Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati Bagian 7
"Eh, Kak Sina cantik banget sumpah." Puji Tsabit berseru sendiri.
"Dia mah emang cantik dari kecil. Waktu Sina kecil, Bude Salma rajin banget nge-treatment dia pake bahan alami ala jawa. Kalo pagi, bulu matanya diliat
pake ludah basi. Biar bulu matanya lentik. Terus, bibirnya diolesin madu. Udah gitu rambutnya rajin banget dipakein lidah buaya sama urang aring. Terakhir
yang aku tahu, alisnya dilumurin kemiri yang udh dibakar. Biar alisnya tebel katanya." Papar Aufa setelah meneguk tehnya.
"Kalau itu sih, waktu aku kecil juga sering digituin sama mama. Tapi aku gak secantik dia."
"Ya masa harus mirip banget. Kan Allah udah ngasih porsinya masing masing, bit." Giliran Aufa yang gemas sendiri. "Diminum teh nya keburu dingin gak enak."
Tsabit menurut. Lalu meneruskan kegiatan melihat lihat suguhan indah pada album berhias bunga itu.
"Suami kamu gak apa apa nunggu diluar?" Tanya Aufa.
"Dia maunya nunggu diluar. Tadi udah aku suruh duduk diruang tamu aja biar gak bete." Jawab Tsabit sambil sibuk melihat lihat tanpa menoleh ke lawan bicara.
"Ngapain nunggu di ruang tamu. Suruh kesini aja ngobrol sama kita."
"Hujan berhari hari kalo sampe dia mau gabung mah. Arsa gak bakalan mau gabung kalo gak ada anak laki lakinya, fa. Tengsin mungkin."
"Kirain Idzar doang yang kayak gitu. Arsa juga ternyata." Aufa tertawa kecil. "Mungkin emang udah kodratnya laki laki kali ya. Kalo gitu, kamu sampe sore
aja. Nanti Idzar pulang sore, biar ngobrol sama suami kamu."
"Insya Allah" Tadinya Tsabit berniat pergi sendiri ke rumah Aufa. Tapi karena Arsa memaksanya meminta ikut. Mau tidak mau Tsabit pergi bersama Arsa menaiki motor besar
kesayangan suaminya itu. Banyak sekali yang ingin Tsabit ceritakan kepada Aufa. Selain permasalahannya, juga pengalamannya dengan status baru, yakni seorang
istri. Tapi sampai saat ini, Tsabit belum berani menceritakannya.
Ketika berada dipertengahan lembaran album, Tsabit menangkap satu foto. Sebuah foto yang menampakan beberapa sosok familiar disana. Keningnya langsung
membentuk kerutan indah mempertegas tampang berpikir Tsabit kali ini. Jari telunjuknya mengetuk ngetuk salah satu sosok disana.
"Kamu kenal?" Aufa memerhatikan kebingungan Tsabit. Lantas ia menoleh. "Kayaknya sih kenal. Mukanya kok kayak gak asing ya?"
Aufa mencondongkan tubuhnya mendekat ke Tsabit guna melihat lebih jelas sosok yang dimaksud. "Lah, ini mah mertua kamu, bit. Pak Dirga sama Bu Kartika.
Ini Arsa, nih!" Tunjuknya setelah itu. Tsabit pun memfokuskan matanya pada sosok--yang katanya itu--Arsa. Masa sih Arsa"
Album foto dikuasai Tsabit kali ini. Benda lebar na besar itu ia rangkul lalu memperdekat jarak matanya dengan album. Matanya menyipit. Dan benar kata
Aufa. Sina dan keluarga besar disana berfoto dengan keluarga besar Dirga Santoso. Baik Dirga maupun Kartika dan juga Arsa, mereka terlihat berbeda sekali.
Jelas saja. Itu foto lima tahun yang lalu. Dan Arsa masih berusia sekitar 17 tahun. What" 17 tahun"
"Eh, iya bener. Ini Arsa, fa. Tapi kok..." Tsabit menjeda sambil merapatkan bibir seperti menahan sesuatu. "... unyu banget gini sih" Mukanya bocah banget."
Dan tawa Tsabit akhirnya lepas meski tidak terbahak bahak.
"Loh beneran" Padahal aku ngasal ngasih taunya." Celetuk Aufa menyebalkan. Tsabit melirik sekilas. Maklumi aja ibu hamil.
Tsabit memerhatikan lagi foto itu. Arsa nampak berbeda sekali disana. Nampak sederhana namun gagah mengenakan kemeja batik khas pekalongan berlengan pendek.
Motif yang dikenakan seragam dengan Dirga juga Kartika. Ketika yang lain berusaha tersenyum semanis mungkin didepan kamera, tapi Arsa justru memasang ekspresi
datar. Persis seperti foto untuk KTP atau Rapot Sekolah Dasar. Tapi ekspresi datarnya itu terlihat sangat menyebalkan.
Tsabit baru menyadari bahwa keluarga besar mertuanya memang dekat sekali dengan keluarga Prama, orang tua Sina. Sayangnya tidak ada Abrar disana. Pada
saat itu Arsa sudah menjadi buah bibir media. Media menduga duga bahwa Arsa kelak menjadi penerus perusahan juga aset milik Dirga Santoso. Dan sampai sekarang
pun Arsa sudah menjadi sorotan publik.
Tanpa sadar sebuah senyum kecil tertata rapi dibibir Tsabit. Semua itu sejalan dengan usapan jarinya menyentuh permukaan foto. Tepatnya pada sosok menyebalkan
yang ia panggil, Kura kura ninja.
"Ngomong ngomong, kamu udah 'isi' belum?" Tanya Aufa tiba tiba. Gaya bicaranya saat bertanya terdengar santai tapi serius.
Butuh beberapa menit untuk Tsabit bisa memahami maksud pertanyaan Aufa. Setelah tahu, alih alih menjawab Tsabit justru langsung menaruh album foto ke atas
meja dan menatap Aufa serius. "Maksud kamu 'isi' itu, hamil kan?" Tsabit memastikan agar tidak salah. Aufa mengangguk polos sambil mengunyah roti kering
sebagai cemilan ngidamnya.
"Kamu janji gak bakal ember kalo aku ceritain sesuatu ke kamu?" Aufa mengangguk lagi. "Plis, bukan aku sengaja ceritain aib aku. Tapi aku bingung mau cerita
ke siapa lagi selain kamu, fa."
"Curhat ke Allah udah?"
"Udah. Tapi aku butuh orang yang bisa dipercaya buat nampung curhat aku. Ya cuma kamu."
"Yauda mau cerita apa" Sok sini aku dengerin" Aufa mengenggam jemari Tsabit.
Tsabit menarik nafas dalam. Sebelumnya ia melongokan kepala ke arah ruang tamu. Takut takut Arsa mencoba menguping pembicaraan mereka. Setelah merasa cukup
aman, akhirnya Tsabit memulai aksi curhatnya.
*** "Pertukaran enzim?"
Tsabit buru buru membekap mulut toak Aufa dengan tangannya. Gadis itu tersentak dalam bekapan Tsabit.
"Bisa pelan dikit gak sih" Nanti kalau Arsa denger gimana" Abis ngemilin toak ya kamu?" Gerutu Tsabit melepas bekapan tangannya dari bibir Aufa. Aufa mengusap
permukaan bibirnya sambil mendengus.
"Iya maaf. Pertukaran enzim apaan sih" Kok aku baru denger istilah itu ya?" Gadis itu garuk garuk kepalanya yang tidak gatal.
Tsabit sendiri malu juga ragu untuk menjelaskannya. Sebab kalau ia beritahu secara gamblang pasti malunya bukan kepayang. Lagian, masa Aufa tidak tahu
apa itu pertukaran enzim, sih" Tsabit kesal sendiri jadinya.
"Itu loh, fa. Bertukarnya dua enzim...." Tsabit menggigit bibir sambil menatap langit langit.
"Dari mulut satu.. ke.. mulut yang,-"
"Maksud kamu ciuman?""
Rupanya tanpa perlu diperjelas lebih rinci, Aufa sudah mulai nyambung. Syukurlah. Ungkap Tsabit lega dalam hati. Tsabit pun mengangguk lemah dengan wajah
malu malu. Padahal kenapa harus malu" Arsa adalah suaminya. Itu hal biasa yang dilakukan suami istri. Salah tidak sih kalau ia ceritakan hal ini kepada
Aufa" "Duh... tinggal bilang ciuman doang pake bahasa ilmiah segala kamu mah. Ya terus masalahnya dimana" Itu lumrah dilakukan suami istri."
"Kamu gak deg degkan waktu ngelakuin pertukaran enzim sama Idzar?"
"Waktu pertama kali sih deg degkan. Tapi lama lama akan terbiasa kok. Apalagi kalau suami kita pintar membawa kita ke dalam pesonanya. Bisa bisa tenggelam,
bit." Maksudnya pesona casanova seorang Arsa begitu"
Tsabit mengingat ketika ia tengah mengemas pakaian sewaktu hendak pulang ke rumah orang tuanya. Kejadian itu terjadi begitu cepat. Arsa berhasil menenggelamkan
Tsabit ke dalam pesonanya. Hingga terjadilah pertukaran enzim yang dimaksud. Menautkan dua kelembutan menjadi satu kesatuan yang hangat dan romantis. Saling
menukar pesona yang diberikan. Walau Arsa lebih banyak menguasai keadaan. Tsabit dibuat tidak berdaya karena terjatuh dalam kenikmatan sederhana yang Arsa
berikan kepadanya. Tanpa tahu bahwa Arsa sendiri juga merasakan hal yang sama. Bersama Tsabit, ia merasa kenyaman yang alami tanpa dibuat buat. Setiap
inci kelembutan yang ia rasakan mampu mengalirkan letupan letupan kecil di dada. Mengajak main degup jantung sehingga mereka berdetak berirama. Tsabit
pikir, Arsa akan melakukan hal yang lebih daripada itu. Mengingat Arsa mengucapkan sesuatu yang mencengangkan.
"Lo sadar gak, selama kita menikah, kita belum saling memberi hak dan kewajiban kita masing-masing?"
Dan pertanyaan itu berhasil membuat Tsabit dilemma berkepanjangan. Setiap mengingat itu, tangannya spontan meraba permukaan bibirnya. Baru ini saja, Tsabit
sudah merasa janggal. Bagaimana kalau Arsa benar benar menagih sesuatu yang sudah menjadi hak nya itu"
"Jangan bilang, Arsa belum menyentuh kamu?"
DEG! Diam dan menegang. Itu yang Tsabit lakukan ketika mata Aufa memicing curiga. Bahkan roti kering yang akan disuap, harus mengalami pending terlebih dahulu.
"Arsa belum ngapa ngapain kamu, bit?"
Dengan berat hati Tsabit menggeleng tak berdaya. Kepalanya tertunduk sambil jemarinya bermain abstrak di atas pangkuan.
"Kok bisa" Kenapa?"
"Kamu gak bakal ngerti. Ada sesuatu yang gak bisa aku jelasin. Dan itu berhubungan dengan alasan kenapa dia belum menyentuhku." Jawab Tsabit menyayangkan.
"Oke. Aku gak bakal maksa kamu untuk jelasin apa apa. Tapi yang aku tahu, setelah menikah, sepasang suami istri haruslah menyegerakan kewajiban mereka
dan memberikan haknya. Itu tidak boleh ditunda, sayang." Aufa mengusap lengan Tsabit penuh kepedulian.
"Apa pun alasannya?"
"Iya" jawab Aufa seiring anggukan mantap.
"Termasuk alasan karena dia membenciku dan juga sebaliknya?""
Awalnya Aufa tercengang mendengar ungkapan Tsabit barusan. Rupanya ini rahasia dibalik pernikahan mereka. Aufa tidak ingin berpikir negatif. Dari awal
memang ia menaruh keraguan akan pernikahan tiba tiba yang Tsabit jalani. Dan keraguan itu terjawab sudah. Langsung dari mulut Tsabit sendiri tanpa harus
memaksa dirinya meng-kepo-kan sahabatnya itu.
"Bisa jadi, kebencian itu akan hilang kalau kamu dan Arsa saling memenuhi kewajiban tersebut. Kalau kamu tidak bisa melakukannya karena cinta. Setidaknya
kamu bisa lakukan itu karena Allah. Bukankah Allah selalu ada diantara mereka yang senantiasa menyebut namaNya dan melakukan apapun karenaNya?"
"Seorang istri sangat diperbolehkan bersikap agresif terhadap suaminya. Kalau Arsa pasif, maka kamu harus aktif. Itulah makna melengkapi. Atau karena kamu
belum siap?" Tanyanya kali ini.
"Sepertinya begitu." Jawab Tsabit masih dalam keadaan sebelumnya. Lemah dan pasrah.
"Mulai sekarang, kamu harus siap. Jalankan kewajiban kamu sebagai seorang istri. Sampai kamu tidak tahu kapan sesuatu terjadi terhadap kalian."
'Sampai kamu tidak tahu kapan sesuatu terjadi terhadap kalian?"'
Tsabit malah menangkap makna lain dari kalimat tersebut.
"Aku yakin kekuatan cinta yang sebenarnya akan tumbuh perlahan." Aufa tersenyum tulus. Menatap hangat Tsabit sangat lama kemudian menyuap gigitan terakhir
roti keringnya. "Kamu bisa ajarin aku caranya?"
Seketika Aufa ingin memuntahkan roti kering yang telah dilahapnya halus halus.
*** Waktu hampir sore. Arsa mulai gelisah dalam duduknya. Dan ini pertama kalinya Arsa bosan memainkan game game di ponselnya itu. Semua level sudah ia lalui.
Bahkan ia terus mengulang dari level pertama lagi. Saking lamanya menunggu Tsabit bercengkrama dengan Aufa diruang tengah sana.
Ia pun beranjak dari sofa, mengusap wajahnya lalu berjalan mondar mandir sambil menyembunyikan tangan ke saku celana. Matanya beredar mengabsen detail
ruang tamu yang ia tempati saat ini. Cukup besar untuk ukuran ruang tamu. Tapi masih kalah besar dengan ukuran ruang tamu di rumahnya. Banyak sekali foto
foto juga lukisan kaligrafi yang terpajang rapi didinding. Arsa mengamati satu persatu. Pigura pertama menampakan foto kebersamaan Aufa dan Idzar. Mereka
nampak serasi dengan gaya sederhana. Disana terlihat Aufa sedang memeluk tubuh Idzar. Sedang Idzar sendiri melakukan hal yang sama. Tubuh Aufa yang pendek
nan mungil memudahkan Idzar bisa memeluknya dengan erat. Kepala Idzar didaratkan di atas kepala Aufa. Sungguh kesatuan yang sederhana namun istimewa.
Sungguh kesatuan yang sederhana namun istimewa
"Lo aus?" Mau minum air putih?" Tawar Idzar.
"Gak usah. Enakan ini."
Penolakan itu cukup membuat Idzar menyimpulakan bahwa sosok bocah dihadapannya ini adalah anak mami yang manja yang hobinya minum susu.
"Lo udah lama temenan sama Tsabit?" Tanya Arsa lagi.
Idzar menjilat bibirnya sejenak. "Lumayan lama. Ada kali setahun dua tahun mah."
"Selama temenan sama Tsabit, menurut lo dia orang yang kayak gimana, bang?" Sorot mata Arsa penuh rasa ingin tahu. Bahkan ia memperdekat jarak duduknya
dengan Idzar. "Lo ngepo-in istri lo lewat gue" Lo kan udah jadi suaminya. Masa nanya ama suami orang. Aneh" cibir Idzar setelahnya.
"Yehh.. bukan gitu bang. Lo sih gak tau masalahnya. Gue sama Tsabit gak kayak suami istri pada umumnya. Kita mah berani mainstream. Kadang gue capek sendiri
berantem sama Tsabit terus terusan. Kalo gak adu mulut, paling diem dieman atau cuek cuekan. Gue sama Tsabit sama sama batu, bang. Gue males ngalah, Tsabit
pun maunya dimengerti. Gue jadi bingung sama jalan pikiran perempuan."
"Terus?" "Ya gue pengin tau aja gitu, Tsabit orangnya kayak gimana." Entah kesambet setan apa Arsa mendadak menanyakan hal yang diluar daftar rencana otaknya. Itu
semua murni terlontar begitu saja.
"Lo tanya langsung aja sama orangnya. Apa salahnya kalian berdua saling terbuka satu sama lain" Buang ego masing masing. Terutama ego lo. Ego laki laki
lebih membahayakan ketimbang perempuan."
"Tsabit itu orang yang kritis. Gak mencla mencle. Sekali A tetep A, sekali B tetep B. Bener kata lo, dia keras kepala banget. Orangnya kuat dan nekat.
Apa pun dia lakuin, selagi menurut dia benar. Seumur umur kenal Tsabit, gue belum pernah liat dia nangis."
Bahkan ketika ia memutuskan ikhlas dipoligami pun, tidak setetes pun air matanya yang turun. Andai Arsa bisa melanjutkan seperti itu. Walau pada akhirnya
Idzar membocorkan sikap Tsabit kepada Arsa. Arsa tidak kaget. Semua yang diucapkan Idzar memang benar. Berarti kepada siapapun begitulah watak Tsabit dari
dulu. "Siapa laki laki yang pernah dia cintai selain gue?" Arsa menegakan tubuh seraya mengatupkan bibir. Ada yang salah dengan pertanyaannya barusan. "..maksud
gue, sebelum dia menikah sama gue. Apa dia punya mantan pacar, gitu" Ya, gue tahu dia emang anti pacaran. Tapi pasti pernah lah setidaknya dia punya perasaan
suka sama cowok lain."
Idzar bergeming. Sebenarnya ia tahu harus menjawab apa. Tapi, apa jawaban itu tidak berakibat buruk terhadap hubungan Tsabit dan Arsa nantinya" Lumayan
lama Idzar berpikir hingga ia menjawab,
"Sebelum menikah, Tsabit pernah berniat ngelamar gue."
Hah?" Andai ada petir disore hari, mungkin Arsa bisa nekat menemui petir itu untuk mengetes fungsi jantungnya. Semoga telinganya sedang korslet atau ada gangguan
lainnya. "Ngelamar lo?" Ulang Arsa sambil menaikan satu alis ditambah mulutnya sedikit menganga bodoh. "Bercanda lo, bang"
"Gue serius. Tsabit pernah nekat ngelamar gue buat jadi suaminya. Dua kali malah."
Hah?" "Ampe dua kali?" Dan lo tolak?"
"Ya iyalah. Kalo engga, mana mungkin lo ada disini. Kenal juga engga. Yang ada Tsabit udah jadi istri gue sekarang." Diantara keluarganya, Idzar memang
tidak begitu kenal dengan keluarga Dirga. Mengingat pada waktu itu, Dana lah yang banyak ambil bagian dalam alih tugas perusahan yang bekerja sama dengan
perusahaan milik keluarga Dirga. Pria itu meminum lagi susunya. Kemudian menatap Arsa serius.
"Tapi lo gak usah mikir macem macem. Kalo Tsabit masih suka sama gue, gak mungkin kita bertiga bisa bersahabat sampe sekarang. Dan gak mungkin juga lo
berdua bisa nikah. Gue, Tsabit dan istri gue bersahabat baik. Kita tahu batas masing masing. Namun tidak memutus tali persaudaraan sesama umat muslim.
Berkat Tsabit juga gue akhirnya bisa menikah sama Aufa"
Arsa diam. Banyak sekali hal hal yang sedang menari nari dipikirannya. Seperti potongan puzzle yang minta dirangkai kembali. Dalam diam Arsa berpikir.
Dalam diam Arsa bertanya. Dalam diam Arsa menelaah sebuah makna. Dan dalam diam, kini Arsa tahu. Harusnya Arsa tidak menanyakan hal itu kepada pria yang--kini
ia tahu--pernah mengisi relung hati Tsabit. Hati seorang gadis yang ia sakiti perasaannya.
Dua pria tampan disana pun saling melanjutkan obrolan mereka. Mulai dari hal hal ringan sampai membicarakan masalah besar. Hingga sang rembulan sudah tak
sabar menampakan diri menemui langit menggelap sunyi kemudian mengajaknya bercumbu.
*** Motor merah besar kesayangan Arsa berhasil terparkir di garasi. Kuda besi yang ia namakan Kuda Sembrani itu, berdiri kokoh setelah membawa dua majikannya
seharian menelusuri jalanan kota.
Tsabit melirik jam tangan sembari berjalan melewati dapur. Wajahnya nampak kusut karena kelelahan. Selagi berjalan menuju kamar, Liana menghampiri.
"Malem banget pulangnya, ditungguin daritadi." Ujar sang mama sambil membawa beberapa tumpuk pakaian.
"Iya tadi keasyikan ngobrol sama Aufa jadi lupa waktu. Maaf ya mama jadi nungguin. Papa mana?" Tangan Tsabit melingkari tubuh Liana. Bergelendot manja
pada wanita paruh baya itu.
"Papa udh tidur dikamar. Tapi bukan mama yang nungguin kamu daritadi." Kepala Tsabit yang tadinya bersandar dipundak Liana, otomatis terangkat.
"Terus siapa?" "Rayyan. Dari sore dia nungguin kamu. Dia telpon nomor kamu gak aktif aktif katanya. Tadinya mau mama suruh pulang aja, takut kamu pulang kemaleman, kasian
nungguin. Eh, dia lebih milih nungguin kamu sampe pulang. Mau ngomong penting katanya." Jelas Liana panjang lebar.
Tanpa ba bi bu, Tsabit bergegas menuju ruang depan dimana Rayyan sedang duduk manis disofa. Ponselnya memang sejak siang tadi mati alias lowbatt.
"Rayyan?" Tsabit menemui Rayyan dengan ekspresi kebingungan juga cemas. Terlebih ketika ia mendapati keadaan Rayyan yang sepertinya sedang tidak baik baik
saja. "Assalamualaikum, bit. Ganggu ya?" Sapa Rayyan dengan suara lemah lembutnya. Alih alih menjawab, Tsabit malah semakin berjalan mendekat kemudian fokus
pada sesuatu yang menempel disudut bibir Rayyan. Plester berwarna coklat hampir mendekati warna kulit pria itu, menarik perhatin Tsabit.
"Kamu abis berantem" Itu bibir kenapa" Terus pipi kenapa biru gitu?" Tanya Tsabit tidak sabar. Rayyan menutupi bagian bagian yang disebut Tsabit sambil
berkata, "Jawab salam aku dulu bisa?"
"Waalaikumsalam. Kasih tau aku, kamu berantem sama siapa" Atau siapa yang gebukin kamu"
Rayyan menarik sudut bibirnya tipis. "Abis kena musibah. Motorku nabrak trotoar tadi pagi. Jadinya begini deh." Jawaban Rayyan malah tidak memuaskan hati
Tsabit. Kenapa hanya bagian wajah yang terluka" Bukan sikut atau lutut, mungkin.
"Kamu yakin?" Senyumnya dibuat lebar guna membuang prasangka buruk Tsabit mengenai kejadian sebenarnya yang menimpa Rayyan. "Yakin. Aku dateng kesini mau ngomong penting
sama kamu, bit." "Soal apa?" Ketika Rayyan akan buka suara, mulutnya seketika terkatup tatkala melihat kedatangan seorang pria hadir ditengah mereka. Pria itu Arsa. Dia baru saja memarkirkan
motor kemudian mencuci kaki serta wajahnya.
"Eh, ada elo. Daritadi, bro?" Sapa Arsa menepuk pundak Rayyan sok akrab. Sedang Rayyan sibuk tersenyum kaku.
"Iya. Mau ada perlu sama Tsabit."
"Perlu apa" Penting?" Nada bicaranya agak sinis. Rayyan bisa menangkap ucapan Arsa. Pasti ia tidak suka dengan kehadiran Rayyan disini. Apalagi untuk menemui
Tsabit. "Lumayan penting." Jawab Rayyan sekenanya. Setelah Arsa meng-oh ia pun berbalik.
"Yaudah. Lanjutin deh. Gue tinggal dulu ya" kaki Arsa melangkah menuju kamar. Sebelumnya ia menatap Tsabit sekilas. Gadis itu sedang berdiri memandang
dirinya dengan tatapan lain. Tidak seperti biasanya. Bibir Tsabit agak tergigit.
"Kamu mau ngomong apa?" Perhatiannya kembali kepada Rayyan. Tapi lagi lagi, Rayyan harus mengurungkan niatnya. Kali ini perhatian Tsabit teralihkan oleh
suara rintihan seseorang yang baru saja meninggalkannya.
"Aduuuh... sakitt.." suara rintihan itu berasal dari kamar. "Bit, kesini sebentar perut gue tiba tiba sakit banget" teriak Arsa dari sana. Terdengar jelas
ditelinga Tsabit juga Rayyan. Mau tidak mau akhirnya Tsabit menunda sejenak perbincangannya dengan Rayyan kemudian bergegas menuju kamar. Sesampainya disana
Arsa nampak kesakitan tengah memegangi perutnya sambil terduduk menekuk lutut. Tsabit langsung mensejajarlan posisinya.
"Apa yang dirasain" Perih" Mual atau gimana?" Tanya Tsabit khawatir berusaha memegang perut Arsa.
"Perih sama mual. Kayak diaduk aduk gitu" jawabnya sambil meringis menahan sakit.
"Kamu gak salah makan kan?"
"Tadi kan sarapan nasi goreng bikinan lo. Siangnya kita makan nasi padang. Sorenya cuma ngemil chiki sama susu doang." Tsabit berpikir mencari cara. Selagi
itu, ia berusaha menuntun Arsa menuju tempat tidur. Dengan sekuat tenaganya ia memapah Arsa.
"Sekarang kamu rebahan dulu. Saya keluar sebentar." Tangan Tsabit tertahan oleh Arsa begitu saja sehingga gadis itu menoleh.
"Lo mau kemana" Jangan tinggalin gue." Ujar Arsa sungguh sungguh. Tangannya menggenggam erat jemari Tsabit. Sepasang mata mereka saling bertemu. Saling
mencari makna yang barangkali tersimpan.
"Saya mau ambil air minum hangat buat kamu sekalian,--"
"Sekalian bilang ke Rayyan, kalo lo gak bisa diganggu dulu malem ini. Tunggu sampe gue sembuh, baru boleh ngomongin hal penting tadi." Potong Arsa telah
siap akan kalimat yang pasti akan terlontar dari mulut gadis itu.
"Tapi kasian dia udah nunggu saya dari siang, sa"
"Lebih kasian mana sama gue" Oke kalo lo lebih milih temuin dia daripada suami lo sendiri. Gue gak ridho pokoknya." Runtuk Arsa menampakan titik kecemburuan
yang konyol. Tsabit masih diam berdiri tanpa gerakan apapun. Pasti ia sedang berpikir.
"Malah diem lagi. Yaudalah sana temuin Rayyan. Katanya Kasian." Dengus Arsa sebal. Wajahnya dingin ditambah nada bicaranya mulai ketus.
Aksi diam Tsabit akhirnya berubah menampakan ekspresi jail seraya menyunggingkan seringai tipis. Kemudian berkata,
"Kamu cemburu?"
*** Dengan berat hati akhirnya Tsabit meminta Rayyan agar lebih baik pulang karena malam semakin larut. Ia pikir, Rayyan bisa membicarakan hal penting itu
lain waktu. Untungnya Rayyan mengerti. Dengan kerendahan hatinya pria berkulit hitam manis itu pun pergi meninggalkan kediaman Tsabit.
Kini hanya ada Tsabit dan Arsa berdua didalam kamar. Arsa tengah berbaring menyandarkan kepala pada headboard ranjang. Kakinya diluruskan terbungkus selimut
merah muda. "Kenapa ditutup lagi selimutnya" Kan belum selesai." Protes Tsabit dengan tangan berlumur minyak angin. Arsa menurut. Ia menurunkan selimut dan membuka
sebagian kaos putih bertuliskan angka 93 itu.
"Lama banget lagian"
"Ya sabar, Arsa." Jemari Tsabit begitu lincah menari perlahan diatas permukaan perut rata Arsa. Sesekali ia menepuk nepuk guna ingin tahu suara yang ditimbulkan.
"Perut kamu kembung. Masuk angin kayaknya. Mau saya kerokin?" Tawarnya.
"Enggak mau. Gue udah gak apa apa kok." Mata Arsa tidak berani menatap istrinya.
"Tapi masih mual mual gak?"
Alih alih menjawab, Arsa malah kembali fokus kepada sang istri. Ia menatap tajam gadis itu. Tatapannya semakin dingin layaknya stalaktit es dari goa goa
yang siap menikam dari langit langit lalu menusuknya dengan keras. Tsabit memberi raut gelisah.
"Kenapa ngeliatin saya kayak gitu?" Arsa belum merubah rautnya. Malah ia melipat tangan didada. Gayanya persis seperti guru killernya sewaktu SMA.
"Lo boleh kok ngelakuin hal yang sama."
Maksudnya Tsabit juga harus menatap dingin seperti itu, begitu" Hanya menatap biasa mungkin bisa. Akhirnya dunia mereka berada dalam sepasang mata yang
saling beradu. Menyihir sekitar agar diam membisu menjadi saksi mereka. Seolah kamar yang mereka tempati adalah zona privasi Arsa dan Tsabit.
"Nanti jam 9 gue mau futsal,-"
"Dalam keadaan seperti ini?" Telunjuk Tsabit yang mengarah ke perut Arsa ditepisnya perlahan melalui genggaman ringan. "Gue belum selesai ngomong"
"O..oke maaf. Lanjutin"
"Jam 9 nanti gue mau futsal. Tapi sebelum itu, gue mau kita saling terbuka. Sebelumnya gue mau minta maaf. Sebenarnya gue gak sakit perut. Itu cuma bisa
bisanya gue doang biar lo gak berduaan sama cowok itu."
"Rayyan maksud kamu?"
"Harus banget ya diperjelas" Lo gak perlu repot repot nyebut namanya gue udah tahu, kok."
"Tapi dia sahabat,--"
"Tsabita ilana.. please ya biarin gue selesai ngomong dulu. Oke, sayang?"
Apa katanya tadi" Sayang"
Oh, mungkin Arsa belum sepenuhnya sembuh. Tapi boleh diulang engga"
Tsabit menurut lagi lalu meminta maaf (lagi). Arsa lagi kenapa ya" Mendadak lembut. Meski Tsabit merasa seperti ditikam oleh serangan mata elang itu, tapi
ia tidak bisa membohongi kebahagiannya. Terlebih ketika Arsa memohon dengan nada halus berperasaan penuh pengertian. Dan jangan lupakan sapaan sayangnya
itu. "Gue gak suka sesuatu yang udah menjadi milik gue didekati orang lain. Kalo Rayyan tau batasan, kenapa dia gak ngelarang gue buat ke kamar" Kenapa gak
libatkan gue dalam obrolan kalian berdua" Sepenting apa sih emangnya" Gue tau lo punya privasi. Gue cuma takut Rayyan suka sama lo."
"Gue gak tahu kapan waktunya buat jujur. Yang gue tau, semakin gue tutup rapat rapat, bakal semakin tercium dari orang lain yang sejatinya gak tau apa
apa. Gue...." Tsabit memiringkan kepala, menatapnya ingin tahu.
"Gue.. gue seneng ada didekat lo, bit. Gue nyaman sama lo. Gue ngerasa Allah bersama gue kalo lo ada disebelah gue. Sorry, kalo cara gue menyayangi lo
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih sangat berantakan. Kalo dulu gue bisa dengan mudah naklukin cewek cewek. Tapi justru dihadapan lo, gue keliatan amatir. Entah kenapa susah banget
buat jadi sosok yang sempurna dimata lo, bit."
Arsa menarik kedua tangan Tsabit lalu menggenggamnya lembut. Mata mereka masih berada dalam satu zona. Dan reaksi reaksi menyebalkan mulai muncul sedikit
sedikit didalam diri Tsabit. Ketika sekujur tubuhnya tak mampu bergerak, kerjapan mata lah yang masih setia menanggapi kata demi kata yang terlontar dari
mulut Arsa. "Sejatinya gue adalah laki laki yang punya masa lalu kelam. Yang pengen punya masa depan yang indah ditemani orang terkasih. Gue gak bisa sesempurna cowok
yang pernah nekat elo lamar dua kali karena saking sempurnanya dia dimata lo."
Tsabit otomatis mengangga anggun. Alisnya bertaut indah membentuk raut penasaran juga tercengang. Apa yang Arsa maksud adalah Idzar" Ya, Idzar. Satu satunya
pria yang menjadi target perasaan juga kenekatan Tsabit waktu itu. Tapi kan itu dulu. Dulu sekali.
"Gue gak tahu bagaimana lo menyimpan perasaan ke dia sekarang. Entah lo simpen rapat rapat buat jadi kenangan, atau malah lo buang jauh jauh perasaan itu
dan mulai membuka ruang baru buat cowok lain. Besar harapan gue sama pilihan kedua."
"Terakhir..." seperti ada sesuatu yang menganjal. Arsa menunduk seraya mengusap wajah beberapa detik. Setelah itu ia memandang Tsabit lagi dibarengi eratan
tangan mereka yang bertaut.
"Maaf gue gak sengaja denger pembicaraan lo sama Kak Aufa tadi siang. Sebenernya gue bingung tapi gue takut sama Allah..."
Tsabit butuh tabung oksigen sekarang juga. Pembicaraan ini semakin menjurus ke sesuatu yang selama ini membuatnya bimbang juga dilemma siang malam. Tsabit
harus apa sekarang" Apa boleh ia izin keluar kamar sebentar" Tiba tiba suhu kamar ini mendadak panas. AC nya nyala, kan" Hati dan otak Tsabit mulai tidak
karuan bahkan semakin keluar dari zona aman.
"Sebelum lo melepas status istri satu satunya menjadi istri pertama, izinin gue memenuhi hak lo yang sempat tertunda. Juga hak gue sebagai seorang suami."
Andai disini ada jurang yang dalam, Tsabit rela terjun ke dasar sana. Lalu bergabung dengan penghuni laut yang beraneka rupa. Atau mungkin ada menara sutet
yang menjulang. Tsabit rela memanjatnya agar setidaknya menjauh dari situasi ini.
Bukan situasinya, tapi sikap dirinya akan semua hal yang pasti menimpa dia. Harusnya dia bisa lebih elegant lagi. Atau setidaknya terlihat tenang. Jujur
saja, dari tadi Tsabit tidak berhenti mengeluarkan keringat dingin. Ditambah nafasnya yang mendadak irit. Belum lagi degup jantungnya yang hampir saja
melonjak keluar dari zonanya.
"Sebelum itu saya ingin meminta maaf terlebih dulu." Wajah Tsabit tertunduk menyembunyikan semburat tipis memerah diarea pipi. "Maaf jika selama ini sikap
saya terhadap kamu sangat kurang baik. Terlebih setelah kita menikah. Saya sadar, saya terlalu indah mengukir harapan sehingga saya lupa, bahwa sejatinya
harapan bisa berubah kapan pun sesuka hati Tuhan. Harusnya saya tidak menggantungkan harapan yang tinggi dan muluk muluk. Saya kira, kehidupan pernikahan
saya kelak tidak serumit ini. Nyatanya, Allah menempatkan saya pada situasi yang seperti labirin ini. Hingga semakin waktu berjalan, saya pun bersyukur.
Saya jadi tahu satu hal. Kalau kata orang ada dua jenis hal didunia ini, yakni baik dan buruk. Begitu juga manusia. Saya pikir Allah tega menempatkan saya
berada disekitar orang orang jahat yang tidak punya hati dan nurani. Ternyata itu salah. Tidak ada buruk, tidak ada jahat. Allah menciptakan hal yang baik.
Kalau pun ada sesuatu yang buruk, itu karena ketiadaan Allah disana."
"Begitu juga dengan mengenal kamu dan mama Kartika. Saya bersyukur dipertemukan dengan kamu. Saya tahu kamu bukan laki laki yang buruk. Karena kamu gigih
mencari Allah yang hakikatnya ada didalam diri kamu sendiri. Dan mengenai laki laki yang sempat saya lamar waktu itu, karena hati saya telah dibutakan
oleh kekaguman terhadap seseorang sehingga melupakan kehormatan saya sebagai seorang wanita. Kamu beruntung, Arsa. Saya memilih pilihan kedua. Yakni, membuang
perasaan itu jauh jauh kemudian mulai membuka ruang baru untuk laki laki lain."
Tsabit tersenyum. Senyum terbaiknya yang ia simpan untuk seorang pria hebat bernama Arsa.
"Terimakasih sudah memperbaiki pintu yang pernah usang karena masa lalu itu. Terimakasih atas segala benih benih pelajaran sederhana selama saya mengenal
kamu. Dan sebelum kamu benar benar menikahi wanita selain saya,..."
Giliran Tsabit yang kesulitan melanjutkan kata. Lidahnya mendadak kelu. Ada titik titik aneh didada.
"Saya mengizinkan kamu memenuhi hak itu. Tapi sebelum itu, kecuplah kening ini seiring cinta kamu kepada saya diatas namaNya..."
Tsabit menunduk dengan nafas menderu hebat. Seolah menyodorkan tempat untuk Arsa mendaratkan kecupan cinta beribu makna itu. Sayangnya Arsa menanggapi
berbeda. Tanpa sadar kedua tangannya menyentuh sematan jarum pentul yang menyatukan dua sisi pashmina ungu yang dikenakan Tsabit. Dagu Tsabit terangkat.
Otomatis ia mendongak sekaligus menghadiahi Arsa sepasang mata coklat yang indah.
Dalam keadaan terpejam, ada sentuhan hangat memenuhi area bibir merah mudanya. Benda lembut itu membawa mantra ajaib yang mampu melumpuhkan sistem kerja
ditubuhnya. Belum lagi sentuhan jemari Arsa menghipnotisnya lalu membawa pada perlakuan lembut nan romantis. Melupakan kecurangan Arsa yang seharusnya
mencium kening terlebih dahulu.
Semua berjalan begitu cepat. Hingga pada malam ini lah, pertama kalinya Arsa mengetahui sebuah keindahan tersembunyi yang ada pada diri Tsabit. Uraian
helai demi helai rambut hitam pekat menjulang dari ujung kepala hingga punggung. Lurus indah dan mempesona. Arsa memberanikan diri menyentuh beberapa helaian
rambut berkilau itu untuk menghirup aroma shampo khas urang aring yang menguar menggoda indera penciumannya. Ketika ia ingin menyingkap, gerakan tangannya
ada yang menghentikan. "Mungkin bisa dilanjutkan nanti setelah kita,..."
Arsa tersenyum mengerti. "Gue tahu" Keduanya tersenyum merona mengisi gelembung cinta yang mengudara indah.
*** TBC.. 22. Kebahagiaan Terakhir "Kita kesananya naik apa, om?"
"Naik mobil ayah"
"Tapi kok ayah gak ikut, om?"
"Ayah kan kerja, sayang"
"Ibu juga gak ikut?"
"Engga, Diva sayang." Arsa mengusap lembut pipi Diva hanya agar gadis kecil itu tidak mencecar dirinya dengan banyak pertanyaan.
"Tante Tsabit ikut gak, om?" Tanyanya lagi. Arsa memilih diam sibuk menyeduh susu dalam botol tupperware hijau milik Diva. Setelah itu ia beralih menutup
rapat makan siang yang sudah disiapkan Tsabit sejak pagi tadi. Kotak makan tiga warna itu ia susun rapi bersama botol minum.
"Om, Diva pengin minum susu" pinta Diva bernada manja. Ditarikanya jersey biru kebanggan Arsa.
"Nanti aja minum susunya kalau Diva udah sampe di Taman Mini ya" Kalau susu itu Diva minum sekarang, itu artinya Arsa bakal kerepotan lagi membuat susu
diperjalanan. Diva suka sekali susu. Dia pernah menghabiskan hampir 10 gelas susu dalam sehari. Beruntung Mas Abrar dan Mba Maudy tergolong orangtua yang
sabar. "Diva mau sekarang, om. Diva aus" rengeknya sambil mengetuk ngetuk meja makan.
"Kalo aus minumnya air putih. Om ambilin air putih aja ya."
"Enggak mau, om. Diva maunya susu. Om Arsa pelit!" Dengan gaya marah seperti orang dewasa, Diva melipat tangan didada sambil menekuk wajahnya sebal kemudian
berbalik badan. Arsa menggeleng tak berdaya. Ia hembuskan nafas berat seraya mengacak ngacak rambutnya.
"Yaudah yaudah. Diva duduk manis disini ya. Om Arsa bikinin susu lagi buat kamu." Arsa menggendong tubuh mungil Diva ke atas kursi makan, hendak menuju
dapur. "Yang itu aja om. Yang tadi om masukin ke tas putih itu." Gadis kecil itu menunjuk nunjuk tas berukuran sedang yang tadi ia lihat berisi bekal makan siangnya.
"Ini buat nanti disana. Kamu minum susu yang om bikinin aja. Tunggu disitu jangan kemana mana. Oke?"
Akhirnya Diva menurut. Duduk manis dikursi memperhatikan Arsa yang sibuk berkutat di dapur. Berhubung kedua orangtua gadis itu sedang sibuk, alhasil Kartika
mengusulkan kepada Arsa dan Tsabit untuk menemani Diva jalan jalan. Ia sendiri pun sedang disibukkan mengurus berkas berkas perusahaan sang suami.
Di dapur sana, Arsa sibuk menakar jumlah susu bubuk yang harus ia seduh. Jangan sampai seperti bulan lalu. Arsa pernah berinisiatif membantu Abrar kewalahan
mendiamkan Diva yang sedang tantrum waktu itu. Arsa menuang tiga sendok susu bubuk dan menyeduhnya dengan air mendidih. Alih alih meringankan, Arsa justru
menambah kesusahan Abrar. Diva tidak minta susu. Dia hanya ingin Abrar menemaninya bermain.
"Ah.. pas nih kalo gini" ucap Arsa seorang diri usai mengecap rasa susu yang dibuatnya. Sambil tersenyum puas ia berjalan menuju meja makan.
"Tara! Susu buat Princess Diva sudah siap" dengan gaya ala ala chef kenamaan, Arsa membawa segelas susu itu dengan tangan meninggi kemudian mendarat tepat
di hadapan Diva. Gadis kecil itu menganga bahagia menyambut kedatangan susu coklat kesukaannya.
"Makasih om Arsa"
Selagi menemani Diva menikmati susunya, Arsa menoleh ke arah kamar. Memastikan seseorang dari sana segera muncul dan mereka bersiap untuk berangkat. Jam
tangannya menunjukan pukul 9 pagi. Arsa berdecak lalu menegakan tubuh diatas kursi, kepalanya mendongak tinggi.
"Bit, masih lama gak" Udah jam 9 nih. Inget besok weekend. Gue males macet macetan dijalan." Teriaknya berharap Tsabit menyahut.
"Iya sabar. Sebentar lagi"
"Buru!" Teriak Arsa lagi.
Bersamaan dengan susu Diva yang sudah habis diminum, Tsabit muncul dari kamar menggeret handle koper berukuran jumbo. Arsa langsung menghampiri takjub.
"Ini apaan?" Tanya Arsa memegangi koper yang dibawa Tsabit.
"Koper" "Maksud gue isinya"
"Baju baju ganti saya lah" jawab Tsabit beraksen polos polos minta dijitak.
"Kita mau ke jalan jalan ke Taman Mini Indonesia Indah, neng. Bukan mau nginep di Villa. Ngapain lo bawa baju banyak banget" cecar Arsa sewot melihat koper
besar tersebut. "Saya mau renang, Sa. Di Snow bay itu asyik banget. Kamu belum pernah ya" ungkap Tsabit bersemangat 45. Lanjut menduduki kursi kosong, menyapa Diva lalu
kembali fokus ke Arsa. "Terakhir saya kesana itu waktu liburan bersama keluarga saya, merayakan kelulusan disana"
"Nanggung banget ngerayain di TMII. Yang jauh sekalian" Celetuk Arsa menopang kepalanya dengan tangan diatas meja menyimak keantusiasan Tsabit terhadap
tempat wisata terkenal itu.
"Yang jauh belum tentu menyenangkan, Sa. Saya justru senang berkreasi kesana. Tidak hanya mendapat hiburan semata tapi juga ilmu pengetahuan yang bisa
saya terapkan ke anak cucu saya nanti. Terutama pengetahuan mengenal lebih dekat provinsi yang ada di seluruh penjuru Indonesia."
Arsa manggut manggut setengah hati. Yang diceritakan Tsabit sudah biasa baginya. Tempat wisata yang telah berdiri lama itu adalah makanan sehari hari Arsa.
Dulu, tempat itu menjadi langganan Arsa melakukan olahraga lari pagi disana. Selagi Tsabit asyik berdeskripsi, Arsa hanya sibuk menyimpulkan dalam hati.
Ketahuan kurang piknik. "Gue tau lo mau renang. Tapi gak sebanyak ini juga. Dikira mau mudik kali. Baju apaan aja sih?"
Tsabit mengulum bibir berpikir. "Baju renang syar'i, handuk, peralatan mandi, baju ganti, mukena, makan siang, hijab cadangan, pakaian dalam, makanan ringan,
minuman dingin dan,-"
"Stop!" Arsa memotong seraya menjulurkan telapak tangan. Bibir Tsabit terkatup rapat. "Hijab cadangan, makan siang, minuman dingin, sama mukena tinggal
aja. Trus ganti tas biasa"
Sebelum Tsabit melayangkan protes, Arsa berujar lagi, "Kalau mau sholat, di Masjid ada mukena. Kalo gak ada juga, Mas Abrar selalu nyimpen mukena dimobil
kok. Makanan ringan udah gue siapin, kalo kurang nanti tinggal beli. Minuman dingin juga udah banyak disiapin Mas Abrar. Ngerti?" Papar Arsa dengan tempo
bicara super cepat. "Lalu jilbab cadangannya?"
"Baju renang lo udah nutup aurat kan" Gak mungkin pake hijab yang lo pake itu kan" Buat apa diganti. Kan bisa dipake lagi. Yang penting gak sampe kena
najis. Ribet banget" alhasil Arsa yang ngedumel sendiri. Sudah dibuat ribet dengan urusan Diva sekarang ditambah kerepotan istrinya. Semoga di Taman Mini
nanti dua gadis merepotkan ini mau diajak bekerja sama. Bagaimana pun juga, Tsabit dan Diva adalah amanah terbesarnya. Arsa harus melindungi mereka sebaik
mungkin selama perjalanan nanti.
"Om Arsa, Diva juga mau berenang kayak tante."
Tuh kan! Arsa pun menarik nafas berat sambil menunduk bahu pasrah.
*** "Whoaaa.... kereeennnn"
"Tante buka jendelanya dong"
Tsabit memijit tombol dibalik pintu, otomatis menurunkan kaca jendela mobil. Menyuguhkan dua wajah takjub gadis berbeda generasi itu memandang keindahan
tempat wisata yang berlokasi di Jakarta Timur itu. Sedang dikursi kemudi, Arsa sibuk mencari cari lahan yang strategis untuk parkir.
Mobil Arsa melaju perlahan menyusuri area lokasi sambil memanjakan dua gadis yang bersamanya memandang sudut sudut keindahan tempat itu.
"Mau parkir dimana, nih?" Kepala Arsa bergerak ke kanan ke kiri masih mencari.
"Gak usah parkir. Kita keliling keliling aja pake mobil. Saya mau mengunjungi seluruh anjungan disini satu persatu, Sa. Boleh ya?" Arsa mengendik panjang
menatap Tsabit heran. Kok Tsabit mendadak lenjeh sih. Sejak kapan tangan dia sudah bertengger melingkar disini" Arsa melihat lengannya sedang diapit oleh
gadis itu. "Lo yakin mau datengin ni anjungan satu satu" Seluruh anjungan disini gak cuma ada satu dua tiga atau sepuluh. Ada banyak, bit" cecar Arsa sewot. Matanya
melirik sebentar ke arah lengan. Masih dalam posisi yang sama. Hanya saja Tsabit mulai berani menyandarkan kepalanya disana. Arsa langsung mengalihkan
pandangan ke luar jendela, hanya untuk menelan ludah.
"Terus kenapa" Saya gak akan lama kok. Paling kesana melihat lihat terus foto foto. Udah itu aja. Please, Arsa. Boleh ya" Ya?"
Kenapa Tsabit jadi manja gini sih" Dia gak tahu gue grogi apa. Dumal Arsa dalam hati. Kalau sudah begini, Arsa bisa apa" Sekarang lihat raut yang ditampakan
gadis itu. Persis seekor kucing yang menatap melas majikannya agar diberi ikan. Arsa diam beberapa detik. Tsabit menunggu sambil tersenyum sendiri.
"Oke. Terus rencana renangnya gimana?" Tanya Arsa kemudian.
"Ya tetep jadi. Percuma saya bawa baju renang kalo gak renang. Ya kan, Diva sayang?" Tsabit meminta dukungan kepada Diva yang asyik melihat lihat pemandangan.
Gadis itu mengangguk patuh.
"Tuh.." Tsabit bahagia bukan kepalang hari ini. Ia memang sangat membutuhkan hiburan juga refreshing. Segala beban beban hidupnya harus ia alihkan dengan
berlibur. "Gimana" Boleh, kan Kura kura ninja ku" Hm" Hm?" Goda Tsabit menaik turunkan alis lalu menambah erat lingkar tangan dilengan suaminya itu. Meski
harus melawan salah tingkah juga grogi yang tak kunjung usai, ada kebahagiaan kecil yang Arsa rasakan ketika Tsabit bertingkah seperti ini. Apa ini sisi
menggemaskan seorang Tsabit"
"Yauda kalo maunya gitu. Kita ke Anjungan DKI Jakarta dulu ya. Oke?"
"Okeeee... bossss" ucap Tsabit dan Diva bersamaan. Tsabit menjulurkan dua ibu jari kemudian tersenyum merekah.
"Kenapa dilepas?" Tanya Arsa mengetahui Tsabit sudah tidak lagi mengerat lengan kekarnya. "Peluk lagi aja tangan gue. Gak apa apa kok. Apa mau peluk orangnya
langsung?" Giliran Arsa berhasil menggoda sang istri. Semburat merah terpapar jelas diwajah Tsabit ditambah gelagat salah tingkahnya.
Arsa mendadak ingin cepat pulang kalau gini caranya.
*** Di waktu yang bersamaan, ada yang sibuk merawat diri disalah satu rumah kecantikan ternama. Di ruang tunggu sudah banyak kaum hawa sedang menunggu giliran
untuk melakukan perawatan tubuh dan wajah. Ada yang sambil membaca majalah. Paling banyak dari mereka memilih mengoperasikan ponsel pintarnya.
Jika berjalan sedikit menuju lorong akan ada suatu ruang khusus. Diruang itulah tempat kaum hawa tersebut menjalankan ritual memanjakan diri mereka. Termasuk
seorang gadis yang sejak pagi tadi betah berlama lama berada disana.
Fania menelungkupkan tubuhnya berbalut kain panjang berwarna ungu. Matanya terpejam menikmati pijatan demi pijatan dari wanita yang bertugas memanjakannya
hari ini. Kain tersebut menyingkap sehingga mengekspose punggung indah Fania untuk siap dilulur. Krim ber-scrub berwarna kuning itu dilumuri disekujur
tubuhnya sambil dipijat pijat lembut. Tangan lincah sang pekerja begitu lincah juga terampil mencari titik titik refleksi. Menimbulkan rasa nyaman akibat
sentuhan ajaibnya. Sedang asyik merelaksasi, suara ponsel yang tergeletak tak jauh darinya berbunyi. Lantunan merdu penyanyi Charlie Puth mendayu indah dengan lagunya yang
berjudul one call away memecah suasana hening disana. Tadinya Fania enggan mengangkat, tapi berhubung panggilan tersebut dari seseorang yang penting, mau
tidak mau ia menggeser kolom bulatan hijau diponselnya.
"Kenapa lagi?" Ucapnya pertama kali.
"Baca sms ku sekarang"
Pip! Belum sempat Fania melayangkan kalimat balasan, telepon berakhir sepihak begitu saja. Gadis itu mengumpat sebal kemudian mengutak-ngatik ponsel menuju
menu Short Message Service. Setelah dua detik membuka, muncul lah satu pesan disana.
Aku akan membongkar semuanya. Selamat menderita nona manis.
"Brengsek!" Ponsel ber-casing tokoh kartun minnie mouse itu terkapar sempurna setelah Fania melemparnya dari tempat ia berada seiring umpatan kasar terlontar begitu
saja. Rahangnya mengeras, gemeretakan giginya nampak jelas. Dia duduk lalu memukul mukul alas tidurnya. Matanya menyorot tajam menatap apapun dihadapannya.
Dalam keadaam seperti ini otaknya dikuras habis-habisan. Dengusan kasar terdengar dari sana.
Fania langsung saja beranjak dari tempat, mengambil kembali ponselnya dilantai. Dibukanya menu kontak, setelah menemukan satu nama dari barisan huruf bernisial
M, Fania segera menghubungi wanita yang ia sapa, Mama Kartika.
*** Tsabit, Arsa juga Diva memasuki areal terakhir yakni, komplek Anjungan Jawa Tengah, mereka disuguhkan oleh keramah tamahan khas masyarakat Jawa Tengah
yang tertuang ke dalam bentuk maket mini (anjungan) di Taman Mini Indonesia Indah. Di dalam komplek anjungan terdapat beberapa bangunan pokok yang memiliki
guna dan fungsi serta menjadi sebuah penggambaran obyek secara singkat keberadaan Jawa Tengah sebelum pengunjung mengunjungi Jawa Tengah. Di dalam Anjungan
Jawa Tengah, pengunjung tidak hanya akan mendapatkan beragam informasi menarik seputar Jawa Tengah saja namun juga akan dapat melihat pertunjukan adat
istiadat masyarakat Jawa Tengah yang juga dipertunjukkan di Komplek Anjungan ini.
Secara garis besar, kompleks Anjungan Jawa Tengah terbagi menjadi beberapa bangunan utamaantara lain, Pendopo Agung, yang merupakan sebuah bangunan tanpa
dinding dan memiliki atap bangunan yang beratapkan model Joglo. Setelah itu ada Pendopo atau dalam bahasa jawa disebut Pendhapa yang merupakan sebuah bangunan
yang banyak menghiasi rumah-rumah bangsawan di Kerajaan Jawa Tengah. Bentuk pendopo/pendhapa sendiri masih banyak dapat dilihat di berbagai tempat di Jawa
Tengah. Di Anjungan Jawa Tengah sendiri, keberadaan Pendopo Agung mengambil bentuk replika dari Pendopo Agung yang terdapat di Pura Mangkunegaraan Surakarta.
Sesuai fungsi aslinya, Pendopo Agung dipergunakan sebagai tempat untuk menyelenggarakan pertemuan resmi serta sebagai tempat melaksanakan upacara-upacara
adat. Ada lagi, Pringgitan. Yaitu bangunan yang terletak di belakang Pendhopo Agung dan bersambung menjadi sebuah bagian dari Pendopo Agung dimana dipergunakan
sebagai tempat untuk memamerkan koleksi pakaian-pakaian adat khas Jawa Tengah.
Terakhir, Joglo Panggrawit Apitan, merupakan sebuah bangunan yang memiliki fungsi sebagai gedung serbaguna yang dipergunakan sebagai tempat penyimpanan
set alat musik yang dipergunakan di dalam acara-acara adat (gamelan), tempat rias penari dan sekaligus sebagai sebuah workshop yang dipergunakan sebagai
peragaan kepada pengunjung proses pembuatan barang hasil kerajinan khas Jawa Tengah seperti Batik dan Wayang Kulit.
Dan segala tentang Jawa Tengah di anjungan sana merupakan anjungan terakhir yang mereka kunjungi. Ritual terakhir pun, masih dilakukan Tsabit. Yaitu berfoto
pada setiap bangunan bangunan khas dari mulai yang tinggi sampai yang rendah. Arsa hampir kewalahan menuruti keinginan gadis itu. Ia pikir tidak semelelahkan
ini. "Arsa, ambil sekali lagi ya disini." Teriak Tsabit mengintruksi Arsa dari tempat ia berdiri, dekat sebuah delman tanpa kuda disana. Arsa mendesah pasrah
lalu memposisikan kamera ponsel ke arahnya.
"Oke. Terakhir. Abis ini kita cabut. Gak mau tau pokoknya."
"Iya iya. Kamu tenang aja. Ini yang terakhir kok."
kalau saya gak nemu spot foto yang bagus lagi ya. Ledek Tsabit tertawa jahat dalam hatinya.
Setelah misi selesai. Arsa menggiring Tsabit dan Diva untuk segera menuju Snow Bay, lokasi bagi pengunjung yang ingin berenang sambil bermain. Arsa melajukan
mobilnya. Dalam perjalanan, Tsabit asyik melihat lihat foto dirinya bersama anjungan yang mereka kunjungi tadi. Sambil tersenyum senyum sendiri ia komentari gaya
berfotonya yang terkesan biasa tanpa gaya alay layaknya anak zaman sekarang. Jelas saja. Tsabit sudah tidak pantas alay. Cukup para Arsalovers yang menganut
fase tersebut. "Foto Diva yang disamping Candi Prambanan mana tante, diva mau liat" pinta Diva dalam pangkuan Tsabit.
"Yang berdua tante apa sendiri?"
"Yang berdua sama tante. Nanti mau Diva tunjukin ke Ibu sama Ayah." Gadis kecil itu memerhatikan jemari Tsabit yang aktif menggeser geser tampilan foto
secara bergantian. "Nah ini dia." Disana terpampang foto Tsabit bersama Diva berdiri di depan replika Candi Prambanan. Keduanya tersenyum ceria sambil berpose merentangkan
kedua tangan. "Kok tante sama om gak foto berdua?" Tanya Diva polos. Menimbulkan sepasang suami istri itu salah tingkah sendiri. Tsabit bingung harus menjawab apa. Sedang
Arsa, sok fokus menatap jalan padahal pikirannya sedang berkelana mencari alasan.
"Iya nanti tante sama om foto berdua. " ucap Tsabit menjawab sebisanya. Ia melirik Arsa lewat sudut mata. Disaat yang bersamaan, Arsa juga meliriknya.
Saling menebak pikiran masing-masing.
Sebenarnya, ada sedikit keinginan Arsa untuk mengajak Tsabit berfoto berdua. Sayangnya kesempatan itu hampir tidak ada. Tsabit lebih sering menggiring
Diva kemana pun ia pergi. Alhasil seharian ini Arsa mendadak menjadi fotografer dadakan mereka. Pernah tadi ketika Tsabit hendak mengantar Diva ke toilet,
Arsa inisiatif hendak mengajak Selfie. Entah Arsa yang amatir dalam mengajak atau memang Tsabit yang enggak peka.
"Nih hasil foto-foto lo." Pada saat itu Arsa menunjukan hasil fotonya.
"Bagus" puji Tsabit merangkai senyum menguasai ponsel milik Arsa.
"Iya lah bagus. Gue yang ambil. Penuh deh memori gue isinya foto lo sama Diva semua. Gue kan juga mau foto disini." Padahal itu kode keras Arsa untuk Tsabit.
Tapi Tsabit bukan anak Pramuka yang bisa membaca kode-kode itu. Alhasil, Tsabit menjawab santai.
"Yauda kamu berdiri ditangga sana gih. Biar saya fotoin." Tangan Tsabit terulur menunjuk tangga rumah panggung khas kota Padang yang dikenal dengan Rumah
Gadangnya. Arsa berdecak samar.
"Nanti aja tunggu Diva selesai. Biar dia yang fotoin." Timpal Arsa masih dengan kode yang sama.
"Kan ada saya. Saya juga bisa fotoin kok. Secanggih apa sih handphone kamu. Saya gak gaptek gaptek banget lagi."
Andai Tsabit itu empek-empek, ingin sekali rasanya Arsa mengunyah gadis itu dicampur kuah gula aren yang nikmat. Sudah jelas jelas maksud Arsa itu biar
Diva yang mem-foto dirinya berdua Tsabit. Bukan maksud menghina kemampuan Tsabit menggunakan ponsel canggihnya itu. Arsa mendengus sebal seraya merebut
ponsel miliknya kemudian menaruhnya dalam saku celana.
"Udah lah gak usah! Biar gue pake tongsis sekalian. Alay alay deh." Susah emang ngodein cewek batu. Gerutu Arsa sambil bergumam sebal meninggalkan Tsabit
dalam kebingungan. "Dia kenapa sih?" Tanya Tsabit seorang diri.
Arsa keki sendiri kalau mengingat kejadian itu.
Sesampainya di Snow Bay, Tsabit langsung mengajak Diva ke ruang ganti untuk berganti pakaian. Arsa memilih duduk menunggu di tenda berpayung dekat kolam
renang agar bisa mengamati dua gadis itu kalau terjadi sesuatu.
Dilihatnya mereka usai mengganti pakaian langsung menceburkan diri ke genangan air besar berkaporit itu.
Keduanya saling tertawa bermain air, menciprat cipratkan percikan air bergantian. Setelah itu Tsabit mulai mengajarkan Diva berenang. Dengan menopang tubuh
kecil Diva dalam posisi terngkurap, Tsabit mengintruksikan agar Diva menggerak gerakan kakinya ke atas bawah selang seling. Dengan penuh kesabaran ia megintruksi
setiap gerakan yang harus Diva lakukan. Dengan terus menuntunnya seperti itu, Diva akan terbiasa sehingga ia bisa dengan mudah memulai berenang dengan
gaya dasar. Gaya seluncur, misalnya.
Usai cukup mengajarkan Diva, Tsabit beralih menuju kolam dengan ketinggian dua meter. Sebelumnya ia meninggalkan Diva berenang menggunakan ban yang sudah
disiapkan. Dalam sendirinya, duduk santai menatap keramaian, mata Arsa menangkap aktifitas Tsabit dari kejauhan. Memerhatikan kelincahan sang istri dalam berenang.
Dengan memakai pakaian renang tertutup berwarna hitam tidak menyulitkan Arsa mencari. Sebab diantara banyak pengujung yang memakai pakaian renang, pakaian
renang Tsabit lah yang paling berbeda.
Ditengah situasi tersebut, terbesit dipikiran Arsa untuk mengabadikan sesuatu. Sambil tersenyum sendiri, Arsa mengambil ponsel dari saku. Menuju menu kamera
kemudian beraksi mengambil gambar aktifitas Tsabit yang sedang berenang disana. Ada sekitar 10 foto yang ia ambil dengan berbagai macam pose.
Tanpa Arsa sadari, tatapan orang sekitar terutama para gadis memerhatikan dirinya sejak kedatangannya kesini. Ada yang saling berbisik. Ada yang mencoba
mencari perhatian dengan duduk sok anggun ditepi kolam memainkan rambutnya yang basah sambil menggoyangkan kaki. Sesekali mata gadis itu melirik imut ke
arah Arsa. Tujuannya sih mempesona pria tampan nan menawan itu agar menatapnya balik lalu membalas senyum anggun mereka. Sayangnya, mereka harus menggigit
jari. Arsa hanya menarik senyum tipis mematikan ke arah mereka tidak sampai satu atau dua detik. Tapi pengaruhnya sangat besar. Buktinya para gadis itu
kegirangan sendiri.
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cantik sih. Tapi pasti jomblo" cibir Arsa. Selanjutnya ia mengalihkan perhatian ke arah sang istri yang baginya lebih cantik ketimbang gadis gadis disana.
Tsabit berenang mendekati tempat dimana Arsa duduk menunggu. Setelah sampai, ia sembulkan kepala keluar permukaan air kemudian melipat tangan dipinggiran
kolam. "Bahagia banget yang lagi tebar pesona" sindir Tsabit sambil tersenyum mengejek.
"Siapa yang tebar pesona lagi. Daritadi gue anteng aja disini" balas Arsa membela diri. Tsabit mencebik memajukan bibir bawahnya. "Kamu pikir saya gak
liat, kamu senyum senyum sendiri ke perempuan baju merah itu. Dia ngeliatin kamu lagi tuh" Tsabit menunjuk gadis di ujung sana menggunakan dagunya. "Senyum
senyum lagi" timpalnya lagi.
Arsa tidak mengikuti arah mata Tsabit kepada gadis itu. Ia memilih memperhatikan Diva. "Gue tau lo jealous" katanya. Tsabit mengendik setelah mengusap
wajah. "Siapa yang jealous" Mimpi aja" balas Tsabit berbohong.
Arsa berdiri kemudian berjalan mendekati Tsabit yang masih berada dikolam renang. Ia menunduk guna mensejajarkan diri. Terlukis senyum menggoda khas Kelana
Arsalais. "Kalo gak jealous ngapain bela belain kesini cuma buat nuduh gue?"
"Bukan menuduh. Hanya mengungkap fakta." Kedua mata mereka saling bertemu.
"Itu artinya lo jealous alias cemburu, sayang."
"Gak usah sok manis, Arsa. Saya gak bakal tergoda sama senyum kamu itu. Mungkin lebih manjur kalo kamu tujukan ke mereka" bela Tsabit menutupi kenyataan
lain. Bahwa sebenarnya ia ingin cepat kembali ke tengah air untuk menghindar dari serangan jantung mendadak di kolam renang akibat senyum menggodanya itu.
Kan enggak lucu jadinya. Arsa tetap pada objek dihadapannya. Masa bodoh dengan gadis gadis yang kini menatapnya iri. Pasti didalam hati mereka mengungkap berbagai macam cibiran
'Gak usah sok jual mahal deh neng'
'Ganteng ganteng, rabun. Milihnya yang begituan'
'Aaahhh... tukeran posisi please... bisa mati gue ditatap begitu sama dia..'
'Ngeliat kesini dongg..' Dan masih banyak ungkapan ungkapan lain yang menjijikan.
"Yakin gak tergoda" Kalo yang semalam itu menggoda gak" Itu loh waktu lo mendesah gak berdaya gara gara gue rem,-"
"Arsa stop!" Kilatan bahaya berserta tatapan membunuh seolah berasal dari neraka berhasil menghentikan kalimat Arsa. Sebab kalo tidak dihentikan, bisa
menjatuhkam harga diri Tsabit. Ah! Kenapa Arsa mengingatkan malam itu sih" Runtuk Tsabit kesal.
"Kamu gak bisa bedain ya, mana yang harus diumbar, mana yang harus disimpan rapat rapat" Mana aib, mana konsumsi publik?"
"Kan gue ngomongnya pelan" balas Arsa seenak jidat.
"Segitu pelan, gimana kencengnya"
Arsa tersenyum lagi. "Oke" lantas ia memposisikan diri lebih dekat. Dengan semakin menunduk otomatia jarak wajah keduanya hampir tak ada jarak. "Kalau
gini gak bakal kedengeran, kan?" Ucapnya sambil berbisik. Semakin histeris lah gadis gadis yang menonton mereka diam diam.
'Anjiirr.. deket banget.. bawa eneng ke rawa rawa, bang. Eneng gak kuat'
'Please ya mbak. Mukanya gak usah sok mahal gitu'
'Keburu gue embat nih' Tsabit menahan nafas. Matanya beradu sempurna. Bibirnya terkatup rapat sembari menelan ludah. Ia mendadak rindu sorot mata tersebut. Rindu peristiwa malam
itu. Eh" "Mulai konslet nih anak!" Umpat Tsabit gemas kemudian mengusap kasar wajah Arsa dengan telapak tangannya yang basah. Lalu berbalik berenang meninggalkan
Arsa tersenyum geli memandang kepergiannya.
Sebuah ponsel pun berbunyi dari dalam saku celana Arsa. Nadanya singkat. Pertanda ada pesan dari Whatsapp. Arsa mengecheck pesan tersebut.
"Dari mama?" Setelah itu Arsa membuka pesannya.
Cepat pulang. Kabar buruk. Pernikahan kamu dengan Fania akan dipercepat jadi lusa.
Hampir saja Arsa membuang ponselnya ke tengah kolam renang.
*** TBC.. 23. Cinta yang diuji ... Gemuruh mengguncang tautan cinta
Berdesah hati remuk redamkan rasa
Tatkala cinta diuji yang kuasa
Dapatkah kulalui semua cobaan
Berkecamuk beribu rasa didada
Tuhan kuatkanku dengan cinta3
*** Ayam-ayam berkokok di halaman luas sebuah rumah. Sang induk baru saja mendapatkan makanan lezat hasil jerih payahnya lalu memanggil anak-anaknya untuk
menikmati makanan itu bersama sama. Kebersamaan itu sempat terganggu berkat kedatangan seseorang yang tak sengaja melewati halaman tempat mereka tinggal.
Anak beserta induknya memisah sejenak sampai seorang pria tersebut menjauh. Setelah merasa cukup aman, keluarga unggas itu kembali mematuk-matuk hidangan
hasil perjuangan sang induk.
"Kalau begitu saya permisi pulang ya, bu"
"Buru buru sekali."
"Iya, bu. Kapan kapan saya mampir lagi kesini." Pria itu Rayyan. Ia memakai kembali topi dan jaketnya bersiap untuk pergi. "Ohya, tolong berikan kertas
itu secepatnya ya. Penting sekali."
"Nanti ibu sampaikan ya."
"Baik. Saya permisi. Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Dan Rayyan berjalan tergesa gesa menuju motor matic milik kakak iparnya itu, sebab motornya sedang dalam perbaikan akibat insiden yang menimpanya beberapa
hari yang lalu. Ia pun melaju menuju suatu tempat.
* Disebuah cermin besar memantulkan wajah menawan seorang pria. Pria berkulit putih memakai kaos tipis berwarna serupa dengan kulitnya. Ia duduk tegap dengan
tatapan kosong menatap cermin. Tak ada ekspresi sama sekali, selain datar dan datar. Bibirnya pun enggan berkata apa apa kecuali menjawab pertanyaan sang
perias. "Rambutnya mau dimodel gimana, mas?" Tanya salah satu perias bersiap menata rambut Arsa.
"Terserah" "Dirapiin pinggirnya aja ya."
"Terserah" "Mau pake bedak?"
"Enggak" "Tipis aja. Gak bakal keliatan kok, mas"
"Gue bilang enggak, ya enggak"
Perias itu pun diam mendapat serangan ketus Arsa, kemudian memulai merias pria itu yang hari ini akan resmi menjadi seorang suami dari Fania Malaika.
Tepat disalah satu ruang yang digunakan sebagai ruang rias calon pengantin pria, Arsa sudah berada disana sejak pagi. Ruang itu satu gedung dengan tempat
dilaksanakannya prosesi ijab qabul. Diruangan lain yang letaknya agak jauh, adalah tempat calon pengantin wanita berias. Fania sejak pagi pagi buta sudah
berada disana bahkan sebelum penata rias datang. Dan hari ini adalah hari yang sangat tidak ditunggu kedatangannya oleh Arsa. Hari pernikahan keduanya
dengan Fania. Rencananya nanti, kedua calon pengantin akan dipertemukan dimasjid yang masih berada dalam satu gedung dengan lokasi resepsi mereka nanti. Ijab qabul akan
dilangsungkan disana. Semua ide serta konsep itu berasal dari Fania sendiri. Ia yang menginginkan pernikahannya dilaksanakan dalam satu gedung, setelah sebelumnya ia terlibat
adu argumen dengan Kartika. Sebab, Fania mengubah tanggal pernikahannya secara tiba tiba. Belum lagi dengan entengnya ia meminta bahwa lokasi pernikahan
tidak jadi diadakan di rumahnya, melainkan di sebuah gedung mewah milik keluarga besarnya. Dengan dalih perutnya yang semakin membesar, Kartika memilih
untuk mengalah. Sebenarnya Kartika sudah tidak tahan dengan sikap Fania yang kian hari kian besar kepala. Mengingat dirinya sebentar lagi akan resmi menjadi
Nyonya Arsalais. Lalu dengan seenaknya menuntut ini itu demi pernikahan murahan ini. Kenapa dikatakan murahan" Sebab Fania mendapatkannya dengan cara yang
murahan pula. Begitu pikir Kartika.2
3rd party ad content frame
Advertisement 3rd party ad content frame end
Selama proses merias, dua wanita yang bertugas merias Arsa, tidak banyak bicara lagi. Takut takut mereka salah bicara. Hingga datang seorang laki-laki
membawa jas putih yang akan dikenakan Arsa nanti.
"Kok mukanya ditekuk gitu mas" Mau nikah harus banyak senyum dong" komentarnya usai memerhatikan sekilas raut datar Arsa sambil menaruh dua pakaian pengantin
pria diatas bangku. Arsa diam tidak menjawab.
"Tegang ya mas mau ketemu pujaan hati" pria itu melontarkan celetukan ringan sambil terkekeh. Arsa melihat pria bertubuh pendek juga berperut besar itu
dari pantulan cermin. Menatapnya sinis.
"Lo kalo gak tau apa-apa, mending diem. Mulut lo kayak cewek, tau gak" ucap Arsa tanpa perlu berbalik kehadapan pria itu. Sederet kalimat pedas itu cukup
membuat pria itu bungkam menahan malu. Salah satu perias lain, menepuk pundaknya memberi isyarat peringatan agar hati hati jika berbicara dengan pelanggannya
yang satu ini. Pria itu memanggut lalu pergi keluar kamar.
"Bilang sama anak buahnya, jangan belajar sok tau. Urus diri sendiri aja belum bener." Arsa berpesan kepada wanita yang sedang menyisir rambut hitamnya.
Entah apa yang membuat Arsa mendadak kehilangan mood. Terutama sejak dua hari yang lalu, bahwa pernikahan ini akan dipercepat. Sungguh ini bukan pernikahan
impiannya. Disisi lain ia berdoa agar Tuhan menggunakan kuasaNya agar pernikahan ini tidak terjadi. Dan sisi lain Arsa menganggap bahwa ia tidak benar
benar menghamili Fania. Tapi ia sendiri tidak ingin berspekulasi terlalu jauh. Satu satunya pria yang dicintai Fania, hanya Arsa. Lantas siapa lagi"
Dalam keadaan kosong, mata Arsa mampu menangkap satu sosok lewat pantulan cermin. Sosok itu berdiri diambang pintu menatapnya dari sana. Ia berdiri mencoba
tersenyum sambil melipat tangan didada.
"Kok gak masuk?" Arsa sangat menginginkan sosok gadis itu berada didekatnya saat ini.
"Saya gak mau ganggu kamu" jawabnya.
Arsa berbalik, bertanya kepada perias, "Mbak, udah selesai belum?" Penata rias itu menjawab, "Udah, Mas. Tinggal pake kemeja sama jas aja." Ars menggangguk
mengerti. "Kemeja sama jas nya biar gue pake sendiri. Mbak mbak berdua boleh keluar sebentar. Gue mau ngobrol sama istri gue." Perintahnya jelas. Saking
jelasnya, menimbulkan tanda tanya bagi dua orang perias itu. Sambil pergi mereka mengerut dahi menatap Tsabit yang berpapasan lalu tersenyum kepada mereka.
Palingan mereka mikir yang macem-macem. Namanya juga manusia. Umpat Arsa dalam hati.
"Kenapa baru dateng?" Tanya Arsa menyambut kehadiran Tsabit menghampirinya.
"Saya tidak mau mengganggu kamu. Pasti kamu sangat sibuk." Kilah Tsabit berbohong. Bahwa sebenarnya sejak tadi, Tsabit berusaha menyibukan diri menyapa
beberapa kerabat dekat Kartika. Itu karena Tsabit tidak ingin merasakan luka setiap kali dirinya melihat Arsa. Untuk pertama kalinya, Tsabit benci sekali
berada disini. Ditempat ia sekarang berdiri berhadapan dengan suaminya.
"Lo udah terlanjur ganggu, tanggung. Sekalian aja terusin. Biarin aja mereka nungguin kita."
Mata Tsabit beralih pada kemeja putih diatas sofa. Tsabit melepasnya dari gantungan baju kemudian berinisiatif memakaikan ke tubuh Arsa. Tanpa aba-aba,
Arsa mengerti. Ia rentangkan sedikit kedua tangan, memudahkan pergerakan Tsabit memakaikan kemeja. Lalu ia kancingi satu persatu butiran kancing dari atas
hingga ke bawah. Selama itu, Arsa memerhatikan seksama kegiatan gadisnya.3
Hari ini Tsabit nampak berbeda. Meski tidak glamour atau pun mewah, penampilan Tsabit lebih luar biasa bagi Arsa. Disaat yang lain memilih memakai kebaya
brokat yang berhias payet payet berkilau. Tsabit hanya memakai kebaya sederhana berwarna putih dipadu kain batik sebagai bawahan. Hanya bordiran kecil
berwarna gold yang mempercantik bagian pergelangan tangan. Hijab putih senantiasa setia menutupi kepalanya.
"Lo tetep disini ya. Temenin gue." Pinta Arsa penuh harap lalu berusaha menatap Tsabit yang mulai hobi menunduk sejak hari ini. Arsa ingin sekali melihat
wajah cantik gadisnya. Apa daya, Tsabit masih sibuk menata kemeja yang kini sudah rapi terpasang dibadan.
Tsabit berjalan dua langkah ke belakang mengambil jas putih yang bertengger kokoh di penggantung pakaian. Jas putih itu lebih mirip jubah menurutnya. Jemarinya
kembali bekerja sama menata penampilan Arsa.
"Setelah menikah nanti, buang sifat kekanak-kanakan kamu ya, Arsa. Bersikaplah lemah lembut kepada istri kamu nanti. Jangan sakiti hatinya. Muliakanlah
dia." Ujar Tsabit sembari tangannya belum berhenti dari sana. Pandangannya pun belum mau berpindah sama sekali.
"Pergauli dia menurut ajaran Baginda Rasulullah SAW. Jangan pernah meneriakinya karena itu akan menyakiti hati dia. Kamu yang akan menjadi pelindung istri
kamu nanti, Arsa" seiring kalimat itu terlontar, Tsabit mencoba menutupi guratan luka yang semakin menyayat hatinya. Mungkin terdengar sangat mudah mengatakan
itu semua. Nyatanya tidak semudah ia memutuskan untuk jatuh cinta kepada Arsa sejak kejadian malam pengantin itu. Sayangnya, perasaan itu nanti akan ia
bagi dengan wanita lain, beberapa jam lagi. Miris!
"Cintai istri kamu sepenuh hati. Bimbing dia agar taat kepada agamanya. Seperti kamu yang mencoba taat kepada Tuhan kamu. Kamu pun harus membawa istri
kamu dalam jalan kebenaran..."1
Selagi Tsabit berbicara, Arsa hanya bisa memandang pedih gadis itu. Hatinya penuh gejolak yang tak bisa diungkapkan. Betapa ini situasi terjahat yang pernah
ia alami. Melebihi kepahitan dirinya sewaktu dipenjara. Bahkan Arsa lebih ingin dipenjara ketimbang melukai dua orang gadis sekaligus seperti. Terutama
menyakiti hati Tsabit. Arsa mengangkat tangannya begitu saja, lalu mengerat pundak Tsabit.
"....Kelak surga istrimu akan berpindah kepadamu.."
"Istri gue ya elo, bit" potong Arsa seiring eratan kedua tangan mengunci Tsabit. Sayangnya Tsabit masih belum mau menunjukan wajahnya.
"Sampe detik ini, sosok istri yang lo omongin panjang lebar ya cuma lo seorang. Lupain peristiwa dua jam kedepan nanti. Kalo aja Allah mau berbaik hati
minjemin kuasanya memutar atau menghentikan waktu. Gue bakal putar ulang waktu. Gue ubah kenyataan biar gue bisa lebih dulu mengenal elo." Ucap Arsa penuh
keyakinan. Nadanya hampir saja meluluhkan pertahanan Tsabit.
Setelahnya Arsa tidak tahu harus berkata apalagi. Selebihnya hanya keheningan yang mengisi celah diantara mereka. Tangan Tsabit berada didada suaminya.
Menunduk dalam perasaan ego yang membunuh. Dikala hati kecilnya sangat tidak rela membagi cinta serta kasih sayang kepada pria yang dicintainya, tapi ia
tidak ingin bayi yang dikandung Fania terlahir tanpa seorang ayah. Ia pernah kehilangan Kak Sarah, kakak tirinya yang meninggal tanpa seorang ayah. Rasanya
amat pedih. Sekarang bagaimana jika seorang bayi terlahir tanpa kasih sayang orang tuanya secara utuh"
Bahu Tsabit bergetar samar. Sehingga menarik perhatian Arsa. Dan sentuhan tangan Arsa mampu mengangkat dagu Tsabit sehingga membawa gadis itu mempertemukan
sepasang matanya. Mata Arsa membulat terkejut melihat apa yang nampak diwajah itu.
Ini menjadi kali pertama Arsa melihat Tsabit menangis.
Air mata itu mengalir bebas menyusuri permukaan wajah Tsabit. Ada warna kemerahan yang hampir memenuhi mata. Terlihat sekali bahwa Tsabit menahan tangis
sejak tadi. Pantas ia tidak berani menatap Arsa.
"Jadi, daritadi lo gak mau natap gue karena ini?" Spontan kedua jemari Arsa mengusap lembut buliran bening yang terus mengalir. Isakan kecil mulai terdengar.
"Gue bisa cegah pernikahan ini kalo lo mau, bit."
Jujur, selama ini Arsa pernah merasa penasaran terhadap sosok Tsabit yang sangat tegar sampai ia tidak pernah melihatnya menangis. Apa ia lupa caranya
menangis" Atau apa hidupnya selalu bahagia tanpa permasalahan hidup" Bahkan ketika ia memutuskan siap dipoligami pun, tidak ada guratan kesedihan atau
penyesalan apa-apa. Mungkin baginya masalah poligami tidak seberat yang ia bayangkan. Dan nyatanya lagi, ada beban yang lebih berat diterima Tsabit usai
membagi dua suami terkasihnya nanti.
Tangis yang terdengar amat begitu menyayat hati Arsa. Ini lebih menyedihkan ketimbang ia mendapati Fania menangis tersedu waktu itu.
"Tidak usah. Saya ikhlas, Insya Allah." Jawab Tsabit akhirnya. Suaranya parau nan serak seperti orang yang sedang sakit tenggorokan. "Maaf, saya terlalu
terbawa suasana bahagia akan pernikahan kamu sampai-sampai harus menangis seperti ini"
Tsabit berbohong. Sayangnya Arsa tahu itu.
"Alibi lo gak bisa diterima. Gue tau alasan lain kenapa lo nangis gini" Arsa mengapit wajah Tsabit dengan dua tangkup tangannya. Menatapnya lebih dalam.
"Jawab jujur, Bit. Lo nyesel kan udah ambil keputusan ini" Bilang iya, Bit. Biar gue bisa cegah sebelum terlambat." Arsa sangat mengharapkan jawaban 'iya'
dari Tsabit. Sangat. Sambil menelaah kejujuran lewat mata, ia mempertahankan mengunci gadis itu.
"Jawab, Bit. Gue mohon.."
Tsabit membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu. Arsa menunggu.
"Permisi. Maaf Mas Arsa, acara akan segera dimulai."
Keduanya refleks melepas posisi. Membenarkan kondisinya. Tsabit mengusap wajah sekaligus matanya yang sembab berlanjut mengecheck kembali penampilan Arsa.
Sibuk menata jas, Tsabit mengatakan,
"Saya tidak menyesal. Keputusan saya tetap bulat."
Tsabit pun berbalik seraya mengusap sisa kesedihan, kemudian pergi meninggalkan Arsa seorang diri di dalam kamar.
*** Rayyan menapakan kakinya ke pelataran gedung yang sudah terdekor indah disana. Dari parkiran, ia melangkah mantap menuju suatu tempat. Melewati banyak
orang yang tidak ia kenali. Mungkin mereka kerabat juga para pekerja Wedding Organizer. Gedung ini sangat luas. Saking luasnya, Rayyan kesulitan mencari
seseorang. Sudah 3 kali Rayyan memutari tempat yang sama. Kembalinya ke tempat itu itu juga. Rayyan sampai pusing sendiri. Ia mengacak ngacak rambutnya
frustasi mencari keberadaan Tsabit.
Ia lihat jam tangan yang bertengger manis dipergelangan tangan kanan. Waktu menunjukan pukul 08.00. "Masih ada waktu" ucapnya seorang diri sambil terus
berjalan menyusuri seisi gedung.
Ia sempat bertemu dengan Kartika. Lalu menyapanya sebentar kemudian mencoba menanyakan keberadaan Tsabit. Kartika sendiri tidak tahu kemana Tsabit pergi.
Sebab ia sendiri disibukan memberi keterangan kepada keluarga besar juga wartawan yang membutuhkan klarifikasi atas pernikahan kedua Arsa.
Langkah Rayyan terhenti bersamaan helaan nafas lega karena akhirnya sosok yang dicari ketemu juga. Tsabit sedang berjalan kesana kemari dipojokan gedung
seperti mencari seseorang. Wajahnya nampak panik dan kebingungan. Berulang kali ia berusaha menelepon seseorang yang entah siapa itu. Bibir gadis itu tergigit.
Bahkan karena tidak ada yang mengingatkan, Tsabit memulai kebiasaan buruknya. Menggigit kukunya sendiri.
"Bit?" Sapa Rayyan yang sudah berada dekat disekitarnya. Tsabit menoleh cepat karena terkejut.
"Eh, kamu, yan. Ngagetin aja. Kirain siapa"
"Kok bingung gitu kenapa?" Tanya Rayyan menarik satu alisnya.
"Aku cari Arsa. Bilangnya mau ke toilet tapi lama banget daritadi gak muncul muncul. Padahal udah mau dimulai akadnya." Jawab Tsabit mulai gelisah.
Rayyan mengulum bibir memikirkan sesuatu. Memerhatikan Tsabit sekilas lalu menggeleng kecil. "Bit, bisa minta waktu kamu sebentar gak" Aku mau ngomong
penting sama kamu" "Ngomongin yang waktu itu gak jadi" Nanti aja bisa gak" Aku lagi kesel nih sama Arsa gak nongol nongol" Tsabit sibuk mondar mandir kayak setrika belum
panas sambil mengutak ngatik ponselnya, mencoba menghubungi Arsa.
"Gak bisa, Bit. Harus sekarang juga. Penting banget."
"Tapi ini juga penting, Yan. Kalau Arsa gak ada, acara ini bakal gagal" balas Tsabit tidak mau kalah.
"Tolong banget, Bit. Sekali ini aja. Nanti aku bantu cariin Arsa deh. Penting banget soalnya." Pinta Rayyan memohon dengan sangat. Malah sambil menangkup
kedua telapak tangannya seraya memelas. Salahnya, Rayyan memelas sama perempuan yang salah. Sudah tahu Tsabit keras kepala.
Tsabit tidak mendengar karena telinganya terhalang ponsel. Ia mencoba menghubungi Arsa sekali lagi sambil berdumal sendiri.
"Duh, angkat dong, kura kura. Hobi banget bikin orang panik sih. Please... angkat.." oceh Tsabit bergerak kesana kemari. Rayyan menarik nafas, memalingkan
wajah. "Tsabit?" "Apa sih, Rayyan" Kamu gak liat aku lagi sibuk. Maaf ya, aku gak bi,--"
Andai Tsabit tidak keras kepala, Rayyan tidak mungkin tega melakukan ini kepada gadis itu. Untung Rayyan masih menyimpan sapu tangan yang sudah dilumuri
sedikit obat bius. Ternyata sangat berguna disaat seperti ini. Tak butuh waktu lama, kesadaran Tsabit hilang. Tubuhnya terkulai lemas. Rayyan segera membopongnya
menuju tempat yang tidak ada satu pun orang tahu. Sekali lagi Rayyan terpaksa melakukan ini semua. Demi sebuah kebenaran.
"Maafin aku, Tsabit"
*** Ruangan itu terang. Tersorot lampu neon yang masih baru. Menyinari seisi ruangan. Ada bangku bangku yang disusun menumpuk disudut ruangan. Ada meja yang
agak berdebu. Lalu jendelanya hanya ada satu, itupun tanpa kelambu atau tirai penutup.
Tersisa satu kursi yang berdiri sendiri, tidak ikut bersama teman sesamanya bersusun disana. Kursi itu tidak sendiri. Ada seseorang yang mendudukinya.
Seorang pria sedang sibuk mengetuk ngetuk meja sambil bershalawat. Sesekali matanya ia arahkan ke sofa usang sebelahnya. Memerhatikan gadis yang tertidur
disana. Ia kembali menoleh menghadap ke jendela, memerhatikan aktifitas orang orang yang lalu lalang kebingungan akan sesuatu. Pria itu tahu apa yang sedang
terjadi. Lantas ia tersenyum tipis.
Dalam kegelapannya Tsabit berhasil membuka mata. Kini tidak ada gelap gulita yang menghalangi pandangannya. Semuanya terang. Ia kerjapkan berulang ulang
mata itu hingga bisa menerka keberadaannya sekarang.
"Kamu udah sadar, Bit?"
Suara itu bukan suara asing baginya. Lantas Tsabit menoleh. Disanalah Rayyan duduk manis menatapnya khawatir nan peduli.
"Kepala kamu pusing?" Refleks Rayyan ingin menyentuh tangan Tsabit sebagai wujud kepeduliaannya, tapi untungnya kesadaran Tsabit kembali normal, sehingga
ia bisa gerak cepat menghindar dari sentuhan tersebut. "Maaf"
"Aku pingsan ya?" Tanya Tsabit memegangi pelipis, matanya menyipit mengingat-ngingat. Rayyan bingung harus menjawab apa. Sebab dia sendiri yang membuat
Tsabit terkulai pingsan. "I..iya" Tsabit bergeming. Ada yang salah dengan hari ini. Seharusnya ia berada ditengah acara pernikahan Arsa dan Fania sekarang. Lantas mengapa ia berada di tempat
layaknya gudang ini" Mana bau debu, pula. Seingatnya tadi, Tsabit sedang berbincang dengan Rayyan. Selebihnya, Tsabit lupa. Setelah itu ada yang menyerangnya
tiba-tiba. Pandangan Tsabit otomatis bergerak ke arah pria berkulit hitam manis itu. Menatapnya curiga.
"Apa yang udah kamu lakuin?" Pertanyaan itu terlontar bersama kecurigaan Tsabit. Ia mulai ingat. Rayyan lah yang tega membawanya kesini dalam keadaan tidak
sadar. Ia mengamati kondisi tubuhnya sekarang. Masih lengkap dengan pakaian kebaya putihnya. Semua masih terpasang rapi. Ah, situasi ini malah membuat
Tsabit berpikir terlalu jauh.
"Kamu yang ngebawa aku kesini kan, Yan" Kenapa?"
Rayyan beralih menghadap penuh ke arah gadis itu. Menatapnya serius. "Kalau kamu gak keras kepala, aku gak mungkin ngelakuin ini. Kalau kamu mau sedikit
aja luangin waktu kamu, aku gak perlu repot repot gotong tubuh kamu yang menipu itu"
Menipu" Ya, berdasarkan survey orang terdekat, meski tubuh Tsabit terlihat kecil. Siapa yang tahu ia menyimpan beban yang lumayan berat. Wajar kalau Rayyan
menyebutnya badan nipu. "Jadi, ini cuma gara gara kamu pengin bicarain sesuatu yang waktu itu?" Simpul Tsabit tak menyangka. Rayyan menelan ludahnya lalu mengangguk. "Yauda, katakan
sekarang juga. Aku masih harus mencari Arsa."
Rayyan mengusap philtrum kemudian menarik nafas sedalam mungkin. Ia hembuskan bersama fakta yang sudah ia simpan lama.
"Aku udah tahu semuanya. Semua yang melatar belakangi pernikahan kamu sama Arsa. Karena sebuah perjanjian, kan?"
Tsabit tersentak samar mendengar pengakuan itu. Darimana Rayyan bisa tahu, sedangkan yang mengetahui hal ini hanya keluarga yang bersangkutan. "Siapa yang
kasih tahu kamu?" "Sebelum aku jawab, aku mau meluruskan fakta sebenarnya. Kamu dan Arsa menikah karena perjanjian yang dibuat oleh Tante Kartika. Awalnya kamu menolak karena
pada saat itu Kartika meminta kamu berpura pura menjadi pacar Arsa. Lalu demi membantu Tante Kartika yang pada saat itu amat sangat membutuhkan bantuan
kamu, kamu memilih untuk menikah."
Kenapa Rayyan mengungkap ini semua" Anggaplah ini wujud kekecewaan Rayyan kepada Tsabit karena gadis itu mampu menyembunyikan rahasia ini dengan sempurna.
Rayyan merasa dibohongi. "Pada kenyataannya kamu dan Arsa tidak saling mencintai, kan" Semua kemesraan kalian di media, hanya gimmick semata. Hanya drama yang disutradari ibu mertua
kamu sendiri. Iya, kan?"
"Tapi pada akhirnya aku mencintai Arsa. Sandiwara ini lah yang membawa perasaanku berlabuh kepada Arsa, suamiku sendiri."
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hati Rayyan teriris perlahan.
"Lantas bagaimana dengan Arsa" Aku harap cinta kamu gak bertepuk sebelah tangan" Rayyan mengingatkan dengan nada menyindir.
"Aku tidak mengharapkan cinta berlebih dari suamiku. Sebab ketika aku memberi cinta kepada pria yang sudah Allah ridhoi untukku, aku tidak perlu khawatir.
Karena Allah akan menumbuhkan cinta itu sendiri dari sepasang kekasih yang sama sama mencintaiNya." Papar Tsabit mantap.
Pada akhirnya, Rayyan harus melepas perasaan yang sudah ia pendam bertahun tahun itu. Sungguh ia menyesal karena tidak lebih dulu menyatakan dirinya untuk
mengkhitbah Tsabit. Terkadang Takdir suka seenaknya muncul ditengah harapan yang menggebu. Tak peduli seberapa besar harapan itu berasal. Selama Allah
yang memegang kendali, Rayyan bisa apa"
"Artinya mulai hari ini aku harus tahu diri. Maaf sudah membawamu kesini, Bit." Ujar Rayyan melemah. "Takdirku memang mencintaimu. Tapi untuk memilikimu
aku harus meminjam tubuh yang lain."
Ada fakta lain yang Tsabit ketahui sekarang. Rayyan menyimpan perasaan lain kepadanya. Bodohnya, Tsabit tidak menyadari hal itu. Ia pikir persahabatan
yang dijalin bersama Rayyan, bisa murni. Nyatanya, tidak ada persahabatan murni antara pria dan wanita. Pasti ada cinta diantara keduanya.
"Cinta itu universal. Kamu bisa menempatkan cinta kamu sebagai sesama hamba Allah. Bukankah kita saudara semuslim" Aku juga mencintai kamu. Anggaplah seperti
aku mencintai sosok seorang kakak."
Sayangnya cinta ini sudah terlanjur jauh, Bit. Rayyan menyayangkan dalam hati.
"Lalu, siapa yang memberi tahu kamu soal rahasia ini?" Tsabit menagih jawaban dari pertanyaan sebelumnya. Tangannya memijit mijit kepala karena rasa pusing
masih mendera. arusnya tidak menikah dengan Arsa hari ini." jawab Rayyan melupakan konflik perasaannya terhadap Tsabit. Sekarang, misi utama Rayyan adalah
menyelamatkan pernikahan Tsabit dan Arsa.
"Fania?" Ucap Tsabit bernada ragu. Rayyan mengangguk mantap.
"Kalian saling kenal?"
Keraguan Tsabit memaksa Rayyan untuk kembali mengungkap fakta sebenarnya. Sepertinya Tsabit masih belum percaya. Tentu saja. Satu-satunya gadis yang dekat
dengan Rayyan hanya Tsabit. Sisanya Rayyan lebih terbuka kepada teman prianya. Dan sekarang dia bilang dapat info tersebut dari Fania.
"Semua rencana pernikahan ini adalah ide busuk Fania. Dia sendiri yang menemui aku lalu mengajak bekerja sama untuk menghancurkan pernikahan kamu dan Arsa."
"Terus kamu nerima ajakan dia?" Cerca Tsabit tidak sabaran seraya menepuk bantal sofa didekatnya.
"Jangan kebiasaan motong pembicaraan, Bit. Dengerin aku sampe selesai dulu napa." Protes Rayyan. "Iya maaf. Lanjutin."
"Kalau aku nerima ajakan dia, gak mungkin aku berada disini nyekap kamu terus bongkar kedok dia. Jelas saja aku menolak. Perasaan aku ke kamu itu, gak
bikin aku jadi buta asmara, Bit. Beda sama Fania. Dia udah dibutain sama cinta. Dan harta." Tsabit tertarik pada penjelasan terakhir. Tepatnya pada dua
kata terakhir yang diucapkan Rayyan.
"Setahu aku, dia tulus mencintai Arsa. Buktinya dia masih setia menunggu Arsa tatkala kami menikah."
Rayyan mendengus pendek, memalingkan wajah sinis.
"Trus kamu percaya?" Tak mau menunggu tanggapan Tsabit, Rayyan melanjutkan.
"Ambisi Fania mendapatkan Arsa didukung 100 persen oleh mamanya."
Rayyan mengingat, pada saat itu Fania pernah mengatakan,
"Menikah dengan Arsa adalah kebahagiaan terbesar ku juga mama ku, Yan. Setelah menikah nanti aku yakin kehidupan kami akan jauh lebih baik. Mama ku baru
saja menjual saham yang dihibahkan Kartika. Meski pun aku harus merelakan kekasih ku sendiri. Tapi aku siap meninggalkan dia."
"Kekasih yang sebenarnya?" Tsabit mengulang tak percaya. "Siapa, Yan?" Ia jadi semakin gemas sendiri mendengarnya.
"Orang yang sudah menghamili Fania, pastinya. Dan dia bukan Arsa."
Deg! Terjawab sudah satu fakta baru. Tsabit tercengang bukan main. Ia menatap Rayyan tidak percaya. Sebenarnya ini berita baik untuknya. Tapi, masih belum masuk
diakal. Tsabit bertanya lagi, "Tapi bagaimana dengan pengakuan Arsa waktu itu" Dia mengakui langsung didepan mama Kartika dan Kak Abrar bahwa dia menghamili
Fania." "Arsa dijebak. Faktanya mereka gak melakukan apa apa. Ada satu hal yang membuat Arsa mau tidak mau mengakuinya."
Jadi, Arsa bersih dari tuduhan Fania" Artinya, bayi yang dikandung Fania bukan darah daging Arsa"
Mata Tsabit mengerjap bodoh sembari mencerna pemaparan Rayyan. Semua itu ia rangkai hingga menjadi satu kesimpulan; Kalau Arsa jadi menikah dengan Fania,
itu artinya, Fania berhasil mendzalimi banyak orang. Arsa tidak boleh menikah dengan gadis itu.
Dalam diam, Tsabit membelalakan mata. Kepalanya menegak seperti ada sesuatu yang menyadarkannya kemudian menepuk nepuk pundaknya memaksa untuk segera pergi
menemui Arsa sekarang juga.
"Bit?" Tsabit tersentak. "Aku harus temuin Arsa. Dia harus tahu ini, Yan." Dengan gesit Tsabit beranjak dari kursi, membiarkan pusingnya menghilang dengan sendirinya,
hendak keluar dari ruangan itu. Tapi Rayyan tidak kalah gesit menahan tangannya.
"Gak perlu, Bit. Kamu tetap disini. Kondisi kamu masih lemah." Cegah Rayyan tidak mempedulikan pelototan Tsabit kepadanya tatkala tangan itu berani mencengkram
pergelangan tangan Tsabit.
"Mereka gak boleh menikah. Kali ini aku gak rela, Yan. Arsa harus tahu kenyataan ini" Tsabit berusaha melepas diri dari cengkraman Rayyan. Tenaga laki
laki selalu dua kali lebih besar dari perempuan. "Please, Rayyan lepasin aku."
Rayyan menggeleng. "Enggak, Bit. Kamu gak boleh kemana mana. Fisik kamu belum membaik." Kini Rayyan meraih tangan Tsabit satunya. Tsabit mencoba melawan
tapi hasilnya nihil. Sambil meringis melepas diri, Tsabit berkata, "Kamu rela" Aku berbagi suami sama perempuan jahat kayak Fania" Iya" Kamu rela, aku
dan Arsa didzolimi sama perempuan itu?"2
Rayyan diam mempertahankan jeratannya. Sesungguhnya ini bukan maunya. Ia sendiri tak tega melihat Tsabit susah payah melepas diri seperti ini.
"Rayyan, tolong lepasin aku! Kamu gak sekongkol sama Fania buat misahin aku sama Arsa, kan?" Tuduh Tsabit mulai berpikir macam-macam.
"Aku gak sebusuk itu." Kamu bakal tahu kenapa aku nyekap kamu dan menahan kamu disini. Lanjut Rayyan berbicara dalam hati.
"Yauda kalo gitu lepasin aku. Aku mohon."
"Tapi, Bit..." "Woi!! Lepasin istri gue!"3
Suara teriakan itu berasal dari ambang pintu yang pintunya sudah dibuka paksa oleh seseorang. Sontak Rayyan dan Tsabit menoleh ke arah suara tersebut.
"Lo budek" Gue bilang lepasin ya lepasin." Lanjut teriakan yang berasal dari pria bertubuh tinggi memakai kemeja kusut. Bagian lengannya tergulung berantakan.
Penampilannya pun juga. "Arsa?" Gumam Tsabit.
Akhirnya pria yang ingin ia temui datang. Tsabit tersenyum kecil menyambut kedatangan suaminya itu. Ini kesempatan dia untuk segera memberi tahu kedok
Fania. Cengkraman Rayyan melemah sehingga dimanfaatkan Tsabit untuk berlari menghampiri Arsa buru-buru.
"Arsa, kamu harus tahu sesuatu. Ternyata selama ini..."
Keantusiasan Tsabit untuk mengatakan sebuah rahasia itu, perlahan menurun seiring langkahnya yang kian lambat. Semakin lambat lalu terhenti begitu saja.
Matanya mendayu pesimis saat melihat dan mengetahui bahwa ternyata Arsa tidak sendiri disana. Ada fania disampingnya. Menggenggam erat tangannya dan menatap
Tsabit tajam. Bibir Tsabit bergetar hendak mengatakan sesuatu. Tatapannya kosong bak mayat hidup. Pikirannya mendadak kacau.
"Apa aku terlambat?"
*** TBC... 24. Tsabita Kelana * Arsa tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Orang yang dicintainya lebih memilih ia mendua ketimbang berjuang mempertahankan cinta yang sudah ia bangun
rapi-rapi. Mencintai Tsabit seperti berjalan diatas bilah pisau. Harus mengorbankan darah dan air mata. Tapi bukan ini yang ia sesali. Melainkan keputusan
Tsabit. 'Saya tidak menyesal. Keputusan saya tetap bulat'
Agh! Kata kata itu terekam sempurna diotaknya. Layaknya kaset kusut yang memutar ulang bagian tersebut. Ia tahu Tsabit tidak menginginkan ini semua. Ia
tahu Tsabit merasakan hal yang sama. Ia pun tahu betapa berat keputusan ini harus diterimanya. Tapi entah itu keegoisan semata atau rasa peduli yang berlebih,
sehingga membuat Tsabit nekat mengorbankan cintanya.
Arsa berdiri terpaku usai Tsabit meninggalkannya seorang diri di dalam kamar. Kakinya enggan untuk melangkah keluar. Masa bodoh dengan orang orang yang
saling bergantian memanggilnya agar keluar dan melaksanakan prosesi akad nikah.
Selang berapa lama, Arsa berjalan melemah pasrah membuka pintu. bersiap masuk ke dalam kenyataan menyakitkan ini. Menikahi gadis yang tidak ia inginkan
kehadirannya. Andai keberadaan Dinosaurus masih ada diZaman modern ini, mungkin Arsa bisa berharap hewan itu datang lalu menghancurkan pesta ini. Memakan
Fania, mungkin" Ah! Itu terlalu berimaginasi.
Saat tengah mengayunkan kaki, Arsa dikejutkan suara yang berasal dari saku celana. Ada satu pesan dari seseorang.
Ke Rooftop sekarang, Sa. Atau lu bakal lebih nyesel dengan pernikahan ini. Cepet sebelum terlambat.
-Tody- Pantas hari ini ia tidak melihat keberadaan sahabat gilanya itu. Rupanya ia sedang berada di Rooftop gedung ini. Tapi, sedang apa" Langsung saja Arsa menurut
dan berlari menuju tempat yang dimaksud.
Tsabit melihat pria itu dari kejauhan nampak berlari tergesa-gesa.
"Kamu mau kemana, sa?" Tanya Tsabit berpapasan dengan Arsa yang melewatinya.
"Keluar sebentar" jawabnya singkat tak memerdulikan Tsabit melainkan terus berlari.
"Tapi akadnya,--"
"Gue ke toilet doang bentar"
Tsabit mengangguk mengerti. Melupakan kecurigaannya. Menurut sepengetahuannya, toilet ada di pintu utara. Tapi Arsa berjalan menuju pintu menuju tangga.
Sesampainya disana. Di atap gedung BKKBN Halim. Arsa tidak melihat siapa siapa. Hanya deburan angin yang sedang memainkan tatanan rambutnya bergerak kesana
kemari. Ia edarkan luas pandangannya menatap sekeliling.
"Lo dimana, Tod" Gue udah di Rooftop" ucap Arsa seorang diri agak berteriak barangkali Tody bersembunyi.
Tody tidak muncul juga. Arsa mencoba menghubungi lagi melalui ponselnya. Ketika akan memijit tombol angka pada layar datar itu, derap langkah sepatu seseorang
menyita perhatiannya. Seseorang itu ada dibelakangnya.
"Gue disini, Sa"
Arsa berbalik. Ada Tody disana. Sedang berdiri memangku tangan, menatap tajam sahabatnya. Sorotnya mempunyai makna.
"Ada paan lo nyuruh gue kesini, Tod" Tau tauan lo tempat ini." Langkah Arsa santai mendekati Tody, lalu mengedarkan pandangan lagi ke penjuru atap gedung
bersama tiupan angin menyeruak ke wajah.
"Gue gak tau harus mulai darimana. Gue udah cukup brengsek jadi sahabat lo, Sa" Arsa menarik sudut dahi membentuk kerutan indah. Ia tidak mengerti ucapan
yang dilontarkan Tody kepadanya.
"Harusnya gue awali persahabatan kita dengan kesan yang baik. Tapi gue memulai itu semua dengan kebrengsekan gue"
"Lo ngomong apaan sik" Gua gak ngerti dah" nampak Arsa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Trus maksud sms lo tadi apaan?"
3rd party ad content frame
Advertisement 3rd party ad content frame end
Tody memalingkan wajahnya sejenak. Menyatukan hembusan nafas bersama terpaan angin sekaligus mencoba membawa keberanian yang ia pendam sejak lama.
"Harusnya gue yang nikah sama Fania. Bukan elo"
Arsa menarik wajah bersama hentakan samar. Apa ini artinya Tody menyukai Fania" Jadi diam diam Tody menyimpan rasa suka terhadap Fania. Kabar baik buat
Arsa kalau begitu. Belum sempat Arsa menyimpulkan hal tersebut, Tody melanjutkan.
"Karena bayi yang dikandung Fania itu anak gue."7
Ini seperti adegan disinetron. Tepat ketika kalimat itu terucap lantang, ada kilatan berbeda yang ditampakan Arsa melalui sepasang matanya. Raut bersahabat
itu berubah beku. Juga dingin. Arsa bukan bocah bodoh yang akan mengulang pernyataan seolah memastikan kebenaran. Pasalnya kecurigaan yang pernah terlintas
dipikirannya mengenai hubungan Fania dan Tody itu mulai terjawab. Perjuangan Arsa menampik kecurigaan mereka bagaikan menggarami air laut. Sangat sia-sia.
"Bener dugaan gue selama ini" Arsa mengusap wajah lalu membuang wajahnya sekali lagi. "Tolol emang. Tolol banget. Gue terlalu tolol pernah baik sama kalian
berdua. Saking tololnya, gue dijebak sama sahabat gue sendiri." Ujar Arsa sarkatis penuh kekecewaan yang kian melebar.
"Gue tau gue udah brengsek banget sama lo, Sa"
"Alah! Percuma lo ngaku brengsek. Penjara udah penuh buat nampung orang kayak lo" timpal Arsa sadis. "Lo udah brengsek dari lahir kayaknya. Kasian gue
sama nyokap lo ngelahirin anak brengsek kayak lo. Beruntung gue gak hajar lo sekarang juga" mulut tajam Arsa mulai bekerja. Semua itu berkat pengakuan
menyakitkan sahabatnya sendiri. Sahabat yang ia anggap lebih dari saudara. Bahkan Arsa pernah menginginkan sosok adik laki-laki seperti Tody, mengingat
dirinya berstatus anak bungsu.2
"Gak usah bawa bawa nyokap gue. Nyokap gue gak tau apa-apa" Tody merupakan orang yang mudah tersinggung jika membahas tentang orang tua. Terutama mengenai
ibunya. Arsa menatap sinis. "Justru karena gue kasian sama nyokap lo. Dan tadi lo bilang apa" Nyokap lo gak tau apa apa soal ini?" Lantas ia mendecih. "Sekarang dia bakal lebih kasian
setelah tau semuanya."
"Itulah kenapa Fania lebih dulu kenal gue ketimbang elo." Ucap Tody. Memang, sebelum keluarga Fania berada pada titik terendah, Fania lebih dulu mengenal
Tody. Mereka lebih dulu dekat ketimbang dengan Arsa.
"Udahlah! lo jelasin semuanya biar gue bisa langsung batalin pernikahan ini."
Rahang Tody mengeras. Kepalan tangannya menahan kekuatan untuk melayangkan pukulan kepada Arsa. Tapi belum untuk saat ini.
"Sebelum jadian sama lo, gue udah pacaran sama Fania lebih dulu. Bahkan ketika status lo berpacaran sama Fania. Dia masih jadi pacar gue."
Arsa menarik nafas dalam degupan jantung. Jantung ini seperti dicopot paksa dari peredaran.
"Sebagai cowok yang sayang sama dia. Gue ngerelain Fania buat pacaran sama lo demi meningkatkan derajat keluarga dia dan kekayaan yang berlimpah. Siapa
yang gak tau nominal kekayaan keluarga lo dari dulu sampe sekarang yang semakin bertambah itu" Semua orang tergiur. Termasuk keluarga Fania."
"Hebat juga lo. Gila! Dua tahun nyembunyiin ni semua. Dahsyat lo, Tod! Sumpah! Tepuk tangan meriah buat lo!" Cerca Arsa tidak percaya akan penghianatan
sahabatnya itu. Betapa pintarnya mereka menyembunyikan rahasia besar selama ini.
"Gue kira setelah lo nikah sama Tsabit, Fania bisa ikhlas ngelepas lo dan kembali ke gue. Nyatanya, gak Fania gak mamanya sama sama udah dibutain sama
duit." Ungkap Tody dalam hatinya yang paling dalam penuh penyesalan yang besar. "Entah selama ini gue dianggep apa sama dia. Gue sayang sama Fania. Meski
gue gak sekaya elo, tapi semua cinta yang selama ini gue kasih, lebih dari harta yang lo punya. Oh! Maksud gue, harta yang orang tua lo punya" ralat Tody
menyindir. Tody melangkah menghadap jalan. Membiarkan angin menerpanya dari atas gedung mewah ini. Sesekali ia memandang jalan. Lalu berbalik kembali berhadapan dengan
Arsa. "Puncaknya, Fania udah nyerahin 'semuanya' ke gue. Semua itu atas dasar cinta. Setidaknya itu yang dia bilang ke gue."
Ingatan Tody berjalan mundur ke waktu dimana Fania mengaku bahwa ia telah hamil. Sebagai laki laki yang bertanggung jawab, tentu Tody tidak ingin lari
dari kenyataan itu. Justru ia senang bisa menikahi Fania akhirnya. Tapi sayang, Fania menolak dengan alasan,
"Aku mau gugurin aja kandungan ini."
Saat itu Tody kecewa dengan keputusan Fania. Sampai hati ia berniat membuang janin yang seharusnya tumbuh menjadi seorang bayi yang lucu dan tumbuh besar
untuk hidup di bumiNya. Beberapa hari kemudian, ada pria tak dikenal datang menemui Tody. Pria itu mengenalkan dirinya bernama Rayyan. Dari pria itulah akhirnya Tody tahu bahwa
Fania tidak benar benar menggugurkan kandungannya. Melainkan memanfaatkan kehamilannya tersebut agar bisa menikah dengan Arsa. Rayyan juga lah, yang memberi
tahu Tody semua rencana Fania. Mulai dari rencana mengugurkan kandungan sampai lokasi pernikahan yang berubah tiba tiba. Dengan berpura-pura meng-iya-kan
tawaran Fania waktu itu, adalah cara Rayyan menjadi musuh dalam selimut guna mengungkap kebusukan yang sudah ia duga sebelumnya. Dugaan Rayyan benar. Fania
punya segudang cara demi mendapatkan segalanya. Rayyan juga yang menemui Tody ke rumahnya hanya untuk memberi tahu perihal pernikahan Fania yang dipercepat.
"Lo tau siapa yang ngejebak lo gara gara kasus narkoba itu?" Tanya Tody yang sebenarnya tidak butuh jawaban Arsa. "Itu gue" jawabnya lantang sambil menunjuk
nunjuk dadanya. Arsa geram. "Bangsat lo, Tod!" Ia hendak melayangkan pukulan, namun tertahan kuat oleh tangan Tody lebih dulu.
"Lo mau ngehajar gue sekarang" Mending lo tahan dulu. Sampe gue selesai jelasin" mata Tody memicing tajam berbahaya. Begitu juga Arsa. Tidak ada rasa persahabatan
didirinya. Hanya benci benci dan benci tersorot dari sana. Mau tidak mau, kepalan tangan itu menjatuhkan diri. Sebagai tanda agar Tody menjelaskan kebrengsekannya.
"Siapa yang gak sakit hati ketika tau cewek yang gue cintai lebih milih nikah sama orang lain. Sama sahabat gue sendiri dalam keadaan dia ngandung anak
gue. Siapa, gue tanya"!!" Tody berteriak sekuat tenaga. Semua perasaan telah berkumpul menjadi satu dalam diri Tody. Bahkan tidak kuasa ia menahan tangis.
Mengingat perlakuan gadis yang dicintainya. Tody menatap nanar sambil bergetar.
"Itulah kenapa gue bawa Marco sama Jimmy--yang gue tau dia bandar Narkoba yang lagi diincar polisi--ke rumah gue. Gue kabarin ke polisi kalo mereka lagi
dirumah gue. Biar polisi nangkep mereka juga elo dan gue. Biar Fania ngebatalin rencananya buat nikah sama lo setelah tau lo dipenjara. Gue sih gak masalah
dipenjara juga. Yang penting Fania gak jadi nikah sama lo."
Arsa menarik seringai tipis sambil menatap miris.
"Sayangnya karena gue udah bego percaya sama lo. Gue rela nyewa pengacara buat ngebebasin lo."
"Gue gak tau harus berbuat apa lagi biar pernikahan lo sama Fania gak terjadi. Gue udah coba ke rumah Fania buat kasih tau kalau bayi itu tanggung jawab
gue, tapi Fania tetep kekeuh mau nikah sama lo. Cuma demi mamanya. Atau mungkin juga demi perasaan cinta dia ke lo"
"Gue coba ke rumah lo, ternyata lo lagi tinggal dirumah mertua lo. Gue hampir bunuh diri ngadepin ini semua. Bayangin kalo lo sampe nikah sama Fania. Mau
taro dimana muka keluarga lo kalo mereka tau bayi itu anak gue?"" Tody pun tak kuasa mengeluarkan luapan emosinya diiringi riuhan tangis samar. Setiap
kata yang terlontar bagai pisau tajam yang menyayat hati Arsa. Belum lagi ia mengucapkan sembari berteriak seolah dengan begitu beban beban yang dipendam
Tody senantiasa berkurang.
ulah, ditengah kebimbangan Tody, Rayyan mengajaknya bekerja sama. Rayyan yang waktu itu masih berkomunikasi baik dengan Fania, memanfaatkan
informasi yang ia dapat untuk menyusun rencana. Rayyan mencari tahu keberadaan kekasih Fania yakni Tody sendiri dan menceritakan semuanya, termasuk rencana
busuk Fania. Rayyan sempat gagal membongkar rahasia ini kepada Tsabit. Sebab waktu itu Tsabit benar benar sibuk. Belum lagi kecemburuan Arsa terhadap dirinya.
Padahal ia sempat memanfaatkan kondisinya sehabis kecelakaan motor waktu itu demi menarik perhatian Tsabit lalu bisa menceritakan semuanya. Dari kecemburuan
Arsa, Rayyan menyadari bahwa cinta telah tumbuh didalam diri pria itu. Tsabit tidak lagi tersiksa.
"Kalo Rayyan gak nawarin diri buat ngebantu gue. Gue gak tau gimana jadinya nanti lo nikah sama Fania, Sa. Yang jelas Tsabit bakal menderita nantinya.
Maka dari itu gue suruh Rayyan buat nyekap Tsabit di gudang biar dia gak tau tentang semua ini."
Siluman Kera Sakti 3 Sapta Siaga 10 Misteri Biola Kuno Pendekar Mata Keranjang 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama