Ceritasilat Novel Online

Arus Balik 14

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 14


Bukan hanya Sang Adipati, ia berani memastikan, sebagian besar di antara mereka ini pernah ia gauli semasa ia masih kanak-kanak, dan mungkin masih ada juga jantan lain. Tuhan, ampunilah orang-orang ywg tak punya kemauan sendiri ini. Ampunilah aku, hambaMu ini, yang karena kedaifan, tanpa ajaranMu, telah melanggar laranganMu.
Selir-selir yang jauh daripadanya, dan tak yakin akan keselamatan dirinya, terus juga berebutan dekat dengannya, berebutan memeluk atau memeganginya untuk mendapatkan perasaan terlindung dari binatang buas.
Dan Pada meronta bangun juga akhirnya. Lepaskan aku! pintanya lembut Takut, Pada, kami semua takut.
Kalian tidur yang tertib, biar aku yang menjaga. Ayoh, tidur, api itu pun harus kujaga. Dari kejauhan terdengar auman harimau. Semua terdiam, juga Pada.
Macan, akhirnya seseorang berbisik memperingatkan. Karena itu jangan gelisah begini. Tidur, biar Pada bisa menjaga kalian. Kalau tak mau tidur dengan tertib, biar aku pergi seorang diri malam ini juga.
Dan pergilah ia ke api unggun. Di sana didapatinya Nyi Gede Daludarmi. Dari tempatnya wanita itu memperingatkan para selir. Kalau tak mau diatur, uruslah sendiri diri kalian. Biar macan pada berdatangan. Dan Pada berjalan mondar-mandir seperti seorang kaisar yang paling berkuasa, seorang pahlawan yang paling berani, seorang panglima yang kehabisan musuh.
Wanita-wanita itu tak dapat berbuat lain daripada mengikuti perintah. Tiada antara lama kemudian mereka mulai tertidur. Pada mendengar Daludarmi menghembuskan nafas keluh. Boleh jadi ia sedang menyesalkan haridepannya yang gelap tanpa ada Sang Adipati dan tanpa ada harem. Tanpa bicara ia berdiri, menggabungkan diri dengan yang lain-lain, kemudian membaringkan badannya yang berisi itu di atas tilam semak-semak yang hitam kemerahan oleh malam dan oleh api. la pun segera jatuh tertidur.
Pada menghampiri mereka, mengamati seorang demi seorang. Semua telah tertidur dalam kelelahan. Dan tak ada seorang pun yang tidak rupawan, bahkan juga dalam tidur dengan mulut dan mata setengah terbuka. Ia masih dapat mengenali sebagian terbesar dari mereka, la masih dapat mengingat mana-mana yang pernah digaulinya semasa kanak-kanak dulu, dan semua beberapa tahun lebih tua daripadanya, kecuali Nyi Ayu Campa itu. Ya, kecuali yang seorang itu semua lebih tua daripada Nyi Gede Idayu. Kecuali yang seorang itu, mereka sudah lebih sepuluh tahun jadi betina kurungan hidup dalam pemantian kasih dan kesudian Sang Adipati. Dan Sang Adipati tidak jarang hanya terdengar melangkah di depan pintu bilik. Dalam sepuluh tahun, gadis-gadis tani yang paling cerdas dan paling gesit pun akan berubah jadi boneka, jadi kepompong yang hanya pandai bergeol-geol. Uh, dan sekarang mereka dilepaskan alam terbuka begini, di tengah-tengah segala macam bahaya.
Dengan berbantalkan bungkusan masing-masing mereka tidur, lupa akan keadaan. Uh! milik-milik hidup Sang Adipati. Kemarin dulu orang bisa kehilangan kepala bila kedapatan bicara dengan mereka, hanya bicara saja! Sekarang mereka bergeletakan tanpa harga. Berapa ratus perjaka saja pernah mengimpikan kasih sayang dan tubuh dan hati mereka dulunya" Berapa saja di antaranya telah putus-asa, tak mampu melawan kekuasaan mutlak Sang Adipati, dan lari meninggalkan desa dan harapan masingmasing"
Dan Pada melihat pada mulut-mulut yang setengah menganga itu gigi yang putih nampak, biasa tergosok dengan tepung arang setiap hari, dan liur yang pada menetes dan berleleran seperti rangkaian mutiara dan prastika.
Sekali lagi ia umpani api dengan kayu bakar baru. Dengan tanah mentah yang habis digaruknya ia bertayamum, kemudian bersembahyang, bertakbir, bertahmid dan beristigfar. Dan ia memohon mendapatkan kekuatan untuk tetap teguh dalam iman dan di dalam takwa. Dan ampunilah mereka, ya Tuhan, sebagaimana Engkau ampuni orang-orang yang terdahulu.
Api mulai menjolak-jolak tinggi. Ia baringkan dirinya di bawah kaki mereka dan tertidur.
Pada keesokan hari sikapnya terhadap mereka tiada keras lagi.
Dalam rembang rimba itu ia menduga-duga matahari sudah lama terbit. Dan para selir yang terbiasa bangun terlambat itu masih tidur di tempatnya. Ia bangunkan mereka, tanpa memberi peluang untuk bisa bermanja atau mengganggunya. Ia suruh mereka mencari makan. Dan bersama-sama mereka mengitari tempat sekeliling. Ia potongkan mereka rotan muda untuk minum. Ia panjatkan buah mlinjo, dan pungutkan mereka madu lebah.
Kemudian mereka meneruskan perjalanan lagi. Sekarang tidak secepat kemarin. Ia pun mau membantu memikulkan beberapa bungkusan.
Sampai di depan Gowong Pada sengaja berhenti untuk mengenangkan kebahagiaan lama dapat menyelamatkan Idayu dan anak-anaknya. Ia tahu, itulah detik kebahagiaannya yang tertinggi: menyelamatkan orang yang dipujanya. Memang hanya ada satu tubuh dan satu jiwa yang bersama Idayu. Tak ada tubuh dan jiwa lain di dalamnya, apa lagi jiwa selir. Dan Idayu: ibu dari dua orang anak dan istri sahabatnya.
Didekatinya wanita-wanita rupawan, nyata, dapat digenggamnya setiap detik dia suka. Mengapa ia justru mencintai wanita bayangan, hak suami dan anak-anaknya"
Mengapa berhenti di sini" Daludarmi bertanya. Burung-burung keluar dari gua seperti dahulu kala, dan rumput telah menutup sebagian mulut gua. Pada merasai suatu dorongan untuk menyatakan dukac-itanya dalam bercinta, agar orang lain tahu tentang kesakitannya.
Dahulu ada seorang dewi tinggal di dalamnya ia mendongeng, dalam tawanan drubiksa. Ya, dalam gua itu& . kemudian datang seorang satria& dan ia merasa diri satria yang disebutnya sendiri, dan sekarang ia pun merasa sebagai satria gagah, didapatinya kepala drubiksa telah bunuhi bawahannya karena ia ingin memiliki Sang Dewi untuk dirinya sendiri. Tetapi Sang Dewi menolaknya.
Para selir mulai merubungnya dengan khidmat, tapi tak berani tebarkan pandang pada mulut gua.
Tulang-belulang drubiksa masih berantakan di dalam sana. Mari kita masuk, dan kala dilihatnya tak seorang pun mau, ia heran pada dirinya sendiri. Dan lebih heran mengapa tak ada seorang yang bertanya siapa satria itu dan siapa pula dewi itu. Ia kecewa. Mengapa kalian tak bertanya mengapa Sang Dewi menolak"
Mari berjalan terus, seseorang yang kengerian memohon.
Ya, mari berjalan terus. Satria itu membunuh kepala drubiksa itu dengan kerisnya, jauh kemudian hari ia merasa menyesal mengapa drubiksa itu ia habisi dengan keris& oh, tidak, ia menghabisinya dengan pisau dapur.
Tentu satria itu semacam orang linglung. Daludarmi menyela, Tak ada seorang satria membawa pisau dapur ke mana-mana.
Ya, barangkali semacam satria linglung, Pada menjawab.
Dan orang mulai berdiri. Beberapa sudah mulai berjalan Pada heran mengapa tak ada orang menanggapi dongengnya. Dan ia pun mulai berjalan melupakan Gua Gowong. Dengan nada memaksa sekarang ia bertanya: Mengapa Sang Dewi menolaknya"
Mungkin Sang Satria sudah linglung.
Mungkin Sang Satria sudah tua, seseorang memaksakan diri menjawab.
Sang Adipati adalah satria tua, kalian masih juga mau menerimanya. Itu bukan alasan.
Kalau begitu Sang Satria masih terlalu muda. Pada waktu itu masih sangat muda, malahan bukan satria, dan kalian pernah juga mau menerimanya. Mereka semua tertawa terkikik-kikik.
Karena Sang Dewi bukan manusia maka ia berpikir tidak sebagai manusia, la hanya hendak kembali ke kayangan, berkumpul lagi dengan para Dewa.
Pada merasa bosan sendiri dengan teka-tekinya. Lagi pula apakah gunanya orang lain harus melihat kegagalannya, kesakitannya, dan hatinya yang rongkah" Ia kembali berdiam diri.
Perjalanan diteruskan. Menginap lagi dan menginap lagi dalam hutan Memasuki daerah alang-alang yang menakutkan. Tak ada bekas bakar-bakaran. Tak ada nampak seekor rusa pun. Ia ragu-ragu untuk melintasi. Dan wanita-wanita itu melihat keragu-raguannya. Semua mengerti belaka bahaya yang sedang mereka hadapi.
Kini semua termangu-mangu di tepi hutan. Pada masuk lagi ke dalam hutan, bertayamum, dan bersembahyang memohon keselamatan untuk seluruh rombongan. Ia berdoa dengan dua belah tangan tertengadah tinggi ke langit, lebih tinggi dari biasanya. Berilah pada kami semua keselamatan, ya Tuhan, penguasa bumi dan langit.
Senjata yang ada padanya hanya sebilah pisau, dan padang alang-alang begitu luasnya. Ia tetapkan hati dan teguhkan iman, Tuhan-lah semua yang menentukan. Mari berangkat!
Tak ada seorang pun menginginkan tempat terdepan atau terbelakang. Maka sekarang Daludarmi berjalan paling depan daripada paling belakang. Tak ada seorang pun berbicara. Kaki seakan-akan tak menginjak tanah lagi. Setiap langkah terasa berat dan tak juga maju. Permukaan alang-alang tak juga mau tenang, mengimbak-imbak seperti ombak laut setiap angin datang meniup, menyesatkan orang dari gerakan yang mencurigakan itu.
Tak terdengar orang mengeluh atau mengaduh, kuatir akan membangunkan raja maut yang sedang mengintip entah dimana. Ketakutan pada mati telah menindas perasaan-perasaan yang lebih kecil.
Akhir-akhirnya setiap ketakutan adalah ketakutan pada maut, gumam Pada setelah selamat melalui padang alangalang dan memasuki hutan muda. Alhamdulillah, ya Allah, ya Robbi, ia duduk tersandar pada sebatang pohon kluwih dan para selir duduk mengelilingi. Mereka yang kalah perang pun mungkin tak mengalami ketakutan semacam itu, bisiknya kemudian pada dirinya sendiri. Suaranya dikeraskan: Kalau sudah terlewati hutan muda ini, kita sudah mendekati desa, kita akan berpisahan di sana.
Tidak, aku ikut sampai ke desaku sendiri, seseorang membantah.
Siapa tahu perang masih berkecamuk di jalanan kita nanti" Kami akan tetap mengikuti, seorang lain membantah juga.
Baik, mari berjalan lagi. Sampai di desa pertama matahari sedang tenggelam dan kita menginap di sana.
Ternyata desa pertama itu sunyi tak terkirakan. Malam telah jatuh. Tak ada suara gamelan. Tak ada lampu menyala.
Rumah yang terjauh dari pusat desa mereka masuki. Masih ada orang tinggal di dalamnya: suami-istri dengan dua orang anaknya yang masih kecil. Dengan segala kerelaan mereka berikan penginapan dan hidangan dingin dalam kegelapan itu. Dan hidangan itu sama sekali tidak mencukupi untuk orang sebanyak itu.
Dan tuan maupun istrinya sama sekali tak bertanya, dari mana mereka datang dan ke mana mereka hendak pergi. Bahkan siapa mereka, mereka tak bertanya. Semua berjalan seperti rombongan semut yang satu bertemu dengan rombongan yang lain.
Hanya inilah yang ada. Hanya beginilah tempatnya. Orang-orang yang menanggung kelaparan dan kelelahan dalam tindisan ketakutan yang amat sangat itu sekaligus merasa aman di dalam lingkungan manusia yang belum diubah perangainya oleh perang.
Belum lagi lama mereka tidur, dan matari telah menyembul di timur.
Derap kuda memaksa semua orang melompat dari ketiduran masing-masing. Suami-istri dan anak-anaknya telah lebih dahulu lari, dan nampak sedang menyeberangi padang rumput menuju ke hutan.
Bagi Pada tak ada jalan lain daripada naik ke atas pohon nangka di samping rumah: Pohon itu sangat rimbun tetapi tiada berbuah.
Prajurit-prajurit berkuda itu memasuki rumah dengan masih berkendara. Seorang prajurit, yang melihat beberapa orang wanita lari ke padang rumput di belakang rumah, segera mengejar dan menyambar salah seorang serta mengangkatnya ke atas kudanya. Yang lain-lain terpaksa berhenti dan kembali ke rumah mengikuti perintah.
Dari tempat persembunyiannya Pada tak melihat cambuk-perang pada pinggang prajurit itu. Bukan tentara Tuban, ia memutuskan. Apakah bedanya di masa perang, apakah dia tentara Demak atau Tuban" Ia mendekam mengawasi. Dan ia tahu, ia tidak setakut di menara pelabuhan dulu.
Selir di atas kuda itu menjerit dan meronta-ronta ketakutan. Prajurit itu memeluknya sambil tertawa-tawa. Di dalam rumah selir-selir lain memekik-mekik pula. Dan prajurit itu memacu kudanya, menghilang entah ke mana.
Pekik-pekik semakin meriuh dalam rumah. Pada hanya bisa mendengarkan. Kemudian tak terdengar lagi perlawanan. Keadaan kembali sunyi. Kesunyian yang menyesatkan.
Tiada antara lama kemudian mendadak serombongan prajurit kaki datang bersorak-sorak. Mereka telah melihat beberapa ekor kuda tercancang di depan rumah itu.
Dari pintu belakang rumah nampak prajurit-prajurit berkuda dalam keadaan telanjang bulat atau setengah bulat lari membawa pedang masing-masing menuju ke hutan, melintasi padang rumput.
Pasukan kaki itu mengejarnya, sebagian besar mengepung dan memasuki rumah. Dan Pada dapat melihat di antara dedaunan nangka itu tombak-tombak beterbangan mengejar. Yang dikejar menggunakan pedangnya menangkisi maut yang mendatangi. Tak peduli pada ketelanjangannya di bawah surya. Mereka terus lari ke arah hutan. Yang mengejar pun mempercepat larinya. Beberapa orang prajurit kaki Tuban melompat ke atas kuda-kuda yang tercancang, mengejar dengan mengamangkan tombak masing-masing. Dalam waktu pendek yang terkejar tersusul. Perkelahian tak dapat dihindari Gemerincing pedang beradu pedang dan tombak terdengar nyaring dari tempat Pada.
Dan dalam dekamannya di atas pohon dapat ia lihat seorang pengejar jatuh dari atas kudanya dan dua orang yang dikejar jatuh ke atas tanah untuk tidak akan bangun lagi buat selama-lamanya, la dapat saksikan dari balik dedaunan prajurit-prajurit yang telanjang bulat itu tertubruk oleh kudanya sendiri Mereka punah tertumpas.
Dari tempatnya pula ia melihat selir-selir itu keluar dari pintu depan, digiring dalam pakaian kacau meninggalkan rumah petani itu, hilang dari pemandangan.
Empat orang berkuda dengan pedang atau tombak berlumuran darah itu lewat pelahan-lahan di bawah persembunyian Pada.
Memang selir-selir Gusti Adipati, seseorang berkata. Bagaimana bisa sampai ke mari"
Mengikuti orang bernama Pada, hendak kembali ke desa.
Di mana Pada sekarang"
Katanya lari waktu orang-orang Demak datang. Dia tidak melindungi selir-selir itu"
Melindungi bagaimana" Dia tak bersenjata, bukan prajurit. Katanya juga Gusti Adipati telah mangkat
Pasukan Tuban telah pergi. Ia belum juga turun dari tempatnya. Kemudian nampak seekor gajah perang berjalan diiringkan oleh pasukan kaki di belakangnya. Seorang perwira berdiri dalam bentengan kayu, menyanyi.
Ia masih harus menunggu sampai matari tenggelam, baru ia turun. Dan suami-istri petani itu sudah pula kembali.
Begitu sehari-hari, tuanrumah memulai. Dikeluarkan ubi dan gembili kemudian dibakarnya. Sudahlah, tak perlu kita bicarakan. Mari makan. Mana yang lain-lain" Sudah dibawa tentara Tuban.
O, ia tak meneruskan. Juga istrinya tak bicara apa-apa. Anak-anak mereka tanpa bicara merangkak ke tempat tidur masing-masing, kemudian tak terdengar lagi suaranya.
Dan malam itu juga ia minta diri dan mengucapkan beribu tenma-kasih.
Pada subuh hari sampailah ia di rumah Idayu. Pondok dipinggir hutan itu kosong. Pintu rumahnya telah dipalang silang dengan dua potong bambu belah sebagai pertanda: penghuninya sedang pergi untuk waktu yang tak dapat ditentukan, orang tak diperkenankan masuk ke dalam.
Hampir saja ia terlelap begitu menyandarkan badan pada daun pintu. Ingat pada fajar yang mendatang dan bahaya yang segera akan tiba, ia pun berdiri lagi, menuruni tangga, berjalan masuk ke dalam hutan. Tak sulit baginya untuk menebak di mana Idayu berada. Dulu ia dan Wiranggaleng dan Gelar telah membuka huma di dalam hutan untuk tempat pengungsian bila perang terjadi.
Jalan setapak itu hampir tak nampak lagi karena telah kejatuhan luruhan daun selama ini. Dan ia berjalan dengan susah payah. Beberapa kali ia tersesat di jalanan babi, terperosok dan tersasar.
Pada tengah hari setelah berputar-putar dalam hutan sampailah ia di tempat yang dituju. Dari suatu jarak ia sudah dapat melihat huma di depannya terawat baik dan baru saja berpanen padi. Ia taksir sudah lebih lima bulan huma itu digarap. Sebuah gubuk yang sangat sederhana berdiri di tengah-tengah. Dan tentu Gelar ada di dalam situ.
Ia melangkah hendak keluar dari hutan. Pandangannya terpusat pada pintu gubuk yang terbuka, mengharap wajah Idayu segera akan nampak. Tak dilihatnya lagi akar-jalar melintang di bawah kaki. Ia terjatuh dibarengi bunyi tombak menyambar di atas kepalanya. Dan tangkai tombak itu menggeletar dengan mata tertancap pada batang pohon tempat ia tadi berhenti.
Gelar! Aku di sini, aku, Pada, ia memekik. Pamankah itu" terdengar suara Gelar, dan pemuda itu muncul dari balik semak-semak. Beribu ampun, Paman, tiada terduga. Paman dari Malaka" Mengapa kelihatan lebih tinggi dan kurus" Mari, mari.
Ia dapatkan Idayu tiada kurang suatu apa. Nampak ia terawat baik. Wajahnya segar dan tetap dalam keadaan bersolek seperti biasa. Matanya berseri-seri menyambutnya. Kau kelihatan lebih tua. Pada.
Dan Mbokayu kelihatan lebih muda lagi jawabnya menegang. Kemudian ia langsung bercerita tentang Wiranggaleng dan pasukan gabungan yang tertinggal lola di Semenanjung.
Idayu mendengarkan dengan diam-diam. Dan Gelar mendengarkan dengan gelisah; berita dari Semenanjung itu membikin ia terbakar oleh perasaan tidak puas terhadap orang-orang besar yang mempermain mainkan Senapati.
Dan kau, Gelar, kau kelihatan lebih kukuh, Pada langsung memasuki persoalan pribadi setelah ceritanya selesai. Lemparan tombakmu seperti prajurit sungguh.
Dan Gelar hanya tersenyum senang mendengar pujian itu. Ia malu bercerita telah lari dari pasukan pengawal.
Pada meneruskan ceritanya tentang perjalanannya dari Semenanjung sampai ke Tuban dengan suara semakin lama semakin pelahan.
Kau lelah. Pada. tegur Idayu. Dan matamu merah seperti itu. Sudahlah, kau tidur dulu.
Setelah beberapa hari beristirahat ia bermaksud kembali ke Malaka. Masih banyak yang harus dikerjakan Dan Idayu seakan menggenggamnya tanpa ingin melepaskannya Ia semakin mencintai isteri sahabatnya ini. Dan justru karena itu ia harus segera pergi. Sebelum berangkat ia bertanya pada Idayu dan dua orang anaknya, pesan apa yang harus disampaikannya pada Senapati. Dan dari tiga orang ibuberanak itu ia hanya mendapatkan satu pesan untuk yang tercinta di Malaka sana: pulanglah, karena Sang Adipati telah mangkat, dan tak ada orang yang menyokong pembebasan atas Malaka
Hatinya sendu sayu menghadapi perpisahan dan seorang wanita yang dicintainya dan tidak pernah membalas cintanya. Tapi juga gembira karena akan dapat melepaskan dirii dari genggamannya Memang ia ingin lebih lama berada di dekat wanita pujaan, mendengarkan suaranya, memandangi gerak-geriknya, mengagumi senyum dan ketabahannya. Tetapi bila karena sesuatu hal pandangnya bertatapan dengan pandangannya, ia rasai seribu panah menerjang dadanya, dan darahnya membeludag seakan hendak membikin jantungnya meledak. Beberapa kali saja ia memohon ampun pada Tuhannya karena telah mencintai wanita yang bukan haknya. Ampun, ampun, ampun., tetapi hatinya punya kemauan dan hukum sendiri
Waktu ia minta diri Idayu hanya menatapnya, kemudian mengangguk tanpa bicara, seakan hendak mengatakan, bahwa sudah seharusnya ia pergi lebih dahulu. Buru-buru ia menambahi:
Ampuni aku telah menyusahkan Mbokayu selama ini. Ia mengharapkan sesuatu yang manis diucapkan oleh wanita tercinta itu.
Gelar pergi untuk mengurus kuda. Ia akan mengantarkan tamunya sampai ke luar hutan. Dan Kumbang sedang sibuk membelah kayu bakar.
Ya, pergilah kau dengan selamat. Dan kalau aku boleh berpesan padamu pribadi. Pada, janganlah kau pandangi aku dengan mata seperti itu. Kawinlah kau dengan perempuan yang pertama-tama kau setujui, dan kau akan terbebas dari sikap yang mengganggu hidupmu selama ini
Pada membuang muka. Ia berdiri dan keluar dari gubuk, ia hampiri Kumbang dan minta diri padanya, kemudian bersama Gelar menerobos hutan berkendara dua ekor kuda.
Mengapa kau tak di medan perang. Gelar" tanya Pada untuk melupakan kata-kata Idayu.
Di pihak siapa. Paman" Di pihak Tuban tentu.
Tuban" Apakah yang sudah diperbuat Adipati Tuban terhadap emak, terhadap bapak, dan terhadap diriku sendiri" Kau lihat sendiri Paman, bapakku. Senapati, telah dibuangnya di negeri orang untuk berperang.
Ia dapat temukan kata-kata berontak dari Idayu, dari Senapati dan dari Rama Cluring. Keluarga ini nampaknya benar-benar anak-rohani Rama during. Dan sekilas ia teringat pada ajaran salah seorang gurunya dulu bagaimana seorang musafir Demak harus bersikap dan berbuat terhadap guru-pembicara kafir tumpas! Ternyata pengaruh Rama Cluring sangat besar terhadap keluarga seorang yang dicintainya. Timbul dorongan dalam hatinya untuk mengetahui lebih banyak tentang guru-guru itu. Tapi ia tak jadi bertanya. Apa pula gunanya sekarang ini" Sudah bukan tugasnya lagi.
Gelar, kalau orang melihat gerak-gerik emakmu yang luwes, setiap orang akan dapat mengetahui dia seorang penari ulung. Kalau orang melihat ketrampilanmu naik kuda dan melemparkan tombak, segera aku dapat mengetahui kau pernah jadi prajurit.
Betul, Paman. Aku pernah jadi calon prajurit pengawal Tuban, Gelar mengakui. Kemudian sebentar jadi Prajurit Demak.
Demak" Betul. Kau mondar-mandir tidak karuan.
Gelar tertawa, kemudian meneruskan: Aku rasa, tinggal bersama emak lebih tepat. Setidak-tidaknya berguna untuk emak dan Kumbang Apalah artinya pengabdian pada Tuban dan Demak" Sampai sekarang aku tak tahu.
Coba kau ceritakan, bagaimana kau bisa mondar-mandir pada dua daerah yang saling bermusuhan.
Aku kira tadinya yang satu akan lebih baik dari yang lain.
Bagaimana kau anggap dua-duanya buruk" Demak Islam, Tuban setengah Warn.
Dua-duanya tidak berbuat sesuatu pun untuk pembebasan Malaka, apalagi setelah ternyata Senapatiku dibuang tidak menentu di sana. Orang bilang berangkat hanya dengan jung!
Sekali Pada melihat semangat si Wiranggaleng di dalam kata-katanya. Dan ia membiarkan Gelar meneruskan katakatanya.
Begitu, paman, hanya di rumah aku merasa damai. Di Tuban orang selalu mengejek dan mengganggu dan menghina. Benarkah aku bukan anak Senapatiku"
Kuda itu berjalan beriringan, dan Pada berada di belakang Gelar sehingga ia tak dapat melihat wajah bocah itu. la pun tak menyangka percakapan itu berbelok begitu tajam ke jurusan lain.
Kau diam saja, Paman. Nampaknya juga Paman tak mau menerangkan.
Tahu apa aku tentang itu"
Yang kuketahui selama mi kau anak Senapati dengan Idayu. Mengapa justru bertanya padaku
Emak selalu mengelak-ngeiak, dan bilang tidak cukup baikkah Wiranggaleng dan Idayu jadi orang tuamu" Aku tak sampai hati mendesak. Apalagi bila nampak olehku matanya mulai merah berkaca-kaca.. Tidak, Paman, aku tak bea. Pernah emak mengutip kata-kata seorang gurupembicara, ia lupa namanya& ia mengulangi kutipan itu hanya untuk mengelakkan pertanyaan. Aku justru semakin bimbang
Apa katanya" Tak ada seorang manusia pun, katanya, pernah meminta pada para dewa untuk dilahirkan di dunia mi. Setiap orang dilahirkan tanpa semau-nya sendiri Orang dipaksa lahir, dan ibunya dipaksa melahirkan.
Itulah guru-pembicara dungu. Pada terangsang. Hidup adalah karunia tak terhingga, tak peduli siapa bapak atau ibunya.
Ya, tak terhingga, untuk jadi permainan para raja Pada terkejut, tetapi pura-pura tak memperhatikan. Tak pernah ada orang bicara semacam itu. Sendiri seorang gurupembicara, bekas musafir Demak, dilatih untuk mematahkan pengaruh guru-pembicara bukan golongan sendiri, kafir, secara naluriah ia bangkit untuk mengobrakabrik pengaruh itu.
Gelar, mungkin kau tak begitu benar. Setiap kelahiran bukan saja membawa rahmat, juga membawa pesan pada dunia, agar manusia tidak menjadi permainan para raja. Pesan itu juga diberikan kepadamu, padaku, juga untuk kita teruskan Dari negeri Melayu sana datang bidai Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah .
Belum pernah emak bercerita tentang adanya raja yang kecuali oleh raja lain yang sama lalimnya barangkali. Dan perang pun terjadi, barangkali. Maka kita terjepit seperti pelanduk di tengah dua gajah. Barangkali itulah rahmat dan karunia"
Betapa bocah ini sudah menolak kepahitan hidup, pikir Pada. Dan cepat-cepat ia membelokkan: Gelar, cobalah singkirkan dulu soal raja-raja itu. Sekiranya kau tidak lahir, bukankah kau tak bisa berbakti pada emakmu seperti halnya sekarang" Bukankah itu karunia"
Suatu perdebatan dari dua sikap yang berlain-lainan itu tak menghasilkan kelegaan pada kedua belah pihak. Dan Pada mengakui tak dapat mR matahkan pengaruh para guru-pembicara yang telah berakar di dalam keluarga Wiranggaleng.
Akhirnya mereka terdiam kebosanan.
Tapi Gelar tak urung mengulangi pertanyaannya: Paman belum juga menjawab, benarkah aku bukan anak Senapatiku"
Sudah datang waktu bagiku untuk meneruskan perjalanan seorang diri, Gelar. Tentang itu, datanglah pada emakmu. Tanyakan baik-baik. Sekarang kau sudah cukup dewasa untuk mengetahui segala yang patut kau ketahui. Aku tak tahu apa-apa, dan tidak punya hak apa-apa. Nah, terimalah kembali kudamu ini, dan pulanglah kau pada emakmu, dan berbaktilah lebih baik.
Ia ulurkan tangan untuk dicium Gelar, tetapi bocah itu tak mengenal adat itu. Gelar mengangkat sembah dada.
Kekafiran masih berkuasa atas mereka, keluhnya, kemudian ia berjalan kaki keluar dari hutan.
Begitu lepas dari cengkeraman hutan ia berhadapan dengan rumah di pinggir hutan itu. Ia memerlukan naik ke atasnya, meninjau gubuk yang selama ini ditinggali oleh wanita yang dicintainya. Dilihatnya palang bambu telah tergeletak jauh di beranda, dan pintunya telah terbuka. Ia masuk ke dalam.
Semua perkakas telah berantakan di lantai: orang-orang Demak telah memasuki rumah ini.
Cepat-cepat ia turun, lari, balik memasuki hutan. 0odwo0
35. Lao Sam Pajajaran -Sunda Kelapa
Perang di Tuban bolak-balik ke timur-barat. Usaha Pada untuk menghadap Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi gagal. Ia lepaskan usahanya. Dengan menghindari daerahdaerah pertempuran ia memasuki Lao Sam dari sebelah selatan.
Belum lagi memasuki daerah perkampungan Lao Sam ia telah mengalami sesuatu yang tidak beres. Ia telah terkena dilaso. Seutas tali telah menjerat kaki, membantingnya ke tanah dan mengangkatnya ke udara. Dan tergeonggeonglah ia dengan kepala ke bawah. Bungkusan bawaannya terlempar entah di mana.
Kelelahan dari perjalanan menyebabkan ia tak mampu mengangkat badan untuk membebaskan kaki dengan tangannya. Darah dari kakinya ia rasai menyerbu ke bawah dan menyesak dalam kepalanya. Nafasnya terengah-engah.
Dalam rembang malam itu dilihatnya tiga orang Tionghoa bersenjata trisula besi dengan bagian tengah lebih tinggi. Mereka datang menghampiri. Pada tahu ia telah jatuh ke dalam tangan Nan Lung, Naga Selatan.
Dengan bahasa Jawa yang kaku dan aneh seorang bertanya: Tuban apa Demak"
Dalam keadaan tergeong-geong begitu ia menjawab tabah: Dua-duanya tidak.
Bukankah kau Pribumi"
Betul, Pada telah merasai kesakitan pada bagianbagian badan yang tersekat oleh tali.
Bukankah kau tahu, Pribumi tak boleh memasuki Lao Sam di waktu perang" orang itu bertanya lagi. Tahu, tahu betul.
Mengapa berani-berani masuk kemari" Turunkan aku, biar kuterangkan pada kalian. Mereka menurunkannya, dan Pada merasai darah di kepalanya turun, membikin kakinya jadi semutan. Mereka mengancamnya dengan senjatanya,
Kau dalam bahaya. Jangan beri keterangan bohong. Aku datang untuk mencari Babah Liem Mo Han. Ha! Siapa kau ini"
Pada mulai berdiri, menjawab: Siapa" Apa kalian tidak kenal aku" Aku anak angkat Babah Liem.
Tidak kenal. Kalau begitu kalian orang baru di Lao Sam ini. Dan benar, mereka memang pendatang baru. Setelah Demak menyerbu Tuban, ratusan orang Tionghoa didatangkan ke Lao Sam dari bandar-bandar lain, terutama dari Semarang, untuk melindungi perjanjian Semarang- Demak dan Ceng He-Majapahit Dua macam perjanjian yang tersimpan dalam khasanah kelenting Semarang itu mereka rasai sedang terancam setelah Demak berada dalam kekuasaan Trenggono.
Mereka tidak mengenal Pada.
Tetapi mendengar korbannya ingin menemui Liem Mo Han mereka melepaskannya dari ikatan dan menggiringnya di bawah ancaman tiga trisula menuju ke tengah-tengah kota Lao Sam.
Ia dibawa masuk ke sebuah rumah besar yang sudah dikenalnya -rumah Babah Cia Mie An. Ia disuruh duduk di atas kursi bambu dalam keadaan tetap terjaga. Salah seorang di antaranya menyorongkan bungkusannya pada pangkuannya. Dan ia mengucapkan terimakasih dalam bahasa Tionghoa.
Beberapa orang wanita memasuki ruangan besar itu membawa lampu tambahan. Pada mengocok matanya. Tidak salah. Ia mengenal dua orang wanita itu. Dan mereka nampak terkejut melihatnya. Mereka bersiap-siap hendak menegurnya, tapi Coa Mie An kebetulan sedang masuk, dan mereka pergi menghindar.
Ah, sahabat Pada Mohammad Firman, tegur tuan rumah sambil tertawa senang. Ia lambaikan tangan menyuruh wanita-wanita itu menyingkir lebih jauh. Sahabat mau menemui Babah Liem, aku dengar.
Pada menggangguk. Pikirannya masih tetap terpaut pada perempuan-perempuan itu. Malah matanya masih terpancang pada pintu ke mana mereka tadi menghilang.
Nampaknya sahabat punya perhatian pada mereka. Atau suka barangkali"
Pada dipaksa untuk menyimak tuan rumah, la menggeleng.
Baru beberapa hari ini aku beli mereka itu, yang lainlain sudah aku bagikan. Yang dua ini aku maksudkan untuk diriku sendiri. Maaf, sahabat , aku pun ingin punya anak. Tapi kalau sahabat menghendaki. ..
Pada tahu dua orang itu tak lain dari Nyi Ayu Sekar Pinjung dan Nyi Ayu Campa.
Tidak, Babah, terimakasih. Dari siapa Babah membeli mereka"
Dari seorang perwira, sahabat, jarahan perang. Perwira mana" Demak atau Tuban" Tuban.
Masyaallah, sebut Pada. Bukankah Babah tahu mereka selir-selir Sang Adipati" Bukankah yang seorang itu Nyi Ayu Sekar Pinjung dan yang lain Nyi Ayu Campa"
Tidak salah, sahabat. Dan perwira Sang Adipati sendiri yang menjualnya. Nampaknya sahabat begitu terkejut
Dunia apakah semua ini, pikir Pada. Dan yang keluar dari mulutnya: Aku datang dari Malaka&
Ya, aku tahu, sahabat. Untuk bertemu dengan Babah Liem.
Ya, aku tahu. Begini, sahabat, sudahkah ada pasukan Tionghoa bergabung" Dan pasukan Semenanjung sendiri" Dan pasukan Demak"
Seorang pun tak ada, Pada menggeleng.
Sudah aku duga. Dalam catatan disebutkan, Pasukan Tionghoa itu sedikit sekali kemungkinan bisa datang. Mereka juga dibutuhkan di perairan Manado dan Kalimantan. Maaf, kami tak bisa berbuat sesuatu. Biar aku mencari Babah Liem
Koh& Gouw Eng Cu sudah berkali-kali memberitahukan pada Liem Mo Han agar jangan menyampaikan janji pada siapa pun. Rupanya dia telah sampaikan pada sahabat. Ada kau bertemu dengan Gouw Eng Cu sebelum berangkat ke Malaka"
Tidak. Mestinya sahabat menemui dia lebih dahulu. Sayang dia telah meninggal, pada hari pertama Demak masuk. Memang suatu bencana, kecelakaan yang tidak bisa dihindari. Perang, sahabat.
Dibunuh" Ya. Mereka terdiam. Kemudian Coa Mie An meneruskan: Karena Babah Liem toh sudah menyampaikan pada sahabat, aku merasa perlu untuk meminta maaf pada Senapati melalui sahabat, juga pada sahabat sendiri.
Pada tak menanggapi, dan ia meneruskan: Melihat penyerbuan Demak kemari boleh jadi dengan sengaja ia tak mengirimkan seorang pun ke Malaka.
Biar aku temui Babah Liem sendiri.
Nanti dulu. Nampaknya sahabat sangat lelah. Perlukah dilayani wanita-wanita tadi"
Tidak, aku sungguh terburu-buru.
Lebih baik sampaikan saja padaku, karena akulah sekarang penggantinya.
Tidak, Babah Liem sendiri yang aku perlukan. Ah, sahabat. Kalau begitu, biar kuceritai apa sesungguhnya telah terjadi: ayah angkat sahabat sudah tiada.
Mati" Ya. Dua bulan yang lalu. Ditangkap oleh pasukan Demak dan diseret dengan kuda di atas jalanan sampai ajalnya.
Pada menyebut. Itu belum semua. Sewaktu membunuhnya, mereka bersorak-sorak hendak juga menumpas Wiranggaleng dan seluruh keturunannya. Juga namamu disebut-sebut. Kalian dianggap bersekongkol melawan Demak.
Pada minta diri. Nanti dulu, masih banyak yang harus dipercakapkan. Seperti sahabat ketahui. Babah Liem tidak punya sanakkeluarga. Ia meninggalkan rumah dan semuanya. Barang tentu semua itu jatuh ke tangan sahabat sebagai warisan& .
Pada minta diri untuk kedua kalinya dan mengucapkan terimakasih atas segala yang telah diketahuinya. Malam itu juga ia tinggalkan Lao Sam kembali ke jurusan tenggara. Ia terpaksa balik ke Awis Krambil untuk membawakan berita ancaman itu.
Dalam keadaan kehabisan tenaga ia sampai di Awis Krambil. Ia terpaksa menemui lagi Idayu dan menceritakan segalanya. Keesokan harinya ia ungsikan keluarga itu lebih ke dalam lagi memasuki daerah kabupaten Bojonegara. Di sana ia tinggal selama tiga bulan, membantu menyiapkan ladang dan huma. Dengan menyandarkan kepercayaan pada kebesaran Tuhannya ia tak merasa merana lagi karena cintanya. Sebaliknya Gelarlah yang memberinya kesulitan. Ia selalu mengajak berdebat dan Idayu mendengarkan dengan diam-diam. Ia tahu Idayu takkan berpihak padanya.
Dari perdebatan-perdebatan itu Pada menarik satu kesimpulan. Gelar membenci apa saja yang berbau raja. Bagi anak muda itu, di mana ada raja di situ ada kelaliman. Ia sendiri berpendapat lain: bagaimanakah kehidupan dapat diatur tanpa ada seorang raja"
Perdebatan yang tak habis-habisnya dan tidak memuaskan kedua belah pihak, sampai rumah selesai dibangun dan ladang habis ditanami dan ia harus pergi untuk melakukan tugasnya.
Sekali lagi Gelar mengantarkan sampai ke perbatasan Tuban. Sebelum perpisahan ia memerlukan bertanya: Apa jawaban emakmu"
Tentang apa, paman" Anak Senapatiku kau ini atau bukan"
Ternyata Gelar belum juga mendapat jawaban. Dan mereka berpisahan.
Ia mengambil jalan darat. Jalanan negeri dilaluinya hanya di malam hari. Bungkusannya sekarang dipikulnya pada dua bilah tombak lempar. Pada pinggangnya sekarang tergantung sebilah pedang.
Walau pun ia tak pernah mengalami masa keprajuritan, dengan senjata-senjata itu ia merasa lebih aman.
Perjalanan melalui daerah tandus yang merupakan sayannah dengan selang-seling rawa besar dan kecil itu sangat berat. Lebih-lebih lagi karena ia tahu balatentara Demak yang menghendaki jiwanya. Maka ia pilih jalan di luar kekuasaan Demak.
Setelah sampai waktu harus membelok ke utara, ia berjalan hanya di malam hari melintasi daerah kekuasaan bekas rajanya. Dengan demikian ia selamat sampai di Jepara.
Ia sudah tak punya daya lagi untuk meneruskan perjalanan. Ia telah biarkan kumis dan jenggotnya dan cambangnya melebat pada mukanya.
Dan ternyata tidak semudah itu ia bisa menghadap Ratu Aisah. Sama sulitnya dengan menghadap Kala Cuwil.
Seminggu sudah ia berjemur din di depan pendopo rumah Ratu Aisah, dan tak seorang pun datang menegurnya. Maka ia pun memutuskan, bila pada hari yang ke tujuh ini tak juga mendapat tegur sapa, ia akan meneruskan perjalanan ke Malaka.
Matari sudah mulai condong dan badannya sudah sesiang tadi mandi keringat.
Seorang gadis cilik, cucu Ratu, datang menghampin, berkata: Sudah dihitung harinya. Seminggu sudah kau bersimpuh hendak menghadap Nenenda. Tidak bisa, Paman, Nenenda tak hendak menemui siapa pun. Siapa kau ini. Paman"
Sahaya utusan dari Malaka, Raden, utusan Senapati Wiranggaleng, datang untuk menghadap Gusti Ratu. Wiranggaleng, gadis cilik itu berseru riang. Aku kenal nama itu! Dengan kekanak-kanakan dan keramahan Iuarbiasa ia meneruskan, Kalau begitu akan aku sampaikan. Duduk saja di situ, Paman, biar kubisikkan pada Nenenda Ratu.
Ia lari ke samping rumah dan menghilang. Pada menghela nafas lega.
Dan matan sudah mulai tenggelam. Ia masih menunggu. Gadis cilik itu keluar lagi membawa sebuah bungkusan dan pundi-pundi.
Nenenda Ratu tak berkenan dihadap oleh siapa pun, katanya dan menyerahkan pundi-pundi itu. Ini untuk Paman, dinar-dinar mas untuk perjalananmu, dan ini, ia menyerahkan bungkusan, untuk siapa saja yang mampu mengenakannya, kata Nenenda. Sekarang Paman buruburu saja tinggalkan Jepara. Berlayar sampai Semarang, kemudian jalan darat sampai Banten baru kemudian menyeberang. Begitu pesan nenenda.
Anak itu tak mengulangi kata-katanya dan menyuruhnya pergi dengan lambaian tangan, seakan ia hanya seekor lalat tanpa harga
Dengan prihatin ia berangkat ke pelabuhan. Sepanjang jalan ia berpikir: dunia apakah semua ini" Dia pikul bungkusan sendiri dan pemberian itu pada tombak dan pedang yang telah dibungkuanya dengan daun pisang.
Dengan sebuah perahu layar kecil ia menuju ke Semarang kemudian berjalan darat memasuki pedalaman. Ia menduga, pesan Ratu Aisah mempunyai hubungan dengan gerakan armada Jepara-Demak. Maka ia harus mematuhinya. Dijauhinya daerah pesisir. Dan dengan demikian ia menempuh jarak jauh menuju ke Pajajaran.
la tahu tak mungkin ia turun ke bandar Banten setelah tempat itu diduduki oleh Demak, la harus turun ke bandar Sunda Kelapa. Ia pun sudah mendengar armada Jepara- Demak melakukan garis pengepungan terhadap Selat Sunda. Ia tak pasti dapat menerobosi kepungan itu atau tidak.
Setiap hari ia berjalan seorang diri atau dalam rombongan dengan orang-orang lain. Sepanjang jalan ia berusaha belajar bahasa Sunda. Dan hatinya harap-harap cemas untuk melihat kerajaan Hindu itu. Pasti segalanya akan lebih buruk daripada Demak yang Islam atau Tuban yang setengah Islam. Segala yang kafir pasti buruk.
Dan teman-teman seperjalanannya dengan senanghati mengajarinya bahasa Sunda. Ia sendiri dapat belajar cepat.
Di perbatasan Pajajaran ia menginap seminggu. Sudah lama ia ingin mengetahui apa isi bungkusan dari Ratu Aisah.
Dengan ragu-ragu ia membukanya, mengetahui bukan haknya ia melakukannya, maka ia mengangkat sembah. Tetapi ia tetap ragu-ragu. Dan bagaimana nanti kalau ada punggawa memeriksanya dan ia tak tahu apa isinya" Pada Tuhannya juga ia serahkan putusannya.
Sinar matari yang menerobosi dedaunan itu jatuh di atas bungkusan dan berdansa-dansa dalam bercak-bercak keputihan. Bungkus itu sendiri adalah kain tenunan putih yang sudah agak tua. Di dalamnya ada pembungkus lagi dari kain putih yang ditenun dengan benang sutra kuning, malang dan bujur. Dan pembungkus itu berputar-putar beberapa kali, lebih dari dua depa panjang.
Benda pertama yang keluar adalah selembar kain batik bergambar kupu-tarung.
Lambang Jepara Adipati Unus almarhum! pikirnya. Kain itu dibukanya dan di dalamnya terdapat destar dengan gambar peminggir kupu-tarung pula. Kalau begitu, katanya dalam hati, mungkin pembungkus kedua adalah tilam almarhum.
Di dalam destar terdapat sebuah pundi-pundi coklat dari kulit kepompong berisikan cincin mas dengan gambar itu pula, terukir pada bagian depan. Dalam pundi-pundi coklat lainnya yang berselang-seling dengan wama jambu, juga dari kulit kepompong, hanya lebih besar, terdapat seutas kalung dengan pemberat selembar mas berukir dengan tengah-tengahnya terdapat lambang itu juga. Gambar kupukupu itu seperti ditempel di atas lembaran mas itu, kaki dan belalai-nya dari perak dan matanya dari intan. Selanjutnya terdapat dalam bungkusan lain sebuah ikat pinggang dari lembaran perak dan mas berselang-seling, berukir indah dan pada bagian kepalanya pun terdapat gambar yang sama. Dalam sebuah kasut dari kulit terdapat sebuah bungkusan kulit kepompong kuning berisikan sebuah gelas emas berukir gambar yang sama. Terakhir adalah keris yang terbungkus kain biru nila. Sarung dan tangkainya terbuat dan mas bertatahkan mutu manikam.
Ia perhatikan barang-barang itu sebuah demi sebuah, mengagumi indahnya ukiran.
Tiba-tiba ia berseri-seri Suatu pikiran datang padanya: ia akan memasuki Pajajaran sebagai seorang pangeran.
Aku akan kenakan barang-barang kerajaan ini. Mengapa tidak" Memang bukan hakku, hak orang yang dapat meneruskan cita-cita Gusti Adipati Unus. Aku hanya akan meminjam agar barang-barang bisa lebih cepat sampai pada yang berhak.
Ia kemasi semua dan dengan girang meneruskan perjalanan, terus seorang diri.
Di pinggiran desa Baleugbak di tepi Ctbwung, ia mulai mengubah din-nya jadi seorang pangeran. Mula-mula ia mandi bersih-bersih. Ia gosok badannya dengan pasir kali, mengeringkan badan, dan mengenakan semua pakaian kerajaan itu. Memang agak pendek dan longgar, tapi apa salahnya. Seorang pangeran takkan dilihat dengan sebelah mata karena pakaiannya kependekan dan kelonggaran Dan ia harus berjalan hati-hati, kasut itu tidak cocok untuk kakinya yang tak pernah beralas, kekecilan.
Dari kejauhan dilihatnya orang-orang desa sedang mengangkuti panen.
Bismillah, bisiknya, dan dalam pakaian Adipati Unus ia mengangkat sedikit kainnya dengan tangan kiri sambil menjinjing bungkusan, dan dengan tangan kanan berlenggang bergaya raja. Bungkusan itu ia sembunyikan dalam sebuah rumpun semak di pinggir kali.
Ia tahu betul gaya ningrat bila berjalan. Baginya tak ada sesuatu kesulitan. Dengan tabah, menyerahkan segalanya pada Allah ia berjalan melenggang dengan tangan kanan, meninjau ke sana-sini seakan sedang memeriksa sawah sendiri.
Orang pertama yang dipapasinya adalah seorang gadis yang mencari kejauhan untuk buang air. Anak itu cepatcepat menyingkir, meletakkan bakulnya di tanah, berlutut dan menyembah. Dan Pada mengetahui benar anak itu sudah tak dapat menahan desakan perutnya. la lambaikan tangan dan meneruskan jalannya, berlenggang bangsawan dan bergaya, lambat-lambat berwibawa.
Tanpa melihat ke belakang ia pun tahu gadis cilik itu telah lari dari pandangan orang. Ia berhenti di bawah pohon sambil tersenyum-senyum mengagumi keindahan dirinya sendiri yang bukan dirinya sendiri lagi.
Beginilah rasanya jadi pangeran. Belum-belum sudah dapat satu sembah.
Tetapi gadis itu terlalu lama belum juga muncul, ia mulai memanggil-manggilnya. Anak itu muncul juga dengan kain basah. Ia merunduk-runduk mendekat dan menyembah lagi.
Dua sembah, senyum Pada alias Mohammad Firman. Hai, Upik! perintahnya, pergi kau mendapatkan kepala desamu. Sampaikan Sang Pangeran Adipati Pada agar dijemput.
Ia tak yakin gadis itu dapat menangkap kata-kata Sundanya, namun ia segera menyembah dan lari meninggalkan keranjangnya. Dan Pada menunggu di tengah jalan dengan satu tangan bertolak pinggang dan tangan lain memegangi ujung kainnya.
Sawah-sawah di kiri-kanan jalan hampir seluruhnya telah terpaneni, jalan itu sendiri diapit oleh saluran air yang mengalirkan air jernih tanpa putus-putusnya. Selama hidup di daerah utara Jawa Tengah dan Umur ia tak pernah melihat tanah sesubur itu, kaya akan air yang terkendali. Jelas daerah ini jauh lebih baik daripada Tuban, Jepara atau Demak. Udaranya sejuk dan nyaman.
Dari kejauhan terdengar olehnya kentongan ditabuh bertalu-talu, dan tampak olehnya orang berlarian gugup. Sebentar ia ragu-ragu adakah itu kentongan bahaya yang mencurigai dirinya, ataukah kentong suka untuk menyambut kedatangan Pangeran Adipati Pada.
Ia tersenyum bahagia melihat orang berbondongbondong datang tanpa membawa senjata. Dan ia mengucap syukur.
Orang-orang berpakaian lebih baik daripada umumnya penduduk negerinya sendiri. Kulit mereka langsat. Cara mengenakan destar pun berlainan, lebih ke bawah dan tak ada nampak sudut-sudut datar yang dikakukan dengan kanji, semua jatuh layu di bawah tengkuk.
Lelaki dan perempuan datang bersama-sama seperti biasa terjadi di desa-desa pedalaman. Dan wajah mereka berseri-seri, mungkin karena panen yang berhasil, mungkin pula karena kedatangannya.
Tidak, bantahnya setelah teringat pada kata-kata Gelar, tak ada orang desa berseri-seri ikhlas karena kedatangan seorang pangeran. Jangan bohongi dirimu.
Seorang lelaki setengah tua berpakaian lebih baik, satusatunya yang menyelitkan kens pada punggungnya, menyembahnya sekali, kemudian menyila kannya berjalan lebih dulu.
Dan Pangeran Adipati Pada pun berjalan dengan satu tangan berlenggang besar, tangan lain mengangkat kain. Seseorang membawakan barang-barangnya. Dan semua orang mengiringkan di belakangnya.
Pelataran kepala desa hampir-hampir penuh dengan tumpukan padi sebagaimana halnya di pelataran lain. Wanita-wanita berlutut di antara tumpukan-tumpukan itu dan menyambutnya dengan sembah.
Melalui tumpukan padi pula ia diiringkan memasuki rumah.
Juga di tangga rumah anggota-anggota keluarga kepala desa berlutut menyembah. Bocah-bocah bersimpuh di tanah, juga menyembah.
Selamat, pikir Pada, semua takluk di bawah kekuasaan Sang Pangeran, insya Allah.
la naiki tangga dan masuki pendopo yang digeladaki dengan pecahan kayu sadang yang mengkilat hitam. Sebuah meja rendah disiapkan untuk kedudukan Sang Pangeran. Tak ada bangku di seluruh desa itu. Dan semua orang, baik di geladak ataupun tanah, menghadap padanya seakan mereka punggawa pada hari penghadapan.
Betapa sukacita sekalian kawula di sini mendapat kunjungan Gusti Pangeran..
Pangeran Adipati Pada! Pada membantunya sambil mengangkat lengan memamerkan gelang masnya.
Dari manakah gerangan Gusti Pangeran Adipati maka datang ke desa Baleugbak tanpa pengiring"
Pada mengumpulkan kata-kata Sunda yang dibutuhkannya, tapi ia tak mengerti betul apakah tepat untuk keperluan resmi semacam ini. Ia menjawab sejadijadinya: Kami datang dari jauh, dari timur sana. Dari Jepara.
Jepara! seru beberapa mulut.
Orang tak memperhatikan keanehan kata dan kalimatnya. Orang tersentak karena Jepara.
Bagaimana mungkin, Gusti Pangeran, sedang armada Gusti sedang menerjang bandar Sunda Kelapa& .
Pada menggeragap. la menyesal telah menggunakan kata Jepara. Mengapa ia tak menggunakan tempat lain" Mengapa mesti Jepara" Nama yang sedang dibenci di mana-mana. Ia tabah dadanya untuk mendapatkan ketabahannya kembali. Ia tak boleh lebih lama gugup. Ia harus segera menjawab. Dibukanya senyum manis dan berkata meyakinkan, lebih pada diri sendiri: Ketahuilah, kau. Kepala Desa, kami Pangeran Adipati Jepara tidak setuju armada Jepara-Demak melanggar Sunda Kelapa. Maka itulah sebabnya kami berselisih dengan Sultan Trenggono Demak, saudara kami, juga dengan Panglima- Laksamana-Gubernur Fathillah.
Ia hampir-hampir kehabisan kata. Sedang kata-kata yang terhambur pun belum tentu betul. Waktu ia belajar bahasa Tionghoa, Liem Mo Han mengatakan padanya: kalau kau sudah bisa menipu dengan bahasa ini, kau benar-benar sudah pandai Tionghoa. Dan sekarang ia sedang menipu dalam bahasa Sunda, dan ia tahu benar sama sekali tidak pandai Sunda.
Semua orang menunggu kata-katanya selanjutnya. Dan ia meneruskan tersendat-sendat: Jadi larilah kami kemari untuk mengabdi di bawah duli Sri Baginda Prabu Sedah. Barangkali diterima dan diluluskan untuk dapat menghadapi Panglima-Laksamana-Gubemur Fathillah.
Pada diam dan menebarkan pandang pada semua orang di hadapannya. Ia tahu bahasanya menubruk-nubruk, tak ada jalan lain yang dapat ditempuhnya.
Belum lagi kepala desa membuka suara ia menggeragap lagi, menyedari bahaya baru yang mungkin menimpa dirinya dengan serbuan Fathillah terhadap Sunda Kelapa. Ia bermaksud hendak menerobos kepungan Demak dari Sunda Kelapa, sekarang bandar ini justru jatuh ke tangan Demak. Dengan menantang Fathillah hanya karena hendak berkelakar ia akan terjatuh dalam kesulitan yang lebih parah.


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Patik semua di sini bergagama Hindu, Gusti, sedang Gusti Islam. Orang-orang Islamlah yang menyerbu negeri kami dari laut, sedang Gusti memasuki negeri kami dari darat.
Ia sepenuhnya mengerti ketidak-percayaan kepala desa itu. Dan sekali dimulai dengan kebohongan, kebohongan lain harus membantunya. Celaka. Cepat-cepat ia menerangkan: Ketahuilah, Pangeran Adipati Jepara ini masuk dari darat tanpa membawa balatentara. Ia datang sebagai pelarian.
Kalau begitu soalnya, Gusti akan patik kirimkan utusan untuk mempersembahkan kedatangan Gusti Pangeran kepada Gusti Patih di Ibukota.
Pada menjadi pucat. Dan kata-katanya tak juga mau datang ke otaknya. Ia gerak-gerakkan lengan untuk menutupi kegugupannya. Dan keluar saja dari mulutnya: Ketahuilah, kami akan menghadap sendiri. Sediakan untuk kami pengiring secukupnya, sediakan untuk kami penginapan untuk beberapa hari& .
0o-dw-o0 Armada Jepara-Demak memblokade bandar Sunda Kelapa dari laut dan darat. Perdagangan dan kesibukan bandar jatuh. Perahu-perahu kecil dari pantat jauh dari bandar, juga dari bandar kedua Pajajaran, Cimanuk, berbondong-bondong menerobos ke Panjang di ujung selatan Sumatra, meloloskan diri dari blokade.
Armada Fathillah tak mampu mengatasi penerobosan di jarak sejauh itu, Maka ia jatuhkan perintah untuk menguasai sama sekali Sunda Kelapa.
Pendaratan serentak dimulai. Pertempuran yang tidak begitu berarti terjadi. Mula-mula di daerah sekitar bandar, kemudian meluas ke daerah rawa-rawa di peluaran bandar.
Kekuatan Pajajaran di Sunda Kelapa terlalu kecil dan lemah dibandingkan dengan belasan ribu balatentara penyerbu. Pangeran Sunda Kelapa sendiri yang memimpin pertahanan. Dalam hanya satu hari pertempuran pertahanan Sunda Kelapa dadal, pasukan Pajajaran terdesak mundur sampai ke pedalaman.
Pangeran Sunda Kelapa ditemukan tewas di tengahtengah empat orang perwira yang hendak menyelamatkannya.
Fathillah, yang sendiri memimpin pendaratan, ikut melakukan penghalauan dan pembersihan terhadap daerah bandar. Ia temukan tugu perjanjian Portugis-Pajajaran yang berdiri di atas sebidang tanah, yang dicadangkan untuk kantor dagang Portugis.
Ia memerintahkan untuk merobohkannya dan menceburkannya ke dalam kali Ciliwung tanpa sesuatu upacara.
Keesokan harinya Fathillah mendapat serangan pembalasan. Pajajaran menurunkan balatentara besar untuk menguasai kembali Sunda Kelapa. Pertempuran baru segera terjadi di rawa-rawa, riuh-rendah ditingkah sorak-sorak dan canang dari kedua belah pihak.
Demak menggunakan cetbang bikinan pandai Blambangan. Dan Pajajaran tak pernah mengenal senjata ledak yang melumpuhkan syaraf ini. Mereka terhalau meninggalkan rawa-rawa dan naik ke darat dalam pengejaran peluru cetbang.
Melihat balatentara Pajajaran menarik diri Fathillah memerintahkan penghentian pengejaran. Seluruh bandar jatuh ke tangan Demak. Perlawanan Pajajaran patah dan Sunda Kelapa terpaksa dilepaskan.
Walaupun Trenggono-Fathillah berkokok-kokok untuk menumpas kerajaan Hindu di sebelah barat ini, namun Fathillah tidak bermaksud menguasai pedalaman. Tanpa bandar, katanya pada suatu kali di dalam khotbahnya, Pajajaran akan jatuh dengan sendirinya tanpa arti. Maka bandarnya yang kedua, Cimanuk, juga harus direbut. Seluruh pesisir harus dikawal.
Dan itulah yang akan dikenakannya.
Ia kerahkan penduduk Sunda Kelapa yang telah beragama Islam, dipilihnya yang muda-muda, dilatih dan dipersenjatai, kemudian dinaikkan ke kapal dan dikirimkan ke Cimanuk
Pasukan kaki Demak ditinggalkan di Sunda Kelapa sebagai tentara pendudukan. Ia sendiri sekarang tinggal di Sunda Kelapa sebagai Panglima Laksamana Gubernur Banten dan Sunda Kelapa.
Penduduk Sunda Kelapa tidaklah banyak. Dalam banyak hal bandar ini tak mampu melawan bandar Banten. Daerah bandarnya sendiri pada umumnya ditinggali oleh pelarian dari Semenanjung, terutama Malaka. Orang Pajajaran sendiri segan tinggal di sini karena hebatnya penyakit demam-pembunuh. Pendatang-pendatang itu seluruhnya beragama Islam. Mereka lebih berpihak pada Demak yang Islam daripada Pajajaran. Apalagi Demaklah satu-satunya kekuatan yang dengan sunguh-sungguh berusaha mengusir Peranggi dari negeri kelahiran mereka. Maka jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Demak terlalu mudah.
Fathillah tak menghadapi sesuatu kesulitan dalam mengatur kembali kehidupan. Bahkan perintahnya untuk mendirikan mesjid kemenangan di wilayah bandar disambut dengan bersemangat oleh penduduk. O-rangorang Hindu yang sedikit, yang tak dapat menenggang kerja untuk desa lain dan untuk menguasai lain pada membangkang atau melarikan diri, meninggalkan harta benda dan kampung-halaman. Mereka menghilang di balikbalik perbukitan pedalaman. Yang tertinggal kemudian ditangkapi dan ditindas dengan kerja paksa. Tak ada tempat lagi di bawah kekuasaan Fathillah untuk mereka yang beragama Hindu.
Selama pembicaraan di pendopo Pada dapat melihat hadirnya seorang gadis yang selalu memperhatikan gerakgerik dan bahasanya yang aneh, kaku dan dipaksapaksakan. Dialah satu-satunya yang tidak menunduk Matanya laksana sepasang bulan kembar, bulat, dengan bulu mata panjang dan lengkung. Nampaknya ia bersimpati pada tamu agung yang jelas berada dalam kesulitan dan sedang mencoba sekuat daya untuk keluar daripadanya. Ia adalah Sabarani, anak kepala desa.
Ia jatuh kasihan. Baginya tamu itu sama sekali bukan tamu agung, bukan seorang pangeran, hanya manusia biasa yang membutuhkan pertolongan. Dalam gambarannya, pasukan Pajajaran yang dibakar oleh dendam pada Jepara- Demak akan merejamnya tanpa ampun. Dan gambarannya itu pasti akan menjadi kenyataan dalam beberapa hari ini.
Ia mendengarkan suara hatinya yang memanggilmanggil untuk menolongnya. Tapi bagaimana" Ia belum lagi tahu. Ia harus menolongnya. Bagaimana" Sedang dirinya sendiri pun membutuhkan pertolongan"
Ia sendiri harus melarikan diri dari desanya. Seorang ningrat Pakuan dalam beberapa bulan mendatang akan merenggutkannya dari desanya.
Ia akan diselir olehnya. Orang tuanya tak dapat berbuat sesuatu. Seluruh desa pun tidak.
Ia menunduk waktu orangtuanya menyatakan bersenanghati menerima Pangeran itu sebagai tamunya, sudi menyediakan penginapan, dan berjanji akan mengirimkan utusan ke Pakuan.
Setelah pertemuan selesai, di ruang belakang ibunya berkata padanya: Kau, Sabarini, putri berbangsa, hanya kau saja yang patut melayani Gusti Pangeran.
Dengan demikian ia mulai melayani tamu agungnya, mencuci kakinya dengan air hangat, merapikan tempat tidur dan menyediakan makan dan minumnya. Simpati menyebabkan ia merasa lebih dekat pada orang asing ini daripada seluruh penduduk desa.
Mungkin perpaduan antara kesulitan pribadi dan kesulitan tamu itu dapat menghasilkan satu penyelesaian bagi mereka berdua.
Selama ini tak ada pemuda sedesa berani menyatakan kasih-sayang pada seorang calon selir ningrat. Untuk itu jiwa bisa jadi tebusannya. Maka sebagai seorang gadis ia tumbuh seorang diri dalam kesepian. Ia hanya dapat menyaksikan teman-temannya ria bergembira menikmati keremajaannya. Dengan diam-diam ia berjanji dalam hati untuk membantu tamu itu melarikan diri, dan ia akan mengikutinya kapan saja dan ke mana saja, asal tidak menjadi selir saudaranya sendiri.
Dari cerita ibunya ia dan seluruh penduduk desa sendiri pun tahu, pada suatu kali dalam perburuan kerajaan, Patih Narogol mendapat penginapan di rumah kepala desa. Oleh ayahnya, ibunya disediakan untuk Sang Patih buat jadi pelayannya selama persinggahan. Sejak itu sang ibu tidak digauli oleh ayahnya, sampai si bayi dilahirkan. Dan si bayi itu dinamai Sabarini. Seluruh desa menganggapnya sebagai putri Sang Patih. Dan tak ada seorang pun berani mempersembahkannya pada Narogol.
Lima belas tahun kemudian suatu perburuan singgah lagi di desa Baleugbak. Putra Narogol yang melihat Sabarini sekaligus tertarik pada kecantikannya dan meminta pada kepala desa untuk menyelimya. Ia akan mengambilnya barang tiga tahun kemudian. Ditinggalkan olehnya sebentuk cincin pada keluarga itu dan selembar destar sebagai tanda pengikat. Tak ada yang dapat mematahkan ikatan ini kecuali Sri Baginda sendiri atau Sang Patih. Pelanggaran berarti tebusan jiwa.
Setelah beberapa hari menginap, dan sawah telah dituai seluruhnya, pesta panen untuk memuliakan Dewi Sri. Upacara-upacara telah selesai sedang pesta menunggu setelah itu.
Sebuah kalangan dibuka untuk mengalahkan juara tahun lalu. Mula-mula diadakan pertunjukan demonstrasi perkelahian kanak-kanak yang ditingkah dengan gamelan sederhana, gendang kemong dan banyak suling. Waktu gamelan berhenti, anak-anak keluar dari kalangan. Muncul sang juara dengan sebilah tongkat bambu mengkilat seperti telah lama di ganggang di atas api dan digosok bermingguminggu. Beberapa orang penantang mengeroyoknya berbareng. Pertarungan sengit terjadi, juara itu melompat dan menerjang, berpaling dan bergulung-gulung seperti baling-baling lepas.
Penonton bersorak-sorak gegap-gempita dalam sinar cempor-cempor besar di empat penjuru.
Baik juara maupun para penantang berkilau-kilau bermandi keringat dan debu. Dan setelah agak lama pertunjukan berjalan, senjata seorang penantang terungkit lepas oleh tongkat bambu sang juara, melambung ke atas dan ditangkap oleh penantang lain. Penantang yang kehilangan senjata keluar dari kalangan dalam iringan sorak pujian untuk sang juara.
Selang beberapa bentar sebuah senjata lagi terungkit lepas lagi. Dan demikian seterusnya sehingga para pengeroyok terpaksa meninggalkan kalangan.
Sang juara mempertahankan kejuaraan desanya. Demikianlah kebiasaan di desa patik sejak nenekmoyangnya, kepala desa menerangkan pada tamuagungnya.
Sekilas terangsanglah Pada untuk bercerita tentang Tuban dan pes tatah unannya. Satu kesedaran, bahwa ia seorang pangeran Jepara, mematikan rangsangan. Ia mengangguk dan menggarami: Bagus. Calon-calon prajurit ulung.
Bukan calon prajurit, Gusti. Perang soal lain lagi. Yang pandai berkelahi belum tentu pandai berperang. Lagi pula negeri kami tak pernah berperang seperti negeri Gusti. Kami lebih suka hidup dalam kedamaian.
Pada menggeragap. Ia tahu telah salah menanggapi. Dan ia merasa beruntung kepala desa itu tidak melanjutkan persoalan.
Gamelan bertalu lagi. Suling-suling mengimbau memanggil juara baru. Dan tak terkirakan heran Pada melihat seorang gadis tampil ke gelanggang membawa dua batang bambu kecil sepanjang lengan. Kainnya dilipat sedemikian rupa sehingga menjadi cawat, dan rambutnya terkondai ramping seperti destar.
Dan gadis itu adalah Sabarini. Juara" Pada bertanya.
Juara, Gusti, jawab kepala desa yang duduk di bawah sebelah samping. Matanya berkilau-kilau bangga.
Sabarini memutar-mutarkan dua bilah tongkat pendek itu ke udara dan menangkapnya kembali, melontarkan dan menangkapnya lagi. Tongkat-tongkat itu berputar seperti kitiran. Dan Pada baru sekali akan melihat perkelahian dengan dua tongkat pendek.
Seorang gadis lain melompat ke gelanggang dengan sebilah parang dan langsung menyerang. Orang bersoraksorak, kemudian terdiam melihat hebatnya serangan. Hantaman-hantaman parang itu tertangkis oleh bambubambu pendek yang melindungi lengan.
Pada melihat, dengan bambu-bambu pendek itu Sabarini ternyata juga bisa menyerang. Satu di antara bambu itu melesit berputar mengenai tangan si penyerang. Parang itu meleset ke samping, dan dengan bambu yang lain gadis itu memukul tangan berparang sehingga senjata itu jatuh ke tanah tanpa daya.
Orang bersorak-sorak riang. Penantang meninggalkan gelanggang. Sabarini melontar-lontarkan bambunya ke udara lagi sebagai undangan untuk penantang baru. Tak seorang pun tampil ke depan.
Gusti Pangeran! seseorang berteriak.
Ya-ya, Gusti Pangeran, yang lain-lain membenarkan. Gusti, kepala desa itu memohon, itulah adat desa kami. Gusti dipersilakan turun ke gelanggang. Kami!" tanya Pada tak percaya. Peluh dingin mulai membasahi tubuhnya.
Seumur hidup ia tak pernah berlatih berkelahi. Sekarang! Sekarang akan terbongkar belangnya. Mana ada seorang pangeran tak pernah berlatih keprajuritan dan berkelahi" Mana ada" Haruskah diri dipermalukan di depan umum oleh seorang gadis pula" Gadis desa Baleugbag" Betapa dunia akan mentertawakan ningrat Jepara di kemudian hari.
Silakan Gusti Pangeran Adipati Jepara!
Dan Pada mengerahkan pikiran untuk menemukan akal. Lambat-lambat ia berjalan memasuki gelanggang. Memang tak ada jalan lain untuk menyelamatkan muka.
Sabarini berlutut. Dua potong bambu pendek itu digeletakkannya di hadapan Sang Pangeran, dan ia menyembah.
Aku hanya pernah belajar bicara, pilar Pada, itu pun belum tentu dapat dan bisa meyakinkan orang& . Langkahnya gontai dan kakinya berat. Ia ambil dua bilah dari bambu di hadapannya dan pura-pura mengagumi.
Buat para penonton perbuatannya terlalu lama. Orang sudah tak sabar. Tapi akal belum juga datang pada Pada. Sekarang ia pura-pura mengagumi Sabarini, ikut pula berlutut seakan-akan sedang mengikuti adat gelanggang, tetapi bibirnya menggeletar berbisik: Sabarini, ah, Sabarini.
Sabarini menyembah lagi, juga berbisik: Gusti Pangeran, patik di sini, Gusti, suaranya lunak, bening dan bernyanyi, menyirapkan darah Pada.
Orang-orang bersorak tak sabar. Pada berdiri. Sabarini juga berdiri setelah mengambil jarak. Pada mengembalikan bambu pada yang punya. Sambil berpaling pada kepala desa ia berkata dengan nada protes: Tak pernah di tempat kami bambu begini dipergunakan untuk berkelahi.
Ambilkan dua bilah pedang. seseorang berteriak. Celaka, raung Pada dalam hatinya, dari bilah bambu beralih ke pedang. Akal! Hei, kau, akal, mengapa kau tak juga datang hei akal"
Seseorang masuk ke gelanggang membawa dua bilah pedang lebar tapi pendek. Dan badan Pada telah basah kuyup oleh keringat dingin sendiri.
Pembawa pedang itu berjongkok menyembah, kemudian mempersembahkan dua-dua senjata itu untuk dipilih mana yang lebih cocok Dan Pada menerima dua-duanya dan menimang-nimang. Berdoalah ia di dalam hati memohon perlindungan dan petunjuk dari Tuhannya. Keadaan ini harus diatasi. Dan doa itu memberinya ketenangan barang sedikit. Keluar lagi kata-kata bernada protes dari mulutnya: Tidak ada cara di negeri kami seorang satria menghadapi wanita dalam gelanggang semacam ini/
Kang Acep, kau tampil, kang, seseorang berseru. Celaka, sekarang juara lelaki yang akan tampil. Menghadapi Sabarini sekarang harus dianggapnya sebagai kesempatan baik sebaik-baiknya. Ia tak memprotes lagi. Dengan membawa dua-dua pedang ia menghampiri Sabarini dan menyerahkan semua. Cepat-cepat ia berbisik Lebih baik kuperistri kau daripada aku binasakan, Sabarini, manis.
Sabarini mengangkat mata dan memandangnya. Tangannya salah menerima pedang dan senjata itu jatuh ke tanah. Dan Sabarini tak juga segera memungutnya.
Orang-orang terdiam, heran melihat seseorang juara luput menerima senjata.
Gamelan berhenti mengejut. Suling-suling membisu. Bagaimana, Sabarini" bisik Pada.
Pedang itu jatuh, Gusti, dan tak ada kekuatan pada patik untuk memungutnya, Sabarini berbisik menjawab.
Pada mendapat kepribadiannya kembali dan berseru: Ambillah pedangmu, Sabarini!
Orang melihat gadis itu gemetar. Sabarini membungkuk, tangannya layu mengambil pedangnya, tapi badan itu lambat sekali tegaknya. Dan belum lagi badan itu berdiri lurus, lututnya kemudian tertekuk, pedang tergelincir dan nampak tak ada niat padanya untuk memungutnya.
Sabarini! terdengar beberapa wanita berseru-seru. Sekarang gamelan berbunyi lagi, pelan-pelan, tanpa suling.
Kepala desa masuk ke gelanggang, menyembah Pada dan menghampiri anaknya, bertanya: Mengapa kau, anakku" dan berpaling pada Pada.
Dia telah menyerah, Kepala Desa, menyerah. Gamelan berhenti sama sekali.
Kepala desa membantu anaknya berdiri.
Sabarini mengangkat sembah lagi pada tamu agung, menerima tangan bapaknya dan berdiri dengan susahpayah, berjalan gemetar keluar gelanggang.
Pesta malam itu bubar dengan keheranan semua penduduk.
0o-dw-o0 Sesampai di rumah Pada segera pergi ke belakang dan kemudian bersembahyang di dalam bilik, mengucapkan syukur yang sebesar-besar-nya atas rahmat dan petunjuk yang diterimanya. Selesai bersembahyang ia lihat, sebagaimana biasa sebelum tidur, Sabarini masuk ke dalam bilik membawa air hangat pencuci kaki.
Ia turun dari ambin dan menyerahkan kakinya. Gusti, bisik Sabarini, benarkah yang patik dengar di gelanggang tadi"
Mengapa, Sabarini" Karena, Gusti, ternyata orangtua patik telah mengirimkan utusan ke Pakuan begitu panen dan upacara panen selesai. Pastilah tentara Pajajaran akan segera datang. Larilah, Gusti, dan bawalah patik.
Suara ribut terdengar di luar rumah: Kepala desa! Mana itu Pangeran Adipati Jepara"
Mereka telah mulai datang, Gusti, mari patik antarkan lari, mari& .
Sabarini menarik tangan Pada dan yang ditarik menyambar bungkusan-bungkusan bawaan. Mereka lari setelah memadamkan pelita, ke belakang, langsung menuruni tangga belakang, melintasi ladang, kemudian sawah, sampai ke pinggir Ciliwung.
Naik, Gusti, naik ke atas rakit ini.
Sabarini menarik tali rakit, dan rakit itu meminggir. Mereka berdua melompat ke atasnya, dan Sabarini mengetengahkannya dengan sorongan galah. Tanpa bicara gadis itu meluncurkan dan mengemudikan rakitnya menuju ke hilir.
Pada sendiri masih terlongok-longok, kurang semangat, belum juga sembuh dari terkejutnya,
Dunia apakah semua ini, ya Tuhan, tanyanya pada Tuhannya. Dan ia tak mendapat jawaban. Ia menongkrong di atas rakit bambu, menenggelamkan kepala di antara dua belah lutut. Dan Sabarini, terus juga berjalan mondarmandir menyorong rakit yang laju dibawa air deras. Sudah jauh, Sabarini, berhentilah kau.
Belum, Gusti, mereka masih bisa memburu dengan sampan, dan ia bekerja terus.
Pada berdiri, menghampiri gadis itu, ragu-ragu sebentar, kemudian berkata: Sini, Sabarini, biar aku gantikan. Kau lelah.
Biarlah, Gusti. Patik biasa membawa rakit begini Sedang Gusti tidak pernah.
Aku biasa mendayung perahu. Rakit bukan perahu, Gusti, lain.
Air cukup deras begini, dia akan berjalan sendiri. Kalau tidak dikemudikan akan menubruk-nubruk, Gusti. Patik kenal riam-riam Ciliwung ini.
Sabarini tak dapat dihampirinya. Ia terus juga mondarmandir mendorong rakit dengan galahnya.
Pada tidak tahu sesuatu tentang rakit. Ia ingin membuka pembicaraan.
Sudahlah, biar rakit berjalan sendiri. Nanti berputar-putar. Gusti.
Biar berputar-putar, dan ditangkapnya tangan gadis itu. Ia rasai tangan itu gemetar. Ke mana kau akan pergi malam-malam begini"
Ke mana saja asal Gusti selamat. Pada melepaskan tangan itu. Sejak kanak-kanak ia sudah terbiasa bergaul dengan wanita-wanita harem. Ia lakukan apa saja yang mereka inginkan. Tapi gadis seorang ini menerbitkan hormat dalam hatinya. Ia tidak inginkan sesuatu daripadanya. Ia hanya ingin menyelamatkannya. Dan kalau aku sudah selamat kau akan ke mana lagi" Ke mana saja Gusti pergi.
Sabarini! dan gadis itu tak menyahut. Terimakasih. terimakasih atas pertolonganmu. Nampaknya keselamatanku menjadi kepentinganmu benar.
Bukankah Gusti sudah mengucapkan kata-kata itu" Bukankah Gusti seorang satria, sekalipun Islam"
Malam itu gelap. Dan Pada tidak mengerti bagaimana gadis pendekar ini dapat mengendalikan rakit tanpa petunjuk jalan. Nampaknya ia sudah mengenal alur Ciliwung. Ia perhatikan arus kali permukaan air dan airmuka Sabarini dalam kegelapan. Dan ia tak mampu menduga. Ia tunggu gadis itu menyatakan sesuatu, dan Sabarini tidak membuka mulut.
Jauh di sebelah timur sana ada seorang wanita yang membangkitkan kekaguman dan hormatnya, menyemaikan cintanya yang tulus. Orang itu adalah Idayu. Di Pajajaran ini ada juga seorang. Dan dia adalah Sabarini. Benarkah langkahku, ya Tuhan" Adalah gadis asing ini Kau pertemukan padaku dengan cara seperti ini untuk jadi teman-hidupku yang tulus"
Dan ia tak mendapat jawaban dari Tuhannya. Tetapi dari lubuk hatinya sendiri terdengar suara lantang: Kau dungu kalau tetap mengimpikan Istri seorang sahabat, ibu dari anak-anaknya. Sabarini cukup baik untukmu. Suara dari lubuk hatinya tak berulang lagi. Dan ia sendiri merasa memang telah membutuhkan seorang istri.
Sampai di mana kalau terus menghilir" ia bertanya.
Sunda Kelapa, Gusti. Sunda Kelapa , untuk ke sekian kalinya Pada menggeragap. Mereka akan tangkap dirinya, juga Sabarini. Ia merasa tak patut terlalu sering menggeragap begini. Ia merasa kepercayaannya pada Tuhannya belum cukup sempurna. Seorang yang beriman tidak akan sering menggeragap, karena ada iman padanya, karena ada kepercayaan pada Tuhan dan kekuasaanNya.
Ya, Sabarini. Kita akan sampai ke Sunda Kelapa, memasuki daerah pendudukan Demak. Mereka akan paksa kau masuk Islam. Bagaimana kau"
Semua terserah pada Gusti. Patik hanya mengikuti Gusti!
Tidakkah kau akan takut pada hukuman dari dewadewamu"
Barangtentu Gusti cukup bijaksana untuk memilihkan yang baik untuk patik, jawab gadis itu sambil terus mendorong rakit dengan galahnya.
Baik. Jadi kau sudah sedia jadi istriku.
Sabarini tak menjawab. Sorongan pada rakitnya bertambah keras, dan mondar-mandirnya semakin cepat. Kau diam saja, Sabarini.
Waktu melewatinya Pada mendengar nafas gadis itu yang terengah-engah karena mendorong sekuat tenaga dengan galahnya. Bahkan dalam kegelapan ia mengetahui Sabarini sama sekali tidak menengok padanya. Matanya tertuju pada permukaan air yang samar-samar.
Kita akan kawin di Sunda Kelapa secara Islam, Sabarini, dan kau akan jadi istri-tunggalku. Ia menunggu agak lama dan tetap tak mendapat jawaban. Kau diam saja.
Apalah yang harus patik katakan lagi, Gusti" Semua Gusti yang menentukan. Kebijaksanaan Gusti tidak akan patik ragukan, Gusti.
Baiklah. Jadi kau akan jadi istri-tunggalku. Bagaimanakah dengan selir-selir Gusti"
Selir" Seorang pun aku tak punya. Kaulah calon istriku pertama-tama, calon istri-tunggal.
Dan Sabarini tak menanggapi. Ia hanya menjalankan rakit, tanpa pernah menengok pada Pada.
Menjelang subuh rakit dihentikan di sebuah tempat persinggahan. Gadis itu melompat turun ke darat dan mencancang rakit pada sebatang pohon ketapang. Galah ia letakkan baik-baik di atas rakit, kemudian diulurkan tangannya pada Pada untuk membantunya turun.
Dua orang itu bergandengan mendaki tebing, menuju ke sebuah bangsal bambu pada tubir tebing.
Bangsal itu luas dan menjadi penginapan mereka yang pulang-balik melalui Citarum. Tak ada penjaga khusus. Perawatannya diserahkan pada setiap perakit atau pemilik perahu.
Dan pada subuh itu dalam bangsal telah ada sebuah keluarga pelarian dari Sunda Kelapa. Dari percakapan antara mereka dengan Sabarini Pada dapat mengetahui, Sunda Kelapa benar-benar telah jatuh ke tangan balatentara Demak.
Mereka begitu berangsangan, salah seorang memberikan komentarnya, seperti orang tak pernah bertemu nasi. Tak ada lagi bisa merasa aman, maka kami lari naik kemari. Juga orang Islam sendiri tidak aman. Semua dipaksa menyerahkan batang bakau-bakau buat perbentengan. Jangan turun, lebih baik naik kembali.
Pada mendengarkan dengan diam-diam dari luar bangsal sambil menggambarkan tingkah-laku prajurit-prajurit Demak yang dikatakan berangsangan itu. Ia belum berani bertemu dengan orang, la masih berpakaian pangeran.
Masih mungkinkah turun ke sana dengan rakit" Sabarini terdengar bertanya. Suaranya bening, merdu dan menyanyi.
Tentu saja dapat. Mengapa tak dapat" Tapi buat apa" Salah-salah jiwa tebusannya. Paling tidak orang akan terbongkok-bongkok mengangkuti bakau-bakau setiap hari sampai mati kena demam rawa.
Pada mengherani apa sebabnya balatentara Demak hendak mendirikan perbentengan. Seakan-akan mereka sedang bersiap-siap menunggu datangnya musuh. Dan musuh dari mana" Mungkinkah Peranggi akan membantu Pajajaran sebagaimana pernah diperbincangkan orang" Dan apa keuntungan Peranggi dengan bantuannya"
Tidak mungkin. Peranggi takkan membantu siapa pun tanpa mendapat keuntungan. Boleh jadi Fathillah membentengi dirinya sendiri dari serangan Demak. Dia akan membangkang dan berdiri sendiri jadi raja.
Ia tak dengar percakapan selanjurnya antara Sabarini dengan keluarga pelarian itu. Hari telah terang tanah. Burung-burung dari hutan sekitar menyanyi ria menyambut datangnya sang surya. Pagi itu ia tidak bersembahyang, hanya mengucapkan doa selamat.
Tak lama kemudian Sabarini keluar dari bangsal, menyembah dan berbisik padanya: Lepaskan semua pakaian Gusti, dan kenakan pakaian tani. Pada menggeleng-geleng menyedari betapa kikuk ia selama memainkan peranan Adipati Jepara. Ia mengakui memang tidak pandai menjadi seorang penipu. Dilepasnya semua pakaian Pangeran Adipati
Uitus dan dikenakannya pakaian sendiri, pakaian santri. Waktu ia hendak lepas kasut kerajaan itu, tahulah ia barang itu masih tertinggal di rumah orangtua Sabarini.
Mendung yang menutup puncak pegunungan itu kini berubah jadi hujan deras dan membekukan darah. Keluarga pelarian itu menyalakan pediangan penghangat kemudian naik ke ambin pelupuh dan meneruskan tidurnya.
Pada dan Sabarini pun naik ke ambin, menggolekkan badan berdampingan dan tertidur dalam kelelahan dan kantuk.
Hujan makin deras dan makin deras.
Dan waktu matari dengan lemahnya mewarnai langit, dan silhuet puncak pegunungan dan tajuk pepohonan mulai muncul, hujan masih juga turun. Ciliwung telah meluap sejadi-jadinya.
0o-dw-o0 Ciliwung adalah jalanan utama yang menghubungkan Pakuan dengan Sunda Kelapa. Hasil bumi dari pegunungan turun ke bandar melalui kali ini pula. Sebaliknya barangbarang dari laut naik ke pegunungan melalui kali ini pula.
Tapi kali ini kini sunyi. Rakit dan perahu nampak segan meluncur di atasnya setelah Sunda Kelapa jatuh.
Waktu Pada terbangun hujan belum juga berhenti. Ia lihat Sabarini sudah tak ada di tempat. Penginap-pengmap dari Sunda Kelapa telah berangkat meneruskan pemudikan.
Ia turun ke kali dan dilihatnya Sabarini dalam keadaan telanjang bulat sedang berenang menuju ke rakit yang kini sudah berada di tengah-tengah. Pohon ketapang tempat mencancang berada barang sepuluh depa dari tepi air. Ia lihat gadis itu menyelam untuk mendapatkan tali pada batang ketapang. Kemudian ia muncul lagi dengan membawa tali menarik rakit sambil berpegangan batang kayu itu, kemudian melompat ke atasnya dan mendorongnya ke tepian.
Pada menyembunyikan diri dan hanya bisa menyebutnyebut melihat keindahan tubuh Sabarini: Masyaallah& Allah Maha Besar& Kau karuniakan keindahan semacam itu kepadaku, ya Tuhan, kepada hamba-Mu yang justru tidak mencari ini. Betapa pemurahnya Engkau, ya Tuhan
Ia sama sekali tidak perhatikan air kali yang kini telah berubah kuning berlumpur. Sinar matari yang jatuh ke bumi setelah menerobosi mendung hanya samar-samar menerawang. Namun kesamaran itu tidak membatalkan pengetahuan Pada, bahwa ia sedang mengagumi tubuh cantik, indah, gesit tubuh seorang wanita yang belum lagi jadi istrinya.
Ia perhatikan gadis itu mengenakan pakaiannya yang disangkutkan pada cabang batang gempol, dan dengan pandangnya mengikutinya naik ke tebing. Dengan membawa bungkusan ia keluar dari persembunyian dan turun ke atas rakit. Dan sekali lagi ia mengagumi keberuntungannya dalam kepercayaan pada keagungan dan kemurahan Tuhannya.
Ia mulai periksa rakit. Sebentar-sebentar ia meninjau ke atas mencari-cari Sabarini. Tapi gadis itu belum juga nampak. Ia berteriak-teriak memanggil, kemudian ia lihat gadis itu lari menuruni tebing. Wajah merah dan nafasnya terengah-engah. Tanpa bicara ia turun ke rakit, melompat lagi ke pantai dan melepaskan tali pencancang, lompat lagi ke rakit, mengambil galah dan mulai mendorong. Kita belum lagi makan pagi, Sabarini. Ia tak menjawab.
Dan Pada mencoba merebut galah, dan Sabarini tidak mengijinkan.
Patik tidak mengenal air sejak dari sini sampai ke Sunda Kelapa, Gusti, apalagi Gusti sendiri. Biar patik yang mengemudikan sendiri-lebih baik Gusti ikat bungkusan itu agar tak terlempar kalau ada apa-apa.
Pada merasa malu telah kalah wibawa, ia merasa dirinya menjadi begitu bodoh di dekat gadis luarbiasa ini. Biasanya ia merasa cerdas dan dapat memecahkan banyak perkara yang pelik-pelik. Ia menguasai persoalan neraka dan sorga, ia dapat menghafal nama dua puluh nabi, ajaran dan mukjizatnya. Tapi di dekat gadis ini ia seperti seorang tua yang pikun. Saking gemasnya pada kepikunannya sendiri akhirnya ia menongkrong di buritan rakit Pada sebuah celah batang bambu ia lihat sebutir lada terjepit sendirian tanpa kawan. Ia korek dengan kuku, memungut dan menggigitnya. Memang lada. Rakit hanya dipergunakan sekali ke Sunda Kelapa. Sampai di sana dijual atau ditinggal. Tentu sebelum ia dan Sabarini menggunakannya, orang pernah memunggah lada di sini, kemudian di bongkar lagi dan lada di daratkan kembali, tak jadi turun ke Sunda Kelapa.
Ia lihat air berkecibak di belakang rakit. Seekor kakap melompat ke atas air, berenang lari ke hulu. Di belakangnya nampak sirip hiu cucut yang memburu, membentuk garis lurus membelah air.
Di sini ada hiu, Sabarini"
Kalau kali banjir, Gusti, kadang-kadang ada juga. Kalau kali banjir, kata Sabarini. Mengapa kali ini banjir sebelum datang musim penghujan" Dan mengapa di sini sudah mulai turun hujan" Dan mengapa di Semenanjung sana lain pula jatuhnya musim penghujan"
Gusti! terdengar Sabarini memekik
Belum sampai ia sempat menengok rakit telah menubruk sesuatu. Pada jatuh dari cangkungannya, tertelentang pada geladak rakit. Dan belum lagi ia dapat berdiri gadis itu datang padanya dan menolongnya berdiri.
Ampun, Gusti, patik tak lihat ada tonggak di bawah air.
Tidak apa, Sabarini. Tidakkah Gusti terluka" Tidak.
Rakit harus meminggir. Gusti. Tali bagian depan putus.
Gadis itu mengambil lagi galahnya dan meminggirkannya. Dengan cekatan ia melompat ke darat, mengambil sebuah batu tajam, dan menariki kulit pohon warn.
Pada tak tahu apa sedang diperbuat gadis itu. Ia berdiri di dekatnya, bertanya: Membikin tali"
Ya, Gusti. Sini, barangkali aku lebih pandai daripada kau. Tidak, Gusti, sebaiknya Gusti lihat-lihat kalau ada perahu balatentara Pajajaran memburu kita.
Jengkel karena kekikukannya Pada menjauh, mencari pohon yang sekiranya dapat ia panjat. Tetapi pepohonan hutan itu tak ada sebuah pun yang dapat dipanjat. Semua besar-besar.
Tak usah naik, Gusti, seru Sabarini. Semua pohon menjadi licin habis hujan begini. Lihat-lihat di dekat patik sini saja, Gusti.
Dan Pada menjadi malu pada dirinya sendiri. Betapa gadis yang belum dikenalnya itu mengutamakan keselamatannya keselamatan seorang asing yang mukanya penuh jenggot dan kumis dan cambang bauk. Tentunya seorang gadis dengan pendidikan baik.
Matari berada di atas kepala waktu tali-tali itu habis terpilin. Mereka berdua mengikat bagian depan rakit dan mengencangkan tali-temali dengan pasak bambu. Kita teruskan mengilir, Gusti.
Dan rakit meneruskan pelayarannya. 0o-dw-o0
Dengan seruan assalamualaikum pada penjagaan setiap tikungan kali rakit itu memasuki Sunda Kelapa. Prajuritprajurit Demak membiarkan mereka lewat.
Dan apa yang diberitakan para pengungsi itu ternyata benar. Orang-orang sibuk memikuli batang bakau-bakau yang berat itu dari rawa-rawa ke bandar. Di sepanjang bandar orang mendirikan tonggak-tonggak untuk perbentengan. Ribuan orang mengangkuti pasir dan menimbun tanggul untuk menjadi dermaga dan benteng sekaligus. Juga ribuan balatentara Demak bekerja mengangkuti batu. Dari kejauhan mereka nampak seperti serumpun semut yang sedang menggalang perumahannya sendiri.
Mereka berdua mendarat di tepi muara tanpa mendapat gangguan.
Cukup hanya dengan assalamu alaikum. Dan mereka tidak tahu, bahwa Fathillah menghendaki agar orang-orang pedalaman turun sebanyak-banyaknya ke Sunda Kelapa, bukan saja untuk bertaubat, juga agar jumlah penduduk yang terlalu sedikit itu bertambah tiga sampai empat kali lipat Dengan penduduk terlalu sedikit ia tak banyak dapat berbuat. Maka setiap pendatang dari pedalaman untuk sementara tidak dikenakannya peraturan apa pun.
Dan pendatang-pendatang baru memang ada, walaupun tidak banyak. Sebagian terbesar dari yang tidak banyak datang dari sebelah barat Sunda Kelapa. Mereka adalah orang-orang Banten yang bermaksud mencari perlindungan dari Pajajaran setelah masuknya Jepara-Demak ke sana. Serentak mereka mengetahui Sunda Kelapa juga telah dikuasai Fathillah, mereka melarikan diri ke barat kembali atau naik memasuki pedalaman Pajajaran. Sebagian kecil dari mereka orang tua-tua dan kanak-kanak yang tak mampu meneruskan perjalanan terpaksa tertinggal. Di antaranya terdapat juga wanita-wanita dengan bayinya. Fathillah memberi mereka tempat di bedeng-bedeng bandar yang paling jauh. Bedeng-bedeng terdekat dipergunakan oleh asrama prajurit-prajuritnya.
Pendatang dari selatan adalah laksana tetesan air, tidak semakin banyak, malah semakin tiada. Pada dan Sabarini adalah pendatang terakhir dari selatan.
Mereka melangsungkan perkawinan di mesjid, dengan dalih mengulangi perkawinan mereka yang telah mereka lakukan secara Hindu. Sabarini bertaubat masuk Islam dan Pada bertaubat untuk kedua kalinya.
Apabila mereka tinggal sampai sebulan, Pada akan terkena wajib kerja seperti yang lain-lain. Bukan maksudnya untuk jadi penduduk Sunda Kelapa. Ia berada dalam perjalanan tugas. Ia harus segera meninggalkan tempat ini.
Ia sempat menyaksikan selesainya tanggul yang sangat panjang itu. Ia ikut menghadiri pesta pembukaan kembali bandar. Fathillah telah menyatakan Sunda Kelapa telah siap untuk menerima lalulintas laut. Tetapi sebagaimana halnya dengan bandar Banten, perdagangan lada ditentukan olehnya. Harga yang menjadi lebih tinggi karena tingginya pajak menyebabkan para saudagar enggan singgah baik di Banten ataupun Sunda Kelapa. Sebaliknya sumber lada kedua, Sumatra terselatan. Kini berubah jadi ramai. Bandar Panjang tiba-tiba menjadi ramai dan penting.
Di sekitar mesjid orang pada membicarakan peraturanperaturan yang berlebih-lebihan dari Fathillah. Maka Pada dapat mengetahui, perkembangan tidak berjalan sebagaimana dikehendaki Sang Panglima-Laksamana- Gubemur itu. Orang telah mendengar ancaman telah dinyatakannya untuk menghancurkan bandar Panjang. Untuk keperluan itu ia telah batalkan persiapannya untuk meneruskan penyerangan dari Cimanuk ke Cirebon. Ancaman itu tak jadi dilaksanakan karena tersusul datangnya utusan dari Trenggono yang tidak membenarkan maksudnya, karena itu menyalahi persekutuan militer Trenggono-Fathillah.
0odwo0 36. Blambangan Bandar Banten dan Sunda Kelapa tetap sunyi. Bandar Panjang di ujung selatan Sumatra menjadi meriah.
Mengetahui akan kekeliruannya Fathillah bermaksud membuka kembali Sunda Kelapa jadi pelabuhan bebas.
Pada hari ketentuan itu dikeluarkan, Pada dengan terburu-buru membeli sebuah perahu layar kecil dengan dinar pemberian Ratu Aisah. Dipunggahnya perbekalan dalam perahu itu bersama dengan Sabarini. Keesokan harinya pengantin baru itu berlayar menuju Panjang.
Armada Jepara-Demak yang melakukan penjagaan itu tidak terlalu jauh dari pantai. Perahu layar kecil itu hanya sekali ditahan kemudian diperkenankan meneruskan pelayaran.
Dan mereka berlayar tenang meninggalkan pulau Jawa yang sedang kacau-balau. Meninggalkan Sunda Kelapa bagi Pada berarti juga meninggalkan keadaan yang penuh kekacauan pertama-tama yang pernah ada dalam sepanjang sejarah Jawa.
la gembira. Dan Sabarini tak kurang gembiranya, berlayar dengan seorang suami yang adalah untuk dirinya sendiri. Namun ia tetap membisu bila tak ditanyai& .
Begitu mendengar balatentara Demak telah sampai di selatan Lao Sam, Tholib Sungkar Az-Zubaid dengan bantuan para pekerja bandar mengangkuti harta-bendanya ke atas sebuah kapal Bali yang kebetulan sedang mencari dagangan lada. Munculnya kapal itu sungguh-sungguh suatu kebetulan Bila tidak ia akan terpaksa menyewa perahu layar.
Tak ia tinggalkan sesuatu pun pada Nyi Gede Kati kecuali kata-kata ini: Nyi Gede Kati, maafkan aku selama ini kita sudah tidak saling menegur. Sang Adipati sudah tidak dapat menyatakan sesuatu. Pendengarannya sudah begitu merosotnya, maka semua kata yang dipersembahkan sia-sia saja& Sekarang ini aku harus pergi untuk sementara dari Tuban. Tinggallah kau di sini dalam lindungan Allah Yang Maha Pengasih.
Ke manakah Tuan, biar sahaya tahu di mana tempat Tuan.
Ia tak memberi jawaban, turun ke perahu dan belayar ke jurusan timur. Tujuan: Pasuruan, bandar Blambangan Hindu untuk perdagangannya dengan Maluku.
Nakhoda menasihatinya agar ia langsung saja ke Panarukan, karena bandar itu tidak terlalu sunyi, karena perdagangannya dengan Nusa Tenggara tetap berjalan baik. Pelabuhan Pasuruan sendiri hampir saja nasibnya dengan Gresik atau Tuban. Memang Panarukan lebih kecil daripada Pasuruan, tetapi adanya perdagangan yang terpelihara menyebabkan kehidupan jauh lebih baik.
Barangkali ada baiknya aku ikuti nasihat Tuan, jawabnya.
Dan demikian ia tidak mendarat di Pasuruan Sejak mancai dari Tuban sebenarnya ia bermaksud ke Panarukan Ia hanya hendak menyesatkan nakhoda.
Syahbandar Panarukan ternyata bukan Arab, juga bukan Benggala, bukan Koja dan bukan Keling, tetapi Pribumi sendiri, yang berbahasa Jawa, Bali, Melayu dan sedikit Arab. Ia tetap beragama Hindu, la disambut dengan bahasa Arab. Aturan bandar lebih longgar daripada Tuban; Syahbandar mempunyai wewenang memberikan ijin tinggal di dalam ataupun luar wilayah bandar tanpa menghadap bupati atau raja.
Setelah mendapat ijin tinggal dan membayar bea untuk barang-barangnya, ia kawal gerobak pengangkut hartabendanya menuju ke kantor dagang Portugis yang sedang dalam pembangunan. Untuk menghadapi pertemuan itu ia berpakaian Portugis dengan tetap bertarbus dan bertongkat.
Tubuhnya sudah lebih bongkok daripada tahun-tahun sebelumnya. Kepalanya tak henti-hentinya menengok ke kiri dan kanan, memperhatikan pagar-pagar dari susunan batu karang, dan arca-arca kayu di pojokan perempatan jalan, berdiri megah di dalam bangunan persegi, seakanakan barang-barang dengan mata besar itu sedang mengawasi perempatan. Gapura-gapura juga menarik perhatiannya, terbuat daripada batu merah, dan kadang dihiasi dengan relief. Pada pagar batu itu kadang-kadang terdapat ceruk berisi arca pula. Dan kadang ia menindas tawanya sendiri melihat bentuk matanya yang seperti mata peda.
Berbeda dengan di Tuban atau Malaka, pagar di sini menyebabkan rumah-rumah hanya kelihatan sirap atau ijuknya. Dan tajuk nyiur selamanya menaungi pelataran depan dan belakang setiap rumah.
Gedung kantor dagang itu belum lagi selesai sepenuhnya. Pagarnya terbuat daripada tembok batu tinggi, tetapi gedung itu terbuat dari kayu dengan nampak batu. Hampir semua tukang adalah Portugis. Di tempat mana pun mereka bekerja, penduduk dewasa, pria atau wanita, berkerumun memperhatikan.
Seorang Portugis yang berperawakan tinggi besar mengawasinya sejak grobaknya memasuki pelataran. Dan Tholib dapat melihat orang itu menunjukkan tak senanghatinya akan kedatangan dan kermunculannya.
Oh, Tuan Tholib Sungkar Az-Zubaid, tegurnya dalam Portugis, tahu-tahu Tuan sudah ada di sini. Mengapa tak kabar lebih dahulu"
Rupa-rupanya Tuan kurang senang mendapat kunjungan ini.
Suatu kehormatan, jawabnya dengan muka masam. Kebetulan sekali ada kamar yang baru saja siap. Tuan bisa segera masuk.
Apakah aku perlu memperlihatkan suratku" sambut Tholib menantang.
Tidak, Tuan, bukan maksudku hendak menguji surat dari Malaka itu. Siapa tidak mengenal Tuan" katanya lagi mencoba agak ramah. Mari aku antarkan.
Kamar itu baru saja selesai dibersihkan. Lantainya masih kotor. Seorang pria Pribumi yang masih muda datang membawa sapu lidi dan membersihkannya, kemudian memasukkan barang-barangnya dan menumpuknya di sebuah pojokan. Tholib Sungkar sendiri memberi petunjuk bagaimana harus berbenah.
Sebuah peti berukir dipisahkan dari yang lain-lain dan selalu berada di dekat bantal.
Syahbandar Tuban itu sama sekali tak heran melihat Martinique sengaja memperlihatkan tak senanghatinya. Ia sudah terbiasa melihat pembesar Portugis yang mencemburui kedudukannya, suatu kedudukan tanpa pengawasan, selalu mendapatkan nafkah pokok dari Portugis dan mendapat tambahan pula dari sangkutpautnya. Lagi pula di dalam kawasan Portugis ia harus diperlakukan dengan baik, sekalipun di luar itu ia berada di bawah setiap orang Portugis. Sekarang ia menggunakan haknya untuk dilayani sebaik-baiknya. Tidak mau bisa mendatangkan kesulitan.
Dari dalam kamarnya yang masih berbau kapur itu ia sudah dapat melihat roda kesibukan mulai berputar. Dan semua disebabkan karena kedatangannya. Ia sengaja berlama-lama di kamar untuk memberikan kesempatan pada Martinique menyiapkan ruang-tamu yang patut. Dari jendela ia dapat melihat kesibukan di dapur. Dan taman yang belum lagi siap itu sekarang dikerjakan dengan tenaga Pribumi tambahan.
Ia tersenyum-senyum puas.
Ia lepas sepatu dan mulai bertiduran, kemudian merancang-rancang apa yang harus ia kerjakan. Tetaplah sudah niatnya hendak kembali ke Malaka dan mengakui kegagalan Portugis di Tuban: bukan karena kesalahannya pribadi tapi karena kelengahan Portugis sendiri, tak juga datang pada waktu terbaik sebagaimana ia pernah sarankan. Sekarang jatuhnya Tuban ke tangan Demak telah melenyapkan arti bandar itu untuk mengukuhkan kekuasaan jalan laut di bagian selatan Nusantara. Tak ada yang dapat menyalahkan bila ia tinggalkan Tuban. Dengan berkuasanya Demak di sana tempat itu kehilangan artinya bagi Portugis. Pada pihak lain gerakan penguasaan atas seluruh Jawa oleh Trenggono telah membantu Portugis dalam menguasai jalan laut di sebelah utara Jawa: hubungan antar Jawa dengan Maluku akan putus sama sekali dan rempah-rempah Maluku akan lebih sedikit datang ke Jawa.
Bukan salah dirinya kalau tak berhasil. Perkembangan telah bergerak ke jurusan yang lebih menguntungkan bagi Portugis tanpa bantuannya. Pada akhirnya ia akan bisa pulang ke Ispanya dan menghabiskan hari-tuanya di Andalusia sebagai orang berada tanpa kekurangan suatu apa, kecuali, bila antara Portugis dan Ispanya terjadi pertikaian berdarah lagi. Dan di Andalusia, sebagai seorang Moro, ia takkan dan tak pernah mengalami kesulitan selama ia mengikuti segala yang berlaku di lingkungan hidupnya. Memang ia harus membayar pajak lebih tinggi, memang banyak, terlalu banyak yang menghinakannya hanya karena ia seorang Moro, tapi apa salahnya kalau ia bisa bertenang-tenang pada hari tuanya"
Sebagai orang muda ia telah tinggalkan semenanjung lberia. Ia telah tinggalkan anak dan istrinya. Dan ia akan kembali sebagai orang tua yang telah menyelesaikan tugas membantu kebesaran yang sedang berkembang dan membantu menenggelamkan kekerdilan yang sedang menghilang. Itulah yang dinamainya tindakan peneracaan sejarah pada masanya.
Waktu pelayan orang Portugis datang ke kamarnya dengan muka memberengut, memberitakan tuan Martinique sudah menunggu di ruang duduk, ia pun kenakan pakaian Portugis terbaik. Terompah ia ganti dengan sepatu. Celananya putih dan bajunya pun putih, dengan kemeja berenda-renda kecil pada lehernya, namun ia tetap bertarbus dan bertongkat.
Ia pandangi tubuhnya sendiri pada cermin sambil memberengut juga, memprotes ketuaannya, menegakkan bongkok, kemudian tersenyum senang, bahwa tanpa bongkok ia kelihatan lebih muda. dan berjanji takkan membiarkan dirinya membengkok lagi Ah, berapa tahun sudah diri tak bertemu cermin! Maka dengan badan tegak ia kunci kamar dari luar dan berjalan menuju ke ruang duduk
Martinique telah menunggunya sambil menghisap segelintir kecil tembakau yang segera dimasukkan ke dalam kantong lagi.
Nampaknya Tuan ada keperluan penting, Martinique memulai, dan memperlihatkan wajah cerah.
Bukan hanya penting, bahkan tak dapat ditangguhkan. Tentu saja. Barangkali ada yang dapat kuperbantukan " Pasti Tuan akan dapat membantu aku dengan sebuah tempat yang sebaik-baiknya, di kapal yang pertama-tama menuju ke Malaka.
Tentu itu suatu hal yang mudah, asal Tuan sudi mengatakan dengan kapal Portugis atau bukan. ia kelihatan lega mendengar itu, Hanya soal tempat di kapal itu saja, Tuan"
Untuk sementara. Kalau begitu Tuan punya tugas lain. Syahbandar Tuban itu tertawa mengancam.
Kalau begitu bersenang-senanglah Tuan di Panarukan ini. Dalam beberapa hari ini mungkin akan tiba kapal dari Timor untuk terus ke Malaka, ia menajamkan kewaspadaan. Bertanya lagi, Kata orang Demak terus mendesak ke timur. Benarkah itu. Tuan"
Kira-kira berita itu ada benarnya. Mungkin Tuban akan jatuh"
Terlalu sulit untuk bisa menjatuhkan Tuban. Kalau Tuban mau. Demak bisa dipukul dalam beberapa minggu. Oh.
Jadi Tuan menduga aku datang ke mari karena melarikan diri" Suatu dugaan yang jahat.
Tak ada aku punya dugaan seperti itu. Mata tua Tholib menembusi mata bening tuan rumah dan mencoba menyusupi otaknya.
Seperti matari yang tenggelam sekarang ini, demikian juga Demak akan tenggelam di sebelah barat sana. Tuan Martinique. Boleh jadi Tuban dalam pertempuran akan bisa terdesak sementara belum dapat menemukan bentuk pertahanan yang tepat, tapi sesudah itu kekuatannya akan jadi berlipat ganda dan tak dapat dibendung lagi. Sekiranya yang sebaliknya yang terjadi" Maksud Tuan kalau ramalanku meleset"
Bukan meleset, Tuan Tholib. Tentu ramalan Tuan pasti tepat. Tapi sekiranya, kataku, sekiranya kejadian justru tidak mengindahkan ramalan Tuan" Kalau Tuban yang jatuh"
Lihat, Tuan. Itu bisa saja terjadi. Jatuhnya Tuban berani jatuhnya seluruh bagian tempur Jawa ini. Dan kantor Tuan yang bagus bergeladak tebal ini, belum juga selesai, akan segera kena landa juga. Laut dan darat Jawa akan tertutup bagi Portugis, Tholib tertawa menggigit. Lagi pula. Tuan Martinique, siapa sebenarnya punya pikiran membuka kantor di sini"
Tentu ada, jawab tuanrumah gelisah, aku hanya menjalankan perintah.
Kira-kira tidak begitu, Tuan. Aku pun punya tenaga di kerajaan Blambangan ini. Berdasarkan keterangan dia telah aku sarankan ke Malaka, agar pekerjaan di sini tidak diteruskan. Panarukan hanya baik untuk menguasai jalan laut Nusa Tenggara, sedang untuk itu cukup di Timor. Tuan sebagai bekas nakhoda bukankah dapat membenkan saran pada Malaka"
Apakah artinya aku ini" Jawablah Tuan, itu menunjukkan Tuan ada kepentingan pribadi dengan Panarukan.
Itu tidak benar. Boleh jadi, tetapi aku akan bikin penyelidikan yang teliti. Tuan Martinique. Siapa pun melihat betapa bagusnya istana Tuan ini, rasa-rasanya Tuan sendiri yang mengusulkan, agar Tuan dapat hidup bersenang dan bertenang di sini di luar segala pengawasan.
Dan Tuan tidak memperhatikan kerajaan-kerajaan Bali di sebelah sini.
Bali tidak akan menyerang Jawa. Dia kasa menyerang hanya ke seabelah lebih timur, dengan penduduk lebih sedikit. Maka itu untuk ke sekian kalinya Timor juga yang lebih penting dari Panarukan. Jadi bagaimana Tuan usulkan pada Malaka"
Tiada sesuatu. Mungkin Tuan lupa, aku bukan hanya menuju ke Malaka, juga ke Luboa!
Itu terserahlah pada Tuan Tholib sendiri. Jangan Tuan marah.
Pastilah setiap orang Portugis akan marah bila merasa disinggung kebesaran negerinya.
Apalah gunanya marah karena merasa kebesaran negerinya tersinggung, sementara itu membiarkan din dungu dalam mengurus kebesaran itu" Untuk apa marah kalau hanya hendak mencari jalan membalas dendam"
Apalah gunanya kita bertengkaran begini" Aku akan berusaha keras menghindari usaha-usaha Tuan mencari dalih untuk bertengkar. Biar pun, ya, biar pun Tuan hanya seorang Moro.
Dan Martinique tahu benar, sebagaimana halnya dengan pejabat-pe-jabat Portugis di perairan selatan, bahwa Moro yang seorang ini adalah pelapor ulung yang jarang bandingan. Banyak di antara laporannya mencelakakan pejabat, tak ada yang menguntungkan. Sedang Malaka juga membutuhkan dia untuk menjaga agar pejabat-pejabatnya di darat tidak lengah karena kemakmuran dan kesenangan karena dimanjakan oleh raja-raja Pribumi.
Justru hanya seorang Moro, Tuan Martinique, dia lebih mengetahui kebutuhan Portugis. Dia dapat melihat dan mengerti lebih baik. Lihat, apakah perlunya membikin kantor di sudut dunia tanpa lalulintas besar ini" Tentu Tuan pernah mengusulkan, Tuan sendiri, dari Panarukan Jawa bisa dikendalikan dan timur, dari Sunda Kelapa dari Barat!
Jangan Tuan berlarut-larut menyinggung perasaanku. Tuan tidak punya wewenang untuk memeriksa pribadiku. Ada kekuasaan lain. Setidak-tidaknya bukan seorang Moro. Terlalu banyak orang Portugis yang pandai, seratus kali daripada Tuan.
Tentu saja. Tapi apa yang Tuan katakan padaku juga penting untuk Malaka.
Kapal Tuan akan datang dan katakan semua itu di Malaka sana nanti apa yang jadi kemasgulan Tuan. Aku tak suka Tuan campuri dalam soal Panarukan ini.
Tuan jangan salah mengerti, Tuan Martinique, bagiku tak ada guna mencari kesulitan dengan Tuan. Aku bicara hanya tentang kepentingan Portugis. Sebagai orang Portugis tentunya Tuan berterimakasih ada orang bukan Portugis, malah orang Moro begini, punya pikiran dan usaha untuk kebaikan Portugis.
Martinique tak dapat lagi menenggang kata-kata yang penuh hukuman terhadap dirinya itu. Dan ia memang tak dapat berbuat sesuatu apa terhadap Moro kepercayaan Malaka ini. Justru karena dia bukan Portugis, kata-katanya didengarkan oleh Malaka, keselamatannya dijaga dan permintaannya dikabulkan, biar pun hanya berupa lima atau sepuluh ons kopi.
Orang bisa melakukan sesuatu kekerasan terhadapnya. Mudah untuk melakukannya. Tetapi orang bisa takkan melihat tanah-air kembali dan salah-salah bisa tak melihat pepohonan lagi. Ia tak dapat melakukan sesuatu kekasaran. Kedatangannya berarti ancaman terhadap kedudukannya di Panarukan.
Martinique sendiri memang punya banyak kelemahan di hadapan Tholib Sungkar Az-Zubaid. Di pojok pulau Jawa yang tenang dan damai ini ia tak perlu menghadapi perang laut ataupun darat. Ia lebih suka bersahabat dengan raja Blambangan Giri Dahanapura. Bahkan dengan Patih Udara ia mempunyai hubungan baik. Di sini, dapat sedikit menyenangkan raja, ia akan memperoleh yang ia inginkan. Tak ada orang Portugis lain yang lebih tinggi kedudukannya. Dari Sri Baginda Girindra Wardhana yang telah tua itu, ia mendapat bantuan dua ratus orang untuk pekerjaan membakar kapur dan batu bata dan membantu pembangunan kantornya. Dan semua dapat ia perhitungkan dalam nilai uang, dan Malaka harus membayarnya. Keluarganya di negeri Portugis sana terjamin. Dan benar sekali kata Tholib Sungkar tak ada pengawasan terhadap dirinya di sini. Dan justru karena semua itu ia tersinggung.
Tholib ini pasti akan bersuara di Malaka sana. Ia pasti akan ditarik dan Panarukan dan kembali memasuki dinas lama. Mungkin seorang baru akan datang menggantikannya. Mungkin kantor ini akan dibatalkan sama sekali dan ditinggalkan. Dalam hati ia membenarkan cerita banyak teman-temannya: orang akan jadi jengkel, gelisah, marah dan ingin membunuh si hidung bengkung ini, tapi tak berani. Sebaliknya si Moro yang seorang itu terus juga bawel, cerewet, sikapnya tenang-tenang dan tak malu-malu memperlihatkan diri sebagai seorang penjual jasa terbaik bagi Peranggi. Dan Malaka dan Goa memang mengakui jasa-jasanya dalam membangunkan kekuasaan atas jalan laut dan dalam membangunkan monopoli perdagangan rempah-rempah, baik dengan jalan kekerasan, persahabatan, perang, melihat ataupun diplomasi, la termasuk salah seorang perancangnya.
Martinique telah mempersiapkan jalan untuk melakukan pembalasan dendam atas nama sejawat-sejawatnya, dan ia akan kaget! tamunya ini dengan dendamnya. Tholib takkan mungkin akan bisa membalas.
Maka dalam beberapa hari itu ia jamu tamunya dengan baik. Menghalangi si Moro irri berlayar ke Malaka adalah suatu perbuatan yang tidak mungkin. Dia mengetahui lalulintas kapal-kapal Portugis, dan Tholib pun terkenal punya kebiasaan menempuh banyak jalan untuk menghubungi Malaka, surat-surat, utusan atau kunjungan pribadi. Dan bila ia ke Malaka bukan tidak berarti jalanjalan lain tidak ditempuh. Orang harus berpikir beberapa kali bila toh hendak membinasakannya di laut, karena suaranya toh akan datang juga ke Malaka.
Tidakkah Tuan ada keinginan untuk mengunjungi Saudara Cortez" pada suatu hari Martinique membuka perangkapnya. Ia telah berhasil membuka rumah perawatan di peluaran Panarukan, suatu jarak yang patut ditempuh untuk berjalan-jalan.
Syahbandar Tuban itu sama sekali tidak mempunyai kepentingan dengan segala macam rumah perawatan di atas dunia ini. Perhatian pun ia tak punya, la tak menanggapi.


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Barangkali ada juga baiknya, Martinique menyarani. Tuan mengenal baik Rodriguez, bukan"
Mata Tholib Sungkar Az-Zubaid yang besar itu memancarkan pandang curiga pada tuanrumah.
Tentu ada baiknya, Martinique menemukan, bukan saja karena Rodriguez, rumah perawatan itu patut juga dilihat, lagi pula Saudara Cortez adalah paman Rodriguez. Rodriguez yang mana"
Siapa lagi kalau bukan si pelarian itu" Tuan justru yang lebih mengenalnya.
Tidak, aku tak kenal. Aa, nampaknya Tuan sudah agak lupa. Bukankah Tuan sendiri yang menyuruh Yakub membawanya ke kapal dalam keadaan terbius dan terikat" Ia pura-pura tak melihat tamunya nampak agak gugup dan membetulkan letak tarbusnya. Mungkin Tuan bisa memberinya sedikit keterangan tentang Rodriguez. Ia dipesan oleh adiknya, ibu si pelarian itu.
Tamu yang terbend itu tidak mengerti mengapa ia menuruti saran tuanrumah, dan pada suatu pagi ia tinggalkan kantor pergi ke luar kota. Martinique mengantarkannya sampai ke pintu gerbang. Melihat tamunya agak ragu-ragu, ia memberanikan: Tak ada yang perlu dikuatirkan di sini. Tuan. Seluruh Blambangan ini sama aman, mungkin lebih aman daripada Lisboa atau Madrid. Tidak seperti di daerah-daerah Islam sana. Malahan di sini tak pernah ada pasukan peronda, tak ada hermandad yang nyinyir dan lancang tangan. Tuan bisa berjalan senang dan aman sampai ke luar kota sana
Syahbandar Tuban itu berjalan, tertindih oleh bongkoknya sendiri, bertelekan pada tongkat. Sepanjang jalan, pagar dari susunan batu karang itu juga yang kelihatan, rapi menarik dilepa dengan tanah liat.
Arca-arca yang mengawasi perempatan jalan itu ia tetap tak tahu namanya. Martinique pun tidak tahu. Sekali ia memerlukan memperhatikan. Arca itu berdiri di bawah atap ijuk dan semua bangunan di bawahnya merupakan umpak tempatnya berdiri, setinggi barang lima meter. Sesajian bunga-bungaan dan beras berserakan pada ke empat pojok umpak.
Para gadis berjalan bebas bertelanjang dada seperti di pedalaman Tuban sana. Anak-anak kecil berlarian di jalanjalan telanjang bulat seperti monyet. Dan hampir semua lelaki bertelanjang dada dengan keris tersandang pada pinggang.
Nampaknya semua lalulalang mengagumi tarbusnya yang berjumbai lentur ke bawah, hidungnya yang bengkung, bongkoknya yang tidak indah dan terompahnya yang berat.
Apa saja yang pernah dilihat orang Blambangan ini dalam hidupnya, pikirnya.
Beberapa kali ia melihat wanita tua ditandu atau seorang pemuda bangsawan memperagakan diri di atas kudanya. Dan ia tertawa dalam hatinya melihat kuda mereka yang kecil lagi kurus dan tidak jarang berpenyakit kulit.
Dengan pandang sekilas ia dapat membedakan mana ningrat mana bukan sekalipun sama-sama bertelanjang dada. Antara satria dengan petani terdapat perbedaan sikap dan tingkah-laku terlalu besar. Dan sering ia mengherani betapa perbedaan bisa terjadi hanya karena kelainan tempat dilahirkan dan dikandungkan. Perbedaan yang menggelikan.
Sangat sedikit orang bisa Melayu di sini dibandingkan dengan di Tuban. Dan pada umumnya orang tertawa mendengarkan ia berbahasa Jawa Tuban. Tetapi ia tidak peduli dan meneruskan jalannya.
Rumah perawatan yang dimaksudkan telah nampak dari jauh. Pelataran depannya terbuka tanpa pagar. Pada pintu depan dipasangi dengan salib besar dari kuningan, mengkilat dengan paku-paku kuningan pula dengan kepalanya yang setengah bulat. Dan pintu itu nampaknya selalu tertutup. Orang luar tak dapat melihat ke dalamnya.
Ia berpaling ke belakang waktu mendengar langkah orang yang sedang lari. Tak jauh di belakangnya dilihatnya seorang wanita lari sambil menggendong anak yang kotor dan telanjang. Kainnya diangkatnya naik sampai ke paha. Wajahnya kemerah-merahan oleh kelelahan. Ia mundur beberapa langkah. Dan wanita itu tak mempedulikannya, lari terus dengan kencang. Di belakangnya lagi serombongan kecil orang memburunya sambil berseru-seru dalam bahasa Jawa setempat Pogoh! Balik! Pulang1 Serahkan dirimu pada para dewa. Pogoh! Jangan ke situ!
Ia dengar nafas wanita itu terengah-engah dan melewatinya. Rambutnya terurai jatuh dari sanggul. Para pengejarnya semakin dekat juga. Dan nampaknya mereka sudah lari menempuh jarak yang tidak pendek. Beberapa orang di antaranya sudah mulai tak mampu lari lagi. Semua lebih tua daripada perempuan menggendong yang dipanggil Pogoh, laki dan perempuan.
la lihat Pogoh masuk ke pelataran rumah perawatan, langsung menuju ke pintu bersalib kuningan, berteriakteriak dan menggedor-gedor dengan kedua tangannya.
Pendekar Kembar 2 Sherlock Holmes - Petualangan Enam Napoleon Wanita Gagah Perkasa 13

Cari Blog Ini