Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati Bagian 3
dan" buah apel kesukaannya. Ini akan sangat membantu mengembalikan moodnya yang buruk karena Arsa dan" minyak angin kirimannya.
"Wah, ada apel juga" ucapnya girang " Makasi ya. Nanti aku mampir ke rumah boleh" mau bilang makasi sama istri kamu. Tahu aja aku suka apel" Tsabit langsung
menggigit apel tersebut dengan nikmat. Idzar berdecak. Alih alih menjawab ucapan terimakasihnya malah bicara apa. "kamu dengar aku ngomong gak sih?"
"Eh, ya" Apa" Tadi kamu ngomong apa?" Ia menoleh dengan wajah tanpa dosa.
"gak jadi. Lupa."
"Dih, ngambek" Tsabit mengendik dalam keadaaan mulut berisi makanan. "Oh, aku ingat. Iya iya sama sama. tapi khusus buat kamu, itu gak gratis" tukasnya.
"Trus itu yang kamu makan apa" pamrih banget" sungut Idzar.
"Ini mah beda. Ini dari Aufa kan" Dari kamu belum"
Idzar menelan makanannya hanya untuk mengatakan "pemerasan" dengan nada ketus. Tsabit menanggapinya dengan santai. Ia sandarkan tubuhnya pada kursi sambil
menyilangkan kaki lalu mengigit lagi apel ditangannya dengan gaya elegan.
"Terserah kamu mau bilang apa. Aku cuma sedang berusaha menghargai jerih payahku. Kamu tahu" Ngerjain laporan kamu itu, kayak ngerjain skripsi yang gak
kelar kelar. Kayak nunggu jodoh yang gak kunjung dateng" ungkapnya mengebu gebu yang berujung curhat terdalam. Idzar hanya merespon dengan menaikan satu
alisnya. "Nih" liat mata pandaku! Setiap aku mau tidur, berkas berkas pekerjaan kamu bahkan masuk ke mimpi aku" tingkat stress Tsabit sepertinya mencapai
puncak. "Emang mau imbalan apa sih buat bayar perjuangan kamu itu" Idzar menoleh sejenak dan kembali menikmati makan siangnya.
"Tumben ngalah. Biasanya musti debat dulu baru mau ngalah" cibir Tsabit memangku tangan di atas meja.
"Cepetan, keburu aku berubah pikiran"
"Gak jadi. Mood ku lagi buruk. Lupain aja" dimasukan minyak angin terapy ditangannya ke dalam saku blezzer kemudian menyeruput sekali lagi teh hangat miliknya.
"Labil" Cibiran Idzar kepada Tsabit sungguh tidak berpengaruh dengan mood nya hari ini. Sepertinya ada yang salah dari hari ini. Apa semalam dia mimpi aneh" Atau
kurang piknik karena sibuk bekerja" Harusnya hari ini dia senang karena akhirnya kembali menempati posisi lamanya itu. Tapi kesenangan itu berubah semenjak
hidupnya berurusan dengan Arsa dan Kartika." Like mother like son.
Tsabit hanya berdiam duduk dengan bahu merendah. Matanya kosong. Setelah Idzar menyelesaikan makan siangnya, ia beralih pada gadis disampingnya.
"Kalau ada sesuatu yang ganjel di hati, cerita aja. Wajah kamu gak bisa bohong" akhirnya Idzar bisa bersikap layaknya seorang sahabat yang melihat sahabatnya
dirundung masalah. "Emang keliatan ya?"
Idzar mengangguk "Banget"
"Haahh.....entahlah aku pusing, dzar. Rasanya kepala aku ini pengen dicopot terus diinstal ulang deh" ungkapnya pasrah sambil memainkan sedotan di dalam
gelas. "Kayaknya aku butuh cuti beberapa hari buat nenangin pikiran. Ibarat besi, otakku ini udah karatan" keluhnya mendaratkan kepala di atas neja lalu
meluruskan tangan kanan ke depan.
"Udah sholat belum?" Tanya Idzar mendapat anggukan kecil dari Tsabit.
"Kalau udah sholat tapi pikiran belum tenang juga. Mungkin ada yang salah di pikiran dan hati kamu" Idzar menatap sekeliling. Suasana cafe ini masih sama.
Tidak berubah. Keramaiannya tetap sama. Hanya saja, pandangan kagum yang biasa ia dapat dari para kaum hawa menjadi berkurang. Setelah mereka tahu sosok
pria tampan idaman mereka telah berstatus suami orang. Idzar mendengus kecil menyimpan geli dalam hati.
"Masih ada yang mengganjal?"
"Selama permasalahan aku belum menemukan titik solusi, aku gak bisa berhenti memikirkan itu, dzar" Tsabit menegaskan.
"Ketika kamu dihadapkan pada suatu masalah, Allah tidak memintamu untuk memikirkan sehingga penat. Sholatlah. Pusatkan hati dan pikiranmu kepadaNya"
Tsabit bergeming. Berusaha meyakini kebenaran yang Idzar paparkan padanya. Ia akui memang, ketika sedang menghadap Allah pun, pikiran dan hatinya masih
tertuju pada permasalahannya itu. Harusnya ia tahu, darimana permasalahan serta ujian itu berasal. Seharusnya ia kembalikan kepadaNya. Rupanya, sehabis
sakit tidak mengurangi kebijakan pria itu. Ia masih sama.
"Kira kira ada untungnya gak kalau aku ceritain masalahku ke kamu?" Tsabit menyingkirkan gelas kosong di meja.
"Ya gak harus cerita ke aku juga sih. Setidaknya kalau kamu udah ceritain permasalahan kamu kepada orang--yang kamu yakin bisa dipercaya--ada sedikit kelegaan
tersendiri. Hidup itu kan gak cuma habluminallah aja. Harus seimbang sama habluminannas. Ya gak?"
Tsabit mengangguk pelan tapi pasti. Bagi Tsabit, Idzar memang selalu benar. Kalau banyak anak muda sekarang yang beranggapan bahwa wanita selalu benar,
tolong diberi pengecualian. Kecuali pria yang duduk di sampingnya ini. Sama seperti istrinya, Aufa yang selalu menjadi moodboster kesayangan Tsabita ilana.
Tsabit menarik nafas mantap disertai tatapan yakin.
"Aku bakal ceritain masalah aku ke kamu. Tapi kamu janji jangan bilang ke siapa siapa. Oke?"
"Telat!" Jawab idzar cuek sambil menghempaskan tangannya. Tsabit menautkan alisnya bingung.
"Kok bisa?" "Kamu kelamaan meratapi masalah sih. Aku keburu dapet pencerahan, kan" Idzar mendengus kecil matanya melirik arah lain.
"Pencerahan apa?"
"Kalau kamu mau curhat, lebih baik ke sesama wanita aja. Ke istriku, misalnya" jelas Idzar penuh pengertian. "Aku khawatir, timbul perasaan yang seharusnya
tidak ada. Aku gak mau dilamar ketiga kali sama kamu. Nanti kamu makin gak bisa move on lagi" cibirnya.
Tsabit mencium sinyal menyebalkan. Sepertinya hari ini Idzar belum pernah merasakan bogem mentah melayang ke wajah tampannya itu. Matanya menyalang tajam.
"Hellow~ mas tolong mirror ya. Siapa juga yang bakal punya perasaan sama kamu. Aku juga nyesel pernah khilaf ngelamar kamu. Lagian kamu itu gak cakep cakep
banget, dzar. Aku sih lebih suka pria dewasa kayak pak Dana" Tsabit mencemooh dengan gaya angkuh. Wajahnya sengaja dibuat nyolot guna memancing emosi Idzar.
Biar pria itu mau mengurangi sedikit saja kenarsisannya.
"Kok kamu jadi sewot sih. Omonganku benar kan?"
"Tapi ujungnya gak enak" Tsabit memalingkan wajah sejenak sambi melipat tangan sebal. "Udah ah sana. Kamu bikin mood aku makin buruk. Pergi sana. Hush!
Hush!" Tsabit mengibas ngibas tangan ke arah Idzar mengusirnya pergi. Pria itu tertawa penuh kemenangan lalu bangkit dari kursi.
"Gak usah disuruh juga bakal pergi. Kelamaan disini malah bikin aku risih jadi pusat perhatian sekumpulan perempuan disana, noh!" Dagu Idzar mengarah pada
sekumpulan gadis berpakaian putih hitam tengah duduk sambil menikmati snack dihadapan mereka. Dari warna pakaiannya, mereka adalah karyawan training di
perusahaan ini. Sedari tadi sekumpulan gadis disana memang mencoba menarik perhatian Idzar dengan bertingkah yang berlebihan. Mulai dari tertawa lah atau
perilaku aneh lainnya. Dan itu justru membuat Idzar bergidik ngeri melihatnya. Jangankan Idzar, Tsabit pun melihatnya aneh. Mereka tergolong masih anak
ABG yang baru menginjak dewasa.
"Yakin risih" Bukannya seneng diliatin cewek cewek cantik?" Goda Tsabit disertai kerlingan nakal ala ala "Aku telpon Aufa, ah. Tiba tiba aku kangen dia.
aku mau cerita banyak deh sama dia" mata Tsabit melayang layang di udara lalu berputar putar sambil menggerakan bibirnya ke kanan dan ke kiri.
Idzar menarik satu alisnya kemudian tersenyum miring. "Mau ngadu" Silakan. Istriku gak cuma sholihah dan cantik. Tapi juga pinter ngebedain mana yang jujur
mana yang cuma adu domba." setelah itu Idzar tertawa pongah. Tsabit mencebik keki.
"Selamat ya. Kamu berhasil bikin mood ku ancur kuadrat. Udah sana, ah! Gengges banget" kalau Tsabit sudah uring uringan seperti itu. Tandanya ia menyerah.
Dan score mereka berakhir 1-0 dengan Idzar (selalu) memimpin.
*** TBC... 08. Dua sisi mata koin Arsa menyapu pandangannya ke segala arah. Menelusuri sudut Cafe sambil berharap sosok yang ia tunggu segera menampakan diri. Lantas ia melirik jam tangannya
sekali lagi. "Coba kamu hubungi dia. Jangan jangan dia lupa" saran Kartika menyeruput camomile tea yang tinggal setengah cangkir.
Arsa mengetuk ngetuk meja mendengar nada sambung dari ponselnya. Rautnya cemas.
"Dimana" Lama banget" ia berdecak, lalu berdiri mengarahkan pandangan ke pintu masuk dekat tangga.
"Oh. Oke" matanya menangkap sosok gadis yang berjalan ke arahnya.
Tsabit baru saja tiba langsung menduduki kursi tepat di sebelah Kartika dan bersebrangan dengan Arsa. "Maaf sudah membuat anda menunggu. Ada urusan yang
harus diselesaikan lebih dulu" ujarnya sambil meletakan minyak angin terapy di atas meja. Arsa melirik benda mungil itu. Sudut bibirnya tertarik kecil.
"Saya mengerti sekali kesibukan kamu" jawab Kartika terlihat bersahabat malam ini.
"Silakan kamu pesan makanan atau minuman dulu. Sepertinya kamu lelah sekali malam ini"
Tsabit mengendik samar lalu meng-iyakan. Setelah memesan, ia oleskan lagi minyak angin terapy ke sekitar leher. Meski tertutup oleh jilbab, Arsa tahu aktifitas
apa yang Tsabit lakukan. "Bisa kita mulai?" Akhirnya Arsa buka suara.
"Tentu" Tsabit menyingkirkan tas ke tepi meja, seraya menjeda. "Mengenai tawaran anda, tante Kartika. Boleh saya tahu lebih detail, aturan aturan apa saja
yang harus saya lakukan, jika saya menerima tawaran tersebut?" Pada kalimat terakhir Tsabit memberi penekanan guna meyakinkan Kartika juga Arsa.
"Kamu cukup berpura pura menjadi pacar anak saya, Arsa. Yang pertama kali harus dilakukan adalah mengenalkan kalian di depan teman teman saya. Berhubung
wartawan juga sedang gencar mencari tahu kebenaran berita tentang sosok pacar Arsa, kemungkinan akan ada konfrensi pers" baru mendengar itu saja, bulu
kuduk Tsabit sudah dibuat merinding. Apa jadinya kalau ia benar benar berada di posisi tersebut.
"Setelah pengenalan, kalian tetap beraktifitas layaknya sepasang kekasih. Karena kita tidak pernah tahu kapan dan dimana wartawan mengintai. Takut takut
mereka curiga. Akan lebih berbahaya nantinya. Dan jika kamu menerima, saya bisa segera mempersiapkan segala sesuatu yang mendukung sandiwara ini agar lebih
terlihat nyata" Kartika mengakhiri penjelasannya disusul sorot mata tajam. Tsabit mulai terbiasa oleh serangan itu.
"Sampai kapan sandiwara itu berlangsung" Tanyanya sambil menerima minuman tiba dari seorang pelayan.
"Sampai ada pengalihan isu lain"
Untuk jawaban itu, Tsabit harus mencerna lebih dalam. Matanya menyipit siaga. Kartika belum menyelesaikan ucapannya.
"Selama kalian bersandiwara, saya harus mengalihkan perhatian wartawan. Setelah itu, kita bisa mengakhiri sandiwara ini. Sudah cukup jelas?"
Tsabit mengerjap tenang lalu mengangguk. Meminum minumannya sejenak, membiarkan rasa pusing yang kerap menyerang memainkan isi kepalanya begitu saja. Kemudian
menatap Arsa dan Kartika secara bergantian.
"Sangat jelas" Tsabit mencoba tersenyum meski setengah hati. "Dalam sandiwara ini, harusnya ada keuntungan yang mutlak saya terima, bukan" Karena posisi
saya adalah sebagai pemeran utama. Dan saya tidak ingin rugi, tentunya"
Sepasang ibu dan anak itu tersenyum miring. Saling melirik satu sama lain, memberi makna tersembunyi. Tsabit muak melihat interaksi mereka. Terlebih Arsa.
"Sebut saja nominal uang yang kamu butuhkan. Bahkan hari ini juga saya bisa langsung trasnfer uangnya"
Tsabit yakin, yang ada dalam otak mereka tidak lebih dari uang, uang dan uang. Apa orang yang kebanyakan uang selalu begitu" Ia menggeleng kecil. "Bukan
itu imbalan yang saya minta"
"Lantas apa" Mobil" Apartemen" Atau,-"
"Bukan juga, tante. Semua yang anda tawarkan, saya sudah memilikinya" tak apa sekali kali menyombongkan diri di depan wanita hedonis ini, pikirnya.
"Lalu imbalan apa yang ingin kamu terima?"
"Pernikahan" Jawaban itu melesat bebas dari bibirnya. Tetap tenang layaknya air mengalir di perairan sungai. Berbeda dengan dua orang yang mendengarnya. Kartika hampir
kesulitan bernafas. Sedang Arsa merasa tersiksa karena tersedak jus yang diminumnya.
"Kamu menginginkan pernikahan" Apa saya tidak salah dengar?" Kartika memaksa Tsabit untuk menjelaskan maksud ucapan singkatnya.
"Saya yakin pendengaran anda masih berfungsi dengan baik, tante. Saya menginginkan adanya pernikahan dalam sandiwara ini. Karena untuk bermain peran seperti
yang anda jelaskan tadi, membutuhkan ikatan tersebut. Seperti yang saya bilang jauh jauh hari sebelumnya, bahwa saya tidak mungkin bermesraan di khalayak
publik dengan laki laki yang bukan mahram saya. Maka dari itu, jika anda memang menginginkan saya melakukannya, cukup adakan pernikahan sebelumnya"
Tidak hanya Kartika, Arsa pun berulang ulang membuang nafas kasar. Ia merasakan hal yang sama terhadap keputusan Tsabit. Jauh sekali dari tebakannya mengenai
imbalan yang dimaksud. Bukan uang, rumah, atau mobil sekalipun. Tapi pernikahan" Ini sungguh konyol.
"Maksud kamu, saya harus menikahkan kamu dengan anak saya, begitu?" Nadanya agak meninggi. Tsabit mengangkat bahu enteng. "Mau tidak mau"
"Ini hanya Sandiwara biasa, Tsabita. Kenapa harus ada pernikahan segala?" Kartika berusaha menunjukan rasa keberatannya.
"Tapi sandiwara biasa ini bukanlah main main bagi saya, tante. Allah amat menjaga hubungan antara kaum pria dengan wanita. Maka Dia memberinya jalan melalui
pernikahan agar keduanya bisa saling berinteraksi secara halal" jelas Tsabit.
"Kalau belum jelas. Anda bisa membaca surat Al isra ayat 32. Disana Allah melarang hambaNya mendekati zina. Berarti sudah jelas betapa Allah melarang mereka,-"
"Tapi saya hanya meminta kalian bersandiwara, bukan berzina!" Kartika mengeluarkan ketidak terimaannya dengan sedikit bentakan yang membuat Tsabit hampir
melonjak dari kursi. Ia mengelus dada sambil mengucap istighfar.
"Saya tidak habis pikir dengan kamu. Apa susahnya sih sandiwara" Kamu tinggal memainkan peran kamu. Toh, kamu juga dapat untung yang banyak dari sana.
Kamu dapat ketenaran lalu terkenal di mana mana. Bahkan Cafe ini bisa ramai dalam sekejap. Dan uang, kamu bisa mendapatkan semau kamu selama kamu dalam
kendali saya" Tsabit tetap pada posisinya. Diam menyimak tenang. Sesekali hatinya berkobar panas tatkala mendengar ocehan murahan Kartika. Beruntung kondisi tubuhnya
sedang tidak stabil. Kalau tidak, bisa saja saat ini ia berdiri mengajak Kartika berduel di tengah ring tinju.
"Dan kamu memilih pernikahan" Kartika memalingkan wajah kecewa. "Kamu jangan main main soal ini,nona. Pernikahan bukan hal sederhana yang seenaknya melintas
di otak kamu. Kamu tidak bisa memutuskan pernikahan begitu saja. Itu ikatan sakral yang suatu saat dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan kelak. Seharusnya
kamu tahu tentang itu"
"Main main?" Tsabit menyipit keberatan. "Lalu apa bedanya dengan anda yang merelakan putranya bersentuhan dengan lawan jenis tanpa adanya ikatan halal
diantara mereka" Memamerkan kemesraan yang tidak seharusnya dilakukan, lalu mengumbar status palsu yang juga harus dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan
kelak" Saya rasa itu lebih buruk"
"Bagian dari Zina ialah bersentuhan terhadap lawan jenis yang bukan mahram. Sedangkan Allah melarang mereka mendekati Zina. Itu artinya, sandiwara yang
anda tawarkan adalah bagian zina itu sendiri"
"Mengapa berurusan dengan kamu harus serumit ini, Tsabit" saya hanya meminta tolong kamu mempertahankan nama baik keluarga saya. Saya tidak minta hal lain
selain itu. Tapi kenapa sulit sekali rasanya" Kartika mulai frustasi.
"Saya juga merasakan hal yang sama. Maka dari itu, jika anda ingin membuatnya mudah, kita tinggal melakukan kerja sama yang sehat. Setidaknya saya sudah
mau berbaik hati menolong anda berdasarkan aturan agama saya. Menikah memang bukan hal yang main main. Saya juga tidak ingin menikah dengan pria sembarangan.
Menikah dengan pria berakhlak baik adalah impian saya, tante" Tsabit menjedanya dengan mengambil minyak angin dari tas. Sambil mengoleskannya di leher,
ia melanjutkan. "Tapi demi menolong anda, saya merelakan diri saya menikah meski dengan pria yang saya benci sekalipun" lantas ia melirik Arsa. "Setidaknya
saya berusaha menyelamatkan diri dari murka Allah"
"Kalau pun nyokap gue menyetujui, jangan harap dapet persetujuan dari gue. Gue gak sudi nikah sama lo" Arsa tidak mampu menahan diri dari perdebatan dua
wanita ini. Ia mengarahkan telunjuk ke wajah Tsabit. Tsabit melirik arah tangan itu.
"Bisa jaga sikap kamu, Kelana?" Pembawaan Tsabit begitu tenang malam ini. Tidak ada emosi yang meluap luap seperti sebelumnya. Arsa menurunkan telunjuknya.
"Kamu pikir saya mau menikah dengan manusia sombong seperti kamu" Nama kamu aja gak masuk daftar lelaki idaman saya"
"Terus maksud lo pengen nikah apa" kalo bukan ngarep sama gue" cibir Arsa.
"Kalau kamu menyimak pembicaraan saya tadi, kamu gak bakal ngasih pertanyaan murahan kayak gitu. Dan asal kamu tahu ya, Kelana. Mungkin kamu menganggap,
kamu adalah sosok pria yang digilai kaum hawa, tapi tolong masukan saya ke daftar pengecualian. Secuil pun saya tidak tertarik dengan personality kamu"
"Kasian ya jadi lo. Saking kelamaan jomblo, bisa bisanya manfaatin keadaan ini agar bisa menikah. Sama gue, pula" Arsa menatapnya dengan tatapan menilai.
Tsabit menaik turunkan dadanya perlahan seraya menuang luapan melalui hembusan nafas berat. Ia berjanji, sekali lagi Arsa mengatakan hal buruk tentang
dirinya. Gelas ini bisa melayang kapan pun.
Tsabit memilih menoleh kepada Kartika. Daripada harus memperpanjang debat omong kosong ini dengan seorang bocah yang otaknya sedikit.
"Saya sudah katakan kepada putra anda tadi pagi, dalam pertemuan ini, apapun keputusan saya, tolong pikirkan dengan bijaksana. Saya tidak memaksa. Itu
hak kalian" Tsabit memerhatikan air muka Kartika. Ia nampak menegang. "Tante bisa pertimbangkan ini matang matang. Saya sendiri juga tidak sembarangan
ambil keputusan. Saya yakin ini jawaban sholat malam saya"
"Kamu bersungguh sungguh?" Kartika meyakinkan keraguannya. Ia mendapat anggukan mantap.
"Meski pada akhirnya kamu akan menjadi janda sekalipun?"
Pada pertanyaan itu, Tsabit merasa kesulitan menelan ludah. Keringat dingin semakin membasahi dirinya.
*** Abrar baru saja memarkirkan motornya di garasi. Berjalan santai masuk lewat pintu belakang. Ia mendapati Sari sedang mencuci piring di dapur. Setelah menyapanya,
ia berjalan menuju kamar. Matanya berkeliling ruangan.
"Sepi banget. Pada kemana, Sari?" Ia berbalik menghadap Sari. Sari menghentikan aktifitasnya sejenak.
"Nyonya sama mas Arsa pergi, mas. Ada urusan katanya" jawab Sari halus. Abrar meng-oh lalu kembali berjalan menuju kamar.
"Oh ya, mas Abrar. Nyonya pesan, sepulang dari kantor, mas jangan tidur dulu. Tunggu sampai nyonya pulang katanya" Abrar menaikan satu alis. "Kenapa emangnya?"
"Saya kurang tahu, mas"
"Makasi ya, Sar. Ohya, tolong buatin saya susu jahe ya. Nanti taro aja di meja makan"
Sari mengangguk sopan. Usai membersihkan diri Abrar duduk rileks di kursi meja makan. Menyandarkan tubuhnya di atas kursi berkayu jati itu. Kedua tangannya dibuat tidak menganggur.
Tangan kiri memegang segelas susu jahe, tangan satunya sibuk memainkan ponsel. kefokusannya terhadap benda tipis itu seiring berganti dengan sesuatu yang
membawanya ke masa lain. "Mas kenapa jadi tukang ojek?" Pertanyaan itu muncul dari seorang wanita yang duduk manis dibelakangnya.
"Iseng" hanya jawaban itu yang Abrar jawab sewaktu membawa Tsabit sebagai penumpang dadakannya. Dan tanpa meminta respon, Tsabit justru menanggapinya dengan,
" Mas ini lucu ya. Jadi tukang ojek kok iseng. " ia tertawa kecil. "Tapi gak apa apa sih, mas. Yang penting pekerjaan itu halal." Meskipun penghasilannya
tidak banyak, asal halal mah gak apa apa. Yang penting Allah ridho, mas" dan ocehan itu tidak digubrisnya. Abrar tetap fokus pada kemudi, menciptakan senyum
dibalik helm. Tanpa sadar Abrar tersenyum kecil. Ponsel dalam genggaman ia acuhkan karena ingatannya tentang gadis itu. Hingga benda tersebut menyadarkan lamunannya.
Ponsel itu bergetar dalam genggaman.
"Ya, Arsa. Kenapa?" Abrar menaruh gelas lalu menggigit roti. "Mas belum ngantuk. Tapi kamu juga jangan kemaleman pulangnya"
"Emang kamu sama mama lagi ngapain" Tumben pergi berdua mulu akhir akhir ini. Quality time ceritanya" ia tertawa kecil.
"Oh ya" Kok bisa?" Abrar nampak tertarik dengan kabar yang baru saja didengar adik kandungnya, Arsa. "Menikah" Serumit itu ya" dihabiskannya sisa susu
jahe di gelas lalu mengelap mulut dengan tissue.
"Yauda. Hati hati pulangnya. Jagain mama"
Abrar menutup panggilan bersama pertanyaan besar yang menari nari di kepala.
*** Tsabit langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk. Dengan keadaan masih memakai pakaian kerja. Jangankan pakaian kerja, sepatu pantofelnya saya
masih terpasang rapi di kaki. Dengan posisi menelungkup dan tangan direntangkan, ia pejamkan matanya sejenak untuk melepas penat. Setelah berusaha menahan
rasa sakit di tubuh yang tidak bisa ditolerir lagi. Terlebih kepalanya semakin terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menggelayuti tubuhnya.
Sudah 10 menit berlalu, kalau Liana tidak mengetuk pintu, Tsabit mungkin sudah terlelap di kamar.
"Masuk aja, ma" sahutnya dengan suara teredam guling sebagai penopang.
"Gimana keadaanmu, nak" Udah berkurang sakitnya?" Liana sudah duduk di tepi ranjang memegang lembut lengan Tsabit. Belum sempat Tsabit menjawab, Liana
sudah memberi reaksi lain.
"Tuh kan, malah tambah panas gini badan kamu" tangan itu beralih ke kening. "Badan kamu panas banget, sayang. Rebahan yang bener dong ini. Biar enakan
kamunya" wanita setengah baya itu menuntun Tsabit membenarkan posisinya. Dengan kesabaran berlebih, Ia pun melepas jilbab yang dikenakan putrinya. Tak
lupa melepas sepatunya hingga menggantikannya pakaian.
"Coba sini mama cek dulu berapa panasnya" Liana menempatkan termometer di ketiak Tsabit. Setelah menunggu beberapa menit, benda itu memunculkan angka digital.
"Masya Allah" desah Liana.
"Berapa ma?" "37" Tsabit langsung merebahkan tubuhnya di kepala ranjang hanya setengah duduk. Wajahnya pucat disertai bibir yang kering. Usai makan malam meski hanya dua
sendok nasi, Tsabit akhirnya meminum lagi obat pemberian Liana. Itu pun harus dibujuk berulang ulang bahkan Liana mengancamnya ke rumah sakit. Tsabit tidak
ingin repot repot ke rumah sakit hanya untuk penyakit yang menurutnya tidak begitu parah. Ini hanya kelelahan biasa. Ditambah banyaknya pikiran akan masalah
masalah yang menimpanya. "Kalau besok panas kamu gak turun juga, terpaksa mama hubungin pak Dana buat minta izinin kamu absen beberapa hari" ancam Liana yang masih setia menemani
Tsabit di kamar. "Jangan gitu napa, ma. Nanti aku gak dapet uang insentif bulan ini" rengeknya.
"Sekali kali gak dapet uang insentif gak apa apa, nak. Uangnya gak seberapa sama mahalnya kesehatan kamu. Selama bekerja di sana kamu aktif banget sampai
sampai gak mikirin diri kamu sendiri. Mama seneng kok, kalo kamu jadi pegawai teladan, lalu masuk daftar zero absen selama lima tahun terakhir, ditambah
lagi sudah bisa mengelola bisnis sendiri. Tapi mama minta kamu tetap jaga kondisi kamu"
"Sakit itu bukan hanya sekedar penggugur dosa, tapi juga sebagai teguran buat kita. Allah sudah memberi kita jiwa dan raga yang sedemikian sempurna. Maka
kita harus bersyukur dengan menjaganya, sayang"
Setiap nasehat demi nasehat yang terucap dari bibir Liana seperti suplemen menyegarkan bagi Tsabit. Di saat orang orang mengeluhkan ibu mereka yang cerewet,
Tsabit justru bangga memiliki ibu secerewet Liana. Baginya, letak kesempurnaan seorang ibu terletak pada tingkat kecerewetannya. Jadi berbanggalah kalian
yang mempunyai ibu cerewet. Karena itu lah satu satunya yang akan kalian rindukan kelak jika beliau pergi meninggalkan kita.
"Ma, aku mau nanya sesuatu deh" tanya Tsabit memainkan rambut Liana dalam dekapan hangatnya.
"Mau nanya apa?" Sebelumnya Tsabit terdiam beberapa detik.
"Mama gak takut aku jadi perawan tua" Mama kan tau sendiri. Di umur ku yang sekarang, belum ada satu pun laki laki yang aku kenalin ke mama" mendengar
hal itu, Liana lantas tersenyum hangat.
"Kenapa harus takut" Mama yakin jodoh kamu lagi otw." jadi buat apa dikhawatirkan" Mama percaya sama Allah. Dia sedang sibuk merangkai kehidupan indah
buat kamu, termasuk perihal jodoh" selalu ada kedamaian mendengar tuturan Liana kepada putri tunggalnya itu.
"Mama gak risih sama omongan orang orang" Tsabit tau selama ini teman teman mama pada nanyain 'kok belum mantu mantu sih"' Atau gini 'kapan gendong cucu"'
Aku aja yang denger gerah, ma"
"Kita hanya diberi dua tangan sama Allah. Dan itu tidak cukup untuk menutup mulut mereka yang berkata buruk tentang kita. Maka lebih baik, gunakan dua
tangan tersebut untuk menutup telinga kita saja" senyum hangat itu enggan berpindah dari cahaya wajah Liana. "Mama sih udah kebal sama omongan yang kayak
gitu. Kalo lagi iseng nih, mama jawab aja gini 'belum lah jeng, ya kali alphard lakunya secepet avanza" Liana terkekeh geli disusul tawa Tsabit.
"Atau enggak jawab gini aja, ma 'emang kalo saya nge-mantu, situ mau amplopin berapa"' Gitu ma. Biar mereka diem"
"Bisa aja kamu. Lagian ada angin apa tiba tiba anak mama nanyain nikah" Heum?" Ditatapnya wajah Tsabit. "Bukan apa apa kok, ma. Iseng aja" jawab Tsabit
cengengesan. "Kelak kamu menikah, mama pesan sama kamu. Surga kamu ada pada suami kamu nanti. Dan surga dia tetap pada ibunya. Maka kamu jangan pernah menjauhkan dia
dari ibunya. Sayangi mereka seperti kamu menyayangi mama dan papa" pesan Liana barusan justru memberi tanda lain di hati Tsabit. Tiba tiba saja ia teringat
akan Kartika dan Arsa. Bagaimana jika mereka menyetujui syarat yang diberikan" Lantas menikah dengan pria tengil itu. Keputusan Tsabit mengajukan pernikahan tak ubahnya seperti
dua sisi mata koin yang berbeda. Di sisi lain, Tsabit mengajukan syarat tersebut agar sepasang ibu dan anak itu tidak mengganggunya lagi. Tapi sisi lain
dirinya menyayangkan keputusan tersebut.
"Meski pada akhirnya kamu akan menjadi janda sekalipun?"
Kalimat itu sedang menari nari indah dipikirannya dan terus terulang layaknya kaset kusut. Perceraian adalah hal yang amat dibenci Allah. Bagaimana jika
itu terjadi" Seumur hidupnya, cerai merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan. Bahkan ia tidak pernah terlintas memikirkan hal itu.
**** "Maunya apa, sih dia" Heran. Tinggal bilang 'iya' doang apa susahnya, sih"
Kartika berjalan anggun menuju kamar sepulang dari Cafe. Ada Arsa yang mengekor.
"Diem diem dia lebih picik dari kita. Dikira nikah gampang kali. Enak aja minta dinikahin. Kalau gak mau yauda. Gampang cari perempuan yang lebih pantes
dari dia. Sok jual mahal banget, sih!" Cacian itu tidak berhenti sampai Kartika kembali dari kamar mandi berganti pakaian. Di tempat tidurnya, ada Arsa
yang sibuk dengan ponsel. Lagi lagi ponsel.
"Bener, kan kata ku. Dia belum tentu langsung nerima. Aku udah khatam sama perempuan kayak dia, ma. Dia bukan perempuan sembarangan. Otaknya udah dicuci
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama ke-fanatikan-nya" sahut Arsa duduk di sofa dekat lampu tidur. "Masih ada aja sih, orang primitif kayak dia. Lahirnya di gunung kali ya" tambahnya.
Kartika menghembuskan asap asap putih dari mulutnya. "Mama bisa tuntut dia kalo gini caranya"
"Apa yang mau dituntut, ma" Mama sama aja bunuh diri kalau gitu. Bisa bisa dia beberin ke wartawan dan image kita semakin jelek. Mau kayak gitu?"
Kartika diam membenarkan.
"Apa kita teror dia aja?"
Arsa tertawa cemooh. "Kurang kerjaan banget neror dia. Kayak gak ada kesibukan lain aja"
"Ya terus gimana, Arsa" Kamu jangan sibuk hape mulu dong. Mama stress nih" dihisapnya rokok tersebut. Arsa menghampiri sang mama menatapnya lembut.
"Ini tandanya, mama harus menerima kehadiran Fania di kehidupan nyata kita. Termasuk ke khalayak ramai kalau Kelana Arsalais telah resmi menjalin kasih
dengan Fania malaika"
"Kamu gak ngerti, Arsa"
"Apa yang aku gak tahu" Coba mama jelasin kenapa mama menutupi hubungan Arsa ke orang orang" Karena malu" Fania sederajat sama kita. Dia cantik juga berpendidikan.
Untuk ukuran seorang wanita, dia masuk hitungan sempurna, ma. Gak bakal malu maluin dibawa kondangan juga. Beda banget sama harimau betina itu"
Diam diam Kartika mempertimbangkan perkataan Arsa. Ia akui Fania memang cantik." Kecantikannya bahkan melebihi Tsabit. Sebenarnya ia bisa dengan mudah
membawa Fania ke publik sebagai kekasih dari putranya. Tapi lagi lagi ada yang mengganjal pikirannya. Dan itu sesuatu yang sama. Orang tua Fania.
"Mama pertimbangkan lagi ya. Arsa yakin Fania gak bakal ngecewain mama dan keluarga kita. Lupain cewek primitif itu. Dia pantesnya sama cowok yang sama
primitifnya" Arsa pun berjalan meninggalkan Kartika. Bersamaan dengan itu, ada pesan masuk dari ponsel Kartika. Dari jeng Nara.
Hai, jeng. Sudah tahu update berita hari ini" Arsa lagi hot tuh dibicarain.
Deg! Langsung saja Kartika membuka situs berita online langganannya. Ada beberapa berita update hari ini. Dan itu menyangkut Arsa, putranya. Ia meng-klik salah
satu halaman teratas. TERTANGKAP SEDANG BERSAMA WANITA LAIN, KELANA ARSALAIS DIDUGA BERSELINGKUH
Setelah berembus kabar bahwa Kartika saraswati mengenalkan calon menantu misteriusnya dari putranya yang bernama Kelana Arsalais alias Arsa, kini publik
dihebohkan dengan beredarnya foto Arsa bersama wanita yang berbeda. Di suatu taman olahraga, ia nampak mesra dengan wanita berambut panjang yang tidak
diketahui identitasnya. Lantas, benarkah Arsa berselingkuh" Atau ini hanya rekayasa semata"
Kartika menegang saat itu juga. Diremukannya rokok di atas asbak. Lalu berjalan tergesa gesa keluar kamar seraya memanggil Arsa.
"Cepat hubungi Tsabit sekarang juga" begitu perintahnya.
*** Ada sepasang kekasih di sana. Mereka sedang menikmati malam romantis ditemani sepasang lilin yang menemani. Juga nuansa ketenangan tercipta di ruangan
khusus ini. Mereka saling menikmati hidangan lezat dihadapann mereka. Sesekali saling menatap satu sama lain. Tatapan penuh cinta yang menggebu gebu.
Si pria tak bosan memandang kecantikan si gadis malam ini. Nampak anggun berbalut gaun putih berbahu terbuka, dengan panjang sebatas lutut. Juga si pria
yang nampak gagah dengan setelan kemeja panjang biru yang digulung sebatas sikut.
"Kamu gak apa apa kan pulang malem gini?"
"Gak apa apa. Kalau perginya sama kamu, mami papi pasti percaya, kok" si gadis tersenyum manis. Lantas mendapat belaian lembut di pipinya.
"Soalnya masih ada sesuatu yang mau aku tunjukin ke kamu"
"Ohya" Apa?" Si gadis nampak antusias.
"Rahasia. Kan kejutan" si pria menatap hangat mata indah di hadapannya. Lalu meneruskan menikmati hidangan malam ini.
*** TBC.. 09. Pelamar professional Akhirnya Tsabit harus terbaring di ranjang empuk beraroma obat obatan. Meski aroma tersebut menyegarkan, Tsabit tidak bisa menghirupnya dengan perasaan
bahagia. Bersahabat selang infus, membuat Tsabit ingin segera pulang dari sini. Dokter Zee mengatakan, ia terkena dehidrasi. Itu tidak membutuhkan waktu
berhari hari untuk dirawat. Kalau pun iya, Tsabit memilih dirawat di rumah. Kemungkinan sore nanti ia sudah dibolehkan pulang.
"Kamu tidur dimana semalam?" Tanya Tsabit menyuap potongan apel sambil duduk bersandar meluruskan kaki di ranjang.
"Di sofa" jawab Rayyan. Pria baik hati yang merelakan dirinya bergantian dengan Liana dan James untuk menemani Tsabit semalaman.
"Eh, ngomong ngomong kamu kapan dateng kesini" Kok aku gak tau ya" dilihatnya Rayyan sedang melipat selimut yang ia pakai untuk tidur. Lalu berjalan menuju
kamar mandi. "Pas kamu lagi tidur. Tante Liana telpon aku, buat nemenin kamu disini" jawab Rayyan setibanya dari kamar mandi untuk berwudhu. "Aku ke masjid dulu ya"
Tsabit mengangguk. "Jangan kabur" pesannya sambil berjalan keluar. Tsabit mencebik.
"Siap bos" Selagi menunggu Rayyan melaksanakan sholat Dhuha, Tsabit memilih menikmati potongan apel di piring dengan lahap. Meski sakit, nafsu makannya terhadap buah
apel tidak berkurang. Malah bertambah. Beruntung Aufa dan Sina menjenguk dan membawakan buah kesukaannya tersebut. Hingga suara dering ponsel menyita aktifitas
makannya. Dilihatnya nama yang terpampang pada layar. Tsabit mengernyit samar.
"Mau ngapain dia nelpon?" Gumamnya. "Angkat gak ya?" Telunjuknya mengetuk ngetuk dagu. "Gak usah aja lah. Paling mau nyari masalah lagi" dalam keadaan
berdering, ditaruhnya ponsel tersebut di atas meja.
Ponsel itu berdering kedua kalinya. Masih dari orang yang sama. Mau tidak mau akhirnya Tsabit men-touch kolom hijau pada layar.
"Assalamualaikum. Kenapa?" Sambutan bernada sinis cocok untuk pria bernama Arsa.
"Kalo lagi sakit gak boleh jutek jutek" Suara Arsa terdengar serak serak basah dari sana. "Masih di rumah sakit?" Tanyanya.
"Masih" Tsabit tersadar sesuatu lalu memindahkan ponsel ke telinga kiri. "Tau dari mana kalau saya sakit?"
"Mata mata gue banyak" Tsabit mengerucut keki. "Nyokap gue mau kesana. Tungguin ya"
"Gak perlu repot repot. Nanti sore saya sudah bisa pulang" Tsabit memutar bola mata ke atas.
"Telat. Nyokap gue udah sampe di depan pintu ruang dahlia 3"
"Maksudnya?" Panggilan terputus begitu saja tanpa memberi Tsabit kesempatan berbicara. "Dasar tidak sopan" umpatnya. Bersamaan dengan itu, ada suara ketukan pintu.
Tanpa menunggu jawaban, pintu sudah terbuka.
Sosok yang tidak diinginkannya berdiri di ambang pintu tersenyum anggun sambil membawa parsel buah. Arsa benar benar kelewatan. Seharusnya ia bilang sejak
awal kalau Kartika akan menjenguknya hari ini.
"Boleh saya masuk?" Kalau sudah di hadapannya seperti ini, tidak mungkin kan Tsabit mengusirnya"
"Silakan, tante" ia tersenyum lalu berjalan menghampiri. Tsabit tidak melihat keberadaan Arsa. Apa dia tidak ikut"
"Kenapa sepi sekali" Mana orang tua kamu?" Kartika menaruh parsel buah di meja. Ia berdiri di tepi ranjang.
"Mereka di rumah. Sedang perjalanan kesini" jawab Tsabit menghabiskan sisa potongan apel pada piring lalu meletakannya dekat parsel pemberian Kartika.
"Lantas kamu sendirian?"
"Ada sahabat saya yang menemani. Dia sedang sholat Dhuha di Masjid"
Kartika meng-oh. Setelah itu mereka berbincang bincang cukup lama. Sebelumnya ia memberi semangat dan do'a agar Tsabit lekas sembuh. Dari obrolan mereka
memang tidak ada yang aneh. Hanya saja, Kartika terlihat lebih bersahabat hari ini. Diluar kecurigaan terhadap wanita itu, Tsabit menyambut sikap itu dengan
baik. Selama tidak merugikan dirinya.
Selain menjenguk, Kartika punya maksud dan tujuan lain. Setelah membicarakan hal hal ringan bersama Tsabit. Ia pun memasang wajah serius.
"Tsabita. Ada hal lain yang ingin saya bicarakan dengan kamu. Saya yakin kamu pasti tahu apa itu" ia menaruh tangan di atas tubuh Tsabit. Menciptakan gerakan
abstrak disana. "Tentang pengajuan saya waktu itu" Tsabit menatap serius. "Benar, kan?" Kartika mengangguk. "Lantas apa keputusan anda?" Tsabit merapikan atasan mukena
pink berkatun jepang yang ia kenakan sebagai pengganti jilbab.
"Apa tidak apa apa jika kita membicarakan ini sekarang?" Kartika agak cemas. "Maksud saya. Saya tidak ingin kamu semakin drop mengenai keputusan saya"
"Insya Allah saya akan baik baik saja. Katakanlah" ada senyum lega terpancar dari wajah mereka.
"Saya menerima pengajuan kamu tentang adanya pernikahan dalam sandiwara ini"
Tsabit hampir kehilangan nafas saat itu juga. Tubuhnya seakan ingin melemas mengetahui hal ini. Andai waktu bisa diputar kembali agar membawanya ke masa
sehari yang lalu saja. Tentu Tsabit ingin menarik kembali pengajuannya. Sungguh sulit dibayangkan jika dirinya harus menikah dengan pria yang bahkan menganggapnya
gadis primitif. Belum lagi mengenai perceraian yang selalu menghantui pikirannya. Betapa Allah akan membenci dirinya jika itu sampai terjadi.
"Saya sudah pikirkan ini semalaman. Dan secepatnya kamu dan Arsa akan segera menikah" Kartika terus mempertahankan tatapan intens nya kepada Tsabit. Seolah
ingin tahu tiap detik reaksi yang diberikan terhadap apa yang baru saja diucapkan. Nyatanya, gadis itu tetap terlihat tenang dalam posisinya. Tidak menunjukan
ketakutan apapun. Pembawaan tersebut lah yang membuat Kartika salut. Kesimpulan lain tentang gadis itu, ialah Tsabit seorang yang elegant dalam menghadapi
apapun. Seolah batu karang sekalipun ia hadapi dengan satu garis senyuman.
"Rencananya pernikahan akan dilangsungkan secara diam diam setelah kamu pulih. Lalu besoknya saya akan membawa kamu dan Arsa ke hadapan teman teman saya
untuk dikenalkan kedua kalinya sebagai sepasang kekasih. Lalu selanjutnya kita akan mengadakan konfrensi pers tentang pemberitaan miring yang menyangkut
nama baik saya dan keluarga. Setelahnya kita bisa bicarakan nanti. Bagaimana?"
Tsabit menarik nafas samar. Sebelumnya ia mengambil segelas air putih di atas meja kecil. Kartika membantunya mengambil gelas tersebut. "Tapi saya minta
satu hal dari anda. Tolong rahasiakan tujuan pernikahan ini dari keluarga saya, termasuk mama dan papa saya. Saya tidak ingin mereka tahu bahwa pernikahan
ini terjadi karena adanya sandiwara. Itu akan menyakitkan hati mama saya. Mengetahui putri satu satunya menikah karena suatu keterpaksaan. Tentu anda pasti
bisa merasakan" meski terlihat tenang. Kartika bisa merasakan suatu beban berat yang harus Tsabit topang demi menolongnya. Ia menarik satu garis simetris
bibirnya. "Saya mengerti itu. Kalau begitu kita rubah saja rencana awal. Kalau pernikahan ini dilangsungkan secara diam diam, tentu mama kamu pasti akan terkejut
melihat berita di tv tentang status pacaran yang kita buat. Jadi, lebih baik saya yang membuat publik terkejut. Pernikahan ini akan saya langsungkan secara
mewah sekaligus perkenalan kamu sebagai istri sah Arsa. Itu artinya tidak akan ada sandiwara. Tapi pembersihan nama baik. Saya yakin tidak akan ada yang
tahu alasan murni pernikahan ini, selain kamu dan keluarga saya"
"Lalu mengenai perceraian?"
Kartika bergeming sejenak. "Itu kita bicarakan nanti. Yang penting saat ini adalah kesembuhan kamu terlebih dulu"
Mengenal Kartika lebih dalam tidak seburuk yang Tsabit bayangkan. Bahkan ia bisa merasakan kehangatan lain dari perlakuannya hari ini. Sungguh jauh dari
keangkuhan yang selama ini ia temui. Secuil harapan lainnya ialah semoga sikap hangatnya ini bukan sekedar basa basi semata. Setidaknya harus ada ketulusan
yang hadir. "Siapa yang menikah?"
Untung saja Rayyan datang ketika perjanjian ini usai dibicarakan. Semoga ia tidak mendengar pembicaraan mereka.
"Bukan siapa siapa. Oh ya, yan kenalkan ini tante Kartika. Ibu dari teman ku" Tsabit menatap Rayyan dan Kartika bergantian. "Dan tante, ini Rayyan. Sahabat
saya" Rayyan merespon ramah dengan menangkup dua tangan di dada sebagai pengganti jabat tangan. Kartika kikuk akan respon tersebut. Dalam hatinya menilai
pria seperti inilah yang harusnya menikah dengan Tsabit. Bukan Arsa.
*** "Kok bisa bisanya kamu menerima keputusan itu, ay" Lalu gimana nasib aku?" Fania menepuk nepuk dadanya sendiri. "Itu berarti kamu ninggalin aku demi menikah
sama perempuan yang bahkan kamu gak kenal" Fania mendengus kecewa.
"Bukan ninggalin, yang. Aku gak mungkin sanggup ninggalin kamu. Ini cuma sementara. Se-men-ta-ra" Arsa mengeja kata terakhir disertai genggaman erat tangan
Fania berusaha meyakinkan gadis itu. "Setelah itu aku bakal langsung ceraikan dia. Dan kita bakal kembali utuh. Aku cuma ingin menikah sama kamu, Fania
Malaika" Arsa menatap tulus gadisnya. Mereka duduk di taman tak jauh dari kampus. Arsa sengaja tidak mengikuti mata kuliah hari ini demi membicarakan hal
ini kepada Fania. "Tapi aku gak sanggup melihat kamu bersanding sama perempuan itu. Kamu itu milik aku. Bukan dia. Walaupun hanya sementara. Jangankan sementara, satu detik
pun aku gak bisa jauh dari kamu" ketidak terimaan Fania akan keputusan Arsa begitu menyayat hatinya. Bayangkan, dua tahun lamanya mereka berpacaran tanpa
diketahui publik. Fania berjuang mencintai Arsa dalam kondisi seperti ini. Belum lagi sikap dingin Kartika yang acap kali Fania terima kala ia bersikap
baik terhadapnya, semakin menambah perjuangannya. Dan kini perjuangan itu kembali harus dirajut dari nol hanya karena Arsa harus menikah dengan perempuan
asing" "Aku tahu. Aku tahu ketulusan yang kamu berikan buat aku. Tapi jangan kamu pikir aku senang ambil keputusan ini. Ini cobaan terberat buat aku, sayang.
Aku minta kamu mengerti posisi aku sekarang"
"Kamu sendiri aja gak ngerti gimana gak asiknya jadi aku"
Arsa merapatkan bibirnya sejenak. Mengumpulkan keping keping kesabaran. Ia tidak percaya akan mengalami ini semua. Selama dua tahun menjalin kasih dengan
Fania, ini adalah ujian terberat.
"Untuk kali ini, percaya sama aku. Apapun yang menimpa kita, aku tetap mencintai kamu. Cuma kamu satu satunya perempuan yang sukses menguasai hati dan
jiwa ini, sayang" Diraihnya bahu Fania agar bisa leluasa menatap keindahan gadis berkulit putih itu. Wajahnya memerah karena menahan tangis. Kristal bening
cair itu akhirnya tampak lalu berjalan menelusuri pipi. Fania merasa ada yang menarik lembut dagunya. Kini sepasang mata itu menyapa si pemilik mata sayu
Arsa. "Aku takkan berjanji akan menunggumu. Tapi bila kita berjodoh, aku yakin hatimu dan hatiku tak akan berubah sampai kita dipertemukan kembali" seiring kata
kata itu terlontar dari mulut Arsa, maka semakin deras cairan bening yang lepas dari bendungan berkelopak. Fania tidak mampu menahan tangis yang menyerang.
Baginya ini seperti perpisahan menyakitkan.
"Tunggu aku di sepenggal kisah yang telah kita rajut. Maka aku bersedia menenunnya menjadi sehelai kain sutra yang indah" Fania membalasnya dengan sebait
kalimat sederhana sebagai pewakil hatinya.
"Aku bakal tunggu kamu membawa janji yang sudah kita jalin, Kelana Arsalais. Aku mencintaimu" dan senyum indah itu akhirnya menampakan diri dari peredaran
wajah Fania. Arsa melakukan gerakan yang sama.
"I love you more more more more and more than everything, darl"
Ada sentuhan hangat mendarat di kening Fania. Ia membawa kenyaman dan ketulusan dari setiap kecupan yang ada. Tautan itu pun harus berakhir, setelah Fania
menerima telepon dari seseorang. Salah satu temannya mengajaknya berbelanja hari ini. Arsa meng-iyakan.
"Hati hati. Jangan lupa kabarin aku ya"
*** Abrar baru saja keluar dari ruangan seseorang. Setelah memakan waktu lama berbincang membicarakan bisnis dan semacamnya. Ia pun pamit undur diri dari sana.
"Kapan kapan kalau free bisa dong mampir lagi?" Pria yang mengekor langkah Abrar, tertawa kecil, menemani Abrar menuju loby bawah. "Siapa tahu kita bisa
menjalin kerja sama lagi di bidang lain"
Abrar mengulum senyum. "Insya Allah ya, Dan. Lo tahu sendiri, duda keren kayak gue sibuknya kayak apa. Punya dua status. Jadi ayah iya, jadi ibu iya" jawab
Abrar menelusuri koridor menuju lift.
"Aih, bangga banget jadi duda. Cepet cepet cari pengganti lah. Emang gak kesepian, tidur ditemenin anak sama guling doang?" Abrar menepuk punggung rekan
bisnis papanya sekaligus anak dari sahabat sang papa.
"Dana.. Dana.. Dikira nyari istri itu kayak nyari cabe cabean apa" Susah bro" Abrar dan Dana sudah berada di dalam lift. "Gue nyari istri yang gak cuma
bisa ngambil hati gue dan Diva aja. Tapi juga nyokap gue. Ya, you know what lah" Abrar memijit angka 1 pada tombol lift.
"yes, i know that. Kalo bukan karena beliau, lo gak mungkin menceraikan istri lo, kan?" Tebak Dana. Abrar mengangguk, mengangkat ibu jari ke udara.
"Gue doain, deh biar lo cepet dapet pengganti Maudy. Lo masih muda, masa betah jadi single parent."
"Asal ganteng mah gak apa apa, dan"
Mereka sudah berada di lantai satu. Sebelum Abrar pamit, Dana hendak menanyakan sesuatu.
"Ngomong ngomong, kok lo bisa kenal Tsabit?" Tanya Dana menanyakan alasan Abrar mendatangi Prams hanya untuk meminta data atau infomasi tentang Tsabit.
Mengingat ia pernah menjadi tukang ojek dadakan gadis itu lalu mengantarnya ke tempat ini. Suatu kebetulan yang indah, Abrar bisa mengorek informasi dari
teman lamanya, Dana. Sebelum menjawab, ia tersenyum. "Entahlah, panjang ceritanya. Kayaknya Tuhan sengaja mempertemukan gue sama dia. Buktinya aja dia
bisa kebetulan bekerja disini. Selain gue bisa nyari tau tentang dia, gue bisa menyambung tali sillaturahim papa ke lo. Ya gak?"
"Roman romannya ada yang lagi jatuh cinta, nih" ledek Dana. "Gue tunggu undangan pernikahan kedua lo, bro"
"Haha. Thank you papa muda. Setelah ini bakal ada kabar baik. Dan lo orang pertama yang gue kasih tahu"
"Sip" Keduanya tertawa lepas lalu Abrar pamit pergi menuju parkiran mobil. Disana sudah ada Diva yang menunggunya, ditemani boneka barbie berada di pangkuannya.
Sesampainya di mobil, Abrar tidak langsung mengemudikan mobilnya, melainkan menelepon seseorang.
"Hallo, dengan Annita floris" Saya ingin memesan rangkaian bunga Daisy" Diva melirik sang papa. "Iya betul. Tolong kirimkan bunga tersebut ke alamat rumah
sakit yang nanti nama dan ruangannya saya kirim lewat sms ya"
"Tidak usah. Cantumkan saja nama hamba Allah disana"
Telepon terputus. Abrar tersenyum seraya mengelus lembut puncak kepala Diva kemudian melajukan mobilnya.
*** Sejak siang Liana dibuat sibuk menata dan melipat pakaian Tsabit lalu memasukannya ke dalam tas besar. Dibantu Rayyan yang juga merapikan peralatan makan
Tsabit untuk dibawa pulang. Beruntung hari ini Rayyan tidak terlalu sibuk, jadi ia bisa seharian di rumah sakit menemani serta membantu Liana berkemas.
Sedang James sibuk mengurus pembayaran dan menyiapkan mobil.
"Cie, yang punya penggemar rahasia" ledek Rayyan melirik Tsabit yang sibuk mencari tahu asal bunga Daisy kiriman seseorang yang diberikan suster tadi siang.
"Anak tante punya fans juga ternyata"
Liana ikut melirik sekilas sambil menggeleng. "Pengirimnya belum ketauan juga, nak?"
"Belum nih, ma. Udah aku udek udek ini bunga gak ada kartu ucapan lagi. Cuma ada selembar kertas ini doang" Tsabit menunjukan selembar kertas putih lalu
membaca tulisan disana. "Semoga lekas sembuh. Untuk kamu yang kehadirannya menambah jumlah warna dalam pelangi, dari hamba Allah. Begitu katanya, ma" usai
Tsabit membacakan isi kertas tersebut.
"Duh, so sweet banget, nak" kommentar Liana dengan wajah sumringah.
"So sweet darimana. Kayak gini mah gak romantis, ma. Nulis begini doang siapa aja juga bisa. Rayyan juga bisa, ya gak, yan?" Tsabit menaruh bunga tersebut
di atas lemari kecil. Ia bangkit dari duduk menuju kamar ganti.
"Bener tuh, tante. Kata kata romantis gitu banyak di google. Setelah di klik, tinggal dicopas, deh" Rayyan telah selesai mencuci peralatan makan. Dan kini
semua telah rapi. Tinggal menunggu pembayaran administrasi selesai, dan Tsabit bisa segera pulang.
"Tapi kan dia udah susah susah ngirim ini ke Tsabit. Hargai dong usahanya. Dia pasti mau ungkapin perasaannya, tapi dia malu" Liana membela si pengirim
bunga Daisy berpita merah muda itu. "Kira kira siapa ya yang ngirim" Mama jadi penasaran" Liana berangan angan seraya memandang langit langit.
"Kira kira siapa ya yang ngirim" Mama jadi penasaran" Liana berangan angan seraya memandang langit langit
"Aku berterimakasih deh sama si pengirim misterius itu. Setidaknya dia bisa tau bunga kesukaan aku" Tsabit muncul dari kamar ganti. Ia telah rapi dengan
sweater merah marun dipadu rok hitam, serta pashmina merah muda bermotif memberi kesan sederhana penampilannya. Di usianya yang sekarang, ia bisa terlihat
10 tahun lebih muda. Berkat kecantikan alami serta gaya berpakaian yang fleksibel terhadap zaman. Tidak terlalu norak, juga tidak terlalu kuno tapi tetap
pada unsur syariat menutup aurat.
"Tapi dari hati ku yang paling dalam, bukan bunga atau pun kata kata romantis itu yang aku butuhkan. Tapi seseorang yang datang melamar lalu mengajak ku
bersanding dalam ikatan halal" Tsabit menautkan dua kepalan tangan di dada. Matanya berbinar menatap langit langit kamar sembari membayangkan dirinya berada
di posisi Larissa Chou, seorang gadis muallaf berusia 20 tahun yang dipersunting Muhammad Alvin Faiz, putra sulung ustad ternama. Sosok yang sedang dibicarakan
netizen baru baru ini. Kabar pernikahan mereka sedang heboh. Alvin yang baru berumur 17 tahun menikahi Larissa Chou, gadis keturunan tionghoa yang lebih
tua darinya. Dan yang lebih membanggakan, sebelum menikah, Alvin berhasil meng-islamkan 3 generasi Larissa. Yakni papa dan omanya.
Betapa Allah memiliki peran terbesar dari sana. Berkat kehendaknya lah apa pun bisa terjadi. Maka hidayah sesungguhnya hanyalah milik Allah. Jika banyak
dari mereka yang hanya menunggu hidayah tersebut. Maka sebaiknya mereka menjemputnya. Layaknya Cinta yang tidak hanya di cari lalu ditunggu, tapi juga
ditumbuhkan. Dari kisah tersebut, Tsabit meyakini; laki laki yang baik hanya untuk wanita yang baik pula. Begitu juga dirinya. Entah siapapun jodohku,
aku sedang berjuang menuju Allah agar Dia mempertemukan kita melalui uluran tangan lembutNya. Begitulah lirih Tsabit dalam batin.
Tak lama setelah itu, ada seseorang mengetuk pintu ruang Dahlia 3. Cukup membuyarkan khayalan Tsabit. Rayyan berinisiatif membukakan pintu.
"Permisi. Saya ingin menemui orang tua Tsabita ilana"
Dilanda rasa penasaran, Tsabit sedikit melongokan kepala ke arah pintu, berusaha melihat siapa sosok yang ingin menemuinya. Mendengar suaranya, Tsabit
merasa familiar. "Dengan siapa kalau boleh tahu?" Tanya Rayyan berhadapan dengan sosok pria yang tingginya hampir sederajat. Mata mereka saling bertemu. Rayyan mengabsen
pria itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Nampak sempurna dengan kemeja krem berlengan pendek, memakai tas punggung hitam sambil membawa kotak kecil
ditangannya. Belum sempat ia menjawab, Tsabit sudah lebih dulu menemui mereka. Dua detik setelah itu, ia tersentak kaget.
"Arsa?" *** Seluruh penghuni ruang Dahlia 3 terdiam. Dalam diam, mereka menatap satu sosok di hadapan mereka. Sosok yang sedang duduk sopan di sofa. Tertunduk menggenggam
kotak beludru merah. Liana, James, bahkan Rayyan tak puas mengamati pria itu. Terkecuali Tsabit. Ia hanya sibuk menarikan jemari di atas layar ponsel.
"Kamu benar benar ingin melamar putri saya?" James mengulang permintaan Arsa sejak kedatangannya di tempat ini. Jangankan James, Liana pun tidak percaya
dengan keadaan ini. Tiba tiba saja kehadiran Arsa, menyatakan dirinya ingin melamar Tsabit, putri mereka. Arsa mengangguk mantap.
"Benar, om tante. Saya bersungguh sungguh ingin menikahi Tsabit" jawaban itu terucap seiring Arsa mendongak menghadap James dengan sorot mata berbeda.
Liana berangsur duduk di sebelah Arsa.
"Apa kamu benar benar mencintai Tsabit, nak Arsa?" Entah kenapa Liana menyimpan harapan besar pada pria itu. Arsa mengulum senyum. "Saya dan Tsabit memang
belum saling mencintai. Maka dari itu, lewat pernikahan ini saya ingin merajut cinta dengannya. Saya ingin menumbuhkan cinta melalui jalan yang Allah ridhoi"
Liana terperangah mendengar jawaban itu. Begitu juga dengan James. Tidak terkecuali Tsabit. Meskipun ia tahu sebenarnya tujuan Arsa melamarnya hari ini
merupakan bagian dari sandiwara Kartika. Kartika ingin pernikahan ini terlihat seperti nyata. Tapi ada perasaan lain yang muncul ketika Arsa mengatakan
itu semua. Entah ia searching darimana kata kata sok manis itu. Namun cukup membuat Tsabit kewalahan berperang melawan detak jantung yang mulai tidak terkontrol.
Arsa juga menambahkan, "Saya ingin menikahi Tsabit, karena saya ingin membuatnya jatuh cinta kepada saya. Bukankah jika seorang pria berani membuat wanita
jatuh cinta kepadanya, maka ia juga harus berani menikahi wanita tersebut?" Lantas ia menatap Tsabit. "Setidaknya pelajaran itu yang saya dapat sejak mengenal
Tsabit" Tsabit langsung menunduk salah tingkah. Ingat Tsabit, Dia hanya akting. Tidak lebih. Buang jauh jauh ke-baper-an kamu. Hati Tsabit berusaha meneriaki kegugupannya.
Andai itu bukan sandiwara, andai bukan Arsa yang mengatakan itu semua, sungguh akan menjadi kalimat paling romantis sepanjang ia mendengar quotes quotes
di instagram. Ia menyayangkan. Kenapa harus Arsa yang mengatakan itu semua.
"Saya tidak percaya akhirnya ada pria yang berani meminang putri saya. Sungguh kamu adalah pria mengagumkan, nak Kelana" puji James bangga. Ia lebih suka
memanggilnya Kelana ketimbang Arsa. "Saya pikir, tidak ada pria yang berani melamar seperti kamu, secara putri saya ini adalah gadis yang sangar"
Arsa menyembunyikan gigi dalam bibir, menciptakan kedutan berusaha menahan tawa. Ia tertunduk sebentar agar tidak ada yang melihat usahanya melawan tawa.
Ayahnya sendiri saja menganggap putrinya sangar. Tidak salah kalau ia menyebutnya harimau betina. Ledek Arsa dalam hati. Melihat ekspresi tersebut, Tsabit
melototi Arsa. James tertawa kecil melihat interaksi mereka. "Tapi ia memiliki hati seputih melati. Hatinya yang sensitif membuat ia begitu menyayangi
kedua orangtuanya" James menoleh seraya tersenyum haru.
"Saya bisa melihat itu, om" ucap Arsa.
Oke. Besok besok Tsabit akan mencalonkan Arsa sebagai kandidat ajang penghargaan bergengsi dengan nominasi pemilik akting terbaik. Sungguh aktingnya, benar
benar hebat. Kalah Jhonny Deep atau Robert Pattinson atau mungkin Leonardo Dicaprio.
"Jujur nak Arsa. kedatangan kamu disini tidak hanya mengejutkan. Tapi juga memberi harapan besar kepada kami" Liana membuka suara lagi. "Akhirnya doa kami
selama ini terkabul. Allah mengirim kamu menjadi sosok pria yang siap membimbing Tsabit. Saya yakin kamu bukan pria sembarangan. Tidak hanya tampan, tapi
kamu juga dewasa" Arsa tersenyum akan sanjungan tersebut. Ia melirik Tsabit. Dilihatnya gadis itu sedang memutar bola mata sebal. Tsabit pasti jengkel
melihat Arsa bisa dengan mudah mengambil hati orang tuanya. Pria itu menyeringai kecil.
"Kalau boleh tahu, berapa umur kamu, nak?"
"22 , tante" James dan Liana menganga tak percaya. "Kamu tidak bohong, kan?"
"Tidak, tante. Umur saya memang 22 tahun" jelas Arsa mempertahankan kelembutan berbicaranya di hadapan mereka. Sejak mengenal Arsa, ini pertama kalinya
Tsabit melihat pria itu bersikap sopan. Kemana perginya si sifat tengil dan sombongnya itu"
"Masih muda sekali kamu, nak. Tapi sifat kamu lebih dewasa dari Tsabit"
Dia gak tahu aja aslinya kayak gimana. Umpat Tsabit dalam hati.
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi apa kamu bisa membimbing Tsabit nantinya?" Arsa tersenyum lagi. Dan menatap Tsabit (lagi). Dan Tsabit harus menunduk (lagi).
"Usia tidak menjadi patokan kedewasaan seseorang. Menurut saya. Tua itu pasti, dewasa itu pilihan" jawaban yang memuaskan. Oke Arsa selamat. Kamu berhasil
mendapat piala citra sebagai aktor terbaik.
Liana menatap Tsabit. Lalu kembali menatap Arsa. "Meskipun kami menyukai kepribadian kamu, jawaban tetap ada pada Tsabit, nak. Kamu siap menerima apapun
jawabannya?" Liana berusaha meyakinkan.
"Insya Allah saya siap. Toh, kalau Tsabit menolak. Saya tetap yakin, bahwa Allah telah berjanji menjadikan manusia saling berpasang pasangan. Seperti yang
terkandung dalam surat An naba ayat 8"
Fix! Ini bukan Arsa. Mana Arsa yang tengil dan kasar itu" Kenapa ia lebih menawan dengan kata katanya" Nyontek darimana dia" Tsabit semakin keki dibuatnya.
"Tuh, bit jawab. Diterima gak lamarannya?" Rayyan ikut ambil bagian dalam moment ini. Ia sedang berdiri melipat tangan mengamati Arsa dari sudut kamar.
Tsabit menunduk sambil memainkan kukunya. Meskipun lamaran ini hanya sandiwara, tapi rasanya seperti nyata. Tsabit merasakan deg degkan yang hebat. Ia
yakin Arsa tidak butuh jawaban apapun. Toh, pernikahan ini akan tetap berlangsung, kan"
"Ayo nak, dijawab. Kasian nak Arsa nungguin" Liana mengenggam erat punggung putrinya. Ada secuil harapan dari perlakuannya. Semoga harapan itu terwujud.
Tsabit masih bergeming. "Biar saya langsung yang minta, tante. Mungkin dia gugup" Arsa berangsur dari sofa. Lalu ia duduk berlutut di hadapan Tsabit yang duduk manis di atas ranjang.
Ia tunjukan kotak merah yang sedari tadi digenggamnya. Dibukanya kotak itu dan terpampanglah cincin emas bertahta permata cantik di bagian tengahnya.
"Tsabita Ilana,.. bersediakah kamu menerima khitbah ku" Kamu boleh menutup kotak ini kalau kamu menolak. Tapi jika kamu menerima, kamu cukup mengambil
cincin ini dari kotak. Tidak perlu memakainya. Biar aku saja yang memakaikannya dihadapan penghulu nanti"
Tsabit ingin buru buru ke kamar mandi sekarang. Atau setidaknya ia butuh kantong kresek untuk memuntahkan isi perutnya di depan Arsa. Apa yang baru saja
ia dengar seperti ungkapan murahan yang biasa dipakai para pemeran reality show yang lagi fenomenal saat ini. Alih alih menjadi pelamar amatir, Arsa justru
terlihat profesional memainkan perannya. Dilihatnya pria itu sedang menatapnya. Tak lama segaris senyum menawan menampakan diri.
"......" *** TBC... 10. Mimpi Rayyan berjalan santai memasuki rumah Tsabit. Sudah banyak orang disana. Selain sanak saudara juga ada kerabat dekat dari keluarga besar Tsabit. Tadi dalam
perjalanan Rayyan juga sempat melihat banyak wartawan telah bersiap meliput acara pernikahan putra bungsu Dirga Santoso, Kelana Arsalais dengan Tsabita
ilana. Mobil mobil berlogo stasiun Tv terparkir rapi memanjang di area komplek perumahan Bukit Permai. Ini adalah moment yang ditunggu wartawan. Mengingat
berita miring mengenai Arsa cukup menjadi tanda tanya mereka. Dan kini para pencari berita itu menyiapkan banyak amunisi untuk menghadapi fakta fakta baru
yang diberikan lalu di proses agar menjadi konsumsi publik.
Ia pun beralih mengamati detail detail dekorasi yang terpasang di setiap sudut kediaman Tsabit. Rumah sederhana itu disulapnya menjadi begitu mewah berkat
tangan tangan sang ahli dekor. Kartika yang mengusul tema bernuansa pink dan silver sesuai warna kesukaan Tsabit. Selera"yang bagus, nilai Rayyan.
Setelah menemui Liana lalu meminta izin bertemu Tsabit, ia pun memasuki kamar dimana Tsabit sedang dirias.
"Tsabit" Rayyan mendapati seorang gadis yang sedang duduk di kursi rias membelakanginya. Ketika gadis itu menoleh, Rayyan seperti dibawa pergi oleh mesin
waktu menuju tempat dimana hanya ada para bidadari yang menghuni. Mulutnya hampir menganga melihat sosok berbeda dari gadis hyperaktif yang dikenalnya.
Tsabit begitu cantik dengan balutan gaun putih memanjang yang indah. Seindah paras si pemakainya.
"Eh, kamu Rayyan. kirain siapa" sapa Tsabit ramah seraya menoleh. "Liat ini deh. Bagus gak?" Tsabit menunjukan punggung tangannya yang nampak cantik berhias
lukisan white henna yang diberi gliter dan swarovsky semakin menambah keindahan jemari gadis itu. "Lucu ya" tambahnya.
Rayyan tersenyum lalu berkomentar, "so beautiful" Bukan mengomentari lukisan henna, melainkan gadis cantik di hadapannya. Matanya tak bosan memandang aura
yang terpancar. Baginya, ini bukan Tsabit sahabatnya. Melainkan bidadari surga yang sengaja turun ke bumi untuk membuat Rayyan mabuk kepayang tak berdaya.
"Aku sendiri yang milih motifnya, loh. Tadinya mau pakai warna merah marun. Tapi udah pasaran gitu kayaknya. Yauda aku pake putih aja. Sesuai kan sama
gaunnya" ada senyum bahagia yang terpancar dari wajah gadis itu. Rayyan diam tidak menyimak ucapan Tsabit. Ia asik berdiri bersandar di dinding, melipat
tangan dekat meja rias. "Aku boleh nanya sesuatu gak?" Tatapan Rayyan semakin dalam. Mencari celah jawaban atas pertanyaan yang akan ia ajukan. "Boleh. Mau nanya apa?"
"Kamu serius mau menikah sama dia?" Tanya Rayyan serius. Tsabit yang tadinya sibuk memandangi lukisan henna di tangan, harus mendongak kepada pria di hadapannya.
"Iya serius" Rayyan mencium keraguan dari jawaban Tsabit. Ia bisa melihat arti lain dari sorot mata gadis itu.
"Yakin?" Kepala Rayyan dimiringkan disertai tatapan mencurigakan guna mempertegas pertanyaannya.
"Iya yakin. Kenapa?" Tsabit mengangkat bahu. Pergerakannya cukup menyulitkan perias yang sedang sibuk memasang hiasan di kepala.
"Gak kenapa napa" ia memasukan tangan ke saku celana. "Kamu udah berapa lama kenal sama dia" Kok aku baru tahu ya. Dia temannya Idzar dan Aufa juga?"
"Namanya Arsa. Bukan dia" Tsabit mengkoreksi pertanyaan Rayyan. "Ya. Itu maksudku" Rayyan mendesah tak senang. Ada hening beberapa detik menyertai investigasi
yang dilakukan Rayyan kepada sahabatnya. Ia menunggu.
"Dia gak kenal Idzar atau pun Aufa. Kami baru kenal" jawab Tsabit. Rayyan memang tahu siapa siapa saja orang terdekat Tsabit selama ini. Termasuk Idzar,
Aufa, Diana dan Dana juga Sina. Tapi untuk Arsa, masuk pengecualian. Itulah sebabnya Rayyan menyimpan keraguan akan pernikahan ini. Baginya ini terlalu
mendadak. Sejak Arsa melamar Tsabit, seminggu kemudian mereka melangsungkan pernikahan. Pasti ada yang aneh.
"Kenal dimana?" Rayyan duduk di tepi ranjang yang telah di hias sprei cantik nan harum beraroma khas bunga. Tsabit melirik sekilas. "Di jalan kayaknya
gak sengaja. Aku lupa lupa inget" ia cengengesan memasang wajah polos. Siapa yang tahu dari wajah polos itu ia menyimpan kebohongan atas jawabannya. Bermodal
cerita apa saja yang melintas di otaknya. Semoga memuaskan ke-kepo-an Rayyan.
"Kok kamu gak cerita sama aku?"
"Kamu kenapa, sih yan?" Tsabit malah balik bertanya "Tumben banget nanyanya sampe detail gitu. Pengen nikah juga" Iya?"
"Dibilang gak kenapa napa. Cuma pengen tahu aja" ujar Rayyan enteng. Ia menarik nafas lalu tersenyum kecil. Ia senang hari ini. Sebab ada pemandangan indah
yang mampu menenangkan hatinya. "Kamu beda banget didandanin kayak gitu. Gak keliatan petakilannya"
"Emangnya aku petakilan ya?" Tanya Tsabit polos.
"Engga juga sih. Cuma gak bisa diem aja"
"Apa bedanya sama petakilan kalo gitu?" Ketus Tsabit kesal. Rayyan tertawa lepas. "Pagi pagi jangan bikin aku kesel, deh" ancamnya.
"Siapa yang bikin kesel. Aku kan jujur. Kamu terlihat beda banget. Saking bedanya, kecantikan kamu terpancar sempurna. Keliatan kalem dan anggun" Tsabit
tersenyum lebar akan lontaran pujian Rayyan. "Sayangnya petakilan, sih. Sangar pula. Semoga aja Arsa gak ilfil" setelah itu Rayyan mendapat tatapan membunuh
dari Tsabit. "Rayyan! Kurang kurangin ngeselinnya" Tidak ingin Tsabit ngamuk, ia pun melangkah pergi sambil terkekeh geli karena berhasil membuat Tsabit terbang lalu
dijatuhkan begitu saja. *** Tepat pukul 9 prosesi ijab qabul segera dimulai. Rombongan keluarga Arsa sudah hadir setelah sebelumnya menyita perhatian keluarga Tsabit. Banyak wartawan
yang menyorot kedatangan mereka hingga memasuki ruang utama. Sanak saudara Tsabit ada beberapa yang berbisik mengomentari calon besannya. Sungguh beruntung
Tsabit bisa menikah dengan putra bungsu keluarga kaya raya. Ada pula yang terkesima melihat kedatangan sang calon pengantin pria, terutama sepupu sepupu
Tsabit. Mereka melongo terpesona memandang ketampanan Arsa yang seperti ukiran patung dewa Yunani. Arsa pun tak bosan menebar senyum menawannya kepada
khalayak ramai. Keluarga besar Arsa menduduki kursi yang telah disediakan. Sekilas mata Arsa mencari sosok gadis yang akan menemaninya disini nanti. Tapi sepanjang ia
berjalan, sosok itu tidak ada. Mungkin masih berada di dalam kamar. Ada secuil keingin tahuan didirinya yang sulit dikendalikan. Bukan, bukan perasaan
jatuh cinta. Arsa belum mendapatkan perasaan itu. Ia hanya ingin melihat raut tegang Tsabit menjalani pernikahan sementara ini.
"Saya nikah dan kawinkan engkau Kelana Arsalais bin Dirga Santoso dengan ananda Tsabita ilana binti James Frank dengan mas kawin perhiasan emas dan kitab
suci Al qur'an dibayar tunai"
"Saya terima nikah dan kawinnya Tsabita ilana binti James Frank dengan mas kawin tersebut dibayar tunai"
"Saksi bagaimana" Sah?"
"Sah.. sah.." Riuh ramai tamu dan lantunan do'a menggema seisi acara. Prosesi ijab qabul pun berjalan dengan lancar dan khidmat. Arsa berhasil mengucapkannya dalam sekali
nafas. Beberapa kamera wartawan berhasil mengabadikan moment sakral itu dengan sempurna. Memang itu tujuan Kartika. Wanita itu tersenyum anggun.
Sayangnya wartawan belum mengambil gambar sosok sang pengantin wanita. Dikarenakan sosok yang dinanti belum muncul kehadirannya. Dan setelah menunggu beberapa
lama, akhirnya Tsabit diperbolehkan keluar menemui Arsa yang kini telah resmi menjadi suami sahnya. Ditemani sang mama dan Aufa yang sengaja ia minta khusus
untuk menjadi pendampingnya menuju mempelai pria, ia berjalan mantap ke arah ruang tamu yang dijadikannya sebagai tempat prosesi.
Ini seperti mimpi. Tsabit ingin sekali menampar pipinya sekali saja. Untuk memastikan bahwa yang terjadi padanya bukanlah mimpi. Di depan sana, puluhan
manusia menunggu kehadiran dirinya ditengah acara. Jantungnya tak berhenti memompa cepat. Rasa rasanya akan copot dari peredaran. Jarak dari kamar menuju
meja dimana Arsa dan penghulu duduk tidak begitu jauh. Hanya beberapa langkah saja. Tapi mengapa rasanya begitu lama sekali. Belum lagi tatapan tatapan
para tamu yang menjadikannya pusat perhatian. Juga kilat kilat cahaya kamera wartawan yang haus akan moment penting ini berusaha menyorotnya sehingga Tsabit
berulang kali menyipitkan mata.
Arsa mencoba melirik sosok gadis yang kini telah duduk bersanding dengannya. Ia mendapati si harimau betina itu nampak berbeda. Lewat lirikan mata ia bisa
perhatikan detail wajah Tsabit. Banyak kejutan menakjubkan yang tersembunyi. Gadis itu tetap tenang dan kalem, berhasil menutupi kegugupannya.
"Cantik" Tanpa sadar pujian itu terdengar samar dari mulut Arsa. Jika dilihat dari dekat Tsabit memiliki hidung yang indah. Kelopak matanya mengatup karena keseringan
menunduk sepanjang acara berjalan. Tapi Arsa bisa melihat jelas bentuk bulu matanya, nampak alami tanpa sentuhan maskara maupun bulu mata palsu.
"Tadi kamu ngomong apa?" Tanya Tsabit agak berbisik.
"Siapa yang ngomong" Daritadi gue diem aja. Salah denger kali lo" Arsa berkelit agak berbisik. Niat hati hanya ingin memandangnya sebentar, apa daya pesona
Tsabit bak magnet yang mampu menarik indera penglihatannya sehingga dirinya tertangkap basah sedang memerhatikan gadis itu. Arsa terkesiap samar sambil
menggaruk hidungnya yang tidak gatal.
Diantara keramaian banyak orang, ada seseorang diantara mereka yang sibuk menatap kedua pengantin yang sedang berbahagia. Ia menatapnya penuh kekecewaan.
Kemudian ia pun pergi menuju halaman. Berusaha menjauh sekaligus mendamaikan hatinya dari kenyataan pahit yang harus diterimanya hari ini.
*** Pernikahan adalah jembatan suci yang mempersatukan dua hal yang berbeda bisa berjalan dan berproses bersama. Menjadikan dua hal yang bertolak belakang
bisa sejalan dan saling menopang. Begitulah pemahaman Tsabit mengenai pernikahan sejati. Tapi sepertinya pemahaman itu justru berbanding terbalik dengan
kisahnya. Apa mungkin sosok Arsa bisa menjadi jembatan penyatu perbedaan mereka" Apa mungkin Arsa bisa menjadi tokoh utama dalam pemahamanya mengenai pernikahan"
Jawabanya tentu saja tidak. Di luar rasa bahagia karena akhirnya Tsabit bisa menyempurnakan separuh agamanya, ia sadar bahwa pernikahan ini tak lebih dari
sekedar sepenggal iklan yang tidak penting lalu dilewatkannya begitu saja. Layaknya bom waktu yang bisa meledak kapan saja menyisakan kepingan reruntuhan.
Sama seperti pernikahan ini, kapan saja bisa berakhir sesukanya lalu menyisakan perasaan yang suka seenaknya hadir selama ia menjalani kehidupan bersama
Arsa. Mungkin satu satunya jalan ialah, Tsabit berusaha sekuat mungkin menjaga hatinya agar tidak timbul perasaan lain terhadap Arsa. Masa bodoh dengan
pernikahan yang seharusnya indah dengan adanya cinta diantara mereka. Nyatanya antara Arsa dan Tsabit tidak ada perasaan cinta sedikit pun. Hanya egoisme
semata demi harga diri keluarga yang di elu elukan.
Seusai acara resepsi, Tsabit pergi menuju balkon kamar atas rumahnya. Menatap indahnya jalanan komplek yang ramai dipadati sanak saudara yang lalu lalang.
Ia menggenggam pagar pembatas balkon seraya menarik nafas panjang. Menyapu pandangan ke setiap sudut jalan.
Tidak ada yang lebih nyaman selain merasakan sayup sayup udara sore yang damai. Gaun panjang yang masih ia pakai tak mengganggu aktifitasnya disana. Hingga
kehadiran seseorang menggerakan kepalanya agar menoleh ke sebelah.
"Hai, adik ipar"
Abrar berdiri tepat di sebelah Tsabit. Masih dengan pembawaan santai ia menyapa Tsabit sambil tersenyum.
"Kamu, rupanya?" Mendengar sapaan itu, Tsabit baru menyadari satu fakta. Abrar alias tukang ojek dadakannya tempo hari adalah kakak kandung Arsa. Betapa
dunia terasa begitu sempit dibuatNya. Setelah ini apa ada fakta baru" Rayyan anak Kartika yang tertukar, misalnya. Ah, itu terlalu sinetron.
"Mau apa kamu kesini" Gak gabung sama yang lain?" Tanya Tsabit menaruh lipatan tangan di atas pagar balkon.
"Harusnya aku yang nanya gitu. Ngapain pengantin cantik sendirian disini" Gak takut diculik?" Abrar turut menatap lurus, memandang suasana sore yang bersahabat.
"Siapa juga yang mau nyulik aku. Makan ku banyak"
"Aku" Tsabit menoleh. "Kamu salah sasaran kalau begitu. Orang yang mau nyulik aku juga mikir dua kali. Yang ada mereka tekor?" ada tawa pendek menyertai.
"Kalau status kamu bukan istri adik ku, bisa aja aku culik kamu sekarang juga" mereka saling menoleh lagi. "Gimana" mau?"
"Sayangnya, status ku sekarang adalah adik ipar mu, kak Abrar" Tsabit tersenyum tipis. "Aku gak bisa jamin kamu bakal selamat kalau nyulik aku" Tsabit
menyibak kain panjang yang menemani mahkota ke belakang tubuhnya.
"Siapa bilang. Gimana kalau Arsa ngizinin aku nyulik kamu" Aku tahu rahasia kalian bertiga tentang pernikahan ini" Tsabit baru sadar, Abrar merupakan bagian
dari keluarga Kartika. Tentu ia tahu alasan utama diadakannya pernikahan ini. Kenapa rasanya begitu perih ya" Tsabit tersenyum nanar.
"Makin ngaco gini obrolannya. Bahas yang lain aja" ujar Tsabit tidak ingin membahas pernikahan atau semacamnya. Ia tidak habis pikir kalau Arsa benar benar
mengizinkan siapa pun menculiknya, selaku istri sahnya. Selain kejam Arsa juga pasti pelit. Mana mau mengorbankan hartanya untuk menebus Tsabit agar bebas
dari penculikan. "Oke" Hening setelah itu. Hanya hembusan udara senja mengisi kekosongan suara diantara mereka.
"Gak nyangka ya, kita bakal dipertemukan lagi. Ya meskipun dalam status yang berbeda" Abrar memecah keheningan. "Berarti saat kita bertemu pertama kali,
kamu udah kenal Arsa sebelumnya?"
"Belum" Tsabit menggeleng kecil. "Tanpa perlu aku ceritakan, kamu pasti tahu kronologis pertemuan kita sampai akhirnya aku dan Arsa berada di pernikahan
ini" Abrar mengangguk. Ya, tentu saja ia tahu. Kartika sudah menceritakan semuanya. Termasuk perdebatan berujung perkelahian antara Tsabit dan Arsa. Waktu itu
Abrar belum sepenuhnya tahu sosok Tsabit yang dimaksud adalah Tsabit gadis pencuri hatinya. Ia pun memutar tubuhnya 90 derajat hanya untuk memandang Tsabit
keseluruhan lalu mengatakan sesuatu.
"Tolong kabari aku kalau pernikahan kalian akan segera berakhir"
Tsabit mengernyit kebingungan.
"Aku siap menggantikan posisi Arsa buat kamu"
Tsabit bergeming menatap Abrar. Apa Abrar mengharapkan adanya perceraian" Ia mengatakan itu dengan mantap disertai sorot keyakinan berapi api. Meski terlihat
santai, Tsabit tidak melihat keraguan sedikit pun darinya. Sejenak ia merasa seperti piala bergilir yang dilakukan oleh kakak beradik itu. Dan bukan ini
yang Tsabit impikan. "Posisi apa, mas?"
Itu bukan Abrar yang berbicara, melainkan seorang pria yang muncul dari pintu balkon. sontak saja Tsabit dan Abrar menoleh bersamaan.
"Akhirnya yang ditungguin dateng juga" Abrar menyambut hangat kedatangan Arsa di tengah tengah keduanya. "Bukan apa apa. Sudah selesai, ramah tamahnya?"
Seusai resepsi, keluarga Tsabit mengadakan ramah tamah antar keluarga lainnya.
Arsa mengangguk tak yakin. Ia menatap Abrar dan Tsabit bergantian secara aneh. "Mama sama papa juga mau pamit pulang" secara tidak langsung Arsa mengusir
halus kakaknya agar ia segera menyusul Kartika dan Dirga di bawah. Dilihatnya Tsabit malah membelakanginya. Ia lebih memilih menatap ke luar ketimbang
suaminya sendiri. "Yaudah kalau gitu, mas juga pulang. Kamu baik baik ya disini. Jagain Tsabit" pesan Abrar menepuk pundak Arsa selagi ia berlalu pergi. Sebelumnya ia juga
pamit kepada Tsabit yang masih asyik menikmati suasana sore hari. Gadis itu menyahut seadanya.
"Nyokap gue pengen ketemu lo di bawah. Abis itu gue tunggu di kamar"
Tsabit meng-iyakan pesan suaminya meski tidak menjawabnya secara langsung. Ia pun berjalan melewati Arsa didepannya. Ketika tubuh mereka berpapasan, Arsa
bisa mengendus jelas aroma melati yang menguar dari tubuh istrinya. Sejak hari ini, ia mulai menyukai aroma pengantin.
*** Sedang di tempat yang lain, nampak seorang gadis tengah duduk manis di sofa menatap layar persegi berukuran 32 inc. Tatapanya kosong. Sambil menggenggam
remot, ia torehkan sekilas senyum getir ketika layar kaca dihadapannya menampilkan pemandangan yang paling dibencinya. Padahal sebelumnya ia berjanji seharian
ini tidak ingin menonton televisi. Itu sama saja seperti bunuh diri. Tapi kenyataannya, ia tidak mampu membunuh rasa penasaran yang muncul. Ia juga ingin
tahu seperti apa sosok gadis misterius yang telah merebut posisinya bersanding dengan Arsa di pelaminan.
Salah satu stasiun televisi menyiarkan secara langsung tayangan prosesi pernikahan sang kekasih. Mulai dari ijab qabul hingga resepsi pernikahan, Fania
tidak melewatkan itu semua. Ada rasa perih yang menjalar ketika ia melihat prosesi dimana Arsa mengucapkan ijab qabul secara lantang. Sejenak ia berharap
barangkali Arsa mau berubah pikiran lalu mengagalkan pernikahan tersebut. Nyatanya, harapan itu pupus. Kini sang kekasih telah menjadi suami orang.
"Aku tidak percaya ini semua harus terjadi" Fania bergumam tidak jelas sambil menitikan air mata. Diusapnya sebening cairan yang membasahi wajah kemerahannya.
Kemudian ia matikan televisi menggunakan remot lalu menaruh kasar benda mini persegi panjang itu di atas sofa.
"Aku bukan perempuan naif yang mengagungkan kebahagiaan demi melihat kebahagiaan kamu, Arsa. Aku tahu kamu tidak bahagia dengan perempuan itu. Karena cuma
aku yang bisa membahagiakan kamu" Fania pun mengambil ponsel lalu menghubungi seseorang.
"Kamu dimana?" Ia menyingkap pony ke belakang telinga. Tangan satunya sibuk memasukan power bank, parfum, juga dompet dan perlengkapan wanita lainnya ke
dalam tas. "Engga lah. Ya kali aku dateng ke sana. Yang ada perempuan itu minder ngeliat aku" ia tertawa remeh. Kini ia sibuk men-catok rambut hitam legam
di depan cermin. "Jalan yuk! Kemana kek. Ngilangin penat gara gara tuh perempuan" ia menarik sudut bibir. "Oke deh. Kita ke Cafe biasa ya. Abis itu temenin aku shoping"
seru gadis itu girang. Usai mengakhiri panggilan, Fania bersiap pergi menuju suatu tempat. Selagi berjalan, tangannya terhenti pada sepucuk undangan berwarna hitam berpita merah
muda, ia tatap sejenak benda itu, lalu membuangnya dalam tong sampah bersama seringai tipis menyertai.
*** Tsabit berjalan menaiki tangga menuju kamar. Sebelumnya menyalami sanak saudara, lalu mendapat wejangan pernikahan dari eyang eyangnya juga dari bude dan
tante tantenya. Bahkan keluarga besar James sengaja datang dari Amerika hanya untuk melihat sang keponakan tersayang menikah. Terlebih James merupakan
anak laki laki satu satunya dari 4 bersaudara, tiga orang kakaknya berjenis kelamin perempuan. Maka dari itu tidak hanya James yang menjadi anak kesayangan
di keluarga, tapi juga Tsabit sebagai cucu sekaligus keponakan kesayangan mereka.
"Arsa dimana, ma?" Tanya Tsabit mendapati Liana sedang sibuk memindahkan barang seserahan ke ruangan khusus.
"Ada di kamar. Susul sana. Kasian dia Kecapekan kayaknya" andai Liana tahu yang sebenarnya, pasti ia lebih menaruh kasihan pada putri satu satunya ini.
Ia pun menyingkap gaun yang masih dikenakan, berjalan menuju kamar. Setibanya disana, ada Arsa sedang duduk bersandar di tempat tidur meluruskan kaki,
memainkan ponselnya serius. Tsabit mendesah. Apa seperti itu kelakuan anak konglomerat" bermain game di atas tempat tidur sedangkan pakaian pengantin masih
melekat di tubuhnya. Bahkan sepatu pantofel putih masih terpasang rapi di kakinya.
"Nyokap gue bilang apa aja?" Tanya Arsa ketika Tsabit berjalan melewatinya. Tsabit menoleh dari balik cermin besar.
"Gak banyak. Cuma membicarakan rencana pertemuan dengan teman temannya besok" jawab Tsabit sibuk melepas retsleting gaun. Kedua tangannya susah payah di
tekuk ke arah punggung agar bisa menjangkau retsleting bermodel jepang itu.
Arsa meng-oh tanpa menoleh sedikitpun ke arah gadis yang telah menjadi istrinya itu. Permainan di ponsel lebih menarik ketimbang dia yang berada disana.
Sementara itu Tsabit masih sibuk dengan gaun menyusahkan ini. Tidak hanya menghalangi jalannya tapi juga menyulitkan ia bergerak bebas. Jika ada gerakan
sedikit saja, pasti gliter di bagian gaunnya menyangkut pada benda di dekatnya.
Seharusnya ia menyarankan Kartika agar memakai jasa walimah syar'i. Selain gaya busananya sederhana dan sesuai syariat, namun tetap terlihat mewah. Bahkan
Tsabit bisa menggunakan cadar saat resepsi. Sayangnya, semua persiapan pernikahan Kartika yang mengambil alih. Tsabit hanya berperan sebagai penentu warna
gaun, tema dan motif jasa lukis tangan yang sejak dulu ia impikan jika kelak menikah.
Sampai detik ini, Tsabit belum juga berhasil melepas retsleting gaunnya. Sampai ia susah payah memaksakan tangannya menjangkau ke belakang, tetap tidak
berhasil. Saking sulitnya, ia sampai mengucurkan keringat di dahi karena berjuang maksimal untuk melepasnya. Berulang kali ia mengumpat lalu menggerutu
sendiri karena selalu gagal.
"Ya salam kenapa susah banget sih! ayo dong bisa. Gerah banget nih" sungutnya sebal sambil berusaha lagi menjangkau retsleting panjang disana.
"Bismillah" ucap Tsabit mengeluarkan seluruh tenaga bersiap melepas paksa retsleting laknat itu.
Kejadian serta umpatan kekesalanTsabit terdengar samar di telinga Arsa, telah menarik perhatiannya. Yang tadinya ia acuh dan tetap fokus pada ponsel, akhirnya
Arsa melirik gadis itu sekilas. Menyimak apa yang sedang dilakukannya. Satu alisnya tertarik sebelah.
"Lo kenapa?" Tanyanya datar. Tsabit menoleh ke belakang. Berhenti dari aktifitasnya. "Gak kenapa napa" lantas ia melanjutkan perjuangannya bersama gaun
besar itu. "Oh" Tsabit mencebik. Seharusnya tanpa perlu bertanya, Arsa tahu apa yang terjadi. Sudah jelas jelas di depan matanya ada wanita yang sedang meronta kesusahan.
Dan dia masih bertanya kenapa" Akhirnya Tsabit mencari jalan keluar lain. Ia melangkah menuju keluar kamar menemui mamanya, mungkin saja Liana bisa membantunya.
Ketika hendak membuka pintu, gerakannya terhenti mendadak.
"Mau kemana?" Arsa menahan seraya menoleh lalu menaruh ponsel di nakas.
"Ke bawah nemuin mama" jawab Tsabit singkat dalam posisi membelakangi Arsa. Pria itu sudah berdiri di dekatnya sejak tadi. "Ngapain?" Sontak saja Tsabit
mendelik. "Kamu gak liat saya kesusahan buka ini?" Ketus Tsabit menunjuk punggungnya, atau lebih tepatnya retsletingnya. Lalu ia membuka lagi pintu di depannya.
"Mau gue bantu?" Tsabit terhenti lagi. Tawaran itu membuat Tsabit bergidik ngeri. Ia masih pada posisi yang sama. "Gak usah terimakasih" ada rona hangat
memenuhi wajah gadis itu. Untung Arsa tidak melihat reaksi memalukan itu.
"Sini gue yang buka" tawarnya lagi, mengurungkan niat Tsabit membuka pintu ketiga kalinya.
"Gak perlu. Saya bisa sendiri" tolak Tsabit. Ia mencoba sekali lagi melepas retsleting itu. Tapi hasilnya sama saja. Ia menghembus nafas kewalahan
"Udah bisa?" dari belakang, Arsa menyimpan senyum geli. Sambil melipat tangan lalu mengamati pergerakan Tsabit.
Tsabit bingung harus melakukan apa lagi. Ditengah kesusahannya, Arsa malah menambah susah dirinya. Kalau retsleting ini tidak mencari gara gara, Tsabit
tidak mungkin menahan malu seperti ini. Sekarang pria itu masih berdiri dibelakangnya. Sampai kapan mereka berdiam bak patung disini. Tsabit gerah. Ingin
mandi melepas penat lalu tidur dan membiarkan Arsa sibuk dengan dunianya.
Tiba tiba, ada sentuhan yang mengiring Tsabit hingga merubah posisinya. Rupanya Arsa yang menarik lembut bahunya sehingga kini mereka berada dalam posisi
saling berhadapan. Sorot mata Arsa menjadi titik pertama yang menyapa Tsabit lalu menyihirnya hingga ia terdiam kaku.
"Kamu mau ngapain?" Tsabit memasang wajah siaga. Takut Arsa bertindak macam macam.
"Bantuin lo" Arsa menjangkau retsleting gaun dengan mengalungkan tangan satu melewati pundak Tsabit hingga ke punggung dan tangan satunya melewati pinggang
agar lebih mudah menurunkan retsleting. Saat itu juga Tsabit seperti kehilangan nafas. Ia mendadak sulit menelan ludah.
"Pantesan gak bisa dibuka. Retsletingnya macet gini. Lo musti komplain sama butiknya nih" Arsa berusaha membenarkan retsleting tersebut.
"Mama kamu yang memesan gaun itu" jawab Tsabit seadanya. Semakin Arsa susah payah melepas retsleting, semakin dekat pula jarak wajah mereka. Sejenak ia
perhatikan wajah innocent Arsa yang tetap gagah dalam balutan jas pengantin. Rambutnya yang mulai berantakan memberi kesan lain di mata Tsabit.
"Anjir, susah juga ya. Kayak gini lo mau minta tolong nyokap lo" Yang ada lecet lecet tangannya" umpat Arsa semakin berusaha menjangkau tangannya ke arah
punggung. Pergerakan itu semakin meniadakan jarak diantara mereka. Tsabit tidak merespon. Untung ia tersadar akan statusnya sebagai istri Arsa, kalau tidak,
mungkin bogem mentah bakal melayang ke wajahnya.
Setelah memakan waktu cukup lama, akhirnya retsleting tersebut berhasil ditaklukan. Tsabit memilih memalingkan wajah selagi Arsa menurunkan benda itu dari
belakang gaun. "Stop!" Arsa menarik wajah mendengar perintah tersebut kemudian menghentikan gerakan tangannya. "Sampe situ aja" Tsabit menginteruksi Arsa agar tidak sepenuhnya
menurunkan retsleting gaun. Cukup sampai pertengahan. Karena akan berbahaya jika gaun belakangnya mengekspos hampir setengah tubuhnya.
Arsa menurut. Ia melepas diri dari posisi membiarkan Tsabit berbalik melangkah menuju kamar mandi. Pandangan Arsa mengikuti dan menatap kamar mandi yang
sudah tertutup pintunya. Tapi dua detik setelah pintu tertutup, Tsabit membukanya lagi, melongokan kepala dari celah pintu. Arsa diam menatap Tsabit kebingungan.
"Terimakasih" Ucap Tsabit singkat, dan pintu tertutup lagi dengan kecepatan luar biasa bahkan menimbulkan bunyi yang kencang. Arsa tersentak lalu menggeleng geleng sambil
mengangkat bahu. Ia pun membaringkan tubuhnya di atas ranjang empuk.
*** TBC... 11. Hati yang kokoh Tsabit nampak mengaduk ngaduk bubur kacang hijau di hadapannya. Sambil menopang kepalanya di atas meja, ia nampak tidak berselera pagi ini. Buktinya, dari
bubur itu hangat sampai menjadi dingin tetap tidak sesuap pun tersentuh ke mulutnya.
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesekali ia menguap sampai matanya berair. Pemandangan itu menimbulkan tanda tanya Liana. Alih alih menanyakan keadaan Tsabit, malah menanyakan orang yang
tidak menampakan dirinya.
"Arsa mana" Kenapa gak kamu ajak turun sarapan bareng kita" tanya Liana menyiapkan semangkuk bubur kacang hijau dengan tambahan santan tepat di meja yang
kosong. Meja tersebut di sediakan khusus untuk menantu kesayangannya.
"Masih tidur" jawab Tsabit tak bersemangat.
"Ya dibangunin dong, sayang"
"Udah, ma. Tapi aku baru tahu," dia itu kalau tidur kayak orang mati" gerutu Tsabit masih mengaduk ngaduk bubur.
"Banguninnya kurang mesra kali" James ikut bersuara sambil terkekeh kecil. Tsabit memanyunkan bibirnya. Selera makannya semakin hilang pagi ini.
Jangan suruh Tsabit memperlakukan Arsa dengan perlakuan mesra nan menjijikan itu. Karena itu sama saja membunuhnya secara perlahan. Iya lah. Buktinya saja,
sewaktu Tsabit membangunkan Arsa untuk sholat subuh berjamaah. Cara membangunkannya sih standard. Cukup dengan memberi guncangan di lengan sambil berkata
"bangun. Sholat subuh". Alih alih bangun, ia malah membalik badan sambil merapatkan selimut.
Tsabit tidak menyerah, ia terus membangunkan Arsa setidaknya sampai pria itu membuka mata sedikit saja. Hasilnya sama saja. Tidak ada pergerakan sedikitpun.
Wajar, kan kalau Tsabit mengatakan tidurnya seperti orang mati.
Dan yang membuatnya gondok pagi ini adalah, ketika Tsabit memutuskan sholat subuh sendirian di kamar. Arsa bangun, lalu dengan entengnya dia berkata, "lo
ngapain masuk kamar gue" Ngintip lo ya". Sambil melepas mukena, Tsabit berusaha acuh. Ia menganggap Arsa sedang mengigau.
"Eh, jawab. Lo ngapain sholat di kamar gue" Arsa duduk di tepi ranjang menghadap Tsabit. Tsabit menoleh. Menatapnya lama.
"Udah ngigonya?"
"Lo yang ngigo" tuduhan Arsa memancing Tsabit untuk berdiri sambil memeluk mukena beserta sajadah di tangan.
"Kamu" sahut Tsabit tidak terima. "Makanya kalau tidur jangan kayak orang mati. Sekalinya bangun, nyawa masih kemana tau. Pakai acara ngaku ngaku kamar
orang lagi. Hellow, sejak kapan Arsa jadi penyuka warna pink?"
Arsa mengucek mata sekali lagi lalu menatap sekeliling kamar. Tak lama kemudian, ia kembali menatap Tsabit. "Terus kenapa gue bisa tidur disini?" Tsabit
berdecak. Ini orang ngigo atau apa sih"
"Kayaknya pas tidur otak kamu ketinggalan di alam lain, deh. Atau nyawa kamu masih berhamburan dimana mana. Kamu perlu ke psikiater" Tsabit berjalan menuju
rak menaruh mukena disana.
"Gue nanya apa dijawab apa. Gue serius ini"
"Kamu ini lupa atau apa sih" Kita sudah menikah. Dan semalam kamu tidur di kamar saya. Puas?" Tsabit berjalan keluar kamar. Meninggalkan Arsa ditengah
kebingungan dengan wajah bodoh.
"Dan kita tidur satu ranjang?" Tsabit berhenti dalam keadaan menarik handle pintu lalu menoleh.
"Engga. Saya tidur di karpet" setelah menjawab, Tsabit pergi menutup pintu kencang. Arsa tersentak lalu mengusap wajah.
Dan itu semua alasan mengapa Tsabit nampak tidak bersemangat pagi ini. Setelah Arsa meninggalkannya tidur, Tsabit tidak berani merebahkan diri di samping
pria itu. Keberadaan Arsa dikamarnya sungguh membuatnya risih. Melupakan status baru mereka, akhirnya mau tidak mau ia memutuskan tidur di bawah beralaskan
karpet, ditemani satu bantal dan selimut. Jangan harap ia bisa tidur nyenyak disana. Semalaman Tsabit tidak bisa tidur. Alhasil pagi ini, ia tidak berhenti
menguap di atas meja makan.
"Mama aja deh yang bangunin. Atau papa aja" satu suapan bubur akhirnya masuk ke mulut.
"Kok mama, sih" Kamu kan istrinya"
"Tapi aku males, ma. Coba aja mama bangunin dia, pasti nanti,--"
"Selamat pagi pa, ma. Wah sudah sarapan ya"
Sapaan ramah seseorang memecah perseteruan Tsabit dan Liana. Arsa baru saja datang dari arah ruang tamu. Tunggu! Ruang tamu"
"Kata kamu Arsa masih tidur. Gimana sih?"
Tsabit mengerjap ngerjapkan matanya memandang Arsa yang langsung menduduki kursi kosong diantara mereka. Mengenakan kaos tertutup jaket putih dan celana
basket andalannya. Dengan santai ia menyuap bubur kacang hijau yang masih hangat. "Kamu bukannya tidur" Kok datang dari sana, sih?" Lantas menunjuk Arsa
kebingungan. Pria itu mengulum senyum.
"Kamu lupa ya. Abis sholat subuh aku kan pamit ke kamu mau jogging di taman, sayang. Kamu aku ajakin gak mau" Tsabit tidak kaget dengan kalimat sok manis
yang baru didengarnya. Kalau bukan di depan mama papanya, mustahil Arsa mau berlagak sok romantis didepan mereka. Tsabit masih diam melongo mengingat ngingat.
"Oh gitu ya. Maaf ya aku lupa" Tsabit yakin Arsa sedang berbohong. Seingat dia, setelah ia meninggalkan Arsa di kamar, pria itu melanjutkan tidurnya. Dan
tidak ada tuh, acara pamit pamitan jogging segala.
"Iya gak apa apa kok sayang. Aku ngerti" Tsabit semakin tidak selera menikmati sarapan pagi ini. Kalau bukan karena hari ini ada jadwal menemui Kartika
dan teman temannya, ia lebih memilih bekerja seharian.
Setelah pamit kepada Liana dan James, Tsabit dan Arsa pergi menuju kediaman Kartika. Di dalam mobil, mereka terjebak kebisuan. Arsa sibuk fokus pada kemudi,
Tsabit memerhatikan jalan lewat jendela.
"Bisa bisanya ya kamu bohong soal tadi pagi" Tsabit berhasil memecah keheningan. Arsa menoleh. "Yang mana?" Tanyanya.
"Yang soal jogging itu. Gak takut dosa ngebohongin orangtua?" timpal Tsabit menatap lurus jalanan.
"Gue yang bohong, apa elo yang masih ngigo?" Arsa malah bertanya balik.
"Penglihatan saya masih jelas, setelah saya keluar kamar, saya ngeliat kamu tidur lagi di kamar. Kamu yang ngigo" mendengar itu, Arsa menarik satu sudut
bibirnya. "Berarti ngintip lo kurang lihai, neng. Kalo ngintip, yang lama sekalian, biar bisa liat gue tidur laginya berapa lama, trus gue bangunnya jam berapa,
lalu kemana dan ngapain"
Tsabit diam. "Gue tidur lagi cuma 5 menit. Setelah itu gue bangun trus jogging di taman" jelas Arsa bersama suara serak serak basah khas nya.
"Tapi gak pake acara ngajakin saya jogging juga kan?" Tsabit melipat tangan sok angkuh.
"Ya bohong bohong dikit gak papa lah. Buktinya nyokap bokap lo percaya, kan?"
"Intinya sama. Kamu udah bohongin mereka" Tsabit menatap jendela lagi. Tak lama ia menoleh ke Arsa lagi. "Kamu bisa aja ngambil hati mereka. Tapi kamu
gak bakal bisa ngambil hati saya"
"Gak ada niatan juga. Lo lupa, gue udah punya pacar?" Arsa menatap cemooh.
Tsabit mencebik keki. Kayaknya, nelen dia hidup hidup enak kali ya"
*** Tsabit menatap jauh rumah mewah di depannya. Usai mobil melewati pintu gerbang yang menjulang tinggi, ia berhenti tepat di depan rumah besar milik keluarga
Dirga Santoso. Ia menyapu pandangan ke segala penjuru. Matanya menyipit sedikit kala mentari nampak menyilaukan dari arah rumah itu. Ia seperti melihat
rumah barbie versi nyata. Bedanya bukan warna merah muda yang mendominasi, melainkan putih gading. Selain besar, masih ada halaman luas disana. Rerumputan
segar berembun menambah kesan hidup. Ada seorang bapak tua yang sibuk memangkas rumput di ujung sana. Pandangannya beralih ke arah utara. Nampak dua mobil
terparkir rapi disana. Dan satu motor besar berwarna merah. Itu pasti motor Abrar. Tsabit ingat sekali nomor polisinya.
"Kalo masih mau bengong disitu, gue tinggal" Arsa membuyarkan kekaguman Tsabit sambil berjalan melewati dirinya. Tsabit mengekor.
Sesampainya di sana. Seorang pria menyambut hangat. "Selamat datang, boss kecil. Gimana malam pertamanya" Sukses?" Pria itu memeluk hangat Arsa. Perawakannya
seperti James, hanya saja tubuhnya lebih berisi. Ditunjang dengan tingginya yang hampir mendekati Arsa. Arsa tingginya menjulang, sedang pria itu tingginya
sebatas telinga Arsa. "Belum lah boss. Nanti aja" jawab Arsa sok asik. Tsabit hanya berdiri menatap dua pria disana. Menunggu interaksi mereka berakhir. Setelah itu, pria yang
sejak kemarin ia panggil papa mertua, meyambutnya tersenyum hangat.
"Hallo, nyonya Kelana. Selamat datang di gubuk kami" Tsabit tersenyum kaku. Ia menilai Dirga bukan orang yang sombong seperti Kartika atau Arsa. "Assalamualaikum,
om" Tsabit menyalami Dirga.
"Waalaikumsalam. Panggil papa, dong. Kamu kan udah bagian dari keluarga ini" ujarnya nampak bersahabat. Lalu menyilakan dirinya dan Arsa masuk ke istana
yang ia sebut gubuk. Sayangnya acara ramah tamah dengan Dirga tidak berlangsung lama. Dia harus segera pergi ke luar kota menghadiri meeting perihal bisnis rumah makan yang
baru dirintisnya dua bulan terakhir. Tsabit dan Arsa langsung saja menuju ruang tengah. Kartika sudah menunggu mereka disana.
"Kamu siap untuk rencana kita hari ini?" Kartika duduk anggun di sofa sambil membenarkan antingnya. Tsabit mengangguk.
"Sebelumnya saya ucapkan terimakasih karena kamu sudah mau menolong saya menyelamatkan nama baik keluarga ini. Semalam saya membaca berita terakhir, nama
baik Arsa telah kembali. Arsa tidak lagi dituduh berselingkuh karena pernikahannya dengan kamu"
"Sama sama. Tapi kalau tidak merasa melakukan kenapa harus khawatir, tante" Bukankah itu baru tuduhan" Bukan kejadian sesungguhnya"
Kartika tertawa pongah. "Kamu tidak tahu dunia seperti apa yang kita hadapi sekarang. Dunia hiburan tidak mengenal kenyataan dibalik lensa kamera. Apa yang mereka tangkap, otomatis
menjadi asumsi publik. Mau benar atau tidak, mereka akan menutup mata. Kecuali dengan menyuguhkan bidikan baru yang lebih komersil, baru mereka membuka
mata lalu membenarkan dengan asumsi versi mereka. Kamu harus paham soal itu"
Tsabit mencoba memahami pemaparan Kartika. "Bahkan mereka masih mencari tahu kebenaran berita pernikahan kalian. Mereka menganggap ini pengalihan isu.
Walaupun nyatanya memang benar" Kartika menyalakan sebatang rokok. Menghisapnya dengan nikmat.
"Begitulah manusia. Tidak pernah memandang baik sesuatu. Selalu menganggapnya buruk. Padahal mereka sendiri jauh lebih busuk. Itulah mengapa banyak pelaku
dunia hiburan memanfaatkannya untuk menarik perhatian dunia dengan sensasi kecil yang murahan"
Pernikahan bodoh ini juga tidak lebih dari sensasi murahan, komentar Tsabit dalam hati.
"Percuma ngomong kayak gitu. Emang dia ngerti?" Tsabit kira kesibukan Arsa bermain ponsel mampu menjauhkannya dari pembicaraan ini. Bisa bisanya dia berceletuk
seenak jidat. Tsabit hanya bisa mengumpat dalam hati.
"Kamu harus jaga sikap, Arsa. Biar bagaimana pun, Tsabit tetap istri kamu. Hormati dia" Kartika memperingatkan dengan nada tegas. Akhirnya ada satu pihak
yang membela Tsabit dari bocah tengil itu.
"Hormati dia sebagai istri, apa sebagai orang yang lebih tua?"
Tsabit mendadak ingin makan Arsa saus tiram atau oseng oseng Arsa malam ini. Yang waras lebih baik mengalah. Sejauh ini Tsabit masih bisa mengontrol emosi.
Tapi sekali lagi bocah itu bicara seenak dengkulnya, jangan harap bisa menghirup udara segar.
"Jangan dengarkan dia ya" Kartika berhasil menenangkan Tsabit. "Kita berangkat jam 9 ya. Acaranya diadakan di Taman bunga wiladatika cibubur. Saya sudah
siapkan pakaian yang pas buat kamu. Karena disana juga diadakan reuni akbar angkatan saya"
Kini Tsabit sibuk memilih milih pakaian yang sudah disiapkan Kartika. Ada tiga jenis pakaian disana tapi tidak ada satupun yang menarik hati. Entah ekspresi
apalagi yang ia tunjukan di hadapan pakaian pakaian itu. "Yang kayak gini dibilang pantas" Sedih ya jadi gue. Punya mertua begini banget" ungkapnya dalam
gumaman memelas. Bagaimana tidak, pakaian pakaian itu bermodel terbuka semua. Ada satu yang paling parah menurutnya yakni pakaian bertali satu, panjangnya sebatas paha,
bagian dada dibuat serendah mungkin. Oh, mau dikemanakan rasa malu Tsabit jika memakai pakaian jahilliyah itu. Pakaian itu lebih cocok disebut" pakaian
dalam. Kalaupun ada yang tertutup, itu berupa kaos ketat putih dipadu celana legging hitam yang akan ditambah kardigan panjang berwarna abu abu. Mungkin
itu bisa dipadu dengan jilbab, tapi Tsabit tetap menolak. Hijab itu menutup, bukan membungkus. Kalau tertutup tapi masih menunjukan lekuk tubuh, ya jadi
membungkus. Tsabit berinisiatif membuka lemari pakaian Kartika yang panjangnya hampir dua meter itu. Barangkali ia menyimpan pakaian yang lebih sopan ketimbang pakaian
dalam berwarna merah mencolok itu dan pakaian jahiliyah lainnya.
Selagi asyik memilih, Tsabit tidak tahu kehadiran seseorang menatapnya curiga dari ambang pintu kamar.
"Maaf kamu siapa ya" Dan sedang apa disini?"
*** "Mana istri kamu, sa?" Abrar menduduki kursi ayunan di depan Arsa. Melihat keberadaan Arsa disini, pasti ada Tsabit juga.
"Di kamar mama. Lagi milih milih baju" jawabnya singkat sambil mendengarkan musik melalui headset sebelah kanan saja. "Mas Abrar gak kerja?" Tanyanya.
"'Masuk siang" Abrar mengambil posisi nyaman pada ayunan besi di halaman belakang. Kakinya dinaikan lalu bertumpu pada tempat duduk didepannya. Di tempat
Pembalasan Dimalam Halloween 1 Pendekar Gila 32 Serikat Serigala Merah Tusuk Kondai Pusaka 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama