai direktur keuangan diperusahaan ini," papar gue tegas.
*** Tok tok tok "Masuk!" perintah gue.
Seorang perempuan cantik bernama Davina memasuki ruang kerja gue sambil membawa beberapa berkas perusahaan. Ia kemudian meletakkan berkas-berkas tersebut
di meja gue. Gue mendongak, melihatnya yang masih berdiri di hadapan gue dengan postur tegap, dan kaku seolah menggambarkan sosok wanita yang sangat disiplin.
Umurnya 28 tahun, 6 tahun lebih tua daripada gue. Dia lulusan management di salah satu Universitas ternama di Indonesia. Dia sudah bekerja selama 5 tahun
di perusahaan ini. Keuletannya membuat Papa mempercayakan gue pada sosok wanita berpenampilan rapi itu. Dia merupakan salah satu tangan kanan Papa.
Gue tak boleh kalah darinya. Gue harus mengatakan pada dunia kalau gue bisa menjadi pewaris yang kompeten. Oleh karena itu, dengan gestur tegas, gue mencoba
mempelajari berkas-berkas yang ia berikan.
"Apa" Ada pertemuan ke Beijing?" Gue terhenti membaca berkas, lalu kembali mendongak, menatap Davina.
"Iya, Tuan Suryabara ingin anda menggantikannya pada pertemuan di Beijing China dengan para koleganya di sana," jelas Davina.
Gur menghela napas, "Baiklah. Kalau begitu, persiapkan semuanya," kata gue.
Perjalan gue masih panjang. Untuk menemukan Raya dan mendapatkannya, itu tidaklah mudah. Gue harus menjadi seseorang yang kokoh agar tidak lagi menjadi
boneka Papa. Oleh karena itu, gue harus menjadi seorang pembisnis yang lebih hebat daripada Papa.
*** [Raya pov] Mata gue terbelalak lebar setelah mendengar kabar dari profesor Yamada. "Apa" Desain saya akan diikutkan dalam persaingan tender?" tanya gue masih tak
percaya. Profesor Yamada mengangguk. "Iya, desain yang kamu buat sangat bagus. Itulah sebabnya saya mengajukan rancanganmu itu ke perusahan konstruksi. Dan mereka
setuju. Mereka bilang, mereka akan mengikutkan rancanganmu dalam persaingan tender jika kamu dapat meyakinkan mereka. Ini kesempatan bagus buatmu, Raya,"
papar lelaki tua bermata sipit itu.
Jantung gue berdebar. Senang bukan main. Gue harus semangat dalam mempersiapkan semuanya. Iya! Gue harus semangat.
"Persiapkan semuanya dengan baik. Seminggu lagi kita akan ke perusahaan konstruksinya dan mempresentasikan rancanganmu," tambah profesor Yamada.
Lagi, jantung gue bertambah berdebar setiap detiknya. Gugup bukan main. Tapi... Ini adalah awal dari semuanya. Gue tidak boleh gugup dan harus fokus dalam
proyek ini. Karena ini adalah jalan untuk mencapai cita-cita gue sebagai arsitek ternama.
*** Tangan gue sedikit gemetar ketika memasuki kamar hotel. Mata gue melebar senang ketika melihat hamparan kasur king size yang sudah menanti gue. Gue pun
langsung berlari-lari kecil menuju kasur lalu merebahkan tubuh ke atasnya kemudian berteriak sepuasnya seperti orang gila. Gue emang gila!! Bagaimana tidak"
Rancangan gue sudah di acc oleh pihak perusahaan konstruksi. Dan sekarang, gue berada di salah satu hotel ternama di Beijing, China untuk mempresentasikan
rancangan gue kembali. Apa ini mimpi" Tidak! Ini kenyataan. Dan gue senang kalau itu bukan sekedar mimpi.
Ting tung ting tung Suara bel dari depan pintu mengganggu euforia gue. Dengan bibir yang mengerucut kesal, gue menghentak-hentakkan kaki menuju pintu. Siapa cobak yang ganggu
gue" Berani-beraninya dia!
"Maaf, Nona. Sepertinya anda meninggalkan koper anda di Lobby," kata seorang pria, petugas hotel. Dia mendorong sebuah koper pink hingga berada di samping
gue. "Terima kasih," ucap gue sambil tersenyum malu. Bagaimana bisa gue jadi pikun dan meninggalkan barang berharga gue di Lobby sih" Gue menjitak kening gue
sendiri. "Iya, sama-sama," sahut petugas hotel itu.
Gue pun memberikan senyuman lagi pada petugas tersebut lalu bergegas menutup pintu. Tapi sebelum gue benar-benar menutup pintu, gue melihat sosok Elbara
berjalan bersama seorang wanita dan seorang petugas hotel, melangkah melewati koridor depan kamar gue.
Mata gue membulat. Gue yakin salah lihat! Apa yang tadi itu nyata" Mata gue mengerjap beberapa kali. Lalu setelah gue benar-benar sadar, gue membuka pintu
lebar-lebar lalu berlari ke sepanjang koridor yang telah dilalui sosok lelaki yang sangat mirip dengan El.
Tanpa alas kaki, gue berlari seperti orang gila. Napas gue mulai ngos-ngosan mencarinya. Hingga akhirnya gue menemukan sosok lelaki itu memasuki lift bersama
seorang wanita berjas hitam dan dengan seorang petugas hotel. Gue pun lansung berlari menuju lift. Namun sial! Sebelum gue masuk lift tersebut, lift nya
sudah tertutup rapat. Tangga! Ya, tangga! Gue mendongak ke atas, melihat lantai berapa yang lelaki itu tuju, lalu gue pun bergegas cepat berlari menuju tangga dan menaikinya.
Napas gue mulau tak beraturan, ngos-ngosan kayak nenek-nenek jarang olahraga. Tapi tak masalah! Bagaimana pun caranya, gue harus memastikan bahwa lelaki
itu Elbara atau bukan. Setelah gue berhasil naik ke lantai yang lelaki itu tuju, gue bisa melihat lelaki itu menuju suatu ruangan yang dijaga ketat oleh beberapa body guard berbadan
kekar di sekitar pintu masuk.
"El!" teriak gue dari kejauhan.
Lelaki yang sangat mirip dengan El itu pun tampak tak mendengar teriakkan gue dan dengan santainya masuk ke dalam ruangan.
"El?" teriak gue sambil berlari menuju ruangan itu.
Sial! Para Body guard berbadan kekar itu pun mencegah gue masuk ke dalam ruangan.
"Lepaskan!" Gue meronta. Tapi para lelaki kekar itu tak membiarkan gue masuk.
"El, gue tau itu elo! Tolong bukain pintunya, El. Gue mau ngomong sama elo," teriak gue, berharap lelaki yang mirip El di dalam ruangan mendengar teriakan
gue. Karena cinta gue jadi tolol. Ya, gue lupa kalau ruangan itu pasti kedap suara. Nggak mungkin dia mendengar suara gue. Nggak mungkin banget. Akhirnya gue
menyerah, tubuh gue melemas. Dan tak lama kemudian, petugas keamanan datang dan membawa gue kembali ke kamar. Nihil! Apa dia bukan El" Apa gue salah orang"
Nggak! Bagaimana gue melupakan wajah El" Dia El! Gue yakin itu.
*****?"?"?"*****
Chapter 63 [Elbara pov] Gue berjalan memasuki aula pesta, di aula tersebut, gue bisa mengenal kolega-kolega Papa dari berbagai negara. Gue menarik napas kemudian menghembuskannya,
mencoba menenangkan diri. Bagaimana tidak" Ini adalah pengalaman pertama gue berinteraksi dengan orang-orang dari kalangan atas. Oleh karena itu, gue harus
percaya diri sehingga mereka percaya bahwa gue bisa menjadi penerus yang baik.
Tak terasa sudah 1 jam gue berada di aula ini sambil berbincang-bincang dengan para direktur dari berbagai perusahaan mancanegara yang mempunyai hubungan
kerja sama dengan perusahaan Papa. Tersenyum palsu, gue sudah mulai terbiasa. Akan tetapi senyuman gue mereda ketika gue melihat seorang gadis bergaun
hitam sedang berbincang-bincang dengan beberapa orang di meja sebelah utara.
Mata gue melebar sesaat lalu mengerjap. Apa gue nggak salah lihat" Dia Raya kan" Dia Soraya Aldric bukan" Kenapa dia bisa ada di sini" Bukankah yang bisa
hadir di pesta ini hanya kalangan atas saja" Bukankah perusahaan keluarganya Raya sudah bangkrut"
"Davina," panggil gue.
"Ya?" seorang wanita yang berdiri di samping tempat duduk gue menyahut tegas.
"Tolong cari tau siapa wanita itu!" perintah gue sambil menunjuk sosok Raya yang tengah asyik berbincang-bincang dengan beberapa orang dan tak menyadari
keberadaan gue di tengah hiruk pikuk pesta malam ini.
"Baik, Pak," sahut Davina lalu menyentuh layar ipad-nya dan segera mencari informasi tentang daftar tamu di pesta ini.
"Namanya Soraya Aldric, Mahasiswi Univesitas Tokyo. Dia datang bersama profesor Yamada Keichiro," papar Davina setelah membuat gue menunggu beberapa saat.
Oh Tuhan, betapa cantiknya dia malam ini! Sungguh! Raya tampak begitu cantik dengan balutan gaun hitam pekat, riasan minimalis, dan rambut yang digerai,
di taruh ke depan salah satu pundak membuat dia terlihat semakin mempesona. Jantung gue terasa sesak. Rasanya ingin sekali gue menghampirinya, memeluknya,
lalu membawanya pergi. Tapi...
"Kenapa dia bisa berada di sini, Davina?" tanya gue lagi. Pandangan mata gue masih tak lepas memandang Raya dari kejauhan.
"Dia adalah salah satu arsitek yang akan membangun proyek resort bintang lima bersama profesor Yamada," jawab Davina.
Shit! Jantung gue semakin berdebar kencang jika semakin lama gue memperhatikan Raya. Rasanya gue ingin bersamanya, berbincang-bincang dengannya, memeluknya,
dan selalu ingin bersamanya. Tapi nggak bisa! Gue nggak bisa melakukan itu. Kalau gue bertemu dengan Raya saat ini, bisa-bisa Papa menghancurkan karirnya
yang sudah merangkak di puncak sebagai seorang arsitek. Gue nggak bisa membiarkan Papa mengusiknya. Lebih baik, gue yang pergi.
"Davina, sepertinya saya kurang enak badan. Saya akan kembali ke kamar hotel," kata gue bohong.
"Baik, Pak," sahut Davina.
*** [Sam pov] Gue tersenyum sepanjang jalan di koridor apartemen sambil membawa seikat bunga tulip merah, Akaichurippu. Di Jepang, bunga tulip merah melambangkan popularitas.
Gue berniat memberikannya pada Raya karena dia berhasil mengikuti persaingan tender mancanegara, namanya akan dikenal sebagai arsitek berbakat.
Ya, mungkin bunga tulip merah ini melambangkan popularitas jika di Jepang. Akan tetapi, di Barat, bunga tulip merah ini melambangkan cinta abadi. Gue adalah
orang yang sulit untuk mencintai. Raya dengan segala kelebihannya perlahan sudah membuat gue jatuh cinta meskipun sosok gadis manis berkulit agak gelap
itu belum bisa menggantikan Olivia sepenuhnya di hati gue.
Tapi... Nggak masalah. Gue akan memberikan mawar merah," Akaibara pada Raya ketika gue benar-benar mencintainya seratus persen. Kalian tau apa arti bunga
mawar merah" Semua orang juga pasti tahu apa arti bunga mawar merah. Baik di Jepang maupun di Barat, bunga mawar merah sama-sama melambangkan romantisme.
"Sam?" panggil seorang wanita dari belakang.
Langkah gue terhenti, lalu gue memutar badan untuk menengok. Mata gue melebar kaget ketika melihat siapakah wanita yang berdiri di ujung koridor apartemen.
Tangan gue tiba-tiba menjadi goyah sehingga seikat bunga tulip merah yang gue pegang terjatuh ke lantai.
"Sam?" Wanita itu mendekat dengan mata yang berkaca-kaca.
Gue masih terdiam, mematung kaku dengan mulut terkunci. Hampir tujuh tahun lamanya gue tak pernah melihatnya. Tapi gue masih bisa mengenalinya dengan baik.
"Sam, aku merindukanmu!" Wanita itu langsung memeluk gue tanpa izin.
Jantung gue berdebar hebat. Samar-samar gue bisa mencium bau sampo yang ia gunakan. Wangi, harumnya masih sama dengan seseorang yang pernah singgah tujuh
tahun yang lalu. "Maafkan aku pernah meninggalkanmu, Sam. Aku minta maaf. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu lagi," papar wanita yang mengenakan baju berwarna abu-abu
itu. Air matanya dapat gue rasakan membasahi baju gue.
"Olivia?" Tangan gue mulai merambat ke punggungnya lalu membalas pelukannya.


Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah menghentikan tangisannya, gue menyuruh Olivia untuk masuk ke dalam apartemen gue. Gue menyuguhkan secangkir teh hangat padanya kemudian gue duduk
di sampingnya. "Ngomong-ngomong, selama ini kamu berada di mana?" tanya gue.
"Aku..." kata Olivia tampak masih enggan angkat bicara. "Aku nggak berada di Kanada, Sam. Sebenarnya aku berada di Vietnam."
"Vietnam?" Olivia mengangguk pelan. "Tujuh tahun lalu, aku akui kalau aku masih labil. Setelah kamu memberikan hadiah itu, terus terang aku ketakutan dan langsung
menceritakannya pada Mama dan Papa," paparnya sambil menunduk melihati lantai.
"Lalu?" "Akhirnya Mama dan Papa melarangku untuk menemuimu lagi. Mereka mengirimku ke Vietnam walau aku nggak mau, Sam."
"Lalu, bagaimana kamu tahu aku sekarang berada di Jepang?"
"Kamu selalu bercerita kalau kakekmu orang Jepang dan beliau ingin kamu kuliah di Universitas Tokyo. Itulah sebabnya aku tau kamu pasti tinggal di apartemen
yang tak jauh dari Universitas Tokyo."
"Apakah orang tuamu tahu bahwa kamu ada di sini?"
Olvia menggeleng lesu, dengan mata berkaca-kaca, dia menatap gue penuh cinta. "Mereka nggak tau kalau aku di sini," tangannya merambat lalu menggenggam
erat tangan gue. "Sulit banget hidup tanpamu, Sam."
Mata gue melebar saat mendengar pernyataan darinya. Ternyata dia masih mencitai gue selama ini meskipun dia tahu kalau gue adalah seorang psikopat. Tangan
gue spontan langsung menarik pinggangnya dan membawanya ke pelukan gue.
"Olivia, jangan pernah meninggalkanku lagi ya?" kata gue.
Olivia mengangguk sambil membalas pelukan gue. Sejak hari ini, gue tinggal bersama Olivia di apartemen gue. Gue nggak akan membiarkan orang tua Olivia
memisahkan kami lagi. "Ngomong-ngomong, bunga tulip merah yang kamu bawa tadi untuk siapa?" tanya Olivia saat ia melepaskan pelukannya.
Mata gue melebar. Gue nggak mungkin menjawab kalau bunga itu untuk seseorang yang mulai mengisi hati gue dan untuk sementara menggantikannya.
"Bunga itu untuk temanku dari Indonesia yang kebetulan juga kuliah di Universitas Tokyo," jelas gue.
"Cewek?" tanya Olivia penuh selidik.
Gue mengangguk. "Iya. Dia cewek. Jurusan arsitektur. Baru-baru ini dia ikut proyek pembangunan resort bintang lima. Aku hanya ingin memberinya ucapan selamat,"
papar gue. Olivia hanya mengangguk dengan mulut membentuk huruf O. Dia tampak sangat manis dan lucu, membuat tangan gue denga gemas mengacak rambut wanginya.
*****?"?"?"*****
Chapter 64 [Raya pov] Tak terasa sudah beberapa tahun berlalu sejak gue mengalami titik terendah dalam hidup gue. Kehilangan dua pacar dan kehilangan dua orang tua membuat gue
mengalami depresi hingga gue pernah menjadi pasien di salah satu rumah sakit jiwa. Sekarang usia gue 26 tahun, menjabat sebagai kepala arsitek di salah
satu perusahaan konstruksi ternama di Jakarta. Gue tinggal di salah satu apartemen elite bersama teman sekantor gue, Anila. Dia bawahan gue, divisi desain
interior. Gue tersenyum di depan cermin, memandangi wajah gue yang semakin hari semakin cantik menurut gue. Facial tak pernah absen gue lakukan setiap dua minggu
sekali. Dulu mah boro-boro facial. Bayar sewa home stay tepat waktu aja udah Alhamdulillah.
Hari ini adalah hari minggu. Kerjaan gue di hari minggu selain belanja adalah menjemput keponakan dari tempat les piano." Ya, Kak Icha mengambil kuliah
S2 di kedokteran. Secara otomatis anaknya jadi terbengkalai nggak keuurus karena dia sibuk mengerjakan tugas ini dan itu.
Setelah selesai dandan, gue bergegas menuju tempat parkir dan membuka pintu mobil. Tapi gue terhenti ketika melihat mobil Renan datang. Mobil sport yang
dikendarainya terhenti tepat di depan mobil gue, lalu dia menurunkan kaca mobilnya.
"Mau ke mana lo, Ray?" tanya Renan sambil melepas kacamata hitam yang ia pakai.
"Bushet lo! Pakek kacamata hitam segala. Entar dikira buta baru tau rasa!" sahut gue heran dengan penampilannya yang selalu sok keren itu.
"Ya elah. Ditanya mau ke mana malah mengkritik penampilan."
"Gue mau jemput Brian ke tempat les."
"Ya udah, gue anter."
"Boleh. Ayo!" *** "Hai Brian!" Renan melambaikan tangan pada seorang anak kecil bertubuh tambun yang sedang asyik menjilat sebuah permen lolipop.
Brian, anak dengan pipi bakpau itu terhenti dengan mata melebar senang. "Om Renan?" Senyumnya mengembang lalu ia berlari menuju ke arah Renan dengan gembira.
Renan duduk berjongkok untuk menyamai tinggi bocah berusia 3 tahun itu. "Hei jagoan! Gimana lesnya" Bisa?" tanya Renan sambil mengelus kepala Brian.
Brian menggeleng dengan bibir manyun.
"Ya udah nggak apa-apa. Besok-besok juga bisa sendiri nanti," hibur Renan sambil mencubit gemas pipi Brian.
"Om, ayo jalan-jalan dong, Om," ajak Brian manja sambil menggerak-gerakkan bahunya. "Brian nggak suka di rumah. Sepi. Paling-paling cuma ada Mbok Sum."
Renan dan gue terkekeh spontan. "Iya deh. Ayo!"
*** Di tempat duduknya, Renan hanya bisa melongo melihat Brian yang sudah menghabiskan beberapa potong pizza. Lahap sekali bocah itu makan hingga saos pizza
membuat pipinya kotor. "Ampun dah nih anak!" kata gue sambil mengusapi pipi Brian dengan tisu. "Brian, kalau makan pelan-pelan. Entar keselek!"
Brian berhenti memasukkan pizza ke dalam mulutnya lalu mencoba mengunyah pizza yang ada di dalam mulutnya dengan benar.
"Baik, Ma," sahut Brian yang berhasil membuat mata gue terbelalak.
"Apa kamu bilang barusan" Ma?" tanya gue kaget sementara Renan hanya terkikik.
Brian mengangguk. "Iya, mulai sekarang, Brian setiap hari minggu akan panggil tante Raya dengan sebutan Mama."
"Ha?" Gue langsung terperanjat. "Nggak boleh, Brian. Tante Raya ini masih muda. Nggak pantes punya anak segede kamu."
Brian terhenti lalu memasang muka imutnya untuk membujuk gue. "Ayolah tante! Boleh ya?"
"Udahlah Ray. Turutin aja!" saran Renan.
Gue melirik Renan sebentar sambil menimbang-nimbang saran yang diberikannya.
"Ayolah tante!" kata Brian yang masih memasang wajah imutnya.
"Baiklah. Tapi ingat!" Gue mengangkat jari telunjuk gue ke udara. "Kamu boleh panggil tante dengan panggilan Mama kalau hari minggu aja. Kamu ngerti?"
"Yeeey!" teriak Brian senang sembari mengangkat kedua tangannya ke udara.
Renan terkekeh sambil mengacak lembut rambut Brian. "Brian... Brian..." Dia menggeleng heran.
"Nah, khusus hari minggu juga, Brian ingin Om Renan menjadi suaminya tante Raya," ujar Brian.
Uhuk uhuk. Gue langsung tersedak es teh yang gue minum ketika mendengar ucapan Brian barusan.
"Jadi, tante Raya jadi Mama. Dan Om Renan jadi Papaku," sambung bocah semprul itu.
"Ya udah deh. Terserah kamu. Asal kamu nggak cemberut lagi," ucap Renan sambil mengelus-elus pipi temben Brian.
"Oh iya, Ren. Habis nganterin gue pulang, elo mau ke mana?" tanya gue sambil melihat Renan yang tengah asyik mencubit-cubit gemas pipi Brian.
"Iiih Mama! Masa' Mama bilang gue sama elo. Harusnya aku kamu!" tegur Brian marah.
Bushet nih anak! Karung mana karung" Mau gue masukin karung terus gue kunci di bagasi. Mulutnya aneh banget kalau ngomong. Jadi heran. Jangan-jangan efek
sinetron! Nih anak jadi ikutan baperan kayak emaknya.
"Ya udah. Mama minta maaf deh!" Gue mengusap lembut rambut Brian setelah meredakan emosi. Anak satu ini kalau nangis suka guling-guling di lantai. Iya
kalau badannya nggak berat. Karung beras aja kalah berat bila dibanding berat badan bocah alay ini!
"Papa, aku mau beli mobil-mobilan mumpung kita lagi di mall," kata Brian manja. Dan lagi, dia menggunakan wajah imutnya untuk memperdaya Renan.
"Iya deh. Nanti Papa beliin mobil-mobilan." Renan kembali mencubit gemas pipi Brian untuk yang kesekian kalinya.
*** [Arsyaf pov] Gue berjalan di belakang Mama. Agenda gue di hari minggu adalah menemani Mama belanja. Dan lo tau gue jadi apa kalau ke mall bareng Nyonya satu itu" Yups!
Gue jadi babu bawa barang. Emak gua emang hobi belanja. Setidaknya 3 kali dalam seminggu, dia nggak pernah absen mengunjungi mall-mall di Jakarta.
"Arsyaf, bagaimana menurutmu?" Mama memperlihatkan jemarinya yang berhias cincin berlian. "Cocok tidak?"
Gue melirik malas. "Iya, cocok," sahut gue datar.
"Kamu tuh ya!" Mama menabok bahu gue keras. "Diajak orang tua ngomong kok jawabnya cuma gitu?"
"Terus Arsyaf harus jawab apa cobak?"
"Ya kalau jawab agak panjang dikit napa" Lama-lama kamu jadi kayak El. Irit suara," omel Mama.
"Terserah Mama deh, mau ngomong apa."
"Eh, ngomong-ngomong kamu kapan nih cari calon istri" Mama nggak sabar untuk memilih cincin kawin."
"Arsyaf masih nungguin Raya, Ma. Kan Arsyaf udah bilang berulang kali."
"Sampai kapan kamu akan nungguin Raya" Dia sudah nggak cinta sama kamu. Siapa tau dia sekarang sudah menikah dengan lelaki lain. Iya kan?"
"Ah, Mama ngaco deh!" tukas gue marah, mencoba menampik kemungkinan bahwa Raya bisa saja sudah menikah.
Mama terkekeh. "Udahlah! Cepetan move on!"
Dahi gue berkernyit heran. Bushet deh nih emak-emak paham juga istilah move on.
"Mbak, tolong bungkus cincin ini ya," ucap Mama sambil melepas cincin yang ia kenakan lalu memberikannya ke SPG perhiasan.
Kalau emak gue sudah beli sesuatu, itu berarti kartu kredit gue wajib keluar. Kalian tau apa doa gue sesudah sholat" Jangan sampai punya istri boros kayak
Mama gue. Na'udzubillah. Setelah memberikan kartu kredit gue di kasir, gue tercekat, mata gue membulat sempurna ketika melihat Raya berjalan beriringan dengan Renan. Dan terlebih
lagi, mereka tampak begitu bahagia bersama seorang anak laki-laki gendut yang digendong di atas bahu Renan.
Raya dan Renan yang tadinya tertawa bersama di sepanjang jalan, tiba-tiba tawa mereka menyusut dan hilang ketika mereka menyadari keberadaan gue yang sedari
tadi mematung melihat mereka bercanda tawa.
"Raya" Renan" Kalian..." Kalimat gue tiba-tiba tersangkut di tenggorokan.
Apa yang sebenarnya terjadi Tuhan" Kenapa Raya dan Renan bisa bersama" Dan siapa anak kecil itu" Apa jangan-jangan... Raya dan Renan...
******?"?"?"******
Chapter 65 [Arsyaf pov] Gue berjalan mendekat perlahan ke arah mereka. Sungguh! Gue masih tak percaya dengan apa yang gue lihat saat ini. Jantung gue terasa mengeras, sakit karena
sesak bukan main. "Halo, Syaf!" sapa Renan tampak agak sedikit canggung.
Raya pun demikian. Ia juga tampak canggung saat bertemu dengan gue. Arrrgghh!! Tidak mungkin! Semoga saja ini hanyalah sebuah kesalah pahaman semata. Bagaimana
bisa Raya menikah dengan Renan"
"Raya... Apa kamu sama Renan..." ucap gue jadi terbata-bata.
"Syaf, aku sama Renan..." ucap Raya tercekat.
"Papa, ayo kita ke toko mainan!" ujar anak kecil yang Renan gendong di atas pundaknya.
"Papa?" tanya gue kaget.
"Syaf, gue bisa jelasin ini semua," papar Renan bingung.
"Jadi, kalian berdua sudah menikah?" tanya gue dengan dada yang tiba-tiba terasa semakin sesak.
Betapa tidak" Wanita yang sudah gue tunggu selama 8 tahun tiba-tiba sudah menikah dengan lelaki lain yang merupakan sahabatnya sendiri. Gue sadar! Gue
hanya mantan di sini. Tapi kenapa harus Renan" Renan itu tak lebih baik daripada gue. Kenapa Raya harus memilihnya" Mungkin Renan adalah cinta pertama
Raya. Tapi gue adalah pacar pertamanya!
Mereka terdiam, mereka tampak sangat bingung mau menjelaskan dari mana. Tapi gue butuh penjelasan. Gue butuh! Kalau tidak, gue bisa jadi gila!
"Eh Raya, apa kabar?" tanya Mama setelah mengurus pembayaran di kasir.
Raya buru-buru mencium punggung tangan Mama. "Alhamdulillah baik, Tante."
"Kamu apa kabar, Ren?" tanya Mama sambil melihat ke arah Renan. Nada bicara Mama yang terdengar akrab seolah semakin mengintimidasi gue.
"Baik, Tante." Renan mengangguk hormat, tidak bisa mencium punggung tangan Mama karena ada anak kecil di bahunya. "Tante sendiri?"
"Oh tante mah selalu baik," jawab Mama sangat ceriwis.
Shit! Dada gue terasa begitu sesak. Sakit banget rasanya melihat mereka berdua yang tiada kabar ternyata tiba-tiba memiliki seorang anak. Lantas, bagaimana
dengan penantian gue selama 8 tahun ini" Apa hanya akan berakhir sia-sia saja"
"Ya ampun! Kalian sudah punya anak?" tanya Mama terkejut setelah menyadari ada seorang anak kecil gendut yang duduk di atas bahu Renan.
"Anu... Em..." Raya tampak semakin bingung menjelaskan.
"Mama, Papa, ayo kita ke toko mainan!" kata anak kecil itu manja, yang jelas-jelas tertuju pada Raya dan Renan.
"Omo! Daebak!" kata Mama semakin kaget. Maklum, emak gua juga penggemar Korea.
"Tante, sebenarnya..." Raya tercekat.
"Mama ayo, Ma!" potong anak kecil itu rewel.
"Iya sayang, sebentar!" tegur Raya lembut.
"Mau sampai kapan Mama ngobrolnya?" anak kecil itu bertambah rewel. Bacotnya banyak banget persis seperti Raya.
"Iya iya, sayang. Bentar lagi kita ke toko mainan," kata Renan mencoba menenangkan anak kecil itu.
Gue hanya tertegun tanpa berkedip sedikit pun. Orang yang gue sayang, orang yang gue cinta sejak dulu, cinta pertama gue, sekarang sudah menikah dengan
orang lain dan mempunyai anak.
"Tuh, Syaf! Lihat!" Mama menyikut lengan gue. "Mantan kamu aja sudah punya anak! Kamu kapan nikah?"
"Tante... Sebenarnya aku be..." Lagi, ucapan Raya tak rampung.
"Mama! Ayo kita ke toko mainan, Ma!" tegur anak kecil itu untuk yang kesekian kalinya.
"Udah, Raya! Kamu pergi aja gih. Daripada anak kamu nangis," saran Mama.
Raya mengedikkan bahu lalu tersenyum sopan pada Mama. "Baiklah Tante. Kami pergi dulu," ucapnya. "Syaf, aku duluan ya." Raya kemudian berjalan melewati
gue. Gue bergegas meraih lengannya dan menghentikannya. "Kamu anggap apa aku selama ini?" tanya gue miris.
"Syaf, kamu ngomong apa sih?" tanya Mama sembari melepaskan tangan gue dari lengan Raya.
"Kamu anggap apa aku selama ini, Ray!" teriak gue sambil mengoyak bahu Raya dengan geram, merasa penantian gue selama 8 tahun adalah hanya omong kosong
belaka, tidak ada artinya.
Renan bergegas menurunkan si gentong dari bahunya. "Syaf, tenang dulu, Syaf!" ujarnya sambil memegang pundak gue.
Gue langsung menampik tangan Renan dari bahu gue. "Lo bilang tenang, Ren" Bagaimana bisa gue tenang sementara elo sudah menikahi orang yang gue cinta?"
teriak gue marah. "Gue bisa jelasin semuanya, Syaf. Tapi elo tenang dulu!"
"Gue nggak butuh penjelasan elo, Ren! Yang gue butuhkan hanya jawaban Raya!"
"Syaf, jangan berteriak-teriak kayak gini dong! Malu diliatin orang!" papar Mama sambil melihat orang-orang di mall yang sesekali mencuri pandang ingin
melihat hal apa yang sedang terjadi.
Gue nggak mempedulikan ucapan Mama dan kembali memegang bahu Raya kemudian menatapnya tajam. "Sekarang, kamu jawab. Kamu anggap apa aku selama ini?" tanya
gue lagi, berharap Raya akan mengatakan kalau gue adalah segalanya baginya.
"Aku... Aku hanya menganggapmu tak lebih dari sekedar teman sekarang," jawab Raya dengan muka serius. "Apa kamu puas?"
Tangan gue meregang, melemas, dan perlahan melepaskan cengkraman dari bahu Raya. Gue kalah. Gue kalah dari Renan. Raya sudah dimiliki orang lain. Dan mereka
berdua tampak sangat bahagia. Lalu bagaimana dengan gue" Apa gue nggak berhak bahagia bersama Raya"
*** Di sebuah club malam, gue membatu dengan tatapan kosong sambil meneguk sebotol bir untuk menghilangkan sedikit rasa sesak di dada gue. Tapi nggak bisa!
Dada gue masih terasa sesak, sakit, perih banget ketika gue dihadapkan dengan situasi seperti ini. Raya, wanita yang gue cinta ternyata sudah menikah dengan
Renan, lelaki bajingan yang suka bergonta-ganti pasangan. Bukankah Raya harusnya memilih gue yang jelas-jelas hanya mencintainya seorang"
"Arsyaf" Kenapa lo ada di sini?" tanya seorang wanita yang entah siapa.
Pandangan mata gue kabur hingga gue tak bisa mengenali wanita itu.
"Arsyaf, lo mabuk?" Wanita itu mendekat lalu ia mengetahui aroma alkohol yang semerbak berasal dari mulut, pakaian, dan meja gue.
"Lo siapa?" tanya gue ngelantur.
"Arsyaf, gue Lea," kata wanita itu seraya mencoba memapah gue keluar dari club. "Kayaknya lo harus pulang deh, Syaf."
"Lea" Lea siapa" Huh?" ucapan gue semakin malam semakin ngelantur.
"Kenapa lo bisa mabuk kayak gini sih, Syaf?" tanya wanita yang mengaku bahwa dirinya adalah Lea.
"Mabuk" Gue nggak mabuk!" tukas gue dengan nada bicara seperti orang gila.
Setelah sampai di tepi jalan, wanita itu menghentikan taksi, lalu memaksa gue untuk masuk ke dalam taksi tersebut. Ia bahkan mengantarkan gue pulang ke
rumah. *** Sambil menguap, gue mencoba meregangkan otot. Rasanya capek banget setelah semalaman pergi clubing. Pandangan mata gue masih samar, berulang kali mata
gue mengerjap sembari menggelengkan kepala untuk menghilangkan rasa pusing yang ada di kepala.
Eiiitsss! Tunggu! Siapa wanita tadi malam yang mengantar gue sampai rumah" Lea" Lea, wanita yang menghancurkan hubungan gue dengan Raya" Kenapa harus dia
yang nolongin gue" Damn!
*** [Raya pov] "Lo masih mikirin Arsyaf?" tanya Renan sambil berkutat di dapur bersih, membuatkan gue teh hangat.
Gue mengangguk lesu sambil menunggui Renan di meja makan.
"Lo masih sayang sama dia?" tambah Renan sambil membawa dua cangkir teh ke arah gue.
Gue hanya diam dan mengangkat kedua bahu dengan kepala yang tertunduk lesu.
"Ray, sepertinya gue harus menjelaskan semuanya sekarang deh," papar Renan yang berhasil membuat kepala gue terangkat.
"Jelasin apa, Ren?" Gue mulai angkat bicara.
"Sebenarnya... Di malam ulang tahun Arsyaf..."
Gue dengan seksama menyimak satu per satu kata yang keluar dari mulut Renan yang perlahan membentuk kalimat demi kalimat.
"Sebenarnya... Arsyaf... Malam itu nggak bersalah, Ray," lanjut Renan.
Mata gue terbelalak. "Maksud lo?"
"Malam itu, dia dalam pengaruh obat perangsang dan dalam kondisi mabuk."
"Mabuk?" Dahi gue berkernyit. "Tapi... Gue nggak melihat ada botol alkohol saat itu, Ren!"
"Iya, Ray. Semua itu karena Zen." Renan memberi jeda sebelum melanjutkan kalimatnya. "Tanpa sepengetahuan Teo, Zen diam-diam menambahkan alkohol di minuman
Arsyaf." "Apa?" Mulut gue menganga tak percaya. "Kenapa... Kenapa elo baru cerita sekarang?"
"Gue takut kenyataan ini akan membuat kondisi psikologi elo kembali down. Itulah sebabnya gue merahasiakan hal ini, Ray."
Gue hanya terdiam. Gue bingung harus bagaimana. Hampir delapan tahun gue tak bertemu dengan Arsyaf. Rasa yang dulu menggebu, kini entah mengapa perlahan
memudar meskipun masih ada yang tersisa. Mungkin karena gue sakit hati melihat langsung percintaan Arsyaf dan Lea walaupun tidak ada unsur kesengajaan
di malam itu. Semuanya karena Zen dan Teo.
"Gimana" Lo akan maafin Arsyaf atau enggak, semuanya terserah sama elo," ujar Renan serius, tak seperti biasanya.
Mulut gue masih terlipat. Bingung.
"Tapi jika elo benar-benar masih cinta sama Arsyaf, jangan pernah membagi hati elo pada El juga."
Mata gue melebar, menatap Renan tanpa berkedip. Dia satu-satunya orang yang tahu seluk beluk kehidupan gue.
"Begitu juga sebaliknya. Jika elo masih cinta sama El, jangan berikan harapan pada Arsyaf," tambah Renan.
"El?" tanya gue.
Renan mengangguk. "Iya, El baru saja datang di Jakarta setelah sekian lama tinggal di Singapura. Dan gue yakin, cepat atau lambat, dia akan mencari elo."
Lagi, mata gue membulat tak percaya. Apakah kehidupan SMA gue akan terulang kembali" Entahlah. Untuk saat ini, gue hanya ingin fokus pada karir gue sebagai
arsitek. *****?"?"?"*****
14. Chapter 66-70 Chapter 66 [Raya pov] Telinga gue terasa gatal saat Kak Icha berteriak memanggil gue seperti memanggil pembantu. Gue menghela napas jengah lalu berjalan malas menuju kamarnya.
"Ada apa, Kak?" tanya gue datar, malas dengan perintah Kak Icha.
"Tolong anterin Brian ke tempat les barunya dong. Bisa nggak?" pinta Kak Icha sambil menghias kukunya dengan cat kuku warna merah menyala.
Alis gue terangkat. "Brian pindah tempat les lagi" Kenapa?"
"Habisnya tutor di LBB nya yang dulu pada bego kayaknya. Masa' nggak bisa buat Brian pinter sih!"
Bukan tutornya yang bego, tapi Briannya yang goblok, batin gue jengah.
"Oh iya. Sekarang Brian les di Wijaya course. Lo cari alamatnya di google map juga ada," jelas Kak Icha.
*** Di barisan kursi ruang tunggu, gue duduk santai sambil main game. Meskipun gue arsitek handal, gue suka main game. Kenapa" Ada masalah"
"Main game apa tante?" tanya seorang anak kecil cantik yang duduk di samping gue.
Gue menekan simbol pause di layar HP gue lalu menoleh ke arahnya. "Main super mario," jawab gue datar.
"Tante suka main game?"
Gue mengangguk, membenarkan. "Iya. Kenapa" Ada masalah?" tanya gue dengan intonasi sedikit sinis.
Dia menggeleng. "Enggak. Nggak ada masalah."
Gue menghela napas jengah lalu kembali memainkan game di HP gue.
"Tante lagi nungguin anak tante ya?" tanya anak kecil itu lagi.
Gue kembali terhenti, mengakhiri game, dan memasukkan HP gue ke dalam tas.
"Adik kecil, tante ini masih muda. Masih belum pantes punya anak yang perlu dianter les calistung," jawab gue menahan emosi.
Huuuft! Ini gara-gara Kak Icha. Coba bayangin! Setiap kali gue anter jemput Brian, pasti tuh cebol bulet dikirain anak gua. Yakali gue punya anak kayak
bola bekel begono. Lucu sih iya. Tapi makannya banyak.
"Mamaku juga seumuran sama tente kayaknya. Mamaku masih muda. Umurnya 26 tahun. Tapi dia punya anak gede kayak aku," papar anak kecil itu dengan lugunya.
Alis gue terangkat mendengarnya. Anak kecil yang gue taksir berumur 7 tahun ini ternyata memiliki Mama yang berusia 26 tahun. Itu berarti setidaknya Mama
anak ini menikah di usia belia, sekitar 18 tahunan. Biasanya sih kalau hamil di usia seperti itu, menandakan kalau Mamanya dulu anak bandel yang hamil
di luar nikah. Biasanya sih gitu.
"Adek kecil, nama kamu siapa?" tanya gue lembut.
"Namaku Resya, tante," jawabnya sambil tersenyum.
"Nama kamu bagus."
"Iya. Kata Mama, namaku itu gabungan dari nama Mama dan Papa."
"Benarkah?" tanya gue dengan senyum yang mengembang. "So sweet sekali orang tuamu."
"Iya. Re, berasal dari kata Renatha. Dan Sya, berasal dari kata Arsyaf."
Mata gue langsung terbelalak. Bushet nih anak! Namanya gabungan dari nama mantan sahabat gue dan nama mantan gue. Ya, nama lengkap Lea adalah Renatha Azalea.
Apa jangan-jangan anak ini...


Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu Mamaku," Resya menunjuk seorang wanita cantik yang berjalan memasuki lobby.
Gue menoleh lalu mata gue spontan membulat ketika mendapati dugaan gue ternyata adalah sebuah kebenaran. Jadi, anak ini adalah anak Lea dengan Arsyaf"
Gue masih tak percaya. Jantung gue tiba-tiba terasa sesak, perih mendapati kenyataan ini. Pahit bukan main. Tadinya gue mau menemui Arsyaf untuk mengatakan bahwa gue memaafkannya.
Tapi saat gue mengetahui hal ini, sudah pasti gue mengurungkan niat itu.
"Mama..." Resya dengan riang berlari menuju Lea.
Lea memeluk anak kecil itu dengan senyuman. Dia masih belum menyadari keberadaan gue. Tapi... Semuanya harus jelas. Gue sudah mendapatkan penjelasan dari
Arsyaf dan Renan mengenai kronologi kejadian malam itu. Dan gue sekarang, butuh penjelasan Lea juga.
"Bisa kita bicara?" tanya gue sambil berjalan mendekat ke arah Lea.
Mata Lea melebar saat melihat gue. Dia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk mengiyakan.
"Resya, kamu tunggu di sini ya." Lea mengelus puncak kepala Resya dengan setuhan lembut layaknya orang tua yang mengasihi anaknya. "Mama mau ngomong sama
tante ini." Resya hanya mengangguk, menuruti apa kata Mamanya. Setelah itu, kami keluar menuju sebuah restoran yang tak jauh dari LBB.
Di sebuah meja kotak, gue duduk berhadapan dengan Lea. Jujur, hati gue terasa sesak melihat wanita jalang satu ini, wanita yang telah menghianati kepercayaan
gue yang begitu besar padanya, wanita yang dengan lancang tidur bersama pacar gue.
"Gue sudah mendengar penjelasan dari Arsyaf dan Renan tentang kejadian malam itu," kata gue sambil memberikan beberapa jeda untuk menyambung kalimat. "Renan
bilang, Zen mencampur alkohol di minuman Arsyaf. Apa itu benar?"
"Iya," jawab Lea lesu.
Mata gue mulai berkaca-kaca ketika mengingat kembali semua apa yang gue lihat malam itu. Percintaan Lea bersama Arsyaf membuat gue benar-benar frustrasi.
"Tapi malam itu Arsyaf melakukannya tanpa cinta, Ray. Dia dalam pengaruh alkohol," jelas Lea.
"Apa elo juga dalam pengaruh alkohol?" tanya gue menahan tangis, mencoba tegar menghadapi kenyataan pahit yang mungkin keluar dari mulut Lea.
Lea menggeleng. "Enggak. Gue nggak dalam pengaruh alkohol. Malam itu, gue hanya dalam pengaruh obat perangsang."
"Kenapa elo mau melakukan hal kotor itu bersama Arsyaf?" Gue mulai mengintrogasinya seperti layaknya seorang polisi.
"Karena gue..." kata Lea terlihat enggan.
"Kenapa"!" teriak gue marah.
"Karena gue cinta sama dia."
"Apa lo bilang" Lo cinta sama pacar sahabat lo sendiri?" tanya gue kaget. "Sejak kapan" Sejak kapan elo cinta sama Arsyaf?"
"Gue sudah cinta sama Arsyaf sejak lama, Ray. Sebelum elo kenal gue. Gue sudah cinta sama dia sejak SMP."
Gue tertegun dengan mata yang mencoba membendung air mata yang sedari tadi ingin keluar lalu mengalir.
"Gue tahu gue salah. Tapi gue rasa, gue sudah menebus kesalahan gue," tambah Lea.
Dahi gue berkernyit sambil tersenyum miring. "Menebus kesalahan kata lo" Menebus kesalahan bagaimana maksud lo?" bentak gue semakin emosi.
"Lo nggak mikir" Gue sudah membesarkan anak selama tujuh tahun tanpa suami, Ray. Dan itu sangat menyesakkan."
Tubuh gue yang tadinya menegang, kini melemas seolah membenarkan apa yang dikatakan Lea.
"Gue hamil. Kebetulan malam itu, gue dalam masa subur. Tapi gue merahasikan semua ini dari Arsyaf. Itulah sebabnya gue berhenti kuliah selama setahun.
Lalu gue memutuskan untuk kuliah di kampus lain," sambung Lea dengan air mata yang sudah tumpah, tak kuat ia tahan lagi.
"Lalu, apa menurut elo, hal itu sudah bisa menebus segala dosa yang telah elo perbuat?"
"Tentu saja, Raya. Gue selama ini hidup dalam hinaan orang karena melahirkan anak tanpa suami. Semua orang memandang rendah gue. Dan bahkan mereka memandang
rendah Resya." "Lalu, kenapa tidak lo gugurkan aja anak itu?" tanya gue dengan sadisnya, berharap Arsyaf tidak memiliki anak dari Lea sehingga gue bisa memaafkannya.
"Bagaimana bisa elo tega mengatakan hal itu, Ray" Menggugurkan kandungan" Hal itu sama sekali nggak pernah terlintas di pikiran gue."
Kami terdiam beberapa saat. Hening. Hanya terdengar isak tangis Lea yang samar-samar terdengar di ruangan restoran yang saat ini sedang sepi pengunjung.
"Jika waktu bisa diputar kembali ke malam itu, apa elo akan melakukan hal yang sama?" tanya gue memulai pembicaraan.
Lea mengangkat kepalanya lalu menatap gue dengan mata sembabnya. Dia masih terdiam tak menjawab pertanyaan yang gue lontarkan.
"Apa elo akan melakukan hal yang sama jika malam itu terulang kembali?" ulang gue.
"Iya, gue akan melakukan hal itu karena gue sangat mencintai Arsyaf."
Gue berdiri sambil menggebrak meja. "Persetan sama elo!" bentak gue melotot.
Dengan emosi, gue menyambar tas gue lalu pergi meninggalkan Lea sendirian di restoran. Padahal, gue berharap dia menyesal terhadap keputusannya malam itu
dan meminta maaf. Tapi justru sebaliknya. Dia tampak tidak menyesal sama sekali dan bahkan dia akan melakukan hal yang sama jika malam itu terulang kembali.
*****?"?"?"*****
Chapter 67 [Author pov] Sudah seminggu berlalu sejak pertemuan singkatnya dengan Lea. Raya mencoba tak menangis. Ia bahkan tidak bercerita pada Renan tentang pertemuannya dengan
Lea. Sekarang, dia akan melupakan semuanya dan memulai dari awal lagi. Ya, itulah tekadnya saat ini.
Di keramaian restoran Raya melamun dengan segelas jus jambu sudah bertengger di atas meja. Semua es batu di dalamnya hampir mencair. Bulir-bulir embun
semakin lama semakin banyak menetes dari gelas jusnya.
"Woi!" Anila melambai-lambaikan tangannya di depan mata Raya.
Raya langsung menyingkirkan tangan Anila yang mengganggu lamunannya. "Apaan sih!" katanya judes.
"Lagi mikirin mantan lo yang konon katanya super ganteng itu ya?" ledek Anila.
"Apaan sih lo, Nil! Annoying!"
Ya! Seringkali Raya menceritakan soal Arsyaf dan El pada Anila, teman sekantornya. Sebenarnya, Anila adalah salah satu bawahan Raya. Dia berada di bagian
divisi interior. Sejak pergi ke Jepang 7 tahun yang lalu, Raya tidak mempunyai sahabat baik. Dia kehilangan kontak dengan semua teman SMA-nya semenjak
dia memutuskan untuk melepaskan Arsyaf dan seluruh kenangannya.
"Udahlah, Ray! Nggak usah dipikir lagi yang namanya mantan. Mereka emang harus dimuseumkan atau dibakar!" Anila menyeruput sedikit jus alpukatnya melalui
sedotan. "Gue belom bisa move on, Nil."
Bola mata Anila sedikit maju, membulat sempurna. "Hari gini nggak bisa move on?"
"Ya... kalau ada yang lebih ganteng daripada mereka, gue mungkin bisa move on." Raya meringis.
"Sumpah dunia akhirat ya, Ray! Gua kagak percaya kalau mantan lo yang bernama si A dan si E itu super ganteng idola sekolah."
Raya mengerucutkan bibir mungilnya. Selama dua tahun bersahabat dengan Raya, Anila masih belum percaya bahwa sahabatnya itu memiliki dua mantan super ganteng.
Ya! Bagaimana tidak" Selama ini jika Raya bercerita tentang kedua mantannya itu, Raya tidak berani menyebutkan nama mereka secara langsung dan hanya menyebut
mereka berdua dengan inisial saja yakni A untuk Arsyaf, dan E untuk Elbara.
"Lo nggak percaya gue juga nggak apa-apa. Nggak ada ruginya juga buat gue." Kini giliran Raya yang menyeruput jus jambu.
"Udah ah! Gue bosen dengerin cerita hoax lo. Mendingan kita bahas proyek pembangunan resort Bakti Jaya Indah di Bali."
"Ogah! Gue lagi nggak mood!"
"Dasar moodyan!"
"Biarin!" "Ya udah kalau nggak mau bahas kerjaan. Pulang yuk! Sudah sore nih!" ajak Anila buru-buru menghabiskan jusnya.
"Ayuk!" Raya berdiri lalu menenteng tas Branded-nya.
*** Raya menekan beberapa angka password untuk memasuki apartemennya. Tapi dia selalu salah. Keningnya mulai mengerut keheranan. Ya! Sejak tiga hari lalu Raya
terlalu sering mengganti password apartemennya dengan password yang baru karena akhir-akhir ini banyak desas-desus ada penguntit berkeliaran di sekitar
apartemen. "Ada apa, Ray?" tanya Anila dengan alis terangkat.
"Gue lupa kata sandinya!" jawab Raya santai.
"Ya elah nih anak! Kenapa bisa lupa" Lo kan jenius!"
"Jenius pala lo!"
"Lo itu ya... baru gue tinggal tiga hari buat liburan aja udah berani-beraninya ganti kata sandi seenaknya. Emangnya ini apartemen milik lo doang apa?"
Anila berkacak pinggang sambil melotot.
"Ya maap! Namanya aja lupa!"
"Emangnya lo ganti kata sandinya berapa kali" Kok orang jenius kayak lo bisa sampek lupa?"
"Seratus enam kali," jawab Raya datar sambil terus mencoba mengingat-ingat kembali password apartemennya.
"BUSHET DAH NIH ANAK! GILA LO!"
"Ya maap. Akhir-akhir ini banyak penguntit berkeliaran. Makanya gue jadi parno sendiri."
Melihat sahabatnya yang kesusahan, Anila langsung mengeluarkan seutas kawat, obeng kecil dan pemotong kuku dari dalam tasnya.
"Mau ngapain lo?" tanya Raya keheranan.
"Mau dobrak nih pintu!"
"Emangnya lo bisa?" ledek Raya meremehkan sambil melipat tangan. Kemudian ia menyandarkan lengan kanannya di tembok dekat pintu.
Baru saja Raya menutup mulutnya, tak sampai sepuluh menit, Anila sudah berhasil membuka pintu apartemen. Raya hanya bisa melongo tak percaya sambil menelan
ludah. Dia masih tak mengira sahabatnya itu mempunyai keahlian aneh seperti itu.
"Bakat banget lo jadi maling!" ucap Raya.
Anila meringis menatap Raya lalu melangkah masuk ke dalam apartemen. Sudah 2 tahun Raya dan Anila tinggal bersama sejak kakak perempuan Raya, Icha harus
merawat ibu mertuanya yang sakit stroke. Akhirnya dua orang penakut itu menggabungkan kekuatan dan tinggal dalam satu atap. Dan tentunya biaya sewa ditanggung
bersama. "BTW, dari mana lo dapet keahlian kek bogono?" Raya menaruh tasnya di atas sofa.
"Bokap gue dulu mantan tukang kunci profesional. Waktu kecil, ayah sering ngajak gue pergi bekerja benerin pintu apartemen. So..."
"What" Emangnya bokap lo ngajarin lo secara langsung?" potong Raya kaget.
"Ya enggak juga sih."Anila merebahkan tubuhnya ke atas sofa. "Tapi gue keseringan lihat. Jadi lama-kelamaan gue ikutan professional."
Raya hanya geleng-geleng lalu duduk di samping Anila.
"Oh iya! Yang lebih hebatnya, gue bahkan bisa kunci lo dari luar kalau gue mau hahaha" Anila dengan bangganya tertawa.
Raya mendorong kepala sahabatnya itu dengan gemas. "Psikopat lo!"
*** "Ray!" Anila mengoyak-ngoyak tubuh Raya yang sedari tadi sudah tertidur pulas. "Raya! Soraya Aldric!"
"Apaan sih"!" Raya menghempaskan tangan Anila menjauh dari tubuhnya. Matanya masih belum terbuka.
"Gue nggak bisa tidur, Ray!" Anila masih tak lelah mencoba membangunkan Raya, si ratu tidur. Tangannya kini mencubit-cubit pipi mulus Raya.
"HEI!" Raya terbangun dengan muka marah, geram bukan main.
"Gue nggak bisa tidur, Ray!"
"NGGAK BISA TIDUR KENAPA?" Bentak Raya.
Anila cemberut manyun. "Lo lupa?" Ia menghela napas panjang. "Besok kita ada meeting dengan presiden direktur Arvana Group!"
"Enggak. Enggak lupa," sahut Raya masih setengah mengantuk.
Tubuh Raya hampir tumbang ke atas kasur. Tapi Anila langsung mendudukkannya kembali. "Iiiih nih anak bener-bener ratu molor bin pelor!"
"Apaan sih! Lo juga! Urusan besok ya dipikir besok! Jadi orang ribet amat!" kata Raya malas. Matanya sayup-sayup ingin kembali terpejam.
"Masalahnya, ini adalah salah satu tender terbesar yang pernah kita tangani. Apa mungkin gue bisa?"
"Dipikir besoklah!"
Braaaak.... Raya langsung merebahkan tubuhkan ke atas bantal dan kembali tidur.
*** Di depan meja rias, Raya dengan hati-hati memakai maskara di bulu matanya. Sedangkan Anila masih mencari pakaian yang bagus untuk dikenakan. Ya! Mereka
sibuk sendiri. Mereka ingin tampil semaksimal mungkin untuk presentasi hari ini.
"Tumben banget lo dandan!" kata Anila sambil mengeluarkan beberapa bajunya dari dalam lemari.
"Biasanya juga dandan kok!" Sangkal Raya yang kini melukis alisnya.
"Enggak!" tukas Anila. "Biasanya lo cuma pakek lipstick dan bedak doang! Nggak pakek acara mascara, blash on dan kawan-kawan!"
Raya meringis licik. "Gue dengar, presdirnya ganteng, cool, pinter, dan berwibawa. Siapa tau bisa kecantol sama gue."
Anila terhenti, dia kini berpikir sejenak. "Kalau begitu gue juga mau dandan ah!"
"Nggak boleh! Katanya lo mau gue comblangin sama Renan. Lha sekarang giliran ada rumor presdirnya ganteng aja lo langsung ngotot!"
Anila langsung cemberut manyun. "Ya maap. Khilaf!"
Setelah selesai berdandan, Raya memilih pakaiannya di dalam lemari. Kali ini ia mengambil kemeja kuning lengan panjang dengan rumbai-rumbai di bagian dada.
Ia memadu padankannya dengan rok pendek hitam di atas lutut.
"Tumben lo pakek rok!" Anila keheranan. "Niat banget lo mau ngegaet tuh presdir!"
"Banyak bacot lu!"
******?"?"?"******
Chapter 68 [Raya pov] Sudah dua puluh menit gue, Anila, dan Pak Bagas, selaku atasan gue duduk di ruang rapat. Layar LCD sudah menyala sedari tadi tapi presdir Arvana Group
masih belum juga memasuki ruangan. Gue menghela napas beberapa kali. Hati gue sedikit dongkol. Bagaimana bisa presdir perusahaan ternama yang menguasai
pasar pangsa Asia dan Eropa sangat tidak menghargai waktu orang lain"
Ckleekk Gue, Anila, dan Pak Bagas serempak menoleh ke arah pintu. Seorang pria tampan tinggi semampai memasuki ruangan setelah dua body guard membukakan pintu
untuknya. Di belakang pria tampan itu sudah ada seorang sekretaris cantik berkacamata dan seorang sekretaris pria berjas rapi. Sumpah! Gue langsung terpental
kaget ketika gue sadar siapa presdir yang kini berjalan menuju kursi yang terletak di bagian paling depan.
"Elbara?" ucap gue pelan dengan mata membulat sempurna.
Gue langsung menunduk, mencoba menyembunyikan wajah gue. Tapi walau bagaimana pun juga, gue harus professional! Ini adalah proyek senilai milyaran rupiah.
Wanita Gagah Perkasa 3 The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley Pedang Bintang 3

Cari Blog Ini