Ceritasilat Novel Online

Jodoh Tak Mungkin 1

Jodoh Tak Mungkin Tertukar Karya Unknown Bagian 1


01. Prolog Semuanya akan di mulai pada hari ini, di mana aku menyertakan namamu dalam tarikan nafasku saat kata qabul terucap.
Berulang kali Danang mengerjapkan matanya.
Apa mungkin aku salah masuk kamar" Batinnya meracau bingung saat matanya menatap sosok wanita yang kini sedang duduk di atas tempat tidur.
Bohong kalau Danang bilang wanita yang kini ada di hadapannya tidak cantik, karena pada kenyataannya wanita yang kini tengah duduk di atas tempat tidur
seraya menundukkan kepalanya terlihat sangat cantik.
Bagaimana Danang bisa tahu kalau wanita itu cantik" Bukankah kini si wanita sedang menundukkan kepalanya" Jawabannya adalah Meskipun ia menunduk itu tak
dapat menyembunyikan wajah cantiknya.
Dengan langkah sangat pelan Danang mulai menghampiri wanita tersebut.
"Assalammualaikum," hanya sepenggal salamlah yang mampu Danang ucapkan untuk memecahkan keheningan yang tercipta di dalam kamar tersebut.
"Waalaikumsallam," terjawab namun sosok wanita itu masih betah menundukkan wajahnya.
Ia seakan enggan menatap Danang.
Si wanita beringsut mundur saat Danang berlutut tepat di hadapannya. Posisi itu membuat Danang dapat melihat wajah si wanita dengan sangat jelas. Mata
bulat si wanita yang kini menjadi fokus tatapan Danang.
"Apakah kamu Mutiara Citra Hastari?" tanya Danang lembut.
Si wanita tidak memberi jawaban, mulutnya masih mengatup rapat. Sebenarnya apa yang terjadi, bila memang si wanita ini adalah istrinya kenapa sikapnya
begitu dingin" Sepertinya ia benar-benar telah salah masuk kamar" Lagi pula tidak mungkin wanita ini adalah istrinya, uminya tidak mungkin memilihkan wanita seperti ini
untuk menjadi pendamping dirinya.
Danang sudah hendak beranjak dari posisi berlututnya, namun niat itu ia urungkan saat si wanita berucap begitu lirih.
"Aku Mutiara Citra Hastari."
Berarti ia tidak salah kamar, wanita yang kini ada di hadapannya benar-benar istrinya. Seseorang yang mulai dari detik ini akan menjadi tanggung jawabnya.
Bukan hanya di dunia namun sampai di akhirat kelak si wanita akan menjadi tanggung jawabnya.
Danang kembali memperhatikan penampilan Citra, sosok wanita yang insyaallah akan menjadi ibu bagi keturunanya.
Citra memiliki wajah cantik khas orang Sunda, mata bulat dengan tatapan tajam yang Danang pikir akan menjadi senjata andalan Citra untuk mengintimidasinya,
hidung bangir, bibir mungil, dan alis tebal membuat Citra terkesan judes. Tapi semoga saja istrinya tidak judes karena pada kenyataannya Danang tidak menyukai
wanita judes, cukup uminya yang senang tiasa bersikap judes khas ibu tiri jangan istrinya. Tapi meskipun uminya judes, ia yakin uminya sangat menyayanginya
dan tentu dia pun sangat menyayangi uminya.
Kini pandangan Danang beralih ke pakaian yang dikenakan oleh Citra. Kebaya khas sunda berwarna putih membalut tubuh Citra dengan begitu pas, hingga membuat
Danang dapat melihat setiap lekukan tubuh Citra, untung saja Citra sudah halal baginya jadi sejauh mana Danang memandang pasti tidak akan dosa. Lantas
bagaimana bila laki-laki lain yang memandang Citra" Mereka akan mendapatkan dosa, dan Citra pun yang menjadi bahan pemandangan itu tentu akan mendapatkan
dosa, dan bila Citra berdosa karena telah mengumbar aurat tentu ia pun akan berdosa. Dosa istri adalah dosa suami pula, namun dosa suami bukan dosa istri.
Benarkan" Karena suami adalah imam bagi sang istri, imam yang berkewajiban mendidik dan menjaga kehormatan sang istri.
Kini pandangan Danang beralih pada rambut Citra yang disanggul. Citra tidak berkerudung, fakta yang cukup mengguncang hati Danang.
Apa yang direncanakan uminya" Kenapa uminya memilihkan wanita seperti ini untuk Danang" Bukannya uminya bilang kalau calon istrinya adalah wanita yang
sholehah. Sholehah namun tak berkerudung" Bisakah wanita yang tidak menutup auratnya dinyatakan sholehah"
Mungkinkah jodohnya telah tertukar"
01. Satu : Apa Untungnya Pacaran"
Citra mengepalkan tangannya penuh emosi, matanya menatap sosok Dion yang kini tengah berdiri di hadapannya dengan tatapan membunuh.
"Kamu anggap apa aku selama satu tahun ini huh?" Citra berucap begitu sinis "Pajangan" Atau boneka" Jawab Dion!"
"Cit aku bisa jelasin semuanya."
"Basi... Udah dua kali Dion, dua kali!" tegas Citra, "Kamu bilang kamu nggak akan ngulangi lagi. Tapi apa" Nyatanya kamu ngulangi kesalahan kamu lagi."
"Tapi Cit...." "Keledai saja tidak mungkin jatuh pada lubang yang sama, Tapi kamu..."
"Dengerin aku dulu!" Bentak Dion, tangannya menekan bahu Citra, "Apa kamu kira pacaran kita tuh sehat" Aku tuh butuh yang lebih Cit, semuanya nggak cukup
dengan cuma pegangan tangan, pelukan atau cium pipi cium kening... Itu nggak cukup!"
PLAK..... Tangan Citra menampar pipi Dion dengan sangat kencang.
"Brengsek!" maki Citra, jadi itukah alasan Dion selingkuh darinya.
Citra tersadar dari lamunannya saat dengan lembut Mamanya membelai pucuk kepalanya.
"Gimana, kamu mau tidak menerima lamaran putra temannya mama?" ucap Ratih kembali mengulang kata-kata yang sempat di abaikan oleh putri sulungnya. Dia
berniat menjodohkan putri sulungnya dengan putra temannya, "Dia laki-laki yang baik, agamanyapun baik."
"Dia nggak mungkin selingkuhkan ma?" walaupun perselingkuhan itu telah berlalu tiga bulan yang lalu, tetap saja perselingkuhan menjadi momok yang paling
menakutkan untuk Citra. Ratih mengerutkan keningnya bingung atas pertanyaan yang terlontar dari putri sulungnya.
"Insyaallah perselingkuhan tidak akan terjadi bila kamu dapat menjadi istri yang baik bagi suamimu kelak."
"Mama baik tapi kenapa papa selingkuh dan lebih memilih ninggalin mama, aku sama Raka?" kenyataan yang hingga kapanpun tidak mungkin dapat ia lupakan,
di saat ia dan adiknya masih membutuhkan pelukan seorang papa, papanya malah pergi meninggalkan mereka.
Ratih diam membisu, ia kira putrinya sudah melupakan kejadian itu, kejadian yang sungguh demi apapun menyakitkan untuknya, namun semuanya telah menjadi
takdir Allah. "Semuanya takdir Allah sayang mama dan papa berpisah karena mama dan papa sudah tidak sejalan lagi."
Citra membersit air mata yang sudah berhasil merembes dari matanya. Dengan sayang Citra memeluk tubuh mamanya, "Citra sayang mama," ucapnya seraya terisak
pelan. Meski Allah tidak memberikan ia sosok papa yang baik namun ia sangat bersyukur ia diberikan sosok seorang mama yang sangat baik.
"Mama juga sayang kamu sayang," ucap Ratih penuh haru, "Bagaimana" apa kamu mau menerima perjodohan ini?" tanya Ratih memastikan, ia menghapus air mata
yang membasahi pipi tirus Citra.
Perlahan Citra menganggukkan kepalanya, menandakan kalau ia akan menerima perjodohan tersebut.
Ia percayakan jodohnya pada mamanya. Sudah cukup ia mengalami patah hati. Jangan lagi ia kembali merasakan patah hati untuk seorang laki-laki tidak penting
seperti Dion. Don Juan bajingan!
Apa untungnya pacaran"
Pertanyaan itulah yang sering di tanyakan oleh kedua sahabatnya Zahra dan Nurul. Namun selalu ia jawab dengan jawaban asal.
Tapi kini ia dapat menjawabnya dengan jelas.
Apa untungnya pacaran"
Punya yang siap antar jemput.
Punya yang bisa di jadiin fatner pas kondangan.
Biar status jomblo terhapuskan.
Ada yang ngasih kasih sayang secara full.
Dan yang terpenting ada calon buat masa depan.
Jawaban itulah yang dulu sering Citra berikan kepada kedua sahabatnya, jawaban yang kini ia sadari kalau jawabannya itu benar-benar jawaban yang bodoh,
karena pada kenyataannya Tidak ada keuntungan yang ia dapatkan dari hubungan itu, yang ada ia malah merasa rugi.
Karena pacaran pipi dan keningnya sudah tidak perawan lagi.
Karena pacaran waktu belajarnya sebagai mahasiswa berkurang.
Dan yang paling membuat ia rugi yaitu karena pacaran ia merasakan rasa patah hati karena di selingkuhi....
Inikah perasaan yang dulu mamanya rasakan saat tahu papanya berselingkuh"
Tidak... Jangan bandingkan rasa sakit ia dan mamanya, karena ia sangat yakin kalau sakit yang mamanya rasakan lebih mendalam di bandingkan dirinya.
?"" Danang menatap uminya dengan tatapan bingung sekaligus kaget. Bagaimana tidak Bingung dan kaget" Datang-datang uminya langsung memberikan kabar kalau satu
minggu lagi ia akan menjalani acara lamaran.
"Umi sudah ngasih kamu waktu buat cari sendiri, tapi sampai sekarang kamu masih belum dapat juga. Jadi jangan salahkan umi kalau umi berinisiatif buat
cariin jodoh buat kamu," cerocos uminya.
"Ini sudah bukan inisiatif lagi Mi. Seharusnya umi kasih waktu Danang untuk ngenal dia dulu," ucap Danang berusaha sabar menanggapi ocehan uminya.
"Bagaimana kalau dia tidak cocok buat Danang?"
"Kamu nggak percaya sama umi?" uminya tidak bisa di ajak ngomong slow bawaannya emosi terus, "Umi nggak mungkin ngasih kamu jodoh yang nggak bener."
"Danang tentu percaya sama umi.. Allah saja mempercayakan surga di bawah telapak kaki umi untuk" Danang, jadi tak sepantasnya kalau Danang nggak percaya
umi," ucap Danang lembut, uminya yang judes ini benar-benar harus di lembutin.
"Itu kamu tahu, umi sayang kamu jadi umi pasti akan memilihkan jodoh yang terbaik buat kamu."
Final... Semuanya tidak bisa diganggu gugat lagi. Percuma kalau kini ia mendebat uminya hasilnya pasti akan tetap pada keputusan semula. Ia akan menjalani
proses lamaran satu minggu lagi.
?"" Tanda-tanda kiamat...... Apa salah satu tanda-tanda kiamat itu" Waktu berjalan dengan begitu cepat, saking cepatnya waktu berjalan terkadang begitu banyak hal penting yang terlewat
dan terlupakan, yang pada kenyatannya itu sungguh merugikan.
Rasanya baru kemarin uminya memborbardirnya dengan acara lamaran yang harus segera dilaksanakan, namun kini ia sudah berdiri di hadapan wanita yang sudah
halal baginya. Danang meraih pashmina berwarna putih yang tergeletak di atas tempat tidur, dengan gerakan pelan Danang membentangkan pashmina itu di atas kepala istrinya.
Mulai detik ini istrinya tanggung jawabnya, sebisa mungkin ia akan menjaga kehormatan istrinya.
Citra mendesah tidak nyaman saat Danang memakaikan pashmina tersebut keatas kepalanya yang disanggul.
"Di lepas saja sanggulannya."
Citra mengerjap bingung. Di lepas" Sudah sedari subuh penata rias menata rambutnya dengan sedemikian rupa namun kini suaminya malah menyuruh ia untuk melepaskan
sanggulnya. Tapi karena yang meminta adalah lelaki yang baru saja menjadi suaminya, mau tidak mau Citra harus menuruti permintaan tersebut.
Istri harus berbakti pada suami, itu kata mamanya. Jadi sebisa mungkin ia akan berusaha untuk menjadi istri yang berbakti pada suaminya.
Dalam diam Danang memperhatikan Citra yang kini mulai melepaskan segala jepitan yang terdapat di rambutnya.
Cantik.... Danang akui uminya tidak salah memilih menantu, Citra memiliki wajah yang cantik yang tentunya akan membuat Danang betah memandangi wajah istrinya
ini, namun itu semua tidak cukup bagi Danang, bagi Danang yang terpenting bukanlah rupanya namun agamanya.
Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Perempuan dinikahi karena empat faktor. Karena hartanya, nasabnya, kecantikannya dan karena
agamanya. Maka menangkanlah wanita yang mempunyai agama, engkau akan beruntung." (HR Bukhari, Muslim, al-Nasa"i, Abu Dawud Ibn Majah Ahmad ibn Hanbal,
dan al-Darimi dalam kitabnya dari sahabat Abu Hurairah ra)
Citra tertegun saat ia merasakan tangan Danang yang kini menyentuh punggung tangannya.
"Biar aku bantu," ucap Danang saat melihat Citra yang terlihat sedikit kesulitan melepaskan jepit-jepit yang menahan sanggulnya agar tidak jatuh.
Tidak ada larangan namun Citra pun tidak memberi ijin untuk Danang membantunya dan kini yang terjadi Citra dan Danang hanya saling memandang satu sama
lain lewat cermin yang kini memantulkan bayangan keduannya.
Hingga akhirnya suara ketukkan di pintu menyadarkan keduanya dari segala rasa yang kini dirasakan oleh keduanya.
"Aku akan membantu melepasnya," Danang kembali meminta ijin, dan akhirnya Citra pun mengangguk setuju.
Perlahan Danang mulai melepaskan setiap jepitan yang ada di rambut Citra. Kini sanggul telah terlepas dari kepala Citra, tanpa Danang sadari iapun melepaskan
ikat rambut yang menahan rambut Citra agar tak tergerai, gara-gara ikat rambut itu juga tertarik hingga sekarang rambut panjang Citra tergerai dengan sangat
indah. Citra terlihat begitu cantik dengan rambut yang tergerai.
Berulang kali Danang beristigfar, mencoba menenangkan hatinya yang kini berdetak di atas batas normal.
Dengan gerakkan cepat Citra kembali mengikat rambutnya asal.
Pintu kembali di ketuk dari luar menandakan kalau mereka berdua harus segera keluar untuk menyapa sanak saudara yang hadir di acara akad nikah.
Baru saja Citra hendak beranjak dari duduknya dari kursi meja riasnya Danang menahan bahunya dengan lembut.
"Bisakah kamu pake ini saat keluar?" Danang menyodorkan pashmina putih yang beberapa menit lalu ia bentangkan di atas kepala Citra.
Cukup lama Citra terdiam hingga pada akhirnya Citra kembali menganggukkan kepalanya.
Senyuman lebar menghiasi wajah Danang, dengan lembut Danang memakaikan pashmina itu di atas kepala Citra. Danang sangat bersyukur kalau pashmina yang kini
ia pakaikan ke kepala Citra memiliki ukuran panjang dan lebar yang mampu menutupi kepala Citra sampai dada.
Cantik... Citra terlihat begitu cantik dengan pashmina putih yang kini dikenakannya.
?"" Hati Citra berdesir saat Danang menggenggam tangannya ketika" mereka berdua hendak menyapa sanak saudara. Sensasinya sangat berbeda. Saat Dion, mantan
bajingannya yang menggenggam tangannya ketika masih pacaran ia selalu merasa tak nyaman dan takut, namun kini saat seseorang yang telah halal baginya menggenggam
tangannya ia merasa nyaman dan hatinya serasa di penuhi bunga, padahal cuma pegangan tangan saja. Bagaimana kalau lebih" Batin Citra, tanpa ia sadari ia
menggelengkan kepalanya berharap pikiran-pikiran aneh yang memenuhi kepalanya segera sirna.
"Kenapa" Apa kamu pusing?" tanya Danang saat melihat Citra menggeleng-gelengkan kepalanya, dengan lembut tangan Danang memegang kepala Citra.
Hal yang di lakukan Danang membuat pipi Citra merah merona, "Ng..nggak kok," ucap Citra gagap, tidak tahu kenapa lidahnya tiba-tiba kelu.
"Kalau kamu pusing istirahat saja, biar aku yang menyapa sanak saudara," ucap Danang seraya membelai lembut pucuk kepala Citra.
Citra menggelengkan kepalanya pelan, menandakan kalau ia tidak merasa pusing.
Beberapa sanak saudara langsung memberikan selamat kepada keduanya.
"Cit mana sanggulnya, perasaan tadi rambut kamu di sanggul?" tanya Nurma, sepupu Citra, "kok malah pake pashmina sih. Cantikkan di sanggul tahu, Cit."
Danang yang berdiri di samping Citra langsung merangkul bahu Citra saat mendengar perkataan itu, walaupun perkataan itu di tunjukkan untuk Citra namun
malah dia yang merasa tidak nyaman mendengarnya, "Tidak, saya rasa istri saya lebih cantik dengan pashmina ini," jawab Danang, lagi-lagi ia membelai pucuk
kepala Citra. Citra tidak mengatakkan apa-apa. Ia hanya mampu menundukkan kepalanya. Berharap semburat merah yang kembali menyapa pipinya dapat ia sembunyikan dari mata
Danang. Sungguh demi apapun yang Danang lakukan sungguh manis.
"Kamu sungguh cantik menggunakan pashmina itu," ucap Danang kembali memuji kecantikkan Citra, dan untuk kesekian kalinya pipi Citra kembali memerah.
Suaminya sungguh manis, malah kelewat manis sepertinya. Lagi-lagi Citra membatin.
Dua : Panggilan Sayang Danang menggelar dua sajadah di lantai kamar Citra, ia sudah terlihat segar dan rapi dengan baju koko berwarna biru dan sarung berwarna putih. Matanya
kini beralih ke arah Citra yang masih" berdiri diambang pintu kamar mandi. Kebaya putih yang beberapa jam lalu membalut tubuhnya telah berganti, yang istrinya
kenakan sekarang hanyalah baju terusan berwana hijau tosca. Istrinya terlihat cantik, namun tetap di mata Danang istrinya akan terlihat lebih cantik kalau
menggunakan pakaian yang di perintahkan oleh Allah SWT,
Allah SWT berfirman: ?"?"?" ?"?"?"?"?"?"?"?" ?"?"?"?"?" ?"?" ?"?"?"?"?"?"?" ?"?"?"?"?"?" ?"?"?"?"?"?"" ?"?"" ?"?"?"?"?" ?"?"?"?"?"?"" ?"?"?" ?"" ?"?"?" ?"?"?"" ?"?"?"?"?"?"?""
?"?"?"?"?"?"" ?"?"" ?"?"?"?"?"?"" ?" ?"?"" ?"?"?"?"?" ?"?"?"?"?"?"" ?"?"?" ?"?"?"?"?"?"?"?"" ?"?" ?"?"?"?"?"?"" ?"?" ?"?"?"?" ?"?"?"?"?"?"?"" ?"?" ?"?"?"?"?"?"?""
?"?" ?"?"?"?"?" ?"?"?"?"?"?"?"" ?"?" ?"?"?"?"?"?"?" ?"?" ?"?"?"" ?"?"?"?"?"?"?" ?"?" ?"?"?"" ?"?"?"?"?"?"" ?"?" ?"?"?"?"?"?"" ?"?" ?"" ?"?"?"?"" ?"?"?"?"?"?"?"
?"?" ?"?"?"?"?"?"" ?"?"?" ?"?"?" ?"?"?"?"?"" ?"?" ?"?"?"?"?" ?"?" ?"?"?"?"" ?"?"?"?"?" ?"?" ?"?"?"?"?"" ?"?"" ?"?"?"?" ?"?"?"?"?"" ?" ?"?"" ?"?"?"?"?"
?"?"?"?"?"?"?"" ?"?"?"?"?"" ?"" ?"?"?"?"?" ?"?" ?"?"?"?"?"?"?"" ?" ?"?"?"?"?"?" ?"?"" ?"?"?"" ?"?"?"?"" ?"?"?"" ?"?"?"?"?"?"?"" ?"?"?"?"?"" ?"?"?"?"?"?"
"Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
(auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya),
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya
yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
perempuan. Dan janganlah mereka mengentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang
yang beriman, agar kamu beruntung."
(QS. An-Nur 24: Ayat 31) Namun karena sekarang istrinya sedang ada di dalam kamar, dan istrinya telah halal untuknya maka ia pun akan membiarkan istrinya menggunakan pakaian tersebut.
"Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?" Pertanyaan yang Danang ajukan untuk Citra yang masih saja betah berdiri di dekat pintu kamar mandi.
Sebuah pertanyaan sepele namun berhasil membuat Citra menjadi salah tingkah. Dengan langkah pelan Citra menghampiri Danang yang kini sudah berdiri tepat
di atas sajadah. "Kamu sudah berwudhu?"
"Sudah," Jawab Citra pelan seraya mulai mengenakan mukena yang sudah tersimpan rapi di atas tempat tidur. Sepertinya Danang-lah yang sengaja menaruh mukena
tersebut di atas tempat tidur.
Lihatlah seberapa perhatiannya seorang Danang kepada istrinya.
Jujur ada rasa kecewa yang mengisi relung hati Danang saat mengetahui seperti apa istrinya ini.
Citra benar-benar jauh dari kriteria istri idaman Danang.
Citra tidak berkerudung, sebuah fakta yang berhasil mengguncang hati Danang.
Citra tidak memiliki senyuman yang dapat menenangkan hati Danang, bayangkan saja sudah lebih dari lima jam mereka bersama belum pernah sekalipun Citra
memberikan sebuah senyuman kepadanya. Apa jangan-jangan Citra tidak rido ia nikahi" Mungkin Citra juga di paksa oleh mamanya untuk menikah dengannya.
Rasa sesal perlahan menyelinap di hati Danang, andai saja ia menuruti permintaan uminya yang menyuruhnya untuk menemui calon istrinya sebelum akad nikah.
Hal yang tidak di inginkan ini pasti tidak akan terjadi, ia bisa menolak pada uminya dengan alasan yang relevan.
Alasannya menolak untuk menikahi Citra tentu karena Citra tidak berkerudung. Sudah pasti wanita yang tidak bisa menjaga auratnya bukanlah wanita yang sholehah,
tidak mungkin wanita yang sholehah tidak mengerti hukum Allah yang sudah di tentukkan ketetapannya.
Ia ingin mendapatkan istri yang sholehah, karena istri sholehah adalah perhiasan terbaik bagi seorang suami.
"Dunia adalah kesenangan sementara, dan sebaik-baiknya kesenangan dunia adalah wanita (istri) yang sholehah."(Muslim, An Nasa'i)
Namun Allah telah mentakdir dirinya untuk berjodoh dengan Citra, tidak ada yang kebetulan di dunia ini, semuanya telah tertulis di Lauh Mahfudz yang tak
bisa di tawar lagi ketentuannya.
Sebisa mungkin ia akan berusaha menghapus rasa sesal yang kini menyelimuti hatinya dan rasa tak ikhlas karena telah berjodoh dengan wanita yang jauh dari
kata sholehah. Sekarang ia akan berjuang untuk memenuhi hatinya dengan rasa cinta kepada istrinya. Cinta yang tentunya Allah ridoi.
Untuk pertama kalinya baik Danang maupun Citra shalat berjamaah.
Lantunan surah Al Ashr melantun dengan sangat indah.
Citra tidak mengerti kenapa tiba-tiba hatinya bergetar saat mendengarkan setiap ayat surah Al Ashr yang kini Danang baca.
Dulu tidak seperti ini, ia sering menjadikan surah Al Ashr sebagai bacaan shalatnya. Kenapa" Karena itu adalah surah pendek yang paling Citra hafal, bagaimana
tidak hafal dari jaman TK sampe SMA surah Al Ashr-lah yang selalu ia baca setiap jam sekolah berakhir. Jadi sangat keterlaluan bukan kalau tidak hafal.
Asal kalian tahu saja selain surah Al Fatihah yang Citra hafal artinya hanya surah Al Ikhlas dan Al Ashr-lah yang Citra hafal.
Kini setiap arti bacaan surah Al Ashr terangkai dalam hatinya.
Allah SWT berfirman: ?"?"?"?"?""
"Demi masa." (QS. Al-'Asr 103: Ayat 1)
?"?"" ?"?"?"?"?"?" ?"?"?" ?"?"?"
"Sungguh, manusia berada dalam kerugian,"
(QS. Al-'Asr 103: Ayat 2)
?"?"?" ?"?"?"?"?" ?"?"?"?"" ?" ?"?"?"?" ?"?"?"?"?"" ?"?"?"?"?"?" ?"?"?"?"?"" ?" ?" ?"?"?"?"?"?" ?"?"?"?"?""
"kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran."
(QS. Al-'Asr 103: Ayat 3)
Jujur selama ini Citra mengerjakan shalat hanya demi menggugurkan kewajibannya sebagai seorang muslim, ia sama sekali tidak memikirkan kalau shalatnya
benar atau salah. Di terima atau tidak.
Ketika ia umur lima tahun mamanya sudah mengajarkannya shalat, mamanya selalu berkata padanya, "Shalat adalah ibadah paling penting sayang, bila shalatmu
tidak benar maka amalan-amalanmu yang lain tidak akan memiliki arti apa-apa. Shalat bagaikan angka satu sedangkan ibadah lain seperti angka nol, disaat
shalatmu benar maka kamu akan mendapat angka satu malah bisa lebih, bila puasamu dan mengajimu mendapatkan nilai nol, maka hasilnya menjadi seratus, namun
di saat shalatmu tak benar itu akan membuat kamu tidak mendapat angka yang seharusnya maka hasil yang kau dapatkan hanya tumpukkan angka nol yang tak berarti,"
setelah mendengar penjelasan itu dari mamanya ia jadi lebih memperhatikan shalatnya, namun seiring berjalanya waktu shalatnya kembali tak pernah ia perhatikan.
Yang terpenting sudah shalat maka gugurlah kewajibannya tentang perkara shalat. Itulah yang kembali terpatri di kepala dan hatinya semenjak ia memasuki
bangku SMA dan bertahan hingga sekarang.
"Assalamualaikum warohmatullah," Salam yang terucap dari bibir Danang menandakan kalau shalat telah selesai.
Lihatlah seberapa tak khusyuknya Citra dalam melaksanakan shalat, di saat shalat yang seharusnya ia memusatkan pikirannya hanya kepada Allah semata tapi
yang terjadi malah sebaliknya saat pertama takbir di kumandangkan, segala pikiran yang seharusnya tidak ia pikirkan malah memenuhi kepalanya. Padahal saat
itu Allah tengah memandangnya dan memperhatikannya.
Citra menundukkan kepalanya dalam-dalam. Rasa sesal seketika memenuhi hatinya, bagaimana mungkin ia baru sadar kalau selama ini ia benar-benar dalam kerugian.
Kini usianya sudah hampir dua puluh satu tahun tapi shalat saja dia belum bisa khusyu.
Danang membalikkan badannya kearah Citra, matanya kini fokus tertuju ke pucuk kepala Citra yang tengah menunduk dalam.
Tidak tahu kenapa tiba-tiba Danang ingin membelai pucuk kepala Citra" Saat ia membelai" membelai pucuk kepala Citra ia mengingat kalau ternyata ia belum
membaca doa yang seharusnya ia bacakan tepat di atas pucuk kepala Citra. sapuan lembutnya di atas pucuk kepala Citra membuat Citra mendongakkan wajahnya,
kini wajah Danang begitu dekat dengan wajah Citra saking dekatnya sampai ia dapat merasakan hembusan nafas Citra yang menyapu permukaan wajahnya. Setelah
ia dapat mengalihkan pandangannya dari wajah cantik Citra, Danang mulai membacakan sebuah doa di atas pucuk kepala Citra.
?"?"?"?"?" ?"?"?" ?"?"?"?"?" ?"?"?"?"" ?"?"?"?" ?"" ?"?"?"?"?"" ?"?"?"?" ?"?"?"?"" ?"?" ?"?" ?"?"?"?" ?"?"?" ?"?"" ?"" ?"?"?"?"?"" ?"?"?"?"
"Ya Allah sesungguhnya aku memohon kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya. Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukannya
dan keburukan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya."
Tubuh Citra seketika membeku saat Danang membacakan doa diatas kepalanya dan mengecup ubun-ubunya dengan begitu lama.
"Maaf yah aku baru membacakan doanya sekarang, padahal seharusnya aku membacanya setelah proses ijab kabul," ucap Danang menyesal atas apa yang telah ia
lupakan, saking terkejutnya tadi siang melihat seperti apa rupa seorang Citra hingga membuatnya melupakan apa yang seharusnya ia lakukan kepada Citra.
"Tidak apa-apa," jawab Citra pelan.
?"" Setelah melaksanakan shalat Citra langsung menyibukkan dirinya dengan merapikan pakaian milik Danang yang akan Citra simpan di dalam lemarinya, hal tersebut
tidak luput dari perhatian Danang.
"Dek," untuk pertama kalinya Danang memanggil Citra dengan sebuatan Dek.
Citra menatap Danang dengan tatapan bingung, ia sungguh tidak terbiasa di panggil dengan sebutan Dek, karena biasanya mamanya selalu memanggilnya dengan
sebutan Teteh karena dia anak pertama di keluarganya dan kebetulan dia pun cucu pertama di keluarga besar mamanya, jadi panggilan Dek cukup asing di telingannya.
Tidak ada panggilan yang lebih elit lagi apa, kenapa meski manggil Dek" Kenapa tidak manggil Sayang kalau enggak Honey atau Darling itukan lebih enak di
dengar, walaupun terkesan alay. Batin Citra.
Terus sekarang dia harus memanggil Danang apa" Mas, Aa atau Kakak.


Jodoh Tak Mungkin Tertukar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ya ampun kenapa semuanya sungguh membingungkan, ini hanya masalah tentang panggilan tapi kenapa bikin pusing yah" Bedahalnya kalau aku dan dia menikah bukan
karena perjodohan, pasti panggilan sayang akan secara otomatis tercipta. Citra masih berkutat dengan pikirannya, saking seriusnya ia berpikir tentang panggilan
yang cocok untuk Danang ia tidak sadar kalau kini Danang sudah duduk tepat di sampingnya.
Danang tersenyum penuh arti menatap wajah bingung Citra yang kini terlihat lucu.
Walaupun Citra tidak mengatakan apa yang dia pikirkan tapi Danang dapat tahu apa yang kini memenuhi kepala Citra, bukan karena ia memiliki indra ke enam
tapi karena ia memang dapat menebak apa yang Citra pikirkan dari raut wajah Citra yang kini terlihat sedang berpikir keras.
"Kamu panggil mas saja," Ucap Danang tepat di samping telinga Citra, hingga berhasil membuat Citra terperanjat kaget.
"Mas....," ucap Citra pelan, benarkah Danang ingin di panggil dengan sebutan mas" Bukannya setahu Citra Danang itu asli Sunda, tapi kenapa Danang malah
ingin di panggil Mas, bukan Aa"
"Umiku asli orang Sunda sedangkan abiku asal Sleman, aku lahir di Sleman tapi besar di Magelang, pas umur dua belas tahun baru pindah ke Bandung, soalnya
abi bikin usaha di Bandung, terus umi juga kebetulan di tugaskan praktek di Bandung jadi otomatis kami sekeluarga tinggal di Bandung," jelas Danang panjang
lebar, ia dan Citra menikah karena sebuah perjodohan jadi akan lebih baik kalau ia mulai menceritakan tentang dirinya pada Citra, karena tentu pasangan
suami istri harus saling tahu tentang asal usul pasangannya, "Umiku memanggil abiku dengan sebutan mas, dan aku senang mendengar panggilan itu, aku berharap
kamu mau juga memanggilku dengan sebutan mas."
Citra tidak menyangka kalau Danang akan seterbuka ini kepadanya, tapi jujur Citra senang akan sikap Danang yang terbuka kepadanya. Ia kira awal pernikahan
akan membuat mereka canggung, secara mereka berdua tidak saling mengenal, bahkan sebelum akad mereka belum satu kalipun bertemu, itu semua karena memang
tak ada niatan untuk dirinya bertemu dengan calon suaminya. Biarlah semuanya menjadi kejutan. Mau jelek mau tampan, mau baik mau buruk, ia akan menerimanya.
Tapi ternyata Allah masih sangat baik hati padanya padahal dia bukan hamba yang baik. Danang, suaminya sangat tampan. Kulitnya putih bersih tapi tetap
putihan dia, alisnya tebal, hidungnya mancung, badannya tinggi tegap dan yang paling Citra sukai dari Danang adalah dia memiliki lesung pipi, lesung pipi
itu membuat Danang terlihat manis di mata Citra.
Jadi sekarang sudah di tentukan kalau panggilan sayang untuk Danang adalah Mas, dan Danang memanggilnya dengan sebutan Adek.
Tiga : Subuh Pertama Tepat pada pukul tiga dini hari Danang terbangun dari tidurnya, sebuah kebiasaan yang tidak pernah berubah semenjak ia menuntut ilmu di pesantren.
Danang sedikit terkejut saat melihat sosok wanita yang kini berbaring tepat di sampingnya.
"Aku kira apa yang telah terjadi kemarin hanyalah mimpi," Gumam Danang saat ia sadar kalau kini statusnya telah berubah. Sekarang bukan hanya bantal guling
yang akan menemaninya tidur tapi kini ia akan di temani oleh bidadari yang sengaja Allah kirimkan untuk menemaninya.
Mata Danang kini fokus menatap wajah Citra yang terlihat begitu damai saat tertidur. Bulu matanya yang lentik menarik perhatian Danang.
"Bulu matanya sangat lentik." Dengan sangat perlahan Danang menyentuh bulu mata Citra yang lentik.
Ia buru-buru menjauhkan telunjuknya dari bulu mata Citra saat Citra mengerjapkan matanya tidak nyaman.
Ingin rasanya Danang membangunkan Citra, ia ingin merasakan shalat tahajud dengan Citra, tapi ia mengurungkan niatnya saat ia melihat wajah Citra yang
damai dalam tidur. Lantunan surah Al Mulk yang di baca oleh Danang dalam shalat malamnya berhasil membangunkan Citra dari alam bawah sadarnya, kini matanya tertuju pada sosok
Danang yang sedang khusyu dalam shalatnya.
Pemandangan ini sungguh mendamaikan perasaan Citra.
Citra buru-buru kembali memejamkan matanya saat Danang mengucapkan salam, ia memang merasa damai melihat Danang melaksanakan shalat malam, tapi itu tidak
membuat dirinya tergerak untuk beranjak dari atas tempat tidur untuk melaksanakan shalat tahajud. Ia malah lebih memilih untuk kembali tidur.
Danang sudah bersiap untuk pergi ke masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah Citra. Mungkin hanya butuh waktu lima menit untuk sampai ke masjid.
"Dek.." dengan lembut Danang menepuk pipi Citra "Bangun bentar lagi subuh."
Hanya lenguhan tidak jelaslah yang keluar dari bibir Citra.
"Bangun dek, sebentar lagi subuh." Saat tepukkan di pipi sudah tidak mempan lagi, kini tepukkan tangan Danang beralih kepunggung Citra.
Butuh lebih dari lima menit hingga akhirnya Citra bangun dari tidurnya. Dengan malas ia beranjak dari tempat tidur.
"Mas mau ke masjid?" Tanya Citra, matanya terlihat masih sangat mengantuk.
"Iya mas mau ke masjid."
"Terus kenapa mas bangunin aku" Aku mah nggak shalat di masjid mas, shalatnya di rumah aja."
Dengan gemas Danang mencubit pipi Citra. Istrinya ini benar-benar terlihat sangat menggemaskan saat bangun tidur.
"Mas cuma mau pamit, kamu jangan tidur lagi pas mas pergi, langsung mandi biar seger." Ucap Danang seraya membelai pucuk kepala Citra yang kini sudah berdiri
tepat di depannya. Citra hanya menganggukkan kepalanya, matanya benar-benar terasa berat.
Danang menyodorkan tangan kanannya kearah Citra, awalnya Citra menatapnya bingung, tapi akhirnya ia mengerti juga kalau Danang menyodorkan tangan kanannya
agar ia mencium tangan tersebut.
"Inget yah langsung mandi, jangan tidur lagi!" Danang kembali mengingatkan Citra sebelum benar-benar pergi menuju mesjid.
Sepeninggalan Danang, bukannya mandi Citra malah kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Lima belas menit lagi deh, baru nanti mandi." Gumamnya sebelum kembali tidur.
"Setan membuat tiga ikatan di tengkuk (leher bagian belakang) salah seorang dari kalian ketika tidur. Di setiap ikatan setan akan mengatakan, "Malam masih
panjang, tidurlah!" Jika ia bangun lalu berdzikir pada Allah, lepaslah satu ikatan. Kemudian jika dia berwudhu, lepas lagi satu ikatan. Kemudian jika dia
mengerjakan sholat, lepaslah ikatan terakhir. Di pagi hari dia akan bersemangat dan bergembira. Jika tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria dan menjadi
malas." (HR. Bukhari no. 1142 dan Muslim no. 776)
Tepat pada pukul lima lewat dua puluh menit Danang baru pulang dari masjid. Ia menyapa ibu mertuanya yang sudah sibuk di dapur membuat sarapan bersama
Nisa yang kalau tidak salah itu adalah putri dari adik mamanya Citra yang memang sudah tinggal di rumah Citra semenjak ia kuliah di Unpad karena kedua
orang tuanya tinggal di Batam.
"Kamu sudah bangunin Citra belum Nis?" Tanya mamanya Citra pada Nisa.
"Sudah aku bangunin Wa tapi tadi teh Citra bilang lima menit lagi, tanggung lagi mimpi bagus katanya." Jawab Nisa polos.
Samar-samar Danang mendengar apa yang kini di bicarakan oleh ibu mertuanya dengan Nisa.
Danang beristigfar pelan saat melihat Citra yang masih bergelung di balik selimut.
"Dek bangun..." suara Danang terdengar begitu dingin.
"Lima menit lagi." Gumam Citra tanpa mau repot membuka matanya.
"Lima menit yang tidak memiliki akhir, lima menit yang akan membuatmu melewatkan waktu subuh dan lima menit yang akan membuat setan tertawa atas dosamu."
Ucap Danang seraya menekan betis kaki Citra dengan sedikit kencang, namun berhasil membuat Citra meringis sakit.
Citra menatap Danang dengan tatapan kesal. Bagaimanapun ia tidak terima kalau Danang membangunkan dirinya dengan cara menyakitinya"
"Segeralah ambil wudhu, maaf kalau mas tadi buat betis kamu sakit." Ucap Danang lembut, tangannya mengusap pucuk kepala Citra.
Citra yang tadinya hendak memborbardir Danang dengan omelan maut seketika bungkam.
Bagaimana dia mau memarahi Danang" Orang yang mau di marahinnya keburu minta maaf.
Danang duduk di pinggir tempat tidur, matanya fokus menatap Citra yang kini sedang melaksanakan shalat.
Ada beberapa hal yang perlu Danang perbaiki dari cara Citra melakukan setiap gerakkan dalam shalat.
Danang tidak akan pernah menuntut kesempurnaan dari Citra karena Danang tahu tidak ada yang sempurna di dunia. Namun tentu tidak salah kalau kita memperbaiki
apa yang kurang baik menjadi lebih baik. Allah saja selalu memberikan yang terbaik untuk hambanya maka sudah kewajiban kita sebagai hambanya memberikan
yang terbaik pula pada sang pencipta.
Setelah melaksanakan shalat Danang langsung meminta Citra untuk duduk di sampingnya.
"Jangan di lepas dulu mukenannya." Cegah Danang saat Citra hendak melepaskan mukenannya "Kamu terlihat cantik dengan balutan mukena putih itu."
Wajah Citra seketika bersemu merah saat mendengar pujian Danang, meskipun pujiannya terkesan aneh, tapi tetap saja berhasil membuat jantung Citra berdebar
di atas batas normal. Bagaimana tidak aneh" Bila kebanyakan teman laki-laki yang Citra kenal akan memujinya saat ia berpakaian modis dengan riasan make up di wajahnya. Danang
sangat berbeda. Bagaimana tidak berbeda" Danang menyatakan dirinya cantik saat hanya di balut oleh sebuah kain yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah
dan kini wajah Citra pun bersih dari make up.
Dengan lembut Danang menangkup pipi Citra yang masih bersemu merah.
"Lain kali saat mas menyuruhmu untuk mandi saat mas hendak pergi ke masjid, maka bergegaslah untuk mandi jangan di tunda-tunda lagi." Danang berucap lembut
namun tidak tahu kenapa terdengar tegas di telinga Citra.
"Tapikan waktu subuhnya masih lama mas."
"Seberapa lama" Tidak makan waktu sampai satu harikan" Paling sepuluh menitan lagi waktu subuhnya tiba." Danang berulang kali mengusap pipi Citra "Mas
yakin kamu pasti akan rela menunggu lebih dari itu bila yang di tunggu adalah dosen kamu, mas juga yakin kalau kamu akan rela menunggu lebih dari itu bila
yang kamu tunggu adalah sahabat baik kamu."
Apa yang dikatakan oleh Danang seratus persen benar. Citra akan rela menunggu dosennya di kampus seharian untuk memperbaiki nilainya yang kurang bagus,
Citra akan rela menunggu kedatangan sahabat baiknya lebih dari satu jam di kossannya saat mereka memiliki janji untuk bertemu.
Dan kini saat ia hanya diminta untuk menunggu tidak lebih dari sepuluh menit untuk menyapa Sang Pencipta, yang menciptakan langit dan bumi berserta isinya,
ia tidak mampu. Perkataan Danang benar-benar berhasil menohok hatinya.
"Dosen dan sahabat yang rela kamu tunggu sampai seharian hannya dapat memberikanmu sesuatu yang terbatas, itupun mereka berikan padamu atas ijin Allah,
tapi kenapa Allah yang memberikan segala yang kamu butuhkan kamu abaikan?"
Citra berhambur memeluk tubuh Danang. Apa yang Danang katakan telah menyadarkan dirinya kalau selama ini dirinya begitu sombong, saking sombongnya ia sampai
melalaikan waktu shalat yang telah dengan jelas Allah tentukan waktunya. Ia janji mulai sekarang ia akan mengerjakan shalat tepat pada waktunya.
Citra masih menangis di dalam dekapan Danang.
"Subuh pertama kita di isi dengan tangisanmu, namun mas berharap di subuh-subuh selanjutnya bukan tangisanlah yang mas dengar dari bibirmu tapi lantunan
ayat sucilah yang akan mas dengar." Danang menghapus air mata Citra dengan ibu jarinya "Udah dong nangisnya, nggak enak kalau mama denger, bisa-bisa nanti
mas di sangka udah ngelakuin kdrt sama kamu." Perkataan Danang berhasil membuat Citra tertawa.
Tawa pertama Citra setelah resmi menjadi istri Danang.
Empat : Bukan Bulan Madu Tapi Kencan
Citra menatap Danang dengan tatapan protes.
"Aku sudah sangat sering ke sana mas, masa sekarang harus kesana lagi," Tolak Citra tegas saat Danang mengajaknya ke Lembang.
"Mas sudah lama tidak jalan-jalan ke Lembang dek, kalau nggak salah terakhir ke Lembang tuh pas lulus SMA." Curhat Danang.
"Yaudah mas aja atuh yang ke Lembang sendiri. Aku mending bobo cantik dari pada harus ke Lembang, mana ini lagi musim liburan pasti rame mas." Citra masih
bersikukuh menolak ajakkan Danang untuk pergi ke Lembang.
Ini hari ketiga mereka berdua resmi menjadi suami istri, secara alamiah Citra dan Danang sudah saling dekat dan dapat bersikap layaknya pasangan suami
istri ke banyakan. "Kamu tega nyuruh mas jalan-jalan ke Lembang sendiri?" Danang mencondongkan wajahnya tepat ke depan wajah Citra, kini jarak wajah Citra dan Danang mungkin
kalau di ukur dengan mistar hanya berjarak dua centi meter, saking dekatnya hidung mancung keduanya saling beradu, hembusan nafas keduanya saling menyapu
wajah masing-masing. "Mas belum gosok gigi yah?" Tanya Citra.
"Kenapa memang?"
"Habisnya mulut mas masih bau jengkol."
Otomatis Danang langsung menjauhkan wajahnya dari wajah Citra. Bau jengkol" Perasaan dia tidak makan jengkol, pas sarapan tadikan dia hanya makan nasi
dengan ikan asin plus sayur asem, itupun dia langsung gosok gigi setelah makan, jadi dari mana asalnya bau jengkol tersebut.
Tawa Citra menyadarkan Danang dari kesibukannya menerka dari mana datangnya si bau jengkol itu.
"Aduh masku lucu banget sih." Dengan gemas Citra mencubit pipi kiri Danang "Mas tadi emang makannya sama jengkol yah?"
Dengan polos Danang menggelengkan kepalanya "Aku nggak makan jengkol dek, kamu tahu sendirikan kalau si mama nggak masak jengkol hari ini."
Citra tidak mampu menahan tawanya saat melihat kepolosan Danang. Padahal dia sudah memberi kode pada Danang kalau apa yang dia katakan hanyalah candaan
semata, tapi Danang malah menganggapnya serius.
Cup.... tawa Citra seketika terhenti saat" Danang mengecup bibirnya.
Kecupan pertama Danang untuk Citra.
"Kamu ngerjain aku yah?" Tangan Danang menyentuh bahu Citra.
Pipi Citra merona merah sedangkan matanya berulang kali mengerjap, masih tidak menyangka kalau Danang berani mengecupnya.
"Kamu berani yah ngerjain mas?" Danang menaik turunkan halisnya, otomatis Citra langsung waspada.
Baru saja Citra hendak menjauh dari jangkauan Danang, namun dengan cepat Danang menahannya, tanpa mempedulikkan teriakkan Citra yang memohon ampun minta
untuk di lepaskan, Danang malah menggelitik Citra secara terus-terusan.
"Mas ampun..." mohon Citra di sela tawanya.
"Mas akan berhenti kalau kamu mau nemenin mas ke Lembang hari ini."
"Nggak mau ke Lembang mas!" Tolak Citra masih bersikukuh "Masa bulan madu ke Lembang" kenapa enggak sekalian aja ke empangnya mang Ujang yang jaraknya
cuma sepuluh meter dari rumah mama." Gumam Citra sangat pelan, niat hati sih supaya yang dengar hanyalah dirinya sendiri namun ternyata Danang yang memiliki
pendengaran yang tajam dapat mendengarnya.
"Jalan-jalan kita ke Lembang bukan buat bulan madu, dek." Jelas Danang tepat di samping telinga Citra "Tapi jalan-jalan kita ke Lembang kita anggap saja
sebagai kencan pertama kita."
"Kencan" Udah nggak jaman kali mas kencan kita kan udah nikah."
"Memangnya apa salahnya kencan setelah menikah" Malah lebih asik dek, bisa lebih bebas kencannya."
Dengan kencang" Citra memukul bahu Danang "Idih mas Danang pikirannya mesum."
Danang hanya tertawa mendengar Citra yang menyakatan kalau dirinya mesum.
*** Tepat pukul sepuluh pagi Danang dan Citra telah sampai di Lembang, tempat wisata pertama yang akan mereka kunjungi adalah gunung Tangkuban Perahu.
Citra merapatkan jaket yang ia kenakan saat udara dingin mulai menyapa tubuhnya.
Mata Citra tak lepas dari sosok Danang yang kini sedang sibuk mengabadikan keindahan kawah Ratu dengan lensa kamera DLSR yang memang sengaja ia bawa, Citra
tidak menyangka kalau Danang juga memiliki hobi yang sama dengan Dion, sama-sama hobi mengabadikan keindahan alam melalui lensa kemera.
Dion adalah cinta pertama Citra, seseorang yang memberikan Citra kebahagian namun pada akhirnya kesakitan yang Dion berikan pada Citra.
Andai saja Dion tidak berselingkuh mungkin kini ia masih menjalin kasih dengan Dion, andai saja dia dan Dion belum putus mungkin kini yang ada di sampingnya
adalah Dion bukan Danang.
Citra tersadar dari segala angan semunya saat Danang memeluknya dari belakang.
Meskipun sedari tadi Danang sibuk mengabadikan keindahan kawah ratu dengan lensa kameranya, tapi perhatian Danang tetap terfokus pada Citra yang kini sedang
menatap keindahan kawah Ratu dengan tatapan sendu, sebuah tatapan yang mengartikan kalau ia sedang dalam keadaan mengenang masa lalu.
"Jangan memikirkan seseorang yang tidak seharusnya kamu pikirkan." Danang berucap tepat di samping" telinga Citra "Dia hanyalah masa lalumu dan kini akulah
yang akan menjadi masa depanmu."
Perlahan Danang membalikkan tubuh Citra, posisi tubuh mereka kini saling berhadapan.
"Berhentilah merangkai dosa karena memikirkannya karena sudah ada yang halal untuk kau pikirkan, kini sudah saatnya kamu merangkai pahala bersamaku."
Dengan lembut Danang mengecup kening Citra.
Sebuah kecupan yang memiliki arti kalau mulai dari sekarang, laki-laki yang boleh memenuhi pikiran Citra hanyalah Danang bukan Dion.
"Maaf Teh Aa, ada anak kecil di sini." Ucap seorang bapak-bapak yang sedang menggandeng putranya.
Reflek Danang langsung menjauhkan bibirnya dari kening Citra.
"Maaf mang." Ucap Danang salah tingkah sedangkan Citra menundukkan kepalanya dengan begitu dalam saking malunya karena sudah kepergok ciuman. Walaupun
ciumannya cuma di kening terus yang nyiumnya juga suaminya sendiri, tapi tetep aja malu.
Lima : Satu Bulan Yang Berlalu Dengan Begitu Cepat
Hari ini tepat sebulan Citra telah resmi menyandang status istri. Awalnya ia pikir akan cukup sulit untuk menjalaninya. Bagaimana tidak sulit" Awalnya
ia dan Danang hanyalah dua orang asing yang sama sekali tidak saling mengenal. Sama-sama tidak mengenal satu sama lain. Apa yang Danang suka" Apa yang
Danang tidak suka" Ia sama sekali tidak tahu. Namun perlahan semua pertanyaan yang dulu memenuhi kepalanya akhirnya terjawab.
Danang memiliki hobi membaca, satu hal yang Citra syukuri karena itu berarti kalau ia dan Danang memiliki hobi yang sama, walaupun tentu genre bacaan mereka
berbeda, kalau Citra sangat suka membaca sesuatu yang berbau fiksi Danang kebalikannya.
"Dek..." Citra mendongakkan wajahnya dari novel romance yang baru saja ia beli
"Ada apa mas?" Citra berjalan menghampiri Danang yang kini masih berdiri di ambang pintu yang terbuka lebar.
Dengan cepat Danang menutup pintu saat Citra berjalan kearahnya tanpa menutup kepalanya dengan kerudung," sadar akan apa arti dari tatapan Danang yang
mengarah ke kepalanya, Citra langsung berlari ke dalam kamar untuk menggunakan kerudung.
"Maaf mas lupa kalau tadi lepas kerudung." Setelah resmi menyandang status istri Citra memang sudah mulai membiasakan dirinya untuk menggunakan kerudung.
Citra masih ingat awal mula keputusannya untuk mulai menutup kepalanya dengan sebuah kerudung. Awalnya memang Citra melakukannya karena Danang, tapi secara
perlahan ia akan merubah alasannya, ia memakai kerudung karena ia ingin belajar untuk mendekatkan dirinya pada Rabb sang penguasa Alam semesta.
Pagi itu setelah insiden bangun subuh yang membuat Danang harus menekan betisnya dan mengatakan kata-kata mujarab yang berhasil membuat relung hatinya
bergetar. Ia dan Danang kembali terlibat dalam satu pembicaraan yang hampir saja membuat Citra mengatakan kata cerai.
Sebuah kata yang paling di benci Allah.
Sebuah kata yang mampu memecah belah ikatan suci.
Dan sebuah kata yang berhasil membuat Citra harus kehilangan figure seorang papa.
Saat itu Citra hendak pergi menemui dua sahabatnya di Dago, ia sudah meminta ijin pada Danang dan Danang-pun" mengijinkannya.
Citra sudah terlihat rapi dengan terusan selutut berwarna biru.
"Aku cuma pergi sebentar, paling pas dzuhur sudah pulang." Ucap Citra seraya memoles bibirnya dengan lip ice.
Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Danang yang kini sedang duduk di atas tempat tidur.
"Mas mau titip apa?" Citra kembali mengerutkan keningnya saat lagi-lagi Danang tidak memberikan jawaban.
"Mas tarik ijin mas." Ucap Danang singkat.
"Huh?"" "Kamu tidak boleh pergi."
Citra menatap bingung Danang "Tapi bukannya tadi mas bilang boleh, aku udah janjian sama Della dan Putri nggak enak kalau di batalin." Gerutu Citra tidak
terima. "Mas tidak akan ijinin kamu pergi keluar dengan pakaian seperti itu."
Citra memperhatikan pakaian yang ia gunakan, terusan selutut bertangan panjang. Apa yang salah"
"Mas Danang kenapa sih" Memangnya kenapa dengan pakaian yang aku pakai?"
Danang beranjak dari atas tempat tidur, tangannya memegang bahu Citra.
"Lihatlah di cermin!" Danang meminta Citra untuk melihat pantulan dirinya di cermin "Tanyakan pada dirimu sendiri apa yang salah dengan pakaian yang kini
kamu pakai?" Citra tidak bodoh, ia tahu apa arti dari kata-kata tersirat yang di ucapkan Danang, secara tidak langsung Danang memintanya untuk menggunakan pakaian yang
menutup auratnya secara keseluruhan. Citra memang berniat untuk berubah namun tentu ia butuh waktu untuk mulai melakukan perubahan pada dirinya.
Citra menepis tangan Danang dari bahunya.
"Aku mau pergi. Della dan Putri pasti udah nungguin."
Danang menahan tangan Citra yang hendak memutar kenop pintu.
"Kamu tidak boleh pergi tanpa ijinku!" Ucap Danang tegas.
"Jangan mengaturku!" Teriak Citra tepat di hadapan wajah Danang.
"Sudah tugasku untuk mengaturmu bila memang itu demi kebaikanmu." Danang menahan tubuh Citra, matanya menatap mata Citra dengan tatapan mengintimidasi
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."(Qs.
Al-Ahzab: 59). Danang mengucapkan itu tepat di hadapan wajah Citra.
"Beri aku waktu untuk berubah... aku belum siap untuk mengenakannya." Ucap Citra lirih.
"Butuh berapa lama untuk bersiap, kita tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa jam kedepan. Tidak ada yang menjamin semuanya akan baik-baik saja....
jangan mengulur sesuatu hal yang sudah pasti hukumnya."
"Kamu tidak mengerti mas."
"Apa yang tidak aku mengerti?"
"Pokoknya aku tidak mau pakai kerudung!"
Danang menatap Citra dengan tatapan tidak percaya.
"Kamu belum bisa menerima aku apa adanya, kamu terlalu memaksakan kehendakmu." Isakkan tangis akhirnya lolos dari bibir Citra.
Danang menarik nafas dalam-dalam, berusaha untuk tetap dapat mengkontrol emosinya.
?"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat
yang nyata." Danang kini berucap begitu lirih "Ini bukan masalah tentang memaksakan kehendak tapi ini adalah sesuatu ketetapan yang telah Allah tentukan."
Perlahan Danang membawa Citra kedalam dekapannya "Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, karena kamu adalah calon ibu bagi anak-anakku kelak."
Tangis Citra semakin pecah, ia membalas pelukkan Danang. Ia sungguh menyesal telah berkata kasar pada Danang dan sempat berpikiran untuk meminta Danang
untuk menceraikannya karena ia berpikir kalau Danang tidak dapat menerima kekurangannya yang masih belum mampu memperbaiki diri.
"Mas tahu kamu butuh waktu untuk berubah, namun mas mohon janganlah kamu di permainkan oleh waktu... jangan sampai waktu yang mengaturmu namun kamulah
yang harus mengatur waktu." Dengan lembut Danang mengecup kening Citra "Maafkan aku telah membuatmu menangis.... sungguh demi Allah hanya kebaikanlah yang
mas harapkan untukmu."
"Kok malah melamun sih?" Tanya Danang pada Citra yang kini masih berdiri di depan cermin seraya memegang ujung kerudungnya.
"Eh." Citra tersadar dari lamunannya saat Danang memeluknya dari belakang "Maaf mas."
"Apa sih yang kamu lamunin?"
"Nggak ada." "Bohong?" "Kalau bohong demi kebaikkan bolehkan?" Jawab Citra seraya tersenyum manis.
"Udah pinter ngejawab yah kamu sekarang." Dengan gemas Danang mengecup pipi kanan Citra "Oh iya, tadi ada paket datang. Kamu belanja online lagi bukan?"
"Iya, aku pesen kipas angin mas. Habisnya kalau malem gerah banget. Maaf yah nggak minta ijin dulu." Sesal Citra.
"Harusnya mas yang minta maaf karena mas kamu jadi harus rela tinggal di rumah sederhana kaya gini."
Sekarang Danang dan Citra memang sudah tinggal sendiri terpisah dari keluarga Danang, kini ia menempati sebuah rumah sederhana yang di beli Danang dengan
uang tabungannya selama lima tahun menjadi dokter. Harga rumah di Jakarta benar-benar mahal.
"Nggak apa-apa mas, walaupun sederhanakan rumah sendiri."
"Mas janji deh nanti kalau cicilan mobil mas lunas, kita pasang Ac biar kamu nggak kepanasan."
"Memangnya cicilan mobil mas berapa lama lagi?"
Danang mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya "Dua bulan lagi?" Tanya Citra.
"Dua tahun lagi sayang." Jawab Danang seraya mencubit pipi Citra.
"Ih masih lama dong."
"Yang sabar yah." Pinta Danang seraya membelai pucuk kepala Citra.
Awalnya Danang memang menyangka kalau jodohnya tertukar, namun ia sadar kalau Allah tidak mungkin keliru dalam menentukan jodoh untuk hambanya.
Dulu ia sempat mempertanyakan keadilan Allah, mana keadilan Allah yang mengatakan kalau laki-laki yang baik untuk wanita yang baik dan sebaliknya laki-laki
yang tidak baik untuk wanita yang tidak baik pula saat Danang di jodohkan dalam ikatan yang sakral bersama Citra yang saat itu terlihat begitu tidak baik
di mata Danang. Danang sekarang merasa menyesal karena telah mempertanyakan keadilan Allah yang sudah jelas Maha Adil. Allah kini telah membuktikan apa


Jodoh Tak Mungkin Tertukar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang Dia janjikan, laki-laki yang baik memang akan di jodohkan dengan wanita yang baik.
Perlahan Citra mulai berubah menjadi sosok wanita yang insyaallah sholehah dan Danang sangat bersyukur karena Allah telah menjodohkannya dengan Citra,
wanita yang insyaallah akan menemaninnya dalam menggapai ridho Illahi.
Enam : Persahabatan Citra berulang kali merubah model jilbab yang ia kenakan, dari model yang biasa sampai model yang luar biasa.
"Aneh nggak yah kalau ke kampus pake model jilbab kaya gini?" tanya Citra pada pantulan dirinya di cermin.
"Dek sudah siap belum?"
"Iya mas bentar lagi," jawab Citra seraya menusukkan jarum pentul kebagian samping jilbabnya.
Danang memperhatikan penampilan Citra dari atas sampai bawah, suatu kebiasaan yang tidak bisa Danang rubah, padahal Citra sudah berulang kali mengingatkan
kepada Danang kalau ia tidak suka di pandang dengan cara seperti itu. Nggak sopan.
"Kenapa jilbabnya nggak di lebarin aja, Dek?" Danang sudah mulai memberi komentar pada model jilbab yang kini di kenakan oleh Citra.
Citra mengerucutkan bibirnya "Perlahan yah mas... sekarang aku cuma bisa memakai ini, insyaallah perlahan aku bakal usahain pake kerudung yang syar'i,"
jawab Citra sebelum perdebatan semakin memanjang. Yang ada nanti ia telat pergi ke kampus.
Dengan manja Citra merangkul lengan kanan Danang, "Biar nanti temen kampus aku nggak terlalu kaget lihat perubahan akunya mas, kalau aku langsung pake
kerudung yang lebar kaya Zahra sama Nurul bisa-bisa nanti fakultas kedokteran gempar lihat perubahan aku," Yah, anak-anak kedokteran pasti akan gempar
melihat perubahan seorang Mutiara Citra Hastari, anak fakultas kedokteran semester enam yang dikenal sebagai primadonanya kampus.
Citra memiliki wajah yang cantik, tubuhnya tinggi semampai, kulitnya kuning langsat dan ia pun modis. Pasti akan sangat aneh bila melihat penampilan Citra
sekarang. Bila biasanya kaki jenjangnya selalu terekspos karena Citra lebih suka ke kampus dengan rok span selutut, kini rok span selutut itu telah berganti dengan
rok panjang menjutai sampai mata kaki, kemeja lengan pendek yang biasa ia gunakan sekarang telah berganti dengan kemeja kotak-kotak berlengan panjang dan
rambut panjang Citra yang hitam legam seperti rambut yang dimiliki oleh para bintang iklan shampo kini tidak dapat dinikmati oleh banyak orang lagi karena
kepala itu kini sudah tertutupi oleh jilbab berwarna coklat, Sekarang hanyalah Danang yang dapat menikmati itu semua karena Danang kekasih halalnya.
"Mas nanti pas pulang aku mau mampir ke rumah Zahra dulu yah soalnya ada beberapa buku yang mau aku pinjam dari Zahra," Citra meminta ijin kepada Danang
saat mereka sudah berada di dalam mobil.
"Sampai jam berapa di rumah Zahra?"
"Insyaallah jam tigaan."
"Nanti mas jemput pulangnya."
Citra menganggukkan kepalanya, matanya menerawang melihat jalanan yang masih saja padat merayap padahal ini sudah jam sembilan pagi, harusnya jalanan sudah
lenggang. Citra mencium punggung tangan Danang seraya mengucapkan salam saat hendak turun dari mobil, sedangkan Danang mencium kening Citra. Suatu kebiasan yang
selalu mereka berdua lakukan. Suatu kebiasaan yang akan selalu mengingatkan mereka berdua akan hak dan kewajiban yang mereka miliki sebagai suami istri.
Berulang kali Citra berdoa dalam hati agar Allah memberikan ia kemudahan hari ini. Semoga tidak ada yang mengomentari penampilannya dan semoga tidak ada
juga yang kepoin dia. Baru lima langkah Citra melangkah dari gerbang utama kampus, beberapa mahasiswa sudah menggodanya.
"Wah mahasiswi baru tuh cantik bener, udah cantik sholehah lagi. Bener-bener calon istri idaman."
Mahasiswi baru dari Hongkong, masa sih mereka nggak ngenalin aku" Batin Citra, seraya terus berjalan melewati segerombolan mahasiswa yang sedari tadi terus
saja menggodannya. Saking buru-burunya Citra berjalan ia sampai tidak memperhatikan apa yang kini ada di hadapannya.
Bughh... Kepala Citra menabrak punggung seseorang, hingga membuat orang yang di tabraknya tersungkur. Ia tidak mengira kalau ternyata kepalanya memiliki
kekuatan super sampai seseorang yang ia tabrak nyungseb.
"Maaf, saya benar-benar tidak sengaja," ucap Citra menyesal kepada wanita malang yang tadi menjadi korban kepalanya.
"Punya mata nggak sih mbak?"
"Maaf banget yah mbak, saya benar-benar tidak sengaja," Sesal Citra, walaupun pada kenyataannya si wanita itu jatuh tersungkur bukan seratus persen salah
Citra, wanita judes yang sedang melototi Citra sekarang terjatuh karena keserimpet sama high heels-nya sendiri yang tingginya gila-gilaan.
"Citra?" Seru seseorang yang berlari kearah Citra.
"Dion lihat deh lutut aku berdarah, ini semua gara-gara mbaknya, jalan nggak pake mata." Cerocos si wanita judes yang ternyata pacar baru Dion.
"Kamu apa kabar Cit?" Bukannya meladeni ucapan kekasihnya, Dion malah fokus pada Citra yang kini berdiri tepat di hadapannya.
"Baik." Jawab Citra seadanya "Sekali lagi saya minta maaf yah mbak, saya benar-benar tidak sengaja." Ucap Citra sebelum meninggalkan pasangan tersebut.
Citra meraba dadanya yang berdetak di luar batas normal. Semuanya telah berlalu namun kenapa rasanya masih sakit" Mungkinkan rasa itu masih ada"
"Di saat kamu memilih untuk berpaling, maka di saat itu pula semuanya telah berakhir." Itulah kalimat terakhir yang Citra katakan pada Dion sebelum mereka
putus. Sebuah kalimat yang tidak akan pernah dapat diganggu gugat lagi baginya.
Dia bukanlah Aisyah dalam novel Ayat-Ayat Cinta yang rela membagi cintanya dengan Maria.
Diapun bukan Arini dalam novel Surga Yang Tak dirindukan yang pada Akhirnya rela membagi cintanya dengan Mei.
Dia adalah Citra yang tidak akan pernah dapat membagi Cintanya pada siapapun. Ia akan lebih memilih untuk mundur dari pada harus berbagi.
"Assalamualaikum..." ucapan salam dari Zahra yang sudah berdiri di sampingnya menyandarkan Citra dari keterpakuannya akan masa lalu.
"Waalaikumsalam," jawab Citra, mata Citra memperhatikan wajah Zahra yang kini terlihat begitu berbinar, ekspresi wajah yang menandakan kalau sahabatnya
ini tengah bahagia. "Dapat kejutan apalagi dari Pak Ali, wajah kamu sumeringah banget?"
"Kepo." "Kepo tuh tanda sayang tahu Ra."
"Wani piro?" "Goceng." Zahra dan Citra tertawa pelan, menertawakan pembicaraan mereka yang sangat tidak penting.
Kini Citra dan Zahra sedang menunggu kedatangan Nurul di kantin.
Zahra terlihat sedang sibuk memainkan ponselnya sedangkan Citra malah sibuk memperhatikan wajah Zahra.
Satu tahun yang lalu wajah Zahra selalu terlihat murung, namun kini wajah Zahra terlihat begitu bahagia.
Citra benar-benar mengagumi sahabatnya ini, satu tahun yang lalu meskipun Zahra tidak pernah sedikitpun menceritakan tentang rumah tangganya kepadanya,
Namun tentu sebagai sahabat Citra tahu kalau Zahra tengah melewati hari-hari yang sulit. Puncaknya saat ia mendengar kabar kalau Ali dan Zahra hendak bercerai
dan Ali akan menikahi Ayana yang notabennya adalah tante Zahra sendiri, dari situ rasa simpati dan kagum Citra kepada sosok Ali sirna tak tersisa, Namun
Zahra bisa melewati semuanya dengan penuh kesabaran dan kini Zahra tengah meneguk hasil dari kesabarannya itu.
"Assalamualaikum..."
Citra dan Zahra mendongakkan wajah mereka menatap sosok Nurul yang kini sedang menggendong bayi mungilnya, di sampingnya berdiri sosok laki-laki sholeh
yang telah berhasil meminang Nurul satu setengah tahun yang lalu.
"Waalaikumsalam," jawab Citra dan Zahra.
"Ya ampun Anna makin cantik aja," Citra mencubit ringan pipi chuby putri Nurul yang kini sudah berumur empat bulan, sedangkan Zahra sibuk membelai pucuk
kepala Anna dengan sangat lembut.
Hingga akhirnya Citra dan Zahra berebut ingin menggendong Anna yang kini malah menangis dalam gendongan Nurul.
Tiga Tahun yang lalu mereka bertiga hanyalah mahasiswa baru yang memiliki sejuta mimpi, tidak pernah terpikir sedikitpun kalau mereka akan menikah muda.
Tapi kini mereka telah memiliki pasangan masing-masing. Telah merangkai kisah dengan kekasih halal mereka yang insyaallah akan menuntun mereka menuju jalan
yang di ridhoi oleh Allah.
Tujuh : Dia Yang Datang Dari Masa Lalu
"Apa arti cinta untukmu?" Tanya seorang gadis berkhimar biru pada seorang pemuda yang berdiri tidak jauh darinya. Yah, jarak ia dan si pemuda hanyalah
tiga langkah, bila ia melangkahkan kakinya sebanyak tiga langkah maka tidak akan ada lagi jarak yang tercipta diantara keduanya.
Benarkah tidak akan ada jarak lagi?"" Tidak, meskipun ia melangkahkan kakinya sebanyak tiga langkah untuk menghapus jarak yang tercipta, ia tahu jarak
yang sesungguhnya tidak akan pernah mungkin terhapus karena jarak itu tidak kasat mata. Setiap ia melangkah maka semakin jauhlah jarak yang tercipta antara
dirinya dan si pemuda tersebut.
"Aku mencintaimu." Ucap gadis berkhimar biru itu dengan sangat lirih "Aku ingin menjadi makmummu."
"Bila memang kita berjodoh insyaallah," Allah akan mempermudahnya." Hanya jawaban itulah yang di berikan si pemuda "Aku tidak akan memintamu menunggu karena
aku sama sekali tidak memiliki hak untuk memintamu menunggu."
"Aku butuh sebuah kepastian, bila memang kamu mencintaiku pintalah aku untuk menunggumu."
"Aku lebih mencintai Allah... jadi biarlah Allah yang mengatur semuanya." Si pemuda itu berlalu meninggalkan gadis berkhimar biru tersebut.
*** Citra duduk manis diatas sofa yang ada di dalam perpustakaan pribadi milik Ali dan Zahra, di tangannya kini ada sebuah buku berjudul Dapatkah Aku Menjadi
Seperti Fatimah Azzahra. Buku yang berhasil menarik perhatiannya. Jujur ia memang hobi membaca, semua genre novel dari romance hingga fantasy ia lalap
habis tapi kalau buku-buku islami seperti ini ia kurang berminat, lebih baik langsung dengerin ceramah dari pada harus belajar dari buku, suka nggak mudeng.
Tapi beda halnya dengan buku yang kini ada di tangannya, ia tahu kalau buku ini kebanyakan berisi tentang sosok Fatimah Azzahra, sosok seorang wanita mulia
yang sudah Allah janjikan surga untuknya. Ia berminat membaca karena pas awal ia memasuki perpustakaan ini, Zahra langsung mempromosikan buku ini kepadanya.
"Bagus banget Cit, di dalamnya ada kisah cinta romantis yang bakal sukses bikin kamu nangis tujuh hari tujuh malam." Cerocos Zahra berlebihan.
"Masa sih Ra, cerita Senja Bersama Rosie yang super sedih aja cuma berhasil buat aku nangis sehari doang tapi bapernya sih berhari-hari." Jawab Citra ia
mulai membolak balik halaman buku tersebut.
Akhirnya Citra pun memutuskan untuk membaca buku tersebut. Ia membacanya secara random.
Hingga akhirnya ia tiba pada halaman dimana di ceritakan bahwa Maut Menjemput Fatimah Az-Zahra
Fatimah sangat menyayangi Rasulullah hingga pada saat Rasulullah terbaring sakit Fatimah tak henti-hentinya bersedih hingga, pada detik-detik dimana saat
Rasulullah dijemput malaikat maut Rasulullah membisikan kata-kata pada Fatimah.
"Aku akan pergi tetapi engkau yang pertama akan menyusul" mendengar perkataan itu sontak Fatimah merasa bahagia, ia bahagia karena ia akan segera menyusul
kepergian ayahanda tercintanya.
Hingga tibalah malaikat mautlah yang kini menjemputnya, sebelum malaikat maut menjemputnya ia bermimpi bertemu dengan ayah yang sangat ia cintai "Wahai
Fatimah! Aku datang memberi kabar gembira kepadamu, telah datang saat terputusnya takdir kehidupannya di dunia ini putriku. Tiba sudah saatnya untuk kembali
ke alam akhirat! Wahai Fatimah bagaimana kalau besok malam kau menjadi tamuku?" itulah yang Rasulullah katakan pada Fatimah dalam mimpi itu.
Sebelum meninggal Fatimah menyisir rambut kedua buah hatinya Hasan dan Husein dengan air mawar, ia mendekap dan mencium Hasan dan Husein dengan penuh kasih
sayang, hatinya terus bergetar karena ia tahu kalau waktunya di dunia ini tak lama lagi.
Ali termenung seraya terus memperhatikan Fatimah, lantas Fatimah berkata "Wahai Ali, bersabarlah untuk deritaanmu yang pertama dan bertahanlah untuk deritamu
yang kedua! Janganlah engkau melupakan diriku. Ingatla diriku selalu mencintaimu dengan sepenuh jiwa. Engkau kekasihku, suamiku, teman hidup yang terbaik,
teman diriku berbagi derita dan teman perjalananku" Lalu keempat orang itu menangis dan berpelukan.
Citra menangis, apa yang dikatakan Zahra memang benar adanya, buku ini telah berhasil membuatnya menangis.
Engkau kekasihku Engkau Suamiku Engkau teman hidup yang terbaik
Engkau teman diriku berbagi derita
Dan engkau teman perjalananku.
Kalimat ini terus memenuhi kepala Citra, betapa Cintanya seorang Fatimah Azzahra kepada Saidina Ali, hingga kata-kata seindah itu terukir dari bibirnya
sebelum malaikat maut menjemput nyawanya.
Dengan cepat Citra menghapus air matanya saat ia mendengar suara handle pintu yang di putar, Zahra yang kini berdiri di ambang pintu tersenyum dengan penuh
arti kearah Citra yang sedang menundukkan kepalanya.
*** Danang sudah hendak pulang dari rumah sakit saat tiba-tiba ada rekan kerjanya yang meminta bantuannya.
"Kecelakaan minibus Nang, korbannya anak-anak TK." Jelas Dani rekan kerja Danang yang barusan meminta bantuannya.
Banyak pasien berumur dibawah enam tahun memenuhi UGD, tangis anak-anak membuat ruang UGD riuh tidak karuan.
"Sudah jangan nangis, sebentar lagi mama Dinda pasti datang." Ucap seorang wanita berkhimar hitam, berusaha menenangkan seorang gadis kecil yang sedari
tadi terus saja menangis.
Danang yang berdiri tidak jauh dari posisi si wanita tersebut terpaku. Suara itu tidak asing bagi Danang, suara seorang gadis yang lima tahun yang lalu
berhasil membuat hati Danang berdesir saat mendengar kata Cinta terucap dari bibir gadis tersebut.
Perlahan Danang mulai beristigfar, mengusir sebuah rasa yang seharusnya kini tidak kembali ia rasakan.
*** Citra berulang kali mencoba menghubungi nomer Danang namun semua panggilannya tidak di jawab, beberapa chat yang ia kirim pun tidak ada satupun yang dibaca,
ini sudah jam empat, sudah satu jam lebih ia menunggu kalau saja Danang tidak menyuruhnya untuk menunggu mungkin ia akan lebih memilih pulang dengan menggunakan
taksi, tapi Danang sudah memintanya menunggu jadi sudah seharusnya ia untuk menunggu.
"Mungkin Mas Danang ada operasi mendadak Cit, jadi belum bisa jemput kamu." Zahra mencoba menenangkan Citra yang terlihat begitu gelisah "Coba yah aku
tanya mas Ali, kalau tidak salah dia ada praktek jam segini deh."
Zahra mendial nomer Ali. "Assalamualaikum mas." Zahra mengucapkan salam saat sambungan teleponnya telah tersambung dengan Ali.
Citra diam termenung memperhatikan Zahra yang kini berbicara dengan Ali melalui telepon.
"Kata mas Ali, Mas Danang sedang menangani pasien-pasien korban kecelakaan lalu lintas." Jelas Zahra.
Citra hanya menganggukkan kepalanya.
"Mau aku anterin pulang?"
"Nggak usah Ra, aku nunggu aja. Soalnya mas Danang sudah menyuruhku untuk menunggunya."
Zahra tersenyum mendengar jawaban yang ia dapatkan dari Citra. Citra-nya yang dulu bersikap begitu gahar akhirnya sekarang bisa takluk juga oleh seorang
Danang. "Kenapa kamu senyum-senyum?" Tanya Citra pada Zahra.
"Aku nggak nyangka kalau Citra yang galak kini sudah jadi istri yang begitu penurut, kayanya pesona mas Danang sudah berhasil merubahmu yah." Ledek Zahra.
Wajah Citra langsung bersemu merah "Apaan sih Ra."
"Ciyee mukannya sampe merah gitu." Zahra semakin tertawa melihat wajah Citra yang semakin terlihat merona karena malu.
Waktu berlalu dengan begitu cepat... Waktu magrib sebentar lagi akan datang menyapa namun Danang belum juga datang untuk menjemput Citra.
Senyuman Citra merekah saat ia mendengar ketukan pintu, ia sangat berharap kalau itu Danang yang datang namun senyumannya seketika sirna saat ternyata
seseorang yang mengetuk pintu bukanlah Danang melainkan Ali.
Ali mencium lembut kening Zahra saat Zahra mencium punggung tangannya.
"Mas..." bisik Zahra pada Ali saat Ali hendak mengecup pipi kananya "Ada Citra." Bisik Zahra yang otomatis membuat Ali mengurungkan niatnya, ia tersenyum
tidak enak pada Citra yang kini juga tersenyum canggung ke arahnya.
"Danang belum menjemputnya?" Tanya Ali pelan "Bukannya penanganan korban kecelakaan sudah selesai dari satu jam yang lalu, mas kira dia udah jemput Citra."
Ali berucap begitu pelan pada Zahra berharap apa yang dia katakan tidak di dengar oleh Citra.
Ali sudah pulang tapi kenapa Danang belum pulang juga"
Apa Danang melupakan janjinya menjemput Citra"
Atau sesuatu hal yang buruk telah terjadi pada Danang"
Akhirnya Citra memilih untuk pulang, ia sungguh merasa tidak enak kalau masih tetap bertahan menunggu Danang di rumah Zahra.
"Aku sama mas Ali anterin yah." Tawar Zahra malah menjurus ke memaksa. Mana tega ia membiarkan Citra pulang sendiri sedang hari sudah malam.
"Tidak usah Ra, aku naik taksi saja. Lagiankan Pak Ali baru pulang kasihan kalau suruh nganterin aku."
"Nggak apa-apa mas Ali mau kok, jadi kamu pulangnya nunggu mas Ali pulang dari masjid dulu yah, paling lima belas menit lagi mas Ali pulang dari mesjid."
Bujuk Zahra. "Nggak usah Ra, lagian aku sudah pesan taksi. Insyaallah bentar lagi taksinya datang." Terang Citra.
Dan akhirnya Zahra menerima keputusan Citra, Zahra memeluk erat tubuh Citra. Dia tahu kalau kini hati Citra pasti sedang tidak baik-baik saja karena ia
pun pernah mengalami apa yang kini Citra alami.
"Langsung telepon aku yah kalau sudah sampai rumah." Ucap Zahra, Citra hanya menganggukkan kepalanya seraya tersenyum.
Saat sudah berada di dalam taksi tidak tahu kenapa tiba-tiba tangis Citra pecah. Rasa kesal dan takut membuat perasaannya menjadi kacau. Ia sama sekali
tidak mempedulikan tatapan supir taksi yang kini menatapnya aneh, yang dia inginkan sekarang hanyalah bertemu dengan Danang.
Delapan : Penjelasan (Kebohongan)
Dengan kencang Citra membanting pintu rumahnya, ia benar-benar kesal. Segala caci maki sudah ia persiapkan untuk menyambut kepulangan Danang.
Berulang kali Citra melirik jam yang menggantung di dinding ruang tamu, sudah jam delapan malam dan Danang belum juga menunjukkan batang hidungnya.
Tangis yang tadinya sudah reda kini kembali terdengar. Citra benar-benar terlihat seperti anak kecil yang kehilangan orang tuanya.
Andai mamanya tinggal di Jakarta sudah pasti sekarang ia akan pulang ke rumah mamanya, tapi sayang seribu sayang mamanya tinggal di Bandung dan ia pun
tidak memiliki sanak saudara yang tinggal di Jakarta, tidak mungkinkan kalau ia harus pulang ke rumah mertuanya.
"Awas saja yah mas, kalau kamu pulang aku nggak akan bukain kamu pintu." Kesal Citra di sela isak tangisnya yang tak kunjung berhenti.
Hingga akhirnya ketika jam menunjukkan tepat pukul sembilan malam suara salam yang selama lebih dari empat jam Citra nantikan akhirnya terdengar juga oleh
Citra. Salam yang ia nantikan dari pukul empat sore.
Citra mengelap wajahnya yang sudah basah oleh air mata dengan jilbab yang ia gunakan.
Niat hati tidak akan memberikan Danang kesempatan untuk masuk rumah malam ini Citra urungkan, bagaimanapun juga ia tidak mungkin tega membiarkan Danang
tidur di luar rumah. "Assalamualaikum." Ucap Danang saat Citra membukakan pintu untuknya. Danang sudah mempersiapkan dirinya untuk menerima segala kemarahan yang kemungkinan
besar akan ia dapatkan dari Citra. Ia akan pasrah menerimanya karena ia memang pantas untuk menerima kemarahan Citra.
"Masih ingat rumah, aku kira mas sudah lupa alamat rumah mas dimana?" Ucap Citra terdengar begitu dingin.
Danang hendak membelai pucuk kepala Citra namun dengan kasar Citra menepis tangannya "Di jawab dulu dek salamnya... wajib hukumnya untuk menjawab salam,
Dalam"Shahih Muslim"(54) disebutkan:"Dari Abu Hurairah radiallahu "anhu berkata, Rasulullah shallallahu "alaihi wa sallam bersabda: "Kalian tidak akan
masuk surga sehingga kalian beriman, dan tidak dikatakan beriman sebelum kalian saling mencintai. Salah satu bentuk kecintaan adalah menebar salam antar
sesama muslim." terang Danang "Assalamualaikum, istriku." Danang mengulangi kalimat salamnya, dan kata istriku berhasil membuat Citra tertegun.
"Waalaikumsalam." Jawab Citra pura-pura acuh padahal pada kenyataannya hatinya tadi sempat berdesir saat Danang mengatakan kata istriku, tidak tahu kenapa
kata sederhana itu terdengar indah. Berlebihankah" Citra rasa tidak.
Danang dan Citra kini sudah duduk di atas sofa yang terletak di ruang tamu, mata Danang menatap wajah Citra lama, mata sembab Citra dan hidung merah Citra
menjadi bukti kalau Citra baru saja habis menangis dan penyebab Citra menangis adalah Danang.
Cukup lama Danang dan Citra hanya saling diam, tidak ada omelan yang keluar dari mulut Citra sedikitpun.
Kemana perginya rencana yang sudah Citra persiapkan untuk menyambut kepulangan Danang" Bibirnya kelu, ia tidak memiliki keberanian untuk meluapkan emosinya
kepada Danang. Hati kecilnya memintanya untuk mendengarkan dulu penjelasan Danang, apa sebenarnya yang membuat Danang mengingkari janjinya untuk menjemput
Citra di rumah Zahra"
Danang diam bukan berarti ia tidak memiliki sesuatu yang patut ia jelaskan pada Citra, namun kini ia diam karena memberikan kesempatan Citra untuk meluapkan
emosinya. Ia tahu Citra pasti sangat amat kesal kepadanya. Bagaimana tidak kesal" ia telah membuat Citra harus menunggunya lebih dari empat jam tanpa kabar
sedikitpun. Salahkan pada handphonenya yang tidak bisa di ajak kerja sama, salahkan pada abang baso yang menyebrang sembarangan dan salahkan dirinya yang
kurang berhati-hati dalam menyentir karena terlalu larut akan kenangan masa lalu yang tidak memiliki arti apa-apa lagi.
Hampir lima menit Danang dan Citra sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya Danang-lah yang memecahkan keheningan yang tercipta. Keheningan yang
sungguh demi apapun sangatlah tidak nyaman untuk di pertahankan.
"Maaf." Hanya kata itulah yang Danang ucapkan untuk mengawali pembicaraan" "Maaf karena aku telah membuatmu menangis." Perlahan Danang mulai meraih jari
jemari Citra kedalam genggamannya.
Masih tidak ada tanggapan yang Danang dapatkan dari Citra dan Danang anggap itu sebagai tanda kalau Citra tengah memintanya untuk menjelaskan semuanya.
"Ada beberapa hal yang membuatku tidak bisa datang menjemputmu." Danang semakin mengeratkan genggamannya di tangan Citra "Awalnya aku akan menjemputmu
tepat waktu namun tidak ada yang dapat menebak apa yang akan terjadi kedepannya, tiba-tiba ada kecelakaan lalu lintas yang memakan banyak korban, aku di
haruskan untuk membantu menangani para korban, penaganan korban kecelakaan selesai jam lima sore." Danang memberi jeda pada kata-katanya, ia memperhatikan
wajah Citra yang ternyata kini tengah memperhatikannya "Aku langsung pergi menuju rumah Ali untuk menjemputmu setelah pekerjaan di rumah sakit selesai.
Tapi lagi-lagi cobaan datang."
Citra mendengarkan setiap kata yang kini terucap dari bibir Danang.
"Mobilku tidak sengaja menyerempet abang baso yang hendak menyebrang, walaupun cuma keserempet tapi itu membuat gerobak abang basonya ke balik."
"Apa keadaan tukang basonya baik-baik saja?" Tanya Citra, akhirnya mengeluarkan suara.
"Kok kamu malah nanya keadaan abang basonya sih, keadaan aku nggak di tanya?" Danang memasang wajah nelangsa, yang tentunnya hanya akting belaka.
"Ngapain aku nanya keadaan mas" Yang keserempetkan abang tukang baso bukan mas." Jawab Citra judes.
Danang tidak marah saat mendengar kata-kata judes yang terucap dari bibir tipis Citra, satu bulan hidup bersama Citra sudah membuat ia cukup terbiasa.
"Kenapa mas tidak ngasih kabar" Mas punya handphonekan mas juga pasti tahukan apa gunanya handphone?"
Danang menganggukkan kepalanya.
"Lantas kenapa mas tidak memberi kabar?"
"Handphoneku tertinggal di kamar, jadi aku sama sekali nggak bisa hubungi kamu." Jawab Danang.
Citra menatap Danang dengan dahi berkerut. Benarkah Danang tidak membawa handphone.
"Kalau kamu nggak percaya cek aja di kamar, aku yakin handphonenya pasti ada di kamar." Ucap Danang saat melihat ekspresi tidak percaya dari Citra.
Semuanya telah di jelaskan kini tinggal menunggu keputusan Citra. Tetap bertahan dengan rasa kesalnya atau memberikan maaf pada Danang.
"Maaf yah, aku bener-bener nggak ada niatan buat kamu nunggu lama."
"Mas sudah makan?" Bukan kata penerimaan maaf yang Danang dapatkan dari Citra namun malah pertanyaanlah yang Citra ajukan.
"Belum." Jawab Danang jujur.
"Yasudah, aku masak bentar yah." Citra beranjak dari duduknya, ia langsung pergi menuju dapur untuk menyiapkan makanan untuk Danang.
Danang ikut beranjak dari duduknya, ia berdiri di ambang pintu dapur memperhatikan Citra yang kini sedang sibuk mengiris bawang.
"Dek, kamu maafin akukan?" Tanya Danang, bagaimanapun juga kata penerimaan maaf belum Danang dapatkan dari Citra.
Kesal tidak mendapatkan tanggapan karena Citra lebih memilih berkutat dengan masakan dibandingkan dengan dirinya yang terus mengemis kata maaf, Danang
menghampiri Citra, ia berdiri tepat di belakang tubuh Citra.
"Mas!" Pekik Citra saat Danang memeluk tubuhnya dari belakang.
Danang menyandarkan dagunya di bahu Citra "Gimana, maaf aku diterima nggak?" Tanya Danang tepat di samping telinga Citra.
"Mas aku lagi masak, kalau mas ganggu terus yang ada nanti masakan akunya gosong." Gerutu Citra.
Bukannya melepaskan pelukkannya Danang malah makin mengeratkan pelukkannya di tubuh Citra "Sebelum kata penerimaan maaf terucap pelukkan ini nggak" akan
mas lepasin." "Iya aku maafin." Jawab Citra akhirnya.
"Makasih sayang." Dengan lembut Danang mengecup pipi kiri Citra.
Dan hal itu membuat pipi Citra bersemu merah.
?"" Danang memperhatikan wajah Citra yang kini sudah terlelap dalam pelukkannya.
"Maafkan aku tidak dapat menceritakan semuanya." Danang berucap dengan begitu pelan "Akan lebih baik bila kamu tidak mengetahuinya."
Danang mencium lama kening Citra "Maafkan aku yang sempat berpaling darimu...Maafkan aku yang sempat melupakanmu dan maafkan aku yang telah membohongimu."
Citra yang pada kenyataannya belum benar-benar terlelap dalam tidurnya mendengar semuanya.
Maafkan aku yang sempat berpaling darimu.


Jodoh Tak Mungkin Tertukar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maafkan aku yang sempat melupakanmu.
Dan maafkan aku yang telah membohongimu.
Ketiga kalimat itu kini memenuhi kepala Citra.
Apa maksud dari ketiga kalimat itu" Bila memang maksud dari ketiga kalimat itu memiliki arti penghianatan, maka kehancuranlah yang akan menanti kehidupan
rumah tangganya bersama Danang.
Dia bisa memaafkan apapun kesalahan Danang, namun tidak bila itu menyangkut sebuah penghianatan.
Di saat kamu memilih untuk berpaling, maka di saat itu pula semuanya telah berakhir.
Sembilan : Berakhir Menangis.... Citra menangis dalam sujud panjangnya, menangisi apa yang kini telah terjadi kepadanya, mungkinkah apa yang telah mamanya alami akan ia alami juga" Kehilangan
seseorang yang di cintai.
Tanpa ia sadari rasa itu perlahan telah menyelusup di hatinya, rasa dimana ia merasa ingin selalu bersama Danang, ingin merangkai sebuah cerita yang indah
bersama Danang, dan berjalan bersama Danang menuju pada hal yang lebih baik. Tapi ia tahu hal itu tidak mungkin dapat ia wujudkan, kisah yang baru akan
ia mulai kini harus ia akhiri.
?"" Danang dan Citra kini sedang berada di kediaman keluarga Danang, ini kali ketiga untuk keduanya menginap di kediaman keluarga Danang setelah resmi menjadi
pasangan suami istri. Danang terus memperhatikan wajah Citra yang kini duduk tepat di samping uminya. Senyuman menghiasi wajah Citra namun senyuman itu tidak sampai pada matanya.
Senyuman yang kini menghiasi wajah Citra hanyalah senyuman palsu yang tidak memiliki makna.
Sebenarnya apa yang terjadi pada Citra" Sudah hampir seminggu Citra terlihat begitu murung dan sikap Citra pun mulai berubah pada Danang. Dingin, sekarang
Citra bersikap sangat dingin pada Danang.
Setiap Danang bertanya apa yang telah terjadi" Citra hanya memberikan jawaban dengan gelengan kepala. Mungkinkah ia telah melakukan kesalahan hingga membuat
Citra marah padanya" Bukannya masalah telat menjemput telah selesai, jadi sebenarnya apa kesalahannya"
Baru saja Danang hendak beranjak dari duduknya untuk menghampiri Citra, dua keponakkannya Sardi dan Sita menghampirinya dan langsung duduk di hadapan Danang,
mata bulat keduanya menatap Danang dengan tatapan berbinar.
"Mamang cerita tentang Saidina Ali dong," pinta Sardi
"Nggak cerita tentang Fatimah Az Zahra aja," sahut Sita, ia melotot kearah saudara kembarnya.
"Nanti malam saja yah selepas shalat isya mamang ceritanya."
"Sekarang!" seru Sardi dan Sita kompak, saking kompaknya suara mereka berdua membuat telinga Danang sakit.
Permintaan kedua keponakkannya sama sekali tidak bisa di tolak, kalau sampai Danang menolaknya ia yakin mereka berdua pasti akan kompak menangis dan berkata
kalau mamangnya pelit dan akhirnya ia akan mendapatkan omelan maut dari uminya.
"Baiklah mamang akan mulai bercerita... Saidina Ali....."
"Ih mamang kok ceritanya tentang Saidina Ali sih, Sita kan pengennya mamang cerita tentang Fatimah Az Zahra," rengek Sita tidak terima Danang menceritakan
tentang Saidina Ali dan Sardi pun tidak terima saat Danang hendak menceritakan tentang Fatimah Az Zahra. Tidak mungkin jugakan kalau ia harus menceritakan
tentang kisah cinta Fatimah Az Zahra dengan Saidina Ali, Sardi dan Sita belum cukup umur untuk mendengarkan kisah cinta, akhirnya untuk melerai keributan
antara Sardi dan Sita, Danang memilih untuk menceritakkan kisah tentang Nabi Muhammad. Sebuah kisah yang dulu pernah di ceritakan abinya kepadanya dan
kisah itu berhasil membuat Danang meneteskan air mata.
Sardi meloncat ke atas pangkuan Danang dan hal itu tentu membuat si kecil Sita cemberut.
"Sita pengen di pangku." rengek Sita sambil menangis.
"Sardi duduknya di atas karpet aja yah."
"Nggak mau!" Danang beristigfar pelan, Sardi dan Sita benar-benar sangat sulit untuk di atur.
"Cup..cup..jangan nangis sayang, sini biar bibi Citra yang pangku."
Danang terus memperhatikan wajah Citra yang kini duduk tepat di depannya seraya memangku si kecil Sita.
"Ayo mamang mulai ceritanya," pinta Sardi tidak sabar.
Danang sama sekali tidak mendengarkan permintaan Sardi, matanya fokus ke arah Citra yang kini memeluk tubuh Sita.
"Mau sampai kapan mas terus memperhatikan wajahku?" tanya Citra pada Danang, suara Citra masih terdengar dingin.
"Mamang ayo mulai ceritanya!" pinta Sita.
Akhirnya Danang memulai ceritanya, "Tangisan Yang Mengguncang Arsy......Kisah ini bermula ketika Rasulullah SAW tengah melakukan Thawaf untuk mengelilingi
Ka"bah. Ketika itu beliau melihat ada seorang pria yang juga melaksanakan hal serupa sembari berdzikir. Zikir tersebut berbunyi Ya Karim! Ya Karim," Danang
memulai kisahnya. "Pria yang berada di depan Rasulullah itu mengucapkan zikirnya. Mendengar zikir tersebut, Rasulullah kemudian mengucapkann lafadz "Ya Karim! Ya Karim!
dan terus mengikuti si pria yang ada di depannya tadi."si pria merasa ada yang membuntutinya dari belakang, si pria tadi pun merasa terheran-heran. Akhirnya
ia menepi ke sudut Ka"bah dan melanjutkan zikirnya. Namun meskipun demikian, ternyata Rasulullah tidak berhenti menirukan lafadz yang diucapkan oleh si
pria tersebut, merasa bahwa dirinya tengah diperolok-olok orang yang tidak dikenalnya tersebut. Ketika menengok ke belakang, didapatinyalah sosok pria
tampan dan rupawan yang belum pernah di jumpainya. Kemudian dirinya berkata,"
"Wahai orang tampan, apakah engkau ini sengaja memperolok-olokku karena aku ini orang Arab Badui" Kalaulah bukan karena ketampananmu dan kegagahanmu, pasti
engkau akan aku adukan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah SAW."
Mendengar hal tersebut, membuat Rasulullah SAW tersenyum lantas bertanya, "Tidaklah engkau mengenaliku wahai orang Arab?"
Si lelaki Arab menjawab, "Belum".
Kemudian Rasulullah bertanya kembali, "Jadi bagaimana kau bisa beriman kepadanya?"
"Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum pernah melihatnya, dan membenarkan perutusannya sekalipun saya belum pernah bertemu
dengannya," ujar si Arab Badui tadi.
Setelah mendengar pernyataan tersebut, Rasulullah SAW berkata "Wahai orang Arab, Akulah Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat".
Mendengar ucapan tersebut, si orang Arab merasa terkejut sekaligus tidak percaya dengan apa yang ia dengar dan saksikan, hingga membuatnya bertanya sekali
lagi." "Tuan ini Muhammad?"
"Ya" Setelah mendapat kepastian bahwa pria nan tampan yang berada di hadapannya itu adalah Nabi Muhammad, maka menunduklah si pria tadi sekaligus mencium kedua
kaki Rasulullah. Seketika Rasulullah menarik dan membangunkan pria Arab tadi seraya berkata,
Nabi pun kemudian berkata, "Wahai orang Arab, janganlah engkau perlakukan aku seperti itu, perbuatan semacam itu biasanya dilakukan oleh seorang hamba
sahaya kepada tuannya. Ketahuilah kalau aku diutus Allah bukan untuk menjadi seorang yang takabur dan minta dihormati melainkan untuk membawa berita gembira".
Pada saat itu, Malaikat Jibril turun ke bumi dan menemui Rasululllah SAW seraya memberitahu berita, "Ya Muhammad ! Tuhan mengucapkan salam kepadamu dan
berkata, 'Katakanlah kepada orang Arab itu supaya dia tidak terpesona dengan belas kasihan Allah. Ketauhilah bahwa Allah akan menghisabnya di hari Mahsyar
nanti, akan menimbang semua amalannya baik yang kecil maupun yang besar". Setelah mengatakan hal tersebut, Jibril pun pergi lagi ke langit.
Orang arab itu kemudian berkata.
"Demi keagungan serta kemuliaan Tuhan, jika Tuhan akan membuat perhitungan atas amalan hamba, maka hamba pun akan membuat perhitungan dengannya!"
Rasulullah SAW terkejut mendengar perkataan orang Arab tadi, dirinya merasa heran. Keheranan tersebut muncul karena sekilas si orang Arab tersebut seperti
menantang Tuhan. Kemudian beliau pun memastikan.
"Apakah yang engkau akan perhitungkan dengan Tuhan?"
Orang Badwi itu kemudian berkata, "Jika Tuhan akan memperhitungkan dosa-dosa hamba, maka akupun akan memperhitungkan betapa besarnya maghfirahNya. Jika
dia memperhitungkan kemaksiatanku, maka aku akan memperhitungkan betapa keluasan pengampunanNya. Dan jika Tuhan memperhitungkan kekikiranku, maka aku akan
memperhitungkan pula betapa Dia sangat Dermawan".
Mendengar ucapan tersebut membuat Rasulullah menangis. Beliau merasa sangat setuju dengan apa yang dikatakan oleh orang Badwi tadi. Tangisan itu semakin
menjadi hingga air mata Rasulullah membasahi janggutnya. Setelah itu, turunlah Jibril ke bumi seraya berkata.
"Ya Muhammad, Tuhan as-salam menyampaikan salam kepadamu, dan berkata : Berhentilah engkau dari menangis! Sesungguhnya karena tangisanmu, penjaga Arasy
lupa dari bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga ia bergoncang. Katakanlah kepada temanmu itu, bahwa Allah tidak akan menghisab dirinya, juga tidak akan
memperhitungkan kemaksiatannya. Allah sudah mengampuni semua kesalahnnya dan ia akan menjadi temanmu di surga nanti."
Danang menghentikan ceritanya matanya masih fokus kearah wajah Citra, ia sama sekali tidak mempedulikan wajah Sita dan Sardi yang mengerut bingung. Apa
yang Danang ceritakan sungguh sulit untuk di mengerti oleh Sita dan Sardi" Wajah Sardi dan Sita cemberut, mereka langsung beranjak dari duduk mereka dan
langsung berlari menuju bunda mereka yang kini sedang ada di dapur.
"Bun, mamang ceritanya nggak seru."
Danang masih dapat mendengarkan celotehan Sita dan Sardi kepada Bunda mereka di dapur.
Citra menghapus air mata yang membasahi pipinya, apa yang Danang ceritakan berhasil menyentuh relung hatinya. Cinta sejati karena kepercayaan. Dia mempercayai
atas kenabian Rasulullah, sekalipun dia belum pernah melihat rupa Rasulullah.
Tanpa Citra sadari kini jarak yang tercipta di antara dirinya dan Danang telah terhapus, Danang kini duduk tepat di hadapannya. Dengan lembut Danang membelai
pipi Citra. "Maafkan aku bila aku melakukan kesalahan.... ingatkan aku bila aku menyakiti hatimu, diammu membuatku bingung."
"Aku ingin mengakhiri semuanya," Citra berucap begitu lirih.
Danang mengerutkan keningnya bingung, "Apa yang ingin kamu akhiri?"
"Hubungan ini, aku ingin mengakhiri semuanya mas," Citra menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Dalam sebuah rumah tangga yang terpenting adalah sebuah kepercayaan dan kini tidak ada lagi kepercayaan yang Citra miliki untuk Danang. Sudah hampir seminggu
Citra menunggu Danang untuk berkata jujur, menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Tapi Danang tidak kunjung menceritakan semuanya. Maka sudah
saatnya ia untuk mengakhiri semuanya.
Sepuluh : Pernyataan Cinta
Danang menatap Citra dengan pandangan kecewa. Kenapa Citra mengatakan kata berpisah dengan begitu mudah" Kalau saja kini mereka berdua sedang berada di
rumah mereka bukan di rumah uminya Danang ingin sekali langsung memberondong Citra dengan banyak pertanyaan.
Kenapa Citra meminta berpisah"
Apa ia melakukan suatu kesalahan yang fatal, hingga menbuat Citra berkeinginan untuk berpisah dengannya"
Sungguh, demi apapun Danang benar-benar merasa bingung. Dia bukan tipe laki-laki yang peka bila itu bersangkutan dengan isi hati seorang wanita. Diamnya
Citra membuatnya bingung.
Perlahan Danang membawa tangan Citra ke dalam genggamannya, "Kita pulang!" hanya dua kata itu yang Danang ucapkan.
Citra hanya mengangguk patuh, ia beranjak dari duduknya mengikuti langkah Danang yang kini berjalan ke arah uminya yang sedang sibuk memasak bersama kakak
iparnya, bunda si kembar.
"Umi," "Ada apa, Nang?"
"Maaf umi sepertinya hari ini aku dan Citra tidak jadi menginap."
"Kenapa?" tanya uminya penasaran. Danang tidak mengucapkan apa-apa, ia hanya memberikan tatapan permohonan maaf pada uminya karena tidak bisa menginap,
"Pulanglah!" ucap uminya, "selesaikan semuanya dengan baik-baik," tanpa harus mendengarkan penjelasan dari putra bungsunya, ia tahu kalau kini putra bungsunya
Legenda Yang Hilang 2 Crash Into You Karya Aliazalea Raja Naga 7 Bintang 4

Cari Blog Ini