A Life Karya Silvia Arnie Bagian 2
memperkenalkan. "Mango," katanya hangat. Ginna mengernyitkan dahi.
"Mango?" tanyanya nggak percaya.
"Mango," ulangnya. Aku menyenggol Ginna. Ginna
menatapku seolah aku gila.
"Namanya Mango" M-A-N-G-O?" Ia berbisik. Aku
mengangguk tegas. "Kayak nama merek," dia menambahkan.
"Hah?" "Pardon," ia mengoreksi. Aku mengembuskan napas
lelah. Terserahlah. "Eh... gue nggak tau kalo jadi manggung di sini.
Nggak jadi di Pisa Kafe?" kata Dave tegang.
"Nggak jadi. Pas manajernya ngeliat singer-nya ya
langsung batal. Haha?" Mango tertawa renyah. "Kalo
gue tahu bakal sekacau ini gue nggak bakal berani
manggung," tambahnya. Dave hanya mengangguk. "Eh,
udah ketemu Lunna, ya?" tanya Mango. Dave mengangkat alis mengiyakan. "Ini cewek yang gue ceritain
itu," katanya lagi. "Oh!!" Dave kelihatan kaget. Ditatapnya Ginna dan
aku bergantian. Aku dan Ginna sekali lagi saling melirik.
104 "Band-ku tadi kacau, ya?" Mango menuntut kejujuran.
"Emm?" Aku nggak langsung menjawab.
"Haha"," tawanya ringan. "Itu penyanyi cabutan
kok. Ini, penyanyi aslinya ada di sini," katanya.
"Maksudnya?" tanya kami bersamaan.
"Dave penyanyi band ini," Mango menjelaskan.
"Bukan," bantah Dave. "Bukan," ulangnya lagi.
"Aduh, ayolah" Lo nggak denger tadi penyanyinya
parah banget?" Mango memohon.
"Ada apa sih?" tanyaku nggak ngerti.
"Dave keluar dari band," sahut Mango sambil meringis. Aku dan Ginna menatap Dave bingung.
"Yah" lo tau alesan gue, kan?" tanyanya marah.
"Iya, tapi itu kan cuma kalo di tempat kuliah."
"Itu namanya bukan band!" tukas Dave.
Aku dan Ginna menatap Mango dan Dave bergantian.
"Lo harus ngerti!! Kita harus ikut lomba itu. Nanti
kalo kita bisa debut, pasti penyanyinya lo lagi deh. Sekarang lo tau kita nggak bisa. Jangankan menang, kita
bisa ikut audisi aja udah bagus. Nggak bikin juri pada
tuli aja udah bersyukur."
"Terus gue cuma cadangan"!"
"Cadangan gimana?" Suasana mulai memanas. Aku
dan Ginna mundur selangkah. "Lo kok nggak ngertingerti sih" Gini nih ngomong sama anak kecil!" bentaknya marah. Ginna menyambar lenganku bingung.
"Gue bingung nih. Kita ngapain di sini?" bisik Ginna.
105 "Tau"! Gebetan lo nyolot banget!" tukasku sambil
mengawasi Dave yang marah.
"Gebetan lo galak!" balasnya nggak mau kalah.
"Lo sekarang ngatain gue anak kecil!" Dave balas
membentak. "Heh! Gebetan lo tuh nggak ngerti-ngerti juga, kayak
lo!" ujarku asal pada Ginna.
"Iya, emang lo pikirannya belum dewasa!" urat-urat
Mango mulai tegang. "Gebetan lo tuh ngomongnya jahat kayak lo!" Ginna
melepaskan tangannya dengan kasar.
"Pikiran gue belum dewasa?" Dave melotot. "BELUM
DEWASA?" Lo semua cuma manfaatin gue!!"
"Kok lo jadi ngatain gue jahat sih?" Aku menatap
Ginna tajam. "Kan lo yang mulai duluan!" Ginna membela diri.
"Lo juga ngatain gue nggak ngerti-ngerti!"
"Siapa yang manfaatin lo!" Mango mendesah kesal.
"Ya emang lo nggak ngerti-ngerti!" elakku.
"Nggak ngerti-ngerti! Lo tuh!" Ginna marah. "Cewek
jahat! Kasar! Urakan!"
"Lo semua jelas-jelas cuma?"
"STOOPP!!!!!" teriakku kesal. Mereka memandangku
kaget. Bukan hanya mereka, tapi seluruh pengunjung
menatap ke arahku. "Bisa nggak sih ngomong baikbaik" Gue pusing dengernya!"
"Iya! Iya! Betul! Gue setuju," Ginna ikut-ikutan. Aku
duduk, diikuti Ginna. Akhirnya kedua cowok itu ikut
duduk juga. 106 "Gue nggak bisa jadi penyanyi lo. Gue nggak kuliah
di tempat lo," Dave memecah keheningan.
"Iya, tapi anak-anak pengen ikut lomba itu. Lo
harus ngerti," kata Mango.
"Dan lo juga harus ngertiin gue. Kalo gue nggak
ikut lomba itu, berarti gue bukan bagian dari band
itu," katanya sedih.
"Kenapa Dave nggak ikut aja?" Ginna mulai nimbrung.
"Nggak bisa. Ini lomba khusus anak-anak tempat
kuliah gue aja," kata Mango. "Jadi Dave nggak bisa
ikut." Ginna mengangguk-angguk mengerti.
"Dan gue nggak bisa terima mereka ikut tanpa gue.
Jadi gue keluar," kata Dave terluka.
"Lo harus ngerti dong," kata Mango lelah.
"Nggak bisa. Gue nggak bisa ngerti lo ikut tanpa
gue. Seandainya lo debut, itu bukan hasil gue," katanya
berkeras. "Kenapa lo nggak nyamar jadi anak kuliah situ
aja?" tanyaku. Tiba-tiba semua terdiam.
"Iya juga, ya"," kata Mango setelah beberapa saat.
"Mana bisa?" Dave meringis. "Kan ada name tagnya. Gila aja lo?"
"Bisa gue aturlah," kata Mango lagi.
"Gila lo! Emang segampang itu?" tanya Dave kesal.
Tapi ada sepercik harapan dalam suaranya. Ia sudah
tidak setegang tadi. Urat-uratnya pun sudah mengendur.
"Pokoknya lo tenang aja. Anak-anak lain pasti bantuin," kata Mango mantap. Tiba-tiba ia tersenyum.
"Kenapa gue nggak kepikiran begitu, ya?"
107 "Lo yakin?" kata Dave yang nggak bisa lagi menyembunyikan senyumnya.
"Yakin lah. Lagian, mungkin kita nggak bakal
menang kalo nggak ada lo," katanya lagi.
Dave terkekeh senang, tapi lalu berkata serius, "Kalo
nggak bisa ya udah, nggak usah dipaksa. Gue ngerti
kok." Ia menatapku. "Apalagi lo udah sampe ngelibatin
Lunna, lo pasti serius," katanya lagi.
"Nggak. Lo bener. Kalo lo nggak ikut, kita bukan
satu band. Lagian kita nggak bakal menang tanpa lo!"
kata Mango sambil menepuk bahu Dave. Dave tersenyum bangga. Ginna dan aku sekali lagi saling melirik,
lalu tersenyum. "Jadi, Lun" lo mau kan bikin lirik buat kami?"
Mau nggak mau aku tersenyum. Sudah sejauh ini,
aku nggak bisa nolak. "Mau dibuat kayak apa?"
"Lo bikin lirik?" tanya Ginna nggak percaya. Aku
mengangguk tenang, puas melihat wajah cantiknya
penuh kekagetan. "Iya, Lunna jago banget main kata-kata," Mango
mendukungku. Senyumku makin lebar. "Karangannya
hebat." Jujur saja, aku tersanjung.
"Oh," Ginna kelihatan kurang senang.
"Mm" gue mau lo ceritain tentang cowok yang
jatuh cinta sama cewek," kata Mango.
"Basi banget!" sergah Dave.
"Bentar, gue belum selesai. Nah, ceweknya itu cuekcuek gitu, yang tomboilah," katanya. Dave mengerutkan kening.
108 "Apaan tuh" Aneh banget. Sejak kapan lo suka
cewek tomboi?" tanya Dave.
"Siapa bilang gue suka?" tanya Mango.
DEG. "Mm" bikin tentang patah hati aja," usul Ginna.
"Lunna kan baru patah hati, jadi pasti bisa lebih
bagus." Ginna tertawa ringan. Mango dan Dave ikut
ketawa. Mereka mengira Ginna bercanda. Padahal
Tuhan tahu dia serius. "Iya, bikin tentang pengkhianatan aja," kata Dave.
"Biasanya yang kayak gitu kan dalem dan selalu masuk
di kalangan mana pun," lanjutnya.
Aku tersenyum, tapi hatiku memberontak. Jangan
pengkhianatan lagi, pintaku dalam hati. Tapi Mango
mengangguk setuju. Sial!!
"Iya! Pasti bagus tuh! Kayak puisi itu"," kata Ginna
semangat. "Puisi?" tanyaku penasaran.
"Puisi itu"," dia mencoba mengingat-ingat. "Gue
nggak tau judulnya apa, siapa yang ngarang, cuma
keren banget?" "Yeh" kalo gitu nggak usah ngomong, Non," sergahku kasar.
"Gue inget isinya kok!" kata Ginna membela diri.
"Oh, ya?" Mango kedengaran antusias. Ginna mengangguk mantap.
"Begini," katanya. "Setiap detik dalam hidupku diwarnai pengkhianatan," ucapnya mendramatisir. "Terlalu kejam tuk jadi kenyataan, terlalu buruk tuk jadi
mimpi buruk?" 109 DEG. Bukan puisi yang itu. Jangan yang itu.
"Dan tangis pun tak sanggup menggambarkan apa
pun," aku melanjutkan tanpa sadar. Dave, Mango, dan
Ginna memandangku. Ginna menatapku dengan mata
melebar. "Lo tau puisi itu?" tanyanya bersemangat.
Deg. Aku kelepasan. Dengan gugup aku mengangguk.
"Judulnya Setiap Detik dalam Hidupku."
Deg. Deg. Deg. "Oh" kok lo tau?"
Soalnya itu gue yang buat, batinku. "Yah" Itu ada
di mading sekolah gue," kataku tak berbohong.
"Sekolah lo?" tanyanya bingung.
"SMA X," jawabku. "Nah, lo tau puisi itu dari mana?"
"Ada di koran sekolah," katanya.
"Sekolah lo?" "Gloria 1," jawab Ginna. Sekarang semuanya jadi
jelas. "Puisi itu menang di sekolah gue, jadi dimasukin
di koran sekolah. Nah, kok puisi itu bisa dipajang di
sekolah lo?" tanyanya bingung.
"Pengarangnya dari sekolah gue," kataku tersenyum
gugup. "Oh, lo kenal pengarangnya dong?" tanyanya antusias.
"Mungkin"," ujarku ragu. "Mm" jam berapa sekarang?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Tanganku
basah karena berkeringat dingin.
110 "Jam dua belas kurang," jawab Dave.
"Udah semalem itu?" tanya Mango kaget. Dave
mengangkat bahu. "Wah, gue balik dulu deh. Besok
kuliah pagi," katanya berpamitan. "Dave, pulang lo!
Udah malem. Nanti dicariin Nyokap, lagi."
"Sial lo! Emang gue anak SD?" ia menonjok Mango
pelan. "Haha" sama ajalah. Belom punya KTP, kan?"
"Rese! Kan bentar lagi!" elaknya. Aku menatap Ginna
dengan pandangan penuh tanya. Ginna balas menatapku dengan ekspresi tak terbaca.
"E"emang Dave umurnya berapa?" tanyaku bingung. Mango dan Dave menatapku bersamaan.
"Enam belas," kata Dave cuek.
"Dia kan masih kelas satu," ejek Mango sambil
ketawa. "Masih cupu. Masih keciillll?"
111 Ginna "K ELAS satu?" tanya Lunna setelah cowok-cowok
itu pulang. Aku menghabiskan vodka-ku. Band baru
yang lagi manggung menyanyikan Lelaki Buaya Darat.
"Kelas satu," ulangku kecewa.
"Gue nggak tau lo suka daun muda," Lunna terkekeh.
"Kalo gue tau dia kelas satu, gue nggak bakal mau
janjian sama dia di sini," kataku jujur sambil menyalakan rokok, lalu mengisapnya dalam-dalam. "Damn,
dia lebih muda dua tahun!"
"So what?" tukas Lunna nggak ngerti. "Gue pernah
jadian sama cowok lebih muda tiga tahun," katanya.
"Hei! Dia masih ABG!" seruku tertahan. "Dia masih
pake Billabong, Rip Curl?"
"Hah?" "Pardon," sahutku otomatis. "Sedang gue udah pake
LV," keluhku. 112 "Lo ngomong apaan sih?" tanyanya. Aku mendesah
kesal, lalu memelototi Lunna tanpa mengatakan apa
pun. "Dia nggak keliatan ABG kok," hiburnya.
"Tapi temen-temennya pasti ABG banget," ujarku
tanpa sadar. "Temennya itu Mango, dia kuliah," Lunna mengingatkan.
"Dia pasti punya temen sekolah, kan?" kataku.
"Heh! Lo juga masih sekolah. Sok tua banget lo!"
sergahnya. "Beda, Lun. Beda. Mana bisa gue jalan sama cowok
yang KTP aja belom punya?" keluhku. "Jangan-jangan
nanti dia malah minta gue ngajarin dia Mat, lagi.
Aduuhh"!!" "Ya nggak segitunyalah" Mango suka cewek pake
rok aja, gue tetep nyantai," katanya cuek. "Yang penting
niat, Gin. Kalo udah suka, terus aja!"
Aku tertegun. Dia benar. Lagian Dave itu ganteng
abis! "Lelaki buaya darat... Buset, aku tertipu lagi!!
Oohhh?" Suara si penyanyi terdengar lincah.
"Mulutnya manis sekali, tapi hati bagai serigala","
aku melanjutkan. "Asal dia nggak kayak Sandy aja. Buaya!" Lunna
mengingatkan. "Betul!" aku setuju. "Eh"," panggilku. Dia menoleh.
"Lo beneran suka sama Mango, kan?"
Lunna tergagap. "Mm" Yah" gue?"
113 "Udahlah, kalo suka"," selaku.
"Mm?" Dia mengangkat bahu.
"Eh! Gue tau! Ntar lo gue ajarin make up aja, biar
feminin!" Tiba-tiba ide ini terlintas di kepalaku. Lagi
A Life Karya Silvia Arnie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula dari awal aku sudah gatal ingin mendandaninya.
Setidaknya memperbaiki penampilannya.
"Hah?"" matanya melotot kaget.
"Pardon," kataku otomatis. Kenapa sih cewek ini
nggak bisa bilang pardon"
"Nggak! Nggak usah," ia menolak tegas.
"Ayolah" gampang kok," tawarku. "Terus, lo kasih
gue masukan tentang cowok lebih muda. Adil, kan?"
"Nggak. Serius. Nggak usah. Gue nggak begitu tertarik sama Mango kok," elaknya.
"Oh, c"mon" Lo yang bilang kan, kalo suka terus
maju?" bujukku. "Nggak deh. Makasih. Lagian kalo Sandy bisa terima
lo dan gue sekaligus, mungkin Mango juga bisa terima
gue yang tomboi," katanya bertahan.
"Are you sure?" aku ketawa mengejek. "Dia jelasjelas bilang nggak suka cewek tomboi," kataku. "Atau"
jangan-jangan lo masih ngarepin Roland, ya?" Dia menatapku seolah aku gila.
"Nggak usah ya! Gue udah bilang gue suka Mango!"
katanya kasar. "Yah, abis lo tiba-tiba ngomongin Roland. Siapa tau,
kan" Lo segitu nolaknya gue ajarin make up."
"Gue nggak mau karena itu bukan gue!" tukasnya
tegas. 114 "Hah! Bilang aja lo takut!" ejekku.
"Siapa yang takut?"
"Dasar pengecut, lo emang nggak pernah suka serius
sama cowok," kataku jahat. Benar, kan" Dia nggak
pernah berusaha untuk cowok yang dia suka. Tidak
untuk Roland, tidak untuk Mango. Dia bahkan pernah
pacaran sama cowok yang lebih muda tiga tahun. Dia
memang nggak pernah serius.
"Gue nggak pengecut! Dan gue serius suka sama
Mango!" katanya tegas.
"Udahlah, nggak usah ngotot. Lo juga baru kenal
sama dia. Mungkin kapan-kapan aja kali kalo lo udah
yakin lo berhasil mindahin feeling lo dari Roland ke
Mango," ujarku. "Gue udah nggak suka sama Roland, Sandy, atau
siapa pun namanya!" tukasnya kesal.
"Ya buktiin dong!" tantangku.
Dia terdiam. "Oke deh. Akan gue buktiin gue suka Mango. Gue
bakal belajar jadi feminin!" Ia terdiam. "But lo juga
harus berhenti ngerokok!" tantangnya.
"Deal." Aku tersenyum puas. Ginna Amellia memang nggak
pernah kalah. "Lu!" Sahabatku itu menoleh mendengar panggilanku.
"Hei! Ke mana lo kemaren?" tanyanya kesal.
115 "Lo tuh yang ke mana! Gue teleponin susah banget!"
aku balas mengomel. "Gue nonton, jadi HP gue silent. Lo ke mana sih?"
tanyanya. "Ya jalan-jalan nggak jelas," kataku ngambek. "Tapi
untung juga sih. Soalnya lo nggak bakal percaya apa
yang gue alamin kemaren!" Dia menatapku penasaran.
"Gue ketemu cowok cakep banget!"
"Oh?" tanyanya tertarik. "Secakep apa?"
"Cakeeeppp banget!" Aku menceritakan kejadian kemarin. "Yah" sayangnya waktu gue janjian sama tuh
cowok, gue ketemu Lunna. Inget Lunna, kan?" tanyaku
geli. Oh ya, aku sudah cerita pada sahabatku ini
perihal Lunna. "Ceweknya Roland?" tanyanya. Aku mengangguk
antusias. "Iya. And guess what?" tanyaku penuh rahasia. "Dia
mau gue make over!" Aku terkikik senang, tapi Lulu
mengerutkan keningnya bingung.
"Dia sama gue sekarang temenan," aku berbohong.
"Jadi kami bakal shopping bareng, nyalon bareng,
luluran bareng, SPA bareng?"
"Excusez-moi?" Lulu terlihat tersinggung. "Dan lo
nggak akan melakukan semua itu sama gue lagi?"
tanyanya iri. God. "Non!" bantahku cepat. "Mais" lo tau kan, lo udah
punya cowok"," kataku hati-hati.
"Oh! Jadi karena gue udah punya cowok, lo jadi
116 nggak mau sahabatan sama gue lagi, gitu?" Lulu kelihatan marah.
"Bukan!" seruku. "Lo tetep sahabat gue. The one and
only. Gue cuma nambah satu temen lagi kok. Temen
buat jalan bareng aja, supaya gue nggak garing kalo lo
lagi nge-date." Aku berdeham. "Dia bukan sahabat
gue, cuma temen jalan," tambahku cepat. Lulu masih
kelihatan cemburu, tapi sepertinya sudah bisa menerima alasanku.
"Bukannya lo nggak suka sama dia?" tanyanya jauh
lebih tenang. "I"iya," kataku bingung. Bagaimana caranya menceritakan situasinya" "Tapi gue merasa cocok aja sama
dia pas ngobrol kemaren."
"Yah" terserah sih. Asal tau aja, kayaknya gue
nggak bakal suka sama dia," kata Lulu tegas. Aku
mengangguk mengerti. "Dia sekolah di mana?"
"SMA X," kataku hati-hati. SMA X sekolah unggulan,
cuma anak-anak terpilih yang masuk sana. Mendengar
jawabanku, sepertinya Lulu semakin membenci Lunna,
apalagi aku "berteman" dengan Lunna. Di mata Lulu,
aku menyukai Lunna dan cocok dengannya. Itu membuatnya berpikir Lunna menyenangkan dan tentunya
api kecemburuan Lulu akan semakin membara. Kalau
saja dia tahu yang sebenarnya. Dia sebenarnya nggak
perlu repot-repot mencemburui Lunna.
"Lo tahu" Gue nggak suka cewek-cewek pinter.
Pasti dia freak," katanya kesal. Aku diam saja. "Buktinya dia nonjok lo sampai kayak begitu minggu lalu,"
117 ujarnya penuh kemenangan. Aku mengangkat bahu,
nggak berani berkomentar. "Dan jangan bikin gue ketemu sama dia. Mungkin bakal gue rontokin giginya."
Tiiiiittt". Tiiitt"
Ada SMS. Aku ketawa penuh permintaan maaf.
Lulu mengangkat bahu. Aku melihat nomor yang tak kukenal sambil mengernyitkan dahi. Pasti cowok iseng, pikirku kesal.
Kubuka SMS itu. Hai, Gin" Ini Dave. Jantungku berdebar kencang. Dave!! Senyumku mengembang tak tertahan. Aaaaahh. Jantungku ngamuk.
Tahan, Ginna. Tahan. Dia masih kelas satu!! Baru lulus
SMP. "Dave!! Ini Dave!!" seruku. Dengan tertarik, Lulu
membaca isi SMS-nya. Sabtu ini gue sama anak-anak mau barbeque-an di
pool rumah gue. Ikut yuk" Ajak Lunna juga, ada
Mango. Aku terlonjak kegirangan. "Lu! Dia ngajak gue
barbeque-an!" Aku memeluk Lulu saking senangnya.
"Lo sama Lunna?" hanya itu komentarnya. Aku
melepaskan pelukanku dengan perasaan nggak enak.
"Kalo lo mau ikut juga nggak papa," tawarku, nggak
tahu harus bilang apa. Lulu menghela napas, berpikir
sebentar, lalu akhirnya menggeleng.
118 "Sabtu gue ada janji sama cowok gue," kata Lulu
sedih. "Lagian, lo tau kan, gue nggak mau ketemu
Lunna," tukasnya. Masalahnya, aku nggak tahu nomor telepon Lunna.
Atau aku pergi sendiri saja" Mungkin akan lebih
menyenangkan tanpa Lunna. Walau aku butuh teman
untuk menemaniku di sana, tapi seorang Lunna"
Hmm" Tapi pesta itu mungkin akan sepi tanpa mulut
pedas Lunna. Jadi, apa yang ku mau"
Sebenarnya Lunna nggak payah-payah banget. Lagi
pula aku sudah berhasil membuatnya setuju untuk
mengubah penampilannya. Gosh. Aku nggak sabar
ingin segera mulai. Dia pasti bakal jadi Barbie cantik
di tanganku. Tapi sebenarnya apa sih yang kupikirkan
waktu itu" Kenapa juga aku menawarkan sesuatu
yang bikin aku bertemu dengannya lagi" Hmm"
mungkin karena kuku, rambut, kulitnya" terutama
caranya berpakaian. Aku benar-benar gatal ingin memperbaiki semuanya. Tapi dia seorang Lunna. God, dia
itu rivalku. Apa yang ada di otakku waktu itu"
Rival. Masa lalu yang klise. "Dia itu rival gue. Tapi itu dulu. Sekarang dia udah
suka sama cowok lain," kataku menghibur diri. "Lagian, dia sebenarnya baik kok. Dan gue harus berterima
kasih sama dia." 119 Setelah berkutat selama setengah jam antara ya dan
tidak, aku memutuskan mengajaknya ke tempat Dave.
Sudah telanjur, aku nggak bisa lari dari janjiku begitu
saja. Apalagi aku yang menawarkan menyulapnya jadi
fe-minin. Aku tidak akan membiarkannya berpikir
aku orang bermulut besar.
Tapi aku nggak punya nomornya.
Satu-satunya yang tahu nomor Lunna adalah Roland.
Tapi apa aku sudah gila menelepon dia lagi" Apa
sebesar itu pengorbananku untuk Lunna"
Well, entah apa yang mendorongku sampai sejauh
ini, tapi mungkin aku hanya tak mau mengakui aku
memang ingin Lunna ikut. Bahwa aku ingin tetap in
touch dengan Lunna. Ada sesuatu pada dirinya yang
membuat hidupku berwarna.
Menjadi teman Lunna benar-benar sesuatu yang tak
pernah kupikirkan, dan tak pernah kubayangkan. Tapi
sekarang, setelah semua kejadian ini, rasanya sayang
kalau tidak melibatkan dia dalam drama hidupku
yang garing. Terutama episodeku dengan Dave.
Aku menekan nomor Roland sambil berdoa dalam
hati. Aku tak bisa mencegah jantungku berdebardebar. Tetap saja, setelah kehadiran Dave dalam hidupku, aku masih berdebar memikirkan Roland.
Nnnuutt". Nnuuuttt".
Please, please" Nnnuuuttt". Nnuuttt".
Angkat! Angkat! Nnnuuttt... 120 "Halo?" DEG. "Halo?" sapa seseorang yang sudah sangat kuhafal
suaranya. Roland. "Gue cuma mau tau nomor Lunna," kataku to the
point. "Mau apa lagi lo sama Lunna?"
"Bukan urusan lo!" bentakku. "Dia juga bukan cewek
lo lagi," aku mengingatkan.
"Dia masih?" Roland terdengar sangat tersinggung.
"Berapa nomornya?" selaku.
"Kalo gue nggak mau kasih tau?" tantangnya.
"Hm?" Aku mengembuskan napas kesal. "Jangan
sampe gue kirim orang ke tempat lo. Lo tau gimana
gue kalo udah marah," ancamku. Dia tahu aku bisa
serius. "Lo pikir gue takut?" tanyanya, suaranya bergetar.
"Iya," jawabku tegas.
Dan, yah" dia memang takut. Buktinya, ia memberikan nomor Lunna padaku. Sambil tersenyum penuh
kemenangan, tanpa mengucapkan terima kasih, aku
menutup telepon. 121 Lunna "H ALO?" Aku mengangkat telepon sambil terengah-engah.
"Hai, cewek tomboi," suara itu terdengar sinis.
"Hah?" Aku tidak mengenali suara cewek yang meneleponku itu.
"Pardon." "Ginna?" Aku langsung tahu. Cuma cewek aneh itu
yang ngotot banget menggunakan kata pardon.
"Ya, siapa lagi?"
"Ngapain lo telepon gue?" tanyaku bingung.
"Guess what?" katanya tiba-tiba riang.
"Apa sih?" "Lo abis ngapain" Abis lari keliling Jakarta?"
"Oh" Ini," aku mengelap mulutku asal, "gue abis
latian basket. Bentar lagi pertandingan," jawabku ringan.
"Hei!! Pass!" seruku pada seorang temanku.
"Eh!" dia memanggilku.
122 "Oper dong bolanya!" seruku sambil memerhatikan
teman-temanku yang masih latihan. Kepalaku sakit,
jadi aku istirahat sebentar.
"HEH!" Dia berseru kesal. "Gue masih nelepon nih!"
"Oh" Sori, sori," kataku nggak fokus.
"Dave ngajak kita barbeque-an di rumahnya!" serunya
girang. "Oh" males ah!" kataku cuek.
"Sorry?" tanyanya nggak percaya.
"Males, paling cuma manggang-manggang gitu
doang. Bikin capek," sahutku nggak peduli.
"Manggang-manggang" Ini pool party!" serunya tertahan. "Ini kesempatan lo unjuk gigi di depan Mango!"
"Mango" Apaan?" tanyaku nggak ngerti.
"Yah, lo harus nunjukin kalo lo feminin!" katanya
tegas. DEG. Duuuhh!!!! Apa sih yang kupikirkan waktu aku mengiyakan
tantangannya" Mestinya kubiarkan saja dia menghinaku
waktu itu, daripada aku harus berakting terus-menerus!
Apalagi jadi pesolek seperti dia! Yang benar aja!
"Nggak deh. Gue?"
"Lo udah bilang iya waktu itu," ia mengingatkan.
"Gue ada janji ntar malem," kataku asal.
"Siapa bilang ntar malem?" tukasnya kesal. "Sabtu?"
"Gue ada acara Sabtu." Aku nggak bisa memikirkan
alasan yang lebih baik. 123 "Lunna, lo udah setuju waktu itu!" katanya lagi
A Life Karya Silvia Arnie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan nada mengancam. "Lagian gue benar-benar
udah berhenti nyemok!"
Yah, aku bisa ngomong apa lagi, coba"
"Gue nggak pernah tahu make up itu banyak banget!"
kataku hampir pasrah. Mestinya aku nggak di sini,
menderita kayak begini. Membayangkan zat-zat kimia
itu menyentuh kulitku bikin aku merinding. Bahkan,
aku sebenarnya nggak pernah berpikir bakal kembali
ke kamar Ginna. "Ya" gitu deh," Ginna tersenyum. "Pertama, kita
bersihin kuku lo dulu." Ditariknya tanganku.
"Kuku gue udah bersih!" ujarku tersinggung. Dia
mengernyit, menyuruhku diam. Dengan kesal aku
menutup mulut. Harusnya aku menutup mulut sejak
awal. Ini jadi pelajaran buatku, aku nggak bakal bohong lagi meskipun untuk menyelamatkan harga diriku,
terutama terhadap cewek mengerikan seperti dia. Kalau
masih ada lain kali. Dia menyediakan baskom, pengikir kuku, gunting
kuku, dan seperangkat gunting kuku lainnya. Apa itu"
Buat apa sebanyak itu" Aku menahan diri untuk
bertanya. Ia merendam tanganku, memijatnya perlahan.
Lalu mulai menggunting kuku-kukunya. Aku tak mengerti, kukuku sudah begitu pendek, apa lagi yang
perlu digunting" "Auw!!" Aku terkejut ketika ia menarik kutikulaku.
124 "Kuku lo kependekan, pake kuku palsu aja, ya?"
tanyanya. Wajahku pasti berubah sangat pucat karena
kemudian ia menambahkan, "Gue kuteksin aja deh."
Aku menahan napas ketika pewarna itu menyentuh
kukuku. Dalam hati aku berkali-kali menyesali kebohonganku. Peduli setan dengan Mango. Aku tak peduli.
Pokoknya semua harus berakhir di sini"
"Selesai," katanya menutup botol kuteks hijau itu.
Sekarang aku mirip pohon deh, pikirku penuh sesal.
"Udah?" tanyaku lemas.
"Lo mau pake eyeshadow warna apa?" tanyanya.
"Apa?" "Eyeshadow," ulangnya. Aku mengernyit. "Udahlah.
Gue tanya juga lo nggak ngerti," katanya menyerah.
Akhirnya Ginna memilihkan beberapa warna untukku.
"Merem," perintahnya setelah mengoleskan sesuatu di
wajahku. "Lo cocoknya warna cokelat. Pink juga masuk, atau
oranye. Tapi gue suka cokelat. Kayaknya lebih natural,"
ia menjelaskan panjang-lebar. Duh, aku nggak ngerti
dia ngomong apa. Dengan ketelitian tingkat tinggi ia
membubuhi mataku dengan eyeshadow.
"Ini apaan?" kataku ngeri melihat tinta hitam yang
hampir menyentuh mataku. "Eyeliner cair. Please deh. Lo bisa diem nggak?" Aku
mendesah waswas. Dia mengambil pencukur alis. Jujur
saja, aku hampir berteriak melihatnya.
"Jangan. Cukur. Alis. Gue!" perintahku pelan tapi
mengancam. 125 "Trust me, okay?" Dan ia pun mencukur alisku.
Alisku. Alisku!! Sekarang aku botak. Aku nggak bisa
pergi ke tempat itu. Aku nggak bisa pergi ke mana
pun. Aku menjilat bibirku dengan gelisah. "Selesai,"
katanya. Aku mengembuskan napas lega. "Selesai?" ulangku
penuh harap. Setiap kali aku mendengarnya mengucapkan kata "selesai", ada kelegaan luar biasa seperti
terlepas dari maut kematian.
"Oui," ia mengangguk mantap. "Sekarang blush-on."
Ia mengambil pewarna lain lagi.
Duuh! "Oranye aja, ya?" katanya sambil mengambil kuas
besar. Kebahagiaanku lenyap, kekecewaanku pasti jelas
terlihat, karena Ginna segera menghiburku, "Jangan
begitu, bentar lagi selesai kok," katanya ketawa ringan.
Aku menyerah. Dia membubuhkan blush-on dengan
kuas besar itu di pipi. Geli.
"Oke, yang terakhir lipstik. Lo pilih sendiri deh
mau yang mana. Jangan bilang lo nggak pernah pake
ini!" tukasnya. Memang nggak pernah, tapi aku nggak
berani membantah. Aku mulai memilih, lama sekali.
Warnanya banyak: cokelat, putih, pink, biru, merah,
pink muda, pink tua, bahkan hitam pun ada, dan
entah ada berapa puluh warna lagi.
"Lo serius?" tanyaku bingung. Dia ketawa lelah.
"Gila, gue belum make up-an sama sekali nih. Lo
milih lipstik aja nggak bisa," keluhnya. Jangan salahkan
aku. Bukan aku yang meminta semua ini.
126 "Nih, pake ini aja," dia menyodorkan cairan berwarna
pink muda. "Hah?" Dia menghela napas, lalu mengangkat dagu sampai
mataku beradu dengan matanya. "Could you stop say
"Hah" again or I will make you a monster!"
Dia ngancem gue" "Lo nggak?" "Duuhhh!!!" dia menggerutu. "Udah, sini." Dia mengoleskan benda lembap, cair, dan lengket itu di bibirku.
Aku ingin muntah. "U"a?" tanyaku tanpa menempelkan bibirku. Rasanya benar-benar nggak nyaman. Sumpah, aku nggak
bakal menceritakan bagian ini ke Alin, Icha, Cannie,
dan Cassy. Mereka bakal menertawakanku habis-habisan.
"Haha?" Ginna tertawa puas. "Udah, udah. Gila, lo
cantik banget!" serunya. Aku nggak berani menatap
cermin, bahkan nggak berani bicara apa pun. Wajahku
kaku, seolah ada yang menempel di sana. Dan memang
ada yang menempel di sana. Ginna berdandan supercepat.
"Sekarang lo pake baju ini," katanya menyodorkan
sepotong gaun terusan. "Hah?"" "Pardon, Lunna." Ia menekankan kata itu dengan
lelah. Aku menelan ludah dan merentangkan gaun seksi
itu. Dia gila. "Gue" nggak bisa. Gue nggak sanggup,"
127 kataku akhirnya. Ginna yang sedang memilih baju
untuk dirinya sendiri menoleh marah.
"Apa maksud lo nggak sanggup?" tanyanya garang.
"Lo gila apa" Ini bukan gue banget!" seruku kehabisan sabar. "Gue nggak akan pake baju ini!"
"Lun, lo udah bilang iya! Lo udah setuju!" serunya
kesal. "Buat apa semuanya kalo lo akhirnya pake baju
lusuh lo itu?" semburnya.
"Lusuh"!" "Gue nggak nyangka lo cuma mulut gede doang,"
katanya jahat. "Fine! Gue pake!" Aku benar-benar marah.
Sudah kubilang belum, aku benci semua ini"
"Ginna!!" seruku marah. Dia mendorongku dengan
paksa, tapi aku lebih kuat darinya.
"Lunna! For God"s sake!" Dia ngos-ngosan.
"Gue mau nemenin lo. Gue rela lo dandanin. Gue
juga mau make gaun ini. Tapi gue nggak mau?"
"Lunna!" bentaknya kesal.
"Nggak!" aku tetap mempertahankan keinginanku.
"Tapi lo harus liat lo tuh kayak apa!"
"Gue bakal lebih pede kalo nggak liat kayak apa
tampang gue sekarang." Aku menjauhi cermin. Akhirnya Ginna menarik lenganku dan memaksaku melihat
bayanganku sendiri. "Nggak, nggak!" teriakku. Aku melawan dengan
segenap kekuatan. Mbok Minnah masuk karena mendengar keributan kami.
128 "Ada ap...," kata-katanya menggantung dan ia memelototiku. Oh, tidak... apakah tampangku sehancur itu"
Dia tercengang, tak sanggup bersuara. Aku melirik
Ginna yang tersenyum lebar. Kutatap dia dengan garang, dia masih tersenyum, kali ini semakin lebar.
Oke, mungkin dia mau balas dendam. Aku salah telah
memercayainya. Sambil mengentakkan kaki dan merengut aku berdiri tepat di depan cermin sialan itu
dan memandang bayanganku sendiri.
"Ginna brengsek!! Gue jadi..." Aku tidak menyelesaikan ucapanku. Oh, Tuhan. Tidak. Tidak. Tidak.
"Cewek?" tanya Ginna jail.
Tidak! Ini parah! "Cantik?" Mbok berusaha menyelesaikan kalimatku.
Aku masih syok. "Gue jadi kayak ondel-ondel," kataku tak percaya.
"Liat, mata gue jadi belok banget begini!"
"Itu mah gara-gara lo melotot aja!" tukas Ginna.
Mbok Minnah tertawa mendengarnya.
"Gin, pipi gue kayak boneka Jepang," ujarku.
Dia menggeleng kelelahan. "Itu karena muka lo lagi
merah," sergahnya seraya tertawa menggoda.
"Ginna, bibir gue jadi tebel!" keluhku.
"Itu karena lo lagi manyun." Ditepuknya bahuku.
"Coba deh lo tersenyum sekarang," hiburnya.
Aku meregangkan otot-ototku yang mulai tegang,
lalu mencoba tersenyum. Sulit banget. Aku menarik
napas, mencoba tersenyum sekali lagi. Smile! seruku
dalam hati. Akhirnya. Sesosok gadis anggun dan cantik
129 tercengang menatap bayangannya. Sekarang ia tampak
tidak jauh berbeda dengan cewek di belakangnya yang
sedang menepuk bahunya. "Matilah gue?" Aku tak tahu harus bilang apa lagi.
Meskipun sulit kuakui, aku memang jauh lebih menarik.
"Jangan mati, lo harus ketemu Mango dulu," katanya. "Ready to go?" tanyanya lagi. Aku mengangguk
ganjil, lalu mengambil sepatuku dan mengenakannya.
Tiba-tiba... "Hahaha...!" Ginna tertawa keras. Bahkan Mbok
Minnah pun gagal menyembunyikan tawanya. Aku
bertanya-tanya apa yang salah denganku kali ini. Dengan curiga aku melirik Ginna. Mereka terus ketawa.
Tanpa henti. Oh, Tuhan. Bisa nggak sih mereka berhenti
ketawa dan mengatakan sejujurnya apa salahku" Dengan tampang bingung aku terus menatap mereka.
Aku menunggu beberapa saat sampai akhirnya mereka
berhenti tertawa. Tidak benar-benar berhenti sih, tapi
setidaknya tawa mereka mereda.
"Apaan sih?" tanyaku sambil terus bertanya-tanya.
Ginna yang masih ketawa menyahutiku, "Lo gila,
ya" Udah pake baju keren gitu masih... hahaha!"
Ginna kembali tertawa. Aku mulai kesal.
"Apa..." Aku menatap cermin. Wajahku memerah
menahan malu. "Gue nggak punya high heels."
130 Ginna L UNNA harus banyak-banyak mengucapkan terima
kasih padaku. Dia kelihatan lebih cantik daripada aku.
"Heh! Lo masih peduli nggak sih, Dave lebih kecil
daripada lo?" tanya Lunna penasaran di mobil.
"Hmm?" aku berpikir sebentar. "Masih sih," aku
mengakui. "Kenapa?" tanyanya. "Lo beneran suka sama dia,
kan?" Aku tersenyum. "Nggak tau." Aku mengangkat
bahu. "Gue kan baru kenal sama dia, jadi?" Aku tidak menyelesaikan ucapanku. Lunna mengangguk mengerti. Tiba-tiba aku tertawa.
"Kenapa lo?" tanyanya bingung.
"Nggak, gue bingung aja. Gue nggak nyangka aja
bakal begini sama lo," kataku jujur. Dia tidak memahami ucapanku.
"Begini?" tanyanya. "Begini" temenan maksud lo?"
131 tanyanya hati-hati. Aku menoleh kaget. Aku tidak
mengira dia akan berpikir begitu.
"Yah" Nggak juga sih," kataku ragu. Aku belum
bisa menghilangkan sikap dinginku, tapi pandanganku
tentangnya berubah. "Ehm" emang" lo mau temenan
sama gue?" tanyaku pelan. Kali ini dia yang kelihatan
kaget. "Yah?" Dia mengangkat bahu. "Lo nggak keliatan
sejelek yang gue sangka," katanya. Aku mengangkat
alisku tersinggung. "Yah" lo emang cewek pesolek yang
nggak mau kalah. Tapi lo nggak jahat." Aku terdiam.
Lega rasanya mengetahui dia tidak menganggapku jahat.
"Dan gue nggak keberatan temenan sama orang, selama
dia nggak jahat," katanya lagi sambil tersenyum.
Aku balas tersenyum, meskipun suasananya terasa
agak janggal. Tak pernah terpikir olehku, bakal berteman dengan rivalku.
"Kalo begitu, mungkin ada hikmahnya kita kenal
Ro" eh, Sandy," candaku. Dia tersenyum hambar.
"Yah" mungkin." Matanya menerawang.
"Lo sendiri beneran suka sama Mango?" tanyaku
bimbang. "Hmm... nggak," jawabnya pelan.
"Sorry?" tanyaku, tak memercayai pendengaranku.
"Nggak tau, maksud gue" gue udah lama jalan
sama Sandy." Dia terdiam. "Mungkin nggak sih gue
suka sama orang lain secepat itu?" tanyanya.
Aku tertawa. "Hahaha?" Aku menatapnya tajam,
sambil tetap memerhatikan jalan. "Kalo cuma segitu
132 keraguan lo, buang jauh-jauh deh. Sandy itu cuma
masa lalu. Please deh. Jangan nengok ke belakang
terus. Ini hidup, lo harus jalan terus," saranku bijak.
"Dan lagi?" Aku berdeham. "Mumpung ada Mango
yang lumayan cute, dan lo juga suka, kenapa lo nggak
curahin semua rasa sayang lo ke dia aja?"
"Lunna, jangan angkat rok lo kayak begitu!" desisku
di telinganya. Dia menatapku memelas.
"Aduh, aduh?" Dia terseok-seok. "Jangan cepetcepet jalannya."
"Lunna!!" bisikku kesal.
"Bentar. High heels lo mau patah!" katanya dengan
suara tercekik. "Kalo ada yang patah, itu pasti leher lo!" gerutuku
sambil meratapi high heels Prada-ku, oleh-oleh dari
Mama. "Makanya pelan-pelan," perintahnya.
"Lunna! Stop pegangin rok lo! Lo angkat itu sampe
lima senti, nggak anggun, tau!" bentakku.
"Satu-satunya rok yang pernah gue pake itu rok
sekolah!" tukasnya kesal. Aku pun menyerah.
A Life Karya Silvia Arnie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya udah, kita diem di sini aja," kataku sambil
mengedarkan pandang. Kolam renang itu sangat jernih,
aku nyaris nggak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh airnya. Banyak orang yang berkeliaran di sekitar kolam. Semuanya berpakaian cukup rapi. Sampai
detik ini aku masih merasa nyaman.
133 "Hei!" seru seseorang. Aku dan Lunna menoleh kaget.
"Ini dia yang kami tunggu-tunggu!" kata Mango riang.
"Dave-nya mana?" tanyaku, gagal menyembunyikan
ketidakpedulianku. Mango tersenyum lebar.
"Dave!" Mango memanggil sobatnya sambil menjentikkan tangan.
JRRENG!! Petikan gitar mengalun pelan. "Ginna, this is for ya!"
Dave bernyanyi pelan. Jantungku melonjak sampai ke
ujung kepala. "Apa-apaan?" aku tak sanggup menyelesaikan kalimatku. Lunna sama terkejutnya.
"Haha" Dave itu love at first sight sama lo," Mango
memberitahu. "Hah?" Lunna tak bisa menahan diri. Aku
menatapnya tajam. "Pardon!" bisikku.
"Iya, gue serius! Jangan bilang-bilang ya, tapi dia
bikin party pool ini khusus buat lo," bisik Mango.
"Really?" tanyaku setelah bisa menemukan suaraku.
Aku tersanjung. Wajahku memerah.
"Iya! Dia bahkan ceritain kejadian dia tabrakan sama
lo dengan detail banget," katanya dengan senyum
menggoda. "Katanya saking paniknya lo sampe nggak
nyadar HP-lo ketinggalan. Haha?"
Lunna menyikutku sambil tersenyum mengejek. Aku
memelototinya seraya menyembunyikan rasa maluku.
"Waktu itu dia sampe segitu relanya nggak ikut
ngeband buat ketemu lo," katanya memberitahu.
134 "Oh ya, Lunna mana?"
What" Dia nggak sadar Lunna ada di sebelahku"
Apa Lunna sudah tidak kasatmata" Aku menatapnya
seolah dia sinting. Oh, God. Jelas aja dia nggak kenal. Lunna begitu
berubah. "Hah?" Lunna membuka mulut, tapi aku menyikutnya hingga ia mundur beberapa langkah. Tiba-tiba
aku punya ide bagus. "Menurut lo, Lunna gimana?" tanyaku tiba-tiba.
"Gimana gimana?" tanya Mango polos.
"Ya orangnya." "Nggak usah dipeduliin. Dia rada "sakit" hari ini,"
Lunna menyelaku. Mango memandang Lunna dengan
aneh. "Ini" temen lo?" tanyanya heran.
Aku mengerling. "Mau kenalan?" tanyaku. Kusenggol
Lunna yang sepertinya kehilangan kata-kata. Mango
hanya tersenyum mendengar tawaranku. Aku berpurapura mengerutkan kening. "...lagi?" tanyaku.
"Lagi?" Mango keheranan.
Aku mengangguk tegas. Mango tetap tidak mengenali
Lunna. Dia pasti sudah buta. Aku menghela napas
berat. "Oke. Mango, ini Lunna. Lun, Ini Mango." Lunna
terpaku, terpatung, terdiam. Mango" Melongo, tepatnya.
"Ya ampuunn?" Hanya itu kata-kata yang dikeluarkan Mango. Lunna hanya tersenyum bodoh. "Gue
nggak tau lo bisa dandan kayak gini?"
135 "Ini bakat tersembunyi," kataku memecah keheningan. Dengan kaku Lunna melepas rok yang sejak
tadi diangkatnya. Sedetik kemudian Dave menghampiri
kami diikuti segerombolan temannya.
"Hei, Gin. Kenalin, ini teman-teman gue," katanya.
Sambil memproklamasikan aku kepada teman-temannya, aku memerhatikan mereka satu per satu. Oh,
tidak. Mereka benar-benar ABG banget!! Aku bagai
disentakkan ke alam nyata. Senyumku pasti kelihatan
banget dipaksakan. "Lesson number one, jangan pedulikan temen-temennya. Lo jadiannya sama Dave, bukan temen-temennya,"
suara Lunna terdengar di telingaku. Ia pasti melihat
aku tidak menyukai teman-teman Dave yang masih
belum dewasa. "So" Gantian," kata Dave. Aku terpana.
"Maaf?" Aku terlambat menyadari maksudnya. Dia
tersenyum lemah. "Temen lo. Kenalin dong," kata Dave lagi. Aku
mengerutkan kening. "Lunna" Ini Lunna," kataku bimbang.
Lunna tersenyum. Mango ikut tersenyum. Kali ini
gantian Lunna yang menyalami mereka dengan
sukacita. "Kalian skul di mana?" tanya salah seorang teman
Dave. "Gue di Gloria 1. Lunna di X," jawabku, tiba-tiba
merasa bosan. "Gloria 1" Sekolah khusus cewek, ya?" kata
136 seseorang entah siapa. Aku hanya mengangguk lemah,
kelewat sopan malah. "Wah, di situ bayarannya pakai dolar, kan?" tanyanya
lagi. Lagi-lagi aku hanya mengangguk sekenanya. Mereka berbisik-bisik. Norak banget!
"Kalo Lunna?" tanya Mango jail. Lunna hanya mengangkat sebelah alisnya.
"Gue dapet beasiswa, jadi gue nggak tau masalah
bayaran. Tapi kayaknya pake rupiah deh," katanya,
senyum puas mengembang di wajahnya. Mereka hanya
ber-Ooohh dan ber-Aahhh, kayak kagum aja.
"Di SMU X, dapet beasiswa pula! Lo pinter dong!
Yang satu pinter, yang satu kaya, dua-duanya cantik.
Sempurna deh!" celetuk salah satu teman Dave. Kami
berpandang-pandangan, lalu tersenyum masam. Aku
menjilati bibirku dengan gugup.
"See" Mereka ABG banget!" keluhku pada Lunna.
"Iya" norak," katanya setuju. "Tapi tenang aja. Davenya nggak begitu kok," hiburnya.
"Lo di SMU X" Lo Lunna" Lunna Vannia?" seru
salah satu teman Dave nggak percaya. "Lunna yang
itu?" katanya bersemangat.
Lunna hanya tersenyum kaku, lalu menghilang entah
ke mana. 137 Lunna T OK tok tok. Pintu kamar diketuk pelan.
"Si...siapa?" tanyaku, menjaga agar suaraku terdengar
biasa. Tubuhku masih bergetar menerima kabar yang
menamparku telak-telak. "Lun, ini Bunda. Bunda boleh masuk?" Terdengar
suara Bunda yang lembut. Aku berjalan ke pintu dan memutar anak kuncinya.
Kulihat Bunda mengamatiku penuh kecemasan.
"Maaf, Bun." Bunda tersenyum menghibur. Dia masuk ke kamarku yang sempit dan penuh pigura. Banyak sertifikat,
penghargaan, surat-surat, puisi, dan segala macam tetekbengek terpajang rapi di dinding. Juga tak lupa setumpuk piala dan medali lomba pembacaan puisi, menggambar, basket, dan segala macam lomba lainnya.
Bahkan ada yang tidak kubuat duplikatnya dan disumbangkan ke sekolah. Aku memeluk Bunda dengan
sayang, dia mengelus kepalaku penuh cinta.
138 "Sampai kapan, Bun" Sampai kapan Lunna bisa
bertahan?" kataku berusaha menguras air mata yang
tak kunjung keluar. Kalau saja aku bisa menangis,
mungkin bebanku nggak bakal seberat ini. Kurasakan
air yang hangat membasahi rambutku. Bunda menangis
untukku. Dia mengusap rambutku yang halus dan
melihat beberapa helai rambutku tersaring di jemarinya.
Dengan mudahnya rambutku rapuh seperti diriku.
Dia terisak keras dan pedih menyadari kenyataan ini.
Sejak Ayah meninggal, aku merasa beban Bunda semakin berat. Aku selalu berusaha meringankannya.
Aku berusaha mendapatkan beasiswa dengan usahaku
sendiri. Aku tahu, Bunda tidak sanggup membayar
uang sekolahku dan Adit sekaligus. Aku selalu berusaha
tidak menyulitkannya, dan biasanya aku berhasil. Aku
membeli motor dengan uangku sendiri, membayar
ujian dengan tabunganku, bahkan terkadang membayar
uang sekolah Adit. Bunda selalu bangga padaku, begitu
juga Adit. Mereka mencintaiku seperti aku mencintai
mereka. Tapi kali ini aku gagal. Bagaimana mungkin
aku bisa meringankan bebannya, kalau sekarang bebannya adalah aku" Biasanya aku selalu berusaha tidak menjadi bebannya, tapi kali ini" Mana mungkin
bisa" "Sayang, kita hadapi sama-sama," jawab Bunda lembut.
"Adit sudah tahu?" tanyaku. Beliau hanya menggeleng perlahan.
"Lunna nggak mau dia khawatir. Apalagi sebentar
139 lagi mau ujian kenaikan kelas," kataku pelan. "Sebisa
mungkin kita sembunyikan ini, ya, Bun," pintaku.
Bunda tak menjawab, hanya mengangguk. Aku sudah pernah meminta itu sebelumnya. Aku terdiam
beberapa saat. Tiba-tiba saja aku merasa sangat pesimis, perasaan yang sangat langka dalam hidupku. Aku
menatap Bunda. "Bun, aku ada kesempatan nggak ya
ikut UAN?" tanyaku sedih.
Bunda mempererat pelukannya. "Lunna, kamu kok
ngomong begitu?" Aku sadar kata-kataku telah menyakitinya, tapi aku
benar-benar ragu. Bunda menangis terisak-isak di kamarku, aku tidak tega melihatnya. Aku menyayanginya
dengan segenap hatiku, setulus jiwaku. Aku menyesal
sekali telah mengecewakannya. Aku mencoba tersenyum.
"Aku kuat kok! Aku pasti bisa," kataku riang. Entah mengapa Bunda menangis lebih keras sambil mengangguk-angguk.
Mango menyantap makanannya dengan lahap. Aku
menatapnya dengan pandangan menyelidik. Apa dia
sama sekali nggak terpengaruh, ya" pikirku menatap
sneakers-ku yang sudah butut dan tas selempangku
yang biasa. Aku mengunyah lambat-lambat.
"Yang ini enak, Lun!" Ia menyodorkan ikannya padaku. Ikan. Aku tertawa kecil. "Kenapa?" tanyanya
bingung tanpa merasa tersindir.
140 "Nggak. Lagi inget Ginna," kenangku. Ginna dan
aku juga jadi sering pergi bareng. Kebanyakan dia
yang ngajak. Lalu ia membelikanku banyak make-up
dan baju, dan nggak bakal pulang sebelum membuatku
berjanji akan mengenakannya.
"Ginna?" Aku mengangguk. "Waktu itu gue pernah makan
sama dia. Karena dia sering banget belanjain gue, gue
akhirnya maksa nraktir dia." Aku tersenyum. "Gue
beliin dia pecel lele. Terus pas suapan pertama dia
langsung muntah." Aku tertawa terbahak-bahak.
"Muntah?" tanya Mango kaget.
"Haha" iya, ternyata dia vegetarian. Gue nggak tau
dia sampe maksain makan karena nggak enak sama
gue." Aku tertawa terbungkuk-bungkuk, sampai
Mango yang tak tahu kejadiannya ikut ketawa. "Aduh,
mukanya waktu itu. Hahaha?"
"Hehe" harusnya Dave liat tuh!" Mango mulai
membayangkan. "Haha" iya!!" aku setuju.
"Dua orang itu langgeng-langgeng aja," katanya tetap
tersenyum. Aku mengangkat bahu. Aku nggak peduli
urusan mereka. "Gue nggak nyangka Ginna juga suka
sama Dave pada pandangan pertama."
"Ap" masa?" tanyaku linglung.
"Lho" Kok lo nggak tau!" tanyanya bingung.
"Bukan" maksud gue, kok lo tau?"
"Haha" iya lah! Ginna bilang sendiri sama Dave."
"Hah?" aku ternganga tak percaya. "Ginna bilang?"
141 Mango ketawa melihat reaksiku. "Iya lah" Mereka
kan udah jadian," katanya tenang.
Hah?"!! "Emangnya lo nggak tau, Lun?" tanyanya setelah
melihat reaksiku. Aku menggeleng tegas. "Dia nggak pernah cerita!
Tapi kami emang nggak terlalu deket sih?"
"Oh, ya?" Dia mengunyah ikannya lagi. "Padahal
keliatannya lo berdua akrab banget."
Aku mengangkat bahu nggak peduli. "Ya gitu deh."
"Emang lo kenal Ginna di mana?"
DEG. "Ap"apa?"" tanyaku tersedak kaget.
"Lo pertama kali ketemu Ginna itu gimana" Dikenalin?"
"Eeemm?" "Bengooongggg mulu!!" seru Cassy. Aku tersentak ke
alam nyata. Aku memerhatikan mereka memerhatikanku dengan tatapan aneh.
"Kenapa?" tanyaku heran.
Mereka berpandangan. "Lo tuh yang kenapa!" tukas
mereka serempak. Aku mengerutkan kening dengan
tatapan bingung. Alin mengelus-elus dadanya. "Ya ampuuuun!! Lo
biasanya kalo udah di depan mangkuk bakso nggak
mungkin diem! Kenapa sih lo?" tanyanya khawatir.
"Nggak papa, lagi nggak nafsu aja." Teman-temanku
mengerutkan kening. 142 "Lo tuh aneh ya akhir-akhir ini?" kata Icha.
"Iya, udah gitu, sering banget bolos, lagi!" Cannie
setuju. "Kayak bukan lo!" sambung Alin. Aku mengangkat
bahu seolah tak peduli. "So, lo kenapa?" tanya Alin lagi setelah beberapa saat.
Aku hanya menggeleng pelan. "Lagi stres aja mau
ngadepin UAN," kataku bohong. Mereka mengangkat
bahu nggak percaya. "Anak pinter kayak lo takut UAN" Gimana gue?"
Cassy nyeletuk. Teman-temanku mengangguk setuju.
"Lo lagi fall in love, ya?"
Aku menoleh kaget. Tanpa sengaja aku menjatuhkan
garpu yang kumainkan sejak tadi.
Trriiinnngg" Ups" "Lo nggak?" "Lo bukan?" "Serius, lo?" Teman-temanku berbicara bersamaan dengan tak percaya.
"Bukan, bukan," kataku menenangkan. Mereka terdiam serentak, menunggu ceritaku. Aku menarik napas,
bingung. "Gue nggak lagi fall in love," tegasku. Temantemanku langsung lemas karena kecewa.
A Life Karya Silvia Arnie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Alaaahh"," Alin mengeluh, "basi banget deh! Gue
pikir udah ada cowok baru di hidup lo!"
"Haha?" aku ketawa ringan. "Siapa bilang nggak
ada?" 143 "HAH?"" teman-temanku terkesiap.
"Ah, bohong lo!"
"Gue nggak percaya!" seru teman-temanku serempak.
Aku ketawa geli. "Ya udah kalo nggak percaya?"
"Serius lo?" tanya Icha ragu.
"Iya?" "Jadi lo udah dapet pengganti Sandy?" tanya Cannie
nggak percaya. "Gue nggak bilang begitu," elakku. Kenyataannya
memang nggak begitu. Sehabis pool party itu, Mango
memang lebih sering menghubungiku. Sebagian karena
urusan lirik lagu, sebagian lagi dia memang mengajakku pergi. Aku akhirnya mengaku aku nggak feminin
atau glamor seperti Ginna. Aku cuma cewek sederhana
yang apa adanya. Awalnya aku nggak peduli, lagi pula
aku memang nggak serius menyukainya. Tapi sikapnya
ternyata nggak berubah meskipun ia mengetahui diriku
yang sebenarnya. Dia tetap perhatian, baik, sabar, lembut"
"Ceritain tentang cowok ini!" perintah Cannie senang.
"Lo ketemu di mana?" tanya Icha penasaran.
"Umur berapa?" Alin ikut bertanya.
"Cakep?" Cassy nggak bisa menahan diri.
Pertanyaan bertubi-tubi itu bikin aku nggak nyaman.
"Stop, stop. Lin, lo inget nggak, gue pernah cerita
diajak nulis lirik buat anak band?" tanyaku pada Alin.
Alin mengangguk antusias. Teman-temanku yang lain
menatapku penasaran. "Yah" nama cowok yang ngajak
itu Mango," kataku memulai.
144 "Mango" Kayak merek aja," celetuk Cassy. Temantemanku tertawa.
"Lo ketemu di mana?" tanya Cannie.
"The Ivy. Sebelum gue berantem sama Ginna," lanjutku. Teman-temanku mendengarkan ceritaku dengan
mata membesar. "Yah" gue sebenernya nggak suka
sama dia, tapi Ginna pikir gue mau balik lagi sama
Sandy, jadi gue ngarang cerita kalo gue suka sama
Mango!" "Hah?" Alin menganga kaget. "Lo sih psycho!"
"Lo belum denger bagian psycho-nya!" seruku terbahak. "Ginna nantang gue buat nunjukin gue beneran
suka sama Mango dengan berubah jadi feminin!"
Teman-temanku menahan napas. Detik berikut mereka
ketawa terbahak-bahak. Aku menceritakan secara mendetail bagaimana Ginna mendandaniku, tentu melewatkan bagian lipstik itu.
"Ah! Seharusnya lo difoto!" seru Cassy masih ketawa.
"Gue foto kok!" Aku mengeluarkan dompetku.
"TARRAAAA." Aku mengeluarkan foto itu dari dompet.
Icha, Alin, Cassy, dan Cannie berebut melihatnya. "Eh,
nyantai, girls! Jangan sampe sobek. Kenang-kenangan
tuh!" seruku. Mereka mengamati fotoku tanpa bersuara.
"Lo yang mana?" mereka mengamati tanpa mengenaliku.
"Yang itu?" aku menunjuk diriku yang tersenyum
kaku menghadap kamera. "Ah! Gila lo!" Cannie terkesiap.
145 "Wow?" Cassy tak sanggup berkata-kata. Alin dan
Icha menatapku dengan mulut menganga.
"Lo cantik banget!"
"Makasih?" aku menengahi.
"Gila! Baru sekali ini gue liat lo kayak begini!" ujar
Alin. "Nah, yang di sebelah gue itu Ginna."
"Yang ini?" tanya Icha. Aku mengangguk.
"Pantes...an lo kalah," timpal Cassy.
Aku tertawa. "Sialan lo!" Kudorong lengannya. "Sejak
itu Mango nelepon gue tiap hari," kataku riang. Senyum mengembang di wajah teman-temanku.
"Jadi dia suka sama lo?" sela Cassy.
Aku menghela napas. "Haha... gue juga nggak tau.
Dia suka cewek feminin, padahal lo tau gue kayak
apa," keluhku. "Jadi, lo jadi suka sama Mango-mangoan ini?" tanya
mereka. Aku angkat bahu. "Nggak, kayaknya nggak. Gue kan baru putus, lagi,"
kataku. "So what?" tanya Icha. "Kan bagus lo bisa suka
sama cowok lain" Masa lo mau terus-terusan terpaku
sama Sandy?" Mendengar namanya disebut, perutku langsung mulas.
"Tapi" gue masih ragu," kataku serak. "Kayaknya
nggak bisa secepet itu gue suka cowok lain. Gue
masih trauma?" Aku teringat kembali kata-kata Ginna
di mobil malam itu. Waktu itu aku benar-benar memi146 kirkannya. Mengerahkan semua rasa sayangku untuk
Mango, maksudku. Tapi agaknya aku tak bisa.
"Hm" asal" lo nggak jadiin dia pelarian aja," kata
Alin tiba-tiba. "Itu dia yang gue takut, Lin," kataku jujur. "Gue
takut dia tuh cuma pelarian gue. Tapi waktu gue jujur
sama dia kalo gue nggak feminin kayak yang dia
pikir, dia nggak menjauh. Dia tetap perhatian, dia
tetap sabar, dia tetap baik?"
"Dan lo jadi suka sama dia?" tanya Icha.
Aku mengangkat bahu. "Kayaknya nggak sec?"
Ttiittt". Tiiit"
Bunyi SMS masuk memotong pembicaraanku.
Aku mengangkat alis. "Mango," kataku memberitahu.
"Panjang umur!" seru teman-temanku sambil berebut
membaca SMS itu. Hai, lagi apa" Udah makan" Kalo belum, lunch
yuk" Ada kafe baru nih.
Setelah membacanya, mereka saling menyenggol.
"Kayaknya lo dapet fans baru niihhh"."
147 Ginna A KU memarkir mobilku di halaman, mematikan
mesin lalu mengambil tas sekolahku dan turun dari
mobil. Ketika memasuki ruang tamu, aku tertegun.
Langkahku langsung terhenti dan aku memandang
tak percaya ke sosok yang sedang duduk di sofa.
"Mama?" tanyaku kaget.
Mama menutup majalah yang dibacanya, lalu menyapaku, "Hei! Udah pulang, Sayang?"
"Eh" kok?" Aku masih tidak percaya. "Mama pulang dalam rangka apa?" tanyaku bingung, lalu duduk
di sebelahnya. "Kangen aja sama kamu," katanya menciumku.
Tiba-tiba pintu WC dibuka.
"Hei, kok Mama aja yang dipeluk" Papa juga dong!
Come to Papa," kata Papa tersenyum lebar.
"Ma" Pa... ke?" Aku tak bisa mengeluarkan suaraku saking syoknya.
148 "Kenapa, Gin" Nggak suka kami pulang?" tanya
Papa pura-pura tersinggung.
"Bukan! Bukan," jawabku cepat. "Cuma"," aku
mengerutkan kening, "aneh."
Papa tertawa. Belum lagi rasa kagetku berkurang,
seorang cowok keluar dari kamar mengenakan kaus
oblong dan celana santai yang sedikit kusam.
"Kak Terry?" Mulutku ternganga lebar.
"Hey, girl, what"s up?" Dia tersenyum miring.
"Oh, gosh!" seruku tak bisa menahan kaget.
"Cuma begini nih sambutan buat gue" This?" katanya sambil mengangkat satu alis.
Aku menahan air mataku. "Oh, God!" Aku memeluknya penuh sayang. "Kangen banget sama Kak Terry,"
kataku terisak. Dia memelukku erat-erat sambil memejamkan mata.
"Me too," dia mencium keningku. Mama dan Papa
hanya berpandang-pandangan sambil tersenyum.
"Eh, ngomong-ngomong nih" Kok tumben banget
sih semua pada ngumpul?" tanyaku curiga. "Biasanya
kalo nggak Mama doang yang pulang, ya Papa doang.
Paling mentok Mama sama Kak Ter, atau Papa sama
Kak Ter. Bener-bener langka banget nih!" Aku terus
bicara sampai lupa tujuan awalku.
"Ayo, ada apa" Kamu tadi katanya mau cerita
something?" Kak Ter menatap mataku lurus-lurus. Ia
duduk di ranjangku sambil memeluk bantal. Sudah
149 lama sekali kami nggak kayak begini. Duduk bareng
di kamarku, menjalankan ritual kami: curhat.
"Aku naksir cowok, Kak," kataku to the point. Matanya langsung melotot.
Dia kelihatan sangat terkejut. "Udah lama" Kok
nggak bilang-bilang?" protesnya. Aku terkikik geli.
"Udah lama naksirnya, udah lama juga nggak ada
kabarnya." Aku nyengir. "Gimana mau cerita" Kak Ter
nelepon aja nggak pernah!" Aku manyun, membalas
protesnya. Dia hanya terdiam dan tersenyum.
"Iya, sori, sori." Dia menarik dan memelukku.
"Aku sekarang emang udah punya cowok, Kak,"
kataku tiba-tiba. Kak Terry melepaskan pelukannya
dengan mata terbelalak. "Siapa namanya?" tanyanya garang. Ups. Kak Ter
memang kelewat ketat menjagaku. Mungkin karena
dia terlalu sayang padaku dan...
"Galak amat sih?" tukasku merengut.
"Yah... Kakak cuma nggak mau..." Dia tidak menyelesaikan kalimatnya. Aku mengangguk.
"Iya, aku tau," kataku maklum. "Dave. Dia anaknya baik banget lho."
"Ati-ati, semua orang juga baik kalo ada maunya!"
"Iiihhh. Kak Ter mulai lagi deh!" Aku melemparinya
dengan bantal, lalu tertawa. "Serius, dia baik. Dia
udah kenalin aku ke temen-temennya. Bahkan dia
bikin pesta buat aku."
Kak Ter mulai tertarik. "Oh, ya" Dia bikin pesta
buat kamu?" Aku mengangguk tegas. "Wah, kalo begitu
150 mungkin dia memang serius. Apalagi dia udah kenalin
kamu ke temen-temennya."
Aku nyengir. "Hehehe. Iya dong! Tiap hari dia jemput aku di sekolah, bawain bunga buat aku. Terus dia
ajak aku ke tempat-tempat yang biasa didatengin
temen-temennya, maksudnya supaya aku lebih kenal
dia, gitu." "Kayaknya dia cowok baik," kata Kak Ter akhirnya.
Senyumku makin lebar. "Iya. You know what" Dia juga membuat aku akhirnya bener-bener berhenti merokok!" Aku ketawa lebar.
Kak Ter mengelus rambutku dengan bangga. "Tapi hari
ini dia nggak dateng, padahal udah janji!" aku merengut.
"Haha" Nggak bosen apa ketemu tiap hari?" tanyanya.
"Kan hari ini aku sama dia satu bulanan!" kataku
kesal. Tok. Tok. "Siapa?" "Mbok Minnah, Non. Ada yang cari Non."
"Siapa?" Aku mengerling bingung sambil melirik
Kak Ter. "Nak Dep." "Apa" Siapa"! Depi?" Kak Ter mengulang kata-katanya.
Mbok menggeleng. "Nak Dep. Cowok, tinggi, ganteng," katanya lagi.
Aku langsung melirik Kak Ter. "Dave," kataku lebih
pada diriku sendiri. 151 "Panjang umur nih! Mau liat ah," kata Kak Ter
iseng. Aku berlari mengejarnya. "Aahhh." Dengan sedikit merengek aku menarik bajunya, berusaha menghentikannya.
"Nggak ada siapa-siapa," katanya bingung sambil
melongok ke ruang tamu yang kosong. Aku mengernyit, mana mungkin Mbok Minnah bohong"
"Mbok, Dave-nya mana?" kataku setengah berteriak,
setengah bingung, dan... kecewa. Mbok Minnah berjalan pelan. Aneh, entah kenapa Mbok hari ini kurang
bersemangat. Apa dia sakit"
"Kayaknya nunggu di depan..." Belum selesai kalimat
itu, aku dan Kak Ter menerjang ke pintu muka dan
mendapati Dave dengan CRV yang mulus sedang menunggu.
Kak Ter menyenggolku. "Mm... pantes adikku yang
cantik tergila-gila," dia berbisik di telingaku.
Aku memelototinya. "Apaan sih, Kak Ter"!" kataku
dengan nada mengancam. "Hai, sori ganggu malem-malem," kata Dave sopan.
"It"s okay. We"re just talking about you," kata Kak Ter
lugas. Sesaat Dave memandang Kak Ter tanpa mengatakan apa-apa. Kak Ter tersenyum ringan sambil merangkulku. Dave masih belum bicara, hanya mengernyitkan dahi. Aku buru-buru menjelaskan sebelum cowok itu berprasangka yang nggak-nggak.
"Ini Kak Terry, kakakku. Dia baru datang dari
Singapura. Mama sama Papa juga datang, ada di dalam. Kak Ter itu..." Duk! Kak Ter menyikut perutku
152 dengan sadis. "Aahhh"!" erangku pelan. Dave mengernyitkan dahi lebih dalam lagi.
"Norak ah! Ngapain kamu jelasin panjang-lebar gitu?"
Kak Ter berbisik di telingaku. Mm... iya juga ya"
"So?" kataku akhirnya.
"Nothing. Lo nggak pernah bilang lo punya kakak,"
Dave tersenyum. Akhirnya dia tersenyum juga.
"Eh, kayaknya gue tinggalin lo berdua aja, ya?" Kak
Ter akhirnya mengundurkan diri.
"Eh, nggak usah. Gue cuma bentar kok. Lagian
udah malem," kata Dave. Ia menutup mobilnya, lalu
menghampiriku. "Gue cuma mau kasih ini buat lo."
Dia mengeluarkan sebuket mawar merah dari balik
punggungnya yang lebar. God!! "Sori, gue tadi nggak bisa dateng ke skul lo. Gue
belum dapet bunga yang sempurna buat lo," katanya
dengan wajah bersemu merah. "Bunga itu" gue minta
yang kelopaknya mekar sempurna semuanya," tambahnya.
Tuh, kan" Dia cowok paling romantis dan cakep
sepanjang masa. "Dan kalo saatnya bunga itu semuanya layu, berarti
cinta gue juga layu sampe di situ," katanya sambil
menatap mataku tajam. Pardon" Dia sweet atau bodoh sih"
Kak Ter memandanginya dengan bingung sambil
angkat bahu. Aku tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Jadi, sayang lo sama gue cuma sebatas sampe
semua bunga ini layu?"
153 Dave mengangguk. "Iya. Gue sayang lo sampe bunga
terakhir buket ini layu," dia tersenyum. Sebaliknya,
aku mengernyit.
A Life Karya Silvia Arnie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wow." Aku tak tahu harus bilang apa lagi. Mungkin
maksudnya baik. Mungkin dia belum tahu mawar
hanya bertahan paling lama satu minggu. "Thanks."
Aku memaksakan senyum. Atau jangan-jangan dia
mau mencampakkan aku satu minggu lagi"
Dia tersenyum puas. "Mm... ya udah, aku pulang
dulu ya" Good night, Gin." Dia menatapku, lalu mengecup keningku mesra. Aku meleleh. Wajahku pasti
merah padam. "Kak, balik dulu ya?" katanya sambil mengangkat
sebelah tangan. "Yuk, Gin." Sambil tersenyum ia berjalan ke mobilnya. Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Di mana rumahnya?" tanya Kak Ter sebelum menutup pintu.
Aku mencium bungaku sambil bergumam, "Cinere."
Kak Ter terbelalak. "Buset!! Jauh amat!! Dia pasti
sayang banget tuh." "Cuma sebatas bunga ini layu," sindirku sambil
memutar mata. Kak Ter tertawa ringan.
"Ada berapa bunganya?" tanyanya.
"Mm" satu, dua"," aku menghitung. "Mm" sepuluh," jawabku.
"Eh" ini ada yang aneh deh," kata Kak Ter merebut
bungaku. Aku mempertahankannya, tapi Kak Ter menariknya dengan paksa. Aku memelototinya ketika ia
menarik setangkai bunga yang paling merah.
154 "Kak!!" seruku marah.
"See" Kamu lihat bedanya sama bunga yang lain?"
tanyanya tenang. "Apa?" Dengan penasaran aku mengambil bunga
itu. "God! Ini?" Aku merinding.
"Nggak akan ada bunga terakhir yang layu, Gin,"
Kak Ter tersenyum lebar. "Bunga yang satu ini?" Dia
tidak melanjutkan kata-katanya.
"Plastik?" Aku terharu hampir menangis.
Apa sudah kubilang dia cowok paling romantis dan
cakep sepanjang masa"
155 Lunna "H EI, Kapten!!" seru teman-temanku yang baru
datang dari tepi lapangan.
"Mmph?" Aku melempar bola basketku, menutup
mulut, lalu berlari melewati mereka. Mereka dengan
bingung menatapku, lalu mengikutiku.
"Heh, lo kenapa?" tanya Icha khawatir, melihatku
berdiri di depan wastafel.
Aku tak menjawab, hanya mengibaskan tangan.
"Lo kenapa sih?" tanya Alin.
"Mm" oooeeekkkk".!!!!" Aku memuntahkan isi
perutku. Astaga. "Ih, kenapa lo?" tanya Cassy jijik.
"Ooeeekkk"!!" Aku muntah sekali lagi.
"Are you okay?" tanya Cannie khawatir.
Setelah mengelap mulut dan berkumur, aku menjawab, "Yah" gitu deh."
"Sumpah, Lun. Kenapa sih lo?" tanya Icha serius.
156 "Gue" kecapekan kali. Gue baru kem"," aku
menggigit lidah. "Kem"kemping."
Teman-temanku mengernyit. "Kemping?"
Aku mengangguk. "Nemenin Adit."
"Satu hari?" tanya Alin curiga.
"Dua. Terus hari ini gue basket dari pagi," ujarku
mual. Mereka mengangguk mengerti.
"Mending lo jangan maen lagi lah. Lo kayaknya
nggak fit akhir-akhir ini," kata Cannie.
"Gila lo! Hari Minggu gue semifinal nih. Doain gue
ya?" Aku berusaha tersenyum dengan wajahku yang
pucat. "Lo pasti menanglah! Udah, lo nggak usah latian
lagi," Icha setuju dengan Cannie.
"Tanggung. Kasian anak-anak lain masih latian," aku
beranjak keluar dengan limbung. Kepalaku berputar
hebat. Pandanganku kabur, hingga akhirnya semua
berubah gelap. "Tuh kan, gue udah bilang, pasti ada yang nggak
beres pada dirinya!" seru Alin.
"Mungkin dia kecapekan," Cassy berusaha optimis.
"Yakin lo?" Icha ragu.
Pelan-pelan aku membuka mata. Kepalaku seperti
dihantam palu besar. "Lunna?" "Mmh?" Mulutku terasa pahit.
"Lun, are you okay?" tanya Icha khawatir. Samar157 samar aku melihat teman-temanku berdiri di sekeliling
tempat tidur. Aku mengangguk lemah. "Mendingan lo jujur aja sama kami, lo tuh kenapa
sih?" "Duh, duh?" Aku memegang kepalaku yang sakit.
"Lo pada ngomong apa sih?" tanyaku gusar. "Orang
baru siuman malah ditanya aneh-aneh."
"Ya, abisnya lo?"
"Lun?" sebuah suara berat menyela, menyapaku.
"Ma"Mango?" tanyaku tak yakin.
"Tadi gue mau jemput lo buat makan siang, tapi
kata temen-temen lo, lo ada di UKS. Katanya lo
pingsan, jadi gue langsung ke sini," katanya sambil
menggenggam tanganku. Apa-apaan ini" Aku menarik
tanganku yang lemah. "Lo kebanyakan makan siang yang aneh-aneh,
kali"," canda Cassy. Teman-temanku yang lain terkikik.
Aku menatap mereka tajam.
"Ow, jangan ngeliatin kami kayak gitu dong. Ya
udah deh, kami pergi." Alin tersenyum jail, lalu pergi
diikuti yang lain. Kami pun tinggal berdua.
Aku menatap Mango penuh maaf. Dia mengangguk
maklum. "Lo tau?" tanyanya. "Waktu denger lo pingsan, gue
takut banget," katanya.
"Takut?" "Gue nggak tau, tapi perasaan gue nggak enak
banget," katanya lagi.
158 "Kenapa" Yang sakit gue, bukan lo," jawabku. Dia
tertawa mendengarnya. "Lunna, Lunna"," katanya penuh sayang, "lo tuh
nggak bisa dirayu, ya?" Dia tertawa lagi. Aku mengernyit. "Oh, ya. Gue menang runner up lho," katanya senang.
"Maksud lo?" "Itu, lomba band," kata Mango sabar.
"Oh, selamat ya!"
"Makasih," balasnya tak kalah singkat.
Aku mengangkat alisku, lalu bangkit duduk. Kuturunkan kakiku, mencoba berdiri.
"Ya ampun, Lun!" seru Mango, langsung melompat.
Aku menatapnya garang. "Lo nekat banget sih?" omelnya. "Lo kan belum sembuh!"
"Haha" udah, udah," jawabku enteng. "Cuma pingsan, nggak usah digede-gedeinlah."
"Lun, gue anterin pulang aja, ya?" tawarnya.
Aku menggeleng. "Nggak. Nanti motor gue gimana?"
"Astaga, Lun. Kalo lo pingsan di jalan naik motor,
gimana" Kan lebih parah!"
"Aduh, masa dalam sehari pingsan dua kali?" aku
tetap menolak. "Lo bandel banget sih!" katanya kesal.
"Apa peduli lo?" tanyaku cuek.
"Gue peduli sama lo!" serunya.
"Ya udah, jangan maksa kalau begitu," tantangku.
"Lo tuh lagi sakit!"
"Jangan digede-gedein deh," aku mulai kesal.
159 Dia mendesah, berusaha sabar. "Lunna, lo tau nggak
sih, lo tuh?" "Apa?" selaku. "Lo mau bilang gue lemah, gitu?"
aku mulai kesal. "Gue nggak bilang begitu!" Dia mulai kehilangan
kesabaran. "Gue cuma mau anterin lo pulang, atau lo
tetep istirahat di sini!!"
"Punya hak apa lo ngatur gue?" bentakku kesal.
"Emang lo siapa gue, hah"! Siapa lo"!"
"Gue emang bukan siapa-siapa lo! Tapi gue orang
yang sayang sama lo! Gue orang yang peduli sama lo!
Gue orang yang menginginkan yang terbaik buat lo!!"
Mango benar-benar kehilangan kontrol.
"Apa?" tanyaku kaget.
"Gue?" Dia ragu sesaat, tapi kemudian melanjutkannya, "Gue sayang lo. Lo punya perasaan yang
sama sama gue nggak?" Aku bergerak-gerak gelisah.
Tanpa menatap matanya aku hanya mengangkat bahu
lalu berjalan ke luar. "Pak, sambelnya lagi dong, sama baksonya lagi sepuluh,
ya!" Aku mengelap keringatku dengan asal. Temantemanku mendecakkan lidah melihat caraku makan.
"Kambuh, kan" Monsternya keluar," Cannie berkomentar.
"Bawel lo! Prihatin dikit kek sama hubungan gue
dan Mango!" Aku meminum es jerukku.
Pak Damang menatap kami sambil tersenyum ramah.
160 Dia mengangkat piring-piring kotor dan memberiku
sambal dan sepuluh bakso goreng lagi.
"Kenapa lagi lo sama dia?" tanya Alin sambil mengangkat botol sambal kosong.
"Memburuk, ruk, ruk, ruk, ruk"," kataku sambil
mengunyah baksoku. "Ya kenapa, Nenggg?"" tanya Cassy.
"Yah" kemaren dia bilang dia sayang gue. Ya gitugitulah?"
"HAHHH?"" Cassy membelalakkan mata.
"Udah gue bilang, kan" Dia pasti bilang deh!" seru
Alin tersenyum lebar. "Kali ini lo menang deh!" Cassy cemberut.
"Apaan sih?" tanyaku nggak ngerti.
"Gue taruhan, kalo waktu itu Mango bilang dia
suka sama lo, Cassy harus beliin gue bakso lima!" Alin
terbahak. "Baksonya, Pak! Lima!"
"Sialan lo! Gue lo jadiin bahan taruhan?" ujarku
kesal. "Ah" have fun ajalah. Makasiih"," kata Alin pada
Pak Damang. "Jadi, memburuk apanya" Bukannya lo
suka sama dia?" "Ngaco!" Aku mengunyah baksoku dengan geram.
"Siapa yang suka sama dia" Gila aja lo!"
"Lho" Gue pikir lo suka sama dia!" ujar Cassy ikutikutan.
"Nggaklah. Nggak tau deh." Aku mengangkat bahu.
"Lho, gimana sih?" tanya Alin bingung.
Aku mengangkat bahu lagi. "Gue jadi nggak connect
161 sama dia nih, abis dia ngomong itu. Gue mau hubungin
dia, nggak enak. Dia juga nggak hubungin gue."
"Kenapa nggak enak" Lo aneh-aneh aja!" sergah
Cannie. "Ya nggak enak aja. Kalo gue hubungin dia duluan,
gue takut dipikir ngasih harapan," ujarku bimbang.
"Iya sihh?" "Memang lo nggak suka sama dia sama sekali?"
Alin masih penasaran. "Mm?" Aku mengunyah baksoku.
"Apa sih sebenernya maksud lo?"" Icha mulai kesal
menunggu. "Ada sih. Dikiiiitt"," aku mengakui.
"Cieee"." "Dikit lho. Dan ya" jujur aja nih. Gue sedikit ngerasa kehilangan?" Aku melirik HP-ku yang membisu,
berharap mendapat SMS darinya.
"Sedikitt?"" Icha tersenyum mengejek.
"Yah" okelah, lumayan."
"Lumayaannn?"?" teman-temanku bertanya serempak.
"Yah, okelah" lebih dari lumayan, tapi nggak banget," jawabku.
"Hahaha"," teman-temanku tergelak puas.
"Makanya nih, gimana dong?"
"Ya teleponlah!" Cannie mengambil HP-ku dan menyodorkannya tepat di depan wajahku.
"Aduh, gengsi gue!"
"Hari gini masih gengsi! Ini zaman emansipasi wanita,
Lun!" seru Cassy. 162 "Aduh"!!" Aku menelan baksoku dengan susah
payah. "Lun?" Cannie mencolek pundakku.
"Gue harus ya nelepon dia?" tanyaku untuk kesekian
kali. "Harus!!" teman-temanku serempak menjawab.
"Lun?" Kali ini Cannie menepuk pundakku.
"Oke!" Aku menarik napas, bersiap-siap menelepon.
Nnuuutt". "Halo, Lunna?"" Cepet banget.
"Ha"halo, Mang?"
"LUNNA!!" Cannie mengguncang-guncang tubuhku.
"Apaan sih?" seruku marah sambil menjauhkan HP.
Cannie menunjuk sesuatu di kejauhan. Atau seseorang.
Sandy. Aku menjatuhkan HP-ku. Sandy melangkah mendekat. Perutku mulas.
"Lunnaa?"" HALO"!" Mango masih berteriak di
HP. "Lun?" Setelah semua yang terjadi, Sandy masih
juga sanggup menghentikan aliran darahku.
"Apa?" sahutku dingin.
"Aku mau meluruskan kesalahpahaman waktu itu,"
katanya tenang. "Nggak ada yang harus dilurusin." Aku berusaha
keras tak terpengaruh. "Tau! Mau apa lagi lo?" Alin memelototinya garang.
"Iya! Iya! Mau ngapain lagi sih lo?" Cannie ikutikutan.
163 Sandy hanya menatap mereka. Setelah itu ia ganti
menatapku seraya memegang kedua lenganku. "Please,
gue tau gue salah, tapi?"
Aku memberontak mengibaskan tangannya. Sentuhannya membuatku merinding. "Kalo lo tau lo salah,
bagus." Aku menatapnya sedingin es.
"Udah deh, lo percuma dateng sekarang!" Cassy
menudingnya dengan kipasnya.
A Life Karya Silvia Arnie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang Lunna udah dapet cowok lain, jadi jangan
ganggu dia lagi!" Icha ikut melabraknya.
DEG. Kalau mau jujur, aku tak ingin Icha bicara seperti
itu. Aku memang tak ingin kembali ke Sandy, tapi
kalau memang ada kemungkinan"
"Apa?" tanyanya kaget. "Tapi kita kan belum putus,
Lun?" "So what" Lo juga nge-date sama orang lain sebelum
kita putus!" "Cowok itu pasti cuma pelarian kamu, kan?" tanya
Sandy memelas. "Bukan. Dan Ginna pasti bukan pelarian lo dari
siapa pun, kan?" tanyaku sinis.
"Tapi aku nggak bener-bener suka sama dia, kamu
tau, kan?" tanyanya setengah memohon.
"Nggak," jawabku singkat.
"Percuma lo dateng sekarang, tau!" Cassy ngomporin
lagi. "Gue nggak cuma dateng hari ini! Damn! Gue dateng
hampir setiap hari!" serunya frustrasi. "Gue bahkan
164 pernah dateng lima hari berturut-turut, tapi lo selalu
nggak ada, Lun! Telepon dan SMS gue juga nggak
pernah lo gubris?" Dia nyaris menangis sekarang.
Apa" Tapi aku tak pernah melihatnya. Memang sih
aku sering nggak masuk sekolah, atau pergi bareng
Mango akhir-akhir ini, tapi masa sih nggak sekali pun
aku melihatnya" "Please" lo boleh tanya Ginna deh, gue nggak
pernah menghubungi dia lagi. Yang gue mau cuma lo,
Lun," katanya memohon.
"Eemm?" aku nggak tahu harus bilang apa. Aku
benar-benar menimbang-nimbang untuk rujuk dengannya.
"Please" gue melakukan semua ini, nge-date, sering
SMS-an, atau teleponan itu cuma supaya lo cemburu.
Lo nggak pernah, NGGAK PERNAH BILANG LO
SAYANG SAMA GUE!!" tukasnya. "Kalo lo jealous,
seenggaknya gue tau lo sayang sama gue, Lun!" katanya meraih tanganku. Aku nyaris berteriak karena
kaget. "Lo bego atau apa sih?" bentak Alin. "Nggak begitu
dong caranya!" Kata-kata Alin menyadarkanku. Aku
menarik tanganku dengan kasar.
"Lun, gue sayang sama lo. I love you," katanya
memohon. "Well, I did," aku menekankan kata itu, lalu menambahkan dengan tegas, "love you." Tepat saat itu
Mango datang. "Apa?" tanya Mango kaget, wajahnya pucat pasi.
165 Aku menoleh cepat. Warung Pak Damang yang kecil
sekarang penuh sesak. "Mango?" tanyaku kaget. "Ngap?"
"Gue pikir lo tadi kenapa-napa, soalnya lo tiba-tiba
nggak nyautin gue. Ternyata" percuma gue dateng,"
katanya sinis. "Bentar, bentar" Mango, lo salah," aku cepat-cepat
menjelaskan. "Ini mantan gue?"
"Jadi, ini cowok yang elo jadiin pelarian?" sela Sandy.
"Pelarian?" tanya Mango. Suaranya penuh kemarahan. Air mukanya tak terbaca.
"Bukan!" teriakku frustrasi.
"Lun, gue ngerti kok," kata Mango. Ia mencoba
bersikap tenang, namun urat-urat wajahnya tampak
tegang. "Gue cuma mau yang terbaik buat lo, that"s
all," katanya lagi seraya menarik napas panjang.
"Mango, gue?" "Karena gue juga bukan siapa-siapa lo." Kata-kata
terakhirnya memukulku telak. Lalu dia meninggalkan
warung Pak Damang tanpa memandangku sama sekali.
Aku tak bisa mencegah kepergiannya, aku tak punya
tenaga lagi. Aku hanya memandang punggungnya yang
menjauh dariku, punggungnya yang makin lama makin
mengecil, lalu hilang ditelan bayangan.
Hening seketika. Teman-temanku tak ada yang berani
bicara. Pak Damang pun diam seribu bahasa ketika
aku berkata, "Pak, saya bayarnya nanti ya." Lalu aku
keluar dengan langkah lunglai.
"Hei" Lunna," Sandy mengejarku. Teman-temanku
166 hanya mengikuti tanpa bicara. "Lihat, kan" Cowok
kayak gitu tuh lembek!" ejek Sandy. "Cuma gue yang
ngerti elo, cuma gue yang nggak berhenti menyayangi
elo, yang nggak berhenti ngejar elo."
"Elo?" tanyaku getir. "Lo satu-satunya cowok yang
paling nggak ngerti gue!" Nggak kebayang olehku
bagaimana beberapa detik lalu aku masih berharap
bisa kembali kepadanya kayak dulu.
"Lun, gu?" "Kalo lo ngomong lagi, gue patahin hidung lo!"
kataku serius. Aku mengambil tas sekolahku dan bersiap ke lapangan parkir tempat aku memarkir motorku.
Teman-temanku hanya mengikuti sambil berbisik-bisik.
"Lun!" kata Sandy tegas. "Gue cu?"
BUUUKKK!!!!!!! "Aahhh!!!! Shhhiiiiitttt!!!!!" Sandy memegangi hidungnya yang berdarah.
"Hhaaa?" teman-temanku memekik tertahan, mata
mereka nyaris melompat ke luar.
"Udah gue bilang, jangan ngomong lagi!" kataku
tanpa ampun. "Dan jangan pernah dateng lagi kalo
nggak mau leher lo patah."
167 Ginna "L UN, pake yang ini deh?" Aku melemparkan
satu gaun lagi pada Lunna. Sungguh menyenangkan
berbelanja dengannya. Ia membuatku melihat sesuatu
yang tak pernah kulihat. Seperti sepatu-sepatu cepernya.
Tak kusangka sepatu-sepatu itu bisa kelihatan bagus
dan luar biasa nyaman dipakai.
Lunna memandangku kesal, tapi belakangan ini ia
tidak menolak terlalu keras kayak dulu. Ia tahu itu
percuma. Aku tersenyum manis. Tadinya aku bermaksud menyuruhnya mencoba baju itu, tapi tanpa melawan ia sudah berjalan ke kamar pas. Ia benar-benar
pasrah. Aneh. "Eh, gue denger lo jadian sama Dave, ya?" tanya
Lunna dari kamar pas. Deg. "Lo denger dari siapa?" tanyaku, wajahku memerah.
"Mango," jawabnya singkat.
168 Sial, cowok-cowok itu ternyata sama aja kayak cewek,
suka ngegosip! pikirku. "Jadi, bener lo udah jadi sama dia?" tanyanya lagi
waktu aku tidak menjawab. Beberapa detik kemudian
ia keluar dari kamar pas.
"Gin?" tanyanya sambil menaikkan alisnya yang telah
kucukur setelah pemaksaan selama tiga jam.
"Hah?" aku menjawab nggak konsen.
"Pardon," koreksinya menyindir.
"Eh," ya ampun. "Pardon," ulangku tersenyum gugup.
"Lo udah jadian sama dia?" tanyanya lagi.
"Udah," jawabku malu-malu.
"Oh?" Dengan cuek dia masuk lagi ke kamar pas.
Aku mendesah kecewa. Kupikir Lunna bakal lebih
antusias dari itu. Hari ini ia muram sekali.
"Mm" kemarin dia kasih gue mawar, keren banget!"
pancingku. "Oh?" "Sepuluh kuntum lho! Katanya, cintanya ke gue
akan berakhir kalo bunga terakhir yang dia kasih itu
layu?" "Dia bego atau apa sih?" tukasnya.
"Dengerin dulu! Ternyata satu bunganya palsu, jadi
cintanya nggak akan pernah layu. Keren banget, kan?""
Aku tersenyum lebar saat Lunna keluar lagi dari kamar
pas. "Gombal!" katanya singkat. Aku mengerutkan dahi
dan menatapnya cemberut. 169 "Lo nggak asyik banget sih?" kataku kesal.
"Terserah. Nih gaunnya. Gue nggak mau ya, Gin."
Untuk kesekian kali dia mengingatkan aku akan sesuatu
yang sia-sia. Beberapa menit kemudian, aku mengajaknya ke kasir.
"Lun, masa keluarga gue balik ke Indonesia lho!"
aku memancing obrolan lagi.
"Bagus dong." Seperti biasa ia menjawab singkat.
"Bagus" Gue sih lebih merasa aneh," sahutku.
"Aneh kenapa?" tanyanya bingung.
"Yah, lo tau kan, mereka tuh jarang banget balik.
Paling kalo Natal, atau kalo libur semester baru pulang.
Kalo bulan-bulan gini tuh nggak mungkin. Lagian,
bukan satu-satu kayak biasa, tapi sekaligus. Nyokap,
Bokap, Kak Ter?" "Ye, nih anak bukannya bersyukur, malah mikir
macem-macem. Siapa tau mereka pada kangen sama
lo!" kata Lunna lagi. Ini kalimatnya yang terpanjang.
Aku mengangguk. "Iya sih" tapi tetep aja. Udah si
Mbok aneh banget, lagi. Kayaknya lagi sakit deh.
Kurang semangat, gitu. Kalo gue ajak ke dokter nggak
pernah mau," aku mengutarakan kekhawatiranku.
"Mbok sakit?" Lunna menunjukkan kekhawatiran
juga. "Nggak tau. Nggak demam sih, tapi nggak semangat
kayak biasa." Aku mengerling.
"Gin" jangan-jangan?"
Aku menatap Lunna takut-takut. "Apa?"
"Mbok menopause," katanya.
170 Aku menghela napas kesal. "Lo beneran dapet beasiswa nggak sih?"
"Lho?" tanyanya bingung. "Emangnya nggak mungkin Mbok menopause?"
"Otak lo IPA banget sih?" ujarku kesal.
Hari ini Lunna benar-benar aneh. Iya, kan"
?"Jangan paksa Ginna"," sahut Kak Ter samar-samar
dari kamar Mama. Aku hampir menyemburkan susu
yang sedang kuminum. Apa itu" Kenapa namaku
disebut-sebut" "Ada apa sih?" aku bertanya pada Mbok Minnah.
"Kok mereka bawa-bawa namaku?" Tapi Mbok Minnah
yang semakin hari semakin tidak bersemangat hanya
menggeleng pelan. "Nggak tahu, Non," katanya hampir tak terdengar.
Belakangan kuperhatikan, Mbok tampak aneh.
"Mbok, sebenernya ada apa sih?" tanyaku penasaran.
Tapi Mbok hanya tersenyum sambil mengelus kepalaku
seperti biasa. "Tidak ada apa-apa. Non tenang aja, ya?" katanya
menenangkan. Pelukan Mbok terasa lebih hangat dan
lebih erat daripada biasanya. Lalu dia melanjutkan
pekerjaannya. "Terry!! Kamu kan tahu... anak gadis tinggal...!"
balas Mama. Aku tersentak mendengarnya. Diam-diam
aku mengendap-endap ke depan pintu kamar Mama
dan mendengarkan percakapan itu.
171 "Terry, Ginna harus ke Singapura sama kamu! Apalagi dia udah mulai suka sama cowok! Mama nggak
tenang?" PRANG!! Mama membuka pintu kamar dan menemukanku
menjatuhkan gelas susu. Kakiku lemas dan aku jatuh
terduduk. "Ginna?" seru Mama tertahan. Ia berusaha membantuku, tapi aku memberontak.
"Ak"aku harus ke Singapura?" tanyaku syok.
"Ginna"," panggil Mama. Tubuhku gemetar karena
kaget, kecewa, marah, sedih, dan" takut. Aku takut
kehilangan Mbok. Aku takut kehilangan Dave. Aku
takut kehilangan" "Ginna, tenang. Di Singapura juga enak kok," kata
Kak Ter lembut. "Iya, betul! Kamu bisa dapet temen lain juga, kan?"
Mama mencoba membujuk. "Nggak!" sergahku tegas. "Nggak ada Mbok, nggak
ada temen-temenku!" "Ginna, kan di sana ada aku," Kak Terry menahan
napas. Air mataku benar-benar tak terbendung, aku
tetap menggeleng. "Kamu nggak mau ke Singapura?"
tanyanya akhirnya. "Aku nggak mau, Kak," rengekku.
"Ya udah, kamu di sini aja," Kak Ter mengalah.
"Terry, dia harus pindah!!" kata Mama tegas.
"Nggak mau!!" aku memberontak. "Aku punya teman, aku punya Mbok Minnah, punya Lulu, punya...
172 punya Lunna!!" Entah kenapa akhirnya nama itu keluar juga dari bibirku. "Aku punya sahabat. Dia yang
bikin hidupku berwarna, dia yang ngajarin aku semuanya. Aku juga punya Dave, aku nggak mau pindah!!"
Aku terus menangis. Mbok Minnah ikut menangis.
Aku sadar dia pasti sudah mengetahui rencana ini.
Itulah yang membuatnya tidak bersemangat akhirakhir ini.
"Ma... please. Ini yang dari tadi kita rundingkan,
kan" Kalo Ginna nggak mau, jangan dipaksa," Kak
Ter mencoba membujuk Mama. Tapi bukan Mama
namanya kalau tidak mempertahankan pendapatnya.
"Dave heh?" balas Mama nggak mau kalah. "Dia
harus pindah, Terry. She must!!" Dan itulah keputusan
akhir Mama. Tok tok. Tok tok. "Ginna, ini Kak Ter, Sayang. Buka pintunya," suara
halus Kak Ter menyapaku. Aku menghapus air mata
dan dengan enggan membuka pintu.
"Ak...aku nggak mau pindah," isakku. Kak Ter memelukku.
"I know, but... kamu taulah gimana Mama," Kak Ter
ternyata sudah mengalah. Aku mendorongnya.
"Pokoknya aku nggak mau pindah! I don"t wanna
go anywhere!" aku setengah berteriak. Mataku bengkak,
A Life Karya Silvia Arnie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
napasku memburu. Aku pasti kacau banget, tapi aku
173 nggak peduli. Di sinilah aku tinggal sejak kecil. Aku
nggak bakal pergi! Aku tahu ini bukan salah Kak Ter,
tapi aku kesal karena dia menyerah secepat itu. Bahunya merosot.
"Kamu harus ngerti juga, Gin. Mama khawatir kalau
kamu tinggal sendiri," katanya sedih.
Aku menggeleng kuat. "Aku udah biasa tinggal
sendiri, lagian ada Mbok Minnah, kan?" Air mataku
kembali merebak. "Mbok mau pulang, Gin," kata Kak Ter akhirnya.
"Pulang" Pulang ke mana?" Aku tak mengerti. "Rumahnya kan di sini?"
Kak Ter menggeleng pelan sambil memegang erat
tanganku. "Ini memang rumahnya, tapi dia punya
kampung halaman, kan" Dia juga punya saudara,
Gin," katanya lagi. Aku menatapnya tak percaya. Mbok
Minnah mau pulang" Aku nggak bisa ketemu Mbok
lagi" Mbok yang sudah kuanggap ibuku sendiri" Mbok
yang selalu menemaniku di saat paling sulit sekalipun"
Dia mau pulang" Kak Ter memegang tanganku semakin erat. Dia
menghiburku dengan senyumnya, tapi tatapanku kosong. Aku nggak bisa bilang apa-apa lagi. Bagaimana
aku bisa hidup tanpa Mbok Minnah"
"Bo...bohong! Kak Ter bohong!!" aku memberontak.
"Mbok kan nggak punya saudara! Mbok kan udah
sebatang kara!" Kak Ter memelukku. Air mataku membasahi Tshirt-nya.
174 "Ke...kenapa dia nggak... nggak bilang sama aku?"
aku terisak keras. "Kenapa... kenapa tiba-tiba begini?"
"Maaf, Non." Mbok sudah berdiri di ambang pintu.
"Mbok nggak mau bikin Non sedih... tapi..." Tangis
Mbok pecah. Aku hanya diam terpaku. Aku begitu
sakit hati, begitu syok, begitu terpukul, begitu tidak
siap. "Jahat!! Jahat!! Semuanya jahat!! Keluar!! Keluar!!
Keluaaaarrr!!!" seruku tak terkendali. Kudorong Kak
Ter dan Mbok yang menangis tersedu-sedu. Aku tak
peduli, kututup pintu dan kukunci. Aku tak ingin
mendengar suara mereka lagi! Mbok jahat!! Kak Ter
jahat!! Mama jahat!! "Non... Mbok... Mbok minta maaf," suaranya pelan
dan putus asa. "Mbok jahat!! Mbok nggak boleh pindah!!" aku
menangis terisak-isak. Aku nggak peduli lagi, kuempaskan tubuhku ke ranjang, lalu kututup telingaku
dengan bantal. Sisa malam itu kuhabiskan dengan menangis. Tak
terdengar lagi ketukan pintu, tak terdengar lagi
bujukan-bujukan, tak terdengar lagi permintaan maaf.
Tanpa kenal lelah air mataku terus mengucur. Aku
juga nggak bisa tidur, padahal bulan bersinar indah.
Aku melihat jam. Jam dua pagi. Aku turun dari
ranjang dan menempelkan telingaku di daun pintu.
Tidak ada suara. Semuanya sudah tidur.
175 Tanpa menimbulkan suara aku mengambil tas dan
mengisinya dengan dompet, HP, dan baju seadanya.
Aku menyisir rambutku dan mengenakan sedikit makeup untuk menyamarkan mataku yang bengkak. Aku
mencoba tersenyum, tapi yang terlihat di cermin hanya
bayangan gadis yang putus harapan. Aku menghela
napas dan mencobanya sekali lagi. Sekali lagi. Sekali
lagi, sampai aku cukup yakin wajahku tidak kelihatan
kayak orang mau bunuh diri. Lalu dengan teramat
pelan aku membuka pintu kamar sambil menyandang
tas. Jantungku berdetak tidak keruan. Akhirnya, setelah
melewati rintangan pertama aku turun berjingkat-jingkat. Masih sepi, nggak ada yang bangun. Rintangan
kedua lewat. Sekarang rintangan ketiga. Sambil celingak-celinguk aku memandang sekeliling rumah. Sepi.
Berlari-lari kecil aku mencapai pintu utama. Aku membukanya dengan hati-hati. Sial!! Terkunci. Dengan putus asa sekali lagi aku memandang sekeliling ruangan.
Uh, oh. Di gantungan ada kunci rumah dan kunci
mobil. Kunci mobilku. Kenapa bisa ada di situ" Melihat
itu aku baru sadar tadi tidak membawa kunci mobil.
Pasti Mama yang meletakkannya di sana. Dengan
senyum pertamaku hari ini aku mengambil dua kunci
itu tanpa menimbulkan suara. Dengan teramat pelan
aku membuka pintu. Klik. 176 Lunna A KU berhenti menulis dan menatap hampa. Mango.
Mango. Mango. Di otakku terekam namanya. Seminggu
sudah aku tidak mengetahui kabarnya. Kalau saja aku
bisa menjelaskan kesalahpahaman waktu itu, kalau
saja dia memberiku kesempatan berbicara. Kalau saja
ia mau membalas SMS atau menjawab teleponku.
Mungkin aku takkan semenderita ini. Ya Tuhan, aku
pasti bisa melupakannya. Aku baru beberapa bulan
dekat dengannya. Aku pasti bisa. Tapi ia tidak membuat kesalahan seperti Sandy. Bagaimana aku bisa
membencinya" Bagaimana aku bisa melupakannya"
"Gue itu nggak sayang sama dia," kataku kesal pada
diriku sendiri. "Gue suka, tapi gue nggak sayang!"
ulangku tegas. "Gue pasti bisa ngelupain dia!" kataku
mantap. Tapi dia selalu memerhatikanku. Dia tahu apa
yang aku mau. Dia baik, memahami aku, menerimaku
apa adanya". 177 "Kenapa sih dia harus menghindar" Itu kan cuma
salah paham," keluhku. "Dia tuh harus tau kalo gue
sayang sama dia" Sayang?" pikirku lagi. Apa aku
benar-benar menyayanginya" Atau... "Gue nggak sayang
sama dia!" seruku frustrasi, bingung dengan perasaan
kehilangan yang amat sangat ini.
Spongebob squarepan"
Deg. Jantungku berdebar keras.
"Halo," aku mengangkat telepon penuh harap.
Selama beberapa detik aku menahan napas, lalu
terdengar olehku suara yang sudah sangat kukenal
balas mengatakan, "Halo?"
Aku jatuh terkulai. "Lunna" Belum tidur?" tanyanya bersemangat.
"Yah... belum sih. Kenapa, Gin?" aku menjawab
sambil menahan rasa sakit kepalaku. Sakit kepalaku
akhir-akhir ini sangat luar biasa, tapi malam ini...
"Gue ke rumah lo, ya?"
Aku melongo. "Apa" Kenapa?" tanyaku tidak begitu
berkonsentrasi. "Nanti gue ceritain kalo udah sampe, ya?"
"A..." Hubungan terputus.
"Gue bingung harus gimana," isaknya. "Mama sempet
bilang ini ide Kak Ter. Tapi... masa sih" Kakak gue
kan harusnya tau gue nggak mau pergi."
"Tapi buktinya dia nggak tau, kan?" tandasku. Kepalaku berdenyut keras.
178 "Iya! Itulah sebabnya gue marah!" katanya kesal.
"Ya lo harus ngerti dong! Egois banget sih lo?"
ujarku mulai kehilangan kesabaran. Dia mendongak
kaget. "A"apa?" tanyanya. "Lo bilang gue apa?"
"Egois! Jahat, tau nggak lo?" Entah karena kepalaku
yang pusing, atau Mango, atau mungkin aku terlalu
lelah, aku jadi marah-marah.
"Sorry"!" Dia melotot marah. "Yang egois tuh siapa?"
"Lo!" tandasku kejam.
PLAKK!!! Dia menamparku sambil berlinang air mata. "Lo
nggak mau ngerti gue!" sergahnya terisak. "Gue salah
dateng ke sini!" Dia membereskan barang-barangnya
dan bersiap pulang. "Oh!" kataku ketus. Dasar nih anak!! "Lo emang
salah kalo mau minta dukungan gue! Gue cuma orang
luar yang bisa ngeliat siapa yang salah, siapa yang
bener!" "LO!!" Dia menudingku marah.
"Apa"!" tantangku. "Dasar cewek manja! Nggak mau
mengalah!" Dengan marah ia membuka mulutnya,
tapi aku mendahuluinya. "Lo nggak mikirin perasaan
orang, ya" Keluarga lo" Mbok Minnah?" seruku. Dia
terdiam dan menatapku bimbang. "Orangtua lo pengen
lo terjamin. Udah susah-susah mereka dateng, ini balesan lo" Lo nggak mikirin perasaan Mbok Minnah"
Kalo lo ngilang gini, Mbok bisa aja nggak jadi pulang,
terus kerja di tempat lo, tapi setengah hati. Itu mau
179 lo?" Aku mengomel panjang-lebar. "Lo... childish!" Dia
bahkan tidak mengeluarkan sepatah kata pun, hanya
diam termangu. Air mata menggenangi matanya. Aku
tersadar, ia pasti sudah menangis semalaman. Make up
setebal apa pun takkan bisa menutupi mata sembap,
merah, dan bengkak seperti itu. "Yang paling parah,"
aku menahan napas, "lo nggak mikirin perasaan kakak
lo!" "Apa?" Aku menatapnya dingin. "Lo jahat sama kakak lo!"
ulangku. "Lo nggak mikirin gimana perasaan dia! Dia
sayang sama lo, dia pasti mau pergi bareng lo ke
Singapura. Dia pasti sakit hati, lo segitunya nolak dia!"
aku berbicara tanpa ampun.
"Gue bukannya nggak mau pergi sama dia. Gue...
gue cuma nggak mau pindah," protesnya.
Aku menggeleng pelan. "Lo nggak ngerti, ya" Apa
bedanya, coba" Udah susah payah dia dateng, lo malah..." aku sengaja tak melanjutkan kata-kataku.
Lama sekali ia memikirkan perkataanku. Akhirnya
aku diam. Dia hanya terisak sedih.
"Tapi, Lun?" Ia menarik napas karena tak sanggup
bicara lagi. "Nyokap gue kayaknya mau misahin gue
sama Dave?" "Kalo Dave emang sesayang itu sama lo kayak apa
yang lo bilang ke gue, dia pasti bisa pacaran long
distance," tandasku tak peduli.
PLAKK" Ginna menatapku kaget sambil memegangi pipinya
180 yang baru kutampar. Aku menatapnya tajam. "Itu
balesan yang tadi, jadi kita impas."
"Mau nambah?" Bunda menawarkan nasi gorengnya
lagi. Aku menggeleng, Ginna juga. Pagi itu aku tidak
mengeluarkan sepatah kata pun, begitu pula Ginna.
Sepanjang sarapan Ginna hanya memegangi pipinya
dengan tatapan kosong. "Sori. Sakit, ya?" tanyaku. Tiba-tiba aku merasa
bersalah. Kemarin aku terlalu terbawa emosi.
Ginna menggeleng. Air mata kembali menggenangi
pelupuk matanya. "Gue baru sadar, gue sejahat itu,
Lun," katanya menahan tangis. Wajahnya merah.
"Mungkin... mungkin gue emang harus pindah." Akhirnya setetes air mata jatuh ke pipinya, tapi ia tersenyum.
"Thanks, kalo nggak ada lo, gue pasti udah ngorbanin
banyak orang. Gue nggak mau begitu," katanya. Air
matanya mengalir pelan, tapi ia berbicara nyaris tanpa
emosi. "Gue ngiri sama lo," katanya lagi. Mendengar
itu aku menatapnya tak percaya. "Lo punya nyokap
yang baik banget, yang perhatian sama lo. Lo punya
adik yang selalu ada di samping lo. Lo punya segudang
prestasi. Tapi kemaren, gue cuma ngamatin foto terakhir gue sama keluarga gue sebelum gue ke sini. Gue
nggak mau pisah sama mereka, tapi gue juga nggak
mau pergi. Gue mau mereka yang menetap di sini.
Gue egois!" Dia meringis. "Gue ngiri sama lo yang
bisa tinggal sama keluarga lo. Gue kalah sama lo,
181 sama sikap lo. Semuanya." Dia menunduk. Aku benarbenar bingung mendengarnya.
"Kebalik, kali!!" seruku. "Lo punya rumah yang
gede banget kayak istana, nggak perlu repot-repot
nyari uang kayak gue. Lo juga punya kakak yang luar
biasa sayang sama lo, punya orangtua yang mikirin lo
juga. Lo punya bokap, cowok langsung suka sama lo,
nggak kayak gue... harus usaha dulu." Tiba-tiba aku
teringat Mango yang kini hanya impian. Hatiku luar
biasa sakit. Kalau saja aku bisa menangis, mungkin
takkan seberat ini. "Lun, manusia memang nggak pernah puas, ya?"
katanya. Aku mengangguk. "Oh, ya. Lo nggak pernah bilang lo punya kakak,"
kataku tiba-tiba. Dia mengangkat bahu. "Lo nggak pernah nanya,"
katanya cuek. Dia terdiam cukup lama, lalu melanjutkan, "Kakak gue berangkat ke Singapura pas pertengahan semester kelas 3 SMA." Dia menghela napas.
"Dia menghamili ceweknya," Ginna tersenyum pedih.
"Karena keluarga gue kaya, keluarga ceweknya disogok
gitu, terus Kak Ter langsung kuliah di Singapura."
Ginna terdiam sebentar. "Dulu Kak Ter emang rusak.
Ngeganja juga. Mungkin karena Bo-Nyok nggak pernah
di rumah, jadi dia terlalu bebas. Tapi dia selalu sayang
sama gue." Aku diam mendengar ceritanya. "Tapi Kak
Ter sekarang udah berubah. Dia udah nggak serusak
dulu, dia memang masih merokok kadang-kadang,
182 tapi cuma itu. Dan... dia tetep sayang sama gue. Itu
yang nggak pernah berubah." Air matanya jatuh cepat
ke dagu. "Mungkin karena itu, ya... Mama pingin gue
pindah?" Dia menatapku sambil berlinang air mata.
Aku mengangguk pelan, tak bisa mengatakan apa-apa.
Lalu kami terdiam cukup lama.
"Lo udah bilang sama Dave?" Aku mengalihkan
pembicaraan. Dia mengangguk. "Tadi jam limaan gue telepon dia.
Gue bilang, mungkin gue bakal pindah ke Singapura.
Itu setelah lo ngomong ke gue, setelah gue lama
memikirkannya." Dia menunduk, matanya sudah kering.
"Trus dia bilang apa?" tanyaku ingin tahu.
Ginna tersenyum. "Katanya dia bakal nyusul gue."
Aku terenyak. Betapa beruntungnya Ginna. Aku iri.
Iri sekali. "Trus?" tanyaku menyembunyikan perasaan.
Dia mengangkat bahu. "Nggak tau," katanya. Aku
A Life Karya Silvia Arnie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengernyitkan dahi. "Yah, gue nggak tau dia benerbener bakal nyusul apa nggak, kan?" katanya lagi.
Aku mengerling. "Mungkin." "Lun, nanti kalau gue pergi, jangan lupain gue, ya?"
katanya tiba-tiba. Aku termangu. Sepertinya bukan Ginna yang bicara
ini. Bukan Ginna yang aku kenal, yang selalu mengejekku, yang selalu adu argumen denganku. Aku hanya
mengangguk. Dua perpisahan harus kualami sekaligus.
Betapa beratnya. 183 Dia berdiri. "Ya udah, gue balik dulu ya?" katanya
pamit. "Gue harus ngadepin kenyataan gue dulu. Oh
ya, gue nggak tau gue pergi kapan, tapi kayaknya
nggak lama lagi. Lo harus nganterin gue ke airport
nanti. Awas kalo nggak!!" Dia tersenyum galak dengan
mata sembap, lalu melenggang pergi sebelum aku
sempat menyahut. 184 Ginna "N ON! Ya Allah!!" Begitu melihat mobilku memasuki halaman, Mbok segera menghampiriku. Dia menangis seketika. Aku bisa merasakan betapa leganya
dia ketika memelukku. "Mbok minta maaf, Non,"
katanya. Usahaku menahan air mata pun gagal begitu
mendengar ucapannya itu. Mama, Papa, dan Kak Terry bergantian memelukku. Perasaan bersalah mengaliri darahku. Mataku
terbuka seketika. Aku terlalu egois. Mereka begitu
menyayangiku, begitu mengkhawatirkan aku. Sedang
aku" "Ginna, kamu boleh nggak pindah kalau memang
itu maumu," Mama akhirnya mengalah.
Aku tersentak kaget. Mama tidak pernah mau mengalah.
"Iya, Mbok juga nggak jadi pulang," Mbok menambahkan.
185 "Apa pun terserah Ginna, asal Ginna senang," Kak
Terry tersenyum letih. Aku mengamati mereka satu
per satu. Mereka menantikan aku pulang. Sejak kapan
mereka menyadari kepergianku" Ini baru jam sembilan
pagi. "Kamu sudah sarapan?" tanya Mama. Aku mengangguk singkat.
"Kamu ke mana" Mama ketakutan setengah mati."
Aku tidak berani menatap mata mereka, aku merasa
sangat bersalah. Aku tertunduk, lalu tanpa kusadari,
aku menangis terharu. Aku baru sadar keluargaku
sangat menyayangiku. Selama ini kupikir mereka tidak
peduli padaku. "Ginna, kamu kenapa?" Tubuh Kak Ter yang hangat
memelukku. Aku menangis di bahunya.
"Maaf, Kak," kataku di sela tangisku.
"Buat apa?" tanyanya tak mengerti.
Sejenak aku tak sanggup bersuara. "Buat semuanya.
Aku tau, aku udah ngecewain Mama, Papa, Mbok,
apalagi Kak Ter," kataku. Sekali lagi kurasakan tamparan Lunna menancap di hatiku. Sesungguhnya waktu
itu aku marah sekali, tapi ucapannya benar. Aku tak
bisa menyangkalnya. Aku egois. Tamparan itu masih
terasa sampai sekarang. Aku teringat ucapannya, semuanya, kata per kata.
"Aku mau pindah, Kak. Aku mau pindah sama
Kakak. Aku sayang sama Kak Ter."
*** 186 "Kamu yakin mau pindah?" tanya Kak Ter untuk
kesekian kali. Dia tetap nggak yakin atas keputusanku.
Tapi aku mengangguk tegas.
"Yakin, yakin, yakin! Udah ah, jangan nanya mulu,
mendingan bantuin aku siap-siap!" seruku sambil melipat baju-bajuku. Kak Ter hanya tersenyum, lalu membantuku memasukkan baju ke koper.
"Gin, apaan nih?" ujarnya sambil membuka lipatan
baju di tangannya. Baju putih compang-camping yang
jelas takkan bisa digunakan lagi.
"Aahh, rese!! Itu kenang-kenangan dari temen!" Kusambar baju itu dari tangannya dan kulipat dengan
susah payah. "Kenang-kenangannya kok gitu?" tanya Kak Ter penasaran.
Aku hanya tersenyum. "Itu berharga banget, tau!
Kalo nggak gara-gara ini, aku nggak mungkin mau
pindah!" seruku. Kak Ter semakin bingung, tapi aku
tidak memedulikannya. Hmm. Sedih rasanya meninggalkan rivalku di sini. Takkan ada lagi Lunna lain di
sana. "Gin?" Kak Ter yang sejak tadi mengamatiku seperti
melihat sesuatu di mataku. Aku terbangun dari lamunanku, lalu menatapnya. "Kamu boleh nggak pindah
kalau mau," katanya sambil mengelus rambutku. Aku
menggeleng tegas. "Aku yakin!! Udah ah, sana tunggu di luar!!" Aku
mendorongnya ke luar kamar dan menutup pintu.
Di balik pintu aku merosot. Tak pernah kusangka
187 bakal seberat ini. Aku bahkan tidak memberitahu
Lulu. Entah apa yang dikatakannya nanti. Aku menghela napas, memandangi kamarku untuk terakhir kali,
sampai akhirnya... mataku terpaku pada HP-ku.
"Lun?" "Napa, Gin?" "Next week gue berangkat."
Dia tidak menjawab. Aku meneteskan air mata lagi.
Begitu seringnya aku menangis akhir-akhir ini. Aku
berjanji, ini air mataku yang terakhir di sini. Di
Indonesia. "Lun" Lo mau nganter gue?" tanyaku takut-takut.
"Heh?" "Ya" gue nggak maksa sih, tapi kalo bisa?" aku
tak tahu harus bilang apa.
"Oh... oke," selanya. "Gue pasti dateng. Gue pasti
nganter lo." "Okay then. Gue mau ketemu lo buat terakhir kalinya. Ada yang mau gue kasih ke lo."
Ia terdengar menghela napas. "Pasti gue usahain,
oke?" "Okay, thanks," aku mengakhiri pembicaraan.
Klik. 188 Lunna "L UNNAAAA!!!!" teriakan histeris teman-temanku
sama sekali tak membantu. Aku kehilangan konsentrasiku dan kebobolan beberapa bola. Aku ketinggalan
empat poin. Dengan keringat bercucuran aku berusaha
mengejar bola. "Sial!" umpatku kesal ketika lawan memasukkan
bola. Penonton mendesah kecewa, lalu mengumandangkan ejekan. Huuuuuuuu!
"Two point for SMA St. Anne."
"Hhhuuuuuu"." Lapangan kembali bergetar.
"LUNNNAAA!!!!" aku menangkap suara teman-temanku lagi. Kami ketinggalan tiga bola sekarang. Aku
melirik kesal. "Ihh!! Si Lunna kenapa sih?" tanya Cassy kesal.
Tangannya mengipas-ngipas kepanasan. Alin hanya
mengangkat bahu. "Atta, pass!" seruku sambil mengoper bola. "Shoot!!"
189 "Aarrgghh!!" ia mengelak dari musuh di depannya,
lalu mengoper bola kepadaku. Aku menembak bola
tepat pada sasaran. "Yeee!!!" Sepercik harapan menang kembali meliputi
kami. "Two point for SMA X."
"Itu biasa, wajar wajar sajaa?" Suporter lawan
kembali rusuh. Pertandingan dimulai lagi.
"Lunna!!" temanku mengecoh musuh dan mengoper
bola padaku. Aku mencoba menembak. Gagal.
"Aaaahh?" kembali suara riuh terdengar. Bola di
tangan lawan lagi. Dengan gesit aku merebutnya, dan"
"Two point for SMA X."
"Yes!" aku mengepalkan tangan sambil berlari mengelilingi lapangan.
Satu bola lagi, kedudukan seri. Kami melancarkan
perlawanan sengit. Kami tidak membiarkan lawan memegang bola.
Duk. Duk. Duk. Tapi waktu tinggal lima detik. Oh, Tuhan. Kumohon!!
Nggiiiinnngg. Telingaku berdenging. Konsentrasiku buyar. Sial! Kenapa harus pada detik-detik terakhir seperti ini sih"
"Defence. Defence!" suara penonton sangat membahana, membuat kepalaku semakin sakit. Aku tak bisa
berkonsentrasi. Lima. Aku berlari menembus lawan.
190 Empat. Aku mendribel dengan kecepatan tinggi, dengan
teknik terbaik yang kupunya. Aku menggiring bola
sampai ke depan ring, tapi musuh menghadangku.
"Defence... defence!"
Tiga. Nggiiinnnnggggggg... Suara di kepalaku makin jelas.
Sialan! Sialan! Aku tak punya pilihan. Aku melempar bola dari
lingkaran luar. Dua. Bola melambung, stadion sepi menunggu ke mana
bola mengarah. Satu. Prriiittt!!!! BRUK!!! "Lunna"!!"
"Mmhh"," aku mengerang. Bau rumah sakit, dinding
putih, infus. Aku tahu tempat ini. Satu per satu
kupandangai teman-temanku yang menangis.
"Lunna?" Alin yang pertama menyadari aku siuman.
"Hh?" aku kehabisan tenaga.
"Lunna?"" Teman-temanku segera bangkit berdiri.
Ada Bunda dan Adit juga. "Bun..." Bunda menggenggam tanganku.
"Ssh... kamu jangan banyak gerak dulu."
191 Aku ingin balas menggenggam tangannya, tapi rasanya aku kehilangan semua tenagaku.
"Lunna, kenapa sampai begini?" tanya Bunda kecewa. "Bunda sudah melarang kamu tanding hari ini,
tapi kamu memaksa terus."
"Maaf, Bun" maaf," sahutku tak berdaya.
"Ini semua salah Bunda," kata Bunda menahan air
mata. "Harusnya dari dulu kamu diopname di rumah
sakit saja," katanya penuh sesal.
"Lun, kenapa lo nggak pernah kasih tau kami?"
tanya Cassy. "Gue nggak nyangka lo separah ini" Gue
pikir?" "Duh, lo semua kenapa sih" Kayak gue mau mati
aja!" seruku sekuat tenaga, tapi yang terdengar di
telingaku hanya desisan lemah.
"Kenapa"!" tanya Cassy kesal. "Please deh, lo udah
begini, masih tanya kenapa?"
"Haha" tenang, gue pasti keluar." Aku mencoba
mencairkan suasana. "Eh, gimana" Gue pasti kalah ya
tadi?" "Lo" menang kok. Lo menang" Piala lo... gue?"
Cannie benar-benar tak bisa mengatur ucapannya lagi.
"Ya ampun, lo kenapa sih" Gue pasti sembuh. Kapan
aku bisa keluar dari sini, Bun" Di sini nggak enak","
ujarku berusaha santai. Tapi dalam hati aku ketakutan.
"Lunna, mulai sekarang kamu mungkin akan menjalani perawatan di rumah sakit," kata Bunda pelan
tapi tegas. "A"apa?" ujarku tak percaya. "Tapi, Bun, tapi?"
192 aku memberontak tidak terima. Masa depanku bagaimana" Hidupku" Apa aku harus berakhir di sini" Ini
nggak adil. Kenapa harus aku"
Bunda memelukku dengan sabar. Wajahku memerah.
Ia mengelus rambutku yang menipis. Lalu ia meringis
sedih mendapati rambutku yang semakin rapuh di
tangannya. 193 Ginna J ANTUNGKU berdetak kencang saat mendengar
perkataan ibu Lunna di telepon. Semula aku hanya
ingin mengabarkan keberangkatanku kepada Lunna.
Tapi yang kudapat ternyata berita yang nyaris
membuatku pingsan. "Kanker, Ginna."
"Gin," Dave menegurku waswas. Pandanganku kosong. Aku jatuh terduduk.
"Kanker," kataku lambat-lambat sambil mengolah
kata itu. "Kanker, Ginna."
Kata-kata itu terus berputar di otakku.
"Kanker?" ulang Dave. Mango yang berdiri di sebelahnya mengangkat bahu.
"Lunna." Aku menyebut nama itu dengan syok, lalu
segera berlari meninggalkan airport. Dave dan Mango
yang kebingungan mengejarku.
194 "Gin!" Dave menarik tanganku begitu aku terkejar.
"Kamu kenapa?" tanyanya bingung.
"Kalau kamu mau datang, lebih baik segera. Lunna
baru saja sadar setelah dua hari koma."
"Tolong anter aku ke rumah sakit!" pintaku kalap.
"Rumah sakit?" tanya Mango bingung.
"Lunna!" aku nyaris berteriak.
"Lunna?" wajah Mango pucat seketika ketika aku
menyebut namanya. "Lunna di rumah sakit," aku makin kalap.
"Ginna, tenang," pinta Dave.
"Apa" Kenapa?" Mango kini mulai khawatir.
"Kanker." Air mataku menggenang.
"Hah?" Mango kelihatan benar-benar tak percaya.
"Lunna. Dia kanker otak?"
"Kalo gue tau dia begini, waktu itu gue nggak bakal
ninggalin dia!" kata Mango penuh sesal sambil menahan emosi. Dave tidak mengatakan apa-apa, hanya
menekan pedal gas dalam-dalam agar kami segera tiba
di rumah sakit. Aku hanya berdoa dalam diam. Selama
ini Lunna tidak pernah kelihatan sakit.
"Kanker," ulangku entah untuk keberapa kali. "Kanker otak." Aku menelan ludah. "Dia nggak pernah
bilang. Dia nggak keliatan sakit," gumamku entah
A Life Karya Silvia Arnie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepada siapa. Lunna tidak pernah mengungkit-ungkit
masalahnya. Mengapa ia begitu kuat" Mengapa ia
selalu berpikir bisa menyelesaikan semuanya seorang
195 diri" Mango tak menjawab, hanya menahan air mata.
Aku sendiri akhirnya memejamkan mata, berharap
saat aku membukanya, ini hanya mimpi.
Ketika akhirnya kami mendapat tempat parkir, aku
segera melompat turun dan berlari ke ruang rawat
Lunna. Setiap langkahku kusertai dengan doa.
Akhirnya kami sampai di depan pintu kamar 211.
Aku hampir tak bisa menahan tubuhku. Jantungku
berdegup tak terkendali, aku takut melihatnya. Oh,
Tuhan, tolong dia. Krek. Seisi kamar menengok ke arah kami. Lunna berbaring di sana dikelilingi teman-teman dan keluarganya.
"Lunna?" aku memanggilnya lemah. Tenggorokanku
tercekat. Aku melihat sosok seperti mayat di ranjang
putih itu. Ya Tuhan, itu Lunna. Tulang-tulang bertonjolan di balik kulitnya. Tak pernah kusangka ia sekurus ini. Tak pernah kulihat ia
selemah ini. "Ini semua bohong, kan?" tanyaku tak percaya. Tak
ada yang menjawab. Lunna terlihat sangat lemah. Ketika melihatku, ia
melepaskan alat bantu napasnya.
"Ginna?" Lunna kelihatannya tidak terkejut melihatku.
Air mata menetes pelan membasahi pipiku.
"Ke"kenapa lo jadi begini, Lun?" tanyaku bingung.
196 "Lo udah janji mau nganterin gue ke airport, kenapa
lo masih di sini?" aku bertanya frustrasi. "Kita" kita
udah jadi temen, kan" Baru sekarang ini gue punya
temen kayak lo. Yang nampar gue waktu gue salah.
Yang mendukung gue waktu gue butuh. Yang rela
dengerin gue malem-malem cerita. Yang temenan sama
gue karena apa adanya gue, bukan karena apa yang
gue punya. Nggak akan ada orang kayak lo lagi?"
"Dan nggak akan ada orang kayak lo. Nggak akan
ada orang-orang kayak lo, Bunda, Alin, Icha, Cannie,
Cassy, Adit, Dave, Mango." Dia terdiam seolah-olah
mengumpulkan remah-remah kekuatannya. "Nggak
akan ada orang kayak kalian lagi dalam hidup gue." Ia
tersenyum. "Kalian satu-satunya. Walau gue udah jadi
bintang, kalian tetap satu-satunya."
"Please," pintaku. "Kenapa lo nyerah, Lun?" tanyaku.
"Ini bukan Lunna yang gue kenal!"
"Oh, Tuhan"," seseorang berseru tertahan di belakangku.
Mango. "Oh, Tuhan," ulangnya. Ia seperti baru bisa menemukan suaranya.
"Lunna?" Lunna menoleh lambat-lambat. Dave memelukku
erat sambil menguatkanku. Aku tak pernah menyangka
ini benar-benar terjadi. "Boleh" boleh saya bicara dengan Lunna?" tanya
Mango. "Silakan," kata ibu Lunna sambil meninggalkan sisi
197 tempat tidur. Satu per satu yang lain menyusul, perlahan-lahan meninggalkan ruangan.
"Ada"," Lunna menarik napas, "ada yang harus
gue lurusin." "Dan ada yang harus gue ucapkan," Mango mendekat. Mereka bertatapan.
198 Lunna "G UE mau mint?" "Sstt?" Mango menahanku. "Gue tau. Gue tau
semuanya. Biar gue yang ngomong. You just have to
listen," katanya memakaikan kembali masker oksigenku. "Lunna?" Mango memulai. Ia menggenggam
tanganku yang pucat. "Maaf," bibirnya bergetar. "Kalo
gue tau begini, gue nggak akan pernah meninggalkan
lo sedetik pun." Ia mengecup tanganku penuh kerinduan. "Gue nggak pernah menyangka gue sebodoh
ini. "Lo udah bikin gue ngerasain yang namanya sayang,"
bisiknya, hanya untukku. "Lo udah bikin gue ngerasain
yang namanya cinta. Sekaligus patah hati, sakit hati,
kesepian, ditinggalin. Dan sekarang lo hampir berhasil
bikin gue mati." Aku tak tahan, jadi kulepaskan alat bantu napas itu
sekali lagi. 199 "Haha?" aku tertawa pedih. "Gue nggak pernah
bikin lo kayak gitu. Itu perasaan lo aja." Aku berusaha
mencairkan suasana, tapi Mango tetap diam. Lalu ia
duduk di sebelahku. "Lun, kenapa bisa begini?" tanyanya menggenggam
tanganku, lalu menciumnya sekali lagi dengan sayang.
Ia menggigit jarinya dengan frustrasi. "Gue nggak
pernah nyangka lo seberarti ini, padahal pertemuan
kita bener-bener singkat." Ia menarik napas, mencoba
merenung sesaat. "Lunna" lo bener-bener me-nyita
perhatian, hati, dan pikiran gue!"
"Waktu gue nggak banyak," kataku parau. "Tuhan
cuma kasih gue waktu segini." Aku tersenyum lalu
menambahkan, "Tapi gue bersyukur. Akhirnya di detikdetik terakhir hidup gue, gue bisa ngerasain cinta
semua orang, dan cinta dari gue buat semua orang."
"Tapi ini bukan detik-detik terakhir, Lun," pintanya.
"Gue sayang lo, gue nggak bakal biarin lo kayak gini."
Aku tersenyum bahagia sekaligus sedih.
"Kalo gue pergi, bukan berarti gue nggak sayang
sama lo. Tapi dari surga sana, nanti gue bisa pastiin lo
bahagia di dunia." Napasku tercekat. Emosi yang aneh
bergolak dalam diriku. "Kalo gue cuma bisa bahagia sama lo?" tanyanya
dengan bibir bergetar. "Lun, gue nggak pernah mikir
kita bakal bener-bener pisah. Apalagi perpisahan seperti
ini." Tubuhnya gemetar. "Gue pikir, we belong together.
So, lo harus sembuh dan kembali kayak dulu."
"Ssssh, Mango," aku mencoba menenangkannya.
200 "Siapa sih lo, Lun?" tanyanya, tak lagi kuasa menahan air mata. "Waktu itu lo datang ke pesta dengan
anggun, membuat gue benar-benar terpesona.
"Terus gue liat lo lagi. Lo cewek tomboi biasa yang
hidup dalam keseharian lo. Lo manusia yang bisa
berubah jadi malaikat, kayak ulat berubah jadi kupukupu," lanjutnya dengan mata memerah. Aku tetap
terdiam. "Lun, gue udah bilang belum, gue sayang
sama lo?" Ia merengkuh tubuhku yang rapuh. Kehangatan menyusup ke dalam sanubariku.
"Gue" belum sempat bilang," aku akhirnya bicara
tanpa sanggup berpikir lagi. "Gue merasa sangat kehilangan. Gue kosong, hampa, waktu lo nggak ada."
"Lun, lo mau jadi cewek gue?" tanyanya pelan.
Aku menggeleng lemah. Kenyataan ini menamparku
telak-telak. Aku mungkin tak bisa hidup lebih lama
lagi. Tak kusangka akan sesulit ini. "It"s too late,"
kataku lemah. "Nggak ada kata terlambat dalam kamus gue," katanya. Lalu dengan satu gerakan mulus, Mango mengecup bibirku yang pucat. Kubalas ciumannya dengan
lemah. Kukalungkan lenganku di leher Mango. Ciuman
romantis sesaat yang diakhiri tanganku yang terkulai
lemas dan tak bergerak. Bibirku yang pucat mulai
mendingin. Dan jantungku pun berhenti berdetak.
201 EPILOG "I NI... puisi-puisi terakhir dia," kata ibu Lunna
seraya mengulurkan masing-masing untuk Icha, Alin,
Cannie, dan Cassy. "Ginna, ini."
Ginna mendongak dan menatap kaget sang ibu.
"Saya?" tanyanya tak percaya.
Ibu Lunna hanya mengangguk. "Kata Lunna, kamu
membuat sisa hidupnya sangat berarti. Dia selalu bilang
begitu." Ginna menyambut surat itu, tak sanggup lagi menahan tangis saat melihat kalimat pertamanya: Untuk
sahabat. Untuk sahabat" Lupakah aku mengucapkan maaf"
Atau sekadar "terima kasih"
Untuk yang berarti dalam hidupku
Walau tak cukup banyak cerita untuk dikisahkan
202 Tapi terlalu banyak permohonan tuk didoakan
Dan mimpi-mimpi tuk diwujudkan
Walau terbentang segala yang merintangi
Kau dan aku, kita tetap satu
Untuk sahabat" Bila wujudku tak lagi nyata
Dan napasku tak lagi bersamamu
Bila jasadku yang utuh telah melebur
Dan ragaku telah hancur Bila waktuku terbatas sampai detik ini
Dan ruangku tak sama denganmu
Ingatlah aku, sahabat Kau dan aku, kita tetap satu
Karena dengan itu Kan kaulanjutkan hidupmu Lunna Vania "Lunna," gumam Ginna. "Lunna Vannia." Tiba-tiba ia
tersentak. SMA X. Lunna Vania. Ginna memutar kembali
semua ingatan tentang Lunna. "God!" Ia membelalakkan
mata, terkejut karena kebodohannya selama ini.
"Dave, kita ke SMA X dulu," pintanya.
"Tapi nanti kamu ketinggalan pesawat lagi," kata
Dave setengah memelas. Ginna tak peduli.
"Please, Dave. Aku nggak tenang kalo belum ke
sana." Akhirnya Dave mengangkat bahu, lalu menuruti kemauannya. Mango hanya terdiam di belakang,
tak sanggup mengatakan apa-apa.
203 Setibanya di tempat tujuan, Ginna melompat turun
diikuti Dave dan Mango. Ia berlari ke mading dan
menemukan sebuah puisi di sana.
Pemenang Lomba Puisi Tahun 2006
Siapakah Aku" Kegelapan menatap lembut hari-hariku
Kehampaan menyapa hidupku dengan hangat
Kekosongan mengisi setiap lembar dalam hariku
Siapakah aku dalam kepasrahan ini"
Berjalan kulepas dengan tetesan air mata
Bebas, tanpa arah, ku memberontak
Siapakah aku dalam keputus asaan ini"
Aku yang kehilangan separuh jiwaku
Kucari, kutemukan, namun kulepas
Kediamanku membodohi dalam ketidakpercayaan
Demi sesaat, kulepas mereka yang abadi
Siapakah aku dalam kebisuan ini"
Tuhan" Saat ku yang tanpa arti Kembali ku bersujud memohon
Tetap kusyukuri yang ada Tapi kuharap kehendakMu adanya kehendakku
Menopangku kembali seperti kehampaan ini datang
204 Dan ku kan menjawab yang berarti
Kali kedua ku bertanya Siapakah aku" Lunna Vania Ginna menatap tak percaya. "Gue bego!! Kok gue
nggak sadar dialah orangnya?" Dia menatap surat
Lunna dengan tak berdaya, terpuruk dan terduduk di
sana, bersama Dave yang terus menghiburnya.
Mango menatap puisi itu tanpa ekspresi. "Ini puisi
Lunna." "Iya. Puisi Lunna," kata seseorang di belakang mereka.
Icha, Alin, Cassy, dan Cannie berdiri di sana membawa bertumpuk-tumpuk kertas, satu bola basket,
dan puluhan piala. Mereka berjalan menuju lapangan,
meninggalkan Ginna yang bingung tak mengerti.
Mango menyusul mereka, menatap kosong lapangan
basket itu. Dia ingat pernah berbicara dengan Lunna
di sini. "Apa yang kalian lakukan?" tanya Mango.
"Kami mau membakar sertifikat Lunna, piala, dan
benda kesukaannya"bola basket," kata Cannie singkat.
Mango mengernyit tak mengerti.
"Kenapa dibakar?" tanyanya lagi.
"Soalnya... kami mau, di surga nanti, dia bisa punya
kebanggaan. Supaya malaikat-malaikat di surga tau,
dia itu manusia baik di dunia. Supaya... dia tetap
205 ingat kenangan-kenangannya di sini, bersama kami,"
Cannie menjelaskan panjang-lebar. Mereka sangat
tenang, sama sekali tidak mengeluarkan air mata,
seakan tidak terjadi apa-apa.
Api berkobar menjilat semuanya dengan rakus. Mereka hanya mengamati sambil berdoa supaya Lunna
diterima di sisi Tuhan. "Cuma satu yang nggak kami bakar," kata Cannie
lagi. Alin mengangguk. "Piala terakhirnya yang akan
dikubur bersama dia, kemenangan terakhirnya," kata
Alin. Mango termangu marah menatap Alin. Akhirnya dia
berkata, "Di hati gue dia selalu menang. Dia selalu
memenangkan hati gue. Selalu!" serunya menahan
emosi. Lalu dengan pedih dikeluarkannya secarik kertas
kecil peninggalan Lunna yang terakhir,
"Matahari mengeluarkan cahayanya yang paling
indah di sore hari, saat menjelang malam, saat bulan bersiap naik ke takhta dan menguasai
langit. Cahaya oranye, merah, dan keemasan disambut
indahnya langit biru yang terpantul dari laut dan
samudra. Supaya esok,
A Life Karya Silvia Arnie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langit tetap ingat pada mataharinya yang memesona.
Aku pun akan memberikan yang terbaik yang bisa
kuberikan padamu, 206 agar kau terus teringat padaku,
pada esok, setiap hari yang kaulalui.
Dan kuharap, seperti langit,
Kau bisa menyambut pesonaku, meski itu yang
terakhir." "Dan aku akan melanjutkan hidup tanpa pernah
melupakanmu. Semoga kau menerimanya di surga."
Lalu Mango melemparkan kertas itu, yang disambut
dengan lembut oleh sang api. "Ku kan minta Tuhan
agar para malaikatNya menemanimu kala ku tak bersamamu. Sampai jumpa lagi, Lunna. Bila mimpiku di
dunia telah usai, aku kan pergi ke tempatmu"."
207 Tentang Pengarang Silvia Arnie lahir di Jakarta tanggal
15 Mei 1989. Seorang penggemar kopi, yang
sangat mencintai Starbucks, yang
selalu berhasil mendatangkan
inspirasi. Paling sering nongkrong
di Starbucks Thamrin atau Plaza
Indonesia. Hobinya: Art. She"s doing art juz
lyk drinking coffee" Waktu bosan
ia menari. Ia refleks menggambar
setiap ada pensil dan kertas. Ia
membentuk apa saja yang bisa dibentuk. Dan ia
membuat hidup jauh lebih berarti lewat musik,
terutama dengan klasiknya piano dan biola. Tapi selain
klasik ia juga suka jazz. Love Dave Koz, love Diana
Krall" Berpuisi dan bersastra sering ia lakukan, tapi itu
cuma sekadar iseng dan nggak pernah nyangka akan
menjadi sesuatu yang berarti.
Suka membaca buku-buku Meg Cabot, Sophie
Kinsela, Lauren Weisberger, Jennifer Weiner, Jane Green,
etc, etc, etc" Sekarang masih sekolah di SMAK 2 Penabur kelas
3. Email: cyumy2_n_hyu@yahoo.com...
208 Pendekar Lembah Naga 6 Dewa Arak 35 Kemelut Rimba Hijau Istana Yang Suram 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama