Ceritasilat Novel Online

Arus Balik 16

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 16


Ya-ya, bagaimana hasilnya" Tholib menyambar dengan rakus.
Nanti, nanti! kata Gusti Patih, dan cuma itu. Tuan. Syahbandar Tuban melengos dan menghembuskan nafas panjang kemudian duduk tanpa daya.
Ya Allah, keluhnya, siang panas dan malam dingin, terus-menerus terkena angin. Siksa dan aniaya macam apa ini sampai kapankah berakhir"
Sabarlah, Tuan, baru tiga hari. Semua bakal ada akhirnya juga. Lama suami-istri itu berdiam diri. Tholib menunduk dan istrinya mengawasinya dengan dukacita.
Ampunilah sahaya tak dapat berusaha lebih baik. Syahbandar mengangkat muka dengan harapan amat sangat pada kemurahan dan kesudian istrinya: Cobalah menghadap kepala-kepala pasukan, Kati.
Semua telah sahaya usahakan. Tuan.
Syahbandar menunduk lagi. Sekarang terpikir olehnya akan kesulitan Nyi Gede dan bertanya: Bagaimana hidupmu. Kati, istriku"
Seperti yang lain-lain. TuanTiadakah kau mendapatkan kesulitan dari mereka" , Apakah salahnya bersulit-sulit untuk suami yang sedang menderita"
Betapa mulia hatimu. Nyi Gede. Mengapa baru aku ketahui sekarang" Betapa bodohnya aku ini.
Syukur kepada Allah, Tuan, bahwa akhirnya Tuan mengenal juga adanya kemuliaan dalam hati manusia. Sahaya berbahagia mengetahui itu, Tuan.
Dan pergilah wanita itu pulang setelah menyorongkan beberapa lodong bambu air untuk mandi suaminya.
Ia menuju ke gubuknya di daerah bandar, sebuah pondok kecil tak berjendela, berpintu satu, dan semua terbuat dari daun kelapa, bekas tempat tinggal wanita gelandangan.
Kemarin ia mengetahui seorang-dua anak mengikutinya. Sekarang lebih banyak lagi. Mereka bersorak-sorak di belakangnya, seperti sedang mengiringkan orang gila. Ia anggap ini juga bagian dari kesulitannya untuk mengurus suaminya. Maka ia harus menghadapinya dengan tabah dan sabar.
Sudahlah, anak-anak, jangan ganggu juga nenek tua ini, ia berhenti di depan pintu dan menengok pada mereka.
Anak-anak berseru-seru riang setiap ia memperdengarkan suaranya.
Mengapa cuma kau yang mau mengurusi Almasawa" Hanya orang gila mau melayani dia! yang lain menambahi.
Kau gila, Nek" Ya, ya, gila dia. Dulu di gedung bagus, sekarang di gubuk. Bagaimana takkan gila.
Nyi Gede Kati membuka pintu, disambut oleh kegelapan di dalam dan menyilakan anak-anak itu masuk.
Mereka hanya bersorak-sorak senang. Salah seorang yang membawa sebilah ranting mencoba menggelitikinya. Ia tangkap ranting itu dan menariknya. Sejenak anak itu terbawa dan Nyi Gede melepas kembali. Anak itu jatuh terduduk. Yang lain-lain semakin ramai bersorak-sorak
Kalau aku punya anak, pikir Nyi Gede, mungkin ada dia di antara mereka. Ia tersenyum.
Masuklah kalau kalian suka. Biar kita bersenang-senang di dalam gubuk. Mari aku nyalakan lampu. Mari masuk.
Ia percikkan batu api dan menyalakannya pada kawul. Kemudian pada batang kayu berbelerang. Waktu api telah jadi ia nyalakan pelita, menyilakan: Ayoh masuk, di dalam sini masih ada sedikit makanan.
Dan anak-anak itu mulai jadi ragu-ragu. Seorang yang paling kecil dilambainya. Dan anak itu bergerak mundurmundur dengan pandang memancarkan ketakutan. Nah, pulanglah kalau kalian tak suka masuk. Mengapa kau urus si Almasawa" seorang yang terbesar memberanikan diri bertanya.
Mengapa" Dia suamiku.
Dia pengkhianat! Kalau tak jahat tak mungkin di krangkeng.
Sekiranya dia bapakmu, kau pun harus mengurusnya, bukan" Walau dia penjahat"
Tidak bisa! pekik anak paling besar itu. Tidak mungkin bapakku seperti dia!
Ah, Nak, siapa tahu bolak-baliknya nasib" Tapi anak itu tak dapat menenggang kata-kata seperti itu. la ambil batu dan melemparkannya pada Nyi Gede. Wanita itu cepat-cepat menutup pintu, anak-anak yang lain mulai menghujani pondok daun kelapa itu dengan kerikil dan kerakal.
Seminggu Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badawi alias Sayid Habibullah Almasawa dikurung di dalam krangkeng, kembali terjadi keramaian. Tontonan baru telah terjadi untuk penduduk Tuban Kota: Yakub, terikat tangannya, berjalan menunduk dalam pengawalan prajurit-prajurit.
Semua begundal Peranggi tertangkap! seorang prajurit berteriak mengumumkan.
Dulu dibiarkan merajalela.
Pengumuman itu seperti sambaran petir dalam dada Syahbandar. Kini ia mengerti perkaranya. Dan ia harus bersiap-siap menghadapi persoalan itu.
Orang berbondong-bondong turun ke dermaga, tak menggubrisnya lagi. Ia lihat semua orang berjalan cepatcepat atau lari ke jurusan kesyahbandaran. Larangan masuk ke pelataran rumahnya sudah tidak berlaku lagi.
Dari kejauhan ia melihat Yakub terikat dalam giringan. Jantungnya semakin berdebaran: pengadilannya akan segera dibuka. Ia telah dapat mengambil sikap: ia akan lemparkan segala kesalahan pada si pewamng jahanam. Hanya kefasihan sekarang yang akan bisa selamatkan aku, ia memutuskan dalam hati. Hanya kefasihan. Yakub tak kurang fasihnya. Dia harus mengakui keunggulanku sekali ini.
Dan ia lihat Yakub dibawa masuk ke kesyahbandaran. Ia menunggu sampai sore hari.
Seorang prajurit pengawal datang padanya. Tholib menenang-nenangkan hatinya. Sekarangkah pengadilan dimulai" Apa" Prajurit itu tidak membukakan pintu krangkeng. Senyum ramahnya untuk minta keterangan dijawab dengan seringai oleh prajurit itu. Dan seringaian itu mematahkan senyumnya.
Prajurit-prajurit lain pada berdatangan. Kemudian bondongan orang pun berdatangan. Salah seorang yang baru datang menudingnya dengan muka merah oleh murka: Bedebah! Jadi kau sudah sekongkol jadi raja-muda Peranggi di Tuban" Bedebah!
Tidak benar, bantah Tholib. Dan Yakub akan jadi patihmu!
Bohong! pekik Syahbandar, menduga begitulah pengadilan atas perkaranya mulai disidangkan.
Kau kirimkan meriam pada si brandal Kiai Benggala buat tumbangkan Tuban. Semua kawula Tuban, dengarkan jawabannya.
Kepercayaan diri Syahbandar mulai goncang. Kefasihannya yang dipersiapkan macet. Inikah macamnya" Bagaimana Tuban atas diri dan perkaraku" Inikah macamnya" Bagaimana aku mesti membela diri di depan pengadilan semacam ini" Siapa sesungguhnya penuduh dan siapa pula hakimnya"
Kau suruh orang mengambil meriam-meriam dari kapal Peranggi sambil mengantarkan dua orang Peranggi itu dalam keadaan terbelenggu dan terbius.
Bohong! Tidak benar! Fitnah! raung Tholib Sungkar dalam kegugupannya.
Yakub dan gerombolannya yang kau suruh. Yakub keparat! pekik tahanan itu. Ia tetap kehilangan keseimbangannya. Ia berdiri tegang di tengah-tengah krangkeng dengan memegangi tongkat. Semua yang telah dipersiapkan dalam pikiran bubar. Ia merasa tak ada sesuatu pun yang bakal menolongnya. Tuhan tidak, kecerdasan dan kefasihan sendiri pun tidak. Pikirannya tetap tak mau bekerja sebagaimana harusnya. Dengan putus-akal ia tutup mukanya dan hanya kata-kata itu juga yang keluar
Yakub keparat! Yakub keparat!
Raja-muda Tuban! orang-orang mulai bersorak menuduh.
Syahbandar! Syahbandar! Syahbandar! Syahbandar! ia memekik sejadi-jadinya, terus-menerus dalam gelora soraksorai menuduh.
Matanya membeliak tanpa melihat keluar, tapi ke dalam batin sendiri. Dan batin itu kehilangan kemampuan untuk membela nyawa sendiri.
Kiai Benggala berkirim surat padamu melalui Wiranggaleng.
Tidak! Tidak benar. Wiranggaleng keliru! pekiknya, kemudian mendesau-desau, Wiranggaleng keliru! pekiknya, sungguh-sungguh sesat, keliru.
Kau bunuh Esteban. Tidak, tidak, bukan aku membunuhnya. Bukan. Bukan.
Krangkeng itu telah dilingkari oleh padatan manusia. Semua mata tertuju padanya. Dan setiap pandang mengancamnya.
Siapa yang membunuh dia" Bukan aku. Yakub!
Pembohong! pekik orang itu.
Dan orang-orang pun berseru-seru menyumpahinya, mengancam, mencemooh dan menghinanya. Suara-suara itu bergalau menjadi satu. Syahbandar tak dengar kata-kata mereka. Hanya hatinya dapat menangkap ancaman yang terkandung di dalamnya.
Kau bunuh Rodriguez! Tidak. Tidak. Bukan aku. Yakub yang membunuhnya. Pembohong.
Betul. Betul bukan aku. Bukan.
Kau khianati Sultan Mahmud Syah Malaka. Bukan. Bukan aku. Sungguh bukan aku. Yakub yang mengkhianati.
Kau racuni gajah-gajah Sultan Mahmud Syah. Tidak. Bukan. Tidak kuracuni gajah-gajah itu. Panas matari tak tertahankan oleh semua orang. Baik para prajurit maupun rombongan penonton telah menipis meninggalkan dermaga. Angin mendesau pada telinganya, dan terdengar olehnya seakan melanjutkan tuduhan: Kau bius Idayu!
Tidak benar! ia meraung melolong. Tak pernah aku bius Idayu atau siapa pun. Dan Gelar bukan anakku. Benar, tidak, tidak, tidaaaaaak!
Kau nasihati Kiai Benggala untuk menculik Idayu anakberanak, desau angin meneruskan tuduhannya.
Bohong! Semua bohong! Kiai Benggala yang menculik Nyi Gede Idayu. Bukan aku.
Kau tipu Gusti Adipati dengan cerita-cerita bohong. Aku orang suci! raung Tholib putus-akal.
Tiba-tiba ia merasa sangat haus. Ia cari-cari lodong air dari bambu dan meneguknya puas-puas. Ia tebarkan pandangnya ke keliling. Tak ada seorang pun di dekatnya, la mengeluh dan menangisi ketidakmampuannya sendiri.
Aku sudah patah, ia menyedari. Ya, Allah, Kau hukum aku sampai begini macam. Tak Kau biarkan aku membela diri. Kau telah tutup kefasihan dan kecerdasanku. Kau telah rampas keseimbanganku. Kau telah bikin aku jadi gila dan hina begini. Tak pernah pikiran sebebal ini. Bahkan angin pun kukira menuduh pula. Sudah hilang ingatankah aku ini"
la gigit jarinya dan ia masih rasai nyeri. Mereka datang lagi, ia memperingatkan dirinya, Kembali bondongan orang datang. Mereka tetap bersorak-sorai dengan makian, hinaan dan ludahnya. Beramai-ramai mereka mendorong krangkeng beroda itu meninggalkan dermaga. Badan Tholib menggeletar karena geletaran krangkeng dan berayun-ayun mempertahankan keseimbangan.
Besok krangkeng dan isinya akan diceburkan ke laut! seseorang berseru.
Besok, Ulasawa, Raja-muda Peranggi, besok! yang lain menambahi dengan gemasnya.
Dan besok selesailah apa yang dinamai hidup ini. Kiamat pun boleh jadi tidak akan sampai sehebat ini. Keparat! Ia sudah tak peduli akan dibawa ke mana krangkeng itu, dan mengapa dengan isinya sekali.
Mendadak perhatiannya beralih pada rombongan lain yang menyoraki Yakub, menuju ke arah krangkengnya yang telah berhenti di tengah-tengah lapangan bandar.
Ia lihat Yakub berhenti di dekatnya, kemudian orang mengikatnya pada sebatang patok barang tiga depa dari krangkengnya. Suatu padat-an manusia telah melingkar lebar.
Nah, katakan semua tadi, Yakub!
Dia itulah, Yakub memulai dengan menuding Syahbandar Tuban dengan dagunya, dia itulah biangkeladi segala-segalanya. Sahaya sekedar menjalankan perintahnya sebagai bawahan.
Tholib Sungkar Az-Zubaid sengaja berdiam diri. Ia berusaha memulihkan kemampuan dan nilai-nilai pribadinya. Tetapi tuduhan Yakub lebih kuat daripada usahanya. Separah dari semua tuduhan Yakub tertangkap olehnya dan seperempat dari usahanya mendapatkan hasil. Setelah orang mendesak dan memaksa-maksa untuk menjawab, keluar juga kata-katanya: Demi Allah. Orang itu hanya penipu. Telah kujelajahi bandar-bandar di dunia ini, dan semua, semua pewarung arak adalah penipu Tak pernah ada seorang pewarung arak dipercayai omongannya. Siapakah yang lebih dipercaya oleh Gusti Adipati Tuban yang bijaksana itu" Aku ataukah dia" ia tertawa menghinakan.
Siapa yang jadi Syahbandar Tuban" Aku ataukah dia" Ia tertawa menghinakan. Siapa yang jadi Syahbandar Tuban" Aku ataukah dia" Katakan, kau, Yakub, kau bukan penipu. Ayoh, buktikan.
Sekarang Yakublah yang tak mau bicara, Ia hanya menunduk, seseorang telah mengambilkan kopiahnya dan mengenakannya pada kepala Yakub.
Bicara, kau, Yakub! bentak seseorang.
Semua telah sahaya persembahkan pada Gusti Patih Sang Wirabumi, jawabnya. Tak ada guna mengulangi lagi.
Apa telah kau persembahkan, penipu"
Katakan, Yakub, seorang wanita memohon. Dan orang itu adalah Nyi Gede Kati yang berpakaian compangcamping.
Yakub tetap pada sikapnya.
Mendengar suara istrinya Tholib merasa mendapat sokongan kekuatan batin.
Ayoh katakan, penipu, penghasut, pemfitnah, pembunuh! Katakan di depan semua orang ini bagaimana kau menipu dan membunuh! bentaknya.
Sudah tua! menghadapi maut pun kau masih juga tak punya kehormatan dan harga diri! seorang prajurit membentak Syahbandar.
Orang pun bersorak dan menyerang Moro itu dengan ludah.
Kemudian lingkaran orang itu pecah. Beberapa orang terikat didatangkan lagi dan berdiri bejajar diikatkan pada tonggak-tonggak yang telah tersedia. Orang mulai mengerumuni mereka kecuali seorang: Nyi Gede Kati.
Kesempatan untuk membela diri hilang punah. Bentakan terakhir dari prajurit itu betul-betul menyakitkan. Hatinya kembali meriut. Disekanya hidungnya dengan lengan baju yang telah dekil.
Hanya kau tidak percaya aku bersalah, bukan, Kati" Mengapa diam saja" Demi Allah, aku tak bersalah sedikit pun. Memang aku pernah bermaksud menganiaya kau, dulu, tapi kaulah justru yang menganiaya aku, dan aku telah memaafkan. Bukan, Kati" Istriku"
Kati memandanginya dengan iba sambil menyodorkan bungkusan daun pisang dengan sepotong kelapa mengintip dari celah-celah sobekan.
Dari alun-alun terdengar canang bertalu-talu. Orangorang pun berlari-lari dalam bondongan, pergi ke arah datangnya panggilan. Dalam waktu pendek daerah pelabuhan menjadi sunyi kembali.
Beberapa depa dari krangkeng Yakub dan temantemannya berdiri tanpa daya memunggungi tonggak pengikatnya masing-masing. Tak ada di antaranya bicara.
Tuan, biarlah sahaya pergi dulu mendengarkan pengumuman di alun-alun, Nyi Gede Kati minta diri.
Ia pergi tanpa menunggu jawaban. Syahbandar Tuban hanya bisa mengiringkan dengan pandangnya. Sobekan pada kain istrinya itu memperlihatkan sedikit dari betisnya. Dan ia berpaling untuk tak melihatnya.
Ya, beginilah macam pengadilanku, ia meyakinkan dirinya sendiri, Sokrot pun lebih baik, ribuan kali lebih baik dari yang bisa diperbuat oleh orang-orang kafir jahil ini.
Ia melirik pada mereka yang terikat pada tonggak. Tak ada seorang pun di antaranya mencoba bicara& .
Pengumuman dari panggung alun-alun itu tak kurang menggemparkan. Seorang peseru menyampaikan: gerombolan Yakub telah dapat ditangkap, dipersalahkan membantu Sayid Habib Almasa wa dalam menggerakkan pemberontakan Kiai Benggala, mengangkut dua pucuk meriam dari kapal Peranggi ke pantai dan mengantarkannya ke Rajeg. Bersama dengan itu dikirimkan pula dua orang pelayan meriam Peranggi bersama dengan meriam itu. Gerombolan ini akan menjalani hukuman mati menurut perintah Gusti Patih Tuban Sang Wirabumi. Sayid Habibullah Almasa wa telah diadili sebagai biang keladi utama dan dijatuhi hukuman krangkeng sampai mati untuk dipertontonkan pada dunia, terutama Portugis.
Pengumuman kedua lebih menggemparkan lagi, menyangkut semua orang: terkecuali desa-desa dua lapis dari kota, termasuk Tuban Kota sendiri, besok harus menyiapkan pasukan pagardesa dan langsung berhimpun di tanah lapang sebelah barat kota sebelum matari terbit.
Habislah segala ria, habis segala sorak-sorai. Sekaligus orang mengerti: perang baru akan kembali berkecamuk. Dan sekarang Tuban tidak lagi bertahan, tapi menyerang. Orang kembali ke rumah masing-masing, tak mengindahkan lagi pada mereka yang dijatuhi hukuman mati. Perang yang akan datang mungkin membunuh setiap orang. Apa pula beda mati pada hari ini atau lusa" Perang! Sekali lagi perang! kapan akan selesai semua ini"
Seminggu setelah pengumuman, perang besar telah terjadi di sebelah barat luar kota.
Demak sedang memusatkan kekuatannya. Trenggono telah bertekad bulat menggunakan pukulan terkuat untuk dihantamkan pada Tuban. Dan Tuban tetap jadi impiannya untuk jadi pangkalan meneruskan penyerangannya ke Gresik dan Blambangan& .
Pasukan gajah Tuban yang selama ini diundurkan ke pedalaman sekarang dikerahkan. Seluruh balatentara dipanglimai oleh Banteng Wareng. Kala Cuwil tinggal berkedudukan sebagai Patih Tuban merangkap kepala pasukan gajah.
Balatentara Demak selama ini meremehkan pasukan gajah untuk membesarkan hati tentaranya. Setelah melihat sembilan puluh ekor gajah berbaris dalam satu saf dengan iringan pasukan kaki yang membeludak dan pasukan kuda di sela-selanya, menjadi gopoh-gapah dan gentar. Gajahgajah itu maju terus tanpa menoleh. Dari setiap bentengan kayu di atasnya ditiupkan hujan anak panah tanpa hentihentinya. Canang perang Tuban bertalu berbareng tiada jera-jeranya, ditingkah oleh sorak pasukan kaki dan pagardesa yang dikerahkan.
Pasukan gajah itu berjalan maju, menggiling dan menerjang barang apa yang ada di hadapannya. Baju kubtkerbaunya berjala-jala seperti jubah orang-orang Arab, tak mempan dipedang, di panah ataupun ditombak. Barisan Demak telah goncang dan turun semangat, bimbang untuk terus maju, mundur pun ragu-ragu, takut tak terlindungi dari anak panah. Pasukan gajah itu maju terus seperti matari dari timur menyusupi mega-mega lawan terus ke barat. Semua lari dengan belalai naik dan bersuling berbareng.
Kuda-kuda Demak, melihat bukit-bukit pada berjalan mendatangi, lari belingsatan menerjang-neijang barisan sendiri, tiada terkendalikan.
Maka dari sela-sela gajah-gajah itu keluarlah pasukan kuda Banteng Wareng seperti air curah.
Medan pertempuran menjadi kuning karena kepulan debu dan pasir. Pekikan maut tenggelam dalam sorak-sorai dan canang.
Trenggono pun gugup melihat balatentaranya rusak dan tetap dalam pengejaran. Dengan murkanya ia perintahkan seluruh tentaranya mundur ke barat, ke daerah Rembang. Dan di sinilah ia mesanggrah dan menyusun kembali kekuatannya. Di sini pula ia mengambil putusan untuk menghentikan gerakan militer ke timur buat sementara.
Balatentara Tuban sendiri berhenti di perbatasan dan mendirikan pesanggrahan di lapangan terbuka. 0odwo0
40. Dan Portugis pun Memasuki Tuban
Kehidupan di Tuban agak pulih. Kala Cuwil telah memerintahkan para pagardesa untuk pulang ke tempatnya ma-sing-masing dan kembali melakukan pekerjaan seharihari.
Bandar Tuban Kota mulai berisi lagi dengan manusia. Selama pertempuran di barat kota Nyi Gede Kati tetap mengirimkan makanan ke krangkeng, sekali dalam sehari. Dan sampai sebegitu jauh suaminya tak pernah bertanya bagaimana ia mendapatkan makannya.
Dan terjadilah hari itu. Nyi Gede Kati datang pada waktu sore dengan membawa bungkusan dan lodong air. Dan bungkusan itu bukan lagi daun pisang, tapi kain batik yang telah usang. Ia menyorongkannya dari sela-sela jeruji besi, berkata: Kain buruk itu, Tuan, barangkali berguna untuk selimut di waktu malam dan berteduh di waktu siang.
Tepat pada waktu Tholib Sungkar menerimanya canang pelabuhan bertalu-talu.
Ada kapal asing datang! gumam Syahbandar sambil meninjau ke menara pelabuhan. Dan Syahbandar masih di sini, gumamnya lagi, sekarang meninjau ke ufuk. Kau lihat kapalnya, Kati"
Lihat, Tuan. Demi Allah, aku bebas, Kati, karena hanya akulah Syahbandar. Kapal manakah gerangan" Aku tak lihat. Nampaknya kapal Peranggi, Tuan.
Peranggi" Masyaallah, matanya bersinar-sinar penuh harapan.
Lihat baik-baik, Kati. Peranggi, Tuan, tiga kapal.
Tiga kapal! Dia datang bukan untuk berdagang, Kati, Ia mencoba melihat, tapi tak dapat. Kelemahan badan selama ini membikin matanya menjadi rabun. Dan mata itu berhenti pada tonggak-tonggak yang selama ini ditakutinya. Di sana Yakub dan teman-temannya telah menjalani hukuman mati, seorang demi seorang, diperas darahnya, tetes demi tetes. Ia tak berani melihat lebih lama. Kuping batinnya masih dapat mendengar raungan mereka dan hatinya menggeletar ciut oleh seribu satu macam gambaran dan perasaan. Sekarang: Portugis! Portugis datang! Mereka takkan lebih berbahaya dari Kala Cuwil si pongah Tuban itu!
Alhamdulillah, sebutnya berkali-kali. Peranggiiiiiii! Pekik penjaga menara.
Baik Nyi Gede Kati maupun Tholib melihat penjaga menara itu lari menuruni tangga. Lari lagi ke kesyahbandaran.
Beberapa bentar kemudian tiga orang penunggang kuda berpacu hilang di tikungan. Canang alun-alun sekarang bertahi tiada henti-hentinya, titir tanda bahaya. Canangcanang desa kemudian pun bertalu-talu, memberitakan akan datangnya bahaya dari laut.
Dan balatentara Tuban masih mesanggrah di perbatasan barat. Canang kemudian berubah irama, memberikan isyarat agar semua perempuan dan anak-anak meninggalkan kota dan pergi ke pedalaman.
Mereka datang! bisik Syahbandar, tak salah lagi. Nyi Gede Kati memandangi suaminya, mencibirkan bibir. Tangan suaminya yang memegangi lengannya ia lepaskan. Aku akan selamat. Tumpaslah kau Kala Cuwil! Dari kejauhan mulai terdengar ledakan meriam melepaskan peluru. Tak lama kemudian pelurunya beterbangan di atas krangkeng. Riuh-rendah atap dan rumah yang bongkarbangkir kena terjang.
Sebutir peluru meriam yang jatuh di jalanan pasir membikin segitiga debu yang menyemprot ke atas, melebar. Ditiup angin debu itu pun mengembang dan buyar bersama dengan angin sore.
Nyi Gede Kati meludah. Kemudian lari melintasi daerah tembak meriam ke sebelah timur.
Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekam sambil berdoa tiada berkepu-tusan. ia tahu peluru-peluru itu tidak mengenal Syahbandar Tuban. Ia hanya mengenal sasaran. Dan ia tahu, ia tidak semestinya jadi sasaran. Ia adalah Tholib Sungkar Az-Zubaid, tidak lebih dan tidak kurang. Dan Portugis belum lagi membayar penuh untuk segala jasanya. Kalau ada peluru mengenai dirinya ia akan rugi, dan Portugis tak perlu melunasi hutangnya. Tak patut ia tewas meninggalkan piutang. Tapi peluru-peluru itu buta, tak mengenal hutang ataupun piutang. Orang lari berserabutan dari bandar. Merekalah yang lebih berhak mendapat peluru, bukan Syahbandar Tuban. Perempuan yang menggendong anak sambil menarik anak yang lebih besar. Lelaki yang memanggul bungkusan. Kakek atau nenek bertongkat, berjalan lambat-lambat. Seorang nenek bongkok berjalan tak menentu dengan dua kaki dan dua tangannya. Anjing-anjing yang berputar-putar sekitar majikannya yang sedang mengungsi. Dari kejauhan terdengar cetbang dan meriam Tuban memberikan tembakan balasan. Nampaknya kapal-kapal Tuban sedang dalam perjalanan kembali ke pangkalan.
Tholib Sungkar mengintip dari sela-sela jari untuk menyaksikan pertempuran laut itu. Ia tak melihat kapalkapal Tuban, hanya silang-siur dari peluru di udara, dan hanya tiga kapal Portugis itu juga yang semakin mendekat ke bandar.
Riuh-rendah peluru menerjang bangunan. Membenarmkan suara manusia dan hewan. Nampaknya kapal-kapal Tuban dianggap tidak penting oleh Peranggi. Peluru makin mendesak ke arah Kota. Dan tak ada seorang pun dapat menangkis. Gedung kesyahbandaran telah roboh atapnya. Dalam hanya seperempat jam telah banyak bangunan kota berubah bentuk, berlutut, berjongkok, sujud, atau atapnya compang-camping. Kebakaran mulai muncul di sana-sini. Dan asap hitam mengepul ke langit senja yang biru itu.
Bandar telah mulai kosong.
Sisa armada Francisco de Sa setelah lari dari Sunda Kelapa terus berlayar ke timur. Di luar perintah Malaka ia bermaksud melaksanakan rencana kedua, menduduki bandar Tuban. Sunda Kelapa lepas, Tuban harus kena. Ia harus tinggalkan Sunda Kelapa karena tak mengetahui benar perobahan yang telah terjadi. Dan kini, di luar pengetahuan Malaka sisa armadanya telah siap untuk berlabuh.
Tetapi gangguan kepal-kapal Tuban, di antaranya ada yang melepaskan tembakan meriam telah menyendatkan rencananya dengan beberapa puluh bentar. Cetbangcetbang itu memang tidak digubrisnya, tetapi meriamnya harus mendapat pelayanan yang layak. Dengan salvo meriam selama lima bentar, empat buah kapal Tuban telah menyerosok ke dasar laut. Awak kapal yang berapungan menjadi isarat salvonya harus di arahkan ke sasaran semula. Ia perintahkan berlabuh dan membuang sauh di luar jarak tembak cetbang. Dan sekod-sckoci mulai diturunkan Menyusul kemudian serdadu-serdadunya bersenjata lengkap. Meriam terus memuntahkan peluru untuk melindungi pendaratan.
Dendamnya akan dilampiaskannya pada Tuban. Ia tak dapat memaafkan diri dengan kegagalannya di Sunda Kelapa. Dari nelayan dan kapal-kapal yang dibajaknya baru ia mengetahui, Sunda Kelapa telah jatuh ke tangan Demak. Ia takkan kembali ke sana. Dari tangkapan-tangkapan di laut itu pula ia mengetahui, Tuban sedang kosong dari balatentara yang sedang berperang melawan Demak. Dengan jatuhnya Tuban ke tangannya Demak akan putus hubungannya dengan Maluku. Pucuk dicinta ulam tiba. Dengan menduduki bandar Tuban ia harus dapat selamatkan muka dan namanya.
Adalah memalukan bagi seorang pembesar Portugis dikalahkan oleh Pribumi, karena kalahnya juga kekalahan ras, kekalahan agama, kekalahan keyakinan. Dan itu tidak boleh terjadi atas diri Francisco de Sa.
Ia lihat dari geladaknya sekod-sekoci sudah harus mendarat. Dayung ke arah bandar. Tak ada sebuah pun tertinggal. Dalam lima belas bentar prajurit-prajuritnya sudah harus mendarat. Dan dari teropongnya ia melihat regu pertama telah mulai naik ke dermaga tanpa perlawanan.
Ia perintahkan menurunkan sekoci pimpinan, dan ia sendiri tunin bersama dengan ajudan dan beberapa orang pengawal.
Pagar desa Tuban telah dikerahkan dengan kilat. Bersenjatakan tombak, panah dan perisai mereka menyerbu ke bandar. Hanya ada beberapa orang prajurit beserta mereka untuk memimpin perlawanan.
Seperti semut mereka menyerbu ke bandar, bersebaran di setiap tempat dan bersorak-sorak untuk memberanikan diri sendiri. Meriam dari kapal telah berhenti menembak. Mereka diterima oleh semprotan peluru musket, mundur. Pertempuran tidak sempat terjadi. Sorak-sorai padam dengan sendirinya. Tombak peluru musket itu tak dapat ditembus, sebaliknya membinasakan, menyusupi daging dan menumpahkan darah. Pasukan pagardesa mundur dan mundur terus.
Didermaga Portugis tak henti-hentinya mendaratkan balatentara.
Pagar desa segera berlarian meninggalkan bandar dan menarik diri ke kota yang juga telah kacau-balau dengan rumah-rumah yang binasa dan terbakar. Musket Portugis terus mengusir dan membinasakan siapa saja yang ada di depannya, manusia dan hewan.
Begitu serdadu Portugis mendarat, mereka terus lari maju dan menduduki tempat di depan pasukan sebelumnya. Dan demikian terus menerus.
Suara ledakan riuh-rendah seperti sedang berpesta. Yang terakhir mendarat adalah Francisco de Sa.
Tholib Sungkar tidur menelungkup di atas ruji-ruji krangkengnya. Waktu tembakan meriam telah berhenti dan tembakan musket makin lama makin meninggalkan bandar memasuki kota, ia angkat kepalanya dan berhenti berdoa.
Ia lihat sudah tak ada pendaratan baru. Sekoci-sekoci telah berangkat lagi ke kapal dan mengangkuti peralatan. Di dermaga ia lihat beberapa orang Portugis. Dan ia dapat melihat mereka adalah para pembesar.
Ia mengucapkan syukur untuk keselamatannya, dilupakan oleh peluru meriam dan musket.
Pembesar-pembesar itu masih juga berdiri di dermaga menunggu pengangkutan peralatan. Sekarang peti-peti dan meriam dan rodanya
Bekas Syahbandar Malaka"
Tepat. Alias Sayid Habibullah Al-Masawa. Cukup!
Bertiga mereka lari menggabungkan diri dengan rombongan Francisco de Sa yang sudah hampir meninggalkan wilayah bandar.
Francisco berhenti, menengok ke arah krangkeng, kemudian berjalan menghampiri, dan mengawasi Tholib yang berdiri seperti burung kutilang di dalam sangkar.
Syahbandar itu membungkuk dan melambaikan tangan, menghormat: Selamat datang. Tuan, Tholib Sungkar Az- Zubaid, Tuan.
Francisco de Sa tidak menanggapi. Matanya tajam mengawasinya.
Sekaligus Tholib melihat pada mata itu perasaan dendam atas terbunuhnya Esteban dan Rodriguez. Mata itu mengancam dan jijik melihatnya. Buru-buru keluar dari mulutnya: Telah lama kutunggu kedatangan armada Portugis yang jaya. Betapa berbahagia sekarang tiba.
Di mana kau, waktu aku mendarat di sini beberapa tahun yang lalu dan orang-orang Tuban menghina aku"
Syahbandar Tuban sedang mereka injak-injak. Di tempat ini juga. Tak bisa berbuat apa-apa. Tuan. Di mana orang-orang itu sekarang"
Lari semua. Tuan. Jangan kuatir, akulah yang akan menunjukkan di mana mereka bersembunyi.
Francisco de Sa mendeham. la perhatikan konstruksi krangkeng besi itu.
Pembesar siapakah yang dihadapi oleh Syahbandar Tuban sekarang ini" tanyanya dengan kata Syahbandar ditekankan.
Francisco de Sa tak menjawab. Kemudian ia berpaling dan berjalan menuju ke gedung kesyahbandaran dalam pengawalan.
Ya Allah, ya Allah! sebut Tholib Akhirnya tanganmu juga yang terulur.
Ia menangis tersedu-sedu dalam ucapan bersyukur. Dicakupnya pasir dari bawah jeruji besi dan ditaburkannya pada tarbusnya. Belum juga puas, dilepasnya topi itu dan dituangkan pasir pada rambutnya dan dikacaunya. Ingusnya meleleh dan ditiupnya dengan sumbatan sebelah jari. Ia tahu, pembebasan telah tiba. Mungkin hanya untuk beberapa bulan saja ia bakal dibebaskan. Itupun tiada mengapa. Dalam sementara itu kemungkinan baru akan terpampang lagi di depan mata. Tinggal memilih yang terbaik di antaranya.
Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Francisco de Sa berjalan terus dan masuk ke kesyahbandaran yang atapnya telah kempes. Dan matari sudah tenggelam.
Seorang pengiring nampak lari ke dermaga, kemudian datang bersama temannya ke krangkeng membawa martil besi besar dan linggis. Tanpa bicara mereka mengayunkan palunya pada lidah-lidah pasak sampai bengkok, melipatlipatnya dengan pukulan, kemudian patah. Linggis tak terpakai Pintu besi itu pun terbuka.
Tholib Sungkar Az-Zubaid keluar dari krangkeng, menghirup udara sepenuh paru-parunya menjatuhkan diri di pasiran dan bersujud. Ia teruskan tangisnya.
Pasukan pagardesa berhamburan melarikan diri dari bandar. Di Tuban Kota pun mereka tidak aman. Di antara kebakaran yang menjadi-jadi mereka tetap diburu oleh serdadu-serdadu Portugis yang terus maju. Mereka menginsafi tak dapat menahan tembok semprotan peluru musuhnya, memasuki kampung-kampung pinggiran kota, terlepas dari ikatan apa pun kecuali dengan hidup masingmasing.
Para pengungsi memenuhi jalanan, grobak dan pemikul, penggendong dan penuntun.
Dan peristiwa penyerbuan Portugis segera disusul oleh berita tentang terjadinya perselisihan di antara kepalakepala pasukan.
Kala Cuwil menyalahkan Banteng Waieng yang sebagai Senapati atas seluruh pasukan Tuban telah membiarkan bandar tidak terjaga. Banteng Wareng menyalahkan Kala Cuwil karena sebagai Patih kurang betul dalam memberikan keterangan tentang keadaan bandar. Perselisihan semakin hari semakin meruncing. Kepalakepala pasukan yang lain ikut mencampuri bukan tanpa pemihakan. Balatentara Tuban terancam bubar karena pertikaian dari atas.
Serangan pembalasan terhadap Peranggi di Tuban Kota tak juga dilancarkan. Pengungsi yang menumpangkan hidup dan keselamatan di luar kota ternyata tak dapat hidup dengan tenteram. Para petani yang telah bosan pada perang dan selalu menjadi korban tak menanggapi kegentingan negerinya. Mereka sudah masa bodoh. Siapa pun yang menang nasib mereka akan tinggal jadi pembayar upeti dan jasa semata. Mereka tak suka lagi membantu seperti dulu. Toh kalau paceklik menyerang mereka pun tak bakal mendapat bantuan dari siapa pun.
Di Tuban Kota keadaan lebih tidak tertahankan bagi mereka yang tidak mengungsi. Syahbandar Tuban dengan giatnya menjadi petunjuk jalan serdadu-serdadu Portugis mengepungi kampung-kampung dan menakut-nakuti dengan tembakan. Semua lelaki ditangkap dan digiring masuk ke bandar, diperintahkan mendirikan bedeng-bedeng baru.
Pasukan-pasukan kecil pagardesa yang mencoba menyusup dan melawan selalu terhalau kembali oleh musket.
Lama kelamaan patroli Portugis juga berani memasuki daerah luar kota dan menangkapi lelaki siapa saja yang dapat ditangkapnya.
Bedeng-bedeng di bandar dalam waktu cepat telah bangun kembali, biarpun tidak sebaik dan sekuat dahulu. Dan semua tangkapan yang dipekerjakan kemudian di sekap di dalamnya. Penjagaan yang ketat tidak memungkinkan mereka menjenguk ke luar. Beberapa orang yang mencoba melarikan din telah rebah mencium tanah, baik karena peluru ataupun karena pisau tongkat Tholib. Ia sendiri menjadi begitu terkenal di dalam dan di luar kota dengan tongkatnya yang beracun dan mendapatkan kenikmatan dalam merampas jiwa orang.
Berita tentang perselisihan antar kepala pasukan sama hebatnya dengan tongkat samber nyawa Syahbandar Ulasawa.
Orang berani mengancam kepala-kapala pasukan yang pada naik pitam. Tetapi Syahbandar dengan tongkatnya mendapat banyak julukan karena setiap hari paling tidak ia mencabut satu nyawa. Dan apa pun julukan yang diberikan kepadanya, Moro yang seorang ini adalah sumber bencana yang tak lagi bisa diampuni. Ia tak segan-segan menikamkan senjatanya pada kanak-kanak ataupun kakekkakek, perempuan ataupun bayi. Ia juga memasuki kampung-kampung merampasi segala apa yang berupa mas dan perak. Untuk itu ia selalu membawa serdadu.
Dalam menikamkan senjatanya ia selalu tersenyum sambil memekik senang: Kafir!
Ia pun menjadi petunjuk ke arah pemerkosaan, di mana ia sendiri tak jarang juga ikut melakukannya sendiri.
Kampung nelayan telah menjadi senyap tanpa penduduk. Dengan perahu dan keluarganya mereka beramai-ramai pindah ke tempat lain di malam hari. Semuanya menuju ke sebelah timur. Pasar Tuban tiada didatangi orang lagi. Jalan-jalan lengang. Yang mondarmandir hanya serdadu Portugis. Mereka tak bertekad tidak mengungsi terjepit antara berbagai macam ancaman maut. Yang mati sakit atau tua tertinggal menggeletak tanpa perawat. Dan bila Portugis mengetahui ini segera mereka membakar rumahnya sekaligus.
Setelah seminggu menduduki Tuban dan balatentara Pribumi tak juga melakukan serangan pembalasan, Portugis mulai memberikan perintah pada Tholib Sungkar Az- Zubaid untuk membikin benteng bawah tanah di sebelah kiri kesyahbandaran.
Orang-orang yang dikurung dalam bedeng-bedeng bandar dikerahkan di bawah pengawasan dan perintahnya langsung. Mulailah mereka yang lesu kelaparan dan ketakutan itu bekerja keras sejak matari terbit sampai tenggelam. Harga manusia Tuban dalam pendudukan sudah tak ada, merosot jadi serumpunan hewan yang tak boleh punya kemauan sendiri atau bersama, tak boleh punya harga diri dan kehormatan, sebagai pribadi ataupun sebagai manusia. Kegentaran dan ketakutan setiap hari ditanamkan pada hati mereka melalui ancaman dan pengaiayaan untuk membikin mereka jadi kecil di hadapan Tholib Sungkar dan Portugis.
Seperti penduduk Sunda Kelapa mereka harus bekerja menggotongi balok-balok dari luar kota. Mereka menggali tanah dan menimbunnya tinggi berdepa-depa di atas permukaan. Mereka menimbun, menukang, mencangkul, memadatkan tanah. Alat-alat pertukangan baru mulai mereka kenal, alat-alat Eropa mulai mereka pegang: gergaji lempang, serut dan paku.
Hanya dalam dua minggu dan benteng bawah-tanah berdiri. Lantai terlapisi batu karang. Pada dinding bagian atas tanah bagian luar dilapisi batu dan kembali ditutup dengan tanah. Di situ juga dibikin lubang-lubang angin dan sekaligus lubang penembak. Di atas benteng berdiri sebuah menara kayu, diperlengkapi dengan lonceng kuningan. Seorang peninjau selalu nampak menyandang musket Meriam-meriam dipasang di bandar dan di sekitar benteng. Semua menghadap ke pedalaman.
Gedung kadipaten telah dijadikan tangsi pula setelah bongkar-bangkir dan ditemukan jalan dan rongga semasa bawah tanah serta simpanan barang-barang berharga semasa Majapahit.
Pecinan, tak terlindungi oleh hukum Pribumi, kosong menjadi rayahan Portugis. Penduduknya mengungsi lewat laut dan darat ke Lao Sam.
Kehidupan Pribumi di laut ataupun darat serasa telah berhenti.
Setelah benteng jadi orang-orang yang ditahan dan melakukan kerja-paksa diusir, dilarang memasuki wilayah pelabuhan. Sebaliknya perempuan gelandangan mulai berkampung lagi dalam gubuk-gubuk daun kelapa dan menampung penyakit baru yang mulai dikenal waktu itu rajasinga.
Di daerah bandar sendiri orang pun mulai berkenalan dengan binatang baru: tikus.
Setelah meninggalkan suaminya dengan membawa kemuakan terhadap lelaki yang diurusnya dalam kesulitan selama ini, ia lari ke gubuknya. Tak tahu lagi ia apa harus diperbuatnya. Di gubuk itu pun ia merasa tidak senang. Peluru itu bisa jatuh mengenainya. Ia lari terus ke timur memasuki semak-semak yang dipayungi barisan nyiur pantai.
Tembakan-tembakan cetbang menyebabkan ia menerobos semak-se-mak untuk meninjau pantai. Di sana ia melihat bagaimana empat buah kapal Tuban tenggelam dihajar oleh meriam Portugis. Ia jatuh berlutut, mencium tanah, tahu bahwa bangsanya tak mampu melawan di darat kalah, dilaut pun kalah.
Bakal jadi apakah semua ini nantinya" Dan badan seorang diri di dunia ini" Sang Adipati mengusir. Suami dikrangkeng karena perbuatannya yang hina dan memuakkan. Sekarang Peranggi datang dan mengalahkan semua-muanya. Apakah harus hidup dalam semak-semak begini dan menjadi hewan liar"
Tiga hari ia berputar-putar tak menentu di daerah semaksemak di timur bandar itu. Ia tak betah lagi dan kembali ia ke pondoknya. Seorang perempuan lain telah menempatinya, dan dengan kekerasan ia mengusirnya. Dengan ketangkasan berkelahi ia usir orang lain lagi yang hendak memasuki.
Dan makin lama makin banyak perempuan berkampung. Gubuk-gubuk penuh, dan sepanjang malam ramai dengan tawa kikik dan kekak. Perempuan dan hanya perempuan.
Di depan gubuknya itu juga pada suatu pagi ia bertemu dengan suaminya yang diiringkan oleh beberapa orang serdadu Portugis. Ia lihat suaminya bicara dengan serdaduserdadu itu yang kemudian menyebar memasuki gubukgubuk yang lain.
Tholib Sungkar Az-Zubaid masuk ke dalam: Begini tempatmu sekarang, Kati. Tidak patut untuk sembarang perempuan semulia kau. Bawalah semua barangmu. Aku telah mendapat tempat di bekas warung Yakub. Terimakasih, Tuan, tempat sahaya ada di sini. Mereka duduk di ambin bambu dan lelaki itu membujuk dan membujuk. Akhirnya: Tahukah kau, Kati, aku telah bersumpah hendak memeliharamu baik-baik, menempatkan kau di tempat yang mulia& .
Itulah sumpah Tuan sendiri, bukan sahaya. Jangan celakakan aku. Kati, beri aku kesempatan memenuhi sumpahku.
Sahaya tak perlu dipelihara. Tuan, dapat memelihara diri sahaya sendiri.
Tapi sini begini hina, Kati. Ada tempat yang lebih mulia, lebih patut untukmu.
Terimakasih, Tuan terimakasih atas kebaikan Tuan. Sahaya akan tinggal di sini.
Tapi kau istriku. Kati. Kalau Tuan memerlukan sahaya, datanglah Tuan ke sini. Sahaya akan tinggal di sini.
Kau tak ada sanak-keluarga, Kati"
Tidak, Tuan. Mengapalah Tuan baru tanyakan sekarang"
Maafkan aku. Kati. Bukankah kau kelahiran Tuban" Tidak, Tuan, Gresik. Waktu perawan sahaya diculik oleh seorang perompak dan dijual ke Tuban pada seorang Tionghoa.
Apakah kau tak ingin pulang lagi ke Gresik" Begini sudah baik, Tuan, sahaya telah mati untuk keluarga sahaya. Pada hari tua sahaya begini, sahaya ingin seorang diri, melupakan semua dan dilupakan oleh semua. Juga olehku. Kati"
Kesudian Tuan datang ke mari sudah kebaikan untuk sahaya, begini sudah baik. Tuan.
Makanmu bagaimana. Kati"
Mengapalah Tuan tanyakan itu" Burung-burung pun bisa mencan makannya sendiri, masakan sahaya tiada bisa"
Serdadu-serdadu itu menjemput Syahbandar, dan mereka pun pergi meninggalkan daerah pondok daun nyiur.
Tak lama kemudian datang gelombang demi gelombang orang-orang Portugis. Bila memasuki pondok Nyi Gede Kati mereka segera pergi lagi, karena perempuan yang seorang ini sudah cukup tua untuk dihindari. Dan waktu matari tenggelam, gelombang yang pergi dan datang tak kunjung berhenti.
Sekali terjadi seorang Portugis setengah mabok memasuki gubuknya dan tiga hari kemudian ia rasai saluran seninya hangat dan tegang. Ia tahu, seperti beberapa orang wanita lainnya ia telah terkena penyakit Peranggi...
Berita tentang masuknya Portugis di Tuban telah tersiar luas di pedalaman, melewati perbatasan, sampai ke tempat pengungsian Idayu sekeluarga di daerah Bojonegara. Berita tentang mengganasnya Syahbandar Ulasawa menerbitkan sesalan orang pada mendiang Adipati Tuban, yang terlalu mempercayainya. Juga di tempat-tempat yang jauh orang menjadi gemas karena kelakuannya.
Waktu itu tengah malam di pondok pengungsian Idayu. Gelar baru saja pulang dari desa tetangga dan mendengar berita itu. Setelah memasukkan kuda ke kandang ia sorong pintu gubuk. Dalam rembang sinar pelita ia lihat ibu dan adiknya, Kumbang, telah tidur. Ia raba kaki ibunya, dan Idayu terperanjat bangun.
Ada apa Gelar" Dan Gelar memandanginya seperti orang bingung. Tak pernah kau bangunkan aku seperti ini, Idayu duduk dan ia lihat sinar kegelisahan pada mata anaknya. Adakah kau habis berkelahi"
Gelar menggeleng lemah-lemah, dan dengan kasihnya ia pimpin ibunya menjauh dari Kumbang yang tidur nyenyak. Ada apa kau ini" Kau begini aneh"
Dan Gelar bercerita tentang masuknya Peranggi di Tuban dan mendirikan benteng, dan membunuhi banyak orang, dan membakari rumah, dan memang punya banyak meriam. Kemudian matanya meredup waktu sampai pada titik ia harus bercerita tentang tingkah-laku Syahbandar Tuban. Keberaniannya hilang.
Semua ejekan, sindiran, cemooh terhadap dirinya memberinya dugaan, bahwa maksud mereka hanya hendak memberitahukan dengan cara dan jalannya sendiri, ia memang bukan anak Wiranggaleng, tapi Syahbandar celaka itu. Ia sendiri sudah lama berpikir: kesamaan rupa antara dirinya dengan orang terbenci itu bukanlah suatu kebetulan. Dan kekecewaan bukan anak Senapati malahan hanya anak orang terkutuk itu makin lama makin jadi bisul dalam jiwanya. Kalau benar Syahbandar Tuban bapakku, seorang bapak yang tak kukenal dan tak mengenal aku, sia-siakah sembah dan sujud dan ketakzimanku pada Senapati" Dan betapa tak ada harganya diri ini jadinya. Tidakkah aku jadi semacam kotoran bagi Senapatiku"
Berita itu juga yang datang, orang yang disindirkan sebagai bapaknya, tampil sebagai orang hina, kejam terhadap orang-orang tak berdaya, menjadi buah mulut yang mengganggu pendengaran dan mengotori hati. Jangan, ya dewa, jangan bikin diriku jadi anaknya. Dewa! Bahkan sampai-sampai tongkatnya pun diberitakan orang, dan tarbusnya, dan bongkoknya, dan hidung bengkungnya yang seperti hidungku, dan gerak bibirnya bila ia sedang menanamkan mata pisau-tongkatnya pada tubuh seseorang. Kalau benar Syahbandar itu bapakku, mengapa emak tak pernah sampaikan padaku" Malukah emakku pada perbuatannya sendiri" Pada ketidaksetiaannya pada Senapatiku" Dan adakah aku hanya anak yang tidak diharapkan"
Jantungnya meriut kecil. Tapi justru sekaranglah waktu itu datang untuk menanyakan. Ia menjadi ragu-ragu melihat pancaran mata ibunya yang menduga dan merabaraba hatinya. Dan rangsang ingin-tahu-nya sudah memuncak sampai pada titik letus. Ia masih juga tak berani bertanya. Haruskah emak melengos dan menyembunyikan muka seperti beberapa kali pernah terjadi" Ah, emak, emakku, betapa kau menderita, hanya karena pertanyaan. Pertanyaan belaka, mak!
Ya, Nak, aku sudah dengar Peranggi memasuki Tuban. Kalau hanya itu, bukankah bisa kau cerita besok" Mengapa pula pandang matamu begitu aneh dan menakutkan" Sakitkah kau"
Mak, Gelar terhenti lagi. Lama sudah aku ingin tahu. dan ia terhenti.
Dan betul saja sebagaimana ia duga, Idayu sudah mulai melengos membuang muka.
Mak, apakah Emak berkeberatan punya Gelar ini sebagai anakmu, Mak"
Cepat-cepat Idayu menarik muka dan menatapnya. Menyesalkah Emak punya anak aku"
Gelar! Ia cengkam bahu anaknya. Kurang baikkah aku mengurus kau, mengasihi, mengasuh dan membesarkan"
Hyang Widhi lebih tahu, Mak, engkaulah ibu yang terbaik yang pernah aku temui di antara semua perempuan.
Mengapa kau sampai hati menganiaya aku dengan pertanyaan semacam itu"
Ampunilah aku, Mak ampuni aku.
Di luar dugaan Gelar emaknya tiba-tiba merangkulnya, suaranya mendesis seperti angin menerobosi lobang dinding: Apa saja kata orang tentang emakmu. Nak, sampai kau mentala bicara semacam itu" Apakah kau tidak suka punya emak semacam ini"
Gelar merasai airmata emaknya jatuh ke lengannya. Ia beranikan diri: Jangan menangis begini, Mak, ia terhenti, lama sudah aku ingin tahu sebenarnya dari Emak sendiri, ia diam untuk mendapat keberanian. Kau selalu tak mau menjawab. Entah sudah berapa kali.
Idayu melepaskan rangkulan dan melengos memunggungi anaknya: Ya, Nak. Aku mengerti maksudmu. Karena itu aku ulangi lagi pertanyaan lama itu: apakah seorang lelaki yang bernama Galeng itu kurang baik sebagai bapakmu"
Demi para dewa, Mak, tak ada yang lebih baik, apalagi lebih berharga.
Ia pandangi anaknya dan bertanya: Apakah itu tidak cukup, anakku"
Tidak cukup, Mak, ampuni aku, ia berbisik pelan dan hati-hati. Benarkah sindiran dan ejekan dan cemooh tak tertanggungkan itu, Mak, aku bukan anak Wiranggaleng" dan tiba-tiba keberaniannya menjadi utuh.
Idayu mendekatkan bibir pada kupingnya suaranya sendat-sendat: Kau sedang menggugat aku, Gelar.
Emak! ia memerosotkan diri dari duduknya dan menyembah dan mencium pangkuan ibunya. Para dewa mengutuki anakmu ini bila berani menggugatmu, Mak. Ampuni aku. Tak ada yang lebih baik dari Emak dan Senapatiku.
Mengapa kau ulangi juga pertanyaan semacam itu" Gelar berdiri, kemudian duduk di samping Idayu, tak berani menatap wajah ibunya. Dalam hatinya ia mengetahui emaknya sudah basah karena airmata kesedihan.
Kau sudah dewasa. Nak. Kau sudah jadi tulangpunggungku selama ini. Kau sudah jadi anak yang baik untuk emakmu, bapakmu dan abang yang sangat baik untuk adikmu. Apa lagikah yang masih kurang"
Mak, pada suatu kali bukankah aku juga akan turun ke medan perang" Dan kalau aku tewas, Mak, tegakah kau melihat aku mati tanpa mengetahui sesungguhnya siapa bapakku" Siapa akan aku cari di alam sana nanti" Kau masih merasa kurang, anakku.
Benar, Mak, masih ada yang kurang. Kebenaran itu, Mak, beri aku kebenaran itu.
Apa gunanya kebenaran itu kalau semua sudah cukup padamu"
Hanya kebenaran itu yang kurang, Mak. Apalah arti harga diri dan kehormatan yang selalu Emak ajarkan dan tunjukkan contoh-contohnya kalau kebenaran itu kurang mencukupi"
Aku mengerti kau. Perlu benarkah diungkap kebenaran itu kalau dia akan melenyapkan semua kebahagiaanmu, dan apalah gunanya bila demikian" ia menghela nafas dalam, kemudian menghembuskan ke luar seperti puputan. Jadi benar bapak bukan bapakku, Gelar mendahului.
Idayu melengos lagi. Ia hendak bicara tapi tak jadi. Kalau begitu siapa sesungguhnya dia, bapakku itu, Mak" melihat ibunya tak juga menjawab ia mendesak lembut, orang bilang, emak sendiri yang harus menjawab, bukan orang lain, dan tak ada orang lain yang akan menjawabkan untukku.
Setelah untuk ke sekian kali menghembuskan nafas besar Idayu berkata sepatah-sepatah, hati-hati, dan pelahan: Benar, Gelar. Kau sudah dewasa. Aku tahu, pada suatu kali aku harus juga sampaikan. Memang aku takut menyampaikan. Bukan karena takut pada kebenaran. Aku takut pandanganmu terhadap emakmu akan berubah. Keantaanmu pada bapakmu akan menjadi rusak, tak utuh lag" seperti sediakala. Apalah gunanya kalau semua itu yang terjadi" Kau memang berhak, dan kau menuntut hakmu. Aku takkan ingkari hakmu. Besoklah, Nak, bila matari telah terbit, jangan dalam malam suram semacam ini. Tidurlah kau.


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mak! Tidurlah. Tidaklah semudah kau duga untuk dapat memberikan hakmu dengan sebaik-baiknya. Aku masih membutuhkan keberanian untuk mengatakan. Kalau keliru bisa rusak semua-muanya. Soalnya memang tidak sederhana. Tidurlah. Besok masih ada hari lagi.
Tanpa memandang anaknya Idayu kembali ke ambin dan membetulkan letak selimut Kumbang, kemudian ia, tidur miring menghadap ke dinding.
Gelar masih tetap berdiri mengawasi adik dan ibunya. Ia sedang mengatasi perasaan iba. Ibunya nampak begitu menderita dan bersusah-payah. Hanya untuk dapat memberikan kebenaran yang jadi haknya.
Keruyuk pertama ayam jantan sudah mulai terdengar. Baru ia bangkit dan duduknya. Ia tak ingin tidur dan tidak dapat tidur. Pikiran, bahwa ia anak Syahbandar Tuban, membikin semua yang dipandangnya berobah nilai dan isi, dan semua serba tidak menyenangkan, menggelisahkan. Seluruh pengabdian, kasih-sayang dan kebanggaan pada orangtuanya tergoncang keagungannya hanya oleh yang seorang itu, satu nama yang membusukkan segalanya.
Keruyuk ke dua telah berhenti. Ia keluar dari gubuk, menghisap udara pagi segar, kemudian pergi ke dapur. Ia bawa pelita, dan mulai ia menyalakan api. Inilah untuk pertama kali ia melakukannya. Biasanya Idayu sendiri yang mengerjakan sekalipun sedang dalam keadaan sakit atau tak enak badan.
Ia tunggui air sampai mendidih. Emaknya belum juga turun. Jagung muda yang ditebusnya telah masak. Idayu belum juga muncul.
Ia pergi ke anak sungai dan mandi. Matari sudah memancarkan lembayung merah di ufuk timur. Waktu hendak masuk ke gubuk ditemuinya ibunya di pintu. Ia lihat mata wanita tercinta itu bengkak.
Gelar menggeletar. Hatinya terasa disayat-sayat. Betapa tersayat-sayat dada ibu yang sebaik itu olehnya. Tapi hanya hati yang kuat saja akan dapatkan kebenaran. Maka ia singkirkan perasaannya.
Mak! ia menegur lebih dahulu. Ya, Gelar, mari pergi ke ladang.
Dan di ladanglah Idayu mulai bercerita tentang impianimpiannya setiap habis menari di kadipaten waktu Wiranggaleng tak ada di Tuban. Siapakah dapat mengatakan impian mengandung kebenaran"
Dan kau membutuhkan kebenaran itu, dan kebenaran itu belum pasti. Hanya bukti-bukti yang tertinggal menjadi petunjuk arah ke kebenaran itu, anakku.
Idayu menerangkan pada Gelar tentang kehidupan seksuil. Kemudian: Dan bukti yang paling menentukan adalah kau sendiri. Sejak kau kulahirkan, sejak itu pula aku tahu kau bukan anak Wiranggaleng. Telah aku serahkan diriku pada bapakmu, Nak, aku serahkan diriku dengan sebilah cundrik, tapi bapakmu tidak menancapkan senjata itu pada tubuhku. Ia biarkan aku hidup, la mengampuni emakmu ini.
Ah, Emakku, betapa kau menderita karena kelahiranku.
Hanya Hyang Widhi juga mengetahui, Nak, betapa perasaanku waktu itu. Nyi Gede Kati telah siap melihat aku bermandi darah. Bapakmu tak juga membunuh aku. Betapa menderita dia, barangkali dia pun telah lama jadi olokolokan orang sebagai lelaki Tuban yang tak ada harganya sebagai lelaki& .
Cukuplah itu, Mak, jadi siapa dia, bapakku itu, Mak" Setelah kau lahir, dia masih mencoba lagi. Tidak dalam impian, dalam kenyataan. Hanya cundrik yang dapat membela diriku. Bila suamiku bukan Wiranggaleng, sudah lama emakmu ini tumpas dibunuhnya, juga kau, juga orang itu. Dan justru karena percobaannya dalam keadaan aku sadar dan dapat membela diri, Gelar, aku dapat memastikan, apa yang dahulu itu hanya impian belaka bagiku, ternyata sesungguh-sungguh kejadian. Kemudian orang ramai membicarakan dia suka membius orang untuk mencapai maksudnya, antaranya istrinya sendiri: Nyi Gede Kati.
Mak, jadi benar Syahbandar Tuban Sayid Ulasawa! pekik Gelar.
Kemudian dibiusnya juga penjaga-penjaga menara pelabuhan. Kabarnya kemudian juga dua orang pelarian Peranggi. Jadi aku tidak bermimpi. Kau bukan anak impian, anakku, aku telah kena bius. Obat biuslah senjatanya untuk melaksanakan kejahatan. Aku tak tahu bagaimana caranya aku terkena biusnya.
Cukup, Mak cukup, terimakasih, Mak.
Itulah ceritanya. Gelar. Aku takkan menuntut padamu untuk percaya. Terserahlah bagaimana kau menimbang dan menilai, emakmu pembohong atau bukan, emakmu tak punya arti atau tidak. Setidak-tidaknya kau sudah dengar dari emakmu sendiri, bukan dari orang lain. Kalau kau anggap emakmu tidak setia pada Wiranggaleng, sudahlah jadi nasibku, terserah padamu. Kalau kau menjadi murka padaku, terserahlah pula padamu& .
Terimakasih, Mak, anakmu yang bernama Gelar ini lebih percaya pada emaknya daripada siapa pun. Sekarang, Mak apakah orang itu, yang suka membius itu
Apalah gunanya kau tanyakan lagi" Aku tak sudi kau menyebutkan namanya.
Baiklah, Mak, kau tak sudi mendengar namanya, dan ia lihat duka-cita telah membenam wajah ibunya. Buruburu ia bersujud dan kata-ka-tanya keluar dengan gugup, hanya kaulah, Mak, yang aku percaya.
Kemudian ia berdiri. Keningnya berkerut dan matanya menyala-nyala pada satu titik. Ia berjalan cepat-cepat menuju ke suatu tempat, meninggalkan ibunya seorang diri.
Gelar! pekik ibunya. Gelar! Gelaaaar! ia lari memburunya. Di dekatnya ia berkata menghiba-hiba, Aku telah kecewakan kau. Maafkan aku. Gelar.
Gelar berjalan menuju ke kandang kuda, membuka palang-palang dan menuntun Sultan keluar.
Kau mau ke mana, anakku" pagi-pagi begini" tanya ibunya kuatir.
Mari ke gubuk dulu, Mak. Mereka berjalan bertiga, ibu, anak dan seekor kuda, menuju ke gubuk. Gelar masuk ke dalam dan memanggil adiknya.
Kau, Kumbang, tinggal di rumah bersama emak. Jangan pergi meninggalkan gubuk ini sebelum aku pulang. Gantikanlah pekerjaanku selama aku tak ada. Kau mau ke mana. Gelar" Idayu bertanya. Mak, ambilkan pedangku.
Tanpa membantah Idayu pergi mengambilkan apa yang dipinta oleh anaknya. Dan waktu ia datang Gelar segera berkata: Tanganmu, Mak, pasangkan itu dengan tanganmu sendiri.
Kau mau ke mana. Gelar" Aku tak mau kehilangan kau. Bapakmu tak ada. Adikmu masih kecil, pohonnya selama memasangkan ikat pinggang pedang pada tubuh Gelar.
Kumbang, ambilkan tombak dan cambuk-perang. Apa kataku kalau bapakmu datang"
Mak, pasangkan destarku. Idayu pergi lagi dan datang membawa destar terbaik. Gelar berlutut di hadapan ibunya untuk dibenahi rambutnya sebelum didestari.
Aneh benar tingkahmu. Nak" Keris bapak, Mak.
Kau seperti hendak berangkat perang, kata ibunya sambil menyelitkan keris yang telah membunuh Sang Patih Tuban.
Gelar berdiri tegak di depan ibunya, tersenyum, bertanya: Lihatlah anakmu sebelum berangkat, Mak, gagahkah dia"
Tak ada yang lebih gagah.
Gagah manakah dengan orang itu sewaktu muda, Mak"
Jangan sakiti hati emakmu. Gelar.
Ampun, Mak, ampun. Pandangi anakmu baik-baik, Mak. Bila dia tak mampu pulang dengan kaki sendiri, biar kau bisa kenangkan dia dengan baik.
Gelar! Mau ke mana kau" untuk ke sekian kalinya Idayu memohon. Kau takkan tinggalkan kami berdua, bukan"
Sekarang Gelar berlutut lagi dan menyembah ibunya. Restui aku, Mak, anakmu akan berangkat, dan Idayu terpaksa merestuinya. Kemudian ia berjalan keluar dan memanggil kudanya: Sultan! Sultan! Kuda itu datang menghampiri. Ia melompat ke atasnya.
Kumbang! Mana tombak dan cambuk-perang" Ia selitkan cambuk-perang yang selama ini dipergunakannya berlatih pada pinggang dan ia tancapkan gagang-gagang tombak pada jangang kulit sehingga berdiri tegak di belakangnya. Ia berdiri di atas sanggurdi dan meninjau langit. Kuda itu bergerak, berpacu.
Ia lambaikan tangan pada yang ditinggalkan, kemudian hilang di dalam hutan& .
0odwo0 41. Setitik Busa di Samudera Kehidupan
Kuda itu berpacu keluar dari hutan, memasuki padang alang-alang, memasuki hutan lagi, berpacu dan berpacu. Pada suatu padang rumput barulah berhenti. Gelar turun dan membiarkan Sultan merumput Ia sendiri duduk di tepian padang, makan rebus jagung muda.
Selama enam belas tahun benih jagung yang dibawa Syahbandar Tuban ke Jawa telah menyebar ke seluruh pulau Jawa tanpa diceritakan lagi siapa pembawanya. Juga Gelar tidak tahu. Tak ada yang pernah bercerita.
Setelah kuda dianggapnya cukup kenyang ia berangkat pelahan-la-han mencari sungai yang biasa dilewatinya. Dibiarkan kuda itu minum secukupnya. Kemudian ia melanjutkan perjalanan kembali.
Puh, puh, puh! lari, cepat Sultan, cepat. Lebih cepat! Awas, jangan kau lemparkan aku dari punggungmu.
Padang rumput itu telah terlalui dan kini ia memasuki jalanan desa.
Stt. Kau lari ini hendak ke mana" Tahu kau ke mana kau harus bawa aku"
Sawah dan beberapa rumah mulai dilewati dan dipapasinya wanita-wanita yang sedang pergi mengirimkan makan suaminya di sawah atau ladang. Ia pelankan kudanya. Anak-anak kecil bersorak melihatnya sambil melambai-lambaikan cambuk. Anak-anak babi pada berlarian seakan jiwanya sendiri yang terpenting di dunia ini.
Ah-ah, kau memang cerdik, Sultan, tahu ke mana aku hendak pergi.
Kuda telah meninggalkan desa dan kembali memasuki persawahan.
Awas, jangan sampai kau pergokkan aku pada Peranggi, ia memperingatkan. Sekiranya, Sultan, sekiranya aku tak bisa kembali, kau harus bisa pulang sendiri. Cari Emak, dan, katakan padanya, aku tak bisa kembali. Mengerti" Apa" Kau sudah lelah lagi" Matari pun belum lagi bergeser sejengkal. Jangan manja.
Kuda itu berlari tenang tidak terburu-buru melalui jalanan desa dengan hutan muda di kiri-kanannya. Derap kuda dan desau angin pada kuping menyebabkan ia tak banyak mendengar sesuatu di seling-kungannya. Hanya matanya tajam melihat ke segala jurusan di depan. Dan ia pun tak mendengar seseorang berseru-seru dari atas pohon tinggi, menyuruhnya berhenti.
Sayup-sayup mulai terdengar olehnya suara kentongan bambu dari atas pohon. Ia anggap itu suara burung.
Sampai di tikungan kudanya berhenti, meringkik. Gelar menebarkan pandang ke keliling. Macan: Kuda itu tetap menolak maju dan terus juga meringkik.
Turun! terdengar suara dari balik semak hutan. Gelar menolak turun dan kuda menolak jalan. Ia mencabut tombak.
Orang siapa" Demak" Bukan. .
Peranggi" Tidak. Tuban" Tiga-tiganya tidak! Turun! Kalau tidak, kau akan berbulu anak panah. Siapa kau"
Keluar kau dari semak, lelaki, inilah Gelar. Tiba-tiba terdengar orang tertawa-tawa dan beberapa belas orang keluar melingkarinya. Gelar sendiri duduk di atas kuda menyiap tombak dan meruncingkan kewaspadaan.
Kau, Gelar! mereka berseru senang.
Ayoh, turun. Gelar curiga. Tapi suara tawa mereka ramah. Pandangnya berpendaran pada wajah-wajah yang melingkarinya, dan ada salah seorang ia kenal: seorang prajurit pengawal Tuban.
Ayoh, Gelar, turun! Tak ada orang punya gaya berkuda seperti kau.
Siapa kalian, Gelar bertanya curiga. Demak atau Tuban" ia bertanya kembali.
Tuban. Sudah butakah matamu" Ayoh, minum tuak dulu! Semua ini teman-temanmu sendiri sepasukan. Tidak, tak ada yang bakal tangkap kau. Turun! Kau toh akan menggabung dengan kami dengan perlengkapan perang seperti itu"
Gelar mengembalikan tombak pada tempatnya, tertawa waspada dan turun.
Awas kalau kalian coba-coba bikin pertengkaran& ia awasi prajurit-prajurit pengawal itu.
Pertengkaran apa" Terlalu banyak musuh untuk boleh bertengkar Demak, Peranggi. Kau toh akan bergabung dengan kami"
Dengan tetap memegangi hulu pedang ia hamp iri bekas tetangga tidurnya dan berkata bersungguh-sungguh: Aku mau bergabung hanya kalau ditugaskan masuk ke Tuban. Dengar"
Beres. Bergabung dulu. Minum, ambil tuak itu. Tuaaaak. Mereka masuk ke dalam hutan, merubung ladang tuak.dan minum dari cangkir bambu. Dan sebentar kemudian mereka telah riuh-rendah dalam kegembiraan.
Kau sudah perjaka gagah berani. Gelar! seorang memulai. Tahukah, kau. Gelar, seseorang menyambung, Syahbandar itu ternyata terlepas dari tangan Sang Patih"
Gelar tak jadi meneguk tuaknya. Matanya tajam menembusi mata si penanya, kemudian meletakkan cangkir di tanah.
Jangan kau gusar, segera orang meredakan. Peranggi telah membebaskannya. Sekarang dia jadi biangkeladi segala macam kecelakaan.
Gelar menahan diri. Ia mencoba memahami adakah ucapan itu dimaksudkan untuk mengejek dan menghina ataukah sekedar memberitahukan, Belum lagi ia dapat memutuskan terdengar derap kuda datang mendekati. Siapa itu" Gelar bertanya curiga.
Orang sendiri. Jangan kuatir. Hei, Gelar, kau mau ke mana dengan kelengkapan perang selengkap ini"
Gelar tak bermaksud menjawab. Orang lain telah bicara: Ingin kami lihat tampangmu kalau sudah berhadapan dengan Peranggi. Terhadap teman-temanmu sendiri kami sudah cukup tahu. Gelar
Ya-ya, betul. Kami ingin lihat bangaimana kau mendengar musket dan meriam. Pucat, kau. Gelar, mungkin pingsan sewindu .
Dari jalanan terdengar penunggang kuda itu berseru-seru dan derap kudanya padam: Kembali kalian! Semua! Senapatiku telah datang, Senapatiku yang lama. Ayoh kembali!
Orang pun berlarian keluar dari balik semak-semak ke jalanan. Seorang pengawal yang masih duduk di atas kuda menyampaikan perintah: Tanpa kecuali, semua kembali. Senapatiku telah datang.
Banteng Wareng" Bodoh. Wiranggaleng! Bersoraklah untuk Senapatiku. Orang pun bersorak-sorai. Gelar menyembunyikan muka pada bulu suri kudanya. Ia menangis. Ia tahu orang itu bukan bapaknya lagi. Semua orang berbangga pada Sang Senapati Tuban. Ia merasa seumur hidupnya telah jadi duri dalam dagingnya. Apakah lagi arti dirinya bagi Sang Senapati"
Sultan! sebutnya pada kudanya meminta simpati. Kuda itu menengok padanya. Sorak-sorai itu telah berhenti. Kau tidak ikut bersorak. Gelar! seseorang menegur. Seumur hidupku aku telah bersorak untuknya, jawabnya cepat-cepat dan menyekakan muka pada punggung Sultan.
Ayoh, semua berangkat sekarang juga. Orang pun mengemasi bawaannya masing-masing dan naik ke atas kuda. Juga Gelar bergabung dengan sendirinya dan ikut berangkat
Ia berkendara pelan-pelan dibuntut barisan. Ujung depan telah hilang di balik tabir debu. la membutuhkan waktu untuk memantapkan kembali hatinya. Senapatiku! Senapatiku, masihkah diri ini anakmu" Akan kau terima diri ini bila ikut datang menjemputmu" Mengabdi padamu" Aku bangga berbapak kau. Ah, Senapatiku. Ia pacu kudanya. Semoga kau tak merasa hina beranakkan aku. Bapak! Bapak, aku, Gelar datang.
Gelar diterima kembali oleh pasukannya.
Dan Senapati Tuban, Wiranggaleng, ternyata tak pernah dapat ditemuinya. Belum ada orang yang dapat bercerita bertemu, apalagi bicara dengannya. Namun demikian kewibawaannya dapat dirasakan oleh setiap prajurit. Perselisihan antara pemimpin-pemimpin pasukan lenyap seperti dihembus angin. Setiap saat orang menunggu dengan taat akan datangnya perintahnya. Dan dalam waktu pendek ketidak-acuhan para petani di pedalaman dapat dilawannya.
Prajurit-prajurit yang selama ini dibiayai oleh praja Tuban, dan praja dari upeti, dan upeti dari keringat petani, telah menjadi pengetahuan umum setiap orang. Tanpa praja prajurit yang sepangkat-pangkatnya hanya akan hidup dari perampokan langsung atas petani. Senapati telah tindas kecenderungan jahat ini, dan memerintahkan setiap prajurit menjadi petani dan setiap petani menjadi prajurit. Dan ternyata setiap prajurit bisa menjadi petani dan setiap petani bisa menjadi prajurit.
Dan Senapati Tuban masih juga tidak dilihat oleh orang.
Gelar harus tahan kerinduannya untuk bertemu, untuk mendapat restu, untuk mendapat ijin istimewa memasuki Tuban, menemui Syahbandar Sayid Habibullah AlMasawa. Idayu telah mengatakan melalui jalan kelok, Syahbandar itulah bapaknya yang sebenarnya, la harus menemuinya dan menyembahnya sebagai seorang ayah. Biar semua orang membenci dan mengejeknya, dia adalah bapaknya, orang yang suka membius itu. Ia ingin tahu dengan mata dan kuping sendin bagaimana macamnya.
Dan keinginan itu tak juga terpenuhi.
Kembali menjadi anggota pasukan pengawal ia menjadi pendiam lagi seperti dahulu. Setiap hari ia berlatih memainkan senjata. Dan betapa ia berlatih diri begitu fanatik. Ia akan melewatkan masa perang ini dengan selamat. Dan semua berita tentang bapaknya yang sejati ia dengarkan dengan hati-hati, tanpa perasaan pribadi. Dan betapa ia mulai mengerti dengan sikap semua orang yang membenci orang Moro itu. Mereka berhak membencinya dan ia merasa ia pun berhak menjadi pemenang dalam perang terakhir nanti.
Kadang ia berpikir, mengapakah kelakuan satu orang saja bisa membikin diri dan emak dan Senapati menelan kegetiran begitu panjang. Mengapa tidak Syahbandar itu sendiri yang harus menanggungkannya" Tidak adil! ia meraung sunyi.
Dan bukanlah suatu kebetulan, waktu diadakan pengiriman seorang telik untuk memasuki kota, ialah yang terpilih. Ia telah mendapat nilai sebagai pemuda yang berani dan cakap. Ia terima tugas itu dengan perasaan syukur pada Hyang Widhi. Dengan menyandang semua senjatanya ia naik ke atas punggung Sultan dan berpacu ke utara.
Sampai di sebuah kampung nelayan ia berhenti. Ia nikmati pemandangan laut yang nampak tanpa batas, bersambung langsung dengan langit, sama-sama biru. Tak ada kapal, besar ataupun kecil kelihatan. Perahu nelayan pun tidak. Semua yang biasanya dicancang di pantai, kini diangkat naik ke darat, di bawah lindungan pohon bakaubakau.
Rumah-rumah itu nampak sangat miskin, suram, tak ada kegembiraan, beda daripada pondoknya dalam pengungsian. Semua atap terbuat dari ilalang yang telah lusuh dan hancur-hancur lekang dan dipatahkan oleh angin.
Ia masuki sebuah rumah, telah doyong, dan dua orang anak kecil sedang bermain-main di dalam. Ternyata orangtuanya pergi ke daerah selatan, mencari tanah pertanian. Juga di rumah-rumah lain, yang ada hanya bocah-bocah. Semua nelayan telah meninggalkan laut untuk bertani.
Di malam hari waktu mereka pulang ia mendapat cerita, penangkapan ikan tidak lagi menghidupi. Tak ada lagi orang datang untuk bertukar dengan beras dari pedalaman. Mereka pun telah berhenti membikin ikan asin dan trasi. Hanya garam masih terus dibikin bila hari tidak hujan. Tetapi Gelar melihat, sawah-sawah garam mereka sudah tidak terpelihara. Mereka dalam kesulitan penghidupan yang amat sangat.
Walau begitu ia tak ragu-ragu memerintahkan seorang laki-laki dewasa agar tinggal di kampung untuk memelihara kuda dan barang-barang titipannya.
Dengan berlindung kegelapan malam ia mendayung ke jurusan timur pengalaman pertama dalam hidupnya sebagai orang pedalaman.
Ia telah mendapat tugas untuk menemukan pemusatanpemusatan kekuatan Peranggi, mencatat adat-kebiasaannya di siang atau malam hari, dan sampai di mana saja daerah geraknya.
Dalam mendayung di kegelapan ia mengandalkan diri pada ketajaman matanya. Dan ia bangga hidup di tubir maut begini suatu kehormatan untuknya. Ia akan tunjukkan pada emaknya, pada Senapati, pada semua yang mengenal dan tidak mengenalnya, ia mampu lakukan tugas berbahaya tanpa teman, bahwa ia layak jadi anak Senapati Tuban. Dan Senapati akan bangga punya anak seperti dirinya. Ia takkan memalukan orangtuanya.
Dengan modal kebanggaan dan hati besar ia tak menemukan sesuatu kesulitan. Ia dapat mendarat dengan selamat di barat bandar kota, dan bandar itupun terbentang di hadapannya seperti sebuah cobek tua yang tinggal pecahnya. Dengan melumuri badan yang hampir-hampir telanjang itu dengan kotoran, rambut kacau dirubung lalat, berjalan dengan kaki X, berpura-pura gila, ia menyanyi dan tertawa tiada berkeputusan, bicara seorang diri, dengan mata menatap hanya pada satu titik. Rambut kacaunya jatuh pada mukanya dan menutup sebagian dari wajahnya, terutama hidung-bengkungnya.
Tanpa ragu-ragu ia mendekati prajurit-prajurit Portugis dan mengajak bicara. Dan mereka menghalaunya dengan cacian, dengan lemparan batu. Ia merasa puas dengan permunculannya. la tak takut pada kesialan. Sudah sejak kecil diajarkan padanya, tak ada kesialan dalam hidup manusia, yang ada hanya akibat kekeliruan dan kesalahan.
Kepalanya terlindungi oleh sisa destar yang merupakan tali sempit. Dengan demikian ia dapat kukuhkan letak rambut yang harus dapat menutup hidungnya. Kesulitan satu-satunya adalah pangan, tapi justru itu yang menyebabkan ia mengurus dan nampak pucat. Dan itu lebih baik baginya.
Untuk mendapatkan pemusatan-pemusatan kekuatan baginya tak merupakan kesulitan. Meriam-meriam ia dapat mengetahui ditujukan ke arah selatan sedang yang di sekitar benteng terarah ke barat. Semua berdiri di atas roda kayu. Benteng dan kadipaten merupakan pusat kehidupan Peranggi. Sedang bandar sendiri nampaknya tak begitu terjaga. Menara pelabuhan dan menara benteng memang merupakan bahaya awal bagi belatentara Tuban, tetapi di malam gulita menara-menara itu tidak akan berdaya. Juga mata tentara Peranggi itu tidur di malam hari.
Ia lihat serdadu-serdadu berkeliaran di kampungkampung dan menggauli wanita yang tak mampu meninggalkan kota. Tapi lebih banyak lagi adalah yang berkeliaran di gubuk-gubuk bandar. Dan di sini pula ia sekali melihat Syahbandar Tuban keluar dari sebuah gubuk, tua, berjalan terbongkok-bongkok, bertongkat dan bertarbus tua. Kemudian ia lihat juga gubuk itu ditinggali oleh Nyi Gede Kati, yang juga sudah tua, dan badannya tak terpelihara lagi seperti dulu.
Beberapa hari lamanya ia memata-matai Syahbandar, la selalu melihat orang itu berada dalam kawalan serdadu dan setiap sore berkunjung ke gubuk Nyi Gede Kati, seorang diri, dan pulang di waktu malam. Bila ta memasuki gubuk itu pengawal-pengawalnya kemudian pergi dan masuk ke tempat-tempat lain.
Sekali waktu ia tidur bergolak-golak di pasiran pinggir jalan ia lihat Syahbandar lewat dalam pengawalan. Ia berhenti, mengawasinya sejenak kemudian bicara sesuatu dalam bahasa yang ia tak mengerti. Sebelum berangkat Syahbandar itu memerlukan untuk meludahinya, dan Gelar tertawa berbahagia mendapat ludah itu dan menyekanya dengan rambutnya. Ia ikuti orang terbongkok-bongkok itu dengan pandangnya.
Itulah bapakmu yang sesungguhnya. Gelar, buruk sebagaimana hatinya, busuk sebagaimana hatinya dan jahat sebagaimana hatinya. Mengapalah kau berbapakkan dia" Orang yang tak pernah terdengar berbuat sesuatu kebajikan" Tak pernah terdengar sesuatu yang mulia tentangnya" Tapi itulah bapakmu. Semua orang tahu. Emakmu sendiri mengatakan dengan jalan dan cara lain.
Betapa emakku menderita karena kau, menanggung malu seumur hidup. Sekali waktu kau akan jatuh ke tanganku iblis tua! Inilah Gelar, anakmu, dia akan datang padamu. Hati-hatilah. Dua puluh hari kemudian, pada suatu sore ia melihat Nyi Gede Kati menggendong bakul entah dari mana pulang ke gubuknya di daerah pelacuran, la nampak kurus. Matanya cekung dan jalannya telah goyah, tiada mantap seperti biasanya.
Ia kumpulkan ketabahannya melihat wanita itu memasuki gubuk dan sebentar kemudian juga Syahbandar dalam iringan tiga orang pengawal, la perhatikan pengawalpengawal itu menjauh dan memasuki gubuk lain.
Ia dekati gubuk itu dengan tongkat kayu di tangan dan debaran deras di dalam jantung. Langkah masih menyeret dengan kaki X. Ia makin mendekat sampai terdengar suara tawa Syahbandar dan Nyi Gede.
Kau semakin kelihatan kurus, Kati. Tidak, Tuan, sahaya hanya lelah.
Seorang pelacur yang lewat telah mengganggunya dengan ludah dan mentertawakannya. Ia pun ikut tertawa, mendekatinya, dan orang itu lari. Pelacur-pelacur lain muncul, dan ia dekati mereka, dan mereka pun lari bercekikikan. Ia belok kanan jalan memburu mereka, kemudian kembali ke gubuk Nyi Gede.
Pintu daun kelapa itu terbuka. Ia melompat masuk sambil tertawa bahak seperti gandarwa di atas panggung. Tongkatnya tergenggam, matanya melotot dan mulurnya ternganga.
Sekilas ia dapat melihat dua orang itu terperanjat. Nyi Gede berdiri di samping tungku, bersiaga terhadap setiap serangan. Tholib Sungkar Az-Zubaid naik ke atas ambin kedudukannya, bersiaga dengan tongkatnya.
Perempuan itu segera mengenalnya dan berseru dari tempatnya: Gelar!
Nyi Gede! tiba-tiba saja Gelar lupa pada kegilaannya. Gelar! anakku, mengapa kau jadi begini" ia melangkah mendekat.
Dan Gelar merasa agak berkecilhati karena wanita itu segera mengenalnya. Ia melengos memandangi Syahbandar.
Beginilah nasib anakmu, Nyi Gede.
Gelar" Syahbandar bengong dan turun dari ambin. Ya, inilah Gelar.
Sudah kucari Nyi Gede ke mana-mana. Beri aku makan, perintah Gelar. Kasar.
Gelar" Kau sudah bisa sekasar itu" Ya, tunggulah aku masakkan. Nampaknya kau sudah lapar.
Makan" Gelar tertawa sinting. Siapa yang cukup makan sekarang" Siapa cukup pakaian" ia melotot pada Tholib.
Compang-camping begitu, gumam Syahbandar, mungkin memang sudah gila. Ia mengendurkan kesiagaannya. Kulihat memang Gelar seperti celeng keluar dari jaring ikan. Hampir telanjang bulat. Tunggu di luar, biar Nyi Gede selesaikan masaknya.
Di mana emakmu" tanya Nyi Gede. Lari. Tak tahu aku ke mana.
Seperti gila, tapi bisa menjawab, Syahbandar meneruskan bicara pada diri sendiri. Busuk benar baunya, dan lalat mengikuti begitu rupa. Dan sekarang ditujukan pada Gelar, Baumu busuk, tak pernah mandi. Kau kan prajurit Tuban"
Minum, Nyi Gede! Gelar meminta kasar, membelalak. Dan wanita itu mengeluarkan gendi, berkata meminta maaf dan menghampiri: Tuak aku tak punya, Gelar.
Air tawar" gumam Gelar, kemudian meneguk dan meletakkan gendi di atas lantai tanah. Aku kotor, lapar, tapi masih tetap Gelar, Nyi Gede, ia tersenyum di buatbuat. Tiba-tiba dengan suara meledek menuding pada Syahbandar, Siapa orang ini, Nyi Gede"
Perempuan itu mengambil gendi dari tanah dan menaruhnya kembali di dalam gantungan: Masa kau lupa siapa dia"
Apa guna kau mengenal aku" Syahbandar menolak untuk disebut namanya. Ia bergerak hendak keluar dari pintu.
Gelar mencegahnya melangkah lebih jauh. Siapa! tanyanya pendek dengan suara menggeram.
Tingkahmu menakut-nakuti orang Gelar. Dulu kau tidak begitu, tertib dan sopan. Jangan dekati dia, Gelar. Kau begitu kotor dan busuk.
Dan kembali Syahbandar bersiaga dan mundur menjauh beberapa langkah.
Jangan mundur! tegah Gelar. Biar kuingat-ingat siapa kau; ia raba-raba hidungnya sendiri. Hidungku seperti hidungmu. gumamnya. Aku lupa seakan pernah kulihat kau dalam hidupku.
Kau pura-pura tak tahu siapa dia. Jangan dekat-dekat, tegah Nyi Gede sambil meneruskan masak.
Bukankah itu Tuan Syahbandar Tuban"
Dia sudah begini tua sekarang, kau. Tuan Syahbandar, Gelar meneruskan gumamnya. Kalau aku sudah menjadi tua, semestinya akan seperti dia juga. Siapa kau"
Tholib Sungkar berusaha hendak keluar dan gubuk, dan kembali gelar menghalangi.
Kupukul kau kalau merintangi jalanku, ancam Syahbandar.
Syahbandar, Tuan Syahbandar, bisik Gelar. Tuan Syahbandar Tuban. Tapi siapakah namanya" Sudah lama kurindukan waktu untuk bertemu dengannya. Tapi siapakah namanya"
Gelar! Kau mengganggu aku memasak. Jangan ganggu pula Tuan Sayid Habibullah Al-Masawa itu.
Benar, Sayid Habibullah Al-Masawa! Gelar mendengus. Benar, ingat aku sekarang.
Mengapa kau nampak begitu menakutkan" tegur Nyi Gede yang kembali mendekatinya. Hormati dia sebagaimana kau menghormati orangtua.
Gelar mencibir. Dan Syahbandar tetap siaga dengan tongkatnya.
Gelar! Kau atau aku yang pergi dan situ! bentak Syahbandar. Kau ini orang Demak atau Tuban, atau hanya main pura-pura gila"
Kau menghadapi Tuan Syahbandar sebagai menghadapi& , Nyi Gede memperingatkan.
Nyi Gede, ingatkah Nyi Gede semasa aku masih kecil" tiba-tiba Gelar bertanya kekanak-kanakan. Ini dia Tuan Syahbandar Sayid Habibullah Al-Masawa. Kata orang. Nyi Gede, dia bapakku.
Penipu! Tak ada aku beranakkan kau! bentak Tholib Sungkar Az-Zubaid, tak jadi pergi.
Benarkah itu, Nyi Gede"
Wanita itu meneliti wajah Gelar, memarahi: Kau datang seperti petir di siang cerah, membawa pertanyaan tidak pada waktunya.
Gelar tertawa pendek. Tongkat dikepitnya pada ketiak: Mengapa begitu pucat. Tuan Syahbandar" Jangan, jangan pergi. Anakmu ingin bicara,
Tak ada aku punya anak seperti kau.
Jadi kau bukan bapakku" Kaukah yang menipu ataukah emakku Idayu"
Jelas Idayu penipu! Syahbandar memutuskan. Nyi Gede memegangi bahu anak muda itu, bertanya lunak: Pernahkah Idayu bilang begitu"
Tak pernah Idayu mengasuh anaknya jadi penipu, Nyi Gede, kau yang pernah membidani emak waktu aku lahir. Apa katamu"
Nyi Gede menarik Gelar agar duduk di ambin, tapi ia menolak. Ia sendiri sekarang yang duduk, mentelantarkan masakannya.
Jangan menakut-nakuti begitu, kau, Gelar, ia memperingatkan, kalau kulihat kau berdiri di depan Tuan Syahbandar, nampaknya memang seperti dua orang kembar. Hanya kau tegak, muda belia, tinggi semampai. Tuan Syahbandar& .
Apa saja semua ini& , protes Syahbandar.
& Jangkung, tapi tua dan bongkok. Memang sepantasnya anak dan bapak. Kulitnya, hidung, mata, rambut& .
Diam, kau, Kati, bentak Tholib Sungkar. Gila kalian berdua ini. Aku pergi.
Dan Gelar menghadang. Apa salahnya Tuan dengarkan sedikit kata dari kami" Nyi Gede, ceritakan penderitaan emakku setelah melahirkan.
Betul. Dia sangat menderita. Dia merasa pasti akan dituduh oleh suaminya, Wiranggaleng. Si periang itu, jadi pendiam untuk selama-lamanya setelah itu, jadi pemenung. Dia tak tahan terhadap perasaannya dan duga-dugaan sendiri. Dia telah serahkan diri pada suaminya untuk dicundrik mati.
Kau dengar itu, Tuan Sayid, bapakku"
Jangan berani pergi sebelum kau dengar penderitaan emakku karena tingkahmu. Kau! Teruskan, Nyi Gede.
Wiranggaleng tidak mencundrik emakmu. Dia tetap mencintainya. Betapa agung cinta lelaki itu. Tetapi wanita itu, perasaannya telah rusak binasa sejak itu, takkan dapat pulih kembali.
Dan semua dimulai dengan obat bius, Gelar menambahi.
Kemudian, baru kemudian itu diketahui, Nyi Gede Kati membetulkan.
Tak perlu aku membius seorang pun! bantah Syahbandar.
Aku pun pernah kau bius, Tuan, Nyi Gede menuduh. Kau, Kati, kau juga menuduh aku"
Dan penjaga-penjaga menara, dan dua orang Peranggi pelarian, Gelar meneruskan, korban obat bius.
Apalah artinya korban-korban itu dibandingkan dengan penderitaan Idayu"
Syahbandar seperti kehilangan kepribadiannya. Ia menoleh-noleh pada setiap pembicara, la tak dapat memutuskan sesuatu untuk diperbuatnya. Ia ingat pada sumpahnya untuk mengakui Gelar sebagai anaknya. Dan anak itu kini begitu menjijikkan, setengah gila dan tak tahu aturan.
Setiap dia melihat kau. Gelar, Kati meneruskan, dia akan ingat pada kelahiranmu, pada gangguan perasaan yang mengguncangkan itu, karena dia sangat, sangat mencintai bapakmu. Dia rela mati untuk bapakmu, rela apa saja. Karena besarnya cintanya itu sebelumnya dia telah hadapi maut, menolak jadi selir Sang Adipati, menolak segala bujukan. Tiba-tiba Tuan, Tuan Syahbandar membiusnya. Tangan Tuan yang kotor dan berlumuran dosa telah meraba tubuhnya, dan kau, Gelar, kau pun lahirlah. Kau anak Tuan Syahbandar ini. Tak salah lagi. Jangan pergi. Tuan, dengarkan juga istrimu ini bicara.
Tholib Sungkar berdiri tersiksa tak dapat meninggalkan tempatnya. Ia meringis-ringis berusaha tak mendengarkan, tapi justru mendengarkan.
Marilah duduk sini di sampingku. Tuan, tapi Syahbandar tak menggubris seolah tak dengar. Gelar! Akulah yang pertama-tama menyambut kedatanganmu di dunia ini. Aku juga yang pertama-tama melihat: kau tak lain dari anak Tuan Sayid ini Akulah juga orang yang pertama-tama kaget. Setelah kau kumandikan dan kutidurkan di samping emakmu, emakmu dengan diamdiam menangis. Ia tak bicara apa-apa. Nah, Tuan Sayid, Tuanlah sekarang yang bicara.
Dia tak pernah mengatakan aku anaknya, Gelar menuduh.
Mengapa diam saja, Tuan. Malukah Tuan punya anak dia"
Tak ada guna dengarkan cericau dua orang gila. Gelar makin menghadang dengan tongkat pada ketiak. Syahbandar berusaha mencabut pisau-tongkatnya dengan suatu gerakan semu. Gelar meliriki tangannya, tertawa, kemudian: Sia-sia Tuan keluarkan pisau-tongkat itu. Kalau aku mau, sudah sejak tadi kuremukkan kepalamu. Uh, siapa belum pernah dengar tentang tongkat ajaib itu" Orang-orang tak berdaya telah kau bunuhi, seakan hanya babi hutan. Sekali pisau itu nampak terhunus di hadapanku, tangan yang menghunusnya akan kuremukkan. Kalau tidak percaya, ayoh coba.
Tholib Sungkar tak meneruskan usahanya.
Telah kau aniaya perasaan emakku sejak kelahiranku. Telah kau hinakan Senapatiku. Diam! Jangan bicara. Telah kau aniaya dan kau khianati penduduk Tuban. Dengarkan kalau Gelar bicara. Jangan gerakkan bibirmu itu. Telah kau bikin aku jadi ejekan dan tertawaan di mana-mana dan kapan saja. Tebus semua airmata dan kesakitan emakku! Tebus semua kesakitanku. Bicara kau sekarang!
Untuk sekian kali Tholib Sungkar berusaha menguasai diri. Tapi syarafnya sudah tak bisa dikendalikannya. Kefasihan dan kecerdasannya pun sudah tak sanggup membantunya melawan anak kemarin yang tak berpengetahuan ini. Terdengar Kau sudah bikin bahaya untuk dirimu sendiri.
Urusanku. Aku tahu kau sangat berkuasa. Tak relakah Tuan mengakuinya sebagai anak" Setiap saat serdadu Peranggi bisa datang dan bunuh kau, anak gila.
Biarlah bapak dan anak mati bersama. Apalah bedanya"
Tidakkah pernah kau dengar" Sedikit saja tanganku melambai, dan serdadu Peranggi akan tergopoh berdatangan"
Tangan itu akan remuk sebelum melambai. Bila jariku menuding, tewaslah dia yang tertuding, dengan atau tanpa nama.
Jari itu akan patah sebelum menuding. Itu benar, Gelar, Nyi Gede menggarami.
Aku telah datang padamu untuk dijawab. Sekali lagi: adakah kau bapakku"
Tak pernah aku punya anak seperti kau.
Bagus. Maha Buddha takkan mengutuk aku. Lebih mudah rasanya berhadapan denganmu sebagai bukan bapak, ia menuding. Kau sumber sengsara. Kau bukan bapakku, aku bukan anakmu.
Kau memang terlalu. Tuan, Gelar sudah marah begitu. Dia kira mudah membunuh Sayid Habbibullah Al- Masawa, ejek Syahbandar. Kau hadapi seribu Peranggi. Kau takkan lepas!
Apakah hinanya mengakui anak itu sebagai anak sendiri" Dia darah dan daging Tuan sendiri!
Diam! bentak Syahbandar pada istrinya. Dan pada Gelar, Setan mana yang membawa kau padaku"
Syahbandar tak dapat mengendalikan diri lagi. Cepat tongkatnya naik di tentang dada, pisaunya yang panjang hitam telah terhunus dan dengan cepat maju-mundur membikin gerak penikaman yang mematikan.
Gelar berkelit ke samping dan memutar tongkat kayunya sambil mendesis cepat: Nyi Gede, jangan sesali aku kalau kuperlakukan suamimu seperti ini.
Nyi Gede menghindarkan diri dari dua lelaki, ayah dan anak, yang sedang bertarung. Ia berteriak mencoba melerai: Tuan, jangan bunuh anak itu, anakmu sendiri. Terkutuk kau! tapi suara yang berseru-seru itu tak keluar dari mulut.
Tongkat Gelar berputar-putar. Dan tusukan-tusukan pisau panjang itu bertubi-tubi cepat seperti serangan seribu kobra. Baru pada waktu itu orang menyaksikan Syahbandar dengan pisau-tongkatnya adalah laksana seekor ular berbisa. Ia dapat menyerang cepat dan mengelak dan berkelit, maju dan mundur dalam kesatuan dengan senjatanya.
Ruangan yang sempit itu terasa sesak dengan dua manusia.
Nyi Gede melompat ke atas ambin. Sekarang suaranya dapat keluar nyaring.
Tuan, jangan bunuh anakmu sendiri!
Kau membela dan memberanikan dia! jawab Syahbandar sambil terus menyerang.
Terkutuk si pembunuh anak!
Pisau-tongkat Syahbandar terlontar dari tangan, melesit ke atas, menemui atap daun kelapa, tersangsang dan tak turun lagi.
Menjijikkan, dengus Nyi Gede melihat Syahbandar berdiri tanpa bongkok di hadapan Gelar tanpa bergerak, mencoba membunuh anak sendiri. Memang patut mendapat ganjaran setimpal. Orang tua tak tahu diri. Kau tidak membela aku. Kati.
Gelar berdiri diam-diam dengan tongkat di tangan di hadapan Syahbandar. Nyi Gede Kati turun dari ambin dan mendekati suaminya, menudingnya: Dalam penderitaan kau kubela. Dalam kebinatangan kau kulawan, terkutuk kau!
Gelar membiarkan dua-duanya sebagai suami-istri. Sebagai istri kau tak patut memusuhi aku. Tutup mulutmu. Makin banyak bicara kau makin menjijikkan. Panggil semua serdadumu. Tak ada seorang pun di antara mereka bisa dan mau menolongnya. Kau pun akan binasa, Kati.
Aku tahu, tapi tidak tanpa kehormatan seperti kau, bentak Gelar dan melayangkan tongkatnya pada kepala Syahbandar.
Nyi Gede menutup mata dengan tangan, memekik: Terkutuk, kau Gelar, pembunuh ayah sendiri!
Kepala Syahbandar tua itu pecah, tongkat itu patah, dan tubuh tua itu terguling jatuh. Dari mata dan hidungnya dan mulutnya dan kupingnya keluar darah.
Gelar menarik tangan Nyi Gede ke arah pintu. Jangan sentuh aku, terkutuk, pembunuh ayah sendiri! Peranggi akan aniaya kau!
Binatang! Pergi! Gelar keluar dari gubuk, dan matahari telah tenggelam. Ia lari entah ke mana.
Nyi Gede Kati mendekati pintu, menengok ke kiri dan ke kanan, kemudian pun lari entah ke mana& .
0odwo0 42. Koma Malam itu tenang dan tenteram di pesanggrahan balatentara Tuban di sebelah barat kota. Dari gubuk-gubuk dan bedeng-bedeng dari daun kelapa nampak sinar pelita suram. Angin laut tak henti-hentinya bertiup dan membawa serta dedaunan kering dari hutan-hutan keliling.
Sudah sejak senja hari udara terasa dingin. Dan angin membikin udara semakin dingin. Tetapi tak ada seorang pun membikin pendiangan. Semua prajurit diperintahkan beristirahat dua minggu penuh tanpa boleh berdiang di malam hari.
Istirahat sepanjang itu membikin mereka jadi gelisah, menduga sendiri apa akan diperbuat oleh Senapati Wiranggaleng dalam mengusir Peranggi.
Pada malam itulah Gelar datang ke pesanggrahan. Kudanya melangkah pelan mendekati gubuk peratusnya, kemudian ia turun.
Sekarang kau boleh beristirahat, Sultan, bisiknya. Ia berhenti, tak jadi masuk waktu mendengar seseorang bicara hati-hati: Tunggu nanti bila bulan mulai tua. Pada waktu itulah kita akan mulai bergerak. Kemenangan Senapatiku sejak dulu diperoleh dalam gerakan malam, berlindungkan kegelapan.
Gelar mendeham dan percakapan berhenti. Ia masuk dan mendapatkan peratusnya sedang duduk bersama peratus lain. Suaranya sekarang tinggal jadi bisikan, tak dapat ditangkapnya. Kemudian peratus lain itu pun pergi.
Ia melaporkan segala yang telah dilihatnya di Tuban, kecuali urusan pribadinya dengan Syahbandar dan Nyi Gede Kati. Dan peratus itu merasa puas. Ia menyatakan pekerjaannya baik.
Tetapi, katanya lagi, kalau keterangan-keteranganmu ternyata isapan jempol, apalagi ternyata kau sama sekali tak pernah masuk ke Tuban Kota& kau tahu sendiri ganjarannya.
Barang tentu, peratusku! Siapa saja yang pernah kau temui di sana" Nyi Gede Kati bekas pengurus keputrian kadipaten, la tinggal di gubuk daun kelapa di daerah pelabuhan. Maksudmu di gubuk-gubuk perempuan gelandangan" Benar, peratusku!
Tak pernah kau melihat& eh, eh. Syahbandar" Lebih dari melihat, peratusku.
Mengapa tak kau sampaikan sejak tadi"
Dan Gelar dengan rikuh menceritakan segala yang telah terjadi di dalam gubuk Nyi Gede Kati.
Gelar! serunya, bukankah kau dididik dalam Buddha"
Benar, peratusku. Bukankah kau sendiri tahu dia ayahmu" Tahu, peratusku.
Bagaimana bisa kau lakukan& .
Sudah terjadi, Peratusku, jalan lain tak ada. Peratus itu menatap prajuritnya dengan mata tajam. Perasaan jijik terpancar pada wajahnya. Kemudian ia pergi tanpa bicara lagi.
Dalam salah sebuah gubuk di pesanggrahan balatantara Tuban beberapa orang mengelilingi pelita minyak yang terbuat dari ruas bambu yang berdiri dengan kaki-kaki. Mereka nampak bersungguh-sungguh. Bayang-bayang yang bergerak-gerak pada wajah mereka disebabkan gerak api, membikin mereka nampak seram. Mereka: Braja, Kala Cuwil, Rangkum, Banteng Wareng dan Wiranggaleng.
Mereka menyimpulkan: Portugis jelas bisa diusir dari Tuban, tidak saja dengan penyerbuan dari laut, juga dan terutama dari darat. Mereka mengakui: pertempuran malam, yang untuk pertama kali dilancarkan oleh Wiranggaleng dalam sejarah perang di Jawa, akan menjamin kemungkinan itu. Dalam perang pengusiran tidak diperlukan cetbang, yang jelas tak dapat menandingi meriam musuh.
Masalah yang kemudian timbul: sampai berapa lama Peranggi dapat menahan serangan" Benteng bawah-tanah mereka memberikan perlindungan yang tak tertembusi oleh tombak, panah ataupun pedang, sedangkan serangan harus kilat pada waktu mereka terlena atau berhasil dibikin lena. Serangan yang tersusul oleh terbitnya bulan atau matari akan menyebabkan meriam-meriamnya menggagalkan semua usaha. Meriam rampasan telah tenggelam di laut, tak bisa diharapkan.
Kesimpulan kedua: serangan harus merupakan sekali pukulan yang mematikan.
Masalah yang kemudian timbul: balatentara Demak. Walau musafir-musafirnya tak sebanyak dan tak sefanatik dulu, setiap waktu Trenggono bisa tahu apa yang terjadi di mana-mana. Bila Demak tahu apa sedang direncanakan Tuban, Trenggono tinggal menunggu terjadinya perang pengusiran, dan tanpa bersusah-payah ia akan mengambilalih semua usaha Tuban, bahkan menguasainya pula.
Keputusan terakhir: semua diserahkan pada satu tangan. Dan yang diserahi adalah Senapati Tuban Wiranggaleng.
Dengan demikian persidangan sambil berdiri mengelilingi pelita itu berakhir. Sebelum mereka bubar, Senapati masih sempat bertanya: Bagaimana berita telik terakhir"
Tidak berbeda dengan yang seminggu terdahulu, dengan tambahan, dia telah memerlukan menghabisi jiwa Syahbandar Tuban Sayid Ulasawa, jawab Kala Cuwil. Wiranggaleng terdiam.


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia telah kerjakan lebih dari tugasnya, Patih Tuban itu menambahkan.
Berikan pada dia tiga ratus orang dari pasukan kaki. Baik, Senapatiku.
Tugaskan dia mencari minyak tanah. Terserah pada dia di mana dan cara dia mendapatkan.
Gelar telah berusaha dengan berbagai cara dan jalan untuk dapat menemui bapaknya. Selalu tak berhasil. Peratusnya pun menolak menyampaikan pada atasannya.
Senapati sendiri tak pernah kelihatan pada umum. Orang-orang bilang: jiwanya harus diselamatkan dari intaian Demak.
Di mana saja Senapati berada, orang tak banyak tahu. Juga dan apalagi Gelar.
Ia ingin menyampaikan sendiri apa yang telah diperbuatnya terhadap Syahbandar terkutuk itu. Ia merasa telah berjasa besar pada emak dan bapaknya. Ia berhak mendapatkan pengakuan sebagai anak yang baik dan tahu menghapus aib orangtua. Ia telah merasa sebagai pahlawan keluarga. Musuh segala orang itu telah tumpas, oleh tangannya sendiri. Bukankah ia seorang anak yang tahu membalas budi" Tak kurang suatu apa" Bahkan ia pun abang yang baik untuk adiknya dan prajurit yang baik untuk senapatinya" Untuk itu ia telah pertaruhkan jiwanya, segala-galanya" Mereka akan bangga pada dirinya. Tuban pun akan bangga punya seorang prajurit seperti dirinya. Siapa lagi bisa memusnahkan Syahbandar Tuban yang selalu dalam kawalan Peranggi kalau bukan hanya Gelar"
Ia sendiri merasa terbebas dari kerisauannya. Sekali waktu ia akan datang pada emaknya. Dan ia akan mendapat pujian daripadanya. ingin segera pulang untuk berpanen pujian itu. Tapi tak mungkin. Sekiranya Senapati bukan bapaknya sendiri, pasti ia sudah tinggalkan balatentara, kembali dalam lingkungan kasih-sayang emaknya. Ia merasa malu untuk pergi. Wiranggaleng akan malu pada umum punya anak yang melarikan diri dari kewibawaannya. Ia terpaksa tinggal dalam pasukan.
Pada peratusnya ia menawarkan diri untuk tugas-tugas yang lebih berat. Ia tak tahan harus diam-diam tanpa kegiatan. Panggilan dari Senapati itu tak kunjung datang. Ia harus dapat menarik perhatiannya dengan jasa-jasa yang lebih besar.
Ataukah Senapati sengaja tak mau melihatnya lagi" Tidak mungkin. Jasa yang lebih besar mengharuskan ia mengenal Gelar. Dan peratus itu tak juga memberinya tugas penting. Ia menjadi gelisah resah. Pada puncak kerisauan ia telah siap untuk berbuat sesuatu apa saja untuk menarik perhatian Senapati. Dan perintah itu datang: memimpin tiga ratus prajurit kaki, cari minyak tanah di mana saja, dengan cara apa saja. Dan peratus itu menyampaikan padanya pribadi: perintah langsung dari Senapati sendiri. Waktu: tiga minggu.
Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia anggap perintah itu sebagai ujian dari seorang bapak sendiri. Dan setelah menerima jumlah yang tiga ratus segera ia berangkat. Semua bersenjata lengkap.
Membawa kekuatan tiga kesatuan adalah pengalaman baru bagi seorang prajurit muda. Dan hanya prajurit luarbiasa saja ada kemungkinan mendapat kehormatan seperti itu. Ia merasa lebih dipercaya daripada tiga orang peratus sekaligus. Pikiran itu membesarkan hatinya.
Mereka semua sudah dan akan lebih bangga padaku, ia memutuskan. Tanpa pikir panjang ia bawa pasukannya ke Bojonegara. Senapati tak dapat ditemui. Baik. Ia akan meminta restu dari Ibunya. Dan yang lebih penting lagi: membawa berita pada Idayu tentang kedatangan Senapati. Di sana nanti baru ia akan pikirkan apa harus diperbuat.
Begitu turun dari kuda ia langsung mendapatkan emaknya dan berkata: Mak, lihat, Mak, tiga ratus orang prajuritku sekarang.
Dan Idayu dan Kumbang mengagumi prajurit sebanyak itu, mengagumi Gelar, semuda itu telah pimpin ratusan orang yang lebih tua daripada dirinya sendiri.
Kau mendapat kepercayaan besar, Gelar.
Tentu, Mak. Tahu kau, Mak, siapa yang memberi kepercayaan ini"
Mana aku tahu, Nak" Nanti aku bilangi. Sekarang& , ia berbisik pada Idayu dan emaknya mendengarkan dengan mata terbeliak berpendaran berputar-putar kesana-sini.
Tiba-tiba emaknya memekik: Gelar! sambil menyorongkan badan anaknya. Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Jangan ulangi kebohongan itu. Aku tak percaya.
Gejolak dan rangsang girang dalam dada Gelar berobah jadi beku, kaku dan membatu. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia lihat wanita itu berubah jadi orang lain yang tak dikenalnya, seperti bukan orang yang pernah melahirkan, menyusui membesarkan dan mendidiknya.
Idayu berdiri tegak seperti patung. Matanya masih membelalak tidak bergerak dan tidak berkedip. Gelar kehilangan semangat dan kepribadiannya.
Lambat-lambat Idayu memejamkan mata, menunduk. Suara seorang ibu keluar dari dadanya yang sesak: Memuakkan! Tak ada seorang ibu pernah menyuruh atau menganjurkan perbuatan seperti itu. Aku tak percaya ada anakku bisa berbuat seperti itu!
Gelar tetap tak mengerti mengapa ibunya menanggapi berita kejadian itu seperti orang kehilangan akal. Mengapa lenyapnya seorang yang selama itu menyedihkan hatinya, merusak ketenangan batinnya, ternyata tidak menggirangkan hatinya" Ia kehilangan pegangan. Seorang ibu yang benar-benar dicintainya telah menolak persembahan bakti& .
Jadi apa harus kukerjakan, Mak"
Kau! Kau! Mengapa sekarang bertanya padaku" Kau berangkat tanpa meninggalkan kata. Mengapa bertanya" Katanya dengan suara pedih.
Kumbang memperhatikan ibu dan abang berganti-ganti tanpa mengerti duduk-soalnya.
Kau merestui keberangkatanku, Mak.
Betul, tapi bukan untuk perbuatan seperti itu. Memuakkan, memuakkan.
Dia musuh, Mak, manusia terkutuk.
Itu saja yang agak meringankan kau. Hanya itu. Maha Buddha tidak. Memohonkan ampun pun aku takkan sanggup sekalipun kau bohong!
Ada juga keringanannya, pikir Gelar. Dan Idayu sekaligus telah demikian berobah, bukan emaknya yang dulu, dan pondok pengungsian itu tak lagi terasa ramah dan menyambut seperti dulu. Bahkan Kumbang pun sudah nampak lain. Ia dipaksa untuk juga mengambil sikap lain, lebih berhati-hati. Semua dirasainya telah jadi asing. Juga dirinya sendiri. Ia berlutut dan berkata dengan suara memohon: Anakmu akan berangkat terus, Mak. Berilah restu.
Berangkatlah, kata Idayu seperti pada orang asing. Kau tak merestui aku, Mak"
Aku tak tahu apa lagi akan kau perbuat. Sejak sekarang restui dirimu sendiri dengan perbuatan baik. Gelar, berangkatlah.
Mak, tega kau melepas aku tanpa restu, Mak" Dan wanita yang dihadapinya itu memang sudah bukan emak yang dulu, menjadi wanita yang tidak dikenalnya.
Baik, Mak, katanya sambil berdiri. Aku berangkat lagi. Nampaknya tak ada sesuatu yang bisa kuperbuat lagi di sini. Sebelum berangkat kusampaikan padamu. Senapatiku Wiranggaleng sudah datang di Tuban. Bapak! seru Kumbang.
Dan seruan itu terasa seperti halilintar di hati Gelar. Ia tahu, ia tak berhak lagi berseru seperti adiknya.
Lambat-lambat wajah Idayu kembali seperti semula. Matanya lunak dan bibirnya kehilangan ketegangan.
Aku tinggalkan tiga orang prajurit untuk mengantarkan Emak dan Kumbang. Tolonglah, Mak, kalau kau sudi, Mak, sampaikan sembah-sujudku pada Senapatiku, sebagai prajuritnya. Ia hendak mengatakan kalau toh tak mengakui aku sebagai anaknya, tetapi kata-kata itu tersekat beku di dalam jakun.
Dengan hati bolong compang-camping ia tinggalkan gubuk dan manusia-manusia tercinta yang sudah jadi asing itu, menggabungkan diri dengan pasukannya, berangkat lagi memasuki lebih dalam wilayah Bojonegara.
Dari seorang prajurit yang berpengalaman dalam hal minyak-tanah ia mendapat keterangan, minyak bisa didapatkan di tengah-tengah pecahan bukit cadas yang patah atau belah. Mungkin jarak pecahan itu sampai satu atau setengah hari perjalanan. Tengah-tengah jarak itu biasanya sumber minyak.
Ia tak tahu-menahu tentang itu. Diserahkannya pimpinan pencarian padanya.
Pada mulanya orang pada bertanya-tanya apa perlunya minyak-tanah sebanyak yang bisa diangkut oleh tiga ratus orang, kalau gunanya toh untuk melawan wabah bengkak yang membunuh itu dan sakit perut muntah-buang-air" Dan penyakit demikian tak ada sehabis perang melawan Kiai Benggala. Bila untuk penerangan, untuk apa pula penerangan berlebihan di waktu perang" Bukankah cukup dengan minyak kelapa"
Orang tak juga mengerti. Dan orang pun tak mempersoalkannya lagi. Soal yang lebih gawat sekarang adalah: kemungkinan terpergoki oleh pasukan Demak, dan itu berarti pertempuran. Dan tiga minggu yang diberikan mungkin akan terlewati.
Kecompang-campingan dan kebolongan hatinya segera terdesak oleh tugasnya sebagai prajurit. Kewaspadaan dan kesiagaan, pengaturan pasukan dan pengiriman telik, semua jadi pekerjaan pokok untuk dapat menghindar sergapan musuh.
Beberapa hari lamanya pasukan itu menjelajahi perbukitan Kendeng mencari sumber minyak& .
Wiranggaleng bersama dengan para pemimpin pasukan sedang berdiri menghadap pada sebuah bukit kecil yang dirimbuni hutan. Di belakang mereka berdiri beberapa orang pengawal bersenjata tombak, pedang dan perisai. Sekeliling mereka sunyi-senyap. Dan di belakang mereka adalah perbukitan rendah yang setengah gundul.
Wiranggaleng berdiri bertolak pinggang dengan pandang merenungi kejauhan. Ia nampak lebih kukuh dan lebih tegap daripada tujuh belas tahun yang lalu. Hanya matanya nampak cekung masuk ke dalam rongga dan garis-garis kaki-ayam mulai menggurati sudut luar matanya. Kumisnya yang kurang lebat dan panjang jatuh lunglai di samping bibir, sedang jenggotnya yang juga kurang lebat dipotong sepanjang tiga jari dan tergantung pada dagu seperti sekepal ijuk.
Kalau mereka tak mampu datang dalam tiga minggu atau tanpa hasil, semua persiapan harus diperpanjang, bahkan diganti, sementara itu mungkin lebih banyak lagi Peranggi datang.
Senapatiku! sela Rangkum, telah kumasukkan dalam pasukan itu seorang yang dahulu bekas pencari minyaktanah. Mereka pasti berhasil. Hanya jumlahnya kita tak tahu. Bila ada halangan, pasti karena menghindari tentara Demak.
Senapatiku, nampak ada orang-orang datang dari celahcelah bukit, pengawal datang memperingatkan.
Semua berbalik ke belakang mengikuti tudingan tangan seorang pengawal. Dan seorang lain melompat ke atas kuda, menuju ke celah-celah bukit itu.
Nampak seperti orang desa biasa, Banteng Wareng berkata, nampaknya ada juga beberapa orang prajurit. Prajurit Tuban, kata Braja.
Seperti prajuritku, kata Rangkum. Seorang menuntun anak. Perempuan nampaknya. Dan jalan itu jarang ditempuh orang.
Mereka menyingkir dari tempat terbuka, menghindari di balik rumpun telekan, meneruskan pembicaraan.
Senapati menerangkan tentang keyakinannya, bahwa sekali Peranggi dikalahkan di sesuatu tempat, mereka takkan kembali untuk membuat perhitungan, mereka akan pergi untuk selama-lamanya. Bahwa alat dan cara perang mereka memang ampuh tidak menyalahi kenyataan, mereka tidak lebih dari siapa pun di antara orang Tuban. Mereka tak kalis dari sakit dan nyeri, mereka tidak lebih mulia, tapi memang lebih unggul karena cara kerjanya. Mereka juga punya kelemahan: takkan berdaya di malam kelam. Mereka manusia biasa. Alat-alat perangnya pun bikinan manusia biasa, bukan anugerah dari para dewa.
Ia memerintahkan pada para kepala pasukan agar semua prajurit Tuban memahami itu, dan bahwa lelanangin jagad adalah dongengan kanak-kanak semata.
Mereka dengar rombongan pendatang itu mendekati dan ternyata memang ada beberapa orang prajurit Tuban di antaranya.
Di dekat semak-semak telekan rombongan itu berhenti, dan terdengar suara wanita memanggil-manggil: Kang Galeng, Kang, aku datang.
Wiranggaleng kurang mendengar.
Seorang pengawal berkuda datang menghadap dengan masih memegangi kendali dan melaporkan: Senapatiku, Nyi Gede Idayu datang menghadap.
Seluruh pancaindra Senapati seakan berhenti bekerja. Mata-batin-nya berhadapan dengan pegunungan masalalu, sambung-menyambung tiada habis-habisnya: alam dan manusia, kesakitan dan kebahagiaan, harapan dan kekecewaan, cinta dan benci. Semua itu diwakili oleh hanya satu nama: Idayu.
Ia berjalan cepat keluar dari balik semak-semak. Yang lain-lain mengikutinya. Dan ia dapatkan anak dan istrinya berdiri menanti. Ya, mereka adalah impian masalalu. Dan ia jadi begitu kikuk.
Kang Galeng, panggil Idayu sekali lagi.
Bapak! teriak Kumbang dan lari, menjatuhkan diri ke tanah, menyembah kemudian memeluk kakinya. Kau datang, Idayu.
Ya, Kang, dan itu anakmu, Idayu menuding pada Kumbang dengan pandangnya.
Senapati mengambil anak itu dari kakinya dan mengangkatnya tinggi-tinggi seperti hendak melemparkannya ke langit.
Sudah besar, kau Nak. Kau tak juga datang, Kang. Mungkin tak patut aku datang kemari. Biar begitu aku paksakan datang untuk mengantarkan anakmu. Dia berhak melihat bapaknya dan bersembah sujud padanya. Turunkan anak itu, biar dapat memuliakan kau dengan sembah yang sempurna.
Senapati itu menurunkan anaknya. Dan Kumbang berlutut: Sembahlah bapakmu. Nak, dengan sembah yang tulus, biarpun sekiranya kau tak diterimanya. Ada apa Idayu" Mengapa kata-katamu begitu pahit" Idayu tak menjawab, dan Senapati membelai rambut anaknya untuk merestui. Kembali anak itu diangkatnya di atas sampai pasang-pasang mata anak dan ayah itu sejajar.
Betul, sudah besar kau. Di mana kau tinggal sekarang" Ah-ya, siapa pula namamu"
Semua yang mendengar tertawa.
Keterlaluan, kau, Kang anak sendiri lupa namanya, tegur Idayu.
Hhh, hhh, tinggal di mana kau, Nandi" Huh-huh, namaku bukan Nandi, Bapak.
Nandi itu anakmu yang lain lagi, yang ada di Malaka sana, sela Idayu.
Kunamakan siapa kau dulu" tanya Senapati. Kembali orang pada tertawa dan Senapati menurunkan Kumbang ke tanah.
Kumbang, Bapak, si anak membetulkan. Kami tinggal jauh di desa sejak terjadi perang. Kang Gelar yang menjaga kami. Sekarang dia pergi.
Kumbang. Benar, Kumbang, bisik Senapati, bapak sudah mulai pikun rupanya, Ya-ya-ya, ke mana Gelar pergi"
Dengan pasukan, Bapak. Wiranggaleng terdiam. Keningnya berkerut. Matanya ditujukan para pemimpin pasukan, pada para pengawal, akhirnya pada Idayu: Pasukan mana"
Pasukan Senapati Wiranggaleng, jawab istrinya. Mata Senapati cepat dialihkan pada para pemimpin pasukan, bertanya: Pasukan siapa berkeliaran di sana" tanyanya tajam.
Pasukan dengan tugas khusus, jawab Braja, dengan perintahmu. Senapatiku, mencari minyak-tanah.
Dialah yang bilang Bapak sudah kembali, Kumbang menambahkan. Idayu merasa perlu untuk menerangkan, agar suasana yang mulai mengandung ketegangan ketentaraan itu mengendur. Ia dekati suaminya dan berkata pelahan setengah bisik: Gelar menggabungkan diri kembali pada tentara Tuban setelah Peranggi masuk. Ditinggalkannya kami berdua di pedalaman. Kemudian dia datang lagi membawa pasukan sebanyak tiga ratus orang.
Dia yang membawa" tanya Senapati membelalak. Dia yang memimpin pasukan" kembali pandangnya berpendar-pendar pada para pemimpin pasukan. Dewa Batara! sebutnya.
Aku belum tahu tepat siapa nama pemimpin pasukan khusus itu, sela Braja.
Senapati memegangi kedua belah bahu istrinya: Tidakkah dia berbohong waktu mengatakan membawa pasukan"
Tak pernah aku ajari dia berbohong, jawab Idayu. Wiranggaleng menoleh pada Braja, bertanya: Bukankah pemimpin pasukan itu orang yang baru pulang dari Tuban Kota, Braja"
Tepat, Senapatiku. Ampun, Dewa Batara, sebut Wiranggaleng. Apakah Senapatiku ingin segera mengetahui orang itu Gelar atau bukan" tanya Braja.
Senapati tak menjawab. Ia melangkah pelahan diikuti oleh semua orang.
Gelar, Senapatiku, seorang prajurit yang gesit seperti elang, berani seperti harimau, patut jadi perwira sekiranya kelakuan cukup baik, Braja menyarani.
Maafkan kami, Kala Cuwil menambahkan, bahwa tak ada di antara kami mengetahui apakah kepala pasukan khusus itu Gelar
Bagaimana keadaanmu, Idayu" tanya Senapati. Kumbang, panggil Idayu. Mintalah gendong pada bapakmu. Belum cukup engkau digendongnya dulu. Nak. 0o-dw-o0
Kumbang dan Idayu belum pulang ke desa. Bersama dengan anak-anak dan perempuan lain mereka ditempatkan di sebuah desa pembikin grabah. Seluruh bocah dan wanita ditugaskan untuk mengempleng tanah liat untuk dibikin jadi gendi-gendi kecil tak bercucuk berbentuk lonjong dan tak dapat berdiri.
Duel Antar Animorphs 1 Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari Alam Kubur Kampung Setan 5

Cari Blog Ini