Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin Bagian 2
bisa jogging. Jogging adalah hidup baginya. Jika tidak jogging sehari saja, ia bisa
kehilangan konsentrasi. Maka jika aku melihat ada sosok yang sedang jogging
di area kampus meskipun suhu di luar -100C atau bahkan lebih dingin, aku
tidak lagi heran atau takjub. Itu pasti temanku yang healthy reak. Bastian
Avezedo. 60 Lalu, Diego yang berasal dari Brasil. Lelaki yang cerdas dan pemalu,
namun selalu ada jika aku perlu teman untuk bercakap-cakap atau sekadar
bertukar pikiran. Mark, juga seorang yang baik hati. Berasal dari Washington DC.
Dengan Mark, aku selalu merasa berteman baik. Kami seperti terkoneksi
dengan cepat, bahkan di hari pertama bertemu. Mark teman yang sangat
menyenangkan dan baik hati.
Aku juga menyukai pertemanan dengan Elma yang cantik, periang, dan
baik hati yang berasal dari Ukraina. Aku juga berteman dekat dengan Francis
yang berasal dari Kenya, dan Jen yang berasal dari California.
Selain mereka, ada beberapa teman lainnya yang berasal dari beberapa
daerah di United States seperti Shone, Tim, dan Belle. Dengan mereka,
aku merasa banyak sekali perbedaan dan kesenjangan budaya yang sulit
ditembus. Seringkali, sulit bagi kami untuk terlibat pada sebuah diskusi
hangat. Mungkin keengganan masing-masing pihak untuk me-reach out
atau menghilangkan dinding perbedaan dan lebih berusaha memahami
pihak lain yang menyebabkan dua tahun kebersamaan kami di kelas, hanya
mengantarkan kami pada level classmates, dan bukan riends.
Meskipun begitu, masing-masing dari mereka begitu istimewa
dan memperkaya horizon berpikir. Dari mereka, aku belajar mengenai
perbedaan dan cara hidup yang beragam. Aku belajar memahami, bahwa
semua hal bisa menjadi harmonis asalkan kita saling menghormati dan
menghargai. Memang terdengar sangat klise, namun saat dua hal ini benarbenar diaplikasikan, harmonisasi bukan lagi sebuah imajinasi.
"Kelly, come here. Do you wanna play Uno with us?" Diego memanggilku.
61 Aku melangkah mendekati mereka. Selama kurang lebih dua puluh
menit, kami bermain Uno dengan sangat seru. Yang kalah harus bergantian
memanggang. Saat semua daging sudah dipanggang, kami semua mulai
makan dan bercakap-cakap dalam satu grup. Obrolan tentang profesor,
kelucuan di kelas, tingkah laku beberapa murid, dan tugas-tugas yang sering
kali membuat kepala sakit.
"Do you still remember our irst semester when Elma was jaw dropping looking
at Dr. Javier?" Diego menanyakan apakah kami ingat saat Elma tercengang
melihat Dr. Javier yang saat itu penampilannya di luar kebiasaannya.
"Oh really" Saya tidak ingat. Kapan itu?" Rose menimpali.
Dan Diego mulai bercerita tentang kelucuan Elma di hari itu. Sebenarnya
bukan hanya Elma yang terpesona dengan Dr. Javier hari itu, saat ia masuk
kelas dengan mengenakan turtle neck abu-abu. Aku masih ingat benar
bagaimana semua murid wanita memandang ke arah pintu saat Dr. Javier
melangkah masuk. Semua mata serentak bergerak mengikuti sosok tubuh
jangkung dan tegap itu sampai ke meja tempat profesor itu mengajar. Saat
semua anak hanya mampu mengagumi dalam hati, hanya Elma yang berani
mengeluarkan suara. "Oh My God, if I were his wife, I wouldn"t have let him go out. He is so hot,"
ucap Elma yang tidak mampu menutup mulutnya.
Selama beberapa detik, mulut gadis itu masih saja menganga. Tidak hanya
Elma, anak-anak lain pun sepertinya juga memuji. Mungkin Dr. Javier juga
mendengar, namun ketenangan profesor itu memang sungguh luar biasa.
Ia mengajar seperti biasa, walaupun sebagian besar pikiran murid-murid
saat itu tidak ke mata kuliah, tapi ke dada bidang profesor cerdas itu. Saat
kuliah selesai, sebagian anak perempuan tidak kuasa untuk tidak membahas
62 yang baru saja terjadi. Semua setuju, bahwa hari itu Dr. Javier memang
lebih keren dibandingkan hari biasanya. Bahkan keren tidak cukup untuk
menggambarkan bagaimana Dr. Javier hari itu. Diego bercerita dengan
lancar, dan semua anak-anak pun tertawa-tawa. Elma tersenyum malu-malu.
"Come on, guys, it wasn"t only me. Saya pikir semua murid termasuk yang
laki-laki sepakat. Dia seksi. He is totally hot." Kalimat Elma pun disambut tawa
oleh semua. Dr. Javier memang idola hampir semua murid-murid.
"Not only he is hot and good looking, but he"s also very productive. He is just
awesome." Demikian kesimpulan Bai, yang diamini oleh anak-anak. Ya, Dr.
Javier memang tidak hanya tampan, tapi ia juga sangat cerdas. Ia selalu punya
publikasi artikel ilmiah dan buku setiap tahun.
Tawa, canda dalam obrolan, masih terdengar dari sekumpulan anak-anak
muda itu. Langit Kota Athens kemerahan. Matahari di musim semi masih
belum pergi di pukul 6 sore. Pohon-pohon di Bukit Hocking yang nampak
dari kejauhan, masih tegar berbaris rapi. Pohon-pohon yang berwarna
merah, kuning, hijau, dan ungu mewarnai bukit. Kumpulan anak-anak itu
masih asyik bersenda gurau sambil sesekali mencicipi hidangan hasil BBQ
di lapangan berpasir. "Okay, sekarang kita sudah kenyang. Mari olahraga! Let"s exercise!"
Suara Thue. Kami semua bangkit dan menuju lapangan voli. Setelah berbagi
kelompok, pertandingan berjalan sangat menyenangkan dan seru. Di
tengah keseriusan memukul bola voli, kami masih sempat mengeluarkan
guyonan dan lelucon. Seperti biasa, aku menjadi bahan tertawaan. Kali ini,
karena gaya memukul bola yang menurut mereka di luar kebiasaan. Karena
sebelum memukul bola, aku harus diam beberapa waktu, lalu mengambil
63 posisi jongkok untuk kemudian pelan-pelas berdiri. Aku juga tidak mengerti
kenapa harus melakukan semua itu. Tapi jika tidak, bola tidak akan
melambung. Aku pasrah setiap tiba giliranku, karena tawa teman-temanku
akan mengiringi pukulanku.
Bai pun tidak kalah mengocok perut. Gadis itu selalu semangat mensmash sampai berputar. Francis tidak kalah seru dengan gaya menyervis
yang didahului dengan goyang Afrika. Diego pun tak kalah lucu dengan gaya
lompatan master kungfu, padahal bola di depannya tidak terlalu tinggi untuk
dijangkau. Di akhir pertandingan, kelompok yang kalah harus menerima hukuman
sesuai kesepakatan sebelumnya.Aku, Diego, Lou, Akiko, Rose, Bastian, dan
Baiharus dihukum dengan lompat ala katak mengitari lapangan voli sambil
bernyanyi. Tidak hanya mereka yang menang yang menikmati momen itu,
kami yang kalah tak kalah geli dengan kelakuan kami sendiri. Sore itu, perut
kami sakit akibat terlalu banyak tertawa setelah diisi dengan burger dan
berbagai makanan dan minuman.
Setelah selesai bermain voli, kami menuju apartemen hue untuk
melanjutkan bermain monopoli dan taboo. Lucu sekali bagaimana masingmasing dari kami harus menjelaskan sebuah kata agar bisa ditebak, tanpa
boleh mengucapkan beberapa kata kunci, karena tabu diucapkan. Berkalikali aku diperingati oleh juri yang membunyikan alat yang berbunyi buzz,
karena menyebut kata kunci. Kata yang tidak boleh diucapkan. Temanteman lain sama. Bahkan, Akiko berkali-kali terkaget-kaget saat di-buzz.
Rose terkadang tidak terima dan tetap berusaha terus menjelaskan. Tingkah
laku unik teman-temanku ini selalu membuat ruangan penuh dengan tawa.
Kami semua tertawa-tawa, melupakan tugas kuliah sejenak.
64 Saat jam menunjukkan pukul 10.30 malam, kami bermain monopoli.
Beberapa di antara temanku sudah agak mabuk. Hanya beberapa orang yang
tetap sober (sadar), yaitu hue, aku, dan mereka yang harus menyetir. hue
tidak bisa minum alkohol, karena alergi terhadap apapun yang beralkohol.
Aku memang tidak pernah minum alkohol. Mark, Bai, dan Rose harus
menyetir, sehingga mereka hanya minum satu atau dua gelas bir. Yang
kusukai dan kuhargai dari teman-temanku ini, meskipun mereka mabuk,
mereka tetap menjaga diri mereka. Tidak terus menjadi menyebalkan. Tidak
lantas menjadi jahil dan jahat.
Saat Akiko berpamitan, kami tersadar bahwa sudah pukul 11 malam.
Semua bangkit dan turut berpamitan untuk mengucapkan selamat malam.
Beberapa yang agak mabuk pun diantar oleh mereka yang masih sober. Aku
berjalan kaki menuju gedung apartemen, setelah berpamitan dengan semua
teman. Malam yang indah dengan sahabat-sahabat baruku.
Sebuah persahabatan yang dimulai setahun lalu, saat kami bertemu
untuk pertama kali di masa orientasi dan penyambutan murid-murid baru
Departemen Linguistik di Gedung Gordy. Aku masih ingat bagaimana hari
pertama kami bertemu di hari yang diorganisir oleh kakak senior. Kakak
tingkat setahun lebih dulu. Hari itu, tiga minggu setelah aku tiba di salah
satu kota di negara bagian Ohio. Semua anak baru Departemen Linguistik
berkumpul pada program perkenalan yang dikemas dalam sebuah permainan
santai. Dipandu oleh beberapa profesor dan kakak kelas, semua anak baru
memperkenalkan diri sambil menceritakan sedikit tentang latar belakang
dan dari negara mana kami berasal. Aku yang baru saja kehilangan Bapak,
bisa menikmati kebersamaan ini. Sedikit banyak menjadi obat luka hati.
Aku masih ingat bagaimana aku terbengong-bengong melihat bagaimana
para dosen pengajar datang dengan pakaian santai, beberapa memakai celana
65 jeans, dan duduk berbaur dengan mahasiswa. Bahkan, beberapa profesor
duduk di bagian belakang. Saat mereka memperkenalkan diri, tidak ada nada
kesombongan sama sekali. Mereka hanya menyebut nama depan mereka.
Saat itu, aku tahu bahwa aku akan mencintai tempat baru ini. Saat itu pula
aku mengirim doa untuk Bapak. Semoga Beliau melihat dan menyaksikan
hari itu dari tempat Beliau berada. Meskipun ada perih yang menyeruak,
aku tahu Bapak pasti tidak mau aku terus terlarut dengan perasaan sedih dan
marah pada Sang Kuasa. Aku membayangkan apa tanggapan Bapak jika kuceritakan tentang
ini. Tentang bagaimana para profesorku, yang meskipun sudah memiliki
puluhan publikasi dan buku, bisa tampil sederhana dan tidak menciptakan
kesan bahwa mereka lebih tinggi statusnya dari para mahasiswa. Aku
membayangkan, pasti Bapak akan tetap menasihati untuk memanggil
mereka dengan panggilan yang sopan, dan bukan dengan nama pertama.
"Mereka kan guru kamu. Mereka juga sudah memperoleh gelar tertinggi
di jenjang akademis mereka. Kamu harus menghormati mereka." Bapak
pasti akan menasihati seperti itu.
Setelah selesai masa perkenalan, kami harus berfoto untuk ditempel di
papan Who"s Who in Linguistics. Di papan itu, semua murid Linguistik harus
menuliskan nama, asal negara, dan sebuah rahasia tentang diri kami.
Aku tersenyum sambil memandang wajah teman-teman baru dan kakak
tingkat. Aku seperti menemukan keluarga baru. Kegiatan kebersamaan tidak
hanya berhenti di hari pertama masa orientasi, tetapi diikuti dengan piknik
Departemen Linguistik yang diikuti oleh para mahasiswa dan profesor di
awal Fall, saat udara masih belum terlalu dingin. Biasanya kami berpiknik di
sebuah taman yang memiliki sebuah shelter lengkap dengan sejumlah meja
dan kursi. 66 Biasanya, acara diisi dengan potluck dan BBQ. Murid dan profesor pun
berbaur, ngobrol-ngobrol sambil makan dan minum. Kegiatan piknik di
musim gugur dan musim semi selalu dinanti oleh murid-murid. Kami
bisa tertawa, bersantai sejenak setelah kepenatan akan tugas kuliah yang
menyita waktu, tenaga, dan pikiran. Seperti acara orientasi, acara piknik pun
diorganisir oleh LSOU (Linguistics Society Ohio University) yang merupakan
wadah perkumpulan bagi mahasiswa baik undergraduate (S1) dan graduate
(Pasca Sarjana) Departemen Linguistik. Tentunya dengan dukungan penuh
para profesor. Aku menyudahi lamunanku, karena telah sampai di depan pintu lit.
Langit Kota Athens sudah digantungi sang rembulan. Bukit Hocking
tidak lagi kelihatan. Udara masih sejuk. Saat tiba di depan apartemen, aku
menyempatkan untuk mengecek mailbox. Setelah membuang ke tempat
sampah beberapa lembaran iklan-iklan yang dikirim oleh beberapa
restoran lokal dan departemen store, aku melangkah menuju lit. Saat hendak
memencet panah ke atas, sebuah tangan sudah mendahului. Aku menoleh.
Pemilik tangan itu tersenyum.
"Hahaha. Kamu lagi. I hope you had a good day," sapanya ramah. Laki-laki
berkulit putih itu pun tertawa.
"Yeah, I guess we can oicially declare ourselves as lit buddies." Kami tertawa.
Hari itu kami menasbihkan diri sebagai "lit buddy" atau teman satu lit.
Saat tiba di lantai 5, aku mengucapkan selamat malam. Lelaki itu
membalas ramah. "Sampai jumpa besok. Good night," katanya bersahabat.
Tiba di depan pintu, aku membuka pintu studio. Meskipun sedikit penat,
aku harus kembali mengerajakan paper sebelum tidur. Esok hari aku harus
bangun pagi-pagi sekali, meski hari Minggu. Aku harus menyiapkan bahan
67 ajar untuk Senin pagi. Sebelum tidur, aku menjalankan rutinitas malam.
Mandi, menggosok gigi, dan sholat. Saat mandi, aku memutuskan untuk
berendam dalam bathtub. Saat air hangat menutupi seluruh bagian tubuhku,
aku merasakan seluruh persendian melemas. Aku menjadi lebih relaxed.
Selesai sholat, aku mengenakan piyama. Mengerjakan paper sebentar, lalu
bersiap tidur. Saat merebahkan diri, aku membuka lagi laptop. Aku baru sadar,
bahwaaku belum menjawab chat yang dikirim Lantana sejak tadi. Aku
berpikir sambil sesekali mengetik, untuk kemudian dihapus kembali.
Beberapa kali aku melakukan hal yang sama. Aku bingung harus menjawab
apa. Hampir sepuluh menit berlalu, aku belum juga membalas. Saat kupikir
aku tidak usah saja membalas sapaan itu, jari-jemariku malah asyik mengetik
sebuah rangkaian kalimat, lalu mengirimnya. Jawaban itu terkirim. Lantana
masih nampak oline. Aku tidak berharap sapaan itu akan terjawab. Aku ingat Lantana. Ingat
akan kelakuan lelaki yang selalu hilang setelah berhasil mengobrak-abrik
perhatianku. Tiba-tiba menjauh, tanpa pesan, saat kami sedang dekat.
Bahkan sampai saat ini tidak pernah ada penjelasan apapun darinya atas
yang terjadi lima tahun lalu. Atau jangan-jangan ia muncul sekarang ingin
menjelaskan" Atau tidak" Berjuta pertanyaan hadir di benakku. Akhirnya
,semua pertanyaan itu terhenti. Rasa kantukku telah menjemputku.
Esok hari, semoga menjadi satu hari baru. Tidak ada harapan khusus yang
kuucapkan, hanya seuntai doa semoga hari esok suhu menjadi demikian
bersahabat. ?"" 68 4. Ada Apa dengan Namaku" 69 Suhu Kota Athens hari ini berkisar di 60-700F atau 18-200C. Suhu terbaik
di sepanjang tahun. Waktu yang tepat untuk berpesta, apalagi di universitas
yang merupakan salah satu party school yang tersohor seantero Amerika. Dari
studio tempat tinggalku, aku bisa mendengar dentuman musik yang teramat
keras disertai tawa yang tidak kalah keras. Hampir setiap malam. Bukan hanya
satu apartemen yang berpesta, tetapi hampir semua ruangan yang dihuni
oleh mahasiswa S1. Jarang mahasiswa pasca sarjana berpesta di saat tengah
kuarter. Tugas dan paper berkejaran tiada henti. Sesekali kami berkumpul.
Hanya sesekali. Sisa waktu kami habiskan di ruang kerja, perpustakaan, atau
warung kopi demi mengejar semua tugas. Agar bisa dikumpulkan sebelum,
atau saat tenggat waktu. Sudah hampir tiga minggu, aku menghabiskan waktu di 357 dan Alden.
Kadang bersama Yuki dan Yulin, kadang sendiri. Tidak ada lagi kumpulkumpul bersama teman-teman sekelasku. Kami semua sedang sibuk
menjelang di tengah kuarter ini. Makan siang dan makan malam biasanya
terjadi di satu waktu. Apa adanya. Kadang malah sering terlewatkan. Hari
ini aku memulai aktivitas sejak pagi. Mengajar dua kelas, kuliah tiga kelas,
mengerjakan paper, memeriksa pekerjaan murid, menulis, membaca untuk
kelas esok. Sampai jam 12 malam tanpa henti. Tiba di studio mungilku, aku
disambut dengan suara yang demikian bising dari ruangan sebelah dan atas.
Mengingat hingarnya pesta di kota kecil ini, aku jadi ingat kejadian minggu
lalu. Saat itu, apartemenku digedor kencang. Agak kaget saat mendapati dua
orang polisi berdiri di depan pintu. Setelah mereka mengecek bagian balkon,
mereka meminta maaf. Mereka telah salah mengetok kamar. Kemungkinan
tetangga lantai bawah menelepon polisi akibat terlalu ribut dari lantai atas.
Sialnya, kamarku yang dikira sedang berpesta. Maka polisi datang guna
memeriksa apakah suara berisik itu berasal dari kamarku.
70 Malam ini, keributan pesta ala anak undergrad lagi-lagi terdengar begitu
jelas dari studioku. Aku hanya berharap tidak ada lagi polisi yang menggedor
Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pintu. Alih-alih mengeluh, malam ini aku merasa energiku telah habis sejak
tadi sore. Aku tidak lagi begitu memedulikan suara bising yang sebenarnya
membuat kepalaku sakit. Kalau saja tidak sedang lelah, pasti aku akan
kesulitan tidur dengan tingkat kebisingan luar biasa ini. Tapi, tidak malam
ini. Aku sudah siap tidur. Badanku belum beristirahat sama sekali sejak jam 7
tadi pagi. Sebelum tidur, aku mengecek inbox. Raisha belum juga membalas.
Tak lama kemudian, di antara rasa penat, aku akhirnya tertidur.
?"" Athens, Musim Semi, 2007 Hari kedua di bulan April. Matahari sudah menampakkan dirinya dan
menembuskan cahayanya lewat celah-celah jendela studio mungilku. Aku
membuka mata, sudah pukul 5 pagi. Aku beranjak dari kasur dan melangkah
ke kamar mandi untuk bersiap sholat Subuh. Hari ini, aku tidak ada jadwal
mengajar. Hari Rabu, semua TA (Teaching Assistant) di departemen kami
tidak mengajar, sehingga aku bisa tidur setelah sholat Subuh. Setelah itu ke
kampus agak siang. Siang ini, aku berniat ke Front Room, salah satu warung kopi milik
kampus yang menyeduh kopi Starbucks. Aku sebenarnya bukan pemuja
merek dagang kapitalis asal Seatle ini. Tetapi hanya kedai ini yang menjual
green late rappuccino. Harga kopi di kedai kapitalis ini sedikit mahal sehingga
aku jarang-jarang mentraktir diriku ke cafe ini. Kalau mampir ke kedai ini,
biasanya hanya untuk membeli green late rappuccino. Cuma kedai ini yang
menjualnya. Mengingat aku hidup dari beasiswa yang pas-pasan, maka aku
71 hanya datang ke kedai ini dengan dua kondisi. Pertama, jika aku sedang
sedih dan perlu sebuah katarsis. Kedua, jika aku sedang bahagia, dan aku
perlu memberi reward pada diriku sendiri. Selebihnya, aku akan selalu setia
memilih espresso. Kopi pahit ini bisa kunikmati dengan harga terjangkau di
kedai kopi lokal kesayangan.
Kali ini, green late rappuccino dibeli untuk alasan kedua. Karena aku
sedang berbahagia. Itu pun sudah tertunda dua hari. Jadwal kuliah dan
mengajar yang sangat sibuk di hari Senin dan Selasa tidak memberikan celah
bagiku untuk sekadar menyelinap dari 357 ke Front Room di Baker Center.
Momen bahagia yang terjadi minggu lalu, baru bisa menerima hadiahnya
hari ini. Kalau aku cerita ke teman-teman kuliah atau teman-teman SMA,
pasti mereka akan menertawakan alasanku kali ini. Atau malah mencemooh.
Alasan kali ini memang tidak biasa. Kali ini bukan untuk sebuah nilai A di
mata kuliah Syntax yang memang menjadi musuh mayoritas murid Linguistics.
Bukan juga karena menyelesaikan paper dengan cepat tanpa revisi. Bukan
pula karena aku demikian produktif dalam satu minggu ini. Alasan yang sama
sekali tidak berhubungan dengan pencapaian akademisku. Alasan kali ini
hanya hatiku yang boleh tahu. Aku tidak berniat menceritakan ke siapa pun,
kecuali kepada Raisha. Hanya kepada Raisha aku agak susah untuk tidak cerita.
Rasanya bercerita kepada Raisha adalah hal paling alami. Seringkali, aku sudah
tidak perlu berpikir apakah aku harus cerita atau tidak. Cerita kepada gadis itu
mengalir saja entah itu melalui SMS, email, atau telepon.
Sejujurnya, aku masih takjub, ternyata sosok lelaki yang tidak pernah
jelas sebutannya itu, masih bisa sedemikian kuat pengaruhnya di hidupku.
Memang tidak ada sebutan yang jelas dan tepat untuk hubunganku dengan
sosok berperawakan sedang, bermata kelam itu. Kami tidak berteman, seperti
pertemananku dengan Hendra atau Sony, teman main sejak kecil, tapi kami
72 pernah demikian dekat. Kami sering berbicara di satu kondisi yang kami
sama-sama ciptakan. Di ruang kelas, atau saat istirahat. Tidak pernah berdua
saja, selalu di ruang publik. Tetapi hanya kami yang terlibat di pembicaraan
kurang lebih dua puluh menit itu. Hampir setiap hari. Jika bukan aku yang
memulai, dia yang akan datang dengan alasan yang terdengar dibuat-buat.
Tapi, aku tidak keberatan. Aku malah menunggu saat itu. Konyol. Tapi ,kami
berdua menikmatinya. Minimal, aku selalu menunggu saat itu. Aku yang
bertanya tentang pelajaran. Dia yang tiba-tiba muncul di teras rumah dengan
alasan ingin mengerjakan PR bersama. Selebihnya, kami tidak pernah
berbicara, bahkan ketika berpapasan di aula sekolah. Biasanya kami saling
menghindar setelah itu. Aneh kan"
Aku bingung harus mendeinisikan apa atas hubungan ini. Dibilang
bersahabat, tidak juga, meskipun kami pernah berbagi rahasia di masa sekolah
dulu. Hubungan kami di satu waktu pernah terasa lebih dari sekadar teman
dan sahabat, tetapi tidak pernah ada ungkapan bahwa kami adalah sepasang
kekasih. Setidaknya, lelaki itu tidak pernah sekali pun menyatakan perasaan
suka padaku. Kami juga tidak bermusuhan. Namun, kami sama sekali tidak
pernah berbicara saat kelas 3 SMA sampai lulus. Pembicaraan pertama kali
sejak kami lulus terjadi beberapa hari lalu. Saat tiba-tiba, ia menyapaku lewat
Yahoo Messenger. Entah mengapa aku tidak juga mampu membenci sosok itu. Buatku, ia
memang tidak pantas dimusuhi. Lelaki itu tidak pernah menyakitiku lewat
ucapan dan perbuatannya. Dia juga selalu memperlakukan diriku dengan
baik. Aku ingat benar bagaimana lelaki itu selalu memanggil dengan nama
lengkap, walaupun teman-teman lain memanggilku dengan sebutan "ndut."
Lelaki itu juga tidak pernah menertawakanku saat aku dimarahi guru akibat
kelalaian di kelas. Aku tidak pernah membencinya. Bahkan kalau aku harus
73 jujur, aku masih menyimpan rasa di hatiku. Rasa yang kusimpan dalamdalam. Jika hati memang memiliki lapisan, maka rasa itu kutekan sampai
di lapisan terbawah. Lalu, kubungkus dengan kertas putih agar tidak retak,
dan kusimpan di dalam lemari hati untuk kemudian kunci lemari itu sengaja
kuhilangkan. Demikian Lantana buatku. Kujaga, namun juga sengaja
kutenggelamkan. Jika sesekali muncul, itu pasti karena ada penyebabnya,
seperti hari itu. Saat sang pemilik kunci rasa itu menyapaku.
Maka tidak berlebihan rasanya jika hormon endorphine dan serotonin
bereaksi demikian cepat dalam otak saat Lantana tiba-tiba menyapa. Sapaan
lelaki itu seperti halnya cokelat. Bukan sembarang cokelat, tapi cokelat Lindt
atau Ghirrardelli, yang biasa kunikmati sambil memandang langit sore berhujan
dari balik jendela. Begitu dahsyat sapaan lelaki ini, sampai menyebabkan kedua
hormon itu bergerak cepat ke bagian otak, untuk kemudian mengirimkan sinyal
ke bagian perut yang sedang perih tersiksa. Sapaan Lantana yang menyebabkan
aku tidak lagi merasakan perih di hari kedua masalah perempuan yang biasanya
demikian menyiksa. Masalah bulanan yang bisa mengubahku menjadi seorang
monster. Sakit perut dan kejang perut yang biasa melumpuhkan hariku untuk
kemudian seharian berbaring di tempat tidur, dengan ajaibnya tidak begitu
kurasakan hari itu. Sama sekali tidak terasa. Aku bahkan bisa aktif bermain voli
dan menghadiri potluck. Sebuah sapaan bisa sedemikian manjur dibandingkan sebutir advil atau
painkiller yang harus kuminum jika kejang perut tidak lagi tertahan. Bahkan,
produksi hormon estrogen pun seolah-olah juga terkalahkan dengan
sapaan ini. Aku yang biasanya akan menjadi manusia paling sedih setiap
masalah bulanan ini datang mengganggu, tiba-tiba menjadi makhluk paling
berbahagia. 74 Mungkin terlalu kekanakan atau terlalu konyol, tapi aku merasa green late
rappuccino adalah sebuah gratiikasi yang wajar untuk membayar sakit yang
tidak lagi kurasakan. Untuk hilangnya kejang perut yang biasanya demikian
menyiksa. Untuk perasaan bahagia selama hampir seminggu, meskipun
tugas, presentasi, grading tugas mahasiswa, dan paper menyita energi dan
waktuku. Minuman ini menjadi hadiah paling cocok.
Setelah selesai mandi, aku membuat jus pisang dicampur yogurt rendah
kalori. Selesai sarapan, aku bersiap-siap dengan pakaian musim semi. Udara
hari itu lebih dingin dari biasa, berkisar 50-550F atau 10-120C. Masih terasa
dingin, meskipun tidak sedingin saat winter, apalagi untuk manusia tropis
sepertiku. Maka, meskipun sudah musim semi, tapi boots, syal, dan topi masih
wajib dikenakan hari itu. Setelah selesai menyematkan syal dan topi, aku
mulai memasang kaos kaki dan mengenakan boots. Boots selalu merepotkan
buatku. Sambil sedikit mengumpat saat memasang boots cokelat, aku kembali
mengingat-ingat pesan yang dikirim dua hari lalu oleh lelaki di Benua Eropa
sana. Pesan yang singkat dan sederhana, tetapi cukup menjadi motivation and
happiness booster bagiku.
Untuk menyalurkan rasa bahagia sekaligus kebingunganku, aku
mengirimkan sebuah SMS kepada Raisha.
Mungkin gue terlalu kesepian ya, sampe sapaan si Lanta berkesan
banget buat gue" Apa karena udah lama nggak ngobrol, jadi gue
seneng aja, makanya gue jadi semangat gini" Tapi kemarin si Andri
juga negor gue tuh, dan kita udah lama banget nggak ngobrol, tapi
gue biasa-biasa aja, padahal gue juga dulu sempat suka-sukaan ama
dia. Ama Lanta kenapa beda ya"
75 Itu bunyi SMS yang kukirimkan ke Raisha pagi ini. Aku tidak memerlukan
jawaban. Aku hanya ingin berbagi perasaan dan pertanyaan.
Setelah selesai memakai jaket, aku meraih backpack dakine warna biru
kesayangan. Aku melangkah menuju pintu dan mengunci studio. Hari ini
tidak bertemu dengan my lit buddy. Sambil menikmati udara segar pagi
hari, aku melangkahkan kaki menuju Front Room, yang kira-kira berjarak
10 menit dari kompleks apartemen. Tidak terlalu jauh. Untuk hari ini, aku
tidak keberatan meskipun harus mendaki Bukit Morton. Sepanjang jalan,
aku melewati himpunan pohon-pohon indah khas musim semi. Pohonpohon evergreen, pine, dan cherry Blossom yang demikian indah berwarna pink
keungu-unguan. Aku selalu tidak lupa untuk menikmati indahnya rangkaian
pohon yang selalu berubah warna di setiap musimnya.
Di musim semi, mereka berwarna merah, kuning, hijau kekuningan, dan
mereka berdiri berderet-deret di sepanjang kompleks apartemen Riverpark,
Shively Dining Hall, dan asrama mahasiswa. Karena kehadiran bunga-bunga
indah warna-warni khas musim semi ini, Bukit Morton tidak lagi begitu
menciutkan nyali untuk kudaki.
Aku berjalan menyusuri kompleks apartemen yang telah kutinggali
sejak kedatanganku hampir setahun lalu ke kota kecil, namun indah ini.
Aku selalu senang saat melewati gedung-gedung indah berbatubata merah
yang berderet-deret di sepanjang jalan menuju Gedung Gordy. Hari ini
dalam langkah pasti, aku melewati jalan-jalan yang sedikit tergenang air. Aku
berjalan dalam riang sambil mendengarkan lagu-lagu yang di-shule oleh
iPod hitamku. IPod yang kudapat sebagai bonus dari pembelian macbook hasil
tabungan bekerja di Dining Hall dan di perpustakaan, kuarter lalu. Rentetan
lagu-lagu romantis, heavy metal, soul, rock, trance ,and rock & roll menemani
perjalananku. 76 Sepuluh menit berjalan, Morton Hills pun terbentang di hadapanku,
meminta untuk ditaklukkan. Sambil menarik napas, kusiapkan mentalku.
Menanjak bukan kegiatan favoritku, tetapi takdir juga yang mengharuskanku
melewati bukit ini tiap hari menuju gedung kuliahku di Gordy. Gordy yang
terletak tepat di ujung bukit ini. Jalan yang sama harus kutempuh untuk
menuju Front Room. Aku melangkah pelan namun pasti, satu-satu langkah
kakiku menapaki Bukit Morton yang berdiri gagah di hadapanku. Sambil
ditemani alunan lagu-lagu lawas, Diana Krall. Suara jazzy Krall ternyata
mampu menghanyutkan pikiranku dalam khayal, meskipun aku harus
terengah-engah saat mendaki bukit ini.
Khayalan hari ini pun masih berkisar tentang kisah klasik masa abu-abu
dulu. Kisah saat aku masih belasan tahun. Aku tidak mengingkari, bahwa
semua ini karena sebuah pesan yang kuterima beberapa hari lalu. Aku masih
saja takjub bahwa pesona lelaki itu masih saja kuat, meskipun sudah beberapa
tahun kami terpisah. Masa putih abu-abu kulalui dengan banyak kenangan manis. Aku tidak
termasuk anak yang super cerdas di kelas. Aku terkenal di kalangan guru
sebagai anak yang terlalu energik dan terkenal berisik. Walaupun nilainilaiku termasuk bagus, terutama untuk Ilmu Sosial dan Bahasa, tapi Bapak
selalu mendapat ceramah yang panjang lebar saat pengambilan rapor.
Biasanya aku akan mengintip dari jendela kelas, dan kudapati wajah Bapak
yang mengangguk-angguk saat berbicara dengan wali kelas.
"Kel, Bokap lo dimarahin tuh ama Pak Komang. Elo sih, cerewet banget
kalau di kelas," tukas Kiki. Wajahnya memancarkan rasa prihatin.
"Ntar malem dimarahin nggak, Kel" Kayaknya Bokaplo diminta
nasehatin elo deh, gara-gara kejadian pas jam Matematika minggu lalu." Lisa
menambahkan. 77 Kami masih asyik mengintip dari jendela di depan kelas. Terlihat wajah
Pak Komang yang terlihat agak tegang sedang berbicara panjang lebar. Aku
hanya tersenyum-senyum. Aku tahu Bapak tidak akan marah. Yang Bapak
biasa lakukan adalah mengajakku ngobrol dan bicara dari hati ke hati. Di
dunia ini tidak ada yang bisa sedemikian mengerti diriku selain Bapak.
"Hehehehe, Bokap gue mah asyik banget orangnya, heheheee." Aku
tertawa tanpa mau menjelaskan lebih lanjut.
"Lagian elo aneh banget pas minggu lalu, Kel. Elo udah tau, Pak Komang
kan sensi banget kalau ditanya-tanya, eh elo malah nanya mulu," kata Lisa lagi.
"Ya, kan tugas guru menjelaskan ke siswa. Gue itu beneran nggak ngerti
makanya nanya. Kan daripada sesat di jalan. Masa orang nanya dimarahin sih"
Aneh deh. Yang aneh itu Pak Komang, bukan gue." Aku sedikit beragumen.
Aku tahu Bapak akan paham. Bapak selalu membuka channel diskusi
dengan anak-anaknya. Bertanya adalah kebiasaan yang Bapak ajarkan sejak
aku kecil di rumah. Dari Bapak, aku belajar berpikir kritis dan untuk selalu
bertanya kalau memang diperlukan.
"Iya, Kel, gue paham banget sama elo. Tapi, Pak Komang kan beda,
Kel." Suara Kiki perlahan menghilang. Ia tidak mau anak-anak yang lain
mendengar percakapan di depan kelas itu.
Aku ingat benar bagaimana malam itu Bapak dengan santai mengajakku
mengobrol tentang sekolah, pelajaran, teman sekolah, dan juga tentang guru.
Sambil tetap mendengarkan, Bapak bercerita tentang kejadian tadi pagi,
saat Pak Komang menceritakan tingkah lakuku di kelas. Benar dugaan Kiki,
Bapak diminta menasihatiku. Setelah selesai, Bapak memintaku bercerita
dari sisiku. Setelah aku selesai bercerita, seperti biasa Bapak dengan gayanya
yang tenang berbicara. 78 "Bapak sih ngerti Kel, kamu memang serius bertanya karena kamu
memang perlu jawaban yang jelas. Dan itu hak kamu. Tapi sepertinya Pak
Komang merasa kamu sedang mempermainkan otoritasnya di kelas. Bapak
tadi sudah jelaskan juga, bahwa kamu memang dididik untuk bertanya
di rumah. Mudah-mudahan Pak Komang bisa lebih mengerti kamu di
lain waktu ya. Kamu juga jangan jadi pesimis dan kemudian melupakan
pertanyaan kamu. Kalau memang tidak kamu temukan jawabannya, kamu
tulis saja, bisa kita diskusikan di rumah. Simpan dan tulis pertanyaannya,
jangan kamu sepelekan."
Nasihat Bapak sampai saat ini selalu kuingat. Setiap pertanyaan yang
kupunya selalu kucatat di note kecilku, untuk kemudian kucari jawabannya
di buku-buku yang kubaca, atau dari diskusi dengan teman atau guru.
Kebiasaan itu kubawa sampai sekarang.
Mengingat Bapak, dadaku terasa nyeri. Aku mengingat perjuangan Bapak
untukku, untuk Uni. Bapak, sosok tua dan sederhana. Seorang guru SD yang
mencari tambahan dengan usaha warung kecil di depan rumah. Bapak yang
selalu menanamkan, bahwa pendidikan adalah hal nomor satu di antara
urusan lainnya. Aku masih ingat betul bagaimana Bapak mengajarkan kami
untuk selalu membayar uang sekolah tepat waktu. Juga, uang kursus bahasa
Inggris. Beliau juga yang selalu mengajarkan kami untuk tidak berhutang di
tengah kekurangan kami. Saat beberapa teman lain malah asyik membeli sepatu bermerek
dengan uang bayaran kursus bahasa, aku tidak pernah terpikir untuk itu.
Aku selalu terbayang wajah Bapak yang bersusah payah pulang mengajar
yang jaraknya harus ditempuh sekitar 4 jam dengan bus umum. Beliau
juga masih harus menjaga warung sampai jauh malam setelah mengajar.
Keesokan harinya mengajar lagi di pagi hari. Begitu setiap hari. Atau wajah
79 Ibu yang membungkus es mambo dan es batu tiap malam, demi membantu
perekonomian keluarga. Satu hari, sebelum aku pergi ke sekolah, Bapak memberikan sejumlah
uang yang Beliau masukkan ke dalam amplop putih.
"Kel, nanti kamu kursus kan siang" Ini uang bayarannya." Bapak
memberikan amplop itu kepadaku.
"Iya, tapi ini kan baru hari pertama, Pak, masih lama jatuh temponya.
Nggak akan didenda," kataku sambil memasukkan amplop itu ke dalam tas.
"Nggak apa-apa. Memang sudah Bapak siapkan uangnya. Kalau bisa
Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tepat waktu, jangan ditunda-tunda."
Setelah aku selesai sekolah jam 1 siang, aku bergegas menuju Stasiun
Depok untuk naik kereta menuju Kalibata. Aku tiba satu jam sebelum kelas
dimulai. Saat tiba di Stasiun Kalibata, aku sebetulnya masih harus naik ojek
lagi untuk sampai ke lembaga kursus. Tetapi demi menghemat, aku rela
berjalan kaki. Tiga puluh menit berjalan kaki. Not too bad. Itu kulakukan
selama tiga tahun sampai aku lulus dari level tertinggi di lembaga kursus itu.
Uang diskonan karena membayar dalam satu angsuran selalu kukembalikan
ke Bapak, tapi Bapak selalu menolak.
"Udah nggak apa-apa, kamu simpan aja. Buat beli buku atau
keperluan lain." Begitulah Bapak. Selalu mengajarkan prinsip dalam hidup dengan
caranya sendiri, tanpa kekerasan.
Demi melihat perjuangan Bapak, aku tidak pernah membolos kelas di
Lembaga Bahasa itu kecuali sakit. Teman-teman lain menganggapkuterlalu
rajin. Tidak bisa memanfaatkan jatah absen yang bisa dipakai sampai
4 kali tanpa ada pengurangan nilai. Aku tidak pernah merasa harus
80 memanfaatkannya. Selain aku sangat suka Bahasa Inggris, aku selalu ingat saat
pertama kali Bapak harus berangkat pagi-pagi, agar tiba di lembaga itu untuk
mengantri formulir. Sudah menjadi berita umum, untuk menjadi siswa di
Lembaga Bahasa itu sulit sekali. Prosesnya dimulai dari pengambilan formulir
sampai ujian penempatan. Untuk mendapatkan formulir yang memang
terbatas, calon murid tidak jarang meminta bantuan supir pribadinya untuk
mengantri sejak Subuh. Dan Bapak, Beliau rela melakukannya untukku.
Saat Bapak tahu aku tertarik untuk menjadi murid di lembaga itu dengan
permintaan sendiri, Bapak dengan wajah sumringah bangun sejak sebelum
Subuh, bersiap-siap, dan berangkat setelah sholat Subuh. Bapak bilang ia
harus naik kereta pertama dari Bogor yang dipenuhi tukang sayur, karena
begitu paginya Beliau berangkat. Setelah mengantri selama kurang lebih
empat sampai lima jam, Bapak akhirnya mendapatkan formulir itu dan
menungguku sampai di rumah setelah pulang sekolah.
"Nih, Nak, Bapak sudah dapat formulirnya. Ujiannya sebulan lagi. Insya
Allah dapet, Bapak doain."
Itu Bapak. Beliau tidak pernah memaksa atau menyuruh belajar. Aku
masa kecil tumbuh tanpa pernah dipaksa untuk belajar. Melihat Bapak yang
bekerja banting tulang demi diriku dan Uni. Juga, Ibu yang selalu susah
payah membantu Bapak di warung. Aku belajar untuk tidak merepotkan
keduanya. Masa kecil juga kuhabiskan dengan membaca bersama Bapak
di warung. Aku ingat sekali bagaimana teman-teman mengolokku. Aku anak tukang
minyak, mereka bilang. Bapak memang menjual minyak tanah di warung,
meskipun tidak pernah berkeliling. Aku hanya bisa menangis saat pulang ke
rumah, tapi aku tidak pernah menggugat Bapak yang berjualan. Aku tidak
tumbuh menjadi anak yang minder, karena Bapak dan Ibu selalu memenuhi
81 semua kebutuhan sekolah. Meskipun hidup pas-pasan, Bapak dan Ibu tidak
pernah luput untuk mencukupi kebutuhan kami, membelikan peralatan
sekolah, buku-buku pelajaran, dan keperluan sekolah lainnya. Aku cukup
tahu diri untuk tidak pernah meminta sepatu-sepatu merek luar negeri
seperti yang dikenakan teman-teman. Meskipun keinginan untuk punya
tidak jarang hadir di hatiku. Saat aku harus memakai model yang sama
namun keluaran dalam negeri, satu temanku nyinyir mengejek.
"Kel, sepatunya mirip Converse, ya" Tapi bukan ya" Apa sih mereknya" "
Aku cuma mampu diam dan tersenyum. Aku tahu aku tidak mungkin
membeli merek Converse. Merek yang sedang digandrungi teman-teman saat
itu. Saat Ibu mengajak ke Pasar Agung untuk membeli sepatu, aku memilih
model yang sedang disukai teman-teman. Tentu dengan merek berbeda. Aku
tidak marah atas sindiran teman-teman. Aku masih asyik bergaul dengan
mereka. Saat yang lain mengajak menonton atau makan di restoran ranchise
yang baru saja buka di Depok, aku tanpa berkecil hati menolak. Untungnya,
teman-teman dekatku adalah mereka yang sangat pengertian. Meskipun
beberapa dari mereka berasal dari keluarga mampu, mereka selalu menabung
uang jajan untuk kemudian berjanji makan seminggu kemudian. Biasanya
kami hanya akan makan di warung pempek atau bakso di depan sekolah,
yang harganya cukup terjangkau. Dengan mereka, aku masih berhubungan
baik meskipun terpisah jarak dan waktu.
Mengingat Bapak adalah juga mengingat namaku. Nama unik yang
buat sebagian orang Indonesia berbau kebarat-baratan. Sejak kecil sampai
sekarang, aku sudah mendapatkan banyak pengalaman karena namaku. Saat
masih di Sekolah Dasar, aku selalu diolok-olok sebagai anak seorang artis
yang memang sangat terkenal di zaman itu. Pulang sekolah, aku bertanya
pada Bapak. 82 "Pak, kenapa sih namaku Kelly Morgan" Aku dikatain anaknya Roy
Morgan mulu nih, ama temen-temen."
"Wah, malah bagus, kan" Anaknya artis." Itu jawaban Bapak.
Atau kali lain. "Pak, kok namaku Morgan sih" Temen-temenku pada
nanya tuh." "Bilang aja itu nama singkatan Bapak dan Ibu."
Lain waktu. "Pak, kata temenku aku kayak orang Batak, karena namaku
Morgan," aduku ke Bapak yang sedang menjaga warung kecil di depan rumah.
"Oh ya, nggak apa-apa, Batak kan asalnya dari Sumatera Utara. Kamu
keturunan Minang, kan tetanggaan Sumatera Barat dan Sumatera Utara,"
ujar Bapak serius, sambil matanya tetap asyik membaca koran.
Beberapa waktu sehabis itu, aku masih saja pulang dengan pertanyaan
yang hampir sama. "Pak, aku dibilang adiknya Ricky Morgan. Sama-sama
Morgan katanya." Dan Bapak tidak pernah kekurangan sejuta alasan kocak dan ringan untuk
sekadar menjawab pertanyaan yang hampir tiap hari ditanyakan olehku.
Aku masih ingat, bagaimana aku dan Uni yang mempunyai nama
belakang yang sama sering datang ke Bapak. Biasanya, kami bertanya atau
protes kenapa nama kami berbeda dari kebanyakan teman kami. Bapak tidak
pernah terlihat kesal atau marah dan meminta kami berhenti bertanya. Yang
Bapak lakukan adalah selalu menjawab dengan ringan dengan suara serius,
tapi selalu mengundang senyum. Beliau selalu punya banyak jawaban atas
pertanyaan yang kami tanyakan.
Menurut Ibu, nama Kelly Morgan itu murni hasil daya kreasi Bapak.
Jadi, Ibu tidak turut campur sama sekali dalam pemberian namaku dan Uni,
Donna Morgan. Uni juga punya banyak cerita dengan namanya. Sebuah
83 nama yang juga telah memberi warna di masa remajanya. Salah satunya,
saat dia di SMA. Uni selalu diajak untuk mengikuti kegiatan rohani agama
tertentu. Berkali-kali menolak, sampai ketua organisasi itu datang langsung
kepada Uni, menanyakan alasan kenapa selalu menolak. Uni Dona akhirnya
menjawab, "Duh, gue bukan gak mau ikutan. Tapi gue punya kepercayaan
yang berbeda." Eh dengan santainya si Mas itu bilang. "Lho, kok namanya Donna Morgan?"
Di rumah, si Uni protes ke Bapak dan dengan santainya Bapak bilang, "Nah
kan bagus, kamu jadi bisa menyampaikan identitasmu."
Tidak berhenti sampai di situ, persoalan nama pun masih terbawa
sampai aku lulus kuliah dan mengikuti tes penyaringan beasiswa. Saat itu,
sehari sesudah pengumuman beasiswa. Sesaat setelah aku menyampaikan
pada keluarga bahwa aku telah lulus program beasiswa ke Amerika Serikat,
reaksi Ibu pun sungguh di luar dugaan,
"Tuh, Alhamdulillah nama kamu Kelly Morgan, bisa dapat beasiswa ke
Amerika. Jadi gampang kan, ke Amerikanya" Nggak disangka teroris."
Aku tersenyum dalam hati.Aku yang sekarang sudah mampu mencerna,
bahwa ini adalah doa Bapak terhadap diriku. Aku makin percaya, bahwa
nama seorang anak adalah doa dari sang orangtua. Cerita ini pula yang
menginspirasi murid-muridku di Ohio University.
"Kita perlu melakukan riset atas nama kamu, Kelly. I really think your dad"s
ancestor is an American," ujar seorang muridku, seorang mahasiswa Ph.D yang
bidang kajiannya adalah sejarah Indonesia. Ia yakin bahwa ayahku adalah
seorang keturunan Amerika.
Yang paling membuatku gemas adalah saat aku selalu mendapatkan
pertanyaan. 84 "Did you change your name once you are here, Kelly" How did you get Morgan
as your last name?" (Apa kamu mengubah namamu ketika sampai di Amerika"
Bagaimana kamu bisa punya nama Morgan sebagai nama belakangmu"
Nama kamu sangat Amerika!)
Kebanyakan anak-anak negara tertentu memang mengganti nama
mereka sebelum atau setelah sampai di Amerika Serikat. Mereka selalu
memiliki dua nama. Nama asli dan nama Amerika. Karena aku juga kebetulan
berasal dari Asia dan memiliki nama yang sama sekali tidak terdengar Asia
(setidaknya menurut mereka), maka aku menjadi subjek atas prasangka ini.
Pertanyaan ini bukan hanya ditanyakan oleh murid-muridku, tetapi juga
oleh teman-teman di Linguistik, bahkan para profesor pun bertanya hal yang
sama. Aku menjadi sedemikian terbiasa menjelaskan asal-usul namaku ini
kepada mereka yang bertanya. Karena ini pula, aku mendapatkan ide untuk
menuliskan tentang namaku di papan Who"s who in Linguistics.
Aku menulis "Kelly Morgan is a given name rom my Dad and I didn"t
change it once I arrived in the US,"(Kelly adalah namaku sejak lahir. Saya tidak
mengubahnya meskipun saya ke Amerika.) di kolom Lil Secret About You.
?"" 85 86 5. Pengalaman Hidup 87 Athens, kota kecil yang sebagian besar penduduknya adalah mahasiswa,
tetap indah meskipun tadi malam diguyur hujan. Kota ini akan sedemikian
sepi saat winter dan summer break. Dari sekitar 23.000 jumlah penduduknya,
20.000 orang adalah mahasiswa. Beberapa kawan sering kali bercanda dengan
mengatakan, bahwa kami bisa tiduran di court street, downtown Kota Athens
saat summer dan winter break, tanpa ada satu mobil pun yang akan melindas.
Begitu sepinya kota kecil cantik ini bila ditinggal oleh para mahasiswa.
Sudah beberapa hari dalam seminggu, hujan membasahi kota ini. Hujan
yang tidak lama, hanya sekadarnya saja, tetapi bisa berkali-kali dalam satu hari,
sehingga menciptakan beberapa genangan air. Bulan April sudah berlalu.
Bulan lalu, curah hujan lebih sering sehingga bunga-bunga pun bermekaran
lebih banyak dan lebih berwarna. April shower brings the May lower.
Saat pikiranku masih ingin berkelana, aku tiba-tiba terkejut saat kurasakan
boots-ku basah. Boots hitamku menginjak kubangan air. Aku tidak memakai
waterproof boots. Rasa dingin menjalar ke seluruh jari-jemari, menembus
kaus kaki yang kupakai. Dengan sekuat tenaga, aku menahan dingin dan rasa
geram. Sambil menahan dingin, aku terus saja berjalan menuju Front Room
Cafe. Beberapa orang yang kujumpai selama perjalanan nampak berhati-hati
saat melangkah. Agar tidak terjebak untuk kedua kalinya dalam kubangan
lumpur, aku juga lebih berhati-hati dan lebih awas. Saat melewati rumah sang
presiden universitas yang persis terletak di Perpustakaan Alden, aku tak lupa
memotret beberapa bunga cantik dan tulips yang tumbuh indah, dengan
kamera ponselku. Tidak lama kemudian,aku tiba di depan Front Room.
Cafe itu masih sepi. Mungkin sebagian mahasiswa masih lebih memilih
untuk berada di bawah selimut di hari berhujan ini. Sebagian mungkin
sudah di kelas gedung kuliah masing-masing dan enggan untuk keluar. Aku
88 melangkahkan kaki ke counter pemesanan, seorang mahasiswa undergrad
berwajah sedikit mengantuk, menyapa ramah. Mungkin ia habis berpesta.
Sudah menjadi cerita umum bahwa anak-anak undergrad kampus ini adalah
penggila pesta atau disebut Party Animal. Mereka tidak mengenal waktu
untuk berpesta. Pesta biasanya sudah dimulai sejak Selasa malam sampai
hari Minggu malam. Mungkin hanya hari Senin mereka tidak berpesta. Pesta
gila dan liar ala raternity dan sorority. Pesta yang sama sekali tidak pernah
terbayang olehku. Aku hanya mendengar saja ceritanya dari beberapa teman
yang kebetulan kuliah S-1 di kampus ini. Pesta yang sama sekali berbeda
dengan kumpul-kumpul ala anak Linguistik teman sekelasku.
"Hi, good morning.How are you" What would you like to have today?"
"Hi, I"m good. hanks. Green tea late rappuccino, please," kataku lugas.
"Okay, what"s your name?"
"Kelly" "How do you spell it?"
"K-E-L-L-Y". "Okay, got it." Pelayan itu pun menuliskan namaku di sebuah cup grande.
Setelah selesai segala proses transaksi dengan pelayan cafe, aku menuju ke
sebuah meja menghadap jendela. Menunggu late-ku siap. Saat menunggu,
kuedarkan pandanganku ke sekitar ruangan kedai ini. Kedai kopi yang
didesain sedikit modern, dengan banyak lukisan kontemporer. Kursi-kursi
untuk pelanggan lumayan variatif. Ada yang tinggi, ada yang rendah dengan
meja kotak. Ada sofa di depan perapian, dan panggung yang biasa diisi
oleh mahasiswa di hari Rabu malam dengan pertunjukan seni mulai dari
menyanyi solo, group, pembacaan puisi, dan tarian, terlihat senyap. Nanti
malam pasti ramai. 89 Hanya ada dua orang pengunjung pagi ini. Aku dan satu mahasiswa yang
nampak serius menekuni laptopnya sambil sesekali menghirup kopinya.
Perapian sudah dimatikan. Mungkin untuk penduduk lokal, suhu 50/600F
(sekitar 10 atau 150C) tidak menjadi alasan untuk tetap menyalakan perapian.
Aku membuka syal dan jaket. Saat hendak duduk di kursi, aku mendengar
namaku dipanggil dengan pengucapan khas Amerika. Perlu sekitar dua-tiga
panggilan, sampai akhirnya aku sadar itu adalah namaku. Entah kupingku,
entah bahasa Inggris pelayan itu yang kelewat luar biasa.
"hank you," ucapku pada Barista yang menyodorkan late.
"No problem. Have a good one." Barista itu membalas ramah.
"You too." Aku melangkah. Duduk di meja sambil menghirup late dengan nikmat.
Ah, sebuah reward yang luar biasa. hanks to Lantana that I inally got some reason
to buy another cup of green tea late Frappuccino, bisikku pada diriku sendiri.
Seorang Lantana.Lelaki itu yang kali ini membuatku bisa sedikit
menghamburkan uang beasiswaku, demi membeli minuman kesukaan yang
kubeli hanya di waktu tertentu. Sebenarnya, aku sering mengingat lelaki
bermata teduh itu dalam sepiku. Lelaki yang sejak pertama kali bertemu
sudah mengenggam hatiku. Meskipun pada kenyataannya kami tidak
pernah bersama, aku masih menyimpan nama itu di dalam hati. Dari dulu,
sampai saat ini. Dulu sekali, saat kami masih satu sekolah, aku selalu mencari waktu
untuk sholat Dhuha, demi bisa mendengar ceramah Lantana. Setelah lulus,
aku sengaja berjanjian dengan Dina, sahabat yang satu kampus dengan
Lantana. Meski kami berjarak, aku selalu bersyukur jika aku dapat sedikit,
atau sekadar melihat senyuman Lantana. Ya, aku hanya mampu melihat
90 Lantana dari jarak tertentu. Saat lelaki itu sedang asyik membaca majalah
dinding di aula kampusnya. Atau saat ia menjadi tutor bagi adik kelas di salah
satu area masjid kampus. Selalu dalam sebuah jarak, karena aku tidak pernah
berani mendekat. Dina yang berkali-kali meyakinkan, agar aku sekadar menyapa jika
memang kami terlibat dalam sebuah pembicaraan, masih demikian sulit.
Berkali-kali kucoba, dan berkali-kali pula kurasakan nyali selalu melemah
jika berada di radius yang hampir dekat dengan lelaki itu. Bukan tidak ingin,
aku hanya tidak bisa. Bagiku, melihat Lantana dari jarak tertentu sudah lebih
dari cukup. Aku tidak punya cukup nyali untuk datang menghampiri lelaki
pendiam itu. Meskipun hanya untuk sebuah sapaan pendek. Entah sejak
kapan hubungan kami menjadi sedemikian asing, padahal kami sempat
sangat dekat saat kelas satu sampai awal kelas dua. Saat kelas dua dan setelah
kejadian di Dufan, Lantana menjaga jarak denganku.
Hampir setiap hari ritual mengunjungi Dina di kampusnya berakhir
sama. Memandangi Lantana dari jarak tertentu. Dan lelaki itu selalu
meninggalkan kesan yang sama. Tenang dan teduh. Kepadamatanya, aku
ingin selalu mencari kedamaian yang hanya bisa ditawarkan lelaki itu.
Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa hubunganku kandas, karena aku mencari ketenangan Lantana
dalam sosok dua mantanku. Tidak ada yang sama. Sosok Lantana tidak
pernah kutemukan di laki-laki mana pun. Bahkan yang pernah berbagi kisah
denganku. Aku cukup tahu diri untuk tidak membiarkan anganku bermimpi kelewat
muluk. Aku cukup tahu, bahwa Lantana dan aku akan selalu berjarak.Aku
paham, bahwa mungkin hanya aku yang menyimpan rasa itu. Lantana sejak
dulu sampai saat ini adalah sosok misterius, yang tidak pernah sekali pun
menyatakan rasa kepadaku. Tidak sekali pun. Hanya beberapa kejadian
91 yang sampai saat ini masih kuingat. Kejadian di masa sekolah yang buatku
istimewa. Selebihnya, Lantana tetap membeku. Selalu begitu.
Sampai saat ini, Lantana adalah satu episode tidak pernah usai yang
kusimpan rapat-rapat dan baik-baik dalam satu lorong hati. Lorong yang
khusus kusediakan untuk lelaki itu. Lorong yang kutahu dan sadar, mungkin
tidak akan pernah dimasuki oleh pemiliknya. Tetapi, secara sadar pula, aku
tidak pernah membukanya untuk orang lain. Bahkan untuk mereka yang
kemudian menjadi kekasihku. Satu bagian dari hatiku tidak akan pernah
kuberikan utuh untuk siapa pun. Meski mereka berada di sampingku. Aku
sadar sepenuhnya, dan menerima semua konsekuensinya.
Sebuah konsekuensi yang menyebabkanku pernah berada di satu
hubungan buruk. Aku korban verbally abused. Dia yang gemar mengatai
dan menghina bentuk tubuhku. Hubungan yang mungkin selamanya
meninggalkan trauma yang mendalam bagiku. Untungnya tidak sampai
menyebabkan dendam. Hubungan yang kujalani saat setahun di bangku
kuliah dengan seorang lelaki yang tidak memiliki kemiripan apapun dengan
Lantana. Entah apa yang membuat aku akhirnya menerima perasaan lelaki
ini. Sejak awal, aku sudah tahu hubungan ini tidak akan berjalan baik. Sejak
awal, dia selalu menghina keadaan tubuhku. Buat lelaki itu, aku tidak lebih dari
seorang perempuan tolol yang kadang terlalu naif, di balik semua keceriaan
yang kupunya. Dia memang tidak pernah menyiksa secara isik, tetapi
penghinaan secara psikis dan mental sudah lebih dari cukup kuterima.
Awalnya, kupikir dia akan berubah seiring dengan berjalannya waktu
hubungan kami. Namun nihil. Tidak ada yang berubah, malah semakin
parah. Dalam tujuh bulan hubungan yang kami jalani, aku menerima semua
penyiksaan mental dalam kebingungan dan kepasrahan. Saat itu, aku tidak
92 tahu harus bercerita pada siapa. Aku yang biasanya demikian terbuka kepada
orangtua, Uni, dan beberapa sahabat, saat itu memilih menjalaninya dalam
kesunyian. Mungkin aku terlampau takut dan pengecut. Entah takut pada apa. Aku
menjalani semuanya dalam pasrah. Begitu saja menerima perlakuan yang
kutahu hatiku menolaknya. Aku biarkan saat rangkaian penyiksaan mental
itu terjadi. Mulai dari panggilan "gendut," permintaan diet yang tidak masuk
akal, sampai menyuruhku bersembunyi saat berpapasan dengan temanteman kuliah saat di bioskop atau di mall.
Berbulan-bulan aku mengumpulkan keberanian untuk berpisah, tapi
kesempatan itu tidak juga datang. Dia selalu tahu bagaimana memanipulasi
perasaanku. Berkali-kali aku selalu jatuh iba dan memaakannya. Hal itu
terjadi puluhan, bahkan sampai ratusan kali. Sampai suatu hari, aku tidak
bisa lagi mentolelir semuanya. Hari itu pun tiba. Peristiwa itu cukup menjadi
pelajaran bagiku. Kata-kata itupun akhirnya keluar juga dari mulutku. Aku
lelah. Hati dan batinku lelah. Aku tidak pernah merasakan bunga-bunga
cinta yang menurut teman-teman indah, dengannya.
Aku tidak pernah merasakan getar-getar dan perasaan deg-degan yang
memenuhi rongga batin saat ingin bertemu dengannya. Bahkan di minggu
pertama kami resmi jadian, aku sudah tidak bisa merasakannya. Tidak ada
cerita indah, semua adalah rangkaian kisah horor, di mana aku selalu merasa
perlu untuk berkaca puluhan kali sebelum bertemu dengan Ahsan, lelaki
paling brengsek sepanjang hidupku. Aku harus memastikan, aku tampil
sesuai standar lelaki sialan itu. Bukan dengan perasaan penuh bunga, tetapi
lebih kepada perasaan takut dan tertekan, kalau-kalau aku akan menerima
makian, hinaan, atau ejekan lagi.
93 Hanya kepada Raisha, aku akhirnya berani berkeluh-kesah. Raisha saat
itu sedang sibuk mempersiapkan aplikasi untuk kuliah selama setahun di
Belanda, namun ia masih menyempatkan untuk bertemu denganku di tempat
makan mie ayam di Depok, dekat kampus Raisha. Dengan terbata-bata dan
sambil menahan tangisan, aku menceritakan semuanya kepada Raisha.
Tentang sedihku, rasa frustrasi, dan ketakutanku. Raisha selain menjadi
pendengar yang baik, juga menjadi pendorong dan pemberi semangat yang
mampu menyulurkan kobaran motivasi.
Maka, di hari itu juga, seusai bertemu dengan Raisha, aku mengirimkan
SMS kepada Ahsan. Aku minta bertemu di Gramedia Depok, toko buku
tempat biasa aku menghabiskan Sabtu dan Minggu jika sedang tidak di
Rawamangun. Aku dengan lancar mengungkapkan semua beban pikiran
dengan lugas kepada lelaki yang duduk termangu di hadapanku. Aku
sendiri tidak yakin dari mana kekuatan yang kudapatkan. Semua ketakutan
seolah hilang dan melebur, berganti dengan kekuatan dan keberanian
untuk berpisah. Lagi-lagi lelaki itu berusaha membujuk dan merayu, dan
berjanji akan berubah, namun saat itu tekadku sudah demikian bulat. Aku
meninggalkan Ahsan tanpa pernah memedulikannya lagi.
Tidak ada air mata, cuma penyesalan mengapa aku tidak menyudahi
hubungan ini lebih cepat. Aku merasa jijik dengan semua perasaanku
yang bisa jatuh hati pada lelaki kurang ajar itu. Sebulan pertama aku masih
menerima SMS, yang sama sekali tidak pernah kubalas. Lelaki itu masih
berusaha menelepon, yang akhirnya menyebabkan nomornya kublok.
Beberapa kali, lelaki itu muncul di kampus, beruntung ada beberapa teman
baik yang mengenali sosoknya sehingga aku selalu dapat menghindar
dengan memutar jalan melalui gerbang lain. Untungnya lagi, lelaki itu tidak
terlalu sakit jiwa, sehingga sebulan kemudian aku bisa hidup dan menjalani
94 aktivitas dengan lebih tenang. Tidak ada lagi SMS yang kuterima. Tidak ada
lagi yang tiba-tiba datang ke kampus.
Sejak saat itu, aku memutuskan untuk tidak lagi mencari Lantana di sosok
lelaki mana pun. Aku pikir, Ahsan yang pendiam akan sama dengannya.
Sosoknya yang tenang dan baik hati ternyata hanya di awal perkenalan
kami. Setelah dekat, barulah kutahu siapa sebenarnya Ahsan ini. Maka aku
menyerah.Aku sudah menyerahkan urusan perjodohan pada Tuhan. Bagiku,
kisah dengan seorang lelaki sudah usai. Kalau pun tidak harus berjodoh
dengan siapa pun, aku sudah pasrah dan akan baik-baik saja. Hidup sendiri
rasanya pilihan yang jauh lebih baik, ketimbang harus menggadaikan harga
diri dan terus diinjak-injak.
Mengingat peristiwa pahit itu, tak ayal membuatku berkaca-kaca. Cepat
kuhapus setitik air mata yang terbit di ujung mata. Cepat-cepat kuhapus
memori itu dari benakku. Aku teringat janji dengan Elma. Kamiberjanji
akan menonton ilm sore ini di Baker Center setelah selesai mata kuliah
Sociolinguistics. Hanya ada satu mata kuliah di hari Rabu. Saat aku hendak
menuju ke Baker Center, sebuah SMS masuk. Elma mengabarkan bahwa ia
keracunan makanan, sehingga tidak bisa datang dan kuliah. Sepuluh menit
lagi kuliah akan dimulai, aku bergegas menuju Gordy.
Tiba di ruang 301, Dr. Flona sudah bersiap dengan materi perkuliahan.
Kuliah hari itu tentang beberapa kosakata yang berbeda di seantero Amerika
Serikat. Aku menyimak penjelasan Dr. Flona yang menjelaskan bahwa coke
hanya akan ditemukan di bagian Selatan Amerika, dengan Atlanta, Georgia
sebagai pusatnya, karena dari negara bagian itulah minuman bersoda ini
berasal. Di daerah Midwest seperti Wisconsin, Michigan, Illonois, orangorang menyebut pop, sedangkan beberapa negara bagian di East Coast dan
West Coast menyebutnya soda. Aku tersenyum karena baru saja mengerti.
95 Satu ilmu baru yang kudapatkan. Saat masih di Indonesia, aku selalu berpikir
semua orang Amerika akan menyebutnya sebagai Coca Cola, nama minuman
itu, atau sot drinks. Ternyata setelah di sini, jarang sekali mendengar orang
yang menyebut kedua nama itu. Mata kuliah yang menarik. Setelah selesai,
aku cepat-cepat keluar untuk menuju Baker Center. Film di Baker Center akan
dimulai kurang lebih sepuluh menit lagi.
Aku sudah mencoba mengajak hue, Diego, dan Bai, namun ketiganya
sedang ada keperluan. hue harus bertemu dengan Dr. Tochon. Diego
ada janji dengan dokter gigi yang tidak mungkin dibatalkan. Untuk
mendapatkan perjanjian dengan dokter susah sekali. Kalau sedang sakit tapi
tidak ada jadwal kosong, kami harus ke emergency room. Untuk urusan satu
ini, aku rindu Indonesia, yang bisa datang kapan saja ke dokter dan rumah
sakit, tanpa harus membuat perjanjian. Sedangkan Bai sudah berjanji akan
mengantarkan Lou berbelanja. Mobil Lou rusak, dan ia sudah kehabisan
bahan makanan. Pacarnya sedang di luar kota.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah berada di depan pintu teater Baker
Center. Maka jadilah aku menonton sendirian. Film Made of Honor terasa
lebih romantis nuansanya. Patrick Dempsey dan Michelle Monaghan
bermain apik dan manis. Cerita cerita khas Hollywood yang kunikmati
selama hampir 90 menit. Aku tidak merasa aneh tertawa dan sedih
sendirian. Sebuah kebiasaan yang kupelajari di sini, bahwa menonton atau
makan di restoran sendiri itu, biasa saja. Tidak aneh. Hal baru lagi. Aku
yang dulu, sepertinya hampir tidak mungkin akan menonton di bioskop
sendiri di Depok atau di Jakarta. Terlalu aneh. Tidak biasa. Merantau
sepertinya telah membuatku menjadi manusia baru. Lebih mandiri. Tidak
terlalu bergantung lagi pada teman.
96 Saat waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore dan ilm pun telah selesai
diputar, aku bangkit menuju pintu keluar. Tidak terlalu banyak penonton
hari itu, mungkin karena hari ini adalah hari biasa (weekdays), bukan akhir
minggu. Aku sengaja memilih hari Rabu dan bukan hari Sabtu. Biasanya
akan ada antrian panjang setiap Sabtu dan Minggu. Juga, hari Sabtu adalah
hari di mana aku mendekam di Perpustakaan Alden, tenggelam dalam lautan
buku, paper, juga tugas mahasiswa yang harus kunilai.
Aku menuju exit bersama-sama penonton lain yang jumlahnya kirakira sepuluh orang malam itu. Saat tiba di depan eskalator, aku tidak lupa
untuk melakukan ritual rutin jika sedang berada di gedung megah ini. Yaitu
mengedarkan pandang ke seluruh penjuru langit-langit gedung cantik ini.
he New Baker Center. Gedung yang baru saja dibangun pada bulan Januari
tahun ini menggantikan gedung lama. he New Baker Center terletak di
perempatan antara Mulberry Street, Court Street, dan Park Place. Gedung ini
terletak di atas lintasan Sungai he Old Hocking, dan dikelilingi oleh beberapa
jalan, taman, dan bangunan, mulai dari Richland Avenue, Emeriti Park, Grover
Center, Bird Arena, dan Porter Hall.
Aku selalu bangga jika diminta menceritakan tentang gedung yang
menjadi kebanggaan dan identitas mahasiswa Ohio University ini. Gedung
yang terdiri dari lima lantai yang memiliki ruangan untuk konferensi, sebuah
teater besar gratis bagi mahasiswa dan umum, sebuah ballroom, ruang
organisasi mahasiswa, ruang belajar, caf?, ruang belajar, toko-toko, kantor
pos, sampai ruang permainan mulai dari billyard, videogame, dan masih
banyak lagi. Gedung ini menjadi pusat kegiatan mahasiswa, dan merupakan tempat
yang sangat hidup, tempat berkumpulnya mahasiswa OU dari berbagai
negara. Meskipun mayoritas mahasiswanya adalah kaum kulit putih, tapi
97 juga memiliki banyak mahasiswa internasional, sehingga ada banyak warna
di kampus ini. Si Pakistani, Iraqi, Turkish, Indonesian, Malaysian, German,
Russian, Japanese, Korean, Chinese, Chillean, Dominican, Kenyan, Nigerian,
Dutch, dan banyak lagi. Lagi-lagi sebuah pengetahuan baru bagiku. Sebelum sampai ke benua
ini, pikiranku tentang Amerika adalah hanya diisi oleh orang kulit putih
saja. Setelah sampai dan melihat sendiri, aku belajar bahwa negara ini adalah
sebuah melting pot. Ada banyak ras di negara ini. Para imigran datang dari
berbagai ras dan warna kulit. Ras Kaukasian, ras Asia, ras Hispanik, ras Afrika.
Benarlah pepatah orangtua zaman dulu, merantau memang meluaskan
cakrawala berpikir. Aku menatap takjub pada hamparan bendera yang terpasang berderet di
langit-langit gedung mewakilkan seluruh mahasiswa internasional yang ada
di kampus ini. Tentu saja ada bendera merah putih di sana, terpajang dengan
megah di salah satu langit-langit Baker Center. Aku tak kuasa menahan
haru mengingat tanah air dan tumpah darah yang sudah hampir setahun
kutinggalkan. Langit pukul lima sore terbias di langit-langit gedung megah nan mewah
ini. Semburat merah. Kota ini meskipun kecil, menawarkan banyak pesona.
Meskipun tidak gemerlap seperti New York atau Chicago, aku akhirnya bisa
mencintai kota kecil ini. Buatku, kota ini cocok untuk belajar. Tidak terlalu
banyak godaan, sehingga bisa konsentrasi penuh dengan pelajaran. Di saat
yang sama, ada yang banyak mahasiswa dan event untuk mengenal budaya
berbagai bangsa. Dari event ini, aku lagi-lagi belajar untuk lebih memahami
budaya orang lain. Jika aku tidak diberikan kesempatan sampai ke kota ini,
mungkin aku terus menjadi manusia yang tidak menghargai perbedaan.
98 Di sini, aku belajar, bahwa seorang yang memakai celana atau rok super
pendek, tidak selalu adalah seorang wanita dengan prestasi akademik rendah.
Beberapa orang kawanku yang gemar memakai celana, rok pendek, atau tank
top ke kampus adalah para jenius. Di sini, aku belajar bahwa pakaian sama
sekali tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur untuk menilai orang lain. Aku
lagi-lagi merasa "ditegur" untuk lebih bijak dalam melihat perbedaan. Tidak
cepat menilai. Tidak cepat menuduh. Di saat yang sama, aku juga tahu,
bahwa menerima perbedaan tidak sama artinya dengan harus ikut-ikutan.
Saat kulihat beberapa temanku menikmati alkohol, aku tidak keberatan. Aku
menghormati kebiasaan mereka. Di sisi lain, aku tetap pada pendirianku.
Menghormati, tidak sama artinya dengan harus mengikuti. Aku tetap
menjadi aku yang percaya, bahwa meskipun sudah sampai ke negeri ini, aku
tidak akan pernah menyentuh barang-barang yang tidak boleh kukonsumsi,
sesuai dengan kepercayaan agamaku.
Aku juga berteman dengan mereka yang tidak percaya akan adanya
Tuhan. Lagi-lagi, aku belajar bahwa mereka seperti manusia lainnya. Ada
yang baik, ada yang jahat. Kenyataan bahwa mereka tidak percaya dengan
adanya Tuhan, tidak menyebabkan mereka menjadi manusia yang jahat.
Malah sebagian dari mereka adalah beberapa teman yang sangat pengertian.
Jika sedang bepergian dengan mereka, mereka yang selalu mengingatkan
aku untuk sholat. Menungguku. Seperti halnya orang yang beragama, ada
yang baik, ada yang jahat. Ada yang di tengah-tengah. Pelajaran yang kudapat,
jangan cepat men-judge orang lain. Jangan cepat menilai buruk orang lain.
?"" 99 100 6.Sinyal yang Tak Biasa 101 Rencanaku sore ini adalah kembali ke studio, mengerjakan paper,
menelpon Raisha. Saat tiba di lantai satu, harusnya aku melangkahkan kaki
menuju pintu keluar. Tetapi, aku tergoda untuk melihat panggung. Sayupsayup, aku bisa mendengar ada pertunjukan gitar klasik di Front Room
Caf?. Ragu-ragu, aku melangkahkan kaki ke caf?. Kalau saja tidak ada yang
menarik tanganku di antara kerumunan di depan pintu cafe itu, aku mungkin
tidak akan masuk. Aku mau pulang. Di benakku masih saja terbayang satu
paper yang belum kusentuh sama sekali, dan harus kukumpulkan dua hari
lagi. Juga janjiku pada Raisha malam ini. Tapi, tangan itu bagaikan magnet
yang mematikan akalku. Saat aku menengadah, aku terkejut melihat siapa
yang di hadapanku. "Mark, hey, how are you?"
Mark tersenyum dengan matanya. "I"m good. How are you" Apa kamu
tersasar?" Aku terkesima dengan panggilan itu. Tidak banyak yang memanggilku
dengan panggilan ini. Hanya segelintir orang, dan lelaki di hadapanku ini
salah satunya. Jemariku masih dalam genggaman Mark. Aku kikuk. Kalau
kutarik, aku khawatir akan menyinggung perasaannya. Teman baik yang
sejak pertama kali kedatanganku di Ohio telah menjadi sahabat baik. Hangat
menjalari segenap tubuhku. Ada nyaman yang ditawarkan lelaki tinggi
bermata biru ini. Mark pun seperti tidak ingin melepaskan genggamannya.
Aku menoleh ke kanan dan kiri. Sekadar memastikan tidak ada teman
Indonesia atau siapa pun yang kukenal di tempat itu.
Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku hanya tidak ingin hal ini menimbulkan kesalahpahaman. Mark teman
baikku. Kami selalu berdiskusi dan belajar bersama. Buatku, Mark salah satu
teman Amerika yang paling baik, mengingat tidak mudah berteman dengan
mereka yang berlatar budaya berbeda.
102 "Saya akan tampil habis ini." Mark berbisik.
"Oh I don"t know you play instrument," kataku
"Well, that"s the surprise. Kamu lihat nanti ya. Khusus untuk kamu. his one
is especially for you."
"Kok gak bilang sebelumnya" Bagaimana kalau saya tidak datang ke sini,
hari ini?" "When we met two days ago, I overheard your plan with Elma to watch a movie
here. So, I came much earlier, right ater the movie ended. I was there, observing you,
when you were so emotional looking at your lag and when you looked so lost. I
was there." Mark menjelaskan sambil tangannya mengusap rambutku sekilas.
Ternyata, Mark memang sengaja datang lebih cepat agar bisa mencegatku
setelah menonton. Dia mendengar rencanaku menonton dengan Elma dua
hari lalu. "Really" I didn"t see you." Aku meyakinkannya bahwa aku tidak melihatnya
saat itu. Mark diam sejenak. Sebelum ia menuju panggung, aku masih sempat
menangkap sedikit kalimatnya yang cepat menghilang di antara penonton
yang menyesaki depan panggung.
"Well, that"s me. he one who is always two steps behind you and watches over
your shoulder. Aku akan selalu ada di belakangmu."
Saat kutangkap seluruh kalimatnya dengan jelas, lelaki itu sudah tiba di
depan panggung memainkan gitar klasiknya. Aku mencari tempat duduk.
Untungnya masih ada satu tempat duduk yang tersisa. Yang lain sudah
terisi penuh. Sepertinya kelompok akustik Mark sudah lumayan terkenal di
lingkungan para mahasiswa.
103 Dalam 30 menit ke depan, seluruh pengunjung Front Room seperti
terhipnotis dalam alunan gitar dan suara jernih Mark. Aku termasuk
di dalamnya. Permainan Mark begitu indah. Mark menyudahi
penampilannya. "hank you everyone for coming to Front Room tonight. Hope to see you again
next month." Pengunjung bertepuk tangan sambil menyerukan namanya. Sebelum
meninggalkan panggung, Mark sempat melihatku. Aku masih duduk
termangu di kursiku. Masih terkesima dengan kemampuan sahabatku ini.
"Kamu suka?" Mark menghampiri mejaku sambil menyeruput secangkir
mocha miliknya. "Love it. You are very talented." Pujiku sambil tersenyum. Dia memang
berbakat. Mark tersenyum kemudian melirik jam tangannya. "Hampir jam enam.
Kamu mau pulang?" Aku mengangguk.
"Yeah. Saya harus pulang. Menulis. I need to start writing the relection paper.
Kamu pasti sudah selesai kan" So, enjoy."
Kami berpisah. Sebelum berpisah, Mark menarik tanganku.
"Have a good night. Don"t study too hard."
Aku tersenyum. "You don"t drink too much." Aku terkekeh. Mark tersenyum.
Di depan Baker Center, aku belok kanan menuju apartemenku di
Riverpark, sedangkan Mark lurus menuju Jacky O"s, salah satu bar terbesar di
Athens. Ia pergi bersama teman-teman akustiknya.
Di lit, aku bertemu dengan si lit buddy. Seperti biasa, kami saling
menyapa. Kali ini dia bersama dengan seorang wanita. Mungkin pacarnya,
104 pikirku dalam hati. Tangan wanita itu asyik memeluk pinggang si lit buddy.
Sebelum berpisah, aku mengangguk sopan pada keduanya, sebelum
mengucapkan selamat malam.
Saat tiba di studio, aku duduk sebentar di atas tempat tidur, mengecek
email yang masuk. Saat membuka email, satu pesan YM masuk. Dari Lantana.
Aku hanya melihat sekilas tanpa bermaksud membaca. Tiba-tiba, rasa
enggan menghinggapiku. Aku masih belum tahu apa maksud dari semua ini.
Aku menjadi demikian moody. Aku senang tapi jengkel, di saat bersamaan.
Teringat janji pada Raisha, aku mengambil telepon dan terdengarlah
suara Raisha di ujung sana. Kepada Raisha kuceritakan semuanya. Tentang
Lantana. Tentang Mark yang baik hati, namun aku tahu ada sesuatu dalam
diri Mark yang sepertinya menyembunyikan sesuatu. Aku tidak pernah
menganggap Mark lebih dari teman. Hanya sahabat baik. Aku hanya
merasa nyaman saat berada di dekatnya. Di ujung sana, Raisha masih asyik
mendengarkan curahan hati sahabatnya ini dari loudspeaker iPhone-nya. Di
akhir cerita, aku bertanya kepada Raisha.
"Gue penasaran sih mau baca, si Lantana nulis apaan" Tapi sumpah, gue
bingung dan nggak tau harus ngomong apa kalau ngobrol ama dia."
"Udah, baca dan balas sana. Jawab aja sesuai yang ditanyain. Nggak usah
kurang, juga nggak usah berlebihan." Suara Raisha di ujung sana.
Pembicaraan kami usai. Raisha harus mengejar deadline besok pagi, dan
aku harus segera mengerjakan paper.
Sebelum mendekati laptop, aku terlebih dahulu menyeduh segelas
kopi. Sedetik kemudian, mug merah muda itu mengeluarkan harum yang
memenuhi seluruh studio mungilku. Aku menghidupkan laptop dan
mendapati pesan dari Lantana. Pelan-pelan kubaca, sambil memikirkan
105 jawabannya. Lantana bagiku seperti air yang selalu saja mampu mematikan
api dalam diriku. Aku selalu merasa kelu jika berhadapan dengan Lantana.
Bahkan saat kami terpisah benua, aku masih saja merasakan hal yang sama.
Akhirnya, kubaca juga sapaan itu.
LantanaRaya: Assalammu"alaikum,Kel. Lagi sibuk,
nih" Sambil menghirup kopi dalam-dalam, otakku asyik merangkai kata untuk
jawaban, yang kemudian kuketik di dalam kotak chat dengan Lantana.
Kelly_2907:Wassalam. Hi, sorry baru bales. Tadi
gue ke kampus seharian. Sengaja nggak cek email
atau Facebook. Biar konsen. Lo masih OL" Eh udah
jam 2 pagi ya di sana" Udah tidur, ya"
Beberapa kali kalimat itu mengalami revisi sebelum kukirim. Aku
bingung apakah harus memakai "aku," "gue," atau "saya." Pertama kali kutulis
"aku," lalu kuganti menjadi "saya," lalu kuganti lagi menjadi "gue," Begitu
terus sampai kelima kalinya. Sampai akhirnya, aku sepakat dengan diriku
sendiri untuk memakai kata "gue," bukan "saya" atau "aku." Cepat-cepat aku
mengirimkannya, sebelum berubah pikiran lagi.
Semenit. Dua menit. Belum ada balasan. Aku beranjak ke dapur. Baru
teringat sejak tadi siang aku belum makan. Saat baru saja mau membuka
kulkas, aku mendengar sebuah pesan masuk ke Yahoo Messenger. Sebelum
aku kembali ke laptop, aku memanaskan makan malam. Sisa gulai ayam
106 yang kumasak di akhir minggu. Ya, aku memang hanya memasak tiap akhir
minggu untuk beberapa hari ke depan. Hemat tenaga. Juga, agar waktu tidak
terlalu banyak terbuang percuma.
LantanaRaya:Aku masih bangun kok, ini abis merebus mie instan. Masih bikin program nih.
Kamu udah makan" Aku membawa mangkok berisi makan malamku ke depan laptop.
Kelly_2907: Nih, baru mau. Tadi lagi manasin
makanan, eh denger suara YM.
Aku terdiam. Tiba-tiba takut berkata-kata. Bodohnya, rutukku dalam hati.
LantanaRaya: Oh ya udah, terusin deh makannya.
Aku juga mau lanjut program lagi ya.
Dan Lantana pun oline. Aku terhenyak. Bingung akan sikap Lantana. Lantana, Lantana, sebuah
nama yang hadir kembali setelah sekian lama kami terpisah. Lima tahun lalu,
saat kami masih sama-sama mengenakan seragam putih abu-abu. Lagi-lagi
keinginan untuk mengenang Lantana begitu kuat menarik ruang memoriku.
Kucari lagi buku merah jambu. Ada banyak nama Lantana di sana, di lembar107 lembar buku harianku. Aku memejamkan mata. Tanpa harus diingatkan
kembali, aku sudah terlalu ingat dan masih hapal perjalanan hatiku untuk
Lantana. Tapi harus kuakui, tanpa Lantana pun, masa putih abu-abuku tetap salah
satu episode terbaik dalam hidup. Usia belasan dengan teman-teman terbaik.
Banyak sekali kejadian indah yang tidak bisa kulupakan dengan sahabatsahabatku. Kisah yang menemani masa remajaku. Masa paling indah dalam
hidup. Salah satunya adalah hari rapat perpisahan kelas. Kebetulan tepat
dengan hari ulang tahunku. Di rumah Rena, pukul 10, kami para panitia
perpisahan kelas 1-5 berkumpul. Kali ini untuk mematangkan lagi rencana
perpisahan kelas yang akan diadakan di salah satu penginapan di Puncak,
Jawa Barat. Selama dua jam, kami menggodok mulai dari acara, konsumsi,
akomodasi, dan transportasi. Aku kebagian sebagai seksi acara, bersama
beberapa teman lain. Rapat yang menyenangkan, karena diselingi banyolan-banyolan konyol
Bisma, cowok bertubuh tambun yang gemar melontarkan candaan-candaan
lucu. Sesekali, atau malah seringkali, kutimpali. Banyolan yang menyebabkan
semua anak terpingkal-pingkal. Bahkan, ada di antara mereka yang sakit
perut, karena tidak sanggup menahan tawa. Mungkin hanya Lantana yang
tidak tertawa terbahak, lelaki itu hanya tersenyum tipis melihat kelakuan
kami. Ya, di antara kesibukan berbicara dan mendengarkan laporan teman
lain, mataku tetap mengawasi lelaki itu. Keterlaluan memang mataku ini.
Atau hatiku" Atau otakku" Entahlah, sepertinya semua organ tubuhku
memerintahkan hal yang sama, mengamati gerak-gerik Lantana.
Saat jam hampir menyentuh pukul 12 siang, Ibu Rena menyapa kami di
ruang tamu. 108 "Anak-anak, makan siang di sini, ya. Kebetulan Tante masak sayur
sop dan ayam goreng hari ini." Rena bangkit membisikkan sesuatu pada
Mamanya. Lalu, sedetik kemudian. "Oh gitu. Ya sudah lain kali ya." Mama
Rena menghilang di balik pintu.
Di antara obrolan-obrolan, aku tahu Lantana berkali-kali juga mencuri
pandang padaku. Aku bisa merasakannya. Lelaki itu tidak lepas mencuri
pandang. Beberapa kali mata kami saling menatap, untuk kemudian
mengalihkan pandangan ke tempat lain. Berkali-kali. Hanya kami berdua
yang tahu. Kecuali memang sudah ada yang mengamati tingkah laku konyol
kami. Aku sih menikmati saja. Nampaknya, Lantana juga sama. Sebatas itu.
Kami menjalani kisah unik dalam diam. Tanpa sebuah pengakuan.
Setelah rapat selesai, kami berkemas. Hari ini ulang tahunku, jadi aku
akan mentraktir mereka makan siang di salah satu restoran siap saji. Karena
hari Jumat, teman-teman laki-laki tidak bisa ikut. Mereka bersiap-siap ke
masjid terdekat untuk sholat Jumat. Setelah semuanya pergi, rombongan
anak-anak perempuan bersiap-siap. Saat aku sedang menggantungkan tas
ransel ke pundak, tiba-tiba, Sony berjalan ke arahku. Rena menyapanya.
"Kok balik, Son" Ada yang ketinggalan?" Sony hanya menggeleng. Ia
membawa sebuah bungkusan cokelat.
"Kelly, ini ada sesuatu."
"Apaan nih, Son?" Aku bingung.
"Buka aja sendiri. Udah ya, gue udah telat nih ke masjid." Sony berjalan
cepat menuju gerbang. Aku menatap bungkusan yang dibungkus dengan sampul cokelat.
Aku masih bingung kenapa Sony memberi bungkusan ini. Di tengah
kebingunganku, teman-teman mendekatiku.
109 "Apaan tuh, Kel?" Suara Ira, teman sebangkuku.
"Gak tahu." Aku menggeleng.
"Buka aja, Kel. Daripada penasaran." Suara Gina meyakinkanku.
"Sony naksir elo ya" Nggak nyangka gue, perasaan dia PDKT ama si Sari
anak 1-3, deh." Suara Rima terdengar dari bangku seberang.
Ragu-ragu aku hendak membuka sampul cokelat itu, tapi hatiku masih
dipenuhi tanda tanya yang demikian banyak.
Ada apa dengan Sony" Kenapa memberi bingkisan bersampul cokelat ini
tepat di hari ulang tahunku" Semua pertanyaan itu bersesakan di kepala. Aku
hanya mematung sambil memegang bingkisan itu.
"Kalau ragu-ragu, buka nanti aja, Kel. Di rumah. Saat suasana hati lo
udah tenang." Rena menepuk pundakku. Rena memang yang paling dewasa
dan tenang pemikirannya untuk anak seusia kami.
"Tapi gue penasaran," ujarku pelan.
"Samaaaaaaaaaaa," sahut yang lainnya bersemangat, kecuali Rena.
"Udah Kel, buka aja, daripada nanti kita makannya nggak enak, karena
penasaran." Gina berusaha meyakinkanku lagi.
"Iya, apalagi gue. Kalau penasaran, nggak bisa makan," kataku sok serius.
"Hah" Nggak salah" Yang ada, makan lo malah makin banyak, Kel," ujar
Gina lagi. "Emang, inget nggak, bulan lalu kita ke makan bareng. Karena uang udah
abis, tapi si Kelly masih laper, eh dia makan aja tuh burger ama coca-cola
orang di sebelah kita." Ira menambahkan.
Aduh, teman-temanku ini masih saja mengingat kejadian memalukan
sebulan lalu. 110 "Yah, daripada sayang" Orangnya kan udah pergi juga. Ninggalin aja,
gitu. Nggak disentuh sama sekali tuh makanan. Daripada mubazir. Gue
cuma simpati ama orang-orang yang kelaperan di Palestina sana," kataku
membela diri. Teman-temanku malah tertawa. "Iya deh, Kel. Percaya. Elo emang
pengertian banget." Aku merengut. Di antara obrolan kami, aku akhirnya membulatkan
tekad. Aku membuka sampul cokelat itu dengan perlahan. Rasa penasaran
akhirnya membuatku merobek dengan cepat. Saat kubuka, aku mendapati
satu buah diary dan sebuah agenda. Keduanya berwarna merah jambu,
warna kesukaanku. Ada satu kartu hitam putih bergambar buku yang sedang
dicetak dengan printer Epson. Aku membaca isinya, ada kutipan hadits.
Semoga hari ini lebih baik dari kemarin. Dan hari esok lebih baik dari hari ini.
From your brother. Tulisan yang sederhana, tapi menyimpan banyak makna. Aku terdiam
membacanya. Semua teman mengerumuniku. Diary cantik warna merah
jambu, dan sebuah planner warna yang sama. Entah apa maksud dari semua
ini. Aku masih belum bisa percaya bahwa itu dari Sony. Selama ini, aku dan
Sony hanya teman biasa. Teman sejak kecil. Tetangga dekat rumah. Kami
memang dekat, tapi kedekatan yang sama dengan kedekatan dengan anak
lain. Tidak ada yang istimewa. Setidaknya itu yang kurasakan.
"Kel, baca deh. Ini tulisan di diary-nya. Sony suka ama elo, Kel?" Suara
Gina memecah hening. 111 You know how I long for you. My heart keeps going strong for you. Will you
please be mine" Gina membacakan kata-kata yang tercetak di bagian belakang diary
merah jambu itu dengan keras. Teman-teman yang lain menyimak, lalu
mulai menciptakan teori-teori. Kata mereka, ini adalah sebuah tanda.
Mereka yakin, Sony suka padaku, tapi aku tahu pasti hadiah ini bukan dari
Sony. Dia hanya pengantar saja. Tapi, aku juga tidak bisa menebak siapa yang
memberikan diary dan agenda itu.
Masih bertanya-tanya dalam hati, aku memasukkan diary, planner, dan
kartu ucapan itu ke dalam tas.
"Ayo, kita pergi yuk. Udah kelamaan nih, udah pada laper, kan?" Suaraku
menghentikan obrolan teman-teman yang asyik berspekulasi tentang siapa
yang mengirim kado itu, dan mengapa.
Hari itu pun terlalui dengan banyak tawa dan canda. Makan siang di hari
ulang tahun ke 15 tahunku adalah satu rangkaian cerita indah. Saat pulang
ke rumah, tidak lupa bercerita ke Bapak, Ibu, dan Uni tentang kejadian hari
Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Namun hanya kepada Uni aku bercerita tentang kado misterius merah
jambu itu. Aku masih yakin, bahwa Sony hanya pengantar saja. Tapi, aku
tidak bisa menebak siapa yang mengirim kado itu.
Aku menghentikan lamunanku. Aku harus mulai menulis relection paper.
Hati bahagia karena kehadiran sosok itu, walau hanya di dunia maya. Aku
juga berkali-kali mengutuk, karena pikiranku menjadi tersita selama berharihari lamanya, dan terjebak dalam sebuah nostalgia.
"Ternyata hadirnya kamu masih saja mengacaukan hatiku, ya, Lanta,"
ucapku lirih. 112 Di luar, perlahan langit Athens mulai kehilangan sinar mentarinya. Di
musim semi, pada akhir bulan Mei, matahari bisa menemani sampai kirakira pukul 9 malam. Semburat oranye memayungi langit Kota Athens yang
berwarna biru terang. Di kejauhan, Bukit Hocking yang berdaun warnawarni melatari pemandangan indah ini. Hari-hari di musim semi dan
rangkaian cerita buatku. Tentang Lantana, tentang Mark, tentang hatiku,
dan tentang rentetan kisah masa lalu. Kilasan masa lalu yang memaksaku
membuka kembali kotak kenangan dari hatiku.
Dear Lanta, Kamu hadir lagi hari ini. Di antara jutaan malam sejak pertemuan pertama
kita di masa abu-abu dulu, kamu hadir lagi menyapa. Hanya beberapa kalimat
saja, tapi itu sudah mampu mengembalikan lagi himpunan kisah masa lalu.
Kisah yang tidak pernah kita rajut, Lanta. Tapi, Lanta, kamu tetap ada di sisi hati
yang terdalam. Banyak hari yang aku lewati di masa kuliah S-1 dulu, melewati
jalan kampusmu, datang ke fakultas kamu, datang ke masjid tempat kamu
biasa mengaji, atau sekadar berdiskusi. Dari jauh, aku hanya bisa melihatmu.
Mungkin memang takdir kita, Lanta. Selalu berada di jarak tertentu, tanpa boleh
mendekat. Hari ini kamu datang lagi, lewat sapaanmu. Meskipun hanya di dunia maya,
kamu sanggup membuatku gugup dan bahagia di saat yang sama. Aku juga
menyadari sepenuhnya, bahwa tidak ada harapan yang aku panjatkan untuk
kisah kita, Lanta. Sejak pertama kita berbicara dulu, aku tahu hatiku telah jatuh pada pesona
kamu. Aku juga sadar betul, bahwa hubungan ini tidak akan pernah menjadi
lebih dari teman. Aku pahami dan sadari seutuhnya peranan kamu di sebuah
113 organisasi. Maka kebersamaan dengan kamu saat-saat jam istirahat, saat kamu
menerangkan soal-soal sulit itu, menjadi demikian berharga buat aku.
Dear Lanta, Kamu masih ingat, nggak" Kamu pernah cerita ke aku tentang sebuah rahasia
besar yang selama ini hanya kamu simpan rapat-rapat. Waktu itu, tanpa sengaja
kita pulang sekolah bareng, ya" Dan kamu tiba-tiba dengan lancar bercerita
tentang sebuah kejadian yang membuatku kaget dan tak percaya. Kamu yang
selama ini seakan tenang, bahagia, dan damai, ternyata menyimpan satu cerita
sedih. Aku rasanya ingin memeluk kamu, tapi aku tahu kita berjarak. Aku hanya
memandang mata kamu saat kamu bercerita. Aku menangis. Sedikit memalukan,
tapi aku nggak tahan. Aku malu selalu mengeluh di depan kamu, padahal kamu
punya jalan hidup yang tidak lebih mudah dari aku, tetapi kamu selalu tegar dan
tidak pernah sekali pun mengeluh.
Dan itu kali terakhir kita bersama-sama ya, Lanta. Setelah itu" Kamu seperti
menjaga jarak. Kita masih sekelas, dan kamu masih duduk di seberang bangkuku,
tetapi kita tidak lagi dekat. Beberapa kali mata kita bertukar pandang, tanpa
kata. Beberapa kali juga aku tahu, kamu memandangku dari tempat duduk kamu
untuk beberapa lama, dalam diam dan hening, untuk kemudian melihat ke arah
lain, saat aku kembali menatap kamu. Itu saja. Saat perpisahan kelas kita, kamu
hanya memandang dari jauh, tanpa pernah berani mendekat lagi. Saat kita harus
berfoto bersama satu kelas di depan villa tempat perpisahan kita, tidak sengaja
kita duduk berdekatan. Saat tersadar, kamu menjauh lagi.
Kita tidak pernah lagi berinteraksi. Kita menjadi asing satu sama lain.
Cerita tentang kamu pun hanya kudengar dari beberapa teman kita yang kerap
berkunjung ke rumah kamu. Dari satu sahabat baikku, aku tahu bahwa kamu
(mungkin) menyimpan rasa yang sama.
114 "Iya, Ndut, pas kita datang ke rumah Lanta, dia nggak tau kita udah ada di
belakang dia yang lagi asyik mainin komputernya. Eh tahu, nggak" Dia lagi liat
foto elo, dan di-zoom-in pula." Itu cerita Rama waktu istirahat.
Aku hanya mendengar tanpa bisa percaya. Selama ini, itulah yang terjadi.
Banyak sekali tanda yang kamu dan orang lain kirimkan tentang kamu dan
rasa kamu, tapi tak satu pun terkonirmasi olehmu. Perlahan namun pasti, kamu
menjadi satu cerita yang tak lagi aktual. Kita tidak lagi belajar bersama. Aku tidak
lagi berani bertanya tentang pelajaran yang sulit. Kamu tidak lagi menciptakan
kebersamaan denganku. Semua berangsur-angsur menghilang dalam diam dan keheningan. Meski
perih, aku tahu cinta pertamaku tidak akan pernah bersambut. Ia hanya tersimpan
rapat di satu sisi hati. Kabar tentang kamu setelah masa sekolah, akhirnya hanya
kudengar dari beberapa teman saja. Kisah yang tidak pernah terjadi ini berakhir.
Kita menjadi demikian jauh, setelah kita tidak berada di satu kota lagi. Jarak kita
menjadi Depok dan Rawamangun.
Beberapa kali dengan alasan bertemu Dina di kampus Depok, aku mencari
sosok kamu tanpa berani mendekat. Kukagumi sosokmu dari jauh saat berdiskusi
dengan beberapa teman, atau saat mengajar di masjid kampus, atau sekadar
membaca di taman. Aku tidak berani mendekat. Aku cukup tahu diri, mungkin
perempuan seperti aku memang tidak akan pernah ditakdirkan bersanding
dengan lelaki mana pun. Maka, pilihan meneruskan rasa ini dalam diam pun,
menjadi pilihan yang sangat masuk akal. Tanpa kamu tahu, aku beberapa kali
mencari wajah tenang kamu, baiknya sikap kamu, sopannya kamu, di beberapa
orang yang hadir setelah kamu. Namun, mereka semua gagal, karena mereka
bukan kamu. Aku sadar betul bahwa aku mungkin tidak ditakdirkan untuk berjodoh.
Aku pahami itu sebagai sebuah takdir yang aku tidak pernah membencinya. Aku
115 bertekad untuk hidup sendiri, dan jika memang Allah mengizinkan, aku hanya
ingin bisa bersekolah lagi.
Dan lima tahun setelah masa perkenalan kita di masa abu-abu itu pun
berlalu. Kita menjalani hidup kita masing-masing. Tanpa pernah sekali pun
bertukar kabar. Kita memang tinggal di satu kota, dan tempat tinggal kita hanya
terpisah 3 blok saja, tetapi kisah kita tidak pernah beririsan lagi. Andai saja kamu
tahu, Lanta, aku mencari kamu lewat teman kamu yang kebetulan satu kampus
denganku. Untuk sekadar mencari tahu kabar kamu. Kali lain, hatiku luar biasa
gembira, saat melihat adik kamu melintas di depan jurusan. Perasaan yang sama,
saat aku lewat depan rumah kamu.
Seperti itu keberadaan kamu, Lanta. Bahkan setelah kita berpisah bertahuntahun. Saat kamu tidak lagi berada di radius yang dekat, kamu masih saja
menggetarkan relung hati. Entah kapan kita akan bersisian jalan lagi ya, Lanta"
Atau sekadar berada di ruang yang sama, sehingga aku bisa menikmati sosokmu,
walau dari jauh. Aku masih menyimpan asa itu, walau aku tahu mungkin itu adalah sebuah
angan yang terlalu muluk. Suatu saat, suatu hari nanti, aku tahu pasti bahwa aku
akan bisa sepenuhnya melupakan kamu, melepaskan bayangmu dari otakku.
Apapun itu, aku hanya ingin berterima kasih, kamu telah menjadi satu bagian
indah di masa remajaku. Juga, untuk sapaanmu beberapa hari lalu dan hari ini,
aku bersyukur. Setidaknya kamu juga masih mengingatku. Itu sudah lebih dari
cukup. Terima kasih untuk sapaanmu, ya.
Kutulis semuanya dalam diary merah jambu itu. Diary yang sudah
menempuh jarak puluhan kilo dan menemani perjalanan melintasi lautan.
Pemberi diary yang masih sebuah misteri. Entah siapa pengirimnya. Sony
sudah bersumpah, ia tidak akan memberi tahu siapa yang menyuruhnya. Ia
juga sudah meyakinkan, bahwa ia hanya sekadar mediator saja. Aku memang
sejak awal sudah yakin, bahwa Sony tidak pernah menyimpan rasa untukku.
116 Kami hanya berteman saja. Sony adalah penggemar berat Sari, gadis paling
cantik di angkatan kami, bahkan di sekolah. Awalnya, aku dan teman-teman
masih aktif mencari tahu siapa pengirim diary merah jambu itu, tetapi semua
teman-teman cowok bungkam, dan tidak satu orang pun membuka rahasia.
Pencarian kami menemukan jalan buntu. Aku akhirnya menyerah.
Awalnya, aku menyangka hadiah itu dari Lantana. Tetapi saat melihat
sikap lelaki itu yang biasa, bahkan cenderung cuek, aku menghapus Lantana
dari datar tersangka. Berbulan-bulan lamanya, kuperhatikan gerak-gerik
teman-teman cowok, namun tidak ada satu pun yang menunjukkan tandatanda suka padaku. Apalagi Lantana. Lelaki itu bukan main sombongnya.
Sejak acara perpisahan, ia sama sekali tidak pernah menyapa, apalagi
mengajak ngobrol. Sikapnya dingin, cenderung angkuh. Akhirnya, aku
benar-benar menyerah. Misteri diary merah jambu itu belum terpecahkan,
bahkan sampai lima tahun kami lulus dari bangku SMA.
?"" 117 118 7. Cerita Musim Panas 119 Akhir Musim Semi, Menjelang Musim Panas, 2007
Spring quarter hampir berakhir. Aku sedang sibuk-sibuknya menghadapi
ujian akhir. Paper dari empat kelas memiliki tenggat waktu yang hampir sama.
Aku juga masih harus menyiapkan ujian akhir bagi murid-murid. Siang dan
malam tidak ada beda. Aku menghabiskan sebagian besar waktu di kantor,
perpustakaan, dan warung kopi. Semua demi menyelesaikan beberapa paper.
Studio mungilku tidak ubahnya sebagai tempat persinggahan sementara
untuk menumpang mandi dan berganti pakaian. Selebihnya, aku lebih
banyak berada di luar rumah.
Tidur menjadi barang langka. Kadang saking lelah, aku tertidur di meja
kantor atau di sofa ruang tamu departemen. Lelah badan mengalahkan rasa
malu. Bisa tidur sekitar lima belas sampai dua puluh menit, menjadi demikian
berharga. Dua minggu di akhir quarter ini menjadi seperti neraka bagiku dan
teman-teman. Semua deadline dan presentasi mengejar kami satu per satu.
Diego berkali-kali bilang, minggu-minggu ini adalah minggu neraka, "Weeks
rom hell." Di tengah semua kesibukan, di satu hari yang cerah, aku menerima
sebuah email dari Wakil Direktur Center for South East Asia. Aku diminta
untuk mengikuti sebuah workshop di Honolulu, pada akhir Juni selama
seminggu. Aku juga berkesempatan untuk mengikuti Summer Programe yang
disponsori oleh East West Center. Aplikasi yang kukirim bulan Januari itu
ternyata lolos. Jadi, aku akan tinggal di Honolulu, Hawaii sepanjang liburan
musim panas ini. Aku tidak dapat menyembunyikan rasa bahagia. Aku mencari sahabatsahabatku. Kepada Akiko, hue, Mark, Bai, Lou, dan juga Diego. Mereka
semua berbahagia untukku.
120 "Oh My God, Kelly, kamu sangat beruntung. I envy you. Aku benar-benar
iri," ucap Diego disusul tawa hue, Mark, Bai, Akiko, dan Lou.
Kepada mereka, aku berjanji untuk membawakan papan suring. Tentu
saja usulan itu disambut dengan cubitan di pipiku, kecuali Akiko yang hanya
tersenyum tipis.Aku meringis sambil tertawa. Athens adalah kota yang
dikelilingi kota lainnya, tanpa garis pantai, sehingga pembahasan tentang
pantai bisa menjadi sedemikian sensitif.
"I know, I know. I"m kidding. Saya bercanda."
Aku memohon agar cubitan itu dihentikan, namun mereka bukannya
berhenti, malah menambah cubitan itu. Aku berteriak-teriak tak berdaya.
Akiko masih saja tertawa-tawa melihat kelakuan kami. Akiko bilang, bahwa
aku akan bertemu dengan komunitas Jepang yang sangat besar di Honolulu
sehingga aku tidak akan terlalu merindukan dirinya.
Hari Kamis merupakan hari terakhir untuk pengumpulan paper dan tugas
akhir kelas Syntax. Saat jam menunjukkan 12 malam, semua pengumpulan
online melalui portal ohio.edu pun ditutup. Saat itu pula, semua anak-anak
Linguistics merasakan satu beban terlepas. Sesaat setelah mengklik tombol
kirim, aku merasakan tubuhku tidak lagi bertenaga. Lega rasanya.
Akhirnya, the weeks rom hell berlalu. Semua tugas, presentasi, dan paper
sudah dikumpulkan. Aku mengumpulkan nilai-nilai murid-murid dua hari
sebelum terbang ke Honolulu. Athens mulai sepi. Kota pelajar ini mulai
ditinggalkan oleh sebagian besar mahasiswa yang akan memulai liburan
musim panas. Dua hari lagi, aku dan teman-teman akan mengadakan pesta
menyambut liburan, sebelum kami semua berpisah selama tiga bulan. Email
mengenai pesta itu sudah dikirimkan oleh Mark sejak seminggu yang lalu.
121 Aku bersiap pulang. Tiba di studio mungil, aku membersihkan diri.
Setelah itu" Time to hit the sack. TIDUR. Satu kegiatan yang selama beberapa
bulan ini jarang kuakrabi. Hampir tidak pernah malah. Aku tertidur dengan
nyenyak. Baru terbangun jam 11 pagi esok hari. Tidur ternikmat dalam enam
bulan.Tidur terlama di quarter ini. Sebelumnya, aku hanya tidur di sela-sela
waktu kuliah dan mengajar.
Hari Sabtu tiba. Aku dijemput oleh Bai. Kami akan berpesta di tempat
Rose. Malam itu, kami melepaskan segala lelah setelah berjuang selama
spring quarter ini. Bermain monopoly, taboo, zenga, lalu menonton ilm
bersama. Saling bercerita tentang rencana liburan musim panas.
Lou akan road trip bersama kekasihnya ke West Coast. hue akan pulang
ke hailand. Amber akan pulang ke rumah keluarganya di California. Aldrien
mendapatkan Summer Internship di Washington DC. Akiko akan bertemu
dengan kekasihnya di Disney Land di California, dan menghabiskan tiga
minggu di sana sebelum pulang ke Jepang. Diego akan ke Washington DC
dan New York, sebelum ke Brasil. Bastian akan langsung terbang esok hari
ke Dominika, tempat kelahirannya. Rose akan tinggal di Ohio untuk bekerja
selama musim panas. Bai akan mengajar program bahasa Cina intensif di
Pennsylvania. Elma akan Tour de Europe. Alice akan pulang ke Taiwan.
Saat aku menceritakan rencana liburan musim panasku, semua teman
menyambut dengan gembira sambil bilang bahwa mereka iri. Tentu saja
pergi ke Hawaii saat suhu di Athens kian menghangat adalah keputusan
yang terbaik. Saat Athens akan berada di puncak panasnya, aku akan berada
di salah satu gugusan Pasiik yang selalu sejuk dan indah, di antara gunung
dan pantai. Malam semakin larut. Kami masih asyik tertawa sambil bertukar cerita.
Malam terakhir sebelum kami berpisah selama tiga bulan. Tepat jam 12
122 malam, kami pulang. Aku diantar pulang oleh Bai. Sepanjang perjalanan
dari rumah Rose ke apartemen yang berjarak sekitar 20 menit, Bai bercerita
tentang keluarganya, dan bagaimana sedihnya ia tidak bisa pulang ke
China selama liburan musim panas ini. Aku mendengarkan sambil sesekali
menghiburnya. Saat tibadi depan gedung apartemenku, aku memeluk Bai,
dan berjanji akan selalu kirim kabar selama liburan musim panas ini. Setelah
mengucapkan kalimat perpisahan, aku melangkahkan kaki ke gedung
apartemen. Malam terakhir di musim semi, sebelum musim panas tiba. Aku menatap
area apartemen. Tiba-tiba, perasaanku menjadi sentimental. Aku akan
rindu Bukit Hocking, Sungai Hocking, dan Riverpark. Tapi, aku juga sangat
excited dengan petualangan musim panas di Honolulu. Malam terakhir di
studio mungil. Aku mulai packing untuk persiapan selama tiga bulan, juga
membersihkan studio sebelum kutinggalkan.
Semua kuselesaikan sampai jam 4 pagi. Setelah itu, aku mandi dan
bersiap ke bandara. Aku telah memesan taksi yang akan mengantar sampai
ke bandara di Columbus. Perjalanan dari Athens ke Columbus sekitar 4 jam.
Pesawatku jam 12 siang. Rute penerbanganku kali ini adalah ColumbusTexas-Honolulu. Aku akan layover selama 12 jam di Houston, Texas. Bukubuku, ipod, dan laptop sudah kusiapkan sebagai teman perjalanan. Jam 5
Subuh, taksi membawaku membelah jalanan Athens yang lengang menuju
Columbus. Di taksi, Mark menelepon. Ia menceritakan semuanya dan meminta
maaf. Meminta maaf atas perlakuannya selama ini. Juga, mengapa harus
menjelaskannya lewat telepon dan bukan tadi malam saat kami bertemu di
apartemen hue. Perjalanan selama empat jam itu pun memberikan waktu
yang cukup pada sahabatku ini, untuk menjelaskan tentang perasaan dan
123 sikapnya selama ini. Lelaki itu berkali-kali meminta maaf. Aku mendengarkan
dengan sabar semua penjelasannya. Kadang aku ingin sanggah, tetapi aku
memilih diam dan memaakan.
Mark meminta maaf, jika selama ini sikapnya membuatku bingung. Ia
mengakui, sengaja atau tidak, ia pernah membuatku bingung atas segala
perhatiannya, yang terkadang terasa lebih dari teman. Mark menjelaskan,
bahwa saat itu ia sedang dalam keadaan tidak jelas dengan pacarnya.
Pacar yang sudah bersama sejak high school. Sayangnya, saat ini mereka
terpisah kota. Hubungan berbeda negara bagian yang sering membuatnya
Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesepian. Ditambah lagi, saat itu ia dan sang pacar sedang ada masalah, yang
menyebabkan mereka tidak berkomunikasi selama hampir tiga bulan.
Saat itulah ia mengalihkan perasaannya padaku. Seorang teman baru
yang baik kepadanya. Untungnya, Mark cepat menyadari, bahwa perasaannya
pada kekasihnya sudah sedemikan dalam. Apalagi di bulan keempat masamasa kritis hubungan mereka, kekasihnya memutuskan untuk terbang ke
Athens dan mempertanyakan kelanjutan hubungan mereka.
Saat itu Mark yakin, ia tidak akan pernah bisa kehilangan Jessica,
kekasih yang sudah tujuh tahun menjadi bagian hatinya. Mereka akhirnya
bertunangan. Mark melamar kekasihnya esok harinya. Ia meminta maaf atas
perasaannya yang kekanak-kanakan, dan berharap aku tidak memusuhinya.
Ia tidak ingin kehilangan teman baik. Aku memaakannya tanpa syarat. Aku
tidak pernah merasa marah atau terganggu akan sikap temanku itu.
"I"m really sorry, K. Saya salah. As a good riend, you never deserved to be
treated like that. Kamu teman baikku. Harusnya aku tidak menyakitimu."
Suara Mark di ujung sana.
"Tidak apa-apa, Mark. Aku tidak pernah marah. Bingung iya, tetapi
itu saja." 124 "So, we"re still riends?" Suara Mark.
"Of course. We are. Kita akan selalu menjadi teman. Sampai kapan pun.
Sampai jumpa di bulan Agustus, ya. Sampaikan salam untuk Jessica," kataku
mencoba meyakinkannya. "hank you, K. Terima kasih. Sampai jumpa bulan Agustus. Have a safe
light to Honolulu." Mark menutup teleponnya.
Walau kadang-kadang aku bingung dengan sikap Mark, aku tidak pernah
mengambil hati, dan melupakannya setelah bercerita pada Raisha. Kami
berjanji untuk tetap berteman. Tetap akan berkirim kabar. Tidak akan saling
menghindari, saat kami harus bertemu lagi di Athens, tiga bulan dari sekarang.
Akhirnya, aku tiba di Bandara Columbus. Setelah membayar sang sopir
beserta tipnya, aku menyeret satu buah luggagedan menuju ke counter Delta
untuk check-in. Sudah beberapa bulan aku tidak terbang. Ini pengalaman
kedua terbang domestik di Amerika. Meskipun begitu, aku masih agak
khawatir, apalagi dengan sistem keamanan yang diberlakukan di bandara
negara ini. Pikiranku masih mengingat dengan jelas saat terbang ke Amerika
Serikat untuk pertama kalinya.
Aku mengingat masa-masa terbang pertama kali. Imigrasi Amerika
tetap menyeramkan bagiku. Tiba di tempat security check, aku bersiap untuk
membuka sepatu. Dengan sigap aku mengeluarkan laptop dan iPhone dari
backpack. Juga jam tangan dan jaket. Setelah melewati metal detector, aku
memasang sepatuku kembali, memakai jaket, memasukkan semua barang
ke dalam tas ranselku. Kemudian mencari gate. Saat tiba di gate, aku mulai
browsing, karena Bandara di Columbus memang menyediakan wii gratis.
Masih ada waktu beberapa jam sebelum naik pesawat. Aku asyik memeriksa,
membaca email, dan menonton ilm sampai tiba saatnya untuk boarding.
125 Perjalanan Columbus-Texas selama kurang lebih tujuh jam akhirnya
terlalui. Tidak ada masalah berarti yang kuhadapi. Buku dan iPod cukup
menjadi teman perjalanan. Aku juga sempat berkenalan dan bertukar kartu
nama dengan teman seperjalanan dari Columbus ke Texas. Miriyam, seorang
gadis keturunan Turki, namun lahir dan besar di Amerika Serikat. Gadis cantik
dan cerdas lulusan MIT, yang saat ini bekerja di Microsot di Seatle. Pembicaraan
kami berlangsung hangat. Miriyam gadis yang sangat terbuka wawasannya.
Kami berbicara tentang kiprah perempuan masa kini. Aku mengangguk
kagum atas kelancaran gadis ini mengungkapkan ide dan pendapatnya. She is
a warm, passionate, and smart young woman with good dictions and emphasis. Her
voice is deep and warm. Gadis yang baik hati, sangat cerdas dan bahagia akan
pilihan hidupnya. Suaranya hangat dan menyenangkan.
Perjalanan yang hampir tujuh jam itu terasa cepat sekali. Bertemu
dengan teman perjalanan yang menyenangkan ternyata sangat ampuh
dalam membunuh waktu di pesawat. Saat kami telah tiba di Houston,
kami berpisah. Kami harus ke gate yang berbeda. Miriyam harus ke New
Mexicountuk perjalanan bisnisnya. Kami berpelukan erat layaknya sepasang
sahabat lama. Setelah mengucapkan salam perpisahan, aku melangkahkan kaki ke
restoran terdekat. Mengisi perut, dengan memesan sebuah burger ayam
dan segelas hot chocolate. Aku masih memiliki waktu yang panjang sebelum
penerbangan ke Hawaii. Setelah selesai makan, aku mencari tempat istirahat
untuk sekadar meluruskan kaki. Masih ada sekitar 10 jam lagi.
Waktu tunggu dan waktu terbang akhirnya terlalui. Tiba di Hawaii, aku
disambut dengan langit biru berpelangi. Saat tiba, hari masih pagi. Suhu kota
indah ini sejuk sekali. Aku masih menunggu shutle bus yang sudah kupesan
saat masih di Athens. Saat 15 menit berlalu, aku akhirnya menunggu di
126 depan bandara. Shutle bus belum juga terlihat. Sedikit khawatir dan akibat
rasa lelah yang telah menghantuiku sejak tadi, aku memutuskan untuk
menelepon. Teleponku mati. Aku lupa men-charge-nya tadi saat di Texas.
Dengan sisa energi yang masih ada, aku menuju bagian samping bandara
untuk mencari telepon umum. Aku mencari quarter untuk menelepon. Nihil.
Aku merogoh kantong celana dan backpack, tidak juga kutemukan quarter.
Aku perlu koin itu untuk menelepon. Dalam kelelahan, aku menutup mata,
sedikit putus asa. Saat itulah aku mendengar sebuah suara.
"Do you need some quarter" I got some." Seorang lelaki yang nampak lebih
muda dariku, berkulit hitam, dan berambut keriting menyapaku ramah. Aku
memang perlu koin untuk menelepon. Alhamdulillah, dia menawarkannya.
Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Kekuasaan
Tuhan itu nyata. Aku mengucap syukur dalam hati. Setelah menitipkan
luggage-ku pada lelaki yang menolongku barusan, aku menelepon perusahaan
shutle bus. Ternyata karena pesawatku terlambat selama 15 menit, shutle bus
telah meninggalkanku. Namun, akanada shutle bus lainnya yang akan datang
sekitar 20 menit lagi. Aku bernapas lega. Aku melangkah menuju tempat
duduk tempat kutinggalkan koporku. Aku lagi-lagi mengucapkan terima
kasih kepada lelaki penolong itu. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum.
Aku tidak henti-hentinya bersyukur, karena selalu dipertemukan dengan
orang-orang baik sepanjang perjalananku.
Saat shutle bus tiba, aku disapa dan dikalungkan Lei, rangkaian bunga
khas Hawaii untuk menyambut kedatangan atau momen bahagia lainnya
oleh petugas shutle. "Aloha," sapa gadis itu ramah. "Welcome to Honolulu, Hawaii. Selamat
datang di Hawaii," katanya lagi sambil mengambil koporku dan memasukkan
ke bagasi. 127 Aku terpesona. Aku tersenyum lega. Perjalanan dari bandara ke
universitas memakan waktu sekitar 15 menit melalui highway. Jalan tol. Lalulintas di Hawaii hampir sama dengan di Athens. Tidak padat dan pengguna
jalan sangat tertib mematuhi aturan lalu lintas. Aku sebenarnya mengantuk,
tapi membatalkan niatku untuk tidur. Aku terpukau akan pesona Hawaii.
Langit bersih nan biru membentang di hadapanku.
Lagi-lagi aku mengucap syukur atas kesempatan yang Tuhan berikan
untukku, sehingga bisa sampai di sini. Aku terkesima. Aku jatuh cinta. Dari
kaca mobil, aku melihat Diamond Head dan gugusan pantai biru nan indah.
Prince Charming 2 Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka Pendekar Laknat 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama